PENDAHULUAN Terminologi tumor adenoma pleomorfik 1,2,3,4,5 yang sekarang luas dipergunakan pertamakali diperkenalkan oleh Willis pada tahun 1948, 3 merupakan neoplasma kelenjar liur yang umum terjadi dan sering mengenai kelenjar liur mayor parotis wanita dekade-IV serta laki-laki muda dan lanjut usia. 1,2 Gambaran histologis tumor adenoma pleomorfik parotis (APP) sangat beragam, sehingga Minssen (1874) menyebutnya sebagai tumor campur / ”mixed tumor”. 3 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENDAHULUAN
Terminologi tumor adenoma pleomorfik1,2,3,4,5 yang sekarang luas dipergunakan
pertamakali diperkenalkan oleh Willis pada tahun 1948,3 merupakan neoplasma
kelenjar liur yang umum terjadi dan sering mengenai kelenjar liur mayor parotis
wanita dekade-IV serta laki-laki muda dan lanjut usia.1,2
Gambaran histologis tumor adenoma pleomorfik parotis (APP) sangat beragam,
sehingga Minssen (1874) menyebutnya sebagai tumor campur / ”mixed tumor”.3
1
Komponen Penyusun Jaringan Tumor APP
Komponen terdiri dari komponen epitelial, komponen miksomatosa, dan komponen serupa khondroid; sehingga
tumor APP memiliki gambaran histologis yang sangat pleomorfik dan disebut sebagai tumor campur kelenjar
parotis. Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fak. kedokteran/gigi unpad rumah sakit hasan sadikin
Potongan melintang / “gross” pada jaringan tumor APP memperlihatkan batas
yang tegas, tetapi penonjolan ekstensi massa tumor di jaringan normal sekitarnya
kadang-kadang bisa ditemukan.1,2
Secara mikroskopis APP jinak bisa terdiagnosis sebagai karsinoma,1 karena pola
histologinya kadang sangat seluler dan kerapnya massa tumor menembus
kapsul.1,2
Selain menghasilkan musin, juga secara imunohistokimia adenoma pleomorfik
jinak parotis menunjukkan reaktifitas terhadap sitokeratin, vimentin, GFAP/“glial
2
Sumber : http://radiology.uchc.edu/eatlas/images/GI/7086b.gif
perdarahan, hialinisasi, atau kalsifikasi sebagai parameter yang biasa dipakai
untuk memprediksi keganasan tidak bisa digunakan untuk meramalkan perilaku
biologi tumor APP yang sangat beragam ini, terutama dalam hal keperluan
meramalkan potensi keganasan tumor.
Karena keunikannya tersebut, terapi bedah terhadap adenoma pleomorfik kelenjar
liur parotis biasanya berupa bedah-radikal yang berdampak pada berkurangnya
sensasi fasial, produksi liur, dan kosmetik pasien, serta terjadinya sindroma Frey.1
Buku ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan tumor adenoma pleomorfik
parotis (APP), mulai dari pembahasan gambaran normal kelenjar liur mayor
3
parotis; serta klasifikasi, grading, dan staging tumor kelenjar liur secara umum;
pembahasan terhadap tumor adenoma pleomorfik kelenjar parotisnya sendiri yang
meliputi bahasan gen-terkait- tumor dan produk proteinnya, telaah proses
apoptosis dan patogenesis tumor, serta mekanisme aksi onkoprotein rasP-21,C-
erbB-2,dan P-53 pada perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP, dan
diakhiri dengan ringkasan umum dan penutup dari pembahasan komprehensif
yang telah dilakukan.
4
GAMBARAN NORMAL KELENJAR LIUR MAYOR PAROTIS
Sistem kelenjar liur manusia meliputi 3 pasang kelenjar liur mayor yang terdiri
dari kumpulan kelenjar eksokrin tubuloasiner, serta beberapa kelompokan kecil
kelenjar liur minor yang tersebar tidak merata pada mukosa rongga mulut.1,2,6
Jaringan penyusun kelenjar liur terdiri dari percabangan tubulus dan duktus serta
sel sekretori / sel asiner yang terletak pada pangkal percabangan, yang kemudian
bermuara di rongga mulut pada suatu duktus pengumpul tunggal.1,2,6
5
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Kelenjar liur menghasilkan sekret berupa cairan liur rongga mulut atau saliva,
yang berperan mempersiapkan makanan untuk dicerna sekaligus mengendalikan
populasi flora rongga mulut.1
Fungsi utama kelenjar liur adalah membasahi mukosa mulut dengan saliva yang
terutama dihasilkan oleh ke-3 pasang kelenjar liur mayor, yaitu kelenjar liur
parotis, submandibularis/submaksilaris, dan sublingualis.1,6
Terdapat dua macam sel asiner kelenjar liur yaitu sel asiner tipe serosa dan sel
asiner tipe mukus,1,6 dengan tipe sekret yang dihasilkan masing-masing berbeda
satu dengan lainnya, sehingga komposisi kimiawi saliva bergantung kepada
6
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
proporsi relatif dari kedua macam tipe sel asiner yang dikandung oleh kelenjar
liur.
Sel asiner tipe serosa mengandung enzim amilase, sedangkan sel asiner tipe
mukus mensekresikan bahan sialomusin.1,6
Kelenjar parotis termasuk kelompok kelenjar liur tipe serosa penghasil amilase.1,6
Perkembangan Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Perkembangan kelenjar liur manusia dimulai pada minggu ke-V sampai ke-VI
kehidupan embrio ketika primordia kelenjar parotis mulai muncul, diikuti oleh
per-kembangan primordia kelenjar liur lainnya.
7
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Primordia kelenjar liur mayor parotis berkembang dari lapisan ektodermis mulut,
berupa “buds” epitel stomatodeum primitif (kavum oris) yang berproliferasi.
“Buds” tersebut terbentuk serta terletak diantara prosesus maksilaris dan
mandibularis diantara daerah kanan arkus mandibularis dengan pipi kiri.
“Buds” epitelial secara kontinyu akan berproliferasi membentuk untaian menuju
daerah ektomesenkhim yang mendasari rongga mulut, diikuti dengan peningkatan
selularitas di sekitar kelenjar yang sedang berkembang. Proliferasi “buds” epitelial
turut berperan pada perkembangan organisasi lobuler dan enkapsulisasi kelenjar
parotis.
Di daerah ujung “cords” padat epitelial kelenjar yang tengah berkembang akan
terbentuk suatu “terminal bulbs”.
Pada “terminal bulbs” akan terbentuk celah yang kemudian akan berproliferasi
kearah ektomesenkhim berupa percabangan-percabangan dari “cords” asalnya.
Setiap “cords” epitelium yang baru terbentuk terletak bersebelahan dengan
“cords” yang ada sehingga kesinambungan dengan epitelium mulut tetap
terpelihara.
Pada awalnya setiap “cords” dan “bulbs” epitelial yang terbentuk tidak memiliki
lumen, namun setelah lumen terbentuk pertamakali pada “cords” epitelial akan
meluas ke arah “terminal bulbs”.
8
Diferensiasi seluler pada “cords” dan “bulbs” epitelial bertanggung-jawab
terhadap karakteristik sel duktus ekskretori, striatus, interkalatus, dan asini
kelenjar.
Cabang “cords” sebelah proksimal akan berkembang menjadi duktus utama dan
duktus ekskretori, cabang “cords” sebelah distal akan menjadi duktus striatus,
sedangkan “terminal bulbs” akan berkembang menjadi duktus interkalatus dan
asini kelenjar. Sesudah proses luminisasi “terminal bulbs” tetapi sebelum
berdiferensiasi, ia berbentuk tubulus terminalis dan sakulus yang memiliki 2
lapisan sel epitelium. Lapisan epitel di dalam lumen akan berdiferensiasi menjadi
sel asiner dan duktus interkalatus, sedangkan lapisan luar berdiferensiasi menjadi
sel mioepitelial.
Maturasi kelenjar liur secara lengkap akan terjadi pasca kelahiran sekitar bulan
ke-III periode kehamilan, kelenjar parotis akan mengalami kolonisasi oleh sel-sel
limfosit, yang kadang berkembang menjadi struktur nodus limfatikus intra dan
periparotid yang organisasinya tidak selengkap kelenjar getah bening.
Anatomi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur mayor yang paling besar ukurannya,
pada orang dewasa beratnya mencapai 15 sampai 30 gram.
Bentuknya menyerupai segitiga dengan bagian apeks terletak disepanjang inferior
sudut mandibula hingga dasar superior arkus zigomatikus.
9
Bagian anterior kelenjar terletak disepanjang ujung posterior ramus mandibula
hampir menutupi ujung posterior otot maseter.
Di sebelah posterior kelenjar parotis dikelilingi oleh telinga, prosesus mastoideus,
dan ujung anterior otot sternokleidomastoideus.
Bagian kelenjar parotis sebelah dalam (bagian medial melenjar) meluas kearah
ruang parafaringeal dan diikat oleh prosesus stiloideus, ligamen stilomandibuler,
stiloglosus, stilohioideus, stilofaringeal, otot digastrikus, dan “carotid sheath”.
Sisi anterior bagian dalam/medial kelenjar terletak di medial otot pterigoideus.
Bagian lateral kelenjar parotis ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak subkutis.
Jaringan ikat fibrosa dan lemak yang berasal dari fasia servikal sebelah dalam
akan membentuk kapsul pembungkus kelenjar parotis. Struktur kelenjar parotis
10
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
memeluk beberapa struktur penting seperti vena jugularis interna beserta
cabang aurikulotemporal nervus trigeminus, dan nervus fasialis.
Sekresi kelenjar mengalir melalui sistem duktus yang akan berkumpul menjadi
satu pada duktus Stensen yang memiliki panjang sekitar 4 sampai 7 sentimeter.
Duktus Stensen keluar dari dalam kelenjar dari ujung anterior, kemudian melintas
permukaan lateral otot maseter, menembus bantalan lemak bukal dan otot
businator tepat di ujung anterior otot, kemudian bermuara pada mukosa rongga
mulut di seberang gigi molar ke-II rahang atas.
Dari sudut pandang pendekatan bedah, kelenjar parotis dibagi menjadi bagian
lobus superfisial/lateral dan bagian dalam/medial, yang dipisahkan oleh nervus
fasialis. Nervus fasialis yang muncul dari foramen stilomastoideus akan
11
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
memasuki permukaan posteromedial kelenjar parotis. Setelah memasuki kelenjar,
nervus fasialis akan terbagi menjadi dua cabang utama dengan masing-masing
anak cabangnya dalam arah superior, anterior, dan inferior. Tepi posterior ramus
mandibula bersinggungan dengan bangunan kelenjar, dan kelenjar terlihat
menyempit dari bagian superfisial kearah medial.
Persarafan sekremotor kelenjar liur mayor parotis diselenggarakan oleh berkas-
berkas saraf parasimfatetik melalui nervus cranialis-VI, sedangkan suplai darah
dan drainase diselenggarakan oleh arteri karotis eksterna dan vena
retromandibuler. Selama perkembangan embrional, pada parenkhim kelenjar
parotis ditempatkan sel-sel limfoid yang akan berkembang menjadi beberapa
nodus limfatikus, yang menerima drainase dari kelenjar beserta struktur sekitarnya
kemudian diteruskan ke nodus limfatikus servikal disepanjang sisi anterior otot
sternokleidomastoideus.
12
Sumber: http/www
Histologi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Asinus kelenjar liur parotis :
Asinus kelenjar liur parotis terdiri dari kelompokkan sel-sel epitel berbentuk
mutiara yang dikelilingi oleh membrana basalis, inti sel terletak di basal, dengan
sitoplasma padat penuh granula sekretori zimogen basofilik (PAS) yang resisten
terhadap digesti diastase namun tidak bereaksi terhadap pulasan musikarmin.
Enzim utama yang dikandung granula zimogen adalah amilase dan ptialin,
berfungsi memecah kanji menjadi unit-unit kecil karbohidrat yang larut dalam air.
Enzim-enzim lainnya seperti lisozim (antibakterial nonspesifik) dan laktoferin
juga terdapat di dalam sitoplasma sel-sel asiner kelenjar liur parotis. Asinus
13
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
kelenjar parotis memiliki lumen sentralis yang berfungsi membawa sekret kelenjar
ke dalam duktus interkalatus. Kerja pengosongan sekret oleh lumen sentralis
diatur melalui mekanisme kontraksi sel mioepitel, yang terletak diantara
permukaan luar asinus dan membrana basalis. Sel mioepitel berbentuk datar dan
memiliki penonjolan sitoplasma panjang yang meluas ke permukaan epitel asinus
dalam bentuk anyaman. Filamen sitoplasmik sel mioepitel mengandung filamen
aktin, tropomiosin, dan miosin yang polanya tersusun serupa dengan pola yang
dimiliki oleh otot polos. Sitoplasma sel mioepitel bereaksi kuat terhadap ATP-ase
dan alkalinfosfatase, dan mengandung berkas-berkas miofilamen pendukung
fungsi kontraksi. Sel mioepitel bersifat kontraktif, mampu mempercepat aliran
saliva dengan jalan meningkatkan tekanan pada unit ekskretori; dan sifat tersebut
diinduksi oleh oksitosin yang serupa dengan mekanisme kontraksi sel-sel otot
polos. Sel-sel mioepitel juga berfungsi mendukung parenkhim kelenjar dan
berperan pada proses perluasan lamina basalis.
Duktus kelenjar parotis :
Sistem duktus kelenjar parotis akan memindahkan saliva dari dalam unit sekretori
ke dalam rongga mulut, sekaligus mengatur konsentrasi air dan elektrolit. Dua
segmen pertama dari sistem duktus yaitu duktus interkalatus dan duktus striatus
terletak di dalam lobulus kelenjar (intralobuler), dan mereka dikenal sebagai
duktus sekretori karena aktivitas metaboliknya. Duktus interkalatus berhubungan
langsung dengan asinus kelenjar, dilapisi oleh satu lapis sel epitel berbentuk
kuboid dan lapisan ireguler sel-sel mioepitelial. Duktus interkalatus kelenjar liur
parotis ukurannya relatif lebih panjang dibandingkan kelenjar liur mayor lainnya,
14
sehingga mudah dikenali pada potongan histopatologis. Sel-sel epitelnya
memperlihatkan bentuk transformasi antara sel sekretori dengan sel duktal, serta
memiliki aktivitas lisozim dan laktoferin sitoplasma yang kuat.
Di daerah basal duktus interkalatus kelenjar parotis ditemukan sel-sel
“undifferentiated” yang positif terhadap sitokeratin dan pulasan imunohistokimia.
Duktus striatus terletak di dalam septum jaringan ikat, berhubungan dengan
duktus interlobular, dilapisi pseudostratifikasi epitel kolumner yang mengandung
sel Goblet. Sebelum duktus striatus bergabung dengan duktus utama, ukuran sel
epitelnya akan membesar secara progresif. Sel-sel epitel pembentuk duktus
15
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996.
striatus tampaknya memiliki kemampuan regeneratif, sebab sel-sel
“undifferentiated” yang terdapat memiliki kemampuan “pluripotensial”, sehingga
kerap dihubungkan dengan kejadian metaplastik dan neoplastik yang sering
mengenai daerah duktus striatus kelenjar liur parotis.Duktus utama kelenjar
parotis terdiri dari epitel kolumner berlapis semu yang akan menjadi berlapis
gepeng di daerah muara saluran kelenjar. Duktus utama dibungkus oleh
fibrokolagen dan berkas serat elastin.
Pemeriksaan Imunohistokimia Kelenjar Parotis.
Sediaan histologi jaringan kelenjar liur rutin pada arsip “Armed Forces Institute of
Pathology”(AFIP, Amerika) yang dipulas dengan koktail antibodi monoklonal
terhadap filamen keratin intermediet BM tinggi dan sedang memperlihatkan
intensitas reaktifitas yang kuat pada unsur sel luminal duktus interkalatus, striatus,
dan ekskretori; tetapi sel asiner dan mioepitel memperlihatkan reaktifitas lemah.
Terdapat kontroversi mengenai imunoreaktifitas terhadap protein S-100 pada
unsur jaringan kelenjar liur normal, sebagian peneliti menganggapnya sebagai
petanda (”marker”) terdapatnya sel-sel mioepitelial, sementara AFIP hanya
mengamati sedikit atau hampir tidak ada reaktifitas kelenjar liur normal terhadap
protein S-100. Reaktifitas terhadap protein S-100 berkaitan dengan “stress” yang
dialami jaringan kelenjar liur normal karena terletak bersebelahan dengan jaringan
neoplasma. Dardick (1991) melaporkan pada jaringan intersisial disekeliling
parenkhim kelenjar liur, reaktifitas terhadap protein S-100 lebih diperlihatkan oleh
16
anyaman serabut-serabut saraf yang tidak memiliki mielin daripada oleh sel-sel
mioepitelial.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa sel-sel mioepitelial normal memperlihatkan
reaktifitas terhadap antibodi anti-aktin otot polos. Peneliti lain menyatakan bahwa
sel-sel mioepitelial normal juga bereaksi terhadap antibodi antivimentin,
antimiosin, dan antiglial fibriler protein asidik. Sel-sel mioepitelial normal
imunoreaktif terhadap protein S-100, aktin-miosin (petanda filamen kontraktil),
dan sitokeratin (petanda diferensiasi epitelial).
Ekspresi imunohistokimia kelenjar liur normal terhadap sitokeratin sangat
bervariasi bergantung kepada jenis sel yang menyusun unit sekretori. Sel asiner
17
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
kelenjar mengekspresikan sitokeratin 6 dan 12 dengan lemah, sedangkan sel
duktal duktus ekskretori mengekspresikannya sangat kuat.
Sel-sel asiner dan duktus interkalatus mengekspresikan CEA (“carcino embryonic
antigens”), dan struktur kelenjar yang inflamatif ekspresi CEA-nya sangat kuat.
Sel-sel epitel duktus interkalatus, duktus striatus, dan duktus interlobuler
memperlihatkan imunoreaktifitas kuat terhadap EMA/”epithelial membrane
antigens”. Beberapa reaktifitas enzim bisa dipergunakan sebagai petanda
fungsional kelenjar, seperti amilase dan laktoferin untuk sel asiner kelenjar,
lisozime untuk sel-sel duktus interkalatus, serta fosfatase-alkalin dan ATP-asa
untuk sel-sel mioepitelial.
Struktur asinus kelenjar parotis normal memperlihatkan imunoreaktifitas terhadap
amilase-alfa, transferin, dan laktoferin. Sel-sel duktus interkalatus selain
memperlihatkan reaktifitas terhadap sitokeratin, juga reaktif terhadap antibodi
lisozime, transferin, dan laktoferin.
18
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Beberapa peneliti melaporkan fibronektin, kolagen tipe-IV, laminin, tenasin pada
membran basal jaringan duktal dan asinus kelenjar liur normal. Imunoreaktifitas
sel duktus ekskretori kelenjar liur terhadap estradiol dan progesteron
menimbulkan dugaan kelenjar liur merupakan sasaran dari hormon estrogen.
Crocker dan Egan melaporkan bahwa kelenjar liur normal reaktif terhadap anti
tripsin alfa-1, tetapi tidak terhadap antikimotripsin alfa-1. Jika dipergunakan
sebagai petanda histologis, protein-protein tersebut diatas akan sangat berguna
dalam lapangan kegiatan “surgical pathology” kelenjar liur. 2,5,11-5,15,19
Struktur tambahan di dalam kelenjar parotis:6
19
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Terdapat beberapa nodul jaringan limfoid kecil yang tidak berstruktur, atau berupa
nodus limfatikus yang tersebar di dalam dan di sekitar kelenjar liur mayor parotis.
Beberapa nodul kecil tampak tidak memiliki kapsul, sinus subkapsular, ataupun
medular, dan pada kapsul kelenjar parotis terletak nodus-nodus periglandular.
Kadang ditemukan kelenjar sebasea beserta sel sebasea pada jaringan kelenjar liur
parotis, sehingga sel-sel sebasea dianggap sebagai bagian normal kelenjar parotis.
20
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Korelasi histologi normal kelenjar parotis normal dengan neoplastik:6
Pengetahuan hubungan struktur normal kelenjar dengan aspek histologi tumor
kelenjar parotis sangat membantu dalam pemahaman klasifikasi morfologi tumor.
Terdapatnya kemiripan histologi tidaklah berarti bahwa “origin” tumor berasal
dari sel tertentu yang menyerupainya, walaupun dikatakan setiap unsur kelenjar
bisa berkembang menjadi neoplasma dengan gambaran histologi yang berbeda.
Pada organisasi morfologi kebanyakan tumor kelenjar liur, teramati bahwa
struktur duktus interkalatus dan duktus striatus merupakan struktur organisasi
tumor yang penting, terutama pada tumor-tumor: adenoma pleomorfik, adenoma
monomorfik, dan karsinoma epitelial-mioepitelial (”clear cell carcinoma”)
kelenjar parotis.
Tumor tersebut memperlihatkan terdapatnya diferensiasi epitelial dan mioepitelial
yang sama seperti halnya suatu duktus interkalatus dan striatus normal yang
berkembang dari sel-sel “reserve” duktus interkalatus dan striatus. Statistik
mencatat 80% - 90% tumor kelenjar liur terjadi pada kelenjar liur mayor parotis
yang memiliki duktus interkalatus relatif lebih panjang dibanding kelenjar liur
mayor lainnya.
Aspek penting lainnya pada sitodiferensiasi jaringan kelenjar liur normal dan
neoplastik adalah diekspresikannya filamen-filamen intermediet, enzim-enzim,
komponen imunologik, dan protein-protein lainnya. Protein-protein tersebut
Karsinoma sel skuamosa. Adenokarsinoma sel basal. Karsinoma epitelial-mioepitelial. Adenokarsinoma sel jernih. Kistadenokarsinoma. Karsinoma “undifferentiated”: sel kecil, sel besar, limfoepitelial. Karsinoma onkositik. Karsinoma duktus kelenjar liur. Adenokarsinoma sebasea dan Limfadenokarsinoma. A Karsinoma mioepitelial. Karsinoma adenoskuamosa. Adenokarsinoma musinosa.
Neoplasma Mesenkhimal: jinak, Sarkoma.
Limfoma ganas.
Tumor-Tumor Metastatik.
Kondisi Serupa-Tumor Non-Neoplastik.
“GRADING” MIKROSKOPIS1,2,4,5
Adenoma pleomorfik ganas kelenjar liur mayor parotis memiliki elemen-elemen
karsinomatous yang secara mikroskopis bisa ditentukan “grade”-nya berdasarkan
metode “grading” untuk karsinoma kelenjar liur pada umumnya.
“Grading” mikroskopis pada karsinoma diketahui sangat berperan bagi
optimalisasi pengobatan, dan berperan pula didalam penentuan “staging” klinis.
Terdapat 4 metode penentuan “grading” tumor kelenjar liur yang bisa diadaptasi
dan disesuaikan guna menentukan “grading” adenoma pleomorfik ganas parotis.
24
Pertama, untuk kebanyakan karsinoma yang hanya memiliki satu “grade” maka
klasifikasinya langsung menentukan “grade” misalnya diagnosis adenokarsinoma
sel asiner, adenokarsinoma sel basal, atau adenokarsinoma polimorfous “low
grade” menunjukkan perilaku biologi tumor yang “low grade malignancy”;
sementara diagnosis tumor karsinoma duktus kelenjar, karsinoma sel skuamousa
primer, atau karsinoma “undifferentiated” menunjukkan tumor-tumor yang
berperilaku “high grade malignancy”.
Tiga metode penentuan “grade” lainnya diaplikasikan tersendiri, misalnya :
(a) Pada tumor adenokarsinoma yang “NOS”, “grading” ditentukan
berdasarkan evaluasi gambaran sitomorfologi.
(b) Pemisahan “grade” intermediet dan “high” pada karsinoma kistik adenoid
ditentukan berdasarkan pola pertumbuhan yang dominan, apakah berupa
“cribriform-tubular” ataukah “solid”.
(c) Kriteria khusus dipakai untuk karsinoma mukoepidermoid, berupa
penggabungan kriteria terdapat/tidaknya karakteristik pertumbuhan dan
gambaran sitomorfologi.
“STAGING” KLINIK1,2,4,5
Penentuan “staging” klinik tumor kelenjar liur didasarkan pada penelitian Spiro
dan Levitt (menyatakan prognosis tumor bergantung pada ukuran tumor primer
dan perluasan lokal tumor), sebagai berikut :
25
TUMOR PRIMER (T) :
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan.
T0 Tidak terdapat bukti adanya tumor primer.
T1 Ukuran terbesar tumor primer 2 cm atau kurang.
T2 Ukuran tumor primer antara 2 sampai 4 cm.
26
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
T3 Ukuran tumor primer antara 4 sampai 6 cm.
T4 Ukuran tumor primer lebih besar daripada 6 cm.
NODUS LIMFATIKUS REGIONAL / KGB (N) :
NX KGB tidak bisa ditentukan.
N0 Tidak terdapat metastasis KGB.
N1 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3 cm atau kurang.
N2 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3-6 cm; atau metastasis
multipel pada satu sisi KGB dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm; atau metastasis
pada 2 sisi KGB atau KGB kontralateral dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm.
N2a Metastasis tunggal pada KGB satu sisi, ukuran 3 - 6cm.
N2b Metastasis multipel pada KGB satu sisi, tidak lebih dari 6 cm.
N2c Metastasis pada KGB bilateral/kontralateral berukuran sampai 6 cm.
METASTASIS JAUH (M) :
MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan keberadaannya.
M0 Tidak terdapat metastasis jauh.
M1 Terdapat metastasis jauh.
PENGELOMPOKKAN “STAGE” :
“STAGE I” T1a N0 M0
27
T2a N0 M0
“STAGE II” T1b N0 M0
T2b N0 M0
T3a N0 M0
“ STAGE III” T3b N0 M0
T4a N0 M0
SetiapT kecualiT4b N1 M0
“STAGE IV” T4b Setiap N M0
Setiap T N2, N3 M0
Setiap T Setiap N M1
Keterangan : Kategori T dibagi menjadi :
a) Tidak terdapat ekstensi lokal massa tumor.b) Terdapat ekstensi lokal massa tumor.
Perluasan tumor secara lokal didefinisikan sebagai terbuktinya invasi secara klinis
ataupun makroskopis pada kulit, jaringan lunak, tulang, atau pada jaringan saraf.
Bukti-invasi secara mikroskopis tidak bisa dipakai menentukan “staging” klinik.
Variabel lain adalah terabanya KGB yang dicurigai terkena metastasis, serta
terdapat-tidaknya metastasis jauh. Berdasarkan hasil penelitian diatas maka AJCC
(“American Joint Committee on Cancer”) dan IUAC (“International Union
Against Cancer”) menerima kriteria yang diajukan dengan sedikit modifikasi.
Beberapa variabel klinik yang diperlukan untuk menentukan “staging” menurut
AJCC dan IUAC adalah ukuran tumor, perluasan tumor secara lokal, metastasis
28
pada KGB regional, serta terdapat tidaknya metastasis jauh. Terdapatnya
gangguan pada nervus fasialis turut menentukan prognosis tumor.
29
TUMOR ADENOMA PLEOMORFIK KELENJAR PAROTIS
Definisi:1,2,3,4,5
Adenoma pleomorfik (“mixed tumor”) adalah tumor jinak asal jaringan epitel
yang tersusun oleh sel-sel berdiferensiasi epitelial dan mesenkhimal.
Diferensiasi epitelial pada tumor adenoma pleomorfik ditunjukkan oleh
terdapatnya struktur duktal lengkap yang bercampur dengan sel-sel non-duktal
berbentuk spindel / kumparan, bundar, stelat, plasmasitoid, poligonal, atau cerah.
Elemen non-duktal yang dikandung tumor adenoma pleomorfik merupakan
petunjuk diferensiasi miksoid, hialin, kartilago, atau tulang dengan derajat yang
bervariasi.
Adenoma pleomorfik yang mengenai kelenjar liur mayor parotis (APP), biasanya
memiliki kapsul pembungkus yang terlihat jelas melingkari tumor.
30
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Terminologi tumor campur (“mixed tumor”) menekankan pada campuran /
”mixture” elemen epitelial dan mesenkhimal, sedangkan terminologi adenoma
pleomorfik merujuk kepada keberagaman morfologi yang diperlihatkan tumor.
Gambaran Umum: 1,2,4,5
Adenoma pleomorfik merupakan neoplasma asal kelenjar liur mayor dan minor
yang umum terjadi, mencapai 45%-74% keseluruhan kejadian tumor kelenjar liur.
AFIP mencatat kejadiannya mencapai 28% dari keseluruhan tumor ganas dan
jinak kelenjar liur, dan merupakan 30% dari kejadian neoplasma parotis sejak
1985.
Adenoma pleomorfik sering mengenai wanita pada dekade umur ke-IV, namun
pada laki-laki adenoma pleomorfik bisa terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Sehingga dapat dikatakan bahwa insidensi adenoma pleomorfik dapat terjadi pada
semua umur, dan kasus terbanyak terutama terjadi pada dekade IV - V.
Umur rata-rata penderita adenoma pleomorfik adalah 43 tahun, dan hampir 40%
kasus yang dicatat AFIP mengenai penderita berumur kurang dari 40 tahun.
31
Sumber: http/www
Adenoma pleomorfik 10 kali lebih sering terjadi pada kelenjar liur mayor parotis
daripada kelenjar submandibuler, jarang terjadi pada kelenjar liur sublingual.
Laporan penelitian menyebutkan angka-kejadian APP mencapai 85%, sedangkan
pada kelenjar submaksilaris mencapai 8%, dan kelenjar liur minor mencapai 7%.
Terdapatnya 2 elemen jaringan yang berbeda (elemen epitelial dan mesenkhimal)
merupakan petunjuk bagi pembahasan histogenesis tumor yang mendalam.
Bukti-bukti ultrastruktur dan imunohistokimia memberikan dugaan tumor APP
me-miliki “origin” epitelial, sedangkan area mesenkhimalnya terutama disusun
oleh sel-sel yang menunjukkan bentuk modifikasi neoplastik dari sel-sel
mioepitelial.
Keberagaman morfologi terjadi karena terdapatnya diferensiasi duktal dan
mioepitel pada elemen epitelial APP, serta bervariasinya jumlah matriks
32
Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fakultas kedokteran/gigi
unpad rumah sakit hasan sadikin bandung.
mukopolisakarida yang kemudian akan mengalami metaplasia kondroid atau
oseosa.
Gambaran Klinis: 1,2,4,5
Secara klinis sifat pertumbuhan APP sangat lambat, asimptomatis, timbul berupa
massa dengan ciri yang khas dan akan membesar bila tidak diobati.
Tumor yang besar biasanya berbentuk masa noduler tunggal yang tidak rata, serta
meregangkan kulit atau mukosa yang melapisinya.
Umumnya lesi tumor APP berupa lesi yang keras, kecuali untuk lesi yang elemen
miksoidnya sangat dominan.
33
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. .
Lesi APP mudah digerakkan dan kebanyakan timbul pada lobus superfisialis,
yaitu 50% pada ekor lobus dan 25% pada bagian anterior lobus superfisialis.
Sedangkan 25% lagi muncul pada lobus kelenjar yang lebih dalam, meluas ke
ruang parafaringeal dan menimbulkan pembengkakkan di daerah fossa tonsiler,
palatum lunak, atau di daerah lateral farings sehingga tidak terlihat dari wajah.
Kadang-kadang terjadi paralisis fasial akibat penekanan tumor secara ekstrinsik
terhadap nervus fasialis.
Bentuk lesi APP rekuren seringkali timbul berupa nodul-nodul multipel yang
lebih sukar digerakkan dari dasarnya dibandingkan lesi primer.
Gambaran Makroskopis (“Gross”):1,2,4,5
Gambaran makroskopis APP yang khas berupa massa berbentuk bulat atau
lonjong yang berbatas tegas, kenyal, resilien, dengan permukaan berbenjol-benjol.
Konsistensi tumor bergantung kepada jumlah relatif sel-sel epitelial dan stroma
penyusun tumor; serta bergantung pula kepada jenis stromanya.
Pada APP bisa ditemukan kapsul fibrosa yang tidak lengkap dengan ketebalan
yang beragam memisahkan jaringan tumor dengan kelenjar, namun kadang-kala
sedikit perluasan massa tumor bisa terlihat menonjol di jaringan kelenjar liur
normal.
Permukaan potongan makroskopis (“gross”) jaringan tumor APP berwarna putih-
kecoklatan homogen, licin mengkilap; di beberapa daerah tampak area translusen
berisi materi miksokondroid, pulau kartilago, atau fokus tulang yang matur.
35
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Lesi-lesi tumor berukuran lebih besar dari 1 cm terlihat memiliki banyak jendolan
menggambarkan akan terdapatnya lobulasi lesi.
Pada potongan makroskopis adakalanya teramati daerah perdarahan dan infark
yang bisa terjadi sekunder akibat manipulasi bedah (biopsi/biopsi aspirasi jarum
halus).
Tumor APP rekuren memiliki nodul-nodul multipel yang tersebar diseluruh
jaringan ikat penyambung, lemak, dan kelenjar liur.
Gambaran Mikroskopis:1,2,4,5
Secara mikroskopis APP sering salah didiagnosis sebagai karsinoma karena
memperlihatkan pola histologis yang membingungkan, selularitas yang ekstrim,
atau massa tumornya kadang berpenetrasi ke dalam kapsul.
36
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
APP dikenal karena keaneka-ragaman sitomorfologi dan arsitektur histologisnya
pada tiap-tiap tumor, namun bentuk dasarnya memperlihatkan gambaran
diagnostik histologis yang penting berupa susunan jaringan pulau epitelial beserta
struktur duktus dengan daerah diferensiasi kartilagenosa yang erat berhubungan.
Proporsi jaringan epitelial dan mesenkhimal pada masing-masing tumor sangat
bervariasi, bahkan kadang-kadang satu sama lainnya saling mendominasi.
Karena penampakannya yang sangat beragam, maka beberapa peneliti membuat
subklasifikasi tumor (berdasarkan proporsi elemen serupa-mesenkhimal dan
elemen epitelial) menjadi adenoma pleomorfik tipe seluler dan tipe miksoid.
APP tipe seluler didominasi oleh populasi salah satu atau beberapa elemen
epitelial, sedangkan APP tipe miksoid sebagian besar disusun oleh elemen
miksomatosa atau oleh elemen serupa-mesenkhimal miksokhondromatosa.
37
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Kebanyakan komponen miksoid APP mencapai 30% keseluruhan massa tumor,
dan 12%-15 % APP memiliki komponen epitelial mencapai 80% massa tumor.
Ketebalan kapsul fibrosa pembungkus APP sangat bervariasi, kadang-kadang
sangat tipis atau tidak ada sama sekali. Jaringan kapsuler tersebut kadang-kadang
mengandung perluasan-perluasan kecil sel-sel epitelial neoplastik berbentuk jari
atau berbentuk pulau-pulau kecil. Jenis sel epitel penyusun APP berupa sel
spindel, sel jernih, sel skuamosa, sel basaloid, sel kuboidal, sel plasmasitoid, sel
onkositoid, sel mukous, dan sel sebasea.
38
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Banyak ditemukan area transisi antara masing-masing tipe sel, karena mereka
berkumpul sangat berdekatan dan pada pengamatan seksama sering ditemukan
diferensiasi pulau-pulau skuamosa yang terpisah. Sel spindel dengan plasmasitoid
kadang terlihat dalam bentuk transisi satu sama lain. Gambaran inti semua tipe
sel tumor APP secara keseluruhan terlihat uniform, anak inti kadang kecil atau
tidak ada, dengan mitosis yang sedikit. Konfigurasi arsitektur morfologi histologi
APP sangat bervariasi baik pada satu lesi tumor, maupun antara satu tumor APP
dengan yang lainnya. Sering ditemukan arsitektur APP miksokondroid berupa
trabekula sel epitelial yang beranastomosis dalam trabekula epitelial serta struktur
duktus dan tubulus yang lengkap dipisahkan oleh stroma jaringan ikat.
39
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
Juga bisa ditemukan bentuk arsitektur APP-seluler yang tersusun oleh lembaran
sel-sel basaloid diselingi oleh sedikit stroma.
Gambaran arsitektural lainnya adalah APP kistik berupa struktur kista kecil
dilapisi epitel gepeng berkeratin, atau rongga kistik besar dilapisi selapis pita
epitelial.
40
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
APP kadang memiliki arsitektur seperti Schwannoma tersusun oleh sel-sel spindel
membentuk jalinan fasikel serupa-fibrosa dan inti tersusun palisade disekitar
material amorf menyerupai gambaran khas badan Verocay dari Schwannoma.
Struktur duktal APP biasanya tersebar secara acak, dan lebih banyak terdapat
didaerah yang kaya epitel daripada di daerah mesenkhim. Pada beberapa kasus
komponen duktalnya sangat besar dengan bentuk lumen yang nyata, sedangkan
pada beberapa kasus lumennya terlihat kecil. Lumen duktus dilapisi oleh epitel
kuboid atau kolumner yang kadang dikelilingi lapisan sel-sel berbentuk besar dan
jernih, spindel, atau stelat. Dua macam elemen sel tersebut menyerupai organisasi
duktus kelenjar normal atau struktur bifasik karsinoma epitelial-myoepitelial.
Komponen serupa-mesenkimal pada APP yang miksokondroid tersusun oleh area-
area miksoid, hialin, kondroid, dan tulang yang sangat kaya dengan heparan
sulfat.
41
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Material hialin bisa teramati pada masa tumor APP sebagai deposit stroma
diantara sel-sel epitel, dan berbentuk sebagai massa fibrotik atau desmoplastik.
Zona kartilagenosa hasil akumulasi material miksohialin terlihat mengelilingi sel-
sel individual, kadang-kadang menyerupai kartilago hialin yang matang.
Gambaran tulang pada massa tumor APP jarang ditemukan, namun adakalanya
terlihat sangat dominan mendominasi keseluruhan massa tumor.
Materi stroma amorf yang melingkari untaian-untaian epitel sempit yang
berstruktur memadat atau tubuler pada tumor APP mengingatkan kepada
gambaran karsinoma adenoid kistik tipe tubuler.
Terdapatnya sel-sel basaloid kecil yang tersusun berupa kisi - kisi (“lattice”)
pada tumor APP, mengingatkan kepada gambaran karsinoma adenoid kistik
kribriform.
42
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Gambaran arsitektur APP yang rekuren biasanya berupa nodul-nodul lesi multipel
yang saling terpisah terletak di daerah sisa jaringan kelenjar liur, jaringan
periparotid, kulit, dan pada jaringan parut yang terbentuk pasca-operasi.
Temuan Imunohistokimia:2
Sel mioepitel normal imunoreaktif terhadap antibodi sitokeratin dan aktin otot
polos, namun imunoreaktifitasnya sangat bervariasi terhadap antibodi anti : GFAP
(“glial fibrillary acidic protein”), vimentin, dan protein S-100.
43
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Reaktifitas terhadap antibodi anti-GFAP teramati terbatas di daerah miksoid, tidak
pada daerah APP yang seluler. Banyak sel-sel tumor APP yang memperlihatkan
reaktifitas terhadap sitokeratin, dan anti-aktin otot polos bereaksi sangat kuat
dengan sel spindel dan sel periduktal, sedangkan antibodi anti-protein S-100
beraksi dengan semua jenis sel epitel dan stroma.
Diagnosis Banding:1,2,3,5
Faktor penyulit penegakkan diagnosis APP adalah kecilnya jaringan sampel dan
berkeping-keping tanpa daerah “interface” jaringan neoplastik dan sekitarnya.
44
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Jika sampel jaringan biopsi diatas mengandung fokus kondroid atau miksoid dan
elemen duktal, maka interpretasi yang sesuai mengarah pada APP.
Adakalanya tumor APP tersusun oleh komponen jaringan miksoid, kondroid, atau
jaringan tulang; sehingga menjadi pertimbangan diagnosis bandingnya adalah
neoplasma jaringan mesenkim seperti miksoma, lipoma miksoid, neurofibroma
miksoid, osteoma, atau osteokondroma.
Fokus diferensiasi skuamosa dan sel mukus dalam lesi APP sangat menyerupai
karsinoma mukoepidermoid; tetapi karsinoma mukoepidermoid terlihat fokal-
infiltratif, tidak banyak memiliki elemen miksokondroid, kistik, serta tidak
memiliki pulau-pulau epidermoid berkeratin.
Terdapatnya jaringan neoplastik di dalam atau meluas melalui kapsul fibrosa pada
tumor APP jinak merupakan faktor pertimbangan bagi transformasi keganasan,
demikian pula dengan terdapatnya gambaran morfologi tumor yang hiperseluler.
45
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.
Tetapi bila tidak ditemukan gambaran sitomorfologi abnormal (atipia, pembesaran
inti, hiperkromasi inti, pleomorfism inti) dan mitosis yang abnormal, maka
perluasan tumor pada kapsul dan hiperselularitas merupakan kriteria APP jinak
yang umum.
Sedangkan APP yang rekuren memperlihatkan sarang-sarang tumor multipel
tersebar di dalam parenkim kelenjar liur normal, dan masing-masing sarang tumor
terlihat berbatas tegas tanpa atipia sitomorfologi.
Terapi dan Perilaku Klinik: 1,2,5
Para peneliti menyepakati tindakan enukleasi (pembukaan kapsul tumor diikuti
dengan pengelupasan atau aspirasi isinya) bertanggung-jawab terhadap tingginya
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
superfisial/lateral atau prosedur diseksi ekstra kapsuler/“lumpectomy” sampai ke
tepi jaringan kelenjar normal, merupakan pilihan terbaik untuk mengendalikan
tumor dan meminimalkan komplikasi bedah.
Penelitian terakhir yang mengevaluasi kemanjuran/efikasi kedua prosedur bedah
dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis, memperlihatkan angka
rekurensi yang sama yaitu berkisar antara 0% sampai 8 %. Prosedur parotidektomi
konservatif tidak menjamin lengkapnya tindakan eksisi, dibuktikan dengan
rekonstruksi tiga-dimensi potongan organ utuh hasil operasi yang
memperlihatkan penonjolan APP yang tidak rata dari permukaan, dengan kapsul
dan penutup parenkhim yang tidak lengkap. Komplikasi bedah APP yang sering
terjadi adalah sindroma Frey / “gustatory sweating”, dan kerusakan permanen atau
sementara cabang nervus fasialis khususnya cabang marginal n.mandibularis.
Terapi pilihan APP rekuren adalah parotidektomi totalis disertai diseksi jaringan
parut, dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis. Prosedur radioterapi
merupakan kontra-indikasi terapi APP primer, meskipun beberapa peneliti
menemukan ia bermanfaat untuk APP rekuren yang selektif.
47
GEN-GEN TERKAIT TUMOR DAN PRODUK PROTEINNYA
Salah satu aspek telaah tumorigenesis yang menarik adalah telaah onkogenesis,
yang berhubungan dengan aksi tunggal atau gabungan faktor-faktor kimiawi,
fisika, biologi, atau genetik yang merugikan sel.
Faktor-faktor diatas menimbulkan perubahan-perubahan genetik yang akan
menye-babkan pertumbuhan sel menjadi tidak terbatas, mampu menginvasi
jaringan sekitar, bahkan mampu bermetastasis.
Perubahan-perubahan genetik tersebut banyak yang bersifat dapatan, tetapi
beberapa diantaranya bersifat diturunkan sebagai mutasi garis-benih (“germline
mutations”) yang cenderung meningkatkan resiko perkembangan kanker.
Gangguan genetik penyebab transformasi keganasan bisa berbentuk abnormalitas
struktur kromosom yang nyata seperti translokasi-kromosom, atau alterasi gen
yang tidak nyata seperti mutasi noktah (“point mutations”) substitusi satu basa
DNA. Seiring mutasi genetik terinisiasilah rentetan kejadian ekspresi abnormal
serangkaian gen, sehingga proliferasi sel menjadi tidak terkendali.
Gen-gen yang berhubungan dengan onkogenesis (gen terkait-tumor) bisa
dikelompokkan berdasarkan katagori dari fungsi yang dimilikinya menjadi:7
(a) Gen pertumbuhan dan proliferasi : termasuk kedalamnya adalah proto-
onkogen / onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi.
(b) Gen penekan tumor / anti-onkogen : mutasi yang mengenainya akan
infiltratif, nekrosis, perdarahan, hialinisasi, kalsifikasi; tidak bisa dipergunakan
sebagai acuan indikator derajat keganasan dalam keperluan memprediksi potensi
keganasan tumor APP.
Sampai sekarang landasan teori yang secara definitif mampu menjelaskan dasar
molekuler keberagaman perilaku biologi tumor APP ternyata belum terdapat.
79
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Hal ini penting bagi ketepatan efektifitas dan efisiensi diagnosis histopatologis
dan pengelolaan klinis penderitanya, mengingat terapi APP yang baik selain
didasarkan kepada sifat kliniknya juga didasarkan kepada ketepatan diagnosis
patologi anatomi yang memerlukan dukungan piranti indikator untuk
memprediksi potensi keganasan yang simpel, akurat, namun andal.
Meskipun demikian kenyataannya seiring dengan pesatnya penelitian-penelitian
patolog/patobiologi molekuler yang memanfaatkan aplikasi teknik dan metode
bioteknologi, banyak pakar patologi/patobiologi yang berupaya mencari wawasan
baru guna mengungkapkan cakrawala biologi molekuler tumorigenesis. Namun
demikian masih sedikit informasi biologi molekuler yang tersedia untuk
keganasan yang berasal dari kelenjar liur, disebabkan karena rendahnya insidensi
keganasan kelenjar liur yang hanya mencapai 7% tumor daerah leher dan kepala.
Sembilan puluh persennya berupa neoplasma jinak dan ganas kelenjar parotis,
yang ditandai oleh bermacam-macam subtipe histologi dengan perilaku biologi
dan prognosis yang masing-masing berbeda.
Disebabkan karena jarangnya kasus tumor kelenjar liur serta beragamnya perangai
penyakit, maka mekanisme molekuler yang terlibat dalam tumorigenesis kelenjar
liur masih banyak yang belum terungkap.
Penelitian yang menelaah aspek biologi molekuler tumorigenesis APP memakai
metode imunohistokimia mengkorelasikan tingkat imunoekspresi beberapa
protein produk gen-terkait-tumor, diantaranya onkoprotein rasP-21, onkoprotein
CerbB-2, dan protein (fosfoprotein) penekan tumor P-53 mutan pada sel-sel
80
jaringan tumor dengan prognosis dan sifat agresifitas tumor.10-30 Gen-gen terkait
tumor memiliki perilaku yang dominan, serta mampu mengobarkan (“promotes”)
proses transformasi keganasan. Famili onkogen ras (K-ras, N-ras, H-ras) yang
meng-hasilkan onkoprotein rasP-21 pengikat GTP/GDP akan mengganggu fungsi
regulasi proliferasi dan diferensiasi sel yang normal dengan jalan mentransduksi
sinyal pertumbuhan dari luar sel tanpa henti sehingga terjadi agresifitas
perkembangan neoplasma. Onkogen ras dilaporkan mengalami mutasi noktah
dan produknya diekspresikan secara berlebih pada tumor APP, namun perannya di
dalam tumorigenesis APP belum jelas terungkap. Proto-onkogen c-erbB-2 (Her-
2 / Neu) yang mengkode dan menghasilkan reseptor transmembran (p185) faktor
pertumbuhan putatif dari famili tirosin kinase, dilaporkan diamplifikasi dan
diekspresikan secara berlebih pada tumor APP. Proto-onkogen c-erbB-2 jika
mengalami mutasi akan berubah menjadi onkogen yang diamplifikasikan, dan
produknya berupa glikoprotein transmembran yang berfungsi sebagai reseptor
faktor pertumbuhan dari luar sel akan diekspresikan secara berlebihan dan sel
mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan, bahkan dalam jumlah faktor
pertumbuhan yang sedikit karena jumlah reseptornya bertambah banyak.
Dampaknya berupa pertumbuhan neoplastik yang agresif, tumor lebih besar,
metastasis ke kelenjar getah bening, dan memburuknya prognosis. Walaupun ada
penelitian menyatakan bahwa ekspresi berlebih C-erbB-2 merupakan indikator
agresifitas APP, namun peneliti lain menyatakan bahwa amplifikasi dan ekspresi
berlebih onkoprotein tersebut secara statistik tidak berasosiasi dengan prognosis
tumor, hanya cenderung berasosiasi dengan metastasis tumor pada kelenjar getah
81
bening regional. Kehilangan fungsi gen-penekan-tumor p-53 (pengatur proliferasi
sel yang normal) yang berlokasi pada kromosom 17p13 pengkode
“Phosphoprotein” BM 53KD, dilaporkan terlibat dalam tumorigenesis kelenjar
liur. Produk gen-penekan-tumor p-53 yang mengalami mutasi, atau tidak bisa
berfungsi karena sebab-sebab non-mutasi, akan menyebabkan tidak terkendalinya
proses proliferasi sel, serta proses transformasi tidak bisa dihambat, sehingga sel
akan berubah menjadi ganas dan imortal. Ekspresi sedang dan tinggi onkoprotein
P-53 mutan merupakan indikator agresifitas klinis yang independen pada
penderita karsinoma parotis.
Informasi molekuler temuan peneliti terdahulu di atas bersifat fragmenter dari
sudut telaah imunoekspresi protein-terkait-tumor tertentu dengan peran dan fungsi
tumorigenesis yang berlainan, juga belum mengungkapkan signifikansi
ekspresinya yang mendasari keberagaman perilaku biologi tumor APP.
Pengkajian komprehensif tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53
pada tumor APP kiranya akan bermanfaat untuk keperluan menetapkan potensi
keganasan tumor APP dalam menjawab ketidak-jelasan signifikansi ekspresinya,
sekaligus menetapkan dasar telaah teoretis penghambatan apoptosis sebagai
komponen penting perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.5
82
2. Pengaruh Ekspresi Onkoprotein RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 terhadap
Perkembangan Sifat Borderline Malignancy Tumor APP.5
Imunoekspresi protein terkait tumor rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang
berhubungan dengan parameter perkembangan sifat borderline malignancy tumor
APP masing-masing merupakan produk dari gen dengan kategori dan fungsi yang
berlainan.
Onkoprotein rasP-21 dan C-erbB-2 merupakan produk dari kategori gen-gen
pertumbuhan dan proliferasi. Kategori gen pertumbuhan dan proliferasi mencakup
beberapa protoonkogen/onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi,
sehingga perannya sangat besar dalam perkembangan proses tumorigenesis.
Mutasi noktah pada protoonkogen ras (H-ras, N-ras, K-ras) mengubah sifatnya
menjadi onkogen ras aktif yang menghasilkan onkoprotein rasP-21 mutan dan
berlokasi pada sisi dalam membran plasma, ia berperan mentransduksi sinyal
ekstrasel dan permukaan sel menuju ke efektor intraseluler adenilat-siklase atau
fosfolipase-C. Onkoprotein rasP-21 mutan bersifat meneruskan transduksi sinyal
ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi
terganggu. Mutasi dan amplifikasi protoonkogen c-erbB-2 akan menyebabkan ia
teraktivasi menjadi onkogen penyebab neoplasma, karena produknya
(onkoprotein C-erbB-2) akan terakumulasi dan diekspresikan secara berlebih.
Onkoprotein C-erbB-2 merupakan suatu glikoprotein transmembran yang
berfungsi sebagai reseptor bagi faktor pertumbuhan ekstraseluler. Akumulasi dan
ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 menyebabkan sel menjadi mudah
tersensitasi oleh faktor pertumbuhan karena jumlah reseptor menjadi bertambah
83
banyak, bahkan dalam kondisi jumlah faktor pertumbuhan ekstraseluler yang
sedikit. Protein/fosfoprotein-inti P-53 merupakan produk dari gen p-53 yang
termasuk ke dalam kategori antionkogen/gen penekan kanker (“cancer supressor
genes”). Fungsi utama protein / fosfoprotein inti P-53 tipe “wild” adalah
meregulasi progresi siklus-sel dan respon-respon seluler terhadap kerusakan
DNA, menginisiasi proses replikasi dan perbaikan DNA, serta menginduksi
terselenggaranya proses apoptosis. Transformasi keganasan dan pembentukan
tumor akan dihambat oleh aksi P-53 tipe “wild” yang memiliki kemampuan
menginduksi ekspresi gen inhibitor siklus sel. Timbulnya populasi sel-sel yang
memiliki materi genetik abnormal akan dicegah oleh aksi P-53 tipe “wild” melalui
jalur perbaikan DNA dalam fase G1-S dari siklus-sel. Bila materi genetik
abnormal tidak bisa diperbaiki maka sel akan diinisiasi oleh P-53 tipe “wild”
memasuki jalur apoptosis untuk dihilangkan. P-53 tipe “wild” berfungsi
meregulasi perkembangan siklus-sel melalui mekanisme “check point” dalam fase
G1-S. Kegagalan eliminasi populasi sel-sel yang memiliki materi genetik
abnormal melalui jalur apoptosis menimbulkan proliferasi klon sel transforman
yang mengandung materi genetik abnormal sehingga mampu membentuk klon sel
neoplastik dengan sifat borderline malignancy pada tumor APP jinak. Hilangnya
fungsi P-53 tipe “wild” menekan pertumbuhan neoplastik bisa terjadi karena
berbagai kejadian seluler seperti mutasi gen, pengikatan P-53 oleh protein seluler
lain, atau keluarnya P-53 dari kompartemen inti sel ke sitoplasma sel. Sel-sel yang
mengekspresikan P-53 tipe mutan atau kekurangan P-53 tipe “wild”, tidak
memiliki kemampuan untuk menghentikan perkembangan siklus-sel. Protein P-
84
53 tipe mutan tidak memiliki kemampuan menekan pertumbuhan sel-sel tumor,
tidak memiliki kemampuan menghambat proses transformasi kearah keganasan
dan akan menghambat proses apoptosis. Kemampuan menghambat proses
apoptosis merupakan salah satu sifat karakteristik dari gen p-53 abnormal.
Abnormalitas gen p-53 bisa terjadi karena karena mutasi atau penyebab non-
mutasi. Fosfoprotein P-53 mutan produk dari gen p-53 abnormal tidak mampu
menekan pertumbuhan dan transformasi neoplastik, karena ia tidak mengenali
serta tidak mampu mengikat daerah DNA yang rusak untuk dieliminasi lewat jalur
apoptosis. Dari uraian pembahasan mengenai katagorial gen penekan
pertumbuhan tumor (“cancer supressor genes”) ini, terlihat bahwa gen p-53
penghasil fosfoprotein-inti P-53 tipe “wild” memiliki peran sangat penting dalam
menginisiasi terselenggaranya proses fisiologis kematian sel yang terprogram
(apoptosis).
Telaah regulasi genetik proses apoptosis mutakhir berhasil mengungkapkan
keterlibatan beberapa produk onkogen lain selain gen p-53 dalam proses
pengaturan inisiasi apoptosis. Onkogen yang dimaksud adalah onkogen c-myc
yang fungsi onkogeniknya terselenggara melalui aksinya sebagai aktivator
transkripsi seluler guna mengobarkan proses pertumbuhan sel. Dahulu onkogen c-
myc dianggap bertanggung-jawab terhadap proliferasi neoplastik dan diferensiasi
seluler. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan onkogen c-myc overaktif,
ternyata akan mengalami apoptosis jika lingkungan sel tidak memiliki faktor
pertumbuhan dalam jumlah yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan
bahwa secara normal onkogen c-myc memiliki dua peran yang berlawanan, yaitu
85
selain berfungsi mengobarkan pertumbuhan juga berfungsi menginduksi
penyelenggaraan proses apoptosis. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan
onkogen c-myc overaktif ini, selain berhasil mengungkapkan peran ganda dari
onkogen c-myc juga memberikan informasi lain yang berharga, bahwa faktor-
faktor pertumbuhan ternyata memiliki kemampuan untuk menghambat proses
apoptosis. Tampaknya faktor pertumbuhan mempunyai kemampuan untuk
menyelamatkan sel-sel dari program kematian sel yang fisiologis (apoptosis),
melalui perannya sebagai faktor “survival” sel. Penelitian lain terhadap galur sel
hematopoetik murin yang diiradiasi, menunjukkan aksi kerja-sama antara faktor
pertumbuhan dengan fosfoprotein penekan tumor P-53 dalam menentukan
terselenggara atau tidaknya proses apoptosis. Teramati jika faktor pertumbuhan di
dalam medium kultur dihilangkan maka sel akan cepat mengalami proses
apoptosis, tetapi jika terdapat faktor pertumbuhan di dalam medium kultur dalam
jumlah yang cukup maka proses apoptosis tidak terjadi. Telah diketahui bahwa P-
53 tipe “wild” berfungsi menginisiasi proses apoptosis sel yang mengalami
alterasi DNA oleh radiasi.
Berdasarkan model penelitian di atas terlihat bahwa jika terdapat faktor
pertumbuhan yang cukup di dalam lingkungan sel, maka proses apoptosis yang
seyogyanya diinisiasi oleh P-53 tipe “wild” ternyata tidak terselenggara. Dengan
demikian faktor pertumbuhan memiliki kemampuan untuk menghambat
terselenggaranya proses apoptosis, melalui perannya sebagai faktor “survival”
seluler yang akan menghambat proses transkripsi gen-gen penghenti siklus-sel.
Mekanisme pemanjangan waktu “survival” sel oleh faktor pertumbuhan akan
86
mengekalkan sifat pertumbuhan sel, yang kejadiannya memberi peluang untuk
berkembangnya klon sel-sel neoplastik. Onkoprotein C-erbB-2 mutan dan rasP-
21 mutan yang teramati behubungan dengan parameter klinis dan histopatologis
terkait tumorigenesis serta bermakna prognostik terhadap tumor APP pada
kepustakaan memiliki mekanisme aksi yang serupa dengan faktor pertumbuhan.
Konformasi onkoprotein C-erbB-2 berupa glikoprotein transmembran yang
letaknya menjangkau dan melewati membran plasma berfungsi sebagai reseptor
bagi faktor pertumbuhan dari luar sel. Akumulasi dan ekspresi berlebih
onkoprotein C-erbB-2 akan meningkatkan jumlah reseptor, sehingga sel menjadi
mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan bahkan dalam keadaan faktor
pertumbuhan ekstraseluler yang sangat sedikit. Akibatnya kecepatan
pertumbuhan sel akan meningkat dengan pesat, sedangkan kecepatan kematian sel
akan menurun. Kondisi akselerasi pertumbuhan sel dengan penurunan kematian
sel berperan mengarahkan perkembangan tumor kearah pertumbuhan neoplastik
yang agresif. Demikian pula dengan onkoprotein rasP-21 mutan yang berlokasi
pada sisi dalam membran plasma, akan meneruskan transduksi sinyal
ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi
terganggu. Penelaahan kepustakaan terakhir menyatakan bahwa terhambatnya
proses apoptosis merupakan tahapan proses tumorigenesis yang kritis.
Penghambatan proses apoptosis kemungkinan besar terjadi akibat hilangnya
sinyal-sinyal apoptotik / kematian sel fisiologis yang diperlukan. Hal tersebut
bisa terjadi akibat gangguan genetik spesifik yang didapat selama perkembangan
tumor, atau akibat ekspresi abnormal protein protein terkait tumor tertentu yang
87
memiliki fungsi meregulasi progresi siklus sel. Pada kasus tumor APP borderline
malignancy tampaknya imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang berlebih
serempak mengacaukan regulasi perkembangan siklus sel, sehingga mengganggu
pengaturan terhadap sinyal-sinyal yang diperlukan agar proses apoptosis dapat
berlangsung. Kekacauan pengaturan perkembangan siklus sel berperan sebagai
momen penting dalam rangkaian proses apoptosis, karena memberikan situasi
kondisional yang tepat untuk terselenggaranya proses penghambatan proses
apoptosis. Tampaknya antara proses pengendalian perkembangan siklus sel
dengan kecenderungan kejadian apoptosis terdapat hubungan yang erat, dan
keduanya merupakan kesatuan proses yang tidak terpisahkan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa produk gen terkait tumor yang berfungsi
mengendalikan perkembangan siklus sel melalui mekanisme “check point” pada
fase G1-S, juga terlibat dalam pengendalian perkembangan proses apoptosis.
Mekanisme “check point” siklus sel akan berfungsi sebagai alat pengawas untuk
mendeteksi kerusakan DNA serta jalur transduksi sinyal yang akan meneruskan
dan memperkuat sinyal-sinyal mekanisme replikasi dan segregasi DNA, serta
sinyal aktivitas reparasi seluler. Hilangnya mekanisme pengendalian “check
point” siklus sel dan mekanisme perkaikan DNA, menyebabkan replikasikasi
DNA rusak serta menyebabkan ketidak-stabilan genom.
Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan beberapa peran dari ekspresi
berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 pada perkembangan sifat borderline
malignancy tumor APP sebagai berikut: ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan
P-53 akan menyebabkan ketidak-tepatan regulasi perkembangan siklus sel,
88
akibatnya terjadi kekacauan pengaturan sinyal-sinyal inisiator apoptosis, sehingga
perkembangan apoptosis menjadi terhambat dan terjadi perkembangan klon-klon
sel APP neoplastik yang membawa sifat borderline malignancy.
Penghambatan apoptosis terselenggara melalui beberapa tahap mekanisme aksi.
Perkembangan awal sifat borderline malignancy tumor APP APP melibatkan dua
kategori protein terkait tumor yang memiliki fungsi berbeda, yaitu
protein(fosfoprotein) penekan tumor P-53 dan onkoprotein rasP-21. Protein-
penekan-tumor P-53 yang terlibat pada pengobaran sifat borderline malignancy
tumor APP yang diteliti adalah P-53 tipe mutan dan P-53 tipe “wild” yang
terakumulasi secara berlebihan dalam inti dan sitoplasma sel. Peninggian level
protein P-53 tipe “wild” di dalam inti atau sitoplasma sel timbul akibat
modifikasi/perubahan konformasi protein P-53 pascatranslasi yang akan
menyebabkan proses stabilisasi protein, terjadi peningkatan “half life” protein P-
53 tipe “wild” sehingga terakumulasikan secara berlebih. Kehilangan fungsi
normal protein P-53 tipe “wild” dapat terjadi karena penyebab mutasi dan non-
mutasi. Penyebab mutasi terbanyak berupa “missense point mutation”
konformasi domain sentral strutur gen p-53, menyebabkan dihasilkannya protein
P-53 mutan yang tidak memiliki fungsi aktivitas anti-proliferasi karena tidak bisa
mengendalikan progresi siklus sel dan menghambat proses apoptosis. Penyebab
nonmutasi kehilangan fungsi protein P-53 tipe “wild” antara lain adalah karena ia
berikatan dengan protein seluler lainnya (protein E-6 atau MDM2) yang akan
mengubah konformasi struktur protein P-53 tipe “wild” sehingga ia tidak bisa
menempati lokasi “P-53 binding site” pada genom, akibatnya proses aktivasi dan
89
transkripsi gen-gen penghambat pertumbuhan yang seharusnya diinduksi oleh
level protein P-53 tipe “wild” tidak terlaksana; atau terjadi modifikasi dan
stabilisasi pasca translasi protein P-53 yang diikuti oleh
sekuesterisasi/pengeluaran protein P-53 tipe “wild” dari dalam inti ke sitoplasma,
sehingga protein P-53 tipe “wild” tidak bisa melaksanakan fungsi normalnya yaitu
menghambat pertumbuhan. Protein(Fosfoprotein) P-53 mutan dan tipe “wild”
yang tidak berfungsi normal tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan
pembentukan sinyal-sinyal penghenti siklus sel pada fase G1 (“G1 arrest”).
Malahan mereka akan menginduksi pengelakkan dari mekanisme “check point”
saat memasuki siklus sel, serta akan menghambat proses eliminasi kerusakan
DNA pada genom melalui jalur apoptosis (kematian sel fisiologis yang
terprogram). Selain itu mereka juga akan meningkatkan ketidak-stabilan genom
dan mengobarkan amplifikasi gen yang abnormal.
Selain hal-hal di atas, P-53 tipe mutan dan tipe “wild” yang tidak berfungsi
normal kehilangan kemampuan sebagai sensor molekuler mendeteksi kelainan
genetik/ DNA yang terdapat pada genom sel. Seperti telah dibahas bahwa P-53
mutan dan “wild” tidak bisa berikatan dengan “binding site”-nya mereka
90
Ekspresi berlebih P-53 Sumber: arsip pribadi
kehilangan kemampuan mekanisme “check point”. Demikian pula dengan
onkoprotein rasP-21 mutan mengobarkan sifat borderline malignancy tumor APP
melalui mekanisme yang serupa. Onkoprotein rasP-21 mutan memiliki sifat
meneruskan transduksi sinyal-sinyal dari luar sel, terutama sinyal-sinyal
pertumbuhan ekstrasel menuju ke efektornya dalam inti sel. Onkoprotein rasP-21
mutan akan mengobarkan proses tumorigenesis melalui kemampuan yang
dimilikinya meneruskan transduksi sinyal-sinyal pertumbuhan ekstraseluler secara
terus-menerus tanpa henti.
Mekanisme transduksi sinyal pertumbuhan tanpa henti oleh onkoprotein rasP-21
mutan akhirnya akan mengganggu kerja normal dari protein-penekan-tumor P-53
tipe “wild” untuk menghentikan progresi siklus sel. Akibatnya adalah
terhambatnya penyelenggaraan proses apoptosis yang ditujukan untuk
menghilangkan materi genetik abnormal. Tampaknya kelangsungan mekanisme
aksi pengobaran tumo-rigenesis dan sifat borderline malignancy tumor APP oleh
onkoprotein rasP-21 mutan adalah melengkapi aksi P-53 mutan dalam
menghambat proses apoptosis, yaitu memperberat aksi dengan mentransduksi
91
Ekspresi berlebih RasP-21 Sumber: arsip pribadi
sinyal pertumbuhan tanpa henti. Aksi sinergistik protein(fosfoprotein) P-53 tipe
mutan, P-53 tipe “wild” yang tidak berfungsi normal, onkoprotein rasP-21 mutan
dalam menghambat perkembangan proses apoptosis, bertanggung-jawab terhadap
proses awal pengobaran sifat borderline malignancy tumor APP. Karena
mekanisme apoptosis telah terhambat maka dampak langsungnya adalah
peningkatan drastis proliferasi seluler. Selain itu, jika selama perkembangan
pembentukan tumor terjadi keabnormalan genetik pada klon sel-sel APP tertentu,
maka terhambatnya proses apoptosis akan menyelamatkan kerusakan yang
terdapat dalam genom klon sel dan terjadi replikasi cetakan DNA (Templates) sel-
sel APP yang mengandung untaian DNA abnormal.
Perkembangan lanjut sifat borderline malignancy tumor APP melibatkan P-53 tipe
mutan dan melibatkan onkogen C-erbB-2 mutan.
Pada hewan coba teramati jika proto-onkogen c-erbB-2 mengalami mutasi noktah
(“single point muations”) ia berubah menjadi onkogen c-erbB-2 aktif yang
menye-babkan ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan. Pada manusia
ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan terjadi bukan karena mutasi noktah
92
Ekspresi berlebih protein C-erbB-2
Sumber: arsip pribadi
yang diikuti amplifikasi produk onkoprotein pascatranslasi. Pada tumor payudara
dan tumor APP jinak dan ganas, positifitas pulasan imnohistokimia C-erbB-2
berkorelasi dengan amplifikasi gen penyandi dan jenis mutasinya. Onkoprotein
C-erbB-2 mutan berperan sebagai reseptor faktor pertumbuhan dan memiliki
aktifitas tirosin kinase. Akumulasi dan ekspresi berlebih C-erbB-2 mutan akan
meningkatkan jumlah reseptor sehingga sel mudah tersensitasi oleh faktor
pertumbuhan, bahkan dalam kondisi faktor pertumbuhan ekstraseluler yang
sinyal-sinyal siklus sel dan menghambat sinyal apoptotik P-53 tipe “wild”
menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan. Sebagai reseptor faktor
pertumbuhan, C-erbB-2 mutan memacu perkembangan siklus sel dibantu “ligand”
protein gp30/EGF dan TGF-. Kecepatan pertumbuhan sel tumor yang
meningkat dengan pesat tanpa dikuti kematian sel tumor mengarahkan
perkembangan progresifitas tumor APP kearah borderline malignancy dan
resisten terhadap terapi (kemoterapi dan radioterapi).
Syawqie mengamati korelasi tingkat, sifat, dan pola ekspresi rasP-21, C-erbB-2,
dan P-53 dengan tahapan tumorigenesis APP, dan menemukan fakta berikut:5
Tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang fokal
menggambarkan keterlibatan awal protein-terkait-tumor dalam tahapan proses
tumorigenesis karena melibatkan positifitas < 20 % populasi sel tumor APP;
sedangkan tingkat imunoekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, P-53 yang
heterogen dan difus menggambarkan keterlibatan lanjut tahapan proses
93
tumorigenesis APP karena melibatkan > 20 % populasi sel tumor APP yang
mengekspresikannya.
Sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang granuler berhubungan dengan
keterlibatan awal dalam rangkaian tahapan proses tumorigenesis APP, karena
menggambarkan tahap awal akumulasi kandungan protein terkait tumor; se-
dangkan sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang homogen
berhubungan dengan keterlibatan lanjut dalam rangkaian tahapan proses
tumorigenesis APP karena memperlihatkan banyaknya akumulasi kandungan
protein yang proses akumulasinya berjalan seiring waktu dan mutasi yang
terjadi.
Teramatinya pola-pulasan P-53 pada inti dan sitoplasma sel-sel tumor APP
jinak menggambarkan intensitas keterlibatan P-53, karena ia bekerja ganda
melalui dua kompartemen aksi yang berbeda yaitu inti sel dan sitoplasma.
.
94
Lokalisasi ekspresi berlebih P-53 pada Inti & Sitoplasma sel Tumor APP
Sumber: arsip pribadi
Teramati lokasi pulasan imunohistikimia C-erbB-2 pada apikal sel
berhubungan dengan agresifitas klinis tumor APP seperti tingginya proliferasi,
progresif, lokal ekspansif, metastasis ke KGB regional; yang secara
keseluruhan merupakan bukti keterlibatan lanjut C-erbB-2 dalam
perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.
Ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 teramati pada sub tipe histologi
komponen jaringan tumor APP jinak dengan perilaku biologi heterogen (rekuren
menjadi ganas, lokal invasif, metastasis), sehingga Syawqie menyatakan ekspresi-
berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 mutan merupakan komponen penting proses
perkembangan sifat bordeline malignancy dalam tumorigenesis tumor APP.5
95
Lokasi Ekspresi-berlebih C-erbB-2 pada apeks (apikal) Sel tumor APP
Sumber: arsip pribadi
96
Ekspresi-berlebih RasP-21 Mutan: >20% populasi sel-sel tumor APP mengekspresi-kan onkoprotein RasP-21 mutan di dalam sitoplasma selnya.
Ekspresi berlebih C-erbB-2 Mutan: >20% populasi sel tumor APP mengekspresikan onkoprotein C-erbB-2 mutan di membran dan sitoplasma sel. Sumber: arsip pribadi.
Ekspresi-berlebih P-53 Mutan dan wild type: >20% populasi sel tumor APP meng-ekspresikan onkoprotein P-53 mutan dan wild type di dalam inti dan beberapa di sitoplasma sel. Sumber:
RANGKUMAN
Adenoma pleomorfik adalah tumor jinak yang umum terjadi pada kelenjar liur,
sering mengenai kelenjar liur mayor parotis wanita dekade umur ke-IV, serta laki-
laki muda dan lanjut usia. Kapsul pembungkus yang membatasi tumor APP (APP)
tampak jelas dan tegas, tetapi terdapat kecenderungan perluasan massa tumor
menonjol ke jaringan kelenjar liur normal disekitar massa tumor. Adakalanya pola
histologi tumor APP sangat seluler, dan massa tumor terlihat sering menembus
kapsul, sehingga tumor jinak ini kadang salah didiagnosis secara histopatologi
sebagai karsinoma.
Semenjak tumor adenoma pleomorfik diperkenalkan pertama kali oleh Billroth
pada tahun 1859 sebagai suatu tumor yang mengandung 4 macam jaringan
berbeda, klinisi dan ahli patologi hingga sekarang kerap dibingungkan oleh
perilaku biologi tumor yang beragam terutama pada tumor-tumor yang mengenai
kelenjar liur mayor parotis (APP). Selain APP sering rekuren setelah dioperasi
(rekurensi multipel), bisa berubah menjadi ganas, juga kadang-kadang mampu
melakukan metastasis lokal ke KGB atau jauh ke organ lain, walaupun gambaran
histologi tumor tampak jinak. Karena keunikan perilaku biologinya tersebut,
terapi bedah APP biasanya berupa bedah radikal, yang menimbulkan dampak
berkurangnya sensasi fasial, menurunnya produksi saliva, gangguan kosmetik,
serta terjadinya sindroma Frey.
Variabilitas manifestasi klinik dan histopatologi APP, menimbulkan permasalahan
sukarnya menentukan klasifikasi tumor serta meramalkan perilaku biologi tumor.
97
Kriteria gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi tidak bisa dipakai
sebagai acuan parameter prediksi potensi keganasan APP yang tampaknya
memiliki sifat “borderline malignancy”. Sehingga untuk menegakkan diagnosis
patologi anatomi yang tepat sebagai dasar untuk pengelolaan klinik yang efektif
dan efisien diperlukan dukungan piranti lain, selain parameter prediksi potensi
keganasan berdasarkan gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi.
Laporan penelitian terakhir mengkorelasikan tumorigenesis APP dengan aktivasi
atau tingkat-ekspresi onkogen myc, ras, c-erbB-2, gen anti-apoptosis bcl-2, atau
dengan gen penekan-tumor p-53. Ekspresi gen-gen terkait-tumor tersebut dalam
bidang kegiatan diagnostik patologi anatomi diperiksa dengan metode
imunohistokimia yang bersifat sensitif, spesifik, cepat pengerjaannya, serta dapat
dilakukan bersamaan dengan prosedur diagnosis PA rutin sehari-hari terhadap
jaringan tumor yang dipendam dalam parafin. Famili onkogen ras penghasil rasP-
21 regulator transduksi sinyal ekstraseluler, diekspresikan secara berlebih pada
tumor APP, namun perannya belum jelas terungkap. Onkogen c-erbB-2 pengkode
mediates positive regulation of gene expression through a spesific DNA
sequence element. Genes.Dev.1992. 6:1143–52.
21. Cummings MC, Winterford CM, Walker NI. Apoptosis.
Am.J.Surg.Pathol.1997. 2(1):88-101.
22. Majno G, Joris I. Apoptosis, oncosis, and necrosis. An overview of cell death.
Am.J.Pathol.1995. 146(1):3–15.
106
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Prof. Dr. Achmad S.Y. Mukawi, Drg., M.S.
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 7 Desember 1959.
Alamat Tempat Tinggal : Jln. Cigadung Asri Raya No. 2, Komplek UNPAD Cigadung Asri, Rancakendal, Cigadung Raya Barat, Bandung-40132.
Jenis Kelamin : Pria.
Agama : Islam.Isteri : Mira Miradewi, Drg.Anak :
1. Mirsya Muhammad Rizky (21 tahun).2. Mirsya Muhammad Ibrahim (16 tahun).3. Zahra Cintana (14 tahun).
Riwayat Pendidikan :
1. Doktor dalam Ilmu Kedokteran (Program Pascasarjana UNPAD – Kobe University, 1998).2. Magister Sain Ilmu Kedokteran Dasar, BKU Patobiologi (Prog.Pascasarjana UNPAD,
1. Sertifikat, Kursus Polymerase Chain Reaction (Lab. Bioteknologi R.S. Rajawali, Bandung 1995).
2. Sertifikat, Kursus Komputasi Statistika Deskriptif (Unit Penelitian F.K. UNPAD, Bandung 1992).
3. Sertifikat, Kursus Singkat Genetic Engineering (PAU Bioteknologi ITB, Bandung 1989).4. Sertifikat, Pelatihan Microtome and Tissue Processor (World Bank – DEPKES, Bandung,
1989).5. Sertifikat, Kursus Mikrofotografi Medik (Bagian P.A. F.K. UNPAD, Bandung, 1989). 6. Sertifikat, Kursus Singkat Tissue Culture (PAU Bioteknologi UGM, Yogyakarta,1988).
Riwayat Pekerjaan :
A. Riwayat Kepangkatan :1. Guru Besar, Pembina Utama, IV/e, dalam proses pengusulan di UNPAD sejak April
2010.2. Guru Besar, Pembina Utama Madya, IV/d, Keputusan Presiden No 83/K 2007, 11 Juni
2007.3. GuruBesar, Pembina Utama Muda, IV/c, Keputusan Pres.No.119/K2005, 5 September
2005. 4. Guru Besar, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No.36645/A2.7/KP/ 2004, 1 Oktober
2004.
107
5. Lektor Kepala, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No: 26513/A2.7/KP/20003, 1 April 2003.
6. Lektor Kepala, Pembina, IV/a, SK Mendiknas No : 70628/ A2.III1/KP/ 2001, 1 Januari 2001.
7. Lektor Kepala Madya, Penata Tk.I, III/d, SK Mendiknas No: 70627/A2.III.1/KP/2001, 1 Agst 97.
8. Lektor Muda, Penata, III/c, SK Mendikbud No: 225/J06/ Kep/KP/97, 1 Juni 1994.9. Asisten Ahli, Penata Muda Tk.I, III/b, SK Mendikbud No: 736/ PT 06.H15/ C / 92, 1
Okt.1991.10. Asisten Ahli Madya, Penata Muda, III/a, SK Mendikbud No: 784/PT06.H/C/89, 1
Des.1989.
B. Riwayat Jabatan :1. Ketua, Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 – sekarang.2. Reviewer, Indian Journal of Maxillofacial & Oral surgery, India, 2007 – 2010.3. PLH Ketua, Yayasan Bina Dharma Padjadjaran – UNPAD. 2006 .4. Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi, Bagian Patologi Anatomi FKUP/R.S.
Perjan dr.Hasan Sadikin dan Bagian Biologi Oral FKGUP/R.S. Gigi&Mulut, sejak 2004.
5. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1 April 2003 – 1 Mei 2007.
6. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1997 – 2003.
7. Bendahara, UPT Layanan Informasi dan Pengembangan Teknologi UNPAD, 2003 – 2005.8. Kepala Instalasi, Laboratorium Klinik, Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM), FKG UNPAD, 2003–
2006.9. Ka.Div. Tri-Dharma Perguruan Tinggi, Perkumpulan Bina Dharma Padjadjaran UNPAD, 2002- 2005.10. Liason Officer, Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL), 2001 –
2004.11. Koordinator S2, Ilmu Kedokteran Dasar / BKU Patobiologi, Bag. P.A. F.K. UNPAD, 2000 – 2006.12. Kepala Laboratorium Ekotoksikologi, PPSDAL UNPAD, 1998 –
2000.14. Kepala Bidang Pengadaan, Rumah Sakit ASSADYRA-UNPAD, 1997-
1998.
C. Keanggotaan dalam Organisasi :1. Organisasi Sosial Kemasyarakatan : Korps Pegawai Republik Indonesia.2. Organisasi Profesi :
(1) Persatuan Dokter Gigi Indonersia (PDGI).
(2) Ikatan Akhli Patologi Indonesia (IAPI).
(3) Asian Association of Oral and Maxillofacial Surgeons / AOMS.
(4) Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia (ISPaMMI).
D. Pengalaman dalam Organisasi :1. Ketua Umum Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 –
sekarang.
108
2. Koordinator Pengabdian Pada Masyarakat IKA UNPAD, 2001-2003.3. Ketua I, Persatuan Dokter Gigi Indonesia Cabang Bandung, 1999-2001.4. Koordinator-Sektor, UMPTN 1997/1998 s/d 2001/2002, Rayon A Lokal
Bandung.5. Tim Satgas Pembebasan Aset UNPAD di Kota Bandung yang di ruislag.
Piagam Penghargaan :
1. Satya Karya Bhakti Kelas 2 Universitas Padjadjaran/UNPAD (2004).2. Pengabdian kepada Universitas Padjadjaran sebagai PD III (2003).3. Dosen Teladan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1998).4. Dosen Teladan Universitas Padjadjaran (1998).5. Karya Ilmiah Terbaik Universitas Padjadjaran (1998).6. Finalis Nasional “Peneliti Muda Indonesia” (Menristek–LIPI–TVRI, 1993).
Kegiatan Lain-Lain :
Mengikuti seminar, kongres, simposium, dan lokakarya pada forum nasional, regional, dan internasional sejak 1988 – sekarang.
Mata Kuliah dan Praktikum yang diampu :
1. Pada starata pendidikan Sarjana : (1) Patologi Umum; (2) Patologi Mulut dan Maksilofasial; (3) Biologi Oral; (4) Dental Science Program IV.
2. Pada strata pendidikan Magister dan Spesialis : (1) Patologi Umum; (2) Sitopato-logi dan Imunopatologi Dasar; (3) Sitopatologi dan Imunopatologi Terapan; (4) Sistem Imun Jaringan Periodontal; (5) Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan Kerja; serta (6) Rehabilitasi kelainan kongenital dan cacat bawaan.
3. Pada strata pendidikan Doktor : (1) Dasar-dasar Patobiologi Molekuler; (2) Patobiologi untuk Kedokteran Gigi; (3) Imunohistokimia Kedokteran Gigi.
Jumlah Publikasi Karya Ilmiah dan Buku :
20 Makalah laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Nasional 1 Makalah Laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Internasional 2 Buku Ajar : Diktat Patologi Umum dan Patologi Mulut. 2 Buku Penuntun Praktikum : “Penuntun Praktikum Patologi Umum” dan “Labb
Skill for General Pathology”. 1 Buku Ilmiah (program Pasca Sarjana UNPAD), dan 1 Buku teks Adenoma Pleomorfik untuk rencana diterbitkan tahun 2011.
Jumlah Karya Ilmiah yang tidak dipublikasikan :
37 makalah Tinjauan Pustaka dan 2 makalah Laporan Penelitian.
109
Daftar Karya Ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Nasional dan Internasional :
1. Kultur Jaringan (Tissue culture) : Jurnal Kedokteran Gigi Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI), Nomor 56, Halaman 50 - 5, Jakarta, Desember, 1989.
2. Isolasi dan purifikasi DNA sel bakteri pada rekayasa genetika, Jurnal Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Padjadjaran (UNPAD), Vol.II, Nomor 2,
Halaman 34 - 6, Bandung, Desember 1990.
3. Prosedur fusi sel guna pembuatan antibodi monoklonal, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 3, Tahun ke-III, Halaman 22-6, Jakarta, Desember
1990.
4. Penelitian pendahuluan terhadap pertumbuhan kultur jaringan eksplan usus embrio ayam
umur 10 hari, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 2,
Tahun 41, Halaman 17 - 9, Jakarta, Agustus 1992.
5. Reaksi imunologis dalam tindakan dokter gigi, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter
Gigi Indonesia (PDGI), No.3 Thn 41, Hal. 32-5, Jakarta, Desember 1992.
6. Efek stimulasi vitamin A terhadap pertumbuhan eksplan jaringan kulit embrio ayam yang