Top Banner
LAPORAN AKHIR NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PAKET PERUBAHAN UU NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI, UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK) Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan Dr. Cita Citrawinda, SH.,MIP PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM R.I. TAHUN 2011
309

Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

Feb 05, 2016

Download

Documents

meldatheresia

Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

LAPORAN AKHIR

NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PAKET PERUBAHAN UU NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG

DESAIN INDUSTRI, UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK)

Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan

Dr. Cita Citrawinda, SH.,MIP

PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM R.I. TAHUN 2011

Page 2: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

i

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor PHN-88-HN.01.03 Tahun 2011 tanggal 1 Maret 2011

telah dibentuk Tim Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-

undangan RUU tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14

Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No.

31 Tahun 2000 tentang Desain industri), dengan susunan keanggotaan sebagai

berikut:

Ketua : DR. Cita Citrawinda, SH, MIP

Sekretaris : Masnur Tiurmaida Malau, SH, MH

Anggota : 1. Gunawan Suryomurcito, SH.

2. Bambang Iriana Djadjaatmadja, SH., LL.M

3. Rikson Sitorus, SH., CN., MH.

4. Amirullah, SH., MH.

5. Supriyatno, SH.,MH.

6. Rahendrojati, SH.,MS.i

7. Heru Bhaskoro, SH.,MH

8. Dadang Iskandar, S.Sos

9. Atiah

Dalam Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-

undangan RUU tentang tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU

No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan

UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain industri) tersebut Tim ditugaskan untuk

menyusun Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan RUU tentang

Page 3: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

ii

tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14 Tahun 2001 tentang

Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000

tentang Desain industri) berupa rancangan ilmiah yang memuat gagasan

tentang perlunya materi-materi hukum yang bersangkutan diatur dengan

segala aspek yang terkait, dilengkapi dengan referensi yang memuat konsepsi,

landasan dan prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-

normanya, yang disajikan dalam bab-bab yang dapat merupakan sistematika

suatu rancangan undang-undang.

Hasil Naskah Akademik menunjukkan bahwa dari sejumlah kendala

yang timbul dalam pelaksanaan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No.

15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain

industri yang menjadi pokok permasalahan adalah, pertama Apakah

pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu undang-

undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-Undang

No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang

Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri dapat

memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih

meningkatkan perekonomian Indonesia, kedua, Hal-hal apa saja yang dapat

dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang

Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-

Undang No.31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri menjadi materi muatan

Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, ketiga, Apa yang menjadi

pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan

Page 4: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

iii

Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri dan keempat Apa

sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah

pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan

Industri.

Dalam penyusunan Naskah Akademik ini dengan berdasarkan pada

permasalahan, maka jangkauan atau arah pengaturan yang diusulkan dalam

RUU tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2000 adalah

membuat ketentuan mengenai definisi desain industri yang mengatur kreasi

apa saja yang mendapat perlindungan dan yang tidak mendapat perlindungan

dan kriteria syarat kebaruan suatu desain industri serta sistem pemeriksaan

substantif yang harus dilaksanakan walaupun tidak ada keberatan yang

diajukan terhadap aplikasi desain industri yang dimintakan pendaftarannya.

Tim mengucapkan terimakasih kepada Badan Pembinaan Hukum

Nasional yang telah memberikan kepercayaan untuk melaksanakan Kegiatan

Penyusunan Naskah Akademik ini, dan terimakasih pula kepada pihak-pihak

yang telah membantu sehingga dapat tersusun laporan ini.

Jakarta, November 2011

Ketua

DR. Cita Citrawinda, SH, MIP

Page 5: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 15

C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik 17

D. Metode 18

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN

INDUSTRI 21

A. Kajian Teoretis 22

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma 28

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta

permasalahan yang dihadapi masyarakat 33

1. Implementasi Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten 35

2. Implementasi Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek 44

3. Implementasi Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri 52

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU

Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan

dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara 66

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG

PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI 71

A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang

Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang

Page 6: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

v

No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai materi muatan

Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri 71

1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2001 Tentang Paten 71

2. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang No. 15

Tahun 2001 Tentang Merek 75

3. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2000 Tentang Desain Industri 79

B. Kompilasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang

No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000

Tentang Desain lndustri 86

C. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai

strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang

lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia 90

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 100

A. Landasan Filosofis 100

B. Landasan Sosiologis 103

C. Landasan Yuridis 109

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI 114

A. Arah dan Jangkauan Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak

Kekayaan Industri 114

B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak

Kekayaan Industri 117

Page 7: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

vi

1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Paten 117

2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Merek 159

3. Materi Muatan Perubahan Undang-undang Desain Industri 182

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan 212

B. Saran 220

DAFTAR PUSTAKA 223

Lampiran

Rancangan Peraturan perundang-undangan

Page 8: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain

adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi

antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan

internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.

Pada zaman modern saat ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi

dan perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap

bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan

perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara

yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.

Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi

perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya yang

telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi

ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan

perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi

dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian

Page 9: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

2

internasional.1 Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari

karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi

berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melampaui batas-

batas negara (cross-border).2 Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang

menyatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat

terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.3

Isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (disingkat HKI)4 merupakan isu yang

sangat penting karena berkaitan dengan perdagangan internasional dan

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan

kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan

pengembangan industri. Inovasi teknologi dapat mendatangkan kemakmuran bagi

kehidupan masyarakat, dan pengembangan teknologi mendorong pertumbuhan

masyarakat.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR)

adalah istilah yang sangat luas yang menunjukkan suatu kelompok dari bidang-

bidang Hak Kekayaan Intelektual, terdiri dari Copyright and Related Rights,

Trademarks, Geographical Indication, Industrial Design, Patents, Layout Designs of

1 John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-23.

2 Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.

3 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89.

4 Di Indonesia, untuk pertama kali istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) digunakan sebagai istilah padanan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang digunakan dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur jenis-jenis HAKI berikut peraturan pelaksanaannya yang disahkan dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga akhir 1990-an, kemudian dalam perkembangannya sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan juga dengan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.24/M/PAN/1/2000 ditetapkan penggunaan istilah Hak kekayaan Intelektual (HKI).

Page 10: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

3

Integrated Circuit, Protection of Undisclosed Information dan Control of Anti

Competitive Practices in Contractual Licenses.5

Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah Indonesia menandatangani

persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral

Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation) dan meratifikasi

Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing the World Trade

Organization) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2

November 1994, yang didalamnya memuat Lampiran Persetujuan Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) yang mengatur norma-

norma standar yang berlaku secara internasional tentang HKI. Persetujuan TRIPs

memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang

perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur

penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju perdagangan yang sehat.

Bagian II dari Persetujuan TRIPs mengatur tentang obyek HKI secara luas,6 yaitu:

1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related rights)

2. Merek (trademarks)

3. Indikasi geografis (geographical indications)

4. Desain industri (industrial designs)

5. Paten (patents)

6. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout-designs of Intergrated Circuits; dan

7. Perlindungan rahasia dagang (protection of undisclosed information)

5 Lihat Persetujuan TRIPs

6 Lihat Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) (1994). This

Agreement constitutes Annex 1C of the Marrakesh Agreement Establishing the World Trdae Organization (hereinafter referred to as the “WTO Agreement”, which was concluded on April 15, 1994, and entered into force on January 1, 1995. The TRIPS Agreement binds all Members of the WTO (lihat Pasal II.2 Perjanjian WTO).

Page 11: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

4

Di sisi lain, Persetujuan TRIPs juga mengatur tentang larangan praktek

persaingan curang dan perjanjian lisensi.

Secara konvensional HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:7

1. Hak cipta (copyright);

2. Hak Kekayaan Industri (industrial property rights), yang mencakup:

a. Paten (patent)

b. Desain Industri (industrial design)

c. Merek (trademark)

d. Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair

competition)

e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (layout design of integrated circuit)

3. Rahasia Dagang (trade secret).

Sebagaimana dinyatakan dalam Persetujuan TRIPs bahwa “intellectual

property rights are private rights”.8

Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan

untuk meningkatkan pengaturan HKI agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO,9 dan khusus

pada Naskah Akademik ini kajian dititikberatkan pada Paten, Merek dan Desain

Industri, yaitu sebagai berikut:

7 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Buku

Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJHKI, 2003), hal. 3. 8 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods.

9 Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001.

Page 12: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

5

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten10 (menggantikan Undang-

Undang Nomor 13/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

16/1989 Tentang Paten);

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek11 (menggantikan Undang-

Undang Nomor 14/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

19/1992 Tentang Merek); dan

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.12

Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan

Persetujuan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi

atau traktat-traktat Internasional di bidang HKI13, sebagai berikut:

1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention

Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden RI

No. 15 Tahun 1997). 14

2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan

Presiden RI No. 16 Tahun 1997).

3. Trademark Law Treaty (Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997).

10

Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130.

11 Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131. 12

Diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045.

13 Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999).

14 Lihat Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual - Tantangan Masa Depan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) hal. 17-18 bahwa Konvensi Paris merupakan konvensi bagi perlindungan Hak Milik Industri, dan Indonesia pertama kali meratifikasi Konvensi Paris versi Stockholm 1967 yaitu pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tanggal 10 Mei 1979, namun menyatakan: “Republic of Indonesia declares that its ratification shall not apply to Article 1 to 12 of the Convention.” Dengan diratifikasinya kembali Konvensi Paris pada tanggal 7 Mei 1997, maka reservasi terhadap Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 telah dihilangkan.

Page 13: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

6

4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keputusan

Presiden RI No. 18 Tahun 1997).

5. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997).

6. WIPO Performers and Phonograms Treaty, melalui Keputusan Presiden RI No. 74

Tahun 2004.15

Untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip HKI diimplementasikan

menurut tujuannya, perlu terlebih dahulu diketahui latar belakang pembentukan

doktrin-doktrin yang digunakan dalam implementasi prinsip-prinsip HKI tersebut.

Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan sebagai doktrin bagi pengaturan norma-

norma HKI memiliki beberapa sifat khusus yang berkaitan dengan filsafat hukum dan

teori ekonomi. Sebagai contoh, sumbangan pemikiran Thomas Aquinas16 yang

membahas teori hukum alam, dan John Locke17 yang membahas hak individual atas

benda, dapat dijadikan landasan terhadap bagaimana doktrin dipergunakan dalam

kerangka implementasi prinsip-prinsip HKI, untuk selanjutnya memberikan jaminan

kepastian hukum melalui penentuan hak-hak yang melekat pada bagian-bagian

obyek hukum yang dianggap material maupun immaterial. Disamping itu, teori

ekonomi yang dikenal dengan the Theory of Bargaining18 dapat dijadikan materi

pembahasan yang diperlukan dalam urgensi praktik pengaturan HKI demi

tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang

15

Ditandatangani dan diberlakukan pada tanggal 10 September 2004. 16

W. Friedmann, “Legal Theory”, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia, 1967), hal. 108. 17

Ibid. hal. 122. 18

Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, Addison-Wesley, (USA, 2000), hal. 75. Sebagaimana dikutip: “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory can be developed through an example of a familiar exchange-selling a used car.”

Page 14: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

7

HKI, maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang

diakibatkan oleh implementasi atau eksploitasi dari HKI itu sendiri.

Selain itu, dalam Labour Theory juga telah dikemukakan tentang

pentingnya perlindungan HKI, yaitu:

“Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people

from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the

originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to

encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that

innovation throughout society.” 19

Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya

intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa

invensi maupun karya intelektual lainnya perlu memperoleh perlindungan guna

mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa

kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya intelektual tersebut.

Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang

saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru

di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual

tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia

sebagai negara berkembang perlu menerapkan HKI secara maksimal agar dapat

memajukan sektor industri dan meningkatkan kemampuan daya saing di pasaran

internasional.

Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri salah satunya adalah

melalui peningkatan perlindungan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (pada

19

Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988, hal. 21.

Page 15: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

8

Naskah Akademik ini difokuskan pada Paten, Merek dan Desain Industri) bagi para

pelaku industri dengan menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara

langsung dengan sektor industri dan perdagangan yang mampu memberikan

perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang

Paten, Merek dan Desain Industri, maupun penegakan hukumnya dalam

mempertahankan hak-hak atas kepemilikan Paten, Merek dan Desain Industri serta

komersialisasi dari hak-hak tersebut. Dalam praktiknya, upaya penerapan instrumen

hukum di sektor industri mengalami berbagai kendala, baik dari sisi substansi hukum

yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya.

Untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah dalam

Naskah Akademik ini, definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Intellectual Property Rights (IPR) adalah istilah yang sangat luas yang

menunjukkan suatu kelompok dari bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual,

terdiri dari Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indication,

Industrial Design, Patents, Layout Designs of Integrated Circuit, Protection of

Undisclosed Information dan Control of Anti Competitive Practices in Contractual

Licenses.20

2. Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil

Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan

sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakannya.21

20

Lihat Persetujuan TRIPs 21

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Page 16: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

9

3. Pemegang paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang

menerima hak tersebut dari Pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih

lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.22

4. Kebaruan atau Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu

kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa

produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau

proses.23

5. Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang

yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak

dapat diduga sebelumnya.24

6. Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat

dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.25

7. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk meniklmati manfaat ekonomi dari

suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.26

8. Lisensi wajib yaitu lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan

keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan

satu pihak.27

9. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,

susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya

pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.28

22

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 23

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 24

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 25

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 26

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 27

Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

Page 17: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

10

10. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan

oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum

untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.29

11. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh

seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk

membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.30

12. Merek kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan

karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan

hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa

sejenis lainnya.31

13. Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada pemilik

Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu

dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada

pihak lain untuk menggunakannya.32

14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain

melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan

hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis

barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.33

15. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya

unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang

dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara

28

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 29

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 30

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 31

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 32

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 33

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Page 18: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

11

penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun

persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.34

16. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu

barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor

manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan

kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.35

17. Merek terkenal (well-known trademark) adalah merek yang menjadi simbol

kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak

mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.36

18. Pelanggaran merek (trademark infringement) adalah pemakaian secara tidak sah

suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek

dagang, merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan

suatu persamaan yang membingungkan bagi para konsumen.37

19. Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi

garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang

berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estesis dan

dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai

untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan

tangan.38

34

Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 35

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 36

James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993), hal. 83 37

Donald S. Chisum and Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995, hal 5-279. 38

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Page 19: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

12

20. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain

Industri.39

21. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik

Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu

melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk

melaksanakan hak tersebut.40

22. Tanggal Penerimaan adalah tanggal Penerimaan Permohonan yang telah

memenuhi persyaratan administratif.41

23. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di

bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang

pengajuan dan pengurusan permohonan Paten, Merek, Desain Industri serta

bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan

Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.42

24. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Desain Industri kepada pihak

lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan

hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang

diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.43

25. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal

dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan

bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga

anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan

39

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 40

Pasal 2 angka 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 41

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 42

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 43

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Page 20: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

13

Dunia, memiliki tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan yang diajukan di

negara asal selama kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi

Paris.44

26. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha. 45

27. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.46

Pada Naskah Akademik ini, regulasi yang hendak disusun adalah

Rancangan Undang-Undang Tentang Hak kekayaan industri yang mencakup

perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000

Tentang Desain Industri. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut atas Instruksi Presiden

No. 11 Tahun 2011 yang mengamanahkan Kementerian Hukum dan HAM

bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Kajian yang

menjadi pokok bahasan dalam penyusunan Naskah Akademik difokuskan pada

Paten, Merek dan Desain Industri sehubungan dengan rencana perubahan atas

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

44

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 45

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lihat juga black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan Unfair Competition adalah dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce; especially the practice of trying to palm off one’s own goods or services for those of another by imitating or counterfeiting a competitor’s name, brand, or distinctive characteristic; and the body of law protecting the first user against an imitating or counterfeiting competitor. 46

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.

Page 21: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

14

Industri. Adapun ketiga Undang-Undang tersebut akan dikompilasi menjadi

Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun

2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

Industri) dan diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan

efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam Naskah Akademik ini

mengacu pada ruang lingkup Hak Kekayaan Industri sebagaimana diatur dalam

Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri, selain Rahasia

Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Secara substansi, istilah Hak Kekayaan

Industri ditujukan untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada karya-

karya intelektual yang lahir karena intelektualitas manusia dalam bidang industri

sebagaimana tercakup dalam definisi HKI menurut World of Intellectual Property

Organization (WIPO), sebagai berikut:47

“Very broadly, intellectual property means the legal rights which result from

intellectual actitivity in the industrial, scientific, literary and artistic fields.”

Perubahan sistem Paten, Merek dan Desain Industri juga dapat

dipengaruhi karena adanya perubahan dalam sistem Paten, Merek, dan Desain

Industri secara internasional, atau konvensi-konvensi maupun traktat-traktat

internasional di bidang HKI, yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial

Property Rights, Geneva Act, Patent Cooperation Treaty, Trademark Law treaty, dan

Madrid Protocol (sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi Geneva

Act dan Madrid Protocol). Pengaruh tersebut tidak dapat dipungkiri karena Indonesia

47

WIPO Intellectual Property Reading Material 1995

Page 22: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

15

juga adalah salah satu anggota dari World Intellectual Property Organization (WIPO).

Ratifikasi beberapa konvensi Internasional di bidang HKI, khususnya Paten, Merek

dan Desain Industri merupakan kesadaran kita untuk menjadi bagian dari pergaulan

dunia dan kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi

perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada

umumnya. Karena penerapan sistem HKI, khususnya sistem Paten, Merek dan Desain

Industri tentu tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata, tetapi

juga perlu mengaitkannya dengan kepentingan ekonomi nasional.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka Badan

Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

memandang perlu untuk melakukan kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun

2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain

Industri) dalam rangka untuk mempersiapkan materi Rancangan Undang-Undang

Tentang Hak Kekayaan Industri. Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam

Naskah Akademik ini mengacu pada ruang lingkup HKI sebagaimana diatur dalam

Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri selain Rahasia

Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang

Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri yang

berlaku saat ini, dikaji dari aspek substansi, prosedur administrasi, dan efisiensi

Page 23: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

16

masih terdapat kendala-kendala maupun hambatan dalam implementasinya,

khususnya bagi sektor industri dan perdagangan, sehingga ketiga undang-undang

tersebut perlu direvisi dan digabungkan ke dalam 1 (satu) paket undang-undang

Tentang Hak Kekayaan Industri.

Dalam rangka memberikan landasan ilmiah bagi penyusunan Rancangan

Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri, maka dalam Naskah Akademik ini

dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam mengenai, yaitu sebagai

berikut:

1. Apakah pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu

undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-

Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001

Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

lndustri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta

lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

2. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang

No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001

Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

lndustri, sebagai materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan

Industri.

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan Undang-

Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

Page 24: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

17

C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Maksud disusunnya Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan

tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket

Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No.

15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang

Desain Industri) ini adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan perubahan atau

revisi terhadap ketiga Undang-undang ini agar visi dan misi ketiga Undang-undang ini

di masa mendatang dapat lebih melindungi kepentingan masyarakat.

Tujuan dibuatnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001

Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-

Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu

undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-

Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001

Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri,

yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih

meningkatkan perekonomian Indonesia.

2. Merumuskan hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang

No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang

Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai

materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri.

3. Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan

Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

Page 25: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

18

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang

Tentang Hak Kekayaan Industri.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Tentang Hak Kekayaan Industri ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan

dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

D. Metode

Metode penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik tentang

Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun

2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

Industri) menggunakan metode pendekatan deskriptif-analitis, yaitu

menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh, selanjutnya

dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub

sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan

Industri.

Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengenali hukum,

khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan Perundang-

undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang

Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No.

31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, termasuk Persetujuan TRIPs dan konvensi-

konvensi atau traktrat-traktat internasional yang berhubungan dengan Paten, Merek

Page 26: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

19

dan Desain Industri yaitu Patent Law Treaty, Trademark Law Treaty, dan Paris

Convention for the Protection of Industrial Property Rights.

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan

multidisipliner, dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu.

Melalui pendekatan interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang

mengatur tentang Hak Kekayaan Industri melalui pendekatan multi disipliner akan

diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mendukung pengaturan penyusunan

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari

pengertian dan pemahaman tentang Hak Kekayaan Industri, dan penelitian ini harus

pula mendekati permasalahan tersebut di atas secara futuristik mengingat penelitian

ini menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dalam sistem hukum Hak

Kekayaan Industri.

Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Tentang Hak Kekayaan Industri dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis yang berasal

dari data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan Paten, Merek dan Desain Industri) dan

bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian,

majalah hukum dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota

tim.

Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum,

khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Paten, Merek

dan Desain Industri hasil inventarisasi ini kemudian dianalisis secara kualitatif

Page 27: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

20

berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku dan disusun menjadi sub sistem

sebagai bagian dari sistem hukum nasional, dan diperlukannya bahan-bahan hukum

dalam mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.

Sumber hukum materiil masalah Paten, Merek dan Desain Industri ini

mengacu pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik

azas-azas hukum dan rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan

Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan lndustri. Sedangkan inventarisasi dan

pengolahan data dilakukan melalui:

1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-

undangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk Persetujuan

TRIPs, konvensi dan traktat internasional yang terkait dengan Paten, Merek

dan Desain Industri;

2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, putusan pengadilan

yang terkait dengan Paten, Merek dan Desain Industri;

3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-

Undang Nomor 15 Tahun Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2000 Tentang Desain Industri mengenai bagaimana implementasi,

kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundang-undangan yang

terkait; dan

4. Hasil Diskusi atau informasi sesama anggota tim.

Page 28: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI

A. Kajian Teoretis

Sebagai suatu hak yang dihasilkan kemampuan intelektualita manusia, HKI

perlu mendapat perlindungan hukum yang memadai. Tanpa adanya perlindungan

hukum, para pesaing dapat meniru Paten, Merek dan Desain Industri orang lain

tanpa harus mengeluarkan biaya untuk proses penciptaannya atas Paten, Merek dan

Desain Industri.

Dalam Pasal 1 angka (2) Paris Convention for the Protection of Industrial

Property, dinyatakan bahwa: “The protection of industrial property has as its object

patents, utility models, industrial designs, trademarks, service marks, trade names,

indications of source or appellations of origin, and the repression of unfair

competition.” Dengan demikian, HKI menurut Konvensi Paris meliputi, yaitu Paten,

Paten Sederhana, Desain Industri, Merek Dagang, Merek Jasa, Nama Dagang, Indikasi

Asal dan Penanggulangan Persaingan Curang. Di dalam Persetujuan TRIPs, makna

merujuk pada semua kategori dari HKI yang meliputi, yaitu Copyright and Related

Rights, Trademarks, Geographical Indications, Industrial Designs, Patents, Layout

Design (topographies) of Integrated Circuits, and Protection of Undisclosed

Information. Persetujuan TRIPs memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai

isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi

perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang

menuju pada perdagangan yang sehat.

Page 29: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

22

Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan

mengapa Hak Kekayaan Industri perlu dilindungi,48 yaitu: pertama, bahwa hak yang

diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra atau

Inventor di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan

wujud dari pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia

dalam melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan

konsekuensi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu

atau pencipta dan mereka yang melakukan kreatifitas dengan mengerahkan segala

kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk

mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu; kedua,

Terdapat sistem perlindungan HKI yang dengan mudah dapat diakses pihak lain,

sebagai contoh dapat dikemukakan Paten yang bersifat terbuka. Seorang inventor

berkewajiban untuk menguraikan invensinya tersebut secara rinci, yang

memungkinkan orang lain dapat belajar atau melaksanakan invensi tersebut. Untuk

itu, merupakan suatu kewajaran dan keharusan untuk memberikan suatu hak

eksklusif kepada Inventor selama jangka waktu tertentu untuk menguasai dan

melakukan eksploitasi atas penemuannya itu (hak ekonomi); ketiga, HKI merupakan

hasil ciptaan atau penemuan yang bersifat rintisan dapat membuka kemungkinan

pihak lain untuk mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh

Inventor. Oleh karena itu, invensi mendasar pun harus dilindungi meskipun mungkin

48

Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.

Page 30: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

23

belum memperoleh perlindungan di bawah rezim hukum Paten, dapat dikategorikan

sebagai Rahasia Dagang atau informasi yang dirahasiakan.

Menurut Hikmahanto Juwana49, dalam melihat suatu kegiatan dari

perspektif hukum, maka perspektif hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua

kelompok besar, yaitu:

1. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif ilmu hukum; dan

2. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif spesialisasi bidang hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perspektif ilmu

hukum adalah perspektif yang melihat suatu kegiatan dari cabang ilmu hukum, yaitu

hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan

hukum internasional. Perbedaan antara satu cabang ilmu hukum dengan cabang

ilmu hukum lainnya dikarenakan adanya perbedaan tentang apa yang diatur, subyek

hukumnya, sifat hubungan antar subyek hukum, prinsip-prinsip yang dikenal dan lain

sebagainya. Dalam hukum perdata, misalnya yang menjadi subyek adalah orang

perorangan dan badan hukum. Sementara dalam hukum internasional yang menjadi

subyek hukum diantaranya adalah negara dan organisasi internasional. Jelas kedua

cabang ilmu hukum ini berbeda satu sama lain.

Adapun yang dimaksud dengan perspektif spesialisasi bidang hukum,

antara lain hukum perbankan, hukum pasar modal, hukum hak kekayaan intelektual,

dan hukum persaingan. Berbagai spesialisasi bidang hukum ini tidak menginduk pada

satu cabang ilmu hukum saja, melainkan kumpulan dari berbagai aspek cabang ilmu

hukum atas suatu kegiatan (misalkan perbankan, pasar modal, hak atas kekayaan

49

Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum EKonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati,

2002), hal. 28-29.

Page 31: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

24

intelektual, pertambangan) yang kemudian dirangkum menjadi satu. Spesialisasi

bidang hukum muncul karena adanya suatu kegiatan yang dilihat dari berbagai aspek

hukum dan mempunyai sifat khusus. Sebagai contoh kegiatan perbankan bisa dilihat

dari berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan

internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut

hukum perbankan. Demikian pula hukum hak kekayaan intelektual merupakan

berbagai aspek hukum dari kegiatan hak kekayaan intelektual yang bisa dilihat dari

berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan

internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut

hukum hak kekayaan intelektual.

Terdapat berbagai teori yang mendasari perlunya suatu bentuk

perlindungan hukum HKI, sebagaimana Reward Theory yang memiliki makna yang

sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah

dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada Inventor/pemilik merek atau Pendesain

harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam

menemukan/atau menciptakan karya-karya intelektual tersebut. Teori ini sejalan

dengan prinsip yang menyatakan bahwa Inventor/pemilik merek/Pendesain yang

telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya

intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut, yang

dikenal dengan Recovery Theory. Teori lain yang sejalan dengan teori Reward adalah

Incentive Theory yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan

insentif bagi para penemu/pencipta atau Pendesain tersebut. Berdasarkan teori ini

Page 32: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

25

insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan

penelitian yang berguna50.

Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama, yaitu berupa

pemberian penghargaan kepada para Penemu/pemilik merek dan Pendesain atas

karya intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya, pemberian

penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim yang

kondusif agar masyarakat tetap kreatif. Penghargaan yang tidak memadai akan

membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori tersebut

perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk

menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai

satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu Inventor atau pemilik

Paten/pemilik merek/Pendesain, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan

kreativitas secara nasional. Dengan demikian, maka pemberian penghargaan

tersebut akan merupakan sumbangan konkret bagi negara dalam pembangunan

teknologi dan pembangunan ekonominya. Teori ini dinamakan Teori Kepentingan

Makro.51

Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk

Theory. Teori ini mengakui bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang

mengandung risiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu

menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga dengan demikian adalah

wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau

kegiatan yang mengandung risiko tersebut. Sherwood berpendapat bahwa risiko

50

Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco: Westview Press Inc., 1990), hal. 39. 51

Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 45.

Page 33: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

26

yang mungkin timbul dari penggunaan secara ilegal yang menimbulkan kerugian

secara ekonomis maupun moral bagi Inventor/Pencipta dan Pendesain tersebut

dapat dihindari jika terdapat landasan hukum yang kuat yang berfungsi untuk

melindungi HKI tersebut. Namun dalam kenyataannya, kesulitan mengatasi risiko ini

dapat pula timbul disebabkan karena lemahnya sistem penegakan hukum meskipun

peraturan perundang-undangan yang berlaku telah cukup memberikan

perlindungan. Oleh karena itu, teori Risk harus diartikan secara luas, tidak hanya

sekedar penyediaan perangkat hukum semata-mata, tetapi juga harus

mengakomodasi ketentuan-ketentuan tentang peran dan tanggung jawab aparat

penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan langkah untuk membudayakan

perlindungan HKI di kalangan masyarakat, mengingat risiko pelanggaran HKI

berpotensi akan tetap terjadi jika budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan

hukum di bidang HKI.

Teori terakhir yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah

Economic Growth Stimulus Theory yang mengakui bahwa perlindungan atas HKI

merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan

pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem

perlindungan HKI yang efektif. Menurut Sherwood, teori ini sangat relevan untuk

dijadikan dasar perlindungan HKI saat ini terutama dalam menghadapi era

perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan WTO oleh

Indonesia.

Disamping kelima teori perlindungan HKI tersebut di atas, dalam konteks

korelasi antara HKI nasional, HKI internasional, dan kegiatan ekonomi serta

perdagangan pasar global, Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long berpendapat

Page 34: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

27

bahwa perkembangan standar internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan

dampak bagi perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini

sangat mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis

HKI. Pada akhirnya pengaturan hukum nasional merupakan pengejewantahan dari

tujuan-tujuan kepentingan nasional suatu negara yang merupakan muara

keberhasilan agregat atas pengaturan HKI. Salah satu pertimbangan yang penting

untuk diperhatikan dalam interkoneksi pengaturan HKI dengan sistem hukum, sistem

perekonomian, dan sistem sosial budaya, yaitu tujuan dalam peningkatan

kesejahteraan sosial.

Sifat-sifat individualistis pengaturan HKI justru harus diinterpretasikan

sebagai upaya mendukung kesejehteraan sosial sebagaimana pendapat Anthony

D’Amato dan Doris Estelle Long sebagai berikut:52

“Demands for protection of intellectual property are often based (implicitly or explicitly) on a theory of natural law or moral right – the idea that intellectual property is naturally owned by the person who creates it and that appropriation from that person without compensation is wrongful (whether such appropriation is purely domestic or international). However, national policy on the scope of legitimized intellectual property right vary widely depending on the result of a cost/benefit analysis balancing the immediate public welfare against long - term interest in private capital formation).”

Labour Theory juga telah mengemukakan tentang pentingnya

perlindungan HKI, yaitu:

“Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that innovation throughout society.”53

52

Anthony D’Amato & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Anthology (Cincinati: Andersen Publising Co., 1996), hlm. 8. 53

Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J. 287 (1998), hal. 21.

Page 35: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

28

Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya

intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa

invensi maupun karya intelektual lainnya termasuk Paten, Merek dan Desain Industri

perlu mendapatkan perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara

komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang

menghasilkan karya-karya intelektual tersebut. Konsep tersebut juga mengandung

makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang saling berkompetisi, yaitu adanya

kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu

kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual tersebut untuk memenuhi

kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma

Efektifnya penegakan hukum sebuah undang-undang dalam suatu negara

menurut Antony Allott bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diatur

oleh undang-undang tersebut, melainkan pada pembuat undang-undang.54 Dalam

membuat undang-undang, cenderung berdasarkan kemajuan yang dicapai di negara

lain - umumnya pada kemajuan yang dicapai negara-negara maju yang tertulis dalam

statuta-statuta. Sehingga seringkali dilewatkan peran hakim dalam menerapkan

hukum dan juga peran pembuat undang-undang itu sendiri.

Efektifitas undang-undang dalam sebuah negara diukur melalui tiga

derajat penerapan undang-undang tersebut:

1. Ketika undang-undang menjadi pencegah (preventive), apakah undang-undang

tersebut berhasil mencegah subyek hukumnya dari perbuatan yang dilarang.

54

Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume 15, 1981, hal. 229 – 242.

Page 36: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

29

2. Ketika undang-undang menjadi penyelesaian dari sengketa (currative) yang

timbul antara subyek hukumnya, apakah undang-undang berhasil memberikan

penyelesaian yang adil.

3. Ketika undang-undang menjadi penyedia kebutuhan subyek hukumnya untuk

melakukan perbuatan hukum (facilitative), apakah undang-undang berhasil

menyediakan aturan-aturan yang memfasilitasi kebutuhan mereka.

Peran hakim dan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah untuk

menyelaraskan undang-undang yang dibuat dan diterapkan pada keadaan yang

sudah berlangsung serta bentuk perilaku mendasar masyarakat yang menjadi subyek

dari undang-undang tersebut. Sehingga ketika undang-undang menjadi satu dari tiga

bentuk penerapan di atas, undang-undang menjadi panduan dari norma hukum yang

telah dikenal secara jelas oleh masyarakat.

Tidak efektifnya sebuah undang-undang menurut Allott adalah:

1. Penyampaian maksud dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil. Bentuk

dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku

yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan pengawasan

dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut.

2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undang-

undang dengan sifat dasar dari masyarakat.

3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang seperti peraturan pelaksana,

institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan

undang-undang tersebut.

Asas reward theory/incentive theory/recovery theory yakni diberikannya

hak eksklusif berupa perlindungan hukum dengan jangka waktu tertentu agar

Page 37: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

30

penemu/pemilik merek/pendesain dapat mengeksploitasi kreasi yang dihasilkannya

sebagai suatu penghargaan atas jerih payah serta pengorbanan yang telah dilakukan

dalam penemuannya.

Reward/incentive/recovery yang diperoleh antara lain berupa:

a. Dicantumkannya kata “hak eksklusif” pada definisi Paten, Merek dan Desain

Industri;

b. Diberikannya jangka waktu sesuai Persetujuan TRIPs pada Paten (20 tahun

terhitung sejak tanggal penerimaan Paten), Merek (10 tahun dapat

diperpanjang) dan Desain Industri (10 tahun);

c. Ditetapkannya royalti sebagai hak dari penemu/ pemilik merek/pendesain;

d. Diterapkannya norma bahwa adalah pelanggaran hukum apabila

menggunakan Paten/Merek/Desain Industri milik orang lain. Dengan norma

ini maka dapat ditempuh upaya hukum secara perdata atau pidana atau

arbitrase dalam menyelesaikan sengketa ini;

e. Undang-Undang mengatur bahwa perlindungan Desain Industri diberikan

dalam bentuk pemberian hak Desain Industri kepada Pendesainnya atau

penerima hak atas desain tersebut. Hak yang dimaksud adalah hak untuk

melaksanakan sendiri hasil desainnya, atau memberikan kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak tersebut, atau melarang pihak lain yang tanpa

persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor,

dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri.

Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara

Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu

Page 38: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

31

tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak tersebut.55

Sedangkan teori kepentingan makro yang menyatakan bahwa perlu

adanya kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas

masyarakat diterapkan dalam norma artinya menyatakan berlakunya hukum pidana

dalam pelanggaran di bidang HKI. Ini merupakan kebijakan Negara yang tidak

menganggap masalah Hak Kekayaan Industri merupakan hak privat/individual

semata.

Namun Negara juga menganggap perlu untuk menegakkan norma

disebabkan kepentingan menciptakan iklim yang kondusif bagi seluruh masyarakat

sehingga kreatifitas makin tumbuh. Walaupun Persetujuan TRIPs hanya mengatur

masalah pidana bagi Merek dan Hak Cipta akan tetapi Negara memiliki otoritas

untuk juga memperlakukan sistem pidana bagi jenis HKI lainnya. Teori makro ini

memiliki kemiripan dengan teori Robert M. Sherwood yaitu Economic Growth

Stimulus Theory yang memandang permasalahan HKI secara makro memiliki dampak

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Norma didalam Undang-Undang Paten,

Merek dan Desain Industri mensyaratkan adanya pencatatan lisensi pada Direktorat

Jenderal HKI.

Pencatatan lisensi ini dimaksudkan agar Pemerintah dapat meneliti

keabsahan perjanjian lisensi yang dilakukan para pihak, dimana bila di dalam

perjanjian lisensi tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi perekonomian Negara

maka Negara dapat menolak pencatatan lisensi yang demikian. Norma pencatatan

lisensi ini mendukung teori economic growth stimulus yang mendasarkan pentingnya 55

Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.

Page 39: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

32

perlindungan hukum diberikan atas karya intelektual penemu/pendesain/pemilik

Merek dimana perlindungan hukum yang memadai bukan saja akan meningkatkan

perekonomian pemegang hak akan tetapi juga meningkatkan perekonomian

nasional.

Teori risk dalam penerapan norma peraturan bidang HKI, khususnya

pemberian perlindungan hukum bahkan penegakan hukum yang lebih baik karena

menyadari karya-karya intelektual ini memiliki potensi ekonomi yang besar sehingga

rentan bagi para pelanggar hukum untuk melakukan peniruan demi memperoleh

keuntungan dengan cara yang singkat. Diperlukan pengaturan yang lebih lengkap

mengenai masalah injunction (penetapan sementara) yang intinya kecepatan

bertindak agar barang tiruan dapat dihentikan sebelum beredar di masyarakat.

Disamping itu untuk meningkatkan efek jera para pelanggar Merek khususnya Merek

untuk jenis obat-obatan maka sifat delik nya berubah menjadi delik biasa dengan

ancaman pidana yang lebih tinggi.

Di bidang Desain Industri diperlukan norma yang lebih terinci mengatur

masalah dalam penerimaan proses pendaftaran Desain termasuk kewajiban untuk

melakukan pemeriksaan substantif meskipun tidak ada oposisi sebagaimana

disyaratkan dalam ketentuan terdahulu. Dengan demikian tidak ada lagi desain yang

mestinya tidak baru dapat diberikan sertifikat. Sehingga akan membawa pengaruh

positif bagi masyarakat untuk tidak mendaftarkan desain yang bukan miliknya atau

tidak baru lagi, serta makin menggairahkan keinginan untuk berkreasi karena

diberikannya perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam penerimaan

permohonan desain.

Page 40: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

33

C. Kajian terhadap praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta Permasalahan

yang dihadapi masyarakat

Sistem Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak privat (private rights) dan

hal ini diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects of Industrial Property Rights

atau Persetujuan TRIPs yang menyatakan “recognizing that intellectual property

rights are private rights”.56

Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan

terhadap pengaturan di bidang HKI. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan

pengaturan HKI sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO.57 Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai

anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPs, sebagai konsekuensinya

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi atau traktat-traktat

internasional di bidang HKI pada tanggal 7 Mei 1997.58

Indonesia meratifikasi konvensi pembentukan World Intellectual Property

Organization (WIPO) pada tahun 1979 dan kemudian pada tahun 1997 diperbaharui

melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan

Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for the

Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual

Property Organization. Konvensi Paris merupakan konvensi pertama yang mengatur

56

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. 57

Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001. 58

Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999).

Page 41: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

34

HKI yang meliputi Paten, Merek, dan Desain Industri. Konvensi tersebut memuat tiga

bagian penting, yaitu:

1. Ketentuan pokok mengenai prosedur, antara lain prosedur menjadi anggota Uni

(Paris).

2. Prinsip-prinsip yang menjadi pedoman wajib Negara anggota Uni, antara lain

national treatment, most favoured nation, dan independent protection.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai materi Hak Kekayaan Industri yang meliputi

Paten, Merek, dan Desain Industri, antara lain hak prioritas dalam permohonan

Paten, Merek, dan Desain Industri, Lisensi Wajib pada Paten, dan sebagainya.

Masalah penyelesaian sengketa di bidang HKI memerlukan badan

peradilan khusus karena bidang HKI terkait erat dengan perekonomian dan

perdagangan. Perkara-perkara perdata di bidang HKI (kecuali bagi Rahasia Dagang

dimana merupakan kewenangan Pengadilan Negeri) menjadi kewenangan

Pengadilan Niaga, oleh karena itu perkara-perkara di bidang HKI harus diselesaikan

dalam waktu yang relatif cepat.

Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa atau ketentuan tentang

Arbitrase59 juga terdapat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten,

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 30

Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Selain itu pada ketiga Undang-Undang tersebut

terdapat ketentuan yang memberikan upaya kepada pemilik Paten, Merek dan

Desain Industri, untuk memohon kepada Pengadilan Niaga untuk diterbitkan

Penetapan Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar

terhadap pemilik pemilik Paten, Merek dan Desain Industri. Penetapan Sementara 59

Pada tanggal 21 April 2011 telah dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI)

Page 42: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

35

Pengadilan ini merupakan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia, yaitu

penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada perkara pokok, hal ini untuk

memenuhi standar ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs, khususnya

Pasal 44.

1. Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Penerapan Undang-Undang Paten di Indonesia bukan saja sejak Indonesia

menjadi anggota Organisasi perdagangan Dunia atau World Trade Organization,

namun jauh sebelumnya Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Paten yakni

sejak masa penjajahan Belanda, yaitu melalui Reglement Industriele Eigendom 1912

yang mengesahkan pelaksanaan Paten, Merek dan Desain Industri yang mengacu

pada peraturan-peraturan yang serupa yang terjadi di Belanda. Sebelumnya juga

disahkan Octrooi Wet 1910 Nomor 136 yang mengatur mengenai Paten yang mulai

berlaku di Indonesia sejak 1 Juli 1912.60 Selanjutnya setelah Indonesia merdeka dan

berdaulat, ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan lagi, berhubung

proses permintaan Paten harus dilakukan di Negeri Belanda. Sebagai gantinya,

pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1953, melalui Menteri

Kehakiman mengeluarkan Pengumuman Nomor J.S.5/4114 Berita Negara Tahun

1953 Nomor 69 Tentang Permohonan Sementara Pendaftaran.61 Berdasarkan

pengumuman tersebut, untuk sementara Kementerian Kehakiman diperkenankan

menerima permintaan Paten dalam bahasa asing dengan keharusan dalam waktu

enam (6) bulan sudah disusulkan terjemahannya. Permintaan Paten tersebut baru

akan diproses setelah diberlakukannya Undang-Undang yang baru. Pengumuman ini

60

Rachmadi usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 190. 61

Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual, Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1990), hal. 9.

Page 43: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

36

disusul lagi dengan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 yang

memungkinkan permintaan Paten dari luar negeri didaftarkan pula di Indonesia.62

Pengaturan mengenai Paten di Indonesia untuk pertama kalinya

diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1989, yaitu Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3398), yang berlaku pada tanggal 1 Agustus

1991. Bahwa pengundangan Undang-Undang Paten ini dimaksudkan sebagai langkah

awal dalam menciptakan suatu iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong

gairah atau semangat penemuan teknologi dan sekaligus didukung pula dengan

memberikan perlindungan hukum yang memadai.

Selanjutnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 ini direvisi dengan Undang-

Undang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6

tahun 1989 Tentang Paten yang berlaku sejak tanggal 7 Mei 1997. Pengaturan

tentang ketentuan paten ini kemudian mengalami perubahan yang menyeluruh,

yakni dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

(Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 109), Tambahan Lembaran Negara Nomor

4130), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan dimaksud adalah

untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan

makin tinggi kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi

yang sederhana, juga dimaksudkan untuk mengatur beberapa aspek atau ketentuan

dalam Persetujuan TRIPs yang belum diatur dalam Undang-Undang Paten tahun

1989.

62

Rachmadi Usman, op.cit. hal 191.

Page 44: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

37

Dalam pemberian Paten, tidak semua penemuan atau invensi akan

mendapatkannya. Untuk mendapatkan Paten suatu penemuan harus memiliki syarat

substantif tertentu yaitu “kebaruan” (novelty), bisa dipraktikkan dalam industri

(industrial applicability), mempunyai nilai langkah inventif (inventive step) dan juga

memenuhi syarat formal.

Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, yang dalam kerangka

ini termasuk dalam kategori Hak Kekayaan Industri (industrial property right). Hak

Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda, yaitu benda berwujud

(benda immaterial). Pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat

menjadi obyek hak. Sedangkan yang dapat menjadi obyek hak itu tidak hanya benda

berwujud tetapi juga benda tidak berwujud.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten

mengatur bahwa yang dimaksud Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh

Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama

waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan

persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi adalah ide

inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik

di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan

pengembangan produk atau proses. Dengan demikian, Paten adalah hak istimewa

(exclusive) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil penemuan

(invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau

proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk

mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri

melaksanakan hasil penemuannya.

Page 45: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

38

Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tentang Paten, jangka

waktu paten berlaku selama dua puluh (20) tahun terhitung sejak tanggal

penerimaan paten (filing date). Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten

dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Salah satu pertimbangan untuk pemberian hak atas Paten adalah untuk

memberi imbalan kepada si penemu atas usaha dan investasi yang telah ditanamkan

dalam penemuannya itu, maka jangka waktu berlakunya Paten itu penting karena

masa itu si Pemegang Paten dapat memanfaatkan hak khususnya dengan cara

memberikan lisensi atau izin khusus kepada seseorang atau badan hukum, bahwa

pihak yang diberi izin itu boleh membuat barang, cara kerja atau melakukan

perbuatan-perbuatan mengenai penemuan si Pemegang Paten, sedangkan bagi

pihak lain yang tidak diberi ijin tidak diperkenankan melakukan hal yang sama. Ia

hanya dapat melakukan hal yang sama bila Paten itu menjadi public domain setelah

jangka waktu Paten itu berakhir.

Lisensi Paten adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada

pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi

dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu

(Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001).

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur pula tentang

lisensi wajib, yaitu lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan

keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan satu

pihak (Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten).63 Ketentuan

lisensi wajib dikenal dalam Konvensi Paris Pasal 5 Act of London menyatakan dalam 63

Lihat juga Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal.142

Page 46: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

39

ayat (2), bahwa tiap negara anggota berhak untuk menentukan dalam perundang-

undangan nasionalnya bahwa penyalahgunaan hak Pemegang Paten ini, misalnya

karena tidak melakukan pelaksanaan Patennya dapat dihindarkan, antara lain

dengan memberikan lisensi wajib kepada pihak lain. Akan tetapi, ditentukan bahwa

pemberian lisensi wajib ini tidak boleh diadakan lebih cepat dari tiga (3) tahun

setelah hak Paten ini diberikan dan pihak Pemegang Paten tidak dapat memberikan

alasan yang sah mengapa ia tidak dapat menggunakannya.

Lisensi wajib hanya dapat terlaksana bila memenuhi kondisi dan syarat-

syarat tertentu, yaitu bila setelah lewat jangka waktu tiga (3) tahun terhitung sejak

tanggal pemberian Paten ternyata Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di

Indonesia oleh Pemegang Paten, padahal kesempatan untuk melaksanakan sendiri

secara komersial sepatutnya di tempuh. Selain kondisi di atas, lisensi wajib hanya

diberikan apabila:64

a. Pihak yang mengajukan permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang

meyakinkan bahwa ia:

1) mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang

bersangkutan secara penuh;

2) mempunyai fasilitas sendiri untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan

secepatnya; dan

3) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup

untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan

kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil.

64

Lihat Pasal 76 ayat (1) UU RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

Page 47: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

40

b. Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di

Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan

kepada sebagian besar masyarakat.

Paten dapat dilaksanakan oleh Pemerintah apabila Pemerintah

berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan

dan keamanan Negara serta adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk

kepentingan masyarakat. Paten yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah adalah

Paten di bidang farmasi atau obat-obatan. Untuk itu Pemerintah telah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan selanjutnya menerbitkan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten oleh

Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral untuk mengatasi kebutuhan yang

mendesak dalam upaya menanggulangi epidemi penyakit HIV/AIDS di Indonesia.

Bahwa pelaksanaan Paten oleh Pemerintah yang diatur dalam ketentuan

Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang

Paten adalah bukan pelanggaran terhadap hak eksklusif Pemegang Paten, tetapi

sejalan dengan tujuan dan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam rangka

mengakomodasi kebutuhan untuk memproteksi kesehatan masyarakat dan nutrisi

serta untuk mendahulukan kepentingan publik pada sektor yang vital dan untuk

kepentingan pengembangan teknologi yang terkait dengan ketentuan dalam Pasal 8

dan Pasal 31 Persetujuan TRIPs, ketentuan mana wajib diimplementasikan oleh

Pemerintah Indonesia sebagai negara yang turut mengesahkan Pembentukan WTO

serta menandatangani Perjanjian Pembentukan WTO beserta seluruh persetujuan

yang dijadikan lampiran (termasuk lampiran Persetujuan TRIPs) sesuai dengan

Page 48: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

41

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing

the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan

Dunia).

Deklarasi Doha telah memberikan mandat kepada Indonesia, suatu

kewenangan yang pasti dan fleksibilitas untuk secara cepat mengadopsi peraturan-

peraturan untuk pelaksanaan hak Lisensi Wajib dan memastikan bahwa peraturan-

peraturan ini dirancang untuk memaksimalkan manfaat dari fleksibilitas di bawah

Persetujuan TRIPs dan Undang-Undang Paten Indonesia.

Bahwa agar pelaksanaan Lisensi Wajib dapat berjalan dengan baik di

Indonesia, maka sudah selayaknya Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan

Pemerintah yang mengatur tentang Lisensi Wajib, sehingga semua pihak baik swasta

maupun pemerintah dapat memohon Lisensi Wajib kepada Direktorat Jenderal hak

Kekayaan Intelektual apabila membutuhkan Paten farmasi tertentu untuk

meningkatkan kesehatan masyarakat.

Dalam praktiknya setelah bertahun-tahun implementasi Undang-undang

Paten, sebagian materi dirasakan kurang memadai lagi sehingga perlu dilakukan

revisi atau perubahan. Adapun permasalahan yang perlu dilakukan revisi yaitu

mengenai prosedur administrasi dan pendaftaran, rumusan pasal-pasal agar tidak

menimbulkan multi tafsir, masalah Lisensi Wajib dalam pengadaan produk farmasi

untuk kesehatan masyarakat, pengungkapan dalam permohonan Paten tentang

sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya genetik dari

masyarakat lokal, dan rumusan mengenai impor paralel. Mengenai penegakan

hukum antara lain tidak hanya dibatasi pada masalah substantif sehubungan dengan

penolakan permohonan Paten yang dapat diajukan ke Komisi Banding Paten,

Page 49: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

42

melainkan dapat mencakup pula masalah-masalah administratif dan pembatalan

Paten (substansi) dan perlu dilakukannya penyempurnaan peraturan penetapan

sementara pengadilan agar dapat dilaksanakan dan/atau dapat berfungsi

sebagaimana seharusnya.

Penyempurnaan beberapa ketentuan yang kurang mendukung proses

penyelesaian permohonan Paten dan mengakomodasi perkembangan perlindungan

Paten dan penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang dirasakan kurang mendukung

serta penyempurnaan beberapa rumusan pasal yang belum sesuai selama ini dalam

proses administrasi pemberian perlindungan Paten. Penyempurnaan terhadap

rumusan mengenai ketentuan impor atas produk farmasi atau yang lazim dikenal

dengan Parallel import tidak saja dikecualikan dari tuntutan pidana, tetapi juga

pengecualian terhadap gugatan perdata. Demikian pula halnya dengan penggunaan

Paten 2 (dua) tahun sebelum masa perlindungan Paten berakhir untuk tujuan

memperoleh ijin pemasaran yang lazim dikenal dengan istilah Bolar Provision.

Praktik implementasi Undang-undang Paten yang telah berlaku di

Indonesia sejak tahun 2001, namun dalam rentang waktu 10 tahun ini, keberadaan

Undang-Undang Paten tersebut, dirasakan sudah tidak mampu lagi mengayomi

permasalahan yang timbul dan berkembang di masyarakat.

Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan

perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah:

a) Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing).

Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk

penataan sistem pendaftaran paten yang bersifat regional, namun belum

diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, sebab Pasal 20

Page 50: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

43

menyebutkan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai ketentuan Pasal

24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal.

Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain seperti surat kuasa

(jika dikuasakan), dan uraian mengenai invensi yang dipatenkan.

b) Paten yang berasal dari sumber daya genetik harus memberi manfaat bagi

masyarakat di lingkungan dimana sumberdaya genetik tersebut berasal, artinya

menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi pemilik sumber daya genetik (benefit

sharing).

c) Perkembangan TRIPs khusus amandemen Article 31 bis huruf f, yang mengatur

tentang Lisensi Wajib.

d) Penambahan substansi untuk komisi banding Paten, yaitu masalah administratif

dan pembatalan paten.

Penetapan sementara Pengadilan yang lazim dikenal dengan Injunction

berasal dari sistem hukum Amerika Anglo Saxon yang berlainan dengan sistem Eropa

Continental yang merupakan sumber hukum Indonesia, dan Persertujuan TRIPs telah

mengaturnya dalam Pasal 44. Walaupun ketentuan mengenai penetapan sementara

Pengadilan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang

Paten maupun Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, namun sampai

saat ini belum dapat diterapkan karena hukum acaranya belum diterbitkan. Dalam

hukum acara perdata yang berlaku saat ini tidak dikenal mengenai penetapan

sementara, yang ada adalah putusan Sela yang diajukan bersama dengan gugatan,

sehingga perlu dirumuskan hukum acaranya yang lebih lengkap agar ketentuan

tersebut dapat berjalan, yang pengaturannya meliputi tata cara permohonan, bentuk

keputusan, penetapan besarnya jaminan dan sebagainya.

Page 51: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

44

Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama dibidang

teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan

manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi

telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui

mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan, kemajuan tersebut

mengharuskan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat mengakomodasi

permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal

mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak Negara. Diharapkan

Indonesia pun dapat menerima pendaftaran Paten melalui elektronik dan hal ini

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

2. Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Pendaftaran Merek merupakan hal yang sangat penting dalam rangka

memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas Merek. Pendaftaran

Merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin adanya

kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem

pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan keselarasan jaminan

keadilan dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan

bukan oleh pemilik Merek yang sebenarnya.

Mengacu pada Undang-Undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang

dimaksud dengan merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang

Page 52: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

45

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau

jasa.65

Hak eksklusif Merek diberikan oleh Negara melalui peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Tentang Merek, yaitu “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh

Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk

jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau

memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Penggunaan istilah Hak

Eksklusif dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sejalan

dengan makna Article 16 ayat (1) Persetujuan TRIPs, yaitu:

“The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having his consent from using in the course or trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion.”

Beberapa dari ketentuan-ketentuan pokok Persetujuan TRIPs memerlukan

perhatian sehubungan dengan bidang pengaturan tentang Merek. Perlindungan

terhadap Merek Terkenal merupakan ketentuan penting yang diatur dalam Undang-

Undang Merek maupun secara internasional, yaitu dalam Konvensi Paris maupun

Persetujuan TRIPs. Adapun dasar pertimbangannya adalah bahwa peniruan Merek

Terkenal milik orang lain dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil

kesempatan dari ketenaran Merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat

perlindungan hukum.66

65

Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, LN No. 110, TLN, No. 4113, Pasal 1, ”merek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini meliputi merek dagang, merek jasa dan merek kolektif.” 66

Lisbon, Paris Convention for the Protection of Industrial Property, 1883, Article 6bis (1): “The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permnits, or at the request of an interested party, to refuse or

Page 53: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

46

Pengaturan tentang Merek Terkenal terdapat pada Pasal 15 ayat (1)

Persetujuan TRIPs yang berbunyi sebagai berikut:

‘’Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademarks. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” 67

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs di atas, Merek

didefinisikan sebagai setiap tanda atau kombinasi dari beberapa tanda yang

membedakan barang dan jasa yang digunakan suatu usaha dengan usaha yang

lainnya. Tanda-tanda tersebut, terutama berupa kata-kata yang termasuk nama

pribadi, huruf, angka, lambang dan gabungan warna, serta gabungan dari tanda-

tanda yang memenuhi syarat untuk dapat didaftarkan sebagai Merek. Hal terpenting

dalam mendefinisikan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)

Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”. Menurut

Persetujuan TRIPs, pembedaan (sering kali disebut dengan “daya pembeda”) adalah

satu-satunya syarat substantif bagi perlindungan Merek, dimana adanya suatu

penolakan terhadap pendaftaran suatu Merek menurut Pasal 15 ayat (1) Persetujuan

TRIPs adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda.

to cancel the registration, and to prohibit the use, of trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.” 67

Marrakesh, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, 1994, Article 15 (1).

Page 54: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

47

Dalam Pasal 16 ayat (2) Persetujuan TRIPs dikatakan bahwa untuk

menentukan apakah suatu Merek adalah Merek Terkenal, maka pengetahuan dari

masyarakat konsumen pemakai Merek tersebut harus dipertimbangkan, termasuk

pengetahuan yang diperoleh dari anggota negara sebagai hasil promosi dari Merek

tersebut. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, terdapat pula

mekanisme pemeriksaan substantif yang dilakukan setelah permohonan dinyatakan

memenuhi syarat administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah

selesainya masa pengumuman suatu permohonan atas Merek. Perubahan ini

dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut

disetujui atau ditolak dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan

keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Pemeriksaan

substantif diikuti dengan proses pengumuman yang dilaksanakan selama tiga (3)

bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang

Merek lama. Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara

keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu proses dikabulkannya permohonan

atas Merek tersebut.

Berkaitan dengan penolakan suatu permohonan atas pendaftaran suatu

Merek, pada Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur

mengenai permohonan pendaftaran Merek yang harus ditolak oleh Direktorat

Jenderal HKI, apabila Merek tersebut:

1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek

pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang

sejenis; Persamaan pada pokoknya di sini adalah kemiripan yang disebabkan

oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan Merek

Page 55: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

48

yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai

bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur

ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Merek-merek tersebut

yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat pula diberlakukan terhadap barang dan

atau jasa yang tidak sejenis, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang

akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek

yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis.

Pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa untuk menentukan

terkenalnya suatu Merek harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha

yang bersangkutan.

b. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan

besar-besaran.

c. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan

d. Disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara.

3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi

geografis yang sudah dikenal.

Permohonan pendaftaran Merek juga harus ditolak oleh Direktorat

Jenderal HKI, apabila Merek tersebut:

1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan

hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek

yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.

Page 56: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

49

2. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,

lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional (termasuk

organisasi masyarakat ataupun organisasi politik maupun international; kecuali

atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Alasan untuk melarang

pemakaian dari tanda-tanda resmi kenegaraan/pemerintah, atau badan-badan

internasional maupun badan resmi nasional ialah karena pemakaian itu akan

memberi kesan yang keliru bagi khalayak ramai. Seolah-olah Merek itu memang

ada hubungannya dengan pemerintah atau badan-badan internasional maupun

badan resmi dari pemerintah itu. Oleh karena itu tidak dapat diperkenankan

pemakaian dari tanda-tanda yang bersangkutan untuk menghindarkan salah

paham dan kekeliruan.

3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang

digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan

tertulis dari pihak yang berwenang.

4. Perlindungan Indikasi Geografis.

Pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur pula

perlindungan bagi Indikasi Geografis dan mengenai Indikasi Asal. Indikasi Geografis

adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang yang dikaitkan dengan

kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang

tersebut.68 Hal yang membedakan antara Indikasi Geografis dan Indikasi Asal adalah

bagi Indikasi Asal tidak diperlukan adanya pendaftaran terlebih dahulu, karena

Indikasi Asal semata-mata hanya menunjukkan asal suatu barang atau jasa saja,

68

Tim Lindsey, ed., Hak kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet. 4 (Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 139-140

Page 57: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

50

sedangkan Indikasi Geografis wajib didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan

perlindungan.69

Memperhatikan pokok-pokok pengaturan dalam Undang-undang Merek

maka diperlukan adanya perubahan yang pada prinsipnya untuk lebih meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Dalam hal ini, proses pendaftaran

Merek menjadi lebih singkat dan lebih menjamin kepastian hukum. Bahwa

Rancangan Undang-undang Merek yang baru ini tetap menganut prinsip first to file

sebagaimana yang dianut selama ini. Dengan demikian sistem konstitutif tetap

dipertahankan karena sistem itulah yang dirasakan dapat lebih memberikan

kepastian hukum dan dianut oleh banyak negara di dunia. Adanya perubahan dalam

mekanisme pemberian hak atas Merek dan penegakan hukumnya, adalah dalam

rangka untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat yang selama ini

dirasakan masih kurang memadai.

Indonesia telah pula meratifikasi Trademark Law Treaty pada tanggal 7

Mei 1997 yang tujuannya adalah menyederhanakan prosedur pendaftaran merek.

Permasalahan dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek juga

berkaitan dengan aspek substansi, prosedural dan penegakan hukum. Proses

pendaftaran merek selayaknya dapat dipermudah, bisa diajukan melalui jasa pos,

online system, agar dapat menghemat biaya dan mampu membantu usaha kecil dan

menengah, serta memperbanyak jumlah pendaftaran Merek. Tentu saja

permohonan secara konvensional dengan mengunjungi kantor Ditjen HKI.

Dalam Undang-undang Merek terdapat ketentuan mengenai lisensi.

Perjanjian lisensi kerap kali bersinggungan atau dapat melanggar tindakan yang

69

Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, op.cit., Pasal 59.

Page 58: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

51

diatur dalam Undang-undang Antimonopoli; oleh karena itu, ketentuan-ketentuan

tentang lisensi harus diperjelas. Mengenai Madrid Protokol, apakah sudah saatnya

Indonesia meratifikasi Madrid Protocol padahal pelaksanaan Trademark Law Treaty

saja belum berjalan secara efektif. Ketentuan mengenai jangka waktu penyelesaian

gugatan penghapusan, pembatalan, atau gugatan ganti rugi selayaknya diatur secara

jelas dan tegas. Pengecualian mengenai jangka waktu penyelesaian di Pengadilan

Niaga dapat saja diatur apabila pihak Tergugat berada di luar negeri. Atau jangka

waktu selama 90 hari itu dihitung dari dimulainya awal persidangan setelah para

pihak dipanggil secara patut, atau para pihak hadir dalam persidangan. Selama ini

penyelesaian jangka waktu selama 90 hari kadang-kadang tidak dapat dilaksanakan

karena pihak tergugat tidak diketahui alamatnya, atau berada di luar negeri.

Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 masih menggunakan definisi

merek yang sama, yaitu Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-

huruf, angka-angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur

tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan

barang dan jasa. Padahal telah ada beberapa Negara yang mengembangkan definisi

merek yang memberikan perlindungan pula terhadap Merek dalam bentuk “tiga

dimensi atau kemasan” (misalnya: di Jepang, Korea) dan bahkan aroma pun

(misalnya di Inggris) dapat didaftarkan sebagai Merek. Salah satu pertimbangan

mengapa perlindungan Merek menjadi berkembang adalah untuk memberikan

perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pemilik Merek dan konsumen, serta

mengatasi persaingan curang yang semakin bervariatif tindakannya. Selain itu juga,

inti dari perlindungan Merek adalah karena “adanya daya pembeda” dan selama

Page 59: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

52

merek yang berupa “tiga dimensi, kemasan atau aroma” itu memiliki daya beda,

maka dapat didaftarkan.

Proses permohonan banding dan jangka waktu pengajuan banding telah

diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan

menyatakan bahwa Komisi Banding Merek akan memberikan keputusan menerima

atau menolak permohonan banding dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal

penerimaan permohonan banding. Ternyata, peraturan yang secara jelas tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek juga belum dapat

dilaksanakan secara teguh oleh Komisi Banding Merek (KBM).

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang

Merek, bahwa putusan atas gugatan dilakukan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari

setelah gugatan didaftarkan, pada umumnya dapat diselesaikan oleh Pengadilan

Niaga. Jangka waktu itu diperpanjang apabila tergugat berada di luar negeri. Untuk

mengantisipasi masalah ini maka dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang Merek perlu ditambah pasal baru dengan menyatakan bahwa jangka

waktu itu dilaksanakan setelah sidang I (tingkat pertama) dimulai. Begitu juga jangka

waktu penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung atas permohonan kasasi yang

seharusnya dapat diucapkan paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi diterima

Mahkamah Agung, ternyata ketentuan itu sulit dilaksanakan secara teguh oleh

Mahkamah Agung.

3. Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Dengan telah diratifikasinya Persetujuan TRIPs oleh Pemerintah Indonesia,

pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang

Page 60: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

53

Desain Industri pada tanggal 20 Desember 200070 dengan pertimbangan untuk

memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan

internasional, sehingga dirasakan perlu untuk menciptakan iklim yang mendorong

kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Desain Industri sebagai bagian dari sistem

Hak Kekayaan Industri dan juga didorong pula oleh kekayaan budaya bangsa dan

etnis bangsa yang sangat beraneka ragam yang merupakan sumber pengembangan

Desain Industri nasional.71

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai Desain Industri

sebenarnya terdapat unsur perlindungan yang tidak terlepas dari Hak Cipta. Pada

awalnya pengaturan Desain Industri tidak dipisahkan dengan bidang Hak Cipta.

Desain Industri dianggap sebagai ciptaan keahlian dalam bidang artistik atau paling

tidak adalah bagian dari seni terapan (applied art). Hal ini dapat terjadi karena latar

belakang materi dan obyek dari Desain Industri itu sendiri yang tidak bisa terlepas

dari kerja cipta manusia yang pengaturannya secara tegas diatur melalui ketentuan

Hak Cipta, seperti misalnya seni lukis, seni patung dan seni rupa lainnya. Hal ini kita

lihat dari wujud Desain Industri itu sendiri yang memang tidak terlepas dari langkah

menggambar dan membentuk model72, sehingga dalam praktik di Indonesia pun

sebelum berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri,

permohonan pendaftaran produk-produk yang sesungguhnya masuk dalam bidang

70

Pemerintah Indonesia pernah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi desain industri melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. Namun demikian, perlindungan terhadap desain industri berdasarkan Undang-Undang Perindustrian tersebut tidak terlaksana karena peraturan pelaksanaannya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 17 Undang-Undang Perindustrian belum diterbitkan. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008, hal. 37. 71

Indonesia, Undang-Undang Tentang Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000, Lembaran Negara No. 243 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara No. 4045, bagian pertimbangan butir a dan b. 72

Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, cet. 3 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 212.

Page 61: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

54

Desain Industri diterima oleh Direktorat Jenderal HKI dengan menggunakan sistem

perlindungan Hak Cipta.73

Perlindungan Desain Industri selain dilindungi oleh Undang-Undang dalam

negara masing-masing, secara internasional perlindungan atas Desain Industri diatur

dalam:

1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property of 1883

2. The Hague Agreement Concerning the International Classification for Industrial

Designs of 1925

3. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial

Designs of 1968

4. TRIPs Agreement under the World Trade Organization Agreement

The Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial

Designs adalah persetujuan internasional yang mengatur tentang Desain Industri

yang disepakati pada tanggal 6 November 1925 di Den Haag. Persetujuan ini

dinamakan pula dengan Persetujuan Den Haag yang berisikan beberapa kesepakatan

yang menyangkut Desain Industri, yakni London Act 1934, The Hague Act 1960,

Additional Act of Monaco 1961, Complementary Act of Stockholm 1967 dan Protocol

of Geneva 1975.74

Selain tercantum dalam The Hague Agreement Concerning the

International Deposit of Industrial Designs, ketentuan mengenai Desain Industri juga

tercantum dalam Part II, Section 4 Persetujuan TRIPs, yaitu tentang Standards

Concerning the Availability, Scope and Use of Intellectual Property Rights dalam

73

Lihat Pasal 2 butir 7 Konvensi Bern – “Works of applied art and industrial designs” 74

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 414.

Page 62: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

55

Pasal 25 dan Pasal 26. Pasal 25 Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights) tentang Requirements for Protection

menyatakan bahwa:

“(a) Member shall provide for the protection of independently industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations

(b) Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain

Industri, dalam prakteknya terdapat berbagai permasalahan sehubungan dengan

substansi, implementasi dan penegakan hukum antara lain:

Ditinjau dari segi substansi kelemahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

tentang Desain Industri adalah sebagai berikut:

1. Sistem perlindungan Desain Industri menganut sistem konstitutif, yaitu untuk

memperoleh perlindungan Desain Industri, Desain Industri tersebut harus

dimohonkan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum

dan HAM. Perlindungan atau hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri

yang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31

Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Desain

Industri menyatakan bahwa hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang

diberikan Negara kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu

tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak

Page 63: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

56

lain untuk melaksanakan hak tersebut.75 Hak Desain Industri diberikan atas dasar

permohonan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Desain Industri, dan pihak

yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai Pemegang

Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 12). Konsekuensi

yuridis dari tidak efektifnya ketentuan Pasal 10 jo Pasal 12 yang mengatur

perihal pendaftaran hak (first to file ) yaitu tidak dilakukannya pendaftaran hak

atas karya Desain Industri oleh Pendesainnya berakibat Pendesain tidak

mendapat perlindungan hukum dan secara yuridis tidak berhak atas karya

desainnya. Dengan didaftarnya Desain Industri, Pemegang Hak Desain Industri

mempunyai hak dan kewajiban tertentu.

2. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Desain Industri menentukan lingkup hak Desain

Industri, bahwa Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk

melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang

lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor,

mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri. Hak

eksklusif tersebut diberikan kepada Pemegang Hak Desain Industri untuk dalam

jangka waktu sepuluh (10) tahun melaksanakan sendiri atau memberikan izin

kepada pihak lain untuk melaksanakan hak Desain Industri yang dimilikinya.

Dengan demikian, pihak lain dilarang melaksanakan hak Desain Industri tersebut

tanpa persetujuan pemegangnya. Namun Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang

Desain Industri menyatakan bahwa khusus pemakaian Desain Industri untuk

kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan

75

Ibid

Page 64: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

57

yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri dapat dikecualikan dari lingkup

hak Desain Industri tersebut.

3. Publikasi permohonan pendaftaran Desain Industri dalam masa publikasi selama

3 (tiga) bulan itu dapat dilakukan secara nasional dan dapat diakses sehingga

dapat memberikan kesempatan bagi siapa saja melakukan pemantauan atau

pengawasan apakah permohonan Desain Industri itu memiliki “kebaruan” atau

tidak, dan apakah permohonan Desain Industri perlu dilakukan

oposisi/keberatan atau tidak. Dengan tindakan itu akan dapat dicegah atau

dikurangi kemungkinan pendaftaran Desain-desain Industri yang sebenarnya

tidak memiliki “kebaruan”, dan dapat dicegah kemungkinan sengketa Desain

Industri yang berupa pembatalan Desain Industri, dan atau tindakan

pelanggaran baik pidana atau perdata.

4. Masalah “kebaruan” atau “novelty” menjadi salah satu pertimbangan dalam

pemberian hak Desain Industri. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam

Undang-undang Hak Cipta yang menggunakan azas “orisinalitas” atau

“originality” dalam pemberian haknya.76 “Kebaruan” Desain Industri tidak diakui

apabila pemilik Desain Industri tersebut telah membuat dan memakainya

sebelum pendaftaran diajukan pada Direktorat Jenderal HKI. Penelusuran

terhadap Desain Industri yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan

permohonan menjadi langkah awal dalam pemeriksaan “kebaruan” Desain

Industri. Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tidak terlepas dari definisi

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Desain

Industri, yaitu: 76

Andrieansjah Soeparman, “Jenis Permohonan, Penilaian Kebaruan, dan Penggunaan Hak Desain Industri di Indonesia”, Media HKI Vol. IV/No. 5/Oktober 2007 hal. 7

Page 65: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

58

“Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.”

5. Selanjutnya dalam Pasal 12 ditentukan bahwa pihak yang untuk pertama kalinya

mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang hak Desain Industri,

kecuali jika terbukti sebaliknya. “Kecuali jika terbukti sebaliknya” adalah

ketentuan yang merupakan pengejawantahan dari prinsip itikad baik yang

dianut dalam sistem hukum Indonesia. Hakikat dari bunyi Pasal 12 Undang-

Undang Desain Industri tersebut bahwa hak atas Desain Industri tersebut hanya

bersifat anggapan hukum yang setiap saat dapat digugat pembatalannya apabila

terdapat indikasi bahwa Desain Industri tersebut tidak baru. Unsur kreasi yang

memberikan kesan estetis dan produk harus dipakai dalam mempertimbangkan

“kebaruan” Desain Industri. Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs menentukan

bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan dengan

pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain sebelumnya

“…not new if they do not significantly differ from known design or combination

of known design features …”. Pasal 25 Persetujuan TRIPs tersebut mengatur

mengenai persyaratan untuk perlindungan Desain Industri. Desain Industri yang

dapat diberikan perlindungan hanyalah Desain Industri yang baru (novel). Suatu

Desain Industri dikatakan tidak baru bila desain yang bersangkutan tidak

berbeda dari desain lain yang telah dikenal atau kombinasi beberapa desain

yang telah dikenal. Selain itu, masing-masing negara anggota WTO diberikan hak

atau dapat menetapkan sendiri bahwa perlindungan Desain Industri yang

Page 66: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

59

diberikan tidak mencakup desain yang pemakaiannya terkait dengan aspek

teknis atau fungsional. Negara-negara anggota WTO juga diwajibkan menjamin

persyaratan untuk memperoleh perlindungan terhadap desain tekstil, terutama

dalam kaitannya dengan biaya, pemeriksaan atau pengumuman tidak

menghambat secara tidak wajar kesempatan untuk memperoleh perlindungan.

Pasal 25 ayat (2) Persetujuan TRIPs mengatur masalah perlindungan produk

tekstil yang juga harus mendapatkan perlindungan baik melalui Undang-Undang

Desain Industri maupun Undang-undang Hak Cipta, sebagaimana berikut ini:

“Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) tersebut, Undang-undang

Desain Industri telah menerapkan ketentuan yaitu memberikan perlindungan

terhadap Desain Industri yang berbentuk dua dimensi termasuk memberikan

pula perlindungan tekstil melalui Hak Cipta. Pada Pasal 26 ayat (1) Persetujuan

TRIPs diatur ketentuan mengenai perlindungan terhadap pemegang hak desain,

yaitu bahwa:

“The owner of a protected industrial design shall have the right to prevent third parties not having the owner’s consent from making, selling or importing articles bearing or embodying a design which is a copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes.”

Menurut Pasal 26 Persetujuan TRIPs, pemilik suatu Desain Industri yang

dilindungi mempunyai hak untuk melarang pihak ketiga yang tidak memperoleh

izin darinya untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung

Page 67: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

60

atau memuat desain yang merupakan tiruan, atau secara pokok merupakan

tiruan dari desain yang dilindungi apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan

untuk tujuan komersial. Pasal ini juga memberikan kebebasan kepada negara-

negara anggota WTO untuk menetapkan pengecualian secara terbatas terhadap

perlindungan yang diberikan terhadap Desain Industri dengan syarat sepanjang

pengecualian dimaksud tidak bertentangan secara tidak wajar dengan tata cara

pemanfaatan secara normal atas Desain Industri yang dilindungi dan tidak

mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah pemilik dari desain yang

dilindungi, dengan memperhatikan kepentingan yang sah dari pihak ketiga.

Lamanya perlindungan menurut pasal ini adalah tidak kurang dari 10 (sepuluh)

tahun.

Pasal 26 Persetujuan TRIPs tersebut di atas mengatur mengenai ruang

termasuk dalam ruang lingkup Hak Cipta. Pasal 2 dan 3 Konvensi Paris memuat

prinsip perlakuan sama (national treatment).77 Prinsip national treatment juga

berlaku bagi Desain Industri. Berdasarkan prinsip ini yang mendapatkan

perlindungan adalah subyek hukum, yaitu Pendesain, dimanapun ia berada

asalkan di salah satu Negara Konvensi, ia berhak mendapatkan perlindungan

hukum atas desain-desainnya. Dalam hal pendesain bukan warga Negara dari

suatu Negara anggota Konvensi, namun apabila mempunyai usaha di salah satu

77

Lihat Part 1 Article 3 Persetujuan TRIPs. Penjelasannya dikutip dari Pusat Kajian APEC Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Pemberlakuan Persetujuan Multilateral Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dan Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia (Jakarta: 2000).

Page 68: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

61

Negara anggota Konvensi, Pendesain tetap berhak untuk mendapatkan

perlindungan atas desain-desainnya tersebut.78

6. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Desain Industri ditentukan bahwa

dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap Permohonan hingga berakhirnya

jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan

memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut. Dengan tidak diperiksanya

permohonan karena tidak ada keberatan yang diajukan, maka tidak dapat

diketahui “kebaruan” dari Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya.

Pemberian hak Desain Industri tanpa melalui mekanisme proses pemeriksaan

substantif apabila tidak ada keberatan dari pihak lain berpotensi menimbulkan

masalah, sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Desain

Industri, yaitu:

“Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.”

Desain Industri yang mendapat perlindungan diberikan untuk Desain

Industri yang “baru”. Desain Industri dianggap “baru” apabila pada Tanggal

Penerimaan, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada

sebelumnya. Maksud pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain

Industri yang sebelum Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas apabila

78

Introduction to Intellectual Property, Theory and Practice, (London: Kluwer Law International, 1998), hal. 361-352.

Page 69: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

62

permohonan diajukan dengan hak prioritas, telah diumumkan atau digunakan di

Indonesia atau di luar Indonesia.

7. Permasalahan selanjutnya yaitu ketentuan Pasal 28 Undang-undang Desain

Industri yang menyatakan apabila terdapat permohonan yang ditolak, maka

pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan tersebut kepada

Direktorat Jenderal HKI. Dalam prakteknya, keberatan tersebut biasanya akan

dikembalikan kepada pemeriksa yang bersangkutan yang kemudian menentukan

dapat atau tidaknya permohonan keberatan tersebut diterima atau tetap

ditolak. Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena pemeriksaan

dilakukan bukan oleh lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior

sebagaimana halnya Komisi Banding yang diatur dalam Undang-undang Paten

maupun Undang-undang Merek.

Secara prosedur administrasi dan substantif, kelemahan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri adalah sebagai berikut:

1. Sistem pemeriksaan “kebaruan” yang tidak komprehensif, dimana Desain

Industri hanya diperiksa jika ada oposisi. Hal ini telah menjadi salah satu

permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain Industri.

Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap

permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pemohon dapat menerima

sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak

kasus di bidang Desain Industri. Kelemahan substansi dari Undang-Undang

Desain Industri ini dalam prakteknya membuka peluang dan banyak

dimanfaatkan oleh para pemohon yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja

mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”.

Page 70: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

63

2. Prosedur pendaftaran yang kurang praktis dan waktunya terlalu panjang.

3. Prosedur dan administrasi belum disesuaikan dengan sistem pendaftaran Desain

Industri internasional (Hague Agreement – Geneva Act 1999).

4. Pengaturan jabatan fungsional Pemeriksa Desain Industri kurang optimal bagi

pemohon untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan oleh Ditjen HKI,

dalam hal ini pemeriksa Desain Industri yang bersangkutan, karena tidak

dibentuk wadah khusus untuk menampung hal tersebut, seperti Komisi Banding.

Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena dilakukan bukan oleh

lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior sebagaimana halnya

Komisi Banding yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

Tentang Paten maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement

dan Geneva Act sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah

menerapkan klasifikasi Desain Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno

Agreement dalam pemeriksaan permohonan Desain Industri.

Sistem perlindungan hak Desain Industri menurut Undang-Undang Desain

Industri masih terdapat banyak kelemahan dalam prakteknya antara lain sebagai

berikut:

1. Sistem perlindungan Desain Industri yang diterapkan dalam Undang-Undang

Desain Industri ini secara eksplisit hanya mensyaratkan “kebaruan‟ saja tanpa

persyaratan keaslian atau originality.

2. Undang-Undang Desain Industri mengatur bahwa suatu perlindungan terhadap

suatu Desain Industri diberikan terhadap Desain Industri yang baru, dimana

Page 71: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

64

pengertian baru adalah ketika suatu Desain Industri dimohonkan

pendaftarannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Desain Industri tersebut

tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. ”Kebaruan”

Desain Industri tidak diakui apabila si pemilik Desain Industri tersebut telah

membuat dan memakainya sebelum pendaftaran diajukan pada Ditjen HKI.

Beberapa isu terkait tentang “ketidakbaruan” diantaranya:

3. Tidak memiliki “kebaruan” karena sudah diproduksi oleh beberapa pihak

perusahaan yang berasal dari Indonesia maupun yang diproduksi di luar negeri,

sehingga sudah diketahui oleh umum.

4. Ada ”itikad tidak baik” sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak

memiliki ”kebaruan”, sudah diketahui oleh umum atau sudah beredar dalam

lingkungan bisnis serupa.

Kelemahan yang timbul dalam Undang-Undang Desain Industri dalam hal

penegakan hak atau hukum dapat adalah sebagai berikut:

1. Belum ada tata cara dan perhitungan ganti rugi dalam suatu perkara perdata

Desain Industri.

2. Tidak diatur secara jelas substansi seperti apa yang dianggap sebagai

pelanggaran hak (apakah identik atau ada kemiripan).

3. Belum diatur secara jelas mengenai penggunaan hak Desain Industri terkait

dengan jenis permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 (satu Desain

Industri, atau beberapa desain industri yang merupakan satu kesatuan) sehingga

memungkinkan batas hak yang tidak jelas.

Page 72: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

65

Ditinjau dari aspek substansi Undang-undang Desain Industri, masih

terdapat pasal-pasal yang mengandung kelemahan dalam implementasinya.

Kelemahan lainnya yang dapat mempengaruhi implementasi Undang-Undang Desain

Industri yaitu masih banyak peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Desain

Industri yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Keputusan Presiden Mengenai

Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden

Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan,

Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Pencatatan Perjanjian Lisensi

serta Permintaan lain-lain. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang telah disahkan

yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang merangkum mengenai

Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan, Permintaan

Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas Desain

Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, dan Pencatatan Pengalihan

Hak.

Permasalahan perlindungan hukum terhadap Desain Industri dalam

praktek bisnis di bidang kerajinan menjadi masalah tersendiri. Kondisi demikian

disebabkan oleh banyak faktor yang ada di masyarakat, diantaranya faktor yuridis

dan ekonomis. Secara yuridis dapat dikatakan bahwa terdapat banyak desain yang

dimiliki oleh Pendesain sekaligus pelaku usaha yang tidak didaftarkan, sehingga

mengakibatkan perlindungan hukum tidak optimal. Sebagai contoh adalah

masyarakat dari Usaha Kecil Menengah (UKM) belum sepenuhnya memahami

tentang pentingnya perlindungan hukum Desain Industri yang dihasilkan oleh UKM.

Sementara itu secara ekonomi ada kendala dari segi finansial pemilik desain untuk

Page 73: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

66

membiayai pendaftaran desain mereka. Sebagai contoh adalah UKM menganggap

bahwa pendaftaran Desain Industri memerlukan biaya yang mahal, proses

pendaftarannya tidak mudah dan memakan waktu yang lama 79.

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan

peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,

persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan dan penyebarluasan. Apabila dimungkinkan dilakukannya kompilasi

perubahan 3 (tiga) Undang-Undang Paten, Merek dan Desain Industri ke dalam satu

paket Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, maka akan memberi dampak efisiensi

dan penghematan terhadap keuangan Negara. Dengan menempatkan 3 perubahan

undang-undang menjadi satu naskah maka dapat dikatakan bahwa waktu yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan menjadi jauh lebih singkat.

Mengenai sengketa yang terjadi dalam prakteknya yang saling tumpang

tindih mengenai jenis-jenis HKI dalam mendefinisikan obyek HKI, contohnya adalah:

Desain Industri yang mendaftarkan desain dengan ornamen, atau gambar atau

warna dan huruf tertentu, misalkan: desain helm dengan menggunakan gambar

karakter Micky Mouse. Desain dua dimensi ini dapat saja tumpang tindih dengan

perlindungan terhadap merek/ciptaan pihak lain sehingga menimbulkan sengketa.

Contoh lainnya adalah merek dengan ciptaan logo yang kerap terjadi, contohnya:

79

Budi Agus Riswandi, “Melindungi Desain Yang Tidak Terdaftar”, Majalah Handicraft Indonesia, edisi 40 Tahun VI/Mei 2007.

Page 74: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

67

kasus Natasha. Contoh ini akan makin banyak bila suatu saat bentuk dapat juga

dilindungi sebagai merek yang tentu saja akan bertentangan dengan Desain Industri,

contohnya: bentuk coklat toblerone dapat didaftarkan sebagai merek di beberapa

negara. Seandainya kompilasi Undang-Undang Paten, Undang-undang Merek dan

Undang-undang Desain Industri ke dalam 1 naskah Undang-undang Hak Kekayaan

Industri dapat terwujud, diharapkan masalah ini dapat diminimalisasi. Perubahan

ketentuan ini juga diharapkan akan merubah proses penerimaan pendaftaran

sehingga masalah “grey area” diantara jenis-jenis hak kekayaan intelektual tidak

terjadi lagi.

Perubahan terhadap Undang-Undang Desain Industri diantaranya dengan

kewajiban melakukan pemeriksaan substantif sebelum diterbitkannya sertifikat

Desain Industri akan lebih memberi kepastian hukum akan jaminan kebaruan yang

wajib ada pada suatu desain. Dengan begitu diharapkan juga ada perlindungan

hukum yang lebih sehingga hak yang diberikan pemerintah memang diberikan

kepada pendesain yang sesungguhnya. Dengan demikian diharapkan akan semakin

meningkatkan jumlah pendaftaran yang berarti juga meningkatkan penerimaan

negara dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

Dalam perubahan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek

juga akan diadopsi pendaftaran secara internasional melalui ratifikasi terhadap

Protokol Madrid. Pendaftaran internasional ini juga diharapkan semakin

meningkatkan pendaftaran Merek dari luar negeri yang berarti akan meningkatkan

pemasukan Negara dan semakin tingginya reputasi Negara dalam pergaulan

internasional. Tujuan Protokol Madrid adalah membantu pemohon yang akan

mendaftarkan mereknya di beberapa negara anggota secara lebih mudah, lebih

Page 75: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

68

murah dan lebih cepat karena cukup hanya dengan satu permohonan saja. Prinsip

dasarnya adalah: Easier, Simple and Faster. Berdasarkan data statistik WIPO tahun

2008 sekitar 975.000 permohonan Merek didaftarkan diseluruh dunia oleh “non-

residen” dimana 378.000 di antaranya mendaftarkan melalui sistem Madrid (sekitar

38,8%).

Tabel 3 berikut ini memperlihatkan jumlah permohonan Merek Tahun

2005 sampai Juli 2011 yang diajukan dari dalam negeri dan asing.

Tabel 3

STATISTIK PERMOHONAN MEREK (2005-Juli 2011)

DOMESTIK DAN ASING

Tahun\

Pemohon

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Domestik 27.592 37.964 39.161 41.617 37.853 21.318 28.284

Asing 2.638 4.792 4.220 4.032 4.964 2.551 1.342

Sumber: Statistik pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI

Berdasarkan Tabel 3 di atas maka permohonan pendaftaran Merek dari

dalam negeri cukup mendominasi permohonan pendaftaran Merek di Indonesia. Hal

ini merupakan kondisi yang tipikal bagi negara-negara berkembang. Disamping itu

pada statistik WIPO menunjukkan data yang dapat menginformasikan bahwa

keikutsertaan suatu negara dalam sistem Madrid akan meningkatkan jumlah

permohonan Merek di negara tersebut. Keikutsertaan suatu negara dalam Protokol

Page 76: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

69

Madrid akan meningkatkan reputasi dan kredibilitas negara tersebut, sehingga

penerapan Madrid Protokol akan meningkatkan pemasukan negara.

Perubahan di bidang Paten khususnya dengan pengaturan yang lebih rinci

mengenai Lisensi Wajib, Paten untuk pertahanan dan keamanan serta perlunya

pengaturan yang lebih lengkap mengenai penetapan sementara (injunction) akan

memberi banyak keuntungan bagi Negara kita. Khususnya pengaturan akan Lisensi

Wajib dimana kebutuhan akan obat-obatan yang harganya mahal namun mendesak

dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang tidak memiliki kemampuan membeli.

Dengan Lisensi Wajib, Pemerintah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan

tersedianya obat yang murah, tentu saja dengan tetap menghormati hak-hak

pemegang hak Paten dan membayar royalti. Permohonan Lisensi Wajib diajukan

oleh setiap orang dengan alasan bahwa Paten tersebut tidak dilaksanakan atau

dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia. Jangka waktu pengajuan permohonan

Lisensi Wajib ini dilakukan dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak

tanggal pemberian Paten. Akan tetapi dengan alasan bahwa Paten tersebut

menimbulkan kerugian bagi masyarakat (telah jatuh banyak korban misal-nya

sementara obat tersebut minim), maka permohonan Lisensi Wajib dapat diajukan

setiap saat. Pelaksanaan Lisensi Wajib ini disertai pembayaran royalti oleh penerima

lisensi dengan besar royalti sesuai tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian

lisensi. Pemberian Lisensi Wajib ini dapat saja dibatalkan dengan alasan-alasan

tertentu seperti bila alasan dasar bagi pemberian Lisensi Wajib tidak ada lagi

(misalkan kondisi penyakit sudah dapat diatasi). Perubahan dalam Undang-Undang

Paten akan menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat banyak khususnya

atas kebutuhan akan obat-obatan.

Page 77: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

70

Masalah keseimbangan hak dan kewajiban harus memperoleh perhatian

yang sangat besar dalam Rancangan Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dari sisi

pemegang Desain Industri, selaku pemilik Desain Industri; dari sisi pemegang Paten,

selaku pemilik Paten dan pemegang Merek, selaku pemilik Merek atau orang lain

yang menerima hak dari pemilik, Negara telah memberikan hak yang bersifat khusus

atau eksklusif dan sekaligus perlindungan hukum selama jangka waktu yang

diberikan dalam Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dengan perlindungan

hukum tersebut, pemegang Paten, Merek maupun Desain Industri bukan saja

memperoleh semacam jaminan, tetapi juga memiliki dasar untuk mempertahankan

haknya.

Page 78: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN UNDANG-UNDANG

NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Secara umum Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten

antara lain mengatur tentang hak (Paten), cara memperoleh dan mempertahankan

hak, dan pembatasan-pembatasan untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan

kewajiban pemilik atau pemegang paten. Walaupun Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2001 Tentang Paten telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2001, namun

dalam waktu 7 (tujuh) tahun ini, keberadaan Undang-Undang Paten tersebut

dirasakan sudah tidak mampu lagi mengatasi berbagai permasalahan tentang

perlindungan atas invensi yang timbul dan berkembang di masyarakat, serta

mengayomi berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan terkait dengan

kebutuhan akan perlindungan atas Paten dan kebebasan menggunakan teknologi

yang seharusnya menjadi milik umum. Hal ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat.

Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti informasi,

telekomunikasi, serta bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya.

Di samping itu kesadaran masyarakat juga semakin tinggi untuk meningkatkan

pendayagunaan teknologi yang sederhana.

Page 79: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

72

Sesuai dengan tujuan pemberian Paten yaitu untuk memberikan

penghargaan atas suatu hasil karya berupa penemuan baru yang dengan adanya

penghargaan dimaksud akan mendorong penemuan teknologi baru, maka sudah

sepatutnya undang-undang memberikan perlindungan atas Invensi dimaksud bagi

para Inventornya.

Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Proses pelaksanaan Persetujuan TRIPs di Indonesia masih terhambat

beberapa kendala yang merupakan kelemahan, antara lain yaitu:

1. Ketentuan mengenai lingkup perlindungan Paten sehubungan dengan

penggunaan baru dari Paten yang sudah ada, baik mencakup proses maupun

produk, khususnya Paten di bidang farmasi.

2. Ketentuan mengenai Penetapan Sementara Pengadilan Niaga walaupun sudah

diakomodasi dalam Undang-undang Paten tetapi masih belum dapat diterapkan

karena belum ada hukum acara yang mengatur dengan jelas dan rinci tentang

syarat-syarat dan proses pengajuan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.

3. Ketentuan mengenai Pasal 135 huruf a Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tidak

menjelaskan secara spesifik tentang prosedur dan persyaratan administrasi dan

teknis dari impor paralel.

4. Ketentuan Pasal 135 huruf (a) mengatur impor paralel dikecualikan dari

ketentuan pidana dan tidak mencakup pengecualian terhadap ketentuan

perdata.

Page 80: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

73

5. Belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Lisensi Wajib, sehingga

penggunaan mekanisme lisensi wajib belum dimungkinkan.

6. Prosedur dan mekanisme pengeksporan obat-obatan ke negara-negara yang

belum memiliki kemampuan untuk memproduksi obat.

7. Ketentuan mengenai kewajiban pengungkapan dalam permohonan Paten

tentang sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya

genetik dari masyarakat lokal. Paten yang berasal dari sumber daya genetik

harus memberi manfaat bagi masyarakat di lingkungan di mana sumber daya

genetik tersebut berasal, artinya menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi

pemilik sumber daya genetik (benefit sharing).

8. Ketentuan mengenai lingkup perlindungan bagi Paten Sederhana

b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan

perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah:

1. Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing).

Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk

penataan sistem pendaftaran Paten yang bersifat regional, namun belum

diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, karena

Pasal 20 menentukan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai

ketentuan Pasal 24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada

Direktorat Jenderal. Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain

Page 81: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

74

seperti Surat Kuasa (jika Permohonan diajukan melalui Kuasa), dan uraian

mengenai invensi yang dipatenkan.

2. Ketentuan mengenai penyelesaian proses permohonan Paten supaya tepat

waktu, dan memberikan batasan waktu terhadap pemeriksaan substantif yang

sudah melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun proses pemeriksaan substantif,

maka diambil yang paling menguntungkan terhadap pihak yang dirugikan

(granted).

3. Direktorat Paten masih sering mengeluarkan Surat Kekurangan Pemenuhan

Persyaratan Pendaftaran, sementara kekurangan sudah dilengkapi;

a. Hasil pemeriksaan substantif beberapa permohonan Paten telah melampaui

waktu 36 (tiga puluh enam) bulan;

b. Penerbitan Sertifikat Paten yang relatif lama;

c. Informasi pengalihan konsultan tidak sampai ke pihak Pemeriksa Paten

sehingga Hasil Pemeriksaan Substantif masih dikirimkan kepada konsultan

lama.

Pelaksanaan lisensi wajib Paten masih sulit dilakukan di Indonesia, karena

industri farmasi di Indonesia masih bersifat non-research based yang berakibat

Indonesia masih tergantung pada impor bahan baku obat dari negara lain untuk

memproduksi sendiri obat-obatan yang diperlukan. Sebagaimana Pemerintah

telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya, oleh karena dirasakan

masih ada beberapa aspek dalam Persetujuan TRIPs yang belum diakomodasi,

sebaiknya Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 perlu disempurnakan lagi.

Page 82: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

75

4. Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2001 tentang Paten.

Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2001 Tentang Paten dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi

pendaftaran Paten dan juga menghambat implementasi dan penegakan hukum

di bidang Paten, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara untuk

Memperoleh Pengakuan Pemakai Terdahulu; Syarat-syarat mengenai

Pengecualian dan Tata Cara Pengajuan Tertulis mengenai Pengecualian

Kewajiban Pemegang Paten membuat produk atau menggunakan proses yang

diberi Paten di Indonesia; tentang Perjanjian Lisensi; tentang lisensi-wajib;

tentang Permohonan melalui Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama

Paten); dan juga Keputusan Presiden tentang Perubahan Permohonan dari

Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya; tentang Penarikan Kembali

Permohonan; tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Permohonan Pemeriksaan

Substantif; tentang Tata cara Permohonan, Pemeriksaan, serta Penyelesaian

Banding.

Ketiadaan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

Tentang Paten memengaruhi efektifitas implementasi penegakan hukum

Undang-Undang Paten.

2. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau

World Trade Organization/Persetujuan TRIPs melalui Undang-Undang Nomor 7

Page 83: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

76

Tahun 1994 tentang Pembentukan Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia dan

telah meratifikasi konvensi-konvensi maupun traktat internasional di bidang Merek,

yaitu Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) dan

Trademark Law Treaty (Traktat Kerja Sama Merek).

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek,

dalam implementasinya masih terdapat berbagai kelemahan dalam Undang-undang

yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih

terdapat pengaturan yang belum sesuai dengan konvensi internasional yang telah

diratifikasi yaitu sebagai berikut:

a. Ketentuan mengenai perpanjangan waktu proses pemeriksaan substantif

b. Ketentuan mengenai mutasi atas Merek yang masih dalam Permohonan dan

Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek

c. Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek

d. Ketentuan mengenai perluasan definisi Merek yaitu mencakup “Non-Traditional

Marks” yang meliputi merek 3 dimensi, merek suara, aroma dan hologram

(rencana Indonesia meratifikasi Singapore Treaty);

e. Ketentuan tentang Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol

Madrid (rencana Indonesia meratifikasi Madrid Protocol);

f. Ketentuan mengenai sanksi pidana pelanggaran Merek harus diperberat,

khususnya mengenai produk-produk tertentu yang dapat membahayakan

keselamatan jiwa manusia, dan sifat deliknya adalah delik biasa.

Page 84: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

77

g. Ketentuan mengenai perbaikan atas Permohonan atau Pendaftaran Merek,

dalam hal ini misalnya, yaitu kesalahan penulisan, baik dari Pemohon atau

Direktorat Merek;

h. Ketentuan mengenai pencatatan perubahan kuasa atau Konsultan HKI;

b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Tentang Merek

Permasalahan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Pengiriman notifikasi status permohonan pendaftaran Merek yang melewati

batas waktu, tidak sesuai dengan status terakhir Merek tersebut.

b. Perubahan Nama dan/atau Alamat dan Pengalihan Hak walaupun telah diajukan

untuk dicatatkan, namun apabila diajukan permohonan perpanjangan Merek

dengan menggunakan nama dan/atau alamat yang baru, tetap mendapat

notifikasi untuk terlebih dahulu harus mengajukan perubahan nama dan/atau

alamat dan pengalihan hak tersebut.

c. Hasil pemeriksaan kembali terhadap pengajuan oposisi atau sanggahan

memakan waktu melebihi yaitu maximum 2 (dua) bulan terhitung sejak

berakhirnya jangka waktu pengumuman (Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek).

d. Tidak diterimanya Notifikasi Hasil Pemeriksaan Kembali atas

penolakan/penerimaan pengajuan keberatan/oposisi terhadap suatu Merek,

sebagaimana tercantum pada Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 15 tahun

2001.

Page 85: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

78

e. Proses Pencatatan Putusan Pembatalan Merek yang telah berkekuatan hukum

tetap dari Pengadilan Niaga dan oleh pihak Juru Sita Pengadilan telah diteruskan

ke Ditjen HKI, tetapi dalam hal ini Ditjen HKI tidak segera melakukan Pencoretan

Pembatalan atas Merek Terdaftar tersebut dari Daftar Umum Merek.

f. Dimungkinkannya permohonan perpanjangan batas waktu pemenuhan

kelengkapan persyaratan permohonan. Dalam hal ini pemohon dapat meminta

perpanjangan batas waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan terkait dengan

Permohonan;

g. Dimungkinkannya permohonan pencatatan mutasi terhadap Merek yang masih

dalam permohonan. Dalam hal ini pencatatan pengalihan hak/perubahan nama

dan/atau alamat Pemohon dapat dilakukan terhadap Merek yang masih dalam

status Permohonan;

c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 Tentang Merek dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi pendaftaran

Merek dan juga menghambat implementasi penegakan atas Undang-undang Merek.

Sampai saat ini masih terdapat beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang

Merek yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah tentang

Larangan Impor dan Larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang

yang menggunakan Merek yang bersangkutan; Keputusan Presiden mengenai Syarat

dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi dan ketentuan mengenai

Perjanjian Lisensi, dan ketentuan tentang syarat-syarat dan proses pengajuan

Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.

Page 86: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

79

Penetapan sementara Pengadilan Niaga dalam prakteknya sulit dilaksanakan karena

Pengadilan Niaga tidak memiliki acuan tentang Tata Cara pelaksanaan Penetapan

Sementara.

3. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

Tentang Desain Industri

Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara

Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu

tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak tersebut.78

Sejak berlakunya Undang-undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain

Industri pada tanggal 20 Desember 2000, dalam prakteknya banyak ditemukan

kelemahan maupun kendala sehubungan dengan implementasi Undang-undang

Desain Industri. Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang

Desain Industri dapat ditinjau dari beberapa aspek, 79 sebagai berikut:

a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Sistem perlindungan Desain Industri yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri secara eksplisit hanya mensyaratkan

“kebaruan” saja tanpa persyaratan keaslian atau originality sebagaimana tercantum

dalam Pasal 2 Undang-Undang Desain Industri80 bahwa “Hak desain industri

diberikan untuk desain industri yang baru”, dan Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa

78

Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tentang Desain Industri 79

Op.Cit. Cita Citrawinda “Sisi Lemah UU Desain Industri” 80

Cita Citrawinda, “Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan Penegakan Hukumnya” diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (November 2008).

Page 87: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

80

“Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dan desain industri

tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.” Maksud

pengungkapan sebelumnya dalam Pasal 2 ayat (3) adalah pengungkapan Desain

Industri yang sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas apabila

permohonan diajukan dengan hak prioritas,81 telah diumumkan atau digunakan di

Indonesia atau di luar Indonesia. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Desain Industri

mengatur bahwa suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila

dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan, Desain

Industri tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional maupun

internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi;

atau telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan

tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan.

Ketentuan Pasal 2 dapat menimbulkan multi-interpretasi terkait dengan

arti “kebaruan”, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Desain Industri

dianggap “baru” apabila pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut “tidak

sama” dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya, tanpa penjelasan lebih

lanjut mengenai maksud kata “tidak sama” yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2)

tersebut. Pengertian “baru” adalah pada saat suatu Desain Industri dimohonkan

pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Desain Industri tersebut “berbeda”

dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. Penafsiran kata “berbeda”

dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”.

Dengan demikian, walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak

sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat 81

Lihat Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri

Page 88: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

81

dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar

100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap

dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap

tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki

persamaan, tetapi pemegang sertifikat Desain Industri sulit menuntut pihak lain yang

dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain

tersebut harus benar-benar “sama” atau identik.

Dalam praktiknya terjadi dua penafsiran terhadap kata “tidak sama”

tersebut, dimana penafsiran pertama adalah “tidak sama” secara signifikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang memberikan

ketentuan bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan

dengan pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain

sebelumnya, sedangkan penafsiran kedua adalah tidak sama persis (tidak identik).

Adapun bunyi ketentuan Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs sebagai berikut:

“…Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations.”

Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tentunya tidak terlepas dari

definisi Desain Industri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu Desain

Industri, yaitu suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau

warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga

dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan

Page 89: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

82

dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan

suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan. Unsur kreasi yang

memberikan kesan estetis dan produk harus dipertimbangkan dalam menilai

“kebaruan” suatu Desain Industri. Unsur kreasi Desain Industri dapat berupa produk

dan pola, baik dalam wujud tiga dimensi maupun dua dimensi, sedangkan unsur

produk adalah jenis-jenis produk industri tempat diterapkannya kreasi Desain

Industri tersebut.82

Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga

berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan

dan memberikan sertifikat Desain industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29

Undang-Undang Desain Industri, sebagai berikut:

“Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.”

Tidak dilakukannya pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan

Desain Industri dikarenakan tidak adanya keberatan dari pihak lain telah menjadi

salah satu permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain

Industri. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap

82

Andrieansjah Soeparman, op.cit., hal. 12. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, majalah Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008 h. 37, bahwa “…panafsiran kata “berbeda” dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”…walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar 100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang diatur dalam Undang-Undang Desain Industri berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki persamaan, tetapi pemegang sertifikat desain industri sulit menuntut pihak lain yang dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain tersebut harus benar-benar “sama”.

Page 90: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

83

permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pendaftar dapat menerima

sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak

kasus di bidang Desain Industri karena banyak dimanfaatkan oleh para pemohon

yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang

sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”. Pemeriksa Desain Industri hanya dapat

melakukan pemeriksaan substantif apabila ada keberatan dari pihak lain.

Kelemahan substansi ini merupakan kelemahan paling mendasar dari

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang dalam

praktiknya membuka peluang dan banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang

beritikad tidak baik dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak

memiliki “kebaruan”, dan kemudian berdasarkan sertifikat yang dimilikinya mulai

menggugat pihak-pihak pesaing bisnisnya.

b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain

Industri mengatur bahwa “Permohonan yang telah memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 diumumkan oleh Direktorat

Jenderal dengan cara menempatkannya pada sarana yang khusus untuk itu yang

dapat dengan mudah serta jelas terlihat oleh masyarakat, paling lama 3 (tiga) bulan

terhitung sejak Tanggal Penerimaan”. Kendala yang dihadapi dalam praktiknya yaitu

bahwa pengumuman Desain Industri hanya ditempatkan pada suatu papan

pengumuman yang hanya tersedia di Direktorat Jenderal HKI, Tangerang, sehingga

tidak memungkinkan bagi mereka yang berkepentingan atau masyarakat untuk

datang ke Direktorat Jenderal HKI setiap kali ada pengumuman, khususnya bagi

Page 91: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

84

mereka yang bertempat tinggal di luar Tangerang atau di luar provinsi. Sistem

manual yang menempatkan pada pengumuman secara konvensional pada papan

pengumuman di Direktorat Jenderal HKI tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk

melihatnya, sehingga banyak permohonan harus dikabulkan karena tidak ada yang

mengajukan keberatan atau oposisi. Banyak Desain Industri yang tidak baru terpaksa

harus dikabulkan karena tidak dilakukan pemeriksaan substantif. Keterbatasan cara

pengumuman seperti ini dapat menimbulkan permasalahan mengenai apakah

Desain Industri yang diajukan permohonannya sungguh-sungguh baru atau tidak,

apabila tidak ada keberatan yang diajukan oleh pihak lain. Akibatnya Desain Industri

yang tidak layak untuk diberikan hak eksklusif dapat diberi hak Desain Industri oleh

Direktorat Jenderal HKI.83

Dalam Undang-undang Desain Industri tidak terdapat ketentuan tentang

Komisi Banding Desain yang berwenang menangani banding terhadap keputusan

penolakan permohonan Desain Industri yang diajukan oleh pemohon ataupun

keberatan terhadap keputusan pemberian Desain Industri oleh pihak lain yang

berkepentingan. Perlu adanya Komisi Banding untuk memberikan kemudahan

kepada pemohon dan masyarakat apabila permohonan pendaftaran Desain

Industrinya ditolak, dan apabila tidak puas dengan keputusan Komisi Banding

dimungkinkan untuk mengajukan keberatan melalui Pengadilan Niaga. Dalam

pengaturan pemeriksaan banding ini perlu diatur prosedur pemeriksaan, lamanya

waktu pemeriksaan, dan anggota Komisi Banding Desain Industri.

83 Ir. Robinson Sinaga., S.H., LL.M, op.cit., hal. 21. Pada kasus-kasus pelanggaran hak terhadap suatu

Desain Industri terdaftar diharapkan para penegak hukum dan pihak-pihak terkait dengan proses penegakan hukum dapat benar-benar melaksanakan penegakan hukum dengan mencari kebenaran materiil. Dalam praktiknya, seringkali para penegak hukum mendasarkan kebenaran hak atas desain industri hanya pada kebenaran formal berdasarkan pada sertifikat Desain Industri.

Page 92: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

85

c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Desain Industri

Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2000 Tentang Desain Industri dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi

pendaftaran Desain Industri dan juga menghambat implementasi dan penegakan

hukum atas Undang-Undang Desain Industri, yaitu Keputusan Presiden Mengenai

Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden

Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan,

Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Peraturan Pemerintah

mengenai Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan,

Permintaan Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas

Desain Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, Pencatatan Pengalihan

Hak, Pencatatan Perjanjian Lisensi serta Permintaan lain-lain.

Sampai saat ini baru terdapat 1 peraturan pelaksana yang diterbitkan,

yaitu PP No. I Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000

tentang Desain Industri.

Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement

dan Geneva Act sampai saat ini juga belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah

menerapkan klasifikasi Desain Industri dalam pemeriksaan permohonan Desain

Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno Agreement.

Ketentuan Undang-Undang No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri,

khususnya yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas karya Desain Industri masih

Page 93: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

86

belum efektif dilaksanakan. Kurang efektifnya pelaksanaan ketentuan di bidang

Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan Undang-Undang No

31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri dan bahkan banyak diantara mereka

yang tidak mengetahui bahwa sistem perlindungannya menganut sistem

pendaftaran first to file;

2. Faktor budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda

dengan sistem yang melandasi perlindungan HKI yang berakar dari budaya

hukum negara-negara Barat yang menganut konsep perlindungan hukum

individual right, hal ini cenderung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam

praktik;

3. Kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan

ketentuan hukum Desain Industri; serta

4. Faktor kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-

Undang Desain Industri.

B. Kompilasi Undang Undang-Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.

Bidang Hak Kekayaan Industri, khususnya Paten, Merek dan Desain

Industri yang merupakan cabang pertama dari HKI memiliki peran yang sangat

penting dalam pembangunan bangsa, industri dan perdagangan internasional.

Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan yang menuntut adanya

kemampuan intelektual manusia untuk menjadikan karya yang dihasilkan

Page 94: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

87

mempunyai nilai ekonomi bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat luas. Dengan

adanya nilai ekonomi yang bisa dinominalkan dari teknologi itulah yang kemudian

menimbulkan konsep kekayaan (property) dan konsep mengenai hak-hak atas karya

itu.84 Konsep kekayaan yang mendorong pada kebutuhan akan pengamanannya yang

kemudian menimbulkan kepentingan untuk menumbuh kembangkan sistem

perlindungan hukum terhadap kekayaan tersebut yang dikenal dengan perlindungan

terhadap Hak Milik Intelektual, tujuannya adalah memberikan kejelasan hukum

mengenai hubungan antara kekayaan dengan pencipta atau penemu sebagai

pemiliknya, atau pihak lain yang menerima hak tersebut dari pemiliknya untuk

menikmati atau memetik manfaatnya selama jangka waktu tertentu.85

1. Substansi Hukum a. Perlunya perubahan Sistem dalam UU Desain Industri yang kurang dapat

Menjamin Kepastian Hukum.

Apabila kita menyimak tentang jumlah Undang-Undang yang mengatur

perlindungan terhadap desain industri, dalam praktiknya ternyata perlindungan

desain industri dapat diberikan berdasarkan UU Hak Cipta dan perlindungan secara

sui generis (secara khusus) berdasarkan UU Desain Industri.

Perlindungan melalui sistem pendekatan Hak Cipta didasarkan atas

persyaratan penerapan ciptaan langsung pada karya baik dua dimensi maupun tiga

dimensi. Perlindungan Hak Cipta terhadap Desain Industri tiga dimensi telah

dilakukan secara otomatis tanpa pendaftaran terhadap berbagai macam barang-

84

Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya Terhadap Industri dan Perdagangan Internasional (Makalah Seminar Tentang Pengaruh Hak Milik Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional di Jakarta, 1993), hal. 2. 85

Tim Kepres (1992), Strategi dan Peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era Globalisasi, Panel diskusi bidang hukum Hak Milik Intelektual di Jakarta tanggal 4 Februari, diadakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya.

Page 95: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

88

barang kerajinan yang memiliki nilai seni (artistic work) maupun barang-barang dari

berbagai macam seni rupa itu sendiri.86

Sesuai dengan sifat dari hak Cipta, maka ciptaan yang merupakan karya

terapan (applied work) akan mendapatkan perlindungan secara otomatis begitu

ciptaan tersebut diumumkan. Pendaftaran ciptaan yang dilakukan melalui Ditjen HKI,

hanya bersifat anggapan hukum dalam arti barang siapa yang mengajukan

permohonan pendaftaran, maka ia dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak

Cipta kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Jadi, walaupun sudah dikeluarkan Undang-

Undang khusus yang akan memberikan perlindungan terhadap Desain Industri

(dalam hal ini UU Desain Industri), dalam praktiknya secara tidak langsung UU Hak

Cipta juga masih tetap memberikan perlindungan terhadap Desain Industri yang

telah diwujudkan dalam bentuk nyata berupa ciptaan terapan (applied works).

Yang membedakan antara Hak Cipta dan Desain Industri dalam hal ini adalah:

1) Jangka Waktu Perlindungan

Untuk hak Cipta jangka waktu perlindungan adalah seumur hidup penciptanya

ditambah 50 (lima puluh) tahun,87 untuk perusahaan adalah 50 (lima puluh)

tahun sejak ciptaan dipublikasikan.88 Sedangkan perlindungan Desain Industri

menurut Undang-Undang Desain Industri, jangka waktu perlindungan adalah 10

(sepuluh) tahun sejak tanggal pendaftaran (registration date) dan tidak dapat

diperpanjang.89

2) Jumlah barang yang diproduksi.

86

Lihat Pasal 12 UU Hak Cipta tentang Ruang Lingkup atau Obyek-obyek yang dilindungi Hak Cipta. 87

Lihat Pasal 29 Ayat (2) UU Hak Cipta. 88

Lihat Pasal 30 Ayat (3) UU Hak Cipta 89

Lihat Pasal 5 Ayat (1) UU Desain Industri.

Page 96: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

89

Menurut Undang-Undang hak Cipta maupun Desain industri, tidak pernah ada

satu pasal pun yang menentukan jumlah barang yang diproduksi. Artinya

seberapa banyakpun ciptaan dalam bentuk karya terapan yang dibuat, barang-

barang tersebut mendapat perlindungan undang-undang Hak Cipta. Sedangkan

UU Desain Industri pada Pasal 1 butir 1, tidak menyebutkan bahwa Desain

Industri akan dipakai untuk memproduksi barang dalam jumlah tertentu atau

secara massal. Yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 tersebut hanyalah Desain

Industri yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,

komoditas industri atau kerajinan tangan.

3) Sistem Pemeriksaan

Menurut Undang-Undang Hak Cipta walaupun ada pendaftaran, akan tetapi

perlindungan Hak Cipta timbul secara otomatis pada saat ciptaan tersebut

diwujudkan dalam bentuk nyata. Berbeda dengan bidang HKI lainnya seperti hak

Merek, Paten, dan Desain Industri, pemberian hak memang dilakukan oleh

Negara melalui proses permohonan pendaftaran. Hak eksklusif atas suatu

ciptaan menurut sistem yang diterapkan oleh Berne Convention adalah

automatic protection. Dalam sistem perlindungan menurut Undang-Undang

Desain Industri, pemeriksaan substantif dilakukan apabila ada oposisi atau

keberatan dari pihak lain. Apabila tidak ada keberatan pada saat pengumuman

dalam waktu tiga bulan, maka sertifikat langsung diterbitkan oleh Ditjen HKI.

Penerapan sistem pemeriksaan substantif adalah wajib dan mutlak untuk

dilakukan sebelum diberikan sertifikat hak Desain Industri.

Page 97: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

90

C. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

Law as a tool of social engineering, demikian fungsi hukum menurut

Roscoe Pound, yaitu hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat merupakan

tujuan hukum yang filosofis, artinya bahwa hukum sebagai alat pembaharuan telah

berlaku, baik bagi negara sedang berkembang maupun negara modern. Hukum

sebagai alat pembaharuan itu sangat penting bagi negara berkembang, karena di

negara yang sedang berkembang hukum bukan hanya untuk memelihara ketertiban,

melainkan hukum itu sebagai alat pembaruan sikap mental masyarakat yang

tradisional ke arah sikap mental masyarakat yang modern. Dalam pengertian sebagai

sarana rekayasa sosial, maka hukum tidak pasif, hukum mampu dipakai untuk

mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju sesuai dengan

kemauan masyarakatnya.90 Dengan demikian hukum menciptakan suatu kondisi dan

keadaan yang relatif sangat baru, jadi tidak hanya mengatur keadaan yang telah

berjalan.

Kualitas dan efektivitas pengelolaan sistem Hak Kekayaan Industri tampak

dalam penegakan hukumnya. Selain itu juga dapat dilihat dari kecepatan serta

ketetapan dalam menangani permasalahan atau pengaduan atas perkara yang

timbul. Bersamaan dengan itu, penilaian mengenai kurang efektifnya penegakan

hukum akan mendatangkan penilaian negatif dari negara lain.91 Karena itu

bagaimana penegakan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan

Industri dapat efektif di masyarakat, menurut Lawrence M. Friedman, tergantung

90

W. Friedman, “Legal Theory,” (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hal. 293-296. 91

Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual (Bandung: PT. Eresco, 1990), hal. 5

Page 98: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

91

kepada 3 (tiga) faktor, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum

masyarakat bersangkutan.92

Mengingat bahwa Hak Kekayaan Industri merupakan Hak Kekayaan

Intelektual, maka pemegang hak tersebut memiliki hak eksklusif untuk menggunakan

dan memberikan ijin kepada pihak ketiga untuk mengeksploitasi hak tersebut. Oleh

karenanya tanpa hak eksklusif, maka orang lain bisa bebas meniru dan memalsukan

baik Merek, Paten maupun Desain Industri milik pemilik HKI. Keadaan ini akan

merugikan dua pihak, yaitu pemilik Paten, Merek, atau Desain Industri di satu pihak,

dan sekaligus masyarakat luas. Jadi salah satu fungsi utama pemberian hak eksklusif

oleh undang-undang kepada pemilik Paten, Merek maupun Desain Industri adalah

demi peran membina dan menyegarkan sistem perdagangan bebas yang bersih serta

persaingan usaha yang jujur dan sehat, sehingga kepentingan masyarakat luas

(konsumen) dapat terlindungi dari perbuatan curang dan itikad buruk.

Prinsip utama pada Hak Kekayaan Industri, yaitu bahwa hasil kreasi dari

karya-karya, invensi-invensi dengan menggunakan kemampuan intelektualnya, maka

pribadi yang menghasilkan karya-karya atau invensi-invensi mendapatkan

kepemilikannya berupa hak alamiah. Pada tingkat paling tinggi dari hubungan

kepemilikan tersebut adalah bahwa hukum akan memberikan jaminan bagi setiap

penguasaan dan untuk menikmati hasil dari benda atau ciptaannya tersebut dengan

bantuan negara. Gambaran ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah

untuk kepentingan si pemilik, baik pribadi maupun kelompok yang merupakan

subyek hukum. Namun kepentingan tersebut juga tidak boleh merugikan

kepentingan orang lain sesama manusia. Oleh karena itu pelaksanaan kepentingan

92

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London: W.W. Norton & Co., 1984), hal 5-8.

Page 99: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

92

itu harus mampu menyeimbangkan kepentingan dan peran pribadi individu dengan

kepentingan masyarakat (orang lain), maka sistem HKI berdasarkan pada prinsip-

prinsip: 93

1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari

kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan yang dapat berupa

materi maupun immaterial, misalnya rasa aman karena dilindungi dan diakui

atas hasil karyanya itu. Hukum memberikan perlindungan demi kepentingan

pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya

tersebut, yang disebut hak. 94 Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu

suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada

pemiliknya. Bagi Hak kekayaan Industri, peristiwa yang menjadi alasan

melekatnya hak terebut adalah penciptaan yang berdasarkan kemampuan

intelektual. Karena hak tersebut akan mewajibkan pihak lain untuk melakukan

sesuatu atau commission, atau tidak melakukan sesuatu perbuatan atau

omission.

2. Prinsip Ekonomi (the economic argument)

Karena HKI berasal dari proses kreatif yang memiliki manfaat serta berguna

dalam menunjang kehidupan manusia, maka kepemilikan itu wajar karena sifat

ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang

kehidupannya dalam masyarakat. Dengan demikian HKI merupakan suatu

93

Loc. Cit., hal 20-22. 94

Menurut H.F.A.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jilid 1), (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hal 6 bahwa Hak dapat dibedakan atas, Hak Mutlak dan Hak Nisbi, Hak Kekayaan Industri adalah Hak Mutlak yang bersifat kebendaan.

Page 100: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

93

bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikan itu orang akan mendapatkan

keuntungan, misalnya royalti.

3. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)

Hasil ciptaan itu sejalan dengan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang besar

artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia.

Selain itu juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan

negara. Pengakuan atas karya dan karsa manusia yang dibakukan dalam sistem

HKI adalah suatu usaha untuk mewujudkan lahirnya semangat dan minat untuk

mendorong lahirnya ciptaan baru.

4. Prinsip Sosial (the social argument).

Hukum tidak mengatur manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri,

terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan

manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan

manusia lain, yang terikat dalam satu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian

hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada seseorang, tidak

boleh diberikan semata-mata demi kepentingan orang itu, namun demi

kepentingan seluruh masyarakat.

1. Paten sebagai Hak Kekayaan Industri

a. Mempunyai jangka waktu tertentu

Perlindungan Paten (dan Paten Sederhana) sebagai HKI mempunyai jangka

waktu perlindungan. Jangka waktu perlindungan Paten diberikan untuk

selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka

waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun

Page 101: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

94

2001). Sedangkan Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10

(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu

tidak dapat diperpanjang.

b. Bersifat eksklusif

Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap

siapapun. Siapapun yang memiliki hak itu dapat melarang orang lain

menggunakan Paten maupun Paten Sederhana miliknya. Karena itu hak

tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).

c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)

Dalam konteks perjanjian lisensi ini adalah merupakan perbuatan hukum

yang tidak termasuk dalam hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang

Anti Monopoli. Bahwa dalam Rancangan Undang-undang ini harus memuat

suatu aturan bahwa Hak Kekayaan Industri tersebut apabila dialihkan dalam

konteks pemberian lisensi, maka ekspoitasi dari hak tersebut tidak boleh

memuat hal-hal yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan

perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat

kemampuan bangsa Indonesia dalam berkreasi serta tidak mengakibatkan

adanya persaingan usaha yang tidak sehat.

2. Merek sebagai Hak Kekayaan Industri Merek sebagai Hak Kekayaan Industri mempunyai sifat-sifat tertentu, yang tidak

dimiliki benda lain, yaitu:

a. Mempunyai jangka waktu tertentu

Page 102: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

95

Perlindungan Merek sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau batas

perlindungan. Jangka waktu perlindungan Merek diberikan untuk selama 10

(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan (Pasal 28 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001).

b. Bersifat eksklusif

Bersifat eksklusif, maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap

siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Merek dapat melarang orang lain

menggunakan Mereknya. Karena itu hak tersebut biasa disebut juga hak

monopoli (vide Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001)

c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)

3. Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri

a. Mempunyai jangka waktu tertentu

Perlindungan Desain Industri sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau

batas perlindungan. Jangka waktu perlindungan Desain Industri diberikan

untuk selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan

jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 5 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2000).

b. Bersifat eksklusif

Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap

siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Desain Industri dapat melarang

orang lain menggunakan Desain Industri tanpa ijin pemiliknya. Karena itu hak

tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).

c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)

Page 103: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

96

Dalam konteks korelasi antara HKI nasional, HKI internasional dan kegiatan

ekonomi, serta perdagangan pasar global, perkembangan standar

internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan dampak bagi

perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini sangat

mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis

HKI.

Sebagaimana pendapat Anthony D’Amato and Doris Estelle Long, bahwa

pengaturan hukum nasional sendiri pada akhirnya merupakan pengejawantahan dari

tujuan-tujuan kepentingan nasional dari suatu negara. Salah satu pertimbangan yang

penting untuk diperhatikan dalam interkoneksi antara pengaturan HKI dengan sistem

hukum, sistem perekonomian, dan sistem sosial budaya adalah tujuan dalam

peningkatan kesejahteraan sosial. Sifat-sifat individualistis dari pengaturan HKI justru

harus diinterpretasikan sebagai upaya untuk mendukung kesejahteraan sosial.

Dalam kerangka berpikir sebagaimana diuraikan di atas dan dihadapkan

pada kenyataan bahwa kebutuhan untuk merevisi tiga undang-undang di bidang HKI

yaitu Undang-Undang Desain Industri, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang

Merek, apakah ketiga undang-undang tersebut dapat dikompilasikan dalam satu

undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri. Kompilasi Undang-undang Paten,

Undang-undang Merek, dan Undang-undang Desain Industri ke dalam satu naskah

undang-undang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai

berikut:

a) Hak atas Paten, Merek dan Desain Industri merupakan hak eksklusif yang

diberikan oleh Negara berdasarkan permohonan dari pemohon yang

berkepentingan;

Page 104: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

97

b) Sistem yang dianut sebagai dasar timbulnya hak adalah “First to File”

(timbulnya hak atas Paten, Merek dan Desain Industri karena adanya

pendaftaran yang diajukan oleh pemiliknya untuk memperoleh perlindungan

hukum);

c) Paten, Merek dan Desain Industri sebagai jenis HKI dapat berada secara

berdampingan dalam satu produk, misalnya produk telepon genggam yang di

dalamnya ada teknologi yang dilindungi Paten, tampilan estetisnya dilindungi

Desain Industri, dan tanda dagangnya dilindungi Merek;

d) Walaupun ada perbedaan dalam jangka waktu pemberian hak prioritas

sehubungan dengan permohonan yang diajukan apabila ingin mengklaim hak

prioritas, prosedur pengajuan atas hak prioritas diatur berdasarkan

permohonan di Negara asal bagi pemohon asing;

e) Terdapat pengaturan yang sama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan

penegakan hukum, misalnya Penetapan Sementara Pengadilan, Banding ke

Komisi Banding, forum lembaga peradilan, hukum acara tentang gugatan

pembatalan, penghapusan pendaftaran, gugatan ganti rugi, Kasasi di

Mahkamah Agung, dan lain sebagainya.

f) Terdapat ketentuan-ketentuan internasional sehubungan dengan

pendaftaran Paten, Merek dan Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri,

seperti Patent Cooperation Treaty untuk Paten, Madrid Protocol untuk

Merek, the Hague Aggreement untuk Desain Industri;

g) Penghematan biaya legislasi dari tiga RUU menjadi hanya satu RUU;

h) Penghematan biaya sosialisasi undang-undang karena sudah terintegrasi

menjadi tiga-dalam-satu (three in one);

Page 105: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

98

i) Dan lain-lain.

Disadari pula bahwa wacana penyatuan tiga undang-undang tentang

Desain Industri, Paten, dan Merek menjadi satu naskah undang-undang yaitu

Undang-Undang Hak Kekayaan Industri dapat menimbulkan permasalahan-

permasalahan baru yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:

a) Dari aspek Hak Kekayaan Industri yang menurut Paris Convention for the

Protection of Industrial Property diatur tidak hanya bidang Paten, Merek dan

Desain Industri, tetapi juga termasuk Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak

Circuit Terpadu.

b) Dari aspek tehnik perundang-undangan, apakah dimungkinkan untuk membuat

Undang-undang Hak Kekayaan Industri yang memuat perubahan atas tiga (3)

RUU, yaitu RUU Paten, RUU Merek dan RUU Desain Industri kedalam satu

naskah UU Hak Kekayaan Industri; atau apakah membuat Undang-undang Hak

Kekayaan Industri yang memuat UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri

yang baru, bukan memuat perubahan UU Paten, UU Merek dan UU Desain

Industri.

c) Dari aspek penamaan undang-undang yaitu Undang-Undang Hak Kekayaan

Industri, diperkirakan dapat memunculkan wacana baru dalam rangka proses

legislasinya, khususnya dapat merupakan kewenangan komisi tertentu di DPR

RI, yaitu Komisi Perindustrian, bukan Komisi Hukum sehingga

pengadministrasian undang-undang termaksud diserahkan kepada Kementerian

Perindustrian.

d) Dari aspek sifat penggabungan undang-undang Paten, UU Merek dan UU Desain

Industri apakah dapat berupa kodifikasi atau kompilasi, oleh karena masing-

Page 106: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

99

masing nomenklatur penamaan itu membawa dampak dalam format

penyusunan batang tubuh undang-undang termaksud;

e) Dari aspek organisasi kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Hak

Kekayaan Intelektual, apakah penggabungan ketiga UU Paten, UU Merek dan

UU Desain Industri juga berarti menimbulkan kebutuhan penyatuan tiga

direktorat (Paten, Merek dan Desain Industri).

f) Dari aspek perkembangan hukum Hak Kekayaan Industri yang relatif cepat, akan

berdampak pula terhadap kebutuhan perubahan undang-undang yang

mengaturnya, hal mana akan menjadi tidak praktis dan tidak efisien jika setiap

kali harus mengubah undang-undang Hak Kekayaan Industri padahal perubahan

yang dibutuhkan hanya mengenai salah satu undang-undang termaksud,

misalnya Paten, atau Merek, atau Desain Industri saja;

g) Aspek-aspek lainnya yang mungkin dapat merupakan kendala ataupun

hambatan dalam gerak dan dinamika perlindungan serta penegakan hukumnya.

Page 107: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Dalam pelaksanaan perlindungan Hak Kekayaan Industri harus

memperhatikan beberapa asas sebagai landasan filosofis, yuridis dan sosiologis.

Beberapa asas yang perlu dipertimbangkan dan menjadi satu-kesatuan dalam Hak

Kekayaan Industri adalah asas kepastian hukum dan berkeadilan, asas efisien dan

efektif sehingga Hak Kekayaan Industri dapat memenuhi harapan para pelaku usaha

yang menggunakan dan mendaftar kekayaan industrinya secara jujur, serta

melindungi kepentingannya dalam kegiatan bisnisnya, juga melindungi kepentingan

masyarakat konsumen agar memperoleh produk kekayaan industri yang berasal dari

pemegang Hak Kekayaan Industri yang sebenarnya, dan mampu mencegah serta

mengatasi tindakan pelanggaran Hak Kekayaan Industri dari pihak yang curang.

A. Landasan Filosofis

Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah Pancasila

yaitu rechtsidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang

mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Rudolf Stamler95 mengatakan

bahwa rechtsidee berfungsi sebagai leitsern (bintang pemandu) bagi terwujudnya

cita-cita sebuah masyarakat. Dari rechtsidee itulah disusun konsep dan politik hukum

dalam sebuah negara.

Cita hukum tersebut merupakan suatu yang bersifat normatif, dan juga

konstitutif. Normatif artinya berfungsi sebagai prasyarat transendental yang

95

Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, (Jogyakarta: RadjaGrafindo, 1996) hal. 11

Page 108: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

101

mendasari tiap hukum positif yang bermartabat, dan merupakan landasan moral

hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Cita hukum yang konstitutif

berarti rechtsidee berfungsi mengarahkan hukum pada tujuan yang ingin dicapai.

Gustaf Radbruch menyatakan bahwa “rechtsidee berfungsi sebagai dasar yang

bersifat konstitutif bagi hukum positif, memberi makna bagi hukum. Rechtsidee

menjadi tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah hukum positif adil

atau tidak.”96 Cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum

yang memberikan pedoman (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan

faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan,

penerapan hukum dan perilaku hukum).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang

merupakan hukum dasar bagi pembentukan hukum positif mengandung empat ide

pokok, yang oleh para ahli disepakati sebagai cita hukum Indonesia, yaitu: pertama,

cita perlindungan yang terkandung dalam frasa “Negara melindungi segenap bangsa

Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas

persatuan”; kedua, cita keadilan sosial, yang terkandung dalam frasa “Negara berhak

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; ketiga, cita kemanfaatan

yang terkandung dalam frasa “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar

kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”; dan keempat, cita keadilan umum,

yang terkandung dalam frasa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Cita perlindungan mengandung makna cita hukum yang menjamin

perlindungan segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan prinsip keadilan kumulatif

96

Abdul M. Noor Syam, penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional) (Malang: Laboratotium Pancasila IKIP Malang, 2000) hal. xvi.

Page 109: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

102

yang dikemukakan Thomas Aquinas dalam Franz L Neumann,97 yaitu hukum

memberi perlindungan kepada seluruh warga masyarakat tanpa memandang status

sosial, suku, budaya, politik, agama, dan ekonominya. Hal itu sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Jeremy Bentham, bahwa fungsi hukum yang utama adalah

memberi penghidupan, mendorong persamaan, dan memelihara keamanan bagi

semua orang.

Cita keadilan sosial mencerminkan hukum yang menjamin keadilan dalam

hidup bermasyarakat, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat,

yang mengutamakan perlakuan adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang

ras, golongan, dan agama. Keadilan semacam ini oleh Aristoteles dan Thomas

Aquinas sebagai keadilan distributif, yaitu pembagian barang dan kehormatan pada

masing-masing anggota masyarakat sesuai dengan kedudukannya dalam

masyarakat.98

Cita kemanfaatan yang merupakan cita hukum dalam bernegara yakni cita

tentang kegunaan hukum dalam bernegara. Ada empat prinsip dasar cita

kemanfaatan, yaitu hukum yang berpihak pada kebutuhan rakyat, hukum harus

menjamin kesejahteraan rakyat, hukum harus dibuat oleh rakyat melalui wakil dalam

parlemen, dan hukum berfungsi mengontrol kekuasaan negara atas dasar supremasi

hukum. Prinsip pokoknya adalah kerakyatan, yang oleh Socrates dikatakan bahwa

97

Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern Society, (USA: Berg Puolisher, 1994) hal. 54

98 Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius Press, 1997) Cetakan V, hal. 6.

Page 110: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

103

penentuan tentang baik buruk, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan kepada

penguasa semata, tetapi juga dicari ukuran-ukuran yang obyektif dari rakyat.99

Cita keadilan umum, berlaku prinsip keadilan ius pietatis atau ius

internum, yaitu hak dan kewajiban orang untuk beribadah pada Tuhan yang

dimaknai dengan hukum yang tidak bertentangan dengan nilai agama/kepercayaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui hukum, masyarakat harus dibimbing untuk

bermoral.

Landasan filosofis perlindungan Desain Industri adalah Pancasila yaitu

rechtidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan

hukum kepada apa yang dicita-citakan.

B. Landasan Sosiologis

Penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan didalam

masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah undang-undang

tersebut berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan

baik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis dan

yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan

berarti setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada

gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut

harus diberi waktu agar meresap dalam diri masyarakat. Apabila sering terjadi

pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-undangan,

maka hal itu belum tentu berarti peraturan tersebut secara sosiologis tidak berlaku

dalam masyarakat.

99

Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan (Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University Press, 2000) hal. 211.

Page 111: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

104

Landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap norma hukum yang dituangkan

dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat

sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum

masyarakat. Karena itu, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan

yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam

undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran

hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang dituangkan dalam

undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya ditengah-tengah

masyarakat hukum yang diaturnya.

Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan

mengapa HKI perlu dilindungi, yang pertama adalah bahwa hak yang diberikan

kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, atau Inventor

di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan wujud dari

pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam

melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan

konsekuenasi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu

atau pencipta dan mereka yang melakukan kreativitas dengan mengerahkan segala

kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk

mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu. 100

100

Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, “Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan

Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan

Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-

Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.

Page 112: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

105

Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah untuk

lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia

industri, perdagangan dan investasi sehingga tercipta iklim yang lebih mendorong

kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek, dan Desain industri, yang

melahirkan industri yang maju dan mampu bersaing dalam perdagangan nasional

dan internasional. Hal tersebut akan dapat terwujud antara lain dengan

perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang

Paten, Merek dan Desain Industri. Secara umum, ketiga bidang HKI ini dalam

praktiknya menemui kendala perlindungan berupa prosedural dan harmonisasi

hukum. Kendala prosedural antara lain berupa proses dan prosedur pendaftaran hak

yang terlalu rumit dan lama (dalam bidang merek dan paten), atau bahkan terlalu

sederhana (desain industri). Kendala harmonisasi hukum antara lain berupa belum

meratifikasi konvensi internasional terkait yang akan lebih meningkatkan kualitas

dan kuantitas perlindungan hak, serta belum diimplementasikannya secara optimal

konvensi internasional yang sudah diratifikasi ke dalam regulasi nasional.

Tujuan utama Persetujuan TRIPs, sebagaimana tercantum dalam

pembukaannya adalah: ”untuk mengurangi distorsi dan halangan terhadap

perdagangan internasional, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk

mempromosikan secara efektif dan memadai perlindungan HKI, dan untuk

memastikan agar ukuran dan prosedur HKI tidak menjadi halangan tersendiri bagi

berlangsungnya perdagangan yang sah.101

101

Southcentre, 1997, TRIPs Agreement: A Guide for the South, the Uruguay Agreement on TRIPs, Geneva,

hal. 55.

Page 113: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

106

Pasal 7 Persetujuan TRIPs mengatur bahwa perlindungan dan pelaksanaan

hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi

teknologi serta pengalihan dengan penyebaran teknologi dengan memperhatikan

keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari pengetahuan

teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan

ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Landasan sosiologis perlindungan Desain Industri adalah hukum yang

mengatur Desain Industri yang melindungi individu atau anggota masyarakat dalam

pergaulannya dengan masyarakat secara umum. Hukum yang dibentuk adalah

hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum Desain

Industri yang memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.

Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya

perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap

pengalaman empiris pada Undang-undang Paten sebelumnya. Suasana masyarakat

peneliti, perekayasa dan litkayasa yang pada dasarnya para investor menghendaki

perbaikan-perbaikan dalam proses birokrasi untuk mendapatkan sertifikat Paten, tak

terkecuali perbaikan di bidang komersialisasi Paten dengan terhantarnya invensi ke

Industri, yang pada dasarnya komersialisasi Paten menuju pasar. Hal-hal yang

diinginkan diantaranya seperti perlunya diberikan kesempatan untuk mempercepat

proses pemberian paten, sehingga inovasi akan berkembang pesat, dan invensi

berbasis Paten dapat terwujud.

Perubahan dan perkembangan perlindungan Paten yang disuatu sisi

membawa dampak yang sangat baik dalam perkembangan teknologi, sehingga

Page 114: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

107

mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek

kehidupan baik berupa sarana maupun berupa prasarana. Di sisi lain perlindungan

Paten juga membawa dampak yang baik bagi investor sehingga lebih banyak lagi

invensi-invensi yang dihasilkan, yang pada gilirannya juga akan menjamin investasi

dan penanaman modal, sehingga dengan investasi tersebut teknologi makin

berkembang dan hal tersebut akan memacu perkembangan perekonomian yang

pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan umat manusia. Namun kondisi setiap

negara tidak sama terutama negara-negara berkembang (developing countries) dan

negara-negara yang tergabung least developed countries (negara-negara

terbelakang) perlindungan Paten membawa konsekwensi lain terhadap

kesejahteraan masyarakat tersebut, terutama karena teknologi tersebut (paten)

pada umumnya datang dari negara maju, terutama yang paling dirasakan dalam

kebutuhan di bidang farmasi khusus obat-obatan, dimana persediaannya terbatas

dan harganya relatip cukup mahal bagi masyarakat kedua golongan tersebut,

sekalipun dalam traktat-traktat dan konvensi-konvensi internasional sebelumnya

sudah diatur mekanisme untuk mempermudah untuk mendapatkan akses obat yang

mudah dan terjangkau baik melalui mekanisme lisensi wajib maupun melalui

mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah, ketentuan tersebut belum dapat

mengatasi permasalahan tersebut di negara dimaksud, mengingat kemampuan

untuk memproduksi obat terutama pada Negara-negara terbelakang yang tidak

mampu untuk memproduksi obat sendiri.

Dampak dari hal tersebut tingkat kematian di negara-negara dimaksud

sangat tinggi, hal ini membuat ketidakadilan karena sistem Paten tersebut cenderung

Page 115: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

108

hanya menguntungkan negara-negara maju, dengan adanya amandemen Article 31

bis huruf f Persetujuan TRIPs tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan

tersebut, karena pelaksanaan lisensi wajib khusus di bidang produk farmasi

dimungkinkan melalui impor dan ekspor, asal dilakukan sesuai dengan mekanisme

kesepakatan internasional (Doha).

Penetapan Sementara Pengadilan (injunction) merupakan sarana penting

bagi pemegang hak yang ingin dilindungi haknya dari pihak-pihak yang sengaja

menggunakan Patennya tanpa hak beredar diwilayah Indonesia, hal mana apabila

terjadi pelanggaran Paten, sangat merugikan Pemegang Paten yang mungkin sudah

mengeluarkan banyak biaya dalam rangka riset atas invensi, dengan tidak

berfungsinya ketentuan dimaksud, maka hak Pemegang Paten tidak dapat segera

terlindungi dari hasil pelanggaran.

Impor atas suatu produk farmasi yang dilakukan oleh bukan Pemegang

Paten dapat dianggap sah saja sepanjang yang memproduksi barang tersebut di luar

negeri adalah pemegang hak yang sah dan dipasarkan juga olehnya, hal ini untuk

mengurangi proteksi/monopoli yang berlebihan, hal ini sangat penting agar

persaingan usaha lebih kompetitif dan masyarakat pengguna obat-obatan membeli

dengan harga yang layak sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga tercipta rasa

keadilan, dengan demikian mekanisme impor yang demikian harus dibebaskan dari

tuntutan Pemegang Paten baik secara perdata maupun pidana.

Ijin untuk suatu produk obat memakan waktu hampir dua tahun karena

untuk beredarnya suatu obat harus melalui uji klinis, dengan adanya waktu uji klinis

yang panjang demikian, maka penggunaan Paten oleh pihak lain yang bukan

Page 116: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

109

Pemegang Paten pada tahun ke-18 dengan tujuan untuk uji klinis dibenarkan dan hal

tersebut tidak merupakan pelanggaran sehingga yang bersangkutan terbebas dari

tuntutan pidana maupun perdata, hal ini lazim dilakukan perlindungan Paten hanya

20 tahun, apabila orang lain baru dapat menggunakan Paten tersebut setelah masa

perlindungan selesai maka perlindungan Paten akan menjadi 22 tahun.

Dengan memiliki asas-asas dan landasan yuridis, filososif, dan sosiologis

maka Rancangan Undang-Undang Merek telah memperhatikan 3 hal yaitu102:

1. kepentingan masyarakat sebagai konsumen dan meningkatkan kesadaran

konsumen untuk menggunakan atau mengonsumsi produk dengan Merek yang

benar;

2. memberikan perlindungan terhadap kepentingan pengusaha sebagai pemilik

dan/atau pemegang Merek, dan membangun kesadaran antar pengusaha lain

sebagai kompetitor untuk melaksanakan kegiatan bisnisnya secara jujur dan

bertanggung jawab kepada konsumen dengan tidak menggunakan Merek yang

sama atau serupa dengan Merek pengusaha lain yang telah dilindungi; dan

3. kewajiban para penegak hukum untuk melaksanakan penegakan hukum Merek

secara benar, jujur dan bertanggung jawab.

C. Landasan Yuridis

Landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah aturan

hukum yang dijadikan pedoman utama dalam mekanisme pelaksanaan Hak

Kekayaan Industri agar dilakukan secara tertib. Produk Hak Kekayaan Industri dapat

dimanfaatkan oleh para penemu, pendesain, dan pemilik Merek, terutama yang

102

Naskah Akademik tentang RUU Merek, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, tahun 2006.

Page 117: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

110

berkaitan dengan nilai ekonomis untuk kesejahteraan dapat berjalan secara adil.

Hukum yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut adalah hukum yang responsif

yang oleh Roscoe Pound, dan para penganut realism hukum adalah

mempertimbangkan kebutuhan sosial atau harus lebih responsif terhadap

kebutuhan masyarakat.103 Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan oleh

landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan Hak Kekayaan

Industri yang adil, baik terhadap penemu, pendesain, dan pemilik Merek, baik yang

bermodal besar, menengah maupun yang bermodal kecil.

Perkembangan perdagangan internasional dewasa ini menuntut pula

kesiapan dan harmonisasi regulasi nasional dengan instrumen hukum internasional

di bidang HKI untuk memanfaatkan mekanisme perlindungan internasional bagi HKI

nasional. Sejak berlakunya Persetujuan TRIPs yang ditandatangani oleh pemerintah

Indonesia (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2

November 1994), sebagai anggota WTO, Indonesia harus menyesuaikan sistem HKI

nasional dengan Persetujuan TRIPs dan konvensi-konvensi maupun traktat-traktat

internasional di bidang Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi oleh

Indonesia, sehingga Indonesia berkewajiban memasukan peraturan-peraturan

standar atau ketentuan minimal yang diatur dalam Persetujuan TRIPs dan Konvensi-

konvensi yang telah diratifikasi. Adapun Konvensi dan Traktat internasional di bidang

Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi maupun yang akan

diratifikasi, yaitu sebagai berikut:

103

Roscoe Pound, Jurisprudence, (St. Paul, West Publishing, 1959), hal. 50.

Page 118: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

111

1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris)

bertujuan untuk memfasilitasi hubungan perdagangan di antara negara-negara

anggota dengan mengembangkan perlindungan internasional bagi hak kekayaan

industri. Dalam Konvensi Paris ini negara-negara yang tergabung membentuk

suatu serikat negara atau union, dan peraturan hukum dan perundang-undangan

mengenai HKI harus disesuaikan, dan pada prinsipnya hak prioritas dan sistem

Paten masing-masing negara tetap berdiri sendiri.

2. Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama Paten) berfungsi untuk

menyempurnakan perlindungan hukum bagi invensi, untuk 1) menyempurnakan

dan membuat lebih ekonomis cara mendapatkan perlindungan invensi; 2)

mendukung dan mempercepat akses oleh masyarakat mengenai data teknis yang

terdapat dalam dokumen yang menggambarkan teknologi baru, dan untuk

mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara-negara

berkembang.

3. Trademark Law Treaty

4. Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International

Registration of Marks

Permohonan pendaftaran Merek melalui sistem Madrid adalah permohonan

pendaftaran merek internasional berdasarkan “the Madrid Agreement Concerning

International Registration of Marks, and the Protocol relating to Madrid

Agreement (1989). Sistem pendaftaran merek internasional ini dibentuk

berdasarkan 2 (dua) traktat yaitu Madrid Agreement dan Madrid Protocol. Untuk

ikut serta dalam sistem pendaftaran merek internasional tersebut, suatu negara

Page 119: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

112

terlebih dahulu harus menjadi salah satu anggota traktat dimaksud atau

keduanya.

5. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial

Design (1968).

6. The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement Concerning the International

Registration of Industrial Design

7. The Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and

Services for the Purpose of the Registration of Marks.

8. The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent.

Pada saat ini, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor

14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang

Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, tetapi

dalam prakteknya masih ditemui kendala atau kelemahan dalam aspek substansi dan

aspek prosedural yang dapat mempengaruhi pada kurang efektifnya perlindungan

dan penegakan hukum HKI, sehingga kurang mampu menciptakan iklim yang dapat

mendorong kreasi dan inovasi masyarakat, yang pada akhirnya menghambat

perkembangan industri dan daya saing dalam dunia perdagangan internasional.

Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen

Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 juga harus diperhatikan sebagai

landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri, karena memberikan efek ke

dalam berupa kesiapan dan pembangunan regulasi nasional HKI, dan efek ke luar

berupa kebutuhan harmonisasi hukum dengan konvensi-konvensi internasional dan

regional.

Page 120: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

113

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan juga dijadikan landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan

Industri ini dalam rangka teknik penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan

Undang-Undangan tentang Hak Kekayaan Industri.

Page 121: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Industri

Perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek

dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu Rancangan Undang-Undang

(RUU) tentang Hak Kekayaan Industri sebagai sasaran yang hendak diwujudkan,

diarahkan kepada terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri yang

lebih dapat meningkatkan efisiensi sistem dan prosedur pendaftaran, penegakan

hukum HKI yang lebih mampu mendorong dan memajukan sektor industri untuk

meluaskan penyebaran karya intelektual guna memenuhi kebutuhan dan

kepentingan masyarakat, serta regulasi yang mampu mendorong peningkatan

kemampuan daya saing produk kekayaan intelektual Indonesia di dunia

Internasional. Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri tersebut salah

satunya melalui peningkatan perlindungan hukum bagi para pelaku industri dengan

menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara langsung dengan sektor

industri yang bukan hanya mampu memberikan perlindungan namun sekaligus

memberikan kemudahan akses dan efektifitas proses pendaftaran untuk

memperoleh status ataupun sertifikat hak atas suatu kekayaan intelektual khususnya

bagi sektor industri.

Perubahan pengaturan juga diarahkan demi tercapainya keseimbangan

antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang HKI maupun keseimbangan

dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi

Page 122: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

115

atau eksploitasi dari HKI itu sendiri. Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan

oleh landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan HKI yang adil,

baik terhadap penemu, pendesain, dan pencipta, baik yang bermodal besar,

menengah maupun yang bermodal kecil. Hukum yang dibentuk adalah hukum yang

responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum HKI yang

memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses

penelusuran, pembuatan, pengembangan, administrasi pendaftaran, dan penegakan

hukum HKI juga dapat menjadi arah perubahan pengaturan Undang-Undang Paten,

Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu RUU

tentang Hak Kekayaan Industri, yang bertujuan selain meningkatkan jumlah HKI

nasional, juga meningkatkan perlindungan HKI dengan negara lain yang sudah lebih

dahulu dan lazim menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem

perlindungan HKI.

Perubahan pengaturan Undang-Undang Kekayaan Intelektual yang

bertujuan meningkatkan kemampuan daya saing sektor industri dengan memberikan

perlindungan hukum yaitu menciptakan instrumen hukum yang mempunyai

keterkaitan langsung dengan sektor industri di Indonesia dan sekaligus sebagai

konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota organisasi perdagangan dunia

dan sebagai penandatangan dari Perjanjian TRIPs, harus dilakukan secara

berkelanjutan dan berkesinambungan dalam hukum nasional. Hal ini ditujukan selain

agar regulasi nasional dapat harmonis dengan instrumen hukum internasional,

Page 123: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

116

sekaligus juga agar produk-produk kekayaan intelektual nasional dapat masuk dalam

perdagangan bebas dunia dan dapat bersaing dengan produk negara-negara lain.

Kebutuhan hukum masyarakat Indonesia menuntut adanya perubahan

pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang

Desain Industri, dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri antara lain

disebabkan adanya kendala penerapan instrumen hukum di sektor industri, baik dari

sisi substansi hukum yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya.

Kendala dari sisi substansi hukum, perlindungan terhadap HKI masih diatur secara

tersendiri dalam Undang-Undang yang tersendiri pula sehingga para pelaku industri

yang pada umumnya pelaku ekonomi yang menitikberatkan efisiensi dan efektifitas

sering kali mengeluhkan prosedur yang memiliki banyak kesamaan pengaturan

dalam masing-masing Undang-Undang sehingga terjadi pengulangan prosedur yang

menjadikan ketidakefektifan masing-masing Undang-Undang ini.

Perubahan prosedur administrasi perlindungan HKI juga menjadi alasan

perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-

Undang Desain Industri dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri yang

ditujukan antara lain agar terjadi peningkatan jumlah kekayaan intelektual nasional

yang terlindungi.

Alasan perubahan pengaturan lainnya adalah dampak kemajuan ilmu

pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat, yang

belum secara optimal dimanfaatkan Indonesia, baik dalam proses penelusuran HKI,

dalam proses pembuatan HKI baru, maupun dalam proses administrasi perlindungan

HKI. Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama di bidang

Page 124: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

117

teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan

manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi

telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui

mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan. Kemajuan tersebut memaksa

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual harus dapat mengakomodasi,

permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal

mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak negara, Indonesia pun

memungkinkan melakukan pendaftaran Paten melalui elektronik, hal ini sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri

1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Paten 1. BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia

kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi.

2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan

pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk

atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara

bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang

menghasilkan Invensi.

Page 125: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

118

3. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri.

4. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten.

5. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang

menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima

lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

7. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan

Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi

untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

8. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.

9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah

memenuhi persyaratan administratif minimum.

10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection

of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade

Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di

negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota

salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan

dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention

tersebut.

11. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih

dilindungi.

12. Hari adalah hari kerja.

13. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di

bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa

pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan

diangkat oleh Menteri.

Page 126: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

119

2. Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundang-

undangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga

judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai

berikut:

BAB II

LINGKUP PATEN

Bagian Kesatu

Lingkup Perlindungan

Pasal 1a

Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah

a. Paten; dan

b. Paten Sederhana.

3. Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut:

Bagian Kedua

Invensi Yang Dapat Diberi Paten

Pasal 2

Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan

dapat diterapkan dalam industri.

4. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:

Paragraf 1

Invensi Yang Baru

Pasal 3

(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut

tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.

(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar

Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan,

penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk

melaksanakan Invensi tersebut sebelum:

a. tanggal Penerimaan; atau

b. tanggal prioritas.

Page 127: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

120

(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang

dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan

substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih

awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

5. Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu

menambahkan ayat (1) huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 4

(1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu

paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan:

a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran

internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui

sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang

resmi atau diakui sebagai resmi;

b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam

rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau

b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau

pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor

dan/atau Institusinya.

(2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu

12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain

yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga

kerahasiaan Invensi tersebut.

6. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5

disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 2

Invensi Yang mengandung Langkah Inventif

Pasal 4A

Page 128: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

121

(1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi

seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan

hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga

sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada

pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan

permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak

Prioritas.

7. Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut:

Paragraf 3

Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri

Pasal 5

Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat

dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.

8. Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga

keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Paten Sederhana

Pasal 6

Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan

mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi,

konstruksi, atau komponennya.

9. Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan

ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7

berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten

Pasal 7

Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:

Page 129: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

122

a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau

pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan

yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;

d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;

e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,

kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis;

f. kreasi estetika;

g. skema;

h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:

1) yang melibatkan kegiatan mental, atau

2) permainan;dan/atau

3) bisnis.

i. aturan dan metode mengenai program komputer;

j. presentasi mengenai suatu informasi; atau

k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir.

10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut:

Bagian Kelima

Jangka Waktu Perlindungan

Pasal 8

(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung

sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.

(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan.

11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut:

Bagian Keenam

Subjek Paten

Pasal 10

(1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih

lanjut hak Inventor yang bersangkutan.

Page 130: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

123

(2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak

atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang

bersangkutan.

12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah

diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan

untuk itu kepada Menteri.

(2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti

bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan

uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang

dimohonkan Paten.

(3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk

surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya.

(4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan

dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut.

(5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal

16 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV

dan keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN

Pasal 16

(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang

dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal:

a. Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,

menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau

disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;

Page 131: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

124

b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk

membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

huruf a.

(1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

yang menghasilkan produk yang dilindungi dalam Paten-produk

sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Paten-

produk.

(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa

persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata

dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3)

apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan

kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.

14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22

dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B,

sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi

sebagai berikut:

BAB V

PERMOHONAN PATEN

Bagian Kesatu

Tata Cara dan Syarat Permohonan

Pasal 20

Paten diberikan atas dasar Permohonan.

15. Ketentuan Pasal 22 dihapus

Pasal 22A

(1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam

bahasa Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya.

Page 132: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

125

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara

elektronik.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau

badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 22B

(1) Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus

mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat

sebagai alamat surat menyurat Pemohon.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani

oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari

para Pemohon yang mewakilkan.

(3) Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa

yang sudah ditanda tangani oleh pemohon.

(4) Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor,

Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang

membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah.

(5) Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang

bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya

sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut.

16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2),

ayat (3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal

24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada

Menteri.

(2) Permohonan harus memuat:

a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;

b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor;

c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;

d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan

Page 133: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

126

melalui Kuasa; dan

e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama

kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

a. judul Invensi;

b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan

tentang cara melaksanakan Invensi;

c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi;

d. abstrak Invensi;

e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk

memperjelas Invensi;

f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan

g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten

Pasal 24A

Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus

mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi

tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya.

Pasal 24B

Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf

c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus

diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi.

Pasal 24C

Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan

ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Bagian kedua

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Pasal 25

(1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya

Page 134: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

127

(2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri.

(3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga

kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan

tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.

(3a)Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)

huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak

Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.

18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis

mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas.

(2) Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan

menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi:

a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan

substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama

kali di luar negeri;

b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan

permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;

c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten

yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut

ditolak;

d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang

pernah dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah

dibatalkan;

e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa

Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan

benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan

dalam industri.

Page 135: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

128

(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon.

19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri

dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga

keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Tanggal Penerimaan Permohonan

Pasal 30

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal

Penerimaan oleh Menteri.

(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);

b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan

c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22A ayat (1).

(3) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis

dalam bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan

terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama

30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

(4) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka

waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan

tersebut dianggap ditarik kembali.

21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan

perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan

Page 136: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

129

ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 31

Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)

dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh

persyaratan minimum tersebut oleh Menteri.

Pasal 31A

Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal

30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling

lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang

dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya.

22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal

rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga

keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan

kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal

22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau

Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan

terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh

persyaratan tersebut.

(2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2

(dua) bulan atas permintaan Pemohon.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang

paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut

dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya.

23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 33

Page 137: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

130

Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada

Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali.

24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut:

Bagian Kelima

Amandemen, Divisional, dan Pengubahan

25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:

Paragraf 1

Amandemen

26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat

(2) dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai

berikut:

Paragraf 2

Divisional

Pasal 36

(1) Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan

satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon

dapat mengajukan divisional Permohonan.

(2) Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

untuk permohonan Paten Sederhana.

(3) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan

bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan

tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam

Permohonan semula.

(4) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56.

(5) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Page 138: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

131

dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal

Penerimaan semula.

(6) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas

Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan

dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula.

27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat

(1a), sebagai berikut:

Paragraf 3

Pengubahan

Pasal 37

(1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau

sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam

Undang-Undang ini.

(1a)Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif.

28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan

Peraturan Pemerintah

29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan

ayat (2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta

mengubah “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga

keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keenam

Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan

Pasal 39

Page 139: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

132

(1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada

Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum

mendapat keputusan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A,

sebagai berikut:

Pasal 39A

(1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data

Pemohon dengan membayar biaya.

(2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan

Peraturan Menteri.

31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Bagian Ketujuh

Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan

Pasal 40

Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau

sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas

pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan

Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak

atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan

Paten itu diperoleh karena pewarisan.

32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman”

menjadi “Publikasi”, sebagai berikut:

BAB IV

PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF

Bagian Pertama

Publikasi Permohonan

33. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan

”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:

Pasal 42

Page 140: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

133

(1) Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan

Pasal 4.

(2) Publikasi dilakukan:

a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal

Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal

prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau

b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal

Penerimaan.

(3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih

awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya.

(4) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam)

bulan setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi.

34. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan

”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:

Pasal 43

(1) Publikasi dilakukan dengan :

a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara

berkala oleh Menteri; dan/atau

b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri

yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat.

(2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri.

35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut:

Pasal 44

(1) Publikasi dilaksanakan selama :

a. 6(enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan

Paten;

b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan

Paten Sederhana.

(2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan:

a. nama dan kewarganegaraan Inventor;

b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan

Page 141: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

134

diajukan melalui Kuasa;

c. judul Invensi;

d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak

Prioritas, tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan

yang pertama kali diajukan;

e. abstrak;

f. klasifikasi Invensi;

g. gambar, jika ada;

h. nomor pengumuman; dan

i. nomor Permohonan.

36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan

Pasal 45B, sebagai berikut:

Pasal 45A

Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis

terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

ayat (1) kepada Menteri.

Pasal 45B

Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau

penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai

tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.

37. Ketentuan Pasal 46 dihapus.

38. Ketentuan Pasal 47 dihapus.

39. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta perubahan

“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada

Menteri dengan dikenai biaya.

(2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Page 142: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

135

Pasal 49

(1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak

Tanggal Penerimaan.

(2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas

waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak

dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.

(3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik

kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau

Kuasanya.

(4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang

dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah

berakhirnya jangka waktu publikasi.

(5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah

tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut.

41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan

ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi

Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain.

(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten

negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan

memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41.

42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal

52 disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.

Page 143: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

136

(2) Dihapus

(3) Dihapus

Pasal 51A

Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5,

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52.

43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 52

(1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau

kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara

tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon

atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan

tersebut.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci

serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang

dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam

pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.

44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 53

Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal

52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi

kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan

yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali

dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.

45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Persetujuan atau Penolakan Permohonan

Pasal 54

Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak

Permohonan:

Page 144: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

137

a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal

diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu

publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila

permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu

publikasi tersebut.

b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal

Penerimaan.

46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa

menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal

Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri

memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya.

(2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa

menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3,

Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri

memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya.

(3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang

berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.

(4) Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang

memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak

diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.

47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Paragraf 2

Penolakan Permohonan

Pasal 56

(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa

menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6,

Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan

Page 145: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

138

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan

tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada

Pemohon atau Kuasanya.

(2) Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan

tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas

waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat

(3).

(3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa

menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi

ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari

Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada

Pemohon atau Kuasanya.

(4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas

mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.

48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai

berikut:

Pasal 56A

Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada

Menteri tidak dapat ditarik kembali.

49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian

Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut

pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga A

Sertifikat Paten

Pasal 57

(1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten.

(2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri.

(3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling

lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten.

(4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan

berdasarkan invensi yang diuraikan dalam klaim.

Page 146: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

139

Bagian Ketiga B

Perbaikan Sertifikat

Pasal 58A

(1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan

secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat

Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).

(2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan

untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim.

(3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon,

permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikenai biaya.

Bagian Ketiga C

Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten

Pasal 59A

(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang

Paten dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat

dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti

perubahan tersebut.

(2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri

dan dipublikasikan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama

dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

50. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga

keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Permohonan Banding Dan Majelis Banding

Pasal 60

(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap:

Page 147: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

140

a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar

pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50;

b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan.

c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan

Pasal 31, Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan

termasuk dalam Pasal 36.

d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi

ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat

dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a.

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya

kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada

Menteri dengan dikenai biaya.

(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus

diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya

terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.

(4) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau

huruf c harus diajukan dengan menguraikan

(5) secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang

cukup.

(6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau

penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3).

51. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf

a harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali

permohonan.

Page 148: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

141

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf

b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

penerbitan sertifikat.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat

tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan

kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.

(4) Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya.

52. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut:

Pasal 61A

(1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf

c dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan

persetujuan pemberian paten.

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,

permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk

Gugatan melalui Pengadilan Niaga.

53. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi

Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:

Pasal 62

(1) Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1

(satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan

terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding,

Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.

(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau

Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan

Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

diterimanya keputusan penolakan tersebut.

Page 149: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

142

(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya

dapat diajukan kasasi.

54. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai

berikut:

Pasal 63

Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

55. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64

diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai

berikut:

Bagian Kelima

Majelis Banding Paten

Pasal 64

(1) Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di

lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual.

Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,

seorang wakil ketua merangkap anggota, dan

(2) Anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta

Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding

Paten.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk

majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di

antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan

pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

56. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:

Pasal 65

Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

Page 150: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

143

57. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah,

sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

BAB V

PENGALIHAN HAK

Pasal 66

(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian

karena:

a. pewarisan;

b. hibah;

c. wasiat;

d. wakaf;

e. perjanjian tertulis; atau

f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan

huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan

dengan Paten itu.

(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya.

(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan

batal demi hukum.

(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.

58. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru

dan perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan

ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71

berbunyi sebagai berikut:

BAB VA

LISENSI DAN LISENSI-WAJIB

Bagian Kesatu

Lisensi

59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Page 151: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

144

Pasal 71

(1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun

tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau

memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia

dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang

berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.

(2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri.

60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 72

(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.

(2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat

hukum terhadap pihak ketiga.

61. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Bagian Kedua

Lisensi-Wajib

Pasal 74

Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan

berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan.

62. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 75

(1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri

dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya

di Indonesia setelah lewat jangka waktu:

a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten;

atau

b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

(2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak

Page 152: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

145

dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh

Pemegang Paten.

(3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten

diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten

atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan

kepentingan masyarakat.

63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 76

(1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2),

lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila :

a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia :

b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang

bersangkutan secara penuh;

1) mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang

bersangkutan dengan secepatnya; dan

2) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu

yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas

dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak

memperoleh hasil; dan

c. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di

Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan

manfaat kepada sebagian besar masyarakat.

(2) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada

jangka waktu perlindungan Paten.

(3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan

mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta

Pemegang Paten bersangkutan.

64. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 77

Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76

Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam

Page 153: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

146

Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara

komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib

tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya.

65. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut:

Pasal 77A

(1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat

menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang

Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di

wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62

ayat (2).

(2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)

bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib.

(3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam

jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya

keputusan tersebut.

66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 78

(1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi-

wajib kepada Pemegang Paten.

(2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan

oleh Menteri.

(3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang

lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis.

67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Page 154: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

147

Pasal 79

Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal:

a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif;

b. alasan pemberian lisensi-wajib;

c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan

dasar pemberian lisensi-wajib;

d. jangka waktu lisensi-wajib;

e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada

Pemegang Paten dan cara pemberiannya;

f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya;

g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam

negeri; dan

h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang

bersangkutan secara adil.

68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 80

(1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib.

(2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten.

69. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 81

Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90

(sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang

bersangkutan.

70. Ketentuan Pasal 82 dihapus.

71. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut:

Pasal 83

(1) Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan

pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua

Undang-Undang ini apabila :

a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi;

Page 155: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

148

b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut

atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera

melaksanakannya;

c. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya

termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi-

wajib.

(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada

penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan.

72. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 84

(1) Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang

ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan

kembali Lisensi yang diperolehnya.

(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir.

73. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 86

(1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan.

(2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat

pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan

harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan.

74. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 89

(1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri

kepada Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak

tanggal pemberitahuan tersebut.

(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan.

Page 156: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

149

75. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Bagian Kedua

Batal atas Permohonan Pemegang Paten

Pasal 90

(1) Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas

permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat

dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara

tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri

kepada penerima Lisensi.

(4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dicatat dan dipublikasikan.

(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri

mengenai pembatalan tesebut.

76. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut:

Pasal 93

(1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke

Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan.

(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan

Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan

Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96

(1) Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal

untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Page 157: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

150

(2) Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga

membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan

tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut.

78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga

keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99

(1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat

penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat

mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan

sendiri Paten yang bersangkutan.

(2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut

Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden

setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau

pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.

(3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan

yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan

Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan

usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang

terkait.

79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 100

(1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang

dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi

tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan

kepentingan pertahanan keamanan Negara.

(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan

sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten

serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.

Page 158: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

151

(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari

kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat

dilaksanakan.

80. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 106

(1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan.

(2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat

Paten Sederhana.

81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

BAB IX

ADMINISTRASI PATEN

Pasal 110

Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang

ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 111

(1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten

dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten

yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas

mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten.

(2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut

berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan

moralitas.

83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai

berikut:

BAB X

B I A Y A

Page 159: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

152

Pasal 113

(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara

pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

(3) Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri

dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari

biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 115

(1) Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak

membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal

114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas

waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut.

(2) Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan

kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan

untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi

hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk

tahun tersebut.

(3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) dicatat dan dipublikasikan.

85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 116

(1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal

115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas

waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan

sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya

tahunan pada tahun keterlambatan.

Page 160: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

153

(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten

yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu

yang ditentukan.

(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut:

Pasal 116A

Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara

ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali.

87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 117

(1) Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak

berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten

tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.

(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak

Tanggal Penerimaan.

(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14

(empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.

(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan

oleh Menteri.

88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 118

(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti

rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan

sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 16.

Page 161: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

154

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu

terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten.

(3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas)

hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan

89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 123

(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling

lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi

diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan

kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.

(2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang

bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis

yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan

tanggal penerimaan pendaftaran.

(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam

waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling

lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.

(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera

paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima

memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib

menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2

(dua) hari setelah kontra memori diterimanya.

(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau

kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada

Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Page 162: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

155

(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan

menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60

(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh

Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus

delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh

Mahkamah Agung.

(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)

yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan

tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi

kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas

permohonan kasasi diucapkan.

(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud

dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2

(dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

(13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula

kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima

oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan.

90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga

keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125A

(1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada

Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut:

a. melampirkan bukti kepemilikan Paten;

b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya

pelanggaran paten;

c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau

dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk

Page 163: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

156

keperluan pembuktian;

d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang

diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah

menghilangkan barang bukti; dan

e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank.

(2) Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada

pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak

tersebut untuk didengar keterangannya.

91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 127

Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara,

hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan

untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.

92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga

keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 128

(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah

hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil

pelanggaran Paten.

(2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 125A.

(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal

permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal

Page 164: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

157

yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara

tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal

diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa

permohonan penetapan sementara.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal

penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga

harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut

diterima atau ditolak.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim

Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.

(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan

Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan

sementara dengan disertai alasannya.

93. Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut:

Pasal 128A

(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga

memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.

(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan

dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan

pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas

adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik

Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual.

Page 165: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

158

(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai

penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan

sementara tersebut.

94. Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan

Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi

sebagai berikut:

BAB XIV

KETENTUAN LAIN

Pasal 135

Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan

tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah:

a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk

tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang

sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan

untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan

Paten tersebut berakhir.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 136

Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di

bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap

berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan

perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 137

Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang

ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.

Page 166: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

159

2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Merek

1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan

Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang

Merek diubah sebagai berikut:

"Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-

angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut

yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta

digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama

atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis

lainnya.

3. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan

oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan

hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

4. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa

dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang

atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang

dan/atau jasa sejenis lainnya.

5. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara

tertulis kepada Menteri.

6. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.

Page 167: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

160

7. Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya

diangkat dengan Keputusan Menteri, untuk melakukan pemeriksaan

substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek.

8. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

9. Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.

10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang

berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri

11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah

memenuhi persyaratan minimum Permohonan.

12. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di

bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di

bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual

yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar

sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak

Kekayaan Intelektual.

13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak

lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan.

14. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan

bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di

negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama

pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

berdasarkan Konvensi Paris.

15. Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid

mengenai pendaftaran merek internasional.

16. Hari adalah hari kerja.

2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut :

Bagian Kedua

Page 168: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

161

Dasar Penolakan Permohonan

Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya

mengandung salah satu unsur di bawah ini:

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;

b. tidak memiliki daya pembeda;

c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam,

tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya

atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang

dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau,

d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang

dimohonkan pendaftarannya.

Pasal 6

(1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut:

a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih

dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa

sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

indikasi- geografis yang sudah terdaftar.

d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama

badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis

dari yang berhak;

e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,

bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik

Page 169: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

162

lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan

tertulis dari pihak yang berwenang; atau

f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi

yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas

persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula

diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang

merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek.

(3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

(4) Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 7

(1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa

Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan:

a. tanggal, bulan, dan tahun;

b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;

c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan

melalui Kuasa;

d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya

menggunakan unsur-unsur warna;

e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam

hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.

f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau

jenis jasa.

(2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang

atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.

(4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya.

Page 170: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

163

(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara

bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon

dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.

(6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan

tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas

Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para

Pemohon yang mewakilkan.

(7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan

melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak

yang berhak atas Merek tersebut.

(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan

Intelektual.

(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan

Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga

keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan

pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

(2) Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar

kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2

(dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk

memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut.

(3) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat

mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka

waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu)

bulan.

Page 171: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

164

(3b)Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu

pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir.

(4) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan

persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya

jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas.

4. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat

(3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau

Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.

(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak

dapat ditarik kembali.

5. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut:

Bagian Keempat

Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek

6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal

Penerimaan.

(2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. surat permohonan;

b. etiket merek; dan

c. bukti pembayaran biaya.

7. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut:

Bagian Kelima

Page 172: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

165

Perbaikan dan Penarikan Kembali Permohonan Pendaftaran Merek

8. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 16

(1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat

kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya.

(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan.

(3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan

secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.

9. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari

Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya.

(2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa

khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut.

(3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan

kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.

10. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut:

Bagian Pertama

Pengumuman Permohonan

11. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 18

Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Page 173: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

166

12. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 19

(1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan.

(2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara

berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya.

13. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 20

Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat:

a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan

melalui Kuasa;

b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa;

c. Tanggal Penerimaan;

d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam

hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan

e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket

Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin

dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai

terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim

digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan

Latin.

14. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut:

Bagian Kedua

Keberatan dan Sanggahan

15. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai

berikut:

Page 174: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

167

Pasal 21

(3) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,

setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri

terhadap Permohonan dengan dikenai biaya.

(4) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila

terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan

pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak

dapat didaftar atau ditolak.

16. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 22

Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal

penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan

tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya.

17. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 23

(5) Dalam hal terdapat keberatan, Pemohon atau Kuasanya berhak

menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 21 kepada Menteri.

(6) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis

dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya

salinan keberatan.

18. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Pemeriksaan Substantif

Page 175: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

168

19. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 24

(1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri

melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

(2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian

sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

(3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6.

(4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan

dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan.

(5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)

diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

(6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.

20. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 25

(1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui

untuk didaftar, maka Menteri:

a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek;

b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran

merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta

c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi

Merek.

Page 176: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

169

(2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat

didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada

Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya.

(3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri

memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan

dengan menyebutkan alasannya.

(4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang

telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.

21. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:

Bagian Keempat

Penerbitan Sertifikat Merek

22. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 26

(1) Dalam hal Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, Menteri

menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau

Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar

Umum Merek.

(2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;

b. nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa;

c. Tanggal Penerimaan;

d. nama negara dan tanggal;

e. etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam

warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila

Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin

dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia

Page 177: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

170

disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka

yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara

pengucapannya dalam ejaan Latin;

f. nomor dan tanggal pendaftaran;

g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan

h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.

23. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 27

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya

sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek

tersebut dalam Berita Resmi Merek.

(2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan

resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan

membayar biaya.

24. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 29

(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan

Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan

mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau

Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang

disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.

(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap

keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil

pemeriksaan substantif.

Page 178: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

171

(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan

perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.

25. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 30

(1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan

terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan

Permohonan.

(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat

tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap

diterima oleh Pemohon.

26. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 31

(1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3

(tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding,

Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek.

(3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon

atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan

permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3

(tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan

tersebut.

(4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

hanya dapat diajukan kasasi.

27. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 33

Page 179: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

172

(1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada

di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual.

(2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,

seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas

beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding

Merek.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Merek

membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurang-

kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior

yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

28. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 35

(1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan

perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri.

(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan

secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6

(enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek

terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya.

(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih

dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah

berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan

dikenakan biaya dan denda.

29. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan.

30. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi

sebagai berikut:

Page 180: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

173

Pasal 38

(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam

Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

(2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar

diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya.

31. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan

Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek

terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat

dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti

perubahan tersebut.

(1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih

dalam proses Permohonan.

(2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi

Merek.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan

perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

32. Judul Bab V diubah sebagai berikut:

BAB V

PENGALIHAN HAK DAN LISENSI

33. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal

40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40 A

Page 181: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

174

Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.”

34. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus.

35. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 43

(1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek

tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.

(2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia,

kecuali bila diperjanjikan lain.

(3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan

dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku

terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.

(4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri

dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

36. Ketentuan Pasal 48 dihapus.

37. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

38. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut:

BAB VI A

PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN

PROTOKOL MADRID

Pasal 55 a

Page 182: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

175

(1) Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan

Protokol Madrid.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari

Indonesia hanya dapat diajukan oleh:

a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;

b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di

Indonesia;

c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang

nyata di Indonesia.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan

Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar

Permohonan pendaftaran merek internasional.

(4) Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara

anggota Protokol Madrid.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional

berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

39. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 59

Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu

barang atau jasa.

40. Ketentuan Pasal 60 dihapus.

41. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 61

(1) Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan

berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada

Menteri.

Page 183: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

176

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan

untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa.

(3) Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat

perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut

disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.

(4) Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya

dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan

tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.

(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam

Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

42. Ketentuan Pasal 62 dihapus.

43. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 63

(1) Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61

dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada

Pengadilan Niaga berdasarkan alasan:

(2) Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam

perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau

pemakaian terakhir.

(3) Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya.

(4) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

tidak berlaku dalam hal adanya:

a. larangan impor

b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang

menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak

yang berwenang yang bersifat sementara; atau

c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Page 184: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

177

(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar

Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

44. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 66

(1) Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar

permohonan sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis

semua pemakai Merek Kolektif.

(2) Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri.

(3) Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi

Merek.

45. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67

Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga

dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).

46. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 69

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.

(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat

unsur itikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan

dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

47. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 75

Page 185: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

178

(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan

Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan

hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan

perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding

serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai

biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Dihapus.

(3) Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat

menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

48. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal

88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 88A

(1) (Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah

hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran

Merek.

(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 72.

(3) Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal

permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal

yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara

tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal

permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga

harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut

diterima atau ditolak.

Page 186: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

179

(5) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim

pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan

niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan

sementara dengan disertai alasannya.

Pasal 88B

(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga

memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.

(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan

dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan

Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan

sementara pengadilan.

(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan

pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas

adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik

Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai

tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.

49. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama

pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang

dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana

Page 187: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

180

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)”

50. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut:

Pasal 90 A

Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada

pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah)

51. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama

pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau

jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

52. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut:

Pasal 91 A

Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada

Pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

53. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 94

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau

patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91,

Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah).

Page 188: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

181

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

54. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut:

Pasal 95 A

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa.

55. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98

Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-

undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 96

(1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar,

pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat,

permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang

diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana

diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi

belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan

berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.

(2) Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19

Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun

1997 tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-

undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk

selama sisa jangka waktu pendaftarannya.

Pasal 97

Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat

diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal

5 atau Pasal 6.

Page 189: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

182

Pasal 98

Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-

undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun

1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997

tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap.

56. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99

Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor

15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-

undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum

diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang.

3. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Desain Industri 1.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara

keseluruhan maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan

tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis

dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi.

2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain

Industri.

3. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik

Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu

melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakan hak tersebut.

Page 190: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

183

4. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan

kepada Menteri.

5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.

6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam

Undang-undang ini.

7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang

berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri.

8. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di

bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa

pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak

Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri.

9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah

memenuhi persyaratan minimum.

10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh

pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan,

yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan

berdasarkan Konvensi Paris.

11. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat

dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain

Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap

Permohonan.

12. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain

Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri

atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam

Daftar Umum Desain Industri.

13. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri

kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain

Industri yang masih dilindungi.

Page 191: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

184

14. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang

berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.

16. Hari adalah hari kerja.

2. BAB II

LINGKUP DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Desain Industri yang Diberikan Perlindungan

Pasal 2

(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.

(2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain

Industri tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain

Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum.

(3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah

pengungkapan Desain Industri yang sebelum:

a. Tanggal Penerimaan; atau

b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;

c. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia

Pasal 3

Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka

waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain

Industri tersebut:

a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun

internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai

resmi; atau

b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan

dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

Bagian Kedua

Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan

Page 192: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

185

Pasal 4

Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan:

a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau

b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban

umum, agama, dan/atau kesusilaan.

Bagian Ketiga

Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri

Pasal 5

(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10

(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

(2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5

(lima) tahun.

(3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita

Resmi Desain Industri.

Pasal 6

(1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak

Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri.

(2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan

sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah

berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri.

(3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri:

a. formulir permohonan perpanjangan;

b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan

c. bukti pembayaran biaya perpanjangan.

Pasal 7

Page 193: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

186

(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam

Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain

Industri.

(2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan

secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya.

Bagian Keempat

Subjek Desain Industri

Pasal 8

(1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang

menerima hak tersebut dari Pendesain.

(2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak

Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika

diperjanjikan lain.

Pasal 9

(1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain

dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah

pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan,

kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak

Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar

hubungan dinas.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain

Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam

hubungan dinas.

(3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan

pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai

Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain

antara kedua pihak.

Pasal 10

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak

Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri,

Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri.

Page 194: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

187

Bagian Kelima

Pemegang Hak Desain Industri

Pasal 11

(1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan

Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara

tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor,

produk yang diberi Hak Desain Industri.

(2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak

merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau

tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak

Desain Industri.

(3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fitur-

fitur Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang

tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat

atau ditempatkan di dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain

sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Pasal 12

Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk

yang sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali

atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri.

3. BAB III

PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 13

(1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang

beritikad baik.

(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya.

(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Page 195: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

188

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara

tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh

Pemohon atau Kuasanya.

Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet,

melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD.

Pasal 15

(1) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau

badan hukum.

(2) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang

Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang

Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon

lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon.

(3) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh

bukan Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai

pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon

berhak atas Desain Industri yang dimohonkan.

Pasal 16

(1) Permohonan Hak Desain Industri memuat:

a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;

b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain;

c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;

d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan

melalui Kuasa;

e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama

kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;

f. Judul atau nama produk; dan

g. Klasifikasi.

(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus dilampiri dengan:

Page 196: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

189

a. Gambar dan/atau foto, dan

b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;

(3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang

sedang diajukan pendaftarannya.

Pasal 17

(1) Uraian singkat Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi:

a. judul atau nama produk;

b. keterangan gambar; dan

c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon.

(2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh

Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang

dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain

Industri diatur dengan Peraturan Pemerint

Pasal 19

Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai

pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.

Pasal 20

(1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk:

a. satu Desain Industri;

b. sebagian Desain Industri; atau

c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan

yang sama.

(2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus

diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh

Pemohon yang sama.

Page 197: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

190

Pasal 21

(1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia

harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa.

(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan

memilih domisili hukumnya di Indonesia.

Pasal 22

(1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak

Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan

Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua

Permohonan dengan Hak Prioritas

Pasal 23

(1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam

waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan

permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan

anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia.

(2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang

menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya

dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung

setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak

Prioritas.

(3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak

dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak

Prioritas.

Pasal 24

Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri

dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi

dengan:

Page 198: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

191

a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan

pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan

b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian

bahwa Desain Industri tersebut adalah baru.

Bagian Ketiga

Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif

Pasal 25

(1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah

memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a. menyampaikan data Pemohon;

b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan

c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (2).

(2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dipenuhi, Menteri memberitahukan Pemohon untuk melengkapi

kekurangan.

(3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 26

(1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal

21, Pasal 23, dan Pasal 24.

(2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24,

Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk

memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak

tanggal pemberitahuan.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang

paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara

tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri.

Page 199: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

192

(4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27

(1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak

dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau

Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.

(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak

dapat ditarik kembali.

Bagian Keempat

Penarikan Kembali Permohonan

Pasal 28

Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis

kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut

belum mendapat keputusan.

Bagian Kelima

Kewajiban Menjaga Kerahasiaan

Pasal 29

Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah

pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang

yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang

mengajukan Permohonan, memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang

berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh

karena pewarisan.

Pasal 30

(1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang

karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban

menjaga kerahasiaan Permohonan sampai dengan diumumkannya

Permohonan yang bersangkutan.

Page 200: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

193

(2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan

Permohonan.

Bagian Keenam

Pemeriksaan Substantif

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administratif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi.

(2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1,

Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20.

(3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 32

(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri.

(2) Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan Pemeriksa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundangan-undangan.

Pasal 33

(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan

ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi

Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain.

(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan

memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

Pasal 34

(1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak

jelas atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis

adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau

Page 201: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

194

Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan

tersebut.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci

serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang

dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam

pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.

(3) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan

merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara

tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi

Permohonan yang baru dengan membayar biaya.

(4) Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang

sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal

penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus

dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat

pemberitahuan.

(5) Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang

sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal

penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya.

(6) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 35

Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)

Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan

terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah

ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2),

Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis

kepada Pemohon.

Bagian Ketujuh

Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman

Page 202: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

195

Pasal 36

(1) Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara

tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. nama dan alamat lengkap Pemohon;

b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajujan

melalui Kuasa;

c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan;

d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran;

e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali

apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;

f. uraian singkat Desain Industri; dan

g. gambar atau foto Desain Industri.

(3) Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana

tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum

dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31

ayat (1).

(4) Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh

melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan

atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan

menggunakan hak prioritas.

(5) Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis

kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan

nomor permohonan dan nama pemohon.

Pasal 37

(1) Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam

waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya

pendaftaran oleh Menteri.

(2) Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

Page 203: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

196

Pasal 38

(1) Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya

kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan

Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Permohonan Banding

Pasal 39

(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang

berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang

bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau

Pasal 32 ayat (1).

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya

kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan

kepada Menteri.

(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap

keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil

pemeriksaan substantif.

(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau

penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35.

Pasal 40

(1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak

tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan

sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5).

(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat

tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap

diterima oleh Pemohon.

(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya.

Page 204: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

197

Pasal 41

(1) Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan

sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung

sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding,

Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.

(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau

Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan

Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

diterimanya keputusan penolakan tersebut.

(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya

dapat diajukan kasasi.

Bagian Kesembilan

Pembatalan Pendaftaran

Pasal 42

(1) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran,

pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran

ke Majelis Banding Desain Industri.

(2) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan

pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain

industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(3) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan

pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang

berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(4) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran

Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke

Majelis Banding Desain Industri.

(5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan

sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

Page 205: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

198

(6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Niaga.

(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6)

diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap.

4. BAB IV

MAJELIS BANDING

Pasal 43

(1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan

berada di lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan

Intelektual.

(2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap

anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri

atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga)

tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding

Desain Industri.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Desain Industri

membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)

orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak

melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas,

dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Presiden.

5. BAB V

PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL

Pasal 45

(1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional.

Page 206: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

199

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. BAB VI

PENGALIHAN HAK DAN LISENSI

Bagian Kesatu

Pengalihan Hak

Pasal 46

(1) Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan :

a. pewarisan;

b. hibah;

c. wasiat;

d. wakaf;

e. perjanjian tertulis; atau

f. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan.

(2) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.

(3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri

dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(4) Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum

Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.

(5) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Pasal 47

Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap

dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita

Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri.

Bagian Kedua

Lisensi

Pasal 48

Page 207: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

200

Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali

jika diperjanjikan lain.

Pasal 49

Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik

pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain

Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut.

Pasal 50

Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,

pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau

memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.

Pasal 51

(1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada

Menteri dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang

ini.

(2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri

tidak berlaku terhadap pihak ketiga.

(3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam

Berita Resmi Desain Industri.

Pasal 52

(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan

akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan

yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 208: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

201

7. BAB VII

PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri

Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri

Pasal 53

(1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan

tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri.

(2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat

dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara

tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran

tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis

oleh Menteri kepada:

a. pemegang Hak Desain Industri;

b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam

Daftar Umum Desain Industri;

c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak

Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi

terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan.

(4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam

Berita Resmi Desain Industri.

Bagian Kedua

Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan

Pasal 54

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh

pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan

Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri.

Page 209: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

202

(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang

pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri

paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.

Bagian Ketiga

Tata Cara Gugatan

Pasal 55

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua

Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili

tergugat.

(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan

tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang

bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima

tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan

tanggal pendaftaran gugatan.

(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan

Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan

didaftarkan.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan

pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan

menetapkan hari sidang.

(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka

waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.

(7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari

setelah gugatan pembatalan didaftarkan.

(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan

puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama

30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)

yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan

tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat

Page 210: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

203

dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan

suatu upaya hukum.

(10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)

wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat

belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.

Pasal 56

Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat

(2) hanya dapat dimohonkan kasasi.

Pasal 57

(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling

lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi

diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan

kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.

(2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang

bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis

yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan

tanggal penerimaan pendaftaran.

(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam

waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling

lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.

(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera

paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima

memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib

menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2

(dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya.

(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau

kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada

Page 211: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

204

Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).

(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan

menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60

(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh

Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan

puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah

Agung.

(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)

yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan

tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi

kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas

permohonan kasasi diucapkan.

(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi

paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

Pasal 58

Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dalam Daftar Umum Desain Industri dan

mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri.

Bagian Keempat

Akibat Pembatalan Pendaftaran

Pasal 59

Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum

yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari

Desain Industri tersebut.

Pasal 60

Page 212: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

205

(1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak

melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang

ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.

(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib

meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya

kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib

mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang

dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya.

8. BAB VIII

BIAYA

Pasal 61

(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara

pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan

Peraturan Menteri.

(3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri

biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. BAB IX

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Kesatu

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 62

(1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat

siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa :

a. gugatan ganti rugi; dan/atau

Page 213: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

206

b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan

Niaga.

Bagian Kedua

Tata Cara Penyelesaian Sengketa

Pasal 63

Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal

61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum

Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54

Undang-undang ini.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Pasal 64

Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak

dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa.

Pasal 65

Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara

mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal

42, dan Pasal 61.

10. BAB X

PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN

Pasal 66

Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta

hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara

tentang:

a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak

Desain Industri;

b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri.

Page 214: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

207

Pasal 67

(1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada

Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut :

a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri;

b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya

pelanggaran Desain Industri;

c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang

diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan

pembuktian;

d. adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan

pelanggaran Desain Industri akan dapat dengan mudah

menghilangkan barang bukti; dan

e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.

(2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65

telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak

yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut

untuk didengar keterangannya.

Pasal 68

Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan

sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus

memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.

Pasal 69

(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah

hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil

pelanggaran Desain Industri.

(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 66.

Page 215: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

208

(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal

permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal

yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara

tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal

diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa

permohonan penetapan sementara.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal

penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga

harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut

diterima atau ditolak.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim

pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.

(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan

Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan

sementara dengan disertai alasannya.

Pasal 70

(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil

pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh)

hari untuk dimintai keterangan.

(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan

dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan

Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan

sementara pengadilan.

(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan

Page 216: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

209

pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain

Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan

atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian

Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang

telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai

penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara

tersebut.

11. BAB XI

PENYIDIKAN

Pasal 71

(1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik

Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas

dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi

wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan

penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal dari tersangka;

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan;

e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

Page 217: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

210

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;

j. Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar

pencarian orang (dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap

pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

(3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada

Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI.

12. BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 72

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta

rupiah).

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan

delik aduan.

13. BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73

(1) Pemrosesan Permohonan, pencatatan pengalihan hak, pencatatan

perubahan nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain

Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya

Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun

terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.

(2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat

Page 218: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

211

diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk

selama sisa jangka waktu pendaftarannya.

Pasal 74

Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap

dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 dan Pasal 4.

Pasal 75

Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat

Undang-Undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2000 tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 76

Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya

Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau

belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

14. IV. KETENTUAN PENUTUP

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-

Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 219: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian sebagaimana telah diuraikan pada Bab-bab terdahulu,

dapat ditarik kesimpulan atas empat identifikasi masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Pengaturan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang

Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri ke dalam satu naskah

RUU Hak Kekayaan Industri, harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu

sebagai berikut:

a. Ditinjau dari Aspek Ruang Lingkup Bidang Hukum

Ditinjau dari ruang lingkup bidang hukum, apabila perubahan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001

Tentang Desain Industri, dikompilasi ke dalam 1 (satu) naskah RUU Tentang

Hak Kekayaan Industri, perlu dikaji hal-hal sebagai berikut:

(1) Penyusunan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri harus memenuhi

ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “penamaan” RUU Tentang

Hak Kekayaan Industri yang memuat Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

Tentang Desain Industri tidak tepat karena di bagian “penamaan”

Page 220: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

213

mencakup kata “perubahan”, melainkan menggunakan Undang-Undang

baru yang didalamnya mencakup Undang-Undang Paten, Undang-

Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri (sebagai alternatif

mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri, tetap dapat

dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan menyebutkan

satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang Paten,

Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang

disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak

Kekayaan Industri).

(2) Kewenangan pembahasan bidang industri akan menjadi kewenangan

Komisi VI DPR (Perekonomian), sedangkan substansi RUU Hak Kekayaan

Industri merupakan kewenangan bidang Hukum yaitu Komisi III DPR.

Apabila pembahasan RUU Hak Kekayaan Industri menjadi kewenangan

Komisi VI DPR, maka pendefinisian Menteri menjadi Menteri

Perindustrian, bukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini

berdampak pada status pemrakarsa RUU yang seharusnya adalah

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beralih ke Menteri

Perindustrian.

(3) Apabila penyusunan RUU Hak Kekayaan Industri sesuai urutan Prolegnas

Prioritas Tahun 2011 Nomor 52 yang substansinya meliputi perubahan

terhadap 3 (tiga) Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Tentang Paten,

Undang-Undang Tentang Merek dan Undang-Undang Tentang Desain

Industri, bagaimana status RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten (Prolegnas Nomor 214), RUU

Page 221: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

214

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang

Merek (Prolegnas Nomor 215), dan RUU tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri

(Prolegnas Nomor 217).

(4) Perkembangan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual sangat cepat

sehingga menyulitkan untuk melakukan perubahan ataupun

penyempurnaan hanya pada salah satu bidang Hak Kekayaan Industri.

(5) Sulitnya menyusun suatu RUU Hak Kekayaan Industri yang mencakup

Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang

Desain Industri ( dari segi tehnik penulisan atau drafting), apakah dalam

bentuk suatu kodifikasi, kompilasi atau luruh menjadi satu UU yang baru.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan hukum di bidang

Hak Kekayaan Industri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif,

efisien, lebih meningkatkan perekonomian Indonesia dan mendukung

peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing

nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi.

2. Hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam Perubahan UU Nomor 14 Tahun

2001 Tentang Paten, UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, UU Nomor 31

Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, menjadi materi muatan RUU Hak Kekayaan

Industri, yaitu sebagai berikut:

a. Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten

1) Lingkup Paten

a) Lingkup perlindungan sebaiknya disatukan dalam satu pasal yaitu

mencakup Paten dan Paten Sederhana.

Page 222: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

215

b) Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten sebaiknya diatur dalam satu pasal

(tidak dalam Penjelasan) sehingga mencakup semua pengecualian yang

didalamnya memuat kreasi estetika;skema;aturan dan metode untuk

melakukan kegiatan: yang melibatkan kegiatan mental, atau permainan;

dan/atau bisnis, aturan dan metode mengenai program

komputer;presentasi mengenai suatu informasi.

c) Perlindungan diberikan bagi perkembangan invensi yang berkaitan

dengan cara transformasi nuklir

2) Hak dan Kewajiban Pemegang Paten

Mengenai hak dan kewajiban pemegang paten dan hal-hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan paten maupun pengecualiannya diatur dalam 1 Pasal

baru.

3) Penetapan Sementara Pengadilan Niaga

Dalam prakteknya Penetapan Sementara Pengadilan Niaga belum dapat

diterapkan sebagaimana mestinya, sebaiknya segera dikeluarkan

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur tata-cara dan

prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.

4) Pengecualian

Ketentuan dalam Pasal 135 mengenai pengecualian dari ketentuan pidana,

sebaiknya mencakup pula pengecualian dari tuntutan perdata.

5) Perlu diterbitkannya Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.

a) Peraturan Pemerintah

(1) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu;

(2) Permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan

Page 223: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

216

yang diajukan dengan Hak Prioritas;

(3) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif.

b) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan

nama dan/atau alamat.

b. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

1) Merek yang tidak dapat di daftar

Ketentuan mengenai Merek yang Tidak Dapat didaftar ditambahkan ayat

baru yaitu ”dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis,

ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang

dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman

yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis”

2) Protokol Madrid

Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Madrid yang

dapat diajukan oleh pemohon dengan kriteria Pemohon yang memiliki

kewarganegaraan Indonesia; Pemohon yang memiliki domisili atau

tempat kedudukan hukum di Indonesia; Pemohon yang memiliki kegiatan

usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia.

3) Penetapan Sementara Pengadilan

Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa

permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah

adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang

mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan

tersebut.

Page 224: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

217

c. Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Desain

Industri

1) Desain Industri yang tidak diberikan perlindungan

Perlu ditambahkan ayat baru mengenai Hak Desain Industri tidak

diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan yaitu karena murni

semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis.

2) Peraturan Pemerintah

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak

Desain Industri dan Permohonan Pendaftaran Internasional perlu diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

3) Penetapan Sementara Pengadilan

Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa

permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah

adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang

mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan

tersebut.

3. Adapun landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-

Undang Tentang Hak Kekayaan Industri sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri, yaitu:

1) Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum)

2) Undang-Undang Dasar 1945

3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31

Page 225: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

218

Tahubn 2001 Tentang Desain Industri yang merupakan hak eksklusif

diberikan oleh Negara kepada inventor dan/atau pemegang hak, dan

merupakan intangibleasset (benda bergerak) yang disamakan dengan

benda tidak bergerak, karena Paten/Merek/Desain Industri bersertifikat

maka dapat dialihkan haknya, dijual belikan, dihibahkan, dilisensikan dan

lain sebagainya.

b. Landasan Yuridis

1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945.

2) Pancasila.

3) Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Komitmen

Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 yang

mengamanahkan Kementerian Hukum & HAM bertanggung jawab atas

pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Tujuannya adalah untuk

mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta

meningkatkan daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang

berdaya saing tinggi.

4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement

Establishing the World Trade Organization atau Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Lembaran Negara Tahun

1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564.

5) The Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang

diratifikasi dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan

Keppres No. 24 tahun 1979.

Page 226: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

219

6) Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden

No. 16 Tahun 1997.

7) Trademark Law Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No.

17 Tahun 1997.

8) Nice Agreement concerning the International Classification of Goods

and Services for the Purpose of the Registration of Marks.

9) Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the

International Registration of Mark.

10) Singapore Treaty of the Law of Trademark.

11) The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the

International Registration of Industrial Design.

12) The Locarno Agreement Establishing an International Classification for

Industrial Designs.

13) The Budapest Treaty on the International Recognition of the Deposit of

Microorganism for the Purpose of Patent Procedure.

c. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri di bidang Paten,

Merek dan Desain Industri adalah sebagai berikut:

1) Hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum

Hak Kekayaan Industri (Paten, Merek dan Desain Industri) yang

memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.

2) Melindungi individu atau anggota masyarakat dalam pergaulannya

dengan masyarakat secara umum.

Page 227: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

220

3) Di bidang Paten, sebagaimana disepakati dalam deklarasi Doha yang

isinya setiap negara yang sedang mengalami emergensi karena mendapat

wabah penyakit, maka Negara tersebut dapat memperbanyak dan

memproduksi langsung obat untuk mengantisipasi penyakit yang

mengakibatkan wabah tersebut, tanpa sepengetahuan pemegang paten

artinya negara dibenarkan untuk melaksanakan lisensi wajib.

4. Sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang

Tentang Hak Kekayaan Industri yaitu:

1) Untuk lebih meningkatkan kepastian hukum di bidang Hak Kekayaan Industri

guna memperlancar dan merealisasikan penegakan hukum di bidang Hak

Kekayaan Intelektual.

2) Untuk meningkatkan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan

daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi.

3) Untuk meningkatkan peran ekonomi kreatif dalam rangka mencapai

pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi demi peningkatan kesejahteraan

rakyat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran

sebagai berikut:

1. Perlu dipertimbangkan kembali mengenai rencana penyusunan RUU Hak

Kekayaan Industri yang akan mencakup perubahan dari 3 (tiga) Undang-Undang,

yaitu Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain

Industri karena ruang lingkup Hak Kekayaan Industri juga mencakup Rahasia

Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Page 228: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

221

2. Pengajuan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup perubahan atas

Undang-Undang Paten, Undang-Undang Desain Industri, dan Undang-Undang

Merek dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2011 sebaiknya ditinjau ulang dan

dirundingkan kembali antar instansi pemerintah yaitu Ditjen HKI, BPHN dan Ditjen

PP, serta melibatkan Baleg DPR.

3. Dari segi teknik “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri yang berisi paket

perubahan atas Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-

Undang Desain Industri, sebaiknya tidak menggunakan kata “perubahan”

terhadap Undang-Undang Paten, Undang-Undang merek dan Undang-Undang

Desain Industri, melainkan menggunakan Undang-Undang baru yang didalamnya

mencakup Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang

Desain Industri (sebagai alternatif mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan

Industri, tetap dapat dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan

menyebutkan satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang

Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang

disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak Kekayaan

Industri).

4. Terkait dengan Lisensi Wajib di bidang Paten, lisensi di bidang Merek dan Desain

Industri, sebaiknya pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah

tentang tata cara pencatatan perjanjian Lisensi dan Lisensi Wajib di bidang Paten,

Merek dan Desain Industri, Hak Pemakai Terdahulu, Pemohonan dengan Hak

Prioritas dan sebagainya yang sampai saat ini belum diatur.

Page 229: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

222

5. Perlu segera diatur Peraturan Pemerintah tentang Tata cara dan Prosedur

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga dan juga diterbitkan Peraturan Mahkamah

Agung mengenai tata-cara dan prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.

6. Di bidang Merek, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya

Protokol Madrid, Singapore Treaty dan Nice Agreement.

7. Di bidang Industri, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya

Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the international Registration

of Industrial Design dan Locarno Agreement.

Page 230: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik

Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1990.

Braithwaite, John dan Peter Drahos, Global Business Regulation, New York: Cambridge

University Press, 2000.

Chisum, Donald S, dan Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New

York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995.

Citrawinda Cita, Hak Kekayaan Intelektual – Tantangan Masa Depan, Jakarta: Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Cooter, Robert, dan Thomas Ulen, Law and Economics, Third Edition, USA: Addison-Wesley,

2000.

D’Amato, Anthony & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, London:

Kluwer Law International, 1997.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang:

Direktorat Jenderal HKI, 2003.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman Republik Indonesia

dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Tangerang:

Direktorat Jenderal HKI,1999.

Djumhana, Muhamad dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya

di Indonesia cetakan 3, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Page 231: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

224

Fauza , Ranti Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan

Bebas, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.

Friedman, Lawrence M., Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An

Introduction, Cambridge Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990.

Friedmann W, Legal Theory, Columbia: Fifthty Edition University Press, 1967.

Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara HKI, Jakarta: Tatanusa, 2004.

Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Desain Industri, Jakarta:

Tatanusa, 2005.

Hughes, Justin, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo. L.J, 1988.

Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya terhadap Industri dan

Perdagangan Internasional, Disampaikan dalam Seminar tentang Pengaruh Hak Milik

Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional, di Jakarta, 1993.

Kumpulan Perkara-perkara Desain Industri dari beberapa Praktisi Hukum Tahun 2008.

Kumpulan Putusan-putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun 2008.

Lindsey, Tim ed, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2005

Michael, Blekeney, Priority Foreign Countries, EIPR, 1996.

Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual PascaTRIPs, Bandung: PT. Alumni,

2005.

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.

Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1993.

Page 232: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

225

Sherwood, Robert M, Intellectual Property and Economic Development: Westview Special

Studies in Science Technology and Public Policy, San Francisco: Westview Press Inc,

1990.

Sinungan, Ansori, Perlindungan Desain Industri – Tantangan dan Hambatan dalam

Praktiknya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2011.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.

Artikel/Makalah/Jurnal

James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark

Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993).

Soeparman, Andrieansjah, Jenis Permohonan Penilaian Kebaruan dan Penggunaan Hak

Desain Industri di Indonesia, Media HKI Vol. IV No. 5, Oktober 2007.

Agus Riswandi, Budi, Melindungi Desain yang tidak Terdaftar, Majalah Handicraft Indonesia

edisi 40 Tahun VI/Mei, 2007.

Citrawinda Cita, Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia, makalah disampaikan dalam

Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan

Penegakan Hukumnya, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2008.

Cita Citrawinda, Sisi Lemah UU Desain Industri, Majalah Mahkamah, 2008.

Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi

Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, pidato pada Dies Natalis

Universitas Sumatera Utara ke-44, 2001.

Page 233: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

226

Komar, Mieke dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa

Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada

Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era

Globalisasi Abad 21, Bandung, 1998.

Tim Kepres, Strategi dan peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era

Globalisasi, Panel Diskusi bidang Hukum Hak Milik Intelektual, Jakarta: Dewan

Pimpinan Pusat Golongan Karya, 1992.

Juwana, Hikmahanto, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Jakarta:

Lentera Hati, 2002.

Konvensi, Traktat, Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan lain

Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.

Indonesia, Undang-undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran

Utang (PKPU) Nomor 37 Tahun 2004

Indonesia, Undang-undang Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.

Indonesia, Undang-undang Tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001.

Indonesia, Undang-undang Tentang Paten Nomor 14 Tahun 2001.

Indonesia, Undang-undang Tentang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000.

Indonesia, Undang-undang Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade

Organization Nomor 7 Tahun 1994.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005.

Page 234: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

227

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 31 Tahun

2000 Tentang Desain Industri.

Keputusan Presiden, Rekapitulasi Bahan Laporan dari Markas Besar Kepolisian Republik

Indonesia selaku Instansi Anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI

kepada Presiden berdasarkan Keppres Nomor 4 Tahun 2006.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan

Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for

the Protection of Industrial Property

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Patent Cooperation

Treaty

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Trademark Law

Treaty

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang the Berne

Convention for the Protection of Literary and Artistic Works

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs.

The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent Procedure

The Geneva Act concerning the Hague Agreement concerning the International Deposit of

Industrial Design

The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs

The Madrid Protocol concerning the International Registration of Trademarks ………

The Nice Agreement concerning the International Classification of Goods and Services for the

Purpose of the Registration of Marks

WIPO Intellectual Property Reading Material 1995.

Page 235: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

228

Internet

Anastasia Bibikova and VadimKotelnikov, Est Versus West: Philosophy, Cultural Values and

Mindset, http;//www.1000ventures.com/business_guide/crosscuttings/cultures_east-

west-phylosophy.

Mufti Taqi Usmani, Copyright According to Syariah: Albalagh News Letter,

http://www.albalagh.net/qa/copyright.shtml, 24 Juli 2008.

Murray Johannsen, The Global Leader: Understanding Eastern & Western Culture and

Business Practices, http://www.legacee.com/Culture/CultureOverview.thml.

Page 236: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR…TAHUN… TENTANG

HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN

INDUSTRI, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek dan Desain Industri sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual;

b. bahwa kekayaan hayati, budaya dan etnis bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam merupakan sumber daya yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi pengembangan Hak Kekayaan Industri;

c. bahwa dalam rangka meningkatkan peran industri dalam negeri, perlu didorong peningkatan Hak Kekayaan Industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional;

d. bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Paten, Merek dan Desain Industri;

e. bahwa Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual, perlu melaksanakan ketentuan tersebut secara berkelanjutan dan berkesinambungan di dalam hukum nasional;

f. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Paten, Merek dan Desain Industri menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat;

g. bahwa untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Industri yang lebih memadai;

Page 237: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

2

h. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan perkembangan hukum internasional sehingga perlu diganti;

i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a sampai dengan h, dengan memperhatikan penilaian terhadap segala pengalaman, khususnya kekurangan selama pelaksanaan, serta sudah tidak cukup memadai untuk menampung perkembangan perlindungan Paten, Merek dan Desain Industri saat ini, untuk memudahkan masyarakat memahami, sehingga dipandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dengan Undang-Undang yang baru dalam bentuk satu naskah yaitu Undang-undang Hak Kekayaan Industri.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);

3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 2429, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4045);

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4130);

5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131);

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN

ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN

Page 238: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

3

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI).

I. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 dihapuskan dan ditambahkan dengan ketentuan baru

Pasal 14a, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi.

2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.

4. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten. 6. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang

menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

7. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

8. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia

10. Ketentuan angka 10 dihapus 11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah

memenuhi persyaratan administratif minimum. 12. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World

Page 239: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

4

Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut.

13. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi.

14. Hari adalah hari kerja. 14a. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di

bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan diangkat oleh Menteri.

2. Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundang-

undangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai berikut:

BAB II

LINGKUP PATEN

Bagian Kesatu Lingkup Perlindungan

Pasal 1a

Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah a. Paten; dan b. Paten Sederhana.

3. Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut:

Bagian Kedua

Invensi Yang Dapat Diberi Paten

Pasal 2 Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri.

4. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:

Paragraf 1 Invensi Yang Baru

Pasal 3

(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.

Page 240: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

5

(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:

a. tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas.

(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

5. Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu menambahkan

ayat 1 huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4 (1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu

paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan: a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran

internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;

b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau

b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor dan/atau Institusinya.

(2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut.

6. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5

disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 2 Invensi Yang mengandung Langkah Inventif

Pasal 4A

(1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan

Page 241: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

6

permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.

7. Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut:

Paragraf 3 Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri

Pasal 5

Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.

8. Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga

keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga Paten Sederhana

Pasal 6

Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya.

9. Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan

ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten

Pasal 7

Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau

pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,

kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. f. kreasi estetika; g. skema; h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:

Page 242: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

7

1. yang melibatkan kegiatan mental, atau 2. permainan;dan/atau 3. bisnis.

i. aturan dan metode mengenai program komputer; j. presentasi mengenai suatu informasi; atau k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir.

10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut:

Bagian Kelima Jangka Waktu Perlindungan

Pasal 8

(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.

(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan. 11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut:

Bagian Keenam

Subjek Paten

Pasal 10 (1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih

lanjut hak Inventor yang bersangkutan. (2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak

atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.

12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 15 (1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan untuk itu kepada Menteri.

(2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten.

(3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya.

(4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut.

(5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal 16

diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV dan

Page 243: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

8

keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN

Pasal 16

(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal:

a. Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;

b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk yang dilindungi dalam Paten-produk sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Paten-produk

(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.

14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22

dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B, sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi sebagai berikut:

BAB V

PERMOHONAN PATEN Bagian Kesatu

Tata Cara dan Syarat Permohonan

Pasal 20 Paten diberikan atas dasar Permohonan. 15. Ketentuan Pasal 22 dihapus

Pasal 22A (1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam bahasa

Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara elektronik.

Page 244: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

9

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 22B

(1) Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat sebagai alamat surat menyurat Pemohon.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.

(3) Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa yang sudah ditanda tangani oleh pemohon.

(4) Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor, Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah.

(5) Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut.

16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2), ayat

(3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24 (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri (2) Permohonan harus memuat:

a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui

Kuasa; dan e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali,

dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

a. judul Invensi; b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan

tentang cara melaksanakan Invensi; c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi; d. abstrak Invensi; e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk

memperjelas Invensi; f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten

Page 245: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

10

Pasal 24A Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya.

Pasal 24B

Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi.

Pasal 24C

Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan ayat

(3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Bagian kedua Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Pasal 25

(1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya (2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri. (3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga

kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.

(3a) Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.

18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas.

(2) Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi: a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan substantif

yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;

b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;

c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut ditolak;

d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang pernah

Page 246: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

11

dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah dibatalkan; e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa

Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.

(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon

19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga

keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan

Pasal 30

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan oleh Menteri.

(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22A ayat (1). (3) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis dalam

bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali.

21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan perubahan

“Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31

Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Menteri..

Page 247: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

12

Pasal 31A Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya.

22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal

rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut.

(2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan atas permintaan Pemohon.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya.

23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 33

Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali.

24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut:

Bagian Kelima Amandemen, Divisional, dan Pengubahan

25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:

Paragraf 1 Amandemen

26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat (2)

dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Page 248: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

13

Paragraf 2 Divisional Pasal 36

(1) Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon dapat mengajukan divisional Permohonan.

(2) Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk permohonan Paten Sederhana.

(3) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam Permohonan semula.

(4) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56.

(5) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan semula.

(6) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula.

27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat

(1a), sebagai berikut:

Paragraf 3 Pengubahan

Pasal 37

(1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(1a) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif.

28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai

berikut: Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Pemerintah

29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat

(2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta mengubah

Page 249: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

14

“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keenam

Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan

Pasal 39 (1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri

oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A, sebagai

berikut: Pasal 39A

(1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data Pemohon dengan membayar biaya.

(2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Bagian Ketujuh

Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan

Pasal 40 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan.

32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman” menjadi

“Publikasi”, sebagai berikut:

BAB IV PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF

Bagian Pertama

Publikasi Permohonan

33. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan ”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:

Page 250: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

15

Pasal 42 (1) Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan

Pasal 4. (2) Publikasi dilakukan:

a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau

b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal Penerimaan.

(3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih

awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya. (3a) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam) bulan

setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi. 34. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan

”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:

Pasal 43 (1) Publikasi dilakukan dengan :

a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri; dan/atau

b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat.

(2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri.

35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut:

Pasal 44 (1) Publikasi dilaksanakan selama :

a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten;

b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten Sederhana.

(2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan: a. nama dan kewarganegaraan Inventor; b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan

diajukan melalui Kuasa; c. judul Invensi; d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas,

tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan yang pertama kali diajukan;

e. abstrak; f. klasifikasi Invensi; g. gambar, jika ada; h. nomor pengumuman; dan i. nomor Permohonan.

Page 251: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

16

36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan Pasal

45B, sebagai berikut:

Pasal 45A Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri.

Pasal 45B

Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.

37. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 38. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 39. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta perubahan “Keputusan

Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut: Pasal 48

(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dikenai biaya.

(2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 49

(1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

(2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.

(3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau Kuasanya.

(4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi.

(5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut.

41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Page 252: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

17

Pasal 50 (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli

dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain.

(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41.

42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal 52

disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut:

Pasal 51 (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa. (2) Dihapus (3) Dihapus

Pasal 51A Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52.

43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 52

(1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.

44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 53 Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.

45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagi berikut:

Page 253: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

18

Bagian Ketiga Persetujuan atau Penolakan Permohonan

Pasal 54

Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan:

a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi tersebut.

b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal Penerimaan.

46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 55 (1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa

menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya.

(2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya.

(3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.

(4) Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.

47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Paragraf 2 Penolakan Permohonan

Pasal 56

(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada Pemohon atau

Page 254: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

19

Kuasanya. (2) Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan

tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (3).

(3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya.

(4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.

48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai

berikut:

Pasal 56A Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.

49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga A Sertifikat Paten

Pasal 57

(1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten. (2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri. (3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 3

(tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten. (4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan

invensi yang diuraikan dalam klaim.

Bagian Ketiga B Perbaikan Sertifikat

Pasal 58A

(1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).

(2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim.

Page 255: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

20

(3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon, permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya.

Bagian Ketiga C

Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten

Pasal 59A (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten

dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut.

(2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri dan dipublikasikan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

49. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga keseluruhanya berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Permohonan Banding Dan Majelis Banding

Pasal 60 (1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap:

a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50;

b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan. c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 31,

Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36.

d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a.

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.

(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.

(4) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c harus diajukan dengan menguraikan

(5) secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang cukup.

Page 256: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

21

(6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3).

50. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 61 (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a

harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali permohonan.

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan sertifikat.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.

(4) Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya.

51. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut:

Pasal 61A (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c

dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan pemberian paten.

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk Gugatan melalui Pengadilan Niaga.

52. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:

Pasal 62

(1) Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.

(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.

(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi.

Page 257: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

22

53. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai berikut:

Pasal 63

Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

54. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64

diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kelima Majelis Banding Paten

Pasal 64

(1) Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan

(2) anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Paten.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

55. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:

Pasal 65

Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

56. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

BAB V

PENGALIHAN HAK

Page 258: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

23

Pasal 66 (1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:

a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu.

(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya.

(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum.

(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

57. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru dan

perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

BAB VA LISENSI DAN LISENSI-WAJIB

Bagian Kesatu

Lisensi

58. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 71 (1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak

langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.

(2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri.

59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 72 (1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana

Page 259: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

24

dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Bagian Kedua Lisensi-Wajib

Pasal 74

Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan.

61. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 75 (1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri

dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia setelah lewat jangka waktu:

a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten; atau

b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten.

(3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.

62. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 76 (1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2),

lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila : a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia :

1. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh;

2. mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan secepatnya; dan

3. telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan

b. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.

Page 260: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

25

(2) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada

jangka waktu perlindungan Paten. (3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan

mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta Pemegang Paten bersangkutan.

63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 77 Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya.

64. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut:

Pasal 77A

(1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62 ayat (2).

(2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib.

(3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan tersebut.

65. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 78

(1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi-wajib kepada Pemegang Paten.

(2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan oleh Menteri.

(3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis.

66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Page 261: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

26

Pasal 79 Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal:

a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi-wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan

dasar pemberian lisensi-wajib; d. jangka waktu lisensi-wajib; e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada

Pemegang Paten dan cara pemberiannya; f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam

negeri; dan h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang

bersangkutan secara adil. 67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 80

(1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib. (2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten.

68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 81 Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang bersangkutan.

69. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 70. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut:

Pasal 83 (1) Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan

pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua Undang-Undang ini apabila :

a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut

atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera melaksanakannya;

b. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi-wajib.

(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan.

Page 262: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

27

72. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan

“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 84

(1) Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan kembali Lisensi yang diperolehnya.

(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir. 73. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”

menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 86 (1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. (2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat

pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan.

74. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”

menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 89 (1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada

Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.

(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan.

75. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”

menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Bagian Kedua Batal atas Permohonan Pemegang Paten

Pasal 90

(1) Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada penerima Lisensi.

(4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan dipublikasikan.

Page 263: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

28

(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri mengenai pembatalan tesebut.

.76. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut:

Pasal 93

(1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan.

(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan

Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96 (1) Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal untuk

seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut.

78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga

keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99 (1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat

penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan.

(2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.

(3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.

79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 100 (1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang

dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara.

Page 264: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

29

(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.

(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan.

80. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”

menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:

Pasal 106 (1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan. (2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat Paten

Sederhana. 81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

BAB IX

ADMINISTRASI PATEN

Pasal 110 Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 111 (1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten

dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten.

(2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan moralitas.

83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai

berikut: BAB X

B I A Y A

Pasal 113 (1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara

Page 265: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

30

pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan perundang-undangan.

84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 115 (1) Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak

membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut.

(2) Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut.

(3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dan dipublikasikan

85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 116 (1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal

115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan.

(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan.

(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut:

Pasal 116A Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali.

Page 266: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

31

87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 117 (1) Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak

berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.

(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan.

(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.

(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan oleh Menteri.

88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 118 (1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi

kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten.

(3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan

89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:

Pasal 123 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling

lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.

(2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.

(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera

Page 267: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

32

paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori diterimanya.

(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.

(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

(13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan.

90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga

keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125A (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada

Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut: a. melampirkan bukti kepemilikan Paten; b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya

pelanggaran paten; c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau

dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian;

d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan

e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank (2) Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Page 268: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

33

125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya.

91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 127 Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.

92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga

keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 128 (1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Paten.

(2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125A.

(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.

(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.

93. Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut:

Pasal 128A (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara

Page 269: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

34

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.

(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual.

(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.

93. Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan

Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi sebagai berikut:

BAB XIV

KETENTUAN LAIN

Pasal 135 Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah:

a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 136 Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 137

Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana

Page 270: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

35

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. II. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

3. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

4. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.

5. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.

6. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.

7. Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri, untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek.

8. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

9. Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.

10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri

11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum Permohonan.

Page 271: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

36

12. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan

14. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.

15. Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid mengenai pendaftaran merek internasional.

16. Hari adalah hari kerja 2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut :

Bagian Kedua

Dasar Penolakan Permohonan

3. Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

”Pasal 5

Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya mengandung salah satu unsur di bawah ini:

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;

b. tidak memiliki daya pembeda; c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam,

tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau,

d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

“Pasal 6

(1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek

milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

Page 272: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

37

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi- geografis yang sudah terdaftar.

d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau

f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan

terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek.

(3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan Peraturan

Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 7

(1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya

menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal

Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa.

(2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.

(4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya.

(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.

(6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek

Page 273: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

38

tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.

(7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.

(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

5. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga keseluruhan

Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 13

(1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

(2) Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut.

(3a) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu) bulan.

(3b) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir.

(3) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas.”

6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai

berikut:

"Pasal 14

(1) Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat (3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.

Page 274: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

39

(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.”

7. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut:

“Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek”

8. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15

berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan.

(2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat permohonan; b. etiket merek; dan c. bukti pembayaran biaya.”

9. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut:

“Bagian Kelima

Perbaikan dan Penarikan KembaliPermohonan Pendaftaran Merek”

10. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16

(1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya.

(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan.

(3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.”

11. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai

berikut:

“Pasal 17

(1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya.

Page 275: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

40

(2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut.

(3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.”

12. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut:

“ Bagian Pertama Pengumuman Permohonan”

13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 18

Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”

14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 19

(1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan.

(2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya.”

15. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 20

Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat: a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan

melalui Kuasa;

b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa;

c. Tanggal Penerimaan;

d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan

e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin.”

16. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut:

Page 276: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

41

“Bagian Kedua Keberatan dan Sanggahan”

17. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 21 (1) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,

setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri terhadap Permohonan dengan dikenai biaya.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak dapat didaftar atau ditolak.”

18. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 22

Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya.”

19. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 23

(1) Dalam hal terdapat keberatan, Pemohon atau Kuasanya berhak menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Menteri.

(2) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan keberatan.”

20. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut:

“Bagian Ketiga Pemeriksaan Substantif”

21. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 24

(1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

(2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

Page 277: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

42

terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

(3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6.

(4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan.

(5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

(6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.”

22. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 25

(1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, maka Menteri:

a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek;

b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta

c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.

(2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya.

(3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan dengan menyebutkan alasannya.

(4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.”

23. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:

“Bagian Keempat Penerbitan Sertifikat Merek”

24. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 26

(1) Dalam hal Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, Menteri menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek.

(2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

Page 278: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

43

a. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar; b. nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa; c. Tanggal Penerimaan; d. nama negara dan tanggal; e. etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam

warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;

f. nomor dan tanggal pendaftaran; g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.”

25. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 27

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.

(2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan membayar biaya.”

26. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai

berikut: “Pasal 29

(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.

(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.

(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.”

27. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi sebagai

berikut: “Pasal 30

(1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan Permohonan.

Page 279: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

44

(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.”

28. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai

berikut: “Pasal 31

(1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding, Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek.

(3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.

(4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat diajukan kasasi.”

29. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 33

(1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual.

(2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Merek.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Merek membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.”

30. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 35

(1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri.

(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan

Page 280: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

45

sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya.

(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya dan denda.”

31. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan.

32. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai

berikut:

“Pasal 38

(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

(2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya.”

33. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal

39 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 39

(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut.

(1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.

(2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

34. Judul Bab V diubah sebagai berikut:

“BAB V PENGALIHAN HAK DAN LISENSI”

35. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal

40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut:

Page 281: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

46

“Pasal 40 A Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.”

36. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus.

37. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi sebagai

berikut:

“Pasal 43

(1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.

(2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain.”

(3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.

(4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”

38. Ketentuan Pasal 48 dihapus.

39. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

40. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut:

“BAB VI A PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN

PROTOKOL MADRID

Pasal 55 a (1) Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan Protokol

Madrid.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari Indonesia hanya dapat diajukan oleh: a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di

Indonesia

Page 282: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

47

c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar Permohonan pendaftaran merek internasional.

(4) Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara anggota Protokol Madrid.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

41. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 59 Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.”

42. Ketentuan Pasal 60 dihapus.

43. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 61

(1) Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada Menteri.

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa.

(3) Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.

(4) Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.

(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”

44. Ketentuan Pasal 62 dihapus.

45. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 63

(1) Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan:

Page 283: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

48

a. Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

b. Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya.

(2) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang

menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau

c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”

46. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 66 (1) Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar permohonan

sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai Merek Kolektif;

(2) Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri.

(3) Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”

47. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 67

Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).”

48. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 69

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.

(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat unsur iktikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.”

Page 284: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

49

49. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai

berikut: “Pasal 75

(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Dihapus

(3) Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

50. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal

88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88A

(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran Merek.

(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.

(3) Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.

(5) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.

Pasal 88B

(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.

Page 285: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

50

(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan sementara pengadilan.

(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.

51. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 90

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)”

52. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut:

“Pasal 90 A

Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah)”

53. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 91

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

54. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut:

Page 286: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

51

“Pasal 91 A

Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah)”

55. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi sebagai

berikut:

“Pasal 94

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91, Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.”

56. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut:

“Pasal 95 A

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa.”

57. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 98

Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”

BAB XV KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 96

(1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.

(2) Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997

Page 287: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

52

tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya.

Pasal 97

Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6.

Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 58. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 99

Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.”

III. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara keseluruhan

maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi.

2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri. 3. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik

Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

4. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan kepada Menteri.

5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan. 6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam

Undang-undang ini.

Page 288: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

53

7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri.

8. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri.

9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum.

10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.

11. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

12. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Desain Industri.

13. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain Industri yang masih dilindungi.

14. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.

16. Hari adalah hari kerja.

BAB II

LINGKUP DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu Desain Industri yang Diberikan Perlindungan

Pasal 2

(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. (2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri

tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum.

(3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia

Page 289: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

54

Pasal 3 Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut: a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun internasional

di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan

pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

Bagian Kedua Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan

Pasal 4

Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan: a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,

agama, dan/atau kesusilaan.

Bagian Ketiga Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri

Pasal 5

(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

(2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun.

(3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Pasal 6

(1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri.

(2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri.

(3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. formulir permohonan perpanjangan; b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan c. bukti pembayaran biaya perpanjangan.

Pasal 7

(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

(2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya.

Page 290: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

55

Bagian Keempat

Subjek Desain Industri

Pasal 8 (1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang

menerima hak tersebut dari Pendesain. (2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain

Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.

Pasal 9 (1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam

lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.

(3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.

Pasal 10 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri, Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri.

Bagian Kelima Pemegang Hak Desain Industri

Pasal 11

(1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor, produk yang diberi Hak Desain Industri.

(2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan

kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri.

(3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fitur-fitur

Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat atau ditempatkan di

Page 291: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

56

dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Pasal 12 Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk yang

sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri.

BAB III PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 13 (1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang beritikad

baik. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya. (3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet, melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD.

Pasal 15 (1) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau badan hukum.

(2) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon.

(3) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh bukan

Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri yang dimohonkan.

Page 292: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

57

Pasal 16 (1) Permohonan Hak Desain Industri memuat:

a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal

Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; f. Judul atau nama produk; dan g. Klasifikasi.

(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. Gambar dan/atau foto, dan b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;

(3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang sedang diajukan pendaftarannya.

Pasal 17

(1) Uraian singkat Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi:

a. judul atau nama produk; b. keterangan gambar; dan c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon.

(2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar.

Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.

Pasal 20

(1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk: a. satu Desain Industri; b. sebagian Desain Industri; atau c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan yang sama.

(2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh Pemohon yang sama.

Page 293: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

58

Pasal 21

(1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa.

(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan memilih domisili hukumnya di Indonesia.

Pasal 22

(1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua Permohonan dengan Hak Prioritas

Pasal 23

(1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.

(2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak Prioritas.

(3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak Prioritas.

Pasal 24 Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi dengan: a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan

pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa

Desain Industri tersebut adalah baru.

Bagian Ketiga Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif

Pasal 25

(1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. menyampaikan data Pemohon; b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan

Page 294: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

59

c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,

Menteri memberitahukan Pemohon untuk melengkapi kekurangan. (3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 26

(1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24.

(2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri.

(4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27

(1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.

(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.

Bagian Keempat

Penarikan Kembali Permohonan

Pasal 28

Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan.

Bagian Kelima Kewajiban Menjaga Kerahasiaan

Pasal 29

Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang mengajukan Permohonan,

Page 295: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

60

memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh karena pewarisan.

Pasal 30

(1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan sampai dengan diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.

(2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan.

Bagian Keenam

Pemeriksaan Substantif

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi.

(2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20.

(3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 32

(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri. (2) Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan Pemeriksa sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan-undangan.

Pasal 33

(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain.

(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

Pasal 34

(1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak jelas

Page 296: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

61

atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.

(3) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi Permohonan yang baru dengan membayar biaya.

(4) Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan.

(5) Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya.

(6) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 35

Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.

Bagian Ketujuh Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman

Pasal 36

(1) Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31

ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan alamat lengkap Pemohon; b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajukan melalui

Kuasa; c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan;

Page 297: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

62

d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila

Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; f. uraian singkat Desain Industri; dan g. gambar atau foto Desain Industri.

(3) Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1).

(4) Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas.

(5) Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan nomor permohonan dan nama pemohon.

Pasal 37

(1) Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam waktu 2

(dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya pendaftaran oleh Menteri.

(2) Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

Pasal 38

(1) Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya

kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan Permohonan Banding

Pasal 39

(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang

berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau Pasal 32 ayat (1).

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri.

Page 298: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

63

(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.

(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.

Pasal 40

(1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5).

(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.

(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya.

Pasal 41

(1) Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.

(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.

(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.

(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi.

Bagian Kesembilan Pembatalan Pendaftaran

Pasal 42

(1) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran, pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran ke Majelis Banding Desain Industri.

(2) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(3) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(4) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke Majelis Banding Desain Industri.

Page 299: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

64

(5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.

(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap.

BAB IV

MAJELIS BANDING

Pasal 42 (1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan berada di

lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. (2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,

seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.

(3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Desain Industri.

(5) Untuk memeriksa permohonan banding,Majelis Banding Desain Industri membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas, dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden

BAB V

PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL

Pasal 44

(1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

PENGALIHAN HAK DAN LISENSI

Bagian Kesatu Pengalihan Hak

Page 300: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

65

Pasal 45

(1) Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan : a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.

(3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(4) Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.

(5) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Pasal 46

Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri.

Bagian Kedua Lisensi

Pasal 47

Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.

Pasal 48 Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut.

Pasal 49

Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.

Page 301: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

66

Pasal 50 (1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri

dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak

berlaku terhadap pihak ketiga. (3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita

Resmi Desain Industri.

Pasal 51 (1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang

merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri

Pasal 52

(1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri.

(2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada: a. pemegang Hak Desain Industri; b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar

Umum Desain Industri; c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain

Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan.

(4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Page 302: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

67

Bagian Kedua Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan

Pasal 53

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri.

(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.

Bagian Ketiga

Tata Cara Gugatan

Pasal 54

(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat.

(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.

(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang.

(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.

(7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan.

(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

(10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.

Page 303: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

68

Pasal 55

Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi.

Pasal 56

(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.

(2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.

(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya.

(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).

(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.

(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

Page 304: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

69

Pasal 57

Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam Daftar Umum Desain Industri dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri.

Bagian Keempat Akibat Pembatalan Pendaftaran

Pasal 58

Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri tersebut.

Pasal 59

(1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.

(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan

pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya.

BAB VIII

BIAYA

Pasal 60

(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Kesatu Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Page 305: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

70

Pasal 61

(1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa : a. gugatan ganti rugi; dan/atau b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan Niaga.

Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Sengketa

Pasal 62

Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54 Undang-undang ini.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Pasal 63

Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 64

Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 61.

BAB X

PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN

Pasal 65

Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang:

a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri;

b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri.

Pasal 66 (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan

Niaga dengan persyaratan sebagai berikut :

Page 306: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

71

a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri; b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya

pelanggaran Desain Industri; c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta,

dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Desain

Industri akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.

(2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya.

Pasal 67

Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.

Pasal 68

(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Desain Industri.

(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.

(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.

(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara.

(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.

(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.

(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.

Page 307: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

72

Pasal 69 (6) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.

(7) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(8) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan sementara pengadilan.

(9) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(10) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.

BAB XI

PENYIDIKAN

Pasal 70

(1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari

tersangka; d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab; j. Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang

Page 308: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

73

(dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI.

BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 71

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72 (1) Pemrosesan Permohonan, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan

nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.

(2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya.

Pasal 73

Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4.

Pasal 74 Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat Undang-Undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000

Page 309: Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011

74

tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 75

Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

IV. Ketentuan Penutup Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal…

PRESIDEN REPUBLIK INDONERSIA,

ttd

DR H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal… SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd

SUDI SILALAHI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…