Top Banner
1 Naskah Buku: 5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat Pengantar Penulis: Menyiapkan Mental Sukses Langkah Pertama: Perkokoh Pondasi Iman Menyatunya hati, lisan dan tindakan Karakter Seorang Mukmin Bergetar Hatinya karena Asma Allah Bertambah Imannya karena Ayat-ayat Allah Berserah Diri Hanya kepada Allah Mendirikan Shalat Membiasakan sedekah Mukmin itu Menakjubkan! Engkau Beriman, Maka Engkau Diuji Dengan Iman Hidup Menjadi Terarah Langkah Kedua: Bekali dengan Ilmu Iqra‘: Wahyu Pertama yang Mencerahkan Membuka Jendela Dunia Mencerahkan Pikiran Memperluas Cakrawala Posisi Mulia Ilmuwan (Ulama) Investasi Tak Kenal Rugi Selama Hayat di Kandung Badan Demi Pena dan Apa yang Mereka Tulis Menulis: Investasi Dunia-Akhirat Kaya Ilmu, Kaya Hati, Kaya Harta Menabur Pengetahuan Menuai Pahala Menyejarah Bersama Karya Dengan Ilmu Hidup Menjadi Mudah
131

Naskah Bukusc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/pengabdian/... · 2016. 7. 2. · MLM Pahala Amal yang Mewujud (Tajassum al-A‟mal) Dengan Amal Hidup Menjadi Berkah ... Sukses Dunia-Akhirat

Feb 05, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    Naskah Buku:

    5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat

    Pengantar Penulis:

    Menyiapkan Mental Sukses

    Langkah Pertama:

    Perkokoh Pondasi Iman

    Menyatunya hati, lisan dan tindakan

    Karakter Seorang Mukmin

    Bergetar Hatinya karena Asma Allah

    Bertambah Imannya karena Ayat-ayat Allah

    Berserah Diri Hanya kepada Allah

    Mendirikan Shalat

    Membiasakan sedekah

    Mukmin itu Menakjubkan!

    Engkau Beriman, Maka Engkau Diuji

    Dengan Iman Hidup Menjadi Terarah

    Langkah Kedua:

    Bekali dengan Ilmu

    Iqra‘: Wahyu Pertama yang Mencerahkan

    Membuka Jendela Dunia

    Mencerahkan Pikiran Memperluas Cakrawala

    Posisi Mulia Ilmuwan (Ulama)

    Investasi Tak Kenal Rugi

    Selama Hayat di Kandung Badan

    Demi Pena dan Apa yang Mereka Tulis

    Menulis: Investasi Dunia-Akhirat

    Kaya Ilmu, Kaya Hati, Kaya Harta

    Menabur Pengetahuan Menuai Pahala

    Menyejarah Bersama Karya

    Dengan Ilmu Hidup Menjadi Mudah

  • 2

    Langkah Ketiga:

    Wujudkan dengan Amal

    Amal: Bukti Iman

    Amal: Buah Ilmu

    MLM Pahala

    Amal yang Mewujud (Tajassum al-A‟mal)

    Dengan Amal Hidup Menjadi Berkah

    Langkah Keempat:

    Hiasi dengan Ikhlas

    Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

    Tanamkan Ruh Ikhlas dalam Diri

    Siapakah Al-Mukhlashin ?

    Iblis Pun Tak Berkutik

    Dengan Ikhlas Hidup Terasa Lepas

    Langkah Kelima:

    Sempurnakan dengan Istiqamah

    Istiqamah: Sebaik-baik Amal

    Istiqamah Hati, Lisan dan Tindakan

    Dan Malaikat pun Turun

    Sedikit demi Sedikit, Terus Menerus

    Dengan Istiqamah Hidup Lebih Bermakna

    Sampai Ke Tujuan:

    Sukses Dunia-Akhirat

    Hidup Terarah, Mudah, Berkah, Lepas dan Lebih Bermakna

  • 3

    Pengantar Penulis

    Menyiapkan Mental Sukses

    “Man „arafa bu‟da al-safari ista‟adda”, orang yang tahu jauhnya

    suatu perjalanan akan mempersiapkan diri, demikian bunyi sebuah

    kalimat hikmah dalam bahasa Arab. Sebuah ungkapan singkat namun

    sarat makna.

    Sebuah ilustrasi sederhana ingin penulis sampaikan di sini. Jika

    kita hendak melakukan sebuah perjalanan ke luar kota, misalnya, tentu

    kita akan mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut. Kita akan

    menghitung berapa biaya transportasi pulang-pergi dari tempat tinggal

    kita menuju ke kota tujuan, dan juga sebaliknya. Kita juga akan

    menyiapkan dana untuk biaya hidup selama di kota tujuan, serta segala

    hal yang perlu kita persiapkan selama di sana. Lazimnya, demi

    kenyamanan dalam perjalanan, kita akan membawa bekal lebih dari

    cukup. Kita akan membawa uang, tidak sekedar untuk ongkos pulang-

    pergi dan biaya hidup di sana secara pas-pasan, karena kita tidak tahu

    hal-hal tak terduga yang mungkin terjadi selama perjalanan. Maka,

    semakin banyak bekal yang kita bawa, semakin tenang dan nyaman

    perjalanan yang kita lakukan.

    Apa makna dari ilustrasi sederhana yang saya sampaikan

    tersebut? Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, jika untuk perjalanan

    yang kita ketahui jarak tempuh serta lamanya kita berada di sana saja

    kita persiapkan dengan begitu matangnya, apalagi untuk sebuah

    perjalanan hidup di dunia yang tidak kita ketahui sampai kapan kita akan

    hidup di dunia ini, lebih-lebih kita tidak pernah tahu berapa lama

    perjalanan di akhirat kelak, dari mulai kita masuk ke liang kubur hingga

    kita dibangkitkan, sampai kemudian kita diadili di hadapan Allah dan

    ditempatkan di tempat yang sesuai dengan amal kita?

  • 4

    Inilah pertanyaan yang harus terus menerus kita ajukan pada diri

    kita masing-masing. Kita harus menyiapkan bekal untuk perjalanan hidup

    di dunia ini, lebih-lebih perjalanan ke akhirat kelak. Dan yang lebih

    penting lagi, kita harus menyiapkan mental untuk sukses-bahagia hidup

    di dunia ini dan di akhirat kelak.

    Menyiapkan mental dalam segala hal itu penting. Karena dengan

    kesiapan mental yang baik, maka hal terburuk sekali pun akan dapat

    disikapi dengan tenang.

    Berkaitan dengan menyiapkan mental sukses hidup di dunia dan

    akhirat, penulis ingin menegaskan bahwa sebelum kita melangkah lebih

    lanjut untuk meraih cita-cita hidup sukses-bahagia dunia-akhirat, maka

    yang pertama dan paling utama dipersiapkan adalah mental kita. Karena,

    tanpa kesiapan mental, maka apa pun yang kita dapatkan, alih-alih

    memberi nilai positif pada diri kita, justru bisa menjadi bumerang bagi

    diri kita sendiri.

    Sebagai contoh, seseorang yang tidak siap mental menjadi orang

    kaya, misalnya, maka ketika kekayaan datang kepadanya, dia akan

    gagap menghadapi kenyataan yang ada. Bisa jadi kendaraan yang

    dinaikinya berharga ratusan juta atau mungkin miliaran rupiah, tetapi

    mental pengendaranya tidak lebih baik dari sopir angkot yang biasa ugal-

    ugalan di jalan. Pakaian yang dikenakannya bermerek, tetapi perilakunya

    seperti preman pasar. Rumah yang ditempatinya sangat mewah, tetapi

    tidak ada aura kedamaian terpancar dari dalam rumah tersebut. Inilah

    tipikal manusia modern dewasa ini. Secara lahiriah ingin kelihatan wah,

    tetapi secara batiniah tidak siap mental. Tampilan luar kelihatan

    memesona, tetapi sesungguhnya di balik tampilan luar itu, tersimpan

    keburukan yang menyedihkan.

    Untuk itu, persiapan mental untuk sukses dunia-akhirat itu

    sangat penting. Seseorang yang siap mental untuk sukses, maka dia

    sudah mengantisipasi jika suatu ketika kesuksesan benar-benar hadir

    dalam hidupnya. Dia tidak akan menjadi tinggi hati karena kelimpahan

    materi, pun tidak menjadi jumawa ketika berilmu pengetahuan luas, juga

    tidak angkuh ketika jabatan prestisius dapat direngkuh. Meski karirnya

  • 5

    menjulang tinggi, tetapi dia tetap rendah hati. Meski kesuksesan hidup

    berhasil digapai, dia tidak lupa diri. Meski telah ‗menyentuh‘ langit, tetapi

    kaki tetap menginjak bumi. Inilah tipikal manusia yang siap mental

    untuk sukses hidup di dunia.

    Demikian juga halnya seseorang yang siap mental untuk sukses

    akhirat. Dia tidak akan pernah merasa hebat, meski ibadahnya dahsyat.

    Dia tidak menjadi sok suci meski akhlaknya terpuji. Dia tidak bangga diri

    meski banyak orang memberi sanjung puji. Singkatnya, dia tidak pernah

    merasa menjadi orang yang baik amalnya. Dia selalu merasa menjadi

    orang yang penuh dosa, sedikit amalnya, dan kurang dekat dengan

    Tuhannya. Sehingga dia akan terus menerus berusaha untuk

    memperbaiki dirinya. Inilah kualitas mental orang yang siap sukses

    akhirat. Baginya, biarlah Tuhan yang menilai dan memberi apresiasi atas

    amal ibadah yang dia lakukan. Dia tidak peduli apakah orang akan

    memuji atau mencaci. Yang terpenting baginya adalah ridla Ilahi.

    Buku “Success Ways to Excellent Life (5 Langkah Menuju Sukses

    Dunia-Akhirat)” ini merupakan salah satu upaya penulis untuk mengajak

    kita semua menyiapkan mental untuk sukses dalam menjalani hidup di

    dunia ini dan di akhirat nanti.

    Melalui karya sederhana ini, dengan dipandu wahyu Ilahi serta

    teladan Nabi, disertai kisah penuh hikmah dan inspirasi, penulis

    mengajak kita semua untuk menapaki langkah demi langkah menujuk

    kesuksesan dan kebahagiaan abadi.

    Penulis memetakan lima langkah, yang insya Allah akan

    mengantarkan kita semua menuju sukses dalam menjalani kehidupan di

    dunia ini dan di akhirat kelak.

    Kelima langkah tersebut adalah: Memperkokoh pondasi iman,

    membekali diri dengan ilmu, mewujudkan dengan amal, menghiasi

    dengan ikhlas, dan menyempurnakan dengan istiqamah.

    Dengan menapaki langkah demi langkah tersebut, menjadikan

    hidup lebih terarah, mudah, berkah, lepas dan lebih bermakna. Dan yang

    paling penting, kelima langkah tersebut, semoga mengantarkan kita

  • 6

    semua menuju sukses-bahagia-berkah dalam menjalani kehidupan di

    dunia dan akhirat.

    Penulis sadar sepenuh hati bahwa karya sederhana ini masih jauh

    dari sempurna. Untuk itu, kritik, saran, komentar, tanggapan ataupun

    kesan terhadap buku ini sangat saya harapkan. Pembaca dapat

    menyampaikan testimoni terhadap buku ini melalui email:

    [email protected], atau melalui kotak pesan (inbox) di akun

    facebook saya: Didi Junaedi.

    Akhirnya, penulis ucapkan: Selamat menapaki langkah demi

    langkah menuju sukses dunia-akhirat.

    Brebes, 9 September 2013

    Didi Junaedi

  • 7

    Langkah Pertama

  • 8

    Perkokoh Pondasi Iman

    Mengawali pembahasan tentang iman, saya ingin mengajukan

    beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini ditujukan kepada saya secara

    pribadi dan juga pembaca sekalian. Apa yang mendasari kita sehingga

    mau melakukan aktivitas ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji serta

    ibadah-ibadah lainnya? Lalu apa pula alasan kita sehingga rela

    menyediakan waktu untuk sholat, berlapar-lapar puasa, mengeluarkan

    uang untuk berzakat dan membayar biaya perjalanan ibadah haji yang

    tidak sedikit jumlahnya?

    Dengan hati dan pikiran yang jernih, maka kita akan menjawab

    pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sebuah jawaban: Iman. Ya,

    karena iman kita mau menjalankan ibadah. Karena iman pula kita rela

    mengalokasikan waktu khusus untuk sholat, tahan berlapar-lapar puasa,

    tidak sayang mengeluarkan harta kita dalam jumlah besar untuk

    berzakat dan menunaikan ibadah haji. Imanlah yang mendasari itu

    semua. Iman menjadi motivasi terbesar bagi seseorang dalam

    menjalankan aktivitas ibadah.

    Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya pengertian iman?

    Mengapa kekuatannya begitu dahsyat sehingga mampu menggerakkan

    seseorang untuk melakukan aktivitas ibadah di tengah godaan dunia

    yang begitu menyilaukan? Mari kita sama-sama cari jawabannya.

    Menyatunya hati, lisan dan tindakan

    Jika kita merujuk pada beberapa kitab tauhid, maka akan kita

    dapati keterangan bahwa pengertian iman secara bahasa adalah:

    membenarkan, menampakkan kekhusyuan dan iqrar (pernyataan atau

    pengakuan). Adapun pengertian iman secara istilah adalah:

    ―Membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, melaksanakan

    dengan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan

    kemaksiatan.‖

  • 9

    Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konsep

    iman, ada tiga hal penting yang saling terkait erat satu sama lain, yaitu;

    hati, lisan dan perbuatan (amal). Ketiga hal tersebut tidak dapat

    dipisahkan satu sama lain. Jika salah satu saja dari ketiga hal tersebut

    hilang, maka tidak sempurna iman seseorang. Bahkan, pendapat yang

    lebih keras mengatakan bahwa tidak disebut beriman seseorang, jika

    salah satu dari ketiga aspek iman itu hilang dalam dirinya.

    Iman adalah menyatunya hati, lisan dan tindakan. Iman adalah

    sinergi antara keyakinan dalam hati, pengikraran dengan lisan dan

    pembuktian dengan perbuatan. Iman merupakan bentuk ketaatan, baik

    bathin maupun zhahir. Singkatnya, iman adalah keteguhan hati dalam

    memegang prinsip keyakinan, yang terwujud melalui sikap berupa

    pengakuan secara lisan dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

    Demikianlah pemahaman mayoritas ulama salafush shalih. Dalam

    al-Qur-an, ketika Allah menyebut kata iman hampir selalu diiringi dengan

    amal shalih.

    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih,

    bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal."

    (Q.S. Al-Kahfi: 107).

    Dalam ayat lain ditegaskan,

    "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada

    dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan

    mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya

    mentaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi

    kesabaran." (Q.S. Al-Ashr: 1-3).

  • 10

    Allah Swt juga berfirman,

    "Dan itulah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan

    amal-amal yang dahulu kalian kerjakan." (Q.S. Az-zukhruf: 72).

    Intinya, iman dan amal shalih itu saling terkait, tidak pernah

    terpisah antara satu dengan lainnya. Iman tanpa amal, ibarat pohon tak

    berbuah. Iman tanpa amal hanyalah sebuah kemunafikan. Sedangkan

    amal tanpa iman, sia-sia belaka.

    Allah sangat membenci orang yang hati, ucapan dan tindakannya

    tidak sejalan. Allah sangat murka kepada orang yang lain di bibir, lain di

    hati, lain pula di tindakan.

    “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan

    apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 3)

    Dalam ayat lain ditegaskan,

    “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah

    penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan

    mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah: 10)

    Orang-orang yang beriman akan selalu menjaga hati, lisan dan

    tindakannya agar terus tertuju hanya kepada Allah semata. Orang-orang

    yang beriman yakin betul akan janji Allah berupa kebahagiaan di akhirat

    berupa surga bagi mereka yang tetap konsisten menjaga keimanannya.

    Orang –orang yang beriman juga percaya sepenuh hati bahwa kelak,

    dengan amal shalih yang dikerjakannya mereka dapat berjumpa dengan

  • 11

    Allah Swt. Inilah Kebahagiaan yang sesungguhnya dan sangat dinantikan

    oleh setiap mukmin.

    Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi setiap mukmin selain

    berjumpa dengan Allah Swt. Inilah alasan yang mendasari kenapa orang-

    orang mukmin rela menyediakan waktu untuk sholat, berlapar-lapar

    puasa, mengeluarkan uang untuk berzakat dan membayar biaya

    perjalanan ibadah haji yang tidak sedikit jumlahnya, serta ibadah-ibadah

    lainnya.

    Kekuatan iman yang terhunjam di dalam hati sanubari seorang

    mukmin begitu dahsyat sehingga mampu menembus batas-batas logika.

    Tak ada yang bisa menghalanginya untuk beribadah kepada Allah.

    Bahkan seluruh aktivitas hidupnya dipersembahkan hanya untuk Allah

    Swt.

    ―Katakanlah: ―Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan

    matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam. " (Q.S. Al-

    An'am: 162)

    Energi iman mampu menjadikan seseorang teguh memegang

    prinsip serta keyakinan, tegar dalam menghadapi segala bentuk ujian

    hidup, serta mampu mengalahkan semua yang menjadi penghalang

    seseorang merengkuh cita-cita mulianya, yakni mendapatkan ridla Allah

    Swt.

    Inilah hakekat iman yang sesungguhnya. Iman yang tidak

    sekedar basa-basi belaka. Iman yang tertancap dan mengakar dalam hati

    seseorang, iman yang setegar batu karang di dasar lautan. Mudah-

    mudahan kita semua dapat memilikinya.

  • 12

    Karakter Seorang Mukmin

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka

    yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka, dan

    apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah

    iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. Yaitu

    orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian

    dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang

    yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan

    memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan

    ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal: 2-4)

    Pernahkah kita tergetar hatinya ketika nama Allah disebut?

    Apakah kita merasa bertambah imannya ketika mendengar ayat-ayat

    Allah dilantunkan? Sudahkah kita berserah diri (tawakkal) hanya kepada

    Allah? Sudahkah kita mendirikan shalat? Senangkah kita berbagi

    kebahagiaan dengan bersedekah kepada orang lain?

    Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah parameter

    keimanan kita. Jika hati kita bergetar ketika disebut nama Allah, jika

    iman kita bertambah ketika mendengarkan ayat-ayat Allah, jika kita

    hanya berserah diri kepada Allah, jika kita selalu mendirikan shalat, jika

    kita senang berbagi kebahagiaan dengan orang lain dengan cara

    bersedekah, maka kita benar-benar menjadi seorang mukmin sejati

    seperti disebut dalam rangkaian ayat di atas.

  • 13

    Tetapi sebaliknya, jika hati kita tidak tergetar sedikit pun ketika

    nama Allah di sebut, jika iman kita cenderung ajeg, biasa-biasa saja

    ketika ayat-ayat Allah dikumandangkan, jika kita tidak berserah diri

    kepada Allah, bahkan cenderung meyakini selain Allah sebagai tempat

    meminta, berlindung dan berharap, jika kita enggan mendirikan shalat,

    malas dan tidak mau berbagi kebahagiaan dengan orang lain, maka

    kualitas keimanan kita benar-benar dipertanyakan. Layakkah kita disebut

    mukmin. Pantaskah kita mengaku sebagai orang yang beriman?

    Bergetar Hatinya karena Asma Allah

    Setiap kali nama Allah disebut, maka saat itu hati orang-orang

    mukmin akan begetar mendengarnya. Ibarat sang pencinta yang selalu

    rindu pada kekasih yang dicintainya dan berharap selalu bertemu

    dengannya, maka ketika nama sang kekasih disebut bergetarlah hatinya,

    seolah-olah sang kekasih hati berada di dekatnya.

    Begitu pula gambaran seorang mukmin yang selalu rindu pada

    Allah Swt. Ketika asma Allah disebut, hatinya akan bergetar hebat,

    jantungnya berdegup kencang, dan perasaannya sulit untuk diungkapkan

    dengan kata-kata. Ia betul-betul menikmati indahnya asma Allah. Ia

    akan segera menyambutnya dengan penuh suka cita.

    Ketika azan berkumandang, misalnya, seorang mukmin akan

    merasa terpanggil untuk memenuhi seruan mulia tersebut. Karena dalam

    lantunan azan terdapat asma Allah yang begitu indah dan mampu

    menggetarkan hatinya. Ia akan bergegas menyucikan dirinya dengan

    berwudlu agar bisa segera ‗berjumpa‘ dengan Tuhannya. Ia tidak akan

    berlama-lama menunggu sampai azan selesai. Ia sudah tidak sabar

    untuk menikmati kesyahduan dan keskhusyuan berkomunikasi dengan

    Allah Swt., Sang Kekasih hatinya.

    Dalam kehidupan sehari-hari, seorang mukmin selalu takjub dan

    terpesona sekaligus tergetar jiwanya ketika mendengar asma Allah

    diucapkan.

  • 14

    Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab berjalan

    sendirian menyusuri padang rumput. Dari kejauhan terlihat sekawanan

    kambing dengan seorang penggembala di dekatnya. Umar menghampiri

    penggembala tersebut dengan tujuan ingin menguji seberapa besar

    keimanan sang penggembala itu.

    Beberapa saat kemudian, terjadilah dialog antara Umar dengan

    sang penggembala. ―Wahai anak muda, bolehkah saya membeli seekor

    kambing yang sedang kau gembalakan ini?‖ tanya Umar.

    ―Maaf Tuan, kambing-kambing ini milik majikan saya. Silakan

    Tuan bertemu langsung dengan majikan saya jika ingin membeli kambing

    tersebut. Saya siap mengantar Tuan menemui majikan saya‖, jawab si

    penggembala.

    ―Oh, tidak usah, saya ingin beli sekarang. Jumlah kambingya kan

    cukup banyak. Bagaimana kalau saya beli satu sekor, terus uangnya buat

    kamu. Bilang saja sama majikan kamu kalau ada srigala yang memangsa

    seekor kambing miliknya. Lagian, majikan kamu kan tidak tahu‖, bujuk

    Umar.

    ―Maaf Tuan, memang majikan saya tidak tahu, tapi di mana

    Allah? Apakah Dia tidak melihatnya. Saya takut berbuat dosa. Karena

    Allah Maha Melihat.‖ Jawab si penggembala dengan tegas.

    Umar pun terkejut, seketika hatinya bergetar, jantungnya

    berdegup kencang mendengar asma Allah disebut. Dia yang semula

    bermaksud menguji keimanan sang penggembala, justru kini tidak bisa

    berkata-kata selain merasakan goncangan hebat dalam dirinya. Dia pun

    semakin yakin, jika asma Allah disebut dengan penuh keyakinan dan

    keikhlasan hati akan mampu menggetarkan hati dan jiwa seseorang yang

    benar-benar beriman kepada Allah.

    Bertambah Imannya karena Ayat-ayat Allah

    Kita semua mafhum bahwa kualitas keimanan seseorang dapat

    bertambah dan berkurang sesuai kondisi yang melingkupinya. Menurut

    beberapa keterangan ayat ataupun hadis dinyatakan bahwa iman dapat

  • 15

    bertambah dan berkurang. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan

    berkurang dengan kemaksiatan.

    Beberapa ayat ataupun hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

    "Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah

    imannya, sedang mereka merasa gembira." (QS. at-Taubah :

    124)

    "Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-

    orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di

    samping keimanan mereka (yang telah ada)..." (QS. al-Fath : 4)

    " Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya." (QS.

    al Muddatstsir : 31)

    Rasulullah Saw bersabda, ―Iman itu lebih dari tujuh puluh atau

    lebih dari enampuluh. Yang paling utama adalah perkataan: “Laa Ilaaha

    Illa Allah” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari

    jalanan dan rasa malu adalah satu cabang dari iman.‖ (HR. Al-Bukhari-

    Muslim)

  • 16

    Dari keterangan hadis ini, jelaslah bahwa iman memiliki cabang-

    cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman

    ini bertingkat-tingkat dan memiliki derajat keutamaan yang berbeda,

    sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena itu Imam At-Tirmidzi

    memuat bab dalam sunannya: ―Bab Kesempurnaan, bertambah dan

    berkurangnya iman‖.

    Ketika menjelaskan hadis ini, para ulama hadis menyatakan

    bahwa hadis ini secara tegas dan jelas menunjukkan iman itu bertambah

    dan berkurang sesuai dengan tingkat pelaksanaan ajaran Islam yang

    dilakukan oleh seseorang.

    Disadari bersama bahwa dalam menjalankan syariat Islam, setiap

    orang berbeda beda kualitasnya. Ada yang mengamalkan syariat dengan

    penuh ketulusan, betapa pun beratnya amalan tersebut. Ada yang

    mengamalkannya dengan terus berusaha memperbaiki kualitas

    amalannya.Pun ada yang mengamalkan ala kadarnya, yang penting

    sudah menggugurkan kewajiban.

    Pertanyaannya kemudian adalah: Apa yang menyebabkan iman

    itu bertambah, serta apa pula yang menyebabkan iman itu berkurang?

    Dari sejumlah literatur tentang masalah akidah, hemat penulis,

    ada dua hal utama yang mempengaruhi fluktuasi keimanan kita.

    Pertama, faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam diri kita; dan

    kedua, faktor eksternal, yaitu yang berasal dari luar diri kita.

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bertambah dan

    berkurangnya keimanan sesorang adalah sebagai berikut:

    Pertama, faktor internal. Keinginan kuat dalam diri seseorang

    untuk meningkatkan kualitas keimanan, menjadi faktor utama

    bertambahnya iman seseorang. Seseorang yang sadar bahwa dirinya

    masih memiliki kadar keimanan yang sangat minim, akan berusaha

    meningkatkan kualitas keimanannya dengan beragam cara. Dia akan

    semakin mendekatkan dirinya kepada Allah melalu serangkaian aktivitas

    ibadah. Dia juga akan terus menambah wawasannya tentang masalah

    keimanan (akidah), ibadah, muamalah melalui majelis-majelis ilmu,

    melalui bacaan, melalui diskusi keagamaan dan lain sebagainya. Intinya,

  • 17

    ada kemauan yang kuat yang berasal dari dalam dirinya untuk

    meningkatkan kualitas keimanannya. Sebaliknya, hilangnya semangat

    atau ruh kesadaran dalam diri bahwa imannya harus terus dipupuk,

    menjadikan seseorang abai dan tidak peduli dengan kualitas

    keimanannya. Walhasil, baginya tidak penting apakah yang dilakukannya

    sesuai atau justru melanggar aturan agama. Perkara halal haram itu

    nomor sekian, yang penting terpenuhi segala cita-citanya. Dia juga tidak

    tertarik untuk menambah pengetahuannya tentang agama. Intinya, tidak

    ada niatan sedikit pun dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas

    keimanannya.

    Kedua, faktor eksternal. Lingkungan sosial tempat seseorang

    tinggal, teman-teman sepergaulan, baik di rumah, di tempat kerja,

    maupun di komunitasnya akan sangat mempengaruhi kualitas

    keimanannya. Ketika seseorang tinggal di lingkungan yang agamis,

    relijius, taat pada ajaran agama, maka kemungkinan bertambahnya

    keimanan sangatlah besar. Teman sekantor, rekan sepergaulan, serta

    komunitas yang baik dan peduli terhadap ajaran agama akan sangat

    berpengaruh kepada kualitas keimanan seseorang. Sebaliknya,

    lingkungan yang buruk, teman yang tidak peduli terhadap ajaran agama,

    serta komunitas yang jauh dari nilai-nilai agama akan menjadikan

    seseorang hanyut dan terbawa arus untuk abai terhadap aturan agama.

    Walhasil, keimanan yang ada dalam dirinya pun kian hari kian menyusut.

    Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 2 disebutkan bahwa di antara ciri orang-

    orang yang beriman adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah bertambah

    imannya. Maksud ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman As-

    Sa‘di dalam kitab tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman adalah bahwa

    seorang mukmin, ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur‘an akan

    memperhatikan dengan seksama, menghadirkan hatinya untuk

    mentadaburi maknanya, mengingat kealpaannya dan berjanji dalam

    dirinya untuk selalu berbuat baik (amal shalih), maka pada saat itulah ia

    bertambah imannya. Inilah hakekat dari bertambahnya keimanan karena

    ayat-ayat Allah.

  • 18

    Berserah Diri Hanya kepada Allah

    Kita semua maklum bahwa banyak hal yang mewarnai perjalanan

    hidup kita. Suatu ketika kita merasa bahagia, tetapi di saat yang lain kita

    merasa menderita. Kadang kita diliputi kegembiraan, tetapi tidak jarang

    pula kita dihinggapi kesedihan. Bahagia dan derita, gembira dan sedih

    adalah dua sisi kehidupan yang akan selalu hadir menyertai kita, kapan,

    dan di mana pun kita berada.

    Di saat bahagia hadir, mungkin semuanya akan terasa baik-baik

    saja. Di saat gembira menyapa, semua keadaan terasa berjalan sesuai

    yang kita inginkan. Tetapi begitu derita dan duka menghampiri hidup

    kita, semua terasa gelap, langit seakan runtuh, bumi seolah berhenti

    berputar. Kita merasa sepi di tengah keramaian, sendiri di tengah hiruk

    pikuk kehidupan, terasing dalam pusaran jagat manusia yang hilir mudik

    silih berganti.

    Di saat-saat seperti inilah, ketika kesedihan, kekecewaan serta

    kesengsaraan menyelimuti kehidupan kita, kita butuh tempat untuk

    bersandar, mengadu dan memohon pertolongan agar seluruh persoalan

    hidup segera menemui jalan keluar.

    Ironisnya, tidak setiap kita menempuh jalan serta cara yang tepat

    untuk menghalau dan menghilangkan kesedihan serta kesusahan hidup

    yang tengah kita alami. Ada di antara saudara-saudara kita yang ketika

    ditimpa kemalangan hidup justru mengambil ‗jalur alternatif‘ dengan

    menempuh cara-cara yang seringkali tidak rasional, tidak mencerminkan

    sikap orang yang beragama. Mereka lebih memilih dukun, paranormal

    dan sejenisnya sebagai tempat mengadu dan meminta pertolongan, atau

    pergi ke tempat-tempat hiburan, menghabiskan malam dengan ditemani

    beberapa botol minuman, dengan dalih menghilangkan beban hidup.

    Padahal agama sudah mengajarkan kepada kita solusi terbaik

    menghadapi segala persoalan hidup. Ya, dengan mengadukan,

    menyandarkan, memohon dan menyerahkan segala problematika hidup

    ini kepada Allah Swt. disertai ikhtiar tiada henti, niscaya semua persoalan

    hidup yang membebani kita akan mendapat jalan keluarnya.

  • 19

    Berserah diri atau dalam bahasa agama disebut tawakkal adalah

    kunci utama untuk membuka pintu pertolongan sekaligus melapangkan

    jalan keluar atas setiap persoalan yang kita hadapi. Bukankah Al-Qur‘an

    mengajarkan kepada kita untuk mengabdikan seluruh aktivitas

    kehidupan yang kita jalani hanya kepada Allah Swt semata? Bukankah

    Allah sangat senang kepada hamba-hamba-Nya yang berserah diri

    kepada-Nya?

    Beberapa keterangan ayat suci menegaskan hal tersebut. QS. Al-

    An‘am: 162 menegaskan:

    ―Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya

    untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

    Dalam Q.S. Ali Imran: 159 Allah Swt. Juga menyatakan:

    “Kemudian apabila kamu telah membuat tekad, maka

    bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

    orang–orang yang bertawakal kepada-Nya.”

    Rasullullah Saw bersabda : ―Akan masuk surga dari umatku tujuh

    puluh ribu orang tanpa hisab dan siksa, mereka adalah orang orang yang

    tidak minta ruqyah, tidak menyandarkan kesialan kepada burung dan

    sejenisnya, tidak berobat dengan besi panas dan mereka bertawakal

    kepada Rabb mereka.” ( H.R. Muslim ).

    Beberapa keterangan dari al-Qur‘an dan Hadits di atas

    menegaskan bahwa kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada

    Allah dalam segala urusan, dalam segala kondisi.

  • 20

    Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya pengertian tawakal?

    Bagaimana konsep tawakal yang benar menurut ajaran Islam?

    Secara bahasa, tawakal berasal dari Bahasa Arab ―tawakkala‖

    yang berarti: bersandar, berserah diri, mewakilkan.

    Adapun secara istilah, tawakal biasa dipahami dengan

    penyerahan sesuatu kepada Allah atau menggantungkan urusan diri

    kepada Allah setelah berikhtiar.

    Menurut Imam Al Ghazali, tawakal adalah: ”menyandarkan diri

    kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kepentingan, bersandar

    kepada Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati ketika ditimpa bencana,

    dengan jiwa yang tenang dan hati yang tentram.”

    Kisah berikut mungkin akan memperjelas pengertian serta konsep

    tawakal yang benar menurut ajaran Islam.

    Suatu ketika, ada seseorang yang datang ke masjid dengan

    membawa unta. Sesampainya di halaman masjid, unta tersebut dibiarkan

    saja tanpa diikat. Lalu, Nabi Saw. bertanya, ―mengapa tidak kamu ikat

    untamu itu?‖ Orang tersebut menjawab, ‖aku telah bertawakal kepada

    Allah.‖ Lalu Nabi Saw bersabda: ‖Ikatlah terlebih dahulu (untamu),

    setelah itu bertawakallah‖.

    Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa

    pengertian tawakal menurut ajaran Islam adalah penyerahan diri atas

    segala urusan kepada Allah, setelah sebelumnya didahului ikhtiar.

    Dengan demikian konsep yang benar tentang tawakal adalah

    berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, ketika seluruh daya dan

    upaya telah dikerahkan melalui proses ikhtiar.

    Orang yang bertawakal, harus mengembalikan masalah yang

    dihadapinya kepada Allah setelah benar-benar berikhtiar. Ia berserah diri

    karena memang semua usaha sudah dilakukan secara maksimal. Apapun

    hasil akhir dari ikhtiar yang telah dilakukannya, akan diterimanya dengan

    sikap tawakal.

  • 21

    Orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan yang sungguh-

    sungguh dalam bertawakal kepada Allah tentu akan selalu berusaha

    bersikap atau berprilaku takwa. Jika dia Istiqamah dalam ketakwaannya,

    pasti Allah akan memberikan jalan keluar dan mencukupkan

    keperluannya.

    Ironisnya, banyak orang yang keliru memahami konsep tawakal.

    Mereka mengira bahwa tawakal itu adalah pasrah bongkokan,

    menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa diiringi dengan

    ikhtiar. Sehingga, banyak dari mereka yang menginginkan hidup

    berkecukupan secara ekonomi, tetapi tidak mau bekerja. Ada yang ingin

    menguasai suatu cabang ilmu tertentu, tetapi tidak mau belajar, hanya

    mengharap wangsit dari langit. Dan ada pula yang terus menerus

    berharap mendapatkan jodoh yang baik, sesuai dengan kriterianya,

    tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkannya. Ini semua adalah

    pemahaman yang salah.

    Mereka salah memahami ayat yang menyatakan,

    ―Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan

    mencukupkan (keperluan)nya.‖ (Q.S. al-Thalaq: 3)

    Dalam ayat ini Allah berjanji akan memberikan kecukupan kepada

    orang-orang yang bertawakal, termasuk dalam hal rizki. Apakah

    kemudian seseorang yang berdiam diri, tidak ada usaha untuk

    menjemput rizki, tidak bekerja, lalu tiba-tiba memperoleh rizki dari

    langit? Apakah orang yang berharap mendapat jodoh tetapi tidak pernah

    berusaha mendapatkannya akan menemukan jodohnya? Tentu tidak

    demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama

    halnya orang yang ingin punya istri atau suami tentu harus berusaha

    untuk mendapatkannya. Jadi, Allah memberikan rizki kepada seseorang

    jika dia mau berusaha mencarinya dengan kerja keras. Pun demikian

  • 22

    halnya, Allah akan memberikan jodoh kepada seseorang jika dia mau

    berusaha untuk mendapatkannya.

    Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah

    dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian

    seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut

    kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (HR. al-Tirmidzi)

    Hadis ini menerangkan bahwa binatang saja, dalam hal ini burung,

    untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus pergi dari sarangnya di pagi

    hari, dan baru kembali ke sarangnya di sore hari. Burung tidak tinggal

    diam di sarang menunggu makanan datang dari langit. Dia berusaha

    untuk menjemput rizki Allah. Dan Allah pun memberikan rizki kepadanya.

    Apalagi manusia, yang dikarunia akal dan kelebihan lainnya, tentu

    harus lebih giat lagi usaha untuk mendapatkan rizki dari Allah. Tidak

    mungkin hanya dengan berdiam diri di rumah tanpa ada usaha untuk

    mencari atau menjemput rizki, Allah akan menurunkannya dari langit.

    Sesuatu yang mustahil terjadi. Allah akan menghargai kerja keras

    hambanya dalam mencari dan menjemput rizki-Nya.

    Inilah sesungguhnya konsep tawakal yang benar menurut ajaran

    Islam. Usaha maksimal disertai doa, kemudian hasil akhir diserahkan

    sepenuhnya kepada Allah. Inilah tawakkal. Singkatnya, ikhtiar adalah

    awal perjalanan, sementara tawakkal adalah akhir dari perjalanan.

    Dengan demikian, tawakal adalah salah satu bentuk berpikir positif

    yang diajarkan Islam. Sesuai hukum alam, pikiran positif akan

    menghasilkan sesuatu yang positif pula.

    Berikut saya sebutkan beberapa dampak positif yang dihasilkan oleh

    sikap tawakal:

    1. Perwujudan dari keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT.

    2. Menguatkan jiwa dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

    3. Mendatangkan ketenangan jiwa.

    4. Melahirkan kepuasan batin.

    5. Menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah.

  • 23

    Mendirikan Shalat

    Perbedaan mendasar antara orang mukmin dengan orang kafir

    adalah shalat. Jika seseorang meninggalkannya, maka dia telah kafir.

    Demikian disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Saw.

    Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 3 yang penulis sebut di awal tulisan ini,

    secara jelas Allah menunjukkan bahwa diantara ciri seorang mukmin

    yang sesungguhnya adalah mendirikan shalat.

    Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari

    mendirikan shalat pada ayat ini adalah melaksanakan shalat baik secara

    lahir maupun batin. Secara lahir, yakni dengan memenuhi syarat dan

    rukun shalat, melaksanakannya dengan penuh khusyu dari awal hingga

    akhir shalat. Adapun secara batin maknanya adalah ada dampak positif

    dari ibadah shalat yang dilakukan, yakni mampu mencegah seseorang

    dari perbuatan keji dan munkar.

    Dengan demikian, ibadah shalat yang dilakukan seorang mukmin

    tidak sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi memberi makna yang

    sangat dalam, yakni mampu memberi pengaruh positif dalam kehidupan

    sehari-hari yang dijalaninya.

    Mari kita sejenak melihat kenyataan yang ada. Banyak di antara

    kita, atau mungkin diri kita sendiri, yang begitu rajin menjalankan shalat,

    tetapi tidak ada dampak sedikit pun dari shalat yang mereka atau kita

    lakukan.

    Setiap saat panggilan suara adzan berkumandang, banyak di

    antara kita yang bergegas untuk memenuhi panggilan tersebut. Kita

    bersegera menemui sang Khalik untuk beraudiensi dan berkomunikasi

    dengan-Nya. Tetapi setelah shalat usai dikerjakan. Tidak sedikit di antara

    kita yang juga bergegas dan bersegera memenuhi panggilan nafsu

    duniawi kita, panggilan hasrat materi kita, yang tidak jarang sangat

    bertolak belakang dengan nilai-nilai shalat yang kita kerjakan.

    Ketika berada di dalam masjid, di tempat-tempat ibadah, di

    majelis-majelis ilmu, kita terlihat begitu khusyu dan serius menjalankan

    ibadah, mengkaji ilmu agama, mendengarkan tausiyah dari para ustadz.

    Tetapi begitu kita berada di luar masjid, jauh dari tempat ibadah, tidak

  • 24

    berada di majelis ilmu, begitu mudahnya kita melakukan perbuatan yang

    jauh dari nilai-nilai agama, bahkan melanggar aturan agama.

    Bagaimana sikap, perilaku dan ucapan kita ketika berada di

    pasar, di kantor, di jalan, di tempat-tempat umum, apakah sudah

    mencerminkan nilai-nilai ibadah shalat kita? Hanya kita yang bisa

    menjawab pertanyaan tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut

    adalah cerminan dari kualitas keimanan kita. Seberapa besar tingkat

    keimanan kita, bisa diukur setidaknya dari perilaku, sikap serta ucapan

    kita dalam kehidupan sehari-hari. Jika perilaku, sikap serta ucapan kita

    menunjukkan nilai-nilai ibadah shalat yang kita lakukan, maka berarti

    kita sudah benar-benar mendirikan shalat. Tetapi jika tidak, maka kita

    belum menjadi mukmin yang sesungguhnya.

    Membiasakan sedekah

    Ciri khas seorang mukmin sejati lainnya, yang termaktub dalam

    Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 3 tersebut adalah kebiasaannya untuk

    menyalurkan sebagian rezeki yang dimilikinya di jalan Allah. Kebiasaan

    berinfak untuk kepentingan agama dan sosial menjadi ciri khas seorang

    mukmin sejati. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain, berupa memberi

    sedekah kepada orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin serta

    anak-anak yatim adalah salah satu sikap mulia seorang mukmin sejati.

    Dalam Q.S. Ali Imran: 133-134 disebutkan bahwa di antara ciri

    orang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang gemar berinfak,

    bersedekah di jalan Allah, berbagi rezeki dengan orang-orang yang

    membutuhkan, baik di saat lapang maupun sempit.

    Allah Swt memberikan kelimpahan pahala bagi orang-orang yang

    mau menafkahkan hartanya di jalan Allah. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 261

    Allah Swt menegaskan,

  • 25

    “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di

    jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh

    butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipat gandakan

    bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-

    Nya dan Maha Mengetahui.”

    Kebiasaan sedekah ini akan menjadikan seseorang jauh dari sikap

    kikir dan tamak. Dia akan selalu mensyukuri nikmat yang telah Allah

    berikan kepadanya. Dia tidak akan merasa bahwa harta kekayaan yang

    dimilikinya adalah murni miliknya. Dia sadar sepenuhnya bahwa semua

    yang dimilikinya hanyalah titipan Allah yang bersifat sementara, yang

    suatu saat bisa saja hilang dan pasti akan dia tinggalkan. Dia akan

    menjaga amanat Allah itu dengan sebaik-baiknya, sehingga kelak ketika

    dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah, dengan penuh percaya

    diri dia akan mempertanggung jawabkan amanat yang telah diembankan

    kepadanya.

    Dalam banyak riwayat hadits juga disebutkan bahwa sedekah

    adalah cara paling ampuh untuk melindungi diri kita dari segala mara

    bahaya yang setiap saat dapat menimpa kita. Dalam salah satu

    sabdanya, Rasulullah Saw menyatakan, “Sesungguhnya sedekah itu

    dapat memadamkan kemarahan Allah dan menolak ketentuan yang

    buruk.” (HR. Tirmidzi)

    Penulis ingin berbagi sebuah kisah nyata berkaitan dengan

    masalah sedekah ini, yang dampaknya seperti disebutkan hadis di atas,

    yaitu mampu menolak ketentuan yang buruk.

    Kisah nyata ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya pada

    akhir ramadhan. Dalam kisah yang akan penulis ceritakan nanti, terlihat

    jelas bahwa sedekah mampu mengubah takdir, menyembuhkan penyakit

    yang menurut perhitungan medis sudah tidak dapat diobati sama sekali.

    Adalah tetangga penulis, sebut saja namanya Hj. Hamidah. Beliau

    sudah menderita sakit yang cukup parah, yaitu kanker otak studium tiga.

    Beliau sudah berobat ke sana ke mari, dari satu rumah sakit ke rumah

  • 26

    sakit lain. Dan terakhir, beliau dirawat cukup intensif di sebuah rumah

    sakit ternama di Jakarta.

    Setelah melalui perawatan di rumah sakit tersebut selama

    beberapa bulan. Alih-alih membaik, justru kondisi penyakit Hj. Hamidah

    semakin parah. Dari hasil pemeriksaan dokter, disimpulkan bahwa

    kondisi kanker yang diderita beliau sudah menjalar ke seluruh tubuh.

    Dokter hanya mengatakan kepada anggota keluarga yang

    mendampinginya bahwa secara medis, sudah tidak ada lagi yang bisa

    dilakukan. Kemudian dokter menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada

    keluarga pasien. Apakah tetap mau dirawat dengan hasil pemeriksaan

    yang sudah dijelaskan, ataukah mau dibawa pulang.

    Kemudian pihak keluarga pasien pun bermusyawarah. Hasil dari

    musyawarah tersebut menyatakan bahwa lebih baih baik tetap dirawat di

    rumah sakit, dengan penanganan dokter, sambil mencari solusi alternatif

    lainnya.

    Di tengah kondisi yang demikian kritis, ternyata ada inisiatif dari

    pasien, yang masih bisa berkomunikasi dengan anggota keluarga yang

    mendampinginya. Beliau, yang kebetulan adalah orang kaya dan memiliki

    beberapa hektar sawah di kampungnya, berniat untuk mewakafkan satu

    hektar sawahnya untuk diberikan kepada sebuah lembaga pendidikan

    Islam di daerahnya.

    Akhirnya, pihak keluarga yang tengah mendampingi pasien di

    Jakarta menghubungi keluarga yang ada di kampung dan menceritakan

    maksud baik sang pasien.

    Singkat cerita, pihak keluarga di kampung kemudian

    mengumpulkan pengurus lembaga pendidikan tersebut dengan maksud

    menyerahkan sawah dari Hj. Hamidah untuk diwakafkan.

    Setelah proses ijab kabul atau serah terima dari pihak keluarga

    kepada pengurus lembaga pendidikan tersebut selesai. Kemudian pihak

    keluarga menghubungi kerabat yang ada di rumah sakit untuk

    menginformasikan bahwa proses serah terima wakaf sudah dilaksanakan.

  • 27

    Dari sinilah kemudian sebuah keajaiban terjadi. Sungguh janji

    Allah itu benar adanya. Sehari berselang dari proses serah terima wakaf

    tersebut, ketika diadakan pemeriksaan kembali oleh dokter yang

    menangani Hj. Hamidah, hasil yang didapatkan sungguh di luar dugaan.

    Dokter menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pihak keluarga dan

    pasien dengan takjub dan hampir-hampir tidak percaya. Karena, sehari

    sebelumnya hasil pemeriksaan menunjukkan kanker ganas pasien sudah

    menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi, sekarang hasil pemeriksaan

    menunjukkan bahwa tidak didapatkan penyakit apa pun dalam tubuh

    pasien. Subhanallah.

    Dokter yang masih terheran-heran dengan hasil tersebut

    kemudian melakukan pemeriksaan ulang yang lebih intensif lagi hingga

    beberapa kali. Dan hasil yang didapatkan tetap sama, yaitu kondisi fisik

    pasien sangat normal, tidak didapati penyakit apa pun dalam tubuhnya.

    Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, akhirnya dokter pun

    menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang telah dilakukan

    pasien atau pihak keluarga hingga bisa seperti ini. Akhirnya, pihak

    keluarga pun menceritakan bahwa kemarin baru saja pasien mewakafkan

    satu hektar sawahnya dikampung untuk sebuah lembaga pendidikan

    Islam. Dari penjelasan pihak keluarga tersebut, sang dokter pun mafhum

    bahwa keajaiban yang terjadi pada pasien karena wakaf atau sedekah

    dalam jumlah besar yang telah dikeluarkannya.

    Dari kisah nyata tersebut, jelaslah bahwa sedekah merupakan

    salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengubah takdir.

    Sungguh Allah tidak pernah ingkar janji.

    Sedekah juga merupakan salah satu wujud rasa empati serta

    kepedulian terhadap sesama manusia (hablun min al-nas). Dan Allah

    sangat mencintai hamba-Nya yang mau berbuat baik dan menolong

    sesama.

    Rasulullah Saw. bersabda, “Allah akan selalu menolong hamba-

    Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

    Dalam kalimat lain Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan,

  • 28

    “Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan

    menyayangimu.” (HR. Bukhari)

    Salah satu wujud kasih sayang kita kepada sesama adalah

    dengan kesediaan kita bersedekah kepada orang-orang yang

    membutuhkan. Yakinlah, bahwa sedekah yang kita berikan kepada

    mereka, yakni orang-orang yang membutuhkan, selain dapat

    menghadirkan kasih sayang Allah, juga secara psikologis dapat

    menjadikan kita lebih bahagia.

    Haidar Bagir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan

    mengungkapkan sebuah kisah menarik, berupa percobaan sosial yang

    dilakukan oleh Oprah Winfrey, seorang host ternama yang menjadi

    pemandu acara ―Oprah Show‖. Dia mengumpulkan sekitar 100 orang

    untuk melakukan sebuah percobaan tentang dampak berbagi (sedekah).

    Mereka diminta menabung sebagian uang yang biasa digunakan untuk

    rekreasi. Tabungan tersebut kemudian diberikan kepada orang-orang

    yang membutuhkan. Beberapa bulan kemudian, 100 orang tersebut

    dikumpulkan dan ditanya, apakah ada yang berubah dalam kehidupan

    mereka? Jawabannya, mereka merasakan bahwa hidup mereka lebih

    bahagia setelah berbagi dengan orang lain.

    Kenyataan ini menunjukkan bahwa berbagi rezeki, memberi

    bantuan, serta menolong orang lain akan melahirkan kebahagiaan dalam

    diri kita.

    Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw. Suatu ketika

    Rasulullah saw ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Beliau

    menjawab, "Memasukkan rasa bahagia pada seorang Mukmin, kamu

    menghilangkan rasa laparnya, menutupi ketelanjangannya, dan

    memenuhi kebutuhannya. (HR. Thabrani)

    Dengan demikian, mukmin sejati adalah mereka yang senang

    memberi pertolongan yang membutuhkan, mengulurkan bantuan kepada

    mereka yang tengah dihimpit persoalan, memberi kemudahan kepada

    mereka yang sedang ditimpa kesulitan, serta menghadirkan kedamaian

    kepada mereka yang tengah dilanda kemalangan. Intinya, mukmin sejati

  • 29

    adalah mereka yang selalu menghadirkan rasa bahagia kepada orang

    lain.

    Mukmin itu Menakjubkan!

    Suatu ketika Rasulullah Saw menyatakan, “Sungguh

    menakjubkan kondisi orang beriman! Semua urusannya baik. Dan yang

    demikian tidak dapat dirasakan oleh siapa pun selain orang beriman. Jika

    ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik

    baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, maka ia bersabar. Dan bersabar

    itu baik baginya.” (HR. Muslim)

    Hadis ini menegaskan, ada dua hal yang menjadikan seorang

    mukmin itu menakjubkan. Dan dua hal itu tidak dimiliki oleh selain

    mukmin. Kedua hal tersebut adalah: syukur dan sabar.

    Ya, syukur dan sabar adalah kata kunci yang menjadikan seorang

    mukmin istimewa di hadapan Allah Swt. Dalam sejumlah ayat-Nya, Allah

    Swt berulang kali menyebut dua sikap ini sebagai kunci kebahagiaan di

    dunia dan akhirat.

    Dalam Q.S Ibrahim: 7 Allah Swt. menegaskan,

    “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya

    jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)

    kepada-Mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka

    pasti azab-Ku sangat berat.”

    Pada ayat tersebut, sikap syukur menjadi kunci kebahagiaan,

    yaitu berupa ditambahnya nikmat Allah. Seorang mukmin adalah orang

    yang pandai bersyukur atas nikmat Allah. Dia tidak pernah mengeluh,

    apalagi mempertanyakan keadilan Allah tentang nikmat. Dia selalu

    bersyukur dalam segala kondisi. Dia sadar betul bahwa apa yang

    diberikan Allah kepadanya adalah yang terbaik menurut Allah.

  • 30

    Dalam QS. Al-Baqarah: 172 disebutkan,

    “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang

    baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah

    kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu

    menyembah.“

    Pada ayat ini, Allah Swt. menunjukkan bahwa salah satu bukti

    kesungguhan seorang hamba menyembah Allah adalah dengan

    bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.

    Rasulullah Saw, dalam salah satu hadisnya menyatakan,

    “Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan memuji Allah, maka

    tidak sempurnalah perbuatan itu.” (HR. Abu Dawud)

    Dari beberapa keterangan ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa

    syukur adalah cara paling efektif untuk meraih kebahagiaan hidup berupa

    kelimpahan nikmat serta karunia-Nya. Syukur juga menjadi bukti nyata

    kesungguhan seorang hamba beribadah serta mengabdi kepada Allah.

    Adapun berkaitan dengan sabar, yang juga merupakan ciri

    seorang mukmin sejati, sejumlah ayat dan hadis menjelaskannya dengan

    gamblang.

    Dalam Al-Qur‘an banyak ayat yang berbicara mengenai

    kesabaran. setidaknya ada 103 kali kata sabar disebut dalam Al-Qur‘an,

    Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sabar bagi seorang mukmin di

    hadapan Allah Swt.

    Di dalam Q.S. Al-Baqarah: 153 Allah Swt menyatakan,

    “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada

    Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta

    orang-orang yang sabar.”

  • 31

    Pada ayat 155-157 Q.S. Al-Baqarah diberitakan kabar gembira

    bagi orang-orang yang sabar.

    “...Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang

    sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka

    mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka

    itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat

    dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang

    mendapat petunjuk.”

    Dalam ayat lain di Q.S. Al-Baqarah: 177, Allah Swt memuji

    orang-orang yang sabar:

    “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan

    dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar

    imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S.

    Al-Baqarah: 177)

    Berkaitan dengan masalah sabar ini, Rasulullah Saw menegaskan

    dalam sejumlah hadisnya. “…Dan kesabaran merupakan cahaya yang

    terang…” (HR. Muslim). Dalam hadis lain disebutkan, “…dan tidaklah

  • 32

    seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada

    kesabaran.” (Muttafaqun Alaih)

    Sejumlah ayat dan hadis yang berbicara tentang masalah sabar

    tersebut menunjukkan bahwa sikap sabar merupakan sikap mulia yang

    sangat dicintai Allah. Sikap sabar ini juga menunjukkan bahwa seorang

    hamba menyadari keterbatasan dirinya. Dia mengakui bahwa ada Dzat

    yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seseorang yang bisa bersikap

    sabar akan menyadari bahwa manusia hanya berusaha, Allahlah yang

    menentukan. Dengan sikap sabar ini, maka seorang hamba akan benar-

    benar menjalin kedekatan emosional dengan Sang Khalik, yakni Allah

    Swt.

    Kedua sikap yang penulis uraikan ini, yakni syukur dan sabar,

    menjadikan seorang mukmin istimewa di hadapan Allah. Syukur dalam

    segala kondisi, baik dalam lapang maupun sempit, serta sabar dalam

    setiap keadaan, baik dikala mudah ataupun sulit.

    Engkau Beriman, Maka Engkau Diuji

    “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya

    dengan mengatakan: "Kami telah beriman", dan mereka tidak

    diuji?” (Q.S. Al-Ankabut: 2)

    Di antara cara Allah untuk membuktikan keimanan seseorang

    adalah dengan menghadirkan ujian kepadanya. Ya, ujian adalah salah

    satu cara untuk megukur kadar keimanan seseorang.

    Rangkaian ayat ke-2 dalam Q.S. Al-Ankabut di atas menegaskan

    hal tersebut. Setiap orang yang telah mengikrarkan diri bahwa dia

    seorang mukmin, maka pasti dia akan diuji oleh Allah Swt dengan

    beragam bentuk ujian untuk membuktikan keimanannya tersebut.

    Ada orang yang diuji dengan kesulitan ekonomi. Ada yang diuji

    dengan sakit yang tak kunjung sembuh. Ada yang diuji dengan

    ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Ada yang diuji dengan

  • 33

    sulitnya mendapatkan jodoh. Dan ada pula yang diuji dengan tidak

    memiliki keturunan.

    Beraneka ragam bentuk ujian yang Allah hadirkan kepada setiap

    manusia yang mengatakan dirinya beriman kepada Allah tersebut,

    merupakan cara untuk mengukur seberapa besar dan seberapa tinggi

    tingkat keimanannya.

    Menyikapi beragam ujian tersebut, ada orang yang tetap teguh

    pada keimanannya. Alih-alih mengeluh, meratapi nasib, mengutuk

    keadaan, menyesali kondisi yang tengah dialaminya, dia justru menjadi

    seorang mukmin yang semakin kuat dan tangguh keimanannya. Dia

    yakin sepenuh hati bahwa beragam ujian yang Allah hadirkan

    mengandung hikmah serta pelajaran berharga dalam hidupnya. Kesulitan

    ekonomi yang dialaminya, justru menjadikannya semakin rajin dan giat

    berusaha dengan terus berdoa kepada Allah untuk diberikan kelapangan

    rezeki. Kehilangan orang-orang yang dicintainya justru menyadarkannya

    bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Karena setiap

    manusia pasti akan meninggalkan dunia fana ini. Sakit yang dideritanya,

    semakin meanambah keimanannya. Karena dia juga yakin bahwa dengan

    sakitnya itu Allah mengajarkan betapa manusia tidak punya daya dan

    kekuatan apa pun selain kekuatan yang Allah berikan kepadanya.

    Kesulitan dalam menadapatkan pasangan hidup, menjadikan seorang

    mukmin sadar bahwa Allahlah yang menentukan segalanya. Dan

    ketidakhadiran buah hati yang dinanti selama ini menjadikannya semakin

    kuat beribadah kepada Allah dan menyerahkan semua urusannya

    kepada-Nya. Dia menyadari bahwa tidak mudah menjaga amanat. Dia

    berbaik sangka kepada Allah dengan meyakini setulus hati bahwa pasti

    ada rencana terbaik yang telah Allah siapkan untuknya.

    Di sisi lain, ada orang yang menyikapi segala ujian dan cobaan

    yang menimpanya dengan mengeluh, meratapi keadaan, mengutuk

    nasib, bahkan tidak jarang mempertanyakan keadilan Allah. Dia tidak

    sabar dengan kesulitan ekonomi yang dihadapinya, sedih

    berkepanjangan karena ditinggal oleh orang yang dicintainya, terus

    berkeluh kesah dengan sakit yang dideritanya, menyesali sulitnya

  • 34

    mendapatkan jodoh, serta menggugat keadilan Allah karena tidak

    hadirnya keturunan. Dia berburuk sangka kepada Allah. Dia hanya fokus

    melihat sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak memperhatikan apa yang

    telah dimilikinya. Padahal, kalau dia mau berpikir jernih, nikmat yang

    telah Allah berikan kepadanya jauh lebih besar daripada ‗kekurangan‘

    yang ada padanya. Seandainya dia menghitung nikmat Allah yang sangat

    besar itu, pasti dia tidak akan bisa menghitungnya. Kalaulah dia mau

    terus menerus mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya,

    maka pasti Allah akan menambah nikmat-Nya kepadanya.

    Inilah dua kondisi berbeda dalam menyikapi ujian dan cobaan

    hidup, yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dua kondisi

    tersebut mencerminkan tingkat keimanan seseorang.

    Mereka yang tetap teguh (istiqamah) pada keimanannya,

    meskipun badai ujian dan cobaan datang silih berganti menghadangnya,

    akan semakin tinggi kualitas keimanannya. Malaikat akan ‗turun‘

    membantunya dan memberinya kabar gembira atas usahanya

    mempertahankan keimanan dalam dirinya.

    “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami

    ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka

    (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan

    mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa

    sedih; dan bergembiralah dengan jannah (surga) yang telah

    dijanjikan Allah kepadamu.” (Q.S. Fushshilat: 30)

    Sedangkan mereka yang berputus asa atas ujian yang

    menimpanya, Allah samakan mereka dengan orang-orang kafir yang

    terputus dari rahmat Allah.

  • 35

    "Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

    Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan

    kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf: 87).

    Diriwayatkan dari Ibn ‗Abbas r.a., bahwa ada seorang lelaki yang

    berkata: "Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?" Rasulullah saw.

    menjawab, 'Syirik kepada Allah, pesimis terhadap karunia Allah, dan

    berputus asa dari rahmat Allah'." (HR. Al-Bazzar)

    Dari sejumlah ayat dalam al-Qur‘an, dapat dipahami bahwa

    ketika Allah menghadirkan ujian dan cobaan kepada manusia, pada

    hakekatnya Allah sedang melihat siapa di antara mereka yang paling baik

    amalnya.

    ―Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,

    siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha

    Perkasa lagi Maha Pengampun.‖ (QS. Al Mulk: 2)

    Fudhail bin ‗Iyadh ketika memaknai kalimat “ahsanu „amalan”,

    mengatakan bahwa maksudnya kalimat tersebut adalah ashwabuhu wa

    akhlashuhu, yaitu yang paling benar dan ikhlas amalnya.

    Dalam ayat lain disebutkan,

    "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji

    kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang

    sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu

    dikembalikan." (Q.S. al-Anbiya': 35).

  • 36

    Ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah, "Kami akan menguji

    kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan", mengatakan

    bahwa Allah Swt akan menguji kita, kadang-kadang dengan musibah-

    dan kadang-kadang dengan kenikmatan, sehingga Allah akan melihat

    siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan

    siapa yang berputus asa. Hal ini sesuai yang ditegaskan oleh Ibnu Abbas

    r.a., "Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran,

    kesehatan dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan haram,

    ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan."

    Dengan sejumlah keterangan tersebut di atas, jelaslah bahwa

    ujian pasti akan datang dalam beragam bentuk kepada setiap manusia,

    lebih-lebih kepada mereka yang telah mengikrarkan diri beriman kepada

    Allah Swt.

    Dari beragam ujian dan cobaan tersebut, dapat diketahui siapa di

    antara manusia yang paling baik amalnya, yaitu siapa yang paling teguh

    menjaga keimanannya, dan siapa yang mudah goyah bahkan runtuh

    keimanannya.

    Ingatlah bahwa karena engkau telah menyatakan diri sebagai

    orang yang beriman, maka engkau pasti akan diuji. Demikian kira-kira

    pesan al-Qur‘an kepada kita.

    Dengan Iman Hidup Menjadi Terarah

    Iman, hemat penulis, laksana kompas yang akan menunjukkan

    arah dan tujuan hidup seseorang. Dengan iman, seseorang akan

    menjalani hidup ini dengan penuh kehati-hatian. Dia tidak akan berani

    mengambil jalan hidup yang tidak sesuai dengan yang telah ditunjukkan

    oleh imannya. Dia khawatir, jika mengambil jalan yang melenceng dari

    jalan iman, maka dia tidak akan sampai pada tujuan utama yang hendak

    dicapainya, yakni kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

    Iman akan menjadi guide yang akan mengarahkan seseorang

    pada jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim). Iman akan membimbing

    seseorang menuju jalan Allah (sabilullah). Iman akan mengantarkan

  • 37

    seseorang pada jalan-jalan kedamaian dan keselamatan (subul al-

    salam).

    Tanpa iman, seseorang yang berilmu bisa menjadi tinggi hati.

    Tanpa iman, seseorang yang kaya bisa menjadi sombong dan bakhil.

    Tanpa iman, seseorang yang tengah berkuasa akan semena-mena.

    Tanpa iman, seseorang yang tengah menikmati puncak kesuksesan akan

    terlena. Tanpa iman, seseorang akan mudah mengikuti bujuk rayu setan.

    Tanpa iman, seseorang akan gampang tergoda tipu daya iblis. Tanpa

    iman, amal seseorang akan sia-sia.

    Singkatnya, tanpa iman, seseorang akan menapaki kehidupan ini

    tanpa arah. Sebaliknya, dengan iman hidup menjadi terarah.

  • 38

    Langkah Kedua

  • 39

    Bekali dengan Ilmu

    Kokohnya pondasi iman seseorang, tidak akan berarti banyak

    tanpa dibekali dengan ilmu yang memadai. Iman adalah dasar pijakan

    seseorang melangkah dan menjalani kehidupan ini. Sedangkan ilmu

    adalah cahaya yang akan menerangi langkah seseorang menapaki jalan

    kehidupan ini menuju tujuan akhirnya.

    “Law laa al-„ilm lakaana an-naasu ka al-bahaaim”, kalaulah bukan

    karena ilmu, niscaya manusia seperti binatang. Demikian bunyi sebuah

    ungkapan hikmah dalam bahasa Arab, yang menunjukkan betapa

    pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia.

    Memang, pada kenyataannya perbedaan paling mendasar antara

    manusia dengan makhluk Allah yang lain terletak pada anugerah akal

    yang diberikan Allah kepada manusia. Ini yang menjadi ciri khas manusia

    dibanding binatang. Binatang tidak diberi akal, hanya diberi nafsu serta

    insting (naluri), sehingga binatang tidak dapat membedakan mana yang

    baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah,

    mana yang halal dan mana yang haram.

    Di sisi lain, selain dilengkapi dengan akal, manusia juga diberi

    nafsu. Hal ini juga yang membedakan manusia dengan malaikat. Malaikat

    hanya diberi akal tetapi tidak diberi nafsu. Sehingga pantas saja malaikat

    selalu tunduk kepada perintah Allah dan tidak pernah melanggar

    larangan-Nya.

    Kenyataan berbeda terjadi pada manusia. Dengan memiliki dua

    perangkat berupa akal dan nafsu, maka manusia dapat menjadi lebih

    mulia dari malaikat, karena dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi

    larangan-Nya dengan mengendalikan nafsunya di bawah bimbingan akal,

    tetapi juga mungkin bisa menjadi lebih rendah dari binatang, ketika

    nafsunya yang mengendalikan akalnya.

  • 40

    Satu lagi perangkat yang Allah anugerahkan kepada manusia

    untuk menjalani hidup di dunia ini sebagai khalifah-Nya, yakni hati. Hati

    ini akan menjadi penyeimbang antara akal dan nafsu. Hati ini

    sesungguhnya yang menentukan setiap langkah serta tindakan manusia.

    Meski, kadang-kadang, hati yang sudah dibutakan oleh nafsu tidak akan

    bisa berbuat banyak. Seseorang akan menyadari kesalahannya dengan

    hati yang jernih, ketika sudah merasakan dampak buruk dari perilaku

    serta tidakan yang dilakukannya.

    Di sinilah posisi akal berperan. Mereka yang menggunakan

    akalnya dengan baik, membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang

    memadai, akan berpikir beberapa kali jauh ke depan sebelum melakukan

    suatu tindakan. ―Fakkir qabla an ta‟zima”, berpikirlah sebelum bertindak,

    demikian petuah bijak menganjurkan.

    Betapa banyak manusia yang meratap menyesali perbuatannya di

    kemudian hari, setelah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya

    dilakukan. Bahkan, betapa banyak yang akhirnya mendekam di penjara

    karena melakukan tindak kejahatan atau kriminal. Hal ini terjadi, karena

    mereka tidak menggunakan akal pikirannya dengan baik sebelum

    bertindak. Penyesalan selalu datang terlambat. Sesal kemudian tiada

    berguna.

    Di sinilah pentingnya ilmu. Dengan ilmu, seseorang menjadi lebih

    hati-hati dalam bertindak, dengan ilmu pula seseorang akan menjadi

    lebih bijak dan berpikir jauh ke depan sebelum memutuskan untuk

    melakukan sesuatu.

    Iqra’: Wahyu Pertama yang Mencerahkan

    Bagi umat Islam, perintah untuk membekali diri dengan ilmu

    pengetahuan sudah didengungkan sejak empat belas abad yang lalu,

    tepatnya ketika wahyu pertama turun kepada Rasulullah Saw.

    ―Iqra‟!”, bacalah! Inilah seruan pertama yang diwahyukan Allah

    Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalu malaikat Jibril a.s. Dalam

    sejumlah riwayat hadis sahih dijelaskan bahwa ketika Jibril a.s.

    memerintahkan Nabi yang ummi (tidak bisa baca-tulis) untuk membaca,

  • 41

    secara jujur Nabi mengakui bahwa dirinya tidak bisa membaca.

    Kemudian Jibril a.s memeluk erat tubuh Nabi dan kembali

    memerintahkan Nabi untuk membaca. Nabi kemudian tetap mengatakan

    bahwa dirinya tidak bisa membaca. Hal ini terjadi berulang hingga tiga

    kali.

    Syeikh Muhammad Abduh dalam Tafsirnya Al-Manar menjelaskan

    bahwa atas kuasa (Qudrat) Allah, melalui malaikat Jibril, Nabi diyakinkan

    bahwa sejak saat itu, beliau yang ummi, diberi kemampuan untuk dapat

    membaca.

    Senada dengan pendapat Abduh, Musthafa al-Maraghi, yang juga

    merupakan murid dari Syekh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa arti

    Iqra yaitu Allah menjadikan engkau (Muhammad Saw) bisa membaca

    dengan kehendak-Nya yang tadinya engkau tidak bisa membaca.

    Selangkapnya bunyi teks ayat tersebut adalah sebagai berikut:

    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

    Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,

    dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)

    dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia

    apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‗Alaq: 1-5)

    Dalam pandangan penulis, rangkaian ayat pada wahyu pertama

    yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. tersebut

    merupakan wahyu yang sangat mencerahkan.

    Betapa tidak, masyarakat Arab (baca: Makkah) Pra Islam ketika

    itu, yang disebut para sejarawan sebagai masyarakat jahiliyah,

    masyarakat yang diliputi dengan kebodohan, baik secara akidah, ibadah

    maupun ilmu pengetahuan, disadarkan dengan seruan wahyu pertama

  • 42

    yang mengajak mereka untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan

    (kejahiliyahan).

    Sejarawan Muslim kenamaan, Al-Thabari, serta sejarawan lainnya

    memperkirakan, pada saat itu hanya ada 17 orang yang melek huruf.

    Memang, masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-

    tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja.

    Kondisi demikian ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir

    sempit.

    Di sinilah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi

    menemukan relevansi dan momentumnya.

    Perintah Iqra pada ayat tersebut, dimaknai oleh para ulama tafsir

    dengan beragam pengertian, diantaranya: membaca, menghimpun,

    menelaah, mendalami, meneliti dan menyampaikan.

    Selanjutnya, perintah membaca dalam ayat tersebut disandarkan

    atas nama Tuhan. ―Iqra bismi Rabbika‖, bacalah dengan nama Tuhanmu.

    Makna dari perintah ini adalah bahwa segala aktivitas yang berkaitan

    dengan ilmu pengetahuan pada khususnya, seperti: membaca,

    memahami, mengkaji dan meneliti, serta aktivitas kehidupan pada

    umumnya, harus disandarkan dan diarahkan kepada Allah Swt. Apa pun

    aktivitas kita, aktif maupun pasif, harus selalu diniatkan untuk

    menggapai ridla Allah Swt., demikian penjelasan mantan Syekh Al Azhar,

    Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Qur‟an fi Syahril Qur‟an.

    Perintah Iqra pada ayat tersebut diungkapkan dua kali, yaitu

    pada ayat pertama dan kedua. Menurut al-Maraghi, perintah Iqra

    tersebut diulang, karena membaca tidak akan bisa merasuk ke dalam

    jiwa, serta tidak dapat dipahami maknanya melainkan setelah berulang-

    ulang dan dibiasakan.

    M. Quraish Shihab menegaskan bahwa wahyu pertama itu tidak

    menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki

    umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik

    (dengan nama Allah), dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

  • 43

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna perintah Iqra'

    adalah: bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu;

    bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang

    tertulis maupun yang tidak.

    Adapun mengenai pengulangan kalimat perintah Iqra‟ yang

    disebutkan dua kali dalam rangkaian ayat tersebut, menurut M. Quraish

    Shihab, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca

    tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau

    membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal

    kemampuan, tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-

    ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan

    dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.

    Demikian pesan yang dikandung kalimat Iqra' wa rabbuka al-akram

    (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

    Membuka Jendela Dunia

    ―Membaca, membuka jendela dunia‖, demikian ungkapan yang

    sering kita dengar berkaitan dengan pentingnya aktivitas membaca.

    Ada sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab yang berbunyi:

    “Khairu jaliisin fi al-zamaani kitaabun”, sebaik-baik teman di setiap saat

    adalah buku. Sebuah ungkapan sederhana, namun sarat makna jika

    dikaji lebih jauh.

    Kita semua mafhum bahwa buku merupakan sumber informasi,

    lautan ilmu dan samudera pengetahuan. Dengan meyelaminya, kita akan

    mendapatkan hal-hal baru, yang mungkin tidak pernah kita ketahui

    sebelumnya selama ini.

    Buku ibarat belantara pengetahuan tak berujung, lautan ilmu tak

    bertepi dan mayapada informasi tak berkesudahan. Siapa saja yang bisa

    masuk menjelajah ke dalamnya, akan menemukan mutiara terpendam

    yang tak ternilai. Dan, ketika mutiara itu sudah ditemukan, siapa saja

    akan merasa ingin selalu mencari mutiara-mutiara lainnya yang masih

    terpendam di balik lembaran-lembaran berjuta-juta buku lainnya.

  • 44

    Melalui buku, kepribadian seseorang terbentuk. Melalui buku

    pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Bisa dipastikan, masyarakat

    suatu bangsa yang mencintai buku, menjadikannya sebagai menu wajib

    yang selalu menyertai dalam aktifitas kesehariannya, membudayakan

    aktifitas membaca di setiap saat, akan tampil sebagai bangsa dengan

    tingkat peradaban yang tinggi.

    Sebaliknya, masyarakat sebuah bangsa yang tidak menaruh

    perhatian pada buku, menganggap buku sebagai hal yang remeh-temeh,

    tidak membudayakan aktifitas membaca, maka bisa dipastikan, bangsa

    tersebut akan menjadi bangsa terbelakang, ketinggalan informasi, gagap

    pengetahuan dan miskin peradaban.

    Demikian halnya dengan kualitas individu setiap orang.

    Seseorang yang peduli terhadap ilmu pengetahuan, tanggap akan

    pentingnya informasi, akan membekali dirinya dengan aktivitas

    membaca. Dia selalu merasa haus ilmu dan informasi. Dia akan

    menyediakan waktu khusus untuk aktivitas membaca ini. Dia juga akan

    menyediakan dana khusus untuk membeli buku, majalah, surat kabar

    dan segala hal yang berkaitan dengan sumber informasi. Orang-orang

    seperti inilah yang akan terus bertahan hidup di tengah pusaran arus

    modernisasi dan globalisasi. Kualitas intelektualnya menjadikan mereka

    siap menghadapi tantangan zaman. Mereka ini selalu aktual dengan

    kondisi zaman, bahkan mungkin kualitas intelektual yang dimilikinya jauh

    melampaui zamannya.

    Di sisi lain, ada orang-orang yang selalu jauh tertinggal dari

    kondisi zaman. Mereka adalah orang-orang yang tidak tanggap terhadap

    informasi, tidak peduli dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah

    meluangkan waktu untuk membaca. Kehidupan yang dijalaninya statis,

    jalan di tempat, bahkan mundur beberapa langkah ke belakang. Zaman

    yang terus bergerak maju dengan sangat cepat, tidak mereka imbangi

    dengan peningkatan kualitas mental dan intelektual. Mereka gagap

    teknologi, informasi dan konteks kekinian. Mereka ini bagaikan makhluk

    asing yang hidup di zaman pra sejarah.

  • 45

    Singkatnya, dengan membaca, mempelajari dan mengkaji segala

    hal yang ada di sekeliling kita, sebagaimana pesan wahyu pertama di

    atas, maka akan terbukalah misteri alam ini, akan tersingkap segala

    rahasia yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui. Inilah hakekat dari

    membaca yang sesungguhnya. Membaca, membuka jendela dunia.

    Mencerahkan Pikiran, Memperluas Cakrawala

    Bagi anda yang rajin mengunjungi toko buku terbesar di

    Indonesia, yang memiliki jaringan luas di seluruh pelosok nusantara ini,

    tentu tidak asing dengan istilah ―enlightening minds expanding horizons”.

    Ya, itu adalah tagline dari Gramedia Bookstore.

    Jika diterjemahkan secara bebas, maka arti kalimat tersebut

    adalah ―Mencerahkan Pikiran, Memperluas Cakrwala‖. Sebuah ungkapan

    singkat namun sarat makna jika kita kaji lebih jauh.

    Membaca adalah aktivitas yang akan menjadikan seseorang

    menyadari betapa dunia ini begitu luas. Betapa ilmu pengetahuan di

    jagad raya ini tak bertepi dan tak berkesudahan. Semakin seseorang

    rajin membaca, semakin dia menyadari betapa bodohnya dia. Semakin

    seseorang menyadari kebodohannya, semakin pudarlah keangkuhan dan

    kesombongannya. Pada gilirannya, semakin seseorang rajin membaca,

    semakin tercerahkan pikirannya, semakin luas wawasannya, semakin

    kaya pengalamannya. Selanjutnya, semakin intensnya aktivitas

    membaca, semakin menjadikan seseorang bersikap dewasa, serta

    semakin bijak perilakunya.

    Kenyataan berbeda akan kita jumpai pada orang yang malas

    membaca. Semakin seseorang malas membaca, semakin merasa pintar

    dia, semakin tampak kesomobongannya. Padahal, hakekatnya, ibarat

    kata pepatah, ―tong kosong nyaring bunyinya‖, atau ―air beriak tanda tak

    dalam‖. Merasa pintar dan sombong justru menunjukkan kebodohannya.

    Sok pintar dan sombong itu adalah cara seseorang untuk menutupi

    kekurangannya.

  • 46

    ―Bagaikan katak di dalam tempurung‖, demikian ungkap pepatah

    lainnya. Dunia yang begitu luasnya tidak pernah disadarinya, karena si

    katak hanya hidup di dalam ruang sempit, dibatasi oleh tempurung. Jadi

    dia beranggapan bahwa kehidupan ini hanya seluas tempurung yang

    membatasinya itu. Padahal, kehidupan di luar sana sungguh luas dan tak

    terbatas.

    Aktivitas membaca akan menjadikan seseorang tercerahkan

    pikirannya serta terbuka wawasannya. Dengan membaca, seseorang juga

    akan luas cakrawalanya, kaya pengalamannya, serta tumbuh

    kedewasaannya.

    Bagi seorang muslim, membaca seharusnya menjadi aktivitas

    harian. Karena, seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, bahwa wahyu

    yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca. Iqra! Bacalah!

    carilah pengetahuan, gali informasi, perkaya diri dengan ilmu, lepaskan

    diri dari belenggu kebodohan!

    Tafsir bebas dari wahyu pertama tersebut adalah bahwa seolah-

    olah Allah menyeru kepada setiap manusia: ―Hai manusia, janganlah

    kamu menjadi orang yang bodoh dan tidak berpengetahuan. Jadilah

    kalian semua orang-orang yang berilmu. Karena dengan ilmu

    pengetahuan, maka kalian akan menjadi mulia dan terhormat!‖

    ―Bacalah dengan nama Tuhanmu!‖, artinya belajarlah beragam

    ilmu pengetahuan dengan jalan membaca dengan didasari keimanan dan

    ketakwaan kepada Allah. Sehingga ilmu yang kelak didapatkan bisa

    memberi manfaat bagi diri sendiri dan juga orang lain.

    Khususnya bagi umat Islam. Hendakanya membaca al-Qur‘an

    setiap hari disertai terjemahnya. Pahami isinya, hayati maknanya,

    kemudian praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Al-Qur‘an adalah bacaan mulia. Di dalamnya terkandung

    beraneka macam ilmu pengetahuan. Lembar demi lembar al-Qur‘an akan

    menghadirkan beragam ilmu serta pelajaran bagi umat manusia. Dari

    mulai sejarah kehidupan umat-umat terdahulu, kehidupan dan

    perjuangan para nabi dan rasul dalam menegakkan ajaran tauhid, kisah-

    kisah penuh hikmah dari orang-orang saleh, pelajaran berharga dari

  • 47

    mereka yang membangkang dan berakhir dengan kehancuran, beraneka

    ragam ilmu pengetahuan alam; tentang bumi, langit, gunung, lautan

    juga angkasa raya serta planet-planet di tata surya kita.

    Al-Qur‘an juga menjelaskan kepada kita tentang masalah hukum,

    baik yang berkaitan dengan hukum ibadah ritual-individual, maupun

    ibahadah sosial berupa mua‘amalah, hubungan antar manusia. Al-Qur‘an

    juga berbicara tentang masalah akhlak, jiwa manusia (psikologi), dan

    juga tentang masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga masalah

    kesehatan. Tidak lupa juga al-Qur‘an berbicara tentang masa depan, dari

    mulia kiamat, kondisi di alam kubur (barzakh), hari kebangkitan (yaum

    al-ba‟ts), hari perhitungan (yaum al-hisab), surga dan neraka, hingga

    keadaan di akhirat nanti. Kesemua hal tersebut dijelaskan dalam al-

    Qur‘an. Maka tepatlah jika al-Qur‘an kemudian disebut dengan istilah

    kitab petunjuk (al-huda), penawar (asy-syifa‟), nasihat (al-mau‟izah),

    penjelas (al-bayan), mulia (al-majid), dan istilah-istilah lainnya sesuai

    dengan fungsi dan peran al-Qur‘an dalam kehidupan ini.

    Dengan membaca al-Qur‘an serta memahami maknanya,

    seseorang akan mendapatkan petunjuk dalam menjalani hidup dan

    kehidupan ini, serta ketenangan batin dan ketentraman jiwa.

    Tidak cuma membaca al-Qur‘an, bahkan sekedar mendengarnya

    saja pun dapat melahirkan ketenangan batin serta ketentraman jiwa

    pendengarnya. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh sejumlah penelitian

    ilmiah baru-baru ini.

    Adalah Dr. Al-Qadhi, peneliti dari Amerika Serikat, melalui

    penelitian ilmiahnya yang panjang di klinik besar Florida, AS, berhasil

    membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Quran

    seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun tidak, dapat

    merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.

    Lebih lanjut menurut Dr. Al-Qadhi, pengaruh umum yang

    dirasakan oleh orang-orang yang menjadi objek penelitiannya, setelah

    mereka mendengarkan bacaan al-Qur‘an adalah penurunan depresi,

    kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, serta menangkal berbagai

    macam penyakit.

  • 48

    Penelitian dokter ahli jiwa ini ditunjang dengan bantuan peralatan

    elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung,

    ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.

    Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran

    berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan

    penyembuhan penyakit. (Dikutip dari indonesiarayanews.com)

    Jauh sebelum penelitian terbaru tentang efek bacaan al-Qur‘an

    tersebut, dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan pada

    Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984 silam,

    disimpulkan bahwa Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan

    sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.

    Penelitian lain tentang manfaat membaca al-Qur‘an, seperti

    dilansir oleh indonesiarayanews.com, dilakukan oleh Muhammad Salim

    yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya adalah 5

    orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang

    tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak

    diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya yaitu, Al-Qur‘an.

    Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi,

    yakni membacakan Al-Quran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab

    yang bukan dari Al-Quran. Dari riset tersebut, responden mendapatkan

    ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Quran dan

    mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab

    yang bukan dari Al-Qur‘an.

    Suatu karunia yang sangat besar bagi umat Islam dengan

    memiliki pedoman hidup, yakni al-Qur‘an. Disamping membacanya

    adalah ibadah yang bernilai pahala, memahami maknanya, serta

    menagamalkan isinya, akan menghadirkan ketenangan jiwa dan

    keberkahan hidup.

    Membaca, mendengar, menghayati serta mengamalkan nilai-nilai

    ajaran al-Qur‘an dapat meningkatkan kecerdasan intelektual (IQ),

    emosional (EQ), serta spiritual (SQ).

  • 49

    Posisi Mulia Ilmuwan (Ulama)

    Ada sebuah kalimat hikmah (bijak) yang menyebutkan, “al-„alimu

    kabirun wa in kana shaghiran, wa al-jahilu shagirun wa in kana

    syaiykhan. Orang yang berilmu itu besar, mulia kedudukannya, meskipun

    usianya masih muda. Sedangkan orang yang tidak berilmu (bodoh) itu

    kecil dan rendah kedudukannya, meskipun usianya sudah tua.

    Dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11, Allah Swt. menegaskan bahwa

    posisi seorang ilmuwan--- dalam bahasa agama sering disebut dengan

    istilah ulama--- yang dilandasi dengan pondasi keimanan yang kuat

    sangat tinggi dan mulia di sisi Allah.

    “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu

    dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

    Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

    Betapa mulia dan tingginya derajat orang-orang mukmin yang

    berilmu, hingga Allah pun menyebutkan dalam firman-Nya ini.

    Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, dan

    menempatkan posisi ilmuwan pada tingkatan yang utama. Sejumlah

    ayat al-Qur‘an dan hadits menegaskan hal itu.

    "Katakanlah: “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang

    yang tidak berilmu?"‖ (QS. Az Zumar:9).

    "Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?"” (QS. Al An'am:50).

  • 50

    "Katakanlah: “Apakah sama kegelapan dengan cahaya?"” (Ar

    Ra'd:16).

    Pertanyaan retorik dalam rangkaian ayat-ayat tersebut memiliki

    satu jawaban yang pasti: Tentu tidak sama antara orang berilmu dan

    tidak, antara orang buta dan melihat, antara gelap dan cahaya.

    Ibnul Qayyim al-Jawziyah rahimahullah dalam Miftah Dar al-

    Sa‟adah menjelaskan bahwa Allah Swt. menafikan unsur kesamaan

    antara ulama dengan selain mereka, sebagaimana Allah menafikan unsur

    kesamaan antara penduduk surga dan penduduk neraka. Dalam Q.S. Az-

    Zumar:9 dikatakan,

    “Katakan, tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan

    orang yang tidak berilmu.”

    Dalam Q.S. al-Hasyr: 20 Allah menegaskan,

    “Tidak sama antara penduduk neraka dan penduduk surga”.

    Hal ini menunjukkan tingginya posisi ulama dan kemuliaan

    mereka.

    Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw juga menegaskan,

    “Ulama adalah pewaris para Nabi”. (HR. Tirmidzi). Menurut Al-Hafidz Ibn

    Hajar al-‗Asqalani, hadis ini dikuatkan oleh ayat yang berbunyi,

  • 51

    ―Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang

    Kami pilih di antara hamba-hamba kami.‖ (Q.S. Fathir: 32).

    Yang dimaksud dengan kalimat orang-orang yang Kami pilih

    dalam ayat tersebut adalah para ulama.

    Kemuliaan lainnya dari ulama adalah bahwa mereka merupakan

    hamba-hamba Allah yang selalu takut kepada-Nya. Dan ini menjadi ciri

    khas orang-orang yang berilmu. Q.S. Fathir: 28 menjelaskan hal

    tersebut,

    ―Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-

    Nya, hanyalah ulama‖.

    Adapun pada kenyataannya, banyak di antara orang-orang yang

    memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi perilaku mereka justru

    jauh dari rasa takut kepada Allah, maka sesungguhnya mereka itu,

    menurut para ulama, bukanlah ilmuwan atau ulama yang sebenarnya.

    Bahkan, Imam al-Ghazali, menyebut para ulama yang sikapnya justru

    jauh dari nilai-nilai ajaran agama, jauh dari rasa takut kepada Allah

    dengan istilah „ulama su‟ (ulama jahat).

    Imam al-Ghazali dalam Ihya‟ „Ulumuddin membagi ulama menjadi

    dua kategori, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah

    ulama yang ‗menjual‘ ilmunya untuk ‗membeli‘ kenikmatan duniawi.

    Sedangkan ulama akhirat adalah ulama yang ‗menanam‘ ilmunya untuk

    ‗menuai‘ kebahagiaan akhirat. Dunia dalam pandangan ulama akhirat

    hanya sebagai alat (wasilah), bukan tujuan. Klasifikasi ulama ini

    tampaknya merujuk pada satu hadis Nabi Saw: “Manusia yang paling

    berat azabnya di akhirat adalah ulama yang