Top Banner
EXECUTIVE SUMMARY NASIONALISME, DEMOKRATISASI, DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah) Tim Peneliti: Syafuan Rozi Firman Noor Luky Sandra Amalia Muridan S. Widjojo Syamsuddin Haris 1
28

NASIONALISME, DEMOKRATISASI, DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Jan 19, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

EXECUTIVE SUMMARY

NASIONALISME, DEMOKRATISASI, DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA:

Problematika Identitas Keagamaan versusKeindonesiaan

(Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Tim Peneliti:

Syafuan Rozi Firman Noor

Luky Sandra AmaliaMuridan S. WidjojoSyamsuddin Haris

1

Page 2: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2P)LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)

Jakarta, 2009

2

Page 3: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

NASIONALISME, DEMOKRATISASI, DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA:

Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan(Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

I. Latar BelakangKeberadaan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terdiri

dari beragam gugus primordial merupakan suatu hal yangunik. Keragaman yang dimilikinya menyebabkan negara inimerupakan sebuah unique experiences yang tak akan pernahterulang dan mungkin hanya dapat dibandingkan dengan India.Dalam kapasitasnya tersebut, beragam persoalan tak pelakhadir di dalam negara multikultural ini. Salah satunyaadalah fenomena kebangkitan sentimen identitas keagamaanyang mengarah pada upaya kecenderungan penguatan semangateksklusif dan berorientasi mendangkalkan keunikan dan, yanglebih penting dari itu, makna bangsa. Meski keberagamaanmerupakan salah satu elemen utama dari fondasi bangsa ini,namun kecenderungan yang mengarah ekslusivisme, jelasberpotensi meluruhkan bangun keindonesiaan, yangmengisyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadappluralisme. Dalam perjalanan waktu, persoalan kebangkitansentimen keagamaan yang mengarah pada kecenderungan initelah mewarnai perkembangan bangsa Indonesia dari masa kemasa.

Sejarah mencatat bahwa hadirnya gerakan separatis atasdasar sentimen keagamaan telah muncul tak lama setelahIndonesia berdiri. Pada tahun 1949, misalnya, di bawahpimpinan seorang pemuka agama kharismatis SekarmadjiMaridjan Kartosuwiryo berdirilah sebuah organisasi yangkemudian dikenal sebagai Darul Islam (DI), dengan alatperjuangannya Tentara Islam Indonesia (TII). Sebagai gerakanyang dilandasi oleh semangat keagamaan, sekaligus protesterhadap “melembeknya” perlawanan perjuangan mengusirpenjajah, DI/TII memiliki tujuan yang jelas yakni menjadikan

3

Page 4: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Indonesia sebagai sebuah Negara Islam (Daulah Islamiyah) yangmenjalankan seluruh aspek ajaran dan hukum Islam1.

Di masa sebelum Orde Baru, ketika persoalan nationbuilding baru memasuki tahap formalisasi awal, DI/TII dapatdikatakan merupakan sebuah gerakan paling serius dalammewujudkan sebuah alternatif bagi negara kebangsaan. Tingkatkeseriusannya tidak saja pada level wacana, namun telahmengalami konkretisasi dalam bentuk penciptaan sebuahpemerintahan dan bahkan perlawanan bersenjata. Nampaknya,belum tuntasnya perdebatan mengenai ideologi negara turutmemicu bangkitnya obsesi kelompok-kelompok Islam tertentuuntuk mewujudkan sebuah alternatif “kebangsaan” bagi rakyatIndonesia. Sebuah “kebangsaan” yang tidak saja dilandasioleh semangat senasib sepenanggungan sebagai bangsaterjajah, namun juga semangat persaudaraan dalam keagamaan.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, upaya kelompok-kelompokkeagamaan untuk menonjolkan identitas religiusitasnya dalamberpolitik dan memperjuangkan alternatif sistem pemerintahantidak seutuhnya kandas. Meski secara legal upaya itu telahpupus seiring dengan dibubarkannya Badan Konstituante ditahun 1959, namun pada wilayah ekstra parlementer pada levellokal upaya tersebut tetap ada. Keberadaan DI/TII pimpinanDaud Beureuh, misalnya, praktis masih merupakan ancaman bagieksistensi keindonesiaan saat itu. Meski kemudian dapatdiselesaikan, setidaknya pada tingkat permukaan olehprajurit TNI pada tahun awal tahun 1960-an, semangatperlawanan terhadap eksistensi “negara sekuler” di TanahRencong tidak serta merta pupus.

Memasuki era Orde Baru, sentimen identitas keagamaandalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara relatif dapatditekan. Meski pada awalnya bersikap bersahabat terhadapkelompok Islam, yang kemudian direspon oleh kalangan Islamdengan sebuah pengharapan yang tinggi2, kenyataan sejarahmemperlihatkan bahwa rezim baru ini mewarisi pandangan yangsama dengan rezim pendahulunya, terutama manakala berbicarasoal peran politik kelompok keagamaan pada umumnya dan1 Mengenai kajian komprehensif mengenai DI/TII lihat Cornelis van Dijk, RebellionUnder the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981).2 Lihat Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

4

Page 5: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

kelompok Islam pada khususnya. Keduanya pada dasarnyamenaruh kecurigaan yang mendalam terhadap kelompok ini.Khusus untuk Orde Baru, ketidakpercayaan itu terkait puladengan sikap reaktif umat Islam terhadap modernisasi yangkerap disebut oleh Umat Islam sebagai westernization(pembaratan), dan kapablitias yang minim kalangan initerhadap upaya implementasi ide-ide pembangunan3.

Kecenderungan kebijakan diskriminatif Orde Baruterhadap umat Islam dan kooptasi yang ketat terhadap umatyang lain telah secara tidak langsung turut melestarikansemangat identitas keagamaan. Hal ini belakangan dicerminkandengan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan bawah tanah.Kondisi ini menjadi sinyalemen bahwa tanpa adanya kemauanuntuk membuka dialog yang argumentatif dan sehat, Rezim OrdeBaru justru turut membidani dan memelihara cara pandangeksklusif dari kelompok-kelompok tersebut. Sikap keras dantangan besi mungkin telah menyebabkan beberapa kalangan“Islam garis keras” menyingkir hingga bahkan ke luar negeri,namun cara tersebut tidak mampu memunahkan semangat merekauntuk tetap meyakini ajarannya hingga berakhirnya Orde Barudi tahun 1998.

Terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari praktekopresif dan kooptatif Orde Baru itu, beberapa kalangankemudian menghubungkannya dengan fenomena kebangkitansentimen keagamaan, terutama kalangan Islam, di erareformasi. Era reformasi memang kemudian menjadi saksi bagikebangkitan kehidupan keagamaan, yang tidak saja melingkupiwilayah kultural (non-politik), namun pula pada wilayahpolitik. Dalam konteks wilayah kultural, misalnya, dapatterlihat dengan maraknya pemakaian atribut dan pelaksanaanaktifitas keagamaan, baik pada level lokal maupun nasional.Kemudian beberapa penelitian menunjukkan kecenderungansemakin afirmatifnya masyarakat terhadap nilai-nilaikeagamaan, dan bermuara pda gerakan semacam Tarbiyah, HTIdan MMI.

3 Mengenai perspesi Orde Baru terhadap Islam di masa awal pemerintahannya lihatAbdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press,1996). Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003).

5

Page 6: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

II. Perumusan MasalahBangkitnya sentimen identitas keagamaan dalam beragam

ekspresinya, termasuk dengan hadirnya kelompok-kelompokkeagamaan HTI, Tarbiyah, MMI, merupakan fenomena kongkretterkait munculnya kesadaran dan gerakan politik baru yangmenunjukan sebuah sikap kritis terhadap keindonesiaan.Faktor-faktor yang menyebabkan kehadirannya jelas tidakmonolitik. Hal-hal seperti menguatnya intepretasi keagamaanyang berkecenderungan puritan dan tekstual, makin terbukanyaIndonesia dan masuknya arus deras globalisasi yang makinmemudahkan masuknya ide-ide keagamaan yang bersifat trans-nasional.

Selanjutnya, menguatnya kesadaran dan obsesi pencarianmodel alternatif bagi “pemerintahan sekuler”, kebijakanpolitik Orde Baru yang represif terhadap kalangan Islamtertentu cenderung turut melestarikan pandangan keagamaanyang eksklusif, ataupun adanya peluang demokratisasi yangmemberikan kesempatan bagi siapa pun untuk menumbuhkan idedan melakukan pergerakan. Secara hipotetik telah menjadifaktor-faktor yang tidak dapat diabaikan dalam melihatberkembangnya semangat menonjolkan identitas keagamaan.

Namun demikian, kesemua hal itu harus tetap dilihat dandiuji secara jernih. Hal ini agar dapat terungkap akar-akarpenyebab sekaligus upaya pemecahannya secara obyektif.Suatu hal yang pasti, gesekan akan makna keindonesiaan, yangmengisyaratkan sebuah toleransi, persamaan dan penghargaanterhadap pluralisme, dengan upaya-upaya pencarian modelnegara alternatif yang diusung oleh kalangan pendukungkhilafah Islamiyah, yang berangkat dari sentimen keagamaan,merupakan sebuah fenomena yang berpotensi terjadi.

Terkait dengan hal ini, sejauh mana nilai-nilaikegamaan itu hendak diusung oleh ormas-ormas Islamkontemporer yang berkomitmen dalam penegakan sistem KhilafahIslamiyah (Tarbiyah, HTI, MMI) dan seberapa besar komitmentersebut akan memberikan dampak pada keindonesiaan merupakanpertanyaan umum kajian topik penelitian ini. Sehubungandengan itu pertanyaan spesifik yang akan dibangun antaralain adalah:

6

Page 7: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

1. Hal apa saja yang melatarbelakangi kehadiran(ganeologi) gerakan Ormas Tarbiyah, HTI, MMI di saatIndonesia memasuki era keterbukaan dan demokratisasi?

2. Apa yang menjadi landasan pemikiran kelompok iniuntuk meyakini Khilafah Islamiyah sebagai sebuahalternatif dan hingga tahap mana implementasi ituingin diwujudkan?

3. Bagaimanakah pandangan mereka tentang keberadaannegara bangsa semacam Indonesia?

4. Stategi dan langkah apa saja yang mereka tempuhuntuk mewujudkannya?

5. Seberapa besar ide dan gerakan kelompok inisejatinya “berhadapan” dengan hakekat keindonesiaan?

III. Tujuan PenelitianSecara umum penelitian ini bertujuan memberikan

sumbangan kajian mengenai fenomena kebangkitan sentimenkeagamaan dalam bingkai nasionalisme melalui perspektifkajian oramas Islam kontemporer dalam hal ini kalanganpendukung Khilafah Islamiyah, baik secara implisit daneksplisit. Atas dasar itu penelitian ini diharapkan dapatmemberikan sebuah pemahaman tentang keberdaaan kelompok-kelompok yang meyakini konsep Khilafah Islamiyah dan menjadibagian dari alternatif pemikiran dalam memformat bangunkeindonesiaan saat ini dan di kemudian hari. Adapun secarakhusus penelitian ini memiliki beberapa tujuan :

1. Menganalisa dan memberikan pemetaan tentangfaktor-faktor yang menyebabkan kemunculan kelompok-kelompok tersebut.

2. Memahami dan melakukan pemetaan mengenai carapandang keagamaan dan politik kelompok-kelompoktersebut mengenai kekhilafahan dan eksistensikeindonesiaan.

3. Mencermati langkah-langkah konkret baik dalamkonteks masyarakat maupun negara dari kelompok dalammewujudkan idealisme itu.

4. Mengevaluasi keberadaan kalangan ini dantantangannya bagi eksistensi keindonesiaan saat inidan dimasa datang.

7

Page 8: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

IV. Kerangka TeoriSaat ini kajian mengenai nasionalisme tidak lagi hanya

semata diarahkan kepada pembahasan mengenai hubungan antarnegara dalam relasi dominasi dan subordinasi, melainkantelah diturunkan pada level negara-bangsa itu sendiri.4

Dalam kajian ini, membahas nasionalisme berarti mengkajisemacam tantangan internal yang dialami oleh negara-bangsadari kelompok-kelompok primordial yang ada didalamnya. Dalamkonteks Indonesia kontemporer “tantangan” tersebut termasukyang berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasukorganisasi masyarakat, yang menawarkan sebentuk ide dangerakan yang cenderung eksklusif dalam bingkai sentimenkeagamaan.

Keindonesiaan itu sendiri, sebagaimana yang dipahamioleh penelitian ini menyaratkan kemauan untuk rela bersatu atasdasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan, dimana semangat kemanusiaan menjadi landasannya yang dikaitkan secara asasidengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkandengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan. Dengan batasan initerlihat sebuah peluang kajian dalam melihat keberadaannasionalisme atau keindonesiaan terutama dikaitkan dengansebuah situasi dimana faktor kerelaan dan kesadaran untukbersatu dalam sebuah nasion merupakan sesuatu yang utama.

Dalam hal membicara kebangkitan sentimen keagamaandalam bingkai negara-bangsa tidak dapat dipisahkan daripersoalan intepretasi nilai-nilai keagamaan. Relevansifaktor ideologis, terutama terkait dengan pemahaman seberapajauh aplikasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupanberbangsa dan bernegara seharusnya diwujudkan, menjadipenting karena merupakan salah satu faktor penopangkeyakinan menegakan nilai-nilai agama secara lebihkomprehensif. Dalam hal ini terdapat kalangan yang meyakinibahwa relevansi agama dalam politik adalah mutlak mengingat

4 Mochammad Nurkhoiron, “Agama dan Kebudayaan: Menjelajah Isu Minoritas danMultikulturalisme di Indonesia” dalam Hikmat Budiman, ed., Hak Minoritas DilemaMultikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007), hal.32.Lihat juga Will Kmylicka, Multicultural Citizenship, (Oxford: Clarendon Press, 1995).

8

Page 9: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

sifat agama (Islam) sebagai pegangan hidup komprehensif,yang mengatur soal-soal di luar masalah privat.5

Intepretasi agama semacam itu sejalan dengan tipologipertama dari tiga tipologi pemikiran Islam Munawir Sjadzali,yakni:

Pertama, adalah kelompok yang menyatakan bahwa Islammerupakan agama yang sempurna, yang lengkap denganpengaturan segala aspek kehidupan manusia, termasukkehidupan bernegara. Kedua, adalah aliran yang berpendirianbahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki hubungan denganurusan kenegaraan. Ketiga, adalah aliran jalan tengah, yangselain menolak pendapat bahwa Islam suatu agama yang serbalengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem kenegaraan,aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam merupakan agamaseperti dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubunganmanusia dengan Tuhan. Aliran ini meyakini memang dalam Islamtidak terdapat sistem ketatanegaraan, namun demikian Islammengandung seperangkat tata nilai etika bagi kehidupanbernegara6.

Diasumsikan bahwa mereka yang termasuk kelompokpertama, yang kerap dianggap sebagai kalangan “formalis”,akan cenderung mendukung tegaknya Khilafah Islamiyah. Carapandang keislaman sedemikian di era reformasi saat inicenderung muncul kembali ketimbang semakin memudar.

Selain persoalan intepretasi, secara internal,eksistensi kelompok-kelompok pendukung Khilafah Islamiyahpada umumnya muncul sebagai reaksi pada dua hal:

Pertama, kondisi umat Islam yang mengalamiketerbelakangan dan terus menerus didominasi oleh Barat,

5 Lihat Syafuan Rozi Soebhan, “Membentang Hakekat Kegamaan dalam Keindonesiaan”,dalam Firman Noor, ed, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia,(Jakarta: Pusat Penelitian Politik, LIPI, 2007). Mengenai istilah “Islam Formal”lihat misalnya M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian PolitikTentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal.143-184.Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1994).Zifirdaus Adnan, “Islamic Religion: Yes, Islamic Ideology: No. Islamand StateIndonesia”, in Arief Budiman, ed., State and Civil Society in Indonesia, (Victoria: MonashUniversity, 1990).6 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UIPress, 1990), hal. 1-2.

9

Page 10: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

terutama akibat keacuhan kalangan pemimpin agama tradisionalyang cenderung melakukan eskapisme dan berfikir status-quo.

Kedua, sebuah kenyataan bahwa situasi ini didukung olehkeberadaan elemen pro-Barat pada masyarakat Islam itusendiri, terutama oleh mereka yang disebut sebagai kelompokIslam modernis. Kedua hal ini berujung pada degradasikehidupan umat Islam baik secara duniawi atau secaraspiritual. Dalam konteks duniawi hal ini ditunjukkan denganadanya kemiskinan, korupsi, stagnasi intelektual, politikyang tidak stabil dan peradaban yang menurun.

Sedangkan dalam hal spiritual ditandai dengan adanyapenerimaan nilai-nilai di luar Islam seperti sekulerisme,naturalisme, dan westernisasi, yang dicampur dengan nilai-nilai Islam dan ketidak adanya idealisme untuk menerapkannilai-nilai Islam. Untuk alasan ini, ambisi terbesar darikelompok ini adalah mengembalikan Islam secara total dalamcara berfikir dan cara hidup, dan juga membuat Islam sebagaialternatif untuk merespon perubahan era saat ini.7

V. Metode PenelitianMetode yang digunakan oleh penelitian ini adalah model

penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan. Studikepustakaan dilakukan dengan cara menelusuri berbagailiteratur, baik buku, makalah, jurnal, surat kabar, hasilwawancara dan majalah yang ditulis atau diproduksi olehpenulis atau institusi yang mewakili ormas maupun tulisanresmi ormas tersebut (official documents); juga brosur atauselebaran maupun berbagai literatur yang ditulis olehpemerhati atau pengamat ormas tersebut. Data yang telahterkumpul kemudian akan dianalisis secara kualitatif denganmempertimbangkan berbagai sudut pandang yang terkait dengan

7 Beverly Milton-Edwards, Islamic Fundamentalism since 1945, (New York: Routledge,2005). Fazlur Rahman, Islam and Modernity, An Intellectual Transformation, (Chicago:University of Chicago Press), hal.162. R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival:Catalyst, Categories, and Consequences” dalam Shireen T. Hunter, (ed.), ThePolitics of Islamic Revivalism, (Washington: Center for Strategic and InternationalStudies, 1988). Bruce B. Lawrence, Defenders of God, (New York: Harper and RowPublishers, 1989). Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought: the Response of the Shi’i andSuni Muslim to the Twentieth Century, (London: McMillan Press, 1982), hal. 8. TarmiziTaher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam BahtiarEffendy and Hendro Prasetyo, eds., Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998)

10

Page 11: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

permasalahan dan tetap berpedoman pada kerangka teori yangtelah dikemukakan.

Perlu diketengahkan disini dipilihnya HTI, GerakanTarbiyah dan MMI sebagai representasi (atau sampel) darikelompok sejenis disebabkan karena ketiganya relatif telahmewakili eksistensi kalangan pendukung Khilafah Islamiyahdan mewakili “aliran” di dalam kalangan ini di seluruhIndonesia. Tidak itu saja, gerakan dan aktifitas, maupunsikap dan pandangan mereka cukup jelas, setidaknyaterdeteksi, mengenai persoalan yang terkait dengan KhilafahIslamiyah di awal reformasi.

Hal lain yang cukup menarik adalah ketiganya memilikiketerkaitan erat dengan jaringan trans-nasional baiklangsung maupun tidak. Lebih dari itu kajian atas ketiganyasetidaknya dapat memperlihatkan bahwa keradikalan dalambersikap dan memperjuangan keyakinan tidak identik dengansudut pandangan kalangan ini. Disamping itu keterbatasandana dan SDM menyebabkan penelitian in tidak dapatmengeksplorasi lebih lanjut kelompok-kelompok lain yangsejalan dengan ketiganya.

VI. Sistematika Penulisan Dalam laporan besar hasil penelitian ini dijabarkan

permasalahan, tujuan, kerangka berfikir penelitian. Polanyaadalah menjelaskan keberadaan kelompok pendukung KhilafahIslamiyah gerkan Tarbiyah, HTI dan MMI dan kontekskeindonesiaan. Pada bab yang membahas kasus HTI ditelaahfaktor-faktor yang menyebabkan kemunculan organisasi ini,pandangan keislaman dan landasan pemikiran politik HTI.Persoalan mengapa khilafah Islamiyah menjadi sebuah syaratmutlak yang harus dikembangkan di bumi Indonesia akanmenjadi inti pembahasan bab ini. Begitupula dalam hal apadan hingga sejauh mana implementasi Khilafah Islamiyah ituingin diwujudkan. Bagaimana pula HTI melihat realitaskeindonesiaan dan sejauhmana ide Khilafah Islamiyahrealistis dalam konteks keindonesiaan saat ini ingindiwujudkan juga akan menjadi bagian bahasan bab ini.

Selanjutnya ada bab yang membahas Gerakan Tarbiyah,yang muncul diawal tahun 1980-an dan menunjukan

11

Page 12: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

eksistensinya di era reformasi dengan mendirikan sebuahpartai politik. Dalam kajian ini akan diketengahkan faktor-faktor kemunculan dan fenomena transformasi gerakan ini,dari sebuah komunitas sosial menjadi kelompok politik, diawal reformasi. Kemudian akan dikaji pula landasan pemikiranIslam yang nantinya akan dikaitkan dengan pandangan kelompokini seputar politik. Bab ini akan pula mengetangahkanpandangan tarbiyah mengenai eksistensi dan model KhilafahIslamiyah yang dipandang ideal oleh kalangan ini. Bagaimanakhilafah Islamiyah itu akan diterapkan dan sejauh manapenerapan itu dapat hidup dalam konteks keindonesaian akanpula menjadi bagian penting yang dibahas dalam bab ini.

Kemudian ada bab mengenai gerakan MMI. Bagian ini akanmengetengahkan sejarah berdirinya MMI sebagai sebuahfederasi ormas-ormas Islam pendukung diterapkannya syariahIslam dan model pemerintahan yang kaffah, dimana KhilafahIslamiyah menjadi elemen utama didalamnya. Kemudian bab iniakan mengetengahkan landasan pemikiran Islam dan politikkalangan ini terutama terkait dengan alasan dukungan MMIterhadap khilafah Islamiyah dan struktur Khilafah Islamiyahyang ideal.

Pada setiap bab ini akan disimpulkan jawaban ataspertanyaan penelitian yang didapatkan dari masing-masingbab, terutama pemetaan dan gradasi komitmen penegakanidentitas keagamaan, sekaligus menjabarkan alternatif solusibagi persoalan yang terkait dengan masalah keagamaan,khususnya eksistensi kalangan Islam yang memperjuangkankhilafah Islamiyah, dalam bingkai keindonesiaan saat ini dandi masa yang akan datang.

VII. GERAKAN HTI, TARBIYAH, MMI DAN KEINDONESIAAN

Pada level masyarakat, ekspresi kebangkitan keagamaandi Indonesia pascaSoeharto dapat terdeteksi salah satunyadengan bermunculannya kelompok-kelompok yang mengusung idepenerapan pelaksanaan hukum Islam atau Syariah Islam secaralebih komprehensif. Kelompok-kelompok ini tidak segan untukmenunjukan simbol-simbol keagamaan dan mengklaim sebagaipihak yang memiliki tanggung jawab untuk menegakan nilai-

12

Page 13: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

nilai keagamaan secara lebih menyeluruh. Kelompok iniberupaya meretas jalan bagi terciptanya sebuah tatanansosial dan sistem politik alternatif yang berorientasikeagamaan dan bersifat trans-nasional. Dalam kontekskelompok-kelompok Islam munculah organisasi dan gerakansemacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Tarbiyah danMajelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dengan semangatmenganjurkan penegakan Syariah Islam dan sebentukpemerintahan atas dasar Islam atau Khilafah Islamiyah.

Kelompok-kelompok tersebut dalam konteks praktis telahmenunjukan eksistensi keberpihakan terhadap tegaknya nilai-nilai keislaman tidak saja pada level individual namun pulapada level masyarakat dan negara. HTI misalnya telahmempromosikan Khilafah Islamiyah dalam berbagai kesempatansebagai bentuk alternatif terhadap sistem pemerintahan diIndonesia yang berlaku saat ini. Bagi kalangan ini intipersoalan yang dialami oleh bangsa Indonesia terletak daritidak tepatnya sistem kehidupan dan juga sistem pemerintahanyang dianut. Menurut HTI, sistem politik sekuler terbuktitidak mampu menyelesaikan persoalan bahkan menimbulkanbanyak persoalan baru. Oleh karena itu, sistem KhilafahIslamiyah, yang telah memperlihatkan keunggulan-keunggulannnya sepanjang sejarah pemerintahan Islam terutamadi masa pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah, patutdipertimbangkan untuk diterapkan8. Dalam berbagai kesempatanbaik dalam forum-forum akademis, diskusi publik, rapatakbar, hingga demonstrasi di jalan HTI tidak seganmenawarkan konsep Khilafah Islamiyah bagi bangsa Indonesiapada umumnya dan umat Islam pada khususnya.

Sedangkan kelompok Tarbiyah tidak secara terang-terangan menyatakan pentingnya khilafah. Kalangan ini lebihmemfokuskan diri pada soal-soal perbaikan individual danmembangun masyarakat Islami serta pemantapan nilai-nilaiIslam dalam kehidupan negara. Meski isu penegakan syariahIslam secara formal dan pendirian khilafah Islamiyah tidakdikedepankan saat ini, bahkan terdapat kesan inginmenonjolkan diri sebagai bagian dari elemen kebangsaan,

8 Mengenai konsep Khilafah HTI lihat dalam Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah:Pemerintahan dan Administrasi, (Jakarta: HTI Press, 2005).

13

Page 14: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

secara ideologi kalangan ini pun mengakui penegakan Islamsecara total dalam level negara.9

Adapun MMI sebagai sebuah organisasi yang dibentuk olehbeberapa tokoh lintas organisasi di tahun 2000, meyakinibahwa perbaikan kehidupan bangsa hanya dapat dilakukandengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah).Hal ini berarti melalui penerapan ajaran-ajaran Islam atauIslamisasi dari level individu, masyarakat dan negara. Atasdasar itulah Negara Islam atau Khilafah Islamiyah bagi MMIadalah sesuatu konsekuensi logis yang yang tidak dapatdihindari bilamana masyarakat ingin menghindari berbagaibentuk kemunduran kualitas hidup melalui penegakan syariahIslam10. Dalam menjalankan agendanya tersebut kalangan inibanyak berkecimpung dalam upaya-upaya penegakan SyariahIslam di tingkat lokal melalui cabang-cabang MMI di daerah.Sementara pada level nasional organisasi ini kerap membangunsinergi dengan partai-partai Islam dan mendorong partai-partai itu untuk terus konsisten memperjuangkan kembalinya“Piagam Jakarta”.11 Berikut ini ulasan matrik yang dibangununtuk menjawab pertanyaan penelitian:

MATRIK PERBANDINGAN GERAKAN TARBIYAH, HTI & MMINO INDIKATOR HTI TARBIYAH MMI1 Ganealogi/

Asal-usul- Induknya berdiripada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina, Timur Tengah.- Dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama alumni Al-Azhar Mesir, hakim Mahkamah Syariah di Palestina)- Masuk ke Indonesia sbg HTI pada tahun 1980-

- Pengaruh gerakan internasional Ikhwanul Muslimun yang dirintis Hasan Al-Banna, demikian terasa pada gerakan ini, baik sebagai guru spiritual maupun pembimbing utama gerakan.- Masa di antara tahun 1982-1983 diyakini sebagai saat ketika gerakan ini mulai berkembangkan di tanah air. -Diambilnya era awal tahun 1980-an tersebut terutama terkait dengan

-Gerakan ini lahir dalam bentuk pertemuan akbar Kongres Mujahidin I yang dilaksanakan tanggal 5-7 Agustus 2000 di Gedung Mandala Bhakti WanitatamaYogyakarta. Perhelatan besar yang mengusung tema“Memperjuangkan PenerapanSyariat Islam (Tathbiq al-Syariat) Secara Kaffah (komprehensif ) Dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Terutama Bidang Pemerintahan, Sehingga Tauhid Menjadi Asas dan Syariat Islam Menjadi Rujukan Tunggal Bagi

9 Sitaresmi S. Soekanto and Navis M, Tarbiyah Menjawab Tantangan, Refleksi 20 TahunPembaharuan Tarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Robbani Pres, 2002).10 Jamhari dan Jajang Jahroni, eds, Gerakan Salafi radikal, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 68-69.11 Ibid, hal. 84

14

Page 15: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

an. dg merintis dakwah di kampus-kampus besar seperti IPB, UI, ITB, UNPAD.- Tahun 1990-an mulai merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.- Merupakan organisasi politik(Hizb), bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat),bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukanlembaga pendidikan(akademis), dan bukan lembaga sosial (yang bergerak di bidangsosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompok.

kehadiran sebuah generasi intelektual atau sarjana yang baru saja pulang dari pendidikan di negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir atau Arab Saudi, pada awal tahun 1980-an. - diawal 1980-an gerakanini masih bersifat eksklusif di kampus-kampus (mihwar tanzhimi), maka di awal 1990-an gerakan tarbiyah mulai mengeksiskan dirinya dalam masyarakat sepertimembentuk lembaga pendidikan, lembaga ekonomi dan komunikasi (mihwar sya’bi), dan pada akhir 1990-an kalangan ini pun muncul dalam wajah politik yang berorientasi pada pembenahan negara (mihwar muasasi), yang dikemudian hari akan kemudian mengarah pada pembentukan sistem politik Islam yang lebihkomprehensif lagi (mihwar daulah)

Sistem Pemerintahan dan Kebijakan Kenegaraan Secara Nasional Maupun Internasional”.-Pertemuan dihadiri oleh lebih dari 1800 peserta, anggota berbagai ormas dan orpol Islam yang berasal dari 24 Propinsi di Indonesia, antara lainLaskar Santri, Lasykar Jundullah, Kompi Badr, Brigade Taliban, Komando Mujahidin, Partai Keadilan, dan lain-lain. Tokoh-tokoh Islam yang hadir diantaranya, Abu Bakar Ba’asyir, Deliar Noer, KH. Alawy Muhammad,KH. Ali Yafie, Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah, Abdul Qadir Baraja, Ir. RHA Sjahirul Alim, MSc, Prof. Mansur Suryanegara,Muhammad Thalib, Bardan Kindarto, KH. Asep Maushul, dr. Fuad Amsyari, dan Abu Jibril, termasuk beberapa utusan ormas Islam yang ada di luar negeri.- Nama Majelis Mujahidin Indonesia diambil dari nama acara yang mana organisasi tersebut dibentuk yaitu Kongres Mujahidin I..- Abu Bakar Ba’asyir dan Irfan S. Awwas sebagai tokoh sentral MMI.

2 Posisi terhadapDemokrasi

- Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem Demokrasi. Khilafah adalah sistem politik Islam.

- Kedaulatan, yakni hak untuk menetapkanhukum, yang menentukan benar dansalah, yang menentukan halal danharam, ada di tangansyariah, bukan di tangan manusia.

Ideologi gerakan tarbiyah memiliki kecenderungan dualisme atau multi-tafsir dalam menyikapi masalah-masalah yang terkait dengan demokkrasi, kebangsaan, pemilihan umum, hanya sebatas wacana yang bersifat sementara dan terkait dengan strategi dakwah semata.

Gerakan Tarbiyah memiliki prinsip tetap

Piagam Yogyakarta MMI:

Pertama, wajib hukumnyamelaksanakan syariat Islam bagi umat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya.

Kedua, menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi

15

Page 16: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

-. Atas nama kebebasan, sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindaksebagai tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka.

Kredo demokrasi mengatakan “suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei)”. Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah keputusan atau pemikiran.

Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka keputusan atau pemikiran itu seakantelah menjadi benar.

Pada hakikatnya sistem demokrasi inibertentangan sama sekali dengan Islam.Karena itu, umat Islam tidak boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan sistem apapun lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi

(tsawabit) dan prinsip dinamis (mutghayyirat) yang menjadi landasan untuk bersikap felksibel, moderat dan kompromistis.

Gerakan Tarbiyah mengakui keberadaan Indonesia sebagai negaramajemuk yang terdiri atas lebih dari satu agama dan meyakini bahwapluralisme adalah realitas yang tidak terhindarkan.

Penghormatan ataspluralisme ditunjukandari inisiatif gerakanini melalui wakil-wakilnya di parlemenuntuk mengupayakandimasukannya kata“kewajiban menjalankanagama bagi para pemeluk-pemeluknya” dan menolakkembalinya tujuh kata kedalam konstitusi yangcenderung bersifateksklusif. Pilihangerakan tarbiyah atasusulan tersebut denganpertimbangan bahwanegara ini jelas terdiridari orang yang beragamadengan latar belakangkeagamaan yang berbeda-beda.

manusia.

Ketiga, membangun satu kesatuan shaff Mujahidinyang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional, maupun internasional (antarbangsa).

Keempat, Mujahidin Indonesia membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya imamah (khilafah)/ kepemimpinan umat, baikdi dalam negeri maupun dalam kesatuan umat Islam sedunia.

Kelima, menyeru kepada kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah danjihad di seluruh penjurudunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin

3 Posisi terhadapKhilafah

HT memiliki platform dasar transnasionalisme atau prinsip memperluas jaringan hingga lintas negara-bangsa. Substansi cita-cita politiknya mengupayakan seluruhDunia Islam berada dalam satu sistem kekuasaan politik bernama khilafah.

Pembentukan pemikiran yang mengarah pada universalisme tatanan politik Islam, dimana eksistensi negara bangsakerap terabaikan sementara model entitas politik berdasarkan persaudaraan Islam kerapdikedepankan.

Ada prinsip sementara (provisional principal) dan

- Pengertian khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Saw dalam hal sebagai pemimpin ad-dawlah al-islamiyah (Negara Islam).

-MMI tidak terlalu mempersoalkan penamaan

16

Page 17: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

- Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah,tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melaluiakad bai’at. - Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan.- Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuanyang hendak direalisasikan oleh Khilafah.

Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayahlain. Tidak ada satuorang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh me-legislasi hukum yangbersumber dari pikirannya sendiri.

Khilafah bukanlah negara totaliter Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah halyang terlarang.

Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas.wanita tidak berada pada posisi inferioratau menjadi warga kelas dua.

utilitarianisme dalam melihat dan “mengupayakan” keberadannegara-bangsa.

Negara-bangsa tidak dilihat sebagai sebuah entitas yang “stagnan” atau final, namun berproses dan dapat mengalami perubahan. Entitas ini bahkan diyakini, manakala situasinya memungkinkan,akan menjadi elemen penunjang bagi sebuah entitas yang lebih besarlagi yakni Khilafah Islamiyah.

Sistem khilafah, yang dibayangkan berporos pada ide persaudaraan atas dasar Islam (Ikhwanul muslimin, Islamic brotherhood), merupakan sebuah keyakinan utama yang merupakan alternatif terbaik bagi umatnya. Tegaknya khilafah adalahsebuah proses bertahap. kebertahapan ini terkaitdengan masalah tingkat kesiapan dan potensi dukungan dari kalangan umat Islam sendiri untukkembali menegakan khilafah Islamiyah.

Ada 2 model khalifah:

1) model pemerintah tunggal dimana semua negara Islam melebur menjadi satu (seperti yang terjadi di masa lalu)

2). Model konfederasi dimana setiap negara Islam berkomitemen untukmenyatukan diri dalam hal-hal tertentu, seperti konstitusi, nilai tukar, dan keamanan, namun di luar hal-hal tersebut dapat mengatur diri sendiri.

sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam misalnya Khilafah Islamiyahsebab bagi MMI yang terpenting adalah menegakkan berlakunya syariat Islam secara kaffah apapun bentuknya

-Kekuasaan yang diamanatkan kepada khalifah merupakan kekuasaan yang konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan.

- MMI mempunyai gagasan untuk mendirikan forum musyawarah internasional seperti PBB Islam untuk mewujudkan globalisasi Islam menuju kemajuan Islam yang selama ini cenderung terhambat oleh Dunia Barat.

- MMI berpandangan organisasi Islam internasional yang ada yaitu Mu’tamar Alam Islami yang pusatnya berada di Islamabad danRabithah Alam Islami yang pusatnya terletak di Makkah serta Organisasi Konferensi Islam (OKI) dinilai kurang maksimal

17

Page 18: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Islam memberikan hakbagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat

Gerakan Tarbiyah cenderung melihat bahwa konfederasi lebih memungkinkan saat ini

4 OrientasiIdeologi

- Hizbuttahrir berarti ’Partai Kemerdekaan’-Membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah.-Menyatakan dirinya adalah sebuah partaipolitik yang berideologi Islam.- Latar belakang berdirinya HT adalahperjuangan untuk kebangkitan Islam lintas bangsa.- Membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistemperundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir.

- Islam mengatur semua aspek kehidupan (komprehensif) dimana arena politik adalah bagiannya.- Perjuangan politik termasuk didalamnya antisipasi Ghawzul Fikri (Perang Pemikiran) dan Saluran Politik umat Islam.- Pancasila sebagai“Ideologi” Formalitas Pandangan gerakan tarbiyah terhadap Pancasila juga bersifat unik dan cenderung dualisme. Pancasila sebagai produk dinamika politik bangsa & mampu menyatukan semua orang beragama didasarkan padakonsensus nilai-nilai universal. -Namun gerakan tarbiyah tidak meyakininya peran Pancasila sebagai ideologi komprehensif yang mampu menggerakkan hati dan pikiran Umat Islam. Kondisi tersebut menyebabkan Pancasila jelas tidak dapat diposisikan sama dengan Islam

- Meningkatkan eksistensiumat Islam melalui peningkatan citra Islam di masyarakat sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin yang artinya Islam mampu membawa manfaat untuk seluruh umat yang ada di alam semesta dan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur yang mengandung pengertian bahwa Islam mensejahterakan umat dan menciptakan perdamaian untuk bangsa Indonesia, tidak hanya untuk orang Islam semata.-MMI tidak mempropagandakan pembentukan "Negara Islam" atau "Negara IslamIndonesia" sebagaimana yang diperjuangkan Kartosuwiryo melalui DI/TII, melainkan MMI mengkampanyekan penegakansyariat Islam di Indonesia.-MMI tidak akan mendesakpemerintah untuk mengubahideologi negara menjadi ideologi Islam sekaligus mendirikan Negara Islam jika pemerintah sudah bisa menerima berlakunya syariat Islam sebab Islamakan menjamin kebebasan semua umat beragama untukmenjalankan ajaran agama masing-masing

5 Strategi Perjuangan

-HT hadir di Timur Tengah dan Afrika: Mesir, Libya, Sudan,Aljazair. Eropah: Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan,

- Sisi praksis dari sebuah gerakan & mengukur komitmen implementasi keyakinan yang dimilikinya.- pendekatan multidimensi tidak membatasi diri hanya sebagai sebuah gerakan dakwah kultural (non-

- MMI merupakan organisasi tansiq (aliansi)yang berdasarkan atas ukhuwwah Islamiyah, akidah, program dan tujuan perjuangan yang sama .- Aliansi personal (tansiqul fardi), aliansi program (tansiqul ‘amali), aliansi institusi (tansiqun

18

Page 19: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Kirgistan, Pakistan,Malaysia, Indonesia,Australia. menandakannya bersifat lintas bangsa/ Trans-nasional.

- Strategi pertarungan pemikiran (ash shiro’ul fikri) dan perjuangan politiknya (al kifahus siyasi).

- Seluruh kegiatan politik itu dilakukan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan fisikatau senjata (laa madiyah) sesuai dengan jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW; bersifat politik lewat ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.

Strategi tiga tahapan (Marhalah) HTI:pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), berinteraksi dengan umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), penerimaan kekuasaan(Marhalah Istilaam Al Hukm)

politik), namun bersediapartisipan dalam dunia politik. mengelola sumber-sumber kekuasaan dan menggunakan kekuasaan.- Komitmen gerakan tarbiyah adalah untuk membangun individu dan institusi yang dapat menopang perkembangan dan pemikiran gerakan tarbiyah.Perjuangan di dunia pendidikan, penerbitan, sosial, dan ekonomi.

Kehadiran dan aktivitas gerakan tarbiyah di banyak lini menunjukan bahwa ”penguasaan” negara atau politik formal bukan menjadi landasan satu-satunya dan yang pertama.

Gerakan tarbiyah meyakini bahwa pembenahan pada level kultural (mulai dari individu, keluarga, masyarakat) memainkan peranan yang sama pentingnya dengan perjuangan di level politik formal. Bahkan kematangan dan penguasandalam bidang politik dipandang sebagai sebuahby product dari kesiapan kultural.

nidhami)-visi MMI: tathbiqusy syariat (penegakan syariat Islam)diturunkan ke dalam misi menegakkan penerapan syariat Islam melalui gerakan Islam, gerakan dakwah, dan gerakan tajdid, menyatukan kembali kekuatan dan potensi umatIslam yang selama ini terpisah-pisah ke dalam satu wadah perjuangan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu menegakkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, meliputi lingkup pribadi,lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial-kenegaraan.- Formalisasi agama dalamsistem sosial politik Indonesia. MMI tidak menggagas pendirian negara agama, melainkan lebih mementingkan simbolisasi agama dalam negara.- Jika perjuangan menuangkan kembali PiagamJakarta ke dalam UUD 1945telah berhasil, maka tidak perlu dibentuk negara Islam. Indonesia tetap sebagai Negara Pancasila, seperti sekarang, tetapi telah diperbaiki.

- MMI banyak memiliki kesamaan dengan Hizbut Tahrir (HTI), Partai Keadilan dan Dewan Dakwah, merapat pada ormas besar, NU dan Muhammadiyah, terutama ditingkat daerah dan memperoleh dukungan dari beberapa tokohnya terkaitpenegakan syariat Islam di Indonesia

6. Posisi terhadapKeindonesiaan/Nasionalisme.Keberagaman

- HTI berjuang dan berupaya secara bertahap dan jalan damai untuk memerdekakan negeri-negeri kaum muslim di seluruh dunia

-Membumikan doktrin atau“mengindonesiakan” falsafah dasar keislamanmerupakan sebuah pilihanbagi gerakan tarbiyah Keyakinan akan kemenyeluruhan sistem

- Perjuangan MMI hanya difokuskan di wilayah Indonesia saja, tidak sampai ke luar negeri. Oleh karena itu MMI tidakada hubungannya dengan Majelis Mujahidin yang

19

Page 20: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

dan Kebhinekaan

dari cengkeraman berbagai ideologi, termasuk di dalamnyanasionalisme, yang dianggap ”bertentangan” dengan ajaran Islam yang lintas bangsa.

Manifesto HTI adalah jalan baru untuk masa depan yang lebih baik, sebagai ganti dari jalan lama (yaitu Kapitalisme-sekular)yang sudah gagal danhanya menimbulkan kehancuran dan kerusakan dalam berbagai bidang.

HTI menilai Sistem ekonomi yang diterapkan sekarang di Indonesia adalah Kapitalisme, dengan mazhab neo-liberalisme. Ciri-ciri utama: (1) Pengurangansubsidi, sepertisubsidi BBM,pendidikan,kesehatan, perumahanrakyat menengahbawah. (2)Privatisasi, yaitupenjualan BUMNkepada asing. (3)Liberalisasi sektorkeuangan, industridan perdagangan;misalnya masuknyaretail raksasasemisal Carefour danWallmart ke pasarretail Indonesiayang akhirnyamenghancurkan pasartradisional danusaha kecil danmikro.HTI menggagas sistemekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem Kapitalisme-neoliberal yang

Islam dan perubahan gradual yang disertai dengan keyakinan akan keutamaan khilafah, mendasari sebuah sudut pandangan yang khas berupa “dualisme”.- Negara-Bangsa: Sebuah Kesementaraan.

- Pancasila sebagai “Ideologi”Formalitas .

- Pluralisme sebagai Investasi Strategis.

- Pluralisme tetap berada dalam koridor supremasi syariah.

Kalangan elite PKS, yangnotabene merupakan elit gerakan Tarbiyah, mencoba untuk merubah image partai menjadi lebih inklusif dan nasionalis, namun secaradoktrinal persoalan mengenai pencipataan sebuah pemerintahan Islam dalam kerangka universalisme tetap menjadi elemen penting dari gerakan ini.

Dalam konteks praktis gerakan ini tidak menimbulkan banyak kontroversi dan nampak kompatibel bagi keindonesiaan. Keindonesiaan secara fundamental menyaratkan toleransi, musyawarah dan penghormatan atas pluralisme.

ada di negara lain- Pemberlakuan syariat Islam tidak serta merta akan memaksa orang-orang non-Muslim agar masuk Islam. Pemeluk agama laindiberi kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing sebab mereka termasuk ke dalam kategori kafir dhimmi yaitu orang-orang yang beragama diluar Islam tetapi berada di bawah pemerintahan Islam,sebagaimana yang telah diterapkan pada jaman pemerintahan Nabi Muhammad. Kaum kafir dhimmi juga tidak akan dikenai hukum syariat tertentu.- MMI punya 4 program unggulan, 1) melakukan amandemen UUD 1945 dan diajukan pada Sidang UmumMPR: usulan perubahan terhadap bentuk dan kedaulatan Negara yang berbunyi “kekuasaan tertinggi menetapkan hukum di tangan Allah yang Maha Kuasa”. Usulan perubahan tentang kekuasaan pemerintahan negara, “Presiden dan Wapres ialah WNI, laki-laki, sehat jasmani-rohani, Muslim yang taat menjalankan syariat Islam. 2) bidang hukum MMI sudah menyusun KUHP Islami dan menyerahkannyakepada Kenteri Kehakiman dan HAM . 3) Bidang ekonomi, sistem ekonomi Indonesia yang Islami: sumber ekonomi ada dua belas diantaranya zakat, waqaf dan lain-lain sertatidak ada sistem pajak, 4) bidang politik, MMI mengajukan tata pemerintahan (tata negara) Islami.

20

Page 21: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

zalim dan eksploitatif .

Ket. Diolah oleh Timnas P2P LIPI, dari berbagai sumber, 2009.

Dalam konteks keindonesiaan pascareformasi, persoalankebangkitan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderungbersifat kritis terhadap eksistensi negara-bangsasesungguhnya tidak terlepas dari model pemerintahan masalampau12. Beragam kebijakan yang tidak menyenangkan inijustru pada akhirnya hanya melestarikan sebuah keyakinankuat akan makna ketertindasan sekaligus menjadi penyuluhbagi ikatan yang lebih kuat di antara kelompok-kelompok itu.“Dendam kolektif”atau sikap negatif akibat trauma kemudianmenjadi landasan bagi penguatan visi dan pemeliharaanidealisme yang sewaktu-waktu dapat muncul kepermukaan. Lebihdari itu, dengan berupaya menenggelamkan hakekat keagamaandengan cara-cara kekerasan, jutsru telah membuat pemikiran,ketokohan dan gerakan kelompok keagamaan menjadi sebuahmitos yang menguatkan keyakinan para pengikutnya.

Di samping sebagai respon dari keberadaan rezim yangrepresif, eksistensi pemikiran dan organisasi kelompokkeagamaan yang berupaya menafikan keberadaan negara-bangsaditengarai merupakan bagian dari sebuah ide yang mondial dansecara organisatoris kerap saling mendukung. Terkait denganarus deras pemikiran transnasional, pengaruh pemikiran danjaringan organisasi global memainkan perannya sendiri.Pengaruh itu sendiri mencakup tidak saja dalam kontekspemikiran namun pula dalam konteks organisasi dan modelgerakan13. Topangan kelompok global ini pun tidak saja dalamkonteks tertib organisasi, namun pula pada soal finansialhingga pelatihan para-militer. Dalam konteks keindonesiaanperan kalangan global itu, telah turut memainkan peran dalamkonteks civil society, yang memang menjadi media yang subur bagi

12 Azzyumardi Azra, “Fundamentalisme Islam, Survey Historis dan Doktrinal”,Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta:Paramadina, 1996). Jamhari and Jajang Jahroni, eds., Gerakan Salafi Radikal diIndonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004). Greg Fealy dan Aldo Borgu, Local Jihad:Radical Islam and Terrorism in Indonesia, (Canberra: ASPI, 2005).13 Mengenai pengaruh organisasi internasional dalam gerakan Islam di Inonesiaera kontemporer lihat misalnya Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan?The Middle East, Islamism and Indonesia, (Alexandria: Lowy Institute for InternationalPolitcy, 2005)

21

Page 22: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

berkembangnya banyak ide dan pengelompokan masyarakat yangmandiri14.

Sementara itu, dalam kajian mengenai bangkitnyasemangat keagamaan di era kontemporer, beberapa pengamatmengindikasikan perasaan tidak aman (insecure) terhadapkeberadaan negara-bangsa, sebagai salah satu faktor penyebabmunculnya “perlawanan” terhadap eksistensi negara-bangsa15.Secara spesifik menurut Juergensmeyer kebangkitan primordialkeagamaan yang kemudian menantang eksistensi negara-bangsa(yang dilandasi oleh nilai-nilai sekuler) disebabkan olehtiga hal.

Pertama, bahwa negara-bangsa walau bagaimanapundianggap sebagai produk Barat. Bagi kalangan religiustertentu, terutama di negara dunia ketiga, eksistensinegara-bangsa dipandang sebagai bagian dari ghazwul fikri,peracunan Barat atas eksistensi mereka (westoxification).

Kedua, negara-bangsa dengan semangat sekuler dipandangsebagai anti agama. Dalam format ini munculah rasa tidaknyaman kelompok religius atas keberadaan sebuah institusibesar yang pada hakekatnya tidak ditujukan untuk memajukankehidupan beragama, bahkan menentang berkembangnya nilai-nilai keagamaan. Padahal bagi kalangan beragama di duniaketiga persoalan agama adalah bagian yang tidak terpisahkandari masyarakat itu sendiri, sehingga pengebirian kehidupanberagama sejatinya sama dengan penghapusan identitas bangsaitu sendiri.

Ketiga, yang menarik adalah bahwa kalangan religius inimeyakini adanya konspirasi global dibalik keberadaan negara-bangsa. Konspirasi itu berupa upaya menyatukan dunia denganbentuk pemerintahan yang sama untuk seluruh umat manusia.Bagi kalangan keagamaan yang berpandangan ekstrim, negara-bangsa yang sekuler memiliki kecenderungan universalis, yangjika dibiarkan justru dapat mengacam identitas dankedaulatan warga dunia di masing-masing negara yangberkarater khas dan berbeda. Dengan ketiga alasan itu

14 Peter Beyer, Religions in Global Society, (London: Routledge, 2006), hal. 62-117.15 Richard T. Antoun, Memahami Fundamentalisme Gerakan Islam, Kristen dan Yahudi, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003).

22

Page 23: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

menurut Juergensmenyer tumbuh dan berkembanglah wacana yangmenentang eksistensi negara-bangsa.16

Lebih dari itu, kelompok-kelompok religius sepertigerakan HTI menjadikan fenomena kebangkitan agama sebagaimomentum memberikan alternatif model pemerintahan dan solusibagi kemanusiaan.17 Kalangan ini ingin membuktikan bahwakeberadaan mereka dapat melahirkan sebuah sistempemerintahan yang lebih manusiawi dan bermoral berlandaskannilai-nilai luhur keagamaan. Ada kecenderungan sejatinyabagi mereka rezim sekuler yang menopang eksistensi negara-bangsa tidak lebih dari rezim korup yang tidak cakap dalammemerintah.

Dalam semangat mewujudkan alternatif perbaikan inilahkalangan religius menemukan relevansinya, terutama denganmelihat kenyatan bahwa pemerintahan sekuler meninggalkanbanyak kesenjangan dan pekerjaan rumah lain yang tidaksedikit. Aktualisasi dari pesan itu beragam, mulai dariusulan untuk merubah sistem pemerintahan, sampai denganpembenahan masyarakat melalu program-program konkret,seperti pemberantasan korupsi, perbaikan pendidikan danpeningkatan kesejahteraan. Dalam kaitan inilah maka semangatkeagamaan kemudian terkait dengan semangat membuat perubahanatau alternatif solusi.

Sementara itu, khilafah Islamiyah dipandang olehkalangan ini sebagai konsekuensi bagi setiap kalangan yangberkomitmen mendirikan pemerintahan berdasarkan Islam.Sistem Khilafah Ilamiyah di masa lampau telah terbukti mamputidak saja membebaskan masyarakat dan menciptakanpemerintahan yang terorganisir, namun pula membentuk pribadiyang baik18.

Makna utama sistem Khilafah Islamiyah itu sendiriterkait dengan komitmen menjalankan kesetiaan berdasarkansemangat persaudaraan Islam dimana ajaran-ajaran Islammerupakan konstitusi dasarnya. Doktrin ini diarahkan pada16 Mark Juergensmeyer, “Nationalism and Religion”, dalam Gerard Delanty andKrishan Kumar (eds.), Nations and Nationalism, (London: Sage Book Publication,2006), hal. 183-18417 Ahmad S. Moussalli, Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity,Legitimacy and Islamic State, (Gainesville: University Press of Florida, 1999).18 See Ridha, Negara dan Cita-Cita Politik, p. 60.

23

Page 24: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

orientasi politik yang memiliki cakupan universal dan tanpabatas nasionalistik, dimana masyarakat Islam disatukan dandiikat hanya dengan keyakinan. Sementara itu, diskusitentang khalifah dalam dunia Islam saat ini mencakup duapandangan utama. Pandangan pertama mengemukakan fungsi dansubstansi khalifah.

Bagi kalangan ini, pendirian khalifah dalam duniamodern merupakan refleksi nilai-nilai Islam universal dalamwilayah administrasi yang terbatas. Dalam pandangan ini,bentuk, cakupan dan wilayah tertentu pemerintah bukanlahfaktor penentu bagi keberadaannya. Sementara pandangan keduamengemukakan pentingnya wilayah tertentu bagi khalifah. Bagikalangan ini, khalifah berkaitan dengan keberadaan wilayahMuslim, dimana ada kepemimpinan tunggal untuk mengontrolwilayah geografis berdasarkan persamaan agama. 19

Dalam perkembangannya kemudian, sebagaimana arus agamadan politik lainnya, kelompok semacam ini yang kemudiankerap disebut sebagai kalangan fundamentalis atau neo-revivalis memiliki banyak varian dan model dalampelaksanaannya. Beberapa ahli berargumen bahwa fundamentalisumumnya berevolusi ke dalam banyak bentuk, perkembangan inisebenarnya menggambarkan keberadaan dari perbedaan tingkatwacana dan juga konteks tindakan dan strategi politik darikelompok ini. Dengan kenyataan ini kalangan pendukungkhilafah Islamiyah bukanlah sebuah kalangan monolitik.

Dalam hubungan ini, kerangka analisa Martin E. Martydan R. Scott Appleby20 menyatakan bahwa cara dan sarana yangdigunakan oleh kaum fundamentalis dalam mendapatkankekuasaan dan menguasai sebuah negara amatlah beragam,“mencakup spektrum dari kalangan radikal hingga kelompokyang bersifat akomodasionis”. Sejalan dengan kesimpulan ini,Bassam Tibi21 mengakui bahwa kaum fundamentalis tidak selalufanatik dimana kesediaan berdialog kerap dikedepankan olehbeberapa kelompok penganut pandangan ini. Ini dilakukan oleh19 Aay M. Furkon, Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004), hal. 246.20 Martin E. Marty and Scott Appleby, eds., Fundamentalism and State Comprehended,(Chicago: The UCP, 1991).21 Bassam Tibi, “Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai Ideologi Politik,dalam Tashwirul Afkar, No. 13/2002, hal.119.

24

Page 25: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

gerakan Tarbiyah, dan cenderunga agak kurang oleh gerakanHTI dan MMI. Atas dasar itulah penelitian ini melihat adanyapotensi perbedaan dan gradasi komitmen, terutama dalamkonteks implementasi strategi perjuangan, di antara ormas-ormas pendukung khilafah slamiyah di Indonesia.

VIII. Penutup Secara ganeologis atau asal-usul, gerakan Tarbiyah,

HTI, MMI memiliki akar dan jaringan dengan gerakan Islamantarbangsa. Namun demikian membumikan doktrin atau“mengindonesiakan” falsafah dasar keislaman merupakan sebuahpilihan bagi gerakan Tarbiyah. HTI menawarkan sistem ekonomisyariah untuk membendung dampak buruk kapitalisme dan neo-liberalisme di Indonesia. MMI menawarkan empat program unggulanuntuk membenahi Indonesia. Gerakan tersebut memiliki polaberfikir global dan bertindak lokal.

Gerakan HTI membuat ulasan soal Indonesia, Khilafah, danPenyatuan Kembali Dunia Islam. Bagi HTI Indonesia adalahtitik awal tegaknya khilafah. Semua persoalan yang saat initengah dihadapi oleh dunia Islam, termasuk Indonesia,berpangkal pada tidak adanya kedaulatan asy-Syari’. Dengan katalain, tidak diterapkannya sistem Islam di tengah-tengahmasyarakat. Masalah utama ini kemudian memicu terjadinyaberbagai persoalan ikutan, seperti kemiskinan, kebodohan,korupsi, kerusakan moral, kedzaliman, ketidakadilan,disintegrasi dan penjajahan dalam segala bentuknya

Gerakan tarbiyah bergerak bak pendulum. Di satu sisi,eksistensinya merupakan bagian dari perkembangan sejarah anakbangsa yang gelisah dan berupaya menjawab berbagai soaldisekitarnya. Di sisi lain, gerakan ini menemukan jawaban dalampola pikir dan gerakan trans-nasional. Dalam kondisi ini pilihan-pilihan untuk berkembang sejalan dengan keyakinan ideologisberkelindang dengan kenyataan-kenyataan empiris yang dihadapi.Dalam situasi seperti ini pilihan-pilihan universalitik harusdisejajarkan dengan konteks nasionalistik.

Gerakan MMI cenderung menilai masyarakat dan pemerintahIndonesia telah menerapkan syariat Islam namun belummenyeluruh. Selama ini umat Islam di Indonesia bebasmenjalankan ajaran agamanya, seperti melaksanakan shalatberjamaah, menunaikan zakat, dan pergi Haji ke Tanah Suci

25

Page 26: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Makkah. Selain itu, pemerintah menyelenggarakan Badan AmilZakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) untuk mengelola danazakat, infaq dan shadaqah umat. Selain itu, pemerintah jugamenetapkan kebijakan mengenai nikah-talak-cerai-rujuk (NTCR)yang merujuk pada ajaran Islam. Oleh karena itu, Indonesiamemerlukan penyempurnaan dalam menerapkan syariat Islam,termasuk menerapkan hukum pidana Islam sebagai satu-satunyacara untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari persoalanmoral dan akidah

Dari kajian teoritis dan olah data lewat penelitian inidapat dilihat kecenderungan beberapa faktor yangmenyebabkan munculnya semangat menonjolkan identitasprimordial, termasuk dalam konteks keagamaan, di Indonesiapada era demokratisasi saat ini, khususnya tentang idepenerapan khilafah Islamiyah oleh beberapa ormas Islamkontemporer. Faktor-faktor tersebut sebagaimana yang telahdiuraikan sebelumnya terhubung dengan persoalan:Pertamapersepsi tentang posisi Islam dalam kehidupan politik.Kedua, kritik atas kemunduran kondisi umat Islam yangdisebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Ketiga, modelpemerintahan represif masa lampau yang menghadirkan traumadan obsesi yang eksklusif. Keempat, peluang demokratisasiyang memungkinkan berkembangnya beragam ide termasukhadirnya berbagai macam ide keagamaan yang bersifattransnasional.***

Daftar Pustaka

Adnan, Zifirdaus, “Islamic Religion: Yes, Islamic Ideology: No. Islamand State Indonesia”,in Arief Budiman, ed., State and Civil Society in Indonesia, (Victoria: Monash University,1990).

Aldo, Borgu dan Greg Fealy, Local Jihad: Radical Islam and Terrorism in Indonesia, (Canberra: ASPI,2005).

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1994).

Antoun, Richard T, Memahami Fundamentalisme Gerakan Islam, Kristen dan Yahudi, (Surabaya: PustakaEureka, 2003).

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim OrdeBaru, (Jakarta: Paramadina, 1995.

26

Page 27: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Azra, Azzyumardi, “Fundamentalisme Islam, Survey Historis dan Doktrinal”, Pergolakan PolitikIslam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996).

Basalim, Umar, Pro Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002).

Bertrand, Jacques, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 2004).

Beyer, Peter, Religions in Global Society, (London: Routledge, 2006),

Bubalo, Anthony and Greg Fealy, Joining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia,(Alexandria: Lowy Institute for International Politcy, 2005).

Dekmejian, R. Hrair, “Islamic Revival: Catalyst, Categories, and Consequences” dalamShireen T. Hunter, (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, (Washington: Center forStrategic and International Studies, 1988).

Effendy, Bahtiar, Islam and the State in Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003).

Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought: the Response of the Shi’i and Suni Muslim to the TwentiethCentury, (London: McMillan Press, 1982).

Feith, Herbert dan Lance Castels, (eds.), Indonesian Political Thinking: 1945-1965, (Itacha andLondon: Cornell University Press, 1970).

Furkon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer,(Bandung: Teraju, 2004).

Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah: Pemerintahan dan Administrasi, (Jakarta: HTI Press, 2005).

Jamhari and Jajang Jahroni, eds., Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,2004).

Juergensmeyer, Mark, “Nationalism and Religion”, dalam Gerard Delanty and Krishan Kumar(eds.), Nations and Nationalism, (London: Sage Book Publication, 2006).

Kmylicka, Will, Multicultural Citizenship, (Oxford: Clarendon Press, 1995).

Lawrence, Bruce B, Defenders of God, (New York: Harper and Row Publishers, 1989).

Maarif, Ahmad S, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985).

Marty, Martin E and Scott Appleby, eds., Fundamentalism and State Comprehended, (Chicago: TheUCP, 1991).

Milton-Edwards, Beverly, Islamic Fundamentalism since 1945, (New York: Routledge, 2005).

Moussalli, Ahmad S., Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy andIslamic State, (Gainesville: University Press of Florida, 1999).

Nasution, Adnan Buyung, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of TheIndonesian Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992).

Nurkhoiron, Mochammad, “Agama dan Kebudayaan: Menjelajah Isu Minoritas danMultikulturalisme di Indonesia” dalam Hikmat Budiman, ed., Hak Minoritas DilemaMultikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007).

Pusat Studi dan Pengembangan Informasi, Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data, (Jakarta: GIP, 1998).

27

Page 28: NASIONALISME, DEMOKRATISASI,  DAN SENTIMEN PRIMORDIAL DI INDONESIA: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, An Intellectual Transformation, (Chicago: University of ChicagoPress).

Siswoyo, P. Bambang, Peristiwa Lampung dan Gerakan Sempalan Islam, (Jakarta: UD Mayasari, 1989).

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990).

Soebhan, Syafuan Rozi, “Membentang Hakekat Kegamaan dalam Keindonesiaan”, dalam FirmanNoor, ed, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di Indonesia, (Jakarta: PusatPenelitian Politik, LIPI, 2007).

Soekanto, Sitaresmi S. and Navis M, Tarbiyah Menjawab Tantangan, Refleksi 20 Tahun PembaharuanTarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Robbani Pres, 2002).

Taher, Tarmizi, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam Bahtiar Effendyand Hendro Prasetyo, eds., Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998).

Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Tibi, Bassam, “Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai Ideologi Politik, dalam TashwirulAfkar, No. 13/2002, hal.119.

Van Dijk, Cornelis, Rebellion Under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, (The Hague:Martinus Nijhoff, 1981).

28