Napak Tilas Harta Bersama Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 1 Jan. 2013 Napak Tilas Hukum Harta Bersama (Kajian Ringan tentang Eksistensi Harta Bersama dalam Hukum Islam Kontemporer) Oleh Erfani el Islamiy PROLOG Ada sebentuk cita rasa hukum Islam kekinian yang hambar. Sajian produk hukum yang kemudian disuguhkan kepada masyarakat, lebih merupakan olahan instan. Penyaji hukum itu agaknya menyuguhkan apa adanya, sebagaimana yang ditemuinya dalam buku sakral warisan leluhur. Seperti ada keogahan menelusuri racikan-racikan apa yang menjadi unsur olahan instan. Atau bisa jadi bukan keogahan, tapi merupakan wujud ketakutan ‘ketiban’ kualat karena menyimpangi buku sakral, lalu menyebabkannya terpojok di batas nusantara meski dijanjikan tunjangan belipat. Harta bersama, terbilang jarang mencuri perhatian akademisi hukum Islam lalu memenjarakannya dalam lembar-lembar ilmiah. Kondisi itu bisa jadi menyebabkan stagnansi berpikir para praktisi terhadap sajian-sajian instan, lalu bersikap sangat praktis dengan hanya membuka lembaran yang telah ada, kemudian secara yakin mencatutnya. Tak penting rasanya mengutak-atik, belum lagi ancaman mengabdi di rimba-rimba minim berpenghuni, sering menunggu pelanggaran sakralitas leluhur. Padahal apapun bangunannya, jika ia adalah bangunan, tentu banyak unsur yang membuatnya tegak, dan unsur itu meniscayakan penghuninya untuk tahu, agar sanggup berbuat saat ada kerusakan terhadap bangunan. Penyelesaian perkara harta bersama, sering kali kehilangan tolok ukur yang memadai, kecuali dasar-dasar normatif-temporer. Mengandalkan rumusan sangat aman ala Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (masing-masing seperdua), lalu menutup mata tentang objektifitas perkara. Bukan sekadar siapa yang memperoleh harta itu, tetapi yang prinsip pula adalah bagaimana bisa sebuah harta itu kemudian disebut harta milik bersama, yang meniscayakan pembagiannya secara seimbang. Atau benarkah perkawinan disepakati menjadi piranti akad selevel bai’ yang diadakan guna mengais hasil ekonomis. Tentu sebait kalimat teramat kurang untuk memberikan jawaban yang utuh. Belum lagi jika ditilik dari tradisi hukum Islam (fikih) yang tidak begitu konsen memberikan kajian tentang pranata harta bersama. Hal ini karena, pada dasarnya mana yang merupakan hak dan mana yang tanggung jawab telah menjadi garis yang jelas dalam hukum Islam, yang tidak meniscayakan munculnya permasalahan harta bersama antara suami dan istri. Harta bersama kemudian mencuat di era
15
Embed
Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 1
Jan. 2013
Napak Tilas Hukum Harta Bersama
(Kajian Ringan tentang Eksistensi Harta Bersama dalam Hukum Islam Kontemporer)
Oleh Erfani el Islamiy
PROLOG
Ada sebentuk cita rasa hukum Islam kekinian yang hambar. Sajian produk
hukum yang kemudian disuguhkan kepada masyarakat, lebih merupakan olahan
instan. Penyaji hukum itu agaknya menyuguhkan apa adanya, sebagaimana yang
ditemuinya dalam buku sakral warisan leluhur. Seperti ada keogahan menelusuri
racikan-racikan apa yang menjadi unsur olahan instan. Atau bisa jadi bukan
keogahan, tapi merupakan wujud ketakutan ‘ketiban’ kualat karena menyimpangi
buku sakral, lalu menyebabkannya terpojok di batas nusantara meski dijanjikan
tunjangan belipat.
Harta bersama, terbilang jarang mencuri perhatian akademisi hukum Islam
lalu memenjarakannya dalam lembar-lembar ilmiah. Kondisi itu bisa jadi
menyebabkan stagnansi berpikir para praktisi terhadap sajian-sajian instan, lalu
bersikap sangat praktis dengan hanya membuka lembaran yang telah ada, kemudian
secara yakin mencatutnya. Tak penting rasanya mengutak-atik, belum lagi ancaman
mengabdi di rimba-rimba minim berpenghuni, sering menunggu pelanggaran
sakralitas leluhur. Padahal apapun bangunannya, jika ia adalah bangunan, tentu
banyak unsur yang membuatnya tegak, dan unsur itu meniscayakan penghuninya
untuk tahu, agar sanggup berbuat saat ada kerusakan terhadap bangunan.
Penyelesaian perkara harta bersama, sering kali kehilangan tolok ukur yang
memadai, kecuali dasar-dasar normatif-temporer. Mengandalkan rumusan sangat
aman ala Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (masing-masing
seperdua), lalu menutup mata tentang objektifitas perkara. Bukan sekadar siapa
yang memperoleh harta itu, tetapi yang prinsip pula adalah bagaimana bisa sebuah
harta itu kemudian disebut harta milik bersama, yang meniscayakan pembagiannya
secara seimbang. Atau benarkah perkawinan disepakati menjadi piranti akad selevel
bai’ yang diadakan guna mengais hasil ekonomis.
Tentu sebait kalimat teramat kurang untuk memberikan jawaban yang utuh.
Belum lagi jika ditilik dari tradisi hukum Islam (fikih) yang tidak begitu konsen
memberikan kajian tentang pranata harta bersama. Hal ini karena, pada dasarnya
mana yang merupakan hak dan mana yang tanggung jawab telah menjadi garis yang
jelas dalam hukum Islam, yang tidak meniscayakan munculnya permasalahan harta
bersama antara suami dan istri. Harta bersama kemudian mencuat di era
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 2
Jan. 2013
kontemporer ini, sebagai gejala dari telah bergesernya haluan-haluan dasar dalam
hukum Islam yang kebetulan berbungkus peradaban. Bahwa masalah kepemilikan
harta dalam perkawinan harus menjadi perkara, karena karakteristik kehidupan
kaum suami dan kaum istri, harus dikatakan telah terlanjur memiliki bargaining
position sendiri- sendiri.
Seiring desakan terhadap persamaan hak itu diamini dalam paksaan iklim
kehidupan yang bimbang ini, maka lembaga perkawinan pun mau tidak mau
(terkesan/seakan) menjelma menjadi lapak kaki lima, yang digelar guna meraup
keuntungan lalu kemudian dibagi secara seimbang, dan bila rugi yang menghadang
tak segan-segan lapak ditelingkupkan. Sangat jauh meninggalkan apa yang disebut
suci. Bahkan yang naif, istri hanya menganggap suaminya berharga sebab selalu ada
uang, sementara suami menganggap istri berharga hanya pada batas pelayanan
hubungan seksual semata.
Seiring hak dan kewajiban tiap individu yang hidup, dipaksa terselubung
dalam bungkus hasrat dan ego, lalu menipu siapa saja yang memandang, selama itu
pula sesungguhnya keadilan sedang digerogoti oleh kepalsuan.
Adilkah jika keadilan itu dikendalikan oleh satu suara yang dimuliakan di
puncak lembaga? Lalu menghukum pengingkarnya dalam sepi berteman desiran
pantai. Banyak yang tidak disadari dari bagaimana kita menegakkan hukum Islam ini.
Ruh syariat yang kita punggawai, lebih sering mati suri, kehilangan jasadnya yang
asli. Atau sebaliknya raga Syariat, lebih sering dirasuki hantu bernama takut dan ego
sesaat. Membuatnya jauh dari maksud punggawa.
Tulisan ini tidak berangkat dari kajian kasus, tapi lahir dari lamunan asri
berbaur sepoi, dalam sendawa sore, sesaat setelah melepas dahaga, menyantap
hidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan nasi dan segelas air
putih untuk suaminya, sebagai keutuhan rumah tangga. Istri yang katanya bertasbih
bukan melulu dalam hamparan sajadah, tetapi juga berteman bawang dan garam,
lalu ditahlilkan dalam wajan bertikar api.
Pada penutup prolog ini, harus dikatakan, bahwa tulisan ini tak sebagus judul
yang mengepalainya. Banyak kesan fiksi yang menjiwai prolog, tapi sesungguhnya
ada nyata dan fakta yang ingin diutarakan. Apapun itu, tekad menghadirkan bacaan
yang nyaman dan lugas, adalah motifasi awal, yang dibalut dengan sentuhan
idealisme secara wajar, mengirim objektifitas yang santun agar sampai di benak para
pembaca.
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 3
Jan. 2013
PEMBAHASAN
A. Harta Bersama dalam Hukum Islam
1. Fase Klasik
Jalinan suci pernikahan (dalam istilah kekerabatan disebut mushaharah)
memiliki posisi yang strategis sekaligus menentukan banyak dampak hukum
keluarga. Ia bukan sekadar instrumen resmi dan suci penghalalan yang
haram, namun lembaga besar yang darinya dibangun banyak implikasi
hukum keluarga. Implikasi itu antara lain:
a. Munculnya kewajiban nafkah oleh suami kepada istri
b. Munculnya kewajiban nafkah suami kepada istri dan anak-anak
c. Dasar dari lembaga talak
d. Salah satu sebab keberhakan dalam waris
e. Lahirnya hubungan nasab
f. dll.
Pada prinsipnya, pernikahan dicanangkan bukan sebagai piranti ekonomi
bahwa rumah tangga didominasi oleh kegiatan berkaitan dengan atau
menghasilkan sesuatu yang bernilai harta benda, melainkan terbentuknya
rumah tangga dalam balutan energi-energi positif psikologis, berupa
ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Bahwa
kemudian suami berkewajiban menghidupi (memenuhi kebutuhan pangan
sandang dan papan bagi istri dan anak), bukan merupakan muatan utama,
namun merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh kaum suami.
Sehingga harta yang diperoleh selama perkawinan bersifat assesoir guna
membangun kebahagiaan rumah tangga, bukan sebaliknya membangun
rumah tangga untuk meraup harta benda sebanyak-banyaknya.
Hal ini karena memang salah satu indikasi dari adanya ketenangan dan
kenyamanan dalam rumah tangga adalah adanya penopang kehidupan
secara wajar yang tercakup dalam nafkah itu. Sehingga tidak adanya nafkah
atau suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah, kemudian dapat
menjadi alasan bahwa rumah tangga dan pernikahan itu dapat diakhiri
(kecuali kalangan Hanafiyah). Dalam situasi yang sedemikian itulah, apalagi
dalam kuantitas kasus yang banyak di tengah-tengah kehidupan rumah
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 4
Jan. 2013
tangga manapun, maka pernikahan dan rumah tangga cenderung dirasakan
sebagai wahana ekonomis, sementara cinta dan kasih sayang hanya sebagai
assesoir. Sehingga semakin ke sini, cita rasa perkawinan didominasi oleh
tuntutan-tuntutan hak ekonomis, lalu runtuhnya rumah tangga kemudian
berujung pada sengketa ekonomi.
Dalam gambaran klasik masyarakat muslim (klasik tidak berarti tidak laik
guna), sebagaimana yang dapat diraba dalam piranti hukumnya dalam fikih-
fikih tradisional, akan memunculkan gambaran bahwa seorang perempuan
yang dinikahi itu hanya perlu berbekal diri apa adanya. Ia tidak perlu
khawatir tentang bagaimana menjalani kehidupan terkait pemenuhan
kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, karena saat ia dinikahi
seorang pria, maka kehidupan perempuan itu seutuhnya berada dalam
naungan tanggung jawab (ihtibas/dzimmah) pria yang menjadi suaminya itu.
Sehingga istri pada dasarnya menjadi raja dalam rumah tangga, bahwa ia
berhak menuntut hak-haknya sejauh dalam lingkup nafkah sebagai
kewajiban suaminya. Suami harus memastikan bahwa setiap hari ada
makanan untuk istrinya. Sebagaimana istri harus memastikan seluruh
sikapnya berada dalam naungan ketaatan yang utuh untuk suaminya.
Sehingga dengan demikian, kalaupun dalam perkawinan itu, istri lalu
mendapatkan harta benda, jalurnya hanyalah melalui nafkah. Setidak-
tidaknya, selama pernikahan hak-hak itu dapat ia kumpulkan. Kecuali tempat
tinggal yang memang berlakunya selama menjadi istri saja. Kalaupun
diperpanjang, hanya dalam situasi istri ditalak dalam keadaan hamil, sampai
kemudian ia melahirkan. Maka pemilahan terhadap harta benda dalam
perkawinan sesungguhnya telah teramat jelas. Bahwa selama pernikahan,
yang punya harta itu suami. Dan istri dapat memiliki harta lewat jalur nafkah,
mahar, pemberian suaminya/hibah, dll. Apalagi, dalam konteks klasik ini,
beban tanggung jawab nafkah (mas’ul) itu ada di pundak suami, dan istri
hanya bersifat menerima dan kehidupannya terjamin (makful) oleh
suaminya. Istri tak perlu ikut campur tentang hal itu. Dalam situasi
keterjaminan itu tidak ada, istri dapat menggunakan haknya meminta fasakh
(putusnya perkawinan oleh hakim).
Hanya saja, posibilitas harta bersama menjadi perkara dalam perkawinan,
dalam pandangan klasik ini dapat terjadi dalam kondisi istri dinikahi dalam
keadaan mapan secara ekonomi. Memiliki harta benda, lalu selama
perkawinan terjadi percampuran harta dengan suaminya (ikhtilathu
malizzaujaini). Sehingga bukan harta yang muncul dalam kapasitasnya
sebagai istri, tetapi harta yang muncul dalam kapasitas istri sebagai pribadi.
Tidak akan ada kajian yang memadai menuangkan harta bersama sebagai
Napak Tilas Harta Bersama
Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 5
Jan. 2013
semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam situasi terjadi
percampuran harta antara suami dan istri, maka teknis penyelesaiannya jika
harta berada di kedua belah pihak lalu tidak diketahui siapa yang paling
banyak memiliki harta itu, dapat dilakukan dengan sumpah, lalu dibagi
maisng-masing separoh.
Sehingga pada prisnsipnya, tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.
Kalaupun istri boleh bertindak terhadap harta suaminya tanpa
sepengetahuan suaminya, itu atas dasar haknya yang diabaikan suami, lalu
dibolehkan mengambil sewajarnya meskipun tanpa sepengetahuan suami.
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Hindun dan Abu Sufyan. Kala itu
Hindun mengadu ke Rasulullah saw, bahwa Abu Sufyan amat pelit sehingga
tidak memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhannya dan anaknya, lalu
Rasul mengizinkannya mengambil harta suaminya secara diam-diam dalam
ukuran yang ma’ruf/wajar.(lihat hadis dari Aisyah ra, diriwayatkan oleh