NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Anisa Hidayati 1111112000064 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
112
Embed
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI STUDI TENTANG … · semangat juangnya melawan penjajah, pasca kemerdekaan Indonesia, saat Wakil Presiden Indonesia Moh. Hatta menandatangani
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
Di Bawah Bimbingan :
Dra. Gefarina Djohan, MA
NIP: 1963310241999032001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG
MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 April 2015
Anisa Hidayati
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa :
Nama : Anisa Hidayati
NIM : 1111112000064
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG
kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan
sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan
yang menjadi pijakan kemungkinan itu.” Dalam penelitian Martin, psikologi
sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam
membahas teori lapangan Lewin mengenai kekuasaan, kekuasaan adalah
kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi
yang lainnya di dalam sistem yang ada.23
Dahrendorf dan Blau berhasil menemukan kelemahan tertentu dari teori
Weber yang kemudian menjadi dasar Dahrendorf dalam mengemukakan bahwa
kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu dari pada milik
struktur sosial. Perbedaan terpenting antara kekuasaan dengan otoritas terletak
pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya dilekatkan pada
keperibadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peran
sosial. Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seeorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan
kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-
ganjaran yang digunakan maupun dalam bentuk hukuman , keduanya sama-sama
bersifst negatif. Kemampuan untuk memproduk pengaruh melalui kekuatan telah
memberikan cara kepadanya untuk menggunakan sanksi-sanksi yang negatif.24
Berbeda dengan sebelumnya, Parsons memandang kekuasaan sebagai suatu
sumber sistem, yaitu bahwa kekuasaan merupakan sebuah bentuk kemampuan
23 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 69.
24 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 70.
27
yang mampu menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat sesuai dengan
tujan-tujuan kolektif yang telah disepakati dari satuan-satuan yang ada dalam
suatu sistem organisasi kolektif. Jika terdapat perlawanan didalamnya, maka
lembaga yang berkuasa dapat menegakkannya dengan sanksi-sanksi situasional
yang sifatnya negatif.25
Serta masih banyak lagi definidi sosoiologis mengenai
kekuasaan yang kurang lebih dapat dijadikan sintesis maupun antitesis dari
definisi di atas.
Dalam organisasi sendiri, kekuasaan seringkali dikaitkan dengan
kepemimpinan. Pemimpin memperoleh alat untuk dapat mempengaruhi perilaku
para pengikutnya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kutipan Miftah Thoha
dari Hersey, Blanchard, dan Natemeyer menegaskan bahwa para pemimpin
seharusnya tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti
bagaimana mereka dapat mempengaruhi orang lain, namun mereka juga perlu
meniti posisi serta bagaimana cara menggunakan kekuasaan yang tepat.26
Bentuk dari kekuasaan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu seperti
pernyataan Machiavelli yang dikemukakan pada abad ke-16 bahwa hubungan
yang baik itu tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan
(kekuasaan jabatan). Berangkat dari pernyataan tersebut, maka Amitai Etziomi
membahas bahwa bentuk dan sumber dari kekuasaan ialah kekuasaan jabatan
(position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Menurut Etziomi,
25
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 75. 26
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996) h. 289.
28
perbedaan kedua bentuk kekuasaan ini ialah konsep kekuasaan itu sendiri sebagai
suatu kemampuan untuk mempengaruhi perilaku. Seseorang yang mampu untuk
memperngaruhi perilaku orang lain untuk melakukan kerja sesuai jabatannya,
maka orang tersebut memiliki kekuasaan jabatan. Sebaliknya, apabila seseorang
memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya dapat dikatakan sebagai kekuasaan
pribadi.27
Sumber kekuasaan lain ialah yang dikemukakan oleh French dan Roven.
Mereka mengemukakan enam bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh seorang
manajer atau pemimpin. Keenam bentuk kekuasan itu ialah kekuasaan legitimasi,
kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan ahli, kekuasaan referen, dan
kekuasaan informasi.28
Kekuasaan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuasaan yang berasal
dari kedudukan seseorang dalam hirarkhi organisasi. Seseorang mampu
mempengaruhi karena ia memiliki posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi.
Karena jabatan tersebutlah menyebabkan bawahannya patuh kepadanya. Bawahan
di sini memegang peran penting dalam pelaksanaan kekuasaan legitimasi. Jika
bawahan menganggap, bahwa pengguna kekuasaan tersebut sah sesuai kedudukan
seseorang maka mereka akan patuh.
Kekuasaan imbalan (reward power) bertitik tekan pada kemampuan
seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain dalam hal ini bawahan
27
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, h. 292. 28
Indriyo Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, (Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, 1997) h. 82.
29
atau pengikut, dan mereka menganggap imbalan tersebut mempunyai nilai atau
mereka membutuhkan imbalan tersebut. Imbalan itu dapat berupa gaji, upah,
jaminan sosial, promosi, kesempatan jam lembur dan penugasan pada pekerjaan
yang disenanginya.
Kekuasaan paksaan (coercive power) ialah kekuasaan atau kepatuhan
seseorang terhadap orang lain karena mereka takut akan hukuman yang dijatuhkan
kepadanya. Kekuatan dari kekuasaan paksaan tergantung pada implikasi negatif
dari hukuman tersebut dan apakah ada kemungkinan hukuman tersebut dapat
dihindari atau tidak.
Kekuasaan ahli (expert power) merupakan kekuasaan yang dimiliki
seseorang karena ia memiliki kemampuan khusus, keahlian atau pengetahuan
tertentu. Kekuasaan referen (referent power) ialah kekuasaan yang bersumber dari
sifat seseorang yang memiliki daya tarik tertentu atau karisma tertentu. Karisma
merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tokoh
masyarakat, politisi, artis, dan lain sebagainya.
Kekuasaan informasi (information power) merupakan kekuasaan yang
dipunyai seseorang karena ia memiliki informasi-informasi penting yang
berhubungan dengan organisasi.
Pandangan teori kekuasaan menjadi pilihan dalam penelitian karena
penggalian informasi tentang NU dalam politik praktis yang ternyata tujuan NU
dalam politik tidak lain ialah kekuasaan. Teori ini kiranya tepat untuk melihat
perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang matang dalam politik
30
praktis dan pemerintahan. Khususnya dalam melihat khittah NU 1926 dalam
Muslimat NU menunjukkan bahwa faktor kekuasaan menjadi salah satu alasan
penting sikap Muslimat dalam pilihan panggung politik yang justru
mengakibatkan tidak terimplementasinya khittah NU 1926.
Kekuasaan jabatan yang terbangun dalam Muslimat NU seperti yang
dijelaskan dalam teori manajemen organisasi bahwa posisi tertinggi dapat
mempengaruhi posisi lain. Unsur ini muncul karena dilatar belakangi oleh adanya
keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih luas dari Muslimat NU yaitu
dalam politik. Melalui organisasi, seseorang mampu mendapatkan kekuasaan
tertinggi, banyaknya masa dalam sebuah organisasi dapat menjadi modal
seseorang untuk berkompetisi politik.
31
BAB III
NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU)
DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Latar belakang berdirinya sebuah organisasi sosial keagamaan yang diberi
nama Nahdlatul Ulama (NU) tidak lain karena kebutuhan para kiai dan santri akan
legitimasi legal formal. Kebutuhan ini muncul atas dorongan lahirnya berbagai
macam organisasi sosial yang memiliki corak berbeda-beda. Seperti Budi Utomo
(BU) pada tahun 1908 sebagai organisai yang berfokus pada pendidikan dan
budaya serta menjadi pelopor awal munculnya organisasi-organisasi di
Indonesia.1
Selain kemunculan organisai BU sebagai pelopor awal, dalam organisasi
sosial keagamaan, Sarekat Islam (SI) tahun 1912 menjadi yang pertama
mendirikan organisasi yang berfokus pada kelompok saudagar Islam di Indonesia.
Kemudian disusul dengan munculnya Muhammadiyah tahun 1912, Al Irsyad
tahun 1915, dan Persatuan Islam (PERSIS) tahun 1913.
Kehadiran dari berbagai macam organisasi di atas, kiranya organisasi
Muhammadiyah memiliki pengaruh paling besar terhadap latar belakang
didirikannya NU. Muhammadiyah sebagai organisai sosial keagamaan yang
1 Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan
Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas,
(Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996) h. 42.
32
menawarkan bentuk pembaruan dalam Islam memiliki perbedaan tujuan yang
besar dengan NU yang sangat menjaga erat tradisi dan budaya tradisional Islam di
Indonesia.
Lembaga yang memiliki corak Islam seperti NU pada dasarnya merupakan
sebuah fenomena pedesaan. Ziarah ke makam orang yang dihormati seperti
keluarga dan leluhur, guru, wali dan raja dianggap sebagai perbuatan yang
berpahala besar. Bahkan pahala yang diperoleh dari membaca doa-doa atau ayat-
ayat suci al-Qur‟an, tahlilan, serta selametan dapat dipersembahkan bagi arwah-
arwah orang yang sudah meninggal.2
Berbeda pandangan dengan organisasi pembaru seperti Muhammadiyah,
mereka melihat fenomena di atas sebagai kegiatan bid‟ah dan tidak sesuai dengan
ajaran asli Islam. Oleh karena itu, pada abad 20-an ketika Muhammadiyah telah
memperluas jaringan organisasinya hingga wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah
sebagai basis ulama tradisional, menjadi ancaman tersendiri bagi para ulama dan
kiai.3 Disini ulama-ulama tradisional merasa penting untuk membentuk organisasi
baru demi menjaga posisi mereka yang terancam dengan munculnya Islam
reformis.
Pada belahan bumi yang lain, hadir sosok Ibn Sa‟ud dan pengikutnya yang
merupakan kaum Wahabi menentang keras adanya pemujaan pada wali dan
pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama mereka menduduki kota
2 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru.
Diterjemahkan oleh Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994) h. 17-18. 3 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 20-23.
33
Mekkah beberapa waktu sebelumnya, kaum Wahabi telah menghancurkan banyak
makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan membrangus berbagai praktek
keagamaan populer. Bahkan Sa‟ud telah merencanakan pembongkaran makam
Rasullah SAW serta Makam Sayidina Umar. Bagi kaum tradisionalis Indonesia
yang sangat terkait dengan praktik keagamaan merasa kecemasan yang luar biasa
dengan adanya penaklukan Ibn Sa‟ud atas Mekkah.4
Sebagai bentuk perjuangan kaum tradisionalis dalam mempertahankan
tradisi dan budaya Islam, maka kaum tradisionalis memutuskan untuk mengirim
utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah Madzhab dengan Ibn
Sa‟ud. Demi terlaksananya tujuan tersebut, maka mereka membentuk komite
Hijaz. Bertemu di Surabaya pada 31 Januari 1926, kaum tradisionalis menentukan
siapa yang akan diutus. Agar berkesan kuat di pihak luar, komite ini memutuskan
untuk mengubah diri menjadi sebuah organisasi dengan nama Nahdlatul „Oelama
(NU). Inilah menjadi alasan paling kuat dibeberapa masa awal tahun
kehadirannya.5
Proses panjang pendirian NU ini tidak lain karena peran tokoh-tokoh pendiri
NU seperti K.H. Hasyim Asy‟ari dan kyai muda Abdul Wahab. Sebelum
terbentuknya NU, kiyai Abdul Wahab sepulangnya dari Makkah merasa perlu
adanya tindakan untuk melakukan pergerakan dalam mendidik para kader dalam
bentuk tashwir al-afkar yaitu sebuah pertukaran gagasan, maka ide ini kemudian
dijadikan sebagai sebuah kursus perdebatan untuk anak-anak muda dan kiai-kiai
4 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 32.
5 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 33.
34
muda. kursus perdebatan ini sudah diupayakan dari datangnya kiai Abdul Wahab
dari makkah pada tahun 1914, tapi hingga tahun 1918 kegiatan ini berlangsung
lebih fokus membahas soal-soal yang membelah kelompok yang lebih dekat
dengan salafiyah dan kelompok madzhab dari kiai pesantren. Inti dari diskusi ini
adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan dan memperluas ilmu bagi
kalangan pesantren. Kursus ini terus berjalan hingga berdirinya NU pada 31
Januari 1926.6
Setelah melakukan kursus-kursus perdebatan di Surabaya, kiai Wahab
bersama dengan Mas Mansur yang kala itu baru kembali dari Mesir bekerja sama
untuk membentuk Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dan mendapat
pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916. Tujuan dibentuknya
Nahdlatul Wathan adalah untuk memperluas dan memperdalam mutu madrasah-
madrasah yang ada. Pada tahun 1922, Mas Mansur keluar dan bergabung dengan
Muhammadiyah yang lebih cocok dengannya. Inti dari Nahdlatul Wathan ini ialah
tidak hanya sekedar mendidik calon-calon kiai dan mendirikan sekolah-sekolah.
Hal ini juga menjadi fondasi awal untuk memberi pengertian bahwa para pendiri
NU yang legendaris ini sejak awal telah memberikan semangat bahwa perlunya
orang pesantren bukan hanya menjadi santri namun juga mampu berpartisipasi
dalam kebangkitan bangsa.7
Selain perhatian Abdul Wahab Hasbullah terhadap perkembangan sosial dan
pendidikan, para ulama pesantren juga pernah merintis usaha perdagangan dalam
6 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 33-35.
7 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 36-38.
35
bentuk koperasi dengan istilah sjirkah al-„inān yang diberi nama Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan usahawan) dengan restu penuh oleh K.H. Hasjim Asj‟ari pada tahun
1918. Diangkat ketua koprasi yaitu K.H. Hasyim Asy‟ari dan Abdul Wahab
sebagai manajer yang menjalankan koperasi. Inti dari dibentuknya Taswirul Afkar
kemudian Nahdlatul Watan dan Nahdlatut Tujjar merupakan bentuk perhatian
para ulama pesantren untuk menghimpun kegiatan bersama serta mengembangkan
kaum muslimin pada masa itu. Himpunan para ulama inilah yang sudah dijelaskan
sebagai pelopor penting lahirnya organisasi NU.8
Setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, NU mulai
menata organsisainya dengan manajemen organisai yang lebih baik. Penataan
manajemen organisasi NU dimulai dengan pembentukan Anggaran Dasar 1926
yang disusun pada tahun 1929 dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1930.
Berdasarkan Anggaran Dasar yang telah dibentuk sebagai tujuan berdirinya
organisai, NU menetapkan tujuannya untuk mengembangkan Islam berlandaskan
ajaran keempat mazhab sebagai berikut9 :
1. Memperkuat persatuan diantara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat
mazhab.
2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai
dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki
organisasinya.
8 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 45.
9 Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, h. 77.
36
5. Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta
membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.
Melalui berbagai macam upaya dan strategi NU ikut berperan dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan ikut serta melawan para penjajah.
Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, NU menutup periodenya
sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang dan
mengeluarkan Resolusi Jihad (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober
1945.10
Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang
pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.11
Disambut baik khususnya oleh NU dengan mengkoordinir organisasi Islam dalam
satu wadah partai. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di
Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 memutuskan untuk dibentuk kembali
Masyumi dengan wajah baru, yaitu yang dianggap sebagai partai politik Islam dan
bukan lagi organisasi bentukan Jepang.12
Awal mula dukungan NU terhadap Masyumi sangat menggelora, namun
kemudian perbedaan kepentingan kelompok dalam Masyumi mulai muncul. NU
dalam keterlibatannya di Masyumi tidak benar-benar terwakili di kepengurusan.
10
Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila, h. 93. 11
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 135. 12
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam
Politik, h. 103.
37
Langkanya anggota NU yang mempunyai tingkat pendidikan umum modern yang
memadai, menyebabkan tidak ada satupun jabatan eksekutif yang jatuh kepada
anggota NU. Situasi seperti ini menjadi awal munculnya problem antara NU
dengan kaum pembaru dan modernis yang mendominasi Masyumi.13
Selain dalam
pengurusan internal partai, di dalam kabinet pun NU merasa berkurang dalam
peranannya. NU hanya mendapat kursi Departemen Agama (dapat dilihat di tabel
I).14
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen
sumber : Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, h. 62-65.
13
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 62. 14
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 63.
No. Nama Kabinet Tahun Periode Keterwakilan NU
1. Sjahrir I 14 November 1945 –
12 Maret 1946 -
2. Sjahrir II 12 Mart 1946 – 2
Oktober 1946 -
3. Sjahrir III 2 Oktober 1946 – 27
Juni 1947
Wahid Hasyim sebagai Menteri Negara
(NU)
4. Amir Syarifudin I 3 Juli 1947 – 11
November 1947 -
5. Amir Syarifudin II 11 November 1947 –
29 Januari 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
6. Hatta I 29 Januari 1949 – 8
Agustus 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
7. Darurat 19 Desember 1948 – 3
Juli 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
8. Hatta II 4 Agustus 1949 – 20
Desember 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
9. RIS 20 Desember 1949 – 6
September 1950
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
(NU)
10. Susanto 20 Desember 1949 – 21
Januari 1950
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
11. Halim RI 21 Januari 1950 – 6
September 1950 -
12. Natsir 6 September 1950 – 27
April 1951 Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
13. Sukiman-Suwrjo 27 April 1951 – 3 April
1952
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
(NU)
14. Wilopo 3 April 1952 – 30 Juli
1953 -
38
Akibat kekecewaan NU terhadap Masyumi, dalam Muktamar NU ke 19
tahun 1951 di Palembang NU menyatakan keluar dari Masyumi. Pelaksanaan
pendirian partai NU baru terjadi pada 3 Juli 1952, ketika NU secara resmi keluar
dari federasi Masyumi.15
Setelah Muktamar Palembang dan berdirinya partai NU,
orang-orang NU maupun orang yang merasa dekat dengan NU mulai menarik diri
dari Masyumi. Hanya ada beberapa orang muslim tradisionalis yang bertahan di
Masyumi.16
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1955 merupakan pemilu
bersejarah bagi partai NU. Perolehan suara partai NU pada saat itu sangat
mengejutkan, yaitu 18,4 % dari seluruh suara yang sah, bahkan tidak jauh dari
Masyumi dengan prolehan suara 20,9 %. Seperti yang dapat kita lihat di tabel
berikut :
Tabel III.A.2. Perolehan Suara Pemilu 1955
Sumber : Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah, h. 74.
Perolehan suara ini merupakan kemenangan yang sangat menentukan untuk
NU, dari perolehan 8 kursi meningkat tajam menjadi 45 kursi. Partai besar lainnya
15
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 110. 16
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 68.
Nama Partai Jumlah Suara yang
Diperoleh Prosentase
Jumlah Kursi di
Parlemen
PNI 8.434.653 22,3 57
Masyumi 7.903.886 20,9 57
NU 6.955.141 18,4 45
PKI 6.176.914 16,4 39
Lain-lain 8.314.705 22,0 59
39
pun memperoleh suara cukup banyak, namun tidak sedramatis partai NU.17
Demikian keterlibatan NU dalam politik praktis. Secara pengalaman, NU dapat
dikatakan lebih maju dibanding Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai
politik. Meskipun dalam Masyumi, Muhammadiyah memiliki peranan lebih besar
dibanding dengan NU.
Memasuki periode Presiden Soeharto sebagai langkah pemerintah dalam
program penataan kehidupan politik yang dirancang Ali Mustopo, NU terpaksa
bergabung dengan tiga partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang diresmikan pada 5 Januari 1973. Partai politik lainnya
yang berasaskan sosial, nasional, dan kristen disatukan dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Jadi hanya ada dua parati disamping Golkar.18
Fusi partai ini
diresmikan dalam keputusan pemerintah bersama dengan DPR yang berusaha
menyederhanakan partai politik dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golkar.19
Kasus ini menjadi penutup terhadap kegemilangan
Partai NU di kancah politik.
Memasuki era reformasi kekhawatiran muncul dari generasi muda NU yang
dekat dengan Gus Dur, dalam hal ini mereka yang senang dengan garis “non-
politis” NU merasa resah dengan adanya pembentukan partai politik NU yang
baru yaitu PKB. Kemunculan PKB dalam daftar nama partai politik di era
17
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 69. 18
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 102. 19
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 107.
40
reformasi menimbulkan banyak tanda tanya besar. Salah satunya ialah pengaruh
dari kemunculan PKB terhadap pernyataan kembalinya NU pada khittah 1926.20
Gus Dur dalam hal ini memberikan tanggapan bahwa para aktivis dan
simpatisan NU perlu dibimbing dalam pilihan politik mereka. Pernyataan
kembalinya NU pada khittah 1926 di era Orde Baru menjadi perubaha strategi
dalam menghadapi situasi politik yang memberikan keuntungan bagi NU. Pada
saat konflik NU dan PPP semakin parah, disamping itu Golkar menawarkan
prospek yang lebih baik dalam arti kelangsungan hidup bagi kaum tradisionalis
dibidang sosial-keagamaan. Pengambilan strategi ini yang menghidupkan NU
sampai sekarang.21
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU
Secara historis perjuangan kaum perempuan sudah dimulai dari era kolonial.
Kesetaraan perempuan dalam bidang pekerjaan sudah teraktualisasikan di
masyarakat jawa sejak dulu, sebagaimana kaum perempuan jawa bebas bertani di
sawah, bakulan di pasar maupun mengenyam pendidikan.22
Fenomena ini
menunjukkan adanya kebebasan perempuan dalam mengaktualisasikan diri di
ranah publik. Namun secara mendalam kaum perempuan masih terdeskriditkan
dengan budaya patriarki jawa yang memaksakan perempuan untuk tetap berada
dibawah laki-laki.
20
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 428. 21
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 429. 22
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa,” jurnal ilmu
sosial dan ilmu politik 7 (Maret 2004): h. 283-284.
41
Budaya patriarki yang disebut sebagai konco wingking dalam jurnal
perempuan yang ditulis oleh Muhadjir Darwin menunjukkan bahwa perempuan
Indonesia belum terbebas dari ketimpangan gender. Pengaruh distribusi
kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dengan latar belakang budaya ini juga
pernah dialami oleh R.A. Kartini. Sebagai simbol pejuang perempuan, Kartini
juga tepat sebagai contoh dari ketidak berdayaan perempuan melawan budaya
patriaki, karena ia sendiri menyerah ketika dilarang oleh ayahnya untuk sekolah
ke Belanda dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bahkan
perempuan yang memiliki kesemptan bekerja pun belum terbebas dari
diskriminasi baik diskriminasi upah, pelecehan maupaun kekerasan di tempat
kerja.23
Kenyataan seperti ini kemudian menjadi alasan perjuangan perempuan
dalam mendapatkan hak-haknya dari masa ke masa bahkan hingga Indonesia
mencapai puncak kemerdekaannya.
Pada era kemerdekaan organisasi perempuan sudah semakin banyak.
Kesadaran perempuan akan hak-haknya dari hak bersosial hingga hak untuk
berpolitik yang kemudian menjadi sorotan penting di era kemerdekaan hingga
reformasi semakin luas. Perjuangan perempuan di panggung politik sendiri sudah
dimulai sejak organsisai perempuan dalam kongres umum ke 3 KPI (Kongres
Perempuan Indonesia) berusaha mendudukan Maria Ulfah dalam perwakilan
Volksraad, meskipun usaha tersebut belum berhasil. Namun kekecewaan itu
terbayar dengan terpilihnya Rasuna Said menjadi anggota Volksraad dan SK
23
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 284.
42
Timurti terpilih menjadi anggota BPUPKI.24
Keberhasilan Rasuna Said dan SK
Timurti menunjukkan bahwa pengakuan hak perempuan dalam bernegara menjadi
semakin jelas.
Perjuangan organisasi perempuan semkain sulit, bahkan lebih sulit dari era
penjajahan yang sudah jelas melawan musuh yang dapat terlihat secara fisik.
Perjuangan perempuan di era kemerdekaan adalah kesamaan hak politik serta
diskriminasi pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dengan
perempuan.25
Melalui latar belakang persoalan yang seperti ini kemudian kaum
perempuan mulai banyak yang tergugah untuk ikut memperjuangkan haknya,
salah satu organisasi yang muncul kemudian ialah Muslimat NU.
Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) merupakan Badan Otonom dari organisasi
NU.26
Muslimat NU merupakan organisai sosial keagamaan yang menaungi kaum
perempuan dengan harapan untuk menyalurkan aspirasi perempuan NU.
Kelahiran Muslimat dapat dikatakan sebagai hasil dari perjuangan kaum
perempuan NU di era kemerdekaan.
Sebelumnya, kelahiran NU pada 31 Januari 1926 hanya diisi oleh kaum
laki-laki. Sedangkan kaum perempuan pada saat itu masih dianggap belum perlu
untuk masuk dalam organisasi atas dasar kultur patriarki jawa yang menganggap
perempuan hanya konco wingking saja. Kemudian seiring berjalannya waktu
terjadi polarisasi pemikiran tentang pentingnya kaum perempuan di dalam
24
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 286. 25
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 287. 26
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU,
(Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 3.
43
organisasi, sehingga beberapa kaum perempuan mulai menyadari akan perannya
dalam relasi publik.
Menjawab persoalan perempuan di era kemerdekaan serta pentingnya kaum
perempuan dalam badan NU, maka pada Kongres NU di Menes, Pandeglang –
Jawa Barat tahun 1938 menjadi Kongres NU pertama yang mempersilahkan
seorang muslimat untuk tampil di atas podium dan membicarakan mengenai
pentingnya kaum perempuan untuk mendapat pendidikan agama yang sama
seperti apa yang diperoleh oleh kaum laki-laik.27
Nyi R. Djunaisih atas nama
Muslimat menjelaskan dalam pidatonya bahwa sesuai dengan azas dan tujuan dari
NU untuk mendidik umat Islam ke jurusan agama seluas-luasnya, sedangkan
dalam agama Islam bukan saja laki-laki yang harus dididik mengenai soal-soal
keagamaan, bahkan kaum perempuan pun harus dan wajib mendapatkan didikan
yang sesuai dengan kehendak dan tujuan agama.28
Melalui pidato ini para peserta
Kongres merasa mantap dan terkagum-kagum dengan adanya peran perempuan,
selain karena pidatonya yang begitu mempesona, beliau juga merupakan
Muslimat yang pertama kali naik ke mimbar.
Kongres ke XIII yang diadakan di Menes menjadi Kongres pertama NU
yang dihadiri oleh Muslimat sebagai peserta Kongres. Oleh karena itu, di Kongres
berikutnya yaitu Kongres ke XIV yang digelar di Magelang pada bulan Juli 1939
kembali dihadiri oleh kaum Muslimat yang mewakili beberapa daerah, antara lain:
1. Wakil dari NU Muslimat Muntilan
27
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 41-42. 28
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 42.
44
2. Wakil dari NU Muslimat Sukareja
3. Wakil dari NU Muslimat Kroya
4. Wakil dari NU Muslimat Wonosobo
5. Wakil dari Muslimat Surakarta
6. Wakil dari NU Muslimat Magelang
7. Wakil dari Banatul Arabiyah Magelang
8. Wakil dari Zaharatul Iman Magelang
9. Wakil dari Islamiyah Purworejo
dari jumlah perwakilan Muslimat di atas kemudin diberi ruang untuk berbicara
demi menyampaikan saran dan prasarannya.29
Perjuangan kaum Muslimat waktu demi waktu terus berjalan dengan
berbagai macam progres. Hingga pada kongres ke XV di Surabaya kehadiran
kaum Muslimat lebih banyak lagi dari Kongres sebelumnya. Kemajuan yang
ditunjukkan Muslimat saat itu bukan lagi sekedar berperan dalam Kongres, tetapi
juga mengadakan rapat tertutup Muslimat yang diadakan pertamakali pada hari
Selasa tanggal 10 Desember 1940 bertempat di gedung Madrasah NU Bubutan-
Surabaya dengan membahas beberapa hal, diantaranya30
: pertama, Pengesahan
Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) oleh kongres NU. Kedua, pengesahan
Anggaran Dasar NUM oleh Kongres NU. Ketiga, adanya Pengurus Besar NUM.
Keempat, menetapkan datar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat. Kelima,
rencana penerbitan majalah bulanan NUM. Keenam, bertamasya keliling kota
Surabaya pada hari Kamis, tanggal 12 Desember 1940.
29
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 43. 30
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 44-45.
45
Setelah beberapa kali Muslimat mengadakan pertemuan tertutup, tepat pada
12-26 Robiul Akhir 1365 atau pada tanggal 26-29 Maret 1946 digelar Kongres
NU yang ke 16 bertempat di Purwokerto-Jawa Tengah. Pada Kongres ini kaum
Muslimat memenuhi Kogres lebih banyak dari biasanya. Dalam kongres ini
merupakan terakhirkalinya Muslimat duduk hanya sebagai peninjau, melalui
perjuangan dan kegigihan para Muslimat, dengan suara aklamasi (suara bulat)
para utusan Kongres NU menyetujui dan memutuskan bahwa31
:
“Menerima baik usul untuk menjadikan Muslimat sebagai bagian dari
NU yang kemudian disahkan dan diresmikan dalam rapat pleno pada
tanggal 26 Robiul Akhir 1365 atau tanggal 29 Maret 1946 suatu
organisasi Nahdlatul Ulama Muslimat dengan singkatan NUM.”
Dalam putusan ini disahkan pula kepengurusan Muslimat NU yang pertama
dengan diketua oleh Ny. Chadidjah Dahlan. Kelahiran Muslimat NU ini tidak lain
atas budi baik dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhamad Dahlan, atas
ketekunan dan dorongan merekalah Muslimat dapat berdiri di samping NU.32
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926
Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai macam
persoalan yang menghadang, organisai NU telah melewati pengalaman luar biasa
dalam perjalanan hidupnya. Lahir sebagai organisasi Islam yang aktif dalam
berbagai macam kegiatan sosial keagamaan di tahun 1926, di era kolonial NU
juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi NU tertarik
untuk berjihad dalam plolitik praktis bahkan sempat bertransformasi menjadi
31
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46. 32
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46.
46
partai politik sampai pada akhirnya NU lelah dan kembali pada khittahnya sebagai
organisasi massa Islam. Perjalanan panjang itu telah membuktikan bahwa NU,
berbeda dengan organisasi besar lainnya.
Pergulatan politik dalam NU sudah lama dirasakan oleh orang-orang NU
sendiri. Hal ini pernah diungkapkan pada Muktamar ke-22 di Jakarta pada 13-18
Desember 1959. Pada saat itu muncul gagasan dari K.H. Achyat Chalimi selaku
juru bicara Cabang Mojokerto yang mengatakan bahwa :
“Peranan partai politik oleh NU telah hilang dan peranan dipegang
oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena
itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926.”
Gagasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini NU terlalu
mengedepankan kegiatan politik yang sebenarnya bukan inti dari kepentingan
organisasi, melainkan kepentingan para individu di dalamnya. Sedangkan
kegiatan sosial keagamaan yang pada awal berdirinya NU menjadi tugas yang
dominan justru semakin terabaikan. Gagasan demikian ternyata belum dapat
diterima oleh banyak kalangan NU, bahkan dari sekian banyak cabang NU yang
hadir pada Muktamar ini, hanya ada orang dari Cabang Ngawi yang mendukung
gagasan tersebut.33
Setelah gagasan kembalinya NU pada khittah 1926 tidak menarik dukungan,
ternyata pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya gagasan tersebut muncul kembali.
33
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 132.
47
Rois Aam PB NU K.H. Wahab Hasbullah dalam pidatonya kala itu mengajak para
muktamirin untuk kembali pada khittah 1926. Lebih lanjut ia mengatakan34
:
Kaum Nahdliyyin-Nahdliyyat agar kembali kepada Nahdlatul Ulama
tahun 1926. Tentulah yang dimaksud bahwa sekalipun kita berjuang
di tahun 1971, namun kita harus tetap berjiwa NU tahun 1926. Kita
akan selamanya tetap setia kepada Aqidah dan Himmah Ahlussunnah
wal Jamaah.
Pada Muktamar kali ini gagasan tersebut memperoleh sambutan lebih
banyak dari sebelumnya. Hal ini terlihat bahwa salah satu dari tiga persoalan
yang diperdebatkan secara sengit ialah kehendak agar NU kembali kepada
garis perjuangan seperti di tahun 1926 ketika didirikan, yaitu berfokus
dalam mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan
saja.35
Ide khittah 1926 semakin kuat pada Muktamar ke-26 di Semarang
pada 5-11 Juni 1979. Hal ini didasari oleh adanya perubahan AD/ART dari
partai politik ke organsasi kemasyarakatan biasa. NU mau tidak mau harus
kembali menjadi organisasi biasa setelah dipaksa untuk berfusi ke dalam
PPP. Proses restrukturisasi organisasi politik yang dilakukan Orde Baru
menjadi alasan kuat untuk kembali ke khittah 1926. Namun dalam
Muktamar ini belum mendapat kepastian kembalinya NU ke khittah 1926.
Baru pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 diputuskan bahwa NU
34
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134. 35
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134-136
48
kembali ke khittah 1926 dalam artian bahwa NU sudah tidak lagi bermain
dalam politik praktis serta dipertegas bahwa NU netral-politik.36
Sebagai Badan Otonom, Muslimat NU terus mengikuti alur politik
Organisasi induknya. Sepak terjang perpolitikan NU ternyata berpengaruh besar
terhadap keterlibatan Muslimat NU dalam politik. Bermula pada tahun 1954
dalam Kongres Muslimat yang pertama sebagai Badan Otonom NU, kaum
perempuan NU mulai menyadari akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam
kepemerintahan. Mengingat banyak keputusan pemerintah yang kadang kala
merugikan kaum perempuan, sehingga demi memperjuangkan hal tersebut
perempuan wajib masuk dalam pemerintahan. Oleh karena itu, dalam kongres
tersebut menghasilkan keputusan yang antara lain sebagai berikut37
:
“memajukan pernyataan kepada PBNU (LAPUNU) agar Muslimat
dicalonkan menjadi anggot DPR – DPRD – KONSTITUANTE
dengan calon prioritas”.
Setelah Muslimat NU sadar akan pentingnya posisi dalam DPR, pada
pemilu tahun 1955 yang merupakan Pemilu bersejarah bagi NU, Muslimat
NU memiliki kesempatan lebih besar untuk duduk di dalam posisi DPR.
Kemenangan Partai NU yang hampir enam kali lipat dari keterwakilannya
dalam DPRS, perempuan NU dengan sendirinya terpilih mencapai 10%
dari seluruh jumlah.38
Anggota yang terpilih pada Pemilu 1955 antara lain :
36
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 136. 37
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 64. 38
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 66.
49
1. Ny. H. Machmudah Mawardi – wakil dari Jawa Tengah
2. Ny. H. Maryam Kantasupena – wakil dari Jawa Tengah
3. Ny. Maryama Djunaidi – wakil dari Jawa Timur
4. Ny. Hadiniyah Hadi – wakil dari Jawa Timur
5. Ny. Asmah Sjachruni – wakil dari Kalimantan Selatan
Melihat data di atas, keterlibatan NU dalam politik juga mampu
diikuti oleh Muslimat. Langkah politik Muslimat NU kemudian terhenti
dengan adanya keputusan kembali pada khittah 1926. Sehingga Muslimat
NU mulai menarik mundur kader-kadernya yang ingin tetap berorganisasi
dan melepaskan kader-kader terbaiknya dari organisasi yang menginginkan
untuk tetap berpolitik.
Pada kenyataannya di era reformasi ini, kembalinya NU dalam
politik ternyata diikuti pula oleh Muslimat NU. Tidak sedikit ibu-ibu
Muslimat NU yang kemudian tampil kembali di pangung politik baik
tingkat daerah maupun nasional. Bahkan beberapa kasus di daerah tingkat
Wilayah dan Cabang, banyak Ketua Pimpinan Muslimat NU yang duduk
dalam pemerintahan, dari anggota DPR, DPRD, Gubernur, Bupati maupun
Wakil Bupati. Dalam tingkat Pusat bahkan Ketua PP Muslimat saat ini
sedang menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial di Era kekuasaan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala yang akan dibahas
lebih mendalam di bab selanjutnya.
50
BAB IV
IMPLEMENTASI KHITTAH 1926 DALAM MUSLIMAT NU
A. Khittah 1926 dalam Muslimat NU
Sejak berdirinya pada tahun 1946 Muslimat NU menaruh perhatian tinggi
terhadap permasalahan pendidikan dan sosial. Pada tahun 1950-1979 periode
kepemimpinan Mahmudah Mawardi bergerak memperjuangkan kepentingan
perempuan dan aktif di dalam lembaga pemerintahan seperti DPR dan DPRD.
Keputusan NU untuk menjadi sebuah partai politik pada tahun 1952, menjadi
sumbangan besar bagi Muslimat NU, sehingga para kader Muslimat NU dapat
duduk di kursi pemerintahan. Namun sejak 1984 keputusan NU untuk kembali
pada khittah 1926, membuat langkah Muslimat NU dalam politik terhenti.1
Meskipun telah diputuskan kembali kepada khittah 1926, tetapi langkah-
langkah Muslimat NU berbeda dengan apa yang telah digariskan dalam khittah
1926. Berikut perjalanan khittah 1926 dalam beberapa kepengurusan Muslimat
NU :
1. Tahun 1984 – 1995 (Periode Asamah Sjachruni)
Pada periode kepemimpinan Asamah Sjachruni (1979-1955)2, keterlibatan
Muslimat NU dalam politik dirasa penting demi memperjuangkan kebijakan yang
pro dengan kaum perempuan. Oleh karena itu, Muslimat NU berupaya keras
1 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 66.
2 Saifullah Ma’sum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Bangsa dan
Negara (Jakarta: PP Muslimat NU, 1996) h. 137.
51
untuk membawa kader-kadernya berjuang mewakili kaum perempuan di
pemerintahan. Keadaan demikian terus berlangsung hingga di kepengurusan
Asamah Sjachruni periode kedua. Asamah Sjachruni sendiri sebagai sosok yang
mempunyai pengalaman lebih di kancah poitik dan sedang menduduki anggota
DPR RI pada waktu itu, menganggap penting adanya keterlibatan Muslimat NU.
Namun berbanding terbalik dengan keadaan pada masa kepemimpinannya di
periode ketiga.
Keputusan PBNU pada tahun 1984 tidak berpartai politik dan menetapkan
untuk kembali pada khittah 1926 memaksa Muslimat NU untuk mundur dari
kancah politik yang sudah lama diperjuangkan. Keadaan seperti ini menjadi
dilema besar untuk Muslimat NU yang sudah terbiasa dengan prestasi di politik.
Dalam menghadapi persoalan ini Asamah Sjachruni mengambil langkah untuk
melepaskan kader-kader terbaiknya untuk berjuang di luar Muslimat NU dan
melanjutkan perjuangannya di bidang politik.3
Keputusan kembali pada khittah 1926 yang sangat disayangkan oleh
Asamah Sjahruni tidak membuat pesimis untuk berjuang di bidang politik.
Jabatan Asamah sebagai anggota DPR tetap bertahan hingga tahun 1987. Demi
menghormati keputusan tersebut, kader-kader lain yang berprestasi dalam politik
terpaksa dilepaskan jabatannya di Muslimat NU.4
3 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi , Jakarta, 13 Maret 2015.
4 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
52
2. Periode Tahun 1996-2001 (Aisyah Hamid Baidlowi)
Semakin berkembangnya zaman nilai khittah 1926 mulai mengalami banyak
pergeseran makna sesuai dengan masanya.5 Bila di era Orde Baru keputusan
khittah 1926 dengan keras menyatakan bahwa NU tidak akan berpolitik dan
memihak partai politik manapun, semakin berkembangnya situasi sosial khittah
1926 sedikit demi sedikit mengkerucutkan arti sesuai dengan kepentingan di masa
tersebut. Aisyah Hamid Baidlowi mengambil sikap untuk netral terhadap partai
politik manapun sebagai bentuk implementasi khittah 1926 dalam periode
kepemimpinannya. Aisyah Hamid Baidlowi memperketat aturan bahwa organisai
Muslimat NU tidak terikat dengan partai politik, sedangkan urusan politik
masing-masing anggota adalah urusan pribadi bukan urusan organisasi.
Menurutnya khittah 1926 diputuskan untuk mengingat tujuan awal dibentuknya
NU sebagai organisasi sosial keagamaan bukan partai politik.6 Artinya bahwa
pada periode ini organisasi konsisten untuk dipisahkan dari politik, namun
mengijinkan kader-kader secara individu untuk berpolitik tetapi dengan catatan
tidak membawa nama organisasi Muslimat NU.
Meskipun Aisyah Hamid Baidlowi tidak merangkap jabatan dalam politik,
namun Aisyah tetap mendukung kader-kadernya untuk berjuang dalam
perpolitikan Indonesia. Aisyah memberikan himbauan kepada partai-partai politik
5 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
6 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
53
untuk memberikan dukungan penuh kepada kader-kadernya. Dukungan tersebut
dimaksudkan agar partai politik memberikan kesempatan kader Muslimat NU
yang akan mencalonkan diri sebagai anggota dewan dan dapat menduduki posisi
nomor urut terdepan, sehingga peluang kemenangannya pun akan lebih tinggi.7
3. Tahun 2001-2010 (Khofifah Indar Parawansa)
Memasuki periode pertama (2001-2005) kepemimpinan Khofifah Indar
Parawansa, aturan khittah 1926 kedua masih menduduki posisi dalam AD/ART
tepatnya di ART Muslimat NU tahun 2006 pada Bab V pasal 32 ayat 1 yang
menjelaskan tentang tidak diperbolehkannya organisasi berkaitan dengan partai
politik dan rangkap jabatan organisasi dengan partai politik. Namun pada periode
ketiga (tahun 2011-2015)pengurusan Khofifah Indar Parawansa, aturan tentang
khittah 1926 tersebut tidak lagi memiliki tempat dalam AD/ART Muslimat NU.
Aisyah Hamid Baidlowi menjelaskan bahwa aturan tersebut tidak lagi
dicantumkan secara tertulis, tetapi menjadi aturan tidak tertulis yang
keabsahannya masih tetap harus dilaksanakan oleh organisasi Muslimat NU.8
Perubahan makna khittah 1926 dari masa ke masa dikarenakan sudah
berkurangnya implementasi khittah 1926 dalam Muslimat NU. Semakin lama
nilai khittah 1926 ini sedikit demi sedikit semakin ditinggalkan. Hal ini diakui
oleh Ketua VI PP Muslimat NU dalam wawancara, yang mengatakan bahwa
khittah 1926 saat ini hanya sebuah semboyan karena praktik NU dalam
7 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
8 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
54
pengawalan politik memang sudah tidak dikendalikan lagi.9 Kenyataannya bahwa
kader-kader NU dan Muslimat NU tidak sedikit yang kembali berpolitik dengan
menggunakan organisasi sebagai alat politiknya dalam menggalang masa
meskipun tidak secara tertulis. Masyarakat dan organisasi NU sendiri tidak
menutup mata akan kenyataan tersebut.
Ketua Cabang Kabupaten Tegal yang menjabat sebagai Wakil Bupati
Kabupaten Tegal, Umi Azizah menegaskan bahwa khittah 1926 tidak dibuat
untuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).10
Oleh karena itu, sah apabila kader
Muslimat NU menyalurkan hak politik sesuai dengan pilihannya secara individu.
Hak politik didapatkan dengan syarat kewajibannya yang tidak pula dilanggar,
mengingat khittah 1926 hingga saat ini masih sama-sama diyakini sebagai aturan
organisasi yang mengantarkan kadernya pada kemaslahatan dan bukan untuk
membatasi kader organisasi dalam berpolitik. Hal inilah yang menunjukkan
pergeseran makna khittah 1926 sesuai dengan perkembangan zaman yang
mencerminkan bahwa aturan khittah 1926 kurang tepat digunakan pada era
demokrasi seperti saat ini.
B. Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Komitmen Tentang Khittah 1926
Pada bagian ini menjelaskan mengenai bagaimana khittah 1926
diimplemetasikan dalam Muslimat NU periode kepemimpinan Khofifah Indar
Parawansa tahun 2011-2014. Oleh karena itu, sebelum memasuki pembahasan
9 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani. Pada 11 Maret 2015 di
UIN Jakarta. 10
Wawancara dengan Ketua Cabang Muslimat NU Kabupaten Tegal, Umi Azizah. Pada 13 Maret 2015.
55
mengenai implementasi khittah 1926 dalam Muslimat NU periode 2011-2014
maka akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai perjalanan politik Khofifah Indar
Parawansa sebagai latar belakang dari pemimpin Muslimat NU periode 2011-
2014.
Selain itu, dijelaskan pula tentang pencalonan Khofifah Indar Parawansa
sebagai Calon Gubernur Jawa Timur tahun 2013, keterlibatan Khofifah dalam
Pemilu Presiden tahun 2014 sebagai Juru Bicara salah satu pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, dan terpilihnya Khofifah sebagai Menteri Sosial di
Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla tahun
2014-2019.
1. Perjalanan Karir Politik Khofifah Indar Parawansa Sebagai Ketua
Umum Muslimat NU Periode 2011-2014
Tiga periode kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dalam Muslimat NU
memiliki perjalanan yang lebih panjang dari periode sebelumnya. Selain sebagai
seorang aktivis, Khofifah juga menuai banyak prestasi dalam karir politiknya di
tanah air. Terbilang sebagai pemimpin yang cukup muda dalam Muslimat NU,
Khofifah Indar Parawansa sangat tidak asing dalam panggung politik bahkan
sebelum memimpin organisasi Muslimat NU. Perjalanan politik Khofifah Indar
Parawansa telah melalui beberapa fase sebagai berikut:
Anggota DPR RI Periode 1992-1998
Keterlibatan Khofifah dalam politik dimulai pada saat Khofifah terpilih
menjadi anggota DPR RI mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode
56
tahun 1992-1998. Khofifah menjadi Pimpinan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan DPR RI tahun 1992-1997. Sebagai aktivis muda, Khofifah
memiliki talenta dalam politik, sehingga dapat menduduki posisi-posisi strategis
di pemerintahan. Tahun 1995-1997 Khofifah terpilih menjadi Ketua Komisi VIII
DPR RI.11
Nama Khofifah mulai disorot dalam panggung politik pada saat tampil
membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam Sidang
Umum MPR tahun 1998. Hal ini dikarenakan pidato Khofifah merupakan pidato
kritis pertama terhadap pelaksanaan Orde Baru dalam Sidang Umum MPR di
Indonesia. Khofifah melontarkan kritikan-kritikan terhadap rezim Orde Baru dan
membredel kecurangan-kecurangan pada Pemilu 1997. Seluruh anggota sidang
MPR yang didominasi oleh orang-orang Golongan Karya (Golkar) terperanjat
mendengar pidato kritis seorang wanita kelahiran tahun 1965 tersebut.12
Keberanian Khofifah sebagai politisi muda dalam pidato ini menjadikan dirinya
sangat disegani di tanah air.
Hijrah Politik dari PPP ke PKB
Memasuki era Reformasi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada saat itu
menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, membentuk partai politik baru yaitu Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi perbincangan internal NU karena
11
Mochamad Nasrul Chotib, “Profil Khofifah Indar Parawansa.” Diunduh 7 Mei 2015
Kasdam V Brawijaya, pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Guberur ini
didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).19
Alasan PPP memilih Khofifah dikarenakan beberapa pertimbangan
mendasar yang diambil oleh partai tersebut, antara lain20
: Pertama, Khofifah
memiliki integritas kemasyarakatan yang tidak diragukan. Kedua, pengalaman
memimpin menjadi modal penting untuk menjadikan Jawa Timur lebih baik
(pernah menjadi menteri, wakil ketua komisi di DPR, dan sekarang juga masih
tercatat sebagai anggota DPR). Ketiga, Khofifah merupakan tokoh perempuan
yang diharapkan mempunyai nilai tambah. Dan yang keempat, Khofifah
merupakan pimpinan organisasi perempuan terbesar di Indonesia yakni Muslimat
NU dan juga pernah menjabat sebagai Pimpinan Pusat di dua organisasi
perempuan yang lain yaitu Fatayat NU dan IPPNU dengan jumlah anggota
Muslimat NU di Jawa Timur, baik yang memiliki KTA maupun tidak itu
berjumlah sekitar 4 juta orang. Sedangkan anggota Fatayat NU diperkirakan
sebanyak 2 juta anggota dari IPPNU sekitar 1 juta. Dari kalkulasi berikut maka
tidak diragukan lagi kapasitas Khofifah sebaai calon pemimpin Jawa Timur.
Alasan yang digunakan PPP dalam memilih Khofifah sebagai Calon
Gubernur Jawa Timur selain dari kapasitas pribadi Khofifah sebagai politisi,
poisisinya sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU juga menjadi sorotan utama. PP
Muslimat NU membawahi begitu banyak Banom NU yang secara tidak langsung
19
Inggriht Fatamorgana, “Nahdlatul Ulama dan Pilkda Gubernur Jawa Timur,” Jurnal
Politik Indonesia, Vol 1 No.1 (Juli-September 2012): h. 34-35. 20
Inggriht Fatamorgana, “Nahdlatul Ulama dan Pilkda Gubernur Jawa Timur,” h. 35.
62
mereka mendukung khofifah atas dasar latar belakang tersebut. Artinya bahwa
posisi khofifah sebagai ketua PP Muslimat NU menjadi salah satu kekuatan
penentu dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Meskipun
pada saat pencalonannya, ia menon-aktifkan diri sebagai Ketua Umum PP
Muslimat NU dan berangkat sebagai individu politik, dan tidak membawa
organisasi manapun.
2. Implementasi Khittah 1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-
2014
Pembahasan ini menjelaskan mengenai seperti apa implementasi khittah
1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-2014. Melalui perjalanan politik
Khofifah Indar Parawansa dalam kurun waktu tahun 2011-2014 sebagai berikut:
Tampilnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Calon Gubernur Jawa
Timur tahun 2013
Dalam praktik politik Muslimat NU periode 2011-2014 yang menyatakan
masih berkhittah dapat dilihat melalui rekam jejak perjalanan Ketua Umum PP
Muslimat NU periode 20011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa. Setelah
berjuang di tahun 2008, semangat Khofifah untuk menjadi orang pertama di Jawa
Timur masih membara dengan mencoba kembali keberuntungannya pada periode
ketiga kepemimpinan Khofifah di PP Muslimat NU tahun 2013.
Pada periode ini Khofifah kembali menggunakan kesempatannya untuk
mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur periode 2013-2018
berpasangan dengan Herman Suryadi. Berbeda dengan pencalonan Khofifah
63
sebelumnya, jika pencalonan tahun 2008 Khofifah didukung penuh oleh PPP
maka ditahun 2013 Khofifah tampil melalui dukungan dari Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan lima partai lainnya yaitu Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB),
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Nahdlatul
Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Kedaulatan (PK), dan Partai Matahari Bangsa
(PMB) serta dorongan besar dari para Kiai NU. Mengingat lawan Khofifah dalam
Pilkada ini tidak berbeda dengan periode sebelumny(2008-2013), Khofifah lebih
serius dalam melakukan proses kampanye politik ini. Hampir setiap hari Khofifah
turun ke jalan, mendatangi satu-persatu majlis ta’lim di Jawa Timur untuk
memperoleh dukungan. Namun keberuntungan belum memihak Khofifah untuk
menepati posisi Gubernur dengan hasil suara yang kalah tipis dari pasangan
Soekarwo dan Saefullah Yusuf. 21
Keterlibatan Khofifah dalam pencalonan Gubernur Jawa Timur ternyata
didukung penuh oleh jajaran Pengurus Pusat Muslimat NU. Sebagai bentuk
dukungan terhadap pencalonan ini, para kader Muslimat NU turun ke jalan
sebagai tim sukses dari Khofifah. 22
Bahkan dari Cabang Muslimat NU melihat
realita ini sebagai sebuah prestasi Muslimat NU dalam mengawal kadernya untuk
mencapai prestasi politik. Tampilnya Ketua Umum Muslimat NU sebagai Calon
Gubernur merupakan bukti bahwa perempuan NU mampu memperjuangkan
kepentingan perempuan dalam politik dan dapat membawa Muslimat NU untuk
21
Anggi Kusumadewi, dkk., “Ronde Kedua Duel Khofifah-Soekarwo di Pilkada Jatim”. Diakses pada 17 Mei 2015 (http://politik.news.viva.co.id/news/read/434044-ronde-kedua-duel-khofifah-soekarwo-di-pilkada-jatim).
22 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani.
64
bersaing dengan organisasi lainnya dalam persaingan politik.23
Bukan malah
menjaga khittah 1926, para kader Muslimat NU justru membanggakan Ketua
Umumnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur.
Bersedia Menjadi Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden
Jokowidodo dan Jusuf Kalla (2014-2019)
Kekalahan dua kali dalam pencalonan Gubernur tidak menyurutkan
semangat Khofifah untuk terus berjuang. Tahun 2014 Khofifah kembali
melibatkan diri dalam uforia Pemilu Presiden periode tahun 2014-2019 dengan
memposisikan diri sebagai Juru Bicara salah satu pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla. Peran serta Khofifah dalam
Pemilihan Presiden sangat menguntungkan bagi calon pasangan Presiden yang
didukungnya.24
Kesediaan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden ini
dikarenakan adanya Jusuf Kalla sebagai orang NU yang menjadi Calon Wakil
Presiden. Melalui keterlibatan Khofifah, Jokowi dan Jusuf Kalla mendapatkan
dukungan penuh dari banom-banom NU, khusunya Muslimat NU hingga
mengantarkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla pada kursi kepresidenan sampai saat
ini.25
Sama dengan sebelumnya, kader Muslimat NU menganggap bahwa
keputusan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden mempermudah
23
Wawancara dengan Ketua Cabang Muslimat NU Kabupaten Tegal, Umi Azizah. 24
Sundari, “Khofifah Jadi Jubir Jokowi Mulai 24 Mei.” Diakses pada 17 Mei 2015 (http://www.tempo.co/read/news/2014/05/07/269576083/khofifah-jadi-jubir-jokowi-mulai-24-mei).
25 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani.
65
masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik kepada Calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut.26
Keberadaan khittah 1926 yang semakin tidak terlihat
menjadikan para kader Muslimat NU lupa dengan garis perjuangan tersebut.
Sehingga setiap kader Muslimat NU tampil dalam kompetisi politik menjadi
sebuah kebanggan tersendiri. Meskipun masih ada beberapa kader yang memang
sadar bahwa khittah 1926 tetap sebagai garis perjuangan yang sudah diputuskan
NU, sehingga perjalanan politik Khofifah merupakan sebuah pelanggaran Khittah
1926.27
Kembali Menjadi Menteri Negara Republik Indonesia
Prestasi khofifah memenangkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilu
Presiden tahun 2014 tidak berhenti begitu saja. Melalui loyalitasnya dalam
mendukung Calon Presiden hingga menjadi Presiden membuahkan hasil dengan
diangkatnya Khofifah menjadi Menteri Sosial di pemerintahan Presiden
Jokowidodo. Keputusan Jokowi memilih Khofifah sebagai Menteri Sosial
dikarenakan Khofifah memiliki pengalaman di bidang tersebut.28
Hingga saat ini
Khofifah masih aktif sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU periode ketiga
sekaligus menjabat Menteri Sosial Republik Indonesia.
Muslimat NU sebagai sebuah lembaga organisasi berusaha untuk tidak
berpihak terhadap salah satu partai politik manapun dengan tetap menjaga hak
26
Wawancara dengan Ketua Muslimat NU Wilayah Jawa Tengah, Ismawati. Pada Senin,
23 Maret 2015 di UIN Semarang. 27
Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi. 28
Efendi Ari Wibowo, “Khofifah Indar Parawansa dari Jubir Jokowi Jadi Menteri Sosial.”
Diakses pada 17 Mei 2015 (http://www.merdeka.com/peristiwa/khofifah-indar-parawansa-dari-
jubir-jokowi-jadi-menteri-sosial.html)
66
politik setiap individu di dalam organisasi. Namun jika dilihat kembali praktik
politik yang diklaim sebagai pilihan individu para kader Muslimat khususnya
Ketua Umum Muslimat NU Periode 2011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa,
tidak lagi mencerminkan sebuah pilihan individu. Pilihan politik Khofifah
menjadi Menteri Sosial secara tidak langsung berpengaruh kuat terhadap
organisasi, sehingga mengakibatkan tidak efektifnya aturan khittah 1926.
Dalam pengimplementasian khittah 1926 di Muslimat NU periode 2011-
2014 memiliki banyak pengaruh untuk organisasi maupun orang-orang di dalam
organisasi itu sendiri. Aturan khittah yang tidak tampil dalam AD/ART namun
masih diyakini sebagai aturan tidak tertulis dan tetap menjunjung tinggi koridor
Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki pengaruh positif
terhadap Muslimat NU periode 2011-2014. Khittah 1926 membantu Muslimat NU
menjalankan programnya dengan baik sesuai dengan tujuan Muslimat NU sebagai
organisasi sosial keagamaan. Adanya nilai khittah 1926 menjadi salah satu
pengontrol organisasi dalam politik agar tidak disalahgunakan oleh individu yang
tidak bertanggung jawab. Karena organisasi merupakan sebuah wadah
berkumpulnya masa, menjadi rentan untuk digunakan sebagai alat politik. Oleh
karena itu, aturan khittah 1926 untuk membatasi organisasi untuk tidak berpihak
pada salah satu partai politik dapat mengontrol adanya hal tersebut.
Namun sebaliknya, dengan sistem demokrasi yang digunakan sekarang ini
memberikan peluang penuh kepada semua lapisan masyarakat untuk tampil aktif
dalam publik, salah satunya partai politik. Hal ini membuat keputusan NU untuk
67
kembali ke khittah 1926 kembali dipertanyakan. Pembatasan ruang politik kader
Muslimat NU menjadi tidak relevan dengan sistem pemerintahan yang digunakan.
Oleh karena itu, para kader Muslimat NU menjadi terbatas dalam menggunakan
hak politiknya sebagai warga Negara.
Apalagi aturan khittah yang tidak terimplementasikan dengan benar seperti
penjelasan diatas membawa pengaruh yang kurang baik dalam organisasi.
Pemaparan praktik politik Khofifah Indar Parawansa yang sebelumnya
menunjukkan bahwa tidak terimplementasinya nilai khittah 1926 yang
menyatakan organisasi Muslimat NU tidak berpolitik. Sehingga Muslimat NU
sebagai lembaga organisasi menjadi tidak konsisten dalam mengimplementasikan
keputusan khittah 1926.
Civil society merupakan salah satu pilar demokrasi, untuk mengisi
demokrasi maka civil society ikut mengambil peran. Muslimat NU merupakan
salah satu bagian dari civil society yang ada di Indonesia, sehingga Muslimat NU
ingin ikut serta mengambil peran untuk mengisi peluang demokrasi. Peran yang
diinginkan Muslimat NU yaitu berpartisipasi dalam pemerintahan (menduduki
jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPRD, DPR, Mentri maupun Kepala
Daerah).
Teori manajemen organisasi menjelaskan bahwa di dalam organisasi
terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan yang di dalamnya terdapat sub
sistem tertinggi yaitu itu yang disebut sebagai manajer. Manajer disini merupakan
pengontrol utama dari sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Oleh
68
karena itu, dalam organisasi posisi manajer memiliki peran terpenting dari sub-
sub lainnya yang pada Muslimat NU disebut sebagai Ketua Umum. Secara tidak
langsung jabatan Ketua Umum yang dimiliki Khofifah memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap anggota lain seklaipun itu merupakan hak pilihan
individu masing-masing. Jadi praktik politik Khofifah yang dijelaskan
sebelumnya tidak dapat dikatakan sebagai perilaku individu saja, melainkan
perilaku individu yang berdampak pada organisasi. Posisi ini yang kemudian
mampu membawa bagian-bagian lainnya dalam organisasi untuk mendukung
penuh dirinya dalam panggung politik. melalui pemaparan ini kemudian
menunjukkan bahwa praktik politik Khofifah yang menduduki jabatan sebagai
pengelola sebuah organisasi menjadi salah satu alasan mengapa khittah 1926 tidak
terimplementasikan.
Selain itu, keberadaan khittah 1926 sebagai garis perjuangan organisasi
dalam manajemen organisasi khittah perjuangan itu adalah sebuah jalan pedoman
yang harus diikuti, tetapi kenyataannya garis perjuangan kembali ke khittah 1926
yang ditetapkan oleh organisasi NU pada tahun 1948 tidak dapat
diimplementasikans secara baik oleh Badan Otonom yang berada di bawahnya
sepeti muslimat NU, baik pada periode Asamah Sjachruni, Aisyah Hamid
Baidlowi, maupun pada masa Khofifah Indar Parawansa. Karena hal ini
ditunjukkan dengan keterlibatan pemimimpin Muslimat NU sebagai pucuk
pimpinnan Muslimat ke dalam politik khususnya yang dilakukan oleh Khofifah
Indar Parawansa (Ketua Umum Muslimat NU periode 2011-2014) yaitu
69
mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur, Juru Bicara Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla (2014), dan menjadi Menteri Sosial
(2014-2019).
Seperti halnya teori manajemen organisasi, teori kekuasaan juga digunakan
sebagai tolak ukur seberapa jauh Khofifah menggunakan posisinya dalam politik
yang tidak lain dilatarbelakangi oleh faktor kekuasaan. Melalui kekuasaannya di
Muslimat NU yang sudah tidak diragukan lagi, sehingga ia mampu menjabat
selama tiga periode berturut-turut, Khofifah menggali kekuasaan yang lebih luas
lagi dengan ikut berkompetisi dalam politik praktis. Kompetisi ini tidak lain untuk
mendapatkan kembali kekuasaan, bahkan lebih luas dari porsi kekuasaan yang ia
miliki saat ini. Melalui perspektif kekuasaan, keterlibatan pengurus Muslimat NU
dalam politik yang bertentangan dengan khittah 1926 merupakan hal yang sah-sah
saja mengingat kekuasaan adalah sebagai jembatan keterlibatan atau partisipasi
politik civil society (Muslimat NU) dalam mengisi demokrasi di indonesia. Hal ini
yang membuat tidak tepatnya keputusan khittah 1926 diterapkan di era
demokratisasi.
Melalui tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Muslimat NU periode
2011-2014 berusaha untuk berkembang dengan tetap konsisten sebagai organisasi
sosial keagamaan dan tidak berpolitik. Namun dalam praktik politiknya Muslimat
NU tidak mampu membendung keinginan kader organisasi untuk berpolitik yang
dipengaruhi oleh perkembangan sistem demokrasi. Dilema dalam Muslimat NU
dikarenakan aturan khittah 1926 menjadi kendala dalam berpolitik sehingga kader
70
Muslimat NU berpolitik atas nama individu bukan organisasi. Jika seperti ini,
maka praktik politik Khofifah yang telah dijelaskan sebelumnya dan kaitannya
dengan teori-teori yang ada menunjukkan bahwa khittah 1926 tidak
terimplementasikan dengan baik di Muslimat NU periode 2011-2014.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melalui pemaparan skripsi ini dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 yang
diputuskan pada tahun 1984 menyatakan NU sudah tidak menjadi partai politik
dan netral-politik. Oleh karena itu, demi kemaslahatan bersama semua pihak
akhirnya dapat menerima dengan lapang dada. Keputusan tersebut hingga saat ini
masih berlaku, walaupun secara implementatif nilai khittah 1926 yang
menyatakan netral-politik sudah mulai ditinggalkan oleh orang-orang NU.
Muslimat sebagai Badan Otonom NU terus mengikuti jejak para kiainya.
Sama halnya dengan NU, kader-kader Muslimat NU juga mulai meninggalkan
komitmen khittah 1926. Keterlibatan dalam kancah politik sudah menjadi hal
biasa baik bagi anggota, pengurus, bahkan Ketua Umum. Keterlibatan Ketua
Umum PP Muslimat NU periode 2011-2014 dalam mencalonkan diri sebagai
Gubernur di Jawa Timur pada tahun 2013, menjadi Juru Bicara Calon Presiden
dan Wakil Presiden 2014 hingga saat menjadi Menteri Sosial menjadi lumrah,
bahkan dianggap sebuah prestasi dalam pengurusan Muslimat NU. Khittah 1926
menjadi sebuah simbol yang tidak terimplementasi dengan baik, bahkan orang-
orang dalam NU sendiri sudah pesimis dengan komitmen khittah 1926.
Suburnya demokrasi di Indonesia mendorong kader-kader Muslimat NU
untuk ikut berkompetisi dalam politik. Keberadaan Khittah 1926 menjadi sebuah
batas bagi kader Muslimat NU untuk ambil peran dalam demokrasi. Apalagi
72
keterlibatan Muslimat NU dalam politik memang menguntungkan bagi organisasi
dan kaum perempuan di Indonesia. Adanya keterlibatan Muslimat NU dalam
politik membantu untuk memperjuangkan hak perempuan melalui kebijakan-
kebijakan politik, serta membuka peluang besar untuk saling bersinergi dengan
lembaga pemerintahan dalam menjalankan programnya masing-masing.
Melihat realita, diperkuat dengan fakta bahwa jumlah perempuan ternyata
lebih banyak dari laki-laki, maka harus ada dukungan kebijakan yang pro dengan
perempuan. Kebijakan ini sulit terimplementasi jika keterwakilan permpuan
sedikit dalam memperjuangkan aspirasi tersebut. Oleh karena itu, khittah 1926
yang pada Orde Baru dapat dijadikan sebagai kontrol politik, namun saat ini
justru menjadi pembatas muslimat NU dalam berperan sebagai civil society.
Secara umum Muslimat NU sebagai sebuah organisasi memiliki komitmen
terhadap khittah 1926. Tetapi keterlibatan Ketua Umum PP Muslimat NU periode
2011-2014 dalam politik menunjukkan bahwa khittah 1926 tidak terimplementasi
dengan baik. Diperkuat dengan kenyataan bahwa demokratisasi saat ini menjadi
identitas utama, maka dalam mengambil peran dalam demokrasi, organisasi ini
harus berpolitik sehingga keputusan khittah 1926 kembali dipertanyakan. Dapat
disimpulkan bahwa keputusan khittah 1926 sudah tidak relevan diterapkan pada
era demokratisasi seperti sekarang.
73
B. SARAN
Kenyataan bahwa praktik politik dari kader-kader Muslimat NU sulit
ditinggalkan, memberikan gambaran bahwa khittah 1926 dalam Muslimat NU
periode 2011-2014 belum dapat terimplementasi dengan baik. Hal ini juga
menunjukkan bahwa keputusan khittah 1926 sulit untuk disinkronisasikan dengan
sistem demokrasi yang diterapkan pada negara kita saat ini.
Oleh karena itu, salah satu saran terbaik dalam pengimplementasian khittah
1926 ialah mencoba untuk meninjau kembali keputusan khittah 1926. Peninjauan
ini dilakukan untuk menjawab perlu atau tidaknya khittah 1926 diterapkan dalam
negara dengan sistem demokrasi. Setelah itu, dapat ditegaskan posisi aturan
khittah 1926 secara tertulis, jelas dan rinci. Sehingga Muslimat NU dapat
mengimplementasi dan mengikuti keputusan tersebut dengan baik.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Alaena, Badrun. NU: Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2000.
Ambardi, Kushridho. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia era Reformasi. Jakarta: Penerbit KPG, 2009.
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Yogyakarta: LP3ES, 2010.
Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru.
Diterjemahkan oleh Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Feillard, Andree. NU vis-à-vis Negara. Yogyakarta: LkiS, 2009.
Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: LP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Hersey, Paul dan Ken Blanchard. Manajemen Perilaku Organisasi:
Pendayagunaan Sumberdaya Manusia, 4th
ed. Penerjemah Agus Dharma.
Jakarta: Erlangga, 1986.
Hikam, Muhamad A.S.. Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society.
Jakarta: Erlangga, 2000.
Hikam, Muhammad A.S.. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES,