MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI 1 ABSTRAK Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Pentas perjalanan sejarah ummat Islam pasca Nabi sampai di abad modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan. Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga kelompok pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Karena itu, kepala negara hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja. Kata Kunci: Muhamad, Rasul, Negarawan, Politik A. Pendahuluan Salah satu persoalan kontroversial di kalangan ulama ataupun awam di lingkungan ummat Islam hingga saat ini adalah seputar ada dan tidaknya bangunan negara Islam. Kalaupun ada, negara manakah di dunia ini yang telah merealisasikan konstruksi tersebut? Sedangkan jika tidak ada, lalu bagaimana ummat yang berjumlah satu milyar jiwa lebih ini hidup dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia? Lantas, bagaimana ummat Islam 1 Penulis adalah dosen STH Galunggung Tasikmalaa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI1
ABSTRAK Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan
oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad Rasulullah
wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang
akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah.
Al-Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak
sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau
tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya.
Pentas perjalanan sejarah ummat Islam pasca Nabi sampai di abad
modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk
pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis
sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam praktek
mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para
tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan
pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang
dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran
Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga
kelompok pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama
berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus
lembaga politik. Karena itu, kepala negara adalah pemegang
kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua
mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi
mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai
kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga
menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali
terpisah dari agama. Karena itu, kepala negara hanya mempunyai
kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.
Kata Kunci: Muhamad, Rasul, Negarawan, Politik
A. Pendahuluan
Salah satu persoalan kontroversial di kalangan ulama ataupun awam di
lingkungan ummat Islam hingga saat ini adalah seputar ada dan tidaknya
bangunan negara Islam. Kalaupun ada, negara manakah di dunia ini yang
telah merealisasikan konstruksi tersebut? Sedangkan jika tidak ada, lalu
bagaimana ummat yang berjumlah satu milyar jiwa lebih ini hidup dalam
percaturan bangsa-bangsa di dunia? Lantas, bagaimana ummat Islam
1 Penulis adalah dosen STH Galunggung Tasikmalaa
Indonesia menyikap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Bagaimana korelasinya sistem
pemerintahan yang ditampilkan oleh Nabi Saw dengan situasi negara
Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam?
Wacana di atas merupakan sebuah diskursus yang sangat menarik untuk
diperbincangkan, terutama melihat posisi Muhammad Saw semasa hayatnya.
Pada satu sisi Muhammad Saw adalah sebagai seorang Nabi dan Rasul, tetapi
pada sisi lain beliau juga sebagai seorang pemimpin masyarakat dan negara
tidak lepas dari wacana umum yang berkembang di kalangan yuris Islam
mengenai hubungan antara agama dan politik atau agama dengan negara.
Memang, hubungan agama dan politik atau agama dan negara selalu menjadi
topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada
ajaran agama maupun golongan yang berpandangan sekuler. Bagi ummat
Islam, munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan
mendasar: Apakah kerasulan Muhammad Saw mempunyai kaitan dengan
masalah politik; atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat
dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan
bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?
Munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah
Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah agama yang penuh dengan
ajaran dan undang-undang (qawânin) yang bertujuan membangun manusia
guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, Islam
menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan
ukhrawi. Karena itu, Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid,
ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan
bermasyarakat.
Di samping itu, sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang
dipersoalkan oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad
Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau
yang akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-
Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak sedikitpun
menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk
pemerintahan serta pembentukannya.
Tidak mengherankan, jika dalam pentas perjalanan sejarah ummat Islam
pasca Nabi sampai di abad modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai
sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang
demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam
praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para
tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan pemikiran ini
bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan kedudukan
Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik
dan pemerintahan.
Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga kelompok
pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa
negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu,
kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi
mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai kekuasaan
agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara
adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Karena itu,
kepala negara hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi
saja.2
Kemudian, pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam
kaitannya dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan.
Golongan pertama menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan
pemerintahan, karena Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua
mengatakan di dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tapi
mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan
2 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah & Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997, hal. xii.
bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat Islam sama sekali tidak
terkait dengan politik dan pemerintahan. Ajaran agama Islam hanya berkisar
tentang tauhid dan pembinaan akhlak dan moral manusia dalam berbagai
aspek kehidupannya. 3
Menurut hemat penulis, terjadinya keragaman praktek dan keragaman
konsep dan pemikiran tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu
sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan
zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan
intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, baik
faktor interen maupun faktor eksteren sama-sama mempengaruhi keragaman
tersebut. Atau dengan kata lain selalu ada tarik-menarik antara ketentuan-
ketentuan normatif ajaran Islam dan kenyataan sosial politik dan historis.
Misalnya, dalam sejarah dicatat mengenai Dinasti Umayah dan Dinasti
Abbasiyah. Keberadaan kedua daulah tersebut di samping dipengaruhi ajaran
Islam juga dipengaruhi oleh model pemerintahan Romawi dan Persia. Atau
dalam alam pemikiran, terlihat bagaimana para tokoh pemikir politik Islam
Sunni klasik dan pertengahan misalnya, sangat dipengaruhi oleh kenyataan
historis dan kondisi sosial politik di masa mereka. Akibatnya tidak ada di
antara para yuris Sunni yang berusaha membuat lompatan pemikiran tentang
teori-teori politik dan kenegaraan untuk mengantisipasi perkembangan peta
kehidupan sosial politik ummat Islam di masa mendatang. Tampaknya
mereka terlalu yakin bahwa sistem pemerintahan di zaman mereka akan
bertahan. Tidak seperti dalam pembahasan mereka di bidang hukum fikih
yang banyak melakukan pengandaian, dengan mengemukakan beberapa
kasus yang peristiwanya belum terjadi, lalu menetapkan hukumnya.
Terlepas dari perdebatan pemikiran tersebut di atas, kiranya yang paling
menarik adalah persoalan kedudukan Muhammad dalam sejarah Islam, baik
beliau sebagai Nabi ataupun sekaligus sebagai pemimpin negara atau
masyarakat. Inilah barangkali topik penting yang perlu dibahas dalam tulisan
ini. Penulis lebih setuju terhadap pandangan bahwa Islam adalah agama
3 J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hal. xii-xiii.
komprehensif yang di dalamnya mengatur aturan kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya, termasuk kehidupan manusia dalam berbangsa dan
bernegara. Namun, sebelum membahas mengenai posisi Muhammad sebagai
Nabi dan negarawan, terlebih dahulu perlu diketengahkan mengenai prinsip-
prinsip dasar pemikiran politik dan kenegaraan dalam Islam. Hal ini penting
untuk meletakkan dasar pandangan mengenai posisi Muhammad sebagai
Nabi dan negarawan.
B. Prinsip-prinsip Dasar Pemikiran Politik dan Kenegaraan dalam Islam
Penulis sepakat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif.
Didalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi,
sistem sosial dan sebagainya. Pandangan ini sepaham dengan pemikiran
Rasyid Ridha, Hasan al-Banna dan al-Maududi. Sebagaimana dikutip oleh
Munawir Sjadzali4, mereka berpendapat bahwa Islam adalah agama yang
serba lengkap. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan
atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara ummat Islam hendaknya
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan
jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau
politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad Saw dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.
Al-Farabi sebagai seorang filosof muslim dan sekaligus ahli ilmu politik
Islam mengatakan bahwa keistimewaan agama Islam ialah memberi
pimpinan bagi urusan-urusan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, ibadah
dan mu‟amalah, soal-soal iman dan ilmu pengetahuan, ketuhanan dan
kemanusiaan, dan persoalan masyarakat dan pribadi manusia. Dengan
begitu, Islam merupakan agama yang lengkap sebagai pedoman bagi manusia
dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk politik dan negara. 5
4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1990, hal. 1 dan 147. 5 Zainal Abidin Ahmad, Madinatul Fadlilah: Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam Al-
Farabi, Jakarta: PT Kinta, 1968, hal. 3.
Bahkan kata Nurcholis Madjid dalam pengantarnya terhadap tulisan
Syafi‟i Ma‟arif menegaskan bahwa salah satu karakteristik agama Islam pada
masa-masa awal penampilannya ialah kejayaan di bidang politik. Penuturan
sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak Nabi Muhammad Saw
sendiri (periode Madinah) sampai masa-masa jauh sesudah beliau wafat. 6
Paradigma pemikiran bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
dan didalamnya terdapat berbagai sistem kehidupan seperti sistem
ketatanegaraan, secara sepintas dibenarkan oleh Al-Qur‟an sendiri
sebagaimana dinyatakan dalam pada ayat-ayat berikut:
سلم الي وم أكملت لكم دينكم وأتمت عليكم نعمت ورضيت لكم ال ﴾۳:املائدة﴿.دينا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. 7
﴾۳۸:االنعامما ف رطنا ف الكتاب من شيء ﴿“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab…”8
يانا لكل شيء وهدى ورحة وبشرى ون زلنا عليك الكتاب تب ﴾۸۹:النحل﴿.للم لم
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 9
Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Pulungan10 mengatakan
bahwa ayat-ayat di atas harus diapresiasi mendukung pendapat yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, yang
didalamnya termasuk masalah politik dan kenegaraan. Ayat pertama (Q.S.
Al-Mâidah:3) mengandung maksud bahwa Islam sebagai agama, yang
diwahyukan kepada para Nabi mulai dari Nabi Adam a.s., Ibrahim a.s.,
6 Syafi‟i Ma‟arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah