BAB I BANGSA INDONESIA Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan- perbedaan yang ada itu menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa. 1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb. 1 Sekelompok masyarakat yang 1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102. 1 Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor-faktor pemersatu bangsa, serta
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
BANGSA INDONESIA
Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai
ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu
sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu
menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar
dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor
pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.
1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa
Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat
yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu
bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa
terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain.
Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa
lain.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu
muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain.
Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk
oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.
Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan
sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud
1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.
1
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa
dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa
Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor-
faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.
sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya,
menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga
masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan
yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada
pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang
membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang
bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau
kelompok etnik (ethnic group).
Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang lebih
tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan
kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial.
Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan
sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda.
Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu,
yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena
memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat
serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang
mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang
disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan
dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa
tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi.
Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh
identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali
dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh
pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-
metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.
Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang
merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak.
Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orang-
orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,
yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain.
Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan
2
semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—
266.)
Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang
askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran,
yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang
dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu
dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti,
masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa
mempunyai ciri-ciri berikut.
1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak
dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.
2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan
mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.
3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.
Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda
dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang
coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu
suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan
keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang
bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri
dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi
mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 3—6.)
Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas
diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa
Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari
aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak
jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa
pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu
di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang
menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku
bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula
dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan
3
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa
akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.
2. Indonesia Bangsa yang Majemuk
Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki
keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns)
(Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang
majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik
dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat
(Haviland, 2000: 805).
Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan
biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang
memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang, sejarah,
masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama
(Haviland, 2000: 664).
a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas
Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku
bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain.
Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku
bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya.
Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu
kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu
keturunan.
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang
membentuk satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun
2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak
4
1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan
dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.2
Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-
masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau
nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah
masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau
pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem
nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa,
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang
menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah
masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara
warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar,
tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-
tempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.)
Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama
banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979:
10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari.
Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia
sebagai bangsa yang satu.
Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1)
pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas
vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,
bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan,
dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan
terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok
etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.
b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia
2 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari 2010.
5
Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi
terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang
tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam
bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh
aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-
simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.
Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan
konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan
menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa
konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama
lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul
jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota
masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya
dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa
yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masing-
masing pelaku dalam suatu interaksi.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya
adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara
langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama
beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa.
Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah
sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.
Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama
dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat
luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan
keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan
mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan
atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau tidak sadar—
memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya.
Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup
bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai
kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa
6
lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa
lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam
menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut
stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).
Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman
seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu.
Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada
kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari
kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu.
Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa
mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota
masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku
bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini
kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena
berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang
lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut.
Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.)
Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman
mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang
berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka
permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh
dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga
kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat
bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang
kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan
golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu
menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum
internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum
merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan
fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau
7
suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan
nasional.
Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur
bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranata-
pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu
persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku
Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orang-
orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek
moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang
di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu
saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat
hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di
Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 4—7).
Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan
keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan
golongan.
Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini
dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial,
politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundang-
undangan.
Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi
nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan
hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan
bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama
dalam sistem pengelolaan konflik.
Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang
majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia
sebagaimana diuraikan berikut ini.
3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain:
1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau
8
lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak
berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi
tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga
untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia
Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang
sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah
dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa
Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu
negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan),
yaitu sebagai pendukung dari negara.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan
timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu
berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka,
seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi
kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon,
1995: xviii—xix).
Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang
merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai
keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain
pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions)
yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan,
maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga
berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di
dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.
Berbeda dengan istilah “lembaga” (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau
wadah), “pranata” adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan
masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas
itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak
melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara
9
semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang
dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang
resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu
berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata
(bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162—171).
Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan
masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat,
baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.
Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap
pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk
negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap
persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-
turut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis,
pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.
Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap
fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo,
ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu
dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian
kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke
Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk
pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua.
Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es
keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan.
Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga
dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke
selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai
ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi
Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara
berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang
datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).
penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa
yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga
pendidikan Belanda, baik di Indonesia—yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun
di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak
terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan
elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik
pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan.
Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda
yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau
Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-benih
solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini
terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa yang menginginkan
kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh
lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908.
Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa yang saling
berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka:
“Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa
persatuan bahasa Indonesia.” Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini
melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan
Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa
Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.3
Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang
dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17 merupakan tanggal
yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana terungkap dalam dialog
antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan membawanya ke
Rengasdengklok: “Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai berbicara, ‘Yang paling
penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. … Saya tidak dapat
3 Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996.
kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa
Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.
Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui berbagai
upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang konvensional, dan
‘perang’ diplomasi melalui perundingan-perundingan antar pemerintah kedua negara, sampai
akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian Meja Bundar yang berhasil memaksa
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat.
Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949
pada tanggal 29 Desember 1949, maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122).
Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi
Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin—
yang kemudian disebut Orde Lama—(1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era
Reformasi (1998—sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal yang berhubungan
dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai negara Indonesia.
b. Pancasila dan UUD 1945
Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara
memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu
Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila merupakan
kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD 1945, yang
mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum dasar yang
mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi, dan juga
memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan
UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk menjamin keberlangsungan
integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia.
Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka
keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar kelangsungan
dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya persoalan Pancasila
bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak persoalan atau kendala
15
dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya dari
tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila merupakan
dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan
negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar
jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Secara yuridis, Pancasila
merupakan cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di
Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum
konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai
dengan yang paling bawah. Secara politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur
(modus vivendi) yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu
bangsa Indonesia dalam prinsip persatuan.
Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal
demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme
ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal itu
diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yaitu pemilihan pejabat-pejabat
publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan (checks and
balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan.
Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal hukum
bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau mengancam
tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda pemerintahan, juga
mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa melalui
kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan kekuasaan lainnya yaitu yudikatif,
melalui peradilan melawan setiap gerakan disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif
yang melakukannya secara politik melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga
kekuasaan negara tersebut harus bekerja secara sinergis.
Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa
Indonesia adalah yang berikut.
1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat (5).
16
2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut
prinsip dan sistem demokrasi.
3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya,
setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi). Demokrasi
harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut perundang-
undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki dan
dapat mengancam integrasi bangsa.
4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi
membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya
menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan kewajiban
secara diskriminatif.
5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap
ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri.
Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut ketahanan
nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah “kondisi dinamis
suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala macam
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam,
secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, indentitas, kelangsungan
hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional” (Sunardi,
2004: 190—195).
Ketahanan nasional diperlukan agar Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan
dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurang-
kurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan, nasionalisme,
dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 40—54).
Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari luar
maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah westernisasi atau
“pembaratan” yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum tentu sehat dan sesuai
dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia, terutama kaum muda.
Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup masyarakat yang masih
17
tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan lemahnya penegakan
hukum.
c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa
Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia
sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang dengan
kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan
sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu lainnya. Artinya,
dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-
lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang
mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai suatu perguruan
tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas dan identitas anggota
masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-
simbol atau lambang-lambang persatuan.
Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional,
lambang negara, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Penggunaan lambang-lambang
persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih),
Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda
Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan “Indonesia Raya”) dan dalam UU No
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang
negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud
eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah
perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan
cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4
d. Kebudayaan Nasional
4 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).
18
Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja, melainkan
juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang
beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul loyalitas terhadap
suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme,
entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh
karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia,
kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu
bangsa dan negara.
(1) Konsep Kebudayaan
Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan
kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan
pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu
berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu, yang
tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat
sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang sesuai dengan
kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis melainkan harus dipelajari,
terutama melalui sarana bahasa.
Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang
terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang
dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu kelestarian kebudayaan harus dipelihara sehingga
kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup secara
teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk menemukan
keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah
agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru. (Haviland, 1995: 331—342.)
Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang
akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog
Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:
“kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat
19
atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak” (Ranjabar, 2006: 21).
Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan kebudayaan
modern sebagai “seperangkat peraturan standar yang—apabila dipenuhi oleh para anggota
masyarakat—menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para
anggotanya.
R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai “seperangkat
peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang kalau—
dilaksanakan oleh para anggotanya—melahirkan perilaku yang oleh mereka dipandang layak
dan dapat diterima.” Masyarakat di sini didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang
mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang
sama” (Haviland, 1995: 331—342).
Koentjaraningrat (2002: 179—185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan pada
pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sistem
tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan melalui
proses belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena itu
kebudayaan didefinisikan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.” Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut di atas.
Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari
kata buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’ dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian,
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris culture
berasal dari kata Latin colere yang berarti ‘mengolah’ atau ‘mengerjakan’, terutama mengolah
tanah atau ‘bertani’. Istilah ini berkembang artinya sebagai “segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Definisi kebudayaan lain adalah “sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang
secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat.” Dapat dikatakan pula bahwa
“kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan
para warganya.” Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan oleh Malinowski
(1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya
melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat kebudayaan sebagai blue
20
print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973) melihat kebudayaan sebagai
sistem-sistem makna.
Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan
metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya. Kebudayaan
yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan
dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat kelakuan atau hasil
kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat.
Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode dipilih
secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik kebudayaan dalam
menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk menginterpretasi dan
memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk dorongan atau motivasi bagi
pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (response) atas rangsangan
(stimuli) dari lingkungannya.
Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi
manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai
kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya
tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179—185).
(2) Gagasan Kebudayaan Nasional
Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa cendekiawan
mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan
yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia
berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya
adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik,
berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap warga
bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsanya sendiri dan menjadi identitas
nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur puncak (dalam arti ‘yang paling’) dari kebudayaan
suku-suku bangsa di daerah dan unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi
kebudayaan nasional.
21
Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional
Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi ke
peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir
Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap warga
Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari
kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang. Kebudayaan
nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional Indonesia harus
mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi.
Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi yaitu 1)
memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas rasa
solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu, sebenarnya
gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk memenuhi kedua
fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama,
dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua.
Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah
antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan,
karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-moyang.
Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila individu yang
bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu,
identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan
sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).
Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang
dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni
drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat
mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat dipahami
maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas.
Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan dan
dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan nasional
tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja, tetapi juga
sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan (yang
dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga
kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma,
22
aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C.
Kluckhohn, masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada
di setiap kebudayaan di dunia itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna
atau hakekat hidup manusia, 2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia,
3) masalah persepsi manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).
Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah
hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai tujuan-
tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan negara
yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum yang dibuat di
Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi bangsa Indonesia, baik
secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi
sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan
4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (Mahfud MD, 2009: 52—54).
4. Jati Diri Bangsa
Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum
muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya kebarat-
baratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi seperti
orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert Moore,
modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah
mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta menggunakan
hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore dapat digunakan.
Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep itu bersudut pandang
etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan cara pandang satu
23
kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih superior
daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland, 2000: 755).
Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya
mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa.
Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu
dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan
perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini
menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya
elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap
otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-
persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-
royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses
globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.
Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat
sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa. Istilah
jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu
benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri
atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang
berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan.
Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan kesadaran
berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian kemerdekaan Indonesia
sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan refleksi kita dalam memandang
keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus diupayakan keutuhannya dengan
menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa Indonesia.
Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri
bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai
5 Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.
6 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462.
24
bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa,
yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan bagi jati diri
bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan hukum dasar dalam
bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan secara benar dan
konsisten.
Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan mengacu
kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-ikatan primordial
atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah yang berlandaskan
pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-puncak kebudayaan
daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa sendiri dan berfungsi
untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau negara.7 Selain itu jati diri
bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-suku bangsa atau antar-ikatan
primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan melalui fungsi kedua kebudayaan
yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga bangsa atau negara. Kebudayaan nasional
itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke
masa depan.8
Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa
haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang
hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah satu
ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap bangsa
Indonesia.
Pengalaman sejarah merupakan “guru” yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu
diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan
sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa
yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional tahun 1908
dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu harus
digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus kita hadapi
secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus dikembangkan,
7 Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.
8 Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah bahasa nasional dan hukum nasional.
25
antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan kebudayaan nasional.
Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling memahami antar-suku bangsa, dan
pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan rasa soliaritas dan
menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.
Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang baik
dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan bangsa)
maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian diharapkan
berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang bermartabat.
BAB II
NEGARA INDONESIA
26
1. Hakikat Negara
Menurut Ir. Soekarno di hadapan Sidang BPUPKI, “Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan”.9 Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya
sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya mereka membentuk wadah organisasi yang
akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi itu disebut negara (state). Dalam
pengertian ini, negara meliputi wilayah, rakyat, dan pemerintah yang bersifat konstitutif dan
telah dikukuhkan melalui Konvensi Montevideo.
Ketiga syarat negara itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Wilayah yang
dimaksud adalah wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa, dan batas-batasnya
ditentukan melalui perjanjian internasional. Rakyat adalah rakyat yang mendiami wilayah
tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai golongan sosial, serta harus patuh pada hukum dan
pemerintah yang sah. Pemerintah adalah pemerintah yang berhak mengatur dan berwenang
merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya.
Kepada ketiga syarat tersebut dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan
dari negara lain (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2001: 36) dan tujuan negara yang
tersurat/tersirat dalam konstitusi. Kedaulatan merupakan ciri yang membedakan organisasi
pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi musuh, negara berhak
menuntut kesetiaan para warganya. Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi merupakan
pedoman untuk mencapai tujuan nasional dalam bernegara. Tujuan nasional bangsa Indonesia
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) yang antara lain menyatakan “Pemerintah
Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, 9 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta, 1992), hlm. 66.
27
Setelah membaca bab ini, mahasiswa mampu memahami konsep
negara, ideologi, dan konstitusi, serta mampu membangun pikiran yang
terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti wilayah, yang
terkait dengan konsep geostrategi dan geopolitik/ wawasan nusantara,
maupun dalam arti institusi/organisasi njegara, yang terkait dengan
sistem pemerintahannya.
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial.”
Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan,
dengan kekuasaannya, mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Sementara
menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli
dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. Dengan demikian
negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat.
Dalam mengatur hubungan itu, ada legitimasi bagi negara untuk memaksa dengan
kekuasaannya yang sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat.
Di atas telah dikemukakan bahwa negara tidak terlepas dari konsep kedaulatan. Yang
dimaksud dengan kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Menurut Jack H. Nagel, dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan ada dua hal
penting yang terkait yaitu lingkup kekuasaan (scope of power) dan jangkauan kekuasaan
(domain of power). Lingkup kedaulatan adalah gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai
kekuasaan tertinggi yang meliputi proses pengambilan keputusan, misalnya seberapa besar
kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik di lapangan legislatif maupun
eksekutif. Jangkauan kekuasaan meliputi siapa yang menguasai dan apa yang dikuasai, namun
titik beratnya ada pada apa yang dikuasai.
Kedaulatan pada prinsipnya dapat dipegang oleh seseorang, sekelompok orang,
sesuatu badan, atau sekelompok badan yang melakukan legislasi dan administrasi fungsi-
fungsi pemerintahan. Dalam ilmu hukum dikenal lima teori atau ajaran mengenai siapa yang
berdaulat, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori
kedaulatan hukum, dan teori kedaulatan rakyat.
Ajaran kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam negara. Dalam praktiknya, kedaulatan Tuhan ini dapat menjelma dalam hukum yang
harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula menjelma dalam kekuasaan raja sebagai
kepala negara yang mengklaim wewenang untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.
Ajaran kedaulatan raja beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara. Pandangan ini muncul terutama setelah periode sekularisasi
negara dan hukum di Eropa.
Ajaran kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap kesewenangan raja yang muncul
bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam pengalaman sejarah di Eropa.
28
Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah
oleh raja, yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai Kepala Gereja. Ada tiga sifat
kedaulatan yang harus dicermati oleh penyelenggara negara yaitu 1) memaksa, 2) monopoli,
dan 3) mencakup semua. Memaksa berarti bahwa negara memiliki kekuasaan untuk
menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Monopoli berarti
bahwa negara mempunyai hak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari
masyarakat. Mencakup semua berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan mengenai
semua orang—warga atau penduduknya. Dari ketiga sifat inilah timbul konsep negara
hukum.
Ajaran kedaulatan hukum menganggap bahwa sesungguhnya negara tidaklah
memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara
harus tunduk kepada hukum.
Ajaran kedaulatan rakyat meyakini bahwa yang sesungguhnya berdaulat dalam setiap
negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap
pemerintah.
Sebagai teori, tidak satu pun dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern.
Akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dari tradisi Romawi kuno, sedangkan
gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari tradisi Yunani kuno. Dalam kenyataan saat ini,
hampir semua negara modern menganut asas kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J.
Peaslee tahun 1950, 90% negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya
masing-masing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah
bersumber dari kehendak rakyat. Demikian pula halnya dengan di Indonesia. Menurut Pasal 1
ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
Konsep kedaulatan rakyat adalah prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai konsep
demokrasi. Secara formal, demokrasi menjadi sesuatu yang diidealkan di tiap negara. Namun,
implementasinya di satu negara berbeda dengan di negara lain. Ini adalah persoalan yang
dihadapi pelaksanaan dalam demokrasi di zaman sekarang.
2. Ideologi dan Konstitusi Negara
Agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap serasi, selaras, dan seimbang,
diperlukan suatu pedoman hidup. Pedoman itu adalah ideologi bangsa dan negara yang digali
29
dari budaya bangsa. Menurut Kaelan, makna ideologi bagi negara adalah 1) mencerminkan
cara berfikir masyarakat, bangsa dan negara, serta membentuk masyarakat menuju cita-cita;
2) merupakan sumber motivasi dan semangat bangsa; dan 3) bersifat terbuka, reformatif dan
dinamis. Ini semua harus tercermin dalam berbagai bidang dan kebijakan program-program
negara. Ideologi negara bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang ditetapkan di dalam
konstitusi sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penjabaran
peraturan perundang-undangan dan aspek normatif lainnya, termasuk penyusunan doktrin
bangsa, harus mengacu kepada Pancasila.
Persayaratan lain suatu negara modern adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi (dari
bahasa Perancis constituir yang berarti ‘membentuk’) diartikan sebagai pengaturan dasar
pembentukan negara. Orang Belanda menyebutnya grondwet yang mengandung pengertian
aturan dasar atau fundamental law. Yang dimaksud dengan aturan dasar adalah sejumlah
aturan dasar dan ketentuan yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga negara
dan lembaga pemerintah, termasuk kerja sama antara rakyat (masyarakat) dan negara dalam
rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsitusi adalah dokumen tertulis formal yang
merupakan 1) hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau; 2) tingkat tertinggi
perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pandangan pendiri/tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan untuk masa sekarang dan yang akan datang; dan 4) suatu keinginan,
perkembangan ketatanegaraan bangsa.
Menurut Budiardjo (2008: 17), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi
(UUD) berfungsi khas membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Konstitusi Indonesia
dimungkinkan untuk diubah melalui 1) sidang legislatif dengan tambahan syarat; 2)
referendum/plebisit; 3) persetujuan ¾ negara bagian; 4) musyawarah khusus (convention).
Menurut UUD 1945, perubahan UUD dimungkinkan, bila sekurang-kurangnya 2/3 daripada
jumlah anggota MPR hadir dan sekurang kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir itu setuju.
Perjalanan panjang sejarah pelaksanaan UUD di Indonesia terjadi dalam beberapa
periode, yaitu: 1) periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945—27 Desember 1949); 2)
periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949—17 Agustus 1950); 3) periode
UUDS 1950 (17 Agustus 1950—5 Juli 1959); 4) periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli
1959—1966); 5) periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966—21 Mei 1998); 6)
periode UUD 1945 pasca-orde baru (21 Mei 1998—19 Oktober 1999); dan 7) periode UUD
30
1945 yang diamandemen (1999—sekarang). Pelaksanaan UUD 1945 sebagai konstitusi
negara Indonesia penuh dengan dinamika. Beberapa kali terjadi penyimpangan sehingga perlu
dilakukan upaya-upaya penyempurnaan. Sejarah pemberlakuan dan pengubahan UUD 1945
banyak menimbulkan kontroversi, mulai dari pembentukannya pada tahun 1945 sampai
dengan masa reformasi sekarang ini.
Dalam periode 1945—1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena
kondisi negara dalam masa transisi setelah proklamasi kemerdekaan. Pada masa transisi itu,
Sekutu masuk ke berbagai wilayah Indonesia yang diboncengi oleh Belanda (NICA) setelah
kekalahan Jepang. Indonesia akhirnya berhasil mempertahankan kemerdekaannya, namun
peristiwa itu telah membuat kondisi negara tidak stabil atau tidak dalam keadaan normal
untuk melasanakan UUD 1945 dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dijalankannya
kekuasaan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional karena MPR, DPR dan DPA
belum diangkat. Demikian pula yang terjadi pada periode-periode selanjutnya, UUD 1945
mengalami banyak ujian dalam pelaksanaannya (Meliono, dll., 2010: 129—138).
a. Periode UUD 1945—1949
Pada awalnya, rancangan UUD disiapkan oleh Dokuritsu Junbi Coosakai atau
BPUPKI, sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk
menyiapkan sebuah UUD bagi Indonesia apabila dimerdekakan, yang diketuai oleh Radjiman
Wedyodiningrat. Setelah itu BPUPKI dibubarkan dan diganti oleh Dokuritsu Inkai atau PPKI
yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI ini yang menetapkan
peralihan kekuasaan dari jajahan menjadi negara merdeka setelah sehari sebelumnya
Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI juga menetapkan UUD 1945 yang sebelumnya telah
disusun oleh BPUPKI dengan sedikit revisi. Meskipun yang menyusun dan yang menetapkan
UUD 1945 dua badan yang berbeda, UUD 1945 tetap sah karena fungsi dan tugas kedua
badan itu memang berbeda. BPUPKI menyusun rancangan UUD, sedangkan PPKI melakukan
peralihan kekuasaan dan menetapkan atau mengesahkan berlakunya UUD.
Dua bulan sejak UUD 1945 diberlakukan, muncul Maklumat X pada tanggal 16
Oktober 1945 karena adanya gerakan untuk tidak memberlakukan UUD 1945 yang dianggap
berwatak fasis dan menjadi sumber otoriterisme. Istilah “maklumat” tidak menjadi persoalan
karena pada saat itu Indonesia belum memiliki UU tentang peraturan perundang-undangan
31
sehingga muncul istilah maklumat atau peraturan. Watak tersebut ditunjukkan dengan
ketentuan Pasal IV Peralihan UUD 1945 yang memberikan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA
kepada Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Maklumat X 1945 kemudian disusul
dengan Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem
kabinet dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Dalam praktik kedua maklumat
itu merupakan penyimpangan dari UUD 1945 meskipun secara resmi tidak membatalkan atau
mencabut UUD itu.
b. Periode Konstitusi RIS 1949—1950
Seiring dengan diubahnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal atau
Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak tanggal 29 Desember 1949, UUD 1945 secara resmi
diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949). Perubahan bentuk
negara dan konstitusi ini merupakan hasil akhir dari perundingan-perundingan antara
pemerintah Indonesia dan kerajaan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah
Jepang—yang sedang menduduki Indonesia ketika itu—kalah dalam perang Pasifik 1945.
Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan perang konvensional dan
perundingan-perundingan. Hasil dari perundingan-perundingan itu adalah diadakannya
Konferensi Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Hasil konferensi itu adalah pengubahan bentuk negara dari NKRI menjadi NRIS, dan juga
pengubahan konstitusi dengan memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun
1949 (KRIS 1949).
c. Periode UUDS 1950—1959
Pada tahun 1950, terhadap bentuk negara federal tersebut di atas, beberapa kalangan
melakukan penolakan karena dianggap sebagai kreasi Belanda (arsiteknya Van Mook) untuk
memecah-belah Indonesia. Oleh karena itu diserukan, antara lain oleh Mohammad Natsir
(tokoh Masyumi), agar Indonesia kembali ke NKRI. Seruan itu disebut “Mosi Integral
Natsir.”
Pada tanggal 17 Agustus 1950, seruan Natsir itu berhasil mendorong lahirnya UU
Federal Nomor 7 Tahun 1950, yang pada pokoknya berisi 1) bentuk negara Indonesia diubah
menjadi negara kesatuan dan 2) Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Ada yang mempertanyakan, mengapa digunakan kata
32
sementara. Menurut Mahfud, sejak awal para pemimpin Indonesia sudah melihat bahwa
UUD permanen haruslah dibentuk oleh lembaga negara yang dipilih oleh rakyat melalui
Pemilu agar UUD itu dapat mencerminkan resultante rakyat.
d. Kembali ke UUD 1945—1966 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
Di dalam UUDS 1950 ditetapkan keharusan mengadakan Pemilu untuk memilih
wakil-wakil rakyat, baik untuk DPR maupun untuk Konstituante. DPR adalah lembaga
legislatif biasa, sedangkan Konstituante merupakan badan khusus yang bertugas menetapkan
UUD bersama pemerintah. Ketentuan konstitusional itu menjadi dasar penyelenggaraannya
Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante, yang diatur dalam UU
Nomor 7 Tahun 1953.
Setelah Pemilu, sidang Konstituante pun dilaksanakan, namun yang terjadi adalah
perdebatan yang berarut-larut tentang dasar negara. Mengingat perdebatan tersebut berpotensi
membahayakan negara karena muncul berbagai front yang menggambarkan aliran politik
yang panas akibat perdebatan itu, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit itu adalah 1)
pembubaran Konstituante, 2) pencabutan berlakunya UUDS 1950 dan pemberlakuan kembali
UUD 1945, dan 3) (janji) pembentukan MPRS dan DPAS. Beberapa pihak menganggap
bahwa dekrit tersebut inkonstitusional. Bahkan Moh. Hatta dan Prawoto Mangkusasmito
mengatakan dekrit itu adalah kudeta terhadap lembaga negara yang sah. Di pihak lain, tidak
sedikit yang membenarkan dikeluarkannya dekrit itu dengan alasan negara dalam keadaan
bahaya sehingga Presiden dapat mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk
menyelamatkan negara.
e. Periode UUD 1945 Masa Orde Baru 1966—1998
Pemerintahan Orde Baru yang semboyannya “Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen,” juga melahirkan pemerintahan yang otoriter, terutama
pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik rakyat. Pada masa Orde Baru sistem
politik yang dibangun adalah korporatis atau rezim militer-teknokratis.
33
Yang membedakan otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun
sistem itu. Pada era Orde Lama, otoriterisme dibangun dengan terang-terangan melanggar
konstitusi, sedangkan pada era Orde Baru, otoriterisme dibangun melalui formalisasi
pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya
melanggar konstitusi. Artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi
secara prosedural diberi bentuk hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) dulu
sehingga seolah-olah menjadi benar secara hukum (Mahfud MD, 2005: 113—155).
Hasil penelitian Erliyana menunjukkan penyimpangan di masa Orde Baru itu.
Penelitiannya itu dilakukan terhadap Keputusan Presiden (Keppres) RI dalam kurun waktu
dari tahun 1987 hingga 1998, menemukan hal-hal berikut. Pertama, terdapat 351 (87,53%)
Keppres dari 401 yang tidak dimuat dalam Lembaran Negara sehingga secara umum tidak
dapat disebut sebagai peraturan dalam perundang-undangan. Kedua, ada 13 Keppres yang
mengandung penyusupan materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel,
policy rules) yang dibuat sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 (12 tahun). Ketiga,
terdapat 56 dari 224 Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules) yang
melanggar asas larangan melampaui wewenang selama 12 tahun berturut-turut.
Keppres yang melanggar asas larangan melampaui wewenang tersebut terjadi karena
1) adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 2) materi muatan yang bukan
merupakan materi muatan Keppres; 3) pelaksanaan wewenang Menteri yang dilakukan
Presiden; dan 4) materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy
rules) tetapi disusupkan dalam materi muatan Keppres sebagai peraturan umum (regeling).
Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, tidak boleh melawan hukum
—baik formal maupun materil dalam arti luas—dan tidak boleh melampaui/menyelewengkan
kewenangan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah harus memenuhi legitimasi,
yuridisitas, dan legalitas.
Temuan lain adalah yang menyangkut perkara yang diputus Pengadilan Tata Usaha
Negara dengan Presiden sebagai Tergugat dan Keppres sebagai objek gugatannya. Dari segi
materi muatan, Keppres dapat dibedakan atas yang 1) bersifat mengatur atau sebagai
peraturan umum (regeling), 2) bersifat ketetapan atau penetapan sebagai keputusan
(beschikking), dan 3) bersifat kebijakan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy
rules). Pertimbangan hukum Majelis Hakim, baik pada tingkat pertama, banding, maupun
34
kasasi, belum memilah Keppres dengan rinci sebagai peraturan umum (regeling), keputusan
(beschikking), atau peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules). Oleh karena itu, seluruh
Keppres yang dijadikan objek gugatan oleh hakim dinilai sebagai “peraturan perundang-
undangan” yang memiliki derajat sama dengan undang-undang. Seluruh gugatan kandas
karena dari awal sudah dinyatakan bukan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara,
melainkan merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk melaksanakan Hak Uji materil
(Erliyana, 2005: 192—195).
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 disakralkan sebagai konstitusi dengan
pemberlakuan sejumlah peraturan yang mempersulit usaha untuk mengubahnya. Peraturan-
peraturan itu, antara lain, ialah 1) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan
bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 dan tidak berkehendak akan
melakukan perubahan terhadapnya; 2) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum; 3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor
IV/MPR/1983.
f. Periode UUD 1945 Periode 21 Mei 1998—19 Oktober 1998
Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 merupakan akumulasi dari
kekecewaan atas kondisi rakyat Indonesia yang kian terpuruk karena dilanda krisis yang
berkepanjangan. Krisis itu bukan hanya di bidang ekonomi dan moneter saja, melainkan juga
di bidang politik. Akibat krisis tersebut muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi
menyeluruh terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Desakan ini memuncak pada
tuntutan agar dilakukan Sidang Istimewa MPR dan tuntutan (terutama oleh mahasiswa) agar
Presiden Soeharto mundur. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyatakan berhenti sebagai Presiden RI, dan digantikan oleh B. J. Habibie yang pada waktu
itu menjabat Wakil Presiden. Periode baru ini sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999
dikenal sebagai masa transisi. Pada periode inilah Provinsi Timor Timur lepas dari NKRI.
Pada saat berakhirnya masa transisi pada tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR 1999
sedang melakukan sidang Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 14--21 Oktober 1999.
g. Periode UUD 1945 yang Diamandemen 1998—sekarang (Reformasi)
Nilai Pancasila juga berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-
masing nilai saling menguatkan pemahamannya.. Adapun nilai Pancasila yang selama ini
dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam
Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi
diketahui bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar yang di
dalamnya terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010;
Suwartono & Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Namun, secara
empirik dipastikan bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain. Temuan ini
menjadi awal pembuktian bahwa hubungan antarnilai bukan semata wacana yang
sifatnya mengawang-awang, sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi
bangsa Indonesia.
Nilai Definisi RincianSila atau nilai pertama, ketuhanan
percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain
faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness
Sila kedua, kemanusiaan
mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati
respek, fair, courage
Sila ketiga, persatuan
mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.
loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap kewajibannya, setia kawan)
Sila keempat, demokrasi
pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.
tanggung jawab, harmoni
Sila kelima, keadilan sosial
menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.
persahabatan, keadilan dan kerendahatian, menolong
Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno & Juneman, 2011)
57
Menjadi Indonesia adalah sesuatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
Indonesia yang bukan sebagai perpanjangandari sejarah sebuah kelompok etnis atau
satu golongan agama tertentu. Keadaan ini seperti yang diajukan oleh Pilsudzki bahwa
negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana umumnya
(Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, para pendiri bangsa (founding
fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa. Salah satu
langkah persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu yang
mengemuka dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan.
Dari ketiga isu ini, yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam
membangun identitas baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia.
Keberadaan bahasa bagi sebuah bangsa menjadi penting karena hubungan
antarkelompok di dalamnya dimulai dengan bahasa yang dapat dipahami bersama.
Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin menempatkan bahasa sebagai unsur dasar penting
dari terbangunnya identitas nasional (Oomen, 2009: 199; Reicher & Hopkins, 2001: 8;
Simpson, 2007: 333).
Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat
dimengerti karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan
adanya pola kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan
yang positif antara identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono,
2011). Penelitian yang dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya
hubungan positif antara nilai Pancasila dan identitas nasional. Hasil analisis statistik
lebih lanjut menunjukkan bahwa nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya
identitas nasional Indonesia dari para partisipan remaja tadi. Hasil penelitian ini dapat
menjadi awal pemahaman bahwa nilai Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Langkah
selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai tadi di masyarakat agar tidak sekedar
menjadi wacana sehari-hari.
D. Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa
Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada
keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu
urusan (utamnya) agama masing-masing. Ironisnya data menunjukkan perusakan
rumah ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155).
58
Pada hal sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Masyarakat Indonesia
membuktikan bahwa menerima perbedaan dalam satu wadah sudah ada sejak zaman
Majapahit. Dalam menjalankan kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan
para pejabat urusan agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar
secara berdampingan, yaitu agama Hindu dan agama Buda (Poseponegoro &
Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini penting untuk menjadi contoh bahwa berabad-
abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan.
Berdirinya menara masjid Kudus dan makanan sate kerbau (umat Hindu
mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim mengadakan kurban dengan hewan
ternak semisal sapi) adalah bagian dari sejarah yang menunjukkan keberbedaan dapat
hidup dalam kesatuan.
Nilai kedua Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan kewajiban,
sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling
menghormati. Oleh karenanya, harapan utamanya akan tercermin dalam perilaku sebagi
individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai
bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan
berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah kedaulatan yang
berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima hal itu. Di sisi
lain, dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk
menyatakan suatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Dalam
kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan hak dasar dari
orang-orang di sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, maka orang lain yang
tidak merokok “dipaksa merokok bersama”. Menjadi aneh, ketika para perokok
mendengung-dengungkan hak untuk merokok sebagai hal utama, hak menghirup udara
bersih bagi non-perokok dan bahkan untuk perokok itu sendiri.
Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan
kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan
pengembangan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat
dilakukan untuk membuat konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu
pengejawantahan nilai patriotisme juga dapat dilihat dalam produksi film tentang
kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri film Hollywood menjadi buktinya. Mereka
memberi slot atau bagian khusus untuk film bertema perjuangan dengan latar Amerika
59
Serikat, misalnya The Patriot dan Indepence Day. Uniknya, mereka merilis film-film
tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri pertelevisian dan film Indonesia
juga mulai melakukan hal yang sama. Acara-acara yang menggugah patriotisme
disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang sama mulai berani
merilis dengan film-film bertema umum lainnya, seperti gambar berikut.
Gambar 3.1. Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.
Pada nilai keempat Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya
demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh
sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di
masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau
nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud
kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana,
seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi
oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja
akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387).
Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa
Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar
istilah gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara
santun untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat,
1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran
air untuk sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait
60
pula dengan warga lain. Maka, hak untuk mendapatkan air seiring dengan kewajiban
menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya. Contoh lain menunjukkan bahwa
nilai kelima diwujudkan untuk membangun karakter. Isu plagiarisme memperlihatkan
kurang mawas diri dalam mengamati hak dari kewajiban menjalankan tanggung jawab
sebagai peneliti.
Gambar 3.2. Wilayah
Indonesia
E. Berlaku sebagai Warga Negara
UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah mewujudkan hak dan kewajiban.
Hak-hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara mencapai
keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang diamalkan
tentu memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara.
Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan pada perintah-Nya sesuai dengan
keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat
Indonesia tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama yang
mayoritas bagi penduduk, masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya
adalah sesama warga Indonesia. Keyakinan masing-masing umat sangat dihargai,
bahkan dalam UUD 1945 diberikan porsi khusus yakni dalam bab XI pasal 29. Sebagai
warga negara, nilai ini mendasari tingkah laku umat agama tertentu pada umat agama
lainnya. Konsekuensinya adalah dalam kehidupan sehari-hari; kehidupan ibadah
masing-masing agama bukan urusan yang dapat dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain
pemerintah juga menjaga kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-
peraturan yang mengakomodasi nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa
61
atau memiliki kecenderungan-kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok
agama. Kejadian-kejadian seperti penolakan peribadatan dari satu kelompok agama
jelas tidak sesuai dengan nilai pertama dari Pancasila.
Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat
sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya, dengan tidak membeda-
bedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat
(AS) yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, pemerintahnya melakukan kebijakan
segregrasi khususnya dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan
(Meinarno, Widianto, Halida, 2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai
dari kebijakan publik yang berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan,
Indonesia tidak membedakan hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau
kelompok etnis tertentu sejak merdeka hingga sekarang.
Namun, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam
mewujudkan nilai kedua ini. Ini dapat dilihat, di antaranya, pada kebijakan pemerintah
atas pendidikan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat. Masih terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus
pada kelompok masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin, dan Shakuntala
menemukan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki
sejak 1971 hingga 2004. Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan
masyarakat mengutamakan anak lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan.
Tidak hanya akses sekolah, untuk angka buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan
dua kali lipat daripada lelaki. Alasan yang mengemuka masih sama, yakni pembedaan
perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda dkk.2012: 187-189). Kejadian ini sangat
berlawanan dengan upaya mewujudkan nilai kedua dari Pancasila. Jika bertahan, pola
ini akan mengganggu pada penurunan kesejahteraan di aspek lainnya, semisal,
tingginya angka kematian ibu (AKI) karena kurangnya pemahaman kesehatan
reproduksi pada kelompok perempuan yang umumnya diberikan di sekolah.
Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan
cukup mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya,
karena merupakan amanat dari UUD 194511. Dengan tidak menafikan keberadaan 742
bahasa daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh
11 UUD 1945, Bab XV, pasal 36
62
Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam
lingkungan akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan
benar memupuk rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang
dipahami setara secara bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan
nasional juga mencapai keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan
sebagai ilmuwan dan warga negara Indonesia.
Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di
tempat kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat.
Bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, pemilihan ketua RT yang demokratis,
tanpa adanya pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai
keempat. Ketua RT terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang
mengacu pada kepentingan bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan.
Tentunya hal ini dilakukan agar langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan
secara individu sebagai keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita
sebagai warga dapat memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih
bersama) untuk kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat
mengurangi potensi konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan
oposisional terhadap langkah yang diambil pemimpin.
Nilai kelima dari Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial semata.
Padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia Indonesia
berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan masayarakat
menuju yang lebih baik saat ini sangat dibutuhkan. Dalam keseharian kita melihat
jumlah pengangguran berlatar pendidikan tinggi perlahan meningkat dari tahun ke
tahun. Maka, membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa dan sarjana menjadi
relevan. Bahwa sesungguhnya sarjana adalah harapan masyarakat dikarenakan proses
pendidikan di perguruan tinggi yang membekali mahasiswa dalam pola pikir yang
berbasis ilmu pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang dapat
membantu masyarakat memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat
peluang kerja menjadi prioritas daripada mencari pekerjaan.
F. Berlaku sebagai Warga Global
63
Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia.
Keikutsertaan ini bukan selalu atas dasar politik, melainkan masih banyak hal lainnya.
Untuk itu, di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah
di dunia nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpenting adalah
perilaku dari individu Indonesia tetap didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan
beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly
ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walaupun pernyataan
Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, Pancasila sebagai nilai juga mendasari corak
kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila,
khususnya nilai pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran.
Keadaan ini tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat
perlintasan beragam kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136)
melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat
keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat
Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia.
Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia, sehingga dapat menjadi model dari
toleransi antar-umat beragama di dunia.
Upaya menyelaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global
sebenarnya juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memulainya untuk tidak
melakukan pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari
situasi ini adalah terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan
kewarganegaraan khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18
tahun dinyatakan sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa
kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain asal dari salah satu
orang tua anak tadi, perlakuan ini juga bermakna perlindungan manusia untuk
mendapatkan hak-hak dasar kewarganegaraan. Ini adalah kesepakatan universal yang
diakui bersama, sehingga negara itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai
negara yang mengakui hak asasi manusia. Pada akhirnya terbangunlah hubungan saling
menghormati antarnegara.
Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan
menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki
64
krisis moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk
masuk ke dalam negeri. Akibatnya, konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini
secara prinsip tidak salah, tetapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih.
Hanya dengan alasan harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang
bukan hanya menyisihkan produk dalam negeri, tetapi juga menghancurkan perusahaan
lokal. Untuk itu nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu
diangkat kembali untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya
berlaku di Indonesia. Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam
negeri sebelum membeli produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara
maju. Negara-negara maju menutupi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme
perdaganagn dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya
menjaga agar produk asing tidak membanjiri pasar lokalnya sehingga
petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera. Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila
masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi peningkatan ketahanan nasional.
Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan
masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah,
Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN
sekaligus ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan
Myanmar. Pada saat yang sama, hampir semua negara Barat tengah mengembargo
Myanmar dan meminta ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan,
dengan tidak mengisolasi Myanmar bahkan intensif membuka jalur diplomatik.
Terbukanya jalur diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri yang pada
akhirnya embargo negara-negara Barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa
cara tersebut tidak populer di mata bangsa-bangsa Barat, tetapi diplomasi ala Indonesia
mampu membuat Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang
cenderung terbuka dan dapat diterima masyarakat internasional.
Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial
semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia.
Salah satu bentuknya adalah koperasi. Koperasi sebagai pengejawantahan
pembangunan ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola
pembangunan negara-negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada
65
negara maju. Hal ini penting karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak
2008 yang dimulai di AS dan menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model
ekonomi komunis sudah rubuh terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun
1991. Di sinilah peluang Indonesia untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan
mekanisme ekonomi, karena koperasi bertujuan menyejahterakan anggota bukan
menguatkan kapital dari investor atau pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006,
Muhammad Yunus dari Bangladesh, berbekal konsep arisan amat menekankan
kesejahteraan anggotanya. Yang kemudian model ini dianggap baik oleh dunia. Dengan
demikian, dibutuhkan sedikit sentuhan dari para sarjana agar nilai kelima dari Pancasila
dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi dunia saat ini dan masa depan.
G.Penutup
Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan
tingkah laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga
tingkat bangsa. Nilai yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian,
Pancasila menjadi penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.
Gambar 3.3. Indonesia adalah warga dunia.
66
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal.
Artinya dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika asumsi ini
digunakan, nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya, sebagai
nilai yang mendasari tingkah laku warga Indonesia, tingkah lakunya juga selaras dengan
warga dunia.
Hal yang terpenting dari Pancasila adalah upaya kita mencoba menerapkannya
dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan
memudar dan hilang. Kondisi ini beranalogi ketika Pancasila tidak menjadi acuan
perilaku, nilai Pancasila akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya
Pancasila memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang
dapat berujung pada rubuhnya rumah nusantara,yakni Indonesia. Bukankah itu berarti
mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?
BAB IV
KEWARGANEGARAAN
67
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh
antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian
kritis atas pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara, serta mampu
bersikap terbuka dan kritis bagi implementasi hak dan kewajiban warga
negara di masyarakat.
Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya
menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan internasional ia
merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa bahwa sebagai penduduk di wilayah
jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta menyimpulkan, “Jika satu
bangsa mulia, maka individu-individunya juga dihargai, tetapi jika tidak memiliki
kebangsaan, maka seseorang tidak dipandang di dunia internasional” (Hatta, 1953: 51).
Pengalaman Bung Hatta merupakan pengalaman tentang pentingnya arti kebangsaan
(nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan kewarganegaraan, dan keduanya
tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun pemerintahan.
Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama
menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM) dan
masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada masa
kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah
yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan kepada rakyat
biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—86).
Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi, juga pernah dialami bangsa
Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status (diskriminasi)
yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan pribumi, tetapi juga
melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem kerajaan, yakni antara
golongan priyayi dan rakyat biasa.
Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi
pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada
tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh
pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil
sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan
kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin dalam hak dan kewajiban
bagi setiap warga negara.
Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, maka pokok-pokok bahasan dalam
bab ini dibagi menjadi empat bagian, yakni yang berikut. 1) Apa yang dimaksud dengan
kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar apa yang
melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3) Bagaimana
68
implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Evaluasi kritis terhadap pelaksanaan hak
dan kewajiban warga negara.
1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan?
Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang
menyangkut warga negara. Namun demikian, pemahaman yang sederhana ini memiliki
sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul sejak
masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang
bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta anak-
anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai
warga negara.
Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status
istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam
pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat masuk
dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas tersebut
menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai
dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara dalam pengertian masa
Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan seseorang untuk
mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25).
Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai
sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.
Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan rakyat
di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda
menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu mereka juga
menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi diartikan sebagai rasa
tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan tuntutan legal agar rakyat di
wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga kerajaan.
Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan
XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal
bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan
bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja,
maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu
69
dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi,
republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185
—289.)
Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas
rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan.
Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran
nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang menghargai
kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara
republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang
mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut
memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud
dalam hak-hak sipil.
Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap
pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh
faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru sebagai
kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu,
hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik, yang
membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan
kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi
individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini bagi warga negara
merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996: 285—289).
Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib
berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka
sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi
politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan status
legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan.
Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak
mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk
membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.
2. Siapakah Warga Negara Indonesia?
70
Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.
a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Status
Rakyat di Jawa)
Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi
masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluarga.
Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi raja, anak tangga
di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan
legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat.
Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak memiliki kebebasan individu, apalagi otonomi
politik. Jadi, konsep kewarganegaraan belum dikenal.
Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan kekuasaan
raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda memisahkan staf
administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil.
Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu
memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan
priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan
munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam
masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras.
Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang
Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya
mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-
orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman
orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211).
Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga
melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus
kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat
tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat
lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau birokrasi yang dahulu
adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas
tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit priyayi tersusun sebagai berikut:
71
para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis.
Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi
cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong
cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83).
Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam
pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu:
sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan
sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan
terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Untuk dapat diterima
masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus dipenuhi syarat berikut: orang tua adalah elit
yang memiliki kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan
pengantar bahasa Belanda pun, calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai
negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula.
Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah
dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar
pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah
tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki status terhormat di
masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak
memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan
nasional.
Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi
dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan
hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat
pribumi.
Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang desentralisasi
dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan. Dalam
pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal,
karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya
terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan
pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi
72
politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah
(Kartodirdjo, 1999: 43—44).
Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk
volksraad atau dewan rakyat. Namun keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen.
Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk
merancang anggaran dan membuat undang-undang. Halnya demikian karena parlemen di
Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia Belanda.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan
Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan
petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, volksraad masih juga
belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih
didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung, hak pilih rakyat
dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus
gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata
f40—f50/tahun.
Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial
tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia.
Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik karena
diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda
memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun
demikian, status penduduk belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya.
Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi.
Menurut perundang-undangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia Belanda
terdapat tiga kategori kewargaan, yakni Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan
Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999: 48, 192).
b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam
pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan
nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama yang
berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa, Sumatera,
73
Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki,
melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili berbagai
golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai perumusan
UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang luar biasa dari
para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah
rumusan tentang bangsa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa
Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.12 Ketentuan
terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau
bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia.
Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga negara
memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya.
Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk selain warga
negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di
Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang
sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negara-
negara lain.
c. Menjadi Warga Negara Indonesia
Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang tentang
kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah
dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU RI
Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006.
Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden, Instruksi
Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan
Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya dinamika
dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orang-
orang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku
kejahatan lintas negara, dsb. merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan
semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu
mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya.
12 Lihat UUD 1945, Pasal 26.
74
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk
menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan
kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran (diberlakukan
terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan tunggal merupakan
asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan
ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diatur
dalam UU.13 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan kewarganegaraan ganda (bipatride),
kecuali anak-anak dan penduduk tanpa kewarganegaraan.
Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2) pemberian
Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya
adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis): anak
tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride.
Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara
dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah
satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI.
Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau kurang)—
yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak
berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan
asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk
mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat
mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya, agar
tidak terjadi kewarganegaan ganda.
Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-sungguh
ingin menjadi WNI melalui naturalisasi.
Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau
istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat
bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.
13 Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 (Jakarta: Visimedia) hlm. 27-28.
75
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing
tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang
bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu
dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.
d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur
hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan
kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:14 a) atas kemauan sendiri menjadi WNA; b)
melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki
kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya); c) masuk dinas tentara
asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak dalam rangka
dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum jangka 5 tahun berakhir, dengan
sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kewarganegaraannya, serta
setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap
menjadi WNI; dan e) perkawinan dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi, WNI,
perempuan atau laki-laki yang menikah dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan
bahwa orang asing yang menikah dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya
pula). Oleh negara, kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada
prinsipnya negara tidak menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap
Indonesia dan terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara
otomatis membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI.
WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain (status
suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi
WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula
dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan
asing.15
3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara
14 Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28.
15 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.
76
Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang
melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara mendasar
terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar16 yang
menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-prinsip
itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik, prinsip
kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.17
Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana
wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak
pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan
pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang
kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan
legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan
bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga negara di dalam
negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja (Strong, sebagaimana
dikutip Budiardjo, 2008: 269—270).
Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah
pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat
dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan bangsa
dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi
peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga
16 Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.17 Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.
77
diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan
kepentingan daerah.
Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi
untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi
untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan
bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah
terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi
negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya
jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus
kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil rumusan
BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR
dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri dari wakil-wakil golongan (seperti
serikat pekerja, golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah
menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil Presiden. Dalam UUD
1945 (sebelum amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah
penyelenggara pemerintahan negara.
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada masa
Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh dominasi
mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan berakhir
dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu, terjadi
perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali amandemen terhadap
UUD 1945; dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi dan warga negara berhak
memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung. Pemilihan langsung juga
dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu, juga diberlakukan
desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga mengalami
demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan
DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.
78
Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR adalah
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana
kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD. MPR kini
berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK, MA
dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN, mengeluarkan
Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden bila
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya)
(Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan rakyat saat ini?
UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin
kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden,
penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling
mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu,
yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden dan kepala
daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat
rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk
memberhentikan Presiden18 serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota
DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.
Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan rakyat.
Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu kebebasan dari
intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu kebebasan dari dominasi
pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu disertai oleh tanggung jawab
rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk tanggung jawab ini merupakan
aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk membentuk diri sekaligus membangun
negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya prinsip independensi, maka dalam negara yang
berbentuk republik diharapkan tidak ada lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga
negara tidak ada lagi perbudakan atau ketergantungan kepada orang lain.
Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa
yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang pernah
hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan kolonial Belanda
yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat
ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan
18 Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.
79
turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan
kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb.
Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan
tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber
norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa,
sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi otoritas tertinggi yang
daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih
berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap Presiden yang dilantik harus
mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan
peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.19
Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan warga
negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat dan negara
hukum.20 Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut
hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi
politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa
kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah yang melahirkan
kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan mempertahankan negara. Sementara
itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan
kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah
termaktub dalam tujuan negara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945
(sebelum dan sesudah amandemen).
4. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu
terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah klaim yang
sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut bahwa orang
lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179). Ada beberapa jenis
hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan umum, c) hak positif dan
hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—187).
19 Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9.20 Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi juga
sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.
80
Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan
hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai negeri berhak mendapat tunjangan
itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem moral. Contohnya ialah sepasang
suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau seseorang peminjam uang berjanji untuk
mengembalikan uang yang dipinjamnya dari orang lain. Hak moral belum tentu merupakan
hak legal, tetapi banyak hak moral yang sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji
antarteman, yang dilakukan secara pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan
hak legal belum tentu menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral.
Sebagai contoh, negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal
mereka untuk menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari
penjajahan itu sendiri.
Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi
khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk dihormati
anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan persyaratan untuk
mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau
fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini sering disebut hak asasi
manusia.
Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu;
dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki
sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak
beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya ialah
bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis
pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang lain
berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak bahwa
orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan, pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara;
negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak
mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat. Hak
individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial adalah hak
81
yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan yang layak
dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.
Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban
memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu tidak
bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu
sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati
hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Sebagai contoh, setiap orang
memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya sebagai guru memberi
pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam ini sesuai dengan kewajiban
masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga
negara memperoleh apa yang menjadi haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan
sosial.
a. Hak Asasi Manusia
Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia tidak
dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu memahami arti
penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah
penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan untuk
melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari perspektif
sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat
dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212). Generasi pertama lahir di
negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik.
Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial, dan budaya,
yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin (tahun 1945—
1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh banyak pemikir
Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi ketiga ialah generasi
yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas
pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.
Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh
penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John “dipaksa”
untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas
82
corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.
Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-pemikiran
tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran bahwa hak
memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Hak alamiah,
sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain seperti Jean
Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk memiliki harta
benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang memerintah harus
mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM terbesar pada XVII dan
XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi kewenangan kepada raja untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun demikian, pada masa itu hanya
kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat menikmati HAM, sementara rakyat
biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus menerima perintah dari penguasa. Hak asasi
yang berhasil mereka perjuangkan itu masih terbatas pada hak politik seperti hak atas
kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan
dalam Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights
di AS (1783) dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).
Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang
mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di AS
dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler sebagai
pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp konsentrasi;
3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan komunis.
Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada jutaan manusia:
mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.
Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak
memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak yang
semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan
kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk mendirikan,
dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan dengan keadaan
pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada seluruh rakyat
dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah.
Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain ialah Presiden F. D.
83
Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari
kemiskinan.
Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk merumuskan
HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah laku manusia
(Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian diperkuat dengan
dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis
dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara “Dunia Ketiga”) untuk
mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas
penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak
tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat yang
lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan ekonomi
yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan pelaksanaan
hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka pelaksanaan
hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar
di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan pun
mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol pada
tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan. Selain
itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan agama juga diterima
sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-negara Dunia Ketiga ini
dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu merupakan kompromi antara
negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga. Sumbangan Indonesia dalam forum itu
adalah penekanan pada perlunya hak asasi ditingkatkan dalam konteks kerja sama
internasional atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan
terhadap identitas nasional masing-masing (Budiardjo, 2008: 244—245).
b. HAM dalam UUD 1945
84
Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai
sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya
sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut
pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan yang sesudah
amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan
secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi para perumus UUD
1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para
tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara.
Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh
antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari
negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal
menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di
samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik buruh–majikan
dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang
kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme.
Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk
mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan, dan
gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal
mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa
perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar belakang sejarah
tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM
tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip
kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan
bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan
atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip
kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara
seperti terlihat dari sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir
miskin dan anak terlantar oleh negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya.21
21 Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.
85
Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amandemen
UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa
Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II,
kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan jatuhnya banyak
korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di
Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya,
di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan
hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya
dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amandemen.
HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945
sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk
mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas
dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial
pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau jaminan sosial.22 Perubahan signifikan
lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.
c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari
Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD.
Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial.
Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara
praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka berikut
ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan, dan
kemerdekaan.
(1) Keamanan
Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan
diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan
keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cohen, J,M & M.J,. 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex:.....
Collins, John M. 1973. Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US Naval Institute.
Departemen Luar Negeri. 1983. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 2001. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa): Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Djalal, Hasjim. 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS.
Eccles, Henry E. 1959. Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy.
Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. 1996. Anthropology (edisi ke-9). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Erliyana, Anna. 2005. Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Front Pembela Proklamasi ‘45. 2002. Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945. Jakarta: FPP ‘45.
Gonick, L. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.
Habermas, Jurgen. 1996. “The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship”, dalam Gopal Balakrishnan (ed.), Mapping the Nation. London: Verso.
Halida, R. 2009. Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika.
Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hatta, Muhammad. 1953. Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
Haviland, W. A. 1995. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
____________. 2000. Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc.
Hitlin, S. 2003. Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2.
Huntington, Samuel T. 1998. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, London: Tochtone Books.
__________, (ed.). 1993. Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 1977. Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.
______________. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
______________. 1987a. “Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 9 Maret 1987.
______________. 1987b. “Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 11 Maret 1987.
_______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusuma, A. B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kusuma, RMAB. 2010. Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum Laut III. Bandung: Alumni.
Kusumadewi, LR. 2012. Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Lauder, MRMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana.
Lembaga Pertahanan Nasional. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–Lemhannas.
Loebis, Ali Basja. 1979. Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga.
Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31, 266-285. 1995
107
Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011.
Marzali, A. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media.
Meinarno, EA. 2011. How Pancasila form the national identity of Indonesian people? Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta.
Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika.
Mirhad, R. P., Purnomo. 1973. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional.
Morgenthau, Hans J. 2006 (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill.
Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy. London: Fontana.
Panitia Lemhannas. 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori. Jakarta: Ripers Utama.
Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai Pustaka
Poole, Ross. 1999. Nation and Identity. New York: Routledge.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ramage, DE. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London. Routledge.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reicher, S., Hopkins, N. 2001. Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization. London. Sage Publication.
Rida, Z. 1988. Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Rinjin, K. 2010. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press.
108
Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. The Free Press. New York.
Robert, J. M. 2004. The New Peguin History of the World. London: .....
Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. 2012. Relasi Gender dalam Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas.
Simpson, A. 2007. Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press.
Somantri, GR. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.
Sunardi, R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suwartono, C., Meinarno, EA. 2010. The Measurement of Pancasila: An Effort to make Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP, Yogyakarta, Juli 2010
Suwartono, C., Meinarno, EA. 2011. Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical Report. Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta.
Tajfel, H. 1974. Social Identity and Intergroup Behavior. Social Science Information. 13, 65, pp. 65-93.
Takwin, B. 2011. Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual. Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan karakter. Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas Indonesia.
Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Wirutomo, P. 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta.
109
Wirutomo, P. 2012. Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.
Wright, Quincy. 1942. Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.
B. Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amandemen I sampai dengan IV).
_________. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
_________. Undang-Undang Nomor 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang.
_________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
_________. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
_________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
_________. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
_________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
_________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035.
Daftar Gambar
Gambar The Patriot: http://www.swotti.com/tmp/swotti/cacheDGHLIHBHDHJPB3Q=RW50ZXJ0YWLUBWVUDC1NB3ZPZXM=/imgthe%20patriot3.jpg
Gambar wafer Tango: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+tango&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=excensyo8KZYhM:&imgrefurl=http://www.indowebster.web.id/showthread.php%3Ft%3D160748%26page%3D91&docid=JZLESngNxFZcgM&imgurl=http://img51.imageshack.us/img51/8526/tangovanillasugarfree.jpg&w=200&h=165&ei=06TeT-PgMM_jrAfehZ3IDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=165&vpy=244&dur=2182&hovh=132&hovw=160&tx=81&ty=98&sig=110374437010778634995&page=1&tbnh=132&tbnw=160&start=0&ndsp=12&ved=1t:429,r:6,s:0,i:88&biw=1366&bih=558
Gambar wafer Loacker: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+loacker&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=1_lf60mhSPmISM:&imgrefurl=http://
Gambar poster film Garuda di dadaku: http://www.google.co.id/imgres?q=garuda+di+dadaku&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=VLacUBdcY2u90M:&imgrefurl=http://bicarafilm.com/baca/2011/07/13/yuk-nonton-shooting-garuda-di-dadaku-2.html&docid=Jufl8WJ9zzhvUM&imgurl=http://bicarafilm.com/images/medium/2325-poster.jpg&w=400&h=300&ei=j6feT8vXDofOrQfhldXGDQ&zoom=1&biw=1366&bih=558
Gambar peta Indonesia:
Gambar peta dunia: gambar dunia: http://www.google.co.id/imglanding?q=world+map&hl=id&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=wJmeQu2avHIOMM:&imgrefurl=http://vectorya.com/freevectors/art-designs/free-vector-world-map/&imgurl=http://vectorya.com/gallery/data/media/8/A_large_blank_world_map_with_oceans_marked_in_blue.gif&zoom=1&w=4500&h=2234&iact=hc&ei=zP7hTLH-CcPQceTg8YsM&oei=wP7hTLzEEYq8vgOE9KjVDg&esq=2&page=2&tbnh=80&tbnw=161&start=8&ndsp=10&ved=1t:429,r:7,s:8&biw=1024&bih=388 (Nov. 2010)
DATA PENULIS
R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk Mata Kuliah Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar. Kemudian sebagai Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) - PDPT UI di FHUI, serta Dosen MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana S3 Bidang Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UI. Selain sebagai tenaga pengajar di UI, juga sebagai Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik FHUI, dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, serta kegiatan pengabdian pada masyarakat.
111
Slamet Soemiarno, pengajar luar biasa UI, Mk Pendidikan Kewarganegaraan sejak 1995. Pendikab S-1 Administrasi Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Admininistrasi, Lembaga Adminstrasi Negara R.I. dan S-2 Pengkajian Ketahaan Nasional di Fakultas Pacasarjana Universitas Indonesia. Pendidikan jenjang diawali AAU hingga SESKOAU. Sebelum bergabung dengan UI (MKU dan Tim PDPT), sebagai dosen/widyaiswara luar biasa pada Proyek Pendidikan Latihan Departemen Keuangan R.I dan SESPANAS Lembaga Addministrasi Negara dengan bahan ajar Administrasi Perlengkapan Pemerintah., di samping tetap sebagai anggota TNI AU di kesatuan wilayah, pemeliharaan, pendidikan dan keanggotaan Legislatif
Agnes Sri Poerbasari, adalah fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Univesitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan Internasional di FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Eko A. Meinarno, adalah pengajar tetap di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Minatnya terhadap kondisi sosial membuatnya berkecimpung di Psikologi dengan peminatan Psikologi Sosial. Bentuk konkretnya adalah menjadi anggota tim ajar Psikologi Lintas Budaya (2004–2009), Psikologi Sosial (2001-sekarang), Antropologi (2001–2007) dan Individu, Kebudayaan, dan Masyarakat (2008-2012). Latar pendidikan strata dua (S-2) adalah Antropologi dari FISIP UI dan strata satu (S-1) Psikologi UI. Beberapa bentuk karyanya adalah dalam bentuk artikel dalam jurnal nasional, tulisan dalam buku nasional dan internasional. Aktivitas lain adalah menjadi anggota APsyA (Asian Psychological Association) dan anggota dewan editor pada beberapa jurnal psikologi nasional.