A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap orang, pada suatu waktu, dalam
posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam
keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang
atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi
menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga
konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman .Oleh karena itu
secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang
sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen
padaumumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat
dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu
terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.1 Perlindungan
terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin
terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan
efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam
rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai
kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung,
maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan
demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap
kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak,
untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya
permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia
lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang
keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat
bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin
agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk1
Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesia, Ghalia-
Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h.
17. 4 Happy Susanto, 2008, HakHak Konsumen Jika Dirugikan,
Visimedia, Jakarta, h. 39
tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga
mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus
pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang
berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara
lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak
jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.2 Bagi konsumen,
informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yangsangat
penting.6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang
ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen,
tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai
persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau
garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa
purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Menurut
Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak
informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu,
karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu
saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat
ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga
belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk
lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih
mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam
produsen atau penjual. 7 Menurut sumbernya, informasi barang
dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. 3 Pertama,
informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai
secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan
Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari
sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi
itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya,
ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat
di dalam wadah atau
2 3
Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya,
Jakarta, h. 12. Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.
pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam
kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya,
informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang
ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar
lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kedua informasi
dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari
mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca
pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau
protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen.
Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) tentang hasilhasil penelitian dan/atau riset
produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum,
majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen. Ketiga,
informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen,
importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui
sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk
iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label
termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet,
catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada
umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan
memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan
pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang
diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat
ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha.
Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh
dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 4Hak atas
informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang
dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4
Undang-Undang
4
Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen,
Sinar Grafika, Jakarta,h.31.
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak
konsumen tersebut antara lain : a) hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b) hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan d) barang dan/atau jasa; e)
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan; f) hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut; g) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen; h) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak i) diskriminatif; hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya; j) hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak-hak dalam pasal
4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumennyang dirumuskan dalam
pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur
tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat
sebagai hak konsumen.5Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap
atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha
untuk5
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, h. 18.
menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa
berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang
berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable). Disisi lain konsumen
harus pula menyadari hakhaknya sebagai seorang konsumen sehingga
dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap
perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga
pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan
pada beberapa persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern
menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal
barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta
penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan
jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau
sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah
serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak
konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun
persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar
menjadi melemah. Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai
usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual.
3. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan. 4. Asas kepastian hukum dimaksudkan
agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum. 5. Pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang juga merupakan komoditas 6. perdagangan, memerlukan
dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan
bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam
bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok
manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan
reproduksi.6 Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan,
disebutkan bahwa Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.. Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label
pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar,
jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun
hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di
pasar. Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip
suatu produk dari labelnya. 7 Dari informasi pada label,6
Endrah, 2009, Kasus Tentang Perundangan Pangan diakses 27 Mei
2012, available
From URL : http://endrah.blogspot.com.7
Purwiyatno Hariyadi, 2009, Mencermati Label dan Iklan Pangan ,
diakses 29 Mei 2012,
konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli
dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas
maka kecurangankecurangan dapat terjadi.8 Banyak masalah mengenai
pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui
pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan
tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat.
Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang
tidak diperuntukkan bagimakanan, makanan berformalin, makanan
mengandung bahan pengawet, atau perbuatanperbuatan lain yang
akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anakanak pada
umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 9Label yang
tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap
perkembangan kesehatan manusia. Selain diatur didalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang
mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No.
7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan
Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa
yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No.
02591/B/SK/VIII/91. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara
spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No.8
Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra
Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h.
15.9
Dedi Barnadi YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen
Cerdas
Majalengka, 2009, Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah ,
Diakses 28 Mei 2012, Available from : URL :
http://www.konsumencerdas.co.cc
69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan
secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai
pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau
bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,
ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang
selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih
lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa : (1). Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di
dalam, dan atau di kemasan pangan. (2). Pencantuman Label
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau
rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk
dilihat dan dibaca. Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun
1999 tersebut ditentukan bahwa : (1) Label sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang
bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang
digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat
pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia. e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Lebih lanjut
dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan
pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa
Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan
dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar
pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan
label dalam bahasa
Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat
dikecualikan dari ketentuan ini. Selanjutnya dalam pasal 16
disebutkan : (1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka
Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya
atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka
perdagangan pangan ke luar negeri. (2) Huruf dan angka yang
tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. Ketentuan pasal
ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan
dan dapat pula ditafsirkan macam-macam. Bagian mana dari label itu
yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab
dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat
diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi
penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal
3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain
bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada
padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya. Hal ini penting,
karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam
bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana
bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu
menyangkut produk impor. Menurut hasil kajian BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang
terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang
dikonsumsinya, yaitu 10: 1) Keracunan makanan yang terjadi karena
makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan
berbahaya
10
Konsumen Cerdas, 2009, Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan
Terkait Perlindungan
Konsumen , diakses 23 Mei 2012, available from : URL :
http://www.konsumencerdas.co.cc.
2) Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet,
Bahan 3) Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya 4)
Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman
yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69
Tahun 1999) beserta Permenkes. 5) Produk-produk industri makanan
dan minuman yang kedaluarsa. 6) Menyangkut penyimpangan terhadap
peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 11:
Penggunaan
label tidak berbahasa Indonesia dan tidak
menggunakan huruf latin, terutama produk impor. Label Tidak
Tidak Tidak
yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan mencantumkan waktu
kedaluarsa mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih ada
kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan
gizi yang tidak konsisten. Tidak
mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat
perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang
memperhatikan kelengkapannya. Khusus menyangkut keterangan halal
sebagai bagian dari label, data lembaga pemeriksa halal (LP-POM
MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk pangan di
Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah
menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk
pangan. Sementara itu, industri pangan di Indonesia mencapai lebih
dari satu juta, dimana sekitar 2000 diantaranya merupakan industri
besar dan sisanya merupakan industri kecil dan menengah. Konsumen
dituntut untuk
11
Konsumen Cerdas, 2012, Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan
Terkait Perlindungan
Konsumen , diakses 18 Mei 2012, available from : URL
http://www.konsumencerdas.co.cc.
selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya tidak adil. Harus
ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada
konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi
pelaku usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting
untuk mengajarkan tanggung jawab moral kepada pelaku usaha. Dalam
kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu
dicermati, yakni : 1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun
karena kelalaiannya dan mengabaikan etika bisnis, ternyata
berdampak serius dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita
konsumen missal (massive effect) karena menimpa apa saja dan siapa
saja. 2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika
(rapidy effect), sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari
mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal
dunia. Ada juga yang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu
kemudian (hidden defect), contoh yang paling nyata dari dampak ini
adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam
sejumlah produk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari. 3.
Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak
punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsi
barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas
dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan dirimereka
selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan
dirinya kapan saja. Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri
Redjeki Hartono , Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar
kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan
dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam
memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan
rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus
memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran
siapapun pelaku ekonomi.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana
diuraikan diatas, maka 1. dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan
yang berbahaya di masyarakat? 2. Bagaimanakah upaya hukum dari
konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang
ataupun masa kadaluarsa yang berbahaya?
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Tinjauan Pustaka Hukum senantiasa
berkembang dinamis, hukum yang baik adalah hukum sesuai dengan
hukum yang hidup (the living law) di masyarakat atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dan bertujuan untuk
menjadi dasar memelihara ketertiban, keadilan, dan kesejahteran
dalam masyarakat. Hukum juga berfungsi mengabdi kepada masyarakat,
dalam hal ini mengatur tata tertib, menjaga agar perilaku
masyarakat sesuai dengan peraturan hukum, sehingga
kepentingan-kepentingannya dilindungi hukum. Jika perkembangan
kepentingan masyarakat bertambah, maka harus diikuti pula dengan
perkembangan hukum, sehingga kebutuhan akan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sejalan dengan perkembangan
pembangunan.12 Terlebih lagi dalam era globalisasi, maka hukum
harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu
menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat12
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk.
Pertama, Sinar
Garafika, Jakarta, 2008, hlm. 12.
banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau
jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian
pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita konsumen merupakan
akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
Menghindari agar konsumen tidak tertipu dan menyebabkan kerugian
pada konsumen akibat tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh
pelaku usaha (produsen), maka diperlukan suatu perlindungan hukum.
Oleh karena itu, dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang
ada, permasalahan yang berkaitan dengan konsumen dan pelaku usaha
telah diatur dalam UUPK. Peraturan perundangundangan ini
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.
UUPK memberikan pengertian perlindungan konsumen pada Pasal 1 angka
1 yaitu: Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Pentingnya hukum
perlindungan konsumen juga disadari, karena setiap konsumen selalu
memerlukan produk barang dan/atau jasa (pangan) yang aman bagi
keselamatan dan kesehatan serta jiwa manusia. Untuk menjamin
hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang
menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi
manusia yang harus dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur
dan bertanggungjawab.13 Perlindungan hukum bagi konsumen berdimensi
banyak, salah satunya adalah perlindungan hukum bila dikaitkan
dengan keseluruhan individu dalam masyarakat yang secara sendiri
sebagai konsumen. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban yang
tidak dapat dihindarkan bagi Negara untuk selalu berupaya
memberikan perlindungan kepada konsumen.14 Hukum perlindungan
konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah,
kelemahan konsumen itu adalah lemah dari segi
13
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk.
Pertama, Diadit
Media, Jakarta, 2001, hlm. 16.14
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniati, Hukum Perlindungan
Konsumen, Ctk. Pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 68.
pendidikan, kemampuan ekonomis atau daya tawar (bargaining
position), dan juga dari segi organisasi.15 Konsumen sering berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hubungannya dengan para
penyedia barang atau jasa konsumen akibat kelemahan konsumen
tersebut. Dilihat dari aspek hukum, lemahnya posisi konsumen
terjadi tidak hanya dari aspek materi (substansi) hukum, tetapi
juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9 Miskinnya hukum
Indonesia berkenaan dengan perlindungan pada kepentingan konsumen
ini, tidak jarang konsumen yang dirugikan tanpa kesalahan pada
pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia barang atau jasa, hampir
dapat dikatakan tidak mampu menuntut ganti rugi dan atau menegakkan
hak-haknya. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah: 1. Masih
rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya; 2. Belum
terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum
tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan
kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang
sewajarnya; 3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi
masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya; 4. Proses
peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan; 5. Posisi
konsumen yang lemah.16 Pengaturan terhadap perlindungan konsumen
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah
mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha yang pada dasarnya mereka
berprinsip untuk mendapatkan15
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk.
Pertama, Diadit
Media, Jakarta, 200., hlm. 83.16
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Akhir Penelitian
Perlindungan
Konsumen Atas Kelalaian Produsen, sebagaimana dikutip N.H.T.
Siahaan dalam: Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk, hlm. 15.
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal yang seminim
mungkin. Prinsip ini sangat potensial untuk merugikan kepentingan
konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun
pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan: 1. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan
akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; 2. Melindungi
kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku
usaha pada umumnya; 3. 4. Meningkatkan kualitas barang dan
pelayanan jasa; Memberikan perlindungan kepada konsumen dari
praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; dan 5. Memadukan
penyelengaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.17
Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di
Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan
haknya, tetapi juga adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian
besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan
menimbulkan kerugian terhadap produsen. Persepsi yang keliru di
kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila
disadari beberapa pertimbangan berikut ini: 1. Bahwa konsumen dan
produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan, usaha produsen
tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen berada pada
posisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat; 2.
Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan
kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen
saja, tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan
bertanggungjawab; 3. Kesempatan untuk mengembangkan dan
meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggungjawab dapat
diwujudkan tidak dengan jalan merugikan
17
Sofyan Lubis, Quo Vadis Perlindungan Konsumen, terdapat
dalam
http:\\www.articlewisdom.com, 28 Mei 2012, 17.42.
kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan
terhadap produsen yang melakukuan kecurangan dalam melakukan
kegiatan usahanya; 4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen
akibat pemakaian produk cacat telah diperhitungkan sebagai
kompensasi produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh
konsumen yang memakai produk yang tidak cacat.12 Bertolak dari
keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak konsumen
tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh
sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang
simultan dan komprehensif, sehingga terjadi persaingan yang jujur
yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan
konsumen. Antara konsumen dan pelaku usaha memungkinkan terjadinya
hubungan hukum, misalnya saja hubungan hukum dalam perjanjian
jual-beli. Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen sering
terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga dan
barang/jasa tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu bentuk
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan. Padahal, jika ada salah satu pihak melakukan
wanprestasi ataupun melakukan perbuatan melawan hukum, maka dengan
adanya bentuk perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai
alat bukti yang kuat (bukti otentik) untuk melakukan penuntutan
ganti rugi, yang semuanya itu merupakan tujuan untuk melindungi
para pihak Ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata, suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat
secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang
secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan
(fisik) tertentu. Di dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata secara
tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika : 1. Dibuat
berdasarkan kata sepakat dari para pihak: tanpa adanya paksaan,
kekhilafan, maupun penipuan; 2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk
bertindak dalam hukum;
3. Memiliki objek perjanjian yang jelas; 4. Didasarkan pada
suatu klausula yang halal. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata ditegaskan lagi bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat
secara sah adalah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai
undang-undang diantara mereka. Persetujuan tersebut tidak dapat
ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam
perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara
bersama oleh kedua belah pihak atau berdasarkan alasan yang
dianggap cukup oleh Undang- Undang. Artinya, selama terjadi
kesepakatan antara para pihak mengenai harga yang harus dibayar
oleh konsumen dan barang dan/atau jasa yang wajib disediakan oleh
pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen
maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat suatu paksaan,
kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen. Ditinjau dari segi
hukum perdata hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam arti
luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang adalah merupakan
suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tentang perikatan, Pasal 1233
KUH Perdata menyatakan bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena persetujuan, baik karena Undang-Undang, sedangkan Pasal 1234
KUH Perdata menyebutkan Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu,
apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak
melaksanakan prestasinya maka dapat dikatakan melakukan
wanprestasi. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain,
dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.13 Sehubungan
dengan perjanjian jual beli, maka menurut pasal 1457 KUH perdata,
jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Di dalam
hubungan jual beli, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, sebagaiman diatur dalam Pasal 1513 - Pasal
1518 KUH Perdata untuk pembeli dan Pasal 1474 - Pasal 1512 KUH
Perdata untuk penjual. Kewajiban utama penjual menurut Pasal 1473
dan Pasal 1474 KUH Perdata terdiri atas: 1. Kewajiban penjual untuk
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Menyerahkan barang
artinya memindahkan penguasaan atas barang yang dijual dari tangan
penjual kepada pembeli. Penyerahan dapat dilakukan bersamaan dengan
pembayaran dari pembeli, atau dalam waktu yang hampir sama,
tetapi
selalu terbuka kemungkinan untuk melakukan penyerahan pada waktu
yang berbeda dengan saat tercapainya kesepakatan; 2. Kewajiban
penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan. Menanggung di
sini adalah kewajiban penjual untuk memberi jaminan atas kenikmatan
tenteram dan jaminan dari cacat tersembunyi (hidden defects).
Konsumen dapat melakukan upaya perlindungan apabila mengalami
kerugian akibat tidak dipenuhinya apa yang telah dijanjikan oleh
pelaku usaha, maka konsumen yang menjadi korban dapat melakukan
upaya hukum untuk menuntut hak-haknya. Tuntutan konsumen atas
kerugian yang dideritanya diatur dalam Pasal 7 UUPK mengenai
kewajiban pelaku usaha untuk memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian,
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum
perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni:18 a. Kerugian
transaksi, yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang
tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi; b. Kerugian
produk, ialah kerugian yang langsung atau tidak langsung diderita
akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko
produksi akibat dari perbuatan melawan hukum Selanjutnya setiap
pengaduan konsumen terhadap kerugian yang dideritanya dari pelaku
usaha/produsen dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yang disebutkan
pada Pasal 45 ayat (1) UUPK: 1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha di luar pengadilan, dalam hal ini melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); 2. Gugatan kepada pelaku
usaha melalui pengadilan umum. Apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui18
Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen
Dalam
Perwujudan Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Genta Press,
Yogyakarta, 2007, hlm. 19.
pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (4) UUPK). Penyelesaian
sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara konsiliasi,
mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan. Setiap konsumen yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara
individual maupun secara kelompok. Berdasarkan Pasal 46 UUPK,
gugatan konsumen atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
dengan tiga cara. Pertama, oleh seorang konsumen atau ahli
warisnya. Kedua, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama (class action). Ketiga, oleh lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) atau pemerintah dan/atau
instansi terkait (legal standing). Pemerintah dalam kapasitasnya
sebagai penggugat, dalam pasal ini sifatnya sangat limitatif,
artinya gugatan baru bisa diajukan pemerintah bila mengakibatkan
kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit. Adapun
penyelesaian melalui pengadilan ditempuh dengan menggunakan
ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana penyelesaian kasus-kasus
perdata pada umumnya. Memperhatikan berbagai cara yang dapat
ditempuh dalam penyelesaian gugatan konsumen terhadap kerugian
produk, maka konsumen dapat memilih berbagai pilihan hukum dalam
membela haknya dengan mempergunakan cara mana yang akan dipakai.
Dengan demikian, maka konsumen yang selama ini selalu dalam posisi
lemah, baik secara ekonomi, maupun pengetahuannya, akan dapat lebih
mantap dalam membela haknya.
E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Obyek dari penelitian
ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen tehadap penggunaan zat
pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya
di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari konsumen yang
dirugikan
akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan
tambahan pangan yang berbahaya. 2. Subjek Penelitian a.
Konsumen
b. Pelaku Usaha (Penjual) c. Kepala Balai Besar POM Yogyakarta
d. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah: a. Data
Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari
subjek penelitian. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri atas: 1)
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang
terdiri dari : a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata b)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan c) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen d) Peraturan
Menteri Kesehatan RI No: 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan
Tambahan Makana e) Peraturan Menteri Kesehatan RI No:
239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan
Sebagai Bahan Berbahaya f) Peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini 2) Bahan hukum sekunder, yaitu
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
yang terdiri dari buku20 buku literatur, makalah, hasil penelitian
terdahulu, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini digunakan cara:
a. Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan
menggunakan tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian
guna memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
b. Studi Kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan cara
menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau
literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang ketentuan
hukum atau perundangundangan yang berlaku. 6. Analisis Data Data
yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara
deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara
deskriptif dan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah
sebagai berikut : a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahan penelitian. b. c. Hasil klasifikasi data selanjutnya
disistematisasikan. Data yang telah disistematisasikan kemudian
dianalisis untuk dijadikan
d. dasar dalam mengambil kesimpulan.
F. Sistematika Pembahasan Guna memudahkan dalam memahami isi
dari skripsi ini, berikut disajikan sistematika penulisan dari
skripsi ini yang terbagi ke dalam 4 (empat) bab dan masing-masing
bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masingmasing bab dan
sub bab tersebut adalah: BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini
diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal awal bagi
penulis dalam melakukan penelitian. Selanjutnya pada bab ini juga
diuraikan tentang metode
penelitian yang merupakan panduan bagi penulis dalam melakukan
penelitian guna penyusunan skripsi dan sistematika pembahasan. BAB
II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Pada bab ini diuraikan
beberapa hal yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen.
Adapun uraian pada bab ini meliputi pengertian perlindungan
konsumen, asas, tujuan, dan norma perlindungan konsumen,
prinsip-prinsip perlindungan konsumen, landasan hukum perlindungan
konsumen, pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen,
pengertian pelaku usaha (produsen), hak dan kewajiban pelaku usaha
(produsen), tanggung jawab pelaku usaha (produsen), serta
penyelesaian sengketa konsumen. BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN YANG BERBAHAYA
Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan sekaligus dilakukan
pembahasan terhadap perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya. Adapun uraian dan
pembahasan pada bab ini meliputi perlindungan hukum bagi konsumen
tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan
pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari
konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang
sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya. BAB IV PENUTUP Pada
bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan dalam penelitian ini dan sekaligus disampaikan saran
yang merupakan rekomendasi dan sumbangan pemikiran dari penulis
untuk mengatasi permasalahan perlindungan hukum bagi konsumen
terhadap penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya.