Page 1
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelor
2.1.1. Taksonomi (Napitupulu R, Wisaksono S, Efizal, 2008)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermathophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil)
Sub kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lam
(Napitupulu R, Wisaksono S,
Efizal, 2008)
Gambar 2.1 Tanaman Kelor
Page 2
6
2.1.2 Morfologi
Tanaman kelor merupakan tanaman asli kaki bukit Himalaya
Asia selatan, dari timur laut Pakistan, sebelah utara Benggala Barat di
India dan timur laut Bangladesh di mana sering ditemukan pada
ketinggian 1.400 m dari permukaan laut, di atas tanah aluvial baru atau
dekat aliran sungai. Tanaman ini memiliki tinggi 7 - 12 m. Tumbuh di
dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m
dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar di halaman rumah
atau ladang (Kasolo et al, 2010).
Tanaman kelor memliki batang berkayu, bulat, bercabang,
berbintik hitam dan berwarna putih kotor abu-abu. Daun majemuk dan
berwarna hijau. Panjang daun 20-60 cm. Anak daun berbentuk bulat
telur. Tepi daun rata dengan ujung berlekuk. Pertulangan daun
menyirip. Bunga majemuk, berbentuk malai. Bunga terletak di ketiak
daun. Panjang bunga 10-30 cm. Benang sari dan putik kecil. Mahkota
bunga berwarna putih-krem. Buah berupa buah kapsul berwarna coklat
kehitaman dengan panjang 20-45 cm, setiap buah berisi 15-25 biji. Biji
berbentuk bulat, bersayap tiga dan berwarna hitam. Akar tunggang
berwarna putih kotor (Napitupulu R, Wisaksono S, Efizal, 2008).
2.1.3 Kandungan daun kelor
Moringa oleifera lam. (sinonim: Moringa pterygosperma
Gaertner) atau sering disebut daun kelor merupakan tanaman kaya
vitamin A, vitamin C dan mineral salah satunya zat besi (Kathryn A,
2011).
Page 3
7
Kandungan vitamin dan mineral Kelor juga telah diteliti dan
dilaporkan oleh Gopalan C, Sastri BVR, Balasubramanian SC, dan
dipublikasikan dalam Trees for Life (2010). Menurut penelitiannya,
kandungan vitamin dan mineral dari daun Moringa oleifera Lam dapat
dilihat pada tabel 2.1 berikut
Tabel 2.1 Kandungan Daun Moringa oleifera Lam. basah dan kering tiap
100 g
Kandungan Daun basah Daun kering
Karoten (vitamin A)
Thiamin (vitamin B)
Riboflavin
Niacin
Vitamin C
Vitamin E
Kalsium
Kalori
Karbohidrat
Tembaga
Lemak
Serat
Zat Besi
Magnesium
Fosfor
Potassium
Protein
Zinc
6,78 mg
0,06 mg
0,05 mg
0,8 mg
220 mg
190 mg
440 mg
92 kal
12,5 g
0,07 mg
1,70 g
0,9 g
4 mg
42 mg
70 mg
259 mg
6,70 mg
0,16 mg
18,9 mg
2,64 mg
20,5 mg
8,2 mg
17,3 mg
11,8 mg
2,003 mg
205 kal
38,2 g
0,57 mg
2,3 g
19,2 g
32,5 mg
368 mg
204 mg
1,324 mg
27,1 g
3,29 mg
(Gopalan C, Sastri BVR, Balasubramanian SC, 2010 ; Kathryn A, 2011)
Hasil penelitian tentang kandungan vitamin A, vitamin C, zat
besi pada daun kelor dibandingkan dengan makanan umum dijelaskan
dalam tabel 2.2 sebagai berikut :
Bahan Kandungan
Vitamin A Daun kelor segar
Daun kelor kering
Wortel
6.78 mg
18.9 mg
1.8 mg
Vitamin C Daun kelor segar
Daun kelor kering
Jeruk
220 mg
17.3 mg
30 mg
Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Daun Kelor Dengan Makanan
Umum
Page 4
8
(Gopalan C, Sastri BVR, Balasubramanian SC, 2010 ; Fuglie, Lowel J,
2010)
2.2 Anemia Defisiensi Besi
Anemia merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Anemia didefinisikan
sebagai rendahnya kadar hemoglobin dalam tubuh. Meskipun pemeriksaan
kadar hemoglobin darah merupaka indikator yang paling dapat diandalkan,
namun hanya dengan pemeriksaan hemoglobin saja belum dapat
menjelaskan penyebab dari anemia (WHO, 2015).
Anemia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang signifikan adalah
terjadinya defisiensi besi. Kurang lebih 50% penyebab dari anemia
dika.renakan defisiensi besi, tetapi jumlahnya kemungkinan bervariasi
tergantung jumlah populasi dan perbedaan lokasi tergantung kondisi
lingkungan (WHO, 2015). Diperkirakan lebih dari 1,5 miliar penduduk
secara global menderita anemia, satu pertiga dari populasi tersebut karena
defisiensi besi (Parmar, Jwal D, Ruhi, 2016). Penyebab anemia harus
ditegakkan sebelum pengobatan diberikan. Hal ini dilakukan dengan
penilaian klinis (anamnesis, pemeriksaan fisik) dan penggunaan
pemeriksaan penunjang khusus secara tepat (Hoffbrand AV, Moss PAH,
2016).
Defisiensi besi merupakan penyebab paling umum dari anemia karena
faktor nutrisi dan sering terjadi selama periode peningkatan kebutuhan
misalnya pada masa kehamilan dan selama masa menyusui terutama diantara
orang orang dengan status sosioekonomi yang rendah karena kurangnya
Zat Besi Daun kelor segar
Daun kelor kering
Bayam
4 mg
32.5 mg
1.14 mg
Page 5
9
asupan zat besi, infeksi dan malabsorbsi (Parmar, Jwal D, Ruhi, 2016). Status
zat besi dipertimbangkan sebagai berikut : defisiensi besi dengan anemia,
defisiensi besi tanpa anemia, status zat besi normal dan zat besi berlebih,
yang bisa menyebabkan kerusakan organ jika parah atau berat (WHO, 2001).
2.2.1 Patofisiologi
Besi terkandung dalam hemoglobin, sistem retikuloendotelial
(reticuloendothelial system, RES) (sebagai feritin dan hemosiderin),
otot (mioglobin), plasma (terikat pada transferin), dan enzim selular
(misalnya sitokrom, katalase) (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016). Besi
memiliki peran penting pada sintesis hemoglobin (Parmar, Jwal D,
Ruhi, 2016). Sel RE (makrofag) mendapatkan besi dari hemoglobin
sel darah merah yang tidak terpakai lagi dan melepaskannya ke
transferin plasma yang membawa besi ke sumsum tulang dan jaringan
lain dengan reseptor transferin (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
Besi diabsorbsi dari darah oleh DMT-1 pada ujung vilosa, dan
HFE serta feroportin-1 pada permukaan basolateral enterosit. Besi
pada saat itu dalam bentuk divalent. Kemungkinan terjadi dengan
reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh vitamin C atau oleh sitokrom dari
duodenum (Kotze et al, 2009). Transferin mempu mengikat dua atom
besi per molekul dan dapat digunakan kembali setelah memberikan
besi ke sel protein pengikat unsur responsif besi adalah suatu protein
pengikat RNA yang berikatan dengan sekuens RNA messenger
spesifik, dan merupakan suatu mekanisme dimana kandungan besi
tubuh mengatur pengambilan dan penyimpanan besi melalui RES.
Bila besi berlebih, sintesis reseptor transferin menurun, dan oleh sebab
Page 6
10
itu ambilan besi menurun, serta feritin meningkat (Hoffbrand AV,
Moss PAH, 2016).
Hepcidin juga memiliki peran yang penting. Hepcidin merupakan
polipeptida besar yang dilepaskan oleh hati sebagai respon terhadap
kadar besi atau inflamasi. Hepcidin mengurangi absorbsi besi dan
pelepasan besi dari makrofag ke plasma jika penyimpanan zat besi
tinggi (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016). Selain hepcidin dapat
mengurangi absorbsi besi (inhibitor) seperti fitat (phytate) dan
polifenol. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi dalam
tubuh dan membantu mereduksi menjadi ferro (Fe2+) dari ferri (Fe3+)
sehingga tubuh dapat mengabsorbsi zat besi lebih mudah karena pada
zat besi anorganik ferro lebih mudah diserap dalam tubuh (Kotze et
al, 2009).
Tubuh mendapatkan asupan zat besi dari makanan yang
diabsorbsi melalui duodenum dan pada saat makrofag memakan sel
darah merah mati atau sel darah merah hasil eritropoiesis tidak
sempurna. Transferrin akan membawa dua molekul zat besi ke organ
yang terdapat reseptor transferrin (Tfr) seperti hati dan sumsum tulang
untuk dilakukan proses pembuatan sel darah merah (Hoffbrand AV,
Moss PAH, 2016).
Page 7
11
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)
Kebutuhan zat besi dibutuhkan setiap hari untuk mengganti zat
yang dikeluarkan oleh tubuh bervariasi seiring dengan umur dan jenis
kelamin. Kebutuhan terbanyak pada ibu hamil, remaja dan wanita
yang sedang menstruasi dijelaskan pada table 2.3 berikut:
Tabel 2.3 Kebutuhan zat besi setiap hari (mg/hari)
Urin,
Keringat,
Feses
Menstruasi Keham
ilan
Pertumbu
han
Total
Laki – laki
dewasa 0,5 – 1 0,5 – 1
Wanita
postmenopause 0,5 – 1 0,5 – 1
Wanita
menstruasi 0,5 – 1 0,5 – 1 1 – 2
Ibu hamil 0,5 – 1 1 – 2 1,5 – 3
Anak – anak 0,5 0,6 1,1
Remaja (12 – 15) 0,5 – 1 0,5 – 1 0,6 1,6 – 2,6
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)
Gambar 2.2 Hemostasis zat besi dalam tubuh. Setiap molekul transferin
dapat mengandung sampai 2 atom zat besi. Transferin
mengirim zat besi ke organ yang mempunyai reseptor
transferin, terutama eritroblas di sumsum tulang yang
menggabungkan zat besi menjadi hemoglobin.
Page 8
12
2.2.2 Diagnosis
Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan
mengalami seluruh gejala dan apabila anemia tersebut sangat ringan,
gejalanya mungkin tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain:
warna kulit pucat, mudah lelah, pusing, lemah, nafas pendek, selera
makan turun, sakit kepala (Adamson JW, 2015). Gambaran khusus
(sebagian kecil pasien) dari anemia defisiensi zat besi antara lain :
a) Koilonika atau kuku rapuh dan bergerigi
b) Glositis : lidah merah, bengkak, licin , bersinar dan lunak, terkadang
muncul sporadis
c) Keilosis angular : luka pada pinggir mulut
d) Pika : selera makan abnormal
e) Penipisan rambut
f) Terbentuknya sarang (web) faringeal (sindrom Patrson-Kelly)
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)
Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk
menegakkan diagnosa pasti anemia defisiensi zat besi. temuan
laboratorium tersebut antara lain:
a) Anemia mikrositik hipokromik
b) Gambaran apusan darah meliputi sel hipokromik/ mikrositik,
anisositosis/poikilositosis, sel target dan sel “pensil”
Page 9
13
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)
Gambar 2.3 Hapusan darah normal dan anemia defisiensi besi
c) Sumsum tulang: eritoblas memperlihatkan sitoplasma iregular kasar;
tidak adanya besi dari simpanan dan eritoblas
d) Jumlah trombosit meningkat
e) Feritin serum berkurang, besi serum rendah dengan peningkatan
transferin dan kapasitas pengikat besi tidak jenuh
f) Reseptor transferin yang dapat larut dalam serum meningkat
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
2.3 Mekanisme Absorbsi Besi (Fe)
Kadar besi seluruh tubuh dikontrol secara dominan pada tingkat
penyerapan zat makanan dari usus. Penyerapan zat besi terutama terjadi pada
duodenum (dan jejunum atas) dan meningkat selama defisiensi besi dan
menurun selama pengisian zat besi dan kandungan zat besi yang berlebihan
dalam tubuh (Lane et al, 2015). Pada tingkat sel, besi diserap melintasi
membran apikal sel epitel yang terdiferensiasi (enterosit) pada zona
pertengahan dan villus bagian atas. Sel-sel ini dapat menyerap zat besi
makanan, yang terdiri dari dua bentuk utama: besi non-heme (terutama
Page 10
14
ditemukan pada sereal dan sayuran) dan besi heme (terutama berasal dari
hemoprotein dalam daging) (Lane et al, 2015).
Serapan diet besi non-heme terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama,
besi diambil melintasi membran apikal enteroten duodenum pada gambar 2.4,
yang mensyaratkan bahwa zat besi dapat larut dan dalam bentuknya yang
direduksi. Nutrien asam nutrisi kemudian dikeluarkan dari perut ke dalam
duodenum, di mana sebagian besar penyerapan zat besi diperkirakan terjadi
(Lane et al, 2015).
Pandangan saat ini dan yang dipegang secara luas adalah bahwa
reduksi dari besi non-heme, yang dengan cepat dioksidasi menjadi bentuk
ferri (Fe3+) dengan adanya oksigen terlarut, dimediasi oleh membran
fermentasi apikal, seperti DCYTB di- Heme transmembran oksidoreduktase
yang dimanfaatkan askorbat intraseluler sebagai donor elektron untuk
mengurangi ferri (Fe3+) ekstraselular dan substrat fisiologis lainnya ada juga
bukti bahwa pengurangan besi non-heme di lingkungan ekstraselular dapat
melibatkan reduksi ferri (Fe3+) non-enzimatik yang didorong oleh reduktan
endogen dan sekresi seperti askorbat dan atau superoksida (Lane et al, 2015).
Kontribusi pengurangan non-enzimatik dari besi duodenum oleh
askorbat terlarut, terlepas dari atau disuplai dalam makanan, terkait
patofisiologis dengan mekanisme pengurangan dan penyerapan zat besi pada
mamalia (misalnya, manusia) yang tidak mampu mensintesis askorbat mereka
sendiri. Besi kemudian diangkut melintasi membran apikal enterocyte melalui
transporter besi, seperti transporter logam divalen 1 (DMT1), dan
kemungkinan transporter logam divalen lainnya, seperti ZIP14 (Lane et al,
2015).
Page 11
15
(Gulec S, Anderson GJ, Collins JF, 2014)
Gambar 2.4 Mekanisme absorbsi besi di duodenum. Mekanisme penyerapan zat besi
pada usus duodenum. Besi yang ditujukan untuk ekspor melintasi membran
basolateral (BLM) melalui ferroportin 1 (FPN1). Fe2+ digabungkan dengan
oksidasi besi melalui hephaestin (HEPH) sehingga terbentuk Fe3+. Fe3+
kemudian mengikat transferin dalam cairan interstisial atau di dalam
pembuluh darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Besi yang mencapai membran basolateral oleh mekanisme yang
kurang dipahami kemudian dapat diangkut ke sirkulasi oleh FPN1.
Ferroksidase trans-membran, hephaestin, colocalizes dengan FPN1 di
membran basolateral dan, dikombinasikan dengan plasma ceruloplasmin,
membantu mengoksidasi besi ferri yang diekspor kembali ke besi (Lane et al,
2015).
Besi ini kemudian dikomplekskan ke protein transpor besi plasma
utama, transferrin (Tf), untuk transportasi melalui sirkulasi dan serapan oleh
jaringan distal. Selain itu, besi terikat Tf adalah satu-satunya sumber besi
untuk kompartemen eritropoietik yang mempunyai peran dalam
memproduksi eritrosit harian sekitar 200 miliar (Lane et al, 2015).
Page 12
16
Transferrin (Tf) merupakan protein utama yang terlibat dalam
transportasi besi di plasma darah. Normalnya antara 20 dan 40 % dari protein
pengikat ditempati oleh ferri (Fe3+). Nilai diagnostik Tf baru saja ditinjau
ulang. Terbukti parameter yang berguna untuk menilai kedua defisiensi zat
besi dan besi yang berlebih. Saturasi Tf dalam darah digunakan sebagai
petunjuk kuat adanya besi yang berlebihan (Waldvogel-Abramowski et al,
2014). Prekursor eritrosit mengambil besi dengan menggunakan Tfr, terutama
Tfr1, sedangkan hepatosit dan sel bukan eritroid lainnya juga dapat
menggunakan NTBI (Waldvogel-Abramowski et al, 2014).
Transferrin yang mengangkut besi berikatan dengan reseptor
transferrin (Tfr) dan hal yang kompleks di internalisasi di dalam sel dengan
mendaur ulang vesikel endosom. Siklus Tf yang bergantung pada kompleks
Tf-Tfr, melibatkan internalisasi yang kompleks di dalam endosome, di ikuti
oleh pelepasan zat besi setelah mengalami perubahan menjadi asam dari
endosome dan daur ulang kompleks Tf-Tfr untuk dibawa ke permukaan sel.
Akhirnya, di permukaan sel, di pH netral, Tf berdisosiasi dari Tfr, dan
digunakan untuk mengulang siklus besi (Waldvogel-Abramowski et al,
2014).
Prekursor eritroid membutuhkan lebih banyak besi dari jenis sel yang
lain dalam tubuh, dan seperti yang telah disebutkan, prekursor eritroid
mengambil besi hampir secara eksklusif melalui Tfr1. Transportasi besi ke
mitokondria yang disediakan oleh mitoferrin-1 atau dengan nama lain
mitokondrial transferrin 1 dari prekursor eritroid. Mitoferrin-1 berinteraksi
dengan transporter pengikat Atp dan mengikat ferrokelatase untuk
Page 13
17
membentuk sebuah kompleks oligomerik, memungkinkan penyerapan besi
dan biosintesis heme (Waldvogel-Abramowski et al, 2014).
2.4 Peran Daun Kelor dalam Meningkatkan Kadar Hemoglobin
Moringa oleifera Lam telah banyak diteliti pada beberapa tahun
terakhir terutama pada tikus. Hasil penelitian in vitro pada hewan dan manusia
membuktikan bahwa semua bagian dari Moringa oleifera Lam memiliki
fungsi baik secara fisiologis maupun farmakologi. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan pada manusia mengindikasikan bahwa bubuk daun Moringa
oleifera Lam yang diberikan secara oral diketahui berguna sebagai anti-
anemia, kemoprotektif, dan efek antioksidan tanpa menimbulkan efek
samping (Fahey JW, 2005)
Daun kelor mempunyai banyak kandungan vitamin A, vitamin C dan
zat besi (Fe) sebagai sumber yang berpengaruh terhadap kadar hemoglobin
pada anemia defisiensi besi. Vitamin A dan Vitamin C dapat mempercepat
penyerapan zat besi (Fe) (Canadian Pharmacist Association, 2012).
Kandungan zat besi daun kelor dibantu dengan kandungan vitamin C
dapat mempercepat pengembalian zat besi yang tersimpan dalam tubuh. Zat
besi yang telah disimpan akan digunakan untuk proses eritropoiesis sehingga
eritrosit yang beredar ditubuh akan bertambah (Yulianti H, Hadju V, Elma
Alasiry. 2015)
Page 14
18
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016)
.
Zat besi yang terdapat dalam daun kelor akan diserap oleh tubuh
melalui usus duodenum dengan bantuan reseptor DMT1 untuk masuk ke
enterosit. Zat besi akan diteruskan ke ferroportin yang merupakan pintu
keluar menuju cairan interstisial tubuh. Sebelum dilepas ke cairan interstisial
tubuh, zat besi akan di oksidasi menjadi Fe3+ oleh HEPH. Setelah di oksidasi,
zat besi akan dilepas ke cairan interstisial dan berikatan dengan Transferrin
(Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
Gambar 2.5 Sintesis Hemoglobin. Zat besi masuk ke dalam mitokondria
akan bergabung dengan Protopophyrin sehingga terbentuk
Hemo.
Page 15
19
Transferin yang membawa zat besi akan masuk ke dalam sel melalui
reseptor. Zat besi akan dilepaskan lalu menuju ke mitokondria yang
merupakan tempat sintesis protoporphyrin pada gambar 2.5. Protoporphyrin
bergabung dengan zat besi dalam bentuk Fe2+ sehingga terbentuk Hemo.
Hemo akan dikeluarkan dari mitokondria untuk bergabung dengan α2β2
globin menjadi Hemoglobin (Hoffbrand AV, Moss PAH, 2016).
(Lane DJR, Jansson PJ, Richardson DR, 2016)
Penelitian sebelumnya dilakukan pada perempuan yang diberikan buah
kiwi sebagai vitamin C dengan diberikan bersamaan dengan suplemen besi
menghasilkan terdapat perbedaan signifikan kenaikan kadar besi dan
hemoglobin. Meningkatnya absorbsi zat besi di dalam tubuh yang dibantu
dengan vitamin C, maka kadar hemoglobin dalam darah akan meningkat
(Beck et al, 2011).
Penggunaan vitamin C pada saat konsumsi zat besi juga dapat
menurunkan kebutuhan jumlah total zat besi yang diperlukan untuk
mendapatkan tujuan klinis yang sama. Selain itu dengan menggunakan
Gambar 2.6 Peran vitamin C dalam metabolisme zat besi. Peran vitamin C
dalam metabolism zat besi tidak hanya membantu absorbsi
melainkan juga berperan untuk trasnportasi zat besi,
eritropoiesis dan penyimpanan zat besi.
Page 16
20
vitamin C dapat meningkatkan kelarutan zat besi yang akan berpengaruh
terhadap penyerapan zat besi (Lane DJR, Jansson PJ, Richardson DR, 2016).