Top Banner
MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA SKIZOFRENIA Oleh Dr. IGA ENDAH ARDJANA, Sp.KJ (K) DIBAWAKAN PADA ACARA KONAS PSIKIATRI BIOLOGI MAKASAR PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2015
41

MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Oct 05, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN

PADA SKIZOFRENIA

Oleh

Dr. IGA ENDAH ARDJANA, Sp.KJ (K)

DIBAWAKAN PADA ACARA KONAS PSIKIATRI BIOLOGI MAKASAR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2015

Page 2: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ................................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4

1.2 Batasan Pembahasan ........................................................................................ 5

1.3 Tujuan dan Manfaat .......................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7

2.1 Skizofrenia ......................................................................................................... 7

2.1.1 Sejarah Skizofrenia ................................................................................... 7

2.1.2 Kriteria Diagnosis Skizoprenia ............................................................... 8

2.1.3 Epidemiologi Skizofrenia ...................................................................... 10

2.1.4 Etiologi Skizofrenia ................................................................................ 11

2.2 Mood Stabilizers sebagai Terapi Skizofrenia Masa Depan ........................ 21

2.2.1 Mood stabilizers ...................................................................................... 22

2.2.2 Jenis-Jenis Mood Stabilizers .................................................................. 23

2.2.3 Interaksi Mood Stabilizer dan Kontraindikasi ..................................... 35

BAB III RINGKASAN ............................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 39

Page 3: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dua Tokoh Psikiatri Dunia (Sadock n Sadock, 2013). ..................................... 7

Gambar 2. Peta Alokasi Kerusakan Pada Otak Dan Gejala Yang Ditimbulkan Pada

Skizofrenia (Stahl, 2013). ................................................................................................ 13

Gambar 3. Jalur Glutamat Di Dalam Otak Manusia (Stahl, 2013). .................................. 16

Gambar 4. Hipotesis Disfungsi Glutamat Pada Skizofrenia (Stahl, 2013). ...................... 18

Gambar 5. Hipofungsi NMDA Di Kortek Yang Dihubungkan Dengan Gejala Positif Pada

Skizofrenia (Stahl, 2013). ................................................................................................ 19

Gambar 6. Hipofungsi NMDA Di Hipokampus Dan Gejala Positif Pada Skizofrenia ..... 20

Gambar 7. Hipofungsi Reseptor NMDA Di Ventral Hipokampus Dan Gejala Negatif

Pada Skizofrenia (Stahl, 2013). ........................................................................................ 20

Gambar 8. Skema Tingkatan Tatalaksana Skizofrenia dan Pemberian Mood Stabilizer

Menurut TMAP (Argo et all, 2008). ................................................................................ 22

Gambar 9. Mekanisme Kerja Mood Stabilizers (Stahl, 2013). ......................................... 23

Gambar 10. Mekanisme Kerja Lithium (Stahl, 2013). ..................................................... 24

Gambar 11. Bentuk Molekul Asam Valproat (Stahl, 2013). ............................................ 26

Gambar 12. Mekanisme Kerja Asam Valproat Pada Kanal Voltase Natrium . ................ 27

Gambar 13. Mekanisme Kerja Asam Valproat Dengan GABA. Asam Valproat Memiliki

Kemungkinan Efek Meningkatkan Transmisi Saraf GABA Dengan Menghambat

Reuptake GABA, Peningkatan Produksi Atau Intervensi Metabolisme GABA Melalui

GABA Transaminasi (GABA-T) (Stahl, 2013). ............................................................... 27

Gambar 14. Mekanisme Kerja Asam Valproat (Stahl, 2013). .......................................... 28

Gambar 15. Bentuk Molekul Carbamazepin (Stahl, 2013)............................................... 30

Gambar 16. Mekanisme Kerja Dari Carbamazepin (Stahl, 2013). ................................... 31

Gambar 17. Bentuk Molekul Lamotrigin (Stahl, 2013). ................................................... 33

Gambar 18. Mekanisme Kerja Lamotrogin (Stahl, 2013). ............................................... 34

Gambar 19. Carbamazepin Menginduksi Enzim Sitokrom P-450 tipe 3A4. .................... 36

Page 4: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

DAFTAR SINGKATAN

CR : Controlled-Release

DSM-5 : Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth

Edition

DTNBP1 : Dystrobrevin Binding Protein-1

ECT : Electroconvulsive Therapy

GABA : Gamma Aminobutyric Acid

GSK-3 : Glycogen Syntase Kinase 3

LC : Locus Coeruleus

NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

PCP : Phencyclidine

TMAP : Texas Medication Algorithm Project

VSSCs : Voltage Sensitive Sodium Channels

VTA : Ventral Tegmental Area

XR : Extended-Release

AA : Antipsikotik Atipikal

Page 5: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah Gangguan jiwa yang berat penyakit dibidang psikiatri. Secara

keseluruhan terdapat 1% dari populasi akan mengalami penyakit skizofrenia. Menurut data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Skizofrenia di Indonesia mencapai 1,27

permil. Orang yang mengalami skizofrenia tidak mampu mengenali realitas sehingga orang

dengan skizofrenia tidak mampu menjalankan kehidupan sehari-hari layaknya seperti orang

normal. Manifestasi ini menyebabkan orang dengan skizofrenia memerlukan penanganan yang

cepat dan tepat, sehingga prognosis pasien ini bisa menjadi lebih baik dan pasien mampu

menjalankan kehidupan mendekati orang normal dan tidak jatuh ke fase deteorisasi mental

yang menyebabkan kerugian semua pihak, baik itu keluarga maupun negara.

Pengobatan di bidang biologi pada pasien skizofrenia sampai saat ini telah berkembang

dari electroconvulsive therapy (ECT), penggunaan pertama dari chlorpromazine pada tahun

1952 sebagai antipsikotik tipikal dan termasuk juga pengobatan antipsikotik generasi kedua

(atipikal) dan yang terbaru adalah penggunaan mood stabilizers. Perkembangan pengobatan

skizofrenia ini, diharapkan mampu membantu pasien skizofrenia mendapatkan kehidupan yang

lebih baik dan sejahtera (Djimandjaja, 2010). Bagi klinisi ini merupakan tantangan untuk

memutuskan pengobatan apa yang terbaik untuk penanganan skizofrenia, yang disesuaikan

dengan risiko dan benefit pada pasien itu sendiri (Murray et all, 2008).

Obat antipsikotik adalah obat yang paling sering digunakan untuk penanganan

skizofrenia, namun pada beberapa kasus memberikan hasil yang kurang optimal dengan hanya

pemberian antipsikotik saja. Hasil yang kurang optimal ini memberikan dampak bagi klinisi

Page 6: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

untuk mencoba memikirkan solusi untuk menemukan obat alternatif bagi pasien skizofrenia

yang tidak optimal dengan pemberian antipsikotik ini.

Adanya bukti-bukti pengananan skizofrenia dengan memakai antipsikotik yang

memakai dasar hipotesis dopamin tidak relevan lagi. Bukti-bukti tersebut menunjukkan dimana

gejala inti skizofrenia, simptom negatif dan defisit kognitif, ternyata tidak berespon baik

terhadap antipsikotik yang bersifat antagonis dopamin. Bukti-bukti ini mengakibatnya timbul

dugaan bahwa gejala-gejala inti tersebut tidak berkaitan dengan aktifitas dopamin saja. Oleh

karena itu, hipotesis dopamin tersebut direvisi kembali dengan memasukkan neurotransmiter

lainnya, misalnya serotonin, glutamat dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang saling

berinteraksi menyebabkan orang menderita skizofrenia (Amir, 2008).

Akhir-akhir ini, banyak dilakukan penelitian tentang obat-obat skizofrenia salah

satunya obat golongan mood stabilizers. Mood stabilizers saat ini menjadi salah satu kunci dari

terapi dari pasien skizofrenia yang tidak mampu diatasi hanya dengan pemberian antipsikotik

saja. Secara internasional saat ini banyak dilakukan penambahan terapi termasuk mood

stabilizers pada pasien skizofrenia sebagai terapi adjuvan (Kang Sim, 2011). Obat tambahan

ini bisa digunakan untuk mengurangi gejala dan keluhan seperti agresifitas dan mania pada

skizofrenia (Murray et all, 2008).

Penulis dalam tinjauan puskata ini akan membahas bagaimana peran mood stabilizers

sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia dan juga akan dipaparkan bagaimana

interaksi dengan obat antipsikotik serta efek sampingnya.

1.2 Batasan Pembahasan

Tinjauan pustaka ini akan membahas bagaimana peran mood stabilizers sebagai terapi adjuvan

dalam penanganan skizofrenia dan efek sampingnya.

Page 7: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas bagaimana mood stabilizers digunakan

sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia dan efek samping apa saja yang akan

ditimbulkannya sehingga hasil dari kajian pustaka ini bisa diaplikasikan kepada pasien yang

berkunjung ke tempat pengobatan kita.

Page 8: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Sejarah Skizofrenia

Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus menerus telah menarik perhatian tokoh-tokoh

utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Dua tokoh tersebut adalah Emil

Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler (1857-1939). Sebelumnya Benedict Morel (1809-

1873), seorang psikiater Prancis, menggunakan istilah demence precoce untuk pasien dengan

penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan (Sadock & Sadock,

2013).

Gambar 1. Dua tokoh psikiatri dunia (Sadock, 2013).

Pada tahun 1898, Kraepelin menerjemahkan pasien dengan istilah demensia praecox, yang

digambarkan dengan penyakit demensia yang memiliki perjalanan penyakit yang memburuk,

pada usia muda, dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan

waham. Meski Kraepelin telah mengakui bahwa sekitar 4 % pasiennya sembuh sempurna dan

13 % mengalami remisi yang signifikan, para peneliti dikemudian hari sering kali salah

Page 9: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

menyatakan bahwa Kraepelin menganggap demensia precox memiliki perjalan penyakit

dengan perburukan yang yang tak terhindarkan.

Tahun 1908, Bleuler mencetuskan istilah schizophrenia, yang menggantikan istilah

demensia precox dalam literatur. Ia memilih istilah tersebut untuk menunjukkan adanya

schisme (perpecahan) antara pikiran, emosi dan perilaku, namun tidak mengalami deteorisasi.

Setelah Bleuler mencetuskan konsep ini, insidensi skizofrenia di Amerika Serikat meningkat

hingga dua kali dibandingkan insiden di Eropa yang mengikuti prinsip Kraepelin dan setelah

DSM-III diterbitkan, diagnosis skizofrenia di Amerika beralih ke konsep Kraepelin, namun

istilah skizofrenia dari Bleuler diterima secara internasional untuk gangguan seperti ini.

2.1.2 Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Kriteria Skizofrenia diambil Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder,

Fifth Edition (DSM-5), yaitu dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus

memenuhi kriteria :

A. jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara signifikan

selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakuan terapi yang berhasil) dan sedikitnya

satu dari gejala nomor 1,2, atau 3 :

1. Waham

2. Halusinasi

3. Bicara yang kacau

4. Perilaku katatonik atau aneh

5. Simptom negatif (emosi yang hilang, atau penarikan diri)

B. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja,

hubungan interpersonal, atau perawatan diri.

C. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup

sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai

Page 10: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau gejala sisa. Selama gejala

prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau

lebih gejala yang ada pada kriteria A.

D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan psikotik

dikesampingkan jika 1) tidak ada gambaran depresi mayor atau episode manik yang

terjadi pada fase aktif ini, atau 2), jika terjadi episode mood selama fase aktif, yang

menunjukkan gejala minimal atau sebagian besar pada fase aktif atau gejala sisa pada

penyakit saat ini.

E. Gangguan ini tidak diakibatkan oleh efek psikologi dari penggunaan obat seperti

penyalahgunaan obat atau kondisi medis lain.

F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autism atau gangguan komunikasi pada masa

anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat jika ada gejala dominan halusinasi atau

waham minimal 1 bulan (atau kurang jika dengan keberhasilan pengobatan).

Beberapa gejala harus persisten secara berkelanjutan selama periode sedikitnya 6 bulan.

Gejala prodromal sering mendahului pada fase aktif dan diikuti dengan gejala sisa yang

ditandai dengan ringannya atau batas ambang mulai adanya halusinasi atau waham. Penderita

bisa menampilkan kepercayaan disertai ideas of reference atau magis, mereka bisa memiliki

persepsi yang tidak seperti biasanya (merasakan kehadiran seseorang yang tidak bisa dilihat

nyata), kata-katanya mungkin tidak bisa dimengerti dan samar-samar, dan kebiasaan yang aneh

tetapi tidak jelas (seperti : mengomel pada orang orang). Gejala negatif sering pada masa

prodromal ini dan dapat menjadi berat. Individu yang aktif secara sosial dapat menjadi menarik

diri dari kebiasaanya. Gejala-gejala ini sering menjadi petanda awal dari penyakit skizofrenia.

Gangguan mood juga sering terdapat pada skizofrenia dan mungkin bersamaan dengan

fase aktifnya. Diagnosis skizofrenia memerlukan adanya tanda halusinasi atau waham pada

Page 11: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

saat tidak adanya episode gangguan mood. Episode gangguan mood secara keseluruhan bisa

terjadi hanya minimal dari fase aktif atau fase residual pada skizofrenia.

2.1.3 Epidemiologi Skizofrenia

Prevalensi dari penyakit skizofrenia ini kira-kira 0,3-0,7%, walaupun dilaporkan adanya

variasi berdasarkan ras dan lintas negara. Di Amerika, angka prevalensi kejadian skizofrenia

berkisar 1%, yang berarti ada satu orang yang menderita skizofrenia dalam 100 orang populasi,

sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi skizofrenia di

Indonesia mencapai 1,27 permil. Diantara orang dengan skizofrenia tersebut terdapat 14,3%

yang dipasung oleh keluarganya sendiri. Penyakit ini peluang kejadiannya sama antara pria dan

wanita, dan onset umur lebih awal terjadi pada pria dibandingkan dengan yang wanita.

Gambaran psikotik pada skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja akhir dan pada

pertengahan umur 30 tahun. Onset pada usia remaja jarang terjadi. Usia puncak sering

munculnya skizofrenia pada episode pertama psikotik adalah awal umur 20-an untuk pria dan

akhir 20-an untuk wanita. Skizofrenia yang muncul pada umur diatas 45 tahun, maka

dikategorikan sebagai skizofrenia dengan onset lambat. Onset skizofrenia dengan umur

dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun sangat jarang terjadi. Onset penyakit ini bisa terjadi

secara tiba-tiba, tetapi sebagian besar terjadi secara perlahan dan gradual. Setengahnya dari

kasus ini menunjukkan gejala depresi (Sadock & Sadock, 2013).

Semakin awal umur terkena penyakit ini, akan diprediksikan prognosis menjadi semakin

buruk. Penyakit ini juga berhubungan dengan jenis kelamin, dimana jenis kelamin laki-laki,

tingkat pendidikan yang rendah, gejala negatif yang dominan, dan gangguan kognitif secara

umum prognosisnya buruk. Penelitian menunjukkan hanya sekitar 20% penderita skizofrenia

dilaporkan bisa menjadi pulih sempurna. Sebagian besar individu dengan skizofrenia masih

membutuhkan dukungan kehidupan sehari-harinya, baik secara formal ataupun informal dan

Page 12: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

banyak penyakit kronis dengan eksaserbasi dan remisi dengan gejala yang aktif dan deteorisasi

mental yang progresif (Sadock & Sadock, 2013).

2.1.4 Etiologi Skizofrenia

Menurut model diatesis-stress, skizofrenia terjadi karena gangguan integrasi dari faktor

biologis, psikososial dan lingkungan. Seseorang yang rentan (diatesis), bila diaktifkan oleh

pengaruh yang penuh tekanan antara faktor biologis, psikososial dan lingkungan, akan

memungkinkan timbulnya skizofrenia. Komponen biologis dapat berupa kelainan genetik,

gangguan fungsi atau struktural otak, neurokimia, infeksi, sedangkan psikologis (contohnya

situasi keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat), dan komponen lingkungan

seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan trauma (Amir, 2008 dan Sadock & Sadock,

2012).

1. Genetik

Faktor genetik yang turut menentukan timbulnya skizofrenia dibuktikan dengan penelitian

tentang keluarga penderita skizofrenia. Angka kesakitan bagi saudara kandung adalah 7-15%;

bagi anak dengan orangtua yang skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia

40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61-

86%. Anak yang lahir langsung dari orang tua yang menderita skizofrenia 10 kali lipat akan

lahir menjadi skizofrenia dibandingkan anak yang lahir dari orangtua normal (Sadock &

Sadock, 2013).

Beberapa data menunjukkan bahwa umur ayah berkorelasi dengan terjadinya skizofrenia.

Pada studi penderita skizofrenia dimana data yang dipakai pada pasien dengan riwayat tidak

ada penyakit skizofrenia pada ayah maupun ibu, dimana didapatkan hasil adanya peningkatan

lahirnya anak yang menderita skizofrenia dari ayah yang berumur diatas 60 tahun. Ini terjadi

dikarenakan adanya gangguan spermatogenesis pada orang yang lebih tua.

Page 13: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Model pengaruh genetik pada penderita skizofrenia ternyata belum jelas diketahui dan

tidak sesederhana hukum Mendel. Skizofrenia diperkirakan bahwa potensi untuk mendapatkan

skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat,

mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu, apakah akan

terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (mirip halnya dengan faktor genetik pada penyakit

diabetes). Hasil analisis tahun belakangan ini, mutasi gen Dystrobrevin Binding Protein-1

(DTNBP1) dan neureglin 1 telah diketahui sebagai penyebab timbulnya gejala negatif pada

skizofrenia (Sadock & Sadock, 2013).

2. Hipotesis Perkembangan saraf

Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur dan

morfologi otak penderita skizofrenia, antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil

6% dari pada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendek, pembesaran

ventrikel otak yang non spesifik, gangguan metabolisme di daerah frontal dan temporal dan

kelainan susunan seluler pada struktur saraf di beberapa kortek dan subkortek tanpa adanya

gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan.

Studi neuropsikologis mengungkapkan defisit dibidang atensi, pemilahan konseptual,

fungsi eksekutif dan memori pada skizofrenia. Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis

perkembangan saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada

awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik dan kemudian dimodifikasi oleh

faktor maturasi dan lingkungan (Sadock & Sadock, 2013).

3. Neurobiologi

Gejala utama pada skizofrenia dibuatkan ke dalam 5 lokalisasi pada region otak manusia, tidak

hanya gejala positif dan gejala negatif saja, tetapi juga gejala gejala kognitif, gejala agresif dan

gejala afektif yang dikaitkan dengan daerah otak yang mengalami gangguan (Stahl, 2013 dan

Sadock & Sadock 2012).

Page 14: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gambar 2. Peta alokasi kerusakan pada otak dan gejala yang ditimbulkan pada skizofrenia (Stahl,

2013).

Secara spesifik, gejala positif dari skizofrenia dihipotesiskan oleh karena adanya

malfungsi pada sirkuit mesolimbik, sementara gejala negatif karena adanya malfungsi di area

mesokortek dan juga melibatkan area mesolimbik khususnya yang melibatkan nucleus

acumbens yang diperkirakan menjadi bagian dari sirkuit reward dari otak, sehingga jika ada

masalah dengan reward dan motivasi pada skizofrenia maka kelainannya diduga berasal dari

area ini. Nucleus acumbens juga akan teraktivasi karena penggunaan zat yang tampak pada

pasien skizofrenia. Gejala positif bisa menumpuk dengan gejala negatif yang ditandai dengan

mulai adanya keinginan untuk merokok, penyalahgunaan obat dan alkohol, mungkin di

hubungkan pada area otak ini.

Gejala afektif diasosiasikan dengan area ventromedial prefrontal kortek, sementara gejala

agresif (yang berhubungan dengan kontrol impuls) diasosiasikan dengan proses informasi yang

abnormal dari orbitofrontal kortek dan amigdala. Gejala agresif seperti menyerang, kekerasan,

perilaku berakata kasar dapat terjadi oleh karena gejala positif seperti waham dan halusinasi

sehingga kita sering dibuat bingung. Intervensi perilaku bisa menolong untuk mencegah

terjadinya kekerasan dengan mengurangi faktor pencetus dari lingkungan sekitarnya.

Page 15: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gejala kognitif pada skizofrenia mencakup berkurangnya perhatian dan berkurangnya

proses informasi di otak yang bermanifestasi pada berkurangnya kelancaran berbicara

(kemampuan berbicara spontan), bermasalah dengan pembelajaran secara serial, dan

berkurangnya kewaspadaan untuk fungsi eksekutif (mempertahankan dan fokus perhatian,

konsentrasi, prioritas dan perilaku sosial, kesulitan untuk memecahkan masalah). Fungsi-

fungsi ini tidak mencakup gejala demensia dan gangguan memori yang dimiliki oleh penyakit

alzheimer. Gejala kognitif pada skizofrenia sangat penting untuk ditegakkan karena dia sangat

kuat berhubungan dengan fungsi nyata di dunia, lebih kuat dibandingkan gejala negatif.

Sangat sulit juga kita membedakan gejala disfungsi kognitif dari gejala afektif dan gejala

negatif, tetapi peneliti mencoba untuk melokalisasi area yang spesifik dari disfungsi otak yang

terkena untuk setiap gejala utama pada pasien skizofrenia ini dengan harapan hasil pengobatan

pasien yang lebih baik.

Model ini sangat jelas dan sederhana karena setiap area otak memiliki beberapa fungsi dan

setiap fungsi akan berpengaruh pada lebih dari satu area otak. Secara spesifik, pasien memiliki

gejala yang unik dan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Model ini dengan mengacu

pada gejala yang tampak pada pasien dimana kita bisa menghubungkan dengan malfungsi

kerusakan pada otak. Setiap area otak memiliki neurotransmiter yang berbeda-beda, reseptor,

enzim, dan gen yang mengatur bisa dipakai pedoman para klinisi untuk mengobati pasien

secara lebih maksimal (Stahl, 2013).

a. Hipotesis Dopamin

Hipotesis dopamin ini menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh adanya

hiperaktifitas pada jaras dopamin pada otak manusia. Hipotesis ini didukung oleh hasil

penelitian bahwa amphetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat

menginduksi psikosis yang mirip dengan skizofrenia dan obat antipsikotik bekerja dengan

memblok reseptor dopamin, terutama reseptor Dopamin D2. Teori dasar ini tidak menjelaskan

Page 16: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

apakah hiperaktivitas neuron dopamin mengakibatkan banyaknya pengeluaran dopamin?

Lebih banyak reseptor dopamin? Hipersensitifitas reseptor dopamin dengan neurotransmiter

dopamin? Atau kombinasi dari semua mekanisme tersebut yang menyebabkan orang menjadi

skizofrenia?. Keterlibatan neurotransmiter lain seperti serotonin, noradrenalin, GABA dan

glutamat serta neuropeptida lain masih terus diteliti.

b. Hipotesis Abnormalitas Reseptor NMDA

Beberapa tahun terakhir di era 2000-an, adanya kerusakan reseptor N-Methyl-D-Aspartate

(NMDA) yang mempengaruhi produksi neurotransmiter glutamat, yang dihipotesiskan sebagai

kunci terjadinya patofisiologi dari skizofrenia. Hipotesis ini akan menjadi target pengobatan

masa depan skizofrenia. Hipotesis ini menjelaskan bagaimana abnormalitas dari reseptor

NMDA mempengaruhi hiperaktifas glutamat yang menyebabkan timbulnya gejala skizofrenia.

Glutamat menjadi neurotransmiter mayor untuk eksitasi pada sistem saraf sentral dan sering

menjadi kunci penting dalam pengaturan sistem eksitasi dalam otak.

Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi yang mengeksitasi neuron di dalam otak (master

swicth). Ada 6 jalur glutamat dalam otak manusia, diantaranya :

a) Jalur Cortico-brainstem

Jalur glutamat yang paling penting dari neuron kortek piramidal menuju neurotransmiter

batang otak, mencakup jalur serotonin, Ventral Tegmental Area (VTA) dan substansia

nigra untuk dopamin dan locus coeruleus (LC) untuk norepineprin. Ini merupakan jalur

kunci regulasi pengeluaran dari neurotransmiter di otak. Inervasi langsung dari neuron

monoamin ini pada batang otak akan merangsang pengeluaran neurotransmiter dari neuron

glutamat. Jika diinervasi secara tidak langsung dari neuron monoamin oleh GABA maka

akan terjadi blok pengeluaran neurotransmiter glutamat.

Page 17: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gambar 3. Jalur glutamat di dalam otak manusia (Stahl, 2013)..

b) Jalur Cortico-striatal

Jalur ini merupakan jalur glutamatergik yang kedua dari kortek piramidal menuju komplek

striatum. Jalur ini diketahui sebagai jalur glutamat cortico-striatal menuju ke dorsal

striatum atau jalur glutamat cortico-accumbens saat menuju ke area ventral striatum yang

dikenal dengan nucleus accumbens. Jalur glutamat ini memutuskan neuron GABA

dibagian lain dari komplek striatal yang disebut dengan globus pallidus.

c) Jalur Hippocampal-accumbens

Jalur glutamat yang lain, yang menjalar dari hipocampus menuju nucleus accumbens dan

ini diketahui dengan jalur glutamat hippocampal-accumbens. Sama seperti glutamat pada

jalur cortico-striatal dan cortico-accumbens, hippocampal-accumbens ini menuju nucleus

accumbens dengan menghentikan neuron GABA yang berhubungan dengan globus

Pallidus.

d) Jalur Thalamo-cortical

Jalur ini membawa informasi dari talamus kembali ke kortek, yang sering memproses

informasi sensoris.

Page 18: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

e) Jalur Cortico-thalamic

Jalur Glutamat yang ke-5 yang dikenal sebagai jalur glutamat cortico-thalamic, yang

mengantar signal kembali ke talamus, sebagai respon reaksi dari informasi sensoris.

f) Jalur Cortico-cortical (direct)

Komplek dari berbagai jalur glutamat cortico-cortical memperlihatkan kortek dengan satu

kesatuan, neuron piramidal bisa mengeksitasi sesama yang lainnya yang ada di kortek

cerebral melalui sinaps langsung dari neurotransmiter glutamat itu sendiri.

g) Jalur Cortico-cortical (indirect)

Di lain pihak, neuron piramidal yang satu bisa menghambat yang lainnya secara tidak

langsung, melalui interneuron yang mengeluarkan GABA.

Pada Gambar 4, memperlihatkan bagaimana disfungsi glutamat sebagai hipotesis

terjadinya skizofrenia. Tampak dari dekat neuron kortek pyramidal yang berhubungan dengan

interneuron GABAergik dan hipofungsi reseptor NMDA ini. (1) Glutamat yang dikeluarkan

dari neuron intrakortikal, akan tetapi reseptor NMDA yang akan mengikat glutamat itu sendiri

mengalami hipofungsi, sehingga tidak terjadi efek maksimal oleh reseptor NMDA. (2) Hal ini

menyebabkan berkurangnya pengeluaran GABA dari interneuron, sehingga stimulasi dari α2

GABA reseptor pada akson neuron glutamat lainnya tidak terjadi. (3) Saat GABA tidak

berikatan dengan α2 GABA reseptor pada aksonnya, neuron pyramidal tidak akan dihambat,

maka dari itu akan terjadinya hiperaktif pengeluaran glutamat.

Page 19: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gambar 4. Hipotesis disfungsi glutamat pada skizofrenia (Stahl, 2013).

Hipofungsi reseptor NMDA menyebabkan abnormalitas pembentukan glutamat yang akan

menyebabkan gejala psikotik pada seseorang yang menunjukkan gejala sama pada skizofrenia.

Amfetamin yang merangsang pengeluaran dopamin, juga mengakibatkan gejala psikotik

dengan ditandai adanya halusinasi dan waham yang dimasukan dengan gejala positif dari

skizofrenia. Perbedaan dengan amfetamin yang hanya menyebabkan gejala positif,

Phencyclidine (PCP) dan ketamin juga menyebabkan gejala kognitif, negatif, afektif, penarikan

diri, dan gangguan fungsi eksekutif pada skizofrenia.

Teori ini kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas perkembangan neuron yang

membentuk sinaps glutamat dan interneuron GABA pada kortek serebral (Gambar 3 dan 4).

Page 20: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Telah terjadi kesalahan program genetik pada semua interneuron GABA yang dapat

diidentifikasi dimana pada prefrontal kortek yang interneuron GABA ini banyak berikatan

dengan kalsium yang berikatan dengan protein yang disebut degan parvalbumin. Ikatan

parvalbumin dengan GABA interneuron ini yang merusak reseptor NMDA sehingga terjadi

hipofungsi (Stahl 2013).

Gambar 5. Hipofungsi NMDA di kortek yang dihubungkan dengan gejala positif pada skizofrenia

(Stahl, 2013).

Hipofungsi dari reseptor NMDA ini akan menyebabkan hiperaktifitas dari glutamat pada

jalur cortico-brainstem neuron glutamat yang menginervasi neuron dopamin pada VTA

menuju nucleus acumbens (area mesolimbik). Akibat dari hiperaktifitas glutamat ini, maka di

VTA akan terjadi penurunan dopamin, sehingga akan terjadinya hiperaktifitas dopamin sebagai

kompensasinya. Ini adalah dasar biologi terjadinya hiperaktifitas dopamin pada mesolimbik

yang diasosiasikan dengan munculnya gejala positif pada skizofrenia.

Kemungkinan juga terjadi peningkatan glutamat di daerah ventral hippocampus, yang

menyebabkan terjadinya penurunan dopamin di mesolimbik, sehinga disini juga akan terjadi

hiperaktifitas dopamin di area ini. Ini juga adalah dasar biologi terjadinya hiperaktifitas

dopamin pada mesolimbik yang diasosiasikan dengan munculnya gejala positif pada

skizofrenia.

Page 21: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gambar 6. Hipofungsi NMDA di hipokampus dan gejala positif pada skizofrenia

(Stahl, 2013).

Ini tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada jalur glutamat cortico-brainstem. Jalur

glutamat cortico-brainstem secara tidak langsung menginervasi sistem GABA interneuron,

yang menginervasi neuron dopamin di mesokortek. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi, jika

neuron glutamat sangat aktif di VTA? maka akan terjadi hipoaktif dopamin di mesokortek. Ini

sangat jelas apa yang dihipotesiskan untuk terjadinya skizofrenia. Hipoaktif dopamin pada

mesokortek diasosiasikan sebagai munculnya gejala negatif pada skizofrenia. Patofisiologi

jalur glutamat dan GABA ini nantinya akan menjadi dasar pengobatan skizofrenia masa depan

(Stahl, 2013).

Gambar 7. Hipofungsi reseptor NMDA di ventral hipokampus dan gejala negatif pada skizofrenia

(Stahl, 2013).

Page 22: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

2.2 Mood Stabilizers sebagai Terapi Skizofrenia Masa Depan

Mood stabilizers merupakan kelas terapi lain yang digunakan untuk pengobatan gangguan

skizofrenia dan bipolar (Dorothy, 2009). Lithium, asam valproat, carbamazepin dan lamotrigin,

semuanya digunakan terapi adjuvan pada skizofrenia, walaupun masih sedikit penelitian

tentang efikasi pengobatan pada psikosis (Rosenberg dan Salman 2007; Grunze 2008).

Kurang jelasnya patofisiologi pada penyakit psikiatri, lebih dari setengah psikiater

memakai obat psikotropika kombinasi. Antipsikotik (tipikal atau atipikal) masih menjadi pusat

utama dari pengobatan skizofrenia. Banyak penderita skizofrenia perlu kombinasi obat,

termasuk dari kelas obat yang berbeda seperti antidepresan, anticemas, mood stabilizers dan

beberapa obat lain untuk mengobati efek samping dari antipsikotik. Polifarmasi sangat sering,

dimana 1/5-1/3 penderita skizofrenia tidak berespon terhadap antipsikotik (Stahl, 2013).

Penggunaan mood stabilizers pada penderita skizofrenia rentangan 15% sampai 50%.

Studi di Amerika rata-rata setengah dari pasien skizofrenia mendapat mood stabilizers dan 1/3-

nya menggunakan asam valproat. Studi cross sectional pada pasien dengan rentang umur 18-

65 tahun di Inggris melaporkan bahwa 28,5% pasien skizofrenia mendapatkan mood

stabilizers. Di Asia sebanyak 20% pasien memakai tambahan terapi mood stabilizers untuk

menangani kasus skizofrenia yang dirawat di rumah sakit, dan akan terus terjadi peningkatan.

Ini menandakan bahwa penggunaan mood stabilizer pada skizofrenia sangat sering dilakukan.

Beberapa studi telah dilaporkan dan ternyata berhasil dengan mood stabilizers, pasien

skizofrenia yang resisten dengan obat antipsikotik. Mood stabilizers ini secara signifikan

mampu memperbaiki perilaku yang agresif, bicara kacau, rawat inap berulang, gejala positif,

umur muda, jika belum cukup diatasi dengan antipsikotik saja. Mood stabilizers yang paling

sering digunakan adalah asam valproat dengan lithium dan carbamazepin mengikuti

dibelakangnya (Horowitz, 2014 & Sim Kang, 2011).

Page 23: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Texas Medication Algorithm Project (TMAP) dan konsensus skizofrenia Indonesia 2011

juga memberikan rekomendasi tingkatan pengobatan skizofrenia, dimana pada dasarnya

pengobatan tetap didahului dengan memakai antipsikotik, jika berespon parsial bisa dilakukan

kombinasinya, dan jika tidak mengalami perbaikan, maka pada tahap akhir bisa ditambahkan

obat golongan mood stabilizers sebagai terapi adjuvan yang sesuai pada alur dibawah ini.

(Argo, et al., 2008).

Mood stabilizers ini mampu menjaga keseimbangan mood pada pasien bipolar, tetapi

penggunaan mood stabilizers ini telah berkembang ke berbagai penyakit psikiatri yang lainnya,

seperti penggunaan mood stabilizers sebagai terapi adjuvan atau tambahan pada penderita

skizofrenia, walaupun studi secara empiris pada kasus ini masih terbatas (Horowitz, 2014).

Gambar 8. Skema tingkatan tatalaksana skizofrenia dan pemberian mood stabilizer menurut TMAP

(Argo et all, 2008).

2.2.1 Mood stabilizers

Mood stabilizers adalah obat mampu mengobati dan menstabilkan mood pasien dari atas

sehingga bisa mencegah mania sedangkan pada keadaan depresi, mood stabilizers mampu

Tahap I

Berikan 1 Antipsikotik Atipikal

Tahap II

Berikan 1 Antipsikotik Atipikal yang belum dicoba pada Tahap I

Tahap III CLOZAPINE

Tahap IV

CLOZAPINE ditambah 1 SGA atau 1 FGA atau ECT

TAHAP VI: TERAPI KOMBINASI

FGA dan SGA, dua SGA,

ECT dan 1 SGA atau FGA,

Mood Stabilizers dan 1 SGA atau FGA

Tahap V

1 SGA atau FGA yang belum pernah dicoba pada tahap I atau II

Page 24: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

menstabilisasi mood dari bawah keatas atau dengan kata lain mencegah mood yang depresi

(Gambar 9).

Gambar 9. Mekanisme kerja mood stabilizers (Stahl, 2013).

2.2.2 Jenis-Jenis Mood Stabilizers

Adapun jenis-jenis mood stabilizers yang sering digunakan adalah :

A. Litium, sebagai mood stabilizer klasik

Lithium adalah ion yang mekanisme kerjanya belum dimengerti. Barangkali lithium

bekerja melalui penghambatan dari enzim second messenger seperti Inositol

Monophosfatase (gambar bagian kanan), dengan memodulasi Protein G (gambar bagian

tengah), atau dengan penurunan signal tranduksi kaskade, yang melibatkan penghambatan

Page 25: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

dari Glycogen Syntase Kinase 3 (GSK-3) dan protein C kinase (gambar bagian kiri). Semua

aktifitas dari lithium ini akan mempengaruhi terbentuknya proteksi pada saraf dan

plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang mampu mengurangi toksisitas dari

hiperglutamat pada skizofrenia (Gabbard, 2015 & Stahl, 2013).

Gambar 10. Mekanisme kerja lithium (Stahl, 2013).

Guideline terbaru mengatakan lithium dipakai sebagai obat lini pertama pada pasien

dengan episode akut bipolar dengan depresi, yang bisa bekerja sebagai mencegah bunuh

diri (Leishouth, 2010). Beberapa orang dengan skizofrenia yang tidak bisa mendapat

antipsikotik mungkin bisa efektif dengan pengobatan lithium tersendiri .Begitu juga pasien

yang agresif, lithium disini berfungsi sebagai antiagresif yang bisa digunakan untuk

menangani agresifitas pada skizofrenia (Sadock& Sadock, 2013).

Sediaan obat lithium ini ada yang 150 mg, 300 mg, 600 mg lithium karbonat (generik),

lithium karbonat tablet (lithotabs) 450 mg Controlled-Release (CR) lithium karbonat capsul

(Eskalith CR dan Lithonat), dan 8 mEq/5 mL lithium sitrat sirup.

Dosis awal untuk pemakaian lithium untuk dewasa adalah 300 mg yang diminum 3

kali sehari. Jika mengalami gangguan fungsi ginjal, bisa dimulai dengan 300 mg sekali atau

dua kali sehari. Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari yang menghasilkan

Page 26: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

konsentrasi di plasma darah 0,6-1 mEq/L. Dosis pemeliharaan bisa diberikan 2-3 kali sehari

atau sekali dosis yang CR. Pemberhentian obat lithium harus secara pelan-pelan untuk

mengurangi kekambuhan gejala mania (Sadock & Sadock, 2013).

Efek samping dari lithium berupa gejala intestinal seperti dispepsia, mual, muntah, dan

diare, kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor, mengantuk, dan menurunnya kognitif.

Ada juga efek pemakaian jangka panjang berupa gangguan ginjal dan tiroid. Untuk

mengatasi efek samping ini, sebaiknya dilakukan monitor level obatnya dalam plasma.

Lithium ini biasanya dipakai dosis yang paling rendah dan jika hasilnya tidak memuaskan

akan dikombinasi dengan mood stabilizers yang lainnya (Stahl, 2013). Tabel dibawah ini

secara singkat dijelaskan spesifikasi dari obat lithium :

Lithium

Mekanisme kerja ‒ Proteksi dan plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang

mampu mengurangi toksisitas NMDA dari hiperglutamat

Sediaan ‒ Lithium carbonat 150 mg, 300 mg, 600 mg

Dosis ‒ Dosis awal untuk dewasa adalah 300 mg 3 kali sehari.

‒ Jika ada gangguan fungsi ginjal, dimulai dengan 300 mg 1-

2 kali sehari.

‒ Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari

Efek samping ‒ Sering : gangguan intestinal (dispepsia, mual, muntah, dan

diare), kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor,

mengantuk, dan menurunnya kognitif.

‒ Efek jangka panjang : gangguan ginjal dan tiroid.

Interaksi Antipsikotik : hati-hati terjadi perburukan dari gejala

ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna

Antidepresan : sindrom serotonin, dengan penghambatan

uptake serotonin

Antikonvulsan : seperti asam valproat dan karbamazepin

saling menguntungkan dan tidak ada efek buruk

Page 27: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

B. Asam Valproat

Gambar 11. Bentuk molekul asam valproat (Stahl, 2013).

Asam valproat sudah diciptakan sejak tahun 1800-an. Obat ini disebut asam valproat

karena dengan cepat berubah menjadi bentuk asam saat masuk ke dalam perut. Asam

valproat meningkatkan respon pengobatan terapi dengan antipsikotik pada penderita

skizofrenia khususnya mengatasi gejala agresif dan agitasi. Asam valproat kurang

bermanfaat jika monoterapi untuk mengatasi gejala psikotik pada skizofrenia, maka dari

itu asam valproat biasanya sebagai terapi adjuvan pada skizofrenia (Versayanti, 2010,

Sadock, 2013).

Mekanisme kerja dari asam valproat adalah melalui 3 cara yaitu mengurangi aliran

ion kalsium ini dengan langsung menghambat disaluran Voltage Sensitive Sodium

Channels (VSSCs) dan yang kedua dengan menghambat fosforilasi enzim yang mengatur

sensitifitas kanal ion natrium. Penghambatan pada VSSCs menyebabkan menurunnya

influx natrium ke dalam sel neuron sehingga menyebabkan berkurangnya eksitasi sel

neuron terutama glutamat dan transmisi dari excitatory neurotransmitter juga berkurang.

Cara kerja ini mampu memperbaiki hiperaktivasi glutamat yang terjadi pada penderita

skizofrenia (Stahl, 2013).

Page 28: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gambar 12. Mekanisme kerja asam valproat pada kanal voltase natrium (Stahl, 2013).

Gambar 13. Mekanisme kerja asam valproat dengan gaba. (Stahl, 2013).

Teori lain menyatakan asam valproat meningkatkan mekanisme kerja GABA, dengan

meningkatkan keluarannya dan mengurangi reuptake serta memperlambat metabolisme

inaktifasinya (Gambar 13). Dengan efek ini maka akan terjadi aktifitas GABA yang lebih

banyak, dan ini menyebabkan semakin banyaknya inhibisi pada transmisi neurotransmiter,

Page 29: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

yang dapat menjelaskan efek antimania pada asam valproat dan mengurangi gejala pada

skizofrenia.

Saat mulai terapi dengan asam valproat, harus terlebih dahulu dilakukan tes fungsi hati,

darah lengkap dan tes kehamilan pada wanita. Pemberian untuk kasus mania akut, dimulai

dengan pemberian oral 20-30-mg/kgBB per hari. Jika pasien sangat gelisah maka bisa

dimasukkan kedalam infus intravena. Untuk pemberian obat pertama kalinya, dosis yang

dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu 250 mg setelah makan dan bisa dilanjutkan sampai 3 kali

sehari setelah melewati 3-6 hari. Sebagian besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg

sehari dengan dosis terbagi dengan dosis maksimalnya adalah 2000 mg perhari. Jika diminum,

akan mulai diserap dalam waktu 2 jam dan waktu paruh plasmanya 6-16 jam (Semple, 2010).

Sediaan yang tersedia di Indonesia yaitu asam valproat yang 125 mg, 250 mg, dan 500 mg.

Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum tidur. (Sadock & Sadock, 2013).

Gambar 14. Mekanisme kerja asam valproat (Stahl, 2013).

Efek samping dari asam valproat ini yang paling sering adalah gangguan pencernaan

seperti mual muntah dan mengantuk. Efek samping lainnya dapat berupa peningkatan berat

Page 30: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

badan, dan rambut rontok. Masalah efek samping yang serius dapat dicegah dengan

menurunkan dosis obat, dan bila perlu setelah diturunkan dikombinasi juga dengan mood

stabilizers lainnya.

Obat ini juga menyebabkan terganggunya fungsi hati dan pankreas, menimbulkan toksik

bagi janin (defek pada saraf), gangguan metabolisme tubuh serta kemungkinan terjadinya

amenorea dan kista ovarium jika diberikan pada anak wanita. Pada wanita juga sering

didapatkan efek gangguan pada menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon

insulin pada pemberian asam valproat ini.

Metabolisme dari asam valproat ini terjadi pada sitokrom P-450 di sel hati. Asam valproat

memiliki kemampuan untuk menghambat pemecahan obat yang dimetabolisme di hati

sehingga asam valproat sebaiknya tidak diberikan pada orang dengan gangguan hati (Murray,

2008).

Asam valproat

Mekanisme kerja ‒ Merubah sensitifitas ion kanal natrium dengan menghambat

kerja enzim yang mengatur masuknya ion natrium, dan

blockade langsung pada kanal natrium, sehingga ion natrium

berkurang masuk kedalam sel yang menyebabkan

berkurangnya eksitasi glutamat (efek antimania)

‒ Meningkatkan pengeluaran GABA dengan menghambat

reuptake GABA, dan memperlambat inaktifasi GABA pada

sel GABAnergik

Sediaan ‒ 125mg, 250 mg, 500 mg (depakote), ikalep 300 mg

Dosis ‒ Pemberian pertama kali dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu

250 mg setelah makan dan dilanjutkan sampai 250 mg 3 kali

sehari setelah 3-6 hari.

‒ Sebagain besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg

sehari dengan dosis terbagi.

‒ Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum

tidur

Page 31: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Efek samping ‒ Sering : gangguan pencernaan (mual, muntah dan

mengantuk), penambahan berat badan, dan rontok.

‒ terganggunya fungsi hati dan pankreas, toksik bagi janin

(defek pada saraf), kemungkinan terjadinya amenorea dan

kistik ovarium jika diberikan pada anak wanita.

‒ Pada wanita juga sering didapatkan efek gangguan pada

menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon

insulin

Interaksi Antipsikotik : Meningkatkan sedasi, ekstrapiramidal

sindrom, delirium dan stupor (pada

beberapa kasus)

Antidepresan : Meningkatkan konsentrasi dalam plasma

(amitriptilin dan fluoxetin)

Antikonvulsan : Menurunkan serum asam vaproat

(carbamazepine)

C. Carbamazepin

Gambar 15. Bentuk molekul carbamazepin (Stahl, 2013).

Carbamazepin adalah antikonvulsan yang pertama kali terbukti efektif untuk mengatasi gejala

mania. Carbamazepin diperkirakan bekerja dengan memblok Voltage Sensitive Sodium

Channels VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal ion dari VSSCs sub unit α. (Stahl,

2013). Efek tambahan dari carbamazepin dapat mengurangi arus melalui NMDA glutamate-

receptor channels sehingga terjadi efek perbaikan pada gejala skizofrenia.

Page 32: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Carbamazepin dimetabolisme pada enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan

mekanisme kerja dari enzim hati CYP tipe 3A4. Peningkatan dosis boleh diberikan setelah

pengobatan dilakukan beberapa bulan (Ketter et al.,1999; Moseman et al.,2003). Metabolism

dari carbamazepin mungkin dipengaruhi oleh gangguan fungsi hati. Dosis terapi pada darah

untuk pengobatan akut mania atau episode campuran diperlukan sekitar 4-12 ug.ml. Konsentasi

dalam plasma tercapai setelah 4-8 jam dan waktu paruh di dalam plasma 18-55 jam (Semple,

2010).

Gambar 16. Mekanisme kerja dari carbamazepin (Stahl, 2013).

Target dosis untuk mengatasi mania dari carbamazepin ini adalah 1200 mg per hari,

walaupun ada variasinya di setiap Negara. Carbamazepin biasa diperlukan dosis 3-4 kali sehari

dan obat yang Extended-Release (XR) lebih di utamakan karena cukup diminum 1-2 kali

sehari. Salah satu sediaan carbamazepin generik adalah 100 mg, 200 mg, 400 mg, tegretol 100

mg dan 200 mg dan bentuk carbamazepin lepas lambat adalah Extended-Release (XR)

carbatrol yang tersedia dalam kemasan 100, 200, 300 mg tablet.

Carbamazepin memiliki efek samping yang paling sering adalah ganguan gastrointestinal

yang ringan seperti mual, muntah, konstipasi, diare, dan tidak ingin makan dan gangguan pada

saraf pusat (diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan kabur). Efek yang berat bisa

Page 33: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

saja terjadi, seperti kelainan darah seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis dan

reaksi kulit yang serius. (Sadock & Sadock, 2013).

Berlawanan dengan lithium dan asam valproat, carbamazepin tidak menyebabkan kenaikan

berat badan. Kebanyakan efek samping penggunaan carbamazepin ini terjadi jika plasma level

diatas 9 ug/mL. Efek yang sangat berat sering juga terjadi seperti agranulositosis, anemia

aplastik, gangguan fungsi hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan ginjal, gangguan

konduksi jantung, psikosis, Steven-Johnson syndrome, trombositopenia dan pankreatitis. Efek

samping ini diatasi dengan pemeriksaan test fungsi hepar, ginjal dan elektrolit (Semple 2010

& Murray, 2008).

Carbamazepin

Mekanisme kerja ‒ memblok VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal

ion dari VSSCs sub unit α.

‒ Memperbaiki fungsi NMDA Glutamate-Receptor

Channels

Sediaan ‒ 100 mg, 200 mg, 300 mg tablet

Dosis ‒ Target dosis untuk mengatasi mania ini adalah 1200 mg

per hari, walaupun ada variasinya di setiap negara.

‒ Pengobatan diperlukan dosis 3-4 kali sehari dan obat yang

lepas lambat (XR) cukup diminum 1-2 kali sehari.

Efek samping ‒ Efek samping yang paling sering adalah ganguan

gastrointestinal yang ringan seperti mual, muntah,

konstipasi, diare, anoreksi dan gangguan pada saraf pusat

(diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan

kabur).

‒ Efek berat bisa saja terjadi, seperti kelainan darah seperti

anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis dan reaksi

kulit yang serius.

‒ Efek sangat berat yang meliputi agranulositosis, anemia

aplastik, gagal hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan

Page 34: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

ginjal, gangguan konduksi jantung, psikosis, Sindrom

Steven-Johnson, trombositopenia dan pankreatitis

Interaksi ‒ Carbamazepin menurunkan efek obat dalam plasma

(olanzapin, quetiapin, aripriprazol, clozapin, lamotrigin,

asam valproat, haloperidol, alprazolam, clonazepam,

amitriptilin, fluphenazin)

D. Lamotrigin

Lamotrigin ditetapkan sebagai mood stabilizers dengan mekanisme kerjanya yang

saling melengkapi dengan obat carbamazepin yang sama-sama bekerja pada kanal VSSCs, dan

obat ini yang tidak disarankan untuk gejala mania pada bipolar karena kemungkinana

mekanisme kerjanya tidak kuat untuk memblok kanal natrium, atau perlu waktu yang panjang

untuk memberikan efek dari obat ini untuk mengatasi gejala mania, sedangkan secara umum

diperlukan respon obat yang bekerja dengan cepat.

Gambar 17. Bentuk molekul lamotrigin (Stahl, 2013).

Lamotrigin disimpulkan memiliki efek yang unik, yaitu menurunkan pengeluaran

glutamat, yang mampu memperbaiki hiperaktifitas glutamat pada skizofrenia. Efek ini tidak

jelas, apakah karena pemblokkan pada VSSCs atau beberapa reaksi tambahan dari sinaps sel?

Pengurangan eksitasi glutamat merupakan efek yang unik pada obat lamotrigin ini (Gabard,

2015 & Stahl, 2013).

Page 35: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Pada penelitian klinis, pemberian lamotrigin dianjurkan diatas 200 mg per hari.

Kebanyakan pasien mendapat 100 mg dan 200 mg per hari, namun hasil ini masih belum

konsisten. Jika diminum, konsentrasi puncak diplasma akan terjadi dalam waktu 1-5 jam, dan

waktu paruhnya 24 jam (Semple, 2010). Sediaan obat yang ada dipasaran mulai dari 25 mg,

100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet. Obat yang bisa dikunyah juga tersedia dalam dosis 2,5 dan

25 mg. Obat ini tidak dianjurkan pada umur dibawah 16 tahun (Sadock & Sadock, 2013).

Gambar 18. Mekanisme kerja lamotrogin (Stahl, 2013).

Efek samping yang paling sering dari pemberian lamotrigin ini adalah pusing, ataxia,

somnolen, pandangan kabur, mual, namun ringan. Penurunan kognitif dan nyeri sendi dan

punggung dilaporkan sering terjadi. Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan Sindrom

Steven Johnson, tetapi sangat jarang. Reaksi rash pada kulit bisa terjadi, tetapi bisa

diminimalisasi dengan pemberian obat secara titrasi yang sangat pelan selama fase inisiasi

pemberian obat ini. Tabel dibawah menjelaskan akan spesifikasi dari obat lamotigin untuk

lebih mudah dimengerti :

Lamotrigin

Page 36: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Mekanisme kerja ‒ Memblok kanal natriun dan beberapa reaksi tambahan dari

sinaps sel menyebabkan pengurangan eksitasi glutamat

Sediaan ‒ 25 mg, 100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet

Dosis ‒ 200 mg per hari

Efek samping ‒ Paling sering adalah pusing, ataxia, somnolence,

pandangan kabur, mual, namun ringan, penurunan

kognitif dan nyeri sendi dan punggung

‒ Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan Sindrom

Steven Johnson, tetapi sangat jarang.

Keunggulan ‒ Tidak menyebabkan mengantuk, penambahan berat

badan dan efek metabolik lainnya

Interaksi ‒ Lamotrigin menurunkan plasma level 25% obat asam

valproat

‒ Lamotrigin jika dikombinasi dengan carbamazepin,

konsentasinya berkurang 40-50%

2.2.3 Interaksi Mood Stabilizer dan Kontraindikasi

Pasien yang mendapatkan tambahan mood stabilizers rata-rata berusia muda, karena

kemungkinan pasien muda lebih banyak gejala positif dan meningkatnya agresifitas atau

perilaku impulsif. Pada pasien geriatri, banyak studi menunjukkan adanya efek samping yang

lebih banyak seperti jatuh, infeksi, gangguan gastrointestinal (Horowitz, 2014). Selama

kehamilan, sebagian besar mood stabilizers yang juga bekerja sebagai antikonvulsan (asam

valproat dan carbamazepine) dan lithium memiliki risiko tinggi untuk toxisitas terhadap fetus.

(Stahl, 2013).

Mood stabilizers golongan lithium, asam valproat, carbamazepin, lamotrigin juga

memberikan efek positif terhadap peningkatan prepulse inhibition (PPI) pada mencit, dimana

keadaan ini kemungkinan bisa memperbaiki defisit PPI yang terjadi pada penderita skizofrenia

(Dorothy, 2009). Percobaan pada mencit juga didapatkan mood stabilizers golongan lithium

dan valproat efektif bekerja memperbaiki metabolism sel khususnya memperbaiki fosforilasi

Page 37: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

mitokondria, sehingga adanya defek mitokondria pada penderita skizofrenia bisa diperbaiki

dan akhirnya bisa mengurangi gejala skizofrenia itu sendiri (Corena M et all, 2013).

Penggunaan kombinasi aripiprazol dengan lithium atau asam valproat mampu mengurangi

relaps gangguan mood pada kasus mania bipolar I yang bisa diaplikasikan juga untuk

mengurangi relaps skizofrenia jangka panjang (Marcus, 2011).

Pemberian carbamazepin harus diperhatikan apabila dikombinasi dengan obat antipsikotik

seperti haloperidol, fluphenazin, clozapin, olanzapin, quetiapin dan aripriprazol. Obat ini jika

diberikan bersamaan dengan carbamazepin maka akan terjadi hiperaktivasi oleh enzim

sitokrom P-450 tipe 3A4, yang menyebabkan peningkatkan metabolisme obat antipsikotik

tersebut, sehingga obat tersebut akan menjadi cepat dibuang keluar oleh tubuh. Pemberian

carbamazepin dengan obat-obatan tersebut, baik antipsikotik tipikal dan atipikal tidak

direkomendasi (Amir, 2008, Stahl, 2013 & Sadock, 2013). Interaksi obat carbamazepin dengan

dapat menurunkan kadar haloperidol sebanyak 50-60% (Monaco & Cicolin, 1999).

Gambar 19. Carbamazepin Menginduksi Enzim Sitokrom P-450 tipe 3A4 (Stahl, 2013).

Obat antidepresan golongan SSRI juga tidak disarankan dikombinasi dengan asam

valproat dan carbamazepin karena SSRI ini menghambat sitokrom P-450 yang akan

meningkatkan kadar asam valproat dan carbamazepin dalam plasma (Widyawati, 2011).

Page 38: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Gejala klinis, resiko genetik, epidemiologi dan patofisiologi neurotransmiter yang tampak

pada skizofrenia, sering overlapping dengan gangguan bipolar, maka dari itu untuk penanganan

skizofrenia dengan bipolar penatalaksanaanya juga hampir sama. Sekitar 60% pasien bipolar

yang overlapping dengan skizofrenia, menurut Kraepelin, ini merupakan proses yang

berkelanjutan dari bipolar untuk menjadi skizoafektif dan terakhir jatuh menjadi skizofrenia

(Bambole, 2013).

Berikut ini beberapa rekomendasi terapi kombinasi pemberian antipsikotik dan mood

stabilizer yang ideal untuk penanganan skizofrenia yang tidak optimal dengan pemberian

antipsikotik saja. Jika pasien menunjukkan gejala positif yang tumpang tindih dengan gejala

mania pada bipolar maka first line terapinya adalah dengan pemberian Antipsikotik Atipikal

(AA) atau kombinasi valproat/lithium dengan antipsikotik atipikal (risperidon, quetiapin,

olanzapin, atau aripiprazol). Tidak di rekomendasi pemberian kombinasi carbamazepin dengan

antipsikotik atipikal (risperidon, olanzapin quetiapin ataupun aripiprazol).

Jika yang menonjol gejala negatif, yang tumpang tindih dengan gejala depresi pada

bipolar, maka dapat diberikan first line terapi dengan kombinasi quetiapin/ Olanzapin dengan

SRRI dan jika tidak berespon optimal bisa diberikan kombinasi

valproat/lithium dengan lurasidone (second line) atau valproat/lithium dengan tricyclic

antidepresan dan quetiapine dikombinasi dengan lamotrigine (third line

BAB III

RINGKASAN

Patofisiologi Skizofrenia belum jelas diketahui penyebabnya. Para peneliti terus

berupaya meningkatkan pengetahuan untuk memahami bagaimana patofisiologi penyebab dari

skizofrenia ini sehingga penanganan skizofrenia ini khususnya yang tidak optimal dengan

pemberian antipsikotik bisa lebih optimal.

Page 39: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

Patofisiologi yang terbaru telah diketahui bahwa adanya abnormalitas reseptor NMDA

yang mempengaruhi jalur glutamat, secara tidak langsung menyebabkan terjadinya skizofrenia.

Teori ini mampu menjelaskan terjadinya gejala positif dan negatif pada skizofrenia.

Berdasarkan hipotesis reseptor NMDA tersebut maka makin banyak dikembangkan

penelitian obat-obatan yang bekerja pada jalur tersebut. Beberapa hasil penelitian ternyata

didapatkan bahwa pemberian terapi adjuvan mood stabilizer berefek bagus pada pasien

skizofrenia khususnya skizofrenia yang tidak maksimal dengan pengobatan antipsikotik saja.

Diperlukan lebih banyak lagi penelitian yang menunjukkan efikasi mood stabilizers

dapat menyembuhkan pasien skizofrenia sebagai monoterapi saja, sehingga saat ini obat mood

stabilizers hanya digunakan sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia khususnya

skizofrenia yang tidak berespon dengan antipskikotik.

Page 40: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir, Nurmiati. 2009, ‘Interaksi Neurotransmiter pada skizofrenia dan implikasi

terapeutiknya’, Perjalanan panjang skizofrenia, Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa,

Jakarta dan dibawakan pada kongres internasional WPA regional meeting ‘Mental Health

Disaster : Beyond Emergency Respone’, Nusa Dua, Bali, Indonesia

2. Argo, T., Crismon, M., Miller, A. & Moore, T., 2008. Texas Medication Algorithm Project

Procedural Manual: Schizophrenia Algorithm. Texas Department of State Health Services.

3. Bambole V., Johnston M., Shah N., Sonavane S., Desouza A., Shrivastava A., 2013,

Symptom overlap between schizophrenia and bipolar mood disorder: Diagnostic issues.

Open journal of Psychiatry, Mumbai, India page 8-15.

4. Corena M, Walss-Bass C, Oliveros A, Villegas A.G. Ceballos C. Charlesworth C.M.

20013. New Model of action for mood stabilizers: Phosphoproteome from rat Pre-Frontal

Cortex Synaptoneurosomal Preparations. Plos one Journal. www.plosone.org.

5. Diagnostic and statistical manual ofmental disorders fifth edition (DSM-5). 2013.

American Psychiatris Assosiacion. Washington DC, USA

6. Dorothy, Choinski M, Mhicael J, Gasior. 2009. Mood stabilizer increase prepulse

inhibition in DBA/ 2NCrl mice. Psychopharmacology. Springer Journal. USA. Page 369-

377

7. Gabbard G., 2015. Treatment of Psychiatric disorder DSM-5 edition. New York University.

Washington DC. USA

8. Horowitz E, Bergman L.C., Ashkenazy C, Moscona I, Grinvald H, Magnezi R, 2014, ‘Off

label use of Sodium Valproate for Skizoprenia’, Plos One Journal, Volum 9, Israel.

9. Kang Sim, Kian Hui Yioung, et all. 2011. Adjunctive mood stabilizer treatment for

hopspitalized schizophrenia patients: Asia psychotropic prescription study (2001-2008).

International journal of Neuropshicopharmacology. Page 1157-1164.

10. Leishout R.J. and MacQueen M. 2010, Efficacy and acceptability of mood stabilizers in the

treatment of acute bipolar depression : systematic review. BJPsych Journal. p266-273.

11. Marcus R., Khan A., Rollin L, Morris B, Timko K, Carson W, et all. 2011, Efficay of

Aripiprazole adjunctive to lithium or valproat in the long term treatment of patient with

bipolar I disorder with an inadequate response to lithium and valproate monotherapy:

multicenter, double-blind, randomize study. Bipolar disorder journal page 133-144. USA.

Page 41: MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA …

12. Murray, R.M. et all, 2008. Essential Psychiatry fourth edition. Cambride University Press,

United States of America, p. 586.

13. Rapat kerja consensus nasional terapi gangguan bipolar, 2010. Panduan Tatalaksana

Gangguan bipolar Pokja SPM dan Seksi Bipolar PDSKJI. Jakarta

14. Sadock, B.J. and Sadock, V.A. 2003. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry ninth

edition. Philadelphia, USA. Pippincot Williams and Wilikins p.623-631

15. Semple D. dan Smyth R., 2010. Oxford Handbook of Psychiatry second edition. Oxford

University Press. USA

16. Stahl, Stephen M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and

Practical Application fourth edition. New York. Cambrige Medicine Press.

17. Triananda K., Di Indonesia terdapat 1,27 permil orang dengan skizofrenia. www.berita

satu.com, akses 23 November 2013.

18. Versayanti S., 2010, Berbagai tantangan pada pengobatan skizofrenia. Kepatuhan dan

Rehabilitasi Kognitif sebagai penentu keberhasilan terapi skizofrenia dalam Majalah Jiwa

Psikiatri. Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa, tahun XLIII no.3 September 2010.

Jakarta hal 1-24.

19. Widyawati Ika, 2011, Penatalaksanaan Skizoprenia Masa Anak dan Gangguan Bipolar

Masa Kanak, Pertemuan Nasional Akeswari II, 5-7 Mei 2011, Hotel Inna Garuda,

Yogyakarta.

Wiguna Thjin, 2011, Aspek Mental Pada Anak dengan Epilepsi, Pertemuan