1 MONOGRAF SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh: Dr. Hadi Sasana, SE, MSi. Undip Press Semarang MONOGRAF
1
MONOGRAF
SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA
Oleh:Dr. Hadi Sasana, SE, MSi.
Undip Press Semarang
MONOGRAF
2
SUBSIDI ENERGI, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KUALITAS LINGKUNGAN DI INDONESIA
Oleh:Dr. Hadi Sasana, SE, MSi.
ISBN : 978-979-097-617-7
Cetakan pertama : 2019
Diterbitkan oleh :Undip Press
SemarangKATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobil ‘alamin penulis panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahNya,
3
sehingga buku monograf dengan judul: “Subsidi Energi,
Pertumbuhan Ekonomi, dan Kualitas Lingkungan di Indonesia”
dapat terselesaikan dengan baik.
Karya kecil ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa baik
sebagai sumber bacaan perkuliahan maupun penulisan skripsi. Selain
itu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum
dalam memahami ruang lingkup pengembangan ekonomi daerah.
Penyelesaian penulisan buku ini merupakan hasil dari suatu
proses yang panjang, dimana kami tidak dapat bekerja sendirian,
namun berkat dukungan berbagai pihak secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dengan hati yang tulus dan ikhlas kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
karya ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.
Kami menyadari masih banyak kekurangan atas hasil penulisan
ini, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan. Semoga
terbitnya buku ini menghasilkan guna dan menambah khasanah
pengetahuan, aamiin.
Semarang, Juni 2019
PenulisDAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
4
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR TABEL
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Studi
1.3 Novelty Studi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Subsidi
2.2 Subsidi Energi di Indonesia
2.3 Dampak Subsidi Energi Fosil Terhadap
Lingkungan
2.4 Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Kualitas Lingkungan
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Studi
3.2 Jenis dan Sumber Data . ...
3.3 Metode Analisis
BAB 4 DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
4.1 Subsidi dan Harga Energi
4.2 Realisasi Subsidi BBM…………………………..
4.3 Kualitas Lingkungan
5
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Subsidi Energi dan Kualitas Lingkungan (Emisi
CO2)
5.2 Subsidi Energi dan Pertumbuhan Ekonomi
5.3 Subsidi Energi dan Biaya Sosial
BAB 6 PENUTUP
6.1 Simpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
6
Halaman
Tabel 2.1 Sejarah Harga BBM (Rupiah per liter)
Tabel 3.1 Variabel Penelitian Persamaan Regressi Kualitas
Lingkungan (Emisi CO2)
Tabel 3.2 Variabel Penelitian Persamaan Regressi
Pertumbuhan Ekonomi
Tabel 3.3 Variabel Penelitian Persamaan Regressi Biaya
Sosial
Tabel 4.1 Realisasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)
dalam APBN Tahun 2000-2012 (dalam Triliun
rupiah)
Tabel 5.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Tabel 5.2 Hasil Etimasi Variabel Dependen Emisi CO2
Tabel 5.3 Hasil Etimasi Variabel Dependen GDP
Tabel 5.4 Tabel Statistik Deskriptif
Tabel 5.5 Hasil Estimasi terhadap Variabel Dependen Biaya
Sosial
DAFTAR GAMBAR
Halaman
7
Gambar 2.1 Pengaruh Subsidi Terhadap Kuantitas Permintaan
Barang
Gambar 2.2 Kebijakan Subsidi Pemerintah
Gambar 2.3 Kurva Indifference Perilaku Konsumen terhadap
Penurunan Subsidi BBM
Gambar 2.4 Environmental Kuznets Curve (EKC)
Gambar 4.1 Komposisi Subsidi BBM Tahun 2015 Sebelum
Kenaikan Harga BBM tanggal 1 Januari 2015
DAFTAR GRAFIK
Halaman
8
Grafik 1.1 GDP (US$) dan Penggunaan Energi Fosil (kg
of Oil Equivalent Per Capita) Indonesia tahun
1990-2014
Grafik 1.2 Subsidi Energi di Indonesia Tahun 1990-2014
(milyar rupiah)
Grafik 1.3 Economic Growth and Energy Development of
Indonesia Tahun 1991-2014
Grafik 2.1 Indonesia dari Negara Eksportir Menjadi Importis
Minyak
Grafik 2.2 Persentase Konsumsi Energi Fossil, Energi
Terbarukan dan Energi Lainnya di Indonesia
Tahun 1990-2014
9
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangEnergi merupakan bagian penting dalam meningkatkan
pembangunan di bidang ekonomi. Ekonom neo klasik berpendapat
bahwa ada hubungan positif antara peningkatan konsumsi energi
dengan peningkatan perekonomian (Kraft and Kraft, 1978). Studi
Bildirici (2018), menjelaskan adanya hubungan positif antara
penggunaan energi dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga
mendorong pentingnya kebijakan untuk memudahkan akses dalam
peningkatan penggunaan energi.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan
potensi sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam yang
dimiliki Indonesia berpotensi sebagai sumber energi sehingga dapat
memenuhi dan memudahkan Indonesia untuk berkembang. Kemudahan
tersebut dapat tercipta dengan mengoptimalkan penggunaan energi,
baik energi fosil maupun energi terbarukan. Sehingga diperlukan tata
kelola yang baik guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang di
harapkan (Sasana dan Aminata, 2019).
Menurut World Bank (2015), nilai Gross Domestik Produk
(GDP) per kapita Indonesia dan penggunaan total energy menunjukkan
adanya peningkatan setiap tahunnya (Grafik 1.1). Pada tahun 2014
GDP per kapita Indonesia mencapai 3442 US$. Tingkat konsumsi total
10
energi terus meningkat menjadi sebesar 883,91 kg of oil equivalent per
kapita pada tahun 2014.
Grafik 1.1. GDP (US$) dan Penggunaan Energi Fosil (kg of Oil Equivalent Per Capita) Indonesia Tahun 1990-2014
1990 1995 2000 2005 2010 2015
Year
05001000150020002500300035004000
US$
01002003004005006007008009001,000
kg o
f iol
eq
uiva
lent
pe
r cap
ita
growt Total Energy
Sumber : World Bank 2015
Dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan
konsumsi energi yang besar untuk merubah material bahan dasar
menjadi barang jadi, dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Secara
sektoral konsumsi energi bahan bakar fosil dibagi menjadi lima sektor
pengguna, yaitu: sektor industri, sektor komersial, sektor rumah tangga,
sektor transportasi, dan sektor lainya. Pada tahun 2014 penggunan
energi bahan bakar fosil pada sektor industri mencapai 274,90 juta
Setara Barel Minyak (SBM), sektor komersial mencapai 38,19 juta
(SBM), sektor rumah tangga sebesar 373,79 juta (SBM), sektor
transportasi sebesar 329,41 juta (SBM), dan sektor lainya sebesar 16,95
juta (SBM) (Pamudji. 2016).
Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui
perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga
jualnya dapat dijangkau masyarakat. Salah satu bentuk subsidi
11
pemerintah adalah subsidi energi (subsidi BBM, BBN, LPG tabung
3kg, dan LGV serta subsidi listrik). Subsidi pemerintah merupakan
salah satu faktor penting dalam sebuah negara. Diperlukan intervensi
pemerintah agar pola konsumsi energi masyarkat dan perusahaan bisa
terjaga.
Berdasarkan data pada Grafik 1.2. menunjukkan bahwa subsidi
energi di Indonesia ccnderung meningkat setiap tahunnya. Subsidi
diberikan guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Subsidi energi
banyak digunakan untuk penggunaan subsidi bahan bakar fosil dan
energi listrik. Di Indonesia sebagian besar masih sangat tergantung
dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan energi listrik,
sehingga perlu dijaga volatilitas tingkat harga guna merangsang
pertumbuhan ekonomi.
Grafik 1.2. Subsidi Energi di Indonesia Tahun 1990-2014 (milyar rupiah)
1990 1995 2000 2005 2010 2015
Year
#,##0.00;[Re30]#,##0.00#,##0.00;[Re21]#,##0.00#,##0.00;[Re14]#,##0.00#,##0.00;[Re7]#,##0.00#,##0.00;[Re30]#,##0.00#,##0.00;[Re21]#,##0.00#,##0.00;[Re15]#,##0.00#,##0.00;[Re6]#,##0.00#,##0.00;[Re27]#,##0.00
Mill
iar R
upia
h
Sumber : Kemenkeu RI
12
Kajian dampak penggunaan energi terhadap pertumbuhan
ekonomi telah dilakukan oleh para peneliti. Studi Chen et al.(2018),
menjelasakan adanya hubungan Granger kausalitas antara intensitas
penggunaan energi dan urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang. Mallick (2009), menjelaskan bahwa
peningkatan pasokan energi listrik dirasa paling tepat untuk
meningkatakan pertumbuhan ekonomi di negara Afrika. Studi
Grossman and Krueger (1995), menjelaskan ada hubungan yang negatif
antara pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan. Disatu sisi
peningkatan penggunaan energi mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi suatu negara, namun disisi lain peningkatan penggunaan
energi juga meingkatkan tingkat polusi di Amerika. Studi Selden and
Song (1994), menjelaskan adanya hubungan kurva U terbalik antara
peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan emisi CO2
Tinjauan mengenai penggunaan energi dan dampaknya
terhadap lingkungan dapat dilibatkan dalam bahasan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dapat dianalogikan dalam analisis mikroekonomi,
dimana seorang produsen melakukan suatu proses produksi
menggunakan berbagai faktor input, salah satunya adalah energi.
Setelah output dihasilkan terdapat sisa-sisa atau residual dari
penggunaan energi dan faktor input lain yang tidak dapat digunakan
kembali atau bahkan mencemari lingkungan (Tiba & Omri, 2016).
Maka jika diinterpretasikan secara makroekonomi, dalam proses
13
pertumbuhan ekonomi terdapat akumulasi residual yang dapat
berdampak pada sustainabilitas lingkungan.
Komponen pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
ditopang dengan penggunaan energi yang belum ramah lingkungan.
Seperti yang dijelaskan pada Grafik 1.3., output perekonomian
Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan emisi CO2 yang
positif. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan emisi CO2 yang
cenderung terus meningkat. Ironisnya, penggunaan energi terbarukan
justru terus berkurang yang ditunjukkan dengan tingkat
pertumbuhannya yang berada pada level negatif. Penjelasan ini
menunjukkan bahwa semakin tumbuhnya perekonomian Indonesia
cenderung diikuti dengan degradasi lingkungan. Jika kondisi ini terus
berlanjut, maka agenda pertumbuhan ekonomi berkelanjutan akan sulit
dicapai.
Grafik 1.3. Economic Growth and Energy Development of Indonesia Tahun 1991-2014
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
0100200300400500600700
-15%-10%-5%0%5%10%
CO2 emission (kt)Renewable Energy Consumption (% growth)GDP (% growth; constant 2010 US$)
Sumber: World Development Indicator (diolah)
14
Studi Awan (2013) di Pakistan menyimpulkan bahwa
penggunaan sumber daya energi memiliki dua efek yang berlawanan.
Sangat penting untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat; namun, itu
semakin memperburuk kondisi lingkungan. Oleh karena itu, disarankan
untuk menggunakan sumber daya energi dengan cara yang masuk akal
dan ramah lingkungan untuk menjaga ekonomi lingkungan
berkelanjutan. Selanjutnya, Sovacool (2017) berpendapat bahwa
subsidi energi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya,
subsidi batubara di UE dan Jepang melepaskan emisi karbon dioksida
(CO2) sebanyak 50 hingga 100 juta ton per tahun; sementara di
Australia, subsidi murah untuk listrik berbasis batubara memicu
industri peleburan melepaskan emisi gas rumah kaca setinggi 2,5 kali.
Dalam hal menilai implikasi negatif yang disebabkan oleh emisi
CO2, penurunan kualitas lingkungan dapat diukur dengan peningkatan
emisi atau konten polutan seperti polusi udara, polusi air, dan polusi
tanah sebagai akibat dari eksplorasi energi. Efek negatif dari
pencemaran pada air dan tanah dapat diidentifikasi secara langsung,
tetapi pencemaran udara membutuhkan waktu untuk diketahui. Dalam
menghitung polusi udara, salah satu indikator yang paling umum
digunakan adalah tingkat emisi CO2 yang dihasilkan oleh eksplorasi
atau penggunaan energi. Gas CO2 adalah cairan tidak berwarna, tidak
berbau, gas yang tidak mudah terbakar, dan sedikit asam. Gas CO2
lebih berat dari udara dan larut dalam air. Studi Rujiven et al. (2016)
menggunakan indikator CO2 untuk mengukur kualitas udara untuk CO2
15
yang dihasilkan dari proses produksi di berbagai sektor industri
termasuk industri pengolahan kimia dan pertambangan. Dalam industri
semen misalnya, setiap kg semen yang diproduksi berkontribusi 0,5 kg
emisi CO2 ke udara. Oleh karena itu, secara umum, untuk mengukur
tingkat polusi udara, indikator emisi CO2 digunakan.
Berdasarkan fenomena dan kesenjangan penelitian di atas, studi
ini bertujuan untuk menganalisis dampak subsidi energi terhadap
kualitas lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan biaya sosial di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Studi1.2.1. Rumusan Masalah
Dari gambaran latar belakang di atas disadari bahwa
permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah terjadinya trade off
dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan. Pertumbuhan ekonomi
yang pesat di negara berkembang diikuti penggunaan energi fosil yang
tinggi. Penggunaan energi fosil yang tinggi menyebabkan kerusakan
lingkungan meningkat.
Salah satu instrument kebijakan fiskal pemerintah adalah
dengan kebijakan subsidi energi. Maka perlu dianalisis dampak dari
subsidi energi yang dilakukan pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi, kualitas lingkungan, dan biaya sosial yang ditimbulkan.
1.2.2. Tujuan Studi
16
Secara umum studi ini bertujuan untuk mengkaji dampak
kebijakan subsidi energi di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi,
kualitas lingkungan, dan biaya sosial. Studi ini mempunyai tujuan
sebagai berikut :
1. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap
kualitas lingkungan di Indonesia.
2. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
3. Menganalisis dampak kebijakan subsidi energi terhadap biaya
sosial yang ditimbulkan di Indonesia.
1.3. Novelty StudiStudi terkait hubungan subsidi energi, kerusakan lingkungan,
dan pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan. Diantara berbagai kajian,
penelitian ini memiliki kebaruan sebagai berikut:
a. Kajian ini tidak hanya melihat dampak terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kualitas lingkungan, tetapi juga biaya sosial.
b. Kajian terhadap emisi CO2 memiliki beberapa skenario dalam
pemilihan variabel independen, yaitu: pertama, meliputi:
pertumbuhan ekonomi, energi primer, subsidi energi, energi
terbarukan, pertumbuhan penduduk. Kedua, terdiri: subsidi
energi, pertumbuhan penduduk, energi fosil, energi
terbarukan. Ketiga, terdiri: pertumbuhan ekonomi, energi
primer, subsidi energi, energi terbarukan, pertumbuhan
penduduk.
17
c. Studi ini membahas secara komprehensif tidak hanya
pendekatan statistik terkait dampak subsidi energi terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan, tetapi juga
menjelaskan secara historis perkembangan subsidi energi di
Indonesia terutama Bahan Bakar Minyak (BBM).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SubsidiOxford Advanced Learners Dictionary (1990) menjelaskan
definisi subsidi, adalah “The money that is paid by a government or
organization to reduce the cost of services or of producing goods so
that their prices can be kept low”. Pamugar (2017) menjelaskan
subsidi merupakan salah satu bentuk ‘intervensi’ dari pemerintah
terhadap pasar. Subsidi dilakukan untuk menjaga stabilitas harga suatu
barang di pasar. Akibat dari kenaikan harga suatu barang di pasar,
maka produsen barang akan mendapatkan surplus (surplus produsen).
Tetapi pemerintah dapat menekan harga barang tersebut di pasar
dengan cara memberikan subsidi harga kepada produsen. Sehingga
harga tidak naik, tetapi surplus produsen tidak berkurang dan
konsumen akan diuntungkan dengan relatif stabilnya harga barang
tersebut. Dengan kebijakan subsidi harga dari pemerintah, maka
konsumen juga akan diuntungkan (surplus konsumen).
18
Subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Seperti halnya
pajak, keuntungan subsidi dibagi antara pembeli dan penjual,
tergantung kepada elastisitas relatif dari penawaran dan permintaan.
Campur tangan Pemerintah tersebut pada umumnya mengakibatkan
deadweight loss (Pindyck dan Rubinfeld, 1999). Gambar 2.1.
menjelaskan tentang pengaruh subsidi terhadap kuantitas permintaan
barang.
Gambar 2.1. Pengaruh Subsidi Terhadap Kuantitas Permintaan Barang
Sumber : Pindyck dan Rubinfeld (1999)
Keseimbangan antara permintaan dan penawaran ditunjukkan
oleh jumlah permintaan barang pada q1 dengan harga di P1. Titik
equilibrium pasar adalah berada di titik E. Sedangkan apabila harga
dinaikkan ke titik P2, maka jumlah permintaan barang cenderung turun
dari q1. Sebaliknya bila harga barang diturunkan ke titik P3, maka
jumlah permintaan terhadap barang cenderung bertambah dari q1
19
menuju ke titik Q. Ketika harga barang naik ke titik P2, maka kurva
penawaran (produsen) akan bergeser menjadi S1. Sedangkan bila harga
barang turun ke titik P3, maka kurva penawaran (produsen) akan
bergeser ke arah S2. Tetapi harga barang tidak naik dan tidak turun,
karena adanya subsidi dari pemerintah. Subsidi dimaksud adalah
subsidi harga. Sehingga daerah yang diarsir (a, b, c, d, e, f) merupakan
subsidi yang ditanggung oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan
pasar di titik E. Subsidi harga yang dilakukan oleh pemerintah adalah
untuk melindungi konsumen dan produsen apabila harga barang
bekerja sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Campur tangan
pemerintah dalam bentuk subsidi harga ini biasa dilakukan untuk
menstabilkan harga barang tersebut di pasar. Subsidi harga sering
dilakukan pemerintah terhadap produk energi, dan kebutuhan pokok
masyarakat.
Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
konsep subsidi adalah bantuan pemerintah kepada masyarakat
konsumen maupun produsen agar harga barang dan jasa lebih rendah
dan jumlah yang dibeli masyarakat lebih banyak. Subsidi merupakan
salah satu mekanisme pemerintah dalam melaksanakan fungsi distribusi
sebagai upaya pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya
diusahakan agar pemberian subsidi lebih terarah dan tepat sasaran
untuk masyarakat miskin, namun tetap memperhitungkan efisiensi dan
kemampuan keuangan negara (Munawar, 2013).
20
Dalam kajian yang dilakukan Tarigan (2014) menjelaskan
bahwa tujuan pemberian subsidi adalah sebagai alat untuk
meningkatkan daya beli masyarakat dan meminimalisasi ketimpangan
akses barang dan jasa. Subsidi juga ditujukan untuk membantu
meringankan beban rakyat atas harga komoditas yang menguasai hajat
hidup orang banyak guna menjaga stabilitas harga, sehingga terjangkau
oleh sebagian besar golongan masyarakat.
Hal senada juga dikemukan oleh Spencer dan Amos (1993),
dalam Ermawati, (2015) yang menyatakan bahwa subsidi adalah
pembayaran pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga dengan
tujuan agar masyarakat dapat memproduksi atau mengkonsumsi sebuah
produk dengan kuantitas yang besar atau dengan harga yang lebih
murah. Subsidi yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dimaksudkan
untuk mengurangi harga sehingga dapat meningkatkan output/produksi.
Ada beberapa jenis subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara
lain subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, pangan, pupuk,
benih, Public Service Obligation (PSO), bunga kredit, dan subsidi
pajak yang ditanggung oleh pemerintah.
Ermawati (2015) menerangkan subsidi BBM yang diberikan
pemerintah kepada masyarakat melalui produsen berfungsi mengurangi
biaya produksi sehingga harga BBM menjadi lebih murah. Hal tersebut
membuat fungsi penawaran dari S1 bergeser kebawah menjadi S2,
produsen dapat memberikan harga yang lebih rendah dari harga
21
sebelum subsidi (Gambar 2.2). Dengan adanya subsidi dari pemerintah
maka keseimbangan pasar berubah menjadi di E dengan harga P1 dan
jumlah barang yang ditawarkan menjadi lebih banyak yaitu dari Q
menjadi Q1. Dengan demikian, maka total subsidi yang diberikan
pemerintah adalah sebesar P0P1EA, dimana P0P2BA merupakan subsidi
produsen dan P2P1EB adalah subsidi konsumsen (lihat Gambar 2.2.)
Gambar 2.2. Kebijakan Subsidi Pemerintah
Sumber : Spencer dan Amor (1993)
2.2. Subsisi Energi di IndonesiaPamugar (2017) menjelaskan subsidi BBM telah ada sejak era
Orde Baru sampai dengan era reformasi saat ini. Di era Orde Baru
negara mampu menanggung subsidi BBM karena pemerintah
memperoleh pendapatan yang besar dari ekspor minyak. Saat itu,
22
Indonesia merupakan negara eksportir minyak yang memiliki kualitas
minyak terbaik dunia dengan kategori light crude. Setiap kenaikan
harga minyak menjadi tambahan penghasilan untuk negara. Sedangkan
saat ini Indonesia justru menjadi negara importir minyak dan tidak lagi
menjadi negara eksportir minyak sejak tahun 2003.
Grafik 2.1. Indonesia Negara Eksportir Menjadi Importir Minyak
Sumber : http://katadata.co.id dalam Pamugar (2017)
Indonesia sebelumnya bergabung dalam Organization of the
Petroleum Exporting Countries (OPEC), namun keluar pada tanggal 9
September 2008 setelah sejak tahun 2003 tidak mampu memenuhi
kebutuhan energi terutama kebutuhan minyak dan BBM sehingga lebih
banyak impor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustina et al..
(2008) yang menyatakan bahwa pendapatan dari minyak dan gas telah
menurun sejak tahun 2001, sementara subsidi BBM semakin naik dan
23
mencapai rekor tertinggi di tahun 2008. Perkembangan Indonesia dari
eksportir menjadi importir dapat dilihat dalam Grafik 2.1.
Cheon et al. (2013) melakukan penelitian dengan sampel 137
negara, menyatakan bahwa negara penghasil minyak akan memberikan
subsidi lebih besar daripada negara yang miskin minyak. Hal yang
tidak wajar di Indonesia adalah pemberian subsidi BBM yang besar
bahkan ketika sudah menjadi importir minyak. Pengurangan subsidi
BBM mulai dilakukan perlahan dengan peraturan-peraturan yang
ditandai dengan kenaikan harga BBM dari estafet pergantian
pemerintahan.
Tabel 2.1. Sejarah Harga Bahan Bakar Minyak (Rupiah per liter)
Periode Harga BBM (Rupiah per liter)
Tahun Tanggal Premium (Rp)
Naik/ Turun (%)
Solar (Rp)
Naik/ Turun (%)
Minyak Tanah
Naik/ Turun (%)
2016 1 April 6.550 (Jawa, Bali, dan Madura) 6.450 (selain Jawa,Bali, & Madura
˅7.1˅7.2
5150 ˅8.8 2500 -
5 Januari 7.050 (Jawa,Bali, Madura) 6.950 (selain Jawa, Bali, Madura)
˅3.4˅4.8
5650 v18.1 2500 -
24
2015 28 Maret 7300 ^7.4 6900 ^7.8 2500 -1 Maret 6800 ^3 6400 - 2500 -19Januari 6600 v13.2 6400 v11.7 2500 -1 Januari 7600 v10.6 7250 v3.3 2500 -
2014 18 Novb. 8500 ^30.8 7500 ^36.4 2500 -2013 22 Juni 6500 ^44.4 5500 ^22.2 2500 -2009 15 Januari 4500 v25 4500 v18.2 2500 -2008 1 Dsemb. 6000 ^33.3 5500 ^27.9 2500 ^252005 1 Oktober 4500 ^87.5 4300 ^104.8 2000 v9.1
1 Maret 2400 ^32.6 2100 ^11.1 2200 ^11.7Sumber : Pamugar (2017)
Data Tabel 2.1. menunjukkan pada 1 Oktober 2005 harga BBM
di Indonesia mengalami kenaikan paling tinggi dalam sejarah. Harga
premium naik sebesar Rp 2.100,00 atau 87,5% dari Rp 2.400,00
menjadi Rp 4.500,00 per liter. Solar naik sebesar Rp 2.200,00 atau
104,8% dari Rp 2.100,00 menjadi Rp 4.300,00 per liter
(Pamugar,2017). Sebagai bentuk kompensasi kepada masyarakat
miskin atas kenaikan harga BBM di tahun 2005 akibat pengurangan
subsidi BBM, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
untuk pertama kalinya sesuai Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005.
Untuk kenaikan harga BBM di tahun 2008, pemerintah kembali
memberikan BLT sesuai Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008.
Sedangkan kenaikan BBM di tahun 2013, pemerintah memberikan
kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2013.
Kurniawati (2017) menerangkan bahwa pesatnya kenaikan
jumlah konsumsi premium menjadi indikasi bahwa subsidi BBM jenis
ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu. Hal ini berarti
25
bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi lebih berpengaruh pada
masyarakat mampu. Namun demikian, golongan rumah tangga
berpenghasilan rendah rentan menjadi miskin karena efek inflasi
kenaikan harga BBM bersubsidi. Untuk mengatasi hal tersebut,
pemerintah membuat program kompensasi terkait pengurangan subsidi
BBM. Beberapa program pemerintah terkait pengurangan subsidi BBM
di Indonesia diantaranya bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk
rakyat miskin (Raskin), Biaya Operasional Sekolah (BOS), peningkatan
prasarana, dana bergulir, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Program bantuan langsung tunai (cash transfer) telah
dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan alokasi dana sebesar Rp 200
miliar. Program tersebut dilaksanakan dengan memberikan dana tunai
kepada rumah tangga miskin sebesar Rp 10.000,- per bulan per
keluarga dengan target 6,67 juta rumah tangga miskin pada tahun 2000.
Program cash transfer diberikan dalam kerangka kebijakan
perlindungan sosial (social protection) untuk mengatasi dampak
pengurangan subsidi BBM. Mekanisme yang dilakukan merupakan
asistensi sosial (social assistance) untuk membantu masyarakat miskin
agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar, mencegah penurunan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan
meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Program cash transfer seperti BLT dapat meningkatkan
pendapatan dan konsumsi rumah tangga miskin sehingga diharapkan
mampu mengurangi kemiskinan, setidaknya dalam jangka pendek.
26
Sebagai program perlindungan sosial, cash transfer dinilai lebih efisien
dan efektif dibanding program transfer lainnya. Hal ini karena cash
transfer tidak membutuhkan ruang penyimpanan yang besar, tidak
memerlukan biaya transportasi, memberikan pilihan bagi masyarakat
dalam membelanjakan uangnya, mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah, dan membuka lapangan kerja melalui multiplier perdagangan.
Tantangan dari program cash transfer adalah adanya kemungkinan
penerima cash transfer membelanjakan uangnya untuk barang-barang
yang tidak menunjang kesejahteraan, seperti rokok dan minuman keras
(Febriany dan Suryahadi, 2012).
SMERU (2011) melakukan kaji cepat pelaksanaan BLT tahun
2008 dan evaluasi penerima program BLT tahun 2005 di Indonesia,
menyatakan bahwa program BLT tahun 2008 masih relevan dan dapat
membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat
kenaikan harga BBM. BLT tidak mengakibatkan kemalasan dan
perubahan jam kerja RTS, karena jumlah dana yang diterima terbatas
dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka
pendek. Sehingga masyarakat miskin harus tetap bekerja untuk
memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin melalui
pemberian BLT (cash transfer) dapat dijelaskan dengan perilaku
konsumen melalui indifference curve. Seperti dapat dilihat dalam
Gambar 2.3, garis anggaran P-D merupakan garis anggaran rumah
tangga pada saat harga BBM disubsidi. Konsumsi BBM pada garis
27
anggaran ini adalah sebesar B0 dengan utilitas u. Pada saat terjadi
penurunan subsidi BBM, pendapatan riil masyarakat berkurang dan
garis anggaran bergeser menjadi P-F. Pada garis anggaran ini,
konsumsi BBM juga berkurang menjadi B1 dan utilitasnya menjadi u1.
Pemerintah kemudian memberikan cash transfer sebagai mitigasi
dampak penurunan subsidi BBM. Dengan adanya cash transfer,
pendapatan rumah tangga bertambah dan garis anggaran bergeser
menjadi P’-E. Pada garis anggaran ini konsumsi BBM dapat bertambah
menjadi B2 dan utilitas bergeser menjadi u2. Pergeseran garis anggaran
akibat adanya cash transfer memungkinkan rumah tangga
meningkatkan belanja agar tingkat kesejahteraan rumah tangga
bertambah. Hal ini tidak berlaku jika dana kompensasi diberikan dalam
bentuk barang. Pemberian kompensasi dalam bentuk barang hanya
dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga terhadap barang tersebut
namun tidak dapat menggeser garis anggaran.
Gambar 2.3. Kurva Indifference Perilaku Konsumen terhadap Penurunan Subsidi BBM
28
Sumber : Kurniawati, 2017
Pada tanggal 18 November 2014, pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM. Premium naik dari Rp 6.500,00 menjadi Rp
8.500,00 per liter, sedangkan solar dari Rp 5.500,00 menjadi Rp
7.500,00 per liter. Menurut pemerintah pengurangan subsidi BBM
dapat memberikan ruang fiskal hingga Rp 100,00 triliun (Tempo,
2014a). Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, pemerintah
memperkenalkan suatu skema bantuan sosial baru sebagai kompensasi
terhadap dampak harga energi yang meningkat. Yaitu Program
Keluarga Produktif yang mencakup bantuan keuangan, pendidikan, dan
kesehatan, yang dilaksanakan melalui sejumlah kartu pintar (Tempo,
2014b).
Pada 1 Januari 2015, pemerintah secara resmi menghapus
subsidi BBM jenis premium, dan menetapkan subsidi tetap untuk solar
sebesar Rp 1.000,00 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Nomor 39 Tahun 2015. Perhitungan harga
29
menggunakan rumus yang ditetapkan oleh pemerintah dan mengacu
pada harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dolar AS, serta faktor
inflasi. Pada 1 Juli 2016, subsidi tetap untuk solar diturunkan menjadi
sebesar Rp 500,00 berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27
Tahun 2016.
Definisi BBM didasarkan pada Peraturan Presiden No. 191
Tahun 2014, dimana pemerintah membagi jenis BBM dalam 3 (tiga)
jenis yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) yang selanjutnya
disebut jenis BBM tertentu adalah bahan bakar yang berasal
dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang
berasal dan/ atau diolah dari Minyak Bumi yang telah
dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi),
harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi.
2. Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) yang
selanjutnya disebut Jenis BBM Khusus Penugasan adalah bahan
bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau
bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi
yang telah dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
sebagai Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu
(spesifikasi) tertentu, yang didistribusikan di wilayah penugasan
dan tidak diberikan subsidi.
30
3. Jenis Bahan Bakar Minyak Umum (JBU) yang selanjutnya
disebut Jenis BBM Umum adalah bahan bakar yang berasal
dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang
berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi yang telah
dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi)
tertentu dan tidak diberikan subsidi.
Pamugar (2017) menjelaskan Peraturan Menteri ESDM Nomor
39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM,
sebagaimana telah diubah ke Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun
2015 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2015 (Antara
news, 2016). Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa subsidi BBM hanya untuk Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu
(JBT) yang terdiri dari minyak solar (gas oil) dan minyak tanah
(kerosene). Minyak solar diberikan subsidi tetap dari selisih kurang
harga dasar per liter setelah ditambah pajak-pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Besaran subsidi minyak
solar di tahun 2016 adalah sebagai berikut:
1. Tanggal 1 Januari s.d. 30 Juni 2016, besaran subsidi minyak
solar (gas oil) diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.
39 Tahun 2015 tanggal 9 November 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014
tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perhitungan harga
31
jual eceran jenis BBM tertentu berupa minyak solar (gas oil) di
titik serah, untuk setiap liter ditetapkan dengan formula sesuai
dengan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
dikurangi subsidi sebesar Rp 1.000,00.
2. Tanggal 1 Juli s.d. 31 Desember 2016, besaran subsidi minyak
solar (gas oil) diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.
27 Tahun 2016 tanggal 13 Oktober 2016 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014
tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perhitungan harga
jual eceran jenis BBM tertentu berupa minyak solar (gas oil) di
titik serah, untuk setiap liter ditetapkan dengan formula sesuai
dengan harga dasar ditambah PPN dan PBBKB dikurangi
subsidi sebesar Rp.500,00. Sedangkan subsidi untuk minyak
tanah adalah selisih kurang antara harga jual eceran per liter
dikurangi pajak-pajak dengan harga dasar per liter.
2.3. Dampak Subsidi Energi Fosil Terhadap LingkunganTingkat degradasi lingkungan dapat dijelaskan oleh Kurva
Kuznets Lingkungan (EKC) (Stern, 2004). Menurut Kurva Kuznets
Lingkungan (EKC) bahwa pada awal pembangunan, kondisi
perekonomian akan menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi begitu
tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, masyarakat mulai sadar akan
pentingnya lingkungan, sehingga laju degradasi lingkungan berkurang.
32
Namun, beberapa hasil studi menunjukkan tidak ada jaminan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan mengarah ke lingkungan yang lebih baik.
Paling tidak, ini membutuhkan kebijakan dan sikap yang kuat untuk
memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan
lingkungan membaik. Studi Sasana dan Putri (2018) menemukan
bahwa subsidi energi fosil mendorong peningkatan emisi CO2 dan
meningkatkan biaya sosial.
Sementara itu, dampak penggunaan energi yang berlebihan
adalah peningkatan gas CO2. Gas CO2 adalah senyawa kimia yang
terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan atom
karbon. Tidak berwarna, tidak berbau, dan berbentuk gas pada suhu dan
tekanan standar dan ada di atmosfer bumi. Gas CO2 dapat diproduksi
melalui berbagai proses dalam industri petrokimia atau dengan
membakar gas alam dalam proses kogenerasi. Yusgiantoro (2000)
menyebutkan energi eksternalitas (extern energy) sebagai eksternalitas
yang dapat terjadi dan menghubungkan antara gas rumah kaca dan
konsumsi energi; semakin besar konsumsi energinya, semakin besar
gas rumah kaca akan diproduksi.
Studi Riyakad dan Chiarakorn (2015) tentang efek konsumsi
energi pada emisi rumah kaca menemukan bahwa konsumsi energi
yang digunakan dalam proses produksi terbukti menghasilkan emisi gas
rumah kaca. Emisi gas rumah kaca yang dipancarkan dari LPG,
konsumsi listrik, dan dekomposisi kalsium karbonat masing-masing
adalah 80,97%, 18,62%, dan 0,41%. Sementara itu, studi Sheinbaum-
33
Pardo et al. (2012) di Meksiko pada periode 1990-2008 menemukan
bahwa ada beberapa perubahan penting dalam efek struktural yang
dapat menurunkan emisi pada 10 subsektor industri manufaktur.
Intensitas energi dan indeks karbon yang diuji memiliki efek negatif
pada semua subsektor kecuali semen dan beberapa subsektor lainnya.
Grafik 2.2. menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat
signifikan dalam penggunaan energi fosil dan energi terbarukan di
Indonesia selama tahun 1990-2014. Persentase penggunaan energi fosil
pada tahun 1990 adalah 53,43%, dan meningkat menjadi 65,56% pada
tahun 2014. Namun, persentase penggunaan energi terbarukan
cenderung menurun dari 44,11% pada tahun 1990 menjadi 26,2% pada
tahun 2014. Peningkatan penggunaan energi fosil terkait dengan
kebijakan fiskal pemerintah Indonesia yang memberikan subsidi
substansial untuk energi fosil. Pada 2015, alokasi subsidi bahan bakar
adalah Rp. 276,0 triliun (US $ 22,1 miliar), dan subsidi listrik adalah
Rp.68,7 triliun (US $ 5,5 miliar), sehingga total komitmen subsidi
energi adalah Rp.344,7 triliun (US $ 27,6 miliar) (Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, 2015). Meningkatnya penggunaan
energi fosil berdampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatnya
biaya sosial. Data empiris tentang subsidi energi dan biaya sosial pada
Grafik 2.3.
Grafik 2.2. Persentase Konsumsi Energi Fossil, Energi Terbarukan, dan Energi Lainnya di Indonesia Tahun 1990-2014
34
1990199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005200620072008200920102011201220132014
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Fossil (%) Renewable Energy (%) others (%)
Sumber : World Bank, diolah
Grafik 2.3. Subsidi Energi dan Biaya Sosial di Indonesia selama 1990-2014 (Milliar Rupiah)
Sumber : Kementrian Keuangan, diolah
Sebagaimana dibahas sebelumnya, semakin tinggi pemerintah
mensubsidi energi fosil semakin tinggi konsumsi energi fosil.
Meningkatnya konsumsi energi fosil akan menghasilkan dampak
negatif terhadap lingkungan, dan akibatnya semakin banyak biaya
sosial yang harus ditanggung pemerintah. Ellis (2010) telah
35
memperingatkan bahwa subsidi harus bertanggung jawab terhadap
kerusakan lingkungan yang menyebabkan polusi udara terkait kematian
dini, memperburuk kemacetan, efek samping yang merugikan sistem
transportasi, dan efek emisi gas rumah kaca.
Subsidi energi adalah kebijakan fiskal yang diterapkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, menurut Asian
Development Bank (2015), subsidi berkontribusi terhadap
ketidakseimbangan fiskal di banyak negara dan meningkatkan kerugian
operasional untuk utilitas. Selain itu, subsidi bahan bakar fosil memiliki
konsekuensi negatif lain yang tidak diinginkan karena membatasi
pengeluaran publik untuk prioritas pembangunan seperti pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur. Oleh karena itu, subsidi menjadi sarana
mahal untuk mendukung rumah tangga berpendapatan rendah dan
mendorong konsumsi berlebihan melalui harga energi yang rendah,
yang meningkatkan polusi udara, dan emisi gas rumah kaca. Kebutuhan
untuk mereformasi subsidi bahan bakar fosil telah semakin diakui
secara nasional dan internasional untuk menghapus subsidi yang tidak
efisien. Itu adalah trade off antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas
lingkungan.
Subsidi meningkatkan volume bahan bakar yang dikonsumsi,
dan meningkatkan besarnya eksternalitas negatif terkait (Peltovuori,
2017). Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan kembali
kebijakan energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan efek negatif
dari energi fosil yang digunakan. Salah satu solusi yang memungkinkan
36
untuk risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh meningkatnya
permintaan energi adalah dengan mempertimbangkan perubahan
kebijakan komposisi portofolio sumber daya energi (Abulfotuh, 2007).
Peningkatan penggunaan energi terbarukan dalam industri listrik
menjadi fokus pembahasan beberapa negara, karena memiliki potensi
besar untuk menyelesaikan hal utama terkait keberlanjutan energi
global.
Para ekonom menganggap subsidi bahan bakar fosil tidak hanya
meningkatkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap
perubahan iklim, tetapi juga mendorong konsumsi sumber daya yang
boros (Sdralevich et al., 2014). Liberty et al. (2013) menyatakan energi
fosil adalah energi yang tidak terbarukan yang akan habis pada suatu
saat, dan membakarnya menghasilkan gas rumah kaca. Oleh karena itu,
energi fosil tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan energi.
Akibatnya, diperlukan energi terbarukan dan berkelanjutan yang dapat
digunakan berulang kali.
Studi Coady et al. (2017) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi
membutuhkan harga energi yang mencerminkan tidak hanya biaya
pasokan tetapi juga biaya lingkungan seperti pemanasan global, polusi
udara, dan pajak yang diterapkan pada barang-barang konsumen secara
umum. Borenstein (2012) berpendapat bahwa tujuan utama kebijakan
mempromosikan energi terbarukan adalah untuk memperbaiki
eksternalitas polusi dari pembakaran bahan bakar fosil. Myojo dan
Ohashi (2014) telah melakukan simulasi selama 1997-2007 terjadi
37
peningkatan instalasi perumahan panel surya, sehingga emisi berkurang
sebesar sepertiga persen dari emisi tahunan di Jepang
Karbon dioksida (CO2) adalah senyawa kimia yang terdiri dari
dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan atom karbon. CO2
berbentuk gas pada suhu dan tekanan standar dan hadir di atmosfer
Bumi. Selain itu, CO2 adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau
yang dapat diproduksi oleh semua hewan, tanaman, jamur, dan
mikroorganisme. CO2 juga dapat dihasilkan dari efek samping dari
pembakaran energi fosil
Thao dan Van (2016) menyatakan bahwa konsumsi energi
memiliki dampak positif pada ekonomi, tetapi tidak bagi lingkungan.
Konsumsi energi secara luas dikenal sebagai alasan utama terjadinya
pemanasan global dan perubahan iklim, khususnya konsumsi energi
fosil. Dampak buruk lingkungan dari energi yang digunakan tidak
hanya berasal dari konsumsi energi tetapi juga dari proses eksploitasi.
Sementara itu, konsumsi energi terbarukan memiliki hubungan negatif
dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan konsumsi energi
terbarukan akan mengurangi emisi CO2.
Sementara itu, Ito (2017) menemukan konsumsi energi fosil
dapat menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan karena sisa
pembakaran energi fosil berbahaya bagi lingkungan; sementara itu,
residu energi terbarukan dianggap lebih ramah lingkungan. Shafei dan
Ruhul (2013) yang melakukan studi di negara-negara OECD pada
Kuznets Curve Hypothesis (EKC) antara urbanisasi dan emisi CO2
38
menemukan bahwa konsumsi energi yang tidak terbarukan memiliki
hubungan positif dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan
konsumsi energi non-terbarukan akan meningkatkan emisi CO2.
Sebaliknya, konsumsi energi terbarukan memiliki hubungan negatif
dengan emisi CO2, yang berarti bahwa peningkatan konsumsi energi
terbarukan akan mengurangi emisi CO2.
Sementara itu penelitian lain menyebutkan bahwa penghentian
subsidi bahan bakar dan listrik dapat mengurangi tingkat pengeluaran
emisi CO2 nasional sebesar 6,71% pada 2020, dengan kontribusi 6,66%
dari pencabutan subsidi BBM dan 0,92% dari pencabutan subsidi listrik
(Yusuf dkk.,2010).
2.4. Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan EkonomiPara ekonom telah melakukan berbagai penelitian mengenai
dampak penerapan kebijakan subsidi energi. Kajian Lestari (2003)
menyimpulkan bahwa kenaikan harga energi memiliki dampak negatif
dan positif. Dampak negatif diasosiasikan dengan perlambatan
ekonomi karena naiknya harga BBM membawa efek bagi besaran-
besaran makro ekonomi, seperti kenaikan inflasi dan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Dampak positif kenaikan harga BBM terutama
dalam jangka panjang terkait lepasnya ketergantungan terhadap
minyak, dan berkurangnya subsidi BBM yang membebani APBN
dalam memberikan jaminan terhadap sustainable development.
Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan energi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang sangat
39
besar. Studi Sasana dan Gozali (2017) di negara-negara BRICS
membuktikan bahwa konsumsi energi fosil, terutama energi batubara,
memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah instrumen paling kuat untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di negara-
negara BRICS. DFID (2017) telah mengidentifikasi hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan kebijakan: (1) Pertumbuhan
ekonomi membantu orang untuk mengentaskan kemiskinan, (2)
Pertumbuhan ekonomi mengubah masyarakat, (3) Pertumbuhan
ekonomi menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan pembangunan
manusia, (5) Pertumbuhan ekonomi meningkatkan kesehatan dan
pendidikan.
Araghi dan Barkhordari (2012) membuktikan bahwa harga
energi yang tinggi akan menurunkan konsumsi energi oleh rumah
tangga dalam jangka panjang. Demikian pula, Kojima (2017) dalam
studi kasusnya mengklaim bahwa menghapus subsidi energi
mempengaruhi kesejahteraan orang miskin. Selanjutnya, Oktaviani
dkk. (2007) dan Abouleinein et al. (2009) menegaskan bahwa
penghapusan subsidi energi menginduksi penurunan kesejahteraan
untuk semua kelas pendapatan, peningkatan kemiskinan, penurunan
pendapatan rumah tangga, dan pengurangan ketidaksetaraan dan rata-
rata pertumbuhan PDB tahunan. Selain itu, studi Lin dan Jiang (2011)
menggunakan model CGE untuk menganalisis dampak ekonomi dari
reformasi subsidi energi menunjukkan bahwa menghapus subsidi
40
energi akan mengakibatkan penurunan signifikan dalam permintaan
energi dan emisi, tetapi akan menciptakan dampak negatif pada
variabel ekonomi makro. Menurut Asian Development Bank (2015),
subsidi bahan bakar fosil telah menjadi fitur utama di banyak ekonomi
Asia dan bukan hanya Indonesia. Subsidi tersebut dapat dikategorikan
ke dalam subsidi konsumen yang menguntungkan pengguna seperti
industri transportasi, manufaktur, dan pembangkit listrik. Subsidi
produsen untuk menurunkan biaya bagi produsen yang terlibat dalam
eksplorasi, ekstraksi, atau pemrosesan produk energi.
Penelitian lainnya menyoroti kaitan antara sektor BBM dengan
sektor transportasi. Studi Breisinger et al. (2012) menyatakan
penurunan subsidi BBM akan berdampak langsung terhadap sektor
trnsportasi, yang ditandai dengan kenaikan tarif transportasi.
Sedangkan pada sektor yang tidak terkait langsung dengan BBM, maka
penurunan subsidi BBM yang terjadi tidak secara cepat direspon oleh
sektor tersebut (cenderung lambat).
Respon dari sektor yang terkena dampak langsung penurunan
subsidi BBM, seperti kenaikan tarif angkutan, menyebabkan turunnya
pendapatan riil masyarakat. Selain itu, kenaikan tarif juga memicu
peningkatan biaya produksi sektor lain yang menjadi konsumennya.
Dengan demikian, sektor yang terkena dampak langsung akan
mempengaruhi turunnya pendapatan riil masyarakat melalui kenaikan
harga produknya dan kenaikan harga dari sektor lain selaku pengguna
sektor yang terkena dampak langsung. Oleh karena itu, penanganan
41
dampak penurunan subsidi pada sektor yang terkait langsung dengan
BBM menjadi penting untuk meredam dampak jangka pendek
(Kurniawati, 2017). Penanganan dampak penurunan subsidi BBM
dalam jangka pendek juga dapat diberikan dalam bentuk cash transfer
berupa bantuan langsung tunai (BLT). Pemberian dana kompensasi
berupa BLT diharapkan dapat mengantisipasi peningkatan jumlah
rumah tangga hampir miskin (yang rentan terhadap gejolak ekonomi
dan force majeur lain) menjadi kelompok miskin, bahkan sangat
miskin.
Menurut World Resource Institute, Indonesia merupakan negara
berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah, namun
Indonesia merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar
ke-6. Beberapa sumber daya alam Indonesia berpotensi sumber energi,
baik energi fosil maupun terbarukan, yang dapat mendorong
perkembangan ekonominya. Gerelmaa dan Kotani (2016) menyatakan
bahwa sumber daya alam yang melimpah memiliki dampak positif pada
pertumbuhan ekonomi. Mereka mengidentifikasi negara-negara yang
memiliki sumber daya alam yang melimpah pada tahun 1990 an
mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik pada periode 1990 hingga
2010.
2.5. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kualitas LingkunganAkumulasi kerusakan lingkungan selama proses pembangunan
ekonomi tidak selamanya mengalami peningkatan, namun pada masa
tertentu, yang terjadi adalah pembangunan ekonomi akan menutup
42
kerusakan lingkungan itu sendiri. Hipotesis ini kemudian dikenal
sebagai Environmental Kuznets Curve. EKC berawal dari analogi
Kurva Kuznets yang menggambarkan dalam proses pembangunan
ekonomi, akan terjadi peningkatan kesenjangan (inequality), namun
pada suatu masa, pembangunan ekonomi akan mengurangi kesenjangan
tersebut (Vogel, 2012). Analisis EKC diperkenalkan oleh Grossman &
Krueger (1991) dan Shafik & Bandyopadhyay (1992).
Adanya hipotesis EKC diharapkan dapat memprediksi dampak
perkembangan perekonomian terhadap kondisi lingkungan, sehingga
dapat menjadi pertimbangan pihak terkait untuk mengatasinya. Meski
demikian, selama proses pembangunan seperti yang dinyatakan
hipotesis EKC pada Gambar 2.4, beberapa hal perlu diperhatikan.
Andreoni & Levinson(2001) menjelaskan bahwa terbuktinya hipotesis
EKC bergantung pada: (1) perubahan komposisi produksi dan
konsumsi; (2) preferensi masyarakat terhadap keberlangsungan
lingkungan; (3) peran institusi terkait yang menangani eksternalitas
kegiatan ekonomi; dan (4) seberapa besar return to scale atas kegiatan
yang merugikan lingkungan.
Gambar 2.4. Environmental Kuznets Curve (EKC)
43
Sumber: Uchiyama (2016)
Studi empiris mengenai hipotesis EKC telah dilakukan beberapa
peneliti dengan kasus berbagai negara. Arouri et al.. (2013)
menggunakan pendekatan metode kausalitas dan kointegrasi ARDL
menunjukkan bahwa hipotesis EKC terkonfirmasi di Thailand.
Selanjutnya, konsumsi energy dan keterbukaan perdagangan
internasional meningkatkan emisi polutan, sedangkan urbanisasi
penduduk justru sebaliknya. Dengan pendekatan yang sama, Ali and
Azam (2016) juga mengkonfirmasi hipotesis EKC di Malaysia, begitu
pula temuan Bölük & Mert (2014) di Turki.
Studi Olale et al.. (2018) menggunakan model Pooled effect
(PEM) dan model Fixed effect (FEM) pada provinsi dan daerah
teritorial di Kanada tahun 1990-2014, menggunakan proksi efek rumah
kaca (greenhouse emission) sebagai indikator kerusakan lingkungan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kedua model menunjukkan kesimpulan
yang berbeda dimana berdasarkan model PEM, EKC terkonfirmasi
hanya di beberapa daerah, sedangkan berdasarkan model FEM, EKC
44
terkonfirmasi di seluruh wilayah di Kanada. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa karakteristik antar daerah dan inovasi teknologi
menjadi kunci pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penelitian mengenai hipotesis EKC juga telah dilakukan
beberapa peneliti di Indonesia. Studi Saboori & Soleymani (2011)
menggunakan pendekatan Autoregressive Distributed Lag (ARDL)
dengan sampel tahun 1971-2007 menemukan bahwa hipotesis EKC
tidak terkonfirmasi di Indonesia. Secara spesifik, penelitian
mengestimasi emisi CO2 terhadap faktor keterbukaan perdagangan,
konsumsi energi, dan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk pangkat satu
dan pangkat dua. Temuan yang ada terjadi hubungan kurva U (U-
shaped curve) antara pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2, artinya
dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi akan mengurangi emisi,
kemudian ketika telah mencapai turning point, peningkatan
pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan emisi CO2.
Sedangkan studi Sugiawan & Managi (2016) juga
menggunakan pendekatan ARDL dengan sampel tahun 1971-2010
mengkonfirmasi adanya fenomen EKC di Indonesia. Berbeda dengan
hasil temuan Saboori & Soleymani (2012), Sugiawan & Managi(2016)
mengkritik penelitian sebelumnya yang belum memasukkan faktor
energi terbarukan dalam modelnya. Hasil temuan menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek akan meningkatkan emisi
CO2, sedangkan pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan
menurunkan emisi CO2. Peran energi terbarukan yang diproksikan
45
dengan produksi listrik berbahan renewable resources memiliki
pengaruh dapat mengurangi emisi CO2 baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Menurut studi ini, turning-point pertumbuhan
ekonomi akan diiringi penurunan emisi CO2 akan dicapai saat GDP
perkapita Indonesia mencapai 7729 USD, dimana kondisi ini belum
tercapai.
Grafik 2.4. Hubungan antara GDP dan Emisi CO2 di Indonesia Tahun 1960-2014
0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000
CO2 emissions (kt)
01000000000002000000000003000000000004000000000005000000000006000000000007000000000008000000000009000000000001000000000000
GDP
(con
stan
t 201
0 U
S$)
Sumber : World Bank, diolah
Grafik 2.4. menunjukkan bahwa Indonesia memasuki fase 2
dalam Environment Kusnetz Curve (EKC) hal ini ditunjukkan dengan
grafik yang meningkat, tetapi nilai koefisien dari variabel kuadrat
negatif. Artinya, peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari
tahun ke tahun lebih besar dibandingkan peningkatan emisi CO2.
BAB 3 METODE PENELITIAN
46
3.1. Lokasi StudiStudi ini dilaksanakan di Indonesia selama periode tahun 1990 –
2014. Indonesia sebagai negara berkembang menggunakan energi fosil
dan energi terbarukan seiring dengan laju industrialisasi. Selama ini
subsidi bahan bakar fosil tidak hanya meningkatkan emisi gas rumah
kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, tetapi juga
mendorong konsumsi yang boros. Subsidi bahan bakar fosil sering
dimanfaatkan dalam perpolitikan dengan motif membantu rakyat
miskin termasuk di Indonesia (Sdralevich et al., 2014).
3.2. Jenis dan Sumber Data Secara umum studi ini menggunakan data sekunder time series
dari berbagai sumber. Data sekunder yang digunakan bersumber dari :
1. World Development Indicator-World Bank
2. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
3. Kementrian Keuangan Republik Indonesia
Studi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu analisis dampak
subsidi energi terhadap kualitas lingkungan (dengan indikator emisi
CO2), analisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial.
3.3. Metode AnalisisMetode Analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda
(multiple regression model) dan diestimasi menggunakan Ordinary
47
Least Square (OLS) (Gujarati & Porter, 2009). Analisis dibagi menjadi
3 bagian: pertama, adalah analisis dampak subsidi energi terhadap
kualitas lingkungan (emisi CO2), kedua adalah analisis dampak subsidi
energi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan ketiga, analisis dampak
subsidi energi terhadap biaya sosial.
3.3.1. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Kualitas Lingkungan (Emisi CO2)
Analisis dampak subsidi energi terhadap kualitas lingkungan
(emisi CO2) model persamaan regresinya adalah :
Definisi variabel, satuan, dan sumber data pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1. Variabel, Satuan, dan Sumber Data Penelitian
No Variabel Sim Satuan Sumber
1. Emisi karbondioksia CO2 Kilotonne World Bank
2. GDP GDP US$ (konstan 2010) World Bank3. Energi primer EP Kg of oil equivalent per capita World Bank4. Subsidi energy SE Miliar Rupiah Kemenkeu RI
5. Energi terbarukan RE Persentase (%) World bank
6. Pertumbuhan penduduk PO Persentase (%) BPS
3.3.2. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Analisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi
model persamaan regresinya adalah :
48
)
Definisi operasional variabel, satuan, dan sumber dijelaskan pada Tabel
3.2. berikut:
Tabel 3.2. Variabel, Satuan, dan Sumber Data Penelitian
No Variabel Simbol Satuan Sumber
1. GDP GDP US$ (konstan 2010) World bank
2. Energi fosil FO Kg of oil equivalent World bank
3. Subsidi energi SE Milliar Rupiah Kemenkeu
4. Pertumbuhan Penduduk
PO Persentase (%) BPS
5. Energi Terbarukan RE Rasio energy terbarukan thd total energy (%)
World bank
3.3.3. Analisis Dampak Subsidi Energi Terhadap Biaya Sosial
Analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial model
persamaan regresinya adalah :
Definisi operasional variabel, satuan, dan sumber dijelaskan pada Tabel
3.3. berikut:
Tabel 3.3. Variabel Penelitian Persamaan Regressi Biaya Sosial
N Variabel Simbo
l
Satuan Sumber
49
o
1. Biaya Sosial SC Milliar Rupiah World bank
2. Emisi karbondioksia CO2 Kilotonne World Bank
3. Subsidi energi SE Milliar Rupiah Kemenkeu RI
5. Energi Terbarukan RE Rasio energy terbarukan thd total energy (%)
World bank
BAB 4 DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
50
Indonesia adalah negara kepulauan, terletak di lokasi geografis
yang strategis. Populasi Indonesia terbanyak keempat di dunia. Kondisi
ini membuat Indonesia memiliki potensi sekaligus tantangan di masa
depan. Pada saat yang sama, Indonesia juga memiliki banyak sumber
daya alam yang mendukung kebutuhan pembangunan infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam 30 tahun terakhir, tingkat rata-rata
pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5%. Tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi ini sejalan dengan perkembangan industrialisasi
yang tumbuh setiap tahun rata-rata 3,2% dari tahun 1998 hingga 2015.
Di bidang energi, konsumsi energi primer juga telah dikembangkan.
Administrasi Informasi Energi A.S. mencatat bahwa ada peningkatan
substansial dalam konsumsi energi primer Indonesia antara tahun 1995-
2014 sebesar 3,29 -7,38 Btu; pada tahun 2014 meningkat sebesar 4,8%.
Semakin besar penggunaan konsumsi energi semakin besar
emisi atau polusi yang dihasilkan, salah satunya adalah CO2. Emisi gas
CO2 yang dihasilkan dari proses optimasi energi terus meningkat
seiring laju industrialisasi di Indonesia yang meningkat. Pada tahun
1990-2014, peningkatan emisi CO2 yang dihasilkan dari optimasi
energi adalah 4,5% per tahun atau setara dengan 0,045 juta metrik ton.
Menyadari pentingnya energi dalam mendorong perekonomian
negara ke depan, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan subsidi
energi. Data dalam APBN menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan
subsidi energi oleh pemerintah Indonesia setiap tahun dalam 20 tahun
51
terakhir adalah IDR 2.815.544.579. Jumlah subsidi energi yang
disediakan oleh pemerintah mencerminkan jumlah penggunaan energi.
Penggunaan energi di Indonesia belum sepenuhnya optimal
untuk menyeimbangkan produksi dan konsumsi. Permintaan energi
sebagian besar dipasok dan diproses oleh Indonesia; sebagian besar
energi kita juga diekspor ke luar negeri. Faktanya, pertumbuhan
konsumsi energi Indonesia sekitar dua kali lipat dari pertumbuhan
produksi, dan 96% energinya tidak ramah lingkungan (Mujiyanto dan
Tiess, 2013). Posisi Indonesia masih merupakan eksportir bersih, dan
menurut Badan Statistik Indonesia (2017), 64,8% energi di Indonesia
diekspor mentah (lihat Grafik 4.1). Keadaan ini menyarankan bahwa
ada dua hambatan sekaligus; teknologi yang belum mapan untuk
mengoptimalkan produksi energi dan dampak negatif masa depan dari
penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan.
Grafik 4.1. Net Export of Indonesia Tahun 1971-2014
1971 1976 1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 20160%20%40%60%80%100%120%140%160%
Sumber: World Development Indicator-World Bank (2017)
52
Produksi energi di Indonesia sebagian besar bersumber dari
minyak bumi, batu bara, biomassa, geotermal, beofuel, dan gas. Pada
Grafik 4.2., dalam kurun waktu 5 tahun penggunaan energi berbahan
minyak meningkat setiap tahunya hingga pada tahun 2014 mencapai
38,25%. Sedangkan untuk penggunaan energi fosil lainya terlihat lebih
fluktuatif, dan untuk sumber energi terbarukan justru memiliki porsi
yang kecil pada pasokan energi di Indonesia.
Grafik 4.2. Proporsi Pasokan Energi fosil Indonesia 2009-2014
2009 2010 2011 2012 2013 20140%
20%
40%
60%
80%
100%
36.94% 34.02% 37.62% 38.45% 38.89% 38.37%
18.24% 20.59% 22.22% 22.35% 19.82% 20.61%19.37% 19.70% 17.41% 16.81% 17.69% 17.48%
22.12% 21.55% 19.88% 19.49% 20.04% 19.96%
Oil Coal Gas Water Geothermal Biomass Biofuel
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1. Subsidi dan Harga Energi Ermawati (2015) menjelaskan secara komprehensif terkait
subsidi dan harga BBM di Indonesia. Jumlah subsidi BBM yang
dianggarkan oleh pemerintah terus meningkat, rata-rata
pertumbuhannya sekitar 30.66% selama tahun 2006-2014. Pada tahun
2006 jumlah subsidi BBM sebesar Rp. 64.212,10 milyar menjadi Rp.
210.735,50 milyar tahun 2014. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun
2011 sebesar 100,56% dari Rp. 82.351,30 milyar (tahun 2010) menjadi
53
Rp. 165.161,30 milyar pada tahun 2011. Pengeluaran subsidi BBM
yang besar tersebut dilakukan karena disatu sisi pemerintah ingin tetap
mempertahankan harga BBM sebesar Rp. 4.500,00 per liter, disisi yang
lain harga minyak mentah dunia meningkat cukup drastis (sebesar
18,75 %) dari US$ 80 per barel pada tahun 2010 menjadi 95 per barel
pada tahun 2011. Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan,
harga minyak mentah dunia terus naik. Tahun 2012 menembus harga
US$ 106,9 per barel, maka pilihan yang dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6.500,00 per liter
pada tahun 2013 (lihat Grafik 4.3.).
Grafik 4.3. Perkembangan Subsidi BBM Tahun 2006-2014 (Milyar Rupiah)
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Pada November 2014 harga minyak menurun bahkan
menembus angka US$ 76,3 per barel, disebabkan pasokan minyak
mentah dunia yang melimpah akibat keputusan OPEC yang tidak mau
memangkas produksi minyaknya. Namun pemerintah pada 17
54
November justru mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM
sebesar Rp. 2.000,00 untuk premium dari Rp. 6.500,00 menjadi Rp.
8.500,00 dan solar dari Rp. 5.500,00 menjadi Rp. 7.500,00. Padahal
harga minyak mentah dunia masih jauh dibawah asumsi harga BBM
dalam APBNP 2014 sebesar US$ 105 per barel. Hal tersebut dilakukan
pemerintah karena memandang bahwa subsidi BBM selama ini sangat
memberatkan APBN, dan dapat dialihkan untuk belanja yang lebih
produktif. Seperti membangun dan memperbaiki infrastruktur jalan,
mempercepat realisasi pembangunan pembangkit baru, dan juga
pembangunan sektor maritim serta kelautan yang selama ini menjadi
prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Menurut Kementerian ESDM (2014) kenaikan harga BBM pada
November 2014 dilakukan untuk menghemat anggaran subsidi sebesar
Rp. 100 – Rp.120 triliun, dan akan dialihkan untuk peningkatan sektor
yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan. Hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur Bank
Indonesia Martowardojo (Detik Finance,2014), bahwa kenaikan harga
BBM sebesar Rp. 2.000,00 per liter mampu menghemat anggaran
sebesar Rp. 20,00 triliun pada tahun 2014 dan bisa mencapai Rp.
111,00 triliun pada tahun 2015.
Dalam perkembangannya, harga minyak mentah dunia terus
menurun, bahkan pada 26 Desember 2014 menembus US$ 59,45 per
barel. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk menurunkan
harga BBM pada 1 januari 2015, untuk jenis premium turun Rp. 900,00
55
dari Rp. 8.500,00 menjadi Rp.7.500,00 sementara solar dari Rp.
7.500,00 menjadi Rp. 7.250,00. Dalam rangka mengurangi anggaran
subsidi, pemerintah tidak akan memberikan subsidi terhadap BBM
khususnya premium, dan akan memberlakukan harga patokan premium
berdasarkan harga keekonomian, yaitu mengikuti fluktuasi harga
minyak mentah dunia serta nilai kurs. Untuk solar dan minyak tanah
akan tetap diberlakukan subsidi, besaran subsidi untuk solar Rp.
1.000,00 per liter dan harga minyak tanah ditetapkan menjadi Rp.
2.500,00 per liter. Solar dan minyak tanah banyak digunakan oleh
masyarakat kalangan menengah bawah untuk aktivitas ekonomi seperti
bahan bakar untuk nelayan, angkutan umum, dan lainnya.
Sampai dengan Januari 2015, perkembangan harga minyak
mentah dunia terus melemah, pada 14 januari 2015 (Forex,2015)
melaporkan bahwa harga minyak mentah Brent terus turun dibawah U$
60 per barel menjadi U$ 45,73 per barel, dan WTI sebesar US$ 45,35
per barel. Sehingga pada 19 Januari pemerintah kembali menurunkan
harga premium menjadi Rp. 6.600,00 per liter, dan solar Rp. 6.400,00
per liter. Namun apabila harga minyak mentah dunia kedepan mulai
naik dan stabil pada kisaran US$ 80 per barel dan nilai kurs tetap sama
di Rp. 12.300,00. Satu barel setara dengan 159 liter, maka diperkirakan
harga minyak mentah Indonesia berkisar Rp. 6.000,00 per liter. Dengan
asumsi biaya produksi dan pajak serta pemasaran minyak mentah
menjadi premium siap pakai sekitar Rp. 3.000,00 per liter, maka harga
keekomoniannya menjadi sekitar Rp. 9.200,00 per liter. Dengan tidak
56
adanya subsidi maka masyarakat harus membeli premium seharga Rp.
9.200,00 per liter. Jika harga minyak mentah terus naik dan seperti
yang terjadi pada awal 2014 sekitar U$ 100 per barel dan asumsi nilai
kurs Rp. 13.000,00 maka masyarakat harus siap membayar premium
dengan harga sekitar Rp.11.100,00 per liter.
Dengan tidak adanya subsidi premium, ketika harga minyak
mentah dunia US$ 80-100 per barel, harga keekonomian premium
diperkirakan berada pada kisaran Rp. 9.200,00 – Rp.11.100,00 per liter.
Dibandingkan dengan harga bioetanol yang berkisar Rp. 8.000,00 –
Rp.9.500,00 per liter, maka harga energi terbarukan khususnya
bioetanol bisa jauh lebih murah.
Energi dari Bahan Bakar Nabati (BBN) sendiri sudah ada
subsidi yang diberlakukan oleh pemerintah semenjak tahun 2009.
Subsidi diberikan ketika harga BBN lebih tinggi dari harga MOPS (Mid
Oil Platts Singapura) yang ditagihkan oleh badan usaha pelaksana PSO
(tidak oleh produsen BBN) kepada pemerintah. Proses verifikasi data
jumlah subsidi yang akan dibayarkan dari kementerian keuangan
kepada badan pelaksana PSO dilakukan oleh BPH Migas. Pada tahun
2009 besaran subsidi BBN Rp. 1.000,00 per liter, pada tahun 2010-
2011 sebesar Rp. 2.000,00. Tahun 2014 mengalami kenaikan subsidi
biodiesel untuk transportasi PSO sebesar Rp. 3.000,00 per liter,
sementara untuk bioetanol sebesar Rp. 3.500,00 per liter.
57
Gambar 4.1. Komposisi Subsidi BBM Tahun 2015 Sebelum Kenaikan Harga BBM Tanggal 1 Januari 2015
Sumber : Kementerian ESDM (2014)
Persentase subsidi biofuel masih sangat kecil dibandingkan
dengan subsidi BBM jenis lainnya. Dari jumlah subsidi BBM yang
direncanakan tahun 2015 sebesar Rp. 276,01 triliun (sebelum kenaikan
harga BBM Januari 2015), proporsinya adalah sebesar 39,23% untuk
subsidi premium, 29,08% untuk subsidi solar, 2,20% untuk subsidi
minyak tanah, 19% untuk subsidi gas elpiji 3 kg, dan sisanya 9,52%
(sebesar Rp. 26,27 triliun) untuk subsidi biofuel dan liquid gas for
vehicle (LVG) (lihat Gambar 4.1). Kebijakan penghapusan subsidi
premium, alokasi subsidi pun berubah, menurut Menteri Keuangan
Brojonegoro dari 81 triliun subsidi BBM yang dianggarkan berubah
menjadi Rp.25 triliun untuk membayar utang kepada PT Pertamina
58
untuk carry over atau hutang subsidi tahun lalu, 17 triliun dialokasikan
untuk subsidi solar, 23 triliun untuk elpiji 3 kg, dan Rp. 6 triliun untuk
subsidi minyak tanah, dan sisanya biofuel dan LGV (Republika, 2015).
Setelah kebijakan pencabutan subsidi premium dan
memberlakukan subsidi tetap Rp. 1.000,00 per liter untuk solar,
pemerintah mendorong diversifikasi energi dan peningkatan
penggunaan BBN dengan memberikan tambahan anggaran kepada
Kementrian ESDM sebesar Rp. 5,00 triliun untuk menjalankan
program tersebut (Sindo, 2015). Hal tersebut sangat ditunggu oleh
produsen BBN karena selama ini salah satu yang menjadi kendala
dalam pengembangan BBN adalah harga produksi BBN yang dipatok
rendah oleh pemerintah.
Harga BBN awalnya diatur oleh pemerintah dalam Permen
ESDM No 0219/12/2010 tentang harga indeks pasar bahan bakar
minyak dan bahan bakar nabati (biofuel) yang dicampurkan ke dalam
jenis bahan bakar minyak tertentu. Dalam Permen tersebut, harga
biodiesel ditetapkan berdasarkan harga patokan ekspor biodiesel
minyak sawit (FAME) yang ditetapkan Menteri Perdagangan dengan
konversi 870 kg/m3, sedangkan untuk bioetanol didasarkan harga
publikasi Argus untuk ethanol FOB Thailand pada periode satu bulan
sebelumnya ditambah 5% indeks penyeimbang produksi dalam negeri
dengan faktor konversi 788 kg/m3.
Meskipun sudah ada subsidi BBN, produsen BBN terutama
biodiesel merasa keberatan dengan harga yang di tetapkan oleh PT
59
Pertamina selaku badan pelaksana PSO yang membeli biodiesel
berdasarkan harga MOPS Gas Oil minus biaya transportasi, asuransi,
inspeksi dan distribusi (alpha). Padahal ketika membeli solar dari
Singapura, PT Pertamina membeli dengan harga MOPS plus alpha
sehingga produsen biodiesel di dalam negeri yang harus menanggung
biaya transportasi dan pemasarannya.
Sementara itu PT Pertamina bersikukuh membeli bioetanol
yang diproduksi PTPN X dengan kualitas di atas standar, yaitu fuel
grade 99,7 persen dengan formulasi harga Argus ditambah 5 persen.
Hal ini dipandang sangat menguntungkan PT Pertamina selaku
konsumsen dibandingkan dengan produsen sehingga menyebabkan
beberapa produsen menunda produksinya atau mengalihkan ke industri
dengan grade 95 persen (Tempo, 2013). Permen ESDM No
0219/12/2010 kemudian direvisi dengan Permen ESDM 2185K/12/
MEM/2014 tentang Harga Indeks Pasar (HIP) bahan bakar nabati
(biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis banyak minyak tertentu.
Terjadi perubahan mendasar didalam Permen baru tersebut, HIP jenis
biodiesel didasarkan pada harga publikasi MOPS Gas Oil rata-rata pada
periode 1 bulan sebelumnya, ditambah 3,48% MOPS yang berlaku
untuk biodiesel yang dicampurkan dengan BBM tertentu. Harga
tersebut sudah termasuk biaya pengangkutan biodiesel dari titik suplai
produsen sampai di titik terminal BBM utama. Sementara untuk
bioetanol, harga didasarkan pada publikasi Argus untuk etanol FOB
60
Thailand rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah 5%
indeks penyeimbang sebesar 778 kg/m3.
Dikeluarkannya Permen baru ESDM tersebut disambut baik
oleh para produsen BBN. Salah satunya oleh Dirut PT. Energi Agro
Nusantara dalam industri bisnis (2014) bahwa revisi harga bioetanol
yang semula berdasarkan harga Argus ditambah 5 persen menjadi 14
persen sangat menarik bagi industri bioetanol, terutama jika diiringi
dengan peningkatan penyerapan bioetanol untuk pencampuran BBM.
Harga bioetanol yang pada awalnya sekitar Rp. 8.000,00 menjadi Rp.
9.200,00 - 9.400,00.
4.2. Realisasi Subsidi BBM
Studi Mulyani dkk. (2015) menunjukkan bahwa dari tahun
anggaran 2000 sampai dengan tahun anggaran 2012 jumlah realisasi
subsidi BBM selalu melebihi dari subsidi yang dianggarkan pemerintah
dalam APBN. Berdasarkan data Tabel 4.1. tahun 2007 tercatat realisasi
subsidi BBM sebesar Rp. 83,70 triliun atau 16,6 persen dari total
APBN hingga mencapai 2,5 kali lipat subsidi listrik dan non-energi.
Pada tahun 2007 anggaran subsidi BBM juga mengalami defisit hingga
mencapai Rp. 28.188,00 triliun.
Realisasi subsidi BBM pada tahun 2008 meningkat lagi hingga
mencapai Rp.139,107,00 triliun. Kondisi ini disebabkan harga minyak
mentah dunia yang mencapai 100 US$ per barel, dan terjadinya
depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika mencapai Rp. 10,950 per
61
dolar Amerika. Tahun 2009 realisasi subsidi BBM mengalami
penurunan tajam disebabkan oleh kemerosotan harga minyak dunia
yang mencapai di bawah 70 US$ per barrel. Tahun 2011 subsidi BBM
kembali mengalami defisit yang tajam, disebabkan oleh meningkatnya
harga minyak dunia mencapai 19,50 persen dari tahun sebelumnya.
Beban subsidi yang ditanggung APBN jumlahnya berfluktuasi dan
cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 4.1. Realisasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam APBN Tahun 2000-2012 (dalam Triliun rupiah)
No Tahun Aggaran Subsidi BBM
RealisasiSubsidi BBM
Defisit/SurplusAnggaran Subsidi
1. 2000 51.135 53.810 -2675
2. 2001 53.781 68.381 -14600
3. 2002 30.462 31.162 -700
4. 2003 24.512 30.038 -5526
5. 2004 63.083 69.025 -5942
6. 2005 89.194 95.599 -6405
7. 2006 62.732 64.212 -1480
8. 2007 55.604 83.792 -28188
9. 2008 126.816 139.107 -12291
10. 2009 52.392 45.039 7353
11. 2010 68.727 82.351 -13624
12. 2011 129.724 165.161 -35437
13. 2012 123.600 137.380 -13680
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2012
62
Ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi subsidi BBM
di Indonesia selalu melebihi jumlah yang dianggarkan sehingga subsidi
BBM di dalam APBN seringkali disebut sebagai salah satu beban
APBN dan penyebab defisit APBN.
4.3. Kualitas Lingkungan Aktivitas ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan di
Indonesia dan mencapai kondisi yang memprihatinkan. Beberapa
kondisi yang dicatat, antara lain laju deforestasi mencapai 1,8 juta
hektar/tahun. Dari tahun 2001 hingga 2017 Indonesia kehilangan luas
hutan 24,4 Mha, dan hanya 68% dari hutan Indonesia pada 2010, serta
30% dari 2,5 juta hektar karang di Indonesia mengalami kerusakan
(GWF, 2016). Data tentang kualitas lingkungn dengan indikator emisi
CO2 yang dikeluarkan oleh World Bank Report (2016) menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari tahun 1990 hingga 2015 (Grafik 4.4.).
Grafik 4.4. Emisi CO2 di Indonesia 1990-2015
Sumber : World Bank (diolah)
63
Kerusakan lingkungan telah menyebabkan menurunnya kualitas
lingkungan, meningkatnya kejadian bencana alam, mengancam
kelestarian flora dan fauna. Selain itu juga meningkatkan risiko
bencana terhadap wilayah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati
laut, produksi perikanan laut yang rendah, polusi air, polusi tanah, dan
polusi laut. Hasil studi Sasana dan Ghozali (2017) menunjukkan bahwa
konsumsi energi fosil dan peningkatan populasi telah mendorong
peningkatan emisi CO2, dan kualitas lingkungan menurun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak kegiatan
pembangunan ekonomi yang mengarah pada industrialisasi dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi di sisi lain telah
menurunkan kualitas lingkungan. Pada 2017 tidak kurang dari 30.000
industri berkembang di Indonesia, dan akan meningkat setiap tahun.
Munculnya era industrialisasi yang ditandai dengan berdirinya pabrik-
pabrik yang memproduksi berbagai kebutuhan manusia telah
meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain tingkat pencemaran
lingkungan juga meningkat. Studi Sasana dan Ghozali (2017) di negara
BRICS menunjukkan bahwa kegiatan industrialisasi dengan
mengonsumsi energi fosil khususnya batu bara berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara BRICS.
Studi Awan (2013) di Pakistan menyimpulkan bahwa
penggunaan sumber daya energi memiliki dua efek yang berlawanan.
Sangat penting untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat. Namun
disisi lain semakin memperburuk kondisi lingkungan. Oleh karena itu,
64
disarankan untuk menggunakan sumber daya energi terbarukan dan
ramah lingkungan untuk menjaga ekonomi lingkungan berkelanjutan.
Selanjutnya, Sovacool (2017) berpendapat bahwa subsidi energi
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya, subsidi
batubara di UE dan Jepang melepaskan emisi karbon dioksida (CO2)
sebanyak 50 hingga 100 juta ton per tahun. Di Australia, subsidi murah
untuk listrik berbasis batubara memicu industri peleburan melepaskan
emisi gas rumah kaca setinggi 2,5 kali.
Dalam hal menilai implikasi negatif yang disebabkan oleh emisi
CO2, penurunan kualitas lingkungan dapat diukur dengan peningkatan
emisi atau konten polutan seperti polusi udara, polusi air, dan polusi
tanah sebagai akibat dari eksplorasi energi. Efek negatif pencemaran
pada air dan tanah dapat diidentifikasi secara langsung, tetapi
pencemaran udara membutuhkan waktu untuk diketahui. Dalam
menghitung polusi udara, salah satu indikator yang paling umum
digunakan adalah tingkat emisi CO2 yang dihasilkan oleh eksplorasi
atau penggunaan energy. Studi Sasana, et al,(2018) menyatakan bahwa
masuknya FDI ke Indonesia juga berdampak positif terhadap emisi CO2
di Indonesia. Namun secara umum globalisasi ekonomi berdampak
negative terhadap emisi CO2 di Indonesia (Sasana, et al,2018).
65
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Subsidi Energi dan Kualitas Lingkungan (Emisi CO2 )Beberapa studi dampak konsumsi energi terhadap kualitas
lingkungan menemukan hasil yang bervariasi. Hasil estimasi dampak
konsumsi energi terhadap emisi CO2 di Indonesia terlihat pada Tabel
5.2. Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda diperoleh bahwa
nilai deteksi F-statistik sebesar 201.7663 dengan nilai p-value sebesar
0,0000, yang berarti bahwa secara bersama – sama variabel dependen
berpengaruh terhadap emisi karbon dioksida (CO2). Nilai R-square
sebesar 0.9815, menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi,
penggunaan energi primer, subsidi energi, penggunaan energi
terbarukan, dan pertumbuhan penduduk berpengaruh terhadap variabel
emisi CO2 sebesar 98.15%. Sedangkan 1.85% sisanya dipengaruhi oleh
faktor lain diluar model penelitian.
Informasi data deskriptif kajian dalam studi ini dapat dilihat
pada Tabel 5.1. Standar deviasi antar variabel memiliki varian yang
luas, emisi CO2 rata-rata di Indonesia adalah 301.821 juta metrik ton.
Subsidi energi rata-rata adalah Rp. 87.809.863.000, sedangkan rata-rata
66
pertumbuhan penduduk adalah 1,42%. Selain itu, rata-rata konsumsi
energi fosil adalah 62,1% dan konsumsi rata-rata energi terbarukan
adalah sebesar 45,45%.
Tabel 5.1. Deskriptif Statistik Variabel Penelitian
Variabel Mean Standar Deviasi
Minimum Maximum
Emisi CO2 301.821 92.468 157 447Subsidi Energi 87.810 102.638 161.6 350.38Pertumb Penduduk 1.424 0.152 1.260 1.781Energi Fosil 62.108 3.627 53.430 67.154Energi Terbarukan 45.457 6.543 38.066 58.597
Sumber : data sekunder (diolah) SD: Standar Deviasi
Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa hipotesis EKC
tidak terkonfirmasi di Indonesia. Sejalan dengan makna model tersebut
yang menggambarkan kondisi hubungan antar variabel independen dan
variabel dependen dalam jangka panjang, GDP sebagai variabel utama
dalam postulat EKC justru memiliki arah positif dan signifikan
terhadap emisi CO2. Peningkatan GDP dalam jangka panjang masih
akan meningkatkan emisi CO2. Disisi lain, perekonomian Indonesia
belum menunjukkan daya dukung terhadap keberlanjutan lingkungan
secara optimal. Zoundi (2017) juga mengidentifikasi hasil serupa dalam
kasus 25 negara di Afrika bahwa dalam jangka panjang, fase ekonomi
negara-negara ini belum mencapai titik balik pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi tidak akan secara otomatis mengurangi
emisi karbon dioksida (Özokcu dan Özdemir, 2017). Hasil serupa juga
ditemukan oleh Zoundi (2017) pada kasus 25 negara di Afrika yang
67
mana hingga jangka panjang, fase perekonomian negara-negara
tersebut masih belum mencapai turning-point pertumbuhan ekonomi.
Studi Özokcu & Özdemir (2017) menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak akan secara otomatis dapat mengurangi emisi karbon
dioksida (CO2).
Tabel 5.2. Hasil Etimasi Variabel Dependen Emisi CO2
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
EP 0.497670 0.169634 2.933793 0.0085*SE 7.09E-06 7.37E-05 0.096280 0.9243PO 160.2936 62.54546 2.562833 0.0190*RE -5.657520 2.658731 -2.12790 0.0467*GDP 0.031458 0.008103 3.882327 0.0010*
-83.05409 228.1006 -0.36411 0.7198R-squared 0.981514Adj. R-squared 0.976650F-statistic 201.7663Prob(F-statistic) 0.000000
*menunjukkan signifikansi pada tingkat kesalahan = 5%,
Total energi primer memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap emisi CO2. Variabel penggunaan energi primer (EP), memiliki
koefesien estimasi sebesar 0.4977 dengan nilai t-statistik yang
signifikan pada . Artinya, peningkatan penggunaan energi primer akan
meningkatkan emisi CO2 secara signifikan. Hasil studi ini sejalan
dengan temuan Mercan dan Karakaya (2015), Denmark et al. (2017),
Chibueze et al. (2013), Mujiyanto & Tiess (2013), bahwa sumber
energi di Indonesia masih bergantung pada sumber daya yang tidak
terbarukan, yaitu sekitar 96% dari total energi yang digunakan. Karena
68
itu, dampak negatif atas penggunaan energi primer yang ada di
Indonesia saat ini tentu akan memiliki dampak buruk pada lingkungan.
Subsidi energi memiliki pengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap emisi CO2. Artinya peningkatan subsidi berpotensi
mendorong emisi CO2. Temuan ini relevan dengan studi Sasana et al.
(2017), Grafton et al.. (2014), Abouleinein et al. (2009) dimana subsidi
memiliki arah pengaruh yang positif dan signifikan terhadap emisi gas
CO2. Dari hasil penelitian tersebut, artinya subsidi dapat meningkatkan
emisi CO2 melalui jalur harga barang. Ketika subsidi harga energi
ditingkatkan, maka pendapatan riil seseorang individu dapat meningkat,
sehingga mendorong masyarakat untuk membeli bahan bakar dalam
jumlah yang lebih banyak.
Hasil studi selanjutnya menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
peningkatan emisi CO2. Pertumbuhan penduduk, dengan koefesien
sebesar 160.2936 dan nilai t-statistik signifikan pada . Peningkatan
pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan emisi CO2 secara
signifikan. Temuan ini sejalan dengan studi Pata (2018), Hang dan
Yuan (2011), Yeh dan Liao (2017), Shi (2001) dimana pertumbuhan
dan mobilitas penduduk memiliki hubungan positif jangka panjang
dengan emisi CO2. Penduduk memiliki peran penting dalam menjaga
lingkungan, karena mereka adalah konsumen energi itu sendiri.
Semakin meningkat pertumbuhan jumlah penduduk, maka akan
69
meningkatkan tingkat konsumsi perkapita dan kemudian berujung pada
peningkatan emisi karbon dioksida.
Energi terbarukan (RE) memiliki arah hubungan negative dan
signifikan terhadap jumlah emisi CO2. Energi terbarukan (RE),
memiliki koefesien sebesar -5.6575 dengan nilai t-statistik signifikan
pada . Artinya, peningkatan penggunaan energi terbarukan akan
menurunkan emisi CO2 secara signifikan. Hasil studi ini sejalan dengan
studi Chen, et al.(2018), bahwa peningkatan penggunaan energi
terbarukan akan menurunkan emisi CO2. Indonesia adalah negara
dengan konsumsi energi yang besar, namun karena kurangnya
infrastruktur pendukung dan penggalangan investasi di sektor energi
terbarukan, Indonesia masih mengandalkan minyak sebagai bahan baku
energi yang utama (Kumar, 2015). Chen et al. (2018) bahwa
peningkatan penggunaan energi terbarukan akan mengurangi emisi
CO2. Bilgili et al. (2016) menemukan bahwa konsumsi energi
terbarukan secara negatif mempengaruhi emisi CO2. Energi terbarukan
dianggap lebih ramah lingkungan dan dapat mengurangi polusi
sehingga dampaknya terhadap emisi CO2 negatif. Penelitian Zoundi
(2017) juga menemukan bahwa konsumsi energi terbarukan memiliki
efek negatif pada emisi CO2. Dalam jangka panjang, peningkatan
konsumsi energi terbarukan akan menggantikan penggunaan energi
fosil. Namun, menurut Zoundi (2017), dampak konsumsi energi
terbarukan sebanding dengan dampak konsumsi energi fosil. Oleh
70
karena itu diperlukan kebijakan yang bersinergi untuk mengendalikan
emisi CO2 dan masalah lingkungan lainnya.
5.2. Subsidi Energi dan Pertumbuhan EkonomiAnalisis dampak subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi
di Indonesia menggunakan metode OLS. Hasil estimasi regresi dampak
subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia terlihat
pada (Tabel 5.3). Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda
menunjukkan nilai F hitung positif dan signifikan. Sehingga variabel
penggunaan energi fosil, penggunaan energi terbarukan, subsidi energi,
dan pertumbuhan penduduk secara serentak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Nilai R-Square sebesar 0,8676, menunjukkan
pengaruh variabel bebas (penggunaan energi fosil, subsidi energi,
pertumbuhan penduduk, dan penggunaan energi terbarukan)
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 86,76 pesen,
sedangkan 13,24 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model
penelitian.
Tabel 5.3. Hasil Estimasi Dengan Variabel Dependen GDP
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
EP 8.970493 4.229743 2.120813 0.0466*SE 0.006985 0.001302 5.365744 0.0000*PO -1383.773 1698.061 -0.814913 0.4247RE 142.0519 66.13911 2.147775 0.0442*C -10253.47 5862.332 -1.749043 0.0956**
R-squared 0.867666Adjust. R-squared 0.841199F-statistic 32.78325Prob(F-statistic) 0.000000
71
* signifikansi pada =5%, * *signifikansi pada = 10%
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel konsumsi energi
fosil nilai t hitung sebesar 2.12081 dengan tingkat probabilitas 0,0466.
Artinya bahwa penggunaan energi fosil berpengaruh positif signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penggunaan energi fosil dalam
kegiatan ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sesuai dengan studi Pao et al. (2014), yang menjelaskan ada pengaruh
positif antara peningkatan konsumsi energi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Studi Toman and Jemelkova (2003), juga menjelaskan bahwa
konsumsi energi merupakan syarat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, energi merupakan input langsung dalam proses produksi dan
input tidak langsung yang melengkapi tenaga kerja dan modal. Dalam
hal itu penting sekali untuk mengarahkan kebijakan yang bersifat
peningkatan konsumsi energi yang mampu merangsang pertumbuhan
ekonomi. Studi Dagher (2012), juga menjelaskan bahwa penggunaan
energi sangat berpengruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Yordania.
Temuan berikutnya hasil estimasi variabel subsidi energi nilai t
hitung sebesar 5.36574 dengan tingkat probabilitas sebesar 0,000.
Menyatakan bahwa variabel subsidi energi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sejalan dengan
hasil studi Mundaca (2017), yang mejelaskan pengaruh efek pemberian
subsidi energi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di negara Afrika
Utara. Hasilnya subsidi energi mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di kawasan negara – negara Afrika Utara. Studi Sulistiowati
72
(2015), juga menjelaskan bahwa subsidi pada bahan bakar fosil, listrik,
dan subsidi gas berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Variabel pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang tidak didukung
dengan kualitas sumber daya manusia, serta rendahnya jiwa
kewirausahaan justru meningkatkan pengangguran di masa mendatang.
Hasil studi ini tidak jauh berbeda dengan studi Zulfa (2016), yang
menjelasakan bahwa kenaikan pertumbuhan penduduk tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Maltus (1820),
yang dijelasakan Oberai (dalam Zulfa, 2016) juga menjelaskan bahwa
pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan tingkat
konsumsi yang lebih banyak dari pada kebutuhan untuk berinvestasi,
sehingga alokasi sumber daya kapital semakin berkurang.
Temuan selanjutnya, variabel penggunaan energi terbarukan
nilai t hitung sebesar 2.14777 dengan tingkat probabilitas sebesar
0,0442. Artinya konsumsi energi terbarukan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Studi Oliveira
et al. (2011), juga menjelaskan bahwa penggunaan energi terbarukan
mampu merangsang pertumbuhan ekonomi. Studi Mahmoodi dan
Mahmoodi, (2011), juga menjelaskan bahwa ada hubungan searah
anatara penggunaan energi terbarukan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Iran, India, Pakistan dan Yordania.
5.3. Subsidi Energi dan Biaya Sosial
73
Dalam analisis dampak subsidi energi terhadap biaya sosial,
digunakan tiga variabel independen dan satu variable dependen.
Variabel independen adalah subsidi energi, emisi CO2, dan konsumsi
energi terbarukan, sedangkan variabel dependennya adalah biaya sosial.
Variabel-variabel ini dianalisis menggunakan regresi linier berganda
dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Deskripsi variabel dalam studi ini terlihat pada Tabel 5.4.
Deskripsi data menunjukkan bahwa selama periode tahun 1990-2014,
biaya sosial rata-rata adalah Rp.7.575,954 miliar, emisi CO2 rata-rata
adalah 330.159,7 kt. Subsidi energi rata-rata adalah Rp.
87.809.863.000, dan konsumsi energi terbarukan rata-rata adalah
32,16%.
Tabel 5.4. Tabel Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Pengukuran Data
Biaya Sosial
Emisi CO2
Subsidi Energi
Energi terbarukan
Mean 7575.954 330159.7 87809.86 32.16540 Median 7849.230 306737.2 53809.60 30.55476 Maximum 13950.44 637078.9 350379.6 44.11099 Minimum 3223.450 149565.9 161.6000 24.55229 Std. Dev. 3628.418 127285.1 102638.2 5.758294
Sumber World Bank dan Menteri Keuangan Indonesia, diolah
Hasil estimasi variabel independen terhadap variabel dependen
dengan metode Ordinary Least Square (OLS) ditunjukkan pada Tabel
5.5. Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda menunjukkan
nilai F hitung positif dan signifikan. Sehingga variabel penggunaan
energi terbarukan, subsidi energi, dan emisi CO2 secara serentak
berpengaruh terhadap biaya sosial. Nilai R-Square sebesar 0.948609,
74
menunjukkan pengaruh variabel bebas (penggunaan energi fosil,
subsidi energi, pertumbuhan penduduk, dan penggunaan energi
terbarukan) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 94,86
pesen, sedangkan 5,14 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model
penelitian.
Tabel 5.5. Hasil Estimasi Variabel Dependen Biaya Sosial
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
Constanta 3.33315 2.466857 1.351173 0.1910Log CO2 0.447123 0.167399 2.671003 0.0143*Log Subs 0.083325 0.020522 4.060265 0.0006*RE −0.031456 0.012752 −2.466782 0.0223*Adjust R-squared 0.948609F-statistic 148.6694Prob(F-statistic) 0.00000
Sumber : data sekunder, diolah, *significance α=5%
Berdasarkan hasil estimasi regresi menunjukkan bahwa jika
emisi CO2 meningkat 1%, biaya sosial akan naik 0,447%. Studi Bergh
dan Botzen (2015) menyatakan bahwa biaya sosial dari setiap ton
tambahan CO2 adalah apa yang disebut Biaya Sosial Karbon (SCC).
Peningkatan emisi CO2 akan mempengaruhi iklim dan berpengaruh
terhadap kerusakan lingkungan selama jangka waktu sangat lama
(Montenegro et al., 2007). Studi Price and Willis (1993) menyatakan
bahwa terdapat hubungan hampir linear antara konsentrasi CO2 melalui
kerusakan ekonomi. Sedangkan penelitian lainnya menyatakan
hubungan antara konsentrasi CO2 dan kenaikan suhu tidak tepat linier,
75
juga tidak dapat diprediksi hubungan antara kenaikan suhu dan
kerusakan ekonomi (Price, 2018).
Temuan kedua dari studi ini adalah subsidi energi memiliki
dampak positif dan signifikan terhadap tingkat biaya sosial.
Peningkatan subsidi energi sebesar 1% akan meningkatkan biaya sosial
sebesar 0,083%. Hasil studi ini sejalan dengan penelitian Turton (2002)
di Australia, subsidi yang murah untuk listrik tenaga batubara telah
mengakibatkan industri peleburan memproduksi 2,5 kali lebih banyak
emisi gas rumah kaca per ton yang diproduksi aluminium sebagai rata-
rata dunia. Studi Peltovuori (2017) menggunakan elastisitas harga
jangka panjang dari permintaan, menjelaskan bahwa subsidi di Kiribati
meningkatkan emisi CO2 sebesar 2,4 persen (atau 1.5 t) pada tahun
2015 dan 5.0 persen (2.9 t rata-rata per tahun) selama lima tahun
periode 2011-2015. Studi Dartanto (2013) mengusulkan bahwa
penghapusan subsidi bahan bakar di Indonesia dapat mengurangi
kemiskinan jika tabungan dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah,
atau mentransfernya ke belanja energi terbarukan. Sementara itu,
Sasana et al. (2017) membuktikan bahwa subsidi energi berdampak
positif dan signifikan terhadap emisi CO2; dan konsumsi energi
terbarukan berdampak negatif terhadap emisi CO2 di Indonesia.
Temuan ketiga menunjukkan bahwa konsumsi energi
terbarukan memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap biaya
sosial. Hasil estimasi menunjukkan bahwa jika konsumsi energi
terbarukan meningkat sebesar 1%, biaya sosial berkurang sebesar
76
0,0315%. Hasil studi ini sejalan dengan simulasi Myojo dan Ohashi
(2018) tahun 1997-2007, melalui Program Residential Photovoltaics
Dissemination (RPVD) terjadi peningkatan permintaan lebih dari
sepuluh kali lipat pemasangan panel surya untuk tempat tinggal sebesar
350 MW. Sehingga menghasilkan pengurangan emisi karbon sekitar
2,8 juta ton atau sepertiga dari satu persen emisi tahunan di Jepang.
Tren ini berubah ketika Program RPVD dihentikan pada 2005, pasar
Jepang turun dari 260 MW pada 2005 menjadi 180 MW pada 2007.
Studi Borenstein (2012) menyatakan bahwa jika pemerintah
menerapkan kebijakan pembangkit listrik dengan energi terbarukan,
penting untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat teknologi dalam
konteks sistem tenaga modern. Hasil studi Moula et al.(2013) tentang
penerapan teknologi energi terbarukan di Finlandia menemukan bahwa
62% responden bersedia membayar biaya tambahan untuk
mendapatkan energi hijau. Sementara itu, lebih dari setengah (52,4%)
responden menyatakan bahwa sektor publik harus mengambil langkah
awal menuju produksi energi terbarukan
77
BAB 6 PENUTUP
6.1. SimpulanBerdasarkan hasil kajian dan analisa yang dijelaskan
sebelumnya, hipotesis EKC tidak terkonfirmasi di Indonesia. Poin-poin
penting yang dapat dirangkum diantaranya:
a. Indonesia masih mengandalkan sumber energi tak terbarukan
yang tidak ramah lingkungan untuk menghasilkan ekonomi;
akibatnya dalam jangka panjang pertumbuhan PDB masih akan
disertai dengan peningkatan emisi CO2.
b. Subsidi energi searah terhadap peningkatan ataupun penurunan
jumlah emisi CO2. Temuan ini disinyalir karena alokasi
penerima subsidi tidak tepat sasaran.
c. Penggunaan energi primer/fosil dapat meningkatkan emisi CO2.
Hal ini disebabkan karena dalam jangka panjang, Indonesia
masih akan bergantung pada sumber energi yang tidak dapat
diperbarui.
d. Penggunaan sumber energi terbarukan akan menurunkan jumlah
emisi CO2. Namun, dalam implementasinya masih terhambat
oleh infrastruktur yang rendah dan ruang investasi yang
terbatas.
78
e. Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan konsumsi energi
per kapita dan meningkatkan emisi CO2 melalui peningkatan
konsumsi energi per kapita.
f. Subsidi energi dan penggunaan energi fosil berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Subsidi energi harus tepat sasaran dan dibatasi waktunya untuk
meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa kita.
g. Variabel penggunaan energi terbarukan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Penggunaannya harus semakin diperluas dengan dukungan
kebijakan yang tepat dari pemerintah.
6.2. SaranMenjaga sustainabilitas lingkungan adalah suatu hal yang wajib
dilakukan oleh setiap negara. Sehingga solusi yang harus dilakukan
adalah perubahan struktur ekonomi, dimana yang sebelumnya
menerapkan konsep business as usual diubah secara gradual menuju
business-environment sustainable. Implikasinya adalah perubahan
penggunaan faktor-faktor teknologi proccessing yang ramah
lingkungan, termasuk di dalamnya adalah peningkatan penggunaan
bahan bakar berbahan energi terbarukan. Sehingga, residu korosif yang
dihasilkan selama proses produksi dapat diminimalisir secara
berangsur-angsur. Studi ini mengusulkan beberapa hal untuk dapat
mendukung perekonomian berkelanjutan di Indonesia:
79
1) Melakukan diversifikasi energi, sebagai alternatif pemenuhan
kebutuhan energi dalam jangka pendek.
2) Subsidi energi harus tepat sasaran sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data akurat penerima
subsidi sangat penting agar berdampak positif terhadap
masyarakat.
3) Meningkatkan ruang gerak bagi sektor energi terbarukan,
diantaranya dengan cara peningkatan kepedulian terhadap
kesehatan lingkungan, pengembangan sustainable industry yang
menggunakan energi terbarukan. Peningkatan keleluasaan ini
akan meningkatkan nilai sosio-ekonomi yang baik.
4) Pemerintah Indonesia harus meningkatkan insentif untuk
pengembangan inovasi teknologi untuk meningkatkan
penggunaan energi terbarukan. Seiring dengan transfer sumber
energi utama (energi fosil) ke energi terbarukan, pemerintah
mengeluarkan kebijakan penghematan penggunaan energi fosil.
5) Pemerintah harus mengontrol laju pertumbuhan penduduk. Hal
ini perlu dilakukan untuk dapat secara konservatif menguragi
konsumsi energi per kapita, karena konsumsi energi perkapita di
Indonesia bernilai sangat besar.
6) Meningkatkan derajat keterbukaan ekonomi dengan
menerapkan indikator ekonomi hijau untuk mendukung
ekonomi ramah lingkungan.
80
DAFTAR PUSTAKA
Abouleinein, S., El Laithy, H., & Al-Dīn, H.K. (2009). The Impact of Phasing out Subsidies of Petroleum Energy Products in Egypt. Working Paper No. 145. Egyptian Center for Economic Studies.
Abulfotuh, F. (2007). Energy efficiency and renewable technologies: the way to sustainable energy future. Desalination, 209(1-3), 275-282.
Agustina, C. D. R., del Granado, J. A., Bulman, T., Fengler, W., & Ikhsan, M. (2008). Black hole or black gold? the impact of oil and gas prices on Indonesia's public finances.
Ali, W., Abdullah, A., & Azam, M. (2016). Re-visiting the environmental Kuznets curve hypothesis for Malaysia: fresh evidence from ARDL bounds testing approach. Renewable and sustainable energy reviews, 77, 990-1000.
Andreoni, J., & Levinson, A. (2001). The simple analytics of the environmental Kuznets curve. Journal of public economics, 80(2), 269-286.
Araghi, M. K., & Barkhordari, S. (2012). An evaluation of the welfare effects of reducing energy subsides in Iran. Energy Policy, 47, 398-404.
Arouri, M., Shahbaz, M., Onchang, R., Islam, F., & Teulon, F. (2013). Environmental Kuznets curve in Thailand: cointegration and causality analysis. The Journal of Energy and Development, 39(1/2), 149-170.
Asian Development Bank (ADB). (2015), Fossil Fuel Subsidies In Indonesia: Trends, Impacts, and Reforms. Available from: https://www.adb.org/sites/default/files/publication/175444/fossil-fuelsubsidies-indonesia.pdf. [Last accessed on 2018 Jan].
Awan, A. G. (2013). Relationship between environment and sustainable economic development: A theoretical approach to environmental problems. International Journal of Asian Social Science, 3(3), 741-761.
Bergh, Van den, J.C.J.M., & Botzen, W.J.W. (2015), Monetary valuation of the social cost of CO2 emissions: A critical survey. Ecological Economics, 114, 33-46.
81
Bildirici, M. E. (2011). The relationship between economic growth and electricity consumption in Africa: MS-VAR and MS-Granger causality analysis. The Journal of Energy and Development, 37(1/2), 179-205.
Bölük, G., & Mert, M. (2014). The Renewable Energy and Growth: Evidence for Turkey using Environmental Kuznets Curve Model. In The WEI International Academic Conference Proceedings, The West East Institute, Budapest, Hungary.
Borenstein, S. (2012). The private and public economics of renewable electricity generation. Journal of Economic Perspectives, 26(1), 67-92.
Breisinger, C., Engelke, W., & Ecker, O. (2012). Leveraging fuel subsidy reform for transition in Yemen. Sustainability, 4(11), 2862-2887.
Chen, J., Zhou, C., Wang, S., & Li, S. (2018). Impacts of energy consumption structure, energy intensity, economic growth, urbanization on PM2. 5 concentrations in countries globally. Applied energy, 230, 94-105.
Cheon, A., Urpelainen, J., & Lackner, M. (2013). Why do governments subsidize gasoline consumption? An empirical analysis of global gasoline prices, 2002–2009. Energy Policy, 56, 382-390.
Chibueze, E.N., Chukwu, J.O., & Moses, N. (2013), Electricity supply, fossil fuel consumption, Co2 emissions and economic growth: Implications and policy options for sustainable development in Nigeria. International Journal of Energy Economics and Policy, 3(3), 262-271.
Coady, D., Parry, I., Sears, L., & Shang, B. (2017). How large are global fossil fuel subsidies?. World development, 91, 11-27.
Dagher, L., & Yacoubian, T. (2012). The causal relationship between energy consumption and economic growth in Lebanon. Energy policy, 50, 795-801.
Dartanto, T. (2013). Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal balance and poverty in Indonesia: A simulation analysis. Energy Policy, 58, 117-134.
Detik Finance. (9 Desember 2014).Soal Subsidi BBM, Agus Marto Ingin RI Tiru Filipina. Diunduh dari:
82
http://finance.detik.com/read/2014/12/09/113527/2771798/1034/soal-subsidi-bbm-agus-marto-ingin-ri-tirufilipina?f991104topnews
DFID (2017). Economic Development Strategy: prosperity, poverty and meeting global challenges. Policy Paper.http://pubdocs.worldbank.org/en/822011487174249256/DFID-Economic-Development-Strategy-2017.pdf
Ding, T., Ning, Y., & Zhang, Y. (2018). The contribution of China’s bilateral trade to global carbon emissions in the context of globalization. Structural Change and Economic Dynamics, 46, 78-88.
Ellis, J. (2010). The Effects of Fossil-Fuel Subsidy Reform: A review of modelling and empirical studies. Available at SSRN 1572397.
Ermawati, T. (2019). Analisis Subsidi Energi dalam Pengembangan Energi Terbarukan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 23(1), 53-65.
Febriany, V., & Suryahadi, A. (2012, February). Lessons from cash transfer programs in Indonesia. In East Asia Forum.Vol. 21,54-73
Gerelmaa, L., & Kotani, K. (2016). Further investigation of natural resources and economic growth: Do natural resources depress economic growth?. Resources Policy, 50, 312-321.
Grafton, R. Q., Kompas, T., Van Long, N., & To, H. (2014). US biofuels subsidies and CO2 emissions: An empirical test for a weak and a strong green paradox. Energy Policy, 68, 550-555.
Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1991). Environmental impacts of a North American free trade agreement (No. w3914). National Bureau of Economic Research.
Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1995). Economic growth and the environment. The quarterly journal of economics, 110(2), 353-377.
Gujarati, D. N., & Porter, D. (2009). Basic Econometrics Mc Graw-Hill International Edition.
Hang, G., & Yuan-Sheng, J. (2011). The relationship between CO2 emissions, economic scale, technology, income and population in China. Procedia Environmental Sciences, 11, 1183-1188.
Ito, K. (2017). CO2 emissions, renewable and non-renewable energy consumption, and economic growth: Evidence from panel data for developing countries. International Economics, 151, 1-6.
83
Kementerian ESDM. (2014). Permen ESDM No 25 Tahun 2013, Jakarta.Kementerian Keuangan. (2015). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)Tahun 2015. Jakarta.
Kojima, M. (2017). Energy Subsidies: Identifying and Quantifying Energy Subsidies. Working Paper. World Bank, Washington, DC. © World Bank.
Kumar, S. (2015). Assessment of renewables for energy security and carbon mitigation in Southeast Asia: The case of Indonesia and Thailand. Applied Energy, 163, 63-70.
Kurniawati, L. (2017). Dampak Penurunan Subsidi Bahan Bakar Minyak: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia. INFO ARTHA, 1(2), 91-110.
Kraft, J., & Kraft, A. (1978). On the relationship between energy and GNP. The Journal of Energy and Development, 401-403.
Liberty, J. T., Ugwushiwu, B. O., Bassey, G. I., & Eke, V. N. (2013). Effects of Natural Resources Utilization on the Ecosystem and Its Remedies in Nigeria. International Journal of Scientific & Engineering Research, Vol. 4, No. 8, page 2115-2122.
Lestari, Esta, (2003), Efektifitas Kompensasi Subsidi dan Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XII (1).
Lestari, E., Adam, L., Sambodo, M.T., Purwanto, Ermawati, T., (2007), Pengaruh kebijakan harga energi terhadap kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat: Dampak kenaikan harga BBM, Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI
Lin, B., & Jiang, Z. (2011). Estimates of energy subsidies in China and impact of energy subsidy reform. Energy Economics, 33(2), 273-283.
Mahmoodi, M., & Mahmoodi, E. (2011). Renewable energy consumption and economic growth: the case of 7 Asian developing countries. American Journal of Scientific Research, 35, 146-152.
Mallick, H. (2009). Examining the linkage between energy consumption and economic growth in India. The Journal of Developing Areas, 249-280.
84
Mercan, M., & Karakaya, E. (2015). Energy consumption, economic growth and carbon emission: Dynamic panel cointegration analysis for selected OECD countries. Procedia Economics and Finance, 23, 587-592.
Montenegro, A., Brovkin, V., Eby, M., Archer, D., & Weaver, A. J. (2007). Long term fate of anthropogenic carbon. Geophysical Research Letters, 34(19),123-144
Moula, M. M. E., Maula, J., Hamdy, M., Fang, T., Jung, N., & Lahdelma, R. (2013). Researching social acceptability of renewable energy technologies in Finland. International Journal of Sustainable Built Environment, 2(1), 89-98.
Mujiyanto, S., & Tiess, G. (2013). Secure energy supply in 2025: Indonesia's need for an energy policy strategy. Energy Policy, 61, 31-41.
Mulyani, P. A., Yuliarmi, N. N., & Sudirman, I. W. (2015). Kajian terhadap Faktor Faktor yang Mempengaruhi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 8(1),11-23.
Munawar, D. (2013). Memahami pengertian dan kebijakan subsidi dalam APBN. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan.
Mundaca, G. (2017). How much can CO2 emissions be reduced if fossil fuel subsidies are removed?. Energy Economics, 64, 91-104.
Myojo, S., & Ohashi, H. (2018). Effects of consumer subsidies for renewable energy on industry growth and social welfare: The case of solar photovoltaic systems in Japan. Journal of the Japanese and International Economies, 48, 55-67.
Oktaviani, R., Hakim, D. B., & Siregar, S. (2007). Impact of a Lower Subsidy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty Incidences: A Recursive Dynamic Computable General Equilibrium Analysis. MPIA Working Pa-‐per 2007Ȃ2008.
Olale, E., Ochuodho, T. O., Lantz, V., & El Armali, J. (2018). The environmental Kuznets curve model for greenhouse gas emissions in Canada. Journal of cleaner production, 184, 859-868.
85
Oliveira Matias, J. C.d, & Devezas, T. C. (2011). Socio-economic development and primary energy sources substitution towards decarbonization. Low Carbon Economy, 2(02), 49-71.
Oxford Advanced Learners Dictionary (1990). 123. Pamudji, Teguh. (2016). Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi. Cetakan
pe. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pamugar, H. (2017). Pemeriksaan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan Negara, 3(1), 49-67.
Pao, Hsiao-tien, Yi-ying Li, and Hsin-chia Fu. (2014). “Causality Relationship between Energy Consumption and Economic Growth in Brazil.” Smart Grid and Renewable Energy vol.5 pp:198–205.https://doi.org/10.4236/sgre.2014.58019.
Pata, U. K. (2018). Renewable energy consumption, urbanization, financial development, income and CO2 emissions in Turkey: Testing EKC hypothesis with structural breaks. Journal of Cleaner Production, 187, 770-779.
Peltovuori, V. (2017). Fossil fuel subsidies in the Pacific island context: Analysis of the case of Kiribati. Energy Policy, 111, 102-110.
Pindyck, R. S., & Rubinfeld, D. L. (1998). Econometric models and economic forecasts (Vol. 4). Boston: Irwin/McGraw-Hill.
Price, C. (2018). Declining discount rate and the social cost of carbon: Forestry consequences. Journal of Forest Economics, 31, 39-45.
Price, C., & Willis, R. (1993). Time, discounting and the valuation of forestry's carbon fluxes. The Commonwealth Forestry Review, 265-271.
Republika Online.(2015). Menkeu: Anggaran Subsidi BBM 2015 Rp 81 Triliun.http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/01/09/nhwqb7-menkeu-anggaran-subsidi-bbm-2015-rp-81-triliun.
Riyakad, P., & Chiarakorn, S. (2015). Energy Consumption and Greenhouse Gas Emission from Ceramic Tableware Production: A Case Study in Lampang, Thailand. Energy Procedia, 79, 98-102.
86
Rosfadhila, M., Toyamah, N., Sulaksono, B., Devina, S., Sodo, R. J., & Syukri, M. (2011). Kajian Cepat Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 dan Evaluasi Penerima Program BLT 2005 di Indonesia. SMERU Research Institute, 1-107.
Rujiven, B.J.V., Detlef, P.V.V., Willem, B., Maarten, L.N., Deger, S.,Martin, K.P. (2016), Long-term model based projections of energyuse and CO2 emissions from the global steel and cement industries.Resources, Conservation and Recycling, 112, 15-36.
Saboori, B., & Soleymani, A. (2011). Environmental Kuznets curve in Indonesia, the role of energy consumption and foreign trade.
Sasana, H., & Aminata, J. (2019). Energy Subsidy, Energy Consumption, Economic Growth, and Carbon Dioxide Emission: Indonesian Case Studies. International Journal of Energy Economics and Policy, 9(2), 117-122.
Sasana, H., Prakoso, Aji Jalu,& Setyaningsih, Yuliani. (2018). The Impact of Globalization Agains Environmental Condition in Indonesia. In E3S Web of Conferences 73, p. 02012). EDP Sciences.
Sasana, H., Sugiarti Retni Rr,& Setyaningsih, Yuliani. (2018). The Impact of Foreign Direct Investment to the Quality of the Environment in Indonesia. In E3S Web of Conferences 73, p. 10025). EDP Sciences.
Sasana, H., & Putri, A. E. (2018). The increase of energy consumption and carbon dioxide (CO2) emission in Indonesia. In E3S Web of Conferences (Vol. 31, p. 01008). EDP Sciences.
Sasana, H., & Ghozali, I.. (2017). The Impact of Fossil and Renewable Energy Consumption on the Economic Growth in Brazil, Russia, India, China and South Africa. International Journal of Energy Economics and Policy, 7(3), 194–200,
Sasana, H., Salman, F., Suharnomo, S., Nugroho, S. B. M., & Yusuf, A. E. (2018). The Impact of Fossil Energy Subsidies on Social Cost in Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 8(2), 168-173.
Sasana, H., Setiawan, A. H., Ariyanti, F., & Ghozali, I. (2017). The effect of energy subsidy on the environmental quality in
87
Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 7(5), 245-249.
Sdralevich, M. C. A., Sab, M. R., Zouhar, M. Y., & Albertin, G. (2014). Subsidy reform in the Middle East and North Africa: Recent progress and challenges ahead. International Monetary Fund.
Selden, T. M., & Song, D. (1994). Environmental quality and development: is there a Kuznets curve for air pollution emissions?. Journal of Environmental Economics and management, 27(2), 147-162.
Shafei, S., & Ruhul A. S. (2013) Energy Policy. Vol. 66, page 547-556.Shafik, N., & Bandyopadhyay, S. (1992). Economic growth and
environmental quality: time-series and cross-country evidence (Vol. 904). World Bank Publications.
Sheinbaum-Pardo, C., Mora-Pérez, S., & Robles-Morales, G. (2012). Decomposition of energy consumption and CO2 emissions in Mexican manufacturing industries: Trends between 1990 and 2008. Energy for Sustainable Development, 16(1), 57-67.
Shi, A. (2001). Population growth and global carbon dioxide emissions. In IUSSP Conference in Brazil/session-s09.
Sindo.(8 Januari 2015). Harga BBM Berpeluang Turun Lagi Februari. Diunduh dari http://www.koran-sindo.com/read/947696/149/harga-bbm-berpeluang-turunlagifebruari-1420690979.
Sovacool, B. K. (2017). Reviewing, reforming, and rethinking global energy subsidies: towards a political economy research agenda. Ecological Economics, 135, 150-163.
Spencer, M. H., & Amos Jr, O. M. (1993). Contemporary Economics, Eight Edition. New York: Worth Publishers.
Stern, D. I. (2004). The rise and fall of the environmental Kuznets curve. World development, 32(8), 1419-1439.
Sugiawan, Y., & Managi, S. (2016). The environmental Kuznets curve in Indonesia: Exploring the potential of renewable energy. Energy Policy, 98, 187-198.
Sulistiowati, E. (2015). The impact of fossil fuel subsidies on growth. Economics of Development (ECD). Retrieved from https://thesis. eur. nl/pub/33406.
88
Tarigan, E. D. (2014). Intervensi Pemerintah Atas Subsidi Bbm dan Komitmennya Dalam Kerjasama Forum G20 Sampai Masa Presidensi Rusia 2013. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Kementerian Keuangan.
Tempo. (4 November 2013). Pemanfaatan Bioetanol Masih Terkendala Harga. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/04/092527074/PemanfaatanBioetanol-Masih-Terkendala-Harga.
Tempo. (2014a). Menkeu Paparkan Manfaat Harga BBM Naik ke Investor. https://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/26/090624626/menkeu-paparkan-manfaat-hargabbm-naik-ke-investor.
Tempo. (2014b). Umumkan Harga BBM, Jokowi Dinilai Berani. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/18/090622792/umumkan-harga-bbm-jokowi-dinilaiberani.
Tiba, S., & Omri, A. (2017). Literature survey on the relationships between energy, environment and economic growth. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 69, 1129-1146.
Thao, N. T. N., & Van Chon, L. (2015). Nonrenewable, renewable energy consumption and economic performance in OECD countries: A stochastic distance function approach.
Toman, M. A., & Jemelkova, B. (2003). Energy and economie development: An assessment of the state of knowledge. The Energy Journal, 93-112.
Tribunnews. (2014). Dari Semua Presiden, SBY Pegang Rekor Tertinggi Naikkan Harga BBM. http://sumsel.tribunnews.com/2014/11/18/dari-semua-presiden-sby-pegangrekor-tertinggi-naikkan-harga-bbm.
Turton, H., & Turton, H. (2002). The Aluminium Smelting Industry: Structure, market power, subsidies and greenhouse gas emissions. Australia Institute.
Vogel, M. P. (2012). Environmental Kuznets curves: a study on the economic theory and political economy of environmental quality improvements in the course of economic growth . Springer Science & Business Media. Vol. 469,.254-271
World, Bank. (2015). Data GDP Constan 2010.
89
Yeh, J. C., & Liao, C. H. (2017). Impact of population and economic growth on carbon emissions in Taiwan using an analytic tool STIRPAT. Sustainable Environment Research, 27(1), 41-48.
Yusgiantoro, P. (2000). Ekonomi Energi: Teori dan Praktik. Jakarta: LP3ES.Yusuf, A., Komarulzaman, A., Hermawan, W., Hartono, D., & Sjahrir,
K. (2010). Scenarios for climate change mitigation from the energy sector in Indonesia: the role of fiscal instruments (No. 201005). Department of Economics, Padjadjaran University.
Zoundi, Z. (2017). CO2 emissions, renewable energy and the Environmental Kuznets Curve, a panel cointegration approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 72, 1067-1075.
Zulfa, A. (2016). Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Lhokseumawe. Jurnal Visioner & Strategis, 5(1),87-103.
90
Dr. Hadi Sasana, SE, MSi adalah staf
pengajar dan peneliti pada Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas
Diponegoro (UNDIP) Semarang.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Ekonomi di Universitas
Diponegoro. Program Magister Sains di Program Studi Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Program Doktor di
Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
Diterima sebagai dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Diponegoro tahun 1997. Mengajar di Program Sarjana, Program Studi
Magister Manajemen, Program Studi Magister ilmu Ekonomi dan
Studi Pembangunan, Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi
Universitas Diponegoro (UNDIP).
Penulis adalah pengurus ISEI cabang Semarang, ketua Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomika dan Bisnis
UNDIP (2013-2017), Reviewer di LPDP Kementrian Keuangan
(2015 - 2019), dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tidar
Magelang (2017 - 2021).