1 MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN NIAS UTARA 2017 Disusun oleh : Rikoh Manogar Siringoringo Suharsono Ni Wayan Purnama Sari Yasser Arafat Ucu Yanu Arbi Husni Azkab I Wayan Eka Dharmawan Oksto Ridho Sianturi Kasih Anggraeni Tim monitoring : Rikoh Manogar Siringoringo, Suharsono, Ni Wayan Purnama Sari, Nurhasyim, Yasser Arafat, Ucu Yanu Arbi, Husni Azkab, I Wayan Eka Dharmawan, Oksto Ridho Sianturi, Kasih Anggraeni, Raden Sutiadi, Asep Rasyidin, Sabar Jaya Telaumbanua, Ahmad Sabrin Telaumbanua, Setiawan Harefa, Dema Fiktor, Resman Zalukhu, Butiar Ridwan
126
Embed
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/RIKOH_LAPORAN RHM NIAS...hektar mengalami penurunan, untuk ikan karnivor biomassa per hektar menurun sedangkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Sihene’ Asi (NIAS07) dan 4. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08), sehingga pada tahun
2017 terdapat delapan stasiun pengamatan. Lokasi pengamatan lamun disajikan pada
Gambar 3. Koordinat lokasi penelitian karang, ikan, megabentos, mangrove dan lamun
disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Gambar 2. Peta lokasi stasiun monitoring mangrove
19
Gambar 3. Peta lokasi stasiun monitoring lamun
METODE PENELITIAN
20
Karang
Pengamatan visual secara bebas dilakukan dimulai dari pesisir daratan/ pantai hingga
ke bagian perairan tempat dilaksanakannya kegiatan monitoring pada masing-masing stasiun
yang dilengkapi dengan dokumentasi berupa foto. Pengambilan data utama berupa tutupan
karang hidup dilaksanakan menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect)
(Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b). Pada prinsipnya UPT adalah metode
pengambilan data tutupan karang hidup menggunakan alat bantu frame berukuran 58 cm x 44
cm yang dipasang pada garis transek sepanjang 50 meter dengan cara pemotretan yang
selanjutnya akan dianalisis melalui aplikasi CPCE. Pengambilan data menggunakan metode
UPT dilakukan dengan teknik penyelaman SCUBA, menggunakan kamera Canon Powershot
G16 dilengkapi dengan housing yang kompatibel untuk kegiatan penyelaman serta frame besi
berbentuk persegi yang diberi warna mencolok.
Pemasangan garis transek mengikuti titik 0 transek permanen yang telah dipasang pada tahun
sebelumnya atau tahun terakhir dilaksanakannya monitoring. Titik 0 transek permanen dapat
diketahui berdasarkan titik koordinat dan ditandai dengan dua pelampung putih dan dua patok
besi yang terikat. Jika titik 0 telah ditemukan maka pita meteran (roll meter) sepanjang 50
meter siap diletakkan mengikuti garis transek lama yang biasanya menggunakan tali nangsi.
Kedudukan garis transek sejajar garis pantai pada kedalaman di mana karang umum
dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 5-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran,
posisi daratan pulau berada di sebelah kiri. Setelah pita meteran diletakkan, pemotretan
dilaksanakan sepanjang garis transek mulai dari meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak
antar foto sepanjang 1 meter. Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3)
dan frame berikutnya dengan nomer ganjil dilakukan di sebelah kanan garis transek,
sedangkan untuk frame dengan nomer genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di
sebelah kiri garis transek. Untuk setiap pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari
dasar substrat sehingga luas bidang setiap frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi
pengambilan foto ditampilkan pada Gambar 4 berikut.
21
Gambar 4. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT
Analisis foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti lunak (software)
CPCe (Kohler & Gill, 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto,
dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota
dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Kode biota dan substrat
Kode KeteranganLC Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA
- AC Acropora = karang batu marga Acropora- NA Non Acropora = karang batu selain marga Acropora
DC Dead Coral = karang matiDCA Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi algaSC Soft Coral = karang lunakSP Sponge = sponsFS Fleshy Seaweed = algaOT Other Fauna = fauna lainR Rubble = pecahan karangS Sand = pasirSI Silt = lumpurRK Rock = batuan
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk
setiap frame foto menggunakan rumus:
Persentase tutupan kategori = jumlah titik kategori tersebutbanyaknya titik acak
x 100%
Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi terumbu karang
seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) yang disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 1. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupankarang hidup
22
Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian
75 – 10050 – 74,925 – 49,90 – 24,9
Sangat baikBaik
CukupBaikKurang Baik
Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam pengamatan ikan karang adalah belt transect mengikuti cara
English et al., (1997). Peralatan yang digunakan meliputi scuba set, alat tulis bawah air dan
meteran tali. Pengambilan data dilakukan dengan underwater visual census (UVC) dengan
mencatat jenis, kelimpahan dan estimasi panjang ikan karang yang menjadi target
pengamatan di sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan dan kiri masing-masing
berjarak 2,5 m sehingga diperoleh luas total bidang penelitian sebesar 350 m2. Optimalisasi
hasil pengamatan juga dilakukan dengan pengambilan data foto dan video bawah air.
Identifikasi ikan jenis-jenis tertentu melalui foto atau video dilakukan antara lain berdasarkan
Allen (2009) dan Allen & Adrim (2003).
Pengolahan dan analisa data yang di dapat dari pengamatan meliputi:
1. Keanekaragaman jenis
Adalah total dari spesies ikan karang yang diamati selama kegiatan monitoring di suatu lokasi
ekosistem terumbu karang.
2. Densitas (D)
Adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
3. Hubungan panjang-berat (W)
Adalah berat individu ikan target (W-gram) sama dengan indeks spesifik spesies (a) dikalikan
dengan estimasi panjang total dipangkat indeks spesifik spesies (b).
W = a x Lb
4. Biomassa (B)
Adalah berat individu ikan target (W) per luas area pengamatan
23
Megabentos
Pengamatan megabentos target dilakukan dengan metode belt transek (Loya, 1978) yang
dikombinasikan dengan metode Benthos Belt Transect (BBT) (Loya 1978; Munro 2013;
Giyanto et al., 2014) dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Transek
disinkronisasikan dengan transek untuk pengamatan karang dan ikan pada sebuah transek
permanen. Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis sejajar garis pantai pada
kedalaman 7 – 12 meter dengan panjang transek 70 meter dan lebar pengamatan satu meter
ke arah kiri dan satu meter ke arah kanan garis transek menjadi 140 m2 (2 m x 70 m). Khusus
untuk biota kima (giant clams) dilakukan pengamatan tambahan, yaitu jenis penempelannya,
apakah kima hidup meliang di karang atau hidup menempel di pasir dan pengukuran panjang
tiap kima yang ditemukan ke dalam cm terdekat. Jenis-jenis biota megabentos yang akan
diamati dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 2. Jenis-jenis megabentos target yang diamati
No. Megabentos Nama spesies
1 Teripang / Sea Cucumbers / Holothurians
2 Kima / Giant clams Tridacna sp. dan Hippopus sp.3 Lobster Panulirus sp.4 Lola Trochus sp. dan Tectus sp.5 Bintang Laut Berduri / Crown-of-thorns starfish Acanthaster planci6 Siput Drupella / Coral eating snails Drupella cornus dan D. rugosa7 Bulu babi / Sea urchin Diadema sp.8 Bintang laut biru / blue starfish Linckia laevigata
Kelimpahan megabentos menurut Harvey (2008) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut.
Kepadatan X = (jumlah individu X) / (luas belt transect (140 m2))
Mangrove
Monitoring dilaksanakan dengan metode line transek kuadrat dan hemispherical photography
(Jenning et al., 1999). Di kawasan mangrove yang telah dipilih, kemudian dibuat plot
berukuran 10 x 10 m2 dengan ulangan tiga kali di sepanjang transek. Selanjutnya, dilakukan
pengukuran diameter pohon pada ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang
minimal 16 cm. Kemudian, setiap plot dibagi menjadi empat kuadran dengan ukuran 5 x 5
m2, dan di setiap kuadran dilakukan pengambilan foto hemisphere/ tegak lurus langit. Data
lingkar batang pohon tersebut digunakan untuk menentukan indeks ekologi yang meliputi
24
kerapatan pohon, basal area, dan nilai penting jenis. Hasil pemotretan dianalisis untuk
menentukan persentase tutupan (% cover) mangrove di dalam suatu kawasan.
Untuk identifikasi jenis tumbuhan mangrove maupun tumbuhan asosiasi mangrove yang
belum diketahui di lapangan, diambil bagian bunga, buah, daun, dan difoto bagian batang dan
akarnya. Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan buku dari Tomlinson (1986),
Giesen et al., (2002) dan Noor et al., (2002). Persentase tutupan dihitung dengan
manggunakan perangkat lunak ImageJ.
Lamun (Seagrass)
Pengamatan dilakukan berdasarkan Buku Panduan Monitoring Padang Lamun (Rahmawati
dkk., 2015) pada 8 – 10 September 2016 di perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD) Kabupaten Nias Utara pada empat stasiun pengamatan, yaitu Muara Taliwa’a,
Gosobaohi, Teluk Bengkoang dan Tanjung Furedowi. Untuk mengetahui keberadaan,
tutupan, dominansi, distribusi, keragaman dan komposisi jenis lamun, dilakukan pengamatan
langsung dan transek (Rahmawati dkk., 2015).Sedangkan untuk mengetahui keragaman dan
komposisi jenis dilakukan pengamatan langsung dengan ”snorkling” pada setiap stasiun
penelitian.
Untuk mengetahui tutupan dan dominansi jenis lamun, dilakukan dengan menarik garis
transek vertikal dari garis pantai dengan pendekatan kuadrat (frame) 50 x 50 cm. Transek
dilakukan sebagai berikut :
1. Titik pertama transek di sisi pantai yang ditarik ke arah tubir (100 m). Untuk kawasan
yang sempit (tidak mencapai 100 m) dilakukan sesuai kondisi di area pengamatan.
Penentuan titik pertama, 5-10 m dari awal ditemukan lamun.
2. Titik awal transek diberi tanda permanen dengan patok besi dengan pelampung kecil
3. Dicatat posisi transek dengan penerima GPS. Titik awal transek No.1 pada meter ke-
0.
4. Kuadrat 50 x 50 cm (dibagi 4 kotak) ditempatkan pada titik 0 m (kanan atau kiri
meteran transek, tetap)
5. Tentukan nilai % pada setiap kotak.
6. Catat komposisi jenis dan persentase masing-masing jenis dan catat substratnya..
7. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter dan pasang patok/tanda pada titik terakhir.
8. Ulangi tahapan di atas pada transek 2 dan 3 dengan jarak antar transek 50 m.
9. Setiap lokasi stasiun pengamatan dan kondisi padang lamun didokumentasikan (foto)
25
Untuk analisis data lapangan dengan perangkat Microsoft Excel, untuk tutupan dan
dominansi jenis lamun dilakukan sebagai berikut;
Rata-rata jumlah tutupan lamun seluruh transekTutupan lamun = ---------------------------------------------- x 100%(%) jumlah kuadrat seluruh transek
Rata-rata jumlah nilai dominasi lamun seluruh kuadratNilai Dominansi = ------------------------------------------------------ x 100%Lamun (%) jumlah kuadrat seluruh transek
Untuk penilaian kategori tutupan menurut Rahmawati dkk. (2015) ada empat kategori yaitu:
1. jarang (0-25%), 2. cukup padat (26-50%), 3. padat (51-75%), dan 4. sangat padat (> 75%).
Sedangkan untuk kondisi padang lamun berdasarkan tutupan dibagi, yaitu: 1. kaya/sehat (>
60%), 2. kurang kaya/kurang sehat (30-59,9%), dan 3. miskin (< 29,9%) (KMLH, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARANG
26
Gambaran Umum Kesehatan Terumbu Karang
Terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Nias
Utara terdistribusi di sepanjang pesisir barat, utara dan timur serta pulau-pulau kecil perairan
Kecamatan Lahewa dan Kecamatan Sawo. Perairan terumbu karang di pesisir barat relatif
terbuka dan berhadapan langsung dengan perairan terbuka Samudera Hindia sedangkan
pesisir utara dan pulau-pulau kecil berada dalam teluk dan lebih terlindung. Di sisi lain,
perairan di pesisir timur agak terbuka dengan beberapa bagian lebih terlindung berada dalam
teluk kecil dengan muara sungai cukup besar.
Laporan kenaikan suhu ekstrim pada tahun 2016 ternyata berdampak pada kondisi
karang di perairan Kabupaten Nias Utara. Kondisi karang yang berada di sepanjang pesisir
utara mengalami kematian massal diduga akibat kenaikan suhu air laut yang berdampak pada
proses pemutihan karang (coral bleaching). Dari fase dead coral algae sebagian berubah
menjadi coralline algae yang mana nanti coralline alga tersebut menjadi substrat yang baik
untuk pertumbuhan atau penempelan larva karang.
Kondisi Terumbu Karang Pada Stasiun Penelitian
Stasiun NIAC01
Lokasi pengamatan terumbu karang terletak di pesisir Pulau Baohi yang dulunya merupakan
sebuah gosong. Lokasi ini merupakan lokasi monitoring milik DKP Nias Utara yang suda
dilakukan pengambilan data tahun 2015 dan 2016. Lokasi ini masuk dalam kawasan
administrasi Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di
darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Saat
pengamatan, cuaca relatif cerah, tidak berangin dan tidak berombak. Jarak titik monitoring ke
darat berkisar 200 meter pada kedalaman 3,8 meter.
Titik monitoring berada di reef flat. Dasar perairan terdiri dari substrat yang berupa pasir,
karang hidup dan dead coral algae. Terumbu karang didominasi oleh jenis Porites cylindrica
dengan koloni yang cukup besar. Sebagian dari koloni tersebut masih hidup dan sebagian
sudah ditumbuhi oleh alga. Dibandingkan dengan tahun 2015 kondisi karang masih hidup
semua, namun pasca kejadian pemutihan mengalami kematian. Selain Sponge ,makro alga
jenis Tydemania expeditionis cukup melimpah. Saat pengamatan, jarak pandang di bawah air
sekitar 10 meter.
Hasil analisis menunjukan tutupan di stasiun NIAC01 sebesar 12,73% yang berarti
kondisi terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 5).
27
Gambar 5. Kondisi titik monitoring NIAC01 (kiri) dan dominasi oleh karang bercabangPorites cylindrica yang sudah ditumbuhi alga (kanan)
Stasiun NIAC02
Lokasi penelitian merupakan lokasi baru yang sebelumnya merupakan titik monitoring milik
DKP Nias Utara. Lokasi penelitian berupa gosong yang berada di dalam teluk yang bernama
Gosong Uge. Gosong ini terletak di wilayah administratif Kecamatan Sawo. Letak titik
monitoring berada sekitar 2 km dari daratan. Transek permanen berada di sebelah timur laut
Gosong Uge. Gosong belum muncul ke permukaan pada saat pasang tertinggi namun terlihat
beberapa batu karang dan pasir pada saat air surut rendah. Titik 0 berada di kedalaman 6,3 m.
Kondisi dasar perairan berupa lereng landai dengan kedalaman 5-7 m dan agak curam pada
kedalaman 9-12 m. Substrat dasar berupa karang hidup, DCA, pasir, dan pecahan karang.
Rugositas pada kedalaman 7-10 m cukup tinggi. Karang mati dengan bentuk boulder besar
dapat ditemukan juga pada kedalaman 7-10 m tersebut. Kondisi perairan memiliki visibilitas
yang rendah karena terdapat beberapa sungai yang bermuara di dalam teluk. Pada reef slope
yang landai karang hidup tumbuh berupa patches kecil yang tumbuh jarang dan tersebar tidak
merata. Pada kedalaman antara 6-9 m, banyak karang yang tumbuh di atas boulder karang
mati. Pada kedalaman lebih dari 10 m tidak ditemukan adanya pertumbuhan karang. Jenis
karang yang ditemukan tidak banyak, umumnya didominasi oleh jenis Porites lutea, Porites
contigua, Galaxea longisepta dan Pleuractis paumotensis. Ukuran karang hidup yang
ditemukan cukup kecil umumnya berukuran kurang dari 1 meter dan beberapa anakan karang
dapat ditemukan di lokasi ini terutama dari famili Fungidae. Dijumpai beberapa individu
bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci di lokasi ini. Ikan dari kelompok
herbivora ditemukan cukup banyak juga di lokasi ini. Di beberapa titik ditemukan makroalga
dari jenis Tydemania expeditionis berwarna hijau yang cukup banyak
28
Hasil analisis menunjukkan nilai persentase tutupan karang hidup di lokasi NIAC02 sebesar
14,93% yang masuk dalam kategori kurang baik. Gambaran umum mengenai kondisi karang
di lokasi ini disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kondisi titik monitoring NIAC02 (kiri), kondisi terumbu karang yangdidominasi karang massif jenis Porites lobata (kanan)
Stasiun NIAC03
Stasiun pengamatan NIAC03 berada di pesisir Desa Teluk Bengkuang, Kecamatan
Sawo. Daratan berupa pantai berpasir putih yang merupakan lokasi obyek wisata yang
disebut Pantai Asi Walo. Perairan ini berada di dalam teluk yang terlindung, daratannya
didominasi oleh pohon kelapa dan beberapa tanaman semak alami. Terdapat rawa pantai
dengan limpahan air tawar yang mengalir ke laut. Di pantai terdapat beberapa warung
makanan dan sebuah dermaga tradisional sebagai tempat kapal berlabuh yang dikelola oleh
masyarakat. Saat pengamatan dilakukan cuaca sangat cerah, kondisi perairan cukup tenang
karena berada di dalam teluk dengan gelombang dan arus yang sangat tenang. Jarak pandang
di bawah air kurang baik karena air cukup baik sekitar 15 meter. Pengambilan data dilakukan
pada kedalaman 6-8 m pada daerah lereng terumbu (slope) yang agak landai dengan
kemiringan sekitar 10 derajat. Karakteristik dasar perairan landai dan berpasir bercampur
sedimen yang tertutup oleh makro alga. Jenis karang yang dijumpai cukup mendominasi
adalah karang biru Heliopora coerulea dan Porites cylindrica. Di lokasi ini tidak nampak
adanya pemutihan karang (bleaching coral) sebagai efek kenaikan suhu air laut. Dari hasil
analisis diketahui terjadi penurunan nilai tutupan karang hidup dari 10,47% (tahun 2015)
menjadi 7,13% yang berarti kondisi karang masih berada dalam kondisi kurang baik
(Gambar 7).
29
Gambar 7. Stasiun NIAC03, berada di Desa Teluk Bengkuang Kecamatan Sawo (kiri),kondisi terumbu karang yang didominasi oleh Heliopora coerulea dan alga
Stasiun NIAC04
Lokasi terletak di sebelah selatan Pulau Panjang yang masuk dalam kawasan administrasi
Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat
terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Jarak titik
monitoring ke darat berkisar 30 meter. Saat pengamatan dilaksanakan kondisi cuaca sangat
tenang karena lokasi ini merupakan teluk yang terlindung. Titik monitoring terletak di reef
flat. Kondisi air cukup keruh dengan jarak pandang berkisar 7 meter. Di dekat lokasi
monitoring terdapat outlet yang berasal dari danau yang terdapat di Pulau Panjang sehingga
memberi masukan sedimen yang cukup tinggi.
Dasar perairan terdiri dari substrat yang berupa karang hidup, dead coral algae,
pecahan karang dan pasir. Menuju ke kedalaman berupa pasir dengan banyak dead coral
algae. Lokasi ini terkena dampak bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016 lalu dan
masih terlihat hingga monitoring tahun ini. Sebagian besar karang terutama marga karang
dari Acropora mengalami kematian massal yang berupa dead coral algae. Lokasi ini
menerima masukan sedimen cukup tinggi terlihat dari kondisi air yang keruh dan juga jenis
karang yang ada di lokasi ini yaitu dari jenis Turbinaria sp. dan Galaxea sp. Kedua jenis
karang ini merupakan karang yang umum ditemukan pada lokasi air keruh. Karang jenis
Porites lobata juga ditemukan dalam kondisi sehat di lokasi ini.
Hasil analisis menunjukkan terjadinya penurunan tutupan karang hidup dari 21,93%
(tahun 2016) menjadi 17,20%, sehingga terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik
(Gambar 8).
30
Gambar 8. Kondisi titik monitoring NIAC04 (kiri), koloni karang lembaran Turbinaria sp.dan Porites lutea yang umum ditemukan di lokasi dengan sedimentasi tinggi(kanan)
Stasiun NIAC05
Stasiun monitoring NIAC05 berada di sisi barat-utara Pulau Lafau, Desa Siheneasi,
Kecamatan Lahewa. Pulau ini tidak berpenduduk, daratan berbatu karang yang terjadi akibat
pengangkatan saat gempa 2005. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang masih relatif
muda. Di darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005.
Jarak titik monitoring ke darat berkisar 20 meter pada kedalaman 7 meter.
Titik monitoring berada pada tubir dengan kemiringan 40 derajat. Dasar perairan
terdiri dari substrat berupa karang hidup, dead coral algae dan pecahan karang. Menuju ke
kedalaman berupa pasir dengan banyak dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini rata-
rata kurang baik disebabkan oleh kejadian bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016
lalu. Pulau Lafau merupakan salah satu lokasi zona inti pada wilayah KKPD Nias Utara
karena pada tahun 2015 lokasi ini memiliki kondisi karang relatif paling baik dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Namun kenaikan suhu air laut pada tahun 2016 menyebabkan
kematian massal pada karang di lokasi ini. Kondisi ini tampaknya belum berubah dalam
jangka waktu setahun hingga tahun 2017. Sebagian besar karang terutama marga karang
Acropora mengalami kematian masal. Sampai saat ini bekas-bekas koloni Acropora dan jenis
lainnya masih utuh berdiri tegak dan ditumbuhi oleh coraline algae dan crustose algae.
Tekanan pada kondisi karang bertambah dengan keberadaan bintang laut berduri pemakan
polip karang, Acanthaster planci. Hewan ini memakan polip karang terutama karang masif
Porites yang sebagian koloninya terlihat memutih. Hasil analisis menunjukan terjadinya
penurunan nilai tutupan karang hidup dari 23,13% (tahun 2015) menjadi 13,20% sehingga
terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 9).
31
Gambar 9. Kondisi titik monitoring NIAC05 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC05 memperlihatkan daratan dengan bekas pengangkatan karang akibatgempa Nias tahun 2005; transek permanen terbentang pada kedalaman 7,0 m;pada beberapa titik ditemukan koloni karang massif Porites sp. yang memutihsebagian diduga disebabkan oleh proses pemangsaan polip karang olehAcanthaster planci
Stasiun NIAC06
Lokasi stasiun NIAC06 berada di Tanjung Pelabuhan Lahewa, Kelurahan Pasar Lahewa,
Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat
terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Pada saat
pengamatan cuaca cukup cerah tidak berangin dan berombak. Jarak titik monitoring ke darat
berkisar 30 meter pada kedalaman 5,2 meter.
Titik monitoring berupa lereng yang landai dengan kemiringan 30 derajat. Jarak
pandang bawah air saat pengamatan cukup baik berkisar 15 meter. Dasar perairan terdiri dari
substrat yang berupa pasir, karang hidup dan dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini
rata-rata kurang baik Karena belum pulih sejak kejadian bleaching karang yang terjadi pada
tahun 2016 lalu. Beberapa jenis karang massif Porites terlihat menjadi karang yang bertahan
hidup dalam proses bleaching karang tahun 2016 karena memiliki ukuran koloni cukup besar.
Beberapa biota yang dijumpai lainnya antara lain adalah bintang laut Linckia sp., Holothuria,
kima dan bintang laut berduri pemakan polip karang Acanthaster planci. Dari hasil analisis,
nilai tutupan karang hidup di stasiun NIAC06 mengalami sedikit penurunan dari 16,47%
menjadi 16% dan masih berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 10).
32
Gambar 10. Kondisi titik monitoring NIAC06 (kiri), transek permanen terbentang padakedalaman 5,0 m, dasar perairan stasiun NIAC06 terdiri dari pasir, karang hidupyang didominasi oleh Porites lobata
Stasiun NIAC07
Stasiun NIAC07 berada perairan Pantai Tuhemberua, Desa Balefadorotuho,
Kecamatan Lahewa. Lokasi ini merupakan tempat wisata yang cukup terkenal di Kabupaten
Nias Utara. Di tepi pantai tampak hamparan terumbu karang yang terangkat ke darat akibat
gempa yang menghantam Nias pada tahun 2005. Daratan tersebut ditumbuhi mangrove yang
tidak tebal dengan umur pertumbuhan relatif muda. Jarak titik pengamatan ke darat berkisar
1,5 km dengan titik 0 berada di kedalaman 7,2 m. Rataan terumbu dari tepi pantai sangat luas
menuju ke tengah makin dalam tanpa adanya reef crest. Pada kedalaman 9 -10 meter lereng
terumbu dengan kemiringan sekitar 40 – 60 derajat. Pada tahun 2016, karang di lokasi ini
terkena dampak kenaikan suhu air laut yang menyebabkan terjadinya bleaching dan sampai
saat ini belum tampak terjadinya gejala pemulihan. Anakan karang masih relatif sedikit dan
beberapa jenis karang tampaknya selamat dan dapat bertahan hidup namun sebagian besar
terutama karang dari genus Acropora mengalami kematian massal. Sampai saat ini bekas-
bekas koloni Acropora dan jenis lainnya masih utuh berdiri tegak ditumbuhi oleh coraline
algae dan crustose algae. Beberapa karang baru tumbuh berupa anakan. Pada pengamatan
kali ini, karang dengan ukuran kurang dari 10 cm dianggap merupakan karang hasil
rekruitmen baru sedangkan karang yang sudah lebih dari 10 cm merupakan karang yang
selamat dari kejadian bleaching massal. Pada rataan terumbu ditemukan beberapa individu
bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci.
Dari hasil analisis, terjadi penurunan tutupan karang hidup dari 11,20% (tahun 2016) menjadi
4,13% (tahun 2017) dan tetap berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 11).
33
Gambar 11. Kondisi titik monitoring NIAC07 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC07 berjarak sekitar 1,5 km dari titik monitoring; transek permanen yangberada di kedalaman 7,2 m; kondisi terumbu karang yang mati dan ditumbuhialga
Stasiun NIAC08
Lokasi pengamatan berada di kawasan Desa Balefaderotuho, Kecamatan Lahewa. Saat
pengamatan dilaksanakan cuaca cukup cerah. Di tepi pantai tampak hamparan terumbu
karang yang terangkat ke darat akibat gempa yang menghantam Nias pada tahun 2005.
Daratan tersebut ditumbuhi magrove yang tidak tebal dengan umur pertumbuhan relatif
muda. Jarak dari titik pengamatan ke darat sekitar 1,5 km. Saat pengamatan cuaca cukup
cerah dengan kondisi perairan relatif tenang.
Kondisi stasiun ini memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama dengan kondisi di stasiun
NIAC07. Titik 0 transek permanen berada di kedalaman 9,3 m. Jarak pandang bawah air
cukup baik berkisar 20 m. Perbedaan dengan stasiun NIAC07 adalah kondisi reef slope
dengan kemiringan yang bervariasi, ada yang landai hingga kedalaman 10 meter dan ada pula
yang curam dan pada kedalaman 10 meter sudah tidak ditemukan pertumbuhan karang.
Ukuran koloni karang dari jenis Pories lutea, Porites lobata dan Porites solida kebanyakan
antara 10 – 15 cm dan 20 - 40 cm serta hampir tidak ditemukan ukuran koloni yang lebih
besar dari 50 cm. Beberapa karang jamur jenis Ctenactis crassa ukurannya lebih dari 35 cm.
Lobophyllia hemprichii tampaknya ada yang bertahan hidup dengan ukuran lebih dari 35 cm
dan Echinophora lamellosa dengan ukuran 45 cm. Dijumpai cukup banyak molusca
ekonomis penting Lambis lambis di lokasi ini. Dari hasil analisis, terjadi penurunan tutupan
karang hidup dari 4,20% (tahun 2016) menjadi 1,93%, dan tetap berada dalam kondisi
kurang baik (Gambar 12).
34
Gambar 12. Kondisi titik monitoring NIAC08 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC08 berjarak 1,5 km dari titik monitoring; kondisi terumbu karang yangdilewati garis transek pada kedalaman 9,2 m; dead coral alga terlihat sebagianmenjadi coraline alga
Stasiun NIAC09
Stasiun NIAC09 merupakan lokasi monitoring baru yang terletak di sebelah barat Pulau
Panjang yang masuk dalam kawasan administrasi Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi
vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat
gempa bumi Nias tahun 2005. Jarak titik monitoring ke darat berkisar 100 m pada kedalaman
5,4 m. Kondisi perairan sangat tenang saat pengamatan karena berupa teluk yang terlindung.
Dasar perairan berupa lereng landai dengan kemiringan berkisar 20 derajat yang terdiri dari
substrat karang hidup, dead coral algae, pecahan karang dan pasir. Kondisi karang di lokasi
ini rata-rata kurang baik diduga disebabkan oleh kejadian kenaikan suhu air laut yang
menyebabkan bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016 lalu. Karang mati terlihat
ditutupi oleh coraline alga dan crustose alga berwarna merah muda. Di beberapa titik terlihat
pula koloni karang masif berukuran besar yang seluruhnya memutih yang diduga disebabkan
oleh bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci.
Anakan karang masih relatif sedikit dan beberapa jenis karang tampaknya selamat dan dapat
bertahan hidup dari bleaching karang. Namun sebagian besar terutama marga karang dari
Acropora mengalami kematian massal. Sampai saat bekas-bekas koloni acropora dan jenis
lainnya masih utuh berdiri tegak tegak dan ditumbuhi oleh coraline algae dan crustose algae
yang berwarna merah muda
Dari hasil analisis, tutupan karang hidup di stasiun NIAC09 sebesar 12,40% mengalami
penurunan dari pengamatan terakhir pada tahun 2014 sebesar 25,27%. Dengan demikian,
kondisi terumbu karang di stasiun NIAC09 berada dalam kategori kondisi kurang baik
(Gambar 13).
35
Gambar 13. Kondisi titik monitoring NIAC09 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC09 yang berjarak 100 m dari titik monitoring; kondisi terumbu karangdisekitar lokasi transek; Karang didominasi oleh bentuk pertumbuhan massifpada kedalaman 5,4 – 6,0 m
Stasiun NIAC10
Stasiun NIAC10 merupakan lokasi monitoring baru yang terletak di sebelah tenggara Gosong
Umang yang masuk dalam kawasan administrasi Kecamatan Lahewa. Lokasi ini merupakan
lokasi gosong yang terangkat saat gempa bumi terjadi pada tahun 2005. Daratan ditandai
dengan adanya mercusuar berwarna putih. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif
muda. Lokasi titik monitoring dengan daratan pulau kurang lebih 100 meter pada kedalaman
3,4 meter. Pada saat penelitian cuaca cerah, tidak berarus dan berangin dan air menuju
pasang.
Titik monitoring berupa reef flat yang tidak begitu luas. Dasar perairan terdiri dari substrat
yang berupa pasir, karang hidup, dead coral algae. Menuju ke kedalaman berupa pasir
dengan banyak dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini didominasi oleh dead coral
algae yang diduga disebabkan oleh kejadian bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016
lalu. Makro alga dari jenis Tydemania expeditionis terlihat cukup banyak di lokasi ini.
Anakan karang terlihat cukup banyak dan beberapa jenis karang tampaknya selamat dan
dapat bertahan hidup, namun sebagai besar terutama marga karang dari Acropora mengalami
kematian massal.
Dari hasil analisis, tutupan karang hidup di stasiun NIAC10 sebesar 13,60% yang mengalami
penurunan dari pengamatan terakhir tahun 2014 sebesar 17,33%. Oleh karena itu, kondisi
karang masih berada dalam kategori kondisi kurang baik (Gambar 14).
36
Gambar 14. Kondisi titik monitoring NIAC10 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC10 yang berjarak 100 m dari titik monitoring (titik monitoring ditandaioleh buoy); transek permanen yang terbentang di kedalaman 3,4 m; stasiunNIAC10 berada dalam kondisi yang baik ditandai dengan keberadaan jeniskarang yang cukup beragam dibandingkan dengan lokasi lainnya salah satunyaadalah karang bercabang Porites sp.
Kondisi Kesehatan Terumbu Karang
Penilaian kondisi kesehatan terumbu karang didasarkan pada pengukuran perubahan tutupan
substrat dasar perairan terumbu (bentik) baik komponen biotis maupun abiotis. Salah satu
kategori yang dijadikan indikator kesehatan terumbu karang adalah tutupan karang hidup,
yang nilainya akan berfluktuasi secara temporal dan spasial terhadap kategori bentik terumbu
lainnya. Fluktuasi tutupan bentik terumbu sangat tergantung dengan kondisi lingkungan
perairan, kejadian alam dan tekanan aktivitas manusia.
Dari hasil pengamatan kondisi karang di Kabupaten Nias Utara pada tahun 2016, terjadi
kematian karang secara massal terutama di stasiun NIAC05, NIAC07 dan NIAC08 yang
terutama terjadi pada karang-karang bercabang. Karang-karang ini berada dalam fase dead
coral with algae (DCA) tapi masih berada dalam kondisi utuh. Ini merupakan ciri kematian
yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kenaikan suhu air laut yang menyebabkan
pemutihan karang. Pada pengamatan pada tahun 2017, kondisi karang tidak mengalami
recovery, justru semakin mengalami penurunan hampir di seluruh stasiun. Banyak faktor
yang menyebabkan recovery pada karang tidak terjadi antara lain ketersediaan larva karang,
kondisi aliran air dan kondisi substrat yang tidak mendukung terjadinya perlekatan larva
polip karang.
Monitoring kondisi terumbu karang Kabupaten Nias Utara tahun 2017 merupakan tahun ke-3
(T3) pengukuran tutupan karang hidup setelah dilakukan penilaian awal (T0) pada tahun
2014, (T1) pada tahun 2015 dan (T2) pada tahun 2016. Hasil analisis tutupan karang hidup
dan kategori bentik lainnya tahun 2017 pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 15 berikut
ini.
37
Gambar 15. Tutupan karang dan kategori bentik lainnya pada masing-masing stasiun
Hasil monitoring tahun 2017 menunjukkan bahwa kondisi karang di perairan Nias Utara
relatif sama dengan tahun 2016 yaitu berada dalam kondisi kurang baik dengan nilai tutupan
karang hidup yang semakin menurun yaitu dari 13,82% (tahun 2016) menjadi 11,33% (tahun
2017). Tutupan karang hidup sebagai indikator langsung kesehatan terumbu karang terlihat
bervariasi pada setiap stasiun yaitu berkisar 1,93% - 17,20%. Tutupan karang hidup paling
tinggi dengan nilai 17,20% berada di Stasiun NIAC04 yaitu di Pulau Panjang, Kecamatan
Lahewa. Untuk tutupan karang hidup paling rendah dengan nilai 1,93% tetap berada di
Stasiun NIAC08 yang terletak di perairan Desa Balefadorotuho, Kecamatan Lahewa.
Tutupan komponen biotik lainnya seperti Soft Coral (SC), Sponge (SP), Alga (FS), dan biota
asosiasi terumbu karang mengalami peningkatan dari tahun lalu yaitu menjadi 10,81%.
Stasiun NIAC03 memiliki karakteristik yang berbeda dengan lokasi lainnya. Sejak
monitoring tahun pertama, stasiun NIAC03 sangat didominasi oleh tutupan alga hijau jenis
Tydemania expeditionis namun pengamatan tahun 2017 stasiun NIAC03 lebih didominasi
oleh DCA yang mencapai nilai sebesar 52,60%. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi
perubahan struktur bentik komunitas di stasiun tersebut. Hal ini dapat menjadi efek dari
kenaikan suhu air laut yang terjadi tahun 2016 ditambah dengan aktivitas antropogenik yang
semakin masif di pesisir stasiun NIAC03. Perairan di stasiun NIAC03 sangat dekat dengan
pantai dan merupakan lokasi wisata dan labuh kapal nelayan lokal.
Secara umum, tutupan substrat di perairan Nias Utara pada tahun 2017 lebih didominasi oleh
karang mati yang ditutupi alga (DCA) dengan kisaran nilai sebesar 29,27% - 65,80% dengan
nilai rata-rata sebesar 48,59%. Nilai ini meningkat dari pengamatan tahun sebelumnya (2016)
yang sebesar 46,02%. Nilai dead coral (DC) tetap yaitu sebesar 0,07%. Bagian abiotik
lainnya seperti tutupan patahan karang mati (R) dan dasar pasir (S) menutupi hampir sekitar
26,08% dasar perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa habitat terumbu sebagian
besar didominasi oleh tutupan abiotik dan hanya sekitar 22,14% yang ditutupi oleh
komponen biotik seperti karang hidup (LC), sponge (SP), karang lunak (SC), alga (FS) dan
biota asosiasi lainnya (OT).
Pada kondisi lain, tutupan patahan karang (R) paling tinggi berada di stasiun NIAC09 dan
NIAC10 dengan nilai lebih dari 30%. Namun secara umum rata-rata patahan karang
mengalami penurunan dari 18,37% (tahun 2016) menjadi 16,47% (tahun 2017). Tingginya
rubble di kedua lokasi NIAC09 dan NIAC10 yang masing-masing berada di Pulau Panjang
dan Gosong Umang diduga disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan. Lokasi ini sangat mendukung praktik penangkapan ikan dengan metode
pengeboman dan racun potas karena terletak cukup jauh dari daratan utama. Hal ini diperkuat
oleh hasil wawancara dengan penduduk setempat yang membenarkan bahwa praktik
pengeboman dengan botol kaca dan racun potas masih berlangsung hingga kini terutama di
lokasi-lokasi yang cukup jauh dari daratan utama.
Tutupan Karang Hidup Secara Temporal (2014-2015-2016-2017)
Kondisi karang secara temporal didefinisikan sebagai perubahan tutupan karang hidup
pada lokasi yang sama menurut waktu. Hasil monitoring tahun 2017 atau tahun ke-3 (T3)
akan dibandingkan dengan T0, T1 dan T2. Kondisi rata-rata karang hidup per stasiun di
Perairan Nias Utara hasil penilaian tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 disajikan pada Gambar
16 berikut dan perbandingan nilai tutupan karang hidup tiap tahun disajikan pada Gambar
17. Nilai persentase tutupan dan kategori bentik tiap tahun disajikan pada Lampiran 4.
39
Gambar 16. Perbandingan nilai tutupan karang hidup di tiap stasiun dan tahun 2014, 2015,2016 dan 2017 di perairan Kabupaten Nias Utara
Gambar 17. Perbandingan nilai tutupan karang hidup tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 diperairan Kabupaten Nias Utara
Penilaian kesehatan terumbu karang di perairan Nias Utara pertama kali dilakukan pada bulanMei-Juni tahun 2004 sebelum gempa Nias terjadi pada April 2005. Hasil penilaian kondisikesehatan terumbu karang pada saat itu (tahun 2004) berkisar pada 34,9% - 62,03% denganrerata 48,3%. Nilai tersebut mengindikasikan kondisi terumbu karang saat itu mendekatibaik (Giyanto et al., 2006). Jika dibandingkan dengan rata-rata tutupan karang hidup tahun2005 yaitu 19% (Keppel dan Abrar, 2013) dan dari laporan COREMAP II sebesar 21,39%(Siringoringo dan Agus, 2008), terjadi penurunan tutupan karang hidup yang cukupsignifikan yaitu sebesar 26,1%. Pengukuran kondisi kesehatan terumbu karang berikutnyadilakukan pada tahun 2007 dengan rerata tutupan karang hidup 17,2% terakhir sampai tahun2014 dengan rerata tutupan 22,76%. Dari perubahan temporal satu dekade lebih (2004 –2015), kondisi kesehatan terumbu karang dapat dikatakan mengalami penurunan pasca
kejadian gempa Nias tahun 2005, kemudian dari tahun 2007 terus mengalami pemulihanhingga 2014 dan 2015 namun berjalan sangat lambat hingga akhirnya pada tahun 2016perairan Nias Utara terkena dampak kenaikan suhu air laut yang berakibat pada pemutihankarang hingga tutupan karang menurun menjadi 13,82%. Hasil monitoring tahun 2017 jugamenampilkan hasil tutupan karang hidup yang tidak lebih baik. Tutupan karang hidupmengalami penurunan menjadi 11,33% pada tahun 2017, menurun sebanyak 2,49%dibanding tahun sebelumnya. Sangat tampak bahwa proses recovery pada karang tidakterjadi. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa kondisi habitat belum stabil dan masihmemberi peluang terhadap kecenderungan ke arah kerusakan yang lebih tinggi. Kemunculanpredator polip karang Acanthaster planci yang semakin intens di setiap stasiun juga turutmenambah beban bagi upaya recovery ekosistem terumbu karang di perairan Nias Utara.
Kekayaan Jenis
Secara global sebaran jenis karang di perairan Nias Utara termasuk dalam sebaran
jenis-jenis karang perairan barat Sumatera dengan jumlah spesies berkisar 351-400 spesies
(Veron et al, 2009). Inventarisasi jenis karang yang dilakukan pada tahun 2004 menghasilkan
jumlah jenis karang 136 spesies dari 51 genus yang mewakili 18 famili (Giyanto et al., 2006).
Hasil inventarisasi kekayaan jenis karang di wilayah perairan Kabupaten Nias Utara pada
tahun 2014 ditemukan 79 spesies karang dari 25 genus dan 12 famili (Siringoringo et al.,
2014). Pada tahun 2015 inventarisasi kekayaan jenis dilakukan pada area yang lebih luas
sehingga diperoleh 184 spesies karang dari 47 genus mewakili 15 famili. Inventarisasi jenis
karang pada tahun 2017 menurun yaitu hanya ditemukan 137 spesies dari 46 genus dan 14
famili (Lampiran 5). Penurunan jumlah jenis karang yang ditemukan diduga karena
kematian karang dalam jumlah besar. Kematian massal karang berdampak besar terhadap
berkurangnya populasi karang yang berbanding lurus dengan penurunan jumlah jenis karang
di suatu kawasan.
IKAN KARANG
Ikan karang yang menjadi objek pengamatan dalam monitoring kondisi terumbu karang
meliputi ikan coralivor dari famili Chaetodontidae, ikan herbivor dari famili Siganidae,
Acaridae dan Acanthuridae, ikan target dari famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae dan
Hemulidae, serta spesies ikan yang langka, terancam dan dilindungi.
Ikan Corallivor (Chaetodontidae)
41
Sensus visual 2017 pada ikan coralivora yang termasuk suku Chaetodontidae
menemukan sebanyak 17 spesies (Tabel 4). Jumlah ikan Chaetodontidae ini lebih besar
dibanding jumlah yang tersensus pada monitoring 2016, yaitu terdapat 13 species, dan
memiliki jumlah yang sama dengan monitoring 2014 dan 2015. Jenis coralivora dalam 10
besar yang terbanyak ditemukan pada 2017 berturut-turut adalah Forcipger flavissimus,
Gambar 18. Searah jarum jam, Jenis-jenis ikan dari suku Chaetodontidae yang ditemui ;Chaetodon falcula, Heniochus singularius, Chaetodon Auriga, Chaetodon ocellicaudus,
Chaetodon trifasciatus, Forcipiger flavissimus.
Perkembangan jumlah jenis maupun individu jika dilihat dari tahun basis (to), rata-
ratanya hampir tidak menunjukkan perubahan dari hasil monitoring tahun ke tiga (t3).
Gambar 19 menunjukkan hanya ada kenaikan pada tahun 2015, tetapi pada 2016 kembali ke
pola semula dan naik kembali pada tahun 2017.
44
Gambar 19. Perbandingan rata-rata diversitas (A) dan kelimpahan (B) Chaetodontidae dalamkurun waktu monitoring 2014 s/d 2017 di Perairan Nias Utara
Keragaman dan Komposisi Herbivora
Kelompok herbivora (Gambar 20) yang berhasil diidentifikasi selama kegiatan
monitoring 2017 meliputi 39 spesies dari suku Scaridae (14 jenis), Acanthuridae (18 jenis)
dan Siganidae (7 jenis) sedangkan pada monitoring sebelumnya tahun 2016 meliputi 29
species dari suku Scaridae (13 jenis), Acanthuridae (14 jenis) dan Siganidae (3 jenis)
(Lampiran 7). Jumlah jenis yang tersensus mengalami peningkatan dibanding hasil
monitoring 2014, 2015 dan 2016. Jenis Acanthuridae yang mendominasi komunitas ikan
karang (Lampiran 8) diwakili oleh Ctenochaetus striatus, Acanthurus tristis, Ctenochaetus
binotatus, Zebrasoma scopas, Naso lituratus, Acanthurus leucosternon, dan Naso
hexacanthus, terutama dalam komposisinya antara 1 % hingga 15 %. Jenis Scaridae yang
juga mendominasi dalam komunitas ikan karang termasuk Scarus ghobban, Scarus niger,
Chlorurus sordidus, Chlorurus blekeeri, dan Scarus hypselopterus, terutama dalam
komposisinya terdapat di atas 3 % sampai 10 %. Jenis Ctenochaetus striatus, Acanthurus
tristis, dan Scarus ghobban merupakan populasi ikan karang yang selalu mendominasi
komunitasnya sampai dengan monitoring 2017, sama seperti yang teridentifikasi pada saat
45
monitoring 2014, 2015 maupun 2016. Adapun jenis dari kelompok suku Siganidae tidak
begitu banyak ditemukan, meskipun jenis Siganus magnificus dijumpai hampir merata di
semua stasiun, sementara jenis Siganus guttatus terdapat di dua lokasi stasiun.
Gambar 20. Searah jarum jam, Jenis-jenis dari kelompok fungsional herbivora yang ditemui; Siganus guttatus, Siganus magnificus, Acanthurus leucosternon, Scarus niger,Scarus schlegeli
Kepadatan dan Biomassa Herbivora
Kepadatan atau densitas ikan herbivora bervariasi cukup tinggi antara stasiun (Tabel
5). Rata-rata jumlah individu per area transek 158 individu atau setara dengan 4477
individu/hektar. Kepadatan tertinggi dijumpai pada stasiun NIAC 07, NIAC 05 dan NIAC 08,
karena pada ketiga lokasi ini kondisi terumbu karang masih baik. Dominasi kepadatan seperti
46
ini tidak berubah sejak 2014, 2015 dan 2016, meskipun rata-rata densitasnya ditemukan
menurun dibanding 2015, tahun dimana untuk jenis Ctenochaetus striatus mengalami
peningkatan populasi pada saat spawning aggregation.
Hasil analisa data dari monitoring 2017 terhitung rata-rata Biomassa ikan herbivora
10,4 Kg/350 m2 atau setara dengan 299,5 kg/ha (Tabel 6; Lampiran 9). Jika dibandingkan
hasil monitoring tahun sebelumnya, biomassa ikan herbivora menurun. (Gambar 21).
Tabel 5. Densitas kelompok fungsional Herbivora di Perairan Nias Utara 2017
Gambar 23. Perbandingan rata-rata keanekaragaman jenis (A), kelimpahan (B) dan biomassa(C) ikan ekonomis penting dalam kurun waktu monitoring 2014-2017.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Dari petunjuk keberadaan kelompok ikan indikator obligat karang, kelompok ikan
herbivora, dan kelompok ikan target ekonomis penting dapat dinyatakan bahwa lokasi
Stasiun NIAC 8 dan NIAC 07 dan NIAC 05 adalah yang terbaik diantara lokasi lainnya di
sekitar KKPD Kabupaten Nias Utara, sedangkan lokasi yang terburuk dari tinjauan
keberadaan ikan karang adalah lokasi NIAC 02. Pada tahun basis 2014, lokasi terbaik baru
ditemukan pada stasiun NIAC 05, tetapi hasil monitoring 2017 menemukan adanya
perkembangan yang positif pada stasiun NIAC 08 dan NIAC 07, sementara stasiun NIAC 02
tetap dalam kondisi yang buruk.
Jumlah individu, jenis dan ukuran tubuh kelompok fungsional herbivora sangat
penting dalam perannya pada proses resiliensi di terumbu karang, yakni berfungsi sebagai
pengontrol pertumbuhan alga. Seperti diketahui pertumbuhan alga yang pesat dapat menutup
substrat bagi pertumbuhan benih karang. Oleh karena itu diperlukan kehadiran ikan herbivora
dalam jumlah yang besar. Cara makan herbivora yang dikenal sebagai grazer sangat
bergantung pada ukuran dan jenisnya, apakah ia dari kelompok marga Chlorurus, Scarus,
51
Acanthurus, Naso, atau Siganus. Marga Chlorurus dan Naso umumnya bersifat menggerus
substrat karang lebih dalam (escavator), sementara Scarus hanya menggerus tipis
(scrapers/small excavators) dan Siganus hanya memilah-milah (browser) bagian makanan
tertentu yang ada dipermukaan karang (Anonimous, 2010; Green & Bellwood, 2009; Obura
& Grimsdith, 2009).
Keberadaan kelompok ikan Kerapu (Serranidae) dan kakap (Lutjanidae), seperti juga
brajanata (Holocentridae) di lokasi penelitian adalah petunjuk bahwa lokasi masih baik
sebagai pelindung ikan yang terbangun dari terumbu karang batu, terutama pada stasiun
NIAL 5, 7 dan 8. Seperti diketahui bahwa kelompok kerapu dan brajanata memiliki asosiasi
yang kuat dengan bangunan karang atau shelter karena ikan ini bersifat kriptik. Sementara
kakap, kuwe, barakuda dan ekor kuning hadir pada perairan terbuka, jernih dan subur yang
menjadi tanda adanya aktivitas keluar masuk ikan ke area terumbu yang berulang-ulang
dalam sehari, baik sebagai plankton feeder maupun sebagai predator ikan-ikan kecil di
terumbu (Lieske & Myers. 1997).
Dari sisi kepadatan atau kelimpahan ikan, maka komunitas ikan karang pada umumnya
kurang berkembang sebagai akibat rendahnya daya dukung lingkungan dan adanya degradasi
habitat. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kehadiran kelompok ikan indikator. Lokasi
stasiun NIAC 1, 2 dan 3 merupakan area karang yang paling buruk jika diperhatikan dari
kehadiran ikan coralivora. Secara visual area terumbu karang di lokasi ini memang umumnya
rusak. Sebaliknya lokasi yang dapat dinilai cukup baik berdasarkan jumlah individu ikan
obligat karang adalah stasiun NIAC 08, NIAC 07 dan NIAC 05. Substrat terumbu pada
stasiun ini masih cukup baik untuk kehadiran jenis maupun individu dari coralivora, dimana
beberapa obligat karang umumnya berkorelasi positif pada jenis dan bentukan hidup karang
(coral lifeform), seperti karang bercabang atau karang meja (Reese, 1981; Edrus & Syam,
1998).
Jika diperhatikan hasil monitoring COREMAP-CTI 2014, 2015 dan 2016, kelompok
ikan herbivora yang paling menonjol adalah diwakili oleh kelompok butana (Acanthuridae)
dan kakatua (Scaridae). Namun dalam hal sediaan ikan karang per hektar. Data ikan karang
tahun pengamatan 2014 – 2017 disajikan pada Lampiran 13, data tahun 2017 (Lampiran 14),
data tahun 2016 (Lampiran 15), data tahun 2015 (Lampiran 16) dan data tahun 2014 (
Lampiran 17).
52
MEGABENTOS
Komposisi Jenis dan Kepadatan Megabentos
Dari sepuluh stasiun yang diamati, delapan spesies atau kelompok spesies
megabenthos yang menjadi target monitoring berhasil ditemukan di wilayah perairan Nias
Utara ini. Pada pengamatan di seluruh stasiun didapatkan sebanyak 474 individu
megabenthos target dengan pola kehadiran spesies atau kelompok spesies megabenthos
seperti yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Nias Utara
No. MegabenthosStasiun NIAC
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
1 Acanthaster planci - + - - + - - + + -
2 Bulu Babi + + + + + + + + + +
3 Linckia laevigata - + + + - + - + - +
4 Siput Drupella spp. + + - - + + + - + +
5 Kerang kima + + - + + + + - + +
6 Teripang - + - - + - + + + -
7 Lobsters - + - - - - + + - -
8 Keong trokha + + + + + + + + + +
Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos
yang didapatkan di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa terdapat satu kelompok
spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi, yaitu bulu
babi. Dari seluruh megabenthos target yang ditemukan, bulu babi ditemukan sebanyak 95,6%
(326 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam
jumlah sedang antara lain keong trokha, siput Drupella spp. dan kerang kima. Dari total
megabenthos target yang ditemukan, keong trokha ditemukan sebesar 15,25% (52 individu),
sedangkan siput Drupella spp. ditemukan sebesar 8,8% (30 individu), dan kerang kima
ditemukan sebanyak 7,33% (25 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target
yang ditemukan dalam jumlah sedikit yaitu bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci,
teripang, bintang laut biru Linckia laevigata dan lobster. Dari total megabenthos yang
ditemukan, bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci ditemukan sebesar 4,4% (15
53
individu), teripang ditemukan sebesar 4,11% (14 individu), bintang laut biru Linckia
laevigata ditemukan sebesar 2,64% (9 individu), dan lobster ditemukan sebesar 0,88% (3
individu).
Gambaran mengenai prosentase megabenthos target yang ditemukan selama
pengamatan di perairan Nias Utara disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Diagram perbandingan jumlah individu dari masing-masing spesies
megabenthos target di perairan Nias Utara
Jika dilihat dari jumlah individu pada masing-masing stasiun, terlihat pada stasiun
NIAC09 dan NIAC08 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu megabenthos yang
melimpah, yaitu masing-masing terdiri dari lebih dari 100 individu, dimana bulu babi
mendominasi dengan jumlah pada kedua stasiun tersebut. Stasiun NIAC10, Stasiun NIAC03
dan Stasiun NIAC02 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu sedang, yaitu antara
30 – 100 individu dengan komposisi bervariasi. Stasiun NIAC01, Stasiun NIAC05, Stasiun
NIAC07, Stasiun NIAC06 dan Stasiun NIAC04 merupakan stasiun yang memiliki jumlah
individu rendah, yaitu kurang dari 30 individu dengan komposisi bervariasi.
Keberadaan setiap spesies atau kelompok spesies megabenthos tidak lepas dari
kondisi kesehatan terumbu karang maupun keanekaragaman spesies karang sebagai habitat
dari berbagai jenis fauna megabenthos pada masing-masing stasiun tersebut. Pada beberapa
stasiun memang memiliki prosentase tutupan karang di atas 60%, pada stasiun lain memiliki
54
tutupan karang kurang dari 30%. Kondisi ini kemungkinan juga berpengaruh terhadap
keanekaragaman biota yang berasosiasi, termasuk megabenthos. Prosentasi kategori benthik
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan komposisi spesies atau kelompok spesies
megabenthos pada suatu perairan. Beberapa spesies seringkali terlihat melimpah di perairan
yang didominasi oleh substrat yang berupa karang mati yang ditumbuhi oleh algae. Beberapa
spesies lainnya lebih memilih habitat yang banyak ditumbuhi oleh karang hidup. Begitupun
juga dengan kekasaran atau rugositas dari dasar suatu perairan juga memiliki peran terhadap
keberadaan dan komposisi spesies atau kelompok spesies megabenthos. Beberapa spesies
lebih menyukai habitat dengan rugositas dasar perairan yang kasar dimana terdapat banyak
karang boulder. Beberapa spesies yang lain justru lebih memilih rugositas dasar perairan
yang rata.
Jika dilihat dari prosentase kehadiran masing-masing spesies fauna megabenthos pada
tiap stasiun, terlihat Stasiun NIAC03 memiliki fauna megabenthos yang miskin, yaitu hanya
terdapat tiga kelompok spesies megabenthos saja, yaitu bulu babi, bintang laut biru Linckia
laevigata dan keong trokha. Sedangkan Stasiun NIAC02 merupakan stasiun yang memiliki
megabenthos yang paling beranekaragam, yaitu terdiri dari delapan spesies atau kelompok
spesies megabenthos dari delapan spesies atau kelompok spesies megabenthos target
monitoring dijumpai pada stasiun tersebut. Sementara itu, pada Stasiun NIAC05 dan Stasiun
NIAC07 terdiri dari enam spesies atau kelompok spesies, walau dengan jumlah yang relatif
sedikit.
Dilihat dari kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada
masing-masing stasiun (Tabel 10), terlihat bahwa bulu babi memiliki kelimpahan yang
tinggi. Kepadatan rata-rata bulu babi berada pada kisaran di atas di atas 500 individu/ha,
kecuali pada Stasiun NIAC06 dan Stasiun NIAC02 yang memiliki kepadatan kurang dari 500
individu/ha. Empat stasiun memiliki kepadatan di atas 1000 individu/ha, bahkan pada Stasiun
NIAC08 dan Stasiun NIAC09 kepadatan bulu babi lebih dari 5000 individu/ha. Sedangkan
megabenthos yang lain yang juga ditemukan selama pengamatan umumnya memiliki
kepadatan rendah yaitu kurang dari 500 individu/ha, kecuali bintang laut bermahkota duri
Acanthaster planci pada Stasiun NIAC09, siput pemakan polip karang Drupella spp. pada
Stasiun NIAC02, kerang kima pada Stasiun NIAC06, dan keong trokha pada Stasiun
NIAC02, Stasiun NIAC05 dan Stasiun NIAC08.
55
Tabel 10. Kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada masing-masing
Berdasarkan nilai persentase tutupan kanopi komunitas, mangrove di Kabupaten Nias Utara
memiliki kondisi kesehatan yang termasuk dalam kategori yang cukup baik. Rata-rata
persentase tutupan kanopinya sebesar 64,5±4,0% dengan rentang tutupan dari 36,1±9,0%
sampai 91,5±0,5% (Gambar 34). Sementara itu, nilai kerapatan pohonnya termasuk dalam
kategori sangat tinggi, dengan rata-rata 2.533±260 pohon/ha. Stasiun NISM02.01 yang
terletak di Desa Sawo memiliki kondisi kerapatan yang paling rendah, yaitu: 633±318
pohon/ha. Sementara itu, kerapatan pohon mangrove yang paling tinggi, 3.720±659 pohon/ha
diperoleh pada stasiun pemantauan NISM03 di Desa Lahewa (Gambar 35). Secara
keseluruhan, diameter batang pohon mangrove di Kabupaten Nias Utara memiliki rata-rata
9,8±1,6 cm dimana tegakan pohon di stasiun NISM02.01 memiliki rata-rata diameter batang
yang paling tinggi, yaitu: 24,2±12,4 cm. Rata-rata ukuran pohon yang paling kecil ditemukan
di stasiun NISM04 dengan diameter batang 6,0±0.2 cm (Gambar 36). Komunitas mangrove
di Kabupaten Nias Utara memiliki struktur komunitas yang didominasi oleh R. apiculata
dengan kodominansi oleh S. alba dan R. mucronata.
Gambar 34. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara tahun2017. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW= Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili;
91,1
±1.
0
91,5
±0.
5
36,7
±5.
9
61,0
±3.
9
36,1
±9.
0 85,8
±3.
8
66,6
±3.
2
74,0
±5.
0
70,2
±6.
7
82,1
±5.
7
32,4
±7.
1
64,5
±4.
0
0102030405060708090
100
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
Per
sent
ase
Tutu
pan
Kan
opi (
%)
77
SW=Sawo. Warna: [Hitam]=Titik Baru; [Orange]=Titik Pemantauan Dinas PerikananKabupaten Nias Utara; [Biru]=Titik Pemantauan COREMAP-LIPI; [Putih]=Total Rata-RataKeseluruhan stasiun pemantauan di Kabupaten Nias Utara.
Kondisi kerapatan mangrove berhubungan erat dengan faktor ukuran diameter batang serta
jenis pohon yang mendominasi dalam komunitas. Jenis Sonneratia alba, berperan sebagai
jenis pioner dalam kawasan, maka cenderung menghasilkan senyawa alelopati yang mampu
menghambat pertumbuhan jenis mangrove lainnya dalam suatu area. Oleh karena itu, pada
habitat yang sudah terdominasi tinggi jenis S. alba, maka akan sulit menemukan jenis lain
berkembang dengan pesat. Umumnya, dominasi tinggi ini ditemukan pada habitat mangrove
yang miskin senyawa organik, substrat pasir/berbatu dan umumnya berada di zona depan/laut
yang sering terkena flushing gelombang. Seperti halnya pada, NUDM03 (Desa Lahewa) dan
NISM02.01 (Desa Sawo) yang didominasi tinggi oleh jenis S. alba. Ukuran diameter batang
pohon S. alba yang sangat lebar, dengan rata-rata 24,2±13,4 cm, berpengaruh pada kerapatan
pohon yang paling rendah pada stasiun NISM02.01. Sementara itu, stasiun NUDM03
memiliki ukuran diameter batang pohon 7,9±0,5 cm.
Gambar 35. Nilai kerapatan pohon pada komunitas mangrove (pohon/ha) di Kabupaten NiasUtara tahun 2017 pada setiap stasiun pemantauan. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW=Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
2900
3067 37
20
3433
1433
3100
1367
1333
1333
2467
633
2253
0500
10001500200025003000350040004500
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
78
Stasiun pemantauan yang didominasi oleh jenis Aegiceras corniculatum, NISM03, memiliki
tegakan yang cukup rendah (tinggi tegakan 1.5-3 meter). Kerapatan yang tinggi dalam
kawasan disebabkan oleh dominasi A. corniculatum yang memiliki ukuran tegakan yang
kecil dengan rata-rata ukuran diameter sebesar ~7,4 cm (Gambar 37). Pantai pasir berbatu
merupakan habitat yang sangat cocok bagi pertumbuhan jenis ini. Oleh karena ukuran
diameter pohon yang kecil serta tegakan yang rendah, menyebabkan tutupan kanopi
komunitasnya juga menjadi rendah, hanya 36,7±5,9%. Hal ini mengindikasikan bahwa
persentase tutupan komunitas mangrove sangat bervariasi tergantung dari jenis mangrove,
kerapatan, tinggi dan diameter pohon.
Tegakan jenis Rhizophora yang sangat dominan dalam suatu komunitas memberikan nilai
persentase tutupan yang cukup tinggi pada sebagian besar stasiun pemantauan. Pada kondisi
mangrove yang cukup alami, dua stasiun pemantauan di Desa Lasara Sawo memiliki nilai
persentase tutupan kanopi yang paling tinggi. Hal ini didukung oleh kerapatan pohon yang
cukup tinggi, yaitu 2900 – 3067 pohon/ha dengan rata-rata diameter pohon ~9,0 cm dan 7,2
cm. Kondisi alami yang diindikasikan dengan rendahnya penebangan pohon, juga dijumpai
pada stasiun NUDM01 dan NISM05. Sementara itu, pada stasiun NISM02.02-04 (Desa
Sisarahili) ditemukan indikasi penebangan walaupun tidak masif. Hal ini juga dibuktikan dari
nilai persentase tutupan kanopi komunitas yang <75% serta nilai kerapatannya yang lebih
rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yang didominasi oleh Rhizophora.
79
Gambar 36. Ukuran rata-rata diameter batang pohon komunitas mangrove di Kabupaten
Nias Utara tahun 2017 pada setiap stasiun pemantauan. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo;
LW= Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
Gambar 37. Variasi indeks nilai penting (INP) pada setiap jenis yang ditemukan dalam plotpemantauan di Kabupaten Nias Utara tahun 2017. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW=Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
9,0
7,2
7,4
7,9
6,0 9,3
9,1
8,7 9,9
8,8
24,2
9,8
05
10152025303540
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
162,
049
,137
,7
050
100150200250300
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
RA RL BG CT AC BC ST TP LL SA RM BS HT XG
80
Analisis MDS non metrik menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan yang cukup nyata
pengelompokan mangrove berdasarkan struktur komunitasnya (Gambar 5). Hal ini diperoleh
dari ordinasi stasiun-stasiun pemantauan yang mengelompok terpisah satu sama lain. Stasiun
L3 (NISM03) Desa Lahewa memiliki komunitas mangrove yang didominasi oleh A.
corniculatum. Sedangkan D3 (NUDM03) dan L21 (NISM02.01) juga mengelompok akibat
dominasi S. alba. Ordinasi stasiun lainnya tampak menumpuk satu sama lain, akibat dominasi
yang cukup tinggi dari Rhizophora (Gambar 38a). Analisis MDS lanjutan dilakukan untuk
mengukur jarak ordinasi antar stasiun-stasiun yang didominasi oleh Rhizophora (Gambar
38b).
Gambar 38a. Analisis non-metric MDS pada seluruh stasiun pemantauan berdasarkanstruktur komunitas mangrove. Stasiun-stasiun pemantauan di Desa Sisarahili (kanan atas)tampak terordinasi dengan rapat.
81
Gambar 38b. Analisis non-metric MDS (lanjutan) pada stasiun pemantauan mangrove yangdidominasi oleh kelompok Rhizophora. Keterangan: L=NISM; D=NUDM; LS=Lasara Sawo;LW=Lahewa; SR=Sisarahili; SW=Sawo.
Deskripsi Kondisi Mangrove setiap Stasiun
Stasiun NISM01, Desa Lasara Sawo
Kawasan mangrove di stasiun NISM01 memiliki tegakan mangrove yang masih alami
dengan dominasi Rhizophora apiculata dan persentase tutupan kanopi 91,1±1,0% yang
termasuk dalam kategori kesehatan yang sangat baik. Kerapatan pohon mangrove juga
tergolong tinggi, yaitu: 2.900 ± 153 pohon/ha. Ukuran diameter batangnya adalah sekitar 9,0
± 0,2 cm. Jenis lain yang ditemukan dalam kawasan, antara lain: Ceriops tagal; R.
mucronata, R. lamarckii dan Bruguiera gymnorrhiza. Mangrove tumbuh di sepanjang muara
sungai yang memiliki tipe substrat berlumpur.
Gambar 39. Stasiun NISM01, Desa Lasara Sawo yang didominasi oleh Rhizophora
82
Stasiun NUDM02, Desa Lasara Sawo
Seperti halnya stasiun NISM01, stasiun pemantauan mangrove NUDM02 yang sebelumnya
merupakan titik pemantauan Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara, memiliki kondisi
mangrove yang juga didominasi dengan sangat tinggi oleh jenis R. apiculata. Jenis mangrove
lain juga ditemukan pada kawasan ini, antara lain: C. tagal dan R. mucronata. Kondisi
kesehatan komunitas mangrove juga tergolong sangat baik. Hal ini ditunjukkan dari
persentase tutupan kanopi mangrove, yaitu 91,5±0,5%, dengan kerapatan pohon sebesar
3.067±33 pohon/ha. Rata-rata diameter batang pohon yang dijumpai dalam kawasan adalah
7,2 ± 0,6 cm.
Gambar 40. Tegakan Rhizophora pada Stasiun NUDM02, Desa Lasara Sawo
Stasiun NISM03, Desa Lahewa
Mangrove yang tumbuh pada stasiun NISM03 memiliki kondisi yang termasuk dalam
kategori kurang baik. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove hanya memiliki rata-
rata sebesar 36,7 ± 5,9%. Kondisi kerapatan komunitas mangrove termasuk tinggi, yaitu:
3.720 ± 659 pohon/ha, namun diameter pohonnya hanya memiliki rata-rata sebesar 7,4±0,2
cm dengan tinggi pohon 1,5 - 4 meter. Walaupun demikian, stasiun pemantauan ini termasuk
memiliki kekayaan jenis mangrove sejati yang cukup tinggi, antara lain: A. corniculatum, R.
stylosa, R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, L. littorea, B.
gymnorrhiza dan B. cylindrica.
83
Gambar 41. Dominasi tegakan Aegiceras corniculatum pada stasiun NISM03
Stasiun NUDM03, Desa Lahewa
Sonneratia alba, merupakan jenis yang sangat dominan pada stasiun NUDM03, namun
beberapa jenis mangrove juga ditemukan dalam kawasan, antara lain: B. gymnorrhiza, R.
apiculata, R. mucronata, R. stylosa, C. tagal, B. cylindrica, Avicennia marina, L. racemosa
dan L. littorea. Tegakan mangrove dalam kawasan memiliki rata-rata diameter batang
sebesar 7,9 ± 0,5 cm. Kerapatan pohon mangrove juga cukup tinggi, rata-rata 3.433 ± 333
pohon/ha. Kondisi kesehatan mangrove termasuk dalam kategori cukup baik, dengan rata-rata
61,0 ± 3,9%.
Gambar 4. Tegakan S. alba yang sangat dominan pada stasiun NUDM03
Stasiun NISM04, Desa Lahewa
Stasiun pemantauan yang baru dibuat, terletak di teluk kecil sebelah timur Pelabuhan Lahewa
memiliki persentase tutupan kanopi sebesar 36,1 ± 9,0%. Hal ini menunjukkan bahwa
kawasan berada dalam kondisi yang kurang baik. Rata-rata kerapatan pohonnya adalah 1.433
± 448 pohon/ha, dengan didominasi penuh oleh jenis R. apiculata. Tinggi tegakan pohon
perkisar antara 2-4 meter, dengan diameter rata-rata 6,0 ± 0.2 cm. Substrat didominasi oleh
pasir-berlumpur dan berbatu karang.
84
Gambar 42. Dominasi R. apiculata ada stasiun NISM04
Stasiun NUDM01, Desa Sisarahili
Kondisi komunitas mangrove di Desa Sisarahili termasuk dalam kategori baik-sangat baik
dengan dominasi tegakan oleh jenis R. apiculata. Hasil analisis persentase tutupan kanopi
menunjukkan bahwa stasiun NUDM01 memiliki tutupan kanopi komunitas sebesar 85,8 ±
3.8%. Nilai standar eror (~3,8 cm) yang kecil mengindikasikan kondisi kawasan yang cukup
stabil dan rendah frekueni penebangan. Kerapatan pohon mangrove juga cukup tinggi, yaitu
3.100 ± 306 pohon/ha dengan ukuran batang pohon yang memiliki diameter rata-rata sebesar
9,3 ± 0.5 cm. Jenis lain yang ditemukan dalam kawasan antara lain: B. gymnorrhiza, R.
mucronata, R. stylosa dan C. tagal.
Gambar 43. Kondisi stasiun NUDM01, Desa Sisarahili
Stasiun NISM02.02-NISM02.04, Desa Sisarahili
Kawasan mangrove pada stasiun NISM02.02;03 dan 04, berada disekitar jembatan pelabuhan
Desa Sisarahili. Akses masuk yang cukup baik menyebabkan adanya indikasi penebangan
pohon dalam komunitas. Walaupun demikian, kondisi komunitas mangrove dalam kawasan
tergolong dalam kategori yang cukup baik. Analisis persentase tutupan kanopi menunjukkan
85
nilai tutupan kanopi komunitas mangrove berkisar antara 66,6 ± 3,2% (NISM02.02) - 74,0 ±
5.0 (NISM02.03), Sedangkan stasiun NISM02.04 memiliki tutupan kanopi komunitas sebesar
70,2 ± 6,7%. Diameter pohon yang ditemukan di dalam stasiun pemantauan memiliki
diameter yang tidak berbeda signifikan dengan stasiun lainnya di Sisarahili, yaitu: 8,7 – 9,9
cm. Namun, penebangan yang cukup banyak ditemukan pada stasiun ini menyebabkan
kerapatan pohonnya berbeda signifikan dan lebih kecil, yaitu: 1333 pohon/ha – 1367
pohon/ha. Seperti halnya stasiun lainnya di Desa Sisarahili, mangrove dalam stasiun ini
didominasi dengan sangat tinggi oleh jenis R. apiculata, dengan kodominansi R. mucronata
dan C. tagal.
Gambar 44. Kondisi komunitas mangrove stasiun NISM02.02-04 di Desa Sisarahili
Stasiun NISM05, Desa Sisarahili
Kawasan pemantauan yang baru dibuat tahun 2017 ini, NISM05, memiliki kondisi komunitas
mangrove yang sangat baik. Hal ini dibuktikan dari nilai rata-rata persentase tutupan kanopi
komunitas mangrove dalam kawasan, yaitu 82,1 ± 5,7%. Hal ini juga didukung oleh
kerapatan pohon yang cukup tinggi, yaitu sebesar 2.467 ± 167 pohon/ha dengan ukuran
diameter batang sekitar 8,8 ± 0.1 cm. Kawasan mangrove di stasiun NISM05 didominasi oleh
jenis R. apiculata, dengan kodominansi R. mucronata.
86
Gambar 45. Kondisi komunitas mangrove pada stasiun NISM05, Desa Sisarahili.
Stasiun NISM02.01, Desa Sawo
Desa Sawo memiliki hamparan komunitas mangrove yang cukup sempit dan terhubung
dengan komunitas mangrove Desa Lasara Sawo. Satu stasiun pemantauan yang dibuat di
Desa Sawo, NISM02.01, memiliki kondisi komunitas mangrove yang kurang baik. Rata-rata
persentase tutupan kanopi komunitas mangrove hanya sebesar 32,4 ± 7,1% dengan kerapatan
pohon sebesar 633 ± 318 pohon/ha, paling rendah dibandingkan dengan stasiun pemantauan
lainnya di Kabupaten Nias Utara. Komunitas mangrove pada stasiun ini di dominasi dengan
sangat baik oleh jenis S. alba yang memiliki diameter rata-rata 24,2 ± 13,4 cm. Jenis lainnya
yang ditemukan dalam kawasan adalah A. corniculatum dan R. apiculata
Gambar 46. Dominasi S. alba pada stasiun NISM02.01, Desa Sawo
DINAMIKA KONDISI KOMUNITAS MANGROVE
Kondisi kesehatan mangrove di Kabupaten Nias Utara dari tahun 2014 tergolong cukup baik
dengan persentase tutupan kanopi komunitas berada dalam rentang 50-75%. Walaupun
jumlah stasiun pemantauan yang dibuat dari tahun 2014-2017 semakin meningkat, namun
kondisi komunitas mangrove tergolong stabil (Gambar 9). Tahun 2014, pada stasiun
pemantauan yang dibuat di dua desa (Lahewa dan Sisawahili), persentase tutupan kanopi
komunitas mangrove terhitung sebesar 65.0±3.0%. Nilai tersebut mengalami sedikit
penurunan di tahun 2015 (7 stasiun pemantauan, termasuk kegiatan pemantauan Dinas
Perikanan Kabupaten Nias Utara) menjadi 64,3±5,3%. Tahun 2016, pemantauan yang
dilakukan pada 8 stasiun pemantauan (+1 stasiun dibandingkan dengan tahun sebelumnya),
memberikan peningkatan persentase tutupan kanopi menjadi 67,2±8,5%. Data tahun 2017,
dapat dianggap lebih representatif dan akuratif, mengingat jumlah stasiun yang dipantau
menjadi 11 stasiun.
87
Stasiun NUDM01 dan NUDM02 mengalami peningkatan persentase tutupan kanopi yang
signifikan pada 2015 ke 2017. Sementara itu, stasiun pemantauan di Desa Sawo, NISM02.01,
mengalami penurunan yang cukup tajam dari tahun 2016-2017. Hal ini disebabkan oleh
adanya penebangan dalam stasiun pemantauan. Hasil analisis stasiun pemantauan di Desa
Lahewa, NISM03 dan NUDM03, ditemukan penurunan yang cukup tajam pada periode
2015-2016, namun cenderung stabil pda tahun 2017. Stasiun pemantauan yang dibuat oleh
LIPI di Desa Sisarahili, NISM02.02 dan NISM02.04, memiliki nilai persentase tutupan yang
dinamis/fluktuatif (tidak berbeda signifikan) pada seluruh tahun pemantauan.
Gambar 47. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove tahun 2014-2017 di KabupatenNias Utara. Keterangan: LS=Lasara Sawo; LW=Lahewa; SR=Sisarahili; SW=Sawo.
PADANG LAMUN (Seagrass)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
Pers
enta
se T
utup
an K
anop
i (%
)
Stasiun Pemantauan
2014 2015 2016 2017
88
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa selama pengamatan tercatat delapan jenis lamun yang
teridentifikasi pada lokasi pengamatan yaitu : Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides,
Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Pada Tabel 13 tersebut terlihat keragaman,
kompoisi dan ditsirbusi lamun dari masing-masing stasiun bervariasi dengan tipe campuran
(mixed vegetation), yaitu ditemukan lebih dari satu jenis lamun. Berdasarkan Tabel 13, ada
empat jenis lamun yang selalu ditemukan pada setiap stasiun yaitu jenis lamun Halodule
pinifolia, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii. Secara
umum substrat dari setiap stasiun adalah pasir lumpuran, pasir halus-kasar dan pasir
bercampur karang mati (rubble) (Tabel 13).
Tabel 13. Keragaman jenis lamun di perairan KKPD Kabupaten Nias Utara, November 2017(Klasifikasi Phillips & Menez 1988;Kuo & Comb 1989;Den Hartog Kuo 2006).
J E N I SL O K A S I
1 2 3 4 5 6 7 8
I. SUKU CYMODOCEAE
1. Halodule pinifolia + + + + + + - -
2. Halodule uninervis - - - + - + - -
3. Cymodocea rotundata + + + + + + + +
4. Cymodocea serrulata + + + + + + - +
5. Syringodium isoetifolium - + + - + - - -
II.SUKU: HYDROCHARITACEAE
6. Enhalus acoroides - - + - + + - -
7. Thalassia hemprichii + + + + + + - -
8. Halophila ovalis + - + + - + - +
Jumlah Jenis. 5 5 7 6 6 7 1 3
Keterangan : + = ada - = tidak ada
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01)
2. Goso Baohi, Lahewa (NIAS02)
3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03)
4. Tanjung Furedowi, Sawo (NIAS04)
5. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05)
6. Tanjung Furedowi (1), Sawo (NIAS06)
7. Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07)
8. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08)
Stasiun 1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01)
89
Pada lokasi Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01) (Gambar 48) tercatat lima jenis
lamun yaitu Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Thalassia hemprichii
dan Halophila ovalis. Tabel 14 menunjukkan bahwa tutupan lamun di Stasiun NIAS01
adalah rata-rata 53,32% yang didominasi oleh Cymodocea rotundata dengan substrat lumpur
berpasir dan pecahan karang. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah padat (51-75%),
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (30-59,9%).
Gambar 48. Lokasi Muara Tali Wa’a, Lahewa (kiri), Cymodocea rotundata (kanan)
Stasiun 2. Goso Baohi, Lahewa (NIAS02)
Pada lokasi Goso Baohi, Lahewa (NIAS02) (Gambar 49) tercatat lima jenis lamun
yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Syringodium isoetifolium dan
Thalassia hemprichii. Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah
21,20% yang didominasi oleh Cymodocea serrulata dengan substrat pasir bercampur pecahan
karang. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang, sedangkan kondisi padang
lamunnya adalah miskin (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 49. Lokasi Pulau Gosobaohi, Lahewa (kiri). Cymodocea serrulata danSyringodium isoetifolium (kanan).
90
Stasiun 3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03)
Pada lokasi Teluk Bengkuang (NIAS03) (Gambar 50) tercatat tujuh jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis
(Tabel 13). Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 67,03% yang
didominasi oleh Enhalus acorooides dengan substrat lumpur berpasir dan pasir.. Hal ini
berarti kategori tutupannya adalah padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah
sehat/kaya.
Gambar 50. Lokasi Teluk Bengkoang, Sawo (kiri) dan Thalasia hemprichii (kanan).
Stasiun 4. Tanjung Furedowi (NIAS04)
Pada lokasi Tanjung Foredowi, Sawo (Gambar 51) tercatat tercatat enam jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Hasil pengamatan menunjukkan rata-
rata tutupan lamunnya adalah 64,22% yang didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan
substrat pasir-pecahan karang mati. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah padat,
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH,
2004).
91
Gambar 51. Lokasi Tanjung Furedowi, Sawo (kiri), Thalassia hemprichii (kanan).
Stasiun 5. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05)
Pada lokasi Teluk Bengkuang (1) (NIAS05) (Gambar 52) tercatat enam jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii (Tabel 13). Tabel
14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 69,32% yang didominasi oleh
Cymodocea rotundata dengan substrat lumpur berpasir dan pasir.. Hal ini berarti kategori
tutupannya adalah padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah sehat/kaya.
Gambar 52. Lokasi Teluk Bengkoang (1), Sawo (kiri) dan Cymodocea rotundata
sebagai jenis dominan (kanan).
Stasiun 6. Tanjung Furedowi (NIAS06)
Pada lokasi Tanjung Foredowi (1), Sawo (Gambar 53) tercatat tercatat tujuh jenis
lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Halophila
ovalis. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata tutupan lamunnya adalah 38,27% yang
92
didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan substrat pasir-pecahan karang mati. Hal ini
berarti kategori tutupannya adalah cukup padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah
kurang sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 53. Lokasi Tanjung Furedowi (1), Sawo (kiri), Thalassia hemprichii (kanan).
Stasiun 7. Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07)
Pada lokasi Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07) (Gambar 54) tercatat hanya satu jenis
lamun yaitu Cymodocea rotundata (Tabel 13). Tabel 14 menunjukkan bahwa tutupan lamun
di Stasiun NIAS07 adalah rata-rata 31,25% yang didominasi oleh Cymodocea rotundata
dengan substrat lumpur berpasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah kurang padat,
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya.
Gambar 54. Sihene’ Asi, Lahewa (atas), Cymodocea rotundata (kanan).
Stasiun 8. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS09)
Pada lokasi Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08) (Gambar 55) tercatat tiga
jenis lamun yaitu, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis (Tabel
13). Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 37,69 % yang
didominasi oleh Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata dengan substrat lumpur
93
berpasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah kurang padat, sedangkan kondisi padang
lamunnya adalah kurang sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 55. Lokasi Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (kiri). Cymodocea serrulata dan
Cymodocea rotundata (kanan).
Tabel 14. Tutupan dan dominansi jenis lamun di perairan KKPD Kabupaten Nias Utara
pada setiap stasiun pengamatan, tahun 2017 (t2)
Stasiun Tutupan (%) Dominansi
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01) 53,32 Cymodocea rotundata
3.Teluk Bengkoang, Sawo (NIALM03) 47,92 C. rotundata
4. Tanjung Furedowi (NIALM04) 66,48 T. hemprichii
Rata-rata 56,50
Stdev 14,74
Hasil pengamatan kondisi padang lamun tahun 2017 (t2) dibandingkan dengan hasil
pengamatan tahun 2016 (t1) (Siringoringo dkk., 2016), terjadi kenaikan pada Stasiun
(NIAS03), Teluk Bengkoang, tetapi juga terjadi penurunan tutupan pada Stasiun (NIAS02) ,
Goso Baohi. Pengamatan monitoring tahun 2017 (t2) secara keseluruhan, baik maupun
kategori tutupan maupun status kondisi padang lamun, relatif sama kecuali pada Stasiun
NIAS02 dan NIAS03 (Tabel 14, Tabel 15, Tabel 16 dan Gambar 52).
97
Secara keseluruhan hasil pengamatan monitoring di perairan Kabupaten Nias Utara
adalah ditemukan delapan jenis lamun yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia
hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 2). Sedangkan tutupan lamun adalah rata-rata
49,04+14,78%. Secara keseluruhan di perairan Nias Utara, dominasi jenis lamun adalah jenis
Cymoodcea rotundata yang ditemukan merata di semua stasiun pengamatan.
Teripang
Teripang termasuk dalam Filum Echinodermata, Kelas Holothuria, OrdoHolothuroidea. Teripang adalah salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata).Duri pada teripang sebenarnya merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat kapurdan terdapat didalam kulitnya. Habitat teripang tersebar luas di lingkungan perairan diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindiadan Samudra Pasifik Barat. Beberapa diantaranya lebih menyukai perairan dengan dasarberbatu karang, yang lainnya menyukai rumput laut atau dalam liang pasir dan lumpur. Jenisteripang yang termasuk dalam Holothuria, Scitopus dan Muelleria memiliki habitat berada didasar berpasir halus, terletak di antara terumbu karang, dan dipengaruhi oleh pasang surut airlaut (Pawson, 1982., Elfidasari, 2012., dan Darsono, 2005)
Teripang berperan penting dalam ekosistem perairan karena berfungsi sebagaikomponen utama dalam rantai makanan, terutama ekosistem terumbu karang danasosisasinya pada berbagai tingkat struktur pakan. Peran utama Teripang adalah sebagaipemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder) (Bakus, 1973).Selain berperan sebagai komponen utama dalam rantai makanan di ekosistem, Teripang jugadigunakan manusia sebagai bahan makanan dan obat tradisional serta bahan riset komposisibioaktif pada farmakologi modern hingga akhirnya mendorong perdagangan teripang baikskala lokal maupun internasional.
Tingginya permintaan dan tidak adanya regulasi masalah teripang mengakibatkanadanya indikasi ekploitasi teripang berlebihan. Indikasi ini diperkuat dengan adanyaperbedaan harga yang signifikan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain yangdijelaskan oleh pengepul karena adanya permintaan yang tinggi terhadap suatu jenis teripangtertentu. Untuk itu diperlukan kajian stok teripang dilapangan untuk melihat distribusiteripang saat ini, jumlah populasi serta tipe habitat di alam.
Dari pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan pada saat pengamatan teripang yang
ditemukan dominan berukuran kecil dan jumlah sangat sedikit baik populasi maupun jenis
(Tabel 17). Total didapat 37 ekor teripang dari 6 jenis dan 3 genus dari 4 stasiun pengamatan
di sekitar Pulau Nias Utara (Tabel 18). Terdapat 6 jenis teripang yang berasal dari 3 genus,
yaitu Bohadschia, Holothuria dan Stichopus.
98
No StasiunKoordinat
Nama Lokasi Tipe Substrat JumlahTeripangBujur Lintang
1 Teripang 1 97.4250829 1.51024 Pantai Walu Pasir danBatuan 11
2 Teripang 2 97.1669188 1.424453 Pulau Gosong Bohi Pasir 03 Teripang 3 97.2287705 1.412396 Muara sungai Lululele Pasir 0
4 Teripang 4 97.4165699 1.521359 Pantai Walu, Seribau,Turedobi
Pasir danBatuan 26
Tabel 17. Stasiun pengamatan dan jumlah teripang yang ditemukan
Tabel 18. Jenis teripang dan jumlah yang ditemukan.
Berdasarkan kegiatan monitoring yang dilaksanakan di perairan Kabupaten Nias Utara pada
tahun 2017, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu:
1. Persentase tutupan karang hidup mengalami penurunan sebesar 2,49% dari tahun
2016 ke 2017. Pada tahun 2016 tutupan karang sebesar 13,82% dan pada tahun 2017
tutupan karang sebesar 11,33%. Dengan demikian kondisi karang dikategorikan
rusak.
2. Penurunan persentase tutupan karang juga diikuti dengan penurunan jumlah jenis
karang yang mana karang karang tertentu yang memiliki daya tahan yang kuat yang
masih mampu bertahan.
3. Komunitas ikan terumbu karang di Nias Utara meningkat keanekaragaman jenisnya,
untuk ikan indikator kepadatannya relatif stabil atau tidak mengalami perubahan,
sedangkan kepadatan ikan target per hektar relatif stabil atau hanya mengalami sedikit
penurunan, dan untuk biomassa ikan target per hektar mengalami penurunan, untuk
ikan karnivor biomassa per hektar menurun sedangkan ikan herbivor naik
4. Megabenthos yang bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan
kepadatan rendah. Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator lingkungan
ditemukan dalam jumlah yang cukup besar sehingga patut dipantau. Tingginya
populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci sebagai pemangsa polip
karang di luar transek pada beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian karena
berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang
5. Kondisi kesehatan komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara termasuk dalam
kategori yang cukup baik dengan persentase tutupan komunitas rata-rata, sebesar
64,5±4,0%, dengan rentang 32,4±7,1% (Desa Sawo) sampai 95,5±0,5% (Desa
Sisarahili). Kerapatan komunitas mangrove cukup tinggi, yaitu 2.533±260 pohon/ha
dengan rata-rata ukuran diameter batang sebesar 9,8±1,6 cm. Jenis R. apiculata
mendominasi dalam kawasan dengan kodominansi oleh S. alba dan R. mucronata.
Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada nilai persentase tutupan kanopi
mangrove Kabupaten Nias Utara tahun 2014-2017.
100
6. Keragaman (diversitas) jenis lamun di perairan Kabupaten Nias Utara ada delapan
jenis yaitu; Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan
Halophila ovalis. Sedangkan komposisi dan distribusi jenis lamun dari masing-
masing stasiun pengamatan bervariasi yang didominasi oleh jenis Halodule
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Berdasarkan tutupan, maka kondisi padang lamun di perairan Kabupaten Nias Utara
dapat dikatakan kurang kaya/kurang sehat dengan tutupan rata-rata 49,04+14,78%
101
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M. (Ed). 2015. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait DiAman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai,Sumatera Barat 2015. COREMAP CTI – LIPI, Jakarta, 73 Hal.
Adrim, M. dan Hutomo, M. 1989. Species Composition, Distribution And Abundance OfChaetodontidae Along Reef Transect In The Flores Sea. Nederland Journal Of SeaResearch, 23 (2), 85-93.
Allen, G. R. dan Erdmann, M. V. 2012. Reef Fishes Of The East Indies. Univ Of HawaiiPress. 1292 Pp.
Allen, G.R., Steene, R., Humann, P. dan Deloach, N. 2009. Reef Fish Identification, TropicalPacific. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 Pp.
Anonimous. 2007. Terumbu Karang Nias Akan Musnah. Http://Niasbarat.Wordpress.Com/2007/08/27/ Terumbu-Karang- Nias-Akan-Musnah/
Badrudin, Aisyah dan Wiadnyana. N.N. 2010. Indeks Kelimpahan Stok Dan TingkatPemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Di WPP Laut Jawa. Laporan Akhir. ProgramInsentif PKPP Ristek. 71 Hal.
Barnes, R.D dan E.C. Rupert. 1994. Invertebrate Zoology. Sixth Edition, Sounders CollegePublishing, USA, Pp. 344-377
COREMAP-LIPI. 2014. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Nias (LahewaDan Sawo). COREMAP-CRITC-LIPI, Jakarta. 66 Hal.
COREMAP-LIPI. 2015. Nias Utara : Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan EkosistemTerkait 2015. COREMAP-CRITC-LIPI. Jakarta, 59 Hal.
Den Hartog, C. dan J. Kuo 2006. Taxonomy And Biogeography Of Seagrasses. In:Seagrasses: Biology, Ecology And Conservation (W.D. Larkum, R.J.Orth And C.M.Duarte, Eds.) Springer, Nedherlands, Pp.1-23
Dharmawan, I.W.E. 2014. Template50_10x10. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan KomunitasMangrove. COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta.
D. L. Pawson, Holothuroidea, In: Parker, S. P., ed. Synopsis and Classification of LivingOrganisms. McGraw-Hill, New York, p.813-818, 1982
Elfidasari, Di., Noriko, N., Wulandari, W., dan Perdana, A. T. 2012. Identifikasi JenisTeripang Genus Holothuria Asal Perairan Sekitar Kepulauan Seribu BerdasarkanPerbedaan Morfologi. Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. Jakarta. 7 pp.
102
Edrus, I.N. dan Syam, A.R. 1998. Sebaran Ikan Hias Suku Chaetodontidae Di PerairanKarang Pulau Ambon Dan Peranannya Dalam Penentuan Kondisi Terumbu Karang.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. IV, No.3.
English, S., Wilkinson, C. dan Baker, V.1994. Survey Manual For Tropical MarineResources. Australian Institute Of Marine Science, Townsville. Australia.
Feary, D.A., Mccormick, M.I. dan Jones, G.P. 2009. Growth Of Reef Fishes In Response ToLive Coral Cover. Jour. Of Experimental Mar. Bio. And Ecol. DOI:10.1016/J.Jember.2009.03.002. 5 Pp.
Fonseca, M.S. 1987. The Management Of Seagrass System. Trop,Coast,Area.Manag.ICLARM. Newsletter 2 (2): 5-7.
Froese, R. dan Pauly, D.. Editors. 2014. Fishbase. World Wide Web Electronic Publication.Www.Fishbase.Org, Version (04/2014).
G.J. Bakus, In: Q.A. Jones, R. Endean (Eds.) Biology and Geology of Coral Reefs, vol. II,Academic Press, New York, p.247, 1973.
Giesen, W., S. Wulfraat, M. Zieren dan L. Scholten. 2009. Mangrove Guidebook ForSoutheast Asia. FAO Regional Office For Asia And The Pacific, Maliwan Mansion,Phra Atit Road, Bangkok 10200, Thailand. 769 Hal.
Giyanto, Winardi, Edi. K., Edward, K., Soeroyo, Anna, E.W.M., Sasanti, R.S., dan Raden, S.2006. Studi Baseline Ekologi Nias. Coral Reef Information And Training Center(CRITC) Coral Rehabilitation And Management Programe (COREMAP) LIPI. Jakarta.92 Hal.
Giyanto. 2012a. Kajian Tentang Panjang Transek Dan Jarak Antar Pemotretan PadaPenggunaan Metode Transek Foto Bawah Air. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia38 (1): pp. 1-18.
Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto BawahAir. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia 38 (3):377-389.
Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma dan Suharsono. 2010. Effisiensi Dan Akurasi PadaProses Analisis Foto Bawah Air Untuk Menilai Kondisi Terumbu Karang. OseanologiDan Limnologi Di Indonesia 36 (1): pp. 111-130.
Gomez, E.D. dan Yap, H.T.. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef ManagementHandbook. R.A. Kenchingt6on And B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta,171 Hal.
Green, A.L. dan Bellwood, D.R. 2009. Monitoring Functional Groups Of Herbivorous ReefFishes As Indicators Of Coral Reef Resilience – A Practical Guide For Coral ReefManagers In The Asia Pacific Region. IUCN Working Group On Climate Change AndCoral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 Hal.
103
Gutiérrez, J.L., C.G. Jones,. D.L. Strayer., dan O.O. Iribarne, 2003. Mollusks As EcosystemEngineers: The Role Of Shell Production In Aquatic Habitats. Oikos 101, pp. 79-90.
Hodgson, Gregor., J. Hill., W. Kiene., L. Maun., J. Mihaly., J. Lieber., C. Shuman dan R.Torres. 2006. Intruction Manual: A Guide To Reef Check Coral Reef Monitoring.Reefcheck Foundation: pp. 16-20
Kementerian Lingkungan Hidup (KMLH) 2004. Kepmen. No. 200 Tahun 2004 TentangKriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, 16 Hal
Keppel, T.L. dan M. Abrar. 2013. Kondisi Terumbu Karang Di Kabupaten Nias DanKabupaten Simeulue Pasca Satu Tahun Mega Tsunami 2004. Jurnal Segara 9 (1): pp.13-21.
KKJI. 2007. Basis Data Kawasan Konservasi Nias. Http:// Kkji.Kp3k.Kkp.Go.Id/Index.Php/Basisdata-Kawasan-Konservasi/Details/1/29.
Kohler, K.E; M. Gill. 2006. Coral Point Count With Excel Extensions (Cpce): A Visual BasicProgram For The Determination Of Coral And Substrate Coverage Using RandomPoint Count Methodology. Comput Geosci 32(9): pp. 1259-1269.
Kuo, J. dan A.J. Mccomb 1989. Seagrass Taxonomy, Structure And Development. In:A.W.D. Larkum, A.J. Comb And S.A. Shephered (Eds). Biology Of Seagrasses : ATreatise On The Biology Of Seagrasses With Special Reference To Australian Region.Elsier, Amsterdam, pp. 6-73.
Lieske, E. dan Myers, R. 1997. Reef Fishes Of The World. Periplus Edition. Jakarta,Indonesia.
Loya, Y. 1978. Plotless And Transect Methods, In: Stoddard, D.R., And R.E. Johannes,Coral Reef Research Methods, Paris (UNESCO): pp. 22–32.
Masuda, H., Amaoka, K., Araga, C., Uyano, T. dan Yoshino, T.. 1984. The Fishes Of TheJapan Archipelago. Tokai, Japan, Tokai University Press, 2 Vol. 435 Hal.
Nash, S.V. 1981. Reef Diversity Index Survey Method For Non Sspecialist. Tropical CoastalArea Management Vol. 4 (3): pp. 14 – 17.
Nienhuis, P.H.. J. Coosen dan W. Kiswara 1989. Community Structure And BiomassDistribution Of Seagrass And Macrofauna In The Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res.23 (2): pp. 192-214.
Noor, Y.R., M. Khazali dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove DiIndonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.
Obura, D dan Grimsditch. G. 2009. Resilience Assessment Of Coral Reefs Rapid AssessmentProtocol For Coral Reefs, Focusing On Coral Bleaching And Thermal Stress. IUCNResilience Science Group Working Paper Series – No 5, Gland, Switzerland. 71 Hal.
104
Omori, Makoto dan Shuichi Fujiwara. 2004. Manual For Restoration And Remediation OfCoral Reef. Nature Conservation Bureau. Ministry Of The Environment. Japan
Phillips, R. C. dan E.G. Menez 1988. Seagrasses. Smitthsonian Inst. Press., Washington, 104Hal.
P. Darsono. Teripang (Holothurians) Perlu Dilindungi. Bidang Sumberdaya Laut, PuslitOseanografi – LIPI. Jakarta, 2005.
PRWLSDNH. 2006. Pengkajian Kondisi Ekologi Dengan RRA Nias-Simeulue. LaporanKerjasama Antara Satker Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang. DirektoratJendral Kelautan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan Dan Perikanan
Rahmawati, S., H. Hindarto, M.H. Azkab dan W. Kiswara. 2015. Panduan MonitoringPadang Lamun. COREMAP CTI – LIPI, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, 34Hal.
Reese, E. 1981. “Predation On Corals By Fishes Of The Family Chaetodontidae: ImplicationFor Conservation And Management Of Coral Reef Ecosystem”. Bulletin Of MarineScience 31 (3): pp 594-604.
Salm, R.V. 1984. Marine And Coastal Protected Areas: A Guide For Planners AndManagers: IUCN & Natural Resources Gland. Switzerland: 370 Hal.
Sano, M., Shimizu, M. dan Nose, Y. 1984. Changes In The Structure Of Coral Reef FishCommunities By Destruction Of Hermatypic Corals: Observation And ExperimentalViewns. Pasific Science 38, pp. 51-79.
Setiawan, F., Santoso, G., Handoyo, E.W., Setiyawati, T. dan Uyun, Y.S. 2013. KajianKeefektifan Zonasi Berdasarkan Komunitas Ikan Karang Di Taman Nasional Bunaken,Sulawesi Utara. Jurnal Ikan Karang Bunaken. Balai Taman Nasional Bunaken, 12 Hal.
Siringoringo, R.M. 2015. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait DiKabupaten Nias Utara. Jakarta, Coremap CTI, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 78Hal.
Soede, Pet, L., Leuna M. dan Batuna, A. 2006. Socio Economic Valuation Of DemersalFisheries In Bunaken National Park – A Site Study Report – April 2006. WWF-Indonesia. 21 Hal.
Soekendarsi E., Palinggi A., dan Santosa S. 1998. Stomach Content In Relation To ShellLength, Width And Weight Of The Gastropod Trochus Niloticus L. Proceedings OfThe Eighth Workshop Of The Tropical Marine Mollusc Programme (TMMP),Thailand, 18–28 August 1997. Part 1 18: pp. 73–76.
Suharsono. 2004. Jenis-Jenis Karang Yang Umum Dijumpai Di Perairan Indonesia. P3O-LIPI, Jakarta.
Sukarno. 1995. Metode Penelitian Terumbu Karang Dan Masalah Pengelolaannya DalamMateri Pendidikan Dan Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi TerumbuKarang. P3O LIPI, Jakarta. pp. 75-79
105
Suwondo, E. Febrita. dan F. Sumanti. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada HutanMangrove Di Kepulauan Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.Jurnal Biogenesis, Vol. 2(1): pp. 25-29.
Thayer, G.W., S.M. Adams dan M.W. La Croix 1975. Structural And Fluctuation Aspects OfA Recently Established Zostera Marina Community. Estuarine Res. 1 : pp. 518-540.
Thorhaug, A dan C.B. Austin 1986. Restoration Of Seagrass With Economic Analysis.Environ. Conserv. 3(4): pp. 259-267.
Wilson, J.R. dan Green, A.L. 2009. Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai KesehatanTerumbu Karang Dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Di Indonesia(Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC Indonesia Marineprogram No 1/09. 46 Hal.
Vimono, I.B. 2007. Sekilas Mengenai Landak Laut. Oseana XXXII(3): pp. 15-21.
Woodhams, J. 2008. Torres Strait Hand Collection Fisheries, Fishery Status Reports: pp. 244-253.
106
LAMPIRAN
Lampiran 1. Posisi koordinat stasiun pengamatan terumbu karang, ikan karang danmegabentos di Kabupaten Nias Utara tahun 2017
No StasiunTitik 0 M Titik 50 M
AdministratifLintang Bujur Lintang Bujur
1 NIAC01 1,42241 97,17097 1,42281 97,17105 P. Baohi, Kel. Pasar Lahewa, Kec. Lahewa