DRAFT MODUL Koneksitas Proses Bisnis Perbendaharaan pada Bendahara Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran Direktorat Transformasi Perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Republik Indonesia 2009 Gambar animasi diambil dari open sources
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DRAFT MODULKoneksitas Proses Bisnis Perbendaharaan pada Bendahara Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran
Direktorat Transformasi Perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Departemen Keuangan Republik Indonesia 2009
Gambar animasi diambil dari open sources
Subdit TPBE, DTP ii
Penyusun:
1. Dr. Sudarto, S.E., MBA
2. Adi Setiawan, S.E., SST AK., MPPM
3. Pramudia M. Muslim
4. Windasena Winarno
5. Khalid Haris Fauzi
6. Johan Pandu Asa
Subdit TPBE, DTP iii
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penyusunan draft modul koneksitas proses bisnis ini bisa diselesaikan sebagaimana yang
direncanakan. Sesuai dengan judulnya, Draft Modul koneksitas proses bisnis perbendaharaan
pada Bendahara Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran, draft
modul ini merupakan kajian atas koneksitas proses bisnis dalam rangka penyelenggaraan
keuangan negara di Satuan Kerja (Satker) dan di Ditjen Perbendaharaan.
Penulisan draft modul ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi
Direktorat Transformasi Perbendaharaan, khususnya Sub Direktorat Tranformasi Proses
Bisnis Eksternal terkait dengan (i) perumusan kebijakan dan strategi penyempurnaan, (ii)
pengkajian dan penyempurnaan koneksitas proses bisnis, (iii) penyusunan rekomendasi
pengkajian kesesuaian koneksitas proses bisnis dengan Satuan Kerja. Di samping itu,
penulisan modul ini juga diarahkan untuk mendukung pengembangan dan implementasi
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).
Struktur dan metode penulisan modul ini diarahkan untuk secara komprehensif
memuat tinjauan atas international best practice, review atas landasan hukum dalam
kerangka international best practice, assessment atas praktek pelaksanaan selama ini, rencana
pengembangan dan implementasi SPAN dan analisis serta rekomendasi untuk alternatif
penyempurnaan. Secara lebih spesifik, struktur penulisan yang digunakan adalah mengikuti
alur yang dipakai dalam kerangka ITIL v.3 (Information Technologi Infrastructure Library
Version 3) dan lebih difokuskan pada aspek pengeluaran dari perbendaharaan negara.
Dalam hal ini, penulisan dimulai dari penetapan visi, misi dan objektif dari masing-
masing pihak khususnya dalam pengelolaan keuangan negara dan pencapaian outcome
masing-masing instansi/satker. Berpijak pada visi, misi dan objektif masing-masing pihak,
dilakukan identifikasi permasalahan atas existing koneksitas dan kondisi pengelolaan
keuangan negara di Satker saat ini. Hal-hal tersebut akan menjadi landasan penetapan usulan
bentuk/model koneksitas dan manajemen keuangan Satker, serta target-target pencapaian
yang terukur.
Subdit TPBE, DTP iv
Selanjutnya, sejalan dengan kerangka ITIL v.3 yang mengedepankan konsep
iteratif/pembetulan yang berulang dan partisipatif dari semua stakeholder, langkah
selanjutnya setelah penyelesaian draft modul ini adalah akan dilakukan diskusi bersama
dengan stakeholder terkait, yang secara paralel dibarengi dengan pembangunan sistem IT
dan ujicoba langsung pada beberapa Satker, sehingga penentuan model/bentuk koneksitas
dan manajemen keuangan Satker serta tatacara maupun target-target pencapaiannya sudah
diketahui, disetujui bersama dan dipraktekkan secara langsung. Harapannya, pada akhirnya
draft modul ini dapat menjadi suatu modul yang disetujui dan sudah implementatif pada
semua satker yang mempunyai koneksitasnya dengan modul SPAN secara utuh.
Sejalan dengan metode iteratif dan partisipatory yang dikedepankan dalam
penyusunan draft modul ini, sejak awal sudah dicoba untuk digali pendapat dari seluruh
stakeholder, termasuk dari direktorat teknis dan seluruh Kantor Wilayah di lingkungan DJPB.
Untuk itu, penyusun mengucapkan terimakasih atas partisipasi dan dukungannya selama ini.
Tentunya, ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Direktur
Transformasi Perbendaharaan atas arahan-arahan dan dukungannya selama penulisan draf
modul ini.
Disadari sepenuhnya bahwa koneksitas proses bisnis perbendaharaan pada Bendahara
Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran adalah suatu cakupan
wilayah kajian dan pembangunan sistem yang sangat luas. Untuk itu, disamping akan
dilakukan diskusi-diskusi intensif dengan berbagai stakeholder, penyusun sangat membuka
diri atas saran, kritik dan rekomendasi yang membangun. Saran, kritik dan rekomendasi dapat
disampaikan kepada Direktorat Transformasi Perbendaharaan c.q. Sub Direktorat
Transformasi Bisnis Eksternal baik melalui surat, telpon atau berbagai mode penyampaian
lainnya. Sekali, penyusun mengucapkan terimakasih atas dukungan dan partisipasinya selama
ini.
Salam Transformasi.
A.n. Penyusun
Kasubdit Transformasi Proses
Bisnis Eksternal
Dr. Sudarto, SE, MBA
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Koneksitas Proses Bisnis Satker dalam Siklus APBN
C. Metode Penulisan
Bab II Visi, Misi dan Objektif Satker dan Ditjen Perbendaharaan
A. Latar Belakang
B. Value: Manfaat Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya
Dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
C. Operasional Capability: Kemampuan untuk Penerapan Usulan Penyempurnaan
Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis di Ditjen
Perbendaharaan
D. Legitimacy: Landasan Hukum Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan
Koneksitasnya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
E. Penutup
Bab III Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan Koneksitasnya
dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
A. Definisi dan Konsepsi
B. Existing Proses Bisnis Pengelolaan keuangan Negara di Satker dan
Koneksinya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
1. Penyusunan, Penelaahan , Pengesahan dan Revisi dokumen Pelaksanaan
Anggaran
2. Pembuatan Komitmen
3. Pengajuan Pembayaran
4. Pencairan Dana
5. Manajemen Kas
6. Pertanggungjawaban
C. Aplikasi-aplikasi yang terdapat di Satuan Kerja dan Keterkaitan Antar Aplikasi
iii
v
1
1
4
15
18
18
20
24
30
34
34
35
35
43
45
56
63
69
78
vi
1. Aplikasi RKAKL
2. Aplikasi Peran
3. Aplikasi Gaji Pegawai Pusat
4. Aplikasi SPM
5. Aplikasi Persediaan
6. Aplikasi SIMAK BMN
7. Aplikasi SAKPA
8. Keterkaitan antar Aplikasi yang terdapat pada Satuan Kerja
D. Penutup
Appendix I Financial Management Assesment, Dirjen Bina Marga, Dept. PU
Appendix II Pengelolaan Keuangan di Satker Badan Layanan Umum
Bab IV Future Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan di Satker dan Koneksitasnya dengan
Proses Bisnis Kuasa BUN
A. Definisi, Konsepsi dan Metodologi
B. Manajemen DIPA
1. Tujuan dan Fungsi
2. International Best Practice terkait Manajemen DIPA
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen DIPA
4. Fitur SPAN terkait Manajemen DIPA
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
dengan Satker terkait Manajemen DIPA
C. Manajemen Komitmen
1. Tujuan dan Fungsi
2. International Best Practice terkait Manajemen Komitmen
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Komitmen
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Komitmen
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
dengan Satker terkait Manajemen Komitmen
D. Manajemen Pembayaran
1. International Best Practice terkait Manajemen Pembayaran
2. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Pembayaran
78
80
80
83
86
87
89
93
96
98
104
112
112
113
113
114
116
119
121
127
127
128
128
130
137
151
151
155
vii
3. Fitur SPAN terkait Manajemen Pembayaran
4. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
dengan Satker terkait Manajemen Pembayaran
E. Accounting dan Reporting
1. Tujuan dan Fungsi
2. International Best Practice Dalam Organisasi Sistem Akuntansi
3. Current State Assesment dan Problems terkait Accounting dan Reporting
4. Fitur SPAN terkait Accounting dan Reporting
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
dengan Satker terkait Accounting dan Reporting
F. Penatausahaan dan Pertanggungjawaban Bendahara atas Pelaksanaan Tugas
Kebendaharaan di Satuan Kerja
G. Manajemen Kas
1. Tujuan dan Fungsi
2. International Best Practice Terkait Manajemen Kas
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Kas
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Kas
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
dengan Satker terkait Manajemen Kas
H. Penutup
Bab V Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas
A. Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dalam Kerangka Pengembangan
SPAN
B. Mitigasi terhadap inherent risk berkaitan dengan Business Process
Improvement
C. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja serta permasalahan terkait kondisi
geografis Indonesia yang unik
D. Peran Sumber Daya Manusia selaku agent of change
E. Kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan
F. Koordinasi dan sosialisasi yang tidak terbatas pada lingkungan internal Ditjen
Perbendaharaan
157
163
169
169
170
171
181
185
192
205
205
206
211
215
218
221
223
224
228
229
230
231
232
viii
G. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam
rangka SPAN
H. Penutup
Bab VI Penutup
Daftar Pustaka
A. Peraturan
B. Literatur
Dokumentasi Usulan
233
234
235
239
239
240
244
Subdit. TPBE, DTP 1
Bab I
Pendahuluan
Bab ini menguraikan secara garis besar koneksitas pengelolaan perbendaharaan negara dengan manajemen keuangan Satuan Kerja (Satker), yang sekaligus juga melatarbelakangi dan memberikan tujuan penulisan dari modul ini. Secara singkat, bab ini menjelaskan bahwa analisa dan usaha-usaha untuk menyempurnakan koneksitas proses bisnis perbendaharaan negara dengan manajemen keuangan Satker haruslah bertitik tolak dari visi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara (perbendaharaan negara) di Ditjen Perbendaharaan dan visi Satker dalam pengelolaan keuangannya, sehingga objektif dari masing-masing pihak dapat terdefinisikan dengan jelas (Visi & Objectives). Hal-hal tersebut dapat menjadi dasar dalam melakukan analisa existing koneksitas proses bisnis dan existing manajemen keuangan Satker (Where are we now), yang selanjutnya menjadi dasar untuk menentukan bentuk/model dari proses bisnis dan koneksitas yang diharapkan (Where do we want to be), strategi dan taktik untuk mencapai target-target model koneksitas tersebut (How to get there), tahapan-tahapan pencapaian, serta monitoring dan evaluasinya (Are we there yet). Bab ini akan menjelaskan hal-hal tersebut di atas secara garis besar, sedangkan pembahasan secara detail akan dilakukan pada bab-bab berikutnya.
A. Latar Belakang
Momentum reformasi keuangan negara ditandai dengan lahirnya paket Undang-
undang Keuangan Negara. Salah satu yang diatur dalam paket undang-undang ini adalah
mengenai pembagian peran yang jelas antara Kementerian/Lembaga sebagai Satuan
Kerja (Satker) dan Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Satker
disebut sebagai Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang teknis tertentu
pemerintahan, sementara Menteri Keuangan disebut sebagai Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah RI.
Sebagai COO, Satker diberikan kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan
keuangan negara dibandingkan dengan sebelumnya, khususnya dalam hal kewenangan
administratif. Kewenangan administratif tersebut meliputi kegiatan pembuatan perikatan
atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara, kegiatan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada
Satker sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta pemberian perintah
pembayaran atau penagihan penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan
Subdit. TPBE, DTP 2
anggaran. Di lain pihak, Menteri Keuangan sebagai CFO berfungsi sekaligus sebagai
kasir, pengawas dan regulator pengelolaan keuangan negara, serta sebagai fund
manager pemerintah. Sejalan dengan pembagian tugas antara CFO dan COO, maka
konsep “let the manager manages” diselenggarakan, dimana konsep ini memberikan
keleluasaan dalam batas-batas peraturan perundangan kepada Satker dalam pengelolaan
keuangannya.
Satker dalam pengelolaan keuangannya mempunyai kedudukan yang unik dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pengelolaan perbendaharaan negara di
Departemen Keuangan (Ditjen Perbendaharaan). Satker dapat dilihat sekaligus sebagai
stakeholder, customer, client, user, owner dan/atau counterpart dari Ditjen
Perbendaharaan dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, pengelolaan
keuangan negara di Satker harus berjalan seiring dengan pengelolaan keuangan negara
di Ditjen Perbendaharaan. Pengelolaan keuangan negara di Satker merupakan salah satu
input bagi Ditjen Perbendaharaan dalam fungsinya sebagai Kuasa BUN baik itu dalam
hal akuntabilitas maupun dalam hal fund management. Implikasinya, kemampuan
pengelolaan keuangan negara yang dilakukan Satker sangat mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan fungsi treasury di Ditjen Perbendaharaan.
Dengan demikian, agar pelaksanaan pengelolaan keuangan negara di Satker dan
di Ditjen Perbendaharaan dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka diperlukan
penyempurnaan koneksitas proses bisnis dan IT sejalan baik di Ditjen Perbendaharaan
maupun di Satker. Hal tersebut, memerlukan dukungan dari otoritas Treasury baik
dalam hal penyempurnaan proses bisnis dan regulasi, pengembangan IT maupun
peningkatan kemampuan managerial Satker dalam hal pengelolaan keuangan negara.
Dalam hal ini, Satker seringkali tidak punya pilihan selain adanya dukungan dari
Departemen Keuangan, khususnya Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran. Hal ini
dikarenakan Satker pada umumnya tidak mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan proses bisnis, IT dan SDM serta tidak memiliki kewenangan untuk
membuat regulasi di bidang pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain, ketergantungan
Satker kepada Departemen Keuangan khususnya dalam bidang pengembangan bisnis
proses dan IT memberikan kesempatan kepada Ditjen Perbendaharaan untuk dapat
berperan lebih aktif dalam mengembangkan proses bisnis dan IT pengelolaan keuangan
Subdit. TPBE, DTP 3
negara, karena hal tersebut akan cenderung kurang efisien dan efektif apabila dilakukan
oleh masing-masing Satker. Kedepan juga perlu dikaji kemungkinan untuk membangun
an integrated IT infrastructure untuk mendukung pengelolaan keuangan negara dengan
menempatkan infrastruktur IT Departemen Keuangan sebagai back bone dari
pengelolaan keuangan negara secara nasional.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara di Satker meliputi tahapan
perencanaan hingga pertanggungjawaban anggaran. Oleh karena itu, dalam melakukan
penilaian dan penyempurnaan terhadap koneksitas proses bisnis Ditjen Perbendaharaan
dengan manajemen keuangan Satker, pembahasan harus dilakukan secara menyeluruh,
dari tahap perencanaan hingga pertanggungjawaban anggaran dan melibatkan instansi
terkait lainnya termasuk Bappenas dan Ditjen Anggaran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan negara di
Satker berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara di Departemen Keuangan,
khususnya di Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran. Ketidaksempurnaan
pengelolaan keuangan di satu pihak akan mempengaruhi keseluruhan pengelolaan
keuangan negara secara nasional. Terkait dengan hal-hal tersebut, guna memberikan
suatu acuan yang komprehensif terhadap langkah-langkah penyempurnaan koneksitas,
maka disusunlah modul ini dengan tujuan untuk menjadi pedoman penyempurnaan
proses bisnis pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan negara (perbendaharaan) di
Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan.
Diharapkan penyusunan modul dapat dilakukan dengan melibatkan semua
stakeholder terkait yang disertai dengan pilot project pada beberapa Satker. Dengan
demikian, sejalan dengan proses penyusunannya, konsep-konsep dalam buku ini sudah
diketahui, dibahas, dikoreksi, disetujui, dan sudah mulai diterapkan oleh masing-masing
stakeholder. Modul ini juga disusun bersamaan, dan dalam rangka mendukung
penyempurnaan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) melalui
Government Financial Management and Revenue Administration Project (GFMRAP).
Dalam hal ini, penyempurnaan proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
pada prinsipnya diluar ruang lingkup GFMRAP, sehingga harus segera dimulai, baik di
internal Ditjen Perbendaharaan, maupun di eksternal dengan melibatkan Bappenas,
Ditjen Anggaran dan tentunya Satker bersangkutan.
Subdit. TPBE, DTP 4
B. Koneksitas Proses Bisnis Satker Dalam Siklus APBN
Identifikasi atas koneksitas proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
dan di Ditjen Perbendaharaan dapat dilakukan dengan memperhatikan siklus dari
pengelolaan APBN secara utuh. Sebagaimana diketahui, siklus APBN setidaknya
terdiri dari beberapa fase, yang secara garis besar meliputi:
1. Penyusunan APBN (Januari s.d. Juli tahun n-1)
2. Penetapan APBN (Agustus s.d. Oktober tahun n-1)
3. Pelaksanaan APBN (Januari s.d. Desember tahun n)
4. Perubahan APBN (Nopember tahun n)
5. Pertanggungjawaban APBN (Juli tahun n+1)
Ruang lingkup identifikasi atas koneksitas tersebut setidaknya harus meliputi:
1. Proses bisnis, yang mencakup pengorganisasian, arus pekerjaan/ arus dokumen/
arus data, serta pengelolaan rekening dan transaksi keuangan
2. Sistem akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban
3. Teknologi informasi (TI) dan aplikasi
Gambar I.1 menunjukkan hasil identifikasi proses bisnis berupa pengorganisasian
dan arus pekerjaan yang melibatkan Satker dan instansi terkait dalam pengelolaan
keuangan negara. Hasil identifikasi tersebut dipetakan ke dalam tahapan kegiatan
pengelolaan keuangan negara, yaitu perencanaan anggaran, pembuatan DIPA,
pembuatan komitmen dan kontrak, pelaksanaan pencairan dana, kegiatan manajemen
kas, serta pengakuntansian, pelaporan dan pembuatan pertanggungjawaban.
Subdit. TPBE, DTP 5
Gambar I.1 RELATIONSHIP MATRIX PROSES BISNIS
MANAGEMENT DIPA
PAYMENT MANAGEMENT
RECEIPT AND CASH MANAGEMENT
GL, ACCOUNTING AND REPORTING
COMMITMENT MANAGEMENT
BUDGET PREPARATION
Deskripsi DPR Pemerintah (Sidang Kabinet)
Kementerian/Lembaga/
Satuan Kerja
Departemen keuangan Unit Lainnya
*) DJA DJPBN cq Dit PA
DJPBN cq Dit PKN
DJPBN cq Dit.APK KPPN
1. Penyusunan RKP
2. Pembahasan RKP
3. Penyusunan RKAKL
4. Pembahasan RKAKL
5. Penyusunan RAPBN
6. Pembahasan RUU APBN
7. UU APBN 8. Perpres
Rincian APBN (+SAPSK)
9. Penyusunan DIPA
10. Penelaahan DIPA
11. Pengesahan DIPA
12. Pelaksanaan APBN: a. Revisi DIPA
b. Komitmen
c. Pengajuan Pembayaran (SPM)
d. Pencairan Dana
e. Manajemen Kas **)
13. Pertanggungjawaban APBN
7
6
2
8
7
6
2
1
9
4
12
3
4
6
5
1010
11
12 12 12
13 13 13 13
12 a 12 a
12 b
12 c
12 b12 b
12
12 d 12 d 12 d
12 e 12 e 12 e 12 e
12 d
10
11
Keterangan: *) unit lainnya termasuk unit penerimaan (DJP/KPP, DJBC/KPBC), dan Perbankan **) Manajemen kas termasuk informasi dari pelaksanaan investasi, pengelolaan utang, dan penerimaan negara (termasuk Penerimaan Perpajakan, PNBP, Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, Penerimaan Pihak Ketiga).
Subdit. TPBE, DTP 6
Sebagaimana terlihat pada Gambar I.1, tahapan-tahapan tersebut juga sejalan
dengan rencana pengembangan SPAN, baik dari segi proses bisnis maupun TI, yaitu
melalui modul perencanaan anggaran, modul manajemen DIPA, modul komitmen
manajemen, modul manajemen pembayaran, modul manajemen kas, modul GL,
pelaporan dan akuntansi, serta modul referensi sebagai pendukung modul-modul
lainnya. Proses pengelompokkan kegiatan dalam siklus APBN tersebut juga dilakukan
dengan merujuk pada best practice dalam siklus manajemen keuangan pemerintah yaitu
sebagaimana ditunjukkan dalam Treasury Reference Model (lihat Gambar I.2).
Gambar I.2 Siklus Manajemen Keuangan Pemerintah (Treasury Reference Model)
Subdit. TPBE, DTP 7
Secara singkat, sebagaimana terlihat dalam Gambar I.1, koneksitas pengelolaan
perbendaharaan negara dengan manajemen keuangan Satker termasuk hubungannya
dengan instansi utama terkait dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. pembuatan komitmen untuk pengadaan barang dan jasa atas beban APBN dan
menjadikannya sebagai bagian manajemen pembayaran dan manajemen kas. Unit
yang terkait adalah Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas
Negara, dan KPPN.
2. Manajemen Pembayaran (Payment Management): meliputi koneksitas proses bisnis
sejak pengajuan pembayaran (SPM) sampai dengan pencairan dana (penerbitan
SP2D), dengan memperhatikan proses ebelumnya pada manajemen DIPA dan
manajemen komitmen. Unit yang terkait adalah Kementerian/Lembaga/Satker,
Direktorat Pengelolaan Kas Negara, KPPN dan unit lainnya (Perbankan).
3. Manajemen Kas (Cash Management): meliputi koneksitas proses bisnis dengan
Satker yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan aktivitas penerimaan dan
pengeluaran di Satker, serta meliputi proses-proses manajemen sebelumnya.
Manajemen kas ini juga terkait dengan kegiatan fund management di Ditjen
Perbendaharaan, termasuk yang terkait dengan berbagai kegiatan pada manajemen
investasi, manajemen pengelolaan utang, manajemen pengelolaan barang
pemerintah dan manajemen penerimaan negara. Unit yang terkait adalah
Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, KPPN dan unit
lainnya (Unit terkait penerimaan negara dan Perbankan).
4. Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban (General Ledger, Accounting and
Reporting): meliputi di dalamnya koneksitas sistem akuntansi instansi dan KUN,
sistem akuntansi BUN, pengelolaan chart of account, proses pencatatan, pembuatan
buku besar, serta aktivitas terkait lainnya yang dilakukan dalam rangka pembuatan
laporan dan pertanggujawaban pelaksanaan APBN. Unit yang terkait adalah
Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dan KPPN.
Terkait dengan proses bisnis perbendaharaan negara di Ditjen Perbendaharaan,
yang meliputi Manajemen DIPA hingga Akuntansi, Pelaporan dan
Subdit. TPBE, DTP 8
Pertanggungjawaban, serta pengelolaan rekening pemerintah dan Teknologi Informasi
dengan mengacu pada Gambar I.1, identifikasi awal atas koneksitas proses bisnis
perbendaharaan dengan manajemen keuangan Satker menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Koneksitas proses bisnis dalam penyusunan dan pengesahan dokumen
pelaksanaan anggaran (DIPA Management). Beberapa permasalahan dalam
proses bisnis ini antara lain:
a) Data realisasi anggaran dan sisa pagu yang masih sering berbeda pada unit-unit
vertikal Ditjen Perbendaharaan maupun pada Satker, sehingga terdapat potensi
terjadinya pagu minus pada saat dilakukan pelaksanaan anggaran. Hal ini dapat
terjadi karena seringkali tidak berjalannya/tidak ada sistem informasi yang
terintegrasi di tingkat pelaksanaan (Satker dan KPPN) dan perencana (Ditjen
Anggaran, Kantor Pusat/Kanwil Ditjen Perbendaharaan, dan Kantor Pusat
Kementrian/Lembaga).
b) Potensi keterlambatan penyerapan APBN akibat hal-hal administratif dalam
penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran. Satu dari berbagai permasalahan
tersebut adalah pemahaman yang belum sama tentang mekanisme penunjukan
pejabat perbendaharaan yang dicantumkan dalam konsep DIPA.
c) Rincian akun (6 digit) dalam halaman IV DIPA (Catatan), belum sejalan
dengan konsep Performance Based Budgeting (PBB) yang menghendaki
peningkatan fleksibilitas anggaran. Hal tersebut memang sangat tergantung
pada perkembangan penerapan PBB yang saat ini tengah dikembangkan oleh
Bappenas dan Ditjen Anggaran.
Dari pembahasan terhadap beberapa permasalahan tersebut di atas, beberapa arah
perbaikan yang dapat dikaji meliputi:
a) mengkaji perubahan proses penyusunan DIPA dan bentuk dari DIPA itu
sendiri, sejalan dengan arah dari penerapan PBB yang dilakukan oleh
Bappenas dan Ditjen Anggaran serta penyiapan data awal bagi pelaksanaan
anggaran termasuk manajemen kas;
b) mengkaji efektifitas pelaksanaan revisi anggaran, sejalan dengan penetapan
PMK. No. 06/PMK.02/2009 dan kemungkinan pelaksanaan PBB;
Subdit. TPBE, DTP 9
c) mengkaji kemampuan IT yang saat ini masih sangat terfragmentasi.
2. Koneksitas proses bisnis dalam pelaksanaan pembuatan perikatan
(Commitment Management). Permasalahan disini adalah tidak adanya suatu sistem
yang terintegrasi antara Satker dan Ditjen Perbendaharaan untuk mencatat informasi
sehubungan dengan pembuatan komitmen di Satker. Hal tersebut mengakibatkan
beberapa kekurangan dalam pengelolaan keuangan negara, di antaranya:
a) Perbendaharaan tidak memiliki informasi yang akurat tentang sisa pagu
anggaran dan status (stages dalam siklus anggaran) atas dana APBN yang
dikelola Satker
b) Perbendaharaan belum memiliki sistem yang efektif untuk mendukung
pelaksanaan forward planning atas arus kas yang menyertai pelunasan sebuah
komitmen
Berkaitan dengan pencatatan komitmen untuk pengakuan stages dalam
pelaksanaan anggaran dan perencanaan kas, terdapat beberapa hal yang patut
mendapat perhatian di masa yang akan datang, antara lain:
a) hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan komitmen ke dalam buku besar
(GL), termasuk saat pengakuan, penentuan akun, posting rule, ketetapan waktu
untuk pencatan dan pelaporan komitmen tersebut serta sanksi apabila terdapat
pencatatan dan pelaporan yang tidak akurat dan tidak tepat waktu.
b) penentuan sifat pengujian oleh Ditjen Perbendaharaan (KPPN) apabila
pencatatan dan persetujuan komitmen menjadi salah satu dasar pencairan dana
APBN.
c) mekanisme uang persediaan dan tambahan uang persediaan (UP/TUP) terkait
dengan rencana penerapan manajemen komitmen, Treasury Single Account
(TSA) dan pengelolaan rekening-rekening pemerintah pada perbankan. Salah
satu tujuan utama penerapan manajemen komitmen adalah untuk kepentingan
perencanaan kas. Mekanisme UP/TUP adalah pengeluaran transito yang
mendahului model pencatatan komitmen yang ideal, sehingga bersamaan
dengan perkembangan teknologi sektor finansial, besaran dan mekanismenya
perlu dikaji kembali pada masa mendatang.
Subdit. TPBE, DTP 10
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, beberapa arah perbaikan dapat
dilakukan di masa mendatang khususnya yang berkaitan dengan perbaikan proses
bisnis dan TI yang ada untuk keperluan monitoring atas komitmen yang dibuat
Satker dan pemanfaatannya bagi pengelolaan perbendaharaan di Ditjen
Perbendaharaan. Disamping itu, pengkajian perlu pula dilakukan terhadap batasan
kewenangan Ditjen Perbendaharaan dalam aktivitas monitoring (pengawasan)
komitmen yang dibuat Satker.
3. Koneksitas proses bisnis dalam pengajuan permintaan pembayaran dan
pencairan dana (payment management). Payment management, termasuk tatacara
penerbitan SPM menjadi SP2D, serta keseluruhan work flow dan paper work
transaksi keuangan melalui perbankan, merupakan fokus reformasi birokrasi selama
ini di Ditjen Perbendaharaan. Beberapa kegiatan secara terintegrasi baik di bidang
proses bisnis dan peraturan, IT serta pengembangan SDM, telah dilakukan untuk
mendukung reformasi tersebut. Hasil yang telah dicapai (quick win) sudah cukup
signifikan yaitu berupa berbagai kemajuan dibidang payment management sejalan
dengan pembentukan KPPN Percontohan. Permasalahannya, hal tersebut masih
perlu diikuti dengan pembenahan pada pengelolaan keuangan negara di Satker.
Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada standard cycle time untuk penerbitan
SPM di Satker serta pengajuannya ke KPPN. Disamping itu, masih terdapat
kemungkinan bahwa dana akan diterima di rekening yang berhak lebih lama dari
waktu yang diharapkan. Seiring dengan pesatnya kemajuan bisnis proses dan TI
sektor keuangan/perbankan tentu kedepan akan timbul pertanyaan yang sangat
mendasar mengenai sistem pembayaran (payment system) yang ada saat ini.
Misalnya, apakah perlu disempurnakan dengan dukungan TI atau dipertahankan,
meskipun banyak sekali hands off dan paper work, baik di Satker, KPPN maupun
perbankan Ini tentunya suatu arahan kedepan yang secara serius harus dikaji yaitu
terkait dengan penyempurnaan pengelolaan keuangan negara di Satker dan
pemanfaatan TI yang memungkinkan (enabler) berjalannya proses bisnis dan
peraturan sebagaimana diharapkan.
4. Koneksitas proses bisnis dalam manajemen dan perencanaan kas (cash
manajemen). Memperhatikan praktek-praktek treasury di banyak negara maju,
Subdit. TPBE, DTP 11
kegiatan kas manajemen adalah merupakan kegiatan utama unit treasury, yang
merupakan muara dari semua kegiatan, termasuk comitment management, cash
forecasting, payment management, receipt management dan debt management.
Kegiatan manajemen kas relatif baru menjadi fokus reformasi di Ditjen
Perbendaharaan, yang tentunya harus terus dikembangkan. Dalam hal ini, banyak
sekali hal yang harus disempurnakan, baik pada internal Ditjen Perbendaharaan,
maupun koneksinya dengan pihak eksternal terutama Satker. Sehubungan dengan
hal tersebut di atas, berikut adalah beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan
di antaranya:
a) belum optimalnya fungsi perencanaan pencairan dana dalam dokumen
pelaksanaan angaran (halaman III, DIPA). Pada umumnya, model perencanaan
pencairan dana pada halaman III DIPA dilakukan dengan membagi jumlah
pagu ke dalam rencana penarikan setiap bulan dalam satu tahun. Namun
demikian, saat ini mulai dikembangkan rencana penarikan dana yang lebih
realistis khususnya untuk belanja tidak mengikat, di mana rencana penarikan
dana diusahakan untuk tidak lagi dengan membagi pagu dengan jumlah bulan
dalam satu tahun.
b) belum adanya suatu sistem yang mengintegrasikan komitmen dan rencana
penerimaan, terutama PNBP, di Satker dalam mekanisme perencanaan kas di
Ditjen Perbendaharaan.
Hal-hal tersebut di atas, memberikan arahan untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Tentunya, pengkajian harus secara lengkap, termasuk meliputi proses
bisnis, sistem IT dan alur data, untuk mendukung revitalisasi fungsi perencanaan
pencairan dana pada Ditjen Perbendaharaan yang berkaitan erat dengan manajemen
kas.
5. Koneksitas proses bisnis dalam sistem akuntansi, laporan dan
pertanggungjawaban. Sistem akuntansi pemerintah sudah berkembang cukup
signifikan. Akan tetapi, sebagaimana digariskan dalam perundang-undangan bahwa
sistem akuntansi pemerintah harus berbasis accrual, hingga saat ini sistem
akuntansi pemerintah masih berbasis cash. Tentunya ini adalah suatu tantangan
yang sangat berat untuk menerapkan accrual based accounting, baik pada
Subdit. TPBE, DTP 12
pengelolaan keuangan di BUN (SABUN) maupun pada tiap-tiap Satker (SAI)
sebagaimana diatur dalam PMK No. 171/PMK.05/2007 tentng Sistem Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Setidaknya, hal tersebut perlu
dilakukan pula melalui pembenahan chart of account (CoA), termasuk
memasukkan unsur accrual dan stages mengikuti siklus anggaran. Tentunya,
sejalan dengan pembenahan CoA tersebut, maka kemungkinan penerapan PBB dan
perubahan sistem akuntansi harus pula dipertimbangkan. Disamping sistem
akuntansi yang masih perlu terus dikembangkan, variasi dari kemampuan SDM dan
dukungan IT yang sangat beragam pada tiap-tiap Satker juga memberikan tantangan
tersendiri. Terkait dengan hal tersebut, beragamnya kemampuan Satker untuk
menerapkan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) mempengaruhi kualitas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tentunya, patut dihargai disini adalah usaha-
usaha Ditjen Perbendaharaan untuk membantu Satker dalam melakukan pencatatan,
pelaporan dan pertanggungjawaban yaitu melalui dukungan aplikasi serta pelatihan-
pelatihan terutama melalui Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah
(PPAKP).
6. Koneksitas proses bisnis dalam pengelolaan rekening bendahara penerimaan
dan pengeluaran. Pengelolaan keuangan negara saat ini sangat bergantung pada
proses bisnis dan IT sektor perbankan. Demikian pula, koneksitas proses bisnis
Ditjen Perbendaharaan dengan pengelolaan keuangan di Satker banyak bergantung
pula pada proses bisnis dan IT sektor perbankan. Pengaturan berbagai rekening
pemerintah, baik dalam rangka pengeluaran (TSA Pengeluaran dan rekening
bendahara pengeluaran) maupun dalam rangka penerimaan (TSA penerimaan,
MPN, dan rekening bendahara penerima), menunjukkan ketergantungan
pengelolaan perbendaharaan pada sektor perbankan. Di banyak negara maju,
melalui kerja sama dengan institusi keuangan swasta, treasury operation sudah
memasuki praktek-praktek yang tidak berbeda dengan institusi keuangan swasta.
Sebagai contoh, dalam hal revenue collection, treasury operation sudah
menerapkan berbagai metode pengumpulan penerimaan seperti auto debit, debit
card, credit card, cek, merchant dan sebagainya, disamping penerapan TSA
penerimaan secara universal. Dalam hal pengeluaran, TSA pengeluaran diterapkan
Subdit. TPBE, DTP 13
dengan sangat maju, dimana idle fund hampir tidak ada. Disamping itu, best
practices menunjukkan bahwa koneksitas pengelolaan keuangan negara dengan
sektor perbankan juga dilakukan melalui satu pintu, yaitu treasury. Hal tersebut
diperlukan dalam rangka standardisasi koneksitas, dimana koneksitas pengelolaan
keuangan negara dengan Sektor keuangan harus didasarkan pada kontrak (fee
based). Bilamana masing-masing institusi (treasury dan Satker) membuat kontrak
sendiri-sendiri, sangat mungkin akan terjadi inefisiensi dan ketidakteraturan.
Dengan pengaturan koneksitas melalui satu pintu, yaitu treasury, negosiasi
penempatan surplus dana pemerintah pada pihak perbankan akan dapat
dilaksanakan secara lebih efektif. Standarisasi dan konsep satu pintu melalui
treasury belum diterapkan secara penuh di Indonesia. Hal-hal tersebut tentunya
merupakan tantangan dan arahan untuk perbaikan kedepan, yang pelu dikaji
kesesuaiannya untuk dapat diterapkan pada praktek perbendaharaan di Indonesia.
7. Koneksitas teknologi informasi DJPBN dengan Satker. Sebagaimana telah
dijelaskan diatas, dependency Satker terhadap aplikasi-aplikasi yang disediakan
oleh Departemen Keuangan baik dari Ditjen Perbendaharaan maupun Ditjen
Anggaran sangat tinggi. Gambar I.3 menunjukkan koneksitas teknologi
informasi/aplikasi tersebut. Memperhatikan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
keuangan di Satker sebagai satu kesatuan dengan pengelolaan keuangan negara di
Departemen Keuangan, koneksitas tersebut dapat dilihat sebagai sesuatu yang
wajar. Yang menjadi permasalahan adalah sistem informasi tersebut masih sangat
terfragmentasi, peace meal, belum mengarah pada sesuatu yang terintegrasi dengan
baik, disamping memang kemampuan SDM masing-masing Satker sangat beragam.
Dari pembahasan tersebut di atas, di masa yang akan datang perlu dikaji proses
bisnis dan IT yang ada, dengan arahan kemungkinan pengintegrasian semua sistem
IT yang diberikan oleh Kementrian Keuangan kepada Satker, maupun yang
dikembangkan secara internal oleh masing-masing Satker.
Dari pembahasan singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan
keuangan negara di Satker merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan
keuangan negara secara keseluruhan. Untuk itu, penyempurnaan proses bisnis
pengelolaan keuangan negara di lingkungan Kementrian/Lembaga dan koneksitasnya
Subdit. TPBE, DTP 14
dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan sangat diperlukan, dalam rangka
mewujudkan dan melajutkan upaya reformasi keuangan negara yang telah dirintis
sebelumnya, serta mendukung rencana penyempurnaan melalui automasi proses bisnis
dan integrasi sistem informasi sejalan dengan pengembangan SPAN. Dalam hal ini,
penyempurnaan manajemen keuangan Satker memerlukan dukungan sepenuhnya dari
DJPBN.
Gambar I.3 Koneksitas teknologi informasi/ aplikasi komputer perbendaharaan dengan Satker
Sehubungan dengan kompleksitas permasalahan, harus disusun analisis dan
rencana implementasi dengan tepat. Diantaranya adalah melalui penentuan proses
bisnis dan TI yang diharapkan dapat menjadi prioritas sebagai quick win. Salah satu
alternatif untuk dapat dijadikan quick win adalah melanjutkan penggunaan aplikasi
Peran 2008, dan mengembangkannya sebagai bagian sistem perencanaan pencairan
dana dan manajemen komitmen yang handal. Diusulkan agar segera dilakukan
pengkajian untuk menggunakan data dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK)
Satker yang ada di DJA sebagai salah satu sumber data. Dalam hal ini sangat penting,
Subdit. TPBE, DTP 15
untuk diperhatikan pula bahwa agar penyempurnaan koneksitas proses bisnis haruslah
disesuaikan dengan kebutuhan Satker dalam pengelolaan keuangan negara.
C. Metode Penulisan
Dalam melakukan penulisan/penyusunan modul tentang proses bisnis
pengelolaan keuangan negara di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis Ditjen
Perbendaharaan, struktur penulisan yang digunakan adalah mengikuti alur yang
dipakai dalam kerangka ITIL v.3 (Information Technologi Infrastructure Library
Version 3) sebagaimana terlihat pada Gambar I.4. Sebagaimana terlihat dalam gambar,
penulisan haruslah dimulai dari penetapan visi, misi dan objektif dari masing-masing
pihak, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara dan pencapaian outcome
masing-masing instansi. Berpijak pada visi, misi dan objektif masing-masing pihak,
dilakukan identifikasi permasalahan atas existing koneksitas dan kondisi pengelolaan
keuangan negara di Satker saat ini. Selanjutnya, hal-hal tersebut akan menjadi landasan
penetapan bentuk/model koneksitas dan manajemen keuangan Satker, serta target-target
pencapaian yang terukur. Sebagaimana disebutkan dalam Gambar I.4, penulisan buku
ini dilakukan melalui diskusi bersama dengan stakeholder terkait dan ujicoba langsung
pada beberapa Satker sehingga penetuan model/bentuk koneksistas dan manajemen
keuangan Satker serta tatacara maupun target-target pencapaiannya sudah diketahui dan
disetujui bersama.
Mempertimbangkan luasnya cakupan dari topik pembahasan, buku ini hanya
memfokuskan pada dua area: (i) proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
dengan fokus pada aspek pengeluaran (ii) koneksitas proses bisnis pengelolaan
keuangan negara di Satker dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan. Hal-hal yang
berkaitan dngan perencanaan anggaran di DJA dan Bappenas tidak menjadi fokus dari
modul ini.
Mengingat kompleksitas permasalahan,, maka penulisan buku ini sangat
menghendaki peran serta dan dukungan semua pihak. Optimisme harus tetap dipegang
mengingat perbaikan tersebut adalah keinginan bersama, sebagaimana telah digariskan
dalam peraturan perundang-undangan, visi dan misi, serta tugas pokok dan fungsi
Ditjen Perbendaharaan.
Subdit. TPBE, DTP 16
Gambar I.4 Struktur Penulisan
Where are we now?
(Week IV-March, Week I, II, III April 2009)
Bab II: Visi, Misi dan Obyektif Satker dan Ditjen Perbendaharaan 1. Apa Visi dan Misi DJPB, DJA, Bappenas dan Satker? 2. Mengapa manajemen keuangan Satker harus disempurnakan? 3. Apa manfaat penyempurnaan tersebut bagi Satker dalam
manajemen keuangannya? 4. Apa objektif penyempurnaan koneksitas dan manajemen
keuangan Satker? 5. Satker diluar Proyek SPAN, sehingga harus dibenahi secara
internal mulai dari sekarang.
Bab III: Analisis Existing Koneksitas dan Manajemen Keuangan Satker- Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN 1. Analisis existing koneksitas, dari tahapan persiapan anggaran,
majanemen DIPA, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen kas, sistem akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban, yang masing-masing tahapan meliputi: (i) bisnis proses dan regulasi, (ii) IT, dan (iii) SDM dan change management/ manajemen perubahan.
2. Analisis proses manajemen keuangan satker terkait tahapan-tahapan tersebut di atas, termasuk melalui penelitian langsung pada beberapa Satker terpilih sebagai pilot project.
Background (Februari 2009)
Bab I: Pendahuluan (Latar Belakang dan Ringkasan Penulisan) Pendefinisian latar belakang, struktur penulisan dan metode penulisan
Vision, Mission, Objectives
(Week I, II & III March 2009)
Subdit. TPBE, DTP 17
How do we get there ?
(June, July, August 2009)
Bab V: Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas Penerapan dari model koneksitas dan bentuk manajemen keuangan Satker yang dipilih harus dilaksanakan sedemikian rupa secara terencana, smooth, serta meminimalisasi resiko. Dalam hal ini, disamping aspek bisnis proses, regulasi dan IT, maka pengembangan SDM, change management, serta teknik pengkomunikasian akan memegang faktor yang sangat menentukan. Hal-hal tersebut akan dibahas dalam bab ini. Metode penyusunan buku ini dengan melibatkan setiap stakeholder dan dibarengi dengan piloting pada beberapa satker adalah salah satu taktik tersebut.
Bab VI Penutup Penutup dan ringkasan atas isi buku, khususnya tahapan-tahapan dalam pencapaian model koneksitas.
Conclusion (August,
September 2009)
Where do we want to be ?
(Week IV-April, May, June, July
2009)
Bab IV: Model Koneksitas dan Manajemen Keuangan Satker- Future Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
1. Penetapan model koneksitas dan bentuk manajemen keuangan satker, target-target tahunan yang jelas dan terukur pencapaian setiap tahunnya, dengan mengikuti tahapan-tahapan tersebut di atas. Terpenting disini adalah pendefinisian dan penetapan model koneksitas dan manajemen keuangan satker, baik menyangkut (i) bisnis proses dan regulasi, (ii) Integrated IT, dan (iii) pengembangan SDM dan change management, karena hal tersebut belum terdefinisikan dengan konkrit hingga saat ini.
2. Penetapan model tersebut dengan mengacu pada satker terpilih sebagai pilot project, yang secara bersamaan akan dilakukan pula penetapan strategi implementasi dari model yang dipilih, serta monitoring/evaluasinya.
Subdit TPBE, DTP 18
Bab II
Visi, Misi dan Objektif Satker dan Ditjen Perbendaharaan
Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini difokuskan pada pembahasan tentang visi, misi dan objektif dari Satker dan Ditjen Perbendaharaan. Disamping itu, guna menjamin value dari aktivitas ini, maka bab ini juga menggunakan strategic triangle framework, yaitu adanya keterkaitan antara value, operational capability dan legitimacy. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa meskipun peraturan perundangan dengan jelas memisahkan fungsi CFO dan COO, tetapi terdapat suatu interdependency yang mengharuskan perlunya penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan. Demikian pula, dalam ruang lingkup perbendaharaan negara, Satker dan Ditjen Perbendaharaan sebenarnya mempunyai suatu common objectives yang secara bersama-sama akan dicapai. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan perundangan, adalah fungsi Ditjen Perbendaharaan untuk mengkoordinasikan aktivitas penyempurnaan tersebut, termasuk menciptakan standardisasi proses bisnis perbendaharaan negara, baik di Satker maupun di Ditjen Perbendaharaan.
A. Latar Belakang
Pembahasan atas visi dan misi sebuah organisasi senantiasa bersifat strategis
karena hal-hal tersebut adalah merupakan ‘pemandu’ organisasi untuk menetapkan
objektif serta pengerahan keseluruhan sumber daya dalam rangka untuk mencapainya.
Oleh karena itu, penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan haruslah didasari oleh pemahaman tentang visi, misi
dan objektif dari masing-masing stakeholders, khususnya Satker dan Ditjen
Perbendaharaan sendiri.
Terkait dengan hal tersebut di atas, menggunakan model yang diperkenalkan
Mark H. Moore (1995) dalam Creating Public Value: Strategic Management in
Government, setidaknya terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi agar aktivitas
tersebut juga bernilai strategis, baik di Ditjen Pebendaharaan maupun di Satker.
Pertama, aktivitas penyempurnaan tersebut harus bermanfaat secara signifikan bagi
kedua belah pihak (significantly valuable). Kedua, aktivitas penyempurnaan tersebut
harus didasarkan pada kerangka peraturan perundangan yang ada (legitimate). Ketiga,
aktivitas penyempurnaan tersebut harus bisa diterapkan baik secara operasional maupun
administratif (operationally and administratively feasible), dalam kerangka organisasi
Subdit TPBE, DTP 19
dan potensi kolaborasi yang memungkinkan pencapaian visi, misi dan objektif semua
stakeholders (value).
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.1, dalam literatur manajemen sektor publik
(public sector management) penerapan dari ketiga kriteria tersebut populer dengan
istilah strategic triangle (Moore, 1994; Moore, 1995; Moore & Khagram, 2004).
Pembahasan atas visi, misi dan objektif masing-masing stakeholders sebagai dasar
penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen
Perbendaharaan dalam bab ini akan menggunakan framework strategic triangle
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Dalam hal ini, secara berturut-turut akan
dibahas: (i) strategic value dari aktivitas penyempurnaan tersebut, (ii) operational
capability dari usulan penyempurnaan proses bisnis tersebut bagi Satker dan Ditjen
Perbendaharaan, dan (iii) legitimacy dari aktivitas dan hasil penyempurnaan tersebut.
Pembahasan atas visi, misi dan objektif masing-masing stakeholder akan dimasukkan
dalam bagian (ii) tersebut di atas. Terakhir, bab ini akan ditutup dengan suatu penutup
dan sekilas tentang pokok-pokok pembahasan bab berikutnya.
Gambar 2.1. Strategic Triangle: Value, Operational Capability, dan Legitimacy
Sumber: Moore (1995) dan Moore & Khagram (2004)
Value
Legitimacy
Operationallity
Subdit TPBE, DTP 20
B. Value: Manfaat Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya
dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
Dalam penjelasan Undang-undang Keuangan Negara disebutkan bahwa pengelola
keuangan negara ialah Presiden Republik Indonesia atau yang biasa disebut Chief
Executive Officer (CEO). Dalam mengelola keuangan negara, Presiden mendelegasikan
kepada Menteri Keuangan (sebagai Chief Financial Officer) dalam hal kewenangan
kebendaharaan dan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga (sebagai Chief Operational
Officer) dalam hal kewenangan administratif. Sesuai dengan prinsip tersebut, Menteri
Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan, kewajiban
dan asset negara secara nasional, sementara Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang dan
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing. Secara skematis, pemisahan kewenangan pengelolaan keuangan
negara dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
Subdit TPBE, DTP 21
Gambar 2.2. Pemisahan Wewenang Pengelola Keuangan Negara
Keterangan Gambar:
Sumber : Pemisahan Wewenang Pengelolaan Keuangan Negara-modified (Presentasi Sesditjen Perbendaharaan)
Subdit TPBE, DTP 22
Walaupun secara teknis masing-masing Satker memiliki visi, misi dan objektif
yang berbeda sesuai dengan bidang tugasnya, terdapat suatu kriteria yang secara
generic berkaitan dengan setiap organisasi pemerintah yaitu bahwa semua aktivitas
diarahkan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah, termasuk penyediaan
layanan publik. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.2, guna mencapai visi, misi dan
objektifnya, Kementrian/lembaga (K/L) akan membuat perencanaan strategis (Renstra),
yang pada akhirnya akan diwujudkan dalam Rencana Kegiatan Anggaran
Kementrian/Lembaga (RKA-K/L) tahunan. RKA-K/L ini selanjutnya menjadi landasan
penyusunan APBN (appropriation) tiap tahunnya. Atas dasar dokumen penganggaran,
melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan Ditjen
Perbendaharaan akan menerbitkan DIPA (allocation). DIPA ini adalah dokumen
pelaksanaan anggaran yang menjadi dasar penerbitan SPM oleh K/L, SP2D oleh Ditjen
Perbendaharaan dan pemindahan dana anggaran dari Rekening Kas Negara ke rekening
pihak ketiga atau bendahara pengeluaran dalam rangka pembiayaan program
pemerintah, termasuk penyediaan layanan publik.
Dalam hal ini, Andrew & Campos (2003) menyebutkan bahwa penyusunan dan
pelaksanaan anggaran merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas
dan kuantitas aktivitas penyediaan layanan publik. Schick (1998), berpendapat bahwa
setidaknya terdapat tiga hal yang harus tercapai dalam praktek penganggaran yang
modern (populer dengan sebutan Public Expenditure Management atau PEM) yaitu
aggregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency. Aggregate
fiscal disciplin dan allocative efficiency setidaknya diharapkan dapat menjamin
sustainability dari anggaran negara serta terciptanya anggaran negara yang efisien dan
efektifitas untuk pencapaian target masing-masing program pemerintah. Sedangkan
operational efficiency sangat dipengaruhi oleh proses pelaksanaan anggaran (budget
execution) karena implementasi yang sesungguhnya dari program, proyek ataupun
kegiatan pemerintah terjadi pada saat pelaksanaan anggaran (Andrew & Campos,
2003). Lemahnya proses pelaksanaan anggaran, dapat berakibat fatal terutama terhadap
tidak tercapainya sasaran alokasi anggaran yang telah dibuat.
Hashim & Allan (2001) dalam Treasury Reference Model yang diterbitkan World
Bank mengidentifikasikan dua karakteristik utama dalam sistem perbendaharaan.
Pertama adalah perlunya konsolidasi dan kompilasi cepat terhadap data dengan volume
besar dari sejumlah unit vertikal di institusi perbendaharaan dan Satker yang tersebar di
banyak lokasi. Karakteristik yang kedua adalah bahwa proses bisnis yang terdapat
Subdit TPBE, DTP 23
dalam sistem ini pada dasarnya dilakukan berulang-ulang (repetitive) dan mengikuti
serangkaian mekanisme pelaksanaan dan kontrol/pengawasan tertentu. Di satu sisi,
karakteristik-karakteristik tersebut memungkinkan peningkatan efisiensi dalam
pengelolaan transaksi melalui penggunaan IT dan sistem aplikasi yang terintegrasi
(Hashim & Allan, 2001). Di sisi lain, kondisi tersebut menjadikan penyempurnaan
proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di institusi
perbendaharaan, beserta dukungan IT, menjadi sangat krusial. Karakteritik besarnya
volume data dan proses bisnis yang repetitive membawa konsekuensi bahwa
ketidaksempurnaan proses bisnis baik di tingkat Satker, koneksinya dengan proses
bisnis di institusi perbendaharaan maupun di institusi perbendaharaan sendiri akan
berakibat secara berlipat terhadap ketidakkeberhasilan pelaksanaan tugas
perbendaharaan negara. Disinilah, letak strategic value dari pentingnya penyempurnaan
proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di institusi perbendaharaan.
Dari tinjauan sistem informasi, koneksitas proses bisnis yang baik dicerminkan
adanya tingkat integrasi sistem yang tinggi (close system integration). Menurut Hashim
& Allan (2001), integrasi sistem yang baik tidak hanya dicerminkan oleh adanya
penggunaan basis data yang dapat diakses bersama-sama secara aman tetapi juga
adanya kemampuan untuk melakukan pertukaran data diantara berbagai modul/fungsi-
fungsi keuangan yang ada. Dalam prakteknya di beberapa negara, penyempurnaan
koneksitas proses bisnis biasanya mencakup standardisasi proses bisnis di Satker
(Government atau Spending Agencies). Di Australia, di mana spending agencies tidak
hanya melakukan otorisasi pengeluaran tetapi juga fungsi manajemen kas (two tier cash
management system (Lienert, 2008)), institusi perbendaharaan dan audit berperan aktif
tidak hanya dalam penyusunan pedoman tetapi juga melakukan standardisasi proses
bisnis setiap fungsi-fungsi manajemen keuangan negara (Treasure’s Direction, 2006;
ANAO, 1999; Auditor General Victoria, 2004).
Di Amerika Serikat, Pemerintah Federal melalui Financial System Integration
Office (FSIO) melakukan penyempurnaan proses bisnis untuk government agencies
melalui standardisasi dan integrasi dengan tujuan, antara lain :
1. meningkatkan pemahaman akan pentingnya proses bisnis yang standard di
lingkungan pemerintah
2. mengidentifikasi alternatif penyempurnaan proses bisnis
3. menerapkan praktek-praktek yang baik dalam proses bisnis
Subdit TPBE, DTP 24
4. menciptakan kondisi awal yang sama dan terstandardisasi untuk memudahkan
pengembangan di masa yang akan datang
5. memfasilitasi pertukaran data keuangan di antara institusi pemerintah (FSIO, 2008)
6. Dari uraian di atas dan beberapa contoh penerapan di negara lain, dapat disimpulkan
bahwa penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan memberikan manfaat strategis dalam mendukung
pencapaian visi, misi dan objektif dari Satker dan Ditjen Perbendaharaan. Proses
bisnis yang terstandardisasi dan koneksitas yang baik dapat membantu pencapaian
sasaran atau target program, serta dalam rangka peningkatan pelayanan kepada
publik. Bagi Ditjen Perbendaharaan, koneksitas proses bisnis yang baik membantu
tugas pokoknya dalam rangka pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Termasuk didalamnya adalah kemudahan dalam integrasi data dan pengumpulan
informasi yang berkualitas sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pengambilan
keputusan, khususnya berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen
Perbendaharaan.
C. Operational Capability: Kemampuan untuk penerapan usulan penyempurnaan
proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen
Perbendaharaan
Salah satu hallmark yang diusung dalam reformasi di bidang keuangan negara
adalah adanya pemisahan tugas dan tanggung jawab yang jelas (clarity of role) antara
pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan kebendaharaan (lihat
Gambar 2.2). Pemisahan kewenangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan
akuntabilitas dan menjamin adanya check and balance dalam proses pelaksanaan
anggaran (Penjelasan UU No. 1/2004). Pemisahan kewenangan tersebut menciptakan
hubungan yang unik dimana secara implisit menunjukkan adanya independency dalam
suatu kesejajaran namun saling terkait (tidak sepenuhnya independen), antara
Menteri/Ketua Lembaga sebagai Pengguna Anggaran dengan Menteri Keuangan
sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) dalam pelaksanaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara (perbendaharaan negara).
Reformasi birokrasi dan tuntutan akan pelayanan yang lebih baik memberi
pengaruh pada cara pandang dan kebijakan organisasi pemerintah terhadap lingkungan
eksternalnya. Berbeda dengan tradisional model dari public administration, institusi
pemerintah pada saat ini cenderung memberi perhatian yang lebih dan menyadari
Subdit TPBE, DTP 25
perlunya menjalin hubungan strategis dengan pihak-pihak di luar organisasi dalam
rangka pencapaian visi, misi dan objektif organisasinya (Hughes, 2003). Menurut
Allison (1982), manajemen dengan pihak-pihak eksternal organisasi meliputi:
1. hubungan dengan unit organisasi lain dalam lingkup organisasi pemerintah yang
sama (aktivitas koordinasi);
2. hubungan dengan pihak-pihak independent di luar organisasi tersebut, misalnya
instansi pemerintah lainnya, rekanan dan LSM (interest group);
3. hubungan dengan pers.
Dalam kerangka tersebut, dari sudut pandang ruang lingkup organisasi, hubungan
Ditjen Perbendaharaan dengan Satker dapat dikategorikan ke dalam huruf (b) karena
Satker adalah organisasi pemerintah yang independent di luar Ditjen Perbendaharaan.
Namun demikian, hubungan Ditjen Perbendaharaan dengan Satker sebenarnya bersifat
unik karena walaupun tidak berada di dalam lingkup organisasi yang sama (kategori
huruf a), koordinasi dan interaksi dengan Satker sangat erat, berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen Pebendaharaan sebagai institusi perbendaharaan
(Hashim & Allan, 2001).
Terkait dengan hal tersebut di atas, hubungan antara Ditjen Perbendaharaan
dengan Satker dapat berupa bahwa Satker dalam posisi sebagai customer, user, client,
dan counterpart dari Ditjen Perbendaharaan. Satker, misalnya, merupakan customer
dan user dari payment management, dan merupakan counterpart dalam perencanaan kas
[masukan dari Dit PKN, 2008]. Satker juga dapat dikategorikan sebagai user atau client
dalam penggunaan aplikasi software yang dibuat oleh Ditjen Perbendaharaan dan
digunakan untuk berinteraksi dengan sistem informasi yang ada di Ditjen
Perbendaharaan. Dalam hal penyusunan dan penerapan peraturan atau kebijakan yang
dibuat oleh institusi perbendaharaan, Satker dapat berperan sebagai obligatee- atau
pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu (Moore, 1995; Moore Khagram,
2004). Namun demikian, adakalanya juga Ditjen Perbendaharaan berperan sebagai
obligatee, misalnya dalam hal pemilihan cara pencairan dana untuk belanja yang
diijinkan (UP atau LS) yang dipilih Satker dan harus diikuti oleh oleh Ditjen
Perbendaharaan. Jadi, secara keseluruhan baik Ditjen Perbendaharaan maupun Satker
adalah bersama-sama sebagai stakeholders dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara (perbendaharaan negara), yang saling bersimbiosis dan berinteraksi.
Dengan pola hubungan yang unik antara institusi perbendaharaan dengan Satker,
maka hal tersebut harus disikapi dan dikaji dengan hati-hati agar penyempurnaan proses
Subdit TPBE, DTP 26
bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan institusi perbendaharaan dapat diterapkan
(operationally feasible) baik di Satker maupun di Ditjen Perbendaharaan sehingga value
yang diharapkan dapat tercapai (lihat Gambar 2.1). Dalam hal ini, pembahasan dalam
buku ini akan menggunakan framework bussiness process improvement sebagaimana
terlihat dalam Gambar 2.3. Gambar 2.3 menunjukkan saling keterkaitan antara visi, misi
dan objektif organisasi dengan proses bisnis, TI dan change management dalam
aktivitas penyempurnaan proses bisnis.
Gambar 2.3. Kerangka Penyempurnaan Proses Bisnis dan Koneksitasnya
Subdit TPBE, DTP 27
Mengikuti Gambar 2.3, hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka
penyempurnaan proses bisnis adalah pendefinisian kembali atas visi dan misi masing-
masing stakeholder, baik itu Satker maupun Ditjen Perbendaharaan. Visi dan misi
tersebut akan menjadi pemandu bagi masing-masing institusi untuk menetapkan
strategic goals atau dalam hal ini objektif masing-masing. Atas dasar kebutuhan untuk
mewujudkan visi, misi dan objektif, maka dilakukan penyempurnaan proses bisnis
beserta pengorganisasiannya.
Dalam hal ini, proses bisnis adalah serangkaian aktivitas yang saling berhubungan
dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi (Davenport & Short, 1990).
Karakteristik utama dari sebuah proses bisnis adalah :
1. Sebuah proses tidak terikat oleh struktur formal organisasi karena melibatkan
banyak fungsi dan sub-unit dalam organisasi (cross functional boundaries);
2. Adanya serangkaian kegiatan tertentu yang dapat ditentukan awal dan akhir-nya
(definable);
3. Adanya stakeholder/beneficiaries yang menggunakan outcomes dari sebuah
proses/sub proses (Davenport & Short, 1990; Grover & Malhotra, 1996).
Dari pengertian proses bisnis ini, maka penyempurnaan proses bisnis
perbendaharaan negara harus lintas institusi, misalnya, berawal dari Satker dan berhenti
pada unit di Ditjen Perbendaharaan. Selanjutnya, teknologi informasi yang
memungkinkan proses bisnis tersebut berjalan maksimal juga harus dibangun (TI
enabler). Demikian pula, karena pada akhirnya kemampuan dan kemauan sumber daya
manusia adalah penentu berjalannya proses bisnis dan teknologi informasi yang telah
disempurnakan, maka penerapan change management menjadi sangat krusial dalam
proses penyempurnaan proses bisnis (bussiness process improvement).
Mekanisme yang tertuang dalam Gambar 2.3 harus dilaksanakan secara utuh,
sebagai persyaratan minimal operationalisasi penyempurnaan proses bisnis sehingga
hal tersebut mampu menciptakan value (lihat Gambar 2.1). Terkait dengan pembahasan
dalam bab ini, fokus hanya dilakukan pada penetapan visi, misi dan objektif baik di
Satker maupun di Ditjen Perbendaharaan. Sedangkan hal-hal lainnya dalam Gambar 2.3
akan dibahas dalam bab-bab berikutnya. Dalam hal ini, melihat variability dari tugas
pokok dan fungsi Satker dalam pelaksanaan program pembangunan dan penyediaan
pelayanan publik, diperlukan suatu visi, misi dan objektif Satker yang bersifat generic,
yang tidak berbeda untuk semua Satker bila dilihat dari aspek pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Atas dasar pemikiran tersebut, Gambar 2.4
Subdit TPBE, DTP 28
mencoba mendefinisikan visi, misi Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan, dan
pemikiran atas visi/misi Satker serta common objectives dalam rangka pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Gambar 2.4 tersebut mengikutsertakan Ditjen
Anggaran dalam pembahasan. Hal ini adalah sejalan dengan pembahasan pada bab
sebelumnya dimana analisis dalam buku ini diharapkan dilakukan secara menyeluruh,
mulai dari perencanaan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban anggaran. Untuk
itu, visi, misi dan objektif dari Ditjen Anggaran dimasukkan pula dalam Gambar 2.4.
Selanjutnya, dengan memperhatikan Gambar 2.4, Ditjen Anggaran, Ditjen
Perbendaharaan maupun Satker sebenarnya mempunyai common objectives yang
bersifat generic yaitu: (i) mewujudkan pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja, (ii)
mewujudkan efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara serta pengamanan keuangan
negara untuk menjaga kesinambungan fiskal berdasarkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas, (iii) mewujudkan pengelolaan kas negara yang optimal, transparan dan
akuntabel, (iv) Mewujudkan ketersediaan informasi keuangan yang akurat, handal, dan
relevan. Kembali pada Gambar 2.3, agar common objectives tersebut menjadi
operasional dan dapat dicapai oleh masing-masing stakeholders sehingga menciptakan
value, maka perlu penyempurnaan proses bisnis dan koneksitasnya diantara para
stakeholders, dukungan IT yang memungkinkan (enabling) proses bisnis tersebut
berjalan secara optimal, serta sumber daya manusia yang kompeten dan berkemauan
untuk menyukseskan proses bisnis dan TI yang telah disempurnakan.
Subdit TPBE, DTP 29
Gambar 2.4. Visi, misi dan Objective DJA, DJPB dan Satker
Visi : Menjadi unit organisasi yang
profesional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam perumusan
dan pengelolaan kebijakan di bidang penganggaran
Ditjen Anggaran
Visi : Menjadi Pengelola
Perbendaharaan Negara yang Profesional, Transparan dan
Akuntabel dalam Proses Mewujudkan Bangsa yang Mandiri
dan Sejahtera
Ditjen Perbendaharaan
Visi : Mewujudkan tata kelola keuangan yang profesional, transparan dan
akuntabel untuk mendukung pencapaian sasaran program
pemerintah dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang menjadi bidang tugas Kementerian / Lembaga/Satker.
K/L/Satker
Common Objective 1. Mewujudkan pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja 2. Mewujudkan efektifitas dan efisiensi pengeluaran negara serta pengamanan keuangan
negara untuk menjaga kesinambungan fiskal berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas
3. Mewujudkan pengelolaan kas negara yang optimal, transparan dan akuntabel 4. Mewujudkan ketersediaan informasi keuangan yang akurat, handal, dan relevan.
Misi :
1. Mewujudkan perencanaan kebijakan APBN yang sehat, credible, dan sustainable;
2. Mewujudkan efektifitas dan efisiensi pengeluaran negara serta pengamanan keuangan negara untuk menjaga kesinambungan fiskal berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas;
3. Mewujudkan peningkatan penerimaan negara bukan pajak dengan mempertimbangkan perkembangan dunia usaha dan aspek keadilan masyarakat;
4. Meningkatkan kualitas unsur pendukung.
Misi :
1. Mewujudkan Pelaksanaan Anggaran yang Berbasis Kinerja
2. Mewujudkan Pengelolaan Kas Negara yang Transparan dan Akuntabel
3. Mewujudkan Tertib Administrasi Pengelolaan Barang Milik Kekayaan Negara
4. Mengoptimalkan Surat Utang Negara sebagai sumber pembiayaan APBN
5. Mengelola Pinjaman dan Hibah Luar Negeri sesuai kebutuhan APBN
6. Menghasilkan Pelayanan di bidang Perbendaharaan dan Informasi Keuangan yang cepat, tepat dan akurat
7. Mewujudkan Pengelolaan Piutang Pemerintah dan Kredit Program yang berkelanjutan dan dapat dipertanggungjawabkan
Misi :
1. Mengelola keuangan dan Barang Milik Negara secara optimal, hati-hati, transparan dan bertanggungjawab.
2. Memberikan pelayanan prima di bidang pengelolaan keuangan dan barang milik Negara.
3. Menyediakan informasi keuangan dan barang milik negara dengan cepat, tepat, dan akurat.
4. Menjadikan aparat bidang keuangan yang professional.
Subdit TPBE, DTP 30
D. Legitimacy: Landasan hukum penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan
Keberadaan dan aktivitas suatu organisasi pemerintah harus berlandaskan dan
didukung oleh peraturan perundangan yang akan berperan sebagai source of legitimacy
dan memberikan authorising environment bagi organisasi dan aktivitasnya (Moore,
1995). Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Keuangan
Negara beserta peraturan lainnya cukup memberi dasar hukum bagi aktivitas
penyempurnaan proses bisnis perbendaharaan di Satker dan koneksitasnya dengan
proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan sebagai Kuasa BUN.
Sebagaimana telah disebutkan didepan, Undang-Undang Perbendaharaan Negara
menghendaki konsistensi dan ketegasan dalam pemisahan antara pemegang
kewenangan administratif (ordonatur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable).
Menteri/Ketua Lembaga dalam hal ini berperan sebagai Chief Operational Officer
(COO) untuk bidang tertentu pemerintahan sedangkan Menteri Keuangan merupakan
Chief Financial Officer (CFO) selaku Bendahara Umum Negara. Sebagai konsekuensi
dari pemisahan tersebut, pelaksanaan kewenangan administratif dan kewenangan
perbendaharaan pada dasarnya independent, tetapi tetap terdapat subset atau
interdependency antara keduanya yaitu dalam rangka pelaksanaan pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangan negara.
Selaku Pengguna Anggaran, Menteri/Ketua Lembaga berwenang diantaranya
untuk menyusun dokumen pelaksanaan anggaran (huruf a), menunjuk Kuasa Pengguna
Anggaran (huruf b), melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja (huruf e), menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah
pembayaran (huruf f), dan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan (huruf j).
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat 2 tersebut, terutama huruf e dan f, di atas sejalan dengan
Penjelasan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara perihal kewenangan
administratif yang meliputi “melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang
mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian
dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementrian negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran”.
Subdit TPBE, DTP 31
Undang-Undang Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat 1 menyebutkan kedudukan
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 7 ayat 2, kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara di
antaranya meliputi menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran Negara
(huruf a), mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran (huruf b), melakukan
pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas beban rekening
kas umum negara (huruf f), menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan
(huruf o), menyajikan informasi keuangan negara (huruf p), dan menetapkan kebijakan
dan pedoman pengelolaan serta penghapusan Barang Milik Negara (huruf q). Dalam
pasal 4 ayat 2 huruf (a) disebutkan pula bahwa selaku BUN Menteri Keuangan
berwenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara.
Selaku BUN, Menteri Keuangan juga merupakan pengelola keuangan dalam arti
seutuhnya yang berfungsi sebagai kasir, manajer keuangan dan pengawas keuangan
yang berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran negara. Dalam hal ini,
fungsi pengawasan keuangan tersebut terbatas pada aspek rechmatigheid dan
wetmatigheid yang dilakukan hanya pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran
(Penjelasan Undang-Undang Perbendaharaan Negara).
Selanjutnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 huruf l Undang-Undang
Perbendaharaan, termasuk dalam ruang lingkup perbendaharaan adalah perumusan
standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN. Dalam hal ini, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.01/2008 Pasal 806 ditetapkan bahwa
Ditjen Perbendaharaan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan
dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya, PMK 100/PMK.01/2008 juga menetapkan bahwa Direktorat
Transformasi Perbendaharaan memiliki tugas dan fungsi untuk merumuskan kebijakan
strategi pengembangan; merancang dan mengembangkan; serta menyelaraskan proses
bisnis dan/dengan teknologi informasi perbendaharaan (Pasal 992 dan Pasal 993).
Selanjutnya, dalam PMK 100/PMK.01/2008 Pasal 999 dan Pasal 1000 juga disebutkan
bahwa tugas dan fungsi Subdirektorat Transformasi Proses Bisnis Eksternal diantaranya
meliputi:
1. perumusan kebijakan dan strategi penyempurnaan;
2. pengkajian dan penyempurnaan;
Subdit TPBE, DTP 32
3. penyusunan rekomendasi dan penetapan landasan hukum;
4. perumusan kebijakan strategi tahapan penerapan koneksitas proses bisnis dengan
Satuan Kerja (Satker), termasuk pengkajian kesesuaian koneksitas-koneksitas
proses bisnis dengan aplikasi teknologi informasi.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan perundangan tersebut di atas, aktivitas
penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di
Ditjen Perbendaharaan adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Ditjen Perbendaharaan
(legitimate).
E. Penutup
Dari uraian di atas, berikut ini adalah beberapa hal pokok yang dapat disarikan:
1. Sebagaimana framework penulisan yang telah dijelaskan pada Bab I, Bab II ini
difokuskan pada pembahasan visi, misi dan objektif dari Satker dan Ditjen
Perbendaharaan sebagai landasan untuk penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan.
2. Disamping itu, Bab II ini juga menjelaskan bahwa aktivitas penyempurnaan tersebut
haruslah memberikan value, baik bagi Satker maupun Ditjen Perbendaharaan.
Dengan menggunakan strategic triangle framework, aktivitas penyempurnaan dan
juga usulan penyempurnaan nantinya haruslah legitimate dan operationally feasible
sehingga value dari aktivitas penyempurnaan tersebut dapat maksimal.
3. Dari pembahasan, bahwa meskipun masing-masing Satker dan Ditjen
Perbendaharaan mempunyai visi dan misi yang berbeda dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, semuanya mempunyai suatu common
objectives, yang secara generik tidak berbeda dan akan dicapai oleh semua
stakeholder. Dengan demikian, aktivitas penyempurnaan proses bisnis ini akan
memberikan value bagi pencapaian common objectives tersebut, dan secara
keseluruhan bagi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
(perbendaharaan negara).
4. Demikian juga, guna menjamin agar usulan penyempurnaan proses bisnis tersebut
dapat diterapkan (operationally feasible), maka setidaknya aktivitas penyempurnaan
tersebut setidaknya harus meliputi tiga aspek yaitu proses bisnis dan
pengorganisasiannya, teknologi informasi dan change management.
5. Selanjutnya, UU No.1/2004 dan PMK 100/PMK.01/2008 juga telah menjelaskan
bahwa adalah fungsi Ditjen Perbendaharaan untuk menyempurnakan dan membuat
Subdit TPBE, DTP 33
standarisasi proses bisnis terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara (perbendaharaan negara), sehingga aktivitas penyempurnaan
tersebut sangat legitimate.
Terkait dengan pembahasan-pembahasan dalam Bab II ini, maka bab selanjutnya
akan difokuskan pada aktivitas baseline assesment. Sebagaimana dijelaskan dalam
framework penulisan pada Bab I, maka baseline assesment ini ditujukan untuk melihat
existing proses bisnis dan pengorganisasiannya, teknologi informasi yang digunakan,
dan juga kompetensi dari sumber daya manusia, baik di Satker maupun di Ditjen
Perbendaharaan. Baseline assesment ini akan memberikan dasar untuk penetapan target
yang lebih riil dari aktivitas penyempurnaan ini, sejalan dengan visi, misi dan common
objectives yang didefinisikan dalam Bab II ini.
Subdit. TPBE, DTP 34
BAB III
Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini difokuskan pada pembahasan tentang existing proses bisnis (i) penyusunan, penelaahan, pengesahan dan revisi dokumen Pelaksanaan Anggaran, (ii) pembuatan komitmen, (iii) pengajuan pembayaran, (iv) pencairan dana, (v) manajemen kas, dan (vi) akuntansi dan Pertanggungjawaban. Disamping itu, dibahas pula aspek dukungan aplikasi-aplikasi yang terdapat di satker serta keterkaitan antar aplikasi baik di dalam satker sendiri maupun dengan aplikasi di DJPB. Namun demikian, sejalan dengan kerangka ITIL v.3 yang digunakan dalam penulisan draft modul ini, belum dilakukan penelitian dan konfirmasi langsung terhadap satker terpilih. Penelitian dan konfirmasi langsung tersebut akan dilakukan awal tahun 2010 sejalan dengan berbagai diskusi interaktif yang sudah direncanakan sejalan. Selanjutnya, bab ini dilengkapi dengan dua appendiks yaitu (i) summary atas penelitian World Bank terkait proses bisnis di satker Departemen PU, dan (ii) summary atas proses bisnis satker BLU. Disampaikan bahwa proses bisnis satker BLU belum menjadi fokus dalam draft modul ini dan akan dikerjakan pada awal tahun 2010 bersama dengan aspek penerimaan dari pengelolaan perbendaharaan di satker.
A. Definisi dan Konsepsi
Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, proses bisnis merupakan
serangkaian aktivitas yang saling berhubungan dan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan organisasi. Secara lebih spesifik, Hammer and Champy (1995),
mendefinisikan proses sebagai sekumpulan aktifitas yang mengolah input menjadi
output tertentu yang bernilai bagi stakeholder.
Dalam bab ini akan dibahas dengan lebih rinci proses bisnis pengelolaan
keuangan negara di Satker, salah satunya dilakukan dengan menyusun process
mapping. Process mapping merupakan alat dalam bentuk grafis untuk
menggambarkan urutan dan flow dari proses bisnis (Paper, Rodger and Pendankar,
2001). Process mapping berguna sebagai alat analisis dan komunikasi untuk dapat
lebih memahami dan menyempurnakan proses dengan kemungkinan menghilangkan
atau menyederhanakan bagian dari proses (Hunt, 1996).
Process mapping akan disusun menurut fase-fase dalam siklus anggaran
sebagaimana ditunjukan dalam relationship matrix dalam BabI. Process mapping
juga disusun dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik dari sebuah proses,
Subdit. TPBE, DTP 35
sebagaimana disinggung dalam Bab II, yaitu cross functional boundaries, definable
begining and end point, dan identifiable outcomes and beneficiaries. Dengan cara
demikian, diharapkan process mapping dapat memenuhi fungsinya sebagai alat
komunikasi dan analisis, lebih dari sekedar dokumentasi.
B. Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan
Koneksinya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
1. Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Revisi Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DIPA)
DIPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) merupakan dokumen yang
menjadi acuan bagi Satker dalam melaksanakan kegiatan dalam rangka
pelaksanaan APBN. Secara garis besar ada tiga tahap yang harus dilalui untuk
menjadikan suatu DIPA secara hukum sah sebagai dasar pembayaran/pencairan
dana atas beban APBN. Tiga tahap itu yaitu penyusunan konsep DIPA oleh
Pengguna Anggaran (PA) / Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), penelaahan
konsep DIPA di Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan pengesahan DIPA oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
a. Penyusunan Konsep DIPA
Penyusunan konsep DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 dilakukan oleh PA/KPA dengan
mengacu pada: (I) Undang-undang APBN, (II) Peraturan Presiden (Perpres)
tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP) / Surat
Rincian Alokasi Anggaran (SRAA) untuk konsep DIPA yang ditelaah
didaerah, (III) RKA-KL yang telah disetujui DPR dan ditelaah oleh DJA
serta (IV) Bagan Akun Standar.
b. Penelaahan Konsep DIPA
Penelaahan atas konsep DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 dilakukan bersama-sama antara
petugas dari kementrian/lembaga yang bersangkutan dengan petugas dari
Perbendaharaan. Penelaahan konsep DIPA yang dilakukan Direktorat
Pelaksanaan Anggaran meliputi DIPA Satker Pusat dan DIPA Tugas
Pembantuan. Sedangkan penelaahan konsep DIPA yang dilakukan di Kanwil
Subdit. TPBE, DTP 36
Ditjen Perbendaharaan meliputi DIPA Satker vertikal Kementrian/Lembaga
di daerah dan DIPA Dana Dekonsentrasi.
Penelaahan atas konsep DIPA dilakukan dengan aktivitas sebagai berikut :
1) Penilaian kesesuaian pencantuman dan penuangan anggaran (Konsep
DIPA halaman I A. Umum) dengan rincian pada Perpres mengenai
RABPP/SRAA, meliputi :
a) Kesesuaian pencantuman uraian organisasi dan satuan kerja.
b) Kesesuaian pencantuman uraian dan pagu anggaran pada fungsi,
subfungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, dan kelompok
pengeluaran.
c) Kesesuaian pencantuman sasaran dan indikator keluaran.
2) Penilaian kesesuaian pencantuman rincian penggunaan anggaran
(Konsep DIPA halaman I B. Umum) dengan prinsip pembayaran dalam
mekanisme APBN, meliputi :
a) Kesesuaian pencantuman kode bayar ( kode KPPN).
b) Kesesuaian pencantuman sumber dana.
c) Kesesuaian pencantuman nomor registrasi pinjaman/hibah luar
negeri.
d) Kesesuaian pencantuman tata cara penarikan dana.
3) Penilaian kesesuaian pencantuman rincian penggunaan anggaran
(Konsep DIPA halaman II. Rincian Pengeluaran) dengan kaidah
akuntansi pemerintah, meliputi :
a) Kesesuaian penempatan jenis belanja.
b) Kesesuaian pencantuman akun pengeluaran.
4) Penilaian terhadap rencana penarikan dana tiap bulan (Konsep DIPA
halaman III. Rencana Penarikan dana dan Perkiraan Penerimaan),
meliputi pencantuman rencana penarikan dana tiap bulan sesuai pagu per
kegiatan dan per jenis belanja.
5) Penilaian terhadap perkiraan penerimaan tiap bulan (Konsep DIPA
halaman III. Rencana Penarikan dana dan Perkiraan Penerimaan),
meliputi pencantuman perkiraan penerimaan perpajakan dan PNBP tiap
bulan.
6) Penjelasan tentang rincian belanja kelompok akun yang memerlukan
perlakuan khusus dan/atau persyaratan tertentu pada saat proses
Subdit. TPBE, DTP 37
pencairan dana (Konsep DIPA halaman IV) meliputi (a) Belanja terikat
yang tidak diperkenankan dikurangi dan direlokasi, (b) kegiatan dan
alokasi dana yang diblokir pada saat penelaahan DIPA, (3) hal-hal lain
yang perlu dituangkan dalam Catatan DIPA.
Atas konsep DIPA yang telah dilakukan penelaahan dan telah memenuhi
ketentuan dibuatkan Catatan Penelaahan yang berfungsi sebagai surat
pengantar untuk menyusun Surat Pengesahan DIPA. Catatan Penelaahan
memuat identitas DIPA (Bagian Anggaran, unit organisasi dan satuan kerja),
pagu anggaran per jenis belanja, catatan atas penelaahan DIPA, pihak-pihak
yang melakukan penelaahan, dan persetujuan penelaahan.
c. Pengesahan DIPA
Pengesahan DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 merupakan penetapan oleh Bendahara
Umum Negara atas konsep DIPA yang telah dilakukan penelaahan dan
memuat pernyataan bahwa DIPA berkenaan tersedia dananya dalam APBN
dan dapat menjadi dasar pembayaran/pencairan dana atas beban APBN.
Pengesahan DIPA dilakukan dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA
Satker Pusat dan DIPA Tugas Pembantuan, dan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan untuk DIPA Satker vertikal dan DIPA Dana Dekonsentrasi.
Surat Pengesahan DIPA memuat identitas DIPA (Bagian Anggaran, unit
organisasi dan satuan kerja), pagu anggaran DIPA, rincian sumber dana
DIPA, Kantor Bayar dan pernyataan dari BUN bahwa perhitungan biaya
dalam DIPA merupakan tanggung jawab PA/KPA.
Dalam hal kementerian/lembaga tidak menyampaikan konsep DIPA
sampai dengan tanggal yang telah ditetapkan, maka diterbitkan DIPA
sementara oleh Direktorat Pelaksana Anggaran / Kanwil Ditjen
Perbendaharaan dengan berdasar kepada Perpres mengenai RABPP / SRAA.
Dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai,
pengeluaran keperluan sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk
pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk jenis pengeluaran lainnya
harus diblokir.
Berikut ini gambar 3.1 dan 3.2 menggambarkan flowchart proses bisnis
penelaahan dan pengesahan DIPA untuk mempermudah pemahaman dari uraian
Subdit. TPBE, DTP 38
diatas yang dipisahkan antara proses di Direktorat Pelaksanaan Anggaran dan
Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Subdit. TPBE, DTP 39
Gambar 3.1
Dow
nstre
amD
it. P
AD
JPBN
Sat
ker
Ups
tream
Subdit. TPBE, DTP 40
Gambar 3.2
Subdit. TPBE, DTP 41
d. Revisi DIPA
Revisi DIPA diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
06/PMK.02/2009. Revisi DIPA adalah perubahan dan/atau pergeseran
rincian anggaran dalam DIPA. Revisi DIPA dibuat oleh PA/KPA dan
diajukan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan untuk mendapat pengesahan.
Revisi DIPA dilaksanakan berdasarkan perubahan SAPSK atau tanpa
perubahan SAPSK. Sepanjang tidak mengakibatkan pengurangan terhadap
(I) alokasi kegiatan 0001 kecuali untuk memenuhi alokasi gaji dan tunjangan
pada Satker lain, (II) alokasi kegiatan 0002 kecuali untuk memenuhi alokasi
kegiatan 0002 pada Satker lain untuk akun yang sama, (III) alokasi kegiatan
0002 kecuali untuk memenuhi alokasi gaji dan tunjangan pada Satker yang
bersangkutan, (IV) alokasi dana untuk pembayaran berbagai tunggakan, (V)
rupiah murni pendamping PHLN, (VI) alokasi dana kegiatan yang bersifat
multi years, dan (VII) alokasi dana pada rincian kelompok
pengeluaran/subkegiatan/kegiatan yang telah dikontrakkan dan/atau
direalisasikan dananya sehingga menjadi minus.
Pengesahan revisi DIPA untuk DIPA Satker Pusat yang berlokasi di DKI
Jakarta, disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Sedangkan revisi
DIPA untuk DIPA Satker Pusat yang berlokasi di daerah (diluar DKI
Jakarta), DIPA Satker vertikal, DIPA Dekonsentrasi dan DIPA Tugas
Pembantuan baik untuk DIPA yang awalnya disahkan di pusat maupun
daerah, disahkan oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berikut ini gambar 3.3 menggambarkan flowchart proses bisnis revisi DIPA
untuk mempermudah pemahaman dari uraian diatas.
Subdit. TPBE, DTP 42
Gambar 3.3
Subdit. TPBE, DTP 43
2. Pembuatan Komitmen
Perekaman komitmen (budget commitment recording) ke dalam suatu
sistem yang terintegrasi antara institusi treasury dengan Spending Unit (Satker)
merupakan ciri utama dari commitment management.
a. Definisi
Komitmen merupakan kewajiban yang akan menimbulkan pembayaran
di masa yang akan datang berdasarkan pemenuhan kondisi atau kriteria tertentu
(Radev & Khemani, 2007). Secara umum terdapat dua jenis komitmen.
Komitmen khusus (specific commitment) adalah komitmen yang menimbulkan
kewajiban pembayaran atau serangkaian pembayaran dalam jangka waktu
tertentu. Termasuk dalam komitmen khusus adalah penerbitan persetujuan
kontrak pengadaan barang dan jasa. Sedangkan komitmen yang berkelanjutan
(continuing commitment) merupakan komitmen yang pembayarannya bersifat
berkelanjutan, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan tidak didasarkan
pada adanya kontrak tersendiri. Pembayaran untuk gaji, tunjangan dan
sejenisnya termasuk dalam continuing commitment (Radev & Khemani, 2007).
b. Tujuan dan Fungsi
Pelaksanaan manajemen atas komitmen memiliki dua tujuan utama yang
memiliki orientasi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Pada dasarnya,
manajemen komitmen ditujukan untuk mengelola tindakan-tindakan awal yang
menimbulkan kewajiban negara dalam rangka disiplin anggaran (ketaatan
terhadap batas pengeluaran) dan menghindari timbulnya arrears 1. Namun
demikian, manajemen komitmen juga merupakan salah satu alat untuk
melakukan cash forecasting dalam rangka mewujudkan cash management yang
berorientasi ke depan (forward cash planning) yang berbeda dengan cash
forecasting berdasarkan data trend dari periode sebelumnya (historical data
trend). Dengan mencatatkan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan, maka
institusi perbendaharaan dapat membuat perencanaan kas yang berorientasi ke
depan (forward cash plans) berdasarkan aliran kas yang akan menyertai sebuah
komitmen.
1 Arrears dapat diartikan sebagai kewajiban pembayaran yang tertunda di mana Negara tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dalam jangka waktu tertentu (Radev & Khemani, 2007).
Subdit. TPBE, DTP 44
c. Kerangka Peraturan Perundangan
Dalam peraturan perundangan yang ada telah terdapat beberapa pasal
yang secara implisit mengatur tentang manajemen komitmen dan dapat
dijadikan landasan untuk pengembangan manajemen komitmen di masa yang
akan datang. Dalam pasal 3 ayat 3 UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara disebutkan bahwa tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban
APBN/APBD hanya dapat dilakukan jika tersedia cukup anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut. Selanjutnya dalam pasal 17 ayat 2 ditegaskan
bahwa ikatan/perjanjian dalam rangka pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh
pengguna anggaran atau kuasanya dengan pihak lain hanya dapat dilakukan
dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Patut diperhatikan bahwa seiring dengan semangat let the managers
manage dan peran menteri/pimpinan lembaga sebagai Chief Operational
Officer, kewenangan administratif dalam pengelolaan keuangan negara ada pada
kementerian negara/lembaga. Kewenangan administratif tersebut diantaranya
meliputi kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan-tindakan
lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara
dan melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada
kementrian/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut
(Penjelasan UU Perbendaharaan).
d. Koneksitas dengan Satker
Pada saat ini belum tersedia mekanisme yang dapat mengintegrasikan
komitmen yang telah dibuat satker ke dalam sistem perbendaharaan negara,
khususnya yang berkaitan dengan manajemen kas di DJPBN. Demikian pula
untuk kontrak yang multi years, belum secara otomatis terekam rencana
tahapan-tahapan pembayarannya untuk masing masing tahun anggaran. Di
samping itu, Chart of Account yang ada belum dapat mengakomodasi
pencatatan untuk commitment stages dalam pelaksanaan anggaran.
Dalam hal manajemen komitmen, existing koneksitas proses bisnis di
Satker dengan proses bisnis perbendaharaan di Ditjen Perbendaharaan justru
terjadi pada saat pencairan dana, di mana informasi yang terkait dengan kontrak
pengadaan dan jasa disampaikan ke KPPN dalam bentuk resume kontrak
sebagai salah satu lampiran SPM (Perdirjen 66/PB/2005). Dengan model
koneksitas seperti ini, informasi perihal kontrak yang disampaikan ke Ditjen
Subdit. TPBE, DTP 45
Perbendaharaan menjadi kurang relevan untuk keperluan forward cash planning
karena baru dapat diketahui pada saat pengeluaran dari kas negara dilakukan.
Beberapa inisiatif telah diupayakan menutup kekurangan ini. Diantaranya
melalui penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas Instansi/Satuan
Kerja Pemerintah Pusat/Daerah (SE-02/PB/2006) serta penyampaian Laporan
Realisasi Dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun
Anggaran 2008 melalui aplikasi Peran 2008 (SE-38/PB/2008). Namun kedua hal
tersebut berjalan kurang efektif, baik karena kurangnya pemahaman Satker
maupun karena sifatnya yang ad-hoc untuk memenuhi kebutuhan akan
informasi tertentu pada akhir tahun anggaran (Peran 2008). Pada saat ini tengah
dikembangkan model Peran 2009 yang lebih komprehensif yang memperhatikan
data aktual dari kegiatan yang sudah atau belum dikontrakkan dari sisa pagu
anggaran yang tersedia.
3. Pengajuan Pembayaran
a. Jenis Pembayaran
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor PER-66/PB/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
134/PMK.06/2005, jenis pembayaran terdiri dari:
1) Pembayaran Dengan Uang Persediaan.
Uang persediaan adalah Uang Muka Kerja yang diberikan kepada
bendahara pengeluaran, bersifat daur ulang (revolving) untuk membiayai
kegiatan operasional sehari-hari perkantoran yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung. Adapun jumlah uang persediaan yang dapat
dimintakan adalah sebagai berikut:
• 1/12 dari pagu maksimal Rp. 50 Juta untuk pagu sampai dengan Rp.900
Juta
• 1/18 dari pagu maksimal Rp. 100 Juta untuk pagu diatas Rp. 900 Juta
sampai dengan Rp. 2,4 Miliar
• 1/24 dari pagu maksimal Rp. 200 Juta untuk pagu diatas Rp. 2,4 Miliar
• 20 % dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp. 500 Juta
Penggantian UP dapat dilakukan setelah UP digunakan sekurang-kurangnya
75% dari UP yang diterima. Sisa UP pada akhir tahun anggaran harus
disetor ke rekening Kas Negara paling lambat tanggal 31 Desember. Dalam
Subdit. TPBE, DTP 46
hal Penggunaan UP belum mencapai 75% sedangkan satker memerlukan
pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia dapat dimintakan Tambahan
Uang Persediaan (TUP).
Pembayaran dengan uang persediaan memiliki kriteria sebagai berikut:
Untuk membiayai keperluan sehari-hari perkantoran.
Pembayaran tidak boleh melebihi Rp 10 juta kepada satu rekanan.
Tetap memperhatikan ketentuan perpajakan.
2) Pembayaran Langsung.
Pembayaran langsung merupakan jenis pembayaran yang utama. Dimana
pembayaran dilakukan langsung ke rekening yang berhak/rekanan/pihak
ketiga atau untuk keperluan tertentu melalui Bendahara Pengeluaran.
b. Proses bisnis Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)
Proses penerbitan SPM diawali dari dibuatnya SPP oleh pejabat yg
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan (Pejabat Pembuat Komitmen-
PPK) selaku pemberi kerja untuk diteruskan ke pejabat penandatangan SPM.
Pejabat penandatangan SPM melakukan pengujian terhadap kelengkapan
Dit. APK dalam rangka rekonsiliasi dan penyusunan Laporan Keuangan
pemerintah pusat setiap semester.
Selain menyampaikan Laporan Keuangan untuk kepentingan rekonsiliasi, Satker
BLU juga menyampaikan Laporan Keuangan yang terdiri dari laporan Realisasi
Anggaran/Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan
Keuangan disertai Laporan Kinerja beserta data transaksi ke UAPPA-E1 setiap
bulan.
Catatan:
Berikut ini alur proses bisnis untuk DIPA, Penggunaan PNBP (Satker BLU
berstatus penuh), Penggunaan PNBP (Satker BLU berstatus bertahap) dan
Pelaporan. Sedangkan untuk gambar proses bisnis belanja pegawai BLU yang
berstatus PNS dan proses bisnis belanja modal tidak dilampirkan karena gambar
proses bisnis tersebut sama dengan proses bisnis pada Satker biasa.
Subdit. TPBE, DTP 108
Subdit. TPBE, DTP 109
2. Penggunaan PNBP (Satker BLU bersatus Bertahap)
Realisasi Penerimaan PNBP
(2.1)
DIPA
Penggunaan Langsung PNBP
(2.2)
Pertanggung jawaban
Penggunaan(triwulanan)
(2.3)
SP2D GU Pengesahan
(2.4)
SPM GUPengesahan
Setor ke Kas Negara
(2.5)
N
SPM LS untuk Penggunaan
PNBP(2.6)
SP2D LS PNBP(2.7)
SPM LS PNBP
Penggunaan langsung Y
MoSA
(4.1)
Subdit. TPBE, DTP 110
Subdit. TPBE, DTP 111
Subdit TPBE, DTP 112
BAB IV
Future Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini difokuskan pada pembahasan usulan future model koneksitas dan bentuk manajemen keuangan satker yang disesuaikan dengan modul-modul yang ada dalam pengembangan SPAN. Dalam hal ini, dibahas usulan future proses bisnis terkait Manajemen DIPA, Manajemen Komitmen, Manajemen Pembayaran, Accounting dan Reporting, dan Manajemen Kas. Disamping itu, juga dibahas berbagai usulan tentang struktur pejabat perbendaharaan (PA/KPA, PPK, PPSPM, dan Bendahara) di satker beserta proses bisnisnya terkait. Sejalan dengan framework ITIL v.3, hal-hal yang dibahas dalam bab ini akan menjadi fokus diskusi pada awal tahun 2010, yang secara paralel sekaligus menjadi bahan untuk pengembangan IT dan penerapannya pada satker terpilih.
A. Definisi, Konsepsi dan Metodologi
Pada bab-bab sebelumnya, telah dibahas sistem perbendaharaan yang meliputi
aktivitas manajemen keuangan negara di Satuan Kerja dan di Ditjen Perbendaharaan.
Pembahasan pada bab III secara umum menggambarkan alur proses bisnis secara cross
functional boundaries. Penjelasan pada Bab III menekankan pada mekanisme kontrol,
verifikasi dan dokumen pendukung dalam proses bisnis. Dalam bab ini akan dibahas
secara lebih rinci future model dari koneksitas dari proses bisnis dan manajemen
keuangan di Satker dengan proses bisnis di perbendaharaan.
Koneksitas proses bisnis dicerminkan oleh integrasi diantara elemen-elemen
proses bisnis, terutama yang dijalankan oleh institusi/unit yang berbeda. Integrasi yang
tinggi ini setidaknya meliputi:
1. mekanisme input-output (transfer) yang digunakan dan dihasilkan sebuah proses
bisnis, termasuk di dalamnya bentuk/media dan interface.
2. keandalan dan kesesuaian aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian intern
(internal control) di masing-masing unit proses bisnis.
Penentuan model manajemen keuangan negara di Satker dan koneksitasnya
dilakukan dengan memperhatikan permasalahan dari praktek pada saat ini, mengkaji
internasional best practice dan kesesuaiannya dengan landasan hukum yang ada (Undang-
Undang). Future proses bisnis yang dihasilkan dari methodology tersebut di atas terutama
Subdit TPBE, DTP 113
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara (SPAN). Oleh karena itu, rekomendasi untuk penyempurnaan proses
bisnis pada saat ini juga memperhatikan blue print rencana pengembangan SPAN,
terutama terkait dengan modernisasi sistem informasi dan IT.
B. Manajemen DIPA
1. Tujuan dan fungsi Setelah rancangan anggaran (budget draft) disetujui oleh parlemen, Line
Ministries dan Spending Unit pada dasarnya telah memiliki otorisasi untuk melakukan
pengeluaran atas beban anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Fungsi
manajemen DIPA terutama berkaitan dengan distribusi dana anggaran yang telah
disetujui tersebut kepada Spending Unit sebagai dasar untuk melakukan pengeluaran
(otorisasi). Otorisasi ini, tergantung dengan sistem yang digunakan di negara tersebut,
dapat berlaku untuk satu periode tahun anggaran atau untuk periode tertentu yang
lebih singkat. Terdapat mekanisme yang berbeda di masing-masing negara terkait
dengan pengalokasian dan pendistribusian jumlah anggaran yang telah disetujui oleh
Parlemen kepada Spending Unit. Namun demikian, prosesnya secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua hal sebagai berikut.
a) Apportionment: proses untuk menentukan bagian dari anggaran yang telah
disetujui oleh parlemen (appropriation) yang dapat digunakan oleh Line
Ministries dan Main Spending Unit (apportioned appropriations). Proses ini dapat
berupa keputusan (decree) yang memberikan otorisasi kepada Line Ministries
untuk menggunakan seluruh atau sebagian dari jumlah yang telah disetujui
parlemen
b) Allotment: proses dimana line ministries atau main speding unit mengalokasikan
rincian dari jumlah anggaran yang telah disetujui oleh parlemen (apportioned
appropriations) kepada Spending Unit di lingkungan masing-masing (sub-
ordinate Spending Unit)
(OECD, 2001; World Bank, 2007)
Subdit TPBE, DTP 114
2. International Best Practice terkait Manajemen DIPA
Berkaitan dengan pelaksanaan anggaran (budget execution), pada dasarnya
terdapat dua sistem utama dalam manajemen atas Spending Authority, yaitu warrant
system dan apportionment/allotment system. Perbedaan mendasar di antara keduanya
adalah mekanisme penggunaan appropriasi (anggaran yang disetujui oleh parlemen)
sebagai dasar untuk membuat perikatan/komitmen yang akan membebani anggaran.
Implementasi atas salah satu dari sistem tersebut, biasanya sejalan dengan sistem
manajemen komitmen dan manajemen pembayaran dalam rangka pelaksanaan
anggaran yang diterapkan di suatu negara. Pembahasan untuk masing-masing sistem
adalah sebagai berikut:
a) Warrant system
Warrant adalah “a release of all, or more commonly a part, of the total
annual appropriation on a quarterly or monthly basis that allows a line ministry
or spending agency to make commitments” (OECD, 2001). Dalam sistem ini,
anggaran/approptiation yang disetujui parlemen lebih merupakan alat
perencanaan yang merefleksikan kebijakan dan program pemerintah untuk tahun
anggaran yang bersangkutan. Namun demikian, sebagian atau keseluruhan jumlah
anggaran tersebut baru dapat efektif sebagai dasar pengeluaran apabila telah
diterbitkan dokumen pelaksanaan anggaran (warrant) atas dasar usulan Spending
Unit. Warrant tersebut akan menjadi batas tertinggi pengeluaran (spending limit)
untuk jangka waktu tertentu dalam satu tahun anggaran. Proses bisnis
management of Spending Authority adalah sejak Plan Procurement sampai
dengan Penerbitan Warrant / Spending Limit, sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 4.1.
Subdit TPBE, DTP 115
Gambar 4.1.
Proses Bisnis Manajemen DIPA (Warrant System)
b) Apportionment system
Apportionment atau allotment adalah “authorizations or distributions of
funds generally made by the ministry of finance to line ministries and other
spending units permitting them to either commit or pay out of funds or both,
within a specified time period and within the amounts appropriated and
authorized”. Dalam sistem ini, prosedur alokasi atas anggaran yang disetujui
parlemen ke dalam masing-masing Spending Units akan menghasilkan dokumen
yang menjadi dasar pelaksanaan anggaran yang umumnya berlaku selama periode
tahun anggaran. Dokument tersebut efektif sebagai dasar untuk melakukan
perikatan/komitmen dan/atau pengeluaran atas beban anggaran negara. Proses
bisnis management of Spending Authority adalah proses penerbitan dan
pengesahan dokumen allotment, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.2
Subdit TPBE, DTP 116
Gambar 4.2
Proses Bisnis Manajemen DIPA (Apportionment System)
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen DIPA
Pada dasarnya sistem yang dipakai di Indonesia terkait manajemen atas
Spending Authority cenderung pada sistem apportionment/allotment. Hal ini sesuai
dengan amanat UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya pasal 3
Ayat (4) yang menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi
mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan (penjelasan pasal 3 ayat 4).
Di dalam Penjelasan Undang-undang No.17 tahun 2003 pada point 8 paragraf
pertama disebutkan bahwa setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-
Undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden sebagai
pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. PerPres
tersebut memuat rincian menurut alokasi anggaran untuk masing-masing Satuan
Kerja (SAPSK) dan jenis belanja.
Peraturan Presiden tersebut menjadi dasar penyusunan dan pengesahan
Konsep DIPA yang disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran Satuan kerja disahkan
berdasarkan PerPres tentang RABPP dan atau SRAA (PMK No.
105/PMK.02/2008). Di dalam DIPA diuraikan anggaran yang disediakan (UU No. 1
tahun 2004 Pasal 14 point 3). Untuk keperluan pelaksanaan anggaran, berdasarkan
DIPA Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang mengadakan
ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan
(UU No. 1 tahun 2004 Pasal 17).
Pada saat ini DIPA disusun per satker (kecuali beberapa instansi vertikal per
kanwil) dan per BKPK (4 digit). ADK DIPA yang terdapat dalam sistem di KPPN
adalah 6 digit. Dalam rangka pencairan dana Satker mengajukan SPM ke KPPN per
akun pengeluaran (6 digit). Realisasi pencairan dana tersebut (SP2D) dibuat per
satker dan per akun pengeluaran (6 digit).
Model koneksitas proses bisnis yang berkaitan dengan manajemen DIPA pada
saat ini adalah sebagai berikut (gambar 4.3):
Gambar 4.3
Model Koneksitas Proses Bisnis Manajemen DIPA (current)
Subdit TPBE, DTP 118
Dalam prakteknya manajemen DIPA saat ini identik dengan beberapa
permasalahan, diantaranya:
• Jumlah Satker yang sangat banyak
• Tingginya frekuensi usulan revisi DIPA
• Kurangnya fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran
• Tidak efektifnya Rencana Pencairan Dana (Halaman 3 DIPA)
• Tidak ada mekanisme update untuk Rencana pencairan Dana (Halaman 3 DIPA)
• Ketidaksesuaian Data pagu baik di lingkungan unit vertikal DJPBN maupun
dengan Satker.
Permasalahan diatas berkaitan dengan beberapa elemen-elemen dari bisnis proses,
misalnya sebagai berikut:
a) Tingginya frekuensi usulan revisi DIPA mengindikasikan hal-hal sebagai berikut:
1) Kurangnya perencanaan yang ideal selama proses penyusunan anggaran
(budget preparation)
2) Kurangnya kerjasama antara pihak-pihak di Kementrian / Satker yang
bertanggung jawab dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
Hal-hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan Satker untuk
mengimplementasikan anggaran.
b) Ketentuan dalam perundang-undangan menghendaki persetujuan parlemen (DPR)
sampai dengan jenis belanja. Dalam tingkatan tertentu hal tersebut mengurangi
fleksibilitas anggaran selama pelaksanaannya.
c) Rencana pencairan dana (halaman III DIPA) tidak diikuti dan tidak mengikat
Satker sehingga fungsinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kondisi
tersebut mencerminkan kurangnya kemampuan Satker dalam perencanaan.
Namun demikian harus diakui bahwa sampai saat ini Treasury / Ditjen
Perbendaharaan belum mampu menerapkan proses bisnis dengan dukungan IT
yang ideal sebagai mekanisme untuk melakukan update rencana pencairan dana
(halaman III DIPA) sesuai dengan realisasi.
d) Jumlah Satker yang sangat banyak dalam rangka pelaksanaan anggaran juga
dipengaruhi oleh peraturan yang berkaitan dengan budget preparation yang
dihasilkan oleh DJA, misalnya rincian Perpres APBN (apportionment) sudah
mengalokasikan anggaran menurut Spending Unit (Satker) dalam bentuk SAPSK
Subdit TPBE, DTP 119
(PMK 105/2008). Sampai saat ini tidak terdapat mekanisme yang dapat menjadi
dasar bagi Ditjen Perbendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran untuk
memodifikasi jumlah dan struktur Satker dalam Perpres APBN, terutama
sebagaimana terdapat dalam Lampiran V.
e) Ketidaksesuaian data pagu baik antar Satker dengan Ditjen Perbendaharaan
maupun diantara unit teknis Perbendaharaan terutama setelah revisi. Hal tersebut
salah satunya disebabkan oleh belum tersentralisasinya data DIPA.
Permasalahan tersebut diatas harus menjadi perhatian utama dalam penyempurnaan
koneksitas proses bisnis dengan Satker terkait manajemen DIPA.
4. Fitur SPAN terkait Manajemen DIPA
Sejalan dengan rencana pengembangan SPAN maka diharapkan nantinya
proses bisnis terkait manajemen DIPA dapat mengakomodasi hal-hal sebagai
berikut:
a) DJA dapat menerima data anggaran dari Kementrian / Satker secara online.
Data anngaran tersebut dapat dikonsolidasikan dan disimpan dalam database.
b) Sistem perencanaan anggaran dapat menerima dan mencatat perubahan usulan
anggaran sebagai hasil pembahasan antara Kementrian Keuangan, Bappenas,
Kementrian / Satker dan DPR.
c) Kantor pusat kementrian teknis dapat mendistribusikan anggaran yang telah
disetujui kedalam Satker dilingkungan kerjanya (konsep DIPA) dengan
persetujuan Ditjen Perbendaharaan.
d) Ditjen Perbendaharaan dapat melihat dan menyetujui rincian anggaran yang
didistribusikan kepada Satker oleh kantor Pusat Kementrian Teknis masing-
masing (konsep DIPA).
e) Ditjen Perbendaharaan dapat menginformasikan Satker tentang rincian
anggaran yang telah disetujui baik secara paper based maupun elektronik
(DIPA).
f) KPPN dapat memeriksa secara online pagu anggaran, status komitmen, batasan
kas dan pengeluaran.
Didalam rencana pengembangan SPAN memungkinkan pengembangan beberapa
alternatif untuk sentralisasi database (terutama yang berkaitan dengan DIPA).
Subdit TPBE, DTP 120
Model koneksitas antara Satker Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan dalam
integrated budget preparation modul ditunjukkan dalam gambar 4.4.
Gambar 4.4 Model Integrated Budget Preparation
Model alternatif lainnya adalah integrasi database (terutama yang berkaitan dengan
DIPA) dengan modul budget preparation yang terpisah sebagai berikut (gambar
4.5):
Gambar 4.5 Model Separated Budget Preparation
Subdit TPBE, DTP 121
5. Rekomendasi dan alternatif Future Vision Model koneksitas proses bisnis
dengan Satker terkait Manajemen DIPA
Dari kedua model koneksitas tersebut diatas modul budget preparation yang
terintegrasi merupakan yang paling ideal. Rekomendasi terkait dengan implikasi
dari terintegrasinya data Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan dalam satu
sistem adalah sebagai berikut:
a) Fitur SPAN memungkinkan Ditjen Perbendaharaan mencocokkan rincian APBN
(perpres) dengan konsep DIPA yang diajukan Satker. Pencocokan tersebut dapat
secara manual maupun secara otomatis (by sistem) apabila fitur SPAN
sebagaimana dalam angka 4 tersebut di atas dilaksanakan. Konsep DIPA yang
disusun oleh Satker diregister ke kantor pusat K/L untuk selanjutnya dimintakan
persetujuan ke kantor pusat DJPB. Sepanjang konsep DIPA sudah sama dengan
Perpres rincian APBN dan indikator kinerja serta target yang akan dicapai sudah
sesuai dengan RKA-KL yang disepakati antara DPR dan pemerintah, sistem
tidak akan menolak konsep DIPA dan Kantor pusat DJPB harus memberikan
persetujuan atas konsep DIPA tersebut. Mekanisme ini mengakomodasi
ketentuan dalam pasal 7 PMK 105/PMK.02/2008, di mana Konsep DIPA
diajukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dari Satker yang bersangkutan,
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut (Gambar 4.6):
Subdit TPBE, DTP 122
Gambar 4.6
Alternatif Model Koneksitas Proses Bisnis dengan Satker
terkait Manajemen DIPA
b) Setelah DIPA disahkan, maka pagu DIPA akan mengikat Satker dalam
pelaksanaan anggarannya dan merupakan batas tertinggi pengeluaran bagi
Satker.
c) Dalam hal terjadi usulan revisi, sistem harus dapat menerapkan pembatasan
pencairan dana secara otomatis pada subkegiatan/kegiatan yang sedang direvisi
sehingga menghindari pagu minus akibat revisi.
d) Diusulkan agar DIPA disusun per satker (kecuali beberapa instansi vertikal per
kanwil) dan per jenis belanja (2 digit). Satker tetap mengajukan pencairan
dana ke KPPN per akun pengeluaran (6 digit). Data DIPA yang diterima
KPPN adalah per satker dan per jenis belanja saja (2 digit). Untuk
kepentingan pelaporan, rincian tetap dibutuhkan per akun (6 digit).
Konsekuensinya ketersediaan pagu anggaran ditetapkan per jenis belanja (2
digit). Dengan mekanisme ini diharapkan manajemen keuangan negara di Satker
dapat lebih fleksibel dan lebih mencerminkan pelaksanaan konsep “let the
manager manages” namun tetap sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada
Subdit TPBE, DTP 123
pada saat ini. Berikut ini pada Gambar 4.7 adalah ilustrasi dari rekomendasi
tersebut di atas.
Gambar 4.7
Rekomendasi Digitasi dari Pelaksanaan Anggaran
e) Halaman III DIPA memuat rencana penarikan dana. Di dalam Penjelasan PMK
105/PMK.02/2008 disebutkan bahwa pencantuman rencana penarikan dana
dalam dokumen DIPA adalah untuk pencapaian optimalisasi fungsi DIPA
sebagai manajemen kas pemerintah (optimalisasi pengelolaan rekening kas
negara) terkait dengan kebutuhan untuk menjamin ketersediaan uang dan
ketepatan waktu penyediaan uang dalam rangka memenuhi tagihan kepada
negara. Mekanisme ini diakomodasi dalam konsep Annual Financial Plan
(AFP) sebagai bagian dari modul manajemen DIPA di dalam SPAN bidding
document. Seperti telah disinggung sebelumnya, kelemahan utama terkait
dengan penggunaan rencana penarikan dana sebagai alat untuk manajemen kas
pada saat ini adalah sebagai berikut:
1) Tidak efektifnya rencana penarikan dana baik dalam hal keperluan realisasi
maupun kepentingan manajemen kas. Dengan kata lain, rencana penarikan
dana dalam DIPA tidak secara efektif digunakan sebagai acuan untuk
Subdit TPBE, DTP 124
keperluan pembayaran/ pengeluaran kas, sehingga menjadi tidak valid untuk
menjadi alat manajemen kas.
2) Tidak ada mekanisme update atas perubahan dan/ atau realisasi dari rencana
penarikan dana tersebut.
Beberapa alternatif dalam kerangka pengembangan SPAN untuk merevitalisasi
fungsi halaman III DIPA sebagai salah satu alat perencanaan kas sebagai
berikut:
1) Pengesahan konsep DIPA oleh Kantor pusat DJPB berati juga persetujuan
pencairan dana Satker untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan periode
AFP. Dengan demikian DIPA memiliki dua status. DIPA tidak hanya
sebagai dokumen alokasi anggaran, namun juga sebagai surat keputusan
otorisasi untuk jangka waktu tertentu (warrant). Dengan demikian AFP
memiliki sifat mengikat dan berlaku sebagai batas pengeluaran / spending
limit untuk jangka waktu sebagaimana dalam AFP.
2) AFP murni sebagai alat perencanaan kas, khususnya untuk long term
planning. Namun demikian AFP ini tidak berlaku sebagai batas tertinggi
pegeluaran spending limit untuk periode tertentu. Satker dapat melakukan
pengeluaran melebihi jumlah rencana pengeluaran sebagaimana dalam
halaman III DIPA. Rencana pengeluaran ini di update diantaranya sesuai
dengan informasi perkiraan pengeluaran yang akan jatuh tempo dalam
periode AFP. Informasi ini salah satunya diperoleh dari data atas jumlah
pagu yang telah dikontrakan dari modul manajemen komitmen.
Alternatif pertama (1) lebih realistis sebagai alat perencanaan kas. Satker
harus mengajukan usulan perubahan apabila akan melakukan pengeluaran
melebihi jumlah yang telah disetujui dalam AFP. Namun demikian sistem
tersebut akan menambah bisnis proses baru bagi Satker. Disamping itu
implementasi yang efektif dari sistem ini memerlukan kemampuan manajerial
Satker terutama dalam hal perencanaan.
Alternatif kedua (2) lebih fleksibel dan tidak rigid terhadap pengeluaran
dalam jangka waktu tertentu. Kekurangannya adalah untuk dapat dilaksanakan
secara ideal sistem ini memerlukan mekanisme updating yang terintegrasi dan
lengkap terkait dengan pengeluaran yang akan jatuh tempo, salah satu
Subdit TPBE, DTP 125
diantaranya melalui manajemen komitmen. Akan tetapi, tidak semua rencana
pengeluaran dapat diakomodasi di manajemen komitmen. Beberapa pengeluaran
yang bersifat non kontraktual umumnya dapat dilakukan tanpa manajemen
komitmen, misalnya pengeluaran untuk wages, utilities dan entitlement.
Implementasi alternatif kedua (2) harus didukung sistem lain yang memang
ditujukan untuk melakukan updating terhadap Annual Financial Plan yang
disusun oleh Satker.
Dari kedua alternatif tersebut, rekomendasi untuk mekanisme
penggunaan rencana penarikan dana adalah sebagai berikut:
1) Spending limit untuk jangka waktu satu tahun anggaran adalah total nilai
pagu yang ada pada DIPA. Pagu tersebut merupakan berfungsi sebagai
dasar untuk melakukan perikatan (otorisasi), tanpa harus disahkan terlebih
dahulu sebagai periodic spending limit (batas pengeluaran untuk jangka
waktu tertentu di dalam satu tahun anggaran) atas dasar dokumen Request
for Commmitment.
2) Rencana penarikan dana (halaman 3 DIPA) yang merupakan Annual
Financial Plan dan disusun oleh Satker akan berfungsi sebagai periodic
spending limit. Dengan kata lain, rencana penarikan dana akan berlaku
mengikat sebagai batas pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam
satu tahun anggaran. Rencana penarikan dana dapat direvisi atas usul satker
dan disetujui oleh treasury.
3) Informasi terkait dengan komitmen/perikatan akan menjadi salah satu input
untuk meng-update dan meningkatkan validitas dari rencana penarikan dana
selama periode waktu tertentu dalam satu tahun anggaran.
Ilustrasi dari mekanisme ini adalah sebagai mana ditunjukkan dalam gambar
berikut (Gambar 4.8):
Subdit TPBE, DTP 126
Gambar 4.8
Mekanisme Penggunaan dan Updating Rencana Penarikan Dana
Subdit TPBE, DTP 127
C. Manajemen Komitmen
1. Tujuan dan Fungsi
Komitmen merupakan kewajiban yang akan menimbulkan pembayaran di
masa yang akan datang berdasarkan pemenuhan kondisi atau kriteria tertentu (Radev
& Khemani, 2007). Dalam SPAN Bid Document, disebutkan bahwa komitmen
anggaran terjadi pada saat kontrak ditandatangani antara Satker dan rekanan untuk
pengadaan barang dan jasa di masa yang akan datang atau pada saat rekanan
menerima dan menyanggupi purchase order dari satker (p. 211). Secara umum
terdapat dua jenis komitmen. Komitmen khusus (spesific commitment) adalah
komitmen yang menimbulkan kewajiban pembayaran atau serangkaian pembayaran
dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam komitmen khusus adalah penerbitan
purchase order dan persetujuan kontrak pengadaan barang dan jasa. Sedangkan
komitmen yang berkelanjutan (continuing commitment) merupakan komitmen yang
pembayarannya bersifat berkelanjutan, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan
tidak didasarkan pada adanya kontrak tersendiri. Pembayaran untuk gaji, tunjangan
dan sejenisnya termasuk dalam continuing commitment (Radev & Khemani, 2007).
Pelaksanaan manajemen komitmen memiliki dua tujuan utama yang masing-
masing memiliki orientasi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Pada dasarnya,
manajemen komitmen ditujukan untuk mengelola tindakan-tindakan awal yang
menimbulkan kewajiban negara dalam rangka disiplin anggaran (ketaatan terhadap
batas pengeluaran) dan menghindari timbulnya arrears 1. Namun demikian,
manajemen komitmen juga merupakan salah satu alat untuk melakukan cash
forecasting. Commitment management dapat mendukung terwujudnya cash
management yang berorientasi ke depan (forward cash management), yang berbeda
dengan cash forecasting berdasarkan data trend dari periode sebelumnya (historical
data trend). Dengan mencatatkan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan, maka
institusi perbendaharaan dapat membuat perencanaan kas yang berorientasi ke depan
(forward cash plans) berdasarkan perkiraan aliran kas yang akan menyertai pelunasan
sebuah komitmen.
1 Arrears dapat diartikan sebagai kewajiban pembayaran yang tertunda di mana negara tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dalam jangka waktu tertentu (Radev & Khemani, 2007).
Subdit TPBE, DTP 128
2. International Best Practices terkait Manajemen Komitmen
Secara garis besar terdapat dua model ekstrim dari manajemen komitmen,
sebagai berikut:
a) Manajemen komitmen yang terpusat (Centralised commitment management)
Ciri utama dari model ini adalah adanya mekanisme pengajuan Request for
Commitment untuk diuji ketersediaan dananya (uncommitted budget allocation
balance) oleh pihak treasury sebelum komitmen terjadi. Request for Commitment
yang telah disetujui dan dicatat oleh pihak treasury selanjutnya akan menjadi salah
satu dasar pembayaran oleh pihak treasury.
b) Manajemen komitmen yang didesentralisasikan (Decentralised commitment
management)
Dalam model ini, fungsi manajemen komitmen diserahkan kepada kementrian
teknis/satker yang bersangkutan. Ciri utama dari model ini adalah adanya
penunjukan pejabat (Chief Controlling Officer) yang memiliki kewenangan untuk
mengesahkan timbulnya sebuah kommitmen dan bertanggung jawab atas
aktivitas manajemen komitmen. Pejabat tersebut harus memastikan ketersediaan
dana dan kesesuaian klasifikasi anggaran atas komitmen yang dibuat dalam
kerangka internal control dan aktivitas administratif yang membentuk sistem dari
mangement commitment. Pada intinya, diperlukan adanya pengesahan dari
pejabat yang berwenang sebelum terjadinya sebuah komitmen.
Pada prakteknya, terdapat banyak variasi dari aplikasi manajemen komitmen
di berbagai negara. Secara umum, model manajemen komitmen suatu negara
tergantung pada keseluruhan kerangka organisasi dalam proses pelaksanaan anggaran
khususnya yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran (payment management)
dan sistem akuntansi (accounting system) (Radev & Khemani, 2007).
3. Current State Assessment & Problems Terkait Manajemen Komitmen
Dalam peraturan perundangan yang ada telah terdapat beberapa pasal yang
secara implisit mengatur tentang manajemen komitmen dan dapat dijadikan landasan
untuk pengembangan manajemen komitmen di masa yang akan datang. Dalam pasal 3
ayat 3 UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN/APBD hanya dapat
Subdit TPBE, DTP 129
dilakukan jika tersedia cukup anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 17 ayat 2 ditegaskan bahwa ikatan/perjanjian dalam rangka
pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh pengguna anggaran atau kuasanya dengan
pihak lain hanya dapat dilakukan dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Selanjutnya patut diperhatikan bahwa seiring dengan semangat let the
manager manages dan peran menteri/pimpinan lembaga sebagai Chief Operational
Officer, kewenangan administratif dalam pengelolaan keuangan negara ada pada
kementrian Negara/lembaga. Kewenangan administrative tersebut diantaranya
meliputi kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya
yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara dan melakukan
pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementrian/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut (Penjelasan UU Perbendaharaan).
Dari telaah terhadap ketentuan perundangan yang ada, secara implisit
ketentuan perundangan yang berkaitan dengan manajemen komitmen lebih cenderung
pada model decentralized commitment management. Hal ini dapat dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut:
a) kewenangan administrative pada kementian/lembaga untuk membuat perikatan
dan melakukan pengujian (ketersediaan anggaran). Mekanisme tersebut
merupakan salah satu ciri utama dalam decentralized commitment management.
Salah satu fitur dari decentralized commitment management adalah adanya
pejabat tertentu yang melakukan otorisasi dan bertanggung jawab untuk
melakukan perikatan (Chief Commitment Officer). Dalam konteks UU
perbendaharaan, peran commitment officer ini dilakukan oleh Pejabat Pembuat
Komitment (PPK).
b) adanya asas umum yang mengatur secara tegas batasan kewenangan untuk
melakukan perikatan dalam bentuk ketersediaan dana/anggaran. Hal tersebut
berlawanan dengan fitur dari centralized commitment management di mana
expenditure ceiling yang dihasilkan dari pengajuan Request for Commitment
merupakan batasan untuk melakukan komitmen dan melakukan pembayaran
sebagai akibat dari timbulnya komitment dalam periode tertentu (see Radev &
Khemani, 2007; p. 9)
Subdit TPBE, DTP 130
Pada saat ini belum tersedia mekanisme yang dapat mengintegrasikan
komitmen yang telah dibuat satker ke dalam sistem perbendaharaan negara,
khususnya untuk mendukung pelaksanaan manajemen kas di Ditjen Perbendaharaan.
Demikian pula untuk kontrak yang multi years, belum secara otomatis terekam
rencana tahapan-tahapan pembayarannya untuk masing masing tahun anggaran. Di
samping itu, Chart of Account yang ada belum dapat mengakomodasi pencatatan
untuk commitment stages dalam pelaksanaan anggaran.
Terkait dengan manajemen komitmen, sebagian dari fitur manajemen
komitmen pada saat ini dilaksanakan sebagai bagian dari manajemen
pembayaran. Misalnya, informasi tentang komitmen yang sangat terbatas sifatnya
(sesuai dengan appendix V) disampaikan ke KPPN dalam bentuk resume kontrak
sebagai salah satu lampiran SPM (Perdirjen 66/PB/2005). Dengan model koneksitas
seperti ini, informasi perihal kontrak yang disampaikan ke Ditjen Perbendaharaan
menjadi kurang relevan untuk pencapaian tujuan manajemen komitment. Misalnya,
tidak ideal untuk keperluan forward cash planning karena baru dapat diketahui pada
saat pengeluaran dari kas negara dilakukan.
Beberapa inisiatif telah diupayakan untuk mengatasi kekurangan ini.
Diantaranya melalui penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas
Instansi/Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah (SE-02/PB/2006) serta penyampaian
Laporan Realisasi Dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun
Anggaran 2008 melalui aplikasi Peran 2008 (SE-38/PB/2008). Namun kedua hal
tersebut berjalan kurang efektif, baik karena kurangnya pemahaman Satker maupun
karena sifatnya yang ad-hoc untuk memenuhi kebutuhan akan informasi tertentu pada
akhir tahun anggaran (Peran 2008). Pada saat ini tengah dikembangkan model Peran
2009 yang lebih komprehensif yang memperhatikan data aktual dari kegiatan yang
sudah atau belum dikontrakkan dari sisa pagu anggaran yang tersedia.
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Komitmen
Sesuai dengan rencana pengembangan SPAN, dalam SPAN Bid Document
dapat diidentifikasikan bahwa dengan fitur manajemen komitmen (commitment
management module) Ditjen Perbendaharaan dapat melakukan perencanaan kas atas
dasar perkiraan arus kas yang menyertai pelunasan sebuah komitment (hal.211).
Subdit TPBE, DTP 131
Commitment management juga diarahkan untuk bisa melakukan updating atas sisa
kredit anggaran (uncommitted balance) dan sisa allotment, terkait dengan pembuatan
dan pelunasan sebuah komitment. Dengan demikian, DJA dan DJPBN dapat
memonitor komitmen sampai dengan pelaksanaan pembayaran.
Satker harus memastikan bahwa komitmen dibuat atas dasar ketersediaan
kredit anggaran. Komitmen tersebut selanjutnya harus diregistrasi kepada
perbendaharaan (treasury) (p. 211). Sebagai dasar untuk mencatat komitmen dalam
SPAN, Satker menyusun dan menyampaikan Request for Commitment (RFC) kepada
KPPN bersama dengan dokumen pendukungnya (hal.194). Request for Commitment
(RFC) yang valid dicatat ke dalam sistem beserta Commitment Application Number
(CAN) (technical requirement BC 011, p. 286) yang diberikan untuk keperluan proses
pembayaran sebagaimana diatur dalam model payment management (p. 215). Alur
aktivitas (work flows) selengkapnya sebagaimana tercantum dalam SPAN Bidding
Document adalah sebagai berikut (Gambar 4.9):
Subdit TPBE, DTP 132
Gambar 4.9
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Komitmen (Bidding Document)
Subdit TPBE, DTP 133
4.1.Koneksitas Dan Integrasi Dengan Modul Lainnya
Dalam rangka pencapaian tujuan dari manajemen komitmen, keterkaitan
manajemen komitmen dengan modul lainnya dalam SPAN, khususnya modul
Manajemen DIPA dan Payment Management adalah sebagai berikut (di gambarkan
dalam Gambar 4.10):
a) Informasi terkait dengan komitmen akan di update atas dasar invoice/tagihan yang
valid dari Satker. Pada saat yang sama, akan dilakukan pencatatan atas tagihan
yang disetujui untuk dibayar sebagai payables (hutang).
b) KPPN melakukan verifikasi apakah SPM yang diajukan merujuk pada
commitment tertentu yang telah diregistrasi sebelumnya dan memiliki
Commitment Application Number (CAN), untuk jenis-jenis pengeluaran yang
memerlukan CAN (umumnya yang bersifat kontraktual).
c) Atas dasar permintaan pembayaran (SPM) yang disetujui (SP2D), treasury akan
melakukan update atas informasi terkait dengan komitmen yang telah dicatat
sebelumnya melalui mekanisme pengajuan Request For Commitment (RFC) dan
penerbitan Commitment Application Number (CAN).
Subdit TPBE, DTP 134
Gambar 4.10
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Pembayaran (Bidding Document)
Keterkaitan antara komitmen manajemen dengan manajemen DIPA, diantaranya
berupa penentuan Spending Limit. Hal tersebut tidak disebutkan secara khusus pada
bagian yang menjelaskan tentang Manajemen DIPA. Namun demikian, fitur dari
penerapan manajemen komitmen dalam rangka melakukan monitoring atas spending
authority dalam bentuk updating atas spending limit cukup jelas digambarkan dalam
Subdit TPBE, DTP 135
kerangka manajemen komitmen. Dalam keterangan terkait dengan Manajemen DIPA
dalam dokumen SPAN, digunakan istilah spending authority dalam bentuk penyusunan
Annual Financial Plan (halaman 3 DIPA) dan opsi penerapan cash limit dalam kondisi
tertentu. Kedua hal tersebut, berbeda dengan spending limit. Spending limit dalam
pengertian manajemen komitmen adalah sisa dari budget allotment yang belum menjadi
dalam manajemen DIPA dalam bentuk AFP dan Cash limit lebih terkait dengan aspek
perencanaan penarikan dana dan ketersediaan kas.
Dari uraian terkait dengan international practice dan workflows diagram untuk
manajemen komitmen dalam SPAN Bid Document sebagaimana tersebut, di atas dapat
diidentifikasi hal-hal sebagai berikut:
a) Dalam SPAN Bid Document diperkenalkan adanya hybrid model dari centralized
dan decentralized commitment management model. Dalam model yang ada di
SPAN, Satker harus memastikan ketersediaan anggaran sebelum melakukan
perikatan. Selanjutnya, model tersebut juga mengakomodasi aktivitas pencatatan
komitment atas dasar persetujuan kontrak maupun penerbitan purchase order. Namun
demikian, model yang ada dalam SPAN juga mensyaratkan pengajuan Request for
Commitment (RFC) untuk disahkan oleh pihak treasury (DJPBN) yang selanjutnya
akan menjadi salah satu dasar pembayaran.
b) Pencatatan atas komitmen dan dampaknya terhadap ketersediaan anggaran dilakukan
baik oleh Satker maupun oleh pihak treasury, dalam hal ini DJPBN. Satker melakukan
pencatatan dan monitoring atas komitmen yang dibuat dan sisa kredit anggaran.
Namun demikian, perekaman kedalam database (sistem perbendaharaan) hanya
dilakukan oleh Treasury atas dasar pengajuan dokumen komitmen (RFC) yang valid.
c) Manajemen komitmen ditujukan tidak hanya untuk mendukung aktivitas manajemen
kas tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya disiplin anggaran dengan
memastikan adanya pencatatan dan manajemen atas batas pengeluaran (spending limit
record).
Kerangka manajemen komitmen dan kaitannya dengan modul lainnya dalam
dokumen SPAN, dan tujuan dari manajemen komitmen menurut international best
practice dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 4.11):
Subdit TPBE, DTP 136
Gambar 4.11
Kerangka Manajemen Komitmen Dan Kaitannya Dengan Modul Lainnya Dalam SPAN
Procurement
Creating RFC
RFC
Verification + Approvals (RFC and/or
SPM)
CAN
Commitment Record (RFC+CAN), Spending Limit, Record on Payables
Kontrak/PO
Acquisition and Invoice
Verify Commitment Record and
Book payables, Issue SPP
Prepare Payment Document (SPM)
SPM + CAN
Tujuan yang berkaitan dengan monitoring atasuncommitted budget balance [Fitur dari centralized commitment management]
Tujuan yang berkaitan dengan pencatatan akuntansi (payables) dan perencanaan kas [Fitur dari de‐centralized commitment management
SP2D
Retrieve Cash
Forecasting Record
Cash Forecasting Record
Subdit TPBE, DTP 137
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 4.11, terdapat dual purpose yang menjadi
visi dari penerapan komitmen manajemen, yaitu yang berkaitan monitoring
uncommitted budget balance dan cash forecasting. Tujuan yang pertama, akan dicapai
melalui updating Pagu Pengeluaran (spending limit) atas dasar dokumen RFC yang
dibuat berdasarkan perkiatan (kontrak/PO). Namun demikian tidak disebutkan secara
jelas data apa yang digunakan sebagai dasar cash forecasting dan kapan data tersebut
disampaikan ke KPPN.
5. Rekomendasi Dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
Dengan Satker Terkait Manajemen Komitmen
Kompleksitas orientasi dan kerangka manajemen komitmen dalam SPAN serta
perlunya dukungan landasan hukum yang memadai untuk penerapan yang efektif
memunculkan beberapa isu yang patut menjadi perhatian.
a) Establishment of Commitment
Manajemen komitmen menghendaki adanya pencatatan dan pelaporan
berkaitan dengan perikatan (see SPAN Bid Document; Radev & Khemani, 2007).
Oleh karena itu, penentuan critical event untuk mengakui terjadinya komitmen
dan mencatatnya ke dalam sistem informasi perbendaharaan sebagai bagian dari
manajemen sistem informasi atas pagu DIPA menjadi sangat penting. Misalnya,
apakah komitmen dicatat dan di akui pada saat penandatanganan kontrak/
penerbitan purchase order atau pada saat tagihan (invoice) diterima. Termasuk
pula penentuan kapan payables (hutang) sebagai akibat dari perikatan harus
dicatat dalam sistem akuntansi. Pencatatan hutang berguna sebagai salah satu
input bagi manajemen kas, terutama untuk jangka pendek. Penentuan critical
event dalam rangka manajemen komitmen ditentukan pula oleh kategori/jenis
pengeluarannya (specific/ continuous commitment). Oleh karena itu diperlukan
inventarisasi dan pemahaman atas jenis pengeluaran (category of expenditure)
yang ada dalam APBN.
• Penentuan critical event untuk pengakuan komitmen. • Penentuan saat pengakuan dan pencatatan sebagai payables • Penentuan source document untuk mencatat komitment ke dalam sistem • Apakah commitment dicatat pada specific account (MAK tertentu) atau cukup
dengan penambahan kode yang mengindikasikan stages tertentu (commitment) pada struktur Bagan Akun Standar?
Subdit TPBE, DTP 138
Merujuk pada definisi komitmen dalam istilah akuntansi, komitmen diakui
pada pada saat kontrak atau perjanjian yang mengikat (a legally binding agreement)
dalam rangka pengadaan barang dan/atau jasa dibuat (OECD, 2001). Namun
demikian dalam pendekatan penganggaran (budgetary sense), komitmen akan
disertai/menjadi kewajiban (liability) yang sesungguhnya hanya setelah dilakukan
serah terima barang dan/jasa yang menjadi objek perikatan (World Bank, 2007;
OECD, 2001). Definisi menurut pendekatan penganggaran ini cenderung tidak
memberikan rekomendasi untuk mengakui komitmen sebagai hutang (liability)
hanya atas dasar pembuatan kontrak. Dengan kata lain, sebagaimana yang
digunakan dalam praktek penganggaran dan manajemen di Amerika Serikat,
komitmen lebih sebagai “administrative reservation of allotted funds in anticipation
of an obligation” (FSIO, 2009).
Kerangka manajemen komitmen menurut SPAN dapat mengakomodasi baik
pendekatan akuntansi maupun pendekatan penganggaran (budgetary sense)
sebagaimana tersebut di atas Namun demikian, dalam dokumen SPAN tidak
dijelaskan kapan data untuk keperluan cash. forecasting dihasilkan untuk kemudian
diintegrasikan kedalam sistem informasi perbendaharaan.
Dalam rangka penerapan pendekatan penganggaran, komitmen diakui pada
saat penandatanganan kontrak dan dicatat ke dalam sistem informasi
perbendaharaan. Namun demikian, sifat pencatatan bukanlah pencatatan akuntansi
dalam bentuk hutang (liability/ payable). Pencatatan yang dilakukan lebih ditujukan
untuk menginformasikan bahwa sebagian dari pagu anggaran telah terikat pada
kontrak tertentu dan menjadi “committed budget balance”. Terkait dengan data
untuk keperluan cash forecasting, dalam bentuk arus kas yang menyertai pelunasan
sebuah komitmen, pada prinsipnya dapat didasarkan atas catatan dari komitmen
yang telah menjadi hutang (liabilities).
Terdapat beberapa alternative untuk pengakuan liabilities yaitu berdasarkan
kontrak, berdasarkan tagihan yang valid /penerbitan SPP, dan berdasarkan penerbitan
SPM. Berikut adalah analisis atas penerapan masing-masing opsi penyampaian data
untuk keperluan forward cash planning:
1) Berdasarkan kontrak pada penyampaian dokumen RFC:
Subdit TPBE, DTP 139
- Kelebihan:
tersedianya waktu yang lebih cukup bagi institusi perbendaharaan untuk
merencanakan kas sesuai dengan pelunasan komitmen (angsuran).
- Kekurangan:
Tidak dapat ditentukan kapan tagihan akan diajukan oleh pihak ke-tiga
berdasarkan prestasi kerja, terutama yang berkaitan dengan kontrak yang
bersifat volume based.
Unsur kewajiban untuk membayar tagihan dapat gugur apabila prestasi
pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak (invalid invoice).
2) Berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan dan Tagihan Pihak ke-3 yang
benar/SPP (semi-valid invoice )
- Kelebihan:
Unsur kepastian tagihan lebih terjamin karena telah melalui proses verifikasi
dalam acquisition (serah terima barang) dan verifikasi awal atas invoice oleh
Pejabat Pembuat Komitmen dalam rangka penerbitan SPM.
Waktu yang mencukupi bagi treasury untuk mempersiapkan ketersediaan kas
sesuai dengan pelunasan tagihan yang diajukan.
Starting point yang cukup ideal untuk menghitung cycle time (waktu yang
diperlukan) atas business process pelaksanaan tugas kebendaharaan di Satker
- Kekurangan
Tagihan dapat saja tidak disetujui oleh Penguji SPM karena unsur verifikasi
awal dalam rangka penerbitan SPP bisa saja tidak memadai/ tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Mekanisme yang ada kurang cukup member insentif bagi Satker untuk
menyampaikan data terkait dengan diterimanya tagihan yang lengkap oleh
PPK. Peluang terjadinya kolusi antara PPK dan Penguji SPM terkait dengan
waktu penerimaan tagihan dan penerbitan SPM.
3) Berdasarkan Surat Perintah Membayar
- Kelebihan:
Unsur kepastian validitas tagihan lebih tinggi karena sudah melalui proses
internal control yang lebih lengkap di Satker
- Kekurangan:
Subdit TPBE, DTP 140
Horison waktu yang sangat pendek dan kurang ideal untuk keperluan
perencanaan kas.
Catatan: Pembahasan alternative tersebut di atas juga merujuk pada
model/alternatif pencatatan komitmen sebagai payables. Misalnya, dalam respond
atas technical requirement SPAN, payables akan dicatat menggunakan Oracle
Payables pada saat SPM diterima di KPPN.
Dengan merujuk pada praktek internasional, hutang (liabilities) akan diakui
setelah terjadi pemenuhan komitmen dalam bentuk serah terima barang dan jasa.
Pencatatan hutang (payables) akan cukup ideal jika dilakukan berdasarkan
diterimanya tagihan yang valid (diterbitkannya SPP) sesuai dengan telaah atas
kelebihan dan kekurangan untuk masing-masing alternatif sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Diharapkan unsur kepastian/validitas tagihan akan lebih
terjamin, dan memberi horizon waktu yang mencukupi bagi treasury untuk
menggunakan data terkait payables untuk perencanaan kas. Kerangka usulan secara
lebih detail adalah sebagaimana terlihat baik pada Gambar Alternatif 1 maupun
Alternatif 2.
Pada prinsipnya, pencatatan komitmen yang ideal mengharuskan adanya
sistem akuntansi berbasis akrual. Pencapaian fungsi dan tujuan dari manajemen
komitmen yang berhubungan dengan disiplin anggaran (monitoring spending limit)
dan penyempurnaan manajemen kas harus didukung dengan mekanisme akuntansi
dan pelaporan yang ideal. Hal tersebut selanjutnya mempersyaratkan adanya suatu
chart of account yang merefleksikan stages dalam siklus pengeluaran (expenditure
cycle). Sistem akuntansi yang ada pada saat ini sudah mengarah pada full accrual
accounting. Namun demikian, sampai saat ini belum ada mekanisme pencatatan untuk
mengakui perikatan, dan hanya mengakui alokasi anggaran (appropriation dan
allotment) dan pembayaran (realisasi).
Pendekatan yang dianggap paling efektif untuk mencatat pengakuan komitmen
ini adalah dengan memberikan kode yang menggambarkan stages (tahapan) tertentu
dalam siklus anggaran. Kerangka pengakuan stages (tahapan) dalam siklus anggaran
menurut kerangka Bagan Akun Standar yang sedang dikembangkan saat ini adalah
sebagai berikut:
Subdit TPBE, DTP 141
Terkait dengan penggunaan data hutang sebagai alat perencanaan kas, agar
pelaksanaanya dapat berjalan efektif, terdapat beberapa kondisi yang harus disiapkan.
• Harus diberikan Account khusus (tertentu) untuk mengakui hutang (atas pemenuhan
komitmen/kriteria tertentu dari sebuah komitmen). Account tersebut dapat diberikan
untuk masing-masing akun, masing-masing jenis belanja, maupun satu akun tertntu
untuk mengakui aggregate liabilities yang berkaitan dengan pengakuan komitmen.
Misalnya pada saat ini akun utang yang berkaitan dengan komitmen terkait transfer
dan subsidi diberikan kode akun tersendiri (Kode Akun 211221 : Belanja dana
perimbangan yang masih harus dibayar, kode akun 211611 : utang subsidi).
• Harus mulai dikembangkan cycle time untuk proses bisnis terkait komitmen. Berikut
pada Gambar 4.12 ditunjukkan simulasi atas contoh cycle time untuk keperluan
analisis.
Gambar 4.12
Simulasi Cycle Time Untuk Proses Bisnis Terkait Manajemen Komitmen
Stages Code
APBN --- DIPA Rv.
DIPA
Komitmen Rv.
Komitmen
Revenue --- Expenditure ---
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sakter Fund Fungsi Sub
Fungsi
Program Aktivitas Sub.
Aktivitas
Klasifikasi
Ekonomi
Stages
Code
Account
--- --- --- --- --- --- --- --- 01 ---
Serah terima B/J
Invoice SPP SPM KPPN
Bank 3 hari 3 hari 3 hari 2 hari Hari H
Book payable
Subdit TPBE, DTP 142
Manfaat dari cycle time diantaranya adalah dapat digunakan sebagai alat
monitoring atas pelaksanaan tugas kebendaharaan di Satker, sehingga dapat
meningkatkan transparansi dan internal control yang lebih efektif. Data payables
juga dapat digunakan untuk keperluan perencanaan kas yang lebih valid. Misalnya,
apabila ditentukan SPM harus di sampaikan 5 hari sejak penerbitan SPP dan
pencatatan payables. Satker harus melakukan pencatatan payables segera setelah
diketahui kebenaran dan kelengkapan tagihan. KPPN hanya akan melakukan
pembayaran/ menerbitkan SP2D apabila terdapat data payables atas pemenuhan dari
komitmen yang dimintakan tagihan. Hal tersebut diusulkan terutama untuk menjadi
insentif dan mengoptimalkan peran Satker dalam pengelolaan keuangan negara
secara keseluruhan. Di sisi lain, pengelolaan keuangan negara akan lebih transparan
baik bagi masing-masing pejabat perbendaharaan di Satker maupun bagi
Perbendaharaan. KPPN hanya akan menerbitkan SP2D pada hari tersebut (5 hari
kerja sejak pencatatan payables). Apabila tidak diterima SPM pada hari tersebut,
payables dapat dihapus (write-off) dan Satker harus melakukan pencatatan ulang
payables.
Metode ini dapat berjalan dengan baik apabila pengujian awal yang menjadi
dasar penerbitan SPP cenderung valid. Harus dilakukan identifikasi dan assessment
atas kinerja Satker, dan peningkatan sosialisasi apabila diperlukan. Metode
penggunaan data payables yang dicatat berdasarkan invoice sebagai salah satu input
bagi perencanaan kas dijalankan dengan cukup efektif dalam rangka penyaluran dana
Anggaran di Australia. Di Australia, valid invoice yang dicatat sebagai payable dan
disampaikan ke institusi treasuri dibayarkan pada hari ke-30 sejak diregistrasinya
data payables dan tagihan tersebut. Visualisasi yang berkaitan dengan pengajuan
RFC, updating spending limit, pencatatan payables, dan data forcasting dapat dilihat
baik pada gambar alternatif 1 maupun pada gambar alternatif 2.
b) Registration of Commitment
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, manajemen komitmen yang ideal (yang
merupakan fitur utama dari manajemen komitmen) mensyaratkan pencatatan
informasi yang berkaitan dengan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan dalam
rangka penerapan disiplin anggaran dan perencanaan kas. Di dalam dokumen SPAN,
tidak jelas disebutkan/digambarkan (i) pihak (Satker atau Perbendaharaan) yang
Subdit TPBE, DTP 143
harus pertama kali mencatat (first/ever single entry point) data terkait komitmen (ii)
pihak yang akan meregistrasi informasi terkait dengan komitmen ke dalam data base
treasury. (iii) informasi yang harus di simpan dalam data base perbendaharaan (iv)
pihak-pihak yang dapat mengakses data komitmen yang telah diregistrasi.
Hal tersebut mensyaratkan adanya mekanisme alur dokumen dan data yang
dapat menghubungkan Satker dengan institusi perbendaharaan dalam rangka
pertukaran informasi terkait dengan pembuatan komitmen atas pagu anggaran, dan
berikut kewajiban untuk melakukan pembayaran atas dasar pemenuhan kondisi
tertentu. Mekanisme penyampaian informasi tersebut harus sederhana, transparan
dan akuntabel, didukung dengan peraturan perundangan, memanfaatkan secara
maksimal teknologi informasi yang ada, dan sedapat mungkin memiliki insentif
yang bermanfaat bagi Satker dalam pengelolaan keuangan negara. Institusi
treasury, juga idealnya harus menyimpan (store) data terkait dengan komitmen salah
satunya karena data tersebut akan digunakan kembali (retrieve) pada saat
pembayaran tagihan. Alur dokumen yang berkaitan dengan komitmen, terkait dengan
pelaksanaan fungsi-fungsi inti treasuri lainnya (manajemen DIPA, manajemen
pembayaran, manajemen kas adalah sebagai mana ditunjukkan dalam gambar berikut
(Gambar 4.13).
• Apakah Satker dan Line Ministries harus mencatat komitmen dalam database masing-
masing (terpisah dengan treasury)?
• Siapa yang meregistrasi informasi terkait dengan komitmen dalam data base treasury
(satker, line ministries, KPPN)?
• Media apa yang digunakan dalam pertukaran informasi terkait dengan komitmen
(hardcopy /Softcopy/ On-line)?
• Informasi apa saja yang harus disimpan (di-maintain) dalam database
perbendaharaan?
• Siapa saja yang dapat mengakses informasi terkait komitmen yang telah diregistrasi
(disimpan dalam data base treasury)?
Subdit TPBE, DTP 144
Gambar 4.13
Alur dokumen dan workflow proses bisnis di Satker
yang berkaitan dengan manajemen komitmen
Keterangan Gambar:
Alur dokumen terkait manajemen komitmen di Satker
Alur Komitmen
Alur Pembayaran
Alur Manajemen Kas
Alur Manajemen DIPA
Model koneksitas proses bisnis dengan Satker-- yang ditunjukkan oleh keterkaitan
aktivitas control, elemen data, mekanisme input/ output-- yang berkaitan dengan
Manajemen Komitmen adalah sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut
(gambar 4.14):
Subdit TPBE, DTP 145
Gambar 4.14
Alur data dan koneksitas proses bisnis dengan Satker
terkait Manajemen Komitmen
Subdit TPBE, DTP 146
c) Commitment Verification
Dalam dokumen SPAN, disebutkan bahwa satker mempersiapkan dan
mengajukan Request for Commitment beserta dokumen pendukungnya kepada KPPN
(p. 192) dan harus memperoleh persetujuan treasury (KPPN) sebelum commitment
dicatat kedalam database treasury (p. 226). Selanjutnya, setiap commitment (specific
commitment) yang disetujui dalam proses commitment registrasion, akan memperoleh
Commitment Application Number (CAN) yang selanjutnya akan menjadi salah satu
acuan dalam proses pembayaran (p. 215 dan p. 287).
Mekanisme tersebut di atas, secara implisit menghendaki adanya pengujian
terhadap perikatan yang dibuat oleh satker sebelum dilakukan pembayaran sebagai
akibat dari pemenuhan kondisi tertentu.
Berikut adalah informasi yang berkaitan dengan input data dan verifikasi atas
informasi yang berkaitan dengan komitmen dalam versi SPAN Bid Document.
• Bagaimana sifat pengujian RFC dalam rangka penerbitan CAN?
• Informasi apa saja yang harus terdapat dalam dokumen Request For Commitment?
• Bagaimana integrasi sifat pengujian RFC terhadap ketentuan dalam manajemen pembayaran??
Subdit TPBE, DTP 147
Sebagai bahan perbandingan, dalam penjelasan UU Perbendaharaan
disebutkan bahwa fungsi pengelola keuangan/bendaharawan umum (terkait dengan
aspek rechtmatigheid dan wetmaitgheid) yang dijalankan oleh Menteri
Keuangan/Treasury hanya “dilakukan pada saat terjadi penerimaan dan
pengeluaran”. Perlu dilakukan kajian agar sifat ruang lingkup pengujian/ verifikasi
atas dokumen RFC yang diajukan oleh Satker ke KPPN tidak bertentangan dan
didukung dengan kerangka landasan hukum yang ada. Beberapa alternatif adalah
sebagai berikut:
1) Alternatif 1: Membatasi pengajuan dokumen RFC ke KPPN hanya sebagai proses
registrasi atas data komitmen. Pengujian atas komitmen hanya akan dilakukan pada
saat penerbitan SP2D. Alternatif ini didasarkan atas penafsiaran secara konservatif
atas Penjelasan dalam UU Perbendaharaan Negara sebagaimana tersebut di atas.
Alternatif ini juga sangat mirip dengan praktek saat ini dimana verifikasi atas
komitmen dilakukan pada saat pembayaran. Kelemahannya adalah (i) resiko dari
registrasi data komitmen yang tidak valid, (2) aktivitas terkait dengan komitmen
manajemen akan cenderung hanya menjadi ekstra work baik bagi Satker maupun
bagi KPPN.
2) Alternatif 2: Alternatif ini didasarkan pada penafsiran bahwa proses yang
berkaitan/menyebabkan pengeluaran termasuk dalam kewenangan
perbendaharaan untuk melakukan pengujian pada saat terjadinya pengeluaran.
Artinya, proses pengujian validitas komitmen yang akan menimbulkan kewajiban
pengeluaran merupakan bagian dari proses pengeluaran uang dari kas negara. Pada
saat ini terdapat dua jenis pengujian yang dilakukan KPPN, yaitu pengujian
substantif dan formal. Verifikasi atas data commitment sebagaimana dalam SPAN
(BC-008) lebih bersifat pengujian substantif.
Subdit TPBE, DTP 148
Dalam alternatif 2 diusulkan pemisahan pengujian substantif dan formal dalam
proses pengeluaran kas/pembayaran tagihan. Data komitmen yang diajukan satker ke
KPPN diverifikasi secara substantif (di antaranya termasuk pengujuan dalam BC008
sebagaimana tersebut di atas). Sedangkan pengujian atas SPM lebih difokuskan pada
pengujian yang bersifat formal, termasuk didalamnya pengujian atas ke adaan reference
atas data komitmen tertentu (Commitment Application Number).
Dengan cara tersebut di atas, diharapkan data komitmen dapat lebih efektif baik
bagi monitoring data pagu maupun bagi perencanaan kas, karena melalui pengujian di
KPPN validitasnya lebih terjamin. Di samping itu, hal tersebut akan memudahkan
pelaksanaan tugas di KPPN pada saat pengajuan pembayaran (pengujian atas SPM).
Namun demikian, penerapan hal tersebut harus di dukung kepastian kesesuaian dengan
perndangan yang berlaku.
Mekanisme tersebut di atas memerlukan ketentuan yang secara eksplisit dan
terinci mengatur hal-hal yang harus tercantum dalam format dokumen RFC beserta
dokumen pendukung lainnya jika ada. Di samping itu, harus ada landasan hukum yang
secara eksplisit mengatur obyek dan sifat pengujian oleh KPPN dalam rangka
pengesahan sebuah komitmen.
Subdit TPBE, DTP 149
Gambar Alternatif 1
Alternatif (1) Pengembangan Manajemen Komitmen
Procurement
Issuance of RFC
RFC
Kontrak/PO
Registrasion of Commitment
Commitment Record (RFC+CAN),
Spending Limit,
Record on Payables,
Cash forecasting/ balance record based on payables
SP2D CAN
Updating Commitment
Commitment verification on
item as described in
BC008
CAN
Verification of Commitment
Record
Prepare Payment Document (SPM)
SPM + CAN
Issue SPP, Book payables
Acquisiton n Invoice
Document
Subdit TPBE, DTP 150
Gambar Alternatif 2
Alternatif (2) Pengembangan Manajemen Komitmen
Procurement
Issuance of RFC
RFC
Kontrak/PO
Commitmetn Verification (RFC/ BC008)
Commitment Record (RFC+CAN),
Spending Limit,
Record on Payables,
Cash forecasting/ balance record based on payables
SP2D CAN
Registrasi of Commitment
Check CAN
Availability
CAN
Update
Commitmen
Verification of Commitment
Record
Prepare Payment Document (SPM)
SPM + CAN
Issue SPP, Book payables
Acquisiton n Invoice
Document
Subdit TPBE, DTP 151
D. Manajemen Pembayaran
1. International Best Practice terkait Manajemen Pembayaran Dalam Treasury Diagnostic Toolkit (Hasim & Moon, 2004), terdapat 2 (dua)
model terkait dalam Pencairan Anggaran, yaitu: (1) sentralisasi manajemen
pembayaran dan (2) desentralisasi manajemen pembayaran. Sentralisasi pembayaran
melalui Treasury memungkinkan dilakukannya pengecekan oleh Treasury untuk
memastikan bahwa pembayaran yang dilakukan telah sesuai dengan budget
appropriations. Konsolidasi Satker bank accounts ke dalam TSA di bawah kendali
treasury, memungkinkan efficient cash management dan menghindarkan suatu situasi
dimana di satu sisi terdapat banyak idle cash di Satker bank accounts dan di sisi lain
rekening BUN secara agregat mengalami defisit.
Struktur organisasi yang diperlukan dalam rangka sentralisasi pelaksanaan
pencairan anggaran terdiri dari main treasury office di kantor pusat, second tier
treasury offices di tingkat propinsi dan (kemungkinan) third tier offices yang berada
di setiap kabupaten/district. K/L memproses transaksi pembayaran mereka di central
level treasury office, sedangkan Satker memproses transaksi pembayarannya di kantor
komitmen” tidak secara tegas disebutkan dan/atau identik dengan kewenangan pejabat
tersebut untuk mengajukan Surat Permintaan Pembayaran. Oleh karena itu, apabila
ruang lingkup tugas kebendaharaan bendahara pengeluaran tidak terbatas pada uang
persediaan dan/atau uang yang ada di rekening bendahara pengeluaran, maka idealnya
semua Surat Permintaan Pembayaran (SPP) diajukan oleh bendahara pengeluaran.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hanya bertanggung jawab atas dibuatnya perikatan/
kontrak/ komitmen dengan pihak yang akan menerima pembayaran. Gambar 4.37
mengilustrasikan proses bisnis di Satker sebagaimana dalam Alternatif 2a tersebut di
atas.
Subdit TPBE, DTP 203
Gambar 4.37
Alternatif (2a) Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait Kewenangan Bendahara
Alternatif 2b
Mempertegas bahwa kewenangan PPK untuk menerbitkan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP) sebagai implementasi kewenangan PA/KPA untuk “melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja”
Ketentuan dalam PMK 73/PMK.05/2008 menentukan kewenangan PPK secara
luas untuk menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) baik melalui mekanisme
LS ataupun UP. Alternatif yang sejalan dengan kerangka kewenangan PPK tersebut
adalah dengan mempertegas kewenangan PPK untuk menerbitkan SPP baik LS maupun
UP. Namun demikian, untuk tetap dapat menjalankan kewenangan bendahara secara
utuh (selaku pemegang fungsi pembayaran dan kewenangan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 10 dan Penjelasan UU Perbendaharaan Negara), maka seluruh permintaan
pembayaran dari Pejabat Penerbit SPM harus disampaikan untuk diketahui bendahara
Subdit TPBE, DTP 204
sebelum disampaikan ke KPPN. Untuk pembayaran melalui mekanisme UP, maka SPP
UP dan/atau GUP berlaku sebagai dokumen resmi dari KPA untuk melakukan
pembayaran dengan menggunakan Uang Persediaan (merujuk pada ketentuan dalam
Pasal 9 ayat 1 PMK 73/PMK.05/2008). SPM-SPM tersebut di atas, baik LS dan/atau
UP yang diterima oleh Bendahara dari Pejabat Penerbit SPM merupakan dasar
Bendahara untuk melakukan pembukuan pada Laporan Keuangan UAKPA (merujuk
ketentuan dalam pasal 15 ayat 4 dan 5 dalam PMK 73/PMK.05/2008). Dari sub ledger
cash laporan tersebut, bendahara akan menyusun Laporan Pertanggungjawaban
pelaksanaan kewenangan fungsi pembayaran atas dana yang dikuasakan kepada Kuasa
PA. Gambar 4.38 mengilustrasikan proses bisnis di Satker sebagaimana dalam
Alternatif 2b tersebut di atas.
Gambar 4.38
Alternatif (2b) Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait Kewenangan Bendahara
Kuasa PenggunaAnggaran
PejabatPembuat
Komitmen (PPK)
PejabatPenandatanganSPM (PPSPM)
Bendahara
SPP-UP & GUP
SPP UP & GUP
Pihak ke-3
BuktiPembayaran
(UP)
Kontrak & Invoice
(LS)
KPPN
Ordonateur
Comptabel
SPM
Unit AkuntansiKuasa
PenggunaAnggaran(UAKPA)
SPM
SPP-LS
Pelaksanaan atas pilihan alternatif-alternatif idealnya memperhatikan pengembangan
struktur rekening yang berkaitan dengan rekening bendahara pengeluaran.
Subdit TPBE, DTP 205
G. MANAJEMEN KAS
1. Tujuan dan Fungsi
Manajemen kas pada dasarnya adalah serangkaian proses yang dijalankan
sebuah entitas organisasi untuk memperoleh kemanfaatan yang maksimal dari arus
kas (ANAO, 1999). Williams (2004) mendifinisikan manajemen kas sebagai ”… the
strategy and associated process for managing cost-effectively government’s short-
term cash flows and cash balances, both within government, and between government
and other sectors”. Pengertian tersebut menekankan pentingnya proses bisnis yang
secara rutin dijalankan dalam manajemen kas di samping hal-hal yang berkaitan
dengan alternatif kebijakan.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, tujuan manajemen kas setidaknya
meliputi pengendalian atas total pengeluaran (aggregate spending), implementasi
anggaran yang efisien, meminimalkan biaya berkaitan dengan pinjaman,
memaksimalkan hasil dari kelebihan kas. Untuk pelaksanaan anggaran yang efisien,
pemerintah harus memastikan bahwa tagihan dan penerimaan dapat dibayarkan dan
diterima tepat waktu. Untuk dapat melaksanakan pembayaran yang tepat waktu,
idealnya terdapat mekanisme untuk mengetahui arus kas yang dibutuhkan pada saat
pembayaran jatuh tempo (World Bank, 2007).
Berkaitan dengan penyempurnaan koneksitas proses bisnis manajemen kas di
Satker, maka peran Satker dalam hal perencanaan kas sangatlah penting. Dalam
Modernizing Cash Management (Lienert, 2009), disebutkan bahwa manajemen kas
yang efektif memerlukan perencanaan arus kas jangka pendek yang akurat dan tepat
waktu. Aktifitas perencanaan dan proyeksi kas ini, diantaranya meliputi pertukaran
informasi antara Kementrian Keuangan dengan kementrian teknis di tingkat
operasional. Institusi treasury idealnya dapat memperoleh informasi dari agency
(Satker) selaku entitas yang melakukan transaksi termasuk di dalamnya perikatan/
komitmen serta proyeksi kas yang dibutuhkan untuk melunasinya (p.9).
Peran dan tanggung jawab Satker dalam manajemen kas diantaranya
dipengaruhi oleh model sistem perbendaharaan dan mekanisme pembayaran dalam
rangka pelaksanaan anggaran di suatu negara. Sedangkan mekanisme yang ditempuh
institusi perbendaharaan untuk menjamin ketersediaan kas pada saat pembayaran
Subdit TPBE, DTP 206
jatuh tempo dipengaruhi pula oleh struktur rekening pemerintah di mana uang negara
ditempatkan.
2. International Best Practice terkait Manajemen Kas
Sebagai acuan best practices terkait dengan peran dan tanggung jawab Satker
dalam manajemen kas, berikut adalah tinjauan atas pelaksanaan manajemen kas di
Spending Agency (Satker) di Perancis dan Australia. Model yang ada di kedua negara
tersebut, selain sudah cukup maju juga dapat mewakili dua model utama dalam sistem
perbendaharaan. Sistem treasury di Perancis pada dasarnya bersifat ter-sentralisasi
sedangkan sistem treasury di Australia lebih ter-desentralisasi. Manajemen kas di
Satker yang diterapkan di masing-masing negara sangat berlawanan.
Kas pemerintah Perancis terdiri dari saldo atas transaksi keuangan yang
dilakukan oleh public accountants yang masing-masing bertanggung jawab atas satu
atau beberapa rekening operasional. Rekening operasional public accountant
merupakan sub-akun dari rekening utama AFT di Bank Sentral (la Banque de France)
yang melakukan sentralisasi transaksi secara real time. Atas dasar informasi tentang
pola cash flow dan pemberitahuan atas transaksi, AFT melakukan:
a) menentukan jumlah penerbitan Treasury Bills
b) menentukan proporsi dari kas yang ditempatkan di TSA untuk keperluan
manajemen kas pemerintah pusat
c) menginvestasikan kelebihan kas (Lienert & Chailloux, 2009)
Di Perancis, kewenangan COO dilakukan oleh Satker atau disebut Authorising
Officer, sedangkan CFO secara penuh dilakukan oleh Departemen Keuangan yang
dalam hal ini diwakili oleh Public Accountants yang ditempatkan di masing-masing
Satker. Institusi perbendaharaan, Agence France Tresor (AFT), bertanggung jawab
terutama menangani manajemen hutang dan perbendaharaan.
Authorising Officer memiliki wewenang untuk membuat komitmen,
memverifikasi barang, membuat invoices dan claims, dan membuat payment order.
Pemisahan jabatan dilakukan untuk tiap wewenang diatas yang bertujuan sebagai
mekanisme check and balance. Jika melihat wewenang dari Authorising Officer
diatas, di Indonesia Authorising Officer dapat di analogikan sebagai KPA.
Subdit TPBE, DTP 207
Public Accountant merupakan staf Departemen Keuangan yang secara
fungsional berada dibawah General Directorate of Public Accounting yang
berkedudukan di Satker dan bertugas untuk melakukan kontrol (regulatory control)
terhadap payment order yang dibuat oleh Authorising Officer. Public Accountant
memiliki kewenangan untuk menolak payment order yang diajukan oleh Authorising
Officer. Public Accountant bertanggung jawab untuk menyalurkan pembayaran
melalui TSA atau melalui rekening Satker di Treasury. Dalam hal ini Authorising
Officer tidak memiliki rekening sendiri. Public Accountant juga bertugas untuk
membuat Laporan Keuangan Tahunan Satker. Laporan Keuangan tersebut di sahkan
oleh Authorising Officer sebelum disampaikan kepada Court of Accounts untuk
dilakukan audit.
Selain Authorising Officer dan Public Accountant terdapat pula pejabat
perbendaharaan yang disebut Official Controller. Official Controller merupakan staf
Departemen Keuangan yang berada di Satker yang memiliki fungsi untuk melakukan
kontrol berupa regulatory control terhadap perikatan/komitmen atau keputusan lain
yang akan mengakibatkan pengeluaran yang dibuat oleh Authorising Officer apakah
telah sesuai dengan appropriation yang diberikan. (Sigma, 2001; Lienert &
Chailloux, 2009).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Public Accountant
melakukan fungsi manajemen kas dan accounting di Satker sedangkan Official
Controller melakukan fungsi kontrol terhadap anggaran. Kedua pejabat tersebut
menyampaikan pertanggungjawaban kepada kementrian Keuangan bukan kepada
Authorising Officer di Satker. Berikut ini dalam gambar 4.39 ditunjukan struktur dan
kelembagaan Satker di Perancis dalam penyelenggaraan keuangan negara.
Subdit TPBE, DTP 208
Gambar 4.39
Struktur kelembagaan dan Pelaksanaan Anggaran
di Satker (Perancis)
Subdit TPBE, DTP 209
Model manajemen kas di Satuan Kerja di Australia sejalan dengan sistem
perbendaharaan Australia yang ter-desentralisasi. Tugas-tugas terkait dengan
penyelenggaraan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan anggaran dijalankan
oleh Accountable Officers, yaitu Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial
Officer (CFO), yang ada di masing-masing Agency (Satker). Chief Executive Officer
(CEO) memiliki kewenangan dan tanggung jawab khusus terkait dengan pengelolaan
dan pembayaran atas beban anggaran negara, meliputi:
a) menangani, membayar dan mencatat uang negara dalam rangka pelaksanaan
anggaran;
b) membuat perikatan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran;
c) membuat kebijakan dan praktek pengelolaan keuangan sesuai dengan kebutuhan
Satuan Kerja.
Dengan demikian, manajemen kas dan perbankan merupakan salah satu
tanggung jawab utama yang dijalankan di tingkat Agency. Sejak tahun 1999, Agency
diwajibkan dan bertanggungjawab untuk:
a) membuka dan mengatur rekening di bank dalam rangka pelaksanaan anggaran;
b) memenuhi biaya-biaya yang ditimbulkan dari rekening bank milik Agency;
c) manajemen atas dana yang diterima sebagai bagian dari anggaran (negara);
d) menerima dan membayar bunga (bank) berdasarkan saldo kas untuk masing-
masing departemen.
Kewenangan yang dimiliki oleh CEO tersebut di atas dapat didelegasikan
kepada staf di lingkungan Agency yang bersangkutan. Pada prakteknya, kewenangan
yang terkait manajemen kas dijalankan oleh Chief Financial Officer (CFO). Chief
Financial Officer (CFO) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas strategi dan
operasional atas perencanaan dan manajemen keuangan Agency. Dalam melaksanakan
tugasnya, CFO idealnya memiliki akses secara langsung terhadap CEO sehingga dapat
menjalankan advisory role bagi CEO. CFO tidak hanya bertanggung untuk
terlaksananya kerangka manajemen keuangan yang memadai dan melaksanakan
tanggung jawab atas manajemen keuangan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
CFO juga bertanggungjawab atas atas pelaporan terkait dengan penggunaan sumber
daya keuangan (Auditor General Victoria, 2005).
Subdit TPBE, DTP 210
Elemen utama dari manajemen kas yang dilaksanakan di tingkat Agency
meliputi:
a) menyusun anggaran yang terintegrasi meliputi kegiatan operasional, belanja
modal dan rencana penerimaan dan pengeluaran secara periodik untuk jangka
waktu 12 bulan;
b) melakukan review dan perbaikan secara rutin terhadap perencanaan arus kas,
termasuk penjelasan atas realisasi yang tidak sesuai rencana;
c) memahami pattern dari arus kas untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang
mempengaruhinya, termasuk komponen yang bersifat musiman atau periodik,
sehingga dapat dihasilkan perencanaan kas dengan fleksibilitas yang maksimal.
Institusi treasury di tingkat pusat (Commonwealth treasury)
bertanggungjawab akan ketersediaan kas pada saat dibutuhkan melalui aktivitas
terkait dengan pengelolaan hutang dan pinjaman. Dalam rangka memenuhi tanggung
jawabnya tersebut, treasury diantaranya melakukan:
a) perencanaan (forecast) penerimaan dan pengeluaran harian untuk jangka waktu
satu tahun guna mengetahui tingkat kebutuhan kas harian;
b) memperkirakan saldo kas terendah dalam periode satu minggu (ke-depan) untuk
mendukung keputusan pembuatan pinjaman jangka pendek apabila diperlukan;
Dalam kerangka tanggungjawab penyelenggaraan keuangan negara yang ter-
desentralisasi ini, manajemen kas di Agency menjadi bagian integral dari manajemen
kas institusi treasury. Termasuk diantaranya adalah penerapan aturan terkait jangka
waktu pelunasan invoice, pemilihan mekanisme pembayaran dan metode penarikan
dari dan penyediaan kas melalui rekening ”overdraft” account yand ada di Reserve
Bank of Australia (RBA). Terlebih lagi, kinerja Commonwealth Treasury sangat
ditentukan oleh informasi yang diperoleh dari Agency untuk melengkapi perencanaan
kas.
Mekanisme information-sharing dijalankan dengan mewajibkan Agency untuk
menyampaikan kepada treasury perkiraan penerimaan dan penarikan dana (draw-
down pattern schedule) pada hari Senin untuk jangka waktu sampai dengan hari Rabu
pada minggu berikutnya. Perkiraan tersebut merupakan salah satu dasar untuk
menentukan keputusan perlu atau tidaknya melakukan pinjaman untuk memenuhi
kebutuhan kas. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mendukung Commonwealth
Subdit TPBE, DTP 211
Treasury untuk meminimalisasi biaya pinjaman (net cost of borrowing). Biaya
pinjaman merupakan selisih antara bunga pinjaman dengan remunerasi dari saldo
positif yang ada di rekening treasury di Reserve Bank of Australia (ANAO, 1999).
Merujuk pada istilah yang digunakan Ian Lienert dalam Modernsing Cash
Management (Lienert, 2009), model manajemen kas yang ada di Australia merupakan
two-tier cash management system. Pada sistem tersebut, spending agency tidak hanya
bertanggung jawab atas otorisasi pengeluaran dan internal control, tetapi juga
bertanggung jawab atas manajemen internal kas. Meskipun transaksi keuangan
dilakukan melalui rekening Agency, saldo rekening tersebut pada akhir hari akan
dilimpahkan ke rekening TSA di RBA. Dengan kata lain, terdapat dua level
manajemen kas; yaitu di tingkat Agency dan manajemen kas terkonsolidasi di tingkat
pusat (federal).
Dari pembahasan komparatif atas model manajemen kas di Perancis dan di
Australia, dapat disimpulkan bahwa peran Satker sangatlah krusial untuk manajemen
kas yang efektif. Beberapa fitur dari kedua model tersebut yang patut mendapat
perhatian untuk pengembangan manajemen kas diantaranya meliputi pentingnya
pemahaman atas pola arus kas di masing-masing Satker dan mekanisme information
sharing antara Kementrian Keuangan dengan Satuan Kerja tentang proyeksi
penerimaan dan pengeluaran untuk jangka waktu tertentu.
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Kas
Paket undang-undang keuangan negara merupakan kerangka konseptual yang
komprehensif dalam rangka penyelenggaraan keuangan negara yang ekonomis,
terbuka, bertanggung jawab dan berorientasi dalam hasil. Salah satu pilar utama
dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara yang ideal tersebut
adalah pengelolaan kas yang merupakan bagian dari lingkup perbendaharaan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU No. 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara. Terkait dengan dengan pengelolaan kas tersebut, Menteri
Keuangan dalam kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara (BUN) adalah
Chief Financial Officer yang berperan selaku pengelola fiskal dan manajer keuangan
dalam arti yang sesungguhnya. Selaku BUN Menteri Keuangan berwenang menunjuk
pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
Subdit TPBE, DTP 212
dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang ditetapkan (PP 39
tahun 2007). Di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 218/PMK.05/2007, telah
ditentukan kewenangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat
Pengelolaan Kas Negara selaku Kuasa BUN Pusat dan KPPN selaku Kuasa BUN
Daerah (Pasal 1). Kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan Selaku
Bendahara Umum Negara atau Kuasa BUN Pusat yang terkait dengan pengelolaan
kas setidaknya meliputi:
a) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
b) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran
negara;
c) menyimpan uang negara (Pasal 7 UU No. 1 th 2004);
d) membuat perencanaan (arus) kas;
e) menetapkan saldo kas minimal;
f) menentukan strategi untuk mengatasi kekurangan kas dan memanfaatkan
kelebihan kas;
g) memastikan ketersediaan kas guna memenuhi kewajiban pembayaran.
Dalam hal koneksitas proses bisnis dengan Satker, upaya untuk membangun
manajemen dan perencanaan kas yang baik dilaksanakan tidak hanya menjelang saat
pelaksanaan pembayaran, tapi juga telah dimulai sejak prosess allotment anggaran
(penerbitan DIPA). Sebagaimana diamanatkan dalam UU Perbendaharaan Negara,
dokumen pelaksanaan anggaran memuat ”rencana penarikan dana tiap-tiap satuan
kerja, serta pendapatan yang diperkirakan” (Pasal 14 ayat 3). Tujuan dari
pencantuman rencana penarikan dana adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
manajemen kas pemerintah melalui optimalisasi fungsi DIPA (PMK 105/).
Untuk mendukung fungsi manajemen kas tersebut, telah di-inisiasi mekanisme
penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting) Satuan
Kerja sesuai dengan SE Dirjen Perbendaharaan No. SE-02/PB/2006 tanggal 6 Januari
2006. Terkait dengan hal tersebut, secara khusus telah diinstruksikan pula kepada
Satuan Kerja untuk menyampaikan Laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja
Kementrian Negara/ Lembaga pada akhir tahun 2008 melalui SE-38/PB/2008 tanggal
9 Oktober 2008.
Subdit TPBE, DTP 213
Di samping itu, sejak bulan Maret 2009, telah diterapkan mekanisme treasury
notional pooling pada rekening bendahara pengeluaran secara bertahap. Treasury
Notional Pooling merupakan sistem untuk mengetahui saldo rekening bendahara
pengeluaran di Kantor Cabang Bank Umum setelah di konsolidasikan tanpa harus
melakukan perpindahan dana antar rekening. Dengan penerapan mekanisme ini, Uang
Negara yang berada pada rekening bendahara pengeluaran mendapatkan remunerasi.
Sebelumnya, uang negara yang ada pada rekening bendahara pengeluaran menerima
jasa giro yang harus di setor ke rekening kas negara oleh bendahara pengeluaran.
Secara internal, manajemen pengelolaan kas di Ditjen Perbendaharaan
khususnya di KPPN juga dijalankan dalam kaitan pelaksanaan Treasury Single
Account. Sebagaimana diatur dalam SE-12/PB/2009, dalam rangka menjamin
ketersediaan dana dalam Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara
Pusat (RPK-BUN-P) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) diwajibkan
mengajukan Permintaan Kebutuhan Dana ke Direktorat Pengelolaan Kas Negara.
Mekanisme penyampaian Permintaan Kebutuhan Dana tersebut pada dasarnya
merupakan antisipasi dari jumlah kas yang dibutuhkan untuk membayar tagihan pada
tanggal tertentu berdasarkan nilai SP2D yang diterbitkan (pada esok hari dan hari
yang bersangkutan).
Atas dasar pembahasan international practice dan review perundangan
sebagai mana tersebut di atas, praktek manajemen kas di Indonesia menunjukkan
adanya sebuah hybrid model. Dalam hal kerangka organisasi dan distribusi
kewenangan dalam penyelenggaraan keuangan negara, maka manajemen kas di
Indonesia lebih cenderung pada system ter-sentralisasi sebagaimana di terapkan di
Perancis. Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum negara merupakan
satu-satunya institusi yang secara eksplisit bertanggung jawab atas pencapaian tujuan-
tujuan dari manajemen kas yang dilakukan secara tersentralisasi. Penerapan
mekanisme TSA dan penyediaan dana di RPK-BUNP (sesuai SE-12/PB/2009)
menunjukkan peran sentral Ditjen Perbendaharaan dalam manajemen kas.
Namun demikian, dalam hal yang bersifat operasional terdapat pula beberapa
fitur yang identik dengan praktek yang dilaksanakan di Australia. Walaupun Satker
tidak memiliki tanggung jawab terkait dengan perencanaan kas, Satker pada saat ini
terlibat dalam aktivitas perencanaan kas. Selain penyusunan rencana penarikan dana
Subdit TPBE, DTP 214
yang bersifat tahunan (halaman 3 DIPA), mekanisme penyampaian informasi untuk
perencanaan kas yang diinstruksikan SE-02/PB/2006 dan SE-38/PB/3008 identik
dengan penyampaian draw-down pattern schedule yang diwajibkan kepada seluruh
Spending Agency di Australia setiap minggunya.
Dalam prakteknya di Indonesia, ketiadaan kerangka konseptual atas tanggung
jawab Satker terkait dengan manajemen kas berkontribusi kepada tidak efektifnya
mekanisme information sharing antara Satker dengan Ditjen Perbendaharaan untuk
keperluan perencanaan kas. Sebagaimana diketahui, peran serta Satker untuk
perencanaan kas melalui sebagaimana diinstuksikan dalam kedua Surat Edaran
tersebut di atas tidak seperti yang diharapkan. Meskipun format dan jenis informasi
yang dibutuhkan dari Satker sangat mungkin mempengaruhi kesiapan dan
kemampuan Satker, pada dasarnya tidak terdapat kerangka organisasi dan/atau
insentif bagi Satker untuk berkontribusi dalam sebuah sistem perencanaan kas yang
efektif. Misalnya, tidak terdapat kejelasan tentang pejabat dalam koordinasi KPA
(PPK, PPSPM dan Bendahara) yang harus bertanggung jawab atas penyusunan
rencana penerimaan dan pengeluaran dan/atau laporan rencana belanja di Satuan
Kerja. Ketiadaan mekanisme rutin dalam periode jangka pendek ini, tidak
memungkinkan review dan update atas rencana penarikan dana dalam halaman 3
DIPA sehingga rencana tahunan ini menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya.
Patut menjadi catatan bahwa kedudukan bendahara (penerimaan dan/atau
pengeluaran) di Indonesia secara organisasional berbeda dengan kedudukan para
public accountant di Perancis. Dalam hal manajemen kas, kedudukan public
accountant selaku pegawai Kementrian Keuangan Perancis memudahkan koordinasi
terkait dengan konfigurasi rekening dan penyampaian informasi yang berkaitan
dengan kas manajemen. Sebagai perbandingan, kedudukan public accountant di
Prancis memudahkan pengelolaan rekening para public accountants sebagai sub-akun
dari rekening utama yang dimiliki AFT. Kondisi ini memudahkan mekanisme
pelimpahan saldo di sub-rekening ke rekening utama, (sebagaimana diterapkan di
Perancis) untuk melaksanakan model Treasury Single Account.
Mekanisme pengelolaan TSA yang ideal tersebut di atas tidak mudah
dijalankan di Indonesia, karena rekening bendahara (pengeluaran dan/atau
penerimaan) di Satker adalah rekening yang terpisah dari rekening kas negara yang
Subdit TPBE, DTP 215
dikelola Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN. Mekanisme pooling atas
rekening bendahara, sebagaimana dijalankan saat ini, merupakan alternatif yang
paling memungkinkan dengan struktur rekening yang ada saat ini. Meskipun tetap
memberi peluang bagi Ditjen Perbendaharaan untuk memperoleh kemanfaatan atas
saldo kas menganggur di rekening bendahara, Ditjen Perbendaharaan tidak memiliki
kontrol atas saldo di rekening-rekening bendahara tersebut. Misalnya, apabila Ditjen
Perbendaharaan memerlukan saldo di rekening-rekening bendahara untuk keperluan
lain yang mendesak. Ditjen Perbendaharaan juga tidak memiliki alternatif investasi
lain atas saldo-saldo di rekening tersebut selain memperoleh remunerasi dengan
presentase yang tidak fleksibel.
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Kas
Sebagai sebuah sistem yang terintegrasi, rencana pengembangan modul
manajemen kas dalam SPAN berkaitan erat dengan pengembangan modul lainnya,
terutama modul manajemen DIPA, manajemen komitmen dan General Ledger.
Keterkaitan modul SPAN dengan modul lainnya diantaranya meliputi:
a) update dan revisi atas Annual Financial Plan, sepanjang tidak melebihi pagu
anggaran;
b) penerapan cash-limit apabila diperkirakan tidak terdapat cukup kas untuk membayar
tagihan atas beban negara.
c) penggunaan data komitmen untuk proyeksi arus kas yang dibutuhkan untuk
pelunasan sebuah komitmen.
Rencana pengembangan SPAN untuk modul manajemen kas juga secara
khusus mengantisipasi peran Satker yang krusial terkait dengan penyusunan
penyampaian rencana pengeluaran/ belanja sebagaimana ditunjukkan dalam gambar
4.40.
Subdit TPBE, DTP 216
Gambar 4.40
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Kas (Bidding Document) MANAJEMEN KAS
Mnj. Kas (Direktorat PKN) Mnj. Penerimaan Mnj. Utang Mnj. Satker
Mnj. Komitmen
Mnj. Pembayaran
Perbaikan rencana penempatan kas, penerimaan dan pengeluaran
Penentuan persyaratan pinjaman
Penentuan batas pengeluaran yang baru dan menyampaikannya ke satker
Data Penerimaan
Negara
Memperkiraan pendapatan
Perkiraan Pendapatan
Kegiatan Penempatan
Kas
1. Pagu APBN 2. Rencana
Pengeluaran& enerimaan
3. Akuntansi Kas Umum Negara
4. Saldo Kas 5. Profil Utang
DMFAS
Memperoleh informasi pinjaman
Mempersiapkan perkiraan hutang dan hibah
Perkiraan hutang dan hibah
Merencanakan strategi/ persyaratan pinjaman
DIPA Cash Planning Commitment Cash Limit SAI
Mempersiapkan Cash Planning
Memperbaharui Cash Limit
Cash Planning
Rencana pengembangan modul manajemen kas, dalam kerangka sistem yang
terintergrasi dengan modul-modul lainnya dalam SPAN adalah sebagai mana
ditunjukkan dalam gambar 4.41:
Subdit TPBE, DTP 217
Gambar 4.41
Rencana Pengembangan SPAN untuk Modul Manajemen Kas
Terkait Dengan Modul-Modul Lainnya
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, elemen dari
manajemen kas akan memperoleh input dari manajemen DIPA, manajemen komitmen,
dan General Ledger untuk penyusunan dan update dari perencanaan kas. Annual
Financial Plan dalam halaman 3 DIPA yang merupakan proyeksi kebutuhan kas untuk
jangka panjang dan menengah adalah bagian dari modul manajemen DIPA.
Mekanisme manajemen komitmen akan menghasilkan data untuk update proyeksi
tersebut, terutama melalui jumlah dan saat pelunasan komitmen yang telah diregistrasi
ke Ditjen Perbendaharaan (CAN). Bagian dari pelaksanaan mekanisme manajemen
komitmen yang dicatat dalam General Ledger sebagai hutang (payables) merupakan
input untuk kebutuhan kas dalam jangka pendek. Kedua informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bagian dari mekanisme atas pembayaran pada saat penerbitan SP2D
atau digunakan murni sebagai informasi dalam rangka pelaksanaan kas.
Subdit TPBE, DTP 218
5. Rekomendasi dan alternatif Future Vision Model koneksitas proses bisnis dengan
Satker terkait Manajemen Kas
Rencana pengembangan manajemen kas dalam SPAN telah cukup
komprehensif dan mencerminkan penerapan best practice. Meskipun ruang lingkup
pengembangan SPAN berfokus pada proses bisnis di lingkungan internal Ditjen
Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran, rencana pengembangan SPAN yang ada saat
ini telah mengindikasikan antisipasi atas peran para stakeholder, termasuk Satker.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian untuk
penyempurnaan dan implementasi SPAN khususnya terkait dengan manajemen kas
dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Satker. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
a) Penerapan SPAN dapat mendukung perencanaan kas jangka menengah dan
tahunan melalui Annual Financial Plan (DIPA hal. 3). Pengembangan sistem
informasi yang terintegrasi memungkinkan tersedianya mekanisme review dan
update terhadap rencana tersebut. Akan tetapi untuk implementasinya, masih
diperlukan kejelasan tidak hanya terkait sifat dari AFP, tetapi juga sumber data
untuk keperluan updating rencana tersebut. Proses bisnis di Satker yang berkaitan
dengan manajemen komitmen memiliki sumber data yang potensial untuk
keperluan tersebut di atas. Mekanisme registrasi data kontrak/ komitmen pada saat
pengajuan Request For Commitment (RFC) idealnya dapat digunakan untuk
meningkatkan akurasi AFP melalui update rencana pengeluaran atas dasar
sejumlah dana anggaran yang telah di kontrakkan.
b) Proses bisnis di Satker yang berkaitan dengan pengajuan pembayaran juga
idealnya dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan cash forecasting untuk
jangka pendek. Catatan atas hutang (liabilities) yang dibuat atas dasar tagihan
yang divalidasi (SPP) dapat menjadi dasar untuk memperkirakan kebutuhan kas
untuk hari tertentu. Fitur ini apabila diterapkan, dapat menggantikan atau
melengkapi mekanisme yang saat ini digunakan Ditjen Perbendaharaan dalam
pengisian RPK-BUN-P. Mekanisme yang saat ini digunakan untuk menentukan
jumlah alokasi saldo harian di sub-akun RPK-BUN P milik KPPN tertentu pada
umumnya cukup efektif. Akan tetapi, mekanisme yang didukung dengan aplikasi
software (e-kirana) ini dalam prakteknya masih memerlukan pertukaran informasi
Subdit TPBE, DTP 219
secara informal melalui telepon dan/atau faximile. Idealnya, mekanisme tersebut
merupakan bagian dari sistem yang secara terintegrasi merupakan bagian dari
proses pembayaran (penerbitan SP2D). Pembahasan selengkapnya atas fitur dalam
manajemen komitmen yang berkaitan dengan manajemen kas dapat dilihat pada
sub-bagian manajemen komitmen dalam modul ini.
c) Manajemen kas idealnya sejalan dengan kerangka dan konfigurasi rekening,
terutama yang berkaitan dengan penyediaan dana petty cash/ imprest fund.
Rekening bendahara pengeluaran yang digunakan untuk menempatkan dana petty
cash merupakan rekening yang mandiri dan terpisah dari rekening yang dikelola
Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN. Merujuk pada model sentralisasi
manajemen kas yang ada di Perancis, rekening bendahara pengeluaran idealnya
merupakan sub akun dari rekening Kuasa BUN. Struktur rekening yang ada saat
ini kurang ideal bagi perencanaan kas karena tidak adanya kontrol penuh Kuasa
BUN terhadap saldo di rekening-rekening tersebut di akhir hari. Sentralisasi
rekening bendahara terhadap rekening yang dimiliki Ditjen Perbendaharaan
memungkin penerapan alternatif investasi terbaik dari idle cash (jika ada) dan
tidak terbatas pada perolehan remunerasi atas saldo total rekening-rekening
tersebut sebagaimana dijalankan melalui mekanisme Treasury National Pooling
pada saat ini. Sentralisasi rekening bendahara juga lebih ideal untuk penerapan
mekanisme pembayaran petty cash melalui credit card melalui rekening yang
memiliki fasilitas overdraft sebagaimana dijalankan di Australia.
d) Kejelasan wewenang dan tanggung jawab atas penyelenggaraan manajemen kas di
Satker sangat diperlukan. Meskipun telah terdapat mekanisme yang mewajibkan
Satker untuk menyampaikan informasi dalam rangka perencanaan kas, tidak
terdapat kejelasan tentang pejabat perbendaharaan yang bertanggungjawab atas
rencana penarikan dana tersebut. Idealnya, terdapat ketentuan yang mengatur
tugas dan tanggung pihak-pihak tertentu berkaitan dengan rencana penarikan dana
dari Satuan Kerja. Dalam kerangka dasar penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana di Satker tidak terdapat ketentuan yang mengatur kewajiban pejabat
perbendaharaan di Satker berkaitan dengan manajemen kas. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena sistem perbendaharaan Indonesia lebih cenderung pada model
sentralisasi manajemen kas pada Kementrian Keuangan sebagaimana halnya di
Subdit TPBE, DTP 220
Perancis. Namun demikian, apabila Satker pada prakteknya kemudian diharuskan
menyampaikan informasi dalam rangka perencanaan kas (sebagaimana
dilaksanakan di Australia), kejelasan akan tugas dan tanggung jawab pihak
tertentu terhadap informasi tersebut harus segera ditentukan. Merujuk pada
kerangka tanggung jawab manajemen kas di Satker yang diterapkan di Australia,
maka informasi terkait dengan rencana penarikan dana dalam rangka perencanaan
kas idealnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawab bendahara
(pengeluaran). Hal ini juga sejalan dengan pembahasan terkait dengan manajemen
uang persediaan di Satker pada sub bagian sebelumnya.
Gambar 4.42
Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait dengan Cash Forecasting
Kuasa PenggunaAnggaran
PejabatPembuat
Komitmen (PPK)
PejabatPenandatanganSPM (PPSPM)
Bendahara
SPP UP & GUP
SPP UP & GUP
Pihak ke-3
BuktiPembayaran
(UP)
Kontrak & Invoice (LS)
KPPN
Ordonateur
Comptabel
SPM
Unit AkuntansiKuasa
PenggunaAnggaran(UAKPA)
RencanaPenarikan
Dana
SPM
SPP-LS
Sebagaimana ditunjukkan dalam model proses bisnis di Satker sebagaimana
diusulkan dalam gambar 4.42, maka bendahara pengeluaran merupakan pihak yang
bertanggung jawab tidak hanya pada pelaksanaan fungsi pembayaran secara utuh
(mengetahui semua permintaan pembayaran baik SPP LS maupun SPP UP).
Subdit TPBE, DTP 221
Bendahara, idealnya juga memiliki akses terhadap informasi akuntansi dan
pembukuan atas transaksi-transaksi pengeluaran tersebut. Dengan pelaksanaan kedua
fungsi tersebut, maka bendahara merupakan pihak yang memiliki akses memadai
untuk menyusun rencana penarikan dana sebagai input informasi dari Satker untuk
perencanaan kas. Untuk melaksanakan fungsi perencanaan kas tersebut, idealnya
terdapat mekanisme di mana bendahara dapat mengetahui pagu anggaran yang telah
dikontrakkan dengan menerima tembusan kontrak dari Pejabat Pembuat Komitmen.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat mendukung pelaksanaan fungsi
bendahara secara utuh dan sesuai kerangka peraturan perundangan sebagaimana
diamanatkan dalam peraturan perundangan.
H. Penutup
Dari uraian pada beberapa sub-bab tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa
pokok pikiran yang dapat disarikan:
1. Sebagaimana framework penulisan modul yang telah dijelaskan pada Bab I,
pembahasan pada BAB IV ini difokuskan pada penentuan model koneksitas proses
bisnis di masa yang akan datang (future). Susunan substansi materi yang dibahas
dalam modul ini mengikuti struktur yang telah dibahas dalam Bab III (current state
assessment), yang meliputi tahapan-tahapan dalam siklus APBN yang telah dipetakan
secara modular sejalan dengan rencana pengembangan SPAN
2. Untuk masing-masing proses bisnis di Satker yang terkait dengan pelaksanaan
tahapan dalam siklus APBN, sedapat mungkin telah diupayakan agar bab ini memuat
pembahasan secara komprehensif. Pembahasan untuk masing-masing tahapan
(modul) setidaknya meliputi tinjauan atas international best practice, review atas
landasan hukum dalam kerangka international best practice, assessment atas praktek
pelaksanaan selama ini, rencana pengembangan dan implementasi SPAN dan analisis
alternatif dan serta rekomendasi untuk penyempurnaan.
3. Pembahasan model koneksitas proses bisnis di Satker untuk masing-masing modul
diupayakan untuk mewujudkan integrasi antara suatu modul sebagai sub-sistem dari
sebuah sistem modular yang terintegrasi. Misalnya, merujuk pada international best
practice dan rencana pengembangan SPAN, terdapat keterkaitan yang erat antara
manajemen DIPA, manajemen kas, manajemen pelaporan dan manajemen
Subdit TPBE, DTP 222
pembayaran, diantaranya melalui pengakuan, pencatatan dan registrasi terkait
komitmen (manajemen komitmen).
4. Disadari sepenuhnya bahwa paket undang-undang di bidang keuangan negara telah
mengamanatkan kerangka pengelolaan keuangan negara yang komprehensif, yang
tidak hanya mencerminkan international best practice tetapi juga mempertimbangkan
kondisi spesifik di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan, kajian, penentuan
alternatif dan rekomendasi dalam rangka penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksitasnya senantiasa diupayakan kesesuaiannya dengan kerangka dasar
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang telah ada.
5. Mengingat peran penting dan kedudukan bendahara (di Satker) yang unik dalam
struktur dan gorvenance penyelenggaraan keuangan negara, bab ini juga memuat
kajian atas peran bendahara di Satker- khususnya bendahara pengeluaran- pada saat
ini dan alternatif penyempurnaan pelaksanaan tugas kebendaharaan oleh bendahara di
masa yang akan datang.
6. Pembahasan dalam bab ini pada dasarnya merupakan blue-print untuk
penyempurnaan model koneksitas proses bisnis dengan Satker. Blue print tersebut
diperlukan sebagai bahan kajian dan acuan untuk penyusunan desain rinci (detail-
design) proses bisnis di Satker dan koneksitasnya, yang idealnya dilakukan bersama-
sama dengan unit-unit teknis di lingkungan Ditjen Perbendaharaan.
Subdit. TPBE, DTP 223
BAB V
Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas
Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini difokuskan pada pembahasan tentang strategi dan taktik pencapaian model koneksitas. Termasuk dibahas dalam bab ini adalah cakupan implementasi SPAN Project dan kaitannya dengan pengembangan proses bisnis dan IT di satker, mitigasi resiko terkait dengan diversitas kondisi dan jumlah satker, serta perlunya berbagai perubahan dalam regulasi dan change managament untuk memperlancar penerapan proses binnis dan IT yang baru. Dibahas pula dalam bab ini adalah perlunya kesesuaian time line penyempurnaan proses bisnis dan IT satker dengan time line SPAN Project. Hal-hal yang dibahas dalam bab ini akan menjadi fokus bahasan diskusi awal tahun 2010.
Pada bab-bab sebelumnya, telah dibahas proses bisnis penyelenggaraan keuangan
negara di Satker, permasalahan dan beberapa usulan sebagai alternatif penyempurnaannya.
Penerapan alternatif pilihan penyempurnaan tersebut memerlukan strategi yang sesuai agar
dapat diimplementasikan secara efektif. Penyusunan strategi dalam rangka penyempurnaan
proses bisnis penyelenggaraan keuangan negara di Satker dan koneksitasnya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan setidaknya harus memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Keterkaitan antara penyempurnaan proses bisnis di Satker dalam kerangka SPAN;
b. Mitigasi terhadap inherent risk dari aktivitas yang berkaitan dengan Business Process
Improvement, khususnya di lingkungan instansi pemerintah;
c. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja sebagai client utama dari Ditjen
Perbendaharaan, khususnya terkait dengan pengeluaran anggaran, serta permasalahan
terkait kondisi geografis Indonesia yang unik;
d. Peran Sumber Daya Manusia (baik di Ditjen Perbendaharaan maupun para pejabat
perbendaharaan di Satker) selaku agent of change untuk terwujudnya penyempurnaan
yang berkesinambungan;
e. Kepastian hukum dan kelengkapan peraturan pelaksanaan untuk mendukung governance,
check and balance dan evaluasi atas proses bisnis terkait penyelenggaraan keuangan
negara di Satker;
Subdit. TPBE, DTP 224
f. Koordinasi dan sosialisasi, baik di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan maupun
secara lebih luas yang melibatkan Satker, perbankan, DJA, aparat pengawasan dan
stakeholders utama lainnya;
g. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam rangka
SPAN.
A. Penyempurnaan proses bisnis di Satker dalam kerangka pengembangan SPAN
Dalam kerangka pengembangan SPAN, cukup jelas disebutkan bahwa pada
dasarnya ruang lingkup pengembangan SPAN tidak mencakup Satker. Bersama dengan
proses bisnis yang terkait dengan institusi perbankan dan pengelolaan aset, investasi dan
hutang, proses bisnis Satker tidak termasuk ruang lingkup dari komponen utama SPAN
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5.1.
Gambar 5.1
Namun demikian, sejumlah Satker akan diikutkan dalam tahap piloting yang
khususnya lebih berkaitan dengan konfigurasi teknologi informasi. Sesuai dengan
keterangan dalam SPAN Dokumen (RFP), maka Kementrian Keuangan bertanggung
jawab untuk membangun sistem aplikasi dan interface untuk mentransfer data dari
Satker ke Ditjen Perbendaharaan. Sedangkan interface untuk mentransfer data dari
Ditjen Perbendaharaan ke Satker akan menjadi bagian dari SPAN. Atas dasar
uraian tersebut maka cukup jelas bahwa COTS nantinya hanya terdapat di
Subdit. TPBE, DTP 225
Kementrian Keuangan, sedangkan Kementrian/ Lembaga merupakan entitas yang
menyediakan data bagi COTS/ modul SPAN yang ada di sistem Kementrian
Keuangan.
Tahap pilot phase 1 akan melibatkan 5 Kantor Pusat Kementrian/Lembaga, yang
terdiri dari Kementrian Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan
Nasional, Kementrian Pekerjaan Umum dan Kementrian Pertanian. Ruang lingkup
selama pilot phase yang melibatkan Sekertariat Jenderal kementrian/lembaga adalah
sebagai berikut (sesuai dengan SPAN Bid Document/RFP):
1. Electronic transfer of RKA-KL data from LM Head Office to DGB;
2. Electronic transfer of draft DIPA data from LM SU to DGT;
3. Electronic transfer of commitment data from LM SU to DGT;
4. Electronic transfer of SPM data from LM SU to DGT;
5. Electronic transfer accounting data (GL, fixed asset data, and other financial data
from LMHO & SU to DGT);
6. Electronic transfer of confirmation of DIPA approval from DGT to LMHO & SU;
7. Confirmation of SP2D from DGT to LM SU;
8. Notification of SPM which could not be processed from DGT to LM SU.
Selama tahap piloting direncanakan akan terdapat 55 koneksi untuk lima
kementrian/lembaga yang ikut serta dalam tahap piloting dengan rincian sebagai berikut:
5 nodes Kantor Pusat Kementrian/Lembaga
50 nodes Spending Unit
(source: SPAN RFP)
Agar sesuai dengan ruang lingkup dari rencana implementasi selama pilot phase,
maka ditetapkan institusi Kantor Pusat Kementrian/ Lembaga yang ideal untuk
dilibatkan dalam pilot phase 1 adalah Sekertariat Jenderal. Untuk aktivitas yang
berkaitan dengan manajemen komitmen, manajemen pembayaran dan akuntansi (item
c,d,e g dan h) Sekertariat Jenderal berperan murni sebagai Satuan Kerja. Sedangkan
untuk aktivitas yang berkaitan dengan budget preparation (a,b,f) dan penerbitan dokumen
pelaksanaan anggaran Sekertariat Jenderal berperan sebagai head offices/kantor pusat dari
Satker-satker yang menjadi unit vertikalnya (sub-ordinate budgetary institutions).
Subdit. TPBE, DTP 226
Sejumlah 10 nodes untuk masing-masing Kementrian/Lembaga akan disediakan bagi
Satuan Kerja Kantor Pusat di lingkungan Kementrian/Lembaga.
Pada tahap awal Satker (SU) tidak terkoneksi secara online. Ruang lingkup SPAN
adalah koneksi dengan 178 KPPN dengan 5 kementrian/lembaga sebagaimana tersebut di
atas. SPAN diharapkan memiliki fitur diantaranya centralized database, single entry
point, real time, electronic submission of information, online access to centralized
database, automatic updating to all information. Koneksitas dengan kementrian/lembaga
akan dilakukan melalui koneksi dial up dengan Remote Access Server yang ada di
Kanwil/KPPN. Konfigurasi IT dan sistem informasi yang melibatkan Satker dalam tahap
piloting adalah sebagai berikut:
Gambar 5.2
Lini Ministry Head Offices as/or Spending U i
Echelon 1
Spending Unit
DG Treasury
Head Offices
DG Budget
Remote Access Server
Central Database
Kanwil
KPPN
Eselon 1 (Setjen)
Bureau 1/ SU 1
Preparation
Execution
Bureau 2/ SU 2
Bureau 2/ SU 2
Bureau 10/ SU 10
Subdit. TPBE, DTP 227
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, terdapat beberapa
alternatif dalam rangka implementasi SPAN khususnya pada tahap piloting 1 sebagai
berikut:
1. Line Ministry Head Office dan Spending Unit tidak memiliki koneksi/ akses secara
langsung terhadap central data base. Akses Satker terhadap central database
dilakukan melalui KPPN/ Kanwil sebagai Remote Access Centre;
2. Line Ministry Head Office (dan Spending Unit apabila memungkinkan) memiliki
akses langsung terhadap central database. Akses Satker terhadap central data base
yang dilakukan melalui KPPN/ Kanwil sebagai Remote Access Server hanya
diperuntukkan bagi Satker-Satker tertentu di daerah terpencil yang tidak
memungkinkan koneksi/ akses secara langsung terhadap database, misalnya melalui
dial up.
Sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka pengembangan SPAN aplikasi
kementrian/lembaga dan interface untuk mentransfer data dari kementrian/lembaga
kepada Ditjen Perbendaharaan akan menjadi tanggung jawab Departemen Keuangan. Saat
ini telah terdapat kajian awal terkait dengan inventarisasi aplikasi-aplikasi yang
digunakan di Satker pada saat ini dan kemungkinan penyempurnaan/ integrasi aplikasi
tersebut di masa yang akan datang. Namun demikian, sampai saat ini belum terdapat
kejelasan perihal aplikasi-aplikasi apa saja yang diperlukan Satker dalam rangka SPAN.
Sebagai contoh, terkait dengan penerapan manajemen komitmen di masa yang akan
datang, belum terdapat kejelasan bagaimana informasi terkait kontrak/komitmen dalam
Request for Commitment (RFC) disampaikan ke KPPN. Pada saat ini ADK kontrak
dihasilkan dari aplikasi yang berkaitan dengan manajemen pembayaran, yaitu aplikasi
SPM. Sebagai catatan, di dalam SPAN Bid Document/RFP terdapat beberapa alternatif
untuk meregistrasi data komitmen (BC001) yang struktur datanya cukup kompleks (BC)
misalnya dengan input secara manual dan atau menggunakan file/ ADK.
Di samping itu, meskipun terdapat beberapa Satker yang bagian dari pilot phase,
dalam pelaksanaanya tidak ada parallel run dari sistem di KPPN. Parallel run hanya
mungkin terjadi dalam satu Kantor Wilayah di mana terdapat KPPN yang menggunakan
sistem yang baru dan yang lama. Terkait hal tersebut sangat mungkin diperlukan program
aplikasi untuk mengkonfersi data dari sistem yang lama (di satker) ke sistem yang baru
Subdit. TPBE, DTP 228
(di KPPN), khususnya bagi Satker yang tidak termasuk ke dalam entitas dalam rangka
piloting.
B. Mitigasi terhadap inherent risk berkaitan dengan Business Process Improvement
Semenjak diperkenalkan dengan tema reengineering, upaya penyempurnaan proses
bisnis (business process improvement) cenderung identik dengan resiko yang tidak kecil.
Hal tersebut karena secara konseptual, business process improvement menganjurkan suatu
perubahan yang besar (dramatic improvement) dengan dukungan kemajuan teknologi
informasi (see Hammer, 1990; Davenport & Short, 1990; Grover & Malhotra, 1996).
Khususnya bagi instansi pemerintah, upaya terkait penyempurnaan proses bisnis juga
sering terkendala oleh peraturan sebagai dasar hukum dan keharusan mempertahankan
aktivitas yang berkaitan dengan otorisasi dan verifikasi, pendanaan dan ketiadaan profit
untuk menjustifikasi investasi, dan hubungan industrial yang lebih kaku jika terdapat
konsekuensi lay-off (see MacIntosh, 2003; Hesson, 2007). Secara lebih spesifik,
pengalaman otomasi dan integrasi sistem informasi yang berkaitan dengan
penyelenggaraan keuangan negara (Government Financial Management and Information
System) juga tidak selalu berhasil baik karena ketiadaan landasan hukum, kurangnya
proses improvement maupun masalah yang lebih teknis, misalnya terkait kodifikasi akun
(USAID, 2008).
Idealnya terdapat suatu mekanisme untuk me-mitigasi resiko yang identik dengan
penyempurnaan proses bisnis sebagai mana tersebut di atas. Pada saat ini, governance dan
koordinasi dalam rangka proyek SPAN melalui Tim Reformasi Perbendaharaan dan
Penganggaran Negara (Tim RPPN) dan Tim Koordinasi Teknis telah secara rutin
menangangi isu-isu terkait SPAN, termasuk keterkaitannya dengan penyempurnaan
proses bisnis di Satker. Pada saat ini juga terdapat beberapa tim yang secara khusus
bertugas menangani aspek tertentu terkait dengan pengembangan SPAN, misalnya Tim
Penyempurnaan Framework Chart of Account. Di samping itu, meskipun ruang lingkup
SPAN tidak sepenuhnya mencakup Satker, di Direktorat Transformasi Perbendaharaan
yang merupakan counterpart dalam rangka pengembangan SPAN telah terdapat unit
struktural yang secara khusus bertanggung jawab atas penyempurnaan proses bisnis di
Satker. Tata kelola sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat me-mitigasi resiko-
resiko yang secara identik dengan upaya penyempurnaan proses bisnis. Beberapa aspek
Subdit. TPBE, DTP 229
lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia akan dibahas pada bagian
berikutnya.
C. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja serta permasalahan terkait kondisi
geografis Indonesia yang unik.
Jumlah Satker yang menjadi mitra kerja Ditjen Perbendaharaan terhitung sangat
besar dengan diversitas yang sangat signikan. Pada saat ini (akhir tahun 2009) Kantor
Pusat Ditjen Perbendaharaan dan unit vertikal dilingkungannya melayani sekitar 21.000
Satuan Kerja. Dari jumlah tersebut, sekitar 836 Satker memiliki pagu kurang dari 100
juta, sedangkan Satker yang memiliki pagu lebih dari 2 milyar tidak kurang dari 10.514
Satker. Figur selengkapnya adalah sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5.3.
Gambar 5.3
Sources: Diolah dari data DIPA 2009 Dit. PA
Subdit. TPBE, DTP 230
Dari sekitar 21.000 Satker tersebut di atas, hanya 55, 9% yang memiliki belanja
modal, sedangkan sisanya tidak memiliki belanja modal. Pada saat ini terdapat 178 KPPN
yang melayani Satker-Satker yang tersebar di 33 propinsi tersebut. Dengan kondisi
geografis kepulauan di Indonesia yang unik, dapat dipastikan tantangan penyempurnaan
proses bisnis dan pelayanan di masa yang akan datang tidaklah mudah.
Merujuk pada figur dan sebaran dari Satker sebagai mana tersebut di atas,
mekanisme piloting yang rencananya akan diterapkan selama tahap implementasi SPAN
sudah cukup tepat. Demikian pula dengan pemilihan Kementrian/ Lembaga yang menjadi
bagian dari tahap piloting sudah mewakili kondisi/ figure dari Satker pada saat ini.
Namun demikian, idealnya selama implementasi SPAN dapat dilakukan sosialisasi
kepada seluruh Kementrian/ Lembaga terkait dengan penyempurnaan proses bisnis di
Satker terlepas dari rencana implementasi SPAN. Hal tersebut diperlukan karena pada
dasarnya penyempurnaan proses bisnis di Satker tidak terbatas pada beberapa
Kementrian/ Lembaga yang menjadi bagian tahap piloting.
D. Peran Sumber Daya Manusia selaku agent of change
Penyempurnaan proses bisnis tidak terlepas dari peran sumber daya manusia di
suatu organisasi untuk mewujudkan perubahan. Literatur business process improvement,
secara umum mengenalkan paradoks terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia
selama menjalani business process improvement. Di satu sisi, business process
improvement mengandalkan konsep empowerment untuk merealisasikan perubahan dalam
pengelolaan organisasi yang berbasis proses. Di sisi lain, secara konseptual business
process improvement menganjurkan pengelolaan organisasi yang cost-efisien dan
mengantisipasi kemungkinan melakukan stream-lining terhadap organisasi.
Ditjen Perbendaharaan menyadari sepenuhnya peran sentral SDM dalam
merealisasikan perubahan. Implementasi SPAN, nantinya akan didukung oleh badan/
konsultan yang melaksanakan advisory role terkait dengan komunikasi dan manajemen
perubahan (communication and change management). Di samping hal-hal terkait dengan
perubahan di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan, badan tersebut idealnya dapat
berperan penting dalam penentuan stragtegi komunikasi penyempurnaan proses bisnis
pengelolaan keuangan negara, termasuk kepada Kementrian/ Lembaga.
Subdit. TPBE, DTP 231
Di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan, stream-lining terhadap organisasi
pada saat ini bukan wacana yang populer. Di samping itu, penyempurnaan proses bisnis
tidak selalu identik dengan opsi pengurangan jumlah SDM. Campion. et al (2005).
misalnya, berpendapat bahwa reengineering juga membawa peluang untuk berinovasi
terhadap aktivitas yang menjadi bagian proses bisnis. Sedangkan di lingkungan Satker,
sangat dimungkinkan untuk melakukan stream-lining terhadap jumlah Satker. Namun
demikian opsi untuk mengurangi jumlah Satker tersebut, setidaknya harus memperhatikan
sikap dan kesiapan Satker terhadap opsi tersebut.
E. Kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan
Untuk mendukung governance, check and balance dan evaluasi atas proses bisnis di
Satker sangat diperlukan kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan.
Sebagai mana diamanatkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan
selaku BUN memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan
anggaran (Pasal 7 angka 2 huruf a). Dengan demikian, cukup jelas bahwa kewenangan
untuk menetapkan proses bisnis terkait dengan penyelenggaraan keuangan negara di
Satker merupakan wewenang Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN.
Pada bab 2 telah disebutkan pentingnya kelengkapan landasan hukum dan peraturan
pelaksanaan sebagai authorizing environment bagi sebuah institusi pemerintah. Paket
undang-undang di bidang keuangan negara telah menyediakan landasan hukum sekaligus
mandat untuk penyelenggaraan keuangan negara yang lebih baik. Namun demikian, dari
telaah atas beberapa peraturan pelaksanaan terdapat indikasi ketidaksesuaian di antara
ketentuan-ketentuan yang mengatur pelaksanaan proses bisnis di Satker. Misalnya,
ketidaksesuaian antara Perdirjen 66/PB/2005 dengan PMK 73/PMK.05/2008 terkait
dengan kewenangan penerbitan Surat Permintaan Pembayaran di Satker.
Patut disebutkan pula, kewenangan BUN atas pelaksanaan standar tersebut terbatas
pada saat dikeluarkannya uang dari rekening kas negara (penjelasan UU Perbendaharaan
Negara). Dengan kata lain, Ditjen Perbendaharaan tidak memiliki kewenangan untuk
menguji dan mengevaluasi ketaatan (compliance) Satker dalam melaksanakan standar
tersebut di Satker. Kewenangan tersebut pada saat ini ada pada aparat pengawasan
fungsional baik internal Kementrian/ Lembaga maupun eksternal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi penyempurnaan proses bisnis di
Satker harus mengutamakan ketersediaan landasan hukum, dengan memperhatikan
Subdit. TPBE, DTP 232
konsistensi peraturan dan evaluasi atas praktek pelaksanaan standar selama ini. Idealnya,
penyempurnaan landasan hukum dilakukan dengan koordinasi yang baik tidak hanya antar
unit-unit di lingkungan Ditjen Perbendaharaan tetapi juga dengan aparat pengawasan
fungsional.
F. Koordinasi dan sosialisasi yang tidak terbatas pada lingkungan internal Ditjen
Perbendaharaan
Dalam rangka pelaksanaan undang-undang, khususnya melalui integrasi antara
proses bisnis, IT dan sistem informasi, peran Direktorat Transformasi Perbendaharaan
sangatlah penting. Sebagai direktorat baru yang dibentuk melalui PMK 100/PMK/2008,
Direktorat Transformasi Perbendaharaan hadir untuk melengkapi dan mendukung
pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Penyempurnaan proses bisnis, khususnya di Satker, harus dilaksanakan dalam kerangka
koordinasi dengan unit-unit lain dilingkungan Ditjen Perbendaharaan. Gambar 5.4
menunjukkan pola koordinasi dan kerja sama di lingkungan Ditjen Perbendaharaan dalam
rangka penyempurnaan proses bisnis, termasuk yang berkaitan dengan Satker.
Gambar 5.4
Sumber: Bahan Presentasi Sosialisasi DTP
Subdit. TPBE, DTP 233
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, aktivitas penyempurnaan
proses bisnis juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan pendapat dan saran dari Satker
dan pihak-pihak eksternal lainnya.
G. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam
rangka SPAN
Meskipun tidak termasuk dalam ruang lingkup core proses bisnis/ modul,
penyempurnaan proses bisnis di Satker berkaitan erat dengan pengembangan SPAN. Oleh
karena itu, aktivitas penyempurnaan proses bisnis di satker memperhatikan kesesuaian
dengan time line dan road map pengembangan SPAN. Sebagai mana diketahui, MoF
bertanggung jawab untuk membangun interface (dan proses bisnis) dengan Satker untuk
mendukung pelaksanaan tahap piloting.
Gambar 5.5
Source: modified from Project Initiation Report, LG
CRP 3: Standar Proses Bisnis Satker idealnya dapat ditetapkan
Akhir fase design: selambat‐lambatnya standar Proses Bisnis Satker sudahditetapkan
Awal Fase piloting: standar Proses Bisnis Satker dan aplikasi pendukung sudah ditetapkan
Pengembangan dan finalisasi aplikasi software pendukung proses bisnis di Satker
Subdit. TPBE, DTP 234
Sebagai mana ditunjukkan dalam gambar 5.5, methodology pengembangan SPAN
diantaranya meliputi fase design, build dan test sebelum fase piloting. Fase piloting,
sesuai gambar tersebut di atas, direncanakan untuk dimulai pada April 2011. Pada tahap
tersebut, idealnya, Kementrian Keuangan telah memiliki standar proses bisnis dan
aplikasi pendukung di Satker yang sesuai dengan proses bisnis yang baru di Ditjen
Perbendaharaan yang baru dalam rangka SPAN. Paralel dengan time-line SPAN, standar
proses bisnis di Satker yang baru idealnya dapat ditetapkan pada tahap Conference Room
Pilot (CRP) yang ketiga pada Juni 2009, atau selambat-lambatnya pada akhir fase design
pada September 2010. Sejak Oktober 2010 sampai dengan awal tahap piloting (April
2011) merupakan periode untuk persiapan dan finalisasi aplikasi/software pendukung di
Satker yang diperlukan dalam rangka pengembangan SPAN.
H. Penutup
Dari uraian pada beberapa sub-bab tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa
pokok pikiran yang dapat disarikan:
1. Sebagaimana framework penulisan modul yang telah dijelaskan pada Bab I, pembahasan
pada Bab V difokuskan pada strategi dan taktik pencapaian model koneksitas. Strategi
dan taktik tersebut pada dasarnya merupakan road-map untuk penyusunan dan penetapan
desain rinci (detail design) dari kajian, alternatif dan rekomendasi yang telah dibahas
pada bab sebelumnya.
2. Beberapa acuan dalam penyusunan strategi dan taktik pencapaian model koneksitas
diantaranya meliputi kerangka rencana pengembangan SPAN, k, mitigasi resiko, fitur
Satker, dan peran penting SDM.
3. Sebagai sebuah standar proses bisnis yang nantinya akn menjadi acuan Satker dalam
penyelenggaraan keuangan negara, maka model koneksitas proses bisnis di Satker
nantinya harus merupakan bagian dari dan ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Untuk itu, kerjas sama dan koordinasi dengan unit-unit teknis lain di lingkungan Ditjen
Perbendaharaan merupakan bagian dari strategi dan taktik penentuan model koneksitas
yang harus diikuti.
4. Mengingat keterkaitan yang erat antara standar proses bisnis dan ketersediaan sistem
informasi dan aplikasi/ software pendukung, maka pengembangan aplikasi/ software
merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam upaya penyempurnaan model
koneksitas proses bisnis dengan Satker di masa yang akan datang.
Subdit TPBE, DTP 235
BAB VI
Penutup
Bab ini membahas dua hal utama yaitu (i) penutup dan (ii) rencana kedepan. Penutup merupakan summary terhadap hal-hal yang telah dibahas dalam keseluruhan draft modul ini. Sedangkan rencana kedepan, memuat secara ringkas rencana pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka menyempurnakan draft modul ini sejalan dengan framework ITIL v.3 yang dianut dalam penulisan draft modul ini.
Penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan Ditjen
Perbendaharaaan merupakan upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana diamanatkan Undang-undang. Di samping itu, penyusunan modul ini sejalan
dengan rencana pengembangan SPAN, meskipun proses bisnis di Satker tidak tercakup dalam
ruang lingkup SPAN. Alternatif dan usulan penyempurnaan proses bisnis di Satker
sebagaimana dimuat dalam modul ini juga diharapkan dapat menjadi bahan diskusi dan
pembahasan dalam rangka menetapkan standar proses bisnis di Satker untuk mendukung
pengembangan SPAN. Ringkasan beberapa pokok pikiran yang kiranya dapat bermanfaat
bagi penyempurnaan proses bisnis di Satker adalah sebagai berikut:
A. Penyempurnaan proses bisnis di Satker harus didasarkan pada visi, misi dan idealnya
tujuan bersama dari para stakeholders dalam rangka penyelenggaraan keuangan negara.
Di samping itu, aktivitas penyempurnaan proses bisnis harus di dasarkan pada kerangka
kerja (framework) yang comprehensive dan memadai, yang setidaknya memperhatikan
strategi organisasi, proses bisnis, teknologi informasi, sistem aplikasi dan manajemen
perubahan.
B. Penyempurnaan proses bisnis di Satker sedapat mungkin dilaksanakan dengan
memperhatikan sifat-sifat inherent dari institusi pemerintah yang dalam beberapa hal
penting berbeda dengan organisasi bisnis yang berorientasi pada penciptaan keuntungan.
Kerangka pembahasan penyempurnaan proses bisnis di Satker, idealnya didasarkan pada
landasan hukum, kapasitas operasional dan nilai tambah (value added) dari aktivitas
penyempurnaan proses bisnis.
C. Paket Undang-undang di bidang keuangan negara telah menyediakan landasan hukum
sekaligus mandat untuk terwujudnya penyelenggaraan keuangan negara yang baik.
Penyempurnaan proses bisnis, terutama di Satker, harus dilaksanakan dalam kerangka
dasar perundangan yang telah ada.
Subdit TPBE, DTP 236
D. Rencana pengembangan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN)
merupakan upaya nyata untuk mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana diamanatkan Undang-undang. Dalam pelaksanaanya, rencana
pengembangan SPAN berkaitan erat dengan penyempurnaan proses bisnis di Satker
selaku salah satu stakeholders utama.
E. SPAN merupakan integrasi tidak hanya terkait dengan IT dan data base, namun juga
mengupayakan integrasi dari tahapan penyelenggaraan keuangan negara. Komponen
utama SPAN yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran (budget execution) meliputi
manajemen DIPA, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen kas, dan
akuntansi dan pelaporan.
F. Sejalan dengan pengembangan SPAN, penyempurnaan proses bisnis di Satker ditujukan
untuk mendukung integrasi dari modul-modul tersebut pada point (E). Misalnya dengan
mengupayakan integrasi melalui pencatatan dan penggunaan informasi terkait komitmen/
kontrak sebagai komponen utama dalam pengembangan modul manajemen DIPA,
manajemen pembayaran, manajemen kas, pelaporan.
G. Pengembangan proses bisnis di Satker, idealnya didukung dengan penyempurnaan
implementasi dari ketentuan dalam paket undang-undang di bidang keuangan negara.
Misalnya dengan menyempurnakan tugas dan tanggung jawab para pejabat
perbendaharaan negara di satker dan menjadikannya sebagai bagian dari proses bisnis
yang efektif dan mendukung terciptanya tata kelola yang memadai.
H. Kedudukan bendahara (penerima dan/atau pengeluaran) yang menjalankan tugas secara
fungsional patut mendapat perhatian khusus dalam penyempurnaan proses bisnis di
Satker. Penyempurnaan peran bendahara, idealnya ditujukan untuk mendukung
pelaksanaan tugas kebendaharaan secara utuh sebagai mana diamanatkan dalam peraturan
perundangan.
I. Penyempurnaan proses bisnis di Satker sedapat mungkin memanfaatkan kemajuan
teknologi, khususnya perbankan, sehingga terdapat mekanisme pembayaran dalam rangka
pelaksanaan anggaran yang lebih cost-efisien. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi
perbankan untuk mendukung pelaksanaan mekanisme Uang Persediaan melalui
penggunaan debit/ credit card.
J. Pengelolaan kas di Ditjen Perbendaharaan telah maju pesat dibandingkan dengan sebelum
penetapan paket undang-undang di bidang keuangan negara, terutama melalui
pelaksanaan Treasury Single Account. Penyempurnaan proses bisnis harus sejalan dengan
upaya yang telah dirintis. Misalnya dengan mengkaji kemungkinan organisasi dan
Subdit TPBE, DTP 237
strukturisasi yang lebih baik dan cost-efisien terhadap rekening bendahara (pengeluaran
dan/ atau penerimaan).
K. Dalam rangka akuntabilitas, pelaksanaan akuntansi dan pelaporan merupakan suatu
keharusan dalam pengelolaan keuangan negara yang baik. Aktivitas terkait akuntansi dan
pelaporan di Satker harus ditujukan untuk menjamin tersedianya laporan yang akurat dan
tepat waktu. Di samping itu, kiranya tidak berlebihan jika aktivitas akuntansi dan
pelaporan juga sedapat mungkin dilaksanakan secara efisien dengan memperhatikan
kerangka pembagian tugas dan kewenangan para pejabat perbendaharaan di Satker.
L. Dari literatur yang berkaitan dengan pengembangan SPAN, cukup jelas bahwa
implementasi COTS terbatas pada institusi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan. Oleh
karena itu, kedudukan Satker dalam tahap awal implementasi SPAN adalah sebagai
penyedia data, yang terutama akan menjadi bagian dari proses pengujian dalam rangka
penyaluran dana anggaran. Oleh karena itu, sesuai dengan bagian yang menjadi tanggung
jawab Kementrian Keuangan dalam rangka SPAN, idealnya penyempurnaan proses bisnis
di Satker dapat berjalan secara paralel dengan pengembangan SPAN di Ditjen
Perbendaharaan.
M. Dalam rangka pelaksanaan SPAN, standar proses bisnis di Satker yang telah
disempurnakan idealnya telah ditetapkan sebelum pelaksanaan tahap pilot 1. Gambar
berikut menunjukkan rencana kerja, tentative, penyempurnaan proses bisnis di Satker:
Subdit TPBE, DTP 238
N. Modul ini memuat blue print dalam rangka penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan. Detail desain dari proses
bisnis tersebut, misalnya terkait dengan jenis dan struktur data, format formulir dan
element lainnya sebagai bagian dari mekanisme input-output akan diselesaikan selama
tahun 2010.
Sebagaimana telah disampaikan didepan, sejalan dengan framework ITIL v.3, akan
dilakukan pembahasan-pembahasan dengan stakeholder terkait untuk perbaikan draft modul
ini. Secara paralel, akan dilakukan piloting pada satker terpilih dan penyusunan IT yang
dikoordinir oleh Direktorat TP dan Direktorat SP. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa
ketika dilaksanakan pilot project Penerapan SPAN pada tahun 2011, sudah terdapat integrasi
yang memadai terkait proses bisnis, dukungan IT dan SDM dari satker-staker yang ikut
dalam pilot project dimaksud.
CRP 3: Standar Proses Bisnis Satker idealnya
dapat ditetapkan
Akhir fase design: selambat‐lambatnya standar Proses Bisnis
Satker sudahditetapkan
Awal Fase piloting: standar Proses Bisnis Satker dan aplikasi pendukung sudah
ditetapkan
Pengembangan dan finalisasi aplikasi
software pendukung proses bisnis di
Satker
Johan Pandu Asa
Note
CRP 3: Standar Proses Bisnis Satker idealnya dapat ditetapkan
Johan Pandu Asa
Note
Akhir fase design: selambat-lambatnya standar Proses Bisnis Satker sudahditetapkan
Johan Pandu Asa
Note
Fase Design s.d. Test: Pengembangan dan finalisasi aplikasi software pendukung proses bisnis di Satker
Johan Pandu Asa
Note
Awal Fase piloting: standar Proses Bisnis Satker dan aplikasi pendukung sudah ditetapkan
Subdit TPBE, DTP 239
Daftar Pustaka A. Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, KPMK, Departemen Keuangan RI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara / Lembaga
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 91/PMK.06/2007 tentang bagan Akun Standar
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementrian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara / Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2009
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 06/PMK.02/2009 tentang Tata Cara Perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Perubahan daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009
Subdit TPBE, DTP 240
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-35/PB/2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Rekening Milik Kementrian Negara / Lembaga / Kantor / Satuan Kerja
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER 66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 tentang Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting) Instansi / Satuan Kerja Pemerintah Pusat / Daerah
Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-38/PB/2008 tentang penyampaian Laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja Kementrian Negara/Lembaga tahun Anggaran 2008
Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007 tentang Standara Prosedur Operasi / SOP di lingkungan Ditjen Perbendaharaan
B. Literatur
BAB II
Moore, Mark. H. (1995), “Creating public value: Strategic management in government”, Harvard University Press
Moore, Mark. H. & Khagram, Sanjeev (2004), “On creating public value: What business might learn from government abaout strategic management” , A working paper for the Corporate Social Responsibility Initiative, March 2004, Working Paper No. 3
Moore, Mark H. (2006), “Recognizing public value: The challenge of measuring performance in government”, Lecture presented 9 November 2006
Andrew, M & Campos, J. E. (2003), “The management of public expenditure and its implications for service delivery”
Schick, Allen (1999), “A contemporary approach to public expenditure management”, World Bank Institute, Governance, Regulation and Finance Division
Hassim, A & Allan, B (2001), “Treasury Reference Model”, World Bank
Lienert, Ian (2008), “Cash management”, PFM Technical Guidance Note No. 5, IMF
ANAO (1999), “Cash management”, Auditor General, March 1999
Auditor General Victoria (2004), “Chief Finance Officer: Role and responsibility”, Good Practice Guide
FSIO (2009), “Standard business process”, Financial Management System: Standard business process for U. S. Agencies
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, KPMK, Departemen Keuangan RI
Subdit TPBE, DTP 241
Hughes, Owen (2003), “Public Management and administration: An Introduction”, Palgrave, Maclmillan
Allison, G. T (1986), “Public and private management: Are they fundamentally alike in all unimportant respects”, in Lane, Frederick S, Current issues in public administration, 3rd edition, St Martin Press, New York
Frye, Douglas. W & Gulledge, Thomas R (2007), “End-to-end business process scenario”, Industrial Management & Data Systems, Vol. 107, No. 6, 2007. Pp. 749-761
Davenport, Thomas H & Short, James E (1990), “The new industrial engineering: Information technology and business process redesign”, Sloan Management Review No. 11, Summer 1990
Hammer, Michael (1990), “Reengineering work” Don’t automate, obliterate”, Harvard Business Review, July-August 1990
Grover, Varun & Malhotra, Manoj K (1996), “Business process reengineering: A tutorial on the concept, evaluation, method, technology and application”, Journal of Operation Management, No. 15. Pp 193-213
Bab III
Hunt, V.D. (1996), “Process mapping: How to reengineer your business processes”, John Wiley & Sons. Chapter 1 & 3.
Hammer, M & Champy, J. (1993), “Reengineering the corporation: A manifesto for
business revolution, HarperCollins, Newyork, NY”.
Paper, D.J., Rodger, J.A., & Pendharkar P.C. (2001), “A BPR case study at Honeywell”, Business Process Management Journal Vol 7 No. 2, pp. 85-99.
Williams, Mike (2004), “Government cash management: Good and bad Practice”, August 2004
BAB IV
Manajemen DIPA
OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries, Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel Tommasi
World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah
SPAN “Request for Proposal; Technical Requirement”
Guidance Note No. 3 SPAN “Request For Proposal, Technical Requirement”
OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries,
Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel Tommasi
World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah FSIO (2009), “Standard business process”, Financial Management System: Standard
business process for U. S. Agencies
Manajemen Pembayaran
Hashim, Ali & Moon, Allister J (2004), “Treasury diagnostic toolkit”, World Bank, Working
SPAN “Request For Proposal: Technical Requirement”
Pelaporan dan Pertanggungjawaban
OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries, Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel Tommasi
IFAC Public Sector Committee (2002), “Transitions to accrual basis of accounting:
Guidance for government and government entities”, International Federations of Accountant, Study 14
Bahan Presentasi GPF-AIP (2009), dipresentasikan pada “Comparative Study of Treasury
System”, DTP, Ditjen Perbendaharaan, Jakarta, 2009
SPAN “Request For Proposal”
United Nations (1999), “Integrated Financial Management in Least Developed Countries”, Departement of Economic and Social Affair, Division for Public Economics and Public Administrations
Manajemen Kas
Williams, Mike (2004), “Government cash management: Good and bad Practice”, August 2004
ANAO (1999), “Cash management”, Auditor General, March 1999
World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah
Subdit TPBE, DTP 243
Lienert, Ian (2009), “Modernizing cash management”, Technical Notes and Manuals,
Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund Sigma (2001), “Financial management and control of public agencies”, Sigma Papers No.
32, OECD Lienert, Ian & Chailloux, Alexandre (2009), “Government cash management during
financial market turmoil”, PFM Blog, dapat diakses di http://blog-pfm.imf.org/pfmblog/2009/12/government-cash-management-during-financial-market-turmoil.html
Auditor General Victoria (2004), “Chief Finance Officer: Role and responsibility”, Good
Practice Guide
SPAN “Request For Proposal: Technical Requirement”
Bab V
SPAN “Request for Proposal: Technical Requirement” Davenport, Thomas H & Short, James E (1990), “The new industrial engineering:
Information technology and business process redesign”, Sloan Management Review No. 11, Summer 1990
Hammer, Michael (1990), “Reengineering work” Don’t automate, obliterate”, Harvard Business Review, July-August 1990
Grover, Varun & Malhotra, Manoj K (1996), “Business process reengineering: A tutorial on the concept, evaluation, method, technology and application”, Journal of Operation Management, No. 15. Pp 193-213
Hesson, M (2007), “Business process reengineering in UAE public sector: A naturalization and residency case study”, Business Process Management Journal, Vol. 13, No. 5, 2007, pp. 707-727, Available on ProQuest
MacIntosh, R. (2003), ‘BPR: alive and well in the public sector’, International Journal of
Operation & Production Management, Vol. 23, No. 3, pp. 327-344. USAID (2008), “Integrated Financial Management Information System: A practical
guide”, USAID Campion, M. A., Mumford T.V, Morgeson, F.P., Nahrgang J.D. (2005), “Work redesign:
Eight obstacles and opportunities”, Human Resource Management, Winter 2005, Vil 44 No. 4 pp. 367-390
SPAN-“Project Initiation Report”, LG
Catatan: Untuk tujuan penulisan modul ini, penyusunan daftar pustaka tidak mengikuti tata cara urutan penyusunan referensi secara konvensional.
Subdit TPBE, DTP 244
Dokumentasi Usulan
Dalam rangka penyusunan modul telah dimintakan tanggapan dan usulan dari unit
eselon II dilingkungan Ditjen Perbendaharaan (pusat dan daerah) melalui Surat Direktur
Jenderal Perbendaharaan No. 1289/PB/2009 tanggal 12 Maret 2009 dan No. 2510/PB/2009
tanggal 1 Mei 2009. Berikut ini dokumentasi atas ringkasan tanggapan dan usulan dari pihak-
pihak sebagaimana tersebut diatas.
A. Konfirmasi hasil identifikasi atas permasalahan saat ini dan usulan perbaikan:
1. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Nusa Tenggara Barat
a. RKA-KL yang diusulkan tidak sesuai dengan SAPSK.
b. Perihal terjadinya usulan revisi DIPA di awal tahun anggaran.
c. Belum adanya pejabat perbendaharaan untuk DIPA Tugas Perbantuan.
d. Perlunya mengefektifkan format dan informasi dalam DIPA (hal.3) untuk keperluan
perencanaan kas.
2. Kanwil Ditjen Perbendaharaan XXVII Manado
a. perlunya informasi tentang perikatan/komitmen yang dibuat satker untuk mendukung
perencanaan arus kas yang meyertai pelunasan sebuah komitmen
b. perlu mencari alternatif untuk pemberian uang muka kerja melalui UP/TUP untuk
mengurangi idle cash
c. Menyederhnakan kelengkapan pencairan dana ke KPPN (misalnya cukup
melampirkan SPM dan SKTJM), [sepanjang masih sesuai dengan konsep dasar dan
ketentuan perundangan yang berlaku]
d. Perlunya mengoptimalkan halaman III DIPA untuk perencanaan penarikan dana, yang
didukung formula dan pedoman bagi satker untuk melakukan perencanaan
penyerapan anggaran yang realistis
e. Pemahaman atas proses akuntansi dan tidak mengandalkan aplikasi, untuk
mendukung kemampuan analisa dalam penyusunan laporan keuangan
f. Kondisi geografis yang berpengaruh pada kemampuan jaringan IT dalam
penyebaran/pengumpulan informasi.
3. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Jambi
a. Kelancaran proses penyusunan dan pengesahan dokumen anggaran berpengaruh pada
penyerapan anggaran, sehingga perlu beberapa upaya diantaranya penentuan pejabat
perbendaharaan dilakukan sebelum tahun anggaran berjalan
Subdit TPBE, DTP 245
b. Perlunya data terkait dengan perikatan yang dibuat satker untuk di input sebagai salah
satu input untuk manajemen kas
c. Jangka waktu penyelesaian SPP menjadi SPM perlu di atur untuk mendukung
penyerapan
d. Jangka waktu penyaluran dana dari bank ke rekening yang berhak perlu di atur
e. Meninjau kembali PMK 73/PMK.05/2008 terkait dengan pemberian UP agar lebih
selektif, serta dipertimbangkan agar akun untuk UP cukup satu saja, tidak perlu
dibedakan antara PNBP dan RM
f. Revitalisasi penatausahaan dan pelaporan PNBP oleh Ditjen Perbendaharaan
g. Penihilan di akhir hari kerja pada rekening bendahara instansi di akhir hari kerja, dan
diisi kembali sesuai saldo yang ada keesokan harinya.
4. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatra Utara
a. Perlunya data/informasi tentang komitmen yang dibuat Satker sebagai salah satu input
untuk perencanaan kas
b. Pengintegrasian data dan informasi dalam halaman III DIPA untuk perencanaan kas.
c. Perlu dikaji upaya mengurangi ketergantungan terhadap perbankan dalam hal
pencairan dana, misalnya dengan menerapkan mobile banking di Seksi Bendum di
mana Kasi Bendum memiliki otorisasi untuk secara langsung memindahkan dana ke
rekening pihak ke-tiga [bagaimana dengan hilangnya mekanisme kontrol di bank?
Apakah program IT yang ada cukup bisa diandalkan dan aman? Bagaimana jika
terjadi error [as variance to fraud]? Perlu dikaji kembali]
d. Penyempurnaan integrasi aplikasi untuk keperluan rekonsiliasi
e. Perlu media elektronik yang handal untuk sarana rujukan terhadap ketentuan terkait
pelaksanaan tugas perbendaharaan
f. Pengaturan jangka waktu untuk penerbitan SPP menjadi SPM
5. Direktorat Pengelolaan Kas Negara
a. Standard biaya umum yang ada masih berbasis input dan belum sepenuhnya
mendukung rencana penerapan PBB
b. Integrasi antara alikasi RKA/KL, SPM dan SAKPA untuk mendukung PBB
c. Bagan Akun Standard agar lebih sederhana
d. Perlunya SOP dalam mekanisme pengelolaan APBN di Satker, yang mengatur cycle
time dan clarity of role dari pejabat perbendaharaan
Subdit TPBE, DTP 246
e. Revitalisasi fungsi halaman III DIPA agar dapat menjadi rencana penarikan yang
realistis, misalnya dengan menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan dan rencana
penarikan dana sejak penyusunan RKA/KL.
f. Laporan Pertanggungjawaban Bendaharawan agar merupakan bagian dari laporan
keuangan pemerintah. Diusulkan agar LPJ ini direkonsiliasi dengan data/informasi
akuntansi secara berjenjang hingga ke kantor pusat KL dan Ditjen Perbendaharaan
agar dapat dijadikan laporan manajerial (managerial report) yang baik dan
mendukung kualitas laporan akuntansi pemerintah (accountability report).
B. Ringkasan Tanggapan sebagai bahan penyempurnaan/revisi Bab I:
1. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Nusa Tenggara Barat
Perlu memasukkan peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan ke dalam identifikasi koneksitas
proses bisnis.
2. Kanwil Ditjen Perbendaharaan XXVII Manado
Teknologi informasi dan aplikasi dalam siklus APBN masih sangat terfragmentasi (tingkat
integrasinya rendah) sehingga tidak dapat mendukung mekanisme saling uji (check
balance), saling kontrol dan saling melengkapi.
3. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Jambi
a. Perlu dikaji landasan hukum khususnya dalam hal kepentingan perbendaharaan untuk
memperoleh informasi tentang sisa dana secara online (dalam hal manajemen
komitmen) pada khususnya dan untuk penyempurnaan proses bisnis di Satker pada
umumnya.
b. Perlu dilakukan identifikasi dan kajian atas peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan
dalam penyempurnaan proses bisnis di Satker.
4. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Medan
a. Pelu dikaji perlunya ketentuan/landasan hukum yang mengatur hubungan dan kaitan
proses bisnis antara BUN dengan Kementrian/Lembaga, misalnya dalam bentuk
PMK.
b. Penyempurnaan proses bisnis di Satker agar dilakukan secara hati-hati agar tidak
kontra produktif, mengutamakan solusi bukan sanksi