PRO FA UNIVERSITAS MODUL ILMU HUKUM DISUSUN OLEH : SANAWIYAH, S.Ag., M.H OGRAM STUDI SYARI’AH AKULTAS AGAMA ISLAM S MUHAMMADIYAH PALANGK TAHUN 2014 KARAYA
PROGRAM STUDI SYARI’AHFAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
MODUL
ILMU HUKUM
DISUSUN OLEH :
SANAWIYAH, S.Ag., M.H
PROGRAM STUDI SYARI’AH FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA TAHUN 2014
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah
memberikan karunia-Nya. Sholawat dan salam selau tercurahkan kepada
Rasul Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Modul Ilmu Hukum
ini berisi berbagai hal tentang Ilmu Hukum, Tidak hanya berbicara tentang
hukum positif tetapi juga bahasan tentang tentang hukum Islam secara
informatif
Dengan demikian, diharapkan modul Ilmu Hukum ini memudahkan
penulis untuk menyusun menjadi sebuah bahan ajar yang membwa manfaat
bagi para akademisi yang sedang menempuh studi Syari’ah atau mahasiswa
studi Hukum.
Sebagai manusia dengan segala keterbatasannya, apabila dalam penulisan
dan penyusunan Modul Ilmu Hukum ini ada kesalahan atau kekeliruan,
penulis berharap kritik konstruktif dan pembaca demi perbaikan di masa yang
akan datang sebagai pengembangan Khasanah ilmu hukum.
Penyusun menyampaikan terikasih yang sebesar-besarnya kepada
Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang telah memberikan
kesempatan dan bantuan biaya dalam penulisan penyusunan Modul ini, dan
Modul Ilmu Hukum, dapat terselesaikan tepat waktu. Semoga Allah SWT
memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin
Palangka Raya, 12 Agustus 2014
Penulis
Sanawiah, S.Ag., M.H
DAFTAR ISI
PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II BATASAN DAN PENGERTIAN HUKUM
1. Pengertian Dan Tujuan Hukum 2. Kedudukan dan Fungsi Hukum 3. Sejarah tata hukum Indonesia
BAB III BEBERAPA PENGERTIAN DASAR DARI HUKUM
1. Masyarakat Hukum 2. Subyek Hukum 3. Obyek Hukum 4. Perbuatan Hukum, Peristiwa Hukum 5. Hukum Hak dan Kewajiban
BAB IV PENGGOLONGAN HUKUM BAB V BATASAN DAN PENGERTIAN SISTEM HUKUM
1. Berbagai komponen dalam sistem Hukum 2. Macam-macam Sistem Hukum
BAB VI ALIRAN HUKUM
1. Aliran Legisme 2. Aliran Freie Rechtsbewegung 3. Aliran Reschtsvinding
BAB VII SUMBER-SUMBER HUKUM
1. Pengertian dan macam-macam Sumber Hukum 2. Sumber Hukum menurut Para Ahli 3. Sumber Hukum Formil 4. Sumber tertib Hukum
BAB VIII ANEKA CARA PEMBEDAAN HUKUM
1. Ius Constitutum dan Consttuendum 2. Hukum alam dan Hukum Positif 3. Hukum Imperatif dan Hukum Fakultatif 4. Hukum Subtantif dan Hukum Ajektif 5. Macam-macam Hukum Menurut Isi
BABIX MENGENAL ILMU-ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU TENTANG KEYATAAN
1. Sosiologi hukum 2. Antropologi hukum 3. Perbandinganhuku
BAB X DISIPLIN HUKUM
1. Ilmu Hukum 2. Filsafat Hukum 3. PolitikHukum
BAB XI ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAIDAH
1. Pengertian Ilmu Pengetahuan 2. Ilmu Pengetahuan Kaidah 3. Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah 4. Hukum dan Interdisiplin Ilmu
BAB XII PERBUATAN MELAWAN HUKUM 1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum sebelum dan setelah Tahun 1919 2. Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum
BAB XIII PENEMUAN HUKUM 1. Batasan Peneman Hukum 2. Sejarah Penemuan Hukum 3. Sistem Penemuan Hukum 4. Dasar Hukum Penemuan Hukum di Indonesia 5. Metode Penemuan Hukum 6. Perkembangan Penemuan Hukum 7. Penemuan Hukum Modern
BAB XIV ALIRAN-ALIRAN TEORI DALAM ULMU HUKUM
1. Aliran-aliran Ilmu Hukum 2. Teori-teori Kekuatan Hukum
BAB XV POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
1. Identitas Bangsa Indonesia 2. Upaya Pembanguan Hukum Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara masalah hukum, berarti membicarakan suatu masalah yang
sangat luas cakupannya.Pengetahuan tentang hukum meliputi suatu wilayah
yang tidak bertepi, atau menurut Curzonyang di kutip Satjipto Rahardjo,
batasan – batasan hukum tidak bisa di tentukan.Ia menyentuh masalah
sosial, ekonomi, budaya, sejarah, politik, manajemen, filsafat dan
sebagainya.
Hukum sebagai suatu cabang ilmu juga mampunyai obyek, yaitu
hukum itu sendiri.Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner, karenan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan berusaha menerangkan berbagai aspek
yang berhubungan dengan kehadiran hukum di tengah manyarakat.1
Dalam kepustakaan hukum, ilmu hukum dikenal dengan sebutan
jurisprudence, berasal dari kata jus, juris, yang berarti hukum atau hak.
Sedang prudensi berarti melihat ke depan atau mepunyai keahlian. Secara
umum, istilah jurisprudence diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hikum.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang Ilmu Hukum, berikut
beberapa pendapat tentang arti Ilmu Hukum.2
1. “Ilmu yang formal tentang hukum positif” (Holland)
2. “Sintesis ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum (allen)
3. “Nama yang diberikan kepada sutu cara untuk mempelajari hukum,
penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teoretis, yang berusaha
untuk mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan sistem
hukum” (Fizgereald)
4. “Pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan
menifistasinya” (Croos)
1 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,2000. hal 7 2 Ibid. hal 11
Dari pendapat-pendapat di atas tampak bahwa wilayah Ilmu Hukum begitu
luas dan mendasar, karena itu Modul ini disusun.Dengan harapan, bisa
memberi alternative solusi mempermudah dalam mempelajari memahami
Ilmu hukum.
BAB II
BATASAN DAN PENGERTIAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Pengertian dan tujuan hukum
2. Mahasiswa mampu memahami kedudukan dan fungsi hukum
3. Mahasiswa mampu memahami Sejarah tata hukum Indonesia
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian dan tujuan hukum
2. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan dan fungsi hukum
3. Mahasiswa dapat menjelaskan Sejarah tata hukum Indonesia
C. Uraian Materi
1. Pengertian dan tujuan hukum.
2. Kedudukan dan fungsi hukum, Sejarah tata hukum Indonesia.
Pengertian Ilmu hukumMenurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum
objeknya hukum itu sendiri. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh
ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan
bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan” (Curzon, 1979 : v).
Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan
yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari
semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud,
asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan,
fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu
yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau
fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun.
Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat
perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari
masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut
Istilah hukum identik dengan istilah Law dalm bahasa Inggris,droitdalam
bahasa prancis, Rechtdalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda,
atau dirito dalam bahasa Itali. Namun kata hukum dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahsa Arab Hukm yang berarti putusan (judgement) atau
ketetapan (provision).3 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti
menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya Sedangkan menurut
Ensiklopedi Indonesia, Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-
peraturan tata aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan
atau mengatur hubungan–hubungan antara angguta masyarakat, atau dalam
arti luas, hukum dapat disamakan dengan aturan, kaidah, norma, atau
ugeran, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya
berlaku atau diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam
kehidupan masyarakat dan apabila dilanggar maka akan dikenakan sangsi.
Rumusan di atas memperlihatkan, adanya penekanan pada hukum
sebagai rangkaian kaidah, peraturan, dan tata aturan (proses dan prosedur)
serta pembedaan antara sumber hukum undang-undang kaidah yang tertulis)
dan kebiasaan (kaidah yang tidak tertulis).
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi
berbagai unsur:4
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia
b. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang
c. Peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak dapat dipaksakan
d. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh
yang bersangkutan.
Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
3Muchsin Ikhtisar Ilmu Hukum.PT. Karya Intan Maksima 2006 , hal 4
4Ibid, hal.9
a. Adanya suatu perintah, larangan,dan kebolehan
b. Adanya sanksi yang tegas.
Tentang adanya sanksi yang tegas sebagai punishment bagi siapa yang
melanggar hukum oleh Hans Kelsen dikatakan bahwa hukum sebagai alat
untuk menegakkan sebuah aturan, kalau ada yang melanggar aturan
tersebut, maka dia dihukum sesuai dengan besar kecilnya aturan yang dia
langgar.5 Walaupun sebetulnya Eugen Ehrlich menyangsikan bahwa doktrin
paksaan yang dikatakan sebagai suatu yang mendasar dalam hukum cukup
mendapatkan pertentangan khususnya dari sudut pandang sosiologisnya.6
Sementara pengertian hukum dalam definisi Antony Alloit adalah sebuah
abstraksi dari suatu realitas daridari hukum-hukum atau hukum yang khusus.7
Dalam konsep Hukum Islam, sanksi atau hukuman tidak hanya dunia, tapi
juga akhirat. Karena putusan atau ketetapan sanksi, disamping berhubungan
dengan Allah, juga dengan manusia. Dan ketetapan Allah tidak lagi
memperhatikan wilayah keputusan manusia karena itu, keputusan Allah tidak
ada yang bisa menghalangi dan meminta pertanggungjawaban-Nya.
Menurut Muchsin berpendapat dalam bukunya Ikhtisar Ilmu Hukum,
bahwa penertian hukum adalah semua aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Berupa
perintah dan larangan yang keberadaannya ditegakan dengan sanksi yang
tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara.
A. Tujuan hukum menurut teori
1. Teori etis (etische theorie) Teori ini mengajarkan bahwa hukum
bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi
hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita
mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945, hal 18. 6 Ibid, hal 24. 7 Antony Alloit, The Limits of Law USA. Butterworths & Co. 1980, hal.2.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam
bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum
mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak
menerimanya”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu
: Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang
jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap
orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya,
melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.
Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang
jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing.
Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh
prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.
Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap
orang memperoleh bagian yg sama.
2. Teori utilitas (utiliteis theorie) Menurut teori ini, tujuan hukum ialah
menjamin adanya kemamfaatan atau kebahagiaan sebanyak-
banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah
Jeremy Betham. Dalam bukunya yang berjudul “introduction to the
morals and legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/mamfaat bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah
memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan tidak mempertimbangkan
tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk menerima anggapan
Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa
yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan atau dengan
kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan
menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena
hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser
nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.
3. Teori campuranTeori ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja
bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di
samping itu tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.
4.Teori normatif-dogmatif, tujuan hukum adalah semata-mata untuk
menciptakan kepastian hukum (John Austin dan van Kan). Arti
kepastian hukum disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan
kewajiban.
Van Kan berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan
manusia agar tidak diganggu dan terjaminnya kepastiannya. 5. Teori
Peace (damai sejahtera) Menurut teori ini dalam keadaan damai
sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang
lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya
perlindungan bagi rakyat. Hukum harus dapat menciptakan damai dan
sejahtera bukan sekedar ketertiban.
B. Tujuan hukum menurut pendapat ahli :
1. Purnadi dan Soejono Soekanto, tujuan hukum adalah kedamaian hidup
antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan
ketenangan intern pribadi
2. van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamain
diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yg merugikan.
3. R. Soebekti, tujuan hukum adalah bahwa hukum itu mengabdi kepada
tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para
rakyatnya. Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan
menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”.
4.Aristoteles, hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada
setiap orang yang ia berhak menerimanya. Anggapan ini berdasarkan
etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya
keadilan saja.
5. SM. Amin, SH tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
6.Soejono Dirdjosisworo, tujuan hukum adalah melindungi individu dalam
hubngannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat
diiharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib dan adil
7. Roscoe Pound, hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat
artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social
engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat
untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara
pribadi maupun dalam hidup masyarakat.
8.Bellefroid, tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan umum atau
kepentingan umum yaitu kesejahteraan atau kepentingan semua
anggota2 suatu masyarakat.
9.Van Kant, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap2 manusia
supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu
10.Suharjo (mantan menteri kehakiman), tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara
aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusia dalam proses yang berlangsung secara
wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan
pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan
hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan pengayoman ini termasuk di
dalamnya diantaranya : - mewujudkan ketertiban dan keteraturan-
mewujudkan kedamaian sejati- mewujudkan keadilan bagi seluruh
masyarakat- mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat
Kesimpulan Tujuan Hukum : 1. Tujuan hukum itu sebenarnya menghendaki
adanya keseimbangan kepentingan, ketertiban, keadilan, ketentraman,
kebahagiaan,damani sejahtera setiap manusia. 2. Dengan demikian jelas
bahwa yang dikehendaki oleh hukum adalah agar kepentingan setiap orang
baik secara individual maupun kelompok tidak diganggu oleh orang atau
kelompok lain yang selalu menonjolkan kepentingan pribadinya atau
kepentingan kelompoknya. 3. Inti tujuan hukum adalah agar tercipta
kebenaran dan keadilan.
C. Fungsi Hukum
1. Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Hukum sbg petunjuk bertingkah laku untuk itu masyarakat harus menyadari
adanya perintah dan larangan dalam hukum sehingga fungsi hukum sebagai
alat ketertiban masyarakat dapat direalisir. 2. Hukum sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum yg bersifat mengikat,
memaksa dan dipaksakan oleh alat negara yang berwenang membuat orang
takut untuk melakukan pelanggaran karena ada ancaman hukumanya
(penjara, dll) dan dapat diterapkan kepada siapa saja. Dengan demikian
keadilan akan tercapai. 3. Hukum berfungsi sebagai alat penggerak
pembangunan karena ia mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat
dimamfaatkan sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat ke arah
yg maju.
4.Hukum berfungsi sebagai alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum
tidak hanya mengawasi masyarakat semata-mata tetapi berperan juga untuk
mengawasi pejabat pemerintah, para penegak hukum, maupun aparatur
pengawasan sendiri. Dengan demikian semuanya harus bertingkah laku
menurut ketentuan yg berlaku dan masyarakt pun akan merasakan keadilan.
5. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan pertingkaian.
Contoh kasus tanah.
2. SEJARAH HUKUM INDONESIA
Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum” telah
menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda
usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Apa yang sejak lama
disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertelaahan
sejumlah peristiwa-peristiwa yuridisi dari zaman dahulu yang disusun
secara kronologis, jadi adalah kronik hukum dahulu. Sejarah hukum
yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok
benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan suatu yang berhenti
melaiknkan suatu yang bergerak; bukan mati. Melainkan hidup. Hukum
sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus
menerus. Pengertian tumbuh membuat 2 arti yaitu, perubahan dan
stabilitas. Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang
erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus
antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum
pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan suatu
kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa
kini, hanya dengan penyelidikan sejarah., bahwa mempelajari hukum
secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.
Misal saja penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Koesno tentang hukum
adat setelah Perang Dunia II melalui beberapa pentahapan
(periodisasi). Secara kronologi perkembangan tersebut dibaginya
dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Masa 1945-1950
2. Masa UUDS 1950
3. Masa 1959-1966
4. Masa 1966-sekarang
Penetapan tersebut disertai analisis yang mendalam tentang
kedudukan dan peranan hukum adat pada masa-masa tersebut.
Mempelajari sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang
dikatakan oleh Macauly bahwa dengan mempelajari sejarah, sama
faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh.
D. Soal
1. Jelskan pengertian dan tujuan hukum?
2. Jelaskan kedudukan dan Fungsi hukum?
3. Ceritakan secara singkat sejarah tata hukum Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,2003
Antony Alloit, The Limits of Law USA. Butterworths & Co. Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013 Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksim
BAB III
BEBERAPA PENGERTIAN DASAR DARI HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa dapat memehamI, Masyarakat Hukum, Subyek
Hukum, Obyek Hukum
2. Mahasiswa dapat memahami Perbuatan Hukum, Peristiwa
Hukum, Hukum Hak dan Kewajiban
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan, Masyarakat Hukum Subyek
Hukum, Obyek Hukum
2. Mahasiswa dapat memjelaskan Peristiwa Hukum, Hukum Hak dan
Kewajiban
C. Uraian Materi
1. Masyarakat Hukum
2. Subyek Hukum
3. Obyek Hukum
4. Perbuatan Hukum, Peristiwa Hukum
5. Hukum Hak dan Kewajiba
Ada beberapa hal yang sangat mendasar dan perlu diketahui lebih
lanjut tentang hukum, yaitu mekanisme bekerjanya hukum itu sendiri di
tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada beberapa pengertian yang saling
terkait, seperti masyarakat hukum, subjek, objek, peristiwa dan perbuatan
hukum. Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut:8
1. Hukum Masyarakat
Yang disebut sebagai masyarakat hukum adalah sekelompok orang
yang berdiam di dalam suatu wilayah tertentu di mana di dalam kelompok
88
Dudu Daswara Machmudin. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Refika Aditamahal 31-32
tersebut berlaku serangkaian peraturan yang menjadi pedoman bertingkah
laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka. Peraturan
itu dibuat oleh kelompok itu sendiri dan berlaku bagi mereka sendiri.
Dilihat dari segi bentuk masyarakat tersebut dapat terjadi berdasarkan
hubungan yang diciptakan anggotanya, berdasarkan sifat pembentukannya,
berdasarkan hubungan kekeluargaan dan berdasarkan perikehidupan
kebudayaan.
2. Subjek Hukum
Yang dimaksud dengan subjek hukum adalah pendukung hak yaitu
manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang menjadi
pendukung hak). Suatu subjek hukum mempunyai kekuasaan untuk
mendukung hak.
Menurut macamnya subjek hukum ada dua, yaitu pertama manusia
(naturalijke person), kedua badan hukum (rechts person). Sedangkan
menurut hukum modern, setiap manusia apakah itu warga negara atau warga
negara asing, apakah dia laki-laki atau perempuan, tidak peduli apa yang
menjadi agama dan kebudayaan seseorang dapat menjadi subjek hukum.
Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. Dengan kata lain manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum misalnya
membuat perjanjian, membuat surat wasiat, melakukan perkawinan dan lain
sebagainya.
Namun demikian kewenangannya itu dibatasi oleh beberapa faktor, dan
keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan berwenang untuk
melakukan tindakan hukum apabila dia telah dewasa dan sehat jiwanya serta
tidak berada dalam pengampuan (curandus).
Seseorang bisa katakan cakap bertindak hukum kalau orang tersebut
dikategorikan telah dewasa. Ukuran umur seseorang dikatakan dewasa
bervariasi. Menurut KUHPerdata seseorang laki-laki di dewasa kalau dia
sudah berumur 18 tahun, sedang untuk perempuan sudah berumur 15 tahun.
Sedangkan menurut undang-undang perkawinan dewasa itu adalah bila pria
sudah berumur 19 tahun dan bagi wanita ia telah berumur 16 tahun.
Sedangkan menurut KUHPidana seseorang dikatakan dewasa kalau dia
telah berumur 16 tahun tidak dibedakan antara pria dan wanita. Menurut UU
Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum Anggota- Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan rakyat seseorang baik pria maupun wanita
disebut telah dewasa apabila telah berumur 17 tahun. Menurut Undang-
undang Nomor 62 tahun 1958 tentang kewarga-negaraan Republik
Indonesia, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berumur 21 tahun
atau pernah kawin sebelumnya. Sedangkan menurut hukum adat seseorang
dikatakan telah dewasa apabila ia telah “Kuat gawe” atau telah mampu
mencari nafkah sendiri. Terakhir, pengertian dewasa menurut Hukum Islam.
Menurut Syariat Islam seseorang dinyatakan sebagai subjek Hukum atau
mukalaf (kewajiban untuk melakukan peraturan Allah) yaitu apabila:
a. Ajaran Islam sudah sampai kepadanya
b. Berakal (sehat, tidak gila, atau dalam keadaan tidak sadar) dan
sebagainya.
c. Baligh yang cici-cirinya antara lain sudah berumur 15 tahun, pernah
mimpi bersetubuh, sudah menikah, dan menstruasi (haid) bagi
wanita
3. Objek Hukum
Yang dimaksud dengan objek hukum ialah segala sesuatu yang
berguna bagi subjek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan
hukum yang dilakukan oleh para subjek hukum. Dalam bahasan hukum,
objek hukum dapat juga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan
atau dimiliki subjek hukum.
Ada yang mengartikan hak sebagai izin atau kekuasaan yang diberikan
hukum. Ada juga yang mengidentikkan hak dengan wewenang. Dalam
bahasa latin hak atau wewenang diberi istilah ius, sedangkan dalam bahasa
Inggris diberi istilah right, Dalam Bahasa Perancis diberi nama droit
sedangkan menurut bahasa Belanda digunakan istilah recht.
Sekarang kita membahas objek hukum yang namanya benda.
Berdasarkan hukum perdata Barat, benda itu dibedakan menjadi beberapa
macam yaitu:
a. Benda yang dapat diganti (contoh uang) dan yang tidak dapat diganti
(contoh seekor kuda).
b. Benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan
atau diluar perdagangan (contoh jalan atau lapangan umum).
c. Benda yang dibagi (contoh beras) yang tidak dapat dibagi (contoh seekor
kuda)
d. Benda yang bergerak (contoh perabot rumah) dan yang tidak bergerak
(contoh tanah).
e. Benda yang berwujud, lichamelijke zaken (contoh tanah dan benda yang
tidak berwujud, onlichamelijke zaken (contoh segala hak).
Dari perbedaan di atas yang dianggap paling penting adalah
perbedaan-perbedaan benda yang bergerak dan benda tidak bergerak sebab
pembagian ini mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum.
Yang termasuk kategori benda bergerak dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
a. Benda yang dapat bergerak sendiri, contohnya hewan
b. Benda yang dapat dipindahkan, contoh meja kursi
c. Benda bergerak karena penetapan undang-undang, contohnya hak
pakai, sero, bunga yang dijanjikan.
Sedangkan yang termasuk kategori benda yang tidak bergerak pun
dibedakan lagi menjadi tiga pula, yaitu:
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, contoh tanah, rumah
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya, contoh gambar, kaca, alat
percetakan yang ditempatkan di gudang.
c. Benda tidak bergerak karena penetapan undang-undang contoh hak
pakai, hak numpang, hak usaha.
4. Peristiwa Hukum
Yang dimaksud dengan peristiwa hukum atau kejadian hukum adalah
peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum. Peristiwa
hukum dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: perbuatan subjek hukum yang
merupakan perbuatan hukum, lalu perbuatan subjek hukum yang bukan
perbuatan hukum.
Peristiwa hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum
b. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum.
Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum, adalah semua
perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau badan hukum yang dapat
menimbulkan akibat hukum contoh peristiwa pembuatan surat hukum wasiat
dan peristiwa tentang penghibahan barang.
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum adalah semua
peristiwa hukum yang tidak timbul karena perbuatan subjek hukum, akan
tetapi apabila terjadi dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu.
Perbuatan subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu:
a. Perbuatan subjek hukum yang merupakan perbuatan hukum
b. Perbuatan subjek hukum yang bukan perbuatan hukum
Perbuatan subjek hukum yang merupakan perbuatan hukum adalah
perbuatan subjek hukum yang akibat hukumnya dikehendaki pelaku. Jadi
unsur kehendak menjadi unsur esenssial dari perbuatan tersebut.
Perbuatan subjek hukum yang bukan perbuatan hukum adalah
perbuatan subjek yang akibat hukumnya tidak dikehendaki pelaku.
5. Perbuatan Hukum
Seperti yang telah di singgung sebelumnya bahwa perbuatan hukum
adalah perbuatan subjek hukum yang akibat hukumnya dikehendaki pelaku.
Seperti yang dikemukakan oleh longmann seperti yang dikutip Dudu
Duswara bahwa perbuatan hukum adalah perbuatan yang bermaksud
menimbulkan kewajiban hukum (melenyapkan atau mengubah kewajiban
hukum).
Atau dengan kata lain perbuatan hukum adalah segala perbuatan
manusia yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
Jadi suatu perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki pelaku, bukan suatu
perbuatan hukum. Misalnya tindakan subyek hukum dalam mengadakan
perjanjian tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban yang timbulinilah yang disebut dengan akibat hukum.
Secara umum menurut macamnya perbuatan hukum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Perbuatan hukum bersegi satu (sepihak)
b. Perbuatan hukum bersegi dua (timbal balik)
c. Perbuatan hukum bersegi banyak
Suatu perbuatan hukum disebut bersegi satu apabila perbuatan itu
akibat hukumnya hanya ditimbulkan oleh satu pihak, sementara perbuatan
hukum disebut bersegi dua apabila satu perbuatan itu akibat hukumnya
ditimbulkan oleh kehendak dua subyek yang melakukan perbuatan hukum itu
sendiri, sedangkan perbuatan hukum bersegi banyak apabila perbuatan itu
akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak banyak pribadi.
Di samping perbuatan hukum sebagai subjek hukum ada lagi perbuatan
subjek hukum yang bukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan melanggar/
melawan hukum atau onrechtmatige daad. Sebagai contoh dari
onrechtmatige daad pada mulanya secara sempit diartikan sebagai suatu
perbuatan melanggar undang-undang dalam arti :
a. Melanggar hak orang lain sebagaimana yang ditetapkan oleh
undang-undang
b. Melanggar kewajiban hukum dari pelaku itu sendiri sebagai mana
ditetapkan undang-undang.
Terkait dengan perbuatan melawan hukum ada satu pasal dalam
KUHPerdata yaitu pada Pasal 1365 atau Pasal 1401 BW yang mengkaji
tentang persoalan ini seperti bisa dilihat pada sebuah kasus yang terkenal
dengan putusan Hoge Raad 10 Juni 1910.
Dari hasil pertimbangan dan pengkajian terhadap kasus yang dihadapi
Hoge Raad mengemukakan bahwa sekarang yang dimaksud dengan
perbuatan melanggar hukum (oncrechtmatige daad) adalah setiap :
a. Perbuatan yang melanggar hak orang lain sebagaimana diterapkan
undang-undang.
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelaku
sebagaimana ditetapkan undang-undang.
c. Pertumbuhan yang bertentangan dengan kesusilaan
d. Perbuatan yang bertentangan dengan keseksamaan yang lazim
dalam pergaulan manusia terhadap orang lain, atau harta benda
milik orang lain.
6. Hubungan Hukum
Yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah suatu hubungan di
antara para subjek hukum yang diatur oleh hukum. Dalam setiap hubungan
hukum selalu terdapat hak dan kewajiban.
Menurut Longmann seperti yang dikutip oleh Dudu Duswara bahwa
setiap hubungan hukum ada dua segi, yaitu kekuasaan (wewenang) dengan
lawannya kewajiban. Menurutnya dalam hubungan hukum ada pihak yang
berhak meminta prestasi dan ada pihak yang wajib melakukan prestasi.
Menurut macamnya hubungan hukum itu ada dua:
a. Hubungan hukum bersegi satu
b. Hubungan hukum bersegi dua
Dalam hubungan hukum yang bersegi satu atau sepihak hanya ada
satu pihak yang berkewajiban melakukan suatu jasa yang berupa berbuat
sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau memberi sesuatu. Dengan kata lain
hubungan hukum sepihak adalah hubungan yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak secara berlawanan. Misalnya kasus
penghibahan tanah air dari orang tua kepada anak angkatnya.
Sedangkan hubungan hukum yang bersegi dua, adalah hubungan
hukum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak. Kedua pihak mempunyai hak untuk meminta sesuatu dari pihak lain,
begitu juga kedua pihak mempunyai kewajiban sesuatu kepada pihak lain.
Misalnya dalam kasus jual beli sebidang tanah dalam kasus ini timbul hak
dan kewajiban, baik bagi pembeli maupun bagi penjual.
Disamping dua macam hubungan hukum di atas, ada juga yang
membedakan hubungan hukum menjadi empat, yaitu:
a. Hubungan hukum yang sederajat (neben ein ander). Dalam
lapangan hukum perdata, misalnya hubungan suami isteri.
b. Hubungan tidak sederajat (naach ein ander). Dalam hukum tata
negara misalnya, hubungan penguasa dengan rakyatnya.
c. Hubungan timbal balik, yaitu para pihak sama-sama mempunyai hak
dan kewajiban. Misalnya jual beli.
d. Hubungan yang timbang bukan sepihak, yaitu satu pihak hanya
mempunyai hak saja, sedangkan pihak lain hanya mempunyai
kewajiban saja. Misalnya pinjam meminjam.
7. Akibat Hukum
Yang dimaksud dengan akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi
dan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap
objek hukum atau pun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-
kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah
ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
Atau dengan kata lain, akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan
oleh peristiwa hukum. Contoh mengenai akibat hukum adalah:
a. Terbitnya suatu hak dan kewajiban bagi pembeli dan penjual adalah
akibat dari perbuatan hukum jual beli antara pemilik rumah dan
pembeli rumah.
b. Penjatuhan hukum terhadap seseorang pencuri adalah akibat hukum
dari adanya seseorang yang mengambil barang orang lain karena
tanpa hak atau secara melawan hukum.
8. Fungsi Hukum
Pada umumnya yang dimaksud dengan fungsi adalah tugas. Dalam
konteks pergaulan hidup di antara para subjek hukum, hukum berperang
sedemikian rupa, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan
teratur sebab hukum menentukan dengan tegas hak dan kewajiban mereka
masing-masing.
Menurut Sjachran Basah seperti dikutip Dudu Duswara fungsi hukum
dalam kehidupan masyarakat terutama di Indonesia mempunyai panca
fungsi: yaitu:
a. Direktif, adalah penatah dalam membangun untuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
b. Interaktif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
c. Stabilitatif, sebagai pemeliharaan (termasuk di dalam hasil-hasil
pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara bermasyarakat.
d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan
administratif negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan
bernegara dalam bermasyarakat.
e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara
dalam mendapatkan keadilan.
9. Hak dan Kewajiban
Yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan hukum
obyektif kepada subjek hukum. Wewenang yang diberikan kepada subjek
hukum ini contohnya adalah wewenang untuk memiliki tanah dan bangunan
yang penggunaannya diserahkan kepada pemilik itu sendiri. Ia dapat berbuat
apa saja terhadap tanah dan bangunan itu misalnya untuk menguasasi,
menjual, menggadaikan dan sebagainya. Asal saja tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum,
kesusilaan dan kepatutan.
Kewenangan untuk berbuat inilah yang disebut hak. Dengan kata lain
hak adalah tuntutan sah agar orang lain bersikap-tindak dengan cara-cara
tertentu. Timbulnya hak:
a. Adanya subjek hukum baru, baik berupa orang maupun badan
hukum.
b. Adanya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang
mengadakan perjanjian.
c. Adanya kerugian yang telah disepakati oleh para pihak yang
mengadakan perjanjian.
d. Seseorang yang telah melakukan kewajiban yang merupakan syarat
mutlak untuk memperoleh hak itu.
e. Kadaluarsa yang bersifat akuisitif, yaitu yang dapat menghadirkan
hak bagi seseorang.
Sedangkan lenyapnya hak dapat diakibatkan oleh beberapa sebab
a. Pemegang hak tersebut meninggal dunia dan kebetulan tidak
didapati pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh pemegang
hak itu sendiri maupun oleh hukum.
b. Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi.
Misalnya sewa rumah yang telah habis masanya kebetulan oleh
yang punya rumah sudah tidak disewakan lagi.
c. Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak sendiri.
Misalnya seseorang yang mempunyai piutang pada orang lain. Hak
menagih yang dia punyai akan lenyap mana kala si debitur telah
melunasi hutangnya.
d. Kadaluarsa yang bersifat ekstingtif, yaitu kadaluarsa menghapuskan
hak, misalnya seorang yang mempunyai sebidang tanah yang
ditelantarkan. Tanah itu kemudian selama 30 tahun dipelihara,
digarap dan dikuasai oleh orang lain itu yang berhak atas tanah itu.
e. Penyalahgunaan hak dianggap telah terjadi manakala seseorang
menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan
tujuan untuk mana hak itu diberikan. Dengan demikian setiap hak
yang diberikan hukum kepada seseorang sudah tentu mempunyai
tujuan, yaitu tujuan kemasyarakatan. Oleh sebab itu apabila ada
penggunaan hak yang tidak sesuai dengan peruntukannya maka
dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak.9
D. Soal
1. Apa yang dimaksud dengan Mayarakat Hukum ?
2. Jelskan apa yang dimaksud dengan Subyek Hukum, Obyek
Hukum
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Obyek hukum dan berikan
contohnya
4. Jelaskan apa yang di maksuddengan Peristiwa hukum dan berikan
contohnya?
5. Apa yang dimaksud dengan hukum hak dan kewajiban ? 9Ibid hal 55
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,2003
Dudu Daswara Machmudin. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Refika Aditama, cet ke-2, 2003
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB IV
PENGGOLONGAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum
berdasarkan sumbernya
2. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum
berddasarkan bentuknya
3. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum berdasarkan
isinya
4. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum tempat
berlakunya
5. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum berdasarkan
masa berlakunya
6. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum berdasarkan
cara mempertahankan
7. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum berdasarkan
sifatknya
8. Mahasiswa mampu memahami penggolongan Hukum berdasarkan
wujudnya
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan Hukum
berdasarkan sumbernya
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan Hukum
berdasarkan bentuknya
3. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan Hukum
berdasarkan isinya
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan Hkum tempat
berlakunya
5. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan Hukum
berdasarkan masa berlakunya
6. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mencontohkan penggolongan
hukum berdasarkan cara mempertahankan
7. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan hukum
berdasarkan sifatknya
8. Mahasiswa mampu menjelaskan penggolongan hukum
berdasarkan wujudnya
C. Uraian Materi
1. Penggolongan Hukum berdasarkan sumbernya
2. Penggolongan Hukum berdasarkan bentuknya
3. Penggolongan Hukum berdasarkan isinya
4. Penggolongan Hukum tempat berlakunya
5. Penggolongan Hukum berdasarkan masa berlakunya
6. Penggolongan Hukum berdasarkan cara mempertahankan
7. Penggolongan Hukum berdasarkan sifatknya
8. Penggolongan Hukum berdasarkan wujudnya
Hukum merupakan himpunan kaidah, berisi keharusan atau larangan
perihal tingkah laku manusia. Kaidah-kaidah yang dimaksud dianut di tengah
masyarakat. Karena itu hukum bisa dikelompokkan dalam beberapa kriteria
sebagai berikut :
1. Penggolongan hukum berdasarkan sumbernya:10
Menurut sumber formalnya hukum dapat terbagi atas lima, yaitu
a. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.
10
Dudu kuswara, Op Cit, hal, 56-65
b. Hukum adat dan hukum kebiasaan , yaitu hukum yang tercantum
dalam peraturan-peraturan adat dan kebiasaan .
c. Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk dari putusan
pengadilan.
d. Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara peserta
perjanjian internasional.
e. Hukum doktrin, yaitu hukum yang berasal dari pendapat para ahli
hukum terkenal.
2. Penggolongan Hukum Berdasarkan Bentuknya
Menurut bentuknya hukum terbagi atas dua:
a. Hukum tertulis (statue law, written law, scriptum) yaitu hukum yang
dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
b. Hukum tidak tertulis (un-statutery, un written law, non-scriptum), yaitu
hukum yang masih hidup dalam keyakinan dan kenyataan di dalam
masyarakat, dianut dan ditaati oleh masyrakat yang
bersangkutan.Misalnya hukum kebiasaan dan hukum adat.
Hukum tertulis terbagi lagi atas hukum tertulis yang dikodifikasikan dan
tidak dikodifikasikan. Yang dimaksud dengan kodifikasi menurut Fockema
Andreae adalah penyusunan atau penetapan perundang-undangan dalam
kitab-kitab secara sistematis bagi bagian-bagian bidang hukumyang agak
luas. Atau secara sederhana dapat kita katakan adalah pengumpulan hukum
sejenis yang tersusun secara lengkap dan sistematis dalam sebuah kitab
undang-undang.
Adapun bentuk hukum yang dikodifikasikan adalah: berlaku di
indonesia mulai 1 mei 1848. KUHDagang yang berlaku di indonesia mulai 1
mei 1848, KUHPidana yang berlaku di indonesia mulai 1 januari 1918, dan
sebagainya.
Sedangkan hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan contohnya Undang-
Undang, Peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya.
3. Penggolongan Hukum Berdasarkan Isinya
Berdasarkan isi atau kekuatan yang dianutnya, hukum digolongkan
menjadi dua yaitu:
a. Hukum privat, adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi,
misalnya hukum perdata, hukum dagang.
b. Hukum publik, adalah hukum yang mengatur kepentingan umum
atau kepentingan publik. Misalnya hukum tata negara, hukum
pidana, hukum acara pidana, dan sebagainya.
Bila dikaji ternyata ada perbedaan antara hukum privat dan hukum
publik, yaitu:
HUKUM PRIVAT HUKUM PUBLIK
a. Mengutamakan kepentingan
individu
b. Mengatur hal ikhwal yang bersifat
khusus
c. Dipertahankan oleh individu
d. Asas damai diutamakan, hakim
mengupayakannya
e. Setiap saat gugatan penggugat
dapat ditarik kembali
f. Sanksinya berbentuk perdata
a. Mengutamakan pengaturan
mengutamakan kepentingan
umum
b. Mengatur hal ikhwal yang bersifat
umum
c. Dipertahankan oleh negara
melalui jaksa
d. Tidak mengenal asas perdamaian
e. Tidak dapat dicabut kembali
kecuali dalam perkara aduan
f. Sanksinya umum
Adanya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat bukanlah
perbedaan yang a priori memaksa, sedangkan hukum privat tidak walaupun
pada akhirnya juga memaksa.
4. Penggolongan Hukum Berdasarkan Tempat Berlakunya
Mengenai tempat berlakunya hukum dapat dibagi atas:
a. Hukum Nasional<adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
b. Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum
dalam dunia internasional.
c. Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam negara lain.
d. Hukum gereja, yaitu kaidah yang ditetapkan gereja untuk para
anggotanya.
Dalam hal ini Hans Kelsen mengajarkan lingkungan kuasa kaidah yang
meliputi empat macam lingkungan, sebagaimana dalam bukunya General
Theory of Law and state:
Just as there are norms validonly for a certain territory, for a certain
time, And with respect to certain matters, so there are norms valid only for
Certain individuals.
Empat lingkungan yang dimaksud adalah:
1. Waktu berlakunya.
2. Daerah berlakunya.
3. Terhadap siapa berlakunya.
4. Soal-soal apa yang diaturnya.
5. Penggolongan Hukum Berdasarkan Masa Berlakunya
Berdasarkan kriteria berlakunya, hukum dapat digolongkan ke dalam:
a. Hukum Positif (Lus Constitutum), yaitu hukum yang berlaku saat ini,
pada masyarakat tertentu, dan wilayah tertentu.Hukum positif bisa juga
disebut tata hukum.Misalnya hukum pidana yang berdasarkan KUHP
sekarang.
b. Hukum yang dicita-citakan, diharapkan, atau direncanakan akan
berlaku pada masa yang akan datang(lus constituendum) contoh dari
hukum yang dicita-citakan misalnya hukum pidana nasional yang
sampai sekarang masih terus disusun.
c. Hukum Universal, hukum asasi, atau hukum alam yaitu hukum yang
dianggap berlaku tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Berlaku
sepanjang masa di mana pun, dan terhadap siapa pun.
6. Penggolongan Hukum Berdasarkan Cara mempertahankannya
Berdasarkan kriteria ini, atau juga disebut golongan hukum berdasarkan
fungsinya, hukum dapat dibagi menjadi:
a. Hukum materiil, yaitu hukum yang mengatur tentang isi hubungan antara
sesama anggota masyarakat, antaranggota masyarakat dengan
masyarakat, antaranggota masyarakat dengan pengusaha negara antar
masyarakat dengan penguasa negara. Didalam hukum materiil ini
ditetapkan mana sikap tindak yang diharuskan, mana yang dilarang, dan
mana yang diperbolehkan termasuk akibat hukum dan sanksi hukum bagi
pelanggarnya. Contoh dari hukum materiil misalnya ketentuan-ketentuan
hukum yang ada di dalam KUH Pidana, KUH Pidana, UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dsb
b. Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara penguasa
mempertahankan, menegakkan serta melaksanakan kaidah-kaidah
hukum materiil, dan bagaimanakah cara menuntutnya apabila hak
seseorang telah dilanggar oleh orang lain. Biasanya hukum formal
disebabkan juga hukum acara yang meliputi Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Hukum Acara Perdata (HIR/RIB), dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara (HAPTUN).
7. Penggolongan hukum Berdasarkan Sifatnya
Yang termasuk dalam kriteria ini adalah:
a. Kaidah hukum yang memaksa, yaitu kaidah hukum yang dalam
keadaan apa pun harus ditaati dan bersifat mutlak daya ikatnya. Ini
berarti bahwa kaidah hukum yang memaksa ini berisi ketentuan
hukum yang dalam situasi apa pun tidak dapat dikesampingkan
melalui perjanjian para pihak, contohnya pasal 340 KUH Pidana yang
menetapkan:
‘’Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun’’.
b. Kaidah hukum yang mengatur atau melengkapi, yaitu kaidah hukum
yang dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan jelas membuat
ketentuan kasus dalam suatu perjanjian yang mereka adakan.
Ketentuan ini dapat kita lihat dalam 1152 KUHPerdata.
‘’Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang bahwa
diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si
berpiutang atau pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua
pihak”.
8. Penggolongan Hukum Berdasarkan Wujudnya
Berdasarkan kriteria ini hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian:
a. Hukum objektif, yaitu kaidah hukum dalam suatu negara yang berlaku
umum dan tidak dimaksudkan untuk mengatur sikap tindak orang
tertentu saja.
b. Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan
berlaku terhadap seseorang tertentu atau lebih. Hukum subjektif ada
juga yang menyebut sebagai hak, dan ada juga yang mengartikan
sebagai hak dan kewajiban.
Jadi pengertian hukum objektif tidak sama dengan hukum subjektif, walaupun
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Artinya, dalam suatu
peristiwa hukum, hubungan hukum, atau perbuatan hukum hampir selalu
terlihat hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum objektif sebagai kaidah yang bersikap dan berlaku umum
b. Hukum subjektif dalam wujud hak dan kewajiban yang terbit bagi
seseorang tertentu atau lebih yang terlihat dalam suatu peristiwa hukum,
perbuatan hukum dan hubungan hukum yang memang telah diatur oleh
hukum objektif.
Penggolongan hukum secara skematis
Hukum Kebiasaan dan hukum Adat
Hukum undang-undang
Hukum Yurisprudensi
Hukum Traktat
Hukum Doktrin
Hukum Traktat
Hukum Tertulis
Hukum Tidak Tertulis
Hukum privat
Hukum Publik
Hukum Nasional
Hukum Internasional
Hukum Asing
Hukum Gereja
Hukum Positif
Menurut Sumbernya
Menurut Bentuknya
Menurut Isinya
Menurut Tempatnya
HUKUM
D. Soal
1. Sebutkan Penggolongan hukum berdasarkan sumbernya, dan
berikan salah satu contonya?
2. Sebukan Penggolongan Hukum berdasarkan bentuknya?
3. Apa yang di maksud dengan Penggolongan Hukum berdasarkan
isinya ?
4. Jelaskan Penggolongan Hukum tempat berlakunya?
5. Apa ysng dimaksud dengan Penggolongan Hukum berdasarkan
masa berlakunya?
6. Jelaskan Penggolongan Hukum berdasarkan cara
mempertahankan?
7. Jelaskan Penggolongan Hukum berdasarkan sifatnya?
8. Jelaskan Penggolongan Hukum berdasarkan wujudnya?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,
3003 Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB V
BATASAN DAN PENGERTIAN SISTEM HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa dapat memehami Berbagai Komponen dalam Sistem
Hukum
2. Mahasiswa dapat memahami Macam-macam Sistem Hukum
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Berbagai Komponen dalam Sistem
Hukum
2. Mahasiswa dapat memjelaskan Macam-macam Sistem Hukum
C. Uraian Materi
1. Berbagai Komponen dalam Sistem Hukum
2. Macam-macam Sistem Hukum
Istilah sistem ternyata telah dirumuskan oleh banyak ahli sehingga bunyi
batasannya pun berbeda-beda.Gabrial A. Almond.Misalnya telah
mengartikan system sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukan
adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan yang
memengaruhi maupun yang dipengaruhinya.11
Sementara Schosderbek mendefinisikan sistem sebagai perangkat tujuan
yang bersama-sama dengan interrelasi di antara tujuan dan di antara atribut-
atributnya dihubungkan satu sama lainnya, serta dihubungkan dengan
lingkungan sedemikian rupa sehingga membentuk keseluruhan. Sedangkan
11
Muchsin Ikhtisar Ilmu Hukum. Ibid, hal 49
Russel L Ackoff memberikan definisi secara singkat sebagai perangkat
elemen yang saling melakukan interaksi.
Apabila kita kaitkan dengan berbagai definisi sistem di atas terhadap
pengertian sistem hukum, maka yang dimaksud dengan sistem hukum
adalah suatu kesatuan yang utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri bagian-
bagian yang satu sama lain berhubungan dan kait mengkait secara erat.
1. Berbagai Komponen Dalam Sistem Hukum
Menurut Lewrence M.Friedman suatu sistem hukum dapat dibagi
kedalam tiga bagian atau komponen yaitu:
a. Komponen Struktural
b. Komponen Subtansi
c. Komponen Budaya Hukum
Komponen struktural, adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di
dalam suatu mekanisme. Contohnya lembaga pembuat undang-undang,
pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk
menerapkan dan menggerakkan hukum.
Komponen subtansi adalah suatu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem
hukum. Hasil nyata ini dapat berbentuk hukum in-come creto atau kaidah
hukum individual, maupun hukum in-abstracto atau kaidah hukum umum.
Contoh kaidah hukum individual seperti pengadilan menghukum
terpidana, polisi memanggil saksi guna keperluan proses verbal.
Sedangkan kaidah hukum umum, yaitu ketentuan hukum yang tercantum
dalam pasal undang-undang, misalnya pasal 362 KUHPidana tentang
pencurian.
Dalam pandangan Hans Kalsen ada dua teori yang menurutnya cukup
penting yaitu ajaran hukum murni dan Stufenbau Theory.
Inti dari teori hukum murni dari Hans Kelsen adalah hukum harus
dibersihkan dari analsir-anasir yang non hukum (politik, ekonomi, sosial
dan lain-lain) sedangkan Stufenbau teorinya berintikan bahwa sistem
hukum itu merupakan pertanggalan kaidah secara piramida. Artinya suatu
kaidah hukum yang tingkatannya lebih rendah harus mempunyai dasar
atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih tinggi tingkatannya.
2. Macam-macam Sistem Hukum.12
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara Eropa daratan yang
sering disebut sebagai “Civil law” sebenarnya semula berasal dari
kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Justianus Abad VI sebelum masehi. Peraturan-
peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berbagai kaidah
hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kemudian disebut
“Corpus Juris Civilis”.
Prinsip utama yang menjadi dasar dari sistem ini adalah “hukum”
memperolehkekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-
peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Sumber hukum
bagi sistem hukum ini adalah “undang-undang” yang dibentuk oleh
pemegang kekuasaan legislatif. Selain itu juga diakui “peraturan-
peraturan” yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan
wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang (peraturan-
peraturan hukum administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak
bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan sumber-sumber
hukum itu maka sistem hukum Erofa kontinental penggolongannya
ada dua, yaitu penggolongan ke dalam bidang “hukum publik” dan
“hukum privat”.
Termasuk dalam hukum publik adalah :
12
Abdoel djamali Pengantar Hukum Indonesia Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 66- 75
1. Hukum tata negara
2. Hukum administrasi negara
3. Hukum pidana
Sedangkan yang termasuk hukum privat adalah :
1. Hukum sipil
2. Hukum dagang
b. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika)
Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian dikenal dengan sebutan
Anglo Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang
sering disebut sebagai sistem Common Law dan sistem Unwritten
Law” (tidak tertulis). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetapi
tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal
pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (Statutes).
Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo Amerika adalah putusan –
putusan hakim/pengadilan (Judicial decisions). Melalui putusan-
putusan hakim yang diwujudkan kepastian hukum, maka prinsip-
prinsip kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang
mengikat umum. Di samping putusan hakim, maka kebiasaan –
kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan
peraturan administrasi negara diakui walaupun banyak landasan
terbentuk kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari dalam
pengadilan. Selain itu di dalam sistem hukum Anglo Amerika
“Peranan” yang diberikan kepada seorang hakim berbeda dengan
sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim berfungsi tidak hanya sebagai
pihak yang menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum
saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh
tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang
sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan
bagi hakim-hakim untuk memutuskan perkara yang sejenis.
c. Sistem Hukum Adat
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial
di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India,
Jepang dan negara lainnya.
Sistem hukum adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum
tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Dan hukum adat itu mempunyai
tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak
nenek moyang itu. Karenannya keinginan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu selalu dikembalikan kepada pangkalnya,
kehendak suci nenek moyang adalah tolak ukur terhadap keinginan
yang akan dilakukan.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat, maka dari 19
daerah lingkungan hukum Indonesia sistem hukum adat dibagi ke
dalam tiga kelompok :
1. Hukum adat mengenai Tata Negara (tata susunan rakyat)
mengatur tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-
persekutuan hukum serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat
perlengkapan, jabatan-jabatan dan pejabatnya.
2. Hukum adat mengenai Warga (hukum warga) terdiri yaitu:
a. Hukum pertalian sanak (perkawinan, waris)
b. Hukum tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah).
c. Hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi
tentang benda selain tanah dan jasa).
3. Hukum adat mengenai delik (hukum Pidana), memuat peraturan-
peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap
pelanggaran hukum pidana itu.
d. Sistem Hukum Islam
Sistem hukum ini semula dianut oleh masyarakat arab sebagai awal
dari timbulnya dan penyebaran agama Islam. Kemudian berkembang
ke negara –negara lain di Asia, erofa dan Amerika secara individual
maupun kelompok. Sedangkan untuk beberapa negara di Afrika dan
asia perkembangannya sesuai dengan pembentukan negara itu yang
berasaskan ajaran Islam. Bagi negara Indonesia walaupun mayoritas
warga negaranya beragama Islam, pengaruh agama itu tidak besar
dalam bernegara, karena asas pembentukan negara bukanlah
menganut ajaran Islam. Sistem hukum Islam bersumber kepada:
1. Al’Qur’an
2. Sunah Nabi ialah cara hidup nabi Muhammad atau cerita (hadist)
mengenai nabi Muhammad.
3. Ijma ialah kesepakatan para ulama besar tentang sesuatu hal
dalam cara bekerja (berorganisasi).
4. Qiyas ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan
antara dua kejadian.
Beberapa asas hukum Islam yang pernah disampaikan oleh Tim
Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dalam laporannya tahun 1983/1984 sebagai
berikut:
1. Asas-asas Umum
Meliputi : (1) asas keadilan (2) asas kepastian, dan (3) asas
kemanfaatan
2. Asas-asas dalam lapangan hukum Pidana
Meliputi : (1) asas legalitas (2) asas larangan memindahkan
kesalahan pada orang lain, (3) asas praduga tidak bersalah.
3. Asas-asas dalam lapangan hukum perdata
Meliputi : asas kebolehan (mubah, kemaslahatan, kebebasan dan
kesukarelaan, menolak dan mudarat dan mengambil manfaat,
kebajikan, kekeluargaan, adil dan berimbang, mendahulukan
kewajiban dari pada hak, larangan merugikan diri sendiri dan orang
lain, kemampuan berbuat, kebebasan berusaha, mendapat hak
karena usaha dan jasa, perlindungan hak, hak milik fungsi sosial,
itikad baik harus dilindungi, resiko dibebankan pada harta benda
bukan pada tenaga atau pekerja, mengatur sebagai petunjuk,
perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Perdata khusus : Hukum perkawinan:
Meliputi : asas kesukarelaan, persetujuan kedua belah
pihak,kebebasan memilih, kemitraan suami-istri, untuk selamanya,
dan menogami terbuka.
Perdata Khusus : Hukum kewarisan
Meliputi : Asas Ijbari (wajib dilaksanakan), bilateral, individual,
keadilan yang berimbang, akibat kematian.
Dalam proses pengambilan keputusan hukum Islam di dalam syariat
dalam terjadi perbedaan pendapat bila di dalam sumber utama hukum yaitu
Al’qur’an dan Al-Hadist tidak ditemukan. Maka jalan berikutnya adalah
dengan beruhtijhad, yaitu suatu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan
untuk mencapai suatu putusan syara’ (hukum Islam) yang penyelesaianya
belum tertera dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dasar Ittihad ini adalah sebuah
hadist yang menceritakan dialog Rasulullah SAW dengan sahabat Mu’az bin
Jabal yang diutus ke Yaman sebagai kadi (hakim). Saat itu Rasulullah
bertanya tentang penetapan hukum apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
dan sunnah Rasul. Mu’az bin Jabal menjawb “ apabila tidak ada dalam Al-
Qur’an dan sunah rasul maka saya akan berijtihad”. Karena itu dalam
perkembangan berikutnya, akibat dari ijtihad ini muncul berbagai madzhab
atau kelompok aliran yang berbeda dalam metode pengambilan hukum
tersebut.
Ada banyak madzhab, namun empat 94) madzhab yang paling menonjol
yang sering dijadikan rujukan oleh para ahli hukum Islam yaitu:
1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi lahir di Kufah, dirintisoleh Abu hanafiah An Nu’Am bin
Tsabit atau lebih dikenal dengan sebuat Al-Imamul a’zam (Imam besar).
Beliau keturunan persi, lahir di kufah tahun 699.
Keahlianya di bidang ilmu kalam dan ilmu fikh dari Syaikh Hammad bin
Abi Sulaiman, kemudian di dukung dengan keaktifannya sebagai
saudagar sutera yang mengakibatkan terjadinya hubungan-hubungan
hukum secara praktis. Karenanya Beliau cakap menerapkan pendapat
dan logika dalam menggali hukum syariat dengan cara qiyas dan
istihsan. Itulah sebabnya, Beliau terkenal dengan sebutan Madzhab
aliran Ra’yi. Imam Syafi’I pernah berkata “ Siapa yang senang dengan
ilmu fikh harus menjadi keluarga pada Abu Hanifah”.
2. Madzab Maliki
Imam Mahzhab ini bernama Malik Bin Anas Al-Asyabahi Al-Arabi Lahir
di Madinah pada tahun 713 dan meninggal pada tahun 795. Beliau terus
menetap di Madinah dan tidak pernah keluar kota kecuali ke Mekah untuk
keluar kota kecuali ke Mekah untuk Ibadah Haji.
Imam Malik ulama terulung dalam bidang hadits dan ilmu Fikh, serta
menjadi Imam di negerinya. Imam Syafi’I pernah mengatakan “Malik
adalah hujjatullah, darinyalah saya memperoleh ilmu. Kalau kau dapatkan
daripadanya peganglah kuat-kuat dan kalau datang atsar atau hadits
maka Malik adalah bintangnya.” Pendirianya teguh dalam membawakan
madhzabnya, karena itu pernah dicambuk Wali Negeri Muhammad Ja’far
bin Sulaiman karena ucapanya yang tegas menolak jual beli paksaan.
Kumpulan buku haditsnya Al-Muwatta, yang menurut Imam Syafi’I tidak
ada kitab setelah Al-Qur’an yang lebih sah kecuali kitabnya Malik.
Sebagai pedoman hukum, selain Al-Qur’an dan Hadits, Beliau
menggunakan giyas dan Al-Masalihul Musalah, Suatu dalil atau alasan
hukum berkenaan dengan keharusan karena kemaslahatan umum.
3. Madzhab Syafi’i
Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’I, Keturunan Quraisy yang lahir di
Gaza tahun 767 dan meninggal di Mesir pada tahun 819. Beliau Seorang
imam keliling yang suka mengadakan perlawatan-perlawatan.
Awalnya Beliau mengikut madzhab Maliki dan aliran hadits, namun
perlawatanya telah menambah banyak pengalaman yang mengakibatkan
Beliau mengadakan Madzhab. Pertama memilih madzhab Al-Iraqi yang
disebut madzhab Qadim (Qoul Qodim). Tetapi setelah mesir beliau
mengubah pendapatnya yang lama dengan pendapat yang baru, atau
biasadisebut madzhab Jadid (Qoul Jadid).
Imam Syafi’I seorang Imam Besar, mahir dalam bidang bahasa fikh dan
hadist. Dengan keluasan pengalamanya yang bersifat praktis beliau
sangat tajam pemikirannya, cakap menggali masalah dan berdebatan
serta menggabungkan aliran pendapat dan aliran hadits. Madzhab syafi’I
mengakuit empat dalil hukum, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan
Qiyas. Syafi’I tidak memakai istihsan ulama Hanafi, juga tidak memakai
Masalihul mursalah madzhab maliki.
Kitanya yang terkenal Al-Umm yang ditulis secara ilmiah dan
argumentatif, cara penulisan kitan yang jarang dilakuakn masa itu
Membahas berbagai masalah hukum seperti ibadat, muamalat,
masalah pidana dan pernikahan.
4. Madzhab Hambali
Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal adalah pendiri Madzhab
Hambali. Beliau lahir di Bagdad tahun 780 dan meninggal 855. Termasuk
imam keliling atau pengembara, untuk belajar Hadits, beliau harus pergi
ke Syiria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Kitab Hadist Musnad Imam
Ahmad memuat lebih dari 40.000 Hadist. Karenanya Banyak kalangan
menyebutnya sebagai golongan ahli daripada sebagai ahli ijtihad.
Ibnu Hambali seorang murid terbesar Imam Syafi’i.
D. Soal
1. Jelaskan Komponen dalam Sistem Hukum?
2. Jelaskan Macam-macam Sistem Hukum?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru van
Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori Hukum Jakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB VI
ALIRAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Aliran Legisme
2. Mahasiswa mampu memahami Aliran Freie Rechtsbewegung
3. Mahasiswa mampu memahami Reschtsvinding
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Aliran Legisme
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Aliran Freie Rechtsbewegung
3. Mahasiswa dapat menjelaskan Reschtsvinding
C. Uraian Materi
1. Aliran Legisme
2. Aliran Freie Rechtsbewegung
3. Aliran Reschtsvinding
Beberapa aliran atau mazhab dalam pemikiran tentang hukum, di
pandang sangat penting karena mempunyai luas bagi pengelolaan hukum
lebih lanjut, seperti dalam perbuatan undang-undang dan penerapan hukum
termasuk dalam proses peradilan, atau dengan kata lain beberapa aliran
pemikiran hukum mewarnai pratek hukum. Aliran-aliran hukum tersebut
adalah:
1. Aliran Legisme
Aliran ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam undang-
undang. Atau berarti hukum identik dengan undang-undang. Hakim di dalam
melakukan tugasnya terikat pada undang-undang, sehingga pekerjaanya
hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka (wetstoepassing),
dengan jalan pembentukan silogisme hukum, atau juridischesylogisme, yaitu
suatu dedukasi logis dari suatu perumusan yang luas, kepada keadaan
khusus sehingga sampai kepada suatu kesimpulan. Jadi menentukan
perumusan preposisi mayor kepada keadaan preposisi minor, sehingga
sampai pada conclusion, dengan contoh sebagai berikut :
a. Siapa membeli harus membayar (mayor)
b. Si “A” membeli (minor)
c. Si “A” harus membayar (conclusion)
Menurut aliran ini, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan
tentang undang-undang, sedangkan mempelajari yurisperudensi adalah
masalah sekunder. (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perundang-
undangan dan Yurisprudensi, 1979).
Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan undang-
undang sebagai hukum; termasuk dalam penyelesaian berbagai
permasalahan sosial.
Aliran legisme berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan
segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan undang-undang yang
mengaturnya. Undang-undang dianggapnya sebagai obat yang mujarab, obat
ang manjur. Undang-undang adalah segala-galanya, sekalipun pada
kenyataannya tidak demikian. Pengaruh aliran ini masih berlangsung di
beberapa negara yang maju sekalipun.
2. Aliran Freie Rechtsbewegung
Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan paham
legisme. Ia beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang
hakim bebas untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak. Hal ini
disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum.
Akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang
primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan
hal yang sekunder, pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta
hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasar keyakinannya
merupakan hukum. Dan keputusannya ini lebih bersifat dinamis dan up to
date karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan
masyarakat.
3. Aliran Reschtsvinding
Aliran rechtsvinding dapat dianggap sebagai aliran tengah di antara
aliran-aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Menurut pahami ini, benar-
benar hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti
menurut pandangan aliran legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan.
Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan aliran freie
rechtsbewegung, sehingga dalam melakukan tugas-tugasnya hakim
mempunyai apa yang disebut sebagai “kebebasan yang terikat” (gebonded-
vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije-gebongdenbeid), oleh sebab itu
maka tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang
artinya menseleraskan undang-undang pada tuntutan zaman. Kebebasan
yang terikat dan sebaliknya terbukti tercermin dari beberapa kewenangan
hakim dalam beberapa hal seperti tindakan penafsiran undang-undang
(metode penafsiran telah dikemukakan); menentukan komposisi yang
meliputi analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-
undang yang mempunyai arti luas.
Dari anggapan aliran rechtsvinding terurai di atas dapat diketahui
pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, disamping perundang-undangan.
Hal ini antara lain karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang
konkrit diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak dijumpai dalam
kaidah-kaidah yang terdapat pada undang-undang.
Kelengkapan dalam studi demi penghayatan dan pemahaman hukum
haruslah belajar dari undang-undang dan yurisprudensi bersama-sama.
Ketiga aliran dalam bidang hukum ini sangat penting tidak saja bagi
studi secara teoritis, tetapi malahan akan banyak pengaruhnya di dalam
pembentukan hukum, penemuan hukum dan penerapan hukum. Mengenai
yurisprudensi seperti telah disinggung sepintas, maka pada hukum anglo-
saksis (Inggris dan Amerika Serikat), hakim terikat pada keputusan-
keputusan dari hakim yang lebih tinggi, dan keputusan terdahulu dari
lembaganya sendiri (stare decicis), yang menghasilkan the binding force of
presedent, yang tidak dijumpai pada sistem hukum di negara kita. Namun
demikian kita memiliki yurisprudensi yang pemanfaatannya bersifat
persuasive preseden, yang berarti tidak mengikat secara mutlak. Beberapa
faktor yang berperan disini adalah:
a. Pembentuk undang-undang tidak dapat mengetahui semuanya terlebih
dahulu.
b. Pembuat undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan proses
perkembangan sosial yang relatif cepat.
c. Penerapan undang-undang, menuntut penerapan undang-undang.
d. Apa yang patut dan masuk akal dalam suatu kasus tertentu, berlaku juga
bagi kasus-kasus lain yang sejenis.
e. Peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung
Demikian beberapa aliran yang berpengaruh sesuai zamannya, serta
mewarnai praktek peradilan dari masa ke masa, di samping itu tentunya juga
berpengaruh terhadap pembuatan undang-undang.
D. Soal
1. Jelaskan apa yang dimaksudAliran Legisme?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Aliran Freie
Rechtsbewegung?
3. Jelaskan apa yang dimaksud Aliran Reschtsvindi?
4. Aliran hukum apa yang sering dipraktekkan dalam keputusan
hakim ?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo
Persada, 3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB VII
SUMBER- SUMBER HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa dapat memehami Pengertian dan macam-macam
sumber hukum
2. Mahasiswa dapat memahami Sumber hukum menurut para ahli,
Sumber hukum formal, Sumber tertib hukum RI
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian dan macam-macam
sumber hukum
2. Mahasiswa dapat memjelaskan Sumber hukum menurut para ahli,
Sumber hukum formal, Sumber tertib hukum RI
C. Uraian Materi
1. Pengertian dan macam-macam sumber hukum
2. Sumber hukum menurut para ahli
3. Sumber hukum formal
4. Sumber tertib hukum RI
1. Batasan dan Pengertian
Yang dimaksud sumber hukum adalah tempat kita dapat melihat
bentuk perwujutan alam. Dengan kata lain sumber hukum adalah segala
sesuatu dapat menimbulkan atau melahirkan hukum. Singkatannya,
sumber hukum dapat pula disebut asal mula hukum.
2. Macam-macam Sumber Hukum
Menanggapi persoalan sumber hukum ini Van Apeldoorn melihat
bahwa sumber-sumber hukum itu sangat tergantung dari sudut mana kita
melihat. Menurut Apeldoorn pembagian sumber hukum bisa ditinjau dari
berbagai sudut, kalau sumber hukum dalam arti sejarah, maka yang
disorot adalah dalam arti sumber pengenalan hukum yakni semua tulisan
dokumen, inskripsi dan sebagainya.
Kemudian dalam arti sumber-sumber dari mana pembentukan UU
memperoleh bahan dalam membentuk UU. Sumber hukum dalam arti
sosiologis, menyorot pada pandangan ahli sosiologis, bahwa sumber
hukum adalah faktor-faktor yang memengaruhi isi hukum positif, hukum
adalah faktor-faktor yang memengaruhi isi hukum positif, misalnya kondisi
ekonomi, pandangan agama, saat-saat psikologis. Sumber hukum dalam
arti filsafat lebih memfokuskan kepada sumber isi hukum dan sebagai
sumber kekuatan mengikuti dari hukum, dan sumber hukum dalam arti
formal, adalah Undang-Undang kebiasaan dan traktat.13
Pada hakikatnya sumber-sumber hukum dapat dibedakan dua
macam yaitu :
a. Sumber Hukum Materiil
b. Sumber hukum Formal
Yang dimaksud sumber hukum materiil adalah beberapa faktor yang
dianggap dapat menentukan isi hukum. Di antara beberapa faktor yang
dapat menentukan isi hukum, ada dua faktor yang dianggap penting yaitu
faktor idiil dan faktor riil.
Faktor idiil adalah beberapa patokan yang tetap tentang keadaan
yang harus ditaati oleh para pembentuk hukum lainnya dalam
melaksanakan tugasnya. Sedangkan faktor riil adalah hal-hal yang benar-
benar hidup dalam masyarakat dan merupakan petunjuk hidup bagi
masyarakat yang bersangkutan adapun yang termasuk ke dalam kategori
faktor rill adalah :
a. Struktur ekonomi dan kebutuhan pasar.
13
Van apeldoorn.op. cit. Hal 75-78
b. Adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan berulang dan
menjadi pola tingkah laku yang tetap.
c. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
d. Berbagai gejala dalam masyarakat.
Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya
saja dari sudut ekonomi, sejarah, agama dan sebagainya. Contoh bagi
seorang ekonomi kebutuhan masyarakat itulah menyebabkan timbulnya
hukum. Bagi sosiolog peristiwa yang terjadi dalam masyarakat itulah yang
menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi ahli agama semacam ulama,
pastur, biksu dan sebagainya, kita suci masing-masing agama dan sikap
tindak dari Nabi dan pembawa risalah itulah yang menjadi sumber
hukumnya.
Yang dimaksud sumber hukum formal adalah sumber hukum ditinjau
dari segi pembentukannya. Dalam sumber hukum formal ini terdapat
rumusan berbagai aturan yang merupakan dasar kekuatan mengikatnya
peraturan agar ditaati masyarakat dan para penegak hukum.
Adapun secara umum sumber hukum formal dapat dibedakan
menjadi lima, yaitu :
a. Undang-undang (Statue).
b. Kebiasaan dan adat (Custom.
c. Traktat (Treaty).
d. Yurisprudensi (Case Law, Judge Made Law).
e. Pendapat ahli hukum terkenal (doctrine).
Sumber pertama Undang-undang, menurut Buysundang-undang
mempunyai dua pengertian, yaitu :
1. Undang-undang dalam arti formal, adalah seperti peraturan yang
dibuat oleh alat perundang-undangan dan isinya mengikat umum.
Contohnya undang-undang yang dibuat berdasarkan pasal 5
Ayat (1) UUD 1945.
2. Undang-undang dalam arti materiil, adalah setiap peraturan/
keputusan yang dibuat bukan oleh badan perundang-undang,
tetapi isinya mengikat umum. Contohnya peraturan pemerintah,
dasar hukumnya Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945.
Kemudian sumber yang kedua adalah kebiasaan, kebiasaan adalah
perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang
sama. Kebiasaan itu walaupun tidak ditentukan oleh pemerintah, namun
diakui dan ditaati oleh anggota-anggota masyarakat, oleh karena
kebiasaan-kebiasaan itu berkali-kali dijalankan dan ditaati sehingga
lambat laun menjadi peraturan yang teguh.
Lalu traktat, traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan
antara dua atau lebih negara. Bila traktat diadakan antara hanya dua
negara, maka perjanjian itu disebut bilateral, sedang kalau diadakan oleh
banyak negara, maka disebut perjanjian multilateral.
Kita mengenai dua macam tersebut : traktat dan agreement. Traktat
dibuat oleh president dengan persetujuan DPR, sedangkan agreement
dibuat hanya dengan keputusan presiden, biasanya menyangkut bidang
politik.
Lalu kemudian yurisprudensi, yurisprudensi istilah istilah teknik
indonesia sama artinya dengan yurisprudentie dalam bahasa Belanda
dan yuresprudence dalam bahasa Perancis, yang artinya keputusan
hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim dan dijadikan dasar
keputusan hakim lain menangani kasus yang sama.
Ada tiga asalan mengapa seorang hakim mengikuti keputusan hakim
yang lain :
1. Keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan, terutama
keputusan dibuat oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi,
karena alasan psikologis maka seorang hakim akan mengikuti
keputusan hakim lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
2. Karena alasan praktis.
3. Sependapat, hakim mengikuti keputusan hakim lain karena
sependapat/ menyetujui keputusan hakim lain tersebut.
Kemudian terakhir pendapat Ahli Hukum, pendapat ahli hukum atau
sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan berpengaruh
dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Dalamnya prudensi terlihat
bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa
sarjana hukum yang terkenal. Dalam penetapan apa yang akan menjadi
dasar keputusan-keputusannya maka hakim dapat sering mengutip
pendapat seorang ahli sarjana hukum mengenai soal yang harus
diselesaikannya, apalagi bila sarjaa/ ahli hukum tersebut menentukan
bagaimana seharusnya, sehingga pendapat-pendapat itu menjadi dasar
keputusan hakim tersebut.
Jadi pendapat ahli/ sarjana hukum itu menjadi sumber hukum melalui
yurisprudensi. 14
3. Sumber Hukum Tertib Republik Indonesia
Di zaman Hindia Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal
meliputi 5 tingkat, yaitu : (i) Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda, (ii)
Undang-Undang Belanda atau ‘wet’, (iii) Ordinantie yaitu peraturan yang
ditetapkan oleh Gubernur jenderal Hindia Belanda bersama-sama dengan
Dewan Rakyat (volksraad) di Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda
di den Haag, (iv) Regerings Verordening atau RV, yaitu peraturan
Pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal untuk melakukan
Undang-Undang atau ‘wew’,dan (v) peraturan daerah swantra ataupun
14
Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, refika aditama,bandung hal 21
daerah swapraja.15setelah Indonesia merdeka mulai diperkenalkan
bentuk-bentuk peraturan baru, tetapi dalam praktiknya belum teratur
karena suasana belum memungkinkan untuk menerbitkan peraturan yang
dibuat. Di masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota
dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlukan
sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil
Presiden mengeluarkan Maklumat yang sangat terkenal yang istilahnya
membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang ketika itu sangat berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi
maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai No
. X tertanggal 16 Oktober 1945.
Dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian
terhadap pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan
ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali
produk-produk legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan
Rakyat sementara yang tidak sesuai dengan UUD 1945 ketetapan MPRS
tersebut menugaskan pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR
melaksanakan peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang
berbentuk Penetapan Presiden , Peraturan Presiden Undang-Undang,
ataupun peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. Untuk
memberikan pedoman bagi terwujudnya kepastian hukum dan keserasian
hukum serta kesatuan tafsir pengertian mengenai Pancasila dan
pelaksanaan UUD 1945 serta untuk mengakhiri ekses-ekses dan
penyimpangan-penyimpangan terseebut diatas, ditetapkan sumber hukum
dan tata untuk peraturan perundangan Republik Indonesia dalam
ketetapan MPRS Sumber Tertib Hukum Republik dalam Ketetapan MPR
15
Jimly Asshiddiqi, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di abad Globalisai. Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal 54-55
No. XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan
Republik Indonesia.
Dalam ketetapan No XX/MPRS/ 1966 tersebut, ditentukan bentuk
peraturan dengan tata urut sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar.
2. Ketetapan MPR.
3. Undang-Undang Perpu.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden.
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Dalam praktik, tata urut dan penanaman bentuk-bentuk peraturan
bagaimana diatur dalam ketetapan tersebut, tidak sepenuhnya diikuti.
Sebagai contoh di beberapa kementerian, digunakan istilah peraturan
Menteri, tetapi di beberapa kementerian lainnya digunakan istilah
keputusan Menteri, padahal isinya jelas-jelas memuat materi-materi yang
mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengatur mengenai penyelenggaraan
Pendidikan nasional, dan sebagainya.
Di samping untuk, untuk mengatur secara bersama berkenaan
dengan materi-materi yang bersifat lintas departemen berkembang pula
kebiasaan menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri. Padahal,
untuk Keputusan Bersama itu jelas tidak ada dasar hukumnya.
Di Pihak lain, berkembang pula kebutuhan di lingkungan instansi
yang dipimpin oleh pejabat tinggi yang bukan berkedudukan sebagai
Menteri untuk mengatur kepentingan publik yang bersangkut paut dengan
bidangnya, seperti misalnya Gubernur Bank Indonesia perlu membuat
peraturan-peraturan berkenaan dengan dunia perbankan. Selama
dikembangkan kebiasaan untuk menerbitkan peraturan dalam bentuk
Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia yang juga jelas-jelas tidak
mempunyai dasar hukum sama sekali. Keganjilan-keganjilan yang sama
juga terjadi dalam keputusan yang dibuat oleh Presiden dalam bentuk
keputusan Presiden (Keppres). Seperti tercermin dalam pendapat Hamid
S. Attamimi yang telah lama bertugas sebagai Wakil Sekretaris Kabinet
selama masa Orde baru.16
Keputusan Presiden itu banyak yang berisi materi pengaturan
bersifat mandiri dalam arti tidak dimaksudkan untuk melakukan ketentuan
Undang-Undang, kebiasaan seperti ini didukung pula oleh kenyataan.
Karena berdasarkan UUD 1945 sebelum diadakan amandemen melalui
perubahan Pertama UUD, Presiden memang memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Dengan perkataan lain, Presiden itu selain
sebagai eksekutif juga mempunyai kedudukan sebagai legislatif.
Di samping itu, materi yang diatur dalam Keputusan Presiden juga
tidak dibedakan secara jelas antara materi yang bersifat mengatur atau
regulatif (regeling) seperti misalnya Keputusan Presiden (Keppres)
mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat Keppres mengenai
pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan
sebagainya. Pembedaan antara kedua jenis keputusan itu selama ini
hanya diadakan dalam pemberian nomor kode Keppres sehingga bagi
masyarakat umum, sulit dibedakan mana yang bersifat mengatur
(regeling) dan karena itu dapat disebut sebagai peraturan dan mana yang
bukan.
16
hamid s. Attamimi. Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara. Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Peresiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu pelita 1-pelita IV, disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana UniversitasIndonesia, Jakarta, 1991
Juga yang mnenjadi persoalan adalah mengenai kedudukan
ketetapan MPR yang selama ini sudah banyak sekali jumlah apakah
ketetapan MPR itu termasuk peraturan atau bukan, karena isinya kadang-
kadang sama dengan Keputusan Presiden yang hanya bersifat
penetapan biasa, sebagai contoh, Ketetapan MPR tentang pengangkutan
Presiden dan Wakil Presiden, sifatnya sama dengan Keputusan Presiden
yang ditetapkan untuk mengangkut atau memberhentikan pejabat
sebagaimana disebut diatas, lebih-lebih lagi , menjelang berlangsungnya
sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999 yang lalu, karena adanya
kebutuhan untuk melakukan perbuatan terhadap pasal-pasal UUD 1945l,
timbul polemik mengenai bentuk hukum perubahan UUD itu sendiri. Jika
perubahan itu dituangkan dalam bentuk ketetapan MPR yang jelas
ditentukan bahwa kedudukan berada di bawah UUD, maka akan timbul
kekacauan dalam sistematik berpikir menurut tata urutan peraturan yang
diatur menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut. Bagaimana
mungkin UUD yang lebih tinggi diubah dengan peraturan yang lebih
rendah. Karena itu, sebagai jalan keluar, telah disepakati bahwa bentuk
hukum perubahan itu dinamakan ‘Perubahan UUD’ sebagai nomenklatur
baru yang tingkatnya sederajat dengan UUD. Karena itu, otomatis,
ketentuan TAP MPRS No. XX/1966 tersebut tidak dapat lagi
dipertahankan dan perlu segera diadakan penyempurnaan dalam rangka
penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tat urut
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia di masa yang akan
datang.
Pada tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripura ke-
12 , Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengadakan perubahan
pertama atas Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000, Majelis Permusyawaratan
Rakyat telah mengadakan perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar
1945.
Selanjutnya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2001,Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengadakan
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Dan pada Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002, Majelis
Permusyawaratan Rakyat telah mengadakan perubahan keempat
Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya setelah diadakan perubahan Undang-Undang Dasar
1945 ketentuan yang mengatur tentang masih diberlakukannya
peraturan-peraturan yang sudah ada tercantum dalam Pasal II Aturan
peralihan yang menentukan bahwa segala lembaga negara peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut perubahan undang-undang ini.
Ada beberapa argumentasi yang penulis kemukakan dengan
mengutip Teras Narang mengapa harus terjadi pembaharuan UUD 1945
yang selama ini dianggap tabu.45
Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi reformasi terhadap
pemerintahan, hal ini membawa implikasi terhadap tatanan kehidupan
yang konstitusi negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar
1945, para reformis melihat bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945
tersebut banyak sekali celah yang dapat dimanfaatkan oleh penguasa
negara. Ada o6 (enam) aspek penting yang menjadi kajian perubahan
UUD 1945, yaitu :
1. Aspek Filosofis
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara
Republik Indonesia merupakan buah karya manusia, menurut
kodratnya manusia adalah makhluk yang terbatas, karena yang
membuat penuh dengan keterbatasan maka hasil ciptaannya juga
tidak dapat sempurna, jadi Undang-Undang Dasar 1945 juga penuh
dengan keterbatasan-keterbatasan.
Keterbatasan dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut terjadi
karena masyarakat yang cenderung melakukan perubahan, selain itu
juga karena perkembangan zaman, dan ini suatu kewajaran apabila
suatu saat konstitusi sudah tidak sanggup untuk mengikuti
perkembangan masyarakat dan perkembangan jaman maka ia harus
diadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan zamannya dan
untuk masa depan, apalagi Undang-Undang Dasar 1945 sudah
berlaku selama 53 tahun baru ada tuntutan untuk mengubahnya yang
disebabkan oleh situasi dan kondisi dalam negeri serta globalisasi.
2. Aspek Materi
Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan konstitusi yang
singkat, hanya terdiri 16 bab dan 37 pasal Aturan Peralihan, sehingga
dipandang tidak cukup mengatur tentang sistem check and Balance
atau sistem kontrol dan keseimbangan antar cabang ke kuasaan
negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dipandang mempunyai
kekuasaan yang sangat besar. Selain itu kekuasaan eksekutif sangat
besar dan terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan
eksekutif untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terlalu memberikan
kepercayaan pada semangat para penyelenggara negara.
3. Aspek Sosiologis
Sejalan berlakunya Undang-Undang 1945 sampai adanya
tuntutan reformasi, Indonesia baru memiliki dua orang Presiden, Ir.
Soekarno (1845-1967) dan Soeharto (1967-1998), pada
perkembangan selanjutnya sejak 1-998 sampai 2004 telah muncul
tiga orang lagi Presiden, yaitu Prof. Dr. Bj Habibie, KH. Abdurrahman
Wahid, dan Megawati Soekarno Putri.
4. Aspek Praktik Ketenagakerjaan
Selama ini Undang-Undang Dasar 1945 dianggap sebagai suatu
kitab suci yang tidak dapat diganggu gugat, untuk mengubahnya
diperlukan referendum (Tap MPR Nomor IV/ MPRI 1983), hal ini
bertentangan dengan bunyi Pasal 37 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Dasar 1945 itu sendiri.
5. Aspek Historis
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik
Indonesia, Ir. Soekarno dalam pidatonya menyatakan antara lain:
Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-
Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini
adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita bernegara dalam
suasana lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang
Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
Dikatakan sebagai Undang-Undang Dasar kilat karena memang
pembahasan Undang-Undang Dasar dilakukan hanya satu hari oleh
PPKI yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
6. Aspek Yuridis atau aspek hukumnya
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan
sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2001 dan 2002, hal ini
dilakukan berdasarkan ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1999 yang
memberi tugas kepada Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan
Rakyat bekerja mempersiapkan rancangan perubahan Undang-
Undang 1945 untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR, 18
Agustus 2000.
Selanjutnya melalui ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 Juncto
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 diamanatkan agar pada sidang
MPR tahun 2002 sudah harus selesai pembahasan dan pengesahan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain karena tuntutan reformasi perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 juga dimaksudkan untuk mendekatkan pada teori
montesqiuci, yaitu adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga terciptalah check
and balance antara lembaga-lembaga tersebut.
Perubahan pertama yang dilakukan adalah membatasi
kekuasaan Pemerintahan Negara di mana Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama. Hanya untuk satu kali
masa jabatan.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang kedua
dimaksudkan untuk dapat menjawab isu global mengenai Hak Asasi
Manusia, dimana terjadi perubahan yang signifikan dalam pengaturan
Hak Asasi Manusia karena dalam perubahan Undang-Undang Dasar
1945 pengaturan hak asasi manusia lebih dirinci dengan
menambahkan 10 pasal yang mengaturnya.
Selain itu dalam perubahan kedua juga diatur mengenai otonomi
daerah sebagaimana ditentukan dalam pasal 18 Ayat (5) bahwa
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat.
Pada perubahan ketiga merupakan penegasan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum, karena pada Undang-Undang Dasar
1945 penegasan sebagai negara hukum ini tercantum dalam
penjelasan bukan dalam pasalnya. Juga ada lembaga baru dalam
bidang hukum yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam rangka pembaharuan sistem peraturan perundang-
undangan kita di era reformasi dewasa ini, sidang tahun MPR Tahun
2000 telah menetapkan Ketetapan No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dalam
pasal 2 ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Keputusan MPR – RI.
3. Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
5. Peraturan Pemerintah.
6. Peraturan Presiden.
7. Peraturan Daerah.
Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan ketujuh peraturan
perundang-undangan di atas dapat dikatakan kurang sempurna dan
mengandung beberapa kelemahan. Pertama, karena naskah ubahan
UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD
1945 tersebut diatas dilengkapib dengan ‘…. Dan Perubahan UUD.
Kedua, Penyebutan Perpu pada nomor urut ke empat di bawah
undang-undang dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan keduanya
adalah sederajat. Karena itul, seharusnya, seperti dalam TAP No.
XX/MPRS/1966, keduanya ditempatkan pada nomor tiga yaitu
‘Undang-Undang dan Perpu, Ketiga, penggunaan nomenklatur
Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan
karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang
mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat administrasi
belaka (beschikking). Seharusnya, momentum reformasi ini digunakan
sebaik-baiknya untuk menata kembali peristilahan yang baik dan
benar, yaitu untuk keputusan yang mengandung aturan dan
pengaturan dokumen hukumnya sebaiknya dinamakan Per-ATUR-an,
bukan keputusan. Keempat, hanya karena pertimbangan bahwa MPR
cukup mengatur mengenai tata urutan peraturan sampai tingkat
peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk peraturan
Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di bawahnya
masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatannya juga dibawah
peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Padahal, Peraturan Menteri
itu sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda,
disamping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktik banyak
sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dan
memerlukan penerbitan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya penegasan tentang tata urutan perundang-undangan
terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat dilihat
pada Pasal 7 Ayat (1) UU No. 10 2004 tentang Tata Urutan peraturan
perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan
hukum di bawahnya.
Jenis atau hierki peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, adalah
peraturan perundang-undangan yang yang ditetapkan oleh Presiden,
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Peraturan presiden adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh presiden.
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan
bersama kepala daerah.
Peraturan desa/ peraturan yang setingkat adalah peraturan
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
D. Soal
1. Jelaskan Pengertian dan macam-macam sumber hokum ?
2. Jelaskan Sumber hukum menurut para ahl ?
3. Jelaskan Sumber hukum formal ?
4. Sebutkan Sumber tertib hukum RI dan berikan contohnya
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru van
Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB VIII
ANEKA CARA PEMBEDAAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa dapat memahami Ius Constitutum dan Consttuendum
2. Mahasiswa dapat memahami Hukum alam dan Hukum Positif
3. Mahasiswa dapat memahami Hukum Imperatif dan Hukum
Fakultatif
4. Mahasiswa dapat memahami Hukum Subtantif dan Hukum Ajektif
5. Mahasiswa dapat memahami Macam-macam Hukum Menurut Isi
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Ius Constitutum dan Consttuendum
2. Mahasiswa dapat memjelaskan Hukum alam dan Hukum Positif
3. Mahasiswa dapat menjelaskan Imperatif dan Hukum Fakultatif
4. Mahasiswa dapat menjelaskan Hukum Subtantif dan Hukum
Ajektif
5. Mahasiswa dapat menjelaskan Macam-macam Hukum Menurut Isi
C. Uraian Materi
6. Ius Constitutum dan Consttuendum
7. Hukum alam dan Hukum Positif
8. Hukum Imperatif dan Hukum Fakultatif
9. Hukum Subtantif dan Hukum Ajektif
10. Macam-macam Hukum Menurut Isi
(Lapangan-lapangan Hukum)
6.1 Hukum Tata Negara
6.2 Hukum Administrasi Negara
6.3 Hukum Acara
6.4 Hukum Perburuhan
6.5 Hukum Pajak
6.7 Hukum Perdata
6.8 Hukum Dagang
6.9 Hukum Pidana
6.10 Hukum Perdata Internasional
6.11 Hukum Perselisihan
Terdapat aneka cara pembedaan Hukum, di antaranya yang di bedakan
adalah antara-pasangan-pasangan hokum.17sebagai berikut:
1. Ius Constitutum dan Ius Constituendum
a. Ius Constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum
yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu sebagai
contoh hukum Indonesia yang berlaku dewasa ini dinamakan Ius
Consitutum, atau bersifat hukum positif, juga dinamakan tata hukum
Indonesia.
b. Ius Constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan
hidup dan negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentuk
Undang-Undang atau berbagai ketentuan lain.
2. Hukum Alam dan Hukum Positif
a. Hukum Alam
Hukum alam adalah ekspresi dari kegiatan manusia yang
mencari keadilan sejati yang mutlak. Selama sekitar 2500 tahun upaya
ini berjuang mencari hukum yang ideal yang lebih tinggi dari segala
hukum positif.
Upaya mencari hukum yang ideal ini berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Ajaran-ajaran hukum alam telah banyak
17
Soedjono, Op Cit, hal 163-164
dipergunakan oleh pelbagai bagian masyarakat dan generasi untuk
mengungkapkan aspirasinya.
b. Hukum Positif
Hukum Positif atau Stellingrecht, merupakan suatu kaidah yang
berlaku, sebenarnya merumuskan bagian yang pantas antara hukum
dan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-
keputusan.47
3. Hukum Imperatif dan Hukum Fakultatif.18
Dari sudut sifatnya yang dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu yang
disebut hukum imperatif dan hukum fakultatif. Pembedaan keduanya ini
mendapat banyak penjelasan berbagai ahli hukum yang intinya bekisar
pada penekanan bahwa hukum imperatif adalah paksaan dari fakultatif
adalah pelengkap, hukum imperatif harus ditaati secara mutlak
sedangkan hukum fakultatif masih bisa ada pilihan dan sebagainya. Yang
sebenarnya dapat dirasakan nama yang imperatif dan mana yang
fakultatif.
Hukum imperatif, adalah kaidah-kaidah hukum yang secara apriode
harus ditaati. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara apriode harus
ditaati atau tidak apriode wajib untuk dipenuhi.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari kedua
kelompok hukum ini yaitu :
a. Pada hukum fakultatif pembentukan undang-undang juga memberikan
perintah seperti halnya pada hukum imperatif. Hanya sifat perintahnya
yang berbeda, yakni disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa
pemerintah tertentu itu mungkin tidak sesuai dengan keadaan,
sehingga dimungkinkan terjadinya penyimpangan yang berupa
18
Ibid, hal 163-166
pengecualian. Maka perintah tersebut lebih banyak diartikan sebagai
petunjuk, sehingga itu langsung ditujukan kepada penegak hukum,
berbeda dengan hukum legislatif yang juga secara langsung tertuju
kepada pribadi-pribadi.
b. Dalam hubungan dengan hukum publik dan hukum perdata. Dari
perbedaan sifat antara hukum yang imperatif dan fakultatif secara
garis besar pada umumnya, hukum publik relatif lebih imperatif
sedangkan hukum perdata bersifat fakultatif, sekalipun dalam hukum
perdata ada juga yang bersifat imperatif.
4. Hukum Subtantib dan Hukum Ajektif
Dalam hal kewajiban-kewajiban serta hak dari subjek hukum, di
dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan sedangkan hukum ajektif
memberikan pedoman bagaimana penegakannya, atau mempertahankan
di dalam praktik, termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran terhadap
hak-hak dan kewajiban tersebut.
Lebih jelasnya dapat dirumuskan bahwa hukum substantif adalah
serangkaian kaidah yang merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari subjek hukum yang terkait dalam hubungan hukum.
Sedangkan hukum ajektif adalah serangkaian kaidah yang
memberikan petunjuk dengan jelas tentang bagaimana kaidah-kaidah
materiil dan hukum substantif ditegakkan.
Maka keduanya adalah komplementer yang saling mengisi, ini
berarti pula bahwa hukum subjektif adalah hukum materiel sedangkan
hukum ajektif adalah hukum formal.
5. Hukum Tidak Tertulis dan Hukum Tertulis
a. Hukum Tidak Tertulis
Hukum tidak tertulis adalah juga hukum kebiasaan. Salah satu contoh
hukum kebiasaan adalah hukum adat Indonesia. Adat disini berarti
kebiasaan yang merupakan perbuatan yang diulang-ulang, dengan
cara dan tidak sama. Hukum yang tidak tertulis ini merupakan hukum
yang tertua. Secara penguraian dari sudut bahasa nampaknya ada
kesamaan antara hukum esensial, yakni pada hukum tidak tertulis
didukung oleh teori. Teori kesadaran hukum yang dipengaruhi oleh
mazhab sejati yang di tokohi oleh von Savigny.
b. Hukum Tertulis
Hukum tertulis atau greschreven recht. adalah hukum yang
mencangkup perundang-undangan dalam berbagai bentuk dibuat oleh
pembuat undang-undang yang dibuat secara nasional dapat berisi
hukum internasional, yaitu hukum yang berhubungan dengan peristiwa
internasional.
6. Macam-macam Hukum Menurut Isinya
Berikut ini dikemukakan definisi-definisi atau pengertian dan
macam-macam hukum yang terbagi menurut isinya.
6.1. Hukum Tata Negara
Ahli Hukum bangsa Belanda, Scholten mengemukakan :
Bahwa hukum tata negara adalah hukum yang mengatur organisasi
daripada negara”.
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mendefinisikan :
“Hukum tata negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang
mengatur organisasi dari pada negara hubungan antaralat
perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta
kedudukan warga negaranya dan hak-hak asasinya”.
Hukum tata negara adalah ketentuan-ketentuan hukum dan aturan-
aturan hukum yang menentukan serta mengatur sistem tata
ketatanegaraan suatu negara.19
19Soehino, Hukum Tata Negara, Sumber-Sumber Hukum Negara Indonesia, leberry, yogyakarta, 1985, hal,103
6.2. Hukum Administrasi Negara
Istilah hukum administrasi negara sering juga disebut hukum
tata usaha negara atau hukum tata pemerintahan. Jadi belum ada
keseragaman dalam mempergunakan istilah ini.
Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Negara
Indonesia mengemukakan :
Hukum tata pemerintahan ialah hukum mengenai ‘aktivitas-
aktivitas kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang).20
Abdoel Djamali dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia
menyatakan :
“Hukum administrasi negara sebagai peraturan hukum yang
mengatur administrasi yaitu hubungan antara warga negara dan
pemerintah yang menjadi sebab sampai negara itu berfungsi.
Maksudnya, merupakan gabungan petugas secara struktural berada
di bawah pimpinan pemerintah yang melaksanakan tugas sebagai
bagian. Yaitu bagian dari pekerjaan yang tidak ada ditujukan kepada
legislatif, yudikatif atau lembaga pemerintahan daerah otonomi
mengurus daerahnya sendiri”.
6.3. Hukum Acara
Hukum acara biasanya juga disebut hukum formal, yaitu
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditegakkannya
dipertahankannya hukum materiil. Hukum acara dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu hukum acara pidana, hukum acara
perdata, hukum acara tata usaha negara.
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana
caranya menegakkan dan mempertahankan hukum pidana materiil
20Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Di Indonesia. Balai pustaka 1984 hal.442
(yang lazim disebut hukum pidana saja). Jadi hukum acara pidana
memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan
pidana tersebut terhadap perkara-perkara pidana.
“Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur
bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum
perdata materiil yang lazim disebut hukum perdata saja). Jadi
hukum acara perdata memuat aturan-aturan tentang bagaimana
caranya menerapkan hukum perdata terhadap perkara-perkara
perdata.”
Hukum acara perdata dapat dibedakan kepada dua macam,
yaitu hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam
lingkungan badan pengadilan umum dan hukum acara perdata yang
berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
Hukum Acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha negara termuat dalam Undang-
Undang No. 15 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
dan seperangkat Peraturan pelaksanaannya.
6.4. Hukum Perburuhan
Ahli Hukum Perburuhan Indonesia, Imam Soepomo,dalam
bukunya ‘Pengantar Hukum Perburuhan”, mendefinisikan :
Hukum perburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis berkenaan dengan suatu kejadian
dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima
upah.54
Moleenar berpendapat bahwa hukum perburuhan ialah suatu
bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan
antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, dan
antara buruh dengan penguasa.
secara umum dapat disimpulkan bahwa hukum perburuhan itu
ialah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan-hubungan
perburuhan yaitu hubungan antar buruh dengan majikan, dan
hubungan buruh dengan majikan dengan penguasa.
6.5. Hukum Pajak
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah pemerintah sebagai
pemungkinan pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan lain
perkataan hukum pajak menerangkan : siapa-siapa wajib pajak
(subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah.
Hak-hak pemerintah objek apa yang dikenakan pajak, cara
penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan dan sebagainya.
6.6. Hukum Perdata
Menurut Subekti, hukum perdata adalah segala hukum pokok
mengatur kepentingan-kepentingan pribadi.
Sedangkan Sri Soedewi Masjchon Sofwan mengatakan bahwa
hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara
warga negara perseorangan yang satu dengan yang lain di dalam
masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan
(pribadi).
6.7. Hukum Dagang
Achmad Ichsan dalam bukunya “Hukum Dagang” menyatakan
bahwa hukum dagang adalah hukum yang mengatur perdagangan/
perniagaan, ialah soal-soal yang timbul karena laku manusia dalam
perdagangan/perniagaan.
6.8. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana hukum
apa yang dapat dijatuhkan terhadap melakukannya.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma
hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain, dan
sanksi pidana di adakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma
lain tersebut. Norma lain itu misalnya norma agama dan norma
kesusilaan yang misalnya menentukan jangan membunuh, jangan
mengambil barang orang lain jangan menghina orang lain dan
sebagainya.
6.9. Hukum Internasional (Publik)
Hukum Internasional (publik) bisa juga disebut hukum
antarnegara, antarbangsa, hukum bangsa-bangsa, hukum publik
internasional dan sebagainya, tetapi lebih lazim disebut hukum
internasional saja.
Menurut Mochtar Kusumatmadja, hukum internasional
adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
6.10. Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah-
kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata
yang melintasi batas-batas negara. Dengan perkataan lain hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku-pelaku
hukum yang masing-masing tunduk kepada hukum perdata
(nasional) yang berlainan. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya
Pengantar Hukum Internasional).
6.11. Hukum Perselisihan
Sering juga disebut hukum antar tata hukum, yang terdiri dari
hukum intergentil (hukum antargolongan), hukum interlokal (hukum
antar daerah), dan hukum interrelegius (hukum antaragama).
Hukum intergentil adalah himpunan peraturan-peraturan
yang menentukan hukum mana atau hukum apa yang berlaku
terhadap suatu hubungan hukum antara orang-orang berlainan
golongan hukum perdata dalam suatu negara.
Hukum Interlokal (hukum antardaerah) adalah peraturan
yang mengatur hubungan hukum antar orang-orang warga negara
Indonesia asli yang mempunyai lingkungan hukum adat yang
berbeda.
Hukum interrelegius adalah peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum (yang erat kaitannya dengan agama) yang
diadakan oleh orang-orang yang berbeda agamanya.21
D. Soal
1. Apa yang di maksud dengan Ius Constitutum dan Consttuendum ?
2. Apa yang di maksud denganHukum alam dan Hukum Positif dan
berikan contohkedua hukum tersebut ?
3. Apa yang di maksud denganImperatif dan Hukum Fakultatif dan
berikan contoh keduanya ?
4. Jelaskan apa yang di maksud denganHukum Subtantif dan Hukum
Ajektif
5. Jelaskan apa yang di maksud denganMacam-macam Hukum
Menurut Isi?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,2003
21Ibid. Hal, 80-95
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013 Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB IX
MENGENAL ILMU-ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU TENTANG KENYATAAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Bidang studi hukum
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskanSosiologi hukum, Antropologi
hukum, Perbandinganhukum
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Antropologi hukum
3. Mahasiswa dapat memjelaskan Perbandinganhukum.
C. Uraian Materi
4. Sosiologi hukum
5. Antropologi hukum
6. Perbandinganhukum
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ilmu tentang kenyataan atau
Tatsachenwissenschaft atau Seinwissenschaft yang menyoroti hukum
sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Termasuk sebagai ilmu-ilmu
kenyataan tentang hukum adalah:
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara
empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik hukum sebagai gejala
sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Studi yang demikian ini memiliki
beberapa karakteristik.
Kekhasan terebut adalah:
a. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-
praktek hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek
peradilan dan sebagainya. Sosiologi hukum berusaha menjelaskan
mengapa praktek demikian itu terjadi, faktor apa yang berpengaruh, latar
belakang dan sebagainya. Cara ini oleh Max Weber dinamakan sebagai
interpretative-understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum yang
konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang
tampak dari luar saja, melainkan ingin memperoleh pula penjelasan yang
bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Di
sini tidak dibedakan antara perilaku yang sesuai dan menyimpang
terhadap kaidah-kaidah hukum, karena keduanya adalah sesama obyek
studi ilmu ini.
b. Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahaan empiris, dengan usaha
mengetahui antara isi kaidah dan di dalam kenyataannya, baik dengan
data empiris ataupun non empiris.
c. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku
yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama
merupakan obyek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu
lebih dari yang lain. Perhatian utamanya ada pada pemberian penjelasan
terhadap obyek yang dipelajarinya. Pendekatan ini memang sering
menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi ini membenarkan
praktek-praktek yang menyimpang atau melanggar hukum. Pada hal
tentunya adalah tidak demikian. Maka penekanya adalah bahwa sosiologi
hukum tidak memberikan penilaian melainkan mendekati hukum dari segi
obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap
fenomena hukum yang nyata. Sosiologi hukum tidak menetapkan
penilaian kepatutan.
Ciri-ciri di atas menurut Satjipto Raharjo dalam “Ilmu hukum” (1982),
sekaligus merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan
penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki
hukum yang demikian itu orang langsung berada di tengah-tengah sosiologi
hukum.
Penting pula dalam buku pengantar ini untuk mengetahui beberapa
obyek sasaran studi yang penting dalam sosiologi hukum, yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan pengorganisasian sosial dari hukum.
Obyek sasaran di sini adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan
penyelenggaraan hukum, seperti pembuatan undang-undang, peradilan,
polisi, advokat, dan sebagainya. Pembuatan undang-undang di sini dilihatnya
sebagai manifestasi dari kelakuan manusia yang oleh karenanya faktor-faktor
keadaan identitas yang berperan itu perlu diamati seperti usia pada
anggotanya, pendidikan dan faktor-faktor sosial lainnya. Dalam studi tentang
perundang-undangan sosiologi hukum secara mendalam berusaha
mengungkap faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas undang-
undang, mengapa orang mentaati hukum, golongan mana yang diuntungkan
dan dirugikan dengan dikeluarkannya undang-undang tertentu dan
sebagainya, sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami benar perhatian dan
obyek penyelidikan sosiologi hukum.
Hal yang perlu dipahami pula dari segi obyek sasaran studi sosiologi
hukum adalah bahwa perspektif organisasi dari sosiologi hukum juga
menyingkapkan mengenai “ janji-janji” dalam hukum akan efektif bermanfaat
terutama oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mampu
mengorganisasikan dirinya secara baik. Dengan demikian antara hukum dan
pengorganisasian sosial terdapat suatu hubungan tertentu. Seperti
dikemukakan oleh Schuyt :”kemampuan untuk mengorganisasikan diri
tersebut tergantung pula dari beberapa faktor lain yakni prestise sosial dari
suatu kelompok sosial tertentu.
Demikian bahwa sosiologi hukum memiliki ciri-ciri khas sedemikian rupa
sehingga ia mengemban tugas yang khas pula bagi amalan hukum dalam
masyarakat, terutama masyarakat yang sedang membangun dan hukum
diharapkan peranannya di dalam proses pembangunan tersebut.
2. Antropologi Hukum
Yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola
sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana,
maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan
pembangunan. Metode pendekatan antropolog menurut Euber:”suatu segi
yang menonjol dari ilmu antropologi adalah pendekatan secara menyeluruh
yang dilakukan terhadap manusia. Para antropolog mempelajari tidak hanya
semacam jenis manusia, mereka juga mempelajari semua aspek dari
pengalaman manusia, mereka juga mempelajari semua aspek dari
pengalaman manusia, seperti penulisan tentang gambaran tentang bagian
dari sejarah manusia, lingkungan hidup dan kehidupan keluarga-keluarga,
pemukiman, segi-segi ekonomi, politik, agama, gaya kesenian dan
berpakaian, bahasa dan sebagainya”.
Maka kekhasan antropologi hukum tampaknya memang terletak pada
sifat pengamatan, penyelidikan secara menyeluruh terhadap kehidupan
manusia. Inilah yang menempatkan antropologi, tentunya juga terapannya
dalam antropologi hukum, untuk mendapatkan hasil studi yang lebih
mempunyai nilai universal baik dalam hubungannya dengan waktu maupun
tempat. Atau paling tidak sasarannya ke arah itu.
Antropologi hukum menyediakan banyak waktu untuk membicarakan
batasan-batasan tentang hukum. Hal ini dapat di mengarti karena ia
dihadapkan kepada definisi-definisi yang sudah ada pada para ahli hukum.
Pada perkembangan dewasa ini hukum cenderung untuk diterima sebagai
instrumen serta teknologi sosial, yang dengan demikian membatasi hukum
dalam lingkup pengertian yang semakin konkrit, tetapi juga sekaligus
semakin sempit. Sifat sempit ini mengandung arti memisahkan apa yang bisa
disebut dan apa yang tidak.
Para ahli antropologi hukum sangat menentang pemahaman hukum
secara demikian itu disifatkannya sebagai pemahaman yang etnosentris.
Memahami hukum dengan kriteria modern seperti dikenal sekarang,
menyebabkan “hukum” pada masyarakat-masyarakat yang lebih sederhana
tidak diterima sebagai hukum. Dalam masyarakat yang disebut belakangan
ini, orang memang tidak menemukan hukum seperti diartikan oleh
masyarakat modern sekarang ini. Antropologi hukum yang menggunakan
pendekatan secara menyeluruh dalam menyelidiki manusia dan
masyarakatnya, menemukan bahwa melalui manifestasinya sendiri yang
khas “hukum” itu selalu hadir dalam masyarakat. Untuk menyebut manifestasi
yang demikian itu, para ahli antropologi hukum menerimanya dalam konteks
yang lebih luas, yakni sebagai organisasi sosial.
Kembali pada antropologi, ia merupakan ilmu pengetahuan yang jauh
sekali jangkauannya, yakni mengekspresikan kehidupan manusia dalam
totalitasnya, sehingga segala segi kehidupan dibicarakan. Maka sebenarnya
apabila antropologi hukum dimintakan untuk hanya memperhatikan hukum,
sebenarnya merupakan suatu “kemunduruan”, karena hukum hanya
merupakan segi kecil saja dari totalitas yang jauh lebih besar dan dalam itu
(dilihat dari lingkup tugas antropologi). Oleh karena itulah bisa dipahami
kesulitan yang dihadapi antropologi untuk menyesuaikan pada definisi-
definisi tentang hukum yang lazim dikenal dalam ilmu hukum positif. Baginya
hukum hendaknya diartikan lebih dari sekedar peraturan dan lembaga-
lembaga pelaksanaannya yang formal. Seperti dapat diikuti pada perumusan
fungsi-fungsi yang diperankan oleh hukum sebagai berikut:
a. Merumuskan hubungan-hubungan antara anggota suatu masyarakat,
untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dibolehkan dan yang
tidak, dengan tujuan mempertahankan paling tidak integrasi minimal dari
kegiatan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
b. Keharusan untuk menjinakkan kekuatan yang belum mapan dan
mengarahkan kekuatan yang demikian itu kepada pemeliharaan tatanan.
Fungsi kedua ini meliputi pengalokasian kekuasaan dan penegasan
tentang siapa boleh menggunakan paksaan fisik sebagai suatu yang
diakui secara sosial, bersama-sama dengan pemilihan bentuk-bentuk
sangsi fisik yang paling efektif guna mencapai tujuan-tujuan sosial dari
hukum.
c. Penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul.
d. Melakukan perumusan kembali hubungan-hubungan antara orang-orang
dan kelompok-kelompok manakala kondisi kehidupan berubah, fungsi ini
dijalankan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi.
Nilai-nilai yang dipegang oleh suatu masyarakat adalah demikian
luasnya, sehingga ia terlalu sukar untuk dapa di utarakan oleh masyarakat
melalui peraturan-peraturan dan lembaga-hukumnya yang resmi semata-
mata. Pada dasarnya studi antropologi terhadap hukum didasarkan pada
premis-premis berikut:
a. Hukum suatu masyarakat atau sistem hukum suatu masyarakat, harus
diselidiki dalam konteks sistem-sistem politik, ekonomi dan agamanya,
dan juga dalam kerangka struktur sosial dari hubungan-hubungan antar
orang dan kelompok.
b. Hukum paling baik dipelajari melalui analisa terhadap prosedur-prosedur
yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa atau dalam perspektif
yang lebih luas, melalui manajemen politik.
c. Pada gilirannya prosedur-prosedur akan menjadi penting manakala
penelitian dipusatkan pada sengketa sebagai unit deskripsi, analisa dan
perbandingan.
d. Agar dapat dibuat suatu laporan yang sah mengenai hukum rakyat, dua
tugas terpisah tetapi berhubungan perlu digarap. Yang satu adalah untuk
memastikan kategori –kategori kognitif yang dipakai oleh rakyat, yang
sistem hukumnya diselidiki, untuk mengemukakan ide-ide mereka tentang
bentuk-bentuk dan prosedur-prosedur untuk membahas yang harus
diambil. Tugas yang lain menghendaki diterjemahkannya kategori-
kategori ini ke dalam sarana komunikasi yang dipakai. Pekerjaan ini
adalah sukar. Oleh karena itu ia menuntut dua hal yaitu bahwa ciri-ciri
esensi dan sistem hukum yang asli tidak boleh diselewengkan dan bahwa
ia dituangkan ke dalam terminologi ilmiah yang memungkinkan
dilakukannya suatu perbandingan antar budaya.
Maka sebagaimana telah dikemukakan antropologi hukum
memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses
yang lebih besar dalam masyarakat. Dengan demikian ia melihat hukum tidak
secara statis, melainkan dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya
dan menghilang secara berkesinambungan.
3. Psikologi Hukum
Yakni suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai
suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku manusia (human behavior), maka dalam
kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu
dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang
menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaanya
secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki.
Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang
menggarap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini
menunjukkan bahwa hukum telah memasuki bidang psikologi. Terutama
psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan hukum
yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang paksaan psikologis,
peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya yang
menunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas
misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867-1931),
ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan
menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan
bahwa fenomenen-fenomenen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis
yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode intropeksi.
Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak –hak orang lain
dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena
hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena
keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. petrazicky
memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam
pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia
menciptakan “Pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah
laku mereka yang terasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukum secara
khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga
mengembangkan ilmu ini.
4. Sejarah Hukum
Adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu,
dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh
perbedaan waktu. Sejarah ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu
pemikiran dalam hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861). Dalam
studi sejarah hukum ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan
suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang
satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada karakteristik
pertumbuhan yang dialami masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan
bahwa hukum itu tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang terus
–menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu. Apabila dapat
diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang sebelumnya atau hukum
pada masa-masa yang lampau, maka hal itu berarti, bahwa hukum yang
sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa lampau,
mengenali dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya
hukum faktor-faktor yang menyebabkannya dan sebagainya, memberikan
tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum
dalam masyarakat. Misi ini dilakukan oleh cabang studi hukum yang
dinamakan sejarah hukum.
5. Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum adalah suatu metode studi hukum, yang
mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang
lain. Atau membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang
satu dengan bangsa yang lain. Dilihat dari posisi yang demikian itu, orang
akan mengatakan; bahwa studi perbandingan hukum adalah studi tentang
hukum. Barulah pada saat orang menggarap lahan-lahan yang terkumpul itu
menurut arah tertentu, terjadi suatu studi perbandingan hukum. Rudolf D.
Schlesinger dalam bukunya comparative law (1959), mengemukakan bahwa
perbandingan hukum, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang bahan hukum
tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah suatu
perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum,
melainkan suatu cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam
suatu masalah hukum. (Sudarto, 1981).
Hukum dalam kenyataan
Sosiologi Hukum
Perbandingan hukum Antropologi
hukum
Psikologi hukum
Sejarah hukum
Gambar 9 Ilmu-ilmu kenyataan tentang Hukum
Keterangan
Hukum sebagai kenyataan, ia menghidup dalam pergaulan hidup manusia
dan tercermin dalam bentuk sikap tindak warga masyarakat.22
D. Soal
1. Apa yang dimaksud Sosiologi hukum?
2. Apayang dimaksud Antropologi hukum?
3. Apa yang dimaksudPerbandingan hukum dan berikan contoh?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,
3003 Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
22Soedjono Dirdjosisworo,Pengantar Ilmu Hukum, hal, 60
BAB X
DISIPLIN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, Politik
Hukum
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskanIlmuHukum
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Filsafat Hukum
3. Mahasiswa dapat memjelaskan Politik Hukum
C. Uraian Materi
4. Ilmu Hukum
5. Filsafat Hukum
6. Politik Hukum
Sebagaimana telah dikemukakan, disiplin hukum adalah sistem ajaran
mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan “hidup” di
tengah pergaulan.
Apabila lebih seksama ditelaah pengertian mengenai disiplin ini, maka
dapat dibedakan antara disiplin analitis dan disiplin perspektif. Disiplin
analistis merupakan ajaran yang menganalisa, memahami dan menjelaskan
gejala-gejala yang dihadapi, contohnya sosiologi, psikologi, ekonomi dan lain-
lain. Disiplin perspektif merupakan sistem-sistem ajaran yang menentukan
apakah yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kenyataan-kenyataan tertentu, contohnya adalah hukum, filsafat
dan lain-lain.
Maka jelaslah disiplin hukum merupakan disiplin perspektif yang
berusaha menentukan apakah yang seyogyanya, seharusnya dan patut
dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Gambar 7. Disiplin hukum dalam hubungan antara kenyataan dan cita-cita
Keterangan:
Menghadapi kenyataan yang terjadi dalam pergaulan hidup, disiplin hukum
sebagai salah satu disiplin perspektif menentukan apa yang seyogyanya atau
seharusnya dilakukan. Berbicara tentang disiplin hukum maka ruang lingkup
utamanya setidak-tidaknya meliputi: ilmu-ilmu hukum, politik hukum dan
filsafat hukum.
1. Ilmu Hukum
Secara garis besar ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat
manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar
menurut harkat kemanusiaan.
b. Ilmu yang formal tentang hukum positif.
c. Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum.
d. Penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan
teknik-teknik hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh
dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir.
e. Ilmu pengetahuan adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk
mempelajari hukum, suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan
Kenyataan
Seyogyanya dan seharusnya
Disiplin hukum
teoritis, yang berusaha mengungkapkan asas-asas yang pokok dari
hukum.
f. Ilmu hukum, adalah ilmu tentang hukum dalam seginya yang paling
umum. Segenap usaha mengembalikan suatu kasus kepada suatu
peraturan, adalah suatu kegiatan ilmu hukum, sekalipun nama yang
umumnya dipakai dalam bahasa Inggris dibatasi pada artiannya sebagai
aturan-aturan yang paling luas dan konsep yang paling fundamental.
g. Teori ilmu hukum yang menyangkut pemikiran mengenai hukum atas
dasar yang paling luas.
h. Suatu diskusi teoritis yang umum mengenai hukum dan asas-asas
sebagai lawan dari studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang
konkrit.
i. Ia meliputi pencarian ke arah konsep-konsep yang tuntas yang mampu
untuk memberikan ekspresi yang penuh arti sebagai semua cabang ilmu
hukum.
j. Ilmu hukum adalah pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
k. Pokok bahasa ilmu hukum adalah luas sekali meliputi hal-hal yang
filsafati, sosiologis, historis maupun komponen-komponen analitis dari
teori hukum.
l. Ilmu hukum berarti setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai
semua tingkat kehidupan hukum, asal pemikiran itu menjangkau keluar
batas pemecahan terhadap suatu problem yang konkrit, jadi ilmu hukum
meliputi semua macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-
masak di bidang hukum. (Satjipto Raharjo, 1982).
Dengan berbagai pendapat tersebut (f dan l adalah pandangan Sapjipto
Raharjo) maka akan semakin jelaslah mengenai ruang-lingkup yang dipelajari
oleh ilmu hukum. Termasuk dalam ilmu hukum ini adalah:
a. Ilmu kaidah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem
kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
b. Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam
hukum, seperti misalnya subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa
hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.
c. Ilmu kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai peri kelakuan atau sikap
tindak, yang antara lain dipelajari dalam sosiologi hukum, antropologi
hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum
(Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, 1978) mengenai ilmu-ilmu
kenyataan ini akan dibahas secara lebih terperinci pada bagian lain.
2. Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-
pertanyaan mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat
hukum. Dikemukakan dalam ilmu tentang dasar-dasar kekuatan mengikat
dari hukum.
3. Politik Hukum
Masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan untuk
menyejahterakan warganya sebagai misal, politik hakikatnya adalah sarana
untuk mencapai tujuan tersebut yang untuk itu dilalui proses pemilihan tujuan.
Oleh karenanya politik adalah juga aktivitas memilih tujuan tertentu. Dalam
hukum dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang berusaha memilih tujuan
dan cara mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang politik hukum.
Jelaslah bahwa politik hukum adalah disiplin hukum yang
mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai
tujuan yang cita-citakan oleh masyarakat tertentu.
Gambar 8 cabang-cabang ilmu hukum dalam disiplin hukum
D. Soal
1. Jelaskan apa yang dimaksud IlmuHukum ?
2. Jelaskan apa yang dimaksud FilsafatHukum?
3. Apa yang dimaksud Politik hukum?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru van
Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002
Disiplin Hukum
Ilmu Hukum
Ilmu Kaidah
Ilmu Pengertian
Ilmu Kenyataan
Filsafat Hukum
Politik Hukum
Dogmatik Hukum
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB XI
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAIDAH
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Pengertian Ilmu Pengetahuan
2. Mahasiswa mampu memahami Ilmu Pengetahuan Kaidah
3. Mahasiswa mamapu Memahami Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah
4. Mahasiswa Memahami Hukum dan Interdisiplin Ilmu
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskanPengertian Ilmu Hukum
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Ilmu Pengetahuan Kaidah
3. Mahasiswa dapat memjelaskan Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah
4. Mahasiswa dapat menjelaskan Hukum dan Interdisiplin Ilmu
C. Uraian Materi
5. Pengertian Ilmu Pengetahuan
6. Ilmu Pengetahuan Kaidah
7. Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah
8. Hukum dan Interdisiplin
1. Pengertian Ilmu Pengetahuan
a. Definisi Ilmu Pengetahuan
Sebagaimana setiap definisi tidak akan pernah lengkap dan jelas oleh
karena sifat definisi itu sendiri yang harus dinyatakan secara singkat-padat,
demikian pula definisi tentang ilmu tidak akan lengkap dan jelas juga. Dan
sebenarnya definisi itu sekedar merupakan suatu titik tolak bagi sesuatu
penguraian dan analisa lebih lanjut, sehingga pada akhirnya menjadi lebih
jelaslah batas-batas serta ruang lingkup penyelidikan ilmu yang didefinisikan
itu dan menjadi lebih teranglah sifat-sifat pokok ilmu itu dan tempatnya dalam
kerangka umum ilmu-ilmu yang lain.
Adapun salah satu definisi tentang ilmu adalah, bahwa ilmu merupakan
akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Atau ilmu adalah kesatuan
pengetahuan yang terorganisasikan. Definisi-definisi tentang ilmu seperti
dikemukakan di atas sebenarnya terlalu luas dan baru akan menjadi lebih
jelas, apabila dapat ditegaskan lebih lanjut arti yang lebih terperinci mengenai
pengetahuan, dan arti tentang sistematik dan organisasi yang digunakan
dalam definisi itu.
Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode
pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh
pancaindera manusia. Memang yang mengikat semua ilmu adalah adanya
metode ilmu yang digunakan untuk mensistematisasikan seluruh
pengetahuan yang sifatnya masih fragmentaris itu. rumusan lain tentang ilmu
adalah, bahwa ilmu merupakan suatu cara menganalisa yang mengizinkan
kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk.
“jika….maka…..”. dalam hubungan ini perlu diketengahkan, bahwa
bagaimana sekumpulan pengetahuan itu telah disistematisasikan, akan tetapi
apabila proposisi itu kehilangan sifat ilmiahnya (Harsoyo, 1971).
Demikian itu apabila dipelajari dan dibandingkan definisi-definisi tentang
ilmu, maka akan diketahui bahwa ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada
pengertian ilmu itu adalah:
1) Bahwa ilmu itu rasional
2) Bahwa ilmu itu bersifat empiris
3) Bahwa ilmu itu bersifat umum
4) Bahwa ilmu itu bersifat akumulatif
Marilah kita tinjau lebih lanjut ciri-ciri pokok ilmu seperti disebut diatas.
Mengenai sifat ilmu yang rasional, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan rasional disini adalah suatu sifat kegiatan berpikir yang ditundukkan
kepada logika formal Aristoteles dalam mengikuti urutan berpikir silogistik.
Kemampuan untuk berpikir rasional pada manusia dibawa oleh
kemampuannya untuk dapat berpikir secara abstrak. Di samping itu manusia
adalah makhluk yang dapat berpikir secara kompleks dan konsepsional, serta
dia menyadari akan dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang
akan datang. Berpikir pada manusia erat hubungannya dengan
kemampuannya untuk menggunakan lambang, kemampuan manusiawi
semata-mata, yaitu suatu kemampuan untuk dapat memberikan arti yang
hampir-hampir tidak terbatas kepada seluruh obyek materiil, seperti pada
suara, gerak, warna dan rasa. Kemampuan berlambang menyebabkan
manusia dapat berbahasa dan berbicara. Kemampuan untuk dapat berpikir
secara abstrak kompleks dan konsepsional, sebagai kenyataan kultural
setelah manusia saling berkomunikasi, berasosiasi dalam kehidupan
masyarakat. Dan potensi-potensi intelektual itu berkembang dalam
kehidupan masyarakat dan mendapatkan ujudnya sebagai kebudayaan
rohaniah seperti religi, mag, mitos, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Berpikir rasional pada manusia ditimbulkan oleh kebutuhan untuk
menghemat atau lebih tepat untuk menekonomiskan segala dana dan daya
yang ada padanya, untuk mengefisienkan tata cara dalam penyelesaiannya
terhadap lingkungan alam dan sosialnya.
Berpikir rasional sebenarnya dapat digunakan diterapkan kepada dunia
empiris dan dunia non-empiris. Akan tetapi ilmu adalah hasil daripada berpikir
rasional yang ditujukan atau diterapkan kepada dunia empiris saja. Maka
sampailah kita kepada sifat yang kedua dari ilmu yaitu sifat-sifat empiris
disamping rasional.
Ilmu dikatakan bersifat empiris, oleh karena konklusi-konklusi yang
diambil harus dapat ditundukkan kepada pemeriksaan atau pada verifikasi
pancaindera manusia. Dalam hubungan dengan sifat empiris dari ilmu itu
para ilmiawan dan terutama pada filsuf dewasa ini kebanyakan sependapat,
bahwa kita tidak dapat mempelajari dunia dan mengembangkan ilmu tanpa
bantuan panca indera kita. Dalam pada itu perlu diketengahkan bahwa kita
tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa dalam menggunakan pancaindera
itu kita harus menerima preposisi-preposisi tertentu yang tidak dapat
diverifikasikan oleh pancaindera manusia. Preposisi ilmiah itu antara lain
adalah kaidah-kaidah logika formal dan hukum-hukum kausalitas, yang
menjadi dasar-dasar ilmu yang menghasilkan kebenaran-kebenaran yang
bersifat relatif. Ilmu yang terdiri atas dua unsur besar fakta dan teori
mendefinisikan fakta sebagai observasi empiris yang dapat diverifikasikan,
sedang teori mempunyai fungsi menetapkan hubungan yang terdapat di
antara fakta-fakta itu. ilmu tidak dapat disusun dalam satu sistematik,
dihubung-hubungkan, diinterprestasikan. Tanpa adanya sistem atau tanpa
adanya prinsip yang mengatur, singkatnya tanpa teori fakta tidak mempunyai
sesuatu arti. Oleh karena itu kelirulah anggapan kebanyakan orang yang
mengatakan bahwa fakta lebih penting dari teori atau sebaliknya. Fakta dan
teori atau sebaliknya. Fakta dan teori sangat erat hubungannya dan
mempunyai hubungan yang fungsional.
Ilmu bersifat umum mengandung arti, bahwa kebenaran-kebenaran
yang dihasilkan oleh ilmu itu dapat diverifikasikan oleh peninjau-peninjau
ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan untuk melakukan itu. di dalam
kebudayaan Indonesia, khususnya dalam kebudayaan Jawa dikenal istilah
ngelmu, yang sifatnya dan cara-cara memilikinya dan melaksanakan bersifat
rahasia. Sifat ngelmu tidak di ajarkan secara klasikal. Obyek maupun metode
ilmu harus dapat dipelajari dan diikuti secara umum (openbaar) dan dapat
diajarkan dalam kelas secara bersama-sama. Kebenaran-kebenaran yang
dihasilkan oleh sesuatu ilmu tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan,
melainkan hasil-hasil kebenaran ilmu justru memiliki nilai sosial, serta
kewibawaan ilmiah setelah hasil-hasil itu diketahui, diselidiki dan dibenarkan
validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli dalam bidang ilmu tersebut. Oleh
karena itu hasil sesuatu penelitian itu untuk mendapatkan wibawa teknis
ilmiah maupun untuk memenuhi kewajiban moril harus dikenalkan agar dapat
diketahui oleh sebanyak mungkin ahli dan orang-orang yang mempunyai
minat terhadap persoalan itu. itulah sebabnya dalam mengadakan
perencanaan pembiayaan penelitian, biaya untuk publikasi harus diberi
tempat yang sama pentingnya dengan penelitian itu sendiri. Dan fakta ilmiah
ini baru dapat dihasilkan apabila:
1) Seseorang telah mendapatkan suatu pengetahuan dengan perantaraan
pancainderanya dengan menggunakan preposisi ilmiah, yang
menyebabkan pengetahuan itu pengetahuan empiris.
2) Dipakainya akal atau kemampuan rasionalnya, untuk mengobservasikan,
yaitu menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, atau untuk
meninterpretasikan fakta-fakta itu secara rasional.
3) Orang-orang lain yang mempunyai latihan dan pendidikan yang memadai
dalam bidang yang sedang diselidiki melihat, mendengar ataupun
merasakan sama seperti yang dialami oleh peneliti pertama, kemudian
menggunakan daya logikanya dan mengorganisasikan pengetahuannya
sebagaimana peneliti pertama mengerjakannya, dan menghasilkan
kesimpulan yang sama.
Demikian itu apalagi tiga hal telah dilakukan maka diperoleh fakta
ilmiah.
Adapun sifat yang lain dari ilmu pengetahuan adalah bahwa ia bersifat
akumulatif. Untuk dapat mengerti sifat akumulatif dari ilmu perlu kiranya
diketengahkan hubungan antara ilmu dan kebudayaan yang juga bersifat
akumulatif. Sebagaimana kita ketahui, ilmu merupakan salah satu unsur
kebudayaan manusia. Berbeda dengan aspek-aspek alamiah yang ada pada
manusia yang dimiliki olehnya dengan dibawah oleh kelahiran, maka aspek
budaya yang ada pada manusia itu meskipun mempunyai dasar-dasar
alamiah atau dasar-dasar organis mempunyai dasar-dasar organis atau
dasar-dasar biologis, dimiliki oleh manusia dengan dasar mempelajarinya
secara sosial. Dan manusia dapat belajar, oleh karena manusia dapat
berbahasa dan berbicara. Kemampuan berbahasa dan kemampuan belajar
yang ada pada manusia menyebabkan manusia dapat berbudaya, yaitu
seluruh rohaniah dan materil manusia yang didapat berbudaya, yaitu milik
rohaniah dan materil manusia yang didapat dari pelajaran. Kebudayaan
dapat pula dikatakan sebagai seluruh yang dipelajari oleh manusia. Dan
kebudayaan inilah yang membedakan secara fundamental manusia dari
hewan. Manusia yang sekarang ada di dunia itu tidaklah sekonyong-konyong
kaya akan kebudayaan, tidak sekonyong-konyong kaya akan kebudayaan,
tidak sekonyong-konyong “beradab”. Kebudayaan dan peradaban itu
dikumpulkan, dipelajari dan diajarkan dari generasi ke generasi ditambah,
diubah dan dilepaskan, sesuai dengan kebutuhan dan ukuran-ukuran yang
berlaku, sesuai dengan kebutuhan dan ukuran-ukuran yang berlaku.
Kebudayaan itu berkumulasi. Dan ilmu yang merupakan salah satu unsur dari
kebudayaan manusia oleh karena kemampuan intelektual manusia itu, yaitu
bahwa manusia dapat berbahasa, berbicara dan belajar, juga mencari
menyelidiki, dan mengumpulkan ilmu dari masa ke masa, dari abad ke abad
sehingga kita memiliki kekayaan ilmu yang ada dewasa ini. Tetapi perlu
diingat bahwa ilmu yang dimiliki oleh manusia dewasa ini belumlah seberapa
dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melingkungi hidup
manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung
semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang
diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkannya
menjadi lebih besar adalah orang –orang yang rendah hati dan suka
menundukkan kepala, sebagai buah padi, makin berisi makin runduk.
Demikianlah ilmu itu dapat dikatakan bersifat akumulatif oleh karena
ilmu yang kita kenal sekarang ini merupakan kelanjutan dari ilmu yang telah
dikembangkan sebelumnya. Terutama bagi ilmu-ilmu pengetahuan ala, sifat
kumulatif itu lebih nyata. Dalam proses perkembangannya atau dalam proses
kumulasinya konklusi-konklusi ilmu itu biasanya bersifat tentantif. Ilmu
mempunyai sifat mengoreksi sendiri. Jika sesuatu konklusi itu kemudian
ternyata tidak benar, di dalam perkembangan selanjutnya ilmu itu akan
mengoreksi dirinya sendiri. Malahan sering dikatakan bahwa tujuan dari pada
tiap-tiap penyelidikan adalah untuk menumbangkan teori-teori yang
sebelumnya dianggap relatif benar.
b. Metode ilmu pengetahuan.
Metode ilmu adalah suatu prosedur berpikir teratur yang digunakan
dalam penelitian untuk memperoleh konklusi-konklusi ilmiah berdasarkan
atas postulat-postulat dan posisi-preposisi ilmiah tertentu. Pada prinsipnya
dan sekurang-kurangnya metode ilmu itu meliputi tiga hal:
1) Pernyataan masalah penelitian
2) Pemecahan soal yang diusulkan yang sering juga disebut hipotesa
3) Testing dan verifikasi dari penyelesaian yang diusulkan.
Sementara beberapa ahli lain yang lebih memerinci bagian-bagian metode
ilmu itu seperti:
1) Pernyataan masalah
2) Perumusan hipotesa
3) Elaborasi deduktif hipotesa
4) Pentesan hipotesa
5) Penerimaan, penolakan atau modifikasi hipotesa
Dalam buku yang lain tentang ilmu sosial misalnya lagi, metode ilmu itu
meliputi enam bagian yaitu:
1) Observasi
2) Perumusan masalah
3) Mengumpulkan dan mengklasifikasikan fakta-fakta tambahan yang baru
4) Mengadakan generalisasi
5) Perumusan hipotesa
6) Mengadakan testing dan verifikasi
Apabila kita adakan perbandingan antara ketiga contoh di atas maka
tetap contoh yang pertama merupakan esensi metode ini. Untuk memperoleh
pengertian tentang metode ilmu yang lebih jelas dalam uraian selanjutnya
akan diuraikan mengenai bagian-bagian yang penting daripada metode ilmu.
1) Pernyataan Masalah
Bagi seseorang yang hendak mengadakan sesuatu penelitian ilmiah,
pertama-tama yang dituntut padanya adalah bahwa ia harus mampu untuk
mengidentifikasikan masalah itu. permasalahan itu sendiri tidak dihadapkan
kepada peneliti secara tersusun da terumuskan secara rapi. Akan tetapi
permasalahan itu harus kita rumuskan sendiri sejelas mungkin dan sebaiknya
dalam bentuk-bentuk pertanyaan. Mengindentifikasikan dan merumuskan
masalah itu memang tidak mudah. Merumuskan masalah tidak disediakan
misalnya dalam buku-buku pengantar atau buku-buku pelajaran yang lebih
jelas. Pengalaman yang cukup untuk secara praktek melakukan penelitian di
lapangan akan sangat menolong peneliti untuk merumuskan masalah itu
dengan setepat-tepatnya. Disamping itu pengetahuan teoritisnya dalam ilmu
speasialisasinya dan penguasanya terhadap metode penelitian harus kuat.
Selanjutnya ketajaman serta kelincahan berpikir dan adanya daya imajinasi
yang sehat akan sangat membantu bagi para peneliti atau para surveyer
untuk merumuskan masalah yang adekuat.
Biasanya merumuskan masalah itu tidak dapat dilakukan sekali jadi,
melainkan merupakan satu proses ke arah pemahaman yang dapat secara
intensif dijelaskan dalam disput-disput akademis, dalam seminar-seminar
kecil, dalam diskusi-diskusi panel. Sebenarnya tingkat merumuskan masalah
dalam suatu penelitian atau survei, telah merupakan tingkat berpikir dan
bekerja yang agak lebih jauh. Sebelumnya para peneliti mulai dengan
mengadakan penjajagan terhadap relevansi masalah yang dia usulkan untuk
diteliti. Dalam tingkat ini biasanya peneliti mengadakan hubungan dan
pembicaraan dengan berbagai kalangan masyarakat. Kemudian berdasarkan
atas pengalaman intelektualnya sendiri dan atas keyakinannya sendiri dia
mulai menyusun peta atau mengadakan inventarisasi daripada permasalahan
–permasalahan untuk kemudian dapat dipilihnya satu bagian masalah yang
paling dekat dengan gagasan-gagasanya semula. Dan disamping itu suatu
studi bibliografi yang ada hubungannya dengan obyek penelitian-
penelitiannya mempunyai kedudukan yang vital.
2) Perumusan hipotesa
Suatu hipotesa adalah suatu pernyataan yang menekankan bahwa
fenomena yang sedang diselidiki itu ada hubungannya dengan kondisi-
kondisi tertentu yang dapat diamati. Dengan perkataan lain suatu hipotesa
adalah suatu generalisasi ilmiah yang mengadakan spesifikasi terhadap
kondisi-kondisi yang ada korelasinya dengan fenomena-fenomena yang
sedang diselidikinya. Jika hipotesa itu dapat diverifikasikan dengan bukti-
bukti empiris, maka setidak-tidaknya satu bagian daripada masalah yang
sedang diselidiki telah dapat dipecahkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
mengenai suatu masalah sosial dalam pendidikan yaitu bahwa dibanyak
Sekolah Dasar sekarang ini terjadi “Drop-out” yang tinggi prosentasenya di
mulai dari kelas III ke atas. Apabila hal ini akan berlangsung terus-menerus
maka masyarakat akan kehilangan tenaga kerja bagi pembangunan,
sehingga mengakibatkan pembangunan itu akan sangat terhambat.
Kelambatan pembangunan dihadapkan kepada kesadaran akan harapan-
harapan yang lebih tinggi sering menimbulkan ketenagaan-ketenagaan
sosial.
Sebagai hipotesa terhadap masalah dikemukakan, bahwa sebab-sebab
“drop-out” yang paling penting adalah faktor-faktor sosial ekonomi. Hipotesa
dapat pula diartikan sebagai suatu usul yang bersifat tentatif yang
dirumuskan secara deduktif-logis, untuk memberikan jawaban terhadap
masalah yang diselidiki dengan jalan mencarikan dan mengumpulkan fakta-
fakta empiris yang akan menguji benar atau tidaknya hipotesa itu. hipotesa
yang baik adalah hipotesa yang merupakan satu pernyataan yang sekaligus
telah dapat membatasi diri mengenai ruang lingkup masalah, sehingga dari
hipotesa itu dapat dibatasi pula pengumpulan-pengumpulan data yang
relevan. Suatu hipotesa dapat disusun dengan jelas dan terang apabila
permasalahan yang diketengahkan juga jelas dan terang.
3) Elaborasi deduktif hipotesa
Tujuan utama sesuatu penelitian antara lain adalah untuk
mengumpulkan data-data empiris dari lapangan yang akan dijadikan dasar
pembuktian. Seperti telah diutarakan di atas, tugas hipotesa adalah untuk
mengajukan sesuatu pemecahan soal. Persoalannya sendiri telah dinyatakan
sebelumnya. Ada pun cara untuk menyatakan bahwa sesuatu hipotesa itu
benar ialah dengan cara mengujinya dengan data-data empiris yang relevan.
Padahal hipotesa itu sendiri sebenarnya masih terlalu bersifat umum. Oleh
karena itu untuk dapat mengumpulkan data-data empiris yang relevan, maka
perlu diadakan elaborasi deduktif terhadap hipotesa itu. elaborasi deduktif itu
harus mencapai suatu bentuk pernyataan yang khusus mengenai sesuatu
observasi. Baru dengan cara demikian, hipotesa yang bersifat khusus itu
dapat diverifikasikan kepada kenyataan empiris dengan mencarikan data
yang relevan.
Dalam kenyataannya masalah-masalah sosial yang terdapat di berbagai
negeri yang sedang mengalami perubahan-perubahan yang cepat amatlah
kompleksnya. Oleh karena itu bagi sesuatu tujuan yang praktis maka
biasanya diadakan penelitian interdisiplinair. Artinya yang mengadakan
penelitian mengenai masalah yang kompleks itu tidak hanya sarjana dari
satu ilmu saja, melainkan pendekatan yang diadakan terhadap masalah itu
dilakukan dari berbagai sudut ilmu. Masalah anak-anak tanggung di kota-kota
besar yang anak itu faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak hanya faktor
ekonomi saja melainkan juga faktor lain seperti faktor sosiologis, sosial
psikologis, faktor politik dan mungkin ada faktor-faktor yang lain lagi. Oleh
karena itu hipotesa-hipotesa itu telah diajukan, masih perlu diadakan deduksi
terhadap hipotesa yang masih umum itu sehingga dapat dikemukakan
indikator-indikator yang lebih konkrit untuk dicarikan data-data empirisnya.
4) Mengadakan tes dan verifikasi terhadap hipotesa
Setelah ditemukan hipotesa yang sifatnya masih umum dan setelah
diadakan elaborasi deduktif terhadap hipotesa dan telah diketemukan pula
indikator-indikator, maka dicobakan hipotesa itu ke dalam masyarakat ramai.
Sebagai contoh misalnya dapat kita kemukakan tentang masalah
kemunduran mutu pengetahuan para mahasiswa. Masalahnya adalah
apakah yang menyebabkan mutu pengetahuan para mahasiswa. Sebagai
hipotesa dapat diketengahkan, bahkan salah satu sebab kemunduran itu
adalah faktor-faktor sosial ekonomis dan sosial psikologis, walaupun harus
diakui bahwa turunnya mutu pengetahuan mahasiswa itu ada segi-segi yang
lain. Demikian itu maka yang dimaksud dengan mengadakan verifikasi
terhadap hipotesa itu adalah, bahwa berdasarkan atas survei mengenai
kehidupan ekonomi para mahasiswa, setelah dianalisa secara sosiologis,
dapat diambil satu kesimpulan, bahwa kehidupan ekonomi para mahasiswa
adalah relatif amat rendah. Selanjutnya untuk melengkapkan verifikasi itu
para mahasiswa yang sedang diselidiki dimungkingkan untuk menaikkan
taraf hidup ekonomi.
Dalam waktu yang ditetapkan, survei evaluasi diadakan baik dan
teratur. Disamping itu perasaan aman oleh karena ada perbaikan ekonomi,
memberikan dorongan yang kuat untuk maju dalam studinya. Kesimpulan-
kesimpulan ini tentunya didasarkan atas observasi dan deskripsi yang diteliti,
yang merupakan bagian daripada seluruh survei sosial. Sekiranya data-data
yang dicari mengenai adanya korelasi antara kehidupan sosial ekonomi,
kehidupan sosial psikologi dengan kemajuan atau kemunduran mutu
pengetahuan para mahasiswa, memang dapat mendukung hipotesa itu,
maka hipotesa menjadi sesuatu kaidah ilmu. Khusus bagi ilmu-ilmu sosial,
mengadakan tes dan verifikasi terhadap hipotesa harus diingat pepatah lain
yang berbunyi “ceteris patibus” yang berarti “ other thing being equal”. Dan
sekiranya fakta-fakta itu tidak menunjang kebenaran hipotesa itu maka
dapatlah hipotesa itu ditinggal dan tidak perlu dipertahankan mati-matian.
Masalah ini lalu menyangkut masalah sikap ilmiah, yang akan diuraikan
dalam pasal berikutnya. Perlu pula diingat, bahwa kebenaran ilmiah itu
tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu
berbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru
yang sebenarnya tidak diketahui. Kebenaran ilmiah tidak tergantung kepada
siapa yang menghasilkan teori ilmu itu. ilmu mengoreksi dirinya sendiri, dan
ini merupakan satu bagian yang penting daripada kehidupan ilmu.
Demikianlah uraian mengenai bagian-bagian serta tingkat-tingkat
metode ilmu, yang sebagaimana diuraikan di atas merupakan satu prosedur
berpikir runtut yang digunakan dalam penelitian ilmiah untuk memperoleh
konklusi-konklusi ilmiah, berdasarkan atas postulat-postulat dan anggapan-
anggapan dasar tertentu. Dengan menggunakan metode ilmu dalam
mempelajari masalah-masalah dan peristiwa sosial misalnya dapatlah
dipisahkan mana yang merupakan faktor-faktor yang relatif konstan, faktor-
faktor yang merupakan variabel-variabel atau faktor-faktor yang dipengaruhi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Seperti telah diketengahkan di atas,
tujuan daripada penyelidikan ilmiah adalah untuk mendapatkan sistem, atau
suatu gejala tertib di belakang fenomena.
Metode ilmu itu pulalah yang bersifat mengikat dan menyatukan,
sehingga fakta-fakta yang semula tampaknya tidak ada hubungannya satu
sama lain mempunyai hubungan kausal dalam suatu sistem tertentu. Metode
ilmu itulah yang menaikkan fakta-fakta menjadi suatu teori ilmu.
c. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap
ilmuwan dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, meneruskan,
menolak atau menerima serta mengubah atau menambah ilmu. Dalam karya
mengembangkan ilmu, seorang ilmuwan harus mengambil sikap batin
tertentu, sebagaimana seseorang yang hendak mempelajari dan menghayati
sesuatu ajaran agama harus pula mengambil sesuatu sikap yang sesuai
dengan niatnya. Adapun sikap-sikap ilmiah itu adalah:
1) Obyektivitas
Yang dimaksud dengan obyektivitas adalah, bahwa dalam suatu
peninjauan yang dipentingkan adalah obyeknya. Pengaruh subyek dalam
membuat deskripsi dan analisa seharusnya dilepaskan jauh-jauh. Walaupun
tidak mungkin untuk mendapatkan obyektivitas yang absolut, oleh karena
ilmu itu sendiri merupakan hasil budaya manusia, yang sebagai subyek
sedikit banyak akan memberikan pengaruhnya. Dapat pula dikemukakan,
bahwa sikap obyektif dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu adalah
bahwa konklusi yang diambil sebagai sesuatu hasil dari suatu penelitian
tidak tergantung dari faktor-faktor yang subyektif sifatnya seperti faktor
kepercayaan, faktor ras, nilai-nilai moral dan predisposisi politik. Dalam
mengadakan penilaian ilmiah secara obyektif, maka sikap suka atau tidak
suka tidak boleh mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan. Sikap obyektif
dalam bekerja dalam dunia ilmu adalah satu sikap yang paling sulit untuk
diambil, oleh karena dalam mengambil sikap seperti itu faktor-faktor yang
menentukan bukanlah semata-mata faktor keberanian moril, kejujuran ilmiah
seseorang, melainkan faktor-faktor yang terdapat dalam masyarakat ikut pula
memberikan pengaruhnya terhadap sikap obyektif seseorang ilmuwan.
Kesulitan lain untuk mengambil sikap obyektif dalam dunia ilmu,
disebabkan oleh karena manusia sejak muda hingga dewasa bersikap dan
bertingkah laku dengan dibina oleh motivasi-motivasi emosionil. Belajar untuk
menguasai emosi adalah salah satu bagian daripada pendidikan seseorang
yang hendak menjadi seorang ilmuwan yang baik. Kedewasaan emosionil
merupakan salah satu syarat dan sifat yang harus dimiliki oleh seseorang
ilmuwan yang ingin menjadi besar dalam kariernya. Penguasaan emosi itu
terlebih penting bagi seseorang yang hendak mempelajari ilmu-ilmu sosial,
oleh karena ia akan selalu atau sering dihadapkan pada obyek-obyek
peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah sosial yang ada sangkut pautnya
dengan diri pribadinya. Status sosial seseorang terutama dalam masyarakat
yang sudah kompleks adalah kompleks. Ia mempunyai berbagai macam
kepentingan sesuai dengan statusnya yang bersegi banyak itu. dan lagi di
dalam ilmu-ilmu sosial kita diberikan ukuran-ukuran untuk digunakan sebagai
alat penilai dalam menghadapi masalah-masalah sosio budaya. Salah dan
benar itu di dalam ilmu sosial adalah sangat relatif. Oleh karena itu di dalam
mengembangkan diri sebagai ahli-ahli ilmu sosial maka sikap ilmiah yang
selanjutnya yang harus diusahakan untuk dapat dihayati dan dipahami
adalah sikap serba relatif.
2) Sikap serba relatif
Sikap ilmiah yang kedua yang perlu ditegakkan adalah sikap serba
relatif. Di atas telah dikemukakan, bahwa ilmu tidak mempunyai tujuan untuk
mencari dasar-dasar, asas atau prinsip-prinsip daripada kenyataan. Ilmu tidak
mempunyai maksud untuk mencari kebenaran yang mutlak. Ilmu
mendasarkan kebenaran-kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat, yang
secara priori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori
dalam ilmu sering digugurkan oleh teori yang lain. Dan boleh dikatakan
bahwa tujuan penyelidikan ilmu terutama adalah menggugurkan teori-teori
yang sebelumnya telah diterima. Salah satu kelemahan daripada teori ilmu-
ilmu sosial adalah, bahwa teori itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya lebih
dahulu, tetapi sebaliknya juga tidak dapat begitu saja disalahkan. Berbeda
dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam yang masih dapat menguasai obyek
penyelidikannya dalam laboratorium, ilmu-ilmu sosial tidak mempunyai
laboratorium bagi penelitiannya yang dapat dikuasai sepenuhnya. Oleh
karena itu teori-teori dalam ilmu sosial lebih mudah untuk mendapatkan
koreksi yang kritis. Dan seharusnyalah apabila seorang ilmuwan itu harus
selalu bersikap kritis, malahan harus bersikap skeptis yaitu sikap yang dapat
disebut sebagai sikap ilmiah yang ketiga.
3) Sikap skeptif
Sikap ilmiah yang utama disamping sikap obyektif, sikap serba relatif
adalah sikap skeptif. Yang dimaksud dengan sikap skeptif adalah sikap untuk
selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat
dasar-dasar pembuktiannya. Ini tidak berarti bahwa seorang ilmuwan harus
meragukan segala-galanya. Dan secara filsafat tidak mungkin orang
meragukan segalanya. Bahwa semua harus diragukan bagaimanapun juga
masih merupakan suatu kepastian baginya. Dan yang dimaksud dengan
sikap skeptif di sini adalah, bahwa seorang ilmuwan harus selalu hati-hati
harus teliti dalam memberikan penilaian dan pernyataan ilmiah. Didikan
untuk selalu bersikap skeptif inilah yang biasanya menyebabkan seorang
ilmuwan bersikap kritis terhadap segala sesuatunya dan dia tidak mudah
untuk segera mengikatkan diri pada sesuatu paham politik. Orang-orang
ilmuwan yang besar biasanya hidup sendiri secara intelektual. Dia dapat
diumpamakan sebagai burung elang yang terbang sendiri. Juga di dalam
masyarakat orang-orang seperti itu tidak suka memasuki sesuatu
perkumpulan. Bagi suatu pemerintahan yang totaliter orang-orang seperti itu
menjadi musuhnya dan selalu diawasi atau dimusuhi. Banyak sarjana-sarjana
besar yang menyingkir dari tanah airnya yang sebenarnya dia cintai, di mana
dia dapat hidup, dimuliakan, tetapi lebih memilih hidup di negeri orang,
terangkat dari komunitinya dan kebudayaan semata-mata karena sarjana
seperti itu lebih memetingkan kebebasan intelektual daripada menundukkan
sikap kritis dan skeptis kepada kekuasaan dan tirani. Orang-orang seperti
inilah yang biasanya berjasa kepada kemanusiaan oleh karena mereka itulah
yang memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi
manusia.
4) Kesabaran intelektual
Mampu menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan
agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah, karena memang belum selesai dan
cukup lengkap hasil dari penelitian adalah sikap utama seorang ilmuwan.
Bekerja dalam bidang keilmuwan harus disertai dengan jiwa yang penuh
kesabaran lebih daripada pengatur batu pembuat candi. Bekerja dalam
bidang ilmu adalah bekerja secara sistematis, dimulai dari permulaan serta
mengikuti jalan yang tidak boleh dipotong-potong. Membaca sebuah buku
tidak dapat dilakukan dengan meloncat-loncat, tidak dapat dilakukan secara
diagonal. Membaca sebuah buku harus dimulai dari permulaan, halaman
demi halaman, sampai pada halaman yang terakhir. Membuat percobaan-
percobaan dalam laboratorium tidak sekali jadi. Sering puluhan malahan
ratusan kali percobaan ini harus diulang sehingga mencapai hasil yang
dikehendaki. Mengumpulkan data yang relevan, mengklasifikasikan dan
menganalisanya merupakan pekerjaan yang membutuhkan kesabaran
Kesabaran tidak berarti bekerja lambat, tetapi kesabaran bekerja secara
teliti, tekun, sistematis, tanpa tergesa-gesa mengumumkan hasilnya jika
belum cukup kuat dasar-dasarnya, walaupun diketahui bahwa dengan
mengumumkan hasil itu peneliti akan segera mendapat perhatian dan
mungkin sanjungan dari masyarakat. Salah satu sifat yang harus dijauhi oleh
seorang yang hendak menjadi ilmuwan baik adalah menghindari sejauh-
jauhnya popularitas murah.
Kesabaran intelektual berarti pula bekerja dengan giat dan sekuat-
kuatnya, tanpa menjurus ke arah bekerja secara grusa-grusu. Banyak
sarjana –sarjana besar yang barus mengumumkan hasil-hasil penelitiannya
setelah bekerja dengan giat selama sepuluh tahun, bahkan ada yang setelah
dua puluh lima tahun baru mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya.
Memang dengan alat-alat yang serba modern penelitian dapat dipercepat,
akan tetapi sikap kesabaran intelektual itu merupakan sikap yang utama bagi
setiap ilmuwan.
5) Kesederhanaan
Sekiranya tidak dihubungkan dengan sikap ilmiah, sikap sederhana
adalah sikap yang baik untuk dimiliki setiap orang. Orang Belanda malahan
mengatakan bahwa “Eenvoud Ishet kenmerk van het ware”, kesederhanaan
sebagai sikap ilmiah adalah kesederhanaan dalam cara berpikir, dalam cara
menyatakan, dalam cara pembuktian. Jika sesuatu fenomena dapat
diterangkan secara adekuat oleh sesuatu penjelasan, maka penjelasan lain
tidak diperlukan lagi. Bahasa ilmiah adalah bahasa yang sederhana. Bahasa
sederhana tidak berarti bahasa yang kacau, bahasa yang vulgair, tetapi
bahasa yang jernih, terang dan jelas, tidak menggambarkan perasaan
peneliti yang akan mengaburkan pengertian.
6) Sikap tidak memihak kepada etik
Masalah hubungan antara ilmu dan etik adalah masalah yang telah
banyak menarik perhatian para cendekiawan, para filsuf dan ilmuwan. Sikap
tidak memihak pada etik dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan ialah, bahwa ilmu tidak mempunyai tujuan dan tugas untuk
pada akhirnya membuat penilaian tentang apa yang baik dan apa yang
buruk, melainkan ilmu mempunyai tugas untuk mengemukakan apa yang
salah dan apa yang benar secara relatif. Seorang ilmuwan dalam
menjalankan pekerjaanya dalam bidang keilmuwan sebagai adanya tidak
mempunyai preferensi politik, religius dan moral. Baginya semua fakta boleh
dikatakan suci, artinya dia tidak dibenarkan memutarbalikkan fakta. Seorang
ilmuwan tidak dibenarkan untuk mengadakan diskriminasi terhadap fakta-
fakta dan memilih dalam penyusunan teori-teorinya fakta-fakta yang
disenangi saja.
Dalam pada itu sebagai warga negara dia mempunyai tanggung jawab
pula dan sering harus mengambil sikap terhadap beberapa isu yang bersifat
nasional. Dalam mengambil sikap yang berhubungan dengan isu-isu tersebut
tentunya seorang ilmuwan berdiri atas dasar-dasar etik tertentu.
Seorang ahli fisika nuklir dalam membuat senjata atom semata-mata
dibina oleh kaidah-kaidah teknis akademis, dan dalam hal ini dia dibina oleh
pengetahuan teknis dalam ilmu fisika. Dalam membuat bom atom itu ia tidak
akan berhasil apabila dia mencampurkan dalam perhitungan-perhitungan itu
kalkulasi-kalkulasi politik, kalkulasi-kalkulasi psikologis. Tetapi ketika padanya
ditanyakan mengenai penggunaan bom atom itu maka ahli fisika itu
diharuskan mengambil sikap yang mengandung penilaian etik. Demikian
penemu narkotika mungkin akan kurang kebanggaanya apabila
penyalahgunaannya sekarang demikian merusak generasi muda.
Sebenarnya ilmu itu sendiri tidak dapat dikatakan jelek atau baik. Kita
dapat mengatakan tentang ilmu, bahwa ia mungkin benar atau mungkin
salah. Ilmu menjadi alat yang merusak umat atau membahagiakan umat
manusia setelah ada di tangan manusia dan dipergunakannya. Sebenarnya
ilmu dan etik bukan suatu dikotomi, karena asasnya ilmu itu sendiri adalah
baik bagi umat manusia. Demikian pula misalnya ilmu dan agama tidak perlu
dilihat sebagai satu dikotomi seolah-olah kedua konsep itu bertentangan satu
sama lain. Hanya masing-masing mempunyai tempatnya sendiri-sendiri.
2. ILMU PENGETAHUAN KAIDAH
Ilmu pengetahuan kaidah atau disebut juga sebagai ilmu-ilmu normatif
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kaidah-kaidah, juga dikenal
untuk istilah ini adalah normwissenschaft atau sollenwissenchaft. Maka
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan pada punt 1.
Tersebut di atas di terapkan di dalam mempelajari tentang kaidah atau
norma, yang antara lain menelaah proses terjadinya kaidah, atau
pengkaidahan. Mengenai pengkaidahan ini, secara sederhana dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Manusia sebagai pribadi maupun warga masyarakat tidak selalu
menyadari, bahwa di dalam hidupnya sehari-hari sebetulnya dia
berperikelakuan atau bersikap tindak menurut suatu pola tertentu. Di antara
penyebabnya adalah karena sejak lahir manusia sudah berada dalam pola
tertentu dan mematuhinya dengan jalan mencontoh orang lain atas berdasar
petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya. Semua itu menyebabkan
bahwa pada dirinya tidak ada daya upaya untuk mengetahui pola tersebut,
kecuali dalam hal di mana perkembangan hidup tidak memungkinkan untuk
berpegang teguh pada pola yang telah ada tadi, dan dirancangkan pola
tersebut.
Di dalam suatu pola hidup tertentu manusia mengharapkan bahwa
kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan
dasar tadi di antaranya mencakup, sandang pangan, papan, ketenangan
hidup, kasih dan sebagainya. Apabila kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut
tidak terpenuhi, maka manusia akan merasa khawatir , yang mungkin sifatnya
ekstern atau yang sifatnya intern. Rasa khawatir yang sangat memuncak,
akan mengakibatkan bahwa manusia merasa tidak puas pada pola yang
telah ada yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya, sehingga yang bersangkutan menghendaki suasana yang baru.
Pola hidup yang dibicarakan tersebut di atas tak lain adalah struktur
atau susunan-susunan dari kaidah-kaidah untuk hidup. Maka dapat dikatakan
bahwa kaidah adalah patokan atau ukuran atau pedoman untuk berkelakuan
atau bersikap tidak dalam hidup. Bila lebih cermat diamati, maka kaidah
merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku dan sikap
tindak. Sikap tindak dan perilaku yang baik dan yang buruk, yang patut dan
tidak patut, di dalam ketentuan-ketentuan yang telah menghayati di dalam
pergaulan hidup dari masa ke masa, yang hanya waktu-waktu berubah
apabila kelompok pergaulan menghendakinya. Kaidah-kaidah ini terwujud
secara alamiah dan dianut sekalipun tak tertulis, ataupun dalam bentuk
tertulis. Ada yang merupakan kaidah hukum, namun banyak pula yang
berupa norma-norma lain yang bukan norma hukum sebagaimana telah
diuraikan dimuka. Yang bersifat sebagai norma hukum ada yang tidak
tertulis dan lahir dalam proses pengkaidahan langsung di tengah pergaulan
hidup, yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara tidak
tertulis, namun pada masyarakat modern yang tidak kompleks ini, banyak
pengkaidahan yang melalui proses pembuatan undang-undangan oleh
pembuat undang-undan atau lembaga pemerintahan yang berwenang untuk
itu.
3. ILMU HUKUM SEBAGAI ILMUKAIDAH
a. Ide Hukum, Hukum Positif dan Paham Hukum
Ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, merupakan ilmu yang menelaah
hukum sebagai kaidah, atau sistem kaidah-kaidah, dengan dogmatik hukum
atau sistematik hukum, sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan
jelas tentang hukum sebagai ilmu kaidah. Pada punt 3 V ini akan dijelaskan
untuk pemahaman yang lebih dalam tentang ide hukum, hukum positif dan
paham-paham hukum, sebagai berikut :
Apabila kita memandang dan menyelidiki masayrakat, yakni sebagai
suatu kenyataan, maka dapat ditemui berupa gejala yang dapat diuraikan
secara sosiologis/atau psikologis (misalnya: perhubungan di antara agama
dengan kejahatan; diantara pernikahan dan perceraian, dan sebagainya).
Hasil uraian itu semata-mata merupakan gubahan saja, yaitu tentang
keadaan yang terdapat di dalam kenyataan sosial, tanpa memberikan
penghargaan kepada gejala-gejala itu. Dengan cara itu kita tidak
mementingkan nilai gejala-gejala itu (kita tidak mengatakan sesuatu apa –
apa tentang betapa jahatkah kejahatan itu; betapa buruklah perceraian
pernikahan itu); kita hanya menggubahkan gejala-gejala itu, sebagaimana
gejala itu telah kita tangkap dengan pancaindra kita dalam dunia kenyataan.
Lain halnnya apabila kita mempesoalkan harga benda kebudayaan
(kulturguitter); disanalah gubahan yang semata-mata gubahan saja, sekali-
kali tidak memuaskan. Kepada arti harta benda kebudayaan (misalnya:
kesenian, hukum, juga menurut suatu arti yang tertentu; agama), kita
senantiasa mengkaitkan juga suatu penilaian.
Sungguh dapatlah kita memandang harta-benda kebudayaan itu dari
sudut sebagai hasil usaha manusia; akan tetapi demikian baru memperoleh
arti apabila kepada gubahan-gubahan itu kita baitkan suatu pertimbangan
tentang nilai (yakni;pendapat) daripada gejala-gejala yang diuraikan tadi.
Pertimbangan itu tidaklah dapat diturunkan hanya daripada kenyataan yang
digubahkan itu, akan tetapi untuk pertimbangan itu diperlukan ukuran-ukuran
yang terletak diluar dunia kenyataan, sekalipun nilai itu sesungguhnya
diucapkan dengan memperalatkan kenyataan tadi. Misalnya : kita menyelidiki
candi Borobudur; kita mengukur tingginya, lebarnya beratnya patung budha
di dalam candi itu; kita menyelidiki jenis-jenis bahan-bahan yang
dipergunakan oleh para seniman yang mengerjakannya, kita dapat menaksir
jumlah jam-kerja yang dipergunakan untuknya; kita mengetahui hari tahun
candi itu didirikan, ditahbiskan, ditinggalkan oleh orang-orang yang berbakti
di sana. Akan tetapi dari segala pengetahuan itu (yang amat penting untuk
ilmu-ilmu pengetahuan yang tertentu), kita dapat menerangkan atau
memastikan keindahan, kemuliaan dan keluhuran candi itu, kita tidak
menjelaskan apakah sebabnya kita terharu oleh cerminan dari candi dan
arcanya itu. Juga kita tidak dapat mengerti apakah sebabnya pernah seorang
seniman yang merasa terdorong membuat candi dan arca di dalam bentuk
itu. Hal-hal itulah yang hanya dapat dimengerti apabila kita mengakui bahwa
manusia dikuasai oleh nilai-nilai yang mutlak, dan oleh ide-ide, yang menjadi
dasar bagi pendapat-pendapat menilai, dan yang menjadi alasan sehingga
manusia merasa terdorong berbuat sesuatu. Manusia hendak hidup dengan
penuh keinsyafan, sebagaiamana budi manusia meluluskannya, dengan
demikian manusialah yang menyesuaikan diri dengan ide-ide itu. Yang
dimaksudkan ialah ; ide kebenaran, ide keindahan, ide kemulian dan ide
keadilan. Justru itulah sebabnya bahwa kita selalu mempertalikan
pertimbangan tentang nilai kepada hal-hal dan kelakuan-kelakuan yang
terdapat di dalam dunia kenyataan itu. Apabila dinyatakan sesuatu tentang
“baik atau buruk” atau sebagai “bagus atau jelek” atau sebagai “indah atau
keji” maka kita mengucaapkan sesuatu penilaian. Hanya berdasarkan ide-ide
mutlak itulah dapat kita menyatakan yang demikian.
Ide terletak di dalam dunia-ide, gejala-gejala, yang dalam dunia-
kenyataan, hanya dapat dimengerti sebagai pengabdian kepada ide itu.
Segala hasil usaha manusia hanya dapat dimengerti dan dipahamkan dari
sudut idenya. Hanya harus diperhatikan bahwa hasil itu berbeda-beda
menurut tempat dan waktu. Juga terhadap kaidah-kaidah harus dipahami
idenya.
Bagaimanakah halnya dengan hukum?
Apakah yang menjadi dasarnya yang mutlak?
Menurut pandangan golongan ahli filsafat Neo Kantiaan, seperti
tokohnya ahli filsafat hukum Gustav Radbruch, maka ide hukum itu tidak lain
adalah keadilan saja (Rectsphilosopie 1950), ide-hukum itu terletak di dalam
dunia nilai-nilai yang mutlak.
Mulai dari zaman purbakala, semenjak manusia hidup bersama-sama di
dalam ikatan-ikatan yang tertentu, kaidah-kaidah hukum mengusai
masyarakat. Masyarakat sendiri, yang disusun menurut kehendak hukum
positif, dinamakan tertib-hukum. Kita berharap hukum positif itu berorientasi
atas keadilan sebagai ide hukum.
Radruch mengatakan hukum (positif) ialah kenyataan yang bermaksud
mengabdikan kepada nilai-hukum, kepada ide-hukum; dan bahwa hukum
(positif) merupakan kenyataan, yang mempunyai pengertian akan mengabdi
keadilan. Jadi, apabila dipelajari sumber-sumber hukum positif (yaitu: sumber
di dalam arti zahiri), maka kita jumpai bentuk-bentuk yang berupa hukum,
yang bermaksud mengabdi kepada keadilan. Kita khayalkan saja bahwa
hukum positif itu sebagai lambang-lambang daripada ide-hukum. Hal itu tidak
berarti bahwa seluruh hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide
hukum itu; karena bukankah, tadi dikatakan bahwa hukum positif bermaksud
mengabdi kepada ide-hukum; perumusan itu mengandung kemungkinan
bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif juga yang tidak memenuhi
maksud itu. Akan tetapi kaidah hukum positif itu yang tidak berorientasi
kepada ide-hukum tak dapat dipandang sebagai lambangnya. Kaidah-kaidah
hukum itu harus dinyatakan dengan bentuk-bentuk zahiri, sehingga bentuk
itu dapat ditangkap dengan kaidah itu malahan tanda itu hanyalah lambang
kaidah itu.
Lambang-lambang itu mungkin berupa perilaku manusia, mungkin juga
berupa tulisan-tulisan. Seorang polisi lalu-lintas yang menahan kendaraan,
mempergunakan lambang (menaikan tanganya) untuk menyatakan adanya
perintah hukum. Jadi bentuk-bentuk yang manakah dipergunakan untuk
membuat lambang-lambang itu, tidak dapat ditentukan terlebih dahulu; hal-
hal yang kebetulan mempengaruhi jenis lambang yang manakah yang
diketemukan di dalam dunia kenyataan ini.
Pandangan itu berarti pula bahwa pemakaian suatu jenis lambang tidak
mengucilkan pemakaian jenis –jenis lambang yang lain. Hal itu dilupakan
oleh kaum penganut legisme, yang berpendirian bahwa undang-undang
adalah satu-satunya lambang hukum itu. Pada masa sekarang kita tahu
bahwa kaidah-kaidah (yang abstrak itu) ternyata di dalam berbagai bentuk,
yakni diantaranya juga di dalam perilaku manusia yang berkepentingan. Kita
hanya menghendaki supaya lambang itu dapat ditangkap dengan
pancaindera, dan bahwa bentuk itu adalah sesuai dengan ide tentang ide
tentang apa yang hendak dijelmakan. Misalnya : kita mempertalikan ide-
hukum dengan cita-cita kerukunan, perdamaian, kesentosaan, oleh sebab itu,
bentuk-bentuk penjelmaan hukum itu tidak boleh bertentangan dengan inti
cita-cita itu.
Bertalian dengan yang diatas, kita menemui suatu sifat baru, yakni :
pendapat kita mengenai hukum. Dengan perkataan itu dimaksudkan: inti
pengertian yang menentukan bahwa kaidah-kaidah yang tertentu adalah
kaidah hukum, dan bahwa kaidah-kaidah yang lain bukanlah kaidah hukum,
melainkan misalnya kaidah kesusilaan. Pengertian itu dapat kita
namakan:’’paham-paham’’(bahasa jerman:der recbtbegrif). Jadi syarat itu
dapat dirumuskan sebagai berikut: lambang hukum, yang dapat ditangkap
oleh pancaindera harus pula sesuai dengan paham-hukum itu.
Pada zaman purbakala, saat manusia belum pandai menulis, tentulah
manusia telah hidup bersama-sama di dalam ikatan-ikatan yang tertentu;
ikatan itu membutuhkan supaya kepentingan-kepentingan perseorangan,
maupun kepentingan bersama, terlindung; hukumlah yang yang dapat
memenuhi maksud itu. Akan tetapi anggota-anggota masyrakat memerlukan
petunjuk yang menyatakan dengan cara bagaimana mereka itu harus
berkelakuan. Kita dapat khayalkan bahwa oleh alat-alat masyarakat itu, dapat
ditentukan peraturan-peraturan. Mungkin oleh seseorang yang berkuasa,
oleh suatu dewan orang-orang yang terkemuka, atau oleh para anggota
masyarakat seluruhnya dapat ditentukan peraturan-peraturan tingkah-laku
bagi anggota-anggotanya. Jenis-jenis penjelmaan hukum itu mempunyai satu
sifat yang sama, yakni kaidah-kaidah hukum dirumuskan dengan kata-kata,
sekalipun kaidah-kaidah itu belum disusun menjadi undang-undang maupun
kitab hukum
Bentuk tertulis yang tertua di bumi ini, ialah tugu Hamurubi (1955 –
1913, sebelum masehi); di atas suatu tugu batulah diukirkan undang-undang
itu, yakni yang diterima oleh Hamurubi dan dewata-dewata, yang
disampaikan olehnya kepada rakyatnya.
Tugu itu pernah disebutkan sebagai “kitab undang-undang yang tertuadi
muka bumi ini”, sekalipun “buku” itu merupakan batu saja.Akan tetapi di situ
ternyata inti pengertian kitab undang-undang; kepada arti “undang-undang”
dipertalikanhanya dengan bentuk “perkataan” sedangkan kepada kitab selalu
diperhubungkan sifat “tertulis”. Dengan begitu: kitab undang-undang haruslah
diartikan sebagai suatu kitab yang menyatakan undang-undang brbentuk
tertulis. Kita mengetahui dan kita menginsyafi bahwa undang-undang tidak
sanggup mengatur dan menjamin segala kepentingan yang muncul di dalam
masyarakat; bahwa oknum-oknum, yang berbudi itu, tidak menunggu apakah
kepentingannya diperhatikan oleh alat-alat masyarakat yang ditugaskan
menentukan peraturan-peraturan itu; bahwa manusia bersifat otonom di
lapangan mentukan nasibnya, dan waspada menjaga kepentingannya
sendiri. Hal itu mengakibatkan bahwa perbuatan-perbuatan manusia yang
bertentangan dengan kepentingan orang lain, mengadakan reaksi dari pihak
orang yang merasa dirugikan oleh perbuatan itu; bahwa perbuatan-perbuatan
manusia yang sesuai dengan kepentingan orang lain itu, memperoleh
pengakuan dari pihah orang lain itu.
Dengan kata lain;dari kelakuan dan perbuatan manusia ternyata juga
apakah anggota-anggota masyarakat bertindak sesuai, maupun
bertentangan dengan kepentingan bersama (kepentingan bersama
khususnya ialah pertama-tama: ke-rukunan dan perdamaian) kelakuan atau
perbuatan manusia itu dapat menyebabkan raaksi yang bersifqat menentang,
atau mengakui. Reaksi itu berdasarkan keinsyafan, bahwa kelakuan atau
perbuatan itu adalah sesuai, ataupun berlawanan, dengan keadilan. Dapat
kita katakan, bahwa dari perbuatan atau kelakuan manusia ternyata pula
kehendak hukum; dengan kata lain: hukum yang abstrak dapat juga
diwujudkan di dalam prilaku manusia.
Apakah semua perbuatan itu harus diakui sebagai penjelmaan hukum
juga?
Tentu tidak; pertama-tama ada kelakuan yang diakibatkan langsung
oleh suatu perintah atau izin dari undang-undang, yang harus atau dapat
dipenuhi; bahwa perbuatan itu berdasarkan hukum, tak perlu kita persoalkan.
Disamping perbuatan sejenis itu, terdapat pelbagai perbuatan juga, yang
tidak diperintahkan oleh undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan itu
diakui pula sebagai suatu kewajiban; ada perbuatan yang oleh masyarakat
dipertalikan dengan hukum. Ada juga yang diakui sebagai kalaziman saja
(ada juga yang disebabkan oleh kesusilaan, akan tetapi perbuatan ini tidak
dipersoalkan di sini, karena telah dibahas).
Kedua jenis perbuatan itu(berdasarkan hukum atau kalaziman)
dilakukan oleh manusia dengan penuh keinsyafan pula; perbuatan-perbatan
yang dilakukan tanpa kesadaran, tidak kita perbincangkan. Jadi di dalam
perilaku itu harus kita perhatikan faktor psikologis. Faktor psikologis itu
menentukan apakah pada sustu perbuatan yang tertentu dipertalikan ide
hukum, ataukah perbuatan itu diakui saja sebagai kelaziman. Dengan kata
lain; faktor psikologis itu menentukan apakah prilaku itu bersifat hukum atau
tidak. Lama kelamaan masyarakat mengakui sesuatu perbuatan kewajiban
hukum; lama-kelamaan muncul kesadaran bahwa suatu perbuatan yang
tertentu adalah perwujudan hukum. Seringkali berdasarkan kebiasaan, dapat
dibuktikan apakah sesuatu perbuatan adalahpenjelmaan hukum atau bukan.
Oleh sebab itu biasa dipergunakan istilah hukum kebiasaan. Disamping
hukum kebiasaan itu (yakni: perilaku manusia sebagai perwujudan hukum)
terdapat kebiasaan-kebiasaan yang tidak diakui sebagai hukum, yang kita
namakan, kelaziman. Kelaziman itu terbukti juga dengan perbuatan-
perbuatan manusia yang biasa dilakukan, akan tetapi perbuatan-perbuatan
itu tidak mempunyai sifat hukum; kesadaran manusia mengakui ada atau
tidak ada sifat psikologis itu. Istilah hukum kebiasaan itu tidak begitu tepat :
convention ialah contoh (di lapangan hukum tata-negara), bahwa sesuatu
kejadian di dalam DPR, yang terjadi hanya satu, dua kali saja, diakui pula
sebagai perwujudan hukum; nyata benar bahwa sifat hukum telah diakui
tanpa kejadian itu diketemukan berulang-ulang kali, diakui walaupun syarat
“kebiasaan” itu tidak terpenuhi. Oleh sebab itu tampaknya lebih tepat kita
pergunakan istilah “hukum perilaku” (gedragingenrecht). Sekalipun begitu,
dalam tulisan ini tetap mempergunakan istilah “ hukum kebiasaan”.
Perbedaan antara perilaku sebagai penjelmaan hukum, dengan perilaku
yang dinilaikan sebagai kelaziman saja, haruslah dibubungkan pada ada atau
tidaknya paham hukum. Baik hukum kebiasaan, maupun kelaziman
membebankan kehendaknya kepada anggota-anggota masyarakat; kedua-
duanya memberikan peraturan tingkah laku kepada manusia supaya ia
menyesuaikan kelakuannya kepada petunjuk-petunjuk itu, begitulah pula,
kedua-duanya dapat dipergunakan paksaan, supaya mereka itu yang ingkar
di dalam memperhatikan perintah-perintah itu, akan menyesuaikan dirinya
kepada perintah-perintah itu. Dimanakah terletak perbedaan di antara kedua
jenis norma itu?
Sukar sekali untuk menetapkan perbedaan menurut inti pengertian
kedua jenis kaidah itu: hanya suatu perbedaan dapat diakui, yakni: kepada
paham-paham hukum itu dipertalikan “kuasa” ( die macht), sedangkan
kepada kelaziman perbuhubungkan dengan alat-alat penguasa di dalam
negara, yaitu kuasa yang telah berorganisasi.
Hukum tanpa kekuasaan (machtloses recht) menjadi tertawan saja;
hukum yang tak dapat membebankan kehendaknya (dengan perantaraan
alat-alat penguasa di dalam negara) tidak bergaya tidaklah pula dihormati.
Sebaliknya ; kekuasaan tanpa hukum rechtlose macht dirasai sebagai
kewenang-wenangan saja.
Rudolf von Jhering mengatakan : hukum ialaha penjaminan syarat-
syarat penghidupan di dalam masyarakat; syarat-syarat itu berbentuk
memaksa. Von Jhering yang mementingkan maksud-maksud hukum yang
terletak di dalam masyarakat. Terhadap pernyataan itu, oleh Rodulf
Stammler (dalam Handwortebuch der staatswissenshcaft, 4e Auflage, “recht”)
di kemukakan bahwa;
a. Masyarakat hanya dimungkinkan berlangsung oleh hukum;
b. Baik di dalam hukum, maupun di dalam kesewenang-wenangan terdapat
pemaksaan;
c. Penjaminan itu tidak berarti sesuatu yang mengenai isi hukum yang
hendak dipaksakan itu.
Oleh Rudolf Stammler dihubungkan perbedaan antara hukum dengan
kesewenang-wenangan itu, kepada kekuasaan mengikat, baik secara
obyektif maupun subyektif, sesuatu peraturan yang berdasarkan
kesewenang-wenangan saja, mengikatoleh karena kehendak pihak yang
menentukannya; akan tetapi pihak yang menetapkan peraturan itu dapat pula
menentukan bahwa ia sendiri tidak takluk kepada peraturan itu. Sifat
kewenang-wenangan itu ternyata pula oleh karena pihak yang menentukan
peraturan itu dapat mencabut kembali peraturannya, yaitu dengan sewenang-
wenangan saja.
Sebaliknya; perintah hukum menguasai baik rakyat, maupun pihak yang
menentukan peraturan tu, penguasa yang menetapkan peraturan itu
mengakui dan menghendaki bahwa ia sendiri takluk pula kepada peraturan
itu. Lain daripada itu, suatu perintah yang berdasarkan hukum tak dapat
dicabut kembali dengan sewenang-wenangan saja. Oleh karena itu, hukum
bersandarkan paham, bahwa ia bersifat perintah yang baku, lagi pula hukum
tak dapat mengakui pengecualian-pengecualian. Stammler mengemukakan
bahwa kaidah itu, tak dapat diperkosakan; dengan demikian ia menyatakan
perbedaan di antara paham-paham dengan paham kesewenang-wenangan.
Pendapat yang sejajar dengan ini dikemukakan pula oleh Lemaire, di
dalam karangannya “Het Recht in Indonesia, dimana ia mengatakan bahwa
hukum tidak bersifat menindas, akan tetapai hendak menyalaraskan
kebebasan oknum-oknum sehingga terbentuk suatu tata-tertib yang
harmonis; juga pencipta tata-tertib itu (yakni: alat-alat yang turut mewujudkan
hukum), adalah mengabdi di bawah peraturan-peraturan hukum itu.
Padangan kita membawa serta suatu akibat yang lain lagi, yaitu yang
berhubungan dengan tugas hakim. Secara teoritis dapatlah kita gambarkan,
bahwa undang-uundang, diperlengkapi dengan kebiasaan, dapatlah
bersama-sama mewujudkan seluruh hukum. Akan tetapi di dalam kebenaran
sosial, hal itu berlainan; ada kemungkinan besar bahwa terjadi suatu
perselisihan mengenai suatu jenis kepentingan yang telah diketemukan, baik
oleh pembuat undang-undang, maupun oleh oknum-oknum di dalam
perwujudan hukum kebiasaan, atau oleh hakim apabila apabila memberikan
keputusan. Dapatlah hakim mengingkari buat memutuskan perkara itu?
Tidak; karena mereka itu tidak meluputkan diri dari tugas itu, karena mereka
itu tidak dapat meluputkan diri dari tugas itu, tidak juga dengan beralih
“bahwa undang-undang kurang terang maupun kurang lengkap”. Dengan
kata lain: setiap perselisihan yang dimajukan kepada hakim haruslah ia
selesaikan, semata-mata berdasarkan hukum, supayakeputusan itu
memperoleh kekuatan hukum. Untuk memenuhi tugas kewajiban itu, hakim
dapat mempergunakan kaidah-kaidah yang sudah terwujud di dalam bentuk-
bentuk yang tertentu, atau hakim haruslah mengusahakan supaya ia
memperoleh perwujudan yang baru. Dalam pada itu hakim lalu turut pula
menjelmakan hukum’ penjelmaan hukum oleh hakim khusus dinamakan
“menemukan hukum” (heat recht vinden; rechtsvinding).
Berdasarkan pandangan di atas, maka sumber-sumber hukum (di
dalam arti zahiri) ialah:
a. Undang-undang;
b. Traktat;
c. Perilaku manusia;
d. Jurisprudensi, yang meliputi:
1) Penggunaan langsung kaidah-kaidah yang terwujud di dalam a, b atau
c;
2) Menemukan hukum (penafsiran kaidh-kaidah itu; analogi dan
determinasi; penciptaan kaidah-kaidah berdasarkan pandangan
bahwa hukum ialah suatu sistem yang terbuka).
Pekerjaan hakim tentu sekali amat dipengaruhi oleh ilmu hukum
(communis opinio doctorum = pendapat umum para ahli hukum). Akan tetapi,
berlainan dengan ilmu hukum di masa kejayaan Rumawi yang memandang
ilmu hukum juga sebagai sumber-sumber, pada masa sekarang ilmu hukum
tak dapat dipandang selaku sumber hukum di dalam arti zahiri. Tak dapat
disangkal bahwa ilmu hukum sebagai ilmu kaidah mempunyai pengaruh yang
amat besar terhadap isi bentuk-bentuk perwujudan hukum itu akan tetapi
hanya hukum yang ternyata di dalam bentuk-bentuk yang tadi disebut itu,
mempunyai kekuatan mengikat atau memiliki kekuatan hukum.
b. Kebiasan atau hukum kebiasaan
Seperti telah kita lihat kebiasaan dapat dipandang sebagai perwujudan
hukum, oleh sebab itu kita mempergunakan istilah: hukum kebiasaan.
Kebiasaan-kebiasaan itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Kebiasaan umum (kebiasaan yang diperhatikan oleh para anggota suatu
masyarakat pada umumnya; di Indonesia contoh-contoh terdapat di dalam
hukum adat Indonesia pada umumnya);
2) Kebiasaan setempat (kebiasaan yang terdapat di dalam suatu wilayah
tertentu, atau yang diperhatikan oleh suatu golongan tertentu; misalnya
hukum kekeluargaan Indonesia pada suku Minangkabau, Tapanulis,
Ambon dan sebagainya);
3) Kebiasaan khusus (yang di perhatikan di dalam golongan-golongan orang
tertentu; misalnya kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang, petani dan
sebagainya
Syarat-syarat yang dapat membuktikan bahwa perilaku itu telah menjadi
hukum kebiasaan ialah:
1) Hendaknya diperhatikan oleh yang berkepentingan pada umumnya.
Kepada syarat itu seringkali dihubungkan juga, supaya kebiasaan itu
diperhatikan selama suatu periode yang agaka lama;
2) Yang berkepentingan harus sadar bahwa kelakuan mereka itu (kebiasaan
itu) adalah sesuai dengan kehendak hukum; yang berkepentingan harus
mengisyafi bahwa mereka itu terikat kepada kebiasaan itu, karena hukum.
Ad.1) hanya yang berkepentingan harus memperhatikan kebiasan itu;
misalnya; kebiasaan-kebiasaan yang muncul di antara pemilik rumah-rumah
rakyat di satu pihak, dan para penyewa pada lain pihak, khusus mengenai
caranya sewa itu di pungut. Kebiasaan-kebiasaan yang telahmuncul di dalam
perhubungan itu, hanya dapat mengikat kedua belah pihak, dan bukan bagi
orang-orang di dalam golongan-golongan atau kelompok lain.
Yang sering di persoalkan juga adalah lamanya masa yang harus
berlangsung sampai perbuatan-perbuatan yang tertentu diakui sebagai
kebiasaan. Dahulu sering kali dikatakan bahwa dibutuhkan longa et
inveterata consuetudo (kebiasaan yang lama dan tetap diperhatikan). Akan
tetapi sebagaimana yang telah disinggung, bahwa kita dapat mengakui
kejadian-kejadian sebagai kebiasaan, apabila hanya satu atau dua kali hal ini
terjadi, contoh-contohnya khusus terdapat dilapangan hukum tata-negara dan
hukum bangsa-bangsa.
Ad.2) kesadaran yang dalam hubungannya dengan faktor psikologis. Apabila
perilaku itu tidak berdasarkan kesadaran-hukum, maka kepada kelakuan
manusia tidak pernah dapat ditemukan watak hukum. Jadi harus ada
keinsyafan kepada yang berkepentingan bahwa kaidah itu berlaku sebagai
kaidah hukum; hal itu dapat dinyatakan sebagai opinio jurisseunessitatis.
Kesadaran hukum itu dapat dibuktikan juga dari syarat-syarat yang
tetapi diperhatikan oleh golongan-golongan orang tertentu. Syarat-syarat itu
acapkali dinyatakan secara tertulis di dalam bentuk kontrak dan lain-lain yang
dipergunakan oleh para pedagang, dalam lintas niaga. Jadi dalam hukum
kebiasaan itu terdapat faktor yang bersifat kenyataan (perilaku) dan faktor
psikologis (keinsyafan hukum).
Kebiasaan sebagai hukum dipersoalkan oleh berbagai mazhab dan
aliran di dalam ilmu hukum; yang khusus dipersoalkan ialah hubungan antara
undang-undang dengan kebiasaan. Dapat dibedakan aliran absolutistis,
ajaran sejarah dan aliran positivistis; ketiga pendirian itu secara sepintas lalu
adalah sebagai berikut:
1) Apabila raja-raja atau pembesar-pembesar zaman dahuluu menetapkan
undang-undang, mereka itu menghendaki kesempurnaan perundang-
undangan itu. Pendirian itu terbukti diantaranya juga oleh pengitaban di
dalam Corpus Iuris Civilis oleh kaisar justianus. Penafsiran pasal-pasal
Corpus itu tidak diizinkan kepada para hakim, melainkan pembuat
undang-undang sendirilah yang akan memberikan penafsiran itu. Tidak
dapat disangkal bahwa disamping kitab-kitab yang dianggap sempurna,
muncul juga kebiasaan-kebiasaan, yang bersifat hukum, oleh karena
rakyat sendiri mematuhi (hukum) kebiasaan tersebut. Akan tetapi ahli-ahli
hukum yang menganut pendirian absolutistis itu menyatakan bahwa
pembuat undang-undang, hanya dengan diam-diam menerima baik
adanya hukum kebiasaan itu; pembuat undang-undang setiap waktu
dapat mengatur hal-hal itu di dalam undang-undang. Pendirian tadi
mengakui kebiasaan sebagai sumber hukum hanyalah pada tingkat
kedua, yakni yang terletak di bawah undang-undang. Kita dapat mengerti
akan pendirian itu, jika dapat diinsyafi bahwa undang-undang itu sering
diperintahkan saja oleh raja-raja absolut tersebut; sebelum revolusi
perancis rakyat tak dapat mengambil bagian langsung di dalam
perundang-undangan. Rakyat hanya dapat mempergunakan perilaku
sebagai perwujudan hukum.
2) Mazhab sejarah, didirikan oleh Hugo (1964-1844), akan tetapi diketuai
oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861). Mazhab ini berpendirian
bahwa hukum dibuat, akan tetapi hukum ada dan muncul bersama-sama
dengan rakyat. Dapat dikatakan bahwa Von Savigny memandang hukum
hanya dari sudut psikologi, seperti yang dibuktikan di dalam sejarah.
Hukum dihasilkan oleh jiwa rakyat, jika rakyat iut mengadakan hukum;
yang diterima baik oleh para anggota masyarakat, sebagai hukum yang
sesuai dengan kesadaran hukum setiap orang. Hukum berkembang,
seperti juga bahasa yang senantiasa berkembang. Kesadaran hukum
yang bersama itu (yang dibutkikan di dalam jiwa rakyat) menjadi dasar
bagi segala bentuk hukum, baik undan-undang, maupun kebiasaan, juga
hukum yang diciptakan oleh para ahli hukum. Pokoknya segala bentuk-
bentuk itu dipandang sebagai hukum positi. Mazhab sejarah adalah
reaksi terhadpa ajaran-ajaran hukum kodrat, pula terhadap aliran-aliran
yang hendak mendewatakan kodifikasi. Hasil yang terbesar yang menjadi
jasa mazhab tersebut, ialah bahwa kepada hukum kebiasaan, lalu
diberikan suatu tempat tersendiri, selaku salah satu sumber hukum positif.
Akan tetapi tentulah tidak benar bahwa kesadaran hukum itu, malahan
undan-undang tersebut adalah perwujudan hukum yang baik dan tepat
sekali. Namun kekeliruan von savigny ialah bahwa ia kurang
memperhatikan sifat kemanfaatan yang terkandung di dalam hukum
positif kebutuhan sosial seringkali menghendaki supaya hal-hal tertentu
diatur secara praktis, sesuai dengan keadaan-keadaan yang sebenarnya.
Tidak mungkin undang-undang itu langsung mendasarkan kesadaran
hukum masyarakat.
3) Aliran lain lagi hendak mengakui kebiasaan sebagai hukum, hanyalah
apabila kebiasaan itu diakui dan ditetapkan dengan keputusan hakim. Hal
itu berarti bahwa kepada kebiasaan sendiri tak diberikan watak hukum,
akan tetapi watak kelaziman saja. Hanya apabila negara, khusus dengan
perantraan alat-alatnya, mempergunakan kebiasaan-kebiasaan itu, maka
kebiasaan itu memperoleh watak hukum. Dengan kata lain : oleh alat alat
negara kebiasaan ditetapkan menjadi hukum (yaitu: hukum kebiasaan).
Penganut paham ini mengatakan bahwa mungkin pergaulan masyarakat,
dan ternyata benar. Akan tetapi baru apabila kebiasaan itu dapat
dipertahankan dengan alat-alat paksaan yang dipergunakan oleh hakim
itu, sehingga baru dengan keputusan hakim itu, kebiasaan dapat
memperoleh watak hukum. Dengan ini ternyata bahwa aliran itu
mempunyai pendirian yang agak dekat sekali dengan aliran absolutistis.
Kedua-duanya baru mengakui kebiasaan-kebiasaan sebagai hukum,
apabila alat-alat negara dinyatakan bahwa kebiasaan itu diakui sesuai
dengan kehendak negara, atau sama dengan kehendak negara (yang
dapat dinyatakn pula dengan undang-undang). Dengan kata lain: watak
hukum diperkenankan oleh negara, tanpa watak hukum itu kelaziman itu
hanya merupakan kelaziman saja. Jadi tidak ada alasan untuk
mensyaratkan bahwa hanya perilaku yang memerlukan pengakuan hakim
yang memberikan watak hukum kepadanya; menurut hakikatnya tidaklah
ada perbedaan di antara hukum kebiasaan dengan hukum undang-
undang, apabila dituntut bahwa watak kaidah hukum diberikan oleh
keputusan hakim, tidak ada alasan yang logis membatasi tugas hakim itu
hanya kepada kebiasaan saja. Sebenarnya baik undang-undang maupun
kebiasaan adalah perwujudan hukum. Dan justru oleh karena bentuk itu
adalah perwujudan hukum, maka hakim dapat mempergunakannya
dengan memberikan keputusan yang mempunyai hukum. Lagi pula;
bagaimana halnya hukum kebiasaan (perilaku sebagai perwujudan
hukum) yang senantiasa ditaati penuh oleh manusia; pentaatannya belum
pernah dipersoalkan, sehingga belum pernah seorang hakim dapat
merumuskan sesuatu keputusan yang merupakan perumusan dengan
perkataan. Di dalam hal itu penganut aliran ini (yang ketiga) hendak
membantah adanya watak itu telah terbukti dengan cukup, karena kaidah
yang terkandung di dalam kebiasaan itu belum pernah dilanggar; tiada
ada seorangpun yang memikirkan akan melewati perintah-perintah
kaidah. Mengenai aliran-aliran yang lain, di antara George Jellinek (1851-
1911); ia berpendirian positivis murni. Tentang dasar berlakunya hukum
kebiasaan, sangat tenar perkataanya; yaitu pada awal permulaan segala
hukum di dalam suatu masyarakat adalah berdasarkan pengendalian
yang sebenarnya. Pengendalian yang selalu diperhatikan membangunkan
bayangan bahwa pengendalian itu bersifat norma, oleh sebab itu norma
muncul sebagai suatu perintah masyarakat, jadi sebagai norma hukum.
Perkaatan-perkataanya yang lain, yang amat dikenal juga yakni, bahwa
hukum berdasarkan kepada normative kraft des faktischem (ialah kira-kira:
kekuatan yang menentukan sifat norma kepada hal-hal yang sebenarnya
dilakukan; lihat allegemenine rechtslehre). Pendirian itu sama sekali tidak
dapat disetujui pula, oleh karena kita harus mengisyafi bahwa kenyataan-
kenyataan (das faktische) tidaklah pernah menjadi nroma, tidak pernah
memperoleh kekuatan normatif dari dirinya sendiri. Manusia tetap
mempergunakan budinya, dan tetap mendengar kepada suara batinya yang
menyatakan kepadanya, apakah perbuatan itu sesuai dengan kesadaran
keadilan, atau tidak (dengan kata lain: apakah perbuatan itu bersifat “baik”
atau “buruk”). Kita sebagai manusia menilai hal-hal kenyataan yang terjadi di
dunia sekitar kita.
Khusus oleh kamphuisen, di dalam karyanya Gewoonterecht (1935)
ditekankan pengaruh budi manusia terhadap penghargaan perilaku sebagai
penjelmaan hukum. Di dalam bukunya ia menyebut dan mengupas terlebih
dahulu pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat ahli-ahli hukum yang lain,
lalu ia sendiri merumuskan teorinya sebagai berikut:
a) Mengingat kepentingan umum, kita harus melakukan diri pada kebiasaan-
kebiasaan yang terdapat di dalam suasana hukum yang diperhatikan
pada umumnya;
b) Oleh sebab kebiasaan itu adalah “batu ujian” (toetssteen) untuk
mempertimbangkan apakah sesuatu kaidah bersifat pantas (redelijk), jika
sebagai makhluk yang berbudi (met rede begaafd) haruslah menghormati
kaidah itu.
Apabila kita membandingkan undang-undang dengan kebiasaan, maka
kedua-duanya adalah sumber hukum di dalam arti zahiri; perbedaannya
khusus terletak di dalam asalnya. Kehendak negara yang dirumuskan
dengan kata-kata, dapat dinyatakan di dalam undang-undang; kemauan
rakyat, yang dinyatakan dengan perilaku anggota-anggota masyarakat, dapat
dibuktikan dengan kebiasaan. Hanya, hukum kebiasaan mempunyai
kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan undang-undang, oleh
karena di dalam negara-negara modern, hukum pada umumnya hanyalah
dapat dijalankan oleh alat-alat negara saja. Pada umumnya hukum sipil
maupun hukum pidana adalah dipertahankan hanya dengan perantaraan
hakim-hakim negara; Cuma dimungkinkan hukum sipil terdapat kemungkinan
bahwa percerderaan tentang hak-hak yang kita kuasai sendiri, dapatlah
diputus oleh wasit. Dapat dimengerti bahwa hakim-hakim yang diangkat oleh
negara lebih memperhatikan hukum yang dirumuskan oleh negara-negara
bandingkan dengan hukum yang ditetapkan oleh rakyat tanpa
mempergunakan alat-alat perundang-undangan negara itu. pendirian itu
diperkuat lagi oleh ajaran “Trias Politica”; mostequieu menyatakan bahwa
para hakim hanyalah dapat dipandang sebagai “mulut undang-undang”,
artinya hakim hanyalah diwajibkan mempergunakan kaida-kaidah hukum
yang sungguh dirumuskan di dalam undang-undang. Oleh karena ajaran
legisma menegaskan lagi bahwa undang-undang adalah identik dengan
hukum, maka hakim hanyalah dapat mempergunakan undang-undang saja.
Sebaliknya, hakim yang tidak diangkat oleh negara memang lebih bebas
mempergunakan jenis-jenis hukum yang lain, yakni untuk dijadikan dasar
bagi keputusannya. Misalnya : di dalam Republik Rum, iudex (hakim) tidak
diangkat oleh negara akan tetapi setiap warga Rum yang terpelajar di dalam
hukum dapat diaku sebagai hakim untuk memutuskan sesuatu perselisihan.
Khusus praetor yang mempunyai kedudukan selaku pegawai kehakiman,
ditugaskan untuk menyelidiki apakah diantara kedua belah pihak yang
menghadap terdapat suatu perselisihan hukum. Apabila salah satu pihak
tidak mempertahankan pendiriannya, maka cukuplah itu buat menyatakan
bahwa tidaklah ada percederaan. Di dalam hal kebalikannya, maka praetor
mengusahakan terlebih dahulu supaya diketahui apakah hal yang dimajukan
kepadanya adalah suatu perselisihan hukum, sehingga iudex yang
ditugaskan memberikan keputusan itu. akan tetapi iudex itu tidak
diperintahkan mempergunakan kebiasaan. Di negara Rum dari dahulu kala
diakui mos majorum (kebiasaan orang banyak), sebagai salah satu sumber
hukum yang tertua.
Dari sejarah pengkitaban di Eropa Barat, terbukti juga bahwa disamping
hukum Romawi, yang dikitabkan atas perintah Kaisar Justianus, menjadi
Corpus Iuris Civils (± 530), tetap diakui dan dipergunakan juga hukum
kebiasaan (yang acapkali dinamakan : Coutumes). Sesudah hukum Romawi
itu diberi komentar oleh para glossator dan post-glossator (abad ke-11
sampai ke-13), hukum kebiasaan dapatlah dipertahankan diri disamping
hukum yang dikitabkan itu. baru pada akhir abad ke-18, kodifikasi di Eropa
barat menang; hal itu mengakibatkan bahwa hukum kebiasaan adalah
sederajat dengan undang-undang, maka ada kemungkinan bahwa diantara
kedua jenis perwujudan itu akan terdapat pertikaian. Oleh ilmu hukum dikenal
adanya :
1) Consuetudo praeter legem ( kebiasaan yang menambah atau
menjelaskan undang-undang);
2) Consuetude contra legem (kebiasaan yang bertentangan dengan undang-
undang). Kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, dapatlah
mengakibatkan bahwa undang-undang dihapuskan (consuetude
obragatoria), ataupun bahwa undang-undang itu tidak diperhatikan lagi,
oleh karena hanya kebiasaan yang bertentangan itu yang diperhatikan
(desuetude).
Khusus consuetude praeter legem itu (sub.1) sering menjadi bahan-
bahan untuk penambahan kedua undang-undang. Akan tetapi janganlah
undang-undang dipandang sebagai kebiasaan-kebiasaan yang dikitabkan,
dan perlu dihayati bahwa hasil pekerjaan pembuat undang-undang
merupakan sesuatu perwujudan hukum tersendiri, disamping bentuk-bentuk
hukum yang lain.
4. HUKUM DAN INTERDISIPLIN ILMU
Sebagaimana telah disinggung di muka disiplin meliputi analitis dan
prespektif. Yang pertama merupakan sistem ajaran yang menganalisa,
memaami dan menjelaskan seperti sosiologi, psikologi, ekonomi dan lain-
lain, sedangkan yang terakhir merupakan sistem ajaran yang menentukan
apakah yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kenyataan-kenyataan tertentu seperti hukum, filsafat dan lain-
lain. Melihat kenyataan bekerjanya hukum di dalam masyarakat seperti yang
telah dijelaskan, maka ilmu hukum yang sifatnya prespektif tidaklah mampu
“bekerja sendiri, melainkan senantiasa, interdisiplin dengan berbagai ilmu lain
baik yang analitis, maupun sesama yang perspektif. Secara sederhana sekali
dapat dilihat hubungan erat antara sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, ilmu
politik dan ilmu-ilmu hukum etika, filsafat dan lain-lain. Sehingga dapat pada
dasarnya untuk bisa menjabarkan hukum dalam kehidupan masyarakat,
serta kaidahnya yang menetapkan bagaimana seharunya dengan sanksinya
yang mengikat, serta melindungi hak dan kepentingan yang berhubungan
dengan benda-benda nyata yang bergerak, ataupun benda-benda
kondisional alamiah. Maka hukum dan interdisiplin ilmu akan meliputi ilmu
meliputi ilmu-ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, yang
akan dijelaskan dengan sederhana sebagai berikut:
a. Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial
Diatas telah diketengahkan, bahwa ilmu pengetahuan positif sebagai
yang kita kenal itu merupakan unsur kebudayaan manusia, yang
dimungkinkan eksistensinya dan perkembangannya oleh faktor-faktor:
1) Adanya rasionalitas kemanusiaan yang universal
2) Adanya komunitas pertumbuhan evolusi ilmu
3) Adanya faktor-faktor sejarah sosio-budaya yang memungkinkan
pertumbuhan ilmu itu hingga sekarang, walaupun harus diakui, bahwa
hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh pertumbuhan ilmu secara
otonomi itu besar serta banyak.
4) Adanya masyarakat ilmiawan yang memiliki dedikasi mempunyai
integritas moril dan intelektual yang besar.
Di atas telah pula kita kemukakan bahwa potensi untuk dapat berpikir
ilmiah tidaklah menjadi monopoli orang-orang modern saja, melainkan
menjadi milik seluruh umat manusia. Bahwa pada beberapa kelompok
manusia cara berpikir ilmiah tidak merupakan bagian yang terpenting
daripada kebudayaan kelompok-kelompok itu tidak disebabkan oleh faktor-
faktor yang prinsipil, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
sejarah, faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebaran peradaban.
Sifat universalitas ilmu, sebagaimana sifat universalitas religi, filsafat,
mitologi, ditumbuhkan oleh rasionalitas manusia yang universal. Bagaimana
ketahui rasionalitas itu dapat ditujukan kepada dunia empiris maupun dunia
non-empiris. Hanya ilmu yang mencapai derajat yang tinggi itu telah dan
harus dicapai dengan kegiatan intelektual yang ditundukkan kepada sikap
disiplin yang kuat dan keras. Dengan sikap batin yang didisiplinkan
pengalaman manusia dapat disistematisasikan, diabstrasikan,
dieksistensikan, dikeraskan dan dimatangkan, sehingga pengalaman yang
biasa itu menjadi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana diatas telah dikemukakan, kesatuan ilmu terletak pada
metodologi ilmu yang mengubah pengetahuan biasa menjadi ilmu. Yang
membedakan disiplin-disiplin akademis satu dari yang lain secara garis besar
adalah obyek penyelidikannya serta persoalan yang diketengahkan. Dan
berdasarkan atas obyek penyelidikannya itu maka ilmu-ilmu itu
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
1) Ilmu-ilmu pengetahuan alam;
2) Ilmu-ilmu pengetahuan sosial.
Apabila kita bandingkan ilmu-ilmu pengetahuan alam itu dengan ilmu-
ilmu sosial, maka perbedaan itu terletak pada;
a) Adanya perbedaan mengenai unsur konseptual atau unsur teoritis antara
kedua kelompok ilmu-ilmu, sehingga kaidah-kaidah yang diterapkan
dalam studi mengenai disiplin-disiplin akademi berbeda pula.
b) Adanya perbedaan dalam data empiris yang digunakan yang ada
relevansinya. Seperti kita ketahui ilmu-ilmu pengetahuan alam
menggunakan data-data dari dunia organik dan organik, sedang ilmu-ilmu
sosial menggunakan data dari dunia super organik. Yang dimaksud
dengan dunia superorganik adalah kenyataan empiris yang timbul dari
kehidupan bersama manusia yaitu dunia sosial-budaya.
c) Dalam mengadakan penyelidikan dan percobaan, ilmu-ilmu pengetahuan
alam dapat menguasai obyeknya dan pendekatan yang digunakan dapat
bersifat eksak. Obyek itu dapat dilokasikan sehingga konklusi-konklusi
yang diambil oleh ilmu-ilmu pengetahuan alam tidak terikat oleh sesuatu
konteks sosial atau geografis.
Jadi jika antara semua ilmu-ilmu itu yang menyamakan adalah metode
ilmu, maka yang membedakan antara satu dengan lain terutama adalah
persoalan atau problematik yang diketengahkan, dan istilah-istilah teknis
serta konsep-konsep teoritis yang digunakan dan dikembangkan oleh tiap-
tiap cabang ilmu.
b. Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu-ilmu pengetahuan sosial adalah ilmu-ilmu yang mempelajari sikap
dan tingkah alku manusia di dalam kelompok. Kehidupan kelompok itu
meurpakan suatu keharusan bagi manusia karena anatomunya yang bersifat
umum dan karena sikap dan tingkah laku m manusia berbeda dengan
hewan, tidak bersifat otomatis, melainkan sikap dan tingkah lakunya dalam
segenap bidang kehidupan yang dikembangkan dan dilengkapkan dengan
jalan latihan, pelajaran dan pendidikan yang diperolehnya dari manusia lain
dalam masyarakatnya. Dengan kata lain kondisi bio-psikologi manusia
menyebabkan bahwa potensi-potensi yang dibawanya dari kelahiran dapat
berkembang dalam kehidupan bersama manusia, yaitu dalam kelompok yang
terorganisasikan. Demikian itu ilmu-ilmu yang mempelajari semua aspek
relasional manusia yang hidup dalam kelompok disebut ilmu-ilmu sosial.
Adapun yang membedakan itu satu daripada yang lain adalah
kepentingannya, iterasnya
Dewasa ini yang digolongkan ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah:
1) Ilmu Politik
Ilmu politik adalah ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang
khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara
merupakan organisasi kekuasaan serta mempelajari pula sifat dan tujuan
gejala-gejala kekuasaan pengaruh yang tidak resmi dan yang
memberikan pengaruhnya kepada negara. Dalam ilmu politik manusia
ditinjau sebagai anggota negara.
Kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain
dan bergantung satu sama lain. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
bidang-bidang permasalahan ilmu politik adalah :
a) Teori politik yang mempelajari :
(1) Teori politik itu sendiri
(2) Sejarah perkembangan ide-ide politik
b) Lembaga-lembaga politik yang meliputi studi tentang:
(1) Undang-undang dasar
(2) Pemerintahan nasional
(3) Pemerintahan daerah dan lokal
(4) Fungsi ekonomi dan sosial pemerintah
(5) Perbandingan lembaga-lembaga politik
c) Partai-partai, kelompok dan pendapat umum yang meliputi;
(1) Partai-partai politik
(2) Golongan-golongan dan asosiasi politik
(3) Partisipasi dari warga negara dalam pemerintah dan administrasi
(4) Pendapat umum
d) Hubungan internasional
(1) Politik internasional
(2) Organisasi dan administrasi internasional
(3) Hukum internasional
2) Ekonomi
Ilmu ekonomi memusatkan perhatiannya kepada aktivitas sosial
manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang diperoleh dari
lingkungannya. Masalah utama ekonomi adalah memproduksikan
kekayaan, konsumsi dan distribusi kekayaan. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa ilmu ekonomi mempelajari fenomena sosial yang timbul
dari daya memperoleh kekayaan dan daya mempergunakan kekayaan,
yaitu caranya berproduksi, berkonsumsi dan berdistribusi, sepanjang
sejarah tidaklah sama. Ekonomi subsistensi berbeda dengan ekonomi
uang. Komunisme, sosialisme, fasisme dan kapitalisme mempunyai
konsep yang berbeda-beda tentang ekonomi dan perkembangannya.
Akan tetapi intisarnya adalah bahwa ekonomi berurusan dengan cara
manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, karena kebutuhan manusia
hampir-hampir tidak ada batasnya.
Dewasa ini ilmu ekonomi tidak hanya menggunakan metode
penyelidikan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga menggunakan pendekatan-
pendekatan yang bersifat matematis dan ilmu pengetahuan alam lainnya.
3) Ilmu sejarah
Ilmu sejarah adalah satu cabang ilmu sosial yang meneliti dan
menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat
serta kemanusiaan di masa lampau, beserta segala kejadiannya, dengan
maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan
penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan bagi
penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah kemajuan masa
depan.
Dapat pula dikatakan bahwa ilmu sejarah terdiri atas dua unsur
pkok, yaitu unsur yang berhubungan dengan bronen-eritiek dan kedua
adalah faktor interpretasi. Kedua faktor itu akan menghasilkan teori
sejarah, maka faktor-faktor dan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu
sangat besar jumlahnya. Oleh karena itu yang perlu dicari adalah fakta-
fakta sejarah yang kemudian diinterprestasikan. Berhubungan dengan
masalah interpretasi sejarah itu ada tiga aliran atau konsepsi penglihatan
sejarah yang berpengaruh dalam ilmu sejarah:
a) Aliran yang memandang seluruh kejadian dalam sejarah itu sebagai
ulangan belaka dari kejadian-kejadian masa lampau. Secara mekanis
dan cylis tiap-tiap kejadian di masa sekarang dianggap sebagai
lingkaran ulangan belaka dari kejadian-kejadian yang terdahulu.
b) Aliran redemptive philosophical viewpoint, terutama berakar pada
keyakinan dan dogma agama Kristen, yang menafsirkan segala
kejadian di dalam sejarah itu semata-mata sebagai kehendak Tuhan,
di mana manusia di dalam panggung sejarah itu menjalankan sekedar
pernaan penebus dosa belaka (toredeem-menebus) menuju ke arah
peningkatan nilai-nilai kemanusiaan.
c) Aliran progressive philosophical viewpoint yang melihat seluruh
kejadian-kejadian dalam panggung sejarah kemanusiaan itu adanya
satu garis yang menarik dan meningkat ke arah kemajuan dan
memandang sejarah sebagai garis yang linear menuju ke arah
perfeksi.
Oleh karena tidak selamanya manusia itu memiliki tulisan, maka masa
manusia belum mengenal tulisan perkembangan kebudayaannya
dipelajari oleh Archeologi Prasejarah.
4. Jurisprudensi / Hukum
Jurisprudensi terutama memperhatikan kehidupan sosial manusia yang
berhubungan dengan kehidupan hukumnya dan kode-kode formil yang lain.
Hukum adalah norma-norma sosial yang apabila dilanggar mempunyai
sanksi berupa ancaman atau sanksi berupa penggunaan kekerasan fisik oleh
pihak yang memiliki hak yang diakui secara sosial untuk bertindak. Definisi
tersebut tidak dapat diterapkan pada semua jenis masyarakat yang modern
atau kompleks maupun masyarakat yang sederhana. Tetapi baru setelah
terdapat perkembangan dalam sistem hukum pada negara-negara yang
relatif sudah maju, maka hukum diakui sebagai manifestasi keadilan, dan
timbullah jurisprudensi. Yang pertama-tama mengembangkan ilmu hukum
adalah bangsa Romawi yang dibutuhkan untuk mengonsolidasikan daerah
kekuasaannya.
Keempat disiplin tersebut diatas, yaitu ilmu politik, ekonomi, sejarah dan
Jurisprudensi mula-mula tumbuh secara terpisah, akan tetapi kemudian
disiplin-disiplin tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya dan
mengakui, bahwa ilmu-ilmu tersebut pertama-tama adalah ilmu sosial.
Ilmu-ilmu sosial yang lebih muda adalah:
1) Antropologi
Yaitu ilmu yang mempelajari manusia. Ilmu ini ruang lingkupnya
menjadi begitu luas sehingga sekarang ini terdapat empat spesialisasi
besar dalam antropologi, yaitu:
a) Antropologi fisik
b) Antropologi budaya
c) Antropologi psikologi
d) Antropologi sosiologi
Disamping spesialisasi tersebut masih ada ahli-ahli antropologi
umum yang melihat manusia bio-sosial secara holistik. Dalam studi ini
antropologi menggunakan metode yang digunakan oleh ilmu-ilmu
pengetahuan alam, sosial dan ilmu kerohanian.
2) Linguistik
Linguistik adalah cabang ilmu sosial yang mempelajari bahasa pada
umumnya. Tujuan daripada linguistik adalah mencari serta mempelajari
kaidah-kaidah yang mempengaruhi dan menguasai bangunan dan
pertumbuhan bahasa. Studi linguistik itu dilakukan secara sinkronistis.
Studi sinkronistis mengenai bahasa adalah penyelidikan bentuk bahasa
pada sesuatu waktu. Tiap-tiap bahasa pada waktu merupakan satu
kesatuan yang bulat, yang bagian-bagiannya erat berhubungan satu
sama lain. Walaupun sejarah ilmu bahasa itu telah tua juga tetapi ilmu
bahasa itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan metode-metodenya
sendiri timbul sejak abad XIX
3) Human Geography
Human geography adalah cabang ilmu sosial yang mempelajari
hakikat dan distribusi daripada relasi antara lingkungan geografi dan
aktivitas manusia dan kualitas-kualitasnya.
4) Ilmu Jiwa Sosial
Ilmu jiwa sosial adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
pengalaman dan tingkah laku individu seperti yang dipengaruhi atau
ditimbulkan oleh situasi sosial. Atau ilmu jiwa adalah ilmu pengetahuan
tentang pengalaman dan tingkah laku individu dalam hubungannya
dengan perangsang sosial. Psikologi sosial sendiri adalah cabang dari
psikologi yang dapat dibagi menjadi, psikologi teoritis dan psikologi
terpakai.
a) Psikologi teoritis terbagi dalam
(1) Psikologi umum
(2) Psikologi khusus, yang terbagi lagi ke dalam:
(a) Psikologi perkembangan
(b) Psikologi kepribadian dan tipologi
(c) Psikologi sosial
(d) Psikologi pendidikan
(e) Psikologi deferensial dan psikodiagnostik
(f) Psikopatologi
b) Psikologi terpakai terbagi dalam
(1) Psikodiagnostik
(2) Psikologi klinis dan bimbingan psikologis
(3) Psikologi perusahaan
(4) Psikologi pendidikan
5) Sosiologi
Ilmu sosial yang paling luas dasar-dasarnya adalah sosiologi, dalam
arti bahwa sosiologi mempelajari bentuk dan proses yang fundamental
daripada asosiasi. Oleh karena sosiologi memperhatikan sifat-sifat atau
ciri-ciri yang timbul dari kehidupan bersama masyarakat yaitu interaksi
dan relasi sosial dilembagakan, maka sosiologi banyak mengambil hasil
penyelidikan cabang-cabang ilmu sosial yang lain yang pada dasarnya
juga mempelajari masalah interaksi sosial dan relasi sosial, misalnya
dalam hukum, ekonomi, politik.
Sebagai ilmu-ilmu sosial yang lain, sosiologi sebelum berdiri
sebagai ilmu dengan obyek formil dan metodologi sendiri merupakan
bagian daripada filsafat sosial masa itu. baru setelah abad XIX sosiologi
meninggalkan pendekatan-pendekatan yang spekulatif dan menjadi ilmu
yang empiris rasional. Dewasa ini sosiologi didefinisikan sebagai : a
generalizing science of sociocultural phenomena viewed in their generic
forms, types and manifold interconnections.
c. Ilmu Gabungan Tentang Tingkah Laku Manusia.
Di dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu sosial yang semula
merupakan bagian dari filsafat sosial atau dari satu memisahkan diri induknya
untuk masing-masing berdiri sendiri sebagai ilmu-ilmu yang khusus. Dan ada
waktunya pula bahwa studi yang bersifat otomistris tentang tingkah laku
manusia menjadi sedemikian memuncak, sehingga tiap-tiap peneliti daripada
sub-sub spesialisasi ilmu-ilmu sosial tersebut tidak mau tahu mengenai apa
yang telah dicapai oleh cabang-cabang ilmu yang lain, sehingga orang lebih
melihat pohon dari hutanya. Tetapi kemudian disadari bahwa spesialisasi
yang sangat menajam dan kurangnya perhatian terhadap ilmu-ilmu sosial
yang lain menghambat perkembangan ilmu sosial sendiri.
Disadari pula oleh ahli-ahli ilmu sosial bahwa untuk mencapai suatu
pengertian yang sungguh-sungguh tentang suatu aspek dari tingkah laku
manusia hanya dapat dicapai dengan bantuan dari ilmu-ilmu yang lain
mempelajari aspek-aspek lain. Dan para sarjana dari berbagai subdisliplin
mulai saling mendekati lagi. Malahan akhir-akhir ini timbul saran-saran
bagaimanakah suatu kerja sama antara berbagai ilmu sosial ke arah suatu
“ilmu gabungan tentang tingkah laku manusia” dapat diorganisasikan dan
dilaksanakan.
Demikian, dengan diketahui oleh seorang ahli antropologi J. Gillin
berkumpul beberapa sarjana antropologi, sosiologi dan psikologi untuk
mendiskusikan kemungkinan suatu kerja sama antara ketiga disiplin tersebut.
Prasarana-prasarana serta hasil diterbitkan menjadi satu buku di bawah
redaksi J. Gillin dengan judul : For a science of sosial Man.23
D. Soal
1. Jelaskan Pengertian Ilmu Pengetahuan?
2. Jelaskanapa yang kamu ketahui tentang Ilmu Pengetahuan
Kaidah?
3. Jelaskan apa yang di maksud Ilmu Hukum Sebagai Kaidah?
4. Apa yang di maksud dengan Hukum dan Interdisiplin Ilmu?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,3003 Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 200
23
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, hal 106
BAB XII
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Pengertian Perbuatan Melawan
Hukum sebelum dan setelah Tahun 1919
2. Mahasiswamampu memahami Unsur-unsur dari Perbuatan
Melawan Hukum.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian Perbuatan Melawan
Hukum sebelum dan setelah Tahun 1919 dan memberikan
contohnya.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Unsur-unsur dari Perbuatan
Melawan Hukum dan memberikan contohnya.
C. Uraian Materi
3. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum sebelum dan setelah
Tahun 1919
4. Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum
Meskipun Pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata
hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di negara-
negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan di
dominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum, di samping tentunya
gugatan wanprestasi kontak. Karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya
diketahui bagaimana pengaturan hukum-hukum dan teori –teori yuridis
tentang perbuatan melawan hukum ini, dan bagaimana praktiknya dalam
kenyataannya, khususnya yang terjadi di pengadilan.
Perbuatan melawan hukum disini dimaksudkan adalah sebagai
perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan, sebab, untuk
tindakan perbuatan , melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut
dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai arti, konotasi dan pengaturan
hukum yang berbeda sama sekali. Demikian juga dengan perbuatan
melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan
“Onrechmatige ofer heidesdaad” juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan
hukum yang juga berbeda.24
Untuk istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “Onrechmatige daad” atau dalam bahasa inggris disebut
dengan “tort”.
Kata tort sendiri sebenarnya hanya berarti. “salah” (Wrong) . akan tetapi
khususnya yang dalam bidang hukum, kata tort tersebut berkembang
sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari
wanprestasi kontrak.
Menurut pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan
perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya menimbulkan kerugian
kepada orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dalam perbuatan melawan
hukum, yaitu sebagai berikut.60
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan
dari kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
24Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta,2002, hal 1
Jika dititik dari model pengaturan KUH Perdata Indonesia tentang
perbuatan melawan hukum lainnya sebagaimana juga dengan KUH Perdata
di negara-negara dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Maka model
tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata.
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan , khususnya unsur
kelalaian, sebagaimana terdapat pada Pasal 1366 KUH Perdata.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat
terbatas dikemukakan dalam Pasal 1367 KUH Perdata.
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Sebelum dan Setelah Tahun
1919.
Secara klasik yang dimaksud dengan perbuatan dalam istilah
perbuatan melawan hukum adalah :
a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak perbuatan yang diwajibkan
oleh hukum.
b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan
secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau
merupakan perbuatan yang mempunyai hak untuk
melakukannya.
c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan
padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Dahulu pengadilan menafsirkan “Melawan Hukum, sebagai hanya
pelanggaran dari pasal-pasal hukum tertulis semata-mata (pelanggar
perundang-undangan yang berlaku) tetapi sejak tahun 1919 terjadi
perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan
“Melawan Hukum” bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan
tertulis semata-mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran
terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup
masyarakat. Sejak tahun 1919 tersebut di negeri Belanda dan demikian
juga Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas
yakni mencakup salah satu perbuatan-perbuatan salah satu dari
berikut.25Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
1. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau
keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
Berikut ini penjelasan untuk masing-masing kategori sebagai
berikut :
1.1. Perbuatan yang bertentangan dengan Hak Orang Lain
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk
salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUH perdata.
Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang di
akui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak
sebagai berikut :
a. Hak-hak pribadi (Persoonlijkheidsrechten).
b. Hak-hak kekayaan (Vermosgenscrecht).
c. Hak atas kebebasan.
d. Hak atas kehormatan dan Nama Baik.
1.2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
Juga termasuk perbuatan melawan hukum jika perbuatan
tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtspltcht) dari
pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum” ini, yang dimaksudkan
adalah bahwa sesuatu kewajiban yang diberikan oleh hukum
25Ibid, hal 3
terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis
(wettelejijk). Karena itu pula, istilah yang dipakai untuk perbuatan
melawan hukum adalah onrechmatige daad, bukan onwetmatige
daad.
1.3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat
telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum. Karena itu, manakala dengan tindakan
melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain
maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti
rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH
Perdata).
1.4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan
dalam pergaulan masyarakat yang baik
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau
keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini atau yang
disebut dengan isilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu
perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan
tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar
pasaldari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan
perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut
bertentangan dengan prinsip kehati-hatian masyarakat tersebut
tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang
bersangkutan.
2. Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu
perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :26
1. Adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4. Adanya kerugian bagi korban.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Berikut ini penjelasan dari masing-masing unsur adalah sebagai
berikut :
1.1 Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan
dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan
perbuatan disini dimaksudkan, baik perbuatan sesuatu (dalam arti
pasif) misalnya tidak berbuat sesuatu padahal dia mempunyai
kewajiban hukum untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari
hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari
suatu kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak
ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur
“causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam
kontrak.
1.2 Perbuatan tersebut melawan hukum
26Ibid, hal 10
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum.
Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum itu diartikan dalam arti
yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Perbuatan melanggar undang-undang yang berlaku.
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
atau
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku atau
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede
zeden) atau
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memerhatikan kepentingan orang lain.
1.3 Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 tentang perbuatan melawan
hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi masyarakat agar
pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan dalam
melakukan perbuatan tersebut. Karena itu tanggung jawab tanpa
kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan
kepada Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan pada undang-
undang lain.
Karena Pasal 1365 KUH Perdata masyarakat adanya unsur
kesalahan (sechuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum maka
perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut.
Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan
sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Ada unsur kesengajaan, atau
b. Ada unsur kelainan dan
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf seperti
keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.
1.4 Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat
agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat
dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang
hanya mengenal kerugian materiil karena perbuatan melawan hukum
di samping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep
kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan uang.
1.5 Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian
Hubungan Kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan
melawan hukum.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu
teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab
akibat secara faktual (Causation in fact) hanya merupakan masalah
“fakta” atau apa yang secara f aktual telah terjadi. Setiap penyebab
yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab
secara faktual asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat
tanpa penyebabnya.
D. Soal
1. Jelaskan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum sebelum dan
setelah Tahun 1919 dan berikan contohnya.?
2. Jelaskan Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum dan berikan
contohnya.?
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo
Persada,
3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori Hukum Jakarta Kawan Pustaka, 2002
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
2013
Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB XIII
PENEMUAN HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Batasan Penemuan Hukum
2. Mahasiswa mampu memahami Sejarah Penemuan Hukum
3. Mahasiswa mampu memahami Sistem Penemuan Hukum
4. Mahasiswa mampu memahami Dasar HukumPenemuan Hukum di
Indonesia
5. Mahasiswa mampu memahami Metode Penemuan Hukum
6. Mahasiswa mampu memahami Perkembangan Penemuan Hukum
7. Mahasiswa mampu memahami Penemuan Hukum Modern
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Batasan Penemuan Hukum
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Sejarah Penemuan Hukum
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Sistem Penemuan Hukum
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Dasar Hukum, Penemuan
Hukum di Indonesia
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Metode Penemuan Hukum
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Perkembangan Penemuan
Hukum
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Penemuan Hukum Modern
C. Uraian Materi
8. Batasan Peneman Hukum
9. Sejarah Penemuan Hukum
10. Sistem Penemuan Hukum
11. Dasar Hukum Penemuan Hukum di Indonesia
12. Metode Penemuan Hukum
13. Perkembangan Penemuan Hukum
14. Penemuan Hukum Modern
Peristilahan tentang penemuan hukum cukup menjadi perbincangan,
karena ada beberapa istilah yang sepintas lalu maknanya sama yaitu
Pelaksanaan Hukum, Penerapan Hukum, Pembentukan Hukum atau
Penciptaan Hukum.27
Pelaksanaan Hukum dapat berarti melaksanakan hukum tanpa adanya
sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap
warga negara setiap hari yang sering tidak disadarinya dan juga oleh
aparatur negara. Misalnya seorang polisi yang berdiri di jalan raya untuk
mengatur lalu lintas.
Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum
yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan peraturan hukum pada
peristiwa konkret secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkret itu harus
dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat
ditetapkan. Di waktu yang lampau bahwa hakim adalah corong undang-
undang, karena kewajibannya hanyalah menerapkan undang-undang.
Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum
yang berlaku umum, bagi setiap orang, kalau lazimnya pembentukan hukum
dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula
membentuk hukum, kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian
merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim yang merupakan
pedoman bagi para masyarakat, yang putusan yang mengandung asas-asas
hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkret, tetapi memperoleh
kekuatan berlaku umum. Satu putusan dapat sekaligus mengandung dua
unsur yaitu di pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu
27
Sudikno Martokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2004
peristiwa konkret dan di pihak lain merupakan peraturan hukum untuk waktu
mendatang.
Sedangkan istilah Penciptaan hukum kiranya kurang tepat,
memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada. Hukum
bukanlah sesuatu yang berupa kaidah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat
juga berupa perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat
hukumnya dari perilaku itulah harus diketemukan atau digali kaidah atau
hukumnya (lihat Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004). Maka kiranya istilah
penemuan hukumlah yang paling tepat.
Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang digunakan oleh
hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau menafsirkan suatu kaidah
peraturan perundang-udangan yang tidak kurang jelas, semakin dinamisnya
kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal
sehingga hakim dituntut menghidupkannya seiring dengan perubahan dab
rasa keadilan masyarakat.
1. Batasan Penemuan Hukum
1. Pengertian dalam Arti Sempit
Pengertian dalam arti sempit, adalah “jika peraturannya sudah
ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal menerapkannya
saja”.28dalam menerapkannya, hakim tetap dianggap menemukan
penemuan,yaitu melakukan penemuan kecocokan antara maksud dan
bunyi peraturan perundang-undangan kualifikasi peristiwa atau kasus
konkretnya.
Sudikno Mertokusumo, memberikan gambaran tentang
penemuan hukum dalam arti sempit sebagai” suatu penemuan hukum
oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan penemuan
hukum pun mengadakan penemuan hukum, maka hasil penemuan
28Ahmad Ali, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, Penemuan Hukum, Makassar lembaga Penerbit UNHAS. 1988, hal 81
hukum oleh ilmuan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau
doktrin.
Pandangan Sudikno29 diatas menunjukkan bahwa kendati yang
dihasilkan oleh ilmuan hukum itu bukanlah hukum karena ia hanyalah
doktrin, tetapi tidak dianggap sebagai penemuan hukum dalam arti
sempit. Doktrin yang dijadikan pertimbangan atau diikuti oleh hakim
dalam putusannya, menjadi hukum, kendali doktrin itu sendiri hanya
merupakan sumber hukum. Bahkan seseorang yang menyatakan
bahwa suatu ketentuan undang-undang itu sebenarnya sudah
lengkap, tetapi menurut Achmad Ali.30mereka itu sebenarnya telah
menafsirkan undang-undang.
Dalam kehidupan manusia sangat banyak persoalan dan
permasalahan yang diihadapi (Kompleks) sehingga sangat tidak
mungkiin sebuah peraturan atau undang-undang dapat secara
komperehensif mengakomodir semua persoalan dan permasalahan
yang dihadapi oleh manusia tersebut. Sehingga ada peraturan
perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-
jelasnya, sehingga harus mencari dan diketemukan.
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah
proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
penemuan hukum adalam proses konkretisasi atau individulisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan
atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi
29
Sudikno Menokusumo, hal 5 30Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 1996, hal 167
dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konktret.
Menurut hukum merupakan karya manusia dan ini berarti antara
lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi
subjektif mengenai peristiwa-pertistiwa dan peraturan-peraturan yang
relavan. Selanjutnya penerapan sendiri selalu berarti merumus ulang
suatu peraturan abstrak untuk peristiwa konkret.
Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum,
pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-
undang akan tetapi di dalam kenyataannya problematik penemuan
hukum tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk
undang-undang saja. Berbagai pihak melakukan penemuaun hukum.
Penerapan hukum boleh dikatakan merupakan problematik bagi setiap
pencari keadilan. Boleh dikatakan bahwa setiap orang yang
berkepribadian dalam suatu perkara melakukan kegiatan penemuan
hukum untuk peristiwa konkret.
Terutama hakim melakukan penemuan hukum, karena tiap
harinya dia dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik. Hasil
penemuan hukum oleh hakim ini merupakan hukum karena
mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan
dalam bentuk putusan. Di samping itu hasil penemuan hukum oleh
hakim itu merupakan sumber hukum juga.
Selanjutnya pembentukan undang-undang pun melakukan
penemuan hukum juga, bedanya dengan penemuan hukum oleh
hakim ialah bahwa hakim menghadapi peristiwa konkret atau konflik,
sedangkan pembentuk undang-undang tidak. Yang dihadapi oleh
penbentuk undang-undang bukanlah pertanyaa. Bagaimana saya
mencegah konflik ini ?” melainkan pertanyaan “Bagaimana saya
seyogya menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu
yang belum terjadi, tetapi besar kemungkinannya akan terjadi waktu
mendatang”). Jadi sifatnya adalah preskriptif. Hasil temuan hukum
oleh pembentuk undang-undang ini pun merupakan hukum karena
mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum disebabkank
dituangkan di dalam bentuk undang-undang dan sekaligus juga
merupakan sumber hukum.
1.2. Pengertian dalam Arti Luas
Penemuan hukum dalam arti luas, posisi hakim bukan lagi sekedar
penerapan hukum yang sudah jelas dengan mencocokkannya pada
kasus yang ditangani, melainkan sudah lebih luas. Hakim dalam
membuat putusan, sudah memperluaskan makna suatu ketentuan
undang-undang yang dibagi atas konstruksi hukum dan interpretasi
hukum.
Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan penemuan
hukum dalam arti luas, penulis kutip dua pendapat pakar hukm yang
darinya dapat memberikan gambaran makna dari penemuan penemuan
hukum sebagai berikut :
a. Van Eikema Hummes menyatakan bahwa penemuan hukum
lazim diartikan sebagapi proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkret.
b. Paul Scolten menyatakan bahwa penemuan hukum adalah
sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-
peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang, dan bahkan
sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus diterjemahkan
baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan ataupun
rechtsvervijning.
Penemuan hukum merupakan kegiatan atas berprosesnya hukum
di pengadian dan hakim sebagai aktornya. Undang-Undang mana
kaidah pada umumnya, bertujuan untuk melindungi kepentingan
manusia, sehingga ia harus diketahui oleh warga masyarakat untuk
memenuhi asas, setiap orang dianggap tahu akan hukum”. Menjadikan
ketentuan Undang-Undang, pada hakikatnya untuk merealisasi agar
hukum postif dapat berlaku dan diterima baik oleh masyarakat.
Demikian pula, menafsirkan Undang-Undang untuk menemukan
hukumnya, sebetulnya bukan hanya dilakukan oleh ilmuwan hukum
melainkan juga justisiable yang mempunyai kepentingan dengan
peristiwa yang diperkarakan di pengadilan sebagai pusat berprosesnya
hukum seperti polisi, jaksa, pengacara yang juga melakukan
interpretasi.
2. Sejarah Penemuan Hukum
Keberadaan hukum tertulis atau perundang-undangan, dalam
kenyataannya selalu tertinggal dari dinamika dan perkembangan
kehidupan sosial masyarakat. Bagi kaum yang menganut “paham
dogmatic”. Yang melihat hukum sebagai peraturan tertulis menganggap
bahwa hakim hanyalah bertugas untuk menghubungkan antara fakta
konkret dengan ketentuan undang-undang.
Selain undang-undang, berarti bukan hukum. Untuk mengantisipasi
perkembangan dan perubahan masyarakat yang kian pesat, maka
undang-undang dengan sejumlahb kelebihan dan kelemahan seperti
sifatnya yang statistic, kaku, dan lamban mengikuti dinamika masyarakat,
dampaknya harus dilengkapi dengan penemuan hukum (rehtsvinding)
oleh huku, untuk mengantisipasi kelemahannya. Namun, pemakai istilah
“Penemuan hukum” dengan asumsi, bahwa hakim bukan sekedar
menemukan hukum, melainkan pembentuk hukum melalui putusannya
yang disebut “judge made law”.
Algra seperti dikutip Sudikno Mertokusmo69 lebih setuju
menggunakan istilah “pembentukan hukum”, seperti dikatakan bahwa :
Orang lebih suka menggunakan ‘pembentukan hukum daripada
penemuan hukum’, oleh karena itu istilah penemuan hukum member
sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.”
Penggunaan istilah “penemuan hukum”memang mengandung arti
luas, karena selain pembentukan hukum merupakan suatu proses
pencarian hukum, baik yang telah ada tetapi kurang jelas maupun yang
belum diatur, kemudian di konkretkan melalui putusan hakim selain itu,
istilah penemuan hukum sebetulnya lebih menunjukkan pada proses yang
dilalui hakim sebelum menjatuhkan putusannya.
Awal kelahiran konsep penemuan hukum oleh hakim, selain karena
kelemahan undang-undang juga karena asas “Íus curia novit”, yaitu hakim
dianggap mengetahui hukum. Konsekuensi asas tersebut, hakim tidak
boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alas an tidak
ada aturannya. Asas hukum tersebut, dijabarkan melalui Pasal 27 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, suatu perkara kemungkinan
tidak jelas aturannya, hakim tetap wajib memeriksa dan memutuskan
perkara dengan menemukan hukumnya.
Eksistensi suatu penemuan hukum oleh hakim, bukan sekedar
menafsirkan ketentuan undang-undang, melainkan juga menyesuaikan
maksud undang-undang yang sudah tidak relavan lagi dengan kebutuhan
masyarakat. Persoalan penemuan hukum yang cakupan sangat luas dari
pada pembentukan hukum, hendaknya senantiasa dikaitkan dengan
hukum tertulis. Bahkan, para ilmuwan dapat pula disebut menemukan
hukum apabila menemukan hukum apabila menemui analisis-analisisnya
menghasilkan doktrin yang dijadikan sumber hukum, baik dalam
pembentukan undang-undang maupun yang dijadikan pertimbangan
putusan hakim Artinya, hasil penemuan hukum oleh ilmuwan yang disebut
doktriin tidak langsung menjadi hukum, tetapi hanya menjadi sumber
hukum yang tidak memiliki kekuatan mengikat seperti putusan.
Penemuan hukum yang diharapkan dapat dilakukan oleh hakim
selain menafsirkan ketentuan undang-undang juga untuk menutupi
kelemahan undang-undang. Kelemahan dan ketertinggalan hukum dalam
sejarah hukum, terutama pada pengodifikasian huum dan kaitannya
dengan penemuan hukum, kepustakaan ilmnu hukum mencatanya dalam
tiga fase, sebagai berikut :
2.1. Fase Sebelum Tahun 1800
Pada fase tahun 1800 sama sekali belum ada hukum tertulis
dalam bentuk undang-undang atau kaidah hukum yang mengatur
masyarakat: ketika itu sebagian besar “Hukum tidak tertulis atau
hukum kebiasaan” yang ternyata kurang menjamin kepastian
hukum. Pada fase ini pembuat dan pelaksana hukum berada pada
satu orang, yaitu raja. Apa yang diucapkan oleh raja itulah hukum.
Siapa yang melanggar hukum (ucapan raja), maka raja sendirilah
yang menghukumnya.
Fase ini biasa disebut dengan “pra-kodifikasi’ dan hakim pada
fase ini belum ada, karena raja sekaligus bertindak sebagai hakim.
Dengan demikian, belum ada penemuan hukum dari hakim, dimana
hukum tidak tertulis menjadi pedoman dan mengatur tata kehidupan
masyarakat. Sumber-sumber hukum pada fase pertama ini, tiada
lain hanyalah hukum tidak tertulis.
2.2. Fase Pertengahan Abad ke – 18
Pada fase ini sudah mulai dikenal hukum tertulis di motivasi
oleh lahirnya teori yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan
teorinya “Trias Politika” tentang “Pemisah Kekuasaan” dalam
bukunya prit des Lot s” Teori ini mengatakan ada tiga paham
kekuasaan Negara yang harus dipisahkan, yaitu sebagai berikut :
a. Kekuasan legislative, yaitu kekuasaan membuat undang-
undang.
b. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan menyelenggarakan
undang-undang.
c. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili.
Atas dasar teori Montesquieu, kemudian timbul pula pemikiran
untuk membuat kodifikasi hukum, yaitu pembentukan hukum tertulis
secara sistematis lengkap dan jelas. Timbulnya kodifikasi hukum ini
melahirkan pula “aliran legisme”, yang menyatakan bahwa hanya
undang-undang atau hukum tertulis saja yang disebut hukum, dan
hakim tidaklah menciptakan hukum, alira legislme tidak mengakui
adanya hukum tidak tertulis, karena hukum tertulis itu datang dari
penguasa Negara tertinggi yang dianggap sudah lengkap, sehingga
tidak perlu lagi ada ketetapan lain. Hakim disini memang sudah ada,
tetapi kedudukan hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang
atau terompet undang-undang. Apa yang tertulis dalam undang-
undang hanya itulah yang akan dilaksanakan.
Namun, sejak kira-kira tahun 1850 di Jerman, orang mulai
sadar dan menghendaki peranan yang mandiri dalam pembentukan
hukum oleh hakim. Hakim diharapkan tidak lagi menjadi corong
undang-undang, tetapi membentuk hukum yang member bentuk
pada isi undang-undang dan menyesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan hukum, dimana hakim harus dibimbing oleh pandangan-
pandangan atau pikirannya sendiri. Disini hakim dianggap
menjalankan fungsi konkret. Pada fase inilah “penemuan hukum”
oleh hakim mulai dilakukan. Kendali hakim diberi otonomi
melakukan penemuan hukum tetap hakim belum bebas
menggunakan metode penafsiran luas.
2.3. Fase Abad ke – 19 (Awal abad ke – 19)
Sejak awal abad ke 19, timbullah pemikiran baru selesai hasil
perenungan bahwa ternyata kodifikasi hukum itu belumlah lengkap,
karena hukum (undang-undang) semakin tertinggal dengan
perkembangan masyarakat. Untuk mengantisipasi ketertinggalan
undnag-undang yang dikodifikasil, diawali dengan lahirnya dua
aliran di Jerman yang lebih lunak dari aliran legisme, yaitu mazhab
historis yang dipelopori oleh van Savigny dan mazhab
freirechtschule.
Pandangan mazhab historis mengatakan bahwa undang-
undang itu tidak lengkap dan selain undang-undang masih ada
sumber hukum lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny, hukum
mesti berdasarkan system asas-asas hukum dan pengertian dasar
ditujukan pada setiap peristiwa dan dapat diterapkan kaidah yang
cocok (begriffsjuris prudence). Agar juga menilai, bahwa hakim
memang bebas dalam memberlakukan atau menerapkan undang-
undang, tetapi ia tetap bergerak dalam system huku yang tertutup.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi di Jerman pada
tahun 1900, maka untuk mengantisipasi kondisi hukum yang dinilai
kurang mampu mengikuti perkembangan masyarakat, maka lahirlah
gagasan perlunya mengisi kekurangan undang-undang atau
kekosongan hukum melalui perluasaan penggunaan;l “penemuan
hukum oleh hakim”. Pada fase ini, hukum tidak tertulis kembali
diakui dengan memperhatikan “penemuan hukum oleh hakim”
semakin diperluas, dan sumber-sumber hukum bukan hanya
undang-undang melainkan juga hukum tidak tertulis.
3. Sistem Penemuan Hukum
Pada hakikatnya apa yang dilakukan hakim apabila ia menghadapi
peristiwa konkret, kasus atau konflik ? ia harus memecahkan atau
menyelesaikan dan untuk itu ia harus tahu, mencari tahu atau
menemukan hukumnya untuk diterapkan pada kasusnya.
Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montersqueieu
dan sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim
adalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi)
sehingga tidak dapat mengubah kekuataan hukum undang-undang tidak
dapat menambah dan tidak dapat pula menguranginya. Ini disebabkan
karena menurut Montesquieu undang-undang adalah salah satunya
sumber hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum kesatuan
hukum secara kebebasan warga Negara yang terancam oleh kebebasan
warga Negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada
dibawah undang-undang. Berdasarkan pandangan ini peradilan tidak lain
hanyalah bentuk silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan
mengambil kesimpulan dari yang umum (premis mayor) dan hal yang
khusus (premis minor) premis mayor adalah undang-undang (“Barang
siapa mencuri di hukum”) peristiwa minornya adalah peristiwa atau
kasusnya (Misalnya Suto mencuri, maka harus dihukum). Karena
kesimpulan logis ini tidak pernah berisi lebih dari isi premis, maka undang-
undang tidak akan berisi lebih dari yang terdapat dalam undang-undang
dalam hubungannya dengan peristiwa hukum. Demikian pula suatu
putusan hakim hakim tidak akan berisi persitiwa atau meliputi lebih dari
yang terdapat dalam undang-undang dalam hubungannya dengan
peristiwa konkret.31
Pasal 20 AB dan 21 AB berasal dari pandangan tersebut di atas,
berbunyi Pasal 20 AB adalah sebagai berikut : “Hakim harus mengadili
menurut undang-undang. Ia dilarang menilai isi dan keadilan dari undang-
undang” (Dibandingkan dengan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970) , hakim
tidak boleh menilai isi dan keadilan dari undang-undang. Kita lihat dalam
praktik bahwa ketentuan Pasal 20 AB mempunyai makna lain.
Bandingkan Pasal 20 AB dengan Pasal 5 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970
yang berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang”. Kalau kita berpedoman pada asas “lex posteriori
derogate legi priori”. Maka pasal 20 AB, yang isinya bertentangan dengan
Pasal 5Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970, dilumpuhkan dengan Pasal 5 Ayat
1 UU No. 14 Tahun 1970 Tahun 1970, pengertian menurut hukum lebih
luas daripada “Menurut Undang-Undang” sehingga membuka peluang
bagi hakim untuk melaksanakan kebebasan yang sebebas-bebasnya,
sebaliknya pengertian menurut undang-undang lebih membatasi
kebebasan hakim. Oleh karena itu demi keutuhan system hukum, maka
asas lex posteriori dorogat priori perlu disimpangi, sehingga Pasal 20 AB
dan Pasal 5 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 harus ditafsirkan saling
mengisi. Kecuali itu hakim tidak boleh menilah bahwa undang-undang itu
tidak lengkap atau suatu ketentuan undang-undang itu tidak jelas. Oleh
karena itu hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara
(Pasal 4 UU No. 14 Tahun 1970, 22 AB).
Bunyi Pasal AB adalah sebagai berikut : Hakim dilarang, berdasarkan
peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus perkara yang
tergantung padanya. Ini berarti bahwa hakim hanya boleh memberikan dan
31Sudikno Mertokusumo,Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Leberty, Yogyakarta,2004,Hal, 39-40
mengadili peristiwa konkret dan tidak boleh menciptakan peraturan-
peraturan umum dalam putusannya. Keunggulan undang-undang tampal
pada Pasal 21 AB, yaitu bahwa putusan hanya berlaku bagi peristiwa
konkret dan tidak memberikan kekuatan umum atau memberlakukan
secara umum untuk situasi-situasi semacam itu, ini berarti, bahwa hakim
tidak boleh menempatkan diri sebagai pembentuk undang-undang. Ia
hanya boleh memeriksa dan memutuskan perkara konkret dan tidak boleh
membuat peraturan yang mengikat umum.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa metode yang
digunakan oleh paham digunakan oleh paham klasik ini adalah metode
silogisme, yaitu adanya perimis mayor dan minor yang kemudian
menghasilkan konklusi, misalnya (barang siapa mencuri dihukum) premis
mayor, (Suto mencuri) legisme atau positivisme undang-undang.
Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan
kognitif, yang mengutamakan undang-undang yang tidak diberi tempat
pada pengakuan subjektif atau penilaian. Hakim tidak diberi kesempatan
untuk berkreasi. Positivisme undang-undang ini didasarkan pada jalan
pikiran bahwa apa yang mempunyai bentuk lahir sebagai hukum adalahh
legitim sebagai hukum, tidak peduli nilai isinya.
Ternyata kemudian pandangan typis logicits atau heteronom dari
peradilan ini tidak dapat dipertahankan karena sejak kurang lebih 1850
perhatian ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim
tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang tetapi sebagai bentuk
hukum yang secara mandiri member bentuk kepada isi undang-undang
yang menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan. Tokoh pandangan ioni
antara lain adalah Oskar Bullow, Eurgen Ehrlich, Francois Genny, Oliver
Wendel Hilmes, Jerome Frank dan Paul Scholten.
Menurut pandangan ini pelaksanaan hukum oleh hakim bukanlah
semata-mata hanya masalah logika murni dan penggunaan ratio yang
tepat, tetapi lebih merupakan maslaah pemberian bentuk yuridis pada
asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak lebih pada
pengalaman dan penilaian Yuridis. Juga dikemukakan bahwa undang-
undang ini tidak mungkin lengkap. Undang-undang hanyalah merupakan
tahap tertentu dalam proses pembentukan hukum dan undang-undang
wajib mencari pelengkapnya dalam praktik huku m yang teratur dari
hakim(Yurisprudensi), dimana asas yang merupakan dasar undang-
undang dijabarkan lebih lanjut dan konkretisasi, diisi dan diperhalus
dengan asas-asas baru. Pandangan ini yang telah dikenal sejak Etienne
Portalis (penyusun Code Civil : 1804) dewasa ini banyak dianut. Memang
tepatlah karena merupakan sifat pembentukan hukum dalam tata hukum
modern yang memaksa ke arah pandangan dinamis penemuan hukum
oleh hakim atau pejabat-pejabat lainnya yang dibebani tugas dengan
pelaksanaan undang-undnag. Oleh karena itu diakui bahwa dalam
kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang hakim mempunyai tugas
sendiri yaitu member pemecahan dengan penafsiran undang-undang.
Meskipun orang makin lama meninggalkan pandangan legistis atau
positivism undang-undnag, tetapi pangkal tolak penemuan hukum adalah
system : semua hukum terdapat dalam undang-undang dan nhanya kalau
ada kekosongan atay ketidakjelasan dalam undang-undang saja maka
hakim boleh menafsirkan. Dalam cara pemecahan seperti ini sistem
menjadi titik tolak systeendenken).
Disini penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan dan
peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus
juga merupakan penciptaan dan pembentukan hukum.
Sebagai prototype penemuan hukum heteronon terdapat dalam
sistem peradilan negara-negara kontinental termasuk Indonesia. Disini
hakim bebas tidak terikat pada putusan hakim yang lain yang pernah
dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari
bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya
sampai kepada putusan dalam penemuan hukum yang typis logicistis atau
heteronom hakim dan memeriksa dan mengadili perkara mendasarkan
pada faktor-faktor diluar dirinya.
Sebagai prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem
peradilan anglo saks yang menganut asas the binding force of precedent
atau stare decicis et quite non movere. Disini hakim terikat pada putusan
hakim yang telah bersangkutan. Memang disini putusan hakim yang
terdahulu yang mengikatnya, sehingga merupakan faktor diluar diri hakim
yang akan memutuskan, tetapi hakim yang akan memutuskan itu, menyatu
dengan hakim yang terdahulu yang telah menjatuhkan putusan mengenai
perkara yang sejenis dengan dan dengan demikian putusan hakim
terdahulu dianggapnya sebagai putusannya sendiri sehingga bukan
merupakan faktor diluar dirinya.
Hakim anglo Saks berpikir secara induktif, berpikir dari satu peristiwa
hukum yang satu (putusan hakim terdahulu) ke peristiwa khusus yang lain
(peristiwa konkret yang dihadapinya) akhirnya sampai pada peristiwa
khusus yang lain(putusan) . disini hakim mengadakan reasoning by
analogy. Pada penemuan hukum yang materiil yuridis atau otonom hakim
memeriksa dan memutuskan perkara menurut apresiasi pribadinya, ia
dibimbing oleh pandangan-pandangan pikirannya sendiri.
Pembentukan undang-undang dewasa ini mendorong ke arah itu ada
kecenderungan sekarang ini dalam pembentukan undang-undang tidak
kasuistis, tetapi bersifat umum. Ini dalam pembentukan undang-undang
merupakan gejala umum. Akibatnya adalah terjadinyay geseran dari
“hakim terikat” kea rah “hakim bebas”Norm gerechtigkeit” (Keadilan
menurut undang-undang) kea rah “Einzelfallgerechtigkeit” (keadilan
menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusannnya) dari
systeemdenken”berpikir dengan mengacu kepada masalahnya : Problem
oriented).
Putusan pengadilan di negara-negara anglo saks merupakan hasil
penemuan hukum otonom sepanjang pembentukan peraturan dan
penearapan peraturan itu dilakukan oleh hakim berdasarkan oleh hakim
berdasarkan hati nuraninya, sekaligus juga bersigat heterogen karena
hakim terikat dengan putusan-putusan sebelumnya (faktor diluar diri
hakim).
Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heterogen
sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini
juga mempunyai unsur-unsur otonomi yang kuat, karena hakim sering kali
harus menjelaskan melengkapi undang-undang menurut pandangannya
sendiri.
4. Dasar Hukum Penemuan Hukum di Indonesia
Secara umum, dasar penemuan hukum di Indonesia karena adanya
asas universal, juga tersirat dalam perundang-undangan, sebagai berikut:
1. Asas Curia novit “hakim dianggap mengetahui hukum”, sehingga hakim
tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan
alasan peraturannya kurang jelas atau tidak ada peraturannya. Suatu
peristiwa atau perkara hukum yang kemungkinan belum ada
ketentuannya, atau peraturannya ada tetapi kurang jelas, hakim tetap
wajib memeriksa perkara tersebut sekaligus memutuskannya.
2. Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,
mengatur bahwa “ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan
ini menuntun hakim agar dalam menjatuhkan putusannya wajib
memperhatikan dan memakai nilai-nilai hukum, seperti perasaan hukum
dan kesadaran hukum masyarakat dalam menjatuhkan putusan.
Undang-undang itu mempunyai nilai-nilai dan semangat yang bukan
sekedar sejumlah deretan kata-kata dan kalimat melainkan harus
direfleksikan sebagai sarana untuk memajukan masyarakat sesuai dengan
sistem nilai yang dianutnya untuk itulah hakim wajib menafsirkan
ketentuan undang-undang dan menyesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat.
Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib memperhatikan dan
menghormati nilai-nilai hukum atau hanya menjadi “trompet undang-
undang” dan kaku menerapkan undang-undang karena undang-undang
mempunyai semangat nilai tersendiri yang harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Misalnya ketentuan yang tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat dan nilai-nilai yang dianutnya, sedapat mungkin diterapkan.
3. Untuk mengisi kekosongan perudangan-undangan atau hukum tertulis.
Untuk itu, suatu perkara yang tidak ada peraturan hakim tetap wajib
memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan menggunakan
metode analogi terhadap suatu peraturan yang mirip dengan perkara yang
diperiksa (khusus dalam perkara perdata), sedangkan dalam perkara
pidana tidak dibenarkan menggunakan metode analogi).
Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum oleh
hakim adalah sebagai berikut :
1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau mirip
dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada kasus tersebut.
2. Peraturan memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu
menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada perkar yang
ditangani.
3. Peraturan juga ada, tetapi peraturan ini sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan kebutuhan warga masyarakat, sehingga hakim wajib
menyesuaikan dengan perkara yang sedang ditangani.
Dalam penemuan hukum, menurut Van Gerven sebagaimana dikutip
oleh Sudikma Mertokusumo.
juga mengemukakan adanya dua aliran yaitu aliran progresif dan
aliran konservatif. Para penganut aliran progresif berpendapat, bahwa
hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial,
sedangkan aliran koservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan
hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.
Menurut Lawson. bahwa dalam mencari suatu ketentuan yang
dilakukan oleh hakim, dibedakan dalam tahap sebagai berikut,
1. Melihat kata-kata dalam ketentuan itu kemudian menyimpulkan peraturan
tersebut secara keseluruhan, apabila ternyata kata-kata dalam ketentuan
itu tidak bermakna ganda dan sudah jelas, maka hakim tinggal
menerapkannya.
2. Apabila teks kata-kata dalam peraturan itu bermakna ganda tidak jelas
atau tidak pasti, maka barulah hakim mengunakan bantuan eksternal.
Ternyata, Lawson menganggap ada teks undang-undang yang
bermakna ganda atau tidak jelas sehingga hakim perlu menafsirkan
dengan melakukan penemuan hukum. Sementara di lain pihak, Pitlo
seperti yang dikutip Marwan Mas.membedakan penemuan hukum ke
dalam dua jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Penemuan hukum dalam arti sempit, yaitu semata-mata hanya kegiatan
berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam
undang-undang.
2. Penemunan hukum dalam arti luas yang mencakup interpretasi yang
dibedakan atas 1) kalangan yang berfikir legistis, yang melihat ketentuan
undang-undang terlepas satu sama lain; 2) kalangan berpikir organis, yang
mencarir hubungan antara ketentuan-ketentuan itu.
Dalam proses pelaksanaan penemuan hukum, keputusan ilmu hukum
menentukan bahwa hakim melakukan tugas dan dilakukan dalam tiga
tahapan82 sebagai berikut :
1. Tahap Konstatir, yaitu hakim menyatakan benar terjadi peristiwa konkret.
Misalnya, A dinyatakan benar-benar telah memecahkan kaca jendela
rumah milik B, sehingga D mengalami kerugian. Pada tahap ini, hakim
melakukan kegiatan konsstatir yang bersifat logis atau fakta dan bukti-bukti
yang terungkap dalam persidangan. Untuk mengkonstatir suatu peristiwa
konkret, maka peristiwa konkret tersebut harus dibuktikan terlebih dulu.
Tanpa membuktikan peristiwa-nya, hakim tidak boleh mengkonstatir atau
menyatakan bahwa peristiwa konkret tersebut benar-benar telah terjadi.
Dengabn demikian, setelah peristiwa konkret dibuktikan, maka hakim
dapat mengkonstatir atau menyatakan telah terjadi peristiwa dimaksud.
2. Tahap Kualifikasi, yaitu hakim mengkualifikasikan peristiwanya, termasuk
hubungan yang menyebabkan perubahan atau peristiwa tersebut terjadi.
Disini hakim mengkualifikasikan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu
melawan hukum sesuai ketentuan undang-undang atau tidak.
3. Tapah konstitulir yaitu hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa
yang diperiksa. Pada tahap ini, hakim menggunakan “Sillogisme” yang
menarik kesimpulan premis mayor berupa penentuan peraturan hukum
yang dilanggar, dan premis minor yaitu perbuatan yang melawan hukum.
5. Metode Penemuan Hukum
Telah disinggungkan sebelumnya bahwa peraturan perundang-
undangan yang dibuat manusia tidaklah ada yang sempurna yang dapat
mengkomodir semua persoalan manusia. Oleh karena itu harus
diketemukan hukum dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya. Untunk menemukan hukumnya
tersedia beberapa metode penemuan hukum
Dalam hal ini peraturan perundanng-undangannya tidak jelas maka
tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran. Telah lama ajaran
interpretasi atau penemuan hukum ini dikenal, yang disebabkan
hermeneutic yuridis atau metode yuridis.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti
hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan
peraturan-peraturan hukum. Kalau kita bicara penafsiran yang dilakukan
oleh hukum yang dimaksudkan adalah tidak lain adalah penafsiran atau
penjelasan yang harus menuju kepada penerapan (atau tidak
menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkret
yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini bukan berarti sekedar
menerapkan peraturan, bukan sekedar melakukan subsumsi.
Ajaran tentang penafsiran dari abad ke-19 ini sangat dipengaruhi oleh
Von Savigny. ia memberikan batasan tentang penafsiran sebagai
rekonstruksi pikiran yang tersimpulkan dalam undang-undang. Ini bukan
merupakan metode penafsiran yang dapat digunakan semuanya, tetapi
menurut Von Savigny pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus
dilaksanakan bersama untuk mencapai tujuan, yaitu penafsiran undang-
undang. Dalam suatu peristiwa konkret dapat terjadi bahwa unsur yang
satu dapat didahulukan dari yang lain. Untuk ini tidak ada pedoman
umumnya. Semua tergantung pada peristiwa konkret.
Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4 yaitu interpretasi
gramatikal, sistematis, historis dan teleologis. Di samping itu dikenal
interpretasi komparatif dan interpretasi antisipatif.
Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan bahasa sebagai bentuk artikulasi. Hukum tak
mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa menjadi suatu hal
yang sangat penting bagi hukum: peratuaran perundang-undangan
diwujudkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun
dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjian pun
diperlukan bahasa.
Untuk mengetahui makna ketentuan hukum undang-undang maka
ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan
menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna
ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari.
Metode penemuan hukum ini disebut interpretasi gramatikal atau
penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan
undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode
interpretasi yang lain.
Pada dasarnya penafsiran undang-undang itu selalu akan merupakan
penafsiran atau penjelasan dari segi bahasa dan disebut juga dengan
metode objektif.
Contoh interpretasi gramatikal misalnya mengenai isitlah
“dipercayakan” seperti yang tercantum dalam Pasal 432 KUHP. Kalau
sebuah paket diserahkan kepada dinas perkeretaapian (PJKA), sedangkan
yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada lain kecuali dinas itu,
maka berarti dipercayakan (HGH 22 Juli 1925, T hal. 122-516). Jadi
dipercayakan ditafsirkan menurut bahasa sebagai diserahkan.
5.1. Interpretasi Sistematis atau Logika
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau
dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis.
Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan atau sistem hukum.
Dalam penafsiran sistematis hukum dilihat oleh hakim sebagai suatu
kesatuan, sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat hanya
sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu
sistem.
Jadi kalau rumusan atau interpretasi suatu peraturan didasarkan
pada letak peraturan itu dalam keseluruhan sistem peraturan, maka
disebut interpretasi sistem. Tidak hanya satu peraturan dalam satu
himpunan peraturan dapat membenarkan penafsiran tertentu dari
himpunan peraturan dapat membenarkan penafsiran tetentu dari peraturan
itu, juga pada beberapa peraturan dapat mempunyai dasar tujuan atau
asas yang sama. Contoh interpretasi sistematis misalnya kalau hendak
mengakui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan
oleh orang tuanya tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam
KUHP, yang berbunyi bahwa “Barang siapa mengakui seorang anak
sebagai anaknya menurut KUHPerdata padahal diketahui bahwa ia
bukanb bapak dari anak tersebut, diancam.
5.2. Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang
menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi
historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran
menurut sejarah terjadinya undang-undang.
Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau
kebutuhan sosial untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat
dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu
langkah dalam perkembangan masyarakat, yang maknanya dapat
dijelaskan dengan meneliti langkah-langkah sebelumnya. Ini meliputi
seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang.
Metode interpretasi yang hendak hendak memahami undang-undang
dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut
sejarah hukum. Disini yang diteliti adalah ketentuan atau lembaga hukum
sepanjang sejarah. Di sini yang diteliti adalah sumber-sumber hukum yang
dipergunakan oleh pembentuk undang-undang.
Sebagai contoh misalnya. Untuk menafsirkan suatu ketentuan dalam
KUHPerdata diteliti sejarah lainnyaBW, Code Civil dari 1804 atau mundur
lebih jauh sampai kepada hukum romawi, maka kita menafsirkannya
dengan interpretasi menurut sejarah hukum UU No. 1 Tahun 1974 hanya
dapat dimengerti degan adanya gambaran sejarah mengenai revolusi
industi dan gerakan emansipasi buruh.
5.3. Interpretasi Teologis atau Sosiologis
Disini hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentuk undang-undang. Lebih diperhatikan dari tujuan undang-undang
dari pada bunyi kata-kata saja. Di sini hakim mencari tujuan peraturan
perundang-undangan. Tujuan ini berbeda dengan penafsiran historis
menurut undang-undang yang subjektif– ditentukan secara objektif.
Interpretasi teleologi terjadi apabila makna undang-undang itu
diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-
undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
Ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana
untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang.
Metode ini baru dipergunakan apabila kata-kata dalam undang-undang
dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
5.4. Interpretasi Komperatif
Di samping metode-metode interpretasi tersebut diatas masih dikenal
metode interpretasi komperatif dan antisipatif.
Interpretasi komperatid adalah penafsiran dengan
memperbandingkan. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan
mengenai suatu ketentuan undang-undang. Pada interpretasi komperatif
maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temnu
pada penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara. Terutama bagi
hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar hukum
internasional kegunaan metode ini terbatas.
5.5. Interpretasi Anisipatif atau Futuristis
Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam
peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku yaitu dalam
rancangan undang-undang. Contoh mengenai hal ini biasa jumpai pada
dalam putusan mengenai pencurian aliran listrik. Pada waktu HR pada
tanggal 23 Mei 1921 (electriciteitsarrestm N.J 1921) menemukan bahwa
listrik termasuk barang yang dapat dicuri (310) Sr, 362 KUHP) sudah
direncanakan suatu undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan
itu dinyatakan diancam dengan pidana.
5.6. Interpretasi Restriktif
Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang
lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi. Ini adalah suatu metode
penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik
tolak pada artinya menurut bahasa.
5.7. Interpretasi Ekstensif
Disini dilampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.
Sebagai contoh misalnya penafsiran kata”menjual” dalam pasal 1576 KUH
Perdata. Oleh HR ditafsirkan luas yaitu bukan hanya berarti jual beli saja.
Tetapi setiap peralihan hak milik.
6. Perkembangan Penemuan Hukum
Aliran-aliran perkembangan antar tugas hakim dengan eksistensi
undang-undang di kenal dalam tiga aliran sebagai berikut.
1. Aliran pra-kodifikasi hukum (sebelum tahun 1818), belum dikenal
adanya hukum tertulis atau kodifikasi hukum, dan hukum yang berlaku
ada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, sehingga penemuan
hukum-hukum juga belum ada.
2. Aliran legis, menganggap undang-undang itu sudah lengkap, di luar
undang-undang bukan hukum, aliran ini menganggap hakim sebagai
pelakana undang-undang belaka, sama sekali tidak dikenal. Hukum
sebagai akibat undang-undadng dianggap sudah lengkap, sehingga tidak
perlu laggi ditafsirkan.
Kehadiran aliran legis didasarkan pada ajaran Montesquieu tentang “trias
politika”atau pemisah tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislative, dan kekuasaan yudikatif. Eksistensi undang-
undang begitu diagung-agungkan yang dapat dilihat pada pernyataan
Montesquieu bahwa hakim tidak lain hanya corong yang mengucapkan
teks undang-undang. Apabila teks itu ber jiwa dan tidak manusiawi, para
hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuataannya maupun
ketaaatan.
Justianus begitu berani mengancam dengan pidana bagi siapa saja
memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang. Menurut Justianus,
interpretasi terhadap undang-undang merupakan sesuatu yang salah, dan
interpretasi terhadap undang-undang hanya dimungkinkan atas
persetujuan Kaisar sebagai pengusa negara.
3. Alran penemuan hukum oleh hakim, menganggap hukum atau
undang-undang itu tidak lengkap, sehingga perlu diantisipasi dengan
penemuan hukum oleh hakim.
Dalam perkembangan dan upaya hakim dan untuk melakukan penemuan
hukum, terlebih pada efektivitas tugas hakim dengan keberadaan undang-
undang. Kepustakaan ilmu hukum membaginya dalam beberapa aliran
sebagai berikut :Aliran begriffs-yurisprundens menganggap bahwa hakim
dapat melakukan dengan penafsiran tetapi penafsiran yang dilakukan
masih terkait pada undang-undang.
Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau satu kesatuan tertutup
yang secara umum menguasai tingkah laku manusia. Pengertian hukum
bukanlah sebagai sarana melainkan suatu tujuan, sehingga ajaran hukum
menjadi ajaran tentang pengertian (begriffsyurispruden) atau permintaan
pengerttian yang mengkulkuskan rasio dan logika. Dengan demikian,
kendati hakim bebas dari ikatan undang-undang tetap harus bekerja
dalam sistem hukum yang tertutup.
Penempatan rasio dan logika secara istimewa dimaksudkan untuk
melengkapi kekurangan undang-undang dengan menggunakan hukum-
hukum logika. Demikian pula, dalam menafsirkan undang-undang, hakim
harus memperluasnya berdasarkan rasio namun, aliran ini juga
mengabaikan tujuan hukum tentang beradilan dan kemanfaatan hukum
bagi masyarakat, hanya mengedepankan tujuan hukum berupa, kepastian
hukum.
2. Aliran freierechtschule (aliran hukum bebas), merupakan cara
penemuan hukum yang member kebebasan pada hakim melallui metode
“konstruksi huku”. Hakim diberi kebebasan dalam menemukan hukum,
dalalml arti hakim bukan sekedar menerapkan undang-undanag saja,
melainkan jufa memperluas dan membentuk hukum melalui putusannnya.
Untuk mensinergikan keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat,
aliran freierechtschule ini membolehkan hakim menyimpang dari undang-
undang. Dikaitkan dengan teori tujuan hukum, maka aliran ini menganut
teori teris dan utilistis dimana hakim diberi kewenangan melakukan freis
ermessenn. Penganut aliran ini antara lain. O. Bullow (dalamm bukunya :
Gesetz and richretkonigtum), serta E. Fuch.
3. Aliran soziologisxhe-rechtsule, yaitu hakim dalam menemukan hukum
senantiasa memperhatikan kenyataan nilai-nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Hakim diharapkannya dengan nilai
hukum dan kultur hukum yang dianut oleh warga masyarakat
soziologisxhe-rechtsule juga tidak menyetujui apabila hakim hanya
menjadi terompet undang-undang. Namun, pemberian kebebasan bagi
hakim tidak disetujui karena kemungkinan hakim dapat sewenang-wenang
menafsirkan undang-undang. Juga tidak membiarkan adanya pemberian
freis ermesson bagi hakim. Penganut aliran ini, antara lain Artur
Henderson, Artur L. Corbin, dan I.H. Humas.
4. Aliran sistem hukum terbuka yang menganggap bahwa hukum
sebagai satu sistem diri dan menerima nilai-nilai yang ada di luar huku,
dan dalam penemuan hukum oleh hakim senantiasa berdasarkan pada
kreteria “pemahaman intelektual dan rasio dan logika”. Serta penilaian
dengan menggunakan penlaaran logis”. Aliran ini mengajarkan bahwa
hukum sebagai suatu sistem senantiasa saling berhubungan dan
berkaitan antar subsistem yang ada di dalamnya. Hakim dalam
melakukan penemuan hukum, bekerja atas dasar penilaian yang hasilnya
merupakan perluasan atau sesuatu yang baru bagi masyarakat.
Paul Scholten menilai sistem hukum itiu sesuatu yang logis tetapi tidak
tertutup. Ajaran Paul Scholten ini disebut open system van het recht atau
sistem hukum terbuka. Menurut ajaran ini, sistem hukum itu tidak realistis,
sehingga senantiasa membutuhkan perluasan putusan hakim melalui
penilaian yang dilakukan dalam wujud “interpretasi dan kontruksi”.
5. Aliran penemuan hukum heteronom dan otonom, penemuan hukum ini
dibahasa tuntas oleh Sudino Mertokusomo. Penemuan hukum heteronom
terjadi apabila hakim dalam melakukan penemuan hukum sepenuhnya
tunduk pada undang-undang dengan demikian, hakim hanya sekedar
mengkonstatir menerapkan bunyi dan maksud ketentuan undang-undang
dengan peristiwa konkret yang diperiksanya.
Penemuan hukum otonom terjadi apabila hakim dalam menjatuhkan
putusan, dibimbing oleh pandangan-pandangan pikirannya sendiri. Hakim
dalam menjatuhkan putusannya didasarkan atas penilaian yang
diyakininya, atau peristiwa konkret yang diperiksa dengan tetap
berpedoman pada maksud ketentuan undang-undang. Dalam penemuan
hukum otonom, hakim dalam menjatuhkan putusannya senantiasa
dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri dan
menurut apresiasi pribadi hakim sendiri.
Pandangan tersebut menurut van Eikem Hommes sebagai pandagan
baru yang disebut “materiil yuridis”. Di Jerman, pandangan tersebut
dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Engen Ehrilisch. hakim pada
penemuan hukum otonom, menjalankan fungsi yang mandiri dalam
menerapkan ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkret.
Namun, Sudikno Mertukusumo. menilai tidak ada batas yang tajam antara
penemuan hukum, umumnya mengandung unsur-unsur heterogen dan
otonom.
7. Penemuan Hukum Modern
Sesudah perang dunia ke-2 timbul lagi kritik terhadap pandangan hakim
sebagai substantie aotomatat di bawah pengaruh pandangan exisensialisme.
Kritik mendasar terhadap positivisme undang-undang legisme terletak pada
pandangan bahwa model subsumptie itu tidak dapat dipertahankan. Sebagai
penemu hukum tidak dapat menetapkan secara objektif apa persitiwanya,
apa peraturannya dan kemudian menghubungkannya secara logis. Sejak
menentukan peristiwa yang relavan, memilih peraturan yang relavan dan
menghubungkan satu sama lain, momentum penilaian selalu berperan.
Salah satu pokok pandangan modern ini adalah bahwa bukan sistem
perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah
kemasyarakatan yang konkret yang harus dipecahkan. Undang-undang
bukanlah peran penuh jawaban yang paling tidak membutuhkan beberapa
penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkret, tetapi lebih
merupakan suatu usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam
penemuan hukum. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum,
tetapi masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk
penyelesaian masalah-masalah hukum.
Pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam
pandangan :gesystematiseerd” dari Freirechtbewegung. Metode penafsiran
undang-undang yang digunakan disini terutama adalah sosiologis. Menurut
jalan pikiran ini diakui, bahwa dalam penemuan hukum unsur dengan
penilaian yang sesuai dengan sistem. Hasilnya tidak dijabarkan secara logis
dari peraturan umum yang abstrak, tetapi sekaligus selalu merupakan
resultante pertimbangan ke semua kepentingan dan nilai dalam persidangan.
Pada asasnya yang menonjol adalah masalah ke masyarakatan.
Penganut aliran ini (problem oriented) pada umumnya menekankan bahwa
masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah ke masyarakatan dan
dari sinilah harus dicapai penyelesaian yang paling dapat diterima dalam
praktik. Titik tolak ini terutama berarti kita harus selalu sadar akan kenyataan
bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu cara untuk mengatur
masalah ke masyarakaratan. Setiap orang selalu mulai dengan penemuan
hukum dapat menuju kepada hasil akhirnya diharapkan. Untuk dapat
memutuskan hal ini seorang yuridis hanya sekurang-kurangnya mengetahui
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh model apa yang digunakan.
Titik totak dalam memilih metode adalah, bahwa sistem itu merupakan
pedoman dalam menemukan penyelesaian.
Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem berpikir problem
oriented ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama hakim peneliti masalah
yang dianjurkan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis apakah
hukum dapat membantu memperoleh pemecahan yang diharapkan ? kalau
ya, maka diterapkan peristiwa mana yang dianggap relavan telah
diketengahkan sebelumnya bahwa saling ada hubungan antara peristiwa dan
peraturan : peristiwa menentukan peraturan yang relavan, tetapi peraturan
menentukan seklaigus peristiwa dan peraturan penyelelsaian akhir yang ada
di dalam benak hakim memegang peranan. Kalau bagian pertama penelitian
kea rah penyelesaian hukum telah dilakukan maka selanjutnya semua nilai
dan kepentingan yang berkepentingan yang berkaitan yang memegang
peranan dalam masalah di timbang-timbang dan harus dijatuhkan pilihan.
Sesudah itu semuanya barulah dapat kita lihat ke seluruh konteks masalah
dan sampai pada putusan, di mana kita dapat menyelesaikan maksud
pembentuk undang-undang dengan situasi konkret, di lihat dari keadaan
kemasyarakatan yang actual.
Berikut ini akan dikemukakan sebuah contoh : seorang pria dan seorang
wanita mengaku telah hidup dengan segala suka dan dukanya tanpa
menikah selama bertahun-tahun. Mereka telah bersumpah setia, apa pun
yang terjadi serta akan saling member bantuan sampai kematian
memisahkan mereka. Pertanyaannya adalah apakah si wanita mempunyai
hak atas penisun ?
Bagi yang berpikir menurut sistem semata-mata (sistem oriented,
systeemdenked) jawabannya mudah. Undang-undang hanya mengatur
pensiun, janda kepada janda yang ditinggal mati suaminya : Disini formalitas
perkawinan adalah esensial. Dalam hal ini wanita yang tidak ada ikatan
perkawinan dengan seorang pria tidak berhak atau pensiun duda.
Bagi yang berpikir problem oriented, kalau ia hendak pertimbangkan untuk
member pembayaran kepada si wanita, maka harus meneliti dahulu apakah
hubungan antara kedua orang menunjukkan kesamaan atau kesesuaian
dengan pandangan tentang hubungan perkwaina. Ia harus menilai keadaan
kehidupan nyata para pihak dengan peraturan-peraturan yang memberi ciri-
ciri perkawinan kalau si penemu hukum berpendapat bahwa hubungan kedua
pihak dapat disamakan dengan perkawinan, harus dipertanyakan apakah
ketentuan pensiun itu dapat diterapkan pada hubungan mereka seakan akan
merupakan perkawinan. Sebelum hal ini diputus dia harus menimbang
semua nilai dan kepentingan yang berkaitan dengan pertanyaan hukum ini.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. dalam penemuan
hukum yang problem oriented. Kepentingan justiciable (pencari keadilan)
lebih diutamakan. Demikian pula putusan Mahkamah Agung tanggal 20
Januari 1989 No. 1400 K/Pdt/1986 (MA, 1991: 39) dalam menafsirkan UU
No. 1 Tahun 1974 berkaitan dengan perkawinan beda agam.
Dengan mempertimbangkan bahwa :
1. UU No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apa apa pun yang
menyebabkan bahwa perbedaan agama antar calon suami dan istri
merupakan larangan, yang sejalan dengan Pasal 27 UUD yang
menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukan hak
asasi untuk kawin dengan sesame warga sekalipun berlainan agama:
dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan
agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah
sejalan dengan jiwa Pasal 29 UUD tentang dijaminnya oleh negara
kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-
masing.
2. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai
perkawinan calon suami istri yang berlainan agama.
3. Sekalipun menurut kata-kata yang terdapat dalam pasal 66 UU No. 1
Tahun 1974, yaitu “Sejauh telah diatur dalam undang-undang ini,
dinyatakan tidak perlu … naun regeling op de gtemengde Huwelijken (S
1933 No. 74) tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan
prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara UU No. 1 Tahun 1974
dengan kekdua ordonasi tersebut.
4. Dengan demikian terdapat kekosongan hukum.
Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum
maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan
tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut
berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif dari segi
kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan
atau hukum positif, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah
dapat ditemukan dan ditentukan hukunya:
Mengadili diri :
a. Membatalkan surat penolakan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil
Provinsi DKI Jakarta No. 655/1.7554/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986;
Memerintah Pegawai pencatat pada kantor catatan sipil Provinsi DKI
Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vony Gani P
(Islam) dengan Adrianus petrus Hendrik Nelwon (Kristen) setekah dipenuhi
syarat-syarat menurut undang-undang.
D. Soal
1. JelaskanBatasan Peneman Hukum
2. Ceritakan secara singkat Sejarah Penemuan Hukum
3. Jelaskan bagaimana Sistem Penemuan Hukum
4. JelaskanDasar HukumPenemuan Hukum di Indonesia
5. JelaskanMetode Penemuan Hukum
6. Jelaskan secara singkat Perkembangan Penemuan Hukum
7. Jelaskan secara singkat Penemuan Hukum Modern
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru van Hoeve, 1997 Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2003
Prajudi Atmosudirjo. Teori Hukum Jakarta Kawan Pustaka, 2002
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2004. Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB XIV
ALIRAN-ALIRAN TEORI DALAM ILMU HUKUM
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Aliran-aliran Ilmu Hukum
2. Mahasiswa mampu memahami Teori-teori Kekuatan Hukum
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Aliran-aliran Ilmu Hukum
2. Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan Teori-teori
Kekuatan Hukum
C. Uraian Materi
3. Aliran-aliran Ilmu Hukum
4. Teori-teori Kekuatan Hukum
1. Aliran-aliran Ilmu Hukum
Adapaun aliran-aliran teori dapat ilmu hukum sesuai perkembangnya,
mencatat beberapa aliran teori hukum.
1.1. Sejarah hukum alam adalah kisah kegagalan umat manusia
dalam mencari keadilan absolute. Barulah kali dalam kurungw aktu 2500
tahun yang lalu, muncul pemikiran tentag hukum alam dalam berbagai
bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk mencari cita-cita yang lebih
tinggi dari hukum positif yang telah ditolak dan dicemoohkan pada
interval waktu tertentu.
Hukum alam mempunyai fungsi jamak. Ia merupakan instrument utama
dalam transpormasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi ke suatu
sistem yang luas dan cosmopolitan merupakan senjata yang dipakai oleh
kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada abad pertengahan
dan para kaisar jerman.32
32W. Prifrieda, Legal Theary, lomdon, Stevens& Sone limited, 1980, hal,43
Aliran hukum alam menyebut hukum itu langsung bersumber kepada
Tuhan, bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak
boleh dipisahkan. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles dan Zeno
(pendiri aliran Stoic). Umumnya penganut Hukum Alam memandang
hukum dan moral merupakan pencerminan dan pengaturan secara internal
dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum
moral.
Thomas Aquinas sebagai salah satu penganut hukum alam memandang
ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan bertujuan untuk kebaikan dan
dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan.
Aquinas sebagaimana yang dikutip MArwan mas juga membagi hukum
alam menjadi empat komponen, yaitu sebagai berikut :
1. Lex Aeterna, yaitu rencana pemerintah sebagaimana dibuat oleh raja.
2. Lex Naturalis, yaitu bagian dari Lex aeterna yang dapat “ditangkap
manusia melalui akal pikiran yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
3. Lex Devina, yaitu berfungsi melengkapi asas-asas yang ada pada Lex
Aeterna yang isinya sebagai petunjuk yang berada dari Tuhan tentang
bagaimana manusia harus menjalani kehidupannya.
4. Lex Human, yaitu penyesuaian hukum dengan dalil-dalil akal di mana
hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal bukanlah hukum, teapi
hukum yang menyimpang.
Dalam kiprahnya, aliran hukum alam senantiasa berpedoman bahwa
hukum yang bebas adalah hukum yang berasal dari Tuhan sebagaimana
hukum kodrat yang sesuai dengan alam kemudian dicurahkan ke dalam
jiwa manusia, suatu hukum yang abadi dan tidak berubah-ubah. Pada
hakekatnya menurut teori hukum alam ada kaidah yang sifatnya
“Universal” ia selalu merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dan eksis
daripada hukum positif. Kehadiran hukum alam oleh kalangan ilmuwan
hukum dinilai mucul begitu kuat dan pada saat yang lain dapat diabaiikan,
akan tetapi ia tidak akan pernah mati.
Masalah yang acap kali dihadapi hukum alam dalam sejarah
perkembangannya. Ditandai ketika muncul aliran positivisme di abad ke 17
yang menilai hukum alam sebagai hukum yang tidakn rasional. Akan
tetapi, dalan praksisnya, penganut hukum alam tetap eksis pada pendirian
bahwa seluruh dunia tetap dikuasai oleh hukum yang abadi (Lex Aeterna)
sebagai dasar dan alasan bagi hukum positif untuk memperoleh kekuatan
mengikat.
Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan
hal esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari
hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya
hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup
banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum
bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke 17, substansi hukum alam
telah menempatkan sautu asas yang bersifat universal yang biasa disebut
dengan HAM. Kemudian sekitar abad ke-19 hukum alam kembali bangkit
setelah sebelumnya ditinggalkan oleh para penganut aliran “Positivisme”.
Salah satu pelopor kebangkitan hukum alam di abad ke-19 adalah
Stemmer; seorang filosofi Jerman yang begitu yakin bahwa hanya unsur-
unsur saja dari pengetahuan manusia yang memiliki validitas universal.
Stammer membedakan antara “The concept of Law” atau suatu definisi
formal belaka dengan “the idea of Law” atau hukum sebagai realisasi
keadilan.
1.2. Aliran Hukum Positivisme dan Utilitarinisme
Aliran positivis mengatakan “kaidah hukum itu hanya bersumber dari
kekuasaan negara yang tertinggi, dari sumber itu hanyalah hukum positif
yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik ekonomi,
sosial dan budaya”, Aliran ini dipelopori oleh Jhon Austin yang sering
dibuat sebagai “Bapak Ilmu Hukum Inggris serta Hans Kelsen yang
terkenal dengan teorinya “Hukum Murni” teori “Hukum Murni” Hans Kelsen
mengatakan bahwa hukum adalah ilmu normatif yang murni dan tidak
boleh dicermati oleh ilmu-ilmu sosiologi, sejarah dan etika.
Penganut lainnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) yang dianggap
oleh sebagian pakar lebih pantas menyandang gelasr “Bapak Ilmu Hukum
Inggris” Bentham adalah orang yang sangat gigih memperjuangkan agar
hukum dikodifikasikan, tetapi untuk merombat hukum inggris yang
umumnya tidak tertulis (Commen Law) . dianggapnya sesuatu yang dapat
menimbulkan kekacauan. Pandangan Bentham tersebut, kendati ia gigih
memperjuangkan kondifikasi hukum para pakar lebih cenderung
menggolongkah Bentham dalam aliran Utilitarinisme “bersama Jhon
Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf Von Jhering (1818-1892).
Aliran teori hukum positivis lahir sekitar abad ke – 19 yang didorong oleh
pengaruh perkembangan masyarakat. Perkembangan tersebut
menimbulkan sikap kritis terhadap hukum alam yang dianggap tidak
mampu lagi menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Selain itu, aliran positifisme juga lahir atas dasar inspirasi dari “Positivis
Sosiologis” baik dari ajaran filosof Perancis, Auguste Comte, maupun
pemikiran dari Herbet Spencer.
Conte sebagai pelapor atau bapak dari Sosiologi modern. Menyatakan
bahwa terdapat adanya kepastian hukum dan perkembangan yang
menguasai roh manusia dan segala gejala-gejala hidup bersama.
Dan itu cara mutlak. Comte sebagaimana dikutip Achmad Ali.
memandang hukum itu tampak dalam tiga perkembangan yang dilalui oleh
semua masyarakat, yaitu sebagai berikut :
1. Tahap Teologis, yaitu tahap dimana manusia percaya pada kekuatan-
kekuatan Illahi di belakang gejala-gejala alam.
2. Tahap Metafisis, yaitu tahap dimulainya kritik terhadap segala pikiran,
termasuk pikiran teologis, ide-ide teologis diganti dengan ide-ide abstrak
dari metafisis.
3. Tahap Positif, yaitu tahap dimana gejala-gejala tidak diterangkan lagi
oleh suatu ide alam yang abstrak, tetapi diterangkan melalui gejala lain
yang mendapati hukum-hukum di antara mereka. Hukum-hukum itu tidak
lain dari suaut relasi yang konstan antara gejala-gejala tadi.
Hart seperti yang dikkutip Dias95 (1976) salah seorang pengikut aliran
positivisme, memandang bahwa pada dasarnya positifsme itu
mengandung berbagai arti, yaitu sebagai berikut :
1. Hukum merupakan perintah yang berisi perintah
2. Analisis atas konsep-konsep hukum adalah usaha yang mempunyai
nilai untuk dilakukan. Analisis tersebut, berbeda dengan studi sosiologis
dan historis, serta berlainan pula dengan penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat diduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sebelumnya sudah ada, tanpa harus menunjukkan pada
tujuan-tujuan sosial, kebijakan, dan moral.
4. Penghukum (Judgment) secara moral tidak boleh diteggakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, atau oleh suatu pembuktian dan
pengujian.
5. kHukum yang diundangkan atau ditetapkan, harus senantiasa
dipisahkan dari faktor-faktor di luar hukum yang seharusnya diciptakan
atau dicita-citakan. Inilah yang sekarang sering diartikan dan diterima
sebagai pemberian arti terhadap positivism. Jhon Austin selaku penganut
utama ajaran positivism menegaskan bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah dari kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Jhon Austin sebagai seorang penganut positivisme menilai bahwa
sumber hukum yang lain adalah sumber hukum yang lebih rendah
(Subordinate sources). Bahkan, sebenarnya sumber yang lain itu bukanlah
sumber hukum. Hukum identik dengan kekuasaan negara, dan hukum
hanyalah hukum tertulis atau hukum positif saja, dapat menimbulkan
kesimpangsiuran dalam memandang keberadaan hukum yang hidup dalam
masyarakat (Living Law) yang ternyata sangat diakui. Ajaran Jhon Austin
tampaknya tidak memperhatikan fenomena dalam masyarakat sebagai
komunitas yang mempunyai nilai kesemestaan dalam mewujudkan
kehidupan yang damai.
Hukum tertulis yang diagung-agungkan oleh Jhon Austin sebagai
hukum yang berasal dari kekuasaan, dalam kenyataannya justru selalu
tertinggal dari perkembangan masyarakat, akibat sifatnya yang kaku hukum
positif selalu tertatih-tatih mengejar suatu peristiwa dalam masyarakat yang
seharusnya diatur.
Tampak betapa pemikiran positivisme dalam kondisi saat ini, semakin
tidak kondusif dalam kehidupan masyarakat yang setiap saat mengalami
perubahan akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi dunia. Ternyata,
ajaran positivisme tidak akan mampu menangkal derasnya arus perubahan
yang melanda masyarakat dunia yang kadang jauh melebihi perkiraan.
Begitu pula, teori hukum murni dari Hans Kelsen (1881-1973) yang
sebetulnya merupakan bentuk pemberontakan terhadap ilmu hukum yang
ideologis. Teori ini juga dinilai sebagai penjelmaan dan pengembangan dari
aliran positivisme yang menolak ajaran yang bersifat ideologis. Teori hukum
murni menghendaki hukum harus bersih dari pengaruh politik, sosiologi,
sejarah, dan pembicaraan tentang etika. Menurut Hans Kelsen, ilmu hukum
adalah “ilmu normative” yang semata-mata berada dalam dunia “Sollen”
dengan cirri khas pada sifatnya yang hipotesis.
pokok-pokok ajaran hukum murni Hans Kelsen di atas, sebagaimana
yang dikutip Satjipto Raharjo 96 adalah sebagai berikut :
1. Tujuan teori hukum, seperti juga setap ilmu, adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (Unty).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan. Ilmu hokum
merupakan pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hokum
yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normative, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak dengan
persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, dan suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang
spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan sistem hukum positif tertentu,
adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Melihat pokok-pokok ajaran hukum murni di atas, terlihat bahwa Hens
Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari pengaruh lain di luar hukum,
seperti politik, ekonomi, sosial, sejarah, dan sebagainya Kelsen juga menolak
masalah keadilan
Konsep pemikiran Hans Kelsen dalam bentuk lain, adalah konsep
“grundnorm” atau “teori stufenbau”, yaitu dalil yang menganggap bahwa
semua hukum itu bersumber pada satu induk;
The Basic norm is the “source” of law. But, in a wider sense, every legal
norm is a “source” of the that other norm , the creation of which it regulates, in
determining the procedure of creation and the contents of the morn be
created. In this sense, any “Superior” legal norm is the “source” of the
“inferior” legal norm. Thus the constitution, a statute “ of statutes created on
the basis of the constitution , a statute is the “source” of the judicial decision
based thereon. The judicial decision is the “source” of the duty it imposes
upon the party, and so on.
Setiap norma hukum adalah sumber dari norma hukum lainnya yang
pembentukannya diatur oleh norma hukum tersebut, di dalam menentukan
prosedur pembentukan dan isi dari norma yang dibentuk. Setiap norma
hukum yang lebih tinggi adalah sumber dari norma hukum yang lebih rendah.
Dengan demikian, konstitusi adalah sumber dari Undang-Undang yang
dibentuk atas dasar konstusi tersebut.
Langsung atau tidak teori inilah yang berlaku sebagai tata urutan
perundang-undangan di Indonesia sebagaimana dalam TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 yang kemudian dikoreksi dedngan TAP MPR No.
III/MPR/2000.
Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses peraturan
perundang-undangan, maka negara Republik Sebagai negara Yang berdasar
atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan. Untuk itulah kemudian dibuatlah Undang-Undang No
10 Tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Di mana Pasal 7
diatur mengenai jenis dan hirarki peraturan pemndang-undangan yang dapat
digambarkan dalam bentuk piramida Hans Kelsen sebagai
UUD 1945
UU/ PERPU
pp
PERPES
PERDA
1. PERDA PROVINSI
2. PERDA KAB/ KOTA
3. PERATURAN DESA
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2014
Aliran hukum positivisme-dogmatik yang pada awalnya berkembang di
Amerika Serikat yang lebih sering dijadikan landasan berpikir oleh kaum
formalism hukum, terutama pengacara, sebetulnya sudah mulai
ditinggalkan dan dikecam oleh ahli hukum terkenal. Beberapa ahli
hukum yang mengecam aliran hukum positivisme –dogmatik adalah
sebagai berikut :
1. Roberto mangabeira Unger (dalam bukunya, the critical Legal
studies movement) menyatakan, bahwa hukum bukanlah unutk hukum
seperti dipahami penganut positivis. Unger memandang hukum harus
dikembalikan kepada akar moralitas (hati nurani) dan releginya,
kemudian meninggalkan praktik hukum yang semata-mata formalitas
dan procedural.
2. Mare Galanter melalui tuntutan tentang “delegalization”
menyoroti tentang semakin berkembangnya penyelesaian hukum dalam
kehidupan masyarakat melalui nontiligasi (penyelesaian di luar
pengadilan”, seperti mediasi dan arbitrase. Konsep ini juga popular
dengan istilah “alternative dispute resolution”.
3. Nonet & Selznick dengan ide “responsive law” atau “hukum
responsive” sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum
harus diposisikan sebagai fasilitator dan aspirasi warga masyarakat.
4. Jeremy Bentham berpendapat bahwa fungsi hukum itu
memberikan kebahgiaa kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada
sebanyak-banyaknya warga masyarakat (the greatest hap pines of the
great people).
Aliran utilitarinisme (utilistis) atau kemanfaatan dipelopori oleh Jeremy
Bentham, Rudolf von jhering,dan Jhon Stuart Mill. Ketiga tokoh ini,
terutama Jhering ada yang mengelompokkan ke dalam aliran positivis
utilistis dan ada pula yang menggolongkannya ke dalam aliran
sosiologis, tetapi menurut Achmad Ali99 ketiganya tergolong ke dalam
aliran utilistis karena ajarannya lebih mencerminkan pada adanya
penekanan kemanfaatan bagi masyarakat. Adapun ajaran ketiga tokoh
ini adalah sebagai berikut :100
1. Jeremy Bentham mengajarkan tentang tujuan hukum yang
utilistis bahwa:
a. Tujuan hukum itu untuk mencapai kemanfaatan yang sebesar-
besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
b. Tujuan peraturan perundang-undangan adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.
c. Ada tipe studi hukum yang disebut hukum ekspositor (ex-
pository jurisprudence) : yaitu studi hukum sebagaimana adanya yang
objeknya menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum melalui
analisis hukum, serta ilmu hukum sensorial (censorial jurisprudence),
yaitu studi kritis terhadap hukum untuk meningkatkan efektivitas hukum
dan pengoperasian.
2. Rudolf von Jhering mengajarkan, bahwa hukum senantiasa
sesuai dengan kepentingan negara yang dikembangkan secara
sistematis dan rasional, Serta adanya teknik hukum (pengolahan
hukum) sebagai metode yang digunakan untuk menguasai hukum
positif secara rasional. operasiannya.
Jhering juga menolak pandangan von Savigny yang menilai hukum itu
timbul dari “jiwa bangsa” secara spontan. Jhering memberi contoh pada
hukum Romawr tentang adanya karateristik sistem egoisme yang
berdisiplin (system des disciplinie egoismus), bahwa hukum
digabungkan dengan “egoisme bangsa" dan hanya yang dianggap
berguna bagi bangsalah yang dapat diterima sebagai hukum. Oleh
karena itu, Jhering menilai kehadiram hukum selalu sesuai dengan
kepentingan bangsa, sehingga hukum tidak lahir secara spontanitas.
Kendati Jhering juga mengakui adanya “pengaruh jiwa bangsa” atas
kehadiran hukum, tetapi pengaruhnya tidak secara spontan. Hukum
justru dikembangkan secara sistematis dan rasional sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan negara hukum tidak dikelola
berdasarkan jiwa bangsa, tetapi dikelola yang disebut “teknik
hukum”secara sistematis dan rasional untuk dijadikan sebagai hukum
positif. Teknik hukum menurut Jhering merupakan metode yang
digunakan oleh para ahli hukum untuk menguasai hukum positif secara
rasional, agar hukum dapat diterapkan secara tepat rhadap setiap
perkara konkret.
3. Ajaran John Stuart Mill, hukum melalui tindakan harus
senantiasa ditujukan pada pencapaian kebahgiaan, dan sangat keliru
apabila hukum menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan Pada aspek
lain, juga dikenal aliran “hukum murni”(pure theory of law) yang
dicetuskan oleh Hans Kelsen. Ajaran hukum murni merupakan bagian
terpenting pula dari aliran positivisme. Ada ttiga konsep ajaran dari teori
hukum murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang penulis
simpulkan sebagai berikut
1. Ajaran “hukum murni “bahwa hukum hanyalah yang dibuat dan diakui
oleh negara, hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang ada
diluar hukum, seperti sejarah, moral, sosiologi, ekonomi, politik dan
budaya.
2. Ajaran tentang grundnorm bahwa dalam sistem hukum Suatu negara
selalu ada grunaorm atau induk yang melahirkan peraturan-peraturan
hukum di bawahnya.
3. Ajaran tentang “stufenbau theorie” bahwa seluruh peraturan
perundang-undangan ditumukan dari “norma dasar” sehingga semakin
ke bawah semakin beragam menyebar , dan sebagai norma hukum.
1.3. Aliran Historis
Aliran historis atau aliran sejarah mengatakan bahwa “hukum itu tumbuh
dan berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah, dan semua
bangsa di dunia mempunyai jiwa bangsa (volgeys).” Aliran ini dipelopori
oleh Friedrich Carl von savigny (1779-1861), seorang ahli hukum
Jerman, dalam kiprahnya, aliran historis menolak kecemerlangan akal
seseorang ia menganggap bahwa “hukum itu ditemukan dalam
masyarakat dan mengungkapkan kejayaan hukum pada masa lalu,
serta menganggap peranan ahli hukum lebih penting dari pada pembuat
undang-undang.
Aliran sejarah menempatkan perhatiannya terhadap sejarah tata hukum
yang pernah terjadi di dunia, sehingga mengembangkan pengertian
bahwa hukum adalah sesuatu yang universal. Adapun hakikat dan
sistem menurut von savigny, adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat
yang mengembangkan dan memajukan hukum. Di lain pihak, Pucha,
salah seorang murid von savigny mengembangkan pandangan gurunya,
bahwa semua hukum merupakan perwujutan dari kesadaran yang
umum.
Pucha pada akhirnya secara tegas mengatakan, bahwa hukum itu
tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat
bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat yang pada akhirnyu ia mati
apabila bangsa itu kehilangan kebangsaanny.
1.4. Aliran Sosiologis
Aliran pemikiran sosiologis pada prinsipnya mengatakan hukum itu
adalah apa yang menjadi kenyataan dalam bagaimana secara fakta
hukum diterima, tumbuh dan berlaku masyarakat. Aliran ini dipelopon
oleh Roscou Pound (juris dan Amerika Serikat), Eugen Ehrlich, Emile
Durkheim, dan Max Weber.
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich adalah penulis yang pertama-tama melalui bukunya
berjudul “Sosiologi Hukum atau Grundlegung der Soziologiedes Rechts,
pada tahun l9l2”. Dalam buku tersebut, antara lain bahwa “pada waktu
sekarang, seperti juga pada waktu yang lain, pusat gaya tarik
perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak
pada ilmu hukum, juga tidak pada putusan hakim, tetapi di dalam
masyarakat .... ”.
Aliran sosiologi memandang, bahwa hukum merupakan “kenyataan
sosial” dan hukum tidak dinilai sebagai kaidah. Kelahiran al didorong
oleh refleksinya tentang cara orang memandang hukum dalam
masyarakat.
Emile Durkhein (l858-l9l7),
Emile Durkheim seorang sosiolog, dalam mengemukan kajiannya, tentu
saja didasarkan dari data masyarakat, Durkheim bahwa hal yang
penting dalam kehidupan masyarakat, adalah bentuk "solidaritas”. Yang
penama-tama ada adalah kesadaran bukan kesadaran individu. Pada
saat periode solidaritas itu terbentuk, yaitu saat terjadi hubungan
antarindividu, maka saat itu belum terbentuk pengaturan dalam
masyarakat.
Durkheim membedakan antara “hukum yang menindak” dengan yang
mengganti”. “Hukum yang menindak” tergolong ke dalam pidana,
sedangkan “hukum yang mengatur” merupakan dan spesialisasi fungsi-
fungsi. Dengan demikian, kondisi menciptakan perbedaan-perbedaan
melalui pengalaman dan penafsiran. Dalam perkembangannya, “hukum
yang mengganti” terjalinnya kerja sama yang positif antarindividu dalam
masyarakat. Apabila dibandingkan dengan “hukum yang mengganti”,
maka "hukum yang mengganti” tidak bersifat afektif dan emosional.
Tokoh lain dalam aliran pemikiran sosiologis, adalah Max Weber yang
memang berpendidikan dasar ilmu hukum. Pada awalnya Weber
mengarahkan perhatiannya pada masyarakat Jerman dengan sasaran
utama karakteristik perkembangan dunia barat, kemudian dengan
perkembangan hukum. Teori Weber seperti yang Sudikno
Menokusumo, dimulai dari definisi hukum yang dirumuskannya sebagai
berikut.
Suatu tatanan bisa disebut hukum, apabila secara eksternal dan
dijamin oleh kemungkinan, bahwa paksaan (fisik atau psikologis) yang
untuk mematuhi tatanan atau menindak pelanggaran, akan diterapkan
oleh suatu perangkat terdiri dari orang-orang yang khusus menyiapkan
diri untuk melakukan tugas-tugas tersebut.
Teori Max Weber adalah “teori perkembangan hukum” yang
menganggap bahwa “perkembangan hukum itu senantiasa selaras
dengan perkembangan masyarakatnya”. Teori Weber ini oleh berbagai
pakar dinilai memang cocok apabila digunakan bagi masyarakat yang
tidak pernah melakukan revolusi, seperti Jerman. Akan tetapi, tidak
tepat apabila melihat negara atau masyarakat yang pernah melakukan
revolusi, seperti Indonesia. Pada masyarakat yang pernah berevolusi.
Ternyata perkembangan hukum tidak selalu selaras dengan
perkembangan masyarakratnya, atau sebaliknya, yang disebabkan oleh
pemikiran masyarakat yang masih “formal irrationality”.
Untuk mengukuhkan teorinya tentang perkembangan masyarakat
dengan perkembangan hukum, Weber seperti dikutip Achmad Ali
membagi tiga tahap dari “form of domination”, yaitu sebagai berikut :
l. Tahap Tradisional
a. Bentuk legitimasi, yaitu tradisional, otoritas pribadi raja atau ratu.
b. Bentuk administrasinya, yaitu patrimonial dan asasturun temurun.
c. Dasar ketaatannya, yaitu tradisional dan beban kewajiban yang
sifatnya individual.
d. Bentuk proses Peradilannya-yaitu empiris, substantif, dan personal
(khadi).
e. Bentuk keadilannya adalah empiris.
f. Tipe pemikiran hukumnya adalah formal-irrasionnl, dal subtantive-
rationality
2. Taliap Kharismatik
a. Bentuk legitmasinya, yaitu otoritas dan kharimatik dengan kesetiaan
personal.
b. Bentuk administrasinya, yaitu tidak mengenal administrasi, hanya
inengenal rutinitas dan kharima.
c. Dasar ketaatannya, yaitu respons terhadap karakter-karakter yang
bersifat sosio-psikologi dari individu.
d. Bentuk proses Peradilannya, yaitu keadilan kharimatik
3. Tahap Rational Legal
a. Bentuk legitimasinya, yaitu rational-legal. Otoritas bersumber pada
sistem hukumnya, yang diperankan secara rasional dan sadar.
b. Bentuk administrasinya, yaitu birokrasi dan tidak profesional.
c. Dasar ketaatannya. yaitu impersonal.
d. Bentuk proses Peradilannya, yaitu rasional, dan dilaksanakan secara
rasional yang abstrak melalui professional.
e. Bentuk keadilannya, yaitu keadilan sosial.
f. Tipe pemikiran hukumnya, yaitu substantive- rational-ity.
Mencermati pemikiran aliran sosiologis di atas, kiranya perlu
membandingkan dengan aliran positivisme karena dalam praktik hukum
selama ini di Indonesia lebih cenderung mengedepankan aliran
positivisme yang kaku sehingga hukum hampir-hampir tidak berpihak
kepada rakyat banyak. Persamaan keduanya terletak pada objek
kajiannya yaitu “hukum tertulis”, sedangkan perbedaannya adalah
sebagai
1. Aliran positivisme mengandung hukum sebagai kaidah-kaidah yang
tertulis yang ada di dalam peraturan perundang-undangan (law in
book) sebagai sesuatu yang ideal, sedangkan aliran sosiologi
memandang hukum sebagai kenyataan sosial (Law in action).
2. Aliran positivism memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom,
sedangkan aliran sosiologis memandang hukum sesuatu yang tidak
otonom karena senantiasa dipengaruhi oleh faktor yang ada di luar
hukum (faktor nonhukum), seperti ekonomiu, politik, sosial dan
budaya.
3. Aliran positivism selalu mempersoalkan hukum tentang apa yang
seharusnya (das sollen), sedangkan aliran sosiologis berpandangan
empiris yang senantiasa melihat hukum dalam kenyataan yang ada di
dalam kehidupan sosial masyarakat (das sein).
4. Aliran positivisme memandang keberadaan hukum secara yuridi-
dogmatik atau sebagai dogma yang harus diikuti secara prosedur dan
serba kaku, sedangkan aliran sosiologis berpandangan empiris yang
senantiasa melihat hukum sebagai kaidah yang harus memenuhi rasa
keadilan masyarakat secara luas. (keadilan substansial).
5. Aliran positivism menggunakan pendekatan atau metode “prespektif”
yaitu mengharapkan hukum positif dan penerapannya selalu diterima
oleh warga masyarakat, sedangkan aliran sosiologis menggunakane
pendekatan “deskriptif”, yaitu mengkaji hukum melalui survei lapangan,
observasi perbandingan, analistik, dan metode eksperimen.
Roscou Pound (1870 -1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk
memperbarui (merekayasa) masyarakat (Law as a tool of social
engineering).
Pound membuat penggolongan atas kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum :
a. Kepentingan umum (public interest)
b. Kepentingan masyarakat (social interest)
c. Kepentingan pribadi (private interest)
1.5. Aliran antropologi
Aliran Antropologi mengatakan bahwa “ hukum itu kaidah yang tidak
tidak tertulis yang hidup dan tumbuh secara nyata dalam masyarakat
seiring dengan perkembangan kebudayaan”. Salah satu pemikiran
aliran antropologi seperti ditulis oleh Satjipto Rahardjo”. Salah satu
pemikiran aliran antroplogi modern yang cukup menarik perhatian para
ahli hukum adalah adanya aliran cultural fungsional.
Aliran kultural-fungsional dari aliran antropolopgi menekankan bahwa
satu-satunya cara untuk menjelaskan masyarakat secara seksama
adalah dengan mengamati dan merumuskan fungsi-fungsi dari
lembaga-lembaganya dalam kerangka kebudayaan. Dengan cara yang
demikian itu, maka totalitas dari sistem cultural (budaya) serta kaitan –
kaitannya antara unsur-unsurnya akan muncul.
Maine sebagai penganut teori antropologi hukum, disebabkan ia dalam
buku-bukunya banyak mengupas persoalan hukum melalui pendekatan
antropologi.
1.6 Aliran Realistis
Aliran realisis mengatakan bahwa “hukum itu apa yang dibuat oleh
hakim melalui putusannya, dan hakim lebih layak disebut membuat
hukum daripada menemukan hukum”. Aliran realisis selalu menekankan
pada hakikat manusiawi dalam melaksanaan hukum, sehingga para
penganutnya menekankan agar pendidikan hukum senantiasa
mengupayakan mahasiswa untuk mendatangi dan mengenali proses
peradilan. Dengan demikian, mahasiswa akan mampu mendesain
bagaimana hukum diwujudkan saat terjun ke dalam masyarakat. Aliran
realis ini dipelopori oleh Karl Llewwellyn (1893-1962), Jerome frank
(1841-1935) dan Hakim Agung Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes
(1841-1935).
1.6.1. Aliran Realis Amerika Serikat
Aliran Realisis di Amerika Serikat sesungguhnya menganggap hukum
itu adalah semua yang dihasilkan (putusan) oleh pengadilan sebagai
suatu yang realistis atau kenyataan (das sein) dalam mayarakat.
Pandangan ini didasarkan pada asumsi, bahwa hukum melalui
peraturan hakim, berasal dari kalangan praktisi (hakim) dan pengajar
ilmu hukum di perguruan tinggi.
Aliran realism di Amerika Serikat, pada dasarnya dibangun berdasarkan
penerimaan secara umum terhadap “realisme filosofis” yang
memengaruhi para hakim sehingga berpikir “realism” alasan-alasan
yang dikemukakan Karl Llewllyn dalam pokokk-pokok pendekatan aliran
realis di Amerika Serikat adalah sebagai berikut :
a. Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-
ubah dan hukum yang diciptakan oleh hakim.
b. Hukum sebagai alat mencapai tujuan-tujuan sosial, sehingga yang
lebih cepat berubah dari pada hukum dan karenanya selalu ada
kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum menghadapi problem-
problem sposial yang ada.
c. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit
sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-
situasi yang banyak dan berlain-lainan. Oleh karena itu, hukum
bersifat umum, tidak konkret atau tidak nyata.
d. Hukum itu dinilai dari efektivitas dan kemanfaatannya untuk
menemukan efek-efek tersebut.
Di lain pihak, Holmes menganggap hukum adalan kelakuan actual para
hakim (patterns of behavior), dimana kelakuan hakim itu ditentukan oleh
tiga faktor sebagai hal yang mempengaruhi putusan hakim, yaitu kaidah
hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan
konsturksi, moral hidup pribadi hakim, dan kepentingan sosial. Esensi
ajaran realis dari Holmes adalah sebagai berikut :
a. Perkembangan ilmu hukum itu terletak pada “pengujian fakta-
fakta”.
b. Kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika, melainkan
pengalaman (the life of the law has been, not logic, but
experience).
c. Yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan tentang apa yang
akan dilakukan oleh pengadilan dalam kenyataan, dan tidak ada
yang lebih penting dari itu.
Schubert (seorang guru besar ilmu politik di Universitas Michigan,
Amerika Serikat) mengomentari masalah “ramalan” yang dikemukakan
Holmes, bahwa ada tiga pendekatan dalam melakukan ramalan, yaitu
sebagai berikut : 107
a. Penggunaan destruktur koonversi, yaitu sentral dari proses pembuatan
b. Kebijakan pengadilan yang terletak pada “struktur konversi” di mana
putusan hakim dipengaruhi oleh hasil interaksi dan suatu kelompok
dan pengintegrasian nilai-nilai individu para hakim.
c. Penggunaan atribut-atribut, yaitu pengaruh pengalaman peribadi
seorang hakim, penunjukan politis hakim, dan afiliasi partai dari hakim.
Penggunaan pengaruh orinetasi–sikap, yaitu pengaruh faktor ekonomi
dan politik yang berkaitan dengan persoalan vital dan fundamental
pribadi dan keluarga hakim.
Esensi ajaran Jerome Frank (seorang hakim Amerika Serikat) yang
juga tergolong sebagai penganut ajaran realis Amerika Serikat seperti
yang disimpulkan oleh Achmad Ali pada lima aspek sebagai berikut :
a. Memotivasi hakim untuk melakukan reformasi terhadap hukum untuk
kepentingan pengadilan.
b. Hukum tidak mungkin dipisahkan dari putusan pengadilan.
c. Hukum tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan yang tetap.
d. Putusan hakim tidak diturunkan secara otomatis dari aturan hukum
tetap. Putusan pengadilan bergantung pada berbagai faktor, seperti
kaidah dan faktor nonhukum (politik, ekonomi, dan moral).
1.6.2. Aliran Realis Negara Skandinavia
Sementara aliran realis skandinavia seperti Denmark dan Swedia,
yang dipelopori oleh Hegerstrom (1968-1939) dan Vilhem Lund Stedt
(1882-1955), berpandangan bahwa hukum adalah “putusan hakim yang
dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan atau psikologis yang tidak lain dari
reaksi otak”. Alasan aliran realis skandinavia ialah karena dalam
pelaksanaan hukum itu dilakukan melalui pendekatan pada peringkat
yang rasionalisasi akan eksistensi objektif. Hukum dipandang sebagai
aspek perilaku hakim, dan menolak konsep “kejiwaan” dan fenomena.
Mental pada diri hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Perbedaan aliran realis Amerika Serikat dengan aliran realis
Skandinavia terletak pada putusan dan perilaku hakim. Aliran Realis
Amerika Serikat memandang hukum terletak pada apa yang diputuskan
(dibuat) oleh hakim, sedangkan realis Skandinavia memandang hukum
dari aspek perilaku hakim yang mempengaruhi putusannya. Sedangkan,
persamaannya terletak pada : 1) keduanya menolak keberadaan “dos
sollen dan das sein” dalam studi hukum : 2) keduanya menolak spekulasi
metafisik dalam penyelidikan kenyataan-kenyataan dari sistem hukum.
2. Teori-teori kekuatan Hukum
Apakah yang menjadi dasar atau landasan “kekuatan hukum”
(verbindende krachr van het recht, the binding validity) sehingga hukum
itu mengikat?
Pada waktu ltu orang menganggap “biasa” tanpa bertanya lebih
lanjut hal dasarnya atau landasannya bilamana Hukum “Yang berlaku” itu
diciptakan melalui penerbitan berbagai macam undang-undang,
peraturan pcmerintah, dan sebagainya. Dan dianggap “dengan
sendirinya” bahwa undang-undang ilu diterbitkan untuk dilaksanakan dan
ditaati scbagai "hukum".
Namun dalam Filsafat Hukum kita bertanya “Mengapa hukum yang
dicipta di atas (dianggap atau diterima oleh masyarakat sebagai
mempunyai kekuatan dan mengikat"‘?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut haruslah dimulai dengan
teori tentang Sumber Hukum Positif ((rechtsbron, source of law0). Ada
empat teori mengenal sumber Hukum yangn berlaku, yakni.109-
2.1. Teori Sumber Hukum Historis
Segrang sejarawan hukum (historikus hukum) akan mengemukakan
adanya dua macam “sumber hukum “,yakni :
a. Sumber hukum Pengenal (kenbron, source for cognition) , semua
tulisan, dokumen, inskripsi-inskripsi, prasasti-prasasti dari zamana
kuno, dsb.yang dapat dipergunakan untuk “mengenal” atau
mengetahui bagaimana “hukum” suatu bangsa tertentu dalam suatu
masa, zaman atau kala yang tertentu. Di zaman Majapahit misalnya,
hukum positifnya dapat diketahui dari berbagai prasasti, dari berbagai
piagamdan dari berbagai pakem (kitab undang-undang) di Zamanitu.
Hukum positif di Zaman Hindia Belanda dari rangkaianStaatsblad-
Staatsblad yang diterbitkan, sedangkan hukumpositif di Zaman
pendudukan Jepang dari berbagai OsamuSeirei. Hukum positif kita
sekarang dapat dikenal ataudiketahui dari rangkaian Lembaga Negara
yang pada waktuini disebul sumber resmi.
b. Sumber-sumber derivative (afkomstbron) adalah Sumber yang dipakai
Badan Pembuat Undang-undang untuk menyusun undang-undang
beserta mengembangkan sistem hukumnya. Sumber langsung (direct
bron) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) ) kita
adalah Code civil Napoleon melalui BurgerlijkWetboek Belanda
Belanda. Adapun sumber tidak langsung dari berbagai undang-undang
kita adalah undang-undang dari negara lain yang dianggap untuk
dicontoh, dan biasanya dibawa oleh para konsultan hukum asing yang
dikontrak oleh pemerintah kita.
2.2. Teori Sumber Hukum Sosiologis
Dulu teori ini terkenal dengan nama teori sumber hukum materiel
sumber hukum substantiff. Menurut Teori ini isi atau materi hukum positif
selalu berasal dari “efek" atau “pengaruh” berbagai kekuatan politik,
ekonomi, sosial-budaya, krisis masyarakat, pergolakan agama, kondisi
kesehatan masyarakat (public health conditions). Faktor-faktor
psikologis, perkembangan teknologi, dan sebagainya. Jadi, menurut
teori ini, di dalalm penyusunan suatu undung-undang harus selalu
sebelumnya diadakan upaya research bersama oleh sekelompok
peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang relevan. Ide Teori ini sebenarnya
berasal dari tulisan Montesqieu "De I’esprit des lois” (1748). Ada
beberapa tulisan sejarah jerman dan Perancis yang penting untuk
dibaca namun yang mudah adalah tulisan Sarjana Amerika
Friedmann”Law in a changing society” 1959).
2.3. Teori Sumber Hukum Formal
Ajaran inilah yang dipakai oleh kita sehari-hari mengenai sumber
hukum positif kita. Menurut ajaran ini sumber –sumber “resmi” hukum
positif kita adalah :
a. undang-undang (dalam arti luas)
b. Kebiasaan atau usance
c. traktat dan perjanjian-perjanjian Internasional
d. Yurisprudensi
Mengingat undang-undang dan traktat banyak yang
berpendapat bahwa penyebutan sebagai “sumber hukum” hanya
mengenai keabsahan hukum itu saja secara formal, akan tetapi
tidak mengenai materi atau isi hukum yang oleh mereka tetap
berada di tengah hakim sebagai satu-satunya sumber materi
hukum. Pandangan ini terutama hidup di Inggris dan Amerika.
2.4. Teori Sumber Hukum Filosofis
Teori ini mempertahankan apakah yang menjadi sumber hukum
Yang Sebenarnya agar Hukum itu mempunyai “kekuatan” (rechsgelding-
heid). Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat beberapa teori
yang dikenal terkenal sebagai berikut.
2.4.1. Teori Ketuhanan (Teori Teokratis)
Teori Ketuhanan ini adalah yang paling tua dan sejak ribuan tahun
banyak dianut orang di mana-mana di dunia, terutama orang awam ilmu
hukum , kecuali di negara-negara Barat dimana sebagian besar
rakyatnya ingin hidup “modern dan rasional” tanpa mengikut sertakan
Tuhan dalam urusan-urusan kenegaraan sehari-hari. Hanya dalam
mengangkat sumpah saja,misalnya di Pengadilan, mereka menyebut
nama Tuhan. Jadi, menurut teori hukum mengikat oleh karena dan
jikalau hukum tersebut sesuai dengan Firman atau kehendak Tuhan
sebagaimana dapat disimak dari berbagai Kitab Suci.
Di Indonesia pun hampir semua orang mengatakan bahwa adanya
negara itu adalah kehendak Tuhan dan dengan demikian negara
berjalan dan berfungsi menurut hukum yang diciptakan oleh pemerintah
negara melalui berbagai macam-macam undang-undang. Bahkan kita
mengatakan bahwa Hukum kita itu bersumber dari Pancasila sedangkan
sila pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Es.” Ajaran “Droit Divis” di
Eropa.
Di Eropa , terutama dalam abad ke-19, masih hidup dikalangan
sarjana dan ahli hukum Katolik dan Protestan. Ajaran yang menyatakan
bahwa baik “Kekuasaan pemerintah negara” maupun “kekuatan hukum
yang berlaku dalam negara” berasal dari Tuhan. Pembela ajaran utama
ajaran ini adalah profesor Friedrih Julius Stahl (1806-1861). Dia
menganggap prinsip-prinsip dan ide-ide Hukum itu sebagai unsur-unsur
Orde Dunia Tuhan (“die principien und Ideel sind iin gottes weltordnung”
katanya dalam tulisannya mengenai Philosophic des Rechts, Tubungen,
1878. Namun, ajaran Hukum Illahi ini pada waktu itu tidak diakui lagi
secara resmi oleh negara Eropa mana pun walau di kalangan rakyatnya
sendiri masih tetap hidup.
Di negara-negara Islam, filsafat telah mulai menjembatani corak
filsafat Barat dan Timur. Banyak tokoh-tokoh filsafat islam yang
pemikiran-pemikirannya menjadi acuan para ilmuan Barat. Berikut ini
filosof-filosof Islam dan pemikiranyal:110
Ibnu Sina
Narna lengkap lbnu Sina adalah Abu Ali hasyenbin Abdullah bin
Hasan bin Ali bin Sina (980 1037 M). Orang Barat menyebutnya dengan
Avicenna, berasal dari bahasa Latin, namun tidak sedikit pula yang
menduga baliwa lbnu Sina berasal dari Cina, karena kata Sina
bukan nama neneknyu tetapi kata yang bcrasal dari bahasa Arab “AS
Shina” yang berarti Cina.
lbnu Sina lahir di Desa Afsyanah Bukhara pada tahun 910 masa khalifah
Abbasiyah. la ahli dalam bidang kedokteran, astronomi dan fillsafat
dalam usia 6 tahun telah khatam Al qur’an dan mendapat gelar
Pangeran Para dokter dan Asy Syaikh ar Rais (Guru para Raja) telah
menulis sekitar 200 buku, yang terkenal di antaranya As Syifa,
(Penyembuhan) dan al Qanun fi at Tibb (peraturan-peraturan dalam
kedokteran) yang telah mejadi literature penitng selama lima abad di
fakultas-fakultas kedokteran Eropa. Buku astronominya berjudul Al
Magest (buku tentang Astronomi).
Al-Ghazali
Nama Lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al Ghazali 1059 -1111
M), lahit di Desa Ghazaleh Khurasan Iran. Terkadang diucapkan
dedngan Al Gazali yang berarti pemintal benang, sebab ayah seorang
pemintal benang wool. Ia bergelar Hujjatul Islam (Pembela Islam) dan
Zainuddin (Hiasan Agama), tokoh terbesar dalam sejarah reaksi Islam
Neo Platonisme, seorang ahli hukum, teolog, filosof dan sufi. Ia
seorang ulama besar dalalm Mazhaab Syafi’I dan peneliti ulung di
zamannya.
Pemikiran Al-Ghazali
Banyak penulis modern atau Barat yang mengadopsi pikiran-
pikiran AL Ghazali, misalnya Raymond Martin, Pascal dan Asin Palacios
yang menyatakan, bahwa pengetahuan-pengatahuan agama tidak bias
diperoleh dari akal pikiran, tetapi harus berdasarkan hati dan rasa.
Polemiknya, dengan Neo Platonisme Arab lebih gencar daripada
dengan Isma’iliyah, reaksinya menekan dan instingtif terhadap sionalitas
pada umumnya dan filsafat yunani khususnya, seperti pada Farabi dan
Ibnu Sina menganut pemahaman filsafat Aristoteles.
Ibunu Rusdy
Nama lengkapnya Abdul Walid Muhammad bin Ahmadi bin Rusdy,
Lahir di Cordova (Spanyol) atauu. Di Barat dikenal dengan Averros,
ayahnya seorang hakim dan neneknya kepala hakim di Cordova. Ia
berguru kepada Ibu Thufail dan ahli dalalm bidang filsafat, agama dan
kedokteran.
Pada masa Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur, ia mendapat
pendudukan yang baik sehingga ia menjadi raja semua pikiran, tidak
ada pendapat kecuali kata-katanya. Seperti Farabi, ia mengemukakan
prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Karena tinggi
penghargaannya kepada Aristoteles, ia mengulas dan meringkas filsafat
Aristoteles, sampai-sampaia digelari “Pengurus Aristoteles”
(Commentator). Di antara bukunya yang masih kita pakai sampai
sekarang adalah Bidayatul Mujtahid.
2.4.2. Teori Kontrak Sosial
Teori yang sangat menarik dan berkembang di Eropa Barat Abad
ke – 17 adalah teori-teori yang menyatakan bahwa : kekuatan hukum
yang mengikat” itu berasal dari “kontrak” antara Rakyat dan Negara
yang terjadi secara sadar (dengan menyatakan secara tegas setuju)
atau tidak sadar (karena diam tidak protes apa-apa).
Jadi, menurut teori ini “Hukum itu mempunyai kekuatan dan
mengikat “bukan karena kehendak Tuhan, melainkan karena Rakyat
yang menghendaki demikian (“the will of the people, of the citizen?”)
oleh karena itu, suatu undang-undang hanya
Sah jika disetujui bersama oleh Pemerintah (yang mewakili
Negara) dan Dewan Perwakilan Rakyat (yang mewakili Rakyat), dan
pandangan ini berlaku sampai sekarang di negara demokratis.
Kontrak-kontrak tersebut dibedakan antara “kontrak pernyataan
ketaatan" (yang dianut oleh Thomas Hobbes dalam tulisannya ") Le
viathan") dan “kontrak assosiasi atau perhimpunan” (yang diajar oleh
John Locke).
Ajaran “Kontrak Ketaatan” menyatakan bahwa Rakyat secara sadar
menyerahkan kekuasaannya dan kehendaknya untuk suatu urusan
tertentu kepada Undang-undang untuk mengatumya.
Dalam “Kontrak Perhimpunan” Rakyat tetap merupakan “pembela
tugas dan wewenang” kepada pemerintah, dan oleh karena itu berhasil
menarik kembali persetujuannya atas Undang-undang jikalau sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan atau keadaan.
Ajaran yang lain lagi adalah ajaran Rousseau yang menyatakan
bahwa baik “Negara” maupun “wewenangnya untuk mencipta Hukum"
merupakan Perjanjian antarpara Warga Rakyat yang bersangkutan. Hal-
hal yang esensial dari ajaran kontrak sosial adalah sebagai beriku :
Dari suatu negara alami, di mana tidak ada hukum tidak ada
ketertiban, tidak ada pemerintahan keadaan negara seperti ini oleh
beberapa penulis dipandang sebagai surga, sementara yang lain
menganggapnya sebagai kekacauan kemudian setelah beberapa waktu
menjadi suatu masyarakat, melalui suatu kontrak di mana orang-orang
saling menghonnati satu sama lain dan hidup damai.111
Teori Kontrak Sosial pada Waktu ini sudah tidak ada penganutnya.
2.4.3. Teori Kedaulatan Negara
Dalam abad ke-19 lahir ajaran yang menyatakim bahwa hukum itu
berlaku dan mengikat "karena kehendak Negara" (the will of the State)
yang berdaulat.
Pendiri ajaran ini adalah ilmuwan bangsa Swiss Ludwing Von
Haller yang diutamakan dalam karyanya yang terdiri dari enam jilid yang
berjudul Restauration der Staatswisschenschafl ect. (1816-1825).
Menurut ajaran ini “kekuatan hukum” berasal dari kehendak negara
dan adanya negara adalah karena Hukum Alam (Naturrecht) yang
menguasai dan mengatur seluruh alam jagad’ dan hukum ini uga
menyatakan bahwa di dalam alam (nature) yang berkuasa, jadi yang
menemukan hukum, adalah yang lebih kuat atau yang Paling kuat.
Karena adanya.Hukum “yang paling kuat berkuasa” inilah yang
menyebabkan kelahiran Negara.
Dengan sendirinya ajaran Kedaulatan Negara ini menganggap
tidak perlu untuk mempersoalkan asal-usul atau sebab musabab
kekuasaan dan waibawa pemerintah negara. Para penganut Teori ini
tidak perlu mencari justitikasi kekuasaan negara, oleh karena kehendak
Alam tidak perlu pengesahan dari siapa pun.
2.4.4. Teori “reine Rechtslehre" Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam ajarannya tentang “reine Rechtslehre” (Ajaran
Hukum Murni) ingin membersihkan Ajaran Hukum (Rechtslehre) dari
semna unsur yang tldak bersifat yuridik, misalnya yang berasal dari
politik, dari moral, dan dari sosiologis, juga mengajarkan bahwa hukum
itu adalah “kehendak negara”(wille des Staates).
Akan tetapi pandangan Hans Kelsen berbeda dari pandangan Teori
Kedaulatan Negara ajaran von Haller. Menurut von Haller “negara”
masuk dalam dunia “das sein” sesuai dengan kehendak hukum alam.
Jadi, keberadaannya bersifat kausal atau konsekuensi hukum alam
Sedangkan menurut reine Rechtslehre Hans Kelsen “negara” masuk
dalam dunia “das Sollen. Jadi, keberadaan negara di dunia tidak kausal
atau tidak merupakan suatu konsekuensi hukum alam, melainkan
keberadaan negara itu berfungsi sebagai norma hukum. Dengan
perkataun lain, negara itu termasuk dalam orde hukum, atau dengan
rumusan lain, dari segi yuridik “negara dan hukum itu adalah identik”.
Menurut Hans Kelsen, negara itu merupakan personifikasi daripada
hukum.
Pola pikir Hans Kelsen sangat canggih, sehingga sukar untuk
dirumuskan dengan kata-kata yang sederhana. Mengenai pertanyaan
tentang landasan kekuatan hukum perundang-undangan, Kelsen
menjawab bahwa kekuatan norma hukum perundang-undangun itu ialah
karena kekuatan negara sebagai norma hukum yang lebih tinggi “Apa
ada hukum yang lebih tinggi daripada hukum konstitusi negara?” tanya
Hans Kelsen
2.4.5. Teori Kedaulatan Hukum
Sebagai reaksi terhadap ajaran atau teori Kedaulatan negara
muncul teori Kedaulatan Hukum yang dikemukakan oleh profesor Hans
Krabbe (1856-1936) guru besar di Universitas Groingen.
Menurut Krabbe kelemahan teori Kedaulatan negara adalah bahwa
negara dikonstruksi sebagai “badan hukum” belaka. Karena badan
hukum bukan manusia, maka kehendaknya dijadikan oleh “pejabat-
pejabat negara atau pejabat-pejabat pemerintah” demikian maka pada
hakekatnya di dalam praktik “kekuatan yang dicipta” tergantung dari
kehendak orang-orang tertentu saja. Teori ini dalam Zaman demokrasi
tidak dapat diterima kata Krabbe. yang tepat menumt Krabbe adalah jika
hukum yang diciptakan undang-undang lahir dari Parlemen (dewan
perwakilan rakyat) yang selalu berubah-ubah komposisi setelah
pemilihan umum yung kesesudahnya selalu mengikuti gelombang
perubahan dalam “kesadaran hukum rakyat” dari masa ke masa.
Jadi, menurut Krabbe, undang-undang tidak mengikat karena
pemerintah negara yang menghendaki demikian, karena undang-undang
tersebut merupakan rumusan dadri pada kesadaran hukum rakyat
mengenai persoalan yang diatur dan diterapkan oleh undang-undang.
Dengan kata lain, undang-undang mempunyai kekuatan dan mengikat
karena “nilai instrinsiknya”, bukan karena kekuatan hukum yang
dikandung oleh undang-undang tersebut.
Menurut ajaran teori Kedaulatan Hukum ini bukan pribadi hukum
yang menentukan, melainkan jiwanya atau rohnya. Jadi, bukan karena
faktor kesahan penerbit undang-undang (yakni pemerintah negara yang
sah) yang menentukan, melainkan makna atau semangat hukum yang
diciptakannya, yang juga harus ditaati oleh pemerintah negara itu
sendiri.
Jadi, undang-undang berlaku dan mempunyai kekuatan karena
hukum yang dikandungnya. Lalu dari mana datangnya hukum tersebut ?
Krabbe berpendapat bahwa “hukum” yang terkandung dalam
undang-undang tersebut berasal dari “rasa hukum” (rechtsgevoel)
rakyat yang berdasar atas kesamaan rasa hukum individu-individu.
Bagaimana masyarakat dapat mencapai kesesuain padahal
keyakinan hukum orang-orang itu berbeda. Menurut Krabbe, dapat
menerimanya, syukur bilamana suara mayoritas itu dua per tiga (2/3)
ajaran Krabbe ini kedengarannya simple akan tetapi dalam praktik sukar
dilaksanakan, lebih-lebih dalam negara dengan rakyat yang berbeda-
beda tingkat dan jenis pendidikannya.
Demikianlah secara singkat teori-teori tentang kekuatan hukum,
namun sebenarnya masih banyak teori-teori lain. Apa yang dikemukakan
di atas hanyalah yang penting atau terkenal luas.
D. Soal
1. Jelaskan Aliran-aliran Ilmu Hukum
2. Jelaskan Teori-teori Kekuatan Hukum
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ictiar Baru
van Hoeve, 1997
Abdoel Djamal, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada,3003
Prajudi Atmosudirjo. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2004. Soetjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
BAB XV
POLITIK PEMBANGAUNAN HUKUM NASIONAL
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami Identitas Bangsa Indonesia
2. Mahasiswa mampu memahami Upaya Pembanguan Hukum
Nasional
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Identitas Bangsa Indonesia
2. Mahasiswa dapat menjelaskan dan memberikan contoh Upaya
Pembanguan Hukum Nasional
C. Uraian Materi
3. Identitas Bangsa Indonesia
4. Upaya Pembanguan Hukum Nasional
Indonesia sebagai Negara hukum dituangkan dalam pasal 1 Ayat (3) UUD
1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Hukum, demikian juga disebabkan dalam penjelasan UUD 1945
sebelum mengalami perubahan yang berbunyi Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan
belaka (Machrsstaat).33
1. Identitas Bangsa Indonesia
Jati diri Negara Indonesia sendiri dapat diidentifikasi dalam 6 point
pokok identitas negara Indonesia yang di bedakan dalam identitas umum
dalam kasus :
Identitas Umum
a. Indonesia sebagai negara Republik.
b. Indonesia sebagai negara Demokrat.
c. Indonesia sebagai negara Kesatuan.
33
Muchsin.Ibid hal 87
d. Indonesia sebagai negara Kesejahteraan.
e. Indonesia sebagai negara Hukum.
Identitas Khusus
f. Indonesia sebagai negara pancasila.
Indonesia sebagai negara hukum dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (3)
UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara Hukum, demikian juga disebabkan dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum mengalami perubahan
yang berbunyi Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(Rechtstaat) tidak berdasarkan kepada kekuasaan belaka (Mochtsstaat).
Sebagaimana tercantum dalam GBHN tahun 1999-2004, bahwa
pembangunan hukum nasional haruslah bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu, arah kebijakan hukum nasional menurut
GBHN adalah dengan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh
dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan
hukum adat serta memperbarui perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender
dan ketidaksesuaian dengan tuntutan reformasi melalui program legislatif.
Namun demikian pembangunan hukum nasional tidak mudah.
Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama masalah penegakan
hukum.
2. Upaya Pembangunan Hukum Nasional
Dalam politik pembangunan hukum nasional peran dari parlemen
tidak bisa dinafikan, menurut Nicolas dan Margaret Bate bahwa
perundang-undangan adalah merupakan sumber utama dari hukum,
demikian juga dalam perubahan hukum. Perundang-undangan ditentukan
oleh aktivitas para pembuat undang-undang yang ada di parlemen.
Perubahan perundang-undangan dapat dilakukan dengan.
a. Membuat sebuah undang-undang baru.
b. Melakukan amandemen terhadap perundang-undangan yang
sudah ada.
c. Mencabut perundang-undangan yang telah ada.
Bahan baku hukum yang dijadikan sebagai bahan pembangunan
hukum hendaklah digarap dari sumber Indonesia sendiri. Demikian
dikemukakan oleh Ali Said, mantan menteri Kehakiman RI. Bahan baku itu
baik berupa hukum adat, hukum perdata ex Barat, hukum alam dan lain-
lainnya. Bahan baku ini hendaklah diolah sedemikian rupa sehingga
menjadi norma hukum nasional. Ada dua syarat untuk berhasilnya
tindakan tersebut : pertama bahwa norma tersebut harus dapat berlaku
untuk seluruh golongan rakyat dan kedua norma hukum nasional yang
diciptakan itu harus sesuai dengan kebutuhan masa ini.
Tentang peluang hukum islam dalam rangka penyusunan hukum
nasional ini, Teuku Mohammad Radhie dalam tulisannya
mengemukakan, bahwa hukum Islam jelas mempunyai kehidupan sebagai
sumber baku bagi penyusunan hukum nasional. Dikemukakan pula bahwa
mengingat yang sebagian terbesar rakyat Indonesia menganut agama
Islam, memang terdapat kemungkinan bahwa banyak nilai serta norma-
norma hukum yang berasal dari sumber-sumber hukum Islam dapat
dipergunakan sebagai bahan baku hukum nasional, walaupun secara
tidak otomatis. Norma hukum Islam baru dapat diangkat menjadi norma
hukum nasional, apabila ia memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya
yang terpenting adalah bahwa ia sesuai dengan kebutuhan seluruh
lapisan rakyat dan secara objektik dapat diterima. Dikemukakan pula
bahwa sumber bahan baku untuk meramu hukum nasional dapat berasal
dari hukum Islam, hukum adat, hukum barat, bahkan dari hukum-hukum
negara lain, sepanjang bahan baku tersebut sesuai dengan kebutuhan
masyarakat masa kini dan tidak bertentangan dengan pandangan-
pandangan hidup bangsa, Pancasila.34
D. Soal
1. Jelaskan Identitas Bangsa Indonesia?
2. Jelaskan dan berikan contoh Upaya Pembanguan Hukum
Nasional?
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirjo Prajudi. Teori HukumJakarta Kawan Pustaka, 2002 DahlanAbdul Azis dkk.Enseklopedia Huhum Islam. Jakarata PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 1997
Djamal Abdoel, Pengantasr Hukum Indonesia, Rajawali, 1984
Djamali Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2003
Dirdjosisworo Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Hadisoeprapto Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta,
Liberty, 1988
Muchsin, Ikhtisar ilmu hukum, PT. Karya Intan Maksima, 2006
Machmudin Dudu Daswara Machmudin. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Refika Aditama, cet ke-2, 2003
Rahardjo Soetjipto, Ilmu Hukum,bandung, Alumni 1986
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,2004.
34Sajuti Thalib. Politik Hukum Baru, Bina Cipta, Bandung,1987,hal 74-77
MODUL
ILMU HUKUM
MODUL DI AJUKAN DALAM RANGKA HIBAH KOMPETISI BAHAN AJAR
SANAWIAH, S.Ag.,MH
Program StudiAl Ahwal Al Syakhsyiyah
FakultasAgama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
TAHUN 2014