-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 1
PENDAHULUAN BAB 1
Pajak adalah komponen penting bagi pemerintah dalam menjalankan
kegiatan kenegaraan di Indonesia, karena pembiayaan pengeluaran
rutin serta pembangunan pemerintah sebagian besar berasal dari
sektor pajak. Sebagaimana diketahui bahwa penerimaan pajak memegang
peranan vital sejak penerimaan dari sektor migas mengalami
penurunan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
selalu ingin menunaikan tugas dalam hal menghimpun penerimaan pajak
sehingga kelangsungan hidup bangsa ini terus terjaga. Untuk itu DJP
berusaha agar pemungutan pajak di Indonesia tepat sasaran dengan
selalu berusaha meningkatkan pelayanan dengan cara memperbarui
aturan-aturan pemungutan pajak yang memenuhi syarat-syarat
keadilan, yuridis, ekonomi, finansial dan sederhana.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah dengan menggunakan
self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan penuh
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri
pajak terutangnya. Didalam sistem ini wewenang besarnya pajak
terutang ada pada Wajib Pajak sendiri dan secara aktif melakukan
kewajiban perpajakannya sedangkan DJP tidak ikut menentukan
besarnya jumlah pajak terutang tetapi berperan mengawasi dan
mengoreksi penghitungan yang dilaporkan Wajib Pajak. Selain itu
fungsi pelayanan dan pembinaan juga tetap dilakukan oleh DJP
berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.
Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak, mempunyai peranan penting
untuk menjadi sarana pelaporan Wajib Pajak baik dalam penghitungan
dan/atau pembayaran yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kepatuhan Wajib Pajak dapat diuji melalui SPT yang dilaporkannya.
Untuk itu Wajib Pajak dalam pelaporan SPTnya diharuskan mengisinya
dengan benar, jelas dan lengkap.
Untuk menghitung pajak secara benar tentunya diperlukan tata
cara yang benar seperti telah ditetapkan oleh Undang-undang
Perpajakan. Wajib Pajak dalam mengisi SPT harus berdasarkan
peraturan perpajakan yang berlaku. Sedangkan menurut praktek
akuntansi secara umum Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan. Dengan demikian pembukuan
yang menjadi dasar pengisian SPT Wajib Pajak sudah harus
disesuaikan dengan peraturan perpajakan melalui rekonsiliasi fiskal
yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Begitu pentingnya peranan pembukuan dalam sistem pemungutan
pajak, baik bagi Wajib Pajak sebagai sarana pelaporan dan DJP untuk
pengawasan, maka ketetentuan perpajakan selalu mensyaratkan
diselenggarakannya pembukuan oleh Wajib Pajak sehingga melalui
pembukuan yang baik kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan
lebih akurat, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh
pihak yang berkepentingan.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 2
KONSEP DASAR BAB 2
AKUNTANSI PAJAK DAN LAPORAN
KEUANGAN FISKAL
A. Pengertian dan Fungsi Pajak Menurut Undang-Undang No.16 Tahun
2009 tentang Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan
pada pasal 1 angka (1) sebagai berikut:
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Adapun mengenai fungsi pajak, Ilyas dan Burton (2007, 10)
membagi menjadi: 1. Fungsi budgeter; yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-
banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada
waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara yaitu
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
2. Fungsi regulerend; merupakan suatu fungsi mengatur, yaitu
bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang
keuangan.
3. Fungsi Demokrasi; merupakan salah satu fungsi penjelmaan atau
wujud gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan
demi kemaslahatan manusia.
4. Fungsi redistribusi; merupakan fungsi yang lebih menekankan
pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.
B. Pengertian Akuntansi Pajak dan Fungsi/Tujuan Akuntansi Pajak
1. Pengertian Akuntansi pajak
Akuntansi Pajak: merupakan metode dan praktik akuntansi khusus
untuk memenuhi ketentuan perpajakan, termasuk penyusunan laporan
keuangan fiskal dan pengisian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) serta
perencanaan dalam rangka mengefisienkan beban pajak (Tax
Planning).
2. Fungsi Akuntansi Pajak Akuntansi perpajakan, secara prinsipil
terpengaruh oleh fungsi perpajakan karena merupakan implementasi
ketentuan perpajakan. Selanjutnya ketentuan itu merupakan
perwujudan kebijakan yang warnanya dipengaruhi oleh fungsi pajak.
Oleh karena fungsi utama pajak adalah penerimaan negara maka fungsi
akuntansi pajak adalah melindungi hak penerimaan tersebut (public
fiscal) dan apabila terdapat keraguan dalam pengakuan dan
pengukuran subyek atau obyek pajak terdapat kecenderungan bahwa
perpajakan lebih mengedepankan kepastian dan mengesampingkan
estimasi.
C. Kewajiban Penyelengaraan Pembukuan Kewajiban pembukuan oleh
Wajib Pajak diatur didalam Undang-undang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan (UU KUP). Definisi pembukuan menurut Pasal 1
angka 29 UU KUP adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi aset, kewajiban, ekuitas, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 3
berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut. Laporan keuangan disajikan untuk pengisian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan di akhir tahun. Tidak hanya besarnya Pajak
Penghasilan yang dapat dihitung, pajak-pajak lainnya juga harus
dapat dihitung dari pembukuan tersebut, seperti Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung.
Pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai
impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah
pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat
dikreditkan. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
adalah semua Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang
mempunyai kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang mempunyai
peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun Rp.4.800.000.000 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) atau lebih. Sedangkan yang kurang dari
itu dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan
pencatatan dan boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan
pembukuan menurut UU KUP disyaratkan sebagai berikut: a. Pembukuan
atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
menunjukkan kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia
dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas, tahun buku, Metode penilaian
persediaan, Metode penyusutan dan amortisasi.
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah
mendapat izin Menteri Keuangan. Prinsip taat asas adalah prinsip
yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun
sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Buku,
catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program
aplikasi online dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur
Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan
pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat
segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas
daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan
secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan
faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 4
D. Tujuan Pelaporan Keuangan Perpajakan 1. Memberikan
informasi-informasi yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Dasar Pengenaan Pajak (PPN). 2.
Membantu wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.
3. Mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan wajib pajak dalam
menjalankan sistem
self assessment, terutama apabila sedang terjadi pemeriksaan
atau penyidikan pajak.
E. Ciri Kualitatif Pelaporan Keuangan Perpajakan 1. Dapat
dipahami oleh petugas/pemeriksa pajak. 2. Sensitivitas informasi,
bukan materialitas. 3. Laporan Keuangan Fiskal disajikan secara
jujur, dengan itikad baik, substansi
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, substansi beban
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses)
adalah beban untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan obyek pajak yang dihitung dari penghasilan neto.
4. Dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya, terutama untuk
kompensasi kerugian, utang-piutang antar periode, dan perbandingan
pengakuan laba atau rugi yang menuntut konsistensi kebijakan
akuntansi pajak. Perubahan kebijakan akuntansi pajak dimungkinkan
dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak dengan mengajukan
permohonan dilengkapi alasan.
5. Laporan keuangan fiskal harus tepat waktu, paling lambat
akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
6. Akuntansi Pajak harus independen terhadap akuntansi
komersial. 7. Apabila akuntansi komersial tidak mampu menerbitkan
laporan keuangan tepat
waktu, akuntansi pajak harus mampu menerbitkan laporan keuangan
fiskal sendiri. Koreksi fiskal merupakan salah satu cara praktis
dalam penyusunan laporan keuangan fiskal.
F. Perbedaan Orientasi Pelaporan Dalam sistem perpajakan, negara
mempunyai instrumen untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu menutup
kebutuhan finansial dan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat. Secara budgeter pajak merupakan alat untuk mentransfer
sumber daya dari sektor privat (masyarakat) ke sektor publik
(negara). Oleh karena itu, terdapat perbedaan unsur yang ada dalam
laporan keuangan antara sektor privat dengan laporan keuangan yang
dilampirkan pada SPT (sektor publik). Unsur-unsur itu meliputi: 1.
Laba tahun berjalan (untuk penghitungan pajak penghasilan); 2.
Distribusi laba (untuk penghitungan potongan pajak atas dividen);
3. Peredaran usaha (untuk PPN dan PPn BM); 4. Pengeluaran untuk
karyawan dan pembelian jasa yang lain (untuk penghitungan
potongan pajak penghasilan/withholding tax).
Dalam penyusunan laporan keuangan komersial dan perpajakan
terdapat beberapa ketidaksamaan orientasi dan sifat dari pelaporan
itu yang tidak mudah dihindarkan, terutama menyangkut tingkat
toleransi fleksibilitas pemilihan standar. Pelaporan keuangan
komersial disusun berdasarkan konsep "kewajaran penyajian" dengan
implikasi manajemen dapat mengambil suatu pertimbangan (judgement)
sepanjang batasan toleransi prinsip akuntansi.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 5
Walaupun mengikuti prinsip akuntansi, assessment pajak
bergantung pada kebijakan dan putusan otoritas pajak yang dapat
mengesampingkan praktik dan pemikiran profesi. Selebihnya,
ketentuan pajak yang terutama didesain untuk kebijakan ekonomi
dapat berakibat pelaporan yang menyimpang dari konsep "kewajaran
penyajian" yang dianut oleh laporan komersial.
G. Hubungan Akuntansi Pajak dengan Akuntansi Komersial Akuntansi
keuangan merupakan aktivitas jasa yang menyediakan informasi
keuangan untuk pengambilan keputusan. Informasi yang disediakan
oleh suatu proses akuntansi diperlukan oleh setiap satuan usaha
untuk mengetahui posisi dan hasil usahanya. Jadi tujuan akuntansi
komersial antara lain untuk menyediakan laporan keuangan kepada
manajemen dan pihak-pihak eksternal yang memerlukamya. Akuntansi
pajak merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang menekankan pada
penyusunan surat pemberitahuan pajak (SPT) dan pertimbangan
konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan.
Dengan kata lain akuntansi pajak dapat didefinisikan sebagai
berikut: Akuntansi pajak secara khusus menyajikan laporan keuangan
dan informasi lain
kepada administrasi pajak. Penyajian itu sebagai pemenuhan
kewajiban perpajakan (tax compliance). Walaupun secara teknis
proses penyajian laporan tidak diatur secara rinci dalam ketentuan
perpajakan, pengukuran dan penilaian atas suatu fakta sangat
dipengaruhi oleh ketentuan perpajakan.
Ketentuan perpajakan merupakan produk lembaga legislatif yang
mengikat semua anggota masyarakat (termasuk profesi akuntan).
Dengan demikian, apabila terjadi kekurangsesuaian antara ketentuan
perpajakan dan praktek akuntansi atau standar akuntansi yang
berlaku umum, maka Undang-undang Perpajakan mempunyai prioritas
untuk dipatuhi di atas praktek dan kelaziman akuntansi.
Secara umum, akuntansi komersial disusun dan disajikan
berdasarkan Standar yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi
Keuangan (SAK). Namun, untuk kepentingan perpajakan, akuntansi
komersial harus disesuaikan dengan aturan perpajakan yang berlaku
di Indonesia. Dengan demikian, apabila terjadi perbedaan antara
ketentuan akuntansi dengan ketentuan pajak, maka untuk keperluan
perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak, Undang-Undang dan
ketentuan Perpajakan memiliki prioritas untuk dipatuhi.
H. Laporan Keuangan Fiskal Laporan Keuangan Fiskal disusun
terpisah di luar proses akuntansi/pembukuan, sering disebut extra
comptable. Laporan Keuangan Fiskal disusun melalui proses
rekonsiliasi antara akuntansi komersial dengan akuntansi
fiskal/pajak, sehingga laporan yang dihasilkan dari extra comptable
tersebut fungsinya hanya sebagai tambahan laporan keuangan
komersial. Laporan Keuangan Fiskal tersebut hanya berfungsi untuk
membuat/mengisi SPT PPh Badan. Umumnya di Indonesia, menyusun
Laporan Keuangan Fiskal (khususnya Laporan Laba-Rugi Fiskal) dengan
melakukan Rekonsiliasi Fiskal, untuk menghitung Laba Fiskal atau
Penghasilan Kena Pajak.
Marisi P. Purba (2009) dalam bukunya Akuntansi Pajak
Penghasilan, menyatakan bahwa SPT PPh Badan dan Laporan Keuangan
Komersial terdapat perbedaan dalam berbagai aspek, yaitu sebagai
berikut:
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 6
NO. ASPEK SPT PPh BADAN LAPORAN KEUANGAN
1. Pengguna Fiskus Berbagai pengguna seperti: pemegang saham,
kreditor, karyawan, fiskus, manajemen, regulator dan
masyarakat.
2. Sifat Informasi Rahasia Dapat digunakan oleh umum.
3. Pedoman Penyusunan
Undang-undang Perpajakan dan peraturan pelaksanaan lainnya
Prinsip akuntansi yang berlaku umum terdiri dari Kerangka dasar
penyusunan Laporan keuangan, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK), Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), buku teks,
simpulan riset dan pendapat ahli.
4. Mata Uang Pelaporan
SPT PPh Badan wajib disampaikan dalam mata uang Rupiah atau mata
uang lain sepanjang memperoleh izin dari otoritas perpajakan
terkait.
Laporan keuangan dapat disusun dengan mata uang lain selain Rp.
Jika disajikan dalam mata uang selain mata uang fungsionalnya,
laporan keuangan tersebut harus terlebih dahulu diukur kembali
(remeasured).
5. Dasar Pencatatan Transaksi
Transaksi dicatat dan dilaporkan apabila memenuhi syarat dan
ketentuan perpajakan, yaitu dengan mengutamakan hakekat formal atau
hukum dari pada substansinya.
Transkasi dicatat dengan azas substance over form yaitu
pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan mengutamakan substansi
ekonomi dari pada hakekat formal atau hukum.
6. Batas Waktu Penyampaian
SPT PPh Badan disampaikan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan
setelah akhir tahun pajak dan dapat melakukan perpanjangan paling
lama dua bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Dirjen. Pajak sebagaimana diatur dalam UU No.16
tahun 2009 tentang "Perubahan Ke-empat atas UU No 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan" Pasal 3 ayat
(4).
Berdasarkan UU No.40 tahun 2007 tentang, "Perseroan Terbatas"
Pasal 66 ayat (1), Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS
setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling
lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 7
UTANG PAJAK DAN PIUTANG PAJAK BAB 3
A. Timbulnya Utang Pajak dan Piutang Pajak Wajib Pajak
(perusahaan) dalam memenuhi kewajiban perpajakan dapat sebagai
pembayar pajak, sebagai pemotong dan pemungut pajak, dan sebagai
pihak yang dipotong dan dipungut pajaknya. Oleh karena itu
pencatatan atas transaksi-transaksi tersebut, adalah sebagai
berikut:
1. Pemotongan/pemungutan pajak Bersifat sebagai hutang pajak
2. Dipotong/dipungut pajak oleh Bersifat sebagai piutang
pajak
3. Pembayaran pajak Bersifat pelunasan pajak
1. Utang Pajak
Pajak yang bersifat sebagai utang timbul ketika badan diharuskan
untuk memotong/memungut pajak, yaitu: PPN dan PPn BM, yaitu: pajak
yang dipungut dari pembeli (PPN Keluaran); PPh Pasal 21, yaitu:
pajak yang dipotong dari penghasilan Si penerima
(individu) penghasilan; PPh Pasal 22, yaitu: pajak yang dipotong
dari pembelian barang dalam hal
ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang;
PPh Pasal 23, yaitu: pajak yang dipotong dari pembayaran jasa,
bunga, dividen,
royalti dan sewa kepada wajib pajak dalam negeri; PPh Pasal 26,
yaitu: pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima oleh
wajib pajak luar negeri; PPh tertentu yang bersifat final (PPh
Pasal 4 ayat (2)), yaitu: pajak yang
dipotong dari wajib pajak lain yang bersifat final, misal: sewa
tanah dan/atau bangunan.
2. Piutang Pajak (Uang Muka Pajak)
Pajak yang bersifat kredit pajak adalah pajak yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain atau yang dibayar sendiri oleh
badan, yang dapat diperhitungkan dengan pihak yang terutang. Pajak
yang dipungut oleh pihak lain biasanya dibuktikan dengan bukti
pemotongan untuk PPh dan Faktur Pajak untuk PPN. Sebenarnya
pembayaran atau pelunasan pajak ini merupakan pembayaran pajak
dibayar dimuka (prepaid tax), yang pada akhirnya akan
diperhitungkan dengan pajak terutang. Pajak-pajak yang bersifat
kredit pajak adalah: PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh
Pasal 25, fiskal luar negeri, dan PPN Masukan.
3. Pelunasan Pajak
Pajak ini bersifat sebagai pelunasan pajak dalam tahun berjalan.
Pelunasannya dapat melalui penyetoran sendiri atau melalui
pemotongan oleh pihak lain, yaitu: PPh Pasal 4 ayat (2) yang
bersifat final; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Meterai (BM);
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB); Seluruh
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 8
B. Akuntansi Utang Pajak dan Piutang Pajak 1. PPh Pasal 21
a. PPh Pasal 21 ditanggung sendiri oleh penerima penghasilan.
Misal: pada tanggal 14 Februari 2014, perusahaan melakukan
pembayaran gaji karyawannya, dengan data sebagai berikut:
Total gaji Rp. 500.000.000
Potongan:
PPh Pasal 21 Rp. 25.000.000
Premi Jamsostek Rp. 10.000.000
Iuran pensiun Rp. 15.000.000
Dibayar Rp. 450.000.000
1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Gaji 500.000.000
Utang PPh Pasal 21 25.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 450.000.000
2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:
Perkiraaan Debet Kredit
Utang PPh Pasal 21 25.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 50.000.000
b. PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan/pemberi
kerja.
Contoh yang sama dengan point a, namun PPh Pasal 21 ditanggung
oleh pemberi kerja. 1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Gaji 500.000.000
Beban PPh 25.000.000
Utang PPh Pasal 21 25.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 525.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 9
2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:
Perkiraaan Debet Kredit
Utang PPh Pasal 21 25.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 50.000.000
c. PPh Pasal 21 ditunjang oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja
(perhitungan tidak di gross-up)
Contoh yang sama dengan point a, namun pemberi kerja misalkan
memberikan tunjangan pajak sejumlah Rp.10.000.000, sehingga
menjadikan (misal) PPh Pasal 21 terhutang menjadi sebesar
Rp.35.000.000 (bukan perhitungan yang sebenarnya) 1) Ayat jurnal
pada saat pembayaran gaji:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Gaji 500.000.000
Beban PPh 10.000.000
Utang PPh Pasal 21 35.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 450.000.000
2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:
Perkiraaan Debet Kredit
Utang PPh Pasal 21 35.000.000
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 60.000.000
d. PPh Pasal 21 ditunjang oleh pemberi penghasilan/pemberi
kerja
(perhitungan di gross-up).
Contoh yang sama dengan point a, namun pemberi kerja memberikan
tunjangan pajak sebesar sama dengan PPh Pasal 21 terhutang yaitu
yang dihitung secara gross-up. Misalkan biaya gaji sebesar
Rp.500.000.000 tersebut sudah merupakan Penghasilan Kena Pajak,
maka tunjangan pajak yang dihitung secara gross-up (Misal Tunjangan
Pajak = X), adalah sbb:
X = (5% x 50.000.000) + (15% x 200.000.000) +(25% x 250.000.000)
+(30% x X)
X = 2.500.000 + 30.000.000 + 62.500.000 + 0,30 X
X - 0,30 X = 95.000.000
0,70 X = 95.000.000
X = 135.714.286 (Tunjangan Pajak)
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 10
TEST:
Penghasilan kena pajak (termasuk tunjangan pajak)=
Rp.500.000.000 + Rp.135.714.286 = Rp.635.714.286
PPh Pasal 21 terutang:
5% X Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% X Rp. 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% X Rp. 250.000.000 Rp. 62.500.000
30% X Rp. 135.714.286 Rp. 40.714.286
Jumlah PPh Pasal 21 terutang = Rp. 135.714.286
Jadi tunjangan pajak sama besarnya dengan PPh Pasal 21 terutang,
yaitu sebesar Rp.135.714.286.
1) Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Gaji 635.714.286
Utang PPh Pasal 21 135.714.286
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 475.000.000
2) Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya:
Perkiraaan Debet Kredit
Utang PPh Pasal 21 135.714.286
Utang Premi Jamsostek 10.000.000
Utang Iuran Pensiun 15.000.000
Kas/Bank 160.714.286 2. PPh pasal 22
Contoh 1 PT. Sampi Moglong menjual sapi sebanyak 100 ton kepada
Kementerian Keuangan dengan harga Rp.250.000.000 Atas pembayaran
yang dilakukan oleh Bendaharawan Kementerian Keuangan akan
dilakukan pemungutan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari Harga jual
(dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai). Jumlah pemungutan PPh
Pasal 22, adalah sebesar:
1,5% X Rp. 250.000.000 = Rp. 3.750.000
Bagi perusahaan (PT. Sampi Moglong) PPh pasal 22 yang dipungut
oleh Bendaharawan dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada akhir
tahun saat perusahaan menghitung pajak di akhir tahun.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 11
Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT Sampi Moglong adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 246.250.000
Uang Muka PPh Pasal 22 3.750.000
Penjualan 250.000.000
Contoh 2 PT. Luar Biasa mengimpor bahan baku dengan nilai impor
Rp.1.000.000.000. Bahan baku dibebaskan dari PPN, perusahaan
menggunakan API pada waktu impor. Atas impor bahan baku tersebut,
perusahaan dipungut PPh pasal 22 impor oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai sebesar 2,5% karena menggunakan Angka Pengenal Impor
(API). Jumlah pemungutan PPh Pasal 22 Impor, adalah sebesar:
2,5% X Rp. 1.000.000.000 = Rp. 25.000.000
Bagi perusahaan PPh pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada
akhir tahun saat perusahaan menghitung pajak diakhir tahun.
Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT Luar Biasa adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Bahan Baku 1.000.000.000
Uang Muka PPh Pasal 22 25.000.000
Kas/Bank 1.025.000.000
Contoh 3 PT. Beton Mania membeli semen sebagai bahan baku dengan
harga Rp.600.000.000 (harga belum termasuk PPN) dari PT. Semen
Gresik (GS). PT.Semen Gresik adalah perusahaan industri semen yang
ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22. Selain sebagai pemungut PPh
pasal 22, PT Semen Gresik adalah Pengusaha Kena Pajak sehingga atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan harus dipungut juga
Pajak Pertambahan Nilainya. Besar tarif pemungutan PPh pasal 22
atas industri baja adalah sebesar 0,3% x dasar pengenaan pajak.
Jumlah pemungutan adalah sebesar:
0,3% X Rp. 600.000.000 = Rp. 1.800.000
Bagi perusahaan PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT. Semen Gresik
dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada akhir tahun saat
perusahaan menghitung pajak diakhir tahun
Jurnal yang dilakukan oleh PT Beton Mania adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Bahan Baku 600.000.000
PPN Masukan 60.000.000
Uang Muka PPh Pasal 22 1.800.000
Kas/Bank 661.800.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 12
3. PPh Pasal 23 Contoh 1 Pada tanggal 27 Maret 2013 PT. Kroco
Kroco melakukan pembayaran atas jasa instalasi internet kepada PT.
Ketap Ketip (pengusaha kecil non PKP) sebesar Rp.20.000.000. Atas
penghasilan yang diterima oleh PT. Ketap Ketip merupakan objek
pemotongan PPh pasal 23 dengan tarif 2% x jumlah bruto (dasar
pengenaan pajak). Jumlah Pemotongan adalah sebesar:
2% X Rp. 20.000.000 = Rp. 400.000
Pemotongan tersebut dilakukan oleh PT. Kroco Kroco. Bagi PT.
Ketap Ketip, pemotongan tersebut dapat dijadikan sebagai kredit
pajak pada waktu melakukan pelaporan atas penghitungan PPh Badannya
diakhir tahun pajak.
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Kroco Kroco adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Install 20.000.000
Utang PPh Pasal 23 400.000
Kas/Bank 19.600.000
Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Kroco Kroco sesuai
dengan ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah
berakhirnya bulan takwim pajak.
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ketap Ketip adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 19.600.000
Uang Muka PPh Pasal 23 400.000
Penghasilan Jasa Install 20.000.000
Contoh 2 PT. Batik Batok mempunyai usaha sebagai pabrikan garmen
(Pengusaha Kena Pajak/PKP) melakukan pembayaran atas jasa maklon
kepada PT. Pola Bundar yang mempunyai usaha sebagai jasa maklon
(PKP) sebesar Rp.50.000.000 (belum termasuk PPN). PT. Batik Batok
pada saat melakukan pembayaran akan memotong PPh pasal 23 sebesar
2% x jumlah bruto (dasar pengenaan pajak), yaitu:
2% X Rp. 50.000.000 = Rp. 1.000.000
Bagi PT. Pola Bundar, pemotongan tersebut dapat dijadikan
sebagai kredit pajak pada waktu melakukan pelaporan atas
penghitungan PPh badannya diakhir tahun pajak.
Jurnal yang dilakukan oleh PT Batik Batok adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Jasa Maklon 50.000.000
Utang PPh Pasal 23 1.000.000
Kas/Bank 49.000.000
Pajak pertambahan nilai yang dibayar oleh PT. Batik Batok dapat
menjadi kredit pajak pada saat penghitungan PPN terutang pada akhir
bulan takwim.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 13
Jurnal yang dilakukan oleh PT Pola Bundar adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 49.000.000
Uang Muka PPh Pasal 23 1.000.000
Penghasilan Jasa Catering 50.000.000
Pajak pertambahan nilai yang dipungut oleh PT. Pola Bundar dapat
menjadi pajak keluaran pada saat penghitungan PPN terutang pada
akhir bulan takwim.
Contoh 3 PT. Lusa membayar bunga pinjaman kepada PT. Esok
sebesar Rp.2.000.000. Atas pembayaran bunga ini merupakan objek PPh
pasal 23, PT. Lusa akan memungut bunga sebesar 15% x penghasilan
bruto, yaitu:
15% X Rp. 2.000.000 = Rp. 300.000
Bagi PT. Esok, pemotongan tersebut dapat dijadikan sebagai
kredit pajak pada waktu melakukan pelaporan atas penghitungan PPh
badannya diakhir tahun pajak.
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Lusa adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Bunga 2.000.000
Utang PPh Pasal 23 300.000
Kas/Bank 1.700.000
Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Lusa sesuai dengan
ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan
takwim pajak. Jurnal yang dilakukan oleh PT Esok adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 1.700.000
Uang Muka PPh Pasal 23 300.000
Penghasilan Bunga 2.000.000
Contoh 4 PT. Bobby melakukan pembayaran sewa gedung pada PT.
Ariwibowo (pengusaha kecil non PKP) sebesar Rp.12.000.000. Atas
pembayaran uang sewa tersebut, PT. Bobby mempunyai kewajiban untuk
memotong PPh pasal 4 ayat (2) sebesar 10% x penghasilan bruto,
yaitu:
10% X Rp. 12.000.000 = Rp. 1.200.000
Bagi PT. Ariwibowo, karena pemotongan ini bersifat final, maka
PPh pasal 4 ayat (2) tersebut tidak dapat dijadikan sebagai kredit
pajak.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 14
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Bobby adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Sewa 12.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 1.200.000
Kas/Bank 10.800.000
Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Bobby sesuai dengan
ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan
takwim pajak.
Jurnal yang dilakukan oleh PT Ariwibowo adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 10.800.000
PPh Pasal 4 Ayat (2) 1.200.000
Penghasilan Sewa 12.000.000
4. PPh Pasal 24
Misal: diterima penghasilan dividen di Swiss, sebesar
Rp.100.000.000 dan telah dipotong pajak di Swiss Rp.10.000.000.
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 90.000.000
PPh Pasal 24 dibayar dimuka 10.000.000
Penghasilan Dividen 100.000.000
5. PPh Pasal 25
Misal: angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2011 adalah
Rp.36.000.000.
Perkiraaan Debet Kredit
PPh Pasal 25 (Prepaid Tax) 36.000.000
Kas/Bank 36.000.000
6. PPh pasal 26
Secara sederhana pengenaan PPh Pasal 26 bisa dikenal dari
penghasilan bruto maupun perkiraan penghasilan neto, selain itu
kita juga mengenal adanya Branch Profit Tax. Untuk pengenaannya
adalah sebagai berikut: a) Tarif 20% dari Penghasilan Bruto (atau
Tarif Tax Treaty), untuk penghasilan
berupa: Dividen; Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan
jaminan pengambilan utang; Royalti, sewa, dan imbalan lain
sehubungan dengan penggunaan harta; Imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan; Hadiah dan penghargaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun; Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 15
b) Tarif 20% dari Penghasilan Neto (atau Tarif Tax Treaty),
untuk penghasilan berupa: Penghasilan dari Penjualan Harta di
Indonesia
Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan dari
penjualan saham kepada Wajib Pajak Luar Negeri Besarnya persentase
penghasilan neto atas penghasilan dari penjualan saham adalah 25%
dari harga jual, sehingga besarnya pajak yang terutang adalah
sebagai berikut:
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Harga Jual
= 5% x Harga Jual
Penghasilan Premi Asuransi yang Dibayarkan kepada Perusahaan
Asuransi
Luar Negeri
Jenis Premi Penghasilan Neto Tarif
Efektif
Premi yang dibayarkan kepada perusahaan di Luar Negeri
50% x Premi dibayar 10%
Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi Luar Negeri
oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
10% x Premi dibayar 2%
Premi yang dibayarkan kepada Perusahaan asuransi Luar Negeri
oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia
5% x Premi dibayar 1%
Contoh 1 PT. Mayun berusaha di bidang properti mengasuransikan
bangunannya kepada perusahaan asuransi di luar negeri, dengan premi
asuransi dibayar sebesar Rp.1.000.000.000 untuk 1 tahun. Pada saat
pembayaran PT. Mayun harus memotong PPh pasal 26 sebesar:
PPh Pasal 26 = 50% x 20% x 1.000.000.000
= 10% x 1.000.000.000
= 100.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Mayun adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Asuransi 1.000.000.000
Utang PPh Pasal 26 100.000.000
Kas/Bank 900.000.000
Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Mayun sesuai dengan
ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan
takwim pajak
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 16
Contoh 2 PT. Manyun membayar royalti kepada Wes Suez Corp di
Monaco atas pemakaian merek dagang sebesar Rp.250.000.000. Pada
saat pembayaran PT. Manyun harus memotong PPh pasal 26 sebesar 20%
x jumlah pembayaran, yaitu
20% X Rp. 250.000.000 = Rp. 50.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Manyun adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya Royalti 250.000.000
Utang PPh Pasal 26 50.000.000
Kas/Bank 200.000.000
Utang pajak tersebut akan dibayar oleh PT Manyun sesuai dengan
ketentuan formal, yaitu setiap tanggal 10 setelah berakhirnya bulan
takwim pajak
7. PPN dan PPn-BM Dalam akuntansi komersial tidak mengatur
tersendiri perlakuan akuntansi khusus untuk PPN maupun PPn BM. PSAK
hanya mengatur Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK 46). Namun
demikian baik dalam akuntansi komersial maupun dalam akuntansi
pajak terdapat persamaaan dalam melakukan pencatatan yang harus
dipersiapkan, antara lain: 1 . Akun Pajak Masukan Untuk mencatat
besarnya Pajak Masukan yang dibayar
atau dipungut atas transaksi pembelian atau penerimaan BKP/JKP
2. Akun Pajak Keluaran Untuk mencatat Pajak Keluaran yang dipungut
atau
disetorkan ke Kas Negara atas transaksi penyerahan BKP/JKP.
Beberapa contoh perhitungan dan pencatatan transaksi yang berkaitan
adanya PPN, adalah sebagai berikut: Contoh 1 PT Ceebee adalah
Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada bulan Januari dan Pebruari 2013,
mempunyai data sebagai berikut:
Januari Februari
> Penjualan Rp. 250.000.000 Rp. 250.000.000
> Pembelian Rp. 300.000.000 Rp. 200.000.000
> PPN Masukan Rp. 30.000.000 Rp. 20.000.000
> PPN Keluaran Rp. 25.000.000 Rp. 25.000.000
Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada waktu melakukan
pembelian dibulan Januari 2014:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Barang Dagangan 300.000.000
PPN Masukan 30.000.000
Utang Dagang/Kas/Bank 330.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 17
Ayat Jurnal yang dilakukan oleh PT.Ceebee pada waktu melakukan
Penjualan dibulan Januari:
Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Dagang/Kas/Bank 275.000.000
PPN Keluaran 25.000.000
Penjualan 250.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada akhir bulan
Januari:
Perkiraaan Debet Kredit
PPN Keluaran 25.000.000
PPN Masukan 25.000.000
Jurnal ini dilakukan untuk mengetahui saldo dari PPN, apabila
saldo atas PPN Keluaran diakhir bulan lebih besar maka terjadi
kekurangan bayar atas PPN di bulan tersebut. Sebaliknya apabila
saldo atas PPN Masukan diakhir bulan lebih besar maka terjadi
kelebihan bayar atas PPN di bulan tersebut. Kekurangan bayar atas
PPN harus dilunasi pada tanggal akhir bulan takwim. Kelebihan bayar
atas PPN, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan untuk masa pajak
berikutnya dan dapat meminta restitusi atas kelebihan tersebut.
Pada saat terjadinya pembayaran atas kekurangan pembayaran PPN,
maka saldo dari PPN Keluaran akan menjadi nol. Sedangkan apabila
terjadi kelebihan pembayaran PPN, Wajib Pajak meminta kompensasi,
maka saldo atas PPN masukan akan tetap sesuai dengan jumlah
kelebihannya. Apabila Wajib Pajak meminta restitusi, maka timbul
perkiraan Piutang Restitusi dan saldo atas PPN masukan menjadi nol.
Diasumsikan kasus diatas, Wajib Pajak mengkompensasi atas kelebihan
pembayaran PPN, sehingga diakhir bulan masih ada saldo atas PPN
Masukamya sebesar Rp.5.000.000. Jurnal yang dilakukan oleh PT.
Ceebee pada waktu melakukan pembelian dibulan Februari:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Barang Dagangan 200.000.000
PPN Masukan 20.000.000
Utang Dagang/Kas/Bank 220.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada waktu melakukan
penjualan dibulan Februari:
Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Dagang/Kas/Bank 275.000.000
PPN Keluaran 25.000.000
Penjualan 250.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 18
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ceebee pada akhir bulan
februari:
Perkiraaan Debet Kredit
PPN Keluaran 25.000.000
PPN Masukan 25.000.000
Pada akhir bulan Pebruari, terjadi saldo PPN masukan
Rp.25.000.000 (saldo awal Rp.5.000.000 + Rp.20.000.0000). Sedangkan
saldo PPN keluaran Rp.25.000.000. Dengan demikian untuk mengetahui
berapa saldo atas PPN, maka jurnal yang dilakukan adalah dengan
melakukan jurnal tersebut diatas. Saldo atas PPN-Keluaran maupun
PPN-Masukan akan menjadi 0. Contoh 2 PT. Dimbi (PKP) adalah
eksportir, membeli barang untuk di ekspor. Pada masa Maret 2014,
pembelian seluruhnya BKP sejumlah Rp.175.000.000 sedang penjualan
ekspor sebesar Rp.250.000.000. kelebihan pembayaran direstitusikan
pada bulan Maret 2014. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada
saat mengajukan restitusi: Apabila dibulan tersebut hanya terjadi
transaksi seperti diatas, maka terjadi kelebihan pembayaran atas
PPN, karena untuk penjualan ekspor dikenakan PPN dengan tarif
sebesar 0%.
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada waktu melakukan
pembelian:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Barang Dagangan 175.000.000
PPN Masukan 17.500.000
Utang Dagang/Kas/Bank 192.500.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada waktu melakukan
penjualan ekspor:
Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Dagang/Kas 250.000.000
Harga Pokok Penjualan 175.000.000
Persediaan Barang Dagangan 175.000.000
Penjualan Ekspor 250.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Dimbi pada saat mengajukan
restitusi:
Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Restitusi PPN 17.500.000
PPN Masukan 17.500.000
Pada akhir bulan terdapat saldo PPN Masukan sebesar
Rp.17.500.000. Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi atas
saldo PPN Masukan tersebut, maka dilakukan jurnal tersebut
diatas.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 19
Contoh 3 PT. Sejuk pada bulan Februari 2014 melakukan penjualan
barang kena pajak seharga Rp.750.000.000. Barang tersebut waktu
diimpor pada bulan yang sama dikenakan PPn BM karena termasuk
barang kena pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar
Rp.500.000.000 (PPn BM 20%). Penghitungan PPN Impor adalah sebesar
10% x Rp.50.000.000 = Rp.50.000.000. Penghitungan PPnBM Impor
adalah sebesar 20% x Rp.50.000.000 = Rp.100.000.000. PPn BM hanya
dikenakan sekali sehingga pada waktu Wajib Pajak menjualan barang
tersebut, PPn BM dimasukan kedalam unsur biaya atau harga pokok
penjualan. Dengan demikian persediaan barang dagangan menjadi
Rp.600.000.000. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada waktu
melakukan pembelian:
Perkiraaan Debet Kredit
Persediaan Barang Dagangan 600.000.000
PPN Masukan 50.000.000
Utang Dagang/Kas/Bank 650.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada waktu melakukan
penjualan:
Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Dagang/Kas 825.000.000
PPN Keluaran 75.000.000
Penjualan 750.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sejuk pada saat melakukan
pembayaran atas kekurangan PPN:
Perkiraaan Debet Kredit
PPN Keluaran 75.000.000
PPN Masukan 50.000.000
Kas/Bank 25.000.000
8 Pajak Bumi dan Ragunan (PBB)
Misal : Pembayaran PBB tahun 2014 sebesar Rp.25.000.000.
Perkiraaan Debet Kredit
Biaya PBB 25.000.000
Kas/Bank 25.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 20
AKUNTANSI PENGHAPUSAN PIUTANG USAHA
BAB 4 (Selain Bank, SGU dengan Hak Opsi dan Asuransi)
Dalam kenyataan kegiatan usaha, tidak semua piutang bisa
ditagih. Berdasarkan pengalaman dari waktu ke waktu, entitas dapat
memperkirakan jumlah piutang yang kemungkinan tidak dapat tertagih.
Prinsip konservatif dalam akuntansi mengharuskan entitas
mengungkapkan kemungkinan tidak tertagihnya piutang dalam laporan
keuangan. Standar Akuntansi Keuangan mengatur penyajian piutang
dalam laporan keuangan dinyatakan sebesar jumlah bruto tagihan
diikuti dengan jumlah taksiran piutang yang tidak dapat
ditagih.
A. Metode Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi Komersial
Terdapat dua metode penghapusan piutang dalam akuntansi komersial
yaitu: a. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method) b.
Metode Penyisihan (Allowance Method) Metode penghapusan langsung
digunakan apabila kemungkinan tidak tertagihnya piutang relatif
kecil (immaterial) dan jarang terjadi. Sebaliknya jika berdasarkan
pengalaman jumlah piutang tak tertagih relatif besar dan sering
terjadi, entitas menggunakan metode penyisihan. a. Metode
Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method)
Penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang benar-benar
tidak dapat tertagih (Prinsip realisasi). Pencatatan dilakukan
dengan mendebet Beban Piutang Tak Tertagih dan mengkredit akun
Piutang. Sebagai contoh, CV Maju Jaya mempunyai tagihan piutang
dagang kepada Tn. Mahmud sebesar Rp.15.000.000. Setelah dilakukan
upaya penagihan piutang tersebut tidak dapat ditagih juga dan harus
dihapus. Ayat jurnal yang dibuat CV Maju Jaya:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
Beban Piutang Tak Tertagih 15.000.000
Piutang Dagang 15.000.000
Apabila ternyata piutang yang telah dihapus ternyata dilunasi,
dibuat ayat jurnal sbb: 1. Penyesuaian untuk menimbulkan kembali
saldo piutang
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
Piutang Dagang 15.000.000
Beban Piutang Tak Tertagih 15.000.000
2. Mencatat pelunasan piutang
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 15.000.000
Piutang Dagang 15.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 21
b. Metode Penyisihan (Allowance Method) Dengan metode ini
penghapusan piutang tidak dilakukan secara langsung melainkan
dengan membentuk Penyisihan/penyisihan piutang tak tertagih.
Pembentukan dilakukan pada akhir periode akuntansi dengan membuat
estimasi jumlah piutang yang kemungkinan tidak dapat ditagih pada
periode berikutnya.
B. Pencatatan Akuntansi Metode Penyisihan a. Pembentukan pertama
kali penyisihan piutang tidak tertagih
31-12-2013, PT Xaraf untuk pertama kalinya membentuk Penyisihan
piutang tak tertagih. Penyisihan yang terbentuk berdasarkan umur
piutang sebesar Rp.45.000.000. Ayat jurnal yang dibuat:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
31-12-2013 Beban Piutang Tak Tertagih 45.000.000
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih 45.000.000
Beban piutang tidak tertagih untuk tahun 2010 sebesar
Rp.45.000.000
b. Penghapusan Piutanq 01-04-2014, diketahui PT Aziz, salah satu
debitur PT Xaraf bangkrut dan tidak dapat melunasi utangnya sebesar
Rp.10.000.000. PT Xaraf menghapus (write-off) piutang PT Aziz Ayat
jurnal yang dibuat:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
01-04-2014 Penyisihan Piutang Tak Tertagih 10.000.000
Piutang Dagang 10.000.000
c. Pelunasan piutang yang telah dihapusbukukan
01-06-2014, PT Bobox, debitur PT Xaraf yang telah dihapus
utangnya, ternyata membayar utangnya sebesar Rp.5.000.000. Ayat
jurnal yang dibuat PT Xaraf. 1). Penyesuaian untuk menimbulkan
kembali piutangnya:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
01-06-2014 Piutang Dagang 5.000.000
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih 5.000.000
2). Mencatat pelunasan piutang
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
01-06-2014 Kas/Bank 5.000.000
Piutang Dagang 5.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 22
d. Pembentukan kembali penyisihan piutang tidak tertagih Setelah
mutasi-mutasi selama tahun 2014, akun Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih per 31-12-2014 bersaldo kredit Rp.40.000.000. PT Xaraf,
pada akhir tahun 2014 membentuk lagi penyisihan piutang tak
tertagih berdasarkan umur dari saldo piutang per 31-12-2014,
misalkan diperoleh perhitungan sebesar Rp.50.000.000, maka
penyesuaian yang harus dibuat pada 31 Desember 2014 adalah sebagai
berikut:
> Penyisihan Piutang Tak Tertagih 31/12/2014 = Rp.
50.000.000
> Saldo Penyisihan Piutang Tak Tertagih 31/12/2014
= Rp. 40.000.000
Beban Piutang Tidak Tertagih Tahun 2014 = Rp. 10.000.000
Ayat jurnal yang dibuat:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
31-12-2014 Beban Penyisihan Piutang Tak Tertagih
10.000.000
Penyisihan Piutang Tak
Tertagih 10.000.000
Apabila PT Xaraf membentuk Penyisihan pada akhir tahun 2014
sebesar Rp.35.000.000, maka PT Xaraf mengakui Laba Piutang tak
tertagih sbb:
> Penyisihan yang Dibentuk per-31/12/2014 = Rp.
35.000.000
> Saldo Penyisihan Piutang Tak Tertagih per-31/12/2014
= Rp. 40.000.000
Laba Piutang Tidak Tertagih Tahun 2014 = Rp. 5.000.000
Ayat jurnal yang dibuat:
Tanggal Perkiraaan Debet Kredit
31-12-2014 Penyisihan Piutang Tak Tertagih 5.000.000
Laba Piutang Tak Tertagih 5.000.000
C. Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi Pajak Pasal 6 ayat (1)
huruf h UU No.36 Tahun 2008 mengatur, beban piutang tidak tertagih
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1) Telah dibebankan
sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib Pajak
harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan 3) Telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu;
4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaamya diatur lebih
lanjut dengan berdasarkan Menteri Keuangan.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 23
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya
dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir. Yang dimaksud usaha maksimal
atau terakhir apabila merujuk pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 jo. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut: 1)
Menyerahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi
pemerintah yang menangani piutang negara. Penyerahan perkara
penagihan piutang yang memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai
piutang negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dapat dilakukan kepada Pengadilan Negeri atau kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), sedangkan penyerahan
perkara penagihan piutang selain piutang negara hanya dapat
dilakukan pada Pengadilan Negeri. Atau;
2) Membuat perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan Perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau
pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara
kreditur dan debitur harus memuat secara jelas data dan informasi
mengenai kreditur, debitur, pihak ketiga terkait, pinjaman dan
bentuk perjanjian restrukturisasi yang dilakukan, serta harus
disahkan oleh Notaris. Atau;
3) Dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus Yang
dimaksud dengan penerbitan umum atau khusus adalah: 2). Penerbitan
koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang
berskala nasional; atau 3). Penerbitan khusus Himpunan Bank-Bank
Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan
Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS); atau 4).
Penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.
Dalam memori penjelasan UU PPh No.36 Tahun 2008 ditambahkan
dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala
nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan
sejenisnya.
Atau; 4). Adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu. Pengakuan dari debitur ini merupakan ketentuan
baru dalam UU No.36 Tahun 2008. Bentuk dan cara pengakuan debitur
ini belum ada pengaturan lebih lanjut. Agar piutang tidak tertagih
dapat dibiayakan WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, Prosedur penyerahan
daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal
Pajak sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 jo.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 adalah sebagai
berikut: (1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
diserahkan kepada Kepala
KPP tempat WP terdaftar bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan
PPh tahun pajak yang bersangkutan (sebagai lampiran), disertai
dengan fotokopi bukti penyerahan perkara penagihamya ke Pengadilan
Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau
fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang telah
dilegalisir oleh Notaris, dan fotokopi bukti pengumuman dalam
penerbitan umum atau khusus.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 24
(2) Daftar piutang memuat data dan informasi mengenai debitur,
yaitu: nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta jumlah
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Pencatuman NPWP
berlaku bagi debitur: a. Seluruh debitur WP badan; b. Debitur WP OP
yang jumlah kredit atau utangnya lebih dari
Rp.100.000.000; c. Debitur WP OP yang jumlah kredit atau
utangnya tidak lebih dari
Rp.100.000.000 sepanjang telah memiliki NPWP. (3) Dalam hal
jumlah debitur lebih dari 100 (seratus) dan sepanjang nilai
piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dari masing-masing debitur
tidak lebih dari Rp.5.000.000 (lima juta rupiah), daftar piutang
dapat dibuat secara kumulatif dengan menyajikan data dan informasi
debitur yaitu: jumlah debitur kecil dan jumlah total nilai piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
UU PPh jelas menegaskan bahwa pembebanan penghapusan piutang
tidak tertagih menganut prinsip realisasi dengan menggunakan Metode
Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method) sepanjang memenuhi
syarat-syarat di atas. Metode Penyisihan tidak diperkenankan oleh
peraturan perpajakan, sehingga apabila WP menggunakan metode
Penyisihan maka harus melakukan koreksi dan melakukan pembebanan
dengan menggunakan metode langsung atas piutang yang tidak dapat
ditagih yang telah memenuhi syarat yang ditentukan peraturan
perpajakan.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 25
AKUNTANSI AKTIVA TETAP BAB 5
Aktiva tetap merupakan salah satu sumber yang dimiliki
perusahaan dalam jangka
waktu yang relatif lama dan digunakan perusahaan dalam kegiatan
operasi serta tidak untuk tujuan investasi (dijual kembali di masa
yang akan datang utuk mendatangkan keuntungan).
A. Klasifikasi Aktiva Tetap 1. Aktiva Tetap Berwujud
Aktiva tetap berwujud adalah aktiva yang wujud fisiknya dapat
kita lihat, misalnya adalah tanah, property, peralatan, mesin, dan
pertambangan. Aktiva tetap berwujud terbagi dalam dua kategori
yaitu: (1) Aktiva tetap berwujud yang tidak dapat disusutkan yaitu
tanah. (2) Aktiva tetap berwujud yang dapat disusulkan, contohnya
adalah gedung,
peralatan, dan mesin.
2. Aktiva Tetap Tak Berwujud
Aktiva tetap tak berwujud merupakan aktiva yang wujud fisiknya
tidak dapat kita lihat, yang terlihat hanyalah wujud pengakuan
kepemilikan perusahaan atas aktiva tersebut yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang, contohnya adalah hak paten, hak cipta, dan
goodwill.
B. Perolehan Aktiva Tetap Berwujud Perusahaan dapat memperoleh
aktiva tetap berwujud dengan membeli tunai, membangun sendiri,
memberikan wesel bayar, atau menukar dengan aktiva lain. Aktiva
tetap dicatat dengan prinsip harga perolehan yaitu suatu prinsip
yang menyebutkan bahwa semua biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh aktiva sampai aktiva tersebut siap untuk digunakan
merupakan harga perolehan dari aktiva tersebut. Hal-hal yang perlu
diketahui dalam Perolehan Aktiva Tetap adalah sebagai berikut:
Prinsip Harga Historis (Historical Cost)
Pasal 10 UU PPh menunjukkan bahwa PPh menganut prinsip harga
historis dalam menentukan penghasilan dan biaya, hal ini sesuai
dengan yang dianut akuntansi. Berikut ini berapa contoh mengenai
komponen yang menyusun harga perolehan aktiva tetap berwujud
1. Tanah
Harga perolehan dari tanah meliputi: (1). Harga Beli, (2). Bea
Balik Nama, (3). Biaya Notaris, (4). Komisi Broker, (5). PBB yang
belum dilunasi oleh pemilik lama.
Bila perusahaan membeli sebidang tanah dengan bangunan di
atasnya tapi perusahaan tidak menginginkan bangunan tersebut dan
berniat untuk menghancurkannya, maka biaya yang dikeluarkan untuk
menghancurkan gedung, pembersihan, dan perataan sampai tanah
tersebut siap digunakan masuk dalam harga perolehan atas tanah,
sedangkan penjualan dari puing-puing bangunan yang masih bisa
dijual merupakan pengurang dari harga perolehan atas tanah.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 26
2. Pengembangan Tanah
Pengembangan tanah adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk
mengembangkan tanah tersebut sampai tanah tersebut berfungsi
seperti yang direncanakan. Contohnya adalah pembuatan lapangan
parkir. Biaya-biaya yang termasuk harga perolehan dari pengembangan
tanah adalah pengaspalan atau pem-pavingan, lampu, dan pembuatan
pembatas atau pagar. Di dalam aturan perpajakan pengembangan tanah
termasuk kelompok bangunan.
3. Bangunan Harga perolehan gedung meliputi semua biaya yang
dikeluarkan perusahaan untuk membeli atau membangun gedung atau
bangunan. Bila perusahaan membeli gedung, maka harga perolehan
meliputi harga beli, komisi makelar, dan biaya notaris. Harga
perolehan juga termasuk biaya yang dikeluarkan sampai gedung siap
untuk digunakan seperti disain ulang ruangan, memperbaiki atap,
lantai, sirkuit listrik, dan saluran pembuangan, Sedangkan bila
perusahaan membangun sendiri, biaya yang termasuk harga perolehan
adalah biaya bahan bangunan, biaya arsitek, IMB dan bunga bila
pembiayaannya menggunakan pinjaman.
4. Peralatan
Harga perolehan peralatan meliputi semua biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan sampai peralatan tersebut siap digunakan. Biaya
tersebut meliputi harga beli, pajak, ongkos angkut, asuransi, biaya
instalasi, dan biaya pengetesan.
Cara Perolehan Aktiva Tetap Berwujud
Adapun Cara Perolehan Aktiva Tetap tersebut dapat melalui
berbagai macam cara, yaitu:
a. Pembelian; b. Pertukaran Aktiva; c. Setoran Modal; d.
Sumbangan; e. Konstruksi Sendiri; f. Sewa Guna Usaha; g. Build
Operate and Transfer (BOT); h. Merger, Penggabungan Usaha.
berikut ini beberapa penjelasan dari hal tersebut di atas:
a. Pembelian Aktiva Tetap Berwujud
Akuntansi menganut prinsip historical cost dalam pencatatan
pembelian, yaitu pengorbanan ekonomis yang benar-benar dikeluarkan.
Yaitu semua biaya yang diperoleh sampai aktiva tersebut siap
digunakan.
Menurut peraturan perpajakan, pembelian aktiva tetap diatur
dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 tahun
2008, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara umum, "lex generalis" perolehan aktiva diakui sebesar
jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan.
Dalam hal diperoleh bukti bahwa terdapat hubungan istimewa
antara pihak pembeli dan penjual, maka nilai perolehan aktiva tetap
adalah harga yang seharusnya dikeluarkan. Hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud di atas dianggap ada apabila Wajib pajak
mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara
Wajib
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 27
Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak
atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir, atau
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih
Wajib Pajak dibawah pengusaaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung, atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat.
b. Pertukaran Aktiva Tetap Berwujud
Secara akuntansi, perolehan aktiva tetap dengan melalui
pertukaran, dilihat apakah aktiva yang dipertukarkan tersebut
sejenis atau tidak. Apabila aktiva tersebut tidak sejenis, maka
nilai perolehan aktiva adalah nilai pasar dari aktiva yang
bersangkutan. Dalam hal aktiva yang dipertukarkan tersebut sejenis,
nilai perolehan aktiva sebesar nilai pasar dikurangi keuntungan
pertukaran yang tidak boleh diakui.
Dalam hal pihak yang mendapatkan keuntungan pertukaran tersebut
menerima kas maka terdapat pengakuan laba pertukaran secara
proporsional dengan kas yang diterima dan aktiva yang diserahkan.
Pembahasan yang dilakukan dalam bahasan ini diasumsikan tidak ada
aliran kas yang diterima.
Peraturan perpajakan yang mengatur transaksi pertukaran adalah
Pasal 10 Ayat (2) UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 tahun 2008, dalam
pasal tersebut disebutkan bahwa:
"(2) Nilai perolehan dan/atau nilai penjualan dalam hal terjadi
tukar menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar."
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
Bahwa peraturan perpajakan memandang suatu transaksi pertukaran
aktiva tersebut sebagai transaksi jual dan beli;
Pengakuan nilai perolehan adalah sebesar harga pasar dari aktiva
yang diterima (walaupun tidak ada pembayaran atas harga pasar
tersebut);
Karena terjadi pelepasan aktiva tetap, maka pihak-pihak yang
melepaskan aktiva akan mengakui keuntungan/kerugian pelepasan
aktiva (Gain or Loss on Disposal of Plant Asset) sebesar selisih
antara harga pasar dengan nilai buku aktiva tetap;
Penentuan Capital Gain/Loss dihitung dari nilai buku menurut
pajak dengan memperhatikan metode penyusutan menurut pajak.
c. Setoran Modal Berupa Aktiva Tetap Berwujud
Penyertaan wajib pajak dalam permodalan suatu badan dapat
dipenuhi dengan setoran tunai maupun pengalihan harta. Perlakuan
perpajakan atas penyetoran modal dengan aktiva tetap berwujud
adalah sebagai berikut:
1) Bagi pihak yang menerima aktiva tetap, bukan merupakan objek
pajak 2) Penilaian harga perolehan berdasarkan harga pasar 3)
Penentuan harga pasar dilakukan oleh pihak yang independen yang
diakui
pemerintah 4) Harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau
harga, jenis, status, tempat
kedudukan dan hal lain yag berhubungan dengan identifikasi
aktiva 5) Dalam bentuk benda bergerak maupun barang tidak bergerak
6) Bagi pihak yang mengalihkan dicari Capital Gain (Loss) sebesar
nilai pasar
dengan nilai buku yang merupakan objek pajak 7) Dalam hal
setoran modal berupa tanah dan/atau bangunan, pengalihan
tersebut menimbulkan kewajiban BPHTB atas pemindahan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 28
d. Sumbangan
Secara akuntansi, sumbangan akan dimasukkan ke dalam "modal
donasi" sehingga tidak ada pendapatan sumbangan
Sedangkan secara peraturan pajak, sumbangan akan ditinjau dari
pihak yag melakukan transaksi sumbangan, apakah antara pihak-pihak
tersebut mempunyai hubungan usaha atau tidak. Jika ada hubungan
usaha, sumbangan dinilai berdasarkan harga pasar. Bagi yang
menerima adalah obyek pajak penghasilan dan bagi yang menyumbang
dihitung selisih antara nilai pasar dengan nilai buku yang
merupakan capital gain (loss) yang nanti dikaitkan dengan posisi
aktiva bagi pengakuan biaya.
Apabila tidak ada hubungan usaha, dinilai berdasarkan nilai
buku. Bagi penerima adalah bukan objek pajak dan bagi yang
menyumbang adalah bukan biaya.
e. Membangun Sendiri
Pengeluaran untuk membangun sendiri aktiva tetap merupakan unsur
harga perolehan aktiva tetap. Secara pajak, harus dikeluarkan biaya
yang merupakan bukan pengurang penghasilan bruto. Dalam hal
terdapat biaya bunga selama masa konstruksi, maka biaya bunga harus
diperlakukan khusus berbeda dengan perlakuan terhadap biaya-biaya
konstruksi yang lain.
Biaya selama konstruksi diperlakukan sebagai berikut:
1) Sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf b UU PPh, pengeluaran
untuk memperoleh harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun harus dikapitalisir dengan harga perolehan/harga pokok.
Pembebanannya sebagai biaya dapat dilakukan melalui penyusutan,
amortisasi, ataupun pada saat penjualan sebagai bagian dari harga
pokok penjualan.
2) Sesuai dengan SE-20/PJ.42/1994, pengeluaran bunga pinjaman
selama masa konstruksi merupakan komponen dari biaya langsung yang
menjadi bagian pembentukan harga pokok atau harga perolehan aktiva
seperti rumah atau gedung. Oleh karena itu pengeluaran bunga
pinjaman sampai dengan rumah atau gedung selesai dan siap digunakan
atau dipasarkan harus dikapitalisir menjadi komponen harga pokok
atau harga perolehan gedung.
f. Sewa Guna Usaha (Leasing)
1). Operating Lease
a). Perlakuan Perpajakan Bagi Lessor: Yaitu sama dengan
perlakuan menurut akuntansi komersial:
Seluruh pembayaran yang diterima/diperoleh oleh lessor merupakan
penghasilan (obyek PPh).
Lessor berhak menyusutkan aktiva yang disewa-guna-usahakan
(penyusutan sesuai ketentuan fiskal).
Lessor wajib mengenakan PPN atas jasa sewa tersebut.
b) Perlakuan Perpajakan Bagi Lessee:
Yaitu sama dengan perlakuan menurut akuntansi komersial:
Jumlah sewa yang dibayar atau terutang pada tahun yang
bersangkutan merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible
expense).
Lessee tidak berhak menyusutkan aktiva yang disewanya.
Lessee wajib memotong PPh Pasal 23 atas sewa.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 29
2). Capital Lease
a). Perlakuan Perpajakan Bagi Lessor:
Penghasilan lessor (obyek PPh) adalah imbalan jasa SGU
(pendapatan bunga), yaitu dihitung dari seluruh pembayaran SGU
dikurangi angsuran pokok.
Lessor tidak diperbolehkan menyusutkan aktiva yang
disewa-guna-usahakan.
Lessor dapat membentuk dana Penyisihan piutang tak tertagih yang
dapat dibiayakan, maksimum = 2,5% x saldo rata-rata piutang
SGU.
Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Laporan Keuangan
Triwulanan yang disetahunkan.
Pembayaran SGU tidak dikenakan PPN.
b). Perlakuan SGU Bagi Lessee:
Lessee tidak boleh menyusutkan aktiva tetap yang dileasingnya.
Hal ini berbeda dengan perlakuan akuntansi komersial. Dalam
akuntansi komersial aktiva tetap SGU disusutkan oleh lessee.
Angsuran SGU yang dibayar atau terutang angsuran pokok maupun
bunga diakui sebagai biaya. Hal ini juga berbeda dengan perlakuan
akuntansi komersial. Dalam akuntansi komersial angsuran pokok SGU
diperlakukan sebagai pembayaran (pelunasan) hutang SGU, sedangkan
bunganya merupakan biaya (expense).
Dengan demikian, lessee harus melakukan Koreksi Fiskal atas
Laporan Keuangamya sbb:
Melakukan koreksi biaya penyusutan, yaitu tidak membebankan
biaya penyusutan atas aktiva tetap SGU.
Melakukan koreksi biaya angsuran SGU, yaitu dengan memasukkan
angsuran pokok SGU sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).
Biaya bunga tetap dapat diakui sebagai biaya (sama antara
akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal).
c). Penyisihan Piutang Tak Tertagih:
Perusahaan Jasa Capital Lease dapat membentuk Penyisihan piutang
tak tertagih.
Besarnya dana Penyisihan piutang tak tertagih yang dapat
dibebankan sebagai biaya maksimum sebesar 2,5% dari rata-rata saldo
awal dan akhir piutang (Maksimum = 2,5% x (Saldo Awal Piutang SGU +
Saldo Akhir Piutang SGU) / 2.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 30
C. Perolehan Aktiva Tetap Tak Berwujud Aktiva tak berwujud
(intangible asset) adalah aktiva tak lancar (non current asset) dan
tak berbentuk yang memberikan hak ke-ekonomi-an dan hukum kepada
pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah
dalam klasifikasi aktiva yang lain. Salah satu karakteristik aktiva
tak berwujud yang paling penting adalah tingkat ketidak pastian
mengenai nilai dan manfaatnya dikemudian hari. Dalam banyak kasus,
nilai aktiva tak berwujud antara lain dapat berbentuk hak paten,
hak cipta, franchise, dan merk dagang.
Perlakuan akuntansi aktiva tak berwujud menyangkut masalah yang
tidak berbeda dengan perlakuan akuntansi terhadap aktiva tetap,
diantaranya adalah penentuan nilai perolehan, pelakuan akuntansi
selanjutnya terhadap nilai perolehan tersebut dalam kondisi usaha
normal (amortisasi), dan perlakuan akuntansi atas penurunan nilai
aktiva tak berwujud yang material dan permanen. Kesulitan yang
dihadapi dalam pemecahan masalah perlakuan akuntansi aktiva tak
berwujud pada umumnya disebabkan oleh sifat aktiva tersebut,
seperti tidak adanya wujud fisik yang menyebabkan bukti
keberadaamya kabur, dan kesulitan dalam penentuan nilai perolehan
serta masa manfaat ke-ekonomian-nya.
Aktiva tak berwujud dibedakan menurut sifat ke-khususan-nya,
masa manfaatnya, hubungannya dengan kegiatan usaha, dan
penghapusannya. Dasar penggolongan aktiva tak berwujud adalah
sebagai berikut: a. kemampuan untuk di-identifikasikan: dapat atau
tidak dapat di-identifikasikan
secara khusus. b. cara perolehan: diperoleh secara individual,
secara kelompok, melalui
penggabungan badan usaha atau dikembangkan sendiri. c. masa
manfaat yang diharapkan: tergantung pada pembatasan yang diatur
oleh
hukum/perjanjian, pada faktor ke-ekonomian atau manusia, atau
pada jangka waktu yang tidak terbatas atau tidak dapat ditentukan
di masa depan.
d. kemampuan untuk dipisahkan dari keseluruhan perusahaan: hak
yang dapat dialihkan tanpa bukti pemilikan, dapat dijual atau tidak
dapat dipisahkan dari perusahaan atau dari bagian pokoknya.
Perusahaan harus mencatat nilai perolehan aktiva tak berwujud
yang diperoleh dari individu atau badan usaha lain sebagai aktiva.
Biaya pemeliharaan atau penyimpanan aktiva tak berwujud yang tidak
dapat diidentifikasikan secara khusus tidak dapat ditentukan masa
manfaatnya/umurnya, atau tidak dapat dihindarkan dalam suatu
kegiatan usaha harus dibebankan dalam laporan laba rugi periode
yang bersangkutan.
Nilai aktiva tak berwujud pada akhirnya akan habis pada saat
tertentu, sehingga harga perolehan aktiva tak berwujud harus
diamortisasi secara sistematis selama taksiran masa manfaatnya dan
tidak boleh dibebankan seluruhnya pada periode perolehan. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan dalam menaksir masa manfaat suatu aktiva
tak berwujud adalah sebagai berikut: a. Ketentuan hukum, peraturan,
perjanjian yang membatasi masa manfaat
maksimum. b. Kemungkinan untuk memperbaharui atau memperpanjang
batas masa manfaat
yang telah ditentukan. c. Pengaruh keusangan, permintaan,
persaingan dan faktor perubahan ekonomi dan
teknologi yang mempengaruhi masa manfaat. d. Prakiraan tindakan
yang akan dilakukan oleh pesaing, pelaksana hukum/peraturan
dan lainnya yang membatasi keunggulan dalam daya saing
(competitive advantage).
e. Adanya suatu masa manfaat yang tidak terbatas, dan masa
manfaat yang diharapkan tidak dapat ditaksir secara wajar.
f. Kemungkinan aktiva tak berwujud terdiri dari beberapa
jenis/faktor yang mempunyai masa manfaat yang berbeda.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 31
Untuk menentukan masa manfaat aktiva tak berwujud secara wajar
maka hal-hal tersebut diatas harus dianalisa terlebih dahulu.
Taksiran masa manfaat yang wajar biasanya ditentukan dengan membuat
batas atas dan batas bawah karena taksiran masa manfaat yang
sesungguhnya sulit untuk ditentukan.
Metode amortisasi aktiva tak berwujud adalah Metode Garis Lurus
(Straight Line method), kecuali jika ada metode lain yang lebih
sesuai dengan kondisi perusahaan. Laporan keuangan harus
mengungkapkan metode dan periode amortisasi yang digunakan.
Perusahaan harus mengevaluasi periode amortisasi aktiva tak
berwujud secara teratur untuk memutuskan apakah peristiwa dan
kondisi selanjutnya menuntut perubahan taksiran masa manfaat yang
ditentukan. Jika taksiran masa manfaat berubah, maka jumlah harga
perolehan yang belum diamortisasi harus dibebankan pada sisa masa
manfaat yang baru, dengan syarat tidak boleh melebihi 20 (dua
puluh) tahun dari tanggal perolehan. Taksiran nilai dan manfaat
masa depan suatu aktiva tak berwujud yang belum diamortisasi
tersebut harus dikurangi dengan jumlah tertentu sebagai beban usaha
dalam laporan laba rugi periode yang bersangkutan. Meskipun
demikian, kerugian pada satu atau beberapa tahun tertentu secara
berurutan tidak dapat dijadikan alasan untuk membebankan semua atau
sebagian harga perolehan aktiva tak berwujud yang diamortisasi
sebagai pembebanan luar biasa pada periode yang bersangkutan. Jika
ada pembebanan luar biasa, maka alasan pembebanamya harus
diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Berdasarkan eksistensinya, aktiva tak berwujud dapat
dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: 1. Aktiva tak berwujud yang
eksistensinya dibatasi oleh ketentuan perundang-
undangan, peraturan pemerintah, perjanjian yang dibuat antara
para pihak atau sifat dari aktiva tersebut, misalnya hak paten, hak
sewa, hak cipta, franchise yang terbatas lisensi.
2. Aktiva tak berwujud yang masa manfaatnya tidak terbatas dan
tidak dapat dipastikan masa berakhirnya, misalnya merk dagang,
proses dan formula rahasia, perpetual franchise, goodwill.
D. Penyusutan Aktiva Tetap Berwujud 1. Metode Penyusutan
Metode penyusutan aktiva tetap berwujud yang diperkenankan
menurut ketentuan pajak, terdiri dari:
a. Metode Garis Lurus Penyusutan atas pengeluaran untuk
pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta
berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut.
b. Metode Saldo Menurun
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud di atas, selain
bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun
selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
asas.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 32
c. Metode lain Menyimpang dari ketentuan di atas, ketentuan
tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
seperti pertambangan.
2. Saat Mulai Penyusutan
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukamya pengeluaran, kecuali
untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutamya
dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini
dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp.100.000.000. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2013 dan
selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2014. Penyusutan atas
harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret
tahun pajak 2014.
Contoh 2:
PT Xolang Xaling yang bergerak di bidang perkebunan membeli
traktor pada tahun 2013. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan
(panen) pada tahun 2014. Dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2014
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU PPh, dasar
penyusutan atas harta tersebut adalah nilai setelah dilakukan
penilaian kembali aktiva tersebut.
3. Kelompok Harta Berwujud, Masa Manfaat, dan Tarif
Penyusutan
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud ditetapkan seperti tabel di bawah ini, sedangkan
perinciamya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan
Kelompok Harta Berwujud Masa
Manfaat
Tarif Penyusutan
Metode Garis Lurus
Metode Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 1 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 1 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara
taat asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat
disusutkan dengan metode
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 33
garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan
dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun,
nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan
sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small
tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu
golongan
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp.100.000.000 dan masa
manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah
sebesar Rp.5.000.000 (Rp.100.000.000 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang dibeli
dan ditempatkan pada bulan Januari 2011 dengan harga perolehan
sebesar Rp.150.000.000 Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4
(empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima
puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai
berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan -----------------------------------------------
150.000.000
2011 50% 75.000.000 75.000.000
2012 50% 37.500.000 37.500.000
2013 50% 18.750.000 18.750.000
2014 disusutkan sekaligus 18.750.000
Contoh 1
PT. Prima pada tanggal 21 Februari 2014 membeli sebuah bangunan
dengan harga Rp.150.000.000. Wajib Pajak ingin menghancurkan
bangunan tersebut dan akan membangun gedung kantor yang baru. Biaya
penghancuran diperkirakan Rp.10.000.000, dan puing bangunan dijual
dengan harga Rp.1.000.000. Selain itu Wajib Pajak mengeluarkan
biaya untuk balik nama Rp.1.000.000, biaya notaris Rp.150.000 dan
membayar PBB yang masih terutang sebesar Rp.250.000. Harga
perolehan atas tanah dihitung sebagai berikut:
> Harga beli bangunan Rp. 150.000.000
> Biaya pembongkaran gedung lama Rp. 10.000.000
> Penjualan puing bangunan ( Rp. 10.000.000 )
> Biaya balik nama Rp. 1.000.000
> Biaya notaris Rp. 150.000
> PBB Rp. 250.000
> Harga perolehan atas tanah Rp. 160.400.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Prima pada saat perolehan tanah
adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Tanah 160.400.000
Kas/Bank 160.400.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 34
Contoh 2
Pada tanggal 10 Januari 2014, PT. Karya melakukan pembelian
aktiva berupa peralatan (kelompok 2) dari PT. Sarana dengan harga
beli Rp.120.000.000. PT.Sarana memperoleh aktiva tersebut pada
tanggal 15 Januari 2010 dengan harga perolehan Rp.200.000.000.
Apabila PT. Sarana melakukan penyusutan menggunakan metode garis
lurus, maka penghitungan atas Nilai sisa buku pada waktu dijual
adalah sebagai berikut:
Harga Perolehan Rp. 200.000.000
Akumulasi Penyusutan selama 4 tahun
Rp. 200.000.000 x 12,5% x 4 = Rp. 100.000.000
Nilai Sisa Buku Rp. 100.000.000
Harga Beli dari PT. Karya Rp. 120.000.000
Rugi dari PT. Karya ( Rp. 20.000.000 )
Kerugian ini dapat dikurangkan dari penghasilan neto PT. Karya,
sedangkan PT.Sarana mengalami laba dengan jumlah yang sama. Laba
tersebut merupakan objek pajak penghasilan dan menambah penghasilan
neto dari PT. Sarana. Jurnal yang dilakukan oleh PT. Karya
adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Aktiva tetap-Peralatan 100.000.000
Rugi Pembelian Aktiva 20.000.000
Kas/Bank 120.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Sarana adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Kas/Bank 120.000.000
Akumulasi Penyusutan Peralatan 100.000.000
Aktiva tetap-Peralatan 200.000.000
Laba Penjualan Aktiva 20.000.000
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta
dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta
tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan
neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga
penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan
tersebut dan/atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya
penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru
dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah
sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian
asuransi tersebut.
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 35
Contoh 3
Wajib Pajak Aktiva Kelompok Harga
Perolehan
Tanggal perolehan
PT. Abadi Mesin II 300.000.000 15-01-2010
PT. Ashi Kendaraan II 240.000.000 10-07-2010
Aktiva tetap tersebut ditukar pada tanggal 21 Januari 2014.
Nilai pasar wajar dari aktiva tersebut adalah sebesar
Rp.140.000.000. Wajib Pajak menggunakan metode penyusutan garis
lurus. Berapa laba atau rugi yang atas pertukaran tersebut bagi
masing-masing wajib pajak? PT. Abadi
Harga Perolehan Mesin Rp. 300.000.000
Akumulasi Penyusutan
Rp. 300.000.000 x 12,5% x 4 = Rp. 150.000.000
Nilai Sisa Buku Rp. 150.000.000
Harga Beli dari PT. Ashi Rp. 140.000.000
Rugi Pertukaran ( Rp. 10.000.000 )
PT. Ashi
Harga Perolehan Kendaraan Rp. 240.000.000
Akumulasi Penyusutan
Rp. 300.000.000 x 12,5% x 3,5 = Rp. 131.250.000
Nilai Sisa Buku Rp. 108.750.000
Harga Beli dari PT. Abadi Rp. 140.000.000
Laba Pertukaran Rp. 31.250.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Abadi:
Perkiraaan Debet Kredit
Kendaraan 140.000.000
Akumulasi Penyusutan Mesin 150.000.000
Rugi Pertukaran Aktiva 10.000.000
Mesin 300.000.000
Jurnal yang dilakukan oleh PT. Ashi adalah:
Perkiraaan Debet Kredit
Mesin 140.000.000
Akumulasi Penyusutan Kendaraan 131.250.000
Laba Pertukaran Aktiva 31.250.000
Kendaraan 240.000.000
-
Yayasan Widya Dewata
AKUNTANSI PAJAK 36
E. Amortisasi Aktiva Tak Berwujud Amortisasi terhadap intangible
asset adalah atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa
manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat
asas. Kelompok amortisasi:
Kelompok Harta
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan Metode
Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta
tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada
kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum
pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan
masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa
manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok
masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa
manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4
(empat) tahun.