Top Banner

of 42

Modul 4 Ske 1 Autoimun

Oct 14, 2015

Download

Documents

laporan PBL modul autoimun Fakultas Kedokteran UMJ
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

LAPORAN SISTEM IMUNOLOGIMODUL (IV) AUTOIMUNTUTOR : Dr. Yusnam Syarif, S.PAK

Disusun oleh KELOMPOK IV

Ketua:Reza Achmad Prasetyo(2013730169)Sekretaris: Dias Rahmawati Wijaya (2013730134)Anggota:Afifah Qonita(2013730123)Fina Hidayat(2013730144)Fitria Dwi Ambarini(2013730145)Harishal Aryaputra(2013730147)Mundri Nur Afsari(2013730155)Nadira Juanti Pratiwi(2013730160)Topan Muhamad Nur(2013730184)Yunita Maharani Burhan(2013730187)

Fakultas KedokteranProgram Sudi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah JakartaJakarta 2014

KATA PENGANTARPuji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini.Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan bimbingan dan dorongan dari beberapa pihak, baik berupaa mental maupun moril, laporan ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :1. Ketua Sistem Imunologi Dr. Elyusrar, PhD1. Tutor modul imunodefisiensi, Dr. Yusnam Syarif, S.PAK1. Teman-teman kelompok 4 yang tidak bisa disebutkan satu per satu1. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang telah membantu demi kelancaran penyusunan laporan ini.Sekiranya semua bantuan dari pihak-pihak terkait mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, kami sudah berusaha dengan segala kemampuan untuk menyusun laporan ini dengan sebaik-baiknya. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan modul ini. Semoga laporan modul ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu kedokteran.

Jakarta, 13 Juni 2014

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2DAFTAR ISI 3BAB I PENDAHULUAN 4I.1 Latar Belakang 4I.2 Tujuan Pembelajaran 5I.3 Tujuan Instruksional ( TIK ) 5BAB II ANALISA MASALAH 6II.1 Skenario 2 6II.2 Kata Sulit 6II.3 Kata/Kalimat Kunci 6II.4 Problem Tree 7II.5 Identifikasi Permasalahan dan Pertanyaan 8DAFTAR PUSTAKA 42

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Yang dimaksudkan dengan sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati asal hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap dan lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan hidup sehingga setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel tubuh yang menjadi tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diingini dan perlu disingkirkan.

Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh tergantung dari kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel induk dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian beredar dalam tubuh melalui darah, sistem limfatik, serta organ limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum tulang (organ limfoid primer ), dan limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid sekunder ), dan dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsi masing-masing.

Namun, terkadangkala sistem imun dalam tubuh kita dapat menyerang diri sendiri, untuk itu perlu kita tanggulangi agar sistem imun tersebut dapat bekerja sebagaimana mestinya. Sehingga, tidak menyebabkan penyakit seperti reumatoid arthritis, SLE, dan banyak lagi.

1.2 Tujuan PembelajaranTujuan dari kita mempelajari modul autoimun ini adalah :1. Mengetahui penyakit apa saja yang terlibat dalam autoimun serta mekanisme terjadinya.1. Mempelajari bagaimana cara penatalaksanaan serta pencegahan dari autoimun.1. Mengetahui dan mempelajari faktor resiko dari autoimun itu sendiri

1.3 Tujuan Instruksional Khsusus ( TIK )Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat :1. Menjelaskan definisi dari imunodefisiensi.1. Menjelaskan klasifikasi imunodefisiensi menjadi spesifik dan non spesifik.1. Menjelaskan diagnosis dari imunodefisiensi.1. Menjelaskan penyakit-penyakit pada imunodefisiensi.

BAB IIANALISA MASALAH

2.1 SkenarioSeorang wanita, 20 tahun, datang dengan keluhan timbul kemerahan pada wajahnya setelah piknik ke pantai 5 hari yang lalu. Kemerahan itu menetap dan tidak hilang sampai sekarang. Sering mengeluh kaku pada sendi-2 kaki dan tangan, terutama di pagi hari. Kekakuan berkurang menjelang siang. Tidak ada riwayat sakit sendi rematik sebelumnya dan tidak juga pada keluarga. Berat badan menurun dalam 2 bulan terakhir. Mulut luka, tidak bisa makan.

2.2 Kata Sulit-

2.3 Kata/Kalimat Kunci1. Wanita 20 tahun, keluhan tkemerahan pada wajahnya setelah piknik ke pantai 5 hari lalu.2. Kemerahan menetap dan tidak hilang sampai sekarang.3. Kaku pada sendi sendi kaki dan tangan, terutama di pagi hari, kaku berkurang menjelang siang.4. Tidak ada riwayat sakit sendi rematik.5. Berat badan menurun 2 bulan terakhir. 6. Mulut luka, tidak bisa makan.

2.3 Mind Map

2.4 Pertanyaan1. Jelaskan definisi dan kriteria autoimun2. Jelaskan mekanisme terjadinya autoimun3. Jelaskan factor imun yang berperan pada autoimun4. Jelaskan factor lingkungan yang berperan pada autoimun5. Jelaskan autoimun spesifik organ6. Jelaskan autoimun non-spesifik organ7. Jelaskan diagnosis terkait autoimunitas8. Jelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, patomekanisme, manisfestasi klinis, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, rencana rujukan, factor genetic penyakit SLE9. Jelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, patomekanisme, manisfestasi klinis, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, rencana rujukan, factor genetic penyakit RA10. Jelaskan prinsip pengobatan autoimun*Jelaskan diagnosis kerja terkait scenario autoimun*Beda penyakit SLE dan HIV AIDS

2.5 PembahasanMundri nur afsari20137301551. Jelaskan definisi dan kriteria dari autoimunitas !

DEFINISI AUTOIMUNAutoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting, oleh karena respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang ditimbulkan mekanisme lain ( seperti infeksi ). Dalam populasi , sekktar 3,5 % orang menderita penyakit autoimun, 94 % dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes mellitus tipe I, anemia pernisiosa, artritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo, sclerosis multiple dan LES. Penyakit ditemukan lebih banyak pada wanita (2,7 x dibanding pria), diduga karena peran hormone. LES mengenai wanita 10x lebih sering dibanding pria.

KRITERIA AUTOIMUNUntuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit tertentu, diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, seperti hal nya postulat Koch untuk penyakit infeksi mikroorganisme. Ada 6 butir yang diperlukan untuk menentukan kriteria autoimunitas. Bukti terbaik adanya autoimunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG melalui plasenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Hal ini dapat menerangkan terjadinya penyakit autoimunitas sementara pada janin dan neonatus.

Penyakit yang dapat diinduksi IgG dan dapat ditransfer melalui plasenta

Antibodi maternal yang berperanPenyakit yang diinduksi pada neonatus

Hormon yang merangsang tiroidPenyakit Grave neonates

Molekul adhesi membrane basal epidermalPemfigoid neonates

Sel darah merahAnemia hemolitik

Trombosit Trombositopenia

Reseptor asetikolinMiastenia gravis neonates

Ro dan LaLupus kulit neonates dan heart blok kongenital komplit

Kriteria Autoimun

KriteriaCatatan

Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakitKriteria ditemukan pada kebanyakan penyakit endokrin autoimun. Lebih sulit ditemukan pada antigen sasaran yang tidak diketahui seperti pada AR. Autoantibodi lebih mudah ditemukan dibandingkan sel T autoreaktif , tetapi autoantibodi dapat juga ditemukan pada beberapa subyek normal.

Autoantibodi dan atau sel T ditemukan di jaringan dengan cederaBenar pada beberapa penyakit seperti endokrin, LES dan beberapa glomerulonephritis.

Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktivitas penyakitHanya ditemukan pada penyakit autoimun sistemik akut dengan kerusakan jaringan progresif cepat seperti pada LES, vaskulitis sistemik atau penyakit antiglomerulus membrane basal.

Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakitKeuntungan imunosupresi terlihat pada beberapa penyakit, terbanyak imunosupresan tidak spesifik dan berupa antiinflamasi.

Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipienDitemukan pada model hewan. Pada manusia dengan transfer transplatasental antibodi IgG autoreaktif selama kehamilan trimester terakhir dan dengan timbulnya penyakit autoimun pada resipien transplan sumsum tulang bila donor memiliki penyakit autoimun.

Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan penyakitBanyak protein self menginduksi respons autoimun pada hewan bila disuntikkan dengan ajuvan yang benar. Lebih sulit dibuktikan pada manusia, tetapi imuniasasi rabies dengan jaringan otak mamalia yang terinfeksi ( tidak terinfeksi ) dapat menimbulkan ensefalomielitis autoimun.

2. Jelaskan mekanisme terjadinya autoimun !Dias Rahmawati Wijaya2013730134MEKANISME PENYAKIT AUTOIMUNGangguan terhadap satu atau lebih mekanisme toleransi-diri dapat melepaskan serangan imunologis terhadap jaringan yang dapat menyebakan berkembangnya penyakit autoimun. Sel yang imunokompeten pasti terlibat dalam memerantai cedera jaringan, tetapi berbagai pengaruh pastinya yang memulai reaksinya terhadap diri sendiri belum diketahui : Meskipun akan menarik untuk menjelaskan semua penyakit autoimun melalui satu mekanisme, jelaslah bahwa pada saat ini toleransi dapat dipintaskan melalui sejumlah cara. Pada setiap penyakit dapat muncul lebih dari satu defek, dan defek tersebut dapat beragam dari suatu gangguan hingga gangguan lainnya. Lagi pula, gangguan terhadap toleransi dan insiasi autoimunitas melibatkan interaksi faktor imunologi, genetic, dan microbial yang rumit.

KEGAGALAN TOLERANSIKegagalan kematian Sel yang diinduksi oleh Aktivasi. Aktivasi sel T yang berpotensi autoreaktif secara persisten dapat menyebabkan apoptosis sel tersebut melalui system ligan Fas-Fas. Hal ini berarti kelainan pada jalur ini memungkinkan terjadinya proliferasi dan persistensi sel T autoreaktif dalam jaringan perifer. Sebagai penunjang hipotesis ini, dilakukan percobaan, yaitu tikus dengan kelainan genetic dalam Fas atau ligan Fas menderita penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, sejauh ini tidak ada penderita SLE yang ditemukan mengalami mutasi dalam gen Fas atau ligan Fas, kelainan kecil lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada penyakit autoimin manusia.Gangguan pada Anergi Sel T. perlu diingat bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari pemersihan sentral akan menjadi anergik pada saat sel tersebut bertemu dengan antigen sendiri tanpa adanya kostimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi semacam itu dapat rusak jika sel normal yang iasanya tidak mengeluarkan molekul kostimulator dapat diinduksi untuk melakukan hal tersebut. Dalam kenyataanya induksi semacam itu dapat terjadi setelah infeksi, atau dalam situasi lain yang terjadi nekrosis jaringan dan inflamasi local.Pemintasan kebutuhan sel B untuk antuan sel T. banyak antigen sendiri yang mempunyai determinan beragam, beberapa di antaranya dikenali oleh sel B, dan yang lain oleh sel T. Respon antibody terhadap antigen tersebut hanya terjadi jika sel B dan yang lain oleh sel T. Respon antibody tersebut hanya terjadi jika sel B yang berpotensi self-reactive menerima bantuan dari sel T, dan toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai dengan pembersihan atau anergi sel T halper dengan adanya sel B spesifik yang sangat kompeten. Oleh karena itu, bentuk toleransi ini dapat diatasi jika kebutuhan terhadap sel T helper yang toleran tergantikan. Satu cara melakukan ini adalah jika epitop sel T dari suatu antigen sendiri dimodifikasi yang memungkinkan pengenalan oleh sel T yang tidak dimusnahkan. Sel ini kemudian dapat ekerjasam dengan sel B yang membentuk autoantibody. Modifikasi determinan sel T suatu antigen yang semacam itu dapat dihasilkan dari pembentukan kompleks dengan obat atau mikroorganisme.Kegagalan supresi yang diperantarai sel T. kemungkinan berkurangnya fungsi sel T-regulator yang dapat menyebabkan autoimun merupakan hal ynag sangat menarik.Mimikri molecular. Beberapa agn infeksius memerikan epitop kepada antigen diri, dan respon imun yang melawan mikroba tersebut akan menghasilkan respon yang serupa terhadap antigen diri yang bereaksi silang.Aktivasi limfosit poliklonal. Toleransi dipertahankan melalui anergi, namun, autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self reactive tetapi anergik tersebut dirangsang oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen. Beberapa mikroorganisme beserta produknya mampu menyebabkan aktivasi poliklonal Sel B.Pelepasan antigen terasing. Setiap antigen sendiri yang benar-benar telah diasingkan selama perkembangannya mungkin dianggap asing jika selanjutnya bertemu dengan system imun. Yang termasuk pada katagori ini adalah antigen spermatozoa dan antigen ocular. Uveitis pascatrauma dan orkhitis pascavasektomi mungkin terjadi akibat respon imun melawan antigen yang biasanya diasingkan oleh mata dan testis.Pajanan epitop sendiri yang tersembunyi dan penyebaran epitop. Tiap-tiap protein sendiri mempunyai determinan antigen (epitop) yang relative sedikit yang diproses secara efektif dan disajikan. Selam perkembangannya sebagian besar sel T yang mampu bereaksi dengan epitop dominan semacam itu dimusnahkan dalam timus atau menjadi anergik dalam perifer. Sebaliknya sejumlah besar determinan sendiri tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh system imun, jadi sel T yang spesifik untuk epitop sendiri yang tersembunyi/rahasia tersebut tidak dimusnahkan. Hal itu berarti sel T semacam itu dapat menyebabkan penyakit autoimun jika epitop rahasia tersebut kemudian disajikan dalam suatu bentuk imunogenik.

3. Jelaskan factor imun yang berperan pada autoimunitas! Yunita Maharani Burhan 2013730187 a. Sequestered antigen Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari system imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal system imun.[footnoteRef:1] [1: ]

Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan system imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraocular, sperma, dan MBP ( Myelin Basic Protein ). Uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi diduga disebabkan respon autoimun terhadap sequestered antigen. MBP yang dilepas oleh infeksi dan meningkat (oleh kerusakan sawar darah-otak/inflamasi virus) akan mengaktifkan sel B dan T yang imunokompeten dan menimbulkan ensefalomielitis pasca infeksi. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun. Gambar dibawah ini :

b. Gangguan presentasiGangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkat respon MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respon terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. Respon imun selular terhadap mikroba dan antigenasing lainnya dapat juga menimbulkan kerusakan jaringan di tempat infeksi atau pajanan antigen.

c. Ekspresi MHC-II yang tidak benarSel pancreas pada penderita dengan IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus) mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II, sedang subjek sehat sel mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan kelenjar tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membrane. Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan pada APC (Antigen Presenting Cell) dapat mensensititasi sel Th terhadap peptide yang berasal dari sel atau tiroid dan mengaktifkan sel atau Tc atau Th1 terhadap self antigen.d. Aktivasi sel B poliklonalAutoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS (Lipopolisakarida) dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas.e. Peran CD4 dan reseptor MHC Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi. Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE (Experimental Allergic Encephalitis) ditimbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat dipindahkan dari hewan yang satu ke hewan yang lain melalui sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP atau PLP (Proteolipid Protein) atau sel lain dari klon sel T asal hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibody anti CD4. Sel T mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptide antigenic. Untuk seseorang menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri.f. Keseimbangan Th1-Th2Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress penyakit. Pada EAE sitokin Th1 (IL-2, TNF- dan IFN-) ditemukan dalam SSP dengan kadar tertinggi pada penyakit.g. Sitokin pada autoimunitasBeberapa mekanisme control melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya. Gangguan mekanismenya meningkatkan regulasi atau produksi antagonis sitokin yang tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik. Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai factor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.Defek produksi sitokin atau sinyal yang dapat menimbulkan autoimunitas

Sitokin atau proteinDefekDampak

TNF-Ekspresi berlebihanIBD, artritis, vaskulitis

TNF-Ekspresi yang kurangLES

Antagonis IL-1REkspresi yang kurangArtritis

IL-2Ekspresi berlebihanIBD

IL-7Ekspresi berlebihanIBD

IL-10Ekspresi berlebihanIBD

IL-2REkspresi berlebihanIBD

IL-10REkspresi berlebihanIBD

IL-3Ekspresi berlebihanSindrom demielinisasi

IFN-Ekspresi berlebihan di kulitLES

TGF-Ekspresi yang kurangSystemic wasting syndrome dan IBD

TGF-r pada sel TEkspresi berlebihanLES

1. Jelaskan factor lingkungan yang berpengaruh pada autoimunitas!Fitria Dwi Ambarini2013730145

Mikrobia,hormon,radiasi UV,oksigen,radikal bebas,obat dan agen bahan lain seperti logam dapat memicu autoimunitas.

1. mikrobiamikrobia dapat menyebabkan autoimun contohnya pada

1.Sindrom reiter dan atritis reaktif infeksi saluran cerna oleh sallmonela sigella atau kampilobakter dan saluran kencing oleh klamidia trakomatis atau ureaplasma urealitikum dapat memaci sindrom reiter berupa triaduretritis, artritis dan uveitis.inflamasi insersi tendon dan ligament pada tulang merupakan ciri sindrom reiter dan atritis reaktif.sel sel inflamasi ditemukan dalam cairan synovial.

2. Eritema Nodosum eritema nodosum biasanya terjadi pada orang dewasa usia 18 -33 tahun. Infeksi streptokoks ditemukan pada 28% klamidia pada 15% dan kadang ditenukan infeksi spesies mikoplasma, Yersinia,HBV,dan tuberculosis.nodul ditemukan terutama pada ekstremitas bawah di permukaan ekstensor, namun lesi dapat pula ditemukan dikaki atau lengan bawah. Dapat pula ditemukan sindrom Lofgren berupa eritema nodosum, limfadenopati hilus bilateral dan poliartritis terutama dipergelangan kaki seperti terlihat pada sarkoidosis berbagai infeksi yang berhubungan dengan ertiema nodosum

B.Hormon Penyakit AL lebih sering ditemukan pada wanita disbanding pria. LES ditemukan 10 kali lebih banyak pada wanita disbanding pria. Ouncak awitan penyakit AL terbanyak ditemukan pada periode reproduksi ; estrogen diduga merupakan pemicu kadar prolactin yang timbul tiba-tiba seletah kehamlian cenderung menimbulkan penyakit AL seperti AR.

Pada model hewan, menangkat ovarium dapat mencegah terjadinyaAL spontan, terutama LES dan pemberian eterogenmeningkatkan kejadian penyakit AL. Estrogen diduga merangsang resppn imun tertentu. Hormone pituitary prolactin menunjukan efek imuostimulasi terutama terhadap sel T. ambang hormone hipofisa prolactin yang meningkat dengan cepat seletah hamil menunjukan efek stimulasi sel T dan diduga berhubungan dengan terjadimnya beberapa penyakit AL, teruatama AR.C. OBATBeberpa obat dapat menginduksi produksi ANA dan anti-DNA tetapi jarang disetai LES klinis. Sejumlah obat dihubungkan dengan ANCA. Kebanyakan kasus adalah ringan, embaik dam antibody menghilang bila obat yang menimbilkannya dihentikan.1

5. Jelaskan Penyakit Autoimun Spesifik Organ! Afifah Qonita 2013730123

Salah satu penyakit dari golongan spesifik organ adalah penyakit autoimun endokrin. Diduga autoimunitas diawali dengan proses inflamasi (akibat infeksi) dalam kelenjar endokrin. Sel inflamasi menghasilkan interferon dan sitokin lain yang menginduksi ekspresi MHC kelas II pada permukaan endokrin. Kesalahan dalam ekspresi MHC kelas II atau pengenalan kompleks MHC antigen oleh sel-sel sistem imun secara tidak tepat mengakibatkan autoantigen dianggap sebagai asing. Sel endokrin berfungsi sebagai APC bagi protein selnya sendiri yang dikenal oleh sel T dan sel B autoreaktif yang mengakibatkan destruksi sel-sel endokrin secara enzymatic dan oksifatif. Hal ini menyebabkan lebih banyak antigen kelenjar endokrin yang dilepaskan dan berinteraksi dengan sel-sel sistem imun. Mekanisme lain yang juga mungkin terjadi adalah interaksi idioptianti-idiotip seperti diuraikan diatas. Adanya autoantibodi spesifik organ tertentu digunakan sebagai parameter untuk menunjang diagnosis.

Organ spesifik :

Kelenjar tiroidKelenjar adrenalLambungPancreas

Berbagai Jenis Penyakit Autoimun Organ Spesifik :

- Tiroiditis Hashimoto

tiroiditis kronis terjadi paling sering pada wanita usia 30-50 tahunan dan sebut sebagai penyakit Hashimoto. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada penampilan histologis kelenjar yang mengalami inflamasi. Bentuk kronis biasanya disertai dengan nyeri, gejala tekan, atau demam dan aktivitas tiroid biasanya normal atau lambat. Imunitas selular berperan signifikan dalam pathogenesis tiroiditis. Redisposisi genetic tampak juga signifikan dalam etiologinya jika dibiarkan tidak diobati penyakit secara lambat berkembang menjadi Hipotiroidisme.2 Pada hashimoto proses apoptosis menyebabkan destruksi sel-sel kelenjar tiroid. Gambaran klinik : mungkin dijumpai pembesaran kelenjat dan kelainan fungsi. Sebagian besar penderita menunjukan eutiroid, tetapi juga menunjukan hipotiroid atau hipertiroid. Pada penyakit ini dijumpai berbagai jenis autoantibodi yaitu : anti-tiroglobulin, anti-mikrosom, anti-tiroksin. Disamping itu terdapat infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma dalam kelenjar, bahkan sering kali infiltrasi itu mendesak hampir seluruh struktur jaringan kelenjar dan sensitisasi terhadap antigen tiroid walaupun autoantibodi tampaknya mempunyai peran penting dalam menimbulkan kelainan, ternyata bahwa respon imun selularlah yang terutama menimbulkan keadaan patologik. Keadaan ini meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik dan produksi limfokin oleh limfosit T. Besar kemungkinan bahwa autoantibodi dibentuk karena adanya kerusakan sel akibat respon imun selular. Tetapi limfosit T sendiri tidak bersifat sitotoksik terhadap sel kelenjar tiroid, karena itu diduga bahwa disini berperan sitotoksik dengan bantuan antibodi (ADCC). Antibodi atau kompleks autoantigen autoantibodi melekat pada sel folikular dan sel itu selanjutnya dirusak oleh sel NK.

-Tirotoksikosis Grave's

Penyakit Graves yang juga dikenal sebagai toxic goiter atau exophtalmic goiter timbul sebagai sebagai akibat produksi antibody yang merangsang tiroid. Ciri penting dari penyakit ini adalah: adanya antibody terhadap reseptor permukaan sel tiroid yang merangsang kelenjar tiroid; Salah satu antibody yang dikenal sebagai long acting thyroid stimulator (LATS) atau thyroid stimulating antibody (TSAb). Beberapa jenis TSAb dapat bereaksi dengan reseptor TSH yang terdapat pada permukaan kelenjar tiroid. Interaksi antara TSAb dengan reseptor TSH menyebabkan aktivitas sama yang seperti aktivitas yang dihasilkan oleh rangsangan TSH, yaitu produksi hormone tiroid melalui system adenylate cyclase. Diduga TSAb berkaitan dengan salah satu bagian reseptor TSH atau molekul yang terdapat pada reseptor. Reaksinya analog dengan stimulasi limfosit; limfosit B dengan reseptor immunoglobulin permukaan (sIg) dapat dirangsang untuk memproduksi immunoglobulin apabila ada induksi pada reseptor tersebut oleh antigen maupun oleh anti-imunoglobulin. Bukti lain bahwa TSAb dapat merangsang produksi hormone tiroid adalah bahwa TSAb-IgG yang berasal dari wanita hamil penderita penyakit Graves dapat melewati plasenta dan dapat menyebabkan hipertiroidi pada neonates, tetapi hipertiroidi neonates ini akan sembuh bila antibody yang berasal dari ibu itu telah menghilang karena katabolisme. Ada dugaan bahwa pembesaran kelenjar tiroid pada penyakit Graves disebabkan reaksi antara antibody dengan reseptor pertumbuhan (growth reseptor). Hal ini menyebabkan sel kelenjar berproliferasi yang dapat dinyatakan dengan hiperaktivitas metabolic.

-Diabetes Melitus tipe IKlasifikasi Etiologis Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (1997) adalah distruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik atau pun idiopatik. Pada Diabetes Melitus tipe I terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetic yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pancreas. Respons autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibody terhadap sel pulau Langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes mellitus tipe I mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus dengan insulin, onsetnya akut, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% kembar identic terkena, didapatkan antibody sel islet.1Diabetes Melitus Tipe I dikenal sebagai penyakit metabolic multisystem yang disebabkan destruksi sel-sel b-pankreas yang memproduksi insulin oleh proses autoimun yang spesifik sel-b. Penyakit ini masuk dalam kelompok sindrom poliendokrin autoimun (autoimmune polyendocrine syndrome) dan berkaitan dengan penyakit autoimun lain, misalnya dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti halnya penyakit autoimun yang lain factor genetic memegang peran penting dalam terjadinya penyakit ini. Berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa pada penyakit ini dijumpai kelainan pada gen AIRE dan Foxp3, di samping kelainan pada berbagai jenis gen MHC seperti DR 34-DQ2/DQ8. Dasar pathogenesis penyakit ini adalah destruksi sel b-pankreas. Berbagai unsur seperti autoantigen sel b-pankreas, makrofag, sel denritik, limfosit B dan T terbukti terlibat dalam proses destruksi atau pathogenesis penyakit autoimun ini. Autoantigen sel-b dilepaskan oleh sel-b melalui cell-turnover atau kerusakan sel, kemudian diproses dan dipersentasikan kepada sel T oleh APC. Makrofag dan sel denritik merupakan sel-sel yang pertama menginfiltreasi kelenjar pancreas. Tipe kerusakan jaringan dapat dikelompokan sebagai hipersensitivitas tipe lambat (DTH) yang dimediasi oleh sel CD4+ Th1 yang raktif terhadap autoantigen sel b-pankreas termasuk terhadap insulin. Disamping itu kerusakan sel juga dapat terjadi melalui lisis sel oleh CTL yang melepaskan perforin dan granzyme. Produksi local berbagai sitokin pro-inflamasi seperti TNF dan IL-1 serta ROS yang diproduksi oleh makrofag teraktivasi juga memegang peran penting pada kerusakan sel b. Destruksi sel ini merupakan respons primer diikuti oleh respons sekunder yaitu produksi aituantibodi anti-insulin. Sel T sitotoksik (CTL) pada diabetes mellitus tipe I secara khusus merusak sel b pancreas yang memproduksi insulin tanpa merusk sel-sel pulau Langerhans yang lain. Kerusakan sel pancreas pada diabetes tipe I merupakan proses yang terjadi gradual pada waktu lama. Bila ambang batas antara keadaan subklinik dengan simptomatik dilampau, 5-20% sel masih hidup. Pada stadium ini terjadi penurunan produksi insulin, namun ternyata keadaan ini masih reversible. Kenyataan ini mempunyai makna terapeutik yang penting karena euglikemia kadang-kadang masih bisa dikembalikan dengan intervensi yang teapt. Selain itu proses penurunan masa sel b dapat dihentikan sementara (atau seterusnya bila penyakit masih dini) antara lain dengan memeberikan non-Fc-binding anti-CD3 dan hsp277. Belum banyak yang diketahui mengenai marker serologic penyakit ini, tetapi yang sudah dikenal dan dapat diguhnakan sebagai parameter diagnostic penyakit ini adalah anti-insulin dan anti-GAD65 (glutamic acid decarboxylase).

6. Jelaskan autoimun nonspesifik organ!Nadira Juanti Pratiwi2013730160Golongan penyakit autoimun yang tidak spesifik organ dan paling sering dijumpai adalah:1. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)Manisfestasi lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE) umumnya terjadi pada berbagai organ dan jaringan di seluruh tubuh dan terutama ditandai dengan vasculitis sistemik yang tidak diketahui sebabnya. Karena faktor etiologi belum diketahui pasti, maka diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan adanya sejumlah gejala klinik dan data laboratorium. Untuk membakukan cara penentuan diagnosis, ARA (American Rheumatism Association) mengemukakan kriteria diagnostic yang telah disepakati secara internasional, yaitu bahwa diagnosis SLE dipastikan apabila dijumpai 4 kriteria dari daftar kriteria diagnostic pada table dibawah ini:

KRITERIAMANIFESTASI

Ruam pada mukaEritema, rata atau sedikit timbul di atas permukaan, menyerupai bentuk kupu-kupu

Ruam discoidRuam berbentuk benjolan yang timbul diatas permukaan, dengan lapisan keratin kulit terlepas

FotosensitivitasRuam kulit sebagai akibat reaksi berlebihan terhadap sinar matahari

Luka-luka pada mulut atau nasofaringBiasanya tidak terasa sakit (painless)

ArtritisArtritis mengenai 2 atau lebih sendi, bengkak dan terasa sakit

SerositisPleuritis atau pericarditis

Kelainan ginjalProteinuria >3+ atau ada torak bergranula

Kelainan neurologicPsikosis atau kejang-kejang

Kelainan hematologicAnemia hemolitik dengan retikulositis, leukopenia, limfopenia, trombositopenia

Kelainan imunologikSel LE positif, anti-DNA dengan titer tinggi anti-Sm positif

Antibodi antinuclearTiter ANA meningkat

Seperti pada penyakit autoimun yang lain, penyebab SLE adalah multifactor. Diduga bahwa faktor genetic memegang peran penting pada patofisiologi SLE, karena ternyata bahwa anti-DNA sering dijumpai pada beberapa anggota keluarga penderita SLE dan bahwa 70% saudara kembar monozigot penderita SLE dapat menderita kelainan yang sama. Pembentukan antibody juga ditentukan secara genetic. Pasien dengan HLA-DR2 cenderung memproduksi anti-SS-A. Beberapa gen lain terbukti mempunyai hubungan SLE seperti pada table dibawah ini:

Lokasi SitogenetikGen kandidat dengan lokusnyaRespon Imun

1q23CRPFCGR2AFCGR2BFCGR3AFCGR3BBawaanBawaanAdaptifAdaptifAdaptif

1q25-311q41-42PARPTLR5ApoptosisBawaan

2q35-37PDCD1Bawaan

4p16-15.26p11-21MHC Kelas II : DRB1MHC Kelas III : TNF-C2, C4AdaptifAdaptifBawaan

12q2416q12-13OAZAdaptif

Lokus suseptibilitas yang dikonfirmasi berkaitan dengan SLE

Pada penderita yang secara genetic menunjukan predisposisi untuk SLE dapat dijumpai gangguan sistemik regulasi sel T dan fungsi sel B, yang dapat diinduksi oleh berbagai hal. Pada umumnya pathogenesis terjadinya SLE sama dengan pathogenesis penyakit autoimun yang lain yaitu adanya kehilangan self-tolerance yang melibatkan berbagai unsur seluler dan humoral mulai dari sel T, B, APC, (makrofag dan dendritic). Gejala awal yang menetap adalah energy terhadap antigen yang umum (recall antigen). Diduga hal ini timbul akibat adanya anti-limfosit T yang menyebabkan limfopenia dan kepekaan terhadap infeksi oportunistik. Defisiensi sel T supresor, atau aktivasi berlebihan melalui pembentukan B-cell-growth-factor (BCGF) dan B-cell-differentiation-factor (BCDF). Beberapa penelitian terakhir mengungkapkan bahwa pengikatan TLR oleh RNA dan DNA memegang peran penting dalam mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibody terhadap asam nukleat ini dan terhadap nucleoprotein. Hiperaktivitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobulinemia dan adanya sel B yang memproduksi immunoglobulin berlebihan di daerah tepi. Hiperaktivitas sel B tidak selalu harus menyulut pembentukan ANA atau anti-DNA, bila tidak ada kelainan gen yang menyebabkan system imun sangat responsive terhadap self antigen. Pada penderita SLE ternyata bahwa aktivasi sel B menyebabkan pembentukan ANA, anti-dsDNA, anti-nucleosome dan anti--actinin secara tidak terkendali, yang kemudian berikatan dengan antigen yang relevan. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dapat mengaktivasi komplemen yang berakibat kerusakan jaringan, misalnya kerusakan pembuluh darah (vasculitis), kerusakan glomerulus (glomerulonephritis) dan kerusakan jaringan lain. Namun demikian, pada penelitian-penelitian terakhir terbukti bahwa autoantibodi baru mengendap dalam jaringan yang mengalami inflamasi itu meng-ekspose antigen nuclear setelah mengalami apoptosis, jadi dengan kata lain sumber dari autoantigen itu adalah sisa (debris) sel yang mengalami apoptosis. Tabel dibawah ini memperlihatkan autoantibodi pathogen dengan SLE:

Spesifitas antigenPrevalensi %Dampak klinik utama

Anti-dsDNA70-80Penyakit ginjal, kulit

Nukleosom60-90Penyakit ginjal, kulit

Ro30-40Penyakit kulit, ginjal, kelainan jantung pada fetus

La15-20Kelainan jantung pada fetus

Sm10-30Penyakit ginjal

Reseptor NMDA33-50Penyakit susunan saraf pusat

Fosfolipid20-30Trombosis, keguguran

a-Actin20Penyakit ginjal

C1q40-50Penyakit ginjal

Tabel autoantibodi pathogen pada SLE

Salah satu hal yang dapat menyulut manifestasi penyakit adalah pemaparan terhadap sinar matahari khususnya UV. Hal ini terjadi karena sel-sel Langerhans pada kulit yang tergolong monosit dan makrofag, memproduksi IL-1 yang merangsang sel T CD4+ sehingga terjadi respon imun seluler secara spontan pada daerah yang terkena sinar UV. Hal lain yang dapat menyulut manifestasi SLE adalah infeksi bacterial atau virus yang dapat merangsang aktivitas makrofag dan monosit, serta penggunaan obat yang dapat mengikat DNA misalnya isoniazid. Salah satu cara diagnosis laboratorium SLE adalah uji serologic. Yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode imunofluoresensi menggunakan sel HEp-2 sebagai substrata atau sel sasaran.

Pola imunofluoresensiSpesifik AntigenPenyakit terkait

HomogenDNASLE

DifusHistoneDIL, SLE

Perifer (Rim)DsDNASLE

Speckled kasarSm, Ul-RNPSLE,SS

Speckled halusRo, LaSS, SCLE, NL

CentromerCENPCREST

Nukleolar speckledScl-70, RNA polymeraseScl

Nukleolar homogenyPmScl, KuScl, PM-Scl-SLE

SitoplasmikRibosomal proteinSLE

Pola imunofluoresensi yang sering dijumpai:

1. Artritis ReumatoidKelainan sendi yang sering dijumpai pada artritis rheumatoid pada hakekatnya terjadi akibat pertumbuhan sel-sel synovial yang merusak tulang dan tulang rawan. Menurut pengertian pathogenesis artritis rheumatoid saat ini, penyakit diawali dengan aktivasi sel T autoreaktif yang kemudian bermigrasi kedalam rongga synovial dan menginduksi aktivasi sel-sel efektor seperti sel-sel synovial dan sel B, melalui sitokinin yang diproduksi oleh sel T. Membran synovial menjadi hiperseluler karena penimbunan sejumlah besar limfosit dalam berbagai stadium aktivasi, sel plasma dan makrofag. Semua sel menunjukan aktivitas yang tinggi dan interaksi antar sel-sel itu menyebabkan pembentukan immunoglobulin dan factor rheumatoid. Sel T dan sitokin yang diproduksinya terlibat dalam pathogenesis penyakit ini dibuktikan oleh penelitian yang melakukan pemantauan perubahan kadar IL-1, IL-6, TNF- dan IL-10 serta TNF-RI, II dan sIL-10R pada penderita arthritis rheumatoid yang diberi sejalan dengan perbaikan klinis. Diduga penyakit ini disebabkan oleh infeksi; salah satu yang diduga penyebabnya adalah virus Epstein-Barr (EBV) walaupun bukti kearah itu belum nyata. Dugaan ini timbul karena EBV dapat menyebabkan infeksi laten atau persisten, dan dapat menyebabkan proliferasi limfosit B in vitro. Pengendalian infeksi EBV sangat bergantung pada kemampuan sel limfosit T untuk menghancurkan limfosit B yang terinfeksi EBV, karena itu dieprlukan pengenalan terhadap self. Sel T pada penderita arthritis rheumatoid ternyata tidak mampu mengenali limfosit B yang terinfeksi, dan hal itu dikaitkan dengan kelainan pada gen respons imun. Interaksi antara factor rheumatoid dengan Fc-IgG dan C1q membentuk kompleks, yang bila terdapat dalam sendi akan mengawali terjadinya reaksi Arthus. Sel-sel polimorfonuklear akan melepas enzim lisozom, termasuk proteinase dan kolagenase yang dapat merusak tulang rawan sendi. Kompleks itu juga akan merangsang sel-sel synovial yang mirip makrofag untuk melakukan fagositosis. Sebaliknya, makrofag merangsang limfosit T untuk melepaskan berbagai limfokin, salah satu diantaranya adalah fibroblast stimulating factor yang merangsang proliferasi fibroblast, dan faktor kemotaktik yang menarik granulosit ke tempat terjadinya kerusakan. Makrofag yang teraktivasi melepaskan berbagai mediator diantaranya plasminogen, interleukin-1 dan prostaglandin E2 (PGE2) yang dapat mengakibatkan osteoklas sehingga terjadi respons tulang dan mengakibatkan penyakit lebih parah. Beberapa tahun terakhir diketahui bahwa pada penderita arthritis rheumatoid dapat dijumpai autoantibodi antiperinuklear yang dikenal juga sebagai anti-kreatin. Antibodi ini mengenali epitope yang mengandung citrulin yang merupakan bentuk deaminasi dari arginine sehingga disebut sebagai abti-cyclic-citrulinated peptide (abti-CCP). Citrulinasi adalah konversi arginine menjadi citrulin pasca-translasi oleh enzim yang disebut peptidyl arginine deaminase (PAD). PAD ini dalam keadaan normal terdapat intraseluler dalam keadaan inaktif. Selama proses apoptosis yang terjadi dalam sendi penderita arthritis rheumatoid, PAD keluar dari sel yang mengalami apoptosis dan dapat menyebabkan citrulinasi arginine ektraseluler. Dari beberapa penelitian memang terungkap bahwa citrulinasi terutama dalam sel yang mengalami apoptosis. Dalam sinovium sendi citrulin bertindak sebagai stimulant antigenic untuk menginduksi antibody anticitrulinated protein (ACPA) saat ini merupakan uji serologic arthritis rheumatoid yang dianggap cukup sensitive dan spesifik, bahkan beberapa peneliti berpendapat bahwa keberadaan anti-CCP dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai faktor prognosis dan merupakan predictor untuk progresitivitas penyakit.

Uji Serologik Arthritis Rheumatoid:1. Faktor Rheumatoid Ciri utama yang menentukan arthtritis rheumatoid adalah adanya antiglobulin yang disebut faktor rheumatoid, yaitu suatu autoantibodi terhadap fragmen Fc dari IgG. Sebagian besar faktor rheumatoid terdiri atas molekul IgM yang dapat dideteksi dengan cara aglutinasi lateks. Mungkin juga faktor rheumatoid terdiri atas molekul IgM yang tidak dapat dideteksi dengan cara aglutinasi sehingga dianggap seronegatif, tetapi dapat dideteksi dengan cara yang lebih sensitive misalnya dengan cara RIA. Hasil negative palsu mungkin dijumpai bila binding sites IgM dengan IgG membentuk kompleks yang larut dan tidak menimbulkan aglutinasi. Namun, kasus yang benar-benar seronegatif juga ada, yaitu bila arthritis rheumatoid terjadi pada penderita agamaglobulinemia. Terbentuknya anti IgG diduga merupakan akibat autosensitisasi IgG. Anti-imunoglobulin atau faktor rheumatoid diproduksi sebagai reaksi terhadap IgG yang mengalami perubahan konfigurasi. Perubahan konfigurasi atau struktur IgG telah terbukti disebabkan glikosilasi abnormal pada fragmen Fc dari IgG. Akibat perubahan struktur pada fragmen Fc ini maka fragmen Fc IgG dianggap asing sehingga menyulut pembentukan anti-IgG.

1. Antibodi AntinuklearAntibodi Antinuklear (ANA) seperti yang dijumpai pada SLE juga dapat dijumpai pada arthritis rheumatoid. Sebab terbentuknya ANA belum diketahui pasti, namun beberapa hipotesis, menyatakan bahwa pembentukan ANA disebabkan sel B yang hiperaktif, dan aktivasi klon yang autoreaktif baik karena gangguan sel T-supresor atau regulator, maupun stimulasi poliklonal terhadap sel B oleh mikroba atau virus. Akhir-akhir ini terungkap bahwa dalam serum penderita dapat dijumpai suatu antibody yang ditujukan terhadap antigen nucleus limfosit yang terinfeksi dengan virus Epstein-Barr. Antibody ini tidak bereaksi dengan nucleus limfosit normal.

1. Anti-CCPAutoantibodi yang saat ini paling spesifik untuk arthritis rheumatoid adalah antibody yang diarahkan kepada antigen atau epitope yang mengalami citrulinasi. Anti-CCP dapat dijumpai beberapa tahun sebelum muncul gejala erosive sendi secara klinik. Kadarnya makin meningkat menjelang muncul gejala erosive itu sehingga dapat digunakan sebagai predictor progresivitas penyakit. Saat ini telah tersedia test anti-CCP generasi kedua (anti-CCP2) yang lebih sensitive dan spesifik dibanding test anti-CCP generasi pertama (anti-CCP1) dengan sensitivitas 95%. Pengukuran kadar anti-CCP pada awitan penyakit dapat membantu mengidentifikasi penderita arthritis rheumatoid yang menunjukan seronegatif untuk faktor rheumatoid.

7. Jelaskan Diagnosis Terkait Autoimunitas! Fina Hidayat 2013730144

Diagnosis Autoimunitas

1. Uji Aglutinasi 2Darah merah yang diinkubasi dengan spesifik antigen yang dimurnikan (eg, thyroglobulin), yang diadsorbsi ke permukaan sel. Antigen sel berlapis yang ditangguhkam dalam serum pasien, dan antibodi terdeteksi oleh sel darah merah yang teraglutinasi. Antigen yang berlapis partikel latex diganti untuk sel darah merah dalam fiksasi lateks. 1. Antibodi dalam serum 1,2Menemukan auto-antibodi dalam serum pada umumnya dilakukan dengan 4 cara yaitu RIA (Tabel 12.15), ELISA (Tabel 12.16), Imunofluorescent, elektroforsis countercurrent. Imunofluoresensi merupakan cara yang paling kurang sensitif. RIA memerlukan reagens mahal. ELISA menghindari penggunaan radioisotop, tetapi memerlukan peralatan khusus, ELISA sangat sensitif dan kurang prakrtis dibandingkan dengan teknik radioimunassay. Elektroforesis countecurrent mudah dikerjakan, murah, tetapi relatif insensitif.Tabel 12.15Tabel 12.15 Beberapa antibody yang ditemukan dengan RIA

AntibodiMetodaHasil Relevansi Klinis

dsDNA125|-DNA-ikatan direkPresentase atau IU/mlIkatan LESHepatitis kronis aktif

Antibody reseptor asetilkolinIkatan direk dengan 125|-bungarotoksin dengan asetilkolinIkatan dilaporkan sebagai fmol/l dari reseptor antibody spesifik asal Cell LineMiastenia gravis

Tabel 12.16Tabel 12.16 Beberapa autoantibodi yang ditemukan dengan ELISA

antibodiAutoantigen sasaranRelevansi klinis

Ab mikrosom tiroidPeroksidase tiroidPenyakit tiroid autoimun

Ab mitokondria (M2)Kompleks E2 piruvat dehydrogenaseSirosis bilier primer

Ab membrane basal glomerulusTerminal C kolagen tipe IVSindrom GoodpasteurNefritis membrane basal antiglomerulus

cANCAProteinase 3Granulomatosis Wegener

pANCAmieloperoksidasePoliarteritis mikroskopis

dsDNAdsDNALES

Ab fosfolipid Kardiolipin Sindrom antibody fosfolipid primer

1. Imunofluoresensi IFT (Imunofluorescent technique) digunakan untuk menemukan banyak autoantibodi dalam serum. Spesimen biopsi dapat diperiksa dengan cara imunohistikimia. Endapan imunoglobulin yang terjadi karena reaksi dengan organ atau antigen spesifik untuk jaringan. Cara ini terutama penting untuk diagnosis penyakit antibodi basal membran glomerulus dan penyakit bulosa kulit.Jaringan hewan dapat digunakan bila mengandung antigen sama dengan manusia, tetapi beberapa autoantigen tebatas pada jaringan manusia atau cell line manusia. Jaringan dibuat dengan kriostat dan segera dibekukan (-200C). Gambaran nuklear untuk ANAS berguna tetapi tidak diagnostik. (Tabel 12.19)

Tabel 12.17Tabel 12.17 IFT indirek untuk antibody non-organ spesifik yang jarang

Autoantibodi Substrat khasGambaran pewarnaanRelevansi klinik utama

ANA (Anti nuclear antibody)Human cell line (HEp2 atau hati tikus)Semua nukleusTes skrining untuk penyakit reumatik

SentromerHep2Sentromer kromosom manusiaSclerosis sistemik terbatas (sindrom CREST)

SMA (Smooth muscle antibody)Lambung, hati, ginjal tikusOtot polos mis. Membrane mukosa, otot kelenjar intergastrik dan tunika media arteri Hepatitis kronis aktifKerusakan hati nonspesifik (lemah)

AMA (Antimitochondrial antibody)Ginjal, hati, lambung tikusSemua mitokondria terutama tubulus distal ginjalSirosis bilier primer

Antibody endomisialEsophagus kera Sarkolemna fibril otot polosPenyakit coellac, dermatitis herpetiformis

ANCA (Anti-neutrophil cytoplasmic antibody)Neutofil manusiaSitoplasmik (cANCA) Perinuklear (pANCA)Granulomatosis Wegener, poliarteritis mikroskopikBanyak bentuk vaskulitis

Tabel 12.18Tabel 12.18 IFT indirek untuk antibodi organ spesifik yang sering

Autoantibodi Substrat khasGambaran pewarnaanDitemukan klinis utama (referensi kasus)

Antibody sel parital gasterLambung tikusHanya sel paritalAnemia pernisiosa

Antibody adrenalAdrenal manusiaSel kortikal adrenal Penyakit Addison idiopatik

Antibody sel pulau pankreasPancreas manusiaPulau sel- pankreasIDDM (insulin dependent diabetes mellitus)

Antibody kulitKulit manusia atau bibir kelinci Semen interselular intra-epidermalMembrane basal epidermalPemphigus vulgaris

Pemfigoid bulosa

Tabel 12.19Tabel 12.19 Gambaran pewarnaan IFT untuk antibody antinuclear

Gambaran Hubungan dengan penyakit

Bentuk Rim (anular perifer)LES

NukleolarLES

Bercak (speckled)LES

1. Pemeriksaan komplemenMeskipun kadar komplemen normal, namun konsumsinya dapat diketahui dngan mengukur pecaham atau produk aktivitasnya (tabel 12.20).Tabel 12.20Tabel 12.20 Interpretasi perubahan komplemen pada penyakit

Ambang KomponenJalur aktivasiContoh

C4C3Factor B

NKlasikLES, Vaskulitis

Klasik dan alternativeBakteremia Gram-negatif Beberapa kasus LES

NAlternativeAutoantibodi C3 NeF

NNKlasik untuk C4 dan C2 sajaAngioedema herediter(defisiensi inhibitor CT)

Peningkatan sintesis komponenInflamasi akut danm kronik

8. Jelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, patomekanisme, manisfestasi klinis, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, rencana rujukan, factor genetic penyakit SLEReza Achmad Prasetyo2013 730 169Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa penyakit lupus eritematosis sebenar nya terbagi menjadi 3, yaitu lupus eritematosus sistemik, discoid, dan imbas-obat. Untuk laporan pada kali ini kita angkan memperdalam ilmu mengenai lupus eritematosus sitemik atau yang biasa kita sebut dengan SLE.

DEFINISILupus, tiap kelompok penyakit kulit yang mempunyai lesi khas berupa erosi. Chilblain-erythematosus, bentuk lupus yang disebabkan oleh cedera mikrovaskulat akibat pajanan dingin, diperparah oleh dingin. Lesi awalnya menyerupai chilblain tetapi kemudianmenyerupai lupus eritematosus discoid. Cutaneous-erythematosus, salah satu dari dua bentuk utama lupus eritematosus, mungkin kulit menjadi satu-satunya organ atau organ atau system pertama yang terkena. Biasanya dikelompokkan menjadi kronik, subakut, atau akut. Discoid-erythematosus (DLE), bentuk lupus eritematosus kutaneus kronik ditandai dengan adanya macula berwarna merah dilapisi skuama tipis dan lengket yang rontok dann meninggalkan parut. Lesi seringkali membentuk pola kupu-kupu diatasbatang hidung dan pipi, tetapi juga dapat timbul didaerah lain. Drug-induced, sindrom yang serupa dengan lupus ertiematosus sistemik, dicetuskan oleh penggunaan obat tertentu dalam jangka panjang, seperti hydralazine, isoniazid, beragam antikonvulsan, atau procainamide. Erythematosus (LE), sekelompok penyakit jaringan penyambung kronik yang biasanya dikelompokan sebagai cutaneous erythematosus atau systemic erythematosus. Erythematosus-profundus, lupus eritematosus kutaneus yang ditandai dengan indurasi keran dan dalam atau nodul subkutan di kulit. Kulit yang melapisinya dapat menjadi eritema, atrofi, atau membentuk ulkus, dan pada penyembuhan dapat meninggalpak parut hipotrofi. Erythematosus-tumidus, varian lupus eritematosis discoid atau sistemik, lesinya berupa plak berwarna merah, ungu, atau coklat yang meninggi. Hypertrophic-erythematosus, bentuk lupus jenis discoid dengan lesi verukosa yang hiperkeratotik. Miliaris-disseminatus faciei, bentuk lupus yang ditandai oleh nodul superfisial dan dikret pada wajah, terutama pada kelopak mata, bibir atas, dagu, dan cuping hidung. Neonatal, ruam yang menyerupai lupus discoid, kadang disertai dengan berbagai kelainan sistemik, seperti blockade jantung atau hepatosplenomegali, pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita lupus eritematosus sistemik, penyakit ini biasanya bersifat jinak dan swasirna. Lupus pernio, mafistasi sarkoidosis pada kulit, terdiri atas plak berwarna ungu halus dan mengilat pada telinga, dahi, hidung dan jari-jari tangan, sering disertai dengan kista tulang. Lupus Vulgaris, bentuk tuberkolosis kulit yang berat yang paling sering dijumpai, biasanya mengenai wajah, ditandai oleh bercak nodul berwarna merah-coklat di dermis yang secara progresif menyebar ke perifer, menyebabkan atrofi sentral dan kemudia timbul ulserasi, parut, serta kerusakan jaringan tulang rawan pada bagian yang terkena.

Systemic lupus erythematosus (SLE), gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans, ditandai oleh adanya erupsi kulit, arthralgia, artritis, leukopenia, anemia, lesi organ, manifestai neurologic, limfadeneopati, demam, dan berbagai gejala konstitusional lainnya. Mungkin juga terdapat fenomena imunologik yang abnormal, seperti hipergammaglobulinemia, hipokomplemenemia, kompleks-antigen antibody, antibody antinuclear, dan sel LE.

Etiologi

Penyebab SLE masih belum di ketahui, tetapi adanya antibody (terhadap antigen-antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para pasien ini menunjukan bahwa kelainan mendasar pad SLE adalah kegagalan mekanisme yang mempertahankan toleransi diri. Terdapat antibody terhadap beragam komponen nucleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies. Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibody yang di tunjukan pada antigen permukaan sel darah. Selain manfaatnya dalam diagnosis dan penanganan pasien SLE, antibody-antibodi inimemiliki maknsa patogenetik yang besar, misalnya pada glomerulonephritis yang diperantarai kompleks imun yang sangat khas untuk penyakit ini.

PatogenesisANA ditunjukan pada beberapa antigen Nukleus dan dapat dikelompokan ke dalam empat kategori, yakni antibody terhadap DNA, natibodi terhadap histon, antibody terhadap protein non-histon, dan anti bodi terhadap antigen nucleus. Terdapat beberapa teknik untuk mendeteksi ANA. Di klinik, metode yang paling sering digunakan adalah imunofluoresensi tidak langsung, yang mendeteksi beragam antigen nucleus, termasuk DNA, RNA, dan protein (yang secara kolektif disebut ANA generic). Pola fluoresensi nucleus mengisyaratkan jenis antibody yang ada dalam serum pasien. Terdapat empat pola dasar. Pewarnaan nucleus yang homogeny atau difus, biasanya mencerminkan antibody terhadap kromatin, histonm dan kadang-kadang DNA untai ganda (dsDNA) Pewarnaan berpola cincin atau tepi, terutama menunjukan antibody terhadap DNA untai ganda. Pola bercak (speckled pattern) merujuk pada adanya bercak-bercak yang berukuran seragam atau bervariasi. Ini adalah salah satu pola yang paling sering ditemukan pada fluoresensi sehingga paling kurang spesifik. Pola ini mencerminkan adanya antibody terhadap konstituen nucleus non-DNA. Contohnya adalah antigen Sm, ribonukleoprotein, serta antigen reaktif SS-A dan SS-B. Pola nucleus merujuk pada adanyabeberapa titik disret fluoresensi di dalam nucleus dan mencerminkan antibody terhadap RNA nucleolus. Pola ini paling sering dilaporkan pada pasien dengan sclerosis sistemik.

Pola fluoresensi tidak mutlak bersifat spesifik untuk jenis antibody, dank karena mungkin terdapat banyak autoantibodi, kombinasi pola sering dijumpai. Uji imuniflouresensi untuk ANA positif hamper semua pasien SLE. Oleh akrena itu, penemeriksaan ini sensitive, tetapi tidak spesifik karena penyakit autoimun lain sering kali memberikan hasil positif. Selain itu, sekitar 5% sampai 15% orang normal memiliki berbagai antibody ini dalam kadar rendah, insidensnya meningkat seiring dengan pertambahan usia.Untuk mendeteksi antibody terhadap antigen nucleus spesifik diperlukan teknik-teknik khusus. Dari berbagai system pemeriksaan antibody-antigen nucleus. Antibody terhadap DNA untai ganda dan antigen Smith (Sm) hampir pasti menegakan diagnosis SLE.Meskipun tidak sempurna, terdapat kolerasi antara ada tidaknya ANA tertentu dengan manifestasi klinis. Contohnya, antibody DNA untai ganda titer tinggi biasanya berkaitan dengan penyakit ginjal aktif. Sebaliknya risiko nefritis akan rendah jika terdapat antibody anti SS-B.Selain ANA pasien lupus juga memiliki sejumlah antibody lain. Sebagian ditunjukan pada unsur-unsur darah, misalnya sel darah merah, trombosit, dan limfosit; yang lain ditujukan pada protein-protein yang berikatan denga fosfolipid. Pada thaun-tahun terakhir, perhatian banyak ditujukan pada sindrom antibody antifosfolipid. Sindrom ini terdapat pada 40% sampai 50% pasien lupus. Meskipun awalnya diperkirakan ditujukan pada fosfolipid anionic, antibody-antibodi tersebut sebenarnya ditujukan pada epitope-epitop protein plasma yang terpapar ketika protein berikatan dengan fosfolipid. Berbagai substrat protein diperkirakan berperan, termasuk protrombin, aneksin V, beta2-glikoprotein I, protein S, dan protein C. antibody terhadap kompleks fosfolipid-beta2 glikoprotein juga berikatan dengan antigen kardiolipin, yang digunakan dalam serologi sifilis sehingga pasien lupus dapat memiliki hasil positif-palsu pada pemeriksaan serologi untuk sifilis. Sebagian dari antibody ini menggangu uji pembekuan secara in vitro, misalnya waktu tromboplastin parsial. Oleh karena itu, antobodi-antibodi ini terkadang disebut sebagai antikoagulan lupus. Meskipun memiliki antikoagulan dalam darah yang memperlambat pembekuan secara in vitro, pasien pasien ini tetap mengalami hambatan yang berkaitan dengan keadaan hiperkoagulabilitas. Mereka mengalami thrombosis vena dan arteri, yang dapat menyebabkan abosrtus spontan berulang dan iskemia fokal di otak atau mata. Kumpulan gejala klinis ini, jika berkaitan dengan lupus, disebut sebagai sindrom antibody antifosfolipid sekunder. Pathogenesis thrombosis pada pasien tidak diketahui. Mekanisme mekanisme yang mungkin berperan dibahas di bab 4. Sebagian pasien membentuk autoantibodi ini dan memperlihatkan sindrom klinis tanpa SLE. Mereka dikatakan mengidap sindrom antifosfolipif primer.Begitu banyak autoantibodi yang ditemukan, tetapi kita tetap belum mengetahui mekanisme kemunculan antibody-antibodi tersebut. Saat ini, terdapat tiga factor yang berkonvergensi dan dieprkirakan berperan; predisposisi genetuk, beberapa factor nongenetik (lingkungan), dan kelainan fundamental dalam system imun.

Epidemiologi

Pada dasarnya, penyakit lupus eritematosus dapat menyerang semua kalangan. Di karenakan tindakan preventif atau tindakan pencegahan yang belum dapat diketahui secara pasti, baik di Indonesia maupun di Negara manapun. Belum ada tindakan yang dapat menccegah lupus eritematosus secara pasti, dan belum ada vaksin ataupun imunisasi untuk penyakit ini.Akan tetapi menurut beberapa kasus yang telah terjadi, lupus eritematosus seringkali menyerang wanita. Dan kuantitas dari penyakit lupus eritematosus ini lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria.SLE merupakan penyakit yang relative sering, dengan prevalensi yang dapat mencapai 1 dari 2500 pada populasi tertentu. Serupa dengan banyak penyakit autoimun lainnya. SLE terutama mengenai wanita, dengan ferkeuensi 1 dari 700 wanita berusia subur dan rasio wanita terhadap pri 9:1. Sebagai perbandingan, rasio wanita terhadap pria untuk penyakit yang timbul pada masa anak atau setelah usia 65 tahun menjadi 2:1. Penyakit ini lebih sering dijumpai dan lebih parah pada wanita amerika keturunan afrika. Meskipun biasanya muncul pada usia 20-an dan 30-an, SLE dapat muncul pada semua usia bahkan pada masa anak-anak dinis.Factor GenetikSLE adalah suatu sifat genetic yang kompleks dengan kontribusi gen-gen MHC dan non-MHC. Banyak bukti yang mendukung adanya predikposisi genetic. Anggota keluarga pasien memperlihatkan peningkatan resiko untuk mengidap SLE. Sebanyak 20% anggota keluarga dekat asimptomatik dari pasien SLE memiliki autoantibodi dan kelainan imunoregulatorik lainnya. Angka concordance (kesamaan) lebih tinggi (>20%) pada gambar monozigot dibandingakan dengan kembar dizigot (1% - 3%). Kembar monozigot yang discordant untuk SLE (satu kembar mengalami SLE dan yang lainnya tidak) memiliki pola dan titer autoantibodi yang serupa. Data data ini mengisyaratkan bahwa susunan genetic mengendalikan pembentukan autoantibody, tetapi ekspresinya penyakit (yi. Cedera ringan) dipengaruhi oleh factor non genetic (mungkin lingkungan). Studi studi tentang keterkaitan HLA juga menunjang konsep bahwa gen gen MHC lebih mengendalikan produksi autoantibodi spesifik keseimbangan menimbulkan perdisposisi umum untuk SLE. Alel alel spesifik lokus HLA-DQ dilaporkan berkaitan dengan pembentukan anti DNA untai ganda anti Sm, dan antibody antifosfolipid. Sebagian pasien lupus (sekitar 6%) mewarisi defisiensi komponen komponen awal komplemen seperti C2, C4, dan C1q. ketidakadaan komplemen dapat menggangu pembersihan kompleks imun dalam darah oleh system fagosit mononukleus sehingga kemungkinan mendapat kompleks imun dijaringan lebih besar. Mencit yang secara genetic dibuat tidak memiliki C4 atau reseptor yang komplemen tentu juga rentan mengalami autoimunitas yang mirip dengan lupus. Berbagai mekanisme diduga berperan termasuk kegagalan untuk membersihkan komplek imun dan hilang toleransi-diri sel B terdapat pemikiran bahwa defisiensi C1q menyebabkan kegagalan pembersihan sel sel apoptotic oleh system fagosit. Sel sel apoptotic ini berbentuk secara normal. Jika tidak dibersihkan, komponen komponen nukelus dapat memicu repons imun. Pada model hewan dengan SLE teridentifikasi beberapa lokus kerentanan non-MHC. Model hewan yang paling baik diketahui dengan galur mencit (NZBxNZW)f1. Pada berbagai versi galur ini diperkirakan bahwa penyakit SLE berkaitan dengan hingga 20 lokus.Perjalanan Penyakit

Sebelumnya telah jelas bahwa SLE adalah penyakit multi system dan gambaran klinisnya sangat berfariasi. Biasanya pasien adalah seorang wanita dengan sebagian tidak harus semua, gambaran berikut, yakni ruam kupu2 di wajah, demam, nyeri di sendi perifer (kaki, pergelangan kaki, lutut, paha, jari tangan, pergelangan tangan, siku, bahu), tetapi tanpa deformatis nyeri dada pleuritik dan fotosinsetivitas. Namun, pada banyak pasien gambaran SLE tampak samar dan membingungkan, yaitu berupa penykit demam yang tidka jelas sebabnya, kelainan ureine atua penyakit sendi yang mirip dengan artritis rheumatoid atau demam reumatik. ANA dapat ditemukan pada hampir 100% pasien dan juga ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun. Seperti yang disinggungkan sebelumnya, antibiotic terhadap DNA untai-ganda dan antigen Sm hampir diagnostic untuk SLE. Bebrbagai ditemukan gejala klinis dapat ditujukan keterlibatan ginjall, termasuk hematuria, silinder eritrosit, proteinuria dan pada sebagian kasus sindrom nefrotik klasik. Bukti laboratorium gangguan hematologic dijumpai pada hampir semua pasien, tetapi pada sebagian pasien, keluhan utama adalah masalah klini yang dominan adalah anemua atau trombositopenia. Pada pasien lainnya yang menjadi masalah klinis dominan adalah gangguan mental termasuk psikologis atau kejang atau penyakit areteri coroner. Pasien SLE juga rentan terhadap infeksi mungkin karena adanya disfungsi imun dan terapi dengan obat imunosupresif.Perjalanan penyakit SLE bervariasi dan sulit diduga beberapa kasus akut yang jarang menyebabkan kematian dalam beberapa minggu sampai bulan. Namun dengan terapi yang sesuai penyakit biasanya memperlihatkan perjalan kambung dan reda dalam periode beberapa tahun atau bahkan beberapa decade. Selama kekambuhan akut, peningkatan pembentukan kompleks imun dan pengaktifan komplemen menyebabkan hipokomplementemia. Eksaserbasi penyakit biasanya diterapi dengan kortikosteroid atau imunosupresan lainnya. Bahkan tanpa pengobatan, sebagian pasien perjalanan penyakit berlangsung ringan dan hanya berupa kelainan kulit dan hemutria ringan selama bertahun.Diagnosis dan Gejala Klinis

Berikut table kriteria dari gejala klinis dari penyakit SLE secara lengkap. Table diatas merupakan kriteria yang seharusnya muncul pada penderita lupus eritematosus. Untuk menegakan diagnosis, minimal 4 dari 11 kriteria yang telah disebutkan diatas terdapat pada pasien. Dengan begitu kita dapat melakukan diagnosis yang lebih pasti dan lebih tepat.Gejala klinis yang paling sering muncul yaitu malar rash, test ANA positif, sensitive terhadap paparan sinar matahari dan artritis pada sendi. Merupakan 4 hal yang biasanya paling sering muncul pada pasien dengan lupus eritematosus. Penatalaksanaan

Tindakan preventif (penderita SLE)Belum ada obat atau tindakan yang dapat menghindari pasien SLE dari penyakit ini, atau tindakan penyembuhan nya secara pasti. Akan teteapi pasien SLE bisa menghindari beberapa hal yang bertujuan untuk mengurangi manifestasi klinis yang di sebabkan penyakit ini, yaitu : Hindari keletihan atau stress fisik yang berlebihan Hindari stress mental yang berlebihan Hindari paparsan sinar matahari langsung yang menyengat kulit Jangan merokok Hindari penggunan obat yang sekira nya tidak diperlukan yang dapat menyebabkan komplikasi pada penyakit iniTerapi Medikamentosa

Monitoring (pengawasan) pasien SLE

PrognosisDengan terapi dan pengawasan secara aktif, pasien bisa sangat membaik dan diharapkan angsa kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 90% dan 10 tahun sebesar 80%. Kausa kematian tersering adalah gagal ginjal dan infeksi. Penyakit arteri coroner kini juga menjadi penyebab kematian yang penting. Pasien yang di terapi dengan steroid dan obat imunsupresan memiliki resiko yang berkaitang dengan terapi ini.Seperti uraian sebelumnya, keterlibatan kulit bersama dengan berbagai system lain cukup sering terjadi pada SLE. Selain itu dikenali adanya dua sindrom local kelainan kulit sebagai gambaran yang paling menonjol atau satu-satunya.Komplikasi Ginjal Glomerulonephritis lupus mesangial Glomerulonephritis proliferative local Glomerulonephritis proligferative difus Glomerulonephritis membranosa Fluoresensi kulit terutama hipersensitivitas terhadap sinar matahari Artritis sendi Kerusakan susunan saraf pusat Pericarditis dan kerusakan rongga serosa lainnya Pembesaran Limpa Pleuritis dan efusi pleura Vaskulitis akutRencana RujukanPada saat melakukan diagnosis, terutama bila pasien memenuhi minial 4 dari 11 kriteria wajib penyakit lupus eritematosus kita harus melakukan diagnosis apakah lupus pada pasien tersebut menyerang pada jaringana spesifik organ atau tidak. Hal yang penting lainnya yaitu kita harus membedakan 3 pembagian utama pada penyakit ini, yaitu sistemik, discoid, atau imbas obat. Yang terparah dari ketiga pembagian tersebur ialah lupus eritematosus sistemik, karena bisa menyebabkan komplikasi pada suatu spesifik organ. Bila sudah dapat dipastikan pasien menderita SLE dan sudah menyerang suato organ, sangat penting bagi kita untuk melakukan rujukan kepada dokter dengan spesialisasi dari organ yang terserang pada pasien tersebut. Dan biasanya paling sering dilakukan rujukan kepada spesialis kulit dan kelamin karena manifestasi klinis pada organ kulit pasien SLE seringkali muncul.Referensi Robbins, Stanley L. Cotran, Ramzi S. 2010. Dasar Patologis Penyakit, edisi 7. Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC.Dorland,Newman . 2002. Kamus kedokteran DORLAND edisi 29. Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC.

9. Jelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, patomekanisme, manisfestasi klinis, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, rencana rujukan, factor genetic penyakit RA!Topan Muhamad NurNIM : 2013730184DefinisiReumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik reumatoid atritis adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. EpidemiologiKasus Ar di indonesia merupakan kasus baru pada tahun 2000-2007 dari keseluruhan jumlah pasien yang datang. Tercatat sebanyak 203 pasien kasus AR dari 1364 orang pasien yang datang 15,1%. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio 3:1. Dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian lebih tinggi pada dekade keempat dan kelimaEtiologi-Faktor genetik Faktor genetik berperan penting pada AR, dengan angka kepeekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%, hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR, seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nucklear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR-Hormon SexAr lebih sering terjadi pada wanita maka hormon sex pasti berpengaruh dalam perkembangan penyakit AR

-Faktor infeksiBeberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab terjadinya reumatoid artritisAgen infeksiMekanisme patogenik

MycoplasmaInfeksi sinovial langsung, superantigen

Parvovirus b 19Infeksi sinovial langsung

RetrovirusInfeksi sinovial langsung

Enteric bacteriaKemiripan molekul

MycobacteriaKemiripan molekul

Epstein-barr virusKemiripan molekul

Bacterial cell wallsAktifasi makrfag

Oganisme tersebut diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.Faktor RisikoFaktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, riwayat keturunan pernah menderita AR, konsumsi kopi berlebihan, merokok, umur, makanan tinggi vitamin D.PatofisiologiKerusakan sendi pada AR dimulai dari piliferasi makrofag dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan bekuan kecil atau sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokinin. Interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan.sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.Manifestasi KlinisAda beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita atritis rematoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi: 1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.1. Polioatritis simeris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang1. Kekakuan pada pagi hari selama lebih dari 1 jam dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoatritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jamPenatalaksanaan

OAINS berupa aspirin (dibawah 65 tahun dosis 3-4 x 1 gr/hari), Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dsb. DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) jika respon OAINS tidak baik. Seperti klorokuin, sulfasalazin, D-penisilamin, garam emas, obat imunosupresif, kortikosteroid. Pembedahan (jika berbagai cara pengobatan tidak berhasil)

Rehabilitasi (untuk meningkatkan kualitas hidup pasien) Mengistirahatkan sendi yang terlibat Modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri melalui arus listrik Pemakaian alat bidai, tongkat, kursi roda, dll Alat ortotik protetik Occupational therapy Mengurangi rasa nyeri Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot Mencegah terjadinya deformitas Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri Memperthankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan

PrognosisPrediktor prognosis buruk pada kasus AR adalah : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga penderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai cr CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul rematoid/ manifestasi ekstraartikular lainnya.KomplikasiKomplikasi dari penyakit AR antara lain:-anemia-kanker-komplikasi kardiak-penyakit tulang belakang-gangguan mata -pembentukan fistula- peningkatan infeksi- deformitas sendi tangan- deformitas sendi lainya-komplikasi pernafasan-nodul reumatoid-vaskulitis

10. Jelaskan prinsip pengobatan autoimunHarishal Aryaputra2013730147PRINSIP PENGOBATAN PENYAKIT AUTOIMUNPengobatan auto imun pada umumnya belum memuaskan, dua strategi utaMA adalah menekan respons imun atau menggantikan fungsi organ yang terganggu/rusak. Pada banyak penyakin yang organ spesifik, mengontrol metabolism biasanya sudah cukup, misalnya pemberian tiroksin pada miksedem primer, insulin pada DM juvenile, vitamin B12 pada anemia pernisiosa dan obat anti-tiroid pada penyakit Grave. Pada banyak penyakit auto imun seperti LES, AR, imunosupresan mungkin merupakan cara utama yang dapat mencegah cacat yang berat atau kematian. Namun imunosupresan yang ada masih terbatas karena kurang spesifik dan efek sampingnya yang toksik berbagai cara masih sedang dikembangkan.Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.

Daftar Pustaka

Baratawidjaja, Karnen Garna. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Renggani. 2010. Imunologi Dasar FK UI ed 10. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Robbins, Stanley L. Cotran, Ramzi S. 2010. Dasar Patologis Penyakit, edisi 7. Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC.Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Jakarta: Pustaka Populer Obor.Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV.Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Maxine, A.Papadakis, Lawrence M. Tierney Jr., Stephen J. McPhee. 2005. Current

Medical Diagnosis & Treatment 2005, e/44. The McGrow-Hill Companies.Dorland ,Newman . 2002. Kamus kedokteran DORLAND edisi 29. Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC.

Baughman, Diane C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.