MODUL 33POST ANESTHESIA CARE UNIT (PACU)
Mengembangkan KompetensiWaktu (Semester 2)
Sesi di dalam kelas
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi2 X 1 jam (classroom
session)
3 X 2 (coaching session)
4 minggu (facilitation & assessment)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator
Penuntun Belajar : lihat acuan materi
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th
ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk
juga mempelajari referensi tambahan untuk modul PACU seperti yang
diuraikan berikut ini:
1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The
Ambulatory Anesthesia Handbook. St Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology
2002; 96(3).
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola
pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU, mengetahui kapan
pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU,
HCU, atau perlu operasi lagi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki
kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini :
Kognitif
1. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di
ada di PACU
2. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi
jalan nafas,
3. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
hipoksemia
4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
hiperkarbia.
5. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
hipotensi.
6. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
hipertensi.
7. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
aritmia.
8. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
menggigil.
9. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
10. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU:
delirium.
11. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk anestesi
lokal atau akibat kateternya.
12. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah
ke ruangan atau ke PACU fase 2).
13. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh
pulang kerumah).
14. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Psikomotor
1. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan
obat-obatan yang harus ada di PACU.
2. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: obstruksi jalan nafas,
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: hipoksemia
4. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: hiperkarbia.
5. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: hipotensi.
6. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: hipertensi.
7. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: aritmia.
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: menggigil.
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di
PACU: PONV.
10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi
di PACU: delirium.
11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi
di PACU: akibat penusukan jarum untuk anestesi regional atau
kateternya.
12. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1
dengan Modifikasi Aldretes score
13. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2
(boleh pulang kerumah) dengan PADSS score.
14. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Komunikasi
1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang
memerlukan tindakan pembedahan ulang akibat pembedahannya.
2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang
memerlukan tindakan pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter
untuk anestesi regional.
Professionalisme
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi
pascabedah.
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan postoperatif
pasien pascabedah baik yang dilakukan dengan anestesi umum atau
anestesi regional.
KEYNOTES:
1. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum
stabil, ventilasi dan oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.
2. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen,
produksi CO2, dan curah jantung. Efek fisiologis sering kurang
dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan fungsi paru dan
jantung.
3. Masalah respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi,
yang dihubungkan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau
hipoksemia.
4. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu
obat anestesi
5. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi
untuk dilakukan intubasi pada pasien yang mengalami
hipoventilasi.
6. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi
di PACU
7. Nyeri dari daerah insisi, intubasi endotrakheal, distensi
kandung kemih merupakan penyebab hipertensi.
8. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret score
9. Pemulangan pasien kerumahnya berdasarkan kriteria PADSS
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam membuat design PACU, emergens dari anestesi umum,
transportasi dari OK, pemulihan dari anestesi umum, pemulihan dari
anestesi regional, pengelolaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil dan
hipotermi, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria
pemulangan dari RS ke rumah, pengelolaan komplikasi obstruksi jalan
nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi, hipertensi,
aritmia.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola
pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU, mengetahui kapan
pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU,
HCU, atau perlu operasi lagi.
METODE PEMBELAJARAN
Peserta didik sudah harus mempelajari:
1. Bahan acuan (references)2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan
topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan
regional di PACUMetode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
Tujuan 2: mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk
ambulatori)
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
Tujuan 2: kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat
inap)
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector4. Pasien di kamar bedah dan PACU
ALAT BANTU PEMBELAJARAN1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observations and assessments
Multiple observers/raters
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
3. Communication and Interpersonal Skills
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
1. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang
diperlukan di PACU!
2. Bagaimana cara mendesign PACU?
3. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan
cara mengatasinya!
4. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes score!
5. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
6. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal
sebelumnya tidak direncanakan masuk ICU!
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa
pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)
Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)
Bisa dalam bentuk :
1. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessmentsc. Multiple observersd.
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck2. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessmentsb. Multiple observersc.
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck3. Affective : Professionalism, Communication and
Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessmentsb. Multiple observers
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA
Tindakan / operasi :
No
Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia
Sudah dilakukan
Belum dilakukan
PENGENALAN KOMPLIKASI
1
Pemasangan monitor
2
3.
menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas,
menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia
4
menilai dan mengatasi komplikasi hiperkarbia.
5
menilai dan mengatasi komplikasi hipotensi.
6
menilai dan mengatasi komplikasi hipertensi.
7
menilai dan mengatasi komplikasi: aritmia.
8
menilai dan mengatasi komplikasi menggigil.
9
menilai dan mengatasi komplikasi PONV.
10
menilai dan mengatasi komplikasi delirium.
11
menilai dan mengatasi komplikasi akibat penusukan jarum untuk
anestesi regional atau kateternya.
12
menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan
Modifikasi Aldretes score13
menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang
kerumah) dengan PADSS score.
14
menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCUCatatan: Sudah /
Belum dikerjakan beri tanda ( )
DAFTAR TILIK
Berikan tanda ( dalam kotak yang tersedia bila
keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan
tanda ( bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan(MemuaskanLangkah/ tugas dikerjakan sesuai
dengan prosedur standar atau penuntun
(Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas
sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
T/DTidak diamatiLangkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan
oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih
Nama peserta didik
Tanggal
Nama pasien
No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
No
Kegiatan / langkah klinik
Kesempatan ke
1
2
3
4
5
Peserta dinyatakan :
( Layak
( Tidak layak
melakukan prosedur
Tanda tangan pelatih
Tanda tangan dan nama terang
MATERI ACUAN
Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinu dan proses tersebut secara
tradisional dibagi dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early
recovery, saat pasien bangun dari anestesi; intermediate recovery,
bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila
pasien kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi.
Early recovery (phase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat
anestesi supaya pasien bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas,
dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya terjadi di PACU
dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang
suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar
dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktivitas
motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor
maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih
akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi
Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor
dengan SpO2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien
mencapai skor ( 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke
ruang pulih fase 2 dimana fase 2 recovery terjadi sampai mencapai
kriteria untuk dipulangkan. Phase 3 recovery terjadi setelah keluar
dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas
sehari-hari.
Tabel 1: Aldrete Scoring System dan Modifikasi Aldrete Scoring
System
untuk menentukan kapan pasien siap keluar dari PACU.
Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge
Post Anesthesia Recovery Score
(Modified Aldrete Score)
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
1=moves two extremities
0=unable to move extremities
Respiration
2=breathes deeply & cough freely
1=dyspneic, shallow or limited breathing.
0=apneic
Circulation
2=BP(20 mm of preanesthetic level
1=BP(20-50 mm of preanesthetic level
0=BP(50 mm of preanesthetic level
Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air
1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%
0=SpO2 30% of baseline MAP value
2
1
0
Respiratory stability
Able to breathe deeply
Tachypnoe with good cough
Dyspneic with weak cough
2
1
0
Oxygen saturation status
Maintains value >90% on room air
Requires supplemental oxygen (nasal prong)
Saturation < 90% with supplemental oxygen
2
1
0
Postoperative pain assessment
None or mild discomfort
Moderate to severe pain controlled with iv analgesics
Persistent severe pain
2
1
0
Postoperative emetic symptoms
None or mild nausea with no active vomiting
Transient vomiting or retching
Persistent moderate to severe nausea and vomiting
2
1
0
Total score
14
MAP=mean arterial pressure
Definisi Postanesthetic care: Kepustakaan tidak memberikan
standar definisi postanesthetic care. Pada Practice Guidelines,
postanesthetic care dihubungkan dengan aktivitas yang dilakukan
untuk mengelola pasien setelah selesainya operasi dan anestesi.
Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini
bertujuan untuk memperbaiki outcome postanesthetic care yang
diberikan anestesi atau sedasi dan analgesi. Hal ini dilaksanakan
dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk
penilaian pasien, pemantauan, dan pengelolaan dengan sasaran
optimalisasi keselamatan pasien. Diharapkan bahwa setiap
rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap
pasien.
Fokus dari Guidelines pada pengelolaan pasien perioperatif
dengan sasaran memperbaiki kualitas hidup post anestesia,
mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah, memberikan
penilaian pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria
postoperative care dan discharge. Guidelines ini diperuntukan untuk
semua umur yang telah mendapat anestesi umum, anestesi regional,
sedasi sedang dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu dimodifikasi
untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini tidak ditujukan
untuk pasien yang dilakukan infiltrasi anestesi lokal tanpa sedasi,
pasien yang menerima sedasi minimal, dan pasien yang harus dirawat
di ICU .
Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and
Monitoring Routine
Selected patients
Respiratory
Respiratory rate
Airway patency
Oxygen saturation
Cardiovascular
Pulse rate
Blood pressure
Electrocardiogram
Neuromuscular
Physical examination
Neuromuscular blockade
Nerve stimulator
Mental Status
Temperature
Pain
Nausea and Vomiting
Urin
Voiding
Output
Drainage and bleeding
Pengelolaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk
penilaian secara periodik dan pemantauan dari fungsi respirasi dan
kardiovaskuler, neuromuskuler, status mental, temperatur, nyeri,
mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin.
Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan
pemantauan fungsi respirasi selama pemulihan, dengan pulse
oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya hipoksemia.
Penilaian dan pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi
jalan nafas, frekuensi nafas, SpO2 harus dilakukan pada emergence
dan pemulihan.
Fungsi kardiovaskuler: pemantauan denyut nadi, tekanan darah,
elektrokardiografi dapat mendeteksi komplikasi kardiovaskuler,
mengurangi outcome yang buruk, dan harus dilakukan selama emergence
dan pemulihan.
Dari tabel diatas yang rutin berarti harus dilakukan secara
rutin pada semua kasus sedangkan selected patient tidak selalu
dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat individual.
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan
pasien yang tepat waktu setelah anestesi. Chung dkk membuat sistim
skoring yang disebut PADSS (Postanesthesia discharge scoring
system) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk
dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat,
suatu sistem skoring harus praktis, simpel, mudah untuk diingat,
dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan 5 kriteria yaitu: 1)
tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas,
temperatur), 2) ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan
akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor mencapai ( 9, pasien
cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan bahwa
dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2
jam pascabedah.
Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien
yang aman antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory
Surgery.
Vital signs must have been stable for at least 1 hour
The patient must be
Oriented to person, place, and time
Able to retain orally administered fluids
Able to void
Able to dress
Able to walk without assistance
The patients must not have
More than minimal nausea and vomiting
Excessive pain
Bleeding
The patient must be discharge by both the person who
administered
anaesthesia and the person who performed surgery, or by their
designates.
Written instruction for the postoperative period at home,
including a
contact place and person, must be reinforced.
The patient must have a responsible, vested adult escort them
home and
stay with them at home.
Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien
dipulangkan kerumah.
Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS
seperti terlihat dibawah ini:
Tabel 7: Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien
dipulangkan kerumah.
Dapatkah pasien aman dipulangkan tanpa toleransi terhadap cairan
peroral?
Di masa lalu, klinisi enggan untuk memulangkan pasien kerumahnya
bila tidak bisa minum karena adanya mual atau alasan lainnya.
Kepustakaan tidak cukup untuk mengevaluasi keuntungan minum cairan
sebelum pulang. Schreiner dkk meneliti anak dan menemukan lebih
tingginya kejadian mual dan lambat pulang pada yang disuruh minum
daripada yang minum bila merasa haus .
PGPAC merekomendasikan bahwa minum pascabedah tidak dimasukkan
kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan
pada pasien tertentu. Karena itu, staf medis dan perawat harus
berfikir bahwa minum bukan merupakan prasyarat untuk pemulangan
pasien sehingga protokol untuk pemulangan pasien harus
dimodifikasi.
Apakah Voiding/kencing diperlukan sebelum dipulangkan?
Voiding umumnya dipertimbangkan sebagai syarat mutlak untuk
pulang setelah operasi rawat jalan untuk mencegah berkembangnya
retensi urin setelah pasien dipulangkan. Tuntutan bahwa pasien
harus kencing sebelum dipulangkan mungkin tidak perlu memperpanjang
lama tinggal di RS. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan urin telah
dilaporkan memperlambat kepulangan pada 5-19% pasien setelah bedah
rawat jalan.
Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks
kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan
sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, atau
efek sisa dari anestesi spinal atau epidural. Faktor resiko untuk
retensi urin adalah ada riwayat retensi urin, anestesi
spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi
perioperatif. PGPAC merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien
dipulangkan tidak merupakan bagian dari protokol pemulangan pasien
dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk pasien tertentu. Bila
voiding merupakan bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan
dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan apabila tidak
bisa kencing dalam 6-8 jam pascabedah.
Pemulangan pasien setelah Anestesi Regional
Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah
rawat jalan mulai dari anestesi spinal sampai ke blok ekstrimitas.
Pasien yang dilakukan anestesi regional mempunyai kriteria
pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum.
Anestesi Spinal
Anestesi spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan anestesi umum yaitu
lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan nyeri pascabedah.
Disamping keuntungan tsb, anestesi spinal bukannya tanpa masalah.
Lidokain adalah obat yang populer untuk anestesi spinal akan tetapi
mempunyai masalah dengan terjadinya TNS (transient neurologic
symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian lidokain
intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.
Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk
menemukan bahwa anestesi spinal dengan lidokain memperlambat
pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan pasien dengan
anestesi spinal lebih cepat daripada anestesi umum. Wong dkk
menemukan bahwa pemulangan pasien sama antara spinal dan anestesi
umum pada pasien yang mengalami antroskopi.
Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari
lidokain membawa minat kearah pemilihan obat anestesi lokal yang
lain. Bupivakain merupakan alternatif lain dari lidokain, akan
tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang memungkinkan
akan memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk
mengurangi dosis bupivakain yang diperlukan untuk anestesi dengan
harapan pemulihannya cepat. Dosis kecil bupivakain 4-8 mg dapat
digunakan untuk mencapai pemulangan yang sama dengan spinal
lidokain. Penambahan fentanyl menyebabkan sinergistik analgesia dan
dapat mengurangi dosis bupivakain, lebih cepatnya ambulasi, dan
mengurangi resiko retensi urin. Banyak penelitian yang mendukung
hal ini (misalnya tambahkan 10 ug fentanyl pada 5mg bupivakain).
Sebelum pasien diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah
motor blok telah regresi. Bila sensasi perianal (S4-5) normal,
pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien aman untuk
dimulainya ambulasi.
Faktor yang memperlambat Pemulangan Pasien
Tujuan suksesnya unit ambulatory adalah pemulangan pasien yang
aman tepat waktu. Ada beberapa faktor yang memperlambat waktu
pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya
pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2%
perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart
failure merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya
pemulangan. Faktor intraoperatif adalah anestesi umum, operasi yang
lama, adanya kejadian kardiak intraoperatif. Nyeri pascabedah dan
PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan pasien,
selain itu kadang-kadang masalah logistik akan memperlambat
pemulangan pasien.
Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang
memperlambat pemulihan.
Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestesi
yang baru, spesialis anestesi harus mengembangkan untuk pengelolaan
nyeri pascabedah yang efektif, yang harus dipikirkan sejak saat
prabedah. Analgesi harus dimulai di kamar bedah dan dilanjutkan
dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya pemberian
obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan
menambah nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi
nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
nyeri pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi
nafas, sedasi, PONV akan mengurangi keuntungan opioid untuk
analgesi pascabedah. Keadaan ini yang menyebabkan berkembangnya
pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac,
fentanyl memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama,
karena itu, kedua kelompok obat (opioid dan opioid) memberikan
hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-2mg/kg) memberikan
hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada
opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian
ketorolac pada beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri
pascabedah yang minimal yang dapat dikendalikan dengan analgesik
per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan analgesia, nyeri
masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak
dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang
direncanakan bedah rawat jalan.
Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti
tentang pola nyeri dan membatasi setiap faktor yang menimbulkan
nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008 pasien bedah rawat
jalan untuk mengidentifikasi faktor resiko untuk nyeri hebat.
Operasi ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat
pascabedah, terutama operasi bahu dan pengangkatan metal. Lama
operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri pascabedah.
Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami
nyeri hebat. Bila operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan
mengalami nyeri hebat.
Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau
idealnya prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri.
Pendekatannya harus multimodal, menggunakan NSAIDs, opioid, dan
anestesi lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30
menit untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal
daripada sediaan per oral.
PONV
PONV masih merupakan masalah yang umum setelah bedah rawat
jalan, dan kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesi
umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah
dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas
bagi pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling
penting yang menyebabkan pasien bedah rawat jalan lambat
dipulangkan.
Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu
sistem skoring untuk resiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4
kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat PONV dan mabuk
perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila
satu, dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV
adalah 10%, 20%, 39%, dan 79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis
operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya resiko terjadinya
PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi
intraabdominal, operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi
payu dara, mata, dan THT. Disebabkan karena bila telah terjadi PONV
biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi
faktor prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat
diberikan terapi profilaksis.
Dibandingkan dengan plasebo, dexamethason 10 mg secara nyata
mengurangi PONV dari 73% menjadi 34% dalam 24 jam setelah
laparoskopi. Dexamethason 4 mg sebanding dengan ondansetron 4 mg
setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis,
Henzi dkk melaporkan dexamethason terutama efektif melawan late
PONV. Kombinasi droperidol dan ondansetron dapat mengurangi
kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol lebih baik dalam
melawan nausea daripada emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih
menguntungkan untuk melawan emesis daripada nausea.
PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja
terjadi pada pasen rawat inap setelah kembali ke ruangan atau
pasien rawat jalan setelah pasien pulang kerumahnya. Sebelum itu,
sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien
dipulangkan kerumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien
dipulangkan akan mengurangi kejadian PONV setelah pasien
dipulangkan kerumah. Pasien dengan resiko besar untuk terjadi PONV
seperti laparoskopi, strabismus sebaiknay diberikan ondansetron
sesaat sebelum pasien dipulangkan. Profilaksis antiemetik dengan
intravena droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg, metoclopramide 10
mg, dexamethason 150 uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk
mencegah PONV.
Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black
box untuk droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian
tiba-tiba pada dosis tinggi droperidol (>25 mg) pada kasus
psikiatri, adanya resiko aritmia jantung. Peringatan ini
berdasarkan pada 9 laporan kasus. Pada 7 laporan dimana diberikan
2,5 mg droperidol, 4 orang meninggal sedangkan 3 orang lagi dapat
selamat setelah terjadi henti jantung. Henti jantung juga terjadi
pada 2 pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg, dimana 1
pasien meninggal. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memberikan
droperidol untuk terapi PONV.
Table 9. Summary of Treatment recommendation
Prophylaxis and treatment of PONV
Antiemetic agent (5-HT3 antagonist, droperidol, dexamethason,
metoclopramide) may be use for prophylaxis or treatment when
indicated.
Multiple agent maybe use for prophylaxis or treatment when
indicated.
Other antiemetic or nonpharmacologic agent maybe use for
treatment when indicated, although the evidence supporting their
use is less robust.
Supplemental oxygen
Supplemental
Fluid administration and management
Normalizing patient temperature
Pharmacologic agent for the reduction of shivering
Antagonism of the effects of sedatives, analgesics, and
neuromuscular block
Faktor Lain yang memperlambat pemulangan
Simptom yang lain seperti adanya nyeri tenggorokan, sakit
kepala, ngantuk, pusing dapat terjadi setelah anestesi bedah rawat
jalan. Teknik yang sederhana, seperti hidrasi perioperatif dengan
20 ml/kg BB cairan intravena akan mengurangi simptom pascabedah
seperti rasa haus, nausea, pusing, ngantuk sampai 24 jam
pascabedah. Penelitian pada 5264 pasien menunjukkan kejadian sore
throat sekitar 12,1%. Faktor yang menimbulkan kejadian sore throat
adalah intubasi endotrakheal, jenis kelamin wanita, pasien muda,
penggunaan suksinilkholin, operasi ginekologis.
Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan
dan kejadiannya kira-kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk
muntah, simptom lainnya adalah ngantuk, pusing, dan lemah.
Pesan/instruksi pada pasien sebelum dipulangkan
Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang
bertanggung jawab membawanya pulang dan menjaganya dirumahnya
karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak diinginkan,
meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan
instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktivitas, dan
nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin
diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan
penting dalam 24 jam. Pasien jangan menyetir untuk 24 jam bila
dianestesi kurang dari 1 jam, bila lama anestesi 2 jam atau lebih,
pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila dianestesi dengan
pentotal dan halotan. Dengan adanya obat anestesi yang baru yaitu
Propofol, sevofluran, desfluran, remifentanyl maka penelitian
Sinclair dengan simulator nyetir menyebutkan bahwa hanya perlu 3
jam.
Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu
tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan
pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah
dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pasca bedah, pemasangan jalur vena yang
lancar, dan hindari keterlambatan.
Simpulan
1. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah
dibandingkan dengan bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk
pasien dan keluarganya.
2. Pemantauan di PACU (Pemulihan Phase I/early recovery) dengan
Modifikasi sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau
kamar bedah bila skor mencapai 9 atau lebih.
3. Pemantauan di ruang pulih phase II (intermediate recovery)
dengan PADSS dan pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore
9 atau lebih.
4. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan masalah
utama yang dapat dikurangi dengan perencanaan anestesi yang
tepat.
5. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan
harus jelas dan tertulis.
1. Referensi :
2. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th
ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
_1137239672.ppt
_1137239718.ppt
AFTER GUIDELINES
_1137239618.ppt