MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT PESISIR 11.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia. Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera. Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983), memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
70
Embed
MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN …zenabidin.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Kebijakan-013... · 2013-09-25 · strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, ... Pemerintah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN
MASYARAKAT PESISIR
11.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia.
Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia
mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang
panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi
itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya:
perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati
misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga
berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based
Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu
pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan
dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.
Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan
biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983),
memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu
strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu
daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,
masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan
pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri
yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu
pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
335
Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat
adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara
masyarakat setempat dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana
masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada
pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka
panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah:
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja
dan kesempatan berusaha.
2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di
wilayah pesisir dan lautan.
3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam
pelestarian lingkungan.
4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah
pesisir dan lautan.
Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal
dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara
berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung
jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia,
alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah
pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi
kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan
dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada
daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3
nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).
Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor
strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang
masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi
kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)
336
tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pembangunan yang selama ini
masih : (a) lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai obyek
ketimbang sebagai subyek pembangunan, (b) lebih memprioritaskan
pertumbuhan industri ketimbang sektor pertanian dan kelautan, (c) serta
kebijakan pembangunan yang kurang mengacu pada karakteristik masing-
masing kondisi lokal di daerah, dan (d) profesi nelayan masih dipandang
sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tingkat keterampilan (skill) yang
tinggi dan (e) dari sudut pandang ekonomis, sering kali komunitas nelayan/
masyarakat pesisir diposisikan sebagai kelompok marginal yang
dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini
berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas
masyarakat dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus
pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur
perkampungan nelayan tanpa adanya good will untuk mensinergikan kedua
komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata.
Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan
dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan
lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor
penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya
peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan
dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan
kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat,
yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya
sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya
sendiri.
Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/
pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di
Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus
juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan
berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu
337
upaya yang komprehensif terhadap program pemberdayaan masyarakat,
khususnya nelayan mjskin di Lumajang.
Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia
tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara
ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari
segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan
Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang
cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri baja dan
semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam
bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif
masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah
lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya
dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas.
Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, seba-
gian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang
rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga-
lembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat
demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun
korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini.
Sementara itu, para penguasa di daerah sering menyalahkan nelayan/
masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika
musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka
sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi
kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan
demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan
yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).
338
13.1.1 Masalah Kemiskinan
Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama
dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut
bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan
pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan
pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling
rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong
kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut.
Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan
termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan
bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap
setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin
secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %.
Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan
kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi
bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya
kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu
benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi
mereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan
yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit.
Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena
itu tidak mengherankan apabila perkembangan pengetahuan mereka
berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan
mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada.
Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat.
Pemerintah maupun korporasi, khususnya PT. ANTAM
RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan
suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program
Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan adanya kesepakatan politik
untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan
339
peningkatan sikap keprihatinan bersama antara pemerintah Daerah dan
Korporasi dalam mengurangi kemiskinan tersebut Pemerintah
Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini
masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan
top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun
atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi
yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara
luas (Muhammad, dkk, 2009).
Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat
miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk
miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan kebutuhan dan
harapan penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan
implementasi pemberdayaan sudah seharusnya berisi usaha untuk
penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan
kebutuhan mereka”, sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada
sumber-sumber sosial-ekonomi dan politik secara mandiri. Untuk
meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada
perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya terhadap empat hal,
yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi
yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber
pembiayaan (Sumodiningrat, 1998).
Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini,
khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word
Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa
pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di
pedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan
pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir
miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai
prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan
pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya
340
melalui distribusi berupa bantuan sosial langsung tunai (BLT) uang dan jasa
untuk menenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa
pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang
menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok
pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan
kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka,
sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat
mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur
sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin (Wahyono, at al.,
2001).
Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat
multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya.
Mereka memiliki potensi pentagon aset, yaitu aset sosial, SDM, finansial,
sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID,
2000). Mereka menjadi miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga
tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka
terhagap potensi ekonomi lokal. Tingkat pendapatan rendah karena
keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil.
Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada
di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi
dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka
miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan
rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras
isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam
lingkaran syetan kemiskinan.
Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal
rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini.
Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang
dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan
341
perkembangan lingkungan, dan (b) melakukan perlawanan dengan kekerasan.
Pilihan pertama mungkin dilakukan dengan merespon secara terbatas terhadap
perubahan sosial ekonomi yang terjadi disekitarnya. Menurut Betke (1987) dari
hasil penelitiannya di desa Lekok, Jawa Timur ditemukan bahwa nelayan kecil /
masyarakat pesisir pada dasarnya memberikan respon secara positif untuk
mengakses pengenalan teknologi perikanan sekalipun sangat lambat.
Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan
kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan
melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang
akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi
ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
hidupnya (Wahyono, at al., 2001).
Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi,
multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008
disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan tujuh aspek aksesabilitas
(heptagon access) untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu
: akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, (b) perbaikan
pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan sosial-budaya, (d)
keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi
sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan
permodalan. Oleh karenanya program untuk mengurangi jumlah dan
pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi
dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).
342
13.1.2 Implimentasi Perencanaan dan Pelaksanaan Pemberdayaan
Rendahnya akses masyarakat pesisir miskin terhadap sumber-sumber
potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana
pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir
Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani.
Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari
kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem
mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara
nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batas-
batas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, para
nelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common
property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi
yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan.
Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open
access) tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam
pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan
perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan
penguasaan teknologi.
Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat,
para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal
sasaran program. Program pemberdayaan masyarakat yang tidak
memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi
pada masyarakat kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh
karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat
nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan
adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan
kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian
ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006 – 2008 dan
penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan
343
Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan
demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk
memahami dan merumuskan pola dan arah pemberdayaan rumahtangga
masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam
mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam
penguatan usaha, ketahanan pangan rumahtangga, permodalan dan
pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan
kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok
dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut.
Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sebenarnya
memerlukan kepedulian dan komitmen korporasi/ perusahaan terhadap
pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang
harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karenanya
perusahaan PT. ANTAM RESOURCINDO menyatakan kesanggupannya
tertuang dalam Dokumen Rencana Pemberdayaan Masyarakat atau
melaksanakan program corporate social responsibility (CSR)
Berdasarkan UUD 1945 wadah yang tepat untuk melaksanakan
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem
ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi
koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara
tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota.
Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada,
Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal
yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu
diperlukan program pemberdayaan dalam rangka penyaluran kepedulian
korporasi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui program
pemberdayaan tersebut diharapkan tumbuh hubungan harmonis antara
korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi
terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.
344
13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan
13.2.1. Konsep Pemberdayaan
Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann
(1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan.
Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan
ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang
berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif
pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender,
persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat
ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari
nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata
pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan
masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan
individual.
Konsep "empowerment", sebagai suatu konsep alternatif pembangunan,
pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari
suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman
langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil
society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue--
issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak
realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society"
diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak
hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secara “politis”, sehingga pada
akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun
nasional.
Konsep "empowerment", menurut Friedmann (1992) merupakan hasil
kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat
345
ideologis, konsep "empowerment" merupakan hasil interaksi antara konsep "top-
down dan bottom-up", antara "growth strategy dan people-centered strategy".
Sedangkan di tingkat praksis, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar
rumahtangga-masyarakat yang otonom. Beberapa pertanyaan kunci berikut dari
Friedman (1982:167-171) akan lebih memperjelas konsep "empowerment"/ atau
pemberdayaan yang dikenalkannya, sebagai berikut :
(1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam pemberdayaan
kelembagaan masyarakat ?.
(2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap
individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat
mengakses potensi sosial di lingkungannya ?.
(3) Apakah ada insentif yang dapat diperoleh masyarakat untuk
mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan
diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ?
(4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM
dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara
mandiri ?
(5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal
dapat dilakukan ?
(6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang
tidak berdaya dapat diorganisasikan?
(7) Bagaimana model perencanaan yang cocok dengan kondisi
rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya
sendiri ?
(8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk
menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yang
dapat dipilih secara berkelanjutan ?.
346
13.2.2 Tahapan Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya
identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga)
tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan
antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan
dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan
dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan
pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap
pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap
yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai
berikut.
(a) Pemberdayaan Individu (Houshold Model)
Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan
keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun
adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka
unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan
yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa
yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam
konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.
Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya
menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri,
memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga
mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber-
sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan
kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut
1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi
pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi
347
kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih,
kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi
yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan
waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan
pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat
terhadap setiap individu;
2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri
bahwa para individu berkemampuan untuk menularkan atau menarik
individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam
kegiatan usahanya;
3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah
pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga,
antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi
pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah
pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter-