1 MODEL POLA PEMULIAAN ( Breeding Scheme) TERNAK BERKELANJUTAN KARYA ILMIAH DEDI RAHMAT FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010
1
MODEL POLA PEMULIAAN (Breeding Scheme) TERNAK BERKELANJUTAN
KARYA ILMIAH
DEDI RAHMAT
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR
2010
2
KATA PENGANTAR Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan
utama adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di
masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak
yang diharapkan tersebut. Peran pemuliaan dalam kegiatan produksi ternak
sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak yang efisien
dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien bergantung
pada keberhasilan memadu sistem managemen, makanan, kontrol penyakit
dan perbaikan genetik.
Perbaikan mutu genetik akan efektif bila telah diketahui parameter
genetik sifat-sifat produksi yang mempunyai nilai ekonomis disertai dengan
tujuan pemuliaan (breeding objective) dan pola pemuliaan (breeding scheme)
yang jelas. Pada karya ilmiah ini penulis mencoba memaparkan beberapa
model pola pemuliaan yang cocok untuk model pola pemuliaan berkelanjutan
terutama untuk domba priangan.
Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan mencapai
tujuannya.
Jatinangor, Janurai 2010
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .………………………………… i DAFTAR ISI
………………………………….
ii
PEDAHULUAN
………………………………….
1
POLA PEMULIAAN (BREEDING SCHEME)
………………………………….
2
POLA PEMULIAAN TIGA STRATA
…………………………………..
5
GROUP BREEDING SCHEME
…………………………………..
7
SIRE REFERENCE SCHEME
………………………………
10
POLA PEMULIAAN BERKELANJUTAN
………………………………
13
KESIMPULAN
………………………………
18
DAFTAR PUSTAKA
................................................
18
4
PENDAHULUAN
Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan
utama yaitu memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di masa
mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang diharapkan
tersebut (Warwick et al. 1990). Peran pemuliaan dalam kegiatan produksi ternak
sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak yang efisien dan
adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien bergantung pada
keberhasilan memadu sistem managemen, makanan, kontrol penyakit dan
perbaikan genetik.
Phillipsson (2003) mengemukakan bahwa komponen yang harus diperhatikan
dalam program pemuliaan untuk negara berkembang antara lain adalah peran
ternak, tujuan pemuliaan, recording serta membangun infrastruktur. Ternak domba
mempunyai peran penting bagi petani antara lain sebagai salah satu sumber
penghasilan, sebagai tabungan, sumber pupuk, dan prestise. Pola pemeliharaan
bersifat semi intensif dan merupakan usaha komplementer dari usaha pokok
pertanian. Sumbangan ternak domba terhadap produksi daging khususnya di Jawa
Barat cukup tinggi. Tantangan utama dalam usaha peternakan domba adalah
rendahnya produktivitas ternak yang dihasilkan, sehingga tidak mampu bersaing di
pasaran domestik maupun internasional, selain itu belum tersedianya suplai bibit
unggul domba secara kontinyu yang produksinya tinggi dan efisien serta harganya
dapat terjangkau oleh peternak. Pengadaan bibit umumnya masih merupakan hasil
swadaya peternaknya sendiri. Program pemuliaan yang tepat dan terarah serta
berkesinambungan belum ada.
Perbaikan mutu genetik akan efektif bila telah diketahui parameter genetik
sifat-sifat produksi yang mempunyai nilai ekonomis disertai dengan tujuan pemuliaan
(breeding objective) dan pola pemuliaan (breeding scheme) yang jelas. Salah satu
cara untuk perbaikan genetik pada ternak dapat dilakukan melalui seleksi dalam
kelompok ternak lokal dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi gen yang
diinginkan. Kegiatan seleksi akan efektif bila jumlah ternak yang diseleksi banyak,
namun catatan performans individu dari jumlah yang banyak akan sangat mahal.
5
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah, seleksi atau peningkatan mutu
genetik dilakukan pada kelompok-kelompok tertentu kemudian disebarkan pada
kelompok lain.
Struktur ternak bibit umumnya berbentuk piramida yang terbagi menjadi tiga
strata (tiers) yaitu pada puncak piramida kelompok elit (nucleus), kelompok pembiak
(multiplier), dan paling bawah kelompok niaga (Nicholas 1993; Warwick et al. 1990;
Wiener 1999).
Gambar 1. Struktur Ternak Bibit.
POLA PEMULIAAN (BREEDING SCHEME)
Pola pemuliaan pada dasarnya ada dua bentuk yaitu (1) pola inti tertutup
(Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding
scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari puncak
(nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus. Perbaikan
genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus. Peningkatan
mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata dibawahnya, perlu
waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke strata berikutnya.
Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan biasanya diekspresikan
Elite (Nucleus)
Pembiak (Multiplier)
Niaga (Commercials)
6
dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang ditunjukkan oleh perbedaan
performan antara strata yang berdekatan. Pola ini dalam praktek biasa digunakan
dalam pemuliaan ternak tradisional, peternakan babi dan pemuliaan ayam (Nicholas
1993).
Gambar2. Pola Inti Tertutup
(2) Pola inti terbuka suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup, oleh karena itu
aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah tetapi juga dari bawah ke atas.
Karena itu setiap perbaikan genetik yang diperoleh dari hasil seleksi di tingkat dasar
akan memberikan kontribusi pada peningkatan genetik di inti, besarnya kontribusi
bergantung kepada laju aliran gen dari dasar ke inti. Dengan masuknya ternak bibit
dari kelompok lain ke inti hubungan kekerabatan antara induk dengan jantan makin
jauh sehingga laju inbreeding berkurang. James (1979) mengemukakan bahwa
kemajuan genetik pada sistem terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
tertutup. Pada sistem terbuka respons seleksi meningkat 10 sampai 15%, dengan
laju inbreeding lebih rendah 50% bila dibandingkan dengan sistem tertutup pada
kondisi dan ukuran sama.
Pola inti terbuka cocok digunakan untuk pemuliaan domba di negara
berkembang. Pola pemuliaan ternak terus berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Program-program statistik yang canggih dapat
digunakan untuk menilai seekor ternak, demikian juga kemajuan teknologi
reproduksi seperti inseminasi buatan sangat besar pengaruhnya dalam
7
pembentukan ternak unggul. Dalam pola pemuliaan yang perlu mendapat perhatian
adalah peningkatan genetik dan laju inbreeding. Peningkatan genetik bertujuan
untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin dari sumber genetik yang ada melalui
pemuliaan dengan memanfaatkan teknologi dan keterbatasan lingkungan. Pengaruh
inbreeding pada domba umumnya merugikan performa produksi. Menurut hasil-hasil
penelitian peningkatan 1% inbreeding menurunkan 0.017 kg wool, 0.013 kg bobot
lahir 0.111 kg bobot sapih dan 0.178 kg bobot pra sapih, fertilitas induk menurun 1.4
sampai 1.16%, dan jumlah anak yang hidup sampai sapih menurun 0.7 sampai
7.2%.
Gambar 3. Pola Inti Terbuka
Pola pemuliaan yang digunakan harus sesuai dengan kondisi daerah atau
negara, kepentingan petani, konsumen, pemerintah maupun politik. Kepentingan-
kepentingan tersebut meliputi keamanan pangan, ketahanan pangan, kesejahteraan
ekonomi dan sosial produsen serta konsumen, produksi berkelanjutan serta harus
sesuai dengan kondisi lingkungan.
8
POLA PEMULIAAN TIGA STRATA
Pola pemuliaan tiga strata merupakan salah satu alternatif model yang dapat
digunakan untuk perbaikan mutu genetik domba. Pola tiga strata terdiri atas :
Strata 1. Pembibitan (Nucleus flocks), bertujuan untuk mengampu
kelangsungan dan perbaikan mutu genetik ternak. Di negara-negara berkembang
dengan jumlah ternak yang dipelihara sedikit, sumber daya terbatas, perbaikan mutu
genetik lebih tepat dilakukan pada inti (Nucleus). Semua sifat dicatat dan di evaluasi
di inti, hasilnya disebarkan ke strata dibawahnya yang dikoordinir oleh inti. Ternak di
inti harus merupakan kumpulan ternak unggul. Masalah utama dan penting untuk
keberhasilan implementasi pola pemuliaan pada peternak, harus ada interaksi antar
inti dengan kelompok peternak baik dalam masalah teknik maupun sosial ekonomi.
Harus selalu diingat bahwa tujuan pemuliaan (breeding objective) pada inti akan
berpengaruh keseluruh pola (scheme). Tujuan pemuliaan pada inti harus didasarkan
pada apa yang diharapkan peternak.
Strata 2. Kelompok pembiakan (multiplier flocks). Tugas kelompok ini adalah
memproduksi ternak pada kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan
pasar. Ternak yang dihasilkan pada strata ini biasanya memeiliki mutu genetik
sedang (medium genetic value).
Strata 3. Kelompok Niaga (Commercial flocks).
Pola tiga strata akan mampu meningkatkan mutu genetik bila didukung oleh
lingkungan produksi peternakan yang kondusif. Lingkungan produksi peternakan
dapat dikelompokan kedalam tujuh kelompok yaitu lingkungan biologis, teknis,
ekonomi, sosial, budaya hukum dan politik. Sistem ini akan berhasil bila
dilaksanakan dibawah satu atap management.biasanya dilaksanakan di pusat
pembibitan milik pemerintah.
Sebagai contoh, di Ethiopia pola ini berhasil meningkatkan mutu genetik dan
produktivitas domba Horro (domba lokal). Struktur tiga strata terdiri atas Nucleus,
sub nucleus dan village flocks . Kelompok inti merupakan ranch pemerintah
9
dipelihara sebanyak 4000 ekor induk dengan 160 pejantan. Kriteria selesi pada
kelompok inti adalah liter size 1,34, daya hidup sampai umur 1 tahun 90% dan
fertilitas 85%. Berdasarkan kriteria tersebut Induk-induk yang dipelihara rata-rata
menghasilkan anak 1,03 per tahun. Jantan yang dihasilkan diseleksi 4% terbaik
untuk digunakan di inti, sedangkan 30% terbaik dari sisanya disebarkan ke
kelompok sub inti (strata 2).
Gambar 4. Pola inti terbuka tiga strata untuk domba Horo di Ethiopia (Tibbo,
et al. 2006)
Kelompok sub inti (sub nucleus flocks) adalah kelompok peternak yang
dipilih untuk berpartisipasi dalam program ini. Mempunyai akses dekat dengan inti,
bersedia mengikuti aturan yang ditetapkan inti termasuk mengkastrasi jantan-jantan
yang tidak terpilih. Pada kelompok ini kriteria seleksi sama dengan pada kelompok
inti, namun nilainya sedikit lebih rendah yaitu litter size 1,2, daya hidup sampai umur
1 tahun 85% dan fertilitas 80%, sehingga setiap tahun akan dihasilkan anak 0,82 per
Nucleus Flocks
Sub Nucleus Flocks
Village Flocks
♀ best
11%♂
30%♂
10
induk. Dari anak yang dihasilkan 11% jantan terbaik disebarkan ke village flocks
untuk dijadikan pejantan dan betina terbaik naik ke inti. Pada kelompok ini dilakukan
recording sederhana mencatat pedigree dan catatan produksi pada level sub inti.
Village flocks adalah peternak peternak lain yang tidak terikat oleh aturan inti
dan sulit dimonitor inti. Kelompok ini peternak bebas membudidayakan sesuai
dengan pola management merekatermasuk dalam menjual ternaknya. Pada
kelompk ini juga dilakukan recording sederhana terutama mencatat pedigree dan
catatan produksi ternak yang dkawinkan dengan pejantan dari sub inti.
GROUP BREEDING SCHEME
Grup breeding Scheme merupakan model pola pemuliaan yang paling banyak
digunakan baik di Negara maju maupun negara-negara berkembang. Pembibit
membentuk kerjasama untuk memanfaatkan keunggulan ternak yang ada,
pengalaman peternak serta prasarana yang dimiliki. Ternak dengan performa baik
sesuai dengan yang diharapkan kelompok dipilih dan dipelihara di inti. Recording
dilakukan di inti untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis selanjutnya seleksi
didasarkan atas sifat-sifat tersebut, ternak pengganti untuk kelompok anggota
umumnya berasal dari inti sehingga perbaikan akan cepat menyebar ke seluruh
kelompok.
Keuntungan pola ini antara lain adalah:
1. inbreeding akan rendah.
2. meningkatkan partisipasi peternak karena peternak berperan langsung dalam
program pemuliaan.
3. peternak dapat memelihara/mengontrol ternak unggulnya, dan prasarana
yang ada dapat dimanfaatkan bersama.
4. Keberhasilan grup sangat bergantung kepada efektifitas organisasi,
partisipasi peternak serta pola pemuliaan yang digunakan.
11
Adanya kerjasama dalam kelompok memungkinkan untuk mendapatkan ternak yang
memiliki performa baik, dari sekian banyak ternak yang dimiliki kelompok. Kriteria
seleksi ditentukan bersama oleh kelompok sesuai dengan kebutuhan. Ternak terpilih
tetap dipelihara oleh pemiliknya, peternak berkontribusi dalam program dengan
membolehkan ternaknya untuk digunakan dalam kelompok atau menjual ternak
terseleksi kepada peternak lain sesama anggota kelompok.
Di New Zealand pertama kali dikembangkan tahun 1967, selanjutnya
berkembang sangat pesat (Peart 1979). Chagunda dan Wollny (2005)
menggunakan group breeding scheme dalam konservasi sumber genetik ternak
lokal di Malawi. Pola grup breeding ternyata juga banyak dikerjakan oleh kelompok
peternat domba tangkas di Jawa barat. Salah satu kelompok peternak domba
tangkas yang merupakan kelompok pembibit adalah Jogya Grup di Kecamatan Ibun
Kab. Bandung.
Gambar 5. Pola Peuliaan (grup breeding) Kelompok Jogya Grup
Anggota
Anggota Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
♂
♂
♂ ♂
♂
♂
12
Fungsi kelompok untuk membangun dan mengembangkan potensi
kemampuan ekonomi anggota khususnya dan masyarakat umumnya melalui ternak
domba, untuk itu kelompok berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas ternak domba, memperkokoh perekonomian melalui agribisnis bibit domba,
penyediaan pakan, pelayananan kesehatan ternak serta mengadakan kemitraan
dengan dinas peternakan, perguruan tinggi, BUMN maupun usaha-usaha swasta
lainnya.
Kegiatan utama kelompok melakukan pembinaan terhadap anggota melalui
pertemuan-pertemuan rutin mingguan, tukar menukar pengalaman beternak antar
sesama anggota, mengikuti kegiatan kontes dan ketangkasan domba baik tingkat
regional maupun nasional. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
anggota kelompok sering mendatangkan ahli untuk memberikan ceramah maupun
pelatihan. Kegiatan perekonomian kelompok diantaranya membentuk koperasi
simpan pinjam, dibidang agribisnis sebagai usaha pokok menjual bibit ternak,
mengusahakan pengadaan pakan terutama konsentrat, bekerjasama dengan Perum
Perhutani menanam hijauan pakan ternak dilahan kehutanan sebagai tanaman sela.
Anggota kelompok adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa, mereka
mempunyai wewenang penuh dalam memelihara ternaknya, namun demikian
mereka berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh kelompok,
mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasarkan azas kekeluargaan
serta menanggung kerugian kelompok sesuai yang diatur dalam kesepakatan. Ketua
kelompok lebih berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok, serta
memberikan arahan dalam kegiatan usaha ternak terutama dalam seleksi bibit dan
menentukan pejantan yang digunakan.
Tujuan seleksi di kelompok Jogya Grup adalah menghasilkan domba tangkas
unggul atau domba dengan berat badan tinggi. Kriteria seleksi meliputi : sifat sifat
kualitatif diantaranya adalah bentuk badan, warna bulu, bentuk tanduk, serta bentuk
telinga. Sifat Kuantitatif terutama adalah bobot lahir, bobot sapih, bobot tujuh bulan,
dan bobot satu tahun. Seleksi betina pada umumnya sama dengan jantan, untuk
tanduk dicari betina yang memiliki tanduk meskipun kecil (betina bertanduk). Seleksi
domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap yaitu pada
13
umur 4 bulan (umur sapih), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1.5 tahun (gigi seri
tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh secara
umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan
pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih disatukan
jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan dilakukan
seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka, sorot mata,
daun telinga, dan tanduk. Postur tubuh yaitu kaki, ekor, serta warna bulu. Pada umur
ini domba mulai di kandang pada kandang individu. Pada umur 1.5 tahun dilakukan
seleksi terakhir terhadap sifat-sifat yang diseleksi pada umur sebelumnya, pada
umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu, serta
karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas.
SIRE REFERENCE SCHEME
Sire reference scheme merupakan satu model pola pemuliaan dimana
pejantan yang digunakan merupakan hasil seleksi berdasarkan kriteria yang sesuai
dengan yang diharapkan, kemudian pejantan tersebut digunakan secara bergilir di
kelompok kelompok betina. Anang (2003) mengemukakan bahwa model sire
reference scheme cocok digunakan untuk model pola pemuliaan domba priangan.
Dengan adanya genetic links antar kelompok, evaluasi genetik antar kelompok dan
antar tahun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok sebagai efek
tetap, sehingga nilai pemuliaan dan performa ternak antar kelompok dapat
diperbandingkan. Peran inti adalah mengelola dan menseleksi jantan yang akan
digunakan sebagai reference sire. Parameter genetik dan fenotip dapat dihitung
menggunakan restricted maximum likelihood (REML) dan nilai pemuliaan dapat
diduga menggunakan best linear unbiased prediction (BLUP). Pendugaan nilai
pemuliaan pada sire reference scheme menggunakan BLUP akan lebih akurat,
sebagai akibat dari lebih efektifnya pemisahan pengaruh genetik dan non genetik
serta informasi dari kerabat (Simm dan Wray 1991). Selanjutnya Lewis dan Simm
14
(2002) mengemukakan bahwa kemajuan genetik akan meningkat sejalan dengan
peningkatan intensitas seleksi serta peningkatkan jumlah induk dalam kelompok
yang dikawinkan dengan reference sire.
Peternak domba Priangan yang mennggunakan pola pemuliaan yang
mendekati sire reference scheme adalah kelompok H Osih. Kelompok merupakan
penghasil bibit domba Priangan khususnya domba tangkas yang cukup terkenal di
Garut, meskipun pada awalnya domba yang dipelihara dan dijual untuk bibit
merupakan hasil dari perkawinan yang tidak terencana namun dalam perjalanan
selanjutnya H. Osih melakukan kegiatan pemuliaan melalui perkawinan bibit-bibit
unggul yang dihasilkan dari seleksi yang ketat dan terarah.
Sistem perkawinan menggunakan kawin alam, seluruh responden telah
mengetahui gejala-gejala berahi ternaknya dan kapan waktu yang tepat untuk
dikawinkan sehingga keberhasilan perkawinan cukup tinggi. Mereka tidak
mengawinkan ternak yang kekerabatannya dekat sehingga kemungkinan inbreeding
kecil.
Tujuan pemuliaan di kelompok ini adalah menghasilkan domba tangkas unggul
melalui seleksi individu. Kriteria seleksi terutama didasarkan pada performa lomba
ketangkasan, sifat-sifat yang diseleksi lebih banyak sifat kualitatif, diantaranya pola
warna, bentuk tanduk, bentuk telinga, dan bentuk badan. Sifat kuantitatif yang paling
diperhatikan adalah bobot lahir, bobot sapih dan bobot umur satu tahun. Silsilah juga
menjadi pertimbangan seleksi, untuk jantan lebih disukai berasal dari kelahiran
tunggal dan turunan ternak juara.
Kelompok peternak H. Osih sangat fanatik dengan pola warna hitam dan atau
belang hitam (warna baralak dan baracak), sehingga pola warna jantan dan induk
yang dipilih adalah warna-warna tersebut. Bentuk tanduk diarahkan bentuk gayor
dan leang, untuk bentuk tanduk tidak jadi kriteria utama, bentuk telinga harus
rumpung. Bentuk badan harus nyinga (seperti singa) besar pada bagian depan
(dada). Kriteria seleksi berdasarkan sifat kualitatif, urutan pertama bentuk telinga,
kedua warna bulu ketiga bentuk tanduk, dan yang terakhir bentuk badan.
Seleksi domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap
yaitu pada umur sapih (4 bulan), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1,5 tahun (gigi
15
seri tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh
secara umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh,
kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih
disatukan jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan
dilakukan seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka,
sorot mata, daun telinga, dan tanduk, postur tubuh, kaki, ekor, serta warna bulu.
Pada umur ini domba mulai dikandang pada kandang individu. Pada umur 1,5 tahun
dilakukan seleksi terakhir terhadap sifat-sifat yang diseleksi pada umur sebelumnya,
pada umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu,
serta karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas.
Seleksi domba betina lebih diarahkan pada pola warna bulu, tidak terlihat cacat
tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Sama seperti jantan, untuk
betina seleksi dimulai sejak lahir namun tidak harus dari kelahiran tunggal, bisa
berasal dari kelahiran kembar dua. Sifat kuantitatif yang diperhatikan bobot lahir,
pertumbuhan sampai sapih dan pertumbuhan pasca sapih, sampai menjelang
dikawinkan. Domba betina dikawinkan pertama kali pada umur satu tahun, biasanya
digunakan rata-rata sampai 7 kali beranak. Kegiatan seleksi seluruhnya dilakukan
oleh H. Osih dan pak Ade (putra H. Osih), untuk jantan diseleksi 20% terbaik dan
betina 70% terbaik. Domba terseleksi dipelihara di kelompok, yang tidak terseleksi
dijual untuk domba potong atau sebagai bibit di peternak lain. Domba jantan
seluruhnya dimiliki H.Osih, betina disebar ke peternak penggarap angota kelompok
H. Osih. Pola pemuliaan yang dilakukan H. Osih dapat dapat digambarkan seperti
terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pengamatan pola tersebut sesuai dengan
pola ram circle. Peternak anggota hanya memelihara betina, pejantan ditentukan
oleh H. Osih berdasarkan hasil seleksi di kelompok. Pejantan tersebut kemudian
digilir untuk digunakan anggota kelompok.
Kosgey ( 2004) mengemukakan bahwa pada pola ram circle ukuran inti dan
ratio jantan betina berpengaruh terhadap kemajuan genetik (G) dan koefisien
inbreeding (F). Semakin besar ukuran inti G meningkat dan koefisien inbreeding (F)
menurun.
16
Apabila pada kelompok ini dilengkapi dengan catatan performa (recording) dan
inti mampu menseleksi jantan sebagai reference sire, pola ini akan sesuai dengan
model sire reference scheme.
♂
♂
♂
♂ ♂
♂ ♂
♂ ♂
♂
♂ ♂
Gambar 6 Pola pemuliaan di H. Osih
POLA PEMULIAAN BERKELANJUTAN
Pola pemuliaan ternak merupakan kegiatan seleksi dan perkawinan untuk
menghasilkan ternak unggul sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, oleh
karena itu pola pemuliaan ternak harus merupakan bagian yang terintegrasi dari
kebijakan pembangunan pertanian nasional. Model pola pemuliaan bergantung pada
H. Osih
Peternak
Peternak Peternak
Peternak
Peternak Peternak
17
sistem produksi, pola recording, kemajuan genetik yang diharapkan serta banyaknya
ternak unggul yang akan dihasilkan. Salah satu komponen yang sangat penting dan
merupakan langkah awal dalam kegiatan program pemuliaan adalah menetapkan
tujuan pemuliaan (breeding objective). Keberhasilan program pemuliaan sangat
ditentukan oleh kejelasan tujuan pemuliaan serta peran peternak yang terlibat dalam
kegiatan pemuliaan Tujuan pemuliaan harus merupakan bagian dari kebijakan
pembangunan pertanian, sesuai dengan keinginan peternak, direncanakan untuk
jangka panjang serta harus mencerminkan kebutuhan pasar di masa depan.
Umumnya peternak domba priangan tidak memiliki tujuan yang jelas dalam
pemuliaan dombanya namun pada dasarnya peternak ingin memperoleh domba
dengan nilai jual tinggi baik sebagai domba tangkas maupun sebagai penghasil
daging. Supaya pola pemuliaan yang diterapkan dapat berkelanjutan pemerintah
bersama-sama peternak menentukan tujuan pemuliaan domba priangan sehingga
diperoleh titik temu antara tujuan pemerintah meningkatkan produksi ternak untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
dengan tujuan peternak memelihara ternak sebagai sumber penghasilan.
Pola pemuliaan yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan mutu
genetik ternak tetapi harus sesuai dengan sarana yang ada serta adanya
keterlibatan peternak . group breeding scheme merupakan salah satu pola
pemuliaan yang keterlibatan peternaknya cukup tinggi karena peternak berperan
langsung dalam program pemuliaan, peternak membentuk kerjasama untuk
memanfaatkan keunggulan ternak yang ada, pengalaman peternak serta prasarana
yang dimiliki. Adanya kerjasama dalam kelompok memungkinkan untuk
mendapatkan ternak memiliki performan baik, dari sekian banyak ternak yang
dimiliki kelompok. Kriteria seleksi ditentukan bersama oleh kelompok sesuai dengan
kebutuhan.
Pola pemulian dengan inti (Nucleus breeding scheme) cocok digunakan pada
peningkatan mutu genetik domba pada peternakan rakyat di negara berkembang,
pola ini dapat mengatasi hambatan sosial ekonomi, dana dan infrastruktur. Pola
pemuliaan dengan inti pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup (Closed
nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding scheme).
18
Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari inti (nucleus) ke luar
tidak ada gen yang mengalir dari luar ke nucleus. Pola inti terbuka suatu sistem
dimana inti (nucleus) tidak tertutup, oleh karena itu aliran gen tidak hanya dari inti ke
luar tetapi juga dari luar ke inti. pola inti terbuka cocok digunakan untuk pemuliaan
domba di negara berkembang (tropik), keuntungan pola ini antara lain adalah
mengurangi inbreeding, diperoleh ternak unggul hasil seleksi dari populasi yang
lebih besar diluar inti, pola inti terbuka dua strata menghasilkan kemajuan 10%
sampai 15% lebih cepat dibanding pola inti tertutup, sedangkan kerugiannya perlu
recording pada plasma yang akan memerlukan biaya tinggi, beresiko tinggi
masuknya penyakit dari luar ke inti, recording yang kurang lengkap pada kelompok
plasma menurunkan kemajuan genetik.
Untuk pola pemuliaan domba priangan yang berkelanjutan perlu
dikembangkan pola pemuliaan group breeding inti terbuka dua strata. Hubungan
antara inti dengan kelompok peternak pada pola pemuliaan domba Priangan
berkelanjutan disajikan pada Gambar 6.
Keterangan : ♂rs : reference sire
Gambar 7. Pola pemuliaan domba Priangan berkelanjutan
INTI Kelompok Peternak
Kelompok Peternak
Kelompok Peternak
Kelompok Peternak
♂rs
♂rs
♂rs
♂rs
♂rs ♂rs ♂rs
♂rs
♂rs
♂rs
♂rs ♂rs
♂♀
♂♀
♂♀
♂♀
19
Peran inti yang terpenting adalah menghasilkan pejantan pejantan unggul
sebagai reference sire yang akan digunakan secara bergilir di kelompok peternak.
Margawati yang memiliki sumber daya manusia serta infrastruktur lengkap dapat
bertindak sebagai inti dan anggota kelompok sebagai penangkar bibit.
Perbaikan mutu genetik melalui seleksi akan efektif bila telah diketahui nilai
parameter genetik diantaranya adalah nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai
pemuliaan sifat sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting. Pada umumnya
peternak domba priangan tidak memiliki catatan tertulis (recording), namun silsilah
induk dan pejantan terutama untuk domba juara diketahui peternak. Akibat tidak ada
recording pendugaan parameter genetik dan nilai pemuliaan tidak bisa dilakukan,
sehingga seleksi ternak lebih didasarkan pada penampilan fenotip dengan kriteria
seleksi berdasarkan sifat-sifat kualitatif dan silsilah yang diketahui peternak.
Recording merupakan salah satu prasarat untuk keberhasilan program pemuliaan
yang berkelanjutan dengan adanya recording peternak akan memiliki informasi
mengenai ternaknya, hal ini akan berguna untuk managemen ternak maupun untuk
tujuan pemuliaan. Mason dan Buvanendran (1982) mengemukakan bahwa model
recording yang cocok bergantung kepada prasarana dan sumber daya manusia
yang ada serta sistem produksi, pada kondisi pengetahuan petani masih rendah dan
prasarana kurang recording sebaiknya dilakukan untuk sifat-sifat penting yang
mudah diukur serta bernilai ekonomis. Supaya recording efektif harus memenuhi
kriteria antara lain, sistem harus sederhana, tidak banyak yang harus dicatat oleh
peternak sehingga tidak mengganggu kegiatan peternak, sifat yang dicatat
sebaiknya memiliki nilai ekonomis dan berguna dalam manajemen ternak, harus
efisien terutama dalam penggunaan waktu dan biaya.
Sejalan dengan pendapat Mason dan Buvanendran (1982) untuk memperoleh
jantan dan betina yang akan masuk ke inti, perlu recording sederhana di tingkat
peternak antara lain membuat catatan silsilah, tipe kelahiran, menimbang bobot
badan atau ukuran-ukuran tubuh ( lingkar dada dan atau panjang badan) pada saat
peternak biasa melakukan seleksi yaitu pada umur sapih (4 bulan), umur 7 bulan,
umur 9 bulan dan umur 1,5 tahun. Recording di inti harus lebih lengkap dan teliti,
sesuai dengan peran inti yang terpenting adalah mengelola dan menseleksi jantan
20
yang akan digunakan sebagai reference sire. Penggunaan jantan dilakukan secara
bergilir diantara anggota kelompok. Adanya genetic links antar kelompok, evaluasi
genetik antar kelompok dan antar tahun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan
kelompok sebagai efek tetap, sehingga nilai pemuliaan dan performa ternak antar
kelompok dapat diperbandingkan. Dengan dilakukan pergiliran pejantan jumlah
betina yang dapat dikawini akan lebih banyak, kemajuan genetik akan meningkat
sejalan dengan peningkatan intensitas seleksi serta peningkatkan jumlah induk
dalam kelompok yang dikawinkan dengan reference sire.
Salah satu tantangan dalam pola grup breeding adalah bagaimana
mengefektifkan partisipasi peternak dalam program pemuliaan. Keberhasilan
kelompok sangat bergantung kepada efektifitas organisasi, ketua kelompok
berperan penting dalam keberhasilan program pemuliaan. Kelompok akan bisa
berjalan selama masih mampu memenuhi harapan anggotanya, oleh karena itu
perlu dibuat aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok
dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan azas koperasi.
Peternak yang terlibat dalam kelompok harus mengerti operasional program,
keuntungan yang akan diperoleh atas keterlibatannya dalam kelompok baik dari segi
finansial maupun keuntungan dari peningkatan mutu genetik ternaknya.
Program pemuliaan akan berhasil bila ada dukungan pemerintah, bentuk
dukungan dapat berupa kebijakan maupun pembangunan infrastruktur. Sarana fisik
yang sangat mendukung berhasilnya program pemuliaan berkelanjutan antara lain
adalah sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana produksi serta pemasaran
hasil produksi. Sarana jalan dan komunikasi yang telah ada sebaiknya lebih
ditingkatkan, demikian pula pasar ternak. Salah satu resiko pola inti terbuka adalah
masuknya penyakit dari luar ke inti, kalau hal ini terjadi dapat menyebabkan
kegagalan. Oleh sebab itu pemerintah perlu meningkatkan peran tenaga kesehatan
hewan (dokter hewan) untuk dilibatkan dalam kegiatan pemuliaan. Dukungan dana
dalam bentuk bantuan atau kredit lunak akan sangat membantu peternak dalam
meningkatkan usahanya .
21
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, keberhasilan pola pemuliaan berkelanjutan
ditentukan oleh pertimbangan utama yaitu pasar, partisipasi petani, tujuan
pemuliaan, kriteria seleksi serta dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan,
sarana dan prasarana. Pola yang cocok untuk digunakan sebagai pola pemuliaan
domba Priangan berkelanjutan adalah grup breeding pola inti terbuka, pejantan yang
digunakan digilir antarkelompok anggota dengan pola sire reference scheme.
DAFTAR PUSTAKA Anang A, Dudi and D Heriyadi. 2003. Characteristics and Proposed Genetic
Improvement of Priangan Sheep in Small Holders. [research report]. Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran University Jatinangor, West Java. Indonesia.
Chagunda MGG and Wollny CBA. 2005. A Concept note on interactive processes and technologies to conserve indigenous farm animal genetic resources in Malawi. Department of Animal Science, Bunda College of Agriculture University of Malawi. http://www.fao.org//DOCREP006/ Y3970E /y3970e0c.htm. [10 Maret 2006]
James JW. 1979. The theory behind breeding schemes. Di dalam: Tomes GL, DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth,Western Australia. Hlm 205-213
Kosgey IS. 2004. Breeding objective and breeding strategies for small ruminants in the tropics [Ph.D. thesis], Animal Breeding and Genetics Group. Wageningen University
Lewis RM and G. Simm. 2002. Small ruminant breeding programs for meat: progress and prospects breeding ruminant for meat production. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 02(01)
Mason, I I and V Buvanendran. 1982. Breeding plans for ruminant livestock in the tropics. FAO Animal Production and Health Paper 34.
Nicholas FW. 1993. Veterinary Genetics. Department of Animal Science, University of Sydney. Clarendon Press.Oxford
22
Peart GR. 1979. Sociological, Economic, Business and Genetic Aspects of Sheep Group Breeding Scheme. Di dalam: Tomes GL, DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth,Western Australia. Hlm 221-229
Phillipsson J. 2003. How to make breeding programs for tropical farming systems sustainable. ILRI-SLU-Sida Training Course. Bangkok, Jan 7-25, 2003.
Simm G and NR Wray. 1991. Sheep sire referencing schemes – new opportunities for pedigree breeders and lamb producers. The Scottish Agricultural College Edinburgh, Scotland.
Warwick, E.J, J.Maria Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wiener G. 1999. Animal Breeding. Centre for Tropical Veterinary Medicine University of Edinburgh. First Published 1994 by Mac Millan Education Ltd.