Top Banner
LAPORAN AKHIR PENELITIAN DANA INTERNAL MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PANCASILA Tim Pengusul Ketua Tim : Dino Rimantho, ST.,MT (0306017007) Anggota : Nur Yulianti Hidayah, ST.,MT (0325077501) Ayu Herzaniata Y, ST.,MT (0330068902) JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PANCASILA 2019
131

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

Nov 19, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DANA INTERNAL

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT

DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PANCASILA

Tim Pengusul

Ketua Tim : Dino Rimantho, ST.,MT (0306017007)

Anggota : Nur Yulianti Hidayah, ST.,MT (0325077501)

Ayu Herzaniata Y, ST.,MT (0330068902)

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PANCASILA

2019

Page 2: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Model Pengelolaan Limbah Padat di Fakultas Teknik Universitas

Pancasila

Ketua Tim Pengusul Penelitian

Nama : Dino Rimantho, ST.,MT

NIP/NIDN : 0306017007

Pangkat/Golongan : III c

Program Studi/Fakultas : Teknik Industri / Fakultas Teknik

Perguruan Tinggi : Universitas Pancasila

Email : [email protected]

No. Telp : 081243628006

Anggota Tim Pengusul Penelitian

a) Anggota I

Nama : Nur Yulianti Hidayah, ST.,MT

NIP/NIDN : 0325077501

b) Anggota II

Nama : Ayu Herzaniata Y, ST., MT.

NIP/NIDN : 0330068902

Jumlah mahasiswa yang terlibat : 1 (satu) orang

Usulan Jangka Waktu : 8 bulan (Mei-Desember 2019)

Biaya yang diperlukan : Rp.60.000.000

Jakarta, 2 Desember 2019

Mengetahui:

Ketua Program Studi, Ketua Tim Pengusul,

(Ir. Rini Prasetyani, MT) (Dino Rimantho, ST.,MT)

NIDN. 0330016801 NIDN. 0306017007

Mengetahui: Menyetujui,

Ka.UP2M Dekan FTUP

(Dr. Dede Lia Z, ST.,MT) (Dr. Ir Budhi Muliawan Suyitno, IPM)

NIDN. 0312017603 NIDK. 8825530017

Page 3: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

DAFTAR ISI

RINGKASAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

2.2. Pengelolaan Sampah di Perguruan Tinggi

2.3. Studi Karakterisasi Limbah Di Perguruan Tinggi

2.4. Konsep Sampah

2.5. Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

2.6. Analytic Hierarchy Process (AHP)

2.7. Sistem Dinamik

BAB III METODOLOGI

3.1. Pendekatan Penelitian

3.2. Variabel Penelitian

3.3. Populasi Penelitian

3.4. Sampel Penelitian

3.5. Metode Pelaksanaan Penelitian

3.6. Data Penelitian

3.7. Diagram Alir Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Menghitung Laju Timbulan Sampah yang Dihasilkan

4.2. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswa Tentang

Pengelolaan Sampah

4.3. Analisis Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Sampah

Page 4: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

iii

4.4. Rumusan Strategi yang Tepat Agar dapat Digunakan dalam

Pengelolaan Sampah di FTUP

4.5. Model Manajemen Faktor-Faktor Risiko yang Direkomendasikan

Menjadi Strategi Pengelolaan Limbah Padat yang Berkelanjutan

4.6. Penyusunan Skenario Pengendalian Risiko Kegagalan Pengelolaan

Limbah Padat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

5.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 5: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Justifikasi Penggunaan Anggaran

Lampiran 2 Artikel Seminar Internsional

Lampiran 3 Foto Kegiatan Pengumpulan Sampah

Lampiran 4 Kuesioner Pengetahuan, Sikap dan Prilaku

Lampiran 5 Kuesioner Penilaian Risiko

Lampiran 6 Kuesioner Perbandingan Berpasangan

Lampiran 7 Surat Pencatatan Ciptaan

Lampiran 8 Materi Workshop

Page 6: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

v

RINGKASAN

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan keberlanjutan dari

Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati tahun 2015. SDGs

menjadi momentum baru dalam pembangunan global. Terdapat beberapa sasaran

pembangunan dalam berbagai macam aspek, mulai dari aspek sosial, aspek

kesehatan, dan aspek lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan aspek

lingkungan adalah hal yang terpenting, termasuk pengelolaan sampah kota yang

berkelanjutan. Masalah sampah timbul karena adanya peningkatan timbulan

sampah sebesar 2%-4% per tahun. Kebijakan pengelolaan sarnpah selama ini

lebih berorientasi pada usaha memindahkan sampah yang tersebar ke satu lokasi

akhir pembuangan sampah tanpa proses pemilahan, daur ulang, dan pemanfaatan

ulang sampah terlebih dahulu. Terkait dengan sistem pengelolaan sampah di

Fakultas Teknik dan Universitas Pancasila secara umum meliputi pewadahan,

pengumpulan, pemindahan transfer depo, dan pengangkutan dengan kontainer

untuk dibawa ke TPA. Hal ini dapat berpotensi menambah laju timbulan limbah

padat yang akan dibawa ke TPA. Melihat realita tersebut maka perlu ada upaya

dalam menangani permasalahan sampah padat, salah satunya adalah membuat

solusi bahwa sampah dapat menjadi sumber energi listrik atau Waste to Energy

atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).

Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting melihat peningkatan volume

timbunan sampah setiap waktu yang tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menghitung laju timbulan sampah dan menganalisis perilaku masyarakat

dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses

pengelolaan limbah padat di FTUP.

c. Merumuskan strategi yang tepat agar dapat digunakan dalam pengelolaan

sampah di FTUP.

d. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua pengukuran, yaitu pengukuran

timbulan sampah dan pengukuran komposisi sampah. Pengukuran timbulan

Page 7: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

vi

menggunakan dua metode yaitu Metode Volume yang menghasilkan data dengan

satuan liter/unit/hari dan Metode Berat yang menghasilkan data dengan satuan

kilogram/unit/hari untuk pengukuran komposisi. Analisis penyebab risiko

kegagalan dalam pengelolaan sampah menggunakan FMEA. Penentuan strategi

mitigasi kegagalan pengelolaan sampah menggunakan metode AHP dan

pembuatan model pengelolaan limbah padat di FTUP menggunakan Sistem

Dinamis. Luaran dari penelitian berupa laporan penelitian, artikel penelitian yang

akan dipublikasikan di Jurnal dan Proceeding Internasional terindeks, dan model

pengelolaan sampah.

Page 8: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan keberlanjutan dari

Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati tahun 2015. SDGs

menjadi momentum baru dalam pembangunan global, karena dalam kesepakatan

SDGs pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-70 memiliki

tujuan pembangunan universal baru yang dimulai pada tahun 2016 hingga tahun

2030. SDGs memiliki 5 prinsip-prinsip mendasar yang menyeimbangkan

beberapa dimensi seperti ekonomi, social, dan lingkungan, yaitu 1) People

(manusia), 2) Planet (bumi), 3) Prosperty (kemakmuran), 4) Peace (perdamaian),

dan 5) Partnership (kerjasama) (Panuluh dan Fitri, 2016). Selain itu, kesepakatan

SDGs juga memiliki 17 tujuan dan 169 sasaran. Hal ini berbeda dengan MDGs

yang hanya memiliki 8 tujuan dan 21 sasaran. Secara proses MDGs juga memiliki

kelemahan karena penyusunan hingga implementasinya ekslusif dan sangat

birokratis tanpa melibatkan peran stakeholder non-pemerintah, seperti civil society

organization, universitas/akademisi, sektor bisnis dan swasta, serta kelompok

lainnya (Panuluh dan Fitri, 2016). Akan tetapi, penyusunan SDGs sendiri

memiliki beberapa tantangan karena masih terdapat beberapa butir-butir target

MDGs yang belum bisa dicapai dan harus diteruskan di dalam SDGs (Erwandari,

2017). SDGs disepakati oleh 193 kepala negara dan pemerintahan yang

merupakan anggota PBB dan termasuk Negara Indonesia.

Pelaksanaan SDGs di Indonesia telah memiliki payung hukum dan diatur

melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017. Regulasi ini digunakan untuk

menghindari keterlambatan implementasi SDGs. Dasar pemikirannya dikarenakan

pada implementasi MDGs, Indonesia sebelumnya mengalami keterlambatan 10

tahun dari pengesahannya pada tahun 2000. Pemerintah Indonesia menjelaskan

bahwa keterlambatan tersebut dikarenakan Indonesia pada saat itu masih dalam

proes pemulihan dari situasi ekonomi setelah terjadinya krisis pada tahun 1998.

Dalam Perpres tersebut menguraikan 17 tujuan dari implementasi SDGs yang

Page 9: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

2

mana termasuk dalam sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 di Indonesia.

Terdapat beberapa sasaran pembangunan dalam berbagai macam aspek,

mulai dari aspek sosial, aspek kesehatan, dan aspek lingkungan. Dalam

pembangunan berkelanjutan aspek lingkungan adalah hal yang terpenting,

termasuk pengelolaan sampah kota yang berkelanjutan. Tatanan kehidupan sosial

di Indonesia mengalami peningkatan akibat dari adanya pembangunan yang

semakin dinamis. Hasil pembangunan yang mengalami peningkatan akan

memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan taraf kehidupan

masyarakat yang lebih baik. Namun, hal ini juga harus memperhatikan bahwa

hasil pembangunan juga akan memberikan dampak atau efek samping terhadap

lingkungan sebagai penopang kegiatan pembangunan tersebut.

Dampak lingkungan yang dikhawatirkan adalah menurunnya kualitas

lingkungan. Salah satu dampak lingkungan yang dihasilkan adalah sampah yang

merupakan masalah penting yang harus mendapat penanganan dan pengolahan

sehingga tidak menimbulkan dampak lanjutan yang membahayakan. Menurut

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), volume sampah yang

meningkat setiap tahun dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, tingkat

konsumsi masyarakat, dan sistem pengelolaan sampah di masing-masing daerah

(KNLH 2008).

Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat tentu saja akan

meningkatkan jumlah konsumsi masyarakat serta segala aktivitasnya yang

dikhawatirkan akan melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika

tidak sesuai atau melebihi daya dukung lingkungan maka akan menimbulkan

dampak negatif yaitu dapat mencemari lingkungan. Salah satu pencemar

lingkungan yang timbul adalah limbah padat atau sering disebut dengan sampah

(Solehati 2005). Kelangsungan hidup manusia sangat tergantung kepada

lingkungan hidupnya. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan

hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda dan makhluk hidup,

termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Page 10: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

3

Berdasarkan hasil studi di tahun 2008 yang dilakukan di beberapa kota,

sampah yang dihasilkan per individu setiap harinya sebesar 0,8 kilogram. Jumlah

timbulan sampah di kota metropolitan, di mana jumlah penduduknya lebih dari 1

juta jiwa, rata-rata total sampah yang dihasilkan adalah 1.300 ton/hari. Sementara

dari sisi sumbernya, yang paling dominan menyumbang sampah adalah rumah

tangga yaitu sebanyak 58%, pasar tradisional 24%, dan kawasan komersial

sebesar 9%. Sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, jalan, dan sebagainya.

Pola pengelolaan sampah di Indonesia adalah diangkut dan ditimbun di TPA

sebesar 69%, dikubur sebesar 10%, dikompos dan daur ulang sebesar 7%, dibakar

sebesar 5%, sisanya tidak terkelola sebesar 7% dan masih ada 25% sampah belum

sampai ke TPA.

Masalah sampah muncul karena adanya peningkatan timbulan sampah

sebesar 2%-4% per tahun. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan dukungan

sarana dan prasarana penunjang yang memenuhi persyaratan teknis, sehingga

banyak sampah yang tidak terangkut. Selain itu, belum adanya regulasi dalam

upaya penanganan dan pengelolaan sampah secara optimal. Selama ini

pengelolaan sampah masih diserahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu

terbatasnya anggaran pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan dasar juga

selalu menjadi kendala. Salah satu alasannya karena masih rendahnya investasi

swasta dalam pengelolaan sampah. Masalah sampah juga diperparah oleh

paradigma bahwa sampah merupakan limbah domestik rumah tangga atau industri

yang tidak bermanfaat (KNLH 2008).

Universitas Pancasila, disingkat UP, adalah salah satu perguruan tinggi

swasta di Indonesia. Kampus utamanya terletak di Srengseng Sawah, Jagakarsa,

Jakarta Selatan dan kampus Pascasarjana terletak di Jalan Borobudur, Menteng,

Jakarta Pusat. Universitas Pancasila didirikan pada tanggal 28 Oktober 1966,

merupakan penggabungan dari Universitas Pancasila (lama) yang didirikan pada

tahun 1963 dan Universitas Bung Karno. Misi dari Universitas Pancasila berniat

dan beritikad untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berjiwa Pancasila,

memiliki nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan serta

kemampuan berkomunikasi, dan pembinaan bidang hukum, ekonomi dan ekologi

untuk menunjang pembangunan.

Page 11: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

4

Salah satu Fakultas yang terdapat di Universitas Pancasila adalah Fakultas

Teknik. Terdapat tiga jenjang pendidikan yaitu Diploma 3, Strata 1, dan

Pascasarjana. Fakultas ini terdiri dari beberapa program studi seperti Industri,

Sipil, Mesin, Elektro, Arsitektur, Informatika. Sejak berdiri pertama kali, Fakultas

ini mengalami peningkatan jumlah mahasiswa yang berfluktuasi pada tiap

program studinya. Akan tetapi secara keseluruhan jumlah mahasiswa yang masuk

ke Fakultas ini mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Peningkatan populasi mahasiswa di Fakultas Teknik Universitas Pancasila

(FTUP) juga berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan terutama sampah di

sekitar FTUP. Sebanding dengan peningkatan pertumbuhan jumlah populasi

mahasiswa, sampah di sekitar FTUP jumlahnya juga akan mengalami peningkatan

dari waktu ke waktu. Kegiatan konsumsi mahasiswa memiliki korelasi yang

positif terhadap jumlah sampah yang terbagi menjadi sampah organik dan

anorganik. Sampah organik masih menjadi komponen terbesar yaitu sebesar 65%

diikuti oleh sampah kertas dan plastik (KNLH 2009). Sampah yang dihasilkan

hanya dibuang dari sumbernya tanpa diolah. Di sisi lain, pengelolaan sampah oleh

dinas terkait hanya fokus pada pengumpulan dan pengangkutan ke Tempat

Pembuangan Akhir (TPA).

Terkait dengan sistem pengelolaan sampah di FTUP dan Universitas

Pancasila secara umum meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan transfer

depo, dan pengangkutan dengan kontainer untuk di bawa ke TPA. Hal ini dapat

berpotensi menambah laju timbulan limbah padat yang akan dibawa ke TPA.

Melihat realita tersebut maka perlu ada upaya dalam menangani permasalahan

sampah padat, salah satunya adalah membuat solusi bahwa sampah dapat menjadi

sumber energi listrik atau Waste to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa

(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Oleh karena itu penelitian ini menjadi

penting melihat peningkatan volume timbulan sampah setiap waktu yang tentu

saja dipengaruhi oleh berbagai faktor.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan berbagai permasalahan

sebagai berikut:

Page 12: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

5

a. Berapakah laju timbulan sampah yang dihasilkan dan bagaimana perilaku

mahasiswa dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP?

b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan proses pengelolaan

limbah padat di FTUP?

c. Strategi apa yang tepat agar permasalahan pengelolaan sampah di FTUP dapat

lebih optimal?

d. Bagaimana model dan skenario pengelolaan sampah di FTUP?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian:

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah:

a. Menghitung laju timbulan sampah dan menganalisis perilaku masyarakat

dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses

pengelolaan limbah padat di FTUP.

c. Merumuskan strategi yang tepat agar dapat digunakan dalam pengelolaan

sampah di FTUP.

d. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.

Manfaat penelitian:

Dalam menyikapi kebijakan penerapan SDGs dalam hal menjamin

kelangsungan lingkungan hidup yang berkelanjutan maka diperlukan dukungan

dari seluruh elemen masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

melakukan penelitian tentang pengelolaan sampah di sumbernya. Diharapkan

dengan diketahuinya volume dan karakteristik dari sampah dapat mendukung

keterkaitan antar target SDGs seperti sanitasi, energi terbarukan dan keberlanjutan

lingkungan hidup.

Page 13: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED) (1987)

memberikan definisi tentang pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan

yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Sistem lingkungan,

sosial dan ekonomi yang membentuk masyarakat harus memberikan kehidupan

yang sehat, produktif dan bermakna untuk semua bentuk kehidupan baik di masa

kini maupun di masa depan (UNESA, 2002). Dengan demikian pembangunan

berkelanjutan telah membuat kita sadar akan perlunya mencegah degradasi

lingkungan dan hidup berkelanjutan. Degradasi lingkungan menyebabkan

penipisan sumber daya, menurunnya standar hidup, masalah kesehatan, konflik

dan banyak lagi (UNESA, 2002).

Beberapa peneliti seperti Medina, 2002; dan (Zerbock, 2003) memiliki

pendapat bahwa “pengelolaan limbah terpadu bertujuan untuk memperoleh

keseimbangan secara sosial, layak secara ekonomi dan berwawasan lingkungan”.

Dalam kasus kerangka kerja pengelolaan limbah padat di negara berkembang,

perlu dicatat bahwa solusi yang bekerja untuk beberapa negara atau wilayah

mungkin tidak sesuai atau berlaku untuk yang lain. Masalah khusus, seperti

kondisi lingkungan, dan kerangka kerja sosial ekonomi yang ada akan

menentukan kesesuaian berbagai strategi dan teknologi dalam menyelesaikan

masalah limbah padat. Penekanan utama adalah pada keempat R (mengurangi,

menggunakan kembali, memperbaiki dan mendaur ulang), dengan demikian,

menciptakan lebih sedikit limbah dan meningkatkan pemulihan material. Hal ini

dijelaskan lebih lanjut dalam hirarki pengelolaab limbah (UNESA, 2002).

Selama beberapa dekade, institusi akademik, bisnis, pemerintah dan

organisasi sosial telah berupaya untuk mewujudkan konsep penggunaan sumber

daya yang berkelanjutan yang memiliki implikasi bagi masyarakat, lingkungan,

dan ekonomi (Clugston 2000). Kesadaran lingkungan dan advokasi di kampus-

kampus universitas Amerika Utara diamati pada awal tahun 1970-an (Bardati

Page 14: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

7

2006). Pada tahun 1972 Deklarasi Stockholm memulai serangkaian pernyataan

nasional dan internasional yang mengacu pada keberlanjutan dalam pendidikan

tinggi (Shriberg, 2002). Meskipun konferensi Stockholm tidak secara langsung

berfokus pada keberlanjutan kampus, deklarasi ini mengakui saling

ketergantungan antara manusia dan lingkungan dan secara khusus mengakui

pentingnya pendidikan dalam interaksi ini (Wright, 2002). Deklarasi Talloires

menandai komitmen formal pertama untuk keberlanjutan dalam pendidikan tinggi

oleh administrator universitas (Wright, 2002) dan sejak didirikan pada tahun

1990, penandatangan telah meningkat dari awal 20 menjadi 390, 33 di antaranya

adalah lembaga Kanada (ULSF, 2009). Deklarasi Talloires terdiri dari serangkaian

prinsip yang mendorong institusi untuk memberikan contoh tanggung jawab

lingkungan melalui pengurangan limbah, daur ulang dan konservasi sumber daya,

terlibat dalam penelitian dan pendidikan menuju masa depan yang berkelanjutan,

dan membangun program untuk mempromosikan keahlian dalam manajemen

lingkungan, ekonomi berkelanjutan pengembangan dan keadilan sosial (Pike,

2003). Deklarasi Halifax (1991) adalah hasil dari konferensi internasional yang

disebut “Aksi Universitas untuk Pembangunan Berkelanjutan” (Wright, 2002).

Konferensi ini membahas tantangan spesifik pembangunan berkelanjutan yang

ramah lingkungan sambil menegaskan kembali peran kepemimpinan lembaga

pendidikan tinggi dalam gerakan menuju masa depan yang berkelanjutan

(Shriberg, 2002); (Bardati, 2006). Melalui Deklarasi Halifax, perguruan tinggi

ditantang untuk "memikirkan kembali dan membangun kembali kebijakan dan

praktik lingkungan mereka untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan

di tingkat lokal, nasional, dan internasional" (Wright, 2002). Pada Januari 2005

PBB mengumumkan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Perkembangan terbaru ini telah menjadi sumber momentum yang mendorong

keberlanjutan dalam pendidikan tinggi ke arus utama di Amerika Utara dan Eropa

(Beringer, 2008). Meskipun deklarasi seperti Stockholm, Talloires, dan Halifax,

telah berhasil menguraikan tanggung jawab moral universitas untuk bergerak

menuju keberlanjutan, akan tetapi masih sedikit yang menawarkan solusi untuk

mencapai perubahan atau persyaratan wajib untuk menunjukkan akuntabilitas dan

kemajuan (Walton, 2000.). Bahkan, evaluasi deklarasi ini mengungkapkan bahwa

Page 15: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

8

di banyak lembaga penandatangan, perjanjian "ditandatangani dan dilupakan"

(Walton, 2000.).

Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi seperti Asosiasi untuk

Kemajuan Keberlanjutan dalam Pendidikan Tinggi dan Sierra Youth Coalition

(SYC) telah berusaha untuk mengatasi jurang antara ilmu pengetahuan dan

tindakan aksi dengan memberikan dukungan bagi universitas melalui

pengembangan staf, fakultas dan sumber daya pelatihan mahasiswa dan kerangka

kerja penilaian keberlanjutan, seperti Pelacakan Keberlanjutan, Sistem Penilaian

dan Penilaian dan Kerangka Kerja Penilaian Keberlanjutan Kampus (Cole, 2003).

Pergerakan pengetahuan yang melampaui prinsip keberlanjutan untuk bertindak

dalam operasi kampus dapat dicapai melalui penggunaan alat penilaian tersebut

(Bardati, 2006). Mekanisme pemantauan, seperti audit keberlanjutan, memberikan

stimulus tambahan untuk memastikan bahwa komitmen lingkungan tetap menjadi

prioritas dan bahwa niat berkelanjutan dapat direalisasikan melalui proyek dan

program yang berorientasi pada tindakan (Conway, 2008). Namun, audit

keberlanjutan yang komprehensif membutuhkan organisasi dan kepemimpinan

yang kuat, sumber daya keuangan dan manusia, dan seringkali harus diselesaikan

beberapa tahun (Beringer, 2008). Persyaratan seperti itu seringkali tidak tersedia

bagi universitas yang baru dalam proses 'penghijauan' dan memulai audit

keberlanjutan sebelum waktunya bisa sangat besar dan bahkan membuat kecil

hati. Memilih satu atau dua bidang prioritas keberlanjutan kampus agar dinilai

merupakan metode yang efektif untuk memulai inisiatif 'hijau' dan menginisiasi

praktik manajemen lingkungan dalam suatu institusi. Sharp (2002)

mengidentifikasi pendekatan proyek percontohan sebagai teknik yang sangat

berhasil untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dan perluasan inisiatif

kampus hijau perintis ' (Sharp, 2002). Hal ini disebabkan indikator paling nyata

dari konsumsi kampus adalah produksi limbah, pemeriksaan sistem pengelolaan

limbah universitas adalah tempat yang logis untuk memulai jalan menuju

keberlanjutan kelembagaan (Filho, 2002)

Page 16: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

9

2.2. Pengelolaan Sampah di Perguruan Tinggi

Hirarki pengelolaan limbah yang sudah dikenal luas menunjukkan urutan

yang disukai dalam pengelolaan limbah padat, seperti pengurangan volume

limbah di sumber penghasil, penggunaan kembali bahan-bahan bila

memungkinkan dan mendaur ulang sebanyak mungkin bahan yang berbeda

sebelum pembuangan atau membakar sisa sampah. Idealnya, hierarki ini harus

menjadi dasar keputusan pengelolaan limbah kampus. Namun pada kenyataannya,

sebagian besar program pengelolaan limbah kampus telah berfokus secara luas

pada daur ulang, seringkali mengabaikan peluang untuk meminimalkan limbah

dan penggunaan kembali bahan (Fournier, 2008); (Harris, 2009). Ketergantungan

pada daur ulang ini berasal dari sejumlah faktor yang beberapa di antaranya

termasuk, gagasan bahwa daur ulang memberikan kepuasan instan kepada orang-

orang dan asumsi bahwa mereka membantu menyelamatkan lingkungan

(Fournier, 2008). Oleh karena itu, ironisnya, mengelola limbah seringkali lebih

mudah daripada menguranginya. di tempat pertama.

Program pengurangan dan daur ulang limbah formal pertama muncul di

lembaga pendidikan tinggi Amerika Utara lebih dari dua dekade lalu dan telah

berkembang menjadi salah satu inisiatif lingkungan kampus yang paling populer

(Armijo de Vega C., 2008). Sementara itu, terdapat beberapa program yang telah

berhasil, sering berkembang dalam kemutakhiran dari program yang dilakukan

oleh mahasiswa atau secara sukarela dimasukkan ke program yang dilembagakan,

dan yang lain telah gagal untuk melampaui tingkat akar rumput untuk merangsang

pengelolaan limbah kampus yang bertanggung jawab (Fournier, 2008).

Beberapa alasan yang lebih umum pada kegagalan program antara lain,

pasar daur ulang yang tidak stabil, populasi mahasiswa, sumber daya keuangan

yang minim dan penarikan biaya pembuangan limbah artifisial yang rendah serta

kurangnya dukungan kelembagaan, dengan administrator kampus melihat daur

ulang sebagai barang mewah yang bertentangan dengan untuk suatu kebutuhan

(Fournier, 2008). Selain faktor-faktor ini, mengubah perilaku konsumen yang

boros sering diidentifikasi sebagai hal yang kritis dan sama-sama menantang

dalam mempromosikan pengelolaan limbah berkelanjutan di perguruan tinggi.

Page 17: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

10

Penelitian ekstensif telah dilakukan ke dalam faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap daur ulang dan perilaku pengurangan limbah komunitas

kampus. Pentingnya mengambil peluang dalam proses daur ulang; dengan

penyediaan wadah daur ulang pada lokasi tertentu akan mengarah pada

peningkatan staf, fakultas, dan mahasiswa dalam skema daur ulang kampus (Pike

et al., 2003). Lainnya mendukung relevansi peluang dan kenyamanan dan

menambahkan bahwa kedekatan wadah daur ulang dan berbagai bahan daur ulang

yang diterima juga memainkan peran dalam mempengaruhi partisipasi (Hansen et

al. 2008). Di luar faktor situasional, berbagai variabel psikologis, seperti persepsi

daur ulang, tingkat pengetahuan daur ulang dan kepedulian terhadap masalah

lingkungan, juga telah ditemukan berdampak pada partisipasi daur ulang (Hansen

et al. 2008). Studi tambahan menunjukkan bahwa pertimbangan demografis

seperti usia dan jenis kelamin juga berperan dalam beragam pengurangan limbah

dan perilaku daur ulang (Harris, 2009).

Program daur ulang kampus yang paling sukses berbagi kombinasi aspek

kelembagaan, antara lain: dukungan administrasi konstruktif, kebijakan

lingkungan formal, ketersediaan sumber daya dan insentif, kerangka kerja

perencanaan jangka panjang, kurikulum yang menggabungkan tanggung jawab

lingkungan kegiatan penelitian lingkungan dan ekologi, pengurangan limbah dan

finansial yang terukur, hubungan masyarakat dan komunikasi yang efektif,

tanggung jawab keuangan, dan pengembangan dan pelatihan kepemimpinan

(Keniry 1995). Pertimbangan utama lainnya dalam mengembangkan program daur

ulang kampus meliputi pasar, hubungan kerja dan keselamatan (Ching dan Gogan

1992).

Meskipun telah diakui bahwa upaya daur ulang kampus sekarang sudah

mapan di sebagian besar perguruan tinggi, jumlah limbah di perguruan tinggi

yang terus meningkat dan potensi yang luar biasa tetap ada untuk meminimalkan

dan pengolahan limbah yang lebih tinggi, melalui perluasan daur ulang dan upaya

pengomposan. Menyadari potensi ini membutuhkan pemahaman yang lebih baik

tentang cara terbaik untuk mengukur dan menganalisis limbah yang pada

gilirannya akan menginformasikan keputusan-keputusan strategis pengelolaan

limbah. Data limbah kampus yang komprehensif adalah alat yang berharga untuk

Page 18: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

11

menginformasikan keputusan dan perencanaan pengelolaan limbah, mengevaluasi

solusi potensial untuk pengurangan limbah, memenuhi limbah yang terukur dan

pengurangan keuangan dan meningkatkan kesadaran dan mengkomunikasikan

peluang khusus kampus untuk meminimalkan konsumsi dan produksi limbah (von

Kolnitz dan Kaplan 2004; Armijo de Vega et al. 2008). Dengan komposisi limbah

dan data statistik timbulan limbah, studi karakterisasi limbah menawarkan titik

awal dari mana banyak aspek kelembagaan ini berasal.

2.3. Studi Karakterisasi Limbah Di Perguruan Tinggi

Terdapat berbagai alasan untuk melakukan penelitian terkait dengan

karakterisasi limbah di perguruan tinggi, yaitu: untuk menjamin kepatuhan

terhadap peraturan; untuk mengevaluasi praktik saat ini sesuai dengan prosedur

praktik terbaik; penetapan baseline data laju timbulan limbah; untuk

mengidentifikasi peluang minimisasi limbah; dan untuk mengembangkan

indikator keberlanjutan kelembagaan (McCartney, 2003). Dalam sektor

pendidikan tinggi, tingkat kecanggihan dan ruang lingkup studi karakterisasi

limbah kampus tergantung pada motivasi untuk melakukan studi dan selanjutnya,

ketersediaan sumber daya. Misalnya, jika tujuan melakukan penelitian ini adalah

untuk menentukan bahan daur ulang mana yang ada dalam aliran limbah sebelum

mencari pasar, sampel limbah yang representatif harus dikumpulkan dan kategori

klasifikasi harus sesuai dengan berbagai bahan daur ulang. Di sisi lain, jika satu-

satunya tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan

mempromosikan pendidikan tentang pengurangan limbah, audit dasar dari lokasi

kampus profil tinggi sudah cukup (von Kolnitz dan Kaplan 2004).

Perencanaan studi terkait dengan karakterisasi limbah memerlukan

banyak pertimbangan, mulai dari pemilihan kategori pemilahan, hingga teknik

untuk menangkap variasi spasial dan temporal limbah (Felder et al. 2001).

Tantangannya adalah untuk mengumpulkan data limbah dan komposisi yang

mewakili seluruh kampus, dengan maksud bahwa rencana pengurangan dan

pengalihan limbah akan didasarkan pada kenyataan dari aliran limbah kampus

yang ada.

Page 19: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

12

Meskipun, tidak ada standar yang diterima secara universal untuk

melakukan studi karakterisasi limbah di tingkat kota, rumah tangga dan atau

kelembagaan (Dahlen dan Lagerkvist 2008), pendekatan yang diterima secara luas

untuk karakterisasi limbah adalah analisis limbah langsung. Mengikuti

pendekatan ini, sampel limbah dipilah secara tipikal dengan tangan ke dalam

kategori material yang dipilih sebelumnya dan ditimbang (Yu dan Maclaren

1995). Dalam sektor pendidikan tinggi, berbagai metodologi telah diadopsi dalam

pengambilan sampel dan analisis limbah padat, sehingga mempersulit

perbandingan lintas institusi. Juga, beberapa makalah telah diterbitkan yang

melaporkan hasil studi karakterisasi limbah kampus (Felder et al. 2001; Armijo de

Vega et al. 2008) membuat tantangan lebih lanjut untuk mengakses data.

2.4. Konsep Sampah

Definisi sampah bisa sangat subyektif. Hal ini karena apa yang dianggap

sebagai pemborosan bagi satu orang dapat mewakili sumber daya yang berharga

bagi orang lain. Gilpin (1996) mendefinisikan istilah limbah untuk merangkul

"semua produk sampingan atau residu yang tidak diinginkan secara ekonomi di

tempat dan waktu tertentu, dan masalah lain yang mungkin dibuang secara

sengaja atau tidak sengaja ke lingkungan". Sampah juga telah disebut sebagai

"bahan yang tidak diinginkan yang timbul sepenuhnya dari aktivitas manusia yang

dibuang ke lingkungan" (Palmer, 1998). Pemahaman tentang limbah apa yang

menyebabkan pembuangan semua bahan yang dianggap tidak diinginkan. Oleh

karena itu, ini diperlukan untuk definisi lain dari limbah yang menekankan nilai

sumber daya dari produk sampingan tersebut.

Davies (2008) menggambarkan limbah sebagai: "... bahan yang tidak

diinginkan atau tidak dapat digunakan ... yang berasal dari berbagai sumber dari

industri dan pertanian serta bisnis dan rumah tangga ... dan dapat bersifat cair,

padat atau gas, dan berbahaya atau tidak berbahaya tergantung pada lokasi dan

konsentrasinya ”. Dia melangkah lebih jauh untuk mengatakan bahwa "apa yang

oleh sebagian orang dianggap sebagai bahan limbah atau zat dianggap sebagai

sumber nilai oleh orang lain" Atribut relatif dari limbah ini dapat dibandingkan

dengan konsep 'sumber daya' yang juga telah didefinisikan sebagai bahan yang

Page 20: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

13

memiliki nilai guna. Jessen (2002) menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan

bahwa "aliran limbah kami sebenarnya penuh dengan sumber daya yang menuju

ke arah yang salah".

Williams (2005) mengemukakan bahwa limbah harus memiliki definisi

hukum yang ketat agar sesuai dengan koridor hukum. Menurut Konvensi Basel,

limbah merupakan zat atau benda yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang

atau diharuskan dibuang oleh ketentuan hukum (UNCED, 1992). Definisi limbah

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah setiap zat (padat) yang dibuang

secara tepat untuk digunakan oleh orang lain, yang menyebabkan peningkatan

signifikan dalam lingkungan. Berbeda dengan definisi yang disebutkan di atas,

definisi ini mendukung konsep pemisahan limbah pada sumbernya sebagai

metode yang tepat untuk pengelolaan limbah yang efektif. Pemisahan sampah

dapat dilakukan berdasarkan berbagai klasifikasi limbah.

Sejumlah kriteria biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan sampah

ke dalam beberapa jenis. Klasifikasi limbah semacam itu memberikan dasar untuk

pengembangan manajemen yang tepat. Limbah dapat diklasifikasikan berdasarkan

keadaan fisik (padat, cair, gas). Cara lain di mana limbah diklasifikasikan adalah

penggunaan utamanya (limbah pengemasan, sisa makanan, dll); oleh bahan (kaca,

kertas, dll); oleh sifat fisik (mudah terbakar, kompos, dapat didaur ulang);

menurut asal (rumah tangga, komersial, pertanian, industri, dll.) atau oleh tingkat

keamanan (berbahaya, tidak berbahaya) (White et al., 1995). Latihan audit limbah

yang dilakukan dalam penelitian ini memberikan wawasan tentang jenis limbah

yang dihasilkan kedua lembaga studi. Menyadari jumlah limbah yang dihasilkan

dan cara pengelolaannya memiliki implikasi mendalam bagi kualitas lingkungan

dan prospek generasi masa depan, penting untuk meminimalkan konsumsi dan

melakukan pengelolaan limbah secara efisien untuk mengurangi dampak

lingkungan dari pembuangan limbah. dan melindungi jasa ekosistem untuk

generasi sekarang dan yang akan datang (Millennium Assessment Report, 2005).

Oleh karena itu, tujuan dan kebijakan dikembangkan oleh pemerintah untuk

memastikan keberhasilan pencapaian tujuan Pengelolaan Sampah Padat perkotaan

(MSWM).

Page 21: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

14

Tujuan MSWM termasuk perlindungan kesehatan penduduk perkotaan

khususnya kelompok berpenghasilan rendah yang paling menderita akibat

pengelolaan limbah yang buruk (Schubeler et al., 1996). Ini juga bertujuan

mempromosikan kondisi lingkungan dengan mengendalikan polusi dan

memastikan keberlanjutan ekosistem di wilayah perkotaan. Selain itu, ia

mendukung pengembangan ekonomi perkotaan dengan menyediakan layanan

pengelolaan limbah yang diminta dan memastikan penggunaan dan konservasi

bahan dan sumber daya yang efisien secara efisien. Sehingga, hal ini bertujuan

untuk menghasilkan lapangan kerja dan pendapatan di sektor ini.

Mengingat kerumitan besar masalah dan masalah di berbagai sistem

pengelolaan limbah padat di negara-negara berkembang, jelas bahwa solusi top-

down dan strategi manajemen tidak akan lagi efektif. Sebaliknya, diperlukan

serangkaian solusi yang lebih luas dan lebih terintegrasi untuk memastikan

keberlanjutan jangka panjang dari sistem pengelolaan limbah. Di negara maju,

pendekatan pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan yang paling sesuai

adalah “Pengelolaan Sampah Terpadu” (Cole dan Sinclair, 2002; Medina, 2002;

Zerboc 2003). Pendekatan terpadu untuk pengelolaan limbah yang terdiri dari

“serangkaian tindakan hirarkis dan terkoordinasi” (Medina, 2002) berupaya

mengurangi polusi, memaksimalkan pemulihan bahan yang dapat digunakan

kembali dan didaur ulang, dan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan

sejauh menyangkut pembangunan berkelanjutan.

2.5. Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

Metode FMEA merupakan salah satu teknik analisis semikuantitatif yang

telah banyak diaplikasikan. Metode ini digunakan untuk mengindentifikasi,

memprioritaskan dan menghilangkan kegagalan, masalah, dan potensi kesalahan

yang diketahui dalam suatu sistem, produk atau proses sebelum diterima oleh

masyarakat (Stamatis 2003). Metode ini memberikan cara yang sistematis dalam

memeriksa semua potensi kegagalan yang mungkin terjadi.

Tidak ada definisi FMEA yang dapat diterima secara umum. Meskipun

penulis yang berbeda telah menggunakan berbagai deskripsi FMEA, namun tetap

menggunakan konsep yang serupa. FMEA disebut alat (Rhee dan Ishii 2002),

Page 22: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

15

sebuah teknik atau metode (Kmenta dan Ishii 2000). Istilah-istilah ini semua

sangat mirip dalam arti dan bersama-sama mereka mencakup apa itu FMEA.

Selanjutnya semua penulis menggambarkan tiga komponen lainnya. Yang

pertama adalah semacam risiko atau kegagalan. Karim et al. (2008)

menggambarkan "potensi risiko dalam tahap perancangan".

Kmenta dan Ishii (2000) menggambarkan "potensi kegagalan produk atau

desain". Kedua penulis semuanya menggunakan istilah prioritasisasi. Yang ketiga

adalah beberapa cara untuk mengatasi kegagalan atau risiko ini. Bradley dan

Guerrero (2011) menyebutnya "untuk mengurangi dampak kegagalan". Kmenta

dan Ishii (2000) menggambarkannya sebagai peningkatkan keandalan. Karim et

al. (2008) menyebutnya untuk terus meningkatkan kualitas dan keandalan produk.

Inilah tiga komponen yang mendefinisikan FMEA, walaupun kata-kata yang tepat

berbeda per penulisnya. Kesimpulannya, dalam penelitian ini definisi FMEA

tersebut akan digunakan, dan merupakan kombinasi dari konsep-konsep di atas:

FMEA adalah alat untuk membantu memprioritaskan risiko dan mengurangi

risiko tertinggi dalam rangka meningkatkan kualitas dan kehandalan.

FMEA dilakukan dalam beberapa tahapan. Langkah pertama adalah

menjelaskan produk atau proses yang dilakukan FMEA. Kemudian fungsi produk

atau proses didefinisikan sehingga mode kegagalan potensial dapat diidentifikasi.

Setelah semua kemungkinan mode kegagalan diperoleh, rating kejadian

(occurence) diberikan pada penyebab mode kegagalan yang menunjukkan

probabilitas penyebab dan mode kegagalan secara langsung, tingkat keparahan

(severity) diberikan pada efek akhir dari mode kegagalan untuk menunjukkan

keseriusan dari mode kegagalan. efek akhir, dan penilaian deteksi diberikan pada

penyebab mode kegagalan untuk menunjukkan sulitnya mendeteksi sebab atau

kegagalan mode. Semua dari ketiga peringkat tersebut dihitung dengan nilai

integer mulai dari 1 sampai 10 dan kemudian dikalikan secara bersama untuk

mendapatkan nomor prioritas risiko (RPN), yang digunakan untuk menentukan

prioritas risiko dari mode kegagalan.

Mode kegagalan dengan RPN yang lebih tinggi dianggap memiliki risiko

kegagalan yang lebih tinggi selama operasi sehingga tindakan perbaikan

dilakukan untuk mengurangi RPN dari mode kegagalan ini sebelum yang lain.

Page 23: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

16

Jika RPN tidak dikurangi seperti yang diharapkan, tindakan perbaikan baru akan

dirancang sampai tujuan tercapai. Diagram alir yang menjelaskan prosedur FMEA

ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa Risk Priority Number

(RPN) digunakan dalam metode FMEA untuk memprioritaskan moda kegagalan.

Sehingga, dapat diformulasikan sebagai berikut:

RPN = S x O x D (2.1)

Dimana: S = Severity

O = Ocurrence

D = Detection

Ketiga parameter tersebut dihitung dengan menggunakan nilai integer mulai dari 1

sampai 10.

Gambar 2.1. Prosedur FMEA

Definisi fungsi dari produk atau

proces

Identifikasi potensi moda

kegagalan

Penjelasan efek dari moda

kegagalan (nilai severity)

Penentuan penyebab moda

kegagalan (nilai occurrence)

Penjelasan metode deteksi

(nilai detection)

Deskripsi produk atau proses

Menghitung nilai Risk Priority

Number (RPNs)

Desain rencana aksi perbaikan

Page 24: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

17

Adapun rincian nilai dari ketiga parameter dalam RPN akan ditunjukkan dalam

Tabel 2.1, 2.2, dan 2.3.

Tabel 2. 1. Tingkat Severity (Keparahan)

Ranking Efek Efek Keparahan

10 Berbahaya Kegagalan yang berbahaya, dan terjadi tanpa peringatan.

Ini menunda operasi dari sistem dan / atau tidak

mematuhi peraturan pemerintah.

9 Serius Kegagalan melibatkan hasil berbahaya dan / atau

ketidakpatuhan dengan peraturan pemerintah

atau standar

8 Ekstrim Proses tidak dapat beroperasi dengan hilangnya fungsi

primer. Sistemnya tidak bisa beroperasi

7 Mayor Kinerja proses sangat terpengaruh namun berfungsi.

Sistem mungkin tidak beroperasi.

6 Signifikan Kinerja proses menurun. Kenyamanan atau keyakinan

fungsi mungkin tidak beroperasi.

5 Moderat Efek moderat pada penampilan proses. Proses

membutuhkan perbaikan

4 Kurang

baik

Efek kecil pada penampilan proses. Proses tidak

membutuhkan perbaikan

3 Sedikit Kecil efeknya pada penampilan proses atau sistem

2 Sangat

sedikit

Sangat kecil efeknya pada penampilan proses atau

sistem

1 Tidak ada Tidak ada efek

Tabel 2.2. Tingkat Occurence (Kejadian)

Ranking Probabilitas

kejadian

Probabilitas

kegagalan

Ranking Probabilitas

kejadian

Probabilitas

kegagalan

10 Sangat tinggi:

kegagalan

hampir tak

terelakkan

1 dari 2 5 Moderat 1 dari 400

9 Sangat tinggi 1 dari 3 4 Relatif

rendah

1 dari 2000

8 Kegagalan

berulang

1 dari 8 3 Rendah 1 dari 15000

7 Tinggi 1 dari 20 2 sedikit 1 dari

150000

6 Agak tinggi 1 dari 80 1 Hampir

tidak

mungkin

1 dari

1500000

Page 25: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

18

Tabel 2.3. Tingkat Detection (Deteksi)

Rangking Deteksi Kemungkinan deteksi oleh kontrol desain

10 Ketidakpastian

mutlak

Desain Kontrol tidak akan dan/atau tidak dapat

mendeteksi sebab / mekanisme potensial dan

mode kegagalan berikutnya; atau tidak ada

Kontrol Desain.

9 Sangat sedikit Sangat jauh kemungkinan Kontrol Desain akan

mendeteksi sebab/mekanisme potensial dan mode

kegagalan berikutnya.

8 Sedikit Kemungkinan Kontrol Desain akan dapat

mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus

kegagalan berikutnya.

7 Sangat rendah Kemungkinan sangat rendah Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus

kegagalan berikutnya.

6 Rendah Kemungkinan rendah Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus

kegagalan berikutnya

5 Moderat Kemungkinan moderat Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi sebab / mekanisme dan

modus kegagalan berikutnya.

4 Agak tinggi Cukup tinggi kesempatan Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan

modus kegagalan berikutnya.

3 Tinggi Kemungkinan besar Kontrol Design akan

mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan

modus kegagalan berikutnya.

2 Sangat tinggi Sangat kemungkinan tinggi Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan

modus kegagalan berikutnya.

1 Hampir pasti Kontrol Desain hampir pasti akan mendeteksi

penyebab/mekanisme potensial dan mode

kegagalan berikutnya.

2.6. Analytic Hierarchy Process (AHP)

Dalam sistem dunia yang sangat kompleks, manusia selalu dipaksa untuk

dapat mengatasi lebih banyak masalah dibanding dengan sumber daya yang harus

ditangani. Untuk mengatasi masalah kompleks dan tidak terstruktur semacam itu,

terdapat kebutuhan untuk menetapkan prioritas, menyetujui bahwa satu tujuan

melebihi yang lain, dan melakukan trade-off untuk memenuhi kepentingan

terbesar bersama atau keseluruhan tujuan. Tetapi dengan masalah kompleks di

mana margin kesalahan yang luas dimungkinkan dalam melakukan pengorbanan,

Page 26: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

19

selalu sulit untuk menyepakati tujuan mana yang melebihi yang lain dan untuk

mencapai solusi terbaik. Kesulitan tersebut membuktikan perlunya sebuah

kerangka kerja, sehingga masalah dapat dilihat dalam kerangka kerja yang

kompleks namun terorganisir dan memungkinkan adanya interaksi dan saling

ketergantungan antar faktor namun tetap memungkinkan manusia untuk

memikirkannya secara sederhana. Salah satu metode yang dapat menjawab

permasalahan tersebut adalah metode AHP karena memiliki struktur kerangka

penyelesaian masalah tersebut (Bayazit dan Karpak 2005).

Metode AHP digunakan untuk pengambilan keputusan pada multi kriteria

yang secara ekstensif dan telah berhasil diaplikasikan pada banyak pengambilan

keputusan praktis. AHP memberikan kemudahan dalam mengoperasikan. Selain

itu, AHP memiliki metodologi multi kriteria yang kuat secara teoritis untuk

mengevaluasi alternatif. Ini memungkinkan pengambil keputusan menggunakan

struktur hirarki sederhana untuk menghadapi masalah yang rumit dan untuk

mengevaluasi data kuantitatif dan kualitatif dalam metodologi sistematis yang

memiliki multi kriteria (Lee et al. 2001). Hal ini disebabkan karena metode AHP

dirancang untuk mengevaluasi masalah yang kompleks dengan memecahkan

masalah yang kompleks dan tidak terstruktur tersebut ke dalam empat tahapan

seperti membangun hirarki, perbandingan berpasangan, generasi vektor prioritas

dan sintetis (Saaty 1980).

Saaty (1990) menjelaskan bahwa metode AHP memiliki struktur yang

efektif guna mengambil suatu keputusan kelompok dengan menerapkan pada

proses berfikir kelompok. Lebih lanjut, sifat consensus pengambilan keputusan

secara kelompok dapat meningkatkan konsistensi penilaian dan meningkatkan

eliability AHP sebagai alat pengambilan keputusan. Selain itu, AHP dapat

menggabungkan pendekatan deduktif dan system menjadi satu kerangka logis

yang terintegrasi. Pendekatan deduktif berfokus pada bagian-bagian tertentu dan

pendekatan system berorientasi pada kerja secara keseluruhan.

Metode AHP telah banyak diaplikasikan pada situasi keputusan yang

kompleks dan menghasilkan hasil yang signifikan dalam masalah yang

melibatkan pemilihan alternatif, perencanaan, alokasi sumber daya dan penetapan

prioritas. Lebih lanjut, Saaty dan Vargas (2005) menyatakan bahwa AHP dapat

Page 27: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

20

diterapkan pada keputusan kelompok dimana penilaian yang dilakukan oleh

seluruh individu dalam kelompok tersebut selanjutnya digabungkan. Studi yang

dilakukan oleh Berrittella (2007) menerapkan AHP untuk memutuskan cara

terbaik untuk mengurangi dampak perubahan iklim global, mengukur keseluruhan

kualitas sistem perangkat lunak di Microsoft Corporation (McCaffrey 2005),

memilih fakultas universitas di Bloomsburg University of Pennsylvania (Grandzol

2005), mengambil keputusan tempat untuk mencari pabrik manufaktur lepas

pantai (Atthirawong 2002), menilai risiko dalam mengoperasikan jaringan pipa

minyak lintas negara di Amerika Serikat (Dey 2003). Selain itu, metode AHP juga

digunakan untuk menyeleksi vendor (Chan 2003), AHP juga digunakan untuk

mengatasi keputusan multiitem / orang / kriteria (Chan dan Chan 2004), Tseng

dan Lin (2005) menggunakan AHP secara bersamaan dengan skala rasional untuk

menilai pemasok, Masella dan Rangone (2000) menggunakan AHP sebagai

pendekatan kontingensi untuk pemilihan pemasok yang tergantung pada batasan

waktu dan hubungan pelanggan/pemasok koperasi.

2.6.1. Tahapan AHP

Untuk dapat menyelesaikan permasalahan pemilihan alternatif pada

pengambilan keputusan, dapat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Tentukan seperangkat kriteria atau faktor untuk mengevaluasi faktor-

faktor atau kriteria-kriteria yang akan digunakan, selanjutnya buat hirarki

keputusan dengan membagi keputusan ke dalam hirarki elemennya.

b. Dapatkan perbandingan yang sesuai dengan kepentingan kriteria relative

dalam mencapai tujuan, hitung priotitas atau bobot kritertia berdasarkan

informasi ini.

c. Dapatkan nilai yang dapat mengilustrasikan sejauh mana alternatif dapat

memenuhi kriteria, kemudian tentakan apakah data yang telah diolah telah

memenuhi uji konsistensi, jika tidak maka lakukan kembali perbandingan

berpasangan pada para pakar.

d. Berdasakan langkah ketiga, dapatkan nilai perbandingan berpasangan pada

kepentingan relative pada alternatif yang sesuai dengan kriteria dan

hitungan prioritas.

Page 28: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

21

e. Dengan menggunakan hasil dari langkah kedua dan keempat, diperoleh

vektor prioritas yang terakhir pada masing-masing alternatif kemudian

disentetis pada semua vektor prioritas guna mencapai tujuan hirarki.

2.6.2. Pembuatan Struktur Hirarki

Langkah pertama dalam AHP adalah membangun struktur hirarki dari

suatu masalah keputusan. Tidak ada aturan tertentu yang dapat diikuti dalam

membangun sebuah struktur hirarki. Langkah ini memungkinkan keputusan yang

kompleks untuk disusun menjadi hierarki dari keseluruhan tujuan ke berbagai

kriteria, sub kriteria, dan seterusnya sampai tingkat terendah. Prinsip utamanya

adalah melakukan brainstorming dengan masalah yang kompleks, mencatat semua

gagasan, faktor dan alternatif penting, dan kemudian menyusunnya dalam hierarki

yang akan memungkinkan membandingkan unsur-unsur tingkat rendah dengan

beberapa atau semua elemen di tingkat yang lebih tinggi. Ini adalah metode kreatif

untuk memanfaatkan kemampuan pikiran manusia dalam menyederhanakan

sebuah masalah dengan memecahnya menjadi unsur penyusun yang mencakup

keseluruhan tujuan, kriteria dan alternatif keputusan (Saaty 1990). Selanjutnya,

sejumlah informasi dapat diintegrasikan ke dalam struktur masalah untuk

membentuk gambaran yang lebih lengkap dari keseluruhan sistem.

Tujuan atau secara keseluruhan tujuan keputusan diwakili di tingkat atas

hierarki. Kriteria dan sub kriteria yang berkontribusi terhadap keputusan diwakili

di tingkat menengah. Kemudian, keputusan alternatif atau pilihan pilihan

ditetapkan pada tingkat hierarki terakhir. Menurut Saaty (2001) sebuah hirarki

dapat dibangun dengan pemikiran kreatif, pengumpulan kembali dan

menggunakan perspektif masyarakat. Lebih lanjut Saaty mencatat bahwa tidak

ada serangkaian prosedur untuk menghasilkan tingkat yang harus disertakan

dalam hierarki. Struktur hierarki bergantung pada sifat atau jenis keputusan

manajerial. Selain itu, jumlah level dalam hierarki bergantung pada kompleksitas

masalah yang dianalisis dan tingkat detail masalah yang dibutuhkan analis untuk

dipecahkan. Dengan demikian, representasi hierarkis sistem dapat berbeda dari

satu orang ke orang lainnya.

Page 29: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

22

Hirarki secara lengkap dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan guna

mengakomodasi elemen baru yang penting yang tidak disertakan selama

pengembangan hirarki. Penggunaan program komputer berbasis AHP dibangun

mengikuti fleksibilitas hal tersebut dalam pikiran. Keseluruhan kedalaman detail

hierarki tergantung pada pengalaman dan kemampuan pemahaman seseorang

dengan subjek, yang akan menentukan apa yang harus disertakan dan di mana

memasukkannya. Saat membangun hierarki seseorang harus menyertakan detail

relatif yang cukup (Saaty 1990). Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti:

a. Keterwakilan suatu masalah semaksimal mungkin, namun tidak

menyeluruh sehingga kehilangan kemampuan memahami perubahan

elemen.

b. Mempertimbangkan lingkungan dari permasalahan

c. Mengindentifikasikan isu atau atribut yang berpotensi memiliki kontribusi

terhadap solusi

d. Mengindentifikasi responden yang terkait dengan masalah yang dihadapi.

Gambar 2.2. Tiga Level Hirarki (Saaty dan Vargas 2012)

2.6.3. Perbandingan Berpasangan

Setelah struktur hirarki telah selesai, langkah selanjutnya adalah

menetapkan prioritas elemen (kriteria dan alternatif) yang disajikan dalam hirarki.

AHP menggunakan perbandingan secara berpasangan. Langkah pertama adalah

membuat perbandingan secara berpasangan. Hal ini untuk membandingkan unsur-

unsur berpasangan dengan kriteria tertentu. Satu set matriks perbandingan dari

GOAL

KRITERIA 1 KRITERIA 2 KRITERIA 3 KRITERIA 4 KRITERIA 5

ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3

Page 30: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

23

semua elemen pada tingkat hierarki terkait secara langsung dengan elemen tingkat

yang lebih tinggi yang dikonstruksi guna memprioritaskan dan mengubah

penilaian komparatif individual menjadi pengukuran skala rasio. Preferensi

dihitung dengan menggunakan skala sembilan poin. Adapun nilai dari setiap

pengukuran skala dijelaskan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Skala Nilai Perbandingan Berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi Keterangan

1 Sama

penting Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama

3

Sedikit

lebih

penting

Pengalaman dan penilaian sedikit lebih memihak

ke satu elemen dibandingkan dengan pasangannya

5 Lebih

penting

Pengalaman dan penilaian sangat memihak ke satu

elemen dibandingkan dengan pasangannya

7 Sangat

penting

Satu elemen sangat disukai dan secara praktis

dominasinya sangat nyata dibandingkan dengan

elemen pasangannya.

9

Mutlak

lebih

penting

Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai

dibandingkan dengan pasangannya pada tingkat

keyakinan tertinggi

2,4,6,8 Nilai

tengah

Diberikan bila terdapat keraguan penilaian antara

dua penilaian yang berdekatan

Kebalikan ijji aa /1

Sumber: Saaty dan Vargas (2012)

2.7. Sistem Dinamik

Sistem Dinamik (SD) adalah pendekatan berbasis komputer untuk

memahami dan menganalisis perilaku sistem dari waktu ke waktu. Hal ini dapat

digunakan untuk mempelajari masalah dinamis yang kompleks dan diterapkan

pada berbagai bidang studi seperti teknik, manajemen, kedokteran, sosial,

lingkungan dan ekologi. Metodologi SD adalah metode yang diciptakan di MIT

oleh pelopor komputer Jay Forrester pada pertengahan tahun 1950 untuk

memodelkan dan menganalisis perilaku sistem sosial yang kompleks dalam

konteks industri (Sterman 2000). Metode ini dirancang untuk membantu

pengambil keputusan dalam mempelajari struktur dan dinamika sistem yang

kompleks, guna membuat model pengaruh kebijakan yang tinggi dalam rangka

Page 31: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

24

perbaikan yang berkelanjutan, dan untuk mengkatalisis implementasi dan

perubahan.

Metode ini telah banyak diaplikasikan dalam bidang strategi pengelolaan

lingkungan hidup. Sebagai contoh, perencanaan dan pengelolaan sumber daya air

(Ghashghaie et al. 2014). Sistem dinamik juga digunakan dalam pengelolaan

energy (Kiani dan Pourfakhraei 2010; Ansari dan Seifi 2012). Lebih lanjut,

aplikasi metode system dinamis juga mampu menjawab permasalahan

pencemaran limbah padat (Anghinolfi et al. 2013; Hao et al. 2010). Pencemaran

udara (Han dan Hayashi 2008). Pencemaran air (Razif et al. 2015; Xuan et al.

2011). Selain itu, dengan mengimplementasikan SD sebagai pendekatan dalam

menyelesaikan permasalahan maka para pengambil kebijakan akan dapat menilai

dan memperkirakan dampak secara terintegrasi dan holistic dari sub sistem yang

kompleks (Chaerul et al. 2008).

Pendekatan sistem dinamik didasarkan pada hubungan sebab akibat.

Hubungan ini dijelaskan menggunakan bantuan “stock”, “flow” dan “feedbac

loops”. Stok dan flow digunakan untuk membuat model alur kerja dan sumber

daya. Feedback loop digunakan untuk memodelkan keputusan dan kebijakan yang

diterapkan. Ogunlana (2003) menjelaskan bahwa sistem dinamik mampu

digunakan untuk memodelkan proses dengan dua karakteristik utama (1)

perubahan yang melibatkan perubahan dari waktu ke waktu, dan (2) yang

melibatkan umpan balik.

Konsep dari Sistem Dinamik adalah memahami bagaimana bagian-bagian

dalam sistem berinteraksi satu sama lain dan bagaimana perubahan dalam satu

variabel mempengaruhi variabel lain dari waktu ke waktu, yang pada gilirannya

mempengaruhi variabel asli (Gambar 3). Sistem dapat dimodelkan secara

kualitatif dan kuantitatif. Model dibangun dari tiga blok bangunan dasar: umpan

balik positif atau loop penguat, umpan balik negatif atau loop penyeimbang, dan

penundaan. Loop positif (disebut loop penguat) yang mampu berdiri sendiri

sementara loop negatif (disebut balancing loops) cenderung menangkal

perubahan. Keterlambatan menjelaskan potensi ketidakstabilan dalam sistem.

Page 32: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

25

Gambar 2.3. Tiga komponen dalam model system dinamik

Gambar 2.3 menjelaskan sebuah loop yang berdiri sendiri, dimana sebuah struktur

yang memberi masukan pada dirinya sendiri untuk menghasilkan pertumbuhan atau

penurunan. Loop yang berdiri sendiri sesuai dengan loop umpan balik positif dalam teori

kontrol. Kenaikan variabel 1 akan mengarah pada peningkatan variabel 2 (seperti yang

ditunjukkan oleh tanda "+" dan yang mengarah ke peningkatan tambahan pada variabel 1

dan seterusnya. Tanda "+" tidak berarti nilai harus meningkat, hanya variabel 1 dan variabel

2 yang akan berubah ke arah yang sama (polaritas). Jika variabel 1 menurun, maka variabel

2 akan menurun. Dengan tidak adanya pengaruh eksternal, variabel 1 dan variabel 2 jelas

akan tumbuh atau menurun secara eksponensial. Memperkuat loop menghasilkan

pertumbuhan, memperkuat penyimpangan, dan memperkuat perubahan.

Lingkaran keseimbangan yang ditunjukkan pada Gambar 2.3b merupakan

struktur yang akan mengubah nilai variabel sistem saat ini atau variabel referensi

yang diinginkan atau melalui beberapa tindakan. Ini sesuai dengan loop umpan

balik negatif dalam teori kontrol. Tanda (-) menunjukkan bahwa nilai variabel

berubah dalam arah yang berlawanan. Perbedaan antara nilai sekarang dan nilai

yang diinginkan dianggap sebagai kesalahan. Tindakan yang proporsional

terhadap kesalahan diambil untuk mengurangi kesalahan sehingga, dari waktu ke

waktu, nilai saat ini mendekati nilai yang diinginkan. Unsur dasar ketiga adalah

penundaan, yang digunakan untuk memodelkan waktu yang ada antara sebab dan

akibat. Keterlambatan ditunjukkan oleh garis ganda, seperti yang ditunjukkan

Hubungan casual

+ (-) Mengindikasikan efek positif (negatif) pada penyebab

// Mengindikasikan delay pada informasi atau material

3a 3b 3c

Page 33: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

26

pada Gambar 2.3c. Penundaan (delay) membuat sulit untuk menghubungkan

sebab dan akibat (kompleksitas dinamis) dan dapat menyebabkan perilaku sistem

yang tidak stabil. Dalam sistem dinamik, deskripsi lisan dan diagram lingkaran

kausal lebih kualitatif; diagram stok dan arus dan persamaan model adalah cara

yang lebih kuantitatif untuk menggambarkan situasi yang dinamis. Karena sistem

dinamik sebagian besar didasarkan pada pemikiran sistem lunak (paradigma

pembelajaran), sangat cocok diterapkan pada masalah manajerial yang ambigu

dan memerlukan konseptualisasi dan wawasan yang lebih baik.

Page 34: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Terdapat dua macam pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan

kuantitatif serta pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuatitatif, peneliti akan

bekerja dengan angka-angka sebagai perwujudan gejala yang diamati. Sementara

dalam pendekatan kualitatif, peneliti akan bekerja dengan informasi-informasi

data dan dalam menganalisanya tidak menggunakan analisa data statistik.

Pendekatan kuantitatif perlu dilakukan karena dalam penelitian ini akan

didapatkan data yang terdiri dari angka-angka seperti angka yang memperlihatkan

jumlah timbulan sampah di FTUP setiap harinya, serta komposisi sampah yang

ditunjukkan dengan persentase.

3.2 Variabel Penelitian

Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Jumlah timbulan sampah di FTUP setiap harinya.

b. Komposisi sampah di FTUP berdasarkan jenisnya yaitu kertas, organik,

dan bahan anorganik.

c. Faktor-faktor yang faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses

pengelolaan limbah padat di FTUP.

d. Kriteria dan sub-kriteria pada strategi pengelolaan sampah yang tepat agar

dapat digunakan dalam pengelolaan sampah di FTUP.

e. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran

generalisasi. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga FTUP

yaitu mahasiswa dan karyawan termasuk pemilik/karyawan kantin FTUP. FTUP

sebagai populasi target penelitian memiliki gedung empat lantai, ruang kelas,

ruang administrasi, pusat kegiatan kemahasiswaan, laboratorium, dan kantin.

Page 35: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

28

Total luas gedung FTUP sebesar 12.134 m2 dengan total jumlah mahasiswa

sebesar 2080 orang, jumlah dosen 128 orang dan total karyawan sebanyak 65

orang.

3.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Secara

umum, sampel yang baik adalah sampel yang dapat mewakili sebanyak mungkin

karakteristik populasi atau disebut juga sampel harus valid. Sampel yang valid

ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu akurasi atau ketepatan dan presisi.

Akurasi adalah tingkat ketidakadaan “bias” dalam sampel, yaitu semakin sedikit

tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, maka sampel semakin akurat.

Sedangkan presisi adalah tingkat kedekatan estimasi awal dengan karakteristik

populasi. Pada sistem pengelolaan sampah di Indonesia, metode pengambilan

sampel telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia yaitu SNI 19-3964-1994

tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi

Sampah Perkotaan. Metode ini berisikan pengertian, persyaratan, ketentuan, cara

pelaksanaan pengambilan, dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi

sampah untuk suatu kota.

Dalam penelitian ini sampel yang akan diteliti adalah sampah yang berasal

dari FTUP. Pada proses pengambilan sampel perlu diperhatikan beberapa aspek

sebagai bahan pertimbangan yaitu lokasi pengambilan sampel, cara pengambilan

sampel, dan jumlah sampel yang harus diambil untuk mengetahui timbulan

sampah yang ada di FTUP. Gambaran umum lokasi dan waktu pengambilan

sampel akan disajikan pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1. Gambaran Umum Lokasi Dan Waktu Pengambilan Sampel

1 Lokasi survey Fakultas Teknik Universitas Pancasila

2 Jumlah pegawai 193 orang

3. Jumlah mahasiswa 2080 orang

4. Jumlah bangunan 1

4. Jumlah ruangan 41

5. Kegiatan yang Memungkinkan

Menghasilkan Sampah

Saat istirahat, kegiatan ukm, seminar,

pentas seni, pelantikan, kegiatan

mahasiswa, kantin, ruang administrasi,

dan lain-lain.

Page 36: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

29

6. Jumlah pengambilan titik

sampah

Titik Sampah yang ada FTUP terdapat

24 titik sumber sampah, diantaranya :

1 titik Pusat Kegiatan

Kemahasiswaan

1 titik Taman

12 titik di Kantin Teknik

3 titik lantai 1

1 titik lantai 1 Annex

2 titik lantai 2

2 titik lantai 3

2 titik lantai 4

7. Jumlah tenaga pengolah

sampah

5 orang

8. Waktu pengambilan sampah Waktu pengambilan sampah selama 8

hari setiap pukul 08.00 - 08.30 dengan

durasi kurang lebih 30 menit

3.5 Metode Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua pengukuran, yaitu pengukuran

timbulan sampah dan pengukuran komposisi sampah. Pengukuran timbulan

menggunakan dua metode yaitu Metode Volume yang menghasilkan data dengan

satuan liter/unit/hari dan Metode Berat yang menghasilkan data dengan satuan

kilogram/unit/hari sedangkan pengukuran komposisi hanya menggunakan Metode

Berat. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses pengambilan

sampel antara lain:

a. Alat penampung sampel berupa kantong plastik dengan volume 40 liter

b. Alat pengukur volume sampel berupa kotak berukuran 20 cm x 20 cm x 50

cm yang dilengkapi dengan skala tinggi

c. Alat pengukur volume sampel berupa kotak berukuran 50 cm x 50 cm x 50

cm yang dilengkapi dengan skala tinggi

d. Timbangan

e. Perlengkapan berupa sekop, sarung tangan, dan masker

Cara pengambilan dan pengukuran sampel timbulan sampah adalah sebagai

berikut:

a. Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada pengumpul

sumber sampah

b. Catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah

c. Kumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah

Page 37: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

30

d. Angkut seluruh kantong plastik ke tempat pengukuran

e. Timbang kotak pengukur

f. Tuang secara bergiliran sampel tersebut ke kotak pengukur 40 liter

g. Hentakkan 3 kali kotak sampel dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm,

lalu jatuhkan ke tanah

h. Ukur dan dicatat volume sampah (Vs)

i. Timbang dan dicatat berat sampah (Bs)

j. Timbang bak pengukur 125 liter

k. Campurkan seluruh sampel dari setiap lokasi pengambilan dalam bak

pengukur 500 liter

l. Ukur dan dicatat volume sampah

m. Timbang dan dicatat berat sampah

Cara pengukuran sampel komposisi sampah merupakan kelanjutan dari

pengukuran timbulan sampah, tahap selanjutnya setelah pengukuran timbulan

sampah adalah sebagai berikut:

a. Pilah sampel berdasarkan komponen komposisi sampah

b. Timbang dan dicatat berat sampah

3.6 Data Penelitian

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam penelitian ini akan diperoleh

data-data sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Data Penelitian

No Jenis Data Uraian Informasi

Cara

Pengumpulan

Data

Data Primer

1 Jumlah timbulan

sampah

Timbulan sampah (timbulan/orang/ hari/timbulan

per m2/hari)

Penelitian

2 Komposisis

sampah

Komposisi sampah dari masing-masing sumber

penelitian

Penelitian

Data Sekunder

3 Geografi Batasan wilayah, luas, dan letak gedung Literatur

4 Demografi Jumlah karyawan, dosen, mahasiswa, dan sosial

ekonomi

Literatur

5 Topografi Tata guna lahan, kemiringan lahan Literatur

Page 38: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

31

No Jenis Data Uraian Informasi

Cara

Pengumpulan

Data 6 Fasilitas sarana

dan prasarana

Jumlah sarana seperti laboratorium, gedung

kegiatan kemahasiswaan, kantin, kelas, kantor

Literatur

7 Kondisi eksisting

teknik

operasional

pengelolaan

sampah

Sistem pewadahan, pengangkutan, pengolahan,

tingkat pelayanan

Literatur,

wawancara,

survey

8 Rencana

pengembangan

wilayah

Rencana pengembangan wilayah jangka panjang Literatur,

wawancara

3.7 Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 39: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

32

Ya

BAB IV Ya

Tidak

Gambar 3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian

Observasi kondisi Eksisting FTUP,

mencakup geografis, meteorologi,

demografis, dan kendala umum

Pengolahan data

Sekunder Pengambilan

sampel di lapangan

Data primer tentang timbulan,

komposisi, dan karakteristik

sampah, kuesioner KAP, Faktor

kegagalan proses, Perbandingan

berpasangan

Analisis laju timbulan dan KAP

Analisis faktor-faktor kegagalan

proses pengelolaan sampah

Analisis Model pengelolaan sampah

Rekomendasi

Analisis strategi pengelolaan sampah

Rasio

Page 40: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Menghitung laju timbulan sampah yang dihasilkan

Berdasarkan hasil pengukuran laju timbulan limbah padat selama 10 hari

yang dimulai pada tanggal 01 Oktober 2019 sampai dengan 10 Oktober 2019

diperoleh keterangan jumlah timbulan sampah yang direkap dalam Tabel 4.1.

sebagaimana berikut di bawah ini:

Tabel 4.1. Laju Timbulan Sampah di FTUP (dalam kg)

No. Tanggal Makanan Plastik Kaleng Kertas Botol/Kaca Daun/Kayu Jumlah

1 01 Oktober 2019 37.7 20.01 1.4 12.3 0.5 9.5 81.41

2 02 Oktober 2019 58 21.5 0.9 14.4 0 7 101.8

3 03 Oktober 2019 63 42.4 2.5 14.8 0 9.8 132.5

4 04 Oktober 2019 48.5 22.9 0 15 0 8.7 95.1

5 05 Oktober 2019 48.5 32.5 0.5 17 0 4.5 103

6 06 Oktober 2019 79.1 33.5 1 15 0.1 5 133.7

7 07 Oktober 2019 97.8 34.4 0.5 20.2 0 8.3 161.2

8 8 Oktober 2019 91.5 33 0.75 19.3 0 10.7 155.25

9 9 Oktober 2019 67 24.5 0.3 19.9 0 11.5 123.2

10 10 Oktober 2019 47.1 22 0 11 0 12.3 92.4

Jumlah 638.2 286.71 7.85 158.9 0.6 87.3 1179.56

Sumber: Pengolahan data

Tabel 4.1. memberikan informasi terkait dengan laju timbulan sampah

yang diperoleh di FTUP selama 10 hari. Lokasi pengambilan sampel selain

dilakukan di gedung FTUP juga dilakukan di kantin dan taman depan fakultas

teknik. Selain itu, tabel tersebut juga memberikan keterangan bahwa beberapa

jenis limbah padat yang berhasil dikumpulkan antara lain makanan, plastik,

kaleng, kertas, botol/kaca/ dan daun/kayu. Lebih lanjut, penelitian ini juga

mencatat bahwa laju timbulan sampah fluktuatif jumlahnya tiap hari selama

sampling berlangsung, dimana jumlah tertinggi saat sampling adalah tanggal 07

Oktober 2019 sebanyak 161.2 Kg sedangkan jumlah laju timbulan sampah

terendah adalah sebesar 81.41 sebanyak yaitu pada tanggal 01 Oktober 2019.

Page 41: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

34

Gambar 4.1. Prosentase karakteristik limbah padat di FTUP

Dari Gambar 4.1 diperoleh informasi bahwa sampah makanan (organik)

merupakan karakteristik limbah padat terbesar yaitu sekitar 51%, disusul oleh

sampah plastik sebanyak 26%, kertas sebesar 15%, sampah daun/kayu sebesar

7%, Kaleng sebesar 1% dan botol kaca sebesar 0%.

Selanjutnya dilakukan laju timbulan limbah padat per orang per hari

dengan formulasi:

𝑇𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 =(

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑎ℎ𝑎𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑜𝑠𝑒𝑛

)

10 ℎ𝑎𝑟𝑖

𝑇𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 =(

1179.562080 )

10 ℎ𝑎𝑟𝑖

= 0,056 kg/hari

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa laju timbulan limbah padat

per hari adalah sebesar 0,056 kg/orang.

4.2. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswa Tentang

Pengelolaan Sampah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang laju timbulan limbah

padat, pola pengumpulan, dan pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik

Universitas Pancasila (FTUP). Untuk mendukung tujuan penelitian tersebut,

Makanan 54%

Plastik24%

Kaleng1%

Kertas14%

Botol/Kaca0%

Daun/Kayu7%

Prosentase timbulan sampah di FTUP

Page 42: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

35

dibutuhkan data-data awal sebagai pendukung diantaranya adalah mengetahui

pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa FTUP tentang pengolahan sampah.

Pengumpulan data ini dilakukan dengan penyebaran kuisioner kepada mahasiswa

FTUP. Tujuan dari penyebaran kuisioner ini adalah untuk memperoleh gambaran

kesiapan pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa terhadap pengelolaan

sampah.

Kuisioner pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa tentang pengelolaan

sampah disebar kepada 100 orang mahasiswa FTUP yang tersebar di 6 program

studi S1, yaitu Teknik Industri, Teknik Sipil, Teknik Arsitek, Teknik Informatika,

Teknik Mesin, dan Teknik Elektro. Data-data yang berkaitan dengan jumlah

responden di masing-masing program studi disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah Responden

Jurusan Jumlah Responden

Industri 30

Sipil 22

Arsitek 5

Informatika 12

Mesin 20

Elektro 11

Jumlah 100

Sumber: pengolahan data

a. Pengetahuan Mahasiswa Tentang Sampah

Berdasarkan hasil kuisioner mengenai pengetahuan mahasiswa terhadap

sampah, diketahui bahwa 70% responden berpendapat bahwa sampah

merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk

padat, sedangkan 30% responden lainnya berpendapat sampah merupakan

sesuatu yang berasal dari kegiatan manusia termasuk kotoran.

Page 43: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

36

Gambar 4.1. Definisi Sampah

Mengenai jenis sampah, 92% responden membagi sampah menjadi sampah

organik dan anorganik. Sisanya sebanyak 5% dan 3% responden membagi

sampah menjadi sampah basah dan sampah kering, serta sampah mudah

membusuk dan sampah tidak mudah membusuk.

Gambar 4.2. Jenis Sampah

Responden umumnya mendefinisikan sampah-sampah yang masuk ke dalam

kategori sampah organik/sampah (97%).

70

30

00

20

40

60

80

Sisa kegiatansehari-hari

manusia

Sesuatu yangberasal dari

kegiatan manusia

Tidak tahu

92

5 3 00

20

40

60

80

100

Sampahorganik dananorganik

Sampah basahdan kering

Sampahmudah

membusukdan tidak

membusuk

Tidak tahu

Page 44: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

37

Gambar 4.3. Pengetahuan Tentang Sampah Organik

Responden juga mengetahui bahwa membuang sampah disembarang tempat

dapat menyebabkan penyakit (67%) dan lingkungan menjadi kotor (30%).

Gambar 4.3. Akibat Membuang Sampah Tidak Pada Tempatnya

Menurut responden penyakit yang dapat timbul akibat sampah yang dibuang

sembarangan adalah diare (69%) dan gatal-gatal (25%).

Gambar 4.4. Penyakit Akibat Sampah

97

3 00

20

40

60

80

100

120

Sampah disekolah seperti

sayur, buah, sisamakanan, daun

Sampah plastikatau kaca, botol,

kaleng

Tidak tahu

67

30

3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Menyebabkanpenyakit

Kotor Jorok

69

3

25

3

0

20

40

60

80

Diare Batuk Gatal Tidak tahu

Page 45: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

38

Sebanyak 97% responden mengetahui bahwa sampah dapat menghasilkan uang

jika dibuat mejadi barang baru dan dapat digunakan lagi.

Gambar 4.5. Manfaat Sampah

Menurut 37% responden cara mengurangi sampah adalah dengan mengurangi

jumlah sampah yang dihasilkan, sedangkan 62% lainnya menjawab tidak

membeli barang yang bahan kemasannya tidak dapat didaur ulang/dipakai

kembali.

Gambar 4.6. Cara Mengurangi Sampah

Responden juga telah mengetahui tentang pemilahan sampah, yakni

memisahkan sampah yang mudah membusuk dan tidak mudah membusuk

(99%). Selain itu, mahasiswa juga telah mengetahui tentang mendaur ulang

sampah, yakni menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan

(99%).

b. Sikap Mahasiswa Tentang Sampah

Dari hasil kuisioner mengenai sikap responden tentang sampah, dapat

disimpulkan bahwa seluruh responden (100%), dalam hal ini adalah mahasiswa

97

30

20

40

60

80

100

120

Dapat menghasilkan uang Sampah tidak dapatmemberikan keuntungan

37

62

10

10203040506070

Mengurangi jumlahsampah yang

dihasilkan

Tidak membelibarang yang tidakdapat didaur ulang

Tidak tahu

Page 46: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

39

FTUP, menyatakan setuju jika di kampus terdapat tempat sampah, kampus

melakukan pemilahan sampah, mengurangi jumlah timbulan sampah untuk

meminimumkan kerugian akibat sampah, kampus menggunakan barang-barang

yang dapat digunakan kembali untuk mengurangi produksi sampah, dan tidak

membuang sampah yang dapat digunakan kembali.

c. Perilaku Mahasiswa Terhadap Sampah

Kuisioner ini adalah untuk mengetahui perilaku mahasiswa FTUP saat ini

terhadap sampah yang mereka buang sehari-hari di lingkungan FTUP.

Berdasarkan hasil pengolahan kuisioner didapatkan bahwa hampir seluruh

responden membuang sampah di tempat sampah (95%), sisanya 2% dan 3%

responden membuang sampah di kolong meja dan di sembarang tempat.

Gambar 4.7. Prilaku Membuang Sampah

Semua responden menjawab di kampus terdapat tempat sampah, namun 85%

responden menjawab di kampus tidak tersedia tempat sampah yang membagi

sampah mudah membusuk dan tidak membusuk.

Gambar 4.8. Alokasi Tempat Sampah

2 3

95

0

20

40

60

80

100

Di kolong meja Di sembarangtempat

Di tempat sampah

15

85

0

20

40

60

80

100

Ada Tidak ada

Page 47: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

40

Dari total responden, hanya 73% responden yang telah melakukan pemilahan

sampah mudah busuk dan tidak mudah busuk. Jika terdapat program

pengelolaan dan pemilahan sampah di kampus hampir seluruh responden

mendukung kegiatan tersebut.

Gambar 4.9. Perilaku Pemilahan Sampah

4.3. Analisis Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Sampah

Pada bagian ini akan diindentifikasi dan dianalisis risiko kegagalan dari

pengelolaan limbah padat di FTUP. Analisis risiko merupakan ilmu pengetahuan

yang mampu meningkatkan kesadaran akan proses pengelolaan lingkungan.

Risiko adalah sesuatu yang tidak berwujud yang dapat terjadi di masa depan,

kemungkinannya sulit untuk didefinisikan (Raheja 2011).

Analisis risiko diperlukan dalam implementasi sistem pengelolaan

lingkungan untuk menghindari terjadinya kejadian yang tidak diinginkan. Proses

analisis risiko harus mendapat dukungan seluruh stakeholder dan menjadi bagian

terpadu dari sistem manajemen mutu lingkungan hidup. Ini akan membantu

memastikan keamanan dan kualitas proses pengelolaan lingkungan. Proses

identifikasi risiko yang terkait dengan sistem pengelolaan limbah merupakan

tantangan bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Analisis risiko adalah proses

yang kompleks dan bervariasi di alam, konsekuensi dan tingkat keparahan.

Terdapat banyak faktor risiko yang disajikan dalam literatur, terutama

dalam sistem manajemen lingkungan, yang mencakup risiko kegagalan sistem

pengelolaan lingkungan. Penulis yang berbeda telah menyajikan daftar faktor

yang berbeda. Misalnya, Pang et al. (2011) telah menyatakan dua faktor risiko

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Sudah melakukan Belum melakukan

Page 48: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

41

pada umumnya, faktor risiko alam dan manusia. Yang pertama adalah faktor yang

melekat, dan dapat dikendalikan tetapi tidak dapat dihilangkan dan yang terakhir

dapat pra-dikendalikan, namun, satu atau beberapa faktor manusia dapat menjadi

faktor inisiasi untuk penelitian ini. Stranks (2006) menyajikan daftar faktor risiko

terkait manusia yang dapat berkontribusi terhadap kesalahan, yang dapat menjadi

fitur penyebab penting kejadian-kejadian di tempat kerja. Faktor-faktor risiko

tersebut adalah sebagai berikut: kurangnya pemahaman; informasi yang tidak

mencukupi; desain sistem yang tidak memadai; kehilangan perhatian; tindakan

salah; salah persepsi; salah prioritas dan tidak fleksibel (Stranks 2006). Selain

semua faktor yang disebutkan ini, faktor risiko manusia kadang-kadang dapat

menjadi faktor risiko utama yang menyebabkan kegagalan sistem, seperti laporan

resmi tentang kecelakaan terjadi pada tahun 1979 di pembangkit listrik tenaga

nuklir di Amerika Serikat, yang menyebutkan faktor manusia sebagai penyebab

utama kegagalan (Stranks 2006).

4.3.1. Identifikasi Faktor Risiko Kegagalan

Identifikasi risiko, atau menetapkan konteks merupakan aspek integral dari

manajemen risiko. Risiko terdiri dari tiga elemen konseptual yang terdiri dari

objek yang dianggap menghadirkan risiko, kerugian yang diduga, dan tautan

khusus yang mewakili bentuk sebab-akibat antara objek dan bahaya (Boholm dan

Corvellec 2015). Dalam penelitian ini yang menjadi objek adalah potensi risiko

pengelolaan limbah padat. Hal ini didasarkan dari banyaknya penelitian yang

menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan limbah padat berpotensi berakibat

pada penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia.

Limbah dapat dilihat sebagai barang yang dibuang atau dibuang karena

memiliki sifat berbahaya dan tidak ada nilainya. Semua limbah padat dapat didaur

ulang untuk mengurangi polusi seperti udara, air, tanah, polusi radioaktif dan

panas, sehingga membuat lingkungan lebih sehat dan kondusif bagi makhluk

hidup. Selain itu, daur ulang juga dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi

individu, organisasi dan pemerintah. Dengan demikian dapat meningkatkan

standar dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tertentu.

Mendaur ulang dengan cara yang tepat dan mengikuti standar yang digunakan

Page 49: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

42

oleh semua orang dapat mencapai pembangunan berkelanjutan di dunia modern

ini. Proses pengelolaan limbah padat selain memberikan nilai manfaat ekonomi

juga dapat berpotensi menimbulkan risiko kerusakan lingkungan dan penurunan

kesehatan manusia.

Agar dapat mengetahui faktor potensi risiko kegagalan pengelolaan limbah

padat, maka dibuat diagram fishbone atau diagram tulang ikan guna mengetahui

penyebab dan akibat dari suatu masalah.

Gambar 4.10. Diagram Sebab Akibat Risiko Kegagalan

Pengelolaan Limbah Padat

Sumber: Ran (1983), Owusu (2010), Rao (2014)

Pengertian proses pengelolaan lebih difokuskan pada faktor-faktor yang

berpotensi menjadi penyebab tidak berfungsinya sistem pengelolaan limbah padat

di FTUP. Adapun faktor-faktor yang menjadi fokus dalam penelitian ini antara

lain, teknologi, daur ulang, regulasi, dan sosial. Agar dapat menganalisis risiko

tersebut penelitian ini mengumpulkan sejumlah literatur dari jurnal, laporan dan

penelitian sebelumnya yang terkait dengan faktor-faktor risiko pengelolaan

limbah padat atau limbah sejenis.

Risiko kegagalan pengelolaan limbah

padat

Manual/Tradisional Keamanan alat

rendah

Jumlah teknologi rendah

Regulasi/Hukum

Kepatuhan rendah

Dukungan pemimpin

rendah

Sosial

Konflik Sosial

Partisipasi warga kampus

rendah Konflik Kebijakan

Kerentanan daerah

Pengelolaan data tidak baik

Daur ulang

Metode kerja tidak baik Skill dan kompetensi

rendah Tempat pembuangan

belum tersedia Infrastruktur teknis rendah

Fasilitas tidak memadai

Lokasi daur ulang tidak tersentralisasi

Teknologi

Page 50: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

43

a. Teknologi, penggunaan teknologi oleh manusia ditujukan untuk

meningkatkan produktivitas dan memperoleh keuntungan yang maksimal

(Renn 1983). Selain itu, teknologi diharapkan dapat menekan sejauh mana

kerusakan dan kemungkinan terjadinya potensi bahaya. Konsep

pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan (PBBL) menghasilkan

kesepakatan mengenai pengembangan Konsep Produksi Bersih. Hal ini

merupakan upaya perubahan pendekatan teknologi menjadi teknologi ramah

lingkungan dalam produksi barang dan jasa. Dengan demikian dapat diartikan

bahwa untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan akan ditentukan oleh kemampuan dalam mengurangi

dan mencegah potensi kerusakan lingkungan melalui pemanfaatan teknologi.

Dalam literatur yang relevan tentang masalah lingkungan, istilah teknik dan

teknologi telah sering digunakan secara sinonim. Namun, istilah-istilah ini

tidak sama dalam diskusi limbah padat karena istilah teknik lebih mengacu

pada metode menciptakan alat baru, membangun produk dan kapasitas untuk

membangun artefak tersebut sementara teknologi mengacu pada pengetahuan.

Pembangunan yang membutuhkan sumber daya alam yang tidak sedikit.

Dengan keterbatasan sumber daya alam maka pembangunan berusaha

mencari alternatif sumber daya tersebut dengan pengembangan teknologi.

Beberapa upaya pengembangan teknologi dapat ditemui pada proses daur

ulang (recycle), minimasi limbah dan perubahan proses produksi (Adibroto

2002). Lebih lanjut, pengetahuan mengenai siklus ekologi dari jenis material

dan sesuai dengan sistem natural harus menjadi pertimbangan dalam inovasi

teknologi ramah lingkungan. Peningkatan permasalahan lingkungan yang

disebabkan oleh penggunaan teknologi lebih dominan dibanding peningkatan

jumlah penduduk (Beder 1996). Teknologi ramah lingkungan harus

disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya serta lingkungan

hidup setempat.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam hal peningkatan inovasi

teknologi ramah lingkungan adalah alih teknologi dari negara maju ke negara

berkembang. Kehadiran transfer teknologi adalah suatu terminologi yang

menyelaraskan kegiatan transfer teknologi dari suatu negara industri maju ke

Page 51: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

44

negara berkembang. Sehingga biasa diartikan merupakan suatu acara

membantu negara-negara berkembang untuk membangun industri dalam

rangka meningkatkan mutu kehidupan (Adibroto 2002). Hal ini meliputi

perubahan sistem kerja manual/tradisional dengan menggunakan peralatan

yang lebih baik, jumlah teknologi yang memadai, keselamatan bagi pengguna

teknologi dan adanya dukungan infrastruktur baik teknis dan non teknis.

Kegiatan transfer teknologi ke negara-negara berkembang selain keberhasilan

cukup banyak menghasilkan ketidaksuksesan, khususnya dalam aspek

transfer pengetahuan untuk operasi dan pemeliharaan (UNEP 2007). Banyak

terjadi, penduduk setempat yang tidak dapat mengoperasikan peralatan yang

dibangun, bahkan lebih buruk lagi mereka memang tidak berkeinginan untuk

belajar karena kurang sesuai dengan kebiasaan setempat. Belum lagi, transfer

teknologi dilakukan melalui pembangunan peralatan/teknologi yang telah

usang dan ‘berbahaya’ terhadap lingkungan.

Terdapat empat komponen utama tecnology content yang mendasari

pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan, misalnya technoware

(perangkat keras), humanware (sumberdaya manusia), infoware (dokumen

informasi) dan orgaware (kelembagaan) (Smith 2007). Teknologi harus

mendapat dukungan dari adanya inovasi agar dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat. Untuk itu, evaluasi inovasi akan senantiasa dilakukan oleh pihak

terkait guna melihat potensi-potensi yang ada. Menurut Wang et al. (2008)

menyatakan bahwa kemampuan inovasi teknologi adalah integrasi dari

seluruh sumberdaya yang dimiliki. Dimana, kemampuan inovasi teknologi

dipengaruhi oleh lima indikator seperti kemampuan penelitian dan

pengembangan, kemampuan dalam pengambilan keputusan, kemampuan

pemasaran, kemampuan produksi dan kemampuan modal (Astuti et al. 2008).

Dalam pengelolaan limbah padat, kebijakan dan manajemen limbah secara

terintegrasi mempertimbangkan dampak lingkungan sepanjang siklus produk

dalam pembahasannya. Penggunaan teknologi termasuk insenerasi,

pembakaran secara terbuka dan metode penggantian banyak digunakan dalam

pengelolaan limbah padat di negara-negara berkembang karena biaya

operasional yang rendah dan keuntungan ekonomi yang cepat. Daur ulang

Page 52: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

45

dalam rangka mengurangi limbah padat yang akan dibawa ke tempat

pembuangan akhir, peningkatan efisiensi energi dan pengurangan

penggunaan sumberdaya alam lainnya.

Dalam pengelolaan limbah padat, jumlah teknologi memainkan peranan yang

sangat penting. Studi yang dilakukan oleh Crittenden & Kolaczkowski (1995)

mengungkapkan salah satu masalah dalam pengelolaan limbah adalah jumlah

teknologi. Jumlah penemuan teknologi dalam hal pengelolaan limbah padat

secara garis besar masih dikuasai oleh negara-negara eropa. Berdasarkan

laporan dari organisasi kekayaan intelektual dunia (WIPO) yang bekerjasama

dengan konvensi Basel mengeluarkan laporan tentang jumlah dan jenis paten

pada teknologi daur ulang limbah padat (WIPO 2013). Lebih lanjut, laporan

ini juga mengungkapkan bahwa negara maju dari Eropa, Amerika Serikat dan

Jepang banyak mengembangkan teknologi daur ulang limbah. Selain itu,

keterbatasan dalam inovasi teknologi dapat menjadi hambatan pada proses

daur ulang limbah (Enger & Smith 2004). Yang perlu menjadi perhatian

adalah bahwa produk terdiri dari bahan-bahan yang akan mempengaruhi

metode daur ulang serta teknologi yang akan digunakan (Sas et al. 2015).

Selain itu, beberapa material kemungkinan sulit dipisahkan satu dengan yang

lainnya sehingga proses daur ulang menjadi lebih sulit dan hanya

menghasilkan material dengan kualitas yang rendah dan mengurangi manfaat

ekonominya (Jonsson et al. 2011). Lebih lanjut, metode daur ulang yang tidak

baik dapat berpotensi memunculkan kegagalan yang berujung pada terjadinya

pencemaran lingkungan.

Pada sistem dari akhir kehidupan produk yang ideal akan terjadi pemisahan

produk yang memiliki kandungan bahan berbahaya dari bahan lainnya yang

dapat didaur ulang tanpa membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.

Operasi daur ulang yang efektif tidak hanya menghemat sumber daya, tetapi

juga berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan

ketika limbah padat didaur ulang melalui pengumpulan, peleburan, dan

pemurnian. Sayangnya, teknologi pemrosesan akhir yang ramah lingkungan

membutuhkan biaya investasi yang lebih tinggi. Karena fasilitas daur ulang

membutuhkan biaya mahal dalam operasionalnya, maka banyak perusahaan-

Page 53: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

46

perusahaan sering beralih ke negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan

biaya tenaga kerja rendah, teknologi daur ulang manual dan peraturan

lingkungan dan pekerjaan yang masih longgar. Proses daur ulang limbah daur

ulang secara umum belum menggunakan teknologi seperti pembongkaran

fisik dengan menggunakan peralatan sederhana seperti palu, obeng dan pahat

(Amoyaw-Osei et al. 2011; pelepasan logam dengan menggunakan larutan

asam untuk mengambil logam mulia emas atau logam mulia lainnya

memecah dan mendaur ulang plastik (Wong et al. 2007); pembakaran kabel

untuk mengambil tembaga (Amoyaw-Osei et al. 2011); mengisi ulang kartrid

toner (Puckett et al. 2002).

Tempat pembuangan dan pengolahan khusus limbah padat juga merupakan

salah satu faktor pendorong munculnya risiko pada pengelolaan limbah.

Limbah yang dihasilkan di Perguruan Tinggi terkadang masih tercampur

dengan limbah berbahaya dan beracun. Sehingga, membutuhkan pengelolaan

secara terpisah dari limbah padat umumnya. Studi yang dilakukan oleh Peirce

dan Davidson (1982) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting

pengelolaan limbah berbahaya adalah adanya fasilitas pengolahan dan

penyimpanan dalam jangka waktu yang panjang yang didasarkan dari aspek

lokasi yang optimal. Fasilitas pengolahan bertujuan untuk meminimalkan

gangguan dan dampak risiko buruk pada lingkungan hidup dan kesehatan

masyarakat.

Pengelolaan limbah merupakan salah satu kelemahan pada negara-negara

berkembang. Hal ini disebabkan karena pembangunan infrastruktur layanan

pengelolaan limbah belum dapat mengikuti perkembangan ekonomi (Thanh

& Matsui 2011). Ketersediaan infrastruktur pengolahan limbah membutuhkan

sumber daya fisik seperti ketersediaan tanah, air, sumberdaya energi, lokasi

dan lain-lain.

Keamanan dan keselamatan pekerja dalam kaitannya dengan pengelolaan

limbah juga merupakan salah satu faktor pendorong munculnya risiko

teknologi. Pada beberapa negara maju seperti Kanada, fasilitas dan

pengelolan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan operasional

pengelolaan limbah harus memperhatikan faktor keselamatan pekerjanya (Nii

Page 54: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

47

Squire 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis

merupakan kata kunci untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan

terhadap pekerja selama proses pengelolaan limbah. Lemahnya kontrol

terhadap keamanan dan keselamatan pekerja berpotensi mendorong

konsekuensi kerugian pada lingkungan dan kesehatan manusia.

b. Kebijakan, pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup terkait erat

dengan kesejahteraan rakyat suatu negara. Melalui pengendalian dan

pengelolaan lingkungan hiduplah (di mana sumber daya alam ada di

dalamnya) kesejahteraan rakyat hendak diwujudkan. Bagi negara yang

mengklaim sebagai negara kesejahteraan (welfare state), menjadikan

kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau hidup bernegara. Segala

aktivitas penyelenggaraan negara diorientasikan pada upaya mencapai dan

memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut.

Selama lebih dari satu dasawarsa masalah-masalah yang berkenaan dengan

pencemaran lingkungan hidup manusia telah mendapatkan perhatian yang

sangat serius dari masyarakat internasional. Masalah-masalah seperti ledakan

penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi,

terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak

mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan

banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokoh masyarakat, dan

para kritisi pembangunan.

Salah satu pencemaran lingkungan adalah limbah merupakan masalah yang

muncul di negara berkembang. Hal ini didorong oleh jumlah limbah yang

meningkat secara signifikan, potensi bahaya yang ada dan bahan-bahan

berharga di dalamnya. Metode daur ulang dan pembuangan limbah yang tidak

ramah lingkungan yang biasa dilakukan di negara berkembang memiliki

dampak yang serius dan berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan

pekerja atau penduduk. Selain itu, negara-negara industri yang mengekspor

limbah padat ke negara-negara berkembang juga menambah rumit situasi.

Pemerintah perlu memperkuat sistem regulasi untuk memastikan bahwa

manfaat ekonomi yang besar dari industri daur ulang limbah tidak dibayangi

Page 55: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

48

oleh dampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja atau penduduk dan

kesinambungan lingkungan secara keseluruhan. Menanggapi kekhawatiran

yang terus berkembang maka pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan

lainnya di negara-negara berkembang terus memperkuat kerangka kerja

legislatif dan kelembagaan untuk mengatur impor dan kegiatan industri dalam

daur ulang dan pembuangan limbah.

Negara maju telah banyak yang membentuk lembaga tersendiri yang secara

komprehensif membuat sistem pengelolaan limbah dan telah terbukti dan

sukses dalam berbagai aspek. Studi oleh Widmer et al. (2005) menunjukkan

bahwa negara maju merancang dan mengkarakterisasi sistem manajemen

limbah yang mempertimbangkan lima parameter seperti perubahan regulasi,

cakupan sistem manajemen, pembiayaan sistem manajemen, tanggung jawab

produsen dan memastikan kepatuhan hukum. Lebih lanjut, hal yang paling

mendasar dari kelima parameter tersebut adalah perubahan regulasi tentang

pengelolaan limbah padat. Dengan perubahan regulasi pengelolaan secara

tidak langsung parameter yang lainnya akan diatur dan direfleksikan melalui

peraturan yang ada. Kerangka kerja legislasi menetapkan hasil yang

diinginkan yang dapat dicapai dari pengelolaan limbah padat. Selain itu,

penetapan standar yang dapat diberlakukan serta menetapkan tanggung jawab

kepada lembaga terkait lainnya.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada terjadinya potensi kegagalan dalam

penerapan regulasi terkait dengan pengelolaan limbah antara lain kepatuhan

hukum, kurangnya dukungan politik, konflik kebijakan dan Pengelolaan data

kurang baik. Faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam

mendukung pelaksanaan perubahan atas regulasi yang mengatur pengelolaan

limbah.

Studi yang dilakukan oleh Makondo et al. (2015) mengkaji kepatuhan

pengelolaan lingkungan oleh industri-industri yang mengekstraksi hasil

pertambangan di Zambia. Lebih lanjut, studi menemukan adanya kegagalan 8

dari 10 perusahaan pertambangan untuk menyerahkan laporan berkala sesuai

ketentuan peraturan perijinan. Selain itu, penelitian tersebut menunjukkan

lemahnya koordinasi kerangka kelembagaan peraturan pemerintah sehingga

Page 56: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

49

menyebabkan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada. Selain itu,

kebijakan pengelolaan limbah padat di India juga menghadapi permasalahan

yang sama. Dimana dalam studi yang dilakukan oleh Vilas (2015)

menemukan bahwa peraturan atau undang-undang lingkungan hidup yang

terkait dengan pengelolaan sampah tidak berjalan dengan baik karena

rendahnya kepatuhan hukum oleh masyarakat. Lebih lanjut, peraturan atau

hukum tidak dipahami dengan baik dan diimplementasikan dengan efektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Uchendu (2016) juga menemukan

ketidakpatuhan hukum pada pengelolaan limbah padat di Nigeria. Lebih

lanjut, ketidakpatuhan tersebut disebabkan karena rendahnya penegakan

peraturan lingkungan hidup.

Salah satu keberhasilan penerapan peraturan lingkungan adalah adanya

dukungan politik dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu contoh adalah

adanya permasalahan pengelolaan sampah di prefektur Kagawa Jepang.

Dimana, pemerintah tidak dapat menetapkan suatu tindakan hukum atas

tindakan yang telah dilakukan atas pembuangan sampah. Hal ini disebabkan

karena regulasi yang ada belum diamandemen. Sehingga, pemerintah pusat

menerapkan undang-undang yang baru yang didukung oleh Kementerian

Kesehatan, dan stakeholder lainnya (Yoshida 1999). Pengambilan keputusan

pada pengelolaan limbah padat di Braga-Portugal merupakan masalah yang

kompleks. Hal ini disebabkan adanya kebijakan yang belum terintegrasi

antara keputusan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pada

pengelolaan limbah padat (Tavares, 2001). Akan tetapi dengan adanya

dukungan secara politis oleh masing-masing stakeholder dan legislator maka

pengambilan keputusan tersebut dapat diperoleh kata sepakat.

Konflik kebijakan merupakan salah satu faktor yang dapat berpotensi

menyebabkan kegagalan penerapan kebijakan atau peraturan. Salah satu

lembaga perlindungan lingkungan dihapus di negara Nigeria. Hal ini

disebabkan karena penerapan kebijakan yang tidak koheren dalam sektor

pengelolaan limbah padat. Lebih lanjut, studi tersebut juga mengungkap

bahwa banyak kebijakan dalam pengelolaannya tidak sesuai dengan praktik

manajemen limbah modern. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Ali dan

Page 57: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

50

Ezeah (2017) juga menjelaskan bahwa tidak ada tindakan yang signifikan

mempromosikan pengelolaan limbah yang berkelanjutan karena strategi

nasional tidak terkoordinasi dengan baik di Libya. Sebuah laporan yang dirilis

oleh UNEP (2007) menyatakan adanya potensi risiko yang bisa timbul akibat

lemahnya perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan limbah secara

desentralisasi di Liberia. Proses desentralisasi yang diprakarsai oleh

pemerintah Liberia dimaksudkan untuk memberikan kewenangan pada

pemerintah kota untuk pengelolaan limbah. Lebih lanjut, penelitian oleh

Yukalang et al. (2017) menemukan komunikasi yang buruk antar kotamadya

di Thailand terkait dengan efektivitas pengelolaan limbah.

Pengelolaan data juga dapat berpotensi menjadi risiko kegagalan pengelolaan

limbah padat di perguruan tinggi. Ketersediaan data tentang karakterisasi

MSW merupakan langkah penting pertama dalam mengembangkan rencana

pengelolaan limbah padat terpadu, sebuah pendekatan yang berusaha untuk

melindungi kesehatan manusia dan lingkungan (Oberlin 2013). Lebih lanjut,

penelitian yang dilaksanakan oleh Lebersorger dan Beigl (2011)

menggarisbawahi tidak tersedianya data yang menunjang pada beberapa

lokasi yang berbeda di India berpotensi menyebabkan kegagalan sistem

pengelolaan limbah padat. Ketersediaan data sebagai bahan informasi yang

relevan menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan sistem pengelolaan

limbah padat di negara-negara berkembang (Moghadam et al. 2009). Dengan

data yang tersedia, skema manajemen MSW yang dirancang dengan baik

dapat meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan, menghasilkan lapangan

kerja dan pendapatan, melindungi kesehatan lingkungan dan mendukung

efisiensi dan produktivitas ekonomi (Ogwueleka 2009). Sementara itu, di

banyak negara ASEAN keterbatasan database yang sistematis terhadap

limbah berpotensi memiliki dampak risiko kegagalan dalam pengelolaan

limbah (Villanieva 2016).

c. Sosial, pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi kesimbangan

lingkungan, sosial ekonomi dan sosial. Dalam konteks pengelolaan limbah,

maka keberlanjutan sosial dapat didefinisikan sebagai penyediaan layanan

Page 58: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

51

yang tepat dalam memenuhi kesehatan masyarakat. Owusu (2010)

mengadakan penelitian terkait dengan analisis konsekuensi sosial dari

lingkungan yang buruk akibat pengelolaan limbah di Sabon Zongo. Hasil dari

penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan yang buruk

memiliki hubungan langsung dan tidak langsung pada konsekuensi sosial.

Beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap aspek sosial antara lain

persepsi dan partisipasi yang rendah pada masyarakat, adanya konflik sosial

dan kerentanan daerah.

Salah satu faktor yang memiliki potensi kegagalan dalam pengelolaan

lingkungan hidup terutama pengelolaan limbah adalah partisipasi yang rendah

pada masyarakat. Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan

limbah memiliki signifikansi yang tinggi dengan sistem pengelolaan limbah

(Birhanu dan Berisa 2015). Selain itu, Zurbrugg (2003) menggarisbawahi

bahwa faktor penting kegagalan pengelolaan limbah padat di negara-negara

berkembang banyak disebabkan karena kurangnya persepsi dan peran serta

publik. Tingkat persepsi dan peran dapat mendorong terjadinya kesenjangan

sikap dan perilaku yang dapat mengakibatkan tidak berjalannya sistem

pengelolaan limbah (O’Connell 2011). Satu studi yang menarik dilakukan

oleh Bolaane (2006) menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesadaran

dan teknis daur ulang pada pengelolaan limbah yang berkelanjutan, akan

tetapi dalam prakteknya masyarakat memiliki pengetahuan yang terbatas.

Sehingga, masyarakat belum menerapkan perubahan dalam peran serta atau

partisipasi dalam pengelolaan limbah. Lebih lanjut, Poswa (2001)

mengungkapkan rendahnya kepedulian masyarakat lebih disebabkan karena

tidak adanya peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan

pengelolaan limbah. Sementara itu, Al-Khatib et al. (2009) menjelaskan

bahwa banyak penyebab yang berkontribusi pada kegagalan pengelolaan

limbah padat dari rendahnya persepsi dan peran serta publik, misalnya tidak

adanya tekanan sosial, tidak adanya hukum yang realistis dan konsisten,

rendahnya pengetahuan tentang dampak.

Timbulnya konflik berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat

dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses

Page 59: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

52

kehidupan manusia. Dari sudut mana pun konflik tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sosial. Di dalam kenyataan kehidupan manusia dimana pun dan

kapan pun selalu ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, perilaku-

perilaku, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan

sehingga proses yang demikian itulah yang akan mengarah pada suatu

perubahan (Utsman 2009). Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara

pemerintah dan penduduk di India terkait privatisasi pengelolaan limbah

(Schindler et al. 2012). Lebih lanjut, penduduk yang menetap di sekitar lokasi

daur ulang berpendapat bahwa aktivitas tersebut akan menghasilkan racun

dan berdampak pada kesehatan. Sementara itu, konflik sosial yang terjadi

pada pekerja di sektor informal limbah juga dapat terjadi (Federico 2010).

Lebih lanjut, pengumpulan material yang dapat di daur ulang dari tempat

pembuangan juga memunculkan konflik sosial di Tanzania (Ngatatakalama,

2016)

Pengelolaan limbah dapat berpotensi mendorong terjadinya kerentanan suatu

wilayah. Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu

komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan

ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman potensi bahaya. Kerentanan

sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi

bahaya (hazards). Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana

dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Sementara

itu, Kerentanan lingkungan menggambarkan tingkat kerapuhan lingkungan

yang disebabkan adanya pencemaran limbah. Sebuah studi yang dilakukan

Sarkar (2003) fokus pada kerentanan sosial para pengumpul sampah di India,

dimana dalam penelitian tersebut mengeksplorasi kondisi kerja, sosial

ekonomi dan masa depan para pengumpul sampah. Selanjutnya kerentanan

lingkungan pada suatu wilayah dapat diketahui dari kualitas limbah yang

dihasilkan. Studi yang dilakukan di Uganda menunjukkan kandungan potensi

emisi metana dari limbah perkotaan bervariasi antara 0.9 dan 4.12 Gg/tahun.

Sementara itu, proyek pengomposan limbah padat di Dar es Salaam terpaksa

dihentikan karena ada tekanan penggunaan lahan.

Page 60: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

53

d. Daur ulang, merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah yang terdiri

atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan

pembuatan produk/material bekas pakai. Upaya pengolahan limbahtersebut

bertujuan untuk memanfaatkan material yang masih berguna untuk digunakan

kembali, dan secara tidak langsung dapat memperpanjang umur pakai TPA.

Beberapa manfaat dari kegiatan daur ulang, yaitu: menghemat penggunaan

energi, mengurangi hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan polusi udara

akibat proses pembakaran sampah, dapat menyelamatkan sumber daya alam,

mengurangi polusi air, udara dan tanah.

Dalam konteks limbah padat, terdapat banyak limbah yang masih

mengandung nilai ekonomis termasuk kertas, plastik, logam dan lain-lain.

Akan tetapi limbah padat juga masih bercampur dengan bahan berbahaya dan

beracun. Oleh karena itu, pengelolaan limbah diakhir masa hidup dari produk

tersebut menjadi hal yang penting. Hal ini dilakukan dalam kaitannya

memulihkan kembali material-material yang masih dapat digunakan dan

mengelola bahan-bahan yang mengandung senyawa berbahaya dan beracun

dengan baik dan benar. Pengelolaan limbah padat termasuk penggunaan

kembali fungsi produk tersebut, perbaikan, pemulihan komponen, daur ulang

dan pembuangan. Penggunaan kembali melalui perbaikan dimaksudkan untuk

memperpanjang masa pakai produk. Sementara itu, daur ulang dilakukan

untuk memulihkan material berharga dengan memperhatikan dampak

lingkungan yang berpotensi muncul. Aktivitas daur ulang dalam pengelolaan

limbah berpotensi menemui kegagalan karena adanya beberapa faktor seperti

skill dan kompetensi yang rendah dari pekerja, fasilitas kerja tidak memadai,

metode kerja yang tidak baik dan lokasi daur ulang yang tidak tersentralisasi.

Skill dan kompetensi yang rendah dari pekerja merupakan salah satu faktor

pendorong terjadinya kegagalan proses daur ulang. Kemampuan karyawan

dalam proses daur ulang memegang peranan yang cukup penting. Hal ini

disebabkan karyawan harus mengetahui operasional prosedur dari daur ulang

dan penggunaan peralatan secara tepat (Sinha-Khetriwal et al. 2009). Selain

itu, Rao (2014) juga mengungkapkan tidak adanya kompetensi yang tepat dari

pekerja di limbah berpotensi terpaparnya bahaya kesehatan.

Page 61: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

54

Faktor lain yang mempengaruhi potensi risiko kegagalan proses daur ulang

adalah fasilitas kerja tidak memadai. Tidak tersedianya peralatan dan standard

operasional yang baik menyebabkan proses daur ulang menggunakan

peralatan seadanya yang tidak ramah lingkungan. Sebagai contoh, proses daur

ulang limbah di India dan China banyak dilakukan dengan peralatan seadanya

pada proses pembongkaran, pencucian dan pembakaran (Liu et al. 2006).

Dengan demikian, proses tersebut melepaskan sejumlah besar senyawa

berbahaya dan beracun ke lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan

kesehatan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Fujimori et al. (2012)

menunjukkan bahwa paparan pada kesehatan manusia juga dapat terjadi pada

proses daur ulang yang telah memiliki fasilitas yang sesuai. Selanjutnya,

pekerja-pekerja di sektor daur ulang di beberapa negara seperti Afrika, Asia

dan Amerika Latin belum banyak yang menggunakan fasilitas yang memadai

(Sthiannopkao dan Wong 2013).

Metode kerja yang tidak baik juga menjadi faktor yang memungkinkan proses

daur ulang mengalami risiko kegagalan. Studi yang dilakukan oleh Xu et al.

(2015) menunjukkan bahwa metode kerja pada daur ulang yang tidak tepat

mendorong terjadinya peningkatan risiko yang sangat signifikan pada

manusia dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, proses daur ulang yang tidak

efisien menghasilkan kerugian substansial dari nilai material dan sumber daya

(Rao 2014).

Potensi risiko kegagalan proses pengelolaan limbah juga dapat terjadi akibat

lokasi kegiatan pengelolaan limbah. Lokasi yang dimaksudkan disini dapat

berupa lokasi kerja dan lokasi yang terkait dengan pengelolaan limbah,

misalnya tempat drop-off, tempat pembuangan sementara, dan lokasi kerja

daur ulang. Lokasi kerja merupakan ruang fisik yang didefinisikan dimana

pekerja limbah terlibat dalam kegiatan ekonomi umum atau berbagai aspek

dari kegiatan yang sama. Fasilitas lokasi drop-off limbah secara operasional

memberikan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan pengumpulan di

tepi jalan. Kumar dan Holuszko (2016) menggarisbawahi proses pemindahan

limbah yang tidak efektif dan efisien yang disebabkan lokasi fasilitas daur

ulang yang berada cukup jauh. Sementara itu, fasilitas daur ulang yang

Page 62: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

55

lokasinya berbasis wilayah dapat mengurangi biaya transportasi dan waktu.

Proses daur ulang pada masing-masing wilayah yang lebih kecil dapat

melakukan aktivitas daur ulang hingga mendapatkan bahan akhir yang akan

dikirim ke lokasi penampungan di pusat daur ulang. Hal ini juga dapat

mengurangi volume produk yang dikirim dan mengurangi jarak transportasi

sehingga dapat mengurangi biaya dan emisi gas rumah kaca yang terkait

dengan transportasi.

Berikut ini beberapa foto dari pengelolaan limbah/sampah di lingkungan FTUP:

Page 63: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

56

Gambar 4.11. Pengelolaan Limbah/Sampah di FTUP

Page 64: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

57

4.3.2. Analisis Dan Penilaian Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Limbah

Berdasarkan uraian masing-masing faktor tersebut selanjutnya dilakukan

analisis dan penilaian risiko. Pengambilan keputusan yang tepat dalam

pengelolaan risiko bukanlah tugas yang mudah. Oleh karena itu, risiko yang

teridentifikasi harus dijelaskan dengan cara yang dapat dimengerti dan kemudian

dianalisis secara sistematis (Li et al. 2006). Akibatnya, setiap risiko, ketika

diidentifikasi, harus dianalisis dalam hal potensi kemungkinan yang dapat terjadi.

Risiko selalu dianalisis dalam hal probabilitas dan dampak serius. Selanjutnya

dampak tersebut dapat dinilai dengan memberikan peringkat berikut rendah,

menengah dan tinggi.

Terdapat beberapa jenis teknik analisis risiko yang dapat digunakan untuk

menganalisis risiko. Tahapan analisis risiko diaplikasikan untuk mengidentifikasi

faktor-faktor yang memiliki potensi terjadinya risiko dari suatu kegiatan yang

dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor sejenis. Dalam penilaian risiko dalam

pengelolaan limbah padat ini menggunakan metode Failure Mode Effect Analysis

(FMEA).

Metode FMEA merupakan salah satu teknik analisis semikuantitatif yang

telah banyak diaplikasikan. Metode ini digunakan untuk mengindentifikasi,

memprioritaskan dan menghilangkan kegagalan, masalah, dan potensi kesalahan

yang diketahui dalam suatu sistem, produk atau proses sebelum diterima oleh

masyarakat (Stamatis 2003).

Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada beberapa orang yang

dianggap pakar di lingkungan FTUP dan memahami pengelolaan limbah padat,

maka diperoleh hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.

4.3.3. Evaluasi Risiko

Evaluasi risiko merupakan salah satu tahapan dalam pengambilan

keputusan terkait dengan tingkat risiko dan prioritas risiko. Perlakuan berisiko

dilakukan setelah penilaian yang melibatkan evaluasi dan pemilihan dari opsi-opsi

tentang bagaimana mengelola risiko. Sebuah risiko dapat diterima jika tidak akan

ditindaklanjuti. Menerima sebuah risiko tidak menunjukkan bahwa risikonya tidak

signifikan. Risiko ini dapat diterima dengan beberapa pertimbangan seperti

Page 65: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

58

tingkat risiko yang sangat rendah sehingga tidak diperlukan perlakukan khusus

dalam sumber daya yang tersedia.

Sementara itu, dalam konteks menghindari risiko dapat dilakukan dengan

tidak melanjutkan suatu kegiatan yang mengandung risiko yang tidak dapat

diterima, atau dengan kata lain memilih aktivitas alternatif yang lebih dapat

diterima yang memenuhi tujuan dan sasaran organisasi. Selain itu, dapat

dilakukan dengan memilih metode dan proses alternatif yang tidak terlalu berisiko

dalam aktivitas kegiatan.

Transfer risiko atau mentransmisikan risiko pada pihak yang lain. Metode

pengalihan risiko ini sering digunakan dalam pembelian asuransi atau ganti rugi.

Keadaan dan biaya transfer akan sangat bergantung pada tingkat jaminan yang

dapat diberikan oleh manajemen ke pihak lain dalam hal terjadinya klaim. Pihak

lain akan membutuhkan informasi terkait dengan jenis risiko, kekuatan sistem

yang telah ada dan histori dari risiko itu sendiri.

Mengendalikan risiko merupakan alternatif yang sering digunakan untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya risiko dan dampak dari risiko yang akan

terjadi di masa mendatang. Secara umum akan ada pergantian antara tingkat risiko

dan pengurangan risiko ketingkat yang dapat diterima. Metode pengendalian

risiko yang paling efektif adalah mendesain ulang sistem dan proses sehingga

kemungkinan terjadinya potensi risiko negatif dapat berkurang.

Page 66: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

59

Tabel 4.2. Worksheet FMEA Proses Pengelolaan Limbah Padat

Failure Modes Effect Analysis (FMEA) Worksheet Nama Proses : Pengelolaan limbah padat

Tgl Pembuatan : Juli 2019

No Worksheet : WS-01.2018 Rev : 00 Tgl analisis : Juni 2019 sd Juli 2019

No Product or

Process Step

ID F

ail

ure

Potential Failure Mode Potential Failure Effect Potential Causes Current Controls

1 Teknologi 1.1 Teknologi manual/tradisional Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

Konflik sosial

Kerentanan daerah

Inovasi peralatan

Biaya daur ulang tinggi

Belum ada kontrol

1.2 Keamanan dan keselamatan alat

rendah

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

Inovasi alat

Kepatuhan hukum

Skill dan kompetensi rendah

Belum ada kontrol

1.3 Infrastruktur fisik dan teknis

rendah

Pencemaran lingkungan Kebijakan pemerintah belum ada

Belum ada kontrol

1.4 Jumlah teknologi Efektifitas dan efisiensi rendah Sistem pendanaan

Belum ada kontrol

1.5 Tempat pembuangan dan

pengolahan khusus belum

tersedia

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

Infrastruktur fisik dan teknis rendah

Lokasi daur ulang

Belum ada kontrol

2 Regulasi/huku

m

2.1 Kepatuhan hukum Pelanggaran hukum Regulasi tidak spesifik

Monitoring rendah

Belum ada kontrol

2.2 Kurangnya dukungan pimpinan Diskoordinasi antar lembaga Pengelolaan data kurang baik Belum ada kontrol

2.3 Konflik kebijakan Diskoordinasi antar lembaga Visi dan misi lingkungan dari program

studi belum berwawasan lingkungan

Kurangnya dukungan pimpinan

Belum ada kontrol

Page 67: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

60

Rendahnya penyebaran informasi

2.4 Pengelolaan data kurang baik Tidak memiliki data base limbah Regulasi antar departemen tumpang tindih

Regulasi tidak spesifik

Belum ada kontrol

3 Sosial 3.1 Persepsi dan partisipasi warga

kampus rendah

Laju timbulan limbah tinggi Sosialisasi pemerintah rendah

Rendahnya penyebaran informasi

Sosialisasi masih

terbatas di wilayah

tertentu

3.2 Konflik sosial tinggi Rusaknya berbagai infrastruktur dan

korban jiwa

Kerentanan daerah

Regulasi antar departemen tumpang tindih

Sosialisasi pemerintah rendah

Kerentanan daerah

Rendahnya penyebaran informasi

Belum ada kontrol

3.3 Kerentanan daerah Perasaan aman dalam melakukan

aktivitas daur ulang

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

Minimnya infrastruktur dan prasarana

teknologi

Partisipasi masyarakat rendah

Rendahnya penyebaran informasi

Belum ada kontrol

4 Daur ulang 4.1 Skill dan kompetensi rendah Produktivitas rendah Tidak pernah mendapatkan training Belum ada kontrol

4.2 Fasilitas tidak memadai Produktivitas rendah Tidak ada bantuan finansial Belum ada kontrol

4.3 Metode kerja tidak baik Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

Tidak ada bantuan finansial

Tidak pernah mendapatkan training

Belum ada kontrol

4.4 Lokasi daur ulang tidak

tersentralisasi

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia tidak terkontrol

dengan baik

Ketersediaan lahan

Kebijakan pemerintah belum ada

Belum ada kontrol

Page 68: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

61

Tabel 4.3. Perhitungan Nilai RPN

Failure Modes Effect Analysis (FMEA) Worksheet Nama Alat/Proses : Pengelolaan limbah padat

Tgl Instalasi : Juni 2019

No Worksheet : WS-01.2018 Rev : 00 Tgl analisis : Juni 2019 – Juli 2019

No Product or

Process

Step

ID F

ail

ure

Potential Failure Mode Potential Failure Effect

Sev

eri

ty

Potential Causes

Occ

ure

nce

Current

Controls

Det

ect

ion

RP

N

Actions

Recommended

1 Teknologi 1.1 Teknologi

manual/tradisional

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

10 Kurangnya inovasi peralatan

Biaya daur ulang tinggi

8 Belum ada

kontrol

8 640

Peningkatan

inovasi

peralatan yang

lebih ramah

lingkungan

Kerjasama

antar

stakeholder

Pendataan laju

timbulan

limbah

1.2 Keamanan dan

keselamatan alat rendah

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

10 Inovasi alat

Skill dan kompetensi

8 Belum ada

kontrol

9 720

1.3 Infrastruktur fisik dan

teknis rendah

Pencemaran lingkungan 10 Kebijakan pemerintah belum

ada

9 Belum ada

kontrol

10 900

1.4 Jumlah teknologi Efektifitas dan efisiensi

rendah

9 Sistem pendanaan

Inovasi alat

7 Belum ada

kontrol

7 441

1.5 Tempat pembuangan

dan pengolahan khusus

belum tersedia

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

10 Infrastruktur teknis

Lokasi daur ulang

8 Masih

terbatas

8 640

2 Regulasi/h

ukum

2.1 Kepatuhan hukum Pelanggaran hukum 9 Regulasi tidak spesifik

Monitoring rendah

9 Belum ada

kontrol

9 729 Penguatan

payung hukum

Amandemen

regulasi/hukum

Penguatan

koordinasi

antar lembaga

2.2 Kurangnya dukungan

pimpinan

Diskoordinasi antar lembaga 9 Belum menyatunya visi dan

misi lingkungan dari masing-

masing program studi

Kurangnya dukungan

pimpinan

9 Belum ada

kontrol

9 729

Page 69: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

62

2.3 Konflik kebijakan Diskoordinasi antar lembaga 9 Regulasi antar departemen

tumpang tindih

Rendahnya penyebaran

informasi

6 Belum ada

kontrol

7 378 Pembuatan data

base

pengelolaan

limbah padat 2.4 Pengelolaan data kurang

baik

Tidak memiliki data base

limbah padat

10 Regulasi antar departemen

tumpang tindih

Regulasi tidak spesifik

8 Belum ada

kontrol

7 560

3 Sosial 3.1 Persepsi dan partisipasi

warga kampus masih

rendah

Laju timbulan limbah tinggi 10 Sosialisasi pemerintah rendah

Rendahnya penyebaran

informasi

8 Sosialisasi

masih

terbatas di

wilayah

tertentu

7 560 Peningkatan

kegiatan

sosialisasi pada

masyarakat

Peningkatan

penyebaran

informasi

Pembangunan

infrastruktur

secara terpusat

yang

bekerjasama

dengan

stakeholder

3.2 Konflik Sosial tinggi Rusaknya berbagai

infrastruktur dan korban jiwa

9 Regulasi antar departemen

tumpang tindih

Sosialisasi pemerintah rendah

Kerentanan daerah

Rendahnya penyebaran

informasi

7 Belum ada

kontrol

8 504

3.3 Kerentanan daerah Perasaan aman dalam

melakukan aktivitas daur

ulang

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

9 Minimnya infrastruktur dan

prasarana teknologi

Partisipasi masyarakat rendah

Rendahnya penyebaran

informasi

6 Belum ada

kontrol

7 378

4 Daur ulang 4.1 Skill dan kompetensi

rendah

Produktivitas rendah 9 Tidak pernah mendapatkan

training

8 Belum ada

kontrol

8 576 Kerjasama

antar

stakeholder

Pembangunan

infrastruktur

secara terpusat

dan terkontrol

secara periodik

Pengembangan

kemitraan

bisnis

4.2 Fasilitas tidak memadai Produktivitas rendah 7 Tidak ada bantuan finansial 8 Belum ada

kontrol

7 392

4.3 Metode kerja tidak baik Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia

7 Tidak ada bantuan finansial

Tidak pernah mendapatkan

training

8 Belum ada

kontrol

7 392

4.4 Lokasi daur ulang tidak

tersentralisasi

Pencemaran lingkungan dan

kesehatan manusia tidak

terkontrol dengan baik

10 Ketersediaan lahan

Kebijakan pemerintah belum

ada

7 Belum ada

kontrol

7 490

(Sumber: pengolahan data)

Page 70: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

63

Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dalam pengendalian risiko seperti

menghilangkan semua potensi bahaya jika memungkinkan, misalnya penggunaan zat

kimia yang lebih aman. Selanjutnya, jika penghilangan risiko tidak dapat dilakukan

maka perlu ada penggantian material atau proses dengan yang lebih memberikan

dampak risiko kecil seperti memasang atau menggunakan peralatan tambahan. Selain

itu, pengurangan risiko dapat juga dilakukan dengan melakukan kontrol secara

administrasi dan pengaplikasian sistem kerja yang lebih aman misalnya

pengembangan instruksi kerja, kebijakan, pedoman atau standar operasional prosedur.

Seperti yang diuraikan sebelumnya, penilaian risiko adalah proses

pengumpulan data dan membuat asumsi untuk memperkirakan sifat, keparahan, dan

kemungkinan bahaya bagi kesehatan manusia atau lingkungan. Oleh karena itu,

karakterisasi risiko (RC) adalah langkah terakhir dari proses penilaian risiko yang

merangkum semua data dari langkah sebelumnya (De Rosa et al. 1997). Ini adalah

tahap penilaian risiko di mana kesimpulan diambil berdasarkan kekuatan dan bobot

bukti tentang bahaya. Tahap ini bergantung pada kualitas informasi tentang potensi

efek yang disebabkan oleh bahaya, populasi yang terpengaruh, jenis dampak

kesehatan dan lingkungan, kemungkinan paparan dan kekhawatiran publik atas

masalah yang bersangkutan (Paustenbach 2000).

Berdasakan hasil analisis sebagaimana yang ditampilkan pada tabel di atas

selanjutnya dilakukan evaluasi risiko dengan menganalisis kategori risiko. Dari hasil

perhitungan pada matrik FMEA selanjutnya dikategorikan level risiko pada masing-

masing faktor. Adapun kategori penilaian risiko berdasarkan Gambar 4.12.

Gambar 4.12. Kategori Risiko pada FMEA

Sumber: Rimantho dan Hatta (2018)

Very High 801-1000

High-Very High 601-800

High 451-600

Moderate-High 351-450

Moderate 251-350

Low Moderate 151-250

Low 101-150

Very Low-Low 51-100

Very Low 50

50 51-100 101-150 151-250 251-350 351-450 451-600 601-800 801-1000

Very Low Very Low-Low Low Low Moderate Moderate Moderate-High High High-Very High Very High

Critical Risk

High Risk

Low Risk

Page 71: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

64

Tabel 4.4. Level Risiko Pengelolaan Limbah Padat

No Faktor Sub-faktor Nilai

RPN

Level risiko Rekomendasi

Tindakan

1 Teknologi Teknologi tradisional/manual 640

High-Very

High

Pencegahan

2 Keamanan dan keselamatan

alat

720 High-Very

High

Pencegahan

3 Infrastruktur teknis 900 Very High Pencegahan

4 Jumlah teknologi 441 Moderate-

High

Mitigasi

5 Tempat pembuangan dan

pengolahan belum tersedia

640 High-Very

High

Pencegahan

6 Regulasi/

hukum

Kepatuhan hukum 729 High-Very

High

Pencegahan

7 Dukungan pimpinan 729 High-Very

High

Pencegahan

8 Konflik kebijakan 378 Moderate-

high

Mitigasi

9 Pengelolaan data 560 High Mitigasi

10 Sosial Persepsi dan partisipasi

warga kampus rendah

560 High Mitigasi

11 Konflik Sosial 504 High Mitigasi

12 Kerentanan daerah 378 Moderate-

high

Mitigasi

13 Daur

ulang

Skill dan kompetensi pekerja 576 High Mitigasi

14 Fasilitas daur ulang 392 Moderate-

high

Mitigasi

15 Metode kerja 392 Moderate-

high

Mitigasi

16 Sentralisasi lokasi daur ulang 490 High Mitigasi

Sumber: Tabel 4.3. dan Gambar 4.12, data diolah

Berdasarkan Tabel 4.4, maka dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor

yang dapat dikategorikan sangat berisiko tinggi misalnya teknologi manual,

keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur teknis, tempat pembuangan dan

pengolahan belum tersedia, kepatuhan hukum, dan dukungan pimpinan. Hal ini

memerlukan tindakan pencegahan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang

lebih besar di masa mendatang. Lebih lanjut, untuk faktor-faktor yang risikonya juga

perlu mendapatkan perhatian karena berdasarkan risk mapping menunjukkan bahwa

faktor-faktor tersebut berada pada posisi cukup mengkhawatirkan seperti lokasi daur

ulang khusus, konflik kebijakan, pengelolaan data, persepsi dan partisipasi warga

Page 72: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

65

kampus, konflik sosial, kerentanan daerah, skill dan kompetensi pekerja, fasilitas daur

ulang, metode kerja, dan sentralisasi lokasi daur ulang. Hal ini disebabkan karena

hasil penilaian dari pakar menunjukkan nilai risiko yang moderate sampai ke high.

Sehingga perlu diambil tindakan guna mengantisipasi kegagalan proses pengelolaan.

Selain itu, hal ini dapat berpotensi menimbulkan dampak risiko negatif di masa

mendatang. Sehingga, dipandang perlu untuk dilakukan aktivitas mitigasi guna

mencegah kerugian di masa mendatang baik dalam hal penurunan kualitas

lingkungan maupun kualitas kesehatan manusia.

Hasil penilaian risiko sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat diartikan

bahwa potensi kegagalan proses pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik

Universitas Pancasila sangat tinggi. Sehingga hal ini dapat mengganggu dimensi

pembangunan berkelanjutan atau pencapaian green campus dalam kaitannya dengan

pengelolaan limbah. Penelitian ini telah membantu dalam mengindentifikasikan

berbagai faktor risiko yang dapat berpotensi melemahkan keberlanjutan pengelolaan

limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Beberapa faktor risiko telah

terindentifikasi seperti teknologi, regulasi/hukum, sosial, daur ulang dan finansial.

Dalam konteks teknologi dapat terdiri dari beberapa sub faktor seperti teknologi

tradisional/manual, keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur teknis, jumlah

teknologi, lokasi daur ulang khusus. Sementara itu, pada konteks regulasi/hukum

terdiri dari kepatuhan hukum, dukungan politik, konflik kebijakan dan pengelolaan

data. Untuk faktor sosial terdiri dari persepsi dan partisipasi masyarakat, konflik

sosial dan kerentanan daerah. Beberapa hal dalam faktor daur ulang misalnya skill

dan kompetensi pekerja yang rendah, fasilitas daur ulang, metode kerja dan

sentralisasi lokasi daur ulang. Lebih lanjut, pada perspektif finansial terdiri dari biaya

daur ulang, persaingan harga, dan sistem pendanaan.

Paradigma pengelolaan sampah di wilayah perencanaan masih bertumpu pada

kumpul-angkut-buang sudah saatnya diganti dengan paradigma baru pengelolaan

sampah. Paradigma baru pengelolaan sampah ini memandang sampah sebagai sumber

daya yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan. Salah satu caranya adalah

dengan sistem pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan limbah padat jika

Page 73: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

66

direncanakan dan dilaksanakan pada risiko yang rendah apabila mendapat dukungan

dari beberapa hal seperti regulasi, tingkat partisipasi warga kampus, tersedianya

infrastruktur, dukungan pimpinan, jumlah dan inovasi teknologi yang memadai dan

lebih ramah lingkungan dengan penggunaan sumber daya yang minimal.

Dengan mempertimbangkan sifat pengelolaan limbah padat, faktor kebijakan

atau regulasi memiliki potensi yang sangat kuat untuk mempengaruhi keberlanjutan

aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan limbah padat. Misalnya dalam hal

regulasi atau kebijakan di Fakultas Teknik maupun dari Universitas Pancasila, belum

adanya regulasi yang mengatur secara jelas tentang limbah padat yang berpotensi

menimbulkan dampak risiko sangat serius. Seyogyanya, pengaturan pengelolaan ini

dapat diperjelas dan diperkuat mengingat karakteristik pengelolaan limbah padat

memiliki dampak signifikan terhadap dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi.

Selanjutnya, belum adanya kontrol yang ketat dari regulasi pada pengelolaan limbah

padat yang menyebabkan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum perlindungan

lingkungan hidup masih terjadi. Sebagai contoh, berdasarkan larangan untuk

membuang sampah sebagaimana yang diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang

pengelolaan lingkungan hidup, yang mengatur dan melarang pembuangan limbah

padat. Selain itu, di dalam Undang-undang No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan

Sampah disebutkan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan

sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah

dengan cara yang berwawasan lingkungan. Akan tetapi, pada prakteknya masih

sering ditemui bahwa limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila masih

sering terjadi belum memenuhi standar nasional pengelolaan sampah nomor SNI

3242:2008. Dimana dalam acuan standar terkait dengan teknik operasional setidaknya

mengandung beberapa unsur seperti, menerapkan pemilahan sampah organik dan non

organik, menerapkan teknik 3 R di sumber dan TPS dan penanganan residu oleh

pengelola sampah kota.

Dalam rangka mengantisipasi potensi risiko dari sampah padat dan bahaya

pencemaran lingkungan yang semakin parah dikemudian hari, perlu dikembangkan

pengelolaan sampah dengan konsep pengolahan sampah secara terpadu berbasis 3R.

Page 74: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

67

Pengelolaan sampah terpadu dengan konsep 3R diharapkan dapat memenuhi konsep

pengelolaan sampah menuju zero waste. Konsep 3R yang berprinsip mengurangi,

menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah dapat mereduksi timbulan

sampah, sehingga dengan diterapkannya sistem pengelolan sampah terpadu berbasis

3R diharapkan dapat menciptakan kondisi kebersihan, keindahan, dan kondisi

kesehatan masyarakat, yang akhirnya berpengaruh pada perkembangan fisik wilayah

perencanaan.

Konsep zero waste menolak insinerator, landfill, menghilangkan masyarakat

pembuang sampah (throwaway society) dan menciptakan komunitas yang

berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Connett, (2007) menggarisbawahi bahwa

pelaksanaan zero waste mungkin akan sulit tercapai secara sempurna, akan tetapi

setidaknya perencanaan model kondisi yang sangat dekat dengan keadaan zero waste

ditahun 2020 dapat dilakukan. Mengelola sampah selalu merupakan lima hal yang

paling menantang dalam mengelola sebuah kota, tetapi anehnya sektor ini malah

paling kecil mendapat perhatian dibanding isu-isu perkotaan lainnya. Kualitas

layanan sampah menjadi salah satu indikator bagusnya tata kelola pemerintahan kota

(Africa, 2010). Penghindaran terjadinya sampah (waste avoidance) merupakan

prioritas utama, baru kemudian diikuti dengan daur ulang dan rekayasa material

untuk meminimalkan jumlah sampah yang akhirnya dibuang ke landfill atau dibakar

dalam insinerator.

Dengan semakin terbatasnya sumber daya alam yang tak dapat diperbarui

karena jumlahnya akibat ekploitasi yang berlebihan. Eksploitasi sumber daya yang

terbatas ini secara terus menerus akan menimbulkan ketidakpastian masa depan. Hal

ini harus dicegah, oleh karenanya manusia harus melakukan konsumsi yang

berkelanjutan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan (1) penghindaran sampah

(waste avoidance), (2) efisiensi material dan (3) pemulihan sumber daya (Lehmann,

2011).

Zero Waste merupakan salah satu konsep yang paling visioner dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan sampah dalam rangka mengantisipasi potensi

risiko yang akan muncul. Sejumlah kota-kota besar di dunia seperti Adelaide, San

Page 75: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

68

Francisco dan Stockholm telah mendeklarasikan diri sebagai kota Zero Waste dan

mereka berusaha mencapai target yang ditetapkan dan menjadi kota-kota pertama

yang menerapkan Zero Waste. Tetapi hal yang tak kalah penting adalah bagaimana

menerapkan konsep Zero Waste dalam sebuah kota dan bagaimana mengukur kinerja

sebuah kota berdasarkan konsep Zero Waste (Zaman & Lehmann, 2013).

4.4. Rumusan Strategi yang Tepat Agar Dapat Digunakan dalam Pengelolaan

Sampah di FTUP.

Issu tentang lingkungan dan kesehatan manusia terkait dengan pengelolaan

limbah padat telah diketahui dan banyak yurisdiksi telah menerapkan program untuk

pengelolaan limbah padat. Beberapa program bertumpu pada pengelolaan limbah

padat dengan menargetkan masalah dari sumber dengan mengurangi atau mencegah

laju timbulan limbah padat dari sumber, sementara yang lain fokus pada solusi akhir

kehidupan seperti daur ulang. Program pengelolaan limbah padat dari perguruan

tinggi tidak sama dalam hal efektivitas. Namun, tujuan keseluruhannya adalah untuk

mengurangi atau menghilangkan dampak negatif yang terkait dengan pembuangan

yang tidak tepat dan pengelolaan limbah padat (Babu et al. 2007; Herat 2009).

Pengelolaan limbah tidak hanya masalah sosial tetapi merupakan

penggabungan faktor kebijakan, sosial-budaya, teknis, finansial dan lingkungan. Hal

ini menunjukkan bahwa pemerintah dihadapkan dengan sekumpulan pemikiran yang

kompleks dan terintegrasi yang harus dimasukkan ke dalam satu proses pengambilan

keputusan tunggal. Selain itu, Wilson et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat

informasi yang terputus antara pemangku kepentingan, terutama antara pembuat

kebijakan dan pengelola limbah. Oleh karena itu, tidak hanya ada proses untuk

diintegrasikan dalam pengelolaan limbah, tetapi ada juga pemangku kepentingan

yang harus diintegrasikan (Posch 2010). Dengan tidak adanya metode pengambilan

keputusan yang dianggap tepat maka pengelolaan limbah yang berkelanjutan dan

terpadu sulit dilakukan.

Pemerintah daerah maupun pusat memiliki tanggung jawab untuk membuat

keputusan tentang arah pengelolaan limbah untuk suatu wilayah dan dalam

Page 76: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

69

melakukan itu keputusan tersebut akan mempengaruhi berbagai macam orang

(Hokkanen dan Salminen 1997). Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan yang

fleksibel, berdasarkan bukti (Williams 2015) (Varzinskas et al. 2012) adalah penting

yang mempertimbangkan risiko dan manfaat yang terkait dengan pengelolaan limbah.

Ini karena kegiatan operasional sangat berbeda dari sistem ke sistem dan lokasi ke

lokasi; struktur legislatif dan kebijakan bersifat dinamis dan teratur berkembang; dan,

pertimbangan ekonomi tidak bisa lebih didahulukan daripada efek sosial dan

lingkungan (Wilson et al. 2001).

Minicardi et al. (2008) menyoroti peran penting pembuat keputusan. Lebih

lanjut, penulis menyatakan bahwa seringkali pengambil keputusan bukanlah seorang

yang ahli dalam bidang proses keputusan. Dengan demikian, untuk mengatasi ini,

proses keputusan harus sederhana untuk dipahami dan opsi harus diuraikan secara

seimbang, konsisten dan cara transparan. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan

pembuat keputusan dengan ringkasan variabel kunci dan asumsi yang dibuat untuk

mencapai keputusan atau hasil akhir, bersama dengan pedoman yang jelas tentang

cara terbaik untuk memahami alasan dan implikasi dari keputusan tertentu.

Varzinskas et al. (2012) telah lebih jauh menyatakan pentingnya menyediakan

pembuat keputusan dengan nilai teoritis dan spesifik mengenai pemodelan skenario

limbah yang berbeda. Lebih lanjut, Varzinskas et al. (2012) melakukan ini melalui

mekanisme alokasi sumber daya yang memodelkan berbagai skenario untuk

memenuhi serangkaian tujuan tertentu. Ini dicapai melalui kombinasi pemodelan

keuangan dan lingkungan; presentasi hasil disertai dengan diskusi mengenai atribut

spesifik teoritis dan teknologi dari setiap skenario dalam kaitannya dengan tujuan

yang ingin dicapai.

Simôes-Gomes et al. (2008) mengemukakan bahwa untuk pengelolaan limbah

ada empat pembuat keputusan. Pertama adalah pemerintah, yang keputusannya sangat

dipengaruhi (di Inggris) oleh Uni Eropa dan tindakan perlindungan lingkungan yang

diberikan oleh Badan Lingkungan Hidup. Mereka harus memastikan bahwa manfaat

tercapai untuk masyarakat dan lingkungan. Kedua, mereka menyarankan bahwa

pimpinan harus memastikan efektivitas biaya operasi mengingat adanya pembatasan

Page 77: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

70

potensial yang timbul dari perubahan peraturan lingkungan. Ketiga adalah pelanggan,

yang pengambilan keputusannya telah disarankan untuk, dalam contoh pertama,

berdasarkan opsi biaya terendah, meskipun dalam beberapa tahun terakhir dengan

peningkatan kesadaran lingkungan, ini berubah. Akhirnya, Simôes-Gomes et al.

(2008) menyarankan integrasi sebagai pengambil keputusan keempat, di mana sudut

pandang yang seimbang dicapai melalui konsultasi dengan semua pengambil

keputusan lainnya. Dengan pemikiran ini, diperlukan metodologi yang cukup

menggabungkan dampak biaya, sosial, atau lingkungan, bersama dengan preferensi

para pembuat keputusan.

Kompleksitas sistem pengelolaan limbah padat dihasilkan dari banyaknya

kemungkinan kombinasi opsi, atau alternatif. Namun, ketika metode pengambilan

keputusan seperti AHP, digunakan untuk mempertimbangkan opsi pengelolaan

limbah, model yang diidentifikasi dalam literatur hanya memperhitungkan limbah

yang pernah dihasilkan (Morrissey dan Browne 2004). Pencegahan limbah,

minimisasi limbah, atau desain produk untuk lingkungan, yang akan menghilangkan

produksi bahan yang tidak dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau terurai secara

alami umumnya tidak dipertimbangkan (Morrissey dan Browne 2004). Berbeda

dengan pendekatan keberlanjutan pengelolaan limbah non-berbahaya, hanya sedikit

yang dapat dicapai untuk mencegah atau meminimalkan limbah padat. Dalam konteks

institusi perguruan tinggi khususnya di Universitas Pancasila, fokus saat ini pada

pengelolaan limbah yang dihasilkan dalam hal aspek teknologi, regulasi, daur ulang

dan sosial.

Dalam perencanaan pengelolaan limbah padat, pengambilan keputusan

merupakan salah satu proses kunci. Dalam penelitian ini, metodologi AHP (analytical

hierarchy process) diadopsi sebagai alat pengambilan keputusan. AHP adalah alat

analisis keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1977.

Metode ini merupakan salah satu pendekatan pengambilan keputusan multi-kriteria

dan secara luas digunakan untuk kegiatan evaluasi multi kriteria. Selain itu, metode

ini dapat mengkonversi penilaian subjektif dari kepentingan relatif menjadi satu set

bobot (Olson 1995). Adapun proses utama AHP antara lain:

Page 78: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

71

a. Membangun struktur hierarki antara tingkat atas (tujuan komprehensif) dan

level bawah (alternatif).

b. Membangun pasangan matriks perbandingan berpasangan dengan skala

perbandingan berpasangan antara faktor-faktor, dan

c. Menghitung bobot faktor dengan menghitung vektor eigen dari matriks

perbandingan berpasangan dan sintesis bobot.

Metode pengambilan keputusan berbagai kriteria telah berkembang pesat

selama dekade terakhir. Hal ini melibatkan pendekatan yang berbeda untuk

membantu pilihan antara alternatif diskrit. Selain itu, metode ini berguna dalam

proses mempersempit daftar panjang alternatif. Di antara mereka, AHP diusulkan

sebagai salah satu pendekatan untuk memecahkan masalah multi kriteria dan

alternatif. Metode AHP telah banyak diterapkan (Mirarda 2001, Feng 2004). AHP

merupakan suatu metode evaluasi multiobjektif sederhana dan layak yang digunakan

untuk kegiatan evaluasi multi kriteria. Metode ini dirancang untuk evaluasi subyektif

dari serangkaian alternatif berdasarkan beberapa kriteria yang diatur dalam struktur

hirarkis. Ini memberikan cara yang efektif untuk mengukur data di bidang teknik.

Pada tingkat yang lebih tinggi, kriteria dievaluasi, dan pada tingkat yang lebih rendah,

alternatif dievaluasi oleh setiap kriteria. Pembuat keputusan melakukan penilaiannya

secara terpisah untuk setiap level secara subyektif. Dengan menciptakan sepasang

matriks perbandingan yang bijaksana, evaluasi subjektifnya untuk setiap pasang

barang kemudian dinilai.

Metode AHP memberikan struktur dan dasar matematika di mana banyak

domain masalah dapat dimodelkan. Hal ini dapat membantu orang mengatasi intuitif,

rasional dan irasional dengan ketidakpastian dalam situasi yang kompleks. Lebih

lanjut, metode AHP dapat digunakan untuk memprediksi hasil yang mungkin,

merencanakan proyeksi dan masa depan yang diinginkan, memfasilitasi pengambilan

keputusan kelompok, melakukan kontrol terhadap perubahan dalam sistem

pengambilan keputusan, mengalokasikan sumber daya, memilih alternatif, dan

melakukan perbandingan biaya/manfaat (Mirarda 2001). AHP juga memiliki

kelebihan karena tidak memerlukan variabel keputusan eksplisit, fungsi obyektif atau

Page 79: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

72

fungsi utilitas. Secara khusus, itu sangat cocok untuk masalah keputusan dengan

alternatif, kriteria, dan keputusan terbatas (Debeljak et al. 1986).

4.4.1. Struktur Hirarki Pengelolaan Limbah Padat

Hirarki dapat dideskripsikan sebagai organisasi orang atau benda yang diatur

satu dalam satu grup atas yang lain sesuai dengan kelas, dan urutan. Ini mengacu

pada pemecahan masalah kompleks menjadi potongan-potongan yang dapat diatasi

dengan cara yang tidak terlalu rumit. Seperti yang dijelaskan bahwa pembuat

keputusan dapat fokus pada seperangkat keputusan yang lebih sederhana. Metodologi

AHP mensyaratkan bahwa elemen-elemen dikelompokkan ke dalam kelompok-

kelompok yang homogen sehingga mereka dapat secara berarti dibandingkan dengan

unsur-unsur lain di tingkat tersebut. Juga diperlukan bahwa setiap elemen dalam satu

tingkat harus mampu terkait dengan beberapa elemen di tingkat yang lebih tinggi

berikutnya. Dalam AHP level pertama adalah tujuan keseluruhan pembuat keputusan.

Tingkat kedua terdiri dari faktor-faktor atau kriteria-kriteria yang berkontribusi pada

tujuan. Pada tingkat kedua ini dapat ditambahkan sub faktor atau sub kriteria untuk

memperjelas kriteria di atasnya. Sedangkan tingkat ketiga menunjukkan alternatif

yang tersedia sebagai strategi pilihan keputusannya. Mengingat faktor-faktor di

tingkat kedua berhubungan dengan fase siklus hidup tertentu, hierarki individu

dibangun untuk setiap fase secara terpisah pada keseluruhan sistem. Melalui hierarki,

pembuat keputusan dapat dimungkinkan untuk memilih alternatif yang lebih disukai

untuk setiap fase siklus hidup.

Hirarki keputusan digunakan sebagai kerangka untuk proses pengambilan

keputusan. Pertama, susunan hirarki disajikan kepada para pengambil keputusan. Ini

dilakukan untuk memastikan bahwa keputusan dapat dibuat dan mengetahui

hubungan masing-masing faktor atau kriteria. Kedua, para pengambil keputusan

diminta untuk melengkapi tiga fase dari Proses Analisis Hirarki (AHP), dengan kata

lain; memberikan bobot untuk tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif. Proses

penentuan faktor-faktor atau kriteria, sub faktor dan alternatif dapat diperoleh dengan

berbagai cara seperti melalui proses brainstorming, diskusi kelompok maupun

Page 80: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

73

berdasarkan kajian literatur dari penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini

menggunakan kajian literatur untuk memperoleh faktor-faktor atau kriteria-kriteria,

sub kriteria dan alternatifnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penentuan

strategi pengelolaan limbah padat di institusi perguruan tinggi dapat mengadopsi pada

penelitian sebelumnya yang dianggap memiliki kesamaan sebagai salah satu institusi

perguruan tinggi.

Berdasarkan struktur hirarki tersebut selanjutnya dilakukan penilaian

perbandingan berpasangan oleh masing-masing responden, dimana jumlah responden

yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang. Adapun hasil dari penilaian

perbandingan berpasangan untuk kriteria dapat dilihat pada Gambar 4.13.

Berdasarkan Gambar 4.13 dapat diperoleh informasi bahwa struktur hirarki

strategi pengelolaan limbah padat di FTUP memiliki 4 level antara lain Goal (level

0), Kriteria (level 1), Sub-kriteria (level 2) dan Alternatif (level 3). Lebih lanjut,

gambar tersebut juga menjelaskan pada bahwa terdapat empat kriteria antara lain

teknologi, regulasi, daur ulang dan social. Pada masing-masing kriteria memiliki sub

kriteria seperti pada kriteria teknologi terdiri dari belum ramah lingkungan, jumlah

teknologi, keamanan alat, infrastruktur rendah dan tempat pembuangan. Sementara

itu, pada kriteria regulasi terdiri dari sub-kriteria kepatuhan pada peraturan,

koordinasi antar lembaga, dukungan pimpinan, konflik kebijakan dan pengelolaan

data. Pada sub-kriteria daur ulang terdiri dari sub-kriteria skill dan kompetensi,

fasilitas daur ulang, metode kerja dan lokasi daur ulang. Lebih lanjut, pada sub-

kriteria social terdiri dari persepsi dan partisipasi warga kampus, konflik social dan

kerentanan wilayah. Berdasarkan struktur hirarki tersebut maka dilakukan analisis

preferensi dari masing-masing responden yang ditampilkan pada Tabel 4.5 berikut

ini:

Page 81: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

74

Gambar 4.13 Struktur hirarki pengambilan keputusan strategi pengelolaan

limbah padat

Inovasi

teknologi

Pengembangan

regulasi

Peran serta

pihak swasta

Sosialisasi

pada warga

kampus

Teknologi

Belum ramah

lingkungan

Keamanan alat

Infrastruktur

fisik rendah

Jumlah

teknologi

Tempat

pembuangan

Regulasi

Kepatuhan

peraturan

Koordinasi

lembaga

Dukungan

pimpinan

Konflik

kebijakan

Pengelolaan

data

Daur ulang

Skill dan

kompetensi

Fasilitas daur

ulang

Metode kerja

Lokasi daur

ulang

Persepsi dan

partisipasi

Konflik sosial

Kerentanan

daerah

Sosial

Strategi pengelolaan

limbah padat

Level 0 Level 1 Level 2 Level 3

Page 82: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

75

Tabel 4.5 Hasil perbandingan berpasangan pada Kriteria

Kriteria Teknologi Regulasi Sosial Daur

Ulang

Σ Bobot CR Rangking

Teknologi 0.5251 0.6352 0.4429 0.3065 1.9097 0.4774

0.076

1

Regulasi 0.1903 0.2302 0.3735 0.3429 1.1370 0.2843 2

Sosial 0.1796 0.0934 0.1515 0.2892 0.7136 0.1784 3

Daur Ulang 0.1050 0.0412 0.0321 0.0613 0.2396 0.0599 4

Sumber: Pengolahan data

Gambar 4.14 Prioritas kriteria pengelolaan limbah padat di FTUP

Dari hasil perhitungan diperoleh informasi bahwa kriteria teknologi

merupakan pilihan dari para pakar dengan bobot terbesar yaitu 0.477 dan

menempatkan kriteria teknologi sebagai rangking pertama dalam pengelolaan limbah

padat di FTUP. Lebih lanjut, untuk kriteria regulasi diperoleh nilai bobot 0.284 dan

menjadi kriteria kedua. Sementara itu untuk ranking ketiga adalah sosial dengan

bobot 0.178. Selain itu, hasil penilaian perbandingan secara berpasangan dari

keempat kriteria tersebut juga telah memenuhi syarat dengan nilai konsistensi rasio

sebesar 0.076 dan hal ini telah memenuhi ketetapan nilai CR yang ditetapkan oleh

Saaty sebesar <0.1.

Selanjutnya, dilakukan penilaian perbandingan berpasangan pada sub-kriteria,

dimana dari hasil penilaian tersebut ditampilkan pada Tabel 4.6 di bawah.

Berdasarkan penilaian perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh ketiga

responden diperoleh informasi bahwa untuk sub-kriteria yang berada pada kriteria

teknologi diperoleh nilai tertinggi pada sub-kriteria persepsi dan partisipasi warga

0,477

0,284

0,178

0,060

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600

Teknologi

Regulasi

Sosial

Daur Ulang

Kriteria

Page 83: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

76

kampus dengan bobot sebesar 0.509 pada peringkat pertama. Selanjutnya diikuti oleh

sub-kriteria skill dan kompetensi pekerja pada posisi kedua dengan nilai 0.368.

Sementara itu untuk bobot sub-kriteria kepatuhan pada peraturan, teknologi belum

ramah lingkungan dan fasilitas daur ulang dengan bobot masing-masing 0.368; 0.314;

dan 0.277. Secara keseluruhan sub-kriteria menunjukkan bahwa penilaian

perbandingan secara berpasangan oleh para pakar menunjukkan konsistensi yang baik

dengan nilai antara 0.039 sampai dengan 0.062 dan telah memenuhi ketatapan nilai

CR <0.1 dari Saaty.

Tabel 4.6. Hasil Perbandingan Berpasangan Pada Sub-Kriteria

Sub-kriteria Jumlah Bobot CR Rangking

Teknologi belum ramah lingkungan 1.568 0.314

0.062

4

Keamanan dan keselamatan alat 1.140 0.228 8

Infrastruktur fisik dan Teknis 0.867 0.173 11

Jumlah Teknologi 0.845 0.169 12

Tempat pembuangan dan pengolahan 0.580 0.116 16

Kepatuhan peraturan 1.779 0.356

0.039

3

koordinasi antar lembaga 1.245 0.249 7

Dukungan pimpinan 0.742 0.148 14

Konflik kebijakan 0.729 0.146 15

Pengolaan data 0.506 0.101 17

Persepsi dan partisipasi warga kampus 1.528 0.509

0.011

1

Konflik social 0.816 0.272 6

Kerentanan daerah 0.655 0.218 9

Skill dan kompetensi 1.471 0.368

0.059

2

Fasilitas daur ulang 1.106 0.277 5

metode kerja 0.798 0.200 10

Lokasi daur ulang 0.624 0.156 13

Sumber: Pengolahan data

Page 84: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

77

Gambar 4.15 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar

terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam teknologi. Lebih lanjut, kriteria

teknologi terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, teknologi belum ramah

lingkungan, keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur fisik dan teknis, jumlah

teknologi dan tempat pembuangan dan pengolahan. Pada kriteria teknologi, sub-

kriteria yang menjadi perioritas utama adalah teknologi belum ramah lingkungan

dengan bobot 0,314. Secara garis besar sub-kriteria pada Teknologi telah memenuhi

kaidah Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.062

atau lebih kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi

para pakar telah konsisten.

Gambar 4.15 Prioritas Sub-Kriteria Teknologi Pada Pengelolaan

Limbah Padat Di FTUP

Gambar 4.16 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar

terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam regulasi. Lebih lanjut, kriteria

regulasi terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, pengelolaan data, konflik kebijakan,

dukungan pimpinan, koordinasi antar lembaga dan kepatuhan pada peraturan. Pada

kriteria regulasi, sub-kriteria yang menjadi perioritas utama adalah kepatuhan pada

peraturan dengan bobot 0,356. Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah

memenuhi kaidah Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar

sebesar 0.039 atau lebih kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa preferensi para pakar telah konsisten.

0,314

0,228

0,173

0,169

0,116

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350

Teknologi belum ramah lingkungan

Keamanan dan keselamatan alat

Infrastruktur fisik dan Teknis

Jumlah Teknologi

Tempat pembuangan dan pengolahan

Sub-kriteria Teknologi

Page 85: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

78

Gambar 4.16. Prioritas Sub-Kriteria Regulasi Pada Pengelolaan

Limbah Padat Di FTUP

Gambar 4.17 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar

terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam sosial. Lebih lanjut, kriteria sosial

terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, kerentanan daerah, konflik sosial dan

persepsi dan partisipasi warga kampus. Pada kriteria sosial, sub-kriteria yang menjadi

perioritas utama adalah persepsi dan partisipasi warga kampus dengan bobot 0,509.

Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah memenuhi kaidah Saaty dimana

nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.011 atau lebih kecil

daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi para pakar telah

konsisten.

Gambar 4.17 Prioritas sub-kriteria sosial pada pengelolaan limbah padat di FTUP

0,356

0,249

0,148

0,146

0,101

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400

Kepatuhan peraturan

koordinasi antar lembaga

Dukungan pimpinan

Konflik kebijakan

Pengolaan data

Sub-kriteria Regulasi

0,509

0,272

0,218

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600

Persepsi dan partisipasi warga kampus

Konflik sosial

Kerentanan daerah

Sub-kriteria Sosial

Page 86: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

79

Gambar 4.18. Prioritas Sub-Kriteria Daur Ulang Pada Pengelolaan

Limbah Padat Di FTUP

Gambar 4.18 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar

terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam daur ulang. Lebih lanjut, kriteria

daur ulang terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, lokasi daur ulang, metode kerja,

fasilitas daur ulang dan skill dan kompetensi pekerja. Pada kriteria daur ulang, sub-

kriteria yang menjadi perioritas utama adalah skill dan kompetensi pekerja dengan

bobot 0,509. Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah memenuhi kaidah

Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.011 atau lebih

kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi para pakar

telah konsisten.

Kemudian, setelah penentuan nilai kriteria dan sub-kriteria maka langkah

berikutnya adalah penentuan perbandingan berpasangan alternatif yang akan menjadi

program pengelolaan limbah padat di FTUP. Terdapat beberapa alternatif solusi yang

dapat dilakukan seperti inovasi teknologi daur ulang, pengembangan regulasi tentang

pengelolaan limbah padat, peran serta pihak swasta, sosialisasi pada warga kampus

dari pihak terkait.

0,368

0,277

0,200

0,156

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400

Skill dan kompetensi

Fasilitas daur ulang

metode kerja

Lokasi daur ulang

Sub-kriteria Daur ulang

Page 87: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

80

Tabel 4.7 Hasil Penilaian Perbandingan Berpasangan Pada Alternatif

No Alternatif Bobot Rangking

1 Inovasi teknologi daur ulang 0.429 1

2 Pengembangan regulasi tentang

pengelolaan limbah padat

0.230

2

3 Peran serta pihak swasta 0.223 3

4 sosialisasi pada warga kampus dari

pihak terkait

0.122 3

Sumber: Pengolahan data

Gambar 4.19. Prioritas Alternatif Pengelolaan Limbah Padat di FTUP

Pada bagian ini menyajikan evaluasi dari sistem pengelolaan limbah padat di

FTUP secara keseluruhan. Investigasi dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria-

kriteria kunci berikut: teknologi, regulasi atau kebijakan, sosial, dan daur ulang.

Strategi ini menjadi hal penting bahwa pengelolaan limbah padat di FTUP

disebabkan oleh potensi peningkatan risiko penurunan kualitas lingkungan dan

kesehatan manusia. Saat ini sejumlah besar limbah padat belum ditangani secara

optimal oleh kampus dan dalam prakteknya peranan beberapa karyawan

menunjukkan peranan yang lebih tinggi dalam hal pengelolaan limbah padat dari

aktivitas kampus. Akan tetapi, pelaksanaan yang terjadi masih menyisakan masalah

terutama terkait dengan potensi pencemaran lingkungan. Sehingga, ada kebutuhan

mendesak untuk menentukan strategi alternatif dalam upaya pengelolaan limbah

padat yang lebih ramah lingkungan.

0,429

0,23

0,219

0,122

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5

Inovasi teknologi proses daur ulang

Pengembangan regulasi tentang limbah padat

peran serta pihak swasta

sosialiasi pada warga dari pihak terkait

Prioritas Alternatif

Page 88: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

81

Tabel 4.7 di atas memberikan informasi terkait dengan alternatif solusi yang

dapat digunakan dalam pengelolaan limbah padat di FTUP. Dari hasil penilaian

perbandingan secara berpasangan oleh para pakar dan setelah dilakukan analisis maka

dapat diketahui bahwa alternatif inovasi teknologi proses daur ulang merupakan

alternatif dengan bobot terbaik yaitu sebesar 0.429 dan hal ini merupakan alternatif

ranking pertama yang dapat dilakukan. Sementara itu, pada urutan kedua yang dapat

dilakukan adalah pengembangan regulasi dengan bobot 0.230. selain itu, pada

alternatif yang memiliki bobot terendah adalah sosialisasi pada warga kampus dengan

bobot sebesar 0.122 dan peran serta pihak swasta yaitu sebesar 0.219.

Kebijakan pengelolaan limbah padat di FTUP dirumuskan dengan

memperhatikan kondisi dan potensi limbah yang terjadi saat ini, hasil analisis laju

timbulan limbah padat, analisis risiko dan pendapat pakar. Sistem perumusan

kebijakan dan strategi dapat dilakukan secara partisipatif. Kondisi saat ini di FTUP

yang belum optimal dalam pengelolaan limbah padat menunjukkan adanya beberapa

faktor risiko yang berpotensi menghasilkan risiko kegagalan yang tinggi pada

pengelolaan limbah padat tersebut. Hal ini beralasan karena dalam proses pengelolaan

limbah padat terdiri dari beberapa faktor risiko kegagalan seperti teknologi, sosial,

regulasi atau hukum, dan daur ulang yang memiliki potensi penyebab risiko

kegagalan proses pengelolaan limbah. Sehingga, pada akhirnya akan dapat

mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia.

Permasalahan sampah padat belum terakomodir dengan baik akibat belum

adanya regulasi atau kebijakan dari pimpinan FTUP yang mengatur mengenai

pengelolaan sampah. Ditemukan bahwa sampah tidak benar-benar mencerminkan

bahwa sampah tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Hal ini menjadi

tantangan dalam pengembangan instrumen kebijakan pengelolaan limbah padat

dalam kaitannya dengan perlindungan lingkungan hidup.

Page 89: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

82

Gambar 4.19 Tantangan Pengembangan Instrumen Kebijakan Pengelolaan

Limbah Padat

Gambar 4.19 menjelaskan tentang tantangan yang harus dihadapi oleh

pimpinan di FTUP dalam rangka pengembangan instrumen kebijakan pengelolaan

limbah padat. Hal ini mengingat bahwa pengelolaan limbah padat merupakan

masalah yang penuh dengan kompleksitas dan dinamika karena banyaknya

kepentingan di dalamnya. Kepentingan yang ada dalam pengelolaan limbah padat

dipengaruhi oleh aktor-aktor seperti petugas kebersihan, karyawan, pemilik kantin,

dosen, mahasiswa dan lain-lain. Hal ini menjadi semakin kompleks dengan potensi

risiko yang dapat muncul dari aktivitas pengelolaan limbah padat seperti pencemaran

udara, pencemaran air, tanah, kerusakan lahan, keanekaragaman hayati dan lain-lain.

Sehingga. permasalahan limbah padat memang masih jauh dari permasalahan nyata

yang ada namun mencegah terjadinya permasalahan yang lebih serius di masa depan

akan memberikan manfaat bagi pimpinan FTUP sendiri maupun Universitas

Pancasila secara umum. Oleh karena itu kebijakan kaitannya dengan regulasi

pengelolaan sampah padat bisa diinisiasi oleh pimpinan FTUP.

Peningkatan

risiko yang

kompleksitas dan

dinamis

Masyarakat

LSM

Antar

Kementerian

Antar Lembaga

Lembaga

Internasional

Media

Auditor

Dunia Industri

Aktor Kunci

Pencemaran

udara

Pencemaran air

Pencemaran

tanah

Kerusakan lahan

Perubahan iklim

Pencemaran

lintas batas

Keanekaragama

n hayati

Potensi risiko

Page 90: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

83

Gambar 4.19. Elemen Kebijakan Pengelolaan Limbah Padat

Langkah tepat dalam kebijakan pengelolaan limbah padat secara berkelanjutan

sepanjang siklus hidup produk dapat dikembangkan dengan mengacu pada ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Gambar 4.19 menginformasikan tentang prosedur

pengelolaan limbah padat seperti upaya minimalisasi limbah dari sumber,

pengumpulan dan penyimpanan serta pembuangan akhir, penguatan kepedulian

hukum, kesadaran dan partisipasi masyarakat, implementasi dan koordinasi antar

lembaga, pemantauan dan evaluasi serta pengelolaan data, mobilisasi sumberdaya

yang dimiliki.

Aktivitas minimasi limbah dapat ditingkatkan melalui pertimbangan kebijakan

oleh pimpinan di FTUP atau masing-masing fakultas di Universitas Pancasila.

Misalnya dengan cara pemilik kantin yang menghasilkan sampah dapat mendaftarkan

jenis sampah yang dihasilkan agar dapat dilakukan pengawasan sejak dari proses

produksinya. Dengan demikian, tiap proses dan produk yang dihasilkan dapat

diketahui tingkat risiko tertinggi sampai ke yang paling rendah. Pimpinan di FTUP

atau masing-masing fakultas di Universitas Pancasila dapat menetapkan sebuah

Kebijakan

Pengelolaan

limbah padat

Kegiatan ekspor

dan impor Minimasi limbah

dari sumber

Monitoring, evaluasi

dan pengelolaan data

Mobilisasi

sumberdaya

Pengelolaan

limbah padat

Mekanisme

koordinasi institusi

Peningkatan kepedulian

dan partisipasi

Penguatan

kepedulian hukum

Page 91: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

84

standarisasi dari pengelolaan limbah padat. Standarisasi dapat dilakukan dengan

menampilkan informasi yang relevan dari setiap sampah padat yang dihasilkannya.

Kebijakan yang terkait dengan proses pengelolaan seperti pengumpulan,

penyimpanan, daur ulang dan pembuangan limbah padat perlu ditingkatkan lagi. Hal

ini dapat ditempuh dengan mengintegrasikan secara bersama antara metode

pengumpulan oleh petugas kebersihan dan staff OB pada masing-masing lantai atau

program studi. Hal ini mengingat efektifitas jangkauan pelayanan untuk menangani

limbah padat harus dapat bersinggungan secara langsung dengan sumber sampah.

Sebagai contoh, titik pengumpulan (drop box) limbah padat dapat diletakkan di

tingkat masing-masing ruangan untuk memudahkan petugas kebersihan dapat

mengumpulkan sampah padat. Pemilihan dan penempatan drop box juga harus

mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang ada.

Menciptakan dan meningkatkan kesadaran terkait dengan kerangka kebijakan

pada semua aktor dapat mendorong terjadinya peningkatan mekanisme pengaturan

pengelolaan limbah padat yang lebih efektif. Demikian pula halnya dengan

mekanisme sanksi terhadap para pelaku yang melanggar peraturan harus

mendapatkan efek jera. Beberapa tindakan dapat dijadikan menjadi alternatif solusi

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan aktor yang terkait dengan proses

pengelolaan limbah padat. Pada para pelaku usaha kantin pelaksanaan kesadaran akan

kebijakan juga dapat dilakukan sosialisasi agar dapat menekan terjadinya

pelanggaran. Program-program yang dapat ditawarkan antara lain memberi pelatihan

secara berkala bagi petugas kebersihan, pembuatan regulasi yang mengatur secara

ketat proses pengelolaan dan pengolahan limbah padat yang mengacu pada prinsip 3R

(Reduce, Reuse dan Recycling). Di samping itu, pimpinan FTUP dapat

mensosialisasikan program-program penyadaran hukum ke warga kampus terkait

dengan pengelolaan limbah padat.

Masih rendahnya keterlibatan antar seluruh warga kampus, dan masih

rendahnya koordinasi menjadi permasalahan tersendiri dalam pengelolaan limbah

padat. Belum ada sistem yang dapat mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan

limbah padat. Sehingga, keberlanjutan kebijakan pada proses pengelolaan limbah

Page 92: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

85

padat harus didukung dengan adanya perubahan yang mendasar pada mekanisme

koordinasi antar lembaga baik tingkat fakultas maupun program studi. Selain itu,

perlu diciptakan suatu ruang koordinasi tersendiri untuk meningkatkan keterlibatan

semua program studi dan bahkan jika memungkinkan dapat memasukkan pihak

swasta dalam program manajemen limbah padat di FTUP.

Kebijakan terhadap monitoring dan evaluasi pada prosedur pengelolaan

limbah padat yang masih sangat lemah baik juga perlu mendapatkan perhatian dari

pengambil kebijakan. Kebijakan yang ada pada pengelolaan limbah padat

menunjukkan kebutuhan untuk memantau dan mengevaluasi proses pengelolaan

limbah secara teratur. Kebijakan yang sudah ada perlu membuat atau

mengembangkan sistem atau lembaga organisasi yang memantau dan mengevaluasi

kinerja proses manajemen limbah padat. Melalui sistem informasi dapat memberikan

informasi terkait dengan aktivitas pengelolaan seperti organisasi atau lembaga

penanggung jawab, jenis limbah yang dikelola, kapasitas limbah yang dikelola dan

lain-lain. Dengan demikian setiap proses dalam pengelolaan limbah padat dapat

dimonitor dan dievaluasi prosedurnya.

Kebijakan terkait dengan mobilisasi belum ada mengingat pengelolaan limbah

padat merupakan hal yang masih baru di FTUP. Pengelolaan limbah padat

membutuhkan sumber daya seperti manusia, energi, dan finansial. Tanpa kehadiran

sumberdaya tersebut potensi risiko kegagalan pengelolaan akan pasti terjadi. Dengan

demikian perlu adanya kebijakan yang mengatur dan mengelola tentang mobilisasi

sumberdaya. Hal ini dapat dilakukan dengan bersinergi antara para aktor seperti

pimpinan universitas, fakultas, program studi, mahasiswa, pemilik kantin, dosen dan

mahasiswa.

4.5. Model Manajemen Faktor-Faktor Risiko yang Direkomendasikan Menjadi

Strategi Pengelolaan Limbah Padat yang Berkelanjutan.

Pada dasamya pemodelan dengan system dynamics memerlukan data

kuantitatif untuk melakukan simulasi dengan komputer. Namun tidak semua

fenomena, terutama fenomena sosial, dapat dikenali melalui pendekatan kuantitatif.

Page 93: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

86

Wolstenholme (1990), mengusulkan untuk mengombinasikan pendekatan kuantitatif

dan pendekatan kualitatif untuk menyusun pemodelan dengan system dynamics

Kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan secara harmonis dan saling mengkaitkan

ide-ide kualitatif dengan data kuantitatif, sehingga informasi dapat dikembangkan

secara lebih luas dan lebih komprehensif.

Penggunaan metode kualitatif dalam pemodelan system dynamics juga dapat

menginterpretasikan analisis data kuantitatif secara lebih jelas dan menyeluruh

mengenai kinerja sistem, mempeijelas struktur permasalahan, mengklarifikasi dan

melakukan pengecekan (triangulasi) data primer dan skunder. Teknik pendekatan

kualitatif yang dapat digunakan dalam pemodelan.

Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan dengan studi kasus terhadap

manajemen risiko pengelolaan limbah padat. Pemilihan metode studi kasus ini

dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif mengenai latar belakang masalah

keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi

faktor-faktor tertentu yang bersifat apa adanya (given). Dengan awal penelitian

dengan studi kasus, maka akan didapat pemahaman mengenai kondisi eksisting

struktur manajemen risiko pengelolaan limbah padata serta memberikan gambaran

luas serta mendalam mengenai hal tersebut termasuk penjelasan mengenai unsur-

unsur serta pola keterkaitan antar unsur-unsur tersebut.

Selanjutnya penelitian ini ditujukan kepada pembuatan model manajemen

risiko pengelolaan limbah padata dengan menggunakan metode system dynamics.

Konstruksi struktur dan perilaku model dilakukan dengan menggunakan program

software Powersim Constructor. Kemudian dilakukan simulasi komputer terhadap

model tersebut untuk mempelajari pcrilaku dinamis dari model tcrscbut. Hasil dari

simulasi ini akan digunakan untuk membandingkan struktur serta perilaku model

dengan struktur dan perilaku sistem sebenarnya. Jika model yang didapat telah

dianggap dapat mewakili struktur yang teijadi pada dunia nyatanya, maka selanjutnya

akan model tersebut dapat digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan yang

tepat bagi pengendalian limbah padata yang diimplementasikan ke dalam model

dengan menambahkan unsur-unsur dan pola keterkaitan antar unsur yang baru ke

Page 94: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

87

dalam model sebelurnnya dan kemudian mensimulasikan kembali model tersebut dan

dari hasil simulasi dapat dipahami implikasi dari kebijakan yang telah diambil.

Model yang akan dibangun dalam penelitian ini yaitu model manajemen risiko

pengelolaan limbah padata yang terdiri atas model system dynamics yang

komprehensif yang terdiri atas 5 sub model yaitu:

a. Sub model risiko teknologi

b. Sub model risiko sosial

c. Sub model risiko daur ulang

d. Sub model regulasi atau hukum

e. Sub model laju timbulan sampah

Masing-masing sub-model tersebut memerlukan data dan mempunyai dasar

perhitungan yang berbeda. Secara umum, dasar perhitungan pembuatan model dalam

penelitian menggunakan data pembahasan sebelumnya yaitu analisis risiko dengan

menggunakan metode Failure Mode effect Analysis (FMEA) dan analisis strategi

dengan menerapkan metode AHP. Untuk memudahkan memahami model yang akan

dibangun maka sebelumnya dibuat causal loop diagram model dari manajemen risiko

kegagalan pengelolaan limbah padat seperti gambar di bawah ini.

Page 95: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

88

Gambar 4.20. Causal Loop Model Manajemen Risiko Pengelolaan Limbah Padat

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa kegagalan proses

pengelolaan limbah padat dipengaruhi oleh beberapa sub-faktor seperti risiko daur

ulang, total volume sampah organik dan total volume sampah organik. Pada sub

model risiko daur ulang dpat diketahui terdapat beberapa variabel yang memberikan

kontribusi seperti risiko sosial dan risiko teknologi. Risiko teknologi ini sangat

ditentukan oleh variabel kebijakan yang diberlakukan di FTUP. Selain itu variabel

kebijakan juga memberikan kontribusi pengaruhnya pada variabel sosial. Pengaruh

Page 96: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

89

yang dimaksudkan disini dapat berupa peningkatan maupun penurunan nilai pada

variabel-variabelnya.

Selanjutnya pada total laju timbulan limbah padat organik yang akan

memberikan pengaruh pada laju timbulan limbah padat akan dipengaruhi oleh jumlah

sampah padat yang dihasilkan baik dari taman, kantin dan sampah makanan. Variabel

sampah padat ini dipengaruhi oleh jumlah mahasiswa di fakultas teknik dan jumlah

dosen atau staf di fakultas teknik. Pada variabel mahasiswa juga dipengaruhi oleh laju

pertumbuhan mahasiswa yang masuk ke fakultas teknik Universitas Pancasila.

Berdasarkan hal tersebut selanjutnya dibuat stock flow diagram (SFD dan

model yang dihasilkan pada masing-masing sub-model. Berikut adalah hasil luaran

dari sub model laju timbulan sampah yang ditampilkan dalam Gambar 4.21.

Gambar 4.21. Sub Model Laju Timbulan Sampah

Dari hasil pengolahan data diperoleh gambaran dari sub-model laju timbulan

sampah pada Gambar 21. Selanjutnya, gambar tersebut juga memberikan informasi

bahwa model laju timbulan sampah dipengaruhi oleh volume sampah yang masuk

seperti organik dan anorganik. Pada elemen sampah organic dipengaruhi oleh sampah

makanan yang berasal dari kantin atau gedung fakultas teknik dan sampah daun dari

taman di depan gedung FTUP. Sementara itu, untuk sampah anorganik dibentuk oleh

elemen-elemen plastik, botol, kertas dan logam. Selain itu, dari model yang diperoleh

Page 97: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

90

dari hasil pengolahan juga menunjukkan bahwa laju timbulan sampah mengalami

kenaikan selama kurun 11 tahun (2019-2030).

Pada sub model risiko teknologi pada Gambar 4.22 diperoleh keterangan

bahwa sub model ini mengalami penurunan mulai tahun 2022. Hal ini disebabkan

karena adanya pengaruh yang signifikan dari sub elemen regulasi, keamanan alat,

jumlah alat, tempat pembuangan dan infrastruktur teknis. Berdasarkan hasil

pengolahan dapat diketahui bahwa risiko teknologi mengalami penurunan sampai

tahun 2030. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya penurunan risiko disebabkan

oleh pengaruh risiko regulasi yang memiliki hubungan dengan risiko teknologi.

Gambar 4.22. Sub Model Risiko Teknologi

Untuk sub model risiko sosial sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar

4.23 diperoleh keterangan bahwa risiko kegagalan mengalami kenaikan yang

signifikan selama kurun waktu 11 tahun. Nilai awal dari risiko sub model sosial

adalah sebesar 2002 yang mengalami kenaikan pada tahun 2030 sebesar 395307. Jika

ditinjau dari Gambar 4.20 dimana sub model sosial ini dibentuk oleh hubungan causal

dari beberapa elemen atau unsur seperti kerentanan wilayah, persepsi dan partisipasi

warga kampus serta konflik sosial. Secara struktur model yang dibangun dari sub

model ini mengikuti logika berpikir bahwa risiko akan mengalami kenaikan jika tidak

ada intervensi program sebagai pengendalinya.

Page 98: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

91

Gambar 4.23. Sub Model Risiko Sosial

Gambar 4.23. Sub Model Risiko Daur Ulang

Pada gambar 4.23 dapat diperoleh informasi terkait dengan sub model risiko

daur ulang. Dimana berdasarkan Gambar 4.20 sebelumnya dapat diketahui risiko daur

ulang merupakan hasil hubungan dari beberapa unsur seperti, skill dan kompetensi

pekerja, metode kerja, fasilitas kerja dan lokasi daur ulang. Berdasarkan hubungan

tersebut dapat diketahui bahwa risiko akan mengalami kenaikan sepanjang tidak ada

intervensi sebagai tindakan pencegahan. Lebih lanjut, dari hasil pengolahan dapat

diketahui bahwa nilai awal dari risiko ini adalah sebesar 2.242 dan dalam kurun

waktu 11 tahun menjadi 199.672.

Page 99: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

92

Gambar 4.24 Stock Flow Diagram Laju Timbulan Sampah FTUP

Page 100: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

93

Gambar 4.24 menjelaskan aliran stok terkait dengan potensi risiko

kegagalan pengelolaan limbah padat di Universitas Pancasila. Selanjutnya, dari

diagram tersebut dapat diketahui bahwa volume sampah organik dan anorganik

terdiri dari berbagai karakteristik seperti makanan, sampah dari taman, plastik,

kertas dan botol. Jumlah volume dari sampah yang akan dikirim ke Tempat

Pembuangan Sementara dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kemampuan

teknologi dalam proses daur ulang, adanya kebijakan atau regulasi yang telah ada

di Universitas Pancasila, dampak sosial yang berpotensi muncul dan aktivitas daur

ulang yang dilakukan oleh petugas kebersihan.

Selanjutnya berdasarkan model risiko pada masing-masing faktor, maka

selanjutnya dilakukan validasi model.

Proses validitasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang

dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup

aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten

dengan tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Menurut

Sargent (1998), atribut yang gunakan dalam proses validitasi sangat dipengaruhi

oleh kondisi sistem yang digunakan dalam model tersebut apakah dapat

diobservasi atau tidak dapat diobservasi.

Guna mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-

persyaratan yang telah ditetapkan perlu dilakukan validasi (Hartrisari, 2007)

terhadap model risiko pengelolaan limbah padat. Validasi struktur model

dilakukan untuk melihat sejauh mana kesesuaian struktur model dengan struktur

nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem,

dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur

dilakukan dengan dua bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji

kestabilan struktur. Sementara validasi kinerja model adalah aspek pelengkap

dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh

mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat

sebagai model ilmiah yang taat fakta.

Uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model

tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata

dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Uji kesesuaian

Page 101: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

94

struktur bertujuan untuk memberi keyakinan bahwa struktur model yang dibangun

valid secara ilmiah. Struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub model

teknologi menggambarkan interaksi antara komponen adalah lokasi daur ulang,

infrastruktur, teknologi manual, keamanan dan keselamatan alat serta jumlah

teknologi pada kondisi eksisting. Dengan demikian, hubungan antara peubah

teknologi manual dan keselamatan alat yang dihasilkan haruslah bersifat positif.

Demikian pula hubungan antara peubah lokasi daur ulang yang dipengaruhi oleh

infrastruktur juga bersifat positif. Dalam model yang dibangun antar peubah

tersebut haruslah dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan risiko kegagalan

pengelolaan limbah yang diakibatkan oleh sub faktor teknologi.

Struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub model sosial

menggambarkan interaksi antara komponen adalah persepsi dan partisipasi

masyarakat, konflik sosial dan kerentanan daerah pada kondisi eksisting. Dengan

demikian, hubungan antara peubah persepsi dan partisipasi masyarakat dan faktor

konflik sosial yang dihasilkan haruslah bersifat positif. Demikian pula hubungan

antara peubah konflik sosial yang saling mempengaruhi dengan faktor kerentanan

daerah juga bersifat positif. Dalam model yang dibangun antar peubah tersebut

dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan risiko kegagalan pengelolaan limbah yang

disebabkan oleh sub faktor sosial.

Sementara itu, pada struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub

model regulasi atau hukum menggambarkan interaksi antara komponen kepatuhan

hukum, pengelolaan data, konflik kebijakan dan dukungan pimpinan pada kondisi

eksisting. Hubungan secara langsung antara peubah kepatuhan hukum dan

pengelolaan menghasilkan nilai yang bersifat positif. Demikian pula hubungan

antara peubah kepatuhan hukum yang dipengaruhi oleh risiko kegagalan

dukungan politik dan konflik kebijakan juga bersifat positif. Dalam model yang

dibangun antar peubah tersebut haruslah dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan

risiko kegagalan pengelolaan limbah dari sudut pandang risiko regulasi atau

hukum.

Lebih lanjut, pada struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub

model daur ulang menggambarkan interaksi antara komponen metode kerja yang

dipengaruhi oleh skill dan kompetensi pekerja pada kondisi eksisting. Hubungan

Page 102: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

95

tersebut dapat menghasilkan nilai yang bersifat positif. Demikian pula hubungan

antara peubah lokasi daur ulang yang tidak tersentralisasi yang dipengaruhi oleh

risiko kegagalan fasilitas daur ulang yang tidak memadai juga bersifat positif.

Dalam model yang dibangun antar peubah tersebut haruslah dapat dibuktikan

kesesuaiannya dengan risiko kegagalan pengelolaan limbah dari sudut pandang

risiko daur ulang.

4.6.Penyusunan Skenario Pengendalian Risiko Kegagalan Pengelolaan

Limbah Padat

Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang

memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata yang ada di lapangan.

Skenario pengendalian risiko pengelolaan limbah padat dirancang berdasarkan

pada hasil analisis risiko dan analisis perumusan strategi pengelolaan. Analisis ini

dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan

dengan cara memperbaiki atau memberikan intervensi pada faktor-faktor risiko

yang berperan penting terhadap berbagai peningkatan potensi negatif atau risiko

yang akan terjadi di masa depan. Dari beberapa alternatif kebijakan, diambil

kebijakan terbaik dengan melihat perilaku model yang paling menguntungkan

dilihat dari sisi keberlanjutan pengelolaan risiko limbah padat di Universitas

Pancasila.

Skenario manajemen risiko pengelolaan limbah padat dibuat berdasarkan

perkiraan responden pakar mengenai kondisi faktor risiko di masa mendatang.

Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor penting tersebut di masa

mendatang, disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil

perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa datang, selanjutnya

dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar kondisi faktor tersebut. Dari

kombinasi antar kondisi faktor tersebut, didapatkan tiga skenario yang diberi

istilah dengan skenario (1) optimistik, (2) moderat, dan (3) eksisting (aktual).

Proses intervensi pada masing-masing skenario dilakukan dalam rangka

mengetahui seberapa besar perubahan yang akan terjadi pada faktor risiko. Proses

intervensi didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti skenario eksisting,

moderat dan optimis. Pada masing-masing pertimbangan tersebut memiliki

Page 103: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

96

perbedaan aktivitas. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan berdasarkan

alternatif yang diperoleh dari penyelesaian pada pembahasan di AHP, antara lain:

1. Kerjasama antar stakeholder, intervensi ini dapat dilakukan dengan

mendorong kerjasama dengan beberapa stakeholder internal maupun

eksternal yang terkait dengan pengelolaan limbah. Stakeholder internal

seperti kerjasama antar program studi, antar fakultas, lembaga

kemahasiswaan, masyarakat, pimpinan fakultas, pimpinan universitas dan

kantin. Sementara itu, kerjasama antar stakeholder eksternal dapat

bekerjasama dengan dinas lingkungan hidup atau industry-industri.

Kerjasama yang dilakukan dapat berupa:

a. Pendampingan melalui program peningkatan pengembangan kesadaran

pengelolaan limbah padat.

b. Kerjasama antar program studi dan fakultas dalam rangka peningkatan

inovasi proses daur ulang limbah padat

c. Kerjsaama dengan industri manufaktur untuk mengembangkan dan

meningkatkan konsep Extended Producer Responsibility

d. Kerjasama antar fakultas dan lembaga rektorat dalam rangka amandemen

regulasi dan proses monitoring pelaksanaan regulasi yang dihasilkan.

2. Pendataan potensi limbah, intervensi ini dapat dilakukan dalam rangka

memperoleh gambaran secara detail terkait dengan jumlah dan jenis limbah

padat yang dihasilkan oleh masing-masing fakultas. Beberapa aktivitas yang

dapat dilakukan antara lain:

a. Pengembangkan system basis data limbah padat baik secara manual pada

masing-masing fakultas.

b. Pemanfaatan teknologi padat melalui system informasi manajemen

limbah padat sebagai jawaban adanya tantangan Industry 4.0

3. Peningkatan pengembangan kesadaran masyarakat kampus, intervensi ini

dilakukan dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat di Universitas

Pancasila agar memiliki pengetahuan terkait limbah padat dan dampaknya.

Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:

a. Penyebaran informasi baik melalui media informasi cetak, padat dan

media sosial terkait tentang limbah padat dan dampaknya

Page 104: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

97

b. Melaksanakan penyuluhan secara berkala oleh dinas lingkungan hidup

pada masing-masing prodi atau fakultas

c. Memberikan pengetahuan bagi penyewa kantin terkait upaya-upaya

pengelolaan limbah padat yang lebih ramah lingkungan

4. Pengembangan inovasi teknologi, limbah padat memiliki karakteristik yang

berbeda secara fisik yang berarti bahwa pengolahan yang tepat untuk setiap

jenis limbah padat memerlukan teknologi yang sangat spesifik. Perbedaan

ukuran dan bobot membuat pengumpulan, pemisahan, dan transfer limbah

padat lebih sulit. Beberapa inovasi teknologi untuk pengolahan limbah padat

antara lain, composting, biodigester, maupun pembangkit listrik tenaga

sampah

5. Perbaikan regulasi dan monitoring, intervensi ini diarahkan untuk mengurangi

risiko negatif yang ditimbulkan dari pengelolaan limbah padat. Beberapa

aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:

a. Membuat regulasi yang tentang limbah padatdan audit lingkungan yang

mengacu pada peraturan nasional dalam pengelolaan limbah padat.

Regulasi ini akan mengatur terkait dengan system pengumpulan,

pewadahan, pemindahan dan proses daur ulang.

b. Peningkatan penegakan hukum melalui proses pengawasan, monitoring

dan evaluasi melalui kerjasama dengan stakeholder yang terkait.

Berdasarkan uraian terkait dengan aktivitas intervensi yang dapat

dilakukan dalam rangka mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari proses

pengelolaan limbah padat. Selanjutnya, terkait dengan skenario dari model yang

dibangun maka terdapat tiga skenario yang dapat dikembangkan yaitu aktual,

moderat dan optimis. Skenario aktual merupakan kondisi eksisting dari model

yang dibangun tanpa adanya intervensi suatu program. Skenario Moderat

merupakan perubahan terhadap model dengan memasukkan atau mengintervensi

model melalui program yang besaran nilainya hanya sebagian kecil saja (kurang

dari 50%). Skenario Optimis merupakan kondisi maksimal yang diinginkan

dengan memasukkan atau mengintervensi melalui suatu program dengan

Page 105: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

98

maksimal. Dengan mengambil beberapa asumsi maka dapat ditentukan nilai dari

masing-masing skenario tersebut yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 46. Besar Nilai Masing-Masing Skenario

No Intervensi Skenario Asumsi

Eksisting Moderat Optimis

1 Kerjasama

antar

stakeholder

0 0-40% 40-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi

pada kerjasama antar stakeholder ada 5

program. Skenario pesimis dianggap

tidak melakukan intervensi. Skenario

moderat melakukan intervensi dengan

melaksanakan 1-2 program. Skenario

optimis jika melakukan intervensi >2

program

2 Pendataan

potensi

limbah

0 50% 50-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi

pada pendataan potensi limbah ada 2

program. Skenario pesimis dianggap

tidak melakukan intervensi. Skenario

moderat melakukan intervensi dengan

melaksanakan 1 program. Skenario

optimis jika melakukan intervensi 2

program

3 Peningkatan

pengemban

gan

kesadaran

masyarakat

kampus

0 30% 30-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi

pada pendataan potensi limbah ada 3

program. Skenario pesimis dianggap

tidak melakukan intervensi. Skenario

moderat melakukan intervensi dengan

melaksanakan 1 program. Skenario

optimis jika melakukan intervensi

seluruh program

4 Pengemban

gan inovasi

teknologi

0 30% 30-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi

pada pendataan potensi limbah ada 3

program. Skenario pesimis dianggap

tidak melakukan intervensi. Skenario

moderat melakukan intervensi dengan

melaksanakan 1 program. Skenario

optimis jika melakukan intervensi

seluruh program

5

6 Perbaikan

regulasi dan

monitoring,

0 50% 50-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi

pada pendataan potensi limbah ada 2

program. Skenario pesimis dianggap

tidak melakukan intervensi. Skenario

moderat melakukan intervensi dengan

melaksanakan 1 program. Skenario

optimis jika melakukan intervensi 2

program

Page 106: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

99

4.6.1. Skenario Eksisting (Aktual)

Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi dari faktor-faktor dalam

pengelolaan limbah padat yang berpotensi mengalami kegagalan proses. Dengan

mengambil asumsi bahwa dalam skenario awal dengan tidak mengadakan

perubahan kebijakan (do nothing). Alternatif ini diambil sebagai pembanding

dalam pengambilan alternatif kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan

apabila kebijakan lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada

sekarang. Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter

yang dilakukan. Berikut hasil simulasi yang ditampilkan dalam skenario tanpa ada

intervensi perubahan kebijakan.

Berdasarkan hal di atas dapat diketahui simulasi model risiko faktor-faktor

pengelolaan limbah padat tanpa adanya intervensi atau perubahan. Lebih lanjut,

dapat diketahui pula bahwa seluruh faktor risiko diprediksi dalam 10 tahun akan

mengalami peningkatan risiko yang signifikan. Sebagai contoh dari faktor-faktor

yang telah diindentifikasikan dalam pengelolaan limbah padat seperti teknologi,

sosial, regulasi, dan daur ulang. Secara keseluruhan faktor-faktor tersebut dapat

disimpulkan bahwa terjadi potensi risiko kegagalan pengelolaan limbah padat

dimana nilai risiko yang mengalami peningkatan.

Gambar 4.25 Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada

Kondisi Eksisting (Actual)

Kegagalan proses pengelolaan limbah juga sangat dipengaruhi oleh

beberapa sub faktor yang terdapat dalam model tersebut. Hubungan masing-

19 20 21 22 23 24 25

0

50,000

100,000

Tim

bu

lan

sa

mp

ah

FT

UP

Time Timbulan sampah FTUP

Jan 1, 2019

Jan 1, 2020

Jan 1, 2021

Jan 1, 2022

Jan 1, 2023

Jan 1, 2024

Jan 1, 2025

Jan 1, 2026

0.00

1,179.56

5,060.12

13,308.68

27,592.24

49,577.80

80,932.36

123,322.92

Page 107: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

100

masing sub faktor terhadap peningkatan risiko pengelolaan limbah padat dapat

terjadi secara langsung dan tidak langsung. Sebagai contoh, risiko pengelolaan

limbah padat ini dipengaruhi secara langsung dari faktor daur ulang. Berdasarkan

hasil evaluasi risiko menunjukkan bahwa kegagalan proses daur ulang dapat

dikategorikan cukup tinggi sehingga perlu mendapatkan intervensi. Tingginya

nilai risiko pada daur ulang ini dipengaruhi oleh rendahnya faktor teknologi.

Ketiadaan faktor teknologi yang dapat melakukan proses daur ulang limbah padat

dapat memunculkan potensi risiko yang tinggi. Akan tetapi, pada faktor teknologi

sendiri juga tidak dapat berdiri sendiri karena ketidakhadiran faktor teknologi

dalam proses pengelolaan disebabkan oleh regulasi yang mengatur pemanfaatan

teknologi dan dukungan finansial. Hal ini secara teori terdapat kesesuaian bahwa

apabila faktor-faktor pengelolaan limbah padat masih dalam kondisi tidak

terkelola dengan baik maka akan berpotensi menimbulkan masalah bagi

lingkungan dan kesehatan manusia.

4.6.2. Skenario Moderat

Skenario moderat mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan

yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan

keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki saat ini. Skenario ini

dibangun berdasarkan faktor risiko dengan kondisi sebagai berikut tingginya nilai

risiko pada faktor risiko teknologi yang dipengaruhi oleh risiko kegagalan

regulasi.

Adapun nilai-nilai yang digunakan dalam variabel intervensi ini

merupakan hasil pembobotan pada sub bagian pembahasan sebelumnya di analisa

hirarki keputusan (AHP). Adapun model secara keseluruhan dari causal loop

diagram pada simulasi model risiko pengelolaan limbah padat dengan kondisi

moderat ditunjukkan pada Gambar 4.26.

Page 108: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

101

Gambar 4.26 Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada Kondisi Moderat

Pada Gambar di atas memberikan informasi simulasi model pertama risiko

pengelolaan limbah limbah padat memasukkan usulan perbaikan melalui

intervensi teknologi daur ulang sebesar 50% pada beberapa sub model risiko.

Sebagai contoh, untuk menekan atau menurunkan laju timbulan limbah padat

dapat dilakukan dengan menerapkan konsep 3R (Reduce, Reuse dan Recycling).

Penerapan 3R dapat dilakukan pada setiap program studi. Misalnya mengurangi

penggunaan kertas pada proses administrasi dapat mengurangi terjadinya limbah

padat kertas. Selain itu, pengurangan sampah plastik dari air kemasan botol dapat

dilakukan dengan mewajibkan mahasiswa maupun para tenaga pendidik untuk

membawa tumbler. Selain itu, teknologi daur ulang dapat menggunakan

composting pada limbah padat organic. Beberapa pilihan yang dapat dilakukan

antara lain, keranjang takakura, bio-digester dan lain-lain. Di negara maju telah

menerapkan pengembangan teknologi composting dalam rangka mendukung

Keterangan:

Intervensi Teknologi Auxilary Konstan Link

Page 109: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

102

pembangunan fasilitas daur ulang yang disesuaikan dengan kondisi suatu wilayah

atau negaranya. Adapun hasil dari intervensi regulasi pada model risiko kegagalan

pengelolaan limbah padat ditunjukkan pada Gambar 4.27 di bawah ini.

Gambar 4.27 Hasil Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat

Pada Kondisi Moderat

Gambar di atas menjelaskan intervensi teknologi daur ulang pada model

risiko pengelolaan limbah padat dalam kondisi moderat (> 50% dari program

pengurangan limbah). Lebih lanjut, pada grafik tersebut memberikan gambaran

adanya perbedaan garis, dimana garis yang berwarna merah adalah kondisi

dimana tidak ada intervensi atas pengelolaan limbah padat. Sedangkan yang

berwarna hijau merupakan garis yang menunjukkan intervensi yang dimasukkan

pada beberapa sub-model faktor-faktor risko. Lebih lanjut, kedua garis tersebut

menunjukkan bahwa risiko kegagalan pengelolaan limbah padat tetap mengalami

kenaikan. Akan tetapi, pada garis hijau menunjukkan adanya perbedaan nilai atas

model tersebut. Sebagai contoh, pada tabel tersebut mulai tahun 2020 sampai

tahun 2026 menunjukkan perubahan yang berarti pada volume limbah padat.

Time Timbulan sampah FTUP Copy of Timbulan sampah FTUP

Jan 1, 2019

Jan 1, 2020

Jan 1, 2021

Jan 1, 2022

Jan 1, 2023

Jan 1, 2024

Jan 1, 2025

Jan 1, 2026

0.00

1,179.56

5,060.12

13,308.68

27,592.24

49,577.80

80,932.36

123,322.92

0.00

328.06

1,771.33

4,046.68

7,204.42

11,628.24

18,035.23

27,475.87

Page 110: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

103

4.6.3. Skenario Optimistik

Selanjutnya, model ini kemudian ditingkatkan dengan menggunakan

skenario optimistik yaitu memasukkan intervensi lainnya tanpa menghilangkan

intervensi teknologi. Hal ini dapat diartikan bahwa selama pelaksanaan

pengelolaan limbah padat telah melaksanakan program 3R pada masing-masing

program studi. Dengan memasukkan intervensi lainnya diharapkan diperoleh

model yang lebih baik. Lebih lanjut, dengan memasukkan intervensi lanjutan

berupa perbaikan regulasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat kampus pada

pengelolaan limbah padat diharapkan didapatkan nilai penurunan risiko kegagalan

yang lebih signifikan. Adapun gambar SFD dari intervensi yang baru ditampilkan

pada Gambar 4.28 berikut ini:

Gambar 4.28. Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada Kondisi Optimis

Keterangan:

Intervensi Teknologi Auxilary Konstan Link

Regulasi Peningkatan kesadaran

Page 111: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

104

Gambar merupakan simulasi model risiko pengelolaan limbah dengan

memasukkan beberapa intervensi seperti regulasi atau hukum. Intervensi

perbaikan regulasi dimasukkan pada sub model faktor risiko sosial untuk

mengurangi risiko kerentanan wilayah. Selain itu, intervensi regulasi juga

dimasukkan ke sub model daur ulang dan sub model regulasi. Secara konseptual

hal ini memungkinkan dilakukan mengingat aktivitas pengelolaan limbah padat

belum berjalan secara optimal.

Gambar 4.29. Hasil Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat

Pada Kondisi Optimis

Gambar 4.29 menjelaskan beberapa intervensi seperti inovasi teknologi,

regulasi dan peningkatan kesadaran masyarakat kampus pada model risiko

pengelolaan limbah padat. Gambar stock flow diagram menghasilkan gambaran

simulasi model pengelolaan limbah padat pada kondisi optimis. Lebih lanjut, pada

grafik tersebut memberikan gambaran adanya perbedaan garis, dimana garis yang

19 20 21 22 23 24 25

0

50,000

100,000

Timbulan sampah FTUP

Copy of Timbulan sampah FTUP

Time Timbulan sampah FTUP Copy of Timbulan sampah FTUP

Jan 1, 2019

Jan 1, 2020

Jan 1, 2021

Jan 1, 2022

Jan 1, 2023

Jan 1, 2024

Jan 1, 2025

Jan 1, 2026

0.00

1,179.56

5,060.12

13,308.68

27,592.24

49,577.80

80,932.36

123,322.92

0.00

-156.29

709.52

2,360.22

4,892.00

8,734.47

14,650.60

23,736.79

Page 112: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

105

berwarna merah adalah kondisi dimana tidak ada intervensi atas pengelolaan

limbah padat. Sedangkan yang berwarna merah merupakan garis yang

menunjukkan intervensi yang dimasukkan pada beberapa sub-model faktor-faktor

risko. Lebih lanjut, kedua garis tersebut menunjukkan bahwa risiko pengelolaan

limbah padat tetap mengalami kenaikan. Akan tetapi, pada garis merah

menunjukkan adanya perbedaan nilai atas model tersebut. Dengan demikian

berdasarkan hasil simulasi ini memberikan gambaran bahwa intervensi optimistic

dapat menurunkan risiko kegagalan proses pengelolaan limbah padat.

4.6.4. Model Konseptual

Kebijakan publik merupakan kebutuhan setiap negara, khususnya dalam

konteks pemerintahan yang dapat mendorong atau menekan aktivitas masyarakat

pada satu negara. Kebijakan publik dibuat oleh organisasi publik (pemerintah),

sehingga pemerintah sebagai pengambil keputusan dapat mengarahkan

masyarakat mencapai tujuan publik tertentu (Dunn 2001). Model kebijakan publik

tertinggi di daerah berupa peraturan daerah. Peran setiap negara/daerah

(pemerintah pusat/daerah) semakin penting dalam rangka membangun daya saing

global bagi negara atau daerahnya. Dalam pencapaiannya sangat tergantung pada

kebijakan publik yang ditetapkan (Miraza 2005).

Kebijakan publik dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi

terhadap isu atau masalah publik. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah

(Suharto 2007):

1) Intensional atau memiliki tujuan, yaitu pencapaian tujuan pemerintah

melalui penerapan sumber-sumber publik;

2) Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian konsekuensi-

konsekuensi;

3) Terstruktur dengan para stakeholder dan langkah-langkahnya yang jelas

dan terukur;

4) Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas

program lembaga eksekutif

Analisis kebijakan manajemen risiko pengelolaan limbah padat sangat

kompleks sehingga diperlukan strategi yang sistematis untuk mengurangi

Page 113: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

106

kegagalan dampak kebijakan. Pendekatan sistem digunakan untuk merumuskan

kompleksitas perihal kebijakan secara terstruktur dan terarah. Perumusan model

kebijakan strategis pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan didasarkan pada

empat tema sustainable development COMHAR yaitu: kepuasan kebutuhan

manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya (satisfaction of human needs

by the efficient use of resource), menghargai integritas ekologi dan

keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity),

keadilan sosial (social equity) serta pengambilan keputusan yang tepat (good

decision making) (Comhar 2007).

Berdasarkan hal tersebut dan situasi pengelolaan limbah padat terutama

dalam penanganan dampak risiko yang diperoleh perumusan model kebijakan

pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan. Prinsip dasar pengelolaan limbah

padat adalah mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan terganggunya

kesehatan manusia.

Dalam pendekatannya, perumusan model ini memiliki beberapa konsep penting,

yaitu:

1) Struktur model kebijakan melibatkan elemen pemerintah, Industri

manufaktur, Sektor informal, lembaga swadaya masyarakat dan

masyarakat;

2) Peranan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator kegiatan pengelolaan

lingkungan baik fisik maupun biologik;

3) Payung hukum kebijakan pengelolaan lingkungan tidak terpisah secara

parsial;

4) Tujuannya perhatian terhadap kualitas lingkungan dan minimalisasi risiko.

Beberapa pertimbangan lain yang mendasari perumusan model

pengelolaan limbah padat tersebut adalah:

1. Jangka waktu pelaksanaan

Perencanaan dalam manajemen risiko pengelolaan limbah padat dengan

jangka waktu yang pendek dan dilakukan selama aktivitas pengelolaannya.

Sedangkan dalam pengelolaan limbah padat perencanaan digunakan untuk

jangka waktu yang panjang sampai menurunnya risiko yang terjadi.

Page 114: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

107

2. Dana

Pembiayaan pengelolaan limbah padat didasarkan pada anggaran yang

dapat dihitung berdasarkan tingkat biaya efektif dan rencana pencapaian

targetnya.

3. Tata Laksana

Manajemen limbah padat merupakan tanggung jawab semua pihak yang

terlibat dalam pengelolaan limbah padat untuk mencegah kerusakan

lingkungan, sehingga dalam pelaksanaan dilakukan oleh seluruh

stakeholder.

4. Teknologi

Penerapan teknologi dalam pengelolaan limbah padat terarah pada

penerapan teknik daur ulang limbah padat yang ramah lingkungan.

Penggunaan teknologi yang tepat dapat menurunkan risiko sehingga

kerusakan lingkungan minimal.

Berdasarkan hasil identifikasi struktur model diperoleh model konseptual

pengelolaan limbah padat di DKI Jakarta. Model manajemen limbah padat

tersebut memiliki sasaran untuk mencegah terjadinya potensi risiko yang

didukung kebijakan Universitas Pancasila dalam pengelolaan lingkungan melalui

penyediaan dana operasional. Dalam teknis pelaksanaannya Universitas Pancasila

dapat melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten terhadap pengelolaan

limbah padat. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kepedulian pengelolaan

lingkungan serta penguatan ekonomi masyarakat. Tanggung jawab Universitas

Pancasila dalam pemenuhan kepuasan kebutuhan masyarakat kampus dilakukan

dengan pengelolaan sumberdaya secara efisien dan bertanggung jawab. Selain itu,

adanya kesadaran untuk menjaga keutuhan ekologi dan keanekaragaman hayati

dalam aktivitas daur ulang.

Upaya pengelolaan limbah padat didasarkan pada beberapa landasan

hukum pengelolaan limbah padat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, PP Nomor 101 /2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, UU

Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Perda DKI Jakarta No. 3

Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.

Page 115: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

108

284 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Lingkungan Hidup

Provinsi DKI Jakarta. Regulasi tersebut merupakan model kebijakan strategis

dalam pengelolaan limbah padat yang didukung dengan ketentuan standar/baku

mutu lingkungan.

Peraturan perundang-undangan yang sesuai dan persyaratan peraturan

terkait perlu ditetapkan oleh Universitas Pancasila untuk memandu pelaksanaan

strategi pengelolaan limbah secara nasional dan rencana aksi. Terdapat beberapa

prioritas yang dapat dilakukan:

a. Menetapkan standar dan metode yang diperlukan untuk pengelolaan aliran

limbah padat

b. Menetapkan dasar hukum untuk mengarahkan praktik kewajiban tanggung

jawab yang luas bagi seluruh sivitas akademika

c. Menentukan parameter dasar dan pedoman infrastruktur untuk menerapkan

sistem pengelolaan limbah padat, termasuk klasifikasi pemisahan, opsi

pengolahan menengah, dan pembuangan akhir,

d. Menerbitkan persyaratan untuk perizinan dan ketentuan untuk tanggung

jawab hukum terkait dengan mengatasi masalah lingkungan seperti masalah

udara dan air yang terkait dengan fasilitas pengelolaan limbah, jenis dan

karakteristik konstruksi tempat pembuangan dan operasi insinerator

e. Mengembangkan kerangka kerja hukum dan peraturan yang mendukung,

antara lain: menetapkan jumlah dan frekuensi pengumpulan biaya limbah;

mendelegasikan wewenang kepada otoritas terkait sehubungan dengan

mengawasi pelaksanaan audit limbah reguler; mengamanatkan pengumpulan

dan penyerahan informasi dan data yang relevan secara tepat waktu; dan

menjabarkan target kinerja pengelolaan limbah secara khusus untuk institusi

dan lembaga pemerintah

f. Melembagakan program kepatuhan dan penegakan akan sangat penting untuk

keberhasilan pelaksanaan strategi dan rencana aksi.

Dengan demikian kebijakan pelaksanaan dan pemantauan regulasi harus

berlandaskan mekanisme evaluasi periodik. Evaluasi dilakukan melalui

konsensus, terutama pendapat pakar mengenai ketentuan pengelolaan limbah

padat tersebut. Dalam evaluasi dilakukan konsultasi antar pihak untuk mencapai

Page 116: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

109

suatu stakeholders engagement yang dapat memberikan informasi kepada industri,

pemerintah serta masyarakat.

Berdasarkan hasil verifikasi terhadap rekomendasi model pengelolaan

limbah padat yang berkelanjutan perlu segera ditindaklanjuti oleh seluruh sivitas

akademika dan stakeholder yang ada di Universitas Pancasila terutama dalam hal:

1. Pihak Universitas Pancasila mengkaji ulang pelaksanaan undang-undang

pengelolaan limbah padat dan regulasi lain yang belum secara spesifik

memuat atau mengatur pengelolaan limbah padat. Selain itu, Universitas

Pancasila juga mengupayakan adanya penegakan hukum untuk mendorong

seluruh sivitas akademika yang terkait serta stakeholder lainnya seperti

kantin dan petugas kebersihan untuk membangun kerjasama secara

terintegrasi guna pelaksanaan pengembangan masyarakat (community

development) yang sesuai kondisi Universitas Pancasila. Inovasi teknologi

yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan

industry manufaktur.

2. Bagi sivitas akademika dapat melakukan pencegahan limbah yang

mungkin lebih baik daripada opsi pengelolaan limbah lainnya termasuk

daur ulang. Menggunakan kembali limbah padat untuk digunakan kembali

memperpanjang umur produk berharga dan membuat produk padat bekas

keluar dari sistem pengelolaan limbah untuk waktu yang lebih lama.

Page 117: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

110

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Survei yang dilakukan selama 10 hari mulai dari tanggal 1 – 10 Oktober

2019 dengan mengambil beberapa sampel limbah padat yang berasal dari

gedung Fakultas Teknik diperoleh total limbah sebesar 1179,56 Kg atau

sekitar 0,5 kg per orang. Survei juga menunjukkan bahwa sampah

makanan (organik) merupakan karakteristik limbah padat terbesar yaitu

sekitar 51%, disusul oleh sampah plastik sebanyak 26%, kertas sebesar

15%, sampah daun/kayu sebesar 7%, Kaleng sebesar 1% dan botol kaca

sebesar 0%.

2. Sebagian besar mahasiswa memiliki pengetahuan yang sangat baik terkait

dengan sampah. Mahasiswa FTUP, menyatakan setuju jika di kampus

terdapat tempat sampah, kampus melakukan pemilahan sampah,

mengurangi jumlah timbulan sampah untuk meminimumkan kerugian

akibat sampah, kampus menggunakan barang-barang yang dapat

digunakan kembali untuk mengurangi produksi sampah, dan tidak

membuang sampah yang dapat digunakan kembali. Seluruh responden

membuang sampah di tempat sampah (95%), sisanya 2% dan 3%

responden membuang sampah di kolong meja dan di sembarang tempat

3. Beberapa faktor risiko telah terindentifikasi seperti teknologi,

regulasi/hukum, sosial, daur ulang dan finansial. Nilai risiko (RPN)

tertinggi adalah sebesar 900 pada sub-faktor Infrastruktur teknis, Kepatuhan

hukum dan Dukungan pimpinan dengan RPN sebesar 729, Keamanan dan

keselamatan alat dengan RPN 720. Hal ini mengindikasikan risiko kegagalan

pengelolaan sampah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila sangat

tinggi.

Rank 1 : Inovasi teknologi daur ulang (bobit 0,429)

Rank 2 : Pengembangan regulasi tentang pengelolaan limbah padat

(bobot 0,230)

Rank 3 : Peran serta pihak swasta (bobot 0,223)

Page 118: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

111

Rank 4 : Sosialisasi pada warga kampus dari pihak terkait (bobot

0,122)

4. Hasil analisis menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa alternatif

solusi untuk pengelolaan limbah padat di Universitas Pancasila adalah

melakukan inovasi teknologi daur ulang dengan bobot 0.429,

pengembangan peraturan atau regulasi tentang pengelolaan limbah padat

dengan bobot 0.230. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi terkait dengan

pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan di Fakultas Teknik

Universitas Pancasila sudah harus dilakukan dalam rangka mengurangi

potensi kegagalan pengelolaan.

5. Hasil analisis menggunakan metode model sistem dinamis yang

menggunakan nilai risiko pada metode FMEA dan bobot dari strategi pada

metode AHP diperoleh hasil simulasi sebelum dan sesudah intervensi.

Pada model simulasi sebelum dilakukan intervensi diperoleh hasil

peningkatan risiko pada tiap-tiap sub model dalam periode waktu.

Sedangkan pada model simulasi dengan berbagai skenario baik moderat

maupun optimis dengan memasukkan beberapa intervensi memberikan

gambaran penurunan nilai risiko kegagalan pengelolaan limbah padat. Hal

ini menunjukkan bahwa model manajemen risiko pengelolaan limbah

padat dapat berjalan dengan efektif apabila terdapat aliran informasi yang

jelas pada masing-masing stakeholder dan program yang menjadi strategi

dalam pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini dan untuk

penelitian yang akan datang antara lain:

1. Kebijakan di Universitas Pancasila sudah seharusnya memiliki regulasi yang

lebih spesifik tentang pengelolaan limbah padat dimana dalam regulasi tersebut

harus memperhatikan faktor-faktor risiko dalam mengantisipasi terjadinya

munculnya risiko kegagalan selama proses pengelolaan. Faktor-faktor yang

harus mendapatkan perhatian dalam regulasi antara lain, teknologi, regulasi

atau hukum, sosial dan daur ulang.

Page 119: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

112

2. Pihak Universitas Pancasila juga perlu melakukan penataan aktivitas

pengelolaan limbah elektronika melalui mekanisme amandemen regulasi dan

monitoring. Pihak Fakultas juga harus penataan dan peningkatan pengetahuan

seluruh sivitas akademika dan pihak-pihak yang terkait dalam aktivitas

pengelolaan limbah padat.

3. Model manajemen risiko pengelolaan limbah padat ini dapat direplikasikan

pada pengelolaan limbah padat di fakultas lainnya di lingkungan Universitas

Pancasila. Untuk replikasi pada wilayah lainnya disarankan penyesuaian

parameter pada kondisi fakultas guna mengantisipasi terjadinya potensi risiko

kegagalan lainnya.

Page 120: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

113

DAFTAR PUSTAKA

Adibroto T.A. (2002). Prospek dan Permasalahan Dalam Transfer Teknologi

Lingkungan di Indonesia, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3 No.2, 121-

128

Africa, P. S. (2010) ‘Solid Waste Management in the World’s Cities’, in Solid

Waste Management in the World’s Cities: Water and Sanitation in the

World’s Cities 2010, p. 30

Ali A. and Ezeah. (2017). Framework for Management of Post-Conflict Waste in

Libya, European Scientific Journal. vol.13, No.5

Al-Khatib, I. A., Arafat, H. A., Daoud, R., and Shwahneh, H. (2009). Enhanced

solid waste management by understanding the effects of gender, income,

marital status, and religious convictions on attitudes and practices related

to street littering in Nablus – Palestinian territory. Waste Management,

29(1), 449-455.

Amoyaw-Osei Y, Opoku Agyekum O, Pwamang JA, Mueller E, Fasko R. (2011).

Ghana e-waste country assessment. United Nations Environment

Programme (UNEP). http://ewasteguide.info/fi les/Amoyaw-

Osei_2011_GreenAd-Empa.pdf. (Diakses: Juni 2019)

Ansari N, Seifi A. (2012). A system dynamics analysis of energy consumption

and corrective policies in Iranian iron and steel industry, Energy. 43 334-

343

Anghinolfi D, Paolucci M, Robba M, Taramasso AC. (2013). A dynamic

optimization model for solid waste recycling. Waste Management.

33(2): 287–296

Armijo de Vega C., O.-B. S.-B. (2008). Solid waste characterization and recycling

potential for a university campus. Waste Manage, 28: S21-S26.

Astuti M, Catur WH., Sulistiyowati W., Ciptomulyono U., Dana KP. (2014)

Analisis Hubungan Produktivitas Dengan Technology Content PadaUsaha

Kecil & Menengah (UKM), Spektrum Industri, 2014, Vol. 12, No. 1, 1 –

112

Page 121: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

114

Atthirawong W. (2002). "An Application of the Analytical Hierarchy Process to

International Location Decision-Making", in Gregory, Mike, Proceedings

of The 7th Annual Cambridge International Manufacturing Symposium:

Restructuring Global Manufacturing, Cambridge, England: University of

Cambridge, pp. 1-18

Bardati, D. (2006). The integrative role of the campus environmental audit:

experiences at Bishop's University, Canada. Int J Sustain Higher Educ

7(1), 57-68.

Bayazit O, Karpak B. (2005). "An AHP application in vendor selection"

[Internet]. ISAHP, Honolulu, Hawaii (EN), July 8-10. [Diunduh 20

September 2018]. Terdapat pada:

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.509.2406&rep=

rep1&type=pdf

Beder S, (1996 ): The Nature of Sustainable Development, Scribe Publications,

Newham, Australia.

Beringer, A. W. (2008). Sustainability in higher education in Atlantic Canada. Int

J Sustain Higher Educ, 9 ( 1 ): 48-67.

Berrittella M. (2007). "An Analytic Hierarchy Process for the Evaluation of

Transport Policies to Reduce Climate Change Impacts", Milano(EN):

Fondazione Eni Enrico Mattei,

Birhanu Y. and Berisa G. (2015), Assessment of Solid Waste Management

Practices and the Role of Public Participation in Jigjiga Town, Somali

Regional State, Ethiopia, International Journal of Environmental

Protection and Policy, 3(5): 153-168

Boholm, A. & Corvellec, H. (2015). GRI-rappart 2015:4 Managing Big Cities

The role of valuation practices for risk identification. Gothenburg

Research Institute School of Business, Economics and Law at University

of Gothenburg.

Bolaane, B. (2006). Constraints to promoting people centred approaches in

recycling. Habitat International, 30(4), 731-740.

Page 122: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

115

Bradley JR, Guerrero HH. (2011). An Alternative FMEA Method for Simple and

Accurate Ranking of Failure Modes, Decision Sciences. vol. 42 no. 3, 743-

771

Chaerul M, Tanaka M Shekdar AV. (2008 ). A system dynamics approach for

hospital waste management. Waste Management. 28(2): 442-449

Chan FTS. (2003). "Interactive selection model for supplier selection process: an

analytical hierarchy process approach", International Journal of

Production Research. vol. 41, no. 15, 3549.3579

Chan FTS, Chan HK. (2004). "Development of the supplier selection model a

case study in the advanced technology industry", Journal of Engineering

Manufacture. Vol. 218 Part B.

Ching R, Gogan R. (1992). Campus recycling: Everyone plays a part. New Dir

Higher Educ 77: 113-125.

Clugston, R. (2000). Introduction. In: Filho W, editor. Sustainability and

university life. Frankfurt: Peter Lang.

Cole, L. (2003). Assessing sustainability on Canadian university campuses:

development of a campus sustainability assessment framework. Retrieved

from [Victoria (BC)]: Royal Roads University: http:/

/wwwO.umoncton.ca/Symbiose/files/CSAFthesis.pdf

Cole, V., & Sinclair, A. J. (2002). Measuring the Ecological Footprint of a

Himalayan Tourist Center. Mountain Research and Development 22 (2),

132–141.

Connett, P. (2007). Zero Waste: A Key Move 101 Towards A Sustainable

Society, American Environmental Health Studies Project. Canton. New

York. USA

Conway, T. D. (2008). Developing ecological footprint scenarios on university

campuses: a case study of the University of Toronto at Mississauga. Int J

Sustain Higher Educ, 9(1): 4-20.

Crittenden, B. & Kolaczkowski, S. (1995). Waste Minimization: A Practical

Guide. Institute of Chemical Engineers: UK

Dahlen L, Lagerkvist A. (2008). Methods for household waste composition

studies. Waste Manage, 28: 1100-1112.

Page 123: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

116

Davies, A. R. (2008). The Geographies of Garbage Governance: Interventions,

Interactions and Outcomes. Burlington, VT: Ashgate

Development, W. C. (1987). Our Common Future. London: Oxford, Oxford

University Press.

Dey, PK. (2003). "Analytic Hierarchy Process Analyzes Risk of Operating Cross-

Country Petroleum Pipelines in India". Natural Hazards Review. 4 (4):

213-221.

Enger E., & Smith B. (2004). Environmental Science: A study of

interrelationships McGraw Hill ninth edition

Federico D. (2010). “Shipbreaking at AlangSosiya (India): An Ecological

Distribution Confl ict”, Ecological Economics, 70(2): 250-60

Felder M, Petrell R, DuffS. (2001). A solid waste audit and directions for waste

reduction at the University ofBritish Columbia, Canada. Waste Manage

Res 19: 354-365.

Filho, W. (2002). Barriers on the path to sustainability: European and Canadian

perspectives in higher education. Int J Sustain Dev World Ecol, 9: 179-

186.

Fournier, R. (2008). Recycle this! A look at campus recycling programs. In:

Simpson W, editor. The green campus: meeting the challenge of

environmental sustainability. Alexandria VA: APPA.

Fujimori T, Takigami H, Agusa T, Eguchi A, Bekki K, Yoshida A, et al. (2012).

Impact of metals in surface matrices from formal and informal electronic-

waste recycling around Metro Manila, the Philippines, and intra-Asian

comparison. J Hazard Mater;221–222:139–46.

Ghashghaie M, Marofi S, Marofi H. (2014). Using system dynamics method to

determine the effect of water demand priorities on downstream flow. Water

Resour Manag. 28:5055–5072. doi:10.1007/s11269-014-0791-z

Gilpin, A. (1996). Dictionary of Environment and Development. John Wiley and

Sons, Chester and New York.

Grandzol J R. (2005). "Improving the Faculty Selection Process in Higher

Education: A Case for the Analytic Hierarchy Process". IR Applications 6.

Diakses pada 2019-06-12

Page 124: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

117

Han J, Hayashi Y. (2008). A system dynamics model of CO2 mitigation in

China’s intercity passenger transport. Transportation Research Part D. 13:

298-305.

Hansen L, McMellen C, Olson L, Kaplowitz M, Kerr J, Thorp L. (2008).

Recycling attitudes and behaviors on a college campus: use of qualitative

methodology in mixed-methods study. J Ethno Qual Res 2: 173-182.

Hao JL, Tam WYV, Yuan HP, Wang JY, Li JR. (2010). Dynamic modeling of

construction and demolition waste management processes: An empirical

study in Shenzhen, China. Engineering, Construction and Architectural

Management. 17(5): 476–492.

Harris, B. P. (2009). Waste minimisation at a Welsh university: A viability study

using choice modelling. Resour Conserv and Recy, 53: 269-275.

Jessen, M. (2002). The Ripple Effect of Zero Waste. Recycling Council of British

Columbia (RCBC)

Jonsson, C., Felix, J., Sundelin, A. & Johansson, B. (2011). ‘Sustainable

Production by Integrating Business Models of Manufacturing and Recycling

Industries.’ In: Proceedings of the 18th CIRP International 201 Conference

on Life Cycle Engineering; Braunschweig, Germany: 2-4 May. Berlin,

Heidelberg: Springer. pp. 201-206.

Karim MA, Smith AJ, Halgamuge S. (2008). Empirical relationships between

some manufacturing practices and performance. International Journal of

Production Research. 46, No. 13,, 3583–3613

Keniry J. (1995). Ecodemia: campus environmental stewardship at the tum of the

21st century. Washington: National Wildlife Federation.

Kiani B, Pourfakhraei M. (2010). A system dynamic model for production and

consumption policy in Iran oil and gas sector. Energy Policy. 38: 7764-

74.Kmenta S, Ishii K. 2000. Scenario-Based FMEA: A life cycle cost

perspective, Proceedings of ASME Design Engineering Technical

Conference, Baltimore, Maryland, USA.

Kumar A. and Holuszko M. (2016). ElectronicWaste and Existing Processing

Routes: A Canadian Perspective-Review Resources, 5, 35.

Page 125: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

118

Lebersorger S. Beigl P. (2011). “Municipal solid waste generation in

municipalities: Quantifying impacts of household structure, commercial

waste and domestic fuel.” Waste Manage. 31:1907-1915

Lee EK, Ha S, Kim SK. (2001). "Supplier selection and managementsystem

considering relationships in supply chain management." IEEE

Transactions on Engineering Management, 47(4): 307-318.

Lehmann, S. (2011). ‘Resource Recovery and Materials Flow in the City: Zero

Waste and Sustainable Consumption as Paradigms in Urban

Development’, Sustainable Development Law & Policy, 11(1)

Li J. Zeng X. Chen M. Ogunseitan OA. Stevels A. (2015). ‘Control-Alt-Delete’:

Rebooting Solutions for the E-Waste Problem. Environ. Sci. Technol. 49,

7095–7108

Liu X, Tanaka M, Matsui Y. (2006). Generation amount prediction and material

flow analysis of electronic waste: a case study in Beijing, China, Waste

Management & Research. 24 issue: 5, page(s): 434-445

Makondo CC. Sichilima S. Silondwa M. Sikazwe R. Maiba L. Longwe C.

Chiliboyi Y. Environmental Management Compliance, Law and Policy

Regimes in Developing Countries: A Review of the Zambian Case,

International Journal of Environmental Protection and Policy, 3(4): 79-87

Masella C, Rangone A. (2000). "A contingent approach to the design of vendor

selection systems for different types of co-operative customer/supplier

relationships." International Journal of operation Production

management. 20, 70.84.

McCartney D. (2003). Auditing non-hazardous wastes from golf course

operations: moving from a waste to a sustainability framework. Resour

Conserv and Recy 37: 283-300.

Medina, M. (2002). Globalization, Development, and Municipal Solid Waste

Management in Third World Cities : El Colegio de la Fronera Norte,

Tijuana, Mexico. Mexico.

Millennium Ecosystem Assessment. (2005). Living Beyond Our Means: Natural

Assets and Human. Millennium Ecosystem Assessment. Terdapat pada :

Page 126: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

119

http://www.millenniumassessment.org/en/Reports.aspx. Diakses pada

02/04/19

Moghadam, M.R.A., Mokhtarani, N., Mokhtarani, B. (2009). Municipal solid

waste management in Rasht City. Iran Journal of Waste Management 29,

485–489.

Ngatatakalama K. (2016). Effect of Solid Waste Management Projects on The

Welfare of The Local Community; A Case of Solid Waste Management

Projects in Mombasa County, Kenya, Master Thesis, University of Nairobi

Nii Squire J. (2012), Biomedical Pollutants and Urban Waste Management in the

Accra Metropolitan Area, Ghana: A Framework for Urban Management of

the Environment (FUME), Dissertation, University of Waterloo-Canada

Oberlin AS. (2013). Characterisation of household waste in kinondoni

municipality, dar es salaam", Academic Journal of Interdisciplinary

Studies, vol. 2, no. 13, pp. 35-46, 2013.

O'Connell, E. J. (2011). Increasing public participation in municipal solid waste

reduction. Geographical Bulletin, 52(2), 105-118.

Ogunlana SO, Sukhera, Li H. (2003). ‘System Dynamics Approach to Exploring

Performance Enhancement in a Construction Organization’, J. Constr.

Engrg and Mgmt. 129(5), 528-536.

Ogwueleka T.CH. (2009). Municipal solid waste characteristics and management

in Nigeria, Iran, Journal of Environmental Health Science and

Engineering, vol. 6, no. 3, pp. 173-180.

Owusu G. (2010). Social effects of poor sanitation and waste management on

poor urban communities: a neighborhood-specific study of Sabon Zongo,

Accra, Journal of Urbanism Vol. 3, No. 2, 145–160

Palmer, P. (1998). Definitions of Waste. Terdapat pada:

http://www.interleaves.org/recycling/wastedef.html. Diakses pada

20/05/19

Pang, Xufeng., Jiang, Yaodong., Zhao, Yixin., & Zhu, Jie. (2012). Study on Risk

Analysis and Control Technology of Coal Bump. Procedia Environmental

Sciences, 12, 831-836

Page 127: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

120

Paustenbach DJ. (2000) : The practice of exposure assessment: a state-of-the-art

review. 3 (112), 179-291.

Peirce J.J. and Davidson G.M. (1982). Linear programming in hazardous waste

management. Journal of the Environmental Engineering Division,

108(EE5): 1014-1026, 1982.

Pike, L. S. (2003). Science education and sustainability incentives: A campus

recycling case study shows the importance of opportunity. Int J Sustain

Higher Educ., 4(3): 218-229.

Poswa, T.T. (2001). A comparison of attitudes towards and practices of waste

management in three different socio-economic residential areas of Umtata.

Published Master’s Thesis, Durban University of Technology, KwaZulu-

Natal, South Africa.

Puckett J, Byster L, Westervelt S, Gutierrez R, Davis S, Hussain A, Dutta M,

(2002). Exporting harm: the high-tech trashing of Asia. The Basel Action

Network (BAN) and Silion Valley Toxics Coalition (SVTC) with Toxics

Link India, SCOPE Pakistan and Greenpeace China, 25 February 2002.

Raheja. Dev (2011). Safer Hospital Care. Strategies for Continuous Innovation.

Publisher: Taylor & Francis Group. New York

Rao LN. (2014). Environmental Impact of Uncontrolled Disposal of E-Wastes,

Int.J. ChemTech Res. 6(2), pp 1343-1353.

Razif M, Soemarno, Yanuwiadi B, Rachmansyah A, Persada SF. (2015).

Prediction of Wastewater Fluctuations in Wastewater Treatment Plant by a

System Dynamic Simulation Approach: a Projection Model of Surabaya’s

Mall, Int.J. ChemTech Res. 8(4), pp. 2009-2018.

Renn O, (1983), Technology,Risk and public perception, Anaewandte System

analyse Band 4/Hefl 2. Terdapat di

https://pdfs.semanticscholar.org/9c46/3642a971e07c82ee323b2d06dd981b

0e5fbb.pdf (Diakses 09 Juni 2019)

Rhee SJ, Ishii K. (2002). Life Cost-Based FMEA Incorporating Data Uncertainty,

Proceedings of ASME Design Engineering Technical Conference,

Montreal, Canada.

Page 128: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

121

Saaty TL. (1980). The analytic hierarchy process: planning, priority setting,

resource allocation. New York (US), McGraw-Hill.

Saaty TL. (1990). How to make a decision: The analytic hierarchy process,

European Journal of Operational Research. 48:9-26,

Saaty TL. Vargas LG. (2001). Models, Methods, Concepts and Applications of the

Analytic Hierarchy Process. (EN), Kluwer, Dordrecht

Saaty TL and Vargas LG. (2005). "The possibility of group welfare functions",

International Journal of Information Technology & Decision Making. 4(2)

167.176.

Saaty TL, Vargas LG. (2012). Models, Methods, Concept & Applications of the

Analytic Hierarchy Process, New York (US), Springer Science Business.

Sarkar, P. (2003). “Solid Waste Management In Delhi – A Social Vulnerability

Study” in Martin J. Bunch, V. Madha Suresh and T. Vasantha Kumaran,

eds., Proceedings of the Third International Conference on Environment

and Health, Chennai, India, 15-17 December, 2003. Chennai: Department

of Geography, University of Madras and Faculty of Environmental

Studies, York University. Pages 451 – 464

Sas, I., Thoney, K. A., Joiness, J. A., King, R. E. & Woolard, R. (2015)

Sustainable Fashion Supply Chain Management [e-book]. Available from:

http://link.springer.com.libproxy.aalto.fi/chapter/10.1007/978-3-319-

12703-3_1 [Diakses 26 Juni 2019].

Schindler S. Demaria F. Pandit SB. (2012). Delhi’s Waste Conflict, Economic &

Political Weekly, vol xlviI no 42.

Schübeler, P., Karl, W., & Jürg, C. 1996). Conceptual Framework for Municipal

Solid Waste Management in Low-income Countries. United Nations

Development Program, UMP Working Paper Series no. 9. St. Gallen,

Switzerland

Sharp, L. (2002). Green campuses: the road from little victories to systematic

transformation. Int J Sustain Higher Educ, 3(2):128-145.

Sinha-Khetriwal D. Kraeuchi P. and R. Widmer, (2009). “Producer responsibility

for e-waste management: key issues for consideration—learning from the

Page 129: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

122

Swiss experience,” Journal of Environmental Management, Vol. 90,153–

165

Shriberg, M. (2002). Institutional assessment tools for sustainability in higher

education: strengths, weaknesses and implications for practice and theory.

Higher Educ Policy 15, 153-167.

Smith S. (2007). Understanding And Acquiring Technology Assets For Global

Competition, Technovation 27, pp 643-649

Stamatis DH. (2003). Failure Mode and Effect Analysis: Fmea from Theory to

Execution: Milwaukee (US), American Society for Quality

Sterman JD. (2000). ‘Business Dynamics: Systems Thinking and Modelling for a

Complex World’, Boston (US), Irwin McGraw-Hill, pp845-861

Sthiannopkao S, Wong MH. (2013). Handling e-waste in developed and

developing countries: initiatives, practices, and consequences. Sci Total

Environ;463–464:1147–53.

Stranks. Jeremy (1996). The law and Practice of Risk Assessment. Limited Great

Britain.

Tavares AFF. (2001). State Constraints and Local Environmental Programs: Solid

Waste Management Policy Instrument Choice, Askew School of Public

Administration and Policy Florida State University, terdapat pada:

https://core.ac.uk/download/pdf/55604565.pdf diakses pada: 17 Agustus

2018.

Thanh, N.P., & Matsui, Y. (2011). Municipal Solid Waste Management in

Vietnam: Status and the Strategic Actions. International Journal of

Environmental Research, 5, 285-296.

Tseng Y, Lin Y. (2005). "A Model for Supplier Selection and Tasks Assignment",

Journal of American Academy of Business, Cambridge, 6(2), p197-207

Uchendu OH. (2016). Household Waste Disposal Laws in the Federal Republic of

Nigeria, Georgia State University. Terdapat pada

https://scholarworks.gsu.edu/iph_capstone/38, Diakses 17 Agustus 2018

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) (1992):

Convention on Climate Change, Convention on Biological Diversity,

Agenda 21, Rio Declaration, Forestry Agreement, Ocean Conference

Page 130: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

123

ULSF. (2009). Talloires Declaration Institutional Signatory. Retrieved from

University Leaders for a Sustainable Future:

www.uslf.org/pdf/td_signatories.pdf

UNESA. (2002). Sustainable Development and Solid Waste. Retrieved from

UNESA: http://www.un.org/esa/sustdev/sdissues/waste_solid/wastes.htm

Utsman S. (2009). Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum &

Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Villanueva RA. (2016). A Primer on The Challenges of Solid Waste Management

in Southeast Asia, Designs For Success: Best Practices in Local Waste

Management, Konrad Adenauer Stiftung, Jerman

Vilas MA. (2015). A Critical Overview of Legal Profile on Solid Waste

Management in India, Int. J. Res. Chem. Environ. Vol. 5 Issue 1 (1-16)

von Kolnitz C, Kaplan K. (2004). Recycling and beyond: a college campus

primer. The University of Oregon and the Medical University of South

Carolina.

Walton, J. (2000.). Should monitoring be compulsory with voluntary

environmental agreements? Sustain Dev, 8(3): 146-154.

Wang, Yuan Lu, Chen, (2008), Evaluating firm technological innovation

capability under uncertainty, Technovation 28, pp 349- 363.

White, P. R, Frank, M., & Hindle, P. (1995). Integrated Solid Waste

Management: A life cycle inventory. Blackie Academic and Professional,

London.

Widmer, R., Oswald-Krapf, H., Sinha-Khetriwalb, D., Schnellmann, M., and

Boni, H. (2005). Global perspectives on e-waste. Environmental Impact

Assessment Review, 25, 436-458.

Williams, P. T. (2005). Waste disposal and treatment. John Wiley, Chichester

[WIPO] Patent landscape report on e-waste recycling technologies, WIPO

Publication 2013, http://www.wipo.int/export/

sites/www/freepublications/en/patents/948/wipo_pub_948_4. pdf (last

accessed 10 June 2019).

Wright, T. (2002). Definitions and frameworks for environmental sustainability in

higher education. Higher Educ Policy (15), 105-120.

Page 131: MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI FAKULTAS …

124

Xuan Z, Chang N, Wanielista M. (2011). Modeling the system dynamics for

nutrient removal in an innovative septic tank media filter, Bioprocess

Biosyst Eng., DOI 10.1007/s00449-011-0627-7.

Yoshida F. (1999). The Political Economy of Waste Management in Japan Econ.

J. of Hokkaido Univ., Vol. 28 (1999), pp. 1-27

Yu C, Maclaren V. (1995). A comparison oftwo waste stream quantification and

characterization methodologies. Waste Manage Res 13: 343-361.

Yukalang N. Clarke B. and Ross K. (2017). Barriers to Effective Municipal Solid

Waste Management in a Rapidly Urbanizing Area in Thailand, Int. J.

Environ. Res. Public Health, 14, 1013Zaman, A. U. and Lehmann, S.

(2013) ‘The zero waste index : a performance measurement tool for waste

management systems in a “ zero waste city ”’, Journal of Cleaner

Production. Elsevier Ltd, 50, pp. 123–132. doi:

10.1016/j.jclepro.2012.11.041

Zerbock, O. (2003). Urban Solid Waste Management: Urban Solid Waste

Management: Waste reduction in developing nations (written for the

requirements of CE 5993 Field Engineering in the Developing World). .

Michigan: Michigan Technological University, Houghton, MI.

Zurbrug C. (2003). Solid Waste Management in Developing Countries. Terdapat

pada:http://www.eawag.ch/organisation/abteilungen/sandec/publikationens

-swm/downloads swm/basicsofSWM.pdf. Diakses pada:17 Mei 2019