Top Banner
160

Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

Oct 26, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...
Page 2: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

i

Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling Rasional-Emotif Ditulis Oleh : Dr. Ahmad Sarbini, M.Ag Dr. Dudy Imanduddin Effendi, M.Ag Dede Lukman, M.Ag Herman, M.Ag

Ediring, Layout & Desain Cover : Ramdan Junaeni, S.Sos Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Lidzikri Bandung 2019 M ISBN 978-602-53958-0-2 Contact Person: 085890654879 (Mewra) Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Thaun 2002 Tentang Hak cipta

Alamat Penerbit: Jalan. Riung Hegar Raya No. 10 Riung Bandung Kota Bandung Jawa Barat No. Kontak. 085219770001 (Abah Eki)

Page 3: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

ii

Daftar isi (i)

Sekapur Sirih Para Penulis (ii-iv)

Bab Satu Prawacana (1)

Bab Dua

Radikalisme: Sebuah Tinjauan Teoritik (13)

Bab Tiga REBT: Pendekatan Analisa atas Radikalisme (39)

Bab Empat

Organisasi Keagamaan Pengiat Deradikalisasi (50)

Bab Lima Radikalisme Pendekatan Analisa Antecedent Event:

Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS (81)

Bab Enam Radikalisme Pendekatan Analisa Belief:

Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS (98)

Bab Tujuh Radikalisme Pendekatan Analisa Emotional Concequence: Pandangan

Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS (109)

Bab Delapan Radikalisme Pendekatan Analisa Dispute Resolution: Pandangan

Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS (118)

Bab Sembilan Simpulan dan Rekomendasi (138)

Daftar Pustaka (142-155)

Page 4: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

iii

Sekapur Sirih

Para Penulis

“Kesehatan adalah kata yang besar, soalnya ini mencakup tidak hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan jiwa. Bukan sekedar tidak sakit atau kesenangan saja, tetapi seluruh keberadaan dan pandangan manusia.”–

Jame H. West

Arti kesehatan sangat luas. Kesehatan bukan hanya soal kondisi tubuh,

namun kesehatan juga mencakup pikiran serta jiwa. Pikiran yang tenang dan positif akan mempengaruhi kondisi kesehatan menjadi baik. Sebaliknya, pikiran yang tak tenang karena menghadapi perbagai persoalan hidup membuat kesehatan terganggu. Untuk menjaga kesehatan, maka jagalah pikiran untuk tetap bisa tenang. Pikirkan segala permasalahan dengan kepala dingin supaya bisa mengatasinya dengan baik.

Kesehatan hanya akan didapatkan dalam kondisi pikiran dan tubuh yang tenang. Jika memiliki pikiran yang tak tenang, maka kesehatan mustahil didapatkan. Pikiran tak tenang akan membuat tak bisa fokus menjaga kesehatan. Bahkan, ada beberapa hal yang akan dilakukan tanpa kontrol padahal hal itu sangat mengganggu kesehatan. Seperti misalnya tak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, tidak mau beraktivitas apapun dan sebagainya. Kata Cicero, “dalam pikiran yang berantakan, seperti dalam tubuh yang berantakan pula, kesehatan adalah hal mustahil bisa dihidupkan.”

Radikalisme adalah diksi yang tidak sehat. Diski yang bisa melahirkan kenyakinan-keyakinan irrasional bahkan mengakibatkan perilaku melemah dari mekanisme kontrol emosional. Saat situasi seperti ini, kadang keyakinan selalu diiringi pelbagai logical fallacies dan mengakibatkan melakukan periku-perilaku diluar kesadaran diri. Ya, menimbang side effect dari perilaku yang lahir dari perasaan dan perilaku radikalisme dibutuhkan dispute intervention berupa produk-produk yang lahir dari kreasi nalr yang sehat.

Konseling rational emotif merupakan upaya mengidentifikasi, menerangkan, dan menunjukkan masalah yang dihadapi seseorang yang berpikir dengan keyakinan irasionalnya, memberikan informasi, mendiskusikan masalah, pengelolaan emotif-afektif, memberikan masukan, model role social yang pantas, yang mampu menunjukkan perubahan kearah yang lebih positif.

Bahkan dengan teknik ABCD, model konseling ini telah dirancang sebagai upaya melatih mental untuk membangun pola emosional yang baru dengan cara berpikir rasional dalam menyikapi pelbagai kehidupan nyata. Klien Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan diri dan tanggung jawab dengan cara

Page 5: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

iv

berpikir rasional dalam hubungannya dengan cara mendefinisikan realitas untuk diri mereka sendiri.

Ya semuanya, bertumpu pada upaya menetapkan diri pada “the meaning of life”, begitulah kata Victor Frankl. Makna hidup itu memiliki nilai-nilai positif. Didalamnya bersemanyam nilai-nilai kreatifitas (creative value), nilai-nilai penghayatan (experiential value) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal value). Sepanjang seseorang dapat mensinergikan keyakinan religiusnya dengan nilai-nilai tersebut maka ia akan menemukan makna2 hidup yang luhur karena bertahap pada pemikirannya yang rasional Dan pada posisi ini, kehidupannya akan sehat, baik rasa, pikiran maupun perilakunya.

Orang yang kehilangan makna hidup karena ia terpisah dari keyakinan religiusnya maka kecenderungannya akan mengalami "syndrome of meaninglessness". Karena segala aktifitas kehidupannya selalu didominasi oleh emosi akut yang irrasional. Tandanya berupa frustasi eksistensial (existensial frustation) yang diakibatkan oleh keinginan-keinginan berlebihan atas kekuasaan, kesenangan, seks bahkan dalam menafsir ajaran-ajaran agama; kehampaan eksistensial (existensial vacuum) yang mengakibatkan ia mudah bersinergi dengan hal-hal yang salah, negatif dan menyimpang (konformisme) bahkan larut dalam hal-hal tersebut (totalitarianisme), dan jauhnya nilai-nilai spritualitasnya menjadi semu bahkan tumpul dari kehidupan sehari-harinya. Ujungnya, kesalahan atau penyimpangan apapun yang dilakukan selau diiringi tanpa ada perasaan bersalah atau berdosa (noogenic neurosis). Jadilah pesakitan yang sulit menjalankan kehidupan yang sehat dan menerima segala realitas yang tidak sesuai dengan keyakinan irrasionalnya.

Akhirnya, kami penulis menganggap bahwa pilihan hidup sehat itu indah. Karenanya tangkaplah dalam setiap momentum itu makna-makna hidup. Sinergikan dengan keyakinan suci agar setiap rasa, pikiran dan perilaku menjadi sehat dan tetap rasional. Dipenghujung, kami Dr. H. Ahmad Sarbini, M.Ag, Dudy Imanuddin Effendi, Herman, M.Ag, dan Dede Lukman, M.Ag,. mengucapkan “semoga tulisan ini merupakan persembahan terbaik yang bisa bermanfaat bagi kemajuan peradaban dalam dunia rasional”. Mohon maaf, jika tulisan ini terdapat sesuatu yang kurang dalam kata-katanya. Kami meyakini bahwa tulisan ini banyak ketidak-sempurnaan karena hanya bersifat deskriftip saja.

Page 6: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

1

Bab Satu

Prawacana

Pergeseran gerakan pemikiran, keagamaan, budaya, sosial, politik dan lingkungan hidup pada sebagian kalangan kelompok di Indonesia bahkan dibenua lainnya, berawal dari sikap kritis dalam kerangka kajian “idealisme tekstual”, “teologis-religius”, “hegemoni budaya-kesukuan”, “kritik sosial”, “politik endemik”, dan “enviromental-global warming” yang bersifat fundamental, berubah bentuk menjadi gerakan “ideologis-politis” yang bersifat radikal. Gerakan-gerakan tersebut yang mengalami pergeseran akibat dari adanya kristalisasi terhadap pemahaman yang sangat tekstual dan kekecewaan atas side-effect dari situasi staqus quo. Lebih dari itu, cara pandang seperti ini seringkali dijadikan oleh aktifis-aktifis pergerakan pada umumnya sebagai ukuran perubahan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Fenomena “pergerakan” dari fundamental menjadi radikal ini merupakan salah satu yang menjadi latar belakang penelitian, yang mengacu pada peralihan pola pikir karakteristik metodologis dalam pendekatan sosiologis, antropologis, religous dan politis.

Dalam konteks di atas, kemunculan gerakan radikalisme banyak varian sebab dan bentuknya, bukan hanya berakar dari teologis-religius. Bahkan gerakan lingkungan radikal pun memiliki potensi yang sama. Semisal, yang diungkapkan oleh Manuel Castell dalam “The Power of Identity”, pada akhir 1970-an sejumlah ahli ekologi radikal, yang dipimpin oleh David Foreman, seorang mantan Marinir menjadi pejuang ekologi, terciptalah gerakan “Earth First” di New Mexico dan Arizona, sebuah gerakan tanpa kompromi yang terlibat dalam pembangkangan sipil dan membuat pembatasan lingkungan terhadap pembangunan bendungan, penebangan kayu, dan agresi lainnya yang merusak alam, sehingga menghadapi penuntutan dan penjara. Gerakan tersebut dan sejumlah organisasi lain yang mengikutinya didesentralisasi sepenuhnya dan dibentuk oleh suku-suku otonom. Mereka bertemu secara berkala, sesuai dengan ritus pada masa Indian Amerika Asli, dan memutuskan tindakan mereka sendiri. Deep ecology adalah fondasi ideologis gerakan ini, dan ini menonjol di Earth First!, yang diproklamasikan awal oleh David Foreman.

Gerakan yang juga sama-sama berpengaruh, diilustrasikan dalam novel Abbey “The Monkey Wrench Gang”, tentang kelompok kontra-budaya gerilya ekologi, yang menjadi panutan bagi banyak ahli ekologi radikal. Memang, ''monkey wrenching'' menjadi sinonim untuk gerakan sabotase lingkungan. Pada 1990-an, lahir gerakan pembebasan hewan, yang berfokus secara oposisi langsung terhadap tindakan-tindakan eksperimen dengan mengunakan hewan.

Page 7: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

2

Gerakan ini, tampaknya merupakan sayap paling fundamental dari fundamentalisme ekologi.1

Contok gerakan radikalisme yang dipicu oleh hegemoni budaya-kesukuan adalah suku-suku yang ada di Aceh. Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek politik, Agama dan ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang sehingga membuat orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat Islam di Aceh yang urung terealisasi. namun disamping itu pula, perjuangan ini didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa. Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membangun rasa benci pada masyarakat Aceh dengan memanfaatkan etnis, yaitu kebencian masyarakat etnis Aceh dengan etnis Jawa. Kebencian etnis Aceh dengan etnis Jawa yang merupakan musuh historis atau musuh dari zaman dulu sebelum adanya penjajahan Belanda. Hasan Tiro membangkitkan lagi sejarah dimana kerajaan Samudera Pasai di serang oleh kerajaan Majapahit, sehingga etnis Jawa telah masuk pada garis merah atas apa yang dirasakan oleh masyarakat etnis Aceh. Seiring berjalannya waktu, intensitas konflik bukannya semakin menurun tapi malah semakin meningkat. Intensitas perang antar etnis Aceh dengan etnis Jawa ini semakin meningkat.2

Dua contoh di atas hanyalah mewakili simpulan sementara bahwa gerakan radikalisme sebenarnya bukan hanya lahir dari gerakan keagamaan saja tetapi bisa meluas ke gerakan lainnya. Artinya, potensi radikalisme ini bisa lahir dari “idealisme tekstual”, “teologis-religius”, “hegemoni budaya-kesukuan”, “kritik sosial”, “politik endemik”, dan “enviromental-global warming”, maupun gerakan kontra dari sebab-sebab yang sudah disebutkan.

Kajian di atas semakin menjadi menarik ketika identitas agama digunakan sebagai ideologi gerakan sekaligus ideologi politik, terutama ketika pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh orang-orang beragama dijadikan sebagai acuan untuk menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, sekaligus mendorong terwujudnya tindakan-tindakan yang berarti bagi mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan agama. Dalam konteks inilah, muncul realitas “kebudayaan” orang-orang beragama dalam pelbagai organisasi agama dan politik dari fundamentalisme pemikiran ke arah radikalisme gerakan dalam pelbagai bentuknya.

Fundamentalisme adalah sebuah aliran atau faham yang berpegang teguh pada dasar-dasar agama secara ketat melalui penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan literalis. Dalam pandangan Habermas fundamentalis adalah sebagai gerakan keagamaan yang memberikan porsi sangat terbatas terhadap

1 Manuel Castell dalam “The Power of Identity’ (1996); A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, hal. 72-188

2 Novri Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana, hal. 154.

Page 8: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

3

akal pikiran (rasio), ketika memberikan interpretasi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan. Secara historis, istilah “fundamentalisme” merupakan atribut yang diberikan kepada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolute dan sempurna dalam arti literal sehingga mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar dan tak terampuni. Fudamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar dunia, tidak hanya Kristen dan Islam, fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi dan Konfusianisme. Bahkan menurut Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama, tetapi terdapat pula dalam bidang politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme adalah suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik maupun budaya, yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya pada saat paham atau pandangannya tersebut menjadi rujukan.3

Bentuk “fundamentalisme radikal” yang berkembang di kalangan orang-orang Islam, terutama pada organisasi-organisasinya, terjadi ketika keyakinan keagamaan dalam diri orang-orang tersebut muncul keinginan untuk menghadirkan kembali ajaran-ajaran terdahulu yang substansial. Salah satu bentuk dari keinginan tersebut adalah adanya reformulasi atau revitalisasi ajaran yang kemudian melahirkan paham atau metode baru, yang dikembangkan melalui “isu-isu” kemapanan dari paham lama. Dalam praktiknya, untuk tujuan merealisasikan ajaran dari paham tersebut “gerakan sosial” ini dimanifestasikan dalam bentuk pergerakan politik keagamaan.

Pada masa Orde Baru, pergerakan fundamentalisme radikal di kalangan orang-orang Islam ini memiliki pola tersendiri. Pergerakan ini lebih bercorak ideologisasi terhadap ajaran-ajaran tertentu dalam pemahaman agama mereka. Pijakan utama yang menjadi pedoman bagi mereka adalah agama khusunya Islam dianggap sebagai visi dan dasar ideologi wawasan. Dari asumsi dasar inilah kemudian berkembang dan mulai dipahami secara interpretatif bahwa Islam sebagai ideologi yang populis, egaliter, berorientasi aksi, dan bersemangat militan. Secara historis, benih-benih radikalisme ini mulai digerakan oleh kelompok-kelompok yang terpojokkan secara politik pada masa orde lama sampai masa Orde Baru.

Di era Reformasi, proses pemantapan “radikalisasi” ini semakin menampakkan identitasnya. Dari kajian awal yang pernah dilakukan peneliti, terbukti bahwa kelompok-kelompok muslim yang diasumsikan mengalami pergeseran pergerakan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Wujud perkembangan tersebut adalah terbentuknya jaringan yang kuat, solid, dan meluas dari beberpa kelompok terbebut. Kelompok ini membentuk jaringan struktur yang masif, mulai dari hirarki tingkat nasional sampai tingkat religional yang paling kecil. Dari kelompok-kelompok inilah proses radikalisasi dalam

3Lihat. David Ray Griffin, God and Religion in the Modern World, Albany: State University of New York Press, 1989. Jurgen Habermas, Religion and Rasionalty, Massachusetts: The MIT Press, 2002.

Page 9: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

4

konteks fundamentalisme Islam dilahirkan dan dikokohkan dalam berbagai bentuk tindakan sosial-politik yang dilakukan, seperti konflik ideologi, penentangan, protes, atau perlawanan, yang merupakan embrio bagi suatu pergerakan.

Kemunculan beberapa kelompok yang dipersepsi masuk kategori kelompok radikalis telah melahirkan pelbagai respon, baik itu dari kalangan kelompok budaya, politik, bahkan dari agama itu sendiri. Beberapa kelompok-kelompok kontra tersebut termasuk didalamnya pemerintahan mulai merespon dengan mencanangkan proram penangulangan radikalisme dan terorisme.

Untuk konteks Indonesia, Pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002. Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dipimpin oleh seorang kepala, BNPT mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).4

Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan. Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.5

4http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf

5 idem

Page 10: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

5

Dalam perspektif BNPT, radikalisme yang mengarah pada gerakan terorisme6 merupakan tindakan kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan sejahtera.

Oleh karena itu upaya pemerintahan ini secara operasional telah banyak mengandeng pelbagai pihak, mulai dari organisasi agama, masyarakat, pemuda, lembaga-lembaga dibawah kementerian, dan lainnya dengan model dan pendekatan penanggulangan radikalisme dan terorisme yang berbeda-beda pula.

Latar pijakan diatas telah dijadikan sebagai dasar awal oleh penulis dalam melakukankan penelitian secara kelompok, khususnya berkaitan dengan upaya menelaah model penangulangan radikalisme yang telah dilakukan oleh organisasi keagamaan yang sudah populis di masyarakat dengan mengunakan pendekatan analisa Konseling Rational-Emotif. Pendekatan Konseling Rasional-Emotif dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC. Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB. Selain itu, Ellis juga

6 Maksud pemerintah yang dimaksud radikalisme yang mengarah pada tindakan terorisme tertuang dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Page 11: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

6

menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang konselor harus menawarkan konseli agar bisa melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu yang telah menyelisihi pandangan konseli sehingga melahirkan dampak-dampak negatif (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional7.

Berkaitan dengan tema penelitian yang telah dilakukan maka telaah pada level diagnosa Antecedent event (A) adalah mengungkap segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain yang berkaitan dengan kemunculan pemahaman, perilaku dan kelompok radikalisme yang diasumsikan terlibat pada gerakan terorisme dalam model penanggulangan yang telah dilakukan oleh organisasi besar keagamaan yang sudah populis di masyarakat. Level diagnosa Belief (B) adalah mengungkap keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu atau kelompok terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB) dalam pandangan organisasi besar keagamaan yang sudah populis di masyarakat. Sedangkan level diagnosa Emotional consequence (C) adalah mengungkap akibat atau reaksi individu atau kelompok dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A) dalam pandangan organisasi keagamaan yang sudah populis di masyarakat.

Tiga level diagnosa yang disebutkan di atas sebagai studi pendahuluan dalam penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya, merumuskan pengembangan model penanggulangan radikalisme dengan mengenapkan pada level (dispute; D) dalam bentuk konsep penanggulangan secara persuasif yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasional yang telah menyelisihi pandangan masyarakat terhadap gerakan radikalisme dan terorisme. Begitupun telah melahirkan dampak-dampak negatif (effects; E) dengan menghadirkan psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

Oleh karena itu, masalah penelitian ini adalah studi gerakan radikalisme yang sudah diasumsikan sebagai gerakan terorisme, yang memilih radikalisasi sebagai metode pergerakan dalam menjalankan aksi-aksinya di Indonesia. Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa kegiatan fundamentalisme Islam radikal yang “membentuk organisasi” merupakan tindakan “membentuk kebudayaan” berdasarkan hasil interpretasi dari persepsi mereka dengan cara “membentuk pergerakan” yang melawan dan memprotes tatanan struktur dan kultur dimana mereka berinteraksi di lingkungan sosialnya dan mengarah pada tindakan terorisme. Gerakan radikalisme ini menarik perhatian karena pergerakannya bukan hanya radikal tetapi juga sangat militan, ketika mereka menggunakan potensi sumber daya manusia, untuk memobilisasi anggota, membuat jaringan, mengkoordinasi kegiatan, menggalang massa, mengadakan konflik dan konfrontasi. Hal ini dapat dilihat pada saat mereka

7Lihat. Corey, Gerald. Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. PT Eresco, Bandung: 1995, hal. 179-181

Page 12: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

7

menginterpretasi “makna” dan “tindakan” terkait dengan situasi sosialnya, seperti kesenjangan, ketidakadilan dan ketidakpuasan, yang kesemuanya itu bermuara pada penciptaan konflik dan konfrontasi. Dalam kehidupan konflik dan konfrontasi inilah orang-orang dalam organiasasi-organisasi tersebut aktif memperjuangkan cita-cita gerakannya dengan mengembangkan dan mengintensifikasi “isu-isu” politik dalam bentuk “kontra-wacana” atau “kontra-dominasi” terhadap diskursus tertentu atau dominasi kelompok tertentu, baik terhadap negara maupun masyarakat luas.8

Akan tetapi fokus utamanya lebih pada penelitian model penangulangan radikalisme yang telah dilakukan oleh organisasi keagamaan yang sudah populis di masyarakat, khususnya Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS sebagai mitra BNPT. Kemudian diharapkan mampu menawarkan pengembangan model penanggulang radikalisme dengan mengunakan pendekatan konseling rational-emotif.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tulisan ini merupakan jawaban-jawaban dari perumusan masalah yang telah dicanangkan sebelumnya, yakni meliputi: 1) Bagaimana analisa antecendent event (A) mengenai segenap peristiwa luar

yang dialami, yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, dan sikap orang atau kelompok radikalisme yang diasumsikan terlibat pada gerakan terorisme?

2) Bagaimana analisa Belief (B) mengenai keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu atau kelompok Radikalisme?

3) Bagaimana analisa Emotional consequence (C) mengenai akibat atau reaksi individu atau kelompok radikalisme dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A)?

4) Bagaimana model penanggulangan radikalisme yang digagas, khsusnya oleh organisasi keagamaan yang sudah populis di masyarakat Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS dalam pendekatan analisa dispute? Selanjutnya, dalam upaya memahami interpretasi dan pemahaman

mengenai konsep dan gerakan radikalisme, maka secara operasional tulisan ini mengikut-sertakan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang relevan dalam menjelaskan hakikat dari hubungan-hubungannya. Dalam kajian ini, konsep-konsep seperti “fundamentalisme”, “radikalisme”, terorisme dan konsep-konsep lainnya yang berhubungan dengannya substansi penelitian Operasionalisasi konsep dan gerakan “radikalisme” sebagai interpretasi organisasi-organisasi keagaamaan, terutama Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS dalam model penanggulangan radikalisme yang sudah disentuhkan ke pelbagai kelompok masyarakat.

Tulisan ini juga berpijak pada kajian-kajian sebelumnya, seperti telaah yang telah di lakukan oleh Moh. Ziyadul Haq Annajih Annajih, Kartika Lorantika

8 Istilah “kontra-wacana” didasarkan pada konsep Richard Terdiman (1987), sedangkan istilah “kontra-dominasi” atau “kontra-hegemoni” merujuk pada Antonio Gramsci (1971). [Lihat dalam Daftar Pustaka].

Page 13: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

8

dan Hikmah Ilmiyana tentang Paradigma Konseling Multibudaya dalam penanggulangan radikalisme. Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep bimbingan dan konseling multibudya dalam menanggulangi radikalisme di kalangan remaja, tentunya tidak lepas dari konsep psikologi perkembangan remaja. Pendekatan konseling multibudaya sebagai penggerak kelompok-kelompok masyarakat untuk saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain. Kaum mayoritas bisa menghormati terhadap kaum minoritas. Sebaliknya, kaum minoritas bisa menghormati keberadaan kaum mayoritas. Konsep untuk saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain merupakan modal dalam membina kerukunan pada kelompok masyarakat yang plural.9

Kajian lainnya yang pernah dilakukan oleh Ma’arif Institute. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maarif Institute pada Desember 2015 yang termuat di nasional kompas sungguh mengejutkan. Benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam tahap yang mengkhawatirkan. Survei dilakukan terhadap 98 pelajar SMA yang mengikuti Jambore Maarif Institute. Salah satu poin pertanyaan yang diajukan kepada para pelajar yaitu, “bersediakah Anda melakukan penyerangan terhadap orang atau kelompok yang dianggap menghina Islam?” Hasilnya, 40,82 responden menjawab bersedia, dan 8,16 persen responden menjawab sangat bersedia. Sedangkan responden yang menjawab tidak bersedia 12,24 persen dan kurang bersedia sebanyak 25,51 persen.10

Kajian yang samapun pernah dilakukan oleh SETARA Institute. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa intoleransi yang diajarkan oleh kelompok Islam garis keras atau radikal adalah titik awal dari terorisme. Terdapat sejumlah irisan kesamaan antara kelompok radikal yang intoleran dengan kelompok teroris, di antaranya adalah dukungan terhadap penerapan syariat Islam, penentangan apa yang mereka pandang maksiat, dan pendirian negara Islam. Kesamaan-kesamaan tersebut yang memunculkan hipotesis bahwa kelompok Islam radikal memiliki potensi yang cukup besar untuk bertransformasi menjadi kelompok teroris. Hipotesis itu kemudian dibuktikan dalam penelitian kelompok radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, seorang anggota Jamaah Islamiyah Joko Jihad menjadi contoh (sampel) bagaimana individu intoleran menjadi anggota kelompok teroris. Sedangkan kasus "Ightiyalat", kelompok radikal di Klaten, menunjukkan bagaimana kelompok radikal dapat bertransformasi menjadi kelompok teroris. Walaupun dalam penelitian itu, SETARA Institute, membedakan kelompok Islam radikal, khususnya yang lokal, dengan kelompok teroris. Kelompok radikal Islam dalam setiap aksinya tidak pernah merencanakan pembunuhan meskipun mereka menggunakan kekerasan

9 Hasil penelitian kelompok, intisarinya dimuat pada Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling Tersedia Online di Vol. 1, No. 1, 2017. ISSN 2579-9908.

10Nasional.kompas.com/read/2016/03/02/08065991/Survei.Maarif.Institute.Benih.Radikalisme.

Page 14: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

9

sedangkan teroris sasarannya adalah nyawa. Perbedaan kedua adalah sifat organisasi. Kelompok radikal bersifat terbuka sedangkan teroris adalah jaringan tertutup yang hanya anggota dengan kedudukan tingat atas yang tahu semuanya.

Semisal penelitian di lakukan oleh Moh. Ziyadul Haq Annajih Annajih, Kartika Lorantika dan Hikmah Ilmiyana tentang Paradigma Konseling Multibudaya dalam Penanggulangan Radikalisme. Hubungan yang erat antara Paradigma Konseling Multibudaya dengan penanggulangan radikalisme terputus sebatas dua teori yang terpisah. Antara paradigma konseling multibudaya yang didalamnya diurai adanya multicultural awarness, multicultural knowledge dan multicultural skills dengan radikalisme tidak ada kesimpulan yang menghubungkan. Apalagi uraian tentang model penanggulangannya secara konseptual dan praktis.

Sebenar masih banyak hasil penelitian yang sudah dilakukan, baik itu oleh individu, kelompok maupun lembaga-lembaga non pemerintahan. Akan tetapi, hasil penelitiannya masih bertumpu pada dampak saja, bersifat parsial, konseptual, tidak mendalam, operasional dan bersifat solutif dalam upaya menanggulangi sebaran pemikiran dan gerakan radikalisme. Upaya-upaya yang dilakukan hampis kebanyakan penelitian terdahulu lebih bersifat pada menegaskan definisi dari istilah radikalisme, kemudian mencoba mencocokkan dan pengelompokan berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Upaya yang lebih jauh, baru sebatas melihat dampak pemikiran dan gerakan radikalisme terhadap yang lain, baik itu remaja, orang tua, maupun masyarakat secara luas.

Tulisan ini merupakan kajian yang mendalam guna memperoleh data yang lengkap dan terperinci dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) berlandaskan idealisme, humanisme, dan kulturalisme; (2) menghasilkan teori, mengembangkan pemahaman, dan menjelaskan realita yang kompleks; ( 3) bersifat dengan pendekatan induktif-deskriptif; (4) memerlukan waktu yang panjang; (5) Datanya berupa deskripsi, dokumen, catatan lapangan, foto, dan gambar; (6) Informannya “Maximum Variety”; (7) berorientasi pada proses; ( 8) Penelitiannya berkonteks mikro.11

Sedangkan paradigmanya mengunakan konstruktivisme, karena pada dasarnya tulisan ini mengali pemahaman-pemahaman individu, yang berkaitan dengan radikalisme dalam bingkai Rational Emotive Behaviour Therapy. Dengan menggali pemahaman kunci-kunci informasi yang diharapkan tulisan ini mampu menyajikan konstruk sekaligus deskripsi pemikiran yang utuh.

Hal di atas berangkat dari pemaparan Norman K Denzin, & Yvonna S Lincoln yang mendefinisikan paradigma konstruktivis sebagai paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sebagai analisis sistematis terhadap socially

11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), 24.

Page 15: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

10

meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka.12

Tulisan ini berdasarkan perencanaan awal dilakukan dengan cara wawancara langsung dalam teknik pengambilan datanya. Akan tetapi karena beberapa kendala teknis setelah melakukan survey ke lokasi sumber informasi mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan situasi politik yang banyak melibatkan tokoh-tokoh kunci yang ada di organisasi keagamaan, seperti di NU, Muhammadiyah dan Persis menjelang Pilpres 2019. Berdasarkan kendala tersebut maka dalam prosesnya, pencarian data-data dalam merampungkan telaah ini mengunakan pendekatan rekam jejak digital yang sudah terpublish dimedia-media internet, buku dan lainnya.

Karenanya, telaah ini pada akhirnya menggunakan metode digital atau vitual etnographi, sebab yang akan digali berupa makna dan hakikat dari pengalaman dan pemahaman organisasi keagamaan, semisal Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan PERSIS dalam menanggulangi radikalisme perspektif Rational Emotive Behaviour Therapy.13 Dengan metode ini, diharapkan bisa memotret konstruksi pemahaman dan pengalaman subjek dan objek penelitian dalam menanggulangi radikalisme melalui jejak rekam digital.

Walaupun metode Virtual Ethnography tergolong masih baru dalam dunia penelitian, tetapi menurut Hine merupakan kontribusi metodologis yang penting bagi studi di ruang siber. Upaya riset etnografi era siber merupakan hal yang penting untuk dilakukan, karena masa mendatang dunia maya internet bukanlah suatu ranah yang terpisah dari kehidupan nyata. Ruang dan waktu berbaur dengan realitas kehidupan manusia.14 Era siber atau ruang siber sebagaimana dijelaskan oleh Kitchin dalam Hine (Hine, 2000) mampu mengubah aturan konsep waktu dan ruang, mengubah komunikasi serta aturan dalam komunikasi massa dan memunculkan pertanyaan mendasar tentang yang riil dan virtual, kebenaran dan fiksi, autentisitas atau pabrikasi. Dalam karyanya tersebut, Hine menyodorkan pendekatan dalam melihat realitas atau fenomena yang terjadi di ruang siber melalui dua aspek, yaitu budaya dan artefak kultural. Pada awalnya, model komunikasi yang terjadi di internet dari perspektif budaya merupakan model komunikasi yang sangat sederhana jika dibandingkan dengan model komunikasi langsung. Pada generasi internet terdahulu, komunikasi melalui internet hanya menggunakan teks atau simbol dan secara langsung dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Pada generasi internet sesudahnya, komunikasi terjadi melibatkan teks secara lebih luas, suara, visual dan bahkan komunikasi termediasi komputer telah menggabungkan semua

12 Norman K Denzin, & Yvonna S Lincoln. Handbook of Qualitative Research. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009), 137.

13 Engkus Kuswarno. Metodologi Penelitian Fenomenologi. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009),36. 14 Lifton, J., & Paradiso, J. A. (2010). Dual reality: Merging the real and virtual. In Lecture Notes

of the Institute for Computer Sciences, Social-Informatics and Telecommunications Engineering (Vol. 33 LNICST, pp. 12–28). http://doi.org/10.1007/978-3-642-11743-5_2

Page 16: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

11

aspek tersebut. Internet merupakan konteks institusional maupun domestik dimana teknologi ini juga menggunakan simbol yang memiliki makna tersendiri, sebagai suatu bentuk metaphorical yang melibatkan kosep baru terhadap teknologi dan hubungannya dengan kehidupan sosial.15

Berpijak pada hal di atas maka telaah ini akan mengidentifikasi dan menganalisa pandangan-pandangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan radikalisme para sumber informasi dalam dunia maya. Ward (1999) menilai bahwa keterlibatan manusia dalam dunia maya internet telah memunculkan interaksi. Interaksi yang telah terjadi melalui internet telah melahirkan artefak kultural sehingga kehidupan yang terjadi pada dunia tersebut dapat diteliti dengan metode etnografi. Murthy (2008) melihat bahwa perkembangan teknologi telah mendorong digitalisasi komunikasi sehingga menumbuhkan ruang-ruang kehidupan sosial dan kultural baru.16

Perbedaan akan tampak pada masing-masing pemikiran saat dicermati. Digital ethnography lebih menekankan pada pengamatan terhadap kehidupan dunia maya internet, dan hanya mencermati pada segala hal yang ditampilkan pada subyek yang ditelaah. Data yang ada dihimpun, dikategorisasi kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelaahan.

Pada network ethnography, Howard memadukan analisis jaringan sosial dengan etnografi. Ia menggunakan analisis jaringan untuk membenarkan seleksi kasus, kemudian kasus tersebut diteliti menggunakan etnografi. Netnografi medorong peneliti menjadi bagian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan subyek penelitiannya secara penuh. Komputer dan jaringan internet adalah sarana untuk mengumpulkan data, yang artinya data hanya diperoleh dari interaksinya di dalam forum internet, chat room, mailing list, blog atau jejaring sosial maya internet yang ditelitinya. Sementara etnografi virtual mendorong keterlibatan penelaah untuk melakukan observasi di dunia nyata sosial internet terhadap subyek yang ditelitinya.17

Ranah dunia maya begitu dinamis dan memunculkan ragam area yang menarik untuk dikaji lebih dalam dengan metode etnografi di dunia siber, seperti jejaring sosial maya, blog, vlog, wikis dan auto-netnografi. Melalui jaringan internet global, sekat-sekat kewilayahan semakin direduksi, sehingga orang yang berada di zona waktu berbeda pun dapat berkomunikasi dalam

15Lihat. Hine, C. (2000). Virtual Ethnography. Howard, P. N. (2002). Network Ethnography and the Hypermedia Organization: New Media, New Organizations, New Methods. NewMedia & Society, 550–574. http://doi.org/10.1177/146144402321466813; Murthy, D. (2008). Digital Ethnography: An Examination of the Use of New Technologies for Social Research. Sociology, 42(5), 837–855. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1177/0038 038508094565; Kozinets V, R. (2013). Robert V. Kozinets. Netnography: Redefined.

16 Ward, K. J. (1999). Cyber-ethnography and the emergence of the virtually new community. Journal of Information Technology, 14(1), 95–105.

17 Howard, P. N. (2002). Network Ethnography and the Hypermedia Organization: New Media, New Organizations, New Methods. New Media & Society, 4, hal 550–574. http://doi.org/10.1177/146144402321466813.

Page 17: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

12

ruang yang sama. Meskipun cenderung tampak ‘bebas’, telaah dalam bentuk riset di era siber tetap harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel, dan tetap memperhatikan etika penelitian yang berlaku. Ranah dunia maya yang dapat diakses secara umum atau dikenal dengan Surface Web. Pencarian data dalam jejak digital sangat mudah dilakukan dengan menggunakan mesin pencari web yang dikenal oleh publik seperti Google.18 Dalam konteks inilah, informasi yang dikumpulkan berupa data-data pemikiran atau pandangan beberapa organisasi keagamaan populis, seperti tokoh NU, Muhammadiyah dan PERSIS telah diakses karena dianggap sebagai representasi ekspresi dalam realitas dunia maya internet global, khususnya yang berkaitan dengan radikalisme dan upaya penanggulangannya. Karenanya, dalam hal ini penelaah merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data atau instrumen kunci.19

Tulisan ini telah didiskusikan dan dibedah sebelumnya dengan beberapa pakar, peneliti, dosen bahkan beberapa komunitas mahasiswa kritis. Proses bedah dan diskusi ini tidak lain merupakan upaya agar bisa maksimal hasil kajian saat akan dipublikasi cetak. Dengan hasil maksimal, tulisan ini diharapkan memberikan kontribusi positif dan masukan pada pembuat kebijakan pada tingkat aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya mengenai model penanggulangan radikalisme pendekatan konseling rational-emotif. Bahkan dengan segala kerendahan hati, tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi kalangan organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat umum sebagai salah satu model dalam mempelajari kondisi sosial budaya yang hidup dimasyarakat luas. Jauhnya agar tercipta hubungan sosial yang harmonis dan pemahaman secara proporsional mengenai ide-ide, tindakan, serta aktivitas yang bisa dijadikan sebagai upaya untuk meminimalisasi ketegangan-ketegangan baru dalam penyelesaian krisis yang selalu terjadi pada masyarakat plural di Indonesia.

18 Bergman, Michael K (August 2001). "The Deep Web: Surfacing Hidden Value". The Journal of Electronic Publishing7 (1). doi:10.3998/3336451.0007. 104.

19 S. Nasution, Metode Penelitian…, 9.

Page 18: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

13

Bab Dua

Radikalisme: Sebuah Tinjauan Teoritik

Pemaknaan Radikalisme

Dalam perspektif etimologi radikal diambil dari kata radix dalam bahasa latin yang artinya “akar”. Selanjutnya dalam bahasa Inggris kata radical kerap diasosiasikan dengan sikap ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, dan fundamental.20 Jika merujuk pada Ensiklopedia Pencegahan Terorisme, radikalisme berasal dari akar kata radikal. Dalam e Concise Oxford Dictionary (1987), radikal berasal dari bahasa Latin “Radix, Radicis” yang berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Radikal didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.21

Istilah radikal sendiri populer digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal.22 Sedangkan radikalisme bermakna praktik dan doktrin penganut paham radikal yang berorientasi ekstrim.23 Radikalisme juga bisa dipahami sebagai paham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik sosial, politik dengan menggunakan kekerasan, berpikir asasi, dan bertindak ekstrim.24

Nasution menjelaskan bahwa radikalisme adalah gerakan yang berpandangan konservatif, kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.25 Merujuk pada pendapat ini maka definisi radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat dari pada istilah fundamentalisme, karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang multi interpretable.26 Satu sisi dalam perspektif Barat, fundamentalisme dipahami sebagai orang-orang yang berpaham rigid, ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tajdid atau upaya pengembalian ajaran kepada sumber aslinya.

20 A.S.Hornby, Oxford Advenced; Dictionary of Current English (UK: Oxford university press, 2000), 691.

21 Ensiklopedia Pencegahan Terorisme. (Bogor: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2016), 54.

22 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_(sejarah) diakses pada tanggal 2 Juni 2018 jam 11:45 WIB

23 Nuhrison M. Nuh, Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/ Gerakan Islam Radikal di Indonesi (Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol VIII Juli-September 2009), 36.

24 Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan & Deradikalisasi BNPT, Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme. (Bogor: BNPT, 2015), 27 cet I.

25 Nasution, Harun. Islam Rasional. (Bandung: Mizan, 1995), 124. 26 Sun Choirol Ummah. Akar Radikalisme Indonesia. Jurnal Humanika. Vol.12, NO 12.

(Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) 114

Page 19: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

14

Al Hamad memaparkan bahwa radikalisme sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis.27 Radikalisme sering dimaknai berbeda antar satu kelompok kepentingan dengan kelompok lainnya. Misalnya dalam lingkup keagamaan, radikalisme biasa diasosiasikan sebagai gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan tindakan teror atau kekerasan.28 Contoh lain dalam konteks negara Indonesia, gerakan komunisme yang lahir dari kesadaran kelas, kemudian melakukan upaya perubahan secara komprehensif melalui serangkaian aksi kekerasan. Selaras dengan MCTaggart dalam disetasinya, ia menggunakan kata radikal untuk kelompok Black Panther sebagai kelompok sosialis penentang kapitalisme Amerika.29

Dari sudut pandang sosiologi, Sartono Kartodirdjo, memaparkan bahwa radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung yang ditandai dengan ekspresi moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.30 Dengan demikian radikalisme pada dasarnya mempunyai makna netral, bahkan dalam kajian filsafat jika seseorang mencari kebenaran harus sampai kepada akarnya (berpikir radikal).31

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat tertentu dengan motif yang beragam, sosial, politik, budaya maupun agama, lebih jauh radikalsime ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.

Varian Radikalisme

Pembahasan suatu ilmu pengetahuan tidak lagi dibatasi oleh rigiditas formal yang telah disepakati, untuk itu satu objek material bisa saja dilihat dari berbagai perspektif formal yang berbeda, selain menunjukan keluasan khazanah, juga dapat memepertegas diktum bahwa sebuah ilmu tumbuh dan berkembang di atas hamparan kemapan ilmu-ilmu yang lain. Untuk itu dalam pembahsan ini, akan melihat radikalisme dari berbagai perspektif, terurtama dari perspektif pilitik, sosial , budaya, ekonomi dan agama. Macam-macam perspektif tentang radikalisme tersebut akan direfleksikan dalam bingkai

27 Ahmad Mohammad al Hamad, Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Surbaya (Studi Kasus Kriteria Radikalisme Menurut Yusuf Al Qardhawi) Tesis Sarjana (Perpsutakaan UIN Sunan Ampel Surabaya; 2018), 16.

28A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007), 33.

29 Ursula MCTaggart, “Radicalism in America's "Industrial Jungle" : Metaphors of the Primitive and the Industrial in Activist Text”. PhD Dissertation. (Indiana University, 2008), 40.

30 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 38. 31 Muhammad Nursalim, Deradikalisasi Terorisme; Studi atas Epistimologi, Model Interpretasi dan

Manipulasi Pelaku Teror. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol 8, N02, Desember 2014, 336.

Page 20: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

15

tataran formal dengan tetap memberi ruang konvergensi masing-masing ilmu pengetahuan di atas.

a. Radikalisme Politik Kekuasaan Politik dan kekuasaan merupakan tiga entitas inheren dalam diskursus radikalisme, karena radikalisme sendiri kerpa diasosiasikan sebagai bagian dari domain politik. Radikalisme yang dimaksud mencakup radikalisme negara terhadap wargaa negaranya, atau perangkat kekuasaan terhadap yang dipimpinnya, atau bisa saja radikalisme satu negara kepada negara lainnya yang dinilai memiliki sistem dan ideologi politik yang berbeda, atau setidaknya unsur politik diterjemahkan sebagai adanya pihak lain yang campur tangan dalam fenomena radikalisme yang terjadi. Pemahaman ini dipandang tidaklah berlebihan, sebab dalam ruang realitas empiriknya memperlihatkan gejala yang tidak jauh berbeda dari pendapat atau asumsi tersebut.

Sama halnya dengan pendapat atau asumsi di atas, dengan menarik persoalan radikalisme dalam domain politik, pada saat yang sama asumsi ini menguatkan asumsi yang lain, yaitu asumsi bahwa politik dinilai sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara terbuka mengembangkan berbagai teori, dan pemandangan tentang bagaimana radikalisme sebagai instrumen yang inheren dipergunakan dalam merebut dan mengukuhkan kekuasaan yang ada, terutama teori politik yang dikembangkan pada abad pertengahan, serta teori politik Marxian dan Sosialis.

Dalam perspektif politik, radikalisme berkisar pada perilaku negara dalam mengontrol rakyatnya, kemudian radikalisme yang dilakukan aktor lain selain negara yang memiliki kekuasaan. Perspektif ini umum muncul dibenak siapapun juga, sebab negara sendiri merupakan objek pertama dalam diskursus politik, dengan kata lain ketika membahas negara pada saat yang sama sedang membicarakan politik, inilah yang White ungkapkan: “political science is the study of formation, form and processes of the states and government.”32 . selanjutnya, hal yang sama dipaparkan oleh Johan Kaspar Bluntschli bahwa Political Sciences is “ The sciences which is concerned with the state, which endeavours to understand and emprehend the state in its conditions, in its essential nature, in various forms or manifestation its development”.33 Selain dua pendapat tersebut, dalam pandangan Hegel membicarakan negara sama halnya berbicara tentang penguasa dan yang dikuasai, dan menurut dia, inilah elemen pertama dalam ilmu politik.34

Kekuasaan dalam pandangan Meriam Budiardjo dilihat sebagai “kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai

32 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dwintara, 1987). 9. 33 Johan Kaspar Bluntschli dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta,

1997. Hal 19. 34 Gafna Raiza Wahyudi dkk (Penerjemah), Antonio Gramsci: Catatan-Catatan Politik, ( Surabaya :Pustaka Promethean, , 2001). 29.

Page 21: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

16

kekuasaan”35’. Lebih jauh Max Weber yang berpendapat bahwa “kekuasaan sebagai suatu kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu”36. Jauh lebih ekstrim dari dua pendapat di atas, Mac Iver berpendapat bahwa kekuasaan adalah “ the capacity to control the behavioral of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means”.37 Dari berbagai definisi tentang kekuasaan di atas, maka dapat diambil kesumpulan bahwa ternyata negara memiliki kuasa istimewa jika dibandingkan dengan organisasi lainnya. Keistimewaanya terletap pada kemampuan negara untuk memaksa melalui instrumen hukum. Maka dari kuasa istimewanyalah potensi radikalisme yang dilakukan negara terhadap rakyatnya bisa terjadi.

Dengan demikian dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi berangkat dari faktor kekuasaan sebagai causa prima atau initi persoalan, dalam konteks ini radikalisme sering dipahami sebagai cara atau perbuatan kekuasaan. Meski pun perbuatan tersebut dikatogerikan oleh JRP French & Bertram Reven dalam bukunya The Basic of Social Power sebagai ”coercive power” , atau yang lazim disebut “coup d’etat” (perbuatan inkonstitusional)38. Untuk itu ketika berbicara kekuasaan dalam politik, pikiran manusia sudah terkonstruksi dengan pandangan negatif, aksi tipu-tipu, sabotase dan hegemoni.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa ilmu politik merupakan ilmu yang secara eksplisit membuka ruang teori dan pemikiran tentang penggunaan perilaku radikal sebagai instrumen perebut sekaligus mempertahankan kekuasaan. Contoh pemikiran yang dikembang yakni pemikiran politik Machiavelli terutama konsep kekuasaan negara yang menjauhkan azas moralitas dan memilih jalan utilitarian. Baginya benar dan baik dalam kaidah politik adalah apa yang bisa memperkuat kekuasaan, apa pun yang memenuhi kaidah tersebut maka layak dibenarkan tidak terkiecuali perilaku radikal.39 Sebab bagi dia peribadi, kekuasaan adalah hakekat suatu negara itu sendiri yang pelaksanaannya tidak dicampuradukkan dengan pertimbangan moral, etika, bahkan hukum sekalipun. Ajaran Machiavelli berbanding terbalik dengan ajaran Plato yang menganjurkan kekuasaan yang dimaksud, tidak ubahnya cara seorang ayah dalam mendidik anaknya dengan penuh kearifan dan kebijaksaaan. Atau konsep yang diajukan oleh Ariestoteles tentang matrimonial, yaitu ajaran kekuasaan yang mengacu pada harmonisasi hubungan simbiolistik, layaknya hubungan seoarang suami dengan istrinya. Jika ajaran Plato dan Aristoteles sangat paternalistik, maka Machiavelli menganjurkan kekuasaan despotik (dari bahasa yunani ”despotike”/of master untuk menunjukkan

35 Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977). 35 36 Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press 1970). 163 37 MacIver, The Web Goverment, (New York: Mac Millan Co, 1965).87. 38 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999). 19. 39 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). 8.

Page 22: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

17

penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya).40

Lebih jauh, Machiavelli dalam manifestasi gagasan politik dispotiknya menghalalkan pretensi, kecurangan, dan pengkhianatan demi kepentingan kekuasaan, yang penyelenggaraannya menghiraukan azas moralitas etis, bahkan religius.41 Dalam hal ini radikalisme menjadi sesuatu yang dibolehkan bahkan sebagai kunci kekuasaan. Sebaliknya penguasa yang tidak menggunakan jalan radikalisme malah justru dianggap tidak akan mendapatkan kekuasaan, atau mempertahankan kekuasaaanya yang telah diraihnya. Meski demikian, dia pun beranggapan jika menggunakan jalan radikalisme secara berlebihan akan menimbulkan kecurigaan dan pemberontakan. Untuk itu Machiavelli mencoaba memilih bentuk pemerintahan dalam bentuk republik sebagai rezim yang nonmonarkhis. Pilihan tersebut didasari pada keyakinan bahwa republik berbidiri di atas kesepakatan-kesapakatan rakyat dengan pemegang pemerintahan. Kesepakatan tersebut yang kelak membatasi perilaku radikalisme berlebihan oleh para penyelenggara negara.42

Selain Machiavelli, pemikir yang mencoba menawarkan gagasan radikalisme dalam politik kekuasaan adalah Thomas Hobbes. hal ini terlihat dari bagaimana dia mengkonstruksi kemunculan suatu negara. Kemunculan negara dikonstruksinya sebagai bentuk kesepakatan para anggota masyarakat, yang sebelum terbentuknya negara (state of nature), manusia hidup dalam pertempuran semua lawan semua. Menurutnya, diwaktu manusia hidup tanpa suatu kekuasaan umum untuk menjaga mereka semua dalam keadaan takut, mereka dalam kondisi yang dinamakan perang, dan dalam perang seperti itu setiap orang menentang setiap orang. Dalam kondisi tersebut, radikalisme dan penipuan merupakan cara yang utama dalam mempertahankan kehidupan43.

Meskipun Machiavelli dan Thomas Hobbes memiliki persamaan namun, keduanya memiliki perbedaan, terutama dalam nmenjalankan tugas dan fungsi kenegaraan. Menurut Machiavelli radikalisme merupakan instrumen pertama dalam menjalankan politik kekuasaan, sedang menurut Thomas Hobbes politik kekuasaan negara harus berpijak pada hukum. Pendapat Thomas Hobbes, meskipun mengamini sakralitas hukum, namun ia juga berpendapat bahwa untuk mengukuhkan kekuasaan negara maka, penegakan hukum positif perlu diberlakukan. Ada pun cara menegakan hukum positif bisa saja melalu jalan agitatif, refresif dan pemaksaan, agar para rakyatnya bisa tetap patuh pada

40 Hermansyah, “Radikalisme: Tafsir Ideologis atas Sebuah Isme” Makalah Seminar. Disampaikan pada Lokakarya Dalam rangka memperingati HUT Bhayangkara ke 65, “ Kemitraan Polti Dengan Masyarakat Dalam Menangani Radikalisme, Polda Kalbar Pontianak, 28 Juni 2011.

41 J.H. Rappar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Agustinus Machiavelli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Edisi I Cet-2, 2003).432.

42Charles F. Andrain (Luqman Hakim-Penerjemah), Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta PT: Tiara Wacana, Cet 1 1992). 128.

43A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992). 111.

Page 23: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

18

negara, ia pun berpendapat bahwa hukum eksekusi mati penting untuk diterapkan. Dengan kata lain radikalisme bagi Thomas Hobbes masih dipandang penting untuk diterapkan dalam politik kekusaan.44

Di antara kedua pendapat Machiavelli dan Thomas Hobbes, Johan Galtung sebagai tokoh ilmu politik kontemporer, mencoba mendeskripsikan tentang fenomena radikalisme yang muncul, terutama relevansi nya dengan budaya masyarakat. Dalam pandangan Johan Galtung radikalisme berkaitan dengan hak seseorang dalam keterlibatan aktivitas politik. Berangkat dari pemahaman tersebut ia mendefinisikan radikalisme “any avoidable impediment to self-realizatio”45. Berdasarkan pendapat tersebut ternyata faktor utama munculnya radikalisme adalah terhalangnya seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri. Sebab radikalisme berkaitan dengan terhalangnya hak seseorang, maka radikalisme pun bersifat temporal, dengan kata lain radikalisme tersebut dapat saja ditiadakan.

Agar lebih jelas, selanjutnya Johan Galtung mencoba mengkonseptualisasikan jenis radikalisme ini ke dalam tiga bentuk, yaitu radikalisme kultural, radikalisme struktural, dan radikalisme langsung. Pertama radikalisme kultural, yaitu radikalisme yang melegitimasikan terjadinya radikalisme struktural dan radikalisme langsung. Radikalisme langsung (violence-as-action) sendiri dimaknai sebagai radikalisme yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan, sehingga jenis radikalisme ini mudah untuk didentifikasi. Kedua radikalisme struktural (violence as structure) yaitu radikalisme yang berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran, serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan tersebut.

Konsep radikalisme yang diajukan oleh Johan Galtung ini pada dasarnya memberikan pemahaman, bahwa radikalisme dapat dilakukan oleh siapa saja dan dalam kondisi apapun, baik itu negara, masyarakat, kelompok masyarakat, atau bahkan individu tertentu dapat menjadi pelaku radikalisme. Meski demikian, negara tetap dilihat oleh Johan Galtung sebagai pihak yang memiliki potensi jauh lebih besar untuk menghilangkan hak warga negaranya dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai negara. Selanjutnya, pemahaman lebih jauh tentang radikalisme dalam perspektif politik akan sampai pada kesimpulan, bahwa pelaku radikalisme tidak hanya negara terhadap warga negaranya, tetapi juga dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap rejim yang berkuasa. Radikalisme jenis ini biasa dikenal dengan radikalisme politik yaitu radikalisme masyarakat sipil yang dilakukan berdasarkan isu-isu politik, terutama yang terkait dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi

44 Franz Magnis Suseno, Suseno, Kuasa dan Moral, 10-11. 45Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspectives, (New York The Free Press, 1980).

67.

Page 24: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

19

politik,46 atau juga ditujukan pada pemerintah, atau organisasi-organisasi politik yang bisa berbentuk revolusi, perang gerilya, ataupun kudeta.47

Dalam menjelaskan radikalisme politik Ted Robert Gurr menggunakan pendekatan psikologis. Menurutnya radikalisme politik muncul dari individu atau kelompok yang mengalami kekecewaan. Kekecewaan ini muncul sebagai akibat adanya kesenjangan antara harapan sebagai hak, dan kenyataan yang tidak sesuai (value expectation), Kondisi depresi inilah, yang disinyalir menyebabkan munculnya kekecewaan pada manusia, dan dalam perspektif politik kekecewaan ini muncul ketika mereka yang memiliki kekuasaan (negara, kapital atau pemilik modal, birokrasi, partai politik dll) tidak mampu memnuhi segala macam tuntutan, atau janji terhadap kelompok tertentu yang masuk dalam lingkup kekuasaannya.48

Radikalisme politik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, terutama kelas maysrakat yang dinilai terhegemoni dan tertindas, dalam teori politik Marxian dan Sosialis dikenal dengan istilah revolusi sosial. Radikalisme sebagai suatu bentuk transformasi yang berlangsung secara cepat dalam spektrum superstruktur yuridis dan politis masyarakat, dianggap sah dilakukan sebagai upaya memperjuangkan hak kelompok tersebut.49

b. Radikalisme Sosial Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, secara formal ilmu sosiologi mencoba menerapkan pembatasan pada manusia sebagai entitas sosial, termasuk bagaimana hubungan manusia tersebut dengan manusia lainnya, proses sosial, dan kaidah-kaidah sosial, social structure, kelangsungan hidup dari kelompok sosial serta perubahan-perubahan sosial (social change) sebagai objek formalnya50.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembahasan radikalisme dalam timbangan sosiologis sangat demografis, dan berbeda dengan radikalisme dalam perspektif ilmu politik, yang hanya sebatas mendeskripsikan objek yang di amati, dan tidak bermaksud merumuskan kerangka teori sebagai acuan tindakan dalam kepentingan praksis. Hal tersebut berangkat dari apa yang dipahami oleh ilmu politik sendiri. Dengan demikian fokus radikalisme dalam sosiologis berkisar pada what it is about a society that increases or decreases the likelihood of violence”, dan radikalisme baru menjadi persoalan sosial (social problem) ketika”violence must also arouse widespread subjective concern”.51

46 James Rule, Theories of Civil Violence, (Berkeley : Berkeley University Press, 1988), 170-171. 47 Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, (Princeton: Princeton University Press, 1950), 2-4. 48 Ted Robert Gurr, Why Men Rebel. 4. 49 C. Writht Mills (Imam Muttaqien-Penerjemah), Kaum Marxis:Ide-Ide Dasar dan Sejarah

Perkembangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet I, 2003). 50 Margaret Silson Vine, Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto. Op Cit. Hal.

6. 51 James M. Henslin, Social Problems, (New Jersey :Englewood Cliffs, 1990) 154-155.

Page 25: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

20

Agar pemahaman radikalisme dalam sosiologi dapat menampilkan banyak simpulan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan, teori, serta landasan akosiomatik yang digunakan dalam proses pemahaman dan pendeskripsian radikalisme tersebut. Satu hal yang dipandang perlu digarisbawahi, yaitu dalam timbangan sosiologi radikalisme ataupun kejahatan pada umumnya merupakan kondisi alamiah dari masyarakat (crime is a natural part of society)52. Bahkan Korn dan McCorkle berpendapat bahwa kejahatan tidak hanya normal tetapi dipadnang sebagai sebuah keniscayaan (crime is not only normal but inevitable).

Padangan ini berangkat dari pemahaman bahwa realitas sosial dan kebebasan indivisu terbangun dengan kompelsitasnya masing-masing. Dengan demikian kejahatan merupakan harga yang harus dibayar dari sebuah kebebasan (crime is an inevitable consequence of social complexity and individual freedom. It is one of the price paid for freedom).53 Pendapat tersebut berdasarkan realitas empiris bahwa radikalisme atau kejahatan pada umumnya, ditemukan pada hampir semua lapisan masyarakat.

Jika di amati, radikalisme dibagi menjadi dua tipologi atau bentuk. Pertama, radikalisme individual (Individual violence), yaitu radikalisme yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Kedua, radikalisme kelompok (group or collective violence), yaitu bentuk radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompoklainnya.54 Khusus terhadap “group or collective violence” ini, para sosiolog membaginya lagi menjadi beberapa bentuk, yaitu pertama, Situational group violence, is unplanned and spon-taneous, such as a brawl among hokey player. Something in the immediate situation stimulates or triggers a group to violent action. Kedua, Organized group violence is planned. Italsois unauthorized or unofficial, dan ketiga, Institutionalized group violence, is carried out under the direction of legally constituted officials55.

Selanjutnya pembahasan ini akan dipandang menarik jika menggunakan pendekatan-pendekatan diametral. Untuk itu pada pembahasan ini akan mengangkat radikalisme dari perspektif pendekatan fungsionalisme (functionalist theory), dan pendekatan konflik (conflict theory). Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan bernagkat dari asumsi bahwa kedua teori tersebut mempunyai asumsi dan proposisi yang kontradiktif antara satu dengan lainnya

Dalam perspektif fungsionalisme (functionalist theory), keseimbangan (equilibrium) yang muncul dalam kehidupan masyarakat lahir dari keteraturan dari berbagai elemen yang saling bersinergi. Anggapan ini muncul didasari pada asumsi, bahwa setiap struktur dalam sistem sosialfungsional berpengaruh dan memiliki keterkaitan terhadap yang lainnya, sehingga konsep yang utama

52 Paul B. Horton, etc. The Sociology of Social Problem, Prentice Hall, Engglewood Cliefs, New Jersey 1991, 208.

53 J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, (Bandung: Alumni, 1981.10.

54 James M. Henslin, Social Problems, 154. 55 James M. Henslin, Social Problems, 154.

Page 26: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

21

dalam teori fungsionalis berkisar pada; fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium)56.

Salahsatu pemikir yang cukup masyhur dalam teori fungsionalis ini ialah Emile Durkheim, dalam berbicara tentang radikalisme ia mengajukan sebuah konsep yang dinamakan dengan anomi. Yaitu suatu konsep sosiologi yang oleh Emile Durkheim guna menjelaskan kondisi psikologi yang merasa asing (estranged) sebagai akibat tercabutnya atau hilangnya rasa kemanusian dalam ranah kehidupan (uprooted), dan ekonomi menurut Emile Durkheim adalah penyebab yang bisa menimbulkan kondisi anomi tersebut.57 Dengan kaca mata anomi ini, kiranya radikalisme dipahami sebagai akibat adanya perubahan sosial ekonomi yang tidak dibarengi dengan perubahan sistem regulasi, sehingga masyarakat, atau individu merasa bingung menghadapi kondisi perubahan tersebut.

Fungsionalis lain, misalnya Robert K. Merton, dalam memahami radikalisme mengajukan konsep ”Strain Theory”. Kemunculan konsep inididasari oleh ide Durkheim tentang anomi tersebut di atas. Dalam konstruksi teoretiknya, Robert K Merton melihat radikalisme yang terjadi dalam masyarakat dengan menghubungkan dua kondisi utama, yaitu nilai yang menjadi tujuan dari suatu masyarakat (cultural goal), dan ketersedian sarana (cultural means) guna mencapai tujuan tersebut.

Ketika nilai yang hendak diperoleh dalam masyarakat tidak memiliki ketersediaan sarana dalam proses pencapaian tujuan, maka berbentuk penyimpangan dari keteraturan akan muncul, misalnya dalam hal ini radikalisme, sehingga radikalisme merupakan bentuk respon yang alamiah terhadap situasi yang ada58. Perhatian lain dari Robert K. Merton sehubungan dengan berbagai institusi sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan fungsi institusi, adalah dikembangkannya istilah fungsi manifes (Manifest Functions) dan fungsi laten (Latent Functions)59. Fungsi manisfes mengacu pada fungsi yang memang dikehendaki sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki dari penciptaan suatu sistem atau institusi sosial dalam masyarakat.

Berbeda dengan asumsi dan proposisi fungsionalisme, teori konflik terbangun dalam rangka menantang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural dan Dahrendorf dinilai sebagai tokoh utama teori konflik ini.60

Pertentangan antara teori fungsionalis dan konflik dalam melihat fenomena sosial didasari pada perbedaan asumsi, dan proposisi yang melatar belakangi teori tersebut. Masyarakat dalam teori konflik dilihat senantiasa

56 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Alimandan Penyadur), (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, , cet ke-4, 2003). 21.

57 James M. Henslin, Social Problems, 163. 58 James M. Henslin, Social Problems, 163 59 Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, (New York: The Pree Pres, 1967).114-115 60 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. 25.

Page 27: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

22

berada dalam perubahan, namun perubahan ini dikarenakan adanya perten-tangan yang terus menerus diantara unsur yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dan pertentangan ini sesuatu yang inheren dalam masyarakat sebagai akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Teori konflik menyadari bahwa kekuasaan dan ketakteraturan sosial (social inequality) merupakan salah satu karakteristik dari setiap masyarakat.61 Kekuasaan di dalamnya terdapat konsep wewenang dan posisi yang diasumsikan jikapendistribusian kekuasaan, dan wewenang terjadi secara tidak merata, maka wewenang dan posisi tersebut menjadi faktor utama terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Konsep kekuasaan dan wewenang ini juga yang menciptakan dan menempatkan masyarakat dalam posisi struktur atas dan masyarakat struktur bawah.

Mendasarkan pada pemahaman teori konflik tersebut di atas, maka radikalisme muncul sebagai akibat adanya pendistribusian wewenang yang tidak merata. Tidak meratanya pendistribusian wewenang ber-ujung pada adanya penumpukan kekuasaan pada satu orang,atau kelompok tertentu, dan dengan kewenangan yang ada, kelompok yang memiliki kekuasaan yang besar tersebut akan cenderung mengguna-kannya untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Atau dengan kata lain, radikalisme yang dilakukan sebagai upaya mempertahankan dominasi kelompok atas kelompok lainnya.

c. Radikalisme Ekologis Dalam pembahasan radikalisme ekologis ini, akan mencoba memaparkan radikalsime dalam bentuk gerakan komunal. Selanjutnya dalam membaca peta pergerakan radikalsiem ekologis, dipandang tepat menggunakan taksonomi gerakan Manuel Castell, pembagian ini dipilih, untuk tujuan menganalisa gerakan-gerakan yang dianggap mendekati tipe ideal dalam praktik dan wacana aktual gerakan-gerakan tersebut.

Pertama, gerakan konservasi alam merupakan asal mula gerakan aktivis lingkungan di Amerika, sebagaimana direfresentasikan oleh organisasi seperti Sierra Club (didirikan di San Francisco pada tahun 1891 oleh John Muir), Audubon Society, atau the Wilderness Society. Pada awal tahun 1980an, organisasi lingkungan, baik yang baru maupun yang berkumpul dalam sebuah aliansi, dikenal sebagai “Kelompok Sepuluh”. Organisasi yang terlibat, di samping organisasi-organisasi yang disebutkan di atas, adalah: Asosiasi Taman Nasional dan Konservasi, National Wildlife Federation, Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam, Liga Izaak Walton, Pembela Satwa Liar, Dana Pertahanan Lingkungan, dan Institut Kebijakan Lingkungan. Terlepas dari perbedaan pendekatan dan bidang intervensi khusus mereka, tetapi telah mengantarkan secara kolektif untuk memperjuangkan hal yang sama, yakni mempertahankan nilai-nilai manfaat bidang konservasi melalui sistem kelembagaan. Dalam kata-kata Michael Mc Closkey, Ketua Sierra Club, pendekatan mereka dapat dicirikan sebagai '' muddling through '': '' Kami keluar untuk melaksanakan

61 James M. Henslin, Social Problems, 211

Page 28: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

23

trdisi mendaki gunung. Pertama kali memutuskan akan mendaki gunung, membuat gagasan tentang rute umum untuk menemukan pegangan dan pijakan saat berjalan dan selanjutnya terus beradaptasi dan berubah.'' Puncak pendakian adalah pelestarian alam liar, dalam bentuknya yang berbeda, parameternya harus masuk akal “apa yang bisa dicapai dalam sistem ekonomi dan kelembagaan saat ini”. Lawannya adalah perkembangan yang tidak terkendali, birokrasi yang tidak responsif seperti Biro Reklamasi AS dan tidak peduli untuk melindungi alam sekitar. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai pecinta alam, dan menarik perasaannya dalam dirinya secara totalitas, terlepas dari perbedaan sosial. Mereka bekerja melalui institusi dengan cara intensifikasi keterampilan lobi dan kekuatan politik yang hebat. Mereka mengandalkan dukungan rakyat yang luas, juga sumbangan dari kalangan elite yang berkeinginan baik, kaya raya, dan dari perusahaan. Beberapa organisasi, seperti Sierra Club, sangat besar (sekitar 600.000 anggota) dan diorganisir dalam skala cabang-cabang lokal, yang tindakan dan ideologinya sangat bervariasi, dan tidak selalu sesuai dengan citra 'environmentalisme mainstrem'.62

Kedua, kelompok “Environmental Defense Fund”. Gerakannya lebih fokus pada lobi, analisis, dan penyebaran informasi. Mereka sering mempraktikkan politik koalisi, tetapi berhati-hati agar tidak terbawa arus fokus lingkungan politik praktis, tidak mempercayai ideologi radikal dan aksi spektakuler yang tidak sejalan dengan mayoritas opini publik. Walaupun begitu, tetap saja ada

62 Ibid. Hal ini bisa dikomparasi dengan pandangan Heijden (1992), tentang NGO lingkungan dengan model gerakan instrumental memiliki tujuan yang berada di luar gerakan itu sendiri. Heijden membedakan NGO dengan model gerakan ini ke dalam tiga tipologi berikut:

a. Konservasionis (conservasionist), yakni NGO yang memiliki kepedulian utama pada perlindungan a1amatau suatu area alam tertentu. WWF dan cabang-cabangnya di berbagai negara dan juga the Sierra Qub, the Nature of Conservancy, the Sea Shepherd Conservation Sodety, the Jefferson Land Trust, dan the Sempervirens Fund(diUSA), merupakan contoh dari tipologi ini. Tipe NGO ini cenderung moderat dalam melakukan pelbagai aktivitas lingkungan. Ke dalam tipologi ini bisa juga dimasukkan NGO preservasionis, yang umumnya lebih memiliki kecenderungan moderat daripada radikal. NGO yang termasuk dalam klasifikasi preseJirasionis ini, misalnya the Audubon Sodety, the Wilderness Sodety dan the National Wildlife Federation di Amerika Serikat.

b. Pengkampanye kebijakan(thepolicycampaigners), yakni NGO yang mencoba mempengaruhi para pembuat kebijakan lingkungan. Mengkampanyekan suatu kebijakan lingkungan merupakan kegiatan utamanya. Tipe NGO ini biasanya juga merupakan penasehat da1am pembuatan kebijakan dan secara finansialdidukung oleh para pemegang otoritas. NGO ini secara umum memiliki kecenderungan moderat.

c. Mobilisator (the mobilisers), yakni NGO yang aktivitas utamanya menggerakkan publik dalam suatu aksi lingkungan. Aksi ini biasanya ditujukan kepada pemegang otoritas atau pelaku bisnis yang keputusan atau perilakunya membahayakan lingkungan. Lihat, David C. Korten, Getting the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda, Connecticut Kumarian Press, 1990. Atau dalam versi terjemahan, Korten, Menuju Abad ke-2l, Tindakan Sukare1a dan Agenda Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Page 29: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

24

kelemahan atau kesalahan yang disebabkan ada kelompok yang mengadaptasinya menjadi gerakan pelestari mainstream dan gerakan lingkungan radikal. Misalnya, salah satu pemimpin bersejarah Sierra Club, David Brower, menjadi sumber inspirasi bagi pencinta lingkungan radikal. Ada banyak osmosis (pelajaran) dalam hubungan antara konservasionis dan ahli ekologi radikal. Oleh karena ideologi cenderung menempati posisi kedua dalam perhatiannya tentang penghancuran alam semesta tanpa henti. Hal ini, terlepas dari perdebatan dan konflik yang tajam dalam gerakan besar dan beragam.

Mobilisasi masyarakat lokal dalam konteks mempertahankan ruang mereka dengan melawan kebijakan-kebijakan penggunaan yang tidak diinginkan merupakan bentuk tindakan lingkungan yang paling cepat berkembang dan yang paling langsung menghubungkan masalah masyarakat dengan isu-isu yang lebih luas mengenai kerusakan lingkungan. Tetapi kadang seringkali diberi label kurang baik. Misalnya, gerakan ''Not in my Back Yard”, yang dikembangkan di Amerika Serikat dalam bentuk gerakan Racun. Pada tahun 1978 selama insiden “Love Canal” yang terkenal karena pembuangan limbah beracun industri di Air Terjun Niagara New York. Lois Gibbs, pemilik rumah yang menjadi populis karena perjuangannya untuk mempertahankan kesehatan anaknya dan juga nilai rumahnya, kemudian pada tahun 1981, mendirikan “Clearing house Citizens” untuk melawan Limbah Berbahaya. Menurut data Clearinghouse, pada tahun 1984 ada 600 kelompok lokal yang memerangi pembuangan toksik di Amerika Serikat, dan meningkat menjadi 4.687 pada tahun 1988. Seiring berjalannya waktu, masyarakat yang dimobilisasi juga melawan pembangunan jalan bebas hambatan, pembangunan yang berlebihan, dan lokasi fasilitas berbahaya di lingkungan dekat mereka.63

Pergerakannya bersifat lokal tetapi isunya tidak bersifat lokalistik, karena seringkali menegaskan hak warga terhadap kualitas hidup yang bertentangan dengan kepentingan bisnis atau birokrasi. Hal yang dikritisi oleh gerakan-gerakan ini, satu sisi tentang tuntutan aktivitas yang tidak diinginkan masyarakat berpenghasilan rendah dan daerah-daerah yang dihuni kaum minoritas, dan di sisi lain, kurangnya transparansi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan ruang. Dengan demikian, pergerakan lingkungan dengan memobilisasi warga ini menuntut demokrasi lokal yang luas, untuk perencanaan kota yang bertanggung jawab, untuk keadilan dalam berbagi beban pembangunan perkotaan/industri, sambil melakukan penegasan untuk menghindari terhadap pembuangan atau utilitas berbahaya. Sebagaimana Epstein menyatakan bahwa gerakan lingkungan

63 NGO Iingkungan dengan model gerakan kontra kultural memiliki tujuan yang abstrak dan radikal yang berada di luar gerakan itu sendiri. Keberhasilan tidak mudah dicapai oleh NGO ini, karena karakternya yang kurang rea1istik.Gerakan Iingkungan utama yang dilakukan adalah menentang setiap bentuk kebudayaan yang merusak Iingkungan. Sebab dari kerusakan lingkungan dilihat sebagai berada dalam masyarakat konsumsi-kapitalistik, teknokratik dan berskala besar. NGO ini biasanya mempromosikan bentuk organisasi masyarakat yang cenderung sosialis, ekologis dan berskala kecil. Lihat. David C. Korten, Op.Cit..

Page 30: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

25

model seperti ini bertujuan “mengkontrol perusahaan agar negara bisa bertanggung jawab kepada publik dan bukan korporasi. Gerakan ini, menghendaki kekuasaaan negara dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip atas nama kesejahteraan masyarakat---,terutama kesejahteraan orang-orang yang paling rentan terkena dampaknya.”64

Dalam kasus lain, di daerah pinggiran dan kelas menengah, mobilisasi penduduk lebih terfokus pada melestarikan status quo terhadap pembangunan yang tidak diperhatikan. Namun, terlepas dari kandungan kelas mereka, semua bentuk protes bertujuan untuk menetapkan kontrol atas lingkungan hidup atas nama masyarakat setempat dan, dalam hal ini, mobilisasi lokal defensif tentu merupakan komponen utama gerakan lingkungan yang lebih luas.

Lingkungan juga telah menimbulkan beberapa counter-cultures yang muncul dari gerakan tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan budaya tandingan, pengerak counter-cultures berusaha sengaja untuk hidup dengan norma yang berbeda dan sampai batas tertentu bertentangan dari yang diberlakukan secara institusional oleh masyarakat. Selanjutnya, menentang institusi tersebut berdasarkan prinsip dan kepercayaan alternatif. Beberapa arus counter-cultures yang paling kuat dalam masyarakat mengekspresikan diri dalam bentuk gerakan hanya mematuhi hukum alam dan menegaskan prioritas penghormatan terhadap alam atas institusi manusia lainnya. Akan tetapi gerakan ini tidak masuk pada kategori gerakan lingkungan radikal (seperti Earth First! Atau Sea Shepherds), gerakan pembebasan hewan, dan ecofeminisme. Kenyataannya, terlepas dari keanekaragaman dan kurangnya koordinasi, sebagian besar gerakan ini berbagi gagasan tentang pemikiran ‘deep ecology', seperti yang ditunjukkan, oleh penulis Norwegia, Arne Naess. Menurut Arne Naess dan George Sessions, prinsip dasar ''deep ecology” adalah:

1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia di bumi memiliki nilai dalam diri mereka sendiri. Nilai-nilai ini tidak tergantung pada kegunaan dunia non-manusia untuk tujuan manusia.

2. Kekayaan dan keragaman bentuk kehidupan yang berkontribusi pada realisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai dalam diri mereka.

3. Manusia tidak memiliki hak untuk mengurangi kekayaan dan keragaman kecuali untuk memenuhi kebutuhan vital.

4. Perkembangan kehidupan dan budaya manusia sangat sesuai dengan penurunan populasi manusia secara substansial. Munculnya kehidupan non-manusia membutuhkan penurunan (decrease) tersebut.

5. Menghadirkan campur tangan manusia dengan dunia non-manusia yang berlebihan, dan situasinya akan cepat memburuk.

6. Kebijakan harus diubah. Kebijakan ini mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi dasar. Maka, keadaan yang dihasilkan akan sangat berbeda dari sekarang.

64 Manuel Castell, Op.Cit.,..

Page 31: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

26

7. Perubahan ideologis terutama untuk menghargai kualitas hidup (tinggal dalam situasi yang inheren) daripada mengikuti standar kehidupan yang semakin tinggi. Maka ada kesadaran mendalam akan perbedaan antara “big and great”.

8. Mereka yang percaya terhadap poin di atas tentu memiliki kewajiban, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mencoba menerapkan perubahan yang diperlukan.65

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar diatas, pada akhir 1970-an sejumlah ahli ekologi radikal, yang dipimpin oleh David Foreman, seorang mantan Marinir menjadi pejuang ekology, terciptalah gerakan “Earth First” di New Mexico dan Arizona, sebuah gerakan tanpa kompromi yang terlibat dalam pembangkangan sipil dan membuat pembatasan lingkungan terhadap pembangunan bendungan, penebangan kayu, dan agresi lainnya yang merusak alam, sehingga menghadapi penuntutan dan penjara. Gerakan tersebut dan sejumlah organisasi lain yang mengikutinya didesentralisasi sepenuhnya dan dibentuk oleh suku-suku otonom ''. Mereka bertemu secara berkala, sesuai dengan ritus pada masa Indian Amerika Asli, dan memutuskan tindakan mereka sendiri. Deep ecology adalah fondasi ideologis gerakan ini, dan ini menonjol di Earth First!, yang diproklamasikan awal oleh David Foreman.

Gerakan yang juga sama-sama berpengaruh, diilustrasikan dalam novel Abbey “The Monkey Wrench Gang”, tentang kelompok kontra-budaya gerilya ekologi, yang menjadi panutan bagi banyak ahli ekologi radikal. Memang, ''monkey wrenching'' menjadi sinonim untuk gerakan sabotase lingkungan. Pada 1990-an, lahir gerakan pembebasan hewan, yang berfokus secara oposisi langsung terhadap tindakan-tindakan eksperimen dengan mengunakan hewan. Gerakan ini, tampaknya merupakan sayap paling fundamental dari fundamentalisme ekologi.

Ketiga, gerakan Eko-feminisme. Eko-feminisme ini jauh dari ''macho-tactics'' dari beberapa gerakan lingkunga. Namun, para ahli eko-feminis berbagi prinsip penghormatan mutlak terhadap alam sebagai dasar pembebasan dari patriarkalisme dan industrialisme. Mereka melihat perempuan sebagai korban kekerasan patriarkal, sama seperti apa yang ditimbulkan pada alam. Jadi, pemulihan hak alamiah tidak dapat dipisahkan dari pembebasan perempuan. Dalam pandangan Judith Plant yang dikutip oleh Manuel Castell:

”Secara historis, wanita tidak memiliki kekuatan nyata di dunia luar, bahkan tidak ada tempat dalam pengambilan keputusan. Kehidupan intelektual, karya pikiran, secara tradisional tidak dapat diakses oleh wanita. Wanita umumnya pasif, seperti juga alam. Saat ini, bagaimanapun, ekologi berbicara untuk bumi, untuk ''yang lain'' dalam hubungan manusia/lingkungan. Dan ecofeminisme, dengan berbicara kepada manusia lainnya, berusaha memahami akar semua dominasi yang saling berhubungan dan cara untuk menolak status quo.”66

65 Ibid., 66 ibid

Page 32: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

27

Beberapa ekofeminis67 juga terinspirasi oleh rekonstruksi historis Carolyn

Merchant68yang kontroversial, dengan gerakan kembali ke masyarakat prasejarah, alam, bebas dari dominasi laki-laki. Zaman Keemasan matriarkal, di mana terdapat harmoni antara alam dan budaya, dan di mana pria maupun wanita menyembah alam dalam bentuk dewi. Terdapat juga, terutama selama tahun 1970an, sebuah hubungan yang menarik antara environmentalisme, feminisme spiritual, dan neo-paganisme, kadang-kadang diekspresikan dalam militansi aksi ekstraksi ecofeminis dan non-kekerasan oleh penyihir yang termasuk dalam kelompok kerajinan. Jadi, melalui berbagai variasi bentuk, dari taktik eco-gerilya, hingga spiritualisme, melalui ekologi dan ekofeminisme yang mendalam, ekologi radikal menghubungkan tindakan lingkungan dan revolusi budaya, memperluas cakupan gerakan lingkungan yang mencakup semua, dalam pembangunan ecology yang diidamkan (ecotopia) mereka.69

Keempat, “Greenpeace”. Kelompok ini adalah organisasi lingkungan terbesar di dunia, dan mungkin yang paling mempopulerkan masalah lingkungan global, dengan tindakan langsung yang berorientasi pada media dan tanpa kekerasan. Didirikan di Vancouver pada tahun 1971, saaat melakukan demonstrasi anti-nuklir di lepas pantai Alaska, dan kemudian berkantor pusat di Amsterdam. Gerakan ini telah berkembang menjadi organisasi jaringan transnasional, yang pada tahun 1994 memiliki 6 juta anggota di seluruh dunia dan pendapatan tahunan lebih dari $ 100 juta. Profilnya yang sangat khas sebagai gerakan lingkungan berasal dari tiga komponen utama.

1. Rasa mendesak tentang kematian kehidupan di planet ini, terinspirasi oleh legenda Indian Amerika Utara: ''Ketika bumi sakit dan binatang-binatang telah hilang, akan ada satu suku bangsa dari semua kepercayaan, warna dan budaya yang percaya pada perbuatan bukan

67 Ekofeminisme bukanlah suatu ideologi yang monolitik dan homogen. Politik ekofeminisme menentang proses pemikiran yang monologika, rcduksionis dan apokaliptik , mencakup strategi dan solusi yang heterogen dan metoda yang dipilih untuk mengatasi masalah haruslah menegaskan pentingnya kehidupan (life affirmatif), berdasar persetujuan bersama, dan tanpa kekerasan. Lihat. Diamond. Irene and Gloria Feman Orenstein -(Eds.), Reweaving the World: The Emergence of Ecofeminism. Sierra Club Books. San Francisco. CA., 1990.

68Aliran feminisme keempat dari gelombang ketiga adalah ekofeminisme. Aliran ini adalah sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Basis gerakan ini adalah femininitas/perempuan. Dalam gerakan ekofeminisme, perempuan dianggap memainkan peran strategis. Semua peran dari perempuan ini berupaya untuk mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri. Seperti halnya feminisme multikultural dan global, ekofeminisme juga memberi pemahaman adanya keterhubungan antara segala bentuk penindasan manusia. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Carolyn Merchant bahwa ada empat hal yang saling berkaitan di mana peran perempuan menjadi penting, yakni ekologi, produksi, reproduksi dan kesadaran. Lihat. Merchant, Carolyn, The Death of Nature: Women, Ecology and Scientific Revolution. New York: Harper & Row, 1980.

69 Dalam pandangan Mercant, aliran ekofeminisme ini terbagi menjadi empat; ekofeminisme liberal, Marxis, Radikal, dan Sosialis. ibid.,..

Page 33: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

28

kata-kata dan siapa yang akan mengembalikan Bumi ke keindahan aslinya. Suku tersebut akan disebut 'Warriors of Rainbow'.

2. Sikap yang diilhami oleh Quaker untuk memberi kesaksian, baik sebagai prinsip tindakan, dan sebagai strategi komunikasi.

3. Sikap bisnis yang pragmatis, yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemimpin bersejarah dan ketua dewan pengurus Greenpeace, David McTaggart, ''to get things done''.

Tidak ada waktu untuk diskusi untuk hal-hal yang filosofis: isu-isu kunci harus diidentifikasi dengan menggunakan pengetahuan dan teknik investigasi di seluruh planet ini; kampanye khusus harus diatur berdasarkan target yang terlihat; Tindakan spektakuler yang diarahkan pada perhatian media akan menyusul, sehingga mengangkat isu yang diberikan di mata publik, dan memaksa perusahaan, pemerintah, dan institusi internasional untuk mengambil tindakan atau menghadapi publisitas yang tidak diinginkan.

“Greenpeace” merupakan organisasi yang sangat terpusat, dan memiliki jaringan yang terdesentralisasi secara global. Ini dikendalikan oleh dewan perwakilan negara, dewan eksekutif kecil, dan wali amanat regional untuk Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, dan Pasifik. Sumber kekuatannya diatur dalam kampanye, masing-masing dibagi oleh isu-isu. Pada pertengahan 1990an, kampanye utama melibatkan zat beracun, energi dan atmosfer, masalah nuklir, dan ekologi laut/terestrial. Memiliki kantor di 30 negara di dunia berfungsi untuk mengkoordinasikan kampanye global, mengumpulkan dana dan dukungan secara nasional/lokal, namun sebagian besar tindakan tersebut bertujuan untuk dampak global karena masalah lingkungan utama yang menjadi isunya bersifat global. Greenpeace menyatakan bahwa lawannya adalah model pembangunan yang ditandai dengan kurangnya perhatian terhadap konsekuensi atas kehidupan di planet ini. Oleh karena itu, gerakannya tersebut memobilisasi untuk menerapkan prinsip kelestarian lingkungan dimana semua kebijakan dan kegiatan lainnya harus disubordinasikan.

Oleh karena pentingnya misi mereka, ''rainbow warriors'' tidak cenderung terlibat dalam perdebatan dengan kelompok lingkungan lainnya, tidak menikmati budaya kontra, dan terlepas dari variasi individu dalam sikap keanggotaan mereka yang besar. Mereka adalah orang-orang internasionalis yang tegas, dan melihat negara-bangsa sebagai hambatan utama untuk mencapai kontrol atas pembangunan yang tidak terkendali dan destruktif saat ini. Mereka berperang melawan model pengembangan eco-suicidal. Mereka bertujuan untuk memberikan hasil langsung pada setiap tindakan di masa depan, dari mengubah industri menjadi teknologi 'green-freeze' ', sehingga membantu melindungi lapisan ozon, untuk mempengaruhi pembatasan penangkapan ikan paus, dan penciptaan tempat perlindungan paus di Antartika. Peta konsep ''rainbow warriors'' berada di persimpangan sains untuk

Page 34: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

29

kehidupan, jaringan global, teknologi komunikasi, dan solidaritas inter-generasional.70

Kelima, Green politics71, pada awalnya tidak tampak dan tidak lahir secara spesifik menjadi semacam gerakan, namun lebih tepatnya memasuki ranah politik elektoral atas nama environmentalisme. Namun, contoh paling dekat dari Green politics, “Die Gru¨nen”, jelas menunjukkan bahwa, awalnya, ini bukan politik seperti biasa. Partai The German Green, yang dibentuk pada tanggal 13 Januari 1980, atas dasar koalisi gerakan akar rumput, tidak secara ketat berbicara mengenai gerakan lingkungan, bahkan jika hal itu mungkin lebih efektif untuk memajukan penyebab masalah lingkungan di Jerman daripada gerakan Eropa lainnya di negaranya. Kekuatan utama yang mendasari formasinya adalah Inisiatif Citizen pada akhir 1970-an, terutama yang diatur seputar mobilisasi perdamaian dan anti-nuklir. Ini secara unik mempertemukan para veteran gerakan tahun 1960an dengan feminis yang menemukan diri mereka dengan merefleksikan secara tepat pada seksisme kaum revolusioner tahun 1960an, dengan kaum muda dan kelas menengah terdidik yang peduli dengan perdamaian, kekuatan nuklir, lingkungan (penyakit hutan, waldsterben), keadaan dunia, kebebasan individu, dan demokrasi akar rumput.

Penciptaan dan keberhasilan yang cepat dari Partai-partai Hijau (The Greens) (mereka memasuki parlemen nasional pada tahun 1983) berasal dari keadaan yang sangat luar biasa. Pertama-tama, tidak ada kendaraan politik nyata untuk demonstrasi sosial di Jerman di luar tiga partai utama yang telah bergantian berkuasa, dan bahkan membentuk sebuah koalisi pada tahun 1960an: pada tahun 1976, lebih dari 99 persen suara diberikan kepada tiga pihak ( Demokrat Kristen, Demokrat Sosial, dan Kaum Liberal). Dengan demikian, ada potensi pemungutan suara yang tidak terpengaruh, terutama di kalangan kaum muda, telah menjadi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Skandal politik keuangan (the Flick affair) telah mengguncang reputasi semua partai politik dan menyarankan ketergantungan mereka pada kontribusi industri. Lebih jauh lagi, apa yang oleh ilmuwan politik disebut “political opportunity structure” dalam mendukung strategi pembentukan sebuah partai, dan menjaga persatuan di antara unsur-unsurnya, antara lain; dana pemerintah yang signifikan tersedia untuk gerakan tersebut, dan undang-undang pemilihan Jerman yang mewajibkan setidaknya 5 persen suara nasional untuk masuk parlemen menjadi tantangan bagi The Greens.72

70 Manuel Castell, Op.Cit.,.. 71 Jhon Bari, menyatakan bahwa politik hijau ini didasarkan pada tiga prinsip utama, yakni:

Teori distribusi keadilan, komitmen terhadap proses demokratisasi, dan usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi. Lihat. David Pepper, Enviromentalisme, dalam Gary Browing, etc (ed), Understanding contemporery society, SAGE Publication, London, 2000, hal. 447.

72 Gagasan awalnya berpijak pada pandangan bahwa lemahnya bargaining politik lingkungan tidak lepas dari lemahnya bargaining input politik lingkungan berupa dukungan dan tuntutan politik elite infrastruktur. Hal itu bukan berarti tiadanya dukungan dan tuntutan politik lingkungan yang konstruktif dari masyarakat, tapi lebih disebabkan kemacetan

Page 35: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

30

Setelah beberapa tahun berkecimpung dalam percaturan global, Greens menghadapi ujian terutama setelah godaan tahun 1990, terutama dijelaskan dalam isu penyatuan Jerman, yakni sebuah sikap yang konsisten dengan penentangan mereka terhadap nasionalisme. Konflik laten antara realos (pemimpin pragmatis yang mencoba untuk memajukan agenda Green melalui institusi) dan fundis (setia pada prinsip dasar demokrasi akar rumput dan ekologi) meledak pada pembukaan tahun 1991, meninggalkan aliansi sentris dan pragmatik yang mengendalikan partai-partai. Reorientasi dan direorganisasi, Partai the German Green berhasil memulihkan kekuatannya pada 1990-an, memasuki Parlemen lagi, dan menang koalisi di beberapa pemerintah daerah, khususnya di Berlin, Frankfurt, Bremen, dan Hamburg, yang kadang-kadang beraliansi dengan Sosial Demokrat. Selain itu, partai ini tidak lagi memiliki monopoli agenda lingkungan sejak Sosial Demokrat, dan bahkan Liberal, menjadi lebih terbuka terhadap gagasan baru yang dikemukakan oleh gerakan sosial.73

Selanjutnya, Jerman pada 1990-an adalah negara yang sangat berbeda. Tidak ada bahaya perang, tapi yang ada pembusukan ekonomi.74 Pengangguran pemuda yang meluas dan pengurangan kesejahteraan negara menjadi isu yang lebih mendesak bagi pemilih Greens 'abu-abu' daripada revolusi budaya. Pembunuhan terhadap Petra Kelly pada tahun 1992 oleh teman laki-lakinya, yang kemudian melakukan bunuh diri dengan menyerang akord yang dramatis. Bahkan banyak menunjukkan batas-batas untuk melarikan diri dari masyarakat

sirkulasi politik lingkungan antara suprastuktur dan infrastruktur politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Rapuhnya pondasi politik lingkungan bisa dilihat dari input dan output politik yang tidak bersentuhan dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Salah satu wujud output politik lingkungan yang amat kentara pada negara-negara umumnya adalah sering keluarnya kebijakan otoritatif para elite suprastruktur politik yang terlalu membuka ruang bagi masuknya kepentingan ekonomi kaum pemodal asing yang tak peduli soal lingkungan hidup, kehadiran mereka dinilai lebih banyak membawa masalah ketimbang berkah bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah partai politik sangat berperan untuk melihat arah keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian partai politik dapat membuka ruang politik bagi suara-suara marjinal dan demikian pula dengan degradasi lingkungan yang selama ini menjadi gejala represi struktural dan cenderung terdiam. Menurut Vandana Siva (1993), akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan. Lihat. Dauvergne, Peter. 2005. Globalisation and Environment dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford: University Press, hal. 370-395.

73 Manuel Castell, Op.Cit.,.. 74 Merunut dari argumen kaum “ekoradikal” sebagai kaum ekstrimis dalam green politics yang

mengkritisi pendapat dari kaum “modernis”, menurut mereka negara lebih merupakan masalah daripada sebagai solusi bagi problem lingkungan hidup. Karena negara adalah bagian dari masyarakat modern yang notabene adalah sebab dari krisis lingkungan hidup. Lihat. Carter, A. 1993. “Towards A Green Political Theory”, dalam A. Dobson dan P. Lucardie (eds.). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theory. London: Routledge.

Page 36: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

31

dalam kehidupan sehari-hari sambil membiarkan struktur ekonomi, politik, dan psikologis yang tidak tersentuh.75 Namun, melalui green politics, partai the Green menjadi terkonsolidasi sebagai anggota kiri yang konsisten dari fin-de-sie`cle Jerman, dan generasi pemberontak tahun 1970-an masih menyimpan sebagian besar nilai mereka saat menua, dan mentransmisikannya ke anak-anak mereka melalui cara mereka menjalani hidup mereka. Dengan demikian, Jerman yang sangat berbeda muncul dari eksperimen green politics, baik secara kultural maupun politik. Tapi ketidakmungkinan mengintegrasikan partai dan gerakan tanpa mendorong totalitarianisme (Leninisme) atau reformisme dengan mengorbankan gerakan (sosial demokrasi), mendapat konfirmasi historis lain mengenai hukum tentang perubahan sosial.76

d. Radikalisme Kebudayaan Pembicaraan radikalisme pada tataran budaya tidak kurang menariknya, jika diban-dingkan dengan perspektif lain. Apalagi penelusuran radikalisme dari perspektif budaya seakan membawa, danmenghantarkan pada realitas ditemukannya berbagai budaya dalam masyarakat, dan etnis tertentu yang dianggap akrab dengan radikalisme, sehingga sering dinilai merupakan bagian dari sistem budaya mereka.

Dalam masyarakat Madura misalnya, dikenal istilah ”carok”, dan ”sirri” pada masyarakat Bugis. Kedua istilah itu mengacu pada cara masyarakat tersebut dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang muncul yangdinilai memperlihatkan nuansa radikalisme di dalamnya. Realitas inilah yang menurut penulis merupakan penyebab, sehingga pembicaraan radikalisme dalam perspektif budaya sering sampai pada simpulan bahwa masyarakat, atau etnis tertentu memiliki budaya radikalisme (Violence Culture) dalam dinamika kehidupannya.

75 Tolok ukur lainnya, bisa ditemukan dalam pemikiran Leonardo Boff menguraikan betapa kerusakan ekologi berdampak langsung pada kaum papa. Kritik Boff tidak hanya menyasar pada kerusakan lingkungan saja, namun kerusakan lingkungan telah menumpulkan kemampuan alamiah kaum papa dalam bertahan hidup bersama dan dari alam. Orang miskin lebih merasakan dampak yang paling tragis dari bencana lingkungan hidup. Sementara, orang kaya mudah terhindar dari banjir dan bencana alam karena mereka hidup di tempat yang lebih baik, atau karena mereka mempunyai alternatif tempat hidup. Karena itu, upaya menanggulangi krisis ekologi juga berarti upaya mempromosikan kepentingan kaum miskin. Lihat. Leonardor Boff adalah teolog asal Brasil, penulis dan aktivis pendukung hak-hak kaum miskin dan marginal. Pada 2001, ia menerima Right Livelihood Award; Leonardo Boff, “Cry of The Earth, Cry of The Poor”, Orbis, 1997, hal. 108.

76 Asumsi yang mengatakan bahwa basis massa politik hijau pada elit politik atau kelas menengah adalah keliru dan sudah terbantahkan oleh fakta pelestarian kearifan hijau lokal, yang umumnya dipraktikkan oleh bukan kelas menengah. Namun, memaksakan politik hijau dengan hanya berbasis pada massa buruh (Marxis) atau massa petani (Maois) atau massa buruh-tani sekalipun, rasanya terlalu berlebihan. Selain mengecilkan kepentingan buruh-tani, tindakan itu juga menihilkan kekuatan massa dari sektor lain. Lihat. Ruether, Rosemary Radford (2004), Integrating Ecofeminism, Globalization and World Religions (Lanham, Rowman and Littlefield).

Page 37: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

32

Sampainya simpulan tersebut, pada tataran tertentu juga muncul sebagai bentuk implikasi pemahaman budaya dilihat dari pendekatan etik, suatu pendekatan yang melihat budaya dengan menggunakan ukuran atau indikator budaya, atau nilai-nilai universal dari suatu budaya tanpa mau menyadari bahwa masing-masing budaya sesungguhnya memiliki nilai yang unik,dan bersifat parsial77. Karena universalitas pendekatan etik inilah, maka dalam melihat fenomena budaya sering terperangkap padaadanya penilaian (adjusment) tentang benar-salah, atau baik-jahatnya suatu perilaku sosial dari sisi sipengamat atau sipeneliti, dan cara ini juga yang sering menjebak peneliti dalam melihat fenemona radikalisme dalam pers-pektif budaya.

Agak berbeda tentunya jika fenomena radikalisme dalam perspektif budaya dilihat dengan pendekatan emik maka simpulannya akan berbeda dengan pen-dekatan pertama tadi, karena dengan pendekatan emik akan terlihat radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat atau etnik tertentu dalam perspektif budaya memiliki makna simbolik bagi masyarakat tersebut.

Carok misalnya, pemahaman etik akan sampai pada simpulan bahwa masyarakat atau etnik Madura memiliki budaya radikalisme, namun pendekatan emik memperlihatkan bahwa carok dalam pengertian dan pemahaman aslinya setidaknya mengandung lima unsur yang oleh etnis Madura sangat dijunjung tinggi. Kelima unsur tersebut adalah pertama, tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki; kedua, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri); ketiga, perasaan malu (malo); keempat, adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan kelima, perasaan bangga bagi pemenangnya78. Meskipun kemudian carok sebagai suatu mekanisme dalam menyelesaikan sengketa dalam maknanya yang asli mengusung nilai yang dijunjung tinggi oleh etnis madura dikaburkan, dan bahkan menjadi ”tuna makna” oleh ”nyelep”, yaitu suatu cara menyerang musuh dari belakang atau samping ketika musuh sedang lengah.79

Sehubungan dengan itu, upaya pemahaman radikalisme dalam perspektif budaya sesungguhnya telah lama dilakukan, dan telah menjadi salah satu objek dalam antropologi budaya. Pertanyaan fundamentalnya adalah apakah budaya merupakan penyebab dari radikalisme? Suatu pertanyaan yang memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun setidaknya ada yang berpendapat bahwa jika dikaji secara kritis budaya itu sendiri bukanlah sumber radikalisme,karena budaya yang merupakan ciptaan tertinggi dari manusia pada dasarnya bertujuan meningkatkan martabat kema-nusiaannya dimuka bumi80.

Pada awalnya perhatian para antropolog terhadap radikalisme ini berkaitan dengan sengketa yang berkepanjangan diantara kelompok, atau etnis tertentu.

77 Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang :UMM Press, 2004).21. 78 A. Latief Wiyata, Carok: KonflikRadikalisme dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LKIS

2002). 184-185 79 A Latief Bustami, Tinjauan Buku Carok, Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang

Madura”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2000. 67. 80 Michael Banton, Ethnic and Racial Consciousness, (London & New York: Longman, 1997). 1

Page 38: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

33

Wright melihat rentetan tindakan radikalisme yang menjadi ciri dari sengketa ini merupakan instrumental dalam menuntut balas atau kompensasi akibat kerugian yang diderita, atau juga guna menyanjung nama seseorang, atau keluarga dari kelompok yang tersangkut dalam sengketa81. Sedangkan menurut Radcliffe Brown radikalisme merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh kelompok bertingkai, dan dalam kaitannya dengan kelompok bertikai,radikalisme dianggap sebagai kewajiban yang kemunculannya merupakan bentuk manifestasi dari ”solidaritas kolektif”, suatu isitilah yang mengacu pada pendapat Durkheim82.

Hal yang hampir sama juga, pendapat Nadel yang melihat radikalisme sebagai bentuk kewajiban untuk membalas ketidakadilan83. Bahkan, yang menariknya lagi menurut Radcliffe Brown, radikalisme yang terjadi pada kelompok masyarakat yang bertikai dibenarkan oleh pendapat umum, meskipun menurut Leopold Pospisil tidak begitu jelas pendapat umum yang mana, apakah pendapat para pihak yang bersengketa, atau pendapat umum diluar masyarakat yang bersengketa. Namun lebih lanjut menurut Leopold Pospisil setidaknya pendapat umum ini adalah pendapat para pihak yang bersengketa.84

Mendasarkan pada perspektif antropologi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa radikalisme merupakan salah satu sistem sosial yang diciptakan oleh suatu kelompok untuk mempertahankan kehidupannya dari ancaman kelompok lain, serta sebagai salah satu sarana dalam menye-lesaikan sengketa yang terjadi, baik berupa penuntutan balas atas radikalisme yang sudah dilakukan, atau juga sebagai sarana dalam menuntut keadilan yang dinilai telah di-langgar oleh kelompok lain.

e. Radikalisme Ekonomi Meskipun bukan objek formalnya, wacana radikalisme juga tidak luput dari perhatian bidang ekonomi, terutama pada upaya pemahaman sampai sejauhmana pembangunan ekonomi, serta implikasi sistem ekonomi yang digunakan dalam pembangunan menimbulkan dampak yang tidak dikehendaki terhadap masyarakat itu sendiri.

Namun sebelum lebih jauh melihat bagaimana hubungan tersebut dipahami, satu hal yang perlu ditekankan di sini bahwa ekonomi dalam arti ekonomi sendiri bersifat netral artinya sebagai salah satu bentuk kebutuhan dasar manusia, maka keberadaan ekonomi (terutama modal dalam mem-bangun) merupakan suatu keniscayaan, dalam arti bahwa cara produksi, kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan modal secara langsung tidaklah berpengaruh terhadap radikalisme. Akan tetapi, ketika persoalan ekonomi lebih dalam dilihat sebagai keinginan dan nilai yang ada dalam

81 T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).75. 82 T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum. 83 T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum. 84 T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum.

Page 39: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

34

masyarakat, maka persoalannya menjadi lain. Karena pada perspektif ini, bagaimana dasar filosofik pandangan masyarakat tertentu terhadap modal menjadi sangat penting, dan signifikan untuk dilihat dalam kaitannya dengan persoalan radikalisme. Demikianlah misalnya, ketika orang berbicara modal dalam perspektif kapitalisme, maka pembicaraannya menjadi bagaimana nilai, atau pandangan kapitalisme sebagai faham atau aliran mengandung nilai-nilai, cara pandang, cara produksi (mode of production) dalam masyarakat. Pada tataran inilah, kiranya radikalisme dalam perspektif ekonomi akan dilihat, dan ditelusuri lebih jauh.

Dalam kerangka berpikir seperti di atas, maka pertumbuhan ekonomi, kebutuh-an, dan ekspansi modal pada masyarakat dinilai telah berpengaruh dan merubah cara pandang terhadap keberadaan masyarakat atau negara. Hal ini dimungkinkan, karena akumulasi modal tidak lagi mengarah pada bagaimana upaya memenuhi kebutuhan banyak orang, tetapi sudah merupakan upaya memenuhi hasrat dan keinginan pribadi atau kelompok tertentu akan kebutuhan hidupnya, sehingga modal itu sendiri menjadi eksploitatif sifatnya. Karena sifatnya yang eksploitatif, maka keberadaan dan akumulasi modal yang besar dalam masyarakat, kiranya bisa menimbulkan kerusakan, kekacauan, konflik dengan struktur lembaga yang, termasuk lembaga dan pranata ekonomi yang sudah ada, dan terpelihara dalam masyarakat. Bahkan, tidak jarang keberadaan dan akumulasi modal yang terjadi dalam masyarakat dalam jumlah yang besar menimbulkan efek psikologi terhadap masyarakat sendiri berupa prustasi massa sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi,yang dirasakan sebagai hak ditengah-tengah melimpahnya modal dan kekayaan yang ada. Artinya, hasil yang diperoleh sebagai implikasi dari akumulasi modal hanya dirasakan dan dinikmati oleh segelintir orang.

Pembangunan sering diidentikan dengan upaya ”state building dan akumulasi modal”85. Pada tataran ini, maka dalam kaitannya dengan radikalisme yang muncul, pembangunan itu sendiri menimbulkan perubahan-perubahan pada masyarakat baik perubahan dilingkungan fisik (demokrafi, lingkungan alam, dll), maupun perubahan lingkungan sosial berupa hancurnya pranata dan lembaga sosial, terjadinya konfigurasipemilahan sosial yang berujung pada munculnya radikalisme kolektif.

Dari apa yang tersebut di atas terlihat, bahwa ekonomi an sich bukanlah menjadi penyebab munculnya radikalisme, tetapi dengan dipicu oleh faktor lain, seperti militansi umat beragama, menjadikan berbagai perubahan yang ditimbulkan sebagai akibat akumulasi modal memicu munculnya rasa prustasi dari kelompok masyarakat tertentu, dan perilaku radikalisme sebagai produk akhir dari prustasi tersebut dimaksudkan melakukan koreksi atas sistem

85 Mohtar Mas’oed et.al (Editor), Radikalisme Kolektif: Kondisi dan Pemicu, (Yogyakarta: P3PK UGM 2001).18.

Page 40: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

35

pembangunan yang dilakukan, termasuk koreksi atas sistem kapitalisme yang tujuan utamanya melakukan akumulasi modal secara terus menerus.86

f. Radikalisme Agama Secara garis besar, radikalisme dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu; pertama radikalisme pemikiran, radikalisme ini hanya sebatas ide yang bersifat abstrak dan hanya bagian dari materi diskursus, sekalipun mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan. Kedua, dalam bentuk aksi atau tindakan, radikalisme berwujud pada aksi dan tindakan yang dilakukan yang dilakukan aktor sebuah kelompok garis keras dengan cara kekerasan dan anarkis untuk mencapai tujuannya. 87Dalam laporan yang dilansir dari Asia-Pacific Center for Security Studies, memaparkan bahwa radikalisme hadir tidak hanya dilatarbelakangi motif keagamaan, tetapi juga hadir dalam perilaku politik, sebagaimana yang terjadi di India dan Bangladesh dan negara lainnya .88

Menurut Kusmanto, radikalisme merupakan fakta sosial yang spektrumnya membentang dari lingkungan makro (global), lingkungan messo (nasional) maupun lingkungan mikro (lokal).89 Kajian radikalisme memiliki focus stressing lebih kepada proses radikalisasi dan akibat-akibat radikalisme. Dalam orientasi kajian tersebut, berupaya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu atau kelompok bertindak radikal. Kuswanto juga memandang bahwa keyakinan, latar belakang pendidikan, kondisi sosial dan ekonomi menjadi faktor-faktor yang membentuk proses radikalisasi. Selain itu tindakan radikal, seringkali dipandang sebagai pilihan rasional bagi sekelompok orang melibatkan mobilisasi sumber daya dan kesempatan politik yang dibingkai dengan kerangka tertentu, misalnya agama.90

Kajian tentang radikalisme dititikberatkan pada hubungan radikalisme dangan agama. Radikalisme selalu dikaitkan dengan dimensi keagamaan.

86 Sebagai contoh sejak diberlakukannya UU PMA, PMDN dan UU Pokok Kehutanan, secara signifikan jumlah modal asing yang masuk ke Indonesia bertambah terus, pengaruh positifnya jelas terlihat dengan meningkatnya GDP (Gross Domistic Product) dari 3,7 % menjadi 12 % pada tahun 1966-1973. Namun demikian para ahli menilai disamping pengaruh positiv dalam ekonomi negara secara makro, justru pada saat yang sama telah terjadi kerusakan tatanan kehidupan sosial yang luar biasa, kerusakan hutan adalah salah satunya dari kerusakan tersebut. Lihat Ann Booth et.al (Editor), Ekonomi Orde Baru, (Jakarta: LP3ES 1986).5.

87 Radicalisation Processes Leading to Acts of Terrorism: A concise Report prepared by the European Commission's Expert Group on Violent Radicalisation. Journal of the European Union, L

111/9 of 25 April 2006, 5. 88 Satu P. Limaye, Mohan Malik, R.G Wirsing (ed). Religious Radikalism and Security in south Asia,

(Honolulu: Asia-Pacific Center for Security Studies, 2004), 5-12. Lihat juga Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014), 155

89 Thohir Yuli Kusmanto dkk. Dialektika Radikalisme dan Anti Radikalisme di Pesantren. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol 23, No1, Mei 2015, 28-29.

90 Thohir Yuli Kusmanto dkk. Dialektika Radikalisme dan Anti Radikalisme di Pesantren. 29.

Page 41: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

36

Contoh radikalisme di dalam agama Islam selalu dikaitkan dengan ideologi jihadisme. Refresentasi pandangan tersebut contohnya pada tulisan Greg Fealy yang berjudul Radical Islam in Indonesia: history, ideology and prospects, ia memaparkan:

“The Indonesian archipelago has a long history of minority Islamic radicalism. The earliestsuch movement of the modern era was that of the ‘Padri’ in West Sumatra. From the 1780s, people returning from the pilgrimage and study in the Middle East set about ‘reforming’ local Islamic practices and applying Islamic law more strictly in the region. They opposed gambling, the use of intoxicants, and ‘un-Islamic’ entertainment such as cockfighting. Their uncompromising puritanism sparked fierce resistance from the local religious and political elite and from the Dutch, and eventually led to the outbreak of the Padri Wars during the early decades of the nineteenth century.”91

Islam dan radikalisme memang menjadi tema yang menarik bagi banyak peneliti, Pengidentikan kajian radikalisme dengan Islam juga dikuatka oleh pemaparan Huma Haider sebagai berikut: “The majority of research on radicalisation of diasporas to date has focused narrowly on Muslim radicals and extremists, despite the presence of other radical groups”.92

Antusiasme peneliti dalam diskursus relasi radikalisme dengan Islam melahirkan terminologi baru yaitu Islamisme. Islamisme sendiri diartikan sebagai sebuah paham yang menyatakan bahwa agama sesungguhnya mencangkup segala dimensi pada masyarakat modern. Agama harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat dimulai dari pemerintah, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi.93

Selanjutnya Mamdani menelusuri tumbuhnya radikalisme Islam, yang antara lain diwakili puritanisme Wahabi, di dalam sejarah ekonomi-politik Perang Dingin, yang mengharuskan kerjasamanegara-negara kapitalis Barat, khususnya Amerika Serikat, dengan kerajaan Arab Saudi. Dalam penilaian Mamdani, karena adanya kesamaan kepentingan, pemerintahan-pererintahan Barat bersikap acuh saja terhadap tumbuhnya Islam radikal yang ditopang Ke rajaan Arab Saudi, sekalipun secara retoris mereka sering mengampanyekan demokratisasi negara-negara Muslim.94

Apapun kepentingannya paham radikal kerap menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk cara-cara kekerasan. Paham tersebut disebarkan dan ditanamkan ke masyarakat oleh pelakunya melalui penyebaran narasi-narasi kekerasan yang menukil sisi-sisi agama dari cara pandang yang

91 Greg Fealy. “Radical Islam in Indonesia: history, ideology and prospects” in Local Jihad: Radical Islam and Terrorism in Indonesia (Australian Strategic Policy Institue, 2005), 17.

92 Huma Haider. Radicalisation of diaspora communities. Helpdesk Research Report, 16 Januari 2015, http://gsdrc.org/publications/radicalisation-of-diaspora-communities/ diakses 7 Juni 2018 jam 12:32.

93 Ahmad Mohammad Al Hammad . Radikalisasi di Kalangan Mahasiswa Surabya (Studi Kasus Radikalisme Menurut Yusuf al-Alqardhawi) Tesis Sarjana. (Surbaya: Perpustakaan UIN Sunan Ampel, 2018),19.

94 Hamid Al asgar. Wahabisme : Sebuah Tinjauan Kritis, (Jakarta: Democracy Project, 2011), 12

Page 42: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

37

berbeda dan cenderung berlawanan dengan makna sebenarnya. Narasi-narasi yang telah tersebar ini kemudian mengendap menjadi ideologi yang meyakinkan masyarakat bahwa sikap intoleran dan bahkan perilaku kekerasan boleh dilakukan selama hal itu ditujukan untuk menyenangkan Tuhan.

Berangkat dari pemaparan di atas, ternyata radikalisme tumbuh dalam dimensi konstitutif pada aspek yang paling mendasar dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari keyakinan agama. Pandangan tersebutlah yang menyebabkan radikalisme sulit untuk diatasi, sebab keyakinan merupakan dimensi kehidupan manusia yang sulit diintervensi.95

Faktor dan Karakteristik Radikalisme

Radikalisme agama merupakan gejala yang timbul dari pemahaman keagamaan yang kompleks. Munculnya gejala tersebut merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Contohnya radikalisme Islam, menurut Azyumardi Azra, radikalisme yang berkembang di kalangan umat Islam diantaranya bersumber pada factor-faktor sebagai berikut:96

a. Pemahaman keagamaan yang parsial terhadap teks agama. Pemahaman yang sepotong-sepotong dapat menimbulkan miss-interpretasi, misalnya memahami teks tanpa dibarengi dengan pemahaman konteks. Contohnya ayat yang menjelaskan situasi perang, kemudian dipahami secara umum dan diaplikasikan diluar konteks yang dimaksud.

b. Bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu. Sepertihalnya pandangan gerakan puritanisme yang gerakannya berkiblat pada salafi wahabi yang muncul di semenanjung Arabia pada akhir abad 18 sampai 19. Tema pokok kelompok ini adalah pemurnian Islam dari berbagai praktek yang dibpandang bid’ah, dan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan.

c. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial budaya, dan akses globalisasi, menjadi tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult) yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat; sekarang sudah waktunya bertaubat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatolgis konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan antar agama, bahkan antar umat beragama dengan Negara.

95 Thohir Yuli Kusmanto dkk. Dialektika Radikalisme dan Anti Radikalisme di Pesantren. 30. 96 Abdul Munip, Menangkal Rdikalisme di Sekolah (Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan

Kalijaga Program Pasca Sarjana No 2 Vol 1, Desember 2012), 162.

Page 43: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

38

d. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, reformasi berkaitan dengan euphoria kebebasan, dimana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan kebebasan dan kemauanya tanpa peduli dengan pihak-pihak lain. Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial khususnya dikalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas.

Selanjutnya Yusuf al-Qardhawi memaparkan kriteria-kriteria pahaman radikal. Diantaranya sebagai berikut;97

1) Mereka sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat dengan isi pikirannya.

2) Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya ringan (sambah) dengan berargumen bahwa ibadah sunnah seakan- akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Kemudian prioritas prilaku agama mereka hanya sebatas problem-problem yang sifatnya sekunder dan meninggalkan yang primer.

3) Mayoritas kelompok radikal sangat berlebihan dalam beragama yang tidak pada temat lazminya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan cara dakwah Nabi dengan metode gradual (berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, bertahap).

4) Dalam menjalin sebuah interaksi sosial mereka cenderung kasar, keras dalam bicara dan bersikap emosional dalam berdakwah. Hal tersebut sangat bertolak belakan dengan cara dakwah zaman Nabi terdahulu dengan cara mengajak masyarakat untuk memperbaiki komunitas mereka dan mewujudkan kehidupannya. Terutama dalam segi iman agamanya dan bukan loyalitas pada suku mereka.

5) Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mayoritas dari mereka memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya saja dan menyampingkan aspek positifnya. Kemudian mereka juga sering tanpak merasa suci dari segala dosa dan menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat. Hal sedemikian rupa ini harus di jauhi oleh umat Islam, pasalnya pangkal dari radikalisme adalah sering berburuk sangka pada orang lain.

6) Kelompok Radikalisme mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Pada zaman nabi Muhammad sikap sedemikian ini identik dengan golongan Khawarij.

Faktor dan karakter radikalisme di atas hanya telaah secara general saja. Akan tetapi bisa mengawakili dari beberapa pemikir yang telah banyak memaparkan sebelumnya.

97 Ahmad Mohammad Al Hammad . Radikalisasi di Kalangan Mahasiswa Surabya (Studi Kasus Radikalisme Menurut Yusuf al-Alqardhawi).22.

Page 44: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

39

Bab Tiga

REBT: Pendekatan Analisa atas Radikalisme

Konsep Dasar

Albert Ellis (1955) adalah peletak dasar Terapi Rasional Emotif Behavior atau lebih dikenal dengan sebutan “Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)”. Albert Ellis merupakan ahli psikologi klinis dan juga seorang psikolog yang konsen dalam psikologi pernikahan dan sexualitas di kota New York, dia mendapatkan reputasi terbaiknya setelah mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul The Case for Sexual Liberty. Pada masa puncak karirnya sebagai ahli psikologi klinis, banyak koleganya yang berkonsultasi dan merasakan efektifitas pelayanannya.98

Sebelum menggagas REBT, dia meyakini bahwa psikoanalisis merupakan bentuk terapi yang sangat mendalam dan sangat efektif. Seperti halnya dengan para psikolog di saat itu, dia sangat tertarik dengan gagasan Sigmund Freud. Kemudian lama waktu berselang kesetiannya kepada psikoanalisis memudar.99 Pada awalnya, Ellis menekankan terapi rasional, yaitu unsur kognitif dari perilaku manusia, asumsi seperti ini bertentangan dengan asumsi yang popular pada saatitu, tepatnya pertengahan tahun 1950-an. Selanjutnya pendekatannya itu diperluas dengan memasukkan unsur perilaku disamping unsur kognitif saja. Dengan demikian, Rational Emotive Behavior Therapy ini dapat digolongkan sebagai model terapi perilaku yang berorientasi kognitif. Pendekatan ini telah mengalami berbagai perubahan sedemikian rupa, yang pada akhirnya menjelma menjadi pendekatan yang komprehensif karena melibatkan kognitif, afektif dan perilaku.100

Rational Emotive Behavior Therapy termasuk pada rancangan konseling yang berorientasi kognitif. Pendekatan ini merupakan salah satu bentuk konseling aktif-direktif yang menyerupai proses pendidikan (education) dan pengajaran (teaching) dengan mempertahankan dimensi pikiran daripada perasaan. Selain itu dalam koseling berorientasi kognitif baik pikiran, emosi dan perilaku saling mempegaruhi.

“Te cognitive model presumes that an individual’s cognitions, emotions, and behaviors reciprocally impact one another, so that intervention aimed

98 Windy Dryden. dkk. Counselling Individuals: A Rational Emotive Behavioral Third Edition (London: Whurr Publisher, 2001),3.

99 Windy Dryden. dkk. Counselling Individuals: A Rational Emotive Behavioral Third Edition , 4.

100 Keith S. Dobson (ed). Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. (New York: Guilford Press, 2009),3-4.

Page 45: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

40

at one of these events (e.g., modifying dysfunctional cognitions) will lead to changes in the others (e.g., emotions and behaviors)”101

Model kognitif mengandaikan bahwa kognisi, emosi, dan perilaku seseorang saling memengaruhi satu sama lain, sehingga intervensi ditujukan pada salah satu dari peristiwa ini (misalnya, memodifikasi kognisi disfungsional) akan menyebabkan perubahan pada yang lain (misalnya, emosi dan perilaku).

Rational Emotive Behavior Therapy tergolong pada ancangan konseling yang berorientasi kognitif-sejajar dengan konseling realitas yang dikembangkan oleh Glesser-dengan beberapa ciri menonjol, yaitu: pertama bersifat didaktis, aktif, direktif, menekankan situasi sekarang dan berfikir yang lebih rasional. Kedua menekankan pada segi aksi konseli. Dari situlah maka Rational Emotive Behavior Therapy tak ubahnya merupakan proses pemerolehan pemahaman yang sekaligus tampak pada perbuatan atau perilaku konseli.

Menurut Ellis sendiri Rational Emotive Behavior Therapy merupakan terapi yang didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku manusia merupakan sesuatu yang berbeda namun saling memiliki keterkaitan. Sebagaimana dalam tulisannya ia menuliskan: “Rational Emotive Behavior Therapy is based on the assumption that cognition, emotion, and behavior are not disparate human functions but are, instead, intrinsically integrated and holistic”.

Terapi Rasional Emotif Perilaku didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan perilaku adalah fungsi manusia yang berbeda tetapi, sebaliknya, intrinsik terintegrasi dan holistik. 102

Menurut Winkel & Hastuti, memaparkan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy adalah corak konseling yang menekankan keselarasan antara berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting), dan berprilaku (acting), sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dan berperasaan dapat mengakibatkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku.103

Selanjutnya menurut Corey menejelaskan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy merupakan usaha sadar dalam pemecahan masalah yang menitikberatkan pada aspek berpikir, memihak, memutuskan, direktif tanpa lebih banyak berurusan dengan dimensi dimensi pikiran dari pada dengan dimensi dimensi perasaan.104

101 JAmes D. Herbert and Evan M. Forman (ed). Acceptence and Mindfulness in Cognitive Behavior Therapy; Understanding and Applying the New Therapies. ( New Jersey: John Wiley & Sons, Inc), 223.

102 Albert Ellis and Catharine MacLaren. Rational Emotive Behavior Therapy: A Therapist's Guide (California: Impact Publishers, 2003),3. 103 Winkel, W.S & Hastuti, Sri. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Yogyakarta:

Media Abadi, 2004),42. 104 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung: PT Refika Aditama,

2005),240.

Page 46: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

41

Ada pun menurut Willis, Rational Emotive Behavior adalah aliran yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya. Manusia merupakan subjek yang sadar akan dirinya dan sadar akan objek- objek yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk yang memiliki kuasa dan berkembang, selain itu manusia merupakan entitas dalam satu kesatuan, yang berarti manusia bebas, berpikir, dan berkehendak.105

Berdasarkan paparan di atas maka yang dimaksud dengan Rational Emotive Behavior Therapy adalah usaha menghilangkan cara berpikir konseli yang tidak logis dan irrasional, untuk menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara mengkonfrontasikan pikiran-pikiran rasional konseli dengan keyakinan -keyakinan irrasionalnya, sehingga mampu menjadikannya individu yang efektif dan bahagia.

Pandangan Manusia dalam REBT Dalam perspektif psikologi kognitif, terapi rasional emotif merupakan aliran psikoterapi yang berlandaskan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan dua potensi, berpikir rasional, dan berpikir irasioanl, lebih jauh memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat jahat. Selain itu manusia memiliki kecenderungan untuk self-preservation, berupa kebahagiaan, berpikir dan mengucapkan dengan kata-kata, mencintai, pengakuan diri, aktualisasi diri, serta menjalin hubungan sosial lainnya.

Manusia juga memiliki kecenderungan untuk self-destruction, menghindari buah pikiran, prokantinasi, memiliki kepercayaan di luar kenyataan, perfeksionis dan mencela diri sendiri, kurang bertoleransi, menghindari potensi aktualisasi diri. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan menjalani hidup yang efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif ataupun sebaliknya.106

Hambatan psikologis atau emosional merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Individu yang disertai emosi niscaya berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan bahkan bersikap di luar nalar rasional. Berpikir irasional dibidani oleh proses pembelajaran, diawali dengan tindakan tidak logis yang diperoleh dari penyerapan budaya tempat individu tersebut dibesarkan. Individu yang membangaun pikiran irasional akan mudah diidentifikasi dari perilakunya yang tampak. Perilaku yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan perilaku yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Pikiran irasional serta penolakan diri dalam individu, dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat.

105 Sofyan Willis. Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta, 2004),75. 106 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. 276.

Page 47: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

42

Selanjutnya, merujuk pada pemaparan Komalasari yang menjelaskan bahwa secara khusus pendekatan rational emotive behavior therapy diterapkan berangkat dari beberpa asumsi, sebagai berikut:107

a. Pikiran irasional berasal dari proses belajar yang irasional yang didapat dari orangtua dan budayanya.

b. Manusia merupakan makhluk verbal dan berpikir melalui simbol dan bahasa. Dengan demikian, pikiran negatif yang hadir dalam diri individu disebabkan verbalisasi ide dan pemikiran irasional.

c. Gangguan emosional yang disebabkan oleh verbalisasi diri (self Verbalising) yang terus menerus, dan sikap terhadap kejadian merupakan akar permasalahan, bukan karena kejadian itu sendiri.

d. Individu memiliki kuasa untuk mengubah arah hidup personal dan sosialnya.

e. Pikiran dan perasaan yang negatif dan merusak diri dapat diserang dengan mengorganisasikan kembali persepsi dan pemikiran, sehingga menjadi logis dan rasional.

Konsep Teori Kepribadian dalam REBT Menurut Ellis rational emotive behavior sebagai bagian dari terapikognitif dipadnang perlu untuk memahami dinamika kepribadian dalam pandangan konseling rational emotive behavior. Berikut ini, tiga hal yang terkait dengan perilaku dalam perspektif rational emotive behavior, yaitu antecedent event (A), belief (B) , dan emotional consequence (C) yang kemudian dikenal dengan rumus A -B-C, sebagai berikut:108

Pertama, antecedent event (A) merupakan keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. Ali Miller menambahkan bahwa antecedent event merupakan realitas yangdapatdikonfirmasi.109 Seperti pertengkaran dan perceraian, diterima dalam sebuah pekerjaan, dan kelulusan sekolah juga dapat dikategorikan sebagai antecedent event bagi seseorang.

Kedua, belief (B) merupakan keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang irrasional (rational belief atau B) dan keyakinan yang tidak rasional (irrational belief atau B). Belief di sini bisa bersifat evaluatif, baik berupa pertimbangan fleksibelitas atau rigiditas. dalam hal ini utuk mengukur rasionalitas pikiran, maka bisa dilihat sejauh mana konseli memiliki padangan yang fleksibel terhadap sebuah realitas.

Contoh penerapan belief (B) yang merupakan bagian dari kemampuan evaluatif;

107 Gantina Komalasari, Teori dan Teknik Konseling (Jakarta Barat: PT Indeks, 2011),203. 108 Lihat Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 242. 109Ali Miller. Instructors Manual for Albert Ellis on RBT.

http://www.psychotherapy.net/data/uploads/51102f7bd269e.pdf diakses pada tanggal 13 Juni 2018 jam 10:04.

Page 48: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

43

a) Evaluasi kejadian yang sedang berlangsung: kejadian ini berdampak negatif atau tidak? Kemudian kaitkan dengan penilaian peribadi.

b) Pernyataan toleransi; misalnya 'sebetulnya saya tidak suka terhadap suatu hal, tapi karena suatu alasan saya akan melakukannya.

c) Penerimaan kesalahan; individu menerima sendiri dinamika kehiduapan sebagai sesuatu ruang kompleks terdiri dari positif dan negatif. fleksibelitas pemikiran; pada sesuatu yang pasti dan lazim terjadi lebih baik.

Ketiga, emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent event (A). Menurut Ellis Emotional consequence merupakan kerangka kerja emosi dan perilaku yang merupakan konsekuensi dari Aceidet event (A) dan belief (B). konsekuensi emosional dibagi menjadidua bagian:110

a. Negatif disfungsional, yaitu meyakini keyakinan mutlak dan irasional b. Negatif fungsional, yaitu kecenderungan untukmengiktu keyakinan

fleksibel dan rasional. Keempat, disputing (D) yaitu penerapan metode konseling untuk

membantu konseli menantang emosional yang telah mengakibatkan gangguan gangguan emosi dan tingkah laku. Menurut Ellis dalam proses disputing paling tidak ada beberapa pilihan untuk merestrukturisasi keyakinan irasional:111

1. Konfrontasi dengan realistas empiris yang menantang keharusan dan Imperatif. Contohnya “Apakah mutlak saya harus berhasil sesuai dengan keinginan orang lain?” Jawaban: ‘Tidak ada keharusan kehendak orang lain sesuia dengan kepentingan saya”

2. Perselisihan logis tentang keyakinan yang terlalu umum dan tidak logis: Contohnya: “karena saya gagal maka saya menjadi manusia paling bodoh?” jawaban: gagal hanyalah keberhasilan yang tetunda.

3. Perdebatan pragmatis, contohnya ketika saya gagal, maka berakhirlah harapan saya. Dengan terus berpikir seperti itu maka hanya akan menumbuhkan depresi dan penolakan diri saja.

Berdasarkan paparan di atas, maka jika digambarkan kepribadian dalam Pendekatan Rational Emotive Behaviour Therapy beserta treatmentnya sebagai berikut:

Gambar 1. 2 Kepribadian dalam Rational Emotive Behaviour Therapy

110 Albert Ellis and Catharine MacLaren. Rational Emotive Behavior Therapy: A Therapist's Guide. 31. 111 Daniel David dkk. (ed). Rational and Irrational Belief : Research, Theory, and Clinical

Practice. (New York: Oxford University Press, 2010),9.

Page 49: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

44

Karakteristik Perilaku Irasional REBT

Dalam terapi rasional emotif behavior bahwa yang dinamakan perilaku

bermasalah adalah perilaku yang didasari oleh cara berfikir yang irrasional.

Albert Ellis mengemukakan indikator keyakinan irasional yang berlaku secara

universal. Indikator orang yang berkeyakinan irasional tersebut adalah sebagai

berikut:

a) Tuntutan untuk selalu dicintai dan didukung oleh orang terdekat

(significant others).

b) Pandangan bahwa tindakan tertentu adalah mengerikan dan jahat, dan

orang yang melakukan tindakan demikian itu s angat terkutuk.

c) Tidak senang atau mengerikan atas kejadian yang tidak diharapkan.

d) Pandangan bahwa segala masalah selalu disebabkan oleh faktor

eksternal, dan peristiwa itu menimpa kita melalui orang lain.

e) Pandangan bahwa jika sesuatu itu berbahaya atau menakutkan maka

akan terganggu dan selalu tidak akan berakhir memikirkannya.

f) Pandangan bahwa kita lebih mudah menghindari berbagai kesulitan

hidup dan tanggung jawab dari pada berusaha untuk menghadapinya.

g) Pandangan bahwa kita selalu membutuhkan bantuan orang lain atau

orang asing yang lebih besar daripada diri sendiri sebagai sandaran.

h) Pandangan bahwa kita seharusnya kompeten, inteligen, dan mencapai

semua kemungkinan yang menjadi perhatian kita.

i) Pandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan santai

tampa berbuat apapun.

j) Pandangan bahwa kita harus memiliki kepastian dan pengendalian yang

sempurna atas sesuatu hal bahwa dunia ini penuh engan probabilitas

(serba mungkin) dan berubah serta kita hidup nikmat sekalipun

demikian keadaannya.

k) Pandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan santai

dan tampa berbuat.

Keyakinan yang irasional tersebut menghasilkan reaksi emosional pada

individu. Dalam perspektif Ellis, keyakinan yang rasional mengakibatkan pada

perilaku dan reaksi individu yang tepat, sedangkan keyakinan yang irasional

berakibat pada reaksi emosional dan perilaku yang salah112.

Sedangkan ciri-ciri dari berfikir irasional yaitu: (a) tidak dapat dibukt ikan

kebenarannya, (b) menimbulkan perasaan tidak enak (seperti kecemasan,

112 Latipun, Psikologi Konseling, (Malang UMM Press, , 2005).9.

Page 50: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

45

kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu, (c) menghalangi individu

untuk berkembang dalam kehidupan sehari hari yang produktif efektif113.

Nelson-Jones menambahkan karakteristik umum cara berfikir irrasional yang

dapat dijumpai secara umum sebagai berikut114:

a. Terlalu menuntut (Demandingness), dimana perintah atau komando yang berlebihan oleh terapi rasional emotif behavior dibedakan dengan hasrat, pikiran dan keinginan. Hambatan emosional terjadi ketika individu menuntut “harus” terpuaskan, dan bukan “ingin” terpuaskan. Menurut Ellis “harus” merupakan cara berpikir absolut tampa ada toleransi. Tuntutan itu membuat individu mengalami hambatan emosional.,

b. Generalisasi secara berlebihan (Overgeneralization), berarti individu menganggap sebuah peristiwa atau keadaan diluar batas yang wajar. Overgeneralization dapat diketahui secara semantik “sayalah orang yang paling bodoh di dunia ini”. ini adalah overgeneralization karena kenyataannya dia bukan sebagai orang yang terbodoh.

c. Penilaian diri, pada dasarnya seseorang dapat memiliki sifat yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Yang terpenting dia dapat belajar untuk menerima dirinya tanpa sarat. Penekanan (Awfulizing) memiliki makna yang hampir sama dengan demandingness. Jika demandingness menuntut dengan “harus”, maka dalam awfulizing tuntutan atau harapan itu mengarah ada upaya peningkatan secara emosional dicampur dengan kemampuan untuk problem solving yang rasional. Penekanan ini akan mempengaruhi individu dalam memandang actecedent event secara tepat dank arena itu digolongkan sebagai cara berfikir yang irrasional.

d. Kesalahan atribusi aalah kesalahan dalam menetapkan sebab dan motivasi perilaku baik dilakukan sendiri, orang lain, atau sebuah peristiwa. Kesalahan atribusi disini sama dengan alasan palsu diri seseorang dan umumnya berakibat pada hambatan emosional.

e. Anti pada kenyataan, hal ini terjadi karena tidak dapat menunjukan fakta empiris secara tepat. Orang yang berkeyakinan irasional, pertama kali cenderung kuat untuk memaksa keyakinan yang irrasional dan menggugurkan sendiri gagasannya yang sebenarnya rasional. Orang yang rasional akan dapat menunjukan fakta secara empiris.

f. Repetisi, dimana keyakinan yang irasional terjadi berulang-ulang. Sebagaimana yang ditekankan oleh Ellis, seseorang cenderung mengajarkan dirinya sendiri dengan pandangan yang menghambat dirinya.

113 Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta :TERAS, 2008).81-83. 114 Latipun, Psikologi Konseling, 97-99.

Page 51: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

46

Tujuan REBT

Pendekatan konseling rational emotive secara umum merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengubah keyakinan irrasional yang dimiliki klien (yang memberikan dampak pada emosi dan perilaku) menjadi rasional. Berdasarkan panandangan dan asumsi tentang hakekat manusia dan kepribadiannya serta konsep teoritik dari REBT, tujuan utama dari terapi ini dapat diuraikan sebagai berikut115:

a) Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien apat mengembangkan diri.

b) Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut dan rasa bersalah.

Berdasarkan pendapat di atas,maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari rational emotive behavioural therapy adalah untuk memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

Selain itu rational emotive behavioural therapy juga bertujuan menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, serta rasa marah. Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :

a. Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.

b. Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.

c. Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.

Teknik REBT Dalam Terapi Rasional Emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral dan humor yang disesuaikan dengan kondisi klien. Setiap konselor dapat mempergunakan gabungan-gabungan teknik sejauh penggabungan itu memungkinkan. Teknik-teknik tersebut diantaranya, yaitu116:

115 Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, (Bandung :Pustaka Bani Quraisy, 2003), 16. 116 Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, 18.

Page 52: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

47

a. Terapi Kognitif Beberapa terapi kognitif yang cukup dikenal adalah :

1. Home work assigment atau pemberian tugas rumah. Yaitu teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih. membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.

2. Latihan asertif, yaitu teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan atau meniru model-model social.

b. Terapi Afektif Teknik ini digunakan untuk membantu klien dalam mengidentifikasi

emosi dan keyakinan, serta menemukan kesulitan verbalisasi. Pada saat tertentu ada klien yang mampu mengenal perasaan dan kognitifnya, tapi tidak dapat mempergunakannya dalam kejadian-kejadian tertentu. Dalam hal ini teknik yang bisaa digunakan, yaitu:

1. Teknik Assertive Training, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

2. Teknik Sosiodrama, merupakan teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan yang negatif) melalui suasana yang di dramatisasikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisn ataupun melalui gerakan dramatis.

3. Teknik Self Modeling (diri sebagai model), merupakan teknik yang digunakan untuk meminta klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk perasaan atau perilaku tertentu. Dalam self modeling ini klien diminta untuk tetap setia pada janjinya dan secara terus-menerus menghilangkan diri dari sikap negatif.

4. Teknik Mutasi, merupakan teknik untuk menirukan secara terus-menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.

c. Terapi Behavioristik Dalam kasusnya, kebanyakan Terapi Rasional Emotif banyak

menggunakan teknik behavioristik terutama dalam hal upaya memodifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar keyakinan yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:

1. Teknik reinforcement (penguatan), yaitu usaha mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.

Page 53: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

48

2. Teknik social modeling atau dikenal dengan pemodelan sosial, yaitu teknik untuk membentuk perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial diharapkan dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah disiapkan konselor.

3. Teknik live models (model kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan-percakapan social, interaksi dengan memecahkan maslah-masalah.

d. Humor Penggunaan humor dalam proses klienng telah diterapkan dalam berbagai

macam kesempatan, seperti Sekolah Dasar, pada klienng karier, klien kelompok, terapi keluarga dan terapi analitik. Humor juga dapat digunakan menciptakan rapport dan sebagai teknik untuk membuka diri klien dimana konselor dapat menunjukkan kesempurnaan atau kelemahan yang sebaiknya bisa diterima oleh setiap manusia, dengan kata lain, dinyatakan tertawa adalah suatu cara “menunjuk sendiri” terhadap ketidak mampuan dan ketidakfanaan terhadap perilaku sendiri. Kebanyakan hambatan itu muncul karena terlalu serius dalam membicarakannya, untuk itu humor diharapkan dapat membantu klien agar tercipta suasana yang tidak menakutkan dan klien juga dapat menikmati proses terapi.

Dalam prosesnya konselor dapat mengajak klien untuk menertawakan pikiran irasionalnya dan bertanggung jawab terhadap pengukuran itu. Penggunaan humor dalam klienng sebaiknya memperhatikan budaya yang dimiliki oleh klien. Ada budaya-budaya tertentu yang bisa menerima humor sebagai konsekuensi kegagalan yang dilakukan. Tetapi ada juga ada budaya atau nilai-nilai masyarakat yang berpikiran bahwa kegagalan bisa ditertawakan dengan demikian penggunaan memperhatikan latar belakang budaya klien.117

REBT Sebagai Pendekatan Analisa atas Radikalisme REBT Sebagai pendekatan analisa terhadap realitas yang dianggap bermasalah maka prakteknya adalah berusaha memahami persoalan dan peristiwa yang dialami manusia berkaitan dengan kesadaran dirinya dalam menghadapi objek-objek yang dihadapinya. REBT sebagai pendekatan analisa dalam kajian terhadap realitas peristiwa yang dialami manusia menekankan pada interaksi berfikir rasional (rasional thingking), perasaan (emoting), dan berperilaku (acting). Pendekatan ini menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam terhadap cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku seseorang dalam menghadapi kenyataan hidup.

Dalam konteks inilah, pendekatan REBT dijadikan sebagai pisau analisa dalam melihat gejala-gejala munculnya pemikiran, perasaan dan perilaku

117 Hartono, Boy Sudarmaji, Psikologi Konseling, (Jakarta: Kencana, 2012),179.

Page 54: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

49

radikalisme di kalangan masyarakat dengan menelaah dari konstruk diagnosa Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Pendekatan antecedent event (A) yaitu penelaahan pada segenap peristiwa luar yang dialami. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain yang mengakibatkan seseorang menjadi radikal. Pendekatan belief (B) yaitu penelaahan terhadap keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karenanya tidak produktif. Keyakinan yang irrasional inilah yang akan ditelaah lebih jauh dalam konteks keyakinan yang selalu mengiringi lahirnya radikalisme. Pendekatan emotional consequence (C), yaitu penelaahan terhadap konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A) berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain yang radikal. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

Bagian terakhir, analisa yang digunakan adalah pendekatan dispute (D). Pendekatan dispute merupakan alternatif resolusi untuk melawan keyakinan-keyakinan irrasional yang lahir dari perasaan, pikiran dan perilaku radikalisme agar melahirkan dampak (effects; E) psikologis positif berupa keyakinan-keyakinan yang rasional dari pelaku radikalisme. Sehingga lahir perasaan-perasaan baru (feelings; F) yang tidak menekan melainkan perasaaan penerimaan diri secara sehat dalam menerima dan menyikapi segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.

Page 55: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

50

Bab Empat

Organisasi Keagamaan Pengiat Deradikalisasi

Nahdlatul Ulama

Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah. Nahdlatul Ulama didirikan di Kertopaten, Surabaya. Ada pun tokoh-tokoh yang ikut berperan diantaranya K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Wahab Hasbullah. Menurut

kamus Al Munawir, secara harfiah Nahdlatul Ulama ( diambil dari (نهَْضَةُِ العلُمََاءِ bahasa Arab yang berarti kebangkitan ulama.118

Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita al-Qur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu:

a. Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’.

b. Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi.

c. Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaidi.119

Proses konsolidasi paham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar. Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq). Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah waljama’ah.

Dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah ini lahir dengan alasan yang mendasar, antara lain: Pertama; Kekuatan penjajah Belanda untuk meruntuhkan potensi islam telah melahirkan rasa tanggung jawab alim ulama menjaga kemurnian dan keluhuran ajaran islam. Kedua; Rasa tanggung jawab alim ulama sebagai pemimpin umat untuk memperjuangkan kemerdekaan dan

118 Ahmad W. Munawwir. Kamus Al Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 962. 119 Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004),7.

Page 56: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

51

membebaskan dari belenggu penjajah. Ketiga; Rasa tanggung jawab alim ulama menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia.120

Tidak seluruh perjalanan sejarah bangsa indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan misalnya, ada tiga kelompok kekuatan yang berkembang secara bersamaan. Munculnya elit baru sebagai sekolah-sekolah belanda, dibarengi pula oleh dua kekuatan pergerakan yang bersumber islam, yaitu ”islam moderen” dan “islam tradisional”. Dalam fase ini moderenisasi islam yang tersalur dalam berbagai keagamaan mulai tersebar dan memperoleh sambutan yang cukup luas dihampir semua kota besar di Indonesia sampai di Desa-desa kecil di pelosok negri121.

Sejak permulaan tahun 1910-an. Sebelum didirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Kyai H. Hasyim As’ari tidak melarang salah seorang muridnya yang paling cemerlang yaitu KH. Wahab Hasbullah untuk mengambil bagian dalam aktifitas-aktifitas sosial pendidikan dan keagamaan dari kelompok modernisasi Islam. Kelihatannya sampai meninggalnya pendiri Muhamadiyah, Kyai H. Ahmad Dahlan, dalam tahun 1923, pikiran-pikiran islam moderen dari gerakan Muhamadiyah belum meyentuh ideologi yang paling fundamental dari islam tradisional. Pada tingkat permulaan gerakan islam moderen tersebut, tekanan diletakkan pada pengaktifan sosial, ekonomi dan politik. Mungkin itulah sebabnya gerakan tersebut belum di rasakan mengancam kedudukan pemimpin pemimpin islam tradisional122.

Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun Kyai Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir islam tradisional dengan dukungan para Kyai dan Ulama dan beliau juga aktif di Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para saudagar muslim yang didirikan Surakarta tahun 1912, dan pada tahun 1916, Kyai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Watam yang berpusat di Surabaya yang pengasuhnya ialah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai H. Masmansur.123

Pertambahan yang luar biasa dalam keanggotaan syarikat islam menjelang akhir tahun 1920an terutama disebabkan oleh peranan kyai yang memobilisasikan masa pada tingkat masyarakat luas dan ini tidak berarti bahwa pada tubuh syarikat islam belum ada perbedaan-perbedaan ideologi antara mereka yang cenderung untuk tetap mempertahankan Islam tradisional. Sesudah didirikannya gerakan Muhamadiyah tahun 1912 dan sepeninggalnya Kyai H. Ahmad Dahlan sering kali terjadi perdebatan antara Kyai-Kyai. Pemimpin pesantren dan para Ulama yang mendukung gerakan Muhamadiyah yang mengenai dalam berbagai aspek dalam praktek islam. Wadah perdebatan yang paling utama ialah organisasi Taswirul Afkar di Surabaya yang dipimpin

120 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) . 67. 121 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1995) . 12. 122 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, 13. 123 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999) h. 8

Page 57: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

52

langsung oleh Kyai H. Wahab Hasbullah, Kyai H. Mas mansur dan tokoh-tokoh lainnya seperti Kyai H. Hasyim Asy’ari, Kyai H. Bisri Syamsuri (keduanya dari jombang), Kyai Ridwan (Semarang), Kyai Nawawi (Pasuruan), dan Kyai Abdu Aziz (Surabaya). Dalam pertemuan itu diambil keputusan sebagai berikut124:

a) Mengirim dilegasi Kekongres dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Ibnu Saud agar hukum-hukum menurut Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.

b) Membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syari’at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.

Namun pada umumnya, kedua kelompok ini mendukung aktifitas Syarikat islam, karena organisasi ini tidak menyentuh soal-soal yang berhubungan dengan pembauran dalam konsep-konsep keagamaan. Dikarenakan Syarikat islam lebih tertarik kepada aktifitas politik dan tujuan umumnya mempersatukan kelompok islam di Indonesia, lebih menekankan agar perbedaan pendapat yang menyangkut detail praktek-praktek keagamaan bisa dihindari. Dalam bulan februari tahun 1923, persatuan islam (yang terkenal dengan singkatan Persis) di dirikan di Bandung. Dan para anggotanya mulai mengumandangkan pandanganpandangan yang tidak kompromistis, yang ditunjukkan kepada pikiran keagamaan islam tradisional. Dan saat itu pula persatuan islam dapat merebut simpati sejumlah besar kaum intelektual islam. Buah pikiran Persis (persatuan islam) memberikan dampak kuat dalam formulasi ideologi keagamaan dari Syarikat islam pada masa-masa sesudah tahun 1923125.

Sewaktu kongres islam yang ke IV diselenggarakan di bandung pada bulan februari tahun 1926 dan kongres tersebut hampir sepenuhnya dikuasai oleh pemimpin organisasi islam moderen yang mengabaikan usul-usul pemimpin islam tradisisonal yang menghendaki terpeliharanya praktek-praktek keagamaan tradisional (antara lain madzhab 4 memelihara, pemeliharaan kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah). Akibatnya para Kyai dan para ulama-ulama yang dipimpin langsung oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari melancarkan kritik-kritik yang keras kepada kaum Islam moderen dan sejak permulaan pada tahun 1926 membentuk Jami’yah Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan para pemimpin islam tradisional.

Pengaruh Nahdlatul Ulama yang besar di kalangan Kyai dan Ulama di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan kaum awam. Sebagaimana dirumuskan dalan anggaran dasar Nahdlatul Ulama pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu dari madzhab

124 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) h. 34

125 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama,14.

Page 58: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

53

4 dan melakukan kegiatankegiatan yang menguntungkan para anggotanya sesuai dengan ajaranajaran islam. Adapun kegiatan pokok antara lain126:

a. Memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia kepada ajaran-ajaran Madzhab.

b. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.

c. Penyebaran-penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan Madzhab empat.

d. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasi. e. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok

pesantren f. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin. Jadi, Nahdlatul Ulama menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi

dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab syafi’I yang dianut oleh kebayakan umat islam di seluru nusantara ini. Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para Kyai yang terkadang adalah pemilik tanah dan pedagang.127

Nahdlatul Ulama sebagai satu organisasi sosial yang terbesar di Indonesia, sebenarnya adalah komunitas islam yang semenjak kelahirannya tujuh puluhan tahun yang lalu senantiasa berusaha menekankan pentingnya pelestarian dan penghargaan terhadap khazanah budaya nusantara. Diilhami oleh Dakwa khas Wali Songo yang berhasil “mengawinkan” lokalitas budaya dengan universalitas agama (Islam), NU berupaya menebar benih-benih islam dalam wajah yang familiar atau muda di kenali oleh seluruh masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional, sehingga kondusif bagi dua hal yang sangat di butuhkan dalam konteks pluralisme.

Pertama, perekatan identitas kebangsaan. Karena masuk melalui jalur budaya dengan membawa watak pluralis, hampir tidak ada komunitas budaya yang merasa terancam eksistensinya, baik langsung maupun tidak. Mulai dari sinilah kemudian muncul kaidah hukum islam “al’adah muhakkamah” yang memberi peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonfersi menjadi bagian hukum Islam. Selama tidak menyangkut ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan semacamnya, aktifitas budaya sangat mugkin dinilai sebagai kegiatan yang bermuatan agama jika memang berperan menegakkan perinsip-prinsip yang diperjuangkan Islam. Dan dalam batas yang minimal, aktifitas budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak merusak kemaslahatan128.

Dengan demikian, meski secara statistik tergolong mayoritas, kehormatan islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara-cara yang bisa diterima oleh kelompok lain, bukan ditegakkan dengan sebuah penindsan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi komunitas masayarakat

126 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama,15. 127 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999) .13-14. 128 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, (Jakarta: PT. Logos Wacana

Ilmu, 1999) . 60.

Page 59: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

54

manapun, yang pada gilirannya, cara-cara ini dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama sebagai bangsa.

Kedua, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak dapat disangkal bawa penampilan islam yang akomodatif, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan-penegakan nilai-nilai kemanusiaan dibanding kekakuan sikap dalam beragama yang bisa mereduksi hak-hak asasi masyarakat karena cenderung berpijak pada eklusifisme yang berpotensi memonopoli kebenaran serta gampang menyulut kekerasan berbasis agama sikap akomodatif tentu saja harus dibedakan dari kekeringan komitmen keislaman yang menunjukkan lemahnya iman. Sebaliknya sikap akomodatif justru muncul sebagai bukti totalitas pemahaman terhadap agama yang diyakini mampu menjadi rahmat bagi semua orang.

Pada akhirnya, sikap akomodatif yag lahir dari adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasnan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan prilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang.129

Perkembangan Dakwah Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama dalam merespon problem kebangsaan menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidak seluruh perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama pada bangsa indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu, terhadap jejak sejarah panjang Nahdlatul Ulama kita membutuhkan tahap pemahaman sebagai berikut130:

1) Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan tampil sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembati kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik Indonesia.

2) Nahdlatul Ulama (NU) masa kemerdekaan a. Masa Orde Lama

Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan dirinya menjadi partai politik hanya karena menghadapi komunis. Sebab kuatnya komunis sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama dengan suara yang keras akhirnya mampu mempertahankan dasar negara pancasila.

b. Masa Orde Baru

129 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan.61. 130 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) .77-78

Page 60: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

55

Dengan kebijakan pemerintah yang kuat, posisi Nahdlatul Ulama dengan kelompok Islam lainnya kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan sepakat mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial tetap menjadi perhatian Nahdlatul Ulama dan secara politik partai tersebut menjadi rode politik Nahdlataul Ulama.

c. Masa Reformasi Dimasa reformasi pola politik mengalami perubahan, Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat kembali ke khittah. Yakni Nahdlatul Ulama (NU) murni sebagai organisasi sosial keagamaan dan mengambil jarak yang sama terhadap partai politik yang ada. Sehingga Nahdlatul Ulama bukan milik siapa-siapa tetapi merupakan milik potensi bangsa Indonesia.

Dengan demikian dalam sejarahnya, Nahdlatul Ulama memang berdiri sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan purifikasi). Dan berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para Kyai dengan komunitas pesantrennya yang merupakan peyanggah utama kelompok Islam tradisionalis. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa, Negara dan umat Islam.

Peran Nahdlatul Ulama dalam Sosial, dan Pendidikan a. Dalam Bidang Sosial

Khittah 1926 merupakan perkembangan yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama, apalagi diteropong dari wacana sosial keagamaan dengan khittah 1926, Nahdlatul Ulama’ sebagai sebuah organisasi jamiyah lahir dari wawasan keagamaan yang bertujuan memajukan paham Islam ahli sunnah wal jama’ah aliran pemikiran Islam dibidang sosial kemasyarakatan berlandasan pada prinsip-prinsip keagamaan yang bercorak tasamuh (toleran) dan bersifat tawasud (moderat).

Prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan ini memberikan ruang gerak lebih luas kepada Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk merespons berbagai perubahan di lingkungannya, dan sangat toleran terhadap berbagai perbedaan yang berkembang dalam masyarakat plural seperti di Indonesia, tanpa terjebak dalam ekstrim kiri dan kanan yang secara fundamen sering kali merusak dimensidimensi solidaritas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Responsif, akurat, dan objektif atas kompleksitas problema empirik masyarakat bangsa tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran Kyai (ulama’) semata, sudah barang tentu membutuhkan tenaga-tenaga profesional muda yang trampil, visibel dan kapabel dalam memberikan solusi alternatif yang konseptual dan

Page 61: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

56

sistematis. Disinilah pendirian sebuah organisasi yang independen dan otonom Nahdlatul Ulama’ (NU) mengemukakan pikiran urgensinya131.

Nahdlatul Ulama membuka lembaran sejarah baru dalam mengatasi kelemahan-kelemahan masalah sosial kemasyarakat. Pada giliranya, Nahdlatul Ulama mampu menemukan dan menerapkan jati dirinya sebagai organisasi sosiorelegius yang didirikan ulama-ulama pesantren Dari dimensi sosial keberadaan Nahdlatul Ulama merupakan upaya peneguhan kembali semua tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga pesantren, kiai, santri, dan jamaah yang tersebar di tanah air sebagai unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan Nahdlatul Ulama tidak terlalu sulit dalam menyebarkan sayap organisasinya. Hubungan kekerabatan kiai sendiri dalam lingkungan pesantren di Jawa sangat membantu penyebaran sampai ke daerah-daerah. Sifat penyatuan lingkungan itu akan menimbulkan interaksi sosial antara pesantren dengan penduduk setempat serta membentuk pola kepemimpinan sosial yang berpusat pada para Kyai. Perubahan sosial indonesia dapat terlaksana lebih baik. Bukan karena Nahdlatul Ulama (NU) memiliki basis terbesar masyarakat pedesaan dan hadirnya perubahan sosial masyarakat kota yang memiliki kecenderungan eksploitatif terhadap masyarakat pedeaan. Tapi, karena Nahdltul Ulama memliki organ otoritas interpretasi sosial, yakni para Kyai. Di tangan perubahan sosial dimonitoring, sekaligus dicarikan akar argumentasi idiologis dari sebuah perubahan sosial132.

Para Kyai terbukti sudah cukup sukses mentraformasikan fiqihfiqih imam madzhab menjadi sebuah pemikiran dan prilaku masyarakat indonesia. Bukti upaya pecetakan realitas Arabisme yang diterapkan di indonesia. Kekuatan pondok pesantren dan interaksi sosial yang kerap dengan masyarakat sekitar cukup memberikan sosialisasi tranformasi budaya yang serba cepat. Secara fisik pada awalnya pondok pesantren hanya terdiri dari elemen-elemen Kyai, Santri, dan bangunan rumah Kyai sebagai tempat pengajaran. Kemudian pola ajaran tersebut berkembang dalam berbagai pola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan para Kyai dalam upaya mengembangkan pondok pesantren tersebut. Pesantren sebagai basis sosial dan budaya NU karena dianggap sebagai sub-komunitas yang paling prestigius dalam masyarakat bangsa ini. Ketika era penjajahan dunia perpolitikan di Nusantara tidak memberi ruang untuk berperannya tokoh-tokoh Islam. Para Ulam berupaya menekuni bidang pengembangan pendidikan Islam yang berrbasis pedesaan, dan di Desalah awal mula berdirinya dan berkembangnya pesantren.133

131 Muhammad Shadiq, Dinamika Kepemimpinan NU, (Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr 2004).43.

132 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) . 81-82. 133 Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004) , 1-2.

Page 62: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

57

Keberadaan Pesantren, baik dari segi fisik pemondokan maupun (Ajaran) tradisi komunitasnya, menurut Sukamto, memiliki kemiripan dengan subkultur masyarakat Jawa dan Madura pondok gede. Pondok itu merujuk pada bangunan masjid. Sementara pola kepemimpinan Kyai dalam hubungannya dengan Santri mengikuti pola kepatuan dimana Santri menjadi amat patuh pada Kyai atau Gurunya. Pola hubungan itu menggambarkan suatu kolerasi refleksi antara kondisi fisik perumahan dan bentuk hubungan sosial komunitasnya. Secara lebih khusus keberadaan Kyai ditengah para santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan dengan posisi Raja di Jawa dimana Raja benar-benar memiliki peran penting dalam rangka mengarahkan masyarakatnya.134 Singkatnya, palimg kurang pada tiga pokok yang memungkinkan Kyai NU memiliki kelebihan dan mempertahankan dominasi kulturalnya dalam masyarakat.

Pertama, tingginya derajat mobilitas Kyai dalam membangun jaringan hubungan dengan komunitas diluarnya, baik sesama Kyai dalam pertemuan-pertemuan jaringan tertentu maupun dengan pihakpihak lain, memungkinkan mereka memperoleh informasi baru yang belum dimiliki para santri dan mayarakat sekitarnya.

Kedua, posisi sentral dan ketokohan Kyai di desa dan pesantrennya, menjadikan mereka sebagai sumber rujukan bagi orangorang yang datang dari luar desa, di mana orang-orang yang datang ke desa (dengan berbagai kepentingannya ) tak bisa mengabaikan eksistensi dan peran Kyai. Kyai hampir selalu dijadikan sebagai tempat bertanya dan sekaligus acuan bagi orang-orang luar desa. Posisi seperti itu menjadikan para kyai memiliki akses yang lebih luas dan bakan lebih istimewa dari pihak lain sehingga ketokohan Kyai bukan saja dalam konteks masyarakat desa dan santrinya, melainkan juga dalam kaca mata orang-orang yang berasal dari luar desa bersangkutan.135

Ketiga, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari posisinya, Kyai biasanya memiliki kelebihan yang bersifat material dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya, termasuk memiliki akses informasi lebih baik. Semua itu, dengan kata lain, menjadikan kereka memiliki kelebihan dalam bidang means of production dalam bentuk idias dan sekaligus material, di mana semua itu dibutuhkan oleh para santri dan masyarakat umumnya.136

b. Pendidikan

Menurut Catels dan Mundayat, dalam bidang pendidikan Nahdlatul Ulama

merupakan manifestasi modern dari kehidupan keagamaan, sosial dan

budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan

para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri dalam membentuk

134 Laode Ida, NU Muda,3. 135 Laode Ida, NU Muda,4. 136 Laode Ida, NU Muda.5.

Page 63: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

58

masyarakat, kekompakan itu merupakan lembaga yang mempunyai peran

kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam pada kualitas sumber

daya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang bergerak dalam

bidang pendidikan137.

Nahdlatul Ulama merupakan manifestasi modern dari kehidupan

keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai. Dengan demikian pesantren,

Nahdlatul Ulama dan para kiai sebagai sentral selalu mengaitkan diri dalam

membentuk masyarakat, kekompakan itu merupakan lembaga yang

mempunyai peran kuat dalam perkembangan Islam dan masyrakat Islam

pada kualitas sumberdaya manusia harus ditingkatkan melalui institusi yang

bergerak dalam bidang pendidikan.

Pertama, pendidikan Islam memberikan pengaruh terhadap sosio-

kultural, dalam arti memberikan wawasan filosofi, arah pandangan motivasi

perilaku, dan pedoman perubahan sampai terbentuknya suatu realitas sosial

baru, Kedua, pendidikan Islam di pengaruhi oleh perubahan sosial dan

lingkungan sosio-kulural dalam penentuan sistem pendidikan Pesantren

adalah model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia, jika

dilihat dari keberadaanya, pesantren merupakan institusi pendidikan. Ketiga

dakwah agama Islam. Ia lahir ditengah-tengah masyarakat yang belum

mengenal sekolah dan universitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren

mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam wacana ini, menjalankan fungsi pendidikan merupakan tugas

pokok dari semua pesantren. Sementara itu fungsi agama dalam kehidupan

diharapkan menjadi faktor pencerahan dan langit pelindung (the sacred canopy)

bagi kehidupan manusia. Pencerahan yang menumbuhkan kedamaian,

keadilan, demokrasi, moralitas, dan pemenuhan hak dasar manusia serta

tegaknya adiluhur dalam menghantarkan manusia kepintu gerbang rahmat.

Secara kultural pesantren merupakan embrio pendidikan Nahdlatul Ulama,

akan tetapi komunitas pessntren masih memiliki keterbelakangan, oleh

karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan pesantren harus dilakukan

langkah-langkah, antar lain:

a. Intropeksi diri atas pemahaman teologi aswaja.

b. Pengasuh pesantren hendaknya menjadi pioner dalam

pengembangan pendidikan pesantren, yang tidak hanya

menyenangkan umat tetapi juga mencerdaskanya.

c. Masyrakat pesantren harus segera malakukan transformasi nilai

kepesantrenan. yaitu; keikhlas, kebersamaan, kemandirian, dan

semangat pembaharuan.

137 Lunch Castels, Aris Arief Mundayat, Membangun Budaya Kerakyatan, (yogyakarta: Titan Ilahi Press, 1997) ,203.

Page 64: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

59

d. Adanya hubungan timbal balik yang baik antara komunitas

pesantren dengan aparatur negara dalam segala bidang.

Muhammadiyah Sejarah Singkat Muhammadiyah Indonesia di akhir abad ke-19 adalah sebuah negeri yang muram. Setelah

runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarkis di nusantara, negeri ini terkoyak

oleh kolonialisme, sebuah pengalaman kolektif sebagai bangsa yang

menimbulkan trauma dan cedera historis. Pengalaman pahit sebagai bangsa di

bawah penindasan kolonialisme itu dialami sebagian besar rakyat yang

tenggelam dalam kemiskinan (struktural maupun kultural), kebodohan dan

keterbelakangan.

Di tengah kemuraman mayoritas pendududk pribumi yang tidak berdaya

dalam kapitalisme kolonial itu, ada juga sekelompok kecil masyarakat pribumi

yang muncul sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat seperti

pengusaha undustri batik, rokok, kerajinan, pedagang perantara, dan pedagang

keliling di daerah-daerah seperti Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, Kudus,

Pariaman, Palembanga dan Banjarmasin. Kelompok ini merupakan kelas

menengah pribumi dan juga merupakan sebagian kecil dari wiraswastawan

pribumi yang mampu bersaing pada tingkat lokal dengan para pengusaha dan

pedagang asing seperti eropa, Cina, arab dan India yang mendominasi sektor

ekonomi pada masa itu.

Satu di antara kelas menengah pribumi saat itu ialah Kiai Haji Ahmad

Dahlan. Ia barangkali hanyalah merupakan sebuah noktah kecil dalam kancah

sejarah Indonesia, jika ia hanya menjalani hidup sebagai seorang pedagang

batik dan khatib amin di Masjid Agung Kesultanan Ngayogyakarta. Namun

ternyata ia tidak hanya hadir sebagai noktah kecil sejarah, melainkan ia

hadir dengan gagasan besar yang mencerahkan di tengah kemuraman

nasib bangsa di bawah penindasan kolonialisme di tengah

kosmopolitanisme pergaulannya melalui perdagangan, ibadah haji, studi di

Makkah, dan bacaan-bacaannya, ia berpikir besar tentang perubahan

sosial demi kemajuan umat Islam yang sedang mengalami

keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan secara sistematis. Pikiran

besarnya itulah yang kemudian mendoronganya untuk melahirkan

Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 yang mencoba melakukan

pencerahan di tengah kemuraman nasib bangsa ini, sekaligus juga untuk

mengembalikan sejarah umat Islam pada kejayaannya. K.H. Ahmad Dahlan

mendirikan persarikatan Muhammadiyah secara bertahap dan berencana.

Mula-mula K.H. Ahmad Dahlan selalu menganjurkan agar pengajaran agama

meninggalkan cara lama dan memulai cara baru dan para kiai giat

Page 65: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

60

mendatangi murid dan tidak hanya menunggu datangnya santri di pesantren

atau suraunya.

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwisy atau yang

lebih Dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta pada

tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 sebagai tanggapan

terhadap berbagai saran dari sahabat dan murud - muridnya untuk

mendirikan sebuah lembaga yang bersifat permanen .138 Secara umum faktor

pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula dari beberapa kegelisahan

dan keprihatinan sosial religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi

disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan

umat. Kegelisahan religius muncul karena melihat praktik keagamaan

yang mekanistik tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial dan positif

di samping syarat dengan tahayul, Sedangkan kegelisahan moral disebabkan

oleh kaburnya batas antara baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.139

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada

perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang

berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para

tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam

menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga

mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal

usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna

pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Berdirinya Muhammadiyah didasari oleh beberapa permasalahn ummat

Islam pada saat itu. Dianataranya yaitu kelemahan praktek ajaran agama Islam

dapat dijelaskan melalui dua bentuk:

a. Tradisionalisme

Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan

pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan

menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan-

pembaharuan dalam bidang agama. Paham dan praktek agama seperti ini

mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan

perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang,

138 M. Raihan Febriansyah, dkk, Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari negeri, (Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013), . 3

139 Muhammad Syarif Hidayat, Konsep Matla’ Fi Wilayah Al-Hukmi Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Bulan Kamariyah, (Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo,

Semarang, 2011). 37.

Page 66: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

61

kegagalan dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk-

bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi

terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup

selama ini.

b. Sinkretisme

Pertemuan Islam dengan budaya lokal disamping telah memperkaya

khasanah budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format-format

sinkretik, percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-

budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini

tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan

ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa

misalnya, meski secara formal mengaku sebagai muslim, namun

kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak berubah.

Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang,

takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan

orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-

sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak

yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.

c. Kelemahan lembaga pendidikan Islam

Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan sistem

pendidikan Islam yang khas Indonesia. Transformasi nilai-nilai keIslaman

ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara institusional sangat

berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan dalam

sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan

kader-kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai

dengan zaman. Salah satu kelemahan itu terletak pada materi pelajaran

yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir,

Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak

mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti ilmu hitung, biologi,

kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru sangat diperlukan

bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam

rangka menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan

lembaga pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi

salah satu latar belakang dan sebab kenapa KH. Ahmad Dahlan

mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat

terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu

duniawi.

Page 67: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

62

Selain faktor internal umat Islam pada saat itu, didasari juga oleh faktor objektif yang bersifat eksternal, diantaranya:

a) Kristenisasi Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.

b) Kolonialisme Belanda Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.

c. Gerakan Pembaharuan Timur Tengah Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan. Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.

Dengan melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam beritijtihad. Prinsip-prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memeiliki karakter dinamis dan terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka (misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan-

Page 68: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

63

yayasan Katolik dan Protestan yang banyak muncul di Yogyakarta waktu itu.

Tujuan Organisasi Muhammadiyah Sebagai sebuah organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling penting adalah untuk menyebarkan ajaran Islam, baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya. Selain itu meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid`ah. Organisasi ini juga memunculkan praktek-praktek ibadah yang hampir –hampir belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti shalat hari raya di lapangan, mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya.140

Untuk mencapai tujuan dari organisasi ini, Muhammadiyah bermaksuduntuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah Islam, mendirikan lembaga wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah.141

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan. Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Tujuan berdirinya Organisasi Muhammadiyah secara rinci dapat kita lihat dari tujuan pokok dalam anggaran dasar organisasi ini. Berikut ini beberapa tujuan merupakan pokok utama dibentuknya organisasi tersebut:

140 Arbiya Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh Suatu studi perbandingan,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. Ke I, h. 16 141 Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta:PT Pustaka LP3ES, Cet VIII, 1996),

86.

Page 69: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

64

a. Tujuan utama yaitu mengembalikan ajaran agama Islam agar sejalan dengan Al Quran dan hadist.

b. Meningkatkan pengajaran dan pendidikan dengan agama Islam sebagai landasanya.

c. Meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada khususnya dan manusia pada umumnya.

d. Menyiapkan generasi muda dengan pembinaan yang bertujuan membentuk pemimpin bagi bangsa, agama dan rakyat.

e. Membantu anak yatim yang ada di Indonesia. f. Mendorong umat Islam agar hidupnya mengikuti ajaran Islam yang

sesungguhnya.

Perkembangan Dakwah Muhammadiyah a. Perkembanngan secara Vertikal

Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat.

b. Perkembangan secara Horizontal Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan usaha-usahanya yang telah dilakukan: 1. Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai

dengan contoh yang telah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan jalan perhitungan “hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

3. Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang ada pada amasjid-masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang benar menurut perhitungan garis lintang.

4. Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.

Page 70: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

65

5. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana.

6. Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.

7. Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup Muhammadiyah”, yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam secara sederhana, tetapi menyeluruh.

Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi: 1) Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya

ilmu-ilmu keagamaan, dan 2) Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan

pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.

Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi:

a. Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.

b. Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk menyantuni mereka.

c. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan Islam.

d. Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani.

e. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang tuntunan Ilahi.

Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi: a) Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas

ibadah kurban. Hal ini berhasil dibebaskan. b) Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah

yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.

c) Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.

d) Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-tulisannya.

Page 71: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

66

e) Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang. Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-kerei, membungkuk sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi sesaat matahari sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu.

f) Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di dalamnya.

g) Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat itu, tahun 1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik.

Dalam persyarikatan Muhammadiyah, organisasi otonom (Ortom) ini ada beberapa buah, yaitu:

1. ‘Aisyiyah 2. Nasyiatul ‘Aisyiyah 3. Pemuda Muhammadiyah 4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) 5. Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM) 6. Tapak Suci Putra Muhamadiyah 7. Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh

Muhammadiyah, dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pemimpin persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Demikian organisasi otonom yang telah ada.

Persatuan Islam Latar Belakang Berdirinya Persatuan Islam Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme bangsa Indonesia masih terbilang baru tumbuh, di antara kata yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia adalah Islam. Kata tersebut seolah memberikan semangat bersama dalam menghadapi bangsa lain, bukan saja dengan pihak Belanda, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Barangkali hal tersebut juga yang melatar belakangi dibentukya organisasi Sarekat Dagang Islam (1911 kemudian Sarekat Islam 1912) yang pada mulanya diproyeksikan sebagai reaksi terhadap rencana politik kristenisasi oleh Gubernur Jenderal Idenburg dan menghadapi serbuan pedagang Cina. Dengan berdirinya organisasi tersebut semakin memperkokoh

Page 72: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

67

tali persaudaraan sesama pemeluk agama Islam yang meliputi berbagai lapisan masyarakat, alasa utamanya satu yaitu didorong oleh rasa seagama (Islam).142

Namun, pada masa penjajahan kolonial Belanda umat Islam dihadapkan pada situasi yang rumit; agama Islam seringkali hanya dijadikan objek cemoohan orang-orang yang tidak menyukainya. Semuanya itu dilancarkan baik melalui lisan maupun tulisan, melalui ceramah-ceramah, mimbar gereja, pelajaran sekolah maupun berupa karangan yang dimuat dalam surat kabar serta majalah dalam berbagai bahasa, dan maksudnya tiada lain untuk menanamkan benih-benih kebencian dalam hati kaum dan bangsa pribumi Indonesia terutama terhadap Islam dan pemeluknya.143

Pada saat itulah, di sebuah jalan kecil bernama Gang Pakgade menjadi tempat berkumpul kaum saudagar dan para pedag, namun ditempat inilah awal mula lahirnya gerakan pembaruan Islam yang bersemboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta membersihkan Islam dari khurafat dan bid’ah yang pada saat itu marak dipraktekan. Organisasi yang berdiri di Gang Pakgade ini kelak dikenal dengan nama Persatuan Islam (Persis).144

Persatuan Islam didirikan ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam usaha untuk mengadakan pembaruan dalam agama Islam. Untuk itu Bandung tampaknya agak lambat memulai gerakan pembaruan Islam dibandingkan dengan daerah-daerah lain, padahal cabang Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini sejak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan-pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kerabat yang berasal dari Palembang, tetapi telah lama menetap di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang dalam pada abad ke-18 yang mempunyai hubungan erat satu sama lain melalui hubungan perkawinan. Selain itu, adanya kepentingan yang sama antara yang satu dengan yang lain dalam usaha perdagangan serta dengan adanya kontak antara anggota-anggota generasi yang datang kemudian, dalam mengadakan studi tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lain. Dalam pembicaraan kesehariannya, meskipun mereka berasal pulau Sumatera, namun tidak lagi merasa bahwa mereka adalah orang-orang Sumatera, mereka seolah-olah merasa benar-benar telah menjadi orang Sunda.145

Dalam pertemuan-pertemuan tersebutlah terjadi diskusi yang rutin dilaksanakan, pada saat itu Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus dari lingkungan yang paling banyak mengemukakan pikiran-pikirannya. Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebenarnya hanya pedagang biasa, tetapi keduanya banyak memiliki kesempatan waktu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Contohnya Haji Zamzam (1894-1952)

142 Deliar Noer, Partai di Pentas Nasional 1945-1965, ( Jakarta: Pustaka Utama Graiti, 1987), 5. 143 Dadan Wildan dkk, Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam, 144 Majalah Risalah, Bandung: Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990, Mei,5 145 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980). 95-96.

Page 73: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

68

pernah menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun untuk belajar di Lembaga Mekah. Sekembalinya dari Mekkah ia menjadi guru di salahsatu sekolah agama di Bandung pada tahun 1910-an dan mempunyai hubungan baik dengan Syekh Ahmad Soorkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Sedangkan Muhammad Yunus, memperoleh pendidikan agama secara tradisional namun pandai berbahasa Arab, tidak pernah mengajar, ia hanya berdagang, tetapi minatnya dalam mempelajari agama Islam tidak pernah hilang. Minatnya untuk belajar agama ditunjang dengan kemampuan financialnya sehingga ia mampu membeli kitab-kitab yang diperlukan, juga untuk para anggota Persis setelah organisasi itu didirikan.146

Pembicaraan yang dilaksanakan berkisar pada topik masalah agama yang diterbitkan oleh berbagai majalah diantaranya majalah agama yang diterbitkan di Padang, Mesir dan berbagai persoalan konflik keumatan. Selain hal tersebut mereka memiliki perhatian besar pada gerakan organisasi-organisasi keislaman, seperti Sarekat Islam yang pada waktu itu mengalami perpecahan akibat pengaruh paham komunis yang pada saat itu menimbulkan keresahan bagi pemuka agama di daerah Bandung. Dalam diskusi-diskusi tersebut, hadir pula Fakih Hasyim seorang ulama dari Surabaya yang berkunjung ke Bandung untuk keperluan perdagangan.147

Pertemuan-pertemuan tersebut pada akhirnya menjelma menjadi kelompok kajian dalam bidang keagamaan. Sedangkan pada sisi lain, kaum muslimin Indonesia tenggelam dalam cengkraman kaum penjajah Belanda. Para anggota kelompok itu semakin lama mengkaji ajaran Islam, semakin tahulah hakekat Islam sebenarnya dan mereka semakin sadar akan keterbelakangan dan kejumudan yang menyadarkan mereka untuk membuka pintu ijtihad dan mengadakan pembaruan serta pemurnian agama Islam di masyarakat. Untuk itulah mereka kemudian mengajarkan apa yang telah diketahuinya kepada sesama muslim lainnya di kampung halaman mereka. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung; resmi atau tidak resmi, telah berdiri pula kelompok-kelompok penelaah seperti yang terdapat di kota Bandung di berbagai tempat di Indonesia.148

Tujuan Persatuan Islam Persatuan Islam didirikan pada tanggal 12 September 1923 di kota Bandung, lahirnya Persatuan Islam merupakan respon terhadap umat Islam Indonesia yang pada umumnya masih berbegang teguh pada tradisi pra-Islam.149 Sebelum Persatuan Islam resmi berdiri, sebetulnya telah banyak yang menyerukan gagasan purifikasi Islam, namun tidak berjalan secara terorganisir. Lebih jauh seruan-seruan purifikasi Islam dipandang sebagai ancaman disintegrasi bangsa. Persatuan Islam akhirnya tidak sependapat dengan tudingan bahwa kembali

146 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942,96 147 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942. 148 Qanun Asasi dan Qanun Dahili Persatuan Islam, ( Bandung: PP. Persis, 1968),5 149 M. Isa Anshari, Manefesto Perjuangan PERSIS, (Bandung: Pimpinan Pusat PERSIS, 1958) ,6

Page 74: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

69

kepada Al Quran dan Sunnah Nabi akan melahirkan perpecahan, malah berpendapat sebaliknya, selama umat Islam belum kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, selama itu pula kaum muslimin tidak akan dapat menyusun persatuan yang hakiki, membina kekuatan, dan membangun kekuasaan. Pandangan, keyakinan, dan perjuangan Persis berpangkal pada sebuah keyakinan (aqidah) bahwa tauhid tidak mungkin dapat ditegakkan tanpa membasmi syirik, Sunnah tidak mungkin dihidupkan tanpa memberantas bid’ah, dan ruhul intiqad tidak mungkin dapat dihidupkan tanpa memberantas taqlid. 150

Pandangan dan keyakinan Persis yang demikian, telah membentuk watak dan moral perjuangan Persis sejak awal. Tujuan dan cita-cita Persis diwujudkan dalam sebagaimana tercantum dalam (Anggaran Dasar) Bab II Pasal 1 tentang rencana jihad umum sebagai berikut:151

1. Mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an dan As-Sunnah;

2. Menghidupkan ruhul jihad dalam kalangan umat Islam; 3. Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taqlid dan syrik dalam kalangan

umat Islam; 4. Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islamiyah kepada segenap

lapangan masyarakat; 5. Mengadakan, memelihara, dan memakmurkan mesjid, surau, dan

langgar serta tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat Islam menurut sunnah nabi yang sebenarnya menuju kehidupan taqwa;

6. Mendirikan pesantren atau madrasah untuk mendidik putera-putera Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah;

7. Menerbitkan kitab, buku, majalah dan siaran-siaran lainnya guna mempertinggi kecerdasan kaum muslimin dalam segala lapangan ilmu pengetahuan;

8. Mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi dan gerakan Islam di Indonesia dan seluruh dunia Islam, menuju terwujudnya persatuan alam Islami.

Sedangkan rencana jihad khususnya, tercantum di dalam Qanun Asasi Bab II Pasal 2 sebagai berikut:152

1) Membentuk Islam yang terdiri dari muballighin dan muballighat dengan jalan mempertajam serta memperdalam pengertian mereka dalam soal-soal dan ajaran Islam;

2) Mendidik dan membentuk warga dan anggota Persis supaya menjadi bagi masyarakat sekelilingnya, baik dalam lapangan aqidah dan ibadah maupun dalam muamalah;

150 PP. Persis, Qanun Asasi. 4-5. 151 Qanun Asasi yang dikutip adalah Qanun Asasi tahun 1957. Hal ini dimaksudkan untuk

melihat kerangka berpikir Persis pada tahap awal. Rumusan di atas dipilih karena dianggap mendasari Qanun Asasi Persis pada periode berikutnya.

152 PP. Persis, Qanun Asasi.6

Page 75: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

70

3) Mengadakan tantangan dan perlawanan terhadap aliran yang mengancam hidup keagamaan pada umumnya dan hidup keislaman pada khususnya, seperti paham materialisme, atheisme, dan komunisme;

4) Melakukan dalam segala ruang dan waktu, dan melawan golongan musuh-musuh Islam dengan cara yang sepadan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Pada Qanun Asasi Persis hasil Muktamar ke-11 di Jakarta tahun 1995, dirumuskan bahwa tujuan Persis (Bab I Pasal 4) adalah sebagai berikut:

a. Anggotanya mengamalkan ajaran Islam menurut tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Sebagian anggotanya menjadi (sekelompok yang memperdalam agama) atau ulama.

c. Kaum muslimin menempatkan dirinya pada aqidah dan syariah Islam menurut tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

d. Para anggota dan Umat Islam di Indonesia umumnya dapat ikut serta secara aktif dalam pembangunan nasional, demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridlai oleh Allah Swt.

e. Umat manusia menjadi hamba Allah Swt. yang bertaqwa kepada-Nya.

Tujuan ini dirumuskan dalam rencana jihad Bab I Pasal 6 sebagai berikut: 1. Dalam lingkungan anggota ialah dengan mendidik dan membina para

anggota untuk: a. Menjadi bagi keluarga dan masyarakat dalam mengamalkan syariat

Islam. b. Menjadi ulama, zuama, ashabun dan hawariyun Islam dengan jalan

memperkaya ilmu dan memperdalam pengertian tentang ajaran Islam sehingga mampu bertindak sebagai mubaligh dan mubalighat.

c. Mengadakan, memelihara, dan memakmurkan masjid, mushalla, dan wakaf.

d. Mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam. e. Mengadakan dan mengembangkan perpustakaan Islam. f. Melaksanakan penelitian dan pengkajian ilmiah keis-laman dalam

rangka memelihara dan mengembangkan ruhul jihad. g. Mengadakan dan mengembangkan penerbitan keaga-maan sebagai

salah satu media dakwah. h. Memelihara keutuhan jam’iyah dan mengembangkan-nya. i. Menjadi pelopor dan pelaksana Ikramul Aitam. j. Mendirikan lembaga kesehatan Islami. k. Mendirikan lembaga-lembaga ekonomi Islami. l. Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya yang

sejalan dengan tujuan jam’iyah. 2. Dalam lingkungan umat dengan :

a. Melaksanakan dakwah melalui berbagai cara dan media yang ma’ruf.

Page 76: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

71

b. Membela dan menyelamatkan umat Islam dari gangguan musuh-musuh Islam dengan cara haq dan ma’ruf.

c. Menghidupkan dan memelihara ruhul jihad dan ijtihad. d. Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taqlid, syrik, dan munkarat

lainnya. e. Menjalin dan memelihara hubungan baik dengan segenap organisasi

Islam lainnya baik nasional maupun internasional sebagai perwujudan prinsip dalam menuju terwujudnya.153

Secara ringkas, tujuan Persis pada dasarnya adalah menginginkan terlaksananya syariat Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara dalam segala aspek kehidupan untuk:

a) Menyelamatkan aqidah umat dan menyelamatkan umat dalam beraqidah;

b) Menyelamatkan ibadat umat dan menyelematkan umat dalam beribadat;

c) Menyelamatkan muamalah umat dan menyelamatkan umat dalam bermuamalah dengan jalan:

d) Mengembangkan dan memberdayakan potensi jam’iyah demi terwujudnya jam’iyah sebagai shurotun mushagharatun anil Islam wa hikmatuhu al asma

e) Meningkatkan pengamalan dan pemahaman keislaman anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya sehingga tercipta barisan Islam yang senantiasa iltizam terhadap Risalah Allah.

f) Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya dalam bermuamalat secara jama’i dalam setiap aspek kehidupan.

Perkembangan Aktivitas Dakwah Persatuan Islam Langkah awal Persis dalam menyebarkan paham keagamaannya pada periode pertama (masa akhir pemerintah kolonial Belanda) di masa kepemimpinan Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus, dan A. Hassan yaitu dengan mencetuskan paham yang merujuk kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan sendirinya dimulailah jihad memberantas khurafat, bid’ah, takhayul, syrik, dan pada saat itu pula dimulailah perdebatan secara terbuka antara Persatuan Islam dengan ulama-ulama tradisional mengenai masalah-masalah fiqih yang berkisar pada permasalahan pemindahan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, tahlilan setelah kematian, Shalat ’Ied di lapangan terbuka, perbedaan antara hisab dan rukyat, khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa Melayu (tidak menggunakan bahasa Arab) dan berbagai permasalahan keagamaan yang mendasar dalam praktik keseharian ibadat kaum muslimin.154

153 PP. Persis, Qanun Asasi.6-8 154 Dadan Wildan, Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam,43

Page 77: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

72

Isu-isu kontroversial hal pertama yang diangkat sebagai upaya gebrakan dalam usaha pembaruan pemikiran di kalangan umat Islam. Dengan pendekatan yang lebih polemik dan mengundang kontroversi bahkan terkesan revolusioner, hingga organisasi ini baru berdiri tiga tahun, telah menimbulkan reaksi keras dari kalangan Islam tradisional yang kemudian pada 1926 mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama) sebagai organisasi tandingan untuk menghambat proses penyebaran paham-paham pembaruan yang dinilainya membahayakan kelangsungan kehidupan tradisionalisme.155

Organisasi Islam tersebut didirikan di Surabaya pada tahun 1926 sebagai perluasan yang dibentuk dengan dua maksud, dari Komite Hijaz untuk mengimbangi khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu, menyerukan kepada penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan agama secara tradisi dapat diteruskan. Benteng utama pendukung tradisionalisme Islam ini adalah kelompok kyai yang mendirikan pesantren-pesantren sebagai basis penyebaran paham-paham yang dianutnya.156

a. Perdebatan Langkah awal aktivitas Persis yang sangat kontroversial dalam menyebarkan pahamnya dilakukan dengan cara unik, khas, dan tak lazim, yakni melalui perdebatan. Berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikiran baru dengan tenang dan damai, Persis seakan gembira dengan perdebatan-perdebatan dan polemik. Persis seringkali berinisiatif membuka forum perdebatan dan mengundang masyarakat luas untuk menghadirinya, bahkan jadwal perdebatan-perdebatan ini biasanya Dapat diterbitkan dalam majalah dan .dikatakan bahwa organisasi ini seakan menantang orang-orang yang tidak menyetujui pendapat dan pemikirannya untuk berdebat. Serangkaian perdebatan telah banyak dilakukan oleh tokoh utama Persis, A. Hassan, yang banyak berhadapan dengan para ulama dari kelompok tradisional. Diantara perdebatan ini yang paling penting adalah perdebatan dengan Ahmadiyah Qadian yang diadakan tiga kali pada tahun 1930 mengenai pendapat Ahmadiyah Qadian bahwa pendiri Ahmadiyah Qadian diakui oleh para pengikutnya sebagai seorang nabi, masalah nabi Isa meninggal di Khasmir, dan berbagai masalah teologi lain pada tataran praktik ibadat keseharian.157

Pada bulan April 1933 di Bandung dan pada tanggal 28 sampai dengan 30 September 1933 di Gang Kenari Batavia Centrum (Jakarta) A. Hassan berhadapan muka dalam forum perdebatan dengan Rahmat Ali, Abu Bakar Ayub, dan Abdul Razak, ketiganya tokoh Ahmadiyah Qadian, dengan membahas masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Jumlah yang

155 Nadirsyah Hosen, Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad, Journal of Asian Studies 6, 1 June (New Zealand , 2004),8

156 Dadan Wildan, Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam,43 157 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 103

Page 78: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

73

hadir menyaksikan perdebatan itu tidak kurang dari 2000 orang, diantaranya ikut hadir Dr. Pijper, wakil dari lengkap dengan aparat keamanannya, para wartawan dari berbagai surat kabar seperti, dan, wakil-wakil organisasi Islam diantaranya perkumpulan Al-Islamiyah, Al-Islamiyah Mr. Cornelis, Pemoeda Moeslim Indonesia, Persatoean Islam (Persis) Bandung dan Garut, Ahmadiyah Qadiyani Cabang Cepu, Bogor dan Padang, Pendidikan Islam Tanjung Priuk, Al-Irsyad Bogor, An-Nadil-Islam Batavia, Pergoeroean Islam Cirebon, Nahdhatul Ulama Menes, dan PPMI Batavia. Dalam perdebatan itu, salah seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, Abdul Razak, akhirnya taslim dan bertaubat serta mengundurkan diri dari Ahmadiyah Qadiani dan bergabung dengan Persis.158

Demikian pula perdebatan-perdebatan lain seringkali dilakukan, seperti perdebatan antara Persis dengan Al-Ittihadul Islamiyah di Sukabumi, ketika itu A. Hassan berhadapan dengan Kyai A. Sanusi, perdebatan-perdebatan dengan Majelis Ahli Sunnah di Bandung, perdebatan dengan Nahdhatul Ulama Ciledug Cirebon antara A. Hassan dengan Haji Abdul Khair dan Haji Abdul Wahab, perdebatan A. Hassan dengan Nahdhatul Ulama cabang Bandung antara A. Hassan dengan A. Wahab Hasbullah, perdebatan dengan Nahdhatul Ulama cabang Gebang antara A. Hassan dengan Masduqi, serta berbagai perdebatan lainnya antara golongan tradisional (organisasi Nahdhatul Ulama) dengan Persis yang biasanya berkisar pada masalah-masalah taqlid dan bid’ah. Pada setiap perdebatan itu A. Hassan selalu tampil mewakili Persis.159

Selain dengan golongan tradisional, perdebatan dilakukan pula dengan orang-orang yang berpaham kebangsaan. Perdebatan-perdebatan tentang nasionalisme, walaupun tidak di muka umum, diadakan dengan Haji Muchtar Lufti dari Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) Minangkabau. Bahkan polemik dengan Soekarno (dari golongan Nasionalis, yang kemudian menjadi presiden RI yang pertama) sering dilakukan oleh A. Hassan.Demikian pula beberapa perdebatan umum dilakukan dengan para pemimpin Kristen dari kelompok (pengikut perdebatan dengan para intelektual Belanda Advent hari ketujuh)seperti Dierhuis, Eisink, dan Profesor Schoemaker. Cendikiawan yang disebut belakangan (Profesor Schoemaker) kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta menjadi Co-Editor buku bersama Mohammad Natsir.160

Meski memiliki reputasi yang baik dalam sejarah panjang bidang pertukaran gagasan keislaman melalui debat. Pada era sekarang Persatuan Islami tidak lagi menggelar aktifitas dakwah mujadalah (debat). Ada pun persoalan fiqih yang dahulu pernah menjadi orientasi dakwahnya, kini

158 Isa Anshary, Mujahid Da’wah, (Bandung: CV. Doponegoro, cet ke-3, 1984). 21. 159 Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980) 80. 160 Isa Anshary, Mujahid Da’wah,21-22

Page 79: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

74

diserahkan sepenuhnya pada Dewan Hisbah sebagai badan pertimbangan, pengkajian, dan perumus fatwa syara’ dalam Persatuan Islam.161

b. Pendidikan Dalam aktivitas penyebaran Al-Qur’an dan As-Sunnah sebelum berdiri lembaga-lembaga pendidikan, pelajaran-pelajaran agama dan ilmu-ilmu lainnya diberikan dalam pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah di tempat pertemuan organisasi ini di kota Bandung. Acara tersebut lebih sering diselenggarakan oleh para anggota Persis secara pribadi daripada diselenggarakan secara resmi oleh organisasi Persis. Dalam hal ini Haji Zamzam menjadi pembicara penting terutama dalam menguraikan perihal baru aqidah Islamiyah dan tata cara beribadat dalam Islam.162

Kemudian setelah A. Hassan bergabung dalam aktivitas Persis, maka penyebaran paham Al-Qur’an dan As-Sunnah semakin meluas terutama setelah didirikannya kelas pendidikan aqidah dan ibadah.Kelas pendidikan aqidah dan ibadah dalam bentuk madrasah ini pada mulanya dimaksudkan untuk mendidik anak-anak dari anggota Persis, tetapi kemudian diperluas untuk anak-anak di luar anggota. Selain itu diselenggarakan pula kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa yang pada mulanya juga dibatasi hanya untuk para anggota Persis saja. Haji Zamzam dan A. Hassan sangat aktif mengajar pada kursus-kursus ini, dengan menyampaikan berbagai persoalan keagamaan terutama mengenai soal-soal keimanan serta permasalahan ibadat dengan menolak kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik dan aktual pada waktu itu, seperti poligami dan nasionalisme, juga dibicarakan. Aktivitas penyelenggaraan kelas pendidikan aqidah dan ibadah serta kursus-kursus tersebut telah dimulai sejak tahun 1924.163

Sekitar tahun 1927, sebuah kelas atau lebih tepat sebuah kelompok diskusi, diselenggarakan oleh Persis untuk para pemuda yang sedang menjalani masa studinya pada sekolah-sekolah menengah pemerintah Belanda dan para pemuda yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh. Dalam kelas ini A. Hassan bertindak sebagai guru, tetapi ia pun mengakui meskipun bertindak sebagai guru ia banyak belajar dari pembicaraan yang dilakukan dari kelompok diskusi itu yang menyebabkan dorongan baginya untuk memperoleh pengetahuan sendiri. Masalah-masalah yang muncul dalam diskusi-diskusi itu pula yang memberikan semangat kepadanya untuk lebih banyak lagi menggali sumber-sumber ajaran Islam.164

161 162 H. Endang Saifuddin Anshary dan Syaiq A. Mughni, Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid,

(Bangil: Almuslimun, 1984), 15. 163 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam,101 164 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam,101

Page 80: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

75

Pada tahun 1915, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan izin tentang penyelenggaraan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kesempatan seperti itu dimanfaatkan oleh Persis untuk menyelenggarakan sistem pendidikan menyerupai sekolah. Dalam tahun 1930, salah seorang anggota Persis A. Banama, mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis), yang digunakan Persis sebagai fasilitas pertama bagi sekolah menengah dan sekolah guru di Bandung. Organisasi pendidikan ini, yang akhirnya dipimpin oleh Mohammad Natsir pada tahun 1932, mendirikan sekolah menengah pertama (MULO); sebuah sistem pendidikan menengah yang lebih diperluas dan sekolah pendidikan guru di kota Bandung, dan di tahun 1938 telah memulai membuka Para pelajar sekolah sekolah-sekolah di lima tempat lain di Jawa menengah dan sekolah guru Persis itu harus mengikuti disiplin yang ketat. Pada masa penerimaan murid baru, misalnya, para pelajar itu harus membaca dan mengambil sumpah.165

Selain itu, Mohammad Natsir mencoba mendirikan berbagai lembaga pendidikan yang pada mulanya merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam pelajaran bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan-tuntutan tersebut muncul setelah melihat berdirinya sekolah swasta di Bandung pada waktu itu, yang di dalam sekolah-sekolah swasta tersebut tidak diberikan pelajaran agama Islam.166

Di samping lembaga Pendidikan Islam (Pendis), pada tanggal 4 Maret 1936 (10 Zulhijjah 1354 H) Persis mendirikan sebuah pesantren yang disebut “Pesantren Persatuan Islam” untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginaan menyebarkan agama Islam. Selain itu tujuan utama mendirikan Pesantren Persatuan Islam itu adalah untuk mencetak para muballighin yang mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela serta memelihara agama Islam di mana pun mereka berada. Di Pesantren Persatuan Islam ini A. Hassan bertindak sebagai direktur dan kepala sekolah, sementara Mohammad Natsir, yang telah menyelesaikan pelajaran pendidikan guru yang disponsori oleh pemerintah Belanda, bertindak sebagai penasihat dan juga sebagai guru.167

Dalam perkembangan selanjutnya hingga tahun 1980 terdapat 78 pesantren di berbagai daerah. Sampai saat itu, selain Pesantren Persatuan Islam Bandung dan Bangkis, tidak ada yang termasuk dalam kategori besar. Rata-rata jenjang yang dibuka hanya tingkat ibtidaiyyah dan beberapa pesantren memiliki tingkat tsanawiyyah. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (mu’allimin), mereka harus mengirimkan santrinya ke Bandung atau ke Bangil. Baru antara tahun 80 sampai 90-an muncul beberapa pesantren yang cukup besar (memiliki santri lebih dari 1000 orang) seperti

165 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaruan Islam Indonesia Abad XX,. 24-26 166 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 102. 167 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaruan Islam Indonesia Abad. 24

Page 81: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

76

Pesantren Persatuan Islam no. 19 Bentar Garut, Pesantren Persatuan Islam no. 67 Benda Tasikmalaya, Pesantren Persatuan Islam no. 76 Tarogong Garut. Pesantren-pesantren besar besar ini membuka kelas mu’allimin. Dengan demikian sampai tahun 1983, pesantren yang tergolong besar praktis hanya Pesantren Persatuan Islam Pajagalan bandung dan Pesantren Persatuan Islam Bangil. Hingga saat ini Persatuan Islam telah memiliki kurang lebih 259 lembaga pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesi.168

c. Publikasi Pada suatu ketika, seorang pendeta berceramah tentang kenabian Nabi Muhammad di hadapan murid-murid AMS yang diwajibkan mengikuti acara itu di gereja. Dalam acara ini Mohammad Natsir dan Fachruddin Al-Khahiri (dua murid A. Hassan yang bersekolah di AMS) terpaksa mengikutinya. Dalam ceramahnya, sang pendeta yang pada mulanya hendak menguraikan tentang kenabian Nabi Muhammad dan Islam, ternyata menyampaikan ceramahnya hanya berisi dengan hinaan (terhadap Islam) tanpa dasar yang kuat. Menghadapi masalah seperti ini, Komite Pembela Islam mengambil tindakan dengan membuat pernyataan dan uraian yang dimuat dalam surat kabar untuk menunjukkan kekeliruan ceramah pendeta tersebut. Natsir ditugasi untuk membuat bantahannya. Pada awalnya redaksi surat kabar A.I.D. menolak, tetapi setelah Natsir menunjukkan bahwa ceramah itu sendiri dimuat, barulah redaksi bersedia menerima bantahan tersebut. Begitulah aktivitas Komite jika muncul masalah Pembela Islam menjalankan kegiatannya, atau penghinaan terhadap Islam maka segera muncul reaksi dan tanggapan untuk membantahnya. Reaksi, tanggapan, dan bantahan dari Komite Pembela Islam ini muncul dalam majalah yang mulai terbit sejak bulan Oktober 1929.169

Majalah yang diterbitkan oleh Persis inilah yang memberikan kesempatan kepada Natsir dan A. Hassan untuk mengeluarkan pendapatnya. Natsir sangat menaruh perhatian terhadap berbagai persoalan yang muncul, terutama melalui majalah yang menyangkut masalah keislaman sebagai penyalur ide dan pendapatnya. Majalah merupakan cerminan dari sikap “menentang” Persis dengan maksud untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak yang membenci Islam, serta menyebarkan pemikiran-pemikiran dari Persis sendiri. Majalah dalam sirkulasinya mencapai 2000 eksemplar, sehingga dapat dikatakan tersebar di seluruh Indonesia, dengan penyebaran antara lain ke Sulawesi, Kalimantan, Minangkabau, dan Jawa Barat sendiri, bahkan tersebar pula di Malaya dan Muangthai. Para pembacanya

168http://sditalhikmah187.sch.id/2016/08/12/daftar-pesantren-persis-se-indonesia/ diakses pada tgl.21/2/2018 Pkl.15:44 WIB.

169 Saiq A. Mughni, Hasan Bandung Pemikir Islam Radikal,74

Page 82: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

77

terutama adalah golongan pembaharu, seperti para anggota Muhammadiyah dan Al-Irsyad Publikasi majalah ni terpaksa berhenti karena kesulitan keuangan untuk biaya terbitnya yang semata-mata dipikul serta akibat larangan terbit yang dikeluarkan oleh oleh A. Hassanpemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 dengan alasan telah menyerang agama Kristen yang dilindungi oleh pemerintah. Pada akhirnya, majalah setelah mencapai nomor 71 dalam kurun waktu enam tahun, pada tahun 1935 terhenti sama sekali.170

Selain majalah dalam bulan November 1931 Persis menerbitkan majalah dengan menggunakan bahasa Majalah ini isinya hanya Indonesia yang dicetak dengan huruf Arab.membicarakan masalah agama semata-mata tanpa sikap menentang terhadap pihak-pihak bukan Islam. Sesuai dengan namanyamajalah ini lebih banyak berisi pengetahuan-pengetahuan agama serta hukum-hukum Islam yang berdasarkan atas sumber aslinya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya majalah memuat ruang tafsir Al-Qur’an mulai dari surah Al-Fatihah dan disambung dengan Juz Amma dari surat An-nas, ruang soal jawab tentang syah tidaknya suatu hadits, ruang keterangan tentang hadits-hadits dlaif (lemah) dan hadits maudlu (palsu) menurut kaidah kitab keterangan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, ruang pepatah-pepatah, dan ruang nasihat-nasihat dari tokoh-tokoh Islam pada masa lampau. 171

Majalah Al-Fatwa ini diasuh oleh Muhammad Yunus, Haji Majalah Al-Fatwa Zamzam, Muhammad Ma’shum, dan A. Hassan mempunyai sirkulasi sekitar 1000 eksemplar yang tersebar sampai ke Sumatera dan Kalimantan, serta kira-kira 100 pelanggan terdapat di Singapura. Publikasi majalah ini terhenti pada bulan Oktober 1933 setelah terbit 20 nomor Setelah majalah dan tidak terbit lagi, sebagai penggantinya terbitlah majalah pada tanggal 27 Desember 1935. Sebagaimana majalah sebelumnya, majalah ini dijadikan pula sebagai alat untuk membentangkan garis-garis perjuangan Persis, serta sebagai alat propaganda dan penangkis serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawan-lawannya. Majalah nomor 1 sampai 46 terbit di Bandung, tetapi sejak bulan Mei 1940 mulai nomor 47 sampai dengan nomor 65 (nomor terbitan terakhir) terbit di Bangil bersamaan dengan pindahnya A. Hassan beserta beberapa orang muridnya ke Bangil. Majalah ini tidak terbit lagi sejak 1 Juni 1942 setelah menerbitkan 65 nomor dengan sirkulasi rata-rata mencapai 2000 eksemplar.172

Singkatnya alam bidang publikasi, Persatuan Islam banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam ( 1929 ), Al-Fatwa ( 1931 ), Al-Lissan ( 1935 ), At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam ( 1939 ), Aliran Islam ( 1948 ), Risalah (

170 Endang Saifuddin Anshary dan Syaiq A. Mughni, Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid,15-16 171 Dadan Wildan, Anatomi Gerakan Dakwah Persis, 57-58 172 Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung Pemikir Islam Radikal,75-76

Page 83: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

78

1962 ), Pemuda Persis Tamaddun ( 1970 ), majalah berbahasa Sunda Iber ( 1967 ). Dalam perkembangan selanjutnya aktivitas dakwah Persatuan Islam dalam bidang publikasi dituangkan dalam bentuk majalah dan buletin jum’at. Seperti majalah yang sampai sekarang terbit adalah majalah Risalah. Adapun buletin jum’at hampir di setiap cabang, pimpinan daerah dan pimpinan wilayah menerbitkan buletin dengan nama yang beragam, contoh halnya pimpinan cabang Cileunyi Kabupaten Bandung yang menerbitkan buletin jum’at Fityanul Islam.173

d. Dakwah Tabligh Dalam penyebaran paham keagamaannya, selain dilakukan melalui forum perdebatan dan penerbitan majalah-majalah, dilakukan pula melalui kegiatan tablig dan khotbah di berbagai daerah yang dimotori oleh para muballig Persatuan Islam itu sendiri,yang dikenal pada masa itu, seperti A. Hassan, Muhammad Yunus, Muhammad Zamzam, E. Abdurrahman, Fachruddin Al-Khahiri, KHM. Romli, O. Qomaruddin, Abdul Razak, Abdullah Ahmad, Muhammad Ali, dan H. Azhari.Pada tanggal 26 dan 27 Oktober 1935, di Gedung Persis Jalan Pangeran Sumedang, (sekarang Jalan Otto Iskandardinata) diadakan tablig akbar Persis pertama yang dihadiri oleh kira-kira 700 orang serta dihadiri pula oleh beberapa utusan dari Muhammadiyah dan PNI. Tablig akbar itu dimulai dari pukul 20.00 dan dipimpin oleh Fachruddin Al-Khahiri. Tablig akbar pertama itu dilanjutkan dengan tablig akbar kedua pada tanggal 23 Nopember 1935 yang juga bertempat di Gedung Persis dihadiri oleh sekitar 500 orang. Jumlah yang hadir pada tablig akbar kedua ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan tablig akbar sebelumnya karena beberapa alasan pertama, karena pada saat pelaksanaannya turun hujan sangat deras sehingga menyebabkan kurangnya jamaah yang hadir. Pada tablig akbar kedua ini yang menjadi pembicara adalah K.H.M. Romli yang membahas masalah zakat, Ustadz O. Qomaruddin membahas masalah puasa, Ustadz E. Abdurrahman yang membahas masalah taqlid dan K.H. Azhari yang membahas zakat dan puasa.174

Selain tabligh yang dilaksanakan di kota Bandung dan sekitarnya, dakwah tabligh dilaksanakan di luar Bandung, antara lain pernah dilakukan tabligh keliling selama satu minggu antara tanggal 1 hingga 8 Januari 1936, mulai dari Cirebon sampai dengan Jakarta, lalu berturut-turut diadakan tabligh dan kursus kilat anti-Ahmadiyah di masjid Persatan Islam. Selain itu dilakukan pertemuan dengan Pimpinan Cabang Persis Cianjur, dan tiba kembali di Bandung pada tanggal 8 Januari 1936. Dalam tabligh keliling tersebut banyak membicarakan masalah hukum Islam oleh Haji Zamzam dan A. Hassan.175

173 Hasil observasi pada Tgl. 15/2/2018 di PC Persis Cileunyi, Kabupaten Bandung. 174 Dadan Wildan, Anantomi Gerakan Dakwah Persis. 62 175 Dadan Wildan, Anantomi Gerakan Dakwah Persis. 62

Page 84: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

79

Gerakan penyebaran paham keagamaan oleh organisasi Persatuan Islamterus berlangsung dan dijadwal secara rutin di berbagai tempat. Dalam perkembangannya tabligh yang dilaksanakan Persatuan Islam kerpa memukau para jama’ah, sehingga jama’ah yang mengikuti tabligh dari waktu ke waktu terus bertambah. Selain dilakukan oleh para muballigh pria, tabligh Persatuan Islam juga diisi oleh para mubalig wanita (mubaligah) yang membantu perjuangan Persatuan Islam untuk menyampakan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah di kalangan kaum wanita. Para mubaligah ini tergabung dalam bagian otonom Persis khusus para wanita (istri) yang disebut Persatuan Islam Istri (Persistri).176

Jaringan Kelembagaan dan Keanggotaan Dalam menjalankan aktivitas dakwahnya Persatuan Islam memiliki jejaring kelembagaan dan keanggotaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam hal struktur jaringan kelembagaan, Persatuan Islam memiliki hirarki kepengurusan berdasarkan teritorial kedaerahan. Untuk kepengurusan pusat dikonsentrasikan di kantor Pengurus Pusat Persatuan Islam yang berlokasi di Jl.Perintis Kemerdekaan No.2, Babakan Ciamis, Bandung, Jawa Barat. Adapun pimpinan wilayah setingkat provinsi tersebar di tujuh provinsi dominan yaitu; Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta , Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Daerah Istimewa (DI) Aceh. Sedangkan kepengurusan daerah setingkat kabupaten/ kota berjumlah 235 Pimpinan Daerah.

Untuk jumlah keanggotaan, Persatuan Islam mengklaim memiliki lebih dari tiga juta anggota. Jika melihat sejarah panjang Persatuan Islam sebagai salahsatu organisasi masyarakat Islam tertua, maka jumlah anggota yang dimiliki tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama mau pun Muhammadiyah. Hal tersebut ternyata dilatar belakangi oleh core dakwah Persatuan Islam yang tidak memprioritaskan kuantitas anggota.177 Hal yang dianggap penting adalah bagaimana pikiran-pikiran Persatuan Islam bisa tersebar dan diterima oleh banyak orang.

Dalam gerakan dakwah strukturnya, Persatuan Islam memiliki beberapa badan otonom atau organisasi interen yang diakui oleh Persatuan Islam itu sendiri. Bagian otonom adalah bagian dari jamiyyah (organsisasi) Persatuan Islam sebagai pelopor perjuangan yang diberi hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus dibidang kegiatannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pimpinan Pusat. Ada pun otonom yang dimaksud terdiri dari;

a. Persatuan Islam Istri (Persistri) sebagai otonom wanita b. Pemuda Persatuan Islam (Pemuda Persis) sebagai otonom

kepemudaan. c. Pemudi Persatuan Islam (Pemudi Persis) sebagai otonom kepemudian.

176 Dadan Wildan, Anantomi Gerakan Dakwah Persis. 63 177 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaruan Islam Indonesia Abad. 22

Page 85: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

80

d. Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA Persis) sebagai otonom kemahasiswaan.

e. Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam (HIMI Persis) sebegai otonom kemahasiswian.178

Dalam kepengurusan pusat Persatuan Islam memiliki beberapa dewan, pertama Dewan Penasihat yang berfungsi sebagai penasihat dan pengawas Pimpinan Pusat dalam melaksanakan amanat muktamar. Kedua Dewan Hisbah sebagai dewan pertimbangan hukum syara’ dalam jamiyyah Persatuan Islam. Ketiga Dewan Hisab dan Rukyat yang berfungsi sebagai peneliti dan pengkaji hisab dan rukyat. Keempat Dewan Tafkir yang berfungsi sebagai dewan peneliti dan pengkajian dalam bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan politik.179

178 Qanun Asasi dan Qanun Dakhili 2015-2020, Bab ix Pasal 61, tentang Otonom dan Perwakilan, 48

179 Qanun Asasi dan Qanun Dakhili 2015-2020, Bab iv/Bab v /Bab vi/Bab vii Pasal 26/45. 32-40

Page 86: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

81

Bab Lima

Radikalisme Pendekatan Analisa Antecedent Event: Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis

Sebagai Negara yang dihuni oleh penduduk berlatar belakang budaya dan kepercayaan majemuk Indonesia tidak pernah luput dari ancaman perpecahan dan konflik yang bersifat komunal. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami beberapa kali konflik di berbagai daerah, yang bersumber dari sentiment primordial. Konflik-konflik yang telah terjadi, tentu mengguncang fondasi struktur kebangsaan yang telah diletakkan oleh para founding father dengan semboyan bhinneka tunggal ika.

Jika melihat realitas empirik, terdapat relasi antara konflik primordial denga prilaku radikal penggunaan simbol-simbol keagamaan yang mengalami tren peningkatan. Dengan kata lain, selain sentimen primordial yang bersifat komunal, Indonesia juga dihadapkan pada fenomena radikalisme yang berujung pada perilaku teror. Kasus paling mutahir terjadi pada 13 Mei 2018 di Surabaya dan di Sidoarjo.180

Dalam merespon kejadian tersebut, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menyampaikan keprihatinan dan mengutuk keras tindak teror yang mengusik rasa aman masyarakat Indonesia. Terlebih parahnya, dilakukan terhadap umat lain yang sedang beribadah. Ketua PWNU Jawa Timur, Mutawakil Alallah menegaskan "Sungguh itu suatu tindakan keji tidak berperikemanusiaan dan tidak beradab".181

Jauh sebelum peristiwa terror di Surabaya, Presiden Jokowi menyampaikan bidato sambutannya dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang digelar di Nusa Tenggara Barat, 23-25 November 2017. Forum tertinggi kedua setelah muktamar tersebut mengusung tema Menguatkan Nilai-nilai Kebangsaan melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga. Tema tersebut dipilih atas dasar kegelisahan NU terhadap dinamika dan perkembangan kondisi terkini tanah air. Dalam sambutannya Presiden menyampaikan:

“Pemilihan tema ini dilandasi oleh situasi kebangsaan kita yang diwarnai gejala erosi nasionalisme akibat berseminya fundamentalisme agama yang memupuk radikalisme serta dominasi ideologi fundamentalis pasar yang memproaduksi ketimpangan dan frustasi sosial,”182

180https://gaya.tempo.co/read/1093852/aksi-teror-kini-juga-melibatkan-anak-simak-cara-mencegahnya diakses 9/8/2017

181http://www.nu.or.id/post/read/90307/nu-jawa-timur-kutuk-keras-aksi-bom-surabaya diakses 9/8/2017

182 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).18.

Page 87: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

82

Pada kesempatan lain Rais ‘Am PBNU Ma’ruf Amien memaparakan bahwa radikalisme merupakan paham yang lahir dari internal umat Islam sendiri, yang mereduksi makna jihad. Reduksi makna jihad yang dimaksud adalah upaya qital atau perang, yang pada dasarnya tidak relevan dengan kondisi bangsa Indoensia. Di sini (Indonesia) jihad dalam arti bukan qitalan (perang), tapi ishlahan, perbaikan dalam semua hal,” ujar Ma’ruf Amien183.

Dalam memaknai radikalisme Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menilai, penggunaan istilah radikal diapandang tidak tepat digunakan untuk menyebut kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan atas nama agama lebih tepat disebut sebagai tindakan ekstrem, atau dalam ungkapan lain disebut isrhaf atau berlebihan. "Menurut saya, lebih tepat digunakan istilah ekstremisme ketimbang radikalisme," kata Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti .184

Selanjutnya Mu'ti menyatakan, makna dan definisi kata radikal telah terdistorsi. Menurutnya, kata radikal berarti mengakar. Sehingga, beragama secara radikal berarti memahami agama secara mengakar kepada nilai otentik dari agama itu sendiri, sedangkan semua agama tidak ada yang menghalalkan tindakan kekerasan dan sikap berlebihan. Dengan demikian, radikal dalam beragama tidak harus menjadikan seseorang berperilaku ekstrem yang menjurus pada tindakan intoleran. Lebih jauh lagi, ekstremisme bisa berujung tindakan kekerasan pada kelompok yang berbeda. "Ekstremisme bersikap hanya ada hitam dan putih. Artinya, satu kelompok benar sedangkan lainnya salah," kata Mu'ti.

Pendapat Mu'ti berdasar pada inkonsistensi istilah perilaku yang merujuk pada kekerasan atas nama agama. Misalnya pada tahun 1980-an para pelaku kekerasan atas nama agama disebut denga istilah militan, kemudian berganti dengan istilah fundamentalis, belakang berubah menjadi radikalis, bahkan ada juga yang mengatakan teroris.

Teroris dalam kaca mata Abdul Mu’ti merupakan segala perilaku yang bertujuan menghadirkan rasa takut, lebih jauh ia memaparkan bahwa perilaku terror apapun benntuknya bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan ia sendiri sebagai refresentasi Muhammadiyah mengakatan bahwa Muhammadiyah menolak dengan tegas perilaku terror tersebut.

Secara sederhana, terorisme merupakan suatu bentuk perilaku atau tindakan yang menimbulkan ketakutan masyarakat demi tujuan tertentu dengan cara yang tidak dibenarkan ajaran Islam. Muhammadiyah menolak tegas aksi-aksi terorisme karena mereka menyasar kepada orang-orang yang tidak berdosa.185

183 Achamd Mukafi Niam, NU Membimbing Umat; Rais Aam PBNU Jelaskan Sebab Indonesia Jadi Gaduh. (Jakarta: NU Online, 2017).40.

184https://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/15/04/23/nn8wo948-radikalisme-di-mata-muhammadiyah-dan-nu diakses 9/8/2017

185 http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/. Diakses 9/8/2017

Page 88: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

83

Secara historis radikalisme muncul pada Abad pertama Hijriah, Said Aqil dalam pemaparannya menyatakan bahwa radikalis dalam Isalam bukanlah orang yang jauh dengan agama malah justru orang-orang yang intensitas ibadah dan semangat keilmuannya tinggi. "Radikalisme dan terorisme sudah lama ada. Bahkan terorisnya itu hapal Alquran. Mereka berdalih berdasarkan agama," ucap Said di Gedung Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta, Jumat, 5 Mei 2017.186

Dalam kesempatan yang lain Said menjelaskan “Radikalisme dalam Islam sudah muncul sejak abad pertama”187 ditandai dengan peristiwa protesnya Dzil Khuasir atas pembagian gonimah oleh Nabi Muhammad SAW yang dipandang tidak adil. Kejadian tersebut menjadi catatan penting, sebab perilaku Dzil Khuasir kelak diasosiaskan dengan gerakan khawarij. Khawarij sendiri memiliki keterkaitan dengan perilaku radikal, sebab baik keduanya menghendakai jalan kekerasan.

Khawarij berasal dari kata kha-ra-ja ang artinya keluar. Kaitannya dengan pemerintahan, kata kha-ra-ja memiliki arti keluar dari ikatan baiat kepada pemerintah yang sah. Tentang makna khawarij, para ulama menyampaikan berbagai definisi, diantaranya seperti yang dijelaskan Imam Abul Hasan Al-Asy'ari, bahwa kelompok khawarij adalah nama kelompok yang memberontak khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau juga menjelaskan bahwa sikap mereka memberontak kepada Ali merupakan sebab mengapa mereka dinamai khawarij. Abul HasanAl-Asy'ari mengatakan: “Sebab mengapa mereka diberi nama khawarij adalah karena mereka memberontak Ali, disebabkan peristiwa tahkim.” [Maqalat Al-Islamiyin, Al-Asy'ari (1/207), dan Al-Milal wan Nihal,As-Syahrastani (1/132)]

Kelompok khawarij pertama adalah mereka yang memberontak Ali bin Abi Thalib, setelah beliau menerima keputusan tahkim seusai perang Shiffin. Kelompok ini juga memiliki nama lainnya, selain nama khawarij. Diantaranya: Haruriyah, AsSyarrah, Al-Mariqah, Al-Muhkimah. Dan mereka menerima berbagai sebutan ini, selain nama Al-Mariqah. Mereka mengingkari nama ini, karena mariqah artinya yang menembus. Sikap berlebihan mereka dalam beragama, menyebabkan mereka tembus (kebablasan) dalam islam, sebagaimana panah yang menembus binatang sasaran, karena saking kuatnya. (Maqalat Islamiyin,Al-Asy'ari, 1/207)

Sebagian ulama ada yang mengatakan, pertama kali munculnya khawarij telah ada sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Hazm. [Al-Fashl fil Milal wal Ahwa (4/157). Dan As-Syahrastani dalam Al-Milal wan Nihal (1/134)]

Mereka berpendapat, khawarij pertama adalah seorang yang bernama Dzul Huwaishirah, yang memprotes Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membagi emas yang dikirim oleh Ali binAbi Thalib dari Yaman. Kisahnya

186 https://www.liputan6.com/news/read/2942859/said-aqil-radikalisme-dan-terorisme-bawa-agama-sudah-sejak-lama (06 Mei 2017, 08:17 WIB) diakses 8/9/2018

187 Said Aqil Siradj. Sejarah Radikalisme.. Video Youtube. Menit 17.35 ( 7 Oktober 2017) https://www.youtube.com/watch?v=0xbg4zQSuoo

Page 89: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

84

disebutkan dalam hadits dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan:

“Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib mengirim emas kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan wadah kulit yang disepuh dengan daun. Emas itu belum dibersihkan dari tanah tambangnya. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaginya kepada 4 orang: Uyainah bin Hishn, Al-Aqra'bin Habis, Zaid Al-Khoil, dan yang keempat ada 2 orang:Alqamah bin Ulatsah atauAmir bin Thufail. Ada salah seorang sahabat yang mengatakan, 'Kami lebih berhak untuk menerimannya dari pada mereka itu.' Komentar ini pun didengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau bersabda: 'Apakah kalian akan mencelaku padahal aku adalah manusia kepercayaan Dzat yang berada di atas? Padahal wahyu dari langit datang kepadaku siang dan malam.' Tiba-tiba berdirilah seseorang, matanya cekung, pipinya menonjol, dahinya nonong, jenggotnya lebat, kepala gundul, dan sarungnya tersampir. Dia mengatakan, 'Wahai Rasulullah, bertaqwalah kepada Allah.' Spontan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam marah dan beliau menjawab, 'Celaka kau, bukankah aku penduduk bumi yang paling bertaqwa kepada Allah'.” Abu Said kembali melanjutkan: “Kemudian orang itu pergi. Khalid bin Walid menawarkan diri, 'Wahai Rasulullah, bolehkah saya penggal lehernya.' 'Jangan! Barangkali dia masih shalat.' Pinta Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Khalid mengatakan, 'Betapa banyak orang yang shalat, namun dia mengucapkan dengan lisannya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya.' 'Aku tidak diperintahkan untuk melihat hati manusia dan juga tidak membedah perut manusia.' Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Nabi melihat orang itu, beliau bersabda: “Akan keluar dari keturunan orang ini, sekelompok orang yang membaca kitab Allah di lisan, namun tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama, sebagaimana panah melesat tembus dari hewan sasaran. Jika aku menjumpai mereka, akan kubunuh mereka sebagaimana hukuman yang dijatuhkan untuk kaum Tsamud.” [HR.Ahmad 10585, Bukhari 4004, dan Muslim 1763].

Ibnul Jauzi rahimahullah memberi catatan hadits ini dengan mengatakan: “Khawarij pertama dan yang paling jelek keadaannya adalah Dzul Huwaishirah AtTamimi. Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Celaka kau, siapa yang bisa adil jika aku tidak adil. Kamu betul-betul rugi jika aku tidak adil.”

Inilah khawarij pertama yang memberontak dalam islam. Sisi cacat orang ini: dia lebih menyetujui pendapat pribadinya. Andaikan dia diam, dia akan menyadari bahwa tidak ada pendapat yang lebih benar melebihi pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengikuti orang inilah yang memerangi Ali bin Abi Thalib. [Talbis Iblis, hlm. 90]

Ada juga ulama yang berpendapat, pertama kali munculnya khawarij terjadi di zaman Utsman. Mereka memberontak Utsman, sampai akhirnya mereka membunuh Khalifah Utsman secara zalim. [Dr. Nashir Ali A'idh dalam Aqidah Ahlus Sunah wal Jamaah (3/1141)]

Page 90: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

85

Dalam konteks local, Kepala BNPT Ansyaad Mbai menjelaskan bahwa kelompok garis keras sudah menolak NKRI sejak didirikan. Mereka tidak mengakui proklamasi Soekarno-Hatta dan tidak mau bergabung dalam partai politik meski waktu itu ada Masyumi yang berasa Islam. “Kelompok garis keras yang kemudian menahbiskan diri sebagai Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, tidak mau mengakui RI dan menolak Masyumi karena dianggap tidak memakai hukum Islam. Berarti kafir,” tutur Muslih.

Saat ini, lanjutnya, ada empat tipologi kelompok radikal. Pertama radikal pemikiran, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua radikal non teroris, yaitu Front Pembela Islam. Ketiga radikal milisi, yaitu Laskah Jihad, Laskar Jundullah dan Laskar Mujahidin Indonesia. Keempat radikal separatis, yaitu NII, dan GAM. Identifikasi BNPT ini dibantah para peserta dialog. Perwakilan MUI Solo menilai BNPT tendensius. Sebab yang separatis ada kelompok RMS dan OPM, tetapi tidak disebut.

Mantan Ketua PWNU Jateng KH Bukhori Masruri yang panel bersama Muslih menguraikan, radikalisme dalam Islam pertama adalah munculnya kelompok khowarij (keluar dari barisan) yang membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sampai sekarang, turunan khowarij ada banyak dan berupa model. Tapi polanya sama, yaitu bersikap fundamentalis. Artinya, kata Bukhori, menganggap semua ajaran Nabi Muhammad, tak peduli perintah wajib maupun sunnah, larangan haram maupun cegahan makruh, dianggap sebagi fundamen. “Radikalisme akan terus ada selama akarnya masih ada. Untuk memberantasnya harus mengetahui akarnya. Yaitu perlakuan terhadap teks Al-Qur'an dan hadis yang sempit dan leterlijk,” ujarnya.188

Bukhori memaparkan, jihad itu banyak macamnya, dan yang palin utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang dhalim. Sebagaimana isi hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah. Lebih dari itu, lanjutnya mengutip beberapa ayat Al-Qur'an, jihad dengan perang tidak boleh dilakukan sendiri-sendiri. Melainkan harus dengan ijin atau perintah sultan. Dan ketika membunuh orang kafir, bukan karena kekafirannya, melainkan karena penyerangannya. Itupun dilarang berlebihan dan dalam perang ada adabnya. “Orang fundamentalis dan tekstualis itu mudah sekali mengkafirkan umat Islam dan ngawur berbuat kerusakan mengatasnamakan memerangi orang kafir,” tuturnya.

Ia tegaskan, Indonesia sebelum dijajah bangsa Eropa adalah kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin para sultan. Ketika negara Islam dijajah oleh orang kafir, tetap saja disebut Darul Islam, apalagi setelah merdeka tanggal 9 Ramadhan 1334. umat Islam sudah berusaha memasukkan syariat Islam dalam sila pertama Pancasila. Tapi belum berhasil.

Demikian pula kala sidang Dewan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 diusulkan agar Islam menjadi dasar negara, tetapi dalam voting hanya mendapat 42,5% suara. Lalu sampai sekarang umat Islam masih terus berusaha

188http://www.nu.or.id/post/read/35130/asal-mula-radikal-adalah-pemahaman-tekstual diakses 28/82018

Page 91: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

86

memasukkan unsur syariat dalam perundang-undangan. Contoh yang berhasil adalah UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat.

Maka menurutnya, sangat jahat dan sangat ngawur orang radikal menyebut Indonesia sebagai negara kafir. Sedangkan panelis lain, sekretaris MUI Jateng Prof Dr Ahmad Rofiq mengungkapkan, radikalisme muncul dari tafsir tunggal yang ekslusif dan cenderung ekstrem (tathorruf), padahal itu bertentangan dengan substansi dan misi agama yang menginginkan kedamaian, kesejahteraaan, kenyamanan dan ketenganan dunia akhirat.

Rofiq mengatakan, karena ketenangan dan kedamian adalah misi agama, maka meminta negara menjaga keadaan itu bisa menjadi wajib. Sebagaimana dalil ushul fiqih, mala yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun. Karena itu dia setuju dibuatnya UU Intelijen yang telah disahkan DPR pada 11 Oktober lalu.

Selanjutnya menurut Jokowi dalam sambutannya dijelskan bahwa dalam situasi ekonomi di mana yang kuat memangsa yang lemah, sindrom kalah dan tersingkir akan memicu radikalisme dan amuk sosial yang bisa dibungkus dengan jargon-jargon agama. Selain faktor paham keagamaan, deprivasi sosial-ekonomi jelas berperan penting di dalam tumbuhnya radikalisme.189 Dia juga menyoroti eskalasi radikalisme di media social yang semakin meningkat. Bahkan medsos dijadikan alat untuk memftnah dan menyebarkan berita bohong (hoax). Karena itu, mengampanyekan Islam ramah dan toleran di medsos merupakan langkah mendesak saat ini.

Menurutnya, peningkatan ketimpangan akan mengancam sendi-sendi kebangsaan karena di luar factor paham keagamaan, ketimpangan ekonomi adalah lahan subur berseminya ekstremisme dan radikalisme.190 (Achmad Mukafi Naim, Nu dalam gerak dan langkah. 247)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan membahas kaitan radikalisme dengan kesenjangan ekonomi dalam seminar selama dua hari, 7-8 Oktober 2017, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Seminar dengan tema Memperkokoh Nilai Kebangsaan melalui Penguatan Ekonomi Warga itu merupakan bagian pra Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2017 dijadwalkan digelar di NTB pada 23-25 Oktober. "Seminar bertujuan menemukan sebab-sebab kesenjangan dan radikalisme serta hubungan satu dengan yang lain," kata Ketua Panitia Munas dan Konbes NU 2017 Robikin Emhas di Jakarta, Rabu (5/10).191

Selanjutnya Robikin menjelaskan naiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam waktu yang sama menjadikan negara dengan kesenjangan ekonomi tertinggi di ASEAN. Data menunjukkan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk Indonesia.

189 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).18.

190 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).247.

191https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/10/05/oxc9hf335-pbnu-bahas-kaitan-radikalisme-dengan-kesenjangan-ekonomi diakses 28/8/2018

Page 92: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

87

Kesenjangan antara kaya dan miskin secara kumulatif juga menunjukkan tren yang kian tinggi.

Di sisi lain, kata Robikin terjadi pelebaran dan pendalaman pengaruh dari gerakan radikal yang menjadi ancaman bagi kohesivitas sosial kebangsaan, rentan konflik, dan kekerasan. "Hal itu dapat memperlambat bahkan menjadi penghalang bagi capaian optimisme tersebut di atas, juga akan menjadi faktor penting bagi sulitnya upaya untuk memeratakan ekonomi karena energi masyarakat akan terkuras untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan cenderung destruktif, baik untuk radikalisme maupun untuk mencegahnya," 192

Selaras dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dalam hal ini diwakili oleh Ma’ruf Amien menjelaskan, bahwa terdapat dua tantangan besar yang tengah dihadapi Indonesia. Tantangan yang dimaksud pertama radikalisme,kedua kesenjangan sosial. "Kalau dulu itu tantangannya penjajahan, perang, resolusi jihad, begitu kan? Itu dulu. Sekarang, menurut saya ada dua. Pertama adalah radikalisme dan intoleran. Yang kedua adalah kesenjangan sosial," 193

Menurut Ma'ruf, radikalisme merupakan cara berpikir. Bahkan, kata dia, banyak orang-orang yang terbelenggu dalam radikalisme yang memiliki cara berpikir ekstual, hingga berujung pada intoleran. "Cara berpikir yang rigid, statis pada teks-teks saja. Jadi, tidak ada cara berpikir yang kontekstual. Dari cara berpikir yang tekstual melahirkan sikap yang intoleran. Dia tidak menerima cara berpikir orang lain”

Ma’ruf Amien pada kesempatan lain menjelaskan jika dievaluasi secara menyeluruh, asal mula orang berpaham radikal bahkan sampai menjadi teroris adalah pemahaman secara tekstual. Kelompok tersebut tidak mau memakai cara ulama yang mengajarkan bahwa mempelajari agama itu bertahap dari dasar.

Yakni mereka langsung membaca ayat Al-Qur'an maupun lafal hadis terus memaknai sendiri dengan terjemahan dangkal. Sudah begitu, merasa dirinya paling benar dan orang lain salah. Bahkan sesat dan kafir. Sehingga melahirkan sikap intoleransi dan fanatisme kelompok. Tak mau berbeda pendapat, dan selalu menyalahkan orang lain.

Demikian disampaikan ketua MUI pusat KH Ma’ruf Amin saat menjadi pembicara pembuka dalam Dialog Publik “Radikalisme dan Deradikalisasi Paham Radikal” yang diselenggarakan MUI Jateng bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Hotel Pandanaran Semarang, Sabtu (3/12).

Acara dihadiri MUI Kabupaten/Kota se-Jateng, uturan ormas Islam, perwakilan perguruan tinggi Islam dan sejumlah santri. Menurut Ma’ruf Amin, pemahaman tekstual jelaslah mendistorsi agama Islam. Ayat Al-

192https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/10/05/oxc9hf335-pbnu-bahas-kaitan-radikalisme-dengan-kesenjangan-ekonomi diakses 28/8/2018

193 http://news.metrotvnews.com/peristiwa/VNnJG4aN-radikalisme-dan-kesenjangan-sosial-jadi-tantangan-terbesar-indonesia diakses 8/28/2018

Page 93: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

88

Qur'an yang berisi jihad maupun peperangan, bukanlah pembunuhan ngawur seperti yang dilakukan para teroris yang mengatasnamakan Islam. “Jihad tidak sama dengan teror dan teror tidak sama dengan jihad. Maka marilah kita ikuti cara ulama. Al-Qur'an itu ada disiplin ilmunya, tafsir dan sebagainya. Tak boleh hanya memahami ayat secara tekstual,” ujarnya.

Yang mengerikan dari kelompok radikal, lanjutnya mereka menasakh (menghapus) ayat - ayat suci Al-Qur'an yang berbicara tentang perdamaian dan toleransi. Lalu terus-menerus meneriakkan ayat-ayat yang “keras” dan berbicara soal peperangan. Padahal ayat tentang kelembutan lebih banyak daripada tentang peperangan. “Lagi pula, syariat Islam selama ini lebih banyak berasal dari ijtihad ulama. Yang dibakukan dalam qiyas maupun ijma’. Sebab ayat Al-Qur'an dari dulu tetap, sedangkan masalah umat terus berubah dan bertambah. Jadi sekali lagi, pemahaman tekstual itu sangat berbahaya,” tegasnya.194

Selanjutnya itu, lanjutnya dia, kesenjangan sosial terjadi imbas dari kebijakan ekonomi pada masa lalu. Kebijakan ekonomi pada pemerintah yang lampau justru melahirkan konglomerasi. Ia menilai kebijakan ekonomi pemerintahan yang lalu memberikan keleluasaan para konglomerat untuk menambah kekayaan. Imbasnya, bisa terjadi konflik sosial. "Kesenjangan sosial ini akibat dari kebijakan masa lalu yang tidak tepat, melahirkan konglomerasi. Yang di atas makin kuat, yang di bawah semakin lemah, antara yang kaya dan yang miskin. Kalau tidak diselesaikan akan terjadi konflik sosial. Sumbernya adalah ekonomi yang tidak berkeadilan”.

Ia pun memiliki solusi untuk mengatasi kesenjangan sosial ini, yaitu dengan menanamkan 'Arus Baru Ekonomi Indonesia'. "Makanya saya mengusung 'Arus Baru Ekonomi Indonesia'. Intinya pemberdayaan ekonomi umat. Kenapa umat? Karena bagian terbesar dari negara adalah umat. Ekonominya harus kita mulai dari bawah," pungkas Ma'aruf.

Radikalisme timbul dari dua sumber permasalan. Pertama, masalah politik. Politik yang dimaksud adalah ketidakadilan. Disini kepentingan politik bermain untuk memanfaatkan orang-orang yang terpinggirkan direkrut untuk melakukan radikalisme, para pemain politik itu lalu mencari keuntungan dari radikalisme. Kedua, masalah ekonomi. Tidak adanya pemerataan ekonomi tidak jarang membuat orang miskin frustasi. Lalu mereka bisa melakukan apapun demi uang. Radikalisme agama bisa terlahir dari hasrat politik segelintir elite kelompok masyarakat agama, dan kelompok-kelompok yang mudah frustasi, bukan hanya dari masyarakat agama itu sendiri."segelintir orang yang apriori melihat persoalan dan menganggap dirinya benar inilah problem yang sering memicu," jelasnya.195

194http://www.nu.or.id/post/read/35130/asal-mula-radikal-adalah-pemahaman-tekstual diakses 28/8/2018

195 https://www.nu.or.id/post/read/689/radikalisme--lahir-dari-ketidakadilan diakses 28/8/208

Page 94: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

89

Lebih jauh ia juga mengungkapkan pemahaman agama yang keliru juga menjadi salah satu sebab. Kemudian orang yang salah memahami ajaran agama tersebut dimanfaatkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan dan tujuan tertentu pula. Namun muatannya tetap kepentingan politik. "Saya tegaskan bahwa tidak ada kaitannya teroris dengan agama, Surat Al Maidah ayat 30 mengatakan, siapa yang membunuh tanpa nasab atau qisas sama dengan membunuh manusia seluruhnya jadi betapa kerasnya Allah memperingatkan soal membunuh tersebut," ungkap Tarmizi196.

Terakhir ia menambahkan, dalam agama manapun, masyarakat baru bisa melakukan peran politiknya apabila telah tumbuh kedewasaan beragama, salahsatunya kedewasaan untuk menerima perbedaan. Sehingga, kultur dan mental politik betul-betul mencerminkan ruh agamanya, bukan radikalisme buta.

Dalam memahami proses berkembangnya radikalisme, PP Muhammadiyah juga memiliki beberapa pandangan sama dengan PBNU, terutama tentang kesenjangan social. Pendapat yang dimaksud ungkapkan oleh Abul Mu’ti:

“Semakin berkembangnya kelompok terorisme dengan pemikiran radikalisme, mereka berfikiran bahwa lebih baik mati karena untuk hidup tidak ada harapan akibat dari kondisi masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Ini disebut dengan pemikiran teologi maut. Selain itu kerapuhan yang dialami Indonesia saat ini, banyaknya kesenjangan sosial. Coba perhatikan kondisi sosial ekonomi di Indonesia saat ini. Jika perekonomian Indonesia melemah akan memacu para kelompok terorisme untuk melawan pemerintahan,”197

Dua pendapat yang menyatakan keterkaitan antara radikalisme dan kesenjangan social, dia benarkan oleh Yudi Latif, ia memaparkan "Kesenjangan sosial yang terlalu lebar harus dipersempit agar bibit radikalisme yang ibarat ranting-ranting kering mudah terbakar tidak mudah tersulut api,".198

Dalam kesempatan yang lain Jokowi mengamini pendapat Yudi Latif, ia menunjukan data yang dikeluarkan World Bank soal GINI Ratio Indonesia yang mencapai 0,41. Artinya, ada 1 % rumah tangga Indonesia menguasai 50 % kekayaan bangsa. "Kita tidak antiorang kaya raya. Kita ingin rakyat kita kaya semua. Akan tetapi, kalau ada yang superkaya dan ada yang makan saja sulit, itu ada gap. Ini harus didekatkan oleh anggaran dan kebijakan lapangan.

196https://www.nu.or.id/post/read/689/radikalisme--lahir-dari-ketidakadilan diakses 28/8/208

197http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/. Diakses 9/8/2017

198https://www.merdeka.com/peristiwa/persempit-kesenjangan-sosial-agar-bibit-radikalisme-tak-tumbuh-subur.html diakses 28/8/2018

Page 95: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

90

Kemiskinan dan kesenjangan sosial, berbahaya dan jadi bahan bakar konflik sosial, separatis, radikalisme, ekstrimisme, hingga terorisme,"199

Abdul Mu’ti juga berpendapat bahwa terdapat tiga aspek dari pemikir radikal. Pertama yaitu kecenderungan pemahaman agama yang terbuka. Penafsiran agama yang hanya dari pemahaman sempit dari teks-teks agama. Kedua yaitu adanya pengaruh lingkungan, serta munculnya mimpi- mimpi untuk membersihkan kerusakan moral lingkungan dengan pemurnian akidah,200

Selajutya partisipan dalam gerakan radikal sebetulnya dipandang sedikit sebab diyakini bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk berdamai dan hidup tenang.

“Radikal itu hanya ditunjukkan oleh kelompok kecil dan pasti dibenci masyarakat karena sikapnya itu. Lihatnya saja kelompok mayoritas seperti petani, nelayan, dan pedagang, mereka inginnya hidup damai dalam kebersamaan, Ujar Said saat menerima tamu Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi, Sabtu (11/3) di Gedung PBNU Jakarta’.201

Mengapa gencar merekrut perempuan? Terkait dengan kecenderungan tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mempunyai analisis tersendiri. Penjelasan itu ia kemukakan dalam rubrik opini berjudul Perempuan dan Terorisme yang ditulisnya di Harian Kompas edisi Kamis, 5 Januari 2017.202 Selain itu Robikin pada kesempatan yang lain memaparkan bahwa "Hasil penelitian terakhir sebanyak 23,4 % anak muda setuju jihad untuk menegakkan khilafah," kata Ketua PBNU Robikin Emhas saat memberikan pengarahan dalam acara Pertemuan Penulis Keislaman di Hotel Sahid, Surabaya, Sabtu (2/12).203

Adapun Muhammadiyah yang diwakili Syafii Maarif menjelaskan bahwa anak muda merupakan masyarakat yang rawan untuk melakukan aksi radikal, sebab pemuda dipandang sebagai masa dimana seseorang mencari identitas.

“Berbicara mengenai terorisme, mereka melakukan tindakan dengan cara kekerasan, kebiadaban yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kondisi anak muda yang dengan mudahnya dicuci otak, ini disebabkan karena lemahnya pemahaman agama. Sehingga anak muda yang sedang mencari identitas tersebut akan mudah mengikuti apa yang dikatakan oleh para kelompok

199https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/16/nzfu09365-jokowi-kesenjangan-sosial-timbulkan-radikalisme diakses 28/8/2018

200 http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/2/ Diakses 9/8/2017

201 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).85.

202 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).95.

203http://www.nu.or.id/post/read/83862/ketua-pbnu-radikalisme-adalah-musuh-bersama diakses 9/8/2017

Page 96: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

91

terorisme tersebut. Agama sudah tidak berfungsi lagi padahal Islam adalah agama keberadaban bukan agama kebiadaban.”204

Pendapat Syafi’i Ma’arif selaras dengan pendapat Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, usia muda termasuk masa rentan menjadi intoleran dan radikal. Karena mereka masuk dalam fase mencari jati diri atau identitas. Apalagi, generasi ini melihat adanya ketidakadilan di sekitar mereka. "Akibatnya, mereka dengan mudah menerima gagasan-gagasan dan pemikiran radikal yang mereka peroleh dengan mudah, melalui tulisan di dunia maya maupun lisan yang disampaikan pemuka agama," ujar Yenny dalam diskusi bertema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia, yang diselenggarakan Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu 22 Juli 2017.205

Selain itu, lanjut dia, ada pemahaman tentang jihad yang keliru. Orang yang punya konsep pemahaman Islam yang literalis seperti mencuri potong tangan, berzinah dirajam dalam konteks modern seperti saat ini lebih mudah teradikalisasi.

Selain Yeni Wahid, Koordinator Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Chaider S Bamualim juga memaparkan, kaum muda Muslim zaman sekarang mengalami fenomena yang disebut hibridasi identitas.

Fenomena itu adalah identitas keagamaan yang merupakan hasil dinamika dan interaksi sosial politik yang mereka alami dengan lingkungannya. Menurut Chaider, pemuda Muslim masa kini dapat bersikap akomodatif terhadap nilai baru yang diperolehnya. "Hibridasi identitas dalam banyak hal memiliki kecenderungan moderat dan toleran dalam sikap dan perilaku bagi kaum muda Muslim," ujar Chaider dalam diskusi di Jakarta, Jumat (23/2/2018).206

Dalam fenomena tersebut, para pemuda Muslim masuk dalam proses pencarian pandangan keagamaan dari pengetahuan yang dimiliki. Masa-masa tersebut, kata Chaider, justru rentan disusupi pengaruh radikal. "Dia berada dalam ancaman godaan radikalisme dan ekstremisme karena memiliki ciri khas yang tak pernah 'ajek' (diam),". Chaider mengatakan, untuk memahami dinamika sosial, politik, dan keagamaan, seringkali merangsang kaum muda mencari pijakan keamanan yang lebih kokoh. Proses pencarian tersebut biasanya membuat sebagian kaum muda Muslim mengalami hibridasi identitas yang kompleks. Oleh karena itu, Chaider meminta agar kaum muda tidak cuek dengan gejala di masyarakat. Sebab, kelompok ekstremis bisa dengan mudah mencari celah dan masuk menguasai pemuda yang moderat itu.

Pendapat Chaider dibenarkan oleh survei yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada akhir 2017 menunjukan adanya potensi radikalisme di

204http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/. Diakses 9/8/2017

205https://www.liputan6.com/news/read/3034980/radikalisme-ancaman-nyata-pemuda-tanah-air diakses 28/8/2018

206https://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/21433601/pemuda-muslim-moderat-masih-rentan-godaan-radikalisme diakses 28/8/2018

Page 97: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

92

kalangan generasi Z, yaitu generasi yang lahir sejak pertengahan 1990-an sampai pertengahan 2000-an. Temuannya adalah sebesar 37.71 % memandang bahwa jihad atau khital, alias perang, terutama perang melawan non-Muslim. Selanjutnya 23.35 % setuju bahwa bom bunuh diri itu jihad Islam. Lalu 34.03 % setuju kalau Muslim yang murtad harus dibunuh. Temuan lain, 33,34 % berpendapat perbuatan intoleran terhadap kelompok minoritas tidak masalah. Para generasi Z ini mereka mendapatkan banyak materi Islam salah satunya dari internet dan medsos.207

Kelompok radikal menggunakan internet dan media sosial dengan serius karena menjangkau warganet secara luas. Dari ratusan ribu atau jutaan yang menonton atau membaca informasi yang diunggah, dalam persentase tertentu ada yang terdoktrinasi. Dari situ, tinggal membina, membangun jejaring dan merawatnya untuk memperkuat posisi dan suatu saat dimanfaatkan bagi kepentingan kelompoknya208.

Selanjutnya Achamd Mukafi Niam memberikan penjelasan tentang relasi teknologi informasi dan penyebaran radikalisme. Ia memaparkan bahwa kekuatan teknologi informasi membuat dunia semakin terkoneksi sehingga kejadian di satu benua dengan cepat terwartakan di belahan dunia lainnya. Hal itu pula yang menyebabkan satu isu dikalahkan dengan isu lainnya. Tak banyak isu yang bisa bertahan lama di tengah gempuran informasi yang tiada henti. Kekalahan ISIS di Irak menjadi berita gembira yang patut disyukuri, tetapi bukan berarti radikalisme telah berhenti. Bisa saja para pengikutnya pulang ke negaranya masing-masing dan membikin ulah di tempat asalnya. ISIS sempat berusaha untuk beraksi di Marawi, Philipina”209

Berikut adalah bentuk-bentuk ideologi. yang disebarkan di kalangan anggota dalam organisasi radikal, sehingga mereka dapat dengan rela melakukan tindakan pada orang lain. Point-point ini juga yang menjadi kesimpulan dari paparan sebelumnya.

1. Adanya keyakinan yang mendalam bahwa mayoritas di masyarakat. mereka sah-sah saja bertindak agresi sebab sudah terlalu banyak dan sering ketidakadilan sosial dirasakan oleh-oleh para penganutnya, selain mengajarkan kelompok mereka sebagai minoritas,

2. Perlakuan tidak adil (ekonomi, sosial, politik, budaya) yang pernah diterima menyebabkan kebencian dan balas dendam dapat dilakukan dan dianjurkan.

3. Jika telah berhasil memberi rasa takut di tengah masyarakat, maka harga dirinya meningkat dan tidak dipandang remeh lagi oleh orang yang telah memarginalisasikan keberadaannya.

207http://www.nu.or.id/post/read/90645/radikalisme-yang-menyebar-secara-senyap-pada-remaja-dan-pemuda diakses 28/8/2018

208http://www.nu.or.id/post/read/90645/radikalisme-yang-menyebar-secara-senyap-pada-remaja-dan-pemuda diakses 28/8/2018

209 Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk, Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 Jakarta: NU Online, 2017).5.

Page 98: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

93

4. Kekerasan satu-satunya cara yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan, sebab dialog sudah tidak berfungsi. Pendekatan persuasif juga bukanlah suatu hal yang dapat dipertimbangkan.

5. Ditumbuhkannya harapan yang tinggi bahwa tindak terorisme akan membuat hidup di masa depan menjadi lebih baik, tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang memarginalisasi, dihargai, dan dilibatkan dalam sistem politik kemasyarakatan.

Adapun secara objektif, akar peritiwa munculnya gerakan radikalisme di Indoensia menurut beberapa pengamat diawali sistem pascaruntuhnya Orde Baru 1998 membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk di dalamnya perkembangan Islam. Bentuk Islam di Indonesia menjadi sangat beragam. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi.

Peter G. Riddel membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, yaitu; modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham terhadap definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing kategori memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pascapemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka krannya setelah Orde Baru runtuh.210

Pengelompokan yang dilakukan oleh Riddel di atas bila dilihat dari sisi penafsiran dapat dipersempit menjadi dua pengelompokan saja, yaitu liberal-moderat dan radikal atau fundamental. Islam liberal dan moderat dengan penafsiran terbuka terhadap ajaran Islam, sekalipun tidak sama persis, sedangkan Islam radikal atau fundamentalis memiliki paham penafsiran tertutup. Beberapa kelompok Islam seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), adalah beberapa kelompok Islam yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok Islam yang beraliran terbuka.

Selain Islam liberal, Islam garis keras atau Islam radikal banyak menikmati perubahan politik di Indonesia ini. Islam radikal ini telah berkembang menjadi salah satu kelompok gerakan Islam baru yang mempunyai arti penting di Indonesia. Berbagai kelompok Islam radikal ini muncul. Sebagian adalah gerakan Islam yang berskala internasional seperti gerakan Salafi dan Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain adalah gerakan berskala nasional seperti Front

210 Riddel, Peter G. (2002). “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 13, No. 1.

Page 99: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

94

Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Lasykar Mujahidin, Ikhwanul Muslimin Indonesia. Selain itu muncul gerakan Islam radikal lokal seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) di Surakarta dan Front Thariqah Jihad (FTJ) di Kebumen.

Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang hampa. Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan kaum fakta sosial bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara berpikirnya, yaitu terdapat keajegan atau terdapat keteraturan sosial (social order), terdapat perubahan sekali waktu dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain: pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme.211

Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya radikalisme adalah musuh nomer satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja. Radikalisme kiri seperti Gerakan New Left, yang pernah berkembang di Indonesia sekitar tahun 1980-an dan terus memperoleh momentum di tahun 1990-an melalui Partai Rakyat Demokratik (PRD) merupakan eksponen organisasi yang dianggap sebagai musuh negara. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal kiri ini, banyak para tokohnya yang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang hilang tidak tentu rimbanya. Orde Baru juga sangat keras terhadap radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando Jihad di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan radikal Islam itu pun terus berlangsung sampai periode munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an. Abdul Aziz Thaba membuat tipologi hubungan antara Islam dan Negara dalam tiga kategori, yaitu hubungan antara Islam dan Negara yang bercorak antagonistis, resiprokal kritis, dan hubungan antara Islam dan Negara yang saling membutuhkan. Hubungan antagonistis terjadi di awal Orde Baru sampai awal tahun 1980-an dan hubungan simbiosis terjadi di era tahun 1990-an.212 Di era reformasi, jika gerakan radikal kiri berada dalam keadaan mati suri, tidak demikian halnya dengan gerakan radikalisme kanan. Setelah kran-kran kebebasan demokrasi dibuka, tidak serta merta membuat gerakan radikal ini surut, bahkan tumbuh subur, seperti munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),

211 Azyumardi Azra. (1996). Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.

212 Lihat: Abdul Aziz Thaba. (1995). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema

Insani Press.

Page 100: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

95

Gerakan Salafi, Laskar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Negara Islam Indonesia (NII) dan berbagai agama bercorak lokal adalah sebuah potret merebaknya gerakan-gerakan keagamaan ini.

Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.

Keterlibatan faktor emosi keagamaan ini nyata ditunjukkan dengan terjadinya kerusuhan massal di awal reformasi, ratusan gereja dan tempat usaha etnis Cina dibakar, dirusak, dan dijarah. Pada bulan Mei 1998 kerusuhan bernuansa SARA menewaskan lebih dari 1000 orang. Kerusuhan Timor Timur, Poso, Ambon, Sambas, dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang dilatari oleh konflik agama dan etnik (Budhy Munawar-Rahman, 2010: LVII). Kekerasan yang baru saja terjadi misalnya kekerasan kelompok FPI dengan Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di Temanggung, Lombok, dan kerusuhan Syiah dan NU di Madura yang berlatar agama.

Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari213, bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban Barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat dengan sekularismenya sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam sekaligus dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam. Hal ini bisa dilihat dari perubahan-perubahan sehari-hari, seperti semakin masifnya pola konsumsi umat beragama pada produk-produk Barat, misalnya

213 Musa Asy’arie. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LESFI, hal. 95.

Page 101: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

96

ATM, handphone, internet, dan produk global lainnya (Zuly Qodir, 2011:23).214

Gerakan radikal di Indonesia disinyalir Yudi Latif karena mereka tidak menerima perbedaan. Perbedaan yang muncul dimasyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi kaum radikal. Mereka berasumsi bahwa untuk menunjukkan eksistensi mereka maka mereka harus mengeliminasi eksistensi orang lain. Teroris berani mati karena mereka menganggap perbedaan adalah musuh dan ancaman yang harus dihancurkan. “Teroris berani mati, tetapi tidak berani hidup, mereka adalah musuh kehidupan” (Mukhlisin, 9 Maret 2012).

Keempat, faktor ideologis antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya sense of conseption of justice. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem negara kafir.215

Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Hal yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada acara pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April 2002 (SOLOPOS, 2002: 4). Di negeri ini bisa dilihat tidak tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, aset negara yang banyak lari ke luar negeri, pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia, dan disedotnya kekayaan negara oleh konspirator politik.

Di samping itu, keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga

214 Zuly Qodir. (2011). Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

215 Mukhlisin, Bahaya Radikalisme, http://icrp-online.org/112011/post-804.html, diakses 9

Maret 2012.

Page 102: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

97

sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.Lihat misalnya film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film 2012), dan lainnya.

Dari objektifitas, dapat dipahami bahwa gerakan fundamentalisme muncul disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa, di mana kelompok Islam tertentu tidak diberi kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegegalan ideologi sekuler dalam menegakkan keadilan, moral, dan kesejahteraan rakyat, sehingga melahirkan radikalisme agama yang diyakini sebagai satu-satunya alternatif ideologis bagi umat Islam. Ketiga, ketidakmampuan kelompok tersebut dalam menghadapi modernitas dan perubahan sosial. Namun, tidak semua gerakan fundamentalisme mesti radikal dalam arti teroris yang sering melakukan kekerasan fisik, karena menurut Jalaluddin Rakhmat, sebenarnya ada empat model fundamentalisme Islam, yaitu: a. Fundamentalisme sebagai gerakan tajdid, seperti yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah; b. Fundamentalisme yang timbul sebagai reaksi terhadap modernisme Islam sebagai antitesa terhadap Wahabiyah dan Salafiyah yang dianggap telah mengalami distorsi historis; c. Fundamentalisme sebagai gerakan yang menentang westernisasi di dalam Islam; d. Fundamentalisme sebgai suatu keyakinan bahwa Islam menjadi ideologi alternatif.216

Model fundamentalisme yang pertama dan kedua kecenderungannya adalah murni perjuangan pemurnian ajaran Islam dari berbagai tradisi lokal yang menyebabkan terkontaminasinya Islam dengan budaya masyarakat, sehingga wajah Islam tidak seperti yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Adapun fundamentalisme model ketiga dan keempat sering mengambil sikap keras dan anarkis dalam mencapai obsesinya yang dikenal dengan radikalisme. Secara umum, semua bentuk kekerasan adalah negatif, tetapi dalam kondisi darurat, kekerasan justeru diperlukan, karena jalan lain sudah tidak ditemukan. Dalam konteks dakwah Islamiyah, metode terbaik adalah pendekatan persuasif dengan konsep “ukhuwah”, akan tetapi jika pihak lain bertindak sewenang-wenang, maka “kekerasan” diperlukan. Disinilah makna “jihad” fisik yang sebenarnya, bukan sekadar instrumen untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok fundamentalis tertentu dalam mencapai ambisi kekuasaan.

216Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaga Press, 2001), hlm. 122-123.

Page 103: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

98

Bab Enam

Radikalisme Pendekatan Analisa Belief : Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis

Munculnya aksi terorisme bisa dikatakan merupakan jalan pintas untuk memperjuangkan suatu ideologi atau bahkan untuk mendirikan negara baru yang dilakukan melalui cara paksaaan dan kekerasan. LoCicero & Inclair memaparkan bahwa “planned terrorism where the action has a discernible goal” yang kurang lebih maksudnya aksi teroris yang tersencana memiliki tujuan yangsukar untuk dijelaskan217.

Berbeda dengan Whittaker ia menjelaskan adapun melakukan bom bunuh diri hanyalah merupakan satu dari sekian taktik yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Banyak taktik lain yang bisa dilakukan teroris untuk mencapai kepentingannya, di antaranya: pembakaran; bom yang disematkan pada kendaraan; ledakan yang dikendalikan remot kontrol; penggranatan; serangan senjata api; penikaman; pembajakan kendaraan atau pesawat terbang, penyanderaan; penculikan; penyiksaan; serangan yang sifatnya sabotase; pembunuhan; surat ancaman bom dan lain sebagainya. Yang penting, dari semua itu tujuannya adalah untuk kepentingan politik dengan menebarkan ketakutan massa.218

Ketika massa sudah merasa takut, kemudian otoritas keamanan panik dan tidak dapat merespon ancaman dengan baik maka dari situlah teroris mendapatkan kemenangan atas operasi yang dilakukan. Oleh karenanya, pasca terjadi pemboman di Sarinah, Jakarta awal 2016 lalu bermunculan tagar #KamiTidakTakut sebagai bentuk perlawanan psikologis untuk mendelegitimasi kemenangan tersebut.

Dengan menebarkan ketakutan massa, teroris mengharapkan target operasi dan orang-orang yang melihat kejadian tersebut merasa terintimidasi. Terrorists want a lot of people watching, not a lot of people dead219. Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi tentu akan mendorong teroris untuk mencapai tujuannya yang bisa bermacam-macam bentuknya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan radikal adalah mengadakan perubahan sampai keakarnya dan untuk ini selalu menggunakan metode kekerasan serta menentang struktur masyarakat yang ada. Mempunyai

217 A. LoCicero and S. J. Sinclai. Terrorism and Terrorist Leaders: Insights from Developmental and Ecological Psychology. Studies in Conflict & Terrorism. 1521-0731 online. https://www.researchgate.net/publication/249035613_Terrorism_and_Terrorist_Leaders_Insights_from_Developmental_and_Ecological_Psychology

218 David J. Whittaker, Terrorists and Terrorism in the Contemporary World. New York, TJ International, 2008.

219 David J. Whittaker, Terrorists and Terrorism in the Contemporary World. New York, TJ International, 2008.

Page 104: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

99

program yang cermat dan memiliki landasan filsafat unutk membenarkan adanya rasa ketidakpuasan dan mengintrodusir inovasi-inovasi.

Mutawakil Alallah menegaskan "Sungguh itu suatu tindakan keji tidak berperikemanusiaan dan tidak beradab".220 Syafii Maarif menjelaskan bahwa tindakan radikalisme merupakan tindakan biadab, yang menafikan rasa kemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran semua agama khususnya Islam, “mereka melakukan tindakan dengan cara kekerasan, kebiadaban yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.”221

Selanjutnya Wakil Rais Syuriyah PWNU Lampung KH Khairuddin Tahmid memaparkan terorisme dan radikalisme merupakan kejahatan yang luar biasa. Tindakan yang sangat tidak dibenarkan walaupun dengan dalih atas nama agama ini harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Penanganannya pun perlu dengan cara yang luar biasa, termasuk antisipasi secara berkesinambungan sehingga tidak akan muncul lagi cikal bakal dan bibit kejahatan yang merugikan umat manusia ini222.

Contoh perilaku teror yang dipandang tidak manusiawi terjadi pada kasus kerusuhan di Mako Brimob pada Kamis (10/5/2018). Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj memberikan komentar mengenai kerusuhan narapidana terorisme di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat yang menyebabkan lima anggota polisi meninggal dunia. "Membunuh Polisi di Markas Polisi. Itu kejahatan luar biasa itu," kata Said usai peringatan Harlah NU ke-92 di Masjid Agung An-Nur Kota Pekanbaru, Riau yang turut dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Rabu (9/5/2018)223.

Menurut Said, bukan hanya NU yang mengutuk keras aksi tersebut, tetapi seluruh umat Islam. Pasalnya, menurut Said, ajaran Islam jelas menolak kekerasan, dan itu telah tertuang dalam kitab suci umat muslim Al-Quran. "Bukan hanya NU tapi seluruh umat Islam. Islam menolak kekerasan. Nabi Muhammad anti kekerasan," kata dia.

Menurut Said, kejadian itu sekaligus menunjukkan masih ada potensi radikalisme dan aksi terorisme di Indonesia. Dan pemerintah masih mempunyai tugas besar untuk mengatasi potensi radikalisme. "Itu menunjukkan bahwa masih ada potensi radikalisme, masih ada terorisme. Belum tuntas pemerintah untuk menyelesaikannya," ungkap Said. Dalam kerusuhan tersebut, Mabes Polri menyatakan lima anggota kepolisian meninggal saat bentrokan dengan narapidana teroris di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Jawa Barat.

220http://www.nu.or.id/post/read/90307/nu-jawa-timur-kutuk-keras-aksi-bom-surabaya diakses 9/8/2017

221 http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/. Diakses 9/8/2017

222https://www.nu.or.id/post/read/93155/pemikiran-radikal-jadi-cikal-bakal-terorisme diakses 28/8/2018

223https://tirto.id/ketua-pbnu-said-aqil-kutuk-keras-aksi-napi-terorisme-di-mako-brimob-cKa4 diakses 28/8/2018

Page 105: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

100

Kelima anggota polisi yang meninggal dunia itu adalah Iptu Yudi Rospuji Siswanto, Aipda Denny Setiadi, Brigadir Polisi Fandy Setyo Nugroho, Brigadir Satu Polisi Syukron Fadhli dan Brigadir Satu Polisi Wahyu Catur Pamungkas. Meskipun demikian, pihak kepolisian mengaku tetap mengedepankan pendekatan persuasif untuk membebaskan seorang anggota Polri yang disandera.

Secara umum dua organisasi massa (Ormas) keagamaan di Indonesia Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengutuk aksi keji tersebut. Said Aqil Siradj mengungkapkan rangkaian kejadian itu menunjukkan bahwa radikalisme, apalagi yang mengatasnamakan agama, sudah sangat memprihatinkan224.

Said menilai segala macam tindakan menggunakan kekerasan, apalagi yang mengatasnamakan agama dengan cara menebarkan teror, kebencian, dan kekerasan bukanlah ciri ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. "Islam mengutuk segala bentuk kekerasan," tidak ada satu pun agama di dunia ini yang membenarkan cara-cara kekerasan dalam kehidupan. Karena itu, PBNU mendukung penuh upaya dan langkah-langkah aparat keamanan dalam mengusut secara cepat dan tuntas motif, pola, serta gerakan yang memicu terjadinya peristiwa tersebut.

"Apapun motifnya, kekerasan, radikalisme, dan terorisme tidak bisa ditolerir apalagi dibenarkan, sebab ia mencederai kemanusiaan," sambungnya. Hal senada diungkapkan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, M Saad Ibrahim. Menurutnya, bom bunuh diri, apapun alasannya, bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. “Siapa pun yang melakukannya, secara nyata telah merusak tatanan umat, bangsa, dan kemanusiaan," tandas Saad.225

Dalam menjelaskan fenomena di atas Misbahul Ulum menerangkan, setiap terjadi tindakan radikalisme bisa dipastikan kecurigaan umum akan mengarah pada agama Islam. Kecurigaan ini cukup berasalan karena sebagian besar pelaku terror itu adalah orang-orang Islam. Akhirnya muncul anggapan bahwa Islam adalah agama teroris. Umumnya, para radikalis itu menggunakan legitimasi agama dan semangat “jihad” untuk menyerang orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Namun, apakah benar yang mereka lakukan itu adalah wujud “Jihad”? Jihad merupakan ajaran vital dalam Islam. Bahkan, Rasulullah memposisikan jihad sebagai salah satu amal yang paling dicintai oleh Allah setelah amalan solat dan berbakti kepada orang tua. Jihad adalah wujud tanggung jawab seorang muslim terhadap agamanya.226

Dalam meluruskan makna jihad yang dimaksud Muhammad Afiq Zahara menulis artikel yang dimuat pada laman nu.or.id. Ia memaparkan bahwa

224https://www.alinea.id/nasional/nu-muhammadiyah-sebut-teroris-ancaman-bagi-kemanusiaan-b1Uzf9bzf diakses 28/8/2018

225https://www.alinea.id/nasional/nu-muhammadiyah-sebut-teroris-ancaman-bagi-kemanusiaan-b1Uzf9bzf diakses 28/8/2018

226 http://www.nu.or.id/post/read/34600/meluruskan-makna-jihad diakses 28/8/2018

Page 106: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

101

terorisme dan jihad tidak bisa disandingkan bersama yang kemudian menjadi sebuah terma tersendiri. Terorisme dalam bahasa Arab disebut irhâb, akar katanya adalah rahiba-yarhabu yang dalam Lisân al-‘Arab berarti khâfa (takut, menakuti, atau mengintimidasi)227. Sementara jihâd berasal dari kata al-jahdu atau al-juhdu yang berarti al-thâqah (mampu, berusaha dan kuat).228 Dari segi bahasa sangat jelas perbedaanya, yang satu menyebarkan ketakutan (irhâb) dan satunya lagi berusaha. Jihad memiliki cakupan sangat luas, tidak hanya perang, seperti perkataan Grand Syekh al-Azhar, Syeikh Ahmad al-Thayyib yang dilansir Alwafd, Edisi Selasa, 21 Juni 2016:

جهادِليسِمقصوراِعلىِجهادِالعدوِالمحسوسِفيِميادينِالقتالِفحسب،ِولكنِأيضاِالعدوِِال

غيرِالمحسوسِوهوِالشيطانِوالنفسِالأمارةِبالسوء“Jihad tidak hanya terbatas pada jihad melawan musuh kasat mata di medan perang, tetapi juga musuh tak terlihat, yaitu setan, dan nafsu yang membawa pada keburukan.” Aksi-aksi kekerasan saat ini sering diasosiasikan dengan jihad, bahkan yang

melakukan aksi tersebut merasa dirinya seorang mujahid, yang sedang memperjuangkan agama Islam. Adapun Objek dari perilaku tersebut diantaranya negara non-Islam dan negara mayoritas Islam tapi tidak menerapkan syariat Islam.

Sealanjutnya Zahara menerangkan lebih jauh tentang perbedaan paling mendasar antara jihad dan terorisme. Ia mengutip penjelasan Muhammad Sayyid Thanthawi yang menjelaskan dua prinsip utama jihad yaitu:

أولا:ِالدفاعِعنِالدينِوالمقدساتِوالنفسِوالوطنِوالعرضِوالمالِوكلِماِأمرناِاللهِتعالىِ

مظلومبالدفاعِعنه،ِوثانيا:ِلنصرةِال . “Pertama, mempertahankan agama, kesucian, jiwa, tanah air, persediaan (kebutuhan sehari-hari), harta benda dan segala sesuatu yang diperintahkan Allah untuk mempertahankannya. Kedua, untuk menolong orang yang didzalimi.”229 Artinya, jihad tidak dibenarkan tanpa memenuhi dua prinsip itu.

Sedangkan irhab, menurut Thantawi, menebarkan ketakutan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Inilah yang dilarang oleh Islam, karena Islam menolak segala bentuk agresi terhadap orang yang tidak bersalah dan terhadap agresi itu sendiri.

Di dalam Islam terdapat suatu konsep yang dikenal dengan ta’ayusy dan saling mengenal antara makhluk tanpa memandang agama, ras, latar belakang dan warna kulit (ta’aruf bain al-umam wa al-syu’ub wa al-qaba’il) merupakan ketetapan Allah, seperti firmanNya (Q.S. al-Hujurat [41]: 13).

227 Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Lisan Al-'Arab,(Beirut: Dar Ihya' Al-Turats Al-'Arabi, 1408 H). Juz 2: 1748.

228 Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Lisan Al-'Arab,(Beirut: Dar Ihya' Al-Turats Al-'Arabi, 1408 H). Juz 1: 708.

229 https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%AC%D9%87%D8%A7%D8%AF dikses 28/8/2018

Page 107: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

102

Dalam menafsirkan ayat di atas Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dari kata al-syu’ûb adalah al-qabâ’il al-‘idhâm (suku bangsa yang besar), dan kata al-qabâ’il adalah al-buthûn (suku atau marga). (HR. Imam Bukhori, hadits No. 3230).

Menurut Zahara, semua ayat sebelum al-Hujarat 13, menggunakan seruan, “Hai orang-orang yang beriman,” yang sangat spesifik objek seruannya, yaitu orang-orang beriman. Ayat 13 dalam al-Hujurat menjadi satu-satunya ayat yang menggunakan, “hai manusia”. Hal ini menunjukkan seruan hidup harmonis untuk seluruh umat manusia, terlepas agama, suku dan rasnya.

Masih menurut Zahara ayat di atas dipertegas dengan firman Allah lainnya (Q.S. al-Baqarah [2]: 256), “Tidak ada paksaan dalam agama,” penekanannya jelas, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al-din) dan mempraktikkannya. Saya kira, disinilah ruang yang dimasuki dakwah. Prinsip dakwah Islam adalah kebijaksanaan, perkataan yang baik dan misal pun harus berdebat, harus menunjukkan sikap lebih baik dari mereka (Q.S. al-Nahl [16]: 125).

Selanjutnya diversitas, kemajemukan dan kebhinekaan dipandang sebagai ketetapan dan fitrah kehidupan. Tuhan sendiri tidak menghendaki menciptakan umat yang satu, seperti firmanNya (Q.S. Hud [11]: 118: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”

Hal senada diungkapkan oleh Muhammadiyah yang diwakili Sekretaris Umum, Abdul Mu'ti yang menegaskan jihad dalam Islam tidak dibenarkan jika dimaknai dalam bentuk perilaku teror. Menurut Mu'ti, jihad dalam Islam yaitu berisi perintah agar manusia melakukan semua hal dengan baik untuk mengharap ridha Allah. "Jihad untuk mendatangkan kemaslahatan. Sangat keliru jika diekspresikan dalam bentuk kekerasan apalagi menewaskan yang tak berdosa," ujar Mu'ti, saat jumpa pers menyikapi bom bunuh diri di Surabaya, di Hotel Century Jakarta, Ahad (13/5).230

Islam, lanjutnya, menghormati kehidupan dengan tidak melakukan kekerasan. Karena seluruh isi kehidupan merupakan anugerah dari Allah. Persoalan terorisme yang sering terjadi di Indonesia, menurutnya tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Ancaman terorisme dipandang sangat serius.

Selanjutnya konstruksi jihad yang dipandang terdapat konstroversi diabahas juga dalam seminar Fiqih Anti Terorisme yang merupakan program kerjasama antara Ma’arif Institute dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Digelar di Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS), pada tanggal 3 hingga 5 Mei 2016231.

Dalam seminar tersebut Azmumardi Azra memaparakan jihad secara bahasa memiliki arti bersungguh-sungguh. Namun dalam penerapannya, kadang sulit dipahami. Ada kalanya sekelompok orang yang mengatasnamakan

230https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/05/13/p8o3g2354-muhammadiyah-keliru-jihad-dimaknai-dalam-bentuk-kekerasan

231http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/05/06/memahami-perang-atas-nama-jihad/ diakses 28/8/2018

Page 108: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

103

Tuhan, kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap yang berbeda keyakinan. Hal ini kemudian dimaknai sebagai aktivitas dalam kerangka jihad. Mereka yang melakukan kekerasan demikian, sering bersandar pada ayat tentang peperangan dalam Al-Qur’an. Hanya saja sering muncul standar ganda, di mana ketika umat Islam berkeyakinan melakukan jihad, kemudian dipahami sebagai tindakan teror. “Oleh karena itu, kita perlu perjelas kembali definisi jihad dan teror ini,”

Mengambil contoh pemikiran ulama kontemporer Yusuf Qaradhawi. Mengutip pendapat ulama’ Mesir tersebut, sekurangnya ada tiga poin tentang arti jihad yang sesungguhnya. Yang pertama adalah jihad bisa diartikan sebagai perang fisik dengan catatan menjadi benteng pertahanan terakhir umat Islam. Namun bukan untuk menyerang musuh guna merebut kekuasaan. Kedua, tujuan jihad dengan jalan perang ditujukan untuk memperjuangkan keadilan. Diawali dengan deklarasi yang dilakukan oleh amirul mukminin, karena bangsa dalam kondisi terpuruk dan terancam oleh serangan negara lain, seperti kondisi bangsa pada masa penjajahan dahulu. “Lalu siapa yang disebut dengan amirul mukminin?” Azra menyebutkan bahwa Presiden yang sedang berkuasa sebagai sosok amirul mukminin. Sementara poin ketiga, jihad dengan jalan perang. Menurutnya, tidak dibenarkan peperangan untuk menyerang anak kecil, orang tua, rumah ibadah, hingga makam.

Di antara kelompok-kelompok radikal yang melakukan teror bertujuan mendirikan Daulah Islamiyah . menurut Najih Ramadhani kelompok ini juga yang banyak memahami nash al-Qur’an dan hadits secara serampangan untuk melegitimasi gerakan-gerakan mereka di ruang publik dengan kedok jihad. Seperti beberapa hadits yang diungkap Najih Ramadhan dalam bukunya Bid’ah Ideologi ISIS (2017)232.

ISIS dibentuk pada April 2013 dan cikal bakalnya berasal dari al-Qaida di Irak (AQI), tetapi kemudian dibantah oleh al-Qaida. Demikiran reportase yang dikutip dari laman BBC Indonesia. Kelompok ini menjadi kelompok jihad utama yang memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak. Huruf "S" dalam singkatan ISIS berasal dari bahasa arab "al-Sham", yang merujuk ke wilayah Damaskus (Suriah) dan Irak. Tetapi dalam konteks jihad global disebut Levant yang merujuk kepada wilayah di Timur Tengah yang meliputi Israel, Yordania, Lebanon, wilayah Palestina, dan juga wilayah Tenggara Turki. Jumlah mereka tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan memiliki ribuan pejuang, termasuk jihadis asing. Koresponden BBC mengatakan tampaknya ISIS akan menjadi kelompok jihadis yang paling berbahaya setelah al-Qaida.233

Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali menambahkan, ISIS yang kini sedang menjadi isu global merupakan kelanjutan dari organisasi garis keras Al-

232 M. Najih Ramdhani. Bidah Ideologi ISIS : Catatan Penistaan ISIS Terhadap Hadits. Jakarta: Daulat Press. 2017.

233http://www.nu.or.id/post/read/53669/bagaimana-sejarah-terbentuknya-isis diakses 28/8/2018

Page 109: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

104

Qaeda. Dikatakannya, pengaruh paham radikal Al-Qaeda maupun ISIS yang sudah menjalar sekelompok warga bangsa perlu diluruskan terutama terkait tiga hal. “Tiga hal yang harus diluruskan adalah tentang faham khilafah Islamiyah, jihad, dan pengkafiran,”234

Pertama soal khilafah islamiyah. Menurut As’ad yang akhir tahun lalu meluncurkan buku “Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya”, Baik Al Qaeda maupun ISIS menganggap khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya sistem politik Islam, sedang sistem selain itu dianggap kafir. “Bedanya, Al Qaeda masih dalam bentuk wacana, sedangkan ISIS sudah memproklamirkan khilafah,” tambahnya.

Sementara bagi NU, khilafah Islamiyah bukanlah suatu sistem politik atau model negara, tetapi sebagai konsep kepemimpinan seperti dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 30. “Nahdlatul Ulama dan para ulama dari Ormas pendiri lain seperti Muhamadiyah, Sarikat Islam, dan kaum nasionalis lainnya telah menyepakati sistem politik yang didasarkan Pancasila sebagai ijtihad bersama, sehingga tidak memerlukan sistem politik lain,” tambahnya.

Kedua, tentang jihad. Al Qaeda dan ISIS mengartikan jihad dalam arti sempit yaitu hanya perang atau kekerasan. Sedang jihad dalam arti persuasif, pendidikan, dakwah dan kegiatan-kegiatan sosial lain dianggap bukan bagian dari jihad. Pandangan tersebut berbeda secara diametral dengan pandangan mayoritas ulama yang beranggapan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu.

“Jihad dalam artian perang hanyalah sebagai jenis jihad. Bagi ulama NU, jihad tentu saja tidak bermakna sempit qital (perang: Red), tetapi berarti luas termasuk membangun perdamaian dan ketertiban sebagai landasan peradaban dunia,”

Ketiga, takfiri atau pengkafiran. Al Qaeda dan ISIS berkeyakinan golongan di luar mereka adalah kafir. Artinya mayoritas umat Islam lainnya adalah kafir. Menurut Al Qaeda dan ISIS, orang kafir tersebut wajib diperangi (dibunuh), kecuali bersedia membayar upeti (jizya). “Sementara mayoritas ulama berpendapat sebaliknya. Para ulama menganggap bahwa pengkafiran terhadap sesama muslim berarti menghilangkan pluralitas/perbedaaan yang sudah menjadi kodrat manusia,” pungkasnya.

Selanjutnya Yeni Wahid memberikan beberapa catatan penting tentang perbedaan gerakan radikal ISIS dengan organisasi lainnya, khususnya Al Qaida. Pertama, soal tawanan. Bagi Al-Qaeda, biasanya tawanannya dites dulu apakah bisa membaca Al-Qur’an atau tidak, kalau bisa maka mereka dilepaskan. Namun kalau ISIS, mereka tidak peduli apakah tawanan atau musuh mereka itu Islam atau bukan. Karena kalau bertentangan dengan mereka dan tidak bersedia dibaiat maka mereka akan diperangi dan dibunuh. “Kalau ISIS itu tidak peduli mau Islam, apalagi Kristen, apalagi Syiah. (Tawanannya) Islam saja

234http://www.nu.or.id/post/read/58330/ini-tiga-hal-yang-harus-diluruskan-dari-isis-menurut-waketum-pbnu diakses 25/8/2019

Page 110: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

105

di-dor. Gak peduli mereka, yang penting harus satu kelompok dengan mereka,”235

Kedua, Al-Qaeda selektif dalam menjaring anggota, sementara ISIS tidak. Al-Qaeda melakukan aksinya dengan sangat terstruktur dan memiliki anggota yang terlatih, baik dalam pertarungan maupun membuat bom. “Kita tidak tahu siapa orang Al-Qaeda kalau belum masuk, berhasil masuk pun belum tentu tahu dan bisa mengungkap jaringan-jaringannya. Jadi terlatih (seperti) Ali Imron dan dia bisa bikin bom di luar kepala,” tuturnya. Sementara untuk menjadi prajuritnya ISIS sangat mudah karena siapa saja bisa masuk. “Siapa saja boleh,” katanya.

Oleh karena itu, kedua kelompok tersebut memiliki kualitas serangan teror yang berbeda. Al-Qaeda memiliki serangan yang mematikan karena memang dilakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih dan perencanaannya sangat matang sekali. “Ratusan orang bisa mati,” ujar Yenny.

Sedangkan ISIS mengimbau prajuritnya untuk melakukan aksi teror dengan menggunakan senjata apa saja yang di dekatnya. Serangan ISIS tidak perlu memakai bom untuk melakukan teror karena apa saja bisa dipakai untuk melakukan teror. “Truk bermuatan besar dipakai untuk menubruk kerumunan massa. Orang lagi lewat ditusuk dan kabur,” jelasnya.

Para jihadis tersebut memiliki pemahaman yang sangat simplistik tentang Islam. Oleh karena itu, pemahaman tersebut hanya bisa dilawan dengan pendekatan Islam yang menekankan kepada tasawuf. “Makanya di situ NU bisa mengisi ruang itu karena pendekatan dakwah NU adalah menekankan pada tasawuf,” ujarnya.

Muhammadiyah yang diwakili Abdul Mu'ti mengatakan ISIS ataupun gerakan serupa yang mengatasnamakan agama untuk memprovokasi umat bukanlah ladang jihad bagi umat Islam. ISIS disebut sebagai gerakan politik, bukan gerakan keagamaan.

"Persoalan yang ada di Suriah, termasuk yang di Filipina, itu adalah persoalan politik. Itu bukan persoalan keagamaan. Itu bukan ladang jihad. Itu adalah persoalan politik yang memang sejak awal, ISIS pun gerakan politik, bukan gerakan keagamaan,"236.

Selanjutnya Mu'ti memberikan tanggapan tentang beberapa warga Indonesia yang pergi ke Suria bergabung dengan ISIS. Ia memaparkan bahwa panggilan jihad di dalam negeri merupakan sesuatu yang sangat penting juga. Mu’ti justru menyayangkan mereka yang terpropaganda jihad ke luar negeri tetapi justru pada kenyataannya hanya untuk bunuh diri dengan alasan yang tidak jelas.

Jika memang ada panggilan jihad, panggilan jihad di dalam negeri itu tidak kalah pentingnya, tidak sedikit jumlahnya dibandingkan dengan panggilan jihad

235http://www.nu.or.id/post/read/79759/ini-perbedaan-al-qaeda-dan-isis-menurut-yenny-wahid diakses 4/8/2018

236https://news.detik.com/berita/d-3537291/muhammadiyah-isis-itu-bukan-ladang-jihad diakses 28/8/2018

Page 111: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

106

di luar negeri yang justru mereka ke sana bukan untuk berjihad tetapi menyabung nyawa. Itu bukan jihad, tetapi bunuh diri, dan bunuh diri itu sangat dilarang oleh agama, ujarnya.237

Selanjutnya dalam surat edarannya Muhammadiyah menyatakan sikap tentang eksistensi gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang menjadi Negara Islam di Indonesia. Muhammadiyah mencatat lSlS merupakan gerakan politik radikal yang lahir sebagai reaksi atas situasi politik dalam negeri lrak dan Suriah. "lSlS bukanlah gerakan lslam, tetapi gerakan politik yang mengatasnamakan lslam untuk merebut kekuasaan politik di lrak dan Suriah," ungkap surat yang diteken Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.238

Menurutnya, lSlS tidak ada hubungannya dengan persoalan politik di negara-negara lainnya, termasuk di lndonesia. Cita-cita mendirikan khilafah lslam di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tidak memiliki akar teologis, ideologis, dan historis yang kuat berdasarkan Al Quran, Sunah yang sahih, dan pendapat para ulama yang otoritatif.

Menukil pandapat lmam Syafii dan lbnu Khaldun, setelah Khulafaur Rasyidun, tidak ada lagi kekhalifahan di dalam lslam. Walaupun menggunakan istilah "khalifah", Muhammadiyah berpendapat pemerintahan yang dibentuk setelah masa Khulafaur Rasyidun pada hakikatnya adalah kerajaan atau kesultanan yang didirikan atas semangat ashabiyah keluarga dan suku. Karena itu, Muhammadiyah bersikap bahwa tidak ada keniscayaan untuk mendirikan kekhalifahan lslam, terlebih yang menggunakan kekerasan.

Warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya diimbau untuk tidak terpengaruh oleh dan tidak memberi peluang bagi berkembangnya gagasan dan gerakan lSlS. Gerakan tersebut dinilai hanya akan memecah belah persatuan bangsa dan melemahkan ukhuwah Islamiyah.

Dari uraian-uraian di atas, berdasarkan penelaahan para pakar bahwa radikalisme dalam Islam sebenarnya sudah ada akarnya sejak zaman sahabat, yaitu ketika muncul kaum Khawarij yang tumbuh sebagai golongan radikal, baik pandangan politik maupun teologisnya, setelah memuncaknya konflik antara para pendukung Ali bin Abi Thalib r.a. dan pendukung Mu’awiyah r.a. Baik Ali maupun Mu’awiyah, menurut aliran Khawarij, telah melakukan dosa besar yang konsekwensinya dapat dihukumi kafir atau murtad, sehingga halal darahnya. Akhirnya sejarah mencatat bahwa Ali bin Abi Thalib ditikam oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam sampai wafat. Radikalisme Islam terus berkembang dengan pasang surutnya sampai dewasa ini di mana saja, termasuk di Indonesia, dan akan tetap muncul sampai kapan pun, karena memiliki akar historis dan teologis. Untuk mencegah tumbuh kembangnya radikalisme, terlebih dahulu harus dipahami apa akar yang

237https://news.detik.com/berita/d-3537291/muhammadiyah-isis-itu-bukan-ladang-jihad diakses 28/8/2018

238 https://republika.co.id/berita/koran/news-update/14/08/18/nahkk934-muhammadiyah-isis-bukan-gerakan-islam diakses 28/8/2018

Page 112: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

107

menjadi sebab tumbuhnya radikalisme, yaitu paham atau aliran fundamentalisme.239

Secara historis, fundamentalisme adalah paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal, di mana pelakunya adalah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu ingin kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci. Fundamentalisme Islam merupakan fenomena sosial di berbagai negara sebagai akibat dari derasnya arus modernisasi dan ketidakpuasan terhadap nilainilai sosial yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Aliran fundamentalisme merupakan gerakan protes politik yang diekspresikan dengan term keagamaan yang sering menggunakan tindakan radikal. Kaum fundamentalisme memiliki pandangan epistemologis bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang harus ditegakkan tanpa harus mempertimbangkan akibatnya terhadap hak-hak kelompok atau agama lain. Pandangan kaum fundamentalisme tersebut terkesan dapat menciptakan tata sosial untuk merealisasikan kebenaran Tuhan, karena Islam menurut mereka tidak hanya sebagai agama unggulan yang terdiri atas keyakinan dan tata ibadah ansich, tetapi juga sebagai pandangan hidup dan tata budaya yang mampu dan layak menata seluruh umat manusia.240

Istilah “fundamentalis” sering dikonotasikan dengan “teroris” yang terkesan negatif dan menakutkan, karena banyak aksi-aksi kekerasan yang telah dilakukan, seperti pengeboman, penembakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Jika disebut “teroris”, orang sering menunjuk kepada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Yordania, Hamas di Palestina, Hizbullah di Libanon, Komando Jihad, Usroh, JI, MMI, dan FPI di Indonesia. Kekerasan dijadikan mereka sebagai alat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok fundamentalis terhadap masalah yang begitu kompleks. Tetapi secara umum, mereka memiliki orientasi untuk menjadikan Islam sebagai tatanan kenegaraan dan kebangsaan (negara Islam), karena Islam diyakini sebagai jalan keluar satu-satunya dalam mengatasi semua persoalan umat. Fenomena fundamentalisme memiliki dasar sosial-politik yang dijadikan pembenaran dari sikapnya yang radikal, keras, tak kenal kompromi, dan tak kenal toleran, antara lain sikap Barat yang tidak adil dalam berhubungan dengan dunia Islam serta sikap Amerika dan sekutunya dalam masalah Palestina, Irak, Iran, dan lain sebagainya. Ada beberapa faktor internal yang memicu munculnya fundamentalisme dalam Islam, yaitu: a. Kegagalan umat Islam menghadapi arus modernisasi yang menyudutkan Islam; b. Rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan, dan Irak; c. Dalam konteks khas Indonesia, karena kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Secara

239 Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, 2014), hlm. 3

240 David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 4.

Page 113: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

108

eksternal, fundamentalisme muncul di dunia Islam disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain imperialisme, westernisasi, Kristenisasi, sistem pemerintahan, kesenjangan ekonomi, sekularisme, liberalisme, dan terutama sikap Barat yang tidak adil dalam konflik di Timur Tengah, terutama antara Palestina dan Israel. Adapun ciri-ciri kaum fundamentalisme antara lain sebagai berikut.

a. Fundamentalisme adalah paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal, di mana pelakunya adalah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu ingin kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci;

b. Fundamentalisme Islam merupakan fenomena sosial di barbagai negara sebagai akibat dari derasnya arus modernisasi dan ketidakpuasan terhadap nilai-nilai sosial yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar;

c. Melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolitik, dan otoritatif, sehingga seorang pemimpin memiliki hak penuh untuk menentukan hitam putihnya agama;

d. Terjadinya klaim kebenaran yang berakibat timbulnya prejudice terhadap kelompok lain.

Di samping itu, gerakan fundamentalisme dalam Islam juga memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, mereka digerakkan oleh kebencian yang sangat besar kepada Barat. Kedua, mereka bersikeras untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam masa lalu. Ketiga, mereka bertujuan mengaplikasikan syari’at Islam dalam tatanan negara. Keempat, mereka mempropagandakan bahwa Islam itu adalah agama dan negara. Kelima, mereka menjadikan masa lalu sebagai penuntun masa depan secara revolusioner.241

241Adian Husein, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 166.

Page 114: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

109

Bab Tujuh

Radikalisme Pendekatan Analisa Emotional Consequence :

Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis

Dari hasil penelusuran rekam jejak digital melalui surfece web di media-media online, sebagian tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah dan Persis mendeskripsikan bahwa banyaknya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul karena adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara lain :

1. Variabel Norma dan Ajaran: Ajaran yang ada mempengaruhi tingkah lakudan tindakan seorang muslim yang berasal dari Qur’an dan Hadis. (mungkin juga Ijma). Ajaran ini diinterpretasikan dan diinternalisasi. Karan ajaran yang ada sangat umum, hal ini memungkinkan munculnya beberapa interpretasi. Hal ini juga dimungkinkan karena setiap anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi primer yang berbeda, disamping pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi mereka juga tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa yang diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.

2. Variabel sikap atau pemahaman mengenai tiga isu penerapan syariat Islam, bentuk negara Islam Indonesia dan Khalifah Islamiyah. Sikap ini adalah kelanjutan dari penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Diasumsikan bahwa ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan ajaran Islam. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan pemahaman Muslim terhadap ajaran agama mereka. Dalam hal ini ada tiga golongan: sekuler atau nisbi, substansialis dan skriptualis.

3. Variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial nyata dalam masyarakat. Hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor domestik dan Internasional. Hegomoni politik oleh negara atau represi yang dilakukan oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan melahirkan respon yang berbeda dari berbagai kelompok yang ada. Kalnagan nisbi sama sekali tidak merspon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skriptualis yangdiasumsikan akan memperlihatkan sikap radikal. Kelompok substansialis meskipun punya kepedulian terhadap Islam dan juga umatnya dalam berbagai bidang, akan memperlihatkan sikap moderat. Misalnya mereka akan kelihatan luwes baik mengenai negara Islam atau Khilafah Islamiyah maupun mengenai (formalisasi) penerapan syriat Islam.

Secara umum ada tiga kecenderungan sikap emosional yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons secara reaktif terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul

Page 115: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

110

dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau kemanusiaan. Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.

Sikap emosional di kalangan kaum radikalis diatas pada akhirnya akan mengalami proses radikalisasi, menurut Muzadi242 adalah (seseorang yang) tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum, politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan keadilan. Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu Potensi berpikir, bersikap dan bertindak radikal, berideologi radikal (radikalisme) dan tumbuh reaktif menjadi radikal (radikalisasi) adalah modal awal seseorang menjadi pelaku teror (teroris) atau orang yang berpaham terror (terorisme). Tidak ada teror tanpa radikalisme. Sebaliknya penganut radikalisme belum tentu menyukai jalan kekerasan (teror). Sekalipun demikian, terdapat kesamaan bahasa yang digunakan oleh radikalisme maupun terorisme, yaitu bahasa militan atau bahasa perjuangan (language of militance).

Beberapa pemikir yang berafiliasi pada organisasi NU dan Muhammadiyah mendeskripsikan bagi kaum radikal, orang Islam yang mengikuti jalan hidup selain yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kafir, munafik, dan fasik. Hal ini karena hanya ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an dan as-Sunnahlah yang dapat menciptakan tata sosial yang mencerminkan kebenaran Ilahi.19 Akibat dari pola pikir tersebut, mereka menyuguhkan panorama keberagamaan absolutisme, kaku, puritan, dan intoleran terhadap berbagai perbedaan pendapat keagamaan, pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan

242 Lihat dalam: Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 119

Page 116: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

111

hadis secara literal, serta mengibarkan panjipanji kebencian, permusuhan, dan kekerasan, bukan hanya kepada kalangan nonmuslim, tetapi juga kepada internal muslim yang tidak sepaham. Segala hal yang diamalkan oleh kaum radikal akan dijustifikasi, dilegitimasi dan didaulat sebagai hukum Tuhan yang bersifat mutlak, absolut, dan tidak bisa ditawar lagi.243

Secara perkembangnanya, kehadiran radikalisme Islam yang awalnya sebagai fenomena politik ternyata mengarah pada konsekusnsi perilaku kekerasan sistemik, kekerasan aktual, dan kekerasan simbolik. Hal ini tetaplah mengancam umat manusia, karena karakteristik gerakan mereka yang tidak mau berdialog dengan pihak lain. Mereka memaksakan pendapatnya kepada pihak lain dengan segala cara untuk bisa menerima gagasannya dan jika ada yang menolak, maka mereka tidak segan-segan memvonis kafir serta wajib diperangi sampai titik darah penghabisan.244

Oleh karena yang dominan adalah sisi emosional maka penafsiran-penafsiran teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah lebih berpijak pada: 1) Kecenderungan zahiri dalam memahami nash-nash (secara harfiah); 2) Sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan seraya melupakan probelm-problem pokok; 3) Berlebih-lebihan dalam mengharamkan segala sesuatu; 4) Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian; 5) Kedangkalan pikiran dalam memahami Islam dan ketidakjelasan pandangan tentang pokok syari’atnya.

Implikasi dari model penafsiran dan pola pikir epistemologi di atas, maka mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman literal dan tekstual, sehingga pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam menjadi lemah. Sebab, mereka tidak mempelajari berbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, ataupun pendekatan pemahaman teks yang lazim digunakan para ulama.245

Menurut Malik Fadjar, pola keberagamaan kaum radikal juga mengakibatkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Memahami agama lebih mengutamakan teks secara literal dan skriptural dengan menafikan segala bentuk penafsiran kontekstual, karena dikhawatirkan akan mereduksi absolutisme dan universalitas kebenaran agama;

2. Agar pemahaman tersebut diakui otoritasnya, maka mereka melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolitik, dan otoritatif, sehingga seorang pemimpin memiliki hak penuh untuk menentukan hitam-putihnya agama;

243 Lihat. Zaprulkhan, Merenda Wajah Islam Humanis (Yogyakarta: Idea Sejahtera, 2014), hlm. 89, dan Khalid Abou el-Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 21.

244 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 41. 245 Ahmad Rodli, Stigma Islam Radikal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 75.

Page 117: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

112

3. Konsekwensinya adalah terjadinya klaim kebenaran yang berakibat timbulnya prejudice terhadap kelompok lain.246

Fenomena komunitas kaum fundamental-radikal tersebut memang menarik, bahkan jika mencermati karakteristik keberagamaan mereka sebagaimana dikemukakan Yusuf al-Qaradhawi tidaklah jauh berbeda dengan pemikir-pemikir yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah sebagai berikut; a) Fanatik kepada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain; b) Mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka, yakni mewajibkan hal-hal yang sebenarnya sunnah dan mangharamkan hal-hal yang sebenarnya makruh; c) Memperberat suatu ajaran Islam yang tidak pada tempatnya, seperti mempersoalkan duduk di atas kursi ketika menghadiri majelis taklim, bukan duduk di atas tikar atau sajadah sebagaimana di masjid, tidak menghadap kiblat sebagaimana adab seorang muslim, mengenakan celana bukan jubah putih, makan di atas meja bukan di atas lantai, dan lain sebaginya; d) Sikap kasar dan keras dalam berkomunikasi dan berdakwah, yang hal ini bertentangan secara petunjuk Allah swt. dan praktik Rasulullah saw. yang justru berperangai halus dan lemah lembut; e) Buruk sangka terhadap manusia atau orang lain serta memandang mereka dengan kaca mata hitam, dengan menyembunyikan kebaikan-kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukannya; f) Terjerumus ke dalam jurang pengafiran terhadap kelompok lain.247

Mengomentari model epistemologi kaum fundamentalradikal di atas, cendekiawan muslim Indonesia terkemuka, Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan mereka kurang menghargai terhadap warisan Islam klasik, sehingga mengalami kemiskinan intelektual dan alternatifalternatif pemikirannya sangat terbatas yang berakibat miskin konsep-konsep intelektual dan tidak bakal mampu menopang tuntutan zaman yang semakin maju. Model epistemologi yang demikian jelas-jelas sangat berpotensi menimbulkan konflik yang destruktif dalam kehidupan sosial, karena dalam beragama tidak cukup hanya terpaku pada satu aspek tekstual atau kultus kepada seorang pemimpin, tetapi harus melihat aspek-aspek lain secara komprehensif. Model epistemologi keberagamaan yang parsial seperti itu akan membawa akan sikap eksklusif dalam interaksi sosial, yang tentunya sangat berpotensi konflik. Perlu diingat bahwa dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak, sebagai bagian dari keberagamaan inklusif, meskipun anggapan bahwa semua agama sama (pluralisme) tidak dibenarkan248.

Konsekuensi dari nalar radikalis dalam dimensi epistemologi yang penting lainnya adalah masalah kriteria kebenaran pengetahuan yang menjadi tolok ukur suatu konsep suatu pengetahuan. Kaum fundamental-radikal dalam

246 Malik Fadjar, Merambah Jalan Baru dalam Beragama (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2000), hlm. ix

247 Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-H aram fi al-Islam (Dar al-Baid a} ’: Da r al- Ma‘rifah, 1985), hlm. 67

248 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaga Press, 2001), hlm. 122-123.

Page 118: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

113

paradigma epistemologi memiliki ukuran-ukuran tertentu dalam menilai suatu pandangan keagamaan yang dipasung oleh teks secara literal, skriptural, dan eksklusif. Mereka menolak berbagai bentuk telaah kritis terhadap teks al-Qur’an dan hadis dengan berbagai macam interpretasinya, terutama penafsiran teks dengan model hermeneutika. Menurut mereka, teks al-Qur’an harus dipahami secara literal, sebagaimana adanya. Demikian pula mereka menolak interpretasi teks agama dengan perspektif historis dan sosiologis yang dianggap telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam konteks ini, mereka berprinsip bahwa masyarakatlah yang harus menyesuaikan perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kaum fundamental-radikal ini di dalam menilai kebenaran suatu konsep keberagamaan bersifat ahistoris dan asosiologis, dengan tujuan kembali pada bentuk masyarakat ideal seperti zaman salaf yang dipandang sebagai pengejawantahan kitab suci secara sempurna.249

Berdasarkan uraian-uraian problem epistemologi diatas, semisal pemaknaan jihad yang sangat tekstual dapat berujung pada persoalan yang dipandang serius. Pengertian jihad yang salah inilah yang disinyalir menjadi salah-satu cikal-bakal munculnya konsekuensi emosional radikalisme yang berujung pada aksi terror dengan kekerasan. Berikut beberapa persoalan yang muncul dari pemahaman jihad yang salah:

Pertama, memakan banyaknya korban nyawa orang-orang yang tidak bersalah. adanya aksi terorisme yang tujuan awalnya untuk memerangi orang yahudi atau yang tidak beragami Islam, tetapi justru dari penyerangan tersebut lebih banyak orang Islam yang ikut melayang nyawanya dibanding sasaran yang akan dimusnahkan. Hal ini jika dalam ilmu akuntansi maka dinamakan tidak balance (tidak seimbang). Contoh kasus yang telah terjadi di Indonesia yaitu bom bunuh diri di Bali dan di Jakarta.

Dalam kasus ini jutru banyak salah sasaran terjadi hingga menghilangkan nyawa banyak orang yang bukan merupakan sasaran dari penyerangan tersebut. Bagi para terorisme dan radikalisme hal ini dianggap sebagai resiko dari jihad, tetapi harusnya mereka berpikir kembali berapa banyak nyawa yang tidak bersalah melayang. Justru mereka akan mendapat dosa lebih banyak dibanding pahala yang didapat. Dan dalam Islam yang benar tidak ada konsep bunuh diri itu benar dalam kasus apapun.

Kedua,Meresahkan banyak umat. Adanya gerakan terorisme dan radikalisme ini meresahkan banyak orang karena mereka melakukan penyerangan dengan tiba-tiba tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Masyarakat yang tidak tahu menahu tentang hal ini akan semakin resah dan merasa tidak tenang karena keamanan mereka terancam. Padahal membuat resah dan ketidaknyamanan banyak orang merupakan kegiatan mengganggu

249 Martin E. Marty, dalam Hasan Basri, “Fundamentalisme Islam dalam Pandangan Sayyid Qutb”, dalam Jurnal Empirisme, STAIN Kediri, Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2002, hlm. 52-53

Page 119: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

114

tatanan hidup orang banyak. Hal ini menurut hukum negara tidak benar dan menurut hukum agama Islam yang benar juga tidak benar.

Ketiga, Menimbulkan banyak kerusakan. Saat terjadi penyerangan para kaum terorisme dan radikalisme kepada sasaran yang mereka anggap sebagai musuh, maka akan menimbulkan banyak kerusakan di bumi. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hal fisik seperti gedung atau bangunan tetapi juga kerusakan moral para pemuda. Kerusakan fisik seperti bangunan sering sekali terjadi karena mereka sering melakukan penyerangan dengan alat yang benar-benar menghancurkan gedung seperti bom. Dengan bom yang mereka ledakkan maka bangunan akan runtuh dan akan menimbulkan kerugian banyak pihak. Kerusakan yang terjadi tersebut tidak ada yang mau untuk bertanggung jawab, apalagi para kaum terorisme dan radikalisme, mereka hanya menyerang dengan asal mendapatkan sasaran dapat meninggal. Untuk urusan atau kerugian lain mereka tidak akan peduli.

Keempat, Menimbulkan kerugian ekonomi. Adanya gerakan terorisme dan radilkalisme jelas akan menimbulkan kerugian ekonomi. Kerugian yang terjadi bisa pada pihak pemerintah, swasta ataupun perorangan. Pemerintah jika seperti jalan rusak atau gedung yang mereka bom adalah gedung milik pemerintah. Kerugian pada pihak swasta misalnya jika para teroris menyerang tempat-tempat yang merupakan usaha swasta. Hal ini justru akan sangat menyakitkan pihak swasta. Kemudian kerugian yang lain bisa terjadi juga pada pihak orang perorangan hal ini bisa terjadi jika usaha perorangan atau rumah atau barang milik perorangan ikut hancur akibat ulah yang mereka buat. Dalam satu kasus juga bisa terjadi kerugian ekonomi pada ketiga pihak yaitu pemerintah, swasta dan perorangan. Kerugian ini jika dinominalkan ke nilai rupiah tentunya akan sangat banyak.

Kelima, Menghilangkan rasa saling kasih sayang. Gerakan terorisme ini mengajarkan seseorang bertindak dengan kekerasan, seakan mereka bukan manusia yang mempunyai hati. Mereka dengan tanpa melihat langsung menghancurkannya. Padahal orang yang mereka serang mereka anggap sebagai musuh yang bersalah belum tentu benar-benar bersalah. Mereka melakukan hakim sendiri dengan menuduh orang salah. Apalagi jika non islam maka mereka dengan mudahnya untuk melakukan penyeranga. Padahal yang benar menurut Islam melakukan penyerangan dibolehkan jika orang lain mengganggu, seandainya tidak maka haram membunuhnya.

Keenam, Menghancurkan nasionalisme bangsa. Adanya gerakan ini sudah tentu akan menghancurkan nasionalisme bangsa. Mereka melakukan penyerangan pada masyarakat sendiri yang memang merupakan saudara sendiri. Hal ini jelas akan menimbulkan perpecahan yang akan semakin menghancurkan nasionalisme bangsa. Para pemuda harusnya diajarkan untuk saling menghormati, menerima perbedaan serta saling menyayangi agar jiwa nasionalisme semakin tinggi, bukan malah diajarkan peperangan. Jika alasan karena berjihad, maka berjihad banyak jalan lain yang bisa dilakukan selain dengan penyerangan yaitu bisa dengan jalan perbaikan ekonomi atau perbaikan tingkat pendidikan.

Page 120: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

115

Ketujuh, Meracuni pikiran anak bangsa. Adanya gerakan terorisme dan radikalisme tentu akan menjadi racun para pikiran anak bangsa. Mereka adalah generasi penerus yang sebaiknya diberikan contoh yang baik yaitu saling rukun dan gotong-royong bukan malah melakukan penyerangan. Yang dilakukan oleh para teroris akan menyebabkan anak bangsa dengan tidak langsung berpikir keras. Anak muda pemikirannya masih susah terkendali sehingga jika ada yang melakukan penyerangan sering mereka terpancing emosi untuk melakukan penyerangan balik. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran terhadap para generasi penerus selanjutnya.

Kedelapan, Mencoreng nama baik Islam karena terjadinya fitnah dalam dahwah. Terorisme dan radikalisme yang melakukan jihad dengan kekerasan tentu akan mencoreng nama Islam. Islam yang sebenarnya itu agama yang penuh kasih sayang, tidak kaku serta peduli terhadap sesama, bukan seperti terorisme yang tidak mau menerima perbedaan. Terorisme memang banyak timbul dan lahir dari Islam, tetapi disini perlu digaris bawahi bahwa Islam yang mereka anut merupakan Islam yang tidak benar paham dan alirannya. Mereka melakukan jihad dengan menghalalkan segala cara, sedangkan Islam yang benar yaitu melakukan jihad dengan baik yaitu tidak memusnahkan budaya atau horistik masyarakat, tetapi justru akan membawa budaya dan mengarahkannya ke jalan Islam sehingga masyarakat akan menerima Islam dengan baik tanpa menggunakan kekerasan dan Islam akan diterima dengan baik dalam masyarakat.

Dari pijakan diataslah, beberapa tokoh menyebutkan Kelompok radikal memiliki ciri-ciri antara lain; Pertama, sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakanakan mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya manusia biasa. Klaim kebenaran tidak dapat dibenarkan karena manusia hanya memiliki kebenaran yang relatif dan hanya Allah yang tahu kebenaran absolut. Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka secara langsung mereka telah bertindak congkak merebut otoritas Allah. Kedua, radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer. Contoh-contohnya adalah fenomena memanjangkan jenggot dan meninggikan celana di atas mata kaki. Umat Islam seyogyanya memprioritaskan kewajiban ketimbang hal-hal sunnah yang sepele. Sudahkah zakat menyelesaikan problem kemiskinan umat? Sudahkah shalat menjauhkan kita dari berbuat kemungkaran dan kekacauan sosial? Dan sudahkah haji menciptakan kesadaran kesetaraan dalam Islam? Hal-hal seperti ini seyogyanya diutamakan ketimbang hanya berkutat mengurusi jenggot dan celana. Ketiga, kelompok radikal kebanyakan berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah mereka justru membuat umat Islam yang masih awam merasa

Page 121: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

116

ketakutan dan keberatan. Padahal (QS. 2:85) sudah menegaskan bahwa Allah menghendaki hal-hal yang meringankan dan tidak menghendaki hal-hal yang memberatkan umat-Nya. Keempat, kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Ciri-ciri dakwah seperti ini sangat bertolakbelakang dengan kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi dalam (QS. 3:59) Dalam (QS. 6:25) Allah juga menganjurkan umat Islam supaya berdakwah dengan cara yang santun dan menghindari kata-kata kasar. Anjuran yang senada datang dari sabda Rasulullah: Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal dan kelembutan tidak masuk dalam sebuah hal kecuali membuatnya indah sedangkan kekerasan tidak masuk dalam sebuah hal kecuali hanya akan memperburuknya. Kelima, kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya. Hal ini harus dijauhi oleh umat Islam, sebab pangkal radikalisme adalah berburuk sangka kepada orang lain. Berburuk sangka adalah bentuk sikap merendahkan orang lain. Kelompok radikal sering tampak merasa suci dan menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat. Keenam, mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Di masa klasik sikap seperti ini identik dengan golongan Khawarij, kemudian di masa kontemporer identik dengan Jamaah Takfir wa alHijrah dan kelompok-kelompok puritan. Kelompok ini mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.

Lain halnya dengan Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada AlQuran dan hadith. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.250

250 A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007), 63.

Page 122: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

117

Uraian-uraian diatas menujukkan bahwa konsekuensi dari pemahaman radikalisme bukan hanya berkaitan dengan persoalan nalar dalam menafsirkan teks-teks suci ajaran al-islam. Akan tetapi juga berkonsekuensi pada perilaku emosional yang kadang bertindak secara irrasional.

Page 123: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

118

Bab Delapan Radikalisme Pendekatan Analisa Dispute Resolution :

Pandangan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis

Pendekatan analisis dispute resolution sebelumnya berkembang di dunia penyelesaian sengketa konflik. Pada umumnya, masyarakat berpandangan bahwa sengketa (konflik) hanya bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan, bahkan kalangan professional hukum pun berpandangan yang sama. Sampai saat ini, banyak dari kalangan mereka hanya terpaku memilih jalur litigasi dan melupakan serta mengabaikan cara-cara penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, dalam hal ini Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau lebih dikenal dengan istilah Alernative Dispute Resolution (ADR) atau sering juga disebut dengan istilah Out of Court Settlement (OCS). Sejatinya penyelesaian masalah di luar peradilan sudah dikenal bangsa kita sejak dulu, hal ini terungkap pada selogan “musyawarah untuk mencapai mufakat”.251

Manusia dalam kehidupannya selalu dihadapkan pada masalah/konflik, hal ini tidak dapat dihindari selama manusia masih menghirup udara dalam kehidupan. Konflik dapat terjadi karena adanya suatu perubahan yaitu sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, bisa juga terjadi karena adanya perbedaan antara keinginan/perasaan dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini senada dengan pendapat Folberg and Taylor (dalam Widnyana, I Made, 2007), konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:

1. Konflik yang terjadi di dalam diri individu itu sendiri (intrapersonal conflict or conflict within the individual), dan;

2. Konflik yang terjadi antara individu dan individu atau antarkelompok (interpersonal conflict or intergroup conflict).

Konflik antara individu dengan individu atau antar kelompok dapat terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas. Timbulnya konflik merupakan pertanda akan adanya krisis dalam hubungan manusia, dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik (sengketa) itu adalah mengadakan usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut.252

Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.253

251 Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR (Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

252Widnyana, I Made. 2007. Arternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners.

253 Ibid

Page 124: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

119

Dalam dunia konseling, khususnya mazhab rational-emotif, tindakan dispute adalah terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional. Karakter tindakan dispute dalam konseling rational-emotif, meliputi:

1) Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.

2) Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.

3) Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.

4) Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.

Adapun teknik nya meliputi: Pertama, Teknik Reinforcement. Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya, dan; Kedua, Teknik Social modeling. Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.254

Dalam konteks inilah organisasi Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan Persis merupakan bagian dari alternatif dispute resolution dalam menyikapi maraknya gerakan radikalisme di Indonesia. Organisasi-organisasi ini telah menjadi mitra BNPT dalam melakukan upaya-upaya deradikalisasi. Tentu bukanlah tanpa alasan, organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat bersinergi dengan BNPT dalam melakukan program deradikalisasi. Seperti yang dikatakan oleh kepala BNPT, bahwa program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini merupakan upaya berkesinambungan yang bergerak multi-disiplin dan lintas

254Lihat. Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions. Upper Saddle River, New Jersey: Perason Prentice-Hall; Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA: Brooks/Cole.

Page 125: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

120

sektoral antar berbagai kementerian, lembaga (K/L) dan elemen masyarakat. Dijelaskan Kepala BNPT, dalam siklus deradikalisasi telah digambarkan bagaimana proses sasaran deradikalisasi menjalani tahapan deradikalisasi hingga berintegrasi kembali ke masyarakat. Dan diharapkan proses reintegrasi tersebut tidak banyak menemui kendala.255 Ketua BNPT Suhardi Alius menyatakan mengalami keterbatasan personel untuk melakukan deradikalisasi terhadap para napi terorisme. Karena itu, BNPT menggandeng sejumlah pihak untuk melakukan deradikalisasi termasuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.256

Dalam hal ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta tambahan 'bensin' dari pemerintah untuk membantu gerakan deradikalisasi dan kontra radikalisme. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Sultonul Huda mengklaim bahwa lembaganya sebenarnya memiliki banyak anggota untuk diterjunkan melakukan deradikalisasi atau gerakan kontra radikalisme. Akan tetapi, gerakan para anggota NU tak bisa dilakukan masif karena terkendala 'amunisi'. "Sumber daya kami enggak bisa digerakkan tanpa ada amunisi. Kami seringkali kehabisan bensin. Saya misal setiap minggu bikin kaderisasi, support dari pemerintah ada, cuma tidak besar, jadi tidak bisa masif. Padahal kalau masif luar biasa [dampaknya]," kata Sultonul di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (30/5/2018).257

Menurut Sultonul, pemerintah kerap mempersempit ruang bantuan dari NU untuk melakukan deradikalisasi atau gerakan kontra radikalisme. Ia mencontohkan NU pernah membuat program kontra radikalisme, namun pelaksanaan rancangan itu hanya dilakukan di satu direktorat pada kementerian terkait.258

Namun demikian tudingan masih kurang maksimalnya pelibatan ormas NU dan Muhammadiyah dalam program deradikalisasi pemerintah dibantah oleh Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris. “BNPT melibatkan semua Lembaga atau ormas, jangankan ormas besar, mantan teroris saja BNPT libatkan, apalagi masyarakat sipil.” katanya. Ia menambahkan BNPT sangat memahami potensi strategis ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah bagi program deradikalisasi. “BNPT itu baru 7 tahun, masih sangat baru. Sementara Lembaga lain sudah besar dan punya banyak program yang juga bertujuan untuk membina dan mendidik masyarakat.

Di luar kerja sama dengan BNPT, NU dan Muhammadiyah telah banyak melakukan program pencegahan paham radikalisme mereka masing-masing di internal organisasi mereka. Dalam hal ini Saefudin Zuhri menilai, baik NU dan Muhammdiyah ini juga belum optimal memanfaatkan potensi organisasi mereka bagi program deradikalisasi.

255https://damailahindonesiaku.com/program-deradikalisasi-perlu-melibatkan-berbagai-pihak.html

256 https://tirto.id/pbnu-minta-dukungan-penuh-pemerintah-untuk-bantu-deradikalisasi-cLrE 257 Ibid 258 ibid

Page 126: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

121

“Dalam Filantropi Islam, kedua organisasi ini punya Lembaga zakat, kenapa tidak menyasar orang-orang yang masuk dalam program deradikalisasi. Pelaku teror yang dipenjara, keluarganya tetap perlu dibantu. NU dan Muhammadiyah harus masuk kesana. Dua ormas ini juga punya jaringan Pendidikan yang luas, mereka bisa membuat program beasiswa afirmasi bagi anak-anak pelaku terorisme,” katanya.259

Secara praktis, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Sujito, menilai pendekatan yang dilakukan oleh negara dalam mengatasi peristiwa teror dapat dikatakan masih kedodoran. Pendekatan represif melalui strategi keamanan dan hukum yang dipergunakan dalam beberapa hal mampu meredam, namun kenyataannya masih kedodoran.

Menurutnya, teror kekerasan bila sekedar diatasi dengan cara-cara represif, pada akhirnya sekedar menjadi teror versus teror. Bila hal tersebut diteruskan, tentu tidak akan melahirkan efek jera sebagaimana diperhitungkan. Karena pada saat bersamaan, pendekatan tersebut tidak dikombinasikan dengan strategi kebijakan, pendekatan kultural dialog, serta edukasi sosial yang terus menerus sebagai pilar nonrepresif (Kedaulatan Rakyat, 16 Januari 2016).

Bila demikian adanya, harus ada upaya koreksi pendekatan, membenahi strategi yang tidak sekedar mengatasi teror dengan jalan peperangan, atau sekedar mengatasi akibat dan risiko teror. Mengatasi teror hendaknya dengan menembus akarnya, intervensi melalui kebijakan pembangunan, orientasi keadilan serta arah baru dialog berbagai komponen. Hal tersebut dalam rangka membangun kembali semangat keindonesiaan yang damai dan berkeadilan.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila keberadaan NU Online patut diapresiasi sebagai bagian penting optimalisasi upaya non-represif dalam mengatasi terorisme dan radikalisme tersebut. Kehadiran NU di dunia maya melalui NU Online untuk mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme dengan wacana Islam yang moderat dan toleran harus disadari pemerintah sebagai bagian penting upaya deradikalisasi. Dengan demikian, pemerintah tidak selalu terjebak pada strategi keamanan dan hukum yang struktural dan represif.260

Dalam hal ini, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU) Ubaidillah Amin merespon aksi kerusuhan yang dilakukan narapidana kasus terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. “Soal terorisme pemerintah harus fokus di lembaga pendidikan umum, Mendikbud dan Menristekdikti harus membuat strategi gerakan deradikalisasi secara konkret, tak cukup dengan pendekatan hukum seperti saat ini. Benih-benih radikalsime itu dijejalkan dari usia muda,”kata Ubaidillah dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis(10/5/2018).

259http://www.abc.net.au/indonesian/2018-04-20/nu-dan-muhammadiyah-dan-deradikalisasi/9678858

260 http://www.nu.or.id/post/read/65279/nu-online-dan-deradikalisasi

Page 127: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

122

Dalam Artikelnya telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Intelektual Muda NU: Upaya Kontra Terorisme Harus Dimulai dari Sekolah dan Kampus, Ubaidillah juga meminta kepada pemerintah tidak hanya menggunakan pendekatan hukum dalam membasmi aksi terorisme. Sejauh ini, ia menganalisa, tempat pendidikan yang steril dari ideologi radikal adalah lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang dimiliki oleh NU, Muhammadiyah, Persis, Al wasliyah dan ormas islam moderat lainnya.261

Secara konseptual upaya dispute dalam bentuk deradikalisasi yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah telah disajikan dalam role sosial model Islam Nusantara dan Gerakan Islam Berkemajuan yang moderat dan toleran. Dalam hal ini telah diakui oleh Tito sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ke-23, saat ini diperlukan adanya ideologi tandingan yang bersifat moderat untuk meredam maraknya penyebaran pemahaman radikalisme di masyarakat. "Terorisme tidak bisa ditangkal hanya dengan menangkap dan menembak pelaku. Counter ideologi dilakukan dengan memoderasi narasi radikal mereka," ujar Tito dalam acara diskusi 'Simposium Deradikalisasi' di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2017). Tito menuturkan, peran para ahli agama sangat diperlukan untuk membantu pemerintah memberantas terorisme. Pasalnya, penyebaran paham radilkal kerap dilakukan oleh kelompok teroris melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multitafsir. Dia mencontohkan konsep Islam Nusantara di kalangan Nahdlatul Ulama merupakan salah satu contoh ideologi tandingan. Jika dilakukan secara intensif, kata Tito, maka konsep Islam Nusantara mencegah upaya radikalisasi kelompok teroris. "Bisa juga dengan penyebaran ideologi tandingan contoh Islam Nusantara. Ini yang harus intens karena Islam Nusantara itu kan moderat dan berlandaskan kearifan lokal," tutur Tito. Namun, Tito menyayangkan penyebaran ideologi tandingan tersebut terkendala dengan adanya fenomena silent majority. Meski kelompok moderat jumlahnya banyak, tetapi mereka cenderung diam ketika menemukan paham radikalisme menyebar di masyarakat.

Pada kesempatan yang sama, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, program deradikalisasi yang penting dilakukan adalah kontra wacana. Cara tersebut pernah dilakukan oleh pemerintah Spanyol untuk meredam kelompok radikal yang menggunakan ayat-ayat kitab suci. "Ini sama seperti di Indonesia. Wacana yang diturunkan membutuhkan interpretasi dan monolitik. Tapi di sini tidak ada yang melawan. Maka NU dan Muhammdiyah yang paling berpotensi karena umatnya banyak," ujar dia.262

261http://www.tribunnews.com/nasional/2018/05/10/intelektual-muda-nu-upaya-kontra-terorisme-harus-dimulai-dari-sekolah-dan-kampus.

262https://nasional.kompas.com/read/2017/01/19/17525891/kapolri.islam.nusantara.bisa.menangkal.radikalisme.

Page 128: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

123

Gagasan NU tentang Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan gerakan Islam berkemajuan dipandang oleh beberapa pihak sebagai social model dan mampu mereinforcement ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada pengikut radikalisme dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.

Dalam hal Islam Nusantara, mantan Wakil Ketua Umum PBNU, Slamet Effendi Yusuf menyebutkan gejala-gejala yang ada di tengah masyarakat saat ini cukup mengkhawatirkan karena berpotensi mengancam perdamaian, yakni munculnya paham radikalisme, wahabisme dan gerakan-gerakan transnasional lain. “Maka kita ingin sampaikan Islam yang moderat, toleran. Islam Nusantara adalah rahmatan lil alamin, Islam yang datang bukan untuk menyapu habis yang sudah ada di bumi. Tapi untuk menyempurnakan, termasuk adat-istiadat,” ujar Slamet kepada Berita Benar, Rabu, 2 Desember. NU sendiri, lanjutnya, menerima kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Untuk itu, segala sesuatu yang eksklusif, misalnya negara berdasarkan agama, tidak akan diterima oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. “NKRI adalah final. Itulah Islam Nusantara, yang memandang segala sesuatu itu tidak secara ekstrem. Ajaran-ajaran transnasional, radikalisme dan ekstremisme tidak kita terima,” tegasnya.263

Ketua PB NU, Said Aqil Siraj264 mengatakan bahwa hadirnya Islam Nusantara: Upaya Penanaman Kesadaraan Historis dan Deradikalisasi Islam. Islam Nusantara sendiri merupakan suatu diskursus mengenai Islam yang datang di Nusantara. Dimulai sejak peradaban para wali dan ulama' sepanjang sejarah, mulai dari Samudra Pasai, Malaka, Palembang, Banten, Jawa, Pontianak, Bugis, Ternate, Tidore di Maluku dan Papua. Bagaimana memandang Islam mengunakan perspektif Nusantara sendiri. Bukan perspektif Barat atau Arab yang selama ini selalu bias dalam memahami kenusantaraan. Diskur- sus ini menjadi penting dan relevan baik dalam konteks geopolitik maupun geokultural dalam percaturan politik global. Terutama dalam wilayah menangkal radikalisasi yang sentar berkembang di kebanyakan negara Islam di Timur tengah.

Islam Nusantara hadir tidak untuk menggeser kemurnian islam akan tetapi menjadi sebuah penegasan bahwa Islam hadir di nusantara ini dengan penuh kedamaian dengan mengadaptasi nilai-nilai lokal dan tradisi yang telah dulu mengakar. Kesadaran historis dikalangan umat muslim Indonsia harus terbangun. Agar otensitas ajaran Islam sebagaimana yang diajaran oleh salafuna sholih di Indonsia tetap terjaga. Seiring perkembangan zaman, eksistensi Islam Indonesia terongrong oleh gerakan kelompok puritanisme islam transnasional. Corak keber-Islaman di Indonesia dinilai telah kehilangan orisinalitas Islam itu sendiri. Terbukanya agama Islam di Indonesia untuk mengakomodasi berakulturasi dengan kebudayaan dan kearifan lokal. Faktor tersebut yang

263 https://www.benarnews.org/indonesian/berita/menangkal-paham-radikal-dengan-rahmat-islam-nusantara-12032015140953.html.

264Aqil Siroj, Said. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara. LTN NU Jakarta 2014, hal. 203-204.

Page 129: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

124

dinilai telah mencampuri kemurnian Islam serta penyebab kelahiran takhayul, bid'ah dan khurufat. Oleh karena itu dinilai perlu adanya pemurnian/ puritanisasi.

Di tengah arus deras gerakan Islam transnasional dan puritanisme agama semacam ISIS (Islamic State of Iraq Syiria) dan NI (Negara Islam) yang mengedepankan radikalisme, intolerir, dan wajah islam yang brutal. Pemikiran Islam Nusantara menjadi penting untuk di demonstrasikan kepada masyarakat luas. Dengan spirit rahmatan lil alamin, Islam Nusantara diharapkan menjadi solusi dalam menangkal radikalisme. Penegasan bahwa islam adalah agama yang toleran, moderat dan ramah. Tidak mengedepankan kekerasan, karena Islam hadir sebagai agama rahmat seluruh alam. Kompromi teks-teks (nash) keislaman yang rigid dengan budaya lokal (tradisional) ataupun kemajuan dunia modern beserta globalisasi menemui penjelasan dan pemahamannya yang cerah serta mencerahkan.

Islam Nusantara dengan membawa semangat nilai-nilai Islam yang santun, toleran, cinta damai, menjunjung kemanusiaan, perda- maian, cinta tanah air dengan internalisasi nilai-nilai Islam dan akulturasi kearifan lokal. Menjadikan Islam Nusantara sebagai harapan dalam penyelesaian problematika keumatan pada umumnya, dan radikalisasi Islam pada hususnya. Serta diharapkan mampu menjadi representasi wajah ke-Islaman dikanca Internasional.

Gagasan Islam Nusantara membentuk gerakan Islam kultural sebagai lawan dari gerakan radikalisasi Islam yang merupakan gerakan Islam ideologi. Strategi Islam Budaya untuk melawan Islam politik pernah diterapkan oleh Abdurahman Wahid di pertengahan era-80 lewat gagasan pribumisasi Islam. Bagi Gus Dur, ketika Islam "menjadi politik", ia telah menjadi ideologi, dan ketika menjadi ideologi, Islam akan hanya menjadi alat kepentingan segelintir elite yang menggerakan suatu massa diam.265

Kemunculan gerakan radikalisme dalam Islam adalah sebuah keniscayaan, dalam menanggapi pergolakan zaman. Syaiful Arif mengatakan bahwa radikalisme Islam lahir sebagai suatu respons posmodernitas dalam menanggapi modernitas. Oleh karena kehadiranya sebagai bentuk respon posmodernitas, maka akan tetap menemukan lawan pemikiran yang lahir dari kelompok moderat dalam Islam. Termasuk lahirnya Islam Nusantara merupakan lawan pemikiran dari radikalisasi dalam Islam.

Berdirinya konsen studi dalam Islam Nusantara yang di pelopori Universitas Nahdlotul Ulama' dan UIN jogjakarta. Sepenuhnya perlu kita dukung, lewat gerakan akademik ilmiah, transformasi dan perkembangan kajian Islam Nusantara akan selalu relevan dalam menanggapi perubahan dan tantangan keumatan di Indonesia terlebih persoalan keutuhan Indonesia sebagai suatu negara. Maka kesadaran historis atas budaya keberislaman di Indonesia harus tertanam dalam alam bawah sadar umat muslim Indonesia. Jika Islam Nusantara sebagi produk pemikiran dapat diterima dan

265Arif, Syaiful. Deradikalisasi Islam paradigma dan strategi Islam kultural. Koekosan Depok 2010, hal. 19.

Page 130: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

125

diimplementasikan secara massif, maka gerakan radikalisasi dalam Islam akan tersingkirkan secara pemikiran dan praktik.

Tidak ada perubahan sosial, tanpa strategi dan praktik kolektif. Oleh karena itu mendemonstrasikan wacana Islam Nusantara juga harus secara massif. Baik lewat kajian ilmiah yang berbentuk buku/hasil riset, maupun memanfaatkan dunia digital. Tentu dukungan serta sinergitas dengan penguasa merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan Islam Nusantara untuk di terima dan menjadi garda depan dalam menangkal radikalisasi Islam yang berdampak pada aksi dehumanisasi dan makar NKRI.266

Secara epistemologi Konsep Islam Nusantra belakangan nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah? Memang betul, Islam itu hanya satu dan

memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan Nuṣūṣ al-

Syarīah (Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan Maqāṣīd al-

Syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-Syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah

melalui sekian Istiqrāꞌ (penelitian). Islam Nusantara adalah Islam yang khas yang dihasilkan dari hidup, intens dan bersemangat interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi dan vernacularization Islam yang universal dengan sosial, budaya dan agama Indonesia realitas-ini Islam tertanam. Islam Nusantara ortodoksi (Asy’ariyah teologi, sekolah Syafi’i hukum, dan Ghazalian tasawuf) memelihara karakter Wasathiyyah Islam adil seimbang dan toleran. Islam Nusantara, tidak diragukan lagi, sangat kaya dengan warisan Islam harapan bersinar untuk kebangkitan peradaban Islam global.267

Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said, konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara. Dalam konsep tersebut kata dia, menggambarkan umat Islam Indonesia yang menyatu dengan budaya hasil kreasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Terang Kiai Said; “Kita harus menyatu dengan budaya itu, selama budaya itu baik dan tidak bertentangan itu semakin membuat indah Islam, kita tidak boleh menentang atau

266http://lp3.um.ac.id/berita-574-urgensi-islam-nusantara-dalam-menangkal--radikalisasi-islam-dan-paham-anti-pancasila.html.

267 Nahdlatul Ulama (NU) beberapa bulan yang lalu menggelar Muktamar ke-33 tahun di Jombang, Jawa Timur. Gelaran yang sudah dimulai sejak 1 Agustus hingga 5 Agustus 2015 itu mengusung tema utama “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.

Page 131: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

126

melawannya. Terkecuali budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti zinah, berjudi, mabuk dan lainnya,”

Begitu dua kata yang tersusun dari entitas agama dan budaya ini ramai dibincangkan, barulah para tokoh NU berikhtiar merumuskan definisinya. Prof Isom Yusqi, misalnya, menyebutkan bahwa Islam Nusantara merupakan “istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam”. Kemudian, KH Afifuddin Muhajir, memaknai Islam Nusantara sebagai “pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara”. Begitu juga Abdul Moqsith Ghozali, menyebut Islam Nusantara sebagai “Islam yang sanggup berdialektika dengan kebudayaan masyarakat”.268

Ketum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Khairul Anam Haritsah menilai, konsep Islam Nusantara dapat menjalankan program deradikalisasi dari pemerintah. Pasalnya, Islam Nusantara menonjolkan sisi kebhinekaan dan jauh dari doktrin-doktrin kekerasan. Hal itu diungkapkan Khairul Anam dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan tema Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Jakarta, Senin (6/7). Kata Khairul: “Islam Nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu menasehati bukan menyakiti, dan Islam Nusantara itu mengajak bukan mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan agama”.

Dia mengatakan, Islam Nusantara merupakan cara pandang Islam sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, Islam Nusantara memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengkafirkan. Dirinya meyakini, konsep Islam Nusantara dapat menekan ancaman radikalisme di Indonesia. Apalagi banyak tokoh ulama dari Timur Tengah mempelajari relasi agama dengan negara seperti semangat Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan nasionalisme dengan Islam sebagai agama.269

Islam Nusantara berpaham Islam moderat yang sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.

Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama).

268Lihat. NU Online, 25/6). 269 ibid

Page 132: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

127

Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”. Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.270

Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian/kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).271

Islam Nusantara dapat menjadi kontra-radikalisme, memiliki watak-watak ajaran ahlusunnah waljama’ah yang dapat diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ (kesepakatan) ulama”. Watak-watak meliputi; watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga I‘tidal (bersikap adil), Tawazun (bersikap seimbang), dan Tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljama’ah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).272

Sebagai sebuah model sosial, tentunya Islam Nusantara menjadi payung bagi “sub model” Islam Aceh, Islam Minang, Islam Jawa, Islam Lombok, Islam Banjar, Islam Makassar, Islam Melayu, Islam Patani, dan Islam-Islam “yang lain” di wilayahnya. Sebagai payung, Islam Nusantara akan menaungi dan mengayomi model keislaman yang berangkat dari tradisi dan kearifan lokal

270Lihat buku Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan; Lihat M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23 Juli 2009.

271 Ibid 272 Zamakhsyari Dhofier, (1994), Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta:

LP3ES, hlm.148 dan 65.

Page 133: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

128

dalam koridor agama Islam, di manapun ia berada. Islam Nusantara bersifat lentur tetapi teratur. Terhadap hal ini, Zastrouw al-Ngatawi (2015), menyatakan bahwa sebenarnya Islam Nusantara tidak terbatasi oleh batasan-batasan geografis, karena ia dapat menjadi semacam “school of thought” dalam aspek apapun. Oleh karena itu, jika nantinya Islam Nusantara memancing lahirnya model keislaman yang lain, seperti Islam Arab, Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Tiongkok, dan lain sebagainya, tidaklah menjadi persoalan sepanjang tetap di dalam kerangka Islam sesuai ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.273

Dalam hal ini, seorang ulama dari Amerika Serikat Mohamad Bashar Arafat mengatakan Indonesia bisa menjadi pembawa pesan ke masyarakat global bahwa Islam adalah agama yang cinta damai (peacefull) dan anti kekerasan (not violance). “Saya melihat Indonesia dapat menyampaikan pesan Islam yang damai karena masyarakat majemuk yang mengagumkan yang dimiliki negara ini,” kata Mohamad Bashar Arafat kepada Antara di Jakarta, Senin. Pendiri Civilizations Exchange and Cooperation Foundation (CECF) itu mengatakan Indonesia perlu maju untuk menunjukkan dan membawa pesan mengenai koeksistensi dan keragaman budaya dan agama yang terjalin dengan harmonis kepada masyarakat dunia.

Dia mengungkapkan bahwa serangan teroris yang menewaskan banyak orang di Paris belum lama ini, yang diklaim oleh kelompok ISIS, telah mencoreng citra Islam secara umum, terutama di negara-negara Barat. “Setelah serangan di Paris itu, 63 persen warga Amerika setuju dengan pandangan-pandangan negatif tentang Islam. Hal ini berarti ada sesuatu (pandangan) yang salah dengan kita (Muslim) yang harus kita ubah,” ujar dia.

Arafat menekankan bahwa Islam bukan hanya tentang Timur Tengah, dan dunia Arab tidak merepresentasikan Islam secara utuh dan benar bila masyarakat di negara-negara Arab tidak bertindak sesuai dengan Al Quran. “Pidato dari Presiden Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) tahun lalu itu sangat baik. Kita harus memberitahu orang-orang bahwa Islam itu bukan hanya di Timur Tengah. Islam juga ada di Indonesia dan negara lain,” kata dia. Oleh karena itu, dia kembali menekankan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh sekaligus pembawa pesan yang menunjukkan Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh alam).274

Dari pendekatan analisa dispute maka kiprah NU dengan Islam Nusantara di panggung dunia, baik pada forum pro-perdamaian dan pro-toleransi Internasional, NU juga menginspirasi beberapa pemikir dan lembaga untuk mengunakan konsepnya sebagai upaya deradikalisasi, antara lain, ulama Afghanistan untuk membentuk organisasi masyarakat yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Berawal dari pertemuan dengan PBNU pada 2013, saat ini ulama Afghanistan sudah membentuk Nahdlatul Ulama Afghanistan, organisasi masyarakat yang berprinsip tawasut (moderat), tawazun (seimbang-

273 Dawam Multazam, Santri Islam Nusantara STAINU Jakarta dalam NU Online 274Lihat. Jakarta (ANTARA News)

Page 134: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

129

equal), adalah (keadilan), tasamuh (toleran), dan muzyarokah (serikat-persatuan).275

Adapun organisasi Persis setelah dilacak jejak digitalnya belum memiliki konsep yang jelas mengenai upaya deradikalisasi di Indonesia. Hasil pelacakan jejak virtual, Persis baru sebatas pendukungan saja. Sebagaimana rilis PP Persis “Mendukung segala upaya pemerintah dalam penanganan sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia, terutama dalam memutus mata rantai setiap potensi dan penyebabnya.” Selain itu, PP Persis juga mengajak seluruh masyarakat untuk tetap tenang tidak terprovokasi dan ikut membantu aparat dalam mengantisipasi terulangnya teror susulan dengan memberi informasi dini kepada pihak berwajib jika ada gejala-gejala yang mencurigakan.276

Sementara, Muhammadiyah sebagaimana NU telah memiliki upya-upaya secara konseptual. Upaya-upaya yang lebih berorientasi pada mengembangkan pada pola-pola kemitraan strategis dengan pihak manapun tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai gerakan civil society yang mandiri. Maka tidak heran, jika Muhammadiyah tidak masuk dalam program Deradikalisasi. Tentu dalam hal ini Muhammadiyah mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu mengapa tidak ikut dalam program Deradikalisasi.

Muhammadiyah dalam hal ini menegaskan dalam sebuah kesempatan dalam acara seminar nasional “Moderasi Antitesis Radikalisme dan Deradikalisasi” di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan bahwa, Muhammadiyah tidak akan masuk dalam gerakan deradikalisasi.277 Lebih lanjut, beliau juga mengatakan bahwa, Muhammadiyah seratus persen menolak radikalisme dan ekstrimisme seperti terorisme dan tindakan teror, terlebih yang mengatasnamakan agama dan penyalahgunaan makna mengenai konsep Jihad. Memang tindakan kontra radikalisme dalam batasan tertentu harus dilakukan dan itu perlu.278 Dengan konep moderasi tersebut Dr Haedar Nashir sebagai salah satu pembicara pada diskusi mengenai Fikih Anti Terorisme di Universitas Muhammadiyah Semarang juga menjelaskan menjelaskan bahwa, Muhammadiyah ingin menjelaskan konsep jihad secara menyeluruh sehingga tidak terjadi salam dalam memahami maupun disalahgunakan oleh seseorang maupun sekelompok orang tertentu.279. Maka dalam hal ini Muhammadiyah berusaha menciptakan rasionalitas

275 (BBC Indonesia, 14/6) 276http://www.sigabah.com/beta/pp-persis-mengutuk-keras-tindakan-terorisme/

277 Republika, 3 April 2016 278Suara Muhammadiyah, 3 April 2016 279 Suara Merdeka, 3 Mei 2016

Page 135: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

130

publik, kedewasaan publik dan keberanian publik agar bisa menyikapi secara objektif dalam radikalisasi dan radikalisme.

Muhammadiyah beranggapan kekerasan tidak harus selalu dihadapi dengan kekerasan pula bukan hanya asal eksekusi mati di tempat tetapi harus melalui proses hukum yang adil tetapi juga dengan jalan yang soft approach atau persuasif. Sekretaris Umum PP Muhamamdiyah Abdul Mu’ti juga menyampaikan bahwa, agar program deradikalisasi agar lebih berorientasi pada subtansi bukan hanya project oriented. Abdul Mu’ti juga menjelaskan bahwa, Muhammadiyah mengatasi dan pencegahan paham radikalisme melalui dua ranah yaitu baik secara struktural maupun ranah kultural. Secara struktural Muhammadiyah melakukan upaya peneguhan ideologi Islam byang berkemajuan dan Darul Ahdi Wa Syahdah. Hal tersebut dilakukan mulai dari pimpinan Muhammadiyah hingga pada tingkat ranting. Dalam praktiknya, peneguhan ideologi tersebut melalui materi-materi pengajian maupun kaderasi maupun majlis, Ortonom, serta Amal Usaha Muhammadiyah. Kemudian, pada tataran Kultural, Muhammadiyah juga mentransformasikan dalam penyampaian materi-materi di sekolah, pesantren, hingga perguruan tinggi Muhammadiyah.280

Berdasarkan Putusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah ke 46 di Yogyakarta tentang revitalisasi pendidikan Muhammadiyah BAB III poin ke-6 mengenai Konsep Pendidikan Muhammadiyah menyebutkan bahwa; “memperhatikan dan menjalakan prinsip keseimbangan (tasawuh atau moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati”. Muhammadiyah berusaha mentransformasikan nilai-nilai Islam moderat melalui pendidikan Islam di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Misalnya, menyajikan berbagai nilai positif dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai perdamaian.

Disajikan pula pengetahuan dalam mencegah dan mengatasi potensi dan aktualisasi konflik maupun tindak kekerasan dimasukan disetiap jenjang kelas ataupun semesternya.281 Selain itu, aspek ajaran Islam yang dirumuskan oleh Muhammadiyah dalam Pendidikan Islam adalah ajaran mengenai akhlak. Muhammadiyah menganggap bahwa akhlak mahmudah sebagai aspek penting dalam membangun karakter individu sehingga bisa mencapai hubungan yang baik dengan Tuhanya maupun dalam komunitasnya seperti yang disebutkan dalam MKCH Muhammadiyah.282

Upaya deradikalisasi yang dilakukan Muhamadiyah yang berpijak pada Islam gerakan berkemajuan berdasarkan pada muhammadiyah sebagai gerakan

280Zuhdi, Muhammad Harifin. “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadits”. RELIGIA., Vol 13, No. 1, April 2010.

281Nurwanto (et.al). “Nilai-Nilai Perdamaian dalam Buku Teks Pendidikan Agama Isla (Akhlak di Sekolah Muhammadiyah,” AFKARUNA: Jurnal Ilmu-Ilmu KeIslaman, Vol. 11. No. 1 Juni 2013

282Jainuri, Achmad. 1992, “The Muhammadiyah Movement In Twentieth-Century Indonesia : A Socio-Religious Study”. Montreal: Institute of Islamic Studies McGill University, hal. 38.

Page 136: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

131

sosial-keagamaan. Substansinya, gerakan pencerahan yang berat dan mendaki itu harus berhadapan dengan realitas alam pikiran yang hedonistik, materialistik, pragmatik, dan oportunustik yang selalu mengedepankan hal-hal yang bersifat sesaat. Selain itu, gerakan pencerahan juga meniscayakan konsistensi dari para pelaku perubahan itu sendiri, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan mengubah keadaan suatu kaum atau bangsa apabila mereka sendiri tidak mau mengubah nasibnya (QS Ar-Ra’d [13]: 11). Dengan pesan Al-Quran tersebut, berarti gerakan pencerahan dari Muhammadiyah untuk Indonesia berkemajuan hanya akan lahir manakala Muhammadiyah sendiri terlebih dulu harus cerah dan mencerahkan.283

Bagi Muhammadiyah, salah satu agenda gerakan pencerahan yang harus terus menerus diikhtiarkan secara lebih masif dan bersifat transformatif ialah mengembangkan kualitas manusia Indonesia agar menjadi insan yang berkemajuan. Yaitu insan atau manusia yang memiliki jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan-tindakan yang maju dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan kebudayaan yang hidup di tubuh bangsa Indonesia.

Khusus bagi umat Islam tentu saja kemajuan itu didasari, dibingkai, dibimbing, diarahkan, dan diaktualisasika dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, yang mengandung niali-nilai kemajuan dan pencerahan. Islam sebagai agama yang mencerahkan (din al-tanwir) dan memajukan peradaban (din al-hadlarah) harus melekat menjadi bagian penting dari pandangan hidup setiap muslim baik individual maupun kolektif. Dari pandangan hidup muslim yang mencerahkan dan berkemajuan itulah lahir atau terbentuk kehidupan masyarakat Indonesia yang berkemajuan di segala bidang.284 Lebih jauh lagi, akan lahir atau terwujud peradaban Indonesia yang utama. Karenanya diperlukan strategi pencerahan dengan melakukan tranformasi kebudayaan untuk membangun atau mengembangkan kualitas manusia Indoneisa yang berkemajuan. Manusia Indonesia harus tumbuh menjadi insan yang berkualitas maju seperti gemar membaca, mencari ilmu, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, disiplin, mandiri, tanggungjawab, dan sifat-sifat berkemajuan lainnya agar mampu dari berbagai ketertinggalan menuju pada kemajuan hidup yang berkeunggulan. Kemajuan yang tercerahkan dimungkinkan mampu menjadi problem solving bagi pemikiran-pemikiran yang ekstrem atau radikal, yang saat ini berkembang di Indonesi.285

Karakter manusia Indonesia yang berkemajuan tersebut harus disertai dengan nilai-nilai kemajuan (keunggulan) moral-spiritual seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat moral utama lainnya. Dalam konteks kehidupan kolektif bemasyarakat dan berbangsa sifat-sifat maju tersebut juga harus diimbangi atau disertai dengan nilai-nilai sosial yang utama seperti solidaritas, toleransi, empati, harmoni, dan lainlain. Keunggulan moral-

283 http://www.muhammadiyah.or.id/id 284 idem 285 idem

Page 137: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

132

spiritual dan sosial tersebut harus benar-benar autentik, tidak bersifat kulitluar (pesona lahiriah) dan sekadar menjadi jargon seperti selama ini sering ditampilkan, tetapi teraktualisasikan dalam konsistensi kata dan laku. Apalagi sekadar jadi komoditi politik murahan.

Warga bangsa harus terus dicerahkan kualitas dirinya agar tumbuh menjadi manusia Indonesia yang cerdas dan maju sebagaimana spirit dan cita-cita nasinoal yang dikehendaki para pendiri negara ini. Bukan menjadi manusia yang hipokrit dan penuh topeng pesona, kata tak sejalan tindakan, tidak bertanggungjawab atau mudah melepaskan amanat, tidak berdisiplin murni, malas, menerabas, jiwa budak, bebal, dan sifat-sifat lemah karakter lainnya sebagaimana pernah ditulis oleh antropolog Koentjaraningrat dan budayawan Mohtar Lubis. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana dalam polemik kebudayaan tahun 1933, bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju sejajar dengan bangsa-bangsa Barat harus mampu menunjukkan diri sebagai manusia modern dan membuang alam pikiran dan sikap mental yang "pra-Indinesia".

Dalam transformasi manusia Indonesia yang berkemajuan tersebut meniscayakan strategi kebudayaan, termasuk pendidikan, yang mencerahkan. Dalam mengembangkan kebudayaan diarahkan pada pembentukan kebudayaan Indonesia yang modern atau berkemajuan sesuai nilainilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional yang dikembangkan bersifat integratif antara kemampuan merawat nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik, termasuk kesediaaan untuk mengadopsi nilai-nilai budaya luar sejauh hal itu baik dan positif untuk kemajuan.

Dalam buku "Indonesia Berkemajuan" (2014) Muhammadiyah memandang bahwa sebagai bagian dari strategi kebudayaan, ikhtiar membangun Indonesia Berkemajuan menuntut dikembangkannya pendidikan yang mencerahkan. Kutipan lemgkap dari pemikiran dalam buku tersebut bahwa, Indonesia Berkemajuan meniscayakan dukungan sumberdaya manusia yang cerdas dan berkarakter utama. Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kekuatan akal budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita nasional. Manusia Indonesia yang cerdas memiliki fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas, kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.286

Sumberdaya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

286 idem

Page 138: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

133

Pendidikan tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berkeadaban mulia. Karenanya, pendidikan nasional yang selama ini berlaku harus direkonstruksi menjadi sistem pendidikan yang mencerahkan, dengan visi terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan. Sedangka misinya ialah: (1) Mendidik manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berfikir cerdas, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, dan kompetetif; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial, teknologi, informasi, dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, daya-cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni-budaya; dan (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Pendidikan nasional yang holistik tersebut melibatkan seluruh elemen bangsa sehingga menjadi gerakan dan strategi kebudayaan nasional yang menyeluruh menuju kemajuan hidup bangsa yang bermartabat.287

Para pemikir Muhammadiyah bahwa sebuah ideologi Islam berkemajuan perspektif Muhammadiyah ini bahwa Muhammadiyah meyakini bahwa agama dapat dijadikan sebagai sumber kemajuan. Nilai-nilai agama dapat menumbuhkan etos keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran akan masa depan yang lebih baik, pendayaguaan sumberdaya secara tegas dan bertanggung jawab, inovasi atau pembaruan, kebersamaan dan toleransi serta hal-hal yang dapat membawa pada kemajuan hidup. Nilai-nilai agama juga dapat mengembangkan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang adil tanpa diskriminasi.288

Bagi Muhammadiyah, secara epistemologi Islam yang dipeluk oleh mayoritas orang Indonesia ini merupakan agama yang mengandung nilainilaikebenaran karena di dalamnya mengandung ajaran yang hakiki atau pasti dan sesuai dengan kondisi jaman. Itulah kenapa menurut Muhammadiyah Islam adalah agama yang mengandung unsur kemajuan (din al-hadlarah), yang berwatak progresif dan sesuai dengan alam pikiran masyarakat modern. Karenanya Islam dapat menjadi sumber nilai yang penting dan utama bagi usaha-usaha membangun kehidupan kebangsaan menuju kemajuan.289

Istilah “berkemajuan” sebenarnya telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. KH.

287 idem 288 Pimpinan Pusat Muhamamdiyah, Indonesia Berkemajuan., 44. 289 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UPT

Penebitan UMM, 2006), 110.

Page 139: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

134

Ahmad Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Dalam tulisan utuh Ahmad Dahlan dalam Bahasa Jawa tahun 1921 dan menurut informasi sebagai satu-satunya tulisan lengkap yang berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” (terjemahan Syukriyanto AE & A. Munir Mulkhan) istilah “kemajuan” juga sempat diulas. Tulisan ini mengulas tentang pentingnya para pemimpin umat bersatu hati, dan di frasa itu menunjuk apa yang disebut“... pemimpin kemajuan Islam...”.

Dalam tulisan tersebut selain mengupas tentang persatuan pemimpin dan manusia sebagai makhluk AllahSWT, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal, kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh. Kata atau ide "berkemajuan" sangat kuat menghubungkan dengan ide "pembaruan" atau tajdid baik dalam pengertian purifikasi atau pemurnian, rasionalisasi, modernisasi atau islah. Secara sederhana gagasan tersebut mendorong supaya terjadi kemajuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan organisasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kehidupan. Jadi ada aktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ada kemajuan bagaimana mengorganisasi masyarakat dan ada perubahan, kesejahteraan masyarakat. 290

Ide ini juga menyangkut dengan harapan masa depan (hopes for the future), artinya pembaruan atau modernisasi haruslah memberikan gambaran tentang langkah dan janji masa depan yang akan diwujudkan. Karena itu, ide ini digerakkan termasuk oleh Muhammadiyah dengan menempatkan agama dan ilmu pengetahuan sebagai sumber epistemologis untuk kemaslahatan bersama.

Indikasi dari Islam berkemajuan ini sebenarnya adalah modernisasi atau pembaruan Islam. Dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah tajdid yang berarti membarui, atau reformasi (menyusun kembali). Menurut Murthada Mutakhari (1920-1979), mengadakan reformasi atau pembaruan berarti memberikan tata aturan atau tata tertib sebagai lawan dalam membuat kekacauan atau menciptakan fitnah. Dalam konteks keIslaman, pembaruan berarti upaya memperbarui atau menyegarkan kembali pahampaham dan komitmen terhadap ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman.291

Dalam konteks inilah Muhammadiyah berbeda dengan yang lainnya dalam melakukan deradikalisasi. Solusi Muhammadiyah untuk mengurangi tensi radikalisme adalah menyentuh akar masalah radikalisme dan terorisme dan gerakan moderasi adalah jawabannya. Yakni, penanganan hanya pada kelompok atau wilayah yang diasumsikan sebagai pelaku dan atau area

290Sukriyanto dan Abdul Munir Mulkhan, Pergumulan dalam Pemikiran Muhammadiyah

(Yogyakarta: Sipress, 1990), 1-7.

291Murthada Muthari, Gerakan Islam Abad ke-20, Penjelasan Evaluatif Fachry Ali,

ter.Muhammad Hashem (Jakarta: Boenabi Cipta, 1986), 15.

Page 140: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

135

radikalisme. Dengan pendekatan blocking area, menurut Muhammadiyah, radikalisme dapat diselesaikan secara bijaksana dan mengurangi efek lahirnya radikalisme baru. Nilai-nilai Islam yang damai dan universal dapat dijadikan sebagai cohesive force (kekuatan pemersatu) untuk menangani radikalisme.292

Gerakan moderasi merupakan gerakan pemersatu yang mengidealisasikan kerukunan, kebersamaan, dan kegotong-royongan sesama warga di Tanah Air. Gerakan ini mengurangi tensi saling curiga yang memojokkan satu kelompok tertentu. Gerakan moderasi adalah gerakan merangkul tanpa memukul.

Dalam bidang ekonomi, gerakan moderasi adalah program memberi ruang partisipasi dan aksesibilitas warga negara ke sumber daya ekonomi yang didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan bagi semua. Untuk mengurangi tensi radikalisme, kekecewaan pelaku radikalisme harus dikurangi. Dalam konteks gerakan ekonomi, kekecewaan bisa diminimalisasi tentu melalui gerakan mengurangi ketimpangan ekonomi dan gerakan merangkul melalui "aliansi ekonomi". Maka, ketimpangan ekonomi--sebagai biang radikalisme, terjadi tidak sekadar karena rakusnya kekuatan pasar, tapi lebih dipicu keputusan politik. Joseph E Stiglitz dalam The Price of Inequality (2005) menyatakan, ketimpangan dalam aset dan pendapatan lebih sering terjadi sebagai akibat keputusan politik ketimbang konsekuensi dari bekerjanya kekuatan pasar (makro ekonomi). Itu artinya, ketimpangan adalah buah dari kebijakan pemerintah sendiri.293

Tidak mengherankan, jika ketimpangan penguasaan tanah, misalnya, seperti yang disampaikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), lebih dilatari kebijakan sektoral yang sangat akomodatif terhadap korporasi, tetapi tidak pada rakyat. Makanya, mengonfirmasi data BPN (2014), ketimpangan lahan berada di kisaran 0,64 (Gini ratio).

Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah, tambak, kebun, dan properti hanya dikuasi oleh 0,2 persen penduduk. Tentunya, ketimpangan yang makin akut seperti itu telah menjadi biang pemantik lahirnya kekecewaan yang pada gilirannya melahirkan reproduksi radikalisme. Selain mengurangi tensi ketimpangan ekonomi, "aliansi ekonomi" antara pelaku radikalisme dan negara melalui badan usaha milik negara (BUMN) perlu digelar sebagai manifestasi gerakan moderasi. Seperti yang ditawarkan Fachry Ali (2016) bahwa BUMN berpeluang menjadi sarana deradikalisasi pandangan keagamaan melalui penciptaan "aliansi ekonomi" dengan rakyat. Jalannya adalah mendorong aktivitas ekonomi yang terjangkau penduduk kebanyakan melalui pembentukan dan mengorporasikan badan usaha milik rakyat (BUMR) di bawah koordinasi

292https://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/04/07/o594sm24-muhammadiyah-

deradikalisasi-dan-gerakan-ekonomi

293 idem

Page 141: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

136

BUMN. BUMR, menurut Fachry, diharapkan menjadi sarana moderasi dan praktis yang terinstitusionalisasi, di mana rakyat terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi nyata, sehingga ujungnya menghilangkan alienasi rakyat terhadap fakta ketimpangan ekonomi dan mengurangi tensi the millinneal beliefs yang kerap menyulut aksi-aksi radikal (terorisme).

Selain melalui BUMR, ormas keagamaan semacam Muhammadiyah juga perlu menawarkan program pelibatan "pelaku" dalam gerakan-gerakan ekonomi. Melalui amal usaha Muhammadiyah (AUM), pelibatan aliansi itu dimulai dari keterlibatan publik dalam keanggotaan koperasi, BTM/BMT Muhammadiyah, dan gerakan ekonomi Muhammadiyah lain yang tentu didasarkan pada kompetensi dan idealisme Muhammadiyah.

Aliansi ekonomi dengan rakyat hanya bisa dilakukan jika prasyarat ketimpangan ekonomi sebagai biang pemantik radikalisasi bisa dienyahkan. Jika fakta itu secara struktural masih masif dan belum bisa diminimalisasi, sangatlah sulit memberi ruang BUMR untuk dijadikan solusi moderasi mengurangi radikalisme.

Untuk menciptakan "aliansi ekonomi" dengan rakyat, tidak mesti menggunakan entitas korporasi (BUMR), tapi diperlukan entitas pemberdayaan. Tentu, entitas ini memberikan ruang partisipatif bagi rakyat dalam memberdayakan dirinya dengan penuh kesadaran terlembaga. Sehingga, ujungnya bukan secara politik dijadikan proyek deradikalisme melalui BUMR. Maka, merujuk William et al (1994) dan the Human Development Report (2005), pemberdayaan rakyat memiliki tiga elemen, yakni enabling, empowering, dan advocation. Tiga elemen ini menjadi pilar moderasi gerakan ekonomi rakyat untuk mengurangi tensi radikalisme degan pendekatan blocking area.

Dengan elemen enabling, berarti ekonomi rakyat diberi suasana dan lingkungan dalam mengembangkan potensi dirinya. Yang paling tahu tentang potensi usahanya, rakyat itu sendiri. Karena itu, berikan ruang partsipatif dan aksesibilitas ke sumber daya ekonomi. Mereka adalah the fortune at the bottom of the pyramid dalam teori CK Prahalad (2009).

Untuk elemen empowering, ekonomi rakyat diberi ruang melalui dukungan usaha, pelatihan, penguatan kelembagaan usaha, dan jaringan. Gerakan moderasi seperti ini tentu membutuhkan treatment usaha, sehingga membutuhkan keterampilan teknikal, organisatoris, dan jiwa entrepreneurship.

Sementara, elemen advocation memberi ruang ekonomi rakyat untuk memperoleh pendampingan, kebijakan pemihakan, dan perlindungan. Kekuatan pelaku ekonomi tidaklah simetris. Maka, perlu pembelaan bagi pelaku ekonomi rakyat yang bergerak dalam skala mikro dan kecil.

Intinya, gerakan moderasi untuk mengurangi tensi radikalisasi melalui "aliansi ekonomi" dengan rakyat berarti memberi ruang, aksesibilitas, dan pemihakan. Institusionalisasi aliansi ekonomi diperlukan dalam konteks

Page 142: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

137

penguatan kapasitas dan kapablitas ekononomi rakyat seperti yang diungkap Amartya Sen (1992) di tingkat lokal.294

Berdasarkan uraian diatas, maka gagasan Muhammadiyah yang berhubungan dengan Islam berkemajuan diasumsikan mampu menjadi alternatif dispute resolution untuk menanggulangi kemunculan-kemunculan radikalisme di Indonesia.

294 Idem

Page 143: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

138

Bab Sembilan Simpulan dan Rekomendasi

Simpulan Tulisan tentang Model Penanggulangan Radikalisme Pendekatan analisa Konseling Rationla-Emotif ini, paling tidak merupakan ikhtiar sederhana dalam melihat pandangan-padangan secara objektif dari kalangan pemikir Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis. Berdasarkan hasil telaah mengunakan metode etnographi virtual dengan surface web maka digeneralisasi kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 1. Hadirnya paham Islam radikal di Indonesia tidak lepas oleh faktor sejarah

masa silam. Embrio gerakan ini sudah ada semenjak masa orde baru, namun baru dapat muncul di permukaan berkat reformasi yang memberikan ruang untuk hadir dan berkembangnya ideologi transnasional. Gerakan Islam ini merupakan kategori Islam Politik dengan misi jihadi dan penegakan syaria'at Islam di bumi nusantara. Dengan corak inklusif gerakan Islam radikal kesusahan untuk berdialektika dengan peradaban dan kebudayaan lokal. Panji puritanisme menjadi slogan dan misi wajib untuk mengembalikan Islam sesuai ajaran Al-Qur'an dan Al-hadist.

2. Dari analisa antecedent menurut Muhammadiyah, NU dan Persis dari jejak digital yang terlacak, bahwa akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain: pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme; Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif; Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari295, bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud

295 Musa Asy’arie. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LESFI, hal. 95.

Page 144: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

139

faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi; Keempat, faktor ideologis antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban; Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.

3. Dari sisi analisa belief dan emotional consecunence menurut Muhammadiyah, NU dan Persis dari jejak digital yang terlacak, bahwa: Pertama, lahirnya keyakinan dan sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan mereka yang seakan akan mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya manusia biasa; Kedua, keyakinan para radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer; Ketiga, kelompok radikal kebanyakan berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah mereka justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan; Keempat, kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Ciri-ciri dakwah seperti ini sangat bertolakbelakang dengan kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi; Kelima, kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya; Keenam, mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Keyakinan yang berkaitan kebolehan mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi,

Page 145: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

140

mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka.

4. Dari sisi analisa dispute resolution menurut Muhammadiyah, NU dan Persis dari jejak digital yang terlacak, bahwa: Secara konseptual upaya dispute dalam bentuk deradikalisasi yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah telah disajikan dalam role sosial model Islam Nusantara dan Gerakan Islam Berkemajuan yang moderat dan toleran. Sedangkan Persis belum memiliki role social model. Gagasan NU tentang Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan gerakan Islam berkemajuan dipandang oleh beberapa pihak sebagai social model dan mampu mereinforcement ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada pengikut radikalisme dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dari pendekatan analisa dispute maka kiprah NU dengan Islam Nusantara di panggung dunia, baik pada forum pro-perdamaian dan pro-toleransi Internasional, NU juga menginspirasi beberapa pemikir dan lembaga untuk mengunakan konsepnya sebagai upaya deradikalisasi dengan prinsip-prinsip tawasut (moderat), tawazun (seimbang-equal), adalah (keadilan), tasamuh (toleran), dan muzyarokah (serikat-persatuan). Sedangkan Muhammadiyah dengan Islam berkemajuan menawarkan nilai-nilai agama sebagai pencerah sebagai sumber kemajuan. Didalamnya memuat nilai-nilai agama dapat menumbuhkan etos keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran akan masa depan yang lebih baik pendayaguaan sumberdaya secara tegas dan bertanggung jawab, inovasi atau pembaruan, kebersamaan dan toleransi serta hal-hal yang dapat membawa pada kemajuan hidup.

Rekomendasi Tulisan ini bukanlah sebuah kajian yang mampu mengungkap secara komprehensif seluruh aktivitas diskursif yang terjadi dikalangan pemikir Muhamadiyah, NU dan Persis. Akan tetapi, ikhtiar ini diharapkan bisa menjadi pengantar dan landasan awal untuk pembacaan yang lebih kritis tentang model penanggulangan radikalisme dikalangan mereka. Oleh karena itu, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada dalam tulisan ini, terdapat beberapa rekomendasii, terutama untuk kajian-kajian selanjutnya yang berkaitan dengan hal sama, di antaranya: 1. Kajian model penangulangan radikalisme adalah kajian yang luas. Terdapat

banyak ruang untuk melakukan eksplorasi dengan perbagai perspektif dan pendekatan, baik terhadap satu kasus khusus, bukan hanya dari sisi agama tetapi semua dimensi kehidupan. Karena itu, semakin banyak dan beragam kajian-kajian yang dilakukan, maka semakin kaya pula khazanah kajian model penanggulangan radikalisme yang bisa dijadikan referensi teoritis dan praktis untuk bahan pengembangan seseorang, kelompok ataupun bersifat kelembagaan.

2. Pendekatan analisis konseling rational-emotif dan metode etnografhi virtual digital walaupun sedikit terlalu berani digunakan dalam telaah kajian ini

Page 146: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

141

tetapi bisa digunakan sebagai alternatif yang cukup mampu memberikan kebebasan bagi pengkaji-pengkaji untuk memahami suatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang lebih luas. Karena itu juga, pendekatan analisa konseling rational-emotif dan metode etnografhi virtual digital bisa digunakan untuk penelaahan lain guna mendapatkan informasi-informasi penting dari suatu fenomena atau realitas yang banyak terjadi di masyarakat disaat dalam prosesnya penelaahan mengalami hambatan menemui para informan kunci.

Akhirnya persembahan telaah dalam tulisan yang sederhana ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi tumbuh kembangnya pemikiran-pemikiran rasional di kalangan masyarakat civitas akademik maupun masyarakat luas. Sehingga nalar kita semua bisa tetap terjaga dalam pijakan nilai-nilai agama suci dan budaya luhur yang telah berkembang berabad-abad dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Page 147: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

142

DAFTAR PUSTAKA A Latief Bustami, Tinjauan Buku Carok, Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang

Madura, (Jurnal Antropologi Indonesia, 2000) A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992) A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di

Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007) A.S.Hornby, Oxford Advenced; Dictionary of Current English (UK: Oxford

university press, 2000) Abdul Azis S.R., Memahami Fenomena Sosial melalui Studi Kasus; kumpulan Materi

Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: BMPTS Wilayah VII, 1988) Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema

Insani Press. 1995)

Abdul Munip, Menangkal Rdikalisme di Sekolah (Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Program Pasca Sarjana No 2 Vol 1, Desember 2012)

Achamd Mukafi Niam. NU Dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017: Tabuh Beduk,

Presiden Jokowi Resmi Buka Munas-Konbes NU 2017 (Jakarta: NU Online, 2017)

Adian Husein, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2001) Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan

Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014). Ahmad Mohammad al Hamad, Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Surbaya (Studi

Kasus Kriteria Radikalisme Menurut Yusuf Al Qardhawi) Tesis Sarjana (Perpsutakaan UIN Sunan Ampel Surabaya; 2018)

Ahmad Rodli, Stigma Islam Radikal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah

Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009) Ahmad W. Munawwir. Kamus Al Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progresif,

1997)

Page 148: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

143

Albert Ellis and Catharine MacLaren. Rational Emotive Behavior Therapy: A Therapist's

Ali Miller. Instructors Manual for Albert Ellis on RBT. http://www.psychotherapy.net/data/uploads/51102f7bd269e.pdf diakses pada tanggal 13 Juni 2018 jam 10:04.

Aminudin, Tujuan, Strategi dan Model dalam Penelitian Kualitatif, (Malang :

Lembaga Penelitian UNISMA, tt) Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999 Ann Booth et.al (Editor), Ekonomi Orde Baru, (Jakarta: LP3ES 1986) Aqil Siroj, Said. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara. 9LTN NU Jakarta

2014) Arif, Syaiful. Deradikalisasi Islam paradigma dan strategi Islam kultural. (Koekosan

Depok 2010) Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga

Post-Modernisme. (Jakarta: Paramadina. 1996) Bergman, Michael K . "The Deep Web: Surfacing Hidden Value". The Journal of

Electronic Publishing (1). doi:10.3998/3336451.0007. 104. (August 2001) Bogdan dan Taylor, Introduction to Qualitatif Research Methods: Aphenomenologikal

approach to the social sciences, (New York: John Willy & Sons, 1982) C. Writht Mills (Imam Muttaqien-Penerjemah), Kaum Marxis:Ide-Ide Dasar dan

Sejarah Perkembangannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet I, 2003) Capuzzi, D. & Gross, D.R. Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions.

Upper Saddle River, New Jersey: Perason Prentice-Hall; Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA: Brooks/Cole. 2007.

Carter, A.. “Towards A Green Political Theory”, dalam A. Dobson dan P. Lucardie

(eds.). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theory. ( London: Routledge. 1993)

Charles F. Andrain (Luqman Hakim-Penerjemah), Politik dan Perubahan Sosial,

(Yogyakarta PT: Tiara Wacana, Cet 1 1992) Corey, Gerald. Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. (PT Eresco,

Bandung: 1995)

Page 149: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

144

Dadan Wildan dkk, Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam, (Bandung: 2007) Daniel David dkk. (ed). Rational and Irrational Belief : Research, Theory, and Clinical

Practice. (New York: Oxford University Press, 2010) Dauvergne, Peter. Globalisation and Environment dalam John Ravenhill, Global

Political Economy. (Oxford: University Press, 2005) David C. Korten, Getting the 21st Century: Voluntary Action and the Global

Agenda, (Connecticut Kumarian Press, 1990). Atau dalam versi terjemahan, Korten, Menuju Abad ke-2l, Tindakan Sukare1a dan Agenda Global, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Pustaka Sinar Harapan, 1993)

David J. Whittaker, Terrorists and Terrorism in the Contemporary World. (New York,

TJ International, 2008) David Ray Griffin, God and Religion in the Modern World, Albany: (State

University of New York Press, 1989). Jurgen Habermas, Religion and Rasionalty, Massachusetts: (The MIT Press, 2002)

David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme (Yogyakarta: LKiS, 1997) Deliar Noer, Partai di Pentas Nasional 1945-1965, ( Jakarta: Pustaka Utama

Graiti, 1987)

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta:PT Pustaka LP3ES, Cet VIII, 1996)

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan & Deradikalisasi BNPT, Anak Muda

Cerdas Mencegah Terorisme. (Bogor: BNPT, 2015), cet I.) Diamond. Irene and Gloria Feman Orenstein -(Eds.), Reweaving the World: The

Emergence of Ecofeminism. (Sierra Club Books. San Francisco. CA., 1990) Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Radikalisme Agama dan Tantangan

Kebangsaan (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, 2014) Engkus Kuswarno. Metodologi Penelitian Fenomenologi. (Bandung: Widya

Padjadjaran, 2009) Ensiklopedia Pencegahan Terorisme. (Bogor:Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme, 2016) European Commission's Expert Group on Violent Radicalisation. (Journal of the

European Union, L 111/9 of 25 April 2006)

Page 150: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

145

F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dwintara, 1987) Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama,

2001) Gantina Komalasari, Teori dan Teknik Konseling (Jakarta Barat: PT Indeks, 2011). Gary Browing, etc (ed), Understanding contemporery society, (SAGE Publication,

London, 2000) George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Alimandan

Penyadur), (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, , cet ke-4, 2003). Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung: PT Refika

Aditama, 2005) Greg Fealy. “Radical Islam in Indonesia: history, ideology and prospects” in Local

Jihad: Radical Islam and Terrorism in Indonesia (Australian Strategic Policy Institue, 2005)

H. Endang Saifuddin Anshary dan Syaiq A. Mughni, Wajah dan Wijhah Seorang

Mujtahid, (Bangil: Almuslimun, 1984). M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”,

http://www.madina sk.com/index.php?option=com, (diakses tanggal 23 Juli 2009)

Hadimulyo. Mempertimbangkan ADR (Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di

Luar Peradilan). (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1997)

Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UPT

Penebitan UMM, 2006). Hamid Al gar. Wahabisme : Sebuah Tinjauan Kritis, (Jakarta: Democracy Project,

2011) Hartono, Boy Sudarmaji, Psikologi Konseling, (Jakarta: Kencana, 2012)

Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)

Hermansyah, “Radikalisme: Tafsir Ideologis atas Sebuah Isme” Makalah Seminar.

Disampaikan pada Lokakarya Dalam rangka memperingati HUT

Page 151: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

146

Bhayangkara ke 65, “ Kemitraan Polti Dengan Masyarakat Dalam Menangani Radikalisme, Polda Kalbar Pontianak, 28 Juni 2011.

Howard, P. N. Network Ethnography and the Hypermedia Organization, (New

Media, New organizations, New Methods. New Media & Society, 4, hal 550–574. http://doi.org/10.1177/146144402321466813, 2002).

http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-

Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf http://lp3.um.ac.id/berita-574-urgensi-islam-nusantara-dalam-menangkal--

radikalisasi-islam-dan-paham-anti-pancasila.html. http://news.metrotvnews.com/peristiwa/VNnJG4aN-radikalisme-dan-

kesenjangan-sosial-jadi-tantangan-terbesar-indonesia diakses 8/28/2018 http://sditalhikmah187.sch.id/2016/08/12/daftar-pesantren-persis-se-

indonesia/ diakses pada tgl.21/2/2018 Pkl.15:44 WIB. http://www.abc.net.au/indonesian/2018-04-20/nu-dan-muhammadiyah-dan-

deradikalisasi/9678858 http://www.muhammadiyah.or.id/id

http://www.nu.or.id/post/read/34600/meluruskan-makna-jihad diakses 28/8/2018

http://www.nu.or.id/post/read/35130/asal-mula-radikal-adalah-pemahaman-

tekstual diakses 28/8/2018 http://www.nu.or.id/post/read/53669/bagaimana-sejarah-terbentuknya-isis

diakses 28/8/2018 http://www.nu.or.id/post/read/58330/ini-tiga-hal-yang-harus-diluruskan-

dari-isis-menurut-waketum-pbnu diakses 25/8/2019 http://www.nu.or.id/post/read/65279/nu-online-dan-deradikalisasi

http://www.nu.or.id/post/read/79759/ini-perbedaan-al-qaeda-dan-isis-menurut-yenny-wahid diakses 4/8/2018

http://www.nu.or.id/post/read/83862/ketua-pbnu-radikalisme-adalah-

musuh-bersama diakses 9/8/2017 http://www.nu.or.id/post/read/90307/nu-jawa-timur-kutuk-keras-aksi-bom-

surabaya diakses 9/8/2017

Page 152: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

147

http://www.nu.or.id/post/read/90645/radikalisme-yang-menyebar-secara-senyap-pada-remaja-dan-pemuda diakses 28/8/2018

http://www.sigabah.com/beta/pp-persis-mengutuk-keras-tindakan-

terorisme/

http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/05/06/memahami-perang-atas-nama-jihad/ diakses 28/8/2018

http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/28/pemahaman-agama-lemah-

anak-muda-rentan-pengaruh-radikalisme/. Diakses 9/8/2017 1http://www.tribunnews.com/nasional/2018/05/10/intelektual-muda-nu-

upaya-kontra-terorisme-harus-dimulai-dari-sekolah-dan-kampus.

https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%AC%D9%87%D8%A7%D8%AF dikses 28/8/2018

https://damailahindonesiaku.com/program-deradikalisasi-perlu-melibatkan-

berbagai-pihak.html 1https://gaya.tempo.co/read/1093852/aksi-teror-kini-juga-melibatkan-anak-

simak-cara-mencegahnya diakses 9/8/2017 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Radikalisme https://nasional.kompas.com/read/2017/01/19/17525891/kapolri.islam.nusa

ntara.bisa.menangkal.radikalisme.

https://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/21433601/pemuda-muslim-moderat-masih-rentan-godaan-radikalisme diakses 28/8/2018

https://news.detik.com/berita/d-3537291/muhammadiyah-isis-itu-bukan-

ladang-jihad diakses 28/8/2018 https://republika.co.id/berita/koran/news-update/14/08/18/nahkk934-

muhammadiyah-isis-bukan-gerakan-islam diakses 28/8/2018 https://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/04/07/o594sm24-

muhammadiyah-deradikalisasi-dan-gerakan-ekonomi https://tirto.id/ketua-pbnu-said-aqil-kutuk-keras-aksi-napi-terorisme-di-mako-

brimob-cKa4 diakses 28/8/2018

Page 153: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

148

https://tirto.id/pbnu-minta-dukungan-penuh-pemerintah-untuk-bantu-deradikalisasi-cLrE

https://www.alinea.id/nasional/nu-muhammadiyah-sebut-teroris-ancaman-

bagi-kemanusiaan-b1Uzf9bzf diakses 28/8/2018 https://www.benarnews.org/indonesian/berita/menangkal-paham-radikal-

dengan-rahmat-islam-nusantara-12032015140953.html. https://www.liputan6.com/news/read/2942859/said-aqil-radikalisme-dan-

terorisme-bawa-agama-sudah-sejak-lama (06 Mei 2017, 08:17 WIB) diakses 8/9/2018

https://www.liputan6.com/news/read/3034980/radikalisme-ancaman-nyata-

pemuda-tanah-air diakses 28/8/2018 https://www.merdeka.com/peristiwa/persempit-kesenjangan-sosial-agar-

bibit-radikalisme-tak-tumbuh-subur.html diakses 28/8/2018 https://www.nu.or.id/post/read/689/radikalisme--lahir-dari-ketidakadilan

diakses 28/8/208 https://www.nu.or.id/post/read/93155/pemikiran-radikal-jadi-cikal-bakal-

terorisme diakses 28/8/2018 https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-

nusantara/17/10/05/oxc9hf335-pbnu-bahas-kaitan-radikalisme-dengan-kesenjangan-ekonomi diakses 28/8/2018

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-

nusantara/18/05/13/p8o3g2354-muhammadiyah-keliru-jihad-dimaknai-dalam-bentuk-kekerasan

https://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-

koran/15/04/23/nn8wo948-radikalisme-di-mata-muhammadiyah-dan-nu diakses 9/8/2017

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/16/nzfu09365-

jokowi-kesenjangan-sosial-timbulkan-radikalisme diakses 28/8/2018 Huma Haider. Radicalisation of diaspora communities. Helpdesk Research Report,

16 Januari 2015, http://gsdrc.org/publications/radicalisation-of-diaspora-communities/

Page 154: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

149

Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Lisan Al-'Arab,(Beirut: Dar Ihya'

Al-Turats Al-'Arabi, 1408 H) Ibrahim Bafadal, Teknik Analisis Data Penelitian Kualitatif, (dalam Metodologi

Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis), (Malang : Lembaga Penelitian UNISMA, tt)

Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999) Isa Anshary, Mujahid Da’wah, (Bandung: CV. Doponegoro, cet ke-3, 1984) J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, (Bandung:

Alumni, 1981) J.H. Rappar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Agustinus Machiavelli, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, Edisi I Cet-2, 2003) J.R. Raco. Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana, 2013) Jack, C, Ricards, Longman Dictionary of Languge Teaching and Appied Linguistics,

(Kuala Lumpur, Longman Group, 1999) Jainuri, Achmad. 1992, “The Muhammadiyah Movement In Twentieth-Century

Indonesia : A Socio-Religious Study”. (Montreal: Institute of Islamic Studies McGill University)

JAmes D. Herbert and Evan M. Forman (ed). Acceptence and Mindfulness in

Cognitive Behavior Therapy; Understanding and Applying the New Therapies. ( New Jersey: John Wiley & Sons, Inc)

James M. Henslin, Social Problems, (New Jersey :Englewood Cliffs, 1990) James Rule, Theories of Civil Violence, (Berkeley : Berkeley University Press,

1988) Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspectives, (New York The Free

Press, 1980) Johan Kaspar Bluntschli dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Rineka

Cipta, Jakarta, 1997)

Page 155: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

150

John W. Creswell . Qualitative Inquiry and Research Design: choosing among five traditions (New York: Sage Publications, 1998)

Keith S. Dobson (ed). Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. (New York:

Guilford Press, 2009) Khalid Abou el-Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam, (Bandung: Mizan, 2002) Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004)

Latief Wiyata, Carok: KonflikRadikalisme dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LKIS 2002)

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1999) Lifton, J., & Paradiso, J. A. Dual reality: Merging the real and virtual. In Lecture

Notes of the Institute for Computer Sciences, Social-Informatics and Telecommunications Engineering (Vol. 33 LNICST, 2010). http://doi.org/10.1007/978-3-642-11743-5_2,).

Lihat. Hine, C., Virtual Ethnography. Howard, P. N., Network Ethnography and the

Hypermedia Organization: (New Media, New Organizations, New Methods, 2000). (NewMedia & Society, 2002). http://doi.org/10.1177/146144402321466813

LoCicero and S. J. Sinclai. Terrorism and Terrorist Leaders: Insights from

Developmental and Ecological Psychology. Studies in Conflict & Terrorism. 1521-0731 online. https://www.researchgate.net/publication/249035613_Terrorism_and_Terrorist_Leaders_Insights_from_Developmental_and_Ecological_Psychology

Lunch Castels, Aris Arief Mundayat, Membangun Budaya Kerakyatan, (yogyakarta:

Titan Ilahi Press, 1997) M. Raihan Febriansyah, dkk, Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari negeri,

(Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013)

M. Isa Anshari, Manefesto Perjuangan PERSIS, (Bandung: Pimpinan Pusat

PERSIS, 1958) M. Najih Ramdhani. Bidah Ideologi ISIS : Catatan Penistaan ISIS Terhadap Hadits,

(Jakarta: Daulat Press. 2017)

Page 156: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

151

M.B. Miles &A.M. Huberman, Qualitative Data Analysis, (Beverly Hills,

California: Sage Publication Inc., 1984) MacIver, The Web Goverment, (New York: Mac Millan Co, 1965) Majalah Risalah, (Bandung: Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990) Malik Fadjar, Merambah Jalan Baru dalam Beragama (Yogyakarta: Ittaqa Press,

2000) Manuel Castell dalam “The Power of Identity’, (A John Wiley & Sons, Ltd.,

Publication, 1996) Martin E. Marty, dalam Hasan Basri, “Fundamentalisme Islam dalam Pandangan

Sayyid Qutb”, (Jurnal Empirisme, STAIN Kediri, Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2002)

Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) Merchant, Carolyn, The Death of Nature: Women, Ecology and Scientific

Revolution. (New York: Harper & Row, 1980) Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977) Michael Banton, Ethnic and Racial Consciousness, (London & New York:

Longman, 1997) Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, (Bandung :Pustaka Bani Quraisy, 2003) Mohtar Mas’oed et.al (Editor), Radikalisme Kolektif: Kondisi dan Pemicu,

(Yogyakarta: P3PK UGM 2001) Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, (Jakarta: Kompas, 2003) Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaga Press, 2001) Muhammad Nursalim, Deradikalisasi Terorisme; Studi atas Epistimologi, Model

Interpretasi dan Manipulasi Pelaku Teror. (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol 8, N02, Desember 2014)

Muhammad Shadiq, Dinamika Kepemimpinan NU, (Surabaya: Lajnah Ta’lifwa Nasyr 2004)

Page 157: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

152

Muhammad Syarif Hidayat, Konsep Matla’ Fi Wilayah Al-Hukmi Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Bulan Kamariyah, ( Surabaya :Pustaka Promethean, , 2001)

Mukhlisin, Bahaya Radikalisme, http://icrp-online.org/112011/post-804.html,

(diakses 9 Maret 2012)

Murthada Muthari, Gerakan Islam Abad ke-20, Penjelasan Evaluatif Fachry Ali, ter.Muhammad Hashem (Jakarta: Boenabi Cipta, 1986)

Murthy, D. (2008). Digital Ethnography: An Examination of the Use of New

Technologies for Social Research. Sociology, 42(5), 837–855. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1177/0038 038508094565; Kozinets V, R. (2013). Robert V. Kozinets. Netnography: Redefined.

Musa Asy’arie. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam

Al-Qur’an. (Yogyakarta: LESFI, 1992) Nadirsyah Hosen, Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad, Journal of Asian

Studies 6, 1 June (New Zealand , 2004) Nasional.kompas.com/read/2016/03/02/08065991/Survei.Maarif.Institute.B

enih.Radikalisme. Nasution, Harun. Islam Rasional. (Bandung: Mizan, 1995) Norman K Denzin, & Yvonna S Lincoln. Handbook of Qualitative Research.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009) Novri Susan.. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta:

Kencana, 2010) Nuhrison M. Nuh, Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/ Gerakan Islam

Radikal di Indonesi (Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol VIII Juli-September 2009)

Nurwanto (et.al). “Nilai-Nilai Perdamaian dalam Buku Teks Pendidikan Agama

Isla (Akhlak di Sekolah Muhammadiyah,” (AFKARUNA: Jurnal Ilmu-Ilmu KeIslaman, Vol. 11. No. 1 Juni 2013)

Paul B. Horton, etc. The Sociology of Social Problem, (Prentice Hall, Engglewood

Cliefs, New Jersey 1991) Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian : Pengantar Teori dan Panduan

Praktis Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula, (Jakarta : STAIN, 1999).

Page 158: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

153

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling Tersedia Online di Vol. 1, No. 1,

2017. ISSN 2579-9908. Qanun Asasi dan Qanun Dahili Persatuan Islam, ( Bandung: PP. Persis, 1968) R.K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode , Edisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo, 2002) Radicalisation Processes Leading to Acts of Terrorism: A concise Report

prepared by the Republika, 3 April 2016

Riddel, Peter G., “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia”, Islam and Christian-Muslim Relations. (Vol. 13, No. 1. 2002)

Right Livelihood Award; Leonardo Boff, “Cry of The Earth, Cry of The Poor”,

(Orbis, 1997)

Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, (New York: The Pree Pres, 1967) Ruether, Rosemary Radford, Integrating Ecofeminism, Globalization and World

Religions (Lanham, Rowman and Littlefield, 2004) S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet V,

2005) S. Nasution, Metode PenelitianNaturalistik Kualitatif, ( Bandung: tarsito,1988) Said Aqil Siradj. Sejarah Radikalisme.. Video Youtube. Menit 17.35 ( 7 Oktober

2017) https://www.youtube.com/watch?v=0xbg4zQSuoo Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1985) Satu P. Limaye, Mohan Malik, R.G Wirsing (ed). Religious Radikalism and Security

in south Asia, (Honolulu: Asia-Pacific Center for Security Studies, 2004) Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press 1970) Sofyan Willis. Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta,

2004) Suara Merdeka, 3 Mei 2016 Suara Muhammadiyah, 3 April 2016

Page 159: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

154

Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta :

Bumi Aksara, 2005) Sukriyanto dan Abdul Munir Mulkhan, Pergumulan dalam Pemikiran

Muhammadiyah (Yogyakarta: Sipress, 1990) Sun Choirol Ummah. Akar Radikalisme Indonesia. (Jurnal Humanika. Vol.12,

NO 12. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) Suratno Arsyad Lincoln, Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis,

(Yogyakarta: UPP AMPYKPN,1995) Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu,

1980) Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, (Princeton: Princeton University Press,

1950) Thohir Yuli Kusmanto dkk. Dialektika Radikalisme dan Anti Radikalisme di

Pesantren. (Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol 23, No1, Mei 2015)

Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang :UMM Press,

2004) Ursula MCTaggart, “Radicalism in America's "Industrial Jungle" : Metaphors of the

Primitive and the Industrial in Activist Text”. PhD Dissertation. (Indiana University, 2008)

Ward, K. J., Cyber-ethnography and the emergence of the virtually new

community. (Journal of Information Technology, 1999) Widnyana, I Made. ALternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: Indonesia

Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, 2007)

Windy Dryden. dkk. Counselling Individuals: A Rational Emotive Behavioral

Third Edition (London: Whurr Publisher, 2001) Winkel, W.S & Hastuti, Sri. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan

(Yogyakarta: Media Abadi, 2004) Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Pendidikan ( Surabaya: Penerbit SIC, 2002)

Page 160: Model Penanggulangan Radikalisme: Analisa Kongseling ...

155

Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-H aram fi al-Islam (Dar al-Baida ’: Da r al- Ma‘rifah, 1985)

Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,

(Jakarta: LP3ES, 1994) Zaprulkhan, Merenda Wajah Islam Humanis (Yogyakarta: Idea Sejahtera,

2014) Zuhdi, Muhammad Harifin. “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi

Pemahaman Al-Qur’an dan Hadits”. (RELIGIA., Vol 13, No. 1, April 2010)

Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2014) Zuly Qodir. Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2011)