Page 1
i
MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM
PENGEMBANGAN MUTU PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN WALI SONGO
NGABAR PONOROGO
TESIS
Oleh:
Muh Zulfikar Ali Khamdani, S.Pd.I
NIM: 212216030
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONOROGO
2018
Page 5
v
ABSTRAK
Zulfikar, Muhammad, Model Manajemen Perubahan dalam Pengembangan Mutu
Pendidikan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Tesis,
Progam Studi Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing: Iza Hanifudin,
Ph.D.
Kata Kunci: Pesantren, Manajemen Perubahan, Pengembangan Mutu
Pendidikan.
Globlalisasi akan menimbulkan persaingan, persaingan ini akan terjadi
pada segala bidang, tak terkecuali dunia pendidikan, dan lebih khusus dunia
Pondok Pesantren. Melihat perkembangan globalisasi saat ini yang begitu cepat,
terutama pada zaman millenial ini, agar dapat survive mengikuti perkembangan
zaman, pondok pesantren atau lembaga pendidikan tidaklah cukup hanya dengan
memanage serta memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, akan tetapi aspek
yang cukup vital ialah adanya manajemen perubahan. Pembenahan dan perubahan
manajemen pesantren merupakan bagian yang sangat penting dari upaya
pengembangan pendidikan di dunia pesantren. Pengembangan mutu dan kualitas
pendidikan secara sungguh-sungguh adalah kebijakan yang sangat strategis bagi
masa depan.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis proses,
implementasi dan faktor manajemen perubahan di Pondok Pesanten “Wali Songo”
dalam pengembangan mutu pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikannya
yang bermutu.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif, karena peneliti langsung menggali data di lapangan yaitu PPWS
Ngabar Ponorogo. Teknik pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan empat
tahapan yaitu, pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses implementasi
manajemen perubahan sesuai dengan konsep manajemen perubahan Burnes.
Bahwa perubahan organisasional dapat dilihat sebagai produk dari tiga proses
organisasi yang bersifat independen, yaitu a. The Choice process,
implementasinya ialah menggunakan metode SWOT, memfokuskan pada
peningkatan kualitas mutu bahasa dan al-Qur’an, serta pengambilan keputusan
perubahan diputuskan dalam musyawarah rapat kerja, b. The trajectory process,
implementasinya ialah pembenahan visi, menerapkan tiga komponen penting,
yaitu: Perencanaan mutu, Pelaksanaan dan control mutu, serta, menumbuhkan dan
mempertahankan budaya mutu dengan Total Quality Management (TQM) adapun
c. The change process, implementasinya ialah pendekatan pada mekanisme untuk
mencapai dan hasil perubahan yang mencakup input, proses, dan output yang
berdasarkan mutu. Terkait resistensi timbul dari individual. Faktor Perubahannya
ialah dari great individuals dan Gerakan perubahan (empowerment) dengan
pendekatan Normatif-Reedukatif.
Page 6
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………… ii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN..………………… iii
PERNYATAAN KEASLIAN ………………………………………….. iv
MOTTO ………………………………………………………………… v
ABSTRAK ……………………………………………………………… vi
PERSEMBAHAN ……………………………………………………… vii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xiv
PEDOMAN TRANSLETERASI ……………………………………… xv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ………………………. 1
B. RUMUSAN MASALAH …………………………………... 11
C. FOKUS PENELITIAN …………………………………….. 11
D. TUJUAN PENELITIAN …………………………………… 11
E. MANFAAT PENELITIAN ………………………………... 12
F. TEMUAN TERDAHULU ……………...………………….. 12
G. METODE PENELITIAN ………………………………….. 16
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ………………………… 29
BAB II KONSEP MANAJEMEN PERUBAHAN DAN MUTU
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN……………...…….
30
A. Konsepsi Manajemen Perubahan ..……………………… 30
1. Pengertian Manajemen Perubahan ………..…………. 30
2. Tujuan dan Prinsip Manajemen Perubahan ……….…. 33
3. Karakteristik Pendekatan Manajemen Perubahan ……... 35
4. Jenis Manajemen Perubahan …………………………. 42
Page 7
vii
5. Masalah Dalam Manajemen Perubahan ……………… 43
6. Target Dalam Manajemen Perubahan ………………... 47
7. Mengelola Manajemen Perubahan Secara Efektif …… 48
8. Ruang Lingkup dan Tahapan Manajemen Perubahan .. 49
9. Model Perubahan ……………………………………… 55
10. Perubahan Sosial ……………………………………… 61
B. Mutu Pendidikan Pesantren ……………………………… 61
1. Pengertian Mutu Pendidikan Pesantren …..…………… 64
2. Karakter Pendidikan Pesantren Yang Bermutu ……….. 66
3. Indikator Mutu Pendidikan Pesantren Yang Bermutu … 71
4. Mendesain Pendidikan Bermutu di Pesantren …………. 73
5. Pengembangan Tiga Sistem Mutu untuk Pendidikan
Pondok Pesantren ………………………………………
78
6. Komponen Strategis Manajemen Mutu Progam
Pendidikan Dalam Pengembangan Pendidikan Pondok
Pesantren ………………………………………………
80
BAB III APLIKASI MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN
DALAM PENGEMBANGAN MUTU PONDOK
PESANTREN WALI SONGO NGABAR……………………
85
A. Data Umum ……………………………………………… 85
1. Profil Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar …………. 85
B. Data Khusus
1. The Choice Process (Proses Pilihan) Perubahan Dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar Ponorogo ………………………………
112
2. The Trajectory Process (Proses Lintasan) Perubahan
Dalam Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar Ponorogo ………………………………
117
3. The Change Process (Proses Perubahan) Dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar Ponorogo ………………………………
126
4. Faktor Manajemen Perubahan Dalam Pengembangan
Page 8
viii
Mutu di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Ponorogo ……………………………………………….
143
BAB IV ANALISIS KRITIS MODEL MANAJEMEN
PERUBAHAN DALAM PENGEMBANGAN MUTU DI
PONDOK PESANTREN WALI SONGO NGABAR ………
146
A. The Choice Process (Proses Pilihan) Perubahan Dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo”
Ngabar Ponorogo …………………………………….......…
146
B. The Trajectory Process (Proses Lintasan) Perubahan Dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo”
Ngabar Ponorogo ……………………………………………
152
C. The Change Process (Proses Perubahan) Dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo”
Ngabar Ponorogo ……………………………………………
162
D. Faktor Manajemen Perubahan Dalam Pengembangan Mutu
di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo………...
181
BAB V PENUTUP ……………………………………………………. 184
A. Kesimpulan ………………………………………………… 184
B. Saran-saran …………………………………………………. 186
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 188
BIOGRAFI ……………………………………………………………... 194
LAMPIRAN ……………………………………………………………. 195
Page 9
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Jenis Kegiatan Harian 109
Tabel 3.2. Jenis Kegiatan Mingguan 110
Tabel 3.3. Data Santri TMI 2018-2019 110
Tabel 3.4. Data Guru TMI 2018-2019 111
Tabel 3.5. Data Seluruh Santri Ngabar 111
Tabel 3.6: Analisa Evaluasi Pencapain Progam TMI 125
Tabel 3.7: Mata Pelajaran Unggulan 2018 137
Tabel 4.1: Analisa Evaluasi Pencapain Progam TMI 160
Page 10
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Langkah Analisis Data Model Miles & Huberman 24
Gambar 2.1. Penyebab timbulnya penolakan individu terhadap perubahan 45
Gambar 2.2. Penyebab timbulnya penolakan kelompok terhadap perubahan 47
Gambar 2.3. Model Manajemen Perubahan Burnes 50
Gambar 2.4. Hirarki Konsep Mutu 80
Gambar 2.5. Perencanaan Mutu 81
Gambar 2.6. Pelaksanaan Mutu 82
Gambar 2.7. Evaluasi Mutu 83
Gambar 2.8.Sirkulasi Progam Kegiatan Pondok Pesantren Berdasarkan
Pendekatan Deming
84
Gambar 3.1. Konsep Perencanaan Mutu TMI 122
Gambar 3.2. Jadwal Kegiatan Seleksi Santri Baru 129
Gambar 3.3. SOP Bulis Pagi Al-Azhar 133
Gambar 3.4. Media Sosial Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar 134
Gambar 3.5. Konsep Pencapaian ISO 90001/2015 Ngabar 136
Gambar 3.6. Konsep Manajemen Keuangan Ngabar 140
Gambar 4.1. Konsep Perencanaan Mutu TMI 156
Gambar 4.2.Sirkulasi Progam Kegiatan Pondok Pesantren Berdasarkan
Pendekatan Deming
159
Page 11
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan Tesis ini berdasarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan
Nomor 0543 b/U/1987 tentang Transliterasi Huruf Arab ke dalam Huruf Latin
adalah sebagai berikut :
A. Konsonan
Huruf-huruf bahasa Arab ditransliterasi ke dalam huruf sebagai berikut:
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif اTidak
dilambangkan Tidak dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Sa Ṡ Es (titik di atas) ث
Jim J Je ج
Ha Ḥ Ha (titik di bawah) ح
Kha Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Za Ż Zet (titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Za Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan Ye ش
Sad Ṣ Es (titik di bawah) ص
Dad Ḍ De (titik di bawah) ض
Ta Ṭ Te (titik di bawah) ط
Za Ẓ Zet (titik di bawah) ظ
Page 12
xii
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
ain ‘ Apostrof terbalik‘ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha هـ
Hamzah ’ Apostrof ء
Ya Y Ye ى
B. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Vokal tunggal bahasa Arab
yang lambangnya berupa tanda atau harakat, vokal rangkap bahasa Arab yang
lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya
berupa gabungan huruf.
Contoh vokal tunggal : كسر ditulis kasara
ditulis ja‘ala جعل
Contoh vokal rangkap :
1. Fathah + yā’ tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai (أي).
Contoh: كيف ditulis kaifa
2. Fathah + wāwu mati ditulis au (او).
Contoh: هول ditulis haula
Page 13
xiii
C. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang di dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda. Vokal
panjang ditulis, masing-masing dengan tanda hubung (-) diatasnya.
Tanda Nama Huruf Latin Nama
…ا Fathah dan alif â a dengan garis di atas
...ي Atau fathah dan ya
...ي Kasrah dan ya î i dengan garis di atas
...و Dammah dan wau û u dengan garis di atas
Contoh : قال ditulis qâla
ditulis qîla قيل
ditulis yaqûlu يقول
D. Ta marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ada dua, yaitu : ta’ marbutah yang hidup
atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan dammah, transliterasinya adalah
[t]. Sedangkan ta’ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta’ marbutah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al-serta bacaan kedua kata itu terpisah,
maka ta marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh : روضةالاطفال ditulis rauḍah al-aṭfāl
ditulis rauḍatul aṭfāl روضةالاطفال
E. Syaddah
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydid, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Page 14
xiv
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ـــــى, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i).
Contoh : ربنا ditulis rabbanâ
ب ditulis qarraba قر
ditulis al-ḥaddu الحد
F. Kata Sandang Alif + Lam (ال)
Transliterasi kata sandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Kata sandang diikuti huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu atau huruf lam diganti dengan
huruf yang mengikutinya.
Contoh : جل ditulis ar-rajulu الر
ditulis as-syamsu الشمس
2. Kata sandang diikuti huruf qamariah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditulis al-.
Contoh : الملك ditulis al-Maliku
ditulis al-qalamu القلم
G. Hamzah
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir kata, maka ditulis
dengan tanda apostrof (’).
H. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun huruf, ditulis terpisah.
Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang sudah
lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang
dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bias
dilakukan dengan dua cara, bisa terpisah per kata dan bisa pula dirangkaikan.
Contoh :
ازقين اللهلهوخيرالر وان
Page 15
xv
Ditulis Wa innallâha lahuwa khair al-râziqîn
Atau Wa innallâha lahuwa khairurrâziqîn
I. Huruf Kapital
Walaupun dalam sistem huruf Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf kapital tetap digunakan. Penggunakan huruf kapital
sesuai dengan EYD, di antaranya huruf kapital digunakan untuk penulisan
huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului
oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Penggunaan huruf
kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang
lengkap demikian dan kalau penulisa itu disatukan dengan kata lain sehingga
ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.
Contoh : البخاري ditulis al-Bukhârî
ditulis al-Baihaqî البيهقي
Page 16
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manajemen sebagai ilmu yang baru dikenal pada pertengahan abad ke-19
dewasa ini sangat populer bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelola
perusahaan atau lembaga pendidikan tak terkecuali lembaga pendidikan Islam.
Dubrin dalam bukunya Thoyyib, memandang bahwa “Manajemen sebagai suatu
disiplin ilmu atau bidang studi, orang, atau karir.”1 Menurut Holt dalam bukunya
Akdon, mengatakan “Management is the process of planning, organizing,
leading, and controlling that encompases human, material, financial, and
information resources is an organization envirounment”.2 Lebih lanjut Terry
dalam Ondi memberi pengertian bahwa Management is distince process
consisting of planning, organizing, actuating, and controlling performed to
determine and accomplish stated objectives by us of human being and others
resources.3 Jadi manajemen merupakan suatu proses yang melibatkan kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pengalaman, dan pengendalian yang dilakukan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Faktor penentu utama sebuah organisasi, lembaga pendidikan, atau
perusahaan ialah dapat dilihat dari kepemimpinannya. Kepemimpinan yang baik,
akan memanage dengan baik, begitupun sebaliknya, kepemimpinan yang kurang
1 Muhammad Thoyyib, Model Otonomi Manajemen Mutu Perguruan Tinggi Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Cetta Media, 2015), hal. 15 2 Akdon, Srategic Management For Educational Management, (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 3
3 Ondi Saondi, Membangun Manajemen Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 3
Page 17
2
baik, akan memanage dengan cara yang kurang baik. Hal tersebut, selaras
dengan yang disampaikan Martoyo, bahwa Pemimpin adalah inti dari
manajemen.4 Dapat diartikan bahwa, kesuksesan pada perencanaan,
pengorganisasian, pengevaluasian tergantung banyaknya pada bagaimana seorang
pemimpin itu memimpin. Di samping hal tersebut, sumber daya manusia (SDM)
suatu lembaga pendidikan atau perusahaan harus mumpuni. Para pakar
manajemen mengatakan bahwa untuk dapat berkembang dan berjayanya sebuah
organisasi, harus memiliki power atau daya/kekuatan, daya/kekuatan tersebut
dapat diperoleh dari beberapa sumber yang dapat diberdayakan, salah satunya
ialah sumber daya manusia.5
Melihat perkembangan globalisasi saat ini yang begitu cepat, terutama pada
zaman millenial ini, agar dapat survive mengikuti perkembangan zaman,
organisasi atau lembaga pendidikan tidaklah cukup hanya dengan memanage serta
memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, akan tetapi aspek yang cukup
vital ialah adanya manajemen perubahan. Organisasi publik atau modern harus
menyiapkan dan menempatkan manajer yang mampu memimpin pembaharuan,
kalau tidak demikian, organisasi atau perusahaan tersebut, tak mampu bertahan
dan akan lenyap tergilas oleh situasi, dan kondisi, lantaran tak mampu
menghadapi tuntutan lingkungan yang semakin kompetitif, dan harapan
masyarakat.6 Dalam dunia pendidikan perubahan telah menjadi karakteristik
4 Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: PT. BPFE Yogyakarta, 2000),
hal. 175. 5 Meldona, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hal. 16
6 Ismail Nawawi, Manajemen Perubahan Teori dan Aplikasi pada Organisasi Publik dan Bisnis,
(Bogor, Ghalia Indonesia, 2014), hal. 1
Page 18
3
utama,7 Perubahan selalu mendatangkan ketidakpastian, dan kekawatiran, akan
tetapi tanpa adanya perubahan lembaga atau organisasi tersebut finished.
Pondok Pesantren ialah institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan inisiatif
(tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi
strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat.8Hal senada juga
disampaikan Mujamil, bahwa pondok pesantren ialah “Sesuatu lembaga
pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan
sistem asrama dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari
leadership kiai seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang
bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal”.9
Ada dua kategori akademik yang sudah diasumsikan jauh-jauh hari oleh para
ilmuan; yakni dominannya kepemimpinan kiai dan kemandirian pengelolaannya.
Sejarah pun memang mencatat, pondok pesantren lahir atas inisiasi sosok kiai dan
partisipasi aktif masyarakat di dalamnya.10
Selain kekuatan kepemimpinan kiai,
terdapat pula aspek kemandirian. Ada dua kontestasi pemaknaan kemandirian
7 Karna Husni, Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 16
8 A. Halim, Rr. Suhartini, M. Khoirul Arif, A. Sunarto, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2009), hal. 207 9 Mujamil Qomar, Pesantren, (Jakarta; Erlangga, 2008), hal. 2-3
10 Para sejarawan mencatat Pondok Pesantren merupakan lembaga dan wahana pendidikan agama
sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji“ ilmu agama Islam. Pondok Pesantren sebagai
lembaga tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian
(indigenous) Indonesia, sebab keberadaanya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad
ke 13 – 17 M, dan di Jawa pada abad ke 15 – 16 M. Pondok pesantren pertama kali didirikan oleh
Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Magribi, yang wafat pada tanggal 12 Rabiul
Awal 822 H, bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M. Menurut Ronald Alan Lukens Bull,
Syekh Maulana Malik Ibrahim mendirikan Pondok pesantren di Jawa pada tahun 1399 M untuk
menyebarkan Islam di Jawa. Lihat: Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: sebuah Potret
Perjalanan (Jakarta: Paramadiana, 1997), hal. 3. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren
(Jakarta: INIS, 1994), hal. 6. Wahjortomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), hal.70. Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Education and
Religion Identity Construction, (Michigan:Arizona State University, 1997), hal. 70
Page 19
4
pondok pesantren, dalam bingkai kesejarahan; pertama, pondok pesantren mandiri
karena kekuatan partisipasi aktif masyarakat sekitar. Kedua, kekuatan
kemandirian pondok pesantren berada pada sosok “kegigihan” kiai
mempertahankan lembaganya tersebut.11
Berdasarkan kategorisasi di atas, para
pakar manajemen pendidikan, mengkategorisasikan kedua model pengelolaan
pondok pesantren tersebut, sebagai sistem manajemen tradisional dalam
pesantren, dimana pengelolaannya berdasarkan pada proses seleksi alamiah. Baik
itu dukungan masyarakat yang kuat, atau kekuatan ekonomis yang dimiliki oleh
para kiai. Hal ini memang sedikit berbeda pada fenomena baru, dimana pondok
pesantren mulai menginternalisasi hal-hal baru ke dalam proses manajerialnya.
Betapapun, dalam pengamatan sehari-hari, kita juga melihat bagaimana
pondok pesantren mengalami proses pengembangan (baca; perubahan)
pengadaptasian diri dari wujud tradisional menjadi modern, dan sangat modern,
dari sisi manajemen. Secara manajerial, pondok pesantren tidak akan bisa
dilepaskan dari mindset berfikir seorang kiai (pemimpin pondok pesantren). Kiai
adalah sumber kapital terkuat dari seluruh elemen-elemen pondok pesantren.
Bahkan, Zamahsyari Dhafier mengatakan pondok pesantren tradisional, secara
manajerial, sangat bertumpu pada kekuatan kapital ekonomi yang dimiliki kiai,
mulai dari sawah, tanah, dan sumber- sumber ekonomi lainnya.12
Kongkretnya, ada beberapa contoh model-model pengelolaan pondok
pesantren profesional dan modern. Di Pasuruan Jawa Timur, Pondok Pesantren
11
Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1984), hal. 17 12
Ibid, hal. 18
Page 20
5
Sidogiri, mereka mempunyai banyak produk ekonomi diantaranya ialah; air
minum santri, sarung dan juga percetakan, bahkan majalah yang merupakan
pemasukan bagi mereka.13
Selain brand Sidogiri yang mereka jual di pasaran.
Mereka juga mempunyai koperasi-koperasi yang dibangun di daerah-daerah,
hingga mencapai keseluruh pelosok Jawa Timur. Selain penguatan ekonomi di
atas, Pondok Pesantren Sidogiri menjawab tantangan globalisasi, dengan
meningkatkan kualitas informasi dan teknologinya, hal tersebut terlihat dengan
adanya website Sidogiri.net, aktif dalam media sosial facebook, twitter, youtobe,
dan lain-lain.14
Lebih dari itu, yang menjadi kunci dari semua hal di atas tentu
tidak lain dari kualitas Kepemimpinan dan SDM yang berkualitas dan bermutu.
Sama halnya dengan Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, Pondok Pesantren
Darut Tauhid yang terkenal dengan manajemen tingkat tingginya, yang
memberikan warna baru pondok pesantren yang ada di Indonesia. Serta Pondok-
Pondok lain yang belum tersebut, menunjukkan eksistensinya sampai saat ini, dan
semakin menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat.
Fakta-fakta dan fenomena di atas membuktikan bahwa, sistem manajemen
pondok pesantren tidak lagi bertumpu pada resources yang dimiliki oleh kiai.
Pondok pesantren dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsip manajerialisme
modern. Eksistensi Pondok Pesantren sampai saat ini membuktikan bahwa adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menjadi masalah. Adanya
13
Menurut data yang ada, dipondok pesantren Sidogiri telah berdiri: Pertama, BMT-UGT (Usaha
Gabungan Terpadu) dengan sembilan cabang. Kedua, BMT-MMU (masalah Mursalah fil-Ummah)
dengan 10 cabang. Ketiga, BPR Untung Suropati, kelima, Kepontren dengan 10 unit usaha dan 5
komoditi unggulan. Kecuali kepontren, secara kelembagaan semua terpisah secara struktural
organisatoris dengan pondok pesantren sidogiri. 14
(Online), https://sidogiri.net/, diakses pada Rabu, 21 Februari 2018 M
Page 21
6
perkembangan tersebut, dapat dipecahkan oleh Pondok Pesantren dengan adanya
perubahan-perubahan yang dilakukan menyesuaikan tuntutan moderinisasi dan
globlalisasi, di samping hal itu, tetap mempertahankan keunikan atau kekhasan
dari Pondok tersebut. Sebagaimana tertuang dalam salah satu kaidah “al-
Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”
(menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern
yang lebih baik). Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta
pengembangan mutu merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara
terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam seluruh proses yang ada pada
pondok pesantren, kalau tidak ingin pondok pesantren kalah bersaing dalam
menjalani era globalisasi ini.
Fenomena yang terjadi ialah mayoritas out put Pondok Pesantren kurang
pada penguasaan materi umum, akibatnya banyak santri kesulitan untuk
masuk/diterima di perguruan tinggi sesuai pilihannya, baik di dalam maupun luar
negeri. Hal ini perlu menjadi renungan, dan perlu adanya perubahan, agar kedepan
lulusan pesantren tidak hanya fokus dan handal pada aspek keagamaan/
spiritualitas, akan tetapi dapat membuktikan bahwa lulusan pesantren dapat
menguasai keilmuan umum. Karena hal tersebut merupakan kebutuhan peserta
didik untuk dapat survive pada abad 21 ini. Hal tersebut selaras dengan apa yang
disampaikan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, saat membuka acara
Education Expo ASESI (Asosiasi Sekolah Sunnah Indonesia) tanggal 29 Oktober
2017, bahwa proyeksi pendidikan abad 21 ada 3 komponen yang mendasar yaitu:
Page 22
7
15a. Karakter/Akhlak, meliputi karakter moral (iman, taqwa, jujur, rendah hati),
dan karakter kinerja (ulet, kerja keras, tangguh, tidak mudah menyerah, tuntas), b.
Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif/kerjasama), c.
Literasi/Keterbukaan wawasan (baca, budaya, teknologi, keuangan).
Beberapa contoh kasus telah terjadi pada dunia pendidikan, mulai dari
moral remaja, dan generasi muda khususnya nampak makin memprihatinkan yang
belum mampu menumbuhkan kader bangsa yang mempunyai karakter, religius,
mandiri dan anti korupsi. Tawuran pelajar banyak terlihat di sana sini, perilaku
kriminal, dan berbagai perbuatan yang a moral dewasa ini banyak dilakukan para
pelajar. Contoh kasus terjadi di Kota Sampang Madura, Siswa menganiaya
gurunya Ahmad Budi Cahyono sampai meninggal dunia, memberi kode keras
betapa moralitas dunia pendidikan perlu mendapat perhatian sangat serius.16
Inilah
bukti bahwa praktik pendidikan yang ada belum mampu menyentuh secara
keseluruhan, domain akal dan terutama menyentuh jiwa dan hati mereka,
sehinggga terlihat orientasi pengembangan intelektual menjadi prioritas utama
dari suatu pendidikan, dan tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritual.
Kondisi yang memperhatikan tersebut semakin diperparah dengan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) kita yang masih rendah. Sesuai data yang
dipublikasikan Indeks Berita, menegasakan bahwa pada tahun 2017, kualitas
SDM penduduk Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan, yaitu
berada pada peringkat 113 dari 188 negara. Laporan UNDP (United Nations
15
Online, https://www.youtube.com/watch?v=Nl5-pOnjtS8, dilihat Rabu, 22 November 2017,
pukul 06.00 WIB. 16
Online, http://regional.kompas.com/read/2018/02/03/17174861/guru-yang-tewas-dianiaya-
muridnya-diduga-mengalami-patah-tulang-leher, diakses pada Ahad, 25 Februari 2018, pukul
11.57 WIB.
Page 23
8
Development Progam) tersebut, mencakup 3 hal, yaitu; tingkat pendidikan,
kesehatan, serta ekonomi rata-rata masyarakat.17
Di samping hal itu, kualitas
pendidikan Republik Indonesia masuk rangking bawah. Hal tersebut dapat dilihat
dari daftar peringkat progam for International Students Assesment (PISA),
sebagaimana diwartakan, dalam pemeringkatan PISA 2015, posisi Indonesia
berada di urutan ke-72.18
Pondok pesantren lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan
bersifat otonom, yang merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan
sosial masyarakat. Potensi dan peran pesantren memberikan potensi dan peran
strategis serta signifikan dalam memberikan sumbangsih bagi peningkatan
keswadayaan, ekonomi, pendidikan, kemandirian dan partisipasi masyarakat. hal
tersebut, senada dengan apa yang di sampaikan Moh. Ali Aziz, bahwa pesantren
di samping sebagai agen perubahan (agent of change), sekaligus sebagai pelopor
kebangkitan umat.19
Globlalisasi akan menimbulkan persaingan, persaingan ini akan terjadi
pada segala bidang, tak terkecuali dunia pendidikan, dan lebih khusus dunia
Pondok Pesantren. Hukum persaingan di mana-mana adalah sama, yaitu siapa
yang unggul, dialah yang akan menjadi pemenangnya. Mereka yang tidak
mempunyai keunggulan, akan menjadi pecundang. Arief Furhan menyampaikan
keunggulan yang amat menentukan ialah keunggulan di bidang ekonomi dan
17
Online, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3455970/peringkat-indeks-
pembangunan-manusia-ri-turun-ini-kata-pemerintah, diakses pada Ahad, 25 Februari 2018, pukul
11.58 WIB. 18 Online, https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20171204/281852938896566, diakses
pada Ahad, 25 Februari 2018, pukul 11.58 WIB 19
A. Halim, Rr. Suhartini, M. Khoirul Arif, A. Sunarto, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2009), hal. 208.
Page 24
9
iptek.20
Oleh sebab hal tersebut, lembaga pendidikan, khususnya lembaga
pendidikan pesantren seyogyanya fokus pada pengembangan mutu SDM yang
ada, karena keunggulan ekonomi dan iptek terletak pada keunggulan SDM yang
dimilikinya.
Maka dari itu, pembenahan dan perubahan manajemen pesantren
merupakan bagian yang sangat penting dari upaya pengembangan pendidikan di
dunia pesantren.21
Langkah ini menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya
peningkatan kualitas pendidikan nasional. Peningkatan mutu dan kualitas
pendidikan secara sungguh-sungguh adalah kebijakan yang sangat strategis bagi
masa depan. Banyak contoh negara-negara maju karena berkat perhatian dan
keseriusan mereka terhadap penyiapan sumber daya manusia melalui sektor
pendidikan.
Penelitian tentang manajemen perubahan dalam pengembangan mutu
Pondok Pesantren mengambil tempat di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo. Pemilihan tempat penelitian didasarkan pada beberapa fakta, pertama,
dari penjajakan awal Peneliti, didapat situasi sosial dari Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar menggunakan sistem pendidikan boarding school sistem modern,
dan kurikulum yang digunakan perpaduan kurikulum Gontor dan pemerintah
(Kemenag). Kedua, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar di samping memiliki
konsen dalam pengembangan nilai-nilai keislaman dan dirosah islamiyah juga
telah melaksanakan perubahan-perubahan dan pengembangan mutu pondok
pesantren hal tersebut terlihat semakin bertambahnya kepercayaan Wali santri
20
Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2004),
hal. 26. 21
Abdulloh Sukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, (Ponorogo, Trimurti Press, 2005), hal. xvi
Page 25
10
untuk memasukkan anaknya ke pondok tersebut, yang mana, pondok tersebut
pernah mengalami fase kemunduran dengan rendahnya kuantitas santri yang ada,
dan lambat laut, meningkat kembali dan tetap survive sampai sekarang. Di
samping hal tersebut, adanya progam unggulan yaitu progam al-Qur’an, tahfidz,
dan bahasa di Pondok Ngabar sebagai karakteristik pendidikan integratifnya yang
kompetitif.
Dari hasil penjajakan awal serta fakta di atas, penulis mengambil judul
tesis “Model Manajemen Perubahan dalam Pengembangan Mutu
Pendidikan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar.”
Page 26
11
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan beberapa rumusan
masalah, diantaranya:
1. Bagaimana The Choice Process (Proses Pilihan) Manajemen Perubahan di
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo?
2. Bagaimana The Trajectory Process (Proses Lintasan) Manajemen
Perubahan di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo?
3. Bagaimana The Change Process (Proses Perubahan) di Pondok Pesantren
“Wali Songo” Ngabar Ponorogo?
4. Bagaimana Faktor Manajemen Perubahan di Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar Ponorogo dalam Pengembangan Mutu Pendidikan Pondok
Pesantren?
C. FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian dalam penelitian ini ialah:
1. Penelitian difokuskan pada proses pilihan, lintasan, dan perubahan dalam
manajemen perubahan dalam pengembangan mutu pendidikan di pondok
pesantren wali songo Ngabar Ponorogo.
2. Faktor apa yang mempengaruhi dan berperan dengan adanya perubahan
tersebut, yang kaitannya dalam pengembangan mutu pendidikan di
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.
Page 27
12
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis The Trajectory Process (Proses
Lintasan) Manajemen Perubahan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis The Trajectory Process (Proses
Lintasan) Manajemen Perubahan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis The Change Process (Proses
Perubahan) Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis Faktor Manajemen Perubahan di
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo dalam Pengembangan
Mutu Pendidikan Pondok Pesantren.
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritik
Penelitian bermanfaat untuk menambah khasanah keilmuwan bagi
pemerhati perkembangan manajemen pendidikan khususnya Manajemen
Perubahan dan sebagai landasan dan rujukan dalam menentukan kebijakan
terkait implementasi dan model Manajemen perubahan dalam pengembangan
mutu pondok pesantren.
2. Manfaat Praktis
Akan merupakan sumbangan yang berharga bagi Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, khususnya bagi stekholder dalam pengembangan mutu
pondok pesantren.
Page 28
13
F. TEMUAN TERDAHULU
1. Ada beberapa studi tentang manajemen perubahan. Yensi Afriza
misalnya, dalam penelitiannya yang berjudul, Implementasi Manajemen
Perubahan oleh Kepala Sekolah (Studi Deskriptif Kualitatif di SMA
Muhammadiyah Bengkulu Selatan), menulis tentang fokus kepala
sekolah dalam mengimplementasikan manajemen perubahan di SMA
terkait aspek pengambillan keputusan, kurikulum, kesiswaan, sarana
pendidikan, tenaga pendidik, keuangan, dan hubungan masyarakat. Dari
beberapa aspek di atas peneliti hanya ingin mendeskripsikan
implementasi manajemen perubahan di sekolah tersebut.22
2. Penelitian semisal dilakukan oleh Antaresti pada tahun 2014 dengan tesis
yang berjudul, Analisis Manajemen Perubahan untuk Peningkatan
Keefektifan Peran Manajer Madya dalam Penerapan Sistem Penjaminan
Mutu.23
Studi kasus di Universitas Katolik Widya Utama. Menurut
peneliti, bahwa kesiapan berubah dari manajer madya masih perlu
ditingkatkan karena hanya dua aspek yang mendapat tanggapan positif
yaitu discrepancy dan appropiateness. Untuk 3 aspek kesiapan berubah
yang lain yaitu aspek principal support, efficacy dan personal valence
terdapat beberapa hambatan yang dapat menurunkan kesiapan berubah
manajer madya. Sebagai change implementer, kemampuan manajer
22
Yensi Afriza, “Implementasi Manajemen Perubahan Oleh Kepala Sekolah: Studi Deskriptif di
SMA Muhammadiyah Bengkulu”, Tesis Magister Manajemen Pendidikan, (Bengkulu: Universiatas
Bengkulu, 2013). 23
Antaresti, “Analisis Manajemen Perubahan Untuk Peningkatan Keefektifan Peran Manajer
Madya Dalam Penerapan Sistem Penjaminan Mutu.,” Tesis Magister Manajemen, (Surabaya:
Universitas Katolik Widya Mandala, 2014).
Page 29
14
madya untuk mengelola perubahan yang meliputi kemampuan
komunikasi, memotivasi dan membangun Tim masih perlu ditingkatkan.
Hambatan yang dihadapi manajer madya dalam mengelola perubahan
dapat dikelompokkan menjadi hambatan personal dan hambatan
organisasi. Hambatan personal terkait dengan pengetahuan dan
kemampuan manajer madya untuk mengelola perubahan dalam
penerapan sistem penjaminan mutu. Sedangkan hambatan organisasi
terkait dengan kebijakan manajer puncak, budaya kebebasan akademik
dan sistem yang bersifat loosely coupled.
3. Muhammad Arifin,24
Strategi Manajemen Perubahan dalam
Meningkatkan Disiplin Perguruan Tinggi. Sesuai dengan judulnya, maka
fokus jurnal ini adalah bagaimana strategi yang dilakukan oleh Perguruan
Tinggi dalam menyesuaikan situasi dan kondisi yang sedang dan akan
terjadi. Manajemen perubahan sangat tepat dilakukan dalam
meningkatkan disiplin utamanya pada perguruan tinggi. Manajemen
perubahan itu sendiri adalah merupakan proses, alat, dan teknik untuk
mengelola orang-orang melalui proses perubahan untuk meningkatkan
disiplin, sehingga tujuan lembaga dapat tercapai. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Keberhasilan manajer dalam mengelola perubahan
harus bersinergi dengan disiplin. Manajemen perubahan harus diawali
dengan peningkatan disiplin. Disiplin harus berubah dari yang kurang
menjadi lebih, sebab disiplin adalah ibarat garam dalam suatu masakan
24
Muhammad Arifin, “Strategi Manajemen Perubahan Dalam Meningkatkan Disiplin Perguruan
Tinggi.” Jurnal EduTech, Vol. 3 No. 1 Maret 2017.
Page 30
15
yang apabila tidak ada akan sangat mempengaruhi akan cita dan rasa
gulainya. Oleh sebab itu strategi yang baik dalam melaksanakan
manajemen perubahan untuk meningkatkan disiplin akan sangat
bermanfaat terhadap perguruan tinggi.
4. Apri Nuryanto, Manajemen Perubahan Dalam Peningkatan Mutu
Sekolah. Fokus peneliannya berkaitan dengan Berubahnya kurikulum
sekolah dari KTSP menjadi kurikulum 2013, akan membawa perubahan
dalam pengelolaan sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai
pimpinan setiap satuan pendidikan harus memahami manajemen
perubahan dan mampu mengelola perubahan agar kinerja sekolah dalam
mengimplementasikan kurikulum 2013 tercapai pada gradasi yang tinggi.
Secara umum tujuannya adalah agar dapat memahami konsep, dan teori-
teori dalam menjemen perubahan, dan selanjutnya mampu menerapkan
dalam praktik mengelola perubahan sekolah dari kurikulum KTSP
menuju kurikulum 2013.
Jika melihat, setidaknya, dari tiga judul di atas, perbedaan penelitian ini ada
dalam tiga aspek; pertama, bahwa studi manajemen perubahan yang akan peneliti
lakukan tidak hanya mendiskripsikan, akan tetapi peneliti mencoba untuk
menganalisis implementasi dan model manajemen perubahan yang digunakan.
Serta bagaimana implementasi menejemen perubahan dalam pengembangan mutu
Pondok Pesantren. Kedua, penelitian ini mengambil di pondok pesantren dengan
berbagai macam setting social yang bermacam-macam yang akan
mendeskripsikan dan menganalisis dari pondok pesantren tersebut. Ketiga,
Page 31
16
penelitian ini berdasarkan pada yang ada di Pondok Ngabar yang memiliki banyak
sistem pendidikan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, penelitian ini murni
membicarakan manajemen perubahan dalam mengembangkan mutu pondok
pesantrennya, melalui aspek-aspek yang ada di pondok pesantren tersebut.
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor
mendefiniskan ”pendekatan kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku (tindakan) yang diamati.25
Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan
penelitian lainnya. Bogdan dan Biklen mengajukan lima karakteristik yang
melekat pada penelitian kualitatif, yaitu: naturalistic, descriptive data,
concern with process, inductive, and meaning.26
Sedangkan Lincoln dan
Guba mengulas 10 (sepuluh) ciri penelitian kualitatif, yaitu: latar alamiah,
peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data secara induktif, grounded
theory, deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil.27
Berikut adalah deskripsi singkat aplikasi lima karakteristik tersebut
dalam penelitian ini. Pertama, penelitian kualitatif menggunakan latar alami
(natural setting) sebagai sumber data langsung dan peneliti sendiri sebagai
25
Robert C. Bogdan & S.J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods (New York:
John Wiley, 1975), hal. 5. 26
Robert C. Bogdan, & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education; An introduction
to theory and methods (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982), hal. 4.
27 Lincoln & Guba, Effective Evaluation (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1981), hal. 39-44
Page 32
17
instrumen kunci. Oleh karena itu, dalam konteks penelitian ini, peneliti
langsung terjun ke lapangan (tanpa diwakilkan), yaitu di Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar. Kedua, penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Data
yang dikumpulkan disajikan dalam bentuk kata-kata, gambar-gambar dan
bukan angka-angka. Laporan penelitian memuat kutipan-kutipan data sebagai
ilustrasi dan dukungan fakta pada penyajian. Data ini mencakup transkip
wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen dan rekaman lainnya. Ketiga,
dalam penelitian kualitatif, ”proses” lebih dipentingkan daripada ”hasil”.
Sesuai dengan latar yang bersifat alami, penelitian ini lebih memperhatikan
pada proses merekam serta mencatat aktifitas-aktifitas kegiatan yang
dilakukan di tempat penelitian. Keempat, analisis dalam penelitian kualitatif
cenderung dilakukan secara induktif. Artinya bahwa penelitian ini, bertolak
dari data di lapangan, kemudian peneliti memanfaatkan teori sebagai bahan
penjelas data dan berakhir dengan suatu penemuan hipotesis atau teori.
Kelima, makna merupakan hal yang esensial dalam penelitian kualitatif.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti berusaha mencari ”makna” dari
”kegiatan-kegiatan yang dijalankan di tempat penelitian.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.28
Dengan pendekatan
studi kasus (case study) atau penelitian lapangan (field research).
28
Tentang pengertian penelitian kualitatif, menurut Locke, Spridouso dan Silverman
adalah:“Qualitative research is interpretative research. As such, the deviates, values and judgment
of the research become state explicitly in the research report. Such openness is considered to be
useful and positive.” (Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretative, dalam kaitan ini,
bisa atau prasangka, penilaian dan pendapat, dari peneliti tertuang secara eksplisit di laporan riset.
Keterbukaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sangat berguna dan positif). Bodgan dan
Page 33
18
3. Instrumen Penelitian
Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan
berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan
skenarionya.29
Untuk itu, posisi peneliti dalam penelitian adalah sebagai
instrumen kunci, partisipan penuh, dan sekaligus pengumpul data. Sedangkan
instrumen yang lain adalah sebagai penunjang.
4. Sumber dan Jenis Data
Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah
kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan
lainnya.30
Berkaitan dengan hal itu, sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah: kata-kata, tindakan, sumber tertulis, foto, dan statistik.
Pertama, kata-kata. Kata-kata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kata-kata orang-orang yang diwawancarai atau informan, yaitu: KH. Heru
Saiful Anwar, MA (Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar), H.
Moh. Zaki Su’adi, Lc., MA., MPI., Ketua Yayasan Pemeliharaan &
Pengembangan Wakaf Wali Songo (dibaca: YPPW-PPWS) dan Koordinator
Sekretariat Pimpinan Pondok, H. Said Abadi, Lc., MA., Direktur Tarbiyatul
Mu’allimin Al-Islamiyah (dibaca: TMI), Kedua, tindakan. Tindakan yang
Taylor dalam Moleong mengartikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
mengasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, gambar dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997), hal. 3. 29
Pengamatan berperanserta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang
memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama
itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku
tanpa gangguan. Robert C. Bogdan, Participant Observation in Organizational Setting (Syracuse
New York: Syracuse University Press, 1972), hal. 3. 30
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis (Belmont,
Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984), hal. 47.
Page 34
19
dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan orang-orang yang diamati,
yaitu: Manajemen Perubahan Pesantren, model perubahan, serta
pengembangan mutu. Ketiga, sumber tertulis. Meskipun sumber data tertulis
bukan merupakan sumber data utama, tetapi pada tataran relitas peneliti tidak
bisa melepaskan diri dari sumber data tertulis sebagai data pendukung. Di
antara sumber data tertulis dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Keempat, foto. Dalam penelitian ini, foto digunakan sebagai
sumber data penguat hasil observasi, karena pada tataran realitas foto dapat
menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan
untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara
induktif. Dalam penelitian ini ada dua katagori foto, yaitu foto yang
dihasilkan orang lain dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri.
Sedangkan foto yang dihasilkan oleh peneliti adalah foto yang diambil
peneliti di saat peneliti melakukan pengamatan berperanserta. Sebagai contoh
adalah foto kegiatan Manajemen Perubahan Pondok Pesantren, model
perubahan, pengembangan mutu. Kelima, data statistik. Yang dimaksud
dengan data statistik dalam penelitian ini, adalah bukan statistik alat analisis
sebagaimana digunakan dalam penelitian kuantitatif untuk menguji hipotesis,
tetapi statistik sebagai data. Artinya data statistik yang telah tersedia akan
dijadikan peneliti sebagai sumber data tambahan. Sebagai contoh adalah data
statistik jumlah siswa, jumlah guru, jumlah unit usaha dan jumlah kegiatan.
Page 35
20
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Sebagaimana yang ditulis oleh Lincoln dan Guba, maksud dan
tujuan dilakukannya wawancara dalam penelitian kualitatif adalah 1
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain; 2 merekonstruksi
kebulatan-kebulatan yang dialami masa lalu; 3 memproyeksikan
kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami pada masa yang
akan datang; 4 memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi
yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia
(triangulasi); dan 5 memverifikasi, mengubah dan memperluas
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan
anggota.31
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terbuka.
Maksud wawancara terbuka dalam konteks penelitian ini adalah
orang-orang yang diwawancarai (informan) mengetahui bahwa mereka
sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dan tujuan
diwawancarai. Sedangkan teknik wawancara yang digunakan adalah
wawancara terstruktur dan tak terstuktur. Wawancara terstruktur
dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan atau informasi secara
detail dan mendalam mengenai pandangan responden tentang
implementasi manajemen perubahan di Pondok Pesantren Wali Songo
31
Lincoln & Guba, Effective Evaluation (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1981), hal. 266.
Page 36
21
Ngabar. Adapun wawancara tak terstruktur artinya pelaksanaan tanya
jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari. Orang-orang yang
dijadikan informan dalam penelitian ini, ditetapkan dengan cara
purposive sampling dan snowball sampling. Sesuai yang ditulis Sugiono,
bahwa purposive sampling ialah teknik pengumpulan sampel dengan
pertimbangan tertentu.32
Artinya peneliti perlu membuat suatu pedoman,
agar dapat memperoleh data atau informasi yang dimagsud. Sedangkan
snowball sampling, ialah teknik penetuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian membesar.33
Artinya agar data yang didapat,
lebih mendalam dan komprehensif. Adapun wawancara akan dilakukan
kepada KH. Heru Saiful Anwar, MA, sebagai Pimpinan Pondok
Pesantren Wali Songo, Ketua Yayasan, Ketua-ketua lembaga yang ada di
kedua pondok tersebut. data yang diambil dari informan-informan
tersebut ialah 1). Sejarah Pondok, 2). Visi & Misi Pondok, 3). Profil
Pondok Panca Jiwa, 4). Arah & Tujuan Pendidikan dan Pengajaran, 5).
Struktur Lembaga Pondok Situasi Pendidik, dan Peserta Didik, 6).
Kurikulum Yang digunakan, 7). Kegiatan ektrakulikuler, 8). Jumlah unit
usaha 9). Implementasi manajemen Perubahan, 9). Penghambat
manajemen perubahan, dan 10). Pengembangan mutu pondok pesantren.
b. Observasi
Hasil observasi dalam penelitian ini dicatat dalam ”catatan
lapangan”. Catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam
32
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 124 33
Ibid, hal. 125
Page 37
22
penelitian kualitatif. Sebagaimana ditegaskan oleh Bogdan dan Biklen
bahwa seorang peneliti pada saat di lapangan harus membuat “catatan”,
setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal barulah menyusun “catatan
lapangan”. Sebab ”jantung penelitian” dalam konteks penelitian kualitatif
adalah ”catatan lapangan”. Catatan tersebut menurut Bogdan dan Biklen
adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan
dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data
dalam penelitian kualitatif.34
Observasi dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan penelitian, yaitu berupa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi manajemen perubahan di Pondok Pesantren dalam
pengembangan mutu pesantren di lembaga pesantren tersebut, seperti
proses pembelajaran, suasana pendidikan di Pondok, proses rapat
pengembangan mutu, dan lain sebagainya. Prosedur ini dimagsud untuk
melengkapi prosedur pengumpulan data yang berasal dari wawancara
dan dokumentasi.
c. Dokumentasi
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari
sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman
(record). Lincoln dan Guba membedakan definisi antara dokumen dan
rekaman. Menurutnya “rekaman” adalah setiap pernyataan tertulis yang
disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu
34
Lihat dalam Robert C. Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education; An introduction
to theory and methods (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982), hal. 74.
Page 38
23
peristiwa. Sedangkan “dokumen” adalah setiap bahan tertulis yang tidak
dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu.35
Menurut Arikunto, dokumentasi didefinisikan sebagai ”setiap bahan
tertulis seperti buku-buku, majalah-majalah, dokumen, peraturan-
peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan lain sebagainya”.36
Tentunya
dalam hal ini ialah catatan tertulis yang sering digunakan untuk
memperoleh data dokumen tentang manajemen perubahan, dan
pengembangan mutu pondok pesantren seperti dokumen perubahan yang
telah dilaksanakan, dokumen hasil evaluasi mutu selama beberapa tahun,
rencana perubahan dan mutu Pondok Pesantren dan lain sebagaianya.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat
kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.37
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep
yang diberikan Miles & Huberman yang mengemukakan bahwa aktivitas
35
Lincoln & Guba, Effective Evaluation (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1981), hal. 228. 36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 149 37
Analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcripts, field
notes, and other materials that you accumulate to increase your own understanding of them and to
enable you to present what you have discovered to others. Lihat dalam Robert C. Bogdan dan
Biklen, Qualitative Research for Education, An introduction to theory and methods, hal. 157.
Page 39
24
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas, dan
datanya sampai jenuh. Aktifitas yang dimaksud meliputi data reduction, data
display dan conclusion, 38
sebagaimana pada gambar berikut:
Pengumpulan
Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan
Gambar 1.1
Langkah Analisis Data Model Miles & Huberman
Data yang ditemukan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi di
stakeholder Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sangat komplek. Untuk itu
peneliti melakukan reduksi data, yaitu kegiatan merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, disesuaikan dengan
fokus penelitian.
Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data
(data display), yaitu pemaparan data sesuai dengan masing-masing fokus
penelitian dalam bentuk uraian, dan bagan yang menghubungkan antar
katagori. Sebagai langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. 38
Lihat dalam Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 16.
Page 40
25
7. Teknik Pengecekan Keabsahan Data
a. Pengamatan yang Tekun.
Ketekunan pengamatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan
dengan persoalan atau isu yang terkait tentang kegiatan Manajemen
Perubahan Pondok Pesantren, unit-unit usaha, dan kegiatan
ekstrakulikuler, kegiatan belajar mengajar, dan pengembangan mutu
pondok pesantren.
Ketekunan pengamatan menyediakan ”kedalaman”. Ketekunan
pengamatan ini dilaksanakan peneliti dengan cara mengadakan
pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap
faktor-faktor yang menonjol yang ada hubungannya dengan kegiatan-
kegiatan Manajemen Perubahan Pondok Pesantren, unit-unit usaha, dan
kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan belajar mengajar, dan pengembangan
mutu pondok pesantren. kemudian menelaahnya secara rinci sampai pada
suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau
seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa.
b. Triangulasi.
Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam konteks penelitian ini,
Page 41
26
teknik triangulasi yang digunakan hanya tiga teknik, yaitu triangulasi
sumber, triangulasi metode dan triagulasi penyidik.39
1) Pertama, triangulasi dengan sumber
Triangulasi dengan sumber, berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.40
Contoh penerapan triangulasi dengan sumber dalam konteks
penelitian ini adalah menggali kebenaran informan tertentu melalui
berbagai metode dan sumber perolehan data. Selain wawancara, dan
observasi, peneliti menggunakan observasi terlibat (participant
observation), dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan
resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto.
2) Kedua, triangulasi dengan metode
Triangulasi dengan menggunakan metode dalam konteks
penelitian ini, digunakan untuk menguji kredibilitas data dengan
melakukan check data kepada sumber yang sama dengan metode
yang berbeda.41
Aplikasinya dalam penelitian ini adalah
membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda.
Peneliti menggunakan metode wawancara bebas dan terstruktur,
serta peneliti menggunakan wawancara, observasi, atau pengamatan
untuk mengecek kebenarannya.
39
Norman K. Denzin, Sociological Methods (New York: McGraw-Hill, 1978), hal. 65. 40
Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation Methods (Beverly Hills: Sage Publications,
1987), hal. 331. 41
Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation Methods (Beverly Hills: Sage Publications,
1987), hal. 329.
Page 42
27
3) Ketiga, triangulasi dengan penyidik
Triangulasi dengan penyidik dalam konteks penelitian ini,
digunakan untuk pengecekan kembali derajat keabsahan data dengan
jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya. Contoh
penerapannya dengan sumber dalam konteks penelitian ini adalah
menggunakan lebih dari satu orang yang berpengalaman dalam
pengumpulan dan analisis data.
c. Pengecekan Sejawat Melalui Diskusi.
Teknik ini dilakukan peneliti dengan cara mengekspos hasil
sementara yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-
rekan sejawat. Contoh penerapannya dengan sumber dalam konteks
penelitian ini adalah mengumpulkan data yang diperoleh, kemudian dari
data tersebut dicek satu-persatu dalam suatu forum diskusi dengan
sejawat, untuk menyeleksi data-data yang valid dan dibutuhkan oleh
peneliti.
d. Kecukupan Referensial.
Konsep kecukupan referensial dalam konteks penelitian mula-mula
diusulkan oleh Eisner dalam Lincoln dan Guba sebagai alat untuk
menampung dan menyesuaikan dengan data tertulis untuk keperluan
evaluasi.42
Kecukupan referensial dalam proses penelitian ini adalah
dengan mengggunakan camera, tape-recorder, handycam sebagai alat
perekam yang pada saat senggang dimanfaatkan untuk membandingkan
42
Lincoln dan Guba, Effective Evaluation (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1981), hal. 313.
Page 43
28
hasil yang diperoleh dengan kritik yang telah terkumpul. Contoh
penerapannya dengan sumber dalam konteks penelitian ini adalah
mempersiapkan semua alat-alat tersebut dalam proses penelitian, serta
menggunakannya ketika proses wawancara, observasi dan pengamatan
pada proses penelitian dilaksanakan.
8. Tahapan Penelitian
Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini ada 4 (empat) tahapan. Yaitu:
(1) tahap pra-lapangan, yang meliputi: menyusun rancangan penelitian,
memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai
keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan
perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian, (2)
Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian dan
persiapan diri, memasuki lapangan dan berperanserta sambil mengumpulkan
data, (3) Tahap analisis data, yang meliputi: analisis selama dan setelah
pengumpulan data, dan (4) Tahap penulisan laporan.
Page 44
29
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman dalam penelitian ini, maka
penulis menyusun kerangka dengan sistematika sebagai berikut:
Bab Satu: PENDAHULUAN: Yaitu merupakan pola dasar yang
menggambarkan alur pemikiran penulis dalam penyusunan tesis, meliputi: Latar
belakang masalah, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian teoritik dan telaah penelitian terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab Dua: KAJIAN PUSTAKA: Funsinya sebagai acuan dasar teori yang
digunakan untuk mengkaji data-data empiris yang diteliti, meliputi: Pengertian
Manajemen, Pengertian Manajemen Pendidikan, Pengertian Manajemen Pondok
Pesantren, dan implementasi dan faktor Manajemen Pondok Pesantren dalam
pengembangan mutu pondok pesantren.
Bab Tiga: PENYAJIAN DATA: Berfungsi sebagai penyajian data empiris
yang subtansinya meliputi: tinjauan umum wilayah penelitian (Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar), serta penyajian data umum dan khusus.
Bab Empat: ANALISIS DATA: Berfungsi sebagai analisis data, yaitu
tentang analisis implementasi Manajemen Perubahan Pondok Pesantren di PPWS,
dan analisis Faktor Manajemen Perubahan di PPWS.
Bab Lima: PENUTUP: Merupakan bab terakhir yang mencakup tentang
kesimpulan, saran-saran, kata penutup, daftar kepustakaan, dan lampiran-lampiran
yang diperlukan.
Page 45
146
BAB II
KONSEP MANAJEMEN PERUBAHAN DAN MUTU PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN
A. Konsepsi Manajemen Perubahan
1. Pengertian Manajemen Perubahan
Mengutip pendapat Griffin, manajemen adalah sebuah proses
perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, dan evaluasi aktivitas atau kegiatan
yang ada di dalam organisasi.43
Tony Bush menganggap bahwa manajemen
adalah satu ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang proseduralisme yang
wajib dilalui oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
yang sudah dicanangkan dan direncanakan sebelumnya.44
Manajemen menurut Warren Bennis, adalah proses penempatan orang
pada posisi yang tepat (getting people to do what needs to be done), agar
tujuan-tujuan organisasi bisa tercapai secara efektif dan efesien.45
Hani
Handoko mengamini bahwa concern utama logos manajemen adalah cult of
effeciency and effectivity. Efesiensi adalah sebuah nilai yang mengajarkan
setiap program yang dicanangkan organisasi harus tepat waktu dan memiliki
hitungan anggaran yang cukup. Sedangkan efektifitas adalah nilai yang bisa
didapat dari program yang dicanangkan dan orang yang melaksanakan
kegiatan tersebut.46
43
Sebagaimana dikutip Husaeni Usman, Manajemen,”Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan” edisi
3, (Jakarta: Bumi aksara, 2009), hal. 624 44
Tony Bush, Leadership and Management Development (Los Angeles & London: SAGE Pub.
2008), hal. 6 45
Warren Bennis, on Becoming a Leader (Philadelpia; Basic Book Inc, 2009), hal. 34 46
Hani Handoko, Manajemen, (Jogjakarta: BPFE, 2003), hal.7
Page 46
31
Adapun pengertian terkait perubahan, Cook memformulasikan konsep
perubahan adalah proses dimana kita pindah dari kondisi yang berlaku
menuju kondisi yang diinginkan yang dilakukan oleh individu, kelompok,
serta organisasi dalam hal bereaksi terhadap kekuatan dinamik internal
maupun eksternal.47
Perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang
berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan hal-
hal dengan cara yang baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-
prosedur manajemen baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru,
penggabungan (merging), melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa
yang bersifat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan.48
Potts dan La Marsh melihat bahwa perubahan merupakan pergeseran dari
keadaan sekarang suatu organisasi menuju keadaan yang diinginkan di masa
depan. Perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari struktur, proses,
orang dan budaya.49
Sementara itu Wibowo menyampaikan perubahan selalu
dimulai dengan inisiatif pandangan pada hasil positif. Hambatan paling
umum untuk keberhasilan perubahan ialah resistensi manusia, yang
menyebabkan resistensi dan perubahan terjadi lebih cepat dan lancar.50
Pandangan para ahli di atas, tentang makna perubahan sangat bervariasi
menurut sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Oleh sebab itu,
pengertian-pengertian tersebut, dapat dikombinasikan dan disesuaikan dengan
kondisi yang ada.
47
Ismail Nawawi Uha, Manajemen Perubahan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hal. 2 48
Jeff Davidson, Change Management, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 3 49
Rebecca Potts and Jeanne La Marsh, Master Change Maximize Success, (British, Copyrighted
Material, 2004), Hal. 36. 50
Wibowo, Manajemen Perubahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 242.
Page 47
32
Sedangkan manajemen perubahan ialah suatu proses secara sistematis
dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan
untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari
proses tersebut.51
Wibowo juga mengatakan bahwa Manajemen Perubahan
merupakan pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi,
dalam kondisi lingkungan yang bergerak terus-menerus. Dengan demikian,
manajemen perubahan pada hakikatnya adalah merupakan manajemen kinerja
yang bersifat dinamis. Hal yang paling berperan untuk keberhasilan
perubahan ialah sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, peningkatan
kualitas SDM secara terus-menerus merupakan suatu keharusan.52
Dalam industrial management, Lisa Kudray dan Brian Kleiner
mendefinisikan manajemen perubahan sebagai “sebuah proses penyejajaran
(alignment) berkelanjutan sebuah organisasi dengan pasarnya dan
melakukannya dengan lebih tanggap dan efektif daripada pesaingnya.”53
Manajemen perubahan ditujukan untuk memberikan solusi bisnis yang
diperlukan dengan sukses dengan cara yang terorganisasi dan dengan metode
melalui pengeloalaan dampak perubahan pada orang yang terlibat di
dalamnya. Maka dari itu, Manajemen perubahan perlu mengambil pelajaran
dari pengalaman sebelumnya, menjalankan proses perubahan dengan benar,
51
Ibid, hal. 241 52
Wibowo, Manajemen Perubaha…, hal. V 53
Jeff Davidson, Change Management…, hal. 4
Page 48
33
dan memberikan peran dan tanggung jawab kepada semua stekholder sesuai
dengan proporsinya.54
Pendekatan dalam manajemen perubahan ialah pertama: mengidenfikasi
siapa, di antara mereka yang yang terkena dampak perubahan, yang mungkin
menolak perubahan; kedua, menelusuri sumber, tipe dan tingkat resistensi
perubahan yang mungkin ditemukan; ketiga, mendesain strategi yang efektif
untuk mengurangi resistensi tersebut. Artinya menerapkan manajemen
perubahan, dapat memperkirakan jumlah resistensi yang mungkin terjadi dan
waktu serta uang yang diperlukan berkaitan dengan resistensi. Hal ini
memungkinkan orang yang harus melakukan perubahan mengukur faktor
penting, seperti apakah perubahan berharga untuk dilakukan dan seberapa
kemungkinan keberhasilan yang diperoleh. Memahami mengapa orang
menolak berubah dan bagaimana mengatasi resistensi ini merupakan inti dari
manajemen perubahan.55
2. Tujuan dan Prinsip Manajemen Perubahan
a. Tujuan Manajemen Perubahan
Tujuan perubahan disatu sisi untuk memperbaiki kemampuan
organisasi dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan
disisi lain, mengupayakan perubahan perilaku karyawan untuk
meningkatkan produktivitasnya. Perubahan harus dilakukan secara hati-
hati dengan mempertimbangkan berbagai hal agar manfaat yang
ditimbulkan oleh perubahan harus lebih besar daripada beban kerugian
54
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 241 55
Ibid, hal 242
Page 49
34
yang harus ditanggung. Sementara itu, Wibowo dalam bukunya
Manajemen Perubahan mengatakan bahwa, adanya perubahan untuk
mempertahankan bahkan meningkatkan daya saingnya dalam kompetisi
yang semakin ketat.56
b. Prinsip Manajemen Perubahan
Pada hakikatnya, kehidupan manusia maupun organisasi diliputi oleh
perubahan secara berkelanjutan. Di satu sisi karena adanya faktor
eksternal yang mendorong terjadinya perubahan, di sisi lain perubahan
justru dirasakan suatu kebutuhan internal. Oleh karena itu, perubahan
perlu lebih dipahami untuk mengurangi tekanan resistensi terhadap
perubahan. Resistensi merupakan suatu hal yang wajar dan dapat
diatasi.57
Memahami manajemen dan perubahan merupakan kebutuhan
mutlak, namun tidak cukup. Persoalan berikutnya ialah bagaimana
perubahan tersebut harus dikelola. Pemahaman tentang manajemen
perubahan diperlukan agar kemungkinan keberhasilan suatu upaya
perubahan lebih besar. Untuk itu, manajemen perubahan perlu
mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya, menjalankan proses
perubahan dengan benar, dan memberikan peran dan tanggung jawab
kepada semua stakeholder sesuai proporsinya.58
56
Ibid, hal. 5. 57
Ibid, hal, 81. 58
Ibid, hal. 241.
Page 50
35
3. Karakteristik Pendekatan Manajemen Perubahan
Perubahan telah menjadi karakteristik utama dunia pendidikan pada
beberapa tahun terakhir ketika beragam perundang-undangan baru telah
diimplementasikan, tetapi nasehat praktis tentang bagaimana mengelola dan
mengatasi perubahan di sekolah-sekolah sangat sulit dijumpai.59
Dalam dunia
pendidikan, khususnya di sekolah, perubahan telah banyak menimbulkan
tekanan terhadap para guru. Para guru telah mengalami stress. Bahkan, survei
yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 1980-an secara konsisten telah
menunjukkan peningkatan jumlah guru mangkir kerja, peningkatan insiden
fisik dan gangguan psikologis.60
Wibowo mengatakan, ada 2 pendekatan utama untuk manajemen
perubahan, yang dinamakan planed change (perubahan terencana) dan
emergent change (perubahan darurat). Pendekatan yang dipergunakan
tergantung pada kondisi lingkungan yang dihadapi. Pada situasi tertentu
planed change lebih tepat dan pada kondisi lainnya, mungkin emergent
change lebih cocok.61
a. Perubahan Terencana (Planned change)
Perubahan terencana (Planned change) merupakan perubahan rutin,
berulang-ulang, dan diprediksi dan dikendalikan. Untuk melakukan
perubahan terncana dilakukan empat fase, yaitu sebagai berikut:
59
Achmad Sanusi, Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hal. 16 60
Ibid, hal. 5. 61
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 246
Page 51
36
1) Fase eksplorasi: dalam fase ini organisasi menggali dan
memutuskan untuk membuat perubahan spesifik.
2) Fase perencanaan: proses perencanaan menyangkut
mengumpulkan informasi untuk mendiagnosis masalahnya,
menentukan tujuan perubahan dan mendesain tindakan yang
tepat untuk mencapai tujuan, dan membujuk pengambil
keputusan mencapai tujuan serta mendukung perubahan.
3) Fase tindakan: implementasi perubahan menyangkut desain
untuk menggerakkan organisasi menuju perubahan,
menciptakan pengaturan dalam mengelola proses perubahan dan
mendapat dukungan pelaksanaannya, mengevaluasi
implementasi dan umpan balik untuk penyesuaian serta
perbaikan.
4) Fase integrasi: tahapan ini berkaitan dengan konsolidasi dan
stabilisasi perubahan.
b. Pendekatan Darurat (Emergent Approach)
Pendekatan Darurat (Emergent Approach) merupakan perubahan
dengan pendekatan darurat memberikan arahan dengan melakukan lima
gambaran organisasi yang dapat mengembangkan keberhasilan
perubahan, yaitu sebagai berikut:
Struktur organisasi: perubahan struktur menuju pada organisasi
hirarkhi datar dengan lebih banyak delagasi.
Page 52
37
1) Budaya organisasi: budaya organisasi mencerminkan perilaku,
sikap, dan pola piker karyawan dalam bekerja.
2) Organisasi pembelajaran: pembelajaran memainkan peran kunci
dalam menyiapkan orang melakukan prubahan atau menolak
perubahan.
3) Perilaku manajerial : dalam perubahan darurat memerlukan
perubahan radikal dalam perilaku manajer.
4) Kekuatan dan politik: meskipun advokasi terhadap perubahan
darurat cenderung melihat kekuatan dan politik dari perspektif
yang berbeda, mereka semua mengenal arti pentingnya
perubahan yang harus dikelola agar perubahan menjadi efektif.62
Jeff Davidson menambahkan bahwa Setiap budaya organisasi adalah
berbeda, untuk itu, Dia mengklasifikasi lingkungan-lingkungan perubahan
menjadi beberapa kategori, agar dalam menyusun rencana manajemen dapat
disusun dengan tepat. Jeff Davidson mengklasifikasikan empat pendekatan
manajemen perubahan, yaitu: a. Pendekatan Rasional-Empiris, b. Pendekatan
Normatif-Reedukatif, c. Pendekatan Kekuasaan-Koersif, dan d. Pendekatan
Lingkungan-Adaptif.63
a. Pendekatan Rasional-Empiris
Pendekatan rasional-empiris untuk perubahan, didasarkan pada
keyakinan bahwa ada perilaku orang-orang yang dapat diprediksi, dan
mereka memberikan perhatian khusus terhadap kepentingan-kepentingan
62
Ibid, hal. 249 63
Jeff Davidson, Change Management…, hal. 63.
Page 53
38
diri mereka sendiri. Memahami jenis perilaku ini, member manajer
perubahan sebuah strategi berguna untuk melangkah.
Berapa komponen dari pendekatan ini percaya bahwa target-target
perubahan terselimuti oleh berbagai tahayyul, kebenaran semu, dan
ketidaktahuan, walau tetap memelihara rasionalitas. Target-target
perubahan akan mengikuti kepentingan diri mereka jika itu diungkapkan
kepada mereka yang berarti, tentu saja, bahwa sering kali mereka tidak
mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Orang-orang akan berubah
ketika mereka menerima komunikasi yang efektif dan informatif dan
ketika insentif-insentif bagi perubahan dipandang memadai.64
b. Pendekatan Normatif-Reedukatif
Pendekatan ini menekankan kepada bagaimana seorang Manajer
perubahan dapat mempengaruhi atau bertingkah laku dengan cara-cara
tertentu, yang selanjutnya staf/anggota dapat melakukan perubahan atau
dapat berubah. Orang-orang berubah ketika mereka memiliki suatu
perasaan tersendiri bahwa perubahan adalah demi kepentingan terbaik.
Perubahan paling siap terjadi ketika satu individu termasuk dalm sebuah
kelompok dan mengadopsi sistem nilai-nilai dan keyakinan kelompok.65
c. Pendekatan Kekuasaan-Koersif
Pendekatan ini fokus pada: 1) bagaimana mengenali bahwa orang-
orang pada dasarnya patuh, 2) menjalankan kekuasaan sebagai sebuah
64
Ibid, hal. 65. 65
Ibid, hal. 86.
Page 54
39
penggugah perubahan cepat, 3) menjalankan kekuasaan secara tepat, dan
4) bersandar pada sanksi-sanksi dan ketergantungan.
Pendekatan koersif atau kekuasaan yang memaksa untuk manajemen
perubahan digunakan secara semena-mena oleh sebagian pihak, secara
naïf oleh sebagian lain, dan kerap menjadi bentuk standar manajemen
perubahan. Premis utamanya ialah bahwa orang-orang pada dasarnya
patuh dan akan melakukan apa yang diperintahkan dengan sedikit atau
tanpa upaya peyakinan.
Mengupayakan orang-orang agar berubah didasarkan pada
penegakan kewenangan dan ancaman atau pemberlakuan sanksi-sanksi
atas kinerja buruk. Pendekatan ini juga disebut pendekatan kekuatan
penindas. Apapun istilah yang digunakan, penerapannya mengandung
resiko yang besar dan potensi balasannya besar. 66
d. Pendekatan Lingkungan-Adaptif
Pendekatan ini menekankan kepada: 1) meletakkan aturan, 2)
bagaimana dan kapan membuat peraturan, 3) mengatasi kelekatan dengan
norma-norma yang ada, dan 4) mengeksploitasi kekuatan-kekuatan
perusahaan/organisasi.
Premis utama dari pendekatan ini ke manajemen perubahan ialah
bahwa meskipun orang-orang berdasarkan insting mereka berupaya
66
Ibid, hal. 87.
Page 55
40
menghindari gangguan atau kerugian, mereka sebenarnya memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru. 67
Pendekatan dalam melakukan perubahan dapat diproses dengan cara
pulling out atau mencabut cara dan kebiasaan lama atau dapat pula dengan
cara putting up atau menempatkan cara dan kebiasaan baru. Cara untuk
melakukan perubahan, baik dalam skala kecil atau skala besar, adalah tidak
dengan melakukan penghancuran dan mengganti dengan mengurangi pekerja,
me-reenginering proses, merombak struktur, akulturasi kembali seluruh
tenaga kerja, atau menggantingan jaringan sosial dengan jaringan komputer.
Pendekatan perubahan sekarang ini yang terjadi dengan cara tersebut
dikatakan sebagai creative destruction. Pendekatan perubahan sebaiknya
dilakukan dengan creative recombination. Creative recombination adalah
mencabut apa yang sudah kita miliki dan mengkombinasikan kembali dalam
bentuk baru dan berhasil.68
Kurt Lewin mengatakan bahwa no pain, no change. Apabila tidak mau
pusing tidak akan ada perubahan. Abrahamson melihat bahwa hal tersebut
terjadi karena perubahan dilakukan dengan creative destruction. Perubahan
dapat dilakukan tanpa menimbulkan kepusingan, change without pain,
apabila dilakukan dengan creative recombination, mengombinasikan ulang
secara kreatif karena bersifat kurang mengganggu.69
67
Ibid, hal 108. 68
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 230 69
Ibid, hal. 232.
Page 56
41
Untuk melakukan perubahan tanpa menimbulkan kepusingan, atau
change without pain, diperlukan adanya lima faktor yang dikombinasikan
atau digabungkan kembali dalam rangka perubahan, yaitu: 1) people (orang),
2) networks (jaringan), 3) culture (budaya), 4) Processes (proses), dan 5)
structure (struktur). 70
Orang dalam suatu organisasi adalah pekerja, yang membangun network
atau jaringan kerja satu sama lain dengan menukar informasi, kebaikan,
sumber daya dan bahkan gosip melalui sistem informal organisasi. Budaya
perusahaan meliputi nilai-nilainya (misalnya dalam pengambilan keputusan
yang dilakukan melalui konsensus), norma-norma, dan peran informal. Proses
merupakan kegiatan pembaharuan, seperti pembelian, produksi atau
distribusi, yang memungkinakan perusahaan/organisasi mengubah masukan
seperti bahan baku, buruh, atau capital menjadi keluaran sebagai produk dan
jasa. Sedangkan struktur, merupakan kotak organisasi, garis komunikasi dan
pelaporan, staffing, dan mekanisme pengawasan yang ditempatkan manajer
untuk memastikan bahwa pekerja menjalankan proses secara efektif dan
efesien.71
Ketika melakukan perubahan melalui creative recombination, bukan
dengan cara menggantikan orang, network, kultur, proses, dan struktur yang
sudah ada dengan menggantikannya dengan yang baru, namun dengan
mengkombinasikan kembali apa yang sudah dimiliki. Dengan kata lain, kita
70
Ibid, hal. 232 71
Ibid, hal. 233.
Page 57
42
hanya melihat bagian yang ada di arsitektur organisasi untuk solusi
perubahan.
4. Jenis Manajemen Perubahan
Menurut Sulaksana dalam Haris Chandra, ada tiga jenis perubahan
organisasi menurut sifatnya, yaitu:
a. Smooth incremental change, dimana perubahan terjadi secara
lambat, sistematis dan dapat diprediksi serta mencakup rentetan
perubahan dalam kecepatan konstan.
b. Bumpy incremental change, dimana perubahan ini dicirikan sebagai
periode relatif tenang yang sekali-sekali disela percepatan gerak
perubahan yang dipicu oleh perubahan lingkungan organisasi dan
juga bisa bersumber dari internal seperti tuntutan peningkatan
efesiensi dan perbaikan metode kerja.
c. Discontinous change, dimana perubahan ditandai dengan
pergeseran-pergeseran cepat atas strategi, struktur, budaya, dan
ketiganya sekaligus. Sulaksana dalam Haris Chandra mendefinisikan
discountinous change sebagai frame breaking change, yaitu
perubahan yang bersifat revolusioner dan cepat. Dalam hal ini
mencakup:
1) Reformasi misi dan nilai-nilai inti (core value), yaitu perumusan
ulang misi dan nilai-nilai inti perusahaan.
2) Pergeseran kekuasaan dan status merefleksikan pergeseran basis
persaingan dan sumber daya.
Page 58
43
3) Reorganisasi strategi baru memerlukan modifikasi struktur,
sistem dan prosedur, arus kerja, jaringan komunikasi, serta pola
pengambilan keputusan.
4) Eksekutif baru, biasanya berasal dari luar perusahaan.
5. Masalah dalam Manajemen Perubahan
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan.
Menurut Winardi masalah yang paling sering dan menonjol adalah
“penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam
manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan
atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan
tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam
bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera,
misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan
sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya
loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja
meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. Sumber
penolakan yang terjadi dalam manajemen perubahan dapat di kategorikan
menjadi dua, yaitu:
a. Penolakan yang dilakukan secara inidivual, setiap individu
mempunyai persoalan pribadi, persepsi dan kebutuhan maka
inidividu punya potensi sebagai sumber penolakan terhadap
perubahan. Penolakan secara inividu terjadi karena:
Page 59
44
1) Kebiasaan
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan
secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena
kita merasa nyaman, menyenangkan. Jika perubahan berpengaruh
besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri,
yaitu penolakan.
2) Rasa aman
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita
memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi
menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke
padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.
3) Faktor ekonomi
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah
soal menurunnya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja
karena akan kehilangan upah lembur.
4) Takut akan sesuatu yang tidak diketahui
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh
karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi
sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum
pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan
menolak perubahan.
Page 60
45
5) Persepsi
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara
pandang ini mempengaruhi sikap.
Gambar 2.1: Penyebab timbulnya penolakan individu terhadap perubahan
b. Penolakan Organisasional atau kelompok, organisasi pada
hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak
perubahan. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan, yaitu:
1) Inersia Struktural
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan
tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain
sebagainya menghasilkan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka
besar kemungkinan stabilitas terganggu.
2) Fokus perubahan berdampak luas
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya
difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu
sistem. Jika satu bagian diubah maka bagian lain pun terpengaruh
olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi
Penolakan
Individu
Rasa Aman
Faktor Ekonomi Kebiasaan
Ketidakpastian Persepsi
Page 61
46
baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit
berjalan lancar.
3) Inersia kelompok kerja
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma
kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota
serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu
perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma
serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.
4) Ancaman terhadap keahlian
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam
keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer
untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru
gambar.
5) Ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang telah mapan.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif
seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para
penyedia dan manajer tingkat menengah.
6) Ancaman terhadap alokasi sumber daya
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan
sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan
organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan
mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?
Page 62
47
Gambar 2.2: Penyebab timbulnya penolakan kelompok terhadap perubahan
6. Target dalam Manajemen Perubahan
Menurut Winardi dalam manajemen perubahan terdapat target yang perlu
dicapai perusahaan, target tersebut diantaranya:
a. Individu, manajemen perubahan dalam suatu perusahaan melibatkan
sumber daya manusia yang ada. Manajemen perubahan yang terjadi
membuat perusahaan harus melakukan PHK untuk mengganti
dengan yang baru atau perusahaan juga melakukan promosi. Akan
tetapi beberapa perusahaan memilih untuk tidak melakukan PHK,
perusahaan menggunakan cara mempromosikan karyawan lama
tanpa harus melakukan rekuitmen.
b. Teknologi, perubahan teknologi merupakan salah satu cara umum
dengan apa suatu perusahaan di transformasi.
c. Struktural, struktur organisasi merupakan alat untuk membantu
manajemen dalam mencapai tujuannya. Struktur dapat memberikan
gambaran tentang spesialis pekerjaan dan kekuasaan dalam suatu
perusahaan.
Penolakan
Individu
Dampak Luas Perubahan
Inersia Kelompok Inersia Struktural
Ancaman Keahlian Ancaman Alokasi Sumberdaya
Ancaman Kekuasaan
Page 63
48
d. Proses-proses, perubahan pada sistem imbalan. Misalnya perubahan
sistem imbalan yang biasanya per jam menjadi gaji.
e. Kultur, perubahan merupakan proses jangka panjang. Perubahan
yang dijalankan suatu perusahaan membawa perusahaan mengenal
nilai-nilai budaya baru yang mendukung.
7. Mengelola Manajemen Perubahan Secara Efektif
Sulaksana dalam Haris Chandra menyatakan untuk mengelolah
manajemen perubahan secara efektif diperlukan kemampuan untuk
menciptakan keseimbangan antara pekerja, sumber daya, gagasan, peluang
dan tuntutan. Dalam hal ini manajemen puncak mempunyai pengaruh yang
kuat, untuk itu manajemen puncak mempunyai tiga ketrampilan kunci agar
dapat mengelolah manajemen perubahan secara efektif, dan tiga kunci
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengelola transisi secara efektif, yaitu dengan membuat strategis
perubahan dan belajar dari perubahan.
b. Menangani budaya organisasi dan perubahan-perubahan yang terjadi
terhadap budaya peran (role culture) dan budaya tugas (task culture).
c. Positif perubahan organisasi, dengan fokus pada koalisi dominan
yang memilki pengaruh kuat atas keputusan, penggunaan sumber
daya.
Manajer mempunyai basis pengetahuan dan keahlian untuk mengelola
manajemen perubahan secara efektif. Namun tingginya tingkat kegagalan
program manajemen perubahan mengidentifikasikan bahwa sebenarnya
Page 64
49
banyak manajer yang tak memenuhi harapan tersebut. Penyebab kegagalan
manajemen perubahan bisa terjadi karena banyak hal, namun kebanyakan
kegagalan bersumber dari dalam organisasi itu sendiri, antara lain:
a. Semua orang dalam organisasi memandang manajemen perubahan
sebagai tujuan daripada sebagai sebuah proses yang memerlukan
perencanaan, persiapan, manajemen proyek dan perhatian konsisten.
b. Visi tentang tujuan jangka pendek maupun jangka panjang tidak
jelas.
c. Peninggalan program manajemen perubahan yang gagal karena
penangan yang buruk menciptakan budaya skeptis (bimbang) dan
cenderung menghindari resiko.
d. Gagal memberikan dukungan, pelatihan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk membantu karyawan dalam proses adaptasi dengan
manajemen perubahan.
e. Kurangnya komunikasi yang menyangkut tentang perubahan,
misalnya memberikan informasi kepada karyawan secara bertahap
sehingga beresiko tumbuhnya gosip-gosip.
f. Terlalu memfokuskan upaya perubahan secara sempit pada satu
aspek organisasi dan mengabaikan keterkaitannya pada kehidupan
organisasi.
8. Ruang Lingkup dan Tahapan Manajemen Perubahan
Burnes, mengemukakan bahwa perubahan organisasional dapat dilihat
sebagai produk dari tiga proses organisasi yang bersifat independen, antara
Page 65
50
lain: a. The choice process, yang berkaitan dengan sifat, lingkup dan fokus
pengambilan keputusan; b. The trajectory process, yang berhubungan dengan
masa lalu organisasi dan arah masa depan dan hasil tersebut terlihat seperti
hasil dari visinya, magsud dan tujuan masa depan; c. The change process,
yang mencakup pendekatan pada mekanisme untuk mencapai dan hasil
perubahan.72
Hubungan dari ketiga proses terebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3. Model Manajemen Perubahan Burnes Sumber: Burnes, Managing Change, Essex-England: Pearson Education Limited. 2000:452
Ketiga proses tersebut saling tergantung satu sama lain dan tidak
terpisahkan. Proses ini saling bergantung karena proses perubahan itu sendiri
merupakan bagian integral dari trajectory process, dan pada gilirannya
72
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 253.
Choice
Process
Trajectory
Process
Change
Process
Context
Objectives
Vision
Planning People
Strategy
Focus
Trajectory
Change
Page 66
51
merupakan bagian vital dari the choice process. Di dalam masing-masing
proses terdapat sekelompok elemen, atau kekuatan, yang berinteraksi,
berbenturan dengan dan saling memengaruhi dengan cara yang halus dan
kompleks.
a. The Choice Process (Proses Pilihan)
The Choice Process terdiri dari 3 elemen, yaitu sebagai berikut:
1) Organizational Context (Konteks Organisasional)
Salah satu resep standar untuk keberhasilan organisasi adalah
bahwa mereka harus tahu kekuatan dan kelemahannya sendiri,
kebutuhan pelanggan mereka dan sifat lingkungan di mana mereka
bekerja. Akan tetapi, banyak organisasi hanya muncul untuk
memulai mengumpulkan informasi ketika mereka dalam kesulitan.
Oleh sebab itu perlu adanya penggabungan informasi kinerja
masa lalu, sekarang, dan masa depan. Perlu adanya metode untuk
benchmarking kinerja organisasi terhadap sejumlah rentang
pembanding internal maupun eksternal. Metode yang paling sering
digunakan adalah analisis SWOT (Strength (kekuatan), Weaknesses
(Kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman)), dan
PEST (Political (Politis), Economic (ekonomis), Socio-Cultural
(sosio-kultural), dan Technological (teknologis)).73
73
Ibid, hal. 254.
Page 67
52
2) Focus of Choice (Fokus Pilihan)
Pada suatu waktu, organisasi yang sukses memfokuskan
perhatiannya hanya pada rentang yang sempit dari isu jangka pendek,
menegah, dan panjang. Salah satunya akan berhubungan dengan
kinerja organisasi, sedangkan lainnya lebih berkepentingan dengan
membangun dan mengembangkan kompetensi atau teknologi tertentu.
Dalam beberapa hal, isunya mungkin hanya menyangkut kepentingan,
sedangkan kasus lainnya mungkin bersifat fundamental bagi ketahan
organisasi.
3) Organzational Trajectory (Lintasan Organisasional)
Arah suatu organisasi dibentuk oleh tindakan masa lalu, tujuan
dan strategi masa depan. Hal ini akan memberikan arah atau
kerangka kerja di mana menunjukkan daya penerimaan, relevansi
atau urgensi masalah, kepentingan dan maksud tindakan. Lintasan
proses meliputi penentuan dan saling memengaruhi antara visi,
strategi dan pendekatan perubahan organisasi.74
b. The Trajectory Process (Proses Lintasan)
Trajectory Process terdiri dari tiga elemen berikut:
1) Vision (Visi)
Visi bertujuan untuk membangkitkan masa depan organisasi
yang berbeda, atau realitas, dengan magsud untuk memilih salah satu
yang paling baik atau cocok. Cummings dan Huse mengembangkan
74
Ibid, hal. 255.
Page 68
53
pedoman bagi organisasi untuk membangun visi. Mereka beralasan
bahwa terdapat empat aspek untuk membangun visi, yaitu sebagai
berikut: a) Mission (misi), b) Valued Outcomes (nilai manfaat), c)
Valued Conditions (nilai kondisi), dan d) Mid-Point Goals (tujuan
jangka menengah).75
2) Strategy (Strategi)
Dalam konteks visi, strategi dapat didefinisikan sebagai arus
tindakan yang masuk akal atau konsisten di mana organisasi dapat
direncanakan secara terpusat dan didorong, mereka dapat
didelegasikan dan dibagikan di seluruh organisasi, dan mereka dapat
menjadi tindakan sadar dalam mencari visi, atau tidak sadar, atau
muncul sebagai hasil dari pola masa lalu keputusan, atau distribusi
sumber daya, atau respons saat ini pada masalah dan peluang.
3) Change
Seperti halnya lintasan organisasi, baik elemen penting dari
proses pilihan dan suatu proses dalam lingkungannya sendiri, sama
halnya diterapkan terhadap perubahan. Visi dan strategi membentuk
dan mengarahkan perubahan.76
Dapat disimpulkan bahwa kita dapat melihat bahwa lintasan proses, di
samping memainkan peran kunci dalam membentuk pilihan, tetapi juga
merupakan suatu proses yang kompleks terdiri dari visi, strategi, dan
perubahan.
75
Ibid, hal. 257. 76
Ibid, hal. 258.
Page 69
54
c. The Change Process (Proses Perubahan)
Proses perubahan terdiri dari tiga elemen yang saling berhubungan,
yaitu sebagai berikut:
1) Objectives and Outcomes (Tujuan dan Manfaat)
Sebagian besar usaha perubahan berakhir dengan kegagalan.
Dalam banyak hal, proyek perubahan gagal karena tujuan awalnya
atau hasilnya yang diharapkan tidak dipikirkan dengan baik dan
tidak konsisten. Dalam hal ini, Burnes mengusulkan pendekatan
untuk mengukur kebutuhan untuk dan tipe perubahan yang berusaha
membuat proses membangun objectives dan outcomes lebih keras
dan terbuka. Burnes mempunyai empat pendekatan berikut: a) The
Tringger (pemicu), b) The Remit (pembatalan), c) The Assesment
Team (tim pengukuran), dan d) The Assesment (pengukuran). 77
2) Planning and Change (Merencanakan Perubahan)
Apabila kebutuhan perubahan timbul dari strategi organisasi
atau dengan cara lain, sekali timbul harus terjadi dan dalam bentuk
seperti apa, maka perlu merencanakan bagaimana akan dicapai dan
kemudian bagaimana mengimplementasikan rencana.
Berikut enam kegiatan yang saling berkaitan dalam melakukan
proses perencanaan dan perubahan, yaitu: a) membentuk tim
manajemen perubahan, b) struktur manajemen, c) perencanaan
77
Ibid, hal. 259.
Page 70
55
aktivitas, d) perencanaan komitmen, e) audits and post-audits, dan f)
training.78
3) People
Perubahan organisasi dapat mengambil beberapa bentuk,
struktural atau teknis yang memerlukan individu dalam bentuk
perubahan sikap atau perilaku. Sebaliknya, perubahan semakin
memerlukan individu dan kelompok untuk mempertimbangkan
secara radikal terhadap sikapnya tentang bagaimana pekerjaan
diwujudkan, dan bagaimana mereka berperilaku terhadap rekan kerja
internal dan mitra eksternal. Akan tetapi, apapun bentuknya, terdapat
tiga kegiatan yang berhubungan dengan manusia yang perlu
dilakukan, yaitu sebagai berikut: a) menciptakan keinginan untuk
berubah, b) melibatkan orang, dan c) melanjutkan momentum.79
9. Model Perubahan
a. Model Perubahan Lewin
Kurt Lewin (1951) mengembangan model perubahan terencana yang
disebut force-field model yang menekankan kekuatan penekanan. Model
ini dibagi dalam tiga tahap, yang menjelaskan cara-cara mengambil
inisiatif, mengelola dan menstabilkan proses perubahan, yaitu:
unfreezing, changing atau moving dan refreezing.
1) Pencairan (Unfreezing)
78
Ibid, hal. 265. 79
Ibid, hal. 268
Page 71
56
Pencairan merupakan tahap pertama yang fokus pada penciptaan
motivasi untuk berubah. Pencairan merupakan usaha perubahan
untuk mengatasi resistensi individual dan kesesuaian kelompok.
Proses pencairan merupakan adu kekuatan antara faktor pendorong
dan faktor penghalang bagi perubahan status quo. Pencairan
dimaksudkan agar seseorang tidak terbelenggu oleh keinginan untuk
mempertahankan status quo dan bersedia membuka diri.
2) Changing atau Moving
Changing atau moving merupakan tahap pembelajaran di mana
karyawan diberi informasi baru, model perilaku baru, atau cara baru
dalam melihat sesuatu. Tujuannya adalah membantu karyawan
dalam mempelajari konsep atau titik pandang baru.
3) Pembekuan kembali (Refreezing)
Refreezing merupakan tahap dimana perubahan yang terjadi
distabilisasi dengan membantu karyawan mengintegrasikan perilaku
dan sikap yang telah berubah ke dalam cara yang normal untuk
melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan dengan memberi karyawan
kesempatan untuk menunjukkan perilaku dan sikap baru.80
b. Model Perubahan Tyagi
Tyagi (2001) beranggapan bahwa model Lewin tersebut belum
lengkap, karena tidak menyangkut beberapa masalah penting. Pendekatan
sistem dalam perubahan akan memberikan gambaran menyeluruh dalam
80
Ibid, hal. 199.
Page 72
57
perubahan organisasi. Beberapa komponen sistem dalam proses
perubahan dimulai dengan:
1) Adanya kekuasaan untuk melakukan perubahan
2) Mengenal dan mendefinisikan masalah
3) Proses penyelesaian masalah
4) Mengimplimentasikan perubahan
5) Mengukur, mengevaluasi, dan mengontrol hasilnya.81
c. Model Perubahan Kreitner dan Kinicki
Kreitner dan Kinicki memperkenalkan pendekatan sistem yang dapat
memberikan gambaran menyeluruh atas perubahan organisasional.
Mereka menawarkan kerangka kinerja untuk memahami kompleksitas
perubahan organisasional, yang terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. Inputs
Merupakan masukan dan sebagai pendorong bagi terjadinya
proses perubahan. Semua perubahan organisasional harus konsisten
dengan visi, misi, dan rencana strategis. Di dalamnya terkandung
unsur masukan internal dan masukan eksternal yang keduanya
memiliki kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan. Kondisi
masukan ini sangat mempengaruhi jalannya proses perubahan.
b. Target element of change
Mencerminkan elemen di dalam organisasi yang dalam proses
perubahan. Sasaran perubahan diarahkan pada pengaturan
81
Ibid, hal. 212.
Page 73
58
organisasi, penetapan tujuan, faktor sosial, metode, desain kerja dan
teknologi, dan aspek manusia.
c. Outputs
Merupakan hasil akhir yang diinginkan dari suatu perubahan.
Hasil akhir ini harus konsisten dengan rencana strategik. Hasil
perubahan dapat diukur pada beberapa tujuan baik pada tingkat
organisasional, tingkat kelompok maupun tingkat individual.82
d. Model Perubahan Conner
Struktur perubahan Conner digambarkan sebagai hubungan antara
resilience (daya tahan) sebagai pusat dengan pola pendukung yang
berfungsi sebagai penguat pola utama.
e. Model Perubahan Victor Tan
Victor Tan (2002) mengemukakan bahwa untuk mencapai
keberhasilan dalam proses perubahan organisasi, pemimpin harus dapat
menenangkan pikiran dan hati orang. Victor Tan mengintroduksi empat
tahapan yang harus dilalui dalam proses perubahan, yaitu sebagai
berikut:
1) Membuka pikiran
2) Menenangkan hati
3) Memungkinkan tindakan
4) Menghargai prestasi83
82
Ibid, hal. 207. 83 Ibid, hal. 225.
Page 74
59
f. Model Perubahan Kotter
Untuk mengatasi kesalahan, proses perubahan dilakukan melalui
delapan tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Menumbuhkan rasa urgensi,
2) Menciptakan koalisi pengarahan,
3) Membangin visi dan strategi,
4) Mengkomunikasikan visi baru,
5) Melibatkan dan memberdayakan karyawan secara luas,
6) Membangkitkan kemenangan jangka pendek,
7) Konsolidasi dan menghasilkan perubahan, dan
8) Menancapkan pendekatan baru ke dalam budaya.
g. Model Perubahan Pasmore
Perubahan menurut Pasmore (1994) berlangsung dalam delapan
tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Persiapan
2) Analisis kekuatan dan kelemahan
3) Mendesain sub-unit baru
4) Mendesain proyek
5) Mendesain sistem kerja
6) Mendesain sistem pendukung
7) Mendesain mekanisme integratif
8) Implimentasi perubahan
Page 75
60
h. Model Perubahan Bridges dan Mitchell
Bridges dan Mitchell berpendapat, bahwa perubahan memerlukan
tahapan transisi reorientasi psikologis yang berlangsung lambat, yaitu
melalui tiga proses, sebagai berikut:
1) Saying goodbye
Mengucapkan selamat tinggal pada cara lama. Di atas kertas
adalah logis bergeser ke arah self-managed team, tetapi hal ini
mengakibatkan orang tidak percaya lagi pada supervisor untuk
membuat keputusan.
2) Shifting into neutral
Merupakan tahap yang sulit, penuh ketidakpastian dan
kabingungan. Tahap sulit selama ini merupakan tahap yang sulit,
terutama pada saat merger dan akuisisi, dimana keputusan karier
kebijakan dan aturan main ditinggalkan, sedangkan dua
kepemimpinan mengerjakan masalah kekuasaan dan pengambilan
keputusan.
3) Moving forward
Merupakan tindakan bergeser ke depan dan berprilaku dengan
cara baru. Fase ini memerlukan orang yang memulai berprilaku baru,
meletakkan kompetensi dan nilai risiko.84
84
Ibid, hal. 213.
Page 76
61
10. Perubahan Sosial
Terdapat beberapa pendapat mengenai teori perubahan sosial di
masyarakat. Perubahan di tengah masyarakat dapat terjadi oleh beberapa
faktor, antara lain, (1) Bahwa perubahan di masyarakat terjadi karena adanya
ide, pandangan hidup dan nilai-nilai. Menurut teori ini, penyebab utama
perubahan adalah ide, ideologi atau agama. Pendukung teori ini, Max Weber
percaya bahwa ideologi adalah variabel independen bagi perkembangan
masyarakat. (2) Perubahan hanya dapat dilakukan oleh great individuals
(tokoh-tokoh besar). Salah satu pengikut teori ini adalah Thomas Carlyle
yang menyebut bahwa “sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar.”85
Menurut Carlyle, perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh-tokoh di
masyarakat yang dapat dipercaya dan menarik simpati sehingga melakukan
perubahan. (3) Gerakan perubahan (empowerment) akan terjadi dengan
munculnya social movement (gerakan sosial) yang terlembaga. Lembaga atau
organisasi sosial semacam Lembaga Swadaya Masyarakat dan pesantren yang
dianggap mampu menghadirkan gerakan perubahan sosial.
B. Mutu Pendidikan Pesantren
Para sejarawan mencatat Pondok Pesantren merupakan lembaga dan wahana
pendidikan agama sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji“ ilmu agama
Islam. Pondok Pesantren sebagai lembaga tidak hanya identik dengan makna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab
keberadaanya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13-17 M,
85
Thomas Carlyle, “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroes in History” dalam Moh. Ali Aziz
dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal.28-29.
Page 77
62
dan di Jawa pada abad ke 15-16 M. Pondok Pesantren pertama kali didirikan oleh
Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Magribi, yang wafat pada
tanggal 12 Rabiul Awal 822 H, bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M.
Menurut Ronald Alan Lukens Bull, Syekh Maulana Malik Ibrahim mendirikan
Pondok pesantren di Jawa pada tahun 1399 M untuk menyebarkan Islam di
Jawa.86
Dunia pesantren, menurut Azyumardi Azra adalah dunia tradisional Islam,
yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang
dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu
dalam sejarah Islam. Pengertian ini berbeda dengan pengertian salaf dalam
konteks kaum salafi, di mana definisi kaum salafi adalah mereka yang memegang
paham tentang Islam pada masa awal, yaitu periode sahabat dan tabi’in besar,
yang belum dipengaruhi bid’ah dan khurafat. Karena itulah kaum salafi di
Indonesia sering menjadikan pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya
sebagai sasaran kritik keras mereka, setidaknya karena keterkaitan lingkungan
pesantren atau kyai dengan tasawuf atau tarekat.87
Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, “asrama tempat
santri atau tempat murid-murid belajar mengaji…”88
Akar kata pesantren berasal
dari kata “santri”, yaitu istilah yang pada awalnya digunakan bagi orang-orang
yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa dan
Madura. Kata “santri” mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti
86
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadiana,
1997), hal. 3. 87
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta:
Logos, 2002), hal. 107. 88
Tim Penyususn Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 878.
Page 78
63
tempat para santri menuntut ilmu. Dalam pemakaian bahasa modern, santri
memiliki arti sempit dan arti luas. Dalam pengertian sempit, santri adalah seorang
pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian yang lebih luas dan umum, santri
mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam
dengan sungguh-sungguh, rajin shalat, pergi ke masjid pada hari Jum’at dan
sebagainya.89
Sedangkan menurut Johns, sebagaimana dikutip Dhofier, bahwa pesantren
berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg, juga
dikutip oleh Dhofier, mengatakan bahwa pesantren berasal dari bahasa India,
shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, dan buku-buku
pengetahuan.90
Robson, sebagaimana dikutip Asrohah, berpendapat bahwa kata
santri berasal dari kata Tamil sattiri yang diartikan orang yang tinggal di sebuah
rumah miskin atau bangunan secara umum.91
Pesantren telah menawarkan pendidikan agama kepada mereka yang masih
buta huruf. Disamping itu pesantren juga pernah menjadi satu-satunya institusi
pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar
dalam bentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (culture
literacy).92
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi masa depan
tentu memiliki tujuan, kurikulum, visi dan misi dalam usaha membentuk bangsa
89
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan Aswab
Mahasin dari The Religion of Java, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hal. 268. 90
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES,
1983, hal. 18. 91
Hasnun Asrohah, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa,
Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004, hal. 30. 92
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 15.
Page 79
64
yang lebih beradab. Adapun tujuan yang dicanangkan oleh pesantren yaitu
pendidikan yang sesuai dengan norma-norma agama Islam dan selalu bersifat
tafaqquh fi ‘l-din.93
1. Pengertian Mutu Pendidikan Pesantren
Kata mutu (kualitas) masuk ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa
Inggris, yaitu quality, dan kata ini sesungguhnya berasal dari bahasa Latin,
yaitu qualitas yang masuk ke dalam bahasa Inggris melalui bahasa Perancis
kuno, yaitu qualite. Dalam kamus lengkap (kamus komprehensif) bahasa
Inggris, kata itu mempunyai banyak arti. Tiga diantaranya: (a) suatu sifat atau
atribut yang khas dan membuat berbeda; (b) standar tertinggi sifat kebaikan;
dan (c) memiliki sifat kebaikan tertinggi.94
Hari Sudrajat, menambahkan
Mutu dalam pendidikan dengan definisi yang relatif mempunyai dua aspek:
a) pengukuran kemampuan lulusan sesuai dengan tujuan sekolah yang
ditetapkan dalam kurikulum, b) pengukuran terhadap pemenuhan kebutuhan
dan tuntutan pelanggan, yaitu orang tua siswa dan masyarakat.95
Pengertian mutu dalam berbagai literatur akademis, memiliki makna
yang cukup beragam. Menurut Ishikawa dalam bukunya Muhammad
Thoyyib, mutu dipandangnya sebagai “Something that contains a meaning of
degree from superiority of the product, as well as goods or survices.”
Muhammad Thoyyib mengartikan bahwa ada ukuran tertentu dimana dimensi
93
Muhammad Ismail, Sistem Pendidikan Pesantren Modern Studi Kasus Pendidikan Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo, dalam jurnal At-Ta’dib, vol. 6. No. 1, (Ponorogo: Fakultas
Tarbiyah ISID, 2011), hal. 148. 94
Daulat P. Tampubolon, Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
Tinggi Menghadapi Tantangan Abad Ke-21, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 106 95
Hari Sudrajat, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Peningkatan Mutu Pendidikan
Melalui Implementasi KBK, (Bandung: CiptaCekas Grafika, 2005), hal. 2.
Page 80
65
mutu dapat dilihat maupun tidak dapat dilihat tetapi secara tidak langsung
memberikan rasa kepuasan terhadap para pengguna jasa pendidikan.96
Nanang Fattah mengatakan bahwa mutu adalah kemampuan (ability)
yang dimiliki oleh suatu produk atau jasa (services) yang dapat memenuhi
kebutuhan atau harapan, kepuasan (satisfactionz) pelanggan (customers) yang
dalam pendidikan dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal dan
eksternal.97
Secara lebih tegas Sallis menyatakan bahwa “Quality is
unification of product attributes that showing its ability on fulfilling
requerements from direct or indirect costomers, implicit, and unimplicit
requirements.”98
Dalam kontek ini, mutu sebagai sebuah kebutuhan dapat
dimaknai sebagai kebutuhan yang tidak hanya untuk masa kini tetapi juga
untuk masa depan. Artinya kepuasan masyarakat terhadap hasil pendidikan
yang dicapai oleh pondok pesantren sesuai dengan harapan masyarakat di
masa kini dan di masa depan.
Maka dilihat dari segi korelasi mutu dengan pendidikan Islam
(pesantren), maka mutu dapat diartikan sebagai kemampuan pesantren dalam
pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen
yang berkaitan dengan pesantren sehingga menghasilkan nilai tambah
terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku.99
Artinya
Pesantren dikatakan bermutu jika output yang dihasilkannya mampu
96
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi Manajemen Mutu Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Cetta
Media, 2015), hal. 39. 97
Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2013), hal. 2. 98
Edwards Sallis, Total Quality Management in Education, (New Jersey: Prentice Hal.Inc. 2001),
hal. 21. 99
Mukhamad Ilyasin & Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Aditya
Media, 2012), hal. 261.
Page 81
66
menyatukan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Artinya, keseimbangan dalam diri output
pendidikan pesantren merupakan kebutuhan primer. Keseimbangan antara
aspek yang transendental dengan yang profane dalam formulasi ini dan tujuan
dari Pendidikan Islam tertuang di kerangka terminologi pendidikan Islam
sendiri. Seperti Muhammad Kamal Hasan yang dikutip oleh Yasmadi
memberikan terminologi Pendidikan Islam yaitu suatu proses yang
komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan
yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik, sehingga seorang Muslim
disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan-tujuan kehadirannya oleh
Tuhan sebagai hamba dan wakilnya di dunia.100
2. Karakter Pendidikan Pesantren yang Bermutu
Mutu dalam pendidikan memiliki Karakteristik yang khas, karena
pendidikan bukanlah industri. Dalam pendidikan, produk pendidikan itu
bukanlah goods (barang) tetapi services (layanan). Pemakai (pelanggan)
pendidikan ada yang bersifat internal dan ekternal. Guru dan siswa adalah
pemakai jasa pendidikan yang bersifat internal. Sedangkan orang tua,
masyarakat dan dunia kerja adalah pemakai eksternal jasa pendidikan.
pemakai ini perlu mendapat perhatian karena mutu dalam pendidikan harus
memenuhi kebutuhan, harapan, dan keinginan semua pemakai (stakeholders).
Dalam hal ini pemakai yang menjadi fokus utama pendidikan adalah
“leaners” (peserta didik). Peserta didik yang menjadi alasan utama
100
Muhammad Ismail, Sistem Pendidikan Pesantren Modern…, hal. 148.
Page 82
67
diselenggarakan pendidikan, dan peserta didik pula yang menyebabkan
keberadaan lembaga maupun sistem pendidikan.
Sejalan dengan perkembangan dunia yang semakin maju, masyarakat
dengan tingkat rasionalitas yang memadai, sudah demikian cerdas untuk
menentukan pilihan yang lebih rasional dan berwawasan ke depan, tidak lagi
bersifat emosional dan mengandalkan primordialisme. Mereka memilih
lembaga pendidikan yang bermutu untuk menyekolahkan anak-anaknya pun
sangat rasional dan mempertimbangkan prospek ke depan. Mereka akan
menentukan pilihan kepada lembaga pendidikan yang bermutu yang
dipandangnya ideal, yakni lembaga pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi dan akhlak, mampu mengembangkan aspek
intelektual, dan mampu mengembangkan potensi sosial maupun keterampilan
anak didiknya.101
Saat ini, ada kecenderungan kuat di kalangan keluarga Muslim untuk
menyekolahkan anaknya di pesantren, baik karena alasan sistem ataupun
lingkungan sosial dan budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan pesantren tengah mengalami semacam “kebangkitan” atau
setidaknya menemukan “popularitas” baru. Hal ini menjadi indikasi tentang
harapan orang tua muslim untuk mendapatkan pendidikan Islami yang baik,
kompetitif, dan bermutu bagi anak-anaknya.102
101
Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah, Gagasan, Aksi, dan Solusi Pembangunan Madrasah,
(Yogyakarta: Hikayat, 2007), hal. 55-56. 102
Sulthon dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Laksbang, 2006), hal.
29.
Page 83
68
Salah satu indikator dari pendidikan bermutu adalah kemampuan institusi
pendidikan tersebut melahirkan sumberdaya manusia yang bermutu. Adapun
maksud sumber daya yang bermutu adalah manusia yang memiliki
kemampuan prakarsa, kerja sama, kerja tim, pelatihan kesejawatan, penilaian,
komunikasi, penalaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
penggunaan informasi, perencanaan keterampilan belajar dan keterampilan
multibudaya.103
Pendidikan bermutu dapat dilihat dari sisi prestasi siswa, proses
pembelajaran, kemampuan lulusan dalam mengembangkan potensinya di
masyarakat serta dalam hal memecahkan masalah dan berpikir kritis. Oleh
karena itu, perlu mengkaji mutu dari segi proses, produk, maupun sisi internal
dan kesesuaian. Mutu dilihat dari proses adalah efektivitas dan efisiensi
seluruh faktor berperan dalam proses pendidikan. Faktor-faktor tersebut,
misalnya, kualitas pendidik, sarana-prasarana, suasana belajar, kurikulum
yang dilaksanakan, dan manajemen pengelolaannya. Faktor-faktor tersebut
yang akan membedakan mutu pendidikan pesantren, dan mutu proses
pendidikan dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap lulusannya.
Lulusan dari pesantren yang mempunyai faktor-faktor yang mendukung
proses pembelajaran bermutu tinggi akan mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang tinggi pula. Atau dengan kata lain,
103
Abdul Hadis dan Nurhayati B., Manajemen Mutu Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal.
70-71.
Page 84
69
pendidikan yang bermutu pada dasarnya akan menghasilkan sumber daya
manusia yang bermutu pula.104
Selain hal di atas, Pendidikan di pesantren harus memiliki sistem kriteria
tertentu yang menjadi karakteristik pesantren bermutu. Jerome S. Arcaro
mengemukakan Lima karakteristik pendidikan bermutu, yang diidentifikasi
sebagai pilar mutu, yaitu:
1. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan customer, baik
customer internal (orang tua, santri, ustadz, dan pengurus pesantren
yang berada dalam sistem pendidikan) maupun customer eksternal
(pihak yang memanfaatkan output proses pendidikan).
2. Mendorong keterlibatan total komunitas dalam program. Setiap orang
harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya
tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas, tapi mutu merupakan
tanggung jawab semua pihak.
3. Mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan.
4. Menunjang sistem yang diperlukan oleh staf dan siswa untuk
mengelola perubahan dengan memiliki komitmen pada mutu.
5. Perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat
produk pendidikan menjadi lebih baik.105
Di samping itu, pesantren selain dituntut untuk memperkuat penanaman
nilai-nilai spiritual (ubûdiyyah) kepada para santri, juga dituntut untuk
104
M. Sukardjo dan Ukim Kamaruddin, Landasan Kependidikan, Konsep dan Aplikasinya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 83. 105
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah
Penerapan, terj. Yosal Iriantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 10-14.
Page 85
70
memperkaya penanaman aspek tanggung jawab, rasionalitas, dan pemecahan
masalah. Tanggung jawab pada konteks ini diartikan sebagai sikap konsisten
dan disiplin melaksanakan apa yang benar (doing what’s right). Rasionalitas
artinya menggunakan akal sehat atau berorientasi pada pertanyaan mengapa.
Sementara itu, pemecahan masalah adalah mengamalkan apa yang diketahui
dan dikuasai ke dalam tindakan.106
Dalam konteks yang lebih modern, para santri sering dilibatkan secara
langsung dalam unit-unit kegiatan pesantren, seperti dalam pengelolaan unit
usaha koperasi, dan sebagainya. Model eksperimentasi semacam ini dapat
mendorong santri untuk mengembangkan diri, sehingga diharapkan mereka
tidak gagap ketika telah kembali ke masyarakat. Dengan demikian, pesantren
menjadi lembaga pendidikan yang ideal, karena menyediakan laboratorium
kecakapan hidup yang sangat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan
aktualisasi diri para santri.107
Oleh karena itu, pendidikan di pesantren selain menyiapkan berbagai
sumber daya untuk menyiapkan santri yang pandai dalam bidang ilmu
keagamaan dan memiliki perilaku yang agamis, namun juga harus
menyiapkan berbagai sumber daya yang membuat santri pandai dalam
berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, olahraga, dan seni. Hal tersebut selaras
dengan apa yang di sampaikan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, saat
membuka acara Education Expo ASESI (Asosiasi Sekolah Sunnah Indonesia)
106
Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Kontribusi Fiqh Sosial Kyai Sahal
Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 15. 107
M. Dian Nafi‟, et.al. Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Institute for Training and
Development, 2007), hal. 55.
Page 86
71
tanggal 29 Oktober 2017, bahwa proyeksi pendidikan abad 21 ada 3
komponen yang mendasar yaitu:108
1. Karakter/Akhlak
a. Karakter moral (meliputi imam, taqwa, jujur, rendah hati).
b. Karakter kinerja (meliputi ulet, kerja keras, tangguh, tidak
mudah menyerah, tuntas).
2. Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif,
kolaboratif/kerjasama).
3. Literasi/Keterbukaan wawasan (baca, budaya, teknologi, keuangan).
3. Indikator Mutu Pendidikan Pesantren yang Bermutu
Progam peningkatan mutu pendidikan pesantren selama beberapa dekade
ini terus menerus selalu diupayakan secara maksimal, baik melalui
pembenahan progam pendidikannya maupun pengelolaan organisasinya,
namun mutu pendidikan pesantren yang dicapainya masih belum optimal.
Muhammad Thoyyib memberi alasan bahwa hal tersebut disebabkan
manajemen mutu di pondok pesantren belum mampu memenuhi standar mutu
yang seharusnya dicapai. Realitas itu dapat dilihat dari indikator mutu
pendidikan tinggi yang dihasilkannya seperti halnya daya serap out put
pendidikannya di dunia kerja dan lain sebagainya. 109
Pada aspek indikator tersebut, Atkinson memetakannya dalam 3 hal, “Its
are: a) higher educational quality which is viewed form its ultimate outcome,
108
Online, https://www.youtube.com/watch?v=Nl5-pOnjtS8, dilihat Rabu, 22 November 2017,
pukul 06.00 WIB. 109
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 46
Page 87
72
b) higher educational quality which is viewed form its immediate outcome,
and c) higher educational quality which is viewed form its process.”110
Dalam
konteks mutu pendidikan pondok pesantren, relevansinya dengan ketiga
indikator mutu tersebut, dapat didiskripsikan secara lebih komprehensif
sebagai berikut: Pertama, mutu pendidikan pesantren dapat dilihat dari hasil
akhir pendidikan (Ultimate Outcome) yang merupakan esensi semua usaha
dalam pendidikan. Yang menjadi ukuran biasanya tingkah laku lulusan suatu
lembaga pendidikan setelah mereka terjun dalam masyarakat atau dalam
kompetisi dunia kerja. Dengan kata lain taraf mutu pendidikan termasuk
pendidikan pondok pesantren digambaran oleh seberapa jauh tingkah laku
para lulusannya memenuhi tuntunan masyarakat atau dunia kerja seperti yang
lazimnya tercantum dalam tujuan umum pendidikan pondok pesantren.111
Kedua, cara lain untuk melihat mutu pendidikan pondok pesantren ialah
dengan cara mengukur hasil langsung pendidikan (Immediete Outcome).
Hasil ini biasanya tingkah laku peserta didik (berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikapnya) setelah mereka menyelesaikan pendidikan
tingginya. Hasil langsung pendidikan pondok pesantren ini sebagai ukuran
mutu pendidikannya yang meliputi aspek kognitif maupun non kognitif, baik
yang mudah diukur maupun yang sukar diukur, dan baik yang telah
diperkirakan, maupun yang belum diperkirakan. Muhammad Thoyyib
menambahkan ukuran tingkah laku anak didik tidak hanya berupa skor tes
110
Richard Atkinson, Educationing Quality Circles in a College of Futher Education, (Manchester
Monographs: University of Manchester, 1990), hal. 41 111
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 46
Page 88
73
tertulis, akan tetapi juga skor jenis tes lainnya dan juga hasil kuantifikasi
pengukuran dengan alat-alat ukur selain tes. 112
Ketiga, gambaran mutu pendidikan pesantren dapat dilihat juga dari
proses pendidikannya sebab proses pendidikan dianggap menentukan hasil
langsung maupun hasil akhir pendidikan. Faktor-faktor proses pendidikan
yang akan dijadikan ukuran mutu pendidikan pondok pesantren harus benar-
benar ada hubungannya dengan hasil pendidikan. Ukuran yang dipakai disini
ialah hasil kuantifikasi kuantitas maupun kualitas faktor-faktor proses
pendidikan yang dikumpulkan dengan alat-alat ukur seperti daftar observasi,
kuesioner, dan wawancara. 113
Hal itu tidak jauh berbeda dengan teori yang
juga dikemukakan oleh Crosby, yang menegaskan bahwa mutu kompetitif
dari suatu pendidikan termasuk pendidikan pondok pesantren dapat dilihat
dari “a) input, b) process, and 3) product that desired by stakeholders.”114
4. Mendesain Pendidikan Bermutu di Pesantren
Tuntutan akan pendidikan di pesantren semakin bermutu semakin
mendesak. Crosby menjelaskan bahwa, orientasi mutu dapat dilihat dari 3
aspek: (1) Mutu in put, (2) Mutu Proses, dan (3) Mutu out put. 115
Pendidikan pesantren perlu didesain sedemikian rupa agar dapat
memenuhi tuntutan masyarakat yang menaruh harapan besar terhadap
pesantren. Sustainabilitas kebermutuan pendidikan pesantren ditentukan oleh
adanya suatu komitmen dan harapan semua pengelola pendidikan untuk
112
Ibid, hal. 46. 113
Ibid, hal. 47. 114
Crosby, Quality is Free, (New York: Mentor Books, 1989), hal. 73 115
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 27
Page 89
74
menghasilkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan pesantren dituntut untuk
menerapkan manajemen mutu yang mampu menghasilkan pendekatan yang
integratif dan koheren dengan berlandaskan komitmen dan kemauan baik dari
seluruh komponen pesantren. Maka, perlu adanya suatu sistem manajemen
yang fokus, yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan
kepuasan secara berkelanjutan dan terus-menerus.
Salah satu pendekatan/sistem yang dapat diadaptasi dalam manajemen
peningkatan/pengembangan mutu di pesantren adalah Manajemen Mutu
Terpadu (Total Quality Management/TQM). Edward Sallis dalam bukunya
Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan mengatakan TQM ialah usaha
menciptakan “kultur kualitas” dari anggota organisasi yang menekankan
pelayanan kepada pelanggan dan etos kerja yang baik dari struktur
keorganisasian.116
Secara operasional, beberapa hal yang menjadi implementasi TQM
adalah sebagai berikut: Pertama, improvisasi berkelanjutan, artinya pihak
manajemen (pengelola pesantren) hendaknya senantiasa melakukan perbaikan
dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua komponen
produksi (sivitas akademika) mendukung kualitas yang diharapkan. Kedua,
menentukan standar-standar kualitas. Seorang pengasuh pesantren harus
mampu menentukan standar-standar kualitas yang harus dipertahankan dan
ditingkatkan bagi terwujudnya kualitas pesantren, baik berupa kualitas
pendidikan, proses pembelajaran, kurikulum, metode, dan evaluasi. Ketiga,
116
Edward Sallis, Manajemen Mutu…, hal. 59.
Page 90
75
membangun kultur organisasi yang menghargai kualitas. Keempat,
membangun kesinambungan organisasi terhadap perkembangan dan
kebutuhan zaman dengan banyak melakukan perubahan dan pengawasan.
Kelima, membangun public relation secara harmonis dan dinamis.117
Dalam mengembangkan desain mutu pendidikan yang akan dijalankan,
pihak pesantren harus memahami kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya,
serta mampu menganalisa peluang dan tantangan yang ada. Para pengasuh,
ustadz, dan pengurus pesantren berupaya memanfaatkan kekuatan dan
peluang yang dimiliki serta mencoba untuk mengeliminasi kelemahan dan
tantangan yang ada. Dalam hal ini, Pesantren dapat menggunakan teori Blue
Ocean Strategy, teori ini sebagai media strategis dalam menyikapi berbagai
perubahan, perkembangan, sekaligus peluang (opportunity) dalam kompetisi
dunia pendidikan yang semakin cepat, pesat dan penuh dengan
tantangan.118
Teori ini memiliki kerangka kerja atau metodologi yang dapat
diaplikasikan dalam penerapan strategi, yang meliputi:
1. Memberi poin tambahan berdasarkan pendekatan kepemimpinan.
2. Empat kerangka kerja rintangan organisatoris
3. Pendekatan kelenturan berdasarkan manajemen gerakan ikan
4. Pendekatan advantori yang didukung oleh mobilitas dinamisasi tim
dan organisasi.119
117
Fattah, Konsep Manajemen, MBS, dan Dewan Sekolah, hal. 45. 118
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 26 119
Ibid. hal. 26
Page 91
76
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena
pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus
dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah
menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia
pesantren. Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam
melakukan pengembangannya,120
yaitu: Pertama, image pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan
bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah
mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.
Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera
mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini. .
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang
memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera
dibenahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok
(asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok
pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih
memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih
dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana
yang layak dan memadai. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber
daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi
120
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail Sm (ed): Dinamika
Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 2002), hal.18
Page 92
77
dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam
bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius.
Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen
kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial
masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan
networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren.
Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah,
terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil.
Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan
jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur
penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa
pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan
informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat
dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok
pesantren yang masih kurang terstruktur.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan
selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang
berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses
aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren
berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi
dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat.
Page 93
78
Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman
keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang
semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya
cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh
kemampuan yang bersifat keahlian.
5. Pengembangan Tiga Sistem Mutu untuk Pendidikan Pondok
Pesantren.
Dalam pengembangan pendidikan pondok pesantren yang lebih
kompetitif, perhatian terhadap pengembangan mutu pendidikan tingginya
menjadi suatu yang mutlak untuk dilakukan bila ingin menjadi pondok
pesantren yang kompetitif dan eksis di tengah-tengah kompetisi global.
Dalam konteks pengembangan mutu dalam dunia pendidikan pondok
pesantren termasuk dalam hal ini pendidikan pondok pesantren, terdapat 3
sistem mutu yang menurut Sallis dapat dikembangkan secara integrated,
“yaitu pengawasan mutu (quality control), penjaminan mutu (quality
assurance), serta manajemen mutu terpadu (total quality management).121
Secara aplikatif ketiga sistem ini dijelaskan oleh Muhammad Thoyyib,
sebagai berikut: Pertama, pengawasan mutu (quality control) secara teoritis
merupakan konsep mutu yang paling tua, namun hingga kini masih banyak
institusi yang mangaplikasikannya. Sistem itu berfungsi mendeteksi dan
mengeliminasi komponen-komponen dan produk gagal yang tidak sesuai
dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan proses pasca
121
Edward Sallis, Total Quality…, hal 58.
Page 94
79
produksi yang melacak dan menolak item-item yang cacat. Tujuannya adalah
melihat apakah produk yang ditargetkan sudah bermutu, dalam arti sesuai
dengan rencana atau tidak. Pusat perhatian terutama tercurah pada mutu
produk. Kalaupun pengawasan dilakukan pada proses, biasanya hanya
bersifat inspeksi yang pada umumnya tidak dikaitkan secara sistematis
dengan usaha meningkatkan mutu produk pendidikan pondok pesantren yang
bersangkutan.122
Kedua, Jaminan Mutu (quality assurance) secara aplikatif sangat berbeda
dengan pengawasan mutu. Jaminan mutu berfungsi menentukan standar mutu
berdasarkan kebutuhan pelanggan objektif dan prosedur-prosedur kerja
(sistem dan proses) yang terinci, tajam, dan ketat. Jaminan mutu ialah cara
memproduksi produk yang bebas cacat dan kesalahan. Kegiatan jaminan
mutu umumnya berbentuk kegiatan monitoring, evaluasi atau kajian (review)
mutu. Kegiatan penjaminan mutu tertuju pada proses untuk membangun
kepercayaan dengan cara melakukan pemenuhan persyaratan atau standar
minimum pada komponen input, komponen proses, dan hasil atau outcome
sesuai dengan yang diharapkan oleh stake holder.123
Tujuannya dalam istilah
Crosby, “adalah menciptakan produk tanpa cacat (zero defects).”124
termasuk
hal ini pendidikan pondok pesantren.
Ketiga, manajemen mutu terpadu (total quality management) merupakan
perluasan dan perkembangan dari jaminan mutu. TQM ialah tentang usaha
122
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi….. , hal. 48. 123
Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012),
hal. 2. 124
Crosby, Quality is Free…, hal. 28.
Page 95
80
menciptakan sebuah kultur mutu, yang mendorong semua anggota stafnya
untuk memuaskan para pelanggan. Sallis mengatakan bahwa dalam konsep
mutu terpadu pelanggan ialah raja (customer is king).125
Hal ini dapat
diaplikasikan dalam pendidikan pondok pesantren, yaitu bagaimana pondok
pesantren memberikan sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan, serta kapan
dan bagaimana mereka menginginkannya. Sallis menambahkan, dengan
kepuasan pelanggan, bisa dipastikan bahwa mereka akan kembali lagi dan
memberi tahu teman-teman dan masyarakat sekitar tentang produk dan
layanan tersebut. secara sederhana konsep perkembangan mutu tersebut dapat
dilihat dalam gambar diagram 2.4. Berikut:126
Gambar 2.4. Hirarki Konsep Mutu
6. Komponen Strategis Manajemen Mutu Progam Pendidikan dalam
Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren.
Salah satu pakar mutu, Juran mendesain komponen manajemen mutu
progam menjadi 3 aspek utama, yaitu: “Quality planning, quality action with
125
Edward Sallis, Total Quality Management…, hal 59. 126
Ibid, hal. 60.
Page 96
81
control, and quality evaluation with continous improvement.”127
Ketiga
komponen tersebut saling berkaitan dan bekerja secara integratif. Guna
mewujudkan perubahan, untuk mewujudkan pendidikan pondok pesantren
yang berkualitas, tentunya harus dibangun dan dikembangkan melalui
pengelolaan pondok pesantren yang bermutu dengan mengembangkan ketiga
komponen utama tersebut secara sistematis, matang, dan tepat.
Komponen pertama, perencanaan mutu. Menurut Tampubolon
merupakan “proses identifikasi kebutuhan pelanggan secara objektif dan
secepat mungkin.”128
Proses perencanaan mutu tersebut dititik beratkan secara
seimbang dan proporsional pada tingkatan manajemen mutu teknis maupun
pada tingkatan manajemen strategisnya. Secara lebih operasional desain
perencanaan mutu tersebut, Alcaro mendeskripsikan melalui gambar
berikut:129
Gambar 2.5. Perencanaan Mutu
127
Joseph M. Juran, Juran’s Quality Handbook, (New York: Macmillan, 1991), hal. 73. 128
Daulat Purnama Tampubolon, Perguruan tinggi bermutu: paradigma baru manajemen
pendidikan tinggi menghadapi tantangan abad ke-2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
hal. 115. 129
Jerome S. Arcaro, Quality in Education: An Implementation Handbook, (New York: St. Lucie
Press, 1995), hal. 126.
1
Output Identification
3
Customer’s Needs Identification
2
Customer Identification
Quality Planning
Page 97
82
Mengambil ungkapan Muhammad Thoyyib,130
bahwa gambar di atas
dapat dipahami bahwa perencanaan mutu merupakan langkah yang paling
menentukan sukses tidaknya pelaksanaan manajemen mutu. Karena dengan
perencanaan mutu, lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan
pesantren, dapat menentukan profil keluaran yang ingin diwujudkannya,
sekaligus dapat membantu pondok pesantren yang bersangkutan untuk
mengidentifikasi atau mendiagnosis pihak-pihak yang layak dan tepat untuk
menjadi pelanggan dan pengguna jasa pendidikan pondok pesantren,
sekaligus menentukan keiinginan sesungguhnya dari pelanggan yang
bersangkutan terhadap mutu jasa pendidikan pondok pesantrennya.
Komponen kedua, yaitu pelaksanaan mutu yang bersifat pengendalian
yang secara subtansial merupakan langkah-langkah (prosedur-prosedur) yang
telah direncanakan secara terkendali sehingga semuanya berlangsung
sebagaimana mestinya, sehingga mutu produk yang direncanakan tercapai
dan terjamin. Selama proses pelaksanaan itu, diadakan juga perbaikan-
perbaikan apabila terjadi kesalahan.131
Secara lebih sederhana desain
pelaksanaan mutu tersebut, alcaro mendeskripsikan sebagai berikut:
Gambar 2.5. Pelaksanaan Mutu
130
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 73. 131
Ibid, hal. 74.
1
Problem Analysis
3
Constraints Identtification
2
Making Problem Solving Probability
Quality Action
Page 98
83
Komponen ketiga, yaitu evaluasi mutu yang bersifat peningkatan mutu.
Langkah ini pada dasarnya untuk menemukan informasi tentang perencanaan
dan pelaksanaan mutu yang telah dijalankan sebelumnya, termasuk tentang
produk yang dihasilkan oleh pendidikan pondok pesantren. Sehingga dapat
dilakukan peningkatan (perbaikan) mutu atau inovasi baru dalam usaha
peningkatan mutunya.132
Muhammad Thoyyib menegaskan, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa proses (prosedur) dan sistem dalam perencanaan dan
pelaksanaan mutu bahkan dalam peningkatan mutu merupakan sasaran utama
evaluasi, karena itu aspek yang bersifat peningkatan mutu tersebut dapat juga
sebagai evaluasi untuk peningkatan mutu. Alcaro, mendeskripsikan secara
lebih sederhana alur kerja evaluasi mutu progam pendidikan melalui gambar
berikut:
Gambar 2.6. Evaluasi Mutu
132
Ibid, Hal. 75.
Cycle of Continous
Improvement
Deciding Quality Standard
Result Evaluation
Does the process consistently produce
service products complying with he
requests of customers
Cycle of Continous Improvement
Finding Available process of working
Problem Solving
Quality
Evaluation
Page 99
84
Secara lebih operasional, Tampubolon menegaskan bahwa “Ada dua
tujuan utama dilakukannya evaluasi mutu tersebut, yaitu a) untuk
pengendalian mutu, dan b) untuk peningkatan mutu.”133
Dalam konteks yang
hampir sama, mutu progam pendidikan termasuk dalam hal ini progam
pendidikan pondok pesantren, dapat pula didesain dalam pola manajemen
yang bersifat sirkuler yang pernah digagas oleh Deming, yang mencakup
tahapan atau proses yang terus berputar yang dikenal dengan siklus PDAC
yang dapat digambarkan sebagai berikut:134
Gambar 2.8. Sirkulasi Progam Kegiatan Pondok Pesantren
Berdasarkan Pendekatan Deming
Lingkaran PDAC tersebut menggambarkan suatu sirkulasi kegiatan yang
berproses dan bersiklus dimana setiap kegiatan pondok pesantren untuk
menghasilkan jasa pendidikan tersebut harus melalui proses sirkulasi tersebut.
133
Daulat Purnama Tampubolon, Perguruan tinggi bermutu…, hal. 92. 134
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 77
Plan
Check
Do Act
1
2
3
4
Proses Proses
Proses Proses
1. Susun Rencana
mutu
berdasarkan
pelanggan
2. Laksanakan
rencana dalam
skala kecil/uji
coba
3. Periksa
kelemahan-
kelemahan dan
perbaiki
4. Laksanakan
sepenuhnya
dengan semua
perbaikan dan
kembali lagi ke
1
Page 100
85
BAB III
APLIKASI MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM
PENGEMBANGAN MUTU PONDOK PESANTREN
WALI SONGO NGABAR
A. Data Umum
1. Profil Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
a. Latar Belakang Sejarah
Pondok Pesantren “Wali Songo” terletak di desa Ngabar, Kecamatan
Siman, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Letaknya kira-kira 7
km di sebelah selatan kota Ponorogo, 35 km di sebelah selatan kota
Madiun, 185 km di sebelah Barat kota Surabaya. Didirikan pada tanggal,
4 April 1961 oleh K.H. Muhammad Thoyyib bin Syafi’i seorang ulama
karismatik, keturunan dari desa Bayat, Cirebon yang hijrah ke Ponorogo
untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam.135
Menurut riwayat,
Muhammad Thoyyib masih kerabat dari Kasultanan Cirebon.136
Meski
tidak ada bukti yang otentik yang bisa ditelusuri kecuali pengakuan
beberapa pihak, namun, selain tidak memiliki “trah” garis keturunan dari
Ponorogo, penampilannya mencerminkan seorang juru dakwah yang
datang dari jauh. Baik postur dan bentuk fisiknya menunjukkan beliau
memang bukan dari asli Ponorogo. Ia lebih mirip dengan perawakan
135
Menurut penuturan kerabat yang masih tersisa, sebenarnya K.H. Muhammad Thoyyib
menggembara ke Ponorogo tidak sendirian. Sebagian saudara-saudarinya memilih pergi ke daerah
Kencong Jember karena selain berdakwah mereka mencari daerah agraris yang bisa digunakan
untuk bercocok tanam. Silsilah keluarga K.H. Muhammad Thoyyib dapat dilihat dalam lampiran. 136
Seperti disampaikan oleh ustadz Drs. H. Moh. Bisri, M.A., yang menjabat sebagai Ketua
Majlisu Riyasatil Ma’had, Lembaga tertinggi di lingkungan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Ponorogo.
Page 101
Arab. Berpostur tinggi, kurus, berkulit gelap dan selalu memakai pakaian
ala Arab, kafiyah dan sorban. Untuk ukuran sebuah desa, pakaian
tersebut terlihat asing dan tidak biasa. Mayoritas masyarakat Ponorogo
lebih sering berpakaian adat Jawa atau “warok”137
yang menjadi ciri
khasnya. Data-data fisik dan kultur yang dimiliki menguatkan kesan
bahwa beliau memang bukan asli Ponorogo, meskipun belum tentu juga
beliau keturunan Arab.
Pendirian Pondok Pesantren “Wali Songo” telah dirintis sejak lama
sekitar tahun 1920-an. Kiyai Muhammad Thoyyib adalah tokoh sentral
sekaligus ulama’ karismatik di desa Desa Ngabar. Selain menjadi imam
masjid, beliau juga mengajar ngaji di Surau Selatan (Langgar Kidul). Di
sebelah utara desa Ngabar juga terdapat Surau Utara (Langgar Lor) yang
dipimpin oleh tokoh lain yang bernama Imam Bukhori. Kedua surau ini
meski berbeda tempat merupakan cikal bakal lembaga pendidikan
keagamaan di desa Ngabar. Sebenarnya, jauh sebelum kedua langgar ini
ada, telah berdiri masjid desa di sebelah barat Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar. Masjid desa itu dipimpin oleh tokoh agama kiyai Dawud
yang juga memiliki beberapa santri yang tinggal di sekitar masjid. Masjid
ini juga diyakini sebagai lembaga keagamaan tertua, berusia lebih dari
100 tahun. Kegiatan pengajian dan pendidikan agama dilaksanakan pada
sore hari. Namun, masjid besarta lembaga keagamaan berangsur punah
137
Warok secara umum memiliki pengertian orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan
sampai pada pengendapan batin. Warok biasanya seseorang yang sangat dihormati dalam
masyarkat Ponorogo karena memiliki kelebihan ilmu kanuragan dan tempaan fisik lainnya. Secara
lahiriyah, mereka sering menggunakan pakaian khas ala Ponorogo dan hanya bergaul di kalangan
tertentu. Jumlah mereka saat ini sudah hampir tidak ada.
Page 102
seiring meninggalnya Kiyai Dawud. Tidak ada seorang pun yang bisa
memastikan siapa dan dari mana asal usul Kiyai Dawud.138
Keberadaan pesantren kecil dengan Kiyai Dawud inilah yang
kemudian menjadi inspirasi bagi Muhammad Thoyyib untuk mendirikan
lembaga pendidikan semisal. Maka beliau merintis pendirian madrasah
diniyyah sore yang bernama Bustanul Ulum. Madrasah ini
operasionalnya diserahkan kepada kedua putra beliau, Ahmad Thoyyib139
dan Ibrohim Thoyyib140
yang merupakan lulusan sekolah formal. Dengan
madrasah dan masjid, cita-cita dakwah K.H. Muhamamd Thoyyib untuk
mengubah masyarakat Ngabar semakin kuat. Beliau ingin masyarakat
Ngabar berubah dan keluar dari kemaksiatan. Masyarakat Ngabar sangat
identik dengan kebiasaan masyarakat Jawa dan kemaksiatan. Judi,
minum-minuman keras, main perempuan dan menyembah benda keramat
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur masyarakat Ngabar.
Wajar bila mereka menentang keras berdirinya masjid yang kemudian
diikuti madrasah. Memang secara dzahir mayoritas masyarakat Ngabar
138
Pidato Pimpinan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar, K.H. Ibrohim Thoyyib dalam
Resepsi Kesyukuran Peresmian Wakaf dan Reuni pada tanggal 6 Juli 1980, diperkuat oleh
wawancara dengan Bpk. Ahmad Dja’far yang diyakini sebagai kuturunan Kiai Dawud, pada 31
Agustus 2013. 139
Ahmad Thoyyib lahir di desa Ngabar Kecamanatan Siman Kabupaten Ponorogo, putra K.H.
Muhammad Thoyyib ke tiga dari sembilan bersaudara. K.H. Ahmad Thoyyib menimba ilmu di
pesantren tradisional (salafiyah) seperti Pesantren Tegalsari. Beliau yang pertama kali membina
lembaga pendidikan dasar pertama di Ngabar yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar. Beliau lebih banyak mengurus persoalan tanah-tanah wakaf Pondok ketimbang
pendidikan. Sedangkan pendidikan lebih banyak ditangani dua adiknya, K.H. Ibrohim Thoyyib
dan K.H. Ishaq Thoyyib. 140
Ibrohim Thoyyib lahir di Desa Ngabar pada tanggal 30 Juni 1925 dan wafat pada tanggal 5 Mei
2001. Anak ke 4 dari KH. Muhammad Thoyyib, selain pernah nyantri di Pesantren tradisional
seperti Joresan dan Tegalsari juga melanjutkan pendidikan menengahnya di Pondok Modern
Darussalam Gontor mulai tahun 1948 serta diangkat menjadi staf pengajar pada tahun 1952. Lihat
Biografi K.H. Ibrohim Thoyyib yang diterbitkan oleh Sektretariat Pimpinan Pondok Pesantren
“Wali Songo” Ngabar.
Page 103
adalah muslim. Tapi dalam hal kepercayan mereka masih
mempertahankan budaya Jawa yang amat kental dengan sinkretisme
yaitu memadukan, mencampur dan menyelaraskan antara tradisi Jawa
dan Islam.141
Mereka masih menjalankan ritual agama Islam, tetap pergi
ke masjid pada bulan Ramadan dan shalat hari Raya Idul Adha dan Idul
Fitri, akan tetapi juga percaya kepada animisme dan dinamisme.142
Usaha Muhammad Thoyyib untuk mendirikan pondok pesantren
tidaklah ringan. Tantangan terbesar justru datang dari masyarakatnya
sendiri. Budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang selama ini mereka
jalankan tidak mungkin dihilangkan begitu saja. Dakwah kultural melalui
pendidikan yang kemudian dipilih Muhammad Thoyyib. Beliau
kemudian menyekolahkan anak-anak lelakinya ke pesantren salafiyah di
sekitar Ponorogo. Di antaranya Pesantren Tegalsari yang legendaris, juga
pesantren Joresan143
dan pesantren Gontor. Nantinya setelah
menyelesaikan pendidikan mereka diharapkan dapat merintis berdirinya
lembaga pendidikan Islam di desa Ngabar. Ketiga putra lelaki beliau
yaitu Ahmad Thoyyib, Ibrohim Thoyyib dan Ishak Thoyyib belajar
secara tradisional dengan mengkaji kitab-kitab agama secara
141
Menurut Zamakhsyari dalam kehidupan keagamaan sehari-hari orang Jawa belum biasa
disebut orang Islam. Banyak desa-desa di Jawa yang menyelenggarakan sajian-sajian untuk
danyang desa dan makhluk halus yang menempati batu-batu, pohon, gua, kuburan, sungai dan
lain-lainnya. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 11. 142
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dalam Budaya Spiritual Jawa
(Yogyakarta: Narasi, 2006), hal. 76. 143
Pondok Joresan adalah pondok yang berada di desa Joresan, kecamatan Mlarak Kabupaten
Ponorogo sekitar 12 KM dari kota Ponorogo. Pondok Joresan yang dimaksud di sini adalah
pondok Joresan lama yang tidak ada kaitannya dengan pondok Joresan saat ini.
Page 104
“sorogan”144
dan secara “weton”145
kemudian melanjutkan pendidikan
agamanya ke Pesantren Gontor yang sudah bersistem modern di bawah
pengasuhan K.H. Imam Zarkasyi. Keterpaduan antara sistem pendidikan
Islam tradisional dan modern ini kelak menjadi dasar sintesa model
lembaga pendidikan baru.
Cita-cita mendirikan lembaga pendidikan yang lebih terarah mulai
dilaksanakan pada tahun 1946 dengan mendirikan madrasah diniyah sore
“Bustanul Ulum al-Islamiyah” yang dipimpin oleh Ahmad Thoyyib.
Pendirian ini menjadi tonggak penting, cikal bakal lahirnya Pondok
Pesantren “Wali Songo” Ngabar. Langkah awal berdirinya tidak berjalan
mulus. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang dihadapi, khususnya
dari masyarakat Ngabar sendiri yang merasa terancam akan hilangnya
adat dan kebiasaan yang dilakukan. Maka dengan sekuat tenaga mereka
menghalangi kemajuan madrasah ini secara langsung atau tidak
langsung. Keluarga besar K.H. Muhammad Thoyyib dikucilkan oleh
masyarakat selama hampir enam bulan. Siapapun yang berhubungan
dengan keluarga ini akan menerima konsekuensi yang sama, dikucilkan,
diboikot dan diperangi. Kuatnya tantangan dan rintangan yang dihadapi
hampir membuat Ahmad Thoyyib putus asa. Ayahnya bahkan berpesan
kepada Ahmad Thoyyib, ”lek aku mati, sungginen karo adikmu menyang
144
Sorogan adalah membaca dan memahami kitab secara individual dihadapan kiyai agar terjamin
kebenaran apa yang dipelajarinya. 145
Weton adalah sistem belajar di mana kiyai membaca dan menerangkan isi kitab sedangkan santri
menyimak kitabnya masing-masing.
Page 105
kuburan.”146
Namun, rintangan dan halangan tersebut tidak sampai
benar-benar menyurutkan niat, bahkan sebaliknya justru menambah
semangat untuk meneruskan. Madrasah Diniyah kemudian diubah
menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan masuk pagi (formal) pada tahun 1950.
Nama Madrasah Diniyah “Bustanul Ulum” diubah menjadi Madrasah
Ibtidaiyah “Mamba’ul Huda.”
Dari model madrasah Ibtidaiyah ini kemudian dapat dikembangkan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Pada tahun 1958 berdiri
Madrasah menengah tingkat pertama yang bernama Madrasah
Tsanawiyah Lil Mu’alimin yang kemudian diubah namanya menjadi
“Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah dan Tarbiyatul Mu’allimat al-
Islamiyah” tingkat tsanawiyah dan aliyah. Berdirinya lembaga tersebut
adalah untuk mewadahi murid Madrasah Ibtidaiyah yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat saat itu sekoah
lanjutan masih sangat langka. Yang ditunjuk dan dipercaya menjadi
kepala sekolah waktu itu adalah Muhammad Fadhil bin Imam Hanafi
hingga tahun 1961.147
Setelah Madrasah ini berjalan tiga tahun (1961)
maka diselenggarakan sistem Pesantren yang di beri nama Pondok
Pesantren “Wali Songo.”
Penamaan “Wali Songo” dinyatakan pertama kali pada pertemuan
pembukaan dan perkenalan dengan santri-santri pertama pada 4 April
146
M. Bisri dan Hariyanto, “Percikan Sejarah Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo
Jawa Tmur.” Kumpulan Bahan Sidang Majlisu Riyasatil Ma’had ke 46 di Ngebel, Ponorogo, pada
tanggal, 26-27 Februari 2011, hal. 11 147
Ibid., hal. 12
Page 106
1961 yang secara kebetulan dihadiri oleh sembilan orang santri.148
Atas
usul mereka dan akhirnya disetujui oleh Pimpinan Pondok, pesantren ini
dinamakan “Wali Songo” hingga sekarang. Secara historis dan filosofis,
penamaan “Wali Songo” dikaitkan dengan sembilan wali yang
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Perjuangan para mubaligh
Islam tersebut begitu berkesan di hati pendiri Pondok Pesantren Ngabar
sehingga memberi nama “Wali Songo” kepada pesantrennya. Pendiri
ingin agar semangat dakwah Islam yang diemban oleh para wali
terdahulu juga meresap dalam jiwa dan sanubari para santrinya. Selain
jiwa dakwah, cara dan metode dakwah para wali tersebut juga dapat
menjadi landasan kelak ketika para santri sudah kembali ke masyarakat.
Sedang secara filosofis, ada keinginan kuat dari pendiri pondok agar
pesantren ini tetap mempertahankan “kultur pesantren” meski
mengadopsi sistem modern dalam pendidikannya. Secara alamiah,
pesantren muncul dan ada di tengah masyarakat, tidak mungkin
memisahkan diri dari masyarakatnya. Maka Pesantren ini diharapkan
terus dapat memberi kemanfaatan bagi masyarakat.149
“Wali Songo” tidak saja menjadi simbol pesantren ini. Secara
ideologis pesantren ini betul-betul ingin mengadopsi model dan jiwa
148
Menurut H. M. Zaini nama-nama santri pertama yang berjumlah Sembilan orang tersebut
adalah: Ahmad dan Kawakib dari Pacitan, Muhammad Nawawi dari Jakarta, Mahmud Sulaiman
dan Sahan dari Riau, Harun al-Rasyid dan Basrah dari Kalimantan dan Muhammad A’ul dan
Aunur Rofiq dari Ujung Pandang. Nama-nama tersebut belum dapat divalidasi hingga saat ini,
mengingat tidak ada pencatatan otentik. Mereka berada di Pesantren ini tidaklah lama, sehingga
menyulitkan penelusuran terhadap siapa saja Sembilan santri pertama tersebut. Lihat H. M. Zaini,
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur (Surabaya: Proyek Penelitian
Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, 1981), hal. 2. 149
Ibid., hal. 3
Page 107
dakwah “Wali Songo”. Salah satunya, dengan tetap mempertahankan
tradisi lokal yang sudah ada sebelum pesantren ini ada.150
Tradisi dan
budaya yang sudah melekat pada masyarakat Ngabar selama tidak
bertentangan dengan akidah dan ajaran pokok Islam lainnya tetap
dipertahankan. Pada kenyataannya sejak lama masyarakat Indonesia telah
hidup dalam kultur dan agama yang majemuk. Agama Budha, Hindu,
animisme dan dinamisme telah ada terlebih dahulu. Islamisasi dan
akulturasi budaya berjalan mulus, salah satunya atas jasa Wali Songo.
Tidak heran bila pesantren ini dalam perkembangannya tetap melibatkan
partisipasi masyarakat lokal Ngabar dalam kegiatan sosial, ekonomi,
pendidikan dan keagamaan. Masjid dan semua fasilitas pondok dibiarkan
terbuka untuk dimanfaatkan masyarakat. Kiai sebagai figur pemimpin
tidak hanya representasi masyarakat pesantren, tapi juga wakil
masyarakat dalam urusan keagamaan.
Penolakan masyarakat yang muncul di awal berangsur hilang seiring
mulai dirasakannya manfaat keberadaan pesantren. Pandangan sepihak
bahwa pesantren hanya lembaga agama yang normatif mulai terkikis
dengan pendekatan kiyai kepada masyarakat. Melalui kerjasama-
kerjasama yang saling menguntungkan antara pondok dan masyarakat.
Figur kiayi sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan dakwah
Pesantren “Wali Songo” di Ngabar. Semangat pengabdian dan
konsistensi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat melalu jalur
150
Prinsip dasar yang dianut pesantren tertuang dalam kaidah, “al-muahafadzhatu ‘ala al-qadim
al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil
hal baru yang lebih baik)
Page 108
pendidikan keagamaan memunculkan simpati kepada Pesantren sehingga
terciptalah kerjasama untuk saling menguatkan dalam banyak bidang.
b. Visi dan Misi Kelembagaan
Visi (vision) adalah gambaran masa depan tentang apa yang hendak
dicapai oleh lembaga. Visi adalah cita-cita idealis di masa yang akan
datang. Ibarat “kompas” ke arah mana lembaga itu akan dikembangkan.
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar memiliki visi yang diadopsi dari
filosofi dan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis
pesantren yaitu: “Menjadi lembaga pendidikan Islam yang berjiwa
pesantren, unggul dalam Iman dan Takwa, Ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahagia dunia dan akhirat.” Untuk mencapai visi tersebut,
diperlukan usaha dan usaha yang berorientasi kepada:
1) Mendidik dan membentuk generasi unggul yang bertakwa
kepada Allah, beramal shalih, berbudi luhur, berbadan sehat,
berpengetahuan luas, berfikiran bebas, berjiwa wiraswasta dan
cinta tanah air.
2) Menanamkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian,
ukhuwah Islamiyah dan kebebasan.
3) Mempersiapkan generasi muslim yang menguasai teknologi,
cakap, bertanggung jawab dan berkhidmat kepada agama dan
masyarakat.
4) Menyelenggarakan pendidikan Islam yang bermutu, dan
konsisten kepada jiwa pesantren.
Page 109
5) Menyediakan pendidik yang profesional, sarana dan prasarana
yang memadai dan lingkungan yang Islami.
c. Status Pesantren Wakaf
Pada tradisi pesantren pada umumnya, secara kelembagaan,
pesantren adalah milik kiyai. Kiyai dan keluarga kiyai menjadi pemilik
tunggal seluruh aset yang dimiliki oleh pesantrennya. Karena ia adalah
hak milik, maka ketika kiyai wafat maka ia akan diturunkan kepada ahli
warisnya. Dalam hal ini, pesantren tidak ubahnya sebagai kerajaan kecil
dari sebuah dinasti yang diwariskan kepada generasi berikutnya secara
turun-temurun. Sistem kelembagaan semacam ini memiliki kelebihan
berupa kuatnya ikatan emosional antara pesantren dengan pemiliknya.
Ikatan (bonding) ini akan menimbulkan rasa tanggung jawab dan
pemahaman yang lebih baik serta sekaligus lebih memungkinkan bagi
upaya transfer nilai-nilai pesantren.151
Namun tentu saja sistem kelembagaan pesantren semacam ini juga
memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah bahwa tidak semua
keluarga dapat mengerti dan memahami pondok dengan segala
persoalannya sehingga sangat terbuka kemungkinan bagi kepentingan
dan persoalan keluarga akan muncul dan berubah menjadi kepentingan
dan persoalan pondok. Di samping itu, keberadaan pondok menjadi
sangat bergantung kepada keluarga, karena fihak lain tidak merasa
memiliki, mereka hanya sekedar membantu. Masalah juga akan timbul
151
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: Rajawali
Press, 2005), hlm. 117-118.
Page 110
berkaitan dengan suksesi kepemimpinan. Karena miliki keluarga, maka
mau tidak mau pemimpin pesantren harus dari keluarga, sekalipun tidak
ditemukan di antara mereka yang memenuhi kualifikasi untuk itu. Hal ini
seringkali menjadi faktor utama mundur dan runtuhnya sebuah
pesantren.152
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar adalah Pondok Pesantren
yang berstatus Pondok wakaf. Secara resmi telah diwakafkan oleh
pendirinya kepada umat Islam pada 22 Sya’ban 1400 H/6 Juli 1980,
bertepatan dengan hari kesyukuran Sembilan tahun yang ke II Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar, dengan disaksikan oleh Menteri Agama
Republik Indonesia, c/q Direktur Jendral Pembinaan kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia yang waktu
dijabat oleh Bapak Prof. H. Anton Timur Jaelani M.A., para pejabat
pemerintah pusat maupun daerah, pimpinan pondok Modern Gontor, para
alim ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Ikrar Wakaf ini ditandatangani
oleh pihak (wakil) wakif I dan II:K.H. Ahmad Thoyyib dan K.H. Ibrohim
Thoyyib yang kemudian diserahkan kepada nadzir (wakil) wakif yang
berjumlah 15 orang, terdiri dari para alumni dan Keluarga Besar Pondok
Pesantren “Wali Songo” Ngabar yang benar-benar mengerti dan
mengenal dengan baik nilai-nilai dasar dan garis besar haluan Pondok,
dengan amanat agar supaya Pondok Wali Songo:
152
Ibid., hal. 118
Page 111
1) Menjadi suatu lembaga pendidikan Islam yang tunduk kepada
ketentuan-ketentuan hukum agama Islam, berkhidmat kepada
masyarakat, menuju kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
2) Menyelenggarakan Pendidikan Islam dari Tingkat Taman
kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
3) Menjadi Lembaga Pendidikan Islam yang tetap berjiwa Pondok
Pesantren dengan mengutamakan arah pendidikanya kepada:
Taqwa kepada Allah, beramal soleh, berbudi luhur, berbadan
sehat, berpengetahuan luas, berfikiran bebas dan berwiraswasta.
4) Menjadi tempat beramal untuk meninggikan kalimat Allah.
5) Tidak berafiliasi kepada partai politik maupun golongan
manapun.153
Dengan diwakafkannya Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar,
maka status kepemilikan Pondok berubah dari milik pribadi menjadi
milik institusi. Konsekuensinya, ahli waris pendiri tidak mempunyai hak
untuk mewaris harta dan aset-aset materi Pondok, sebab Pondok bukan
milik keluarga, tetapi sudah menjadi milik ummat. Karena itu
kelangsungan hidup Pondok bukan hanya menjadi tanggung jawab
keluarga, tetapi telah menjadi tanggung jawab semua umat Islam.
Dengan perubahan status wakaf ini pula, pengelolaan Pondok tidak lagi
menjadi dominasi keluarga keluarga pendiri Pondok atau kiyai. Pertalian
kekerabatan tidak menjadi faktor penentu dalam pengangkatan
153
Warta Tahunan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Tahun: 2010-2013, Edisi: 31
Page 112
kepemimpinan dan kepengurusan Pondok pada semua tingkatan.
Penetapan itu justru lebih didasarkan pada standar dan kriteria yang
mengutamakan kecakapan dan kelayakan.
d. Pemahaman Keagamaan Pesantren
Secara garis besar, Pondok Pesantren “Wali Songo” memegang
prinsip wasathiah (moderasi) dalam banyak hal khususnya masalah
keagamaan. Sikap moderat tidak mengandung arti tidak memiliki prinsip
atau pedoman, tetapi lebih mengedepankan pandangan yang bisa diterima
masyarakat umum selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
agama. Pesantren Ngabar sesuai kulturnya lebih merangkul dan
mewadahi semua faham, sehingga institusi pesantren menjadi lebih
terbuka; tidak terkooptasi oleh madzhab maupun kelompok tertentu.
Bagaimanapun perpecahan dalam tubuh umat Islam menginspirasi
pendiri Pesantren ini untuk menjunjung perbedaan pandangan dan
mengembangkan semangat “ukhuwah diniyyah”. Prinsip “berdiri di atas
dan untuk semua golongan” betul-betul dipegang teguh. Semangat
moderasi ini menjadikan Pondok Pesantren “Wali Songo” mudah
diterima oleh semua golongan maupun organisasi kemasyarakatan
“menjadi perekat umat”, meski dengan konsekuensi seringkali dianggap
tidak “berprinsip” dan memiliki stand yang jelas.154
154
Pendekatan moderat dalam bidang keagamaan sejalan dengan amanat KH. Imam Zarkasyi yang
juga merupakan guru dari KH. Ibrohim Thoyyib. Dalam rapat pengurus Badan Wakaf Pondok
Modern Gontor pada 24 Desember 1977, beliau menyampaikan: “andaikata, guru-guru Pondok
terdiri dari orang-orang yang bersimpati atau anggota Muhammadiyah, murid-muridnya terdiri
dari anak keluarga Muhammadiyah, tetapi Pondok Modern tidak boleh dijadikan Pondok
Muhammadiyah.” Selanjutnya beliau juga menegaskan tentang hal yang sama “jika guru dan
Page 113
Sejalan dengan itu, seluruh penghuni Pesantren diharapkan tidak
menonjolkan identitas atau “ta’ashubiyah” suatu golongan. Di Pesantren
mereka betul-betul diajarkan bersikap bijak dalam memandang
keragaman cara pandang keagamaan. Tidak fanatik terhadap madzhab
tertentu, dan menghukuminya. Identitas ‘kultural’ ini menjadikan santri
Ngabar lebih “cair” dan membaur, mudah diterima di kalangan
masyarakat yang heterogen. Meski nantinya selepas selesai belajar di
Pesantren, mereka diberikan kebebasan untuk memilih atau masuk salah
satu kelompok tertentu yang diyakini dengan tetap berprinsip menjadi
perekat umat. Dalam amaliyah ibadah misalnya, Pesantren ini tidak
mengamalkan kegiatan seperti tahlilan, manakiban, yasinan atau diba’an
yang biasanya dianggap sebagai ciri khas golongan Nahdliyin. Tetapi
dalam segi yang lain, terlihat amalan seperti sholat shubuh dengan do’a
qunut dan membaca wirid secara bersama-sama setelah sholat. Bagi
Pondok Pesantren “Wali Songo” hal-hal tersebut dalam rangka
pembelajaran dan pembiasaan. Mereka diberikan kebebasan untuk
memilih karena setiap kelompok memiliki alasan-alasan sendiri. Hal-hal
yang sifatnya furu’iyah tidak perlu dipertentangkan.155
murid Gontor dari NU, tetapi Pondok Modern tidak boleh dijadikan NU.” Lihat KH. Abdullah
Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor (Ponorogo,
Trimurti Press, 2005), hal. 88. 155
Drs. Moh. Zaini dari Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI menulis, meski
tidak secara resmi disampaikan, faham atau aliran keagamaan yang dianut Pondok Pesantren
“Wali Songo” tidak berbeda jauh dengan pondok-pondok pesantren lain yang mengikuti “Ahlu
sunnah wal-jama’ah” atau yang biasa disebut “Sunni” dengan mengambil teologi Abul Hasan
Asy’ari, mengutamakan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist, dan juga pertimbangan akal pikiran.
Faham semacam ini biasanya dianut atau diasosiasikan dengan Nahdlotul Ulama’.
Page 114
Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat Ngabar secara mainstream
mengikuti pola keagamaan yang dianut, diamalkan atau diajarkan oleh
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar yakni, tidak fanatik terhadap
madzhab tertentu dan dapat menerima perbedaan pendapat selama dalam
koridor ukhuwah. Hanya, sebagai media pembelajaran bagi masyarakat,
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar mentolerir tradisi keagamaan
yang sifatnya bukan utama. Ini dilakukan dalam rangka dakwah kultural
mengingat obyek dakwah yang dihadapi sangat heterogen. Dakwah
kultural dipilih agar efektif dan mudah diterima. Karena medium yang
dipakai dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.156
e. Nilai dan Norma Pesantren
Menurut Koentjaraningrat, pesantren merupakan lembaga
keagamaan yang sarat akan nilai dan tradisi luhur.157
Nilai (value)
merupakan sebuah konsepsi, konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Sedangkan norma adalah nilai-nilai budaya yang terkait kepada peranan-
peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat.158
Jika nilai merupakan
pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan
ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan
156
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar mengambil model pendekatan para Wali yang
Sembilan dalam “Wali Songo” sebagai acuan berdakwah. Dakwah harus disesuaikan konteks agar
dengan mudah dan diserap oleh masyarakat. Meskipun, belum sepenuhnya mengamalkan ajaran
Islam, dakwah memiliki tahapan dan fase-fase tertentu yang harus dilalui. Dengan tahapan
tersebut, obyek dakwah dapat secara sadar dan perlahan mengikuti seruan dakwah. 157
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974), hal. 21 158
Ibid., hal.22
Page 115
oleh seseorang atau kelompok tindakan wajar dan dapat diterima atau
ditolak.
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar memiliki sejarah
keterikatan (embeddedness) nilai dengan Pondok Modern Darussalam
Gontor Ponorogo, selain faktor geografis, letak yang tidak terlalu jauh,
pendiri dan pengembang Pesantren ini adalah lulusan Gontor. Secara
normatif pula, penerapan nilai yang ada juga banyak dipengaruhi oleh
pandangan hidup (way of life) yang diterapkan di Pesantren Gontor
seperti, panca jiwa, motto, orientasi dan falsafah pondok, meskipun
terdapat perbedaan pada proses adaptasi, pelaksanaan dan kekhasan
masing-masing. Pandangan dan tata nilai yang bersumber dari ajaran
agama dan nilai kepondokan dalam bentuk panca jiwa pondok, motto
orientasi, falsafah dan kearifan lokal seperti ketaatan, ibadah dan alap
barakah berperan secara signifikan dalam kehidupan Pondok Pesantren
“Wali Songo” Ngabar. Dalam komunitas Pesantren Ngabar, nilai dan
norma tersebut kemudian dikenal dengan sunnah pondok yang menjadi
tradisi dan dipegang teguh oleh komunitas Pesantren.
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar menerapkan dan
mengembangkan nilai-nilai kepesantrenan yang dirangkum dalam lima
(5) jiwa (Panca Jiwa) yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdikari,
ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas. Jiwa keikhlasan dapat dimaknai
sebagai sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong
oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu. Segala pekerjaan
Page 116
dilakukan dengan niat semata-mata ibadah lillah.159
Sedangkan jiwa
kesederhanaan berarti bahwa kehidupan di dalam Pondok diliputi oleh
suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak
berarti pula miskin dan melarat. Kesederhanaan itu berarti sesuai dengan
kebutuhan dan kewajaran. Kesederhanaan mengandung nilai-nilai
kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam
menghadapi perjuangan hidup.
Sedangkan jiwa berdikari artinya kesanggupan menolong diri
sendiri. Pondok ini harus mampu berdikari, sehingga tidak
menyandarkan kelangsungan hidupnya kepada bantuan dari fihak lain.
Jiwa ukhuwah diniyyah artinya, kehidupan pesantren diliputi suasana
persaudaraan yang akrab, segala suka dan duka dirasakan bersama dalam
jalinan persaudaraan sesama Muslim. Jiwa bebas berarti bebas dalam
berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam
memilih jalan hidup, bahkan babas dari pengaruh negatif dari
luar.160
Selain jiwa-jiwa di atas, Pondok Pesantren “Wali Songo” juga
masih memiliki dan menerapkan nilai-nilai yang digali dari proses
interaksi internal di dalam pesantren.
f. Kelembangaan dan Organisasi
Dalam upaya pencapaian terhadap visi dan misi yang telah
dicanangkan, Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar memiliki struktur
kelembagaan yang dinaungi. Keberadaan lembaga dan badan-badan
159
Dalam filsafat Jawa, keikhlasan sering dimaknai “sepi ing pamrih, nrimo ing pandum”. Tidak
berharap apapun dari apa yang dikerjakan. 160
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan, hal. 101-103
Page 117
pesantren dibutuhkan agar manajemen kepesantrenan dapat berjalan
maksimal. Struktur organisasi pesantren ini memiliki hirarki dari atas
hingga ke bawah dengan ketentuan dan peraturan yang sudah disepakati
sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar dan Angaran Rumah
Tangga Majlisu Riyasatil Ma’had. Lembaga-lembaga tersebut memiliki
spesifikasi dan bidang garapan sendiri, baik di bidang pendidikan,
pengasuhan maupun ekonomi. Lembaga-lembaga pondok tersebut
adalah:
1) Majlisu Riyasatil Ma’had (MRM): Lembaga tertinggi dan
pemegang kebijakan segala perencanaan dan kebijaksanaan baik
di bidang pendidikan dan pengajaran maupun di bidang
pembiayaan serta sarana pendidikan dan pengajaran.
2) Pimpinan Pondok: Pimpinan Pondok diangkat dan dipilih oleh
Majlisu Riyasatil Ma’had dengan masa lima tahun dan dapat
dipilih kembali. Sebagai Pimpinan eksekutif dalam Pondok
Pesantren “Wali Songo” Ngabar, baik dibidang Pendidikan dan
pengajaran, pengasuhan santri maupun di bidang pembiayaan
dan sarananya. Ia adalah mandataris seluruh kebijaksanaan
Majlisu Riyasatil Ma’had.
3) Lembaga-lembaga kependidikan:
a) Tarbiyatul Athfal “al-Manar”: Lembaga pendidikan pre-
school yang diperuntukkan menampung anak-anak usia pra
Page 118
sekolah dan mempersiapkan mereka ke jenjang pendidikan
dasar.
b) Madrasah Ibtidaiyah “Mambaul Huda”: Madrasah ini
adalah lembaga yang tertua diantara lembaga-lembaga lain
yang ada di Pondok Pesantren Wali Songo, dan dari sisnilah
asal mulanya pendidikan Pondok dan adanya lembaga-
lembaga lain.
c) Tarbiyatul Mu’allimin/Mu’allimat al-Islamiyah: Lembaga
pendidikan menengah untuk putra dan putri dengan lama
belajarnya empat atau enam tahun.
d) Institut Agama Islam “Riyadlotul Mujahidin” al-Islamiyah
(IAIRM): Lembaga pendidikan tinggi di lingkungan pondok
untuk menfasilitasi lulusan di bawahnya. Memiliki tiga
fakultas: Tarbiyah, Syariah dan Dakwah.
4) Yayasan Pemeliharaan dan Pengembangan Wakaf (YPPW-
PPWS):Lembaga ekonomi pondok yang bertugas menjamin
kelangsungan dan kelancaran aktifitas pondok.
5) Majlis Pembimbing Santri (MPS): Lembaga yang bertugas
memberikan bimbingan dan pengasuhan kepada santri-santri
dalam sistem 24 jam terpadu.
6) Keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
(KBAPWS): Lembaga yang menaungi dan membina potensi
alumni yang kini hampir berjumlah 8.000 alumni.
Page 119
g. Manajemen Pesantren
Pondok Pesantren Wali Songo merupakan lembaga swakelola161
dan
swadana162
yang bersifat mandiri dan tidak menggantungkan
kelangsungannya kepada fihak manapun termasuk pemerintah. Dalam
hal proses pengaturan dan pengelolaan, manajemen pesantren dilakukan
dengan “sunnah” dan tradisi pesantren yang khas, di mana seluruh
elemen di Pondok terlibat secara aktif sebagai bagian dari pembelajaran.
Karenanya, manajemen Pesantren memainkan peran penting agar visi,
misi dan tujuan yang sudah ditetapkan dapat dicapai secara efektif,
efisien, dan optimal. Banyak fihak yang menyatakan bahwa salah satu
kelemahan pesantren adalah soal manajemen. Manajemen pesantren pada
umumnya bersifat tertutup, terpusat, dan kekeluargaan. Pondok Pesantren
“Wali Songo” Ngabar menerapkan suatu manajemen yang berbeda dari
pesantren pada umumnya dengan menjalankan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas dan kebersamaan.
Prinsip transparansi mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
pendidikan dan pengajaran di Pondok. Antara lain transparansi dalam
perencanaan dan pelaksanaan program serta transparansi dalam
penyelenggaraan program-programnya secara terbuka melalui forum-
161
Swakelola yang dimaksud bahwa Pondok Pesantren Wali Songo menerapkan strategi
pendidikan dan pengajarannya secara totalitas. Dikelola sepenuhnya oleh seluruh stakeholder yang
ada di Pesantren. Semua unsur-unsur yang ada di pesantren seperti kiyai, guru, santri, sarana
prasarana baik fisik maupun non fisik dan kegiatan lainnya diorganisir secara independen oleh
pesantren dengan mekanisme tersendiri. 162
Swadana bahwa seluruh dana yang ada di Pesantren dikelola secara mandiri oleh pihak
pesantren secara transparan dan akuntabel. Mengupayakan kecukupan finansial (self-sufficiency)
demi kelancaran pendidikan dan pengajaran di Pesantren.
Page 120
forum yang dirancang. Seluruh program-program pesantren dirancang
secara terbuka dan diketahui oleh seluruh masyarakat pondok. Tiap
lembaga diminta untuk selalu melaporkan perkembangan programnya
minimal tiga bulan sekali dan dievaluasi secara komprehensif. Hasil
laporan tersebut selanjutnya menjadi bahan laporan pertanggungjawaban
Pimpinan Pondok di hadapan Majlisu Riyasatil Ma’had setiap enam
bulan sekali.163
Transparansi juga diterapkan dalam manajemen keuangan. Sirkulasi
keuangan Pondok diatur secara transparan dengan administrasi yang
tertib. Setiap lembaga dan organisasi melaporkan sirkulasi keuangannya
kepada pimpinan secara reguler. Di samping itu, semuanya juga siap
untuk diperiksa dan dikontrol setiap saat. Jika terjadi kecurangan atau
kesalahan, kepada yang bertanggung jawab akan diberikan sanksi berat.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar menerapkan manajemen modern dengan pendekatan
tranparansi dan akuntabilitas. Meski dalam kasus-kasus tertentu
pendekatan “kekeluargaan” tetap digunakan.164
h. Sistem Pendidikan dan Pengajaran
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren “Wali
Songo” Ngabar dapat dibedakan dan dikelompokkan dalam beberapa
bentuk:
163
Warta Tahunan, Edisi: XXXI, Tahun 2010-2013. 164
K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan, hal. 117.
Page 121
1) Kurikuler: dilaksanakan dalam wadah Tarbiyatul Mu’allimin
dan Mu’allimat al-Islamiyah. Dilaksanakan secara klasikal pada
pagi hari oleh seluruh guru di bawah tanggung jawab Direktur.
Memiliki dua macam program yaitu “reguler”; untuk lulusan
SD/MI dengan masa belajar 6 tahun dan “Intensif” dengan masa
belajar 4 tahun untuk lulusan SMP/MTs dan di atasnya.
2) Ko-kurikuler: dilaksanakan di luar jam pelajaran sekolah di
bawah bimbingan guru-guru dan santri-santri senior. Kegiatan-
kegiatan Ko-kurikuler tersebut meliputi:
a) Ibadah Amaliah sehari-hari, seperti: sholat berjama’ah,
sholat tahajjud, sholat rawatib mu’akkad, sholat nawafil,
puasa senin kamis, tilawah dan tahfidz al-Qur’an, dzikir,
do’a dan shalawat.
b) Intensive Learning seperti belajar malam (ta’alum al-
muwajjah), pengkajian kitab klasik, latihan retorika,
peningkatan tiga bahasa, cerdas cermat, diskusi, bedah
buku, penerbitan Majalah dinding.
3) Ekstrakurikuler: dilaksanakan di luar jam sekolah oleh pengurus
Organisasi santri (OSWAS). Kegiatannya antara lain; pelatihan
dan praktek berorganisasi, kursus. Baik ko-kurikuler maupun
ekstrakurikuler pelaksanaannya di bawah bimbingan Majlis
Pembimbing Santri (pengasuhan).
Page 122
Sedangkan kegiatan pembelajaran secara khusus dikelola TMI dan
TMt-I terdiri dari kegiatan harian, tengah tahunan dan tahunan.
1) Kegiatan Harian meliputi: 1. Kegiatan belajar mengajar, 2.
Supervisi proses pengajaran, 3. Pengecekan persiapan mengajar,
4. Pengawasan disiplin masuk kelas, 5. Pengontrolan kelas dan
asrama santri saat pelajaran berlangsung dan 6. Penyelenggaraan
belajar malam bersama wali kelas.
2) Kegiatan Mingguan meliputi: 1. Pertemuan guru setiap Kamis
untuk mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar selama
seminggu. Forum ini juga digunakan oleh Pimpinan Pondok
untuk memberikan pengarahan dan menyampaikan program-
program dan masalah-masalah pondok secara keseluruhan. 2.
Pertemuan ketua-ketua kelas (Jum’at malam).
3) Kegiatan Tengah Tahunan meliputi ujian tengah semester I dan
II dan ujian akhir semester I dan II.
4) Kegiatan Tahunan meliputi: Fathul Kutub yaitu latihan
membaca kitab-kitab berbahasa arab dan kitab
klasik/kontemporer. Fathul Mu’jam yaitu latihan dan ujian
membuka kamus berbahasa Arab maupun Inggris. Manasik Haji
yaitu latihan pelaksanaan ibadah haji. Amaliyat al-Tadris yaitu
praktek mengajar untuk santri kelas VI.
Page 123
i. Pengasuhan Santri
Sistem pengasuhan di PPWS ditangani oleh lembaga tersendiri
bernama Majlis Pembimbing Santri. Majlis Pembimbing Santri
merupakan lembaga non-formal yang menjalankan Sistem dan pola
pengasuhan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, seluruh progam
dan kegiatan langsung mendapat arahan dan bimbingan langsung dari
Pimpinan Pondok karena memang tugas dan fungsi Majlis Pembimbing
Santri adalah sebagai tangan kanan Pimpinan Pondok dalam membina
dan mendidik mental santri selama 24 jam, mulai bangun tidur hingga
tidur kembali. Seluruh aktifitas santri diselenggarakan oleh organisasi
pelajar, Organisasi Santri Wali Songo (OSWAS) di bawah arahan dan
bimbingan langsung Majlis Pembimbing Santri.
Sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas semua pelaksanaan
pendidikan ekstrakulikuler atau kegiatan non formal, santri dididik agar
memiliki jiwa keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah
dan kebebasan. Selain dari pada itu, MPS juga berusaha menciptakan
lingkungan kehidupan (life environment) pondok yang bertakwa kepada
Allah, beramal sholeh, berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan
luas, berfikiran bebas, berbadan sehat, berwiraswasta dan cinta tanah air.
Oleh karena itu, eksistensi dan loyalitasnya dalam membina dan
membimbing santri dipandang sangat urgen. Selain hal itu, MPS juga
berusaha menciptakan lingkungan kehidupan yang alami, penuh rasa
kekeluargaan, kedamaian yang harmonis dan edukatif (tarbawi) serta
Page 124
menanamkan dan menumbuhkan jiwa rasa memiliki tanggung jawab
terhadap pondok pesantren “Wali Songo” ngabar kepada seluruh santri
dan juga bertanggung jawab atas berjalannya sunnah pondok secara
konsekuen.
Kegiatan ekstrakulikuler merupakan kegiatan diluar sekolah yang
langsung dibina dan dibimbing oleh asatidz Majlis Pembimbing Santri
(MPS) dan Pengurus Pusat OSWAS. Kegiatan ini terbagi menjadi
kegiatan harian, kegiatan mingguan, kegiatan bulanan, kegiatan tahunan.
Kegiatan Harian
No Waktu Jenis Kegiatan
1 03.30-04.30 Bangun pagi, sholat sunnah tahajjud, sholat subuh
berjama’ah
2 04.30-05.00 Muhadastaah pagi (pemberian kosa kata)
3 05.00-06.00 Olahraga, mandi dan kegiatan pribadi
4 06.00-06.30 Sarapan pagi
5 06.30-06.45 Berangkat sekolah dan do’a pagi
6 06.45-12.35 KBM (kegiatan belajar mengajar)
7 12.35-13.45 Sholat Dzuhur berjama’ah dan makan siang
8 13.45-14.45 Pelajaran sore
9 14.45-15.00 Persiapan sholat ‘ashar
10 15.00-15.30 Sholat ‘Ashar berjama’ah dan tilawah al-Qur’an
11 15.30-16.30 Olahraga
12 16.30-17.00 Mandi sore dan persiapan ke masjid
13 17.00-18.15 Tilawah al-Qur’an dan sholat maghrib berjama’ah
14 18.15-19.00 Ta’limu al-Qur’an
15 19.00-19.30 Sholat Isya’ berjama’ah
16 19.30-20.00 Makan malam
17 20.00-21.30 Belajar malam
18 21.30-21.45 Do’a bersama
19 21.45-03.30 Istirahat
Tabel 3.1. Jenis Kegiatan Harian
Page 125
Kegiatan Mingguan
Hari Waktu Jenis Kegiatan
Jum’at
04.30-04.45
05.00-05.30
05.30-07.00
07.00-08.00
08.00-08.30
08.30-09.00
09.30-10.00
10.00-11.00
11.00-12.30
12.30-16.30
17.00-17.30
18.15-19.00
Kuliah Shubuh/ceramah agama
Muhadatsah
Olahragapagi
Kerjabakti
Sarapanpagi
Mandi dan persiapan sholat dhuha
Sholat Dhuha berjama’ah dan tilawah al-Qur’an
Istirahat.
Membaca al-Qur’an dan sholat Jum’at berjama’ah
Perizinan.
Ceramah agama (Ust. K. H. Heru Saiful Anwar, MA)
Membaca al-Ma’tsurat.
Sabtu 17.00-17.30
18.15-19.00
Ceramah agama (Ust. Drs. K. H. Moh. Ihsan, M. Ag)
Tartil al-Qur’an (Jamiyyatu al-Qurro’)
Ahad 19.30-20.00 Latihan pidato bahasa Inggris
Senin 13.45-15.00
17.00-17.30
Tahsinu al-Qur’an. Tahfidz al-Qur’an
Ceramah agama asatidz per-kamar
Selasa 05.00-05.30
17.00-17.30
Olahragabersama / laripagi
Ceramah agama (Ust. K. H. Moh. Tholhah, S. Ag)
Rabu 13.45-14.45 Kesenian dan ketrampilan
Kamis 10.30-11.45
13.30-16.00
19.45-21.00
Latihan pidato bahasa arab
Latihan Pramuka.
Latihan pidato bahasa Indonesia
Tabel 3.2. Jenis Kegiatan Mingguan
Data Santri TMI 2018-2019
Kelas Jumlah Kelas Jumlah Kelas Jumlah Kelas Jumlah
I A 30 II A 24 III A 25 I Int A 30
I B 26 II B 26 III B 24 I Int B 29
I C 28 II C 26 III C 24
I D 28 II D 27 III D 24
I E 28 II E 30 III E 27
I F 27 II F 30 III F 24
I G 28
I H 25
Jml 220* Jml 163 Jml 148 Jml 59*
IV A 26 V A 26 VI A 22 III Int A 15
IV B 29 V B 26 VI B 22 III Int B 17
IV C 23 V C 26 VI C 23
IV D 25 V D 24 VI D 26
IV E 26 V E 24 VI E 25
V F 26 VI F 26
VI G 24
Jml 129 Jml 152 Jml 168 Jml 32
Jumlah seluruh santri : 1073
Tabel 3.3. Data Santri TMI 2018-2019
Page 126
Data Guru TMI 2018-2019
No Jumlah Pend. Terakhir Keterangan
1 160
Sarjana S-2 19 orang
Sarjana S-1 52 orang
Sarjana Muda 02 orang
TMI 87 Orang
Tabel 3.4. Data Guru TMI 2018-2019
Jumlah santri keseluruhan putra-putri
Tahun
akademik
Jenjang Pendidikan Total
TK MI TMI TMt-I PT
1976-1977 120 296 477 0 0 893
1977-1978 117 316 487 0 0 920
1978-1979 122 323 284 67 0 796
1980-1981 126 334 398 82 0 940
1981-1982 123 348 426 84 0 981
1985-1986 0 356 1.506 0 0 1.862
1987-1988 146 357 1.595 0 0 3.155
1989-1990 155 418 1.745 1.676 191 4.185
1991-1992 123 413 1.899 1.690 453 4.578
1992-1993 108 438 1.946 1.705 474 4.671
1993-1994 123 445 2.040 1.803 681 5.092
1994-1995 118 438 1.821 1.934 813 5.124
1995-1996 101 406 1.649 1.727 604 4.487
1996-1997 109 406 1.442 1.616 0 3.573
1997-1998 108 387 1.453 1.501 0 3.449
1999-2000 168 354 772 1.016 346 2.656
2000-2001 115 323 616 731 309 2.094
2002-2003 137 320 559 696 0 1.712
2003-2004 107 341 487 592 302 1.829
2004-2005 105 322 446 563 256 1.692
2005-2006 107 327 410 460 0 1.304
2006-2007 99 314 376 414 240 1.443
2007-2008 103 317 356 415 267 1.458
2008-2009 95 322 366 362 398 1.543
2009-2010 87 298 403 375 401 1.564
2010-2011 102 301 437 388 340 1.568
2011-2012 130 301 544 415 343 1.733
2012-2013 116 298 536 506 328 1.784
2013-2014 89 314 712 583 365 2.063
2014-2015 88 339 793 674 323 2217 2015-2016 83 338 858 774 255 2308 2016-2017 91 355 936 824 236 2.442
2017-2018 83 364 1017 873 244 2.581
2018-2019 87 375 1073 987 278 2.800 Berdasarkan Warta Tahunan PPWS, sebagian data tidak tersedia.
Tabel 3.5. Data Seluruh Santri Ngabar
Page 127
B. Data Khusus
A. The Choice Process (Proses Pilihan) Perubahan dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo.
Konsep perubahan adalah proses dimana kita pindah dari kondisi yang
berlaku menuju kondisi yang diinginkan yang dilakukan oleh individu,
kelompok, serta organisasi dalam hal bereaksi terhadap kekuatan dinamika
internal maupun eksternal. Perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu
yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan
hal-hal dengan cara yang baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-
prosedur manajemen baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru,
penggabungan (merging), melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa
yang bersifat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan.
Tujuan perubahan disatu sisi untuk memperbaiki kemampuan organisasi
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan disisi lain,
mengupayakan perubahan perilaku karyawan untuk meningkatkan
produktivitasnya. Perubahan harus dilakukan secara hati-hati dengan
mempertimbangkan berbagai hal agar manfaat yang ditimbulkan oleh
perubahan harus lebih besar daripada beban kerugian yang harus ditanggung.
Oleh sebab itu, perlu difikirkan dengan sangat matang serta dirumuskan
dengan sebaik-baiknya agar perubahan yang dilakukan sesaui dengan yang
diharapkan dan menghasilkan tujuan kepada keberhasilan organisasi atau
lembaga. Salah satu resep standar untuk keberhasilan organisasi adalah
Page 128
bahwa mereka harus tahu kekuatan dan kelemahannya sendiri, kebutuhan
pelanggan mereka dan sifat lingkungan di mana mereka bekerja.
Di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo untuk merumuskan
perubahan, dilakukannya penggabungan informasi kinerja yang sudah
dikerjakan, dan yang akan dikerjakan. Metode yang digunakannya ialah
dengan menggunakan SWOT (Strength (kekuatan), Weaknesses
(Kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Hal tersebut
sesuai dengan apa yang disampaikan Hardian, S.Pd.I., selaku Koordinator
Pengasuhan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sebagai berikut:
Untuk mengetahui bagaimana kekuatan organisasi/lembaga kita
mengadakan Rapat Kerja (Raker), yang dilaksanakan sebelum tahun
ajaran dimulai, biasanya ketika Bulan Ramadhan, karena lembaga kami
bulan Ramadhan libur total, yang digunakan untuk raker tersebut, raker
tersebut diikuti oleh seluruh stakeholder, yang mana di dalamnya dibahas
terkiat evaluasi satu tahun yang sudah dilaksanakan, menyusun progam
kerja, dan menyusun RAPB (Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja), ketika evaluasi, kita mengggunaka metode SWOT, untuk
menentukan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan masa depan.165
Hal tersebut sangat penting, dimana dalam merencanakan hal tidak boleh
asal-asal, artinya merencanakan kegiatan ataupun progam tidak boleh asal
jadi, asal buat, dan asal ada, harus matang, dan harus professional. Maka dari
itu, evaluasi setiap tahun ialah hal yang harus di dalam Pondok Pesantren
Wali Songo, sebelum merencanakan progam untuk tahun selanjutanya.
Komitmen bersama harus lebih baik dari tahun ke-tahun dan selalu
mengambangkan mutu dari tahun ketahun suatu hal yang akan dilaksanakan.
Hal tersebut, senada dengan apa yang ditekankan oleh Bapak KH. Heru Saiful
165
Hardian Rdho, Wawancara, Ngabar, 12 Juli 2018.
Page 129
Anwar, MA., selaku Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sebagai
berikut:
Acara raker sebagai muhasabah, artinya muhasabah yang sudah
dikerjakan, dan muhasabah perencanaan ke depan. Kami
mengaharapakan keistiqomahan dalam kegiatan, serta selalu
berkomitmen dengan “hari ini harus lebih baik dari pada hari kemaren”.
Segala hal yang sudah kita lakukan harus kita evaluasi, apa
kekurangannya, apa kelebihannya, masing-masing stakeholder harus
paham akan hal tersebut. Membuat kegiatan yang baik merupakan
keharusan, jangan atau tidak boleh asal-asal, (asal buat, asal ada, asal
jadi), harus professional.166
Lebih penting lagi, H. Moh. Zaki Su’aidi, Lc., MA., (HONS), selaku
ketua Yayasan pemeliharaan dan Pengembangan Wakaf Pondok Pesantren
Wali Songo (YPPW-PPWS) serta merangkap sebagai Koordinator sekretariat
Pimpinan Pondok, dalam sambutannya ketika membuka rapat kerja untuk
tahun ajaran 2018-2019 mengatakan bahwa “Orang yang tidak berfikir masa
depan, tidak berfikir inovasi, orang yang tidak berfikir inovasi, ia akan mati,
maka dari itu, Ngabar harus berubah, dan terus berinovasi. Maka, tidak ada
kata lain bagi Ngabar, untuk terus berubah, berinovasi, dan selalu berfikir ke
depan.”167
Oleh sebab itu, Zaki Su’aidi menambahkan untuk setiap tahunnya
setiap lembaga harus memiliki inovasi-inovasi dan perubahan-perubahan
yang ditawarkan, Beliau menambahkan bahwa perubahan selalu
mendatangkan ketidakpastian, dan kekawatiran, akan tetapi tanpa adanya
perubahan lembaga atau organisasi tersebut finished.
Adapun tahapan-tahapan rapat kerja yang dilakukan di Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar, didesain dengan begitu baik, supaya hasil yang
166
Heru Saiful Anwar, Wawancara, Ngabar, 14 Juli 2018. 167
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret 2018.
Page 130
diharapkan menghasilkan inovasi, perubahan yang lebih baik untuk
pengembangan mutu dan kemajuan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
kedepannya. Adapun tahapannya ialah pertama, Analisis SWOT, kedua,
Penyusunan progam, ketiga, menyusun progam kerja sesuai time line,
keempat, membahas anggaran, kelima, memutuskan anggaran bersama tim
anggaran dan YPPW-PPWS, keenam, Rapat pleno hasil raker dengan
lembaga, ketuju, rapat pleno dan pengesahan hasil raker dengan Pimpinan
Pondok.
Progam peningkatan mutu pendidikan pesantren selama beberapa dekade
ini terus menerus selalu diupayakan secara maksimal, baik melalui
pembenahan progam pendidikannya maupun pengelolaan organisasinya,
namun mutu pendidikan pesantren yang dicapainya masih belum optimal. Hal
tersebut juga terjadi dalam pondok pesantren wali songo, oleh sebab itu,
untuk mengatasi hal tersebut perlu fokus pilihan perubahan, ataupun
pengembangan, supaya peningkatan atau pengembangan mutu pondok
pesantren dapat berjalan maksimal dan sesuai harapan. Pondok Pesantren
Wali Songo dalam dua tahun ini sudah menerapkan hal demikian, artinya ada
fokus pengembangan yang dikejar, fokus pengembangan yang berdasarkan
mutu. Tahun 2107-2018, berfokus pada pengembangan pembangunan dan
infrastruktur, dan tahun ini 2018-2019, fokus pada pengembangan ekonomi
dan Al-Qur’an serta bahasa. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan M.
Awalul Akhyar, S.Sy., selaku Sekretaris YPPW-PPWS sebagai berikut:
Alhamdullillah, kondisi yayasan saat ini semakin tahun semakin
berkembang. Berkembang pesat. Berkembang lebih baik ya, dari pada
Page 131
pertama kali saya masuk di yayasan ini. Banyak perubahan yang terjadi
baik dari sisi manajemen keuangan, ekonomi, dan administrasi, dan lain-
lain. Alhamdulillah posisi pada saat ini, tertata dengan baik, teratur dan
menuju tertib. Banyak hal yang ingin kita kembangkan, tapi untuk
memaksimalkannya kita fokus dalam pengembangan satu hal dalam
setiap tahunnya, di samping hal-hal lain kita juga perhatikan. Untuk
tahun kemarin, kita fokus pada pengembangan insfrastruktur, dan tahun
ini, kita fokus pada pengembangan ekonomi.168
Hal senada juga disampaikan M. Fery Irwansyah, S.Pd.I. selaku
Bendahara Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (TMI), sebagai berikut:
Nah ini pengembangan mutu, jadi raker tahun ini orientasinya pada al-
qur’an dan bahasa, misalnya hafalan Al-qur’an, menjadi salah satu syarat
kelulusan santri dari kelas 1-6 ialah hafalan juz amma. Dan itu
berjenjang. Kelas 1, An-Naas-Ad-Dhuha, kelas 2, Ad-Dhuha-An-Naba’,
Kelas 3, Awal Juz 29 sampai pertengahan juz 29, kelas 4, Pertengahan
Juz 29 Sampai akhir juz 29. Kelas 5, mulai awal juz 1 sampai
pertengahan, dan kelas 6, mulai pertengahan juz satu sampai akahir juz 1.
Artinya santtri yang lulus di Pondok Pesantren Wali Songo, paling tidak
sudah mengantongi hafalan al-qur’an sebanyak 3 juz. Dan itu menjadi
syarat kenaikan masing-masing kelas.169
Hal tersebut, sudah diarahkan oleh Bapak Pimpinan Pondok KH. Heru
Saiful Anwar, MA., dalam pembukaan rapat kerja 2018, bahwa tahun ini,
ialah tahun peningkatan mutu, khususnya dalam peningkatan mutu bahasa,
dan mutu Al-Qur’an, sebagaimana yang beliau sampaikan berikut:
Tahun ini ialah tahun peningkatan mutu, terutama kita akan kuatkan pada
penguatan bahasa dan al-Qur’an. Selain itu, di tahun depan MoU harus
kita perbanyak, untuk meningkatkan networking kita. Kita akan usahakan
study banding dengan lembaga-lembaga lain yang sudah lebih baik
dengan kita, untuk kita modifikasi progam-progam yang baik dari
lembaga tersebut dan kita terapkan pada lembaga kita.170
Dari hal tersebut menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Wali Songo
dalam pengembangan mutu pondok pesantren memusatkan fokusnya pada 1
168
M. Awalul Akhyar, Wawancara, Ngabar, 13 Juli 2018. 169
M. Fery Irwansyah, Wawancara, Ngabar, 06 Juli 2018. 170
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret 2018.
Page 132
atau dua hal dalam setiap tahunnya, agar usaha pengembangan tersebut dapat
membuahkan hasil yang baik.
Suatu perubahan, terutama dalam organisasi ataupun lembaga khususnya
lembaga pondok pesantren sangat penting bagaimana proses pengambilan
keputusan untuk memutuskan sesuatu perubahan. Dalam pengambilan
keputusan suatu organisasi perlu mempertimbangkan masa lalu, tujuan dan
strategi masa depan. Dalam proses tersebut, pondok pesantren wali songo
dalam pengambilan keputusannya melalui musyawarah dari stakeholder
terlebih dahulu. Kaitannya dengan perubahan untuk tahun depan, keputusan
diambil dari hasil rapat kerja setiap tahunnya.
Selain itu, setiap tahun kita sudah melaksanakan rapat kerja. Raker ini
dilaksanakan sebelum ramadhan, selesainya tahun ajaran. Banyak yang
dibahas dalam raker, terkait evaluasi satu tahun, menentukan kelemahan
dan kekuatan, menyusun progam/perubahan, dan terakhir menyusun
RAPB (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja), selama satu tahun
ke depan. RAPB ini sudah dilaksnakan kurang lebih 5 tahun ini.171
Muhammad Zaki Su’aidi juga menambahkan bahwa “hasil rapat kerja
ialah hasil yang otentik dan tidak bisa diganggu gugat. Perubahan yang terjadi
di rapat kerja tidak dapat dirubah tanpa melalui rapat kerja selanjutnya.”172
B. The Trajectory Process (Proses Lintasan) Perubahan dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo.
The Trajectory Process (Proses Lintasan) Perubahan berhubungan
dengan masa lalu organisasi dan arah masa depan dan hasil tersebut terlihat
seperti hasil dari visinya, magsud dan tujuan masa depan. Sesuai hasil
171
M. Fery Irwansyah, Wawancara, Ngabar, 06 Juli 2018. 172
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret 2018.
Page 133
observasi yang dilakukan Peneliti didapatkan bahwa Pondok Pesantren Wali
Songo dalam ini Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (TMI), pada rapat kerja
2017 telah membenahi visi lembaganya yang lama. Adapaun pembenahannya
sebagai berikut:
Visi Lama:
Menjadi lembaga pendidikan Islam yang berjiwa pesantren, unggul
dalam IMTAQ dan IPTEK, bahagia dunia dan akhirat.
Visi Baru:
Mencetak Insan Berkarakter Pesantren, Unggul dalam prestasi,
Kompetitif di bidang Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab, Bahasa Inggris
dan Sains di Era Global.173
Adanya pembenahan tersebut, dilatarbelakangi karena visi yang lama
masih belum fokus dengan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang
ada pada lembaga TMI saat ini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
disampaikan Marjuni, S.Pd., M.Pd.I., selaku Wakil Direktur TMI, sebagai
berikut:
Pembenahan visi ini, agar visi yang kita miliki mudah dipahami dan
sesuai dengan situasi kondisi TMI saat ini, dan peluang masa depan. Kita
ingin memfokuskan visi ini pada kebutuhan lembaga, Orang tua,
Pendidik, dan Santri, dengan mempertimbangkan keunggalan yang ada
dalam lembaga TMI itu sendiri.174
Hal senada disampaikan H. Said Abadi, Lc. MA., selaku Direktur TMI
yang menyatakan bahwa kejelasan suatu visi, misi, dan tujuan lembaga itu
harus ada di dalam lembaga TMI, sesuai yang disampaikan dalam sidang
perdana tahun ajaran 2017-2018, beliau menyampaikan sebagai berikut:
Tahun ini, kita merumuskan kembali visi, misi, dan tujuan lembaga TMI,
dimana mestinya kita harus memiliki visi, msi, dan jelas. Maka dari itu di
awal pengajaran ini tahun 2017-2018 kami mensosialisasikan kembali
173
Hasil rapat kerja TMI, tahun 2017. 174
Marjuni, Wawancara, Ngabar, 04 Juli 2018.
Page 134
visi yang telah kami rumuskan atau godok pada rapat kerja. Harapnnya
ialah kalau kita memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas, kita akan
mudah menggapai keinginan atau harapan kita, untuk menjadikan
lembaga ini, terus maju, berkembang dengan baik dan bermutu. Adapun
pembenahan visi, misi, dan tujuan lebaga TMI, sebagai berikut:
Visi:
Mencetak Insan Berkarakter Pesantren, Unggul dalam prestasi,
Kompetitif di bidang Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab, Bahasa Inggris
dan Sains di Era Global.
Misi:
a. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dalam bidang
Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab/Inggris dan Sains yang berkarakter
pesantren, unggul dan kompetitif.
b. Mengembangkan kemampuan teoritis dan praktis dalam bidang
Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab/Inggris dan Sains.
c. Meningkatkan Mutu yang berkelanjutan dalam Pengelolaan
Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah secara efektif dan efisien.
d. Mengembangkan sarana pendukung pendidikan dan pengajaran
yang memadai.
e. Mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam
maupun luar negeri guna peningkatan dan pengembangan
kemampuan dalam bidang Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab/Inggris
dan Sains.
Tujuan:
a. Terselenggaranya pendidikan dan pengajaran dalam bidang
Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab/Inggris dan Sains yang berkarakter
pesantren, unggul dan kompetitif.
b. Terwujudnya peningkatan kualitas ustadz dan santri secara
teoritis dan praktis dalam bidang Dirosah Islamiyah, Bahasa
Arab/Inggris dan Sains.
c. Terwujudnya Mutu yang berkelanjutan dalam Pengelolaan
Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah secara efektif dan efisien.
d. Terwujudnya sarana pendukung pendidikan dan pengajaran yang
memadai.
e. Terwujudnya kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam
maupun luar negeri, guna peningkatan dan pengembangan dalam
bidang Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab/Inggris dan Sains.175
Perubahan visi, misi, dan tujuan lembaga TMI tersebut, tidak lepas dari
adanya visi besar Pondok Pesantren Wali Songo yang dirumuskan biro
Sekretariat Pondok, yang dinamai “Ngabar Vision 2020”, dalam visi besar
175
Sidang Perdana tahun ajaran 2017-2018, Observasi, 20 Juli 2017
Page 135
pondok tersebut, ada 4 point yang akan atau ingin dicapai pondok pesantren
Wali Songo Ngabar pada tahun 2020, empat point tersebut, disampaikan oleh
H. Moh. Zaki Su’aidi, Lc., MA (Hons), selaku Ketua biro Sekretariat Pondok
sebagi berikut:
Mari berfikir apa yang orang lain (competitor) tidak pikirkan, jangan
biarkan perasaan kalah (inferior) bahwa mereka hebat dan tidak dapat
dikalahkan. Oleh sebab itu, kita harus memiliki prioritas dan fokus. Pada
momentum rapat kerja 2017-2018 ini, biro sekretariat menyusun visi
Ngabar 2020, agar fokus dan pengembangan mutu kita jelas, visi Ngabar
2020 yaitu: Pertama, Advance in Al-Qur’an and Foreign Language,
Kedua, International Accredited ISO 9001-2015, Ketiga, Economy Self-
Sufficiency, dan Keempat, Domestic and International Network.176
Dari keempat visi besar tersebut, tentu sangat tidak maksimal bila
keempatnya difokuskan pada satu tahun ajaran, maka dari itu, Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islmiyah Pondok Pesantren Wali Songo, untuk tahun ini
memfokuskan pada bidang pertama, yaitu Advance in Al-Qur’an and
Foreign Language atau dapat diartikan sebagai penguatan al-qur’an dan
bahasa. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan M. Jaelani, sebagai
berikut:
Fokus pengembangan mutu lembaga ini ialah focus pada al-qur’an dan
bahasa. Kita tahu bahwa bahasa ialah kunci dari segala, yang menjadi
kunci untuk meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.177
Hal yang sama dirasakan Hardian Ridho Wahyono, pengembangan yang
terjadi dengan baik di Pondok Ngabar, dirasakan wujud dari fokusnya suatu
lembaga memfokuskan pada satu hal pengembangan. Sebagaimana yang
dikatakan sebagai berikut:
176
Hasil Rapat Kerja Pondok Pesantren Wali Songo, Tahun 2017-2018 177
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018
Page 136
Sangat berbeda. Tergantung visi misinya yang berbeda, karena visi misi
kita pada tahun ini ialah al-Qur’an dan bahasa. Dan mempunyai slogan
“Serving excellent” memberikan pelayanan terbaik baik santri. Pelayan
terbaik untuk santri menjadi tanggung jawab mutlak bagi kami. Setiap
tahun kami berusaha untuk meningkatkan kualitas, menambah kreasi-
kreasi, dan inovasi-inovasi perubahan, untuk tujuan utama kita
memberikan pelayanan terbaik untuk para santri.178
Dari paparan di atas, dalam mengembangkan atau menjalankan visi
perubahannya, pondok pesantren Wali Songo Ngabar, dalam hal ini
Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah memfokuskan dua bidang pada tahun ini,
yaitu al-Qur’an dan Bahasa.
Guna mewujudkan perubahan, sesuai visi yang telah ditentukan untuk
mewujudkan pendidikan pondok pesantren yang berkualitas, tentunya harus
dibangun dan dikembangkan melalui pengelolaan pondok pesantren yang
bermutu dengan mengembangkan strategi-strategi khusus secara sistematis,
matang, dan tepat. Dalam hal ini, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
menerapkan tiga komponen penting, yaitu: a. Perencanaan mutu, b.
Pelaksanaan dan kontrol mutu, serta, c. Evaluasi mutu.
Dalam perencanaan mutu di Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar, Singgih Rahmanu, S.Pd.I., selaku Wakil
Direktur TMI, menjelaskan sebagai gambar berikut:
178
Hardian Ridho, Wawancara, 12 Juli 2018
Page 137
Gambar 3.1. Konsep Perencanaan Mutu TMI
Secara deskriptif perencanaan mutu di atas dilaksanakan oleh Singgih
Rahmanu sebagai berikut:
Konsep tersebut, direncanakan sedemikian rupa dengan tujuan untuk
mencapai visi yang telah kita rancang. Di situ dijelaskan bahwa Direktur
dan staff, selaku penggerak jalannya lembaga TMI berusaha untuk
mencapai peningkatan kualitas bahasa (bahasa arab dan inggris),
peningkatan kualitas ilmu pengetahuan (dirosat islamiyah dan eksak),
dan managerial. Maka dari itu, fokus strateginya terletak pada penguatan
pada tiga komponen, yaitu Guru, Santri, dan Networking. Kita berusaha
dan mengusahakan meningkatkan kualitas guru pada tiga aspek, yaitu
loyalitas, integritas, dan kapabilitas. Terkait santri, kita berusaha
menumbuhkan motivasi belajar santri. Serta penguatan kerjasama, baik
internal dan eksternal. Serta mengusahakan sistem penjamin mutu dan kaderisasi. Kesemua itu dibingkai dalam satu kesatuan yang saling
menguatkan antara satu komponen dengan komponen yang lainnya.179
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan H. Zaki Su’aidi, yang
mengatakan sebagai berikut:
179
Singgih Rahmanu, Wawancara, 05 Juli 2018
Page 138
Maka perlu kita formulasikan ngabar yang mempunyai ciri khasnya
sendiri, yang membedakan antara pondok yang lain. Saya ingin kedepan,
kerjasama jaringan masing-masing lembaga diperkuat. Untuk kemudahan
relasi ngabar dengan instasi atau dunia luar. Mari berfikir, apa yang
orang lain tidak fikirkan, berfikirlah sesuatu yang orang lain tidak
fikirkan. Tentukan standar mutu TMI dari 8 standar, tentukan formula
dan standar yang kita butuhkan. Setiap pertemuan sudah jelas,
peningkatan dan pencapainnya.180
Hal tersebut menggambarkan bahwa, pondok pesantren wali songo
ngabar, dalam hal ini TMI, ingin kualitas pendidikan kedepan semakin
bermutu, dengan perencanaan yang baik.
Adapun terkait pelaksanaan dan kontrol mutu, sesuai hasil wawancara
denga H. Said Abadi, Selaku Direktur TMI mengatakan:
TMI menjadi lembaga paling penting dalam kaitanya peningkatan SDM
di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar serta bertanggung jawab penuh
terkait keberlangsunya kegiatan belajar mengajar. Antara TMI dan MPS
harus selalu berkoordinasi aktif & selaras dalam berjalan. Maju tidaknya
TMI tergantung dengan kekompakan team TMI. Saya
mengklasifikasikan kerja di TMI itu menjadi dua, yaitu: Kerja dalam
tingkat rutinitas (Kelemahannya tidak stabil dan membosankan), dan
Kerja dalam tingkat konseptor. Dalam tingkat rutinitas tersebut, kita
setiap dua minggu sekali musyawarah untuk mengevaluasi, apa yang
telah kita kerjakan, kita perbaiki atau mencari solusi, kemudian kita
kerjakan lagi, kita evaluasi lagi dan kita kerjakan lagi, adapun pada
tingkat konseptor kita evaluasi pada tingkat rapat kerja, dan kita kerjakan
lagi tahun ajaran selanjutnya. Dalam konteks kegiatan belajar mengajar,
yang menjadi inti tugas TMI, pada tahun ini, kita mempunya jargon
“Zero kekosongan kelas”, dan dengan prinsip “al-Muw dhobah wa at-
Tabk r”. al-Muw dhobah, artinya datang tepat waktu atau tidak
terlambat, dan at-Tabk r, artinya tidak mengosongkan kelas.181
Hal senada disampaikan M. Awalul Akhyar, S.Pd.I terkait kontrol
kegiatan sebagaimana yang disampaikan sebagai berikut:
Kita mulai ada quality control, contohnya di kantin, makanan-makanan
yang tidak laku hari ini digoreng lagi, yang saos, di Ngabar Mart, kita
180
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018 181
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018
Page 139
kontrol, tidak hanya asal menyediakan akan tetapi, yang bergizi dan baru.
Produk-produknya kita perbaiki.182
M. Jaelani juga menambahkan sebagai berikut:
Untuk perubahan-perubahan yang dilakukan dimulai adanya ganjalan-
ganjalan dalam kependidikan dan kepengajaran dari tahun-ketahun yang
dievaluasi dan diperbaiki, kemudian dikerjakan lagi apa yang sudah
diperbaiki, dan terus demikian.183
Dikuatkan lagi dengan apa yang disampaikan H. Zaki Su’aidi, beliau
menyampaikan bahwa “siklus atau konsep kegiatan yang kita kerjakan dalam
kehidupan/kegiatan di pondok pesantren wali songo Ngabar ini, yaitu dengan
Plan, Do, Check, Act, artinya kita rencanakan kemudian kita kerjakan apa
yang sudah kita rencanakan, kemudian kita kontrol, evaluasi, dan perbaiki apa
yang telah kita kerjakan, dan kita kerjakan lagi apa yang telah dievaluasi dan
perbaiki tersebut.”184
Kaitannya dengan evaluasi yang dilakukan di Pondok Pesantren Wali
Songo yang dalam ini TMI, dijabarkan oleh Singgih Rahmanu, S.Pd.I.
sebagai berikut:185
No. Bidang Positif Negatif
1 Guru
1. Motivasi guru meningkat 1. Masih ditemukan Guru tidak
mengajar tanpa keterangan
a. Bersedia diajak
menyusun silabus
2. Masih ditemukan Guru
mengajar tanpa i’dad
b. Bersedia menkjadi
Supervisor
3. Kinerja piket/bulis tasreh
menurun, tidak stabil
c. Bersedia disupervisi 4. Budaya untuk meningkatkan
kompetensi diri belum muncul
d. Bersedia menyusun i’dad 5. Masih rendahnya jumlah Guru
mata pelajaran UN
2. Budaya kerja untuk disiplin
meningkat
6. Pengabdian 1 tahun banyak
yang putus di tengah jalan
2 Santri 1. Budaya disiplin murodzobah 1. Motivasi belajar rendah
182
M. Awalul Akhyar, Wawancara, 13 Juli 2018 183
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018 184
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018 185
Singgih Rahmanu, Wawancara, 05 Juli 2018
Page 140
wa tabkir meningkat
2. Jadwal petugas upacara
dilaksanakan
2. Rendahnya wawasan santri
terhadap proyeksi masa depan
3. Budaya izin tidak masuk
sekolah meningkat
3. Santri non asrama masih
ditemukan tidak masuk tanpa
keterangan
4. Kemampuan berkolaborasi
dalam seni dan olah raga
4. Budaya menjaga kebersihan
masih rendah
3 Stakeholder
(Internal)
1. Direktur menjalankan fungsi
kontrol secara berkala
1. Apresiasi pada kinerja guru
rendah
2. Fungsi kontrol Direktur
diarahkan pada dua arah: a)
Guru, dan b) Santri.
2. Belum mempunyai konsep
kaderisasi yang jelas dan
standar
3. Memotivasi Guru TIM TMI
untuk menjalankan tugas ke-
TMIan
3. Jumlah guru Tim TMI untuk
menjalankan tugas ke-TMI-an
masih kurang
4. Direktur TMI menyusun
rencana strategis
(RENSTRA) 5 tahun
5. Direktur berusaha
mewujudkan Visi–Misi–
Tujuan yang telah disusun
4 Daya Dukung
(Eksternal)
1. Sarana prasarana disediakan
Yayasan yang baik
1. Sering terjadi pemikiran/konsep
Direktur tidak dipahami oleh
komponen lain (Pimpinan,
yayasan, dll)
2. Motivasi kerja Guru
meningkat
2. Jalinan kerjasama antara TMI
dan lembaga lain
3. Kesediaan yayasan untuk
mendukung progam baik
TMI tentang buku
3. Sering terjadi kebijakan
Sekretariat pondok yang tidak
sesuaikan dengan
progam/konsep TMI
4. Rapat & evaluasi Pimpinan
lembaga setiap bulan
4. Fasilitas olah raga belum
lengkap
Tabel 3.6: Analisa Evaluasi Pencapain Progam TMI
Evaluasi diatas baik berkaitan dengan pengembangan mutu lembaga
pendidikan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, sebagai bahan
kebijakan untuk tahun ajaran selanjutnya dalam menentukan dan membuat
progam prioritas dalam pengembangan lembaga. Serta untuk menjaga budaya
perbaikan terus menerus dan harus lebih baik dari tahun ketahun sebagaimana
yang digaungkan oleh Direktur TMI dalam hal ini H. Said Abadi, Lc. MA.,
sebagaimana berikut:
Page 141
Saya masuk Ngabar mulai tahun 2010, saya melihat datanya, total santri
Ngabar 445 Santri, dan sekarang sudah mencapai 1065 Santri. Maka
kesyukuran ini bisa menjadi ujian, atau kesyukuran ini benar-benar suatu
ujian bagi kita. Oleh sebab itu, saya menghimbau kepada guru-guru
sekalian untuk berubah. Terkait perlakuan kita harus berbeda, cara
mengajar kita harus berbeda, cara niat kita harus berbeda, juga dengan
semangat berbeda, lebih semangat, lebih tinggi, dan lebih baik dari
sebelum-sebelumnya.186
Senada dengan apa yang disampaikan H. Said Abadi, Lc., MA. Di atas,
H. Zaki Su’aidi juga menyampaikan kepada seluruh stakeholder pondok
untuk memastikan adanya continuous quality improvement dalam setiap
langkah dalam masing-masing lembaga.187
C. The Change Process (Proses Perubahan) dalam Pengembangan Mutu
di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo.
Dalam proses perubahan mencakup pendekatan pada mekanisme untuk
mencapai hasil perubahan. Di samping itu, akan digali hal apa saja yang
berubah, apa tujuan dan manfaat yang kaitannya pada pengembangan mutu
dari hasil perubahan yang dilakukan, hambatan, dan pelaku perubahan.
Dalam proses perubahan yang ada di Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar, diawali dengan adanya perencanaan. Perencanaan tersebut
dimusyawarahkan dan disetujui dalam rapat kerja tahunan pondok setiap
tahunnya, hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan M. Very di atas bahwa
setiap tahunnya Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar melakukan raker, yang
mana dalam rapat kerja tersebut dibahas tentang SWOT, Progam kerja, dan
RAPB (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja). Raker tersebut menjadi
mutlak adanya karena pada saat itu, perubahan yang akan dilaksanakan pada
186
Sidang Umum Guru, Observasi, 19 Juli 2018 187
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 142
tahun ajaran baru dimusyawarahkan dan disetujui oleh Pimpinan Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar.
Dalam Pendidikan dan pengajaran yang dalam hal ini menjadi tanggung
jawab penuh Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TMI) yang ada di Pondok
Pesantren Wali Songo yang tidak lepas dari proses in put, proses, dan out put,
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar fokus dalam peningkatan kualitas
mutu, dan perubahan dalam ketiga proses tersebut. Zaki Su’aidi mengatakan
bahwa:
Kalau inputnya baik, prosesnya baik, maka hasilnya baik. Kalau in
putnya jelek, prosesnya baik, maka hasilnya sedang, dan kalau in putnya
jelek, prosesnya jelek, dapat dipastikan hasilnya jelek. Maka dari itu in
put harus bagus, dan proses harus bagus.188
Maka dari itu, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar serius akan hal
tersebut dan membuat strategi-strategi dan perubahan-perubahan agar
hasilnya baik.
Kaitannya dalam input misalnya, ada dua input dalam lembaga
pendidikan TMI, yaitu input Peserta didik, dan Pendidik. Dalam proses input
Peserta didik, Pondok Pesantren Wali Songo melakukan banyak perubahan
yang hubungannya pada pengembangan mutu pondok pesantren tersebut.
Diantara perubahannya ialah pertama, Breifing Penguji Seleksi Peserta didik,
kegiatan tersebut sudah berjalan dua tahun ini, yang tujuannya sebagai
penyamaan persepsi antara masing-masing penguji untuk menentukan standar
kelulusan ujian dalam penerimaan santri baru tersebut, hal tersebut sesuai
dengan yang disampaikan H. Moh. Zaki Su’aidi sebagai berikut:
188
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 143
Jangan terlalu mengenang-ngenang masa masa lalu, orang yang selalu
mengenang-ngenang masa lalu, ialah “romantisme”, selalu berfikir masa
lalu dan lupa untuk berfikir masa depan. Hari ini ngabar berumur 57
tahun, bagi kita, kita harus bangga dan menjadi ngabarian yang mencintai
pondok ngabarnya. Ini adalah suatu kemajuan dan perubahan, kita
mengadakan briefing bagi penguji santri baru yang akan masuk di
ngabar. Apakah pentingnya? Kalau kita amati, problem santri kita
tergantung bagaimana input santri kita, teori pendidikannya mengatakan
bahwa “kalau bahannya bagus, prosesnya bagus, hasilnya bagus. Kalau
bahannya jelek, prosesnya bagus, hasilnya sedang. Kalau bahannya jelek,
prosesnya jelek, hasilnya bisa dipastikan jelek.
Adanya briefing ini untuk menentukan standar dan kualitas santri yang
akan disepakti untuk diterima, agar mendapatkan santri/bahan yang
berkualitas. Maka dari itu, perlu adanya seleksi bagi calon santri yang
akan masuk ke Ngabar. Maindsite bahwa pondok tidak boleh menolak
santri, tidak boleh dimaknai mentah-mentah, artinya kalau fasilitas tidak
memadai, sarana pembelajaran terbatas, apakah kita tetap akan menerima
santri? Tentu itu dapat dikatakan dzolim. Di samping hal itu, Ngabar
sudah saatnya meningkatkan kualitas, dengan mendapatkan input yang
berkualitas, maka konsep seleksi di Ngabar ini, dengan penentuan
standarnya merupakan hal yang sangat baik.189
Senada dengan apa yang disampaikan di atas, M. Very Irwansyah juga
menambahkan, dalam proses penerimaan santri baru ada standar santri yang
berhak diterima di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, standar yang
disepakati ialah pertama, dapat membaca al-Qur’an, minimal dapat membaca
panjang pendek, kedua, dapat menulis kalimat bahasa arab minimal tiga
sampai empat huruf, sebagaimana yang dikatakan sebagai berikut:
Alhamdulillah kondisi TMI saat ini, saya kira lebih baik, kenapa? Karena
adanya inovasi-inovasi dari Direktorat, yang saat ini ada 3, satu Direktur
dan dua wakil direktur. Beliau-beliau masih muda-muda, mungkin masih
mudanya beliau banyak inovasi-inovasi dan perubahan yang dilakukan di
TMI. Dan disini yang mencolok dalam perubahan itu ialah masalah
manajemen penerimaan santri baru, yang saya tahu, dua tahun ini sudah
menerapkan sistem penerimaan yang diperketat, dengan tujuan santri
yang masuk, siap untuk dididik. Jadi siap dididik, standarnya ialah “bisa
membaca al-qur’an”, artinya santri baru yang belum bisa membaca al-
qur’an dapat dipastikan tidak bisa diterima. Karena itu menjadi
189
M. Zaki Su’aidi, Wawancara, 08 Juni 2018
Page 144
bekal/dasar utama karena mayoritas pelajaran yang ada berbahasa
Arab.190
Perubahannya dalam proses in put yang kedua, ialah Proses penerimaan
selesai dalam sehari, atau “One day One Process”. Perubahan tersebut
dilakukan untuk menunjukkan profesionalitas panitia penerimaan, dan
menunjukkan pelayanan terbaik kepada peserta didik dan wali santrinya, serta
segera mendapatkan kepastian dengan cepat. Adapun prosesnya ialah
sebagaimana gambar di bawah ini:191
Gambar 3.2. Jadwal Kegiatan Seleksi Santri Baru
Dalam proses in put Pendidik, juga sama halnya. Pendidik yang baik
akan mendidik peserta didik dengan baik, dan menghasilkan peserta didik
yang baik. Hal ini sangat vital adanya, tidak terbantahkan bahwa Pendidik
merupakan unsur utama dalam baiknya proses pendidikan. konsep pendidikan
di Ngabar ialah “apa yang kami lihat, apa yang kamu dengar dan apa yang
kamu rasakan ialah pendidikan”. Maka dari itu, sesuai apa yang disampaikan
190
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 191
Dokumen Seleksi Penerimaan santri Baru 2018
Page 145
KH. Heru Saiful Anwar, MA. selaku Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar bahwa “Pendidik di Ngabar harus siap dicontoh, harus dapat
membimbing, harus siap mengarahkan, dan harus siap membuat lingkungan
yang mendidik.”192
Senada akan hal tersebut, H. Said Abadi, MA. selaku
Direktur TMI juga mengatakan “1000 kata-kata yang bijak akan kalah
dengan keteladanan”.193
Oleh karena pentingnya Pendidik tersebut, Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar sangat serius memperhatikan hal tersebut, dan
menaikkan standar seleksi kualitas Guru yang akan mendidik santri-santri
Ngabar. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan M. Very Irwansyah
sebagai berikut:
Untuk in put Pendidik, juga bertambah dengan bertambahnya in put
santri. Yang dulu, hanya memilih guru yang berkeinginan untuk
mengabdi, untuk dua tahun ini, kita memberikan kebijakan pengabdian
wajib. Artinya lulusan Wali Songo wajib mengabdikan ilmunya selama 1
tahun, belum diberikan ijazanya sebelum masa pengabdian itu berakhir.
Dari pengabdian wajib itu, pondok memilih 30 lulusan terbaik, untuk
mengabdi di Pondok, selebihnya dapat mengabdi di Pondok alumni, atau
pondok sekitar. In put guru-guru baru yang masih segar itu, dan
kualitasnya menegah ke atas, adalah suatu yang luar biasa untuk
pengembangan mutu. Dari ketiga puluh itu, tidak semua mengabdi 1
tahun, akan tetapi sepertiganya mengabdi selama 4 tahun. Dan yang
niatnya 1 tahun, banyak yang berubah menjadi 4 tahun.194
Masih ada hubungannya apa yang disampaikan di atas, kemajuan dan
pengembangan mutu di pondok Pesantren Wali Songo Ngabar ini, dengan
merekrut Guru pengabdian baru yang berkualitas di atas, juga dalam rangka
pengkaderan Pendidik, yang mana bertujuan untuk kelangsungan pendidikan
di Ngabar serta mempertahan konsep countinius quality improvement.
192
Heru Saiful Anwar, Wawancara, 15 April 2018 193
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018 194
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018
Page 146
Maka dibuatkannya tiga konsep pengkaderan guru pengabdian baru
Ngabar, yaitu sebagaimana yang dijelaskan oleh H. Moh. Zaki Su’aidi,
sebagai berikut:
Konsep pengakaderan di Pondok pesantren wali songo ialah dengan
konsep tiga lapis. Oleh sebab itu, diadaknnya konsep pengabdian wajib
bagi lulusan Ngabar. Konsep pengabdian tersebut ada 3 bentuk, yaitu: 1.
A1 (a. Mengabdi selama 4 tahun, b. Kuliah di IAIRM (Institut Agama
Islam Riyadlotul Mujahidin) dan atau universitas lain hingga S-1 , dan c.
Mengajar pagi dan melaksanakan tugas-tugas pondok). 2. A2 (a.
Mengabdi 4 sampai 5 tahun, b. Disekolahkan atau dikuliahkan (D-1/S-1),
dan c. Kembali ke pondok selama 2 kali masa kuliah atau belajarnya).
Dan 3. B (a. Kuliah di luar dengan mendapat bantuan fasilitis bahan
kebutuhan di luar, dan b. Mengabdi diri di pondok setelah tamat).
Pondok pesantren wali songo ngabar ingin dan bercita-cita untuk mandiri
dalam segala bidang kedepannya.195
Hal tersebut sesuai dengan harapan Drs. KH. Moh Ihsan, M.Ag. selaku
Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar yang mengatakan sebagai
berikut:
Tugas utama kita, yaitu bagaimana menyelesaikan tahun ajaran baru ini,
dengan baik, lancar, dan bahkan dengan memuaskan. Segala hal yang
ada, kegiatan yang akan kita jalankan harus kita kembangan. Tahun ini
kemungkinan ialah tahun yang sulit dengan tantangan yang akan terjadi,
terutama dengan bebarengannya tahun politik, maka perlu dikondisikan,
disiapkan seluruhnya baik ancaman, potensi, dan kelemahannya, untuk
mendapatkan solusi akan tantangan tersebut.196
Selanjutnya berkaitan dengan proses, gerakan perubahan yang terjadi
sangatlah massif, inovasi-inovasi progam, serta perbaikan-perbaikannya yang
belandaskan mutu sangatlah terlihat dan dirasakan. Dalam perkembangan
TMI, beberapa perubahan yang terjadi, yang mempunyai dampak dalam
pengembangan mutu TMI, dapat dideskripsikan penulis sebagai berikut:
Pertama, Perubahan Struktur Direktorat. Direktur yang baru ialah H. Said
195
Rapat Kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018 196
Moh. Ihsan, Wawancara, 25 Juni 2018
Page 147
Abadi, Lc., MA., dibantu dua wakilnya yaitu Marjuni, M.Pd.I, dan Singgih
Rahmanu, S.Pd.I., Direktur yang masih muda tersebut banyak membawa
perubahan di TMI, tiga tahun pasca pemilihan mereka bertiga menjabat
sebagai orang tertinggi dalam lembaga TMI tersebut, banyak membawa
perubahan-perubahan dalam pengembangan mutu di Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, khusunya dalam bidang pendidikan dan pengajarannya. Hal
tersebut diamini oleh M. Very Irwansyah, S.Pd.I., selaku Bendahara TMI,
sebagaimana yang dikatakan sebagai berikut:
Alhamdulillah saya kira lebih baik, kenapa? Karena adanya inovasi-
inovasi dari Direktorat, yang saat ini ada tiga, Direktur dan dua wakil
direktur. Beliau-Beliau masih muda-muda, mungkin masih mudanya
beliau banyak inovasi-inovasi dan perubahan yang dilakukan di TMI.197
Kedua, Kegiatan Berdasarkan Sistem. Sesuai Observasi yang peneliti
lakukan, peneliti temukan dalam setiap kegiatan dan aktivitas TMI sudah
melakunnya sesuai sistem yang terstandar yang telah dibuatnya.198
Salah satu
contohnya sebagai gambar berikut:
197
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 198
Kunjungan Tempat Penelitian, Observasi, 20 Juli 2018
Page 148
Pra KBM
KBM Jam 1 - 3
Istirahat Pertama
Istirahat Jam kedua
1. Bulis wajib datang pukul 06.30 WIB, dan mengisi daftar hadir kedatangan pada Koordinator2. Membuka seluruh ruangan kantor, labolatorium bahasa, Komputer, dan IPA.3. Mengontrol, menindak santri yang terlambat pada awal masuk, mempersiapkan barisan sebelum doa
bersama, dan membantu bagian kesiswaan dalam mengontrol terkait disiplin seragam.4. Membersihkan dan menata seluruh ruangan kantor, ruangan dapur sebelum kedatangan guru.5. Menyediakan sarana transportasi (motor) untuk keperluaan kontrol dan perjalanan bulis
1
2
STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP)
Bulis Al-Azhar TMI
KBM Jam 4 – 5
KBM Jam 6 - 7
Pasca KBM
1. Mengontrol kegiatan KBM Jam 1 – 3, Mencatat guru yang terlambat & tidak mengajar di dalam jurnal harian,Menghubungi guru yang tidak hadir, dan Mengisi/mengganti ruang kelas yang kosong.
2. Mengambil nasi, teh untuk Guru pada jam ke-2, mengisi ulang kembali, galon-galon air minum yang habis pada setiapkantor, dan menyediakan kopi, teh dan gula pada setiap galon air minum yang ada, jika habis.
1. Mengontrol, menindak santri yang terlambat, dan mengontrol terkait disiplin seragam.
1. Mengontrol kegiatan KBM Jam 4 - 5, Mencatat guru yang terlambat & tidak mengajar di dalam jurnalharian, Menghubungi guru yang tidak hadir, dan Mengisi/mengganti ruang kelas yang kosong.
1. Mengontrol, menindak santri yang terlambat, dan mengontrol terkait disiplin seragam.
1. Mengontrol kegiatan KBM Jam 6 - 7, Mencatat guru yang terlambat & tidak mengajar didalam jurnal harian, Menghubungi guru yang tidak hadir, & mengganti kelas yang kosong.
1. Mengunci seluruh ruangan kantor, (labolatorium bahasa, Komputer, dan IPA ).2. Mengarahkan santri untuk segera ke masjid sekaligus mengumpulkan absensi3. Evaluasi kinerja bulis
Gambar 3.3. SOP Bulis Pagi Al-Azhar
Artinya, segala hal, kegiatan, dan aktivitasnya sudah diatur dalam
standard operating procedure (SOP).
Ketiga, Berbasis IT. Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, menyadari
betul dengan perkembangan zaman yang semakin maju dengan kemajuan
informasi dan teknologi yang ada. Diantaranya pembelajaran yang berbasis
IT, pembuatan jadwal dengan menggunakan sistem Asc, adanya SIAP
(Sistem Informasi Administrasi Pondok) semisal SIAKAD yang ada di
perguruan-perguruan tinggi, dan lain-lain. Sebagaimana hasil wawancara
Peneliti dengan M. Very Irwansyah, sebagai berikut:
Ada lagi terkait pembuatan jadwal, yang dulu masih manual, sekarang
sudah menggunakan sistem aplikasi yaitu Asc. Dengan sistem itu
bentrokan jadwal dapat diatasi dan lebih cepat dan tidak menguras
banyak fikiran. Yang sebelumnya dapat mencapai satu bulan dalam
menyusun jadwal pelajaran.
Page 149
Contoh lain yaitu adanya SIAP (Sistem Informasi Administrasi Pondok),
semisal SIAKAD pada perguruan tinggi, yang masing-masing santri
mempunya akun loginnya masing-masing. Yang mana dalam SIAP
tersebut, segala informasi terkait pendidikan dan pengajaran terangkum
di dalamnya. Biodata guru, biodata santri, pengumuman, hasil ujian,
pengumuman kelulusan, dan lain-lain. Barang kali Pondok Pesantren
yang satu-satunya menggunakan hal seperti ini ialah Ngabar. Ini menjadi
kebanggaan dan kemajuan, dan terus mengadopsi hal-hal yang sekiranya
bagus, untuk kita praktikkan atau bawa ke dalam pondok. Yang dulu
pengumuman dengan menggunakan surat, sekarang itu semua sudah
lewat SIAP tersebut.199
Keempat. Public Relation yang berjalan baik. Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, memanfaatkan betul media sosial untuk memberikan
informasi pengembangan yang ada di Ngabar. Segala kegiatan, informasi-
informasi, serta progam-progam sebisa mungkin dan sebaik mungkin dishare
di media sosial yang dimilikinya seperti Facebook, instagram, twitter,
website, dan lainnya sebagaimana yang Peneliti Temukan sebagai berikut:200
Gambar 3.4. Media Sosial Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Kelima, Penguatan Mutu SDM. Beberapa kegiatan-kegiatan dan
progam-progam dalam penguatan mutu SDM yang ada di Tarbiyatul
199
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 200
IT Wali Songo, Observasi, 21 Juli 2018
Page 150
Mu’allimin al-Islamiyah Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dapat
dijabarkan peneliti sesuai dengan hasil rapat kerja TMI 2018, sebagai berikut:
Progam Peningkatan Mutu Guru: 1. Pelatihan Guru Al-Qur’an, 2.
Ta`hil materi bahasa Arab dan Inggris, 3. Ta`hil materi pondok, 4.
Standarisasi penyusunan I’dad ujian lisan untuk kelas II dan III, 5.
Konsorsium Penyusunan I’dad semua mata pelajaran, secara bertahap, 6.
Pelatihan IT (Informasi dan Teknologi), 7. Ta`hil Guru Mata Pelajaran
Umum (eksak), 8. Workshop Parenting untuk Wali Kelas, dan 9.
Supervisi Pendidik.
Progam Peningkatan Mutu Santri: 1. Cerdas cermat, 2. Olimpiade
Bahasa, 3. Lomba Ketrampilan Santri (IT & SAINS), 4. Olimpiade al-
Qur’an, 5. Mendatangkan ahli bahasa dari luar (Native Speaker), 6.
Menyusun divisi khusus yang mempersiapkan santri mengikuti olimpiade
atau lomba di luar pondok, dan 7. TMI menjadi penyelenggara lomba
antar sekolah.201
Keenam, fokus pada pencapaian visi. Terkait visi bersama yang ingin
dicapai Pondok Pesantren Wali Songo pada pembahasan sebelumnya, yaitu
visi Ngabar 2020 yaitu: Pertama, Advance in Al-Qur’an and Foreign
Language, Kedua, International Accredited ISO 9001-2015, Ketiga, Economy
Self-Sufficiency, dan Keempat, Domestic and International Network.Ngabar
pada setiap tahunnya memfokuskan pada pencapain satu dari keempat visi
yang ada. Oleh sebab itu, Ngabar pada tahun 2018-2019 memfokuskan pada
peningkatan mutu bahasa dan al-Qur’an. Oleh karena itu, TMI mengupayakan
dan mengusahakan pelatihan-pelatihan yang kaitannya dengan peningkatan
kualitas Guru pada kedua fokus tersebut, sebagaimana yang disampaikan H.
Said Abadi, sebagai berikut:
Adapun progam peningkatan guru, guna meningkatkan SDM yang ada,
kami mengadakan beberapa kegiatan, diantaranya ialah Pelatihan Guru,
terutama untuk guru-guru materi bahasa arab dan inggris, pokonya guna
untuk peningkatan bahasa.202
201
Hasil Rapat Kerja TMI Tahun 2018. 202
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018
Page 151
Moh. Zaki Su’aidi menambahkan, untuk mencapainya, ada beberapa hal
yang perlu dilaksanakan untuk mencapai fokus visi tersebut, sebagaimana
yang disampaiakan sebagai berikut:
Saya mengharapkan bagi pengajar dan pendidik di pondok pesantren wali
songo untuk: 1. Wajib berbahasa (bahasa inggris atau bahasa arab), 2.
Memperbanyak slogan dan syiar-syiar berbahasa arab atau inggris, 3.
Sambutan-sambutan acara atau kegiatan berbahasa, 4. Seminar atau
simposium terkait bahasa, dan 5. Menambahkan kader-kader bahasa.203
Untuk mencapai visi yang kedua, yaitu International Accredited ISO
9001-2015, maka perlu ada strategi khusus dan perlahan-lahan sudah
disiapkan dari jauh-jauh hari. Moh. Zaki Su’aidi mengkonsep hal tersebut,
sebagaiman yang disampaikannya berikut ini:
Salah satu progress kedepan TMI yaitu mengusahakan lembaga ini
setara/sesuai dengan lembaga-lembaga yang bertaraf terstandarisasi,
maka dari itu pengusahaan ISO (International Organization for
Standardization) ialah suatu keniscayaan. Konsep ISO Ngabar kedepan
akan di jelaskan pada diagram sebagai berikut:
Gambar 3.5. Konsep Pencapaian ISO 9001/2015 Ngabar
203
M. Zaki Su’aidi, Wawancara, 08 Juni 2018
1. Badan Akreditasi
2. ISO 90001/2015
Standar Penjaminan
Mutu Pendidikan
Plan. Do. Check. Do
C Q I Continous Quality Improvement
TMI menentukan Standarnya, dan
merancang strateginya
Untuk mereliasisasikan
dengan tentatif waktu
SIAP (Sistem
Informasi Administrasi
Pondok)
Page 152
Ketuju, Peningkatan Standarisasi Lulusan. Perubahan pada
standarisasi lulusan lebih ditingkatkan, dengan harapan lulusan Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar, memiliki kualitas yang baik. Sesuai hasil rapat
kerja TMI 2018, perubahan yang terjadi sebagaimana berikut:204
a. Nilai rata-rata santri minimal 4.5.
b. Akumulasi Ghoib tidak lebih dari 20 hari per semester.
c. Jika terjadi bolos/Ghoib untuk beberapa jam pelajaran dalam sehari,
maka diakumulasi menjadi Ghoib satu Hari.
d. Wajib Hafal Juz ‘amma sesuai dengan Standar Juz ‘Amma yang
ditentukan untuk tiap kelasnya.
1) Kelas 1, sesuai target dari markaz al-qur’an
2) Kelas 2 sampai Al-Fajr
3) Kelas 3 dan I int sampai Al-Buruj
4) Kelas 4 dan 3 int sampai At-Takwir
5) Kelas 5 sampai An-Naba’
e. Nilai suluk minimal 8.
f. Lunas Tanggungan Administrasi.
g. Tuntas dan Telah mengikuti semua ujian.
h. Mata pelajaran unggulan yang nilainya harus di atas rata-rata,
sebagai syarat mutlak kenaikan kelas, ialah: KELAS
I II III I INT. III INT. IV & V
1. Bahasa Arab
2. Al-Qur’an
3. Imla’ 4. B. Inggris
5. Fiqih
6. MTK
1. Nahwu
2. Shorof
3. B. Inggris 4. Imla’
5. Al-Qur’an
6. MTK
1. Nahwu
2. Shorof
3. B. Inggris 4. Imla’
5. Al-Qur’an
6. MTK
7. Grammar
1. Nahwu
2. Shorof
3. B. Inggris 4. Imla
5. Al-Qur’an
6. MTK
1. Nahwu
2. Shorof
3. B. Inggris 4. Imla’
5. Al-Qur’an
6. MTK
7. Grammar
1. Nahwu
2. B. Inggris
3. Imla’ 4. MTK
5. Grammar
Program Pelajaran Unggulan 2018
No Mata Pelajaran
Kelas dan Jumlah Jam Dalam Satu Minggu
VI V IV III Int III II
I Int I
IPA IPS IPA IPS IPA IPS IPA IPS
aw ak
KKM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 Imla’ 1 2 4 2 2 4,5
2 Nahwu 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 4 4
3 Shorof 1 1 1 3 4 4
4 Bhs. Arab 1 1 1 1 2 2 2 2 1 3 7 4 5 5
5 Al Qur’an 2 6 6 6 6
6 Fiqih 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 3 2 2 5
7 Bhs. Inggris 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3 4 4 3 5
8 Grammar 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4
9 Matematika 3 3 3 3 2 2 2 2 3 2 2 3
Jumlah jam setiap minggu 13 13 12 12 12 12 12 12 13 20 24 26 20 4,6
Jumlah pelajaran setiap kelas 6 6 6 6 6 6 7 7 8 8 5 7 6
Tabel 3.7: Mata Pelajaran Unggulan 2018
i. Santri dinyatakan naik kelas jika nilai rata-rata umum mencapai 4,5
dan nilai materi unggulan di atas rata-rata.
204
Hasil Rapat Kerja TMI Tahun 2018.
Page 153
Selain yang di atas, M. Very Irwansyah juga menambahkan bahwa mulai
tahun ini, lulusan Pondok Pesantren Wali Songo harus hafal 3 Juz, artinya
bagi santri yang tidak hafal dapat dipastikan belum dapat lulus dari pondok
Ngabar. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikannya sebgai berikut:
Hafalan Al-qur’an, menjadi salah satu syarat kelulusan santri dari kelas
1-6 ialah hafalan juz amma, dan itu berjenjang. Kelas 1, an-Naas sampai
ad-Dhuha, kelas 2, ad-Dhuha sampai an-Naba’, Kelas 3, Awal Juz 29
sampai pertengahan juz 29, kelas 4, Pertengahan Juz 29 Sampai akhir juz
29. Kelas 5, mulai awal juz 1 sampai pertengahan, dan kelas 6, mulai
pertengahan juz satu sampai akhir juz 1. Artinya santri yang lulus di
Pondok Pesantren Wali Songo, paling tidak sudah mengantongi hafalan
al-qur’an sebanyak 3 juz, dan itu menjadi syarat kenaikan masing-masing
kelas.205
Untuk peningkatan lulusan, Moh. Zaki Su’aidi juga menambahkan
sebagai berikut:
Untuk mencapai hal tersebut, disini pondok pesantren wali songo ngabar
yang akan dilaksanakan oleh Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (TMI),
merumuskan progam-progam tambahan yang fungsi dan tujuannya untuk
peningkatan kualitas lulusan peserta didik, diantaranya ialah 1. Semua
santri dianjurkan untuk membaca al-quran sebelum pembelajaran
dimulai, 2. Melaksanakan sholat dhuha, dan 3. Hafal tiga juz menjadi
syarat lulusan Ngabar.206
Kedelapan, Standarisasi Materi. Perubahan lain di Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar dalam hal ini Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah, sudah
memulai standarisasi materi, materi mata pelajaran, materi ujian lisan. Hal
tersebut dimagsudkan untuk setiap guru-guru memiliki wawasan dan
pandangan serta sepahaman yang sama, lain pada itu, kaderisasi guru
terbangun dan terbentuk dalam proses kegiatan standarisasi tersebut. Dengan
demikian penyampaian materi kepada santri sama antar guru-guru, yang
205
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 206
M. Zaki Su’aidi, Wawancara, 08 Juni 2018
Page 154
dalam kegiatannya dinamakan ta’hil, sebagaimana yang disampaikan H. Said
Abadi, sebagai berikut:
Ta’hil mata pelajaran diadakan untuk untuk penyamaan persepsi
pemahaman masing-masing pengajar, serta untuk peningkatan kualitas
pendidik, pada materi yang ditahilkan tersebut. Ta’hil bersifat praktis,
langsung dengan apa yang akan diajarkan.207
M. Jaelani juga menyampaikan hal yang sama sebagai berikut:
Selain itu, adanya ta’hil mata pelajaran, baik umum maupun materi
pondok, yang tujuan ta’hil tersebut belajar dengan guru senior untuk
kaderisasi bagi guru yang masih junior dalam mata pelajaran tersebut,
yang tidak lain untuk peningkatan kualitas.208
Kesembilan, Manajemen Keuangan. Perubahan yang cukup fenomenal
yang ada di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, adanya sistem manajemen
keuangan pondok. Dengan menggunakan sistem yang baru ini, Pondok
Pesantren Wali Songo dapat mengetahui kekuatan uang yang ada selama satu
tahun. Dengan itu, pondok dapat mengukur dan mengarah-ngarah progam-
progam, pengembangan-pengembangan yang akan dikerjakan dan
direncanakan. Sebagaimana yang disamapaikan oleh M. Awalul Akhyar,
S.Sy. selaku Sekretaris Yayasan yang merangkap sebagai Tim RAPB sebagai
berikut:
Manajemen keuangan didasari, bagaimana saat itu Ngabar belum dapat
mengetahui kekuatan dan kelemahan keuangan selama paling tidak 1
tahun. Masih menggunakan cara yang lama. Tanpa ada perencanaan,
belum jelas pemasukannya dari mana, bagaimana kekuatan uang untuk
satu tahun kedepan, dan tidak terencana dengan baik, bahkan biasanya
dana yang dikeluarkan membengkak dan belum dapat memperhitungkan
kekuatan keuangan pondok. Untuk perubahannya yaitu menggunakan
“Manajemen Keuangan” dengan sistem RAPB (Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja), yang itu Alhamdulillah menuju tahun keempat,
207
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018 208
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018
Page 155
jadi dengan adanya pengaturan dan perencanaan yang baik, merupakan
indikator bahwa lembaga tersebut baik. Kita berangkat dari problem-problem, kenapa kegiatan-kegiatan tidak
berjalan maksimal, sebagai penanggung jawab materil, yang bertugas
untuk menyediakan keuangan, belum bisa mengelola keuangan seluruh
lembaga yang ada di pondok pesantren Wali Songo. Dengan adanya
RAPB itu, kami bisa mengelola keuangan dengan sangat baik, terencana
dan mempertimbangkan priority, utility, and activity (Prioritas apa yang
mau dijalankan, progam apa yang mau dijalankan, pada tahun itu).
Adapun konsep Manajemen Keuangan/Pembiayaan di Ngabar dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.6. Konsep Manajemen Keuangan Ngabar
Dari gambar tersebut, dapat dijabarkan secara deskriptif sebagai berikut:
Pertama, Budgeting. Dalam aplikasinya, Akhyar menjelaskan bahwa
konsep pembiayaan di Pondok Pesantren Wali Songo di awali dengan
penganggaran oleh setiap lembaga yang ada di Pondok Pesantren Wali
Songo untuk keperluan, kegiatan, pemeliharaan, investasi, dan kebutuhan
masing-masing lembaga untuk satu tahun kedepan. Penganggaran
dilakukan setelah adanya hasil rapat kerja satu tahun masing-masing
lembaga, artinya penganggaran tidak bisa dilakukan, jika lembaga belum
jelas terkait kegiatan yang akan dilakukan satu tahun kedepan.
Penganggaran dirancang oleh masing-masing lembaga terlebih dahulu,
kemudian disidangkan dengan team RAPB209
untuk dianalisis
kebutuhan/keperluan, dan terakhir dirapat plenokan dengan Pimpinan
Pondok untuk disahkan.
Kedua, Accounting. Setelah disahkannya anggaran selama satu tahun
masing-masing lembaga oleh Pimpinan Pondok, masing-masing
bendahara dari setiap lembaga mengatur anggaran perbulan, yang
nantinya pencairan dana masing-masing lembaga diadakan setiap bulan,
begitupun pelaporannya. Permohonan anggaran dan pelaporan realisasi
anggaran dilakukan di awal bulan. Penganggaran pada tanggal 6-10 pada
awal bulan, dan untuk pelaporan realisasi anggaran pada tanggal 1-5.
209
Team yang bertanggung jawab penuh terkait pembiayaan yang ada di Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, yang mengawasi, mengatur, dan mengarahkan terkait keuangan di Pondok.
Auditing
Konsep Manajemen
Pembiayaan Pendidikan
di Ngabar
Accounting
Budgeting
Page 156
Bendahara masing-masing lembaga harus mengikuti role yang telah
ditentukan, kalau melanggar diberkan sanksi berupa tidak cairnya
anggaran pada bulan tersebut. Penganggaran harus sesuai dengan
kebutuhan yang dirancang pada awal tahun, dan pelaporan harus sesuai
dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Ketiga, Auditing. Terakhir, team RAPB di Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar, selalu mengevaluasi jalannya pembiayaan yang ada di Pondok
Pesantren Wali Songo dengan diadakannya evaluasi bulanan dengan
mendatangkan seluruh bendahara masing-masing lembaga, guna
mengukur, dan mengevaluasi jalannya pembiayaan masing-masing
lembaga. Kemudian di akhir tahunnya diadakan tutup buku keuangan
untuk melihat berapa total pendapatan dan berapa total pengeluaran,
apakah sesuai dengan apa yang telah di Anggarkan pada awal tahun.
Serta untuk mengukur kekuatan keuangan apakah defisit atau surplus,
yang nantinya sebagai acuan untuk tahun selanjutnya agar lebih baik
lagi.210
Kesepuluh, Networking. Moh. Zaki Su’aidi mengatakan bahwa:
“The World is flat”, maka, kerja sama kelembagaan dan jaringan
(networking) harus diperkuat. Oleh sebab itu, ada dua pendekatan:
Pertama Alumni, yaitu dengan: 1. Menjadikan alumni menjadi
organisasi tunggal, untuk saat ini memang belum, Akan tetapi fokus awal
kita pada alumni per-angkatan, itu lebih mudah untuk disatukan dan
diberdayakan, 2. Grant data base, dan 3. Proyek kerja bersama semisal
membuat wisma alumni, biro haji, dan lain-lain. Kedua Birokrasi, yaitu
dengan: 1. Pendekatan formal, 2. Lobby dan pendekatan kekeluargaan, 3.
Intersifikasi humas, dan 4. Muhibbah ke kampus-kampus dan
menjadikan MoU.211
Terakhir, berkaitan dengan output. Lulusan Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar paling tidak sudah memiliki bekal terkait akademik, maupun
non akademik. Mereka tidak hanya kuat dalam penguasaan agama, akan
tetapi juga tetap mengerti dan menguasai keilmuwan umum. Hal tersebut
dapat dilihat dari keterimaan lulusan Ngabar di perguruan-perguruan tinggi
baik dalam negeri maupun luar negeri. Baik perguruan tinggi umum, maupun
perguruan tinggi negeri yang agama. Sesuai data di atas lulusan Ngabar,
210
M. Awalul Akhyar, Wawancara, 14 Juli 2018 211
Rapat Kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 157
kedepan akan hafal 3 juz, yaitu juz 1, 29, dan 30. Serta menguasai dua bahasa
internasional yaitu bahasa arab dan bahasa inggris. Hal tersebut sesuai yang
disampaikan M. Jaelani sebagai berikut:
TMI sudah mengeluarkan banyak alumni, lebih dari ribuan, dari situ
terlihat kekuatan dan output TMI itu bagaimana dan kelemahannnya.
Terkait output, ada jaminan lulusan wali songo hafal satu juz, jaminan
bisa berbahasa Arab dan Inggris, dan siap terjun dalam masyarakat. Dan
Alhamdulillah, dengan fokusnya Ngabar pada pengembangan mutu, lima
tahun ini, setiap tahunnya ada santri yang lolos tes di perguruan tinggi
luar negeri, ada ke yang ke Mesir, Madinah, Inggris, Turki, dan lain-
lain.212
M. Very Irwansyah juga menambahkan sebagai berikut:
Alhamdullillah untuk outputnya bermacam-macam, karena memang
diantara mereka karakternya berbeda-berbeda, ada yang dominan pada
akademik, ada yang dominan pada segi ekstrakulikuler, dan lain-lain.
Kalau segi akademik, Alhamdulillah 3-4 tahun ini, setiap tahunnya
banyak lulusan Ngabar yang diterima di perguruan tinggi di Luar negeri.
(Mesir, Madinah, Turki, dan Sudan).213
Akan tetapi, di samping semakin banyaknya santri Ngabar yang diterima
di perguruan tinggi luar negeri, Moh. Zaki Su’aidi mengatakan bahwa “belum
ada presentase yang jelas terkait keterimaan lulusan Ngabar pada perguruan
tinggi umum favorit, dalam maupun luar negeri, kuantitasnya masih
sedikit.214
Terkait halangan dalam adanya perubahan tentunya ada yang menerima
perubahan tersebut, dan menolak perubahan tersebut. Individu ataupun
kelompok organisasi yang menolak perubahan, terkenal dengan sebutan
resistensi. Hal tersebut tentunya tidak jauh beda dengan perubahan-perubahan
yang ada di Pondok Pesantren Wali Songo, tentu resistensi tersebut suatu
212
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018 213
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 214
Rapat Kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 158
yang sangat lazim adanya. Sesuai yang disampaikan M. Jaelani sebagai
berikut:
Awal mula disampaikan, ada beberapa guru yang menolak, untuk
mengatasinya ialah ketika di awal masuk, diberikan pengertian, dan
menjadi kesepakatan hasil raker, yang disusun dari banyak stakeholder,
dan akhirnya memaklumi.215
Senada dengan hal di atas, M. Awalul Akhyar juga menyampaikan hal
yang sama sebagai berikut:
Penolakan dengan adanya perubahan pasti ada, sebesar apapun
perubahan yang dilakukan, sebesar itu pula yang terjadi, ya ketika
merapikan keuangan, ada yang menetang, tidak perlu dengan manajemen
keuangan, termasuk quality control tadi juga adanya penolakan.
Kita berusaha untuk memusyawarahkan terlebih dahulu, dan
menyakinkan, bahwa perubahan ini untuk kebaikan pondok kedepannya.
Kita datang ke rumahnya, walaupun ketika kita datang ke rumahnya,
tetap ada penolakan, Tapi tetap kita jalankan, dan pada akhirnya mereka
yang menolak juga menerima, karena adanya peningkatan dari perubahan
tersebut.216
M. Zaki Su’aidi menambahkan bahwa “Hanya organisasi yang mengatasi
perubahan, yang dapat survive, bertahan, dan melangkah maju”.217
D. Faktor Manajemen Perubahan Dalam Pengembangan Mutu di
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.
Sesuai hasil wawancara Peneliti di Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar, dalam hal ini Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar kondisi pengembangan mutu di Pondok semakin baik
dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Hal tersebut sesuai dengan
yang disampaikan M. Very Irwansyah sebagai berikut:
215
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018 216
M. Awalul Akhyar, Wawancara, 14 Juli 2018 217
Rapat Kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 159
Alhamdulillah, Kondisinya saya kira lebih baik, kenapa? Karena adanya
inovasi-inovasi dari Direktorat, yang saat ini ada tiga, satu Direktur dan 2
wakil direktur. Beliau-beliau masih muda-muda, mungkin masih
mudanya beliau banyak inovasi-inovasi dan perubahan yang dilakukan di
TMI.218
Senada dengan data di atas M. Jaelani mengatakan hal yang sama,
sebagai berikut:
Ketika awal masuk, hingga sekarang, TMI mengalami banyak
perkembangan, karena banyaknya kritikan terhadap lembaga ini, maka
dari kritikan dan saran kita terima, dan mencari formula dan
memperbaiki dari kritikan dan saran tersebut, untuk menjadi lebih baik.
Dan kita jalankan lagi. Dilihat dari jumlah santrinya, santri pada saat ini
berjumlah 1073, dan tiga tahun ini sudah menolak. Yang pada awal
pengabdian saya dulu, tidak kurang 300-an santri, meningkat hampir tiga
kali lipat, Alhamdulillah kepercayaan masyarakat semakin baik pada
pondok pesantren wali songo.
Lain dari pada itu, sesuai data yang Peneliti temukan di Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar, adanya perubahan yang terjadi, diputuskan di
dalam rapat kerja (raker) yang diadakan setiap tahunnya yang berlandaskan
atau diawali dari adanya kemampuan lembaga tersebut melihat kekuatan,
kelemahan, ancaman, dan peluang yang dimiliki lembaga tersebut, hal
tersebut sesuai dengan yang disamapaikan M. Very Irwansyah sebagai
berikut:
Ya kita melihatnya ke semua sisi, kalau sisi dari segi peserta didik, itu
bisa kita lihat dari hasil ujian awal tahun dan akhir tahun, yang
predikatnya kurang berapa, cukup berapa, baik berapa, dan baik sekali
berapa. Dari hasil itu, kita menilainya. Kalau dari segi pendidik, itu dari
komitmen guru dalam muwadhobah wattabkir, (tidak terlambat masuk
kelas, dan tidak pernah meninggalkan mengajar). Selain itu kita ada
Supervisi pendidik setiap tahun, hal ini yang menjadi dasar kami untuk
dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan lembaga kami.
218
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018
Page 160
Senada dengan data di atas M. Jaelani mengatakan hal yang sama,
sebagai berikut:
Terkait progam-progam perubahan yang akan dikerjakan sudah
direncanakan pada rapat kerja yang dilakukan sebelum tahun ajaran baru
berlangsung. Pada raker itu dibahas segala hal, tentang kebutuhan-
kebutuhan atau yang akan dilaksanakan pada satu tahun yang akan
datang.219
219
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018
Page 161
146
BAB IV
ANALISIS KRITIS MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM
PENGEMBANGAN MUTU DI PONDOK PESANTREN
WALI SONGO NGABAR
A. The Choice Process (Proses Pilihan) Perubahan Dalam Pengembangan
Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo.
The Choice process, yang berkaitan dengan sifat, lingkup dan fokus
pengambilan keputusan. Ada 3 elemen yang menaungi yaitu: 1. Organizational
Context (Konteks Organisasional), 2. Focus of Choice (Fokus Pilihan), dan 3.
Organzational Trajectory (Lintasan Organisasional).
Dari penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa di Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar Ponorogo untuk merumuskan perubahan, dilakukannya
penggabungan informasi kinerja yang sudah dikerjakan, dan yang akan
dikerjakan. Metode yang digunakannya ialah dengan menggunakan SWOT
(Strength (kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (peluang), dan
Threats (ancaman). Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Hardian,
S.Pd.I., selaku Koordinator Pengasuhan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
sebagai berikut: Untuk mengetahui bagaimana kekuatan organisasi/lembaga kita
mengadakan Rapat Kerja (Raker), yang dilaksanakan sebelum tahun ajaran
dimulai, raker tersebut diikuti oleh seluruh stakeholder, yang mana di dalamnya
dibahas terkiat evaluasi satu tahun yang sudah dilaksanakan, menyusun progam
kerja, dan menyusun RAPB (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja), ketika
Page 162
147
evaluasi, kita mengggunaka metode SWOT, untuk menentukan kekuatan,
kelemahan, peluang, dan tantangan masa depan.220
KH. Heru Saiful Anwar, MA. selaku Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar menambahkan bahwa acara raker sebagai muhasabah, artinya muhasabah
yang sudah dikerjakan, dan muhasabah perencanaan ke depan. Kami
mengaharapakan keistiqomahan dalam kegiatan, serta selalu berkomitmen dengan
“hari ini harus lebih baik dari pada hari kemaren”. Segala hal yang sudah kita
lakukan harus kita evaluasi, apa kekurangannya, apa kelebihannya, masing-
masing stakeholder harus paham akan hal tersebut. Membuat kegiatan yang baik
merupakan keharusan, jangan atau tidak boleh asal-asal, (asal buat, asal ada, asal
jadi), harus professional.221
Dalam hal ini Peniliti melihat adanya rapat kerja yang menjadi media atau
kegiatan untuk mengawali perubahan sangatlah tepat. Artinya adanya evaluasi,
menganalisis kekuatan dan kelemahan lembaga, dan rencana ke depan merupakan
implementasi awal suatu proses perubahan. Selain hal tersebut penggunaan
metode benchmarking kinerja organisasi terhadap sejumlah rentang pembanding
internal maupun eksternal menggunakan SWOT sudahlah benar. Hal tersebut
sesuai dengan elemen pertama dalam The Choice process (Proses Pilihan)
perubahan yaitu Organizational Context (Konteks Organisasional). Dimana
Wibowo mengatakan Salah satu resep standar untuk keberhasilan organisasi
adalah bahwa mereka harus tahu kekuatan dan kelemahannya sendiri, kebutuhan
220
Hardian Rdho, Wawancara, Ngabar, 12 Juli 2018. 221
Heru Saiful Anwar, Wawancara, Ngabar, 14 Juli 2018.
Page 163
148
pelanggan mereka dan sifat lingkungan di mana mereka bekerja. Adapun metode
yang sering digunakan ialah SWOT dan PEST.222
Gerakan perubahan digaungkan pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar yang mana H. Moh. Zaki Su’aidi, Lc., MA., (HONS), selaku
Ketua Yayasan pemeliharaan dan Pengembangan Wakaf Pondok Pesantren Wali
Songo (YPPW-PPWS) serta merangkap sebagai Koordinator Sekretariat
Pimpinan Pondok, dalam sambutannya ketika membuka rapat kerja untuk tahun
ajaran 2018-2019 mengatakan bahwa “Orang yang tidak berfikir masa depan,
tidak berfikir inovasi, orang yang tidak berfikir inovasi, ia akan mati, maka dari
itu, Ngabar harus berubah, dan terus berinovasi. Maka, tidak kata lain bagi
Ngabar, untuk terus berubah, berinovasi, dan selalu berfikir kedepan.”223
Beliau
menambahkan bahwa perubahan selalu mendatangkan ketidakpastian, dan
kekawatiran, akan tetapi tanpa adanya perubahan lembaga atau organisasi tersebut
finished.
Adanya gerakan perubahan, inovasi, dan selalu berfikir kedepan tersebut,
Penulis melihatnya sangat berkorelasi dengan mutu pendidikan. Adanya
perkembangan tersebut, dapat diartikan bahwa Pondok Pesantren dengan
adanya perubahan-perubahan yang dilakukan, menyesuaikan tuntutan
moderinisasi dan globalisasi, agar pondok pesantren tidak kalah bersaing
dalam menjalani era globalisasi ini. Hal tersebut selaras dengan yang
disampaikan Mukhamad Ilyasin & Nanik Nurhayat bahwa korelasi mutu dengan
222
Wibowo, Manajemen Perubahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 254 223
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret 2018.
Page 164
149
pendidikan Islam (pesantren) ialah mutu dapat diartikan sebagai kemampuan
pesantren dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-
komponen yang berkaitan dengan pesantren sehingga menghasilkan nilai tambah
terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku.224
Kaitannya dengan konteks Focus of Choice (Fokus Pilihan) perbahannya,
sesuai data yang ditemukan Peneliti yaitu fokus pengembangan yang dikejar,
fokus pengembangan yang berdasarkan mutu. Tahun 2107-2018, berfokus pada
pengembangan pembangunan dan infrastruktur, dan tahun ini 2018-2019, fokus
pada pengembangan ekonomi dan al-Qur’an serta bahasa.225
Senada dengan yang
di atas, M. Very juga menambahkn bahwa orientasi pada tahun 2018-2019 ialah
al-Qur’an dan bahasa.226
Hal tersebut, sudah diarahkan oleh Bapak Pimpinan
Pondok KH. Heru Saiful Anwar, MA., dalam pembukaan rapat kerja 2018, bahwa
tahun ini, ialah tahun peningkatan mutu, khususnya dalam peningkatan mutu
bahasa, dan mutu al-Qur’an.227
Berdasarkan hasil temuan di atas, menunjukkan bahwa Pondok Pesantren
Wali Songo dalam pengembangan mutu pondok pesantren memusatkan fokusnya
pada satu atau dua hal dalam setiap tahunnya, agar usaha pengembangan tersebut
dapat membuahkan hasil yang baik. Lain dari pada itu, fokus pilihan perubahan,
ataupun pengembangan tersebut, sebagai upaya peningkatan dan pengembangan
mutu pondok pesantren dapat berjalan maksimal dan sesuai harapan. Pondok
Pesantren Wali Songo dalam dua tahun ini sudah menerapkan hal demikian,
224
Mukhamad Ilyasin & Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Aditya
Media, 2012), hal. 261. 225
M. Awalul Akhyar, Wawancara, Ngabar, 13 Juli 2018. 226
M. Fery Irwansyah, Wawancara, Ngabar, 06 Juli 2018. 227
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, 01 Maret 2018.
Page 165
150
artinya ada fokus pengembangan yang dikejar, fokus pengembangan yang
berdasarkan mutu.
Hal tersebut sesuai dengan elemen kedua dalam The Choice process (Proses
Pilihan) perubahan yaitu Focus of Choice (Fokus Pilihan). Wibowo mengatakan
bahwa pada suatu waktu, organisasi yang sukses ialah organisasi yang dapat
memfokuskan perhatiannya pada rentang yang sempit dari isu jangka pendek,
menegah, dan panjang. Salah satunya akan berhubungan dengan kinerja
organisasi, sedangkan lainnya lebih berkepentingan dengan membangun dan
mengembangkan kompetensi atau teknologi tertentu.228
Kaitannya dengan pengambilan keputusan perubahan, Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar memutuskannya pada rapat kerja (raker) tahunan, sebagaimana
yang disampaikan M. Very Irwansyah, bahwa Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar, setiap tahun melaksanakan rapat kerja. Raker ini dilaksanakan sebelum
Ramadhan, selesainya tahun ajaran. Banyak yang dibahas dalam raker, terkait
evaluasi satu tahun, menentukan kelemahan dan kekuatan, menyusun
progam/perubahan, dan terakhir menyusun RAPB (Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja), selama satu tahun ke depan.229
Dalam pembuakaan
rapat kerja tahunan, Moh. Zaki Su’aidi juga mengatakan bahwa “hasil rapat kerja
ialah hasil yang otentik dan tidak bisa diganggu gugat. Perubahan yang terjadi di
rapat kerja tidak dapat dirubah tanpa melalui rapat kerja selanjutnya.”230
Dari hal tersebut, Peneliti menilai bahwa pondok pesantren wali songo dalam
pengambilan keputusannya melalui musyawarah dari stakeholder terlebih dahulu.
228
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 255. 229
M. Fery Irwansyah, Wawancara, Ngabar, 06 Juli 2018. 230
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret 2018.
Page 166
151
Kaitannya dengan perubahan untuk tahun depan, keputusan diambil dari hasil
rapat kerja setiap tahunnya. Hal tersebut sesuai dengan elemen ketiga dari The
Choice process (Proses Pilihan) perubahan yaitu Organzational Trajectory
(Lintasan Organisasional). Wibowo menjelaskan bahwa arah suatu organisasi
dibentuk oleh tindakan masa lalu, tujuan dan strategi masa depan. Hal ini akan
memberikan arah atau kerangka kerja di mana menunjukkan daya penerimaan,
relevansi atau urgensi masalah, kepentingan dan maksud tindakan. Lintasan
proses meliputi penentuan dan saling memengaruhi antara visi, strategi dan
pendekatan perubahan organisasi.231
Suatu perubahan, terutama dalam organisasi ataupun lembaga khususnya
lembaga pondok pesantren sangat penting bagaimana proses pengambilan
keputusan untuk memutuskan sesuatu perubahan. Hal tersebut tidak hanya
menyangkut hari ini, akan tetapi berpengaruh pada masa depan, yang dalam hal
ini terkait pengembangan mutu. Secara lebih tegas Sallis menyatakan bahwa
“Quality is unification of product attributes that showing its ability on fulfilling
requerements from direct or indirect costomers, implicit, and unimplicit
requirements.”232
Dalam kontek ini, mutu sebagai sebuah kebutuhan dapat
dimaknai sebagai kebutuhan yang tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk
masa depan. Artinya kepuasan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang dicapai
oleh pondok pesantren dalam hal ini Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dapat
sesuai dengan harapan masyarakat di masa kini dan di masa depan.
231
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 255. 232
Edwards Sallis, Total Quality Management in Education, (New Jersey: Prentice Hal.Inc. 2001),
hal. 21.
Page 167
152
B. The Trajectory Process (Proses Lintasan) Perubahan dalam
Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar
Ponorogo.
The trajectory process, yang berhubungan dengan masa lalu organisasi dan
arah masa depan dan hasil tersebut terlihat seperti hasil dari visinya, magsud dan
tujuan masa depan. Terdiri dari tiga elemen, yaitu: 1. Vision (Visi), 2. Strategy
(Strategi), dan 3. Change.
Dari penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa di Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar Ponorogo didapatkan bahwa Pondok Pesantren Wali Songo dalam
ini Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TMI), pada rapat kerja 2017 telah
membenahi visi lembaganya yang lama. Adapun pembenahannya sebagai berikut:
Visi Lama: “Menjadi lembaga pendidikan Islam yang berjiwa pesantren, unggul
dalam IMTAQ dan IPTEK, bahagia dunia dan akhirat.”Visi Baru: “Mencetak
Insan Berkarakter Pesantren, Unggul dalam prestasi, Kompetitif di bidang
Dirosah Islamiyah, Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Sains di Era Global”.233
Adanya pembenahan tersebut, dilatarbelakangi karena visi yang lama masih
belum fokus dengan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada pada
lembaga TMI saat ini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Marjuni,
S.Pd., M.Pd.I., selaku Wakil Direktur TMI, mengatakan bahwa Pembenahan visi
ini, agar visi yang kita miliki mudah dipahami dan sesuai dengan situasi kondisi
TMI saat ini, dan peluang masa depan. Kita ingin memfokuskan visi ini pada
kebutuhan lembaga, Orang tua, Pendidik, dan Santri, dengan mempertimbangkan
233
Hasil rapat kerja TMI, Observasi, tahun 2017.
Page 168
153
keunggalan yang ada dalam lembaga TMI itu sendiri.234
Hal tersebut sesuai dengan
yang disampaikan Wibowo bahwa Visi bertujuan untuk membangkitkan masa
depan organisasi yang berbeda, atau realitas, dengan magsud untuk memilih salah
satu yang paling baik atau cocok.235
Hal senada disampaikan H. Said Abadi, Lc. MA., selaku Direktur TMI yang
menyatakan bahwa kejelasan suatu visi, misi, dan tujuan lembaga itu harus ada di
dalam lembaga TMI, sesuai yang disampaikan dalam sidang perdana tahun ajaran
2017-2018, beliau menyampaikan bahwa “Tahun ini, kita merumuskan kembali
visi, misi, dan tujuan lembaga TMI, dimana mestinya kita harus memiliki visi,
misi yang jelas. Maka dari itu di awal pengajaran ini tahun 2017-2018 kami
mensosialisasikan kembali visi yang telah kami rumuskan atau godok pada rapat
kerja. Harapnnya ialah kalau kita memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas, kita
akan mudah menggapai keinginan atau harapan kita, untuk menjadikan lembaga
ini, terus maju, berkembang dengan baik dan bermutu. Pembenahan visi tersebut,
diikuti dengan pembenakan Misi dan tujuan. 236
Hal tersebut selaras dengan
Wibowo bahwa terdapat empat aspek untuk membangun visi, yaitu sebagai
berikut: a) Mission (misi), b) Valued Outcomes (nilai manfaat), c) Valued
Conditions (nilai kondisi), dan d) Mid-Point Goals (tujuan jangka menengah).237
Perubahan visi, misi, dan tujuan lembaga TMI tersebut, tidak lepas dari
adanya visi besar Pondok Pesantren Wali Songo yang dirumuskan biro Sekretariat
Pondok, yang dinamai “Ngabar Vision 2020”, dalam visi besar pondok tersebut,
234
Marjuni, Wawancara, Ngabar, 04 Juli 2018. 235
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 257. 236
Sidang Perdana tahun ajaran 2017-2018, Observasi, 20 Juli 2017 237
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 257.
Page 169
154
ada 4 point yang akan atau ingin dicapai pondok pesantren Wali Songo Ngabar
pada tahun 2020, empat point tersebut, disampaikan oleh H. Moh. Zaki Su’aidi,
Lc., MA (Hons), selaku Ketua biro Sekretariat Pondok sebagai yaitu: Pertama,
Advance in Al-Qur’an and Foreign Language, Kedua, International Accredited
ISO 9001-2015, Ketiga, Economy Self-Sufficiency, dan Keempat, Domestic and
International Network.238
Dari keempat visi besar tersebut, tentu sangat tidak maksimal bila
keempatnya difokuskan pada satu tahun ajaran, maka dari itu, Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islmiyah Pondok Pesantren Wali Songo, untuk tahun ini
memfokuskan pada bidang pertama, yaitu Advance in Al-Qur’an and Foreign
Language atau dapat diartikan sebagai penguatan al-qur’an dan bahasa. Hal
tersebut sesuai dengan yang disampaikan M. Jaelani Fokus pengembangan mutu
lembaga ini ialah fokus pada al-qur’an dan bahasa.239
Peneliti melihat bahwa adanya fokus pada salah satu pencapian visi dari
empat visi yang dicanangkan sangatlah baik. Hal tersebut berkaitan dengan
kemampuan lembaga dalam mencapai atau merealisasikan visi tersebut. Selain hal
tersebut, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dalam hal ini Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islamiyah (TMI), semakin fokus dalam pemenuhan kebutuhan
pelanggan (customer) baik internal maupun eksternal Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar. Hal tersebut selaras dengan pandangan Jerome S. Arcaro, bahwa
salah satu kriteria Pondok Pesantren itu bermutu atau tidak ialah tergantung
bagaimana visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan customer, baik
238
Hasil Rapat Kerja Pondok Pesantren Wali Songo, Tahun 2017-2018 239
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018
Page 170
155
customer internal (orang tua, santri, ustadz, dan pengurus pesantren yang berada
dalam sistem pendidikan) maupun customer eksternal (pihak yang memanfaatkan
output proses pendidikan).240
Guna mewujudkan perubahan, sesuai visi yang telah ditentukan untuk
mewujudkan pendidikan pondok pesantren yang berkualitas, tentunya harus
dibangun dan dikembangkan melalui pengelolaan pondok pesantren yang bermutu
dengan mengembangkan strategi-strategi khusus secara sistematis, matang, dan
tepat. Hal tersebut senada dengan Wibowo, bahwa: strategi dapat didefinisikan
sebagai arus tindakan yang masuk akal atau konsisten di mana organisasi dapat
direncanakan secara terpusat dan didorong, mereka dapat didelegasikan dan
dibagikan di seluruh organisasi, dan mereka dapat menjadi tindakan sadar dalam
mencari visi, atau tidak sadar, atau muncul sebagai hasil dari pola masa lalu
keputusan, atau distribusi sumber daya, atau respons saat ini pada masalah dan
peluang.241
Dalam hal ini, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar menerapkan tiga
komponen penting, yaitu: a. Perencanaan mutu, b. Pelaksanaan dan control mutu,
serta, c. Evaluasi mutu. Hal ini selaras dengan pandangan Juran yang mendesain
komponen manajemen mutu progam menjadi 3 aspek utama, yaitu: “Quality
planning, quality action with control, and quality evaluation with continous
improvement.”242
Dalam konteks perencanaan mutu, Singgih Rahmanu, S.Pd.I. selaku Wakil
Direktur TMI, menjelaskan sebagai gambar berikut:
240
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu…, hal. 10-14. 241
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 257. 242
Joseph M. Juran, Juran’s Quality Handbook, (New York: Macmillan, 1991), hal. 73.
Page 171
156
Gambar 4.1. Konsep Perencanaan Mutu TMI
Secara deskriptif perencanaan mutu di atas dijelaskan oleh Singgih Rahmanu
bahwa Direktur dan staff, selaku penggerak jalannya lembaga TMI berusaha
untuk mencapai peningkatan kualitas bahasa (bahasa Arab dan Inggris),
peningkatan kualitas ilmu pengetahuan (dirosat islamiyah dan eksak), dan
managerial. Maka dari itu, fokus strateginya terletak pada penguatan pada tiga
komponen, yaitu Guru, Santri, dan Networking. Kita berusaha dan mengusahakan
meningkatkan kualitas guru pada tiga aspek, yaitu loyalitas, integritas, dan
kapabilitas. Terkait santri, kita berusaha menumbuhkan motivasi belajar santri.
Serta penguatan kerjasama, baik internal dan eksternal. Serta mengusahakan
sistem penjamin mutu dan kaderisasi. Kesemua itu dibingkai dalam satu kesatuan
yang saling menguatkan antara satu komponen dengan komponen yang lainnya.243
243
Singgih Rahmanu, Wawancara, 05 Juli 2018
Page 172
157
Hal tersebut menurut Peneliti menggambarkan bahwa, Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar, dalam hal ini TMI, ingin kualitas pendidikan ke depan
semakin bermutu, dengan perencanaan yang baik. Dari perencanaan di atas
tergambar jelas tujuan yang ingin diwujudkan oleh lembaga TMI. Mengambil
ungkapan Muhammad Thoyyib, bahwa perencanaan mutu merupakan langkah
yang paling menentukan sukses tidaknya pelaksanaan manajemen mutu. 244
Adapun terkait pelaksanaan dan kontrol mutu, sesuai hasil wawancara denga
H. Said Abadi, Selaku Direktur TMI mengatakan bahwa TMI menjadi lembaga
paling Urgent dalam kaitanya peningkatan SDM di Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar serta bertanggung jawab penuh terkait keberlangsunya kegiatan belajar
mengajar. Maju tidaknya TMI tergantung dengan kekompakan Team TMI. Saya
mengklasifikasikan kerja di TMI itu menjadi dua, yaitu: Kerja dalam tingkat
rutinitas (Kelemahannya tidak stabil dan membosankan), dan Kerja dalam
tingkat konseptor. Dalam tingkat rutinitas tersebut, kita setiap dua minggu sekali
musyawarah untuk mengevaluasi, apa yang telah kita kerjakan, kita perbaiki atau
mencari solusi, kemudian kita kerjakan lagi, kita evaluasi lagi dan kita kerjakan
lagi, adapun pada tingkat konseptor kita evaluasi pada tingkat rapat kerja, dan kita
kerjakan lagi tahun ajaran selanjutnya. Dalam konteks kegiatan belajar mengajar,
yang menjadi inti tugas TMI, pada tahun ini, kita mempunya jargon “Zero
kekosongan kelas”, dan dengan prinsip “al-Muw dhobah wa at-Tabk r”. al-
244
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 73.
Page 173
158
Muw dhobah, artinya datang tepat waktu atau tidak terlambat, dan at-Tabk r,
artinya tidak mengosongkan kelas.245
Dari data tersebut Peneliti melihat bahwa budaya mutu dalam pelaksanaan di
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dalam hal ini Tarbiyatul Mu’allimin al-
Islamiyah (TMI) sudah berjalan. Adanya konsep “Zero kekosongan kelas”, dan
dengan prinsip “al-Muwadhobah Wattabkir” tersebut selaras denga konsep
tujuan mutu Crosby, “adalah menciptakan produk tanpa cacat (zero defects).”246
Selain hal tersebut, dalam tingkat rutinitas dijelaskan bahwa setiap dua
minggu sekali musyawarah untuk mengevaluasi, apa yang telah dikerjakan,
kemudian diperbaiki atau mencari solusi, kemudian dikerjakan lagi, dievaluasi
kembali dan dan dikerjakan lagi. Moh. H. Zaki Su’aidi juga menyampaikan
bahwa “siklus atau konsep kegiatan yang dikerjakan dalam kehidupan/kegiatan di
pondok pesantren wali songo Ngabar ini, yaitu dengan Plan, Do, Check,
Act.”247
Hal tersebut selaras dengan pola manajemen yang bersifat sirkuler yang
digagas oleh Deming, yang mencakup tahapan atau proses yang terus berputar
yang dikenal dengan siklus PDAC yang dapat digambarkan sebagai berikut:248
245
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018 246
Crosby, Quality is Free…, hal. 28. 247
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018 248
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 77
Page 174
159
Gambar 4.2. Sirkulasi Progam Kegiatan Pondok Pesantren
Berdasarkan Pendekatan Deming
Dalam konteks evaluasi mutu, Singgih Rahmanu, S.Pd.I. menjelaskan
konsepnya sebagai berikut:249
No. Bidang Positif Negatif
1 Guru
1. Motivasi guru meningkat 1. Masih ditemukan Guru tidak
mengajar tanpa keterangan
a. Bersedia diajak
menyusun silabus
2. Masih ditemukan Guru
mengajar tanpa i’dad
b. Bersedia menkjadi
Supervisor
3. Kinerja piket/bulis tasreh
menurun, tidak stabil
c. Bersedia disupervisi 4. Budaya untuk meningkatkan
kompetensi diri belum muncul
d. Bersedia menyusun i’dad 5. Masih rendahnya jumlah Guru
mata pelajaran UN
2. Budaya kerja untuk disiplin
meningkat
6. Pengabdian 1 tahun banyak
yang putus di tengah jalan
2 Santri
1. Budaya disiplin
murodzobah wa tabkir
meningkat
1. Motivasi belajar rendah
2. Jadwal petugas upacara
dilaksanakan
2. Rendahnya wawasan santri
terhadap proyeksi masa depan
3. Budaya izin tidak masuk
sekolah meningkat
3. Santri non asrama masih
ditemukan tidak masuk tanpa
keterangan
4. Kemampuan berkolaborasi
dalam seni dan olah raga
4. Budaya menjaga kebersihan
masih rendah
3 Stakeholder 1. Direktur menjalankan 1. Apresiasi pada kinerja guru
249
Singgih Rahmanu, Wawancara, 05 Juli 2018
Plan
Check
Do Act
1
2
3
4
Proses Proses
Proses Proses
5. Susun Rencana
mutu
berdasarkan
pelanggan
6. Laksanakan
rencana dalam
skala kecil/uji
coba
7. Periksa
kelemahan-
kelemahan dan
perbaiki
8. Laksanakan
sepenuhnya
dengan semua
perbaikan dan
kembali lagi ke
1
Page 175
160
(Internal) fungsi kontrol secara
berkala
rendah
2. Fungsi kontrol Direktur
diarahkan pada dua arah: a)
Guru, dan b) Santri.
2. Belum mempunyai konsep
kaderisasi yang jelas dan
standar
3. Memotivasi Guru TIM TMI
untuk menjalankan tugas ke-
TMIan
3. Jumlah guru Tim TMI untuk
menjalankan tugas ke-TMI-an
masih kurang
4. Direktur TMI menyusun
rencana strategis
(RENSTRA) 5 tahun
5. Direktur berusaha
mewujudkan Visi – Misi –
Tujuan yang telah disusun
4 Daya Dukung
(Eksternal)
1. Sarana prasarana
disediakan Yayasan yang
baik
1. Sering terjadi
pemikiran/konsep Direktur
tidak dipahami oleh
komponen lain (Pimpinan,
yayasan, dll)
2. Motivasi kerja Guru
meningkat
2. Jalinan kerjasama antara TMI
dan lembaga lain
3. Kesediaan yayasan untuk
mendukung progam baik
TMI tentang buku
3. Sering terjadi kebijakan
Sekretariat pondok yang tidak
sesuaikan dengan
progam/konsep TMI
4. Rapat & evaluasi Pimpinan
lembaga setiap bulan
4. Fasilitas olah raga belum
lengkap
Tabel 4.1: Analisa Evaluasi Pencapain Progam TMI
Evaluasi di atas baik dalam kaitannya pengembangan mutu lembaga
pendidikan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, sebagai bahan kebijakan
untuk tahun ajaran selanjutnya dalam menentukan dan membuat progam prioritas
dalam pengembangan lembaga. Serta untuk menjaga budaya perbaikan terus
menerus dari tahun ke tahun dan harus lebih baik dari tahun ke tahun. Senada
dengan konsep di atas, H. Zaki Su’aidi juga menyampaikan kepada seluruh
stakeholder pondok untuk memastikan adanya continuous quality improvement
dalam setiap langkah dalam masing-masing lembaga.250
Dari konsep evaluasi di atas, dapat dianalisis bahwa Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, dalam hal ini TMI ingin menumbuhkan dan mempertahankan
250
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 176
161
budaya mutu di lembaga TMI. selain itu, budaya mutu yang telah terbangun
tersebut, diusahakan untuk terus berlanjut dari hari ke-hari, dan perbaikan terus
menerus. Hal tersebut menurut Tampubolon, bahwa “Ada dua tujuan utama
dilakukannya evaluasi mutu tersebut, yaitu a) untuk pengendalian mutu, dan b)
untuk peningkatan mutu.”251
Serta hal tersebut, termasuk dalam salah satu
implementasi dari Total Quality Management (TQM) yang digagas oleh Edward
Sallis yang menjelaskan dalam bukunya yaitu improvisasi berkelanjutan. Artinya
pihak manajemen (pengelola pesantren) hendaknya senantiasa melakukan
perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua
komponen produksi (sivitas Pondok Pesantren) mendukung kualitas yang
diharapkan.252
251
Daulat Purnama Tampubolon, Perguruan tinggi bermutu…, hal. 92. 252
Edward Sallis, Manajemen Mutu…, hal. 59.
Page 177
162
C. The Change Process (Proses Perubahan) dalam Pengembangan Mutu di
Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Ponorogo.
Setelah membahas terkait dengan The Choice Process (Proses Pilihan) dan
The Trajectory Process (Proses Lintasan), selanjutnya akan dibahas terkait The
Change Process (Proses Perubahan) dalam pengembangan mutu di Pondok
Ngabar. Dalam The Change Process (proses perubahan), mencakup pendekatan
pada mekanisme untuk mencapai dan hasil perubahan. Di samping itu, akan digali
hal apa saja yang berubah, apa tujuan dan manfaat yang kaitannya pada
pengembangan mutu dari hasil perubahan yang dilakukan, hambatan, dan pelaku
perubahan.
Sesuai data yang Peneliti temukan sebelumnya, yang terdapat di dalam proses
pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, tidak lepas
dari proses in put, proses, dan out put. Peneliti melihat banyaknya perubahan-
perubahan yang terjadi di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dalam
peningkatan kualitas mutu, dan perubahan dalam ketiga proses tersebut. hal
tersebut sesuai dengan yang disampaikan Zaki Su’aidi, bahwa adanya korelasi
antara in put, proses, dan out put, Zaki Su’aidi menjelaskan kalau inputnya baik,
prosesnya baik, maka hasilnya baik. Kalau inputnya jelek, prosesnya baik, maka
hasilnya sedang, dan kalau inputnya jelek, prosesnya jelek, dapat dipastikan
hasilnya jelek. Maka dari itu input harus bagus, dan proses harus bagus.253
Maka
dari itu, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar serius akan hal tersebut dan
membuat strategi-strategi dan perubahan-perubahan agar hasilnya baik. Hal itu
253
Rapat kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 178
163
tidak jauh berbeda dengan teori yang juga dikemukakan oleh Crosby, yang
menegaskan bahwa mutu kompetitif dari suatu pendidikan termasuk pendidikan
pondok pesantren dapat dilihat dari “a) input, b) process, and 3) product that
desired by stakeholders.”254
Dalam proses input, ada dua input dalam lembaga pendidikan TMI, yaitu
input Peserta didik, dan Pendidik. Dalam proses input Peserta didik, Pondok
Pesantren Wali Songo melakukan banyak perubahan yang hubungannya pada
pengembangan mutu pondok pesantren tersebut. Diantara perubahannya ialah
pertama, Breifing Penguji Seleksi Masuk Peserta didik, kegiatan tersebut sudah
berjalan dua tahun ini, yang tujuannya sebagai penyamaan persepsi antara masing-
masing penguji dan menentukan standar kelulusan ujian dalam penerimaan santri
baru tersebut.
H. Moh. Zaki Su’aidi menambahkan Adanya briefing ini untuk menentukan
standard dan kualitas santri yang akan disepakti untuk diterima, agar mendapatkan
santri/bahan yang berkualitas. Maka dari itu, perlu adanya seleksi bagi calon santri
yang akan masuk ke Ngabar. Maindsite bahwa pondok tidak boleh menolak santri,
tidak boleh dimaknai mentah-mentah, artinya kalau fasilitas kita tidak memadai,
sarana pembelajaran terbatas, apakah kita tetap akan menerima santri? Tentu itu
dapat dikatakan dzolim. Di samping hal itu, Ngabar sudah saatnya meningkatkan
kualitas, dengan mendapatkan input yang berkualitas, maka konsep seleksi di
Ngabar ini, dengan penentuan standarnya merupakan hal yang sangat baik.255
Senada dengan apa yang disampaikan di atas, M. Very Irwansyah juga
254
Crosby, Quality is Free, (New York: Mentor Books, 1989), hal. 73 255
M. Zaki Su’aidi, Wawancara, 08 Juni 2018
Page 179
164
menambahkan, dalam proses penerimaan baru ada standar santri yang berhak
diterima di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, standar yang disepakati ialah
pertama, dapat membaca al-Qur’an, minimal dapat membaca panjang pendek,
kedua, dapat menulis kalimat bahasa arab minimal tiga sampai empat huruf. 256
Dalam proses in put Pendidik, juga sama halnya. Pendidik yang baik akan
mendidik peserta didik dengan baik, dan menghasilkan peserta didik yang baik.
Hal ini sangat vital adanya, tidak terbantahkan bahwa Pendidik merupakan unsur
utama dalam baiknya proses pendidikan. konsep pendidikan di Ngabar ialah “apa
yang kami lihat, apa yang kamu dengar dan apa yang kamu rasakan ialah
pendidikan”. Maka dari itu, sesuai apa yang disampaikan KH. Heru Saiful Anwar,
MA., selaku Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar bahwa “Pendidik di
Ngabar harus siap dicontoh, harus dapat membimbing, harus siap mengarahkan,
dan harus siap membuat lingkungan yang mendidik.”257
Senada akan hal tersebut,
H. Said Abadi, MA., selaku Direktur TMI juga mengatakan “1000 kata-kata yang
bijak akan kalah dengan keteladanan”.258
Oleh karena pentingnya Pendidik
tersebut, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sangat serius memperhatikan hal
tersebut, dan menaikkan standar seleksi kualitas Guru yang akan mendidik santri-
santri Ngabar.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa adanya tujuan dan manfaat yang akan
dituju dari perubahan tersebut. Wibowo menambahkan Sebagian besar usaha
perubahan berakhir dengan kegagalan. Dalam banyak hal, proyek perubahan gagal
karena tujuan awalnya atau hasilnya yang diharapkan tidak dipikirkan dengan
256
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 257
Heru Saiful Anwar, Wawancara, 15 April 2018 258
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018
Page 180
165
baik dan tidak konsisten.259
Selain hal tersebut, kaitannya dengan pengembangan
mutu Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar briefing ini penting guna memastikan
santri yang akan masuk ke Ngabar, ialah santri yang berkualitas, yang sesuai
standar yang telah tersepakati.
Adapun terkait input guru, yang menaikkan standar seleksi kualitas Guru
adalah yang paling utama untuk diperhatikan. Bagaimanapun Guru menjadi kunci
keberhasilan pembelajaran. Pendidik yang baik akan mendidik peserta didik
dengan baik, dan menghasilkan peserta didik yang baik. Pemberlakuan kebijakan
pengabdian wajib. Artinya lulusan Wali Songo wajib mengabdikan ilmunya
selama satu tahun dan dari pengabdian wajib itu, pondok memilih 30 lulusan
terbaik ialah strategi yang tepat dalam pemenuhan Pendidik-Pendidik yang
berkualitas. Hal ini penting, karena kalau mengacu pada teori yang dikemukakan
Crosby di awal, proses input menjadi proses paling utama untuk proses-proses
pendidikan selanjutnya. Hal tersebut selaras dengan salah satu dari implementasi
TQM, yaitu menentukan standar kualitas. 260
Dalam hal ini, seorang pengasuh
pesantren harus mampu menentukan standar-standar kualitas yang harus
dipertahankan dan ditingkatkan bagi terwujudnya kualitas pesantren, baik berupa
kualitas Peserta didik, Pendidik, pendidikan, proses pembelajaran, kurikulum,
metode, dan evaluasi.
Perubahan dalam proses in put yang kedua, ialah Proses penerimaan yang
selesai dalam sehari, atau “One Day One Process”. Perubahannya tersebut
dilakukan untuk menunjukkan profesionalitas panitia penerimaan, dan
259
Wibowo, Manajemen Perubahan…, hal. 259. 260
Edward Sallis, Manajemen Mutu…, hal. 59.
Page 181
166
menunjukkan pelayanan terbaik kepada peserta didik dan wali santrinya, serta
segera mendapatkan kepastian dengan cepat. Hal tersebut positif, menunjukkan
bahwa Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar mendorong atau mengutamakan dan
memuaskan pelanggan, yang dalam hal ini Wali Santri dan calon Santri yang akan
masuk ke Ngabar. Hal tersebut selaras dengan konsep mutu Sallis, bahwa
pelanggan ialah raja (customer is king).261
Dalam konteks Proses, gerakan perubahan yang terjadi sangatlah massif,
inovasi-inovasi progam, serta perbaikan-perbaikannya yang belandaskan mutu
sangatlah terlihat dan dirasakan. Dalam perkembangan TMI, beberapa perubahan
yang terjadi, yang mempunyai dampak dalam pengembangan mutu TMI, dapat
dideskripsikan penulis sebagai berikut:
1. Perubahan Struktur Direktorat.
Hasil wawancara Peneliti denga M. Very Irwansyah ditemukan bahwa
adanya perubahan struktur TMI tiga tahun dengan mengganti pucuk
kepemimpinan Direktorat. Direktur yang baru ialah H. Said Abadi, Lc., MA.,
dibantu dua wakilnya yaitu Marjuni, M.Pd.I, dan Singgih Rahmanu, S.Pd.I.,
Very mengatakan bahwa Direktur yang masih muda tersebut banyak
membawa perubahan di TMI, tiga tahun pasca pemilihan mereka bertiga
menjabat sebagai orang tertinggi dalam lembaga TMI tersebut, banyak
membawa perubahan-perubahan dalam pengembangan mutu di Pondok
261
Edward Sallis, Total Quality Management…, hal 59.
Page 182
167
Pesantren Wali Songo Ngabar, khusunya dalam bidang pendidikan dan
pengajarannya.262
Hal tersebut merupakan faktor kunci ada banyaknya proses perubahan
yang terjadi, di samping masih muda-muda yang mempunyai semangat muda,
ketiga Direktur tersebut dilihat dari gelar yang didapatnya ialah lulusan strata
dua (S-2), serta salah satunya lulusan al-Azhar Kairo. Tidak dapat dipungkiri
bahwa hal paling berperan dalam suatu perubahan ialah SDM. Hal tersebut
selaras dengan yang disampaikan Wibowo bahwa manajemen perubahan
pada hakikatnya adalah merupakan manajemen kinerja yang bersifat dinamis.
Hal yang paling berperan untuk keberhasilan perubahan ialah sumber daya
manusia (SDM). Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM secara terus-
menerus merupakan suatu keharusan.263
2. Kegiatan Berdasarkan Sistem.
Hasil Observasi Peneliti yang dilakukan, ditemukan bahwa dalam setiap
kegiatan dan aktivitas TMI sudah melakunnya sesuai sistem yang terstandar
yang telah dibuatnya. Artinya, segala hal, kegiatan, dan aktivitasnya sudah
diatur dalam standard operating procedure (SOP). Sebagai contoh SOP Bulis
al-Azhar, SOP Perizinan Santri, SOP Perizinan Guru, dan lain-lain. 264
Ada beberapa keuntungan yang akan didapat lembaga yang mengatur
segala aktivitas dan kegiatan berdasarkan SOP. Pertama, keberlangsungan
kegiatan yang terstandar dari tahun-ketahun. Kedua, kemudahan dalam
pelaksanaan kegiatan. Ketiga, kemudahan dalam evaluasi serta perbaikan
262
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 263
Wibowo, Manajemen Perubaha…, hal. V 264
Kunjungan Tempat Penelitian, Observasi, 20 Juli 2018
Page 183
168
yang terus dilakukan. Dan keempat, kaderisasi yang mudah. Hal tersebut
sesuai dengan salah satu kriteria dari lima kriteria pendidikan bermutu ala
Jerome S. Arcaro, yaitu menunjang sistem yang diperlukan oleh staf dan
siswa untuk mengelola perubahan dengan memiliki komitmen pada mutu.265
3. Berbasis IT.
Sesuai data yang Peneliti dapatkan, hasil wawancara dengan M. Very
Irwansyah bahwa banyak pembelajaran yang berbasis IT, pembuatan jadwal
dengan menggunakan sistem Asc, adanya SIAP (Sistem Informasi
Administrasi Pondok) semisal SIAKAD yang ada di perguruan-perguruan
tinggi. Terkait pembuatan jadwal, yang dulu masih manual, sekarang sudah
menggunakan sistem aplikasi yaitu Asc. Dengan sistem itu bentrokan jadwal
dapat diatasi dan lebih cepat dan tidak menguras banyak fikiran. Yang
sebelumnya dapat mencapai satu bulan dalam menyusun jadwal pelajaran.
SIAP (Sistem Informasi Administrasi Pondok), semisal SIAKAD pada
perguruan tinggi, yang masing-masing santri mempunyai akun loginnya
masing-masing. Yang mana dalam SIAP tersebut, segala informasi terkait
pendidikan dan pengajaran terangkum di dalamnya. Biodata guru, biodata
santri, pengumuman, hasil ujian, pengumuman kelulusan, dan lain-lain.
Barang kali Pondok Pesantren yang satu-satunya menggunakan hal seperti ini
ialah Ngabar. Ini menjadi kebanggaan dan kemajuan, dan terus mengadopsi
hal-hal yang sekiranya bagus, untuk kita praktikkan atau di bawa ke dalam
265
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah
Penerapan, terj. Yosal Iriantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 10-14.
Page 184
169
pondok. Yang dulu pengumuman dengan menggunakan surat, sekarang itu
semua sudah lewat SIAP tersebut.266
Hal tersebut pencapain besar bagi Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar,
bahwa perkembangan informasi dan teknologi tidak menjadi ancaman, masih
banyak hal positif yang perlu diterapkan di Pondok Pesantren. Abdurrahman
Mas’ud menyampaikan bahwa terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi
pesantren dalam melakukan pengembangannya, salah satunya ialah
Manajemen Kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam
pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren
dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi
yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses
pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang
masih kurang terstruktur.267
4. Public Relation yang berjalan baik.
Hasil Observasi yang kami lakukan didapatkan bahwa Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar, memanfaatkan betul media sosial untuk memberikan
informasi pengembangan yang ada di Ngabar. Segala kegiatan, informasi-
informasi, serta progam-progam sebisa mungkin dan sebaik mungkin dishare
di media sosial yang dimilikinya seperti facebook, instagram, twitter,
website.268
Hal tersebut, selain sebagai bentuk tanggung jawab lembaga dalam
melaporkan proses kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, Peneliti juga
266
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018 267
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail Sm (ed): Dinamika
Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 2002), hal.18 268
IT Wali Songo, Observasi, 21 Juli 2018
Page 185
170
melihat media sosial tersebut, menjadi sarana efektif untuk eksistensi dan
promosi lembaga tersebut.
Dalam hal ini Abdurrahman Mas’ud menyampaikan bahwa terdapat
beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan
pengembangannya, salah satunya ialah image pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan
teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi
pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut
merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab segera, dan menjawab opini
tersebut.269
Hal tersebut, sesuai dengan salah satu implementasi TQM yang
dikembangkan oleh Edward Sallis, yaitu membangun public relation secara
harmonis dan dinamis.270
5. Penguatan Mutu SDM.
Melihat hasil Penelitian sebelumnya dalam penguatan mutu SDM,
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dalam hal ini TMI mengadakan
kegiatan-kegiatan dan progam-progam yang kaitannya untuk peningkatan
mutu Guru, dan mutu Santri. Diantara progam dan kegiatan peningkatan mutu
Guru tersebut ialah 1. Pelatihan Guru Al-Qur’an, 2. Ta`hil materi bahasa
Arab dan inggris, 3. Ta`hil materi pondok, 4. Standarisasi penyusunan I’dad
ujian lisan untuk kelas II dan III, 5. Konsorsium Penyusunan I’dad semua
mata pelajaran, secara bertahap, 6. Pelatihan IT (Informasi dan Teknologi), 7.
Ta`hil Guru Mata Pelajaran Umum (eksak), 8. Workshop Parenting untuk
269
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren…, hal.18 270
Fattah, Konsep Manajemen, MBS, dan Dewan Sekolah, hal. 45.
Page 186
171
Wali Kelas, dan 9. Supervisi Pendidik. Sedangkan Santri dengan 1. Cerdas
cermat, 2. Olimpiade Bahasa, 3. Lomba Ketrampilan Santri (IT & SAINS), 4.
Olimpiade Al-Qur’an, 5. Mendatangkan ahli bahasa dari luar (Native
Speaker), 6. Menyusun divisi khusus yang mempersiapkan santri mengikuti
olimpiade atau lomba di luar pondok, dan 7. TMI menjadi penyelenggara
lomba antar sekolah.271
Hal tersebut Peneliti melihat sangat tepat, karena untuk mewujudkan
perubahan, serta untuk mewujudkan pendidikan pondok pesantren yang
berkualitas, tentunya harus ditingkatkan dan dikembangkan melalui
peningkatan SDM yang ada. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan
Sulthon dan Khusnuridho bahwa Salah satu indikator dari pendidikan
bermutu adalah kemampuan institusi pendidikan tersebut melahirkan
sumberdaya manusia yang bermutu. Adapun maksud sumber daya yang
bermutu adalah manusia yang memiliki kemampuan prakarsa, kerja sama,
kerja tim, pelatihan kesejawatan, penilaian, komunikasi, penalaran,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penggunaan informasi,
perencanaan keterampilan belajar dan keterampilan multibudaya.272
6. Fokus pada pencapaian visi.
Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa ada empat fokus visi yang
ingin dicapai semuanya pada tahun 2020, yaitu Pertama, Advance in Al-
Qur’an and Foreign Language, Kedua, International Accredited ISO 9001-
2015, Ketiga, Economy Self-Sufficiency, dan Keempat, Domestic and
271
Hasil Rapat Kerja TMI Tahun 2018. 272
Abdul Hadis dan Nurhayati B., Manajemen Mutu Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal.
70-71.
Page 187
172
International Network. Pada setiap tahunnya, Ngabar memfokuskan pada
pencapain satu dari keempat visi yang ada. Oleh sebab itu, Ngabar pada tahun
2018-2019 memfokuskan pada peningkatan mutu bahasa dan al-Qur’an. Oleh
karena itu, TMI mengupayakan dan mengusahakan pelatihan-pelatihan serta
progam-progam yang kaitannya dengan peningkatan kualitas bahasa dan al-
Qur’an. Diantara usahanya ialah dengan 1. meningkatkan SDM melalui
pelatihan Guru, terutama untuk guru-guru materi bahasa Arab dan inggris, 2.
Wajib berbahasa (bahasa inggris atau bahasa Arab), 3. Memperbanyak slogan
dan syiar-syiar berbahasa arab atau inggris, 4. Sambutan-sambutan acara atau
kegiatan berbahasa, 5. Seminar atau simposium terkait bahasa, dan 6.
Menambahkan kader-kader bahasa.273
Memfokuskan pencapian pada satu visi dari empat visi yang ingin dicapai
lembaga pendidikan Pondok Pesantren Wali Songo merupakan tindakan yang
tepat. Peneliti melihat dengan memfokuskan pencapaian dengan progam-
progam yang ada tersebut, dapat memaksimalkan pencapaian yang ingin
dicapai oleh Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar. Hal tersebut sesuai
dengan salah satu kriteria dari Lima kriteria pendidikan bermutu ala Jerome
S. Arcaro, yaitu visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan customer,
baik customer internal (orang tua, santri, ustadz, dan pengurus pesantren yang
berada dalam sistem pendidikan) maupun customer eksternal (pihak yang
memanfaatkan output proses pendidikan).274
273
M. Zaki Su’aidi, Wawancara, 08 Juni 2018 274
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah
Penerapan, terj. Yosal Iriantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 10-14.
Page 188
173
7. Peningkatan Standarisasi Lulusan.
Harapan dan keinginan yang besar dalam benak Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar untuk terus menghasilkan kualitas lulusan yang berkualitas.
Oleh sebab itu, dari hasil penelitian sebelumnya tergambar jelas peningkatan
standar lulusan yang ditingkatkan oleh Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah
diantaranya ialah nilai rata-rata santri minimal 4.5, nilai suluk minimal 8,
menentukan progam-progam unggulan dan harus di atas rata-rata, dan harus
hafal tiga juz al-Qur’an.275
Dalam mencapainya usaha perubahan yang
dilakukan ialah sebagaimana yang disampaikan Moh. Zaki Su’aidi yaitu
merumuskan progam-progam tambahan yang fungsi dan tujuannya untuk
peningkatan kualitas lulusan peserta didik, diantaranya ialah; a. Semua santri
dianjurkan untuk membaca al-quran sebelum pembelajaran dimulai, b.
Melaksanakan sholat dhuha, dan c. Hafal tiga juz menjadi syarat lulusan
Ngabar.276
Dari data di atas Penulis melihat penentuan standar lulusan yang
diterapkan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sangatlah tepat. Adanya
standarisasi tersebut didasari bahwa salah satu cara mengukur bagaimana
lembaga pendidikan itu bermutu atau tidak dari kualitas lulusan yang ada. Hal
tersebut selaras dengan Atkinson dalam Muhammad thoyyib memetakan tiga
indikator, untuk menilai lembaga pendidikan tersebut bermutu, salah satunya
ialah higher educational quality which is viewed forms its ultimate
275
Hasil Rapat Kerja TMI Tahun 2018. 276
M. Zaki Su’adi, Wawancara, 08 Juni 2018
Page 189
174
outcome.277
Dapat diartikan bahwa mutu pendidikan pesantren dapat dilihat
dari hasil akhir pendidikan (Ultimate Outcome) yang merupakan esensi
semua usaha dalam pendidikan. Dengan kata lain taraf mutu pendidikan
termasuk pendidikan pondok pesantren digambaran oleh seberapa jauh
tingkah laku para lulusannya memenuhi tuntunan masyarakat atau dunia kerja
seperti yang lazimnya tercantum dalam tujuan umum pendidikan pondok
pesantren.
8. Standarisasi Materi.
Sesuai Penelitian sebelumnya bahwa perubahan yang terjadi dalam
Pondok Pesantren Wali Songo ialah standarisasi materi-materi mata
pelajaran, materi ujian lisan. Hal tersebut dimagsudkan untuk setiap guru
memiliki wawasan dan pandangan serta sepahaman yang sama. Lain pada itu,
kaderisasi guru terbangun dan terbentuk dalam proses kegiatan standarisasi
tersebut. dengan demikian penyampaian materi kepada santri tidak berbeda
pemahaman antar guru-guru, yang dalam kegiatannya dinamakan ta’hi.l278
Penentuan standar tersebut, yang diterapkan di Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar, sesuai dengan implementasi Total Quality Management
(TQM) yang digagas oleh Sallis yaitu menentukan standar-standar
kualitas.279
Artinya Seorang Pengasuh pesantren ataupun Direktur harus
mampu menentukan standar-standar kualitas yang harus dipertahankan dan
ditingkatkan bagi terwujudnya kualitas pesantren, baik berupa kualitas
277
Muhammad Thoyyib, Model Otonomi…, hal. 46 278
Said Abadi, Wawancara, 01 Juli 2018 279
Edward Sallis, Manajemen Mutu…, hal. 59.
Page 190
175
pendidikan, proses pembelajaran, kurikulum, metode, dan evaluasi, serta
bahan ajar.
9. Manajemen Keuangan.
Sesuai hasil penelian sebelumnya, adanya Perubahan yang cukup
fenomenal yang ada di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, adanya sistem
manajemen keuangan pondok. Dalam aplikasinya, sesuai hasil wawancara
dengan M. Awalul Akhyar, bahwa adanya manajemen keuangan didasari,
bagaimana saat itu Ngabar belum dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
keuangan yang dimilikinya. Masih menggunakan cara yang lama. Tanpa ada
perencanaan, belum jelas pemasukannya dari mana, bagaimana kekuatan
uang untuk satu tahun ke depan, dan tidak terencana dengan baik, bahkan
biasanya dana yang dikeluarkan membengkak dan belum dapat
memperhitungkan kekuatan keuangan pondok. Untuk perubahannya yaitu
menggunakan “Manajemen Keuangan” dengan sistem RAPB (Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja). Dengan konsep Budgeting, Accounting,
dan Auditing.
Peneliti melihat, dengan menggunakan sistem yang baru ini, Pondok
Pesantren Wali Songo dapat mengetahui kekuatan uang yang ada selama satu
tahun. Dengan itu, pondok dapat mengukur dan mengarah progam-progam,
pengembangan-pengembangan yang akan dikerjakan dan direncanakan.
Dapat diartikan bahwa Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar sesuai jalur
dalam proses pengembangannya. Hal tersebut sesuai dengan ucapan
Abdurrahman Mas’ud, bahwa terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi
Page 191
176
pesantren dalam melakukan pengembangannya, salah satunya ialah
kemandirian ekonomi kelembagaan.280
Kebutuhan keuangan selalu menjadi
kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas
keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan
dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak
luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan. Dengan
adanya manajemen keuangan, hal tersebut dapat teratasi dengan baik.
10. Networking.
Sesuai penelitian sebelumnya, ada dua pendekatan yang dijalankan
pondok pesantren Wali Songo dalam kerjasama kelembagaan dan jaringan
tersebut, yaitu: Pertama Alumni, yaitu dengan: 1. Menjadikan alumni
menjadi organisasi tunggal, untuk saat ini memang belum, Akan tetapi fokus
awal kita pada alumni per-angkatan, itu lebih mudah untuk disatukan dan
diberdayakan, 2. Grant data base, dan 3. Proyek kerja bersama semisal
membuat wisma alumni, biro haji, dan lain-lain. Kedua Birokrasi, yaitu
dengan: 1. Pendekatan formal, 2. Lobby dan pendekatan kekeluargaan, 3.
Intersifikasi humas, dan 4. Muhibbah ke kampus-kampus dan menjadikan
MoU.281
Hal tersebut tepat menurut Peneliti, adanya Peningkatan akses dan
networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren.
Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah,
280
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren…, hal.18 281
Rapat Kerja 2018, Observasi, 01 Maret 2018
Page 192
177
terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil.
Maka dari itu, adanya konsen terhadap peningkatan dan banyaknya
networking, menjadi ukuran kualitas mutu lembaga pendidikan, dalam hal ini
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar.282
Adapun dalam konteks output, sesuai data dari penelitian sebelumnya
dijelaskan bahwa Lulusan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar paling tidak
sudah memiliki bekal terkait akademik, maupun non akademik. Mereka tidak
hanya kuat dalam penguasaan agama, akan tetapi juga tetap mengerti dan
menguasai keilmuwan umum. Hal tersebut dapat dilihat dari keterimaan lulusan
Ngabar di perguruan-perguruan tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Baik
perguruan tinggi umum, maupun perguruan tinggi negeri yang berbasis agama.
Sesuai data di atas lulusan Ngabar, kedepan akan hafal 3 juz, yaitu juz 1, 29, dan
30. Serta menguasai dua bahasa internasional yaitu bahasa Arab dan bahasa
inggris.283
Hal tersebut menunjukkan bahwa lulusan Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar dapat besaing dan eksis dalam lembaga pendidikan dalam negeri maupun
luar negeri. Selain hal tersebut, ada jaminan mutu yang didapat oleh lulusan
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar. Dalam kata lain relevansi indikator mutu
terpenuhi. Hal tersebut senada dengan konsep Atkinson, yang membagi indikator
mutu menjadi tiga, yaitu: “Its are: a) higher educational quality which is viewed
form its ultimate outcome, b) higher educational quality which is viewed form its
282
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren…, hal.18 283
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018
Page 193
178
immediate outcome, and c) higher educational quality which is viewed form its
process.”284
Lain dari pada itu, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, berusaha untuk
melahirkan atau menumbuhkan pribadi-pribadi yang unggul, utuh, dan
berakhlaqul karimah untuk kemuliaaan dan kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Hal ini menampik anggapan bahwa pesantren hanya fokus dan handal pada aspek
keagamaan/mendidik spiritualitas peserta didik saja, akan tetapi Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar membuktikan bahwa lulusan pesantren tidak hanya
menguasai terkait hal-hal agama saja, akan tetapi dapat menguasai keilmuan
umum. Hal tersebut selaras dengan apa yang di sampaikan Anies Baswedan
Gubernur DKI Jakarta, saat membuka acara Education Expo ASESI (Asosiasi
Sekolah Sunnah Indonesia) tanggal 29 Oktober 2017, bahwa proyeksi pendidikan
abad 21 ada 3 komponen yang mendasar yaitu:285
1. Karakter/Akhlak
a. Karakter moral (meliputi imam, taqwa, jujur, rendah hati)
b. Karakter kinerja (meliputi ulet, kerja keras, tangguh, tidak mudah
menyerah, tuntas)
2. Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif/kerjasama)
3. Literasi/Keterbukaan wawasan (baca, budaya, teknologi, keuangan).
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar selalu menekankan dan membiasakan
pendidikan spiritual/akhlak terlebih dahulu dalam hal ini peningkatan mutu al-
284
Richard Atkinson, Educationing Quality Circles in a College of Futher Education, (Manchester
Monographs: University of Manchester, 1990), hal. 41 285
Online, https://www.youtube.com/watch?v=Nl5-pOnjtS8, dilihat Rabu, 22 November 2017,
pukul 06.00 WIB.
Page 194
179
Qur’an, sebelum aspek yang lain, implikasinya terbentuknya sikap dan adap yang
baik dalam diri santri sebelum mendapatkan ilmu yang lain. Hal tersebut
sangatlah penting untuk santri kedepannya, karena adap atau sikap yang baik lebih
penting dari pada berilmu tapi tidak beradap. Hal tersebut, sesuai dengan apa yang
di sampaikan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, bahwa “orang yang beradap lebih
dihargai daripada orang yang berilmu”.
Dalam konteks halangan perubahan, tentu setiap perubahan adanya halangan,
yang terkanal dengan sebutan resistensi. Sesuai penelitian sebelumnya dalam
perubahan yang terjadi di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar terjadi adanya
penolakan dari sebagian Pendidik yang ada di Pondok Ngabar. Akan tetapi setelah
diberikan pengertian, dan menjadi kesepakatan hasil raker, yang disusun dari
banyak stakeholder, dan akhirnya memaklumi.286
Di samping itu, walaupun ketika
kita datangin ada tetap ada penolakan, Tapi tetap kita jalankan, dan pada akhirnya
mereka yang menolak juga menerima, karena adanya peningkatan dari perubahan
tersebut.287
Dari hal ini Peneliti menilai cara yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar sudah tepat dengan adanya musyawarah atau raker sebelum adanya
perubahan. Karena bagaimanapun adanya perubahan tentu ada pihak yang
menolak terhadap perubahan tersebut. Sebesar apapun perubahan yang dilakukan,
sebesar itu pula yang terjadi. Menurut Winardi masalah yang paling sering dan
menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Oleh sebab itu,
286
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018 287
M. Awalul Akhyar, Wawancara, 14 Juli 2018
Page 195
180
Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya
penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa The Change Process (Proses
Perubahan) Dalam Pengembangan Mutu di Pondok Pesantren “Wali Songo”
Ngabar Ponorogo sudah mencakup ketiga elemen proses perubahan, yaitu
Objectives and Outcomes (Tujuan dan Manfaat), Planning and Change
(Merencanakan Perubahan), dan People. Dan telah mencakup pendekatan pada
mekanisme untuk mencapai dan hasil perubahan. Yang dalam perubahannya telah
sesuai dengan implementasi dari Total Quality Management (TQM), namun
adanya kekuarangan dan kelemahan di tiap-tiap tahapannya haruslah dikaji dan
disempurnakan untuk kemudian mencari solusi untuk menutupi dan
menanggulangi kekurangan dan kelemahan tersebut, untuk ketercapaiannya mutu
yang ditetapkan dan diharapkan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar.
Page 196
181
D. Faktor Manajemen Perubahan dalam Pengembangan Mutu di Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.
Sesuai penelitian sebelumnya, Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar kondisi pengembangan mutu di Pondok semakin
baik dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. M. Very Irwansyah
mengatakan bahwa adanya inovasi-inovasi dari Direktorat, yang saat ini ada tiga,
satu Direktur dan dua Wakil Direktur. Mereka masih muda-muda, dengan
mudanya Mereka banyak inovasi-inovasi dan perubahan yang dilakukan di
TMI.288
M. Jaelani juga mengatakan bahwa ketika awal masuk pengabdian, hingga
sekarang, TMI mengalami banyak perkembangan, karena banyaknya kritikan
terhadap lembaga ini, maka dari kritikan dan saran kita terima, dan mencari
formula dan memperbaiki dari kritikan dan saran tersebut, untuk menjadi lebih
baik. Dari kritikan tersebut yang telah diperbaiki TMI jalankan kembali.
Alhamdulillah, dilihat dari jumlah santrinya, santri pada saat ini berjumlah 1073,
dan tiga tahun ini sudah menolak santri karena keterbatasan sarana-prasarana,
yang pada awal pengabdian saya dulu, tidak kurang 300-an santri, meningkat
hampir tiga kali lipat. Alhamdulillah kepercayaan masyarakat semakin baik pada
pondok pesantren wali songo.
Lain dari pada itu, sesuai data yang Peneliti temukan hasil wawancara dengan
M. Jaelani, di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, adanya perubahan yang
terjadi, diputuskan di dalam rapat kerja (raker) yang diadakan setiap tahunnya
288
M. Very Irwansyah, Wawancara, 06 Juli 2018
Page 197
182
yang berlandaskan atau diawali dari adanya kemampuan lembaga tersebut melihat
kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang yang dimiliki lembaga tersebut.289
Di samping data di atas, sesuai data sebelumnya Peneliti melihat adanya
perubahan yang terjadi di Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah banyak dipengaruhi
oleh usaha untuk mencapai visi Ngabar 2020 yang menjadi visi besar Pondok
Pesantren Wali Songo, yang kaitannya dengan Tarbiyatul Mu’allimin al-
Islamiyah.
Hal tersebut, dapat dianalisis bahwa perubahan yang terjadi di Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islamiyah dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu dengan
adanya perubahan Pemimpin, adanya rapat kerja yang mana dalam rapat kerja
tersebut ide-ide, gagasan, dan pandangan dimusyawarahkan dan ditetapakan untuk
dilaksanakan, serta usaha bersama untuk mencapai visi, misi, dan tujuan untuk
pencapain bersama. Adanya faktor Pemimpin dari perubahan yang terjadi di
Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah selaras dengan salah satu teori yang
dikembangkan Thomas Carlyle yang menyebut bahwa “sejarah dunia adalah
biografi orang-orang besar.”290
Menurut Carlyle, perubahan sosial terjadi karena
munculnya tokoh-tokoh di masyarakat yang dapat dipercaya dan menarik simpati
sehingga melakukan perubahan. Perubahan hanya dapat dilakukan oleh great
individuals (tokoh-tokoh besar).
Kaitannya dengan adanya rapat kerja yang mana dalam rapat kerja tersebut
ide-ide, gagasan, dan pandangan dimusyawarahkan dan ditetapakan untuk
dilaksanakan, serta usaha bersama untuk mencapai visi, misi, dan tujuan untuk
289
M. Jaelani, Wawancara, 07 Juli 2018 290
Thomas Carlyle, “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroes in History” dalam Moh. Ali Aziz
dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal.28-29.
Page 198
183
pencapain bersama, selaras dengan faktor perubahan yang dipengaruhi oleh
Gerakan perubahan (empowerment) akan terjadi dengan munculnya social
movement (gerakan sosial) yang terlembaga. Lembaga atau organisasi sosial
semacam Lembaga Swadaya Masyarakat dan pesantren yang dianggap mampu
menghadirkan gerakan perubahan sosial.
Kaitannya dengan pendekatannya, sesuai data yang di atas dapat dianalisis
bahwa pendekatan perubahan yang terjadi di Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah
Pondok Pesantren Wali Songo ialah Pendekatan Normatif-Reedukatif. Jeff
Davidson menjelaskan bahwa Pendekatan ini menekankan kepada bagaimana
seorang Manajer perubahan dapat mempengaruhi atau bertingkah laku dengan
cara-cara tertentu, yang selanjutnya staf/anggota dapat melakukan perubahan atau
dapat berubah. Orang-orang berubah ketika mereka memiliki suatu perasaan
tersendiri bahwa perubahan adalah demi kepentingan terbaik. Perubahan paling
siap terjadi ketika satu individu termasuk dalm sebuah kelompok dan mengadopsi
sistem nilai-nilai dan keyakinan kelompok.291
291
Jeff Davidson, Change Management, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 86.
Page 199
184
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian, analisis, dan pembahasan terhadap temuan hasil
penelitian tentang model manajemen perubahan dalam pengembangan mutu di
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada aspek The Choice process (Proses Perubahan), berkaitan dengan
sifat, lingkup dan fokus pengambilan keputusan. Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar sesuai 3 elemen yang menaungi yaitu: a. Organizational
Context (Konteks Organisasional), b. Focus of Choice (Fokus Pilihan),
dan c. Organzational Trajectory (Lintasan Organisasional). Dalam hal
Organizational Context (Konteks Organisasional), menggunakan metode
SWOT untuk merumuskan perubahan, dilakukan penggabungan
informasi kinerja yang sudah dikerjakan, dan yang akan dikerjakan, yang
dilakukan di dalam rapat kerja (raker). Dalam hal Focus of Choice
(Fokus Pilihan), memfokuskan pada peningkatan kualitas mutu bahasa
dan al-Qur’an. Sedangkan dalam hal Organzational Trajectory (Lintasan
Organisasional), yang berkaitan dengan pengambilan keputusan
perubahan diputuskan dalam musyawarah, dalam hal ini rapat kerja.
2. Pada aspek the trajectory process (Proses Lintasan), berhubungan dengan
masa lalu organisasi dan arah masa depan dan hasil tersebut terlihat
seperti hasil dari visinya, magsud dan tujuan masa depan. Terdiri dari
Page 200
tiga elemen, yaitu: 1. Vision (Visi), 2. Strategy (Strategi), dan 3. Change.
Dalam hal Vision (Visi), Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar telah
membenahi visi lembaganya yang lama. Yang dilatarbelakangi karena
visi yang lama masih belum fokus dengan kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman yang ada pada lembaga TMI saat ini untuk menjadikan
lembaga ini, terus maju, berkembang dengan baik dan bermutu. Dalam
hal Strategy (Strategi), menerapkan tiga komponen penting, yaitu: a.
Perencanaan mutu, b. Pelaksanaan dan control mutu, serta, c. Evaluasi
mutu. Sedangkan dalam hal Change atau perubahannya menumbuhkan
dan mempertahankan budaya mutu di lembaga TMI dengan
mengimplementasikan Total Quality Management (TQM).
3. Pada aspek The Change Process (Proses Perubahan), dalam
pengembangan mutu di Pondok Ngabar mencakup pendekatan pada
mekanisme untuk mencapai dan hasil perubahan yang mencakup input,
proses, dan output. Dalam proses input, perubahan yang terjadi dalam
pengembangan mutu pondok berupa: a. Input Peserta didik dengan (dapat
membaca al-Qur’an dan menulis tulisan Arab) serta proses penerimaan
yang selesai dalam sehari, atau “One Day One Process”, b. Input
Pendidik, dengan menaikkan standar seleksi kualitas Guru, serta
merekrut 30 lulusan TMI terbaik. Dalam proses, adanya a. Perubahan
Struktur Direktorat, b. Kegiatan Berdasarkan Sistem, c. Berbasis IT, d.
Public Relation yang berjalan baik, e. Penguatan Mutu SDM, f. Fokus
pada pencapaian visi, g. Peningkatan Standarisasi Lulusan, h.
Page 201
Standarisasi Materi, i. Manajemen Keuangan, dan j. Penguatan
Networking. Dalam proses output, a. memiliki bekal terkait akademik,
maupun non akademik, b. Kuat dalam penguasaan agama, akan tetapi
juga tetap mengerti dan menguasai keilmuwan umum, c. Jaminan hafal 3
juz al-Qur’an, serta d. menguasai dua bahasa internasional yaitu bahasa
Arab dan bahasa inggris. Adapun resistensi yang timbul dari individual.
4. Pada aspek faktor manajemen perubahan dalam pengembangan mutu
pondok pesantren Wali Songo Ngabar dalamhal ini Tarbiyatul Muallimin
al-Islamiyah (TMI), ialah faktor great individuals dengan adanya
perubahan Direktorat, dan Gerakan perubahan (empowerment) akan
terjadi dengan munculnya social movement (gerakan sosial) yang
terlembaga. Adapun terkait pendektan perubahannya ialah Pendekatan
Normatif-Reedukatif.
B. Saran
Untuk perbaikan dan hasil yang lebih baik, perlu disarankan beberapa hal
berikut ini:
1. Dalam Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TMI), yang bertanggung
jawab terkait pendidikan dan pengajaran yang ada di Pondok Pesantren
Wali Song Ngabar, dalam proses pemilihan perubahan untuk
pengembangan mutu lembaganya tidak hanya merumuskan untuk satu
tahun kedepan artinya perlu merumuskan pengembangan mutu untuk 5
tahun dan 10 tahun lembaga ini yang akan dicapainya, hal tersebut dapat
Page 202
berupa RENSTRA (Rencana Strategis) dan RIP (Rencana Induk
Pengembangan).
2. Untuk terus menilai terkait pelaksanaan implementasi TQM di Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islamiyah Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar untuk
menjadikan lembaga ini, terus maju, berkembang dengan baik dan
bermutu, dari tahun ke-tahun continuous quality improvement, perlu ada
lembaga khusus yang mengontrol dan menjamin jalannya mutu di
lembaga tersebut yaitu lembaga penjaminan mutu yang belum ada di
TMI, agar perbaikan kualitas terus-menerus dapat terjamin.
3. Masih sedikitnya penguatan jaringan kelembagaan (networking) lembaga
ini baik kerjasama antar lembaga pendidikan atau instansi baik dalam
maupun luar negeri, oleh sebab itu, penguatan dan memperbanyak
networking ialah hal yang perlu dipriotaskan untuk eksistensi, kesuksesan,
dan kemudahan lembaga ini pada masa depan.
4. Faktor pemimpin yang handal, berintegritas, dan professional ialah faktor
terbesar dalam proses perubahan yang ada dalam suatu lembaga manapun,
faktor Pemimpin ialah kunci untuk keberhasilan lembaga tersebut dalam
pengadaan dan penciptaan inovasi-inovasi baru untuk pengembangan
mutu lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan Tarbiyatul
Mu’allimin al-Islamiyah. Oleh sebab itu, kaderisasi yang kuat perlu
dilaksanakan untuk penciptaan kader-kader handal dan berintegritas
sebagai penerus estafet kepemimpinan yang ada di Ngabar, agar terus
berkembang, dan bermutu dari tahun-tahun yang akan datang.
Page 203
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Said. Wawancara, 01 Juli 2018
Afriza, Yensi. “Implementasi Manajemen Perubahan Oleh Kepala Sekolah: Studi
Deskriptif di SMA Muhammadiyah Bengkulu”, Tesis Magister Manajemen
Pendidikan, (Bengkulu: Universiatas Bengkulu, 2013).
Akdon, Srategic Management For Educational Management, (Bandung: Alfabeta,
2009)
Akhyar, M. Awalul. Wawancara, Ngabar, 13 Juli 2018.
Antaresti, “Analisis Manajemen Perubahan Untuk Peningkatan Keefektifan Peran
Manajer Madya Dalam Penerapan Sistem Penjaminan Mutu.,” Tesis
Magister Manajemen, (Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala,
2014).
Anwar, Heru Saiful. Wawancara, Ngabar, 14 Juli 2018.
Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan
Tata Langkah Penerapan, terj. Yosal Iriantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005)
Arcaro, Jerome S. Quality in Education: an Implementation Handbook, (New
York: St. Lucie Press, 1995).
Arifin, Muhammad. “Strategi Manajemen Perubahan Dalam Meningkatkan
Disiplin Perguruan Tinggi.” Jurnal EduTech, Vol. 3 No. 1.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
Asrohah, Hasnun. Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan
Pesantren di Jawa, Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi
Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004.
Atkinson, Richard. Educationing Quality Circles in a College of Futher
Education, (Manchester Monographs: University of Manchester, 1990).
Azra,Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos, 2002).
Bennis, Warren. On Becoming a Leader (Philadelpia; Basic Book Inc, 2009).
Biografi K.H. Ibrohim Thoyyib, diterbitkan oleh Sektretariat Pimpinan Pondok
Pesantren “Wali Songo” Ngabar.
Page 204
Bisri, M. dan Hariyanto, “Percikan Sejarah Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Ponorogo Jawa Tmur.” Kumpulan Bahan Sidang Majlisu Riyasatil Ma’had
ke 46 di Ngebel, Ponorogo.
Bush, Tony. Leadership and Management Development (Los Angeles & London:
SAGE Pub. 2008).
C. Bogdan, Robert. & Taylor, S.J. Introduction to Qualitative Research Methods
(New York: John Wiley, 1975).
C. Bogdan, Robert. dan Biklen, Qualitative Research for Education; An
introduction to theory and methods (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982).
C. Bogdan, Robert. Participant Observation in Organizational Setting (Syracuse
New York: Syracuse University Press, 1972).
Carlyle, Thomas. “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroes in History” dalam
Moh. Ali Aziz dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2005).
Crosby, Quality is Free, (New York: Mentor Books, 1989).
Davidson, Jeff. Change Management, (Jakarta: Prenada Media, 2005).
Denzin, Norman K. Sociological Methods (New York: McGraw-Hill, 1978).
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1983).
Dokumen Seleksi Penerimaan santri Baru 2018.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dalam Budaya
Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2006).
Fattah, Nanang. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012).
Furchan, Arief. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media, 2004).
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin dari The Religion of Java, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1983).
Page 205
Hadis, Abdul. dan Nurhayati B. Manajemen Mutu Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2010).
Halim, A. Suhartini, Rr. Khoirul Arif, M. Sunarto, A. Manajemen Pesantren,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009).
Handoko, Hani. Manajemen, (Jogjakarta: BPFE, 2003).
Hasil Rapat Kerja Pondok Pesantren Wali Songo, Tahun 2017-2018.
Hasil Rapat Kerja TMI Tahun 2018. .
http://regional.kompas.com/read/2018/02/03/17174861/guru-yang-tewas-
dianiaya-muridnya-diduga-mengalami-patah-tulang-leher, diakses pada
Ahad, 25 Februari 2018.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3455970/peringkat-indeks-
pembangunan-manusia-ri-turun-ini-kata-pemerintah, diakses pada Ahad, 25
Februari 2018.
https://www.pressreader.com/indonesia/jawapos/20171204/2818529388965
66, diakses pada Ahad, 25 Februari 2018, pukul 11.58 WIB
https://sidogiri.net/, diakses pada Rabu, 21 Februari 2018 M.
https://www.youtube.com/watch?v=Nl5-pOnjtS8, dilihat Rabu, 22 November
2017.
Husni, Karna. Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2015).
Ihsan, Moh. Wawancara, 25 Juni 2018.
Ilyasin, Mukhamad. & Nurhayati, Nanik. Manajemen Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Aditya Media, 2012).
Irwansyah, M. Fery. Wawancara, Ngabar, 06 Juli 2018.
Ismail, Muhammad. Sistem Pendidikan Pesantren Modern Studi Kasus
Pendidikan Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, dalam jurnal
At-Ta’dib, vol. 6. No. 1, (Ponorogo: Fakultas Tarbiyah ISID, 2011).
IT Wali Songo, Observasi, 21 Juli 2018.
Jaelani, M. Wawancara, 07 Juli 2018.
Page 206
Juran, Joseph M. Juran’s Quality Handbook, (New York: Macmillan, 1991).
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia,
1974).
Kunjungan Tempat Penelitian, Observasi, 20 Juli 2018.
Lincoln & Guba, Effective Evaluation (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers,
1981).
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and
Analysis (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984).
Lukens Bull, Ronald Alan. A Peaceful Jihad: Javanese Education and Religion
IdentityConstruction, (Michigan:Arizona State University, 1997).
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadiana, 1997).
Marjuni, Wawancara, Ngabar, 04 Juli 2018.
Martoyo, Susilo. Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: PT. BPFE
Yogyakarta, 2000).
Mas’ud, Abdurrahman. Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail Sm (ed):
Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2002).
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994).
Meldona, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Malang: UIN Malang Press,
2009).
Miles, Matthew B. & Huberman, AS. Michael. Analisis Data Kualitatif, terj.
Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992).
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997).
Nafi’, M. Dian. et.al. Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Institute for
Training and Development, 2007).
Nawawi, Ismail. Manajemen Perubahan Teori dan Aplikasi pada Organisasi
Publik dan Bisnis, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2014).
Patton, Michael Quinn. Qualitative Evaluation Methods (Beverly Hills: Sage
Publications, 1987).
Page 207
Pembukaan Rapat Kerja 2018 Pondok Ngabar, Observasi, Ngabar, 01 Maret
2018.
Potts, Rebecca. and La Marsh, Jeanne. Master Change Maximize Success,
(British, Copyrighted Material, 2004).
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2003).
Qomar, Mujamil. Pesantren, (Jakarta; Erlangga, 2008).
Rahmanu, Singgih. Wawancara, 05 Juli 2018.
Rdho, Hardian. Wawancara, Ngabar, 12 Juli 2018.
Sallis, Edwards. Total Quality Management in Education, (New Jersey: Prentice
Hal.Inc. 2001).
Sanusi, Achmad. Manajemen Perubahan Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia,
2015).
Saondi, Ondi. Membangun Manajemen Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama,
2014).
Sidang Perdana tahun ajaran 2017-2018, Observasi, 20 Juli 2017.
Sidang Umum Guru, Observasi, 19 Juli 2018.
Su’adi, M. Zaki. Wawancara, 08 Juni 2018.
Sudrajat, Hari. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Peningkatan
Mutu Pendidikan Melalui Implementasi KBK, (Bandung: CiptaCekas
Grafika, 2005).
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015).
Sukardjo, M. dan Ukim Kamaruddin, Landasan Kependidikan, Konsep dan
Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Sulthon dan Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Laksbang,
2006).
Suprayogo, Imam. Quo Vadis Madrasah, Gagasan, Aksi, dan Solusi
Pembangunan Madrasah, (Yogyakarta: Hikayat, 2007).
Page 208
Tampubolon, Daulat Purnama. Perguruan tinggi bermutu: paradigma baru
manajemen pendidikan tinggi menghadapi tantangan abad ke-2, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Thoyyib, Muhammad. Model Otonomi Manajemen Mutu Perguruan Tinggi Islam
di Indonesia, (Yogyakarta: Cetta Media, 2015).
Tim Penyususn Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Usman, Husaeni. Manajemen,”Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan” edisi 3,
(Jakarta: Bumi aksara, 2009).
Wahjortomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
Warta Tahunan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar Tahun: 2010-2013,
Edisi: 31.
Warta Tahunan, Edisi: XXXI, Tahun 2010-2013.
Wibowo, Manajemen Perubahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012).
Zaini, H. M. Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur
(Surabaya: Proyek Penelitian Keagamaan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, 1981).
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren
(Jakarta: Rajawali Press, 2005).
Zarkasyi, Abdulloh Sukri. Manajemen Pesantren, (Ponorogo, Trimurti Press,
2005).
Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Kontribusi Fiqh Sosial
Kyai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007)
Page 209
CURRICULUM VITAE
Muh Zulfikar Ali Khamdani, dilahirkan di
Ponorogo, tanggal 12 Oktober 1992, putra dari bapak
Kateman dan ibu Misringah.
Pendidikan TA Al-Manar PPWS diselesaikan
tahun 1999, Madrasah Ibtidaiyah Mambaul Huda PPWS
tahun 2005, Tarbiyatul Mualimin Al-Islamiyah (tingkat
MTs dan MA) PPWS Ngabar tahun 2011, Strata 1
ditempuh di Institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin
PPWS jurusan Tarbiyah mengambil konsentrasi
Pendidikan Agama Islam, lulus tahun 2016, dan pada
tahun yang sama melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri
Ponorogo, Jurusan Manajemen Pendidikan Islam.
Selain aktif menjadi mahasiswa pasca sarjana IAIN Ponorogo, adalah guru
pengabdian di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar masa bakti 2011-sekarang.
Pengalaman organisasi diantaranya: Bagian Keamanan dan Olah Raga Konsulat
Ponorogo periode 2009-2010, Bagian Keamanan Organisasi Santri Wali Songo
(OSWAS/OSIS) periode 2009-2010, Bagian Pengasuhan Santri Pondok Pesantren
Wali Songo Ngabar sebagai Sekretaris tahun 2011-2013, Sekretaris Pimpinan
Pondok tahun 2013-2016, Sekretaris Bagian Akademik Pondok Pesantren Wali
Songo Ngabar tahun 2016-sekarang. Ketua Alumni PPWS angkatan 2011 periode
2016-2025, ketua kelas Manajemen Pendidikan Islam IAIN Ponorogo tahun 2016-
sekarang, dan Ketua Pemuda Kumpulan Ngabar Timur tahun 2018-sekarang.
Pengalaman yang pernah diikuti antara lain: Pramuka Bayangkara Polres
Ponorogo angkatan 31 tahun 2009, Organitation Basic Training (OBT) tahun
2010 yang diselenggarakan oleh konsulat Ponorogo, Diklat Kepemimpinan,
Kesekretariatan, dan Kebendaharaan (DK3) yang diselenggarakan tahun 2010
OSWAS, Kursus Mahir Dasar (KMD) tahun 2010, Pelatihan Manasik Haji tahun
2011 yang diselenggarakan PPWS, Kursus Mahir Tingkat Lanjutan (KML) tahun
2011, Pelatihan Peningkatan SDM guru olah raga Pondok Pesantren se-Jawa
Timur tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Kanwil Kemenag Prov. Jatim,
Penataran Guru Baru PPWS tahun 2011 yang diselenggarakan oleh PPWS,
Workshop Pendidikan “Guru & Tanggung Jawab Profesional Pendidikan” tahun
2013 yang diselenggarakan oleh PPWS, WorkShop Pendidikan “The Art of
Teaching” tahun 2013 diselenggarakan oleh PPWS, Seminar Pendidikan “Room
Management” tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pondok
Pesantren (FKPP), Pelatihan Sertifikasi Guru Pengajar Metode Ummi tahun 2015
yang diselenggaran oleh UMMI Foundation.