MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM
MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DENGAN PENDEKATAN REALISTIK (PMR)
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009
(135-146)
Setianingsih, Model dan Strategi Siswa
MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM
MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DENGAN PENDEKATAN REALISTIK (PMR)Rini Setianingsih
(Dosen Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya,
e-mail:[email protected])Abstract,This study investigated
how grade 2 children learn mathematical concepts using realistic
approach. A contextual problem involving multiplication was given
to the students. Then, the researcher analysed the students
strategies in solving such a contextual problem. A fullday school
(SD Al Hikmah) was used as the setting of the research, and
involved 32 students of grade 2. The childrens self-developed
models were assessed through studentswork on the student activity
sheet, and also through observing the teaching and learning
process. An analysis of performance, misconceptions and errors made
by the students was achieved through an in-depth analysis of group
work. The results suggested that the majority of students were able
to solve the contextual problem, employed various models and
strategy, while two groups of students engaged in formal method.
Kata Kunci: pendekatan PMR, matematika SD, perkalian, model,
strategi
Pembelajaran matematika, pada dasarnya merupakan usaha membantu
siswa mengonstruksi pengetahuan melalui proses (Marpaung, 1999).
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bruner bahwa mengetahui
adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai
dari pengalaman, dan selanjutnya pengetahuan dibangun dari
pengalaman tersebut. Informasi dari pengalaman disaring, disusun
dan disimpan dalam memori (Romberg & Carpenter, 1992).
Menurut Soedjadi (2000), salah satu faktor yang penting untuk
mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar mengajar yang
dilaksanakan. Untuk itu, siswa harus diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan yang harus
dimiliki, karena pemberian kesempatan kepada siswa merupakan suatu
strategi agar siswa berinteraksi dalam kelompok belajarnya (Cobb,
Wood & Yackel, 1992).
Latar belakang budaya juga mempunyai kontribusi terhadap
terjadinya interaksi dalam pembelajaran. Dalam budaya Indonesia,
khususnya budaya Jawa, siswa yang pandai biasanya mempunyai
karakteristik: pendiam, penurut, jarang protes pada guru.
Akibatnya, siswa tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya di kelas,
kurang aktif dalam pembelajaran, sehingga kurang dapat
mengoptimalkan potensinya. Pembelajaran yang terjadipun cenderung
satu arah. Marpaung (1995) melaporkan bahwa sebagian besar siswa
pada sejumlah Sekolah Dasar di Jogjakarta takut pada matematika.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa guru matematika kurang percaya
diri dan jarang tersenyum, sehingga situasi kelas tidak
memungkinkan terjadinya interaksi, dan siswa tidak mempunyai
kesempatan untuk mengkomunikasikan penyelesaian yang mereka
dapatkan.
Salah satu pendekatan yang memberikan banyak kesempatan kepada
siswa untuk mengonstruk pengetahuannya sendiri, sekaligus mendorong
terjadinya interaksi adalah Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR), yang dikembangkan di Belanda pada tahun 1970-an (Treffers,
1991). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa 'students ...
see meaning in schoolwork when they connect ... information with
... their own experience' (siswa mengetahui makna dalam pekerjaan
sekolah ketika mereka mengaitkan informasi dengan pengalaman mereka
sendiri) (Johnson, 2002). Selanjutnya Johnson mengatakan bahwa
dalam PMR, guru perlu mengaitkan dunia siswa dengan dunia ide-ide
matematika. Ditinjau dari perspektif psikologi, ini berkaitan
dengan teori Lave tentang situated learning, yang menyatakan bahwa
pengetahuan perlu dipresentasikan dalam konteks autentik, yang
berbeda dengan sebagian besar aktivitas belajar di kelas yang
meliputi pengetahuan yang abstrak dan di luar konteks.
Gravemeijer (1999) mengatakan bahwa PMR menekankan pentingnya
konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan
matematika oleh siswa sendiri. Masalah kontekstual dijadikan titik
pangkal dalam pembelajaran matematika (Gravemeijer,1994). Dalam
memecahkan masalah kontekstual yang diberikan, diharapkan akan
terjadi interaksi, baik antara siswa dengan siswa, siswa dan guru
maupun antara siswa dan sumber belajar. Interaksi dapat menyebabkan
timbulnya refleksi, yang perlu bagi pencapaian pemahaman yang lebih
tinggi. Streefland (1991) mengidentifikasi lima karakteristik PMR,
yaitu: (1) Sumber konsep adalah realitas; (2) Siswa diberi
kesempatan menjadi pengonstruk (constructors), sehingga secara
aktif berkontribusi terhadap proses belajar; (3) Proses belajar
harus interaktif sehingga dalam mengonstruk pengetahuan dari
kehidupan nyata, siswa berdiskusi dan berkolaborasi jika
diperlukan.; (4) Adanya keterkaitan antar materi (misalnya,
pecahan, rasio, dan proporsi), sehingga memungkinkan terjadinya
matematisasi horisontal dan vertikal; (5) Berbagai alat yang
digunakan dalam proses memahami matematika, simbol-simbol, diagram
dan model visual, seharusnya dihasilkan dari kebutuhan untuk
mendeskripsikan dan menggunakan apa yang ditemukan oleh siswa untuk
diri mereka sendiri.
Penelitian ini berupaya mengksplorasi kelima karakteristik di
atas dalam pembelajaran perkalian di kelas II Sekolah Dasar. Sebuah
masalah kontekstual diberikan kepada siswa, kemudian guru meminta
siswa untuk memecahkannya secara berkelompok. Hasil pekerjaan siswa
dipresentasikan di depan kelas oleh dua orang wakil kelompok,
sedangkan siswa yang lain menanggapi presentasi tersebut antara
lain dengan mengajukan pertanyaan, memperkaya jawaban teman yang
sedang presentasi, membandingkan jawaban, bernegosiasi, dan
melakukan matematisasi. Model-model (self-developed model) dan
strategi yang dihasilkan siswa akan dianalisis secara kualitatif.
Selain itu, jalannya pembelajaran (progress) di kelas juga akan
dideskripsikan.
Istilah model dan modeling (pemodelan) digunakan dalam berbagai
tujuan dalam banyak literatur, yang mencakup soal cerita, melakukan
simulasi matematika, menciptakan representasi situasi masalah, dan
menciptakan representasi psikologis internal pada saat
menyelesaikan suatu masalah tertentu (Gravemeijer,1999; Less &
Doerr, 2003; Romberg dkk., 2005; Doerr & English, 2003)
mendefinisikan model sebagai systems of elements, operations,
relationships, and rules that can be used to describe, explain, or
predict the behavior of some other familiar system (sistem elemen,
operasi, relasi, dan aturan yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan, menjelaskan atau meramalkan perilaku beberapa
sistem yang lain). Ditinjau dari perspektif ini, masalah pemodelan
merupakan situasi kompleks yang realistik, yang memungkinkan siswa
terlibat dalam berpikir matematis di luar pengalaman di sekolah,
sedangkan hasil yang diperoleh sering mencakup alat-alat (artifaks)
yang kompleks atau alat-alat konseptual yang dibutuhkan untuk
keperluan tertentu, atau untuk mencapai beberapa tujuan (Lesh &
Zawojewski, 2007).
Pemahaman dan perkembangan pengetahuan siswa tentang model-model
yang akurat seharusnya dianggap sebagai salah satu tujuan yang
penting dalam pendidikan matematika (Lesh & Sriraman, 2005).
Oleh karena itu, modeling perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah
dasar, dan bukannya baru diberikan di tingkat sekolah menengah.
Penelitian yang dilakukan oleh English (2006) dan English &
Watters (2005) menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar telah mampu
mengembangkan model-model mereka sendiri dan sanggup memaknai
situasi yang kompleks. Pendidikan matematika perlu memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap perkembangan kemampuan
pemodelan matematika pada anak-anak sekolah dasar, khususnya dengan
semakin meningkatnya penggunaan pemodelan di luar kelas (di
kehidupan sehari-hari siswa).Penggunaan istilah konstruktivisme
dapat menjadi ambigu, karena terdapat beberapa bentuk
konstruktivisme yang dideskripsikan dalam literatur. Good,
Wandersee & St. Julien (1993) menawarkan 15 kata sifat berbeda
yang dapat diletakkan di depan konstruktivisme untuk
mengklarifikasi maknanya: contextual, dialectical, empirical,
humanistic, information-processing, methodological, moderate,
Piagetian, post-epistemological, pragmatic, radical, rational,
realist, social, and socio-historical. Banyak di antara istilah di
atas yang berkaitan dengan konsep dan asumsi yang tumpang tindih
(overlapping), sedangkan yang lain mempunyai perbedaan yang cukup
besar. Semua bentuk konstruktivisme mempunyai ide tentang
pengetahuan yang dikonstruksi secara individual. Konstruktivisme
lemah (weak constructivism), sebagaimana pendapat Ernest (1996),
mengasumsikan bahwa individu mengonstruk pengetahuannya sendiri
(ide lokal), namun menerima eksistensi pengetahuan objektif (ide
global). Pada konstruktivisme radikal ditambahkan asumsi bahwa
pengetahuan individual berada dalam keadaan yang terus berubah,
atau re-evaluasi konstan dengan cara adaptasi dan evolusi. Dalam
pandangan ini, pikiran (mind) dicirikan sebagai pengetahuan yang
problematis (problematizing knowledge). Selanjutnya,
konstruktivisme sosial didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan
individual sama saja dengan pengetahuan sosial. Ini berarti bahwa
pengetahuan yang dikonstruk seorang individu adalah pengetahuan
yang dikonstruknya bersama masyarakat, sehingga menimbulkan suatu
metafor bersama (shared metaphor) antara metafor pengetahuan dan
konstruksi sosial terhadap makna (Ernest, 1996).Realistic
Mathematics Education (RME) dikembangkan di Belanda sejak 1971,
berdasarkan falsafah Hans Freudenthal bahwa matematika harus
diajarkan sebagai aktivitas manusia (mathematics as human
activity). Sejak tahun 2001 RME diujicobakan di Indonesia, dengan
nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), yang
merupakan pendidikan matematika sebagai hasil adaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME) yang telah diselaraskan
dengan kondisi budaya, geografi serta kehidupan masyarakat
Indonesia umumnya (Soedjadi, 2007).
Secara historis, karakteristik PMR terkait dengan pendapat Van
Hiele tentang tiga level belajar matematika (de Lange, 1996). Van
Hiele berasumsi bahwa proses belajar berjalan melalui tiga level,
yaitu: (1) seorang siswa mencapai level pertama dalam berpikir pada
saat siswa tersebut dapat memanipulasi karakteristik yang diketahui
dari suatu pola yang sudah dikenalnya; (2) pada saat siswa belajar
memanipulasi keterkaitan (interrelatedness) dari
karakteristik-karakteristik tersebut, maka ia telah mencapai level
kedua; (3) siswa akan mencapai level berpikir yang ketiga ketika ia
mulai memanipulasi relasi karakteristik yang hakiki.
Pembelajaran tradisional cenderung diawali dari level kedua atau
ketiga, sedangkan pendekatan realistik diawali dari level pertama
(Zulkardi, 1999). Dalam rangka memulai dari level pertama yang
berkaitan dengan fenomena yang sudah dikenal oleh siswa,
Freudenthal memperkenalkan didactical phenomenology bahwa belajar
seharusnya dimulai dari suatu masalah kontekstual. Selanjutnya,
dengan prinsip guided reinvention dan progressive mathematizations,
siswa dibimbing secara didaktis dan efisien dari satu level
berpikir ke level berpikir yang lain melalui matematisasi.
Kedua prinsip tersebut dan konsep self-developed models
(Gravemeijer, 1994) dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip desain
dalam teori pembelajaran topik tertentu dalam pembelajaran
matematika. Kombinasi dari tiga level berpikir Van Hiele (1957),
didactical phenomenology dari Freudenthal (1971) dan matematisasi
progresif dari Treffer (1985) menghasilkan lima karakteristik PMR
(de Lange, 1987, Gravemeijer, 1994), yaitu (a) Penggunaan masalah
kontekstual (kontekstual problem berperan sebagai penerapan dan
starting points bagi materi matematika yang akan dipelajari); (b)
Penggunaan model (perhatian diberikan pada model-model
perkembangan, skema dan simbolisasi, dan bukan pada aturan-aturan
matematika formal); (c) Penggunaan kontribusi siswa (kontribusi
besar dalam pembelajaran datang dari konstruksi siswa sendiri, yang
berproses dari metode yang informal menjadi metode yang lebih
formal dan baku); (d) Interaktivitas (negosiasi eksplisit,
intervensi, diskusi, kerja sama dan evaluasi antar siswa dan guru
merupakan unsur penting dalam suatu proses belajar yang
konstruktif, di mana strategi-strategi informal siswa digunakan
sebagai pengungkit (lever) untuk mendapatkan strategi-strategi
formal); (e) Keterkaitan (Intertwining of learning strands)
(pendekatan holistik mempunyai implikasi bahwa pengintegrasian
unit-unit matematika adalah esensial. Keterkaitan ini akan
memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah).
Dalam rangka menjadikan kelas sebagai suatu kesatuan, dapat
diterapkan bermacam-macam metode mengajar, mulai dari pengajaran
untuk seluruh kelas (whole-class teaching), tugas kelompok, dan
tugas individual. Setting kelas dapat berkontribusi pada kemajuan
siswa dalam menerapkan strategi-strategi matematika. Sebagai titik
awal adalah eksplorasi suatu masalah kontekstual yang dapat
dipecahkan dalam berbagai level pemahaman. Dengan berdiskusi dan
berbagi strategi penyelesaian di kelas, siswa yang pertama
memecahkan masalah dengan strategi yang panjang (longwinded
strategy) dapat mencapai level pemahaman yang lebih tinggi,
sehingga konsep matematika yang baru dapat dipahami.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1996), pembelajaran klasikal
(whole-class instruction) memegang peranan penting dalam PMR .
Belajar matematika merupakan suatu aktivitas sosial. Berdasarkan
ide ini, interaksi merupakan salah satu karakteristik utama dalam
PMR. Oleh karena itu, pembelajaran matematika seharusnya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berbagi strategi dan penemuan
(inventions) satu sama lain. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan
siswa lain dan mendiskusikan penemuan-penemuan tersebut, siswa
dapat memperoleh ide-ide untuk memperbaiki cara-cara mereka dalam
memecahkan masalah matematika.
Pendekatan PMR menekankan bagaimana siswa menemukan
konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui
dorongan masalah-masalah konteksual. Dalam menyelesaikan
masalah-masalah kontekstual tersebut siswa diarahkan dalam situasi
belajar mandiri, atau bekerja dalam kelompok kecil, yang mempunyai
anggota kelompok 3-9 orang. Verschaffel (1997) mengatakan bahwa
langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah adalah memahami situasi
masalah, membangun model matematika, menyusun model-model
matematika atau operasi dalam unsur-unsur soal yang diketahui,
interpretasi dan evaluasi hasil pekerjaan komputasi model dan
mengkomunikasikan hasil.
Situasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar pada pendekatan
realistik adalah sebagai berikut: (1) Menggunakan masalah
kontekstual untuk dipahami secara matematisasi; (2) Merumuskan
masalah-masalah dari situasi di luar atau di dalam matematika
dengan menemukan model-model matematika; (3) Mengembangkan dan
menggunakan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah dengan
konsep-konsep atau prosedur secara matematis; (4) Memeriksa dan
awalnya menginterpretasikan hasil yang mengacu pada situasi masalah
awalnya; (5) Menggeneralisasikan penyelesaian dan strategi untuk
situasi masalah baru (Treffers and Goffree, 1985).
Guru berfungsi sebagai fasilitator, artinya guru menyediakan
bermacam-macam masalah kontekstual tentang materi untuk mendorong
siswa akan proses menemukan konsep atau prosedur yang termuat di
dalamnya, sedangkan siswa mengurangi ketergantungan aktivitasnya
pada guru dalam menyelesaikan soal. Guru memfasilitasi proses
penemuan dalam situasi menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam
pertanyaan, rangsangan, motivasi dan sedikit petunjuk.
Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip
kunci dalam PMR, yaitu: (1) Guided reinvention/ progressive
mathematizing (penemuan terbimbing/ matematisasi progresif); (2)
Didactical phenomenology; dan (3) Self-developed model. Di dalam
PMR, model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri
oleh siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan
modelmodel (formal dan informal) yang telah diketahuinya. Dimulai
dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang
sudah dikenal siswa, kemudian ditemukan model-dari (model-of)
situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan
penemuan model-untuk (model-for) bentuk tersebut (bentuk formal
matematika), sehingga mendapatkan penyelesaian masalah tersebut
dalam bentuk pengetahuan matematika formal. Gravemeijer (1994)
menyebutkan bahwa siswa mempelajari matematika berawal dari tahap
situasi nyata, kemudian tahap referensi (pemodelan), tahap
generalisasi dan tahap formal matematika.
MetodeSubjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas II-E SD Al
Hikmah Surabaya, yang berjumlah 32 orang. SD Al Hikmah merupakan
salah satu SD mitra atau sekolah yang digunakan untuk ujicoba
penerapan PMRI di Surabaya sejak tahun 2001. Dalam penelitian ini
digunakan instrumen berupa Lembar Kerja Siswa yang memuat soal
kontekstual untuk materi perkalian, dan lembar pengamatan. Siswa
baru saja menyelesaikan materi penjumlahan. Proses pembelajaran
yang terjadi direkam dengan handycam dan kamera. Selanjutnya, data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Hasil dan PembahasanBerikut ini akan diuraikan jalannya proses
belajar mengajar di kelas penelitian. Pada awalnya, guru melakukan
apersepsi, dengan cara mengingatkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan operasi penjumlahan.
Selanjutnya guru memotivasi siswa untuk mengikuti materi yang akan
dipelajari pada hari tersebut. Dengan sangat menarik guru
memberikan masalah kontekstual kepada siswa, yang apabila
dituliskan adalah sebagai berikut: Untuk merayakan hari raya Idul
Fitri, Ibu akan membuat masakan istimewa yang membutuhkan bahan 12
ekor ayam. Ibu kemudian pergi ke pasar. Ternyata harga satu ekor
ayam adalah 25 ribu rupiah. Bantulah Ibu menghitung berapa harga
seluruh ayam itu. Jelaskan caramu memperoleh jawaban Materi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah materi perkalian, karena
siswa baru saja ulangan harian untuk materi penjumlahan, dan akan
mulai belajar perkalian. Masalah kontekstual yang diberikan
bertujuan untuk menggali strategi dan model apa saja yang digunakan
siswa untuk memecahkan masalah. Konteks yang digunakan adalah
berbelanja. Karena siswa belum mengenal bilangan ribuan, maka harga
ayam ditulis dalam 25 ribu, bukannya 25.000. Guru membagi siswa
menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4 orang (siswa
yang duduk dibangku berurutan ke belakang). Kemudian guru
membagikan kertas buram untuk corat-coret dan selembar kertas
manila. Siswa diberi waktu yang cukup untuk berdiskusi dengan teman
sekelompok, untuk memecahkan masalah kontekstual yang diberikan
guru. Guru juga berpesan bahwa setelah berdiskusi, setiap kelompok
harus menuliskan hasil diskusinya pada lembar kertas manila yang
sudah dibagikan guru.
Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar kelompok siswa
langsung menggunakan penjumlahan berulang. Hal itu terlihat pada
kertas coretan mereka. Namun, beberapa kelompok ternyata berubah
pendapat dan menggunakan berbagai model dan strategi lain untuk
memecahkan masalah. Akibatnya, diskusi kelompok berjalan sangat
dinamis. Walaupun mereka masih kelas II SD, namun mereka sudah
mampu memberikan saran dan pendapatnya kepada teman satu kelompok,
tanpa peduli ide-ide yang mereka kemukakan itu kurang masuk akal.
Foto-foto berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran bagaimana
para siswa belajar matematika di kelas.
Tampak bahwa kelompok 2 menggunakan penjumlahan berulang untuk
memecahkan masalah. Pada awalnya salah seorang anggota kelompok
mengusulkan untuk menggunakan perkalian (penyelesaian formal).
Siswa tersebut sudah mengenal perkalian karena diajari mamanya di
rumah. Namun, anggota kelompok yang lain tidak setuju karena memang
belum mengenal perkalian. Sesuai kesepakatan, mereka kemudian
menggunakan penjumlahan berulang. Masalah mulai muncul ketika hasil
penjumlahan berulang (275) ternyata tidak sama dengan hasil
perkalian (300). Setelah lama memikirkan dan mendiskusikan masalah
ini, sampailah mereka pada simpulan bahwa operasi penjumlahan yang
dilakukan masih kurang sekali lagi.
Pada Gambar 5, siswa menggunakan garis bilangan dan bilangan
loncat sebagai model penyelesaian. Para siswa bahkan mencari uang
yang harus dibayar untuk 24 ekor ayam, dan berhasil mendapatkan
jawaban 600. Pada Gambar 6, yang merupakan hasil kerja kelompok 4,
tampak bahwa siswa juga menggunakan strategi penjumlahan berulang.
Namun mereka sudah mengenal uang ribuan. Mereka menjumlahkan
keduabelas angka 5, menghasilkan 60, satuan 0 (nol) ditulis pada
hasil, sedangkan puluhan 6 (enam) disimpan di atas bagian puluhan,
kemudian dijumlahkan dengan keduabelas angka 2 (dua), menghasilkan
30. Jadi jawaban yang diperoleh adalah 300000 (catatan: penulisan
ketiga angka nol yang menyatakan ribuan ditambahkan
belakangan).
Langkah berikutnya, guru kemudian meminta perwakilan kelompok
untuk mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Para siswa
yang lain menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami kepada siswa
yang sedang presentasi. Dalam hal ini, peneliti menemukan fakta
yang memperkuat teori bahwa pembelajaran PMR melatih siswa untuk
berani bertanya, menjawab pertanyaan, menghargai pendapat orang
lain, melakukan negosiasi makna, dan menarik simpulan. Ini berarti
siswa berhasil mengonstruk pengetahuannya sendiri, dan sesuai
dengan falsafah konstruktivisme.
Ada sebagian kecil siswa yang nampak aktif melakukan
aktivitas-aktivitas di luar tugas, setelah berhasil menyelesaikan
tugasnya dengan waktu relatif singkat. Dengan mewawancarai mereka
secara tak terstruktur, peneliti mengetahui bahwa siswa-siswa
tersebut ada yang sudah mengenal perkalian dari luar sekolah, ada
yang diajari ibunya di rumah, ada yang tahu dari guru les, dan ada
yang sudah membaca buku suplemen matematika di rumah. Para siswa
tersebut tidaklah ribut di kelas, tetapi menghabiskan waktunya
dengan membaca buku bacaan. Yang menarik, kelompok siswa seperti
ini ternyata menggunakan strategi perkalian formal untuk memecahkan
masalah. Pada saat kelompok tersebut mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya, sebagian besar siswa kurang antusias mengikuti
jalannya pelajaran. Peneliti merasa bahwa para siswa hanya belum
siap mengakomodasi suatu cara baru dalam skema yang sudah ada dalam
pikiran mereka(existing schema), karena para siswa telah merasa
nyaman apabila menggunakan cara penjumlahan berulang. Selanjutnya,
sebagaimana dikatakan Griffin (1989), '...learning is a process of
maturation in the learner...' (belajar adalah suatu proses
pematangan siswa), sehingga guru perlu memberikan waktu yang cukup
kepada siswa untuk mengonstruksi konsep.Bekerja berpasangan,
bekerja kelompok, dan diskusi kelas merupakan komponen integral
dalam PMR. Siswa diminta bekerja dalam kelompok kecil yang terdiri
dari 4 (empat) orang yang duduk di bangku yang berdekatan
(muka-belakang). Hal ini mengacu kepada teori Vygotsky (1978)
tentang konstruktivisme sosial, yang menekankan bahwa interaksi
sangat penting bagi terjadinya proses belajar. Dalam penelitian
ini, teori tersebut dipakai secara ekstensif dalam pembelajaran.
Brookfield dan Preskill (1999) berpendapat bahwa diskusi dapat
menjadi sangat menyenangkan tetapi tak dapat diprediksi dan
beresiko, ibarat mendaki gunung (exciting but unpredictable and
risky ... the pedagogical equivalent of climbing a mountain).
Diskusi yang baik memerlukan guru yang terampil mengelola diskusi,
karena guru perlu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan ataupun
pancingan yang mungkin akan diperlukan dalam diskusi.
Berikut ini akan diuraikan secara deskriptif-kualitatif, hasil
analisis sehubungan dengan hasil pembelajaran matematika dengan
menerapkan pendekatan PMR, yaitu:
Pertama; Sangat tergantung pada cara mengajar guru; PMR sesuai
dengan falsafah pendekatan konstruktivis yang memberi penekanan
yang besar kepada siswa, dan perkembangan atau kemajuan yang
berbasis pada respon siswa. Guru harus menyeimbangkan perannya di
dalam kelas dan berupaya keras untuk memahami ide-ide siswa. Pada
saat yang sama, guru juga harus memberikan perhatian yang sama
besar terhadap terjadinya matematisasi pada siswa. Peneliti juga
menemukan bahwa meskipun konteks dalam PMR memungkinkan siswa lebih
mudah mencapai kemajuan ke arah penggunaan strategi yang lebih
kompleks, serta mempunyai pemahaman yang lebih mendalam, guru
kadang berada pada keadaan yang sulit dan memberikan terlalu banyak
'scaffolding' (bantuan) kepada siswa. Apalagi, memahami berbagai
respon siswa bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Berkaitan
dengan pendekatan konstruktivis dalam mengajar, Maher & Davis
(1990) menyatakan bahwa memahami ide-ide siswa bisa menjadi sangat
sulit dan menggarisbawahi bahaya yang terkait dengan
ketidaksesuaian antara jawaban siswa dan interpretasi guru. Banyak
strategi teoretis yang dikemukakan untuk mengatasi kesulitan ini,
yang secara khusus menekankan pada perlunya guru berupaya terus
menerus untuk memperoleh pemahaman tentang respon-respon siswa.
Meskipun demikian, strategi ini menimbulkan masalah dengan
manajemen waktu. Kedua; Adanya penolakan terhadap strategi formal;
Meskipun telah mempelajari strategi yang lebih formal untuk
memecahkan masalah, masih terdapat siswa yang menggunakan cara
coba-coba, bahkan berargumentasi bahwa tentang kelebihan cara
tersebut dibandingkan cara yang lain. Pada saat guru menambah
jumlah ayam yang akan dibeli (dari 12 ekor menjadi 24 ekor), ada
kelompok siswa yang masih tetap menggunakan penjumlahan berulang,
sehingga pengerjaannya menjadi panjang. Bahkan ada siswa yang
mengatakan, Ustadzah, pakai penjumlahan kan benar juga jawabannya.
Mengapa tidak boleh? Berdasarkan alasan seperti ini, guru
seharusnya memilih konteks yang dapat membantu siswa beralih dari
konsep dan prosedur matematika intuitif, mendorong mereka untuk
berpikir apakah konsep dan prosedur tersebut masuk akal, dan
membimbing mereka untuk membuat hubungan antara konsep dan prosedur
matematika intuitif dan formal Lampert, 1986). Reeuwijk (2001)
mengungkap bahwa kemajuan ke arah strategi yang lebih canggih
tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketiga; Penggunaan konteks
memikat dan memotivasi siswa; Wooton (1997) menyarankan, Ketika
memulai pelajaran, penting bagi guru untuk menangkap perhatian
siswa dengan suatu pendahuluan yang menarik dan dipresentasikan
dengan memikat. Penggunaan konteks dalam PMR terbukti sangat
bermanfaat bagi konstruksi pengetahuan oleh siswa di dalam kelas,
dan inilah salah satu kelebihan PMR (Reeuwijk, 1992). Keempat; PMR
dapat mengakomodasi berbagai gaya belajar; Penggunaan model dalam
PMR memberikan suatu proses visual dalam mengerjakan matematika,
yang memberikan akses terhadap siswa yang memiliki gaya belajar
visual dan kinestetik di kelas, sedangkan dorongan yang diberikan
kepada siswa untuk berbagi strategi informal memberikan akses
kepada siswa yang bergaya belajar auditori. Gardner (1993) percaya
bahwa PMR dapat melayani berbagai gaya belajar, termasuk Kecerdasan
Ganda seperti yang dikemukakan Gardner. Kelima; Kekurangmampuan
dalam berkomunikasi/menyatakan pendapat merupakan hambatan dalam
mencapai kemajuan; Respon/jawaban siswa memainkan peranan penting
dalam kelas yang menerapkan pendekatan PMR. Ketika siswa sudah
memahami sesuatu atau ingin menyarankan suatu strategi, peneliti
mencatat bahwa kesulitan dalam menyampaikan pendapat dapat
menghambat partisipasi siswa. Guru harus jeli dalam mengatasi hal
ini. Keenam; Perbedaan/diferensiasi sulit dilakukan; Dalam PMR
terdapat penekanan terhadap prinsip bahwa 'strategi siswa
didasarkan pada apa yang masuk akal bagi mereka
(http://www.nwshropshire-eaz.org.uk). Selain itu, penggunaan
strategi informal didorong melalui pemilihan problem yang dilakukan
secara cermat, yang didesain agar semua siswa memberikan respon.
Semua siswa diharapkan mampu bernalar secara matematis. Oleh karena
itu, aktivitas-aktivitas pembelajaran dalam PMR dirancang agar
terdiri dari berbagai level sedemikian hingga siswa yang pandai
dapat dengan cepat mengalami kemajuan ke arah materi yang lebih
mendalam, sementara siswa yang mengalami kesulitan dapat
menggunakan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas
belajar. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa diferensiasi
masih sulit dilakukan. Hal ini terlihat dalam diskusi kelompok,
yaitu ketika siswa yang sudah memahami konsep atau strategi
mengalami kebosanan, sedangkan siswa yang lain sedang mencoba
memahami konsep yang dipelajari. Dalam penelitian ini, siswa-siswa
jenis ini tidak membuat keributan di kelas, tetapi menghabiskan
waktunya dengan membaca buku bacaan. Hal ini sangat memungkinkan
untuk dilakukan karena di kelas penelitian terdapat rak buku bacaan
yang berfungsi sebagai perpustakaan kelas.Simpulan dan
SaranSebagian besar kelompok siswa menggunakan model dan strategi
penjumlahan berulang untuk memecahkan masalah. Adapun model dan
strategi lain yang digunakan siswa adalah garis bilangan, bilangan
loncat, pengelompokan, dan perkalian formal. Terdapat satu kelompok
siswa yang sudah mengenal uang ribuan sehingga mereka menuliskan
jawabannya dalam bentuk 300000 dan bukannya 300 ribu. Hal ini
membuktikan bahwa apabila konsep matematika dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari siswa, akan menghapus
dinding/batas-batas pemahaman konsep yang selama ini ditetapkan,
yakni bahwa siswa kelas II belum sampai pada bilangan ratusribuan.
Peneliti berpendapat, inilah salah satu kelebihan pendekatan
PMR.
Bagi siswa yang langsung menggunakan perkalian formal, peneliti
maupun guru perlu meneliti lebih jauh apakah mereka benar-benar
telah memahami konsep, ataukah sekadar mengetahui algoritma yang
diajarkan oleh orangtua ataupun guru lesnya. Guru perlu
mempersiapkan pertanyaan atau petunjuk kecil untuk melakukan
scaffolding apabila diperlukan. Hal ini mendukung pendapat yang
mengatakan bahwa apapun pendekatan pembelajaran yang dipilih, peran
guru di dalam pembelajaran tidak akan pernah tergantikan.Datar
AcuanBrookfield, S.D.& Preskill, S. 1999. Discussion As a Way
of Teaching. San Francisco: Jossey-Bass, Inc.Brown, A. L. 1992.
Design experiments: theoretical and methodological challenges in
creating complex interventions in classroom settings. Journal of
the Learning Sciences 2, 141-178.Cobb, P., Confrey, J., di Sessa,
A., Lehrer, R. & Schauble, L. 2003. Design experiments in
educational research. Educational Researcher, vol.32 (1),
9-13.Cobb, P., Wood, T., and Yackel, E. 1992. Classroom as Learning
Environments for Teaching and Research. Journal for Research in
Mathematics Education. Monograph, Number 4, 1992, 125-146.Davis,
R.B., Maher, C.A., & Noddings, N. 1990. Constructivist Views on
the Teaching and Learning of Mathematics. Reston: National Council
of Teachers of Mathematics.De Lange, J. 1996. Using and Applying
Mathematics in Education. In: A.J. Bishop, K. Clements, Ch. Keitel,
J. Kilpatrick and C. Laborde (eds). International Handbook of
Mathematics Education, Part One, 49-97. Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers.De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight and Meaning.
Utrecht: OW&OCDoerr, H.M. & English, L.D. 2003. A modeling
perspective on students mathematical reasoning about data. Journal
for Research in Mathematics Education, vol.34 (2), 110-136.Doerr,
H.M., & Tripp, J.S. 1999. Understanding how students develop
mathematical models. Mathematical Thinking and Learning, 1(3),
231-254.English, L.D. 2006. Mathematical Modeling in the Primary
School: Childrens Construction of a Consumer Guide. Educational
Studies in Mathematics, 63(3), 303-323.English, L.D., &
Watters, J.J. 2005. Mathematical modeling in the early school
years. Mathematics Education Research Journal, 16 (3), 58
79.Ernest, P. 1996. Varieties of constructivism: A framework for
Comparison. In L.P. Steffe, P. Nesher, P. Cobb, G.A Goldin, and B.
Greer (Eds.). Theories of Mathematical Learning. Nahwah: Lawrence
Erlbaum. Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.Gardner, H. 1993. Multiple
Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic Books.Good,
R.G., Wandersee, J.H., & St. Julien, J. 1993. Cautionary notes
on the appeal of the new "ism" (constructivism) in science
education. In K. Tobin (Ed.). The practice of constructivism in
science education. Hillsdale: Lawrence Erlbaum.Gravemeijer, K.P.E.
1999. How emergent models may foster the construction of formal
mathematics. Mathematical Thinking and Learning, 1,
155-177.Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing Realistic Mathematics
Education. Utrecht: Freudenthal Institute.Griffin, P. 1989,
Teaching takes place in time, learning takes place over time.
Mathematics Teaching, 126, 12-13.
Hiebert, J., & Lefevre, P. 1986. Conceptual and procedural
knowledge in mathematics: An introductory analysis. In J. Hiebert
(Ed.), Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of
Mathematics,1-27. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.Johnson, E.B.
2002. Contextual Teaching and Learning: What it is and why its here
to stay. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc.Lesh, R., & Doerr,
H.M. (Eds.). 2003. Beyond constructivism: Models and modeling
perspectives on mathematics problem solving, learning and teaching.
Mahwah: Lawrence Erlbaum.Lesh, R. & Sriraman, B. 2005.
Mathematics education as a design science. ZDM: The International
Journal on Mathematics Education, 37 (6), 490-505.Lesh, R., &
Zawojewski, J. S. 2007. Problem Solving and Modeling. In F. Lester
(Ed.), Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and
Learning. Greenwich: Information Age Publishing.Marpaung, Y. 1999.
Mengejar Ketertinggalan Kita dalam Pendidikan Matematika,
Mengutamakan Proses Berpikir dalam Pembelajaran Matematika.
Makalah. Disampaikan dalam Upacara Pembukaan Program S3 Pendidikan
Matematika Universitas Negeri Surabaya, tanggal 10 September
1999.Marpaung, Y. 1995. Pendekatan RANI untuk Pendidikan Matematika
di Sekolah Dasar. Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar, nomor 2
tahun I, hal. 33-51. Edisi Khusus. Jakarta: Bagian Proyek
Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Ditjen Dikti
Depdikbud.Nickson, M. 2000. Learning and Teaching Mathematics, New
York: Cassell Education.Romberg, T.A. and Carpenter, T.P. 1992.
Research on Teaching and Learning Mathematics: Two Disciplines of
Scientific inquiry. Douglas A. Grouws (Ed). In Handbook of Research
on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan
Publishing Company.Sabandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Kegiatan Pelatihan
Penatar Guru Matematika SLTP di Kampus Unesa, Juni
2001.Setianingsih, R.; Lukito, A., Lukito; Sutinah. 2005.
Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik di
Sekolah-sekolah Ujicoba PMRI di Surabaya. Hasil Penelitian yang
dibiayai dari dana DIPA UNESASoedjadi, R. 1999/2000. Kiat
Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar PMRI, FMIPA
Universitas Negeri Surabaya.Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual
sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan
Matematika Sekolah (PSMS) Unesa. Streefland, L. 1991. Realistic
Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal
Institute.Treffers, A. 1991. Realistic Mathematics Education in The
Netherlands 1980-1990. In L. Streefland (Ed.), Realistic
Mathematics Education in Primary School. Utrecht: CD-B Press /
Freudenthal Institute. Treffers, A., and Goffree, F. 1985. Rational
analysis of realistic mathematics education the Wiskobas program.
In L. Streefland (ed.), Proceedings of the Ninth International
Conference for the Psychology of Mathematics Education, Vol. II,
97-121. Utrecht: OW&OC.Tyas Ing Kalbu. Pendidikan Anak Usia
Dini: Jangan Dibatasi Namun Diarahkan. Kompas, 6 Februari 2009,
Hal. E. Inspiratorial Pendidikan.Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1999.
Mathematics Education in the Netherlands: A Guided Tour. Utrecht:
Freudenthal Institute.Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1996. Assessment
and Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal
Institute. Verschaffel, L. 1997. Young childrens strategy choices
for solving elementary arithmetic wor(l)d problems: the role of
task and context variables. In M. Beishuizen, K. Gravemeijer &
E. Van Lieshout (Eds.), The role of contexts and models in the
development of mathematical strategies and procedures, 113-126.
Utrecht: Freudenthal Institute.Yetkin, E. 2003. Student
Difficulties in Learning Elementary Mathematics. ERIC/CSMEE
(Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental
Education). http:// www.ericse.org// Diakses tanggal
9-9-2008.Zulkardi. 1999. How to design lesson based on the
realistic approach. Available on line at
[http://www.geocities.com/ratuilma/rme.html]. Diakses 4 Juni
2005.
Gambar 1. Siswa berupaya memecahkan masalah kontekstual yang
diberikan dengan cara berdiskusi kelompok.
Gambar 2. Siswa mendiskusikan cara memecahkan masalah
kontekstual yang diberikan guru.
Gambar 3 dan 4. Pada awalnya kelompok 2 menggunakan strategi
perkalian formal, namun kemudian mereka juga menyelesaikannya
dengan penjumlahan berulang.
Gambar 5. Siswa menggunakan strategi bilangan loncat untuk
menyelesaikan masalah.
Gambar 6. Siswa menggunakan strategi penjumlahan berulang. Siswa
juga sudah mengenal uang ribuan.
Gambar 7. Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui,
ditanyakan, dan jawaban, serta simpulan, atau yang lebih dikenal
dengan istilah memakai cara bagi siswa kelas II SD pada
umumnya.
Gambar 8. Siswa mampu menentukan harga 12 ekor ataupun 24 ekor
ayam menggunakan perkalian formal. Namun, mereka ternyata juga
menggunakan model pengelompokan seratusan sehingga diperoleh
jawaban 300 dan 600.
1
146145