BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kontroversi kebijakan lindung nilai (hedging) sempat memenuhi surat kabar dan layar kaca pada pertengahan tahun 2014 kemarin. Hal tersebut bermula dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013 yang menunjukkan adanya kenaikan utang luar negeri berdenominasi dollar AS dari Rp1,981 triliun pada tahun 2012, menjadi Rp2,375 triliun pada tahun 2013, atau naik sebesar Rp393 triliun. Sekitar 41,43% dari kenaikan utang tersebut, atau setara dengan Rp163,24 triliun, merupakan kerugian selisih kurs yang disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Menurut BPK, kerugian akibat selisih kurs tersebut dapat dihindari apabila instansi pemerintah yang memiliki pinjaman luar negeri dengan mata uang asing melakukan transaksi lindung nilai atau hedging.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kontroversi kebijakan lindung nilai (hedging) sempat memenuhi surat kabar dan
layar kaca pada pertengahan tahun 2014 kemarin. Hal tersebut bermula dari hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Tahun 2013 yang menunjukkan adanya kenaikan utang luar negeri berdenominasi dollar
AS dari Rp1,981 triliun pada tahun 2012, menjadi Rp2,375 triliun pada tahun 2013, atau
naik sebesar Rp393 triliun. Sekitar 41,43% dari kenaikan utang tersebut, atau setara
dengan Rp163,24 triliun, merupakan kerugian selisih kurs yang disebabkan melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Menurut BPK, kerugian akibat selisih kurs tersebut
dapat dihindari apabila instansi pemerintah yang memiliki pinjaman luar negeri dengan
mata uang asing melakukan transaksi lindung nilai atau hedging.
Hedging merupakan salah satu instrumen manajemen risiko yang telah lazim
digunakan di industri keuangan. Mekanisme pelaksanaan transaksi lindung nilai dalam
pengelolaan hutang pemerintah telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor
12/PMK.08/2013 dan Peraturan Menteri BUMN Nomor 09/MBU/2013. Sementara itu,
mekanisme transaksi lindung nilai dari segi perbankan telah diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013.
Sebagai instrumen manajemen risiko, hedging mampu melindungi suatu entitas
dari risiko kerugian akibat fluktuasi nilai tukar mata uang. Namun, tidak tertutup
kemungkinan nilai tukar yang di sepakati pada waktu kesepakatan kontrak hedging
ternyata lebih mahal dibandingkan nilai tukar spot saat pelunasan utang, sehingga entitas
mengalami kerugian akibat selisih kurs. Dalam ranah keuangan negara, selisih tersebut
dapat disalahtafsirkan sebagai kerugian negara dan dapat berimplikasi hukum bagi
pejabat terkait. Hal ini menimbulkan keraguan pemerintah dalam pengambilan kebijakan
terkait transaksi lindung nilai.
Keraguan tersebut dapat dipahami mengingat praktik hedging di Indonesia masih
jarang dilakukan. Perbedaan persepsi antar entitas pemerintah mengenai kebijakan
hedging sangat mungkin terjadi. Hal tersebut menjadi alasan BPK mengadakan rapat
koordinasi dengan Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Gubernur BI, Kapolri, Kejaksaan
Agung, KPK, dan BPKP untuk membahas mengenai perlindungan nilai atas utang
pemerintah.
Rapat koordinasi yang dimotori oleh BPK tersebut menunjukkan bahwa
pelaksanaan hedging atas utang pemerintah telah menjadi suatu kebutuhan, apalagi nilai
mata uang rupiah beberapa bulan terakhir sangat tidak stabil dan cenderung melemah.
Jika tak segera menerapkan kebijakan lindung nilai, dikhawatirkan utang luar negeri
pemerintah akan membengkak dan menyebabkan jebolnya APBN saat jatuh tempo
pelunasan utang. Akan tetapi, benarkah hedging merupakan langkah yang paling tepat
untuk mengatasi fluktuasi nilai tukar? Atau justru akan menimbulkan kerugian negara
yang lebih besar?
Kontroversi kebijakan lindung nilai atas utang pemerintah sangat menarik untuk
dibahas. Konsep hedging memang bukanlah hal yang asing di pasar keuangan swasta.
Tapi harus kita akui, pelaksanaan hedging merupakan hal yang baru dalam ranah
keuangan negara. Tak hanya isu kerugian negara, pemilihan teknik hedging yang tepat
juga menjadi permasalahan utama.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menyusun makalah
berjudul “Transaksi Lindung Nilai (Hedging) Sebagai Instrumen Manajemen Risiko
Dalam Kebijakan Utang Pemerintah” ini. Tujuan penulisan makalah ini adalah
memahami Melalui makalah ini, pembaca diharapkan mendapatkan tambahan
pengetahuan mengenai transaksi hedging sehingga dapat turut serta mengawasi
pelaksanaan kebijakan lindung nilai yang dilakukan pemerintah atas utang luar negeri
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana Konsep Transaksi Lindung Nilai (Hedging) Sebagai Instrumen Manajemen
Risiko Dalam Kebijakan Utang Pemerintah ?
3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memahami konsep konsep transaksi hedging dan
mekanisme pelaksanaannya terkait dengan manajemen utang pemerintah.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
1: Kurs Transaksi USD Tahun 2012-2014
Selama lima tahun terakhir, posisi utang pemerintah dalam mata uang rupiah selalu di atas
50% dari keseluruhan utang. Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah yang mengutamakan
pinjaman dalam negeri selama beberapa tahun terakhir. Walaupun begitu, posisi utang
pemerintah dalam mata uang USD masih cukup besar, yaitu berkisar di antara 20-28% selama
enam tahun terakhir, yang artinya Indonesia masih rentan terhadap risiko nilai tukar.
Saat menerima pinjaman luar negeri dalam valuta asing, nilai utang maupun jumlah cicilan
utang yang harus dibayarkan pemerintah sangat tergantung pada kurs saat jatuh tempo. Jika mata
uang rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang asing yang bersangkutan saat jatuh tempo,
jumlah mata uang rupiah yang dibutuhkan untuk melunasi hutang dalam mata uang asing akan
menjadi lebih banyak. Untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan kurs mata
uang asing tersebut, pemerintah dapat melakukan lindung nilai atas hutang luar negerinya.
Bank Indonesia mendefinisikan lindung nilai sebagai cara atau teknik untuk mengurangi
risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar
keuangan. Sementara itu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.08/2013, transaksi
lindung nilai didefinisikan sebagai transaksi yang dilakukan oleh Pemerintah dengan
Counterparty dalam rangka mengendalikan risiko fluktuasi beban pembayaran bunga dan
kewajiban pokok utang, dan/atau melindungi posisi nilai utang, dari risiko yang timbul maupun
yang diperkirakan akan timbul akibat adanya volatilitas faktor-faktor pasar keuangan.
Transaksi lindung nilai telah lazim digunakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang
ekspor-impor atas hutang valuta asingnya. Mereka melakukan perjanjian dengan bank atau
lembaga keuangan yang menyediakan jasa lindung nilai untuk membeli mata uang asing yang
diinginkan di masa depan pada tingkat kurs yang telah disepakati.
Transaksi lindung nilai bukannya tidak mengandung risiko. Mungkin saja kurs yang telah
disepakati dengan Counterparty lebih tinggi dari kurs spot mata uang saat jatuh tempo. Namun,
selisih yang timbul akibat perbedaan kurs beli dengan kurs spot seharusnya tidak dianggap
sebagai ‘kerugian’ atau ‘keuntungan’, melainkan diperlakukan sebagai biaya atau pendapatan
atas proses manajemen risiko.
Walaupun segala biaya yang timbul akibat transaksi lindung nilai, termasuk di antaranya
kerugian selisih kurs, menjadi beban APBN dan tidak dianggap sebagai kerugian negara, bukan
berarti pemerintah boleh mengambil kebijakan lindung nilai secara serampangan. Pemerintah
harus melakukan perhitungan proyeksi nilai tukar di masa mendatang secara hati-hati sehingga
dapat memilih teknik lindung nilai yang paling tepat.
Menurut Jeff Madura dalam bukunya yang berjudul International Financial Management,
terdapat empat metode hedging yang dapat digunakan untuk melindungi nilai hutang, yaitu