I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di da rat dan laut.Wilayah
pesisir mencakup wilayah pasang surut (intertidal dan subtidal)
pada dan di atas continental shelf (hingga kedalaman 200 meter)
yang langsung bergabung dengan daratan.Wilayah ini merupakan
wilayah yang secara rutin tergenang oleh air laut. Kenaikan muka
air laut akibat perubahan iklim global diprediksi akan menyebabkan
meluasnya wilayah genangan banjir di wilayah pesisir.Banjir
merupakan aliran atau ketinggian air yang sangat ekstrem yang
terjadi pada sungai, danau, waduk, dan tubuh air lainnya, dimana
air menggenangi wilayah di luar wilayah tubuh air itu
sendiri.Banjir juga dapat terjadi ketika muka air laut mengalami
kenaikan yang ekstrem atau di atas daratan pesisir yang disebabkan
oleh pasang air laut dan gelombang tinggi.Di banyak wilayah di
seluruh dunia, banjir merupakan fenomena yang paling banyak
menimbulkan kerusakan yang berpengaruh terhadap kondisi sosial dan
ekonomi penduduk.Rob terjadi karena pengaruh tinggi-rendahnya
pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya gravitasi dan juga
terjadi akibat adanya fenomena iklim global yang ditandai dengan
peningkatan temperatur rata-rata bumi dari tahun ke tahun. Lapisan
ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar matahari sehingga
bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global,
sehingga menyebabkan lapisan es di kutub utara dan antartika
mencair. Akibatnya, permukaan permukaan laut air global naik.
Berdasarkan data rata-rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,6
C, sejak akhir abad 19 sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan
akan naik sekitar 1,4-5,8C. Di pantai utara Jawa Tengah, luasan
abrasi sudah mencapai 5.500 hektar yang tersebar di 10
kabupaten/kota. Salah satu daerah yang mengalami abrasi cukup parah
adalah pantai di Kecamatan Sayung, Demak. Di daerah tersebut
permasalahan yang terjadi cukup berat khususnya menyangkut
penurunan fungsi lahan dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan
air laut di kawasan tambak seluas 582,8 ha yang selama lima tahun
ini tergenang dan kemudian hilang.Banjir Rob dan abrasi yang
terjadi di Kecamatan Sayung, Demak merupakan implikasi dari
berbagai proses alam mulai dari perubahan iklim, kenaikan muka air
laut, dan land subsidance yang membuat wilayah kecamatan sayung
menjadi terendam air dan hilang. Oleh sebab itu, di perlkan suatu
kajian atau studi lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah
kecamatan sayung dan mencari penyelesaian masalah tersebut dengan
mitigasi ataupun adaptasi yang dapat diterapkan di Kecamatan
Sayung, Demak.1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penyelesaian laporan ini antara lain :
1. Dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko
pada suatu wilayah pengamatan.2. Dapat melakukan analisa dengan
strategi adaptasi dan mitigasi yang efektif dalam menjawab
permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini bagi penulis adalah dapat
mengetahui nilai suatu potensi bahaya, kerentanan suatu daerah dan
resiko serta dapat menganalisa bagaimana tindakan yang harus di
ambil sebagai langkah dari mitigasi dan adaptasi suatu daerah dalam
menyelesaikan permasalahan pada suatu wilayah yang memiliki nilai
kerentanan dan resiko yang tinggi.II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Lokasi PengamatanSalah satu wilayah di Pantai
Utara Jawa Tengah yang paling parah mengalami abrasi adalah pantai
di Kecamatan Sayung Demak. Lebih dari 300 Ha selama lebih dari 5
tahun terakhir ini tergenang saat air laut pasang. Di wilayah
pantai tersebut terdapat 4 desa yang terancam bahaya abrasi, yaitu
Desa Bedono, Desa Surodadi, Desa Sriwulan dan Desa Timbulseloko.
Desa yang saat ini mengalami kerusakan paling parah adalah Desa
Bedono, bahkan dua dusun di desa itu kini telah tenggelam akibat
rob yaitu Dusun Senik dan Dusun Tambaksari, menyusul Dusun
Pandansari yang terancam tenggelam. Jika tidak segera ditangani,
dikhawatirkan pada beberapa tahun mendatang air rob akan sampai
pada jalur Pantura Semarang Demak (Bappeda Demak, 2000).Kecamatan
Sayung terletak berbatasan dengan Kecamatan Genuk Semarang di
sebelah baratnya sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Mranggen , disebelah utara Laut Jawa dan sebelah timur
Kecamatan Karagtengah. Kecamatan Sayung memiliki luas 7.222 ha
(8.05 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Demak) yang
terdiri dari 854 tanah sawah dan 6.368 ha tanah kering. Jumlah
penduduk Kecamatan Guntur adalah sekitar 93.453 jiwa yang terdiri
dari 45.624 jiwa laki-laki dan 47.929 jiwa perempuan ( Bappeda
Demak, 2011).Kerusakan yang terjadi di Kecamatan Sayung tersebut,
terjadi akibat gelombang laut yang mengakibatkan menurunnya fungsi
lahan yang ada pada daerah pantai tersebut. Ditambah lagi akibat
reklamasi pada pantai Semarang, pengambilan air tanah yang
berlebihan, tidak adanya normalisasi Sungai Babon, serta warga
sekitar yang melakukan penebangan mangrove secara berlebihan untuk
dijadikan kayu arang (Bappeda Demak, 2000).2.2. Pasang SurutPasang
surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap
massa air laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang
surut adalah 2,2, kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari
(Triatmodjo, 1999). Menurut Setiadi (1988) dalam Fadillah et al
(2014), pasang surut adalah perubahan gerak relatif dari materi
suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan
oleh aksi gravitasi benda-benda di luar materi itu berada.Pasang
surut atau pasut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi
gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi
terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Faktor non astronomi yang
mempengaruhi pasut te rutama di perairan semi tertutup (teluk)
antara lain adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan
(Siswanto, 2010).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan
efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar
pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa
tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan
lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali
lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang
surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari
ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan
matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut
gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut
ditentukan oleh deklinasi, sedangkan sudut antara sumbu rotasi bumi
dan bidang orbital bulan dan matahari (Gross, 1987 dalam Arifin,
2012). 2.3 Gaya Pembangkit Pasang Surut
Gaya-gaya pembangkitan pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik
menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya
pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem
bumi-bulan; sedangkan untuk sistem bumi-matahari penjelasannya
adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa permukaan bumi,
yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara
merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar) (Triatmodjo,
1999).
Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik
menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya
pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem
bumi-bulan sedang sistem bumi-matahari penjelasannya adalah
identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang
apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara merata
oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)
(Triadmojo,1999).
Pariwono dalam Nanda (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa
dari semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan
pasang surut air laut, hanya matahari dan bulan yang sangat
berpengaruh melalui tiga gerakan utama yang menentukan paras / muka
air laut di bumi ini. Ketiga gerakan itu adalah :
1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips
dan memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya.
2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk
elips juga dan periode yang diperlukan 365.25 hari.
3. Perputaran bumi terhadap sumbunya dan waktu yang diperlukan
24 jam (one solar day). Rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut
namun mempengaruhi muka air pasang surut.
Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa
lebih tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi
karena pengaruhnya yang seragam di sepanjang garis lintang yang
sama, sehingga tidak bisa diamati sebagai suatu variasi pasang
surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut.
Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap bahwa bumi tidak
berrotasi (Triatmodjo, 1999). Perkataan pasang surut biasanya
dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara
berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda
angkasa terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi
(Pariwono, 1989).2.4 Tipe Pasang Surut
Perairan laut memberikan respon yang berbeda terhadap gaya
pembangkit pasang surut, sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan
di sepanjang pesisir. Menurut Dronkers (1964) dalam Rampengan
(2009), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu :
1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu
satu kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut
sekitar khatulistiwa.
2. Pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi
dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.
3. Pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2,
bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya
bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum,
terbentuk pasut diurnal.
Gambar 2.1 Kurva Tipe Pasut (Triatmodjo, 1999).Sedangkan untuk
di Indonesia sendiri terbagi menjadi empat tipe:
1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air
surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi
secara berurutan secara teratur . Periode pasang surut adalah 12
jam 24 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di selat Malaka sampai
laut Andaman.
2. Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal Tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air
surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut
tipe ini terjadi di perairan selat karimata.
3. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide
Prevailing Semidiurnal)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air
surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini
banyak terdapat di perairan Indonesia timur.
4. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed Tide
Prevailing Diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan
satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan
periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di
selat Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.
Gambar 2.2 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia
(Triatmodjo, 1999).Dilihat dari pola gerakan muka lautnya,
pasang-surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis yakni
pasang-surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda
(semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Jenis harian tunggal
misalnya terdapat di perairan sekitar selat Karimata, antara
Sumatra dan Kalimantan. Pada jenis harian ganda misalnya terdapat
di perairan Selat Malaka sampai ke Laut Andaman. Di samping itu
dikenal pula campuran antara keduanya, meskipun jenis tunggal
maupun gandanya masih menonjol. Pada pasang-surut campuran condong
ke harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) misalnya
terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian timur.
Sedangkan jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide,
prevailing diurnal) contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan
dan pantai utara Jawa Barat. Pola gerak muka air pada keempat jenis
pasang-surut yang terdapat di Indonesia diberikan (Triatmodjo,
1999).2.5 Mean Sea Level (MSL)Kenaikan muka air laut merupakan
fenomena naiknya muka air laut akibat pertambahan volume air laut.
Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu
fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus.
Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut
air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti
yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka
air laut yang direpresentasikan dengan SLR (sea level rise)
dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian thermal (thermal
expansion) sehingga volume air laut bertambah. Selain itu,
mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi
terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut
bisa menyebabkan berkurangnya atau mundurnya garis pantai,
mempercepat terjadinya erosi pantai berpasir, banjir di wilayah
pesisir, dan kerusakan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir
seperti dermaga, dan bangunan pantai lainnya. Hal ini semakin lama
akan semakin mengganggu masyarakat yang tinggal di wilyah pesisir
(Liyani. 2012).Geoid adalah bidang equipotensial gaya berat bumi
yang diasumsikan berhimpit dengan permukaan laut rata-rata (MLR)
yang tidak terganggu (Welenhof dan Moritz 2006 dalam Affandi dkk.
2012). Kegunaan dari geoid adalah sebagai acuan referensi tinggi.
Pentingnya sebuah referensi tinggi tersebut tidak lepas dalam
pengembangan suatu wilayah, terutama dalam hal pembangunan
infrastruktur. Muka laut rata - rata (MLR) atau duduk tengah adalah
permukaan laut rata-rata yang dihitung dalam periode waktu
tertentu. Nilai MLR yang dianggap terbaik yaitu nilai pengamatan
yang dilakukan selam 18,6 tahun. Karena muka laut rata-rata
dianggap mendekati bentuk dari model geoid, sehingga nilai dari MLR
dapat digunakan sebagai sebuah acuan referensi tinggi. Kedudukan
serta nilai muka laut rata-rata setiap saat selalu berubah-ubah.
Perubahan naik turun inilah yang disebut dengan perubahan muka air
laut (sea level rise). Sea level rise (SLR) adalah peningkatan
volume air laut yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti
fluktuasi curah hujan yang tinggi serta meningkatnya suhu air laut.
Beberapa faktor tersebut diduga terjadi karena adanya perubahan
iklim secara global. Jika berbicara tentang perubahan iklim secara
global, tentu saja hal tersebut tidak lepas dari pengaruh pemanasan
global (global warming). Efek yang timbul akibat global warming
yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, baik darat, alut ataupun
atmosfer, yang mengakibatkan salah satunya yaitu mencairnya gunung
es di daerah kutub. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan muka air laut (Affandi dkk. 2012).
2.6 Land Susidence (Penurunan Tanah)Penurunan muka tanah (land
subsidence) merupakan fenomena yang sedang dikaji di beberapa
negara, termasuk Indonesia. Penurunan muka tanah dapat menyebabkan
beberapa masalah, seperti rusaknya struktur bangunan, peningkatan
daerah resapan air laut dan peningkatan area banjir. Fenomena ini
dapat disebabkan oleh beberapa proses baik alamiah seperti
pemampatan sedimen maupun non-alamiah seperti ekstraksi air tanah,
minyak bumi, gas atau pertambangan bawah tanah (Moh. Fifik
Syafiudin dan R.S. Chatterjee, 2009).
Turunnya permukaan tanah yang terakumulasi selama rentang waktu
tertentu akan dapat mencapai besaran penurunan hingga beberapa
meter lebih (Galloway dkk., 1999) sehingga dampaknya dapat merusak
infrastruktur perkotaan yang kemudian dapat saja menjadi gangguan
terhadap stabilitas perekonomian dan kehidupan sosial di wilayah
tersebut. Definisi penurunan muka tanah berdasarkan beberapa
referensi dapat didefinisikan sebagai berikut: terjadi pada skala
regional yaitu meliputi daerah yang luas atau terjadi secara lokal
yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini biasanya
disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya
terjadi di daerah yang berkapur atau turunnya kedudukan permukaan
tanah yang disebabkan oleh kompaksi tanah (Wei, 2006).
Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang mengalami
perkembangan dan pertumbuhan kota yang pesat. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya peningkatan laju pembangunan di kota tersebut. Dengan
perkembangan ini, tentunya akan menimbulkan masalah baru yaitu
penurunan muka tanah. Semarang terbentuk dari endapan alluvial yang
terdiri dari material berukuran lempung dan pasir. Lapisan
pembentuk tersebut berumur muda (sekitar 10.000 tahun) yang
memiliki derajat kompaksi rendah sehingga masih memungkinkan
tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan penurunan muka tanah.
Selain itu pengambilan air tanah secara besar-besaran mengakibatkan
kekosongan di ruang bawah tanah dan ditambah juga dibebani dengan
pembangunan gedung-gedung baru. Penurunan muka tanah tidaklah
fenomena baru di Semarang. Dampak dari fenomena ini dapat dilihat
dari adanya perluasan area banjir dan peningkatan daerah resapan
air laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh JICA bekerja
sama dengan Direktorat Geologi Tata Guna Lingkungan dan UNDIP pada
tahun 2011 tentang penurunan muka tanah di Semarang menunjukkan
bahwa Semarang mengalami penurunan muka tanah sebesar 1 cm/tahun -
10 cm/tahun (Kahar, 2011).2.7 Banjir dan Banjir Genangan
(Rob)Banjir adalah bencana alam yang membuat banyak penduduk
menderita. Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang
letaknya di sepanjang pantai utara pulau jawa. Banjir dari tinjauan
ekologis merupakan peristiwa fisik yang terjadi di lingkungan hidup
manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia (Khadiyanto dalam
Wahyudi. 2007).
Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saliran
tidak dapat menampung air sehingga meluap. Terjadi banjir dapat
pula disebabkan oleh pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan,
banjir genangan ini biasa disebut rob. Air laut masuk melalui
sungai sungai pada saat pasang dan selanjutnya mengalir ke
pemukiman setelah melewati drainase. Rob adalah kejadian / fenomena
alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada waktu air laut
mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui sungai,
saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena
dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang
dapat menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut
air laut. Sedangkan yang di akibatkan oleh kegiatan manusia
misalnya karena pemompaan air yang berlebihan, pengerukan alur
pelayaran, reklamasi dan lain-lain (Wahyudi. 2007).2.8 Perubahan
Iklim
Pemanasan global sudah bukan lagi merupakan masalah masa depan,
tetapi sudah menjadi masalah yang sedang kita hadapi sekarang.
Hasil penelusuran terhadap database bencana alam intenasional
(International Disaster Database) menunjukkan bahwa banyak bencana
alam yang masuk ke dalam kategori bencana global ialah sebanyak 345
bencana (Boer dan Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil
kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007)
bahwa pemanasan global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas
kejadian iklim ekstrim.
Penelitian tentang pengaruh pemanasan global terhadap perubahan
musim di pulau Jawa sudah dilakukan oleh Naylor dkk. (2007) dalam
Efendi (2012). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam 40
tahun mendatang, terjadinya pemanasan global akan menyebabkan awal
musim hujan di Jawa Tengah akan mengalami kemunduran sedangkan
akhir musim hujan akan lebih cepat yang berarti lama musim hujan
akan semakin pendek. Di lain pihak curah hujan musim hujan akan
cenderung meningkat sedangkan curah hujan musim kemarau cenderung
menurun. Hal ini berimplikasi pada semakin meningkatnya risiko
kekeringan pada musim kemarau dan risiko banjir atau bahaya longsor
pada musim hujan. WWF (2007) dalam effendi (2012) menyatakan
perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai
potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin
tinggi, seperti : banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran
vektor penyakit. Sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil
dapat terjadi potensi bencana seperti : kekeringan, gagal panen,
kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang
mungkin timbul.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara
global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit)
sejak 1861. Pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas
manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC
memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat
1,1 hingga 6,4 C (2,0 hingga 11,5 F) antara tahun 1990 dan 2100.
(IPCC, 2007). Kondisi ini akan mengakibatkan iklim tetap terus
menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah
dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap berada di
atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007). Dampak dari pemansan
global (Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi,
evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang
sangat fluktuatif secara keseluruhan mengancam keberhasilan
produksi pangan. Kajian terkait dampak perubahan iklim pada bidang
pertanian oleh National Academy of Science/NAS (2007), menunjukkan
bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh
adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh
Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya
sudah ditengarai sejak tahun 1990-an. Department for International
Development (DFID), badan dari pemerintah Inggris yang mengurusi
bantuan pembangunan untuk negara-negara lain) dan World Bank (2007)
melaporkan rata-rata kenaikan suhu per tahun sebesar 0,3 derajat
celsius. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan suhu yang luar biasa
mencapai 1 derajat celsius. Indonesia diprediksi akan mengalami
lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun.
Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan
semakin pendek, dan meningkatkan risiko banjir. Iklim selalu
berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim
akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman,
tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang
berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah
secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas
merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang
sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi).
Menurut Trenberth, Houghton dan Filho (1995) dalam Ditjen.
Penataan Ruang - Dekimpraswil, 2002), iklim selalu berubah menurut
ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk
pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun
siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus,
aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara
berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.
Perubahan iklim akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan
sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya.
2.9 Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Kenaikan muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise
(SLR) merupakan peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh
faktor-faktor kompleks. Sea level rise asal mulanya merupakan
rangkaian proses pasang surut air laut. Namun, saat ini semakin
tingginya muka air laut bukan lagi hanya karena proses dari pasang
surut air laut, tetapi juga pengaruh dari perubahan iklim global.
Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak
puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air
laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang
lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya
bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun, kemudian dari tahun 1900,
permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun dan tahun 1992 satelit
altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut
sebesar 3 mm/tahun. Tinggi muka laut diseluruh dunia telah
meningkat 10-25 cm selama abad 20. Apabila separuh es di Greenland
dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut di
dunia rata-rata setinggi 6-7 meter.
Naiknya muka laut (Sea level rise) merupakan salah satu
permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara pantai
atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu
diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir,
karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai serta
dapat mengganggu aset-aset penduduk, mengganggu perkembangan
ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk
yang mendiami wilayah-wilayah rentan di sepanjang pesisir.SLR
diduga disebabkan oleh isu perubahan iklim. Perubahan iklim
menyebabkan peningkatan temperatur secara global sehingga memicu
fluktuasi curah hujan yang tinggi dan meningkatnya suhu air laut
yang menyebabkan terjadinya pemuaian terhadap volume air laut
sehingga massa air laut berubah dan meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian IPCC (2001), salah satu penyebab
terbesar dalam kenaikan muka air laut adalah peningkatan temperatur
air laut. Hal tersebut karena temperatur kedalaman laut berubah
secara perlahan sehingga kenaikan temperatur akan terus berlanjut
sampai beberapa abad ke depan walaupun konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer stabil. Selain itu, mencairnya glasier pegunungan dan
tutupan es juga diprediksikan akan menjadi penyebab utama kenaikan
muka air laut.
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi Pengamatan
Materi yang digunakan dalam laporan ini meliputi data yang di
butuhkan yang meliputi data tabel potensi bahaya dan tabel
kerentanan pantai yang akan dijadikan sebagai bahan acuan dalam
menentukan potensi resiko daerah pengamatan.3.2 Waktu dan Lokasi
PengamatanHari, Tanggal
: Senin, 08 Juni 2015
Waktu Pelaksanaan: Pk 10.00-13.00 WIBTempat
: Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten
Demak3.3 Alat dan BahanAlat dan bahan yang digunakan dalam
laporan ini meliputi beberpa alat dan bahan mulai dari alat untuk
membantu memperoleh data lapangan dan juga dalam analisa yang
meliputi :Tabel 1. Alat dan Bahan
No Nama Alat / Bahan
Fungsi
1Tabel Potensi Bahaya
Sebagai penentu potensi bencana
suatu wilayah2Tabel Kerentanan Pantai
Sebagai penentu kerentanan suatu
wilayah3Alat tulis
Sebagai media pencatatan4Kamera
Sebagai alat dokumentasi3.4 Metode Pengambilan DataDalam
pengumpulan data, dilakukan survey primer dan survey sekunder.
Survei primer terdiri dari observasi langsung ke wilayah pengamatan
(Foto kondisi eksisting) dan wawancara stakeholders, yang mana
telah didapatkan beberapa stakeholders untuk wawancara yang
didapatkan melalui analisis stakeholders. Survei sekunder hanya
terdiri dari survei instansi dan wawancara. 3.5 Metode Pengolahan
Data
Untuk menghasilkan mitigasi bencana banjir rob maka diperlukan
beberapa tahapan analisis, adapun tahapan analisis tersebut adalah
sebagai berikut :
Analisis Potensi BahayaAnalisis potensi bahaya ini menggunakan
acuan dari tabel variabel potensi bahaya dimana kita harus
mengamati keadaan suatu wilayah yang diamati dengan acuan pada
variabel-variabel yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)
Setelah menentukan kekuatan potensi bahaya berdasarkan
variabel-variabel yang tertera pada tabel 2, maka kita harus
mengklasifikasikan potensi bahaya tersebut untu mengetahui kelas
atau tingkat potensi bahaya yang ada pada daerah pengamatan
berdasarkan pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008) Analisis Kerentanan
PantaiAnalisis kerentanan pantai ini menggunakan acuan dari tabel
variabel kerentanan pantai dimana kita harus mengamati keadaan
suatu wilayah yang diamati dan mengkaji hasil wawancara dengan
acuan pada variabel-variabel yang tertera pada tabel 4.Tabel 4.
Variabel-Variabel Kerentanan Pantai
(Sumber: Ministry For Environment New Zeland Goverment, 2008,
2007, dimodifikasi 2008)Setelah menentukan kerentanan pantai
berdasarkan variabel-variabel yang tertera pada tabel 4, maka kita
harus mengklasifikasikan kerentanan pantai tersebut untu mengetahui
kelas atau tingkat kerentanan pantai yang ada pada daerah
pengamatan berdasarkan pada tabel 5.Tabel 5. Klasifikasi
Perhitungan Kerentanan Pantai
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008) Analisis Resiko Setelah
mengetahui nilai dari suatu potensi bahaya dan kerentanan pantai,
langkah berikutnya yaitu menganalisis resiko yang diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut:
Kemudian langkah terakhir yaitu mengklasifikasikan nilai suatu
resiko suatu wilayah berdasarkan pada tabel 6:Tabel 6. Kelas
Resiko
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN4.1 Hasil
Analisa Potensi BahayaTabel 7. Variabel-Variabel Perhitungan
Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil Pengamatan
Tabel 8. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan
Hasil Pengamatan
Potensi Bahaya = Klasifikasi / variabel = (3+3+3) / 3 = 3
Analisa Kerentanan Pantai
Tabel 9. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai Berdasarkan Hasil
Pengamatan
Tabel 10. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai Berdasarkan
Hasil Pengamatan
Potensi Bahaya = Klasifikasi / variabel = (3+3+3+3+3+3+3+2) / 8
= 2.875
Analisa Resiko
Metode Perhitungan
Resiko = = 1.714Tabel 11. Kelas Resiko Berdasarkan Hasil
Pengamatan
Tabel 12. Hasil Perhitungan Resiko NoWilayah AdministrasiPotensi
BahayaKerentanan PantaiResikoKelasDeskripsi
1Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak32.751.7141.5
-2.1Tinggi
4.2 PembahasanSetelah melakukan survei dan menganalisis hasil
survei menggunakan analisa potensi bahaya, kerentanan dan resiko
dapat kita ketahui bahwa Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten
Demak memiliki Potensi Bahaya yang tinggi dengan nilai 3 (tiga),
Nilai Kerentanan pantai dengan nilai 2.875 masuk kategori besar dan
nilai resiko dengan nilai 1.714 yang masik kategori resiko
tinggi.
Pada dasarnya Desa Bedono dapat digolongkan memiliki potensi
bahaya yang tinggi karena geomorfologi daerah ini berupa lumpur dan
di tumbuhi oleh mangrove yang hidup di sekitar pesisir pantai.
Kemudian di ketahui juga dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa
wilayah ini juga mengalami erosi yang tinggi beserta perubahan
elevasi muka air laut relatif sebesar 7.7 mm/tahun. Hal ini di
perparah dengan adanya penurunan muka tanah atau land subsidence
dimana sepanjang pesisir utara pulau jawa mengalaminya dengan
intensitas jalan utama berada di sekitar pesisir dilewati oleh
kendaraan bermuatan tinggi dan juga penggunaan air tanah yang
sanggat tinggi di kota semarang juga turut menyumbangkan dampak
penurunan muka tanah di sekitar wilayah ini sehingga warga terpaksa
untuk meniinggikan rumahnya 10 cm/tahun untuk mencegah rumahnya
tertimbun oleh lumpur.Lalu untuk analisa nilai kerentanan pantai
yang tergolong tinggi dengan nilai 2.875 dimana nilai tersebut
terdapat pada rentang angka 2.1-3.0 (golongan tinggi). Hal ini
terlihat dari berbagai variabel yang di survei hampir semuanya
memiliki nilai yang tinggi dimulai dari perpindahan penduduk.
Melalui hasil wawancara dengan penduduk setempat, diketahui bahwa
Desa Bedono dahulu memiliki 70 KK (kepala keluarga) yang tinggal di
daerah itu jika kita asumsikan 1 KK terdapat 5 anggota keluarga
maka total penduduk awal pada Desa Bedono ada sekitar 350 penduduk.
Namun sekarang jumlah penduduk yang tersisa di wilayah survei di
dalam desa Bedono hanya tinggal 5 KK saja atau kurang lebih sekitar
25 penduduk. Kemudian dapat dilihat pula adanya tiang-tiang listrik
yang terendam oleh air laut dimana membuktikan bahwa pada wilayah
tersebut dulu merupakan ruas-ruas jalan yang saat ini sudah
tenggelam dan tidak terlihat lagi. Bagian terakhir ialah analisa
resiko yang ketahui dari hasil analisa kerentanan dan potensi
bahaya dan dapat di klasifikasikan bahwa Desa Bedono termasuk desa
yang memiliki resiko tinggi karena memiliki nilai resiko sebesar
1.714 dimana nilai tersebut terdapat pada rentang angka 1.5-2.1
(golongan tinggi). Dan nilai itu didapat dari perhitungan dengan
nilai masukan berasal dari nilai potensi bahaya dan nilai analisa
kerentanan pantai dari hal ini dapat kita ketahui bahwa daerah Desa
Bedono memerlukan penanganan khusus berupa perencanaan tata kelola
wilayah yang baik.Usaha mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan
mempertegas garis sepadan pantai dan melakukan penanaman mangrove
sebagai tembok pertama yang menahan pasang air laut dan sekaligus
melakukan penghijauan untuk memperlambat proses global warming yang
berkaitan dengan perubahan iklim global. Melakukan penataat wilayah
lingkungan pesisir yang sesuai untuk menghadapi bahaya banjir rob
dan abrasi pantai. Adapun usaha adaptasi yang bisa diterapkan di
wilayah di sekitar Desa Bedono ada 3 opsi yang bisa dilakukan yaitu
mengakomodir seluruh tempat tinggal penduduk Desa Bedono dengan
meninggikan rumah mereka ataupun menjadikan rumah mereka rumah
panggung yang berada di atas permukaan air selanjutnya yang kedua
adalah membangun tembok laut atau Sea Wall yang melindungi garis
pantai agar air pasang tidak masuk ke wilayah penduduk dan yang
terakhir adalah merelokasi rumah penduduk dari daerah rawan terkena
banjir rob. Dari ketiga opsi tersebut opsi terakhir sangat tidak di
sarankan mengingan bahwa kondisi Desa Bedono yang berdekatan dengan
Kota Semarang yang sudah padat dimana tidak tersedia cukup lahan
untuk merelokasi seluruh penduduk Desa Bedono. Adapun yang menurut
saya solusi yang tepat diterapkan adalah dengan Membangun Sea Wall
di wilayah desa. Hal ini akan lebih effektif karena
mempertimbangkan tingkat kenaikan muka air laut karena perubahan
iklim dan kenaikan muka air laut (SLR) yang setiap tahunnya terus
bertambah dan di perparah dengan penurunan muka tanah. Hal ini yang
sangat penting di perhitungkan karena jika hanya mengakomodir
lama-lama daerah tersebut juga akan tetap hilang karena tenggelam
dan tidak dapat berfungsi dengan effektif. V. KESIMPULAN5.1
KesimpulanBerdasarkan survei dan analisa yang telah dilakukan pada
kegiatan praktikum mitigasi di Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten demak dapat disimpulkan bahwa Desa Bedono memiliki
tingkat potensi bahaya yang tinggi dengan dengan nilai 3 (tiga)
dari skala 1-3, Nilai Kerentanan pantai dengan nilai 2.875 masuk
kategori besar dan nilai resiko dengan nilai 1.714 yang masik
kategori resiko tinggi. Adapun usaha Mitigasi yang dapat di
terapkan di wilayah desa bedono dapat berupa penanaman mangrove
untuk menjadi tembok pertama menahan abrasi air laut dan
memperbanyak ruang terbuka hijau untuk memperlambat proses
pemanansan global yang berdampak pada perubahan iklim. Lalu untuk
usaha adaptasi yang di sarankan adalah dengan melakukan
perlindungan berupa membangun tembok laut atau Sea Wall yang
melindungi pesisir pantai. Usaha ini di anggap paling effektif
karena menimbang tingkat kenaikan muka air laut yang terus
bertambah dan penurunan muka tanah (land subsidence) terus
bertambah.5.2 SaranPerlu dilakukan penelitan atau praktikum lebih
lanjut untuk mendapatkan berbagai parameter yang diperlukan untuk
memperkuat hasil analisa potensi bahaya dan kerentanan pantai agar
lebih valid dan kedepannya bisa menjadi sebuah data berkala yang
dapat memantau atau monitoring serta menggambarakan perubahan tata
ruang wilayah untuk pertimbangan usaha mitigasi dan adaptasi Desa
Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.DAFTAR PUSTAKAAffandi,
Ikhsan Dwi., Muhamad Taufik. 2012. Analisa Perubahan Muka Air Laut
(Sea Level Rise) Terkait Dengan Fenomena Pemanasan Global (Global
Warming) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Jurnal
Teknik Pomits Vol. 1Anonim. 2007. US Geological Survey (USGS).
Open-File Report.
Arifin, Taslim. 2009. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan
Pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Depik, 1(3): 183-188
Desember 2012. ISSN 2089-7790.Ariyanto, Shodiq Eko. - .Kajian
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Kacang Hijau
(Phaseolus Radiatus L.) Di Lahan Kering. ISSN : 1979-6870Bappeda
Kabupaten Demak. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak
Tahun 2011 - 2031. Demak: Bappeda Kabupaten Demak.Boer, Rizaldi dan
Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate
change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA
Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In
South East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And
Institutional Aspects, 13-15 February 2008, Bali, , diakses tanggal
23 Juni 2015.
Ditjen. Penataan Ruang Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, 2002. Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan
Kawasan Budidaya, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow
dengan Departemen Pertanian, Jakarta, 23 Juni 2015.Efendi,
Muchtar., Henna Rya Sunoko., Widada Sulistya. 2012. Kajian
Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Daerah
Aliran Sungai (Studi Kasus Sub Das Garang Hulu). Jurnal Ilmu
Lingkungan. Volume 10 Issue 1: 8-18 (2012) Issn 1829-8907
Fadillah, et al. 2014. Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air
Rencana Perairan Laut Kabupaten Bengkulu Tengah Menggunakan Metode
Admiralty. Maspari Journal, 2014, 6 (1), 1-12. ISSN: 2087-0558.
Galloway, D., Jones, D.R., dan Ingebritsen, S.E. 1999. Land
Subsidence in The United States. US Geological Survey, New York,
1182, 1-15.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate
change 2001. Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of
Working Group II to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University
Press. Cambridge, UK.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate
Change 2007, The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
United Kingdom and New York, USA Panel on Climate Change.:
Cambridge University Press.
Kahar, Sutomo. 2011. Dampak Penurunan Tanah dan Kenaikan Muka
Laut Terhadap Luasan Genangan Rob di Semarang. Semarang : Program
Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.
Liyani., Kriyo Sambodho., Suntoyo. 2012. Analisa Perubahan Garis
Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten
Tuban. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1, Hal:1-5Ministry for the
Environment, Climate Change Response Act 2002, 2008.
https://www.mfe.govt.nz/laws/climate.html (Diakses pada 24 Juni
2015).
Ministry for the Environment, Review of Climate Change Policy,
t.t.
http://www.mfe.govt.nz/publications/climate/policy-review-05/policy-review-05-1.pdf
(Diakses pada 25 Juni 2015).Nanda, Nurisman. 2012. Karakteristik
Pasang Surut di Alur Pleayaran Sungai Musi Menggunakan Metode
Admiralty. 110-115 Maspari 4(1). ISSN: 2087-0558.
Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and
Burke, M.B. 2007. Assessing risks of climate variability and
climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the
National Academic of Science. 114:7752-7757.
Pariwono, I., John, 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Makalah.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Jakarta.
Rampengan, Royke. 2009. Pengaruh Pasang Surut di Teluk Manado.
Jurnal Perikanan dan Kelautan 5 (3): 15-19. ISSN: 1411-9234.
Siswanto, Dwi Aries et al. 2010. Analisa Stabilitas Garis Pantai
di Kabupaten Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 15 (4) 221-230.
ISSN 0853-7291.Stocker, Thomas F.; et al.7.5.2 Sea Ice. Climate
Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I
to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses
pada 23 Juni 2015.
Syafiudin, Moh. Fifik dan R.S. Chatterjee. 2009. Potensi
Pemanfaatan Teknologi Differential Interferometric Synthetic
Aperture Radar (DInSAR) Berbasis Satelit Untuk Pemantauan Penurunan
Muka Tanah Di Cekungan Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 No.
1 : 47-58.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta
Offset.Yogyakarta.Wahyudi. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang
Surut Terhadap Banjir dan Rob di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek.
Vol. I No1 November 2007, Hal : 27-34
Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In
Shanghai. Master Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.
Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence,
Prediction, and Control. Elsevier Science Publishing Company INC,
Netherland.World Wildlife Fund (WWF). 2007. Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Pengelolaan DAS Citarum. WWF Indonesia. Jakarta
LAMPIRAN
NoKoordinatGambarKeterangan
1110o2831,539-6o5650,799Saat SurutSaat Pasang
2110o2928,409-6o5725,849Kondisi makam/kuburan yang terkena
dampak kenaikan muka air laut
3110o2847,700-6o5656,639Kondisi tiang listrik yang terendam air
laut dimana dapat diketahui bahwa dulu merupakan area daratan
411002831,650
-605652,669Sisa bangunan yang merupakan bekas rumah penduduk
yang saat ini kondisinya telah dijadikan dermaga nelayan
5110o2932,419
-6o565,132Kondisi perbedaan rumah yang sudah melakukan
peninggian dan yang belum
611002831,531
-605650,799Sisa bangunan permanen yang saat ini kondisinya
tinggal puing-puingnya saja di sekitar wilayah mangrove
711002242,080
-60597,930Kondisi rumah yang selalu ditinggikan tiap tahun untuk
beradaptasi dari suatu kondisi perairan
811002834,780
-605657,080Breakwater yang mengitari kawasan desa Bedono
911002831,650
-605652,669Kondisi kawasan konservasi mangrove
1011003120,669
-605613,000Kondisi jalan menuju wilayah konservasi mangrove dan
desa tertinggal yang mulai tergenang air laut
1111002918,619
-605648,139Kondisi rumah yang terkena dampak kenaikan muka air
laut
12110o2931,873
-6o5624,153Kondisi salah satu rumah yang telah terendam air laut
saat pasang
1311003119,845
-605620,166Kenampakan kenaikan muka air laut saat menjelang
pasang
1411002918,324
-605611,016Kondisi sebuah sekolah dasar di Desa Benono yang
hampir tergenang air laut