Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal… Jurnal Inada Vol.1 No.1, Juni 2018, 26-54 26 Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal di Jawa Timur: Perspektif Feminis Mita Yesyca Universitas Kristen Indonesia Abstrak: Di tingkat global, nasional dan daerah, perempuan dipandang sebagai agen pembangunan. Ibarat ‘sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui,’ program pemberdayaan ekonomi perempuan khususnya di pedesaan atau daerah-daerah tertinggal diyakini mampu membawa dampak positif terhadap perempuan itu sendiri, keluarga atau rumah tangganya, perekonomian daerah setempat hingga perekonomian nasional. Studi pustaka ini hendak meninjau kembali keyakinan tersebut. Dengan menunjukkan interaksi antara gender dan ketimpangan ekonomi dalam hidup laki-laki dan perempuan di daerah-daerah tertinggal, khususnya di Jawa Timur, simpulan dari tulisan ini adalah bahwa program-program yang menitikberatkan pada pelibatan perempuan pedesaan agar dapat membuka akses mereka terhadap pasar belum tentu memberdayakan perempuan pedesaan dalam artian mentransformasi posisi mereka yang timpang terhadap keutamaan laki-laki dalam ekonomi. Pemberdayaan yang transformatif inilah yang sudah seharusnya tetap menjadi agenda pembangunan daerah-sensitif gender. Kata Kunci: Perempuan, Daerah Tertinggal, Jawa Timur, Pembangunan, Pemberdayaan Abstract: At the global, national and local levels, women are seen as the development agent. It’s like ‘once rowing, two or three islands are passed,’ women’s economic empowerment programs, especially in rural or underdeveloped areas are believed to be able to bring positive impact on women themselves, their families or households, local economies and national economies. This literature study wants to take a further look at the notion. By showing the interaction between gender and economic inequality in men and women’s lives in underdeveloped areas, especially in East Java, the conclusion of this paper is that programs that focus on rural women’s involvement in order to enable their access to the markets are not necessarily empowering women in the sense of transforming their unequal position against men’s preeminence in the economy. Such transformative empowerment should become an agenda for local development—a gender sensitive one. Key Words: Women, Underdeveloped Area, East Java, Development, Empowerment Korespondensi Penulis: Mita Yesyca, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia Jl. Mayjen Sutoyo No. 2, Cawang, Jakarta Timur. E-mail: [email protected]
29
Embed
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah ... · ketidaksetaraan: negara maju dengan negara berkembang, perkotaan dengan pedesaan, kawasan elit dan kawasan kumuh, laki-laki
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada Vol.1 No.1, Juni 2018, 26-54
26
Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal di Jawa Timur: Perspektif Feminis
Mita Yesyca Universitas Kristen Indonesia
Abstrak: Di tingkat global, nasional dan daerah, perempuan dipandang sebagai agen pembangunan. Ibarat ‘sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui,’ program pemberdayaan ekonomi perempuan khususnya di pedesaan atau daerah-daerah tertinggal diyakini mampu membawa dampak positif terhadap perempuan itu sendiri, keluarga atau rumah tangganya, perekonomian daerah setempat hingga perekonomian nasional. Studi pustaka ini hendak meninjau kembali keyakinan tersebut. Dengan menunjukkan interaksi antara gender dan ketimpangan ekonomi dalam hidup laki-laki dan perempuan di daerah-daerah tertinggal, khususnya di Jawa Timur, simpulan dari tulisan ini adalah bahwa program-program yang menitikberatkan pada pelibatan perempuan pedesaan agar dapat membuka akses mereka terhadap pasar belum tentu memberdayakan perempuan pedesaan dalam artian mentransformasi posisi mereka yang timpang terhadap keutamaan laki-laki dalam ekonomi. Pemberdayaan yang transformatif inilah yang sudah seharusnya tetap menjadi agenda pembangunan daerah-sensitif gender.
Kata Kunci: Perempuan, Daerah Tertinggal, Jawa Timur, Pembangunan, Pemberdayaan
Abstract: At the global, national and local levels, women are seen as the development agent. It’s like ‘once rowing, two or three islands are passed,’ women’s economic empowerment programs, especially in rural or underdeveloped areas are believed to be able to bring positive impact on women themselves, their families or households, local economies and national economies. This literature study wants to take a further look at the notion. By showing the interaction between gender and economic inequality in men and women’s lives in underdeveloped areas, especially in East Java, the conclusion of this paper is that programs that focus on rural women’s involvement in order to enable their access to the markets are not necessarily empowering women in the sense of transforming their unequal position against men’s preeminence in the economy. Such transformative empowerment should become an agenda for local development—a gender sensitive one.
Key Words: Women, Underdeveloped Area, East Java, Development, Empowerment
Korespondensi Penulis: Mita Yesyca, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia Jl. Mayjen Sutoyo No. 2, Cawang, Jakarta Timur. E-mail: [email protected]
dibanding 54,34). Satu kabupaten tertinggal yang tersisa mempunyai tingkat partisipasi
sekolah berdasarkan jenis kelamin yang variatif; di mana jenjang SD/MI dan SMA/MA
mempunyai tingkat partisipasi sekolah laki-laki yang lebih tinggi dibanding perempuan,
tetapi di jenjang SMP/MTS tingkat partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dibanding
laki-lakinya. Perbandingan tingkat partisipasi sekolah laki-laki dan perempuan di
Kabupaten Sampang: SD/MI (100 dibanding 99,70), SMP/MTs (90,91 dibanding 97,37),
dan SMA/MA (55,68 dibanding 53,92).
Data tingkat partisipasi sekolah menurut jenis kelamin di empat kabupaten
tertinggal di atas menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan.
Bahkan di Kabupaten Bangkalan yang tingkat partisipasi sekolah perempuannya
tertinggi hingga ke jenjang SMA/MA di antara keempat kabupaten tertinggal (56,77),
jumlah ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk perempuan di sana
tidak melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat SMA/MA. Tingkat pendidikan
perempuan ini berbanding lurus dengan jumlah perkawinan usia anak (kurang dari 17
tahun) di empat kabupaten. Berdasarkan data persentase perempuan Jawa Timur usia
10 tahun ke atas yang kawin di bawah umur menurut kabupaten/kota tahun 2009-
2016, Kabupaten Bangkalan didapati mempunyai persentase terkecil pada tahun 2016
dibandingkan ketiga daerah tertinggal lainnya yang persentasenya di atas 30 persen:
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
36
Kabupaten Bangkalan (14,66), Kabupaten Sampang (35,37), Kabupaten Situbondo
(43,79), Kabupaten Bondowoso (50,20).
Hal yang memprihatinkan ialah bahwa di daerah dengan tingkat partisipasi
sekolah perempuan-nya tertinggi di antara keempat kabupaten tertinggal di Jawa Timur
ini, bahkan hingga ke jenjang SMA/MA, namun ternyata kondisi kesehatan
perempuannya buruk. Kondisi ini tercermin dari tingginya Angka Kematian Bayi (AKB)
di Kabupaten Bangkalan pada tahun 2016 (48,90) dibandingkan tiga daerah lainnya:
Kabupaten Sampang (42,34), Kabupaten Bondowoso (45,40) dan Kabupaten Situbondo
(48,47). Tingginya AKB di wilayah Madura, yang mencakup Kabupaten Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, Sumenep; dan wilayah Pandalungan, meliputi Kabupaten
Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dan Jember, pernah dibahas oleh
Mochamad Setyo Pramono, Suci Wulansari dan Sutikno dalam riset mereka enam tahun
yang lalu.
Data yang digunakan oleh Pramono, dkk. (2012) adalah data BPS Jawa Timur
tahun 2007, yang menyebutkan bahwa kedua wilayah yang sering disebut sebagai
wilayah tapal kuda itu dikelompokkan ke dalam wilayah dengan nilai AKB sangat tinggi,
sebesar 43,92-69,66 kematian per 1000 kelahiran hidup. Artinya satu dekade
setelahnya, hanya nilai AKB Kabupaten Sampang yang turun sehingga masuk dalam
kelompok AKB tinggi (35,21-43,91 kematian per 1000 kelahiran hidup). Angka itu pun
masih di atas 40 kematian per 1000 kelahiran hidup.
Nilai AKB yang sangat tinggi berarti risiko untuk anak yang lahir hidup namun
mati sebelum ulang tahun pertamanya masih sangat besar di keempat kabupaten
tertinggal di Jawa Timur. Angka ini menunjukkan bagaimana kondisi sosial dan
ekonomi penduduk daerah tersebut. Perempuan, yang dalam budaya Madura memiliki
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
37
aktivitas keseharian di sekitar anak-anaknya (Rakhmawati 2015, 61), merupakan
kelompok yang kesejahteraannya paling minim diperhatikan. Data dari Pramono, dkk.
(2012, 42-43), memperlihatkan persentase penolong terakhir persalinan ke tenaga
kesehatan antarkabupaten/kota memadati Jawa Timur bagian barat; sementara di Jawa
Timur bagian timur, wilayah Pedalungan dan wilayah Madura, memiliki persentase
penolong terakhir persalinan ke tenaga kesehatan yang kecil.
Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah Empat Kabupaten Tertinggal di Jawa Timur Menurut
Jenis Kelamin tahun 2011
Kabupaten
SD/MI
(7-12 tahun)
SMP/MTs
(13-15 tahun)
SMA/MA
(16-18 tahun)
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Bondowoso 97,19 100,00 90,44 84,99 48,42 50,90
Situbondo 97,32 97,98 81,73 79,58 63,60 46,25
Bangkalan 96,70 96,62 85,90 70,86 52,86 46,65
Sampang 95,88 98,67 85,86 84,72 52,36 32,33
Sumber: BPS 2017e
Tabel 2. Angka Partisipasi Sekolah Empat Kabupaten Tertinggal di Jawa Timur
Menurut Jenis Kelamin tahun 2016
Kabupaten
SD/MI
(7-12 tahun)
SMP/MTs
(13-15 tahun)
SMA/MA
(16-18 tahun)
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Bondowoso 100,00 100,00 96,66 94,90 56,08 51,39
Situbondo 97,34 97,03 97,69 93,70 71,08 44,78
Bangkalan 99,55 100 90,84 95,05 54,34 56,77
Sampang 100,00 99,70 90,91 97,37 55,68 53,92
Sumber: BPS 2017b
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
38
Data mengenai angka partisipasi sekolah keempat kabupaten tertinggal di atas
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terdapat indikasi bahwa tidak
terjadi perubahan signifikan dalam hal partisipasi pendidikan masyarakat. Ada
kenaikan angka partisipasi setelah lima tahun, namun kenaikannya kecil (lihat Tabel 1
dan 2 di atas). Kenaikan paling besar terjadi pada angka partisipasi sekolah perempuan
pada jenjang pendidikan SMA/MA dari 32,33 pada tahun 2011 menjadi 53,92 pada
tahun 2016 di Kabupaten Sampang. Angka tersebut berbanding lurus dengan AKB di
Kabupaten Sampang, yang angkanya paling rendah di antara empat kabupaten
tertinggal di Jawa Timur pada tahun 2016. Bahkan AKB Kabupaten Sampang turun
cukup banyak dari 49,06 di tahun 2012 menjadi 42,34 di tahun 2016. Dari sini seolah
dapat ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan perempuan berbanding lurus dengan
tingkat kesehatan ibu dan anak di daerah tertinggal. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Angka Kematian Bayi (AKB) Empat Kabupaten Tertinggal di Jawa Timur tahun
2012-2016
Kabupaten 2012 2013 2014 2015 2016
Bondowoso 48,57 47,52 46,80 46,09 45,40
Situbondo 49,48 48,92 48,76 48,62 48,47
Bangkalan 49,14 48,81 48,82 48,85 48,90
Sampang 49,06 47,02 45,49 43,95 42,34
Sumber: BPS 2017c
Hal yang berbeda didapati di Kabupaten Bangkalan. Seperti Kabupaten Sampang,
Kabupaten Bangkalan juga mempunyai kenaikan angka partisipasi sekolah perempuan
pada jenjang pendidikan SMA/MA dalam waktu lima tahun yang cukup signifikan, yakni
dari 46,65 pada tahun 2011 menjadi 56,77 pada tahun 2016. Namun demikian, AKB
Kabupaten Bangkalan tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam kurun
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
39
waktu 2012-2016, yakni 49,14 pada tahun 2012 menjadi 48,90 pada tahun 2016 (lihat
Tabel 3). Sehingga, dapat dikatakan kenaikan tingkat partisipasi sekolah perempuan
tidak berdampak terhadap tingkat kesehatan individu perempuan dan anak-anak,
anggota keluarga yang terdekat dengan perempuan dalam budaya Madura tersebut.
Fakta di atas mengindikasikan belum efektifnya sistem pelayanan rujukan bagi
ibu dan bayi yang baru lahir di daerah tertinggal. Akses kepada pelayanan kesehatan
ibu dan bayi yang berkualitas masih sangat terbatas. Hal ini mengonfirmasi temuan
Pramono, dkk. (2012, 45) bahwa di wilayah Madura dan Padalungan, tradisi budaya dan
kebiasaan masyarakat berpengaruh besar bagi perempuan, khususnya ibu hamil dan
yang baru melahirkan. Peran tradisi masyarakat yang lebih besar daripada pendidikan
menuntut pentingnya pola pembangunan yang dapat mengubah tradisi di masyarakat.
Tanpanya, pembangunan tidak akan membawa dampak yang signifikan bagi kelompok
perempuan di empat daerah tertinggal tersebut.
Masyarakat Madura di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, memiliki sistem
budaya yang cenderung patriarkhis meskipun menganut paham matrilineal. Pada
masyarakat Madura, kepemilikan rumah jatuh kepada keluarga perempuan. Meski
demikian, posisi dan peran perempuan terbatas dalam keluarga mereka, khususnya
dalam pengambilan keputusan. Perempuan didorong untuk mengambil peran-peran
domestik, sementara laki-laki kepada peran-peran publik di luar rumah. Ketika
mengerjakan peran-peran domestiknya pun, perempuan beraktivitas untuk
mewujudkan tanggung jawab dan pengabdiannya kepada keluarga—tidak untuk
dirinya sendiri (Rakhmawati 2015, 71-72). Akibat akses yang terbatas dan nilai-nilai
budaya patriarkhis ini, pengelolaan sumber-sumber daya dalam keluarga, apalagi di
masyarakat yang merupakan ruang publik, menjadi wajar jika tidak menyasar kepada
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
40
kesejahteraan perempuan. Padahal, aktivitas-aktivitas domestik perempuan itulah yang
menopang keseluruhan aktivitas ekonomi dalam keluarga dan masyarakat Madura.
Setelah melihat konteks sosial ekonomi dan bagaimana gender melekat dalam
tradisi dan budaya masyarakat setiap daerah, termasuk di daerah-daerah tertinggal di
Jawa Timur, bagian berikutnya akan membahas tentang kebijakan percepatan
pembangunan di daerah tertinggal. Penulis akan menganalisis kebijakan percepatan
pembangunan dari pemerintah pusat dan daerah untuk melihat apakah kebijakan
tersebut sudah tepat menyasar kebutuhan masyarakat di daerah tertinggal, sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Kebijakan yang abai
akan gender yang melembaga di masyarakat tidak akan berdampak pada perbaikan
kondisi ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang timpang di dalamnya.
BIAS GENDER DALAM PROGRAM PPDT BERFOKUS INDUSTRI RUMAHAN HINGGA
KREDIT MIKRO MELALUI PONSEL
Di tingkat nasional, pemerintah mempunyai kebijakan untuk meningkatkan peran
perempuan dalam menaikkan pendapatan rumah tangga. Berdasarkan Peraturan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2016, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-
PA) mempunyai program ‘Pembangunan Industri Rumahan untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Keluarga Melalui Pemberdayaan Perempuan.’ Program ini merupakan
tindak lanjut kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP) yang
berlangsung dari tahun 2004-2011. Dari hasil evaluasi dan kajian tindak lanjut terhadap
kebijakan PPEP, KPP-PA kemudian berfokus kepada Industri Rumahan (IR). IR yang
dilakukan perempuan dianggap dapat membantu peningkatan kesejahteraan keluarga,
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
41
menyerap dan menciptakan tenaga kerja, dan mengurangi keinginan tenaga kerja untuk
bermigrasi menjadi tenaga kerja informal.
Menurut KPP-PA, perempuan dilihat berkontribusi besar bagi perkembangan
perekonomian nasional pascakrisis finansial global 2008, di mana pada periode 2008-
2009 Indonesia mengalami dampak krisis berupa migrasi pekerja dari sektor formal ke
sektor informal, seiring dengan penutupan dan efisiensi/rasionalisasi sejumlah
perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor industri dan jasa. Sektor informal
terbukti memiliki kedudukan yang penting sebagai sumber penghidupan bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia (KPP-PA 2012, 2). Di dalam sektor yang unorganized,
unregulated dan unregistered dengan jumlah lebih dari 30 juta pengusaha ukuran
mikro, kecil dan menengah ini, 60 persennya adalah perempuan (Iskandar 2017).
Perempuan wirausaha tersebut pada umumnya dilihat mengalami kendala
permodalan sekaligus keunggulan dalam hal keleluasaan untuk bekerja di rumah
sembari mengerjakan tugas sebagai seorang istri dan/atau ibu (Nugroho dan Chowdury
2015, 88). Menteri PP-PA periode 2009-2014 Linda Gumelar mengatakan bahwa
perempuan wirausaha dapat “mengatur keuangan rumah tangga sambil memenuhi gizi
keluarga. ...menjadi sumber penghasilan keluarga. ...dalam satu wilayah kecil dapat
membentuk komunitas, dan komunitas-komunitas perempuan ini bisa memproduksi
dan memasarkan produk secara bersama-sama” (Dolorosa 2013).
KPP-PA melihat bahwa IR dapat meningkatkan peluang perempuan untuk lebih
terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi yang memberikan penghasilan.
Perempuan pun diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya dalam peningkatan
kesejahteraan ekonomi keluarga dan pada gilirannya berkontribusi dalam
pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Dengan cara ini, KPP-PA melihat perempuan
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
42
akan dapat meningkatkan posisi tawar menuju keadilan dan kesetaraan gender. KPP-PA
kemudian giat mendorong munculnya wirausaha perempuan melalui IR sebagai strategi
utama pembangunan di daerah-daerah tertinggal, terpencil dan terluar (KPP-PA 2016,
ii).
Senada dengan pemerintah pusat, di tingkat pemerintahan daerah, tepatnya di
Provinsi Jawa Timur di mana Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjadi penyumbang
terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama Januari-Agustus
2016 yaitu sebanyak 54,98 persen, pemerintah daerah pun lantas berupaya untuk
mengembangkan sektor UMKM dengan mengembangkan jumlah koperasi agar bisa
mendukung permodalan UMKM (Amaluddin 2016). Mantan gubernur Jawa Timur,
Soekarwo, mendorong peran serta perempuan dalam rangka mendukung pembangunan
daerah, salah satunya dengan cara mendorong organisasi perempuan untuk menjadi
Lembaga Keuangan Masyarakat (LKM) di pedesaan selain koperasi wanita. Menurut
beliau, kegiatan LKM di pedesaan sangat baik untuk menghentikan lintah darat,
memberdayakan ekonomi perempuan lewat pembiayaan industri primer di sektor
UMKM seperti berjualan makanan kering, sekaligus menggerakkan ekonomi pedesaan
(Tanpa Nama 2016b). ‘Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui’ seolah menjadi
semangat tren inklusi keuangan perempuan pedesaan ini.
Perempuan pedesaan umumnya dipandang mengalami kendala permodalan
akibat tidak adanya pekerjaan formal yang ditandai dengan penghasilan tetap per
bulan. Sementara, tersedianya slip pendapatan bulanan merupakan salah satu syarat
pinjaman ke bank formal. Akses terhadap layanan keuangan yang terbatas inilah yang
kemudian menjadi alasan gencarnya industri perbankan berbasis teknologi merambah
hingga ke daerah-daerah tertinggal (Irijanto 2015). Jika di perkotaan perempuan pelaku
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
43
UMKM dibekali dengan penguasaan teknologi digital seperti media sosial untuk
memanfaatkan pasar on-line agar menembus wilayah yang lebih luas di Indonesia dan
bahkan dunia (Iskandar 2017), perempuan pedesaan dibekali dengan teknologi untuk
mengakses produk-produk industri perbankan, khususnya kredit mikro dan
microfinance1, agar mampu menjadi agen pemulihan ekonomi rumah tangga hingga
daerah.
Menurut Soekarwo, peran perempuan dalam pembangunan yang ada di Provinsi
Jawa Timur sangat penting dan, “perempuan juga harus memperhatikan kesejahteraan
keluarga (cetak miring adalah penekanan dari penulis untuk menunjukkan adanya bias
gender terhadap tanggung jawab perempuan).” Hal ini diungkapkan oleh mantan
gubernur Jawa Timur tersebut saat memberikan sambutan dalam Rakerda Tim
Penggerak PKK Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur pada tahun 2015.
Meskipun beliau mengatakan bahwa kebijakan pengarustamaan gender menjadi sebuah
prioritas pembangunan, namun pernyataan beliau tersebut menunjukkan masih adanya
bias gender dalam kebijakan pemerintah. Beliau mengemukakan, “perempuan mampu
menjadi akuntan keluarga, penanggung jawab pekerjaan domestik, menjadi simpul
jaringan sosial untuk transfer sosial pada masa kritis dan krisis.” Dengan pandangan
seperti ini, Soekarwo meyakini bahwa perempuan harus digerakkan menjadi potensi
ekonomi. Di bawah Soekarwo, arah kebijakan pemberdayaan dan perlindungan
perempuan di Jawa Timur adalah pada peningkatan dan perluasan jaringan usaha dan
akses permodalan bagi perempuan melalui pengembangan koperasi wanita dan
lembaga keuangan mikro (LKM) fungsional (Setiawan 2015).
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
44
TEKNOLOGI INKLUSI KEUANGAN BAGI WIRAUSAHA PEREMPUAN: PERAN PARSIAL
PEREMPUAN SEBAGAI SUMBER DAYA PEMBANGUNAN DAERAH
Lekatnya perempuan pedesaan, kredit UMKM dan teknologi yang memfasilitasinya
berasal dari ide bahwa mendorong perempuan di daerah-daerah tertinggal tersebut
untuk dapat mengakses pasar akan meningkatkan pendapatan rumah tangga,
menggerakkan perekonomian daerah, dan pada gilirannya juga akan berkontribusi
terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, gagasan ini patut untuk ditinjau
ulang. Bukan bermaksud untuk mengevaluasinya, melainkan untuk mencermati apakah
logika instrumentalis ini sungguh dapat memberdayakan perempuan atau justru
mengukuhkan struktur ketimpangan ekonomi berbasis gender yang selama ini
mendiskriminasi dan memarjinalkan perempuan di daerah-daerah tertinggal.
Berkaca dari uraian program-program PPDT dari berbagai institusi yang telah
disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa seluruh gagasan tersebut secara spesifik
berasumsi bahwa teknologi inklusi keuangan bagi perempuan disediakan karena
perempuan layak kredit atau creditworthy. Karenanya, perempuan “diperjuangkan” dan
difasilitasi dengan teknologi agar mereka dapat menjadi konsumen produk-produk
kredit ini (kembali mengingat bahwa pada konteks yang lain, perempuan bukan
pasangan yang tepat bagi teknologi). Perempuan juga didorong untuk berwirausaha
agar dapat menghasilkan nilai lebih dari aktivitas reproduksi dan mengembalikan
pinjaman beserta bunganya. Di sini nampak bahwa konteks ekonomi yang mendasari
perbedaan posisi subjek perempuan menjadi lebih “akrab” dengan teknologi adalah
kapitalisme industri keuangan, bukan lagi kapitalisme industri manufaktur. Ini pada
gilirannya akan mengukuhkan pembatasan kontrol perempuan sebagai pengelola
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
45
keuangan dalam keluarga, lengkap dengan tanggung jawabnya sebagai pemelihara
keluarga.
Beban berlipat ganda diletakkan di bahu perempuan pedesaan untuk
memelihara keluarganya, menjadi pengelola keuangan keluarga, sekaligus untuk
menghasilkan nilai lebih bagi industri keuangan yang masuk ke daerahnya. Bagaimana
perempuan memiliki tingkat pengembalian kredit (repayment) yang lebih tinggi
dibanding laki-laki menjadi salah satu justifikasi. Di dalamnya melekat “tanggung
jawab” perempuan terhadap keluarganya (atas kesehatan dan pendidikan anak,
misalnya, yang seringkali dilihat memiliki tanggung jawab lebih dari suaminya) yang
memungkinkan perempuan di daerah-daerah tertinggal untuk menjadi konsumen
kredit yang baik.
Dengan meninjau ulang konteks ekonomi yang mendasari pemberdayaan
ekonomi perempuan dan rumah tangga pada program-program PPDT di atas, menjadi
nampak bahwa program pemberdayaan perempuan yang demikian sebenarnya cukup
bermasalah untuk dipraktikkan. Sebagai program yang seharusnya memberdayakan
perempuan arti pemberdayaan yang diupayakan melalui program ini adalah, lebih
tepatnya, membuat perempuan pedesaan bekerja lebih baik bagi industri keuangan
berbasis teknologi yang kian bertumbuh pesat hari-hari ini di Indonesia. Kenyataan ini
cukup meresahkan karena justru program-program maupun pelaku yang mendorong
wirausaha perempuan dan memfasilitasi kredit bagi mereka tersebut cenderung
melihat pada stereotip perempuan dan laki-laki sehingga sangat rentan untuk bias dan
diskriminatif terhadap perempuan pedesaan. Asumsi yang berlaku adalah hanya
terdapat satu kategori perempuan (dan laki-laki) di daerah tertinggal, yang tidak
berketerampilan dan berpendidikan, cocok untuk mengerjakan industri primer dan
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
46
bahwa mereka membutuhkan bantuan keuangan untuk memperlancar keuangan rumah
tangga mereka sebagai solusi atas permasalahan sosial yang mereka hadapi.
Perempuan pedesaan juga dilihat akan dapat mencapai status yang lebih tinggi
dalam hirarki relasi sosial dalam rumah tangga dan masyarakat yang lebih luas dengan
cara memperoleh pendapatan tambahan bagi keluarganya. Alih-alih diberdayakan,
perempuan pedesaan justru mendapat beban agar dapat berkontribusi bagi
pembangunan daerah, yang dimaknai sempit dengan peningkatan pendapatan daerah.
Peran perempuan bagi pembangunan dibatasi pada menyumbang angka PDB daerah.
Sementara dalam Permen PP-PA No. 2/2016, ‘pemberdayaan perempuan’ didefinisikan
sebagai ‘upaya terstruktur untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam hal akses,
partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam pembangunan dan penguasaan sumber daya
dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan peningkatan peran perempuan.’
Program-program inklusi keuangan perempuan wirausaha untuk tujuan percepatan
pembangunan daerah tertinggal yang ada dan yang seharusnya memberdayakan
perempuan—sebagaimana seharusnya sebuah pembangunan itu berdampak positif
bagi seluruh anggota masyarakat—justru menjadi problematis.
Gambaran warga laki-laki maupun perempuan yang dihadirkan dalam program-
program tersebut sangat stereotip dan rawan terhadap pandangan yang bias dan
diskriminatif dengan mengasumsikan hanya ada satu kategori perempuan (dan laki-
laki) di daerah-daerah tertinggal di Indonesia, yang membutuhkan bantuan modal
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Ketika menggunakan kata
‘perempuan,’ program-program dan pelakunya mengacu kepada sekelompok orang
yang bercirikan perempuan secara biologis, pasif, enggan mengambil risiko, marjinal,
tidak melek keuangan, domestik/patuh, cocok bagi kerja-kerja informal, dan kolektif.
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
47
Sedangkan laki-laki yang tidak sering muncul dalam diskusi mengenai program-
program PPDT yang berfokus pada wirausaha perempuan dan pemberian kredit usaha
mikro di daerah-daerah tertinggal diasumsikan sebagai kelompok jenis kelamin
kebalikannya, yang cakap di ranah publik, lebih cocok untuk melakukan kerja formal,
dominan, individual, melek keuangan, aktif dan pengambil risiko.
Dikotomi di atas kembali mengulang hirarki berbasis gender antara perempuan
dan laki-laki, sehingga terlihat jelas bahwa program-program pemberdayaan ekonomi
perempuan semacam ini belum tentu memberdayakan perempuan dalam arti
mentransformasi relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dalam mengelola
sumber daya ekonomi. Program-program tersebut jelas dapat membentuk subjek
perempuan wirausaha yang kompetitif, namun tidak serta-merta menyentuh hirarki
gender dalam relasi ekonomi rumah tangga maupun dalam masyarakat. Program-
program semacam ini mengulang kembali pembagian kerja rumah tangga laki-laki dan
perempuan, dan bukannya mempermasalahkan kekurangtertarikan laki-laki pada isu
kesehatan dan pendidikan anak.
Pesan yang kuat dari berbagai program tersebut adalah bahwa perempuan
berpendapatan rendah namun aktif berusaha mikro tersebut adalah target yang
“menjanjikan” untuk industri jasa kredit perbankan. Pesan ini berisiko dan sangat
problematis bagi perempuan. Berisiko, karena dapat meneguhkan subordinasi terhadap
perempuan di dalam lingkup rumah tangga. Program pemberdayaan ekonomi
perempuan tersebut tidak menyinggung tanggung jawab laki-laki dalam pekerjaan
rumah tangga, tetapi justru menambah beban perempuan dalam pekerjaan rumah
tangga sekaligus mencari nafkah. Kesetaraan gender menjadi tujuan sampingan dalam
rangka mewujudkan pemajuan ekonomi; bukannya untuk pemajuan perempuan.
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
48
Pertama-tama, perlu disadari bahwa otonomi perempuan dalam banyak kasus
tidak berjalan seiring dengan meningkatnya kontribusi perempuan menafkahi keluarga.
Justru, seringkali laki-laki merasa terancam ketika perempuan ikut menafkahi keluarga
dan mempunyai penghasilan sendiri yang lebih besar dibandingkan penghasilannya.
Akibatnya, muncul kekerasan domestik, perkosaan, penelantaran, dan lain-lain bahkan
dalam keluarga yang sejahtera sekalipun. Di sini terlihat adanya problem sistemik
dalam lingkup rumah tangga yang menyebabkan subordinasi perempuan, namun hal ini
belum disasar oleh program pemberdayaan ekonomi perempuan. Perempuan yang
didorong untuk dapat bersaing dengan laki-laki dalam berbisnis atau mengembangkan
Industri Rumahan, tanpa menghiraukan adanya hirarki berbasis gender dalam keluarga
dan masyarakat yang patriarkal justru akan cenderung mendorong munculnya praktik
kekerasan terhadap salah satu pihak dan mereproduksi ketidaksetaraan berbasis
gender di dalam keluarga dan masyarakat.
Kedua, pesan semacam itu bersifat problematis karena kata dalam tanda kutip,
“menjanjikan,” dilekati oleh logika tertentu yang bekerja untuk sebuah proses ekonomi
masyarakat yang mensyaratkan ketimpangan dan perhitungan untung dan rugi dalam
mencapai tujuannya, yakni ekonomi kapitalisme. Sedangkan di banyak daerah di
Indonesia, proses ekonomi masyarakat tidak berbasis pada perhitungan untung dan
rugi namun pada nilai-nilai kearifan lokal yang beragam dan umumnya bertujuan untuk
pemeliharaan, tidak hanya komunitas lokal setempat, tetapi juga lingkungan alam
tempat tinggal mereka. Ekonomi lokal dan global yang kontras ini dapat berbenturan
dan tidak jarang berujung kepada kekerasan kepada pihak yang subordinat dalam relasi
kuasa dan minor dalam jumlah.
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
49
Di sisi lain, adalah mitos jika dikatakan perempuan akan membuat negara keluar
dari kemiskinan. Pembangunan berkelanjutan dalam artian mempertimbangkan
kebutuhan generasi-generasi selanjutnya membutuhkan tata kelola pemerintahan yang
bijak dan relasi berbagai pemangku kepentingan yang berkeadilan. Dengan menjadikan
perempuan sebagai target industri jasa keuangan untuk percepatan pembangunan
daerah tertinggal, justru peranan tidak diberikan kepada perempuan untuk
membangun dirinya sendiri. Sebaliknya, kontribusi perempuan terbatas pada peluang
untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Perempuan “bebas” berusaha
sepanjang ia terus berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi keluarga.
KESIMPULAN
Posisi perempuan dalam program-program PPDT sebagai agen pembangunan bersifat
problematis oleh karena program-program tersebut lebih berorientasi menciptakan subjek-
subjek wirausaha perempuan tanpa menyentuh permasalahan hirarki berbasis gender dalam
ekonomi rumah tangga dan masyarakat di daerah tertinggal pada umumnya, termasuk di Jawa
Timur yang kental dengan budaya “perempuan sebagai teman di belakang” atau yang sering
dikenal dengan istilah “konco wingking.” Dengan demikian menjadikan perempuan pedesaan
sebagai agen pembangunan justru dapat berakibat tidak memberdayakan mereka sama sekali
dalam pembangunan daerah.
Dengan bantuan modal dan fasilitas dari pemerintah ataupun pelaku usaha,
perempuan pedesaan dapat menjadi motor penggerak ekonomi daerah dan menyumbang nilai
Produk Domestik Regional Bruto kabupaten tertinggal secara efektif. Akan tetapi, perlu
dicermati sekali lagi bahwa program-program PPDT yang menitikberatkan peran perempuan
dalam pertumbuhan ekonomi daerah tidak lantas memberdayakan perempuan dalam arti
‘mewujudkan kesetaraan gender dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
50
pembangunan dan penguasaan sumber daya dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan
peningkatan peran perempuan.’ Hal ini dikarenakan peran perempuan dalam membangun
daerahnya justru dibatasi pada menghasilkan pendapatan tambahan untuk keluarga melalui
kerja rumahan. Perempuan tetap kurang berperan dalam aspek-aspek pembangunan yang lain
seperti penyediaan sarana-prasarana kesehatan dan pendidikan, pembangunan infrastruktur,
serta pengembangan sumber daya manusia.
Investasi kepada perempuan juga dianggap menguntungkan, sebab perempuan
(dituntut) lebih bertanggung jawab atas keluarganya dibandingkan laki-laki--kalau bukan
terintimidasi oleh kontrol suami atas rumah tangga--dan karenanya tingkat pengembalian
pinjaman perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pemberdayaan perempuan di dalam
program-program tersebut di atas berarti mendorong perempuan untuk mampu memproduksi
nilai lebih di samping bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga (memberikan beban
ganda bagi perempuan), memperoleh pendapatan tambahan--ataupun utama--bagi keluarga,
dan menghasilkan keuntungan, yang dianggap sebagai kunci pembangunan. Perempuan
dikatakan dapat sukses berperan dalam pertumbuhan ekonomi hanya jika perempuan cukup
“bijak,” “ulet,” “sabar,” “tekun,” “ikhlas,” “berkemauan tinggi,” dan “tidak egois” untuk
membagi waktu terkait “peran” gandanya. Sebagai penutup, penulis merekomendasikan agar
lebih banyak program-program pemberdayaan perempuan sebagai agen pembangunan daerah
tertinggal yang dengan hati-hati menilik kondisi ketimpangan ekonomi berbasis gender yang
ada dalam masyarakat setempat sebelum merumuskan bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi
yang akan dijalankan.
Catatan
Program-program inklusi keuangan di tingkat global sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi telah mengalami banyak perkembangan. Konsep ‘kredit mikro’ atau microcredit di banyak tempat telah bergeser menjadi ‘microfinance,’ yang mencerminkan fokus utama masa kini ada pada mendorong pasar keuangan bekerja lebih baik bagi kelompok masyarakat miskin dengan tidak hanya terbatas menyediakan
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
Jurnal Inada | Vol. 1, No. 1, Juni 2018
51
layanan keuangan berupa kredit skala mikro; tetapi juga asuransi dan jasa-jasa keuangan lainnya bagi kelompok ini.
REFERENSI
Amaluddin. 2016. “2016, UMKM Sumbang PDRB Jatim Rp 900 Triliun.” Metronews.com, 31 Agustus. Diakses pada 23 Februari 2017. http://m.metrotvnews.com/ekonomi/mikro/ybD1oPjk-2016-umkm-sumbang-pdrb-jatim-rp900-triliun.
Arta, Camely. 2018. “Kesetaraan Gender dalam Akses Kerja untuk Akhiri Kemiskinan Perempuan.” Magdalene.co, 28 Maret. Diakses pada 28 Juli 2018. https://magdalene.co/news-1681-kesetaraan-gender-dalam-akses-kerja-untuk-akhiri-kemiskinan-perempuan.html.
Bank Dunia. 2001. “Supply and Demand in Microfinance,” dalam The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor, Washington DC: The World Bank, 6-41.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2017a. “Persentase Perempuan Jawa Timur Usia 10 Tahun Ke Atas yang Kawin di Bawah Umur (Kurang dari 17 Tahun) menurut Kabupaten/Kota, 2009-2016.” Diakses pada 28 Juli 2018. https://jatim.bps.go.id/statictable/2017/06/09/465/persentase-perempuan-jawa-timur-usia-10-tahun-ke-atas-yang-kawin-di-bawah-umur-kurang-dari-17-tahun-menurut-kabupaten-kota-2009-2016-.html.
_________________________________________________. 2017b. “Angka Partisipasi Sekolah Jawa Timur Menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota, 2016.” Diakses 28 Juli 2018. https://jatim.bps.go.id/dynamictable/2017/09/19/92/angka-partisipasi-sekolah-jawa-timur-menurut-jenis-kelamin-dan-kabupaten-kota-2016.html.
________________________________________________. 2017c. “Angka Kematian Bayi (AKB) Penduduk Jawa Timur Menurut Kabupaten/Kota, 2012-2016.” Diakses 28 Juli 2018. https://jatim.bps.go.id/statictable/2017/06/07/389/angka-kematian-bayi-akb-penduduk-jawa-timur-menurut-kabupaten-kota-2012-2016.html.
_________________________________________________. 2017d. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jawa Timur 2017. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur.
_________________________________________________. 2017e. “Angka Partisipasi Sekolah Jawa Timur Menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota, 2011.” Diakses 28 Juli 2018. https://jatim.bps.go.id/statictable/2015/02/16/219/angka-partisipasi-sekolah-aps-jawa-timur-menurut-jenis-kelamin-dan-kabupaten-kota-2011.html.
Bank Indonesia. Tanpa Tahun. “Keuangan Inklusif: Layanan Keuangan Digital (LKD).” Diakses pada 23 Februari 2017. http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif /program/lkd/Contents/Default.aspx.
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
52
Diop, Makhtar. 2015. “How Empowering Women Can Help End Poverty in Africa.” The World Bank, 28 Januari. Diakses pada 28 Juli 2018. http://blogs.worldbank.org/nasikiliza/how-empowering-women-can-help-end-poverty-africa.
Dolorosa, Gloria Natalia. 2013. “Perempuan Entrepreneur Berkembang Bersama Komunitas.” Bisnis Indonesia, 22 Juli. Diakses pada 16 Februari 2017. http://koran.bisnis.com/read/ 20130722/250/152376/perempuan-entrepreneur-berkembang-bersama-komunitas.
Elsynosa, Folda. 2018. “Perempuan Indonesia Berperan Penting Tingkatkan Ekonomi Negara.” Voinews.id, 3 Juli. Diakses pada 28 Juli 2018. http://voinews.id/indonesian/index.php/component/k2/item/3533-perempuan-indonesia-berperan-penting-tingkatkan-ekonomi-negara.
Financial Inclusion Insights (FII). Tanpa Tahun. “Gender.” Diakses pada 16 Februari 2017. http://finclusion.org/topic/gender.html.
Indonesia Fintech Festival and Conference. 2016. “Ringkasan Sesi, October 2016.” Diakses pada 23 Februari 2017. https://www.fintechfest.id/assets/docs/report_ina (29112016).pdf.
Irijanto. 2015. “A Solution to Indonesian Remote Areas’ Banking Access.” Blog Kejora, 28 Mei. Diakses pada 29 Maret 2017. http://www.kejorahq.com/solution-indonesian -remote-areas-banking-access/
Iskandar, Eddy Dwinanto. 2017. “PPLIPI dan Telkom Genjot Digitalisasi Untuk Perempuan Pelaku UMKM.” SWA Online Magazine, 19 Februari. Diakses pada 27 Februari 2017. http://swa.co.id/swa/trends/pplipi-dan-telkom-genjot-digitalisasi-untuk-perempuan-pelaku-umkm.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA). 2012. Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktifitas Ekonomi Perempuan (EPEP). Jakarta: KPP-PA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA). 2016. “Laporan Akhir Kajian Peran Perempuan dalam Penanggulangan Kemiskinan Melalui Kegiatan Industri Rumahan.” Diakses pada 16 Februari 2017. http://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/32803-kajian-peran-perempuan-dalam.pdf.
Kementerian Dalam Negeri. 2016. “Kemendagri Telah Serahterimakan PNPM ke Kemendes.” Siaran Pers, 7 Maret. Diakses pada 29 Juli 2018. http://www.kemendagri.go.id/news/2016/03/07/kemendagri-telah-serahterimakan-pnpm-ke-kemendes.
Lagarde, Christine. 2016. “Women’s Empowerment: An Economic Game Changer.” Pidato oleh Christine Lagarde. International Monetary Fund, 14 November 2016. Diakses pada 28 Juli 2018.
Lumanauw, Novy. 2015. “Ini 122 Kabupaten yang Ditetapkan sebagai Daerah Tertinggal.” BeritaSatu.com, 8 Desember. Diakses pada 16 Februari 2017. http://www.beritasatu.com/nasional/328882-ini-122-kabupaten-yang-ditetapkan-sebagai-daerah-tertinggal.html.
Maddison, Angus. 2007. The World Economy: A Millennial Perspective. Paris:OICD.
Mulyanto, Dede. 2009. “Kapitalisme dan Penghidupan Perempuan di Pedesaan Jawa Kontemporer.” Akatiga: Pusat Analisis Sosial, 7 Maret. Diakses pada 20 Februari 2017. http://www.akatiga.org/index.php/publikasi/artikel/item/153-kapitalisme- dan-penghidupan-perempuan-di-pedesaan-jawa-kontemporer.
Nugroho, Lucky dan Syed Lutful Kabir Chowdhury. 2015. “Mobile Banking for Empowerment Muslim Women Entrepreneur: Evidence from Asia (Indonesia and Bangladesh).” Tazkia Islamic Finance and Business Review 9(1):83-100. Diakses pada 23 Februari 2017. http://www.tifbr-tazkia.org/index.php/TIFBR/article/ view/79/94.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Pembangunan Industri Rumahan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Melalui Pemberdayaan Perempuan. Diakses pada 23 Februari 2017. http://jdih.kemenpppa.go.id/.
Peters, Robbie. 2013. Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle. Singapore: National University of Singapore Press.
Peterson, V. Spike. 2010. “How (The Meaning of) Gender Matters in Political Economy.” Dalam International Political Economy: A Reader. Ontario: Oxford University Press, 145-59.
_____________________. 1992. “Transgressing Boundaries: Theories of Knowledge, Gender and International Relations.” Millenium: Journal of International Studies 21(2):183-306.
Pramono, Mochamad Setyo, Suci Wulansari dan Sutikno. 2012. “Pemetaan Determinan Angka Kematian Bayi di Jawa Timur Berdasarkan Indikator Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.” Bultin Penelitian Sistem Kesehatan 15(1): 38-46.
Rakhmawati, Farida Nurul. 2015. “Perempuan Madura: “Mengada” di Tengah Himpitan Budaya Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat.” Dalam Surokim, peny. Madura: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik. Madura: Puskakom Publik bekerja sama dengan Penerbit Elmatera.
Setiawan, Indra. 2015. “Gubernur Jatim Dorong Peran Perempuan dalam Pembangunan.” AntaraJatim.com, 2 Desember. Diakses pada 16 Februari 2017. http://www.antarajatim.com/lihat/berita/168900/gubernur-jatim-dorong-peran-perempuan-dalam-pembangunan.
Mita Yesyca | Percepatan Pembangunan di Empat Daerah Tertinggal…
54
UNWOMEN. Tanpa tanggal. “The United Nations Fourth World Conference on Women.” Diakses pada 28 Juli 2018. http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/poverty.htm.
Tanpa Nama. 2016a. “Hingga 2016, 50 Daerah Tertinggal Berpotensi Dientaskan.” Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal, 6 September. Diakses pada 16 Februari 2017. http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/160906/132-hingga-2016--50- daerah-tertinggal-berpotensi-dientaskan.
Tanpa Nama. 2016b. “Pakde Karwo Dukung Pemberdayaan Ekonomi Kaum Perempuan.” beritaLima, 11 Oktober. Diakses pada 16 Februari 2017. https://www.beritalima.com/ 2016/10/11/pakde-karwo-dorong-pemberdayaan-ekonomi-kaum-perempuan/.
Tickner, J. Ann dan Laura Sjoberg. 2011. Feminism and International Relations: Conversations about the past, present and future. New York: Routledge.
Yesyca, Mita. 2013. “Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT ke PEA.” Dalam Ani Soetjipto, peny. Gender dan Hubungan Internasional: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Jalasutra.