MINGGU, 23 SEPTEMBER 2018 D alam rukun islam yang kedua adalah shalat atau sembahyang yang dilakukan pada saatnya; berlangsung 5 waktu dalam sehari; setelah melakukan penyucian/- wudhu; menghadap ke arah kiblat umat muslim yaitu Kakbah. Dari kriteria tersebut maka tercetuslah panduan dasar desain arsitektur masjid itu yakni terdapat ruang utama untuk bershalat/ sembahyang dengan berorientasi ke kiblat. Ruang wudhu untuk pensu- cian sebelum melakukan sembahyang. Terkadang dilengkapi atau menjadi satu dengan kamar mandi. Di samping itu juga ruang pemberitaan waktu shalat. Secara sederhana, berupa ruang untuk muadzin melakukan adzan yang berkembang dengan fasilitas minaret, kentongan, beduk maupun pengeras suara. Tak ketinggalan ruang- ruang pelengkap dan tambahan lain seperti : ruang keputrian, ruang pendidikan, ruang pengelola. Ornamentasi dan simbolisasi Islam menjadi hal yang tak luput dari perhatian. Beberapa masjid di dunia memang pada awal- nya tidak secara khusus didesain untuk menjadi masjid, semisal : masjid-mesjid sementara di dae- rah terpencil, masjid darurat di daerah terlanda ben- cana, hingga masjid rintisan di daerah-daerah yang masih sedikit penduduk muslimnya. Contoh masjid rintisan biasanya adalah pengalihan fungsi bangunan/ruangan menjadi masjid dengan mem- perhatikan aspek legalitas dari pemerintah/pen- gelola setempat. Sebagai contoh adalah masjid-mesjid di Korea Selatan dan Jepang yang menempati bekas toko, kantor atau rumah. Proses legalitas menjadi hal penting untuk kelangsungan hidup masjid sendiri, karena pemberlakuan peruntukan lahan maupun peraturan bangunan dan lingkungan cukup ketat di beberapa negara. Peraturan perihal bangunan ibadah komunal, koefisien dasar bangunan, daya dukung lahan dan sebagainya perlu dipatuhi untuk mendapat legalitas masjid. Dalam ruang shalat ada beberapa desain yang mengakomodasi konsep islami, semisal : terdapat ruang pemimpin shalat/imam (mimbar), pemisahan ruang pria dan wanita, pembacaan ayat al quran sebelum/sesudah shalat, dan bersalaman setelah sha- lat berjemaah. Beberapa masjid menyediakan mim- bar berupa furnitur untuk meninggikan posisi imam, hingga ceruk khusus di area paling depan dari jemaah pada bangunan untuk imam. Sedangkan untuk memisahkan ruang pria dan wanita ada bebera- pa desain : menggunakan tirai, memberi ruang khusus (keputrian) ataupun lan- tai khusus. Menyatu Sering ditemukan ruang baca pada masjid yang menyatu dengan ruang sembahyang dengan mele- takkan lemari buku, meja baca kecil maupun kursi di sudut atau dekat kolom di area shalat; atau memisahkan dengan penyediaan ruang khusus hingga perpustakaan masjid. Kebiasaan jamaah bersilaturah- mi dan bersalaman sambil bersalawat setelah shalat berjamaah juga sering difasilitasi dengan bentuk ruang shalat yang luas tanpa sekat sehingga dapat digunakan untuk ular-ularan jamaah menyalami imam dan jamaah lain sembari keluar masjid. Ruang wudhu atau tempat penyu- cian pada masjid yang sudah stabil (bukan darurat maupun semen- tara) biasanya sudah me- misahkan area wudhu de- ngan kamar mandi, maupun area pria dan wanita. Pada area wudhu, konsep penggunaan keran dan sistem drainase daur ulang sudah lazim diterapkan. Selain itu pembangunan tempat duduk dan tempat menaruh barang disekitar kran wudhu sebagai respon kegiatan lain saat berwudhu. Beberapa konsep masjid di Indonesia juga menyajikan kolam kocehan atau merendam kaki sebelum/sesudah berwudhu. Pada masjid Pathok Negoro di Yogyakarta bahkan kolam yang mengitari masjid menjadi ciri khas, meskipun bebe- rapa akhirnya ditutupi perkerasan dan tidak digu- nakan lagi. Ruang pemberitaan waktu shalat pada dasarnya adalah fasilitas muadzin melakukan tugasnya untuk memberitahukan ke khalayak bahwa waktu shalat telah tiba. Konon sahabat Rasulullah bernama Bilal menyampaikan adzan hingga ke atap masjid sehingga tercetuslah konsep menara masjid (minaret) dengan pengeras suara hingga adaptasi budaya Indonesia dengan penyedi- aan ruang untuk kentongan dan beduk, karena suara muadzin Indonesia mungkin tidak sekeras Bilal. Ruang tambahan dan pelengkap menjadi fasilitas yang timbul karena masjid tidak hanya menjadi tem- pat sembahyang/shalat. Beberapa masjid juga meru- pakan tempat belajar tentang islam (madrasah), tem- pat bermusyawarah warga (communal space), penan- da wilayah (masjid pathok negoro maupun masjid makam wali). Arsitektur masjid biasanya juga memiliki bebera- pa informasi dan simbol islam, seperti penggunaan mustaka (kepala) berupa bulan sabit dan bintang, pendirian gapura di depan masjid sebagai simbol meminta pengampunan (panggapura-jawa), penggu- naan bilangan 5 (rukun islam), 6 (rukun iman) dan 99 (sifat wajibAllah) pada kelipatan atau ukuran bangun- an masjid. Sedikit pengenalan tentang arsitektur masjid sebagai tempat ibadah umat muslim yang tidak hanya tentang kegiatan utama untuk sembahyang dan menghadap kiblat diharapkan mampu mem- berikan informasi yang cukup tentang fasilitas dasar, kegiatan dan kontekstuali- tas masjid. (—Bangun IRH, staf penga- jar arsitektur Universitas Diponegoro-53) Saat ini banyak variasi masjid di berbagai lokasi yang ada. Variasi arsitektur masjid ini merupakan bentuk interaksi antara nilai islam, sejarah, lokasi kondisi bangunan, kegiatan yang berlangsung dan kreatifitas arsitek. ISU mengenai green environment alias ramah lingkungan secara tidak langsung mempengaruhi Woodenkreatif Desain (WKD) dalam memilih material yang digunakan untuk membuat produknya. WKD merupakan brand furnitur maupun aksesori interior maupun eksterior, yang semua produknya merupakan kayu hasil daur ulang. Alih-alih menggunakan kayu segar atau baru dalam membuat produk, Hendragita, sang pemilik, lebih memilih menggunakan berbagai jenis kayu bekas yang memiliki kualitas bagus. Mulai dari jati, jati Belanda, mindi, dan lainnya. Adapun untuk finishing atau cat pelapisnya, ia juga menggunakan cairan yang ramah lingkungan. WKD lahir pada tahun 2013, dan fokus pada desain estetik yang minimalis, modern, edgy dan juga fungsional. Daripada membuat produk dari kayu yang masih segar, ia lebih memilih meng- gunakan kayu bekas yang diolah sedemikian rupa menjadi karya yang baru. “Menggunakan material kayu, kan sebenarnya merusak alam, banyak pohon yang ditebang. Jadi yang bisa saya lakukan untuk lingkungan, ya sebatas mengolah ‘sampahnya’, makanya saya memilih kayu yang sudah tidak ter- pakai untuk diolah,” ungkapnya. Selain itu, WKD tercipta karena pengalaman pribadinya. Hendragita sering kebingungan ketika membutuhkan furnitur yang sesuai dengan selera, tapi juga pas dengan ruangan yang terbatas atau sempit. Ia menginginkan produk yang ‘nyeni’ tapi ju- ga memiliki fungsi. Kemudian ia menuangkan bebe- rapa idenya kedalam sketsa, lalu diberikan kepada artisan kayu asal Jepara. Setelah produknya jadi, beberapa teman dekatnya menyukai hasilnya, dan ingin dibuatkan produk yang sama. Lalu ia berpikir, kenapa tidak untuk membuat brand-nya sendiri. Mengeksplorasi kayu yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, kemudian teman- teman dekat, kini WKD memiliki konsumen yang meluas dari beberapa daerah di Indonesia. Tak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Bali, Sumatera dan Kalimantan. Kosumennya yang rata-rata anak muda, diungkapkan Hendragita karena produknya yang memiliki karakter, cenderung minimalis, dan memiliki harga yang terjangkau. “Kalau mau bikin produk yang ukuran besar kecilnya sesuai dengan yang diinginkan, sesuai dengan kapasitas ruangan di rumahnya, dan dengan bentuk yang nggak pasaran, mereka bisa datang ke saya.” (53) (teks & foto: Irma Mutiara Manggia)