MIGRASI ORANG MISKIN KE PEKANBARU (sebuah kajian Permulaan) Oleh M.Rawa El Amady Abstrak Studi ini membahas migrasi penduduk miskin ke Pekanbaru, berdasarkan pada faktor dorongan dan tarikat masyarat miskin yang bermigrasi ke Penkanbaru. Latar belakang yang menarik minat untuk membahas penelitian ini berdasarkan pendapat yang berkembang di media massa bahwa salah satu penyebab kemiskinan di Riau adalah masuknya orang miskin ke Riau, dalam hal ini khususnya Pekanbaru. Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan orang miskin pindah ke Pekanbaru? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui factor-faktor yang mendorong dan menarik orang miskin pindah ke Pekanbaru. Teori yang dipakai adalah teori migrasi sosial yang memahami dua faktor seseorang bermigrasi yaitu faktor dorongan dari daerah asal dan faktor tarikan dari daerah yang menjadi tujuan serta aktivitas produksi yang dilakukannya di daerah tujuan. Metoda penelitian ini adalah kwalitatif dengan menggunakan tabulasi kuantitatif jawababn responden. Teknik pengumpulan data, pertama, pengumpulan data skunder dalam hal data hasil pendataan Balitbang Provinsi Riau tahun 2005 dan informasi lain yang akan mendukung penelitian ini di perpustakaan. Kemudian dilanjutkan dengan survey ke rumah tangga sesuai dengan sample terpilih. Jumlah responden yang akan diwawancara adalah330 rumah tangga yang ambil masin-masing secara acak di kelurahan yang penduduk miskinnya lebih dari 24 persen.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MIGRASI ORANG MISKIN KE PEKANBARU
(sebuah kajian Permulaan)
Oleh M.Rawa El Amady
Abstrak
Studi ini membahas migrasi penduduk miskin ke Pekanbaru, berdasarkan pada
faktor dorongan dan tarikat masyarat miskin yang bermigrasi ke Penkanbaru. Latar
belakang yang menarik minat untuk membahas penelitian ini berdasarkan pendapat
yang berkembang di media massa bahwa salah satu penyebab kemiskinan di Riau
adalah masuknya orang miskin ke Riau, dalam hal ini khususnya Pekanbaru.
Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang
menyebabkan orang miskin pindah ke Pekanbaru?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui factor-faktor yang mendorong
dan menarik orang miskin pindah ke Pekanbaru.
Teori yang dipakai adalah teori migrasi sosial yang memahami dua faktor seseorang
bermigrasi yaitu faktor dorongan dari daerah asal dan faktor tarikan dari daerah
yang menjadi tujuan serta aktivitas produksi yang dilakukannya di daerah tujuan.
Metoda penelitian ini adalah kwalitatif dengan menggunakan tabulasi kuantitatif
jawababn responden. Teknik pengumpulan data, pertama, pengumpulan data skunder
dalam hal data hasil pendataan Balitbang Provinsi Riau tahun 2005 dan informasi
lain yang akan mendukung penelitian ini di perpustakaan. Kemudian dilanjutkan
dengan survey ke rumah tangga sesuai dengan sample terpilih. Jumlah responden
yang akan diwawancara adalah330 rumah tangga yang ambil masin-masing secara
acak di kelurahan yang penduduk miskinnya lebih dari 24 persen.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdebatan yang berkembang di tengah masyarakat dan media massa bahwa salah
satu penyebab tingginya angka kemiskinan di Riau khususnya di perkotaan adalah
masuknya orang miskin ke Riau. Adapun kota-kota yang menjadi daerah tujuan orang
miskin tersebut, seperti Pekanbaru, Dumai, Pangkalan Kerinci, Perawang dan daerah
lainnya. Jika dilihat data lamanya penduduk miskin tinggal pada tabel 1. maka rata-
rata penduduk miskin yang datang ke Pekanbaru berjumlah 2.429 orang setiap
tahunnya. Data ini diperoleh dari total jumlah penduduk yang tinggal di Pekanbaru
kurang dari 5 tahun 12.143 jiwa dibagi lima. Jumlah ini jauh meningkat jika
dibanding 5 tahun sebelumnya yang hanya 8.654 jiwa. Jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang tinggal diatas 10 tahun 21.567 jiwa dan dibawah 10 tahun
20.797 selisihnya sangat sedikit yaitu 770 jiwa. Data ini agak mendekati asumsi di
media terutama para pejabat yang mengatakan bahwa kemiskinan di Riau khususnya
Pekanbaru disebabkan oleh migrasi. Asumsi ini juga harus dibandingkan dengan
jumlah pendatang yang tidak miskin atau yang menyebabkan bergeraknya motor
ekonomi di Pekanbaru.
Tabel 1. Lama Tinggal Penduduk Miskin di Pekanbaru berdasarkan Usia
Usia (th) Lama Tinggal (th)
15-30 30-45 45-55 >55 Jumlah
< = 5 6.387 4.450 886 420 12.143
6 - 10 4.060 3.354 877 363 8.654
> 10 10.269 6.805 2.863 1.630 21.567
Sumber : Balitbang Provinsi Riau 2004 (sudah diolah)
Jika berpedoman pada rata-rata penduduk miskin yang datang ke Pekanbaru
berjumlah 2.429 jiwa pada lima tahun terakhir dan tidak termasuk yang tidak miskin
maka dapat disimpulkan bahwa jumlah migrasi di Riau memang termasuk besar.
Besarnya presentase penduduk miskin yang pindah ke Pekanbaru merupakan
fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Tentu saja migrasi ini disebabkan oleh
berbagai hal baik itu oleh faktor dorongan maupuna faktor tarikan. Atas dasar itulah
maka penelitian ini perlu dilakukan kajian secara serius.
Penduduk pedesaan yang biasanya tergantung hidup pada hutan dan tanah
tepaksa mengganti sumber ekonominya karena hutan dan tanah telah beralih fungsi
antara lain diambil oleh industri. Oleh karena itu, diantaranya untuk tetap bertahan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan keluarga tidak mungkin lagi mereka tinggal di
desa. Selain itu, kota memang mempuyai daya tarik sendiri dan tersedianya lowongan
kerja untuk berbagai lapisan sosial. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengajukan
pertanyaan, yaitu Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan migrasinya penduduk
miskin ke Pekanbaru? Oleh sebab itu tujuan utama penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan penduduk miskin migrasi ke Pekanbaru.
Methoda Penelitian
Penelitian ini tediri dari dua tahap, tahap pertama peneliti melakukan kajian terhadap
data skuder terutama yang bersumber daridata dari Balitbang provinsi Riau tahun
2004. Ini sangat penting untuk memahami secara detail Kemiskinan di Pekanbaru.
Setelah itu dilanjutkan dengan studi lapangan yaitu melalui menyebaran quesioner
kepada responden. Untuk menentukan responden berapa langkah dilakukan, yaitu
pertama, diambil kecamatan yang rata-rata rumah tangga miskinannya diatas 10
persen, maka dari 11 kecamatan yang ada di kota Pekanbaru diperoleh informasi
kecamatan yang rata-rata rumah tangga miskinnya diatas 10 persen yaitu sebagai
berikut:
Tabel 2. Kecamatan yang Ruta Miskinnya diatas 10%
No Kecamatan % Ruta Miskin
1 Tenayan Raya 11,72
2 Limapuluh 11,72
3 Pekanbaru Kota 15,76
4 Sukajadi, 15,80
5 Senapelan, 12,71
6 Rumbai 16,38
7 Rumbai Pesisir 13,11
Dari tujuh kecamatan tersebut yang mewakili daerah pertanian meliputi Kecamatan
Tenayan Raya, Rumbai dan Rumbai Persisir, sedangkan yang mewakili perkotaan
dan perdagangan meliputi kecamatan Lima Puluh, Pekanbaru Kota, Sukajadi dan
Senapelan.
Kedua, pada 7 kecamatan terpilih tersebut dipilih dua kelurahan yang
kemiskinannya tertinggi yaitu diatas 24 persen di dua karateristik tersebut . Untuk
karateristik daerah pertanian dan pinggiran yaitu Tanayan Raya, Rumbai dan Rumbai
persisir, dipilih kelurahan Sail yang rumah tangga miskinnya mencapai 24,87 persen
sebagai reperesentasi Kecamatan Tanayan yang berasa di kawasan timur Pekanbaru
dan Kelurahan Palas yang rumah tangga miskinnya mencapai 34,80 persen sebagai
representasi dari Kecamatan Rumbai dan Rumpai Pesisir yang berada kasawasan
utara Pekanbaru.
Sedangkan untuk kawasan perkotaan dan perdagangan yaitu
kecamatan Lima Puluh, Pekanbaru Kota, Sukajadi dan Senapelan yang kelurahan
yang terpilih adalah Sukaramai yang kemiskinannya mencapai 25,98 persen, dan
kelurahan Kampung Tengah yang kemiskinannya mencapai 25,15 persen. Bedasarkan
data Balitbang tahun 2005 jumlah rumah tangga miskin adalah 9,538 rumah tangga
sedangkan jumlah rumahtangga miskin sebesar 2467 rumah tangga. Sedangkan rumah
tangga miskin yang tinggal < = 5 tahun berjumlah 484 rumah tangga dari jumlah
responden rumah tangga miskin yang tinggal < = 5 tahun dimabil 31 persen untuk
menjadi sample yaitu 152 rumah tangga yang didistribusikan berdasarkan banyaknya
rumah tangga miskin di kelurahan tersebut. Untuk sampel kontrol diambil10 rumah
tangga di kelurahan yang kemiskinannnya paling kecil. Pengambilan sample sebesar
semula ditetapkan 31 persen, tetapi dilapangan ternyata banyak ketidakcocokan data
dari Balitbang 2004 dengan fakta lapangan maka surveyor diberi hak untuk
menambah jumlah sample sampai menurutnya mampu menmpekecil eror untuk
analsis data.. Maka jumlah sample di kelurahan adalah 208 ditambah 10 di kelurahan
Delima maka N sample adalah 218 kepala keluarga. Secara rinci uraian sample
sebagai berikut:
Tabel 3 : Sampel Penelitian
Kawasan Perkotaan/Perdagangan Kawasan Pinggit/Pertanian
(Pku Kota, L Puluh, Su Jadi, S Plan) (Tenayan Raya, Rumbai,Rumbai Pesisir)
Kel Ruta Ruta Misk RuTa <
5
Sampel Kel Ruta Ruta Misk Ruta < 5 Sampel
Kampung
Tengah
1940 488 95 65 Palas 842 293 93 26
Sukaramai 993 253 32 17 Sail 5763 1443 264 102
Jumlah 2933 741 127 82 6605 1736 357 128 Sumber : Data Balitbang tahun 2004
Di luar sampel penduduk miskin tersebut diambil ambil sample 10 ruma
tangga miskin yang berada di kelurahan yang paling rendah kemiskinannya, yaitu
Kelurahan Delima Kecamatan Tampan yang rumah tangga miskinnya hanya 1,82
persen dari 4,837 ruta, yaitu hanya sample ini bertindak sebagai sample kontrol
dalam analisis.
PENDEKATAN TEORITIS
Urbanisasi dan Migrasi
Urbanisasi secara sosiologis menurut J.Clyde Mitchell (Breesse, G 1966)
meliputi beberapa pengertian yaitu pertama, proses menuju gaya hidup kota, yaitu
perubahan dari tipe masyarakat desa menuju masyarakat kota sebagaimana konsep
Durkheim dari gemeinschaft ke gessellscaft. kedua, perpindahan ke kota,
berpindahnya (migrasi) masyarakat desa ke kota dengan berbagai alasannya. ketiga,
peralihan pekerjaan dari pertanian ke jenis pekerjaan perkotaan yang bersifat keahlian
tertentu dan terrencana, dan keempat, berprilaku kota, yaitu dari prilaku yang lamban
statis dan cepat berpuas diri pada tradisi menuju ke perilaku kota yang dinamis,
ambisius, bebas dan terencana.
Selain itu, Nas (1979) memberi pengertian urbanisasi pada proses
pembentukan kota, perluasan kota ke pedesaan yaitu pengaruh kota pada desa,
pertumbuhan desa menjadi kota, peprindahan penduduk ke kota, kenaikan prosentase
penduduk yang pindah ke kota.
Karena pemahaman dan pengertian urbanisasi sangat luas tersebut diatas,
maka penelitian ini tidak memakai istilah urbanaisasi tetapi migrasi. Mengambil salah
satu dari pengertian urbanisasi. Selain itu, pemahaman masyarakat awam tentang
urbanisasi lebih dominan pada pengertian perpindahan penduduk dari desa ke kota,
padahal urbanisasi pengertiannya sangat luas. Oleh sebab itu, urbanisasi pada
penelitian ini hanya mengambil salah satu dari pengertian di atas, yaitu pengertian
migrasi penduduk menuju kota Pekanbaru.
Pilihan ini diambil karena migrasi yang dimaksud adalah imigrasi orang atau
rumah tangga ke Pekanbaru. Migrasi ini sendiri sangat tidak identik dengan
pengertian umum tentang migrasi merujuk perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Kedatangan orang miskin ke Pekanbaru, tidak dilihat semata-mata kedatangan orang
desa ke kota Pekanbaru, tetapi juga termasuk perpindahan orang miskin dari kota lain
dari luar Riau ke Pekanbaru. Bisa juga Pekanbaru bukan kota tujuan utamanya, tetapi
tujuan kedua, ketiga atau tujuan antara.
Pemahaman diatas dimaksudkan untuk meperjelas bahwa migrasi bisa
berbentuk urbanisasi bisa juga tidak, tetapi urbanisasi dalam plihan penelitian ini
adalah urbanisasi dalam pengertian migrasi. Selain itu, fokus penelitian ini bukan
studi perkotaan atau kajian tentang proses menjadi kota, tetapi kajian ini mefokuskan
orang-orang yang pindah dan menetap ke Pekanbaru dalam status sosial ekonominya
yang miskin.
Faktor-Faktor Migrasi
Faktor-faktor migrasi ke kota atau dari kota ke kota lain tetap meminjam
faktor-faktor perpindah penduduk dari desa ke kota. Mengambil dua alasan orang atau
penduduk untuk pindah yaitu faktor penarik dan dorongan (Schoorl, 1988, Evers
2002, Nas 1979, Harun 1993, Foster-Carter 1989). Walaupun faktor penarik dan
faktor pendorong ini bersifat statis tetapi setidaknya dapat menjadi acuan dasar untuk
mengetahui alasan perpindahan.
Nas, P.J.M, (1979) memahami hubungan kota – desa atau kota lainnya sebagai
interaksi ekonomi, yaitu beralihnya sumber daya ekonomi dari desa atau kota kecil ke
kota atau ke kota besar. Secara spesifik Nas meminjam konsep Santos (1971)
hubungan pusat dan pinggiran. Kota sebagai pusat yang menyedot sumber ekonomi
pedesaan atau pinggiran yang disebut dengan pinggiran. Penyedotan sumber ekonomi
ini diikuti oleh arus pepindahan manusia. Konsep Nas ini masuk dalam faktor-faktor
pendorong dari perpindahan penduduk tersebut.
Kelebihan dari teori Nas ini adalah proses pembandaran (menjadi kota) tidak
semata-mata sebagai hasil dari hubungan kota-desa. Tetapi lebih disebabkan oleh
dominasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Apabila satu kota menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi maka kota lainnya berubah status menjadi pinggiran bagi kota
tersebut. Batam sebagai contoh yang baik untuk ini, munculnya Batam sebagai kota
metropolitan dari sebuah desa kecil bukan disebabkan oleh hubungan desa-kota tetapi
disebabkan pertumbuhan ekonomi yang cepat di Batam. Dalam kasus Batam Tanjung
Pinang tidak lagi menjadi kota pusat tetapi sudah menjadi pinggiran, sehingga orang-
orang Tanjung Pinangpun banyak yang pindah ke Batam.
Nas menggunakan pedekatan struktural untuk mempelajari perkembangan
kota. Mengutip Galtung, Nas menjelaskan pendekatan struktural dengan
menggunakan konsep imprelalisme sebagai pendekatan sebagai suatu sistem
memecah kolektivitas sambil menghubungkan berbagai bagian yang mana mana
hubungannya bersifat selaras dalam kepentingan. Maka pembentukan suatu kota
sangat dipengaruhi keselarasan kepentingan pusat dan kepentingan pinggiran.
Ada dua mekanisme penting mengenai imprealisme menurut Galtung yaitu
hubungan interkasi vertical dan struktur interkasi feudal. Hubungan interaksi vertical
berarti bahwa seluruh sistem adalah simetris mengenai pertukaran nilai-nilai antara
pusat dan pinggiran maupun akibatnya. Pusat memanfaat pinggiran dalam bentuk
perampasan, pertukaran tidak sama, dan pertukaran sama tetapi dengan intra aktor
yang berlainan.
Akibat dari struktur interkasi feodal adalah adanya pemusatan sekutu
perdangangan, pemusatan barang-barang perdangangan dan pemusatan modal. Pada
daerah pinggiran hanya melakukan perdangangan dengan daerah pusat dan barang
yang dihasilkan daerah pinggiran sangat kecil dibandingan dengan darah pusat.
Teori ini secara gamblang mampu menjelaskan perkembangan Pekanbaru terkini yang
berkecenderungan menjadi pusat perdagangan bagi Sumatera Tengah dalam hal ini
Riau, Sumatera Barat dan sebagian Sumatera Utara, sedangkan Jambi menjadikan
Jakarta sebagai pusat utama, Pekanbaru sebagai pusat alternatif.
Jika merujuk kepada potensi ekonomi Pekanbaru sejak tahun 1942 dengan
hadirnya Caltex Pacifik Indonesia (PT CPI) sebagai perusahaan minyak yang tentu
akan memotori migrasi penduduk ke Pekanbaru. Kemudian dilanjutkan dengan
berkembangnya perusahaan kertas Indah Kiat (PT IKPP) dan Riau Pulp (PT RAPP),
perkebunan kelapa sawit, dan pada tahun 2000-an berkembang pesat perusahaan retail
di Pekanbaru.
Atas dasar tersebutlah maka faktor-faktor migrasi yang datang ke Pekanbaru
merupakan gabungan antara faktor dorongan dan faktor tarikan. Secara rinci Faktor
penarik terutama sekali karena daya tarik kota di bidang ekonomi, lapangan kerja,
ketersediaan fasilitas pendidikan, kesehatan dan fasilitas sosial lain. Begitu juga daya
tarik hiburan dan pusat kesenangan, serta peningkatan status sosial.
Diantara faktor tarikan tersebut faktor tarikan utama orang pindah ke
Pekanbaru adalah perubahan pekerjaan. Di tempat asal tidak tersedia lowongan
pekerjaan yang memadai, sehingga mereka migrasi ke Pekanbaru untuk mengantikan
atau mendapatkan Pekerjaan. Hal serupa juga dilakukan oleh penduduk miskin yang
pindah dari desa atau daerah daerah sulit secara ekonomi ke Pekanbaru, sementara
tidak mempunyai keahlian untuk masuk ke dunia kerja. Kecenderungan mereka ini
menetap di daerah pinggir dan tetap pada pekerjaan sektor pertanian dengan
menggarap tanah baik yang tidak bertuan atau sewa garap atau bekerja disektor jasa
yang merupakan sisa-sisa pekerjaan kota. Hasil analisis data yang dikeluarkan oleh
Balitbang dijumpai bahwa pendatang lima tahun terkahir yang miskin tinggal di
pinggiran Pekanbaru.
Sedangkan faktor pendorong di tempat asalnya adalah terjadinya penurunan
kualitas lingkungan, terutama di desa seperti pengalihan hak-hak ekonomi ke industri.
Berkembangan Industrialisasi dan bencana alam di desa menyebabkan terjadi proses
peminggiran dan krisis ekonomi dalam keluarga petani. Krisis tersebut timbul
disebabkan hilangnya sumber produksi sebagai jaminan untuk hidup (makan) bagi
petani.
Aditjondro, (1994:113-123) menemukan bahwa kehadiran industri di desa
menyebabkan penggusuran petani, pencemaran lingkungan dan penurunan mutu
lingkungan yang dekat industri tersebut. Begitu juga studi M.Yamin Sani (1990),
Adnan Abdullah (1993) dan Budhi Tjahjati S.Soegijoko (1985) menjumpai bahwa
kehadiran industri menyebabkan hilangnnya pekerjaan agraris dan perubahan fungsi
ekonomi dalam keluarga. Bagi masyarakat desa, pindah ke kota merupakan langkah
penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya. Di kota,
mereka akan bekerja disektor informal atau sektor jasa sisa perkotaan lainnya.
Perpindahan ke Pekanbaru dari kota-kota lain dapat dengan jelas dipahami
dengan menggunakan teori dwi polar dari Heidi (1965) lalu dikembangkan oleh Lee
(1967) yang mengemukakan bahwa ada empat faktor proses migrasi, faktor yang
berhubungan dengan daerah asal, faktor yang berhubungan dengan daerah
pemukiman baru, faktor rintangan antara daerah asal dengan daerah baru dan faktor
manusia secara pribadi.
Baik di daerah asal maun di daerah baru yang menjadi tujuan terdapat tiga
kondisi yang menyebabkan seseorang bermigrasi, yaitu positif yaitu faktor yang
membantu orang bermigrasi, faktor negatif yaitu faktor yang tidak membantu migrasi
dan faktor ‘0’ sebagai faktor yang tidak mempengaruhi. Makin besarnya faktor positif
pada daerah asal dan tujuan maka akan memperbesar migrasi di kedua derah tersrebut
yaitu emigrasi dan imigrasi. Tetapi proses migrasinya akan dipengaruhi pula oleh
hambatan yang dijumpai ketika menuju daerah tujuan, hambatan transfortasi, tempat
sementara yang dituju, keadaan personal yang bermigrasi seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan dan lain-lainnya.
Selain dari tiga faktor dan hambatan-hambatan di atas, faktor keempat adalah
faktor manusia secara pribadi yang mampu melewati batas-batas di atas sesuai dengan
kepentingan dan tujuan dari pribadi tersebut untuk pindah. Kapasitas pribadi meliputi
pendidikan, jenis kelamin, usia, keterampilan tempat yang dituju menjadi pendorong
utama bagi pribadi-pribadi tertentu untuk bermigrasi.
Nas mengingatkan bahwa memahami migrasi penduduk tidak dengan mudah
begitu saja, ada faktor yang sering diabaikan oleh banyak pihak seperti migrasi
dimulai karena telah terjadi migrasi terlebih dahulu. Dimana setiap gelombang
migrasi menimbulkan suatu gelombang migrasi lain yang kadang berlawanan dengan
faktor semula.
Pandangan Nas ini ternyata relevan dengan temuan Arif Nasution, M (1997)
bahwa bersarnya migrasi pekerja illegal ke Malaysia tidak terlepas dari bantuan pihak
lain terutama yang lebih dahulu datang ke Malaysia. Pihak-pihak yang terlibat
membantu kedatangan para migran ini adalah 70,3 % adalah tekong sisanya diurus
oleh keluarga taua teman. Pendapat ini membenarkan temuan Hugo (1993), (Choucri
(1983) Sulivan (1992), Ling (1984) Phuphongsakorn (1992) yang mengemukan
bahwa besarnya peranan organisasi pendatang yang lebih dahulu terhadap mobilisasi
kedatang migrasi baru.
Berdasarkan kecenderungan migrasi antara negara, bahwa pola mingrasi
global telah terjadi arus balik-balik. Jutaan menusia bermigrasi ke negara-negara
pusat untuk mendapatkan perobahan pekerjaan dan perbaikan derjat hidup.
Sebaliknya jutaan migrasi negara pusat ke negara pinggiran yang bertindak sebagai
agen pengembangan modal dengan keahlian yang dimilikinya (Abdul Samad Hadi,
1997).
Dalam kasus migrasi pekerja illegal Indonesia ke Malaysia bukan semata
faktor dorongan dan tarikan, tetapi lebih merupakan suatu bisnis tenaga kerja yang
mengorganisir pendatang illegal ini. Bisnis illegal itu berkembang dengan pesat
karena besar dukungan dari industri-industri di Malaysia yang mendapat keuntungan
besar dengan pekerja illegal ini. Walaupun berbeda temuan ini tetap relevan dengan
pendapat Lee (1966) bahwa tersedianya peluang kerja di daerah tujuan akan
mendorong pekerja untuk bermigrasi walau gajinya belum tentu lebih besar.
Faktor dorongan lain penduduk pindah dari desa ke kota atau dari satu kota
ke kota lain adalah terjadinya perubahan lingkungan dan demografis secara cepat
ditempat asal. Pola perubahan adalah dari lingkungan pedesaan ke perkotaan, atau
dari kota kecil ke kota besar. (Pelly 1996 ; Embong 1996). Perubahan ini
meningkatkan beban prikologis untuk tetap bertahan di tempat asal. Kesadaran
bermigrasi ini semakin meningkatkan dengan makin besarnya jumlah pendatang ke
tempat asal yang memiliki kemampuan ekonomi dan skill. Sementara pekerjaan-
pekerjaan sektor pertanian berkurang dan pekerjaaan sektor informal sudah diambli
alih pendatang. Apalagi sampai kepada kondisi menjadi minoritas di daerah sendiri.
Perubahan lingkungan dari agraris ke industri menimbulkan satu situasi krisis
ketahanan pangan atau kemiskinan. Merka yang kalah secara ekonomi di daerah asal
mencari pilihan ketempat lain. Kecenderungan penduduk miskin yang bermigrasi ke
Pekanbaru berada di daerah pinggiran kota dengan mengandalkan sektor pertanian.
Kecenderungan ini mengambarkan bahwa penduduk miskin yang pindah ke
Pekanbaru adalah penduduk yang kalah di daerah asalnya dan mencari pilihan tempat
dengan sumber daya ekonomi yang sama. Walaupun sumber ekonomi yang tersedia
hanya sebatas sumber ekonomi sekunder (Anderson 1924) pertanian subsisten (Pelly
1996) tanpa pertanian primer.
Selain itu, penduduk ditempat asalnya ini akan menghadapi apa yang dikenal
dengan involusi pertanian (Geertz 1970), dimana tanah atau rumah tidak bertambah
sementara jumlah anggota keluarga bertambah. Situasi ini tentu mendesak anggota
keluarganya untuk mencari piliha-pilihan strategis agar bisa bertahan hidup. Diantara
strategi yang diambil adalah pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk
menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota atau mencari
tempat pertanian baru yang tidak memerlukan pengerluaran modal yang besar tetapi
mampu menjamin keberlangsungan pangan.
Bertahan Hidup dan Tetap Miskin
Studi-studi ekonomi mikro yang dilakukan beberapa pakar mengemukakan
bahwa pada masyarakat yang agraris tradisonal menganut sistem ekonomi subsisten.
Chayanov (1966) Scott, Ever, Wong, Dan Claus (1984). Sebuah sistem pemikiran
yang berkembang dalam masyarakat miskin yang disebut Oscar Lewis sebagai budaya
kemiskinan. Pada tipe masyarakat ini sebesar apapun produksi, out putnya tetap
miskin karena sudah merupakan budaya. Maka perpindahan penduduk miskin ke
Pekanbaru akan menghabiskan perode yang panjang untuk merubah budaya
kemiskinannya.
Chayanov mengambarkan ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility
maximisation (menggunakan secara berlebihan). Assumsi kunci dari teori mikro
ekonomi rumah tangga petani, yaitu pertama tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya
tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak ada bantuan kerja dari anggota
keluarga dari luar rumah. Kedua, produksi hanya untuk konsumsi keluarga dan kalau
dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga lebih mudah berhubungan
dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam komunitas ini, norma sosial membuat
rendahnya pendapatan.
Lebih jelas Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai
usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga
tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap
produksi dicoba untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi.
Semakin tinggi produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin
kurang konsumsi.
Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant
Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa
ekonomi subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah
sebagai pekebun (farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja
berasal dari keluarga yang tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama
dengan konsumsi, dan kelima konsumsi adalah konsumsi subsisten.
Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsistens, yaitu
tiada tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional,
kecil dan subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar
yang luas, cenderung merupakan ekonomi keluarga. Famili sebagai unit sosial yang
menjalin hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai
unit sosial dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.
Pendapat Ellis berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua
varibel utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua
unit tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses
produksi maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi
yang menjadi teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar.
Selain menjadi buruh rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar
dalam hubungan dengan komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan
konsumsi tidak dapat dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga
merupakan produksi jasa yang secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai
saving jasa.
Dari pemikiran Evers dan Chayanov, 1 dapat disimpulkan bahwa ekonomi
subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar
yang bertujuan untuk konsumsi langsung, di mana sumber produksi adalah alam atau
jasa. Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga
lepas dari statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi
subsistensinya Scott (1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan minimal rumah tangga.
Jumlah produksi bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga menentukan
jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka dalam
1 Menurut Ever (1984) ekonomi subsisten adalah hubungan langsung antara produksi dan konsumsi
(produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa
bayar dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Chayanov (1966) suatu aktivitas ekonomi yang
melakukan self exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa
yang dipunyai oleh pekerja rumah tangga tanpa dibayar.
sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 65 jam. Dengan sumber produksi
yang terdiri dari sektor primer tanah petanian, sektor skunder alam, kebun rakyat serta
jasa dan sektor tertier dari keluarga dan kemunitas.
Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi
minimum rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalis jam kerjapun akan
semakin banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali
sehari. Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas
etika subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.
Pada ekonomi subsisten masyarakat tidak mempunyai standar kebutuhan
dasar. Standar petani adalah produksi, makin tinggi produksi maka standar belanja
dalam rumah tangga juga tinggi. Apabila produksi tahun ini bisa mencukupi sampai
panen tahun berikutnya, hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk
membelanjakan keperluan skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-
mayur, buah-buahan, daging merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi,
garam, korek dan pakaian dan keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja
mingguan atau bulanan.
Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat,
bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasilitas desa atau
bahkan membantu kerabat dalam melaksanakan perayaan. Saving dalam arti ekonomi
moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal
untuk konsumsi besar seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan
pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah
tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari
konsumsi besar tersebut.
Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten
hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi.
Prinsip-perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi
subsisten, yaitu produksi, konsumsi, saving dan hutang. Tujuan produksi pada
ekonomi subsisten adalah konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau
jenis produksi dipengaruhi oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan
menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah
tangga diproduksi oleh rumah tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi
massal berasal dari subsidi dari masing-masing rumah tangga.
Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk
menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah
membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika
prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai
sumber utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi
jangka panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan
persediaan konsumsi sepanjang tahun.
Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan
kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara
masyarakat dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta
jasa yang tidak dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang
setiap hari yang bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat
berpengaruh terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani
pada tauke semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah
ancaman kestabilan ekonomi, politik dan struktur sosial.
Konsumsi dalam masyarakat subsisten merupakan tujuan utama produksi.
Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika gambaran
konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas produksi
akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya dengan
labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan
produksi langsung.
Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua konsumsi utama, yaitu konsumsi
rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah
penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah
tangga. Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan
untuk keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan
hantar ketika hari besar.
Tauke atau rentenir merupakan sumber over consumption, ketika produksi
menurun sementara konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum
household utulity maximisation. Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang,
sementara produksi sangat minim. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan
diserahkan semuanya ke tauke untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka
tingkat ketergantungan petani tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke
bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.3
Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi
penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama
atau kepala rumah tangga sakit keras.
Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam
atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi
untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga
pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.
Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan
lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah
tangga menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut
biasanya berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang
dijual dan berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.
Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari
tuanya melalui pendidikan, sekarang keadaan ini sudah menjadi kecendrungan umum.
Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari tua. Anak yang sekolah
memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan tinggi. Sumber
3 Contoh yang menarik untuk disimak keberhasilan penduduk Desa Teladas, Rawas Sumsel
melepaskan diri dari tauke secara diam-diam menjual sebahagian penghasilan bulanannya (karet) ke
pembeli bebas dengan harga yang tinggi. Hasil penjulan diam-diam tersebut dibelikan untuk kebutuhan
bulanannya di pedangang lain. Sementara hutangnya pada tauke dibayar secara berangsur ke tauke
dengan sebahagian produksi karetnya. Munculnya inisiatif ini setelah masuknya pembeli-pembeli getah
karet dari kota yang membeli karet lebih mahal, bahkan karena yang datang kedesa tersebut sering
mencapai lima pedagang, di mana masing-masing pedangan getah karet tersebut berusaha membeli
harga tertinggi
biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan dan meminjam uang ke
tauke.
Pola konsumsi di atas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi
semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan
produksi melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas.
Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan
dan reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja
reproduksi dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan.
Reproduksi meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja
dari suami atau lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud
Ever dengan sektor skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga
melakukan produksi perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan
anak.
Sistem produksi subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi di mana
berada. Untuk yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang berpindah-
pindah, mengambil hasil hutan dan sungai, sementara petani yang tinggal di tanah
yang terbatas mengelola pertanian dan mengembangkan sektor jasa non formal.
Perubahan-perubahan sumber daya ekonomi pedesaan mengancam ketahanan
pangan dan keberlangsungan hidupnya selalu disiasati melalui beberapa strategi.
pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha swadaya dalam bentuk
pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan ketanaman
komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk menyerbu
ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga, pengandalan
pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek negara
berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan. Keempat,
pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan
atau oposisi. (Rawa, 2004)
Perpindahan penduduk miskin dari desa dan kota lain ke Pekanbaru bisa
diterjemahkan sebagai pilihan strategi bertahan dari ancaman ketahanan pangan dan
ancaman keberlangsungan hidup. Mayoritas penduduk miskin yang pindah ke
Pekanbaru empat tahun terkahir memilih dipinggiran kota dan konsisten dengan
sektor pertanian sebagai produksi utama. Posisi ini bergeser perlahan menuju kota
bersamaan dengan lamanya tinggal di Pekanbaru.
Perpindahan mereka ke Pekanbaru tidak serta merta merubah pola pemikiran
ekonomi keluarga. Pemikiran dan aktivitas ekonomi rumah tangga tetap
melaksanakan aktivitas ekonomi subsisten yaitu berkeja untuk bertahan hidup.
Walaupuin demikian setelah di Pekanbaru potensi perubahan sangat besar karena
besarnya penetrasi perubahan yang tidak mampu m,ereka rkontrol sehingga akan
merombak tatanan struktur sosial menuju ke arus perubahan. Perubahan struktur
sosial menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan
struktur sosial lama. Kemerdekaan untuk memiliki bebagai alternatif tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan cara pikir, budaya dan prilaku ekonomi. (rawa
2005) Perubahan ini didorong oleh makin konperehensif berbagai aspek yang lekat
pada permasalahan ekonomi rumah tangganya yang berada dilingkungan perkotaan.
Apalagi Hans Dieter Ever (1993) juga menjelaskan bahwa petani di Asia
Tenggara tidak tergantung pada lahan pertanian, tetapi tergantung pada sektor skunder
dan tertier. Sektor skunder adalah seperti tersedianya alam, perkebunan rakyat serta
buruh harian. Sedangkan sektor tertier adalah dana keluarga dan jasa.
Evers sudah secara jelas mengemukan bahwa ekonomi subsisten bukan hanya
terbatas pada petani di pedesaan tetapi memberi pengertian yang lebih luas tentang
ekonomi kelas bawah, buruh dan kaum miskin kota. Secara sosiologis di negara
ketiga sektor ekonomi kelas bawah ini masih sangat kuat memegang perinsip
ekonomi subsisten. Buruh dan masyarakat miskin perkotaan tidak mengalami
perubahan bukan semata-mata disebabkan permikiran ekonomi susbsiten tetapi juga
disebabkan faktor struktural modal dan peluang usaha. Situasi berkembangan
pemikiran ekonomi subsisten oleh yang lebih dulu berada di kota mempengaruhi
lambat perubahan sikap dari miskin ke tidak miskin.
Gambaran teoritis diatas sangat jelas memaparkan bahwa semakin besar
migrasi kemiskinan ke Pekanbaru akan mempengaruhi jumlah pertambahann ke
miskinan dalam masa lebih dari lima tahun. Tetapi migrasi penduduk ke pusat
perkotaan yang memiliki akses kerja yang mampu memanfaatkan peluang kerja yang
tersedia akan mampu meningkatkan perekonomian Pekanbaru dan mempunyai
dampak positif terhadap pengurangan kemiskinan di Pekanbaru.
DISKRIPSI KOTA PEKANBARU
Sejarah Singkat
Nama Pekanbaru dahulunya dikenal dengan nama "Senapelan" yang pada saat
itu dipimpin oleh seorang Kepala Suku disebut Batin. Daerah yang mulanya sebagai
ladang, lambat laun menjadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan
berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki
yang terletak di tepi muara Sungai Siak.
Nama Payung Sekaki tidak begitu dikenal pada masanya melainkan
Senapelan. Perkembangan Senapelan berhubungan erat dengan perkembangan
Kerajaan Siak Sri Indrapura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di
Senapelan, beliau membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan
perkampungan Senapelan. Diperkirakan istana tersebut terletak di sekitar Mesjid Raya
sekarang. Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah mempunyai inisiatif untuk membuat
Pekan di Senapelan tetapi tidak berkembang. Usaha yang telah dirintis tersebut
kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu
disekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada hari Selasa tanggal 21 Rajah 1204 H atau tanggal 23 Juni
1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh,
Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi "Pekan
Baharu" selanjutnya diperingati sebagai hari lahir Kota Pekanbaru. Mulai saat itu
sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer sebutan "PEKAN
BAHARU", yang dalam bahasa sehari-hari disebut PEKANBARU.
Perkembangan Pekanbaru baik pada zaman penjajahan Belanda maupun
Jepang, merupakan pusat – pusat tertentu sehubungan dengan kepentingan bagi
masing – masing penjajah.1 Pada zaman penjajahan Belanda, Pekanbaru menjadi
tempat kedudukan Distric Hofd Van Pekanbaru yang selanjutnya sebagai tempat
kedudukan Controleur (PHB) Pemerintahan Belanda, berdasarkan Besluit Van Het
Indlansche Zelfbestuur Van Siak, nomor 1 tahun 1919. Begitu juga pada pendudukan
Jepang, Pekanbaru menjadi Daerah Gun yang dikepalai oleh Guncho dan tempat
kedudukan Riau Syu Cokang.
Keadaan ini berlanjut setelah Indonesia merdeka kedudukan Pekanbaru melalui
beberapa tingkatan perkembangan (hirarki) ditandai dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. Des.52/I/44-25, tanggal 20 Januari 1959.
Arti dari perkembangan status kota dari sudut administrasi di atas menyimpulkan
bahwa kota Pekanbaru semakin membenahi dirinya sebagai suatu ”kota”. Baik
sebagai kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi maupun dengan
status ”kotamadya”. Dengan demikian secara fungsional berarti pemerintahan kota
harus menyiapkan dan mampu berperan untuk menghidupi setiap warganya melalui
pranata – pranata yang ada.
Jika batasan kota menggunakan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan
perkotaan (urban), Kota Pekanbaru telah berkembang menjadi kota besar (penduduk
≥0,5 juta jiwa). Bentuk ini akan terwujud pada tahun 2003 ini yang jumlah
penduduknya mencapai 653.435 jiwa. Sebagian besar penduduknya merupakan
pendatang dari berbagai pulau (provinsi/suku) di Indonesia, yang terbanyak seperti
Suku-suku Minang (Sumatra Barat), Batak (Sumatra Utara), Jawa (Jawa Tengah dan
Timur), Sunda (Jawa Barat). Jumlah penduduk pendatang itu justru lebih banyak dari
Penduduk aslinya (suku Melayu Riau).
Pekanbaru dikujungi banyak pendatang tersebut dikarenakan letaknya yang
strategis hanya 1 jam penerbangan dari Singapura, 1 jam 30 menit dari Kuala
Lumpur, atau 30 menit penerbangan dari Medan menjadikan kota ini sebagai 'trading
hub' yang sangat menjanjikan di masa datang. Oleh sebab itu sangat wajar kalau
kemudian Pekanbaru menjadi kota pendatang, karena penduduknya mayoritas
pendatang.
1 Bagian ini bahan diambil dari makalah Hasanudin Jalil, Pekanbaru dari Pandangan Sosilogis tahun
1993.
Tabel 4 : Komposisi Penduduk Pekanbaru tahun 2003
Jenis Kelamin Umur
Lk Pr JLH
00 – 04 34,111 31,680 65,791
05. – 09 38,075 37,990 76,065
10. – 14 35,643 29,501 65,144
15 – 19 32,112 31,519 63,631
20 – 24 26,283 36,388 62,631
25 – 29 35,510 33,089 68,599
30 – 34 33,046 35,523 68,569
35 – 39 27,682 24,729 52,411
40 – 44 24,251 19,059 43,310
45 – 49 15,890 11,788 27,678
50 – 54 10,526 12,268 22,794
55 – 59 6,329 6,022 12,351
> 60 13,658 10,763 24,421
TOTAL 333,116 320,319 653,395 Sumber: BPS Pekanbaru tahun 2003.
Pusat kota Pekanbaru (down town) dibelah oleh sebuah jalan protokol, yaitu Jl
Sudirman yang sangat panjang. Sayang saat ini bagian tengah dari jalan ini
separuhnya dipakai untuk luapan pedagang Pasar Pusat, tetapi sebetulnya jalan yang
meniru konsep 'Avenue' ini sangat indah jika tertata apik dan rapi
Migrasi dan Perkembangan Kota Pekanbaru
Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau sama seperti ibukota propinsi
lainnya di Indonesia, Pekanbaru menjadi magnet yang sangat kuat bagi seluruh
penduduk Riau untuk bermigrasi ke kota ini.
Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk tahun 1980 penduduk Kotamadya Daerah
Tingkat II Pekanbaru berjumlah 186.199 jiwa. Dari jumlah tersebut tersebar di dalam
enam wilayah kecamatan yakni kecamatan – kecamatan Pekanbaru Kota, Sukajadi,
Sail, Limapuluh, Senapelan dan Rumbai. Luas daerah kota mencapai 62,96 kilometer
persegi.
Pada tahun 1987 (setahun sebelum reklasifikasi perkotaan) kepadatan rata –
rata mencapai 5.389 jiwa per kilometer persegi. Angka ini relatif sangat padat jika
dibandingkan dengan kota – kota lain diwilayah Provinsi Riau. Perubahan yang
sangat drastis terjadi pada tahun 1988 yakni adanya pemekaran wilayah kota
(reklasifikasi). Perluasan daerah tersebut mencapai 10 kali lebih luas dari daerah
sebelumnya, yakni dari 62,96 kilometer persegi menjadi 632,07 kilometer persegi
(sungguh luar biasa). Akibat dari reklasifikasi tersebut pertambahan absolut penduduk
mencapai jumlah 108.424 jiwa. Pertambahan yang mampu menciptakan sebuah kota
kecil dalam wilayah kota Pekanbaru.
Perkembangan selanjutnya setelah reklasifikasi perkotaan hingga sensus
penduduk tahun 1990 dilaksanakan, telah mencapai jumlah sebesar 398.621 jiwa.
Laju pertumbuhan rata – rata sejak adanya Pekanbaru dapat dilihat pada lampiran 1.
Laju pertumbuhan penduduk mencapai point tertinggi selama periode 1980 – 1990
sebesar 7,9 % rata – rata setiap tahun. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Pekanbaru
bertambah menjadi 653.435 jiwa dengan pertumbuhan rata-sata 4,85 persen per
tahun.
TABEL 5 : PERKEMBANGAN PENDUDUK PEKANBARU
TAHUN
JUMLAH
1930 10.000
1961 70.821
1971 145.030
1980 186.199
1990 398.621
2000 586.223
20003 653.435
20004 676.076 Sumber: Assalundin,1993, BPS Pekanbaru tahun 2003.
Bertolak dari data tersebut, maka kepadatan penduduk dan sex rasio pada
masing – masing kecamatan dapat dihitung. Kepadatan tertinggi ada di wilayah
Kecamatan Pekanbaru Kota dan Sukajadi. Menyusul dibelakangnya adalah
Kecamatan Limapuluh dan Sail. Keempat kecamatan ini merupakan kawasan sentral
pemerintahan dan dengan distribusi fasilitas umum terkonsentrasi di daerah – daerah
kecamatan tersebut. Pusat – pusat perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan serta
pusat – pusat perkantoran berlokasi ditiga wilayah kecamatan ini. Sebaliknya
sebahagian dari wilayah kecamatan Rumbai, Senapelan, Bukit Raya dan Tampan jika
dibahas dari sudut pendekatan ”pusat-pinggiran” merupakan daerah pinggiran jika
dilihat dari visi geografis, fasilitas umum dan ciri ekonomi masyarakat.
Tabel 6 : Kepadatan Penduduk Tahun 2003
Kecamatan Luas Wlayah (KM) Jumlah Pddk Kepadatan Pddk
Tampan 108,84 184.773 1.400
Bukit Raya 299,08 210.422 704
Lima Puluh 4,04 41.343 10.187
Sail 3,26 22,903 6.615
Pekanbaru Kota 2,26 27,110 13.193
Sukajadi 5,10 61,586 12.128
Senapelan 6,65 35,762 5.486
Rumbai 203,03 100,496 491 Sumber: BPS Pekanbaru tahun 2003.
Sampai tahun 2003, tingkat kepadatan penduduk tetap berda di Pekanbaru
Kota, Sukajadi dan Lima Puluh, sementara rumbai masih yang terjarang jumlah
dilihat dari kepadatan penduduknya. Hal ini tentu tidak lepas dari visi pekerjaan dan
kuantitatif aktivitas bisnis berada di tiga kecamatan tersebut.
Tabel 7: Rasio Penduduk Pekanbaru Berdasarkan Seks Tahun 2003
Jenis Kelamin
Kecamatan Lk Pr JLH
Tampan 97.554 87.219 184.773
Bukit Raya 109.854 100.568 210.422
Lima Puluh 21,430 20.004 41.343
Sail 11,858 11,045 22,903
Pekanbaru Kota 13,895 13.215 27,110
Sukajadi 31,387 30.199 61,586
Senapelan 19,141 16.621 35,762
Rumbai 52182 48.314 100,496 Sumber: BPS Pekanbaru tahun 2003.
Seks rasio di beberapa kawasan kecamatan yang termasuk dalam lingkungan
”pusat” disadari bahwa lebih dari setengah penduduk kotamadya Pekanbaru dipenuhi
oleh perantau ”minang” yang memiliki konotasi khusus dalam migrasi. Perbedaan
yang tajam dalam hal sex rasio akan memunculkan pula fenomena lain di dalam
kehidupan masyarakat.
Secara fisik kota telah berubah, perbedaan antara ”rural” dan ”urban” semakin
jelas. Akibatnya timbul kepincangan distribusi penduduk dan fasilitas sosial. Hasil
sensus penduduk tahun 1980 Pekanbaru secara total tergolong dalam klasifikasi
”urban”. Pada hasil sensus penduduk tahun 1990 proporsi penduduk yang tinggal di
”urban” sejumlah 85,6 persen. Berarti terdapat penduduk yang bermukim di ”rural”
sebesar 14,4 persen. Tahun 2003 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan
mencapai 98,66% dan hanya 1,34% tinggal di Pedesaaan. Berkurangnya jumlah
penduduk yang tinggal di pedesaan ini bukan disebabkan jumlah penduduk yang
beralih ke perkotaan tetapi disebabkan berkembangnya kota yang menyebabkan
daerah pinggiran atau desa makin sempit dan makin berkurang.
Kesimpulan sementara terjadi pergeseran ”status urbanit”. Masyarakat yang
tinggal diluar kota Pekanbaru (secara administratif) setelah reklasifikasi berubah
status menjadi warga kota baru (interaksi dan aktivitas masyarakat di kawasan ini
lebih banyak di Kotamadya Pekanbaru). Dengan menempati daerah pinggiran yang
sering disebut dengan ”sub urban”, secara perlahan – lahan daerah pinggiran tersebut
telah memunculkan aktivitas ekonomi dan pasar yang berkembang dengan sendiri.
Sama pula halnya dengan sarana dan prasarana lain yang menunjang kehidupan
urbanit. Jaringan transportasi, sarana pendidikan, pasar, jasa, kesehatan dan fasilitas
lainnya akibat kepincangan tersebut menimbulkan aktivitas tersendiri. Problema lain
yang menarik diperhatikan adalah pengendalian dan mengatasi resedual (pembuangan
limbah rumah tangga dan sampah) warga kota.
Dilihat dari komposisi jumlah usia produktif dengan usia tidak produktif dan
usia sekolah menunjukkan range yang sangat menonjol. Terlihat pada tabel 5 berikut
bahwa jumlah usia produktif mencapai 62 % dari seluruh jumlah penduduk,
sementara usia sekolah mencapai 32%, usia tidak produktif di atas 55 tahun hanya 6
persen. Perbandingan persentase tersebut dihubungan dengan usia produktif dapat
diinterpretasikan bahwa mayoritas usia produktif tersebut adalah pendatang yang
datang 10 tahun terakhir. Jika jumlah usia di atas 55 tahun dikalikan rata jumlah
anggota rumah tangga 5 maka diperoleh jumlah yang lahir dari usia di atas 55 tahun
adalah 183.860 jiwa atau hanya 29 %, artinya jumlah usia produktif yang merupakan
pendatang 10 tahun terakhir adalah 33 persen. Data ini seharusnya mampu memacu
perkembangan ekonomi Pekanbaru dan punya dampak positif terhadap pengurangan
kemiskinan di Pekanbaru.
Tebel 8 : Perbandingan Usia Produktif dengan Non Pruduktif
Jenis Kelamin
Umur Lk Pr JLH
00 - 14 107,829 99,171 207,000
15. -54 194,774 192,095 409,623
55 + 19,987 16,785 36,772 Sumber: di olah dari data BPS Pekanbaru tahun 2003.
Suparlan (Jalil, 1993) menjelaskan semakin berkembang sebuah kota maka
semakin berkembang pula berbagai bentuk pelayanan jasa dan pasar. Semakin
kompleks pula kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan
warganya. Sebab setiap kebutuhan yang harus dipenuhi menuntut pula dipenuhinya
kebutuhan lain yang mendukung pemenuhan kebutuhan yang pertama tersebut.
Ciri kehidupan perkotaan yang lebih menekankan kepada kegiatan – kegiatan
ekonomi di bidang pelayanan dan industri memunculkan berbagai bentuk spesialisasi
kemampuan, teknologi, jasa dan keterampilan. Kegiatan ekonomi pasar di perkotaan
menyebabkan munculnya batas – batas yang jelas antara pemilik modal dan yang
tidak memiliki modal atau selalu muncul dengan sebutan dan istilah ”bos” dan
”bawahan”.
Tidak dapat disangkal bahwa fasilitas pelayanan umum di kota Pekanbaru
semakin tampak. Jaringan transportasi semakin meluas (walaupun masih memerlukan
penataan kembali), pasar swalayan bermunculan disamping pasar tradisional yang
terus berkembang, mall sudah 5 buah. Indikasi ini merujuk pada keadaan persaingan
sektor formal (yang cenderung terbatas kepada pemilik modal) dan sektor informal
yang semakin membengkak. Demikian tingginya keaktifan sektor informal
menyebabkan pemanfaatan fasilitas yang ada seperti, jalan dan pelataran parkir,
trotoar disulap menjadi lokasi kegiatan.
Walaupun sebahagian besar warga kota Pekanbaru masih bercirikan in door
oriented, keberadaan pusat jasa dan hiburan sebagai ciri ekonomi bisnis perkotaan
diimbangi oleh ciri ekonomi bazaar (tradisional). Penonjolan kegiatan jasa dan jasa
perorangan mengarah kepada ciri kehidupan kekotaan. Semarak kehidupan kota
memberikan daya tarik yang khas tidak hanya bagi penduduk kota, penduduk yang
tinggal di luar kota tertarik untuk menikmati corak kehidupan tersebut. Corak dan ciri
kehidupan seperti ini yang disebut dengan urban as away of life, artinya keinginan
untuk tinggal dikota berupaya untuk mengikuti cara hidup kota dengan menikmati
fasilitas kota yang tersedia. Oleh karena itu, keberadaan pusat – pusat pelayanan jasa
hiburan merupakan suatu aktivitas yang sangat cepat berkembang.
Sisi lain dari kehidupan warga kota adalah kebutuhan akan rekreasi.
Kekurangan fasilitas rekreasi menyebabkan tempat – tempat tertentu dipenuhi oleh
orang –orang yang ingin melepaskan keperluan tersebut. Penataan tata kota yang
semestinya sudah memperkirakan fasilitas tersebut hingga saat ini belum terwujud.
Walaupun ada pusat rekreasi tetapi aksessibilitas ketempat tujuan masih merupakan
beban masyarakat kota. Bahkan tempat tersebut (sepertinya) hanya diperuntukkan
bagi warga kota yang memiliki angkutan pribadi khususnya angkutan roda empat.
Masalah yang muncul ialah apakah pemerintah kota mampu melaksanakan
fungsinya sebagai suatu pranata formal. Apakah pemerintah kota sudah
mengakomodir semua pranata yang terkait di dalam sistem pelayanan masyarakatnya.
Dalam hubungan ini kemapuan pemerintah kota ditantang. Permasalah seperti
kriminalitas, munculnya permukiman liar (squatter) dan kumuh (slums) merupakan
beberapa dilema sebagai akibat kurang berfungsinya pranata yang ada. Dilain pihak
perkembangan kota (baik fisik maupun penduduknya) bila tidak berjalan sebagai
suatu sistem, hanya merupakan beban yang serius bagi pemerintah kota. Dilain pihak
warga kota semestinya pulalah memahami akan adanya normatif dan sistem kota
tersebut.
Kota Pekanbaru memiliki heterogenitas dan diferensiasi pekerjaan yang
semakin nyata. Perkembangan wilayah menempatkan kota ini memerlukan
perencanaan tata ruang kota dan perencanaan sosial yang dinamis. Terdapat empat
kutub yang menghubungkan antarwilayah di dalam kota Pekanbaru. Masing – masing
kutub tersebut ditandai dengan ciri yang khas. Yakni berdiri sentra – sentra
pendidikan yang secara tidak langsung mengitari kotamadya Pekanbaru. Kawasan
Universitas Lancang Kuning di wilayah kecamatan Rumbai, Universitas Riau di
Kecamatan Tampan dan Universitas Islam Riau di Kecamatan Bukit Raya. Dibelahan
lain masih dalam kawasan Kecamatan Bukit Raya merupakan pintu gerbang masuk
transportasi (dan arus manusia) dari kawasan Timur Sumatera.
Bila dikaitkan dengan pendekatan analisis yang telah disebutkan dimuka,
antara daerah pusat kota dengan pusat pendidikan merujuk kepada kawasan sub-
urban. Permasalahan yang sering terangkat kepermukaan berkenaan dengan keadaan
sub urban ini adalah sengketa atas tanah, penyerobotan dan spekulasi harga. Di
samping itu adalah kecenderungan pola lompat katak dari spekulan pemilik modal
melalui real estate, pengkaplingan tanah, dan perumahan umum.
Pengaturan dan penciptaan sistem dan jaringan transportasi pada dasarnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kota. Masalah kemacetan lalu
lintas, kelebihan beban yang diangkut, terminal dan halte serta pengaturan arus masuk
transportasi diatur secara dini. Termasuk didalamnya penunjukan dengan jelas logistic
base dengan building yang digunakan.
Hubungan seterusnya ialah keharusan aktivitas ekstra keras dari Pemerintah
Kota, khususnya kelengkapan dan kesiapan aparat Pemerintah dalam usaha
pembenahan sistem pelayanan dan kebijakan kependudukan untuk tetap
memperhatikan berjalannya fungsional perkotaan.
Perkembangan Ekonomi
Kota Pekanbaru sebagai pusat Pemerintah Provinsi Riau dan perdagangan
menjadi daya tarik ekonomi tersendiri. Faktor lain yang juga menunjang sangat
prospektifnya kota ini, adalah begitu banyaknya perusahaan penanaman modal asing
yang berkiprah di Propinsi Riau mendirikan kantor pusatnya di kota ini. Sebut saja
perusahaan seperti PT Caltex Pacific Indonesia, perusahaan minyak terbesar di
Indonesia, mempunyai kantor pusat operasi di Rumbai (+/- 15 km dari Pekanbaru),
atau PT Indah Kiat Pulp and Paper yang bergerak di bidang usaha Pulp dan Paper,
demikian juga perusahaan sejenis yang besar seperti PT Riau Andalan Pulp and
Paper, PT Raja Garuda Mas, dan perusahaan lainnya. Di bidang kehutanan ada
perusahaan raksasa seperti PT Surya Dumai, atau PT Siak Raya. Tidak bisa dipungkiri
perusahaan-perusahaan itulah yang menjadi denyut nadi perekonomian di Riau, atau
Pekanbaru khususnya
Lihatlah Produk Domestik Regional Bruto Kotamadya Pekanbaru mengalami
kenaikan. Perhitungan atas dasar harga berlaku pada tahun 1999 adalah sebesar
Rp.2.194.962,29 juta, tahun 2000 naik menjadi Rp.3.212.380,80 juta atau naik sebesar
46,35%. Perhitungan atas dasar harga konstan 1993, pada tahun 1999 sebesar Rp.
1.135.287,66 juta dan tahun 2000 Rp.1.322.723,55 juta atau naik sebesar 16,51%.
Pada tahun 2001 mengalami kenaikan lagi 16,14 % menjadi Rp. 5.717.027,61,
ditahun 20002 naik 16,15 % menjadi Rp.6.168.586, 97,-
Pendapatan perkapita penduduk Kotamadya Pekanbaru juga mengalami
kenaikan. Perhitungan atas dasar harga berlaku, tahun 1999 sebesar Rp.3.413.040,10
juta menjadi Rp.5.093.714,30 juta pada tahun 2000 atau naik sebesar 49,24%.
Sedangkan atas dasar harga konstan 1993, pada tahun 1999 sebesar Rp.1.873.218,19
menjadi Rp.2.097.377,71 pada tahun 2000 atau naik sebesar 11,97%. Tahun 2002
naik menjadi 2.188.882,25,-
Jika dilihat dari Luas Tanah menurut penggunaan lahan terlihat bahwa daerah
yang masih mungkin untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian hanya berada di
dua kecamatan yaitu : Kecamatan Tampan dan Bukitraya. Di Kecamatan Tampan
terdapat 2.150 Ha lahan yang sementara tidak ditanami, sedangkan di Kecamatan
Bukitraya ada 2.050 Ha.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sector ekonimi semakin
berkembang ditandai dengan peningkan PDRB dan pendapatan perkapita perorangan,
makin berkurangnya tanah untuk sector pertanian dan meluasnya sector perdagangan
dan jasa. Suatu gambaran Pekanbaru yang akan menuju ke kota metropolitan menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi dikawasan Sumatera Tengah. Perkembangan retail
sangat cepat ditahun 2004 dan 2005 sudah beroperasi perdagangan retail Makro dan
Hypermart dan retail lainnya, serta telah beroperasi lima mall besar. Tentu keadaan ini
menjadi factor penarik bagi migran untuk masuk ke Pekanbaru.
Walaupun pertumbuhan ekonomi ini tidak begitu sinkron dengan kondisi
sumber daya manusia yang menopangnya, table berikut menjelaskan tentang tingkat
pendidikan di Pekanbaru
Tabel 8 : Tingkat Pendidikan di Pekanbaru
Tingkat Pendidikan
Tamat SD SLTP SLTA Kecamatan Buta Huruf
ke bawah kebawah ke atas
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 TAMPAN 82 425 151 9 667
2 PAYUNG SEKAKI 101 590 277 968
3 BUKIT RAYA 150 783 263 11 1,207
4 MARPOYAN DAMAI 193 931 405 15 1,544
5 TENAYAN RAYA 403 2,060 578 20 3,061
6 LIMA PULUH 105 639 345 9 1,098
7 SAIL 76 269 137 5 487
8 PEKANBARU KOTA 99 564 172 12 847
9 SUKAJADI 126 907 499 36 1,568
10 SENAPELAN 145 646 306 6 1,103
11 RUMBAI 216 1,344 381 15 1,956
12 RUMBAI PESISIR 238 1,089 318 7 1,625
Kota Pekanbaru 1,934 10,247 3,832 145 16,158
Persentase (%) 11.97 63.42 23.72 0.90 100.00
Sumber: Pendataan Penduduk / Keluarga Miskin Propinsi Riau 2004
Data secara jelas memaparknan bahwa 75, 89 persen sumber daya keluarga
miskin yang tersedia di Pekanbaru adalah tidak dan tamat sekolah dasar serta buta
hubuf, tamat SLTP 23, 72 persen dan hanya 0,92 % yang tamat SLTA dan perguruan
tinggi. Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan jika melihat kecenderungan
kebutuhan tenaga kerja di perkotaan yang semakin hari semakin membutuhkan tenaga
skill. Sedangkan tenaga tidak cakap (unskill) makin berkurang. Kondisi ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah pengangguran di Pekanbaru
dan makin rawannya ketahanan sosial serta makin berkembangnya ancaman
keriminalitas. Diperkirakan 75,89% tersebut akan tetap miskin bahkan akan menjadi
semakin miskin karena makin berkurangnya perluang kerja tersebut.
Kemiskinan di Pekanbaru
Angka kemiskinan kota Pekanbaru tahun 2003 adalah 11, 74 %, jumlah ini
menurut ditahun 2004 menjadi 10,91% (Balitbang 2005), jadi terjadi penurunan 0, 83
persen. Penurunan ini sangat kecil bahkan bisa disimpulkan bahwa penurunan ini
bukan disengaja tertapi terjadi karena meningkatnya jumlah perdagangan retail besar
ke Pekanbaru yang menyebabkan bertambah orang yang tidak miskin ke Pekanbaru
sehingga mengurangi jumlah orang miskin di Pekanbaru. Sayangnya tidak tersedia
data orang yang tidak miskin pindah ke Pekanbaru dalam lima tahun, sehingga tidak
bisa membandingan pengaruh migrasi orang bekerja denan migrasi orang miskin ke
pekanbaru..
Data pada table tersebut diketahui bahwa kemiskinan terbesar berada di yaitu
Tanayan Raya yaitu 17,66% rumah tanga miskin dan 16,95% penduduk miskin,
Rumbai, 16,88 rumah tangga miskin, 16, 74 pendududk miskin, Sukajadi 15,80 rumah
tangga miskin dan 15, 28 persen penduduk miskin, Pekanbaru Kota 14, 70 rumah
tangga miskin dan 15, 28 persen penduduk miskin.
Data ini mengambarkan bahwa jumlah penduduk miskin terbesar berada di
kecamatan pinggir yang berbasis pertanian yaitu Kecamatan Tanayan Raya dan
Kecamatan Rumbai Besar. Bahkan desa Palas Rumbai menempati jumlah penduduk
miskinnya berada dalam posisi 40%,Daerah yang paling padat penduduk yaitu
Sukajadi dan Pekanbaru Kota menjadi peringkat berikutnya yang berada di daerah
kota. Begitu juga Kelurahan Sukaramai, Kampung Tengah merupakan kelurahan yang
kemiskinannya berada diantara 20-30%. Gambaran ini menunjukkan bahwa
kemiskinan di Pekanbaru merata tidak hanya ada di kawasan pinggir saja.
Tabel 10 : Penduduk dan Ruta Miskin Pekanbaru
JMLH JMLH % JMLH JMLH %
KECAMATAN RUTA RUTA RUTA PDDK PDDK PDKK
MISKIN MISKIN
MISKI
N
MISKI
N
1 TAMPAN 18,412 667 3.62 89,294 3,334 3.73
2 PAYUNG SEKAKI 13,896 968 6.97 67,878 4,714 6.94
3 BUKIT RAYA 15,209 1,207 7.94 73,793 5,662 7.67
4
MARPOYAN
DAMAI 20,297 1,544 7.61 97,276 7,593 7.81
5 TENAYAN RAYA 17,336 3,061 17.66 83,210 14,100 16.95
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2005
Secara keseluruhan pendatang yang beragama Islam masih mayoritas, hanya
pada kelurahan tertentu agama protestan justeru mayoritas sebagaimana grafik bawah
ini;
Grafiik 5 : Penganut Agama di Kelurahan Sampel
0%
86%
13% 1%0%
Budha Islam Protestan Katolik Kong Hu Tsu
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2005
Pada kelurahan yang menjadi populasi penelitian tergambar jelas bahwa daerah
pinggiran dalam hal ini Palas mayoritas pendatangnya beragama Protestan mencapai
59,1 %, begitu juga dengan Kelurahan Sail jumlah penganut protestan mencapai 32%.
Sedangkan di daerah perkotaan didominasi penganut agama Islam.
Grafik 6 : Penganut agama di Kelurahan responden
19
180
32
95
29
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
delima sail sukaramai kampung
tengah
palas
islam protestan budha kong khu tsu
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Dilihat dari hasil survey diketahui bahwa komposisi agama yang
dianut pendatang yang menjadi sample pada survey berikut dibawah ini.
Grafik 7 : Agama yang dianut oleh sample
53%44%
3%
Islam Protestan Khatolik
Sumber: Hasil Survey 2005
Data ini mengambarkan bahwa agama yang dianut oleh sample mayoritas
beragama Islam dan diikuti oleh Kristen Protestan dan hanya sedikit yang beragama
Kriten Khatolik.
4.2.2. Pendidikan Pendatang
Dilihat dari profil pendidikan pendatang lima tahun terkahir yang ke
Pekanbaru adalah sebagai berikut;
Kecamatan Tidak
Pernah
Sekolah
Tidak
Tamat
SD
Tamat
SD
Tamat
SLTP
Sederajat
Tamat
SLTA
Sederajat
Pergurua
n Tinggi
10.TAMPAN 13 52 188 199 127 7
11.PAYUNG SEKAKI 8 31 148 235 207 1
20.BUKIT RAYA 5 59 176 261 149 12
21.MARPOYAN
DAMAI
14 80 351 434 344 5
22.TENAYAN RAYA 23 192 450 592 389 13
30.LIMA PULUH 3 17 142 174 137 4
40.SAIL 4 16 47 84 77 1
50.PEKAN BARU
KOTA
4 23 107 144 104 4
60.SUKAJADI 7 57 287 324 313 23
70.SENAPELAN 39 116 142 127 1
80.RUMBAI 22 76 353 444 281 10
81.RUMBAI PESISIR 6 55 174 173 122 6
Total 109 697 2,539 3,206 2,377 87
Tabel 14: Tingkat pendidikan Pendatang
Di Kecamatan Tampan terdapat 2 Kepala keluarga tamatanS2/S3
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Tabel diatas dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas pendatang adalah
tingkat pendidikan SLTP mencapai 36% diikuti tamat SD dan tamat SMU. Data ini
cukup mengejutkan juga karena ternyata terdapat dua orang yang tamatan S2/S3 dan
85 orang tamat S1. Tamat S2/S3 menimbulkan kekaburan pemahaman tentang
pengaruh pendidikan terhadap Kemiskinan. Data diatas secara implisit menjelaskan
bahwa tidak begitu relevan antara Kemiskinan dengan pendidikan.
Secara jelas Grafik berikut ini memaparkan persentase tingkat pendidikan
pendatang ke Pekanbaru. Persentase yang tidak pernah sekolah berimbang dengan
jumlah yang tamatan perguruan tinggi.
Grafik 8 : Pendidikan Pendatang Lima tahun terkahir
1% 8%
28%
36%
26%
1%
Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD
Tamat SLTP Sederajat Tamat SLTA Sederajat Perguruan Tinggi
Sementara tabel tingkat pendidikan di kelurahan yang menjadi populasi survey
adalah sebagai berikut;
Tabel Tingkat pendidikan Pendatang 5 tahun terakhir ke Pekanbaru
Kelurahan Tidak
Pernah
Sekolah
Tidak
Tamat
SD
Tamat
SD
Tamat
SLTP
Sederajat
Tamat
SLTA
Sederajat
PT
DELIMA 2 9 16 25 6
SAIL 11 104 194 227 146 3
SUKA RAMAI 1 9 18 35 20 2
KAMPUNG
TENGAH
2 17 55 83 80 6
PALAS 4 17 49 99 55 3
Total 20 156 332 469 307 14
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2005
Tabel tersebut mengambarkan bahwa ternyata komposisinya sama dengan
komposisi kota madya yaitu tamatan SLTP mayoritas mencapai 469 kepala keluarga
kemudian diikuti tamatan SD mencapai 332 Kk, lalu SLTA mencpaia 307 KK, tidak
tamat SD 156, 14 tamatan perguruan tinggi dan 20 Kk tidak pernah sekolah.
Sedangkan tingkat pendidikan sample yang disurvey sebagai berikut;
Grafik 9 : Tingkat pendidikan sample
16%
24%
50%
10%
SD SMP SMU PT
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Ternyata tingkat pendidikan sample cukup baik dimana 50% tamat
SLTA/SMU, SLTP 24%, SD 16 %, tamatan perguruan tinggi 10 % tamatan dan tidak
satupun yang tidak tamat sekolah dasar apalagi tidak pernah sekolah. Hasil survey
ini dapat dipahami bahwa mereka yang berani keluar dari kampung halamannya
sudah tentu mempunyai bekal pendidikan. Adalah terbuka peluang asumsi bahwa
tidak memungkinkan bagi mereka tidak pernah sekolah berani merantau.
4.2.3. Jenis Kelamin Pendatang
Dilihat dari jenis kelamin pendatang bahwa jumlah penduduk perempuan
dengan lelaki berimbang hanya selisih tiga persen saja, dimana perempuan 49%
sedangkan lelaki 51 persen. Perimbangan jumlah jenis kelamin ini ada hubungan
dengan perpindahan suami diikuti isteri atau menikah sesama dengan daerah asal.
Grafik berikut mengambarkan komposisi seks pendatang;
Grafik 10 ; Pendatang lima tahun terakhir berdasarkan seks.
51%
49%
Laki-Laki Perempuan
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Secara detailnya di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut;
Tabel 16 Jenis kelamin pendatang lima tahun terkahir.
Kecamatan Jenis Kelamin
Laki Prempuan
1.TAMPAN 302 284
2.PAYUNG SEKAKI 330 300
3.BUKIT RAYA 337 325
4.MARPOYAN DAMAI 625 603
5.TENAYAN RAYA 851 808
6.LIMA PULUH 242 235
7.SAIL 110 119
8.PEKAN BARU KOTA 187 199
9.SUKAJADI 513 498
10.SENAPELAN 208 217
11.RUMBAI 625 561
12.RUMBAI PESISIR 263 273
Total 4,593 4,422
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Ternyata dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa perimbangan jumlah
lelaki dan perempuan merata di semua kecamatan. Kecamatan Sail, Pekanbaru Kota,
Senapelan dan Rumbai Pesisir jumlah perempuan lebih banyak daripada lelaki,
sementara di kecamatan lainnya lelaki lebih banyak. Jika dilihat dari letak kecamatan
maka di daerah yang perempuannya lebih banyak adalah di kawasan perkotaan,
kecuali di Rumbai Pesisir.
Sementara itu di kelurahan yang menjadi populasi survey ini diketahui
perbandingan perempuan dengan lelaki menunjukkan corak yang sama yaitu
berimbang jumlah lelaki dan perempuan. Hanya kelurahan Sukaramai yang
perempuannya lebih banyak dari lelaki dengan perbedaan 10 % . Data ini menguatkan
bahwa kecenderungan perempuan menuju ke pusat kota untuk memilih pekerjaan di
sektor jasa yang tidak mengandal kekuatan tenaga. Gambaran jumlah pendatang
berdasarkan jenis kelamin yang dihitung berdasarkan pendduduk adalah sebagai
berikut:
Grafik 11: Jenis Kelamin di Kelurahan yang menjadi responden berdasarkan Jumlah
penduduk
51%
49%
Laki PR
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut;
Tabel 17: Jenis Kelamin di Kelurahan Respon
Kelurahan Jenis Kelamin
Laki Perempuan
JML % Jml %
DELIMA 31 53.4% 27 46.6%
SAIL 351 51.2% 334 48.8%
SUKA RAMAI 38 44.7% 47 55.3%
KAMPUNG TENGAH 127 52.3% 116 47.7%
PALAS 119 52.4% 108 47.6%
Total 666 632
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Data penduduk ini sangat berbeda dengan data kepala keluarga, karena
populasi dari kepala keluarga yang datang 5 tahun terakhir mayoritas adalah lelaki
dan hanya 6 persen yang perempuan disebabkan oleh kematian suami atau bercerai.
Grafik berikut dapat dengan mudah mengambarkan bahwa mayoritas kepala keluarga
adalah lelaki:
Grafik 12: Kepala Keluarga yang menjadi Populasi
94%
6%
Lk PR
Sumber: Hasil Survey 2005
Data ini juga memberi gambaran bahwa jaminan keberlangsungan ekonomi
keluarga pendatang lebih baik karena masih mayoritas keluarga lengkap. Suami dan
isteri bisa sama-sama bekerja untuk menopang ekonomi rumah tangga sesuai dengan
pekerjaan yang tersedia.
4.2.4. Pekerjaan Pendatang
Dilihat dari pekerjaan pendatang lima tahun terakhir maka sektor jasa menempati
urutan tertinggi yaitu 1.710 jiwa, kemudian diikuti sektor dagang 1014 jiwa, lalu
diikuti oleh sektor pertanian dan perkebunan 519 jiwa. Ini menandakan bahwa
pendatang memiliki kemampuan skill dan motivasi berusaha lebih tinggi, karya sektor
jasa dan dagang hanya bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang mempunyai sklill dan
bermotivasi tinggi saja. Sektor lain yang juga besar adalah kontruksi alias kerja
bangunan, industri pengolahan dan angkutan. Sektor-sektor yang tidak memerlukan
skill yang cukup tinggi.
Berikut grafik yang bisa menjelaskan tentang sektor usaha dan pekerjaan yang
digeluti oleh pendatang;
Grafik 13: Pekerjaan Pendatang
0.15%11.39%
1.01%
8.97%
1.32%
9.54%
22.25%7.70%0.15%
37.52%
Tidak Bekerja Pertanian, PerkebunanPertambangan, Pernggalian Industri PengolahanListrik, Gas, Air Minum KontuksiPerdagangan AngkutanLembaga Keuangan Jasa
Grafik ini juga secara meyakinkan bahwa yang tidak berkerja ternyata sangat kecil
hanya 0,15% atau tujuh orang saja. Ini menandakan bahwa kehadiran pendatang ini
mempunyai pengaruh terhadap produktivitas dan GNP Pekanbaru karena umumnya
mereka bekerja pada sektor yang mendorong pertumbuhan income perkapita .
Tabel berikut secara detail menunjukkan angka sektor yang diminati oleh
pendatang di Pekanbaru. Data sektor ini cukup juga memberi gambaran secara
implisit kecenderungan pertumbuhan industri dan pertumbuhan kota di Pekanbaru.
Tabel 18: Pekerjaan Pendatang
Kecamatan Tidak
Bekerj
a
Pertanian,
Perkebuna
n
tambang,
&galian
Industri
olahan
Listrik
, Gas,
Air
Minu
m
Kontuk
si
Dagang Angkuta
n
Lemkeu Jasa Total
Jlmh Jml Jlmh Jlmh Jlmh Jlmh Jlmh Jlmh Jlmh Jlmh
1.TAMPAN 26 2 11 5 38 64 24 88 258
2. PAYUNG
SEKAKI
1 11 9 10 60 51 22 132 296
3.BUKIT RAYA 41 3 3 4 22 54 21 1 193 342
4.MARPOYAN
DAMAI
2 32 7 22 5 57 171 54 1 240 591
5.TENAYAN
RAYA
105 11 273 5 80 94 60 267 895
6.LIMA PULUH 1 1 2 5 5 51 62 23 92 242
7.SAIL 31 2 3 2 8 19 6 2 43 116
8.PEKAN BARU
KOTA
1 2 3 10 78 6 72 172
9.SUKAJADI 5 2 7 7 29 227 43 2 181 503
10.SENAPELAN 6 9 3 10 64 12 97 201
11.RUMBAI 195 11 51 12 43 99 65 205 681
12.RUMBAI 2 64 6 13 2 27 31 15 1 100 261
PESISIR
Total 7 519 46 409 60 435 1,014 351 7 1,710 4,558
Jika dilihat pada kelurahan yang menjadi populasi survey maka sektor yang dominan
adalah sektor industri pengolahan menempati urutan teratas yaitu 32%, diikuti oleh
jasa 20,69%, perdagangan 19,67% dan pertanian perkebunan 14,94%. Gambaran ini
tampak sekali bahwa terdapat hubungan antara tempat tinggal dengan jenis pekerjaan
yang dipilih. Keberadaan di kawasan pinggiran kota menyebabkan pilihannya
pekerjaannya adalah di sektor pertanian-perkebunan dan industri pengolahan. Selain
itu, sektor pinggiran ini juga masuk ke kawasan perkotaan dengan mengambil jenis
pekerjaan perdagangan dan jasa. Mengakibatkan jumlah yang bekerja disektor jasa
dan perdagangan lebih besar dari sektor lainnya.
Grafik 14: Pekerjaan Pendatang
14.94%
1.66%
32.82%
0.51%4.60%
19.67%
4.98%0.13%
20.69%
Pertanian, Perkebunan Pertambangan, PernggalianIndustri Pengolahan Listrik, Gas, Air MinumKontuksi PerdaganganAngkutan Lembaga KeuanganJasa
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Hasil survey menunjukkan bahwa komposisi pekerjaan pendatang yang
berbeda dengan data survey Balitbang 2004, sebagaimana terlihat pada grafik berikut
berikut:
Grafik 15 :Pekerjaan sample
Pekerjaan sampel
26%
9%
4%
14%6%1%6%
8%
2%
1%2%
19%2%
Berdagang Bangunan BengkelSopir ojek juru parkirindustri pengolahan berkebun pegawaipenjahit Teknisi JasaTidak Kerja
Sumber: Hasil Survey 2005
Data ini menggambarkan bahwa sektor terbesar adalah perdagangan, yang
dimaksud pedagang disini adalah pedagang kaki lima, pedangan keliling, buka
warung harian, sektor terbesar ke dua adalah sektor jasa yaitu buruh harian lepas
yang bertugas mengangkat barang-barang di pasaran atau mengangkat barang dari
truk dan lain sebagainya. Berbeda dengan data Pekanbaru dan populasi penelitian
dimana sektor jasa merupakan sektor terbesar. Hanya kecenderungannya yang masih
sama yaitu sektor informal perkotaan, yaitu berdagang, dan menyedia jasa yang tidak
disediakan oleh pekerja perkotaan yang berpendidikan atau menurut bahasa Ever
(1991) pekerjaan yang merupakan sisa pekerjaan perkotaan.
4.2.5. Umur Pendatang
Data Balitbang tahun 2004 menunjukan bahwa mayoritas pendatang pada usia
produktif , dimana 58% berumur 15-55 tahun, hanya 2 % saja penduduk yang berada
diusia lanjut, sisanya 40% berusia dibawah 15 tahun. Penduduk yang berusia dibawah
15 tahun dapat dipahami sebagai anak dari yang berusia produktif tadi. Lebih detil
data ini menunjukkan bahwa jumlah usia tertinggi yang berda di Pekanbaru adalah
umur 25 sampai 40. Pada usia tersebut merupakan puncak usia produktif dari pekerja.
Grafik 16: Usia Pendatang
40%
58%
2%
<15 15- 55 >55
Sumber: Diolah dari Buku Survey Balitbang Provinsi Riau 2004
Data usia ini mengambarkan bahwa kehadiran pendatang ini bisa memacu
produktifitas, jika usia yang datang tersebut berusaha maksimal untuk peningkatan
ekonomi mereka. Secara detail per kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut yang