MATAGARUDA INSTITUTE melahirkan buah pikiran menumbuhkan gagasan membawa perubahan | | Edisi 5 Desember 2015 | Pengantar Redaksi T.A. Octaviani Dading Produser Editorial MGIB Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu. Suatu hari, saya membaca brosur BKPM di dalam pesawat yang menyebutkan beberapa “nilai tambah” Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri. Salah satunya adalah grafik mengenai betapa rendahnya harga buruh atau tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Mengapa murahnya harga tenaga manusia disebut sebagai sebuah nilai tambah? Dan mengapa kita bangga atas hal tersebut? Selain itu, yang sering kita dengar adalah pada tahun 2020-2040 kita akan memiliki “bonus” demografi sebesar 70% usia produktif yang akan dapat menanggung 30% orang di usia tidak produktif. Di sisi lain, apakah kita menyebutnya sebagai “bonus” karena ini berarti semakin banyak orang yang dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali ini mengulas pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Namun, MGI berharap kita bisa tetap kritis dalam melihat kaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan sebagai sebuah mata rantai. Sekolah sebagai alat pendidikan diciptakan pada sekitar abad ke-17 untuk memasok buruh dan pekerja yang taat ke pabrik-pabrik dalam revolusi industri. Namun kemudian, kritik Foucauldian ini-pun melihat perkembangan positif pendidikan pada abad ke-19 di mana cara berpikir kritis bahkan terhadap pendidikan itu sendiri makin berkembang. Kembali ke tanah air kita sendiri, kita telah melihat peningkatan pos subsidi pendidikan pada APBN negara untuk memberikan dukungan pada sektor pendidikan yang berarti “sekolah”. Namun, tujuan menyekolahkan seseorang seharusnya bukan semata untuk menjadi pekerja yang cocok Isi: 1. Menghindari Talent Brain Drain (1) 2. Melihat & Belajar dari INDIA (3) 3. Mengapa Singapura dak kehilangan talent? (6) 4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa Negara (7) 5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9) 6. ASN & Dilema Meritokrasi (12) 7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14) 8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16) 9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17) 10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Instusi Pemerintahan (20) 11. Sistem Longlife Learning (22) 12. Kaleidoscope (24) Registered Bulletin ISSN: 2443-0072 | | www.thinktank.matagaruda.co.id [email protected]Ketenagakerjaan Roadmap dan Talent Management Indonesia 1. Menghindari Indonesia's Talent Brain Drain: Mari, Eksplorasi Potensi Diri Menuju Sukses! Agustina Kusuma Dewi, S.Sos. BPI LPDP, PK-37 Magister Desain, ITB Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung Keka berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh masyarakat berduka, apakah pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka cakrawala baru menuju perbaikan Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih nggi lagi. Namun untuk beberapa orang – yang sampai saat ini masih termasuk golongan orang- orang minoritas – hanya sekedar menerima saja apa yang harus diterima daklah cukup. Orang-orang minoritas ini percaya bahwa seap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kemuliaan diri (disamping juga kelemahan-kelemahan dan kekurangan- kekurangan diri yang sesungguhnya bisa diopmalkan dan dijadikan kelebihan untuk konteks tertentu), yang disebut dengan akal dan kesadaran, yang membedakan derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan akal dan kesadaran ini, kaum minoritas tersebut berusaha menggali potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin, kemudian mengasah kemampuan diri mereka untuk dapat mencerma dan meraih segala macam momentum yang terkandung dalam seap peluang yang ada dalam kehidupan, serta menciptakan peluang-peluang tersebut menjadi kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi 'ada' dan berprospek potensial. Jika golongan minoritas ini mampu, mengapa kita – Anda – dak? Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas. Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya sebuah analogi sepihak yang sangat tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak begitu jelas terjadi – terutama saat persaingan terbuka mbul dan semakin ketat keka dunia menuju era globalisasi. (Illustration: aussiemigrationlaw.com.au) ...bersambung ke hal 25
Ketenagakerjaan dan Roadmap Talent Management Indonesia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MATAGARUDA INSTITUTE
BULLETINmelahirkan buah pikiran menumbuhkan gagasan membawa perubahan| |
Suatu hari, saya membaca brosur BKPM di dalam pesawat yang menyebutkan beberapa “nilai tambah” Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri. Salah satunya adalah grafik mengenai betapa rendahnya harga buruh atau tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Mengapa murahnya harga tenaga manusia disebut sebagai sebuah nilai tambah? Dan mengapa kita bangga atas hal tersebut?
Selain itu, yang sering kita dengar adalah pada tahun 2020-2040 kita akan memiliki “bonus” demografi sebesar 70% usia produktif yang akan dapat menanggung 30% orang di usia tidak produktif. Di sisi lain, apakah kita menyebutnya sebagai “bonus” karena ini berarti semakin banyak orang yang dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali ini mengulas pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Namun, MGI berharap kita bisa tetap kritis dalam melihat kaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan sebagai sebuah mata rantai.
Sekolah sebagai alat pendidikan diciptakan pada sekitar abad ke-17 untuk memasok buruh dan pekerja yang taat ke pabrik-pabrik dalam revolusi industri. Namun kemudian, kritik Foucauldian ini-pun melihat perkembangan positif pendidikan pada abad ke-19 di mana cara berpikir kritis bahkan terhadap pendidikan itu sendiri makin berkembang. Kembali ke tanah air kita sendiri, kita telah melihat peningkatan pos subsidi pendidikan pada APBN negara untuk memberikan dukungan pada sektor pendidikan yang berarti “sekolah”.
Namun, tujuan menyekolahkan seseorang seharusnya bukan semata untuk menjadi pekerja yang cocok
Isi:1. Menghindari Talent Brain Drain (1)2. Melihat & Belajar dari INDIA (3)3. Mengapa Singapura �dak kehilangan
talent? (6)4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa
Negara (7)5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9)6. ASN & Dilema Meritokrasi (12)7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14)8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16)9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17)10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan
Ins�tusi Pemerintahan (20)11. Sistem Longlife Learning (22)12. Kaleidoscope (24)
Ke�ka berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh m a s y a r a k a t b e r d u k a , a p a k a h pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka ca k rawa l a b a r u m e n u j u p e r b a i ka n Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih �nggi lagi.
potensi dalam dirinya – tanggap terhadap segala peluang
yang muncul dalam berbagai bidang dan menjadikannya
sebagai kesempatan yang seolah-olah memang diciptakan
hanya bagi dirinya sendiri. Kejelian terhadap peluang
tersebut harus didukung pula oleh adanya kemampuan untuk
menganalisis kekuatan dan kebutuhan pasar bisnis – sektor
laba maupun sektor nirlaba. Seseorang yang tahu peluang
dalam bisnis yang berorientasi laba, dapat meramalkan apa
yang akan dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus
diciptakan untuk menumbuhkan adanya rasa butuh dalam
diri masyarakat. Mereka tahu dan kenal aroma persaingan –
namun mereka �dak takut gagal karena mereka yakin setelah
satu kesempatan gagal, akan selalu ada kesempatan yang lain.
Seseorang yang jeli akan peluang dalam bisnis yang bergerak
dalam sektor nirlaba – sekalipun orientasinya bukan
di��kberatkan pada perolehan omzet/pendapatan – namun
karena ia tahu peluang, maka ia dapat membalikkan peluang
yang ada menjadi kesempatan untuk dirinya menciptakan
sektor-sektor bisnis berorientasi laba. Karena itu dibutuhkan
adanya perhitungan-perhitungan yang tepat dan rasional,
didukung adanya ins�ng yang kuat yang semakin terasah
hanya dengan cara dilakukan dan digunakan.
Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda.
Pada akhirnya, setelah seluruh uraian diatas, kita akan
mencapai satu kesimpulan bahwa kesuksesan hanya dapat
diperoleh bila kita mampu mengeksplorasi potensi diri yang
dimiliki dengan semaksimal mungkin dan menggunakannya
secara tepat – efek�f dan efisien. Dalam proses penggalian
potensi diri dibutuhkan adanya kemauan untuk belajar,
kecerdasan dan keikhlasan untuk mengeluarkan energi; baik
energi yang sifatnya materi dan atau nonmateri, serta
pengembangan mo�vasi yang didukung adanya kepercayaan
terhadap konsep diri. Setelah hal itu sanggup dilakukan, maka
dalam diri kita secara sadar ataupun �dak akan muncul satu
naluri yang terasah dan peka terhadap berbagai peluang yang
�mbul dalam dunia bisnis, baik yang berorientasi pada sektor
laba maupun sektor nirlaba. Dengan kejelian sekalipun
kemampuan yang ada dalam diri, kita akan sanggup untuk
mengejar dan meraih momentum yang ada dalam se�ap
peluang, menjadikannya kesempatan yang seolah-olah
tercipta memang hanya untuk kita – dan meraih kesuksesan
ya n g m e m b awa k i ta m e n ca p a i ke b u t u h a n a ka n
pengaktualisasian diri yang lebih �nggi lagi. Jangan pernah
takut untuk gagal, karena kegagalan adalah proses kita
menuju pencapaian yang lebih besar lagi. Jangan pernah
takut untuk mengubah perspek�f kita selama ini, karena
memandang segala hal secara lateral memungkinkan kita
untuk menemukan solusi terbaik pada perbaikan bukan
hanya sekedar alterna�f solusi. Jika demikian, tunggu apa lagi,
mari eksplorasi diri menuju sukses yang abadi, bukan hanya
sekedar dalam benak, ide dan gagasan belaka! (-)
2. Melihat & Belajar dari India
Naufal Rospriandana, S.T.
BPI LPDP, PK-10
Graduate School of Environmental Science
Hokkaido University, Japan
Dikri�k karena pemerintah terus menerus membiarkan banyak warga India pergi ke luar negeri dan menjadi aset hebat bagi negara tujuannya, Rajiv Gandhi, mantan PM India, dulu berkata: be�er brain drain, than brain in the drain (lebih baik menjadi penyalur otak moncer, daripada membiarkan mereka dalam saluran). Tidak sia-sia, meskipun secara makro, India masih bangsa berkembang, namun kebijakan tersebut justru mengantarkan India menjadi salah satu bangsa yang paling banyak menelurkan diaspora sukses di dunia, India kini bahkan diyakini beranjak menjadi penyeimbang kekuatan dari Asia. Memang the talent's brain drain adalah salah satu tantangan bangsa berkembang pada umumnya. Merasakan hidup yang teramat keras di negara asal, merasa �dak dihargai kapabilitasnya sebagai ahli, tak jarang membuat orang dari negara berkembang memilih pergi merantau ke negara maju. Di saat yang sama, negara
maju pun memiliki demand yang �nggi terhadap sumber daya manusia berkualitas mengingat mereka dihadapkan pada situasi penuaan populasi (ageing popula�on).
Namun memang benar, investasi sumber daya manusia itu kadang �dak bisa terukur jelas keuntungannya. Oleh karena sulitnya melakukan valuasi, tak jarang sulit pula berjudi menanamkan modal membangun kapasitas manusia: melalui investasi pendidikan dan memberikan pengalaman hidup. Akan tetapi, sejenak melihat dan
belajar dari nenek moyang negeri Anak Benua, India, hal menarik justru terjadi. Di awal, sempat dibahas mengenai Rajiv Gandhi, mantan PM India, siapakah dia sesungguhnya? Sungguh �dak ada relasinya dengan tokoh pendiri India, Mahatma Gandhi, Rajiv adalah cucu dari Jawaharlal Nehru, m a n t a n P M I n d i a p a d a e r a kemerdekaan negara tersebut. Namun, beruntungnya Rajiv yang merupakan putra bangsawan, ia adalah satu dari sekian warga India yang berkesempatan mengenyam pendidikan di Trinity College, Cambridge, sama dengan sang kakek, Jawaharlal Nehru. Hanya saja, sedikit berbeda dengan sang ibu, Indira Gandhi yang merupakan cetakan Oxford. Memang, di tahun-tahun tersebut, banyak warga India pergi merantau ke luar negeri.
Lantas, apakah hanya dari kalangan bangsawan saja? Tidak, sejarah dan fakta secara jelas menunjukkan bahwa budaya India konserva�f sesungguhnya masih kental dengan sistem kasta, yang mana mereka yang berasal dari kasta biasa bahkan
k a s t a b a w a h d a n t e r b u a n g mendapatkan perlakuan yang �dak adil dalam memperoleh hak hidup seper� pendidikan. Terlebih lagi, faktor SARA juga menjadi ganjalan di India. Dari situlah akhirnya para kaum �dak terpandang tersebut bertekad untuk maju dan nekad pergi merantau ke negeri asing untuk mencari kehidupan yang lebih b a i k . D a r i ka u m te rs e b u t d i a n t a r a n y a a d a l a h B h i m r a o Ambedkar, doktor lulusan London School of Economics (LSE) (Menteri Perburuhan India), Sambasvian Swaminathan (lulusan Wisconsin M a d i s o n , p e n c e t u s G r e e n Revolu�on India), Amarthya Sen (Profesor ekonomi Harvard), J.P. Abdul Kalam (ahli rudal dan sistem pertahanan, presiden India), Anant Mashelkar (direktur CSIR India), e k o n o m N a r e n d h r a J a d h a v (pimpinan Reserve Bank of India, lulusan University of Indiana), dan banyak lagi.
Selain itu, tak terelakkan juga bahwa generasi muda India saat ini banyak memegang peranan pen�ng di berbaga i perusahaan g lobal .
Tercatat se�daknya 14 CEO atau pejabat teras se�ngkat direktur dari berbagai macam perusahaan global berasal dari India. Indra Nooyi memimpin Pepsi Co., Satya Nadella mengepalai Microso�, Anjay Banga di Master Card. Begitu pun halnya Direktur Pemasaran Facebook, Kirthiga Reddy merupakan orang India. Sebagai seorang mahasiswa di Jepang, terdapat kasus menarik ke�ka di pertengahan 2015 lalu sempat terjadi kecaman dari para pengamat dan pekerja berbagai ka l a n ga n ya n g m e n u n j u k ka n ke�daksetujuannya kala So�bank, salah satu provider telepon seluler asal Jepang, melakukan keputusan dras�s dengan merekrut seorang India bernama Nikesh Arora sebagai direkturnya. Siapa Nikesh Arora? Sebelumnya, ia adalah Senior Vice President Google.inc dan untuk mendapatkan tanda tangannya, So�bank sampai harus mengganjar 16 miliar Yen (setara 1.6 triliun Rupiah), suatu hal yang secara keras diprotes oleh golongan pekerja Jepang sebagai suatu bentuk p e n g h a m b u r a n u a n g d a n pelanggaran tradisi kerja berjenjang.
Lalu, sekarang pertanyaan untuk kita semua adalah, apakah ada post-doc atau bahkan professor asal India di tempat kita saat ini menempuh pendidikan? Jikalau �dak banyak, tapi seper�nya pas� ada, dan dalam pemikiran sederhana saya, bila s e s e o r a n g m e n d a p a t k a n kesempatan post-doc, sudah barang t e n t u I a b u k a n l a h o r a n g sembarangan.
The era of gaining (back) the brain
D a l a m b u k u n y a , N e w A s i a n Hemisphere: The Irresis�ble Shi� of Global Power to the East, professor kebijakan publik asal Singapura berdarah India, Kishore Mahbubani, d a r i N a � o n a l U n i v e r s i t y o f Singapore, menjelaskan bahwa kenda� India di�nggalkan para otak moncernya dalam wujud brain drain, namun India juga terus berjuang membangun. Hebatnya adalah konek�vitas antara para tokoh India
di luar dan dalam negeri yang masih terhubung erat dan saling mendukung, bahkan saat ini, meskipun secara mikro �dak serta merta seragam, India diyakini akan segera memasuki the era of gaining (back) the brain. Sebagai control riil, dalam helatan PPI Dunia 2014 di Tokyo, seorang rekan Indonesia yang kini bersekolah di India, mengatakan bagaimana kampus-kampus di India kini dikawal oleh profesor-profesor lulusan barat, sebutlah Harvard, Cambridge, dan lain sebagainya, dan menemui mereka �daklah sulit karena hampir seluruh waktunya ada di kampus dan memang difokuskan untuk membangun dan mendidik mahasiswa-mahasiswa India. Secara terpisah, seorang teman asal India juga menjelaskan bagaimana baru-baru ini pemerintah menggulirkan skema beasiswa besar-besaran untuk menempuh pendidikan pascasarjana di kampus-kampus India tersebut.
Dalam bukunya lagi, Mahbubani menjelaskan, bukan MIT atau Harvard, kampus dengan peluang masuk terkompe��f di dunia, melainkan IIT (Indian Ins�tute of Technology) yang terdiri dari 5 kampus tersebar di India. Apa pasal? Di tahun 2002, ke�ka Harvard dan MIT meloloskan 10.5% dan 16.2% dari keseluruhan pelamarnya, hanya 2.3% pelamar yang berhasil dan diijinkan masuk ke IIT. Tak pelak, merekalah juga yang diyakini nan�nya akan dibajak oleh perusahaan kelas dunia, namun kenda� demikian setengah kaki mereka berdiri di tanah kelahirannya, India.
Studi kasus dari India tersebut selayaknya menjadi bahan evaluasi bagaimana investasi manusia memang �dak mudah, �dak murah, dan �dak sebentar, namun jika berhasil pas� memiliki dampak yang besar dan berkali-
kali lipat. Fakta dari India ini pun menunjukkan pada kita, bahwa pada dasarnya �dak bisa suatu negara lepas landas hanya dengan investasi tunggal mendidik manusia ke luar negeri tanpa pembangunan sendiri dan penguatan konek�vitas dengan pembangunan dalam negeri.
Berkaca pada Indonesia, di era sekarang ini, Indonesia pun sedang gencar-gencarnya melepas putra-putrinya untuk mengenyam pendidikan di luar negeri guna menanamkan investasi menghadapi potensi bonus demografi. Kenda� �dak sedikit pandangan nega�f mengemuka, mulai dari yang mengkri�si kebijakan terlambat, hambur anggaran, hingga menyangsikan seberapa ampuh kebijakan investasi manusia ini, namun sekali lagi harus bijak kita menyikapi hal ini. Telah disebutkan sebelumnya, pen�ng menghapus keraguan atas suatu investasi yang sulit dinilai ini, namun sebagaimana India, investasi manusia tersebut �dak lantas cukup tanpa menggiatkan pembangunan sendiri dan menghidupkan konek�vitas. Celoteh seorang kawan mahasiswa Indonesia di Jepang (yang memang saya salut atas prestasinya) pernah membuat saya mengernyitkan kening, “Jika Indonesia mampu membiayai pengiriman manusia berotak moncer ke luar negeri tapi �dak mampu membiayai fasilitas peneli�an dan pendidikan �nggi dalam negeri, berar� mungkin memang benar orang pintar di Indonesia �dak dihargai”. Entahlah bagaimana cara yang tepat untuk menanggapi dan menyikapi hal tersebut, akan tetapi, jika tantangan tersebut dapat dipecahkan, jika semua elemen negeri ini memang ingin maju demi bangsanya, maka the talent's brain drain itu cepat atau lambat akan segera menjadi �ang-�ang pancang masa depan Indonesia. (-)
4. Wacana Sinergi BUMN dan Lulusan Beasiswa Negara
Rio F. Rachman S.S., M.Med.Kom.
BPI LPDP, PK-9
Media dan Komunikasi, Universitas Airlangga Surabaya
Tim Kreatif MakNews.id
8
bangsa diperlukan oleh BUMN agar
semakin maju dan modern. Salah satu
langkahnya, dengan membuat skema
k e r j a s a m a r i i l y a n g p a s a n t a r
kementerian BUMN dengan instansi plat
m e ra h ( t e r m a s u k ke m e n t e r i a n )
penyelenggara beasiswa.
D i s at u s i s i , n e ga ra � d a k p e r l u
mewaj ibkan pener ima beas i swa
mengabdi pada BUMN. Namun di sisi
lain, pada waktu bersamaan, BUMN
sudah menyiapkan ruang bagi mereka
untuk berkreasi . Biarkan mereka
memilih, asal �dak terjerumus pada
sikap pragma�s.
Para tenaga terdidik, khususnya para
lulusan beasiswa negara, adalah
golongan dengan kompleksitas �nggi.
Baik dalam ar� posi�f, maupun dalam
ar� nega�f.
Posi�fnya, mereka memiliki gagasan dan
pola pikir yang komplet. Orang-orang ini
�dak hanya berpikir tentang ilmu
pengetahuan yang digelu�nya. Namun
juga, soal marke�ng, komunikasi, dan
perluasan jaringan. Sebab, mereka
adalah orang-orang yang terpilih dalam
seleksi ketat. Umumnya, �dak hanya
hard skill yang dijadikan tolok ukur,
namun juga so� skill.
Terlebih lagi bagi mereka yang memang
kuliah di luar negeri. Logikanya, orang-
orang dengan gairah berkompetensi
�nggi ini bisa diajak untuk memikirkan
kemajuan dan modernisasi BUMN
dengan pola out of the box.
Nega�fnya, jika mereka memutuskan
untuk berdiri di seberang BUMN.
Bayangkan betapa sayangnya jika aset
tersebut ternyata dijadikan “alat” oleh
pihak asing untuk meraih keuntungan di
bumi Indonesia.
B e b e r a p a t a h u n b e l a k a n g a n ,
berkembang rumor bahwa para WNI
lulusan luar negeri �dak mau bekerja di
dalam negeri (atau akhirnya memilih
perusahaan asing) karena gaji yang
minim. Namun, isu itu kini sudah
bergeser, khususnya bagi lulusan
beasiswa negara yang pada proses
seleksinya sudah “ditatar” tentang
nasionalisme dan cinta tanah air.
Bergeser ke mana? Bahwa mereka
memilih berkarya di luar negeri atau di
perusahaan as ing bukan karena
persoalan gaji. Namun, karena �dak ada
perusahaan dalam negeri dengan
lowongan yang benar-benar cocok, dan
tertarik dengan isi kepala mereka.
M e re ka ya n g m e m i l i k i m o � va s i
persaingan �nggi, justru dengan senang
ha� mencari formula khusus untuk
membawa kemajuan di perusahaannya.
Mereka siap melangkah dari “��k nol”
untuk meraih kemajuan bersama.
Untuk hal seper� ini negara �dak boleh
abai terhadap skema yang pas dan
menguntungkan kedua belah pihak.
Demi mempercepat gerakan roda
ekonomi di bawah naungan
kementerian BUMN. Demi menjaga
pemuda unggulan bangsa agar �dak
menari di panggung milik negara lain.(-)
ReferensiSetya, Ashari. 2015. Pilwali Mbingungi dan Gak Masuk Akal. [online] Available at: h�p://maknews.id/pilwali-mbingungi-dan-gak-masuk-akal/. [Accessed on 26 August 2015].
Buwono, Akbar. 2015. PGN : Sinergi BUMN Kunci Maksimalkan Peran Membangun Bangsa. [online] Available at: h�p://beritadaerah.co.id/2015/08/19/pgn-sinergi-bumn-kunci-maksimalkan-peran-membangun-bangsa/. [Accessed on 28 August 2015]
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik pertambangan maupun dari sektor pertanian dan perikanan. Harga komoditas global yang �nggi membuat sektor sumber daya alam mampu memberi kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi, ekspor dan investasi selama satu dasawarsa terakhir ini. Untuk itu, tujuan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani menjadi salah satu tujuan utama pembangunan Indonesia, dengan mengacu pada keberlanjutan p e r t a n i a n I n d o n e s i a d a n kesejahteraan petani.
Pertanian sangat berperan dalam pembangunan dan perekonomian di suatu daerah, hal ini sudah dibuk�kan dengan mayoritas mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani; terutama untuk daerah pedesaan. Untuk itu, dengan pertanian harapannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk, sebagai sumber pendapatan, sebagai sarana untuk berusaha, serta sebagai sarana untuk dapat merubah nasib ke arah yang lebih baik lagi. Bukan hanya sebagai sebuah pekerjaan kasar yang hanya digelu� oleh masyarakat pedesaan atau pelosok. Oleh sebab itu, p e r a n a n p e r t a n i a n d a p a t diwujudkan dengan meningkatkan
ekonomi petani dengan cara p e m b e r d a y a a n e k o n o m i kerakyatan. Selain itu, besar harapan fokus pemerintah dan kelembagaan daerah �dak hanya berpusat pada perkotaan, tetapi merata hingga pelosok daerah.
Terkait mengahadapi MEA 2016, Indonesia for Global Jus�ce (IGJ) menilai strategi dan persiapan Indonesia berpeluang gagal. Pasalnya, �dak adanya perubahan kebijakan guna memaksimalkan perlindungan bagi nelayan dan petani Indonesia. “Faktanya, pertumbuhan penduduk Indonesia masih �nggi, konsumsi pangan dan perikanan terus meningkat, serta 80-90% kebutuhan konsumsi pangan domes�k Indones ia bersumber dari produksi petani dan nelayan kecil. Maka, kegagalan melindungi petani dan nelayan akan menggeser MEA 2016 dari peluang menjadi ancaman serius bangsa," kata direktur ekseku�f IGJ.
Menurut Riza Damanik, MEA 2016 akan mendorong l iberal isasi pangan melalui pengintegrasian sektor pertanian dan perikanan negara-negara ASEAN. Sebagai informasi, Indonesia merupakan produsen terbesar ikan di dunia dengan total produksi sebesar 19,56 juta ton pada 2013, dan
Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2011 -2014 (Sumber: BPS)
produsen terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton. Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan subsidi belum terjawab dengan solusi yang tepat. Diharapkan adanya penambahan alokasi subsidi benih dan pupuk bagi petani dan pemberian subsidi BBM yang tepat sasaran kepada nelayan dapat dikembangkan.
“Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani dan nelayan Indonesia, terlebih dalam menghadapi MEA 2016. Strategi yang dimaksud melipu� intervensi negara dalam mereduksi hegemoni industri dalam kegiatan hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat,” pungkas Riza.
Investasi Sektor Pertanian
Sektor pertanian mempunyai peranan yang pen�ng juga strategis dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain: meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta op�malisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domes�k Bruto (anonim, 2015). Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Selama periode 2010-2014, rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%. Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor pertanian (Tabel 1). Pada periode yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan menurun (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).
Fakta di lapangan berbicara lain
“Orang bilang tanah Indonesia adalah tanah surga yang memiliki banyak lahan subur dan makmur.” Bisa dikatakan berbagai macam tanaman bisa tumbuh subur di tanah air kita. Tapi, yang jadi pertanyaan adalah kenapa hal tersebut �dak berbanding lurus dengan nasib para petani? Menurut Doddy Rosadi (2015), justru baru-baru ini Kementerian Pertanian menyatakan se�ap tahun ada sebanyak 500 ribu rumah tangga petani yang beralih profesi ke bidang pekerjaan lain karena selalu mengalami kerugian.
Kendala Pembangunan Pertanian
Salah satu kendala di sektor p e r ta n i a n ya n g p e r l u mendapatkan perha�an a d a l a h s t a t u s ketenagakerjaan. Saat ini rendahnya minat generasi m u d a u n t u k m e n j a d i p e t a n i s u d a h s a n g a t
rendah. Selain itu, keturunan dari petani pun diharapkan untuk �dak melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani karena tak ada imbalan yang diperoleh sesuai tenaga yang sudah tersalurkan. “Hanya untuk makan sehari-hari sudah bisa untuk hidup dan sebagai modal untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih �nggi, bukan dengan kembali menjadi petani seper� mereka,” ujar petani. Dikarenakan adanya momok yang mengatakan bahwa pendapatan petani seringkali sangat rendah (hasil penjualan pasca panen mereka bahkan di bawah harga pasaran) dibandingkan status seorang sebagai pegawai negeri sipil, hal ini menyebabkan terjadinya pengalihan minat petani menjadi seorang pegawai negeri yang mampu menghasilkan upah lebih tanpa harus berpanas-panasan dalam suatu lahan. Padahal, menurut Antonie Clianto (2015), diketahui bahwa pertanian merupakan tonggak bangsa dalam pembangunan bangsa ini, yang sangat berpengaruh terhadap dinamika perekonomian bangsa.
Selain itu, salah satu penyebab pergeseran minat dari s e k t o r p e r t a n i a n ke n o n - p e r t a n i a n a d a l a h perkembangan teknologi-teknologi yang dapat menggan�kan tenaga kerja. Hasil riset yang dilakukan oleh Tri Yulianingsih (2014), menyebutkan bahwa semakin sempitnya kesempatan kerja di sektor pertanian kini mulai menyadari tentang pen�ngnya sektor non-pertanian sebagai salah satu alterna�f untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok besar masyarakat pedesaan, khususnya kelompok buruh tani dan petani sempit.
Peran Tenaga Kerja Dalam Meningkatkan Kedaulatan Pangan
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010 sekitar 38,69 juta tenaga kerja atau sekitar 35,76% dari total penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan menjadi 35,76 juta tenaga kerja atau 30,27% (Tabel 2). Data penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier dari sistem dan usaha agrobisnis. Bila tenaga kerja dihitung dengan yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar.
Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2010 - 2014 (Sumber: BPS)
11
Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan memiliki budaya kerja keras merupakan potensi tenaga kerja di sektor pertanian. Sampai saat ini, lebih dari 35 juta tenaga kerja nasional atau 26,14 juta rumah tangga masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat di�ngkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat bekerja dan berusaha di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terla�h di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitas pertanian dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta pemberian jaminan pasar yang baik (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).
Di samping itu kegiatan-kegiatan yang berorientasi pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan terutama petani terus menjadi prioritas, mengingat masih rendahnya kualitas SDM pertanian. Secara kuan�ta�f tenaga kerja untuk sub-sektor tanaman pangan tersedia di pedesaan, namun ada kecenderungan terus menurun dengan indikasi semakin berkurangnya minat generasi muda di pedesaan untuk bekerja di sub-sektor pertanian.
Dari sisi sumber daya manusia, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian, karena mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang �nggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian.
Arah Kebijakan & Langkah Operasional
Salah satu regulasi pengembangan yang dapat dilaksanakan demi terwujudnya kedaulatan pangan maupun untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah mengembangkan sektor pertanian yang berpatokan pada berbagai macam regulasi terkait dengan lingkungan. Selain itu, untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu adanya regulasi dan kelembagaan untuk mensinergikan upaya tersebut. Oleh karena itu, regulasi dan kelembagaan dalam pembangunan pertanian mutlak diperlukan, sehingga �dak ada tumpang �ndih kewenangan dan peraturan perundangan dari masing-masing kementerian/lembaga. Regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian. Pengembangan pertanian memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif
melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan fiskal dan moneter (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).
Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan ke depan adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di daerah melalui peran strategis pimpinan daerah (gubernur, bupa�/walikota, sampai ke �ngkat kepala desa), sehingga program peningkatan produksi beras nasional yang telah didukung dengan fasilitas teknologi, sarana dan prasarana produksi, dan dukungan pembiayaan manajemen, dapat menjadi suatu gerakan nasional dengan satu komando kebijakan untuk dapat mencapai dan mengawal peningkatan produksi beras nasional secara berkelanjutan, yakni menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepen�ngan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme.
Pendekatan kelembagaan telah menjadi strategi pen�ng dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kelembagaan pertanian baik formal maupun informal belum memberikan peran berar� di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan pela�han, Balai Peneli�an dan Penyuluhan (BPP) belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan op�mum. Keberadaan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan belum dimanfaatkan secara op�mal.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian, bahwa masih banyak potensi pertanian yang masih belum dimanfaatkan secara op�mal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian adalah membangun pertanian lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi �nggi yang dibutuhkan pasar.
Membangun pertanian dalam konteks industri yang sarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai ekonomi �nggi. Pendekatan bioindustri pertanian menjadi sangat pen�ng dan strategis untuk mewujudkan upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di p e rd e s a a n , te nt u a ka n m e n c i pta ka n ko n d i s i perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi generasi muda untuk �dak lagi pergi ke kota, bahkan generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal pen�ng harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu :
1. Membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian di perdesaan,
2. Meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian yang lebih baik, dan
12
6. ASN & Dilema MeritokrasiM. Rizki Pratama, S. IAN.
BPI LPDP, PK-19
Mahasiswa Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Reformasi birokrasi hanyalah means (metode/alat/cara d a l a m m e n c a p a i s e s u a t u ) d i b a n d i n g e n d s (hasil/tujuan/akhir dari penggunaan means). Birokrasi harus menjadi sehat dan �dak terus menerus merugikan kita, seper� red-tape (salah satu penyakit dalam birokrasi yang dianalogikan sebagai pita merah yang berbelit-belit dan rumit), patologi bahkan rent-seeking (perburuan rente, adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha atau aktor lain yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari sebuah kebijakan publik, misalkan kolusi dan monopoli terselubung). Melihat aktualitas dari semangat reformasi birokrasi tentu ideologi yang sering berada di pucuk sistem adalah penegakan meritokrasi untuk para aparatur sipil negara (ASN) yang terlebih dahulu didasari oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu amanat dari UU ASN sebagai acuan utama civil service reform adalah terlembaganya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi tersebut menurut Prof. Mi�ah Thoha (2014) salah satu tujuannya ialah menjamin terwujudnya merit system dalam kebijakan dan manajemen ASN.
Lembaga non-struktural tersebut je las untuk menegakkan meritokrasi. Akan tetapi meritokrasi yang dilakukan di Indonesia tentu harus berbeda, sebab meritokrasi tak selamanya relevan dengan situasi sosial negara. Pengalaman negara lain dapat dijadikan rujukan. Pengalaman Perancis yang memang dikenal sebagai color-blind state menjadi refleksi bersama ke�ka ideologi mengharuskan �dak adanya perbedaan perlakuan terhadap warga negara (non-diskriminasi) justru membuat etnis dan ras tertentu menjadi terdominasi oleh kelas lainnya (diskriminasi), bahkan dalam kerja sehari-hari birokrasi terjadi tensi �nggi antara para street level bureaucrat dengan kelas warga lainnya seper� para migran yang seringkali meletupkan aksi-aksi brutal di jalanan, birokrasi yang �dak representa�f di Perancis membuat segelin�r kelompok saja yang mampu membawa kepen�ngannya di atas kepen�ngan orang lain, menimbulkan ke�mpangan yang membuat banyak warga negara yang �dak terakomodir kepen�ngannya. Studi dari Meier & Hawes (2009) juga menunjukkan sistem rekrutmen dan seleksi yang ketat telah menghasilkan kelompok homogen di sektor publik yaitu kelompok kelas menengah atas akibatnya �dak responsif pada kelas lain apalagi jika ditambah dengan posisi pres�se pekerjaan di sektor publik yang lebih �nggi di Perancis. Meritokrasi menghadirkan pisau bermata dua, menghadirkan dilema.
3. Mendorong kebijakan dan regulasi yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepas�an mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda.
Langkah konkret untuk ini antara lain menjaring sebanyak-banyaknya siswa baru di sekolah-sekolah �nggi p e r t a n i a n d a l a m l i n g k u p Kementerian Pertanian, yang diiku� dengan perbaikan kurikulum dan revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar.
Dalam rangka penguatan dan p e n i n g k a t a n k a p a s i t a s S D M pertanian tersebut, maka dapat dilakukan upaya-upaya diantaranya sebagai berikut:
Ÿ Pengembangan dan penguatan kapasitas penyuluh pertanian polivalen di �ngkat lapangan dan penyuluh pertanian spesialis di �ngkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat.
Ÿ Pela�han bagi aparatur sesuai dengan kebutuhan jenjang karir PNS.
Ÿ Pela�han bagi pengelola P4S dan pengurus gabungan kelompok tani (gapoktan) serta pelaku agrobisnis lainnya dilaksanakan oleh UPT Pela�han, sedangkan pela�han b a g i p e t a n i p e l a k u u t a m a agrobisnis dilaksanakan oleh P4S.
Ÿ Pendidikan Tinggi bidang Rumpun Ilmu Haya� Pertanian (RIHP) diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional Penyuluh Pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Paramedik Veteriner, Pengawas Bibit Ternak (PBT), Pengawas Mutu Pakan Ternak, Pengawas Mutu Hasil Pertanian, fungsional informasi pasar dan karan�na.
Ÿ Pendidikan menengah kejuruan di bidang pertanian diarahkan untuk m e m e n u h i t e n a g a t e k n i s i menengah dan menyiapkan
wirausahawan muda di bidang pertanian.
Harapannya semoga menjadi acuan pembangunan perekonomian bangsa serta mencapai kedaulatan pangan bahkan sebagai pasar impor d e n g a n m e n g e d e p a n k a n kesejahteraan petani. (-)
REFERENSIRiza Damanik, 2015.Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan. [online] Available at: h�p://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5364440aef459/hadapi-mea-sektor-ketenagakerjaan-perlu-terobosan [diakses pada 11/11/2015]
Anonim, 2015. Mengapa Pertanian Itu Begitu Pen�ng. [online] Available at: h�ps://adventuspratama.wordpress.com/mengapa-pertanian-itu-begitu-pen�ng-di-perekonomian-indonesia/ [diakses pada 11/11/2015]
Doddy Rosadi, 2015. Se�ap Tahun Setengah Juta Petani Beralih Profesi. [online] Available at: h�p://www.suara.com/bisnis/2015/03/12/112428/se�ap-tahun-setengah-juta-petani-beralih-profesi [diakses pada 11/11/2015]
Antonie Clianto, 2015. Kondisi Pertanian Indonesia. [online] Available at: h�p://antoniclianto.kinja.com/kondisi-pertanian-indonesia-tahun-2015-1701689134 [diakses pada 11/11/2015]
Tri Yulianingsih, Malang, 2014. Faktor Beralihnya Tenaga Kerja di Sektor Pertanian. [online] Available at: h�p://www.researchgate.net/publica�on/50515514 [diakses pada 11/11/2015].
Renstra Pertanian, 2015. RENSTRA. [online] Available at: h�p://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-2019.pdf [diakses pada 11/11/2015]
13
Fakta tersebut patut menjadi per�mbangan bagi para pembuat keputusan di KASN, ke�ka berharap banyak pada sistem merit yang mampu menghasilkan aparatur birokrasi yang kompeten dan netral. Akan tetapi sejauh ini �dak ada buk� yang benar-benar oten�k untuk mengatakan bahwa b i rokras i merupakan organisasi yang dapat 100% netral. Akibatnya sudah sering kali aparat terseret oleh kepen�ngan golongan tertentu yang berakibat munculnya pola-pola predatorian alias perburuan rente.
Harus diingat bahwa republik ini bukan berdir i d i tanah Jawa, pengalaman kehancuran komunitas lokal akibat penyeragaman nama desa dapat menjadi pemahaman bahwa masing-masing daerah yang begitu kaya dan luas memiliki kultural sendiri yang tak dapat dipaksakan perubahan secara fundamental karena memakan wa k t u ya n g te l a l u l a m a d a n cenderung berbiaya besar sebab menyangkut konflik yang tak dapat d i p re d i k s i s e c a ra p a s � n i l a i kerugiannya. Hal ini juga disepaka� oleh Hughes (1994) bahwa harus ada cultural milieu (lingkungan budaya) dalam administrasi publik sebagai kerangka reformasi birokrasi.
Seleksi jabatan pimpinan �nggi yang terbuka berbasis kompetensi tentu sangatlah baik. Akan tetapi patut untuk dicatat apakah calon-calon yang tersedia hanya mewakil i golongan tertentu seper� etnik dan ras tertentu yang cenderung sudah mapan dari masa lalu, jika seper� itu maka otoma�s pembangunan yang akan dieksekusi oleh birokrasi nan�nya akan cenderung eksklusif membiarkan para kaum inklusif untuk mendapatkan getah pahitnya saja. Daerah Timur Republik ini masih ada fenomena “palang” yaitu bentuk protes masyarakat lokal pada kinerja birokrasi dengan menutup kantor birokrasi secara sepihak karena dianggap �dak mampu m e ngakom odas i ke pe n�ngan m e r e k a . B i r o k r a s i h a r u s representa�f jika nilai berbeda antar k e l o m p o k m a k a b i r o k r a t melaksanakan diskresi (Meier & Hawes, 2009).
Kebijakan Afirma�f
Sangat perlu untuk menelurkan kebijakan afirma�f yang bervariasi untuk menghargai diversitas di Indonesia, meskipun tetap dalam koridor berbasis merit akan tetapi juga memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh calon ASN untuk m e n d a p a t k a n j a b a t a n y a n g
diinginkan. Karena pada dasarnya adil bukan penyamarataan, tetapi juga mendorong golongan yang berada di bawah untuk tetap mendaptkan akses yang digunakan untuk mengakomodasi kepen�ngan bersama. Republik ini jelas harus diatur dengan cara-cara yang dis�nc�ve. Pola-pola khusus sudah terjadi ke�ka para pakar banyak berbicara tentang hubungan relasi pusat dengan daerah melalui konsep desentralisasi yang asimetris, bukan penyeragaman kebijakan struktural yang tentu sulit untuk dipaksakan menjadi satu kesuksesan yang nyata. Pengalaman banyak negara �dak ada kebijakan yang fits at all.
Tulisan ini hanya sebuah ide filosofis bukan teknis agar para pengambil kebijakan �dak berharap terlalu �nggi pada konsep meritokrasi sebab Republik ini sudah jelas memiliki n i l a i - n i l a i y a n g a k a n s a l i n g bertabrakan dengan konsep merit, m e n i m b u l k a n k o n fl i k berkepanjangan yang tentu menjadi kontraproduk�f dengan semangat reformasi birokrasi sendiri. Masalah aksesibilitas sumber daya di Republik ini masih menjadi masalah tanpa adanya kebijakan afirma�f dalam b i r o k r a s i s e h i n g g a a k a n menimbulkan dominasi kelompok t e r t e n t u y a n g m e m a n g mendapatkan kemudahan dalam penguasaan akses. Jangan sampai kebijakan reformasi birokrasi dangan asas meritokrasi justru membuat kelompok kecil lain tenggelam dalam �ndasan ke lompok dominan. Ingatlah birokrasi diciptakan untuk m e m u d a h k a n m a s y a r a k a t bersamaan dengan menciptakan keadilan dan perlindungan bukan sebaliknya. (-)
“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree,it will live its whole life believing that it is stupid.” - Albert Einstein-Sebuah potret tentang sistem pendidikan dan sistem dunia kerja dewasa ini
7. Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Pemberdayaan
Masyarakat Usia ProduktifRizki Ananda, S.Pd.
BPI LPDP, PK-42
Master of Applied Linguistics, University of New South Wales, Australia
Independent Researcher and Writer dan Freelance English Teacher
Indonesia sebenarnya merupakan sebuah negara yang memiliki keuntungan sangat banyak. Selain dianugerahi belasan ribu pulau, Indonesia dilengkapi dengan keberagaman budaya, agama, dan sumber daya alam, Indonesia juga diproyeksikan akan mendapatkan bonus demografi. Sebuah negara akan memperoleh bonus ini ke�ka angka penduduk dengan usia produk�f (15-64 tahun) melebihi angka penduduk yang �dak produk�f. Antara tahun 2020 dan 2030, penduduk dengan usia produk�f di Indonesia mencapai 70% dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Data kuan�ta�f ini diperkuat oleh peneli�an yang dilakukan oleh Badan Pusat Sta�s�cs (BPS) dengan menggunakan parameter Depedency Ra�o (angka beban ketergantungan). Peneli�an ini menemukan bahwa dependency ra�o mengalami fluktuasi dari 50.5% pada tahun 2010 menjadi 48.6% pada tahun 2015 dan akan terus mengecil pada tahun 2020 hingga 2030. Hal tersebut berar� apabila dikelola dengan baik, maka mayoritas masyarakat Indonesia di tahun 2020-2030 akan mampu menanggung kehidupan minoritas masyarakat Indonesia. Seandainya ini terjadi, sudah barang tentu masyarakat Indonesia akan menikma� kesejahteraan seper� yang diharapkan oleh bapak pendiri bangsa ini yang diterakan dalam pembukaan UUD 1945, pada alenia keempat (4).
Namun apa yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini untuk masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Salah satu buk�nya adalah meningkatnya lulusan Sarjana di Indonesia tanpa diseimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Maka outcome dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang hampir semua dari mereka adalah lulusan sarjana yang merupakan golongan masyarakat dengan usia produk�f. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran sarjana pada Bulan Agustus 2014 (495.143 orang), lebih �nggi dari bulan Agustus 2013 (434.185 orang), dan Agustus 2012 (445.836 orang). Peningkatan pengangguran sarjana ini merupakan kecemasan bagi masyarakat Indonesia dan ini harus segera ditanggulangi sebelum tahun 2020.
Agar permasalahan ini bisa teratasi, kita perlu memahami faktor-faktor yang menyebabkan fenomena pengangguran “intelektual/terdidik” terjadi. Pertama, masih banyak lulusan perguruan �nggi menyelesaikan studi tanpa dibekali kompetensi yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. Menurut mantan Menteri
Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, permasalahan terbesar yang menyebabkan peningkatan tren pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun adalah kurangnya kompetensi yang diharapkan oleh pasar. Sebagai contoh konkret beliau juga menambahkan bahwa pada tahun 2010 sendiri terda�ar sebanyak 4,12 juta pencari kerja, namun lowongan kerja yang tersedia 2,38 juta, akan tetapi yang terisi hanya sekitar 1,62 juta orang, atau 70% dari angka total. Merujuk kepada sta�s�k ini, kita juga �dak bisa menafikan bahwa jumlah lapangan pekerjaan hanya mencapai setengah dari jumlah total pencari kerja. Akan tetapi, ironisnya lagi, dari 2,38 juta lowongan kerja yang tersedia, hanya 1,62 juta orang yang memenuhi kualifikasi. Ar�nya, kompetensi lulusan perguruan �nggi yang diharapkan oleh pasar memang belum memadai.
Akar permasalahan lain yang menyebabkan tren pengangguran di Indonesia semakin meningkat adalah pola pikir (mindset). Berdasarkan diskusi dengan kolega d a n p e n ga m a ta n d i l a p a n ga n , p e n u l i s b i s a menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat di Indonesia, khususnya mahasiswa, masih menganggap bahwa mereka hanya memiliki dua pilihan dalam hidup: menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk makmur atau menganggur. Ternyata hipotesis ini dibuk�kan oleh data ilmiah yang membuk�kan bahwa terjadi peningkatan pelamar PNS dari 1.612.854 pelamar di tahun 2013, menjadi 2.603.780 orang pada tahun 2014, kata kepala
Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik (HKIP) KemenPAN-RB Herman Suryatman. Peningkatan jumlah pelamar PNS yang hampir satu juta orang dalam dua tahun terakhir menjadi buk� bahwa pembenahan pola pikir merupakan keharusan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pengangguran di Indonesia.
Faktor terakhir adalah kurikulum perguruan �nggi yang berorientasi kepada akademik yang berlebihan (Excessive Academic-Oriented Curriculum). Pernyataan ini seraya dengan ungkapan Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel Rosyid yang berargumentasi bahwa, “Kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik, hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya mencari kerja saja, mereka �dak memikirkan cara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.” Kalau kita lihat di lapangan, pernyataan Daniel Rosyid ada benarnya. Contohnya, jurusan pendidikan Bahasa Inggris di salah satu Universitas di Aceh cenderung mengajarkan bagaimana lulusannya bisa menjadi guru PNS yang baik. Sebenarnya tujuan ini sudah sangat benar, akan tetapi lulusan perlu juga dibekali kompetensi untuk mampu membuka lapangan kerja setelah lulus, seper� membuka kursus-kursus, pusat pendidikan, dan konsultan pendidikan, sehingga lapangan pekerjaan akan menjadi lebih luas.
Solusi untuk Diper�mbangkan
Setelah memaparkan permasalahan diatas, penulis mengajukan beberapa solusi yang hendaknya diper�mbangkan oleh pemerintah dan semua pihak terkait . Solusi pertama adalah meningkatkan kompetensi lulusan S1. Sebelum merumuskan kurikulum, pemerintah sebaiknya merancang pemetaan kebutuhan sesuai yang diharapkan pasar. Contohnya, pada akhir tahun 2015, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tentu salah satu kebutuhan yang dibutuhkan oleh semua lulusan adalah kecakapan komunikasi dalam bahasa Inggris dan kecakapan inilah yang harus dimiliki oleh semua lulusan S1 di Indonesia. Kompetensi selanjutnya yang harus di�ngkatkan adalah kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang berkualitas �nggi dan kemampuan dalam memberikan pelayanan yang maksimal (excellent service) bagi yang b e r p r o f e s i s e b a g a i pemberi jasa, seper� dokter dan guru.
S o l u s i y a n g kedua adalah menanamkan m o � v a s i w i r a u s a h a kepada se�ap l u l u s a n S 1 ,
dengan memasukkan mata kuliah yang berorientasikan bisnis, seper� “English for Business” pada jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Ke�ka usaha-usaha mulai menjamur, maka akan terbukanya peluang kerja yang luas bagi lulusan S1 dan situasi kehidupan masyarakat di Indonesia akan stabil. Berdasarkan Kementrian Keuangan, untuk mencapai situasi ideal di Indonesia, maka maka 2% dari total penduduk harus menjalankan usaha yang mampu membuka lapangan kerja. Ini s e h a r u s nya m e n j a d i p r i o r i ta s u ta m a d a l a m pemerintahan Joko Widodo yang menggembar-gemborkan Revolusi Mental. Jadi, sudah seharusnya pemerintah merumuskan kurikulum pada �ngkat perguruan �nggi yang mampu merubah mental mahasiswa dari mental pencari kerja kepada mental mendirikan usaha sendiri.
Solusi yang ke�ga adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi karena diperkirakan bahwa 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih dari 350.000 kesempatan kerja. Beberapa cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ada lah memberdayakan lulusan sarjana (university graduate empowerment) dengan memberikan pela�han-pela�han dalam mengolah sumber daya alam yang terdapat pada tempat mereka �nggal, seper� bagaimana untuk mendiversifikasi produk, dan pela�han dalam meningkatkan kemampuan pemasaran (marke�ng skill). Langkah lain adalah memberikan dukungan kepada lulusan sarjana yang menggelu� usaha usaha mikro, seper� memudahkan proses dalam mengambil kredit usaha sehingga usaha yang dijalani masyarakat akan mudah untuk berkembang dan pada akhirnya mampu berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia yang tercinta ini.
Meskipun masih banyak solusi yang bisa diambil oleh pemerintah, akan tetapi ke�ga solusi di atas sebaiknya d i p e r � m b a n g k a n o l e h p e m e r i n t a h u n t u k diimplementasikan. Sehingga diharapkan bonus demografi yang akan dinikma� oleh Indonesia akan benar-benar menjadi sebuah anugrah yang bisa membawa kesejahtraan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia. (-)
Is�lah manajemen talenta sudah semakin umum dan populer dalam pengembangan sebuah organisasi. Menurut Smilasnky dalam bukunya Developing Execu�ve Talent, manajemen talenta itu pen�ng karena berkaitan dengan memosisikan orang yang tepat di pekerjaan yang tepat. Kesesuaian tersebut berhubungan dengan beberapa faktor yang harus diperha�kan, yaitu mulai dari bagaimana merekrut, menempatkan, mengembangkan, dan menjaga kinerja karyawan yang berkompetensi dan berpotensi �nggi.
Faktor pertama tersebut merupakan pintu pertama karyawan memasuki organisasi. Perekrutan juga langkah yang paling kecil cost-nya bila dibandingkan faktor yang lain. Menurut Douglas Bray, seorang filsuf di bidang industri, lebih fokus pada perekrutan adalah lebih baik dari pada fokus pada pengembangan. Ini karena pengembangan bukanlah tugas yang mudah akibat beberapa atribut kepribadian yang �dak dapat dikembangkan. Oleh karena itu merekrut mereka dengan keterampilan yang tepat lebih e fi s i e n b a g i o r g a n i s a s i d a r i p a d a mengembangkan keterampilan mereka.
Sebuah survei yang diselenggarakan Chartered Ins�tute of Personal and Development di London pada tahun 2006 menunjukkan respon posi�f terhadap manajemen talenta. Dari survei
tersebut didapat tujuan utama manajemen talenta paling banyak adalah sebagai berikut:
Ÿ Mengembangkan karyawan yang berpotensial �nggi,
Ÿ Mengembangkan calon senior manajer di masa depan,
Ÿ Memungkinkan tercapainya tujuan strategis perusahaan,
Ÿ Mempersiapkan kebutuhan keterampilan di masa depan,
didasarkan pada personal intererst, yang dapat dirangkum
menjadi �ga paradigma umum, yaitu:
1. Keinginan untuk menekuni dunia akademik baik
sebagai peneli� maupun dosen pengajar,
2. Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan setelah menyelesaikan �ngkat sarjana
ke�ka proses seleksi pekerjaan belum selesai ataupun
belum mendapat panggilan kerja, dan
3. Keinginan untuk menaikkan daya saing personal (bagi
yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompe�si
kenaikan jabatan di dunia kerja dimana jenjang
p e n d i d i ka n m e r u p a ka n s a l a h s a t u fa k t o r
per�mbangan yang pen�ng.
Ke�ga paradigma di atas memiliki nilai posi�f dan nega�fnya
masing-masing. Poin pertama memiliki �ngkat linearitas
keilmuan yang paling �nggi dibandingkan poin lainnya.
Namun perlu diingat jika kebutuhan posisi dosen pengajar,
peneli�, ataupun jumlah universitas yang ada lebih sedikit
dibandingkan penambahan jumlah lulusan S2 maupun S3,
maka akan terjadi kondisi oversupply yang dapat berakibat
17
Tantangan-tantangan
Mempunyai orang-orang yang berkompetensi dan berpotensial merupakan salah satu konsep ideal bagi sebuah organisasi. Seringkali, kualifikasi kompetensi didasarkan p a d a � n g kat p e n d i d i ka n d a n prestasinya. Menurut Guarino (2007), kecerdasan saja �dak cukup s e ka ra n g , ke c e r d a s a n h a ny a merupakan salah satu bagian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sebuah organisasi dalam mengisi tubuhnya sesuai prinsip the right person for the right job.
Tantangan ber ikutnya ada lah mengingat bahwa sebenarnya potensi , k inerja dan kesiapan b u k a n l a h h a l y a n g s a m a . Mendapatkan karyawan dengan kompetensi dan potensi �nggi akan membawa kesenjangan ke�ka �dak
d i i k u � d e n g a n b a g a i m a n a mempersiapkan mereka. Terkait hal tersebut, Bussi dan McMurrer mengatakan mereka yang berpotensi membutuhkan mentoring, tugas tambahan, dan pengembangan p e r s o n a l u n t u k m e m b a n g u n keterampilan in� mereka.
Selanjutnya, mendapatkan dan mengembangkan para berpotensial saja masih belum cukup. Organisasi m a s i h m e m p u nya i ta nta n ga n membangun komunikasi untuk menarik para super talent dan mempertahankan yang sudah ada. S m i l a n s k y d a l a m b u k u n y a D e v e l o p i n g E xe c u � v e Ta l e n t b e r p e n d a p a t b a h w a d e n g a n p e n g e l o l a a n k a r i r d a n pengembangan potensi bisa menarik dan mempertahankan the best talent di tengah persaingan yang �nggi
masa sekarang. Ini salah satunya bisa berupa bentuk penghargaan atas kinerja mereka.
Kesimpulan
Untuk mencapai sebuah organisasi dengan kinerja �nggi perlu didukung k a r y a w a n - k a r y a w a n y a n g berkompetensi, dan berpotensi �nggi. Kecerdasan dan prestasi saja � d a k c u ku p u nt u k m e n g u ku r kesiapan mereka terjun di dunia kerja. Karyawan yang menjadi kunci organisasi tersebut harus terus didukung perkembangannya baik dari kompetensi maupun jenjang karir mereka. Selain itu, keberadaan para key people ini perlu dijaga komitmen dan mo�vasi mereka dengan komunikasi yang baik dari organisasi melalui penghargaan dan pengakuan. (-)
9. Ekspektasi Dunia Kerja
Indonesia Terhadap Lulusan
Pendidikan Tinggi (S2 & S3)Handika Prasetya Dwiyasni, S.T., M.Sc.
BPI LPDP, PK-09
Sustainable Process Engineer, University of Twente
bersama Tim Divisi Talent Hub & Strategic Partnership, MATAGARUDA
Sejak pengelolaan beasiswa oleh Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) berjalan, kesempatan untuk mendapatkan
beasiswa master maupun doktoral terbuka untuk semua
kalangan. Hingga kuartal I 2015, total penerima beasiswa
LPDP sudah mencapai 6.800 orang. Salah satu poin yang unik
dari beasiswa ini adalah �dak adanya ikatan kerja setelah
kelulusan penerima beasiswa dan hanya diikat oleh klausul
“kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi” pada
kontrak. Kondisi yang cukup “fleksibel” ini menjadi daya tarik
tersendiri, terbuk� dari jumlah pelamar dan penerima
beasiswa yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
pun sejalan dengan target awal LPDP untuk meningkatkan
rasio lulusan pendidikan master dan doktoral terhadap
jumlah penduduk, dimana Indonesia sendiri masih ter�nggal
dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, seper� Singapura
dan Malaysia.
Jika target kuan�tas telah terpenuhi, maka tantangan
selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi
sumber daya manusia tersebut sesuai dengan kapasitas dan
keahlian mereka, sesuai dengan roadmap jangka panjang
pembangunan negara. Namun tujuan di atas bukanlah hal
yang mudah, mengingat belum adanya arahan khusus dari
pemerintah mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk
18
a
nega�f terhadap career path di dunia akademik dan lembaga
peneli�an. Poin kedua berada pada posisi yang cukup riskan,
mengingat penerima beasiswa seper� ini dapat “terjerumus”
untuk terjun ke dunia akademik tanpa direncanakan maupun
mencoba untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan
lulusan sarjana karena sama-sama belum memiliki
pengalaman kerja. Poin nomor �ga memiliki risiko yang
tergolong paling rendah mengingat mereka sudah memiliki
pengalaman kerja dan sudah lebih mengetahui kondisi pasar
yang ada.
Berdasarkan paparan di atas, sudah siapkah pasar kerja di
Indonesia menyerap seluruh potensi-potensi di atas?
Mampukah kita keluar dari paradigma di atas dan mulai
merambah pemanfaatan exper�se yang sesuai dengan studi
yang diambil para penerima beasiswa? Tulisan ini akan
memberikan ulasan singkat terkait ekspektasi pasar kerja
terhadap lulusan S2 dan S3 (di luar dunia akademik dan
lembaga peneli�an) dari beberapa pe�nggi instansi-instansi
yang berpengaruh di Indonesia, seputar apakah mereka
tertarik untuk merekrut lulusan minimal S2 dan posisi apakah
yang cocok dengan kualifikasi pendidikan tersebut.
Pengalaman Kerja Lebih Diutamakan Dibandingkan Level
Pendidikan
“Tertarik sekali jika ada S2, apalagi nya sudah talent pool link
terbentuk tanpa harus jalur yang resmi (publikasi di linkedin /
jobstreet dsb - red). Sudah berpengalamankah? Dapat
diu�lisasi untuk keperluan tenaga ahli dan merancang grand
Sejak terminologi kata Desain Komunikas i V isual diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 90an, pro dan kontra pun merebak, dan hal itu kerap kali diperdebatkan sampai sekarang. Siapa yang merambah pada siapa – apakah desain pada komunikasi atau komunikasi pada desain, di tengah pujian dan pengharapan yang berkumandang yang diiku� pula oleh protes yang dimaknai dengan berbagai pemahaman – kredibilitas dan kompetensi profesi ini banyak dipertanyakan baik oleh para prak�si maupun akademisi. Unsur komunikasi yang dilibatkan mendapat sorotan, karena terminologi kata Desain Komunikasi Visual bisa menimbulkan ambiguitas makna – padahal di negeri luar profesi ini masih tetap disebut sebagai Graphic Design, atau seper� yang dinyatakan oleh Richard Saul Wurman sejak tahun 1976 – architect informa�on.
Ke�ka David Ogilvy menyatakan bahwa what to say lebih
pen�ng daripada how to say, dari sisi ilmu komunikasi Harold
Lasswell mengemukakan formula Who Says What in Which
Channel to Whom With What Effect sambil memberi
penekanan bahwa per�mbangan dan pemilihan how to say
menentukan efek�vitas penyampaian what to say pada
audiens. How to Say diar�kan sebagai saluran komunikasi yang
digunakan, dan bentuk media yang dijadikan kendaraan untuk
memperkuat struktur isi pesan atau content.
Ke�ka Max Bruinsma menyatakan bahwa seniman dan
desainer bisa dikatakan sebagai informa�on agents – ar�nya
mereka memperdagangkan makna, mengedarkan gagasan,
konsep dan pemikiran – diwujudkan menjadi susunan-susunan
visual dan diimbuhkan konteks – singkatnya, mereka
mengentalkan informasi menjadi kebudayaan (Bruinsma, Max.
Design Interac�ve Educa�on. 1997), Wibur Schamm
mengungkapkan bahwa secara garis besar dalam proses
komunikasi, pesan adalah pernyataan yang didukung oleh
lambang, merupakan paduan pikiran dan perasaan (ide,
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan �ngkat par�sipasi sekolah dan kualitas pendidikan melalui program ser�fikasi guru, perbaikan kurikulum, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran pendidikan 20%, serta program lainnya. Namun sayangnya, hal ini �dak cukup untuk memas�kan adanya mobilitas sosial (upward social mobility) pada masyarakat. Pada saat ini, orang-orang yang bekerja pada level keahlian rendah, seper� seorang office boy, cleaning service, pelayan toko, satpam, dan lain-lain, cenderung untuk terhen� (stuck) pada level pekerjaan keahlian rendah tersebut. Sekali mereka masuk pada profesi itu, sangat besar kemungkinan bahwa mereka akan b e ra d a p a d a p ro fe s i i t u u n t u k seterusnya. Untuk i tu perlu ada p e r u b a h a n m i n d s e t d i t a t a r a n pengambilan kebijakan bahwa belajar �dak terhen� pada lembaga formal saja. Selain itu, diperlukan sistem yang memas�kan orang yang pada awalnya m e r u p a ka n o ra n g y a n g k u ra n g beruntung, baik karena ekonomi keluarganya maupun karena sebab lainnya, mendapat kesempatan untuk meningkatkan skill mereka pada saat mereka sudah berada di dunia kerja.
Di era yang penuh kompe�si, cepat
berubah, dan terintegrasi dengan
perekonomian global ini, seorang
p e ke r j a j u ga p e r l u u nt u k te r u s
m e n d a p a t k a n p e l a � h a n a g a r
keahliannya bertambah dan dapat
beradaptas i dengan perubahan.
B e r b a g a i i n i s i a � f i n t e g r a s i
perekonomian seper� ASEAN Economic
Community, Trans-Pacific Partnership,
dan inisia�f lainnya memberi tantangan
bagi para pekerja untuk meningkatkan
kompetensi dan produk�vitas mereka.
Sistem di Singapura yang bernama
lifelong learning concept dapat menjadi
ru jukan. Konsep in i menjadikan
perusahaan sebagai learning center bagi
para pekerja. Berdasarkan konsep ini,
para pekerja akan terus mendapatkan
pela�han sehingga keahlian mereka
pada suatu bidang semakin meningkat
atau mereka dapat mempelajar i
keahlian baru agar mereka dapat pindah
pada pekerjaan yang lebih produk�f.
Sebagai contoh, seseorang yang saat ini
bekerja sebagai office boy, jika ia
memiliki minat untuk menjadi seorang
koki atau pengusaha restoran, maka ia
dapat mengiku� pela�han sebagai koki
dan pengusaha restoran. Oleh karena
itu, seseorang yang pada awal karirnya
'terpaksa' menjadi seorang office boy
memiliki kesempatan untuk move on.
Berikut adalah gagasan prak�s dari
model lifelong learning Singapura
tersebut (Lim, 2015).
P E R TA M A , a d a n y a C o n � n u i n g
Educa�on and Training (CET) Master
Plan. Indonesia membutuhkan sebuah
m a s t e r p l a n y a n g m e m a s � k a n
tersedianya infrastruktur CET serta
adanya keterkaitan antara pendidikan
pada masa sebelum bekerja (pre-
employment) dengan ins�tusi CET.
Selain itu, ins�tut pendidikan bagi orang
usia dewasa (Ins�tute of Adult Learning)
juga dapat disiapkan sehingga tersedia
supply pendidik bagi orang usia dewasa.
Di lingkungan eksternal yang terus
berubah , master p lan i n i per lu
berprinsip flexible, result-oriented, dan
integrated.
KEDUA, penciptaan Industry-Based
training. Perusahaan mul�nasional atau
perusahaan besar cenderung memiliki
sistem in-house training center yang
c u k u p b a i k . P e m e r i n t a h d a p a t
melakukan akreditasi terhadap training
center perusahaan ini sehingga ia
menjadi sebuah Approved Traning
22
11. Sistem Lifelong Learning
untuk Mobilitas Sosial and
Industrial Upgrading
Rully Prassetya, SE, MPP, MSc.
BPI LPDP, PK-01
University College London
Macroeconomics, Development Policy, and Governance
dengan permintaan pemilik modal karena pemilik modal pasti akan mencari cara terbaik untuk mendapatkan keuntungan tertinggi. Otomatisasi pekerjaan bukanlah permasalahan di Indonesia semata. Sebuah esai oleh Frey dan Osborne (Oxford 2013) mengatakan, pekerjaan yang memiliki kemungkinan otomatisasi adalah sebesar 47% kategori termasuk akuntansi, pekerjaan bidang hukum, penulisan teknis, dan banyak pekerjaan kerah putih lainnya.
Selain itu, dalam hubungan antara pekerja dan pemilik modal, Swedia yang terkenal dengan
perbedaan upah yang tidak timpang pun mengalami makin tingginya kesenjangan antara kelas. Di mana, banyak orang melakukan “bullshit jobs” yang dimaknai oleh David Graeber, seorang antropolog London School of Economics sebagai “low- and mid-level screen-sitting that serves simply to occupy workers for whom the economy no longer has much use.”
Pengembangan sumber daya manusia seharusnya bukan seluruhnya demi kepentingan pemilik modal. Dalam era post-industrialisasi,
banyak komunitas mencoba menjadi self-sufficient dan makin banyak gerakan ethical consumerism yang makin membuat orang semakin tidak ingin tergantung pada pemilik modal. Indonesia tidak perlu mencapai era industrialisasi seratus persen karena pembangunan tidaklah linear. Kita bisa mulai ikut memikirkan cara lain membuat kehidupan yang lebih baik tanpa harus melalui cara memasok manusia sebagai tenaga kerja. (-)