BAB 1. METODOLOGI 1.1. PENGUMPULAN DATA-DATA SEKUNDER Pengumpulan data-data sekunder meliputi pengumpulan data pendahuluan seperti hasil survey, investigasi studi maupun desain terdahulu untuk menunjang desain, data-data sekunder ini juga sangat berperan dalam keandalan analisa yang akan dilakukan baik dalam analisa hidrologi, analisa hidrolika, analisa sedimen, analisa struktur dan lain-lain. Untuk itu data-data sekunder yang telah dikumpulkan meliputi : 1. Data hidroklimatologi meliputi data curah hujan yang diperoleh di daerah studi 2. Data-data daerah genangan banjir meliputi daerah rawan banjir, lama dan luas genangan, tinggi genangan dan penyebab banjir 3. Peta-peta dengan skala terbesar yang ada yaitu peta dari Bakorsurtanal skala 1 : 50.000 4. Titik-titik referensi 5. Kajian-kajian geologi terdahulu 6. Hasil pengukuran topografi terdahulu 7. dan lain-lain Dari data-data sekunder tersebut sebelum dipakai sebagai alat analisa perlu dilakukan kompilasi data dan studi pendahuluan, agar alat analisa yang dipakai dapat memberikan nilai validasi dan memberikan parameter desain yang dapat dipertanggung jawabkan. Kompilasi dan kegiatan pendahuluan yang dilakukan adalah sebagai berkut : a. Kompilasi data dilakukan pada data-data hidroklimatologi dengan tujuan melihat data yang hilang (missing data), dan kepuguhan/konsistensi data sehingga dapat diketahui data yang masih perlu dilengkapi dalam bentuk report maupun survey tambahan yang diperlukan. b. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap studi-studi yang terdahulu terutama yang menyangkut: Kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Kondisi Topografi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1. METODOLOGI
1.1. PENGUMPULAN DATA-DATA SEKUNDER
Pengumpulan data-data sekunder meliputi pengumpulan data pendahuluan seperti
hasil survey, investigasi studi maupun desain terdahulu untuk menunjang desain, data-data
sekunder ini juga sangat berperan dalam keandalan analisa yang akan dilakukan baik
dalam analisa hidrologi, analisa hidrolika, analisa sedimen, analisa struktur dan lain-lain.
Untuk itu data-data sekunder yang telah dikumpulkan meliputi :
1. Data hidroklimatologi meliputi data curah hujan yang diperoleh di daerah studi
2. Data-data daerah genangan banjir meliputi daerah rawan banjir, lama dan luas
genangan, tinggi genangan dan penyebab banjir
3. Peta-peta dengan skala terbesar yang ada yaitu peta dari Bakorsurtanal skala 1 : 50.000
4. Titik-titik referensi
5. Kajian-kajian geologi terdahulu
6. Hasil pengukuran topografi terdahulu
7. dan lain-lain
Dari data-data sekunder tersebut sebelum dipakai sebagai alat analisa perlu
dilakukan kompilasi data dan studi pendahuluan, agar alat analisa yang dipakai dapat
memberikan nilai validasi dan memberikan parameter desain yang dapat dipertanggung
jawabkan. Kompilasi dan kegiatan pendahuluan yang dilakukan adalah sebagai berkut :
a. Kompilasi data dilakukan pada data-data hidroklimatologi dengan tujuan melihat data
yang hilang (missing data), dan kepuguhan/konsistensi data sehingga dapat diketahui
data yang masih perlu dilengkapi dalam bentuk report maupun survey tambahan yang
diperlukan.
b. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap studi-studi yang terdahulu terutama yang
menyangkut:
Kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS)
Kondisi Topografi
Kondisi Geologi
Kondisi Hidrologi
Dasar-dasar perencanaan bangunan
Dan lain-lain
c. Tinjauan lapangan yang dilakukan untuk memastikan atas kondisi berdasarkan studi
terdahulu, melakukan identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang menjadi
penyebab banjir dan akibatnya dan juga untuk mempertajam studi pendahuluan.
1.2. PENGUKURAN TOPOGRAFI (TOPOGRAPHIC SURVEY)
1.2.1. PENGUKURAN POLIGON
Dalam pekerjaan pengukuran poligon, data yang mutlak dibutuhkan adalah
koordinat dan elevasi referensi, yang digunakan untuk mengikat titik awal poligon. Titik
ini dapat diperoleh dari benchmark (BM) yang ada ataupun check poin (CP) pada daerah
yang akan dipetakan.
A. Pengukuran Poligon/Kontrol Horisontal
Kontrol horizontal dilakukan dengan cara pengukuran poligon, poligon harus tertutup
dan melingkupi daerah yang dipetakan, jika daerahnya cukup luas poligon utama
dibagi dalam beberapa kring tertutup. Jadi secara umum kontrol horizontal dapat
dilakukan sebagai berikut :
- Metode yang digunakan adalah poligon, dimana semua patok dan BM yang sudah
dipasang merupakan titik poligon.
- Sudut diukur satu seri ganda (biasa dan luar biasa) menggunakan theodolith.
- Jarak diukur dua (2) kali menggunakan Alat Ukur Elektronik (EDM) pada poligon
utama dan memakai pita ukur 50 m pada poligon cabang.
Sisi poligon sama panjangnya, poligon cabang harus terikat kepada poligon utama.
Diusahakan jalur poligon baik cabang atau utama melalui batas jalan yang ada. titik
koordinat referensi yang digunakan harus mendapat persetujuan dari Direksi pekerjaan,
jalur poligon baik cabang atau utama dibuat melalui rencana atau bantaran
sungai/saluran/jalan yang sudah ada demikian juga jalur inspeksi atau
drainase/drainage.
Titik poligon selain bench mark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5 cm x 70 cm.
Patok ini harus dicat untuk memudahkan identifikasi.
Jika polygon utama diukur dengan EDM sedang poligon cabang diukur dengan pita
ukur baja ketelitian linier poligon utama harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 10.000
sedangkan poligon cabang harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 5.000.
B. Pengukuran kerangka Water Pass/Kontrol Vertikal
Semua titik poligon harus diukur ketinggiannya, titik referensi untuk kontrol vertikal
harus persetujuan dari Direksi Pekerjaan. Pengukuran kontrol vertikal dilakukan
pulang pergi, alat yang digunakan alat ukur otomatis (N12, NAK atau yang sejenis),
sebelum dan sesudah pengukuran alat ukur harus diperiksa ketelitian garis bidiknya,
jumlah jarak belakang diusahakan sama dengan jumlah jarak muka dan jarak dari alat
ke rambu titik tidak lebih besar dari 60 m sedangkan alat terdekat dari alat ke rambu
tidak lebih dari 5 m.
Secara umum kontrol vertikal dapat dilakukan sebagai berikut :
- Metode yang digunakan adalah metode waterpass memanjang, melalui semua titik
poligon
- Jalur waterpass utama merupakan Jalur Tertutup (Loop), sedangkan waterpass
cabang merupakan jalur Terikat Sempurna.
- Menggunakan alat ukur “Automatic Level”
- Pengukuran dilakukan double stand, dimana stand I dibaca lengkap (benang atas,
benang tengah dan benang bawah), sedangkan stand II dibaca benang tengah.
Ketelitian pengukuran waterpass utama tidak lebih dari 10√ D dan waterpass
utama tidak lebih 5√D, dimana D adalah jumlah jarak dalam satuan kilometer.
1.2.2. PEMASANGAN JARINGAN BENCH MARK (BM)
A. Umum
Benchmark (BM) dipasang ditempat yang aman dari gangguan manusia atau binatang,
BM dipasang setiap 0.50 km dan perpotongan jalur poligon diikat pada atau dekat
bangunan yang permanen. Setiap BM dibuat diskripsinya dan diberi nomor urut yang
teratur. Ukuran BM sesuai TOR dan di cat warna biru.
Titik poligon lainnya selain benchmark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5cm x 60
cm dipasang disepanjang jalur saluran dengan setiap 50 m. Patok kayu, dicat dan
diberi nomor untuk memudahkan identifikasi.
B. Deskripsi Bench Mark
Seluruh benchmark (BM) dibuat diskripsinya Kordinat (X, Y) dan elevasinya (Z).
Seluruh Benchmark (BM) yang sudah di pasang, dibuat deskripsinya, kemudian
ditabelkan dan foto BM dihimpun pada formulir deskripsi, form terlampir.
Semua benchmark dan patok poligon ditunjukkan pada peta situasi hasil pengukuran
topografi yang berskala 1 : 2.000. Dan juga ditunjukkan pada gambar situasi yang
berada pada long section. Nama Benchmark (BM) dan elevasi akan dicantumkan
dengan jelas, elevasi tanah ditunjukkan sebagai pusat ketinggian dan untuk patok
poligon akan ditulis nama/nomor dan elevasi tanah saja.
1.2.3. PENGUKURAN SITUASI
Situasi diukur berdasarkan jaringan kerangka horizontal dan vertikal yang telah
dipasang, dengan melakukan pengukuran keliling serta pengukuran didalam daerah areal
yang akan dipetakan.
Jalur poligon dapat ditarik lagi dari kerangka utama dan cabang untuk mengisi
detail planimetris berikut spot height yang cukup, sehingga diperoleh penggambaran
kontur yang yang memadai.
Titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 5 cm pada peta skala 1 :
5.000. atau dengan kerapatan spot height 2 - 5 titik untuk tiap 1 hektar diatas tanah. Dan
untuk peta skala 1 : 2.000 titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 10 cm pada
peta, atau dengan kerapatan spot height 8 – 10 titik untuk setiap hektarnya diatas tanah.
Beberapa titik spot height bervariasi tergantung kepada kecuraman dan
ketidakteraturan terrain. Kerapatan titik-titik spot height yang dibutuhkan dalam daerah
pengukuran tidak hanya daerah sungai, tetapi juga kampung, kebun, jalan setapak, tanaman
sepanjang jalan pada lokasi rencana.
Pengukuran situasi dilakukan dengan metode Tacheometry menggunakan
theodolith T.0 atau yang sejenis. Jarak dari alat ke rambu tidak boleh lebih dari 100 meter.
Kontur digambar apa adanya tetapi teliti, dan bagian luar daerah sungai kontur
diplot hanya berdasarkan titik-titik spot height, efek artistik tidak diperlukan. Interval
garis kontur sebagai berikut :
Kemiringan Tanah Interval Kontur
kurang dari 2% 0,25 m
2% sampai 5% 0,50 m
Lebih dari 5 % 1,00 m
Pemberian angka kontur jelas terlihat, dimana setiap interval kontur 1.00 m dan
setiap kontur 5.00 m digambarkan lebih tebal.
a. Seluruh saluran, drainase, sungai (dasar terendah dan lebar harus jelas terlihat).
b. Jalan-jalan desa dan jalan setapak.
c. Bangunan irigasi dan drainase, batas kampung, rumah-rumah, jembatan dan
saluran. Diameter atau dimensi berikut ketinggian lantai semua gorong-gorong dan
jembatan, sekolah, masjid dan kantor pemerintah (camat, dll) harus terlihat.
d. Pohon-pohon besar (berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan ketinggian sekitar
12 m diatas tanah) bila pepohonan ini berada di site dan tiang telpon,tiang listrik
dll.
e. Daerah rawa.
f. Batas tata guna tanah (misalnya belukar berupa rerumputan dan alang-alang,
sawah, rawa, ladang, kampung, kebun, dan lain-lain).
g. Tiap detail topografi setempat (seperti misalnya tanggul curam, bukit kecil dan
lain-lain).
h. Batas pemerintahan (kecamatan, desa dan lain-lain). Nama kampung, kecamatan,
nama jalan dan lain-lain diperlukan.
i. Jaringan kerangka dasar.
1.2.4. PENGUKURAN TRASE SUNGAI
Pengukuran untuk trase sungai meliputi penampang memanjang dan melintang.
Penampang memanjang dilengkapi dengan elevasi pada tiap jarak 50m pada daerah lurus
dan 25m pada belokan atau ditambah apabila ada perubahan kemiringan yang cukup
signifikan pada kemiringan tanah. Penampang memanjang dilengkapi dengan:
- Elevasi tanah asli
- Elevasi dasar sungai atau saluran
- Elevasi tanggul sungai yang ada dan kemungkinan berhimpit dengan elevasi rencana
tanggul
Lokasi dari semua bangunan-bangunan prasarana dan sarana yang ada sepanjang
sungai bangunan-bangunan lainnya.
Pengukuran trase saluran dapat dimulai setelah menyelesaikan pekerjaan
inventarisasi jaringan dan kebutuhan pengukuran tersebut ditegaskan sesuai dengan hasil
peninjauan lapangan terinci. Hasil pengukuran diplot pada gambar ukuran A.1.
Maksud dari pekerjaan ini adalah membuat gambar penampang memanjang dan
melintang dari saluran rencana.
Pengukuran trase tersebut teliti terutama untuk elevasinya sehingga bisa diketahui
mengenai slope (kemiringan) dari arah memanjang maupun melintang dimana saluran
akan direncana:
Pekerjaan pengukuran trase saluran seluas 1.071 Ha ini merupakan pekerjaan
pengukuran lanjutan setelah kegiatan layout definitif (system planning).
Secara garis besar pekerjaan ini terdiri dari :
- Pengukuran poligon
- Centerlining atau pematokan titik-titik untuk pengukuran profil melintang
- Pengukuran waterpass (profil memanjang)
- Pengukuran profil melintang
- Pengukuran situasi saluran
- Perhitungan
- Penggambaran
1. Pengukuran Poligon
Setting out titik-titik BP, IP.1, IP.2 dan seterusnya sampai dengan EP untuk tiap
saluran di lapangan dengan pemasangan patok kayu dolken atau kaso-kaso ukuran 5
x 7 x 100 cm untuk tiap-tiap titik IP tersebut dengan cat warna kuning dan nomor
patok warna hitam kemudian untuk titk-titik BP dan EP berupa Bench Mark ukuran
10 x 10 x 100 (contoh kontruksi, ukuran dan marmer nama BM terlampir). Penarikan
BP, IP dan seterusnya harus sejajar dengan saluran dan tiap IP ditempatkan harus
pada titik balok.
Setiap Bench Mark dan patok kayu (IP) di poligon syarat teknis pengukuran poligon
adalah sebagai berikut :
• Poligon akan dimulai dari titik referensi yang sudah ditentukan oleh direksi
(dalam hal ini adalah titik-titik tetap atau Bench Mark hasil pengukuran situasi
terdahulu) dan harus berakhir pada titik yang sudah diketahui koordinatnya, bila
tidak ada maka akan diadakan pengikatan terhadap yang terdekat
• Pengukuran sudut horizontal dengan 2 seri dengan ketelitian sudut tidak lebih
dari 10” untuk sekunder cukup 1 seri dengan ketelitian sudut tidak lebih dari 20”
• Salah penutupsudut maksimum 10”√N, dimana N banyaknya titik poligon. Untuk
saluran sekunder cukup dengan 20”√N
• Sudut vertikal dibaca dalam 2 seri dengan ketelitian sudut 20”
• Pengamatan matahari pada stiap jarak ± 5 km dan diusahakan pada bangunan
bagi (titik simpul poligon) juga pada tiapBP dan EP. Pengamatan pada pagi dan
banjir rencana, analisis curah hujan areal dan uji kesesuaian distribusi.
Untuk Curah Hujan Rancangan dihitung dengan empat jenis agihan, yaitu :
• Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I
• Agihan Pearson Tipe III
• Agihan Log Pearson Tipe III
• Agihan Log Normal 3 Parameter
Persamaan umum untuk estimasi curah hujan rancangan (design rainfall) untuk
semua agihan, adalah sebagai berikut :
xT SKXX ⋅+=
Dimana :
XT = curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun (mm) X = rerata dari curah hujan (mm) Sx = standar deviasi K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return
periode) dan tipe distribusi frekuensi.
Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I
Standart deviasi dihitung dengan rumus :
11
2
−
−=
∑ ∑n
XXXS
n n
iii
X
faktor frekuensi dihitung dengan rumus
n
nT
SYYK −
=
dengan :
YT = Reduced variete sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T ]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
Agihan Pearson Tipe III
Distribusi Pearson Tipe III, mempunyai bentuk kurva seperti bel (bell shape).
Fungsi kerapatan peluang distribusi dari distribusi Pearson Tipe III adalah sebagai berikut :
( ) ( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −−−
⋅⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
Γ= a
Cxb
ea
Cxba
xP11
dengan :
x = variabel acak kontinue
a = parameter skala
b = parameter bentuk
c = parameter letak
Γ = fungsi gamma
Standart deviasi dihitung dengan rumus
11
2
−
−=
∑ ∑n
XXXS
n n
iii
X
koefisien kepencengan (skewness coefisien)
( )( )( )( )XSnn
XXnCS
⋅−−
−= ∑
21
3
Agihan Log Pearson Tipe III
Bentuk distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil trasformasi dari distribusi
Pearson Tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Persamaan fungsi
kerapatan peluang sama dengan distribusi Pearson Tipe III.
standart deviasi dihitung dengan rumus:
( )
2/12
1)(
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
−−∑
=n
XLogXLogXLogσ
koefisien kepencengan (skewness coefisien)
( )( )( )( )XSnn
XXnCS
log21loglog
3
⋅−−
−= ∑
Agihan Log Normal 3 Parameter
Distribusi Log Normal 3 parameter merupakan modifikasi distribusi log normal
dengan menambahkan suatu parameter β sebagai batas bawah, dengan fungsi densitas
peluang log normal (log normal probability density function) dari variabel acak kontinue x,
dengan persamaan sebagai berikut :
( )( )
( ) 2ln21
2ln1 ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛ −−
⋅−
= nnx
ex
xP σμβ
πβ
dengan :
x = variabel acak kontinue
σn = deviasi standart dari sampel dari variat ln (x - β)
μn = rata-rata dari sampel dari variat ln (x - β)
Standart deviasi dihitung berdasarkan persamaan :
1
)log(log)log(1
−
−−−=∑ ∑
n
XXXS
n n
iii
X
ββ
koefisien kepencengan (skewness coefisien)
( )( )( )( ))log(21
)log()log(3
βββ
−⋅−−
−−−= ∑
XSnnXXn
CS
Faktor frekuensi K, diperoleh dari hubungan kala ulang atau probabilitas dengan
koefisien kepencengan (skewness coefisien).
Uji Kesesuaian Distribusi
Untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi, maka dilakukan
pemeriksaan uji kesesuaian distribusi, dalam hal ini kami memakai dua metode uji yaitu uji
Smirnov Kolmogorov dan uji Chi-Square.
Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui beberapa hal, seperti :
• Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau
yang diperoleh secara teoritis,
• Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak).
Uji Smirnov Kolmogorof
Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar,
Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut :
(%)1.100+
=n
mP
Dimana :
P = Probabilitas (%)
m = nomor urut data dari seri yang telah disusun
n = besarnya data
Nilai delta kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov diperoleh dari tabel.
Uji Kai Kuadrat (Chi Square)
Dari distribusi (sebaran) Kai-kuadrat, dirumuskan :
∑−
=F
FF
EOE 2
2 )(χ
Dimana :
χ2 = Harga kai-kuadrat
Ef = Frekuansi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai dengan
pembagian kelas nya
Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.
Nilai χ2 hitungan harus lebih kecil dari harga χ
2cr (Kai-kuadrat kritis) dari tabel,
untuk suatu derajat nyata tertentu (level of significance), yang sering diambil sebesar 5%.
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :
DK = K - (P + 1)
Dimana :
DK = Derajat kebebasan
K = Banyaknya kelas
P = Banyaknya keterikatan atau sama dengan banyak-nya parameter,
yang untuk sebaran kai-kuadrat adalah sama dengan dua (2).
Dalam hal ini, disarankan pula agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan
frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila ada kelas yang
frekuensinya kurang dari lima, maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang
lainnya.
1.4.5. POLA DISTRIBUSI HUJAN
Distribusi Hujan
Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan
diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang tersedia pada suatu
stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif
selama 24 jam.
Namun demikian jika tersedia data hujan otomatis (Automatic Rainfall Recorder,
ARR), maka pola distribusi hujan jam-jaman dapat dibuat dengan menggunakan metode
Mass Curve untuk tiap kejadian hujan lebat dengan mengabaikan waktu kejadian. Setiap
kejadian ini diplot untuk mendapatkan distribusi hujan harian menjadi setiap jam.
Distribusi hujan jam-jaman dengan interval tertentu perlu diketahui untuk
menghitung hidrograf banjir rancangan dengan cara hidrograf satuan (unit hidrograf).
Prosentase distribusi hujan yang terjadi dapat dihitung dengan rumus Mononobe (Suyono,
1981:35):
32
24 ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛==
TtRoR
tR
Ro t
dimana :
Rt = rerata hujan dari awal sampai T (mm)
T = waktu mulai hujan hingga ke t (jam)
Ro = hujan harian rerata (mm)
Ri = intensitas hujan rerata dalam T – jam (mm)
R24 = curah hujan netto dalam 24 jam (mm)
t = waktu konsentrasi (jam)
Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakannya menjadi dua
komponen, yaitu (1) waktu yang diperlukan untuk mengalir di permukaan lahan sampai
saluran terdekat to dan (2) waktu perjalanan dari pertama masuk saluran sampai ke titik
keluaran td, sehingga:
dc ttt += 0
Dimana :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡×××=
SnLto 28,3
32 menit
Dan
VL
t sd 60= menit
Dimana
n = angka kekasaran manning
S = kemiringan lahan
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
sL = panjang lintasan aliran di dalam salluran/sungai (m)
V = kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)
Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang di dasarkan pada kondisi daerah
pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan
karakteristik yang dimaksud adalah :
1) keadaan hujan,
2) luas dan bentuk daerah aliran,
3) kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai,
4) daya infiltrasi dan perkolasi tanah,
5) kebasahan tanah,
6) suhu udara dan angin serta evaporasi dan
7) tata guna tanah.
Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada tabel berikut, didasarkan dengan
suatu pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor fisik.
Tabel 1-1 Angka Koefisien Pengaliran
Kondisi DAS Angka Pengaliran
(C)
Pegunungan 0,75 - 0,90
Pegunungan tersier 0,70 - 0,80
Tanah berelief berat dan
Berhutan kayu 0,50 - 0,75
Dataran pertanian 0,45 - 0,60
Daratan sawah irigasi 0,70 - 0,80
Sungai di pegunungan 0,75 - 0,85
Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75
Sungai besar yang
Sebagian alirannya berada
di dataran rendah 0,50 - 0,75
Sumber : Suyono Sosrodarsono, (1980)
Dr Kawakami menyusun sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk
sungai-sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda-beda tergantung dari curah
hujan.
4
3
7.151tR
f −=
Dimana :
f = koefisien pengaliran
Rt = jumlah curah hujan (mm)
Harga koefisien limpasan (runoff coefficient) dari untuk penggunaaan secara umum
dapat diambil dari tabel sebagai berikut :
Tabel 1-2 Rumus-rumus koefisien limpasan (koefisien pengaliran) Rerata dalam
sungai-sungai di Jepang
No Daerah Kondisi sungai Curah hujan Rumus
Koefisien pengaliran
1
2
3
4
5
Hulu Tengah Tengah Tengah Hilir
sungai biasa sungai di zone lava
Rt > 200 mm Rt < 200 mm
f = 1 - 15.7/Rt3/4
f = 1 - 5.65/Rt3/4
f = 1 - 7.20/Rt3/4
f = 1 - 3.14/Rt3/4
f = 1 - 6.60/Rt3/4
Sumber : Suyono Sosrodarsono, (1980)
Tabel 1-3 Angka Koefisien Pengaliran Yang Dipakai Secara Umum
Type Daerah Aliran Kondisi Daerah Harga C
Rerumputan
Tanah pasir, datar 2% Tanah pasir, rata-rata 2 – 7 % Tanah pasir, curam 7 % Tanah gemuk, datar 2 % Tanah gemuk, rata-rata 2 – 7 % Tanah gemuk, curam 7 %