SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK TERHADAP MUTU YOGHURT Oleh : UMUL MA’RIFAH F24104091 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG
DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK
TERHADAP MUTU YOGHURT
Oleh :
UMUL MA’RIFAH
F24104091
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG
DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK
TERHADAP MUTU YOGHURT
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
UMUL MA’RIFAH
F24104091
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Umul Ma’rifah. F24104091. Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt. Dibawah Bimbingan : Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2008.
RINGKASAN
Pati modifikasi ikat silang adalah pati yang dimodifikasi secara kimia yang mengandung sejumlah pati resisten (Resistant starch) yang dikenal dengan RS tipe IV. Resistant starch (RS) telah diteliti mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus dan dapat difermentasi oleh bakteri probiotik. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi, tetapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia. Fermentasi RS oleh bakteri dalam usus menghasilkan SCFA (short chain fatty acids) yang diketahui berfungsi mencegah kanker kolon. RS dalam penelitian ini diperoleh dari pati singkong yang dimodifikasi melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia 0.02% (v/b) POCl3.
Jenis minuman fugsional yang akhir-akhir ini cukup diminati adalah minuman probiotik (yoghurt). Salah satu upaya peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kultur campuran bakteri asam laktat (BAL) yang merupakan kandidat probiotik dan dengan menambahkan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung RS tipe IV sebagai sumber prebiotik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik (sinbiotik) mampu meningkatkan pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan.
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM), (2) pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis mutu yoghurt terpilih.
BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan sebagai kandidat probiotik digunakan Lactobacillus plantarum sa28k yang diisolasi dari asinan kubis. Sebanyak 5% (v/v) kultur tunggal BAL Streptococcus thermophilus (St), Lactobacillus bulgaricus (Lb), Lactobacillus plantarum sa28k (Lp ) yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) menunjukkan hasil sebagai berikut: jumlah BAL yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi sebelum diinkubasi berturut turut adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah diinkubasi selama 20 jam jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml, jumlah L. bulgaricus menjadi 5.7 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum menjadi 4.65 x 104 CFU/ml. Hasil tersebut belum menunjukkan adanya pertumbuhan yang signifikan terutama untuk S. thermophilus dan L. plantarum. Hal ini diduga karena BAL akan mencerna PSM lebih lambat sehingga dalam waktu 20 jam belum terlihat pertumbuhannya.
Kombinasi BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah sebagai berikut: (1) S. thermophilus : L. bulgaricus (2) S. thermophilus : L. plantarum, (3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum, dan (4) L. plantarum. Hasilnya menunjukkan, kombinasi BAL mempengaruhi nilai pH, viskositas, serta tingkat penerimaan panelis terhadap mutu yoghurt yang dihasilkan. Kombinasi ketiga BAL yaitu
S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang mempunyai tingkat penerimaan lebih baik daripada kombinasi BAL yang lain.
Susu skim ditambahkan dalam beberapa konsentrasi yaitu 5%, 7.5%, dan 10% (b/v), sedangkan PSM ditambahkan pada konsentrasi 2.5% dan 5% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi susu skim dan PSM yang ditambahkan menghasilkan yoghurt dengan nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas yang semakin tinggi. Konsentrasi susu skim terpilih yaitu 5% (b/v) dan konsentrasi PSM terpilih yaitu 2.5% (b/v). Kombinasi ini menghasilkan yoghurt dengan karakteristik penampakan, bau, rasa, konsistensi, mutu kimia dan mutu mikrobiologi yang sesuai dengan standar mutu yoghurt SNI-2981-1992.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Umul Ma’rifah. Penulis dilahirkan pada
tanggal 14 november 1985 di Madiun. Penulis adalah anak
bungsu dari lima bersaudara pasangan bapak Djaenuri dan Ibu
Sringatun. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis antara
lain SDN Sewulan 03 (1992-1998), SLTPN I Dagangan (1998-
2001), SMAN I Geger (2001-2004).
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut pertanian
Bogor pada Fakultas Teknlogi Pertanian pada tahun 2004. Penulis diterima pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Selama kuliah penulis aktif berorganisasi yaitu sebagai staf Departemen
Sosmas Himitepa, bendahara departemen Pengabdian Masyarakat (KAMMI Komsat
IPB), staf media Komunikasi LSO Pusat studi Politik dan Kebijakan (KAMMI Daerah
Bogor), Sekretaris Departemen Humas (KAMMI Daerah Bogor), dan Kadeputi Kajian
dan Advokasi BKM KAMMI Derah bogor. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan
seperti ketua pelaksana pelatihan Jurnalisme Profetik Center (JPC), Lepas Landas
Sarjana FATETA, penyambutan mahasiswa baru (Salam ISC), dan Seminar Nasional
Pangan Halal. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun
skripsi dengan judul ” Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan
Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt” di bawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Siti Nurjanah, STP, MSi.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG
DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK
TERHADAP MUTU YOGHURT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada jurusan Ilmu Dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
UMUL MA’RIFAH
F24104091
Dilahirkan pada tanggal 14 November 1985
Di Madiun, Jawa Timur
Tanggal Lulus: September 2008
Menyutujui,
Bogor, September 2008
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Siti Nurjanah, STP, MSi
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Ketua Departemen
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam yang telah memberikan kenikmatan
iman, limpahan rahmat serta hidayat, sehingga penulis bisa menikmati pendidikan di
IPB, menyelesaikan penelitian, dan penyusunan skripsi. Penelitian ini dilakukan sebagai
salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Ibu, Bapak, dan Bunda Hermin atas do’a yang tak henti-hentinya, kasih sayang
yang diberikan selama ini, serta kesabaran yang begitu besar dalam menunggu
penulis lulus. Hanya sebatas ini yang baru bisa ananda berikan.
2. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S., selaku dosen akademik atas
bimbingan, pengarahan, motivasi, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis selama menempuh pendidikan, mengerjakan penelitian, dan
menulis skripsi di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
3. Siti Nurjanah, S. TP., M.Si., sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan,
pengarahan, kesabaran, dan bantuan yang diberikan selama penelitian dan
penulisan skripsi.
4. Dian Herawati, S. TP., atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-
masukan yang telah diberikan.
5. Progam Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan
judul “ Pengembangan Produk Pangan Kaya Serat Dan Sumber Prebiotik Dari
Resistant Starch Umbi-umbian ” yang diketuai ole Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi
Jenie, MS., atas dana penelitian yang diberikan.
6. Kakak-kakakku (Mbak Hied, Mbak Mur, Mbak Mun, Mas Toha), kakak-kakak
ipar (pak Ulis, Mas Din, pak Yit, Mb Ana) dan keponakan-keponakanku, atas
motivasi dan do’anya selama ini. Do’akan aku sanggup memenuhi harapan-
harapan kalian.
7. Soulmate dan saudara tercintaku (Yana dan Citra), teman sharingku (Rita, Risma,
RJ crew) bersaudara dengan kalian adalah anugerah. Terima kasih banyak atas
bantuan dan kebersamaan yang indah selama ini.
8. Murabbiyah-murrabiyahku, terima kasih atas ilmu, bimbingan, dan suntikan
semangatnya.
9. Teman-teman BPH KAMMI Daerah Bogor 2006 - 2008 (Herma, Jepri, Budi,
Dindin, Jamal, Defa, Imam, Adyos, Mbak I’in, Citra, Phyto), bisa berjuang
bersama kalian adalah kenikmatan dari Alloh. Satu yang harus kita ingat :
BERGERAK TUNTASKAN PERUBAHAN! Semoga Alloh meridloi apa yang
selama ini kita lakukan.
10. Teman-teman BKM (Mbak Rini, Noni, Anis, Anna, Honi, Erika), teman-teman
BKM KAMMI Pusat (Ka Uwie Makasar dan Mbak Mutia), teman-teman
KAMMI komsat (IPB, AKA, UIKA, UNIDA, La Roiba, UNPAK), teman-teman
Etos 41, 42, 43, 44 terima kasih atas do’a dan dukungan selama ini.
11. Anak-anak Griya Salma (Frita, Tria, mbak Nurban, Ria, Mbak Sarmah, Mbak
Nurul) atas keceriaan yang diberikan, teman-teman EURO, teman-teman
SALAM ISC 2006, FA 41, teman-teman Kurma, bersaudara dengan kalian adalah
anugerah terindah dalam dakwah.
12. Temenku yang tersayang (Nona, Novi, Risma, Memed, sofia), teman
sebimbingan (Fina) , Ety, Tommy, Arief Fadli, Aris, Sisi, Riska terima kasih atas
bantuan yang diberikan selama penelitian.
13. Teman-teman praktikum golongan C dan teman-teman ITP 41, terima kasih atas
kebersamaannya.
14. Bu Mar, Pak Sidik, Pak Mul, Mas Edi, Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak
Rojak, Bu Rub, Bu Antin, dan Bapak-Bapak petugas PITP, terima kasih atas
15. semua bantuannya dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih begitu banyak kekurangan, harapannya
semoga apa yang telah dituangkan penulis dalam skripsi bisa bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
Bogor, September 2008.
Umul Ma’rifah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1
B. TUJUAN .................................................................................................. 3
C. MANFAAT .............................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4
A. Singkong (Manihot esculenta Crantz)..................................................... 4
B. Pati Singkong (Tapioka)........................................................................... 5
C. Pati Modifikasi ......................................................................................... 7
D. Susu Fermentasi ....................................................................................... 10
E. Susu Skim ................................................................................................. 13
F. Prebiotik................................................................................................... 14
G. Proiotik ..................................................................................................... 15
H. BAKTERI ASAM LAKTAT................................................................... 17
1. Lactobacillus plantarum sa28k ........................................................... 22
2. Lactobacillus bulgaricus..................................................................... 24
3. Streptococcus thermophilus ................................................................ 25
III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 27
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 27
1. Bahan................................................................................................... 27
2. Alat ..................................................................................................... 27
B. METODE PENELITIAN........................................................................ 27
1.Pembuatan RS Tipe IV Pati Singkong (Juliana, 2007) ........................ 28
2. Pengamatan viabilitas BAL Dalam Media RS IV............................... 28
3. Pembuatan Kultur Starter.................................................................... 29
4. Pembuatan Yoghurt............................................................................. 29
4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL ............................................ 31
4.2. Pemilihan Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV .................... 31
C. METODE ANALISIS............................................................................. 32
1. Uji Organoleptik ................................................................................. 32
2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989) ................................... 32
3. Analisis Sifat Kimia ............................................................................ 32
3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995).................................................. 32
3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)............ 33
3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989) ...................... 33
3.4. Kadar abu (AOAC, 1995) ......................................................... 34
3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995) ........................... 34
3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995) ..................... 35
4. Analisis Mikrobiologi ......................................................................... 35
4.1. Total Bakteri Asam Laktat (Harrigan, 1998) ............................. 35
4.2. Total kapang - khamir (Fardiaz, 1987) ...................................... 36
4.3. Uji Koliform............................................................................... 37
4.4. Uji Salmonella............................................................................ 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 39
A. Penumbuhan BAL pada Larutan 2.5% RS Tipe IV ................................ 39
B. Pembuatan Yoghurt................................................................................. 41
C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat ........................ 42
1. Derajat Keasaman (pH)............................................................... 43
2. Viskositas .................................................................................... 44
3. Uji Organoleptik.......................................................................... 46
3.1. Warna ......................................................................................... 47
3.2. Aroma......................................................................................... 47
3.3. Rasa ............................................................................................ 49
3.4. Mouthfeel.................................................................................... 50
4. Kombinasi BAL Terpilih .................................................................... 51
D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV ................................... 52
1. Viskositas ............................................................................................ 52
2. Total Asam Tertitrasi (TAT)............................................................... 54
3. Derajat Keasaman (pH)....................................................................... 56
4. Pengaruh Kombinasi BAL dan RS tipe IV terhadap jumalah BAL ... 59
E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik................................................................ 61
1. Keadaan Secara Umum....................................................................... 62
2. Mutu Kimia ......................................................................................... 62
2.1. Nilai pH...................................................................................... 62
2.2. Total Padatan Terlarut................................................................ 63
2.3. Total Asam Tertitrasi ................................................................. 64
2.4. Kadar Abu .................................................................................. 64
2.5. Kadar Lemak ............................................................................. 64
2.6. Kadar Protein ............................................................................. 65
3. Mutu Mikrobiologi.............................................................................. 65
3.1. Total Bakteri Asam Laktat ......................................................... 65
3.2. Total Kapang-Khamir ................................................................ 65
3.3. Uji koliform, E. coli, dan Salmonella ........................................ 66
4. Mutu Organoleptik .............................................................................. 67
4.1. Aroma......................................................................................... 67
4.2. Rasa ............................................................................................ 67
4.3. Tekstur (mouthfeel) .................................................................... 67
4.4. Warna ......................................................................................... 67
4.5. Kekentalan.................................................................................. 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 69
A. KESIMPULAN ..................................................................................... 69
B. SARAN ................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 71
LAMPIRAN..................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992 ............. 12
Tabel 2. Formulasi Yoghurt ............................................................................. 32
Tabel 3. Hasil analisis yoghur.......................................................................... 62
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Singkong (ubi kayu) ....................................................................... 5
Gambar 2. Reaksi Modifikasi Pati Dengan Menggunakan POCl3.............................. 9
Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)............................. 18
Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997) ............................ 19
Gambar 5. L. Plantarum .................................................................................. 24
Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus ................................................................ 25
Gambar 7. Streptococcus thermophilus ........................................................... 26
Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt ................................................. 30
Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% RS tipe IV ............................... 39
Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL....................................... 42
Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi
kultur BAL .................................................................................... 43
Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi
kultur BAL ..................................................................................... 45
Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan
kombinasi kultur BAL ................................................................... 47
Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai
viskositas yoghurt ......................................................................... 53
Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap
total asam tertitrasi (TAT)............................................................. 54
Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap
nilai pH yoghurt ............................................................................. 57
Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap
total BAL yoghurt .......................................................................... 60
Gambar 18. Yoghurt Terpilih........................................................................... 63
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt Sinbiotik ............................... 77
Lampiran 2. Viabilitas BAL............................................................................. 78
Lampiran 3. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) RS tipe IV.................... 79
Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH
yoghurt ........................................................................................ 80
Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas
yoghurt ........................................................................................ 81
Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna
yoghurt ........................................................................................ 82
Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma
yoghurt ....................................................................................... 83
Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa
yoghurt ....................................................................................... 84
Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel
yoghurt ........................................................................................ 85
Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap
kekentalan yoghurt ...................................................................... 86
Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV viskositas
formulasi yoghurt sinbiotik......................................................... 87
Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap
nilai total asam tertitrasi (TAT).................................................. 88
Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan RS tipe IV terhadap
nilai pH........................................................................................ 89
Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap
jumlah BAL yoghurt sinbiotik ................................................... 90
Lampiran 15. Total Kapang-Khamir yoghurt sinbiotik terbaik ....................... 91
Lampiran 16. Total Koliform, E. coli, dan Salmonella.................................... 92
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesadaran konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi mempengaruhi
kesehatan cenderung meningkat, sehingga membuat konsumen lebih selektif dalam
memilih produk pangan yang akan dikonsumsi. Perubahan gaya hidup, pola makan,
dan kondisi kesehatan dapat merubah stabilitas ekosistem flora usus. Upaya untuk
memperbaiki kondisi ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan (manajemen) flora
usus dengan cara meningkatkan proporsi bakteri baik (probiotik) untuk menekan
bakteri patogen. Produk pangan fungsional yang akhir-akhir ini cukup diminati
adalah minuman probiotik terutama yang berasal dari susu fermentasi yaitu yoghurt.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt sangat penting untuk
meningkatkan kualitas kesehatan konsumen.
Salah satu upaya peningkatan sifat fungsional yoghurt adalah dengan
menambahkan bakteri asam laktat (BAL) selain S. thermophilus dan L. bulgaricus
karena menurut Yuguchi et al., (1992), kedua bakteri tersebut tidak dapat tumbuh
pada usus manusia, dan hanya dapat bertahan hidup sampai pada usus kecil dan
kolon selama 3 jam setelah yoghurt dikonsumsi. Oleh karena itu, BAL yang
ditambahkan adalah BAL yang harus mampu bertahan dalam saluran pencernaan
sehingga memberikan efek kesehatan setelah dikonsumsi. Salah satu jenis BAL yang
akan ditambahkan dalam penelitian ini yang mampu mencapai saluran pencernaan
dalam keadaan hidup dan lengkap adalah L. plantarum yang diisolasi dari asinan
kubis (sauerkraut) yaitu L. plantarum sa28k. Kusumawati et al., (2003), melaporkan
bahwa dari uji in vitro dan uji in vivo pada tikus percobaan menunjukkan bahwa
bakteri tersebut berpotensi sebagai probiotik yang mampu bertahan hidup dalam
pencernaan. Selain itu, L. plantarum sa28k mampu menghambat pertumbuhan B.
cereus, S. aureus, S. typhimurium, dan E. coli yang merupakan bakteri patogen.
Kelebihan lain yang dimiliki L. plantarum sa28k menurut Kusumawati et al. (2003),
merupakan galur yang menunjukkan aktivitas asimilasi kolesterol.
Pati yang dimodifikasi (pati modifikasi) baik secara fisik maupun kimia
diketahui mengandung sejumlah pati yang bersifat resisten terhadap enzim
pencernaan yang dikenal dengan resistant starch (RS). Oleh karena itu, RS dapat
berfungsi sebagai prebiotik. Modifikasi pati terutama pati tapioka dengan
menggunakan reagen kimia telah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara,
seperti asilasi tapioka dan pragelatinisasinya dengan asam stearat untuk enkapsulasi
flavor ( Varavit et al., 2001), cross link dengan POCl3 (Khatijah, 2003), asilasi
tapioka dengan asam propionat dicampur dengan poliester poliuretan untuk dijadikan
film (Santayonan dan Woothikanokkhan, 2003), dan hidrolisisis dengan HCl untuk
memperoleh tingkat kristalin yang tinggi (Atichokudomcai et al., 2001). Penelitian
tentang pati modifikasi melalui ikat silang (cross linking) untuk menghasilkan RS
tipe IV juga telah banyak dilakukan antara lain modifikasi dengan 0.2% (v/b) POCl3
pati singkong, suweg, dan ubi jalar oleh Juliana (2007), penelitian serupa dilakukan
Anggraini (2007) terhadap pati ganyong, kentang dan pati kimpul, dan Woo et al.
(1999) membuat RS tipe IV dari berbagai pati dengan menggunakan berbagai
konsentrasi POCl3. Menurut Singh et al. (2006), pati yang dimodifikasi mealalui ikat
silang (cross linking) mempunyai karakteristik viskositas yang stabil terhadap suhu
tinggi, pengadukan, dan kondisi asam. Oleh karena itu, umumnya ditambahkan untuk
memperbaiki viskositas, tekstur, dan kestabilan dalam produk-produk susu. Juliana
(2007) melaporkan, modifikasi pati singkong yang dibuat dengan metode ikat silang
(cross linking) dengan reagen POCl3 setelah diinokulasi dengan L. plantarum sa28k
dapat menghasilkan asam asetat yang merupakan SCFA (short chain fatty acids).
SCFA menurut beberapa hasil penelitian diketahui dengan mekanisme sedemikian
rupa berfungsi mencegah kanker kolon.
Berbagai hasil penelitian modifikasi pati secara kimia untuk menghasilkan
kandungan RS tipe IV, mempunyai potensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
terutama aplikasinya dalam produk pangan salah satunya pada produk yang
mengandung probiotik. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan pati singkong
modifikasi yang dibuat melalui metode cross linking yang akan ditambahkan pada
yoghurt untuk diamati pengaruhnya terhadap mutu yoghurt. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan dari upaya penerapan konsep sinbiotik / eubiotik
(penggabungan probiotik dan prebiotik) dalam produk yoghurt. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik mampu meningkatkan
pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi BAL terhadap mutu yoghurt.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan susu skim pada berbagai tingkat
konsentrasi terhadap mutu yoghurt.
3. Mengetahui pengaruh penambahan pati singkong modifikasi ikat silang pada
berbagai konsentrasi terhadap mutu yoghurt.
4. Mengetahui mutu kimia dan mikrobiologi serta tingkat penerimaan panelis
terhadap yoghurt yang telah ditambah L. plantarum sa28k dan pati singkong
modifikasi ikat silang.
C. MANFAAT
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah penelitian awal yang memberikan
referensi proses pembuatan dan mutu yoghurt dengan menggunakan
L. plantarum sa28k sebagai BAL kandidat probiotik yang diisolasi dari asinan kubis
dan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung resistant
starch tipe IV, sehingga lebih lanjut diharapkan dapat diterapkan konsep yoghurt
sinbiotik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Singkong (Manihot esculenta Crantz)
Singkong atau ketela pohon atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)
merupakan tanaman dari famili Euphorbiaceae dan merupakan tanaman tahunan di
negara tropis maupun subtropis. Singkong berasal dari Brazil, kemudian menyebar
hampir ke seluruh dunia, antara lain : Afrika, madagaskar, India, dan China
(Prihatman, 2000). Ciri-ciri tanaman singkong mudah diamati yakni batangnya
berkayu, beruas, dan berbuku-buku. Menurut Hilllocks et al., (2002), Umbi tanaman
singkong yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai
tempat penyimpanan cadangan makanan.
Tanaman singkong berbentuk pohon dengan tinggi 0.9-4.6 m. Tanaman ini
dapat tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 10-1500 m di atas permukaan laut
dan memiliki curah hujan antara 1500-2500 mm/tahun. Suhu udara minimal bagi
pertumbuhan tanaman singkong adalah 10oC. Suhu di bawah 10oC akan menghambat
pertumbuhan tanaman, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang
yang kurang sempurna. Kelembaban udara yang optimal untuk pertumbuhan tanaman
singkong adalah antara 60-65% (Prihatman, 2000).
Umbi sngkong rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm,
tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih dan
kekuning-kuningan. Umbi akar singkong mengandung glukosa, rasanya sedikit
manis, namun ada pula yang pahit tergantung pada kandungan glukosida yang dapat
membentuk asam sianida (Anonim, 2006).
Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah
beras dan jagung. Singkong paling besar dimanfaatkan sebagai bahan dasar pada
industri makanan dengan diolah menjadi pati singkong (tapioka). Berdasarkan
laporan Depatemen Perindustrian Indonesia tahun 1999, terdapat 155 buah produsen
pati singkong yang tersebar diseluruh wilawah Nusantara. Salah satu upaya
meningkatkan penggunaannya dalam industri pangan, tapioka dimodifikasi secara
kimia menjadi resistant starch (RS) tipe IV. Juliana (2007) melaporkan daya cerna
pati singkong modifikasi ikat silang (RS tipe IV) cukup rendah yaitu 21.20% dan
memiliki kadar serat pangan sebesar 8.72%. Gambar singkong dapa dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1. Singkong (Prihatman, 2000)
B. Pati Singkong (Tapioka)
Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan
ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks
(Brithish Nutrition Foundation, 2005). Pati terdapat di berbagai bagian tanaman,
seperti biji (padi-padian), akar dan umbi (singkong dan kentang), dan pada batang
(sagu) (Kulp, 1975). Pati merupakan salah satu bentuk utama dari karbohidrat dalam
makanan. Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses
metabolisme.
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno,
1992). Amilosa tersusun dari molekul D-glukopiranosa berikatan α-(1,4) dalam
struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri dari beberapa sampai
3000 unit D-glukopiranosa. Amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang
berikatan α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini
menyebabkan penampilan molekul amilopektin bercabang-cabang biasanya 24 -30
unit D-glukopiranosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta,
1992).
Kandungan pati dalam singkong menurut Winarno (1992) adalah 34.6%.
Juliana (2007) melaporkan rendemen pati singkong (tapioka) adalah 11.79% dengan
kadar air 6.15% dari berat kering. Pati tapioka merupakan granula berwarna putih
dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4 -35μm dan rata-rata 20μm. Granula ini
berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula
tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya
(Swinkels, 1985). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang
dalam air panas atau hangat (Greenwood dan Munro, 1979). Pengembangan granula
pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan
menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi.
Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air
dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati
tidak larut dalam air dingin tapi berbentuk suspensi. Dengan makin naiknya suhu
suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Pengembangan
tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisiknya
hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus
hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang
lain. Dengan makin naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin
melemah. Di lain pihak molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi
sehingga mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul
air juga semakin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun maka air
akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa-amilopktin sehingga menghasilkan
ukuran granula yang semakin besar. Jika suhu suspensi masih tetap naik, maka
granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula
masuk dalam sistem larutan.
Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.
Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin
berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amailopektin akan
berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat glatinisasi pati (Jane dan Chen,
1992). Juliana (2007) melaporkan kelarutan pati singkong dalam air adalah 4.2% b/b
dan suhu gelatinisasi 84o C.
Dalam tubuh manusia, pati dicerna dengan bantuan enzim amilase. Enzim ini
biasanya terdapat pada saliva (air liur) dan pankreas. Amilase akan menghidrolisis
pati menjadi maltosa. Proses pencernaaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh
ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar
sehingga pati lebih cepat dicerna daripada pati yang ukuran granulanya lebih besar
(Tharanathan dan Mahandevama, 2003).
C. Pati Modifikasi Ikat Silang
Pati modifikasi didefinisikan oleh Munarso (2004) sebagai pati yang diberi
perlakuan sedemikan rupa baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat
reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Pati yang dimodifikasi
menghasilkan granula atau bagian pati yang bersifat tahan (resisten) terhadap enzim
pencernaan yang dikenal dengan istilah pati resisten ( Resistant starch). Resistant
starch (RS) didefinisikan sebagai sejumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak
diserap di usus kecil individu yang sehat. Resistant starch (RS) telah diteliti
mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus sehingga
dapat difermentasi oleh bakteri probiotik (Shimoni, 2003). Efek prebiotik tidak hanya
terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi tapi
juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia (Brown et al., 1998).
RS dibedakan menjadi RS tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Sajilata et al.,
(2006) menjelaskan definisi masing-masing tipe RS tersebut sebagai berikut:
(1) RS tipe I adalah pati yang bersifat resistant karena secara fisik tidak dapat
diakses oleh enzim pencernaan karena terpeangkap di antara dinding-dinding sel
tanaman. RS tipe ini misalnya terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan
yang tidak tergiling sempurna
(2) RS tipe II adalah pati yang secara alami terdapat dalam bentuk granula pati yang
resistant terhadap enzim pencernaan. RS tipe II terdapat pada kentang, nanas, dan
pisang mentah.
(3) RS tipe III adalah RS yang terbentuk karena proses retrogradasi.
(4) RS tipe IV adalah RS yang mempunyai ikatan lain selain α -(1,4) dan α- (1,6).
Pembentukan RS tipe IV dilakukan dengan penambahan reagen kimia. Menurut
Sajilata et al. (2006), resistant starch (RS) tipe IV adalah pati yang dimodifikasi
melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia, terdapat
pada produk pangan yang menggunakan pati termodifikasi.
Semua pati yang dimodifikasi dengan perlakuan kimia mengandung RS
yang termasuk jenis RS tipe IV. RS tipe ini bersifat resisten terhadap enzim amilase
akibat pembentukan ikatan silang dengan penambahan senyawa kimia. Reagen
seperti sodium trimetafosfat (STMP), monosodium fosfat (SOP), sodium tripolifosfat
(STTP), epiklorohidrin (EPI), fosforus oksiklorida (POCl3), ataupun campuran dari
asam asetat anhidrida dan asam dikarboksilat seperti asam adipat, dan vinil klorida
digunakan untuk membuat pati cross linking (Wattanchant et al., 2003).
Tingkat efisiensi proses modifikasi kimia tergantung pada tipe reagen, ukuran
dan stuktur granula pati alami (Huber dan Bemiller, 2001). Dalam hal ini juga
termasuk struktur permukaan dari granula pati yaitu permukaan luar dan dalam,
tergantung pada pori-pori dan adanya saluran-saluran pada granula tersebut. Bemiller
(1997) menjelaskan bahwa saluran-saluran yang terbuka pada granula eksterior
menyediakan permukaan lebih luas yang dapat diakses oleh reagen, dan menyediakan
akses yang lebih mudah bagi reagen menuju granula interior. Namun, selain melalui
saluran yang terdapat pada granula, reagen juga berdifusi masuk ke matrik granula
melalui permukaan eksternal.
Juliana (2007) melaporkan pati singkong yang dimodifikasi ikat silang
dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 4.28%. Pati singkong modifikasi ikat silang
tersebut dibandingkan dengan pati alaminya, memiliki derajat putih paling tinggi
yaitu 110%, densitas kamba terendah yaitu 0.63 g/ml, sedangkan densitas padatnya
0.84 g/ml. Kadar amilosa pati singkong modifikasi ikat silang sebesar 29.42%, tidak
berbeda nyata dibandingkan pati alami (27.32%). Aktivitas air dari pati alami
singkong dan pati singkong modifikasi ikat silang berturut-turut sebesar 4.20, dan
4.25%. Pati singkong modifikasi ikat silang memiliki suhu awal gelatinisasi 67.5oC,
suhu puncak gelatinisasi yang sama dengan pati alami singkong, yaitu 84oC, dan
viskositas maksimumnya adalah 1.550 BU. Kandungan gula pereduksi pati singkong
modifikasi adalah 0.16% b/b. Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Juliana
(2007) dengan mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati singkong modifikasi,
diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah L. plantarum 1 x 108
CFU/ml, L. casei 1.4 x 107 CFU/ml, dan B. Bifidum 2.5 x 107 CFU/ml. Selain itu,
dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang
dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat ( dietary fiber) sebanyak 8.72%
(b/v).
Anggraini (2007) melaporkan pembutan pati kimpul yang dimodifikasi
dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 5.1424%. Pati kimpul modifikasi ikat silang
dibandingkan pati alami memiliki derajat putih paling tinggi yaitu 100.85%, densitas
kamba yaitu 0.637 g/ml, sedangkan densitas padatnya 0.838 g/ml. Kadar amilosa pati
kimpul modifikasi ikat silang sebesar 31.435%, tidak berbeda nyata dibandingkan
pati alami (30.859%). Aktivitas air dari pati alami kimpul dan pati kimpul modifikasi
ikat silang berturut-turut sebesar 0.384, 0.367, dan 0.358. Pati kimpul modifikasi ikat
silang memiliki suhu awal gelatinisasi 75 oC, suhu puncak gelatinisasi yang sama
dengan pati alami kimpul, yaitu 90oC, dan viskositas maksimumnya adalah 200 BU.
Kandungan gula pereduksi pati kimpul modifikasi ikat silang adalah 0.17% b/b.
Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Anggraini (2007) dengan
mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati kimpul modifikasi ikat silang,
diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah L. plantarum 1.2 x 108
CFU/ml, L. casei 1.7 x 107 CFU/ml, dan B. Bifidum 8.9 x 106 CFU/ml. Selain itu,
dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang
dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat (dietary fiber) sebanyak 7.53%
(b/v). Berikut adalah reaksi kimia yang terjadi dalam pembuatan pati modifikasi ikat
silang dengan menggunakan reagen POCl3.
Gambar 2. Reaksi modifikasi kimia pati dengan menggunakan POCl3 (Singh et
al., 2006)
D. Susu Fermentasi
Susu fermentasi didefinisikan oleh Oberman (1985) yang disitasi oleh
Selamat (1992) sebagai hasil fermentasi susu segar atau susu skim atau susu
konsentrat yang telah dsipasteurisasi maupun disterilisasi dengan menggunakan
kultur mikroba tertentu, dimana mikroba tersebut dipertahankan hidup sampai pada
saat dijual ke konsumen dan diharapkan tidak mengandung mikroba patogen.
Beberapa contoh susu fermentasi antara lain : yughurt, yakult, kefir, koumis, susu
bulgaricus, susu acidophilus, dll.
Tzanetaki dan Tzanetakis (1999) dalam Robinson et al. (1999)
mengklasifikasikan susu fermentasi berdasarkan kultur starter yang digunakan yaitu:
(1) fermentasi laktat oleh bakteri mesofilik dan termofilik, (2) fermentasi oleh bakteri
intestinal, (3) fermentasi laktat oleh khamir, dan (3) fermentasi laktat oleh kapang.
Kosikowski (1977) mengklasifikasikan susu fermentasi menjadi 4 tipe, yaitu (1)
berasam rendah, contohnya susu krim dan susu mentega; (2) berasam sedang,
contohnya susu acidophilus dan yoghurt; (3) berasam tinggi, contohnya susu
bulgaricus; (4) mengandung asam dan alkohol, contohnya kefir dan koumiss.
Beberapa manfaat minuman dari susu fermentasi menurut Yughuci et al.
(1992) antara lain : (1) nilai pH yang rendah dalam usus, akibat aktivitas bakteri asam
laktat membantu absoprsi mineral terutama kalsium, (2) menghambat pertumbuhan
bakteri patogen dalam usus, (3) membantu penderita lactose intolerance karena
bakteri asam laktat memfermentasi laktosa yang ada dalam susu dan dapat
meningkatkan sekresi enzim laktase di dalam saluran pencernaan.
Salah satu jenis susu fermentasi yang paling populer adalah yoghurt. Yoghurt
merupakan hasil fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat sebagai
starternya. Fermentasi didifinisikan oleh Hariyadi et al. (2001) sebagai suatu proses
yang memanfaatkan aktivitas metabolisme mikroba untuk menghasilkan senyawa
antara, produk akhir, metabolit sekunder maupun biomassa. Proses fermentasi juga
dapat memperbaiki sifat fungsional produk seperti tekstur, penampakan, dan flavor
(Lin, 1991).
Menurut SNI 01.2981-1992, yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu
dipasteurisasi, kemudian difermentasi, dengan bakteri tertentu sampai diperoleh
keasaman, bau, dan rasa yang khas, dengan atau penambahan bahan lain yang
diizinkan. Sedangkan menurut Yuguchi et al. (1992), yoghurt adalah produk
koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat
S. thermophilus dan L. bulgaricus dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang
diizinkan. Sebagai akibat dari kedua starter tersebut dimungkinkan terjadinya
degradasi laktosa dan produksi asam asam laktat yang berakibat penurunan pH dan
terbentuknya gumpalan yoghurt. Degradasi laktosa menjadi glukosa dan galaktosa
dengan sendirinya menurunkan potensi terjadinya intoleransi laktosa. Pada saat yang
bersamaan, produksi asam laktat mampu menghambat pertumbuhan patogen
penyebab berbagai penyakit terkait pangan. Syarat mutu yoghurt menurut SNI dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
1. Penampakan
2. Bau
3. Rasa
4. Konsistensi
Cairan kental sampai semi padat
Normal/khas
Asam/khas
Homogen
Lemak (% b/b) Maks. 3.8
Protein (N x 6.37) (%
b/b)
Min 3.5
Abu Maks. 1.0
Jumlah asam (dihitung
sebagai laktat) (%b/b)
0.5-2.0
Cemaran mikroba
1. Bakteri coliform
2. Eschericia coli
3. Salmonella
APM/g
APM/g
Maks. 10
< 3
Negatif/ 100g
Sumber: SNI 01-2981-1992
Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas
biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme
koagulasi oleh kultur yoghurt menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai
berikut: (1) Kultur starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan
energi dan menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara
berangsur-angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau
kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat /sitrat kasein (3) Sejumlah
kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau
sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada pH4.6-4.7. (4)
interaksi antara α-La/ β-Lg dengan ĸ-kasein (diikat oleh jembatan SH dan –SS)
sebagian melindungi misel kasein untuk melawan ketidakstabilan dan menghasilkan
jaringan sel atau matriks dari struktur regular yang terperangkap di dalamnya. Ini
semua merupakan unsur pokok dari dasar pencampuran termasuk fase cair.
Sejalan dengan perkembangan teknologi pembuatannya, yoghurt tidak hanya
terbuat dari susu sapi segar. Akan tetapi yoghurt telah banyak dibuat dari produk-
produk olahan susu seperti susu skim.
E. Susu Skim
Susu skim merupakan sumber protein yang baik, namun memiliki kandungan
energi yang rendah karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu. Pada
susu skim kering terkandung lebih dari 50% laktosa (Winarno, 1992). Menurut
Helferich dan Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim
mengandung lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap
sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim.
Bylund (1995) menjelaskan bahwa pada dasarnya proses pengolahan susu
skim melalui proses evaporasi dan spray drying, meliputi tahapan sebagai berikut:
susu segar ditampung dalam suatu tangki, kemudian disaring untuk menghilangkan
kotoran yang ada dalam susu. Bagian lemak (cream) dari susu diambil sebagian atau
seluruhnya dengan cara dipisahkan dengan alat separator sentrifugal. Susu yang
sudah bebas lemak tersebut dipasteurisasi untuk membunuh organisme atau bakteri
dengan cara pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang atau mendekati 100oC.
Setelah itu dilakukan evaporasi yang merupakan proses penguapan air susu untuk
menaikkan kandungan total zat padatnya lalu didinginkan dan pada tahap berikutnya
dilakukan pengeringan untuk pembentukan susu menjadi bentuk bubuk hingga total
zat padatnya mencapai 98% dengan alat pengering spray dryer. Setelah pengeringan
kemudian diayak dan dikemas.
Menurut Kuntarso (2007), penggunaan susu skim sebagai bahan utama
pembuatan low-fat yogurt mengakibatkan penurunan cita rasa creamy, bila
dibandingkan dengan yogurt yang dibuat dengan menggunakan susu full cream
ataupun susu segar. Selain itu, ada beberpa kendala yang dialami dalam pembuatan
yogurt dengan menggunakan susu skim sebagai bahan utama, antara lain : (1)
pengadukan dan pencampuran susu skim yang kurang homogen akan mengakibatkan
tekstur yoghurt yang dihasilkan kurang baik, dan timbul after taste sandiness yang
cukup kuat, serta (2) kualitas susu bubuk skim yang beragam, sehingga kualitas
yogurt yang dihasilkan cukup beragam.
Susu skim sebagai susu rendah lemak, rendah kolesterol, rendah kalori dan
tinggi protein ini dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah
di dalam makanannya, karena susu bubuk skim hanya mengandung 55% dari seluruh
energi susu (Buckle et al., 1987).
F. Prebiotik
Prebiotik didefinisikan sebagai ingredien yang tidak dapat dicerna yang
menghasilkan pengaruh menguntungkan terhadap inang dengan cara menstimulir
secara selektif pertumbuhan satu atau lebih sejumlah mikroba tertentu pada saluran
pencernaan sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Suatu ingredien pangan
dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut; Pertama,
tidak terhidrolisis atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas; Kedua, secara
selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon;
dan ketiga, dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, sehingga secara sistemik
dapat meningkatkan kesehatan (Ardiansyah, 2007). Prebiotik dalam nutrisi
merupakan substansi makanan yang mempromosi pertumbuhan beberapa bakteri
usus yang menguntungkan bagi kesehatan. Bakteri tersebut dikenal sebagai probiotik
( Arief, 2007). Efek utama prebiotik adalah menstimulasi secara selektif pertumbuhan
bifidobacteria dan lactobacilli dalam usus sehingga meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap mikroorganisme patogen.
Menurut Arief (2007), penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa
prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam
usus besar. Belum pernah dilaporkan penemuan prebiotik karbohidrat dalam feses.
Melalui fermentasi dalam usus besar, karbohidrat prebiotik menghasilkan asam
lemak rantai pendek (short chain fatty acid/ SCFA), menstimulasi pertumbuhan
berbagai bakteri termasuk lactobacilli dan bifidobacteria, dan dapat menghasilkan
gas. Fortifikasi menggunakan bifidobacteria/lactobacilli usus dengan prebiotik dapat
memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme
patogen dalam usus . Bakteri asam laktat usus tersebut mempunyai mekanisme
potensial untuk menurunkan infeksi usus, yaitu melalui 1) hasil sisa metabolisme
yang dieksresi oleh mikroba tersebut dapat menurunkan pH usus sehingga
mengganggu potensi patogenik mikroorganisme. Selanjutnya, lactobacilli dan
bifidobacteria dapat meneksresi antibiotik alamiah yang mempunyai spektrum kerja
luas. 2) mekanisme lainnya termasuk perbaikan stimulasi imunitas, kompetisi
terhadap nutrien, dan menghambat situs adhesi patogen dalam usus. Banyak
mikroorganisme patogen seperti Escherichia coli tipe 1, Salmonellae dan
Campylobacter menggunakan situs reseptor oligosakarida dalam usus. Selanjutnya,
bakteri tersebut dapat menyebabkan gastroenteritis melalui invasi kuman dan
pembentukan toksin. Dalam hal tersebut, konsep prebiotik adalah menstimulasi situs
reseptor tersebut dalam usus, sehingga patogen tidak berkaitan dengan reseptor. Efek
kombinasi prebiotik terhadap flora bakteri asam laktat dapat menjurus pada intervensi
dietetik yang diasup oleh seseorang dalam hal mencegah diare.
G. Probiotik
Probiotik adalah preparat atau produk yang mengandung mikroorganisme
hidup dalam jumlah cukup dan tertentu yang dapat menjaga mikroflora usus inang
sehingga mampu memberikan efek kesehatan bagi inang (Schrezenmeier & De Vrese
2001). Sementara Ardiansyah (2007) menjelaskan definisi umum probiotik atau
dikenal dengan mikroorganisme “baik” adalah preparat yang terdiri dari mikroba
hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia atau hewan secara oral. Mikroba
hidup itu diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan
manusia atau hewan dengan cara memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki mikroba alami
yang tinggal di dalam tubuh manusia atau hewan tersebut. Syarat-syarat probiotik
yang baik adalah probiotik harus tetap dalam keadaan hidup, daya untuk bertahan
hidup ketika melalui saluran pencernaan dan manfaat kesehatan yang dapat
dibuktikan keberadaannya.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah bakteri baik yang cukup dalam tubuh
mengembangkan sistem imun sehingga meningkatkan kemampuan tubuh melawan
penyakit (Gibson & Roberfroid 1995). Ada beberapa manfaat probiotik dalam tubuh.
Pertama, adalah mencegah terjadinya kanker yaitu dengan menghilangkan bahan
prokarsinogen (bahan penyebab kanker) dari tubuh dan mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh. Kedua, dapat menghasilkan bahan aktif anti tumor. Ketiga,
memproduksi berbagai vitamin thiamin (B1), riboflavin (B2), piridoksin (B6), asam
folat, sianokobalamin (B12) yang mudah diserap ke dalam tubuh. Keempat,
kemampuannya memproduksi asam laktat dan asam asetat di usus dapat menekan
pertumbuhan bakteri E. coli dan Clostridium perfringens penyebab radang usus dan
menekan bakteri patogen lainnya, serta mengurangi penyerapan amonia dan amina.
Kelima, berperan dalam penurunan kadar kolesterol, dimana bifidobakteria
menghasilkan niasin yang memberi kontribusi terhadap penurunan kolesterol tersebut
(Ardiansyah, 2007).
Menurut Tzanetaki dan Tzanetakis (1999), beberapa kriteria yang harus
dimilki oleh bakteri probiotik adalah : (a) berasal dari manusia, (b) tahan terhadap
asam lambung, (c) tahan terhadap garam (d) bersifat antagonis terhadap bakteri
patogen dan karsinogenik (e) memproduksi senyawa-senyawa anti bakteria, (f)
mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, (g) berkolonisasi dalam saluran
usus manusia, (h) tumbuh dengan baik secara in vitro, (i) aman dalam makanan dan
pada penggunaan klinis, serta (j) telah divalidasi secara klinis dan didokumentasi
efeknya terhadap kesehatan. Sedangkan menurut Kullen dan Klaenhammer (1999),
karakteristik yang harus dipenuhi oleh galur probiotik antara lain: (1) dapat
diidentifikasikan secara taksonomi dengan tepat, (2) merupakan mikroflora normal
usus, (3) tidak beracun dan bukan patogen, (4) stabil secara genetik, (5) dapat
bertahan hidup, berkembang biak, dan bermetabolisme di dalam usus, (6) mampu
menempel pada sel epitel usus dan mempunyai potensi untuk mengkolonisasi, (7)
stabil terhadap kondisi yang diinginkan saat persiapan kultur, penyimpanan, dan
proses, (8) viabilitas tinggi yaitu 106 – 108 CFU/ml, (9) memproduksi senyawa anti
mikroba termasuk bakteriosin, hidrogen peroksida, dan asam organik, (10) bersifat
antagonis terhadap bakteri patogen dan karsinogenik, (11) mampu berkompetisi
dengan mikroflora usus, (12) tahan terhadap asam lambung, (13) bersifat
penstimulasi sistem imun, terbukti memiliki catatan medis yang menguntungkan bagi
kesehatan, (16) bila diproduksi mampu untuk ditumbuhkan, disembuhkan,
dipekatkan, dikeringkan, disimpan, dan didistribusikan, (17) ketika difermentasi
dapat diterima secara organoleptik atau memberikan kualitas yang diinginkan.
BAL yang mencapai saluran pencernaan manusia dalam keadaan hidup dan
lengkap adalah Bifidobacteria ( B. bividum, B. infantis, B. breve, B. adulescentis, B.
longum), beberapa spesies Lactobacillus (L. acidophilus, L. salivarus, L. fermentum,
L.casei, L. plantarum, L. brevis, L. buchneri), dan beberapa Enterococci (Yuguchi, et
al,. 1992).
H. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) telah lama digunakan dalam industri makanan dan
minuman fermentasi seperti industri susu, daging, sayuran, dan roti. Menurut
Starmer (1980), bakteri asam laktat adalah bakteri gram positif yang berbentuk
batang atau kokus, tidak membentuk spora, dan ada yang berbentuk rantai tunggal.
Spesies bakteri yang berbentuk kokus adalah genus Streptococcus sp. dan
Pediococcus sp., bersifat paling toleran terhadap pH dibanding dengan yang
berbentuk batang. Secara umum bakteri asam laktat mempunyai toleransi terhadap
konsentrasi asam tinggi. Menurut Hadi dan Fardiaz (1990), bakteri asam laktat
termasuk golongan osmotoleran yang mempunayi Aw minimal 0.95 untuk
pertumbuhannya, tetapi beberapa bakteri asam laktat mampu bertahan pada Aw
0.93.Umumnya bakteri asam laktat mepunyai karakteristik gram positif, katalase
negatif, tidak membentuk spora, dan non-pigmented mesophil (Rees, 2007).
Rees (1997) menjelaskan bakteri asam laktat dibagi menjadi tiga grup yaitu:
(1) Grup I, homofermentatif obligat yaitu BAL yang mampu mengubah heksosa
menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof tetapi tidak bisa
memfermentasi pentosa dan glukonat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat
homofermentatif dapat dilihat Gambar 3.
(2) Grup II, heterofermentatif fakultatif. BAL ini umumnya memfermentasi
heksosa secara homofermentatif menjadi asam laktat. Akan tetapi pada kondisi
tertentu fermentasi terjadi seacara heterofermentatif dengan menghasilkan
karbon dioksida, etanol atau asam asetat. Produksi asam asetat terjadi di bawah
kondisi dimana NAD+ dapat diregenerasi tanpa pembentukan etanol.
(3) Grup III, heterofermentatif obligat. BAL jenis ini memfermentasi heksosa
menjadi asam laktat, karbon dioksida dan etanhol (atau asam asetat dengan
keberadaan akseptor elektron). Pentosa akan diubah menjadi asam laktat dan
asam asetat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat heterofermentatif dapat dilihat
pada gambar 4.
Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)
Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997)
Bakteri asam laktat terutama berperan dalam menghasilkan beberapa
produk makanan. Asam laktat yang terbentuk selama proses fermentasi memiliki
beberapa keuntungan fisiologis, seperti meningkatkan penggunaan kalsium, fosfor
dan zat besi, merangsang sekresi dan cairan lambung, serta sebagai sumber energi
dalam proses respirasi. Disamping itu, asam laktat dalam bentuk tidak terdisosiasi
mempunyai efek bakteriostatik (kadang-kadang bakterisidal) terhadap mikroba
pembusuk. Mikroba yang paling sensitif adalah mikroba pembentuk spora dan
koliform (Oberman, 1985 di dalam Cahyono, 1996).
Cita rasa dan mutu minuman susu fermentasi berkaitan erat dengan proses
fermentasi oleh starter yang digunakan. Kultur starter yang digunakan dalam
pembuatan minuman sinbiotik ini adalah starter yogurt yaitu
S. thermophilus dan L. bulgaricus. Selain itu, juga digunakan L. plantarum sa 28k
sebagai BAL probiotik.
S. thermophilus dan L. bulgaricus akan menghasilkan interaksi yang
saling menguntungkan karena bakteri yang satu akan mensintesa dan membebaskan
senyawa yang dibutuhkan untuk menstimulir pertumbuhan bakteri yang lain. Selama
fermentasi yoghurt, kultur starter mempunyai dua peranan penting, yaitu sebagai
pembentuk asam sehingga menimbulkan rasa dan aroma yang khas serta pembentuk
komponen cita rasa seperti karbonil, aldehid, aseton, asetoin, dan diasetil. S.
thermophilus berperan dalam pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak
tajam, sedangkan L. bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor
khas serta tajam jika diinokulasikan pada susu (Jay, 1997).
Tahap awal inkubasi, S. thermophilus tumbuh cepat dan mendominasi
proses awal fermentasi dimana terjadi penurunan potensial oksidasi-reduksi sistem
(Vedamuthu, 1982 yang dikutip oleh Wood, 1988). L. bulgaricus tumbuh agak
lambat pada masa ini namun aktifitas proteolitiknya yang lemah mulai meningkat
seiring tercukupinya jumlah peptida dan asam amino yang dibutuhkan untuk
merangsang pasangannya. L. bulgaricus merangsang S. thermophilus dengan
melepaskan valin, glisin, leusin, isoleusin dan histidin ke dalam medium
pertumbuhan. Sebaliknya, S. thermophilus menurunkan pH dan mensintesa asam
format yang diperlukan oleh L. bulgaricus (Tamime dan Robinson, 1989).
S. thermophilus menghidrolisis laktosa susu menjadi glukosa dan
galaktosa oleh enzim β-galaktosidase (Reed, 1982) serta menghasilkan asam laktat,
asam asetat, asetaldehid, diasetil dan asam format. Saat pH turun di bawah 5.5,
pertumbuhan S. thermophilus terhambat sehingga pertumbuhan L. bulgaricus
terbantu (Vedamuthu di dalam Wood, 1988). Oksigen yang tidak tersedia di dalam
sistem dan ketersediaan asam format merangsang pertumbuhan
L. bulgaricus. Lactobacilli mendominasi proses fermentasi pada pH di bawah 4.2 dan
menghasilkan asam laktat dan asetaldehid (Vedamuthu di dalam Wood, 1988).
1. Lactobacillus plantarum sa28k
L.plantarum sa28k adalah salah satu bakteri asam laktat yang berasal dari
makanan fermentasi Indonesia, yang diisolasi dari asinan kubis atau sauerkraut.
Sauerkraut adalah suatu produk hasil fermentasi kubis. Menurut Solihati (1995),
mayoritas BAL yang dapat diisolasi dari sauerkraut adalah L. plantarum.
Menurut Robinson (1981), L. plantarum juga dapat diisolasi dari proses
pematangan keju dan dari produk-produk susu. Bakteri ini akan membentuk
koloni berwarna putih atau kuning jika tumbuh pada media padat. Isolat BAL ini
mempunyai senyawa anti bakteri yaitu hidrogen peroksida dan asam laktat.
Aktivitas anti bakteri tertinggi terutama terhadap Pseudomonas fluorescens dan
Alcaligense sp. L. plantarum membelah (mengganda) setiap 2 jam (Reichelt,
2007).
L. plantarum sa28k telah terbukti bersifat probiotik. Kusumawati
et al., (2003) melaporkan bakteri ini telah diuji kemampuannya sebagai probiotik.
Pengujian sifat probiotik yang telah dilakukan diantaranya uji ketahanan terhadap
pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu, aktivitas antagonistik terhadap
patogen, pengujian asimilasi kolesterol dan uji klinis secara invivo ke dalam
tubuh tikus.
Reichelt (2007) menjelaskan, Lactobacillus plantarum bersifat
menguntungkan. Bakteri ini mampu mengubah gula menjadi asam laktat. Jumlah
asam laktat yang dihasilkan sebanding dengan jumlah bakterinya. Lactobacillus
plantarum tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya dan tidak merusak atau
mengurangi nilai gizi.
Lactobacillus plantarum tergolong bakteri gram positif , non motil,
berbentuk batang. Menurut Stamer (1980), bakteri ini bersifat homofermentatif
dan masih dapat tumbuh pada pH 3.0-4.6. Sedangkan menurut Rees (1997),
Lactobacillus plantarum termasuk heterofermentatif fakultatif, memfermentasi
secara homofermentatif heksosa menjadi asam laktat, dan pada kondisi tertentu
dapat bersifat heterofermentatif dengan menghasilkan asam laktat, karbon
dioksida, ethanol dan asam asetat. Robinson (1981) menambahkan, L. plantarum
pada umumnya tidak bisa tumbuh pada suhu 45oC dan membutuhkan beberapa
vitamin untuk pertumbuhannya, bersifat katalase negatif, tidak berspora, dapat
memfermentasi amigladin, selobiosa, laktosa, manitol, salisin, dan sukrosa.
Fermentasi glukosa oleh bakteri ini menghasilkan produk DL asam laktat tanpa
gas. Protein antagonik (bakteriosin) yang diproduksi adalah laktolin, plantarisin S
dan T (Diaz et al., 1993) serta plantarisin A dan B (Ray dan Daeschel, 1994).
Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas
starter L. plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri
asam laktat lain diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri
patogen pada produk fermentasi sayuran terhambat pertumbuhannya atau bahkan
tidak dapat bertahan hidup (Fardiaz, 1989).
Hasil fermentasi L.plantarum di media RS yang disuspensikan di air
menunjukkan bahwa fermentasi tersebut menghasilkan asam asetat sebesar
0.004%, sedangkan keberadaan asam butirat ataupun propionat tidak terdeteksi di
dalam sampel (Juliana, 2007). Jumlah Lactobacillus plantarum yang
ditumbuhkan pada larutan RS tipe IV yang disuspensikan dalam air adalah
1.0x108 CFU/ml. Bentuk morfologi L. plantarum dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 5. L. plantarum (www.bacferm.com.au, 2007)
2. Lactobacillus bulgaricus
Lactobacillus bulgaricus adalah salah satu jenis bakteri yang digunakan
dalam memproduksi yoghurt yang diidentifikasi pertama kali pada tahun
1905. Bakteri ini mampu memecah laktosa yang terdapat dalam susu dan
diubah menjadi asam laktat. Selama proses fermentasi susu, L. bulgaricus
menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada yogurt (Anonim,
2006). Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah
protein sehingga mudah dicerna dan diserap (Trenev, 2004 ).
Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri asam laktat yang
berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya
bersifat homofermentatif. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif, lebih
tahan terhadap asam dibanding Streptococcus dan Pediococcus. Oleh karena
itu, lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari tahapan fermentasi tipe
asam laktat (Buckle et al., 1987). Menrut Surono (2004), L. bulgaricus
bersifat anerob, katalase negatif, tidak berbentuk spora, dan suhu optimal
pertumbuhannya adalah 40-45 oC. Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimum
pada pH 5.5-5.8 (Hutkins dan Nannen, 1993) dan terhenti pada pH 3.5-3.8
(Jay, 1978).
Menurut Yuguchi et al., (1992), Laktobabacillus bulgaricus tidak
termasuk probiotik, karena tidak dapat bertahan hidup melalui saluran
pencernaan manusia. Pada pembuatan yoghurt, L. bulgaricus berperan dalam
penurunan pH sampai sekitar 4.0. Selain itu, bakteri ini juga berkontribusi
terhadap flavour yoghurt melalui produksi asama laktat, asetaldehid, asam
asetat, dan diasetil. Bentuk morfologi L. bulgaricus dapat dilihat pada
gambar 6.
Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus (www.onlynature.co.uk, 2007)
3. Streptococcus thermophilus
Streptococcus thermophilus merupakan bakteri asam laktat berbentuk
kokus dengan koloni berantai yang bersifat homofermentatif. Bakteri ini
bersifat gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi
litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak
berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana mendekati netral degan
pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6.5 (Halferich dan Westhoff,
1980). Menurut Pederson yang diacu oleh Rumin (1992), suhu optimum
pertumbuhan S. thermophilus adalah 37 oC dan tumbuh sangat cepat sampai
pH 6.5 dan berhenti pada pH 4.2-4.4.
Berdasarkan hasil penelitian Mital dan Steinkraus yang diacu oleh
Silvia (2002), Streptococcus thermophilus dapat tumbuh baik pada kedelai
dan menghasilkan flavor yang paling baik. Suhu optimal pertumbuhan
Streptococcus thermophilus menurut Chaitow dan Trenev (1990) adalah 37-
45 oC. Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus
bersifat homofermentatif yaitu memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa,
fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Menurut Robinson
(1999), Streptococcus thermophilus memproduksi 0.6-0.8 L(+) asam laktat.
Streptococcus thermophilus dapat mengubah lebih dari 85% glukosa
atau heksosa lainnya menjadia asam laktat. Menurut Nakazawa et al.
(1992), Streptococcus thermophilus tidak dapat tumbuh di usus manusia. Oleh
karena itu, Streptococcus thermophilus tidak digolongkan dalam bakteri
probiotik. Bentuk morfologi S. thermophilus dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Streptococcus thermophilus ( jspatel.myweb.uga.edu, 2007)
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah pati
singkong (tapioka) yang digunakan adalah pati singkong merk SPM, bakteri asam
laktat yang digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophilus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen ITP, dan
sebagai BAL kandidat probiotik digunakan Lactobacillus palantarum sa28k.
Bahan kimia yang digunakan adalah POCl3, HCL, NaOH 5%, susu skim
bubuk, glukosa, akuades, dan larutan pengencer BPB (Butterfield Phosphat Buffer
Dillution). Media yang digunakan adalah MRSB (de Man Rogosa Sharp Broth),
MRSA (de Man Rogosa Sharp Agar), BGLBB, EMBA, SCB, dan TSIA.
2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pH meter, oven vacum,
environmental orbital shaker, penyaring vacum, blender, neraca, alat-alat gelas,
bunsen, kertas saring, aluminium foil, pipet, mikro pipet, kapas, dan inkubator 37oC.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi: Penelitian ini terdiri
dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang, (2)
pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan
BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis yoghurt terpilih.
1. Pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (Modifikasi Woo at al., 1997
dan Munarso et al., 2004)
Pati singkong modifikasi (PSM) dibuat dengan metode ikat silang (cross
linking) sehingga mengandung RS tipe IV. Pembuatan pati singkong modifikasi
ikat silang tersebut adalah sebagai berikut: sebanyak 100 gram pati dilarutkan
dalam 150 ml aquades, pH diatur sampai 10.5 dengan NaOH 5% (b/vs) sambil
diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung,
diinkubasi pada environmental orbital shaker (T= 40oC, kecepatan putaran 200
rpm, selama 2 jam). Kemudian pH diatur sampai 5.5 menggunakan HCl dan
disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air
sebanyak 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya pati dikeringkan dalam oven
vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak. Pati yang telah diayak sebagai hasil
proses ikat silang kimia ini kemudian akan disebut pati singkong modifikasi ikat
silang (PSM).
2. Pengamatan viabilitas BAL dalam larutan pati singkong modifikasi
Sebelum dilakukan pengamatan viabilitas BAL pada larutan PSM,
dihitung viabilitasnya dalam MRSB terlebih dahulu. Sebanyak 1 ose BAL
ditumbuhkan dalam 10 ml MRSB kemudian diinkubasi selama 24 jam. Viabilitas
BAL dihitung dengan metode plate count. Sebanyak 1 ml BAL dari MRSB
dimasukkan dalam 9 ml pengencer. Pengenceran dibuat sampai 10-7. pemupukan
dilakukan duplo pada pengenceran 10-5 – 10-8 dengan menggunakan media
MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC
dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam merujuk
padda metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam CFU/ml.
Pengamatan viabilitas BAL pada larutan pati singkong modifikasi
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: disiapkan PSM steril dan air steril @
50 ml/sampel. Sebanyak 2,5 ml BAL yang diambil dari pengenceran 10-4 (saat
perhitungan viabilitas BAL dalam MRSB) dipipet dan dimasukkan ke dalam
campuran larutan 50 ml air steril + 2,5% (b/v) RS. Larutan pati singkong
modifikasi dibuat dengan cara melarutkan pati singkong modifikasi steril ke
dalam 50 ml akuades steril dengan pemanasan di atas hot plate pada suhu 80oC.
Suhu pemanasan ini disesuaikan dengan suhu yang akan digunakan untuk proses
pasteurisasi saat pembuatan yoghurt. Larutan PSM yang telah diinokulasikan
dengan BAL ini kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 oC.
Setelah inkubasi 20 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam
larutan pengencer 9 ml dan divorteks untuk memperoleh pengenceran 10-1 .
Selanjutnya dibuat pengenceran desimal sampai 10-3 dengan cara yang sama.
Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran 100 – 10-4 dengan
menggunakan media MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan
setelah 48 jam merujuk pada metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam
CFU/ml.
3. Pembuatan Kultur Starter
Starter dipersiapkan dengan menumbuhkan 1% (v/v) kultur murni ke
dalam 50ml 10% (b/v) susu skim steril. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37oC
selama 20 jam, ini disebut kultur induk. Kultur induk sebanyak 5% (v/v)
ditumbuhkan pada susu skim sebanyak 10% (b/v) steril sebanyak 100 ml,
selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 jam yang disebut kultur kerja.
4. Pembuatan Yoghurt
Susu skim dilarutkan ke dalam akuades kemudian dihomogenisasi dengan
homogenizer (11000 rpm/min) selama 1 menit. Selanjutnya ditambahkan glukosa
sebanyak 3% (b/v) dan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan
dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit. Larutan yang telah dipasteurisasi
didinginkan sampai suhu ± 37oC. Selanjutnya diinokulasikan dengan 5% (v/v)
BAL, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama ± 20 jam. Diagram alir
pembuatan yoghurt dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan yoghut
Dihomogenisasi
Ditambahkan pati singkong modifikasi dan 3% glukosa
Dipasteurisasi 80oC selama 30 menit sambil diaduk
Didinginkan sampai suhu 30-37oC
Diinokulasi dengan 5% BAL
Diinkubasi pada suhu 37oC, 20 jam
Susu Skim
Yoghurt
4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL
Pada tahap ini Sebanyak 5% (v/v) kultur BAL diinokulasikan dalam
yoghurt yang dibuat dari 5% (v/v) yang ditambah 2.5% PSM (b/v) dan 3%
glukosa. Kombinasi BAL yang diinokulasikan adalah sebagai berikut :
1) S. thermophilus : L. bulgaricus (1:1)
2) S. thermophilus : L. plantarum sa28k (1:1)
3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum sa28k (1:1:1)
4) Lactobacillus plantarum sa28K
Percobaan tersebut dilakukan dua kali ulangan. Selanjutnya
dilakukan analisis nilai pH, viskositas, serta dilakukan juga uji organoleptik
(rasa, aroma, mouthfeel,dan kekentalan) dengan menggunakan 25 panelis
tidak terlatih.
4.2 Pemilihan Konsentrasi Pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan
Susu Skim
Kombinasi kultur BAL yang terpilih dari tahap 4.1 ditumbuhkan
dalam berbagai formulasi yaitu pada konsentrasi PSM 2.5% (b/v) dan 5%
(b/v) dan konsentrasi susu skim 5%, 7.5%, dan 10% (b/v). Inkubasi
dilakukan pada suhu 37oC selama 20 jam. Selanjutnya dilakukan analisis
pH, viskositas, TAT, dan perhitungan total BAL. Terhadap produk terpilih
dari tahap ini kemudian akan dilakukan anlisis lebih lanjut. Formulasi susu
skim dan Pati singkong modifikasi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Formulasi Yoghurt
Konsentrasi 2.5% (b/v) PSM (A1) 5% (b/v) PSM (A2) 5% (b/v) susu skim
(B1) A1B1 A2B1
7.5% (b/v) susu skim (B2)
A1B2 A2B2
10% (b/v) susu skim (B3)
A1B3 A2B3
C. METODE ANALISIS
1. Uji Organoleptik
Uji organoleptik pada tahap formulasi dan uji penyimpanan yoghurt
terbaik menggunakan uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan
panelis terhadap atribut rasa, aroma, konsistensi, dan penerimaan umum yoghurt
oleh 25 panelis tidak terlatih. Skala hedonik yang dipakai adalah sebagai berikut:
1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka),
dan 6 (sangat suka).
2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989)
Analisis sifat fisik yang dilakukan adalah pengukuran viskositas
menggunakan Brookefield Viscometer. Sebanyak 100 ml sampel dimasukkan
dalam wadah sampel. Pengukuran viskositas sampel menggunakan nomor spindle
yang sesuai. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan 30 rpm selama 2 menit
sehingga diperoleh pembacaan pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum
akan bergerak sampai diperoleh nilai viskositas sampel. Pembacaan nilai
viskositas ( mPa.s) setelah jarum stabil dan dilakukan dua kali.
3. Analisis Sifat Kimia
3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 20 gram, kemudian dihomogenkan, dibiarkan
sekitar 15 menit,. Selanjutnya diukur pHnya dengan pH meter yang telah
dikalibrasi dengan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Nilai pH diukur sebanyak 2
kali ulangan.
3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)
Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan
menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Sebanyak 2 tetes sampel
diteteskan pada refraktometer. Total padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix.
Normalitas NaOH = g asam oksalat x 2 0.126 x ml NaOH
TAT (%asam laktat) = V x N x P x BM x 100% B
3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)
Standarisasi NaOH
Sebanyak 0.1 gr asam oksalat (BM=126) ditimbang kemudian
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya dilarutkan
dengan 25 ml akuades dan diteteskan 2-3 tetes indikator fenolftalein lalu
dititrasi dengan larutan NaOH sampai terbentuk warna merah muda yang
bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:
Persiapan Sampel
Sampel susu fermentasi sebanyak 10 ml diencerkan menjadi 250 ml
di dalam labu takar kemudian diambil sebanyak 50 ml dan ditambahkan 2-3
tetes indikator fenolftalein. Kemudian sampel dititrasi dengan larutan
NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Total
Asam Tertitrasi (TAT) dinyatakan dalam persen asam laktat. Total Asam
Tertitrasi dihitung dengan rumus:
Keterangan:
TAT : TAT (% asam laktat)
V : Jumlah larutan NaOH untuk titrasi (ml)
N : Normalitas NaOH
P : Jumlah pengenceran
BM : Bobot molekul asam laktat (90)
B : Bobot sampel (mg)
3.4. Kadar abu (AOAC, 1995)
cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu 500oC selama 1
jam kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dalam neraca
analitik (a gram). Sekitar 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen
(w gram). Sampel diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai
tidak berasap, kemdian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama
2 jam dan ditimbang (x gram). Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Kadar abu (%wb) = x-a x 100 w-a
Keterangan : a = bobot cawan kering
x = bobot cawan dan abu
w = bobot sampel
3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat eksktraksi soxhlet
dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan dengan desikator dan
ditimbang (a gram). Sebanyak 5 gram (x gram) sampel kering ditimbang
pada kertas saring yang sesuai dengan ukuran kemudian ditutup dengan
kapas wool yang bebas lemak.
Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat
ekstraksi soxhlet kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu
lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter dituangkan dalam labu lemak
secukupnya. Proses refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang
turun ke labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi hasil
eksktraksi di anaskan dalam oven 105oC. Setelah dieringkan didinginkan
dalam desikator, ditimbang labu beserta lemaknaya (b gram). Kadar lemak
dihitung dengan rumus:
Kadar lemak (%wb) = b-a x 100 x
Keterangan: a = bobot labu lemak kering
b = bobot labu lemak dan lemak
x = bobot sampel
N = Σ C (n1+ 0.1n2 +...) x d
3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995)
Sekitar 0.1-0.5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam
labu Kjehldahl. Sebanyak 2 gram campuran selenium atau satu butir
Kjeltebs dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan dalam labu, dididihkan dalam
digestion system hingga dingin.
Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Labu dibilas 2-3
kali dan larutan diencerkan sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml NaOH 30%
dan 3-5 tetes indikator PP dan dilakukan destilasi selama 10 menit. Destilat
ditampung dalam 25 ml asam borat 2% yang telah dicampur dengan 5 tetes
indikator kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.02 N. Dibuat juga blanko.
Kadar protein ditentukan dengan rumus:
Kadar protein (%wb) = (VHCl sampel-Vblanko) x NHC lx 14.007 Bobot sampel
Keterangan: FK = Faktor Konversi (6.38)
4. Analisis Mikrobiologi
4.1. Total Bakteri Asam Laktat
Merujuk pada penentuan Aerobic Plate Count (BAM FDA, 2001),
uji total bakteri asam laktat dilakukan dengan metode agar tuang. Sebanyak
10 ml sampel dipipet ke dalam 90 ml larutan pengencer BPB (Butterfield
Phosphat Buffer dillution) sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-1.
Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7. Pemupukan dilakukan pada
pengenceran 10-5-10-8. Setiap tingkat pengenceran diambil 1 ml sampel
kemudian dipipet ke dalam cawan petri steril (duplo). Selanjutnya masing-
masing cawan dituangi dengan media MRSA sebanyak 12-15 ml dan
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung
sebagai total Lactobacillus. Perhitungan koloni yang tumbuh setelah 48 jam
menggunakan metode BAM-FDA (2001).
N = Σ C (n1+ 0.1n2 +...) x d
Keterangan:
N : jumlah mikroba (CFU/ml)
Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni)
n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua
d : tingkat pengenceran pertama yang dihitung
4.2. Total kapang - khamir ( Fardiaz, 1987)
Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan pengencer
hingga pengenceran 10-3. Pemupukan dilakukan duplo untuk setiap
pengenceran dengan cara memipet 1 ml atau 0.1 ml sampel yang telah
diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15-20 ml
APDA cair steril. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 2-3 hari.
Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan merujuk pada metode BAM-
FDA (2000).
Keterangan:
N : jumlah mikroba (CFU/ml)
Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (15-150 koloni)
n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua
d : tingkat pengenceran pertama yang dihitung
4. 3. Uji Koliform ( Fardiaz, 1987)
Uji koliform dilakukan terlebih dahulu uji penduga dengan
menginokulasikan 1 ml sampel pada medium BGLBB digunakan 3 seri
tabung dengan tingkat pengenceran 10-0 - 10-3 . Setelah itu semua tabung
diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2 hari. Dihitung jumlah tabung positif
yang ditandai dengan terbentunkya gas pada tabung durham. Hasil
pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri, dihitung dan dinyatakan
dalam MPN koliform penduga/ml tabung.
Setelah uji penduga dilakukan uji penguat yaitu dengan
memilihtabung positif dan diambil 1-2 ose san digoreskan pada cawan
EMBA. Cawan diinkubasikan terbalik pada suhu 37oC selama 2 hari. Uji
positif ditunjukkan dari adanya koloni berwarna gelap hijau metalik atau
koloni warna merah dengan bintik hitan di tengah.
4.4. Uji Salmonella ( Fardiaz, 1987)
Pertama kali dilakukam enrichment. Sebanyak 25 ml contoh
diinokulasikan dalam media SCB kemudian diinkubasikan pasa suhu 37oC
selama 1 hari. Tahap pendugaan dilakukan dengan mengambil 1 loop kultur
dari tahap enrichment digoreskan pada cawan SSA kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 1-2 hari. Setelah itu diamati. Uji positif ditandai
dengan adanya koloni keruh atau bening dan tidak berwarna dengan atau
tanpa bintik hitam di tengah.
Uji penguat dilakukan dengan mengambil tipikal dari uji penduga
dibuat goresan dan tusukan pada agar miring TSI, serta dibuat tusukan pada
agar tegak SIM.
3.04
3.82
4.57
3.31
4.76 4.67
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
S. thermophilus L. bulgaricus L. plantarum
BAL
Jum
lah
BA
L (lo
g C
FU/m
l)
Sebelum Inkubasi Setelah Inkubasi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Viabilitas BAL dalam Larutan 2.5% (b/v) Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang
(PSM)
BAL yang diinokulasikan dalam MRSB adalah S. thermophilus,
L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k. Jumlah ketiga jenis BAL yang diumbuhkan
dalam MRSB berturut-turut adalah 2.31 x 108 CFU/ml, 1.43 x 109 CFU/ml, dan 9.60
x 109 CFU/ml. Untuk dapat mengamati pertumbuhan BAL, selanjutnya ketiga jenis
kultur BAL diencerkan sampai pengenceran 10-4 dan diambil sebanyak 2.5 ml
diinokulasikan dalam larutan 2.5 % (b/v) PSM sehingga diperoleh masing-masing
jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k berturut-turut adalah
1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. BAL yang telah
diinokulasikan tersebut kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37oC. Jumlah
BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM tersebut dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) PSM Setelah diinkubasi jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml,
jumlah L. bulgaricus menjadi 5.69 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum sa28k
menjadi 4.65 x 104 CFU/ml ( Lampiran 2). Ketiga BAL yang ditumbuhkan dalam
larutan PSM tidak menunjukkan kenaikan jumlah yang tinggi. Naiknya jumlah
S. thermophilus dan L. plantarum sa28k tidak mencapai 1 log, sedangkan jumlah
L. bulgaricus mengalami kenaikan mencapai 1 log. Dua jenis BAL lain yaitu
S. thermophilus dan L. plantarum sa28k diduga memerlukan waktu lebih lama dalam
menggunakan SPM untuk substrat pertumbuhan. Dalam penelitian ini pengamatan
hanya dilakukan setelah inkubasi selama 20 jam, sehingga pertumbuhan kedua jenis
BAL belum terlihat. Ketiga BAL yang diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM
menunjukkan kenaikan jumlah meskipun secara statistik tidak signifikan (lampiran
3). Juliana (2007) pernah melakukan penghitungan viabilitas L. plantarum sa28k
dalam larutan 2.5 (b/v) PSM. Jumlah L. plantarum yang diinokulasikan sebanyak 2.5
ml yang diambil dari L. plantarum yang diinokulasikan dalam MRSB tanpa
pengenceran. Viabilitas L. plantarum tersebut dalam MRSB adalah 2.3 x 109
CFU/ml. Setelah sebanyak 2.5 ml diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM pati
singkong, diinkubasi selama 37oC selama 24 jam jumlahnya menjadi 1.0 x 108
CFU/ml. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan
bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada
usus bagian atas, baik pada usus babi maupun pada usus manusia, dan diperkirakan
dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan
bagi probiotik untuk melekat (Topping et al., 2001).
Sebagai pembanding, selain pada PSM S. thermophilus, L. bulgaricus, dan
L. plantarum juga diinokulasikan dalam larutan 5% (b/v) susu skim. Sebelum
diinkubasi jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus ,dan L. plantarum berturut-turut
adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah
inkubasi semua BAL mengalami kenaikan jumlah. Jumlah ketiga BAL yang tumbuh
dalam susu skim menjadi >2.5 x 106 CFU/ml.
B. Proses Pembuatan Yoghurt
Pembuatan yoghurt dilakukan dengan cara melarutkan susu skim dalam air,
kemudian dihomogenisasi sebelum ditambah PSM dan glukosa. Tujuan dari
homogenisasi ini adalah menyeragamkan partikel susu (globula, lemak, dan misel)
dengan menggunakan tekanan. Menurut Arpah et al., (1990), perlakuan
homogenisasi akan mereduksi ukuran butiran-butiran lemak sampai 2 mikron. Hal ini
mengurangi kemampuan lemak untuk bergabung dan memisah ke permukaan sebagai
krim. Selain itu, proses homogenisasi bertujuan untuk menghasilkan yoghurt dengan
tekstur yang lebih halus. Perlakuan homogenisasi terhadap larutan susu skim
mempermudah proses pasteurisasi setelah penambahan PSM dan glukosa. Hal ini
karena PSM lebih mudah larut pada larutan susu skim yang telah homogen.
Pembuatan yoghurt tanpa perlakuan homogenisasi menyebabkan kekentalan yang
tidak merata dan tekstur yang kurang lembut.
Setelah PSM dan glukosa ditambahkan, selanjutnya dilakukan pasteurisasi.
Menurut Nuraida et al., (1994), pasteurisasi dilakukan untuk membunuh mikroba
pencemar, menghasilkan faktor-faktor dan kondisi yang menguntungkan untuk
perkembangan starter dan menyebabkan denaturasi kasein sehingga memberikan
konsistensi lebih baik dan lebih seragam pada produk akhir. Pasteurisasi dilakukan
pada suhu 80oC selama 30 menit. Selama pasteurisasi larutan terus diaduk untuk
menghindari terjadinya pengendapan PSM. Saat PSM dilarutkan dalam larutan susu
skim dengan cara pengadukan, maka terbentuk suspensi. Jika pengadukan dihentikan,
PSM yang belum larut akan mengendap kembali. Pada proses pasteurisasi tanpa
pengadukan, PSM yang mengendap akan tergelatinisasi dan membentuk gel di
bawah.
Setelah pasteurisasi, larutan akan meningkat kekentalannya akibat
penambahan pati. Saat dipasteurisasi granula pati akan membengkak, kemudian air
akan masuk dalam butir-butir pati sehingga meningkatkan viskositas larutan. Setelah
pasteurisasi selesai, dilakukan inokulasi 5% (v/v) kultur. Inokulasi dilakukan setelah
larutan menjadi dingin dengan suhu kira-kira 30-37oC. Inkubasi dilakukan pada suhu
37oC selama 20 jam.
C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat
Penggunaan BAL dengan kombinasi yang berbeda diduga dapat
mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan
perlakuan kombinasi (1) St: Lb, (2) St: Lp, (3) St: Lb: Lp, dan (4) kultur tunggal Lp.
Masing-masing sebanyak 5% (v/v) kultur ditumbuhkan dalam 5% (b/v) susu skim,
2.5% (b/v) PSM, dan 3% (b/v) glukosa dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 20
jam. Tujuan pada tahap ini adalah mengetahui pengaruh kombinasi kultur terutama
terhadap niliai pH (derajat keasaman) dan viskositas. Selain itu, tahap ini dilakukan
untuk memperoleh kombinasi kultur BAL terbaik yang akan digunakan dalam tahap
pembuatan produk berikutnya berdasarkan pilihan panelis. Pengamatan yang
dilakukan adalah pengukuran nilai pH dengan menggunakan alat pH meter,
viskositas dengan menggunakan viskometer Brookefield, serta uji organoleptik
dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Gambar yoghurt dengan
menggunakan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL Keterangan : C1= St:Lb C3= St: Lb:Lp C2 = St: Lp C4 = LP 1. Derajat Keasaman (pH )
Hasil analisis sidik ragam terhadap pengukuran nilai pH yoghurt dengan
berbagai kombinasi BAL menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada
taraf signifikansi 0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kombinasi
kultur St:Lb sama dengan kultur kombinasi St: Lp dan St:Lb:Lp pada taraf 0.05.
Sedangkan sampel dengan kultur tunggal Lp berbeda terhadap ketiga sampel
lainnya. Hasil pengukuran pH yoghurt dapat dilihat pada gambar 11 dan hasil
analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 4.
3.71 3.66 3.7
4.49
0
1
2
3
4
5
St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Lp
Kombinasi Kultur BAL
Nila
i pH
Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL
Gambar 11 memperlihatkan nilai pH terendah (3.66) adalah pada
perlakuan kombinasi BAL St: Lp. Rendahnya nilai pH sangat berkaitan erat
dengan keberadaan S. thermophilus. Menurut Zirnstein dan Hutkins (1999), S
.thermophilus (St) mampu memfermentasi laktosa dan menurunkan dengan cepat
pH produk. Gambar 11 juga menunjukkan penggunaan kultur tunggal L .
plantarum menghasilkan pH yoghurt yang paling tinggi.
Kesimpulan yang dapat diambil dari perbedaan tingkat keasaman (pH)
yoghurt dari gambar di atas adalah penggunaan kultur campuran menghasilkan
tingkat keasaman yang lebih rendah daripada penggunaan kultur tunggal. Diduga
interaksi antar BAL dalam kultur campuran menyebabkan penurunan pH yoghurt
lebih cepat daripada kultur tunggal. Hal ini diduga karena jumlah asam laktat
yang dihasilkan oleh dua atau tiga jenis BAL lebih banyak daripada jumlah asam
yang dihasilkan oleh satu jenis BAL.
Yoghurt yang dibuat diharapkan mempunyai pH yang rendah (3.7-3.8)
jauh di bawah titik isoelektrik protein susu (4.6). Nilai pH yang rendah akan
mencegah kontaminan dan pertumbuhan bakteri patogen selama penyimpanan.
Nilai pH yang tinggi hampir mendekati titik isoelektrik pada penggunaan kultur
tunggal L. plantarum tidak diharapkan karena pH yang tinggi tidak dapat
menggumpalkan sebagian besar misel kasein sehingga tekstur tidak kompak
Kurang kompaknya yoghurt dengan menggunakan kultur tunggal Lp
diduga karena terjadinya sineresis. Sineresis adalah istilah untuk menunjukkan
adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt (Suryono, 2005). Sineresis
terjadi karena tidak adanya L. bulgaricus. Tanpa adanya L. bulgaricus menurut
Suryono (2005), maka pembentukan tekstur yoghurt tidak sempurna sehingga
terlihat masih adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt.
2. Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer
Brokefield. Nilai viskositas meggambarkan tingkat kekentalan yang terukur
secara objektif. Analisis sidik ragam terhadap hasil pengukuran viskositas
yoghurt menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada taraf signifikansi
0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan terhadap viskositas menunjukkan nilai
viskositas perlakuan kombinasi kultur St:Lb tidak berbeda dengan perlakuan
kombinasi St:Lb:Lp pada taraf signifikansi 0.05. Kedua kombinasi tersebut
berbeda dengan kombinasi St:Lp dan berbeda terhadap kombinasi Lp. Kombinasi
St:Lp berbeda dengan semua kombinasi yang lain pada taraf signifikansi 0.05.
Demikian juga kultur tunggal Lp berbeda dengan kombinasi lain pada taraf
signifikansi 0.05. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat
pada lampiran 5. Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran viskositas yoghurt.
920840
930
540
0100200300400500600700800900
1000
St : Lb St : Lp St: Lb: Lp Lp
Kultur BAL
Vis
kosi
tas (
mPa
s)
Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL
Gambar di atas memperlihatkan penggunaan kultur tunggal Lp memilki
viskositas terendah. Hal ini kembali berkaitan dengan nilai pH kultur tunggal Lp
yang paling tinggi. Seperti dijelaskan di sebelumnya, nilai pH yang tinnggi tidak
cukup untuk menggumpalkan seluruh misel kasein. Hal ini menyebabkan tekstur
tidak kompak. Tidak kompaknya tekstur ini menurunkan nilai viskositas yang
terukur oleh viskometer.
S. thermophilus menurut Zirnstein dan Hutkins (1999), mampu
memproduksi eksopolisakarida yang meningkatkan mouthfeel, kekentalan, body,
dan sifat reologi yang menguntungkan lainnya. Selain itu, penambahan PSM
dalam yoghurt akan meningkatkan kekentalan atau viskositas produk. Singh &
Singh (2001) menambahkan bahwa PSM sering digunakan untuk memperbaiki
viskositas dan tekstur produk susu.
Peningkatan kekentalan disebabkan oleh tingginya asam yang terbentuk,
karena asam akan menggumpalkan protein dari produk terutama dari susu bubuk
skim yang ditambahkan (Fardiaz et al., 1996). Penurunan pH hingga 4.6 atau
lebih rendah akan menyebabkan teerjadinya penggumpalan (koagulasi) misel
kasein sehingga membentuk gel. Lapisan molekul protein bagian dalam yang
bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik
terlipat ke dalam. Pembalikan dan pelipatan ini terjadi bila larutan protein telah
4 .31 4 .31
3 .23 3 .31
3 .79
4 .65
4
3 .3 8 3 .46
3 .8 1
4 .6 24 .35
3 .923 .6 9
3 .8 5
4 .4 6
3 .0 4
1.9 2
3 .04 3 .0 8
1.001.502.002.503.003.504.004.505.005.506.00
Warna Aroma Rasa Mouthfeel KekentalanParameter Sensori
Skor
Kes
ukaa
n Pa
nelis
St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Lp
mendekati pH isoelektrik sehingga protein akan menggumpal dan mengendap.
Viskositas akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik
(Winarno, 1992). Viskositas yoghurt yang diinginkan adalah antara 500-2500
mPas, yaitu rentang nilai viskositas yoghurt yang berupa cairan kental sampai
semi padat.
3. Uji organoleptik
Uji organoleptik pada tahap pemilihan kombinasi BAL ini dilakukan
dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Tujuan uji organoleptik ini untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap yoghurt yang diberi perlakuan
berbagai kombinasi kultur BAL. Parameter yang diujikan antara lain warna,
aroma, rasa (keasaman), tekstur (mouthfeel), dan kekentalan. Skala yang
digunakan yaitu 1-6 ( 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4=
agak suka, 5=suka, 6=sangat suka) . Hasil uji organoleptik terhadap yoghurt yang
dibuat dengan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan kombinasi
kultur BAL
3.1. Warna
Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa pada parameter warna,
formulasi yoghurt dengan kultur St:Lp memiliki skor kesukaan panelis
tertinggi. Kisaran skor kesukaan panelis terhadap warna adalah ( >4) agak
suka sampai suka. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi 0.05
menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna tidak berbeda nyata
(p>0.05). Analisisis statistik terhadap warna dapat dilihat pada lampiran 6.
3.2. Aroma
Aroma adalah salah satu parameter mutu yang penting pada produk
sejenis minuman fermentasi. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi
0.05 menunjukkan bahwa terdapat perebedaan skor kesukaan panelis terhadap
aroma (P < 0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan kombinasi
St:Lb sama dengan kombinasi perlakuan St:Lp dan St:Lb:Lp, sedangkan skor
kesukaan Lp berbeda dengan ketiga sampel lain. Hasil analisis statistik dapat
dilihat pada lampiran 7.
Hasil skor kesukaan panelis terhadap aroma dapat dilihat pada gambar
13. Skor kesukaan terhadap aroma yoghurt kombinasi St:Lb, St:Lp, dan
St:Lb:lp adalah antara agak suka sampai suka (>4). Sedangkan skor kesukaan
terhadap aroma pada yoghurt dengan kombinasi Lp adalah agak tidak suka
sampai agak suka.
Karakteristik yoghurt dengan kombinasi St:Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp
beraroma asam yang tajam. Hal ini dapat disebabkan karena keberadaan
L.bulgaricus (Lb) dan S. thermophilus (St). Jay (1997) menjelaskan bahwa
dalam kombinasi starter (St : Lb), S. thermophilus berperan dalam
pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak tajam sedangkan L.
bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor khas serta tajam
jika diinokulasikan pada susu. Sedangkan penggunaan kultur tunggal Lp
menghasilkan flavor asam yang kurang disukai panelis.
Yoghurt yang dibuat pada penelitian kali ini termasuk dalam kategori
natural yoghurt atau plain yoghurt. Natural yoghurt atau plain yoghurt adalah
yoghurt yang dibuat tanpa penambahan flavor apapun. Hal ini diduga
mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma yoghurt yang dibuat.
Umumnya, yoghurt yang dijual di pasaran diberi tambahan flavor buah untuk
meningkatkan penerimaan panelis.
Flavor dari plain yoghurt merupakan hasil aktivitas dari starter yang
digunakan. Menurut Tamime dan Robinson (1991), terdapat 4 kategori utama
senyawa penyokong flavor yoghurt: (1) Asam tidak menguap, yaitu : asam
laktat, asam piruvat, dan asam oksalat. (2) Asam yang mudah menguap, yaitu
: asam format, asam asetat, dan asam butirat. (3) Senyawa karbonil, yaitu :
asetaldehida, aseton, asetoin, dan diasetil. (4) Senyawa dari hasil degradasi
laktosa, protein, dan lemak pada proses pemanasan.
3. 3. Rasa
Analisis sidik ragam terhadap rasa yoghurt menunjukkan pada taraf
signifikansi 0.05 terdapat perbedaan skor kesukaan panelis terhadap rasa yang
diberi perlakuan kombinasi kultur BAL (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan kombinasi BAL St:Lb memperoleh skor kesukaan rasa yang
tidak berbeda dengan St:Lp, sedangkan kombinasi kultur tunggal berbeda
dengan kombinasi BAL yang lain. Kombinasi BAL St:Lb:Lp lebih disukai
dibandingkan perlakuan kombinasi BAL yang lain. Hasil analisis statistik
kesukaan terhadap rasa dapat dilihat pada lampiran 8.
Gambar 13 menunjukkan skor kesukaan rasa tertinggi panelis adalah
pada yoghurt dengan kombinasi BAL St:Lb:Lp (3.92). Hal ini berarti
kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis. Kisaran kesukaan panelis
terhadap formulasi kombinasi BAL ini adalah antara agak tidak suka sampai
agak suka. Karakteristik rasa yoghurt kombinasi BAL ini adalah rasa asam
segar dan lebih tajam daripada rasa yoghurt yang ada di pasaran. Hal ini
disebabkan karena jenis gula yang digunakan adalah glukosa murni dengan
jumlah hanya 3%, (b/v) sedangkan gula yang ditambahkan pada yoghurt yang
ada di pasaran adalah sukrosa dengan jumlah mencapai 10%(b/v). Jumlah
glukosa 3%(b/v) tidak cukup menutupi rasa asam yoghurt. Glukosa yang
tersedia akan menjadi nutrisi yang pertama kali digunakan oleh BAL yang
akan diubah menjadi asam laktat.
Skor kesukaan rasa panelis terendah adalah pada yoghurt yang
ditambah kultur tunggal Lp. Karakteristik rasa produk ini adalah tidak
terlalalu asam. Penambahan kultur tunggal Lp dalam pembuatan yoghurt
terkadang mengahasilkan rasa pahit dan aroma seperti susu yang belum
terfermentasi. Heat dan Reineccius (1986) menjelaskan rasa pahit disebabkan
adanya peptida rantai pendek akibat aktivitas enzim proteolitik. Enzim
proteolitik ini memecah protein menjadi peptida-peptida yang lebih kecil dan
dapat menimbulkan rasa pahit.
3.4. Tekstur (Mouthfeel)
Tekstur atau mouthfeel yang dinilai pada yoghurt ini adalah kesan
kelembutan tekstur dalam mulut yang dirasakan ketika produk dikonsumsi.
Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan tekstur pada taraf
signifikansi 0.05 menunjukkan tidak ada perbedaan kesukaan panelis pada
kombinasi BAL yoghurt (p>0.05). Hasil analisis statistik skor kesukaan
panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat pada lampiran 9. Tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur adalah antara agak tidak suka sampai agak
suka. Hasil skor kesukaan panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat
pada gambar 13.
3.5. Kekentalan
Penambahan PSM pada yoghurt akan menambah kekentalan yang
dapat diukur secara obyektif menggunakan viskometer. Kekentalan susu yang
telah difermentasi juga akan meningkat karena setelah proses fermentasi
protein yang terdapat dalam susu yaitu kasein mengalami penggumpalan
(koagulasi) dan terdenaturasi. Setelah fermentasi, pH susu tersebut akan
mengalami penurunan secara signifikan. Proses terjadinya koagulasi pada
yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah
ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi oleh kultur yoghurt
menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai berikut: (1) Kultur
starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan
menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara berangsur-
angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau
kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat / sitrat kasein (3)
Sejumlah kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara
bersama atau sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada
pH 4.6-4.7. Kasein (protein susu) akan mengendap pada pH 4.6-4.7 ( Tamime
dan Robinson, 1991). Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt
dengan perlakuan kombinasi BAL dapat dilihat pada gambar 13.
Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan kekentalan
menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan kesukaan
panelis antara kombinasi kultur BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan
penambahan kultur St: Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp adalah tidak berbeda (sama),
sedangkan penambahan kultur tunggal Lp mempunyai skor kekentalan yang
berbeda nyata. Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt dengan
perlakuan kultur tunggal Lp paling rendah. Hasil analisis statistik dapat dilihat
pada lampiran 10.
4. Kombinasi Kultur BAL Terpilih
Pemilihan kombinasi kultur BAL yang akan digunakan pada tahap
selanjutnya adalah berdasarkan hasil uji organoleptik dengan menggunakan
panelis tidak terlatih yang telah dilakukan.
Kombinasi kultur BAL St:Lb:Lp mempunyai skor kesukaan rasa tertinggi
dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kombinasi BAL yang lain. Skor kesukaan
dari segi aroma dan tekstur kultur campuran BAL tidak berbeda sehingga semua
bisa dipilih. Kesukaan panelis terhadap kekentalan dan warna yoghurt dengan
kombinasi BAL St:Lb, St:Lp, dan St: Lb:Lp juga tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 13, maka kultur
campuran BAL St:Lb:Lp akan dipilih untuk tahap selanjutnya. Hal ini karena rasa
yoghurt dengan menggunakan kultur campuran St: Lb: Lp lebih disukai daripada
yoghurt dengan menggunakan kombinasi kultur campuran BAL yang lain. Selain
itu, rata-rata skor aroma, mouthfeel, dan viskositas kombinasi St:Lb:Lp lebih
tinggi diabndingkan dengan kombinasi kultur campuran BAL lain.
Keberadaan S. thermophilus, dan L. bulgaricus akan memperbaiki
kualitas yoghurt dari segi rasa, aroma, tekstur, dan menghasilkan pH yoghurt
yang rendah jauh di bawah titik isoelektrik protein. Sementara keberadaan
L. plantarum akan tetap dipertahankan karena BAL ini yang merupakan kandidat
probiotik yang akan mampu bertahan dalam pencernaan.
Pembuatan minuman yoghurt dengan berbagai kombinasi BAL pernah
dilakukan oleh Indriawati (2001). Indriawati (2002) menggunakan BAL antara
lain L. plantarum (Lp), L. acidophilus (La), L. bulgaricus (Lb), dan
S. thermophilus (St). Kombinasi BAL yang dilakukan oleh Indriawati (2002)
adalah St:Lb, La:Lp, St:Lb:La, St:Lb:Lp, dan St:Lb:Lp:La. Hasilnya
menunjukkan kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis dibandingkan
dengan kombinasi BAL yang lain.
D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Konsentrasi SPM
Setelah diperoleh kombinasi campuran kultur BAL terbaik, selanjutnya
dilakukan percobaan pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap mutu
yoghurt yang meliputi viskositas, total asam tertitrasi, dan nilai pH.
1. Viskositas
Viskositas formulasi yoghurt diukur untuk mengetahui pengaruh
penambahan susu skim dan RS terhadap viskositas produk. Hasil analisis Anova
terhadap viskositas menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan
yang nyata nilai viskositas antar formulasi.
930
25502100
29002700
3600
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
2.5% pati singkongmodifikasi
5% pati singkongmodifikasi
Konsentrasi Rs
Vis
kosi
tas (
mPa
s)
5% Skim (B1) 7.5% Skim (B2) 10% Skim (B3)
Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai viskositas
yoghurt
Gambar 14 menunjukkan nilai viskositas semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM. Uji statistik
menunjukkan tidak ada interaksi yang signifikan (p>0.05) antara penambahan
PSM dan susu skim. Hal ini berarti viskositas yoghurt akan naik seiring dengan
peningkatan konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM meskipun digunakan
secara terpisah. Semakin tingginya konsentrasi PSM menyebabkan viskositas
yoghurt meningkat secara signifikan (p<0.05), demikian juga, semakin tinggi
konsentrasi susu skim viskositas yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hasil uji
statistik dapat dilihat pada lampiran 11. Semakin banyak susu skim maka
semakin banyak kasein yang menggumpal karena penurunan pH sehingga produk
akan semakin kental. Demikian juga semakin banyak PSM yang ditambahkan
maka semakin banyak granula pati yang tergelatinisasi sehingga viskositas juga
semakin tinggi. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang
sebelumnya di luar granula dan bebas bergerak, kini sudah berada dalam butir-
butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1992).
1.67 1.68
2.002.15
2.3 2.29
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
2.5% pati singkongmodifikasi
5% pati singkongmodifikasi
Konsentrasi RS
Nila
i TA
T
5% Skim (B1) 7.5% Skim (B2) 10% Skim (B3)
2. Total Asam Tertitrasi (TAT)
Total asam tertitrasi pada penelitian ini dinyatakan dalam persentase asam
laktat. Asam laktat dapat dijadikan indikator keberhasilan bakteri dalam
menggunakan media pertumbuhannya. Asam laktat berperan sebagai antimikroba
dalam yoghurt. Jay (1992) menjelaskan efek antimikroba asam laktat disebabkan
akibat penurunan pH dan penghambatan metabolisme oleh molekul asam tidak
terdisosiasi. Pengukuran TAT yoghurt dengan menggunakan metode titrasi.
Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap total asam
tertitrasi (TAT) yoghurt = 7.5% susu skim, B3= 10% susu skim)
Total asam tertitrasi dihitung dari volume NaOH yang digunakan untuk
menetralkan asam yang terdapat dalam sampel yoghurt. Titrasi akan dihentikan
jika penambahan larutan peniter pada sampel yang telah ditambah indikator
memberikan warna yang konstan, sehingga jika ada asam dengan konsentrasi
yang lebih besar pada contoh, maka diperlukan larutan peniter yang lebih banyak
(Kusumaningrum, 1996). Larutan peniter yang digunakan dalam penelitian ini
adalah NaOH 0.1 N dan indikator yang digunakan adalah fenolftalin (PP).
Hasil analisis statistik terhadap total asam tertitrasi yoghurt menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan nilai total asam tertitrasi antar formulasi dan
menunjukkan tidak ada interaksi antara penambahan PSM dan penambahan susu
skim. Penambahan konsentrasi PSM tidak mempengaruhi nilai TAT yoghurt
(p>0.05), sedangkan meningkatnya konsentrasi susu skim berpengaruh nyata
terhadap meningkatnya nilai TAT secara signifikan (p<0.05). Hal ini berarti TAT
yoghurt hanya dipengaruhi oleh konsentrasi susu skim atau dengan kata lain asam
yang terukur sebagai hasil fermentasi adalah asam yang dihasilkan dari aktivitas
BAL menggunakan sumber karbon dari susu skim. Penambahan susu skim
diduga akan menambah jumlah laktosa dalam formulasi yang akan diubah
menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Hasil uji statistik dapat dilihat pada
lampiran 12.
Menurut Fardiaz dan Jenie (1982), pada pembuatan yoghurt kedelai
menggunakan campuran L. bulgaricus dan S. thermophilus, penambahan susu
skim sebanyak 0%, 2.5%, 5%, dan 7.5% memberikan pengaruh yang nyata
terhadap total asam, dimana semakin besar persentase penambahan susu skim,
maka persentase total asam juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan penambahan
susu skim akan meningkatkan jumlah laktosa yang akan difermentasi menjadi
asam laktat oleh starter. Menurut Teja (1990), penambahan jumlah susu skim
sebanyak 5%, 6%, dan 7% dalam pembuatan yoghurt kacang merah menunjukkan
hasil yang berbeda nyata terhadap nilai total asam. Penambahan susu skim 7%
menghasilkan total asam yang lebih besar dibandingkan penambahan susu skim
5%. Hasil serupa dilaporkan oleh Soegiarto (1992), bahwa penambahan
konsentrasi susu skim yang semakin tinggi (2%, 4%, 6%, 8%) menghasilkan total
asam yang semakin tinggi. Interaksi penambahan susu skim dan PSM yang
semakin tinggi secara statistik meningkatkan nilai TAT secara signifikan.
Nilai TAT yoghurt yang diinkubasi pada suhu 37oC selama ± 20 jam
memberikan nilai TAT yang tinggi. Menurut Tamime dan Robinson (1991)
yoghurt yang baik mempunyai nilai TAT 0.9-0.95%, sedangkan menurut SNI 01-
2981-1992 jumlah asam yang dihitung sebagai asam laktat harus mempunyai
kisaran antara 0.5-2.0% b/b. Gambar 15 memperlihatkan nilai terendah TAT
yoghurt adalah pada formulasi A1B1 dan A2B1 yaitu 1.67% b/b dan 1.68%b/b
yang tidak jauh berbeda, sedangkan formulasi yang lain mempunyai TAT yang
lebih tinggi dari 2% b/b sehingga tidak memenuhi syarat SNI. Total asam
tertitrasi (TAT) menurut SNI maksimal adalah 2% b/b. Total asam tertitrasi yang
3.70 3.713.73 3.763.86
4.28
3.403.503.603.703.803.904.004.104.204.304.40
2.5%RS Tipe IV (A1) 5%RS Tipe IV (A2)
Konsentrasi RS
Nila
i pH
5% Skim (B1) 7.5% Skim(B2) 10% Skim (B3)
terukur dengan menggunakan metode titrasi adalah semua komponen asam baik
yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay, 1992).
3. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH produk menunjukkan derajat keasaman produk tersebut. Gambar
16 menunjukkan nilai pH yoghurt dengan penggunaan susu skim dan
penambahan PSM pada berbagai konsentrasi. Gambar 16 menunjukkan nilai pH
yoghurt setelah fermentasi.
Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH yoghurt
Gambar 16 menunjukkan semakin rendah konsentrasi susu skim semakin
tinggi penurunan nilai pH atau semakin tinggi konsentrasi susu skim semakin
rendah penurunan nilai pH. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan terdapat
interaksi yang signifikan antara konsentrasi penambahan PSM dengan tingkat
konsentrasi susu skim yang digunakan terhadap nilai pH yang terukur pada
gambar 16 (p<0.05). Hal ini berarti nilai pH yang terukur oleh pH meter
dipengaruhi oleh sistem cairan yang terbentuk dalam yoghurt sebagai akibat
penambahan PSM dan susu skim. Penambahan PSM dan susu skim berpengaruh
terhadap nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi PSM dan susu skim yang
digunakan, maka nilai pH juga semakin tinggi. Hasil analisis statistik dapat
dilihat pada lampiran 13. Menurut Jay (1992), pada pengukuran derajat keasaman
dengan menggunakan pH meter, nilai yang terukur adalah konsentrasi ion H+ dan
menunjukkan jumlah asam yang terdisosiasi. Hal serupa disampaikan oleh Sadler
dan Murphy (2003), bahwa asam yang terukur oleh alat pH meter adalah
konsentrasi ion H+ yang terlepas atau terdisosiasi. Sehingga nilai ini tidak
mewakili asam yang terdapat pada produk sesungguhnya. Hal ini karena dalam
suatu produk mungkin terdiri dari beberapa asam lemah yang tidak bisa
terdisosiasi secara sempurna. Oleh karena itu, Sadler dan Murphy (2003)
menambahkan pengukuran asam tertitrasi merupakan cara memprediksi jumlah
asam yang lebih baik daripada menggunakan nilai pH terutama dalam kaitannya
dengan flavor.
Fenomena gambar 16 dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) BAL mampu
menggunakan laktosa sebagai substrat fermentasi. Laktosa akan diubah menjadi
glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa akan diubah lebih lanjut menjadi
asam laktat oleh BAL yang bersifat homofermentatif dan menjadi asam laktat,
CO2, serta asam asetat oleh BAL heterofermentatif fakultatif dan BAL
heterofermentatif obligat. (2) BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt
pada penelitian ini adalah S. thermophilus yang menghasilkan asam format, L.
bulgaricus yang menghasilkan asetaldehida dan asam laktat, serta L. plantarum
yang menurut Rees (2007) akan menghasilkan asam laktat dan asam asetat. Asam
format, asam asetat, dan asam laktat adalah jenis asam lemah (elektrolit lemah)
yang tidak terionisasi (terdisosiasi) secara sempurna. (3) Sebagai asam lemah,
disosiasi akan lebih mudah jika keberadaan air semakin banyak. Oleh karena itu,
hanya dalam keadaan sangat encer saja asam lemah mempunyai α = 1 (Setiawati,
2004). (4) Peningkatan konsentrasi penambahan PSM dan susu skim
menyebabkan kekentalan semakin meningkat (gambar 14). Kekentalan yang
semakin meningkat artinya jumlah air yang dapat digunakan untuk melepaskan
H+semakin sedikit (terjadinya disosiasi semakin kecil), sehingga konsentrasi ion
H+ yang terukur dengan pH meter semakin sedikit (pH semakin tinggi).
Penambahan susu skim akan meningkatkan laktosa yang digunakan oleh bakteri
selama fermentasi sehingga asam laktat dan asam asetat yang terbentuk juga akan
semakin meningkat. Oleh karena itu, nilai TAT yang terukur semakin tinggi
seiring dengan penambahan konsentrasi susu skim yang digunakan (Gambar 15).
Sadler dan Murphy (2003) menjelaskan asam yang terukur dengan titrasi bukan
hanya asam yang terdisosiasi namun juga asam yang tidak terdisosiasi. Yoghurt
yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai viskositas yang berbanding
lurus dengan nilai TAT dan nilai pH. Hasil yang serupa, dilaporkan oleh
Setiawan (2006), seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula yang
ditambahkan dalam pembuatan yoghurt, viskositas semakin meningkat, TAT
semakin meningkat, dan pH semakin meningkat. Meningkatnya konsentrasi gula
akan meningkatkan viskositas karena gula bersifat mengikat air sehingga air yang
bebas yang dapat digunakan untuk melepas ion H+ juga semakin sedikit. Menurut
Elisabeth (2003), dari hasil penelitian pengukuran pH dan TAT dilihat fenomena
bahwa nilai pH tidak selalu berbanding terbalik dengan TAT.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, peningkatan nilai pH yang signifikan terjadi
pada formulasi yang ditambah 2.5% dan 5% (b/v) PSM dengan menggunakan
susu skim sebanyak 10% (b/v) . Sementara nilai pH formulasi yang ditambahkan
2.5% dan 5% (b/v) yang menggunakan susu skim 5% dan 7.5% menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata.
Nilai pH formulasi yoghurt terendah adalah formulasi yoghurt yang
menggunakan 5% susu skim (B1) yang dikombinasi dengan 2.5% (b/v) PSM
(A1). Nilai pH formulasi yoghurt tersebut tidak berbeda nyata dengan yoghurt
yang menggunakan 5% (b/v) susu skim (B1) yang dikombinasikan dengan 5%
(b/v) PSM (A2).
4. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap Jumlah Total
BAL
Yoghurt terbaik dalam penelitian ini dipilih berdasarkan TAT (total asam
tertitrasi). Hal ini karena yoghurt diharapkan memenuhi persyaratan mutu yang
dicantumkan dalam standar mutu yoghurt SNI 01-2981-1992. Oleh karena itu,
yoghurt yang terpilih untuk tahap selanjutnya adalah formulasi A1B1 dan A2BI
yaitu yoghurt yang dibuat dengan menambahkan PSM sebanyak 2.5% (b/v) dan
5% (b/v) serta jumlah susu skim yang digunakan yaitu 5%(b/v).
8.7
8.45
8.82
8.56
8.77
8.52
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
8.9
2.5% pati singkongmodifikasi
5% pati singkong modifikasi
BAL
Jum
lah
(log
CFU
/ml)
St:Lb (C1) St:Lb:Lp (C2) Lp (C3)
Formulasi yang terpilih ini selanjutnya dihitung jumlah total BAL nya.
Tujuan perhitungan total BAL pada formulasi terpilih ini adalah untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi PSM terhadap total BAL dalam produk.
Sebagai kontrol dan data penguat dibuat juga yoghurt dari 5% (b/v) susu skim
yang ditambah 2.5% (b/v) dan 5% (b/v) PSM dengan penambahan masing-
masing kombinasi BAL St: Lb dan kultur tunggal Lp. Selain itu, juga dilakukan
perhitungan BAL pada yoghurt yang dibuat dari 5%(b/v) susu skim
menggunakan kultur campuran St:Lb:Lp tanpa penambahan PSM. Hasil
perhitungan total BAL dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap total BAL
yoghurt
Jumlah BAL yang tumbuh pada formulasi A1C1, A2C1, A1C2, A2C2,
A1C3, A2C3, dan yoghurt kontrol tanpa penambahan PSM bertrut turut adalah
5.0 x 108 CFU/ml; 6.6 x 108 CFU/ml 5.9 x 108 CFU/ml; 2.82 x 108 CFU/ml; 3.65
x 108 CFU/ml; 3.3 x 108 CFU/ml, dan 5.9 x 108 CFU/ml. Hasil analisis statistik
menunjukkan jumlah BAL yang terhitung (hasil gambar 17) dipengaruhi oleh
kultur yang digunakan dan konsentrasi PSM yang ditambahkan (p<0.05). Uji
statitik dapat dilihat pada lampiran 15.
Gambar 17 menunjukkan jumlah BAL tertinggi adalah BAL yang tumbuh
dalam formulasi St:Lb:Lp. Jumlah BAL kombinasi St:Lb:Lp dan kultur tunggal
Lp yang ditumbuhkan pada yoghurt yang ditambah 5% (b/v) (A2) PSM
mengalami penurunan jumlah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil di atas adalah kombinasi St:Lb,
St:Lb:Lp, dan kultur tunggal Lp dapat tumbuh baik pada yoghurt yang
ditambahkan PSM (2.5 % dan 5%). Formulasi yang akan dipilih pada tahap
selanjutnya adalah yoghurt yang terbuat dari susu skim 5%(b/v) dengan
penambahan PSM sebanyak 2.5%(b/v). Yoghurt yang dibuat dengan dengan
penambahan 2.5%(b/v) PSM mempunyai penampakan yang tidak jauh berbeda
dengan yoghurt yang ditambah 5% (b/v) PSM. Pembuatan yoghurt dengan
konsentrasi PSM lebih rendah akan mempermudah proses pembuatan terutama
saat pasteurisasi. Selain itu, penggunaan konsentrasi PSM yang lebih rendah akan
mengurangi biaya produksi.
E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik
Yoghurt yang ditambahkan PSM memiliki karakteristik yoghurt pada
umumnya. Oleh karena itu, standar mutu yang digunakan adalah standar mutu
yoghurt yang diacu dari SNI 01-2981-1992. Gambar yoghurt terbaik dapat dilihat
pada gambar 18. Hasil analisis mutu yoghurt terbaik berdasarkan syarat mutu yang
ditetapkan dalam SNI dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis yoghurt berdasarkan persyaratan SNI 01-2981-1992
Kriteria Uji Satuan Persyaratan Hasil analisis yoghurt
terbaik
Keadaan:
1. Penampakan
2. Bau
3. Rasa
4. Konsistensi
Cairan kental sampai
semi padat
Normal/khas
Asam/khas
Homogen
Keadaan:
Cairan semi padat
(viskositas 30 mPa.s)
Khas asam
Asam tajam
Homogen
Lemak (% b/b) Maks. 3.8 1.19
Protein (N x 6.37) (%
b/b)
Min 3.5 4.01
Abu (%) Maks. 1.0 0.22
Jumlah asam (dihitung
sebagai laktat) (%b/b)
0.5-2.0 1.67
Cemaran mikroba
1. Bakteri koliform
2. Escherichia coli
3. Salmonella
APM/g
APM/g
Maks. 10
< 3
Negatif/ 100g
<3
<3
Negatif/100g
Gambar 18. Yoghurt Terpilih
1. Keadaan Secara Umum
Karakteristik yoghurt terbaik yang dibuat pada penilitian ini adalah semi
padat dengan viskositas 930 mPas., penampakan kompak, dan warna putih susu.
Bau yoghurt adalah asam khas dengan rasa asam yang tajam.
2. Sifat Kimia Yoghurt
Sifat kimia yohurt yang diukur antara lain nilai pH, total padatan terlarut,
total asam tertitrasi, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.
2.1 . Nilai pH
Nilai pH yoghurt adalah 3.7. Nuraida et al., (1994) mengutip
penjelasan Marshal (1987) yang menyatakan umumnya yoghurt yang dibuat
mempunyai pH antara 3.8 - 4.6. Akan tetapi nilai pH bukan menjadi standar
mutu yoghurt. Nilai pH yang rendah jauh di bawah 4.6 (titik isoelektrik
protein) akan mencegah kontaminan dan bakteri patogen selama
penyimpanan. Nilai pH yoghurt terbaik memiliki pH yang rendah jauh dari
titik isoelektrik sehingga memungkinkan aman dari bakteri patogen selama
penyimpanan.
2.2. Total Padatan Terlarut
Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan
menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Nilai total padatan
terlarut yoghurt terbaik dalam penilitian ini adalah 6 oBrix. Menurut
Fardiaz (1989), hasil padatan terlarut yang diperoleh dari refraktometer
bukan total karbohidrat, melainkan kadar dari molekul-molekul karbohidrat
yang mempunyai indeks refraksi seperti gula-gula sederhana. Refraksi ini
disebabkan oleh adanya interaksi antara gaya elektrostatik dan gaya
elektromagnetik dari atom-atom dalam molekul cairan.
2.3. Total Asam Tertitrasi
Total asam tertitrasi yoghurt terbaik dalam penelitian ini adalah
1.67% b/b. jumlah ini cukup tinggi dibanding jumlah asam tertitrasi yoghurt
pada umumnya. Akan tetapi jumlah ini masih masuk dalam standar SNI.
Total asam tertitrasi yang terukur dengan menggunakan metode titrasi
adalah semua komponen asam baik yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay,
1992).
3.4. Kadar abu
Kadar abu yoghurt adalah 0.22%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI
yang menyebutkan jumlah kadar abu maksimal adalah 1.0%.
3.6. Kadar Lemak
Kadar lemak diukur dengan metode soxhlet. Dari hasil analisis
diperoleh kadar lemak sebesar 1.19%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI
yaitu jumlah kadar lemak yang terdapat dalam yoghurt adalah maksimal
3.8. Kadar lemak yoghurt ini lebih rendah dari standar yang ditetapkan
karena susu yang digunakan adalah susu skim. Menurut Helferich dan
Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim mengandung
lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap
sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim.
3.7. Kadar Protein
Kadar protein yoghurt adalah 4.01%. Kadar ini juga masih memenuhi
syarat kadar protein yang harus terdapat dalam produk sejenis yoghurt.
Menurut SNI Sumber SNI-2981-1992, kadar protein minimal adalah 3.5%.
3. Mutu Mikrobiologi
Analisis mikrobiologi yang dilakukan antara lain total bakteri asam laktat,
cemaran kapang-khamir, dan bakteri patogen untuk mengetahui kesesuaian
dengan standar SNI.
3.1. Total Bakteri Asam Laktat
Total bakteri asam laktat yoghurt adalah 5.9 x108 CFU/ml. Jumlah
ini memenuhi syarat jumlah total BAL yang seharusnya terdapat pada
produk yoghurt. Menurut Yuguchi et al., (1992), minuman fermentasi
(yoghurt) bermutu baik jika jumlah bakteri asam laktat lebih besar dari 106
koloni/ml. Kebanyakan bakteri asam laktat tidak hanya tumbuh lebih lambat
pada pH rendah, tetapi mungkin juga mengalami kerusakan dan hilangnya
viabilitas jika selnya berada pada kondisi pH rendah. Akan tetapi toleransi
relatif dari mikroorganisme terhadap lingkungan asam tergantung dari galur
bakteri tersebut ( Susanti et al., 2007).
3.2. Total Kapang-Khamir
Kapang dan khamir adalah salah satu cemaran mikrobiologi yang
mungkin terdapat dalam minuman fermentasi. Hal ini karena kapang khamir
masih dapat tumbuh pada pH rendah. Menurut Fardiaz (1989), khamir
menyukai pH 4 -5 dan masih dapat tumbuh pada pH 2.5-8.5. Sedangkan
kapang mempunyai pH optimum 5-7 dan masih dapat tumbuh pada pH 3-
8.5. Jumlah kapang khamir dalam produk yoghurt terbaik adalah <1.5 x 101
koloni/ml. Hal ini berarti produk yoghurt yang dibuat bebas dari cemaran
kapang dan khamir.
3.3. Uji Koliform, E.coli dan Salmonella
Uji koliform dan E. coli pada yoghurt menunjukkan hasil <3 APM/ml.
Nilai ini telah sesuai dengan standar SNI. Uji Salmonella pada yoghurt
menunjukkan hasil negatif. Nilai pH yang rendah karena tingginya asam
laktat yang terkandung dalam yoghurt sehingga dapat menurunkan derajat
keasaman. Usdyana (2006) menjelaskan fermentasi susu dapat menghambat
pertumbuhan mikroba patogen dan perusak sehingga dapat memperpanjang
masa simpan. Bakteri koliform dan E. coli sering digunakan sebagai
bakteri indikator sanitasi. Tidak terdapatnya bakteri ini dalam produk yang
dibuat membuktikan bahwa produk yoghurt dibuat di bawah kondisi yang
saniter.
4. Mutu Organoleptik Formulasi Terpilih
4.1. Aroma
Aroma suatu bahan pangan disebabkan oleh adanya komponen
volatil. Aroma menjadi salah satu faktor penting diterima atau tidaknya
suatu produk minuman probiotik. Menurut Oberman (1985), komponen-
komponen minor hasil proses metabolik mikroba mempunyai tanggung
jawab yang besar terhadap aroma yoghurt yang diinginkan. Tingkat
kesukaan panelis terhadap aroma yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini
adalah agak suka sampai suka (4.35).
4.2. Rasa
Rasa didefinisikan oleh Hall (1968) dalam De Man (1997) sebagai
perasaan yang dihasilkan oleh sesuatu yang dimasukkan ke mulut kemudian
dirasakan oleh indera perasa pada suhu mulut. Rasa bagi beberapa orang
menjadi parameter mutu terpenting dalam menerima produk yang
bersangkutan.
Umumnya produk minuman fermentasi mempunyai rasa asam.
Winarno (2002) menjelaskan bahwa rasa asam disebabkan oleh donor
proton, yang terintegrasinya tergantung pada ion H+ yang dihasilkan oleh
hidrolisis asam. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa yoghurt yang
terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai agak suka (3.92).
4.3. Tekstur dan Mouthfeel
Teksur atau mouthfeel adalah kesan di mulut yang dirasakan panelis
saat yoghurt dikonsumsi. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur atau
mouthfeel yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka
sampai suka (3.69).
4.4. Warna
Warna bersama-sama dengan aroma, rasa, dan tekstur, warna
memegang peranan penting dalam penerimaan produk yang bersangkutan.
Warna bisa menjadi parameter mutu pertama yang dipertimbangkan oleh
konsumen sebelum menilai mutu organoleptik lainnya (DeMan, 1987).
Tingkat kesukaan warna panelis terhadap yoghurt yang terpilih dalam
penelitian ini adalah agak suka sampai suka (4.62).
4.5. Kekentalan
Kekentalan yoghurt dapat diukur dengan alat viskometer. Akan
tetapi untuk menentukan mutu yoghurt yang baik berdasar kekentalan yang
diukur dengan viskometer jarang dilakukan. Kesukaan terdapat kekentalan
ini sangat subjektif. Tingkat kesukaan kekentalan panelis terhadap yoghurt
yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai suka
(3.85).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Bakteri asam laktat yang digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu
S. thermophilus, L. bulgaricus, dan sebagai BAL kandidat probiotik digunakan
L. plantarum sa28k. L. bulgaricus, yang diinokulasikan dalam larutan 2.5% (b/v)
PSM mampu tumbuh dalam waktu inkubasi 20 jam, sedangkan S. thermophilus,
L. plantarum tidak mengalami pertumbuhan dalam waktu inkubasi 20 jam.
Penggunaan kultur campuran BAL dan kultur tunggal mempengaruhi nilai
pH dan viskositas yang diukur secara objektif. Penggunaan kultur campuran
dalam membuat yoghurt menghasilkan pH yang lebih rendah dan viskositas lebih
tinggi daripada kultur tunggal. Uji organoleptik dengan menggunakan panelis
tidak terlatih menunjukkan kultur campuran S. thermophilus : L. bulgaricus :
L. plantarum sa28k memiliki mutu sensori yang lebih disukai daripada kultur
campuran S. thermophilus : L. bulgaricus, S. thermophilus : L. plantarum sa28k
dan kultur tunggal L. plantarum sa28k.
Penambahan konsentrasi PSM mempengaruhi nilai pH secara signifikan
pada yoghurt yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi susu skim 10% (b/v),
tidak mempengaruhi nilai total asam tertitrasi, dan mempengaruhi nilai viskositas
yoghurt pada semua tingkat penambahan konsentrasi susu skim. Konsentrasi susu
skim berpengaruh pada nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas. Semakin
tinggi konsentrasi susu skim menyebabkan semakin tinggi TAT, semakin tinggi
viskositas dan menyebabkan penurunan nilai pH semakin rendah.
Kombinasi konsentrasi susu skim dan PSM yang menghasilkan yoghurt
dengan nilai TAT yang sesuai dengan SNI adalah yoghurt dengan konsentrasi
5% (b/v) susu skim dan ditambah 2.5% (b/v) PSM. Kombinasi ini menghasilkan
yoghurt dengan total BAL 5.9 x 108 CFU/ml. Yoghurt tersebut mempunyai mutu
yang sesuai dengan SNI-01-2981-1992 baik secara kimia maupun mikrobiologi.
Tingkat kesukaan aroma dan warna yoghurt ini berturut-turut 4.35 dan 4.62 yaitu
agak suka sampai suka. Sedangkan tingkat kesukaan terhadap rasa, tekstur, dan
kekentalan berturut-turut adalah 3.92, 3.69, dan 3.85 dari skala 6 yaitu agak tidak
suka sampai agak suka.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu dilakukan antara lain:
1. Perlu dilakukan penambahan flavor dan penambahan glukosa pada berbagai
konsentrasi sehingga aroma dan rasa yoghurt yang ditambahkan 2.5% (b/v)
PSM dan L. plantarum sa28k lebih disukai.
2. Perlu dilakukan analisis umur simpan produk untuk mengetahui perubahan
sifat kimia, mikrobiologi, dan penerimaan panelis.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan BAL
probiotik dalam menggunakan PSM dengan mempertimbangkan lama
fermentasi yang optimum.
4. Studi lanjutan tentang kemampuan pertumbuhan BAL dalam PSM selama
waktu lebih dari 20 jam.
DAFTAR PUSTAKA Acquarone, V. M., & Rao, M. A. (2003). Influence of sucrose on the rheology and
granule size of cross-linked waxy maize starch dispersions heated at two temperatures. Carbohydate Polymers, 51,451–458.
Anggraini, R. W. 2007. Resistant Starch Tipe IV Pati Ganyong ( Canna edulis), Kentang
( Solanum tuberosum), Dan Kimpul ( Xanthosoma violaceum S.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Anonim. 2006. Singkong. www. Wikipedia. Org. [ 6 desember 2007] AOAC., 1995. Official Method of Analysis. 16th Edition. Association of Official
Analytical Chemistry International, Gaithersburg. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Y., dan Budijanto, S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Ardiansyah. 2007. Probiotik dan Prebiotik.
http://ardiansyah.multiply.com/journal/item/22. [1 Februari 2008] Arief, Irfan. 2007. Prebiotik & Probiotik, Manfaat bagi Kesehatan?.
http://www.pjnhk.go.id/content/view/439/31/. [1 Februari 2008] Bemiller, J. N. (1997). Starch modification: Challenges and prospects. Starch, 49, 127–
131. [BAM FDA]. 2001. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs
Administration. Aeobic Plate Count Chapter 3. Departement of Health and Human Services.
[BAM FDA]. 2000. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs
Administration. Aeobic Plate Count Chapter 18. Departement of Health and Human Services.
British Nutrition Foundation. 1990. Complex Carboydrat in Foods : The Report of The
British Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall, London. Bylund. 1995. Dairy Processing Handbook. Publisher Tetra Pack Processing System,
Lun Sweeden Cahyono, R. 1996. Pemanfaatn Wortel Untuk produksi Minuman Sehat Pencegah Diare
Bervitamin B-12 Melalui Proses Fermentasi Asam Laktat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor
Cummings, J.H., G.T. Macfarlane., H.N. Englyst. 2001. Prebiotic digestion and fermentation. Am. J. Clin. Nutr. 73(2):415S-420S.
Diaz, R.J., R.M. Rioz-Sanches, M. Desmun, J.L. Ruiz Dorba dan J.C.Diard. 1993.
Plantaricins S and T, two new bacteriocins produced by Lactobacillus palantarum LP C010 isolated from a green olive fermentation. Applied and Environmental Microbiology May 1993: 1416-1426.
Elisabeth, D. A. A. 2003. Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Dengan Menggunakan Kultur
Campuran : Streptocccus thermophilus, Lactobacillus casei starin Shirota, dan Bifidobacterium breve. Skripsi. FakultasTeknologi Pertanian, IPB.
Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya
Informasi (LSI), IPB, Bogor. _________, Jenie, B.S.L. 1982. Pengaruh Penambahan Susu Skim Bubuk dan Komposisi
Starter Terhadap Mutu Yoghurt Kedelai. Buletin Penelitian Ilmu dan Teknologi Pangan (1) 4: 231-248.
_________. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB,
Bogor.
_________, R. Cahyono., H. D. Kusumaningrum. 1996. Produksi dan Aktivitas Antibakteri Minuman Sehat Kaya Vitamin B12 Hasil Fermentasi Laktat dari Sari Wortel. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 2 (1) : 25-30.
Gibson GR, Roberfroid MB (1995). Dietary modulation of the human colonic microbiotica: introducing the concept of prebiotics. J. of Nutr 125: 1401-1412
Greenwood, C. T. dan Munro, D. N. 1979. Carbohydrates. Di dalam Effects of Heats on Food stuffts (R.J. priestley, Ed.) applied Science Pub. Ltd. London.
Hadi, R. dan S. Fardiaz. 1990. Bakteri Asam Laktat dan Peranannya dalam Pengawetan
Makanan. Media Teknologi Pangan Vol. 4(1) : 73-79 Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Foo Microbiology 3rd Edition. Academic
Press, Inc., New York Hariyadi, R. T., N. Anjaya, Suliantari, L. Nuraida, dan B. Satiawiharja. 2001. Penuntun
Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heat, H. B., dan G. Reneccius. 1986. Flavor Chemistry and Technology. An AVI Book,
New York.
Hillocks, R.J., J.M. Thresh, A. Belloti. 2002. Cassava Biology, Production and Utilization. CABI Publishing, New York, USA.
Hirsch, J. B., & Kokini, J. L. (2002). Understanding the mechanism of cross-linking
agents (POCl3, STMP, and EPI) through swelling behaviour and pasting properties of cross-linked waxy maize starches. Cereal Chemistry, 79, 102–107.
Huber, K. C., & BeMiller, J. N. (2001). Location of sites of reaction within starch
granules. Cereal Chemistry, 78, 173–180.
Jay, JM. 1992. Modern Food Microbiology. )4th Ed.). van Nonstrand Reinhold. New York.
Juliana, Ribka. 2007. Resistant Starch Tipe III Dan Tipe IV Pati Singkong (Manihot esculanta Crantz), Suweg (Amorphopallus campanulatus), Dan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Kulp, K. 1975. Carbohydrase. Di dalam Geral Reed. Enzymes in Food Processing.
Academic Press., New York.
Kuntarso, Andal. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fat Fruitty Bio-Yogurt (Lo-Bio-F). Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Kusumaningrum, H.D., Meira A., dan Asep S. 1996. Peningkatan Kadar Vitamin B12 dalam Yoghurt Ubu Jalar dan Kacang Merah Melalui Kombinasi Starter Yoghurt dengan Propionibacterium freudenreichii. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 1(1) : 34-39.
Mardipana, R. B. 2004. Pengaruh Konsentrasi 3-Chloro-2-Hydroxy Propyl Trymethil Ammonium Chloride (CHPTMA) Dan Suhu Pada Pembuatan Pati Berkation Dengan Menggunakan Pati Singkong (Manihot utilissima).
Meyer, L. G. 1982. Food Chemistry. The AVI Publishing Company inc., Westport,
Connecticut. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Fakultas Teknologi Prtanian, IPB, Bogor Munarso, S. J., D. Muchtadi, D. Fardiaz, R. Syarief. 2004. Perubahan Sifat fisiko Kimia
dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat Silang. J. Penelitian Pasca Panen 1 (1): 22-28
Nuraida, L., D.R. Adawiyah., Subarna, dan S. T. Soekarto. 1994. Pembuatan dan
Pengawetan Laru untuk Pembuatan Yoghurt. Fateta, IPB.
Oberman, H. 1985. Fermented Milks. Di dalam B.J.B. Wood (ed). Microbiology of
Fermented Foods. Elsevier Appl. Sci. Pub. Ltd., London. Prihatman, Kemal. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta
Ray, B. dan Daeschel. 1994. Bacteriocins of starter culture bacteria. Di dalam: Natural
Antimicrobial System and Food Preservation. Dillon, V. M. dan R.G. Board (ed). Biddles Ltd., Guildford.
Rees, T. J. 1997. Review: The Development of a Novel Antifungal Silage Inoculant.
Cranfield University Biotechnology Centre, UK. www.brighton73.freeserve.co.uk. [ 20 februari 2008]
Reichelt, J.L. 2007. The Impact of Technical Excellence in Microbiology on the results obtained with Silage Inoculants and Bacterial Biopesticides. Bacterial Fermentation Pty Ltd. www.bacferm.com [5 April 2008]
Robinson, R. K. 1999. Yoghurt. Di dalam Robinson, R. K., C. A. Batt, dan P. D. Patel (eds.). 1999. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. London.
_____________. 1981. Dairy Microbiology. Vol I, Appl. Science. Publ., London. Sadler, G. D., dan Murphy, P. A. pH and Titratable Acidity di dalam Food Analysis
Third Edition. Suzane Nielsen (Ed.) Purdue University, West Lafayette, Indiana.
Sajilata MG, Singhal RS. 2005. Specialty starches for snack foods. Carbohydrat
Polymer, 59, 131–51. Saminen, S., M.A. Deighton., Y. Benno., S.L. Gorbach. 1998. Lactic Acid Bacteria in
Health and Disease. Di dalam Salminen dan A. von Wright (eds.). Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Fungtional Aspect, 2nd, Revised and Expnaded. Marcell Dekker, Inc., New York
Saputera, V.H.A. 2004. Pembuatan Soyghurt Sinbiotik dengan Menggunakan Kultur
Campuran Lactobacillus bilgaricus, L. casei galur Shirota dan Bifidobacterium bifidum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Schrezenmeier J, De Vrese M (2001). Probiotics, prebiotics and synbiotics – approaching
a definition. Am J Clin Nutr 73 (Suppl) 361s-364s Setiawan, Irwan. 2006. Kajian Pengembangan Minuman Yoghurt Di PT. FITS
MANDIRI. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Setiawati, Tuti. 2004. Kimia Dasar I. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan IPA,
IPB. Shi, X., & BeMiller, J. N. (2000). Effect of sulfate and citrate salts on derivatization of
amylose and amylopectin during hydroxypropylation of corn starch. Carbohydrate Polymers, 43, 333–336.
Silalahi, Jansen., dan Netty Hutagalung. 2002.Komponen–Komponen Bioaktif Dalam
Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/pus-3.htm . [20 Februari 2008]
Singh, J., & Singh, N. (2001). Studies on the morphological, thermal and rheological
properties of starch from some Indian potato cultivars. Food Chemistry, 75, 67–77.
_______., L. Kaur, O.J. McCarthy. 2006. Factors influencing the physico-chemical,
morphological, thermal and rheological properties of some chemically modified starches for food applications. Review. Food Chemistry, 81, 219-231
Soekarto, T. S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Batara Aksara, Jakarta. Solihati, A. 1995. Isolasi dan Seleksi Bakteri Asam Laktat yang Bersifat Antimikroba
dari Sauerkraut. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Stamer, J. R. 1980. The lactic acid bacteria; Microbes of diversity. Food Technology 33
(1) : 60-65. Soegiarto, Lani. 1992. Pengaruh Pra Pengolahan, Penambahan Susu Skim, Dan Pestabil
Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Surono, I. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi, dan Kesehatan. Jakarta: Tri Cipta Karya. Suryono., A. Sudono., M. Sudarwanto., dan A. Apriyantono. 2005. Studi pengaruh
penggunaan Bifidobacteria terhadap flavor yoghurt. J. Teknologi dan Industri Pangan 1(16): 62-70
Susanti, I., R. W. Kusumaningtyas., dan F. Illaningtyas. 2007. Uji Sifat Probiotik Bakteri
Asam Laktat Sebagai Kandidat Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 2 (18) : 89-95.
Swinkels, J.J.M. 1985. Sourch of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam G.M.A. Van Beynum and J. A. Roels. 1985. Strach Convention Technology. Marcel Dekker, Inc, New York.
Tamime & Robinson.1991.Yoghurt Science and Technology.woodhead Publishing
Limited.Cambridge. Teja, Maryanto. 1990. Pengaruh Pengupasan, Penambahan Susu Skim, Dan Gelatin
Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) Skripsi. FATETA, IPB.
Tharanathan, R.N. dan S. Mahandevama. 2003. Grain Legumes A Boon to Human
Nutrition. Trends in Food Science and Technology. 14 (12): 507-518 Thompson, Donald B. 2007. Resistant Starch. Di dalam Costas G.B dan Marta S. I (eds.)
Functinal Food Carbohydrat. CRC Press, New York. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1985. HFS dan Industri Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta. Topping, D.L. dan P. M. Clifton. 2001. Short Chain Fatty Acids and Human Colonic
Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysacharides. Physiological Reviews. 3 (81), pp.103-64.
Usdyana, N.F. 2006. Studi Kelayakan Pendirian Industri Yoghurt. Tesis. Teknologi
Industri Pertanian, IPB. Wattanchant, S., Muhammad, K., Hashim, D., & Rahman, R. A. (2003). Effect of cross-
linking reagents and hydroxypropylation levels on dual-modified sago starch properties. Food Chemistry, 80,463–471.
Wilbrahan, A. C. dan Michael S. Matta. 1992. Terjemahan. Pengantar Kimia Organik
dan Hayati. Penerbit ITB, Bandung. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia pustaka umum. Jakarta. Woo, K. S., & Seib, P. A. (1997). Cross-linking of wheat starch and hydroxypropylated
wheat starch in alkaline slurry with sodium trimetaphosphate. Carbohydrate Polymers, 33, 263–271.
Yuguchi, H., T. Goto dan S. Okonogi. 1992. Feremented milk, Lactic Drinks and
Intestinal Mikroflora. Di dalam Nakazawa, Y. Dan A. Hosono (eds.) Function of Fermented Milk: Chalage for The Health Science. Elsevier Applied Science, New York.
________________________________. 1992. The Nutritional and Physiological value
of Fermented Milk and Lactic Drinks. Di dalam: Funtion of Fermented Milk. Y. Nakazawa dan A. Hasono (Eds.), Elsevier, England, p. 217-245.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Viabilitas BAL
Jumlah Koloni Pada Tingkat
Pengenceran
BAL
10-5 10-6 10-7 10-8
Jumlah BAL
CFU/ml
TBUD 241 22 6 S. thermophilus
TBUD 213 31 6
2.31 x 108
TBUD TBUD 121 21 L. bulgaricus
TBUD TBUD 151 30
1.4 x 109
TBUD TBUD TBUD 97 L. plantarum
TBUD TBUD TBUD 95
9.6 x 109
Lampiran 2. Viabilitas BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM
Jumlah Koloni Setelah Inkubasi
BAL
Jumlah
Awal
(CFU/ml)
100 10-1 10-2 10-3 10-4
Jumlah BAL
Akhir
(CFU/ml)
TBUD 205 20 6 - S. thermophilus 1.1 x 103
TBUD 183 32 4 -
2.04 x 103
TBUD TBUD 365 61 - L. bulgaricus 6.6 x 103
TBUD TBUD 391 52 -
5.70 x 104
TBUD TBUD 304 46 - L. plantarum 4.57 x 104
TBUD TBUD 300 47 -
4.65 x 104
Lampiran 3. Analisis statistik viabilitas BAL dalam pada larutan 2.5% (b/v) PSM
Paired T- tes for sebelum – sesudah Perlakuan Mean StDev SE Mean
Sebelum Inkubasi 3,81000 0,76505 0,44170 Setelah Inkubasi 4,24667 0,81242 0,46905
Difference -0,436667 0,444110 0,256407 Hasil : P-Value = 0.231 (P>0.05)
pH
Duncana,b
4 3.66754 3.70254 3.70504 4.4925
.150 1.000
SampelSt:LpSt:Lb:LpSt:LbLpSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .001.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH
244.292a 7 34.899 33570.090 .0001.928 3 .643 618.042 .000.018 3 .006 5.697 .018.009 9 .001
244.302 16
SourceModelSampelUlanganErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Viskositas
10836500.0a 7 1548071.429 5160.238 .000401100.000 3 133700.000 445.667 .000
2500.000 3 833.333 2.778 .1032700.000 9 300.000
10839200.0 16
SourceModelSampelUlanganErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Viskositas
Duncan a,b
4 540.004 840.004 920.004 930.00
1.000 1.000 .435
SampelLpSt:LpSt:LbSt:Lb:LpSig.
N 1 2 3Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 300.000.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.
Alpha = .05.b.
Skor
Duncan a,b
26 4.3126 4.46 4.4626 4.62 4.6226 4.65
.063 .246
SampelSt:LbLpSt:Lb:LpSt:LpSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .311.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor
2147.702a 29 74.059 238.406 .00030.740 25 1.230 3.958 .000
1.952 3 .651 2.095 .10823.298 75 .311
2171.000 104
SourceModelPanelisSampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .985)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Skor
Duncan a,b
26 3.0426 4.0026 4.3126 4.35
1.000 .225
SampelLpSt:LpSt:LbSt:Lb:LpSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .920.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor
1667.000a 29 57.483 62.481 .00037.385 25 1.495 1.625 .05629.000 3 9.667 10.507 .00069.000 75 .920
1736.000 104
SourceModelPanelisSampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Skor
Duncana,b
26 1.9226 3.2326 3.3826 3.92
1.000 .478 1.000
SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.
N 1 2 3Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .605.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor
1102.654a 29 38.023 62.887 .00037.115 25 1.485 2.455 .00256.154 3 18.718 30.958 .00045.346 75 .605
1148.000 104
SourceModelPanelisSampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Skor
Duncan a,b
26 3.0426 3.31 3.3126 3.46 3.4626 3.69
.108 .144
SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .785.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor
49.500a 28 1.768 2.252 .0031184.625 1 1184.625 1509.076 .000
43.625 25 1.745 2.223 .0045.875 3 1.958 2.495 .066
58.875 75 .7851293.000 104
108.375 103
SourceCorrected ModelInterceptPanelisSampelErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .457 (Adjusted R Squared = .254)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Skor
Duncan a,b
26 3.0826 3.7926 3.8126 3.85
1.000 .801
SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .591.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap skor kesukaan
kekentalan yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor
1429.954a 29 49.309 83.488 .00049.060 25 1.962 3.323 .00010.642 3 3.547 6.006 .00144.296 75 .591
1474.250 104
SourceModelPanelisSampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .958)a.
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap viskositas formulasi
yoghurt
Analysis of Variance for Viskositas (α= 0.05)
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Viskositas
Duncana,b
4 930.004 2100.004 2550.004 2700.004 2900.004 3600.00
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
SampelA1B1A1B2A2B1A1B3A2B2A2B3Sig.
N 1 2 3 4 5 6Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 6222.222.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.
Alpha = .05.b.
Source F P
PSM 17.57 0.006
Susu skim 6.50 0.031
PSM*susu skim 0.57 0.591
TAT
Duncana,b
4 1.67254 1.67754 2.00504 2.1450 2.14504 2.28754 2.3125
.957 .146 .101
SampelA1B1A2B1A1B2A2B2A2B3A1B3Sig.
N 1 2 3Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .017.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai total asam
tertitrasi (TAT)
Analysis of Variance for TAT (α= 0.05)
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Source F P
PSM 0.57 0.4602
Susu skim 32.83 0.0001
PSM*susu skim 0.85 0.4447
Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH
Analysis of Variance for pH (α= 0.05)
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Duncan ab
Subset Sample N
1 2 3
A2B1 2 3.70000
A1BI 2 3.70500
A1B2 3 3.73000
A1B3 2 3.7600
A1B3 2 3.87000
A2B3 4.2800
Source F P
PSM 65.46 0.000
Susu skim 163.07 0.000
PSM*susu skim 51.43 0.000
Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap jumlah BAL
yoghurt
Jumlah Koloni Formulasi
10-5 10-6 10-7 10-8
Jumlah BAL
(CFU/ml)
Log BAL
(CFU/ml)
TBUD 301 57 9 A1C1
TBUD TBUD 43 3
5.00 x 108 8.70
TBUD TBUD 79 9 A2C1
TBUD TBUD 53 11
6.60 x 108 8.82
TBUD TBUD 45 2 A1C2
TBUD 340 73 3
5.90 x 108 8.77
TBUD 267 42 5 A2C2
TBUD 249 48 3
2.82 x 108 8.45
TBUD TBUD 30 11 A1C3
TBUD TBUD 43 11
3.65 x 108 8.56
TBUD TBUD 34 8 A2C3
TBUD TBUD 32 3
3.30 x 108 8.52
TBUD TBUD 53 11 Kontrol
TBUD TBUD 65 9
5.90 x 108 8.77
Lampiran 15. Uji statistik pengaruh kombinasi kultur BAL dan pari singkong modifikasi
terhadap total BAL
Analysis of Variance for pH (α= 0.05)
Source F P
PSM 1377.00 0.000
Kombinasi kultur 95.47 0.000
PSM*susu skim 0.18 0.842
Lampiran 16. Total Kapang-Khamir yoghurt terbaik
Jumlah Koloni Ulangan
10-1 10-2 10-3 10-4
Jumlah BAL
(CFU/ml)
- - - - 1a
b - - - -
<1.5 x 101
- - - - 2a
b - - - -
<1.5 x 101