METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM PENETAPAN NASAB SERTA RELEVANSINYA DENGAN TES DNA TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H) Oleh: Ridwan Bahrudin NIM. 21160435100015 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H
138
Embed
METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
d. Dalil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-qiyâfah dalam
penetapan nasab.
e. Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-qiyâfah
dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah
al-Syar‘iyyah.
f. Situasi dan kondisi di zaman Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sehingga
mengeluarkan pendapat penentuan nasab dengan metode al-qiyâfah.
g. Definsi tes DNA ( ا ث ي ر ال و ة م (ة ا ل ب ص serta perbedaanya dengan al-qiyâfah.
7
h. Relevansi metode al-qiyâfah dengan tes DNA dalam penentuan nasab di
Indonesia.
i. Tes DNA di Indonesia menjadi salah satu penetapan nasab.
j. Komentar para ulama lain terhadap pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziayyah
tentang metode al-qiyâfah dalam penetapan nasab.
k. Pembahasan tentang metode al-qiyâfah selain dalam kitab al-Turuq al-
Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
l. Konsep penetapan nasab dengan al-qur‘ah atau undian dalam pandangan
Islam.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi oleh beberapa konsep, di antaranya adalah:
meneliti konsep penetapan nasab dalam hukum Islam, konsep dan Istinbât
hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang penentuan nasab dengan metode
al-qiyâfah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah,
serta relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk penetapan
nasab.
Penelitian ini juga dibatasi hanya mengkaji pada kitab-kitab Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah yang menjelaskan tentang al-qiyâfah sebagai metode penetapan
nasab, seperti: Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Zâd
al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd, dan buku-buku yang membahas tentang
tes DNA.
3. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicapai jawabannya. Dengan
demikian, maka pada sekelumit pemaparan yang tertuang dalam uraian latar
belakang di atas secara spesifik kajian dalam tesis ini yaitu:
8
a. Bagaimana cara penetapan nasab dalam hukum Islam?
b. Bagaimana Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-
qiyâfah dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-
Siyâsah al-Syar‘iyyah?
c. Bagaimana relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk
penetapan nasab di Indonesia, serta apa perbedaan antar keduanya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis berupaya mengarahkan
kajian tesis ini pada penulisan yang lebih tepat dan sistematis. Untuk mencapai
hal ini perlu dirumuskan suatu tujuan jelas yang menjadi latar belakang dan
motivasi penulis dalam mengkaji dan membahas permasalahan di atas.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui cara penetapan nasab dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode
al-qiyâfah dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-
Siyâsah al-Syar‘iyyah.
3. Untuk menegetahui relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk
penetapan nasab di Indonesia, serta mengetahui apa perbedaan antar keduanya.
D. Signifikansi Penelitian
Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan signifikansi sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi terhadap khazanah ilmu pengetahuan dalam masalah
penetapan nasab dan landasan epistemologinya.
2. Melahirkan implikasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi pemerhati
penelitian di bidang penetapan nasab.
9
3. Sebagai sumbangsih kajian dalam diskursus Peradilan Agama, khususnya
yang berkaitan dengan penetapan nasab.
4. Memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa metode penetapan nasab
dalam Islam itu tidak hanya dengan perkawinan yang sah, pernikahan fâsid,
dan melalui hubungan syubhat, akan tetapi dengan metode al-qiyâfah atau
kemiripan, walaupun masih dalam perdebatan.
5. Sebagai referensi bagi pencari kebenaran, serta memberikan kejelasan kepada
masyarakat tentang penetapan nasab.
E. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan penelusuran penyusun, belum ditemukan tesis yang
membahas mengenai penetapan nasab dengan metode al-qiyâfah serta
relevansinya dengan tes DNA di Indonesia, namun ada beberapa referensi yang
membahas mengenai penetapan dan konsep nasab, di antaranya :
Nurul Irfan dalam bukunya tahun 2013 yang berjudul “Nasab dan Status
Anak dalam Hukum Islam”14 mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu
fondasi dasar yang kokoh dalam membina kehidupan rumah tangga yang bersifat
mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah. Agar nasab terjaga, nikah
disyari‘atkan untuk menjaga kemurnian nasab. Adapun tujuan mendasar dari
sebuah pernikahan adalah melangsungkan hidup dan kehidupan serta keturunaan
umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Fuad Tohari dalam penelitiannya tahun 2016 yang berjudul “Nasab,
Metode Penetapan dan Implikasinya Terhadap Hukum Perdata”15 mengatakan
bahwa hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan
yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari akad pernikahan yang sah,
14 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah 2013), cetakan
kedua, h. 96. 15 Fuad Tohari, “Nasab, Metode Penetapan dan Implikasinya Terhadap Hukum Perdata, Jurnal
Kajian Hukum Islam, Vol. 2, No. 1, (Surabaya: Program Studi Hukum keluarga Program Pascasarjana
Universitas Sunan Giri Surabaya, 2016), h. 7.
10
atau nikah fâsid, atau senggama shubhat. Kedudukan anak luar nikah menurut
hukum Islam, hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Adapun
hubungan hukum antara anak di luar nikah dengan ibu sama kuatnya hubungan
hukum antara anak sah dengan bapaknya.
Muhammad Taufiki dalam penelitiannya tahun 2012 yang berjudul
“Konsep Nasab, Istilhâq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah”16 mengatakan
bahwa dalam istilhâq, anak seharusnya memiliki hubungan dengan calon
bapaknya yang mengusulkan agar nasabnya diberikan kepada anak itu, tetapi
tidak ada ikatan apapun yang dapat mengaitkan anak itu ke dalam nasabnya.
Berbeda pula dengan tabanni, anak dalam hal ini memiliki nasab yang jelas
dengan orang lain, tetapi kemudian diakui memiliki nasab yang lain yang menjadi
ayah angkatnya.
Era Fadli, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah dalam penelitiannya
tahun 2018 yang berjudul “Tes DNA Sebagai Alat Bukti Empat Orang Saksi”17
mengatakan bahwa Penggunakan tes DNA sebagai alat bukti ketika seorang
wanita hamil sebab zina yang menyebutkan nama pasangan zinanya tidak dapat
menghadirkan empat orang saksi dapat membuktikan tuduhannya dengan tes
DNA. Hasil tes DNA tersebut bisa menjadi alat bukti untuk menggantikan empat
orang saksi.
Menurut Hukum Islam pembuktian zina dapat dilakukan dengan dua alat
bukti yaitu iqrâr dan syahâdah. Kedua alat bukti ini bersifat alternatif. Sementara
tes DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Al-Qur’ân dan hadis serta pendapat
ulama. Tes DNA dalam hukum Islam bisa masuk dalam jenis alat bukti
pendukung dan tambahan seperti halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar
batas minimal kehamilan.
16 Muhammad Taufîki, “Konsep Nasab, Istilhâq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah”, Jurnal
Ahkam: Vol. XII, No. 2,(Juli 2012), h. 3. 17 Era Fadli, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah, “Tes DNA Sebagai Alat Bukti Empat Orang
Saksi” Jurnal Petita, Volume 1, Nomor 1,(Januari – Juni 2018), h. 5.
11
Muh. Tamimi dalam penelitiannya tahun 2014 yang berjudul “Tes DNA
Dalam Menentukan Hubungan Nasab”18 mengatakan bahwa tes DNA dapat
digunakan dalam menentukan genetik seseorang. Penggunaan tes DNA juga
dianggap lebih tepat dari penggunaan metode al-qiyâfah dalam kasus yang sama.
Pemikiran ini mungkin sama atau paling tidak mendekati terhadap berbagai
pemikiran ulama kontemporer dalam menyatakan bahwa penggunaan tes DNA itu
dapat dilakukan dalam menentukan hubungan biologis atau sebagai qarȋnah.19
Afif Muamar dalam penelitannya tahun 2013 yang berjudul “Ketentuan
Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi Reproduksi Buatan
Manusia: antara UU Perkawinan dan Fikih Konvensional”20 mengatakan bahwa
menentukan nasab anak sah dan tidak sah dengan menitikberatkan pada proses
perkawinan. Anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah disebut
sebagai anak sah dan dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Di luar ketentuan
itu, anak dikatakan sebagai anak tidak sah, hanya berhubungan nasab dengan
ibunya, dan berhubungan perdata dengan keluarga ibunya.
Perbandingan antara undang undang keluarga kontemporer dengan
konsep fikih Konvensional, yaitu di dalam undang-undang tidak memberlakukan
batasan minimal dan maksimal masa kehamilan, sebagaimana diatur dalam fikih
konvensional. Adapun dalam masalah hukum atas inseminasi buatan dan kloning
tidak terdapat perbandingan yang signifikan antara undang-undang keluarga
kontemporer dengan konsep fikih konvensional.
Mufti Ramadhan dalam penelitiannya tahun 2019 yang berjudul
“Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak (Perspektif
18 Muh. Tamimi “Tes DNA Dalam Menentukan Hubungan Nasab” Jurnal Hukum Islam, Vol. 13,
No. 1, (Juni 2014), h. 9. 19 Al-Sayyid ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Bughyah al-Mastarsidîn
Talkhish Fatâwâ Ba‘du al-A’immah min al-‘Ulamâ’ al-Muta’akhkhirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr), h. 155. 20 Mufti Ramadhan, “Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi
Reproduksi Buatan Manusia: antara UU Perkawinan dan Fikih Konvensional” Jurnal Al-Ahwâl, Vol. 6, No.
1, (Desember 2013), h. 2.
12
Hakîkat Dan Majâz)”21 mengatakan bahwa ulama empat Mazhab sepakat, bahwa
kata nikah secara hakîkat mengacu kepada akad dan secara majâz mengacu pada
wata’. Mazhab yang empat sepakat, bahwa anak yang dilahirkan dalam
pernikahan yang sah, anak tersebut akan dinisbahkan nasabnya kepada ayahnya.
Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang terkandung di dalamnya akad, sesuai
makna hakikat dari kata nikah.
Adapun anak yang dilahirkan di luar pernikahan seperti anak hasil zina,
maka ada dua kemungkinan. Pertama, Ishâq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mereka berpendapat bahwa jika wanita tersebut tidak
memiliki suami maka anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan
orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan
ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Kedua, jika
wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yang memiliki
suami maka para ulama sepakat bahwa nasab dari anak yang dikandung oleh
wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuan seorang laki-laki lain
atas anak tersebut tidak dapat diterima.
Persamaan tesis ini dengan penelitian sebelumnuya, yaitu sama-sama
membahas urgensitas nasab seorang anak dalam rumah tangga, karena nasab
merupakan salah satu fondasi dasar yang kokoh dalam membina kehidupan rumah
tangga yang bersifat mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah. Agar
nasab terjaga, nikah disyari‘atkan untuk menjaga kemurnian nasab. Adapun
perbedaanya, dalam tesis ini membahas pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
tentang metode al-qiyâfah sebagai penetapan nasab yang ada dalam kitab al-
Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, serta menjadikan sebagai alat
penetapan nasab dalam Islam. Selain itu juga, menganalisis persamaan antara
metode al-qiyâfah dengan tes DNA.
21 Mufti Ramadan “Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak (Perspektif
Hakikat Dan Majaz)” Jurnal al-Falâh, Vol. XIX No. 1, (September 2019), h. 8.
13
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan, Sifat dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan komparasi. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis
data dengan menggunakan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’ân, hadis,
pendapat ahli dan realita yang berkaitan dengan konsep penetapan nasab
di Indonesia.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menilai hukum yang ada kemudian dianalisis hingga
mencapai sebuah kesimpulan.22 Setelah data mengenai pendapat tentang
konsep al-qiyâfah dalam penetapan nasab terkumpul, maka akan
dideskripsikan dan dianalisa untuk mencapai kesimpulan yang bersifat
menilai.
c. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Kualitatif, yaitu
untuk mencari makna, pemahaman, pengertian, verstehen tentang suatu
fenomena, kejadian, maupun kehidupan manusia dengan terlibat
langsung dan/atau tidak langsung dalam setting yang diteliti, kontekstual,
dan menyeluruh. Peneliti bukan mengumpulkan data sekali jadi atau
sekaligus dan kemudian mengolahnya, melainkan tahap demi tahap dan
makna disimpulkan selama proses berlangsung dari awal sampai akhir
kegiatan dengan bentuk narasi dan holistis. 23
22 Sudarwan Danin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setra, 2002), h. 64. 23 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 328.
14
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Karena penelitian ini merupakan studi terhadap kitab al-Turuq al-
Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah tentang penatapan nasab dengan
menggunakan metode al-qiyâfah serta relevansinya dengan tes DNA,
maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada
dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data
sekunder.
1) Sumber data primer, dalam penelitian ini adalah sumber-sumber yang
bersifat autoritatif, dalam hal ini memuat beberapa rujukan utama terkait
dengan penetapan nasab dengan metode al-qiyâfahyang ditulis oleh Ibnu
Sedangkan untuk data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasi (telaah pustaka). Pemilihan
kepustakaan dilakukan secermat mungkin dengan mempertimbangkan
otoritas pengarangnya dan kredibilitas terhadap bidang yang dikaji dan
diampu.
3. Teknik Analisa Data
Analisis data yang penulis gunakan yaitu deskriptif-analisis, tepatnya
analisis produk fikih seorang ulama. Fikih merupakan bagian dari entitas
kehidupaan di dunia Islam dan menjadi salah satu subyek dalam pengkajian
Islam. Fikih juga bagian dari produk hukum dari pengkajian dan pemahaman
seorang ulama.24 Jadi, analisis data yang dipakai dalam tulisan ini lebih
kepada penggambaran suatu masalah produk hukum atau pendapat seorang
ulama, kemudian dijabarkan serta dianalisis hingga mendapat jawaban atas
permasalahan yang diajukan.
Dalam hal ini, penulis mengkaji masalah dengan menguraikan konsep
masalah yang penulis kaji, kemudian penulis berusaha menjelaskan dan
menggambarkan akar permasalahan terkait penelitian yang penulis lakukan
yang kemudian masalah tersebut akan dianalisis menurut hukum Islam
terhadap bagaimana cara penyelesaiannya.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab yang di dalamnya terdapat sub bab yang
akan memperjelas fokus penelitian ini dan akan disusun berdasarkan sistematika
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan merupakan gambaran secara global namun integral
komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
24 A. Djazuli, Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), edisi revisi, cetakan keenam, h. 12.
16
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam bab pertama ini
diketengahkan keseluruhan isi tesis secara global namun dalam satu kesatuan
yang utuh dan jelas.
Bab II : membahas tinjauan umum tentang metode penetapan nasab
dalam hukum Islam. Dalam pembahasannya akan dijelaskan tentang, pengertian
nasab, masa kehamilan dan masalah kelahiran anak, sebab-sebab terjadinya nasab
dalam Islam, cara-cara penetapan nasab dalam Islam, pengertian al-qiyâfah
sebagai metode penetapan nasab, pandangan ulama tentang penetapan nasab
dengan metode al-qiyâfah, konsep metode undian (al-qur‘ah), sekilas tentang tes
DNA dalam mengetahui hubungan nasab, pengertian DNA, serta pendapat para
ahli tentang tes DNA dalam mengetahui hubungan darah dan pewarisan sifat
kemiripan.
Bab III : penjelasan tentang metode penetapan nasab menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-
Syar‘iyyah yang dimulai dengan penjelasan tentang profil lengkap Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, tentang kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, al-
qiyâfah sebagai salah satu metode penetapan nasab, dalil-dalil sumber rujukan
serta metode istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam menetapkan nasab
menggunakan metode al-qiyâfah.
Bab IV : analisis fatwa Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang penetapan
nasab menggunakan metodeal-qiyâfahdalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-
Siyâsah al-Syar‘iyyah serta relevansinya dengan tes DNA di Indoensia, yang
dimulai dengan analisis metode al-qiyâfah, analisis tes DNA, kemudian relevansi
antara metodeal-qiyâfahdengan tes DNA di Indoensia.
Bab V : Penutup, merupakan bagian akhir tesis, terdiri atas kesimpulan
dan saran (rekomendasi) yang di anggap penting.
17
BAB II
METODE PENETAPAN NASAB DALAM HUKUM ISLAM
Bab ini akan menjelaskan pengertian nasab, cara-cara dalam menetapkan
nasab dalam hukum Islam serta membahas lebih rinci tentang al-qiyâfah dan
DNA. Penjelasan bab ini bertujuan untuk mendapatkan suatu teori (pendapat)
yang merupakan framework untuk menganalisa hasil temuan masalah dari objek
penelitian yang akan dipaparkan pada bab III dan IV. Untuk mengetahui pangkal
perbedaan universalitas metode al-qiyâfah dan DNA, dijelaskan terlebih dahulu
akar historis lahirnya metode al-qiyâfah yang diyakini sebagai salah satu metode
penetapan nasab dalam syarî‘at Islam.
A. Pengertian Nasab
Secara etimologi, kata nasab berasal dari bahasa Arab, yaitu ينسب –نسب–
memberikan ciri-ciri وصفه وذكر نسبه berarti نسب الشخص apabila terdapat kalimat ,نسبا
dan menyebutkan keturunannya.1 Nasab juga diartikan sebagai penisbatan silsilah
(hubungan) seseorang pada kerabat-karibnya, ataupun pada kaumnya.2 Nasab
(Arab, al-nasab)3 berarti keturunan atau kerabat (terutama dari pihak bapak),
pertalian keluarga.4 Bahkan secara tegas Su‘di Abu Habib mengatakan bahwa arti
kata nasab sama dengan kerabat.5 Sementara secara terminologis, kata nasab
merupakan hubungan yang mengikat antar anggota keluarga dengan pertalian
darah. Seorang anak adalah bagian dari ayahnya dan ayah adalah bagian dari
1 Luis Ma’lûf, al-Munjid fî al- Lughah, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), cetakan kedua puluh dua,
h. 803. 2 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 411. 3 Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), cetakan pertama, jilid keempat, h. 1304-1305. 4 http://artikata.com/arti-341961-nasab.html 5 Su‘dî Abu Habîb, al-Qâmûs al-Fiqhi Lughatan wa Istilâhan, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 351.
18
anaknya.6 Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah
sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.7
Dalam hukum perkawinan di Indoensia, nasab diartikan sebagai sebuah
hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dan ayahnya karena adanya
perkawinan yang sah.8 Kerabat dinamakan nasab karena ada hubungan dan
keterkaitan. Berasal dari ungkapan, “nisbatuhû ilâ ’abîhi nasaban” (nasabnya
kepada ayahnya). Nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam
membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi
berdasarkan kesatuan darah.9 Menurut al-Sarkhasyî dalam kitab al-Mabsût
mengatakan:
10
Artinya: hukum akibat adanya hubungan nasab seorang anak yaitu berhak
mendapatkan warisan, nafkah, pemeliharaan, dan pendidikan.
Ulama Fikih (fuqahâ’) umumnya memaknai term nasab sebgai bentuk
kekerabatan keluarga, terutama hubungan anak dengan ayahnya. Kekerabatan
yang berimplikasi kepada nasab tersebut akibat percampuran air mani suami istri
melalui perkawinan yang sah sesuai syarî‘ah. Jika percampuran air mani tersebut
melalui perzinaan, maka tidak akan menyebabkan hubungan nasab anak dengan
lelaki yang menggauli ibunya.11
Di dalam Al-Qur’ân, term nasab disebutkan sebanyak tiga kali,12 yaitu
dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad), dinyatakan Al-Qur’ân dalam surat al-
6 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu..., h. 25. 7 http://kamusfiqih.wordpress.com/2011/11/10/pengertian-nasab/ 8http://www.negarahukum.com/hukum/nasab-dalam-hukum-perkawinan-perkawinan-
indonesia.html. 9 Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Jakarta: YAMIBA, 2013), cetakan
pertama, h. 194. 10 Al-Sarkhasyî Syamsu al-Din, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid kedua puluh, h. 33. 11 Muhammad bin Ahmad al-Ansârî aL-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân. (Mesir: Dâr al-
Qutub al-Misriyyah, 1964), jilid kedua belas, h. 128. 12 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syâfi‘î, Hanafî, Mâlikî,
dan Hambalî, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1991), h. 1.
19
Furqân (25): 54 dan al-Sâffât (37): 158 serta dinyatakan dalam surat al-Mu’minûn
(23): 101 dalam bentuk plural (jama‘).
Pertama, term nasab dikemukakan dalam bentuk tunggal (mufrad) pada
surat al-Furqân (25): 54, yaitu:
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan musaharah dan adalah Tuhanmu
Maha Kuasa)”.
Al-Qurtubî, ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa kata النسب
dan هر keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan kerabat di antara الص
manusia.13 Dalam hal ini secara lebih jelas Ibnu al-‘Arabî sebagaimana dikutip
oleh al-Qurtubi menjelaskan bahwa nasab adalah sebuah istilah yang
menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum seorang wanita
atas dasar ketentuan syarî‘at, jika melakukakannya dengan cara maksiat, hal itu
tidak lebih dari sekedar reproduksi biasa, bukan merupakan nasab yang benar,
sehingga tidak bisa masuk dalam kandungan ayat tahrim.14 Maksudnya tidak ada
pengaruh dalam masalah hubungan haram dan tidak haram untuk menikah, juga
tidak berakibat adanya berkewajiban ‘iddah, sehingga seorang wanita yang hamil
bukan karena nikah, melainkan dalam kasus married by accident, maka untuk
menikah tidak perlu menunggu lahir anaknya.
Demikian juga dalam masalah haramnya menikahi anak tiri yang ibunya
telah dinikahi oleh seseorang dan telah digauli, anak tiri itu telah menjadi haram
untuk dinikahi oleh lelaki yang menikahi ibu kandungnya dan telah
menggaulinya. Hal ini jika menggaulinya dengan nikah. Lain halnya jika
hubungan badan dengan seorang janda beranak satu perempuan itu tanpa akad
13 Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân. (Mesir: Dâr al-
Qutub al-Misriyyah, 1964), jilid ketiga belas, h. 59. 14 Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân..., h. 60.
20
nikah, maka tidak terpengaruh pada keharaman menikahi anak perempuannya.
Demikian maksud dari ayat tahrim dimaksud.15
Kedua, term nasab dikemukakan dalam Al-Qur’ân berbentuk tunggal
dalam surat al-Sâffât (37): 158, yaitu:
Artinya: “Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin.
Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan
diseret (ke neraka)”.
Penjelasan lebih jauh mengenai penafsiran ayat ini dapat dikemukakan
beberapa pendapat sebagai berikut: Imâm Mujâhid berpendapat, “orang-orang
musyrikin mengatakan, “malaikat itu anak-anak perempuan yang bernasab kepada
Allah.16 Abu Bakar pernah bertanya, “siapakah ibu malaikat itu?”, orang-orang
musyrikin pun menjawab, “ibu mereka ialah pembesar jin”. Karena mereka
meyakini malaikat anak-anak perempuan Allah, kemudian di akhir ayat ini Allah
SWT menegaskan bahwa malaikat yang mereka anggap sebagai anak perempuan
dan ada hubungan nasab dengan Allah, serta mereka persekutukan dengan Dia,
mengetahui dan menyaksikan bahwa orang-orang kafir Quraisy yang beriktikad
seperti itu akan disiksa dengan siksaan api Neraka di hari Pembalasan. Allah SWT
berfirman dalam surat al-Saba’ (34): 40:
Artinya: "Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka
semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: "Apakah mereka
ini dahulu menyembah kamu?".
Ketiga, dalam surat al-Mu’minûn (23): 101 yang diungkapkan dalam
bentuk jama’ (plural), yaitu:
15 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), edisi
pertama, cetakan pertama, h. 29. 16 Imâm Mujâhid bin Jabr, Tafsîr al-Imâm Mujâhid bin Jabr, (Madinah Nasr: Dâr al-Fikr al-
Islâmî al-Hadîtsiyyah, 1989), cetakan pertama, h. 349.
21
Artinya: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di
antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling
bertanya.”
Maksud penggalan بینهم ب نساأ فلا pada ayat ini, apabila sangkakala ditiup
untuk ke dua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing
pada Hari berbangkit nanti, pada waktu itu tidaklah bermanfaat lagi pertalian
nasab. Tidak dapat lagi seseorang membanggakan nasabnya bahwa dia keturunan
bangsawan yang tinggi sebagaimana halnya dulu pada waktu di dunia. Tidak ada
perbedaan antara satu orang dengan yang lain, semua terpengaruh dengan suasana
mencekam yang dialaminya. Mereka bingung diliputi perasaan takut karena
kedahsyatan hari itu, sehingga rasa cinta dan sayang menjadi sirna. Masing-
masing memikirkan dirinya sendiri, tidak peduli, dan tidak mau tahu kondisi
orang lain, sebagaimana dilukiskan di dalam firman Allah SWT surat ‘abasa (80):
33-37 sebagai berikut:
Artinya: “Dan apabila datang suara yang memekakkan. Pada hari ketika
manusia lari dari saudara-saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri
dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai
urusan yang cukup menyibukkannya”.
Ibnu Jarîr al-Tabarî dalam menta’wîl ayat tersebut dengan
menggambarkan situasi di akhirat kelak, di mana siapapun tidak lagi peduli
dengan nasab yang penuh dibanggakan di dunia, dengan menyatakan:
kedua, h. 268. 20 Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Huqûq al-Aulâd Fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn,
(Iskandariyah: Muassasah Syabâb al-Jâmi‘ah, t.th), h. 8. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuhu…, h. 677. 21 Mustafa al-Sibâ’î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, (Damaskus: Matba‘ah Jâm‘iah,
1972), cetakan kelima, jilid pertama, h. 280. 22 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘îd bin Hazm, al-Muhallâ Bi al-Âtsâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th), jilid sepuluh, h. 216. 23 Hadisnya sebagai berikut:
لها على سنتین قدر ظل المغزل.الله عنها أنها قالت : ل تزيد المرأة في حم عن عائشة رضي Artinya: Dari ‘Âisyah radiyallahu ‘anha, sesungguhnya ia berkata: seorang wanita tidak akan pernah
mengandung lebih dari dua tahun, (sekalipun kelebihannya) hanya sebatas bayangan alat pemintalnya. lihat
Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003) h. 443.
Lihat juga ‘Alî bin Umar al-Dâruqutni, Sunan al-Dâruqutni, (al-Qâhirah: Dâr al-Mahâsin Li al-Tibâ‘ah,
1996), jilid ketiga, h. 322.
25
d. Menurut pendapat al-Laits seorang ahli fikih dari Mesir pada abad kedua
Hijriah bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah tiga tahun.
e. Menurut pendapat Imâm al-Syâfi‘î bahwa batas maksimal masa kehamilan
adalah empat tahun. Dalam hal ini sebagian ahli fikih dari golongan
Hanafiyah bahkan mengatakan bahwa Imâm Mâlik dan Imâm Ahmad juga
berpendapat demikian.24 Alasan pendapat ini adalah bahwa para wanita Bani
‘Ajlân biasa mengalami masa kehamilan empat tahun. Informasi seperti ini
juga diriwayatkan oleh al-Baihaqî dan al-Dâruqutnî dalam rangkaian hadis
‘Aisyah.25
f. Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama golongan Mâlikî, al-Laits,
Ibnu Sa‘ad, dan Abad bin al-Awwâm bahwa batas maksimal masa kehamilan
adalah lima tahun.
g. Menurut pendapat sebagian ulama Mazhab Mâlikî bahwa batas masa
kehamilan adalah tujuh tahun.
Dari beberapa pendapat para ahli hukum Islam tersebut, dapat
disimpulkan bahwa batas maksimal masa kehamilan ini tidak satupun yang
didasarkan atas dalil, baik dalil Al-Qur’ân maupun Hadis. Argumentasi yang
dikeluarkan oleh mereka bersifat temporer dan kasuistik, sehingga tidak ada
standar pasti yang dapat dipegang sebagai pendapat paling benar. Adapun contoh
pendapat Abû Hanîfah dan para sahabatnya, oleh para ahli fikih pengikut Mazhab
ini dipertahankan dengan argumentasinya bahwa ‘Âisyah, istri Nabi SAW tidak
mungkin mengatakan informasi semacam ini atas dasarnya sendiri, apa yang
لها على سنتین قدر ظل المغزل.عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت : ل تزيد المرأة في حم Artinya: Dari ‘Âisyah radiyallâhu ‘anhâ, sesungguhnya ia berkata: seorang wanita tidak akan pernah
mengandung lebih dari dua tahun, (sekalipun kelebihannya) hanya sebatas bayangan alat pemintalnya. Lihat
Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqî, Al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003) h. 443.
Lihat juga Alî bin Umar al-Dâruqutnî, Sunan al-Dâruqutnî, (al-Qâhirah: Dâr al-Mahâsin Li al-Tibâ‘ah, 1996),
jilid ketiga, h. 322.
26
disampaikan pasti berdasarkan informasi yang didengarnya dari Nabi sehingga
kata-kata ‘Âisyah sama dengan hadis marfû‘.26
Dengan demikian, penulis lebih cenderung dan mendukung
permasalahan ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa
masalah ini harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang terjadi dan
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Maka dalam hal ini pendapat Abdullah
bin Abdul Hakam dan Ibnu Hazm al-Zâhirî dinilai sebagai pendapat yang sesuai
dengan kasus nyata, bukan kasus yang sifatnya ganjil. Dan penetapan hukum
hanya dapat didasarkan atas kasus nyata (yang pada umumnya terjadi), bukan
yang jarang terjadi.27
Oleh karena itu, batas maksimal masa kehamilan seorang wanita yang
sering terjadi adalah sembilan bulan sampai dengan genap satu tahun Qomariyah,
di samping adanya perbedaan pandangan para ahli hukum yang didasarkan atas
kasus-kasus yang jarang terjadi seperti yang sudah disebutkan.
C. Sebab-Sebab Terjadinya Nasab Dalam Islam
Terdapat beragam bentuk metode penetapan nasab. Ulama mengkaji
permasalahan ini sangat detail. Mengingat, persoalan nasab adalah persoalan
penting sebagai pondasi sebuah keluarga, keterikatan hak-hak keperdataan,
mahram, bahkan kajian nasab ini nantinya tidak terlepas dari hubungan hukum
lainnya. Misalnya, hukum perkawinan, hukum kebendaan dan keperdataan,
perwalian, dan seterusnya. Untuk itu, metode penetapan nasab ini menjadi salah
satu skala priorias kajian ulama dalam bidang konsepsi hukum keluarga Islam.
Bagian ini akan dipaparkan macam-macam metode penetapan nasab
dalam hukum Islam, baik yang sudah disepakati (konsensus ulama) maupun yang
masih debatable. Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya
26 Mustafa al-Sibâ‘î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah…, h. 281. 27 Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid…, h. 268.
27
terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang
dilakukannya dengan seorang lelaki yang tidak berdasarkan ikatan perkawinan
yang sah, atau disebut dengan hubungan gelap, samen leven, perselingkuhan dan
perzinaan.28 Sedangkan nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi
dan memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu dengan perkawinan yang
sah, perkawinan yang fâsid atau bâtil, dan melalui hubungan badan secara
syubhat.29 Adapun metode penetapan nasab yang tidak disepakati oleh ulama
(debatable) di antaranya yaitu pengakuan (istilḥâq atau iqrâr al-nasab),
kemiripan atau keserupaan (al-qiyâfah) dan ada juga dengan cara undian (al-
qur’ah) dalam menelusuri seorang anak. Adapun pembahasan tetang al-qiyâfah
akan dibahas dalam bab sendiri karena pembahasan ini adalah hal inti dalam
penelitian.
Berikut metode penetapan nasab dalam hukum Islam yang sudah
disepakati oleh para ulama:
1. Perkawinan yang sah (nikah sahîh)
Secara umum, nasab telah dapat ditentukan bagi ayah dan ibu terhadap
anaknya ketika keduanya telah melakukan pernikahan yang sah.30 Pernikahan
yang sah yang dimaksudkan di sini yaitu nikah yang dilakukan dengan
terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Anak yang dihasilkan dari pernikahan yang
sah menjadi penentu dapat ditetapkannya hubungan nasab antara anak dengan
ayah. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW dalam sebuah hadis:
28 Badran Abu al-‘Ainan Badran, Huqûq al-Aulâd fî al-Syari‘ah al-Islâmiyah wa al-Qânûn…, h.
16. 29 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 681. Lihat juga Ahmad al-Khamlisyi,
kedua, h. 33-51. 30 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 32-37. 31 Abu al-Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, al-Jâmi‘ al-Sahîh (sahîh muslim),
(Beirut: Dâr al-Jail, t.th), nomor hadis 3688, jilid ketujuh, h. 368.
28
Artinya: Dari Abu Hurairah radiyallahu an’hu sesungguhnya Rasulallah SAW
bersabda: anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri
istri) dan bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman. (H.R.
Muslim)
Maksud dari hadis ini adalah penegasan bahwa nasab anak yang lahir
dalam perkawinan yang sah atau fâsid, dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada
ayah kandungnya. Akan tetapi ketetapan ini tidak berlaku bagi pezina sebab nasab
merupakan nikmat dan karunia besar dari Allah SWT. Seorang lelaki pezina tidak
akan mempunyai nasab dengan anak yang lahir akibat perbuatannya itu. Bahkan
pezina ketika statusnya muhsan harus dihukum dengan cara dirajam, yaitu
dilempari batu hingga meninggal dunia, dan jika masuk dalam kategori ghairu
muhsan, maka yang bersangkutan dihukum dengan cara dicambuk seratus kali
sebagaimana dijelaskan dalam dalam surat al-Nûr ayat 2.32 Tentunya dalam
menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa syarat
di antaranya:
a. Suami tersebut memungkinkan dapat memberikan keturunan, di mana
menurut kesepakatan ulama fikih adalah seorang laki-laki yang telah bâligh
atau murâhiq.33 Menurut ulama Hanafiah anak murâhiq berumur 12 tahun,
sementara menurut ulama Hanabilah, murâhiq berumur 10 tahun. Oleh sebab
itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang belum bâligh, tidak mampu
32 Surat al-Nûr ayat 2 :
اني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة ول ت انیة والز إن كنتم تؤم هما رأفة ف ذكم ب أخ الز والیوم ي دين الل نون بالل
عذابهما طائفة من المؤمنین.الخر ولیشهد Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 33 Ibaratnya adalah sebagai berikut:
ى.ه ت اش و ه ت ل آ ت ك ر ح ت و غ و ل ب ال ب ار ق ي ب ص ق اه ر الم Artinya: al-Murâhiq adalah anak kecil yang mendekati umur bâligh dan sudah memiliki syahwat sehingga
alat kemaluannya bisa bergerak. Lihat Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Mu‘jam al-Ta‘rîfât, (al-Qâhirah: Dâr al-
Fadîlah, t.th), jilid pertama, h. 67.
29
melakukan senggama, atau lelaki yang tidak mempunyai kelamin atau
impotensi, kecuali bisa diobati.34
b. Menurut ulama dari kalangan Mazhab Hanafî anak tersebut lahir setelah
enam bulan perkawinan.35 Jumhûr ulama telah menambahkannya dengan
syarat suami istri dimaksud telah melakukan senggama. Apabila kelahiran
anak kurang dari enam bulan, maka anak yang lahir tersebut tidak bisa
dinasabkan kepada suami wanita tersebut.36 Karena hal ini mengindikasikan
bahwa kehamilan telah terjadi sebelum akad nikah, kecuali jika suami itu mau
mengakuinya. Dalam hal ini pengakuan tersebut harus diartikan sebagai
pernyataan bahwa wanita itu sudah hamil sebelum akad nikah dilakukan. Bisa
juga hal itu terjadi dalam perkawinan yang akadnya fâsid, atau karena terjadi
senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaylî, anak tersebut
dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan kehidupan anak
tersebut.37
c. Suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati
oleh ulama fikih. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam mengartikan
cara bertemu antar keduanya. Apakah pertemuan itu bersifat aktual dan nyata
atau hanya menurut perkiraan. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat,
pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa saja terjadi. Oleh sebab
itu, apabila wanita itu hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu
dengan suaminya, maka anak yang lahir tersebut dinasabkan kepada
suaminya. Misalnya ada seorang wanita dari bagian timur menikah dengan
seorang laki-laki dari bumi wilayah barat dan mereka tidak bertemu selama
cetakan pertama, jilid kesembilan, h. 321. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…,
h. 645. 35 Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqâf ayat 15 dan surat Luqmân ayat 14. Pada surat al-
Ahqâf menyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqmân ayat 14
dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermula pada satu
pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah enam bulan. 36 Al-Khotîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid ketiga, h. 391. Lihat
juga ‘Alî Hasaballah, al-Furqah Baina al-Zaujaini Wa mâ Yata‘allaqu Bihâ min ‘Iddah wa Nasab, (t.t
Multazam, 1996), cetakan pertama, h. 232. 37 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 681-682.
30
satu tahun, tetapi lahir anak selama setelah enam bulan semenjak akad nikah
dilangsungkan, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita
tersebut.38
Menurut Mazhab Hanafî, bisa saja terjadi pertemuan melalui
kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang jauh
dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak oleh jumhûr ulama.
Menurut mereka , kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri tersebut
bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut memungkinkan bagi
suami istri untuk melakukan senggama.39
Logika dalam kasus seperti ini memang sulit untuk dimengerti, terlebih
pernyataan ini dikemukakan oleh kalangangan Mazhab yang mengedepankan
rasional (logika) daripada irasional. Tentunya, penulis tidak sepakat dengan
pernyataan tersebut yang mengatakan bahwa kekeramatan seorang wali bisa
menempuh jarak jauh lalu dimungkinkan dapat melakukakan kontak seksual
dengan istrinya yang berada jauh di belahan dunia lain dan dijadikan dasar
sebagai penetapan nasab.
Perbedaan pendapat ini muncul karena ulama kalangan Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa pengingkaran seorang laki-laki terhadap anak hanya dapat
terjadi melalui li‘an. Sementara jumhûr ulama berpendapat bahwa pengingkaran
terhadap anak selain li‘an, juga bisa dengan cara lainnya, yaitu ketika kondisi
suami tidak mungkin bertemu secara aktual, fisik dan nyata dengan istrinya. Sama
halnya seperti salah satu suami istri berada di luar negeri selama lebih dari batas
maksimal kehamilan, atau bahkan beberapa tahun.40
Adapun cara menentukan apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi
perceraian antara suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada
2003), cetakan kedua, jilid kelima, h. 105. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…,
h. 682. 39 Muhammad Amin bin Umar bin ‘Âbidin, Rad al-Muhtâr Alâ al-Durrî al-Mukhtâr (Hâsyiyah
Ibnu ‘Âbidin) (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), jilid kedua, h. 550. Lihat juga Yahya bin Syarâf al-Nawawi,
Raudah al-Tâlibîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid keenam, h. 661. 40 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 683.
31
mantan suami wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, dalam masalah ini
terdapat beberapa kemungkinan.
1) Apabila seorang suami menceraikan istrinya setelah melakukan senggama
dan kemudian lahir anak kurang dari enam bulan terhitung sejak perceraian
terjadi, maka ulama fikih sepakat bahwa anak itu dinasabkan kepada suami
wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu lebih dari enam bulan
sejak terjadi perceraian, sedangkan suami tidak pernah menggaulinya
sebelum cerai, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya.41
2) Apabila suami menceraikan setelah melakukan senggama, baik cerai tersebut
melalui talak raj‘î maupun talak ba’in, atau karena meninggalnya suami,
maka terdapat dua kemungkinan:
Pertama, apabila anak itu lahir sebelum habis masa maksimal kehamilan
setelah perceraian atau kematian suami, maka anak itu bernasab kepada
suaminya. Masa paling lama atau usia maksimal kehamilan menurut ulama
Mazhab Hanafî dan Mâlikî dalam satu riwayatnya adalah dua tahun, menurut
ulama Mazhab Syâfi‘î dan Hanbalî adalah empat tahun, dan menurut
pendapat yang popular di kalangan Mazhab Mâlikî adalah lima tahun.42
Kedua, apabila anak lahir melewati waktu maksimal kehamilan tersebut
(yang diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian tersebut),
maka menurut jumhûr ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami
wanita tersebut, sedangkan ulama Mazhab Hanafî mengemukakan rincian
sebagai berikut:43
a) Jika perceraian itu termasuk talak raj‘î dan wanita itu mengaku bahwa
‘iddah-nya belum habis, maka anak itu boleh dinasabkan kepada suaminya,
baik anak itu lahir sebelum masa dua tahun sejak terjadi perceraian, maupun
melebihi masa dua tahun. Sebab seorang suami dalam talak raj‘i masih boleh
41 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 684. 42 Muhammad Mustafa Syalabî, Ahkâm al-Usrah fî al-Islâm, Dirâsah Muqâranah Baina al-Fiqh
al-Madzâhib al-Sunniyyah wa Madzâhib al-Ja‘farî Wa al-Qânûn, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-Arabiyyah,
1977), cetakan kedua, h. 679. 43 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa ’Adillatuhu…, h. 685.
32
melakukan kontak seksual dengan istrinya dan hubungan badan itu dianggap
sebagai petanda rujuk. Apabila wanita itu mengakui bahwa ‘iddah-nya telah
habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut pendapat Imâm Abû
Hanîfah) atau 39 hari (menurut kedua sahabatnya, Imâm Abû Yusuf dan
Imâm Muhammad Bin Hasan al-Syaibânî), maka anak tersebut tidak boleh
dinasabkan kepada suami wanita tersebut.44
b) Jika perceraian itu termasuk dalam kategori talak ba’in atau karena
meninggalnya suami dan wanita itu tidak mengakui bahwa ‘iddah-nya telah
habis, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suami. Kecuali jika ia lahir
sebelum dua tahun sejak terjadinya perceraian atau meninggalnya suami.
Karena masa kehamilan mereka adalah dua tahun. Akan tetapi apabila anak
itu baru lahir setelah dua tahun sejak perceraian atau meninggalnya suami,
maka anak tersebut tidak bisa bernasab kepada suami wanita tersebut.45
Dari berbagai uraian di atas dapat penulis simpulkan, bahwa para ulama
sepakat dalam masalah menentukan pernikahan secara sah sebagai penyebab
ditetapkannya nasab anak kepada ayah kandungnya. Namun mereka berbeda
pendapat dalam hal-hal teknis seperti masalah sifat pertemuan suami istri, apakah
bersifat nyata, konkret, dan aktual atau cukup dengan perkiraan melalui berbagai
indikasi kemungkinan bertemu dan terjadinya kontak seksual setelah akad nikah.
Dalam hal ini pendapat jumhûr ulama yang mengatakan bahwa pertemuan itu
harus bersifat nyata dan konkret tampaknya lebih tepat, karena pertemuan yang
hanya bersifat perkiraan, sulit diterima akal sebagai penyebab kehamilan.
44 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 685. 45 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 684.
33
2. Pernikahan Fâsid
Pernikahan fâsid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam
kekurangan syarat,46 seperti tidak ada wali (bagi Mazhab Hanafî wali tidak
menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada saksi atau saksi palsu. Menurut
kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid
sama dengan penetapan anak dalam pernikahan yang sah.47 Akan tetapi, ulama
fikih menetapkan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam pernikahan fâsid
tersebut. Yaitu sebagai berikut:
a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil, artinya suami
seorang yang sudah dewasa (bâligh) menurut Mâlikiyah dan Syâfi‘iyah, atau
sekedar murâhiq (umur antara 10 -12 tahun) menurut ulama Hanafiyah dan
Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan istrinya
tidak bisa hamil.
b. Hubungan senggama benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pasangan yang
bersangkutan.48
c. Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad
nikah fâsid tersebut (menurut jumhûr ulama) dan sejak terjadinya senggama
(menurut Mazhab Hanafî). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum enam
bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa
dinasabkan kepada suami wanita tersebut.49
Dalam hal anak yang lahir setelah pasangan suami istri melakukan
hubungan badan, dan bercerai, baik melalui hakim maupun tidak, dan anak itu
lahir sebelum masa maksimal kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami
46 Yâsin Bin Nâsir Bin Mahmud al-Khatîb, Tsubût al-Nasab, (Jeddah: Dâr al-Bayân al-‘Arabî,
1987), cetakan pertama, h. 103. Lihat juga Muhammad Yûsuf Mûsa, al-Nasab wa Âtsâruhu, (al-Qâhirah: Dâr
al-Ma‘rifah, 1958), cetakan kedua, h. 12. 47 Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawî, Raudat al-Tâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, (Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th), jilid ketiga, h. 243. 48 Badrân Abu al-Ainan, Huqûq al-Aulâd fî al-Syar‘îah al-Islâmiyah wa al-Qânûn…, h. 24. 49 Mustafa al-Sibâ’î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsyiyyah…, h. 286.
34
wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu melebihi masa maksimal
kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu.
3. Senggama Syubhat
Kata Syubhat berarti kemiripan, keserupaan, kesamaran, dan
ketidakjelasan.50 Imâm al-Ghazâlî mendefinisikan kata syubhat dengan sesuatu
yang masalahnya tidak jelas, karena di dalamnya terdapat dua keyakinan
berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan
tersebut.51 Al-Husein memberikan penjelasan definisi syubhat menurut al-Ghazâlî
ini sebagai suatu keraguan antara dua faktor yang salah satunya tidak bisa di
tarjîh, karena adanya tanda-tanda sama persis yang berakibat terjadinya keraguan
pada diri seseorang sehingga tidak ada jalan keluar untuk mempertegas dan
menentukan status hukum dari dua hal yang persis tersebut.52
Dari pengertian kata hubungan badan atau senggama syubhat di atas,
dapat diambil kesimpulan, yaitu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah maupun nikah fâsid,
tetapi tidak bisa di sebut sebagai zina dan hukumnya pun tidak haram mutlak juga
tidak halal mutlak. Contohnya seperti seorang pria melakukan perkawinan dengan
seorang wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia
menemukan seorang wanita dikamarnya lalu menggaulinya. Ternyata wanita itu
bukan istri yang telah dinikahinya.
Dalam kasus seperti ini, apabila wanita tersebut melahirkan setelah hamil
enam bulan atau lebih (masa maksimal kehamilan) setelah senggama terjadi, maka
anak yang lahir dinasabkan kepada lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi,
50 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cetakan pertama, jilid
keenam, h. 1715. 51 Abu Hamed Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulum al-Dîn, (Semarang: Toha
Putera, t.th), jilid kedua, h. 99. 52 Muhammad bin Muhammad al-Husain al-Zubaidî, Ittihâdu al-Sâddah al-Muttaqîn Syarh Ihyâ
‘Ulûm al-Dîn, (t.t: Dâr al-Fikr, t.th), jilid kelima, h. 33.
35
apabila anak yang lahir melebihi masa maksimal kehamilan seorang wanita, maka
tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut.53
Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk, yaitu: Pertama,
anak syubhat dalam akad, yaitu: ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah
dengan wanita seperti akad nikah sah lainnya, tetapi kemudian akadnya fâsid
karena alasan tertentu. Kedua, syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika
seorang lelaki mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka
berdua, baik akadanya sah maupun fâsid. Misalnya: tidak sadar ketika
melakukannya, atau dia meyakini bahwa wanita tersebut halal untuk dicampuri,
tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri. Termasuk dalam
kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, pemabuk, dan
orang mengigau, serta orang yang meyakini bahwa yang dicampuri istrinya, tetapi
wanita tersebut ternyata bukan istrinya.54
Persoalan syubhat, juga dapat terjadi dalam bidang mu‘âmalah seperti
barang yang belum jelas statusnya, karena masih dalam sengketa, barang tersebut
tidak boleh diperjualbelikan, sebab harta yang boleh diperjualbelikan adalah harta
yang sudah menjadi milik penjual secara sempurna.55 Sedangkan dalam bidang
ibadah, misalnya seorang yang telah bersuci, yaitu telah dalam keadaan memiliki
wudhu kemudian bersentuhan dengan seorang khunsâ (waria). Menurut Imâm
Syâfi‘î, orang tersebut tetap suci, karena tidak jelas hukum yang dijatuhkan pada
khunsâ, apakah ia laki-laki atau perempuan. Imâm Al-Ghazâlî memberikan
komentar dalam masalah di atas dengan memberi contoh tentang seorang yang
ragu dalam shalat, apakah baru tiga atau empat rokaat, maka ia harus mengambil
sikap sebagai keyakinan, yaitu memilih yang paling sedikit.56
53 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 650-651. 54 Muhammad Jawwâd Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 388-389. 55 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),
cetakan pertama, jilid keenam, h.1718. 56 Abu Hamîd Muhmmad bin Muhmmad Al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulûm al-Dîn, (Semarang: Toha
Putera, t.th), jilid kedua, h. 99.
36
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa syubhat dapat
terjadi pada hampir semua bidang fikih, baik fikih mu‘âmalah, fikih munâkahât,
fikih jinâyah maupun fikih ibadah. Dalam hal fikih munâkahât, lebih khusus
dalam maslah hubungan badan, sangat berkaitan dengan fikih jinayah, sebab
apabila unsur syubhatnya dapat dihilangkan, maka hubungan badan yang terjadi
bisa disebut zina dan pelakunya harus dikenai hukuman had, baik razam maupun
dera seratus kali.
D. Cara-Cara Penetapan Nasab Dalam Islam
Dalam Islam ada beberapa cara menetapkan nasab yang dikemukakan
secara detail oleh para ulama dari berbagai kalangan Mazhab. Setidaknya ada
empat cara dalam menetapkan nasab anak kepada orang tuanya. Khususnya
kepada ayah kandungnya, yaitu melalui pernikahan yang sah atau fâsid, melalui
pengakuan atau gugatan atas nasab anak, melalui pembuktian dan melalui cara al-
qiyâfah, yaitu penelusuran nasab oleh seorang ahli pada zamannya atau dengan
cara undian (al-qur‘ah).
Keempat cara ini akan dibahas dalam uraian sub bab ini. Khususnya satu
metode sebelum terakhir yaitu al-qiyâfah akan dikemukakan dalam sub bab
sendiri, karena ini maksud inti dan tujuan penulis dalam penelitian ini.
Pembahasan ini juga nantinya akan penulis kontekstualisasikan sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir yang tentu saja sudah mengenal
metode ultrasonografi, tes darah, dan tes DNA.
1. Melalui Pernikahan yang Sah atau Fâsid
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa nikah yang sah dan nikah yang
fâsid merupakan salah satu cara menetapkan nasab seseorang kepada ayahnya,
37
sekalipun pernikahan dan kelahiran anak tersebut tidak didaftarkan secara resmi
pada instansi terkait.57
2. Melalui Pengakuan (iqrâr) atau Gugatan (iddi‘â)
Selain iqrâr, dikenal juga dengan istilah istilhâq, yaitu pengakuan
seorang laki-laki yang mukallaf (âqil-bâligh) bahwa ia merupakan bapak dari
seorang yang nasabnya tidak diketahui.58 Ulama fikih membedakan antara
pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, misalnya paman,
saudara, atau kakek. Jika seorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil
adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah dewasa (bâligh)
menurut jumhûr ulama atau mumayyiz (menurut ulama Mazhab Hanafî) mengakui
seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu
dinasabkan kepada lelaki tersebut, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:59
a. Anak yang menyampaikan pengakuan itu tidak jelas nasabnya. Apabila
ayahnya diketahui, maka pengakuan ini batal, karena Rasulallah SAW
mencela seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai
nasabnya. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa apabila anak tersebut
dinafikan ayahnya melalui li‘an, tidak boleh seorang mengakui nasabnya,
selain suami yang me-li‘an ibunya.60
b. Pengakuannya logis dan empirik. Maksudnya adalah seseorang yang
mengakui ayah dari anak tersebut usianya berbeda jauh dari anak yang diakui
sebagai nasabnya. Demikian pula halnya, apabila seorang mengakui nasab
57 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 690 58 Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Sâwî, Hâsyiah al-Sâwî ‘Alâ Syarh al-Saghîr, (Mesir:
Dâr al-Ma‘ârif, 2001), jilid kedelapan, h. 179. 59 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 690. Lihat Ibnu Quddâmah, al-Kâfi fî
t.th) jilid keenam, h. 176. Lihat juga al-Nawawî, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, (San’â: Dâr al-Irsyâd,
2008), jilid 20, h. 334-336. 60 Ahmad al-Sâwî, Bulghah al-Sâlik li Aqrab al-Masâlik, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1995), cetakan pertama, jilid ketiga, h. 343. Lihat juga Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain
bin ‘Umar Ba’alawî, Bugiyyah al-Mustarsyidîn fî Talkhîs Fatâwâ Ba’da al-A’immah min al-‘Ulamâ‘ al-
Muta’akhirîn, (Banten: Maktabah Iqbal Haji Ibrahim, t.th), h. 154-155.
38
seorang anak tetapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak
tersebut maka hakim perlu meneliti lebih lanjut tentang siapa yang berhak
terhadap anak tersebut.61
c. Pengakuannaya dibenarkan. Apabila anak itu telah bâligh dan berakal
(menurut jumhûr ulama) atau telah mumayyiz (menurut ulama Mazhab
Hanafi), maka pembenarana anak terhadap pengakuan laki-laki tersebut bisa
dikabulkan. Akan tetapi, syarat ini tidak diterima ulama dari kalangan
Mazhab Mâlikî, karena menurut mereka, nasab adalah hak dari anak, bukan
ayah.62
d. Lelaki yang mengakui anak tersebut harus menegaskan bahwa ia bukan anak
hasil dari perzinaan, karena perzinaan tidak bisa menjadi dasar penetapan
nasab anak.63
Dari kesimpulan tersebut, apabila syarat-syarat di atas terpenuhi,
pengakuan nasab terhadap seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak
mendapatkan nafkah, pendidikan selayaknya, dan harta warisan dari sang ayah.
Ayah yang telah mengakui anak tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut
pengakuannya, karena nasab tidak bisa dibatalkan.64 Adapun pengakuan nasab
selain anak seperti saudara, kakek, paman, kakek dan seterusnya. Menurut
kesepakatan ulama fikih hukumnya sah apabila memenuhi syarat-syarat yang
disebutkan di atas, ditambah dengan satu syarat yaitu alat buktu (al-Bayyinah)65
61 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Zakaria Ahmad al-
Barrî, Ahkâm al-Maulûd fî al-Islâm, (al-Qâhirah: al-Dâr al-Qaumiyyah, 1964), h. 20. 62 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Ali Hasaballa, al-
Furqah Baina al-Zaujain wamâ Yata‘allaqu bihâ min ‘Iddatin wa Nasabin, (t.t: Multazam al-Tabwa al-
Nasyr, 1968), h. 237. 63 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Muhammad Abu
Zahrah, al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, (t.t: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th), h. 464. 64 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 692. Lihat juga Muhammad Rawwâs
Qal‘ahji, Mausû‘ah Fiqh Umar bin al-Khattab, (t.t: t.p, 1981), cetakan pertama, h. 636. 65 Seperti yang dijelaskan dalam kitab kitab Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, bahwa Menurut Imâm
Abû Hanîfah dan Imâm Muhammad bin Hasan al-Syaibanî, alat bukti yang dibutuhkan tersebut adalah
pengakuan dua orang leleaki, atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Menurut Mazhab Mâlikî,
pengakuan tersebut dikemukakan dua orang laki-laki saja. Sedangkan menurut Mazhab Syâfi‘î, Mazhab
Hanbalî dan Imâm Abû Yûsuf, pengakuan harus dating dari seluruh ahli waris yang mengaku.
39
yang menguatkan pengakuan tersebut atau diakui dua ahli waris dari pihak yang
mengaku.66
3. Melalui Pembuktian (al-Bayyinah)
Adapun alat bukti dalam hal menentukan nasab adalah berupa kesaksian.
Para ulama berbeda pendapat terkait jumlah saksi dalam perkara ini. Menurut
Imâm Abû Hanîfah dan Muhammad Bin Hasan, saksi harus berjumlah empat
orang yang teridri dari dua laki-laki dan dua perempuan.67 Menurut Mazhab
Mâlikî kesaksian dua orang laki-laki dianggap cukup, sementara menurut ulama
dari kalangan Mazhab Syâfi‘î dan Mazhab Hanbalî serta Abû Yusuf bahwa semua
ahli waris harus mengungkapkan kesaksian.68
Kemudian terkait pihak-pihak yang bisa di jadikan alat bukti dalam
penetapan nasab seseorang, hendaknya saksi itu bener-bener mengetahui keadaan
dan sejarah anak yang akan dinasabkan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulallah
SAW ketika itu mengatakan: “Apakah engkau melihat matahari?” leleki itu
menjawab: “Benar, saya melihat.” Kemudian Rasulallah SAW bersabda: “Apabila
sejelas matahari, silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila tidak
(demikian), maka jangan menjadi saksi”.69
4. Melalui Metode Kemiripan (al-Qiyâfah) dan Undian (al-Qur‘ah)
Cara selanjutnya yaitu melalui al-qiyâfah. Sebagaimana penjelasan di
awal sub pembahasan ini, metode al-qiyâfah adalah salah satu metode yang masih
66 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 693. Lihat juga Ibnu ‘Âbidîn, Hâsyiyah
‘Âlamiyyah, 2009), nomor hadis 2272, jilid kedua, h. 248. 73 Muhammad al-Syaukânî, al-Durrî al-Mâdiyyah Syarh al-Ddurar al-Bahiyyah, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid pertama, h. 220.
Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukanî atas dasar hadis Nabi Muhammad SAW:
ان ة في طهر واحد فسأل اثنوا على امرأ ن وقع الیم أتي علي رضي الله عنه بثلاثة وهو ب عن زيد بن أرقم قال ین أتقر
ف م ه نی ب ع ر ق أ ف ل ال لهذا بالولد ق ي ب لن ل ك ل ذ ر ك ذ ف ل اق ة ي الد ي ث ل ث ه ی ل ع ل ع ج و ة ع ر ق ال ه ی ل ع ت ر اص ي ذ ال ب د ل و ال ق ح ل أ
فضحك حتي بذت نواجذه. م ل س و ه ی ل ع ى الله ل ص Artinya: Dari Zaid bin Arqam, berkata ‘Alî, ketika ada di Yaman pernah didatangi tiga orang laki-laki yang
sama-sama menyetubuhi seorang wanita dalam satu kali masa suci. Maka ‘Alî bertanya kepada dua orang di
antara mereka, apakah kalian berdua mengakui bayi ini? Mereka menjawab tidak. Sampai akhirnya ‘Alî
bertanya kepad ketiga-tiganya. Setiap kali ‘Alî bertanya kepada dua orang di antara mereka, mereka selalu
menjawab tidak sehingga akhirnya akhirnya ‘Alî mengundi mereka dan menasabkan anak bayi tersebut
dengan salah seorang yang mendapatkan undian tersebut dan membebaninya 2/3 diyat. Zaid bin Arqam
berkata bahwa hal itu diceritakan kepada Nabi Saw sehingga beliau tertawa sampai kelihatan gigi
al-‘Alamiyyah, 2009), nomor hadis 2272, jilid kedua, h. 248.
42
atau perkiraan,74 atau undian ini baru dilakukan ketika memang sudah tidak bisa
ditempuh melalui cara-cara lain seperti pengakuan, pembuktian dan qiyâfah.75
Jadi selama masih bisa ditempuh dengan metode lain, metode qur‘ah ini harus
dihindari. Sebab cara ini sangat bersifat spekulatif yang jauh dari indikasi kearah
kebenaran apalagi keilmiahan.
Dengan demikian sebagaimana dalam hal cara mendapatkan nasab
melalui al-qiyâfah, dalam masalah undian ini ulama golongan Hanafiyah dari
kelompok Hadawiyyah tidak sejalan dengan apa yang diyakini oleh jumhûr
ulama. Kedua golongan ulama tersebut bahkan berpendapat apabila kasus
persetubuhan terhadap seorang hamba sahaya wanita oleh beberapa lelaki dalam
masa suci, lalu ia hamil dan bayi itu diakui oleh beberapa lelaki yang
menggaulinya, maka bayi itu bisa bernasab kepada semua lelaki tersebut, bahkan
antara mereka saling mewarisi. Hal ini dinilai oleh Syekh Al-Syaukânî sebagai
pendapat yang aneh dan ganjil.76 Sebab kandungan hadis di atas sebagai
penegasan bahwa tidak mungkin seorang bayi mempunyai ayah kandung lebih
dari satu. Dalam dunia kedokteran, menurut ilmu embriologipun tampaknya tidak
mungkin terjadi, tidak mungkin bisa terjadi pembuahan campuran dari sperma
laki-laki dalam satu rahim seorang wanita. Oleh sebab itu, penulis sangat setuju
dengan pernyataan Al-Syaukânî dalam masalah ini.
Kemudian dalam hal ini, Khalîl Ahmad Al-Siharanfûrî secara tegas
menyatakan bahwa hadis di atas bertentangan dengan perinsip-perinsip agama.
Sebab ada kalanya wanita yang disetubuhi oleh tiga orang laki-laki secara
beramai-ramai itu bisa jadi budak bersama dan bisa jadi bukan budak mereka,
kalau memang status wanita itu sebagai budak mereka bertiga, maka semestinya
salah satu dari mereka tidak harus dikenai beban membayar 2/3 diyat, melainkan
74 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma‘ād fī Hadyī Khair al-‘Ibâd…, h. 121. 75 Syamsuddin al-Muqaddasah Abi Abdillah Muhammad bin Muflih, Kitab al-Furû‘, (t.t: Âlim
Kutub, t.th), jilid kelima, h. 535. 76 Muhammad Ali al-Syaukânî, Nail Al-Autâr min Asrâr Muntaqâ al-Akhbâr, (Saudi Arabia: Dâr
Ibnu al-Jauzî, 1427), h.79-80.
43
2/3 dari harta hamba sahaya itu, sebab status wanita hamba sahaya tersebut
sebagai ummul walad bagi salah seorang di antara mereka secara khusus.
Sedangkan apabila wanita itu bukan sebagai hamba sahaya bagi laki-laki itu,
maka berarti persetubuhan yang mereka lakukan sebagai perzinaan sehingga
pengakuan dan gugatan nasab mereka tidak ada artinya sama sekali, karena zina
tidak mungkin bisa menimbulkan nasab. Oleh karenanya, ada yang berpendapat
bahwa hadis di atas telah dihapus dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran
hukum.77
Pernyataan terakhir yang menegaskan bahwa hadis di atas telah Mansûkh
atau dihapus bisa jadi benar, sebab asumsi seperti ini bisa dikuatkan bahwa
ternyata sekalipun Imâm Syâfi‘î pernah mengakui adanya metode undian ini,
tetapi terbatas pada fatwa-fatwa lama (al-qawl al-qadîm) ketika beliau masih di
Irak, bahwa Imâm Ahmad pun dalam salah satu riwayatnya pernah menyatakan
bahwa saya lebih menyukai hadis tentang al-qiyâfah dari pada hadis tentang al-
qur‘ah.
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penetapan nasab yang
bisa disepakati secara bulat hanyalah pada hubungan badan yang terjadi dalam
ikatan suami istri (al-firâsy al-Zaujiyyah), baik dalam pernikahan sah, fâsid, atau
hubungan syubhat. Adapun penetapan nasab melalui pengakuan, pembuktian,
kemiripan, dan undian tidak lepas dari perbedaan pendapat para ulama, apalagi
dua metode yang disebut terakhir ini, bahkan ditolak oleh golongan Hanafi, sebab
dinilai tidak sesuai dengan jiwa dan prinsip-prinsip dasar agama, khususnya hadis
tentang penetapan nasab melalui metode al-qur‘ah atau undian.
Dalam hal ini, penulis memandang, metode undian adalah metode yang
sesuai dalam syari‘at Islam. Akan tetapi jika ada cara yang lebih kuat dari metode
undian, maka metode ini harus dikesampingkan, sebab penetapan nasab tidak bisa
ditempuh dengan cara spekulasi.
77 Muhammad ‘Ali al-Syaukânî, Nail Al-Autâr min Asrâr Muntaqâ al-Akhbâr…, h.79
44
E. Al-Qiyâfah Sebagai Metode Penetapan Nasab
1. Pengertian al-Qiyâfah
Secara etimologi, kata al-qiyâfah berasal dari bahasa Arab, ف ی ق ي – اف ق –
ث ر artinya adalah ,ق ی اف ة ,yaitu menelusuri jejak. Adapun secara terminologi ,إ ت ب اع ال
Ibnu Manzûr dan Al-Fayrûz Âbâdî menjelaskan al-qiyâfah adalah:
78
Artinya: Upaya menghubungkan nasab seseorang anak dengan bapak atau
kerabatnya atas dasar kemiripan di antara mereka, serta mengetahui
nasab seorang anak dengan melihat sifat, rupa, atau warna kulit antar
keduanya.
Menurut Wahbah al-Zuhaylî, al-qiyâfah adalah ث ر yaitu menelusuri ,ت ت ب ع ال
jejak. Adapun al-qâfah adalah:
79
Artinya: Al-Qâfah di kalangan arab adalah kelompok orang yang memiliki
kemampuan khusus terhadap perincian kemiripan manusia.
Para ulama termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sepakat bahwa metode
ini adalah metode yang sah dalam ajaran Islam, bahkan Nabi Muhammad SAW,
para sahabat, tâbi‘în dan tâbi‘u al-tâbi‘în turut serta dalam mempraktikkan al-
qiyâfah. Kemudian Al-Jurjâni menyebut pelaku al-qiyâfah dengan sebutan al-
qâ’if, seperti dijelaskan dalam kitab Mu‘jam al-Ta‘rîfât:
ceria dan gembira Rasulallah SAW ketika mendengar cerita Mujazziz al-
Mudallajî, salah seorang ahli dalam bidang menelusuri nasab anak, tentang
Zaid bin Hâritsah dan Usâmah bin Zaid yang mana antara keduanya, bapak
dan anak sangat berlainan warna kulitnya. Keceriaan sikap Nabi SAW
sebagai dalil hukum tampaknya tidak bisa dipungkiri oleh jumhûr ulama,
karena di antara tiga kategori hadis Nabi adalah taqrîr, atau sikap Nabi yang
juga bisa dijadikan sebagai dalil dalam penetapan status hukum sesuatu.
b. Imâm Abû Hanîfah dan pengikutnya tidak menganggap al-qiyâfah sebagai
sandaran dalam menetapkan nasab. Alasan mereka karena penetapan nasab
melalui metode al-qiyâfah ini didasarkan atas prasangkaan belaka, bukan atas
dasar pengetahuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini
Rasulallah tidak pernah menentukan sesuatu keputusan hukum atas dasar
prasangkaan belaka.85 Pendapat Imâm Abû Hanîfah ini sangat ketat dan tegas.
Boleh jadi hal ini dikemukakan oleh beliau dalam rangka agar terjadi langkah
yang hati-hati dan supaya terdapat upaya pengetatan dalam masalah klaim
hubungan nasab antara anak dengan ayah kandungnya.
Perbedaan pendapat para ulama mengenai metode al-qiyâfah ini memang
cukup serius, hal ini terbukti bahwa Imâm Mâlik dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa metode al-qiyâfah ini hanya diberlakukan terhadap anak
hamba sahaya, bukan anak orang yang merdeka. Kemudian pernyataan ini
langsung dibantah oleh Ibnu Hazm seraya mengatakan bahwa hal ini tentu tidak
benar, karena kalau melihat kasus Usâmah dan Zaid yang diselidiki oleh Mujazziz
al-Mudallajî di atas berkaitan dengan anak yang statusnya merdeka bukan hamba
sahaya.86
85 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm al-Andalûsî, al-Muhallâ bi al-Âtsâr, (Beirut: al-Maktabah
al-Tijârî, 1351), jilid kesembilan, h. 341. 86 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm al-Andalusî, al-Muhallâ bi al-Âtsâr…, h. 341.
48
Khalil Ahmad87 menjelaskan bahwa sikap gembira Rasulallah SAW di
atas mengandung dua pengertian, bisa jadi beliau merestui ucapan Mujazziz al-
Mudallajî sebagai seorang penelusur nasab yang merupakan ketentuan pasti
bahwa Usâmah memang benar-benar anak Zaid, atau sikap Nabi juga berarti
penolakan terhadap anggapan masyarakat jahiliyah yang berupaya membatalkan
nasab Usâmah kepada Zaid. Oleh sebab itu kemungkinan kedua inilah yang lebih
kuat. Beliau juga menguraikan bahwa metode al-qiyâfah ini justru menodai
risalah Nabi yang ajarannya didasarkan atas Wahyu Ilahi. Kalau sekiranya cara ini
memang disyari‘atkan, berarti pensyari‘atan li‘ân dalam Al-Qur’ân hanya sia-sia.
Karena dalam al-qiyâfah, aspek terpenting yang ditonjolkan hanya unsur
kesamaan antara anak dengan bapak atau saudara, sehingga kalau antara keduanya
ada kesamaan, maka jelas bahwa ketika suami melakukan li‘ân terhadap istrinya
dalam keadaan berdusta, yang akibatnya ia harus dihukum hadd karena menuduh
zina, tetapi kalau antara keduanya tidak ada kemiripan, maka berarti istri terbukti
berzina dan harus dikenai hukuman hadd zina.88
Terlepas dari kontradiksi interpretasi para ahli dalam melihat sikap
gembira Rasulallah sebagaimana dalam hadis, bagi jumhûr ulama al-qiyâfah tetap
dianggap sebagai salah satu cara menetapkan nasab anak kepada orang tuanya,
tepatnya ketika terjadi persengketaan nasab anak. Hal ini tentunya berlaku kalau
pihak yang bersangkutan terdiri dari dua orang.89
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan
pendapat antara jumhûr ulama dan Imâm Abû Haniîfah tidak mungkin dapat
dikompromikan lagi. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi yang berbeda
dalam menganalisis sikap Nabi SAW ketika mendengar kabar dari Mujazziz al-
Mudallajî, yaitu salah seorang yang dianggap ahli dalam urusan kemiripan fisik
87 Ulama ahli Hadis dari India, beliau pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Mahazir al-
‘Ulûm, Saharnafur India. Dan beliau meninggal pada tahun 1326 H. 88 Khalîl Ahmad al-Siharanfûrî, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th) jilid kesembilan, h. 428-429. 89 Abdullah Muhammad bin Abdurrahman al-Magzî, Mawâhib al-Jalîl Li Syarh Mukhtasar
Khalîl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), jilid kelima, h. 247.
49
tentang perbedaan warna kulit anatara Usâmah dengan bapaknya Zaid bin
Hâritsah.
Zaman sudah berbeda, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), jika kasus tersebut terjadi di zaman modern seperti sekarang
ini, maka untuk memastikan kebenaran nasab tidak lagi membutuhkan ahli
penelusur nasab (al-qâ’if), melainkan dengan bantuan dokter ahli melalui tes
laboratoriumnya tentang kesesuaian darah atau tes DNA antara anak dengan orang
tuanya, sehingga dapat dipastikan apakah bayi tersbut benar-benar anak
kandungnya atau bukan. Maka dalam hal ini, penulis menganggap bahwa tes
DNA lebih kuat dari al-qiyâfah. Untuk lebih jelasnya, pembahasan tes DNA
secara rinci akan dipaparkan pada sub bahasan di bawah ini.
F. Tes DNA Dalam Mengetahui Hubungan Nasab
1. Pengertian DNA
Secara etimologi, Deoxyribo Nucleid Acid (DNA) tersusun dari kata-kata
“deocyribosa” yang berarti gula pentosa, “nucleid” yang lebih dikenal dengan
nukleat berasal dari kata “nucleus” yang berarti inti, serta “acid” yang berarti zat
asam. Secara terminologi DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling
penting, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk
dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.90
Dalam bahasa Arab, DNA dikenal dengan istilah ا ل ب ص م ة ال و ر اث ی ة ”al-
Basmat al-Wirâtsiyyah”. Syekh Wahbah al-Zuhaylî dalam kitab al-Basmah al-
Wirâtsiyyah wa Majâlâtu al-Istifâdah Minhâ menjelaskan:
90 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), h. 86.
50
91
Artinya: Materi genetik yang dapat membawa karakteristik dan sifat-sifat
tertentu, yang ditemukan dalam sel semua makhluk hidup.
Menurut Syekh Sa‘du al-Dîn Sa‘ad Hilâli, DNA atau ”al-Basmah al-
Wirâtsiyah” adalah:
92
Artinya: Jejak yang ditularkan dari orang tua kepada anak-anaknya atau
ketetapan sifat yang ditransmisikan dari satu organisme ke cabangnya,
sesuai dengan undang-undang khusus yang dapat dipelajari.
Menurut Fatchiyah, DNA adalah bahan kimia utama yang berfungsi
sebagai penyusun gen93 yang menjadi unit penurunan sifat (hereditas) dari induk
kepada keturunannya.94 H.M. Nurchalis Bakry berpendapat bahwa di dalam
DNA lah terkandung informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan
mengatur program keturunan selanjutnya. Hal yang sama dikemukakan oleh
Aisjah Girindra bahwa asam nukleat95 atau yang biasa dikenal dengan DNA itu
91 Wahbah al-Zuhaylî, al-Basmah al-Wirâtsiyah wa Majâlâtu al-Istifâdah Minhâ, (Makkah:
Mujamma‘ al-Fiqhi al-Islâmî, t.th), h. 5. 92 Sa‘du al-Dîn Sa‘ad Hilâli, al-Basmah al-Wirâtsiyah wa ‘Alâ’ikuhâ al-Syar‘iyyah (Dirâsah
Fiqhiyyah Muqâranah), (Kuwait: Majlis al-Nasr al-‘Ilmî, 2001), h. 25. 93 Fatchiyah, Molecular Genetics, Artikel diakses dari http://fatchiyah.lecture.ub.ac.id/teaching-
responsibility/general/ “Gen adalah keseluruhan sekuen asal nukleat yang dapat ditranskrip menjadi RNA
fungsional dan protein, pada waktu dan tempat yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan
organisme”. 94 Paul Strathem Crick, Watson dan DNA, alih bahasa Fransisca Petrajani, (Jakarta: P.T. Erlangga
2003), h. 3-31. Keterangan saling melengkapi lihat Achmad Baiquni. Al-Qur’ân dan Ilmi Pengetahuan
Kealaman, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 190, Tim Perumus Fakultas Teknik Umi
Jakarta, al-Islam dan Iptek, (Jakarta:PT.Grafindo Persada, 1988), h. 267-268. 95 Wikipedia, Asam Nukleat, Halaman ini terakhir diubah pada 5 November 2018 dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Asam_nukleat. Asam nukleat: macro bio molekul kimia yang kompleks,
berbobot molekul tinggi, dan tersusun atas rantai nukleotida yang mengandung informasi genetik.
98 Stephen N. Kreitzman, Ilmu Pengetahuan Populer (Ilmu Fisika, Biologi Umum), (Jakarta:
Widyadara Grolier International, 2001), h. 75. 99 Stephen N. Kreitzman, Ilmu Pengetahuan Populer…, h. 75.
52
Menurut Steve olson, DNA adalah materi genetis dari semua organisme
yang hidup, yang mengontrol faktor-faktor keturunan. DNA ini terletak di dalam
nucleus (inti sel). DNA yang tergulung mampat ini terdiri atas dua helai yang
dihubungkan dengan “nucleotide atau bases” dalam ikatan hydrogen, sehingga
menyerupai anak tangga (double helix). Bases ini terdiri dari Adenine
(A)100, Cytosine (C)101, Guanine (G)102 dan Thymine (T)103. Informasi genetis
DNA ini terdapat rangkaian nucleotide sepanjang molekulnya. Perubahan dalam
DNA ini bisa menyebabkan terganggu fungsi sel, DNA ini bisa mempunyai
rangkaian yang sama persis dengan induknya.104
Steve Olson, penulis sains terkemuka saat ini mengartikan DNA
(deoxyribonucleic acid) manusia sebagai suatu molekul panjang klan kompleks
yang meneruskan informasi genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya,
membawa jejak sejarah manusia yang tak mungkin terhapus.105 Asam deoksi-
ribonucleat (DNA) dapat juga dipahami sebagai suatu senyawa kimiawi yang
membentuk kromosom,106 dimana kromosom tersebut terdapat bagian yang
mendikte suatu sifat khusus yang disebut dengan Gen.107 Adapun unit terkecil
pembawa setiap informasi genetik yang disebut dengan gen, yang besarnya sangat
bervariasi tergantung dari jenis informasi yang dibawa untuk mengkode suatu
protein. Dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa DNA adalah
susunan kimia makro molekular yang terdiri dari tiga macam molekul, yaitu: gula
100 www.wikipedia.org, Adenin: salah satu dari dua basa ( basa adalah senyawa yang memiliki
pH lebih besar dari 7) N purin yang digunakan dalam membentuk nukleotida dari asam nukleat DNA dan
RNA. 101 www.wikipedia.org, Cytosine: salah satu dari dua basa N pirimidin yang dimiliki DNA dan
RNA. 102 www.wikipedia.org, Guanine: salah satu dari dua basa N purun yang menyusun DNA dan
RNA. 103 www.wikipedia.org, Thymine: salah satu dari dua basa N pirimidin yang menyusun DNA.
104 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia, (Jakarta: Serambi,
2005), h. 87-88. 105 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia…, h. 41. 106 Organisasi.org, Artikel diakses pada 17 Desember 2017 dari:
pentose, asam fosfat, dan basa nitrogen, yang sebagian besar terdapat dalam
nukleus hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya.108
2. Sejarah Perkembangan DNA (Deoxyribo Nucleid Acid)
Keberadaan DNA sangatlah erat hubungannya dengan ilmu di bidang
biologi yang sampai sekarang pengembangannya tetap dilakukan oleh para ahli.
Seiring perkembangannya, saat ini tidak lagi terbatas untuk keperluan di bidang
biologi, akan tetapi telah dimanfaatkan oleh keilmuan lain seperti perindustrian,
pertanian, farmasi, ilmu forensik dan bidang keilmuan lainnya. Suatu kemajuan
ilmiah pada tahun 1869, ketika Friederich Miescher, seorang ahli kimia
berkebangsaan Swiss dapat mengisolir molekul DNA dari sel spermatozoa109 dan
dari nucleus sel-sel darah merah burung. Ia mengemukakan bahwa nucleus sel
tidak terdiri dari karbohidrat, protein ataupun lemak, melainkan juga terdiri dari
zat yang mempunyai kandungan fosfor yang sangat tinggi. Oleh karena zat itu
terdapat dalam nucleus sel, maka zat itu disebut nuklein dan nama ini kemudian
lebih dikenal dengan asam nuklet dikarenakan asam juga ikut menyusunnya.
Asam nukleat ini terdiri dari dua tipe, yaitu asam deoksiribonukleat
(deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA) dan asam ribonucleat (ribonucleid
acid atau disingkat RNA).110
Perkembangan yang terjadi setelah penelitian yang dilakukan oleh
Meischer tidak langsung mendapat tanggapan yang begitu antusias dari para
ilmuwan lainnya. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Fischer pada tahun
1880 yang mana dalam penelitiannya mengemukakan adanya zat-zat Pirimidin
dan Purin di dalam asam nukleat. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Fischer
ini kemudian dikembangkan kembali oleh Albrech Kossel yang menemukan
108 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia…, h. 41. 109 www.kidzworld.com, “Sel spermatozoa adalah sel reproduksi yang dimiliki olel laki-laki”. 110 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 89. Lihat juga Suryo, Sejarah Penemuan DNA (Deoxyriboncliec Acid), Artikel diakses pada
tanggal 19 Januari 2018 dari: http://www.referensimakalah.com/2013/01/sejarah-penemuan-
DNAdeoxyribonucleic-acid.html.
54
adanya dua pirimidin berupa sitosin dan timin, dan dua purin yaitu adenin dan
guanin di dalam asam nukleat. Dengan penemuannya ini, Kossel memperoleh
hadiah Nobel pada tahun 1910.111
Penelitian hal yang sama juga dikembangkan lagi oleh Levine, seorang
ahli biokimia kelahiran Rusia yang menemukan gula lima karbon ribose dan
kemudian menemukan gula deoksiribose di dalam asam nukleat. Ia juga
menyatakan adanya asam fosfat dalam asam nukleat. Penelitian mengenai DNA
ternyata terus berlanjut, pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Robert
Feulgen pada tahun 1914 yang mengemukakan tes warna yang dilakukannya
terhadap DNA yang kemudian penelitiannya ini dikenal di kalangan biologi
dengan istilah reaksi Feulgen. Pada tahun 1944, Avery, MacLeod dan McCarthy
mengemukakan bahwa DNA mempunyai hubungan langsung dengan keturunan.
Meskipun pada rentang waktu yang jauh sebelumnya, Mendel (1860) juga telah
mengemukakan bahwa hereditas itu dipindahkan melalui sel telur dan sperma,
meskipun belum mengemukakan secara langsung bahwa DNA juga ikut
dipindahkan melalui dua bibit penting itu. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh
Edwin Chargaff pada tahun 1947 yang mengemukakan bahwa DNA terdiri dari
bagian yang sama dari basa purin dan pirimidin serta adenin dan timin terdapat
dalam proporsi yang sama dan begitu juga halnya dengan sitosin dan guanin.112
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maurice Wilkins yang
menggunakan difraksi sinar X dalam mempelajari struktur protein dengan metode
kristalografi. Dalam penemuannya mengemukakan bahwa basa-basa purin dan
pirimidin dalam molekul DNA terletak dalam jarak 3,4 Å (1 angström = 0,001
mikron = 0,000001 mm) mereka juga mengemukakan bahwa molekul DNA
111 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 89. 112 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 90.
55
itu tidak berbentuk sebagai garis lurus, akan tetapi berpilin sebagai spiral dan
setiap 3Å merupakan satu spiral penuh.113
Dari penelitian ini, penemuan yang cukup besar dilanjutkan oleh James
Watson yang berkebangsaan Amerika dan Francis Crick yang berkebangsaan
Inggris menemukan struktur double helix dari susunan DNA. Keduanya membuat
ini berdasarkan hasil foto dengan metode kristalografi sinar X yang mereka ambil
dari laboratorium Maurice Wilkins yang dibantu oleh Rosalind Franklin.114
Kebenaran dari teori double helix yang dikemukakan oleh Watson dan Crick ini
diperkuat oleh Kornberg yang membuat molekul DNA dalam sistem sel bebas.
Sebagai bahan genetik yang lengkap, DNA dipergunakan dalam ilmu kedokteran
kehakiman pada tahun 1960-an sekitar tujuh tahun setelah penemuan Watson dan
Crick yang pertama kali diterapkan di Inggris.115
Seiring dengan bergulirnya waktu, perkembangan DNA sebagai suatu
penemuan besar tidak lagi terbatas hanya sekedar sebagai sebuah pita informasi,
akan tetapi pada saat ini telah jauh berkembang dengan sangat pesat. Penemuan-
penemuan dari generasi ke generasi semakin melengkapi dan memberikan
manfaat baru.
3. Struktur Kimia DNA
DNA merupakan senyawa organik yang memiliki berat molekul (BM)
paling besar dari semua senyawa organik (kurang lebih berjumlah 1 juta) yang
ditemukan dalam kromatin inti sel (>99%) dan dua organel sitoplasma (<1%)
mitokondria dan plastid (kloroplas).116 Dalam keadaan natural DNA terletak
berpasangan yang mana kedua utas yang berpasangan itu memiliki ikatan
113 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 99. 114 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 91. 115 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 92. 116 Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 315.
56
hydrogen lewat basanya dan perpasangan kedua utas tersebut bersifat tetap, di
mana A (adenin) berpasangan dengan T (timin) sedangkan G (guanin)
berpasangan dengan C (citosin).117 Asam nukleat tersusun atas nukleotida, yang
bila terurai terdiri dari gula, pospat dan basa yang mengandung nitrogen. Karena
banyaknya nukleotida yang menyusun molekul DNA, maka molekul DNA
merupakan suatu polinukleotida. Molekul yang menyusun DNA itu terdiri dari:118
a. Gula pentosa. Molekul gula yang menyusun DNA adalah sebuah pentosa
yaitu deoksiribosa.
b. Asam Fosfat.
c. Basa nitrogen. Basa nitrogen yang menyusun molekul DNA terdiri atas dua
tipe yang dibedakan menjadi:
1) Pirimidin, basa ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu sitosin yang
dilambangkan dengan (S) dan timin yang dilambangkan dengan (T).
2) Purin, basa ini juga dibedakan menjadi dua yaitu yang terdiri dari adenin
dilambangkan dengan (A) dan guanine yang dilambangkan dengan (G).
Dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Watson dan Crick pada
tahun 1953 menyimpulkan bahwa utas double berbentuk spiral adalah bentuk
molekul DNA secara kebanyakan merupakan deretan gula deoksiribosa dan fosfat
menyusun pita spiral dan merupakan tulang punggung dari molekul DNA.
Berdasarkan model DNA yang dikemukakan oleh Watson dan Crick, maka satu
spiral penuh atau perputaran 360° mengandung 10 basa yang mana jarak antara
satu basa dengan basa lainnya adalah 3,4 Å serta lebar molekul DNA sepanjang
double helix adalah tetap yaitu 20 Å.119
117 Wildan Yatim, Kamus Biologi…, h. 315. 118 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 96. 119 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 97.
57
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chargaff,120 dikemukakan bahwa
komposisi DNA berbeda-beda antara satu spesies dengan spesies lainnya. Dalam
DNA dari spesies apapun, jumlah DNA tidaklah sama akan tetapi hadir dalam
rasio yang khas. Melalui hidrolisis DNA bahwa pada berbagai makhluk ternyata
banyaknya adenin selalu kira-kira sama dengan banyaknya timin. Dan demikian
juga dengan sitosin dan guanin. Dengan kata lain, dari penelitian Chargaff
menyatakan bahwa perbandingan A/T dan G/C selalu mendekati satu.121 Semua
DNA dalam sel yang ada pada makhluk hidup, keberadaan antara pospat dan gula
adalah sama, namun hanya jumlah basa yang membedakan. Keberadaan DNA
berfungsi sebagai pengatur kehidupan sel dalam tubuh melalui dua proses yaitu
replikasi yang berarti penggandaan da transkripsi yang berarti mencetak.
Replikasi adalah untuk pembiakkan dan pembelahan sementara transkripsi
berguna untuk mensintesa protein.122
4. Bentuk Identifikasi DNA
Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi
seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2)
tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang
telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan
antara DNA korban dengan keluarga korban. Begitupula dengan pembuktian
kasus kejahatan pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis
dari tubuh dapat digunakan sebagai sampel tes DNA. Namun, yang umum
digunakan dalam melakukan tes DNA adalah darah, rambut, usapan mulut pada
pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Namun untuk kebutuhan forensik
yang digunakan adalah sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis
120 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 99. 121 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 101. 122 Wildan Yatim, Kamus Biologi…, h. 317.
58
apa saja yang dapat ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) untuk dijadikan
sebagai sampel untuk tes DNA.123
DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria
dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini terletak hanya pada lokasi DNA
tersebut di dalam sel, yang satu terdapat dalam mitokondria dan disebut sebagai
DNA mitokondria dan satunya terdapat dalam inti sel sehingga disebut DNA inti
sel. Sampel yang biasanya digunakan adalah DNA inti sel karena sampel DNA
inti sel tidak pernah berubah dan hasil yang diperolah lebih akurat. Sedangkan
DNA mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang
dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya.124
5. Tes DNA dalam Mengetahui Hubungan Darah dan Pewarisan Sifat
Kemiripan
Sebagaimana telah diuraikan dalam pengertian dan perkembangan
sejarah DNA, bahwa orang tua akan menurunkan sifat-sifat fisiknya kepada anak-
anaknya. Pewarisan sifat fisik ini melalui DNA yang terdapat pada orang tua,
karena DNA itu sendiri berfungsi (telah disebutkan sebelumnya) dalam pewarisan
sifat atau hereditas. Namun demikian, penggunaan tes DNA sebagai alat bukti
dalam perkara pembuktian adanya hubungan nasab merupakan sesuatu yang baru
dalam hukum Islam. Dikatakan baru karena ulama-ulama fikih terdahulu sama
sekali tidak membahas permasalahan ini, yang ada hanyalah metode al-qiyâfah
yang dilakukan oleh para ahli dalam mencari titik temu kemiripan seseorang
dengan orang lain yang dianggap memiliki keterikatan hubungan darah, hal ini
seperti telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam istilah fikih, penggunaan tes DNA sebagai metode penetapan
nasab dapat dikatakan belum pernah dilakukan. Mengingat, tes DNA ini sendiri
123 www.klipp21.com 124 www.klipp21.com
59
sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.125
Pemanfaatan teknologi DNA dalam bidang hukum dapat saja dilakukan dalam
ranah penemuan-penemuan hukum baru dalam Islam. Salah satunya dimanfaatkan
dalam menentukan nasab seseorang yang belum jelas, terhadap orang lain yang
diperkirakan memiliki hubungan nasab dengannnya.
Di Aceh, tes DNA telah masuk dalam satu regulasi atau qanun terkait
penentuan nasab anak hasil zina. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal
44 ayat (1), (2), dan ayat (3) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat, yang berbunyi:
“(1). Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,126
dalam keadaan hamil, hakim menunda pelaksanaan ‘Uqubat hingga
pemohon melahirkan dan berada dalam kondisi yang sehat. (2). Pemohon
yang menyebutkan nama pasangan zinanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42,127 yang sedang dalam keadaan hamil dapat membuktikan
tuduhannya melalui tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dari bayi yang
dilahirkannya. (3). Hasil tes DNA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
125 James Watson merupakan penemu struktur DNA pertama, yaitu pada tahun 1940. Ilmuan ini
tercatat sebagai orang pertama yang mememiliki peta genom DNA tubuhnya sendiri. Lihat dalam Ayu
Rahmah Bakrie, Sejarah Penemuan DNA, Struktur Nukleotida, Sertifikasi DNA. Artikel diakses pada tanggal
26 Desember 2017 dari: https://www.scribd.com/doc/312121901/Sejarah-Penemuan-Dna-Struktur-
Nukleotida-Sertifikasi-Dna. 126 Pasal 43 Qanun Jinayat berbunyi: (1) “Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan Pasal 42 menyebutkan nama orang yang menjadi pasangannya melakukan Zina, hakim akan
memanggil orang yang disebutkan namanya tersebut untuk diperiksa di persidangan”. (2) “Dalam hal orang
yang disebutkan namanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkal, pemohon wajib menghadirkan
paling kurang 4 (empat) orang saksi yang melihat perbuatan Zina tersebut benar telah terjadi”. (3) “Dalam hal
orang yang disebutkan namanya sebagai pasangan Zina mengakui atau pemohon dapat menghadirkan paling
kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dan pasangannya dianggap terbukti melakukan Zina”. (4) “Dalam hal
pemohon tidak dapat menghadirkan paling kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dianggap terbukti
melakukan Qadzaf. 127 Pasal 42 Qanun Jinayat berbunyi: (1) “Setiap Orang yang mengaku telah melakukan Zina di
tempat terbuka atau secara terbuka, secara lisan atau tertulis, dianggap telah melakukan permohonan untuk
dijatuhi ‘Uqubat Hudud”. (2) “Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicabut”. (3)
“Penyidik akan memeriksa orang tersebut untuk membuktikan bahwa pengakuan tersebut betul-betul telah
diberikan”. (4) “Penyidik tidak perlu mengetahui siapa yang menjadi pasangannya melakukan Zina”. (5)
“Penyidik akan mengajukan tersangka ke Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota setelah mendapat bukti
bahwa pengakuan tersebut benar telah diberikan”. (6) “Hakim akan menjatuhkan ‘Uqubat sebagaimana yang
ditetapkan dalam Pasal 33, apabila pengakuan tersebut terbukti telah diucapkan/disampaikan”. (7) “Setelah
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hakim dapat memerintahkan penahanan pemohon untuk pelaksanaan ‘Uqubat.
Berdasarkan kasus-kasus yang telah disebutkan, tes DNA dapat dijadikan
alat yang membantu dalam menetapkan nasab seseorang. Penetapan asal-usul
anak sangatlah penting, karena ada tidaknya nasab akan berpengaruh pada ada
tidaknya hubungan waris, nafkah, perwalian dan hadanah dan lain-lain. Tes DNA
sebagaimana telah disebutkan oleh para ahli tersebut, secara akurat dapat
membuktikan nasab seseorang. Penetapan nasab melalui tes DNA ini sendiri tentu
dilakukan jika ada kasus tentang penyangkalan nasab. Untuk itu, tes DNA sangat
diperlukan.
Dalam hubungannya dengan penetapan nasab, tes DNA menurut penulis
sangat relevan dengan metode al-qiyâfah, meskipun prosesnya lebih sederhana
dibandingkan dengan tes DNA yang prosesnya lebih rumit. Relevansi penetapan
nasab antara tes DNA dengan metode al-qiyâfah ini terletak pada usaha dalam
mencari sifat-sifat kemiripan antara seseorang dengan orang lain yang
dimungkinkan ada hubungan nasabnya. Untuk mengetahui sifat keserupaan dan
kemiripan ini dalam lapangan teknologi dewasa ini hanya dapat dilakukan dengan
tes DNA. Untuk itu, pada pembahasan selanjutkan akan di bahas dan ditelaah
tentang metode al-qiyâfah yang dirumuskan langsung oleh Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah dan relevansinya dengan penetapan nasab melalui tes DNA.
62
BAB III
METODE PENETAPAN NASAB MENURUT IBNU QAYYIM
AL-JAUZIYYAH DALAM KITAB AL-TURUQ AL-
HUKMIYYAH FÎ AL-SIYÂSAH AL-SYAR‘IYYAH
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan sosok ulama ahli fikih dan hadis,
mungkin kebanyakan dari kita cukup asing dengan nama beliah, bahkan ada yang
menyamakan dengan seorang ulama yang bernama Ibnu al-Jauzî, yang disebabkan
karena faktor kemiripan nama antar keduanya. Pada kenyataanya jelas berbeda,
karena nama asli Ibnu al-Jauzî adalah Abdurrahman bin ‘Alî al-Qurasyî dan wafat
pada tahun 597 H, sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Syamsuddîn Abû
Abdillah Muhammad bin Abî Bakr yang wafat pada tahun 751 H. Dalam bab III
ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan gambaran tentang
riwayat hidup Ibnu Qayyim al-Jauziyyah serta pandangannya tentang metode al-
qiyâfah dalam menetapkan nasab.
A. Profil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Secara lengkap, nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Syamsuddîn
Abû ‘Abdillah Muhammad bin Abî Bakr bin Ayyûb bin Sa‘d bin Hâris al-Zar‘î1
al-Dimasyqî al-Hanbalî al-Faqîh al-Usûlî al-Mufassir al-Nahwî al-‘Âris. Beliau
bergelar Syamsuddîn. Abû Abdillah merupakan nama panggilan akrabnya.
Namun beliau lebih popular sebagai intelektual muslim dengan nama Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah.2
1 Al-Zar‘î dinisbatkan pada nama sebuah Desa di Hauran, tepatnya di kota Syam yang sampai saat
ini masih tetap bernama desa al-Azra’. Lihat Muhammad bin Abî Bakr Ayyûb al-Zar î‘ Abû Abdillah, Al-
Fawâ’id (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1973), cetakan kedua, h. 111. 2 Problematika soal nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sering disamakan dengan seorang ulama
bernama Ibnu al-Jauzi yang disebabkan karena faktor kemiripan nama. Seringkali banyak orang yang
menyamakan antar keduanya. Padahal nama asli Ibnu al-Jauzî adalah Abdurrahman bin ‘Alî al-Qurasyî
(wafat pada tahun 597 H). Beliau adalah ulama pengikut Mazhab Hanbalî. Banyak karya yang dihasilkan dari
pemikirannya, namun dari sekian pemikiranya ada beberapa masalah yang beliau tidak mengikuti metode
yang diajarkan oleh gurunya yakni Imâm Hanbalî, karena beliau menggunakan metode ta’wîl. Hal tersebut
63
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah lahir di Damaskus pada 7 pada bulan Safar
tahun 691 H, tepatnya tanggal 29 Januari tahun 1292 M.3 Beliau adalah seorang
ahli fikih bermazhab Hanbali. Di samping itu juga seorang ahli tafsir, ahli hadis,
penghafal Al-Qur’an, ahli ilmu nahwu, usûl, ilmu kalâm, tasawwuf sekaligus
seorang mujtahid. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka bernama Syekh al-
Sâlih al-‘Âbîd al-Nâsik Abû Bakar bin Ayyûb al-Zur‘î. Ayahnya berprofesi
sebagai kepala sekolah “Al-Jauziyyah” di Damaskus (Ibu Kota Suriah) selama
beberapa periode. Kemudian ayahnya mendapat gelar khusus dari masyarakat
yakni “Qayyim al-Jauziyyah” yang berarti kepala sekolah al-Jauziyyah atau
penjaga sekolah al-Jauziyyah. Secara otomatis pasca penyematan gelar tersebut
pada ayahnya akhirnya nama popular bagi seorang Syamsuddîn adalah Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah yang berarti anak dari Qayyim al-Jauziyyah.4
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan salah seorang yang semangat dan
rajin dalam menuntut ilmu agama. Beliau banyak menuntut ilmu dari beberapa
ulama terkemuka, salah satu guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri. Beliau
berusaha meraih berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, sehingga keinginan
tersebut terwujud dengan jadinya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagai seorang yang
sangat kompeten pada setiap cabang ilmu agama.5 Beliau merupakan anak yang
mahir dalam hal ilmu yang melampaui teman-teman seperguruannya, di samping
itu beliau termasyhur di segenap penjuru dunia dan sangat dalam pengetahuannya
tentang mazhab-mazhab ulama salaf.
yang semakin memberikan cela perbedaan antara Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang dalam metodologinya
menempuh metode ulama salaf. Banyak karya Ibnu al-Jauzî yang dinisbatkan kepada Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, di antaranya adalah kitab Daf‘u Syubah al-Tasybîh bi Akkafi al-Tanzîh dan kitab Akhbâr an-Nisâ’.
Lihat Muhammad bin Abû Bakr bin Ayyûb bin Sa‘ad bin Hâris az-Zar‘î al-Damasyqî al-Hambalî. Al-Jawâb
al-Kâfi Liman Sâla ‘Ani al-Dawâ al-Syâfi aw al-Dâ’i wa al-Dawwâ’i (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah,
1417 H.), h. 8. 3 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kasyfu al-Ghitâ’ ‘an Hukmi Sama‘ al-Ghina, diterjemahkan oleh
Abû Ihsân Atsari (Jakarta: Dârul Haq, 1991), h. 16. 4 Menurut sejarah, dalam kehidupan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah seluruh anak Syekh al-Sâlih al-
‘Âbîd al-Nâsik Abû Bakar ibnu Ayyûb al-Zur‘î bergelar Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, akan tetapi di antara
anak-anaknya yang lebih terkenal dengan nama tersebut adalah Syamsuddîn. Lihat Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa‘âdah, diterjemahkan oleh. Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono (Solo: Tiga
Serangkai, 2009), h. 3. 5 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, diterjemahkan oleh Hadi Mulyo (Jakarta: Pusaka
Azzam, 1999), cetakan pertama, h. 172.
64
Di antara guru-guru Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sehingga sampai
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan adalah:
1. Abû Bakar bin Ayyûb merupakan ayahnya sendiri dimana Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah dapat menguasai banyak tentang ilmu waris (farâ’id) berkat
didikan ayahnya sendiri. Karena pada waktu itu ayahnya adalah seorang
spesialis ilmu farâ’id.
2. Imâm al-Harrân Isma‘îl bin Muhammad al-Farrâ' adalah salah satu guru
bermazhab Hanbalî di Damaskus. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memperdalam
ilmu farâ’id kepada beliau sebagai kelanjutan dari apa yang sudah diperoleh
dari ayahnya sendiri.
3. Abû al-Fattâh al-Ba‘labakî dan al-Shâffî al-Hindi. Beliau merupakan guru
dalam bidang ilmu fikih.6
4. Syekh Jamaluddin al-Mizzî. Beliau banyak menimba ilmu tafsir pada ulama
terkemuka tersebut.
5. Syekh al-Islâm Taqiyuddîn bin Taimiyah. Merupakan guru yang paling
dicintai oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Karena berkat didikan beliau Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah dapat memperdalam berbagai disiplin ilmu seperti: ilmu
tafsir, fikih, hadis, farâ’id (ilmu waris), ilmu usûl dan ilmu kalam.7
Di samping banyak guru-guru termasyhur yang telah beliau timba
ilmunya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga banyak mencetuskan murid-murid yang
terkenal, di antaranya adalah:
a. Al-Burhân bin Qayyîm. Dia adalah putra Burhanuddîn Ibrâhîm.
bagian dalil-dalil hadis yang digunakan Ibnu Qayyim. Namun, khusus untuk hadis
riwayat ‘Âisyah di atas, hanya berbicara tentang keadaan warna kulit Usâmah
yang berkulit hitam sedangkan Zaid selaku bapaknya adalah orang yang berkulit
putih.
Penetapan nasab melalui al-qiyâfah memang lebih sedarhana dibanding
dengan tes DNA. Karena dalam tes DNA, pewarisan sifat antara orang tua dan
anak dijelaskan lebih rinci. Meskipun demikian, kajian metode al-qiyâfah seperti
yang dibahas Ibnu Qayyim setidaknya masuk dalam salah satu kajian pewarisan
sifat melalui tes DNA, yaitu pewarisan sifat fisik seseorang. Keberadaan metode
al-qiyâfah dalam Islam pada hakikatnya tidak hanya diakui oleh Ibnu Qayyim
sendiri, tetapi Imâm Syâfi‘î juga mengakuinya. Dalam memperkuat pendapatnya,
Ibnu Qayyim mengutip pendapat Imâm Syâfi‘î, beliau (Imâm Syâfi‘î)
mengatakan:
Artinya: Imâm Syâfi‘i berkata, “Rasulallah menetapkan hal ini dengan
pengetahuan dan penuh kesadarannya, serta tidak mengingkarinya. Jika
hal ini (metode al-qiyâfah) dianggap sebagai sesuatu yang salah,
tentulah Beliau segera mengingkarinya”.21
Menurut Ibnu Qayyim, penetapan nasab melalui al-qiyâfah tidak
bertentangan dengan syarî‘at, jika misalnya ada cara lain yang lebih kuat untuk
menetapkan nasab.22 Oleh karena itu, metode al-qiyâfah harus benar-benar
dilakukan oleh orang yang kompeten dan memiliki persangkaan yang kuat dalam
telaahannya atas kemiripan seseorang yang diteliti nasabnya, dan pendapat ahli al-
21 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385. 22 Maksud dari tidak bertentangan dengan syari‘at Islam yaitu metode al-qiyâfah baru dapat
dilakukan ketika metode penetapan nasab lainnya tidak dapat dilakukan, salah satunya metode al-firâsy.
Karena, dalam Islam, metode al-firâsy lebih kuat dari pada metode al-qiyâfah. Sebagaimana disebutkan Ibnu
Qayyim: “Ketika al-qiyâfah tersebut bertentangan dengan hukum yang lebih kuat, yaitu dibangun atas tempat
tidur (firâsy), maka keputusan hukum tersebut mengikuti dalil yang lebih kuat”.
75
qiyâfah ini harus benar-benar valid terhadap tanda-tanda kemiripan yang diteliti.
Menurut beliau, perkataan orang yang ahli dalam al-qiyâfah lebih dapat diterima.
Lebih lanjut, penetapan nasab melalui al-qiyâfah menurut Ibnu Qayyim
lebih kuat dibandingkan dengan cara pengundian yang terjadi pada kasus-kasus
tertentu. Misalnya pada kasus yang diceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa ‘Alî
bin Abî Tâlib telah menetapkan hukum penetapan nasab melalui undian terkait
beberapa orang yang menyetubuhi seorang perempuan dan orang-orang tersebut
berselisih atas anak yang dilahirkan perempuan tersebut.23
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga tentunya mengakui tentang bolehnya
menetapkan nasab melalui pengundian, akan tetepi hal ini dilakukan ketika tidak
ada cara lain untuk dilakukan. Namun, jika metode al-qiyâfah dapat dilakukan
seperti pada kasus di atas, maka metode al-qiyâfah harus didahulukan. Hal ini
dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim sendiri dalam kitab al-Turuq al-
Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah sebagai berikut:
24
Artinya: “Undian digunakan hanya pada saat di mana tidak ditemukan faktor
lain untuk dijadikan dasar pengadilan. Telah diketahui, metode al-
qiyâfah menjadi faktor yang menguatkan bukti, baik ia berstatus sebagai
saksi, hakim, atau mufti. Undian tidak dapat digunakan selama ada al-
qiyâfah”.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa al-
qiyâfah merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seseorang dengan
orang lain yang diperkirakan memiliki keterikatan tali darah dengan orang yang
dengan budaknya, bukan karena pernikahan yang sah. Untuk itu, dalil hadis ini
juga berlaku hukum bolehnya pengakuan anak zina atas laki-laki yang
menyebabkan ia lahir berikut dengan konsekuensi pengakuan tersebut.
Selain enam riwayat hadis di atas, terdapat juga alasan normatif, yaitu
dari atsâr yang menceritakan para Sahabat Rasulallah SAW yang pernah
menggunakan al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab.35 Beberapa atsâr yang
digunakan Ibnu Qayyim untuk memperkuat pendapatnya yaitu dari ‘Umar bin al-
Khattâb36 yang berbunyi:
37
Artinya: Syu‘bah meriwayatkan dari Taubah al-‘Anbari, dari al-Sya‘bi, dari Ibnu
Umar, dia berkata: dua orang lelaki bersamaan dengan lelaki lain
melakukan hubungan dengan seorang perempuan dalam satu periode
sucinya si perempuan tersebut. Kemudian, perempuan tersebut
melahirkan anak karena hubungan tersebut. kemudian Umar mencari
ahli jejak (al-qâ’if). Orang-orang mengatakan, anak itu memiliki
kemiripan dengan kedua lelaki. Kemudian Umar menjadikan anak itu
sebagai milik mereka berdua.
Dalam kasus ini, disebutkan Umar bin al-Khattâb memanggail para ahli
al-qiyâfah, kemudian para ahli ini menyebutkan adanya kemiripan anak dengan
dua orang laki-laki tersebut. Sehingga, Umar memutuskan penetapan waris anak
kepada kedua laki-laki itu. Dalam kasus yang sama, Ali bin Abi Tâlib juga
menyatakan dalam salah satu riwayat:
35 Disebutkan atsâr secara bahasa, berarti “sisa” atau “bekas”. Sedangkan secara istilah, atsâr
adalah: ايضا يم النبما روي عن الصحابة ويجوز اطلقه على كل Artinya: “Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari
sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), cet. 7, h. 23. 36 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 578. 37 Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Tahâwî, Syarh Ma‘âni al-Atsâr, (al-Riyâd: Dâr ‘Âlim
al-Kutub, 1994), jilid keempat, h. 162.
85
Artinya: Qabûs bin Abû Zabyân meriwayatkan dari ayahnya, dari Ali bahwa ada
dua lelaki telah menggauli seorang perempuan dalam satu periode
sucinya. Lalu perempuan itu melahirkanseorang anak. Kemudian Ali
memanggil ahli pengenal jejak (al-qâ’if), lalu Ali menetapkan anak itu
sebagai anak kedua lelaki, yang mana anak itu menjadi ahli waris dari
kedua lelaki, dan kedua lelaki itu harus mewarisi kepada anak tersebut.
Berdasarkan atsâr sahabat tersebut, menjadi satu kesimpulan hukum di
mana metode al-qiyâfah juga digunakan oleh para sahabat dalam menetapkan
nasab seseorang. Dalam mengomentari riwayat atsâr ini, Ibnu Qayyim
menegaskan, ketetapan Umar bin al-Khattâb di atas tidak ada satu sahabatpun
yang menyangkalnya.39 Artinya, para sahabat memandang ketetapan ‘Umar
sebagai ketentuan hukum yang dijamin kebenarannya. Untuk itu, kasus-kasus
yang serupa dengan kasus yang diselesaikan Umar menjadi bagian pertimbangan
hukum bagi para ulama, khususnya Ibnu Qayyim dalam mengambil al-qiyâfah
sebagai salah satu cara untuk menetapkan nasab seseorang.
2. Metode Istinbât Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Menetapkan Nasab
Menggunakan metode Al-Qiyâfah
Metode istinbâṭ merupakan satu istilah untuk memaknai cara seorang
ulama untuk memahami, menggali, mencari, dan meneliti suatu hukum sehingga
pada tahap akhir dapat diproduksi suatu pendapat hukum. Dalam kitab al-Ta’rifât,
Al-Jurjani menjelaskan tentang istinbâṭ yang berbunyi:
38 Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Tahâwî, Syarh Ma‘âni al-Atsâr…, h. 164. 39 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385.
86
Artinya: “mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas (Al-Qur’ân dan Sunah)
dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal”.
Bertalian dengan pembahasan dalil-dalil di atas, nampak bahwa Ibnu
Qayyim menggali hukum al-qiyâfah berdasarkan rujukan hadis-hadis sebelumnya.
Kemudian, untuk memperkuat dalil tersebut, Ibnu Qayyim mengutip atsâr
sahabat. Namun secara khusus, metode yang tampak implisit dari cara Ibnu
Qayyim memahami masalah ini cenderung menggunakan metode ta‘lîlî, yaitu
usahanya dalam mencari ‘illat hukum atas kebenaran metode al-qiyâfah.
Metode kausasi (ta‘lîlî) merupakan bagian penting dalam penemuan
hukum syar‘i, karena metode ini merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus
yang tidak ada teks hukumnya. Di sini kemudian teks hukum yang ada diperluas
cakupannya sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks
hukumnya (nasnya). Secara definitif, metode ta‘lîlî adalah mengambil kesimpulan
hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan)
ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan
(miqyâs) bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan
analogi.
Menurut Al Yasa‘ Abû Bakar, metode penalaran ta‘lîlî merupakan
penalaran hukum dengan menggunakan ‘illat.41 Al Yasa‘ juga mengatakan bahwa
istilah penalaran ini yang dikenal dalam buku-buku Ushûl Fiqh adalah ijtihâd
qiyâsi. Menurut Analiansyah, metode penalaran ta‘lîlî yaitu metode penemuan
hukum dengan melihat pada ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam nash.42 Dari
beberapa rumusan ini, dapat dinyatakan bahwa metode ta‘lîlî adalah metode yang
40 Al-Syarîf ‘Alîbin Muhammad al-Jurjânî, Kitab at-Ta‘rifât (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1988), h. 22. 41 ‘Illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (zâhir) yang dapat diukur dan mengandung
relevansi (munâsabah) sehingga kuatnya dugaanlah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah
dan Rasul-Nya. Lihat Al-Yasa’ Abû Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya, dalam
Juhaya, “Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”, (Bandung: Rosdakarya, 1991), h. 179. 42 Analiansyah, Ushul Fiqh III, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009), h. 49
87
berkaitan dengan penggalian ‘illat atau alasan nash-nash menyebutkan hukum
suatu perbuatan.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
penalaran ta‘lîlî adalah suatu bentuk penalaran atau metode istinbâṭ hukum
seorang ulama yang cara kerjanya adalah melihat dan menelaah ‘illat hukum pada
dalil Al-Qur’ân maupun hadis yang menjadi fokus kajian. Untuk itu, dengan
mengetahui ‘illat hukum tersebut, maka dapat disimpulkan hukum-hukumnya.
Untuk melakukan istinbât hukum secara qiyâsi (ta‘lîlî), menurut
mayoritas teoretisi hukum Islam diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi,
yaitu:
a. al-asl (kasus asal): yaitu masalah pokok (maqîs ‘alaih) yaitu suatu peristiwa
yang sudah ada nashnya.
b. al-far‘u (kasus baru): yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa
itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya (maqîs).
c. al-‘illat, (kausa): yaitu suatu sifat atau keadaan yang terdapat pada peristiwa
pada kasus asal dan kasus baru.
d. al-hukm (ketentuan): yaitu kasus asal yang diperluas kepada kasus baru.43
Untuk melakukan istinbât hukum secara qiyâsi, maka ‘illat hukum
merupakan hal yang pokok dan perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama usûl
seperti al-Bazdawi berpendapat bahwa rukun qiyâs itu hanya satu, yaitu ‘illat saja.
Kemudian yang dimaksud ‘illat adalah suatu keadaan atau sifat yang
jelas, dapat diukur, dan mengandung relevansi sehingga dapat diduga secara kuat
bahwa itulah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan oleh Allah. Fazlul
Rahman memberikan istilah ‘illat hukum dengan sebutan “ratio legis”. Artinya,
ketentuan hukum yang terdapat dalam nas memiliki ratio legis atau ‘illat
43 Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, al-Mustashfa min ‘ilmi al-Usûl (Kairo:
Syirkah al-Tibâ‘ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971), h. 430-440.
88
hukumnya.44 Contohnya ialah kebolehan meng-qasâr shalat bagi musafir. Musâfir
dipandang sebagai ‘illat karena keadaannya jelas, yaitu tidak mukîm (berdomisili),
dapat diukur perjalanannya dengan jarak atau waktu dan memiliki relevansi antara
musafir dengan meng-qasar shalat, yaitu kemudahan. Kesukaran tidak bisa
dijadikan ‘illat (dalam kasus meng-qasar shalat), sebab kesukaran adalah sesuatu
yang abstrak, sulit diukur karena tingkat kesukaran seseorang sangat relatif. Bila
suatu keadaan tidak diketahui relevansinya dengan suatu ketentuan maka ia tidak
dapat dikatakan ‘illat tetapi sebab. Sebagai misal adalah tergelincirnya matahari
dengan kewajiban shalat zuhur. Tergelincirnya matahari dianggap sebagai sebab
karena ia tidak dapat diketahui relevansinya. Penggunaan dasar ‘illat sebagai
dasar ijtihâd diterima oleh hampir semua ulama ushul.45
Fokus terhadap kajian metode ta‘lîlî yaitu penemuan ‘illat hukum pada
satu permasalahan. Amir Syarifuddin telah meringkas beberapa syarat-syarat ‘illat
ke dalam empat butir berikut ini:
1) ‘illat itu merupakan sifat nyata, yang bisa dijangkau panca indera secara lahir.
2) ‘illat itu merupakan sifat yang pasti atau tertentu dan terbatas.
3) ‘illat itu harus ada sifat yang sesuai, yaitu adanya dasar asumsi dalam
mewujudkan hikmah hukum. Artinya, harus diwujudkan dengan tujuan
pembuat hukum dalam kaitannya dengan hukum yang dibentuk, apakah
membawa maslahat ataukah tidak.
4) ‘illat tidak boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau
mengubah hukum dari nas.46
44 Istilah “rasio legis” dipakai untuk padanan kata “‘illat”. Dikatakannya bahwa “rasio legis atau
‘illat hukum jika dijelaskan secara eksplisit (dalam Al-Qur’ân dan Hadis), maka maqâsid syarî‘ah ditetapkan
berdasarkan ‘illat itu. Jadi, ‘illat merupakan suatu sifat yang mempu mengantarkan akal untuk mengetahui
tujuan hukum. Lihat Ghufron A. Mas‘adi, Pemikiran Fazlul Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 157. 45 Mustafa Syalabi, Ta‘lîl al-Ahkâm (Beirut : Dar an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 14-34. 46 Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), jilid ketiga, h.
198.
89
Kaitannya dengan metode istinbâṭ yang digunakan Ibnu Qayyim, secara
implisit lebih condong menggunakan penalaran ta‘lîlî. Metode penalaran ta‘lîlî ini
dimaksudkan untuk menetapkan bahwa al-qiyâfah memang menjadi bagian
penetapan nasab yang diakui dalam syarî‘at Islam. Metode penalaran ta‘lîlî ini
terlihat pada analisa Ibnu Qayyim atas riwayat hadis dari ‘Âisyah. “Rasa senang”
Rasulullah SAW atas pakar telematika (al-qiyâfah) seperti tersebut dalam hadis
menjadi ‘illat (ratio legis) atau alasan diakuinya metode al-qiyâfah dalam
menetapkan nasab.47
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim memang tidak menyebutkan metodenya,
bahkan tidak menyatakan “rasa senang Rasulullah SAW” sebagai ‘illat hukum.
Tetapi, Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa “rasa senang” dalam hadis ‘Âisyah
tersebut, menjadi indikasi dan dugaan kuat atas dibenarkannya al-qiyâfah sebagai
metode penetapan nasab. Hal ini dapat dipahami dari penyataan Ibnu Qayyim
dalam mengomentari hadis ‘Âisyah, ia mengatakan dalam kitab Zâd al-Ma‘âd fî
Hadyî Khair al-‘Ibâd yang berbunyi:
48
Artinya: “Dalam hadis ini, Rasulallah SAW terlihat senang dengan pernyataan
para pakar telematika (al-qiyâfah). Sekiranya masalahnya seperti yang
dikatakan para penentang mengenai kebiasaan kaum jahiliyah yang
mempergunakan jasa para dukun dan profesi sejenisnya, tentu Beliau
(Rasulallah SAW) tidak merasa gembira kerenanya dan tidak kagum,
dan tentu kedudukannya disamakan dengan para dukun. Padahal dalam
salah satu hadis sahîh disebutkan bahwa Rasulallah SAW memberikan
ancaman bagi orang yang mempercayai dukun”.
47 Penyebutan istilah “rasa senang” dengan kutipan “miring”, penulis maksudkan sebagai ‘illat
berbasis-teknologi-al-qiyafah-oleh-dr-h-bahruddin-muhammad-sh-mh-101. 12 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Apabila dilihat dari segi macamnya alat bukti, maka tes DNA dapat
diqiyaskan13 dalam alat bukti qarînah yang diberikan oleh saksi ahli (dokter ahli
forensik). Dalam al-Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, sebagaimana dikutip olah
T.M. Hasbi Al-Siddîqi14 sebagaimana dikutip oleh Taufiqul Hulam, qarînah
diartikan dengan “tanda-tanda yang menimbulkan keyakinan”. Qarînah terbagi
dua, yaitu:15
1. Qarînah ‘urfiyah, yaitu kesimpulan-kesimpulan yang ditanggapi hakim dari
suatu peristiwa yang terkenal untuk suatu peristiwa yang tidak terkenal.
2. Qarînah syar‘iyyah, yaitu qarînah yang dikeluarkan (ditanggapi) syara‘ dari
peristiwa yang terkenal untuk suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Meskipun qarînah merupakan alat bukti, namun tidak semua qarînah
dapat dijadikan sebagai alat bukti, menurut Roihan A. Rasyid sebagaimana
dikutip oleh Taufiqul Hulam, kriteria qarînah yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti, yaitu qarînah itu harus jelas dan meyakinkan, tidak dibantah lagi oleh
manusia normal atau berakal. Perlunya pembuktian dengan mengajukan alat-alat
bukti yang otentik sebagai langkah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
dengan tetap berpegang teguh pada kaidah:
16
Artinya: “Hukuman-hukuman hadd itu bisa gugur karena syubhat”
Berdasarkan kaidah tersebut seorang hakim tidak diperbolehkan
menjatuhkan vonis bila belum mendapatkan bukti yang jelas dan otentik yang
menunjukkan bahwa kasus itu merupakan pelanggaran hukum. Bukti yang otentik
13 Qiyas adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nash (ketentuan) dalam al-Qur’an dan
Hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. 14 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 16. 15 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 17. 16 Jalâl al-Dîn Abdurrahmân bin Abî Bakr al-Suyûti, al-Asybâh wa An-Nadza’ir Fi Qowâ‘ida Wa
18 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 8. 19 Qiyâs Musâwi ialah suatu qiyâs yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum
yang disamakan mulhaq nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulhaqbih. Lihat Mukhtar
Yahya & Fachrurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Al- Ma‘ârif, 1993), h. 98.
105
“Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal kearah
peristiwa yang tidak terkenal.” Dalam Pasal 164 butir (3) HIR
menyebutkan: “Maka yang disebut alat bukti, (3) persangkaan-
persangkaan.” Berdasarkan Pasal 1915 KUHPerdata jo 164 butir (3) HIR,
persangkaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu persangkaan berdasarkan
undang-undang dan persangkaan berdasarkan keyakinan hakim.
Persangkaan menurut undang-undang tercantum dalam Pasal
1916 KUHPerdata. Dalam pasal ini persangkaan didefinisikan persangkaan-
persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu
ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Persangkaan-persangkaan semacam itu
diantaranya adalah:
a) Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan
keadaanya dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan
undang-undang.
b) Peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna
menetapkan hak kepemilikan atau pembebasan harta.
c) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim yang
telah berkekuatan mutlak.
d) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau
sumpah oleh salah satu pihak.
Adapun persangkaan yang berdasarkan keyakinan hakim ditentukan
dalam Pasal 1922 KUHPerdata jo 173 HIR yang menyebutkan: “Persangkaan-
persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang diserahkan kepada
pertimbangan dan kewaspadaan hakim, yang namun itu tidak boleh
memperhatikan persangkaa-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan
tertentu, dan sesuai satu sama lain,. Persangkaan-persangkaan yang demikian
hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan
pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan
106
terhadap suatu perbuatan atau suatu fakta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk
atau penipuan.” Berdasarkan pasal ini, dapat diketahui bahwa alat bukti
persangkaan/petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena hakim
dalam mengambil kesimpulan haruslah menghubungkan dan menyesuaikan
dengan alat bukti lainnya.
Oleh karena itu alat bukti tes DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang melandasi keyakinan hakim, karena alat bukti tes DNA berisikan informasi
genetika keturunan yang dapat membuktikan hubungan nasab antara seorang anak
dengan ayahnya, sehingga petunjuk-petunjuk ini membawa pada satu titik
kesimpulan yang meyakinkan hakim.
Aplikasi alat bukti tes DNA dalam hal pembuktian pernah dipraktikkan
dalam kasus pembuktian status keturunan terhadap anak yang dilahirkan oleh
seorang model Rusia Angela Ermakova atas hubungannya dengan Boris Becker
(mantan petenis dunia). Dalam kasus ini Boris Becker mengelak bahwa anak yang
dilahirkan Angela Ermakova adalah anaknya. Ternyata setelah dilakukannya
pembuktian melalui tes DNA ternyata hasilnya positif bahwa anak tersebut
merupakan hasil dari hubungan gelap antara Boris Becker dengan Angela
Ermakova.20
Oleh karena itu apabila seorang ayah melakukan pengingkaran terhadap
anak yang dilahirkan oleh istrinya, pembuktian tes DNA dapat dijadikan sebagai
alat bukti otentik yang berupa alat bukti qarinah urfiyah yang tidak bertentangan
dengan ajaran hukum Islam.
20 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif…, h. 81.
107
3. Penggunaan Tes DNA Sebagai Alat Bukti Zina dalam Qanun Jinayah
Penggunaan tes DNA sebagai alat bukti zina dalam Qanun Jinayah hanya
berlaku bagi seorang perempuan yang mengaku berzina dan hamil karena
perzinaannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan tuduhan terhadap pasangan
zina tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi, maka tes DNA akan digunakan
sebagai alat bukti pengganti empat orang saksi tersebut. Keterangan eksplisit
ketentuan qanun dalam masalah ini dimuat dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan ayat
(4).
Ayat (1): Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dalam keadaan hamil, hakim menunda pelaksanaan ‘Uqubat hingga
pemohon melahirkan dan berada dalam kondisi yang sehat. Ayat (2):
Pemohon yang menyebutkan nama pasangan Zinanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 yang sedang dalam keadaan hamil dapat
membuktikan tuduhannya melalui tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)
dari bayi yang dilahirkannya. Ayat (3): Hasil tes DNA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggantikan kewajiban pemohon untuk
menghadirkan 4 (empat) orang saksi.
Ketentuan Pasal 44 ini secara khusus diarahkan pada pembuktian
perzinaan melalui tes DNA terhadap seorang wanita hamil yang menyebutkan
nama pasangan zinanya. Jadi, perintah tes DNA tersebut hanya berlaku untuk
pembuktian bagi pemohon yang statusnya sebagai pelaku zina, dan tidak bisa
diterapkan bagi orang lain yang menuduh zina.
Pembentukan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayah tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu
masyarakat Aceh menginginkan adanya aturan yang jelas dan konstitusional
tentang penegakan hukum, sebagai tindak lanjut dari keistimewaan yang diberikan
oleh pemerintah pusat dalam menegakkan syari’at Islam khususnya di bidang
penegakan hukum, terakhir sebagai representasi dari amanah Pasal 125 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahah Aceh.
108
4. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tes DNA sebagai Alat Bukti Pengganti
Empat Orang Saksi
Sedangkan dalam hukum Islam, ulama sepakat bahwa pembuktian
jarimah zina dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu pengakuan (iqrâr) dan
persaksian (syahâdah).21 Sementara untuk alat bukti lainnya, seperti qarînah
masih diperdebatkan oleh kalangan ulama, kecuali menurut Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah. Beliau mengatakan bahwa qarînah sebagai alat bukti zina. Status atau
kedudukan tes DNA dalam pembuktian masuk sebagai bukti pendukung. Samîr
‘Âliyah menyebutkan bukti pendukung dalam kasus perzinaan bisa dengan
melihat kelahiran anak kurang dari masa enam bulan kehamilan, atau dengan
adanya kehamilan wanita yang tidak bersuami.22 Demikian halnya dengan tes
DNA, dalam kondisi ini ia mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti
pendukung lainnya. Tes DNA bisa digunakan untuk mendukung alat bukti lainnya
yang kurang sempurna.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tes DNA dalam
hukum Islam termasuk dalam jenis alat bukti pendukung dan tambahan seperti
halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar batas minimal kehamilan. Alat bukti
pendukung dan tambahan seperti hasil tes DNA tidak bisa menggantikan empat
orang saksi, sebab tes DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan
Hadis serta pendapat para ulama.
Adapun penilaian yang menyatakan bahwa hasil tes DNA itu tidak dapat
dijamin validitasnya karena kualitas/jenis darah dan pewarisan karakteristik
sangat beragam (fasâ’il al-dam wa al-‘awâmil al-waratsiyyah tatakarrar),
21 Abd al-Raḥman al-Jazîri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Mażâhib al-Arba‘ah…, h. 57. 22 Samîr ‘Âliyah, Niẓām al-Daulah wa al-Qaḍā wa al-‘Urf fī al-Islâm, Sistem Pemerintahan,
Peradilan, dan Adat dalam Islam, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004),
h. 464.
109
Haq.23 Dalam hal ini penulis memandang bahwa jawaban itu merupakan objek
kajian/spesialiasis DNA, yang dibangun berdasarkan eksperimen tertentu
sehingga menjadi sebuah teori yang teruji kebenarannya.
Dengan melihat pernyataan tersebut, penulis memandang bahwa
pernyataan itu termasuk dalam ketegori DNA mitokondria yang termasuk dalam
garis keturunan ibu. Tetapi apabila DNA tersebut dari inti sel (garis keturunan
bapak) maka akan sulit untuk berubah, karena DNA merupakan senyawan kimia
yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam
keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
C. Relevansi antara Metode al-Qiyâfah dengan Tes DNA
Pembahasan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pada pembahasan
sebelumnya, yaitu tentang pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang al-qiyâfah.
Karena, untuk mengetahui relevan atau tidaknya pendapat Ibnu Qayyim, harus
dicermati terlebih dahulu tentang DNA dan pengaruhnya terhadap pewarisan sifat,
tentunya disertai tentang pendapat Ibnu Qayyim mengenai al-qiyâfah tersebut.
Untuk mengawali pembasahan ini, sangat penting dijelaskan dengan
mengutip pendapat ‘Abdul Fattâh Mahmûd Idrîs, yang mengatakan bahwa secara
umum ada sifat-sifat dan rupa fisik yang diwariskan sebuah generasi keluarga
terhadap generasi berikutnya, baik dari bapak dan ibu langsung, maupun dari
kakek dan nenek. Seperti warna kulit tubuh, raut wajah, warna mata, bentuk
rambut, bentuk jari tangan dan kaki, serta tinggi dan pendek postur tubuh.24
Azhâr al-Syarîf al-Amânah al-‘Âmةah li al-Lajnah al-‘Ulya li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1414 H), h. 335-371. 24 Abdul Fattah Mahmud Idris, Fiqih al-Bunûk al-Islâmiyyah, diterjemahkan oleh Addys Aldizar,
(Jakaarta: Pusataka Dinamika, 2014), h. 134.
110
Oleh karena itu, penciptaan ciri-ciri sifat dan bentuk tubuh manusia yang
dapat diteruskan kepada anak turunannya tidak dapat dilepaskan dari keagungan
Allah SWT dalam menciptakan makhluknya. Melalui perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini, penciptaan manusia terkait
dengan ciri-siri tersebut telah mampu dianalisa melalui metode tes DNA. Telah
disebutkan bahwa metode ini berfungsi sebagai informasi pewarisan sifat yang
ada pada orang tua kepada anaknya, baik sifat tersebut dalam bentuk fisik,
maupun dalam bentuk pewarisan sifat seksualitas, atau jenis kelaminnya.
Dahulu, memang belum ada metode tes DNA untuk mengetahui ciri-ciri
seseorang. Namun, jauh sebelum dikenalnya tes DNA, masyarakat Islam telah
mengenal metode penetapan nasab melalui pengetahuan akan ciri dan kemiripan
antara seorang anak dengan orang tuanya, atau disebut dengan metode al-qiyâfah.
Penetapan nasab melalui metode al-qiyâfah memang cukup sederhana, yaitu
sekedar melihat dan menelaah kemiripan seorang anak yang belum jelas nasabnya
sehingga dapat ditentukan nasabnya dengan orang yang diduga memiliki
keterikatan nasab dengannya melalui kemiripan tadi.
Meskipun sangat sederhana, namun metode al-qiyâfah ini hanya bisa
dilakukan oleh ahlinya (al-qâif), yang sanggup meneliti sisi kemiripan, hingga
mendapat dugaan kuat dan bukti yang valid bahwa anak yang diteliti tersebut
memang benar-benar mempunyai kesamaan bentuk fisik dengan orang yang
diduga kuat memiliki keterikatan nasab. Maka dari itu, nampaknya dari sisi inilah
yang relevan antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA.
Adapun terkait dengan permasalahan ini dapat dinyatakan bahwa
pendapat Ibnu Qayyim tentang al-qiyâfah sangat relevan dengan tes DNA dalam
membuktikan nasab seseorang. Relevansi pendapat Ibnu Qayyim ini dapat dilihat
dari dua sudut pandang sebagai berikut:
Pertama, metode al-qiyâfah yang dimaksud oleh Ibnu Qayyim yaitu
seputar kemiripan bentuk fisik seorang anak dengan orang yang dianggap sebagai
111
orang tuanya. Sifat-sifat yang mirip ini bisa dalam bentuk postur tubuh anak,
bentuk rambut, warna mata dan warna kulit. Demikian juga dalam tes DNA,
bahwa gen orang tua akan dikirim dan dilanjutkan kepada anak-anaknya, sehingga
dapat dipastikan sifat-sifat fisik orang tua diwariskan kepada anak-anaknya
tersebut.
Kedua, relevansi pendapat Ibnu Qayyim tentang al-qiyâfah dengan tes
DNA yaitu terletak pada orang yang meneliti sisi kemiripan (al-qâif) dan orang
yang ahli dalam tes DNA. Menurut Ibnu Qayyim, untuk menetapkan nasab
melalui al-qiyâfah, harus dilakukan oleh orang-orang tertentu, yang pastinya
mempunyai kapasitas keilmuan dan mampu meneliti sisi-sisi kemiripan orang
yang diteliti, sehingga hasil dari penelitian tersebut benar-benar mendapatkan
bukti yang valid, bahkan Rasulullah SAW dan sahabatnya mengutus ahli qiyâfah
dalam menetapkan nasab sebagaimana keterangan hadis-hadis yang sudah
disebutkan. Demikian juga dalam tes DNA, tentu dilakukan oleh para pakar dan
ahli di bidang Genetika (Dokter Spesialis DNA). Maka dari itu, antara al-qiyâfah
dan tes DNA tidak sembarang orang yang mampu melakukannya.
Meskipun pendapat Ibnu Qayyim ini terdapat relevansi dengan tes DNA
dalam pembuktian nasab, akan tetapi secara khusus metode tes DNA untuk
perkembangan teknologi sekarang ini, mampu dan dapat dipastikan hasilnya
terukur dan lebih valid. Bahkan, tes DNA ini tidak hanya digunakan dalam
lapangan hukum perdata saja, tetapi juga mampu mewadahi segala hukum yang
dimungkinkan tes DNA masuk di dalamnya. Salah satunya dalam
mengidentifikasi pelaku kejahatan. Maka dari itu, penulis dapat menyimpulkan
bahwa tes DNA merupakan bentuk perkembangan penetapan nasab yang pada
zaman dahulu hanya dilakukan dengan metode al-qiyâfah.
112
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan serta analisis mengenai pendapat Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-
Syar‘iyyah tentang al-qiyâfah dan tes DNA sebagai metode dalam penetapan
nasab yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, diantanranya:
1. Jumhur ulama sepakat bahwa metode penetapan nasab seseorang terhadap
orang lain dalam Islam itu ada tiga, yaitu: perkawinan yang sah, pernikahan
fâsid, dan melalui hubungan syubhat. Selain itu ada beberapa metode lainnya
yang tidak disepakati oleh ulama, seperti al-qiyâfah pembuktian, iqrâr bi al-
nasab, dan undian. Al-qiyâfah adalah cara penetapan nasab dengan
menggunakan kemiripan. Kemiripan yang dimaksud seperti muka, anggota
tubuh, warna kulit, bentuk rambut dan lainnya.
2. Metode istinbâṯ yang digunakan Ibnu Qayyim dalam menetapkan al-qiyâfah
yaitu melalui metode penelaran ta‘lîli, yaitu suatu bentuk penalaran (metode
istinbât) hukum seorang ulama yang cara kerjanya dengan melihat dan
menelaah ‘illat hukum pada dalil Al-Qur’ân maupun hadis yang menjadi
fokus kajian. Ibnu Qayyim juga memandang “rasa senang” Rasulullah SAW
terhadap para pakar al-qiyâfah sebagai alasan (‘illat hukum) dilegalkannya
al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab. Selain itu, ‘illat hukum lainnya
yaitu sifat fisik orang tua secara pasti diturunkan kepada anak-anaknya.
3. Relevansi pendapat Ibnu Qayyim dengan tes DNA ini dilihat dari dua sudut
pandang. Pertama, kajian tentang al-qiyâfah berkisar tentang kemiripan
113
bentuk fisik yang diwarisi oleh orang tua terhadap anak, seperti bentuk postur
tubuh anak, bentuk rambut, warna mata dan warna kulit. Tes DNA juga
mengkaji tentang pewarisan sifat-sifat fisik orang tua terhadap keturunannya.
Kedua, penelitian nasab melalui al-qiyâfah harus dilakukan oleh orang-orang
yang ahli, mempunyai kapasitas keilmuan dan mampu meneliti sisi-sisi
kemiripan, sehingga mendapatkan bukti yang valid. Penelitian nasab melalui
tes DNA juga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ahli di bidang
genetika (dokter spesialis). Adapun perbedaanya adalah, al-qiyâfah dilakukan
dengan melihat dan perasaan, sedangkan tes DNA dilakukan dengan alat
teknologi seperti laboratorium dan lain sebagainya.
B. Saran
Atas apa yang telah diuraikan dari keterangan dalam penelitiam ini,
penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagaimana berikut:
1. Kepada Hakim agar dalam memutus perkara nasab anak, hakim lebih bijak
menggunakan dalil-dalil hukum dan lebih teliti dalam penulisan redaksi
putusan.
2. Kepada para tokoh agama agar memberikan nasihat dan pendalaman agama
kepada masyarakat, sehingga masyarakat terhindar dari perbuatan yang
melanggar norma agama (zina), karena anak yang lahir akibat perzinaan sama
sekali tidak bisa memperoleh hak nasab kepada ayah kandungnya. Anak zina
secara yuridis selamanya tidak akan pernah mempunyai ayah kandung yang
sah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama fikih.
114
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an