Page 1
1
Laporan Praktikum Meteorologi Satelit
Modul 3
“Satelit Cloudsat”
Disusun Oleh :
Yetty Prabawatie 12812007
Bobby M. Zaky Slamet 12812014
Fikri Rozi 12812031
Indah Oktalia Diarosa 12812036
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
Institut Teknologi Bandung
2015
Page 2
2
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hujan deras biasanya disebabkan oleh adanya awan cumulunimbus atau awan hujan
yang berbentuk seperti bunga kol dan berwarna gelap/hitam pekat. Akibat lain dari adanya awan
jenis ini yaitu dapat menimbulkan angin kencang, petir berdurasi singkat dan juga sebagai salah
satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim.
Menurut ketentuan BMKG cuaca ekstrim yaitu kejadian cuaca yang tidak normak yang
dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta.Akibat dari cuaca ekstrim
yang sering dijumpai di Indonesia adalah banjir.
Kejadian hujan ekstrim di Desa Bori, Halmahera Selatan(Lat 1.379, Lon 127.956) terjadi
pada hari Senin malam (1/7/2013).Hal ini menyebabkan Desa Bori dilanda banjir bandang
menyusul hujan deras mengguyur daerah itu yang mengakibatkan ratusan rumah warga rusak
berat dan ringan.(http://issuu.com/malutpost/docs/malut_post__03_juli_2013/3).
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh profil vertikal di elevasi 0-2400 m terhadap aktivitas konveksi
2. Mengetahui pengaruh nilai rata-rata reflektivitas pada periode aktif (DJF) dan pasif
(JJA) terhadap aktivitas konveksi.dan tutupan awan.
Page 3
3
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Iklim Indonesia
Sistem iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya sirkulasi monsun Asia-Australia.
Monsun Asia yang datang dari barat Indonesia pada sekitar bulan Desember, Januari, dan
Februari, membawa banyak uap air yang menyebabkan tingginya aktivitas konveksi di wilayah
Indonesia sehingga memicu terjadinya musim hujan. Sebaliknya, monsun Australia yang terjadi
di sekitar bulan Juli membawa banyak udara kering yang menimbulkan terjadinya musim kering
di Indonesia. (Pope, 2010)
Di dalam monsun ini sendiri, terdapat beberapa fase yang biasanya dicirikan dengan berubahnya
intensitas curah hujan. Fase dengan intensitas curah hujan yang tinggi disebut dengan monsun
aktif. Sebaliknya, fase yang dicirikan dengan terjadinya “kekeringan kecil” dengan intensitas
curah hujan rendah disebut monsun break (Hermawanto, 2011). Di monsun India, monsun break
telah dikenal sejak lama sebagai suatu periode dimana intensitas curah hujan di wilayah monsun
India mengalami gangguan. Break didefiniskan sebagai periode lemah di dalam variasi
intramusiman dari monsun yang terjadi di setiap tahunnya (Gadgil dan Joseph, 2003).
Salah satu aspek yang perlu dikaji dalam kaitan dengan perbedaan antara monsun aktif dan break
adalah struktur vertikal awan konvektif. Penelitian tentang Monsun Australia-
Indonesia telah dilakukan oleh Dr. Mick Pope dari Australian Bureau of Meteorology (BoM)
dengan menggunakan data milimeter cloud radar, polarimetric radar, dan Gunn Point radar di
Darwin, Australia. Sementara itu, sejak tahun 2006 telah dioperasikan satelit Cloudsat yang
membawa sensor Cloud Prifiling Radar (CPR) yang didisain untuk mengukur struktur vertikal
awan.
Page 4
4
2.2 Monsoon
Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam
setahun. Umumnya pada setengah tahun pertama bertiup angin darat yang kering dan setengah
tahun berikutnya bertiup angin laut yang basah. Pada bulan Oktober – April, matahari berada
pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan
matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi)
sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini
menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini
merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di
belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi
musim penghujan. Musim penghujan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, hanya
saja persebarannya tidak merata. Makin ke Timur curah hujan makin berkurang karena
kandungan uap airnya makin sedikit.
Dua ciri utama daripada iklim Monsun, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah
(wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode Desember,
Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Pada tahun 1686, Edmund Halley
mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan
dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang, 1984).
Kriteria untuk area Monsun berdasarkan sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai
berikut:
- Angin yang dominan pada periode bulan Januari dan Juli memiliki perbedaan arah
sedikitnya 1200
- Frekuensi rata-rata angin dominan pada bulan Januari dan Juli melebihi 40%
- Rata-rata kecepatan resultan angin pada salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli)
melebihi 10 m/s
Chang (1984) menyatakan angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek
thermal, dan bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt. Ramage
(1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin
Page 5
5
Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the
South Asian Summer Monsun). Pada musim dingin, massa udara mengalir dari pusat tekanan
tinggi ke pusat tekanan rendah ke arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang.
Massa udara yang kearah tenggara mengalami konvergensi di Laut Cina selatan dengan massa
udara timur laut dari Samudra Pasifik. Kemudian dua massa udara (massa udara yang mengalami
konvergensi massa udara yang ke arah Selatan) bergabung menuju Tenggara dan membentuk
Monsun Timur Laut dan selanjutnya berubah menjadi baratan di Indonesia (setelah melewati
ekuator).
Pada musim panas, pusat tekanan rendah berada di sebelah timur laut India, tetapi Monsun mulai
berkembang di Cina Selatan, kemudian ke Birma dan beberapa bulan kemudian berkembang di
India (Barry dan Chorley, dalam Nieuwolt, 1977).
Ada tiga sumber massa udara selama berlangsungnya Monsun pada musim panas. Sumber massa
udara yang pertama berasal dari Samudra Hindia di selatan ekuator. Massa udara ini bersifat
lembab, hangat dan tidak stabil yang mengalami konvergensi setelah mendekati ekuator. Sumber
massa udara yang kedua adalah tekanan tinggi di Australia. Massa udara ini bersifat stabil dan
kering dan kondisi ini berlangsung sampai di Tenggara Indonesia dan lebih barat lagi, massa
udara ini menjadi bersifat lembab dan tidak stabil. Massa udara ketiga berasal dari Samudra
Pasifik yang bersifat lembab, hangat dan relatif stabil. Namun setelah melewati samudra hangat
massa udara tersebut menjadi tidak stabil.
Asia Timur dan Asia sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling
berkembang. Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang
dengan baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia
Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan tinggi Tibet
terhadap aliran udara (Prawirowardoyo,1996). Trewartha (1995) mengemukakan massa daratan
yang sangat luas di benua Asia memperhebat perbedaan yang timbul dari selisih pemanasan dan
pendinginan antara daratan dan lautan. Lebih jauh, Asia yang membentang dari Timur-barat pada
kisaran lebar dari garis bujur di hemisfer Utara, sedangkan di hemisfer Selatan terutama adalah
samudera di Selatan Equator. Akibatnya bagian terbesar dari perbedaan pemanasan yang
menyebabakan sirkulasi Monsun, meliputi juga perbedaan utara-selatan, jadi memperkuat
pergeseran normal menurut garis lintang dari sistem-sistem angin utama. Karena adanya deretan
Page 6
6
pegunungan yang sangat tinggi di Asia yang terentang arah Timur-Barat yaitu arah Timur Laut
Kaspia ke China, sirkulasi meridional udara sangat terhambat. Hal ini membuat perbedaan
musiman dalam temperatur dan tekanan yang lebih dramatis lagi. Selama musim dingin massa
daratan disebelah utara pegunungan itu menjadi demikian dingin hingga menghasilkan sistem
tekanan tinggi yang kuat di atas Asia Timur Laut dan suatu aliran keluar udara dingin yang
cukup menonjol dari Asia Timur (Trewartha, 1995). Di lain pihak, pemanasan intensif musim
panas atas daratan subtropis yang terletak di sebelah selatannya deretan pegunungan itu,
melahirkan suatu kawasan tekanan rendah dan suatu aliran inflow udara hangat yang kuat dan
lembab ke Asia Selatan. Pada musim dingin di belahan bumi utara (BBU), yaitu pda bulan
Desember, Januari, dan februari angin Monsun bertiup dari Siberia menuju ke benua Australia.
Pada periode ini daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, jawa, Bali,
Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin Monsun bertiup dari barat ke timur. Pola aliran
udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki di bulan Januari merupakan bulan maksimum dari
musim dingin di belahan bumi utara (BBU). Oleh sebab itu daerah ini dinamakan Monsun Barat
dan musimnya disebut Musim Monsun Barat, sedangkan di daerah yang mencakup sebagian
besar Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin Monsun datang dari arah Timur Laut. Oleh
karena itu, angin Monsun dai daerah ini disebut Monsun Timur Laut dan Musimnya disebut
Musim Monsun Timur Laut. Pada musim panas di belahan bumi utara (BBU), terjadi sebaliknya
angin Monsun berhembus dari benua Australia menuju ke Asia. Oleh karena itu disebut Monsun
Timur dan musimnya dinamakan Musim Monsun Timur, sedangkan di daerah yang melingkupi
bagian Sumatera lainnya dari Kalimantan Barat angin Monsun bertiup dari arah barat daya ke
timur laut sehingga angin Monsun ini disebut Monsun Barat Daya dan musimnya disebut Musim
Monsun Barat Daya. Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki pada bulan
maksimum musim padan di belahan bumi utara (BBU) yaitu bulan Juli (Prawirowardoyo,1996).
Page 7
7
2.3 Pola Curah Hujan di Indonesia
BMG Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia
dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu :
Sumber : https://kadarsah.files.wordpress.com/2008/04/pola-curah-hujan-bmg1.jpg
1. Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe
curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim
kemarau).
2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan
dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria
musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua
puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi
ekinoks.
3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola
monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi
bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun.
Gambar 1 Pola Curah Hujan di Indonesia
Page 8
8
Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan
yang berlebih pada saat monsun barat (DJF) dibanding saat monsun timur (JJA).P Pengaruh
monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi
pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang
lebih dipengaruhi oleh efek orografi.
2.4 Satelit Cloudsat
Cloudsat merupakan satelit observasi Bumi NASA yang diluncurkan pada 28 April 2006 yang
tergabung dalam NASA ESSP (Earth Science System Pathfinder) misson. Satelit ini merupakan
satelit yang bergerak sun-synchronous dengan orbit mendekati polar di 705 km di atas
permukaan bumi dan berada di atas ekuator di sekitar pukul 0130 dan 1330 LT. Clousat
mengudara dalam formasi A-Train bersama beberapa satelit lainnya (Aqua, Aura, CALIPSO, &
PARASOL).
Misi dari Cloudsat :
• Menentukan struktur vertical awan dan mengukur kadar es dan air yang terkandung
• Meningkatkan kualitas prediksi cuaca dan memperjelas proses iklim.
• Meneliti pengaruh aerool terhadap awan dan presipitasi.
• Meneliti penggunaan radar 94 GHz untuk mengamati dan mengukur curah hujan, dalam
konteks sifat awan, dari ruang angkasa.
Satelit CloudSat adalah satelit yang dilengkapi dengan instrumen nadir-pointing, Cloud
Profiling Radar (CPR) 94GHz, yang mampu mendeteksi struktur vertikal awan karena
kesensitifannya terhadap ukuran partikel tetes awan dan hujan (Luo et al. 2008). Satelit ini
menghasilkan beberapa produk data yang berbeda-beda kegunaannya, yaitu produk data standar
dan auxiliary (CloudSat Standard Data Products Handbook, 2008).
Page 9
9
Produk data standar meliputi :
Produk data auxiliary meliputi :
Gambar di bawah ini menunjukkan granule yang dihasilkan satelit CloudSat beserta ukurannya.
Granule menunjukkan keberadaan aktivitas konveksi di bawah lintasan yang dilalui satelit.
Setiap profil memiliki 125 bins vertikal yang mewakili ketinggian sekitar 30 km, dan lebar
sekitar 1.1 km. Satu granule sama dengan satu orbit data. Dalam satu hari biasanya akan
dihasilkan 14 granule data.
Page 10
10
Contoh nama file yang dikeluarkan Cloudsat :
2008354173616_14073_CS_2B-GEOPROF_GRANULE_P_R04_E02.hdf
YYYYDDDHHMMSS :Year, Julian day (merupakan metode perhitungan kalender
dengan cara melanjutkan hitungan hari dimulai dari hari
pertama hingga hari terakhir dalam 1 tahun), hour, minute,
second of the first data contained in the file (UTC)
NNNNN :Granule number
CS :Literal "CS" indicating the CloudSat mission
2B-TAU :Product name
GRANULE :Indicates the data subset ("GRANULE" if the data are not
subset)
S :Data Set identifier ("P" for production release)
RVV :Release number
VV :Epoch number
.hdf :HDF-EOS file suffix
Pada modul ini mencoba memanfaatkan data Cloudsat untuk melihat karakteristik vertikal awan
konvektif di wilayah monsun Indonesia. Diharapkan dapat memperjelas definisi aktif dan break,
yaitu dengan melihat bagaimana karakteristik vertikal awan konvektifnya, karena awan
konvektif inilah yang paling mempengaruhi terjadinya hujan.
Page 11
11
BAB III
Data dan Metodologi
3.1 Data
Data yang digunakan dalam analisis ini yaitu :
1. Salah satu produk data dari satelit Cloudsat, yaitu 2B Geometrical Profile
(GEOPROF), Data Citra satelit Cloudsat pada bulan Desember 2009, Januari dan
Februari 2010 (DJF) serta bulan Juni, Juli, Agustus tahun 2010 (JJA). Setiap
harinya diambil 3 data pada jam 06.00 UTC, 16.00 UTC, 17.00 UTC. Cloud
Profiling Radar (CPR) Cloudsat secara nominal hanya berada dalam arah nadir,
dan beroperasi pada frekuensi 94 GHz (panjang gelombang ~3 mm), sehingga
backscatter dari awan bisa terdeteksi. Data ini memiliki resolusi horizontal 2,5
km di sepanjang lintasan dan lebarnya 1,4 km. Resolusi vertikalnya adalah 240
m. (Yuan dan Houze, 2011) Produk yang digunakan dalam studi ini adalah
produk 2B GEOPROF yang berisi profil geometrik awan, yang ditunjukkan
dengan nilai reflektivitas radar dan tutupan awan (cloud mask). Informasi detail
mengenai algoritma pendeteksian hidrometeor Cloudsat dijelaskan Marchand et
al. (2008).
2. Daerah Kajian adalah Pulau Jawa dengan longitude 106BT-114.5BT latitude 8.7
LS – 5.7 LS serta Pulau Bacan dengan longitude 123 BT – 132 BT dan latitude
3.5 LS - 2.5 LU
3. Data 2B GEOPROF dari satelit Cloudsat dikelompokkan berdasarkan periode
aktif dan break yang sudah didapatkan. Setelah itu, dapat dilakukan analisis
karakteristik vertikal awan konvektif. Pertama, dilakukan analisis komposit untuk
melihat pergeseran horizontal dari wilayah konvektif, dan juga profil vertikal per
bujur
3.2 Metodologi
1. Menganalisis plot nilai rata-rata reflektivitas pada periode aktif (DJF) dan monsoon
break (JJA) di atas Pulau Jawa dan Bacan
2. Menganalisis pengaruh elevasi terhadap karakteristikvertikal awan konvektif di atas
Pulau Bacan dan Pulau Jawa pada DJF dan JJA
Page 12
12
Langkah Pengerjaan
a. Copy file data_pj.mat, stuct2array_step2.m, kontur_step3a.m, dan
perelevasi_step3b.m yang ada di stratus kemudian direktori kerja di komper anda
masing-masing
b. Buka script stuct2array_step2.m dan coba jalankan script tersebut, maka akan
menghasilkan file .mat
c. Kemudian lanjutkan dengan membuka script kontur_step3a.m dan coba jalankan
script tersebut, maka akan menghasilkan gambar rata-rata reflektansi
d. Buka script perelevasi_step4b.m dan coba jalankan script tersebut, maka akan
menghasilkan 8 gambar yang menunjukkan keadaan partikel di masing-masing
ketinggian.
Page 13
13
BAB IV
Pembahasan
Pada modul ini kami memilih dua pulau kajian, yaitu Pulau Jawa dan Pulau Bacan yang berada di
Halmahera Selatan. Waktu kajian yang dipilih adalah bulan Desember 2009, Januari dan
Februari 2010 (DJF) serta bulan Juni, Juli, Agustus 2010 (JJA). Setiap harinya diambil 3 data
dari salah satu produk Cloudsat, 2B Geometrical Profile, pada jam 06.00 UTC, 16.00 UTC,
17.00 UTC.
Untuk analisis akan dilakukan perbandingan nilai rata-rata reflektivitas di bulan Desember,
Januari, Februari (DJF) serta Bulan Juni, Juli, Agustus (JJA) di Pulau Jawad an Pulau
Bacan.Kemudian juga akan dibahas bagaimana pengaruh elavasi di bulan-bulan tersebut
terhadap aktivitas konveksi
Sumber : www.googlemaps.com
Gambar 2 Pulau Jawad an Pulau Bacan
Page 14
14
4.1 Desember 2009, Januari 2010, dan Februari 2010 (DJF)
Pada gambar 1 menunjukkan rata-rata reflektivitas di Pulau Jawa dan Pulau Bacan pada bulan
DJF. Di Pulau Jawa, rata-rata reflektivitas terlihat lebih tinggi dari pada di Pulau Bacan. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan ukuran dan karakteristik topografi antara keduanya.
Menurut Qian (2008), konveksi di benua maritim sangat di pengaruhi oleh pergerakan angin
laut- darat dan angin gunung-lembah, selain itu ukuran pulau juga mempengaruhi kekuatan
konveksi di pulau tersebut.. Akan tetapi bila kita diperhatikan lebih lanjut pada bujur 128 BT –
129 BT di Pulau Bacan, nilai reflektivitasnya tinggi sekali bahkan jika dibandingkan dengan
Pulau Jawa.Hal ini disebabkan letak pulau Bacan berada di rentang bujur tersebut. Perlu
diperhatikan bahwa domain Pulau Bacan berada di bujur 123BT-132BT, sedangkan Pulau Bacan
Gambar 3 Penampang vertikal reflektivitas di sepanjang bujur di masing-masing wilayah kajian
Page 15
15
sendiri merupakan pulau kecil yang letaknya berada diantara 128BT-129BT. Sehingga dapat
diambil kesimpulan jika scope kajian adalah letak pulau, maka Pulau Bacan nilai rata-rata
reflektivitasnya lebih tinggi dibandingkan Pulau jawa. Pulau Bacan memiliki ukuran yang lebih
kecil dan karakteristik topografi yang lebih kompleks. Di pulau yang kecil seperti Bacan,
intensitas konveksi yang mencapai tengah pulau akan lebih besar dari pada di pulau yang
ukurannya besar seperti Jawa. Bila dkaitkan dengan pola curah hujan, pada bulan DJF pengaruh
monsoon sangat berperan di Pulau Jawa sehingga pada bulan-bulan ini curah hujan di Pulau
Jawa tinggi, berkorelasi positif dengan plot gambar nilai rata-rata reflektifitas di atas. Sedangkan
untuk kajian Pulau Bori tipe curah hujannya bertipe lokal yang dipengaruhi oleh efek orografi.
Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan
yang berlebih pada saat monsun barat (DJF) dibanding saat monsun timur (JJA). Pengaruh
monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi
pada saat terjadi ekinoks. Terlihat di wilayah kajian awan konveksi terbentuk sampai ketinggian
sekitar 15 km
Kemudian kita akan melihat bagaimana pengaruh elevasi terhadap aktivitas konveksi di Pulau
Jawa an Pulau Bacan.
Page 16
16
Elevasi
(m) DJF
Elevasi
(m)
600 -
900
1800 -
2100
1500 -
1800
2100 -
2400
Gambar 4 Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun aktif (DJF) di Pulau Bacan, garis tegas hitam
menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata profil dengan
threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz
Gambar di atas merupakan plot profil vertikal di elavasi 0-2400 m gambar Pulau Bacan, Maluku
yang memperlihatkan bahwa awan cenderung lebih banyak muncul di tempat dengan elevasi
rendah. Semakin tinggi elevasinya, semakin sedikit jumlah awan yang muncul. Terutama di
elevasi 2100-2400. Di tempat dengan elevasi rendah, banyaknya awan yang muncul
kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh angin darat-laut, pengaruh topografi karena
Pulau Bacan adalah pulau kecil di Halmahera Selatan.
Page 17
17
Elevasi
(m) DJF
Elevasi
(m)
0 –
300
1200-
1500
300–
600
1500-
1800
600-
900
1800-
2100
Page 18
18
900-
1200
2100-
2400
Gambar 5 Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun aktif (DJF) di Pulau Jawa, garis tegas hitam
menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata profil dengan
threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz
Gambar di atas merupakan plot profil vertikal di elevasi 0-2400 m di Pulau Jawa yang
memperlihatkan bahwa awan cenderung lebih banyak muncul di tempat dengan elevasi rendah.
Semakin tinggi elevasinya, semakin sedikit jumlah awan yang muncul. Pada elevasi 2100-2400
m masih terlihat garis-garis warna biru yang diindikasikan sebagai awan cirrus. Di tempat
dengan elevasi rendah, banyaknya awan yang muncul kemungkinan disebabkan oleh
adanya pengaruh angin laut-darat serta pengaruh monsoon, pengaruh tersebut memang sangat
besar terhadap aktivitas konveksi yang terjadi. Selain itu karena Pulau Jawa di apit oleh laut
serta Pulaunya kecil (secara lintang) sehingga aktivitas konveksi sampai ketengah pulau.
4.2 Juni-Juli-Agustus 2010
Pada bagian sebelumnya kita melihat bagaimana plot profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada
bulan DJF. Kita akan melihat bagaimana plot profil vertikal tersebut saat JJA di Pulau Bacan dan
Pulau Jawa.
Page 19
19
Pulau Bori, Maluku
Elevasi
(m) JJA
Elevasi
(m)
0-300
900-1200
300-
600
1800-
2100
2100-
2400
Gambar 6 Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun pasif (JJA) di Pulau Bacan, garis tegas hitam
menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata profil dengan
threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz
Gambar di atas merupakan plot gambar Pulau Bacan, Maluku terlihat nilai rata-rata
reflektivitas pada monsun aktif. Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun break, garis
tegas hitam menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata
profil dengan threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz.
Page 20
20
Pada monsun break, rata-rata reflektivitas lebih lemah dan awan yang terbentuk lebih
sedikit. Awan yang terbentuk hanya mencapai elevasi 1800, dan tidak merata di setiap
ketinggiannya.
Selain itu, dapat terlihat pula bahwa awan yang terbentuk pada monsun break nilainya
tidak merata di berbagai ketinggian.Awan cenderung terbentuk di sekitar ketinggian 5 km atau
10 km, dan nilai reflektivitasnya bisa lebih dari 10 dBz. Dari profil rata-rata reflektivitas di atas
-25 dBz pun terlihat profilnya kurang mengikuti profil rata-rata reflektivitas total. Kondisi
ini memperlihatkan bahwa awan yang terbentuk ini memiliki kekuatan yang cukup besar.
Pulau Jawa
Eleva
si (m) JJA
Eleva
si (m)
0-300
1200-
1500
300-
600
1500-
1800
Page 21
21
600-
900
-
1800-
2100
900-
1200
2100-
2400
Gambar 7 Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun pasif (JJA) di Pulau Bacan, garis tegas hitam
menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata profil dengan
threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz
Gambar di atas merupakan plot gambar Pulau Jawa terlihat nilai rata-rata reflektivitas pada
monsun aktif. Profil vertikal di elevasi 0-2400 m pada monsun break, garis tegas hitam
menunjukkan rata-rata seluruh profil, garis hitam putus-putus menunjukkan rata-rata profil
dengan threshold -25dBz, garis biru menunjukkan profil-profil di atas thershold -25 dBz.
Pada monsun break, rata-rata reflektivitas lebih lemah dan awan yang terbentuk lebih
sedikit. Semakin tinggi elevasinya, semakin sedikit jumlah awan yang muncul. . Pada
elevasi 2100-2400 masih terlihat garis warna biru yang diindikasikan sebagai awan, dan pada
elevasi tersebut adalah awan cirrus namun tidak merata di setiap ketinggiannya. Di tempat
dengan elevasi rendah, banyaknya awan yang muncul kemungkinan disebabkan oleh
adanya pengaruh angin laut, Pulau Jawa, pengaruh angin laut memang sangat besar
terhadap aktivitas konveksi yang terjadi.
Page 22
22
4.3 Analisis perbandingan antara DJF dan JJA
Pada bagian sebelumnya kita telah membahas bagaimana nilai rata-rata reflektivitas di
bulan DJF dan juga bagaimana sebaran awan secara vertikal menurut elevasi di bulan-
bulan tersebut. Pada bagian ini akan kita bandingkan bagaimana nilai rata-rata
reflektivitas di Pulau Jawad an Pulau Bacan pada DJF dan JJA serta sebaran awan
menurut elevasinya.
Berikut merupakan perbandingannya.
Pulau
Jawa
DJF JJA
Pulau
Bacan
Page 23
23
Terlihat bahwa adanya perbedaan antara bulan DJF dan JJA di masing-masing pulau. Jika kita
lihat di Pulau Jawa saat JJA nilai rata-rata reflektivitasnya lebih rendah dibandingkan saat DJF.
Hal ini dikarenakan aktivitas konvektif JJA lebih rendah yang disebabkan pengaruh aktifitas
monsoon melemah saat itu. Akibatnya saat JJA curah hujan lebih rendah dibandingkan dengan
DJF. Hal ini sesuai karena Pulau Jawa curah hujannya dipengaruhi oleh monsoon, saat DJF
curah hujannya tinggi sedangkan saat JJA curah hujannya rendah.
Sama halnya di Pulau Bacan, bila diperhatikan pada bujur 128 BT – 129 BT terlihat bahwa nilai
rata-rata reflektivitas lebih rendah saat JJA. Akan tetapi ada peningkatan aktivitas konvektif yang
terjadi di laut. Hal ini disebabkan posisi matahari yang berada di lintang khatulistiwa. Dapat
disimpulkan bahwa wilayah daratan lebih dahulu merasakan monsoon break dibandingkan
lautan. Pada daerah di domain Pulau Bacan pola curah hujannya dipengaruhi oleh pengaruh
lokal.
Karakteristik awan konvektif pada monsun aktif (DJF) adalah lebih kuat dan merata karena awan
konvektifnya dipengaruhi oleh gangguan yang skalanya besar yaitu monsun, sedangkan pada
monsun break (JJA) karakteristik awannya lebih lemah dan terisolasi karena pengaruh lokal,
seperti angin gunung-lembah dan angin laut-darat, yang lebih berpengaruh.
Kemudian akan kita bandingkan plot profil vertikal di elevasi 0-2400 m saat DJF dan JJA di
Pulau Bacan serta Pulau Jawa.
Pulau Aktif (DJF) Break (JJA)
Baca
n
Page 27
27
Gambar 8 Perbandingan Plot Profl Vertikal di elevasi 0 – 2400 m di Pulau Bacan dan Pulau Jawa saat DJF
dan JJA
Profil vertikal pada monsun aktif (kanan), dan monsun break (kiri) di masing masing wilayah
kajian dengan memperlihatkan aktivitas konveksi. Pada hasil plot Pulau Bacan, terlihat tidak
terlalu banyak perubahan. Pembentukan awan cenderung lebih banyak muncul di tempat dengan
elevasi rendah. Semakin tinggi elevasinya, semakin sedikit jumlah awan yang muncul.
Pada fase aktif, awan terbentuk hingga pada elevasi 1800-2100 m. Namun pada fase break, pada
elevasi 1800-2100m awan sudah tidak terlihat/terbentuk. Hal itu karena pada monsun break,
rata-rata reflektivitas lebih lemah dan awan yang terbentuk lebih sedikit. Selain itu, di
monsun break, awan lebih terisolasi, karena konveksi lebih dipengaruhi oleh pengaruh
lokal dari pada pengaruh monsunal yang sifatnya regional.
Pada hasil plot Pulau Jawa, pada elevasi 2100-2400 m baik fase Aktif dan Break menunjukan
awan masih terbentuk/terlihat. Hanya saja pada fase break lebih sedikit. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi karena Pulau Jawa, rata-rata reflektivitas terlihat lebih rendah dari pada di Pulau
Bacan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan ukuran dan karakteristik topografi
antara keduanya. Pulau Jawa memiliki ukuran yang lebih besar dari pada Pulau Bacan. Di
Jawa, perbedaan reflektivitas antara monsun aktif dan break tidak terlalu terlihat. Hanya,
pada monsun aktif, kontur reflektivitas sedikit lebih kompleks dari pada kontur pada
monsun break.
Page 28
28
BAB V
Kesimpulan
5.1 Kesimpulan
Dari kajian mengenai pengaruh monsun aktif (DJF) dan break (JJA) terhadap karakteristik
vertikal awan konvektif ini, dapat diambil kesimpulan bahwa :
aktifitas awan konveksi selalu lebih besar dari aktifitas awan konveksi pada
JJA.Untuk Pulau Jawa lebih disebabkan karena efek monsoon sedangkan Pulau Bacan karena
pengaruh local.
DJF lebih kuat dan merata karena awan konvektifnya
dipengaruhi oleh gangguan yang skalanya besar yaitu monsun, sedangkan saat JJA karakteristik
awannya lebih lemah dan terisolasi karena pengaruh lokal, seperti angin gunung-lembah dan
angin laut-darat, yang lebih berpengaruh.
di domain kajian Pulau Bacan merupakan wilayah yang sangat terpengaruhi
oleh perubahan dari DJF ke JJA.
Saat aktif, aktivitas konveksi bisa mencapai elevasi 2100 m, sedangkan saat break hanya
mencapai 1200 m. Namun, pada saat JJA awan dengan aktivitas konveksi yang dalam masih
mungkin terbentuk bahkan kekuatannya bisa lebih besar dari saat aktif, namun kemunculannya
lebih jarang.
break dari pada
wilayah lautan.
Page 29
29
Daftar Pustaka
Azteria, V.2009. Pemanfaatan Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) dalam
Mengkaji Terjadinya Monsun di Kawasan Barat Indonesia. Bogor: Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Banjir Bandang Hantam Bori Bacan Timur
(http://issuu.com/malutpost/docs/malut_post__03_juli_2013/3), diakses tanggal 27 Februari
2014 Pukul 15. 50 WIB
Modul 3 Satelit CloudSat, 2015.
Makalah Analisis Data Citra Satelit Saat Kejadian Banjir di Bori,
(https://www.academia.edu/7473178/Analisis_data_citra_satelit_saat_kejadian_banjir_di_bori),
di akses tanggal 27 Februari 2014 Pukul 15.35 WIB
Octarina, Dea Tania. 2010. Pengaruh Monsun Aktif dan Break Terhadap Karakteristik
Vertikal Awan Konvektif Berdasarkan Analisis Data Cloudsat. Bandung.
Trewartha, T and Horn, L.1995. Pengantar Iklim. Gadjah Mada University Press.
http://moklim.dirgantara-lapan.or.id, diakses tanggal 25 Maret 2015 Pukul 20.07 WIB