Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas 5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia, yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh). “Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria, Johannes van den Bosch, dan Herman Willem Daendels memesan lukisan emas dari pemilik istana gothic - moors ini” Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15 Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang merupakan seorang misionaris Belanda beserta sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan berbagai golongan masyarakat tanpa memandang kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana Negara) pada 1 September 1895. Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini. Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI ( Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman. Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr. H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan Masyarakat di Tanjung Barat. Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi. Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/ emergency, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan yang optimal. Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah kary a Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
94
Embed
merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi
kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua
di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri
pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap
berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh
Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas
5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan
bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik
seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,
yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).
“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,
Johannes van den Bosch, dan Herman Willem
Daendels memesan lukisan emas dari pemilik
istana gothic - moors ini”
Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15
Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang
merupakan seorang misionaris Belanda beserta
sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan
Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau
perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai
pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan
berbagai golongan masyarakat tanpa memandang
kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta
agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana
Negara) pada 1 September 1895.
Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk
mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut
hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh
sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan
tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan
kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang
bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma
diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca
pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda
hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.
Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan
kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.
H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische
Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan
dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI
Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI
Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan
Masyarakat di Tanjung Barat.
Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan
Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal
pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.
Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah
sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini
juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat
inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga
rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam
rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan
yang optimal.
Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya
Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-
kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]
ISSN 2406 9108
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
e-ISSN 1446008136
1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.
2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan
makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Komponen artikel penelitian, yaitu:
Judul ditulis maksimal 15 patah kata
Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,
nomor telepon, dan email
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,
dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan
serta tujuan penelitian
Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen
pengumpul data, dan prsedur analisis data.
Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.
Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian
dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui
kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan
berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.
4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..
5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan
program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Artikel Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015 ……………………………………...……
Eliyana
Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakel-ola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...…………………..….
Ari Purwohandoyo
Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian
Standar Tarif INA-CBG’s Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta ..………..
Dewi Apriyantini
Analisis Hubungan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention
Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015 …………………………………………......…
Erta Rahmawati
Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepua-san Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Ko-ta Metro Tahun 2015 ……………………………………………………………….……..… Fitriyuli Mayasari
Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutane-ous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hoesin Pa-lembang Tahun 2015 ……………….………………………………………………………….. Harjito Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015 .. Mardiah
Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)
Daftar Isi
172
183
194
204
214
231
245
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 172
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di
Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015
Factors related to the Executive Nurse’s Burnout in patient wards at RSJ West Kalimantan
Province in 2015
Eliyana
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
responden untuk diisi, dan apabila ada yang kurang jelas
dapat ditanyakan kepada peneliti.
Formulir kuesioner burnout menggunakan pengukuran
MBI yang terdiri atas 22 pertanyaan, yang mencakup 9
pertanyaan untuk dimensi kelelahan emosional, 5
pertanyaan untuk dimensi depersonalisasi dan 8
pertanyaan untuk dimensi rendahnya penghargaan diri.
Kuesioner ini menggunakan skala likert untuk 5 pilihan
jawaban mulai dari (0) “tidak pernah” sampai (4) ‘tiap
hari”. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih
dahulu untuk kuesioner yang akan digunakan.
Formulir assessmen faktor-faktor yang berhubungan
dengan burnout yang diadaptasi dari National Institute
for Occupational Safety and Health (NIOSH) untuk
dimensi beban kerja, dukungan sosial dan tipe
kepribadian sedangkan dimensi stres kerja dan kondisi
kerja peneliti sesuaikan dengan keadaan rumah sakit
yang akan diteliti. Untuk pertanyaan faktor personal yang
terdiri dari stres kerja, beban kerja dan tipe kepribadian
terdiri dari 27 pertanyaan dengan menggunakan skala
likert untuk 4 pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak
setuju” sampai (4) “sangat setuju”. Faktor organisasi
yang terdiri dari kondisi kerja dan dukungan sosial berisi
8 pertanyaan dengan menggunakan skala likert untuk 4
pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak setuju”
sampai (4) “sangat setuju”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor demografi dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan dan lama
bekerja. Hasil penelitian ditampilkan dalam tabel 1.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 176
Faktor Personal
Faktor personal dalam penelitian ini meliputi stres kerja,
beban kerja dan tipe kepribadian. Hasil penelitian
ditampilkan dalam tabel 2.
Faktor Organisasi
Faktor organisasi dalam penelitian ini meliputi kondisi
kerja dan dukungan sosial. Hasil penelitian ditampilkan
dalam tabel 3.
Hasil Multivariat
Analisis Multivariat bertujuan untuk menganalisis
hubungan beberapa variabel independen terhadap satu
variabel dependen secara bersama-sama. Analisa
multivariat yang digunakan adalah analisa regresi logistik
ganda yang bertujuan untuk mendapatkan model faktor
resiko yang paling baik (fit) dan sederhana (parsimony)
yang menggambarkan hubungan antara variabel
dependen dan variable independen dengan nilai p<0,25
dalam analisa bivariate (ditampilkan dalam tabel 4).
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa jenis kelamin
Perempuan justru menjadi faktor proteksi untuk
menghasilkan kejadian burnout sedang karena nilai OR
< 1, yaitu sebesar 0,339 (95% CI: 0.117 – 0.983) setelah
dikontrol oleh variabel lama kerja, beban kerja, dan
dukungan sosial. Dari hasil uji statistik pada lama bekerja
didapatkan bahwa responden yang bekerja dibawah 4
tahun mempunyai peluang 1,466 kali mengalami
burnout sedang dibanding yang bekerja lebih dari 4
tahun. Setelah dikontrol variabel jenis kelamin, beban
kerja dan dukungan sosial. Hasil uji statistik pada variabel
beban kerja didapatkan bahwa beban kerja ringan akan
menghasilkan burnout yang rendah sebesar 2,262 kali
dibandingkan dengan beban kerja berat setelah dikontrol
oleh variabel jenis kelamin, lama bekerja dan dukungan
sosial. Hasil uji statistik pada variabel dukungan sosial
yang kurang baik justru menjadi proteksi untuk
menghasilan kejadian burnout sedang karena nilai OR <
1. Dari hasil analisis multivariat didapatkan bahwa faktor
yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel
dependen atau terhadap kejadian burnout perawat
pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat adalah variabel beban kerja.
Sebagian besar perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat adalah berjenis kelamin
perempuan. Pada tabel 6.1 memberikan informasi
bahwa sebagian besar responden 57,4 % adalah
perempuan, mempunyai tingkat burnout rendah
sebanyak 87% akan tetapi lebih sedikit dibanding laki-
laki pada tingkat burnout sedang sebanyak 12,9 %. Pada
penelitian ini perempuan justru menjadi proteksi untuk
mengalami burnout sedang.
Menurut Sihotang (2004) pada dasarnya burnout dapat
terjadi pada semua orang, baik itu laki-laki dan
perempuan. Hal ini terjadi karena setiap manusia tentu
mengalami tekanan yang diperoleh dalam kehidupan,
khususnya dalam menjalani pekerjaan. Secara umum
laki-laki lebih mudah mengalami burnout daripada
wanita. Hal ini dikarenakan wanita tidak mengalami
peringkat tekanan seperti yang dihadapi oleh seorang
laki-laki, yang dapat disebabkan karena adanya
perbedaan peran, misalnya dalam hal kerja, bagi laki-laki
“bekerja” adalah suatu hal mutlak untuk menghidupi
keluarganya, namun tidaklah demikian bagi seorang
perempuan, perempuan boleh bekerja atau tidak, jadi
bukan merupakan suatu keharusan (Gibson dalam
Sitohang, 2004).
Sebaliknya dengan pendapat di atas, penelitian lain
menyimpulkan bahwa ternyata wanita memperlihatkan
frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout daripada
laki-laki yang disebabkan karena seringnya wanita
merasakan kelelahan emosional (Schultz dalam Sitohang,
2004). Hal ini disebabkan karena laki-laki dan
perempuan berbeda bukan saja secara fisik, tetapi juga
sosial dan psikologisnya dan mempunyai cara yang
berbeda dalam menghadapi masalahnya.
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa responden
laki-laki yang mengalami burnout sedang mempunyai
masa kerja dibawah 4 tahun dibanding responden
perempuan yang mempunyai masa kerja dibawah 4
tahun. Hal ini yang mengakibatkan responden laki-laki
di Rumah Sakit Jiwa mengalami burnout sedang. Pada
observasi peneliti juga melihat bahwa jenis kelamin laki-
laki lebih diandalkan dalam merawat pasien yang gaduh
gelisah. Sehingga tenaga perawat pelaksana laki-laki
sangat dibutuhkan oleh manajemen SDM di RSJ
Provinsi Kalimantan Barat, dan diupayakan pada proses
rekruitmen untuk lebih mengutamakan tenaga perawat
pelaksana yang berjenis kelamin laki-laki.
Pada penelitian ini antara lama bekerja dan burnout
perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat didapatkan data bahwa lama kerja
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 177
dibawah 4 tahun mengalami burnout sedang (28,2%).
Pada penelitian sebelumnya (Turnipsteed, 1994 dalam
Lee, 2007) mengatakan seseorang yang telah bekerja
pada satu pekerjaan untuk waktu yang lama, maka
pekerja tersebut telah memiliki pandangan yang realistik
terhadap situasi yang dihadapi. Studi lain melaporkan
bahwa pekerja yang telah bekerja lebih lama,
menunjukkan kelelahan emosi pada level rendah.
Hal ini sejalan pada penelitian ini dimana lama bekerja
pada perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat rata-rata dibawah 4 tahun. Perawat
yang mempunyai minim pengalaman mengakibatkan
mudah mengalami burnout (Lee dalam Umar, 2013).
Bekerja di rumah sakit jiwa berbeda dengan bekerja di
rumah sakit pada umumnya. Pasien yang dihadapi
adalah pasien jiwa yang mempunyai masalah kejiwaan
yang berubah-ubah.
Perawat yang belum mempunyai skil dalam menangani
pasien jiwa akan merasa kesulitan dalam memberikan
asuhan keperawatan jiwa jika belum mendapatkan
pendidikan dan pengalaman dalam menghadapi pasien
jiwa. Perawat dengan minim lama kerja belum
beradapatasi dengan tugas dan tanggung jawab tersebut
sehingga belum lebih percaya diri dalam melakukan
tugasnya (Nugroho, 2012)
Tenaga perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai masa kerja dibawah 4 tahun
sangat memerlukan pelatihan dasar dalam menangani
pasien jiwa, sehingga manajemen pendidikan dan
latihan sangat perlu mengadakan on job training bagi
tenaga perawat pelaksana yang mempunyai masa kerja
dibawah 4 tahun.
Perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat yang mengalami beban kerja berat
mempunyai resiko 2,262 kali menjadi burnout sedang
dibanding perawat pelaksana yang mengalami beban
kerja ringan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
beban kerja dengan burnout perawat pelaksana di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
Meskipun tidak bermakna secara statistik. Beban kerja
merupakan faktor yang paling dominan diantara semua
variabel.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Pramudya, 2008 dalam (Sari 2013) yang
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara
beban kerja dan stres kerja pada perawat. Pada penelitian
ini pengukuran beban kerja bersifat persepsi artinya
beban kerja yang dirasakan oleh responden ketika
bekerja tidak sama dengan persepsi beban kerja yang
dirasakan oleh responden lain. Peneliti tidak
menggunakan tools baku yang dapat mengukur beban
kerja secara objektif, namun peneliti menggunakan data
kuesioner yang disi langsung oleh responden dan
didukung oleh hasil observasi peneliti.
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat adalah
rumah sakit jiwa yang menangani pasien dengan
gangguan kejiwaan, yang berbeda dengan rumah sakit
pada umumnya. Sudah pasti perawatan yang dilakukan
oleh perawat di rumah sakit ini berbeda dengan rumah
sakit umumnya. Dalam hal komunikasi dengan pasien
terasa sulit, selain itu ada juga beberapa perawat yang
mengaku mendapatkan kekerasan dari pasien terutama
pasien yang masih tinggi tingkat kegelisahannya.
Hal ini membuat beban kerja pada perawat pelaksana di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan cukup berat,
sehingga dapat menimbulkan burnout. Selain itu, selama
peneliti melakukan observasi menunjukkan jumlah
pasien yang banyak di tiap ruangan sedangkan jumlah
perawat yang bekerja di shift sore dan malam hanya 1-2
perawat per satu shift menangani pasien jiwa sebanyak
60-70 orang per ruangan rawat inap. Banyaknya jumlah
pasien membuat perawat kewalahan untuk menanganinya.
Apalagi ditambah bila ada perawat yang ijin tidak masuk
kerja, sehingga menambah beban kerja bagi perawat
yang lain.
Berdasarkan ratio perhitungan tenaga keperawatan
menurut Depkes (1979) tentang perbandingan tempat
tidur dengan jumlah perawat pada RS tipe A–B
perbandingan minimal adalah 3 – 4 perawat untuk 2
tempat tidur. Berbagai macam metode untuk mengukur
beban kerja, pada penelitian ini beban kerja hanya diukur
berdasarkan kuesioner sehingga jawaban responden
berdasarkan persepsi masing-masing terhadap beban
kerja yang dialaminya.
Pada tabel 6.9 juga didapatkan data bahwa sebesar
54,1% mengatakan bahwa perawat pelaksana memiliki
banyak waktu berpikir dalam rangka menyelesaikan
tugasnya. Hal ini senada dengan observasi yang
dilakukan peneliti bahwa perawat pelaksana di RSJ
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai banyak waktu
untuk berpikir dalam mengerjakan tugasnya dikarenakan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 178
perawatan jiwa lebih mengutamakan komunikasi dalam
memberikan asuhan keparawatan jiwa.
Responden juga menjawab sebesar 36,9% menyatakan
bahwa pekerjaan diberikan terlalu rutinitas dan monoton.
Hal ini diakibatkan karena variasi pekerjaan di RSJ
adalah menghadapi pasien dengan penyakit khusus yaitu
gangguan jiwa berbeda dengan bekerja di RS yang
menangani pasien umum, variasi pekerjaan sangat
bervariasi tergantung penyakit yang dialami pasien.
Beban kerja menurut Munandar (2008) dibagi menjadi
dua yaitu beban kerja kuantitas dan beban kerja kualitas.
Beban kerja kuantitas adalah suatu keadaan dimana
terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan
dibanding dengan waktu yang tersedia. Sedangkan
beban kerja kualitatif adalah suatu keadaan dimana
pekerjaan yang harus dilakukan terasa sulit untuk
dikerjakan. Beban kerja yang terlalu ringan (work
underload) juga dapat menimbulkan stres apabila
tuntutan pekerjaan dibawah kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki pekerja. Stres yang
berkepanjangan ini pun adalah faktor yang
mengakibatkan burnout.
Pekerjaan yang rutinitas dan monoton, jumlah pasien
yang tidak sesuai dengan jumlah perawat, memiliki
banyak waktu berpikir inilah yang membuat perawat
pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat merasa bosan
yang mengakibatkan burnout. Sehingga manajemen
SDM keperawatan di RSJ perlu membuat job
description untuk perawat pelaksana.
Pada penelitian ini perawat pelaksana yang bekerja di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat
mempunyai dukungan sosial yang kurang baik sebesar
87,7% dan mengalami burnout sedang sebesar 19,6%.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan
sosial dan burnout pada perawat pelaksana dalam
penelitian ini.
Hal ini sejalan dengan penelitian Labiib (2013) bahwa
dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan adalah salah
satu sumber penyebab burnout yang termasuk dalam
faktor lingkungan organisasi kerja. Individu yang
memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa
nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang
lain disekitarnya. Individu yang mendapat dukungan
sosial yang baik akan mempunyai rasa memiliki
(belonginess) dan harga diri (self esteem) yang lebih besar
daripada individu dengan dukungan sosial yang kurang baik.
Dukungan sosial yang baik juga akan menyebabkan
individu semakin mengembangkan gaya hidup yang
baik dan sehat.
Menurut Sarafino dalam Labiib (2013) menyatakan
bahwa dukungan sosial adalah dorongan yang
dirasakan, penghargaan dan kepedulian yang diberikan
oleh orang-orang yang berada disekeliling individu
sehingga dukungan yang dirasakan akan sangat penting.
Dalam hal ini adalah rekan kerja dan atasan yang berada
di sekeliling individu dalam lingkungan organisasi kerja.
Responden yang merasa mendapat dukungan sosial
yang baik dari rekan kerja dan atasan akan cenderung
untuk tidak mengalami burnout, berbeda dengan
mereka yang mendapat dukungan sosial yang kurang
baik.
Pada penelitian Purba (2007) menunjukkan dukungan
sosial berpengaruh negatif terhadap burnout artinya
semakin besar dukungan sosial yang diperoleh akan
mengurangi level burnout yang dialami individu. Dukungan
sosial dari berbagai sumber membuat individu merasa yakin
bahwa dirinya dicintai dan disayangi, dihargai bernilai dan
menjadi bagian dari jaringan sosial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Burnout perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan instrumen
MBI (Maslach Burnout Inventory) dalam kategori
rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar
17,2%
2. Faktor demografik:
a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang berjenis kelamin laki-laki mengalami
burnout sedang dikarenakan lebih diandalkan
dalam merawat pasien gaduh gelisah.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai umur di atas 27 tahun
mengalami burnout sedang dikarenakan oleh
pengalaman yang lebih banyak.
c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai latar pendidikan D3
Keperawatan mengalami burnout, sedangkan
dikarenakan minimnya skill dan keterampilan
dalam menangani pasien khususnya perawatan
jiwa.
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 179
d. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang sudah menikah mengalami burnout
sedang dikarenakan adanya peran ganda di dalam
keluarga.
e. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai masa kerja di bawah 4
(empat) tahun mengalami burnout dikarenakan
minimnya skill dan keterampilan dalam
menangani pasien khususnya perawatan jiwa.
3. Faktor personal:
a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mengalami stres ringan mengalami
burnout sedang dikarenakan minimnya skill
dan keterampilan dalam menangani pasien
khususnya perawatan jiwa.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mengalami beban kerja berat
mengalami burnout sedang dikarenakan belum
ada job description untuk perawat pelaksana.
c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai tipe kepribadian tipe B
mengalami burnout sedang dikarenakan mereka
memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi dalam
bekerja.
4. Faktor organisasi:
a. Perawat-perawat pelaksana di RSJ Provinsi
Kalimantan Barat dengan kondisi kerja yang
menyenangkan mangalami burnout sedang
karena pekerjaan dianggap penuh tantangan
dan menyenangkan.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mendapatkan dukungan kurang
baik mengalami burnout sedang dikarenakan
atasan langsung tidak dapat bertindak diluar
kebiasaan untuk mempermudah perawat pelaksana
dalam bekerja.
Saran
1. Untuk Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat
a. Rumah Sakit mengadakan pelatihan on job
training tentang asuhan keperawatan jiwa
secara berkala yang dilakukan oleh perawat
senior yang telah berpengalaman khususnya
dalam perawatan jiwa kepada perawat
pelaksana khususnya yang mempunyai masa
kerja dibawah 4 tahun.
b. Mengadakan gathering atau kegiatan yang
bersifat refreshing secara bersama-sama untuk
mengurangi kejenuhan kerja dan membina
interaksi sosial yang baik antara sesama
perawat maupun atasan (misalnya satu tahun
sekali).
c. Membuat job description untuk perawat-perawat
pelaksana, sehingga pekerjaan yang dilakukan
sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
d. Cenderung lebih mengutamakan para perawat
pelaksana berjenis kelamin laki-laki dalam
proses penerimaan pegawai
e. Memperhatikan sarana dan prasarana
khususnya penerangan pada malam hari.
2. Atasan langsung (Katim atau Kepala Ruangan)
a. Mempermudah para perawat pelaksana dalam
melaksanakan tugas, khususnya apabila para
perawat pelaksana mengalami kendala dalam
melaksanakan asuhan keperawatan jiwa.
b. Mengadakan rapat internal di tiap ruangan rawat
inap (satu bulan sekali) oleh kepala ruangan yang
dihadiri satu tim diruangan tersebut yang berguna
untuk menyalurkan aspirasi dan keluhan perawat
pelaksana dalam bekerja.
3. Untuk Perawat Pelaksana Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
a. Meningkatkan keterampilan perawat pelaksana
khususnya keterampilan psikologis dalam
pengendalian diri dan mempertahankan sikap
positif
b. Menanamkan nilai budaya yang dianut rumah
sakit sehingga dapat tercipta lingkungan kerja
yang baik, sejalan dan selaras dengan visi, misi
dan tujuan dari rumah sakit yang dapat
meningkatkan kinerja dan mutu rumah sakit
serta memberikan dukungan kerja kepada
sesama perawat.
c. Mempertahankan kebugaran dengan olahraga
yang teratur, makan yang sehat dan bergizi,
tidur yang cukup dan menikmati hobi yang
digemari.
d. Meningkatkan kecerdasan emosional serta
mengintensifkan hubungan sosial dengan
lingkungannya agar terbentuk dukungan sosial
yang baik dan kondusif
e. Meningkatkan kemampuan dan juga
kompetensi diri, baik melalui diklat yang diadakan
pihak rumah sakit maupun pelatihan di luar rumah
sakit.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 180
DAFTAR PUSTAKA
Ayala, Elizabeth & Carnero, A.M. 2013. Determinants of Burnout in Acute and Critical Care
Military Nursing Personnel: A Cross – Sectional Study from Peru. Open Access Freely. Volume 8 Issue 1.
Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Ed. 3; Binarupa Aksara. Jakarta
Baron, R. A. & Grennberg, J. 2003. Behavior in organizations: Understanding and managing the human side of work (8th ed.). Upper Saddle River: Pearson Education.
Brennan, Gail M. 1989. A study of Type A and Type B Personality and Burnout in Nurses. Thesis
The Faculty of the Department of Nursing San Jose State University. Buhler, K.E & Land. 2004. Burnout and personality in extreme nursing: An empirical study.
Schweizer archiev fur neurologie und psychiatrie, 155, 35-42.
Buunk, B.P. & Schaufelli, W.B. 1993. Burnout: A Perspective from Social Comparison Theory. Cherniss, C. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. Beverly Hills. CA: Sage
Davis, Keith dan Newstrom. 2001. Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Enzman, D. & Schaufeli, W. 1999. The burnout companion to study and practice: A critical
analysis. London: Taylor & Francir Ltd.
Freundenberger, H.J & Richelson, G. 1990. Burnout: How to Beat The High Cost of Success. New York.
Gusnita, Rezky. Herawati. Rifa, Dandes. 2012. Pengaruh Stressor dan Tipe Kepribadian terhadap
Kejenuhan (Burnout) pada Kantor Akuntan Publik di Padang dan Pekan Baru. E-Journal Universitas Bung Hatta. Sumatera Barat. Padang
Haryanti. Aini, Faridah. Purwaningsih, Puji. 2013. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres
Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. Vol 1, No. 1, Mei 2013, 48-56.
Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Modul Pertama: Pengolahan Data Uji Instrumen. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok
Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Analisa Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok Hazell. Kenneth. W. 2010. Job Stress, Burnout, Job Satisfaction, and Intention to Leave Among
Registered Nurses Employed in Hospital Settings in the State of Florida.
Disertasi. Lynn University Hoskins, Kelley. N. 2013. The Possible Role of Burnout in Nursing Errors. Thesis. College of
Nursing and The Burnett Honors College at the University of Central Florida.
Orlando Huruswati, Indah. 2008. Dilema Paradigma Baru Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian Kasus
Tenaga Keperawatan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Kota Depok. Tesis.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ilyas. Yaslis. 2013. Perencanaan SDM Rumah Sakit; teori, metoda dan formula. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Imanoviani, Tera & Djuniarto, Eko. 2008. Difference in Burnout Tendencies Level on Married and Single Career Woman. Undergraduate Program, Faculty of Psychology.
Gunadarma University.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Jakarta 2012
Labiib, Akhmad, 2013. Analisis Hubungan Dukungan Sosial dari Rekan Kerja dan Atasan
dengan Tingkat Burn Out pada Perawat Rumah Sakit Jiwa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 2 No. 1, Januari 2013
Lailani, Fereshti, 2012. Burn Out pada Perawat Ditinjau dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial.
Jurnal Talenta Psikologi Vol. 1 No. 1, Februari 2012 (66-86) Lamria, Evi & Sandrayanti, Monalisa. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
burnout pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini Jakarta. Naskah Publikasi.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Lee, S. Y & Syed Akhtar. Job Burnout among Nurses in Hongkong: Implication for Human
Resources. 2007: Hongkong.
Madathil, Renee Lisa. 2010. Burnout in Psychiatric Nursing: Possible Protective Factor. Professional Paper. Clinical Psychology. The University of Montana. Missoula,
MT
Malliarou, M.M, Moustaka, E.C & Konstantinidis, T.C. 2008. Burnout of Nursing Personnel in A Regional University Hospital. HSJ – Health Science Journal. Volume 2, Issue
3.
Maslach, C & Leitter, M.P. 1997. The Truth about Burnout: How Organizations cause Personal
Stress and What to do about it. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Maslach, C & Leitter, M.P. 2005. Banishing Burnout Six Strategies for Improving Your
Relationship with Work. Jossey Bass A Wiley Imprint. San Fransisco.
Maslach, C & Schaufeli, W.B 1993. Historical and Conceptual Development of Burnout. In Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research.
Washington DC: Taylor & Francis
Maslach, C and Jackson, S.E. 1981. The measurement of Experienced Burnout, dalam Journal of Organization Behavior. Vol 2. Hal 99-113 US: John Wiley & Sons, Ltd
Palo Alto. CA: Consulting of Psychologists Press Maslach, C. Leiter, M.P & Schaufeli, W. 2008. Chapter 5 Measuring Burnout. Journal Typeset
by SPi, Delhi: May 24. 2008
McShane, Steven, L & Glinow Von Mary Ann. 2005. Organizational Behaviour. Boston: Mc Graw Hill.
Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Depok: Universitas Indonesia Press.
Ningdyah, Anrilia. 1999. Peranan Dimensi-Dimensi Birokrasi terhadap Burnout pada Perawat
Rumah Sakit di Jakarta. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Nugroho, A. Susiani, Adrian, Marselius. 2012. Studi Deskriptif Burnout dan Coping Stres pada
Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 1 No. 1 (2012)
Pangastiti, N.K. 2011. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Burnout pada
Perawat Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa (Studi pada RSJ Prof dr. Soerojo Magelang). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang
Papalia, D. E., Olds, S. W & Feldman, R.D. 2007. Human development (10th edition). New York:
Mc Graw Hill. Patel. Bhavesh. 2014. The Organisational Factors That Affect Burnout in Nurses. RCN
Education Conference. West Middlesex University Hospital. Prawasti, Cicilia Yeti. 1999. Burnout dan Faktor Psikososial di Kalangan Perawat Rumah Sakit
“X”. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Purba, Johana. Yulianto Aries & Widyanti Ervy. 2007. Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Burnout pada Guru. Jurnal Psikologi Vol. 5 No. 1, Juni 2007
Ridyawati, Iis Maryati. 2014. Burnout (Kelelahan) Kerja pada Perawat IGD dan Perawat ICU
Rumah Sakit Cito Karawang Tahun 2014. Tesis. Program Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Respati Indonesia. Jakarta
Sarafino, E. P. 2008. Health biopsychosocial interactions (6th ed.). New York: John Willey&
Sons, Inc. Sari, Indah Permata. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Stres Kerja pada Perawat
Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Herdjan Tahun 2013. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok
Suarli, S. & Bahtiar. 2009. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktik. Erlangga.
Jakarta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung
Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.
Jakarta Timur. Sumijatun. 2014. Manajemen Keperawatan: Materi Burnout Perawat. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Supardi. 2007. Analisa Stres Kerja pada Kondisi dan Beban Kerja Perawat dalam Klasifikasi Pasien di Ruang Rawat Inap Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan
Sitohang, Imelda Novelina, 2004. Burnout pada Karyawan ditinjau dari Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dan Jenis Kelamin. Jurnal Psyche. Vol. 1 No. 1, Juli
2004. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang.
Umar. Bie Novirenallia. 2013. Analisis Kejadian Burnout Syndrome pada Perawat di Unit Rawat Inap dan Unit Rawat Jalan Rumah Sakit “X” Bandar Lampung Tahun
2013. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Wang, S.S, Liu Y.H & Wang, L.L. 2013. Nurse burnout: Personal and environmental factors as predictors. International Journal of Nursing Practice 2015; 21: 78-86.
Weiten, W.2013. Psychology: Themes and variations (9th edition). California: Wadsworth.
Wibowo, Adik. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 181
Gambar 1. Diagram BOR Pasien Jiwa di Instalasi Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan
Barat Tahun 2011-2013 Sumber: Rekam Medik RSJ Provinsi Kalimantan Barat (2014)
Tabel 1. Distribusi Faktor Demografi
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
JENIS KELAMIN
Laki-laki
Perempuan
52
70
42,6
57,4
UMUR (tahun)
>27
≤ 27
51
71
41,8
58,2
PENDIDIKAN D3 Keperawatan
S1 Keperawatan
119
3
97,5
2,5
STATUS PERNIKAHAN Menikah
Belum Menikah
75
47
61,5
38,5
LAMA KERJA (tahun)
≤ 4 > 4
39 83
32,0 68,0
Tabel 2. Distribusi Faktor Personal
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
STRES KERJA Ringan
Berat
68
54
55,7
44,3
BEBAN KERJA Ringan
Berat
62
60
50,8
49,2
TIPE KEPRIBADIAN
Tipe B Tipe A
88 34
72,1 27,9
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
140%
160%
2011 2012 2013
BOR
BOR
1
1
11
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 182
Tabel 3. Faktor Organisasi
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
KONDISI KERJA Menyenangkan
Kurang Menyenangkan
67
55
54,9
45,1
DUKUNGAN SOSIAL
Baik Kurang Baik
15 107
12,3 87,7
Tabel 4. Distribusi Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat
Tabel 5. Variabel Model Akhir Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan
Barat
Burnout F %
Rendah 101 82,8
Sedang 21 17,2
Total 122 100,0
Variabel B S.E Wald Sig. Exp(B)
Jenis Kelamin -1,081 0,543 3,964 0,046 0,339
Lama Bekerja 0.382 0.147 6.797 0.009 1.466
Beban Kerja 0.816 0.549 2.214 0.137 2.262
Dukungan Sosial 19.873 9.90E+03 0 0.998 4.27E+08
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 183
Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara
Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”
The Comparative Cost Analyses of Solid Medical Waste Management in Dharmais Cancer
Hospital between Self-Managed System with Outsourcing System
Ari Purwohandoyo
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehaan
Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: aripurwohandoyo@gmailcom
ABSTRAK
Berdasarkan prinsip “pembuat polusi yang membayar”, setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus bertanggung
jawab secara finansial atas pengelolaan limbahnya secara aman. Biaya tersebut harus didanai dengan alokasi
khusus dari anggaran rumah sakit. Total biaya umumnya terdiri atas investasi modal awal, penyusutan peralatan
dan bangunan, biaya pengoperasian elemen-elemen tersebut seperti petugas dan barang habis pakai, biaya
operasional sarana, biaya pengelolaan pihak ketiga, biaya perizinan, dan biaya-biaya lain yang semuanya harus
dipertimbangkan secara hati-hati jika akan memilih opsi yang paling rendah biayanya. Penelitian ini membahas
perbandingan biaya pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” antara sistem swakelola
dengan sistem outsourcing. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan dilakukan dengan cara
pengamatan, telaah dokumen langsung, dan perhitungan biaya menggunakan metode Activity Based Costing
(ABC). Dari hasil penelitian diketahui bahwa alur proses pengelolaan limbah medis sudah berjalan baik dan
pengelolaan limbah medis padat secara outsourcing lebih murah dibanding swakelola. Untuk mengurangi limbah
medis padat, masih dapat dilakukan upaya minimisasi limbah.
Kata kunci: biaya; pengelolaan limbah medis padat; swakelola; outsourcing.
ABSTRACT
Based on the principle of "the polluter pays", every health care need to be financially responsible for the
management of their waste safely. Such costs should be funded by a special allocation of hospital budgets. Total
expenses generally consist of an initial capital investment, depreciation of equipment and buildings, the cost of
operation of these elements such as personnel and consumables, vehicle operating costs, third-party management
fees, license fees, and other expenses that everything must be carefully fastidiously if it will choose the lowest cost
option.This study discusses The comparative cost analyse of solid medical waste management in the "Dharmais"
Cancer Hospital between self-managed system with outsourcing system. This research is a quantitative and
descriptive study was done by observation, document review, and the calculation of the cost of using Activity
Based Costing (ABC). The survey results revealed that the flow of medical waste management process has been
running good and solid medical waste management outsourcing system is cheaper than self-managed. To reduce
solid medical waste, they can do waste minimization efforts.
Keywords: costs, solid medical waste management self-managed, outsourcing.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 184
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang juga tercantum dalam Undang-
Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
Kesehatan Paripurna dimaksud adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, yang dalam melaksanakan kegiatannya
perlu diatur dengan salah satu tujuannya adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap keselamatan
pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan
sumber daya manusia di rumah sakit.
Penyehatan lingkungan rumah sakit merupakan salah satu
program yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit.
Mengingat rumah sakit merupakan salah satu tempat yang
banyak dikunjungi, maka program ini dilaksanakan agar
dalam kegiatan operasional rumah sakit tidak mengganggu
pengunjung dan masyarakat yang ada di dalam dan diluar
rumah sakit. Gangguan tersebut dapat berbentuk infeksi
nosokomial maupun pencemaran lingkungan. Guna
mengurangi dampak dan risiko tersebut maka pemerintah
dalam hal ini Departemen Kesehatan mengeluarkan
Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/ 2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut tersebut,
pengelolaan limbah termasuk di dalam salah satu
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit karena
rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dari
berbagai kegiatannya menghasilkan limbah yang dapat
mencemari lingkungan dan menimbulkan gangguan
kesehatan bagi masyarakat, sehingga rumah sakit
memiliki kewajiban mengelola limbah tersebut.
Limbah medis adalah semua limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan
gas. Limbah medis padat adalah limbah padat yang
terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit dapat dilaksanakan
dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa
peraturan, pedoman, dan kebijakan yang mengatur
pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan
rumah sakit (Hapsari, 2010). Adisasmito (2007)
menguraikan bahwa sebagian besar rumah sakit
melakukan pengelolaan limbah padat dengan memisahkan
antara limbah medik dan nonmedik (80,7%), tetapi
dalam masalah pewadahan sekitar 20,5% yang
menggunakan pewadahan khusus dengan warna dan
lambang yang berbeda. Sementara itu, teknologi
pemusnahan dan pembuangan akhir yang dipakai, untuk
limbah infeksius 62,5% dibakar dengan insenerator,
14,8% dengan cara landfill, dan 22,7% dengan cara lain;
untuk limbah toksik 51,1% dibakar dengan insenerator,
15,9% dengan cara landfill dan 33,0% dengan cara lain.
Rumah sakit merupakan penghasil limbah klinis
terbesar. Limbah klinis ini bisa membahayakan dan
menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung
dan terutama kepada petugas yang menangani limbah
tersebut serta masyarakat sekitar rumah sakit. Limbah
klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medik,
perawatan gigi, farmasi, atau yang sejenis; penelitian,
pengobatan, perawatan, atau pendidikan yang
menggunakan bahan-bahan yang beracun, infeksius,
berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika
dilakukan pengamanan tertentu. Adapun tahapan
penanganan limbah medis terdiri dari pemilahan,
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan,
penampungan, dan pengolahan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) outsourcing
berasal dari dua suku kata, yaitu out dan source, yang
menurut kamus Oxford mempunyai arti sebagai
contract out, yang dengan terjemahan bebas bermakna
kerja sama operasional (KSO). Adapun definisi
outsourcing menurut Soewondo (2003), outsourcing
adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian
dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan
penyedia jasa outsourcing).
Tidak semua unit di rumah sakit dapat di outsourcing,
untuk fungsi yang strategik dan merupakan unggulan
rumah sakit sebaiknya tidak di outsourcing, beberapa
yang dapat di outsourcing antara lain adalah catering,
penyediaan linen rumah sakit, jasa perbankan, cleaning
service, maintenance dan repair peralatan canggih.
Evaluasi ekonomi adalah suatu bentuk analisis ekonomi
yang membandingkan dua atau lebih program alternatif
dilihat dari segi biaya dan konsekuensi atau outcome
(Drummon, 2005). Dengan kata lain evaluasi ekonomi
mengidentifikasi serta mengukur biaya dan konsekuensi
dari beberapa alternatif kebijakan atau program yang akan
dilaksanakan. Biaya (cost) adalah semua pengorbanan
(sacrifice) yang dikeluarkan untuk memproduksi atau
mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. Dengan
demikian pengertian biaya meliputi semua jenis
pengorbanan, biasanya diukur dalam bentuk uang,
barang, gedung, waktu, atau kesempatan yang hilang
(opportunity cost) dan bahkan kenyamanan yang
terganggu.
Metode Activity Based Costing merupakan metode
terbaik dari berbagai metode analisis biaya yang ada,
meskipun pelaksanaannya tidak semudah metode yang
lain karena belum semua rumah sakit memiliki sistem
akuntansi dan keuangan yang terkomputerisasi. Pada
metode ini biaya dikelompokkan berdasarkan masing-
masing aktifitas yang dilakukan, kemudian diidentifikasi
dan dihitung masing-masing biaya investasi, biaya
operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya tidak
langsung masing-masing aktifitas yang dilakukan.
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 186
Pengelolaan limbah medis madat merupakan suatu
serangkaian proses kegiatan yang pada pelaksanaannya
Andrianti, E. (2008). Tesis: Cost Effective Analysis Penyelenggaraan Sistem Swakelola dan Outsourcing di Kelas Paviliun RSU. Jend. A. Yani Metro Lampung tahun 2008.
Depok: Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Bagian Program dan SIM RS Kanker Dharmais. (2014). Laporan Kinerja RS Kanker Dharmais Tahun 2013. Jakarta:
Horngren, C. T., Stratton, & Sundern. (2000). Cost Accounting: A Managerial Approach 10th Edition. USA: Prentice-Hall Publishing Company.
International Comitee of the Red Cross. (2011). Medical Waste Management. Geneva: ICRC.
Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Program Kerja Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3 RSKD tahun 2015-2019. Jakarta: IKL
RSKD. Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Kumpulan Standar
Prosedur Operasional Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL
RSKD. __________. (2014). Program Penyehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais Tahun 2010.
Jakarta: IKL RS Kanker Dharmais.
__________. (2014). Uraian Tugas Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL RSKD.
__________. (2014). Key Performance Indicator Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker
Dharmais. Jakarta: IKL RSKD. Konradus, D. (2012). Keselamatan Kesehatan Kerja: Membangun SDM Pekerja Yang
Sehat, Produktif, dan Kompetitif. Jakarta: Bangka Adinatha Mulia.
Kotler, P., Lee, N. (2004). Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your Company and Your Cause. USA: Wiley.
Leontina, B., (2007). Environmental Cost Accounting. Diambil 21 Juni 2015 dari
Lubis, A. I., Dharmanegara, I. B. A. (2014). Akuntansi dan Manajemen Keuangan Rumah Sakit. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1684/MENKES/PER/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja RS Kanker Dharmais. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Mubarak, W.I. dan Chayatin, N. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika. Notoatmojo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT
Asdi Mahasatya.
__________. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni (Ed. Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Pruss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P. (2005). Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (Penerjemah: Munaya Fauziah, Mulia Sugiarti, & Ela Laelasari).
Jakarta: EGC.
Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Shareefdeen, Z. M., (2012). Medical Waste Management and Control. Diambil 13 April 2015
dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve
medik yang benar agar bisa dilaksanakan secara optimal,
monitoring dan evaluasi tentang formulir rekam medik
secara berkala, yang diberlakukannya system reward dan
punishment dalam hal kinerja pegawai. Sebelumnya
perlu dilakukan assessment persepsi dan kebutuhan
petugas kesehatan, karyawan, dan manajemen tentang
system reward dan punishment serta menjamin
komitmen mutu pimpinan dan melakukan pemutakhiran
software INA-CBGs yang terbaru sesuai dengan standar
nasional dan penambahan buku atau daftar kode
diagnosis yang disesuaikan dengan kode yang ada di
software INA-CBGs sehingga dapat meminimalkan
ketidaksesuaian koding dengan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Birchard, Karen. Irish Ombudsman finds medical records "atrocious"The Lancet;Jul 7, 2001; 358,
9275; ProQuestpg. 48. Diunduh pada tgl 3 Maret 2015. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes.2012. Pedoman penyelenggaraan
pelayanan rumah sakit. Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik.2007. Petunjuk teknis penyelenggaraan rekam medis / medical record rumah sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . Jakarta.
Hasanah U, Mahawati E, Ernawati D. Analisis perbedaan klaim INA-CBGs berdasarkan
kelengkapan data rekam medis pada kasus emergency sectio cesaria trimester I tahun 2013 di RSUD KRT Serjonegoro Kabupaten Wonosobo. Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan Indonesia. 2013; 1 (2): 53-9.
Hatta. G.R. 2011. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ika AW, Sugiarsi S.2013. Analisis perbedaan tarif riil dengan tarif paket INA-CBG pada
pembayaran klaim jamkesmas pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
Studi kasus tentang Tetralogi of Fallot di unit pediatrik kardiologi dan penyakit jantung bawaan RS Jantung Harapan Kita tahun 2014. Fakultas Kesehatan
Masyarakat.Depok: Universitas Indonesia.
Kementeri Kesehatan. 2014.Workshop nasional manajemen rumah sakit dan dewan pertimbangan medik tentang jaminan kesehatan nasional. Bandung.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia no.27 tahun
2014 tentang petunjuk teknis system Indonesia case base groups. Jakarta. Sari DP. 2011. Analisis Karakteristik individu dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja dokter dalam
kelengkapan pengisian rekam medik pasien rawat jalan di rumah sakit Hermina Depok. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Sarwanti, 2014. Analisis hubungan perilaku dokter spesialis surgical dalam pengisian kelengkapan
resume medik pasien rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Sukawan A. 2014. Hubungan kelengkapan pengisian resume medis terhadap tarif INA-CBGs di
rumah sakit umum pusat Fatmawati. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Jakarta:
Universitas Esa Unggul. Vania, RS. 2009. Analisis kelengkapan rekam medis di instalasi rawat inap RS Family Medical
Center tahun 2009. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Yuniati. 2012. Analisis hasil koding yang dihasilkan oleh coder di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s
Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 203
Gambar 1. Distribusi Kelengkapan Pengisian Resume Medis, Diagnosa Utama,
Diagnosa Sekunder dan Prosedur Utamadi RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret
Tahun 2015
Tabel 1. Gambaran Tarif INA-CBGs RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret 2015
pada tabel 5 ternyata sebanyak 52,9% responden merasa
tidak terlalu senang bekerja di RS Prikasih dan tidak
merasakan bahwa permasalahan yang terjadi di RS
merupakan permasalahan mereka kemudian sebanyak
47,1% kebanyakan tidak suka membicarakan RS
Prikasih dengan orang diluar RS (tabel 5). Menanggapi
hal ini peneliti mengambil kesimpulan perawat di RS
Prikasih memang seperti keluarga, akan tetapi ikatan
tersebut tidak terlalu kuat melibatkan perasaan emosional
perawat, sehingga perawat belum bisa merasakan
bagian dari RS dan belum merasa bangga bahwa dirinya
menjadi bagian dari RS.
Komitmen normatif merupakan komitmen dengan
perasaan wajib untuk tinggal di organisasi, berdasarkan
hasil distribusi jawaban responden pada tabel 6 sebanyak
70,6% merasa sikap loyal terhadap suatu organisasi itu
penting, akan tetapi jika responden mendapat tawaran
pekerjaan lain maka sebanyak 66,6% responden
bersedia meniggalkan RS Prikasih (tabel 6) Menurut
peneliti sulitnya membentuk komitmen normatif juga
terpengaruh dari lingkungan luar sekitar RS, melihat dari
karakteristik RS.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 210
Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dirasakan
tinggi oleh sebagian responden yaitu sebanyak 51%,
dalam telaah distribusi jawaban responden pada tabel 7
banyak responden merasa sangat sulit meninggalkan RS
padahal sebenarnya mereka ingin meninggalkan RS
(92%). Menurut Sopiah (2008) komitmen berkelanjutan
merupakan komitmen yang mana orang-orang dalam
organisasi tetap tinggal oleh karena membutuhkan gaji
atau karyawan tersebut tidak diterima kerja ditempat lain
atau bertahannya karyawan dalam suatu organisasi
disebabkan karena organisasi tersebut memberikan
banyak keuntungan-keuntungan yang tidak didapatkan
di organisasi lain.
Komitmen afektif dinyatakan memiliki hubungan
signifikan dengan turnover intention dengan p value
0,000 dengan nilai r 0,58 dengan kekuatan hubungan
adalah hubungan kuat (r > dari 0,51-0,75). Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Vandenbergh
(2008) dalam penelitiannya menyatakan hubungan
signifikan negatif, artinya semakin tinggi komitmen
afektif seseorang maka akan semakin rendah turnover
intention. Penelitian lain oleh Benjamin (2012)
mengatakan ada hubungan signifikan antara komitmen
afektif dengan turnover intention. Tingginya persepsi
komitmen afektif di suatu organisasi akan menurunkan
keinginan pindah (Vandenberg, 2003 dalam Benjamin,
2012). Peneliti merasa setuju, dengan merasa nyaman
berada dalam suatu organisasi maka orang tersebut akan
semakin bertahan dalam organisasi.
Komitmen normatif dalam penelitian ini juga dikatakan
signifikan berhubungan dengan turnover intention
dengan nilai r 0,51 keeratan hubungan kuat. Penelitian
oleh Kuean dkk. (2010) yang mengatakan ketiga
komponen komitmen organisasi (afektif, normatif,
berkelanjutan) berhubungan dengan turnover intention
dengan hubungan signifikan negatif. Dadgar et al. (2013)
hasil penelitiannya sejalan dengan penelitian ini memang
ada hubungan signifikan antara komitmen normatif
dengan turnover intention.
Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dikatakan
berhubungan dengan turnover intention dengan nilai p
value 0,037 dengan nilai r 0,21 keeratan hubungan
sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Vanderbergh (2008), Pitt (2009
yang mengatakan ada hubungan signifikan antara
komitmen berkelanjutan dengan turnover intention.
Menurut peneliti adanya hubungan ini dikatakan baik
oleh peneliti karena dengan adanya keuntungan-
keuntungan yang membuat seseorang bertahan di suatu
organisasi akan menjadikan orang tersebut betah untuk
terus tinggal dalam organisasi.
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui variabel
independen mana yang paling dominan berhubungan
dengan turnover intention, maka didapatkan hasil bahwa,
komitmen afektif dan komitmen normatif merupakan
variabel yang berhubungan bermakna dengan turnover
intention. Sedangkan komitmen afektif merupakan variabel
dominan yang berhubungan bermakna
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil univariat, rata-rata skor tertinggi yaitu pada budaya
klan sedangkan untuk komitmen organisasi rata-rata
skor tertinggi pada komitmen afektif. Hasil analisis
bivariat hubungan antara budaya organisasi (klan,
adhrokrasi, pasar, hirarki) dengan turnover intention, dari
empat tipe budaya tersebut hanya tipe budaya adhrokrasi
yang tidak berhubungan dengan turnover intention.
Hasil analisis bivariat komitmen organisasi (afektif,
normatif, berkelanjutan) dengan turnover intention,
seluruh komponen komitmen organisasi berhubungan
dengan turnover intention. Dari hasil multivariat variabel
dominan yang berhubungan dengan turnover intention
yaitu, variabel komitmen afektif.
Saran
Untuk Direktur RS
Mengaktifkan komite keperawatan, untuk menjaga
mutu perawat dan memberikan kepastian jenjang
karir kepada perawat
Untuk Manajemen RS
Membentuk komitmen awal perawat (Memperkenalkan
perawat yang baru masuk ke rapat koordinasi, secara
rutin manajemen secara aktif melakukan sosialisasi
budaya RS dan mendiskusikan visi-misi RS dalam
rapat koordinasi)
Menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan
(Melakukan survey kepuasan perawat secara rutin,
untuk mendapatkan respon umpan balik)
Membangun rasa memiliki RS (Merayakan momen
special/memberi ucapan selamat kepada perawat
Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 211
tersebut. Memberikan informasi secara berkala
mengenai pencapaian target RS )
Membangun komunikasi dengan cara memfasilitasi
wadah komunikasi rutin antara manajemen dengan
para perawat dengan tujuan perawat dapat mengeluarkan
ide-ide atau inovasi nya
Memberi dukungan akan pencapaian target (Manajemen
mendorong pencapaian target RS dengan cara
memberikan kompensasi rutin kepada perawat
apabila target tercapai.
Memberi kepastian dan rasa aman, (Manajemen
memberi kepastian kerja dengan gaji yang kompetitif,
memberikan kepastian jenjang karir kepada perawat,
memberikan pelatihan-pelatihan (diklat) rutin untuk
meningkatkan kompetensi perawat).
Memperjelas aturan dan kebijakan terkait masalah
kompensasi perawat (Manajemen memperbaharui
kebijakan secara berkala dan juga mensosialisasikan
kebijakan kompensasi secara jelas mengenai peraturan,
bonus tahunan, tunjangan perawat dengan masa kerja
tertentu).
Peningkatan Komunikasi atau dialog antar perawat
(mengadakan rapat-rapat koordinasi antara kepala
keperawatan dengan para perawat pelaksana masing-
masing unit secara rutin
Melakukan sosialisasi informasi mengenai kebijakan
baru, penyampaian informasi mengenai keadaan
RS, pencapaian target RS setiap bulan
Untuk Kepala Ruangan
Mengadakan acara bersama untuk menyambut
kedatangan perawat baru dengan unit yang bersangkutan
dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Meningkatkan komunikasi dengan perawat dengan
cara membuka kesempatan dan memfasilitasi perawat
untuk mengeluarkan pendapat pada saat rapat
koordinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andini, Rita. 2006. Analisis Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, Komitmen
Organisasional Terhadap Turnover Intention (Studi Kasus Pada Rumah Sakit
Roemani Muahmmadiyah Semarang), Tesis Universitas Diponogoro
Semarang.
Allen, N, J . Meyer, J.P. 1990. The Measurement and Antecedents of Affectuve, Continuance, and Normatif Commitment to the Organization. Journal of Occupational
Psychology. Vol.63. No.1. 1-18. Canada.
Allen, N. J.Meyer. J. P. 2004. TCM Employee Commitment Survey Academic Users Guide. London: University of Western Ontario.
Brough, P. Frame, R. 2004. Predicting Police Job Satisfaction and Turnover Intention: The role
of Social Support and Police Organizational Variabels. New Zealand Journal of Psychology, 33(1), 8-17.
Cameron. K S. Quinn. R.E. 2006. Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on
The Competing Values Framework (Revised ed). San Francisco. CA: Jossey-Bass.
Cameron, KS. Freeman, Sarah. 1991. Cultural Congruence, Strenght, and Type: Relationship to
Fahmi, Irham. 2013. Perilaku Organisasi Teori Aplikasi dan Kasus. ALFABETA Bandung. Gillies. 2000. Manajemen Keperawatan sebagai pendekatan System. W.B Saunders
Company.Philadelphia.USA.
Guntur, Ria, Mardiana, Yusuf. Haerani, Siti. Hasan, Muhlis. 2012. The Influence of Affective, Continuance and Normatif Commitments on The Turnover Intentions Of Nurses
at Makassar’s Private Hospitals In Indonesia. African Journal of Business
Management Vol. 6. http://www.academicjournals.org/AJBM. Diakses 9 Juni 2015.
Hyun Tae, Jae San Park, Kim. 2009. Do types of organizational culture matter in nurse job
satisfaction and turnover intention? Leadership in health services. http://search.proquest.com, diakses 10 Maret 2015.
Indriyani, Susila.2014. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Keinginan Pindah Kerja
(Turnover Intention) Perawat di Rumah Sakit X di Balikpapan. Kessler, Ladelsky.2013. The Effect of Organizational Culture On it Employees Turnover in Israel.
Departement of Marketing. Faculty of Economics and Business Administration.
Bolyai University. Cluj-Napoca. Romania. Pitt, S.Jennele. 2009. Relationship Between Person – Organization Fit. Job Satisfaction.
Organizational Commitemnt and Turnover Intent Among State Vocational
Rehabilitation Counselors. Disertasi. Michigan State University. United State. Mahardika, Guntur. 2006. Pengaruh Person Organization Fit terhadap Kepuasan Kerja.
Komitmen Organisasional dan Kinerja Karyawan. Tesis.Studi pada RSI PKU
Muhammadiyah Pekalongan. Magister Manajemen Universitas diponogoro. Robbins, Stephen.P.1998.Organizational Behavior. 8th edition. New Jersey
Satrianegara, Fais. M. 2014. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.Salemba Medika Jakarta.
Susila, Indriyani. 2014. Nalisis Faktor – Faktor yang berhubungan dengan Keinginan Pindah
Kerja (turnover Intention) Perawat RS.X di Balikpapan tahun 2014. Tesis.Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Sutrisno, Edi.2010. Budaya Organisasi. Kencana Prenada Media Group
Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kuantitatif .Kualitatif dan R&D. Alfaabeta.Bandung. Sudrajat, Agus.Diwa. 2009. Aspek Hukum Praktik Keperawatan. Jurnal Kesehatan Stikesyani.
Sumijatun. 2012. Membudayakan Etika dan Praktik Keperawatan. Salemba medika. Sumijatun. 2009. Manajemen Keperawatan.Trans Info Media. Jakarta
Undang – Undang RI Nomor 36. Tentang Tenaga Kesehatan.2014.
Undang – Undang RI Nomor 38. Tentang Keperawatan.2014. Vandenberghe, Christian.1999. Organizational Culture. Person-Culture Fit and Turnover: A
Replication in the Health Care. Journal of Organizational Behavior.Canada.
Vandenberghe, Cristian. Tremblay.Michael. 2008. The Role of Pay Satisfaction and Organizational Commitment in Turnover Intentions: A Two-Sample Study.Canada.
Widyastuti, Chrysanti Hana. 2009 .Hubungan Budaya Organisasi Dengan Komitmen
Organisasi Pada Perawat Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum. Skripsi. www.Eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 12 Februari 2015.
Yasin, Mahmuddin. 2014. Organisasi Manajemen Leadership. Expose (PT Mizan Publika).
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi
umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa responden dalam
kelompok usia yang lebih dari 25 tahun lebih banyak
dari pada responden dalam kelompok usia kurang dari
sama dengan 25 tahun. Responden yang berpendidikan
SMA ke bawah lebih banyak dari pada yang
berpendidikan setelah SMA. Responden yang tidak
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 218
bekerja/IRT lebih banyak dari pada responden yang
bekerja. Distribusi responden berdasarkan pembiayaan
kesehatan tidak merata. Jumlah responden paling
banyak melakukan pembiayaan kesehatan sendiri
sebanyak 72 orang (53,3%). Sedangkan jumlah
responden yang pembiayaan kesehatannya melalui
BPJS/Askes ada 63 orang (46,7%).
a. Variabel Dependen
Berdasarkan tabel 2 didapatkan rata-rata kepuasan
pasien terhadap perawatan medis dan pengobatan
dokter sebesar 3,14. Hal tersebut menunjukkan
sebagian besar responden berpendapat bahwa
perawatan medis dan pengobatan dokter di RSIA
AMC baik dan paling berpengaruh terhadap
kepuasan pasien secara keseluruhan dibandingkan
dengan dimensi kepuasan lain. Sedangkan
kepuasan pasien yang paling rendah terdapat pada
dimensi perawatan medis oleh perawat yaitu
sebesar 2,98.
Indikator hasil ukur kepuasan pada penelitian
ini dibagi menjadi kategorik puas dan tidak
puas. Pembagian berdasarkan cut-off point nilai
median hasil penelitian. Dari tabel 3 menunjukkan
sebagian besar responden merasa puas. Jumlah
responden yang merasa puas sebanyak 110
orang (81,5%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa tidak puas ada 25 orang (18,5%).
b. Variabel Independen
Berikut ini hasil ukur variabel independen yang
terdiri dari waktu tunggu pelayanan dan faktor-
faktor TQS yang mempengaruhi kepuasan
pasien yang dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan cut off nilai median hasil penelitan,
yaitu kategori baik dan kategori buruk.
Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa
lebih banyak responden yang menunggu lebih dari
60 menit. Jumlah responden yang menunggu
lebih dari 60 menit sebanyak 79 orang (58,5%).
Sedangkan jumlah responden yang menunggu
kurang dari sama dengan 60 menit ada 56 orang
(41,5%).
Sebagian besar responden diperiksa dokter
kurang dari 15 menit. Jumlah 130 orang
(96,3%). responden yang diperiksa dokter
kurang dari 15 menit sebanyak Sedangkan
jumlah responden yang diperiksa dokter lebih
dari sama dengan 15 menit hanya 5 orang
(3,7%).
Diketahui dari tabel 5 bahwa rata-rata waktu
tunggu poliklinik di RSIA AMC adalah 88,39
menit, dan rata-rata waktu pemeriksaan dokter
adalah 6,69 menit.
Sebagian besar responden merasa infrastruktur
rumah sakit baik. Jumlah responden yang merasa
infrastruktur rumah sakit baik sebanyak 101 orang
(74,8%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit buruk ada 34
orang (25,2%).
Responden merasa proses pelayanan Berdasarkan
penelitian pada tabel 7 tampak sebagian besar
responden merasa kualitas personil rumah sakit
baik. Jumlah responden yang merasa kualitas
personil rumah sakit baik sebanyak 85 orang
(63%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit buruk ada 50
orang (37%).
Pada tabel 8, hasil penelitian tampak hampir
semua klinis rumah sakit baik. Jumlah
responden yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit baik sebanyak 129 orang
(95,6%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa proses pelayanan klinis rumah sakit
buruk hanya 6 orang (4,4%).
Pada tabel 9, sebagian besar responden merasa
pelayanan administrasi rumah sakit baik.
Jumlah responden yang merasa pelayanan
administrasi rumah sakit baik sebanyak 101
orang (74,8%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit buruk ada 34 orang (25,2%).
Hasil penelitian pada tabel 10 sebagian besar
responden merasa indikator keselamatan
rumah sakit baik. Jumlah responden yang
merasa indikator keselamatan rumah sakit baik
sebanyak 109 orang (80,7%). Sedangkan
jumlah responden yang merasa indikator
keselamatan rumah sakit buruk ada 26 orang
(19,3%).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 219
Dari hasi penelitian pada tabel 11, sebagian
besar responden merasa keseluruhan pengalaman
perawatan medis rumah sakit baik. Jumlah
responden yang merasa pengalaman perawatan
medis rumah sakit baik sebanyak 116 orang
(85,9%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa pengalaman perawatan medis rumah
sakit buruk ada 19 orang (14,1%).
Tampak bahwa hampir semua responden
merasa tanggung jawab sosial rumah sakit
baik. Jumlah responden yang merasa tanggung
jawab sosial rumah sakit baik sebanyak 123
orang (91,1%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa tanggung jawab sosial rumah
sakit buruk ada 12 orang (8,9%) (ditampilkan
dalam tabel 12).
2. Analisis Bivariat ( Uji Chi Square)
1. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Ada 64 orang (91%) yang merasa puas pada
mereka yang menunggu lebih dari 60 menit.
Sedangkan pada responden yang menunggu
kurang dari sama dengan 60 menit ada 46
orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji
diperoleh niali OR (odds rasio) 1,08 artinya
waktu tunggu poliklinik yang baik memiliki
peluang untuk memberikan kepuasan pasien
sebesar 1,08 kali lebih besar dibandingkan
dengna waktu tunggu polilinik yang buruk.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1 artinya
p.value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
hipotesis nol (Ho) diterima, dan Hipotesis
alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu tunggu poliklinik
dengan kepuasan pasien (ditampilkan dalam
tabel 13).
2. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien diperoleh
bahwa ada 105 orang (80,8%) yang merasa
puas pada mereka yang diperiksa kurang dari
15 menit. Sedangkan pada responden yang
diperiksa lebih dari sama dengan 15 menit ada
5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value
> alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
hipotesis nol (Ho) diterima, dan hipotesis
alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien (ditampilkan
dalam tabel 14).
3. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara infrastruktur
dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
25 orang (73,5%) yang merasa puas pada
mereka yang merasa infrastruktur rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85
orang (84,2%) yang merasa puas. Hasil uji
diperoleh nilai OR = 1,91 artinya infrastruktur
yang baik memiliki peluang untuk memberikan
kepuasan pasien sebesar 1,91 kali lebih besar
dibandingkan dengan infrastruktur yang buruk
di RSIA AMC Metro. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha
(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan proporsi kepuasan pelanggan antar
infrastruktur, yang artinya hipotesis nol (Ho)
diterima, dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak
atau tidak ada hubungan yang signifikan antara
infrastruktur dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 15).
4. Hubungan Kualitas Personil dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara kualitas personil
dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
32 orang (64%) yang merasa puas pada
mereka yang merasa kualitas personil rumah
sakit buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit baik ada
78 orang (91,8%) yang merasa puas. nilai
OR=6,268, artinya responden yang merasa
kualitas personil rumah sakit baik memiliki
peluang 6,268 kali untuk merasa puas
dibanding responden yang merasa kualitas
personil rumah sakit buruk. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,0001 artinya p value ≤
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 220
alpha (0,05) maka dapat disimpulkan Ho
ditolak, dan Ha diterima atau ada hubungan
yang signifikan antara kualitas personil dengan
kepuasan pasien (ditampilkan dalam tabel 16).
5. Hubungan Pelayanan Klinis dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan
klinis dengan kepuasan pasien diperoleh
bahwa ada 4 orang (66,7%) yang merasa puas
pada mereka yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit buruk. Sedangkan pada
responden yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit baik ada 106 orang (82,2%)
yang merasa puas. Hasil uji diperoleh nilai OR
= 2,30 artinya pelayanan klinis yang baik
memiliki peluang untuk memberikan kepuasan
pasien sebesar 2,30 kali lebih besar dibandingkan
dengan pelayanan klinis yang buruk di RSIA
AMC Metro. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,308 artinya p value > alpha (0,05) maka
dapat disimpulkan Ho diterima, dan Ha ditolak
atau tidak ada hubungan yang signifikan antara
pelayanan klinis dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 17).
6. Hubungan Antara Pelayanan Administrasi
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan pada tabel 18 antara
pelayanan administrasi dengan kepuasan
pelanggan diperoleh bahwa ada 22 orang
(64,7%) yang merasa puas pada mereka yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
baik ada 88 orang (87,1%) yang merasa puas.
Hasil uji nilai OR=3,70, artinya responden
yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit baik memiliki peluang 3,70 kali untuk
merasa puas dibanding responden yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
buruk. Uji statistik diperoleh nilai p=0,008
artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat
disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima atau
ada hubungan yang signifikan antara
pelayanan administrasi dengan kepuasan
pasien di RSIA AMC Metro.
7. Hubungan Indikator Keselamatan dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara indikator
keselamatan dengan kepuasan pelanggan
diperoleh bahwa ada 19 orang (73,1%) yang
merasa puas pada mereka yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit baik ada 91
orang (83,5%) yang merasa puas. Hasil uji nilai
OR=1,86, artinya responden yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit baik
memiliki peluang 1,86 kali untuk merasa puas
dibanding responden yang merasa indikator
keselamatan rumah sakit buruk. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value
> alpha (0,05), maka dapat disimpulkan Ho
diterima, dan Ha ditolak atau tidak ada
hubungan yang signifikan antara indikator
keselamatan dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 19).
8. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan antara pengalaman
perawatan medis dengan kepuasan pelanggan
diperoleh bahwa ada 10 orang (52,6%) yang
merasa puas pada mereka yang merasa
pengalaman perawatan medis rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa pengalaman perawatan medis rumah
sakit baik ada 100 orang (86,2%) yang merasa
puas (ditampilkan dalam tabel 20).
9. Hubungan Tanggung Jawab Sosial dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Dari tabel 21 hasil analisis hubungan antara
tanggung jawab sosial dengan kepuasan
pelanggan diperoleh bahwa ada 3 orang (25%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa
tanggung jawab sosial rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa
tanggung jawab sosial rumah sakit baik ada
107 orang (87%) yang merasa puas. Dari hasil
analisis diperoleh nilai OR=20,06, artinya
responden yang merasa tanggung jawab sosial
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 221
rumah sakit baik memiliki peluang 20,06 kali
untuk merasa puas dibanding responden yang
merasa tanggung jawab sosial rumah sakit
buruk. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,0001 artinya p valeu ≤ alpha (o,05) maka
dapat disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima
atau ada hubungan antara tanggung jawab
sosial dengan kepuasan pasien di RSIA AMC
Metro.
3. Analisis Multivariat
Variabel yang dominan dan paling berpengaruh
terhadap kepuasan pasien dapat dilihat pada ada
tabel 21 dengan menilai interpretasi dari nilai OR.
Sehingga dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Responden yang merasa tanggung jawab
sosial rumah sakit baik memiliki peluang 57,34
kali untuk merasa puas dibanding responden
yang merasa tanggung jawab sosial rumah
sakit buruk.
2. Responden yang merasa kualitas personil
rumah sakit baik memiliki peluang 14,98 kali
untuk merasa puas dibanding responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit buruk.
3. Responden yang merasa pengalaman
perawatan medis rumah sakit baik memiliki
peluang 2,90 kali untuk merasa puas dibanding
responden yang merasa pengalaman perawatan
medis rumah sakit buruk.
Karakteristik Responden
Umur penting dalam suatu penelitian kepuasan. Seiring
bertambahnya usia maka pengalaman juga bertambah.
Usia lebih dari 25 tahun merupakan suatu periode
kehidupan seseorang yang telah berkembang matang.
Pasien yang muda biasanya memberikan kerjasama
yang baik, karena mereka memang dalam suatu masa
yang sedang berkembang dan menyesuaikan terhadap
berbagai macam hubungan dan perkembangan tanggung
jawab. Dari hasil penelitian ini responden dalam
kelompok usia lebih dari 25 tahun lebih banyak dari pada
responden dalam kelompok usia kurang dari sama
dengan 25 tahun. Melihat usia yang dimiliki responden
tersebut menunjukkan bahwa responden telah mampu
untuk menilai mana pelayanan yang memuaskan dan
mana pelayanan yang tidak memuaskan di RSIA
AMC.
Pendidikan dan pengetahuan yang tinggi menuntut
pelayanan yang lebih baik. Pendidikan pasien dapat
mempengaruhi kepuasan akan pelayanan sesuai dengan
nilai-nilai dan harapan pasien (Handayani, 2003).
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin pasien
kurang menunjukkan penyesuaian diri dengan
informasi yang diperoleh dan kebiasaan rutin di rumah
sakit. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan maka
pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015). Responden
dalam penelitian ini lebih banyak yang berpendidikan
SMA kebawah daripada berpendidikan setelah SMA.
Jumlah yang berpendidikan SMA kebawah ada 74
orang, sedangkan jumlah responden yang berpendidikan
setelah SMA ada 61 orang.
Dari hasil penelitian, dilihat dari pekerjaan responden,
lebih banyak yang tidak berkerja atau ibu rumah tangga.
Jumlah responden yang tidak bekerja ada 91 orang, dan
responden yang bekerja ada 44 orang. Hal ini tentu
mempengaruhi pola pikir responden dalam memberikan
penilaian berdasarkan perbandingan antara persepsi
dengan informasi yang diperoleh (Kosim, 2015).
Dari hasil penelitian, dilihat dari pembiayaan kesehatan,
ada 63 responden yang melakukan pembayaran dengan
BPJS/Askes, dan ada 72 responden dengan biaya
sendiri. Penghasilan dapat mempengaruhi kepuasan
pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Bagi
pasien yang berpenghasilan tinggi dan merasa mampu
membayar maka tidak akan mudah merasa puas bila
pelayanan sesuai dengan harapannya, terkadang mereka
lebih banyak menuntut. Sedangkan pasien dengan
pembiayaan kesehatan murah cenderung tidak banyak
keluhan (Handayani, 2003).
Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah
Sakit Secara Keseluruhan di RSIA AMC Metro
Dari hasil penelitian, sebagian besar responden di
poliklinik kebidanan dan kandungan RSIA AMC
merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan. Ada 81,5% responden yang merasa puas,
dan 18,5% responden yang merasa tidak puas. Sebagian
besar pasien merasa puas terhadap pelayanan rumah
sakit secara keseluruhan, hal ini bisa saja dipengaruhi
oleh kondisi psikologis pasien atau ibu yang sedang
hamil saat memeriksakan kandungannya di poliklinik
RSIA AMC. Kehamilan merupakan dambaan sebagian
besar pasangan yang menikah “Happy babies begin
with happy pregnancy”, menyangkut hal itu terdapat
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 222
penelitian yang membuktikan bahwa kondisi psikologi
dan emosi seorang ibu hamil sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan pada penelitian ini adalah menilai indikator-
indikator sebagai berikut :
1. Kepuasan terhadap perawatan medis dan juga
pengobatan yang diberikan oleh dokter menempati
urutan tertinggi dalam rata-rata penilaian kepuasan
pasien, yaitu 3,14. Menurut Umar (1999), kepuasan
pelanggan adalah tingkat perasaan pelanggan setelah
membandingkan dengan harapannya. Seorang yang
merasa puas terhadap nilai yang diberikan oleh
produk atau jasa kemungkinan besar akan menjadi
pelanggan dalam waktu lama. Dari hasil penelitian, di
RSIA AMC ada tiga dokter spesialis obgyn yang
praktek, dan masing-masing dokter telah mendapat
hati dari tiap-tiap pasien. Responden sudah merasa
nyaman berobat dengan dokter spesialis obgyn
tersebut, karena menurut pandangan pasien dokter
tersebut berkompeten, melayani pasien dengan baik,
mampu berkomunikasi yang efektif dan mudah
dipahami oleh pasien.
2. Indikator yang kedua pasien menilai kepuasan
dalam hal kenyamanan yang dihubungkan dengan
lingkungan rumah sakit. Penilaian rata-rata pasien
adalah 3,06. Menurut Jacobalis (2009) kenyamanan
dan kemudahan fasilitas dan lingkungan dapat
mempengaruhi kepuasan pasien. Dari hasil
penelitian RSIA AMC Metro menurut pasien
sudah cukup bersih dan rapih, lokasi RS yang tidak
dipinggir jalan utama membuat suasana yang
nyaman dan tidak bising. Akses yang mudah
dicapai juga merupakan salah satu nilai jual bagi
RSIA AMC.
3. Yang ketiga yaitu kepuasan yang melibatkan proses
di rumah sakit (misalnya pendaftaran, perawatan,
waktu tunggu, pengobatan, pemulangan). Rata-rata
responden menilai proses administrasi yaitu 2,99.
Pelayanan administrasi merupakan salah satu
indikator penting dalam mempengaruhi kepuasan
pasien. Dari hasil penelitian, pelayanan yang
melibatkan administrasi pasien ditangani dengan
segera, dan tidak berbelit-belit. Pasien pun mudah
dalam membutuhkan informasi melalui telefon.
Menurut Kotler dan Keller 2009 dalam Kosim
2015, apabila responden menilai pelayanan
administrasi yang diberikan baik, maka kualitas
pelayanan akan dipersepsikan baik dan memuaskan.
4. Indikator yang paling rendah menurut penilaian
responden adalah kepuasan terhadap perawatan
medis yang diberikan oleh perawat. Rata- rata
penilaian responden adalah 2,98. Dari hasil
penelitian, responden mengungkapkan bahwa ada
perawat yang kurang ramah, kurang telaten, dan
kurang dalam memberikan perhatian kepada
pasien. Adapun kepuasan pasien dapat dipengaruhi
oleh kepuasan yang berorientasi pada penerapan
kode etik dan standar pelayanan, salah satunya
meliputi hubungan antara perawat dan pasien
(Azwar, 1994). Kepuasan dan ketidakpuasan
layanan rumah sakit juga erat kaitannya dengan
perawat dan petugas lain di rumah sakit (Jacobalis,
2009).
Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu tunggu poliklinik
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada 64
orang (91%) yang merasa puas pada mereka yang
menunggu lebih dari 60 menit. Sedangkan pada
responden yang menunggu kurang dari sama dengan 60
menit ada 46 orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=1 maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu
tungggu poliklinik dengan kepuasan pelanggan. Dalam
penelitian ini meskipun waktu tunggu lama, namun
didapatkan pasien yang tetap merasa puas, hal ini
disebabkan karena pasien sudah ada pengalaman
sebelumnya, pasien sudah pernah berobat atau dirawat
sehingga sudah dapat merasakan pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit baik itu dari perawat maupun
dokter dan sudah merasa cocok dengan dokter spesialis
yang memeriksa. Kepuasan pada aspek komunikasi
pada konsultasi sangat mempengaruhi aspek lain dari
interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Namun
demikian pihak manajemen rumah sakit juga perlu
melakukan perbaikan waktu tunggu yang lama ini
dengan membuat kebijakan dan teguran lisan kepada
dokter spesialis supaya memperbaiki jadwal praktek
dengan lebih disiplin dan tepat waktu, supaya pasien
tidak lama menunggu dan juga untuk meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit. Dalam hal waktu tunggu,
dari penelitian petugas atau perawat kurang berinteraksi
dengan pasien yang sedang dalam masa tunggu, dengan
kondisi seperti itu maka akan menyebabkan lama
pelayanan kesehatan dianggap kurang bermutu
(Syafruddin, 2011).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 223
Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter Dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
105 orang (80,8%) yang merasa puas pada mereka yang
diperiksa kurang dari 15 menit. Sedangkan pada
responden yang diperiksa lebih dari sama dengan 15
menit ada 5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value > alpha
(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu pemeriksaan dokter
dengan kepuasan pasien di RSIA AMC Metro. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pasien yang merasa
puas pada waktu pemeriksaan dokter buruk (<15 menit)
menganggap dokter spesialis yang memeriksa mereka
telah memberikan pelayanan dan penjelasan dengan
ramah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan (2012) yang meneliti
tentang lama waktu pemeriksaan di poliklinik spesialis,
bahwa tidak ada hubungan antara lama waktu
pemeriksaan dokter dengan kepuasan pasien. Hasil yang
tidak signifikan antara waktu pelayanan dengan kepuasan
pasien dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana kepuasan
adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang
muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya
terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-
harapannya (Kotler, 1997), jadi dapat dikatakan pasien
yang merasakan waktu pemeriksaan dokter kurang
lama namun tetap merasa puas karena perasaan puas
seseorang itu berbeda-beda dan dipengaruhi oleh persepsi
dan kesan mereka setelah medapatkan pelayanan. Dalam
hal ini pasien sudah merasa nyaman dan cocok dengan
dokter yang memeriksa, dan hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian ini tentang dimensi kepuasan pasien yang paling
tinggi di RSIA AMC adalah pada dimensi perawatan medis
dan pengobatan oleh dokter. Kemudian dapat juga
dihubungkan dengan karakteristik pasien, dimana
karakteristik individu merupakan determinan dan indikator
kualitas pelayanan kesehatan dan mempengaruhi
kepuasan pasien. Dari penelitian ini pendidikan responden
lebih banyak yang berpendidikan ≤ SMA, pendidikan juga
akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap
pelayanan kesehatan, semakin rendah pendidikan maka
pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015)
Hubungan antara Infrastruktur dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara infrastruktur dengan
kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 25 orang (73,5%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa infrastruktur
rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85 orang
(84,2%) yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,261 artinya p value > alpha (0,05) maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
infrastruktur dengan kepuasan pasien.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mengaku tidak puas pada infrastruktur buruk, mereka
beranggapan bahwa infrastruktur mengenai tempat
pendaftaran terletak jauh dari poliklinik dan sarana
lainnya, serta menyebrangi jalan yang dilalui oleh
kendaraan umum.
Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara kualitas personil dengan
kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 32 orang (64%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa kualitas
personil rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden
yang merasa kualitas personil rumah sakit baik ada 78
orang (91,8%) yang merasa puas. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,0001 maka dapat disimpulkan ada
hubungan yang signifikan antara kualitas personil
dengan kepuasan pasien. Dari hasil penelitian,
berdasarkan 14 pertanyaan yang diberikan, responden
yang menilai kualitas personil kurang baik paling banyak
pada dimensi pertanyaan waktu konsultasi dan periksa
oleh dokter cukup lama. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian ini yang menunjukkan bahwa waktu
pemeriksaan dokter memberi hasil paling banyak pada
waktu pemeriksaan < 15 menit. Pasien yang mengaku
puas pada kualitas personil buruk menganggap waktu
konsultasi dan pemeriksaan dokter yang kurang lama,
namun pasien tetap datang ke RSIA AMC karena
menganggap dokter yang memeriksa mereka adalah
dokter yang kompeten dan terampil, serta menjelaskan
diagnosa dengan jelas.
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 224
Hubungan Proses Pelayanan Klinis dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan klinis
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa 66,7%
responden yang merasa puas pada mereka yang merasa
proses pelayanan klinis rumah sakit buruk. Dan 82,2%
responden merasa puas pada proses pelayanan klinis
rumah sakit baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,308 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara proses pelayanan klinis dengan
kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien yang mengaku puas pada pelayanan klinis
buruk menganggap bahwa informasi penyakit tidak
diberikan secara detail namun mereka tetap merasa puas
karena sudah nyaman dengan dokter yang memeriksa.
Sehingga mereka tetap kembali berobat ke RSIA AMC
dengan memilih dokter yang sesuai dengan kenyamanan
pasien. Meskipun demikian tentunya hal yang membuat
ketidakpuasan pasien dalam hal proses pelayanan klinis
harus tetap di evaluasi oleh rumah sakit, dokter perlu
memberikan waktu untuk memberikan penjelasan
penyakit atau kondisi pasien dengan detail supaya pasien
jelas akan kondisinya, peran perawat pun sangat penting
dalam membantu dokter yaitu dengan selalu
mendampingi dokter pada saat pemeriksaan pasien serta
bersikap sabar dan perhatian terhadap pasien, sehingga
pasien merasa diperhatikan dan dilayani dengan baik.
Hubungan Pelayanan Administrasi dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara pelayanan administrasi
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
64,7% yang merasa puas pada mereka yang merasa
pelayanan administrasi rumah sakit buruk. Dan 87,1%
responden yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit baik yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,008 maka dapat disimpulkan ada hubungan
antara pelayanan administrasi dengan kepuasan
pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
yang mengaku puas pada pelayanan administrasi yang
buruk menjawab tentang tidak mudah untuk melakukan
perjanjian dengan dokter spesialis, namun mereka tetap
merasa puas karena mendapatkan pelayanan proses
administrasi yang cepat.
Proses administrasi adalah persiapan baik untuk masuk,
selama dalam perawatan, maupun pemulangan pasien.
tanggapan responden terhadap pelayanan administrasi
pada penelitian ini yaitu prosedur pendaftaran dan
pemulangan relatif cepat. Proses pelayanan administrasi
tidak berbelit-belit.
Bagian penerimaan pasien di rumah sakit mempunyai
pengaruh dan nilai penting walaupun belum ada
tindakan-tindakan pelayanan medis khusus kepada
pasien. Kesan pertama akan memberikan arti tersendiri
bagi pasien untuk melalui proses selanjutnya. Dalam hal
kemudahan membuat perjanjian dengan dokter, pihak
manajemen mungkin perlu menyediakan kemudahan
layanan berupa sistem pendaftaran dengan appointment.
Sehingga pasien dapat memilih waktu dan dokter yang
sesuai dengan keinginan mereka. Tentunya dokter
spesialis pun harus mendukung dan berkomitmen pada
jadwal yang telah ditentukan.
Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara indikator keselamatan
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
73,1% yang merasa puas pada mereka yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit buruk. Sedangkan
pada responden yang merasa indikator keselamatan
rumah sakit baik ada 83,5% yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha
(0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara indikator keselamatan dengan
kepuasan pasien di RSIA AMC. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara indikator keselamatan dengan kepuasan pasien,
namun rumah sakit tetap harus selalu mengutamakan
keselamatan pasien dalam segala hal. Rumah sakit perlu
memperhatikan keamanan pasien dengan menyediakan
pegangan tangan di lorong/koridor rumah sakit dan di kamar
mandi, menyediakan tempat cuci tangan pada ruang tunggu
poliklinik, di setiap pintu ruang rawat inap, sebagai
pencegahan dan hygiene serta langkah awal mengajarkan
perilaku hidup sehat kepada pasien dan keluarga pasien serta
tenaga medis di RSIA AMC khususnya.
Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara pengalaman perawatan
medis dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
52,6% yang merasa puas pada mereka yang merasa
pengalaman perawatan medis rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa pengalaman
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 225
perawatan medis rumah sakit baik ada 86,2% yang
merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002
artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara pengalaman
perawatan medis dengan kepuasan pasien di RSIA
AMC Metro.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden
akan merekomendasikan rumah sakit ini kepada
anggota keluarga lain atau teman. Menurut Kotler
(1997) konsumen yang terpuaskan akan menjadi
pelanggan mereka dan akan melakukan pembelian
ulang, mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan
kepada orang lain, kurang memperhatikan merek
ataupun iklan produk pesaing, membeli produk yang
lain dari perusahaan yang sama. Kepuasan pasien yang
berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan
kecepatan pelayanan dapat berpengaruh langsung
maupun tidak langsung terhadap kualitas pelayanan
(Jacobalis,2009).
KESIMPULAN AN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Karakteristik responden di instalasi rawat jalan
poliklinik kebidanan dan kandungan adalah,
sebagian besar berusia > 25 tahun, yaitu sebanyak
77,8%. Pendidikan responden lebih banyak ≤
SMA, yaitu 54,8%. Pekerjaan responden sebagian
besar ibu rumah tangga atau tidak bekerja, yaitu
67,4%. Pembiayaan kesehatan yang lebih banyak
digunakan oleh responden adalah biaya sendiri,
yaitu 53,3 %. Karakteristik individu merupakan
determinan dan indikator kualitas pelayanan
kesehatan dan mempengaruhi kepuasan pasien.
2. Waktu tunggu poliklinik tidak mempengaruhi
kepusan pasien. Diketahui ada 91% responden
yang menunggu lebih dari 60 menit yang merasa
puas.
Kepuasan seseorang muncul setelah membandingkan
antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja yang
telah di dapat. Kepuasan pasien juga dapat
dipengaruhi oleh pendidikan seseorang, dimana
semakin rendah pendidikan maka pasien akan
semakin patuh.
3. Waktu pemeriksaan dokter tidak mempengaruhi
kepuasan pasien. Diketahui ada 80,8% responden
yang diperiksa kurang dari 15 menit yang merasa
puas. Komunikasi dan diskusi secara terbuka
memungkinkan pasien memperoleh penjelasan
yang jelas dan lengkap dapat berpengaruh terhadap
mutu pelayanan yang berhubungan dengan
kepuasan. Pasien juga akan merasa puas jika
memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai
dengan yang diharapkan.
4. Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit di
Pemecahan Masalah). Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Arlym., L. (2010). Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Instalasi Rawat Jalan Rumah
Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2010. Depok. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia. Brewster, C., Farndale, E., Ommeren, J.V. (2000). HR competencies and professional standards,
HR Competencies and Professional Standards Project, Cranfield School of Management, Cranfield University, UK
Chen BL, Li ED, Yamawuchi K, Kato K, Naganawa S, Miao WJ. (2010). Impact of
Adjustment Measures on Reducing Outpatient Waiting Time in a Community Hospital. Application of a Computer Simulation. Chin. Med. Pubmed.
Chilgren, A.A. (2008). Manager and The New Definition of Quality. Journal of Healthcare
Management, 53 (4):221
Dahlan, M. Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika.
Dansky, K.H., (1997). Patient Satisfaction with Ambulatory Healthcare Services: Waiting Time
and Filling Time. Hospital and Health Services Administration. ProQuest. David (2014). Hubungan Keterlambatan Kedatangan Dokter Terhadap Kepuasan Pasien di
Instalasi Rawat Jalan. Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang. Donovan, M, & Theodore A. Matson. (1994). Outpatient Case Management : Strategies for A
New Reality by American Hospital Publishing, inc. an American Hospital Asssociation
Company. Harper PR, Gamlin HM. (2003). Reduced Oupatient Waiting Times with Improved
Appointment Scheduling : a Simulation Modelling Approach or Spectrum, 25 : 207-
222 Handayani, Sri, E., (2003). Analisis Pengaruh Karakteristik Pasien Terhadap Kepuasan Pasien
Dalam Hal Mutu Pelayanan Kesehatan di Unit Rawat Inap Puskesmas Maos
Kabupaten Cilacap. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro Semarang.
Irmayanti, Meliono, dkk., (2007). MPKT Modul 1. Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta.
J.B. Suharjo B. Cahyono (2008). Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta; Kanisius; 2008. L
Kaltz, G. et al. (1982). Ambulatory Care and Regionalization in Multi-institutional health Sysytem.
An Aspen Publication. Karassavidou, E., Glaveli, (2009). Quality in Nhs Hospitals: No one Knows Better Than Patients.
Measuring Business Excellence J, 13 (1): 34-46
Khairani, L., (2010). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien Rawat Jalan RSUD Pasaman Barat. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit. Jakarta. Kurniawan, Fransiscus, N.H., (2012). Kecepatan Waktu Pelayanan Rumah Sakit Berpengaruh
Terhadap Kepuasan Pasien. Stikes RS Baptis Kediri.
Kosim, Dania., (2015). Analisis Faktor Total Quality Service Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Ibu RSIA Buah Hati Ciputat tahun 2014.
Kotler,P. (1997). Manajemen Pemasaran. Jakarta. PT. Prenhallindo
Mardiah, F, Poni., (2013). The Analysis of Appointment System to reduce Outpatient Waiting Time at Indonesia’s Public Hospital. Human Resources Management, ITB, Bandung.
McGahon, H. (2013). Service Improvement: Reducing Physiotherapy Outpatient Waiting
Times. Cumbria partnership Journal of Research Pravtice and Learning. Munawaroh, Siti (2011). Analisis Hubunan Karakteristik dan Kepuasan Pasien dengan
Loyalitas Pasien di RSUA Dr.Sutomo Ponorogo. Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Mursyida, F. Rikhly. (2011). Kepuasan Ibu Hamil dan Persepsi Kualitas Pelayanan Antenatal
Care di Puskesmas Tanjung Kabupaten Sampang Madura. FKM UNDIP.
Najmuddin AF., Ibrahim IM, Imail SR (2010). Simulation Modeling and Analysis of Multiphase Patient Flow in Obstetrics and Gynecology Department in Specialist Centre. ASM’10
Proceedings of the 4th International Conference on Applied Mathematics, Simulation,
Modeling, 125 – 130. Pubmed. Nosek, R, Antony, J.P.W., (2001). Queuing Theory and Customer Satisfaction : A Review of
Therminology, Trends, and Applications to Pharmacy Practice. Hospital Pharmacy,
36.4 Ratnamiasih, Ina. (2012). Kompetensi SDM dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit. Fakultas
Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung. Vol.11, No 1. Hal.49-57.
Rustiyanto, E., (2010). Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang Teritegrasi. ( l ed ) : Gosyen Publishing
Shi, L., and Lindstrom, S.(2007). Managing Human Resources in Health Care Organizations – Human Resources in the Health Care Sector. USA: Jones and Bartlett Publishers, Inc.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Syafruddin (2011). Gambaran Lama Pelayanan Pada Unit Rawat Jalan Berdasarkan Ketepatan
Waktu, Keterampilan Petugas, Serta Kelengkapan Sarana di Unit Rawat Jalan RS Tidore Selatan
Tjiptono (1999). Prinsip-Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta.
Toh, L. Shuet (2011). Patient Waiting Time As a Key Performance Indicator at Orthodontic Specialist Clinics In Selangor. Malaysian Journal of Public Health Medicine.
Umar I., Oceh M.O., and Umar A.S., (2011). Patient Waiting Time in a Tertiary Health
Institution in Northern Nigeria. Journal of Public Health and Epidemiology Utama, S. (2005). Memahami fenomena kepuasan pasien rumah sakit. Jurnal Manajemen
Kesehatan. 09 (1), 1-7
Wijewickrama AK., Takakuwa S., (2006). Simulation Analysis of an Outpatient Department of Internal Medicine in a University Hospital. Proceedings of the 2006 Winter Simulation
Yu Q, Yang K (2008). Hospital Registration Waiting Time Reduction Through Process
Redesign. International Journal of Six Sigma ad Cempetitive advantage.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 227
Zhu Zc, Heng BH, Teow KL (2010). Analysis of Factors Causing Long patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. J Med Syst, in Press.
Zhu et al., (2010). Analysis of Factors Causing Long Patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. Publised Online. Springer Science Business Media.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Tabel 2. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit Secara
Keseluruhan
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kepuasan Pasien
Kepuasan Pasien Jumlah Persentase (%)
Tidak Puas 25 18.5
Puas 110 81.5
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tunggu Pelayanan
No. Variabel Waktu Tunggu Pelayanan Jumlah Persentase%
1
Waktu Tunggu Poliklinik
1. Buruk (>60 menit) 2. Baik (≤60 menit)
79 56
58,5 41,5
2
Waktu Pemeriksaan Dokter
1. Buruk (<15 menit) 2. Baik (≥15 menit)
130 5
96,3 3,7
Tabel 5. Mean Waktu Tunggu Pelayanan RSIA AMC
No. Waktu Tunggu Pelayanan Mean (menit)
1 Waktu Tunggu Poliklinik 88,39
2 Waktu Pemeriksaan Dokter 6,69
Karakteristik Jumlah Persentase %
USIA :
≤ 25 tahun
>25 tahun
30
105
22,2
77.8
TINGKAT PENIDIKAN :
≤ SMA
>SMA
74
61
54,8
45,2
PEKERJAAN : Tidak Bekerja/IRT
Bekerja
91
44
67,4
32,6
PEMBIAYAAN KESEHATAN :
BPJS/ASKES
Biaya Sendiri
63
72
46,7
53,3
No. Dimensi Kepuasan Rata-rata
1 Yang melibatkan proses di RS (Administrasi) 2,99
2 Perawatan medis dan pengobatan oleh dokter 3.14
3 Perawatan medis oleh perawat 2,98
4 Kenyamanan lingkungan rumah sakit 3,06
Jurnal ARSI/Juni 2016 1
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 228
Tabel 6. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Infrastuktur
Infrastuktur Jumlah Persentase (%)
Buruk 34 25.2
Baik 101 74.8
Tabel 7. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Kualitas Personil
Tabel 8. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Proses Pelayanan Klinis
Tabel 9. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Pelayanan Administrasi
Tabel 10. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Indikator Keselamatan
Indikator Keselamatan Jumlah Persentase (%)
Buruk 26 19.3
Baik 109 80.7
Tabel 11. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Keseluruhan Pengalaman
Perawatan Medis
Pengalaman Perawatan Medis Jumlah Persentase (%)
Buruk 19 14.1
Baik 116 85.9
Tabel 12. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Tanggung Jawab Sosial
Tanggung Jawab Sosial Jumlah Persentase (%)
Buruk 12 8.9
Baik 123 91.1
Kualitas Personil Jumlah Persentase (%)
Buruk 50 37
Baik 85 63
Proses Pelayanan Klinis Jumlah Persentase (%)
Buruk 6 4.4
Baik 129 95.6
Pelayanan Administrasi Jumlah Persentase (%)
Buruk 34 25.2
Baik 101 74.8
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 229
Tabel 13. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan Kepuasan Pasien
Waktu Tunggu
Poliklinik
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk
(>60 menit) 15 19 64 91 79 100
1 Baik
(≤60 menit) 10 17,9 46 82,1 56 100
1,08
(0,45-2,61)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 14. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter dengan Kepuasan Pasien
Waktu Pemeriksaan
Dokter
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk
(<15 menit) 25 19,2 105 80,8 130 100
0,584 Baik
(≥15 menit) 0 0 5 100 5 100
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 15. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan Pasien
Infrastruktur
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 9 26,5 25 73,5 34 100
0,261 Baik
16 15,8 85 84,2 101 100 1,91
(0,75-4,85)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 16. Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan Pasien
Tabel 17. Hubungan Pelayanan Klinis dengan Kepuasan Pasien
Proses Pelayanan
Klinis
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 2 33,3 4 66,7 6 100
0,308 Baik
23 17,8 106 82,2 129 100 2,30
(0,39-13,34)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Kualitas
Personil
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 18 36 32 64 50 100
<0,0001 Baik
7 8,2 78 91,8 85 100 6,27
(2,389-16,45)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 230
Tabel 18. Hubungan Pelayanan Administrasi dengan Kepuasan Pasien
Pelayanan
Administrasi
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 12 35,3 22 64,7 34 100
0,008 Baik
13 12,9 88 87,1 101 100 3,70
(1,48-9,20)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 19. Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan Pasien
Tabel 20. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan Kepuasan Pasien
Pengalaman
Perawatan Medis
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 9 47,4 10 52,6 19 100
0,002 Baik
16 13,8 100 86,2 116 100 5,63
(1,98-15,97)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 21. Hasil Seleksi Variabel Independen dengan Uji Regresi Logistik
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik
dengan melakukan observasi. Adapun pendekatan
yang digunakan adalah kualitatif observasi disertai
wawancara mendalam untuk mendapatkan kejelasan
suatu aktifitas pelayanan yang dilakukan dalam
penerapan keselamatan pasien Coronary artery
Disease (CAD) pro Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) berdasarkan Standar keselamatan
pasien, dan divalidasi dengan hasil dokumentasi di
dalam rekam medis. Pada penelitian ini diawali dengan
melakukan pengamatan terhadap petugas medis, non
medis dan administrasi dalam menerima pasien mulai
dari pasien masuk melalui rawat jalan, pasien dirawat
hingga pasien pulang sembuh .penelitian ini melibatkan
juga tenaga kesehatan (perawat atau dokter) untuk
membantu dalam penelitian namun tidak diketahui
oleh informan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
bias dalam hasil penelitian.
Setelah data dari hasil observasi dan wawancara secara
langsung telah terkumpul, maka tahap berikutnya
adalah melihat dokumen/ catatan dalam rekam medis
mengenai tindakan yang telah dilakukan, data dari hasil
pengamatan langsung , wawancara dan rekam medis
dicatat dalam formulir isian tindakan penerapan
Patient Safety. data formulir isian tindakan penerapan
patient safety dimasukkan dalam ceklist kegiatan
utilisasi.,data dari pengamatan langsung yang telah
dilakukan checklist dianalisa sesuai 6 sasaran keselamatan
pasien di setiap ruangan yang kemudian dimasukkan
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 234
dalam format Patient safety Phatway. melakukan
penyusunan Patient safety Phatway.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan masuknya
pasien dengan Coronary arteri Disease ( CAD ) yang
akan dilakukan tindakan Percutaneous Coronary
Intervention ( PCI ) di ruang Chateterizatio Laboratory
Intervention Instalasi Brain And Heart Centre RS
Mohammad Hoesin Palembang. Data yang diperoleh
berdasarkan dari observasi langsung, wawancara dan
data sekunder dari buku registrasi di ruang poliklinik
rawat jalan ,perawatan kelas, CVCU, ruang Chatlab di
Instalasi Brain And Heart Centre.
Setelah proses pengumpulan data kemudian dilakukan
pencatatan identitas dan kegiatan petugas kesehatan
dalam menerapkan enam sasaran keselamatan pasien
menurut JCI Acreditation standars for hospital 4th
edition tahun 2010 yang kemudian dimasukkan dalam
formulir isian tindakan penerapan patient safety dan
ceklist utilisasi sejak pasien masuk ke Rumah Sakit
hingga pasien pulang, sehingga diperoleh gambaran
penggunaan layanan untuk patient safety sebagai
syarat dalam penyusunan suatu patient safety pathway.
Karakteristik Pasien
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa pasien
CAD yang dilakukan tindakan Percutaneous
Coronary Intervention ( PCI ) terbanyak pada
kelompok umur kurang dari 60 tahun sebesar 13 ( 54,2
% ) dan jenis kelamin laki–laki sebesar 15 ( 62,5 % )
lebih dominan menderita CAD dibanding jenis
kelamin perempuan 9 ( 37,5 % ).hal ini sesuai yang
dinyatakan oleh Gray,Huon etc. 2012 dalam Lecture
note cardiologist bahwa penyakit CAD jarang terjadi
pada perempuan merupakan konsep yang salah
walaupun memang jumlah perempuan peenderita
CAD lebih sedikit dari laki-laki.
Lama Hari Rawat
Rata- rata lama rawat pasien CAD yang tidak memiliki
komplikasi di Instalasi Brain And Heart Centre adalah
4,8 hari hal ini sesuai dengan clinical pathway CAD
yang memiliki lama rawat 5-8 hari .bila dilihat
berdasarkan diagnosis utama dengan CAD maka akan
lebih cepat lama perawatan 2 hari hal ini dapat
didasarkan pada penerapan patient safety terutama
pada mengurangi resiko infeksi dan pengawasan
terhadap penggunaan obat, hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Soetoto, tahun
2013 bahwa bila keselamatan pasien diterapkan
dengan baik maka angka kejadian yang tidak
diharapkan akan semakin berkurang dan mutiu
pelayanan akan semakin baik yang menjadikan long
of stay akan dapat menjadi lebih pendek dan terkendali.
Diagnosa Penyakit Penyerta
Dari penelitian ini diperoleh adanya penyakit penyerta
yaitu Hipertensi Heart Disease (HHD) , Congestive
Heart Failure (CHF) dan AV Block yang dapat
mengakibatkan waktu lama rawat lebih panjang,
namun untuk pelaksanaan tindakan Percutaneous
coronary intervention tidak dipengaruhi oleh penyakit
penyerta hal ini karena sesuai dengan clinical pathway
CAD di RS yang bila harus segera dilakukan tindakan
intervensi maka tidak dapat ditunda.
Rincian Aktifitas Penerapan 6 Sasaran Patient
Safety CAD Pro PCI Sesuai Patient Safety Pathway
Identifikasi Pasien
a. Kegiatan identifikasi pasien dibagian admisi, sesuai
dengan standar akreditasi Rumah Sakit (KARS
2011) bahwa pasien diidentifikasi menggunakan
dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan
nomor kamar atau lokasi pasien dan diperkuat juga
menurut darmawan, 2013 yang menyatakan
penggunaan tiga sistem identitas pasien yaitu nama
dengan 2 suku kata, tanggal,bulan dan tahun
kelahiran serta nomor rekam medis sehingga akan
sangat mengurangi kesalahan identifikasi bila
memiliki nama pasien yang sama. petugas dalam
mengisi umur pasien tidak melakukan penulisan
sesuai panduan atau standar akreditasi yaitu dengan
menuliskan tanggal, bulan dan tahun kelahiran.
Dari 24 pasien hanya 20 pasien atau sekitar 83 %
saja yang menuliskannya sesuai standar hal ini
menunjukkan masih kurangnya pengetahuan
petugas dalam penulisan tanggal, bulan dan tahun
kelahiran, dan masih kurangnya sosialisasi
mengenai panduan keselamatan pasien terhadap
petugas admisi mengingat telah ada buku panduan
mengenai identifikasi pasien, hasil wawancara juga
diperoleh bahwa petugas belum mengetahui
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 235
bilamana pasien juga tidak mengetahui tanggal
,bulan dan tahun kelahiran sehingga petugas hanya
menurut seperti apa yang disebutkan oleh pasien.
Penulisan umur menurut penulis dikhawatirkan
dapat menimbulkan kesalahan identitas bilaman
terdapat nama dan umur yang sama namun dapat
mengurangi kesalahan bila nama sama dapat
melihat tanggal, bulan dan tahun kelahiran yang
memiliki kemungkinan yang sama dan bila mana
sama dapat dilihat juga nomer rekam medis.
b. Proses identifikasi pasien, menurut Cahyono, 2012
bahwa kesalahan identifikasi pasien sangat
mungkin terjadi khusunya pelayanan di rumah
sakit karena kompleksitasnya pelayanan dan
keterbatasan petugas , demikian juga identifikasi
yang dilakukan sebelum pemeriksaan penunjang
tidak semua pasien dilakukan identifikasi seperti
yang dikatakan oleh dr. Daniel Foley dalam
Darmawan, 2013 bahwa meskipun anda telah
benar 99,99 %, anda tidak ingin mengalami
kesalahan 0,01 % yang mengakibatkan cedera,
diharapkan dapat tercapai identifikasi 100 %.di
ruang poli rawat jalan BHC sebagian tenaga medis
melakukan identifikasi terhadap 18 (75 %) pasien
dan sisanya 6 (25 %) pasien tidak dilakukan
identifikasi dengan menanyakan nama pasien
sebelum dilakukan pemeriksaan atau tindakan dari
hasil wawancara juga dinyatakan bahwa
identifikasi sudah dilakukan oleh perawat sehingga
pada waktu pemeriksaan tidak perlu diulang
kembali, hal ini menunjukkan masih kurangnya
pemahaman tenaga medis didalam identifikasi
pasien karena hal ini juga dapat menimbulkan
kesalahan dalam pemeriksaan terhadap pasien
yang seharusnya.
c. Kegiatan identifikasi sesuai dengan standar
akreditasi Rumah Sakit ,KARS 2011 menyatakan
bahwa maksud dari identifikasi dengan cara yang
dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien
sebagai individu yang dimaksudkan untuk
mendapatkan pelayanan atau pengobatan, diruang
perawatan jantung baik di ruang CVCU maupun
di ruang kelas sebagian tenaga medis dan tenaga
perawat tidak melakukan identifikasi pasien
sebelum pemeriksaan hal ini dikhawatirkan terjadi
kesalahan dalam mengidentifikasi, petugas kesehatan
tidak meminta pasien untuk menyebutkan namanya
namun melakukan justifikasi, tindakan ini sangat
rentan terjadi kesalahan terutama bagi pasien yang
terdapat gangguan pendengaran maupun pasien
yang belum begitu sadar maka dikhawatirkan
terjadi kesalahan identifikasi apalagi bila tidak
mencocokan dengan identitas di gelang pasien
hingga akan dapat terjadi kesalahan dalam
pelayanan atau pengobatan.
d. Sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit
(KARS, 2011 ) yang menyatakan bahwa keadaan
yang dapat mengarahkan terjadinya kesalahan-
kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah
salah satunya mungkin bertukar tempat tidur,
kamar, lokasi dalam rumah sakit oleh karena itu
harus selalu dilakukan identifikasi, proses
identifikasi sebelum dilakukan tindakan PCI di
ruang perawatan petugas kesehatan sebagian
masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
atau kepatuhan perawat terhadap panduan yang
telah dibuat, kehawatiran terjadinya kesalahan
masih dapat terjadi karena belum identifikasi,
petugas masih merasa hal tersebut biasa karena
hanya sedikit pasien yang akan dilakukan tindakan
PCI namun hal ini sangatlah memiliki resiko
kesalahan yang besar.
e. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS
2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi
atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out
memungkinkan setap pertanyaan yang belum
terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time
out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan
tindakan invasif Identifikasi, di ruang chateterisasi
belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik,
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out masih
tidak sesuai dengan panduan keselamatan
pembedahan hal ini menunjukkan bahwa petugas
masih belum memahami tujuan dari sign in, time
Out dan sign out itu sendiri, petugas merasa bahwa
pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda
dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,
namun pada dokumentasi berupa check list
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi
lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang
dilaksanakan, semua ini menunjukan bahwa
pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di
Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 236
akreditasi saja, namun pada kenyatannya tidak
dilaksanakan.
f. Proses identifikasi setelah dilakukan tindakan PCI
di ruang perawatan petugas kesehatan sebagian
masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
atau kepatuhan terhadap panduan yang telah
dibuat, kesalahan masih dapat terjadi karena belum
dilakukan identifikasi, petugas merasa pasien yang
melakukan tindakan PCI sedikit namun ini tidak
sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit
(KARS, 2011) yang menyatakan bahwa pasien
harus selalu dilakukan identifikasi sebelum
dialkukan pemeriksaan atau tindakan
Komunikasi Efektif
a. Pada proses komunikasi efektif menurut Darmawan,
2013 bahwa komunikasi itu penting untuk semua
aspek kehidupan, komunikasi efektif adalah dasar
saling pengertian dan kepercayaan, salah komunikasi
menyebabkan salah pengertian, salah prosedur
tindakan dan berdampak terhadap pasien,
komunikasi buruk menyebabkan ketidakpuasan
pasien dan keluarga sehingga dapat timbul
tuntutan, medikolegal dan etika.yang dilakukan
diruang perawatan oleh tenaga medis dan tenaga
perawat yang dilakukan lewat telepon atau ketika
overan pasien tidak sesuai dengan tahapan SBAR ,
hal ini dikhawatirkan akan dapat menyebabkan
sistem komunikasi kurang efektif sehingga dapat
menyebabkan salah pengertian, salah langkah,
salah prosedur tindakan dokter atau perawat
terhadap pasien.
b. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang
dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas
kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila
tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi
efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh penerima pesan akan
mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,
atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepondi ruang
perawatan sebelum tindakan PCI masih sebagian
tidak melaksanakan komunikasi sesuai tahapan
SBAR tidak dilakukan hal ini dikhawatirkan terjadi
kesalahpahaman atau kekeliruan terhadap apa
yang akan dilakukan terhadap pasien sehingga
dapat terjadi kesalahan pasien yang akan dilakukan
tindakan invasif.
c. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS
2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi
atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out
memungkinkan setap pertanyaan yang belum
terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time
out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapt diselesaikan sebelum dilakukan
tindakan invasif .Komunikasi efektif di ruang
Cahteterisasi belum sepenuhnya dilaksanakan
dengan baik, pelaksanaan sign in, time Out dan
sign out masih tidak sesuai dengan panduan
keselamatan pembedahan hal ini menunjukkan
bahwa petugas masih belum memahami tujuan
dari sign in, time out dan sign out itu sendiri, petugas
merasa bahwa pelaksanaan di ruang chateterisasi
sangat berbeda dengan diruang operasi yang
dilakukan pembedahan namun di ruang cahateterisasi
ini juga merupakan tindakan invasif yang perlu
pengawasan ketat, namun pada dokumentasi
berupa check list pelaksanaan sign in, time Out dan
sign out terisi lengkap hal ini tidak sesuai dengan
yang dilaksanakan,semua ini menunjukan bahwa
pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk
akreditasi saja namun kenyatannya tidak dilaksanakan.
d. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang
dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas
kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila
tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi
efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh penerima pesan akan
mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,
atau tertulisdi ruang perawatan setelah tindakan
PCI masih sebagian tidak melaksanakan
komunikasi sesuai tahapan SBAR, tidak dilakukan
ini dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman atau
kekeliruan terhadap apa yang akan dilakukan
terhadap pasien sehingga dapat terjadi kesalahan
pasien terhadap tindakan atau pengobatan terhadap
pasien yang telah dilakukan tindakan PCI ini,
demikian juga saat overan pasien ( hand over )
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 237
harus dapat dilaksanakan sesuai tahapan SBAR
agar kemungkinan kesalahan dapat dihilangkan.
Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai
a. Kegiatan untuk keamanan obat yang perlu
diwaspadai menurut standar akreditasi Rumah
Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa
untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi
Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat
High alert yang dapat diinformasikan keseluruh
belum ada daftar obat-obatan High alert dan LASA
di ruang perawatan hal ini dapat mengakibatkan
ketidaktahuan tenaga medis khususnya perawat
terhadap obat-obatan yang termasuk dalam High
alert atau LASA. Dengan ketidaktahuan obat-obat
tersebut maka dikhawatirkan dapat terjadi KTD
apalagi bila tulisan dari tenaga medis tidak dapat
dibaca, masih adanya penulisan tenaga medis
pada pemberian obat yang tidak dapat atau sulit
dibaca .kemungkinan ini terjadi karena merasa
obat-obatan itulah yang sering diberikan jadi
perawat akan tahu obat apa yang diberikan hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan tenaga
medis bahwa obat-obat itulah yang biasa diberikan,
namun hal ini tidak sesuai dengan standar dan
panduan untuk keamanan obat.
b. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai
sebelum tindakan PCI ruangan menurut KARS
2012 bahwa permasalahan yang berhubungan
dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible
handwritting) dan pemakaian singkatan adalah
faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi yang
menimbulkan kesalahan, masih ditemukan tulisan
yang tidak dapat terbaca pada rekam medis pasien
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
petugas medis dalam memberikan order bila
tulisan tidak terbaca akan sangat potensial terjadi
kekeliruan dalam membaca sehingga dikawatirkan
terjadi kejadian yang tidak diinginkan, apalagi tidak
adanya daftar nama obat-obatan yang termasuk
memerlukan pengawasan ketat baik high alert
maupun LASA.
c. Kewaspadaan obat high alert, Sesuai Standar
akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap
sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif
atau pelaksanaan time out memungkinkan setap
pertanyaan yang belum terjawab atau
kesimpangsiuran dibereskan, time out melibatkan
seluruh anggota tim sehingga permasalahan dapt
diselesaikan sebelum dilakukan tindakan invasif di
ruang Cahteterisasi belum sepenuhnya
dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in,
time Out dan sign out masih tidak sesuai dengan
panduan keselamatan pembedahan hal ini
menunjukkan bahwa petugas masih belum
memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign
out itu sendiri, petugas merasa bahwa pelaksanaan
di ruang chateterisasi sangat berbeda dengan
diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,
namun pada dokumentasi berupa check list
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi
lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang dilaksanakan,
semua ini menunjukan bahwa pelaksanaan ini
hanya sebagai dokumen untuk akreditasi saja namun
kenyatannya tidak dilaksanakan.
d. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai post
tindakan PCI menurut standar akreditasi Rumah
Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa
untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi
Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat
High alert yang dapat diinformasikan keseluruh
ruangan masih ditemukan tulisan yang tidak dapat
terbaca pada rekam medis pasien yang telah
dialakukan tindakan PCI,hal ini dapt juga
terjadinya kesalahan ataupun KTD penulisan
dalam perencanaan tindakan dan pengobatan yang
tidak terbaca menunjukkan masih kurangnya
pemahaman petugas medis dalam memberikan
order bila tulisan tidak terbaca akan snagat potensial
terjadi kekeliruan dalam membaca sehingga
dikawatirkan terjadi kejadian yang tidak diinginkan,
apalagi tidak adanya daftar nama obat-obatan yang
termasuk memerlukan pengawasan ketat baik high
alert maupun LASA.
Ketepatan Lokasi, Prosedur dan Pasien Operasi
Ketepatan operasi, prosedur dan pasien Sesuai Standar
akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap
sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif atau
pelaksanaan time out memungkinkan setap pertanyaan
yang belum terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan,
time out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 238
tindakan invasif di ruang Chatetrisasi Laboratory
Intervention.
Di Ruang Chateterisasi ini belum sepenuhnya
dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in, time
Out dan sign out masih tidak sesuai dengan Standar
keselamatan pasien khususnya diruang operasi, ruang
chatlab walaupun bukan ruang operasi namun ini
merupakan ruangan tindakan invasif sehingga segala
pelaksanannya harus mengacu kepada standar
keselamatan diruang operasi, hanya saja pada ruang
chatlab tidak diperlukan site marking karena
merupakan organ tunggal yaitu jantung yang akan
dilakukan intervensi, namun tindakan lain harus
dilakukan seperti Sign in, Time Out dan Sign Out hanya
pelaksanannya berbeda seperti pada kasus tindakan
pembedahan.
Tidak dilakukannya prosedur Sign in, Time Out dan
Sign Out menunjukkan bahwa petugas masih belum
memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign out
itu sendiri, dan walaupun dilaksanakan seperti hanya
kewajiban saja melaksanakan namun tidak sesuai
dengan panduan keselamatan pembedahan yang telah
dibuat oleh rumah sakit, petugas masih merasa bahwa
pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda
dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat, namun
pada dokumentasi berupa check list pelaksanaan sign
in, time Out dan sign out terisi lengkap hal ini tidak
sesuai dengan yang dilaksanakan,semua ini
menunjukan bahwa pelaksanaan ini hanya sebagai
dokumen untuk akreditasi saja namun kenyatannya
tidak dilaksanakan..
Mengurangi Resiko Infeksi
a. Kegiatan dalam mengurangi resiko infeksi di ruang
poli rawat jalan masih sebagian tenaga medis tidak
melakukan cuci tangan sesuai tahapan cuci tangan,
hasil wawancara dikatakan bahwa yang terpenting
menurutnya adalah telah meratanya cairan desinfektan,
tidak perlu tahapannya hal ini menunjukkan masih
kurangnya pemahaman tahapan cuci tangan dan
masih kurangnya kepatuhan untuk melakukan cuci
tangan, menurut WHO sesuai dengan standar
akreditasi Rumah sakit tahun 2012 bahwa tahapan
cusi tangan harus sesuai pedoman hand hygiene
yang baru-baru ini diterbitkan dan sudah diterima
secara umum ( a.l. dari WHO patient safety).
b. Pada tindakan mengurangi infeksi di ruang
perawatan telah dilakukan cuci tangan sebagai
pencegahan penularan atau infeksi namun masih
ada sebagian tenaga medis dan tenaga perawat
tidak melakukan cuci tangan sebelum melakukan
pemeriksaan terhadap pasien hal ini menyebabkan
akan terkontaminasi oleh kuman yang berasal dari
pasien tersebut dan dapat menularkannya kepada
pasien lain yang ditangani kemudian. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Cahyono, 2012 bahwa Cuci
tangan merupakan komponen pencegahan infeksi
yang paling penting, bisa menggunakan sabun di
bawah air mengalir, atau dengan menggunakan
antiseptik/handrub.Bila tangan tampak kotor dan
mengandung bahan berprotein menggunakan air
mengalir dan sabun.Bila tidak tampak kotor,
dekontaminasi dengan alkohol handsrub.
c. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi
sebelum tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci
tangan sudah sesuai dengan standar baik tahapan
maupun momen untuk melakukan cuci tangan hal
ini menunjukkan bahwa pemahaman dan juga
kesadaran akan pencegahan infeksi dan penularan
penyakit sudah baik karena menurut WHO bahwa
Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-
infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang
tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca
kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi
nasional dan internasional.
d. Proses tindakan untuk mencegah resiko infeksi di
ruang Chatlab telah dilakukan sepenuhnya dengan
benar terutama pelaksanaan cuci tangan sudah
sesuai standar baik dalam tahapan maupun
momen pelaksanaan cuci tangan. Dalam hal
pencegahan infeksi selama tindakan juga telah
sesuai prosedur, hal ini menunjukan bahwa
pelaksanaan pencegahan infeksi telah dipahami
oleh seluruh petugas di alam ruangan chateterisasi
yang memang membutuhkan kesterilan dan
pengawasan yang ketat.
e. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi
post tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci
tangan sebagian masih belum sesuai dengan
standar baik tahapan maupun momen untuk
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 239
melakukan cuci tangan hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman dan kesadaran akan
pencegahan infeksi dan penularan penyakit belum
baik karena menurut WHO bahwa Pusat dari
eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain
adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan
WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional.
Mengurangi Risiko Jatuh
a. Kegiatan dalam mengurangi resiko jatuh menurut
KARS 2012 dan Darmawan, 2013 bahwa
Rumah sakit menerapkan asesmen awal resiko
pasien jatuh dan juga bahwa Rumah sakit
sebaiknya mengambil langkah yang tepat untuk
menangani dan mencegah KTD jatuh ,langkah
yang dapat dilakukan meliputi penilaian awal
resiko jatuh, asesmen awal resiko pasien jatuh,
penataan lingkungan dan sarana, peningkatan
pelayanan kepada pasien dan memperbaiki kondisi
intrinsik pasien itu sendiri pada pasien yang berada
diruang admisi juga telah dilakukan oleh petugas
admisi dengan melakukan skrening awal
identifikasi pasien jatuh yaitu dengan melihat
selintas pasien yang akan melakukan pendaftaran
mengenai cara berjalan, atau dibantu dalam
berjalan ataupun menggunakan alat bantu dalam
berjalan. Sebagian petugas admisi melakukan
skering awal pasien jatuh pada pasien yang
melakukan pendaftaran namun masih ada pasien
yang tidak dilakukan skrening awal jatuh, hal ini
dikhawatirkan dapat terjadi resiko pasien jatuh bila
petugas tidak mengetahui keadaan pasien yang
akan mendaftar dalam keadaan lemah. Namun
rumah sakit di bagian admisi telah menyediakan
kursi roda dan brankar yang memiliki pagar
pengaman sesuai standar.( 100 % ) sesuai dengan
standar akreditasi Rumah sakit.
b. Kegiatan di rawat jalan dalam mengurangi resiko
jatuh seluruh petugas sudah melakukan
pencegahan resiko jatuh hal ini sesuai dari hasil
observasi telah dilakukannya assesmen awal resiko
jatuh dan juga telah terdokumentasi di assesmen
awal pasien. hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman perawat sudah cukup baik dalam
melakukan pengkajian awal resiko jatuh sehingga
dapat mencegah terjadinya KTD dilingkungan
Rumah sakit, hal ini sesuai dengan pernyataan
Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh
adalah upaya untuk mengenali apakah sorang
pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan
pencegahan dapat dilakukan.
c. Tindakan pencegahan cedera akibat jatuh menurut
Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh
adalah upaya untuk mengenali apakah sorang
pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan
pencegahan dapat dilakukan di ruang perawatan
telah dilakukan perawat telah melakukan
assesment resiko jatuh sesuai panduan keselamatan
pasien Rumah Sakit pada setiap pasien yang baru
masuk, dalam rekam medis juga terlampir
asesment pengkajian awal resiko jatuh hal ini
menunjukkan bahwa tenaga kesehatan telah
mengetahui pelaksanan pengkajian resiko jatuh
agar pasien dapat dikenali apakah mempunyai
resiko jatuh sehingga petugas dapat mengambil
langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi
cedera karena jatuh.
d. Pencegahan resiko jatuh sebelum pelaksanaan
tindakan PCI belum sepenuhnya petugas kesehatan
melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,
masih adanya petugas tidak melaksanakan assesmen
menunjukkan bahwa kepatuhan dan pemahaman
terhadap kemungkinan cedera akibat jatuh masih
rendah , petugas hanya melihat secara fisik saja
namun tidak dikaji secara mendalam tentang
kelemahan pasien yang berpotensi jatuh, sesuai
dengan standar akreditasi Rumah Sakit bahwa
langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi
risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen
dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah dimonitor
hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak
diharapkan.
e. Dalam pelaksanaan mengurangi resiko jatuh
diruang chatlab ini juga sudah sepenuhnya
melaksanakan sesuai standar yang meliputi
pengkajian resiko jatuh setelah dilakukan tindakan
PCI, pemasangan pagar pengaman selama
dilakukan observasi, hal ini menunjukkan adanya
pemahaman didalam pelaksanaan untuk mencegah
cedera yang diakibatkan oleh jatuh.
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di
Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 240
f. Panduan nasional keselamatan pasien Rumah sakit
oleh Depkes ( 2006 ) bahwa pelaksanaan evaluasi
untuk resiko pasien jatuh dilakukan secara terus
menerus melihat keadaan pasien dan dilakukan
pengkajian skala Jatuh dapat dilakukan :pada saat
pasien masuk RS ,setiap hari pada shift pagi, saat
kondisi pasien berubah atau ada suatu perubahan
dalam terapi medik yang dapat menimbulkan
resiko jatuh pada pasien, saat pasien dipindahkan
ke unit lain dan setelah kejadian jatuhPencegahan
resiko jatuh setelah pelaksanaan tindakan PCI
sudah sesuai standar petugas kesehatan
melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,
masih hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan dan
pemahaman terhadap kemungkinan cedera akibat
jatuh sudah baik.
Patient Safety Pathway pada CAD Pro PCI
Dari penelitian ini dapat tersusun suatu draf Patient
Safety Pathway yang berdasarkan atas semua kegiatan
penerapan enam sasaran keselamatan pasien yang
dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (
CAD ) yang dilakukan tindakan invasif berupa
Percutaneous Coronary Intervention ( PCI ) dan
rekapan utilisasi segala kegiatan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan baik dokter, perawat dan tenaga
administrasi dalam menerapkan enam sasaran
keselamatan Rumah Sakit sesuai JCI Acreditation
standars for hospital 4th edition,2010 yang dilakukan
sejak pasien datang sampai pasien diperbolehkan
pulang dan kembali untuk melakukan kontrol
dipoliklinik jantung. Dengan tersusunnya patient safety
pathways ini maka dapat memberikan arah atau alur
dalam melaksanakan penerapan keselamatan pasien
Bila alur tatakelola ini dilakukan maka mutu pelayanan
dan keselamatan pasien akan terjaga. Berdasarkan hal
tersebut maka tidak menutup kemungkinan Patient
safety Pathway ini dapat diterapkan pada penyakit lain
dan juga dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan standar keselamatan pasien di Rumah
Sakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hingga saat ini Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang belum memiliki Patient Safety Pathway.
dengan penelitian ini telah tersusun Patient Safety
pathway pada penyakit CAD pro PCI di RSMH
Palembang, Penyusunan Patient Safety Pathway CAD
Pro Percutaneous coronary intervention di Instalasi
Brain And Heart Centre RS dr Mohammad Hoesin
Palembang dapat dilaksanakan.,Aktifitas enam
sasaran Patient Safety CAD Pro Percutaneous
coronary intervention di Instalasi Brain And Heart
Centre RS dr Mohammad Hoesin Palembang pada
setiap ruangan telah mencapai penuh ( 80 – 100 % )
kecuali ketepatan prosedur operasi, lokasi dan pasien
(66,7 % ) Penyusunan Patient Safety Pathway ini dapat
menjaga mutu layanan yang aman di Rumah Sakit,
khusunya pada pasien CAD yang dilakukan penelitian
namun tidak menutup kemungkinan penyakit lain
dapat juga diterapkan penggunaan Patient Safety
Pathway ini. Hal ini menunjukkan bahwa Patient
Safety Pathway dapat diterapkan di RS dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Saran
Rumah Sakit khusunya Komite mutu dan keselamatan
pasien Rumah sakit perlu lebih meningkatkan dan
mengembangkan program patient safety dengan
membuat Patient safety Pathway khususnya penyakit
yang terbanyak, memiliki resiko yang tinggi dan
memiliki biaya yang mahal, membentuk kelompok
kerja untuk mengevaluasi pelaksanaan penerapan
patient Safety di Rumah Sakit, meninjau kembali
kebijakan mengenai pedoman dan SPO yang
berkaitan dengan pelaksanaan patient safety di Rumah
Bidang Pelayanan Medik, Laporan Tahunan 2014 RSMH Palembang. Burges JF Jr, 2012, Innovation and efficiency in health care: does anyone really know what
they mean?, Health Systems.
Darmawan Hardi,dkk, 2013 ; Menuju pelayanan kesehatan yang aman, cetakan ke 5, kanisius, Yogyakarta.
Cahyono,suharjo.JB 2012; Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek
kedokteran, edisi 5, Kanisius, Yogyakarta. Canadian Patient Safety Institute, 2009 ; The safety Competencies, first edition, enhancing
patient Safety Across the health Professions.
Departemen kesehatan Republik Indonesia , 2006 ; Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( Patient Safety );Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI , 2012 ;Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, Jakarta.
Depkes RI. Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor. 129 Tahun 2009
Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta.
Djuhaeni, H. 2009. Manajemen Pelayanan Medik Di Rumah Sakit. Jakarta. Gray,Huon, et all 2012 ; Lecture notes cardiologi ,Erlangga Medical series, Jakarta.
Hana Permana, Indikator Kinerja Rumah Sakit, http://www.kebijakankesehatani
ndonesia.net/sites/default/files/file/2011/INDIKATOR%20KINERJA%20RS.pdf , diunduh 18 Januari 2015.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 241
Handayani, Sri. 2014; Patient Safety , http;//srihandayani.com/2010/10/pasien-safety.html diakses pada 4 agustus 2014. Jam 20.30 WIB.
Hughes, Ronda. G.2008.Patient Safety and Quality an Evidence Based Handbook of Nurses.
Rockville MD : Agency for Healthcare Research and Quality Publications, diakses 20 Oktober 2014, http://www.ahrg.gov/QUAL/nursehdbk.
KARS, 2011; Standar Akreditasi Rumah Sakit , Direktorat jendral Bina Pelayanan medik,
Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Indikator Kinerja Rumah Sakit Badan Layanan Umum,
Bagian Program dan Informasi Setditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013 Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta.
Laporan Bulanan Bid yanmed RSUP dr. Moh Hoesin Palembang. Laporan bulan
September 2014. Laporan Semesteran Instalasi Brain And Heart Centre RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang,2014.
Laporan Tahunan RSUP dr. Moh Hoesin Palembang Tahun 2014. Mardiyoko,Ibnu, 2014; identifikasi pasien, Artikel , center for health information managemen
development.
Moertjahjo, AAK,2012 ; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jakarta . Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi, Penerbit Rosdakarya, Bandung.
Notoatmodjo, S. 2010, Etika & Hukum Kesehatan. Penerbit PT Asdi Mahasatya. Jakarta.
Richardson DB, The access-block effect: relationship between delay to reaching an inpatient bed and inpatient length of stay, MJA 2002, 177:492-495.
Rivany R. ; 2006 Hubungan Clinical Pathway dengan DRG’s Casemix. INA-version.
Rivany, R , 2010 ; Quo Vadis Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial nasional, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 13.
Rivany, R, 2009 ; Indonesia Diagnosis Related Groups, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.4.
Rosko MD, Mutter RL, 2010, Inefficiency Differences between Critical Access Hospitals and Prospectively Paid Rural Hospitals, Journal of Health Politics, Policy and Law
Ruiz M, Bottle A, Aylin P, A,2013; retrospective study on the impact of the doctors’ strike in
England on 21 June 2012, J R Soc Med, 0:1-8. Sabarguna, B.S. 2008; Manajemen Kinerja Pelayanan Rumah Sakit. Penerbit CV Sagung
Seto. Jakarta.
Scott, Vaughan L, Bell D, 2009; Effectiveness of acute medical units in hospitals: a systematic review, International Journal for Quality in Health Care, 21:397-407.
Singer AJ, MD, ED 2006;Crowding: Challenges And Solutions.The Stony Brook
Experience, Stony Brook Medicine, New York. Stowell A, et al, 2013; Hospital out-lying through lack of beds and its impact on care and
patient outcome, Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine. Sutoto, 2013 ; Clinical Pathways sebagai kendali mutu dan biaya dalam sistem pembiayaan
BPJS. Makalah dalam bimbingan akreditasi RS.
The Australian Council for Safety and Quality in Health Care , 2005.; National Patient Safety Education, Safety Quality Council.
Wibowo, 2014; Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Penerbit RajaGrafindo,
Jakarta. Wise MP, Frost PJ, 2010 Hospital mortality and junior doctors’ handover: the role of medical
schools and consultants, Q J Med 2010, 103:895-896.
Wong J,Beglaryan H , 2004 ; Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety : Areview of the Research; The Change Foundation.
World Health Organization ( WHO ) 2009; Conceptual Framework for the International
Classification for Patient Safety, versi 1.1.final technical report January. Yolanda, EP. 2008. Tesis : Evaluasi Implementasi Kebijakan Kewajiban Menuliskan Resep
Obat Generik Di RSU Cilegon Tahun 2007. Program KARS Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia.
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Tabel 9. Total Penilaian dalam Mengurangi Resiko Jatuh
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Melakukan asesmen resiko jatuh 5 5 10 10 10 40 50
Memasang pagar tempat tidur - - 10 10 10 30 30
Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau - - 10 - 10 20 20
Memberikan pencahayaan yg terang namun tdk menyilaukan - - 10 10 10 30 30
Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain
kusut di TT
- - 5 - 10 15 20
Menyediakan kursi roda / brankar yg bereling 10 10 10 10 10 50 50
TOTAL 185 200
Tabel 10. Patient Safety Pathway CAD
NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U
1 Identifikasi Pasien
Sebelum pemberian obat, darah atau produk darah
Sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klini
Sebelum memberian pengobatan
Sebelum memberikan tindakan
Menyiapkan gelang
Memasang gelang
2 Komunikasi efektif
Melakukan serah terima pasien ( hand off )
Melaporkan hasil pemeriksaan darah
melaporkan hasil EKG
Melaporkan pasien baru
Melaporkan kondisi pasien
3 Keamanan obat
yang perlu
diwaspadai
Menyimpan obat
menuliskan jenis obat / peresepan
Memberikan obat
Melakukan pencatatan obat yang telah diberikan
4 Pastikan tepat
operasi, prosedur
dan pasien
Melaksanakan Sign in
Melaksanakan Time out
Melaksanakan Sign out
5 Kurangi Resiko
Infeksi
Mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien
Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik
Mencuci tangan setelah berisiko kontak dg cairan tubuh
Mencuci tangan setelah kontak dengan pasien
Mencuci tangan setelah kontak dengan lingkungan pasien
Menjaga kebersihan / kesterilan slang kateter
Menjaga kebersihan / kesterilan pemasangan IFVD
Memakai spuit sekali pakai
6 Melakukan asesment resiko jatuh
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 244
NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U
Kurangi Resiko
jatuh
Memasang pagar tempat tidur
Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau
Memberikan pencahayaan yang terang namun tidak menyilaukan
terutama pada gang, kamar mandi dan jalan masuk
Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain yang kusut disamping tempat tidur
Menyediakan kursi roda atau brankar yg bereling
TOTAL UTILITY
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 245
Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan
Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Cost Recovery Rate of Hospital and INA CBGs’ Tariffs on Clinical Pathway on Coronary
Artery Disease in Mohammad Hoesin Palembang General Hospital, Year 2015
Mardiah
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
komponen biaya pada tahapan clinical pathway untuk
menganalisa bobot komponen biaya ada pada setiap
tahapan. Dengan cost of treatment yang telah dihitung
berbasis clinical pathway, diharapkan dapat melakukan
pengendalian biaya dengan lebih baik. Perhitungannya
adalah dengan membagi total cost pada tiap tahapan
dengan seluruh total cost of treatment.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 59 tahun 2014
menyebutkan bahwa Tarif INA CBGs adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas
paket layanan yang didasaran kepada pengelompokkan
diagnosis penyakit dan prosedur.Dalam Peraturan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
(Permenkes RI) Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA-CBGs) disebutkan bahwa Indonesian Case Base
Groups (INA CBGs) adalah sistem pembayaran dengan
dengan sistem paket berdasarkan pengelompokan penyakit
dan diagnosis yang mengacu pada ciri klinis yang sama
dengan menggunakan United Nation University Grouper.
Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan
sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan atau
prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan
ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk
tindakan/prosedur. Clinical Pathways (CP) adalah suatu
konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum
setiap langkah yang diberikan kepada para pasien
berdasarkanstandar pelayanan medis dan asuhan
keperawatan yangberbasis bukti dengan hasil yang
terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di
rumah sakit.
Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga
dengan Coronary Heart Disease (CHD) /Penyakit
Jantung Koroner (PJK) didefinisikan sebagai penyakit
jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena
penyempitan arteri koroner. Penyempitan tersebut dapat
disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis
arteritis, embolikoronaria, dan spasme.Tujuan utama
pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya
adalah mengontrol serangan angina, sehingga memperbaiki
kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologis dan
non-farmakologis untuk mengontrol angina dan juga
memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi
reperfusimiokardium dengan cara intervensi koroner
dengan balon (PCI/PTCA) dan pemakaian stent sampai
operasi CABG (bypass).
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Desain penelitian kuantitatif dengan pedekatan
cross sectional untuk analisis biaya. Penelitian diawali
dengan menentukan Clinical Pathway yang kemudian
dilakukan penyusunan Cost of Treatment dari tindakan
CAD dengan tindakan PCI. Kemudian membandingkan
cost of treatment yang telah tersusun dengan TarifINA-
CBG’s dan cost of treatment dengan Tarif Rumah Sakit.
Sedangkan penelitian kualitatif dengan dilakukannya
Focus Discussion Group dan wawancara. Penelitian
dilakukan di bagian rekam medis, bagian keuangan,
ruang SIMRS RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.Waktu pelaksanaan penelitian bulan Januari
sampai Maret 2015. Pengambilan data primer dilakukan
dengan pengamatan langsung dari ruang Admisi sampai
ke ruang rawat inap Instalasi Brain and Heart Center,
ruang Catheter Jantung serta melaksanakan wawancara
dengan kelompok Staf Medis Penyakit Dalam Divisi
Kardiovaskuler (Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Konsultan Kardio Vaskuler) dan Kelompok Staf Medik
Kardiologi (Dokter Spesialis Jantung dan Paru).
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 248
Pengumpulan data sekunder dilakukan pengisian
formulir daftar isian untuk mengetahui pemakaian
fasilitas dalam tindakan PCI pada pasien Penyakit
Jantung Koroner selama bulan Januari sampai Maret
tahun 2015 yang tertera dalam arsip catatan Rekam
Medis Pasien. Selain itu dikumpulkan juga informasi
dari bagian keuangan untuk mengetahui biaya masing-
masing variabel dan total yang dibayarkan selama masa
perawatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Data mengenai karakteristik responden dalam penilitian
ditampilkan dalam tabel 1, 2, 3 dan 4. Dari karakteristik
dan lama hari rawat pasien serta penyakit penyerta dan
penyulit kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan
clinical pathway yang disepakati. Kemudian data yang
didapat diolah dan dihitung sesuai dengan tindakan
berdasarkan metode penelitian sehingga diperoleh unit cost
masing-masing pelayanan dan kemudian dirangkum
sebagai Cost of Treatment CAD.
Penyakit penyerta yang diperhitungkan adalah jenis
penyakit yang jumlahnya paling banyak ditemukan
dalam rentang waktu pengambilan kasus penelitian,
antara lain:
1. Dislipidemia (E. 789)
2. Hipertensive Heart Disease /HHD (I.119)
3. Hipertensi (I.10)
4. Diabetes Melitus (E119)
Sedangkan jenis penyakit penyulit yang ditemui
bersama penyerta yang ditemukan dalam rentang waktu
pengambilan kasus penelitian, antara lain:
1. Congestive Heart Failure (I.110)
2. Infark Miokard (I.21.0)
Unit cost yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah
yang terkait dengan kegiatan selama perawatan pasien
CAD dengan PCI sesuai clinical pathway. Beberapa
kegiatan langsung dirangkum menjadi satu unit cost
kegiatan seperti kegiatan Tindakan PCI dan asuhan
keperawatan.
Unit cost untuk obat dan alat kesehatan diperoleh dari
daftar harga yang diberikan Instalasi Farmasi RSMH.
Dalam kegiatan PCI utisisasi alat kesehatan yang
berpengaruh dalam tindakan PCI adalah stent baik
jumlah dan jenis yang dipasang.
Cost of Treatment adalah perhitungan biaya yang terkait
dengan biaya langsung dan biaya tak langsung yang
dibutuhkan untuk melakukan perawatan/tindakan PCI
sesuai dengan Clinical Pathway pada pasien CAD yang
telah disepakati. Penghitungan biaya dilakukan berdasarkan
3 (tiga) clinical pathway yang ada di atas. Selain itu
pengitungan juga dibedakan berdasarkan akomodasi yang
ada dan jumlah stent yang dipergunakan pada tindakan PCI
yang dilakukan (ditampilkan dalam tabel 5).
Cost Index merupakan persentase perhitungan dari total
cost pada tiap tahapan dalam clinical pathway pasien
CAD yang dibagi dengancost of treatment. Secara
keseluruhan dalam kasus pasien CAD yang dilakukan
tindakan PCI maka cost index terbesar berada dalam
tahapan tindakan operasi (Percutaneus Coronary
Intervention) (ditampilkan dalam tabel 6).
Cost Recovery Rate merupakan hasil perhitungan dari
perbandingan hasil penerimaan dari pasien dengan total
pembiayaan yang dikeluarkan rumah sakit. Perhitungan
tarif INA CBG’s yang digunakan sesuai dengan PMK
No. 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem
Indonesian Case Base Groups(INA-CBGs)dan PMK
No. 59 tahun 2014 tentang 2014 standar tarif pelayanan
kesehatan dalam penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatanyang telah diaplikasikan dalam software INA
CBGs versi 4,1.
Dalam INA CBG’s terdapat Special CMG atau special
group pada tarif INA-CBGs saat ini dibuat agar
mengurangi resiko keuangan rumah sakit. Saat ini
hanya diberikan untuk beberapa obat, alat,prosedur,
pemeriksaan penunjang serta beberapa kasus kasus
penyakit sub akut dan kronis yang selisih tarif INA
CBGs dengan tarif rumah sakit masih cukup besar.
Sedangkan saat ini kode special CMGYY03 tarifnya
sesuai grouper versi 4,1 hanya bernilai Rp. 18.600.200,00.
Nilai tarif Prosedur PCI dalam tarif INA CBG’s sesuai
kelas rawat dan penambahan special CMG ditampilkan
dalam tabel 7, 8, dan 9.
Dari Hasil perbandingan tarif tersebut penulis kemudian
mencoba menempatkan pengelompokan tarif RS dan
INA CBGs terhadap COT yang dianggap setara. Hasil
perbandingan tarif tersebut dapat dilihat pada tabel 4.10.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 249
Dari tarif INA-CBGs yang bisa kita hitung nilai CRR
nya hanya untuk Pasien CAD dengan tindakan PCI
Murni diasumsikan setara dengan tindakan perkutaneus
ringan. Sedangkan dengan penyerta dianggap setara
dengan tindakan PCI sedang dan yang tertinggi CAD
dengan penyerta penyulit dianggap setara dengan
tindakan PCI berat. Sedangkan perbedaan harga stent
tidak dapat diukur.Hal ini dikarenakan tidak adanya
kejelasan pengelompokkan kriteria ringan, sedang dan
berat pada pola tarif INA-CBGs (ditampilkan dalam
tabel 10, 11, dan 12).
Jika melihat dari prinsip AR DRG maka pengelompokan
pasien hanya dikelompokkan 2 kelompok yaitu kelompok
murni tanpa komorbiditi dan tanpa komplikasi. Sedangkan
dalam penulisan diagnosis yang tertera didalam rekam
medis biasa dilakukan oleh dokter tidak selalu sama dan
sesuai dengan diagnosa yang dipilih coder atau petugas
rekam medis. Penetapan diagnosis utama sangat
ditentukan oleh dokter yang merawat pasien, namun
pada kenyataannya penulisan diagnosa kadang dilakukan
oleh dokter residen/ruangan yang mungkin memiliki
persepsi yang berbeda dengan dokter penanggung
Jawab Pasien (DPJP).
Dari data yang diperoleh selama penelitian diagnosa
Coronary artery Disease termasuk dalam pengkodean
ICD X yaitu I.25.1 Atherosclerotic heart disease masuk
dalam MDC 5 disease and dissorder of the circulatory
system. Berdasarkan wawancara dengan petugas rekam
medis, dokter penanggung jawab pasien dan perawat
ruangan, pada umumnya dokter tidak pernah menulis
diagnosa berdasarkan pengkodean ICD X. Pengkodean
ICD dilakukan oleh petugas rekam Medis. Beberapa
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa rekam medis
di rumah sakit masih belum baik, baik dari segi
kelengkapan maupun pemahaman tentang ICD-X
(Suryati, 1998, Muchlis, 2014).
Lama hari rawat sangat ditentukan oleh diagnose
penyakit, komplikasi serta adanya penyakit penyerta dan
adanya tindakan medis tambahan yang dilakukan.
Sulastomo (1997) menyatakan rata-rata lama hari rawat
berkaitan dengan adanya tindakan operasi, penyakit
pemberat dan penyakit penyerta yang dialami pasien
serta sistem pembayaran. Namun pada tabel 4.2
menunjukkan bahwa kelomppok penyakit CAD
dengan diagnosa murni dan CAD dengan penyerta
memiliki lama hari rawat yang hampir sama hal ini
disebabkan karena penyakit penyerta pada pasien CAD
dengan penyerta pada prinsipnya merupakan faktor
resiko dari kejadian CAD sendiri seperti Dislipidemia,
Hipertensi, Coagulasi dan diabetes Melitus, sehingga
penatalaksanaan perawatan dan pengobatan lebih
kurang sama. Namun pada penderita CAD dengan
Penyerta dan penyulit memiliki lama hari perawatan
yang lebih panjang, disebabkan adanya penatalaksanaan
terhadap penyulit yang muncul. Walaupun tindakan
CAD harus segera dilakukan walaupun dengan penyulit
yang ada. Perbedaan penatalaksanaan biasanya adalah
pada lama hari rawat setelah tindakan PCI untuk
mengatasi faktor penyulit yang ada.
Clinical pathway tersebut disusun dari data rekam medis
yang dikumpulkan sehingga menjadi suatu draft dengan
mempedomani clinical pathway terdiri dari pendaftaran,
penegakkan diagnose, pra terapi (pra operasi), terapi
(operasi), tindak lanjut, dan pulang. Diskusi dilakukan
sampai menjadi suatu clinical pathway yang disepakati
dan dapat digunakan untuk kasus CAD dengan
Tindakan PCI di RSUP Dr Mohammad Hoesin
Palembang melalui kesepakatan peer group.
Kesepakatan penetapan LOS 3 hari merupakan hasil
wawancara dengan dokter SPPD KKV dan data dari
jumlah rata-rata LOS pasien CAD yang dirawat pro
PCI. Pada pasien CAD pro PCI yang murni dan dengan
penyerta LOS disepakati sama karena tidak terdapat
perbedaan yang terlalu bermakna dalam penangan
kedua kelompok pasien tsb, mengingat penyakit
penyerta yang ditunjukkan adalah merupakan faktor
risiko terjadinya CAD, sehingga pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan kurang lebih sama.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan
pasien kasus CAD dengan tindakan PCI dapat
dilakukan selama 3 hari untuk pasien CAD murni dan
CAD dengan penyerta, secara umum telah dilakukan
para dokter, tetapi sebagian masih melebihi LOS 3 hari
yang telah ditetapkan tersebut. Dari rata-rata 3 hari
tersebut dapat dilihat seberapa besar biaya pelayanan
yang ditimbulkan jika melebihi masa rawat tersebut
semakin besar biaya yang dikeluarkan dan menunjukkan
bagaimana efisiensi layanan yang diberikan.
Hal ini sesuai dengan tujuan clinical pathway yaitu
sebagai alat ukur efisiensi dalam pelayanan kesehatan.
Sesuai dengan penelitian Dewi Indah (2015) yang
menunjukkan bahwa dengan adanya penatalaksanaan
pasien melalui clinical pathway beserta utilisasinya
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di
RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 250
maka biaya dapat dihitung sesuai dengan kondisi dan
kelompok diagnose suatu penyakit.
Disamping itu dapat dilihat melalui clinical pathway
yang sudah disepakati dapat dilakukan pengendalian
terhadap pemeriksaan penunjang yang perlu, sebagaimana
manfaat dari clinical pathway yaitu (Fryer, Rosch &
Amrizal, 2005): menurukan variasi pelayanan dan
meningkatkan hasil klinis, mendukung penggunaan
clinical guidelines dan pengobatan berbasis evidence,
menurunkan biaya perawatan, efisiensi penggunaan
sumber daya tanpa mengurangi mutu, sebagai alat
kendali mutu dan kendali biaya dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
Dalam penelitian ini unit cost yang mendukung kegiatan
pelayanan kasus CAD dengan tindakan PCI diperoleh
melalui unit cost rumah sakit yang disusun pada tahun
2012. Idealnya penyusunan unit cost ini menggunakan
unit cost yang sudah disesuaikan dengan data tahun
terakhir.
Dari unit cost yang menyusun biaya pelayanan tindakan
PCI pada pasien CAD ternyata unit cost tertinggi adalah
unit cost layanan tindakan PCI, yaitu sebesar
Rp29.284.773,00. sedangkan dalam tiap tindakan PCI
terdapat utilitasi stent yang bernilai rata-rata
Rp.18.496.175,00 per satuannya. Dimana jenis stent
yang digunakan pada seluruh sample penelitian adalah
DES (drug eluting stent). Berdasarkan penelitian David
D.Ariwibowo et al, 2008, jenis DES terbukti mengurangi
kebutuhan revaskularisasi dibandingkan bare metal
stent. Namun stent dengan jenis DES mempunyai
harga cukup tinggi dibanding non DES.
Hal ini sesuai dengan penelitian Wita,Virna (2012),
Hamka (2010) yang menyebutkan bahwa biaya
operasional dengan persentase terbesar (>70%) dari total
biaya satuan tindakan bedah, dimana komponen obat
termasuk didalamnya. Hal ini juga sesai dengan
penelitian Putra (2011) yang menyatakan bahwa
komponen biaya yang terbesar dalam variabel cost
adalah biaya bahan habis pakai medis, hal ini disebabkan
karena tindakan medis memerlukan bahan dan alat
kesehatan habis pakai yang banyak dan mahal. Jenis dan
lamanya waktu pemberian tindakan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan macamnya
alat kesehatan yang digunakan. Dengan demikian biaya
yang ditanggung pasien juga berbeda tergantung utilitas
alat.
Dari kesepakatan 3 clinical pathway untuk tindakan PCI
pada pasien CAD di RSMH, selanjutnya dilakukan
perhitungan cost of treatment masing-masing clinical
pathway tersebut.
Perhitungan cost of treatment dalam penelitian ini
menggunakan metode Activity Based Costing + Double
Distribution Methode. Methode double distribution
dipergunakan untuk menghitung biaya satuan per unit
pelayanan. Setelah didapat unit cost masing-masing unit
produksi maka dikalikan dengan utilisasinya berdasarkan
activity based costing dengan penambahan biaya obat
dan jasa medis juga asuhan keperawatan.-
Dalam penelitian ini cost of treatment dari pasien CAD
dengan tindakan PCI bervariasi sesuai 3 clinical
pathway yang telah disepakati, semakin berat derajat
keparahan penyakit semakin besar COT yang terjadi.
Pada pasien CAD yang dilakukan PCI tanpa penyerta
dan penyulit COT hanya Rp.31.518.054,00, sedangkan
dengan penyerta bernilai Rp.34.052.935,00 dan CAD
dengan penyerta dan penyulit nilai COT meningkat
menjadi Rp.36.234.104,00. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan dalam pemeriksaan penunjang yang dilakukan,
obat-obatanyang digunakan serta lamanya hari rawat.Hal ini
ditambah lagi dari setiap clinical pathway yang ada terdapat
perbedaan utilitas stent, sehingga setiap peningkatan jumlah
stent yang ada akan meningkatkan jumlah cost of treatment.
Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan
penelitian Dewi (2013) dan Muchlis (2014). Dimana
dalam penelitian mereka menunjukkan adanya penyakit
penyerta dan penyakit penyulit dan komplikasi
menunjukkan peningkatan jumlah cost of treatment
penangan pasien (herniotomi dan appendiktomi) karena
perbedaan utilisasi alat medis dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pada masing-masing kelompok clinical
pathway.
Selain itu semakin tingginya kelas rawat akan meningkatkan
COT. Akomodasi kelas ikut memperbesar nilai COT,
seperti pada pasien dengan akomodasi kelas I akan
mengalami pengingkatan nilai pada tahapan discharge
sehingga kan mempengaruhi nilai COT secara
keseluruhan. Dalam penelitian COT tertinggi ada pada
kelas rawat yang paling tinggi dan paa CAD dengan
penyulit dan juga penyerta dimana akomodasi yang
ditambahkan menjadi 6 kali akomodasi kelas I ditambah
utilisasi stent sebanyak 4 buah sehingga nilai COT
mencapai Rp. 112,874,436,00. Sedangkan CAD murni
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 251
dengan tindakan PCI pada ruang perawatan kelas III
dengan utilisasi stent hanya 1 buah nilai COT hanya
mencapai Rp 51,342,045,00
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian
Muchlis (2014) yang menunjukkan adanya perbedaan
cost of treatment pada pasien dengan akomodasi kelas
I,II dan III. Dimana semakin tinggi kelas perawatan nilai
COT semakin besar.
Pada hasil penelitian, tahapan terapi atau operasi mempunyai
indeks terbesar baik pada kelompok penyakit murni,
penyerta, maupun kelompok komplikasi (penyulit) dan
penyerta.Satuan indeks standar merupakan hasil
persentasi dimana perhitungannya adalah tahapan
clinical pathway dibagi dengan cost of treatment. Index
ini kemudian bisa menjadi standar acuan perbandingan
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Jika
dibandingkan dengan penelitian–penelitian sebelumnya
untuk tindakan operasi memang tahapan yang
membutuhkan biaya paling besar (ditampilkan dalam
tabel 12).
Melihat cost indeks dalam tabel diatas memperlihat
bahwa dalam tahapan penegakkan diagnosa sampai
dengan tahapan pulang relatif sebanding dengan nilai
yang terdapat pada di rumah sakit lain untuk tindakan
operasi yang lain. Namun dalam tahapan operasi cost
indeks RSMH sangat tinggi dibanding RS lain. Hal ini
disebabkan dalam tindakan operasi lain peralatan dan
biaya operasi sudah mempertimbangkan biaya yang
dikeluarkan relatif sama sedangkan dalam kegiatan
tindakan PCI unit cost yang terdapat di RSMH untuk
timdakan PCI cukup tinggi, hal ini dihubungkan dengan
pada saat penetapan unit cost peralatan yang digunakan
masih baru sehingga nilai penyusutan alat bernilai kecil.
Disamping itu penggunaan stent yang mahal dalam
tindakan PCI juga sangat mempengaruhi besaran cost of
treatment. Semakin banyak stent yang digunakan maka
akan semakin besar nilai cost of treatment yang muncul
maka akan mempengaruhi persentase cost index
tahapan tersebut.
Ketentuan tarif yang berlaku di RSMH Palembang
adalah berdasarkan sesuai PMK Nomor: 100/PMK.05/
2014 dan berdasarkan SK Direktur yang besarannya
ditetapkan dengan mempertimbangkan pembiayaan
total dan distribusi biaya serta adanya target margin.
Untuk tindakan PCI besaran tarif dibedakan berdasarkan
jenis tindakan termasuk dalam tarif tindakan elektromedik
berdasarkan jumlah stent yang digunakan.
Dari tabel 13 terlihat bahwa semakin banyak jumlah
stent yang digunakan maka semakin besar nilai cost of
treatment yang terjadi. Pemakaian stent dengan DES
memang dianjurkan dimana stent dengan DES akan
mengurangi kemungkinan perulangan kejadi sklerosis
pembuluh darah koroner.
Jika melihat tarif yang ada maka selisih tarif untuk setiap
penambahan stent hanya berkisar Rp.10.000.000,- s/d
Rp.16.000.000,- Jumlah ini tidak menutupi jumlah unit
cost untuk tiap penambahan stent jenis DES yang
bernilai Rp.18.496.175,00 per satuannya. Penetapan tarif
stent d RS telah melalui persetujuan dari kementerian
kesehatan dan Kementerian keuangan, yang dapat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Pada umumnya tarif
rumah sakit di Indonesia rendah, bahkan lebih rendah dari
pada biaya satuan sehingga membutuhkan subsidi dari
pemerintah untuk pengembalian biaya satuan tersebut
(Thabrany, 1998).
Dalam penelitian Setiaji (2008) disampaikan bahwa,
rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai over
head cost yang tinggi, hal ini terutama karena biaya gaji
yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap, akan
tetapi tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi,
sehingga berakibat proses penetapan tarif dalam rumah
sakit pemerintah harus memperhatikan berbagai isu
yaituisu sosial dan amanat rakyat, isu ekonomi dan isu
politik.
Namun demikian seharusnya sebagai rumah sakit yang
sudah berbentuk Badan Layanan Umum, penetapan
tarif layanan seharusnya tetap mempertimbangkan
kemampuan rumah sakit menutupi biaya operasionalnya
dari pendapatan layanan yang diberikan.Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 111 Tahun 2013, mengamanatkan
tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun.
Upaya peninjauan tarif dimaksudkan untuk mendorong
agar tarif makin merefleksikan actual cost dari
pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu
untuk meningkatkan keberlangsungansistem pentarifan
yang berlaku, mampu mendukung kebutuhan medis
yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan
dengan outcome yang baik
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 252
Tarif INA CBG’s yang digunakan dalam pengklaiman
pasien JKN? BPJS di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang adalah Tarif INA CBGs versi 4,1 untuk tarif
Rumah Sakit Kelas A di Regional 2. Dalam pembayaran
menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun pihak
pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian
pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG.
Pada kode INA-CBGs tindakan PCI pada pasien CAD
termasuk dalam pengelompokkan kode INA-CBGs
terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: I-1.40-I (Prosedur
Kardiovaskular Perkutan Ringan, tingkat keparahan 1
(tanpa komplikasi maupun komorbiditi), I-1.40- II
(Prosedur Kardiovaskular Perkutan Sedang, tingkat
keparahan 2 dengan mild komplikasi dan komorbiditi),
Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari
Kode INA-CBGs bukan menggambarkan kondisi
klinis pasien maupun diagnosis atau prosedur namun
menggambarkan tingkat keparahan (severity level)
yang dipengaruhi oleh diagnosis sekunder (komplikasi
dan ko-morbiditi). Dalam aplikasi terakhir INA CBG
yaitu sistem INA CBGs versi 4,1 terjadi peningkatan
dan penurunan nilai tarif. Top up tersebut pada PCI
bernilai sama pada semua severity level dan pada semua
kelas, untuk Regional 2 RS tipe A bernilai
Rp.18.600.200,00 (PMK 59 th.2014). Nilai spesial
prosedur PCI termasuk yang mengalami penurunan
nilai tarif, dimana dari sebelumnya bernilai Rp.
19.476.681.
Tarif INA CBGs tidak melihat besaran jumlah alat
medis ataupun alat habis pakai yang digunakan dalam
tindakan PCI, ini ditunjukkan dari seragamnya nilai top
up tindakan PCI pada semua severity level dan pada
semua kelas. Hal ini juga disebutkan secara jelas pada
PMK 27.thn 2014 bahwa besaran nilai pada tarif special
CMG tidak dimaksudkan untuk menganti biaya yang
keluar dari alat, bahan atau kegiatan yang diberikan
kepada pasien, namun merupakan tambahan terhadap
tarif dasarnya.
Disamping itu perbedaan metode penghitungan biaya
dalam menentukan tariff rumah sakit adalah berdasarkan
hospital base rate. Dimana tarif RS yang dijadikan
sebagai data dasar pengambilan sample adalah rumah
sakit pemerintah, yang dalam penetapan tarifnya banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan daya beli masyarakat
dan subsidi pemerintah. Sehingga tarif yang dikeluarkan
rumah sakit tersebut cenderung lebih rendah dari unit
cost sebenarnya. Padahal rumah sakit harus mengeluarkan
biaya yang berbeda pada setiap perbedaan utilitas alat, karena
mempertimbangkan penggantian atas biaya yang sudah
dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi
(2013) dan Muchlis (2014) yang menyebutkan betapa
sulitnya menerapkan pengelompokkan tarif berdasarkan
INA CBGs karena adanya perbedaan cara pengelompokkan
dengan tarif RS.
Dalam pengelolaan suatu rumah sakit baik pemerintah
maupun swasta, nilai CRR diatas 100% merupakan
tujuan yang ingin dicapai. Hal ini artinya total biaya yang
dikeluarkan dapat ditutupi seluruhnya dengan biaya
penerimaan rumah sakit. Nilai CRR akan memperlihatkan
seberapa besar subsidi yang harus diberikan pada suatu
rumah sakit. Hasil penelitian memperlihatkan untuk
kategori pasien BPJS dengan tarif INA-CBGs, pada tiap
diagnosa yang berbeda dengan utilisasi yang berbeda
maka akan muncul nilai CRR yang berbeda. Semakin
banyak jumlah stent yang digunakan maka semakin
kecil nilai CRR yang dihasilkan.
Nilai CRR tarif INA CBG yang ada untuk kasus CAD
murni pada pasien kelas I sampai kelas III secara umum
berada di bawah angka 90% untuk 1 stent dan
kecenderungannya semakin kecil jika stent yang
dipergunakan meningkat sampai 4 stent. Sedangkan
untuk kasus CAD dengan Penyerta yang dilakukan
tindakan PCI secara umum jika pemakaian stent
mencapai 2 stent maka CRR masih berada diatas nilai
100%, namun jika stent yang digunakan sudah
mencapai 3 stent maka nilai CRR rata-rata berada pada
kisaran 90%. Jika stent yang digunakan 4 buah maka
CRR hanya mencapai 50% bahkan kurang .atau lebih.
Pada kasus CAD dengan Penyerta, dan Penyulit untuk
tindakan PCI yang menggunakan 1dan 2 stent baik pada
kelas I sampai kelas III rata-rata nilai CRR berada diatas
100%. Hal ini disebabkan utilisasi stent menghabiskan
biaya yang cukup besar, sedangkan top up pada spesial
prosedur PCI hanya diperkenankan satu kali dengan nilai
yang sama di setiap kelas yaitu sebesar Rp.18.600.200.
padahal unit cost yang dikeluarkan oleh rumah sakit
untuk setiap stent adalahRp.18.496.175,00 per satuannya.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 253
Adapun Nilai CRR yang dapat diperbandingkan adalah
tindakan PCI pada CAD murni di kelas rawat I dan kelas
III dengan utilisasi stent sebanyak 3 buah, tarif RS
menunjukkan CRR mendekati 100% sedangkan tarif
INA CBG hanya mencapai 50%. Untuk perbandingan
CRR pada pasien CAD dengan Penyulit dan Penyerta
dikelas II dengan utilisasi stent 3 CRR Tarif RS
mencapai 92% sedangkan tarif INA CBGs mencapai
100%. Pada pasien kelas III dengan utilisasi stent 1 buah
CRR tarif RS mencapai 119,01% sedangkan dari tarif
INA CBG mencapai 149 %.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Budiarto dan
Sugiarto (2012) yang menyatakan untuk RSUP kelas A,
kelas B maupun RS khusus biaya penggantianklaim
menurut INA CBGs lebih besar dibandingkandengan
biaya menurut tarif riil rumah sakit, sehingga rumah
sakit ‘tidak rugi’ kalau penggantian perawatan dan
tindakan pasien Jamkesmas menggunakan INA CBGs.
Namun penelitian lain menyebutkan bahwa rerata CRR
tafif INA CBGs lebih rendah dari CRR tarif RS,
sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Dewi
(2014) yang menyebutkan bahwa CRR terhadap tarif
INA CBGs berkisar antara 90.85% hingga 65,98%.
Sedangkan CRR tarif RS berada diatas 100%. Hal yang
hampir serupa ditunjukkan dalam penelitian Muchlis
(2014) CRR tarif Rumah sakit secara keseluruhan
disemua kelas mencapai angka lebih dari 131% namun
jika dibandingkan dengan CRR tarif INA CBGS dari
semua kelas maka nilai tertinggi hanya mencapai 57%.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas yang
dimaksudkan untuk mencari nilai maksimal dari
perubahan komponen penyusun unit cost sehingga
dapat memberikan penilaian yang berbeda dari tarif
yang diperbandingkan.
Sebagai Rumah sakit pemerintah, biaya investasi berupa
bangunan dan peralatan serta gaji PNS mendapatkan
bantuan biaya dari APBN, sehingga untuk melihat
sensitivitas dalam penelitian ini dalam perhitungan unit
cost biaya investasi dikeluarkan untuk melihat besaran
CRR tanpa investasi dan CRR tanpa investasi dan tanpa
gaji PNS dengan mengeluarkan biaya investasi dan gaji
PNS dalam perhitungan unit cost.
Dari tabel 7.3 Tabel Perbandingan CRR Tarif INA
CBGs dan Tarif Rumah Sakit terhadap COT dengan
Investasi dan Gaji PNS, COT Tanpa Investasi serta
COT Tanpa Investasi dan gaji PNS pada halaman 107,
ditunjukkan bahwa jika biaya investasi dikeluarkan
maka CRR tarif INA CBGs dan CRR tarif rumah sakit
menunjukkan nilai yang lebih baik, kecenderungan
mencapai nilai 100 % lebih Kecuali utilisasi stent 3 pada
kelompok penyakit CAD dengan PCI Murni maka
CRR tarif INA CBGs masih berkisar diangka 47%-
56%.
Hal ini menunjukkan nilai stent masih tetap memegang
peranan penting dalam menentukan besarnya cost of
treatment baik tanpa mempehitungkan nilai investasi
maupun dengan memperhitungkan nilai investasi. Di
samping itu nilai investasi dan gaji pegawai memegang
peranan yang cukup besar melihat adanya penurunan
nilai cost of treatment pada tiap kelompok CAD
berdasarkan clinical pathway (ditampilkan dalam tabel
14).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA
CBG’s dan tariff rumah sakit pada kasus CAD dengan
PCI dimana CRR tariff rumah sakit pada severity level I
dan II dengan utilisasi stent 1-4 lebih baik dari CRR INA
CBGs karena tariff RS memperhitungkan penambahan
jumlah stent pada setiap tindakan PCI sedangkan tariff
INA CBGs tidak memperhitungkan penambahan stent
tersebut. Tetapi pada severity level IIIdengan utilisasi
stent sampai dengan 2 nilai CRR INA CBGs lebih baik
dari CRR RS karena tariff INA CBGs terhadap
tindakan PCI di severity level III cukup tinggi melebihi
COT, namun jika utility stent lebih dari 2 maka CRR
sudah turun dibawah angka 100%. Ini berarti nilai stent
sangat berpengaruh dalam menetukan nilai COT pada
tindakan PCI bagi pasien CAD.
Saran
Perlu dilakukan evaluasi metode penghitungan tarif
INA CBGs yang berdasarkan metode case base rate,
agar menggunakan pendekatan cost of treatment
berdasarkan clinical pathway. Sehingga besaran biaya
yang dikeluarkan untuk penyakit tersebut sudah
dipertimbangkan sepenuhnya. Diharapkan terdapat
perbedaan pengkodingan dan tarif terhadap tindakan
kardiovaskuler perkutan berdasarkan utilisasi stent pada
masing-masing severity level dan kelas rawat
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di
RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 254
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito. 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group,
Kelayakan Penerapannya di Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Budiarto, Wasis dan Sugiharto, Mugeni. Biaya Klaim INA CBGs dan Biaya Riil Penyakit
Katastropik Rawat Inap Peserta Jamkesmas di Rumah Sakit Studi di 10
Rumah Sakit Milik Kementerian Kesehatan Januari–Maret 2012, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 58–65.
Casto & Clayman. 2006. Principles of Healthcare Reimbursement, American Health
Information Management Association, 5-10. Darmawan A. 2010. Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah.
Dewi, I. Maulina. 2014. Price Analysis Tarif Rumah Sakit Dan Tarif Ina CBG’s Pada Tindakan Herniotomy Kelas III dengan Perhitungan Cost Of Treatment Berbasis
Clinical Pathway Di Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2014. Depok: Tesis,
FKM UI. Djuhaeni, Henni. 2009. Jasa Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (Teori dan Praktis.
Pustaka UNPAD.
Djunadi, Purnawan. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional, Jalan Masih Panjang, Jurnal Kedokteran Indonesia. Jakarta: Medika, No.2 Tahun ke XI.
Dody Firmanda, Clinical Pathways Kesehatan Anak, Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3, Desember
Bulletin World Health Organization. Majid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Korner Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan
Terkini Pidato Pengukuhan Guru Besar. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara. Muchlis, Achmad. 2014. Cost Shifting bedah Appendiktomi di Rumah Sakit Umum
Tangerang.
McPhee et al. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment 2007, Forty Sixth Edition,
McGraw-Hill Companies.
Mulyadi. 2007. Activity Based Costing – System, edisi 6 cetakan ke 2. UPP STIM YKPN Yogyakarta.
Nelwan, Ester Karakteristik Individu Penderita Penyakit Jantung Koroner di Sulawesi Utara
Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
Paruntu, Svetlana. 2012. Tesis Analisis Cost Arewness dan Cost Monitoring Untuk Efisiensi
Biaya Pelayanan di Sub Departemen Radiologi Rumkital dr. Mintohardjo (Studi Kasus: Pelayanan Thoraks Ap/Pa Foto). FKM UI Program KARS.
Putra, Ryryn, et al. 2011. Analisis Biaya Satuan (Unit Cost) Perjenis Tindakan Berdasarkan
Relative Value Unit (RVU) Pada Bagian Persalinan RSUD Ajjapange Kabupaten Soppeng Tahun 2011. Jurnal AKK, Vol 2 No 1, Januari 2013,
hal 35-41.
Rivany, Ronnie, Quo Vadis. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional? Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, vol. 13, no. 3 September 2010.
Setiaji, Hendadi. 2006. Analisis Biaya Pelayanan Rawat Inap Di Ruang VIP Cendrawasih
RSUD Dr. Soeselo Kabupaten Tegal Tahun 2006. Semarang: UNDIP. Sugiyarti et al. 2013. Analisis Biaya Satuan Dengan Metode Activity Baed Costing Studi Kasus
di Poli Mata RSD Balung Kabupaten Jember, Jurnal Pustaka Kesehatan
Volume 1, 2013. Suryawati, C. 2008. Bahan Kuliah Inflasi Biaya Kesehatan- Fkm - MIKM Universitas
Diponegoro, Semarang. www.eprints.undip.ac.id tanggal 11 Februari
2015. Global Media. 2010. Textbook of Financial Cost and Management Accounting, Periasamy.
India: Himalaya Publishing House.
Thabrany, Hasbullah, (2014). Jaminan Kesehatan Nasional, PT. Raja Grafindo Persada. Tribowo, Anang. 2014. Perbandingan Tarif Ina-CBGs dengan Tarif RS. Disampaikan pada
Seminar Pencegahan Fraud dan Peningkatan Mutu Layanan Kesehatan di
Rumah Sakit Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional pada tanggal 20 November 2014 di Auditorium RS RK Charitas.
Trisnantoro, L. 2009. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah
Sakit, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada Universtity Press. Wakefield, John. 2012. Patient Safety and Quality Improvement Service. Center for Health Care
Improvement, Queensland Version 3,1,2012).
Zelman, Et Al. 2004. Financial Management of Health Care Organizations, an Introduction to Fundamental Tools, Concepts, and Applications. Blackwell publishing,
Tabel 6. Cost Indeks (Tanpa Akomodasi) Berdasarkan Clinical Pathway Pasien
CAD dengan Tindakan PCI Tanpa Perhitungan Jumlah Stent
Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit
Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)
LOS 3 3 6
Pendaftaran 0,05 % 0,05% 0,04%
Penegakan Diagnosa 5,64 % 5,22% 4,91%
Pra Operasi 0,55 % 4,11% 5,35%
Operasi 92,91 % 86% 80,82%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 256
Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit
Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)
Post Operasi 0,62 % 4,24% 8,52%
Pulang 0,22 % 0,38% 0,37%
COT 100% 100% 100%
Tabel 7. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Murni
Diagnosa
PCI Murni Jumlah Stent Los Cot Tarif Ina Cbg %
KELAS I
Stent 1
3
51.342.045
44.640.500
87%
Stent 2 69.838.221 64%
Stent 3 88.334.396 51%
Stent 4 106.830.571 42%
KELAS II
Stent 1
3
50.764.230
40.920.500
81%
Stent 2 69.260.405 59%
Stent 3 87.756.580 47%
Stent 4 106.252.755 39%
KELAS III
Stent 1
3
50.453.730
37.198.600
74%
Stent 2 68.949.905 54%
Stent 3 87.446.080 43%
Stent 4 105.942.255 35%
Tabel 8. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta
DIAGNOSA CAD
DENGAN PENYERTA
JUMLAH
STENT LOS COT TARIF INA CBG %
KELAS I
Stent 1
3
53.876.926
82.969.900
154%
Stent 2 72.373.101 115%
Stent 3 90.869.276 91%
Stent 4 109.365.452 76%
KELAS III
Stent 1
3
53.299.110
73.774.300
138%
Stent 2 71.795.285 103%
Stent 3 90.291.461 82%
Stent 4 108.787.636 68%
KELAS III
Stent 1
3
52.988.610
64.578.600
122%
Stent 2 71.484.785 90%
Stent 3 89.980.961 72%
Stent 4 108.477.136 60%
Tabel 9. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta + Penyulit
Diagnosa CAD Dengan
Penyerta + Penyulit Jumlah Stent LOS COT Tarif INA CBG CRR (%)
KELAS I
Stent 1 6 56.058.095
104.584.800
188%
Stent 2 6 74.554.270 138%
Stent 3 6 93.050.445 109%
Stent 4 6 111.546.621 67%
KELAS III
Stent 1 6 55.480.279
92.294.000
168%
Stent 2 6 73.976.454 122%
Stent 3 6 92.472.630 96%
Stent 4 6 110.968.805 59%
KELAS III
Stent 1 6 55.169.779
82.969.900
152%
Stent 2 6 73.665.954 111%
Stent 3 6 92.162.130 87%
Stent 4 6 110.658.305 53%
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 257
Tabel 10. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s pasien Kelas I, II, III
Berdasarkan Cost of Treatment Berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan
Tindakan PCI Murni di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
MURNI JUMLAH
STENT LOS
COT
(Rp)
TARIF RS
(Rp) CRR %
TARIF INA CBG
(RP) CRR %
KELAS I 3 3 93.895.871 87.973.106 94% 44.640.500 48%
KELAS II 3 4 93.318.055 88.534.317 95% 40.920.500 44%
Tabel 11. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III
Berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan
Tindakan PCI Penyertadi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
Penyerta Jumlah Stent LOS COT Tarif RS CRR % Tarif
INA CBG CRR %
KELAS I
1 3 55.504.350 56.030.356 101%
82.969.900
149%
2 3 75.854.350 73.389.245 97% 109%
3 3 96.204.350 143.607.728 149% 86%
4 3 157.254.350 96.811.727 62% 53%
KELAS II 1 6 54.994.996 58.832.588 107% 73.374.100 100%
Tabel 12. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III
berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan Tindakan
PCI Penyerta & Penyulit di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
Penyerta & Penyulit STENT LOS COT TARIF RS CRR % TARIF INA CBG CRR %
Kelas II 3 3 95.694.996 88.139.598 92% 92.294.000 96%
Kelas III 1 12 54684496 66.182.799 121% 82.969.900 152%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 258
Tabel 12. Cost Indeks Tindakan PCI Pada Penyakit CAD Dibandingkan
dengan Penelitian Terdahulu
Kegiatan
Tindakan PCI pada
CAD Murni tahun
2015
Appendiktomi Murni
RSU Kab. Tangerang
2014
Herniotomi
Murni
PMI Bogor
2013
Ca Payudara Murni
Bedah MRM
RS kanker
Dharmais 2008
LOS 3 4 4 4
Pendaftaran 0,05% 0,22% 0,24% 0,34%
Penegakan
Diagnosa 5,64 % 7,05% 9,03% 14,27%
Pra Operasi 0,55 % 6,30% 1,46% 0,97%
Operasi 92,91% 77,67% 1,46% 76,8%
Post Operasi 0,62% 8,51% 9,12% 5,9%
Pulang 0,22% 0,22% 5,02% 0,08%
Kontrol - - 1,23 % 1,55%
COT 100% 100% 100% 100%
Tabel 13. Tarif Tindakan PCI di RSUP dr. Mohammad Hoesin Sesuai
100/PMK.05/2014
No. Tindakan Tarif (Rp.)
1 PCI Dengan Satu Stent (DES) 55.000.000
2 PCI Dengan Dua Stent (DES) 71.000.000
3 PCI Dengan Tiga Stent (DES) 86.000.000
4 PCI Dengan Empat Stent (DES) 96.000.000
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Oktober 2015 259
Tabel 14. Tabel Perbandingan CRR Tarif INA CBGs dan Tarif Rumah Sakit Terhadap COT dengan Investasi dan Gaji PNS, COT
Tanpa Investasi serta COT Tanpa Investasi dan Gaji PNS
Klasifikasi
CAD dengan
PCI
Stent LOS Tarif RS INA CBGs
COT CRR Rumah Sakit CRR INA CBGS
Investasi Dan
Gaji PNS Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi Dan
Gaji PNS Tidak
Dihitung
Investasi Dan Gaji
PNS
Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi Dan
Gaji PNS Tidak
Dihitung
Investasi Dan
Gaji PNS
Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi
Dan Gaji PNS Tidak
Dihitung
Murni Kelas I 3 3 87.973.106 44.640.500 88.334.396 86.174.132 79.407.050 99,59% 102,09% 110,79% 51% 52% 56%
Murni Kelas II 3 4 88.534.317 40.920.500 87.756.580 85.344.356 78.829.234 100,89% 103,74% 112,31% 47% 48% 52%
Penyerta
Kelas I 1 3 56.030.356 82.969.900 53.876.926 51.324.975 44.400.219 104,00% 109,2% 126,2% 154% 162% 187%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015