-
MEREKONSTRUKSI GLOBALISASI:
EKONOMI ISLAM DALAM
MENGHADAPI PERDAGANGAN DAN PASAR BEBAS1
Oleh: Khairunnisa Musari2
1. PENGANTAR
Pemerintah memastikan Indonesia sangat siap menghadapi era
perdagangan bebas
Asia Tenggara dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015. Kesiapan itu
ditunjukkan melalui pembentuan Komite Ekonomi ASEAN yang
melibatkan pemerintah
dan dunia usaha. Adapun pilar pembentukan Komite Ekonomi ASEAN
meliputi bidang
politik, keamanan, ekonomi, dan budaya. Meski belakangan
Indonesia masih mengalami
defisit neraca perdagangan, namun pemerintah menegaskan tak akan
mundur dari
komitmen perdagangan bebas di kawasan regional ini.
Sebelumnya, tahun 2010, Indonesia pun telah memasuki kesepakatan
perdagangan
bebas antar negara ASEAN dan China (CAFTA). Seperti halnya
ketika menghadapi CAFTA,
sejumlah pihak pun banyak yang menyatakan ketidaksiapan
Indonesia menghadapi MEA.
Hal ini juga mengingat salah satu dampak CAFTA yang sangat
dirasakan dunia usaha saat
ini adalah serbuan produk-produk China ke negara-negara ASEAN,
termasuk Indonesia.
Hal ini membuat produk lokal sulit untuk meningkatkan pangsa
pasarnya, bahkan di pasar
lokal.
Terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam menyikapi era
perdagangan bebas
atau pasar bebas, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipahami
bersama mengenai
perbedaan fundamental dalam perspektif umum dan ekonomi Islam
terhadap globalisasi
yang merupakan hulu dari lahirnya perdagangan bebas atau pasar
bebas tersebut.
1.1 Globalisasi dalam Perspektif Umum?3
"... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya
sehingga kekuatan politik mana pun
yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak
logis, dan naif.... Pendek kata,
apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di
bidang murni ekonomi dan
keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan
kekacauan dan pada akhirnya menuju
pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." (George Soros,
1998).
Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud
pasar-bebas dapat menjadi
peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung
pada bagaimana sebuah
negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan
perekonomiannya. Namun demikian,
1 Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah Peran
Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam
Menghadapi Pasar Bebas yang diselenggarakan oleh Himpunan
Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul
Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014.
2 Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI)
dan Tamkin Institute.
3 Tulisan ini dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang
dimuat di Harian Surabaya Post, 24 April 2009,
berjudul Globalisasi untuk Nasionalisme dan Harian Seputar
Indonesia, 11 April 2008, berjudul Akhir Laissez-
Faire Keempat?.
-
2
realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini
sebagian besar adalah buah dari
globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat ini.
Dalam Republik Pasar Bebas (2006), Susan George mengatakan bahwa
globalisasi saat
ini merupakan buah pemikiran dari kaum neoliberal. Kaum
neoliberal melahirkan ide-ide
globalisasi yang kemudian diwujudkan dengan hal-hal seperti
liberalisasi dan privatisasi.
Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika
Serikat (AS) pada masa
pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an.
Pemikiran ini dicetuskan
oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald
Reagen, dan Frederick High,
penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret
Thatcher. Friedman adalah
murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang
merupakan embrio
neoliberalisme. Paham neoliberalisme nyatanya banyak mengalami
kegagalan. Liberalisme
dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah
melahirkan banyak
ketimpangan struktur ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.
Lebih jauh, menurut Swasono (2005a), paham neoliberalisme
sesungguhnya
merupakan anak dari paham neoklasikal yang diusung oleh Adam
Smith. Dalam paham
neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan
penawaran yang
diasumsikan mampu melakukan self-regulating dan self-correcting
melalui an invisible-hand.
Namun, pasar sejatinya juga mengandung market failures yang
tidak cukup mampu
melayani kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin salah satunya
dengan micro-macro rifts,
di mana banyak terjadi ketidaksesuaian ilmu ekonomi mikro dan
makro dalam
menstransformasikan kepentingan individu ke arah kepentingan
publik. Akibatnya,
efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak
sejalan, bahkan kerap
bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.
Di Indonesia, Swasono (2005a) menilai pengajaran ilmu ekonomi
masih sangat
tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pelajaran ilmu ekonomi
sepenuhnya
mengajarkan neoklasikal dan memperkenalkan akhlak homo
economicus yang juga telah
melepaskan hubungan dalam konteks Indonesia dengan
kekhususannya. Pemikiran ini
bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain
dan minimisasi sacrifice sesuai
perilaku homo-economicus. Pemikiran neoklasikal menyandarkan
diri pada paham
kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir
self-fulfilling presumption
secara berkepanjangan. Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat
saat ini, paham
kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga
menimbulkan restless society
ataupun stressful society.
Tahun 2008, pasca kasus subprime mortgage di AS yang diikuti
dengan berbagai
kejatuhan industri sektor keuangan, miliuner George Soros
mengatakan bahwa krisis
keuangan saat itu adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun
1929. Krisis yang terjadi
saat itu sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar
krisis kekacauan di sektor
keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen
dan Margaret Thatcher
mendamba laissez-faire, yaitu madzhab yang menjunjung pasar
liberal atas dasar keyakinan
bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan.
Dikatakan Soros, Reagen dan
Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai
pinjaman, yang secara
akumulatif menumpuk hingga sekarang.
Kritik terhadap madzhab berulang kali terjadi. Diceritakan
Swasono (2005b), setelah
the end of laissez-faire yang pertama, yaitu dengan munculnya
Keynes sebagai reformis
(1926), kemudian muncul kembali Bator, Baran, Dob, Lange,
Singer, dan Robinson yang
-
3
mengakhiri laissez-faire kedua (1957). The end of laissez-faire
ketiga muncul kembali dengan
hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen,
Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan
Stiglitz4.
4 Tentang Stiglitz, Indonesia, dan ekonomi Islam dapat dilihat
juga pada artikel pribadi yang dimuat di
Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009, berjudul Stiglitz,
Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Selain sebagai
pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom
kontroversial. Stiglitz kerap membela kepentingan
negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya
terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar,
dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani
mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan
Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan AS untuk menekan
negara-negara dunia ketiga melalui
cengkeraman kapitalisme ekonomi.
Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting
karena ia pernah menjadi bagian penting
dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret
kebijakan AS dalam mengelola agenda
globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana
resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang
berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata
tidak selalu benar. Hampir di semua
bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Stiglitz
berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara
berkembang banyak diakibatkan kepatuhan yang
sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus. Untuk
mengurai lebih dalam mengenai Washington
Consensus, Stiglitz menulis Washington Consensus: Arah Menuju
Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus
menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan
perdagangan bebas, stabilitas makro, dan
penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir
Washington Consensus tidak dapat begitu saja
diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah
negara yang mencapai keberhasilan
pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington
Consensus merupakan fakta yang tidak
dapat diabaikan.
Diskusi Stiglitz tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam
Globalization and Its Discontents (2002).
Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar
karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena
keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan
Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain.
Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan
ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur.
Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih
rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada
negara-negara yang menolak kebijakan IMF.
Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan
pasar bebas sering merugikan sebagian besar
masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata
untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz
menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atas
Washington Consensus yang diadopsi pemerintah
Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi
dan pasar bebas ternyata tetap memberi
proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh
karena itu, selayaknya negara-negara berkembang
juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia
menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan
Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak
buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi
konsekuensi sistem globalisasi, khususnya di negara-negara
miskin dan berkembang. Buku ini membongkar
kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang
didesakkan ke negara-negara berkembang dalam
paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz
menegaskan pula keprihatinannya terhadap
korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan
berkembang akibat tingginya ketimpangan
sosial.
Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju
Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz
mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang
mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits
menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi
yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di
dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk
mengatasi utang negara berkembang. Ia
menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk
mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional.
Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya,
pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen
tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.
Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama
Linda J. Bilmes mengulas hitungan rinci biaya
ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak.
Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost,
biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai perang akan sangat
berarti dalam mengatasi berbagai persoalan
pelik terkait kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan
kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di
-
4
Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam
menghadirkan sistem
perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai
ada tanda-tanda the
end of laissez-faire keempat. Setelah teori mekanisme desain
yang memikirkan bagaimana
pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi
rakyat telah mengantar
Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah
pihak mulai
merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.
1.2 Pasar Bebas dan Ketimpangan
Menurut Ackerman (1998), ketimpangan kesejahteraan di dalam dan
antar negara
tumbuh dengan cepat dan menjadi isu yang signifikan. Ketimpangan
sangat terkait dengan
political economy. Menurutnya, analisis ketimpangan berawal dari
tradisi political economy --
sebuah disiplin yang berakar dari Adam Smith5. Pada awalnya,
political economy
merefleksikan sebuah kepedulian terhadap isu-isu politik dan
ekonomi serta institusi-
instistusi yang terkait dengannya. Namun, dalam perkembangannya,
istilah political economy
menjadi cenderung dikaitkan dengan madhzab-madhzab. Ackerman
menggunakan istilah
political economy yang dinilainya sudah tidak populer ini karena
ingin menekankan betapa
dekatnya hubungan political dan economy dalam menghadirkan
ketimpangan.
Susan George (2006) juga menekankan hal senada. Menurutnya,
ketimpangan ini
nyata mengingat jumlah masyarakat miskin di dunia jelas lebih
banyak dibandingkan
jumlah masyarakat kaya. Timpangnya ekonomi dunia ditunjukkan
oleh hasil studi United
Nations Development Programme (UNDP), yaitu: (1) Satu % dari
orang-orang terkaya di
dunia, pendapatannya sama dengan 57 % orang miskin di dunia. (2)
Sepuluh % dari
penduduk terkaya di AS memiliki pendapatan yang sama besarnya
dengan 43 % penduduk
termiskin dunia. Atau dengan kata lain, pendapatan dari 25 juta
penduduk terkaya di AS
sama dengan pendapatan dua miliar penduduk bumi. (3) Pendapatan
dari 5 % orang-orang
terkaya di dunia adalah sebesar 114 kali pendapatan 5 % penduduk
termiskin dunia. Di AS,
lapisan bawah (10%) juga mencapai titik nadir. Pada 1997,
lapisan puncak (1%) memiliki
pendapatan 65 kali lebih besar daripada lapisan miskin, dan 10
tahun kemudian lapisan
puncak (1%) memiliki pendapatan 115 kali lebih besar dari jumlah
penduduk miskin AS.
Hal ini tentu menjadi bagi hampir setiap negara di belahan bumi.
Mengapa ini terjadi?
Diyakini karena adanya pembenaran teoritis dan ideologis yang
dikemas secara rapi oleh
para pendukung neoliberal atas redistribusi kekayaan kearah yang
paling baik. Pendapatan
yang meningkat bagi kaum kaya dan keuntungan yang lebih tinggi
terhadap modal akan
menimbulkan investasi lebih besar, serta alokasi sumber daya,
akibatnya akan lebih banyak
tersedia pekerjaan dan kesejahteraan bagi setiap orang. Dengan
demikian, uang dari orang
kaya dianggap memiliki multiplier effect yang lebih besar dari
pada uang orang miskin.
Namun dalam kenyataannya, orang-orang yang berada pada puncak
skala rata-rata sudah
memiliki sebagian besar barang yang mereka butuhkan. Sehingga
mereka hanya akan
belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun
sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat
sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada
untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal
itu akan jauh lebih berarti.
5 Ide-ide Adam Smith menjadi pencetus lahirnya Institut Adam
Smith di Inggris yang merupakan salah
satu aktor intelektual dalam penciptaan ideologi neoliberal yang
melahirkan legitimasi atas privatisasi,
liberalisasi, globalisasi, dan pasar-bebas. Mitra strategisnya
adalah lembaga keuangan dan moneter dunia yang
turut serta dalam penyebaran ideologi tersebut. Ideologi ini
mengubah banyak status kepemilikan pabrik, badan
usaha, dan perusahaan di dunia, dari kepemilikan negara menjadi
kepemilikan individu. Banyak aset dan
perekonomian negara yang tersentralisasi pada segelintir
individu atau perusahaan tertentu.
-
5
memberikan kontribusi yang relatif lebih sedikit bagi
perekonomian lokal atau nasional.
Sementara bagian terbesar kekayaan mereka langsung menuju ke
pasar keuangan, yang
kebanyakan ditempatkan dalam instrumen keuangan yang benar-benar
spekulatif.
Kritik terhadap ketimpangan juga dinyatakan Hurrel dan Wood
(1999). Menurut
mereka, ketimpangan telah lama menjadi bagian penting politik
dunia. Liberalisasi
perekonomian memperjelas jurang kaya dan miskin di negara-negara
berkembang. Untuk
suatu kelompok negara, globalisasi meruntuhkan persatuan dan
ketahanan negara. Saat ini,
globalisasi telah membawa tantangan baru yang membuat kita perlu
memikirkan ulang
topik ketimpangan.
2. EKONOMI ISLAM MENGHADAPI PASAR BEBAS
Setelah sejumlah akademisi Barat, mantan praktisi World Bank dan
International
Monetary Fund (IMF), konsultan yang menjadi economic hit man6,
serta pemenang Nobel
Ekonomi meneriakkan keadilan global dan mengecam perilaku
predatori dan eksploitatori
dari negara-negara maju, barulah ekonom mainstream berkenan
merenungkan dampak
globalisasi dan pasar-bebas bagi kedaulatan rakyat. Hal ini
menunjukkan, mulai munculnya
paradigma baru dalam ekonomi dunia bahwa setiap negara, bahkan
negara maju sekalipun,
perlu mewaspadai ancaman globalisasi dan pasar-bebas. Hanya
dengan kemandirian yang
mampu memberikan pondasi perekonomian yang kokoh agar tegar
menghadapi badai
krisis ekonomi dunia yang merupakan efek domino dari globalisasi
dan pasar-bebas.
Jika disimak, terdapat perbedaan mendasar terkait dengan
pemahaman globalisasi
dan pasar bebas antara perspektif umum dengan ekonomi Islam.
Islam tidak memisahkan
agama dengan kegiatan ekonomi. Menurut Chapra (2000), ilmu
ekonomi sebagai ilmu moral
menyentuh pula nilai-nilai agama. Dalam ekonomi Islam, segala
usaha harus diarahkan
pada realisasi dan tujuan-tujuan kemanusiaan. Paradigma inilah
yang harus digunakan
dalam mendefinisikan efficiency dan equity yang ada dalam ilmu
ekonomi.
6 Economic hit man adalah julukan John Perkins yang menguak
tabir rahasia rekayasa politik ekonomi
serta strategi korporatokrasi melalui buku Confessions of an
Economic Hit Man (San Francisco: Berrett-Koehler
Publishers, Inc., 2004) dan The Secret History of The American
Empire (edisi Bahasa Indonesia dalam Pengakuan
Bandit Ekonomi, Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan
Negara Dunia Ketiga (Jakarta: Ufuk Press,
2007)).
Kedua buku ini menceritakan pengalaman penulis pada tahun
1970-1980-an yang bekerja sebagai
konsultan ekonomi di bawah pengawasan National Security Agency
(NSA), salah satu lembaga keamanan dan
intelijen terkemuka di Amerika Serikat (AS). Sebagai konsultan,
Perkins memiliki posisi yang tidak sekadar
menggolkan kesepakatan bisnis negara-negara berkembang atau
dunia ketiga dengan AS, tapi juga membangun
kerajaan imperium AS di dunia. Perkins berusaha menciptakan
situasi, dimana semakin banyak sumber
penghasilan mengalir ke AS atau ke perusahaan-perusahaan milik
AS.
Perkins menceritakan, imperium AS dibangun bukan melalui
persaingan yang sehat dan jujur, tapi
dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya melalui
manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks,
merayu orang untuk mengikuti kemauan AS. Tugas utama Perkins
adalah membuat kesepakatan untuk
memberi pinjaman ke negara lain, jauh lebih besar dari yang
negara itu sanggup bayar. Diakui Perkins, ia
pernah menjalankan kebijakan ini di sejumlah negara dunia,
termasuk Indonesia.
Dalam buku tersebut, Perkins menceritakan bagaimana AS memeras
negara sampai tak bisa
membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara
bersangkutan untuk menyerahkan sumber
kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu, tembaga dan lainnya
ke AS. Jika negara itu menolak, Perkins
menyatakan bahwa mereka bisa dibunuh.
-
6
2.1 Globalisasi dalam Perspektif Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas
sesungguhnya sudah
sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek
globalisasi dan pasar-bebas sudah
terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari
proses itulah kita bisa
menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan
dunia.
Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan
pekerjaan yang
digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda
kenabian Beliau oleh seorang
Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan
berdagang. Dari sini, kita
bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah
terjadi bahkan sebelum
Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat
menjadi Nabi, barulah nilai-
nilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan
dan bidang lainnya.
Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di
masa lampau berbeda
dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi
dan pasar-bebas di masa
lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan
permintaan. Sedangkan
paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita
pahami saat ini adalah buah
dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai
kepentingannya. Paham
globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian sesungguhnya
dicipta sebagai
pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham
mereka yang kerap tidak
berkeadilan.
Di masa lalu, di antara banyak suku di Arab, terdapat suku
Quraisy yang memiliki
kemampuan dagang cukup tinggi. Karena suku ini juga dikenal
memiliki otoritas sebagai
penjaga Kabah, menurut Perwataatmadja & Byarwati (2008),
posisi ini membuat suku
Quraisy sangat leluasa dan aman untuk melakukan perjalanan
dagang ke seluruh kawasan
Arab. Hampir seluruh suku dalam rute perdagangan menuju Syria,
Yaman, dan Bahrain
menghormati dan menghargai kafilah-kafilah Quraisy. Kebiasaan
kaum Quraisy melakukan
perjalanan dagang pada musim dingin dan panas digambarkan dalam
firman Allah:
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy yaitu kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan
panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini
(Kabah) yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari ketakutan (QS.
Quraisy [106]: 1-4).
Tidak bisa dipungkiri, sebagai kaum yang memiliki hubungan
dagang lintas negara,
kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik. Hal
ini kian didukung
oleh keberadaan mereka sebagai penjaga Kabah yang menyebabkan
sejumlah negara
seperti Syria, Irak, Yaman, dan Ethiopia memberi izin dan
jaminan keamanan berdagang.
Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis
organisasi usaha pun
-
7
telah mereka dirikan. Sistem upah dan syirkah dalam berbagai
tipe juga telah dijalankan
antara pemilik modal dengan pelaku dagang, termasuk pula dengan
kerjasama jenis
mudharabah.
Sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya, perdagangan antar
negara di
Semenanjung Arab telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum
kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Karena kondisi geografi yang tidak memungkinkan
bagi penduduk
setempat untuk bertani, mereka kemudian menjadikan perdagangan
sebagai mata
pencaharian utama.
Awal abad ke-6M menjadi tonggak awal dimulainya peran wilayah
Semenanjung
Arab bagian tengah sebagai sentra perdagangan lintas benua.
Bermula dari adanya
ketegangan antara penguasa Byzantium dengan penguasa Persia.
Teluk Persia yang
sebelumnya adalah jalur perdagangan barat-timur menjadi
berkurang tingkat
keamanannya. Alhasil, para pedagang dari timur lebih memilih
jalur baru yaitu pelabuhan
di pesisir selatan Semenanjung Arab. Lalu dilanjutkan dengan
jalur barat menembus
wilayah Semenanjung Arab bagian tengah guna menuju wilayah
utara, yaitu negeri Syam.
Demikian pula dengan jalur perdagangan dari barat yang berpindah
melewati Syam, Arab
bagian tengah, lalu pelabuhan pesisir selatan Semenanjung Arab.
Terakhir, melalui
perjalanan laut tanpa melewati Teluk Persia.
Perubahan jalur perdagangan ini menyebabkan sejumlah wilayah di
Semenanjung
Arab bagian tengah, seperti Mekkah dan Madinah, menjadi ramai.
Jika sebelumnya jalur ini
hanya diramaikan oleh lalu lintas komoditas perdangan lokal
Semenanjung Arab, wilayah
ini kemudian berkembang menjadi jalur utama perdagangan dari
wilayah timur dan barat.
Wilayah timur banyak didominasi oleh pedagang yang berasal dari
India dan Cina.
Sedangkan wilayah barat didominasi oleh pedagang yang berasal
dari Afrika dan Eropa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perdagangan merupakan
pekerjaan
yang digeluti Nabi Muhammad SAW sejak kecil bersama dengan
pamannya, Abi Thalib.
Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian yang dituturkan oleh
seorang Pendeta juga terjadi
kala Nabi Muhammad SAW sedang melakukan perjalanan berdagang.
Dari sini kita bisa
melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi
bahkan sebelum
Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.
Tabel 1 menunjukkan sejumlah pasar di Semenanjung Arab pra-Islam
yang selain
menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat sastra dan
kegiatan spiritual.
NAMA PASAR KOTA/
NEGARA
KETERANGAN
1. Pasar Ukazh7 Al-Athdia8, antara Mekkah
Masyarakat Arab biasa berkumpul di pasar ini untuk saling
membanggakan diri. Pasar ini berlangsung 20 hari dari tanggal
1
7 Suyanto (2008a) menjelaskan, pasar Ukazh adalah pasar kuno
yang paling terkenal di Semenanjung
Arabia. Pasar tersebut tercatat untuk pertama kalinya pada tahun
500 Sebelum Masehi (SM). Pasar ini dikenal
dalam hal kemegahan, hubungan dagang, manifestasi syair,
kesukuan, dan selalu dikunjungi oleh suku Quraisy,
Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya dan
al-Mustaliq.
TABEL 1
PASAR-PASAR TERKENAL
DI SEMENANJUNG ARAB PRA-ISLAM
-
8
dan Thaif sampai 20 Dzul Qadah. Pasar ini merupakan pusat
perdagangan
paling besar di Jazirah Arab selain juga menjadi pusat sastra
dan
tempat bagi orang-orang yang membawa misi perbaikan.
2. Pasar Majinnah Mekkah Setelah pasar Ukazh selesai,
orang-orang mengunjungi pasar ini.
Mereka tinggal selama 10 hari sejak akhir Dzul Qadah sampai
melihat hilal bulan Dzulhijjah. Pasar ini milik kabilah
Kinanah.
3. Pasar Dzu Al-
Majaz
Mina, antara
Mekkah dan
Arafah
Pasar ini menempati satu peringkat di bawah pasar Ukazh yang
memiliki peran penting di Jazirah Arab. Pasar ini berlangsung
sejak
hilal bulan Dzulhijjah dan dikunjungi oleh orang-orang yang
menunaikan ibadah haji dari seluruh negeri Arab. Orang-orang
meninggalkan pasar Majinnah menuju pasar ini dan bermukim
sampai hari ke-8 bulan Dzul Hijjah yang merupakan hari
Tarwiyah9.
4. Pasar Daumatul
Jandal
Al-Jauf. Pasar ini menjadi pertemuan jalan penting perdagangan
antara
Irak, Syam, dan Jazirah Arab. Musim pasar ini berlangsung
dari
awal hingga pertengahan bulan Rabiul Awwal.
5. Pasar al-
Musyaqqar
Kota Hajir di
Bahrain.
Pasar ini berlangsung pada bulan Jumadats Tsaniah.
6. Pasar Hajar Bahrain Pasar ini menjual buah kurma dan hanya
dilangsungkan pada
bulan Rabiul Akhir.
7. Pasar Oman
(Dibba)
Oman Pasar ini banyak dikunjungi oleh bangsa Arab selepas dari
aktivitas
pasar Hajar. Mereka bermukim di sana sampai akhir Jumadal
Ula.
Di pasar ini pula terjalin kerja sama antara pedagang dari
India,
Indus (Sindh), Persia, dan Ethiopia dengan para pedagang
Arab.
8. Pasar Hubasyah Tihamah Pasar ini termasuk pasar Tihamah kuo
dan bukan pasar haji. Pasar
ini diadakan pada bulan Rajab. Dalam sebuah riwayat
disebutkan
bahwa Rasulullah pernah sekali masuk ke pasar tersebut
dengan
membawa dagangan Siti Khadidjah.
9. Pasar Shuhar Oman Pasar ini merupakan kota paling ramai yang
terletak di atas laut.
Pasar ini diadakan di bulan Rajab.
10. Pesar Asy-Syihr Antara Aden
dan Oman
Pasar ini berada di tepi pantai selatan antara Aden dan
Oman.
Pasar ini merupakan tujuan para pedagang laut dan darat. Pasar
ini
diadakan pada pertengahan bulan Syaban.
11. Pasar Aden Aden Masyarakat Aden mengunjungi pasar ini
setelah pasar Asy-Syihr
selesai. Pasar ini diadakan pada 10 hari pertama bulan
Ramadhan.
12. Pasar Sanaa Sanaa Pasar ini berlangsung dari pertengahan
sampai akhir bulan
Ramadhan.
13. Pasar
Hadramaut
Shihr dan
Rabiyah
Pasar ini diadakan pada pertengahan bulan Dzul Qadah.
Terkadang pasar ini diadakan pada hari yang sama dengan
pasar
Ukazh. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Arab ada yang
berangkat ke pasar ini dan sebagian lainnya ke pasar Ukazh.
14. Pasar Hijr Yamamah Pasar ini diadakan sepanjang bulan
Muharram.
15. Pasar Mirbad Bashrah Pasar ini adalah pasar paling terkenal
di Arab setelah kedatangan
Islam. Mirbad berarti kandang unta.
8 Suyanto (2008a) juga menjelaskan, penentuan kota Al-Athdia
sebagai lokasi yang tepat dari Pasar Ukazh
dilakukan oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz. Raja Faizal meminta
para ahli dan ilmuwan untuk mengidentifikasi
lokasi dari Ukazh dengan mencari kembali catatan kuno dan
dokumen sejarah. Setelah 1300 tahun, pasar
tersebut dioperasikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur
Mekah, Pangeran Khalid Al-Faisal, putra Raja
Faisal. Pasar tersebut berlangsung selama 7 hari dengan menjual
bermacam-macam barang dan bahan, baik
tradisional maupun modern. Di tempat tersebut juga terdapat
tulisan syair Arab kuno dalam emas dan
diperuntukkan bagi pengunjung untuk melihatnya.
9 Dinamakan Tarwiyah karena mereka meminum air sampai kenyang
dan mengisi bejana mereka untuk
bekal melanjutkan perjalanan mereka ke Arafah karena di Arafah
tidak ada air.
Sumber: Al-Maghluts (2008a; 2008b), dimodifikasi.
-
9
Demikianlah, dapat kita lihat bahwa sejarah membuktikan praktek
globalisasi dan
perdagangan bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru
terjadi hari ini. Dari praktek
itulah, bangsa Arab yang menempati Semenanjung Arab bagian
tengah pada masa pra-
Islam membangun kesejahteraan bangsanya. Dan dari praktek
itulah, kaum Quraisy
menjadi kaum yang ternama. Kaum Quraisy dihormati selain karena
sebagai penjaga
Kabah, juga karena kemampuannya menjaga stabilitas keamanan
kota. Hal ini
menyebabkan para pedagang dari negara lain menyukai Mekkah
sebagai kota
perdagangan.
Perdagangan memang identik sebagai ikon kaum Quraisy. Kaum
Quraisy dikenal jeli
menangkap peluang pasar produk antar negara. Pada musim dingin,
mereka pergi ke
Yaman dengan membeli produk berupa kain sutera, barang
pecah-belah, rempah, dan
bahan kapur barus untuk kemudian dikirim ke Syiria pada musim
panas. Demikian pula
sebaliknya, ketika musim panas, mereka mengambil barang dagangan
gandum dan buah-
buahan dari Syiria yang kemudian dijual pada musim dingin di
Yaman. Kemampuan dan
kejelian menangkap pasar inilah yang menunjukkan kemampuan kaum
Quraisy dalam
melakukan ekspor impor produk-produk lintas negara.
Suyanto (2008b) menjelaskan, produk-produk yang banyak diimpor
bangsa Arab
sebelum Islam diantaranya adalah bahan makanan, minyak zaitun,
padi-padian, anggur,
pakaian, dan senjata dari Syiria dan Irak. Dari Persia, banyak
diimpor produk dari besi,
sutra, musk, abergris, dan perhiasan. Dari Yaman dan Oman,
banyak diimpor kemenyan,
gaharu, ud, pakaian, myrrh, dan parfum. Sedangkan dari Etiopia,
banak diimpor gading,
emas, dan budak. Sementara itu, produk-produk yang banyak
dihasilkan bangsa Arab
untuk kemudian diekspor adalah produk-produk pertanian dan
industri. Suyanto (2008b)
menceritakan, di bidang pertanian, yang banyak dihasilkan adalah
padi-padian berupa
gandum, barley, sorghum, alfalfa. Lalu juga sayur-sayuran, pohon
jeruk, dan buah-buahan
seperti anggur, zaitun, kurma, dan delima. Di bidang industri,
banyak bermunculan
industri perhiasan, industri pandai besi, industri pembuatan dan
penyamakan kulit,
industri tekstil dan tenun, serta industri parfum.
Tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa kepentingan
ekonomi menjadi
alasan utama terjadinya perdagangan internasional. Pada masa
pra-Islam, komoditi yang
diperdagangkan saat itu selain berbagai kebutuhan pokok,
diantaranya juga adalah patung-
patung berhala yang menjadi sesembahan bagi masyarakat jahiliah
yang menganut paham
paganisme. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan
mengapa hadirnya Islam yang
mengajak menyembah Allah SWT mengalami penolakan. Sebab, hal
tersebut dipandang
sebagai ancaman bagi kelanggengan usaha mereka. Dalam konteks
ini, pasar-pasar
memegang posisi kunci sebagai pusat perdagangan, pusat sastra,
dan pusat kesalehan
spiritual.
2.2 Ekonomi Islam, New Intitutional Economics?10
Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu
pemikiran yang mengemuka
di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi
Islam merupakan
10 Dikutip dari artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki
Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance,
Durham University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan
dimuat di Harian Republika, 24 Januari 2009.
-
10
solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi Islam akan menjadi
paradigma baru yang
menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom,
krisis global yang tengah
terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi
kapitalis sekaligus
menjadi momentum kebangkitan ekonomi Islam. Fenomena ini jika
dikaji dengan
pendekatan konsep new institutional economics (NIE), maka
pandangan tersebut mendekati
kebenaran.
4 Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan
kriteria atau syarat untuk
membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya
terdiri dari empat
elemen.
Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan,
kecenderungan, dan perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain
dipengaruhi oleh pengetahuan,
kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan
suatu paradigma baru,
maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.
Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau
regulasi, dukungan
pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada
tidaknya institusi publik di
tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dikaitkan dengan
pengembangan ekonomi Islam
di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah
pada April 2008 lalu
merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi
syariah. Hal ini kian
menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain seperti
sistem peradilan untuk
perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan
ekonomi/perbankan syariah,
legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru
pengembangan perbankan
syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah,
dan lainnya.
Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan
individu/sekelompok
masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini,
Indonesia boleh dikatakan telah
berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk,
dan perusahaan
pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset,
simpanan, dan pembiayaan
bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini
sekaligus menjadi salah satu
bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan
lembaga syariah lainnya
yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi
ternama pun telah membuka
jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di
bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.
Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk
melakukan transaksi,
termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi,
infrastruktur, dan instrumen pasar
keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih
dalam tahap
pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat
terbatas. Selain itu,
ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih
minim karena aktifitas
pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan
bermasalah (non performing
financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang
masih terkendali. Namun
demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan
merupakan suatu
keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.
-
11
Menuju Paradigma Ekonomi Baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi
paradigma baru
atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka
pendekatan NIE menunjukkan
arah yang demikian.
Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat
yang cenderung
meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih
dominan. Tentu saja untuk
membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang
sharia-based,
merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.
Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa
melakukan
restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini
sejatinya semakin menguatkan
kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap
institusi ekonomi syariah.
Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia,
bahkan yang
berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan
Inggris telah dengan
cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan
sistem perbankan dan
keuangan syariah.
Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya
bank syariah, juga
menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah
dilakukan, khususnya
yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas
pelayanan, dan pemenuhan
kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk
mengimbangi pertambahan
institusi perbankan dan keuangan syariah baru.
Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah
terus menunjukkan
peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang
semakin tinggi. Kondisi ini
semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan,
regulator perbankan, dan
pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin
intensifnya koordinasi
masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri
perbankan dan
keuangan syariah di tanah air.
Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma
baru berdasarkan
konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus
diakui, terlalu dini jika kita
meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini.
Banyak sekali kendala dan
pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama
proses tersebut berlangsung,
tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya
nanti, tanpa harus memaksa,
ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di
dalamnya dapat membuktikan
kebaikan dari sistem ini.
2.3 Merekonstruksi Politik Ekonomi
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut Ackerman (1998),
ketimpangan
kesejahteraan sangat terkait dengan politik ekonomi (political
economy). Jika disimak, politik
ekonomi mengacu pada interaksi antara aspek politik dan ekonomi,
yaitu bagaimana
pengaruh aspek politik terhadap kebijakan ekonomi suatu negara.
Secara sederhana, politik
ekonomi dapat diterjemahkan sebagai hubungan antara kekuasaan
dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dimungkinkan
memiliki sejumlah cara
untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan ekonomi
masyarakat.
-
12
Menghadapi komitmen perdagangan bebas atau pasar bebas
sebagaimana yang
dimaknai dan digaungkan oleh kelompok masyarakat ekonomi
mainstream, maka
dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi jika pelaku ekonomi
Islam ingin
memenangkannya. Merunut berbagai persoalan yang dihadapi
Indonesia, hal ini ini tidak
jauh berbeda dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara
Islam lainnya yang
notabene kebanyakan adalah negara berkembang atau bahkan negara
miskin. Kompleksnya
persoalan ekonomi di negara muslim tercermin dari lemahnya
bargaining power terhadap
produk nonmuslim yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai ekspor
negara-negara muslim
terhadap negara muslim ataupun nonmuslim. Tingginya
ketergantungan negara muslim
terhadap negara nonmuslim juga ditunjukkan dengan besarnya
utang. Rendahnya
kepedulian pemerintah terhadap ekonomi rakyat kecil, terlihat
dari besarnya ketimpangan
pendapatan di antara rakyat yang kaya dan miskin. Situasi ini
tentu bukanlah praktek
sistem ekonomi Islam. Sebab, sistem ekonomi Islam pasti
mengarahkan perbaikan
kehidupan negara di berbagai aspek kehidupan.
Besarnya kekuasaan pemerintahan negara muslim terkadang
menjadikan potensi
ekonomi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat kurang bisa
diolah dengan optimal.
Coba saja kita lihat negara-negara muslim di kawasan kaya
mineral yang kerap
memanfaatkan kekayaannya bukan untuk mendukung terjadinya
akselerasi ekonomi di
berbagai sektor ataupun melakukan distribusi pendapatan pada
negara muslim yang
miskin, namun justru banyak digunakan untuk mempertinggi sektor
konsumsi. Padahal,
negara-negara muslim di kawasan Afrika dan Asia yang memiliki
banyak sumber daya
alam (SDA) yang belum mampu terolah secara optimal akibat
minimnya modal dan
teknologi serta rendahnya kemampuan untuk melakukan inovasi di
bidang pertanian,
perkebunan, kehutanan dan perikanan sehingga mempengaruhi
rendahnya pemasukan
negara di sektorsektor tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, rendahnya kemampuan negara muslim dalam
mengelola
sumber daya ekonomi juga banyak disebabkan karakter pemerintahan
yang kaku dan lebih
berorientasi pada bidang politik. Bidang politik lazim menjadi
pijakan bagi negara muslim
untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di negara tersebut. Hal
inilah yang menjadikan
rendahnya kemampuan rakyat dalam mengelola sumber ekonomi yang
ada. Iklim
demokratisasi yang kurang mendukung ini akhirnya menimbulkan
kerawanan ekonomi,
sosial, dan hukum. Sen (2001) berpendapat, persoalan kekurangan
pangan, pendidikan, dan
kesehatan seharusnya tidak terdapat pada negara-negara yang
memiliki SDA yang
melimpah. Hal ini terjadi karena tidak lain sistem pemerintahan
yang kurang demokratis.
Kebanyakan fenomena yang terekam di negara muslim lebih
menunjukkan kondisi
negara berkembang pada umumnya yang memiliki pengaruh politik
lebih besar dibanding
pengaruh ekonomi. Engineer (2000) menyatakan, konsep keterbukaan
dalam syariah
sebenarnya memfasilitasi realisasi pertumbuhan ekonomi tanpa
menafikkan persoalan
politik. Namun kenyataan menunjukkan politik selalu mendominasi
ekonomi.
Menurut Metwally (1995), prinsip dasar dalam kegiatan
perdagangan yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW adalah menghindari price intervention.
Perubahan harga harus
terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Pasar harus sarat
moralitas dengan mengusung
persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty),
keterbukaan (transparancy), dan
keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka
tidak ada alasan untuk menolak
harga pasar.
-
13
Dengan demikian, perdagangan bebas atau pasar-bebas yang gencar
diperjuangkan
oleh masyarakat ekonomi mainstream dapat menjadi peluang, tetapi
bisa juga menjadi
ancaman bagi Indonesia. Itu semua tergantung pada bagaimana
pemerintah dan
masyarakat melaksanakan tata kelola perpolitikan dan
perekonomiannya. Merujuk pada
reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW, maka
setidaknya beberapa hal mendasar yang perlu ditekankan kepada
pemerintah adalah
sebagai berikut.
2.3.1 Kebijakan Fiskal
Nilai-nilai yang diusung Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan
fiskal meliputi
diantaranya: Pertama, distribusi kekayaan. Allah menciptakan
kekayaan alam untuk
digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat yang
diperoleh dari sumber daya-
sumber daya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau kelompok.
Keuntungan finansial
yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya dapat menjadi sumber
penerimaan negara.
Negara berkewajiban untuk mendistribusikan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
melalui keuntungan yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya
tersebut. Dalam QS Al-
Hasyr: 7 diterangkan,
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Kedua, kejujuran dalam mengelola keuangan negara. Diriwayatkan
dari Al Hasan
yang mengatakan: Ubaidilah bin Ziyad menjenguk Maql bin Yasar
Al-Mazani ketika ia
sakit menjelang ajalnya. Maqil mengatakan: Sesungguhnya aku
ingin menyampaikan
kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Ya
Rasulullah! Tolonglah
aku! Maka aku akan menjawab bahwa aku tidak mempunyai kekuasaan
apapun untukmu,
karena aku telah menyampaikannya padamu. Seandainya aku masih
mempunyai sisa
hidup, aku tidak akan menceritakan padamu. Aku mendengar
Rasulullah bersabda: Tidak
seorang hamba pun yang ditakdirkan Allah memegang kekuasaan atas
rakyat, yang meninggal pada
hari ia meninggal, sedangkan ia bertindak curang pada rakyatnya,
kecuali Allah akan
mengharamkannya masuk surga.
Ketiga, rasionalitas penggunaan kekayaan negara. Diriwayatkan
dari Abu Al-Walid
yang mengatakan: Aku mendengar Khulah binti Qais, istri Hamzah
bin Abdul Muthalib,
-
14
mengatakan Aku mendengar Rasulullah bersabda: Harta ini sungguh
hijau dan manis. Siapa
yang mendapatkannya dengan cara yang sah, ia mendapat keberkahan
di dalamnya. Tapi banyak
orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dan Rasul-Nya dengan
sesuka hati mereka. Orang-
orang ini tidak akan mendapat apapun pada hari kiamat selain api
neraka. Dalam hal ini, peran
pemerintah sebagai pembeli besar menjadi dasar yang rasional dan
konsisten bagi Nabi
Muhammad SAW untuk mengatur belanja negara. Belanja negara
disesuaikan dengan
seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Jika terjadi penurunan
penerimaan, Nabi
Muhammad SAW melakukan realokasi sesuai dengan
prioritas-prioritas yang ada dengan
mengurangi pengeluaran pada bidang-bidang tertentu. Ini
dimaksudkan untuk menjaga
atau mengkompromikan pengeluaran agar tidak melampaui sumber
daya-sumber daya
yang tersedia dan memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi dan
eksternal. Dalam
perspektif Islam, efektivitas dan efisiensi merupakan dasar
dalam pengambilan keputusan
belanja pemerintah. Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta
sesuai kaidah-kaidah
syariah dengan memperhatikan skala prioritas.
2.3.2 Kebijakan Moneter
Terdapat 3 hal yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam
bidang
moneterisasi. Pertama, larangan melakukan ihtinaz. Ihtinaz
adalah kegiatan menimbun mata
uang dan berbagai bentuk harta kekayaan lainnya seperti emas dan
perak. Ada juga yang
menyebut kegiatan ini dengan kanz. Dampak dari kegiatan ini
adalah berkurangnya
persediaan uang di pasar sehingga permintaan uang akan meningkat
karena perputaran
uang menurun. Dengan adanya larangan ini diharapkan nilai uang
lebih stabil dan daya
beli masyarakat dapat dipertahankan.
Kedua, melarang segala bentuk riba. Secara bertahap, Nabi
Muhammad SAW
menghapus riba dari kegiatan ekonomi. Bagi pemilik modal, tidak
ada jalan lain lagi untuk
memperoleh keuntungan selain melalui kerjasama. Larangan ini
menimbulkan begitu
banyak perubahan. Ditambah lagi dengan adanya sejumlah kebijakan
nonmoneter yang
ditetapkan Nabi Muhammad SAW menyebabkan motivasi yang semakin
besar untuk
meningkatkan partisipasi dalam bekerja sama. Perubahan ini
secara keseluruhan
meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan
koordinasi dan keseimbangan
antara perputaran uang dan produksi barang.
Ketiga, larangan melakukan transaksi kali bi kali. Yaitu,
transaksi tidak tunai yang
tidak mensyaratkan adanya barang atau pertukaran uang dan barang
selang beberapa
waktu setelah kontrak ditandatangani. Kegiatan ini dilarang
karena dapat menimbulkan
tindak spekulasi. Larangan ini dengan sendirinya akan mencegah
terjadinya penyimpangan
penggunaan dana untuk hal-hal selain produksi barang dan
jasa.
3. KESIMPULAN
Globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar
tanpa batas sehingga
seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi
seharusnya dipahami sebagai
kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang
saling
menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang
merugikan, salah satu pihak
seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan
domestiknya.
Untuk bisa melindungi kepentingan domestik, pembangunan ekonomi
Indonesia
hendaknya melakukan pemihakan. Untuk itulah dibutuhkan
rekonstruksi politik ekonomi
-
15
(political economy). Terlebih dalam perspektif ekonomi Islam,
maka kebijakan ekonomi
mainstream perlu disikapi dengan kehati-hatian karena terdapat
perbedaan mendasar secara
filosofi dalam memaknai globalisasi, perdagangan bebas, dan
pasar bebas. Untuk itu,
komitmen perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah Indonesia
seharusnya
mengusung pula reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang
sejalan dengan nilai-nilai
Islam.
Ke depan, pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran
sebagai sebuah
strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri
adalah sebuah
keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih
mampu mandiri, tidak
rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri.
Dengan dasar pemihakan dan
peran strategi tersebut, arah kebijakan ekonomi nasional harus
ditujukan kepada sektor-
sektor yang sarat dengan kepentingan rakyat, terkait dengan
potensi dan kapasitas rakyat,
serta sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan
SDA nasional. Sektor
yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis
SDM dan SDA dalam negeri
(domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat
(people-centered), dan mengutamakan
kepentingan rakyat (putting people first). Hal ini secara
prinsip sejalan pula dengan nilai-nilai
yang diusung oleh ekonomi konstutisi maupun ekonomi Islam.
==============================
Daftar Pustaka
Ackerman, Frank, et al., 1998. The Political Economy of
Inequality. Washington DC:
Island Press.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008a. Atlas Perjalanan Hidup
Nabi Muhammad.
Cetakan 1. Jakarta: Almahira. November.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008b. Atlas Sejarah Para Nabi
dan Rasul. Terjemahan
dari Athlas Trkh al-Anbiy wa ar-Rusul. Cetakan 1. Jakarta:
Almahira. Desember.
Chapra, M. Umer, 2000. The Future of Economics: An Islamic
Perspective. Islamic
Economics Series: 21. United Kingdom: The Islamic
Foundation.
Engineer, Asghar Ali, 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan
Negara, Demokrasi dan Civil
Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.
Hurrel, Andrew & Ngaire Woods, 1999. Inequality,
Globalization, and World Politics.
New York: Oxford University Press.
Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Istitutonal
Economics?. Harian Republika,
24 Januari.
Metwally, MM., 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT
Bangkit Daya Insana.
Musari, Khairunnisa, 2008. Akhir Laissez-Faire Keempat?. Harian
Seputar Indonesia, 11
April.
-
16
Musari, Khairunnisa, 2009. Globalisasi untuk Nasionalisme.
Harian Surabaya Post, 24
April.
Musari, Khairunnisa, 2009. Antara Stiglitz, Indonesia, dan
Ekonomi Syariah. Harian
Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni.
Musari, Khairunnisa, 2010. Lalu Lintas Ekonomi Negara-Negara
Islam: Dulu & Kini. Mata
Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) Lalu Lintas Modal &
Pendapatan Antar Negara Islam
(OKI). Program Doktoral Ilmu Ekonomi Islam Universitas
Airlangga.
Perwataatmadja, Karnaen A. & Anis Byarwati, 2008. Jejak
Rekam Ekonomi Islam.
Cetakan Pertama. Jakarta: Cicero Publishing. Februari.
Sen, Amartya, 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin.
Jakarta: Mizan.
Swasono, Sri-Edi, 2005a. Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisme
dan Pasar Bebas. Edisi
Baru. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM.
Swasono, Sri-Edi, 2005b. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial: Dari Klasikal dan
Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire. Jakarta:
Perkumpulan Prakasa. April.
Stiglitz, Joseph E., 2006. Making Globalization Work: Menyiasati
Globalisasi Menuju Dunia
yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
Suyanto, M., n.a. Ekonomi Kesejahteraan Syariah. Diakses dari
http://msuyanto.com pada
1 Juni 2010.
Suyanto, M., 2008a. Pasar Ukazh. Diakses dari
http://journal.amikom.ac.id/
index.php/Koma/article/view/1572 pada 10 Mei 2010.
Suyanto, M., 2008b. Muhammad Business Strategy & Ethics.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Oktober.
Suyanto, M., 2009. Globalisasi Ekonomi dan Ekonomi Syariah serta
Perannya dalam
Perekonomian Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada STMIK
Amikom Yogyakarta.
24 Januari.
Ulfa Jamilatul Farida, 2012. Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi
Islam terhadap Mekanisme
Pasar dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian. Jurnal Ekonomi Islam
LA RIBA, Volume VI, No.
2, Desember.