Aulia Dwi N | 0906561452 Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Isu-isu Sosial Budaya KETIKA BLACKBERRY MENJADI ADIKSI DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2011 | Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah terhadap Blackberry dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas |
18
Embed
Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Aulia Dwi N | 0906561452 Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Isu-isu Sosial Budaya
08 Fall
KETIKA BLACKBERRY MENJADI ADIKSI
D E P A R T E M E N I L M U K O M U N I K A S I F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K U N I V E R S I T A S I N D O N E S I A 2 0 1 1
| Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah terhadap Blackberry dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas |
1 |
Dalam bukunya, Das Kapital II, Karl Marx pernah menulis tentang bagaimana seorang
individu dalam masyarakat kapitalis modern mempercayai bahwa suatu barang hasil
produksi memiliki kekuatan otonom untuk menentukan relasi sosialnya (Lewin dan Morris,
1977). Hal ini berarti dalam diri individu tersebut timbul keyakinan bahwa nilai-nilai eksistensi
dirinya dalam ruang sosial bisa tersimbolisasikan dalam barang-barang produksi tersebut.
Pada indvidu ini, yang terjadi ialah ia membeli barang hanya untuk mendapatkan ‘nilai yang
melekat pada barang itu’, bukan karena membutuhkan nilai gunanya.
Pemikiran Marx tersebut relevan dengan kondisi masyarakat modern saat ini yang identik
dengan suatu paradigma bahwa barang produksi dapat mendefinisikan status sosial mereka.
Dengan menjual brand, sebuah produk menghadirkan prestise, untuk menunjukkan apa
posisi pemiliknya. Berbagai komoditas dengan segala simbol yang melekat di dalamnya
telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa dipisahkan dalam
kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu
untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial
seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang
sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada
masyarakat di kalangan menengah.
Di Indonesia, perubahan gaya hidup kelas menengah ini sangatlah terlihat dari tingkat
belanja kelas menengah yang semakin meningkat. Berdasarkan Survei Nielsen yang
dilakukan sepanjang tahun 2011 pada responden kelas menengah kelas menengah
Indonesia dinilai sebagai pasar yang luar biasa kuat daya belinya (Kompas, 9 Desember
2011). Kuatnya daya beli masyarakat kelas menengah ini salah satunya dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan media yang juga tinggi. Produsen produk apa pun dapat mengiklankan
berbagai macam produknya melalui segala media, mulai dari televisi (96 persen kelas
menengah menontonnya), internet (22 persen kelas menengah mengaksesnya), telepon
seluler karena 71 persen kelas menengah di perkotaan memakainya, dan jejaring sosial,
mengingat 94 persen kelas menengah Indonesia terkoneksi satu sama lain. Pesan-pesan
yang disampaikan melalui berbagai media membentuk konstruk sosial mengenai gambaran
masyarakat ideal yang didefinisikan dengan segala macam kepemilikan barang.
L A T A R B E L A K A N G
2 |
Berbagai konstruk sosial tersebut pada menumbuhkan sifat fetish yang mendorong
masyarakat pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud
kebendaan. Media, dengan segala kontennya, membangun persepsi sosial yang
mempercayai bahwa gaya hidup modern adalah yang senantiasa memperbaharui diri
dengan mengkonsumsi barang-barang bermerk yang paling up to date. Pola belanja
semacam ini terlihat jelas dalam konsumsi gadget terbaru, salah satunya ialah ponsel.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahbubani Kishore dalam bukunya, Asian: The
New Hemisphere (2008), yang menggambarkan bahwa salah satu dampak modernisasi ialah
merebaknya telepon seluler. Dalam laporan tahun 2010, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga
menunjuk kepemilikan ponsel sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah.
Di Indonesia sendiri, tingkat penetrasi ponsel mencapai 60 persen dari populasi atau lebih
dari 100 juta penduduk. Perkembangan teknologi ponsel yang demikian cepatnya dan
menghasilkan berbagai macam ponsel yang selalu berganti dengan menghadirkan berbagai
macam fitur dan brand membuat masyarakat modern merasa tertinggal jika tidak membeli
ponsel dengan model terbaru. Masyarakat kelas menengah pun pada akhirnya terbentuk
menjadi kelompok yang konsumtif terhadap pembelian ponsel dan didorong semakin
konsumtif oleh penggunaan ponsel sehingga terjebak dalam lingkaran konsumerisme.
Di Indonesia, konsumerisme kelas menengah terhadap teknologi dibuktikan oleh fenomena
maraknya ponsel Blackberry (BB). Sejak hadir di Indonesia, ponsel ini mulanya hanya
dinikmati oleh kalangan atas, tetapi kini semua orang yang berasal dari berbagai lapisan
masyarakat pun berlomba-lomba membeli Blackberry karena terdorong oleh tren. Angka
penjualan Blackberry yang terus meningkat membuktikan hal tersebut. Animo masyarakat
terhadap smartphone ini begitu besar, sampai bisa dibilang tak rasional.
Fenomena ricuhnya antrian peluncuran perdana BB Bellagio pada 26 November 2011
menunjukkan bahwa fetisisme terhadap BB telah melanda masyarakat. Blackberry dianggap
dianggap sebagai lambang modernitas mendorong masyarakat untuk belanja gaya hidup
modern, bukan belanja fungsi ‘sebuah ponsel’. Oleh karena itulah, fenomena maraknya
konsumsi Blackberry oleh kelas menengah di Indonesia menarik untuk dikaji dalam kerangka
teori fetisisme komoditas untuk menjelaskan bagaimana sifat fetish terhadap Blackberry
dapat melanggengkan kapitalisme modern melalui pembentukan masyarakat konsumtif.
3 |
TEORI FETISISME KOMODITAS
Jika ditilik berdasarkan terminologi harfiahnya, kata fetisisme merujuk pada suatu sifat
memuja (fetish). Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada
produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang menjadi gaya
hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan konsumtivisme, atau kondisi di
mana seorang individu, sebagai konsumen, mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya.
Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Karl
Marx ketika menganalisis mengapa individu yang terdominasi dapat menerima dan
mengadopsi kepercayaan yang dapat mendukung dan mereproduksi status quo kapitalisme.
Tesis Marx ini selajutnya dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai
komoditas yang dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang
terdominasi. Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis,
berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd, 2008).
Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem kapitalisme, dalam
Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah bagaimana kapitalisme bekerja
membentuk kepercayaan pada tataran individu.
Fetisisme terjadi apabila konsumsi individu terhadap suatu produk tidak berada pada level
yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan tidak mengetahui
fungsi utama produk tersebut. Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu
didominasi dan dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang
diperoleh dari komoditas tersebut (Ripstein, 1987). Dalam relevansinya dengan kapitalisme,
fetisisme menjadi salah satu pondasi yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan dan
abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989) melalui teori distingsi
sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu-individu di
dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari pemikiran Karl Marx. Tesis Marx
tentang fetisisme komoditas merupakan landasan teori bagaimana bentuk-bentuk
K E R A N G K A K O N S E P T U A L
4 |
komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi. Menurut Marx, asal
mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha kerja manusia yang diobjektifikasi. Hubungan
antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu
hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara produsen itu sendiri, tetapi juga di
antara berbagai hasil produksi mereka. Hasil-hasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas
yang seolah menjelma sebagai entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka.
Berbagai komoditas tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat
ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh kemampuan indrawi. Meskipun sebenarnya
perwujudan komoditas tersebut hanyalah pendefinisian manusia yang mengambil wujud
fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi tersebut. Inilah yang
disebut Marx sebagai fetisisme, yang merekatkan manusia pada hasil-hasil kerja ketika
diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam Strinati, 2007: 63).
Kerangka pemikiran Marx mengenai fetisisme dikembangkan oleh Adorno, untuk
menganalisis tentang ‘rahasia sejati keberhasilan’ kapitalisme melalui fetisisme. Menurut
Adorno, fetisisme komoditas merupakan cara bagaimana produsen menunjukkan bahwa
asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia benda-benda
budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu
mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar
produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di
mana masyarakat merasa bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya melalui fetisisme
komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia dengan ‘kebutuhan’ semu
untuk melakukan pertukaran yaitu dengan mengkonsumi berbagai komoditas yang
dihasilkan para produsen kapitalis tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas,
asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara
menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007).
Merujuk pada Bourdieu (1989), pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis modern
ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pertama, membuat inidvidu untuk
mengkonsumsi secara gila-gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi
5 |
‘kelas atas’. Namun yang terjadi adalah muncul kelas menengah beranggotakan sekumpulan
individu dalam jumlah besar yang memiliki komoditas yang serupa. Pembagian kelas
pekerja-dan kelas penguasa dalam level produksi pun menjadi tersamarkan dengan adanya
‘kelas menengah’ dalam jumlah besar. Hal ini pada akhirnya menyamarkan sumber masalah
yang sebenarnya dan melanggengkan dominasi pemilik modal.
Kedua, kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial
dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas ‘high-end’ atau barang-barang
yang paling mutakhir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan status dalam hirarki sosial.
Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan
memperbaharui produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan gradual. Pola konsumsi
modern yang terjadi dalam repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus ‘catch-up
consumption’. Sehingga, yang terjadi pada akhirnya adalah berlangsungnya konsumsi terus
menerus dan bertambahnya kelas menengah yang terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd,
2008).
Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme
bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola
konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola
konsumsi ‘kelas atas’ tersebut. Bourdieu (1989) menyebutkan bahwa yang diciptakan
fetisisme sebenarnya tak lebih dari differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah
dan jarak sosial antara keduanya selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu
kelas atas. Dengan demikian, differensiasi sosialmelalui fetisisme ini menjadi kontributor
utama dalam kelanggengan dominasi kapitalis.
KONSUMERISME
Pemahaman kata konsumerisme pada masa sekarang identik dengan sebuah bentuk atau
gaya hidup. Gagasan tentang konsumerisme ini terkait dengan teori-teori konsumsi dan
kapitalisme modern yang berakar dari pemikiran Mahzab Frankfurt. Menurut Mahzab
Frankfurt, melalui konsumerisme, sistem kapitalisme memanfaatkan kesempatan untuk
menciptakan masyarakat kelas menengah sebagai konsumen produknya. Oleh karena itu,
keruntuhan akhir kapitalisme dan kebangkitan sosialisme serta masyarakat tanpa kelas
merupakan hal utopis yang agaknya tak mungkin terwujud. Hal ini disebabkan pada
6 |
fleksibilitas dan sifat tahan lama sistem kapitalisme yang didasarkan pada kemakmuran dan
konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih umum
melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007).
Sistem kapitalisme modern menciptakan kemakmuran bagi kelas pekerja dengan tingkat
pengendalian idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan
kelas menengah tersebut. Para pekerja kelas menengah seolah diberi ‘jaminan’ keamanan
secara finansial agara bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan dan meraka
butuhkan, sementara barang-barang tersebut adalah hasil produksi kapitalisme. Segala
macam komoditas semakin mudah terjangkau. Konsekuensinya, komoditas tersebut lebih
mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme membawa seorang
konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli barang-barang tersebut dan
membuatnya tidak sadar akan kebutuhan yang sebenarnya, saat itulah kapitalisme suskses
mencipatakan fetisisme dalam diri konsumen (Strinati, 2007).
Dalam konsumerisme, juga terdapat adanya kebutuhan palsu yang konsepnya
dikembangkan oleh Herbert Marcuse (1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan
tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial,
prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas yang diperoleh
dengan jalan konsumerisme. Implikasinya, kebutuhan-kebutuhan palsu yang diciptakan
dipenuhi sementara kebutuhan-kebutuhan sejati yang sebenarnya masih belum terpenuhi.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu,
mereka memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan.
Seorang tokoh posmodern, Jean Baudrillard (1998), memberi kontribusi berupa gagasannya
tentang masyarakat konsumsi. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh
kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak
dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang
material. Lebih lanjut ia menunjukkan gagasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya:
“the immediately self-evident, such as an analysis in term of needs, will never produce
anything more than a consumed reflection on consumption.” Pemikiran Baudrillard ini
menginterpretasikan bahwa sesungguhnya manusia tak pernah terpuaskan secara actual,
sehingga segala kebutuhannya pun tak akan pernah terpuaskan.
Ribuan Orang Antre Beli Blackberry Bellagio di Pacific Place
Roderick Adrian Mozes | Heru Margianto | Jumat, 25 November 2011 | 10:26 WIB
KOMPAS.COM/ RODERICK ADRIAN MOZES
Meski RIM hanya menjanjikan diskon 50 persen untuk 1.000 pembeli pertama BlackBerry Bold 9790 atau Bellagio pada penjualan perdana di Pacific Place, Jakarta, Jumat 925/11/2011), antrian calon pembeli
diperkirakan lebih banyak.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan orang mengantre untuk membeli Blackberry (BB) Bold 9790
(Bellagio) di Pacific Place, Jakarta, Jumat (25/11/2011). Produk baru RIM (Research in Motion) yang
diluncurkan pertama kali di Indonesia ini di jual perdana hari ini dengan potongan diskon 50 persen
bagi seribu pembeli pertama. "Sebagian dari mereka telah menunggu sejak kemarin malam, cuma kita
harus suruh pergi karena penjualan baru ada pagi ini," kata salah seorang sekuriti Pasific Place.
Penjualan perdana BB seri terbaru ini memang menggiurkan. Resminya, Bellagio dibanderol Rp
4,599 juta. Dengan diskon separuh harga, seribu pembeli pertama hanya perlu merogoh kocek sekitar
Rp 2,3 juta.
"Saya datang dari jam setengah lima pagi, dan berencana membelikannya untuk istri saya yang
berulang tahun," kata Abot (29). Ramainya orang yang membludak di kawasan itu membuat jalan
ditutup. Beberapa kali terlihat aksi saling dorong di tengah kerumunan pengantre.