Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi Laporan Akhir Proyek Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1 Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020 24 Desember 2019 Publikasi ini disusun oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk Chemonics International untuk kegiatan yang diselesaikan berdasarkan Kontrak No.. AID-497-TO-16-00002
63
Embed
Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Menumbuhkan Paradigma Kemitraan
Konservasi untuk Mendukung Implementasi
Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan
Konservasi
Laporan Akhir Proyek
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1
Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020
24 Desember 2019
Publikasi ini disusun oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk Chemonics International
untuk kegiatan yang diselesaikan berdasarkan Kontrak No.. AID-497-TO-16-00002
MENUMBUHKAN PARADIGMA KEMITRAAN
KONSERVASI UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI
PERDIRJEN KSDAE TENTANG KEMITRAAN
KONSERVASI
Laporan Akhir Proyek
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1
Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020
24 Desember 2019
Pernyataan:
Laporan ini dimungkinkan oleh dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional
Amerika Serikat (USAID). Isi dari Laporan Akhir Program Menumbuhkan Paradigma Kemitraan
Konservasi Untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi ini
merupakan tanggung jawab penuh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan tidak
mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
Akronim Definisi
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nasional
AMATT Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu
ANTAM Aneka Tambang
ARC-KPA Agrarian Research Center -Konsorsium Pembaruan Agraria
BAPPEKAB Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten
Bappelitbang Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan
BNF Borneo Nature Foundation
BP2SDM Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
BPEE Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial
BRWA Badan Registrasi Wilayah Adat
BTN Balai Taman Nasional
BTNBW Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
BTNGL Balai Taman Nasional Gunung Leuser
BTNGT Balai Taman Nasional Gunung Tambora
BUMDES Badan Usaha Milik Desa
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CARE Lembaga swadaya masyarakat internasional bergerak di bidang
kemanusian untuk memerangi kemiskinan global
CIFOR Center for International Forestry Research
CIMTROP Center for International Cooperation in Sustainable Management of
Tropical Peatland
DELTA API Desa Ekologis Tangguh dan Adaptif Perubahan Iklim
Dirjen PHKA Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Disbudpar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
DISPERINDAG Dinas Perindustrian dan Perdagangan
DKN Dewan Kehutanan Nasional
DP3K Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif
E-PASS Enhancing the Protected Area System
FAQ Frequently Asked Questions
FGD Focus Group Disccusion
FKKGC Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai
FKKM Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
FKM Forum Komunikasi Masyarakat
FoMMA Forum Musyawarah Masyarakat Adat
GEF Global Environment Facility
GPS Global Positioning System
HHBK Hasil Hutan Bukan Kayu
Hkm Hutan Kemasyarakatan
IFC International Finance Corporation
IPB Institut Pertanian Bogor
Akronim Definisi
IUCN International Union for Conservation of Nature
IUPSWA Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
JAKETRESI Jaringan Kerja Petani Rehabilitasi Ekosistem
JICA Japan International Cooperation Agency
Kabid Kepala Bidang
KADES Kepala Desa
KAIL Konsorsium Alam Indonesia Lestari
Kalteng Kalimantan Tengah
KAPATA Komunita Pecinta Alam Tambora
KCMI Komodo Collaborative Management Initiative
KPA Kawasan Pelestarian Alam
KPDN Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk
KPE Kelompok Pengelola Ekowisata
KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPK Komite Pengelolaan Kolaborasi
Kpts Keputusan
KSA Kawasan Suaka Alam
KSDAE Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
KSHE Fahutan IPB Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistem Fakultas Hutan Institut
Pertanian Bogor
KSM Kelompok Swadaya Masyarakat
KTHK Kelompok Tani Hutan Konservasi
KTHR Kelompok Tani Hutan Rakyat
LATIN Lembaga Alam Tropika Indonesia
LP2DPM Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah dan Pengkajian Masyarakat
LPP Lembaga Pemberdayaan Perempuan
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menhut Menteri Kehutanan
MKK Model Kampung Konservasi
MoU Memorandum of Understanding
MPGC Mitra Pengelola Wisata Gunung Ciremai
MPTS Multy Purpose Tree Species
NGO Non Goverment Organization
NKB Nota Kesepahaman Bersama
NPK Nota Perjanjian Kerjasama
ODTWA Obyek Daya Tarik Wisata Alam
PAAP Pengelolaan Akses Area Perikanan
PAD Pendapatan Asli Daerah
Pangkep Pangkajene Kepulauan
PEH Pengendali Ekosistem Hutan
Perdirjen Peraturan Direktur Jenderal
PINTAR Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi
Akronim Definisi
PKKBM Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat
PKS Perjanjian Kerjasama
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMDH PT RMU Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Perseroan Terbatas Rimba
Makmur Utama
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pokdarwis Kelompok Sadar Wisata
Pokmas Kelompok Masyarakat
PP Peraturan Pemerintah
PSKL Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
PT DIGDAYA Konsultan untuk pengembangan sumber daya manusia
diperlukan dukungan dari tokoh masyarakat dalam menyusun dan menerapkan strategi
pendekatan, adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh staf TN Gunung Leuser yaitu4 (a)
identifikasi tokoh masyarakat (local champion) yang kompeten dan dapat menjadi jembatan
komunikasi antara UPT dengan kelompok masyarakat, (b) selalu menjaga intensitas dan
frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok masyarakat, (c) mengikutsertakan
kelompok masyarakat dalam setiap pembahasan rancangan pengelolaan areal kemitraan
konservasi, (d) mengikutsertakan mitra (LSM, akademisi atau sektor swasta) dalam proses
kemitraan konservasi.
Balai TN Gunung Leuser telah mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi antara
lain dengan membuat percontohan restorasi ekosistem di blok hutan Sei Serdang – Resort
Cinta Raja. Restorasi ekosistem ini telah dievaluasi olah Puslitbang Konservasi dan
Rehabilitasi – Badan Litbang Kehutanan (2014) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta Office
dan salah satu kesimpulannya adalah restorasi ekosistem di Sei Serdang dapat dijadikan model
restorasi ekosistem di lokasi lain di TN Gunung Leuser.
Keberhasilan yang sudah dilakukan di hutan Sei Serdang juga menjadi salah satu faktor
pendorong TN Gunung Leuser untuk mereplikasi di wilayah TN Gunung Leuser yang lain.
Manfaat yang didapatkan TN Gunung Leuser dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun
2018 adalah5:
• Keterlibatan masyarakat dalam pemulihan kawasan;
• Petugas dapat mengakses wilayah-wilayah rawan dalam kawasan;
• Membatasi perluasan lahan garapan masyarakat dalam kawasan;
• Keterlibatan kelompok masyarakat dalam pengamanan kawasan.
PEMBELAJARAN
Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Gunung Leuseur
menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:
• Modal pengalaman dalam restorasi kawasan yang pernah dilakukan merupakan
bagian dari semangat untuk melakukan kemitraan konservasi dalam rangka
pemulihan ekosistem.
• Merubah cara pendekatan kepada masyarakat dalam menangani konflik dari
preventif menjadi preemtif, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi takut dengan
staf Balai Besar TN Gunung Leuser yang dulu dianggap sebagai petugas.
• Pelibatan kelompok masyarakat kemitraan konservasi di dalam kegiatan
pengamanan kawasan, dalam rangka melindungi areal kemitraan konservasi serta
mensosialisasikan program kemitraan konservasi pada kelompok masyarakat
lainnya. Selain itu, kelompok masyarakat kemitraan konservasi didorong atau
dilibatkan dalam peningkatan kapasitas melalui kegiatan pendidikan pelatihan
maupun studi banding.
• Adanya local champions di masyarakat yang dijadikan sebagai modal sosial untuk
membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan
sebagai kawasan yang perlu dijaga dan dimanfaatkan sesuai aturan yang berlaku.
4 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019 5 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola/Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019
• Menggunakan local champions sebagai jembatan penghubung untuk terjadinya
komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Besar TN Gunung Leuser,
terutama untuk membangun komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.
• Memberikan kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan
memberikan kesempatan kepada local champions sebagai narasumber dalam
berbagai cara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan meningkatan kepercayaan
diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.
• Menjaga intensitas dan frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok
masyarakat, dengan komunikasi yang efektif dan baik, terutama dalam
memnyampaian aturan yang berlaku.
• Merangkul berbagai elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan
kawasan secara menyeluruh, dengan tujuan untuk menghindari konflik internal
diantara kelompok masyarakat.
2) Best Practices Penerapan Resort Based Management (RBM) Untuk Persiapan
Implementasi Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone
Permasalahan utama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) adalah illegal
logging dan perambahan hutan untuk pertanian. Konflik antara Taman Nasional dengan
masyarakat terjadi karena sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat sudah
berada di kawasan tersebut, bahkan pendatang dari Minahasa dan transmigrasi dari Jawa dan
Bali sudah ada sejak tahun 70-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Epass dan
penelitian lain menyebutkan bahwa 72% masyarakat sekitar TNBNW tergolong miskin
dengan penghasilan antaran Rp.500.000-Rp.1.000.000. Kondisi tersebut menjadi penyebab
tekanan terhadap kawasan taman nasional untuk kebutuhan lahan pertanian dan illegal
logging. Pendekatan penegakan hukum pada masa sebelumnya tidak cukup efektif untuk
mengatasi perambahan dan illegal logging.
Permasalahan yang terjadi, tidak terlepas dari tata kelola Taman Nasional yang masih belum
baik. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam buku berjudul “Shelter” pada paragraph pertama
bagian Pendahuluan, yang menyatakan, “Hingga akhir tahun 2015, Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone (TNBNW) masih menerapkan sistem kelola baku terhadap output dan
proyek yang terpusat. Sistem pengelolaan organisasi yang bersifat “Balai Based Management”
membuat resort sebagai unit pengelolaan terkecil yang bersentuhan langsung dengan lapangan
(selama ini didengungkan sebagai ujung tombak pengelolaan) menjadi tidak efektif. Petugas
resort secara organisasi dan individu menjadi inferior, tidak berdaya, dan kurang kreatif.
Sistem ini juga membuat ujung tombak pengelolaan menjadi ujung tombak yang tumpul.
Output secara kegiatan tercapai, namun tidak memberikan dampak atau outcome yang
diharapkan.
PROSES DAN HASIL
Kerjasama-kerjasama yang terjadi di masyarakat dibangun dengan proses yang panjang terkait
isu perkembangan dan konflik yang terjadi di kawasan TNBNW. Kerjasama yang terjadi
antara TNBNW dengan masyarakat merupakan hasil atau efek dari RBM dan filosofi shelter
dimana ada empat tiang satu atap6. “Membangunkan pengelolaan berbasis tapak di TN
Bogani Nani Wartabone, bagaikan membuat shelter yang terdiri 4 (empat) tiang dan 1 (satu)
atap. TIANG berupa unsur-unsur membangunkan paradigma, membangunkan komitmen
bersama, membangunkan jejaring dalam pengelolaan, dan membangunkan sistem umpan balik.
Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019
Sedangkan ATAP dimaksud adalah membangunkan kepemimpinan yang mengayomi. Filosofi
ATAP inilah yang dikembangkan di lapangan untuk menerapkan RBM.
Ada 11 langkah yang dilakukan untuk menerapkan RBM, yaitu (a) RBM disepakati sebagai
sistem, (b) anjangsana ke masyarakat, (c) menggalang dukungan dari stakeholder, (d)
membangun kapasitas masyarakat, (e) Membangun Etos Kerja Petugas Balai TN Bogani Nani
Wartabone, (f) mencari local champion, (g) membangun komunikasi dengan stakeholder, (h)
memberikan apresiasi, (j) menyepakati kerja sama, (k) Perjanjian Kerjasama yang sudah
ditandatangani pada tanggal 20 Juli tahun 2018 di Tambun, Desa Pinonobatuan, Bolaang
Mongondow. TNBNW.
Kelompok masyarakat yang menandatangani perjanjian kerjsama terdiri dari tujuh kelompok
yang terdiri dari dua kelompok dengan kegiatan pemulihan ekosistem yang ditandatangani
pada bulan Mei 2018, dan 5 kelompok dengan kegiatan pengelolaan wisata yang
ditandatangani pada bulan Juli 20187. Tujuh perjanjian kerjasma tersebut didasari oleh aturan
Permenhut No. P.85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelangaraan KSA dan KPA
dalam rangka penguatan fungsi8.
Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama ini memberikan manfaat bagi kedua pihak, diantaranya
untuk TNBNW. Kawasan TNBNW secara langsung dijaga oleh kelompok masyarakat yang
bermitra, sehingga jika ada tindakan-tindakan dari luar yang tidak boleh dilakukan di dalam
kawasan, kelompok masyarakat akan melaporkan kepada resort atau petugas yang berada di
lapangan. Sedangkan manfaat yang didapatkan oleh kelompok masyarakat yaitu berupa
kepastian hukum dalam melakukan kegiatan di kawasan. Secara ekonomi masyarakat yang
berkegiatan dengan skema pemulihan ekosistem di zona rehabilitasi belum mendapatkan
manfaat langsung dari kegiatan ini. Namun Balai TNBNW memberikan peningkatan kapasitas
melalui pelatihan beternak ayam yang juga dibantu difasilitasi oleh EPASS. Sedangkan dengan
skema pemberdayan masyarakat, kelompok masyarakat mendapatkan manfaat secara
langsung dan cepat melalui kegiatan-kegiatan yang mendukung wisata, seperti jasa menjual
makanan9.
Manfaat yang signifikan justru dirasakan oleh petugas Balai TNBNW, berupa perubahan pola
pikir sebagai berikut:
• Pendekatan yang digunakan kepada masyarakat berubah dari pendekatan
perlindungan, pengawetan menjadi pendekatan pemanfaatan
• UPT yang terdiri dari balai, seksi dan resort merupakan sales konservasi yang
punya kewajiban membuat produk konservasi yang sesuai regulasi
• Tidak memandang permasalahan sebagai sebuah penghambat, tetapi merubahnya
menjadi sebuah kemauan untuk berani memulai
PEMBELAJARAN
1) Leadership
Kepemimpinan yang ditunjukkan kepala taman nasional dengan membangun visi bersama
diantara personil. Tiga Prinsip yang dikembangkan Bersama, pertama menetapkan visi
yang konkrit pengelolaan konservasi bersama masyarakat, bila masyarakat sejahtera maka
konservasi juga terjaga. Kedua, prinsip kendali, personil TN mengambil tanggung jawab
terhadap apa yang terjadi di lapangan. Ketiga, prinsip personil memiliki integritas artinya,
konsistensi dalam tindakan, metode, ukuran, memiliki pribadi yang jujur dan memiliki
karakter kuat. Prinsip-prinsip leadership ini tidak hanya diajarkan melalui pelatihan, tetapi
7 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 8 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 9 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 10 Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019
selalu menjadi bahan diskusi 3 bulanan dalam rapat staf taman nasional. Sikap
kepemimpinan ini juga diuji sampai staf resort. Staf resort harus sanggup menyelesaikan
persoalan di lapangan, baik masalah teknis maupun masalah sosial di masyarakat.
2) Ketrampilan Teknis dan Sosial
Pada Awalnya staf TN dibekali dengan pelatihan SMART Patrol dan didampingi WCS
dalam penerapannya. Berawal dari pendekatan monitoring berbasis data dan pelibatan
masyarakat ini, kapasitas personil dalam menengahi persoalan-persoalan di masyarakat
menjadi semakin baik. Ini adalah salah satu contoh leadership multi-level, dimana resort
dapat mengambil keputusan langsung di lapangan atas data yang dikumpulkan dari
kegiatan SMART Patrol.
3) Fasilitas Kantor dan Peralatan yang Memadai
Kantor yang nyaman dan peralatan pendukung (komputer, alat survei/GPS, dll) juga
menjadi kunci untuk mengumpulkan data lapangan dan membuat analisis sebagai bahan
untuk pengambilan keputusan yang akurat.
4) Rutin Mengadakan Kunjungan ke Masyarakat
Kunjungan rutin ke desa-desa untuk mendiskusikan kemajuan, keluhan, ataupun
pengembangan ide-ide baru berperan penting untuk menjaga komitmen masyarakat
terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dan menguatkan saling percaya antara
TNBNW dan masyarakat.
5) Dukungan Mitra Pendamping
Dukungan lembaga lain (NGO) sangat diperlukan untuk mengisi keterbatasan
sumberdaya manusia yang terbatas, dan melengkapi kapasitas teknis pendampingan
masyarakat. Lembaga tersebut diantaranya: WCS, Yapeka-Bogor, Suara Bobato, Yayasan
Rimbawan, dan Japesda Gorontalo.
3) Tantangan Membangun Kemitraan dengan Pihak Swasta untuk Pendanaan
Berkelanjutan: Pengalaman Balai TN Komodo
Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai (Propinsi NTT) dibentuk sebagai kawasan
Taman Nasional pada tahun 1980 dan dikuatkan dengan SK Penetapan Taman Nasional Komodo
pada tahun 1992 dengan luas 173.300 ha. Di dalam TN Komodo terdapat 4 desa dengan jumlah
penduduk 3.267 jiwa, kemudian di sekitar TN Komodo terdapat 11 desa dengan jumlah
penduduk 16.816 jiwa.
Ancaman atau masalah yang dihadapi olah Balai TN Komodo adalah:
1) Tekanan populasi penduduk dan peningkatan kebutuhan sumberdaya alam yang
meningkatkan degradasi sumberdaya darat dan perairan.
2) Kegiatan penangkapan ikan yang merusak kawasan TN Komodo dan merupakan
ancaman terbesar bagi sumberdaya perairan.
3) Penangkapan sumberdaya perairan yang berlebihan, terutama jenis-jenis demersal,
merupakan masalah utama.
4) Masuknya spesies non-asli, termasuk anjing, kucing, dan kambing, yang menjadi
resiko bagi jenis-jenis endemik yang terancam punah melalui penularan penyakit,
predasi, atau kompetisi.
5) Meningkatkan polusi karena cara pembuangan limbah yang tidak tepat untuk MCK
dan sampah, tumpahan minyak/bahan bakar ke lingkungan perairan, dan sisa pupuk
dan pestisida.
6) Habitat daratan saat ini sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan antropogenik di
masa lalu. Kebakaran, baik yang sengaja dibuat oleh para pemburu, atau yang tidak
disengaja, merupakan ancaman besar pada habitat hutan.
• Hak-hak yang didapatkan oleh masyarakat melalui MKK diantaranya yaitu diberi akses
untuk menggarap lahan di zona khusus, dengan catatan tidak boleh ada perluasan,
masyarakat diberi akses untuk mengelola wisata alam, masyarakat mendapatkan
pendampingan.
• Kewajiban yang harus dilakukan masyarakat diantarnya yaitu wajib menanam untuk
rehabilitasi/restorasi lahan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan kayu, walaupun hasil
menanam sendiri
MKK
• matapencaharian
•
• melakukan
• lahan
•
• Sukagalih
• mendapatkan
•
•
•
•
•
a) Perencanaan partisipatif
b) Peningkatan kapasitas
c) Pelaksanaan program
•
•
11) Uji Coba Mekanisme Apresiasi Untuk Petani Reharbilitasi di TN Meru Betiri
Konflik yang dihadapi oleh Balai TN Meru Betiri adalah konflik tenurial berupa perambahan
besar-besaran yang terjadi pada periode 1998 – 2001. Tidak kurang 2000 ha lahan di zona
rehabilitasi telah dirambah pada periode tersebut.
Sementara itu, proses rehabilitasi lahan sesungguhnya sudah dimulai melalui kerja sama Lembaga
Alam Tropika Indonesia (LATIN) bersama Balai TNMB dan KAIL sejak 1993 dengan membuat
demplot rehabilitasi seluas 7 ha, dan dikembangkan untuk rehabilitasi skala yang lebih luas sejak
tahun 2002.
Namun proses rehabilitasi hutan belum berhasil. Semenjak proses rehabilitasi hutan dilakukan
mulai tahun 2002, belum semua lahan kritis berhasil direhabilitasi. Sebagai contoh, rehabilitasi
hutan di zona rehabilitasi yang dilakukan oleh petani dari Desa Curahnongko seluas 410 ha,
sampai tahun 2012, baru berhasil mencapai sekitar 40% dari luas 410 ha. Jumlah pohon yang
ditanam mencapai 18.071 batang, dengan jenis sebanyak 38 jenis pohon.
Untuk meningkatkan presentase luas yang ditanami dan juga jumlah bibit yang ditanam di lahan
kritis di dalam zona rehabilitasi, maka KAIL sebagai pendamping petani rehabilitasi melakukan uji
coba mekanisme apresiasi bagi petani yang terlibat dalam rehabilitasi hutan. Uji coba dilakukan
terhadap 708 orang petani rehabilitasi yang berasal dari Desa Curahnongko.
Rencana penanaman yang didiskusikan bersama dengan petani dan ketua kelompok tani
menghasilkan gagasan tentang system insentif untuk rehabilitasi hutan. Sistem insentif tsb. diberi
nama Program PINTAR (Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi).
PINTAR
• Mendorong para petani untuk menanam pohon yang bernilai ekonomi sekaligus
ekologis di lahan-lahan yang masih termasuk dalam Kelas 1 sampai 4.
• Memberi apresiasi kepada para petani yang telah berhasil menanam dan merawat
atau menjaga tanaman hasil rehabilitasi untuk Kelas 5 dan 6.
insentif
• Ekonomi: potongan harga atau diskon untuk membeli sembako di toko yang
telah ditunjuk dalam Program PINTAR
• Kesehatan: bantuan untuk keringanan biaya berobat ke Puskesmas Desa
Curahnongko
• Pendidikan: bantuan untuk anak atau cucu dari petani untuk biaya pendidikan
atau fasilitasi pendidikan.
dana
Pembelajaran
Mekanisme pemberian insentif atau apresiasi bagi petani rehabilitasi di TN Meru Betiri bisa
berjalan pada tahun pertama tetapi tidak bisa dilanjutkan karena gagal dalam mengumpulkan
donasi sukarela. Kegagalan ini antara lain karena kurang promosi dan dokumentasi atas proses-
proses dan hasil yang telah dicapai.
Selain itu, tidak adanya payung hukum pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi hutan di TN Meru
Betiri membuat motivasi KAIL dan petani yang terlibat menjadi turun dan kurang bersemangat.
Beranjak dari proses tersebut, kini masing-masing anggota kelompok secara independen
mengelola lahannya dengan tanaman campuran. Setidaknya telah terbentuk 108 kelompok tani
yang menyasar 3556 Kepala Keluarga pada lahan seluas 2.779,08 hektare. Tiap anggota
kelompok bertanggung jawab mengelola lahannya masing-masing.16 Tegakan atas biasanya bersisi
tanaman tua semisal petai, nangka, trambesi, lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah
yang dikelola intensif terdiri dari jagung, padi ladang, umbi-umbian dan tanaman obat. Tapi
proses pendampingan yang sudah menurun sejak 2015 lantaran keterbatasan pendanaan17
membuat para penggarap lahan banyak yang memetingkan tanaman hortikultura dan tanaman
obat ketimbang tanaman yang berfungsi untuk rehabilitasi lahan.18
12) Pengalaman Balai Taman Nasional Gunung Tambora dalam Mempersiapkan
Kemitraan Konservasi Dengan Cara Bekerja Bersama Masyarakat
Permasalahan yang dihadapi oleh Balai TN Tambora (Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima,
Propinsi NTB) adalah illegal logging yang terjadi sejak sebelum Tambora ditetapkan menjadi
Taman Nasional. Pada periode tahun 2013 – 2015, kegiatan illegal logging sangat tinggi, dalam
satu malam truk pengangkut kayu keluar dari hutan di Gunung Tambora dan sekitarnya bisa
mencapai 30 – 40 truk. Begitu juga kegiatan perambahan yang dilakukan masyarakat cukup
tinggi intensitasnya, terutama untuk peladangan jagung.
Sebagai Taman Nasional yang relatif baru, maka proses sosialisasi tentang keberadaan Taman
Nasional Gunung Tambora, fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat di sekitar Taman Nasional
masih belum tuntas sehingga berpotensi menimbulkan konflik tenurial. Salah satu sebab
munculnya konflik tenurial adalah tata batas TN Gunung Tambora belum tuntas. Menurut
Ketua Kelompok Perempuan Delta Api, Sulastri, lokasi kebun kopi anggotanya sebagian besar
berada di sekitar kawasan Taman Nasional. Penetapan Gunung Tambora menjadi Taman
Nasional, menyebabkan petani khawatir areal kebun mereka berada dalam kawasan TN Gunung
Tambora.
Untuk mengatasi masalah illegal logging dan perambahan diatasi, Balai TN Tambora melibatkan
masyarakat dalam pengamanan kawasan serta penegakan hukum. Selain itu juga dilakukan
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif. Beberapa kegiatan yang
difasilitasi oleh Balai TN Gunung Tambora bekerja sama dengan LSM lokal adalah pengembangan
kopi, madu, dan wisata alam.
16 Wawancara mendalam dengan Kelompok Tani Mekar Sari I, Curahnongko, 11 Januari 2019.17 Wawancara mendalam dengan KAIL, Curahnongko, 17 Januari 2019.18 Wawancara Mendalam dengan Kelompok Wanita Tani Sumber Waras, Curahnongko, 11 Januari 2019.
Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih banyak dilakukan di daerah penyangga Taman Nasional.
Kegiatan bersama masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional dilakukan belum
menggunakan mekanisme kerjasama, masih menggunakan mekanisme pendampingan. Antara
lain: untuk kegiatan pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan pengambilan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan kualitas pengelolaan kopi.
Pembelajaran
• Kepercayaan yang diberikan oleh Balai TN Gunung Tambora kepada masyarakat
sebagai subyek pengelolaan taman nasional terbukti dapat mengatasi illegal
logging. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengamanan kawasan
bersama Taman Nasional dan KPH berhasil mengurangi illegal logging.
• Berbagai upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh Balai TN Tambora
untuk menunjukkan manfaat nyata dari kerjasama atau kemitraan antara Balai TN Tambora dengan masyarakat. Dan hal ini telah dipayungi oleh Perdirjen KSDAE
No. 6 Tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Dengan adanya Perdirjen ini,
maka Balai TN Tambora telah menandatangani dokumen Perjanjian Kerja Sama
(PKS) dengan kelompok masyarakat pengolah madu hutan di Desa Kawinda Toi
pada bulan Desember 2018. Berbagai manfaata nyata dan Perjanjian (PKS) ini
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Balai TN
Tambora.
d. Aktivitas 4: Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi LATIN
Lokakarya bertujuan untuk menyusun dokumen yang berisi pesan kunci (key messages) yang
harus disampaikan melalui cara-cara penyampaian yang tepat kepada target sasaran yang dituju,
yaitu Dirjen KSDAE dan Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan
masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018.
Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi diadakan pada tanggal 29 April sampai 1 Mei 2019 di
Bogor. Lokakarya dihadiri oleh 20 orang peserta terdiri atas 12 laki-laki dan 8 orang perempuan.
Peserta adalah Koordinator Program, peneliti/fasilitator yang melakukan kajian di 6 Taman
Nasional dan tim pendukung (GIS, finance, administrasi), berjumlah 13 orang, dengan nara
sumber Sari Lani dari PT DIGDAYA dan dari Fakultas Kehutanan IPB, serta fasilitator Syafrizaldi.
yang sebelumnya terlibat dalam kegiatan indepth interview dan FGD di 6 Taman Nasional.
Hasil dari Lokakarya adalah Dokumen Strategi Komunikasi yang di dalamnya antara lain berisi
pesan kunci (key messages) tentang implementasi Kemitraan Konservasi, kelompok sasaran atau
target komunikasi, dan rencana komunikasi termasuk kemasan pesan kunci dalam bentuk bentuk
policy brief. Berikut ini target personal dan pesan kunci yang akan disampaikan:
A. Target: Dirjen KSDAE (Bapak Wiratno)
a. Key message #1: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar setiap Balai Taman
Nasional mengeksplorasi manfaat dan penggunaan RBM dalam melibatkan masyarakat
untuk ikut merencanakan, melaksanakan sampai monitoring dan evaluasi kemitraan
konservasi.”
b. Key message #2: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar Balai Taman Nasional
dapat bekerjasama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi
pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana
mitigasinya.”
c. Key message #3: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk
membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi.”
d. Key message #4: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan unit/tim/mekanisme cepat tanggap
di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan
pasal-pasal di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang dianggap masih belum
jelas.”
e. Key message #5: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan
pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”
f. Key message #6: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang bertugas untuk
baik untuk tingkat pusat (Dirjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.”
B. Target: Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018
a. Key message #7: “Balai TN perlu menghilangkan stigma dalam berinteraksi dengan
masyarakat, melalui integrasi RBM dengan siklus proses pembelajaran dalam melibatkan
masyarakat.”
b. Key message #8: “Balai Taman Nasional perlu mengidentifikasi dan menjalin kerja sama
dengan lembaga yang berkompeten untuk melakukan investigasi pelaku free-rider dan
rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana mitigasinya.”
c. Key message #9, “Balai Taman Nasional perlu mengalokasikan sumberdaya khusus untuk
mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan
pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”
d. Key message #10: Balai TN menyiapkan mekanisme dan SOP untuk menjalankan
pengelolaan pengetahuan (knowledge management) sesuai dengan hasil rumusan tim
pakar yang dibentuk oleh Dirjen KSDAE.
e. Aktivitas 5: Lokakarya Penyampaian Key Messages (Policy brief, Hasil Lokakarya Strategi Komunikasi) LATIN kepada Dirjen KSDAE Kementerian LHK
Lokakarya bertujuan untuk menyampaikan hasil Lokakarya Strategi Komunikasi berupa policy brief, termasuk best practice dan lessons learned, yang telah dihasilkan LATIN kepada Dirjen
KSDAE dan jajarannya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
mengundang beberapa Pengelola Taman Nasional.
Lokakarya penyampaian Key Messages kepada Dirjen KSDAE dilaksanakan pada tanggal 9 Juli
2019. Selain dihadiri oleh Dirjen KSDAE dan staf KSDAE dan UPT Taman Nasional (Balai TN
Gunung Gede Pangrango, Balai TN Ujung Kulon, Balai TN Gunung Halimun Salak, dan Balai TN
Kepulauan Seribu), juga dihadiri oleh staf dari Direktorat Jenderal yang lain (PSKL, BPEE, Biro
Perencanaan, BP2SDM) dan juga stakeholder (AMAN, BRWA, RMI, FKKM, Burung Indonesia).
Total jumlah peserta berjumlah 42 orang, terdiri atas 15 perempuan dan 27 orang laki-laki.
Hasil dari Lokakarya adalah diterimanya dokumen policy brief oleh Bapak Wiratno sebagai Dirjen
KSDAE, dimana poin-poin utama policy brief LATIN adalah:
A. Temuan dari Kajian di 12 Taman Nasional:
1. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, semuanya sudah melakukan kerja sama dengan
masyarakat, baik yang dilakukan sebelum maupun setelah terbitnya Perdirjen No 6 Tahun
2018.
2. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, ada 4 Taman Nasional yang telah membuat
Perjanjian Kerja Sama (PKS) setelah Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, yaitu TN
Bantimurung Bulusaraung, TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone dan TN
Kelimutu.
3. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 memperkuat dan menjadi payung hukum bagi
inisiatif kerja sama yang telah dilakukan oleh Balai TN sebelum terbitnya Perdirjen
tersebut, namun di sisi lain ada kekuatiran bahwa Perdirjen tersebut menghidupkan
kembali konflik yang sudah mereda setelah ada inisiatif kerja sama.
4. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 mengatur waktu pelaksanaan Kemitraan Konservasi,
untuk pemberdayaan masyarakat berlaku 5 tahun dan untuk pemulihan ekosistem
berlaku 10 tahun, dan masing-masing dapat diperpanjang. Yang menjadi kekuatiran adalah
ketidak jelasan proses perpanjangan waktu, siapa yang berwenang memutuskan dan
bagaimana caranya. Kejelasan mengenai hal ini, akan meyakinkan masyarakat terutama
yang terlibat dalam pemulihan ekosistem karena akan mendapat kepastian bahwa mereka
bisa memanen hasil dari berbagai jenis pohon yang telah ditanam dalam pemulihan
ekosistem.
5. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kerja sama antara masyarakat dengan Balai TN
bermacam-macam, seperti pengelolaan obyek wisata alam, rehabilitasi hutan,
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti durian, madu dan getah pinus, pemanfaatan
jenis tumbuhan pengganggu menjadi pupuk dan pestisida organik, pemberdayaan
perempuan pengrajin kain tenun, dsb. Namun, khusus untuk pemanfaatan HHBK, baik
staf Balai TN maupun masyarakat menginginkan kejelasan aturan pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu.
6. Kerja sama masyarakat dengan Balai TN telah mulai memberi manfaat ekonomi berupa
peningkatan pendapatan bagi masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa kelompok
penerima manfaat belum tepat sasaran.
7. Kerja sama juga memberi manfaat sosial pada masyarakat yang terlibat dalam kerja sama
berupa mulai terbangunnya kelembagaan masyarakat dan berkurangnya sifat individualistis
masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa muncul kecemburuan sosial dari kelompok
masyarakat yang tidak terlibat dalam kerja sama.
8. Manfaat ekologi berupa mulai berjalannya proses pemulihan ekosistem di dalam kawasan
Taman Nasional, namun di sisi lain muncul kekuatiran bahwa Kemitraan Konservasi akan
mengundang “free-rider” untuk memanfaatkan lahan di dalam kawasan, dengan alasan
pemulihan ekosistem.
9. Banyak kerja sama antara Pengelola Taman Nasional dan masyarakat setempat yang telah
memberi dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi, tetapi masih belum
banyak didokumentasikan.
10. Penerapan Kemitraan Konservasi membutuhkan pendanaan yang memadai dan tidak bisa
terpenuhi hanya dari dana yang dikelola oleh Taman Nasional. Di sisi lain, ada sumber-
sumber pendanaan baik di pemerintah daerah maupun di desa yang bisa dioptimalkan
pemanfaatannya untuk mendukung Kemitraan Konservasi. Sementara itu, pemerintah
daerah banyak yang mempertanyakan manfaat keberadaan Taman Nasional terutama
kontribusi Taman Nasional terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah).
B. Rekomendasi Kebijakan
1. Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah
pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi
Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.
2. Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum
jelas.
3. Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran
dari Kemitraan Konservasi.
4. Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi
untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik
untuk tingkat pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.
5. Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan
investigasi pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun
rencana mitigasinya
Dirjen KSDAE kemudian menanggapi dengan positif policy brief LATIN tersebut, yaitu:
a) Ilmu sosial di kita terlambat, padahal ilmu sosial memberikan kontribusi terhadap
perkembangan hutan dan kehutanan.
b) Kemitraan Konservasi bisa ada potensi masalah, seperti adanya free rider.
c) Hutan dan laut adalah interkasi masyarakat yang tidak boleh dilupakan, karena definisi
hutan adalah sekumpulan pohon.
d) Membangun learning organitation melalui local champions yang sudah melakasankan
kegiatan di hutan konservasi.
e) Sederhanya Kemitraan Konservasi adalah mengajarkan cara bertetangga yang baik.
f) Adanya hutan juga bisa membangun pertanian sehat.
g) Di Lampung terjadi perambahan kawasan untuk kopi, dan yang mendapatkan bantuan
adalah orang yang tidak seharusnya.
h) Komunikasi yang terbangun adalah, komunikasi yang pertama yang dillakukan dengan
masyarakat di desa, pemerintah yang mendatangi rakyat.
i) Aturan di kita terlambat, padahal saya pada tahun 2005 sudah memberikan akses kepada
Lembaga Pariwisata Tangkahan.
j) “Jika menyelesaikan masalah, kita tidak boleh menjadi bagian dari masalah itu.”
k) Kemitraan Konservasi bisa ditingkatkan menjadi KULINKK.
l) Saya lebih percaya Kemitraan Konservasi dengan luasan yang kecil daripada dengan luasan
yang besar.
m) Hasil kajian ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi TN lain.
n) Terbiasa legal formal bukan actual, bekerja selain pakai fikiran, harus pakai hati, dan caranya
harus bekerja di lapangan.
o) Target 2020 -2024 adalah 400.000 ha.
p) KSDAE udah punya peta open area, sehingga resources ini bisa digunakan bersama.
Kemudian, Dirjen KSDAE juga meminta LATIN untuk mempresentasikan policy brief ini di
hadapan seluruh Direkorat di bawah Ditjen KSDAE, Kepala Balai Taman Nasional dan Kepala
BKSDA seluruh Indonesia pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) yang diadakan pada tanggal
19 Agustus 2019 di Jakarta. Rakornis diselenggarakan oleh Dirjen KSDAE dan dihadiri oleh lebih
kurang 100 orang. Pada waktu Rakornis tersebut, LATIN juga membagikan policy brief kepada
semua peserta, namun kesulitan untuk memperoleh tanda terima dari peserta. Walaupun
demikian, dengan kesempatan yang diberikan oleh Dirjen KSDAE kepada LATIN untuk
mempresentasikan policy brief kepada semua Kepala UPT baik Balai Taman Nasional maupun
BKSDA dari seluruh Indonesia, maka tujuan dari penyampaian key messages sudah terpenuhi.
Waktu untuk presentasi policy brief cukup singkat dan tidak ada kesempatan untuk tanya jawab
sehingga tanggapan peserta pada forum Rakornis tidak bisa diperoleh. Namun ketika istirahat,
beberapa orang peserta menyampaikan apresiasi dan setuju dengan temuan LATIN. Bahkan ada
juga panitia dari Ditjen KSDAE (Ibu Retno Suratri) yang memperoleh soft copy hasil studi
literatur menyatakan bahwa dokumentasi best practice sangat bermanfaat bagi UPT dan
sebaiknya diperbanyak. LATIN mempersilakan kalau soft copy hasil studi literature mau dicopy
kepada peserta Rakornis.
f. Aktivitas 6: Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN
Lokakarya bertujuan untuk memfasilitasi pengelola dan stakeholder di 3 Taman Nasional untuk
mendiskusikan rencana implementasi Kemitraan Konservasi jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang.
Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 25 –
30 Agustus 2019 di Jakarta. Lokakarya merupakan tindak lanjut dari hasil kajian melalui indepth
interview dan FGD di 6 Taman Nasional, serta studi literature di 6 Taman Nasional lainnya.
Salah satu temuan dari kajian tersebut adalah adanya kelemahan dalam proses penyusunan
rencana kemitraan konservasi, sehingga dapat memperlambat penelaahan usulan Kemitraan
Konservasi. Pada umumnya, usulan yang dikirim kurang menginformasikan hal-hal yang menjadi
keunikan atau kekhususan yang berasal dari lokasi yang diusulkan, sehingga surat usulan harus
dikembalikan untuk dilengkapi. Oleh karena itu, dilakukan Lokakarya Penyusunan Rencana
Kemitraan Konservasi untuk 3 Taman Nasional. Ketiga Taman Nasional tersebut adalah TN
Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri dan TN Gunung Tambora. Proses penyusunan rencana
Kemitraan Konservasi ini menjadi penting. Dengan adanya rencana, maka akan semakin jelas
tahapan untuk membangun PKS. Selain itu, proses yang akan dilalui untuk membangun PKS, akan
menjadi jelas bagi masyarakat dan Balai Taman Nasional.
Hasil dari Lokakarya yang difasilitasi LATIN adalah Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN
Gunung Halimun Salak, Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Gunung Tambora, dan
Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Meru Betiri. Secara garis besar, dokumen rencana
kemitraan konservasi 3 TN memuat hal-hal sebagai berikut:
Taman
Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk
TN Gunung
Halimun
Salak
Pemulihan Ekosistem
Pemberdayaan
Masyarakat
SPTN 1:
• Blok Cisoka
• Blok Cidoyong
• Blok Wangun
• Blok Sampay
SPTN II:
• Blok Koridor
SPTN I Lebak
• Blok Pasir Kempong
• Blok Cikawah
• Blok Cimarpi
• Blok Wates
SPTN II Bogor
• Blok Bobojong
• Blok Pasir Tengah
• Blok Tapos
SPTN III Sukabumi
Blok Pinus Cimuntir
Blok Damar Cimuntir
200
120
15
2,97
0,36
4
49,3
10,9
31
20,03
1,55
Taman
Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk
TN Gunung
Tambora
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan madu
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan HHBK
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan HHBK
Pemulihan Ekosistem
Zona tradisional Kawinda
Toi
Zona Tradisional Sori
Tatanga
Zona Tradisional Tolokalo
Zona Tradisional Tolokalo
765
250
15
20
TN Meru
Betiri
Pemulihan Ekosistem
(total 1.200 ha)
Pemberdayaan
Masyarakat
Curahnongko
Andongrejo
Sanenrejo
Wonoasri
Curahtakir
Sarongan
Mulyorejo
Kandangan
Kebonrejo
Karangharo
65
310
330
260
35
200
Susu kambing dan madu
Eskrim duren dan madu
Ayam potong, camilan
Camilan
Dokumen tersebut selanjutnya menjadi acuan kerja bagi ketiga Taman Nasional untuk
membangun Kemitraan Konservasi. Selain itu, Dokumen juga menjadi acuan dalam melakukan
kegiatan Monitoring dan Mentoring implementasi Kemitraan Konservasi yang akan dilakukan oleh
LATIN.
g. Aktivitas 7: Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi yang diselenggarakan
dan difasilitasi LATIN bertujuan untuk mempersiapkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup
Session Plan, metode atau teknik penyampaian materi, bahan bacaan, referensi, alat dan bahan
yang harus disiapkan.
Lokakarya penyusunan modul pelatihan implementasi Kemitraan Konservasi telah dilaksanakan
pada tanggal 16 – 20 September 2019 di Jember, sekaligus uji coba beberapa sesi di desa
Andongrejo dan zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Lokakarya diikuti oleh pada fasiltator yang
nanti akan memfasilitasi pelatihan.
Hasil dari Lokakarya yang diselenggarakan dan difasilitasi LATIN adalah 8 Modul Pelatihan
Implementasi Kemitraan Konservasi yaitu:
a) Modul 1: Paradigma dan Kebijakan Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi
pentingnya perubahan paradigm dalam pengelolaan kawasan konservasi, pentingnya
mencari keseimbangan antara tujuan konservasi keanekaragaman hayati dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta berbagai peraturan yang terkait dengan
Kemitraan Konservasi.
b) Modul 2: Aspek Gender dalam Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi prinsip
dan konsep dasar inklusi sosial dan kesetaraan gender.
c) Modul 3: Partisipasi Masyarakat, yang secara umum berisi pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi serta partisipasi yang efektif dalam
mengembangkan kemitraan konservasi.Modul 4: Persiapan Implementasi Kemitraan
Konservasi, yang secara umum berisi sosialisasi (identifikasi free rider), batasan tentang
kemitraan konservasi, identifikasi potensi kemitraan konservasi, memotret kondisi lokasi
(subyek) dan sosial ekonomi masyarakat (obyek) untuk kemitraan konservasi.
d) Modul 5: Penyusunan Rencana Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi
menentukan goal, target dan strategi kemitraan konservasi, analisis pengembangan
potensi, analisis stakeholder, menyusun program.
e) Modul 6: Membangun dan Mengelola Kesepakatan, yang secara umum berisi pentingnya
kolaborasi, membangun kesepakatan kemitraan konservasi, format kesepakatan, serta
menjalankan kesepakatan kemitraan konservasi.
f) Modul 7: Manajemen Konflik, yang secara umum berisi pengantar manajemen konflik,
memahami konflik serta kemungkinan intervensinya, strategi mengelola konflik, serta
negosiasi.
g) Modul 8: Monitoring dan Evaluasi Partisipatif, yang secara umum berisi pengertian
monitoring dan evaluasi partisipatif, pengenalan SMART RBM sebagai salah satu tools
monitoring dan evaluasi partisipatif.
h) Kedelapan Modul tersebut ditujukan untuk peningkatan kapasitas pendamping Kemitraan
Konservasi, selanjutnya digunakan untuk aktivitas 8.
h. Aktivitas 8: Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas lapang dalam implementasi rencana
Kemitraan Konservasi dengan menggunakan Modul yang dihasilkan dari kegiatan Lokakarya
Penyusunan Modul Implementasi Kemitraan Konservasi.
Kegiatan Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 4 – 10 November
2019 di Bogor. Pelatihan diikuti oleh 14 orang peserta terdiri atas 4 orang perempuan dan 8
orang laki-laki, yang berasal dari Balai Taman Nasional (Balai TN Gunung Halimun Salak, Balai TN
Tambora, Balai TN Kepulauan Seribu, Balai TN Gunung Ciremai), LSM (BRWA, AMAN
Kasepuhan Karang Banten), mahasiswa kehutanan IPB dan mahasiswa kehutanan UNIKU.
Sebelum dan setelah pelatihan dilakukan tes atau evaluasi, sehingga bisa diketahui perkembangan
kapasitas setiap peserta yang mengikuti pelatihan. Evaluasi pelatihan Kemitraan Konservasi ini
menggunakan metode scoring yang didapat dari jawaban peserta dengan mengisi kuisioner pre-
test dan post-test. Kuisioner berisi 20 pertanyaaan yang secara umum terdiri dari:
a) Pengelolaan Kawasan Konservasi
b) Kemitraan Konservasi
c) Monitoring Program Kemitraan Konservasi
d) Pengelolaan Konflik dan Gender
Hasil dari evaluasi pre-test dan post-test dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa setiap orang mengalami peningkatan kapasitas, yang berarti
pengetahuan dan keterampilan yang diberikan selama Pelatihan memang meningkat.
i. Aktivitas 9: Monitoring dan Mentoring
Kegiatan Monitoring dan Mentoring telah dilaksanakan pada periode September sampai
November 2019 dengan melakukan diskusi dan kunjungan lapang ke TN Tambora, TN Gunung
Halimun Salak dan TN Meru Betiri. Pelaksana monitoring dan mentoring adalah:
1. TN Gunung Halimun Salak: Lika, Eka, Vinna (LATIN), Teguh, Wahyu, Desa (Balai TN
8) Delapan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
9) Perjanjian Kerja Sama antara Balai TN Tambora dengan Kelompok Masyarakat Kawinda Toi
untuk pengelolaan madu
10) Contoh RPP dan RKT
11) Laporan Hasil Monitoring dan Mentoring Implementasi Kemitraan Konservasi di TN Gunung
Halimun Salak, TN Tambora dan TN Meru Betiri
Penjelasan Kegiatan atau Milestones yang Tidak tercapai
Semua deliverables dan milestones dapat dipenuhi oleh LATIN, sesuai dengan yang tercantum di
dalam Proposal.
Pembelajaran dan Rekomendasi
Tantangan
Program Kemitraan Konservasi yang dituangkan dalam Peraturan Dirjen KSDAE No. 6 Tahun 2016
tidak mudah diimplementasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi, antara lain Taman Nasional.
LATIN melalui Program “Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi Untuk Mendukung
Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi” yang didukung oleh USAID BIJAK
telah melakukan kajian tentang implementasi Kemitraan Konservasi menemukan sejumlah tantangan
yang dihadapi oleh pengelola Taman Nasional. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:
a. Kurang Dukungan Bagi Lembaga Kolaborasi Multi-pihak
Salah satu tantangan implementasi kemitraan konservasi adalah kurangnya dukungan dalam
mengembangkan lembaga kolaborasi multi-pihak. Keberadaan lembaga kolaborasi multi-pihak
menjadi penting untuk mendukung pelaksanaan kemitraan konservasi. Balai Taman Nasional
tidak bisa bekerja sendiri dalam memfasilitasi masyarakat karena memiliki keterbatasan dalam
kewenangan, kapasitas sumberdaya manusia, jaringan kerja, pendanaan, dan sebagainya.
Keterbatasan Balai Taman Nasional itulah yang seharusnya dapat dilengkapi oleh pemerintah
daerah dan stakeholder lain.
b. Perbedaan Kepentingan
Sulitnya membangun kolaborasi multi-pihak terutama dirasakan ketika ada perbedaan
kepentingan antara kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan. Perbedaan
kepentingan ini menyebabkan benturan kebijakan antara pemerintah daerah dengan Balai Taman
Nasional, misalnya dalam proses tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan
pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat
pemerintah daerah. Pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang
penting untuk mencapai tujuan pembangunan.
c. Manfaat Kemitraan Konservasi Belum Bisa Dirasakan
Manfaat kemitraan konservasi masih belum terlihat secara nyata atau belum dirasakan baik oleh
pemerintah daerah maupun oleh masyarakat lokal. Saat ini yang dilihat oleh pemerintah daerah
dan masyarakat adalah manfaat ekologi untuk kepentingan taman nasional, misalnya
berkurangnya perambahan atau kegiatan ilegal di kawasan Taman Nasional. Oleh karena itu di
beberapa daerah sering muncul pertanyaan, “Apakah satwa liar lebih penting daripada manusia?“
Masyarakat lokal diminta terus untuk melindungi hutan, namun masyarakat belum mendapatkan
imbalannya. Akibatnya, masyarakat merasa jauh dan tidak dilibatkan oleh Balai Taman Nasional.
Oleh karena itu, manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal harus segera diwujudkan,
agar ada keseimbangan manfaat ekologi dan ekonomi dari kemitraan konservasi.
d. Dinamika Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal sendiri memiliki dinamika yang belum tentu sejalan dengan kemitraan
konservasi. Keaktifan kelompok sering kali tidak stabil. Semangat masyarakat naik turun, sehinga
kegiatan yang sudah disepakati menjadi terhambat atau berjalan tersendat-sendat. Konflik
internal di kelompok masyarakat ditengarai menjadi penghambat dalam kegiatan yang sudah
direncanakan dalam Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Apalagi masyarakat belum melihat manfaat ekonomi yang nyata dari kemitraan konservasi.
Pembelajaran
Berdasarkan tantangan yang dihadapi oleh Pengelola Taman Nasional, LATIN juga menemukan
banyak pembelajaran yang bisa diperoleh dari kajian terhadap implementasi Kemitraan Konservasi di
Taman Nasional. Pembelajaran yang diperoleh terkait dengan faktor-faktor pendukung implementasi
kemitraan konservasi, serta kondisi pemungkin untuk mengembangkan kemitraan konservasi.
A. Faktor-faktor Pendukung Implementasi Kemitraan Konservasi
Ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa dipetik sebagai
pembelajaran. Keenam faktor pendukung tersebut adalah (a) kepemimpinan, (b) komunikasi, (c)
perubahan cara kerja dari Balai Taman Nasional, (d) menemukan dan bekerja bersama local champion, (e) dukungan publik dan stakeholder, (f) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal
terhadap konservasi.
a. Kepemimpinan/Leadership
Faktor kepemimpinan adalah salah satu faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi
yang dijumpai di beberapa Taman Nasional. Kepemimpinan yang dijumpai di lapangan, tidak
hanya ditemukan pada Kepala Balai, tetapi juga dijumpai pada staf Balai Taman Nasional, dan juga
ditemukan pada kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional. Sifat-sifat
kepemimpinan yang bisa dipetik dari lapangan antara lain bahwa pemimpin harus memberikan
contoh atau teladan. Pemimpin tidak hanya memberi instruksi. Pemimpin juga harus dapat
menjelaskan visi terkait kemitraan konservasi kepada seluruh stafnya, sehingga visi tersebut
terinternalisasi di seluruh stafnya.
b. Komunikasi
Komunikasi adalah faktor penting keberhasilan Kemitraan Konservasi. Dalam kemitraan, petugas
harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan
baik tidak akan terjalin. Namun dalam komunikasi, bukan hanya cara berkomunikasi yang baik.
Faktor lain yang penting adalah komunikasi yang rutin dengan masyarakat, yang dilakukan baik
formal maupun informal. Komunikasi formal maksudnya adalah komunikasi melalui pertemuan-
pertemuan formal, sedangkan komunikasi informal bisa berupa anjangsana atau kunjungan
silaturahim petugas ke rumah-rumah warga. Frekuensi dan intensitas komunikasi seperti ini yang
harus dijaga.
Selain itu penting juga diciptakan ruang komunikasi yang membuat masyarakat maupun petugas
menjadi nyaman dan aman, sehingga komunikasi bisa berjalan efektif. Situasi seperti ini akan
mengurangi stigma atau pandangan negatif dari kedua belah pihak. Dengan demikian ketika ada
kebutuhan untuk menyampaikan peraturan yang berlaku, maka bisa terjadi dialog dua arah dan
bukan hanya penyampaian satu arah saja.
c. Perubahan Cara Kerja Balai Taman Nasional
Cara kerja Balai Taman Nasional dalam menangani konflik dan membangun kemitraan dengan
masyarakat mulai berubah. Dalam menangani konflik, cara-cara penegakan hukum dengan
disertai tindakan seperti penangkapan masyarakat, pembakaran gubuk dan ladang, yang membuat
masyarakat ketakutan, sudah mulai diubah. Balai Taman Nasional lebih mengedapankan tindakan
preemtif, yaitu upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif
masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Kegiatannya dapat berupa melakukan
inventarisasi potensi masalah, anjangsana/kunjungan ke tokoh masyarakat, gladi posko
pengendalian perlindungan dan pengamanan kawasan. Upaya ini membuat masyarakat tidak lagi
takut terhadap petugas Balai Taman Nasional.
Dengan adanya upaya preemtif, maka petugas harus lebih sering berkunjung dan berdialog
dengan masyarakat. Petugas didorong untuk bisa berbaur dengan masyarakat, kalau perlu
petugas tinggal di desa. Semua itu ditujukan untuk mengubah pandangan negatif masyarakat
terhadap petugas dan juga meraih kepercayaan masyarakat terhadap petugas. Setelah
kepercayaan masyarakat sudah diraih, maka dialog akan menjadi lebih efektif. Dengan demikian
sosialisasi kemitraan konservasi bisa lebih lancar dan muncul usulan kegiatan dari masyarakat
untuk kemitraan. Petugas Balai Taman Nasional juga akan mudah mengajak masyarakat untuk
bersama-sama melindungi kawasan Taman Nasional. Petugas juga bisa menawarkan masyarakat
untuk mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan studi banding. Peran
petugas Balai Taman Nasional sedikit demi sedikit berubah menjadi fasilitator.
Perubahan cara kerja dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sebenarnya
merupakan cerminan dari perubahan pola pikir petugas Balai Taman Nasional. Hal ini penting
ditekankan, karena perubahan tersebut bukan dimulai dari pembekalan keterampilan teknis
komunikasi dan fasilitasi, tetapi justru dimulai dari terjun langsung berinteraksi dengan
masyarakat. Keterampilan teknis komunikasi dan fasilitasi secara tidak langsung justru dipelajari
dari interaksi yang intensif dengan masyarakat. Salah satu teknik komunikasi dan fasilitasi yang
penting adalah keterampilan mendengar yang harus dipraktekkan oleh petugas.
d. Menemukan dan Bekerja Bersama Local Champion
Local champion adalah salah satu kunci dalam Kemitraan Konservasi, karena local champion
adalah agen perubahan di internal kelompok masyarakat, yang dapat direplikasi di tingkat
komunitas atau kelompok masyarakat. Adanya local champions di masyarakat dapat menjadi
menjadi modal sosial untuk membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam
mengelola kawasan. Local champion juga bisa menjadi jembatan penghubung untuk terjadinya
komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Taman Nasional, terutama untuk membangun
komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.
Peran Balai Taman Nasional selain menemukan local champion, juga memfasilitasi peningkatan
kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan memberikan kesempatan kepada local
champions sebagai narasumber dalam berbagai acara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan
meningkatan kepercayaan diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.
e. Menggalang Dukungan Masyarakat dan Stakeholder
Dukungan masyarakat yang lebih luas dan stakeholder adalah salah satu faktor penting yang bisa
menjadi pendukung implementasi Kemitraan Konservasi di lapangan. Pada tingkat desa, walaupun
tidak mudah, upaya untuk merangkul semua pihak di desa telah coba dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari konflik internal diantara kelompok masyarakat.
Keterbasan Balai Taman Nasional adalah salah satu sebab dibutuhkannya peran stakeholder
dalam Kemitraan Konservasi. Stakeholder bisa berperan untuk memfasilitasi mediasi dan resolusi
konflik, selain untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknis yang lain. Interaksi antara
petugas Balai Taman Nasional dengan stakeholder juga akan membuka wawasan dan mengubah
pola pikir menjadi lebih terbuka dalam menerima gagasan-gagasan dari luar, serta meningkatkan
motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. Hal ini misalnya terjadi di TN Komodo. Dukungan banyak
lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan Komodo Survival Program,
Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design rencana pengelolaan, implementasi
rencana kelola meningkatkan kualitas pengelolaan TN Komodo.
f. Meningkatnya Kesadaran Masyarakat Setelah Tanda Tangan PKS
Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam Kemitraan Konservasi menjadi penting bagi masyarakat.
Dengan menandatangani PKS maka masyarakat dan Balai Taman Nasional terikat secara hukum.
Bagi masyarakat ini adalah salah satu bentuk kepastian hukum yang selama ini mereka nantikan.
Dengan adanya PKS masyarakat merasa terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan hasil hutan
yang selama ini mereka telah lakukan. Dan masyarakat juga menyadari di samping hak, ada pula
kewajiban untuk menjaga kawasan.
Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi lebih
baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik oleh
kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan salah satu sumber
penghidupannya. Contoh di TN Karimun Jawa, masyarakat nelayan menjadikan areal kerja dalam
PKS yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional sebagai tabungan ikan. Areal kerja
dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk (akhir Desember sampai
Maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan dalam keadaan cuaca baik
kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar kawasan.
B. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) untuk Mengembangkan Kemitraan
Konservasi
Kondisi pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menyebabkan terjadinya
perubahan. Program yang dilaksanakan oleh LATIN menemukan bahwa kebijakan Kemitraan
Konservasi telah menyebabkan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi,
perubahan cara kerja pengelola kawasan konservasi, dan perubahan interaksi petugas dengan
masyarakat. Perubahan ini harus terus dikelola agar berjalan menuju perbaikan implementasi
Kemitraan Konservasi di lapangan. Agar hal ini bisa terjadi, maka diperlukan kondisi pemungkin yang
harus ada, yaitu (a) political will dari Dirjen KSDAE, (b) menghargai proses, (c) memperjelas isi
Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, (d) membuat manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dilihat
dan dirasakan, serta (e) mengembangkan organisasi pembelajar.
a. Political will dari Dirjen KSDAE
Political will dari Dirjen KSDAE adalah faktor yang menyebabkan lahirnya kebijakan Kemitraan
Konservasi. Kebijakan ini lahir bisa dikatakan sebagai respon atas kebijakan-kebijakan konservasi
sebelumnya yang belum juga bisa memberikan solusi atas konflik di kawasan konservasi yang
telah terjadi bertahun-tahun. Political will tidak hanya diwujudkan dalam pernyataan lisan semata,
tetapi juga diwujudkan secara tertulis melalui berbagai hal yaitu:
➢ Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang bersifat mengikat seluruh pengelola kawasan
konservasi.
➢ Tulisan di berbagai media sosial yang kemudian disintesakan dalam bentuk buku berjudul
“Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi”. Buku ini bisa dianggap sebagai visi baru
dari pengelolaan konservasi di Indonesia.
b. Menghargai Proses
Implementasi Kemitraan Konservasi adalah sebuat proses yang terus-menerus. Implementasi
Kemitraan Konservasi tidak hanya berhenti ketika PKS ditanda tangani oleh Kepala Balai Taman
Nasional dan masyarakat. Pada tahap persiapan, sebelum PKS ditanda tangani, banyak proses
yang juga harus dilakukan. Dan ini sudah dilakukan di beberapa Balai Taman Nasional. Proses-
proses tersebut antara lain (a) proses membangun kepercayaan dari masyarakat terhadap
petugas dan sebaliknya, (b) proses mengubah sikap dan perilaku petugas dalam berkomunikasi
dan berinteraksi dengan masyarakat, (c) proses membangun local champion, dan (d) proses
mengubah cara kerja petugas.
c. Memperjelas Isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018
Perdirjen No. 6 tahun 2018 tidak bisa serta merta diterapkan langsung oleh Balai Taman
Nasional. Beberapa Balai Taman Nasional ada yang masih menanyakan beberapa pasal yang
terdapat di dalam Perdirjen tersebut karena dianggap masih belum jelas. Ketidakjelasan pasal-
pasal dalam Perdirjen bisa menyebabkan keraguan Kepala Balai Taman Nasional untuk
menerapkan Kemitraan Konservasi. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memberi penjelasan
terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak jelas. Beberapa pasal yang tidak jelas dan menjadi
pertanyaan adalah:
1. Apa yang dimaksud wisata terbatas di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?
Bagaimana batasannya suatu objek wisata bisa dikatakan wisata terbatas?
2. Jenis HHBK yang boleh dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu diperjelas
lagi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?
3. Apakah pemanfaatan HHBK seperti getah pinus dari kawasan konservasi memerlukan izin
peredaran hasil hutan bukan kayu?
4. Bagaimana cara menentukan lahan yang digarap oleh masyarakat sebelum penunjukan
kawasan konsrervasi yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, sedangkan di dalamnya
tidak ada tanaman kehidupan yang bisa menunjukkan umur garapan tersebut?
5. Jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam dalam kegiatan pemulihan Kemitraan
konservasi? Hal in perlu dilakukan karena biasanya masyarakat menanam jenis tanaman
yang bernilai ekonomi tinggi seperti MPTS, sehingga bisa menjadikan kawasan konservasi
menjadi monokultur.
6. Penggarap yang dimaksud dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 itu seperti apa?
Apakah bermukim di luar berladang di dalam kawasan atau bermukim dan berladang di
dalam kawasan?
7. Bagaimana tanaman di luar tanaman kehutanan yang sudah ditanam masyarakat bisa
dimanfaatkan, jika waktu kerjasama dalam pemulihan ekosistem hanya 10 tahun?
8. Zonasi yang dibatasi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 menjadi penghambat
dalam kemitraan konservasi, bagiamana jika ada satu objek yang dikerjasamakan memiliki 2
potensi yang berbeda dan zonasi yang berbeda, misalnya potensi pemanfaatan HHBK dan
potensi wisata sedangkan syarat zonasi dikedua potensi tersebut berbeda?
9. Apa peran pemerintah daerah dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, terutama dalam
meningkatkan PAD?
10. Apa manfaat yang berbeda jika masyarakat melakukan kemitraan konservasi dengan tidak
melakukan kemitraan konservasi?
11. Apakah areal kerja kemitraan konservasi bisa menjadi hak milik atau disertifikasi oleh
masayarakat? (Hal yang sering ditanyakan masyarakat dan perlu penyampaian komunikasi
yang baik agar terjadi kesepahaman yang sama antara masyarakat dan UPT).
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan jawaban dari Ditjen KSDAE agar keraguan dalam
melaksanakan Kemitraan Konservasi bisa dihilangkan.
d. Membuat Manfaat dari Kemitraan Konservasi Bisa Dilihat dan Dirasakan
Manfaat dari Kemitraan Konservasi baru sedikit yang bisa dilihat dan dirasakan. Namun dari
yang sedikit itu, akan mendorong atau memotivasi orang, khususnya masyarakat untuk mengikuti
dan menerapkan Kemitraan Konservasi. Salah satu contoh manfaat yang sudah bisa dilihat adalah
di TN Kelimutu.
Belajar dari TN Kelimutu, manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dihasilkan melalui proses
identifikasi potensi lokal, identifikasi kelompok yang akan melakukan, identifikasi stakeholder
yang bisa membantu atau memfasilitasi, melakukan riset tentang kemungkinan pengembangan
potensi lokal menjadi produk yang bernilai ekonomi dan ekologi, membuat demplot uji coba,
pengemasan produk, promosi, dan merintis pasar.
e. Mengembangkan Organisasi Pembelajar
Organisasi pembelajar adalah satu cara yang dimuat dalam buku “Sepuluh Cara Baru Kelola
Kawasan Konservasi”. Jadi organisasi pembelajar menjadi semacam mandat bagi Ditjen KSDAE
dan UPT di bawahnya. Mengembangkan organisasi pembelajar bukan berarti membuat suatu
organisasi baru. Mengembangkan organisasi pembelajar berarti mengintegrasikan prinsip-prinsip
pembelajaran berdasarkan pengalaman yang terjadi selama impelementasi Kemitraan Konservasi.
Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi maka pengembangan organisasi pembelajar bisa
dimulai dari inisiatif yang sudah ada antara lain pendokumentasian berbagai hal yang sudah
dilakukan seperti (a) kegiatan yang sudah dilakukan, (b) proses menemukan dan bekerja dengan
local champion seperti di Tangkahan TN Gunung Leuser, (c) penerapan tools Resort Based
Management (RBM) yang sudah dijalankan seperti di TN Bogani Nani Wartabone, (d)
pengalaman coaching dan mentoring yang dilakukan oleh GTM, dan (e) proses shared-learning
yang sudah dilakukan oleh beberapa Balai Taman Nasional seperti yang sudah pernah dilakukan
oleh beberapa Taman Nasional ke TN Gunung Ciremai.
Pengalaman yang sudah ada perlu dilengkapi dengan upaya refleksi dalam rangka memetik
pembelajaran (lessons learned) dan memperbaiki pelaksanaan kegiatan di masa datang. Upaya
pendokumentasian juga dirasa masih kurang. Sekarang yang banyak dilakukan adalah penggunaan
media sosial seperti facebook, WA group, instagram, dan twitter. Namun penggunaan media
sosial memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang bisa disampaikan dan sulit untuk
ditelusuri kembali dan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Oleh karena itu, perlu
pendokumentasian berupa laporan atau buku yang bisa disebarluaskan. Proses penyebarluasan
informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman lapang adalah bagian dari prinsip-
prinsip organisasi pembelajar. Berbagai mekanisme berbagi informasi dan pengetahuan harus
dikembangkan baik di tingkat Balai Taman Nasional, kelompok masyarakat, stakeholder, maupun
di tingkat nasional di Ditjen KSDAE sendiri.
a) Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah
pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi
Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.
b) Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum
jelas.
c) Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran dari
Kemitraan Konservasi.
d) Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi untuk
mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik untuk tingkat
pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.
e) Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi
pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun rencana mitigasinya
f) Menjaga agar kelima kondisi pemungkin (enabling condition) tetap ada dan dilaksanakan.
Kondisi pemungkin akan menghadirkan tokoh panutan yang dipercaya, menghilangkan
keraguan dan membuat orang tidak takut salah karena yang dilakukan adalah bagian dari
proses pembelajaran. Dalam organisasi pembelajar, kesalahan bukan untuk dihakimi tapi
untuk diperbaiki. Dengan demikian orang tidak takut untuk selalu mengikuti proses.
g) Gunakan kondisi pemungkin untuk mengurangi faktor-faktor penghambat dan memperbesar