MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA LOGIKA POLITIK GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh: Handrianus Koli Belolon NIM: 186322011 MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA, DESEMBER 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA:
MEMBACA LOGIKA POLITIK GERAKAN BUDAYA
PAPUAN VOICES
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora
di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Handrianus Koli Belolon
NIM: 186322011
MAGISTER KAJIAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA, DESEMBER 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Kata Pengantar
Terhitung sejak tahun 2011-2018, selama enam tahun lebih berkanjang hidup di
Papua, saya mengalami banyak perubahan berkaitan dengan pola pikir dan tingkah laku.
Hidup bersama orang Papua dan turut merasakan berbagai kisah hidupnya adalah
pengalaman berharga yang tak pernah lekang oleh waktu. Suka dan duka mereka terus
terpatri di sanubari sampai akhirnya mampu meruntuhkan semua persepsi dan asumsi
subjektif tentang Papua yang sebelumnya menyimpang jauh dari realitas yang saya hadapi di
sana. Papua adalah tempat di mana saya menemukan apa artinya mencintai alam dan sesama
manusia. Ia sudah seperti rumah kedua, tempat berbenah diri menjadi pribadi yang lebih peka
dan peduli pada ketidak-adilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Terima kasih
untukmu, Papua.
Pengalaman berharga yang serupa juga saya alami selama menjalani masa
perkuliahan di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Di tempat ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru yang sangat bermanfaat bagi
seluruh proses penalaran terhadap segala kompleksitas persoalan yang ada di Papua. Saya
pada akhirnya menyadari bahwa untuk memahami sebuah fenomena, kita sesekali perlu
mengambil jarak tertentu darinya sambil mempelajari sesuatu yang baru untuk dapat
menangkap sisi lain yang sebelumnya tak terselami. Untuk itu, saya menyampaikan terima
kasih kepada Rm. Subanar, SJ., Pak Tri, Pak St. Sunardi, Rm. Beni, SJ., Ibu Katrin, Ibu Devi,
Rm. Bagus, SJ., dan Rm. Budi, SJ., yang banyak memberi pengetahuan berharga selama
proses perkuliahan. Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih berlimpah kepada Rm.
Baskara, SJ. yang selalu bersedia meluangkan banyak waktu untuk membimbing saya dalam
proses penulisan tesis ini.
Saya juga mau berterima kasih kepada istri dan anak tercinta (Maria Fransiska dan
Michelle Imeldalina) yang terus menguatkan saya dengan cinta dan perhatian yang tulus.
Untuk Andreas, Januarius, Sintus Asalang, Pace Steve Mahuze, Kaka Aprila Wayar, Hans
Hayon, Mba Desi, Clara, Khofi, Primus, Adma, Pak Ramma, Ibu Dharma, Mba Ajenk, Mba
Citra, Pak Iwan, dan Egha; saya menyampaikan banyak terima kasih atas rupa-rupa kebaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
yang saya dapatkan selama proses studi. Tak lupa pula, saya menyampaikan terima kasih
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan Eagle Institute
yang telah banyak membantu saya dalam biaya perkuliahan maupun biaya hidup selama
empat semester melalui Program Beasiswa Unggulan.
Tesis ini saya persembahkan untuk para aktivis Papuan Voices yang patang mundur
dalam menyuarakan cerita-cerita dari Papua sambil terus berupaya merawat Papua melalui
kerja-kerja politiknya. Terima kasih atas kesempatan berharga yang diberikan kepada saya
untuk meneliti dan menulis tentang PV. Kiranya tesis ini memberi sumbangsih pemikiran
dalam mewujud-nyatakan demokrasi kerakyatan di Papua. Panjang umur perlawanan dan
salut untuk perjuangan kalian.
Handrianus K. Belolon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Abstrak
Sejak zaman kolonial, Papua adalah istilah peyoratif dan menjadi wilayah penting
dalam desain politik kekuasaan. Sampai saat ini, narasi-narasi tentang Papua di dalam media
massa pun tidak jauh berbeda. Publik Indonesia selalu dibanjiri beragam informasi yang
berbading terbalik dengan kondisi sosial-historis di Papua untuk menutupi ketimpangan-
ketimpangan yang terjadi. Bertolak dari fakta yang ada, para sineas muda Papua yang
tergabung dalam komunitas Papuan Voices, berupaya menciptakan narasi lain dalam bentuk
film dokumenter untuk menyuguhkan sisi lain dari Papua berdasarkan perspektif orang
Papua. Tak hanya itu. Dalam aktivismenya, mereka juga terus berupaya melindungi alam dan
manusia Papua dari berbagai bentuk ancaman. Fenomena ini mau menunjukkan bahwa ada
wilayah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan politik gerakan sosial.
Dengan menggunakan metode lived resistance, dan teknik validitas dekonstruktif dari
pespektif post-stukturalisme, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika
perlawanan serta logika politik yang dapat dilacak melalui gerakan budaya Papuan Voices.
Sebagai perangkat analisis, penelitian ini menggunakan pendekatan gerakan sosial baru
dalam tradisi Marxis; terutama melalui Gramsci dan Laclau-Mouffe untuk memeriksa
bentuk-bentuk hegemony, antagonisme, pembentukan identitas kolektif dan counter-
hegemony di dalam gerakan: menggugat ketimpangan, merawat Papua.
Hasil analisis menunjukkan bahwa framing dan hegemoni media massa bertujuan
untuk mengaburkan fakta ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Dengan memanfaatkan film-
film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah
masyarakat, para aktivis PV terus mengupayakan hegemoni tandingan dengan menciptakan
makna baru tentang alam dan manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Aktivisme
PV adalah representasi gerakan sosial baru yang mengutamakan pendidikan politik dalam
mewujudkan demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat.
Kata kunci: Papuan Voices, Gerakan Budaya, Hegemoni, Hegemoni Tandingan, Demokrasi
Kerakyatan, Gerakan Sosial Baru, Pendidikan Politik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Abstract
Since colonial times, Papua is a pejorative term and has become an important area
in the design of power politics. Until now, the narratives about Papua in the mass media are
not much different. The Indonesian public is always flooded with various information which
contrasts with the socio-historical conditions in Papua to cover up the imbalances that occur.
Starting from the facts, young Papuan filmmakers who are members of the Papuan Voices
community, try to create another narrative in the form of documentary films to present a
different side of Papua based on the perspective of Papuans. Not only that. In their activism,
they also continue to strive to protect Papua's nature and people from various forms of threats.
This phenomenon shows that there are new areas that need to be studied in relation to social
movement politics.
By using the method of lived resistance and deconstructive validity techniques from
the perspective of post-structuralism, this study aims to explore the dynamics of resistance
and political logic that can be traced through the Papuan Voices cultural movement. As an
analytical tool, this research uses a new social movement approach in the Marxist tradition;
especially through Gramsci and Laclau-Mouffe to examine forms of hegemony, antagonism,
collective identity formation and counter-hegemony within the movement: criticizing
inequity, caring for Papua.
The results of the analysis show that framing and mass media hegemony aims to
obscure the facts of the injustices that occur in Papua. By utilizing the documentary films
they produce as media for campaigning and advocacy in the community, PV activists
continue to strive for counter hegemony by creating new meanings about Papua's nature and
people from the perspective of Papuans. PV activism is a representation of a new social
movement that prioritizes political education in realizing democracy that takes the side of the
people’s sovereignty.
Keywords: Papuan Voices, Cultural Movements, Hegemony, Counter-Hegemony, Populist
Democracy, New Social Movement, Political Education
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................................................................................iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
B. Rekomendasi .................................................................................................................. 120
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Papua menjadi sebuah istilah yang peyoratif sejak kolonialisme hingga pasca-
reformasi. Pada era Soekarno, Papua adalah enclave penting yang terintegrasi dalam desain
politik kebangsaan NKRI melalui idiom “dari Sabang sampai Merauke”. Demikian pula pada
era Soeharto, di mana Papua diringkus semata-mata demi menunjang projek
developmentalisme. Selanjutnya, pasca-reformasi, karakter buruk ini dilanjutkan dengan
watak yang berbeda-beda, dari isu separatisme hingga ketertinggalan pembangunan, dari isu
infrastruktur hingga kekerasan etnis, dari isu pembangkangan sipil hingga sumber daya alam
yang kaya, dari rezim Megawati hingga rezim Joko Widodo.
Melalui pembacaan yang kritis, ditemukan bahwa isu-isu seperti itu justru
dikonstruksikan, didistribusikan, dan dilanggengkan, − mengutip Michael Foucault (1980) −
melalui mekanisme kepengaturan (governmentality) yang dilakukan baik melalui apparatus
rezim (governmentality by others) maupun melalui warga Papua sendiri (governmentality of
the self). Akibatnya, Papua hari ini adalah narasi yang didominasi dengan cerita tentang
keindahan dan kekayaan alam, PT. Freeport Indonesia, Organisasi Papua Merdeka (OPM),
perang suku, separatis, atau salah satu wilayah di bagian timur Indonesia yang ‘belum maju’
dan mutlak perlu untuk dibangun dan diberdayakan demi tercapainya keadilan sosial bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, mempertimbangkan bahwa aksesibilitas merupakan
hambatan serius dalam penyebarluasan informasi dan gagasan alternatif, perspektif di atas
menjadi begitu dominan persis ketika persepsi publik Indonesia tentang Papua dibentuk oleh
media-media massa arus utama, seperti media cetak maupun elektronik. Dari media-media
tersebut orang pada akhirnya memperoleh pengetahuan lalu membangun opininya secara
sepihak tentang Papua.
Sadar akan absennya narasi-narasi alternatif ini, sejumlah anak muda Papua, baik
perorangan maupun sebagai kelompok, merasa terpanggil untuk menarasikan Papua secara
berbeda. Dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, mereka menyajikan berbagai
model narasi tentang alam dan manusia Papua yang dikemas dalam bentuk berita, artikel,
opini, puisi, cerpen, novel, lagu, fotografi, videografi, dan berbagai bentuk kerja seni lainnya;
termasuk berunjuk rasa di muka umum. Bagi mereka, Papua bersama kompleksitas persoalan
yang melilitnya perlu diekspos agar publik memperoleh informasi dan pengetahuan yang
utuh dan otentik. Selain itu, aktivisme semacam itu dapat membantu masyarakat adat Papua
untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi serta bagaimana membentengi diri
terhadap rupa-rupa penindasan sambil mencari solusi alternatifnya. Dalam kerangka kerja
inilah, Papuan Voices lahir untuk mengisi apa yang hilang dari ingatan publik tentang Papua
serta bagaimana merawatnya.
Papuan Voices (selanjutnya disebut PV) merupakan sebuah organisasi sipil
berbentuk perkumpulan para aktivis media yang bergerak di bidang audio-visual, secara
khusus film dokumenter pendek dan video jurnalis. Tujuan utama berdirinya PV di Papua
adalah melakukan advokasi dan kampanye tentang isu-isu alam dan manusia Papua bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
semua kalangan masyarakat, serta menjadi wadah pengembangan kapasitas sumber daya
generasi muda Papua (Lih. profil organisasi PV). Sebagai suatu bentuk gerakan sosial, sejak
berdiri pada 2011, PV melalui para aktivisnya terus melaksanakan sejumlah agenda kegiatan,
seperti lokakarya produksi film dokumenter, Festival Film Papua (FPP), roadshow, serta
sejumlah strategi distribusi film ke berbagai kalangan masyarakat di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
Tesis ini dimaksudkan untuk mengulas kelahiran PV dan rupa-rupa aktivismenya
sebagai bentuk lain dari protest terhadap cara pandang publik yang cacat tentang Papua;
sekaligus menunjukkan sikap distrust terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang abai
terhadap kelestarian alam dan pemenuhan hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Otto
Wanma, seorang sineas PV wilayah Tambraw, menuturkan bahwa selama ini sudah ada
banyak berita tentang Papua, tetapi belum memberi dampak perubahan apa pun terhadap
masyarakat adat Papua. Menurut Wanma, PV adalah wadah bagi orang Papua menceritakan
realitas Papua yang sebenarnya untuk menunjukkan bahwa di Papua belum ada perdamaian
dan keadilan.
Menegaskan pernyataan tersebut, Max Binur selaku pendamping PV wilayah Sorong,
menyatakan bahwa narasi tentang Papua yang diceritakan oleh orang-orang Papua sendiri
masih sangat minim, sehingga generasi muda Papua tergerak untuk menciptakan lebih
banyak cerita tentang Papua yang dikemas dalam bentuk film dokumenter. Terkait dengan
hal itu, semua film hasil karya generasi muda Papua bertujuan untuk menyampaikan pesan
kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua maupun di luar Papua agar semakain banyak
orang dapat melihat Papua secara lebih dekat sambil ikut bersolidaritas menyelamatkan masa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
depan alam dan manusia Papua tanpa harus melakukan aksi-aksi yang bersifat destruktif.
Selain itu, film-film PV juga mengajak masyarakat adat Papua untuk tetap menjaga dan
mempertahankan kearifan lokal, nilai budaya, dan adat-istiadat beserta kekayaan alamnya
yang terus mengalami ancaman. Menurut Binur, narasi-narasi yang dikemas PV memberi
perspektif baru tentang Papua, di mana orang Papua ditempatkan sebagai subjek utama dalam
melihat dan menentukan masa depannya sendiri.
Dalam hal ini, film dokumenter sebagai sumber daya pendukung aktivisme PV adalah
sebuah pilihan strategi, karena ia memiliki kekuatan konstruksi pada ranah makna maupun
kesadaran kritis. Berkaitan dengan itu, Patricia Aufderheide dalam Documentary Film: A
Very Short Introduction (2007: 5), mengungkapkan bahwa film dokumenter adalah bagian
dari media yang membantu kita untuk memahami tidak hanya tentang dunia kita, tetapi juga
peran kita sebagai public actors dalam membentuk dunia tersebut. Sebagai bagian dari public
actors, – seperti yang diungkapkan oleh John Dewey (dalam Aufderheide, 2007:5) – para
filmmaker memiliki berbagai pilihan cara untuk mengkomunikasikan representasi realitas
kepada orang lain tentang problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat agar diketahui oleh
umum. Melalui berbagai model representasi di dalam film dokumenter,1para filmmaker
senantiasa menjunjung tinggi nilai kebenaran fakta dalam dua elemen penting dokumenter:
representasi dan kenyataan yang disajikan secara filmis. Atau dengan kata lain, melalui film
yang merepresentasikan realitas (betapa pun tak lengkap dan terbatas), mereka menciptakan
1Ada beberapa tipe (mode) film dokumenter, seperti: poetic, performative, reflexive, participatory,
observational, dan expository. Selain memiliki beberapa tipe (mode), film dokumenter juga terbagi dalam
beberapa jenis (genre), seperti: laporan perjalanan, sejarah, potret/biografi, nostalgia, rekonstruksi, investigasi,
perbandingan dan kontradiksi, ilmu pengetahuan, buku harian/diary, musik, association picture story, dan
docudrama. (Lih. Bill Nichols, 2001. Introduction to Documentary, Indiana University Press: USA, hal. 99).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
keberimbangan antara representasi dan kenyataan di setiap narasi tentang kehidupan riil yang
mengandung klaim kebenaran. Film dokumenter adalah cara lain untuk membentuk realitas
baru berupa penggambaran berbagai fenomena sosial beserta persoalan-persoalan yang
menuntut penyelesaian.
Dengan mengusung tema film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial, tesis
ini berangkat dari sejumlah kajian yang serupa untuk menemukan titk pijak baru di dalam
kerangka kerja logika politik gerakan sosial baru di era post-industrial. Pada prinsipnya, film
dokumenter adalah sarana yang cukup efektif untuk menghidupi sebuah aktivisme di tingkat
akar rumput. Akan tetapi, masing-masing gerakan punya karakteristik tersendiri dalam hal
isu, strategi dan tujuan yang mau dicapai. Sebagai misal, Gino Canella dalam Social
Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing
(2017), menekankan peran media sosial sebagai jalur distribusi film dokumenter untuk
menentang narasi dominan, mengorganisir masyarakat, dan menciptakan perubahan sosial.
Melalui film Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105
in Denver, Canella menunjukkan peran media sosial dan teknologi digital sebagai jembatan
bagi para aktivis dokumenter dalam memperjuangan keadilan sosial dan ekonomi bagi orang-
orang kulit hitam di Amerika Serikat.
Masih pada kerangka kerja yang serupa, John Haynes dalam Documentary as Social
Justice Activism: The Text and Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film
(2007) menunjukkan pentingnya strategi tekstual dan politik seperti yang dikerjakan oleh
Greenwald dan perusahaan Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di
tengah menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Amerika Serikat. Haynes menemukan bahwa, dengan memanfaatkan jalur distribusi film
dokumenter di luar bioskop, Greenwald mampu mengembangkan strategi produksi,
distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas online di akar rumpur seperti
MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu yang didokumnetasikan di
dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan dan menggalang audiensi
yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang akan ditempuh di dalam
aktivisme keadilan sosial yang diusung.
Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh Tanya Noetly dan Alexandra Crosby dalam
Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West Papua (2013). Noetly dan Crosby
menggambarkan peran serta aktivisme transmedia di Papua (Papuan Voices dan The
Freedom Frontilla to West Papua) dalam menyampaikan cerita-cerita tentang Papua kepada
publik. Tujuan utamanya adalah menggerakkan massa lintas negara, budaya dan bahasa
untuk sedapat mungkin mengamati dan memahami berbagai bentuk perjuangan orang-orang
Papua yang menuntut hak-hak hidupnya. Menurut mereka, media sosial dan teknologi digital
menjadi ruang dialog baru bagi massa untuk mencari berbagai kemungkinan perjuangan yang
berpihak pada masa depan orang Papua.
Berdasarkan ketiga kajian tersebut, tampak bahwa film dokumenter memang menjadi
pilihan strategis untuk mengorganisir massa dalam memperjuangkan keadilan sosial maupun
ekonomi. Akan tetapi, ketiga kajian tersebut belum menunjukkan secara detail faktor-faktor
ideologis yang menggerakkan sebuah aktivisme maupun kedudukan serta fungsi para sineas
dokumenter sebagai aktor penggerak yang penting dalam melakukan kerja-kerja politik
gerakan sosial. Oleh karena itu, tesis ini berupaya menjawab beberapa elemen penting di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dalam memahami sebuah logika politik gerakan sosial, di mana PV menjadi objek
materialnya. Secara substansial, aktivisme di pusaran PV perlu dilihat dalam dua aspek
penting, yakni gerakan menggugat terhadap hegemoni opini publik tentang Papua melalui
media-media massa arus utama di satu sisi; dan gerakan merawat Papua di sisi lain sebagai
upaya hegemoni tandingan yang di dalamnya ada proses konstruksi makna dan kesadaran
bagi publik dalam melihat Papua secara lebih utuh. Singkatnya, tesis ini berupaya untuk
melihat model-model hegemoni media-media massa arus utama dalam menarasikan Papua
dan bagaimana PV melakukan hegemoni tandingan terhadapnya; termasuk upaya para
aktivisnya dalam memperjuangkan demokrasi kerakyatan di Papua.
Bertolak dari hasil pengamatan tersebut, tesis ini ingin membahas kiprah PV dengan
menggunakan perangkat analisis yang digagas oleh Antonio Gramsci serta Ernesto Laclau
dan Chantal Mouffe yang berhubungan dengan logika politik gerakan sosial dalam tradisi
Marxis. Ada pun pokok-pokok gagasan yang dipakai sebagai perangkat analisis dalam tesis
ini, antara lain: hegemony dan counter-hegemony milik Gramsci yang dilengkapi dengan
hegemony and socialist strategy milik Laclau-Mouffe. Secara keseluruhan, kajian dalam tesis
ini akan berfokus pada tiga hal penting, yakni: Pertama, peran media massa arus utama dalam
menghegemoni opini publik secara tidak sehat tentang alam dan manusia Papua. Kedua,
antagonisme dan hegemoni tandingan sebagai locus bagi pembentukan PV sebagai blok
historis dan upaya membangkitkan intektual organik di Papua. Ketiga, aktivisme PV yang
berorientasi pada kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai suatu
bentuk gerakan sosial baru yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan keadilan sosial
bagi alam dan manusia Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, kajian ini berupaya mempertanyakan tentang
bagaimana logika politik gerakan budaya beroperasi dalam PV dengan menggunakan film
dokumenter sebagai basis gerakannya. Pertanyaan besar ini kemudian dirincikan ke dalam
tiga pertanyaan operasional sebagai berikut:
1. Faktor-faktor ideologis apa saja yang menjadi latar belakang lahirnya PV?
2. Bagaimana antagonisme dan hegemoni tandingan lahir dan tumbuh di dalam gerakan
budaya yang diusung PV?
3. Sejauh mana para aktivis PV mewujud-nyatakan politik kepemimpinan dalam kaitannya
dengan kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model
gerakan sosial baru?
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya, kehadiran PV sebagai sebuah gerakan budaya bertolak dari cara
pandang subjektif publik yang timpang tentang Papua serta kondisi sosial historisnya yang
masih jauh dari harapan akan adanya keadilan dan perdamaian di Papua. Karena itu,
berdasarkan rumusan masalah tersebut, tesis ini bertujuan untuk melihat logika politik
gerakan sosial di pusaran PV dalam kaitannya dengan gerakan dua arah: menggugat
ketimpangan, merawat Papua. Menggugat ketimpangan yang dikmasudkan dalam tesis ini
berkaitan dengan aktivitas memproduksi makna baru tentang Papua yang bersifat kontras
dengan kemasan narasi milik media arus utama, di mana orang Papua sendiri ditempatkan
sebagai subjek yang bercerita tentang realitas hidup yang dialaminya. Sedangkan merawat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Papua berkaitan dengan pendidikan politik melalui rupa-rupa aktivisme PV yang melibatkan
orang Papua dan siapa saja yang punya keprihatinan yang besar tentang kondisi sosial-
historis di Papua untuk dapat memahami Papua secara lebih utuh dan berimbang; sekaligus
ikut terlibat dalam mewujudkan harapan dan perjuangan pemenuhan hak-hak hidup orang
Papua. Untuk sampai pada pemahaman yang utuh tentang logika gerakan tersebut, maka tesis
ini akan menguaraikan tiga bagian penting, yaitu: pertama, faktor-faktor ideologis yang
melandasi aktivisme PV. Kedua, bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan
sebagai locus aktivisme PV. Ketiga, kontestasi makna tentang Papua dan perjuangan
demokrasi kerakyatan sebagai strategi pendidikan politik di dalam aktivisme PV.
D. Manfaat Penulisan
Secara akademis, tesis ini bermanfaat bagi bertambahnya kajian tentang gerakan
sosialberbasis film dokumenter melalui pendekatan Kajian Budaya. Selain itu, secara praksis,
tesis ini akan menjadi bahan evaluasisekaligus referensi tambahan bagi para aktivis PV dalam
menghidupi aktivismenya di Papua. Singkatnya, tesis ini menjadi bagian dari upaya
membangun pendekatan alternatif dalam menalar Papua secara berbeda, yakni berdasarkan
perspektif orang asli Papua yang justru lebih mengenal konteks kehidupan mereka sendiri.
Paling tidak, penyesatan opini publik tentang Papuadapat diminimalisir sambil memikirkan
bagaimana membangun solidaritas demi mendukung transformasi dan perubahan sosial di
Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
E. Kajian Pustaka
Sejak kemunculannya pada akhir abad ke-19 melalui karya Robert Flaherty yang
berjudul Nanook of the North (1922), sampai dengan saat ini film dokumenter masih
menyisakan perdebatan panjang tentang fiksi dan non-fiksinya sebuah cerita dalam hal
realitas yang direpresentasikan. Para penikmat film cenderung menilai film dokumenter
sebagai hasil gubahan dan manipulasi para sineas atas realitas yang dinarasikan seperti
kebanyakan film pada umumnya. Meskipun demikian, para pegiat film dokumenter justru
mengklaimnya sebagai usaha merepresentasikan realitas yang sesungguhnya. Sebuah film
dokumenter adalah sebuah narasi tentang realitas hidup yang mengandung klaim kebenaran.
Meskipun punya sisi subjektifdalam menarasikan sebuah film dokumenter, seorang
sineaspatut menyadari dirinya sebagai storytellers yang menjunjung tinggi kebenaran dalam
memotret realitas hidup agar tujuan atau pesan yang hendak disampaikan dapat dipahami dan
ditindak-lanjuti oleh siapa saja yang menjadi target penonton.
Banyak kajian ilmiah yang menggunakan film dokumenter sebagai objek materialnya
telah menunjukkan bahwa aktivisme yang berkaitan dengan film dokumenter adalah jalan
menuju gerakan sosial demi terciptanya perubahan di tengah masyarakat. Dalam Social
Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing,
Canella (2017) menunjukkan pentinganya menggunakan strategi komunikasi dan distribusi
para pegiat film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial. Melalui media sosial, film
dokumenter Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105
in Denver didistribusikan dan dipakai sebagai bahan kampanye untuk memediasi dan
mengorganisir gerakan akar rumput masyarakat lokal dalam memperjuangkan keadilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
sosial dan ekonomi. Menariknya, kedua film tersebut digunakan sebagai pesan untuk
memerangi kekuatan simbolik (rasisme sistemik) yang menindas kehidupan sosial-ekonomi
dan politik warga kulit hitam di Amerika Serikat. Meskipun demikian, kajian ini tidak
menujukkan secara eksplisit bentuk-bentuk kerja politik para aktor penggerak dalam
mewujudkan pemenuhan hak-hak hidup warga yang terkena dampak rasisme.
Selain itu, John Haynes dalam Documentary as Social Justice Activism: The Text and
Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film (2007) lebih memberi
penekanan pada strategi tekstual dan politik yang dikerjakan oleh Greenwald dan perusahaan
Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di tengah menurunnya
partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di Amerika Serikat.
Dengan memanfaatkan jalur distribusi film dokumenter di luar bioskop, Greenwald
mengembangkan strategi produksi, distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas
online di akar rumpur seperti MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu
yang didokumentasikan di dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan
dan menggalang audiensi yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang
akan ditempuh di dalam aktivisme keadilan sosial. Sebagai bagian dari kajian tentang
gerakan sosial, Haynes belum menjabarkan bagaimana pembingkaian (framing) sebuah
realitas diciptakan, peluang politik apa saja yang dihadapi, serta bagaimana proses
mobilisasinya.
Selanjutnya, Noetly dalam Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West
Papua (2014), juga masih sebatas mengulas tentang pentingnya transmedia sebagai bagian
dari aktivisme, di mana ia menjadikan Papuan Voices dan The Freedom Frontilla to West
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Papua sebagai objek materialnya. Melalui berbagai platform transmedia, cerita-cerita
tentang Papua yang telah diterjemahkan ke dalam multi-bahasa disampaikan kepada publik
agar dapat diakses oleh masyarakat di tingkat nasional maupun internasional. Ada dua tujuan
yang diusungnya, yaitu: pertama, melawan narasi dominan yang cenderung memberi stigma
buruk kepada orang Papua sebagai bangsa primitif dan separatis. Kedua, mengajak dan
menggerakkan masyarakat global untuk sedapat mungkin memperbincangkan berbagai
pergolakan hidup yang dialami oleh masyarakat Papua dalam menuntut hak-hak hidupnya.
Dengan demikian, publik diberi ruang dialog baru untuk membincangkan berbagai persoalan
yang dihadapi orang Papua, ikut memahami dan merasakan pengalaman mereka, sambil
memikirkan berbagai kemungkinan perjuangan menuju masa depan Papua yang lebih baik.
Meskipun sedikit menyinggung usaha melawan narasi dominan, Noetly tidak secara
eksplisit membeberkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang mendorong lahirnya
gerakan tersebut. Selain itu, kajian tersebut juga tidak memberi perhatian pada peran dan
kedudukan para pegiat film dokumenter sebagai kaum intelektual publik dalam mewujudkan
sebuah gerakan sosial; khususnya bagaimana mereka mewujud-nyatakan keja-kerja
politiknya. Patut dicatat bahwa proses produksi dan distribusi film dokumenter adalah
peluang baru untuk menciptakan gerakan sosial berbasis media yang mengarah kepada
berbagai kemungkinan perubahan sosial. Melalui pengorganisasian masyarakat yang
dilakukan oleh para aktivis di tingkat lokal maupun global, gerakan-gerakan tersebut
bertujuan untuk menciptakan pendidikan politik bagi publik di tengah berbagai tantangan
hidup berdemokrasi dan persoalan-persoalan lainnya seperti kemanusiaan dan lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Berkaitan dengan peran kaum intelektual di dalam sebuah aktivisme, Eric R. Wolf
dalam Peasant Wars of the Twentieth Century (1969) menunjukkan bahwa dalam sejarah
pergerakan kaum petani ternyata tidak semuanya dipimpin atau digerakkan oleh orang-orang
yang mempunyai kelas yang sama. Dengan mengambil contoh studi kasus gerakan petani di
Kuba, Cina dan beberapa negara Amerika Latin, Wolf menyatakan bahwa peran kaum
intelektual sebagai charismatic leader yang ada di luar kelompok petani sangat kuat untuk
membangun kesadaran kaum petani yang teralienasi. Menurutnya, proses dominasi terhadap
kelompok petani bersifat dominance symbolic sehingga tidak disadari dan membutuhkan
sumber lain yang tidak tampak dari luar untuk membangun kesadaran kelas, mengorganisir
dan melawan dominasi kelas atas. Akan tetapi, Wolf belum menunjukkan secara lebih rinci
bagaimana peran kaum intelektual dalam membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada
hubungan antagonistik, batas politik, dan rantai kesamaan sebagai locus gerakan perlawanan
kelompok petani.
Tesis ini sedianya berpijak pada pengalaman para sineas PV dalam usahanya untuk
menggugat berbagai narasi timpang tentang Papua yang selama ini sering dikonsumsi publik
sebagai kebenaran tunggal serta bagaimana mereka berperan sebagai aktor kunci dalam
membangun gerakan merawat Papua. Secara spesifik, tesis ini berupaya menjelaskan
aktivisme PV ke dalam dua arah gerakan: menggugat ketimpangan (ke arah luar) dan
merawat Papua (ke arah dalam). Di satu sisi, gerakan menggugat ketimpangan tidak terlepas
dari rupa-rupa kemasan narasi tentang Papua di dalam media massa arus utama yang pada
umumnya abai terhadap kondisi sosial-historis Papua yang sebenarnya. Dengan
menghadirkan sejumlah narasi media arus utama sebagai data pendukung, tesis ini dimaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
untuk menunjukkan model lain dari hegemonisasi opini publik tentang Papua serta
perbandingannya dengan kondisi riil sosial-historis Papua yang menjadi latar belakang
lahirnya PV. Di sisi lain, gerakan merawat Papua berkaitan dengan rupa-rupa aktivitas PV
yang diarahkan pada pendidikan kerakyatan (popular education) demi menjamin lahirnya
subjek-subjek politik yang peka sekaligus kritis terhadap rupa-rupa penindasan yang terus
menggerus martabat kemanusiaan maupun kelestarian lingkungan hidup di Papua.
Tentu saja aktivisme semacam ini tidak terlepas dari peran dan kedudukan para
aktivis PV sebagai intelektual organik dan agen sosial baru yang memperjuangkan nilai-nilai
demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat, dan bukan pada kepentingan golongan
tertentu saja. Dalam konteks ini, penggunaan term Papua merujuk pada dua hal pokok, yakni:
masyarakat adat Papua (baca: orang Papua) dan alam Papua yang sering menjadi sasaran
praktik diskriminasi maupun eksploitasi aparatus rezim.
F. Kerangka Teori
1. Dasar Teoretik Gerakan Sosial dalam Tradisi Marxis
Mendiskusikan sebuah kajian tentang gerakan sosial (social movement) yang
berangkat dari tradisi Marxis, tentu tidak terlepas dari beberapa teori yang digagas Karl Marx,
Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, serta Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Pada dasarnya,
gagasan yang mereka kemukakan memiliki kesatuan teoretik dan telah menjadi bagian
integral di dalam studi gerakan sosial. Pertama, berkaitan dengan tesis tentang kesadaran
kelas proletar dan tindakan kolektif yang melahirkan teori keluhan (grievance theory).
Menyitir Marx, Tarrow menulis:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
People will engage in collective action, they thought, when their social class comes
into fully developed contradiction with its antagonists. In the case of the proletariat,
this meant when capitalism forced it into large-scale factories, where it lost ownership
of its tools but developed the resources to act collectively.... A form of consciousness
had to be created that would transform economic interests into revolutionary
collective action (Tarrow, 2011:17).
Menurut Marx, kesadaran kolektif kelas proletar akan adanya eksploitasi dari kelas
borjuis yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan kelas di antara keduanya adalah sumber
konflik dan menjadi daya dorong sebuah tindakan kolektif. Dengan kata lain, sebuah tidakan
kolektif pertama-tama dipacu oleh adanya kesadaran kolektif akan adanya alienasi yang
dialami kelas proletar di dalam sistem kapitalisme. Untuk mengubah keadaan yang ada, kelas
proletar harus mampu mengorganisir diri melawan dominasi kelas borjuis. Marx juga
menekankan pentingnya ideologi dalam perjuangan kelas sebagai alat untuk melakukan
perjuangan di tengah kuatnya penanaman kesadaran palsu (false consciousness) yang
dilakukan oleh kelas borjuis (Bottomore, 1979 dalam Prasetijo, 2015: 66). Persis di sinilah
Marx sebenarnya telah meletakan dasar teoretik gerakan sosial yang kemudian menjadi titik
pijak bagi para teoretisi sayap kiri untuk mengeritik sekaligus merumuskan kembali gagsaan-
gagasan tentang gerakan sosial secara baru.
Kedua, pentingnya kepemimpinan dan partai pelopor dalam gerakan revolusi kelas
proletar yang melahirkan teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization theory).
Berbeda dengan Marx yang percaya bahwa kesadaran kelas proletar akan tumbuh dengan
sendirinya akibat tekanan dari kelas borjuis, Leninjustru menekankan pentingnya peran dan
fungsi partai komunis untuk mengorganisir dan menggerakkan revolusikaum proletar. Aspek
kepemimpinan dan partai pelopor adalah penting untuk sebuah upaya revolusi, karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menurut Lenin, kondisi struktural dan eksploitasi saja tidak cukup untuk membangkitkan
perlawanan kaum tertindas.“...organization was the solution to the collective action problem
of the working class” (Tarrow, 2011: 18). Tesis ini berangkat dari pengalaman revolusi
Bolshevik di Rusia pada tahun 1917, di mana Lenin bersama Partai Komunis Rusia berhasil
mengakhiri keditatoran militer dan Perang Dunia I lalu mendirikan Uni Soviet sebagai
republik sosialis pertama di dunia.
Ketiga, hegemoni budaya sebagai tembok penghalang revolusi serta upaya
melakukan hegemoni tandingan melalui pembentukan blok historis dan penggalangan
intelektual organik. Apa yang digagas oleh Gramsci tersebut melahirkan konsep
pembentukan identitas kolektif (collective identity formation) dan pembangunan kerangka
simbolik atau pembingkaian kultural (cultural framing). Bertolak dari pengamatan atas
revolusi Rusia yang gagal menyebar ke Eropa Barat, dan terutama kuatnya kekuasaan
fasisme di Italia, Gramsci menemukan ada persoalan yang paling mendasar, yaitu lemahnya
kesadaran kelas pekerja di bawah subordinasi dan hegemoni budaya kaum proletar. Berbeda
dengan keyakinan Marxisme klasik yang melihat faktor ekonomi sebagai base-structure
yang menentukan sebuah hubungan sosial, Gramsci justru melihat faktor ekonomi bukan
satu-satunya prasyarat revolusi. Logika ekonomistik hanya menjadi salah satu kondisi di
antara kompleksitas lain, seperti aspek sosial, budaya, ideologi, intelektual, dan moral.
Karena itu, gagasan tentang civil society perlu dipikirkan kembali sebagai weapon of the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
weak bagi kelompok marginal (Fakih, 2002: 73); sekaligus menjadi ajang kontestasi dan
perjuangan politik (political struggle) merebut hegemoni dan konsensus massa.2
Istilah hegemoni seperti yang dikenal luas sebagai sebuah teori yang digagas oleh
Gramsci sebenarnya telah ada dalam tradisi Marxis, terutama melalui Plekhanov dan para
pengikut Marxisme di Rusia pada tahun 1880-an ketika kaum petani dan kelas pekerja
membentuk aliansi untuk meruntuhkangerakan Tsarisme. Kemudian gagasan tersebut
dikembangkan oleh Lenin sebagai sebuah strategi kelas pekerja untuk menggalang simpati
dan mendapatkan dukungan dari kelompok mayoritas. Meskipun demikian, konsep
hegemoni menurut Plekhanov dan Lenin hanya sebagai strategi mendapatkan dukungan dari
luar kelompok gerakan, dan bukan sebagai alat konseptual untuk membaca secara kritis
bentuk-bentuk penindasan baru di dalam masyarakat (Simon, 2004: 20-21).
Gramsci justru memberi pemahaman yang lebih dari sekedar strategi perjuangan.
Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah konsep untuk memahami masyarakat dengan
tujuan untuk mengubahnya melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni juga
bukan merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan
hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni
2Marx melihat civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Di dalamnya tercakup kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless). Pembagian tersebut
menyebabkan kaum proletar teralienasi dan terus dieksploitasi oleh kelas borjuis. Gramsci justru melihat civil
society secara berbeda. Ia membedakan civil society (masyarakat sipil) dari political society (masyarakat politik)
untuk menjelaskan proses hegemoni. Masyarakat politik adalah wajah dari negara yang melalui aparatusnya
melaksanakan fungsi koersif, seperti polisi, tentara, dan lembaga hukum, termasuk media massa. Sedangkan
masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, keluarga, dan
organisasi sipil, yang punya pengaruh secara ideologis dalam membangun kesadaran politik dan konsensus
massa yang terhegemoni. Menurut Gramsci, masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik bagi kaum
buruh dalam memperjuangkan hegemoni tandingan melalui pembentukan identitas kolektif yang di dalamnya
ada ideologi baru sebagai wadah dan pengikat berbagai kepentingan kelompok-kelompok marginal (Gramsci,
1971: 12; bdk. Sukmana, 2016: 227).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
adalah suatu organisasi konsensusyang menggunakan pendekatan persuasif untuk
membangun sebuah hubungan persetujuan(Simon, 2004: 19). Akan tetapi, konsensus atau
hubungan persetujuan yang diterima masyarakat pada dasarnya bersifat pasif karena struktur
sosial yang ada bukan dianggap sebagai keinginan mereka sendiri, melainkan karena mereka
kekurangan basis konseptual (kesadaran kritis) untuk memahami realitas sosial secara efektif
(Patria dan Arief, 199: 126-127). Singkatnya, hegemoni adalah sebuah fenomena penindasan,
di mana orang secara spontan menyetujui berbagai bentuk symbolic violencedi dalam sistem
kerja perangkat-perangkat kekuasaan, walaupun tidak terasa sebagai penindasan. Dalam
konteks kajian ini, media massa adalah perangkat kekuasaan yang dipakai negara untuk
menanamkan ideologinya melalui permainan bahasa untuk melanggengkan kekuasaan kaum
borjuis. Itulah alasan kenapa hegemoni yang digagas Gramsci bersifat material dan ideologis
di dalam praktik dan penerapannya.
Berkaitan dengan kekuatan hegemonik kelompok penguasa sebagai tembok
penghalang revolusi kelompok marginal tersebut, Gramsci menemukan celah untuk
melakukan perlawanan berupa hegemoni tandingan. Ia menawarkan dua strategi, yaitu:
pertama,menggalang blok historis sebagai sebuah aliansi atau gabungan dari berbagai
kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan mengeritik gagasan Marxisme klasik
tentang ekonomi sebagai base-structure (struktur bawah) serta politik dan ideologi sebagai
supra-struture (struktur atas) dalam memahami masyarakat sipil, Gramsci sebenarnya
menawarkan pentingnya blok historis sebagai sebuah sintesis dari hubungan antara struktur
bawah dan struktur atas yang dinilai bersifat dialektis. Baginya, ekonomi, politik dan ideologi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
saling berkelindan, karena hubungan politik di dalam masyarakat masuk ke dalam hubungan
produksi.
Dengan kata lain, metafora tentang struktur atas dan struktur bawah
mengimplikasikan bahwa perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi adalah sebab utama
terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi dan politik. Jadi, konflik antara kelas borjuis
dan kelas proletar tidak semata-mata dipahami sebagai persoalan ekonomis, tetapi
mengandung muatan ideologis dan politis juga. Dalam hubungan produksi ada proses
kehidupan sosial, politik dan intelektual. Karena itu, pembentukan blok historis menjadi
penting untuk menggalang kekuatan-kekuatan sosial yang ada melalui politik kepemimpinan
intelektual dan moral menuju proses perubahan revolusioner (Simon, 2004: 126-127).
Kedua, mendorong bangkitnya kalangan intelektual organikdi dalam masyarakat
untuk melakukan hegemoni tandingan. Gramsci menyodorkan gagasan ini sebagai bentuk
kritik terhadap kelompok intelektual tradisional yang terlanjur melegitimasi diri sendiri
maupun yang diletigimasi oleh otoritas lembaga tertentu sebagai sarjanawan maupun
cendekiawan. Menurut Gramsci, intelektual organik sejatinya adalah orang-orang akar
rumput yang lahir dari situasi keterindasan dan bersuara atas dasar pengalaman
ketertindasannya dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti oleh kelompok
masyarakat dari kalangan sosial yang sama.
Intelektual organik bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh
semua orang, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan sebagai organisator dalam semua
lapisan masyarakat di bidang sosial, politik dan budaya; di mana mereka mampu
menghubungkan gagasan abstrak dengan realitas sosialnya. Intelektual organik tidak sekedar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tetapi juga
mampu memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil
yang tidak mampu diekspresikan oleh masyarakat. Mereka punya kamampuan merasakan
emosi, semangat dan apa yang dialamai oleh masyarakat. Ia menolak pandangan tradisional
dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof, dan kaum elit yang
menganggap dirinya sebagai intelektual sejati. Baginya, intelektual bukan dicirikan oleh
aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, melainkan oleh fungsi yang
mereka jalankan sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, politik dan budaya
(Simon, 2004: 141). Singkatnya, Gramsci ingin menegaskan bahwa “semua orang adalah
intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual” (SPN 9).
“The organic intellectual must be able to elaborate their specialist knowledge into
political knowledge, …must actively participate in practical life ‘as constructor,
organizer, “permanent persuader” and not just a simple orator’…. It is the job of the
organic intellectal to know more than the traditional intellectual do: really know, not
just pretend to know… to know deeply and profoundly … - a figure who clearly owes
much to his formative experience with the council movement” (Jones, 2006: 85).
Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, Gramsci mau menunjukkan bahwa
perubahan sosial bukan semata-mata menyangkut kekuatan ekonomi dan fisik, tetapi juga
melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi sebagai suatu upaya masyarakat sipil
untuk membebaskan diri dari hegemoni budaya kaum borjuis. Dalam hal ini, tugas kaum
intelektual organik adalah membangun nilai budaya sendiri bersama-sama dengan kaum
tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Sebuah revolusi sosial juga tidak dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang singkat atau sekali jadi melalui perebutan kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
politik, tetapi memerlukan waktu yang panjang dalam suatu bentuk perang posisi untuk
merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil.
2. Gerakan Sosial Baru dalam Perspektif Gramscian
Ditinjau dari sejarah perkembangannya, gerakan sosial baru (new social movement)
muncul sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, terutama di Eropa dan Amerika ketika muncul
gelombang gerakan berskala luas di seputar isu-isu yang berkatakter humanis, kultural dan
non-materialistik. Tujuan yang diperjuangkan secara esensial bersifat universal, yakni
diarahkan untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kondisi kehidupan manusia
ke arah yang lebih baik (Sukmana, 2016: 124). Selain itu, nilai-nilainya juga berpusat pada
otonomi dan identitas yang lahir dari hubungan sosial yang antagonistik. Untuk melandasi
dan menginspirasi gerakan, kedudukan ideologi kelompok gerakan juga sangat berperan
dalam hal menentukan taktik, struktur dan partisipan gerakan (Sukmana, 2016: 120-121).
Berbeda dengan gerakan sosial lama (old social movement), gerakan sosial baru tidak
lagi terjebak pada diskursus ideologi seperti anti-kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan
kelas semata. Gerakan sosial baru juga tidak tertarik pada gagasan revolusi untuk
menggulingkan sistem pemerintahan tertentu, tetapi memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan bagi kaum marginal maupun kelestarian lingkungan hidup. Dari segi
pengorganisasian, gerakan sosial baru lebih condong kepada mobilisasi opini publik sebagai
nilai tawar politik di luar model pengorganisasian industri dan kepartaian. Dengan demikian,
basis partisipatornya tidak punya batasan atau sekat sosial tertentu, seperti agama, etnis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
gender atau buruh, tetapi melintasi dikotomi sosial demi tujuan kemanusiaan yang universal
(Suharko, 2006).
Meskipun demikian, kedua-duanya masih memiliki sedikit kesamaan dalam hal
tujuan, yakni memperjuangkan isu-isu seperti peningkatan upah buruh industri, menentang
ketidak-adilan ekonomi dan eksploitasi kelas. Singkatnya, gerakan sosial baru berwajah lebih
plural dan tidak kaku karena mencakup banyak isu, termasuk kebebasan personal dan
perdamaian dunia. Gerakan sosial baru adalah pantulan cermin dari citra sebuah masyarakat
kontemporer yang ditandai oleh adanya kebutuhan akan sebuah paradigma baru dalam
melihat aksi-aksi kolektif (collective actions). Gerakan sosial baru menjadi sebuah alternatif
gerakan budaya yang didasari oleh kesadaran diri yang baru dari suatu komunitas masyarakat
tentang kondisi sosial tertentu yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidupnya menuju
masa depan (Singh, 2002: 16-17).
Menurut Daniel Hutagalung (2006), Laclau-Mouffe justru melihat gerakan sosial
baru dalam konteks hubungan yang antagonistik dalam masyarakat. Sebagai bentuk
perjuangan demokratik baru (new democratic struggle), gerakan sosial baru harus dipahami
sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam
masyarakat kapitalisme tahap lanjut (advanced capitalism). Karena itu, ada empat hal yang
harus diketahui berkaitan dengan gerakan sosial baru versi Laclau-Mouffe.
Pertama, setiap agen sosial dalam kelompok gerakan adalah locus bagi multiplisitas
dari relasi-relasi sosial. Jadi, tidak hanya sekedar relasi produksi semata, tetapi juga relasi-
relasi sosial lain, seperti sex, ras, gender, dan lingkungan. Posisi subjek setiap agen sosial
sangat ditentukan oleh hubungan sosial yang mengkonstruksinya. Kedua, dengan menolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
logika ekonomi sebagai penentu sebuah formasi gerakan, Laclau-Mouffe mengajukan
konsepsi bahwa masyarakat adalah sebuah perangkat yang kompleks karena terdiri dari
berbagai macam hubungan sosial yang bersifat heterogen dan memiliki dinamikanya sendiri.
Karena itu, sebuah formasi sosial merupakan produk dari praktik-praktik artikulasi politik
yang juga memiliki kompleksitasnya sendiri. Ketiga, suatu formasi hegemonik selalu
berpusat di antara hubungan-hubungan sosial tertentu dan menjadi materialisasi dari suatu
praktik artikulasi. Keempat, semua hubungan sosial menjadi locus antagonisme sejauh
hubungan tersebut dikonstruksi sebagai hubungan subordinasi yang menjadi asal-mula
sebuah konflik dan perjuangan. Di dalamnya ada multiplisitas antagonisme, di mana
antagonisme kelas hanyalah satu dari sekian banyak model antagonisme. Jadi, semua format
subordinasi dan gerakan perlawanan tidak dapat direduksi ke dalam satu logika tunggal saja,
seperti ketimpangan ekonomi atau perjuangan kelas, tetapi mencakup banyak aspek dan isu
yang diperjuangkan. Karena itu, aktor-aktor penggerak dalam gerakan sosial baru bukan
sebagai satu-satunya pengganti kelas buruh yang menjadi agen dalam perspektif gerakan
sosial lama, melainkan buruh adalah salah satu agen dari sekian banyak agen penggerak.
Berkaitan dengan kritik dekonstruktif terhadap Marxisme klasik yang masih melihat
hubungan antagonistik dalam masyarakat sebagai kontradiksi yang bermuara pada
pertentangan kelas yang disebabkan oleh satu logika tunggal, yaitu ekonomi; Laclau-Mouffe
menawarkan paradigma yang berbeda untuk memahami gerakan sosial secara baru. Melalui
buku Hegemony and Socialist Strategy: Toward A Radical Democratic Politics (1985),
mereka mengusung gagasan demokrasi plural-radikal sebagai sebuah alternatif untuk
mendiskusikan gerakan sosial di tengahperkembangan masyarakat kapitalis yang semakin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kompleks. Tujuan utama saya menggunakan gagasan tersebut adalah untuk mengelaborasi
gagasan Gramsci tentang hegemoni, blok historis dan intelektual organik dalam melihat
gerakan budaya PV sebagai bagian dari perjuangan demokrasi kerakyatan (popular
democracy): sebuah model gerakan sosial baru.
Dalam sejarah Marxisme, antagonisme dipakai untuk menggambarkan konfrontasi
tak terdamaikan antar kelas sebagai akibat dari proses produksi yang tidak adil. Dalam
demokrasi plural-radikal, Laclau-Mouffe menempatkan antagonisme dalam konteks
pembentukan identitas kolektif yang hegemonik di dalam sebuah blok historis. Antagonisme
bukan merupakan suatu hubungan objektif, melainkan suatu hubungan, di mana batas-batas
objektivitas menjadi kelihatan; suatu wilayah yang menentukan batasan sebuah identitas
kolekttif dan menjadi pembeda dengan sesuatu di luar dirinya (Laclau-Mouffe, 1985: xiii-
xiv). Singkatnya, antagonisme memainkan peranan penting dalam pembentukan identitas
kolektif dan hegemoni tandingan, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi
penciptaan musuh bersama yang menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk batas
politik sebuah identitas kolektif (Hutagalung, 2006: 12).
Selanjutnya, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa terbentuknya sebuah formasi sosial
yang hegemonik di dalam blok historis tidak terlepasdari seluruh proses pembentukan
identitas kolektif. Identitas tersebut tidak lahir begitu saja secara spontan atau sebagai
konsekuensi dari tekanan ideologi kelas penguasa, tetapi ia lahir sebagai hasil dari kerja
politik kepemimpian intelektual dan moral yang dilakukan oleh aktor-aktor di balik sebuah
gerakan (baca: intelektual organik). Jadi, secara umum hegemoni tandingan dalam
pemahaman Gramsci adalah adalah mengorganisir konsensus; suatu proses yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dengan cara mengkonstruksi kesadaran massa tanpa harus melalui jalan kekerasan atau
koersi. Di dalamnya juga ada upaya menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik
untuk membentuk sebuah identitas kolektif, di mana partikularitas kehendak dan tuntutan
dikonstruksi menjadi kehendak dan tuntutan yang bersifat universal (Hutagalung dalam
Laclau-Mouffe, 2008: xxv).
Pembentukan identitas kolektif dalam formasi yang hegemonik didasarkan pada
sebuah totalitas yang merepresentasikan seluruh unsur-unsur pembentuknya, baik secara
kolektif maupun tunggal. Terbentuknya identitas semacam ini bukan bersifat konkret atau
positivitas dari setiap unsurnya, melainkan negativitas untuk menunjukkan batas totalitas
dengan apa yang berada di luarnya. Batas totalitas ditentukan oleh logika persamaan dan
perbedaan di dalam sebuah rangkaian ekuivalen (chain of equivalence) untuk membedakan
dirinya dari totalitas yang berada di luar (Lacalu-Mouffe: 1985: 130). Dari proses tersebut,
terbentuklah batas politis (political frontier) yang berfungsi untuk menentukan unsur-unsur
mana saja yang bisa masuk rangkaian ekuivalensi, dan unsur-unsur mana yang harus
dieksklusikan.
Selain itu, untuk menjadi sebuah formasi hegemonik, blok historis membutuhkan
ideologi sebagai pengikat aktor-aktor penggerak dan membentuk mereka menjadi subjek
politik dalam proses artikulasi. Di antara partikularitas kehendak dan tuntutan yang diusung
masing-masing aktor penggerak dalam sebuah formasi hegemonik, perlu ditemukan titik
temu (nodal point) di dalam rangkaian ekuivalensi (chain of equivalence). Dalam
menentukan titik temu tersebut tidak didasarkan pada identitas konkret seperti buruh, gerakan
lingkungan, atau gerakan perempuan, melainkan berdasarkan penanda kosong (empty
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
signifier) yang dianggap cocok dan mampu mencakup massa yang lebih luas; sekaligus untuk
menyatukan partikularitas keanggotaan secara internal, dan membedakan diri dengan suau
kekuatan lain di luar. Penanda kosong adalah sebuah titik temu di dalam rangkaian ekuivalen.
Ia bukan merepresentasikan suatu kelompok tertentu, juga bukan merepresentasikan
rangkaian ekuivalensi, melainkan pertama-tama merepresentasikan kepenuhan suatu
masyarakat yang masih absen (Sunardi, 2012: 20-23).
Sebagai kesimpulan, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa identitas kolektif yang di
dalamnya tercakup elemen-elemen ideologis dan agen-agen sosial tersebut bersifat
contingent dan negotiable. Artinya, terbentuknya sebuah identitas sangat bergantung pada
suatu kondisi sosial tertentu yang memungkinkan sebuah hubungan antagonistik tercipta, dan
praktik-praktik artikulasi dan keagenan politik selalu dimungkinkan (Hutagalung, 2008: xxi).
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa demokrasi dalam konteks perjuangan demokrasi
kerakyatan harus bersifat plural sekaligus radikal.
“Plural dalam arti bahwa dalam suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian
ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya ada otonomi pada setiap
unsur. Demokrasi juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan suatu
masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan suatu pusat, dengan
demikian bisa terus-menerus dibentuk ulang secara terbatas....kesatuan sosial yang
tidak pernah berhasil menjadi identitas kelompok oleh karena itu harus dibentuk
ulang terus” (Sunardi, 2012: 29).
Secara umum, semua gagasan yang dijabarkan pada bagian ini merupakan perangkat
analisis untuk membaca logika politik gerakan budaya PV. Di dalamnya tercakup lima hal,
yakni: pertama, konsep hegemoni budaya Gramsci dipakai untuk mengulas bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
media-media massa arus utama mengkonstruksi konsensus dan opini publik tentang Papua
di bab kedua. Kedua, melihat PV sebagai sebuah blok sejarah yang di dalamnya ada upaya
pembentukan identitas kolektif dan berbagai peran para aktivisnya sebagai intelektual
organik atau agen sosial baru di bab ketiga. Ketiga, menempatkan kontestasi makna dan
perjuangan demokrasi kerakyatan yang diusung PV ke dalam kerangka pemikiran Laclau-
Mouffe tentang demokrasi plural-radikal di bab keempat.
G. Metode Penelitian
Tesis ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif di bidang Kajian Budaya dengan
menggunakan pendekatan lived resistance. Menurut Saukko (2003), pendekatan ini
bertujuan untuk meneliti secara cermat praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok terpinggirkan, baik dari aspek kreatif dalam cara mereka melawan berbagai
struktur penindasan yang bersifat nyata maupun aspek kegagalan dan keberhasilan dengan
merujuk pada dampaknya terhadap realitas. Dalam konteks penelitian ini, saya memilih PV
sebagai objek material untuk melihat kerja-kerja kreatif para aktivisnya yang menggunakan
film dokumenter sebagai media pendukung gerakan perlawanan terhadap hegemoni media-
media massa arus utama maupun bentuk-bentuk kerja politik kepemimpinan yang
mendukung gerakan merawat Papua.
Penelitian berlangsung di kota Jayapura dan kota Sorong pada Juli-Agustus 2019.
Adapun alasan pemilihan kedua wilayah tersebut sebagai locus penelitian karena: (1) kota
Jayapura merupakan pusat Sekretariat Nasional PV. Pilihan ini tentu saja memberi
kemudahan dalam menggali data dari para pengurus nasional dan membantu konektivitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dengan para pengurus wilayah yang ada di Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Timika,
Wamena, Sorong, Biak, Tambrauw, dan Raja Ampat. (2) kota Sorong merupakan tempat
penyelenggaraan Festival Film Papua (FFP) III yang berlangsung pada 5-9 Agustus 2019, di
mana para sineas PV dari berbagai wilayah turut hadir sehingga memudahkan akses
informasi yang berkaitan dengan aktivitas mereka di wilayahnya masing-masing.
Data-data penelitian yang dipakai dalam tesis ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara berbentuk Semi
Structural Interview (SSI) terhadap dua orang inisiator awal berdirinya PV (Rico Aditjondro
dan Wensislaus Fatubun), tiga badan pengurus nasional PV, serta delapan anggota PV
lainnya. SSI ini dimaksud untuk menggali latar belakang lahirnya PV, bentuk-bentuk
kegiatannya serta prospek atau target yang ingin dicapai, serta pengalaman-pengalaman
sehari-hari mereka sebagai orang Papua dan aktivitas politiknya bersama PV dan masyarakat
adat Papua. Sebagai data pendukung (data sekunder), saya melakukan studi pustaka terhadap
sejumlah dokumen PV berupa profil dan statuta organisasi serta laporan kegitan tahunan dari
tahun 2017-2019 untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik yang dihidupi selama ini. Selain
itu, data sekunder dalam tesis ini juga mencakup lima film dokumenter PV yang dianggap
punya sisi kontras jika disandingkan dengan beberapa media massa arus utama berupa media
online, televisi dan film-film layar lebar yang dipilih sesuai kebutuhan penelitian untuk
melihat bentuk-bentuk framing dan hegemonisasi opini publik tentang Papua di dalamnya.
Tujuannya adalah melihat bagaimana Papua dinarasikan dalam dua perspektif yang berbeda
sebagai suatu bentuk kontestasi makna.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Selanjutnya, untuk mengecek keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi; yakni teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melihat fenomena dari berbagai
sudut pandang. Sesuai dengan tradisi Kajian Budaya, tesis ini dimulai dengan upaya
mengkaji keterkaitan antara pengalaman yang dihidupi oleh para aktivis PV, wacana (teks)
yang berbicara tentang Papua, dan konteks historis maupun sosial dan politik yang
mengitarinya; termasuk teori-teori yang dipakai sebagai perangkat analisis, untuk dapat
mencerminkan realitas Papua secara berimbang. Teknik ini relevan karena kajian ini
menggunakan validitas dekonstruktif dari perspektif post-strukturalisme. Maksudnya,
mempertimbangkan bahwa tesis ini berupaya membongkar berbagai wacana sosial yang
terlanjur dianggap sebagai “kebenaran”, dibutuhkan data alternatif seperti artikulasi-
artikulasi yang cenderung menempati posisi minor dalam peta pengetahuan dominan.
Pembongkaran tersebut berguna dalam rangka menelanjangi historitas, muatan politis,
binaritas, dan pendepakan terhadap “the others” yang terepresentasi melalui data penelitian.
H. Skema Penulisan
Penulisan tesis ini secara keseluruhan dibagi ke dalam lima bab. Bab I berisi latar
belakang yang mencakup fenomena-fenomenadan beberapa hasil penelitian terdahulu yang
mendorong penelitian ini dibuat, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka dan kerangka teoretis, serta metode penelitian yang dipakai. Bab II mengulas tentang
narasi-narasi timpang tentang Papua yang dikemas oleh media-media arus utama untuk
melihat bentuk-bentuk framing dan hegemoni opini publik secara tidak berimbang di
dalamnya. Bab ini juga dimaksud untuk menunjukkan faktor-faktor ideologis yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mendorong lahirnya PV. Bab III merupakan penjabaran lebih lanjut tentang PV sebagai
sebuah blok historis untuk melihat bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan yang
lahir dan tumbuh di dalam gerakan budaya yang diusungnya. Selanjutnya, Bab IV berisi
elaborasi yang berhubungan dengan gerakan menggugat ketimpangan, merawat Papua
melalui kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model
gerakan sosial baru. Bab ini dimaksud untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik
kepemimpinan yang dilakukan oleh para aktivis PV serta sejauh mana gerakan tersebut
berdampak pada kehidupan manusia dan alam Papua. Sementara kesimpulan dan
rekomendasi untuk penelitian selanjutnya ditempatkan pada bab V yang merupakan bab
penutup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
BAB II
PAPUA DAN KONSTRUKSI REALITAS DALAM MEDIA MASSA
A. Pengantar
Pada dasarnya, media massa adalah alat komunikasi massa yang berfungsi
menyalurkan dan menyebarkan pesan secara luas, cepat dan terus-menerus untuk
mempengaruhi audiens dalam beberapa model framing. Selain menjadi corong informasi dan
pengetahuan, media massa juga menjadi perangkat ideologis yang mampu mengkonstruksi
realitas di satu sisi, dan memobilisasi konsensus massa di sisi lain. Jadi, dalam hal ini, media
massa tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga memaknakan sesuatu lewat narasi
tertentu yang dikemas dalam bentuk berita maupun opini. Melalui media massa, berbagai
persepsi, asumsi dan pemahaman subjektif akan tumbuh seturut apa yang didengar dan
dilihat.
Secara umum, bab ini dimaksud untuk melihat faktor-faktor ideologis yang menjadi
latar belakang lahirnya PV dan aktivismenya di Papua. Sebagai pintu masuk menuju seluruh
proses penalaran logika politik gerakan, bab ini diawali dengan ulasan singkat tentang
kondisi sosial-historis Papua serta bagaimana pandangan para aktivis media tentang Papua,
lalu dilengkapi dengan framing dan hegemoni media massa arus utama. Dengan
menggunakan konsep hegemoni budaya yang digagas Gramsci, bagian ini berupaya
mengulas muatan-muatan ideologis yang berhubungan dengan bagaimana realitas Papua
dikonstruksi seturut ideologi penguasa; termasuk kemasan narasi arus utama yang turut
menghegemoni opini publik tentang Papua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
B. Sekilas tentang Papua
1. Manusia dan Alam Papua dalam Fakta
Pengalaman ketertindasan, subordinasi dan marginalisasi maupun eksploitasi
terhadap manusia dan alam Papua sesungguhnya sudah ada sejak lama. Agus Alua dalam
“Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis” (2006) mencatat bahwa
situasi ketidakadilan di wilayah paling timur Indonesia itu telah ada sejak zaman kolonial
Belanda (1875-1944). Para kolonial mengklaim dirinya sebagai kelompok ‘kelas pertama’
yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga bangsa Papua
dipandang sebagai ‘kelas ketiga’ dalam strata sosial dan politik. ‘Keunggulan’ kategorisasi
model kolonial inilah menjadi dasar bagi mereka untuk mengendalikan bangsa Papua dalam
hal apapun. Akibatnya, bangsa Papua menjadi orang-orang terjajah yang teralienasi di atas
tanahnya sendiri.
Di tengah situasi ketidak-adilan dan kesengsaraan tersebut, Harry Kawilarang dalam
“Mengindonesiakan Indonesia” (2011) secara khusus pada volume 8, menjabarkan sejarah
perjuangan Bangsa Papua untuk keluar dari belenggu kolonialisme. Kawilarang
menunjukkan bahwa prioritas perjuangan mereka bukan semata-mata untuk bergabung ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi untuk memperjuangkan
pemenuhan hak-hak hidup masyarakat pribumi. Mereka menuntut agar Belanda segera
mengakui kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan.
Tak hanya sampai di situ. Pengalaman ketertindasan dan diskriminasi terhadap orang
Papua yang berujung pada pelanggaran terhadap HAM masih terus berlanjut sampai dengan
saat ini. Pada tahun 1960, ada harapan besar untuk memperoleh kedaulatan kemerdekaan
ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan janjinya untuk memberikan hak merdeka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
bagi rakyat Papua. 1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah bangsa Papua. Atas izin
kolonial Belanda, Komite Nasional Papua (KNP) mendeklarasikan ‘kemerdekaan’ Papua
Barat di Hollandia (baca: Jayapura). Bendera Bintang Kejora dikibarkan berdampingan
dengan bendera Belanda sambil menyanyikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”
bersamaan dengan lagu kebangsaan Belanda.3 Akan tetapi, upaya tersebut dipatahkan oleh
pemerintah Indonesia yang juga berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat (baca:
Papua) ke dalam NKRI atas nama pembebasan rakyat Papua dari kolonialisme Belanda.
Sebagai solusinya, Indonesia menyeret Belanda ke dalam penandatanganan
Perjanjian New York 1962 karena Presiden Soekarno menganggap keberadaaan negara
“Papua Barat” semata-mata hanyalah negara boneka buatan Belanda. Hasilnya, pada 1 Mei
1963, di bawah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Irian Barat
untuk sementara diserahkan kepada pemerintah Indonesia sambil menunggu
dilaksanakannya referendum melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969,
dimana rakyat Irian Barat akan memilih untuk bergabung dengan Indonesia atau berdiri
sendiri sebagai negara yang berdaulat. Akan tetapi, harapan rakyat Papua untuk menjadi
negara berdaulat hanya menjadi mimpi indah yang tak kunjung menyata. Meskipun hasil
PEPERA telah menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari negara Indonesia,
gelombang protes dari rakyat Papua terus dikumandangkan.
3 Pada 1 Desember 1961, teks proklamasi kemerdekaan ‘negara’ Papua Barat tidak dibacakan karena sesuai
janji kolonial Belanda, teks tersebut akan dibacakan pada saat kemerdekaan definitif di akhir tahun 1970 atau
awal 1971 ketika pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan sepenuhnya. Pada saat itu, sebuah konstitusi
yang terdiri dari 129 pasal juga disusun dan diumumkan secara resmi bersamaan dengan dibentuknya 12 partai
politik (Alua, 2006). Sampai dengan saat ini, semua persiapan itu hanya menjadi mimpi yang tak kunjung
menyata. Bagi rakyat Papua, ‘perginya’ kolonial Belanda masih menyisakan janji usang yang akan terus ditagih
sampai mereka benar-benar memperoleh kedaulatan sepenuhnya sebagai bangsa yang merdeka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Bagi rakyat Papua, proses PEPERA yang disepakati atau seharusnya one man one
vote mengandung ketidakadilan dan cacat hukum karena suara-suara penentu tersebut hanya
diambil dari masing-masing perwakilan wilayah yang dalam catatan kritis dinilai adanya
keterlibatan rezim militer Orde Baru yang dengan berbagai cara telah mengintervensi para
perwakilan tersebut agar memilih bergabung ke Indonesia. Pengambilalihan administratif
Indonesia atas Papua menjadi titik pijak perlawanan bersenjata antara rakyat Papua (OPM)
dengan pemerintah Indonesia (aparat keamanan) sampai dengan saat ini. Dalam hal ini,
militerisasi menjadi kunci pemberangusan bangsa Papua yang berujung pada eskalasi konflik
di Papua.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya gelombang protes dan mosi tidak percaya
setelah 1969 adalah percepatan imigrasi, investasi berbagai perusahaan asing yang terus
mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi Khusus,
yang hanya menjadikan manusia dan tanah Papua sebagai objek jarahan. Rakyat Papua
kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah bersaing di hadapan para migran
sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi
ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk menetukan nasibnya
sendiri, tetapi hanya menjadi objek pembangunan yang multak perlu untuk diberdayakan
dengan dalih pemerataan pembangunan maupun NKRI harga mati.
Sekretariat Keadilan, Pardamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC
FP) melalui buku serial Memoria Passionis (MP) selalu konsisten mengekspos beragam
peristiwa dan fakta hak-hak asasi manusia di Papua. Sejak 1998 dengan berpedoman pada
hasil investigasi dan laporan tim maupun mitra kerja serta beberapa informasi dari media
massa yang terverifikasi, MP hadir dengan memberi sejumlah catatan analisa dan refleksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
serta tawaran solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Selain MP, media-media
lain seperti suarapapua.com, tabloidjubi.com, dan media-media massa lokal lainnya
termasuk PV, juga turut berkontribusi dan saling melengkapi dalam hal menyuarakan
kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang berpihak pada masa depan alam dan
manusia Papua.
Melalui media-media tersebut, publik disuguhkan berbagai persoalan yang terjadi di
Papua, seperti: politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan, diskriminasi, militerisme dan
berbagai ketimpangan sosial lainnya. Apapun bentuknya, persoalan Papua selalu berujung
pada pengabaian atas hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Perjuangan untuk mendapatkan
kebenaran, keadilan, perdamaian dan bahkan kebebasan berekspresi di Papua selalu
menyisakan tragedi yang berkepanjangan. Ruang demokrasi dibungkam, praktik-praktik
represif terus dilanggengkan, dan manusia Papua beserta alamnya selalu menjadi ladang
perebutan kekuasaan maupun pencarian prestise. Dengan kata lain, media-media lokal di
Papua adalah representasi counter-narasi yang berupaya menyuguhkan sisi gelap Papua
secara benar dan berimbang di tengah dominasi narasi-narasi lain tentang Papua yang
kadangkala menafikan fakta yang sesungguhnya.
2. Papua di Mata Aktivis Media
Merujuk pada pengalaman ketidak-adilan yang dielaborasi dengan pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai kajian tentang Papua dalam fakta, para aktivis media melihat Papua
secara berbeda dari perspektif ‘orang Papua bicara’. Bagi mereka, wajah Papua hari ini
adalah hasil konstruksi dan konspirasi para elit politik di tingkat global maupun pusat dan
daerah. Papua telah digenggam dan dikendalikan oleh mereka yang disebut sebagai pemilik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
kuasa dan modal. Sedangkan rakyat beserta segala aspirasinya yang dipandang ‘terbelakang’
dan separatis hanya menjadi objek pelengkap yang turut melegitimasi eksistensi dan praktik
menguasai dengan dalih: Papua butuh pemberadaban dan penertiban.
Dalam pandangan Aprila Wayar, seorang jurnalis dan novelis Papua, sebelum zaman
kolonial, orang Papua hidup secara komunal. Hal ini ditandai oleh aspek kekerabatan yang
masih sangat kuat di dalam kelompok-kelompok suku yang ada di Papua. Untuk
mempertahankan hidupnya, mereka selalu mengandalkan alam sebagai sumber sandang,
pangan dan papan. Pola hidup seperti itu masih melekat erat sampai dengan saat ini, dan
menjadi suatu peradaban tersendiri yang unik. Papua adalah Papua. Ia tidak bisa dibanding-
bandingkan atau harus disamaratakan dalam hal apapun dengan kelompok masyarakat di
daerah lain. Lebih jauh, Wayar menegaskan bahwa pergeseran dan peralihan peradaban yang
terjadi di Papua adalah akibat lanjutan dari kehadiran orang luar sejak zaman kolonial,
termasuk gelombang migrasi yang terus membanjiri Papua sampai dengan saat ini. Di bawah
panji pemberadaban dan pemerataan pembangunan bagi daerah-daerah tertinggal, orang
Papua digiring untuk mengenal dan mengakui model-model peradaban baru yang dinilai
lebih beradab dan moderen. Akibatnya, orang Papua mengalami loncatan budaya tanpa
melalui tahap-tahap persiapan menyambut perubahan.
Persis dalam kondisi inilah mereka rentan ditipu dan dibungkam. Atau dalam bahasa
Louis Althusser, mereka diinterpelasi4 menjadi subjek ideal seturut ideologi penguasa yang
4 Louis Althusser dalam Lenin and Philosophy and Other Essay (1971: 127-187), menjelaskan bahwa dalam
kerangka kerja formasi sosial, tatanan dan relasi sosial di dalam masyarakat perlu dibentuk dengan cara
menanamkan ideologi pada setiap individu. Dalam hal ini, aparatus negara yang ideologis (ISA) dan maupun
yang represif (RSA) menjadi alat negara untuk membius masyarakat. Melalui agama, pendidikan, hukum,
politik, komunikasi (media), dan budaya (seni); termasuk pendekatan keamanan (militrisme), masyarakat
digiring untuk menerima dan membenarkan semua praktik yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
terus dicekoki melalui perangkat ISA ((Ideological State Apparatuses) dan RSA (Repressive
State Apparatuses). Papua dilihat seperti kaum yang tak mampu memberadabkan dirinya
sendiri sehingga negara bersama seluruh perangkatnya perlu hadir untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Dengan demikian, tak pelak lagi, praktik menguasai Papua menjadi semakin
hegemonik dalam rangka pembentukan model masyarakat seturut cita-cita elit politik
(pemilik modal dan kekuasaan).
Di sisi yang lain, menurut Bernard Koten, Papua hari ini dilihat sebagai pusat
gravitasi baru; tempat para elit menanam serta menuai modal dan kekuasaan. Papua punya
daya tarik tersendiri dan menjadi ‘lubang hitam’; tempat kolonialisme model baru tumbuh
dan merebak luas. Terlepas dari dikotomi pemahaman publik tentang kolonialisme maupun
neokolonialisme, para aktivis media yang tergabung dalam PV melihat Papua sebagai
wilayah yang masih ditempatkan sebagai koloni bagi para penjajah berwajah baru yang
memboyong semangat korporatisme. Dengan kekuatan hukum dan berbagai model peraturan
perundang-undangan, manusia dan alam Papua dibuat tunduk dan turut mengamini berbagai
model hegemoni kaum elit. Bagi mereka yang patuh dan tunduk pada model penjajahan ini
akan selamat walaupun hidup sebagai orang-orang terjajah. Sedangkan bagi mereka yang
menolaknya atau menghambat dan melawan balik akan mendekap di balik jeruji besi; bahkan
harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum yang adil dan beradab.
Bagi mereka, di masa penjajahan baru ini, Papua menjadi wilayah perluasan koloni
dan para penghuninya terus ditindas dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada
berujung. Meskipun gaya menjajahnya tampak samar-samar karena berlangsung secara
terhadapnya. Proses inilah yang disebut sebagai upaya negara menginterpelasi rakyatnya agar menjadi subjek
konkret (citra ideal) seturut cita-cita negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
lembut dan persuasif; unsur pemaksaan sistem, pandangan, dan tawaran produk yang tampak
baik-baik saja telah berhasil menggiring orang Papua menuju ambang kehancuran. Kekayaan
alam dijarah, manusianya diperalat dan dibungkan lalu menjadi orang asing di atas negerinya
sendiri. Sebagai misal, tawaran Otonomi Khusus (OTSUS), Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), pemekaran wilayah, dan berbagai program
pembangunan lainnya di Papua adalah praktik-praktik hegemoni penjajah baru bernama
Indonesia. Tak pelak lagi, model-model interpelasi tersebut bertujuan untuk menguasai
sekaligus meredam protes dan isu separatisme yang senantiasa memekikkan “Freedom for
West Papua”.
Untuk mengelabui adanya pelanggaran terhadap hak-hak hidup masyarakat adat
Papua di tengah proyek pembangunan, para pemilik hak ulayat yang tanahnya dicaplok
menjadi wilayah perusahaan tambang maupun perkebunan kelapa sawit dan jalan trans Papua
diberi perhatian khusus. Misalnya, mereka diberi dana bantuan untuk membangun rumah
yang bertembok semen dan beratap seng; atau beasiswa pendidikan bagi anak-anak Papua.
Selain itu, pembangunan berbagai jenis infrastruktur pun direalisasikan, seperi jalan raya
beraspal, bandara udara berskala internasional, pelabuhan laut, gedung gereja dan sekolah
yang megah, tokoh dan supermarket, serta berbagai simbol modernitas lainnya. Pola-pola
seperti ini selalu dipakai untuk merebut simpati publik, sekaligus sebagai bukti bahwa
Indonesia punya komitmen yang berfaedah bagi masa depan Papua.
Sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, elit-elit lokal Papua diperalat menjadi
pengelolahnya. Iming-iming jabatan bersama gaji dan ‘uang pelicin’ yang menggiurkan
naluri kenikmatan menjadi kunci hegemoni pada tataran lain di tingkat dasar. Meminjam
istilah ‘deep colonialism’ milik Lorenzo Veranici (Lihat Young: 2016), apa yang telah dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berafiliasi dengan para elit lokal Papua
turut menegakkan penindasan dan marginalisasi terhadap orang Papua. Dengan bahasa lain,
praktik politik terselubung yang dibangun atas dasar korporatisme selama ini turut
memberangus masa depan alam dan manusia Papua serta terus menambah eskalasi konflik
dan palanggaran HAM di Papua.
Celakanya, berbagai bukti kejanggalan maupun kejahatan yang terjadi di Papua
selama ini justru diekspos media massa arus utama (termasuk media-media siluman yang
mendompleng nama-nama media massa lokal) sebagai bentuk perhatian dan keberhasilan
pemerintah Indonesia membangun Papua maupun menjaga keutuhan NKRI. Rekaman fakta
lapangan, di mana terjadi eksploitasi alam atau penindasan dan pembunuhan terhadap
manusia Papua luput dari perhatian media-media tersebut. Alasan jarak dan medan peliputan
yang sulit di Papua, juga larangan bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua menjadi peluang
lain bagi para elit dan elemen-elemen pendukungnya untuk bermain isu di dalam berita
maupun opini yang berbicara tentang Papua. Setiap kali ada kelompok masyarakat yang
melawan penindasan dan menuntuk hak-hak hidupnya, mereka justru dijadikan pelaku
antagonis yang dianggap menghambat pembangunan serta mengganggu keutuhan NKRI.
Karena itu, sebagai hasil konstruksi media, narasi apapun tentang Papua yang disuguhkan ke
publik perlu dipertanyakan kebenaran faktualnya.
Secara singkat, framing media massa selama ini bersifat timpang karena
mengabaikan kondisi sosial-historis orang Papua, di mana ada duka dan kecemasan, air mata,
pergolakan, resistensi dan harapan akan masa depan yang lebih berkeadilan. Dengan
melenyapkan kompleksitas persoalan yang ada di Papua, media massa justru menciptakan
informasi dan pengetahuan publik tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
manusiawi. Seperti kata Suryawan (2011), Indonesia menempatkan orang Papua sebagai
bangsa yang tidak mempunyai kebudayaan; atau kalau pun punya, derajatnya lebih rendah
daripada kebudayaan Indonesia. Resistensi orang Papua yang memperjuangkan hak-hak
hidupnya adalah perjuangan tanpa rekognisi. Malahan aktivitas semacam itu dianggap
berpotensi menimbulkan konflik yang memecah-belah NKRI. Tidak banyak kebenaran yang
dinarasikan oleh media-media nasional, terutama media yang hidup di dalam genggaman
kaum elit. Narasi-narasinya hanya berkutat pada keutamaan dalam hal pencitraan yang
menggambarkan berbagai keberhasilan pemerintah membangun Papua. Ini adalah fakta
yang tak dapat dipungkiri bahwa media massa turut memberi andil dalam menyesatkan opini
publik tentang Papua.
Membenarkan pandangan tersebut, Aprila Wayar dalam sebuah forum diskusi buku
“Papua Bukan Tanah Kosong” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-
Hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada 28 Februari
2020, mengungkapkan dua temuan fakta tentang Papua. Pertama, dari sudut pandang
jurnalis, Wayar menegaskan bahwa media-media massa tertentu yang ada di Jakarta secara
sengaja menciptakan framing pemberitaan yang menyesatkan mind-set dan opini publik
tentang Papua. Menurut Wayar, hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa
disadari dan ditanggapi secara kritis. Kedua, dari sudut pandang sastra, ia berkisah tentang
proses dan pola penindasan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetraloginya
adalah sama persis dengan apa yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua hari ini.
Menurutnya, Papua saat ini sulit melalukan gebrakan secara massif karena selalu berada di
bawah tekanan. Papua butuh para pegiat kemanusiaan yang secara konsisten mendampingi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
mereka dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang
berpihak pada masa depan alam dan manusia Papua.
C. Framing dan Hegemoni Media Massa tentang Papua
1. Bagaimana Media Nasional Menarasikan Papua?
Ketika kita menyimak secara jeli dan kritis atas suatu konten berita maupun opini
yang disuguhkan media massa, sering dengan mudah ditemukan adanya unsur pelintiran isu
maupun gagasan di dalamnya. Ada semacam kesengajaan menciptakan opini publik yang
tidak sehat terhadap suatu peristiwa yang diekspos. Tidak ada kandungan kebenaran yang
utuh atas sebuah peristiwa dan cenderung bias kepentingan. Atau dengan kata lain, konten
yang disuguhkan adalah bagian dari upaya memelintir dan mengkonstruksi realitas seturut
cita-cita penguasa negeri. Hal ini dapat kita temui melalui cara membandingkan konten
tersebut dengan hasil survei, pengalaman hidup masyarakat yang mengalami peristiwa
tersebut maupun tanggapan dan komentar publik atas cara penyajian informasi yang tidak
relevan dengan fakta lapangan. Jika ditinjau dari model konstruksinya, media massa tertentu
sering menekankan sisi negatif dari sebuah peristiwa atau sekedar mengagung-agungkan
peristiwa lain yang faktanya tidak dapat diterima sebagai suatu bentuk keberpihakan pada
kebenaran.
Untuk memberikan contoh, pada bagian ini, saya akan menunjukkan sejumlah media
online yang mengekspos beberapa topik utama tentang Papua, seperti Otonomi Khusus
(OTSUS), investasi dan pembangunan, militerisme, serta isu separatisme. Tentu saja masih
banyak konten media online yang mengulas tentang Papua, tetapi saya hanya memilih empat
tema dari lima media yang relevan dengan kajian ini; khususnya yang terkait dengan upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
framing pemberitaan yang cenderung bias fakta dan lebih menekankan citra baik Pemerintah
di mata rakyatnya daripada menguak fakta lapangan.
Pertama, framing pemberitaan tentang dana OTSUS sebagai afirmative acion untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi orang Papua. Pada 30 Juni 2018, misalnya,
Media TEMPO.CO melansir sebuah berita bertajuk “Dana Otsus Mampu Tingkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Papua”.5 Secara garis besar; tanpa menyodorkan bagaimana
tanggapan orang Papua terhadap OTSUS, berita tersebut hanya berisi pernyataan-pernyataan
prestisius para pemangku jabatan. “Kucuran dana OTSUS yang digelontorkan sejak 2002
terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan mengurangi
kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi lainnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari
keberhasilan pemerintah daerah memanfaatkan anggaran dengan benar”, ungkap Yusharto,
Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai upaya membenarkan pernyataan tersebut, dicantumkan juga beberapa klaim
tentang implementasi dana OTSUS, yang dilontarkan oleh Kepala Bagian Sumber Daya
Manusia Biro Otonomi Khusus Provinsi Papua, Anthony Mirin. Dikisahkan bahwa selama
pelaksanaan OTSUS, penggunaan dana mendapatkan hasil yang sesuai harapan. Semua dana
digunakan untuk beasiswa pendidikan, pengadaan fasilitas pendidikan dan kesehatan,
akselerasi kegiatan pertanian, serta pembangunan rumah rakyat. Meskipun masih terdapat
kekurangan dalam aspek kebijakan maupun implementasinya, Tim Evaluasi Dana OTSUS
Papua Kementerina Dalam Negeri mencatat bahwa masyarakat Papua telah merasakan