i MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL TESIS Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh: Norita Novalina Sembiring NIM: 086322010 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
Embed
MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI:
STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG
BERIBADAH DI GEREJA MAL
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Oleh:
Norita Novalina Sembiring
NIM: 086322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Norita Novalina Sembiring
Nomor Mahasiswa : 086322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS
PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 25 November 2010
Yang menyatakan
(Norita Novalina Sembiring)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “MENGGEREJA DALAM
MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG
BERIBADAH DI GEREJA MAL merupakan hasil karya dan penelitian saya
sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian karya-karya
sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah
sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 28 Oktober 2010
Norita Novalina Sembiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
MOTTO
Seorang ilmuwan dari India, Manmohan Singh,
pernah bertutur :
“ Tuhan menganugerahiku ketenangan
untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah,
keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah,
dan kebajikan untuk mengetahui perbedaannya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERSEMBAHAN
Untuk masa dan asa
yang memproses tiap
langkah menjadi penuh
arti…
Terurai kata
T e r i m a k a s i h …
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Hidup ibarat perjalanan panjang yang ditempuh dari satu titik ke titik lain.
Katanya dalam perjalanan itu ada tiga tahap yang biasanya dialami, yaitu start, dead
point dan second wind. Dengan penuh semangat kita memulai perjalanan itu. Namun,
setelah jauh berjalan kita mulai merasa kelelahan. Kita menatap ke belakang dan
mengukur berapa jauh kita sudah berjalan. Akan tetapi, perjalanan itu belum selesai.
Kita masih setengah jalan, atau bahkan masih seperempat jalan. Oleh karena itu,
timbullah kejenuhan. Dalam kejenuhan ini kita bisa saja menjadi putus asa dan hilang
harapan. Tahap ini disebut dead point. Kalau kita membiarkan diri berada pada tahap
ini, maka sirnalah sudah impian untuk sampai pada garis finish. Lalu, bagaimana
supaya kita tidak jatuh pada tahap ini? Ada yang bilang segeralah bangkit, lalu
berjalanlah. Ingatlah bahwa perjalanan ini harus diselesaikan. Tahap ini disebut tahap
second wind, ibarat mendapatkan angin segar, kita kembali bergairah untuk
menuntaskan perjalanan panjang ini.
Bagi saya, studi di Magister Program Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Sanata
Dharma, ibarat perjalanan panjang mengalami tiga tahap tadi. Awal masuk di kampus
ini, semangat saya begitu membara, mengindam-idamkan “Santapan Harian” yang
disuguhkan oleh dosen-dosen di sini. Di perjalanan itu, ternyata proses
menyelesaikan tesis adalah bagian terberat. Katanya, menyelesaikan tesis perlu
kedisiplinan, ketekunan, dan juga ketenangan. Akan tetapi, rasa jenuh, bosan, malas
mulai menggerayangi semangat yang membara tadi. Saya tidak punya kekuatan yang
cukup untuk menjaga konsistensi semangat dan daya. Namun, sampai kapan harus
begini? Akhirnya, angin segar itu datang menghampiri saya dan memberikan
kekuatan baru untuk menuntaskan semuanya. Bagian kitab dari Mazmur menuturkan,
“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan
jiwaku”. Akhirnya, saya menuntaskan proses penulisan tesis ini. Wah, lega sekali
rasanya. Terimakasih untuk Sang Pengirim angin segar ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Saya sangat bersyukur memiliki orangtua yang mendukung saya dalam proses
“petualangan ilmu” di IRB. Terimakasih untuk Mamak dan Bapak yang selalu
mengerti dan mendukung saya. Semua dukungan itu tentu tak pernah bisa
terbalaskan. Karena memang semua pengorbanan Mamak dan bapak tak ternilai oleh
apapun juga.
Proses “meramu” dan “memasak” setiap teori yang didapat di IRB juga tak
lepas dari kepiawaian tiap dosen yang mengampu mata kuliah menurut bidangnya
masing-masing. Rasa terimakasih ini khususnya juga dialamatkan pada dosen
pembimbing saya, Dr. St. Sunardi, yang telah memperkenalkan fenomena-fenomena
sosial yang sangat menarik untuk dicermati dan diteliti dalam perkembangan
masyarakat. Tips “memasak” data berdasarkan kerangka konseptual yang dipilih
menjadi bagian yang paling mendebarkan untuk dikerjakan. Terimakasih untuk
kesediaan Bapak berbagi tips itu. Terimakasih juga untuk Mbak Henkie yang setia
mengurus keperluan mahasiswa. Tak lupa untuk Mba Devi, yang dengan cermat
mengomentari kesalahan teknis dan logika kalimat dalam tesis ini.
Saya juga mengucapkan terimakasih untuk gereja saya, Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP), khususnya yang ada di Yogyakarta dan Semarang. Dua gereja ini
telah menjadi lokus saya bertumbuh dan berkembang dalam panggilan pelayanan,
sementara saya kuliah di Yogyakarta. Pengalaman berjemaat di dua tempat ini telah
memberikan pengalaman baru bagi saya memaknai setiap panggilan Tri Tugas
Gereja.
Dua tahun di Yogyakarta telah pula menambah khazanah pertemanan saya.
Gak kebayang sebelumnya akan bertemu dengan teman-teman IRB 2008 yang “asoy
geboy”. Monik [thanx untuk persahabatan kita, yuks lembur bareng, hehe], Tika
[teman kenalan pertama di IRB, hidup Lekra!!!], Aik [wualahh diet kita piye iki?],
Doan [ingat ya, kronothesis, hehe], Mbak Rini [kapan aku diajarin Yoga?], Hikmah
[argumentasinya setajam silet], Herlina [lama tak bersua, kemana dirimu?], Bang
Inyiak [thanx ya udah mau jadi “dosen wali” di luar perkuliahan resmi], Son [thanx
untuk wacana pendidikan ala anak PeJaBati], Mas Danang [ibu pendeti ini pergi dulu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ya, heheh], Mas Wahyu [sebenarnya gimananya sih mas, kog aku gak ngerti?], Hadid
[diam-diam tapi paper selalu jadi duluan], Manda [ketemu di Medan ajalah kita ya].
Kalian semua telah memberi warna dalam memaknai arti hidup dalam keberagamaan.
Jangan lupa update milis ya, hehehe.
Pertemanan ini juga semakin kaya dengan interaksi bersama teman-teman
bujur melala ya dek untuk setiap cerita yang terjalin di dalam kebersamaan kita.
Semoga kita bisa bertemu dalam event-event lainnya (walahhh cem betol aja,
hehehe). Kelto (Kelompok Teologi Karo), terimakasih untuk diskusi-diskusi kita
tentang arti pelayanan yang sesungguhnya, meskipun kakak hanya bisa datang dua
kali saja dalam pertemuan Kelto. Secara keseluruhan, terimakasih untuk semua teman
Permata GBKP Rg. Yogyakarta, khususnya Pengurus Permata, bujur untuk
rekomendasinya ya. It means a lot gie.
Memaknai arti pertemanan yang sesunguhnya, tak akan pernah lengkap
sebelum mengucapkan satu nama ini, Sony Tarigan. Terimakasih untuk semuanya.
Untuk kam, gak ada kata yang cukup untuk mengungkapnya. Rasa terimakasih yang
mendalam juga saya ucapkan pada mereka, yang selalu bertanya, “Ta, kapan
pulang?” yang ternyata mampu menumbuhkan semangat dan motivasi untuk suatu
pertemuan yang sangat dirindu dan didamba.
Proses penulisan ini bisa rampung oleh karena dukungan mereka, orang-orang
yang saya hormati, hargai, dan sayangi yang hadir dalam “nuansanya” masing-
masing. Selamat membaca karya ini. Selamat bertamasya dalam fenomena ibadah
dan belanja yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi. Kiranya tulisan ini
bisa bermanfaat bagi kita yang hidup dalam produksi budaya yang berkembang dari
waktu ke waktu.
Akhir Oktober 2010
Norita Novalina Sembiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
MOTTO vi
PERSEMBAHAN vii
KATA PENGANTAR viii
ABSTRAK xi
DAFTAR ISI xv
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Rumusan Masalah 8
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
4. Tinjauan Pustaka 10
5. Kerangka Teori 14
6. Metode Penelitian 22
7. Sistematika Penulisan 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB II GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI
DI INDONESIA 28
1. Gereja dan Pasar 29
2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia 30
3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet 35
4. Kesimpulan 42
BAB III IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN
DAN BELANJA YANG MENGGAIRAHKAN 45
1. Mal sebagai One Stop Service 46
2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa 50
2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda 51
2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda 57
2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta 62
3. Pola Ibadah di Gereja Mal 65
4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal 73
5. Kesimpulan 80
BAB IV REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA
DI GEREJA MAL 82
1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal 83
1.1 Bahasa Tubuh 84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
1.2 LCD dan Alkitab Elektronik 93
1.3 Bahasa Roh 95
1.4 Gaya Berpakaian 102
1.5 Belanja di Mal 103
2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu 108
2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik 111
2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD 115
2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya 119
2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona 120
3. Kesimpulan 128
BAB V PENUTUP 132
DAFTAR PUSTAKA 137
LAMPIRAN
Transkripsi Wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
ABSTRAK
Selama ini gereja dan pasar sering ditempatkan dalam posisi antagonistik.
Kini, posisi itu tampaknya sudah bergeser: tidak antagonistik lagi melainkan malah
berduet dengan harmonis. Penelitian ini mengkaji fenomena pergeseran tersebut.
Gereja dan pasar, dua hal yang dipahami secara berbeda, dalam kenyataannya
sekarang ini bergabung menjadi satu. Sadar atau tidak sadar manusia tidak bebas
memilih apa yang diinginkannya, melainkan mensintesakan pilihan-pilihan tersebut.
Dalam penelitian ini, pilihan tersebut adalah soal ibadah dan belanja.
Untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena di atas, ada beberapa
masalah yang akan dijawab, yaitu bagaimana proses pembentukan gereja di mal,
sejauh mana model bergereja di mal menyerupai model konsumsi, dan realitas sosial
seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja di mal? Melalui dinamika ibadah
dan konsumsi di gereja mal kita akan melihat budaya massa yang berkembang saat ini
sebagai ciri dari masyarakat konsumsi.
Untuk mendukung pencarian jawaban atas fenomena di atas, penulis
melakukan penelitian lapangan di Jakarta dan Yogyakarta. Data empirik sangat
penting untuk mengetahui pengalaman orang-orang yang selama ini belum terjangkau
oleh konsep-konsep tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Melalui
metode ini, penulis akan menemukan bagaimana kegairahan ibadah dan belanja
dalam pesona mal. Data yang diperoleh dalam penelitian lapangan akan diolah
dengan bantuan dari kerangka teoretis yang diambil dari Interaksionisme Simbolik
karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi Jean Baudrillard.
Akhirnya, penelitian ini menemukan beberapa temuan yang menarik untuk
dicermati. Temuan-temuan itu antara lain: adanya kemiripan dalam pola beribadah
dan pola berkonsumsi di gereja mal. Kemiripan itu tampak lewat besarnya hasrat
beribadah dan pemuasan yang diperoleh dalam beribadah di gereja mal serta
kepuasan hasrat belanja dalam konsumsi barang-barang yang dipamerkan di toko-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
toko yang terdapat di mal. Gereja mal juga melahirkan suatu realitas sosial baru bagi
cara menggereja (ekklesiologi) umat yang datang ke sana, jika dibandingkan dengan
gereja-gereja arus utama. Orang terhisap masuk menjadi bagian dari komunitas bukan
hanya berdasarkan keimanan atau kebutuhan, melainkan berdasarkan interaksi
simbolis dan nilai tanda konsumsi yang ditafsirkan dalam pola-pola hubungan
seorang dengan yang lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
ABSTRACT
During times, the church and the marketplace are often placed in antagonistic
positions. Now, that position seems to have shifted: no longer antagonistic but even a
duet with harmony. This research examines the shifting phenomenon. Church and
market, two things that were understood differently, in fact now joined into one.
Conscious or not, human beings are not free to choose what they want, but
synthesizes these choices. In this research, the choice is a matter of worship and
shopping.
There are several issues to be answered to know about the phenomenon: the
process of establishing the church at the mall, the extent of the in-mall church model
resembles the model of consumption, and the kind of social life realities that was
born through the in-mall church pattern. Through the dynamics of in-mall church
worship and culture of consumption, we will see a mass culture that was growing as a
hallmark of consumptive society today.
To support the search for answers to this phenomenon, I conducted field
research in Jakarta and Yogyakarta. I believe that empirical data is very important to
know people experiences that so far have not been answered by certain concepts.
Therefore, in this research, I use interviews and observations directly in the field as
methods. Through this method, I will find people excitement and how they got
enchanted by the way of worship and shopping malls. The data which was obtained
in field will be processed with the help of a theoretical framework drawn from the
theory of symbolic interactionism by George Herbert Mead and the Sociology of
Consumption by Jean Baudrillard.
Finally, this research found some interesting findings to be observed. The
findings include: the similar pattern of in-mall church worship and consumption in
mall. Similarities were looked from the desire and satisfaction gained within the
worship in an in-mall church as well as satisfaction and desire in the consumption of
goods that were displayed in stores within shopping malls. In-mall church also gave
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
birth to a new social reality of how people go to in-mall church (ecclesiology)
compares to the main stream churches. People who get into a part of the community
were not based on faith or needs only, but by the symbolic interaction and sign of
consumption values that were interpreted in patterns of relationship one with the
other.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Apa yang terbersit dalam pikiran kita jika mendengar kata “gereja”?
Mungkin kita akan menjawab, gedung atau bangunan, rumah ibadah, dan Kristen.
Gereja identik dengan suatu bangunan, besar, kecil atau sedang yang terbuat dari
beton atau setengah papan yang terletak di lahan tertentu dan biasanya dekat
dengan pemukiman penduduk. Di bagian depan biasanya ada papan penanda
nama gereja dan denominasinya (alirannya), serta lambang salib di atasnya.
Karena terletak di lahan tertentu, beberapa gereja memiliki halaman yang cukup
luas yang bisa dipakai untuk tempat parkir, untuk acara kebersamaan umat, atau
sebagai tempat berjualan untuk mencari dana. Tak hanya identik dengan gedung
atau bangunan, gereja juga identik dengan kumpulan orang, khususnya kumpulan
orang-orang Kristen yang bertemu satu dengan lainnya dalam satu kesempatan
yang dimaknai sebagai Dominggos, Hari Tuhan atau hari Minggu. Memaknai
gereja sebagai suatu tempat pertemuan yang membahas tentang Tuhan, maka
gereja mengartikulasikan banyak kegiatannya pada persoalan Yang Kudus di
dalam ibadahnya.
Gereja umumnya berada di wilayah tertentu dan dekat dengan pemukiman
penduduk. Namun, pada kenyataannya, kini gereja berada di tempat-tempat lain,
misalnya di hotel, aula perkantoran, Rumah Toko (RuKo), juga di mal. Yang
terakhir, menjadi fenomena yang sangat menarik untuk diteliti karena mal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
merupakan pasar modern, adalah suatu tempat yang secara sadar dipahami sangat
bertolak belakang dengan hakekat “kekudusan” gereja. Gereja yang terhisap
dalam geliat pasar modern ini agaknya melahirkan karakteristik gereja yang baru,
yang dalam penelitian ini, penulis mencoba memberi nama atas fenomena
tersebut. Gereja dan pasar yang pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak
mungkin digabungkan, kini malah bergabung dan menjual daya pikat kepada
orang yang mengunjunginya. Ada gaya baru yang ditawarkan lewat munculnya
gereja di mal, kendatipun kita tidak dapat menangkis kenyataan soal sulitnya
memperoleh ijin untuk mendirikan rumah ibadah di tempat “yang umum” tadi.
Kedudukan ibadah dalam gereja menjadi bagian yang sangat penting
karena untuk itulah orang datang ke gereja. Dalam ibadah inilah makna
kebersamaan dan perkumpulan umat Kristen diartikulasikan. Ibadah adalah
perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.1 Secara etimologis,
ibadah berasal dari kata Arab abdi (`i-ba-dah), yang pengertiannya sama dengan
pelayanan. Sementara itu, leitourgia dalam kata Yunani di dalam Alkitab
Perjanjian Baru adalah terjemahan dari kata Ibrani `abodah, yang menunjukkan
peng-abdi-an atau pe-layan-an. Ibadah/liturgi/bakti sebenarnya mempunyai
pengertian luas yang meliputi seluruh hidup, yaitu bagaimana sikap dan tingkah
laku kita di hadapan Tuhan.2 Umat menggunakan kata ibadah dengan pengertian
yang sangat sederhana, yaitu pergi ke gereja. Di gereja, yang bertugas melayani
1 Dedy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 565. 2 H.A Van Doop, ”Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT
Jakarta ke-75, 27 September 2009 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
umat adalah kaum klerus, pendeta, penatua, diaken.3 Dalam pemaparan di bab-bab
selanjutnya poin ibadah akan dijelaskan lebih detil karena menyangkut respons
umat terhadap pola-pola ibadah yang dinamis dan statis. Hal ini berhubungan
dengan daya tarik ibadah yang dianggap mampu menyentuh kedalaman batin
umat. Pola ini pulalah yang dilihat dalam ibadah di gereja mal.
Ada beberapa unsur dalam ibadah. Pertama, kesadaran akan Allah. 4
Pada
bagian ini orang yang datang beribadah diajak untuk menyadari tentang
kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan Allah. Kesadaran ini memampukan
manusia untuk menghayati hakekat Tuhan yang dipercayainya dalam pergumulan
hidupnya sehari-hari. Tuhan menjadi kekuatan yang memampukannya menjalani
berbagai realitas sosial yang dihadapinya.
Kedua, kesadaran diri, di mana manusia yang tadinya mengagungkan
Tuhan dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, balik
memandang dirinya yang serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa. Cara
pandang ini membuat manusia menaruh kepercayaannya pada Tuhan yang lebih
3 Pendeta, penatua dan diaken merupakan jabatan gerejawi, di mana ketiganya saling
bekerjasama untuk mengatur dan mengurus kegiatan-kegiatan gereja, salah satunya adalah
menyiapkan ibadah. 4 Beberapa istilah teknis untuk mengungkapkan hal ini adalah votum, salam, introitus.
Tahbisan atau Votum, yaitu ucapan, “Dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”. Artinya,
dengan demikian dinyatakan bahwa kebaktian kita tidaklah sama saja dengan suatu persidangan
yang biasa. Gereja adalah himpunan orang-orang yang dipanggil, sehingga mereka datang bukan
atas kehendaknya sendiri, melainkan oleh karena mereka dipanggil oleh Tuhan. Kita berkumpul
sebagai jemaat Kristus, kesatuan kita ada di dalam Kristus. Itulah sebabnya gereja berkumpul
dalam nama Tuhan, sehingga kita yakin bahwa Kristus berada di tengah-tengah warga jemaat.
Salam, pada masa dahulu salam-menyalam berarti saling memohonkan berkat. Oleh karena warga
jemaat bersama-sama berkumpul di dalam nama Tuhan, lalu mereka saling salam-menyalami.
Biasanya pemimpin kebaktian menyampaikan, “Sejahteralah kamu”, dan dijawab, “Dengan roh-
mu pun”. Introitus, yaitu ayat pembimbing, yang dipilih dari Alkitab berhubung dengan waktu
tahun gereja. Maksudnya supaya mulai dari awal, pikiran kita telah diarahkan kepada pokok-pusat
yang khusus pada kebaktian itu. Kutipan dari B. J. Boland, Percakapan tentang Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1951), h. 138-141.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berkuasa dalam hidupnya. Ketiga, pengakuan dosa. Umat yang menyadari
kekuatan Tuhan dan kekuatan dirinya, menyadari bahwa sebagai makhluk yang
bertaqwa, kerapkali ia tidak taat dalam aturan Tuhannya. Oleh karena itu umat
melihat dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari
Tuhan semata. Keempat, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya
adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang
mengaku dosanya.
Orang yang telah berekonsiliasi dengan Sang Kudus yang disembahnya itu
akhirnya menjadi pribadi yang siap menerima pelayanan firman atau khotbah.
Itulah unsur kelima. Umat diberikan petunjuk hidup baru melalui firman Tuhan
yang dikhotbahkan oleh pendeta. Setelah itu, individu tadi memiliki komitmen
(respon) terhadap firman Tuhan, dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya.
Ini adalah unsur keenam. Umat yang telah semakin mantap dan dibaharui
imannya ini akhirnya diberikan suatu tugas pengutusan. Umat diutus keluar
sebagai manusia yang terus bergumul dalam kesehariannya dengan tetap
berpegang pada firman Tuhan. Dalam menjalankan serangkaian aktifitasnya umat
diberkati sebagai orang-orang yang mengandalkan hidupnya pada Tuhan yang
disembahnya dalam ibadah tadi. Dan ini adalah unsur yang terakhir.
Keseluruhan unsur inilah yang dikemas secara berbeda oleh gereja-gereja.
Ada yang mengemasnya dengan suasana tenang, syahdu, dan impresif. Akan
tetapi, ada pula yang mengemasnya dengan suasana meriah dan ekspresif.
Kemasan meriah dan ekspresif inilah yang ditampilkan dalam ibadah-ibadah di
gereja mal, sebagaimana nilai tanda mal yang merupakan tempat untuk menikmati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
kemeriahan dan kemewahan. Penulis memakai istilah gereja mal untuk
membedakannya dengan gereja arus utama. Gereja mal adalah suatu gereja yang
berada di mal dan memanfaatkan “barang-barang” mal untuk mengemas
ibadahnya dengan menarik dan menggairahkan.
Menurut pengamatan penulis, menggereja di gereja mal memang memiliki
sense yang berbeda tatkala saya menggereja di gereja saya sendiri, yang beraliran
arus utama5. Ada beberapa hal menarik di gereja mal, antara lain: orang datang
secara berombongan, muda-mudi, orangtua, sampai anak-anak yang hadir di sana
umumnya tidak datang sendirian, minimal mereka datang berdua. Pilihan waktu
ibadah juga beragam, mulai dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Biasanya
dibagi menjadi empat atau lima kali jam ibadah. Jumlah yang datang ibadah ke
gereja mal tidak kecil, pastinya lebih dari ratusan orang. Pola ibadah yang
dihadirkan juga sangat wah dan glamour dibantu oleh musik dengan full band dan
keterlibatan anak-anak muda yang energik dan piawai bermain musik.
Ada yang mengatakan bahwa model ibadahnya lebih nge-roh, rame.6
Sekelompok pemusik, beberapa penyanyi (singer), dancer, serta seorang WL
(Worship Leader)7 menambah meriahnya ibadah di sana. Kelompok musik ini
sangat pandai mengatur suasana. Seorang Worship Leader dengan cakap
menyemarakkan dan meneduhkan suasana. Ia tahu betul di mana moment orang
harus menari, melompat, dan bertepuk saat bernyanyi, serta di mana moment
5 Beberapa contoh gereja arus utama adalah GKJ, HKBP, GBKP, GKI, GPIB, GKPS.
Gereja-gereja ini umumnya tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). 6 Pengakuan IS, seorang Worship Leader (WL) di gereja mal,wawancara tanggal 25 Mei
2009 di Yogyakarta. 7 Worship Leader (WL) adalah seorang pemandu ibadah, biasanya menyapa umat pada
bagian awal dan mengajak umat menyanyikan lagu-lagu pujian dalam ibadah. Seorang WL
biasanya juga dibantu oleh beberapa orang penyanyi (singer) dan penari (dancer).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
orang harus khusyuk, merenung, bahkan setengah menangis saat bernyanyi.
Kesemarakan ini semakin bertambah dengan tarian beberapa nona-nona manis
yang memakai gaun panjang dengan memegang tamborin di tangannya dan
menghentakkannya ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang. Suara
gemerincing tamborin menambah manisnya suasana ibadah di sana. Singkatnya,
“ibadah di sana lebih hidup, gak bikin ngantuk”.8
Tempat duduk umat juga fleksibel, tidak ada aturan sebelah kiri tempat
duduk khusus laki-laki dan sebelah kanan khusus tempat duduk perempuan (jika
membandingkannya dengan posisi duduk di gereja suku tertentu). Ruangan ber-
AC dan modern menambah kesan mewah dalam ibadah di gereja mal. Mereka
yang datang berpakaian lebih santai, sebenarnya lebih mirip pakaian untuk jalan-
jalan daripada pakaian ke gereja. Balutan kaos dan celana jeans, stelan blouse dan
celana legging, menambah kesan simple, trendy dan modis.
Mal punya daya tarik sendiri karena segala kebutuhan nyaris ada di sana.
Mulai dari bumbu dapur sampai barang elektronik ada di sana. Oleh karena itu,
orang tidak perlu repot-repot lagi berbelanja di tempat lain. Kenyamanan belanja
semakin nikmat dengan suasana ruangan yang sejuk dan desain yang modern.
Kalau pun orang harus berdesak-desakan memilih barang yang sedang discount
besar-besaran, pengunjung tetap menikmati suasana belanja. Apalagi jika barang
yang ditawarkan edisi terbatas, maka berlomba cepat orang akan membeli barang
itu.
8 Pengakuan beberapa orang pemuda gereja arus utama yang sering beribadah di gereja
mal dalam obrolan santai dengan penulis di Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji hadirnya gereja dalam ruang
konsumsi. Gereja yang hadir di mal umumnya beraliran gereja kharismatik. Oleh
karena itu untuk membedakannya dengan gereja yang lain, penulis memakai
istilah gereja arus utama (mainstream) atau konvensional untuk merujuk pada
gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang umumnya tidak
berada di mal dan istilah gereja mal untuk merujuk pada gereja-gereja yang ada
di mal.
Dalam kajian budaya penelitian ini bisa masuk ke dalam ranah politik
identitas. Bagaimana identitas religius orang-orang yang beribadah di gereja mal?
Selain itu penulis menelusuri realitas sosial seperti apa yang terlahir dalam
fenomena gereja mal? Bisa dipastikan mereka yang beribadah di sana berasal dari
kelompok sosial tertentu, yaitu kelas menengah atas yang memiliki pergumulan
hidup sekitar dunia kerja dan bisnisnya. Cara berpakaiannya, sarana transportasi
yang digunakannya, golongan usianya menjadi penanda (signifier) identitasnya.
Faktor-faktor apa saja yang mendukungnya hadir? Di manakah letak hubungan
antara gereja dan mal? Seberapa besar pengaruh ruang konsumsi terhadap
motivasi beribadah dan sekuat apa pula bentuk ibadah di gereja mal memberi daya
tarik pada orang yang datang? Penulis ingin menelusuri desire apa yang dijawab
lewat kehadiran gereja mal? Apakah pola ibadah dan pola konsumsi memiliki
kemiripan? Persoalan seperti inilah yang hendak penulis kaji dalam tesis ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembentukan gereja di mal?
2. Sejauh mana model menggereja di mal menyerupai model
mengonsumsi?
3. Realitas sosial seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja
di mal?
Pertanyaan pertama ingin menggali muncul dan berkembangnya kehadiran
gereja-gereja di mal di Indonesia. Dari penelusuran yang mendalam tentang latar
belakang gereja di mal kita bisa tahu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
gereja hadir di mal. Sejauh mana alasan birokrasi administrasi mempengaruhinya,
sejauh mana pula modernisasi menjadi aspek yang penting dalam kemunculan
gereja di mal, serta sebesar apa desire umat yang mau dijawab lewat kehadiran
gereja di mal.
Rumusan masalah kedua menganalisis bagaimana pola-pola ibadah dan
pola-pola konsumsi memiliki kemiripan satu sama lain. Bagaimana hasrat belanja
yang tak pernah terpuaskan memiliki kemiripan dengan kerinduan orang untuk
mencari dan bertemu dengan Yang Kudus. Ibadah yang didominasi dengan
fasilitas modern, isi khotbah tentang kesuksesan dan kemakmuran, serta
kesaksian orang-orang yang telah menerima “dasyatnya” khotbah itu dalam
hidupnya. Penulis ingin menggali bagaimana hasrat berkonsumsi orang-orang
dalam pesona belanja yang menggairahkan di mal. Dari sana, penulis mencoba
menemukan sosialitas yang terbentuk di gereja mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Sementara itu, rumusan masalah yang terakhir ingin mengamati realitas
sosial seperti apa yang muncul pada orang-orang yang menggereja di gereja mal.
Apakah interaksi antar umat mewujudkan suatu bentuk persekutuan yang kuat dan
mendalam di gereja ini? Adakah persekutuan di sana mencerminkan keakraban
dan kehangatan antar umat? Atau umat hanya peduli pada kepuasan pribadi dalam
ibadah saja.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Dengan menelusuri pembentukan gereja di mal melalui literatur atau
wawancara, maka penulis bisa mengetahui dengan lebih jelas apa situasi
sosial, ekonomi, dan budaya di balik terbentuknya gereja di mal. Data
historis ini memberi manfaat bagi gereja-gereja untuk melihat wacana
kehadiran gereja yang semakin banyak mengambil ruang publik sebagai
tempat utama ibadahnya.
2. Dengan menganalisis pola ibadah dan pola konsumsi dalam praktik
menggereja di mal, penulis berusaha menemukan budaya yang
berkembang dalam masyarakat konsumsi saat ini. Bagaimana hubungan
gereja dan budaya konsumsi yang semakin tidak bisa dihindarkan dalam
kenyataan hidup manusia saat ini. Lalu, sensasi ibadah dan belanja seperti
apa yang dirasakan manakala aktivitas hidup manusia bisa dilakukan
dengan one-stop service.
3. Mendeskripsikan pengalaman orang beribadah di gereja mal. Kajian ini
akan mewarnai wacana konsumsi yang selama ini dipahami sebagai gaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
hidup modern dan kapitalistis, dengan mengetengahkan persoalan
konsumsi spiritual yang terjadi di gereja mal. Dalam wilayah teologi,
kajian ini ingin memperlihatkan wilayah-wilayah psiko-spiritual manusia
dalam memaknai ruang menggereja. Untuk studi agama kajian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap hubungan
gereja dan konsumsi. Tidak hanya alergi atau gelisah dengan hadirnya mal
sebagai “produk dunia” yang berdosa, namun melihatnya dengan lebih
jujur dalam memproduksi budaya warga jemaatnya.
4. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang gereja di mal sejauh ini cenderung terfokus pada masalah
teologi praktis. Gereja-gereja yang ada di mal umumnya berasal dari aliran neo-
pentakostal atau kharismatik. Oleh karena itu para peneliti menempatkan gereja
mal dalam payung besar konsep gereja kharismatik, yang memiliki perbedaan
yang sangat mencolok dengan gereja arus utama dalam cara beribadah, bernyanyi,
berdoa, pakaian dan isi khotbah pendeta, sakramen perjamuan kudus, dan
fasilitas-fasilitas modern yang mendukung ibadah. Melihat perbedaan yang
mencolok inilah, beberapa peneliti umumnya terfokus pada kajian mendalam
tentang konsep ibadah gereja kharismatik dan konsep ibadah gereja konvensional,
lalu menawarkan dialog di antara keduanya (Lihat Wilfred J. Samuel, 2007;
Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, 2007). Dalam hal ini, Samuel
menangkap “kebingungan” warga jemaat yang bertanya, “Dalam ibadah,
haruskah kita bertepuk tangan atau duduk tenang? Haruskah kita mengangkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
tangan ke atas atau mengatupkan tangan di depan dada ketika mendengar firman
Tuhan?”9 Pertanyaan-pertanyaan “klasik” seperti ini sering dihadapi oleh warga
jemaat ketika berhadapan dengan teologi, pengalaman, dan kebiasaan yang
berbeda di gereja arus utama. Ia menganalisis, mengapresiasi, membandingkan,
sekaligus mengkritik kedua tradisi gereja, baik tradisi gereja kharismatik maupun
tradisi gereja konvensional. Akhirnya ia memberi arah baru bagi interaksi positif
antara kelompok Kristen tradisional dan kelompok Kristen kharismatik.10
Kehadiran gereja-gereja kharismatik ini juga menimbulkan reaksi antipati
dari kalangan gereja-gereja arus utama. Pendeta-pendeta gereja arus utama [ada
yang] menaruh curiga terhadap perkembangan gereja kharismatik. Hal inilah yang
diamati oleh van Kooij dan Tsalatsa.11
Dalam penelitian kedua orang ini mereka
menemukan bahwa terdapat warga jemaat gereja arus utama yang menjadi warga
jemaat “simpatisan” di gereja kharismatik. Menurut pengakuan para simpatisan
ini kebutuhan batin mereka lebih terjawab dalam ibadah di gereja kharismatik.
Ibadah yang ekspresif di gereja kharismatik tampaknya menjawab “kehausan
spiritual” warga jemaat. Oleh karena itu mereka mengusulkan supaya ada dialog
9Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca-
Kharismatik,( terj.Liem Siem Kie ) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007). 10
Awalnya disebut sebagai Gerakan Kharismatik atau Gerakan Pentakosta Baru.
Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang mempunyai ciri: tidak
begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan persekutuan yang
diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan membentuk jaringan
dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama “injili”, tidak
menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan sebagai
konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan menggugah emosi
(Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah
Ekklesiologi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 11
Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, Bermain dengan Api (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
antara pendeta-pendeta gereja kharismatik dengan pendeta-pendeta gereja arus
utama.
Penelitian yang mulai menelisik relasi ekonomi dan agama, antara lain
dengan melihat kekuatan pasar dan media yang mewarnai gaya hidup posmodern
(Lihat Vincent J. Miller, 2003: Pradip Thomas, 2009; Steinar Kvale, 2003; Eka
Darmaputera, 1998.). Miller dalam penelitiannya berfokus pada sebuah topik
bagaimana kebiasaan konsumsi mengubah hubungan kita dengan kepercayaan
religius yang kita anut. Analisis tentang pembawa kebiasaan-kebiasaan ini ke
dalam praktik religius membutuhkan sebuah pertimbangan yang lebih jauh
tentang asal-usul dan ciri-ciri masyarakat konsumsi-tinggi. Analisis landasan dari
penelitiannya adalah soal komodifikasi, sebuah cerita tentang kemerosotan dan
kehilangan. Ketika kita menganggap tradisi-tradisi kultural dan religius sebagai
komodifikasi, tradisi-tradisi tersebut kehilangan kuasa untuk mempengaruhi
praktik hidup yang konkrit. Cerita tentang cara-cara dalam mana kepercayaan,
narasi, simbol, dan praktik religius ini dilucuti dalam budaya kapitalisme maju
tidak serta-merta mempradugakan bahwa ada sebuah masa ketika unsur-unsur
tradisi religius ini secara langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari.12
Thomas mengetengahkan hubungan antara pasar, komoditi, dan agama
dalam budaya pop dengan politik ekonomi. Dalam hal ini ia menyoroti bagaimana
gereja-gereja dari kelompok Pentakostal dan Neo-Pentakostal menggunakan
produk multi media dalam penginjilannya.13
Kvale melihat aspek psikologis yang
12
Vincent J. Miller,Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a
Consumer Culture (New York ∙ London: Continuum, 2003.). 13
Pradip Thomas, “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual Markets
and the Media” (Global Media and Communication 2009; 5; 57, SAGE publication) “To celebrate
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
berperan dalam pembentukan pola-pola hidup manusia di tiga wilayah, yaitu
gereja, industri (pabrik), dan pasar. Ia melihat bagaimana agama, konsumsi, dan
industri saling kena-mengena dalam psikologis manusia.14
Darmaputera dalam
judul tulisannya Altar dan Pasar melihat bahwa dalam memasuki millenium
ketiga, ekonomi dan agama hadir sebagai dua kekuatan yang paling menentukan
pola pikir, pola sikap, dan pola tindak umat manusia, baik individual maupun
relasional. Ia menyimpulkan tiga hal tentang relasi antara ekonomi dan agama
yaitu isolasi, kolusi, dan saling menantang. Ia tidak memberi kesimpulan
bagaimana keduanya bisa berelasi. Ia justru menyisakan pertanyaan bagaimana
menghubungkan dengan benar, secara dinamis dan dialektis, antara pasar dan
altar. 15
Dari pemetaan tinjauan kepustakaan di atas, penulis belum melihat kajian
yang spesifik tentang kehadiran gereja mal di Indonesia dan bagaimana kekuatan
konsumsi masuk ke dalam pemaknaan aktifitas agama manusia zaman modern
saat ini. Kajian yang ada selama ini masih bergerak pada masalah teologi dan
ekspresi iman manusia yang bergumul dengan sejuta persoalan hidupnya yang
terjawab lewat “sentuhan” dekorasi ritual ibadah dan fisik bangunannya. Dalam
penelitian ini penulis ingin mencari tahu apa duduk perkara maraknya
kemunculan gereja di ruang konsumsi.
„religious‟ signifying processes and the „rumours of God‟ in „irreligious‟ spaces at the expense of
understanding the relationship between politics, economics, power and religion in the 21st
century, an era imprinted by close correspondences between fundamentalist religion, economics
and politics, remains a significant oversight in contemporary studies of religion and/as media”. 14
Steinar Kvale, “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in a
umat saat ini. Jumlah umat yang beribadah ribuan orang setiap minggunya.
Gereja-gereja arus utama “ketinggalan jauh”, karena terlalu mempertahankan
tradisi, sehingga terkesan kuno dan kaku.
Penulis memilih tiga sampel gereja mal di dua tempat yang berbeda. Dua
gereja berlokasi di Jakarta dan di mal yang sama dan satu gereja berlokasi di
Yogyakarta. Alasan penulis memilih dua gereja di mal yang sama, karena
meskipun berada di mal yang sama, jumlah orang yang datang beribadah di sana
sangat berbeda jauh. Gereja Casa Rosa5 misalnya, bisa dipadati ribuan orang,
tetapi gereja Casa Nera dengan pola yang sama hanya dihadiri ratusan orang saja.
Selain itu, penulis juga memiliki keterbatasan waktu untuk menilik gereja mal
yang lainnya, mengingat jarak tempuh dan macetnya jalan di Jakarta tentu akan
menguras banyak waktu. Sampel ketiga dipilih di Yogyakarta, gereja yang juga
perkembangannya sangat signifikan dati tahun ke tahun, padahal pesona mal-nya
tidak semenarik mal-mal lain.
2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda6
Gereja Casa Rosa berdiri pada tahun 1992. Nama gereja Casa Rosa
diambil dari lokasi mal yang berada di sekitar kantor kedutaan. Sumber yang tidak
ingin diketahui namanya menceritakan bahwa sebenarnya dulu mal ini tidak
terlalu ramai, cukup sepi, tetapi sekarang menjadi sangat ramai karena ada “kita”.
Berikut ini penuturannya tentang latar belakang gereja Casa Rosa:7
5 Nama-nama gereja disamarkan menjadi Casa Rosa, Casa Nera, dan Casa Piccola.
6 Penulis memakai nama samaran untuk merujuk nama gereja dan mal yang diteliti.
7 SM, seorang konselor di gereja Casa Rosa. Wawancara pada tanggal 20 Januari 2010 di
salah satu ruangan gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Historisnya begini, Pak Iw8 itu dulunya adalah salah seorang anggota dari GKI
9. Ia adalah
anggota gereja kita10
. Tapi sebagaimana yang kita tahu bahwa gereja kita ini masalah
yang berhubungan dengan Roh Kudus dalam arti, Bahasa Roh, terus nubuatan, usir setan
kurang dijelaskan. Kita percaya Roh Kudus, tapi cara kerjanya kita pahami berbeda. Nah,
jadi beliau ini rupanya dia merasakan ada suatu. Katakan di dalam hatinya, yang saya
tahu ya dia pernah cerita, ada gerakan di dalam hatinya bahwa ketika gereja-gereja GKI
itu, sejenis gereja GKI merasakan bahwa bahasa roh, waktu itu ekstrim sekali mereka
mencap itu sesat, sesat, sesat. Nah sampai akhirnya beliau, karena dia punya karunia
seperti itu itu, dia merasa seperti itu, itu ditunjukkan juga ketika dia di rumahnya. Dia
sedang belajar, lalu pembantunya kerasukan gitu lho, dia jerit, dia jerit. Dia sedang
belajar, dia dengar, itu dia masih muda itu. Lalu setelah itu dia pergi ke belakang, dia
ambil air satu gelas, dia doakan dalam nama Yesus dan (ehhh: tertawa) itu orang sembuh.
Itu dia jadi punya. Nah kalau selanjutnya beliau ini (Pak Iw), sebetulnya dia ini seorang
pengusaha, dia tidak sekolah teologia memang, dia tidak sekolah teologi, dia seorang
pengusaha, tetapi karena dia punya kerinduan untuk menampung, katakanlah membentuk
suatu gereja, persekutuan di mana yang bersifat itu tadi bisa (diakomodasi). Maka dia
membentuklah gereja di ----- (menyebut nama Mal), di mal ini, persekutuan. Jauh dari
pemikiran bahwa dia mau jadi pendeta, gak, tapi dia adalah yang memanggil orang.
Gereja ini kecil, lalu memang ehh satu dia bilang gini suatu kali dalam ibadah, dia menata
ibadah itu sedemikian rupa, yaitu begitu mulai ibadah malah dikatakan WL yang ada di
belakangnya itu lebih banyak daripada jemaat. WL nya ada, singernya ada, pemainnya
ada. Malah pemain band-nya itu lebih banyak dari orang yang hadir, tapi dia melihat
suatu penglihatan, dia dengar bahwa saat bernyanyi itu dia melihat ke belakang sedikit
sekali orang, tetapi saat memuji itu dia merasakan ada ribuan orang di belakang dan dia
nyanyi bersama. Itu dia merasakan seperti itu.
Itulah latar belakang hadirnya gereja Casa Rosa di mal Piazza Calda. Menurut
penuturan informan ini diketahui bahwa jumlah awal umat di gereja Casa Rosa
bentukan Pak Iw awalnya hanya berkisar 20-an orang saja, yang merupakan
keluarga-keluarga terdekat. Keluarga-keluarga dekat yang umumnya memang
pengusaha ini memilih mal sebagai tempat pertemuan mereka. Ketika saya
bertanya soal usaha apa yang digeluti oleh pendiri gereja ini, informan saya agak
enggan menjelaskannya. Dengan hati-hati ia mengatakan:
8 Iw adalah inisial yang penulis pakai untuk melindungi identitas seseorang. Pak Iw
adalah pendiri gereja Casa Rosa yang kemudian disebut sebagai Bapak Gembala Sidang. 9 GKI singkatan dari Gereja Kristen Indonesia, gereja arus utama yang beraliran
Calvinisme. 10
“Kita” yang dimaksudkan oleh beliau adalah gereja arus utama (gereja saya dan gereja
beliau dulu), karena beliau dulunya adalah seorang pelayan gereja tertentu aliran arus utama,
sebelum aktif sebagai pelayan di gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Ehh beliau ini eh (agak enggan) udah, udah kelas atas sebenarnya bisnisnya, udah ke luar
negeri ya. Dia gerak di batubara dulu, trus sebenarnya ada juga dulu dia kerjasama
dengan tentara republik Indonesia ini, seragam. Bayangkan se Indonesia. Sampai
sekarang itu.... ehhh (enggan lagi) off the record ya, jadi sampai sekarang itu geluti
batubara, tapi dengar-dengar saya gak tau apa naik ke atas apa turun? Tapi ya kurang
lebih begitulah. Ya pokoknya usaha luar negerilah, urusan senjata dengan luar negeri
juga..... ya begitu.... Nah jadi ini berkembang (mengalihkan pembicaraan ke soal gereja).
Ada kesaksian-kesaksian iman bagi dia dulu itu waktu kita ada di ruangan yang pertama
kita mulai itu sewa. Saat sewa itu kita diusir, itu di ruangan sekretariat kita itu, yang kita
ada di situ (sambil menunjuk ruang sekretariat di depan). Gak dikasi sama pengelola, cari
tempat yang lain, tapi beliau tetap berdoa, saya merasa bahwa ini milik ---- (menyebut
nama gereja). Jadi, dengan iman, begitu, sampai pada akhirnya pengelola suruh
mengajukan permohonannya apa? Nanti akan disidang, sampai akhirnya persidangan itu,
OK you dikasi dan ditanya mau tambah berapa? You butuh berapa? Akhirnya kita ada
seperti ini. Lalu, penuh, trus ada tawaran lagi.Tapi intinya pertama kecil, lalu mendapat
tantangan, justru diberi lebih lebar dan lebih besar lagi.
Dengan latar belakang pengusaha, tentu tidak terlalu sulit bagi Pak Iw, sebagai
pendiri gereja Casa Rosa untuk menyokong dana, meskipun awalnya jemaatnya
tidak banyak. Lebih lanjut informan saya mengatakan:
Iya, kalau dari awal karena kebetulan Pak Iw kan pengusaha besar, uangnya banyak,
akhirnya kalau penyelenggaraan ibadah pertama dengan singer, diberi bekal, diberi
makan, itu gak cukuplah kalo dari gereja, persembahan atau apa ya nggak cukup, kalau
tidak ada donatur di balik itu. Nah, makanya dipilih mal karena dia sudah bisa
memperhitungkan semua itu. Kalau dibilang jemaat yang datang, ya jemaat yang datang
umumnya pengusaha. Saya tahu orang-orang awal di sini memang bos-bos gitu. Karena
kalau kita lihat ada orang kasih sumbangan 1 Miliar, itu kan luar biasa, waktu pembelian
sebelah sana (menunjuk ke arah gedung gereja sekarang).
Dari sini saya menyimpulkan bahwa awal lahirnya gereja Casa Rosa adalah
ketidakpuasan akan ajaran di gereja asalnya. Lalu, dengan adanya pengalaman-
pengalaman iman yang “berbeda” namun mengesankan itu, seseorang yang
mempunyai modal cukup untuk membiayai kebutuhan gereja bisa mendirikan
gereja. Saya belum bisa memastikan apakah naluri bisnis Pak Iw turut
mempengaruhi kepiawaiannya memperhitungkan jauh ke depan bahwa tatkala
gereja yang ia dirikan di mal Piazza Calda akan membuat gereja dan mal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
seiring sejalan berkembang dengan pesat. Namun, beberapa aspek tadi saya kira
menjadi faktor yang mendukung lahirnya gereja Casa Rosa di mal.
(Gambar 2) Gedung awal yang dimiliki oleh gereja Casa Rosa pada tahun 1992.
Sekarang dipakai untuk ibadah anak
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
(Gambar 3) Gedung kebaktian sekarang yang lebih luas.
Berada di lantai lima mal Piazza Calda (Tampak depan)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 4) Keadaan di dalam gedung gereja
Casa Rosa Saat Natal tahun 2009
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
(Gambar 5) Pintu masuk umat untuk memulai ibadah
di gereja Casa Rosa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 6) pintu keluar untuk umat yang selesai
Beribadah di gereja Casa Rosa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda
Gereja lain yang berada di mal Piazza Calda berada tepat dua lantai di
bawah gereja Casa Rosa. Dari jumlah umat yang mengikuti ibadah di gereja Casa
Nera, sangat kontras situasinya dibanding dengan gereja Casa Rosa Jumlah umat
yang hadir di gereja Casa Rosa hanya sekitar 150-200 orang. Gereja ini juga
hanya melaksanakan ibadah minggu satu kali saja, karena gereja ini adalah
cabang. Jumlah yang tidak terlalu banyak ini menyebabkan setiap orang baru bisa
langsung dikenali. Saat penulis pertama kali datang beribadah ke gereja ini,
penerima tamu di depan langsung bertanya, “Oh, mbak baru pertama kali datang
ya?”. Lalu saya diminta untuk menuliskan nama saya, dan pada saat warta jemaat
nama saya dibacakan dan diminta berdiri di tempat. Umat yang lainnya
menyambut dengan hangat dan tepuk tangan, lalu petugas penerima tamu yang
tadi berdiri menyambut tamu di pintu masuk, langsung memberikan agenda gereja
ini dalam bentuk buletin dan VCD yang berisi khotbah pendeta pendiri gereja ini.
Menurut pengakuan pendeta di gereja Casa Nera ini, gereja ini awalnya
adalah restoran dengan merk Black Steer yang dipakai sejak tahun 1990-an.
Namun ketika restoran ini berpindah lokasi pada tahun 2005, maka pemilik
restoran ini, yang adalah seorang pelayan gereja ini, memberikan restoran ini
untuk dipakai dengan cuma-cuma sebagai tempat ibadah. Gereja Casa Nera
merupakan gereja wilayah/cabang, sedangkan pusatnya berada di mal yang lain.
Menurut penuturan pendeta di gereja ini:11
Untuk bisa mendirikan gedung gereja susah dapat ijin bangunan, syarat-syarat ijin
masyarakat setempat repot. Itulah sebabnya ketika restoran Blacksteer ini kosong, dan
pemilik memberikannya untuk kami, kami langsung pakai untuk tempat kebaktian.
11
Pdt. Rk, pendeta pelayan di gereja Casa Nera. Wawancara tanggal 17 Januari 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Awalnya ada juga pihak-pihak yang keberatan ketika ruangan ini mau dipakai untuk
kebaktian, tapi akhirnya bisa diatasi. Karena sifatnya pemakaian untuk fungsi tertentu.
Gak ada bedanya dengan fungsi-fungsi yang lain, misalnya counter-counter handphone
yang berfungsi untuk transaksi jual-beli hp.
Sampai saat ini (tahun 2010) ibadah di gereja Casa Nera terus berlangsung. Model
ibadah gereja Casa Nera tidak terlalu berbeda dengan gereja Casa Rosa. Dekorasi
ruangan dan fasilitas ruangan kurang lebih sama. Ruangannya ber-AC, musik
yang dipakai full band, ada LCD yang menampilkan lagu-lagu yang dinyanyikan.
Umat juga bernyanyi dengan luapan ekspresi bahagia, seperti bertepuk tangan,
melambaikan tangan, dan bergoyang. Sebagaimana pengakuan pendeta gereja ini
di bab II tentang upaya menghadirkan suasana ibadah yang nyaman, maka dalam
pelaksanaan ibadahnya petugas ibadah berusaha memberikan yang terbaik, mulai
dari sambutan di pintu masuk, musik, dan khotbah.
Pendeta ini mengakui bahwa 70 % umatnya datang beribadah dengan
menggunakan mobil pribadi. Sekilas dari penampilan umat yang datang ke gereja
ini menunjukkan mereka dari kelas menengah atas. Bapak-bapak umumnya
memakai stelan jas, ibu-ibu berpakaian gaun modis dan juga seksi dengan rambut
yang diwarnai. Saya menyimpulkan bahwa kelas sosial dari mana umat ini berasal
membuat gereja pun harus mampu menyiapkan fasilitas-fasilitas yang nyaman
menurut orang dari kalangan ini, salah satunya ruangan yang tidak gerah, menurut
pendeta tadi.
Menurut pendeta ini jumlah yang tidak terlalu mencolok dalam gereja ini
membuat ikatan kekeluargaan umat lebih dekat. Setiap orang saling kenal satu
sama lain. Kekeluargaan di gereja Casa Nera lebih akrab daripada di gereja Sasa
Rosa. Penulis dapat melihatnya dengan jelas saat ibadah telah selesai, umat tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
langsung bubar. Akan tetapi, umat saling berbincang-bincang satu dengan yang
lainnya. Pendeta gereja ini juga tahu siapa saja umatnya yang datang dan tidak
datang. Ini terbukti saat kesempatan bersalam-salaman dengan pendeta, ia
menanyakan seorang Opa, “Lho, Oma kog gak ikut Opa?”.
(Gambar 7) Gereja Casa Nera tampak dari depan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
(Gambar 8) Tampak depan penanda restoran ini
lewat dua buah tanduk banteng.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
(Gambar 9) Plang tanda restaurant dulu
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(Gambar 10) Bentuk kursi dan tatanannya di dalam
ruang ibadah gereja Casa Nera
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
Bisa dikatakan bahwa kehadiran di gereja Casa Nera di mal ini adalah
suatu kebetulan. Kebetulan restoran kosong, mengapa tidak dimanfaatkan untuk
kegiatan ibadah? Sulitnya izin membangun rumah ibadah di lahan pemukiman
penduduk juga menjadi alasan pihak gereja memanfaatkan ruangan di mal.
Menarik untuk diperhatikan pernyataan pendeta ini tatkala ada masalah soal izin
memakai ruangan, maka alasan yang digunakan adalah bahwa ruang restoran yang
dipakai sebagai tempat ibadah ini tak ubahnya seperti toko-toko lain yang
berjualan di mal itu. Sengaja atau tidak sengaja, tetapi pernyataan ini menyiratkan
pemaknaan tempat ibadah yang tidak terlalu berbeda dengan tempat konsumsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta
Gereja Casa Piccola telah mengalami banyak perpindahan dari satu tempat
ke tempat lain dalam tahun-tahun perkembangannya. Akhirnya pada akhir tahun
2007, gereja Casa Piccola menempati salah satu ruangan di mal yang tidak terlalu
wah di Yogyakarta dengan kapasitas sekitar 1500 tempat duduk. Gedung ini dibeli
bukan disewa.12
Pemakaian gedung yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
tak lain karena izin bangunan gedung gereja yang sulit diperoleh. Oleh karena itu
ketika pihak pemilik mal bersedia menjual beberapa ruangan di mal itu, pihak
gereja membelinya, meskipun tidak dengan harga yang murah. Selain karena
pemiliknya adalah orang Kristen, di lantai bawah mal itu terdapat supermarket
yang menjual banyak kebutuhan rumah tangga. Jika sudah selesai ibadah dan
lelah berbelanja, maka umat bisa menikmati makan siang di foodcourt yang
tersedia di mal.13
Setali tiga uang, jumlah umat yang datang beribadah di gereja
ini merupakan konsumen potensial yang akan membelanjakan uangnya di mal
tersebut.
12
Bunga rampai yang disiapkan oleh panitia perayaan 10 tahun ulang tahun gereja Casa
Piccola, Yogyakarta (diparafrase oleh penulis) 13
Wawancara dengan IS, salah seorang WL (Worship Leader) di gereja Casa Piccola
pada tanggal 25 Mei 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
(Gambar 11) Beberapa pemuda yang terlibat
dalam pelayanan ibadah di gereja Casa Piccola
(Sumber: Dokumentasi Gereja Casa Piccola)
Gereja Casa Piccola berpindah lokasi ibadah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapat izin membangun rumah
ibadah. Lalu, ketika peluang untuk menyewa atau memiliki ruangan di mal
terbuka, maka pihak gereja memanfaatkan kesempatan ini. Hasilnya,
perkembangan jumlah umat selama mengadakan ibadah di mal lebih tinggi
daripada di tempat yang ada selama ini. Gereja yang berada di Yogyakarta ini
mampu menarik perhatian banyak anak muda, khususnya mahasiswa lewat
suasana ibadah yang bersemangat dan bergaya modern. Meski, mal tempat gereja
ini berada tidak terlalu mewah, tapi foodcourt dan supermarket tetap menarik
perhatian pengunjung. Ketika saya mengamati aktivitas pasca ibadah di sini, maka
saya melihat bahwa umat tidak langsung pulang, namun berkeliling (belanja atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
makan) di mal terlebih dahulu. Kekuatan konsumsi agaknyapun menjadi salah
satu faktor daya tarik gereja ini.
Pada kesempatan yang lain penulis melakukan wawancara dengan salah
seorang pendeta muda (biasa disingkat Pdm)14
dari gereja aliran kharismatik, yang
kebanyakan berada di mal. Menurutnya manakala kehadiran mal di Indonesia
semakin marak, maka gereja-gereja melihat situasi ini sebagai peluang. Baginya,
firman Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, maka di manapun gereja berada
itu tidak menjadi soal. Katanya:
“Jawaban yang paling gamblang dan paling mudah sih sebetulnya karena gak punya
gereja yang sesuai apa kata orang tentang gedung gereja, karena GBI-GBI secara khusus
ataupun gereja aliran Pentakosta ini memiliki kesulitan untuk: satu, lahan dan gedung
gereja selayaknya seperti gereja-gereja Protestan atau gereja Katolik zaman dulu. Karena
tergusur-tergusur terus dan ada mal yang mungkin aula-nya belum terpakai atau sudah
tua, dan kemungkinan ini dilihat oleh gembala Tuhan tersebut sebagai opportunity untuk
dibuka, ya dia buka, karena liturginya tidak akan berubah oleh sebab bangunan. Dari mal-
nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai lagi, karena apa? Kan setiap minggunya
banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal yang membuat gereja bertumbuh, itu
opportunity saja. Jadi karena ada yang kosong dan mereka mau sewain buat gereja, ya
udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum). Ide pertamanya gitu. Sebelum tahun 2000-
an sudah mulai banyak. Ketika maraknya mal-mal, dia bikin aula, lalu karena gereja itu
mempertimbangkan berapa nampung? Kapasitasnya paling sedikit kan kurang lebih 500.
Lalu kalo boleh ini disewa oleh gereja dan owner nya bilang gak ada masalah. Dia kan
tahu boleh gak ini disewain karena ada kegiatan gereja, ya kalau owner nya mengijinkan,
kita gak ada masalah, gereja di sini juga gak masalah. Tentu pasti dalam pelaksanaannya
tergantung kepada lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu ya you boleh pakai untuk
ibadah tapi jangan pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh pakai nama, paling ada
spanduk di belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah turunin lagi.
Mal dilihat sebagai suatu peluang dan kesempatan bagi “pemberitaan Injil”. Di
sisi lain, kehadiran gereja juga dianggap sebagai penggerak massa untuk datang
ke mal. Memang, ada kesepakatan-kesepakatan tertentu antara pihak pengelola
mal dengan pihak gereja untuk membuat ibadah di dalam mal itu sendiri,
misalnya tanda-tanda fisik gereja mal. Namun, bagi pihak gereja, kesepakatan itu
14
Wawancara dengan SL, seorang pendeta muda gereja beraliran kharismatik pada
tanggal 14 Januari 2010 di kantor sekretariat gereja, di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
bukanlah hal yang terlalu mendasar selama owner gedung yang dipakai untuk
ibadah itu setuju dengan biaya penyewaan atau kalau memungkinkan dibeli untuk
menjadi milik gereja.
Itulah beberapa latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal. Ibadah
yang umumnya dijauhkan dari pasar, kini hadir di dalam pasar, khususnya pasar
dengan gaya modern, yaitu mal. Mal dengan pesona belanja yang menggairahkan
nyatanya turut pula menggairahkan pola beribadah umat. Selanjutnya akan
dipaparkan pola ibadah gereja di mal yang menimbulkan pengalaman psiko-
spiritualitas yang menggetarkan dalam prosesi ibadah di sana.
3. Pola Ibadah di Gereja Mal
Ibadah sebagai suatu kesempatan bertemu dengan Yang Kudus merupakan
aktivitas yang sentral dalam kehidupan beragama umat. Dalam ibadah ada
beberapa unsur yang diartikulasikan melalui setiap kesempatan dari awal sampai
akhir berlangsungnya ibadah. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab I tentang
unsur ibadah yang diambil dari bagian kitab Yesaya 6:1-8, maka ibadah pada
dasarnya adalah ungkapan kesadaran manusia tentang dirinya, sesama dan
Tuhannya. Pada bagian awal ibadah, umat diajak untuk menyadari tentang Tuhan
yang disembahnya dalam kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan-Nya. Lalu,
umat menatap dirinya sebagai manusia yang sedianya mengagungkan Tuhan
dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, ternyata adalah
manusia yang berdosa, serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa.
Akhirnya, terjadilah pengakuan dosa umat. Umat menyadari bahwa ia sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
tidak taat dalam menjalankan kehendak Tuhana. Oleh karena itu umat melihat
dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari Tuhan
semata. Unsur selanjutnya, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya
adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang
mengaku dosanya.
Orang yang telah berdamai dengan Sang Kudus, yang telah dibaharui itu
kini menjadi pribadi yang siap menerima “siraman rohani” yang akan
disampaikan lewat khotbah pendeta. Isi khotbah akan menjadi pegangan hidup
menjalani pergumulannya hari lepas hari. Berkat dan penyertaan Tuhan menjadi
jaminan keselamatan bagi orang yang menaruh kepercayaannya pada pertolongan
Tuhan. Ini adalah unsur-unsur pokok yang biasanya berlangsung dalam ibadah.
Namun, tiap-tiap gereja punya cara sendiri untuk mengemas unsur ini secara
kreatif dan lebih hidup. Lain di gereja arus utama, lain di gereja mal. Berikut ini
adalah prosesi ibadah yang berlangsung dalam ibadah di gereja mal dalam
pengamatan penulis.15
1. Sambutan di depan pintu masuk oleh empat orang berpakaian rapi yang
memakai stelan jas dan blazer hitam. Penerima tamu biasa disebut Usher.
Mereka terdiri dari tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki. Lalu tiap
umat yang masuk diberikan sebuah buletin Mingguan, satu amplop
persembahan yang lux (dari karton tebal) dan amplop janji iman.
15
Pengamatan Pertama di Casa Piccola pada ibadah minggu tanggal 19 April 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
2. Ibadah dimulai. Pada saat ini lampu mulai diredupkan dan lampu sorot
dimainkan. Menurut penulis suasana ruangan yang remang-remang ini agak
mirip dengan lighting lampu di café. Pada saat ini ada beberapa hal yang terjadi:
a. Worship Leader masuk dengan enam orang singer, delapan orang muda-
mudi sebagai peraga gerak, dan 4-6 orang penari tamborin.
b. Lalu, Worship Leader menyapa umat secara keseluruhan (greeting), dan
memimpin pujian dengan lagu-lagu yang bertempo pelan dan cepat
berulang-ulang16
sekitar 30 menit, sementara jemaat berdiri.
3. Setelah itu ada sambutan dari petugas ibadah (WL, konselor, pendeta muda)
kepada jemaat yang baru pertama kali hadir, diminta berdiri atau mengangkat
tangan supaya diketahui oleh umat yang lain, dan disambut dengan
menyanyikan lagu “Selamat Datang”. Nanti usai kebaktian dipersilahkan masuk
ke dalam ruang “Jiwa Baru”, dan malamnya ada jamuan makan malam bersama
pendeta.
4. Persembahan (kolekte). Hanya satu kantong saja yang diedarkan. Sementara
kantong persembahan diedarkan, warta jemaat “disiarkan” melalui LCD oleh
seorang host, bukan dibacakan seperti gereja arus utama pada umumnya. Cara
mewartakannya mirip seperti iklan di TV, seorang host cantik dengan penuh
percaya diri mengumumkan beberapa kegiatan gereja dan beberapa lowongan
pekerjaan, misalnya lowongan divisi web.
16
Nyanyian berulang-uang ini agak berbeda dengan kebiasaan bernyanyi umat di gereja
arus utama yang umumnya dinyanyikan sekali, terdiri dari 3 atau empat bait. Dalam gereja mal
satu buah lagu bisa dinyanyikan berulang-ulang sampai empat atau lima kali. WL akan
memenggal-menggal labu, misalnya reff diulang dua kali, lalu diulangi lagi dari awal, dan syair
terakhir bisa diulangi sebanyak tiga kali untuk mengakhiri lagu tersebut. Itulah sebabnya satu
nyanyian bisa dinyanyikan tidak kurang dari 5-7 menit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
5. Pendeta pengkhotbah masuk – lalu “kebetulan” ada acara penyerahan anak – di
mana anak-anak kecil dibawa ke depan altar oleh orang tuanya untuk didoakan
oleh pendeta. Sambil didoakan dan diiringi nyanyian, berlangsunglah aktivitas
bahasa roh17
sekitar 30 menit, sementara jemaat tetap berdiri. Uniknya setiap
usai berdoa, bernyanyi, atau mengucapkan satu kata-kata penguatan, seorang
Worship Leader atau pendeta mengajak umat bertepuk tangan seraya berkata,
“Mari beri kemuliaan buat Tuhan kita”.
6. Khotbah
a. Sama sekali tidak membuka Alkitab (mungkin kebetulan, karena di
cabang yang lain pada gereja yang sama, pendetanya membuka Alkitab
sebelum pelayanan firman). Di layar langsung ditampilkan beberapa
gambar yang menjadi judul khotbah minggu ini atau bahkan isi dari nas
yang menjadi sumber bacaan khotbah.
b. Tidak menguraikan suatu perikop/bahan ayat tertentu, melainkan
meloncat-loncat dari perikop yang satu ke perikop yang lain, dan
mengambil ayat-ayat tertentu untuk mendukung topik yang dibicarakan.
c. Pendeta tidak memakai pakaian jabatan gerejawi (misalnya jubah
dengan stola atau dasi putih), hanya memakai stelan jas saja. Ternyata
Pendeta yang bersangkutan melayani lima kali jadwal kebaktian di
gereja yang sama.
17
Pada masa jemaat mula-mula, tak sedikit orang Kristen diberi Tuhan rupa-rupa
“karunia Roh” atau “karunia oleh Roh Allah”, sepertikarunia menyembuhkan orang sakit,
mengadakan mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan Bahasa Roh (glosolalia),
yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak, tetapi yang
perlu diterangkan maknanya (terdapat dalam bagian kitab 1 Korintus 12:10), dalam H. Berkhoof
dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 8. (Bdk. Sugiri,
Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? h. 93-94.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
d. Pendeta memakai kata “Judul”, bukan “Tema”. Pada minggu ini yang
menjadi judulnya adalah “Berpacu dalam Kegerakan”.
e. Inti khotbah: konsep kepuasan hidup sangat dikedepankan. Isi khotbah
sarat dengan teologi sukses/kemakmuran. Menurut Pendeta, orang yang
maju adalah orang yang bergerak (sebagai contoh: Careffour itu adalah
bentuk dari kemajuan, sementara pasar tradisional sudah ketinggalan
zaman, mimbar yang modern inipun kelak harus diganti mengikuti
kemajuan zaman)
f. Aplikasi khotbah. Umat diharapkan dapat memakai khotbah dalam
kegerakan di tengah-tengah keluarga, dalam bisnis dan dalam kehidupan
rohaninya dengan mengikuti program-program gereja, seperti CGM,
Cell Group Movement)
g. Durasi khotbah kurang lebih 50 menit
7. Selesai khotbah, ada satu nyanyian yang dinyanyikan bersama, lalu doa
pengutusan – dan akhirnya pulang sambil bersalam-salaman.
Kurang lebih pola ini hampir sama di setiap gereja-gereja yang ada di mal.
Ibadah berlangsung selama kurang lebih dua jam. Setelah itu akan masuk jam
ibadah selanjutnya. Biasanya umat yang akan masuk pada ibadah berikutnya
sudah antri berdiri di depan pintu masuk. Agaknya umat yang datang tidak mau
terlambat. Mereka rela berdesak-desakan antri menunggu giliran masuk
berikutnya. Di gereja yang lain pintu masuk dan pintu keluar umat dibedakan
mengingat ribuan umat yang akan keluar-masuk setiap pergantian jam ibadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Menurut pengamatan penulis, pada dasarnya unsur-unsur ibadah di gereja mal
tidak terlalu jauh berbeda dengan unsur ibadah yang berlaku di gereja arus utama.
Perbedaan yang mencolok adalah pada istilah-istilah teknis, seperti votum, salam,
introitus, pengucapan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli, yang jarang
(bahkan tidak pernah) disebutkan dalam ibadah di gereja mal.
Umat merasakan “pengalaman iman” yang baru dalam pola beribadah di
gereja mal. Nyanyian yang ekspresif ditambah gerak dan goyang yang girang
membuat umat merasa keluar dari „kungkungan‟ ibadah yang adem-ayem, yang
bahkan melarang tepuk tangan saat ibadah berlangsung – yang selama ini mereka
alami dalam ibadah di gereja asalnya. Khotbah pendeta juga menjadi pusat
perhatian umat. Secara umum isi khotbah berkisah soal kemakmuran, bagaimana
menjadi sukses di dalam Tuhan? Bagaimana menjadi orang yang diberkati Tuhan
dalam usaha yang sedang dijalankan? Bagaimana kita bisa memuji Tuhan lewat
BB (Blackberry)? Yang terakhir penulis dengar dalam khotbah seorang pendeta
dalam ibadah Youth, yang biasanya dilangsungkan setiap malam minggu. Bahkan
dalam salah satu khotbahnya seorang pendeta gereja ini mengatakan dengan tegas
bahwa Yesus bukan orang miskin, Ia adalah orang kaya, dan kita sebagai orang
yang diberkati Tuhan tentu akan menjadi orang kaya pula. Kalau sudah menjadi
sukses di dalam Tuhan, umat juga diingatkan agar tidak lupa memberi
persembahan kepada Tuhan. Cara berkhotbah yang “menggelegar” dan
meyakinkan umat dengan ucapan, “Ada amin?”, Lalu umat menjawab serempak,
“Amin”, rasanya semakin menambah klop-nya khotbah pendeta tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Kadangkala dalam khotbah, pendeta meminta beberapa orang untuk
memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. Misalnya: dalam kasus hukum
tabur-tuai menurut Alkitab, seorang pengusaha muda bersaksi, “Ketika saya
menomorsatukan Tuhan dalam hidup saya, saya memberikan persembahan
kepada Tuhan, meskipun saya hanya makan tempe, berjalan kaki ke sana ke sini,
namun apa yang saya tabur itu menuai hasil yang luar biasa. Dalam setahun gaji
saya naik lima kali, kini kami punya dua buah rumah besar yang harganya tak
kurang dari ratusan juta rupiah. Ditambah mobil mewah”. Kesaksian ini
disambut dengan tepuk tangan meriah dan takjub oleh umat. Kesaksian-kesaksian
seperti ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh umat dan terang saja
mampu menggugah dan memotivasi umat yang lain. Setidaknya itulah yang
dungkapkan beberapa informan saya tentang efek dari kesaksian orang dalam
ibadah (lih. Transkripsi wawancara 1).
Gereja ini juga tidak jarang menghadirkan pengkhotbah dari luar negeri,
misalnya dari Amerika, Singapore, atau Malaysia. Beberapa kali saya mengikuti
ibadah, pengkhotbahnya berbahasa Inggris karena berasal dari luar negeri. Tentu
saja seorang penerjemah diperlukan supaya umat mengerti isi khotbah yang
disampaikannya. Menariknya, seorang penerjemah memiliki semangat yang sama
persis dengan pengkhotbah, baik itu intonasi, mimik wajah, bahkan guyonannya.
Saya pikir situasi inipun menambah kesan wah lainnya dalam mengikuti proses
ibadah di gereja mal. Saya merasa tidak hanya sedang beribadah di Jakarta, tetapi
di Singapore, di mana kemampuan bahasa Inggris saya sedang dilatih juga. Saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
tentu tidak mau terkesan tidak mengerti isi khotbah pendeta tersebut atau
ketinggalan tertawa, meskipun ada penerjemah.
Kesemarakan ibadah di gereja mal sangat dipengaruhi oleh peran serta
semua pelayan/petugas ibadah, mulai dari penerima tamu, Worship Leader,
singer, dancer, cameraman, tim musik, tim LCD, pengkhotbah. Menurut salah
seorang informan18
, mereka yang terlibat aktif sebagai pelayan/petugas di gereja
mal ini, diapresiasi dengan sangat baik. Setiap persiapan yang mereka lakukan
untuk memberikan yang terbaik dalam ibadah dianggap sebagai pekerjaan
professional. Penerima tamu (usher) di depan pintu pun mendapatkan amplop
ucapan syukur. Worship Leader, singer, dancer dianggap sangat layak untuk
dihargai sesuai kontribusi mereka. Bahkan, konon pendeta yang berkhotbah pun
memiliki tarif-tarif tertentu, yang diukur dengan tingkat “bintang berapa”.
Misalnya: pendeta dengan popularitas bintang lima dihargai senilai Rp. 1,5 juta
sekali berkhotbah, pendeta bintang tiga dihargai senilai Rp. 1 juta (lih. Transkripsi
wawancara 2).
Di pihak lain, pihak gereja mal tampaknya sangat mengakomodasi
kemajuan teknologi. Untuk mendukung ibadah, gereja ini sudah terbiasa
menggunakan LCD, TV-flat, AC, peralatan band, lampu sorot/disco, smoked,
kursi satuan merk Chitose, sound system merk Marshal dan Laney. Alat-alat ini
menambah kesan mewah dalam ibadah. Amplop persembahan-pun sangat lux,
bukan amplop merk Air Mail biasa, tetapi dari karton tebal dan colourfull, selain
itu ada juga amplop janji iman.
18
Pengakuan SM dalam wawancara pada tanggal yang sama seperti di atas. (Lih.
Transkrip wawancara 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
(Gambar 12) Amplop persembahan di Gereja Casa Piccola
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal
Dari pengamatan saya, umat yang beribadah di gereja mal pada umumnya
berasal dari kelas menengah atas. Memang akan sulit untuk mengetahui kondisi
ekonomi seseorang apabila hanya melihat tampilan luarnya saja, tanpa
berinteraksi langsung dengan mereka. Namun, penulis berani memastikan mereka
berasal dari kelas menengah atas berdasarkan penampilan (cara berpakaian) yang
mirip eksekutif muda dan mobil yang dipakai. Kelompok ini tentu mempunyai
pergumulan yang berbeda dengan kelompok lain, katakanlah kelas menengah
bawah. Umumnya kelompok ini merupakan golongan usia produktif bekerja atau
paling tidak orang yang telah berpengalaman dalam dunia bisnis.
Kondisi psikologis kelas menengah seperti ini bisa dipastikan memiliki
tingkat kepenatan yang cukup tinggi dalam tuntutan kerja mereka. Situasi kerja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
dari hari Senin sampai Jumat, atau kadang-kadang sampai hari Sabtu, ditambah
kemacetan jalanan di Jakarta menambah kepenatan demi kepenatan. Dari
beberapa informan penulis, agaknya situasi seperti inilah yang ditangkap oleh
pihak pengelola gereja di mal. Orang-orang seperti ini membutuhkan saat santai
dan refreshing yang efektif dan efesien di akhir pekannya. Sementara itu, gereja
Casa Piccola yang berada di Yogyakarta sanggup menjawab kebutuhan anak
muda yang umumnya kuliah di kota ini dalam gairah masa muda lewat pola
ibadahnya. Gereja di mal dan pola ibadah yang ekpresif mampu memberikan
tempat bagi situasi ini.
Menurut saya ada beberapa hal yang membuat orang rutin beribadah di
gereja mal tanpa harus menjadi anggota tetap di sana. Pertama sambutan dan
sapaan ramah oleh penerima tamu (usher) entah mereka datang terlambat ataupun
tidak. Mereka merasa diterima meskipun bukan jemaat asli gereja tersebut. Para
usher yang berpakaian rapi itu menambah kesan elegan memasuki ruang ibadah.
Ada perasaan spesial manakala usher mempersilahkan masuk, bahkan mencarikan
tempat duduk. Belum lagi ketika mereka pertama kali datang beribadah di gereja
tersebut mereka di perkenalkan dan diberikan sambutan oleh seluruh jemaat, dan
kadang-kadang diberikan kenang-kenangan seadanya. Saya sendiri pernah
merasakannya saat melakukan penelitian ini. Bisa dibayangkan betapa perlakuan
ini menumbuhkan rasa diterima dan dihargai.
Pola ibadah yang ekspresif lewat tepuk tangan, menari, melompat,
bergoyang bisa menjadi sarana melepaskan emosi dan kepenatan mereka. Umat
dengan bebas mengekspresikan kediriannya setelah sepekan lelah bekerja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Semangat umat “dibakar” oleh situasi ibadah yang semarak dan fasilitas ibadah
yang modern. Ketika umat melompat-lompat, lampu sorot ikut bermain,
menciptakan warna-warni yang indah di dalam ruangan itu. Umat bebas
bergoyang karena lampu di ruangan agak diredupkan. Jadi, tidakperlu malu akan
dilihat oleh orang lain. Semuanya bebas bergerak dalam bahasa tubuh yang
menandakan suatu makna tertentu dalam pengalaman psiko-spiritual umat.
Karena gereja seperti ini umumnya berada di kota-kota besar, tak jarang
umat bertemu dengan artis-artis rohani Kristen yang mengisi pujian/nyanyian atau
memberi kesaksian iman dalam ibadah di gereja tersebut. Kesaksian iman artis-
artis tersebut mampu menggugah iman umat yang hadir (lih. transkripsi
wawancara 1). Seperti beberapa waktu lalu ketika penulis melakukan pengamatan
di acara Natal Kaum Ibu salah satu gereja mal, bintang tamunya yang memberi
kesaksian adalah seorang penyanyi non Kristen yang saat ini sedang belajar
agama Kristen (akan melakukan konversi). Beratnya persoalan rumah tangga yang
dihadapinya, membuat ia ingin belajar mengenal Kristus. Kristus yang maha baik
dan pengasih agaknya menjadi jawaban dalam masalahnya. Ibu-ibu yang hadir di
situ begitu terkesima dengan kesaksian penyanyi tersebut. Mereka memperhatikan
dengan seksama kesaksian si artis. Mereka ikut terharu mendengar beratnya
persoalan rumah tangga si artis dan mereka bertepuk tangan mengapresiasi
pilihan si artis, meskipun si artis tidak menunggu acara Natal sampai usai, karena
sebelum khotbah mulai, toh artis sudah pulang dengan pengawalnya.
Sensasi yang lain adalah khotbah pendeta. Seorang informan
mengungkapkan bahwa khotbah di gereja mal ini lain dengan gereja biasa, “Kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
tidak diajar tentang sejarah-sejarah yang akhh membosankan, belum lagi
pendetanya gak semangat, tapi khotbahnya mengena di hati. Kita ditantang
sebagai orang Kristen apa yang kita berikan untuk Tuhan, pokoknya enak
didengar deh”, begitu pengakuan salah seorang informan yang berstatus jemaat
simpatisan.19
Umat mendapatkan semangat baru dari pesan khotbah yang
disampaikan. Memang secara umum pengkhotbah gereja mal menyampaikan
khotbahnya dengan bersemangat, berapi-api dan sering membuat lelucon yang
menyegarkan. Kadang-kadang pendeta berkhotbah turun dari mimbar dan berjalan
ke sana-sini. Pergerakan ini memang lebih mudah karena mereka tidak memakai
jubah panjang, tetapi umumnya memakai stelan jas. Tak jarang pengkhotbah
untuk ibadah pemuda malah memakai jeans dan kemeja pressbody. Khotbah
mereka juga sangat interaktif dan komunikatif. Umat diajak berdialog dengan
pendeta tentang isi khotbahnya.
Yang tak kalah penting adalah isi khotbah. Isi khotbah umumnya tentang
kemakmuran dan kesuksesan. Dalam khotbah seorang pendeta, sangat jarang
(hampir tidak pernah) menyinggung tentang kemiskinan, penderitaan sosial,
tindak pidana korupsi yang merugikan banyak orang, dan lain-lain. Tak jarang
umat sengaja mencari jadwal pendeta yang khotbahnya lucu-lucu dan
menyegarkan. Oleh karena itu kesan saya mereka merasa “aman dari khotbah
yang menegur”. Hal ini juga terlihat dari pendapat informan berikut ini.
Dia (seorang pendeta) ngaku di sebuah wawancara di koran, bahwa dia tidak
akan mengatakan yang jelek-jelek dan negatif, tentang dosa dan sebagainya
karena itu tidak disukai oleh jemaat-jemaatnya. Iya, dalam hal ini, dia
19
ES, seorang guru SD Kristen di Jakarta, wawancara tanggal 21 Januari 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
mengkhotbahkan yang enak-enak aja dan itu yang banyak dicerca oleh gereja
lain, tapi saya kira itu bukan Injil yang sebenarnya”20
Dengan demikian wajarlah jika kelompok kelas menengah yang bergumul dengan
bisnisnya, menyukai isi khotbah yang memotivasi seperti ini. Tingkat kesuksesan
seseorang bahkan dapat menjadi tolok ukur tingkat keimanannya. Umat
disemangati supaya menjadi anak-anak Tuhan yang berprestasi dan mengingat
pertolongan Tuhan dalam hidupnya lewat persembahan yang diberikan ke gereja.
Hal lain tentang ibadah di gereja mal adalah prestise. Ketika mereka
beribadah di gereja mal, mereka bertemu dengan realitas tampilan “kemewahan,
kemegahan dan keistimewaan”. Cara berpakaian umat yang santai tetapi tetap
mewah, kendaraan pribadi yang membuat padat tempat parkir, sistem pemberian
persembahan atau persepuluhan via rekening bank entah disadari atau tidak
membuat mereka merasa menjadi bagian dari realitas itu dan bangga dengannya.
Belum lagi ada tokoh terkenal atau populer seperti pejabat pemerintah dan artis
yang hadir dalam ibadah itu atau yang memang rutin beribadah di gereja tersebut
tentu makin menambah faktor prestise ini.
Kesan saya, umat menemukan cara menggereja yang baru lewat beribadah
di gereja mal. Umat telah merasa bosan dengan pola ibadah yang kaku dan terlalu
menjaga tradisi, sehingga tertutup dengan pembaharuan. Kesan ini juga yang
dirasakan oleh seorang Pendeta Muda, informan saya, khususnya di kalangan
pemuda (lih. transkripsi wawancara 4). Mereka tidak perlu malu karena umat yang
hadir belum tentu saling kenal satu sama lain, tidak akan ada gosip-gosip seputar
20
SS, seorang dosen teologi di Jakarta, wawancara tanggal 15 Januari 2010 di Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
kehidupan umat yang bisa beredar (hal ini biasanya sangat rentan dalam gereja
kesukuan). Yang penting khotbahnya enak, membangun iman, berikan kolekte
sesuai kepuasan yang didapat, lalu pasca ibadah masih bisa bersantai “cuci mata”
di mal. Gereja di mal agaknya menjadi tren pemenuhan spiritualitas yang bisa
menyentuh kebutuhan psikologis orang-orang dari kelas ini. Pengelola gereja mal
bisa menangkap kegelisahan mereka.
Hal lain yang dirasakan sangat menggugah iman dan membuat hati plong
adalah saat Altar Call. Bagian ini sangat menarik, umat ditantang untuk
menunjukkan responsnya atas khotbah yang telah disampaikan. Biasanya
tantangan ini berkaitan dengan keterikatan seseorang dengan roh jahat atau dosa-
dosa keturunan yang membuat hidupnya belum juga damai atau masih menderita
sapai saat ini. Mereka yang dipanggil ke depan altar didoakan dan
ditumpangtangan oleh pendeta. Beberapa pelayan ibadah yang lain juga turut
berdiri mendampingi umat yang maju ke depan tadi. Pendeta berdoa dengan suara
yang lantang, sementara itu ibadah menyambung-nyambung doanya tersebut.
Terciptalah suasana doa yang ramai karena mereka berdoa dengan suara yang
keras, “Shhhsssss, pergi kau iblis, kami tengking21
di dalam nama Tuhan Yesus”.
Doa ini berkali-kali diulangi, berganti-gantian dengan ucapan, yang menurut
mereka adalah karunia bahasa roh, “Sylabalaba, bababaabbab, lalallaallalal”
semakin lama semakin kencang, pelan lagi, kencang lagi. Kesan saya terhadap
situasi ini adalah timbul semacam perasaan magis, karena sedang terjadi
“pertempuran” antara roh jahat dan roh Tuhan dalam diri seseorang.
21
Kata “tengking” merupakan kata yang sangat sering dipakai oleh gereja ini untuk
memperlihatkan proses mengeluarkan roh-roh jahat dari dalam diri seseorang. Agaknya kata
tengking memiliki kedekatan arti dengan enyahkan, keluarkan, hancurkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Satu gelombang Altar Call bisa berlangsung selama setengah jam. Umat
yang tadinya berdiri kadang kala ada yang terjatuh ke lantai dan pingsan.
Biasanya peristiwa ini dipahami sebagai keluarnya roh jahat dari dalam tubuh
seseorang. Namun, di pihak lain, informan saya pernah mengatakan bahwa ia
terjatuh karena posisi badan yang tidak seimbang. Saat matanya terpejam,
kepalanya disentuh, pundaknya dipegang, lalu didoakan dengan suara keras, maka
pertahanannya limbung dan ia terjatuh. Umat merasakan ada sensasi magis yang
terjadi di sana atas bantuan Roh Kudus melalui pendeta yang diurapi itu. Ada
kelegaan tersendiri, ketika beban batinnya didoakan oleh pengkhotbah dengan
cara yang memang tidak terlalu umum di gereja-gereja konvensional. Menurut
pengamatan saya acara ini sifatnya sangat teatrikal.
(Gambar 13) Suasana Altar Call: pengkhotbah memanggil beberapa orang
maju ke depan sambil diiringi nyanyian oleh singer.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kegiatan pasca ibadah tidak kalah penting. Setelah ibadah biasanya
mereka berkumpul bersama teman atau anggota keluarga yang juga beribadah di
gereja tersebut sambil makan bersama. Selain makan bersama mereka juga dapat
sekalian berbelanja atau paling tidak “mejeng di mal”.
Sensasi belanja dan suasana foodcourt semakin menambah lengkap pesona
mal sebagai one stop service. Jika mau belanja kebutuhan sehari-hari, ada
supermarket atau hypermarket yang siap menjual mulai dari bumbu dapur sampai
alat elektronik. Apabila bepergian dengan keluarga, anak-anak kecil bisa dibawa
ke arena bermain anak. Semuanya bisa dilakukan dengan one stop service di mal.
5. Kesimpulan
Ada berbagai alasan dan latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal.
Pihak pengelola gereja sebenarnya memiliki keinginan untuk membangun gereja
di wilayah pemukiman penduduk dan di lahan tertentu, sebagaimana gereja-gereja
pada umumnya. Namun, dalam kenyataannya, izin untuk membangun rumah
ibadah agak sulit diperoleh. Keinginan yang kurang didukung oleh ketatnya
aturan pemerintah dan masyarakat inilah yang agaknya membuat pihak pengelola
gereja mencari alternatif lain.
Akhirnya, kehadiran mal dianggap sebagai peluang untuk mengadakan
ibadah di sana. Meskipun tidak sebebas gereja-gereja arus utama yang memberi
tanda-tanda Kristen pada fisik gerejanya, misalnya salib di depan gereja, namun
gairah mengadakan ibadah tetap berkobar. Hasilnya, malah luar biasa. Mal yang
awalnya sepi, justru “dihidupi” oleh umat yang datang beribadah di gereja mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Justru gereja mal mempunyai daya tarik tersendiri bagi umat. Setiap hari Minggu
ada ribuan umat yang potensial membelanjakan uangnya di mal setelah mereka
mengikuti ibadah di gereja tersebut. Fenomena ini menjadikan adanya simbiosis
mutualisme yang terjadi antara pengelola gereja dan pengelola mal, meskipun
ketika ditanyakan, pihak pengelola mal seolah-olah tidak terlalu peduli dengan
simbiosis mutualisme ini, karena yang terpenting gedungnya laku disewa.
Yang terjadi kemudian adalah ibadah dan belanja berduet dalam atmosfer
pesona mal. Jika dulu orang memiliki kesan tentang gereja yang kudus dan pasar
yang kurang kudus, kini orang tidak terlalu mempersoalkan pemaknaan keduanya.
Yang terpenting saat ini adalah penggabungan keduanya. Ada pola-pola yang
hampir mirip ketika orang bicara soal hasrat beribadah dan hasrat berbelanja.
Hasrat belanja yang tidak pernah terpuaskan ada miripnya dengan hasrat mencari
Yang Ilahi yang selalu dirindukan sentuhannya.
Masuk ke ruang ibadah kita disambut senyum hangat dan bersahabat para
penerima tamu. Setelah itu, ibadah yang dilangsungkan di dalam gereja sangat
ekspresif dan “lepas”. Konon, pendeta-pendeta yang berkhotbah adalah pendeta
yang telah tersohor namanya dengan khotbah yang menggelegar dan sedap
didengar karena bicara soal “Bagaimana menjadi sukses di dalam Tuhan?”.
Belum lagi kesaksian beberapa orang yang meng-amin-kan pesan khotbah, karena
kekayaan dan kesuksesan yang dimilikinya sekarang disebabkan oleh berkat
Tuhan yang luar biasa dalam hidupnya. Bentuk promosi seperti diskon, iklan dan
sense of space dalam pesona mal melahirkan suatu pengalaman iman dan belanja
yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA
DI GEREJA MAL
Salah satu sifat manusia adalah berhubungan dengan manusia lainnya.
Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan
keinginannya masing-masing. Dalam proses berhubungan inilah tercipta interaksi
sosial dalam kehidupan manusia. Interaksi terjadi apabila satu individu melakukan
tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain. Bentuk
interaksi itu bermacam-macam, salah satunya yang akan penulis pakai untuk
menganalisis tema menggereja di mal adalah interaksionisme simbolis yang
dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead melihat realitas sosial yang terjadi di
masyarakat lewat bahasa simbol yang ditafsirkan. Bagi Mead realitas sosial muncul
karena interaksi lewat simbol antar anggota masyarakat. Perhatian utama dalam teori
interaksionisme simbolis adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling
ketergantungan yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman
kelompok kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran individu dan
pola-pola interaksi dalam skala kecil.1
Bab ini akan menganalisis dan menafsirkan secara mendalam realitas sosial
seperti apa yang dilahirkan oleh orang-orang yang beribadah di gereja mal. Lalu,
bagaimana orang-orang yang menggereja di mal mengidentifikasikan dirinya dengan
1 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
pola konsumsi mal itu sendiri? Teori konsumsi dari Baudrillard akan dipakai untuk
melihat bagaimana barang-barang menjadi sarana komunikasi dan interaksi orang
dalam masyarakat konsumsi. Untuk menguraikan tema-tema ini, penulis akan
menempuh dua langkah, yaitu menguraikan temuan penulis tentang simbol-simbol
baru dalam pola ibadah di gereja mal, lalu mencermatinya secara analatik lewat
penafsiran simbol-simbol yang ada, sehingga terbentuklah komunitas gereja dalam
masyarakat konsumsi.
1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal
Gereja mal menciptakan berbagai jenis interaksi simbol di dalamnya. Dari dua
kata yang membentuknya, yaitu gereja dan mal, maka yang secara langsung muncul
di pikiran orang adalah hal tentang gereja yang berada di mal dan gereja yang
memakai fasilitas di mal sebagai ornamen-ornamen ibadatnya. Oleh karena itu, bisa
dipastikan bahwa simbol-simbol interaksi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mead
tercipta dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan simbol-simbol
interaksi dalam gereja konvensional. Ada banyak simbol yang tercipta di gereja mal,
namun penulis memilih beberapa simbol yang dianggap penting yang cukup berbeda
dengan konsep gereja konvensional ataupun gereja sealiran yang tidak berada di mal.
Konsep Mead tentang bahasa isyarat, suara, dan konsep diri akan dipakai sebagai
kerangka teori untuk mengetahui kekuatan simbolik apa yang terdapat dalam
interaksionisme simbolis yang berlangsung dalam kehidupan umat yang menggereja
di mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
1.1 Bahasa Tubuh
Sebagaimana setiap orang terhisab dalam komunitasnya dan memahami
konsep-konsep simbol yang berlaku di komunitasnya tersebut, maka umat di gereja
mal dengan sadar mengekspresikan gerak tubuhnya dalam ibadah yang berlangsung.
Gerak tubuh ini menjadi isyarat yang ditafsirkan oleh anggota dalam komunitas itu
dan tentu saja memberi efek yang mendalam pada diri orang yang memakainya.
Beberapa gerak tubuh itu antara lain:
i. Mengangkat tangan (satu atau dua tangan) ke atas
Gerakan ini umumnya dilakukan pada saat menyanyikan lagu. Saat
menyanyikan sebuah lagu umat terhanyut dalam suasana girang dan sendu, sehingga
dengan refleks mengangkat tangannya. Namun, kadangkala ajakan tersebut datang
dari Worship Leader yang memimpin berlangsungnya ibadah. Ada beberapa gerakan
dalam mengangkat tangan, antara lain: mengangkat kedua tangan ke atas dengan
telapak tangan terbuka, mengangkat satu tangan ke atas sementara dengan posisi
telapak tangan terbuka dan tangan lain diletakkan di dada dengan posisi telapak
tangan mengusap dada atau mengepalkan tangan di dada, mengangkat kedua tangan
ke atas dengan mengepalkan kedua telapak tangan. Kedua tangan yang terangkat ke
atas dengan posisi telapak tangan terbuka dan diayun ke kanan dan kiri membawa
seseorang masuk ke dalam suasana gembira berada dalam komunitas. Sementara
tangan yang dikepalkan menyiratkan suatu kebulatan tekad dan kepastian dalam diri
umat, misalnya dalam lirik lagu, “Ku mau menyenangkan-Mu Yesus,” tangan kanan
dikepalkan dengan kencang sebagai pernyataan kebulatan tekad seseorang untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
menyenangkan Yesus. Umat dalam komunitas di tempat itu mengkomunikasikan
pesan bahwa dirinya yang sedang mengangkat tangan dan mengepalkan tangan
adalah seorang beriman yang ingin menyenangkan Yesus dalam kehidupannya. Ada
pesan “iman” yang dikirim umat dalam gereja itu dalam bahasa simbol yang mereka
lakukan lewat gerakan tangan ini.
Gerakan lain yang juga sering dilakukan oleh umat pada saat menyanyi adalah
memejamkan mata, seakan membiarkan lagu itu masuk ke relung hatinya yang paling
dalam. Mata yang terpejam umumnya membantu seseorang berkonsentrasi dalam
melakukan suatu tindakan. Sementara mulutnya terus bernyanyi, tangannya diangkat
ke atas, matanya terpejam, umat berada dalam suasana riang nan syahdu yang
diciptakan dengan sangat baik oleh tim musik dan Worship Leader yang bertugas.
Gerakan ini memiliki kekuatan yang mendalam pada diri umat karena berkaitan
dengan pemaknaan akan sesuatu yang “berkuasa” di dalam dirinya. Tentu tidak
mudah bagi seorang Worship Leader untuk menciptakan suasana seperti ini. Ia perlu
latihan untuk menyesuaikan jenis musik dengan pesan yang akan disampaikannya,
memenggal lagu dan mengulanginya, mengisi jeda di lagu dengan kata-kata motivasi,
dll. Ini terbukti lewat wawancara penulis dengan salah seorang tokoh (tangan kanan
gembala sidang)2 ketika penulis hendak meminta wawancara dengan tim musik:
“Oh tidak bisa wawancara, mereka (tim musik) sangat sibuk. Kalau kamu mau
datang lihat latihannya di hari Sabtu silahkan saja, tetapi saya tidak jamin mereka
mau diwawancarai karena mereka sangat sibuk”
2 Seorang ibu tangan kanan gembala sidang, wawancara tanggal 20 Desember 2009 di ruang
sebelah sekretariat Gereja Casa Rosa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Kepiawaian tim musik menciptakan suasana yang mengagumkan ini terbukti pada
saat ibadah hari Minggu nyaris mereka tampil tanpa cacat dan membuat umat yang
hadir mampu menghayati setiap kesempatan dengan ekpresi mengangakat tangan atau
memejamkan mata. Saat pertama kali saya datang ke gereja ini, saya merasa agak
canggung mengikuti gerakan tubuh seperti ini karena tidak terbiasa dilakukan di
gereja saya. Namun bagi mereka yang sudah rutin beribadah di gereja ini, aksi
mengangkat tangan adalah hal yang lazim. Bahkan jika tidak mengangkat tangan
malah mungkin merasa tidak enak karena biasanya akan diperhatikan oleh atau dilihat
oleh beberapa orang (petugas ibadah) yang berdiri di ruas-ruas tempat duduk umat.
Tentang hal ini akan lebih jelas dibahas pada bagian analisis mengenai beberapa
motivasi orang melakukan suatu tindakan yang menjadi komunikasi simbol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
(Gambar 1) Mengangkat tangan dalam ibadah menjadi ciri gereja ini,
ekspresi mendalam saat bernyanyi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
ii. Tepuk tangan
Tepuk tangan adalah suatu cara memberi apresiasi pada suatu hal yang
dianggap baik. Tepuk tangan dalam ibadah di gereja ini tidak terbatas pada tepuk
tangan biasa(di depan dada). Kadang-kadang tepuk tangan dilakukan dalam posisi
diatas kepala. Cara ini menjadi suatu kekuatan simbol yang menandakan bahwa
seseorang sedang bersemangat dan bergembira mengikuti prosesi ibadah itu. Pesan
yang dikirim oleh Worship Leader kepada umat dan pesan yang dikirim antar umat
adalah ekspresi bahagia dan sukacita. Ungkapan yang sering dipergunakan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
khususnya setelah mengakhiri suatu lagu, Worship Leader akan mengucapkan, “Beri
tepuk tangan bagi Tuhan kita”, dan umat dengan serempak memberikan tepuk tangan
yang meriah. Luapan kegembiaraan yang dirasakan oleh semua umat dikirim lewat
pesan tepuk tangan mengakhiri lagu. Bagi saya yang baru pertama kali datang,
tindakan ini pasti agak menganggu karena di gereja-gereja arus utama, umumnya
sangat jarang bertepuk tangan dalam ibadah, khususnya ibadah minggu karena
dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah. Gerakan-gerakan yang biasanya
dilakukan dalam ibadah di gereja konvensional agak terbatas pada aksi duduk dan
berdiri saja.
iii. Melompat dan Menari
Melompat dan menari merupakan aksi yang cukup sering dilakukan dalam
ibadah di gereja mal. Pada bagian ini lagu yang dinyanyikan biasanya bertempo
cepat. Seseorang yang melakukan hal ini bisa mengirimkan pesan pada orang lain
yang ada di sekitarnya bahwa dirinya sedang bersukacita, bergembira dan
bersemangat. Gerak dan goyang ini dilakukan tanpa sungkan atau malu-malu,
ditambah pemandu gerak di depan mimbar juga dengan sangat ekpresif
mencontohkan gerak demi gerak yang sesuai dengan kata-kata di dalam lagu tersebut,
misalnya lirik lagu, “Dari utara ke selatan, nama Yesus disanjung tinggi, dari barat
sampai ke timur … dari lembah-lembah, sungai-sungai, gunung-gunung yang
tinggi… Allahku dahyat, perkasa, seluruh bumi tunduk menyembah …”. Umat tidak
akan sungkan mengangkat tangannya menunjuk kiri, kanan, muka dan belakang,
bergoyang ke kanan dan ke kiri, lalu melompat ketika ada pernyataan kedahsyatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Allah. Ekspresi ini diungkapkan dengan sangat terbuka. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan gereja lain, yang dalam kebaktiannya jarang sekali bertepuk tangan, menari
dan melompat. Tiap orang yang menggereja di gereja mal sudah tahu bahwa di gereja
ini ibadahnya tampil sangat ekspresif. Setidaknya begitulah pengakuan informan
penulis saat melakukan wawancara:
“Yang membuat aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya,
lagu-lagunya. Padahal lagu-lagunya kadang memakai Kidung Jemaat
juga, tetapi cara menyanyikannya yang berbeda, lebih
semangat dan ekspresiflah”3
Suasana yang berbeda yang ditemukan di gereja mal ini membuat beberapa umat
yang meskipun telah memiliki keanggotaan di gereja lain, merasa tertarik beribadah
di sana. Ada semacam “kebosanan” tersendiri dengan pola ibadah di gereja asalnya
yang kelihatannya agak kaku dan tidak terlalu memberi tempat pada aksi-aksi yang
lebih semarak, misalnya tepuk tangan atau menari. Pengakuan ini juga terlontar oleh
informan yang lain:
“Kita tu dibawa masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana
sih, ekspresif aja, gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita,
tenaga kita, energi kita untuk Tuhan, fokuslah.”4
Agaknya para informan ini berani bertaruh bahwa pertumbuhan iman mereka di
gereja mal jauh lebih dinamis dibandingkan di gereja asal mereka. Ha ini juga
terbukti dari mimik wajah dan antusiasme para informan ketika penulis mewawancari
3 Wawancara dengan ES, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu digereja arus
utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD. 4 Wawancara dengan RS, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus
utama. wawancara tanggal 21 Januari 2010di Sekolah PSKD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
mereka tentang ibadah di gereja mal ini. Dengan bersemangat mereka menceritakan
pengalaman mereka beribadah di sana dan terpesona dengan pola ibadah yang
ditampilkan.
(Gambar 2) Kelompok penari Tamborin yang ikut menyemarakkan
Lagu-lagu yang dinyanyikan dengan tarian mereka
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
iv. Munundukkan kepala, memukul dada, dan menangis
Setelah sekitar 30 menit umat diajak dalam suasana “sorak-sorai bergembira”
pada bagian awal ibadah, maka umat yang tadinya bersemarak dengan luapan
kegembiraannya, kini digiring ke dalam suasana teduh nan syahdu, yaitu saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
pengakuan dosa. Jenis lagu dan tempo lagu yang dimainkan langsung berbeda. Pada
bagian ini lagu yang dinyanyikan lebih pelan dan menyayat hati, misalnya pada lirik
lagu, “… walau dosaku merah bak kain kesumba, Engkau menjadikanku putih,
seputih bulu domba…”. Dengan lugas layar di LCD dan TV-TV flat yang ada di
sekitar ruangan ibadah menampilkan gambar-gambar orang yang berlutut, yang
mengakui kesalahannya dan gambar Tuhan yang mengampuni manusia yang tentu
saja mampu menggugah perasaan umat. Worship Leader kembali menggiring umat
masuk dalam penghayatan pengakuan dosa ini. Menurut pengakuan seorang
informan:
“Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita dibawa. Nah kita merasa kuat dan
plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang saya rasa’in di gereja ini”5
Dengan jujur informan mengakui bahwa ada perasaan lega manakala umat menangis
sekaligus merasakan bahwa ada “sentuhan ilahi” yang memasuki hidupya yang
berdosa dan berbeban berat itu. Penulis sendiri merasakan hal yang kurang lebih
serupa. Di bagian ini tim musik mampu menghasilkan suasana syahdu yang
melibatkan emosi umat. Itulah sebabnya tak jarang ada umat yang menitikkan air
mata atau terisak-isak di dalam doa pengakuannya. Umumnya posisi tangan yang saat
berdoa berada di depan dada. Sambil menunduk sedih umat hanyut dalam refleksi
perasaan dosa dan bersalah yang dilakukannya mungkin dalam sepekan ini. Umat
tidak malu-malu jika dalam penghayatan keberdosaannya ini ia sampai menangis,
lagipula bukankah tidak banyak orang yang dikenalnya di dalam ibadah tersebut.
5 Pengakuan RS wawancara tanggal 21 Januari di Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Simbol ini memberikan suatu pernyataan kesadaran dan penyesalan yang mendalam
atas dosa-dosanya, serta pemaknaan akan besarnya kasih Allah yang senantiasa
mengampuni orang yang menyesali dosanya. Di sini kebesaran Allah yang diagung-
agungkan pada bagian awal ibadah tadi menjadi semakin tampak tatkala ada
pengampunan yang diberikan-Nya pada orang yang mengaku bersalah. Desire umat
tentang Yang Kudus “berjumpa” dalam jangkauan perasaan yang ditimbulkan pada
bagian ini.
Beberapa hal di atas umumnya berlangsung selama tigapuluh sampai empat
puluh lima menit. Bagian pertama dalam rangkaian ibadah ini disebut dengan bagian
Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship). Inilah saat di mana umat diajak
masuk dalam suasana menyembah Tuhan yang luar biasa kuasa-Nya yang mampu
memberikan berkat berlipat ganda dalam hidup umat. Setiap isyarat simbol menjadi
alat komunikasi yang ditafsirkan oleh setiap umat yang hadir baik lewat bahasa
tubuh, suara, atau nyanyian. Ungkapan kegembiraan, kebulatan tekad, ekspresi
kesedihan, lompatan, tarian, tepuk tangan, dan memukul dada tanda penyesalan
menciptakan suatu pembacaan akan kualitas beriman seseorang. Tentu saja dalam
melakukan semua kegiatan ini umat tidak perlu terlalu takut, canggung atau malu-
malu, karena mereka tidak ada hubungan apa-apa dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Mereka tidak saling kenal karena jumlah umat yang mencapai ribuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
orang dalam satu kali ibadah. Menurut pengakuan salah seorang umat yang penulis
wawancarai:6
“ Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu
kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in,
padahal gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian
jemaat yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan
terdekat saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-
sekali saja ke gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah”
Individu dikenali dari ekspresi simbolis yang terjadi, yang mereka lakonkan
selama ibadah itu berlangsung. Melalui gerak tubuh ini terciptalah suatu komunitas
simbolik yang saling menafsirkan gerakan satu sama lain dalam berlangsungnya
ibadah di gereja mal.
1.2 LCD dan Alkitab Elektronik
Salah satu simbol baru yang juga sangat mencolok dalam gereja mal adalah
memanfaatkan kemajuan tekhnologi dalam berlangsungnya ibadah di sana. Sebagian
umat memang masih ada yang datang membawa Alkitab, tetapi tak jarang umat yang
datang mengandalkan kemajuan tekhnologi yang dipakai oleh gereja ini, khususnya
menampilkan ayat-ayat Alkitab di layar besar yang ada di depan. Umat tidak perlu
repot membawa Alkitab di tasnya, karena fasilitas Alkitab elektronik disediakan oleh
gereja. Selain itu dengan kemajuan tehnologi saat ini, program Alkitab juga sudah
ada aplikasinya di layanan telepon seluler (handphone). Dengan demikian, umat
dengan mudahnya membuka Alkitab lewat HP-nya saja.
6 Pengakuan ES wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Dalam khotbah-khotbahnya, para pendeta gereja mal banyak mengutip ayat-
ayat Alkitab. Jika tidak terbiasa membuka Alkitab pastilah kita akan megalami sedikit
kesulitan membuka kitab demi kitab. Akan tetapi, gereja ini banyak memanfaatkan
kemajuan tekhnologi, sehingga ketika baru saja pendeta mengucapkan, “bersama-
sama kita baca di dalam kitab Keluaran pasal 3 ayat 29”, layar monitor yang ada di
bagian depan atau TV flat yang ada di sudut-sudut atau samping-samping kursi secara
langsung akan menampilkan isi teks yang dimaksudkan oleh pendeta, sehingga umat
bisa langsung membacanya. Jelas saja hal ini sangat memudahkan umat menjangkau
teks-teks Alkitab yang diuraikan oleh pendeta dalam khotbahnya. Kadangkala teks
Alkitab dibaca secara berbalasan, misalnya ayat ganjil dibacakan oleh pendeta,
sementara ayat genap oleh umat, tentu saja umat yang tidak membawa Alkitab
sekalipun bisa ambil bagian karena teks Alkitab yang dimaksud sudah terpampang di
hadapan mereka. Umat tidak perlu menunggu lama, sekali klik saja, ayat-ayat itu
sudah terpampang. Umat yang membawa Alkitab justru memakan waktu yang lebih
lama mencari-cari teks yang dimaksud di dalam Alkitabnya.
Masing-masing umat sudah mengetahui bagian ini, sehingga ketika giliran
pendeta menyampaikan khotbah mereka sudah bersiap-siap menatap ke layar monitor
yang paling dekat dengan dirinya. Terang saja umat yang menggereja di sini tidak
gaptek (gagap tekhnologi). Mereka menjadi biasa dengan adanya layar besar, TV flat,
LCD yang dengan sangat mudah dan cepat menampilkan kebutuhan yang berkaitan
dengan teks-teks “siraman rohani”. Pastilah suasana ini sangat berbeda dengan
gereja-gereja lain yang umumnya fasilitas yang dimilikinya hanyalah organ dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
papan tulis kecil yang tergantung di sudut-sudut dinding berisi nomor-nomor lagu
yang akan dinyanyikan dan teks Alkitab yang akan dibaca pada minggu itu. Selain
itu, aplikasi Alkitab Elektronik yang dipergunakan dalam membaca teks khotbah juga
memberi kesan elegan. Orang kini bisa terlihat modern namun tetap rohani dengan
adanya aplikasi tersebut. Ada semacam “rasa wah” tertentu yang tercipta dengan
pemanfaatan tekhnologi tersebut. Rasanya segala sesuatunya menjadi mudah dalam
ibadah di sini.
1.3 Bahasa Roh
Bahasa Roh atau glosolalia merupakan peristiwa pada saat keduabelas rasul
dihinggapi lidah-lidah api. Dalam peristiwa itu para rasul mampu mengucapkan kata-
kata yang bukan dalam bahasanya, sehingga banyak orang yang berkumpul pada saat
itu yang berasal dari berbagai suku, mengerti apa yang diucapkan oleh para rasul. Isi
pengajaran para rasul tersebut bisa dipahami oleh orang banyak dan membuat mereka
takjub dengan situasi turunnya Roh Kudus. Namun, dalam tradisi bahasa roh di gereja
mal, agaknya definisi tentang bahasa roh mengalami pergeseran makna dari
pengalaman awal para rasul dan orang-orang yang berkumpul pada saat itu. Umat
yang hadir dalam ibadah – yang nyatanya mampu mengucapkan Bahasa Roh – tidak
mengerti apa yang diucapkannya. Informan penulis yang terlibat aktif melayani di
gereja mal mengatakan bahwa “Saya gak ngerti bahasa roh itu apa, karena itu kan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
bahasa malaikat, tapi saya bisa mengucapkannya”7. Ada pergeseran makna dan
konsep tentang Bahasa Roh itu sendiri.
Sementara itu dalam obrolan santai saya dengan seorang teman yang pernah
pula berdiskusi dengan dosennya yang “bisa berbahasa roh”, menurut pengakuan
sang dosen, “Saya mendapatkan kemampuan ini pada saat saya di Amerika dan
mengikuti ibadah gereja kharismatik. Bahasa roh itu adalah cara roh berdoa pada
Tuhan mewakili pergumulan hidup manusia yang berat.” Menurut pengakuan teman
saya tadi, pernah suatu kali saat mereka mengadakan retreat di daerah Kaliurang,
sang dosen mendengar bahwa di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat retreat
mereka, ada sekelompok orang yang sedang melakukan retreat juga dan si dosen bisa
mendengar dan menangkap bahwa di tempat komunitas itu mereka sedang berbahasa
roh dan ia bisa memastikan bahwa ada banyak masalah dan pergumulan orang-orang
yang mengikuti retreat tersebut, terbukti dari isi bahasa roh yang diucapkan di sana.8
Jadi ada beberapa konsep tentang bahasa roh yang berkembang dalam pemikiran
umat. Bagi saya sendiri, bahasa roh diucapkan jika ada orang yang mampu
menafsirkannya, sehingga pesan pengajaran dari bahasa roh itu membangun iman
orang yang mendengarkannya.
Lafal dari bahasa roh yang dikeluarkan oleh umat pada saat ibadah di gereja
mal misalnya: syalabalaba, syikilabalaba atau syakarakara, biasanya diucapkan
secara serempak, mirip orang yang sedang tahlilan (dalam tradisi Muslim). Saat-saat
7 Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal, wawancara tanggal 24 Juli
2009. 8 Wawancara dengan FS, mahasiswa teologi, wawancara tanggal 17 Agustus 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
akan mengucapkan bahasa roh biasanya diiringi oleh sebuah lagu. Lagu mempunyai
kekuatan yang sangat penting menggiring umat dalam berbagai situasi ekstatik
Bahasa Roh ini. Pada saat ini Worship Leader yang berada di bagian depan stage
mengajak umat mengulang-ulang sebuah lagu dan memberikan tekanan pada lirik-
lirik tertentu, “…mujizat terjadi, mujizat terjadi saat datang di altar-Nya”. Lalu,
mulailah suara desisan syikilabalabalaba yang awalnya diucapkan oleh Worship
Leader dan umat mulai mengikutinya.
Di tengah-tengah suasana riuh rendah pelafalan syikilabalabalaba atau
syakarakarakara, Worship Leader kadangkala menambahkan satu lagu lagi untuk
dinyanyikan yang pesannya hampir mirip dengan lagu pertama tadi, misalnya “Besar
anugerah-Mu……,”, dan umat yang mengetahui lagu ini dengan spontan umat
menyanyikan lirik lagu ini dan meneruskannya, “Melimpah kasih-Mu, semakin hari
semakin bertambah besar anugerah-Mu”. Untuk sementara ucapan syikilabalabalaba
terpotong dengan lagu ini. Lagu ini juga dinyanyikan berkali-kali dengan penekanan
lirik yang diucapkan dengan lantang oleh Worship Leader, “Ya memanglah besar
angugerah-Mu, Tuhan….. Setiap hari dalam hidup kami Kau tambahkan…”
sementara umat terus bernyanyi dan sebagian mengucapkan bahasa roh.
Ketika lagu kedua selesai dinyanyikan, sementara musik terus mengalun,
Worship Leader kembali berucap syalabalabalabala, dari lembut, makin keras,
sangat keras, dan umat serta merta ikut mengucapkan syalabalalbalabala. Di sela-
sela suara gemuruh umat, Worship Leader berucap “Mari sembah Dia, sembah Dia”
dan mengulangi lagi, syikirabarabarabaraba. Umat terus mengucapkan hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
sama, sedikit bergetar mengucapkan kalimat-kalimat bahasa roh, kadang-kadang
seperti menggemakan babababbababa dengan suara yang keras dan semakin keras.
Lalu Worship Leader kembali mengucapkan peenyataan-pernyataan tentang
kebesaran Tuhan, “Kau yang layak kami puji Tuhan, Kaulah Allah kami, Kau yang
berkuasa, Engkau yang bekerja dalam hidup kami, mari Tuhan lihat kami yang ada di
tempat ini”. Suasana begitu riuh rendah dan untaian kata-kata yang diucapkan secara
serempak. Lalu Worship Leader bernyanyi lagi, “Selama ku menyembahMu, ku
percaya bahwa mujizat pasti terjadi, selama Kau besertaku, kupastikan ada mujizat
setiap hari….”, seolah menjadi pertanda bahwa Bahasa Roh telah selesai dan akan
segera ditutup oleh lagu ini. Kekuatan simbolik ini berada pada penekanan-penekanan
yang berulang-ulang dari lagu yang dinyanyikan dan kekuatan penegasan kata-kata
dalam lirik lagu yang dikutip oleh Worship Leader. Nyatanya umat yang sudah
terbiasa dengan gereja ini hanyut ke dalam “situasi magis” yang terjadi beberapa
menit itu.
Bahasa roh kadang juga dilakukan ketika diadakan Altar Call, di mana umat
ditantang maju ke depan untuk didoakan, untuk dibaharui oleh Roh Kudus. Itulah
sebabnya disebut dengan Altar Call. Biasanya orang yang didoakan atau ditumpang
tangan oleh pendeta pada saat Altar Call terjatuh dan kadang pula pingsan. Penulis
tidak mengetahui dengan jelas apa sebenarnya yang menyebabkan orang terjatuh
dalam Altar Call tatkala pendeta mendoakannya dengan suara yang keras. Bisa jadi
ini adalah ungkapan penyesalan yang mendalam atas dosa-dosanya atau hanya ikut-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
ikutan karena orang lain yang sudah “dilepaskan” dari roh jahat selalu jatuh setelah
didoakan.
Menurut salah seorang informan yang dulunya aktif melayani di gereja seperti
ini, aksi jatuhnya tersebut tak lain karena mengikuti “skrip” yang diatur oleh pihak
gereja:
Mereka kelihatan sekali menekankan kesucian dibandingkan gereja-gereja
mainstream. Di hadapan jemaat didoakan sampai jatuh jatuh, harus jatuh. Waktu itu
saya belum baca skenarionya dan tidak jatuh, makanya dimarahi. Ada skripnya dan
biasanya bahasa-bahasa yang digunakan untuk mengingatkan skrip itu “jangan
keraskan hatimu”. Ingat lho skrip tadi. Dan itu rahasia umum, tim musik dan jemaat
[bukan jemaat simpatisan] biasanya tahu. Ada skenario besar, yang mengaku dosa di
setiap tempat ibadah yang berbeda-beda itu orang yang sama, yang angkat tangan,
yang menangis ke depan dan yang angkat tangan itu orang yang sama. Lama-lama
melayani di situ sambil-sambil cari tahu mana yang benar, bosan juga akhirnya.9
Pengakuan informan ini agak mengejutkan saya, khususnya tentang skrip itu. Dalam
wawancara ini beberapa orang yang berkumpul sempat pula menanyakan apakah
pendeta yang memimpin acara ini juga tahu kepura-puraan ini? Akan tetapi, ternyata
ada alasan tersendiri yang menyebabkan kadang-kadang orang ikut dalam skrip ini,
sebagaimana lanjutan wawancara di bawah ini:
Bisa berbahasa roh itu tandanya mereka sudah layak melayani. Di kalangan kita
[baca:anggota gereja] banyak yang gak tahu bahasa roh itu apa, tapi banyak yang
meniru-niru. Saya punya teman baik, satu group band, dan dia tidak tahu bahasa roh.
Terus tiba-tiba pas satu kali kesempatan saya kaget karena dia bisa berbahasa roh.
Wah ini kog bisa bahasa roh, emang loe bisa? Enggak akh, gua buat-buat aja.
Kenapa? Saya tertekan!! Dia itu personel lama dan personel lama itu sudah ada suatu
keharusan mencapai level rohani seperti itu. Sama mereka yang gak tahu rahasia ini,
wuihh keren ya, kita harus seperti mereka. Terus dia cerita juga sama saya, kayak
teman yang di sana, dia juga gak bisa, dia pernah cerita, dia pura-pura. Apalagi di
antara pemusik, rahasia itu mulai terbongkar. Saya anggota paling muda dan paling
9 Wawancara dengan SIW, mahasiswa teologi yang dulunya pernah bergabung dengan tim
musik di salah satu gereja aliran kharismatik. SIW pemain gitar dan keyboard. Wawancara tanggal 20
Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
baru, dan kalau dibuat-buat saya juga bisa. Tapi mereka men-cap saya paling tidak
rohani. Saya diblacklist, karena kebetulan saat itu merokok dan mereka selalu
mendoakan saya supaya tidak merokok. Pernah suatu ketika saya disuruh maju ke
depan trus teman-teman saya juga. Yang berdosa, yang berzinah semua disuruh maju
ke depan, trus saya kaget lho kog drummer ini juga ikutan, padahal tadi malam kami
baru minum bear terus didoakan dia jatuh. Lho ini kenapa jatuh? Saya kaget, padahal
fisiknya lebih kuat dari gua kan, lebih kekar, ikut fitness lagi. Ini sesi khusus sebelum
ibadah dimulai. Kami dipanggil untuk disucikan. Trus pas giliran saya, teman-teman
lihat saya wah ini si Papua pasti jatuh sebentar lagi. Trus didoakan lama banget, tapi
gak jatuh-jatuh, trus didoakan dan dibilang “Jangan keraskan hatimu, jangan
keraskan hatimu,” sambil ditendang-tendang kakiku sama temenku, dia singer, dia
dari belakang. Dia mendoakan dari belakang dan ada yang mendoakan dari depan.
Dalam hatiku berisik banget sih ini. Lama-lama karena ada yang nendang gua dari
belakang, akhirnya saya pasang kuda-kuda, saya jadi tambah kuat. Akhirnya
dibilang, ya sudah ambilkan kursi, suruh dia duduk saja. Diambil kursi, saya disuruh
duduk. Yang lain jatuh, saya doang yang duduk.10
Ada beberapa kata kunci yang bisa dilihat dalam peristiwa ini. Yang pertama, umat
tidak merasakan apa-apa, artinya biasa saja dengan peristiwa bahasa roh itu. Kedua,
ikut-ikutan karena malu atau tertekan jika belum juga mencapai level rohani mampu
berbahasa roh. Yang menarik lagi adalah adanya skrip yang mengatur jalannya
suasana teatrikal tersebut. Hal yang kurang lebih sama juga pernah dialami oleh
informan berikut ini:
Aku juga pernah, dulu kan aku ikut kharismatik gitu. Aku ikut gracia-gracia gitu pas
SMP. Trus ceritanya gini pas pengurapan pakai minyak urapan, lho kog teman-
temanku pada nge-gebrak ke belakang? Trus pas bagian aku digini’in (dipegang
kepalanya atau ditumpangtangankan oleh pendeta) aku biasa aja. Trus digini’in lagi,
didorong ke belakang, akhirnya aku jatuh juga karena didorong. Trus aku nanya
temenku, kamu ngerasa apa kog kamu jatuh? Kog aku gak ngerasa apa-apa ya? Apa
gua yang gak beriman? Terus dia bilang begini sama gua. Enggak, gua juga gak
ngerasakan apa-apa kog. Cuma kan malu aja kalau semuanya jatuh kita gak jatuh jadi
ya jatuh aja (hahahhaha, sambil tertawa). O, jadi mungkin semuanya juga pura-pura
jatuh.11
10
Pengakuan SIW dalam wawancara tanggal 20 Januari 2010 di Jakarta. 11
Wawancara dengan SS, mahasiswa teologi. Wawancara tanggal Wawancara tanggal 20
Januari 2010 di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Dari sini bisa dipastikan bahwa interaksi simbolik yang sedang terjadi sangat
dipengaruhi oleh tindakan anggota dalam suatu komunitas itu. Inilah yang disebutkan
oleh Mead tentang konsep diri, di mana adanya kesadaran individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung dalam suatu komunitas yang terorganisir. Dalam kasus jatuhnya
seseorang dalam Altar Call pada saat didoakan ia melihat tindakan pribadinya dari
titik pandangan orang lain dengan siapa ia berhubungan, dalam hal ini pemimpin
(pelayan gereja) atau yang lebih kecil adalah pandangan dari teman-teman yang
tergabung dalam satu tim musik. Bisa dikatakan bahwa peristiwa jatuh tadi memiliki
makna komunikasi sosiologis.
Jatuhnya seseorang menyiratkan bahwa ia adalah orang yang lembut hatinya,
yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang dengan kata lain, tingkat imannya lebih baik
dari orang yang belum jatuh. Padahal belum tentu. Jika peristiwa jatuhnya itu
hanyalah karena ikut-ikutan, malu diliatin orang atau petugas, maka peristiwa jatuh
agaknya bukanlah tindakan iman. Bisa jadi tafsiran ini pula yang menyebabkan setiap
minggu semakin banyak orang yang jatuh dalam Altar Call untuk menunjukkan
orang dalam level iman bagaimanakah dirinya. Meskipun demikian, bagi beberapa
orang menyadari bahwa suara orang yang berbahasa roh bukanlah sesuatu yang
dibuat-buat, tetapi datangnya dari Tuhan semata dalam cara-cara yang manusia tidak
pahami arti dan maksudnya. Isyarat suara dalam hal ini menjadi simbol interaksi yang
cukup membedakannya dengan pola ibadah gereja-gereja lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
1.4 Gaya Berpakaian
Gereja di mal agaknya juga membentuk kode pakaian sendiri. Umumnya cara
berpakaian orang ke gereja rapi, sopan, dan sederhana. Ibu-ibu yang berumur 40
tahun ke atas di gereja-gereja konvensional umumnya memakai kebaya atau stelan
blouse dan rok. Sementara itu gadis-gadis yang masih muda atau ABG (Anak Baru
Gede) sedikit lebih modis, dengan model pakaian yang lebih ketat di badan, namun
tidak berlebihan. Artinya perempuan memakai rok atau celana bahan, dengan paduan
kemeja. Ibu-ibu tak jarang memakai celana ¾ ketat dengan baju atasan kaos. Gadis-
gadis memakai celana jeans dan kaos yang ketat. Pemandangan model pakaian di
gereja mal agak sedikit berbeda dengan cara berpakaian di gereja-gereja
konvensional.
Hal ini berbeda dengan gaya berpakaian di gereja konvensional yang lebih
mengutamakan kesederhanaan. Di gereja konvensional orang berpakaian lebih sopan.
Sementara itu di gereja mal cara berpakaian rasanya lebih bebas. Menurut saya
kebebasan ini juga dikarenakan budaya cuek karena tidak saling kenal. Perempuan
yang khususnya beribadah di sana terkesan modis dan trendi.
Hal ini bisa dipahami mengingat setelah ibadah, umat masih akan
melanjutkan aktivitasnya dengan kegiatan berbelanja. Seandainya saja seorang ibu
yang berumur 50 tahun memakai kebaya lengkap dengan kondenya ke gereja mal,
bisa dipastikan ia tidak percaya diri untuk menyusuri mal untuk berbelanja ini-itu.
Memang yang paling mencolok adalah cara berpakain perempuan, sementara bagi
laki-laki cara berpakaiannnya tidak terlalu mencolok perbedaannya dengan gereja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
konvensional. Orang tentu tidak ingin saltum (salah kostum) berbelanja di mal,
karena image yang diberikan mal adalah sebagai tempat belanja yang elegan dan wah.
1.5 Belanja di Mal
Memasuki mal, ruang besar tempat gereja berada, mau tidak mau kita
berjumpa dengan banyak etalase yang men-display beragam kebutuhan manusia,
mulai dari kebutuhan bayi yang baru lahir hingga kebutuhan lansia. Belanja menjadi
hal yang menyenangkan karena segala kebutuhan bisa dipenuhi di gedung besar ini,
dan tentu saja desain modern dan sejuknya Air Conditioning menambah nyaman
berbelanja di sini. Bagi umat yang ke gereja mal, dua kebutuhan mendasar manusia
bisa langsung terpenuhi, rohani dan jasmani. Aktivitas bisa dilakukan kapan saja. Jika
sudah tidak sabar, maka sebelum masuk ke gereja, adakalanya umat terlebih dahulu
menyempatkan diri melihat-lihat barang-barang yang menarik perhatiannya. Kalau
cocok dengan harganya bisa langsung membelinya. Akan tetapi kebanyakan orang
berbelanja setelah ibadah, karena tidak akan terburu-buru waktu. Orang masih punya
banyak waktu untuk sekedar melihat-lihat atau memutuskan membeli barang tertentu
sebelum akhirnya memutuskan pulang ke rumahnya.
Setelah ibadah yang berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat segera
keluar menuruni eskalator yang berdesak-desakan karena jumlah yang beribadah
sangat banyak. Sebenarnya di sudut gereja disediakan snack serta minuman berupa
teh atau kopi untuk dinikmati bersama setelah ibadah selesai. Akan tetapi, tidak
semua umat menyempatkan dirinya menikmati snack, kopi atau teh yang disediakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Bahkan yang terlihat adalah orang terburu-buru keluar untuk menghindari antri yang
panjang turun ke lantai bawah. Mungkin hanya beberapa orang yang memang adalah
jemaat tetap yang saling kenal masih berbincang-bincang satu dengan yang lain.
Sementara itu ada juga umat yang tidak mau ambil pusing berkenalan ke sana-sini.
Hal ini saya yakini karena dari ribuan umat yang hadir hanya sedikit yang mengarah
ke ruang snack, sementara yang lainnya, termasuk saya dan teman-teman langsung
berdesak-desakan keluar dari pintu keluar yang telah disediakan. Perasaan saya saat
itu tak ubahnya seperti mengingat saat-saat saya keluar dari bioskop. Tidak ada
obrolan santai, tidak ada upaya untuk saling kenal dengan yang lain. Bahkan
penerima tamu yang tadinya sangat ramah saat ibadah akan dimulai, kini memilih
berbincang-bincang dengan sesama petugas di sudut-sudut ruangan.
Dari sini penulis menyadari bahwa dalam gereja dengan jumlah umat sangat
besar ini, hubungan antar umat menjadi kurang akrab. Dari pengakuan informan di
bagian awal tadi, baginya tidak soal kelonggaran hubungan ini, yang penting khotbah
pendetanya mengena di hati. Setelah ibadah selesai dengan sangat mudah umat
menemukan tempat untuk makan, minum, bercengkrama atau bersenda gurau dengan
kerabat yang gereja bersama.
Menuruni lantai lima tempat gereja berada, tidak sulit bagi umat mencari toko
makanan, yang letaknya persis satu lantai di bawah gedung kebaktian. Setelah turun
dari eskalator, persis di sisi sebelah kanan tangga, ada restoran Hoka-hoka Bento.
Para pramuniaga yang berdiri tepat di depan pintu masuk menyapa dan
mempersilahkan pengunjung untuk makan di restoran itu. Secara tidak disadari tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
kita akan langsung berbelok ke kanan dan pemandangan restoran ini sungguh
menarik hati. Tidak sedikit umat yang singgah makan di restoran itu. Saya bisa
mengenali mereka dari brosur warta jemaat gereja yang dipegangnya. Selebihnya
mungkin ada yang mencari tempat makan yang lain atau mungkin saja memilih untuk
berbelanja di Carefour yang berada di lantai dasar. Beberapa umat yang tadi
beribadah langsung memadati foodcourt untuk makan bersama keluarga atau teman
akrab. Peristiwa ini gampang dikenali karena beberapa orang itu tadinya adalah umat
yang duduk di dekat saya. Namun, kami pun tidak saling tegur karena memang tidak
kenal satu sama lain.
Selesai makan, agak jarang orang langsung pulang. Kebanyakan dari umat
melanjutkan “perjalanannya” dengan mengelilingi mal, memasuki toko yang satu ke
toko yang lain untuk sekedar cuci mata atau memang berencana untuk membeli. ITC
yang berada persis di sebelah mal menjadi tempat yang menyenangkan untuk
meneruskan kegiatan berbelanja, misalnya belanja pakaian, tas atau sepatu. Sekarang
mereka adalah konsumen yang potensial membelanjakan uangnya di mal tersebut.
Barang-barang yang dipamerkan dengan sangat menarik dan menawan, serta godaan
discount besar-besaran yang terpampang di etalase toko menjadi daya tarik tersendiri
menggereja di mal. Realitas sosial yang terjadi berikutnya adalah adanya hubungan
ekonomis antara umat yang tadinya beribadah dengan para penjual yang berada di
dalam mal. Hal ini diakui oleh beberapa penjual yang penulis wawancarai. Menurut
pengakuan mereka, mal ini menjadi sangat ramai pada saat hari minggu karena ada
ibadah di lantai atas. Pengunjung yang paling ramai adalah saat jam makan siang dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
sore menjelang makan malam. “Kami bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan
pada hari itu”, aku seorang penjual makanan di foodcourt yang berada di lantai tiga.12
Dalam hubungan simbiosis ini sesuatu yang awalnya tidak masuk akal, kini
telah terjadi lewat hubungan antara beribadat di mal dan shopping di mal. Bisa jadi
hubungan ini terjadi begitu saja, tanpa kesadaran bahwa ada kekuatan konsumsi yang
melatarbelakangi aktivitas ibadah tersebut. Misalnya, ketika pada awalnya pihak
pemilik mal bersedia menyewakan beberapa ruangannya untuk kegiatan ibadah
karena di lantai dasar mal itu ada swalayan miliknya, seperti ungkapan informan
saya, “Selama ini gereja kami pindah-pindah terus kak, sampai akhirnya kami boleh
menyewa ruangan di mal ini. Soalnya ada pemilik saham yang Kristen dan dia juga
yang punya Gold13
di bawah. Jadi kan selesai gereja kita bisa belanja di bawah.”14
Gold adalah swalayan yang menyediakan kebutuhan pokok rumah tangga yang
berada di lantai dasar mal Yogyakarta. Memang kebanyakan umat datang ke tempat
ini untuk berbelanja setelah ibadah selesai. Saat saya mengikuti pengunjung
memasuki Gold, ada rasa nyaman lain, yaitu lagu-lagu yang dimainkan di Gold
adalah lagu-lagu rohani Kristen.
Umat merasa beruntung karena tidak perlu repot-repot mencari tempat makan
atau tempat belanja kebutuhan pokok rumah tangga, karena saat ini semuanya bisa
dilakukan sekaligus di dalam tempat yang bernama mal, yang menyajikan segala
12
Wawancara dengan PL, seorang penjual makanan di foodcourt mal. Wawancara tanggal 14
Januari 2010. 13
Penulis memakai kata Gold untuk menyamarkan nama swalayan yang terdapat di mal, di
Yogyakarta. 14
Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal. Wawancara tanggal 25 Mei
2010 di Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
jenis kebutuhan hidup manusia, mulai dari yang jasmani sampai yang rohani. Dulu,
pandangan orang tentang dunia mal adalah sesuatu yang berbau pemborosan, gaya
hidup foya-foya, dan kelas atas, karena barang-barang yang dijual di sana pasti mahal
dan kena pajak, sementara itu ajaran gereja yang umumnya disampaikan dalam
khotbah-khotbah pendeta menekankan hidup sederhana dan menghindari gaya hidup
konsumerisme. Dua hal yang dulu mustahil dijadikan satu, kini malah bergabung
dalam dunia gaya hidup posmodern saat ini. Dan orang tidak ambil pusing dengan
penggabungan itu, karena yang terpenting adalah kebutuhan hidupnya terpenuhi
dengan cara-cara yang lebih cepat dan efisien.
“Ya ada sekalian ibadah, dan ya seperti yang tadi aku bilang, bisa sekalian belanja
atau jalan-jalan.”15
Mal menjadi tempat rekreasi yang menjawab segala kebutuhan, rohani dan jasmani.
Hari Minggu bisa dimanfaatkan sebagai hari berkumpul keluarga sambil refreshing
setelah satu minggu beraktivitas. Saat refreshing itu pun menjadi saat yang tepat
untuk mendengar siraman rohani yang umumnya bicara soal kesuksesan atau
kemakmuran hidup. Meskipun demikian ada juga informan yang merasa bahwa pihak
gereja sendiri selalu mengingatkan umat tentang bahaya hidup berfoya-foya:
Kita kan juga diingetin sama orang gerejanya, eh jangan mata lapar eh lapar mata,
jangan mentang-mentang gereja ini dekat mal atau dekat ini, jangan langsung ngabis-
ngabisin uang, gitu. Kita juga diingetin, oh iya ya, tujuan kita ke sini kan bukan
untuk belanja, walaupun di mal. Jadi kita terfokus aja, ya seperlunya aja belanja di
sana. Enak sih, tapi gak jadi lapar matalah kita.16
15
Pengakuan ES dalam wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta. 16
Wawancara dengan RK, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus
utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Informan ini bersikap lebih bijaksana tentang kemungkinan orang membelanjakan
uangnya di mal. Ia tetap menekankan bahwa yang terutama tujuan ke gereja adalah
beribadah, bukan hanya menikmati kegiatan belanja. Bahkan dalam pendapatnya
kemudian ia menyebutkan bahwa setelah selesai dari ibadah, ia dan teman-temannya
kerapkali membahas khotbah pendeta dalam obrolan makan siang di foodcourt. Tentu
ada beberapa pemaknaan ibadah di gereja mal. Namun, bagi penulis satu hal yang
tidak mungkin terhindarkan oleh umat yang menggereja di mal adalah kegiatan
belanja yang dengan segala bahasa persuasinya, iklan diskon besar-besaran dan
keuntungan menjadi pembeli pertama dari suatu produk, yang diumumkan dengan
besar-besaran oleh pemilik toko di sana.
2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu
Di bagian pertama pada bab ini saya telah memaparkan data-data secara
naratif. Simbol-simbol yang dipakai dalam prosesi ibadah di gereja mal telah
diklasifikasikan menurut sifatnya, misalnya bahasa tubuh, tekhnologi, gaya
bapakaian, dan belanja. Lalu, pada bagian kedua ini saya ingin membuatnya sedikit
lebih analitik dan reflektif. Di bagian inilah kerangka konseptual dari Mead dan
Baudrillard akan dipakai menurut porsinya masing-masing dalam mengkaji fenomena
gereja di mal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Altar dan pasar17
adalah dua kata yang berbeda dan bertolak belakang. Namun
dalam kenyataannya keduanya saat ini hadir bersama dalam satu ruangan, yang
disebut mal. Kini pemadupadanan dua hal yang tidak lazim menjadi semakin
popular, bahkan menyentuh dunia spiritualitas. Gereja, yang dulunya dianggap
sebagai suatu hal yang teramat kudus dan khusyuk, kini hadir di tempat yang umum
dan ramai, yakni pasar, yang sangat jauh dari pesan kekudusan. Pasar, dalam hal ini
mal, menjadi kekuatan yang ternyata sanggup mempesona umat. Umat terpesona
dengan daya tarik kenyamanan belanja dan keanekaragaman barang yang ditawarkan.
Umat terpesona dengan pola ibadah gereja mal yang menuntun umat pada “jalan yang
benar” di tengah pergumulan hidupnya. Berduetnya pasar dan altar dalam temuan-
temuan penulis akan dianalisis dan ditafsirkan satu per satu dalam bagian ini.
Pergi ke gereja menjadi satu ciri kehidupan orang Kristen. Hari Minggu yang
dianggap sebagai hari-Nya Tuhan, dikhususkan dan dikuduskan untuk beribadah pada
Sang Khalik. Hal beribadah tidak bisa dilepaskan dari perkumpulan, persekutuan atau
komunitas. Menggereja adalah berinteraksi dengan orang lain. Karena menggereja
adalah hal berkumpul, saya teringat dengan satu lagu anak Sekolah Minggu tentang
gereja, “Aku gereja, kau pun gereja kita sama-sama gereja, dan mengikut Yesus di
seluruh dunia, kita sama-sama gereja. Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula
menaranya.Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya”. Dari lirik
lagu ini menarik untuk diperhatikan bahwa sejak dini anak-anak sudah diajarkan
17
Frase Altar dan Pasar adalah judul artikel tulisan Eka Darmaputera “Altar dan Pasar”
tentang Gereja dan Ekonomi dalam buku penghormatan untuk HUT ke-70 Radius Prawiro (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
tentang konsep gereja. Konsep yang paling sederhana adalah menyatakan bahwa
gereja adalah orang, tepatnya sekumpulan orang. Jika bicara tentang sekumpulan
orang, tentunya berkaitan pula dengan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.
Interaksi itu menciptakan realitas sosial dalam perkumpulan tersebut.
Kualitas sosialitas umat di gereja diukur dari tingkat partisipasinya dalam
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh gereja. Pada prinsipnya hubungan itu
setara. Umat dan pelayan gereja adalah orang-orang yang saling mendukung satu
sama lain. Di gereja setiap orang merasa diterima dengan hangat. Itulah sebabnya
setiap ada umat yang baru pertama kali datang beribadah di suatu gereja, ia akan
diminta untuk memperkenalkan diri, supaya umat yang lain dapat mengenalnya, dan
biasanya pelayan gereja itu akan membimbing dan memperkenalkan tentang gereja
tersebut. Perkenalan yang mendalam antara umat dengan umat lainnya, umat dengan
pendeta, umat dengan gereja akan semakin menumbuhkan kedekatan dan rasa saling
memiliki dalam komunitas orang di gereja.
Sosialitas di gereja juga terbentuk lewat berbagai kegiatan yang berlangsung
bukan saja di hari Minggu, melainkan juga lewat kebaktian rumah tangga, doa
lingkungan, pertemuan PA (Penelaahan Alkitab) kaum bapak, kaum ibu, kaum anak
dan pemuda, di mana setiap orang berdasarkan kategorinya bisa bersama-sama
mendalami pemahamannya akan firman Tuhan dan mempererat hubungannya satu
dengan yang lainnya. Bahkan ada juga yang melanjutkan keakrabannya dalam hobby
yang sama, misalnya dalam bentuk olahraga bareng, bermain badminton atau bola
volley, dan dalam bentuk ketrampilan, misalnya memasak bareng. Kehangatan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kedalaman hubungan inilah yang membuat gereja semakin “hidup” dalam pesan-
pesan kenabian yang disampaikannya tidak hanya intern gereja, tetapi juga ekstern
gereja, yakni lingkungan sosialnya. Namun, bagaimanakah sosialitas itu bisa
terbangun dalam konteks berduetnya gereja dan pasar dalam fenomena gereja mal?
Kita akan melihatnya lewat uraian si bawah ini.
Saya akan membahas kategori-kategori yang sudah dijelaskan di atas bagian
per bagian. Sub-sub judul berikut ini mengikuti bagian-bagian data yang telah saya
narasikan pada bagian awal. Dari pemaparan secara analitik dan reflektif berikut ini,
kita dapat melihat bagaimana realitas sosial yang tercipta dalam masyarakat konsumsi
di gereja mal.
2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik
Sebagaimana dipaparkan pada bagian pertama tentang bahasa tubuh umat
yang beribadah di gereja mal, maka secara umum bahasa tubuh mereka memiliki arti
sosiologis. Melompat, menari, dan bertepuk tangan mengkomunikasikan pesan
tertentu pada orang-orang yang berkumpul di sana. Saya sedang bergembira dan
bersukacita sebagaimana yang diinginkan oleh petugas gereja (tim musik) dalam
ibadah. Dalam menciptakan respons ini besar sekali peran tim musik dan kepiawaian
seorang Worship Leader. Bahkan bisa dikatakan peran seorang Worship Leader jauh
lebih besar daripada peran pendeta pengkhotbah. Worship Leader-lah yang berperan
“membakar” semangat umat yang hadir. Tentu ia juga dibantu oleh orang lain.
Kemahiran orang-orang yang tergabung dalam tim musik dan pemandu gerak yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
disebut dancer tidak bisa dikecilkan perannya menciptakan suasana ibadah yang
menurut pengakuan beberapa orang sangat ekspresif, tidak kaku, dan tak berbatas.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mead bahwa dinamika proses
komunikasi dapat digambarkan dalam “percakapan isyarat” yang akhirnya
merangsang orang lain untuk menyesuaikan perilakunya sendiri, maka isyarat-isyarat
yang “dimainkan” oleh tim musik menyebabkan umat berlaku sebagaimana yang
diharapkan oleh mereka. Misalnya: gerakan dancer yang mengangkat tangannya ke
atas, atau gerakan Worship Leader yang mengepalkan tangan kanannya
mengkomunikasikan suatu pesan bahwa ibadah ini dimulai untuk menyembah Tuhan.
Umat yang hadir “digerakkan” untuk mengikuti pesan yang disampaikan lewat
bahasa isyarat tersebut. Oleh karena itu menurut penulis ibadah yang berlangsung di
gereja mal ini terletak pada kehandalan tim musik menggiring umat merespons
isyaratnya. Dan kenyataannya umat melakukan gerakan-gerakan sebagaimana yang
diinginkan oleh tim yang bertugas di depan.
Namun, saya belum bisa memastikan apakah bahasa tubuh yang tampil lewat
gerakan-gerakan tadi merupakan ungkapan iman umat atau malah hanya merupakan
reaksi ikut-ikutan saja. Pada aksi jatuh, misalnya: beberapa informan menyebutkan
bahwa jatuhnya mereka sebagai wujud dari ikut-ikutan saja. Ada perasaan tidak
nyaman jika tidak jatuh, karena itu mengasumsikan bahwa dirinya adalah orang yang
hatinya masih keras dan dikuasai oleh roh jahat. Konsep diri seorang tim musik yang
seharusnya sudah sampai pada level rohani yang baik yang ditandakan oleh suatu
kemampuan berbahasa roh, “memaksanya” untuk terjatuh saat didoakan oleh pendeta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Justru aksi ini lahir dari ketertekanan yang mendalam karena level imannya yang
tidak sama dengan orang lain “se-angkatan”-nya. Akhirnya kekhawatiran atas cap
kurang beriman membuat seseorang ikut-ikutan dalam aksi jatuh ini, setidaknya
itulah yang dipahami oleh Siska, seorang informan, saat proses pengurapan, “Apa
gua yang gak beriman ya, makanya gak jatuh saat didoakan?”, padahal dirinya
sama sekali tidak ada perasaan yang berbeda, begitu juga teman-temannya yang
terjatuh saat didoakan. Menurut saya, paling tidak hal “terjatuh” ini dilakukan untuk
menunjukkan bahwa orang yang terjatuh itu masuk dalam komunitas, khususnya
komunitas orang beriman. Ini adalah bentuk dari interaksi simbolik.
Mead juga mengungkapkan bahwa komunikasi simbol manusia adalah bahwa
dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata
yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar.18
Alunan suara dalam lafal bahasa roh syikirabarabaraba atau syalabalabalabalaba
yang diucapkan perlahan-lahan, semakin keras, dan sangat keras serta diulang-ulang
menciptakan suasana hipnose, sehingga banyak umat yang “bergabung”
mengucapkannya, yang walaupun mereka sendiri tidak tahu apa artinya. Namun,
kemampuan untuk menggunakan simbol suara ini memungkinkan umat untuk melihat
dirinya sendiri menurut perspektif orang lain, setidaknya petugas yang berdiri di ruas
tempat duduknya yang mengamati umat selama proses ini.
Kecenderungan yang ikut-ikutan ini mirip dengan pola konsumsi di mana
seseorang membeli sesuatu bukan hanya karena membutuhkannya, melainkan karena
18
Doyle Paul Johnson, op.cit., h. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
ada sign value dalam proses mengkonsumsi itu. Sebut saja seseorang yang tergiur
membelanjakan uangnya untuk membeli baju merk Armani, bukan karena ia sudah
tidak memiliki baju, melainkan karena orang lain dari kelas tertentu memakai baju
merk Armani. Jadi, aksi membeli barang tertentu dengan merk tertentu menciptakan
konsep diri tertentu pada diri seseorang bahwa ia adalah orang dari kelas pemakai
baju merk Armani.
Barang-barang yang dikonsumsi telah diberi pemaknaan yang lebih luas dari
arti barang itu sendiri, sehingga orang mengonsumsi barang tersebut atas pencitraan
yang diciptakan oleh sistem promosinya. 19
Penulis setuju dengan pendapat
Baudrillard yang mengatakan bahwa orang tidak pernah mengonsumsi objek itu
sendiri (dalam nilai gunanya) – objek selalu dimanipulasi (dalam makna yang lebih
luas) sebagai tanda yang membedakan seseoang, baik kepada dirinya sendiri yang
berafiliasi dengan kelompok dirinya sendiri, yang mengacu pada kelompok status
yang lebih tinggi.20
Bahasa tubuh yang terbuai dan terhanyut dalam aktivitas di gereja mal – yang
menunjukkan terhisabnya seseorang pada “komunitas beriman” – juga terbangun
19
Proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:
1. Sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana
praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan
sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa.
2. Sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana objek-objek atau tanda-tanda
ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai
nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.
Dalam Jean P Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (terj. Wahyunto ), (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2009), h. 60-61. 20
Ibid., h. 76.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
karena adanya pencitraan yang diciptakan oleh pendeta atau Worship Leader yang
memimpin jalannya peribadatan di sana. Akhirnya, ketika seseorang mengangkat
tangannya, tidak bisa dipastikan secara gamblang bahwa ia memang sedang
mengikuti irama “sukacita” pujian dan penyembahan yang tercipta dalam suasana
ibadah, melainkan atas godaan “takut beda sendiri” di tengah-tengah komunitas yang
sedang terbuai alunan musik itu. Aksi-aksi yang timbul agaknya pun merupakan nilai
tanda, bukan nilai guna yang teresapi dalam bahasa tubuh tersebut.
Pada kenyataannya ribuan orang tertarik dengan pesona ibadah di gereja mal.
Umat merasakan sensasi yang berbeda dengan pola beribadah di gereja yang selama
ini diikutinya. Dengan mengikuti gerakan-gerakan tubuh yang ekspresif ini, umat
telah menjadi bagian “kelompok penyembah” yang berbeda dengan umat di gereja
lain. Menurut Baudrillard individu tertentu menjadi bagian dari kelompok tertentu,
karena individu tersebut mengonsumsi barang-barang tertentu, dan individu
mengonsumsi barang tertentu karena ia bagian dari kelompok tertentu.21
Itulah yang
terjadi dalam proses menggereja dan mengonsumsi dalam prosesi ibadah dan belanja
di gereja mal.
2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD
Rasa yang ditimbulkan oleh pemanfaatan teknologi modern seperti LCD dan
Alkitab elektronik tentu berbeda dengan rasa ibadah di gereja konvensional. Menurut
saya bagi umat yang mengikuti ibadah di gereja mal dengan fasilitas modern
21
Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
menciptakan suatu perasaan komunitas yang gaul tetapi tetap beriman. Dalam
khotbah di ibadah pemuda akhir tahun 2009, suatu kali pengkhotbahnya mengatakan
bahwa kita bisa memuji Tuhan lewat Blackberry. Kita bisa BB-BB-an dengan saling
mengirimkan ayat-ayat firman Tuhan, begitu ungkapnya. Saya yang tidak akrab
dengan BB agak bingung menangkap pesan yang dimaksudkan oleh pengkhotbah.
Ternyata BB adalah jenis telepon seluler terbaru yang keluar sekitar tahun 2009 yang
memiliki aplikasi yang lengkap, dan memiliki nilai tanda yang wah, karena umumnya
digunakan oleh kalangan atas. Dengan aplikasi dan fitur-fitur yang lengkap, tentu
mudah sekali untuk menambahkan aplikasi Alkitab Elektronik di dalamnya.
Pemanfaatan tekhnologi dalam ibadah di gereja mal sedikit banyak
mempengaruhi ketertarikan umat. Jika umat berasal dari gereja suku yang tidak
terlalu terbiasa menggunakan LCD, maka situasi ini merupakan pengalaman iman
yang modern. Mengapa disebut modern? Gereja-gereja arus utama, khususnya yang
berada di pedalaman, dalam ibadahnya biasanya hanya diiringi oleh sebuah organ
saja. Bahkan masih ada gereja yang tidak memiliki organ dan tidak memakai
microphone dalam ibadahnya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana pemuda-
pemuda yang datang dari kampung untuk kuliah di Pulau Jawa, merasakan sensasi
yang sangat berbeda dengan kemajuan tekhnologi dalam pola ibadah di gereja mal.
Umat jadi lebih terbiasa menekan tombol-tombol di telepon selulernya
daripada membuka lembaran demi lembaran Alkitab untuk mencari teks khotbah.
Padahal saat di Sekolah Minggu, anak-anak diajarkan untuk menghafal urutan-urutan
bagian kitab dalam Alkitab mulai dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Kini,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
dengan adanya aplikasi Alkitab di telepon seluler, semuanya dipermudah. Bagian
kitab yang jarang dibaca dan dikhotbahkan, dengan sangat gampang dicari di telepon
seluler. Misalnya, ketika pendeta mengatakan bahwa teks khotbah minggu ini diambil
dari kitab Yehezkiel, umat tidak perlu menebak-nebak apakah kitab Yehezkial berada
di bagian Perjanjian Baru atau Perjanjian Lama. Akan tetapi, orang tinggal ketik
Yehezkiel, maka di layar telepon seluler langsung muncul bagian kitab tersebut.
Selain itu, layar LCD yang juga langsung menampilkan dengan cepat ayat-
ayat Alkitab yang menjadi teks khotbah, semakin memudahkan umat untuk
mengetahui isi teks. Jika harus membaca secara berbalasan antara pendeta dan umat,
maka umat yang tidak membawa Alkitab-pun bisa terlibat aktif. Bagi saya, hal ini
mengimplikasikan dua sikap, pertama, positif, karena umat bisa terlibat dalam ibadah,
khususnya membaca teks Alkitab. Kedua, negatif, karena kemudahan ini bisa
membuat umat tidak perlu membawa Alkitab lagi ke gereja. Akhirnya sikap terhadap
kebiasaan pergi ke gereja bergeser dengan adanya tekhnologi canggih di gereja.
LCD juga membantu umat melihat teks lagu yang dinyanyikan saat ibadah.
Umat jadi merasa lebih efesian menatap layar LCD daripada membuka buku
nyanyian. Pola ibadah yang ekspresif, di mana umat diajak “berjingkrak-jingkrak” ke
kanan dan ke kiri, memang semakin dipermudah jika lagu-lagu tinggal dibaca di layar
LCD. Bagaimana mungkin bergerak bebas, jika tangan kanan saya memegang buku
nyanyian rohani, sementara Worship Leader mengajak saya melompat dan bertepuk
tangan? Tekhnologi ini membuat segalanya menjadi lebih cepat, mudah dan modern.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Pada akhirnya umat terhisab dalam suatu komunitas ibadat yang akrab dengan
kemajuan-kemajuan zaman.
Secara tidak langsung pemanfaatan barang-barang teknologi di gereja mal
sekaligus mempromosikan barang-barang tersebut. LCD, TV flat, Hp merupakan
barang-barang yang juga menjadi komoditas yang dijual di mal tersebut. Turun ke
lantai empat, etalase-etalase yang menjual telepon seluler baru dan setengah pakai
berjejer di sisi kanan dan kiri. Masuk ke toko elektronik lainnya, televisi dengan
berbagai ukuran layar datar terpajang manis dengan rayuan diskon besar, seolah
pembeli adalah orang yang paling beruntung jika memanfaatkan harga diskon
tersebut. Duet altar dan pasar semakin tak terelakkan.
(Gambar 3) TV-flat yang dipakai untuk menyiarkan khotbah dalam Ibadah Youth
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya
Mal sebagai tempat hang out mencipatakan gaya berbusana tersendiri. Orang
bisa membedakan pakaian ke kantor dan pakaian ke mal. Orang lebih memilih
pakaian santai ke mal daripada pakaian formal, misalnya jas. Orang memakai pakaian
santai karena kegiatan berbelanja di sana sifatnya santai, tidak harus terburu-buru,
dan juga modis, karena mal biasanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas.
Barang-barang dengan merk mahal dan terkenal menjadi sajian yang akan
memanjakan pembeli yang berkunjung ke dalamnya. Orang pergi ke mal biasanya
memakai kaos/T-shirt dan celana jeans. Celana yang digunakan kadang celana
panjang atau pendek, yang penting memudahkan pergerakan belanja ke sana dan ke
sini. Perempuan jarang menggunakan rok karena akan menyulitkan pergerakannya,
apalagi untuk naik-turun elevator menuju lantai yang satu ke lantai yang lain.
Sementara itu orang pergi ke gereja dengan pakaian yang formal, sedikitnya
kemeja dan celana/rok. Dari model berpakaian ini saja bisa dilihat bahwa komunitas
di gereja mal pada akhirnya menciptakan kode berpakaian sendiri jika dibandingkan
dengan gereja-gereja arus utama. Di gereja mal jarang dijumpai ibu-ibu yang
memakai kebaya. Pakaian ibu-ibu sangat modis dengan balutan celana ketat dan baju
kaos yang agak panjang. Atau terusan dress setinggi paha atau lutut dengan tambahan
legging di bagian bawah, supaya terlihat tetap sopan namun trendy. Pakaian ABG
atau perempuan muda lainnya juga lebih trendy. Nyaris tidak bisa dibedakan lagi
mereka ingin ke gereja atau ingin mejeng di mal. Tak jarang para ABG memaki baju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
yang sangat terbuka di bagian atas dan sangat mini di bagian bawah. Bagi saya
sendiri model pakaian di gereja mal agak kurang sopan. Namun, kembali ke masalah
keakraban antar umat. Mungkin saja mereka yang memakai pakaian agak terbuka
tetap leluasa mengenakannya karena tidak harus malu atau sungkan dengan orang
yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya mereka tidak saling kenal. Belum tentu
minggu depan akan bertemu dengan orang yang sama, jadi cuek aja. Budaya cuek dan
masa bodo’ pun bisa dipastikan berkembang di antara umat.
Baju-baju dengan berbagai ukuran dan model sangat mudah didapatkan di
mal dan di ITC sebelah mal itu berada. Jadi, jika kita tertarik dengan model
berpakaian orang yang ke gereja mal, kita bisa juga mencarinya di mal. Beragam
jenis pakaian dengan embel-embel harga murah ramai dipamerkan di etalase-etalase
mal tersebut. Mode pakaian yang sedang trendy delam pergaulan anak muda saat ini
bisa dibeli dengan mudah dan murah di mal. Pengalaman ini tentunya menimbulkan
suatu perasaan “lain” karena saat belanja sekaligus menjadi saat ibadah. Baju belanja
sekaligus baju ibadah.
2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona
Sistem kebutuhan adalah produk dari sistem produksi. Melalui sistem
kebutuhan kita mengerti bahwa kebutuhan tidak dibuat satu per satu dalam hubungan
dengan objek-objek lain tetapi dibuat produksi sebagai kekuatan konsumtif sebagai
kesediaan secara global dalam lingkup yang lebih umum dari kekuatan-kekuatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
produktif.22
ITC di sebelah mal menjadi bukti dari sistem produksi yang berusaha
membuat orang merasa “membutuhkan” barang-barang yang dipamerkan. Kebutuhan
inipun menjadi seragam dengan peredaran musim yang sedang berlangsung,
misalnya: tas yang sedang trend saat ini adalah tas sandang kecil, maka perempuan-
perempuan muda akhirnya merasa membutuhkan tas sandang tersebut. Contoh lain
beberapa waktu yang lalu yang sedang musim adalah baju atau jilbab Manohara
(berkaitan dengan hangatnya isu pelecehan seksual yang diderita artis Manohara di
Malaysia), maka ibu-ibu pun berbondong-bondong mencari baju dan jilbab Manohara
di pusat-pusat perbelanjaan.
Geliat konsumsi ini menjadi sesuatu yang secara tidak sadar mempengaruhi
konsumen menentukan kebutuhannya. Hal ini semakin menguatkan pendapat
Baudrillard bahwa konsumsi adalah sebuah prilaku aktif dan kolektif, ia merupakan
sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah
keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi integrasi kelompok dan
integrasi kontrol sosial. Masyarakat konsumsi juga merupakan masyarakat
pembelajaran konsumsi, pelatihan sosial dalam konsumsi – artinya sebuah cara baru
dan spesifik bersosialisasi dalam hubungannya dengan munculnya kekuatan-kekuatan
produktif baru dan restrukturisasi monopolistik sistem ekonomi pada produktivitas
yang tinggi.23
Dengan hadirnya gereja di mal maka secara tidak langsung terbentuk
pulalah masyarakat konsumsi atau umat yang berkonsumsi. Pola ibadah di gereja mal
22
Ibid., h. 81-82. 23
Ibid., h. 90-91.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
sedikit banyak memiliki kemiripan dengan pola konsumsi. Umat yang awalnya
datang untuk konsumsi spiritual di gereja, kini merupakan konsumen yang aktif
potensial membeli barang-barang yang dijual di mal.
Sebagaimana konsumsi meliputi pembelian barang-barang yang dijual
berdasarkan pencitraannya, bukan lagi pada nilai gunanya, maka orang beribadah di
gereja mal pun agaknya mendasarkan ibadahnya pada pola konsumsi. Seseorang
mendengarkan khotbah ibarat membeli sesuatu. Jika khotbahnya menarik dan
mengena dalam kehidupannya, maka umat yang terkesan dengan khotbah tersebut
tidak segan-segan memberikan uang persembahan yang besar. Menurut pengakuan
informan:
Di sini memang persembahannya tidak terlalu merata, tetapi yang “kakap-kakapnya”
kalo kasih persembahan besar, mereka senang dengan khotbah pendetanya. Makanya
kami pun mencari pendeta pengkhotbah yang hebat yang memang bisa menggugah
jemaat.24
Ekstase ibadah yang dirasakan umat ada kemiripannya dengan ekstase
belanja. Orang yang puas dengan produk tertentu tidak akan sayang menghabiskan
uang dalam jumlah yang besar jika produk yang dibelinya memenuhi keinginannya.
Pola ibadah di gereja mal tampaknya sangat banyak memberikan kepuasan, mulai
dari bagian awal nyanyian dan penyembahan yang semarak, hentakan atas rasa salah
diri dan keberdosaan umat, masuknya Roh Kudus dalam diri umat yang berbeban
berat, dan janji-janji kemakmuran dalam khotbah pendeta. Semua unsur ini menjadi
24
Wawancara dengan Pak SM, tenaga konseling di gereja Casa Rosa, pada tanggal 16 Januari
2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
daya tarik menggereja di mal ditambah manisnya janji-janji “keselamatan” produk-
produk yang ditawarkan di mal.
(Gambar 4) Aktivitas belanja di mal
(Sumber: http : // eshape. blogspot.com/)
Dari uraian analitik tentang fenomena bergabungnya altar dan pasar, sikap
saya ada dua. Pertama, hubungan budaya konsumsi dengan gereja atau peribadahan
tidak bisa dihindarkan. Lingkungan orang menggereja saat ini adalah masyarakat
konsumsi. Fenomena ini bahkan telah berimplikasi pada gereja-gereja arus utama
yang juga mulai menilik pola-pola ibadah di gereja mal. Kedua, jika fenomena ini
dikaitkan dengan hakekat gereja yang menyampaikan kabar gembira, maka saya
memiliki pandangan yang positif dan negatif. Pada satu sisi, bahasa gereja yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
menyampaikan kabar baik dengan cara mengabsorsi bahasa budaya konsumsi,
membuat ibadah lebih komunikatif dan sanggup menyentuh kedalaman batin umat.
Ini adalah budaya pop dalam komunitas masyarakat konsumsi di gereja mal.
Fenomena ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari inkulturasi menggereja zaman
sekarang. Saya sepakat dengan pembaharuan ini. Namun, pada sisi lain, tanggung
jawab gereja yang idealnya menyentuh aspek hidup manusia secara holistis (inklusif,
tidak diskriminatif, mengedepankan nilai-nilai keadilan, pro kemiskinan, dan lain
sebagainya) belum nyata dalam gereja mal. Gereja sebagai perwujudan kabar gembira
yang hanya menyentuh golongan tertentu, bukanlah gereja, melainkan hanya
merupakan komunitas budaya pop dengan lifestyle tertentu tanpa tanggung jawab
moral dan etis. Gereja seperti ini pada akhirnya berakhir pada eksklusivisme dan
manipulasi. Oleh karena itu, dengan tegas saya masih menuntut pembaharuan sosial
gereja dari gereja-gereja seperti ini.
Bagi banyak orang sosialitas di dalam gereja menumbuhkan rasa saling
memiliki dan menghargai satu sama lain. Gereja sebagai tempat bersekutunya umat
merupakan suatu wadah untuk saling mengenal serta menumbuhkan belas kasih yang
mendalam dalam interaksi sosial umat, sebagaimana cara hidup jemaat mula-mula
dalam tradisi Kristen yang merupakan komunitas rumahan. Cara hidup jemaat yang
pertama ini dicatat dalam bagian kitab Kisah Para Rasul 2: 41-47 yang menyebutkan
bahwa mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan, mereka
selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, segala kepunyaan mereka
adalah kepunyaan bersama, selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya lalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
membagi-bagikannya dengan semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.25
Situasi ini menyiratkan suatu keadaan persekutuan yang akrab dan dekat di mana
setiap orang berperan aktif untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan mau
berkorban untuk yang lainnya.
Oleh karena itu, situasi jemaat mula-mula memang pantas menjadi landasan
hubungan di gereja sepanjang masa. Gereja harus tetap menjaga sosialitas yang akrab
dalam pelayanannya. Namun, dalam kenyataannya sekarang, ketika jumlah umat di
suatu gereja mencapai ribuan jiwa, maka realitas sosial yang terlahir pun menjadi
berbeda. Gereja mal dengan jumlah umat yang sangat besar menciptakan realitas
sosial yang berbeda dengan gereja-gereja arus utama. Orang tidak terlalu
mementingkan hubungan mendalam dengan orang lain, melainkan kepuasan pribadi.
Sekarang orang dihadapkan pada banyak pilihan, tetapi sayangnya orang tidak
bisa memilih. Yang malah terjadi adalah orang mempunyai cara sendiri untuk
menggunakan semuanya, yakni dengan cara menggabungkan atau mensintesakannya.
Salah satu contoh orang yang tidak bisa memilih adalah kenyataan tentang kegairahan
orang beribadah dan berbelanja di mal. Penggabungan aktivitas menggereja dan
berbelanja ini merupakan wujud dari logika hidup manusia zaman sekarang pada
level sintagmatik.26
25
Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007). 26
The logic of life manusia zaman sekarang banyak bermain-main pada level sintagmatik.
Hubungan sintagmatik adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan dengan tanda lain sejauh tanda-
tanda itu memiliki fungsi satu sama lain. Oleh karena itulah hubungan sintagmatik juga disebut
hubungan fungsional. Hubungan ini tampak paling jelas dalam sebuah sintagma yang ditata mengikuti
sintaks tertentu. Hubungan sintagmatik sifatnya linear (tidak mungkin kita bicara dua kata bersamaan),
in praesentia (ada, tertulis, terucapkan, hadir bersamaan), kombinasi (paduan unit-unit yang dipilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Sebagaimana mal yang menjanjikan kemewahan, ke-elegan-an, keuntungan,
dan kenyamanan, siapa yang tidak tertarik dengan isi khotbah yang menjanjikan
kesuksesan dan kekayaan atas nama Tuhan? Penyampaian khotbah yang
bersemangat, berapi-api dan disertai lelucon nyatanya mampu menguatkan dan
menyegarkan pendengar khotbah. Namun, menurut saya, itu tidaklah cukup. Khotbah
tidak hanya bersifat untuk menghibur pendengarnya, tetapi ia sekaligus berfungsi
untuk mengoreksi hidup umat. Sebuah khotbah juga harus berani menyatakan
kebenaran di tengah-tengah maraknya ketidakadilan, kekerasan, penindasan, dan
penderitaan.
Gereja di mal tampaknya melahirkan komunitas yang eksklusif. Hal ini
terlihat dari kehomogenan umat yang beribadah di sana, yang kebanyakan datang dari
kelas menengah atas yang “terberkati”. Mereka “mengiklankan” berkat Tuhan dalam
kesuksesan dan kekayaan yang diraihnya lewat bisnis, usaha, dan kerjanya. Namun,
pertanyaan saya, di manakah tempat orang miskin dalam komunitas di gereja mal?
Beranikah mereka beriklan tentang kebaikan Tuhan jika hidup mereka belum juga
sesukses dan sekaya kakap-kakap lainnya? Jangan-jangan di gereja ini, kemiskinan
dan penderitaan dianggap sebagai kutukan dari Tuhan. Kalau sudah seperti ini, maka
panggilan beriman umat patut juga dipertanyakan. Konon, gereja ini juga kurang
begitu tanggap dengan masalah-masalah sosial. Jumlah kas yang besar itu banyak
dari sebuah paradigma secara beraturan dari tanda-tanda yang berinteraksi membentuk keseluruhan
yang bermakna. Contoh yang paling mencolok dalam hubungan sintagmatik adalah dalam dunia
fashion (peragaan busana), ada kalanya sang model menghadirkan rok dan celana panjang sekaligus
dalam peragaan busana, dalam St. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
dipakai untuk keperluan biaya rumah tangga gereja, seperti gaji pendeta, gaji petugas
ibadah yang lain, peningkatan fasilitas, dan sangat jarang dialokasikan untuk bantuan
bencana. Bukankah gereja harusnya “keluar”? Ia tidak cukup hanya memikirkan
kepuasan orang yang beribadah di sana, tetapi hadir bagi orang di luar gereja yang
menderita.
Saya sangat terkesan dengan pola ibadah yang ekspresif di gereja mal.
Kekuatan musik dan kepiawaian petugas-petugas ibadah patut diacungi jempol. Tidak
diragukan lagi jika mereka berlatih dengan serius untuk menyiapkan ibadah pada hari
Minggu. Bagi gereja arus utama, pola ibadah ini harusnya dilihat dengan bijaksana
karena nyatanya mampu menyentuh kedalaman batin umat dalam pengalaman
psikospiritualnya. Gereja arus utama harus berani keluar dari kekakuan pola ibadah
yang berlangsung selama ini. Namun, jika ibadah segaja diatur oleh sebuah skrip
yang menentukan kapan seseorang jatuh, menangis, dan berjalan ke depan altar untuk
didoakan, tentu itu bukanlah ibadah yang murni. Ibadah yang direkayasa seperti ini
sama sekali bukan ibadah yang sejati. Ibadah ini telah dipakai sebagai alat untuk
melanggengkan pesona gereja saja, bukan lagi pada penghayatan iman yang
sesungguhnya.
Gereja arus utama dan gereja mal sama-sama memiliki kelemahan. Gereja
arus utama yang terlalu ketat dengan dogma dan tradisi dianggap kurang menjangkau
kebutuhan umat. Namun, di sisi lain, gereja yang terlalu memikirkan hasrat umat dan
menjadi eksklusif, bisa kehilangan suara kenabiannya. Fenomena bergabungnya altar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
dan pasar sekali lagi tidak bisa ditolak, hanya saja kita perlu menyikapinya dengan
bijaksana, kritis, dan bertanggungjawab.
3. Kesimpulan
Gereja di mal adalah suatu fenomena ibadah yang berbeda dengan gereja-
gereja arus utama. Interaksi simbolis yang terjadi di antara umat dalam gereja ini
menjadi realitas sosial yang baru dalam cara menggereja umat (ekklesiologi) lewat
bahasa isyarat, suara dan komunikasi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi
semacam itu, bagi mereka yang beribadah di sana, sangat menyentuh kedalaman hati
individu yang sedang bergumul dengan masalah hidupnya. Namun, umat memang
bisa terjebak pada kepuasan pribadi belaka. Hasil penggabungan (sintesa) dua unsur
yang selama ini bertolak belakang, ternyata memproduksi budaya massa yang
semakin memikat hati, namun harus tetap diwaspadai karena bisa jatuh pada
penghayatan iman yang ekskusif.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ciri gereja yang super besar membuat
pola hubungan dan interaksi umat jadi terbatas dan agak longgar. Umat tidak
mempunyai cukup banyak waktu untuk sekedar ngobrol sambil nge-teh, berkenalan
secara mendalam. Karakteristik umat ibarat orang yang berbelanja, masuk ke dalam
toko, lihat-lihat, pilih yang cocok, pergi ke kasir, bayar, lalu keluar. Begitu pula
halnya dengan beribadah, masuk, duduk, mengapresiasi ibadah dengan mengikuti
acara demi acara, mendengar khotbah, jika menyentuh berikan uang persembahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
seharga kepuasan khotbah, lalu pulang. Akibatnya, keakraban dan kedekatan umat
yang satu dengan lainnya sangat dangkal di gereja ini.
Adanya jenis keanggotaan simpatisan dalam aturan rumah tangga gereja mal,
semakin menambah longgarnya interaksi umat dengan umat. Pelayan di gereja ini
mengakui bahwa umat simpatisan yang beribadah di gereja ini sangat banyak.
Dengan menjadi umat simpatisan seseorang tidak harus meninggalkan gereja asalnya.
Siraman rohani yang didapatkan di gereja mal menjadi penambah “kenikmatan cara
beriman” yang selama ini tidak diperolehnya di gereja asalnya. Agaknya “rasa”
ibadah di gereja mal lebih spesial dan mengena dalam pengalaman psiko-spiritual
umat dibandingkan dengan pengalaman di gereja asalnya. Singkatnya, ibadah di
gereja mal merupakan bentuk spiritualitas yang baru. Kekuatan bahasa simbolik yang
berlangsung dalam prosesi ibadah dan aktivitas belanja pasca ibadah sungguh
mempesona. Apakah setelah itu (setelah keluar dari gereja atau mal) umat menjadi
semakin saleh, setia, dan beriman, itu masih perlu diuji. Apakah menggereja di mal
pada akhirnya mengarahkan umat pada nilai tanda bukan nilai gunanya? Bisa saja
terjadi.
Realitas lain yang muncul adalah adanya simbiosis mutualisme antara umat
dan pedagang di mal tersebut lewat cara berkonsumsi umat setelah dan sebelum
ibadah dimulai. Tanpa disadari ada setting-an interaksi manusia yang terbentuk lewat
hadirnya gereja-gereja di mal. Setelah urusan “rohani” selesai dalam ibadah yang
berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat selanjutnya bisa menyelesaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
urusan “jasmani”nya dengan sekedar “cuci mata” di mal atau akhirnya memutuskan
untuk membeli sesuatu.
Sadar atau tidak sadar posisi toko elektronik, foodcourt, arena bermain anak,
dan supermarket menciptakan interaksi simbolis umat setelah keluar dari gereja.
Umumnya gereja berada di lantai paling atas, lalu satu lantai di bawahnya arena
bermain anak atau foodcourt. Artinya, setelah ibadah umat perlu bersantai dengan
membawa anak-anak ke arena bermain atau mengisi tenaga yang tadi telah terpakai
selama ibadah, dengan mengunjungi foodcourt, memesan dan menikmati menu
makanan yang beragam, sesuai selera. Biasanya lokasi foodcourt cukup berdekatan
dengan gereja.
Lalu setelah tenaga terkumpul dan situasi pikiran lebih segar, orang akan
semakin nikmat menyusuri toko-toko pakaian, tas, sepatu, atau alat-alat elektronik
yang berada di lantai selanjutnya. Sebelum memutuskan pulang, sekali lagi konsumen
bisa singgah ke supermarket yang umumnya berada di lantai bawah. Posisi ini tentu
bukan tanpa tujuan tertentu. Pada bagian akhir “petualangannya” di mal, orang
diingatkan lagi soal kebutuhan sehari-harinya, mulai dari bumbu dapur, sayur mayur,
peralatan mandi, perlengkapan kebersihan rumah tangga, keperluan sekolah, dll.
Aktivitas belanja di tempat ini lebih baik dilakukan terakhir, supaya tidak berat-berat
membawa barang belanjaan ke sana ke mari. Setelah meyelesaikan aktivitas belanja
di supermarket ini, pintu keluar dan jalan menuju tempat parkir sudah tidak jauh lagi.
Dengan demikian, semua kebutuhan hidup yang diperlukan sudah didapatkan di
tempat yang bernama mal. Sintesa antara gereja dan mal ini berlangsung dalam gerak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
perkembangan ekonomis dan religiositas dalam gaya hidup posmodern manusia
zaman sekarang.
Akhirnya, di bab ini saya menyimpulkan bahwa pola ibadah dan pola
konsumsi memiliki kemiripan dalam banyak hal. Hubungan menggereja dan
mengonsumsi saling mempengaruhi satu sama lain. Kita tidak bisa menolaknya, ini
adalah fenomena bergabungnya altar dan pasar dalam perkembangan budaya
masyarakat saat ini. Namun, meskipun fenomena ini tidak dapat ditolak, saya tetap
mempunyai sikap kritis, hakekat gereja sebagai penyampai kabar baik, yang
diartikulasikan dalam ibadah di gereja mal berimplikasi pada dua hal, pertama ia
sanggup menggunakan bahasa budaya konsumsi dalam penghayatan beriman umat,
kedua, ia bisa terjebak pada pesona glamour ibadah dan eksklusivisme tanpa
memperdulikan tanggung jawab moral dan etis sosialnya.
Nilai tanda yang tercipta dalam aktivitas ibadah dan aktivitas belanja memiliki
karakteristik yang kurang lebih saling mendukung. Gereja di mal akhirnya
melahirkan realitas sosial baru bagi “jemaat diaspora” masa kini. Umat yang semakin
tersebar ke dalam pola dan model ibadah serta ruang menggereja masa kini,
sebenarnya sedang tidak bisa membuat pilihan sendiri atas “hasrat dirinya”.
Kapitalisme dan globalisasi telah memproduksi budaya baru dalam penghayatan
beriman manusia yang hidup dalam modernitas zaman saat ini. Inilah pengalaman
beriman dan berbelanja dalam pesona mal. Prosesi duet ini menciptakan komunitas
masyarakat konsumsi di gereja mal, yang masih harus dipertanyakan tanggung jawab
moralnya terhadap situasi sosial masyarakat pada umumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
PENUTUP
Gereja di Mal: Pola Beribadah dalam Budaya Konsumsi
Sejak awal tesis ini mengarahkan seluruh perhatiannya pada fenomena
bergabungnya gereja dan pasar. Penggabungan keduanya bisa dilihat lewat fenomena
gereja-gereja yang mengadakan ibadahnya di mal. Gereja yang mewartakan nilai-
nilai sakral keselamatan hadir bersama dengan pasar yang menawarkan nilai-nilai
kenikmatan dan kepuasan konsumsi. Saat ini situasi ibadah sangat bervariasi, yang
paling mencolok adalah perbedaan pola ibadah di gereja aliran arus utama dan gereja
aliran kharismatik. Pada prinsipnya ibadah di gereja bertujuan untuk mengantar umat
pada pertemuan dengan Sang Kudus dan menyampaikan kabar gembira. Akan tetapi,
kemasan yang membungkus pesan ibadah tadi disiapkan dan ditampilkan dengan cara
yang berbeda-beda.
Penelitian ini menggali praktik menggereja di mal dalam konteks budaya
konsumsi, di mana gaya hidup manusia semakin banyak berada pada level
sintagmatik, hadirnya dua hal yang tidak lazim secara bersamaan. Penelitian ini
dilakukan untuk menjawab: pertama, apa yang menyebabkan gereja bisa hadir di
ruang publik, dalam arti pasar, khususnya mal? Kedua, sejauh mana model
menggereja di mal menyerupai model mengonsumsi? Ketiga, realitas sosial seperti
apa yang terbentuk dalam masyarakat konsumsi di gereja di mal? Dengan menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
ketiga pertanyaan ini, fenomena gereja di mal akan dilihat pesonanya dalam gaya
hidup budaya manusia zaman sekarang.
Penulis melakukan penelitian baik empirik maupun kepustakaan selama
kurang lebih satu tahun. Penelitian empirik dilakukan dengan wawancara dan
mengikuti ibadah di gereja mal. Berdasarkan pengamatan awal di lapangan, penulis
merumuskan hipotesis penelitian: adanya kemiripan pola beribadah dan pola
berkonsumsi di gereja mal. Paradigma ini muncul setelah penulis menemukan
beberapa simbol-simbol atau bahasa-bahasa baru dalam pola beribadah di gereja mal.
Bergesernya ruang ibadah dari wilayah tertentu ke ruang konsumsi memproduksi
budaya baru dalam masyarakat. Pesona mal mampu mengakomodasi (nyaris) semua
kebutuhan hidup manusia dengan semboyan cepat, tepat dan efesien. Dari sini saya
melihat bahwa senyatanya hubungan gereja dan budaya konsumsi tidak bisa
dihindarkan. Keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain dalam
kegairahan beriman dan berbelanja sekarang ini.
Dinamika pergeseran paradigma ruang ibadah ini diteliti dengan
mempertimbangkan beberapa alasan. Pertama, penelusuran tersebut ditempatkan
sebagai sebuah tinjauan teoretis yang memperkaya pembahasan tentang fenomena
gereja-gereja di mal dan situasi bergereja di gereja-gereja arus utama. Kedua,
kerangka analisis dalam penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik
dan sosiologi konsumsi dari Baudrillard. Kedua kerangka konseptual ini dipakai
untuk menganalisis jenis-jenis interaksi umat di gereja mal yang melahirkan realitas
sosial yang baru dalam bahasa komunikasi konsumsi yang baru. Ketiga, wacana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
fenomena di gereja mal tidak dimaksudkan untuk menilai benar-salah praktik
beribadah umat Kristen, melainkan ditempatkan sebagai pembanding atas pola
beribadah di gereja-gereja arus utama yang sadar atau tidak sadar semakin “kurang
diminati” umat. Namun, beberapa sikap kritis saya terhadap pola ibadah di gereja mal
tetap diketengahkan. Oleh karena itu mau tak mau gereja arus utama harus berbenah
diri menyiapkan dan “menyajikan” kemasan istimewa dalam pola ibadahnya yang
selama ini agaknya mengalami “kekeringan”. Namun, di sisi lain, gereja di mal juga
harus tetap menunjukkan pembaharuan sosial menggereja yang inklusif. Penelitian
tesis ini berusaha didekati dari perspektif sosiologis dan wajah identitas komunitas
dalam budaya posmodern.
Melalui proses analisa atas ketiga pertanyaan penelitian dan menempatkannya
dalam pergeseran pemaknaan ruang ibadah, maka penulis menemukan tiga
pandangan dalam gemerlapnya dunia mal dan sakralnya dunia gereja: Pertama,
kehadiran gereja di mal secara tidak sengaja disebabkan oleh susahnya birokrasi
administrasi izin pembangunan rumah ibadah, serta adanya kebosanan umat dengan
pola ibadah gereja arus utama yang terjadi selama ini. Pemimpin gereja arus utama
dianggap kurang mampu membuka diri terhadap perkembangan zaman. Pola ibadah
di gereja mal dianggap sebagai trend baru yang lebih mampu memberi “kepuasaan”
atas dahaga spiritualitas selama ini. Umat merasakan sensasi psiko-spiritual yang
berbeda dengan pola ibadah di gereja arus utama karena ornamen-ornamen yang
digunakan dalam ibadah lebih fresh dan mengikuti perkembangan arus zaman.
Singkatnya ibadah di gereja mal menghantar umat pada “rasa ibadah yang modern
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
dan gaul”. Kedua, mal sebagai sanctuarium para penikmat konsumerisme telah
melahirkan kegairahan beribadah dan berbelanja. Keduanya kini berduet harmonis
dalam budaya yang berkembang di masyarakat. Ketiga, fenomena bergabungnya
gereja dan pasar menciptakan realitas sosial yang baru. Sosialitas dan interaksi sosial
antar umat bukan hal yang utama di gereja ini karena yang lebih diutamakan adalah
kepuasan pribadi (personal salvation). Kepuasan pribadi yang dirasakan ini mirip
dengan pola orang berkonsumsi. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa pola
menggereja dan pola mengonsumsi yang terjadi di gereja mal hadir bersama sebagai
sebuah mekanisme pasar dalam budaya konsumsi saat ini. Apakah fenomena seperti
ini merupakan pengalaman religius atau bukan? Itu di luar skope dari tesis ini.
Artinya tesis ini bukan penelitian teologis. Tesis ini dibatasi pada interaksi dan relasi
atas sentuhan lembaga gereja dan lembaga konsumsi. Namun, jika dikaitkan dengan
hakekat gereja yang menyampaikan kabar baik, maka fenomena gereja di mal bisa
ditempatkan sebagai: inkulturasi menggereja yang baru dalam budaya konsumsi dan
eksklusivisme menggereja yang cenderung berpihak pada golongan masyarakat
tertentu saja.
Saya menyadari bahwa dalam penelitian ini belum semua data terekam,
terwakili dan dieksplorasi dalam analisis. Apa yang dilakukan tesis ini hanya
merumuskan mekanisme praksis ibadah dan pasar. Bagaimana praksis gereja yang
sakral berkomunikasi dengan praksis pasar yang profan melalui beragam jenis produk
mal yang diakomodasi sebagai penunjang kenikmatan ibadah. Oleh karena itu saya
menyebut tesis ini sebagai pembuka bagi penelitian lain yang hendak memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
agama dalam masyarakat konsumsi. Kajian yang lebih mendalam yang berkaitan
dengan tesis ini masih sangat perlu dikembangkan, misalnya gereja dan bisnis, atau
tema seperti eksklusivisme gereja mal di tengah-tengah wacana pluralisme dan
lingkungan sosial.
Zaman terus berubah. Ini berarti setiap perubahan memproduksi suatu budaya
baru di tengah-tengah masyarakat. Ketidakmampuan manusia membuat pilihan-
pilihan dalam hidupnya atas munculnya fenomena penggabungan unsur-unsur yang
berbeda (Yang Kudus dan yang profan), membuat manusia mensintesakan keduanya.
Namun, gereja sebagai sebuah institusi agama hendaknya melihat fenomena ini
dengan cakap dan bijak. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan betapa gairah
menggereja umat hingga saat ini masih antusias. Umat mencari dan terus mencari
pola-pola ibadah yang paling menjawab kebutuhannya saat ini. Lalu, yang menjadi
tantangan gereja adalah, apakah gereja atau pemimpin gereja mampu menangkap
gairah ini? Artinya, bagaimanakah hubungan jemaat dan pemimpin gereja menjawab
setiap hasrat umat terhadap berbagai kecenderungan yang terlahir dalam budaya
konsumsi kapitalisme akhir? Namun, dalam proses mencari jawab ini setiap pihak
harus mawas diri terhadap berbagai kecenderungan yang mampu membuat gereja
kehilangan suara kenabiannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995.
Baudrillard, Jean P. Masyarakat Konsumsi.(terj. Wahyunto). Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009.
Bellah, Robert N. Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta:
Paramadina, 2000.
Bertens, K. Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Boland, B. J. Percakapan tentang Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1951.
Darmaputera, Eka. Gereja dan Ekonomi dalam “Gereja dan Kontekstualisasi”.
Sularso Sopater, et all (ed). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
de Jonge, Chr dan Aritonang, Jan S. Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah
Ekklesiologi. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989.
Denzin, Norman K. Symbolic Interactionism And Cultural Studies: The Politics Of
Interpretation. Oxford UK and Cambridge USA : Blackwell, 2003.
Featherstone, Mike. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terj. M. Z. Lawang).
Jakarta: Gramedia, 1986.
Lee, Martyn J. Budaya Konsumen Terlahir Kembali: Arah Baru Modernitas dalam
Kajian Modal Konsumsi dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.
Lury, Celia. Budaya Konsumen. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Miller, Vincent J. Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a
Consumer Culture. New York ∙ London: Continuum, 2003.
Piliang,Yasraf Amir. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed.
Alfathri Aldin). Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. (terj. Nurhadi) Yogyakarta:
Kreasi Wacana Offset, 2010.
_______. Teori Sosial Posmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Samuel, Wilfred J. Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan
Pasca-Kharismatik .(terj.Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Soedjatmiko, Haryanto. Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan
Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Solomon, Michael R. Consumer Behavior: Buying, Having, Being. New Jersey:
Prentice Hall, 1996.
Steinberg, Shirley R dan Kinchheloe, Joe L. Christotainment: Selling Jesus Through
Popular Culture. Boulder: Westview Press, 2009.
Sugiri, L, dkk. Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991.
Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik, 2006.
van Kooij, Rijnardus dan Yam’ah, Tsalatsa. Bermain dengan Api. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Artikel, Jurnal
Budiman, Arif. “Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern” dalam
Jangan Tangisi Tradisi: kumpulan Karangan. (ed. Johanes Mardimin)
Yogyakarta:1994.
Hardjana, Andre. “Konsumerisme dalam Era Globalisasi” dalam BASIS,
No.7/XLI/Juli/1992. Yogyakarta: Yayasan P. P. BASIS, 1992.
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Opini Masyarakat
tentang Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No.
3/Tahun IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Konsumerisme dalam
Tinjauan Sejarah” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun
IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Menahan Laju
Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun
IV/Juli/198. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.
Kvale, Steinar. “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in
a Postmodern Age” dalam Theory Psychology. SAGE publication, 2003.
Thomas, Pradip. “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual
Markets and the Media” dalam Global Media and Communication. SAGE
publication, 2009.
Van Doop, H. A. “Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT
Jakarta ke-75. Jakarta: 2009.
Kamus dan Alkitab
Sugono, Dedy, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Alkitab. Jakarta: LAI, 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
Transkripsi Wawancara 1
Pewawancara (P) : Norita
Informan : ES, RS, dan RK (Umat simpatisan di gereja mal)
Pekerjaan : Guru SD Kristen di Jakarta
Tanggal wawancara : 21 Januari 2010
P: Selamat siang Miss, sebelumnya saya berterimakasih karena Miss berdua sudah
menyediakan waktu untuk wawancara siang ini. Begini Miss, saya tertarik mengamati
gereja yang ada di mal. Nah, saya mau tahu nih, bagaimana pengalaman beribadah
yang Miss berdua rasakan di gereja Casa Rosa ini? Kenapa sih memilih gereja Casa
Rosa?
ES: Mmmmm, sebenarnya saya melayani juga di gerejaku (menyebutkan salah satu
nama gereja Batak). Saya juga Guru Sekolah Minggu. Bentuk ibadah di gerejaku dan
di gereja Casa Rosa sama aja sih, tetap sakral kog dua-duanya. Tapi, yang membuat
aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya, lagu-lagunya. Padahal lagu-
lagunya kadang memakai Kidung Jemaat juga, tetapi cara menyanyikannya yang
berbeda, lebih semangat dan ekspresiflah, interest gitu. Kalau di gerejaku kan lagu-
lagunya dalam bahasa Batak gitu kan, jujur aku gak terlalu ngerti. Sebenarnya saya
partisipan di gereja Casa Rosa sudah lama, sejak tahun 1998. Dulu, masih zaman-
zamannya di mal Piazza Calda itu belum ada ITC. Jemaatnya juga masih kecil, bentuk
fisiknya juga belum sepanjang itu, baru beberapa inilah (menggerakkan tangannya
membuat bentuk kotak bangunan). Saya timbul tenggelam lah di sana. Mulai tahun
2000an lah saya mulaif. Mungkin cara pemujiannya itu yang lebih bersemangat, lebih
ekspresif lah. Cuma kalau dibilang pembaruan iman, bisa juga dibilang pembaruan iman
di gereja ini. Karena kan terkadang kita mau ke gereja bukan cuma mau datang saja, tapi
mengerti juga. Nah kalau bahasanya aja gak dimengerti, kan kurang dapat makna
ibadahnya. Memang kadang-kadang sekalian ibadah, ya bisa juga belanja (sambil
tersenyum).
P: Artinya ibadah di gereja itu sangat tergantung dengan fasilitas untuk
menghidupkan suasana ya? Khususnya cara bernyanyi ya?
ES: Oh iya, itu sangat mempengaruhi ibadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
P: Kalau Miss RS sejak kapan mulai ikut gereja di Casa Rosa? Kenapa di sana?
RS: Kalau aku sejak tahun 2006-lah. Tahun 2003 aku tadinya gereja di Gereja
Oikumene Imanuel karena aku tinggal sama sepupuku yang rumahnya dekat situ.
Kadang juga aku gereja di GKI. Nyobain gitu. Trus diajak teman ke GPIB.
Sebenarnya aku udah ngerasa nyaman juga, bahkan sempat mau melayani juga, mau
ngajar sekolah minggu. Tapi gak tau kenapa teman kita, guru di sini juga, miss RK,
bilang ada tuh di gereja Casa Rosa, enak deh. Sebenarnya ibadahnya ya gak jauh
beda, ibadahnya masih mirip-miriplah dengan gereja yang biasa kuikuti. Cuma
ibadahnya full band, nah itu yang paling membedakannya dengan gereja-gereja,
kayak GKI, gak terlalu kaku-lah.
ES: Kalau di GKI dan HKBP kan musiknya lebih ke piano.
RS: Ya udah kita cobain, kita kaget juga. Kita wagu, di sini kita tepuk tangan. Pas
dengar firman, pendetanya itu bagus. Di gereja Casa Rosa itu kan fokusnya ke
firman. Kalau pas firman bisa sampai 1,5 ke 2 jam. Gak tau kenapa tapi aku gak
bosan, lucu juga sih pendetanya. Trus besok-besoknya, kita coba lagi yuk. Eh
dapetnya pendeta yang enak-enak. Pendetanya pintar, gak cuma diajar firman, tapi
pujian juga, misalnya setelah pendetanya ngucapin kalimat apa, eh terus disambung
sama lagu yang cocok. Jadi nyentuh banget deh. Kita diajak, “Keluarkan ini-mu”
(sambil memainkan gerakan tangan menyimbolkan suatu “beban”). Kita itu dibawa
masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana sih, ekspresif aja,
gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita, tenaga kita, energi
kita untuk Tuhan, fokuslah. Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita
dibawa. Nah kita merasa kuat dan plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang
saya rasa’in di gereja ini. Kalau saya bukan suasana mal-nya yang membuat saya
senang ke gereja ini, tapi ya suasana ibadahnya, soalnya saya lebih suka gereja di
cabangnya, bukan di mal ini.
P: Suasana ibadahnya yang menarik ya. Kalau soal khotbah, ukurannya yang enak
gimana sih?
RS: Kalau aku sih firman itu pokoknya dia (pendeta) tahu, jangan dianalisa begini-
begitu. Kita kan gak menyelami itu (maksudnya soal teologi). Trus biasanya pendeta
di sana pakai kehidupan sehari-harinya dia. Dia bersaksi. Kalau dia udah bersaksi,
berarti kan dia sudah memakai firman itu. Terus dari kesaksiannya itu, kita kan juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
jadi berpikir, “Oh iya ya”, terus kita flashback-lah hidup kita. Dia bisa berubah,
kenapa kita gak? Dia menceritakan kenyataan dirinya. Kalau orang sudah merasakan,
kan bisa berpengaruh ke orang lain. Kalau belum dirasain kan gak dapat feel-nya.
Misalnya kalau pendeta bilang, “Serahkanlah khawatirmu kepada Tuhan”. Itu kan
cuma ngomong doang. Tapi kalau dia ngomong dia punya pergumulan terus dapat
jalan keluar saat dia berserah pada Tuhan, nah kita kan percaya dan kita jadi
dikuatkan.
ES: kalau di gereja Casa Rosa ada keterbukaan dalam alur cerita, firman. Pendeta itu
apa adanya kog. Akhirnya, membuat kita berpikir bahwa memang benar yang
dikatakan firman ini. Firman itu gak mengada-ada, Dalam kehidupan sehari-harinya
mereka (pendeta) praktekkan itu, kesaksian mereka blak-blakan Kadang ada satu
pendeta yang berani buka aibnya. Dia buka karena dia mau ngasitau gini lho
kehidupanku dulu, tapi sekarang saya ikut Tuhan. Jadi, kita bisa tahu perubahan
hidupnya. Ada satu lagi kelebihan di gereja ini, kalau ada jemaat yang baru pertama
kali datang, disambut, jadi kita gak merasa terasing. Song leader-nya akan
menanyakan siapa jemaat baru. Sampai-sampai gembala sidangnya pun menyalami
kita. Itu juga daya tarik untuk menjaring jemaat. Enak gitu, welcome. Trus disalami
lalu dinyanyikan lagu selamat datang,”Kukasihi kau...”. Kita senang kan meskipun
gak saling kenal.
ES: Bukan hanya di kebaktian minggu, tetapi di kebaktian muda-mudi juga seperti itu
kog. Ditanyain juga siapa yang baru pertama kali datang.
P: Nah selain ibadah, biasanya ngapain aja di mal?
ES: Aku biasanya setelah ibadah ya terkadang makan, keliling-keliling, kalau gak ya
langsung pulang.
RS: Kalau pertama-tama ya makan, setelah itu mungkin belanja. Tapi gak tiap
minggu juga kan kita belanja.
ES: Kalau belanja ya tergantunglah, tapi kalau makan sih, itu sudah pasti ya.
RS: Kalau hari Minggu foodcourt penuh lho. Kita tahu kog kalau pengunjung
foodcourt itu orang yang baru pulang gereja, bajunya bagus-bagus, kadang pegang
Alkitab, atau brosur warta jemaat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
ES: Kalau di-flasback lagi ke belakang, secara tidak langsung gereja Casa Rosa telah
membawa berkat bagi pedagang-pedangan di sekitarnya. Tadinya toko-toko di Mal
Piazza Calda gak terlalu banyak. Bahkan, meskipun ada diskon besar-besaran, belum
tentu ramai orang yang datang. Tapi, sejak adanya gereja Casa Rosa berdiri di sini,
makin banyak jemaat yang datang. Nah, otomatis kan orang belanja-belanja juga,
lihat-lihat juga. Gak mungkin cuma lewat-lewat aja.
P: Kira-kira sejak tahun berapa gereja Casa Rosa semakin ramai pengunjungnya?
ES: Sekitar tahun 2000-an lah jemaatnya semakin banyak. Bahkan sekarang gereja ini
buka cabang juga di perkantoran BIP yang dekat SCTV dan di Wisma Pelangi,
Tangerang.
P: Apa bedanya gereja Casa Rosa yang di mal dan yang di aula kantor?
RS: Kalau yang di aula kantor jemaat yang hadir gak sebanyak yang di mal. Coba
yang di mal, mau masuk aja kita udah antri panjang. Mau masuk aja rebutan banget
kan. Kalo di BIP gak terlalu banyak. Kapasitasnya sekitar ratusan lah. Gedungnya
lebih kecil memang, tapi ramai juga. Cuma kendalanya di BIP, letaknya gak strategis
Jalur angkotnya ke sana susah.
ES: Kalau di mal kan letaknya strategis. Mau dari Kuningan, Manggarai, Kampung
Melayu atau Sudirman, kayak kita-kita yang naik angkot, gampanglah, mudah
dicapai.
P: Artinya lokasi gereja pun sangat penting ya?
ES dan RS: Iya, bahkan kalau yang di Wisma Pelangi juga agak sepi, karena jauh.
Kayaknya yang di sana dialokasikan untuk orang yang dekat ke situ, misalnya daerah
Tangerang.
P: Kalau hari Minggu di mal ini ramai sekali berarti ya? Susah gak ya cari parkiran?
ES: iya, apalagi sejak sudah ada ITC. Kadang orang yang ke ITC pun parkirnya di
mal ini. Padahal dulu sebelum ada ITC masih sepi. Sekarang jadi makin ramai.
Sekarang walah mau jalan di escalator aja padat banget. Apalagi kalau ada event
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Paskah, kan biasanya digabung semua cabang-cabang gereja. Wah penuh banget deh
gereja ini.
P: Trus sejauh mana kita bisa saling kenal dengan jemaat yang lain? Gimana
kedekaatan kita dengan umat yang lain dalam jumlah yang ribuan itu?
ES: Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu
kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in, padahal
gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian jemaat
yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan terdekat
saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-sekali saja ke
gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah. Paling kalau
kenal jemaat yang lain, juga hanya sebatas hari itu saja. Minggu depan belum tentu
ketemu lagi dengannya kan?
RS: Yah, kita sebatas senyum ajalah. Dari senyum kdang-kadang kita bertegur sapa,
“Eh apa kabar?” Atau kalau ketemu di mal kadang ada yang nanya, “Mau ibadah
ya?” Iya, “Oh kalau aku udah tadi”. Kalau yang rutin datang biasanya bisa kenal juga
kog. Tapi kalau yang cuma datang sekali-sekali aja ya kita gak kenal.
P: Selain datang pada kebaktian Minggu, apakah miss datang juga di ibadah yang
diselenggarakan di hari lain?
RS: Kalau aku sih suka juga pada kebaktian hari Kamis, khusus untuk karyawan.
Biasanya fokusnya banyak tentang kesaksian. Dan bukan jemaat aja lho yang
kesaksian, tapi kadang-kadang ada artris jga. Jadi, kit akan perlu banget kesaksian.
Masuk ke hati kita dan melekat. Jadi di gereja ioni itu yang menyenangkan banget.
Kalau di gereja biasa kan di kebaktian minggu, jarang bisa ada kesaksian
P: Oiya, katanya sering datang artis-artis juga ya? Siapa sih artis yang biasanya suka
datang dan mengisi kebaktian? Trus tanggapan miss gimana?
ES: Ya Joy Tobing atau Lea Simanjuntak?
RS: Kalau aku sih biasa aja, aku sih liat firmannya. Ada Joy Tobing atau enggak, bagi
aku ya gak ngaruh bangetlah. Aku gak akan bela-belain untuk nunggu Joy Tobing.
Pokoknya firman itulah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
P: Apakan lihat-lihat jadwal pendetanya juga? Siapa nih pendeta yang paling OK?
RS: Awal-awalnya sih iya, tapi sekarang semua pendetanya bagus-bagus sih.
Khususnya karena kesaksian itu lho, meskipun kadang teksnya gak nyambung, tapi
kesaksiannya menguatkan.
ES: dasarnya memang mal ini kan usher-nya (penerima tamu) dulu memang artis-
artis rohani, Jacklin Salose, itu gemblengannya Pdt. Iw. Kebanyakan artis-artis
rohani. Tapi aku sih biasa ajalah. Tapi ada sisi menariknya jugalah, Aku bisa tahu
kehidupan artis ini. Kalau di entertainment kan bisa aja gini, tapi kalau kesaksian kan
gak mungkin berdusta. Yah menarik juga sih kalau ada artis.
P: Kalau ibadah Kamis atau Sabtu rame juga gak?
RS dan ES: ya 100-an oranglah..
RS: Terus banyak kesaksian, misalnya pengusaha yang bangkrut, trus kesaksian. Eh
bisa bangkit lagi. Terus kan kita mikir, wah dia aja bisa bangkit. Aku bagaimana nih?
Kita jadi termotivasi.
P: Beriman dan bergaul kayaknya jalan berbarengan sekarang ini. Gimana pendapat
Miss berdua? Pengalaman seperti ini ditemui gak?
RS: Ada juga sih pendeta yang gaul, tapi kita gak lihat ininya, tapi firman yang bisa
bikin kita bertumbuh. Di mal kita bisa diskusi tentang ayat firman. Bagus donk, kita
bisa kumpul di sini, sambil minum Capuccino atau juice, terus kita bisa sharing
tentang firman. Boleh juga kan kita bergaul tapi ngomongin firman Tuhan. Tapi
setelah itu, eh baju yang itu bagus ya. Tapi kita awalnya kan udah ngomong tentang
firman. Misalnya kalau datang Youth hari Sabtu, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu trus
bisa saling sharing.
P: Berarti saat makan, kita gak semata-mata ngomongin soal belanja aja ya?
ES: itu sih kebetulan aja ya. Karena gereja itu ada di mal, jadi kita sekalian bisa
belanja. Misalnya di foodcourt, di sana kita bisa ngobrol tentang firman. Ada
tempatnya gitulah. Kalau di gereja lain, masak duduk di depan-depan itu, kan gak
nyaman. Kalau di mal kan sampai jam 9 malam kita bisa nongkrong.. Mal
memfasilitasi berdirinya gerejalah. Yah… kita bisa sharinglah, misalnya: waktu aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
berbeban berat. Di gereja Casa Rosa begitu turun, langsung fasilitas itu ada. Ibadah
dan pergaulan memang ada pertumbuhannya.
RS: karena perkembangan ya. Zaman dulu, opung-opung kita,pulang gereja langsung
pulang. Kalau di mal ada gereja ya kan bisa sekaligus. Tapi masih bisa kog berjalan.
Memang kog di mal sih? Memang kenapa? Ini dunia kita, kita menyembahm memuji,
kita dengar firma Tuhan. Mau ada perang sekalipun kalau kita mau ibadah kan bisa
aja. Makanay akalau di mal ya kenapa gak?
ES: Konteks orang kan mal tempat shopping, tapi datang ke mal gak cuma untuk
belanja kan, tapi ada yang bisa didapat.
RS: Meski ijinnya susah, ya kita kan mau ibadah, di mal di buka ya kalau bisa,
kenapa enggak. Di mal gampang bukanya, cuma ngontrak. Kayaknya yang di ruko-
ruko juga begitu tuh. Kalau masyarakat gak ngebolehin bangun gereja, ya udah
nyewa ruko aja.
P: berarti ini berkaitan juga ya dengan soal perijinan ya.
RS: begitulah, yah kalau memang hatimu sudah Ok mau di mana pun bisa ibadah.
ES: walaupun keberadaannya di mal, tata ibadahnya sama kog. Memang gak ada
buku liturginya, tapi kita udah tahu kog urutan-urutannya.
P: oiya misalnya kita tahu 30 menit pertama pujian dan penyembahan, begitu ya?
RS: oh iya, meskipun awalnya kita ngantuk pas datang, tapi setelah itu malah jadi
bersemangat (tersenyum).
P: Terimakasih atas pengalaman2 Miss ES dan RS. Yang penting apakah iman kita
bertumbuh ya.
Di ruangan yang berbeda, setelah wawancara di atas, penulis mewawancarai
informan yang lain:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
P: mau nanya nih, bagaimana pengalaman miss selama beribadah di gereja Casa
Rosa? Bagaimana ibadahnya dan bagaimana suasana di luar gereja, misalnya belanja
di mal.
RK: saya gak ingat sejak kapan saya di gereja Casa Rosa. Kurang lebih sudah tiga
tahunan lah kayaknya. Tiap minggu saya datang ke sana. Saya suka ikut kebaktian
yang jam 11.00 WIB dan jam 13.00 WIB. Biasanya kalau saya ke sana sehabis gereja
saya semula. Saya ke sana karena di gereja semula (gak usah disebutin ya), saya
merasa kurang bertumbuh. Sekali saya ke sana, terus lama kelamaan asyik.
Sebenarnya gerejanya itu gak resmi ya? Saya juga gak tahu ya, soalnya gak ada Doa
Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli. Tapi kiblatnya kan sama ya. Saya ngerasa
saya banyak diingetin di gereja ini. Kalau mengenai musiknya memang dari dulu saya
suka musik yang gak kaku banget. Kalau di gereja saya (menyebutkan salah satu
nama gereja Batak) musiknya kan kaku. Karena bahasa Batak, saya juga gak begitu
mengerti. Kalo sore memang bahasa Indonesia, tetapi banyak anak muda, ABG dan
gak seumuran lagi sama saya. Jadi susah, mau gereja pagi ibu2 dan bahasa Batak,
sore anak-anak. Selain itu, di gereja Casa Rosa itu firmannya bikin kita diisilah.
Misalnya: ditemukan rangka perahu nuh, o gitu ya, kit ajadi tahu informasi,