Top Banner
1 Dari Megalit ke Megapolitan PUSAT PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH Jejak Kota di Nusantara Menelusuri
88

Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Mar 20, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

1

Dari Megalit ke Megapolitan

P U S AT P E N G E M B A N G A N K A W A S A N P E R K O TA A NB A D A N P E N G E M B A N G A N I N F R A S T R U K T U R W I L AYA H

Jejak Kota di Nusantara

Menelusuri

Page 2: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

MenelusuriJejak KotaDari Megalit ke Megapolitan

P U S AT P E N G E M B A N G A N K A W A S A N P E R K O TA A NB A D A N P E N G E M B A N G A N I N F R A S T R U K T U R W I L AYA H

di Nusantara

Page 3: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

MENELUSURI JEJAK KOTA DI NUSANTARA DARI MEGALIT KE MEGAPOLITAN

Pembina

Ir. Rido Matari Ichwan,MCP

Pengarah

Ir. Agusta Ersada Sinulingga, MT

Tim PenyusunMelva Eryani Marpaung, ST, MUM (Koordinator) Ir. Tjuk KuswartojoPriyo Wibowo, STZain F. Marwani, STAllien Dyah Lestary, S.STAgus, ST, MTMiko Luhde Sritara Savitri, ST Asih Dyah Setya Khirana, S.Si Rosita Arung, STRifano Widhi, STI Gusti A.A Arinda Pradandari, ST Zavira Putri Ismar, ST

ISBN: 978-602-03-3917-7

PenerbitPusat Pengembangan Kawasan PerkotaanBPIW, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Page 4: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Perkotaan Zaman Hindia Belanda: Dari Politik Etis Ke Pendudukan Jepang

Perkotaan Dalam Naungan NKRI

Narawata Wacana

5

6

7

75

95

157

5.1 Situasi Akhir Awal Abad ke 19.5.2 Pemerintahan Daerah5.3 Pembentukan Gemeente5.4 Sensus Penduduk 19305.5 Suasana Dunia5.6 Inspirasi dari Paris: Modernisasi Penataan Kota5.7 Modernisasi Penataan Kota5.8 Dua Kota Diluar Gemeente: Surakarta dan Yogyakarta5.9 Upaya Menyehatkan Lingkungan5.10 Memperjuangkan Penataan Kota5.11 Kota sebagai Wahana Kebangkitan Kebangsaan5.12 Pendudukan Jepang : Menyiapkan Kota untuk Berperang

767778808284868990919293

6.1 Perkembangan NKRI dari Proklamasi sampai Reformasi: Pengaruhnya pada Perkotaan6.2 Era Perjuangan Kemerdekaan : Kota sebagai Ajang Pertempuran6.3 Demokrasi Liberal: Hadirnya Kebayoran Baru dan Kondisi Berbagai Kota6.4 Era Orde Baru: Arahan Pemerintah Nasional pada Perkotaan6.5 Gelegak Reformasi : Penataan Kota dan Pembangunan Pranata Perkotaan

96101103109140

7.1 Dari Megalit ke Megapolitan7.2 Permukiman Sebagai Wujud Kedaulatan Komunitas7.3 Tata kelola Perkotaan sebagai Bagian Penyelenggaraan Negara7.4 Kota Otonom7.5 Narawata Wacana

158161162163166

Daftar IsiKata Pengantar

Pra-Wacana

Permukiman Dan Pekotaan Sebelum Adanya Pengaruh Eropa

Pengaruh Kehadiran Orang Eropa Pada Perkotaan

Perkotaan Zaman Hindia Belanda: Dari Daendels Ke Liberalisasi Ekonomi

1

2

3

4

1.1 Studi Perkembangan Kota1.2 Dari Mukiman menjadi Kota 1.3 Kota: Town atau City1.4 Niat Kajian dan Keterbatasannya1.5 Hari Jadi Kota Bukan Hari Hadirnya Kota Secara Nyata1.6 Asumsi Dasar dan Kerangka Studi Perkembangan Kota

6911121417

54

19

45

554.1 Kebangkrutan VOC4.2 Dampak Kebijakan Herman Willem Daendels pada Perkotaan4.3 Jalan Raya Pos dan Dampaknya4.4 Merubah Wajah Batavia4.5 Pengganti Daendels dan Era Raffles Britania Raya4.6 Perang Jawa dan Perang Lainnya4.7 Tanam Paksa4.8 Regering Reglement dan Liberalisasi4.9 Dampak Liberalisasi Ekonomi terhadap Perkembangan Perkotaan

565859606163656772

3.1 Dari Portugis Ke Belanda VOC3.2 Jejak Perkotaan VOC Fase Pertama3.3 Jejak Perkotaan VOC Fase Kedua3.4 Jejak Perkotaan VOC Fase Ketiga

46485052

2.1 Mukiman dan Pranata Sosial Berbasis Kepercayaan2.2 Perkotaan Pengaruh Pranata Kerajaan Hindu dan Budha2.3 Perkotaan di Bawah Kesultanan Islam

202632

Page 5: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara4

Pra-Wacana1

Kata PengantarPuji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga buku “Menelusuri Jejak Kota di Nusantara: Dari Megalit ke Megapolitan” dapat tersusun dengan baik. Penelusuran jejak kota ini merupakan upaya untuk menghimpun berbagai informasi dan pengetahuan tentang perkembangan kota di Nusantara. Ini artinya mempelajari sejarah kota. Secara positif, sejarah adalah tentang manusia, waktu, hal yang spesifik dan unik dan makna sosial.

Tujuan penyusunan buku ini adalah untuk menyediakan informasi mengenai sejarah perkembangan kota di Indonesia, mengenali karakteristik perkembangan kota dan faktor- faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh dan jatuhnya kota-kota di Indonesia. Diharapkan dengan tersusunnya buku ini, berbagai pihak yang berkepentingan dan peduli dengan pengembangan kota mengerti posisi kota yang diperhatikan dan ditangani. Mengerti jatuh bangunnya kota karena apa, mengerti faktor yang menentukan berkembang atau merosotnya kota.

Terima kasih kami ucapkan pada seluruh pihak yang telah terlibat dalam proses penyusunan buku ini. Akhir kata kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi, terutama dalam upaya pelestarian dan pengelolaan kota di Indonesia.

Jakarta, Desember 2017Kepala Pusat Pengembangan Kawasan Perkotaan

Ir. Agusta Ersada Sinulingga, MT

Page 6: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara6 7

Pengetahuan sejarah bisa menjadi inspirasi

konstruktif, membangun kebanggaan, kepercayaan

diri dan pembangkit semangat untuk

maju dan tetap unggul

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga.

diharapkan dapat ditingkatkan nilai moral, mutu penalaran, kearifan, kapasistas berpolitik, dan wawasan kedepan tentang kota. Kamus bahasa Indonesia memberi tiga arti: pertama daerah mukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat. Kedua daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian. Ketiga dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan2.Dalam keseharian, istilah “kota” merupakan obyek yang tergantung pada predikatnya. Kota Pacitan, Kota Pare, Kota Atambua, menujukkan suatu tempat, suatu satuan geografis atau suatu satuan mukiman yang dianggap mempunyai sifat kekotaan. Dengan demikian “kota” adalah kata benda. Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Sawahluntho artinya suatu wilayah administrasi yang berdasarkan undang-undang dikategorikan sebagai daerah otonom. Artinya kota adalah suatu satuan administrasi. Budaya kota, ekonomi kota, angkutan kota, kejahatan kota adalah sifat suatu aktivitas atau suatu proses yang mempunyai ciri khas kekotaan. Dalam hal ini kota adalah kata sifat. Apakah kota kata benda atau kata sifat, semuanya menunjuk pada suatu tipe satuan mukiman, suatu satuan spasial yang berkaitan dengan satuan sosial. Kota memang produk interaksi sosial spasial.

Satuan mukiman ini pada umumnya dibedakan antra kota dan desa. Hampir semua negara di dunia membedakan adanya kota dan desa ini. Ada negara yang lebih merinci tipe mukimannya, seperti misalnya di Inggris dikenal istilah city, town dan village. Sedangkan di Tiongkok dikenal

istilah zhên, shi dan cűn. Bahasa Indonesia hanya mengenal desa dan kota, seperti Belanda yang hanya mengenal stad dan dorp, Spanyol mengenal ciudad dan pueblo, dan Perancis hanya mengenal ville dan village. Walaupun demikian peristilahan ini tidak perlu dipersoalkan. Karena untuk menunjukkan besaran satuan mukiman tersebut, pada istilah kota dapat dengan mudah ditambahkan kata kecil, sedang, besar dan seterusnya. Apa lagi dengan perkembangan kota dan sistem perkotaan yang begitu meraksasa diperlukan istilah baru, seperti metropolitan,

megalopolitan atau megapolitan dan sebagainya

Di Indonesia banyak ditemukan berbagai istilah lokal tentang satuan mukiman desa yang disebut kampung atau village. Di Aceh ada gampong, di Tapanuli ada huta atau nagori, di Lampung ada tyuh, di Bali ada banjar, di Jawa ada desa, dusun, dukuh, di Sulawesi Utara ada

wanua dan Nusa Tenggara Barat ada temukung. Sedang untuk city dan town tidak ditemukan adanya istilah lokal. Di tanah Minang ditemukan satuan mukiman yang dimulai dari suku, kemudian taraktak , koto dan selanjutnya nagari. Koto bukan “kota”, meskipun konon asal katanya dari istilah kota yang artinya benteng seperti salah satu arti yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dalam babad Giyanti, ada istilah “nagoro” yang wujudnya adalah kota. Menindak lanjuti perjanjian Giyanti tahun 1745, Paku Buwono III menyatakan “ngalih nagoro” yang secara nyata berarti pindah ibu kota. Kartasura yang rusak

Studi Perkembangan Kota1.1Studi ini mengenai perkembangan, yang artinya mempelajari sejarah kota di wilayah yang kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk memulai studi ini ada tiga hal yang dipersoalkan. Pertama tentang apa sejarah dan apa gunanya dipelajari , kedua tentang kota, apa kota dan mengapa perlu dikaji dan ketiga apa yang dimaksud wilayah NKRI dalam kaitannya dengan perkembangan kota. Sebagian besar kota yang ada sekarang ini telah hadir dan berkembang sebelum terbentuknya NKRI. Bahkan telah ada mukiman sejak sebelum adanya catatan sejarah tentang terbetuknya bangsa Indonesia

Tentang sejarah. Sejarah adalah penggambaran atau pemerian peristiwa atau kejadian masa lalu tentang apa saja. Ada sejarah geologi, sejarah tanaman, sejarah hewan dan sebagainya, tetapi pada umumnya tentang manusia atau dikaitkan dengan manusia. Penulisan sejarah pada umumnya juga mengenai hal yang spesifik dan unik. Walapun demikian yang terpenting bukan pemerian tersebut tetapi makna sosial atas peristiwa dan kejadian tersebut untuk masa

1 Kuntowijoyo (2013) Pengantar Ilmu Sejarah, Tiara Wacana Yogyakarta.

datang1. Makna sosial sejarah dapat berefek ganda yang bisa bertolak belakang. Di satu sisi pengetahuan sejarah bisa menjadi inspirasi konstruktif, membangun kebanggaan, kepercayaan diri dan pembangkit semangat untuk maju dan tetap unggul. Di sisi lain pengetahuan sejarah dapat menjadi inspirasi negatif melestarikan dendam dan kebencian. Bahkan peristiwa dan kondisi yang dibanggakan atau dibenci mungkin sudah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, kemudian diungkit untuk menumbuhkan kepercayaan diri atau justru untuk merangsang kebencian dan tindak destruktif.

Studi perkembangan kota ini tidak diniatkan adanya efek sejauh itu. Niatnya sederhana dan praktis saja. Yaitu agar berbagai pihak yang berkepentingan dan peduli dengan pengembangan kota mengerti posisi kota yang diperhatikan dan ditanganinya. Mengerti faktor yang menyebabkan suatu mukiman atau kota berkembang, mandeg, bertahan atau justru hilang tertelan bumi. Pelajaran yang diperoleh dari sejarah akan membebaskan pikiran orang dari kungkungan ruang dan waktu. Dengan kebebasan tersebut

http://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2017/01/kerajaan-banten.jpg

Page 7: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara8 9

DariMukiman menjadi Kota

1.2

Kota hadir sebagai perkembangan mukiman. Seberapa besar dan apa fungsi kota, pasti disertai mukiman, tidak ada kota tanpa mukiman. Karena mukiman adalah produk naluri manusia sebagai mahluk biologis untuk bertahan hidup. Sebagai mahluk berbudaya manusia menggunakan budi dan dayanya melindungi diri dari berbagai ancaman. Terciptalah kemudian tempat tinggal, sesuai dengan ancaman yang dihadapi dan bahan yang tersedia di alam. Bisa berupa rumah ranting dan kayu, bisa dari lumpur, bisa dari balok es. Selanjutnya sebagai mahluk sosial manusia hidup berkeluarga dan berkelompok. Kelompok rumah keluarga ini kemudian menjadi mukiman

6 Terjemahan :HG Wells (1922) Short History of the World, JJ Little and Ives Company New York

Kota hadir sebagai perkembangan mukiman. Seberapa besar dan apa

fungsi kota, pasti disertai mukiman, tidak ada kota tanpa mukiman

Mukiman hadir di dunia, ketika kelompok manusia dan keluarganya berkehendak untuk menetap. Ketika sumber penghidupan diperoleh dari berburu dan meramu berganti dengan bertenak dan bercocok tanam. Perolehan hasil dari berternak dan bercocok tanam jauh lebih besar daripada berburu, sehingga membuahkan surplus yang dapat disimpan dan dipertukarkan. Dengan simpanan yang dimiliki hari esok akan lebih terjamin. Selain itu tersedialah waktu luang untuk berbagai kegiatan lain yang menghasilkan barang keperluan lain seperti tembikar dan perkakas dari batu. Hal ini kemudian menimbulkan pertukaran yang membutuhkan sarana dan fasilitas pertukaran. Begitulah mukiman pertanian kemudian menghadirkan berbagai kegiatan dan fasilitas. Mukiman pertanian yang digolongkan desa ini kemudian membesar. Karena penghuninya makin banyak oleh membesarnya keluarga dan mungkin adanya pendatang baru. Sejarah dunia menunjukkan bahwa mukiman berbasis pertanian paling awal terjadi di Azilia dan Pro Magnon sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi. Desa awal ini sekarang berada di wilayah negara Spanyol.6

3 Slamet Mulyana (2017) Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara, LKiS Yogyakarta4.5 Lewis Mumford (1961) City in History, Hardcourt, Brace and World Inc. New York

dan dianggap tercemar oleh pemberontakan ditinggalkan dan kemudian dibangun keraton baru, di Desa Sala. Kedudukan keraton inilah kemudian diberi nama Surakarta. Apa yang dimaksud dengan “ngalih nagoro” adalah berpindahnya tempat kedudukan raja yang wujud nyatanya adalah membuat “kota” baru. Ketika Surakarta kemudian berkembang menjadi kota, masyarakat di wilayah pecahan kerajaan Mataram itu, menyebutkan kota Surakarta sebagai negari. Dengan demikian, dari apa yang telah dibahas, jelas bahwa secara etimologis, istilah kota tidak mempunyai pengertian yang tunggal

Tentang NKRI. Secara sederhana dapat didefin sikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, meski baru 27 Desember 1949 pemerintah bekas penjajah mengakuinya sebagai Republik Indonesia Serikat. Tahun 17 Agustus 1950 dinyatakan kembali sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tgl 28 September 1950 resmi menjadi anggota PBB. Tapi mukiman telah hadir jauh sebelum diproklmasikannya negara ini. Mukiman telah hadir sejak pra-sejarah, ketika migran Austronesia membentuk kelompok, menetap dan membentuk kebudayaan megalitikum. Pada waktu itu jelas belum ada nama Indonesia. Nama ini baru diperkenalkan tahun 1848 melalui suatu jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh pengacara kenamaan di Penang J.R.Logan yang mendapatkan nama tersebut dari ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl3. Sebelum itu kerajaan Majapahit pernah bercita-cita menguasai dan menyatukan berbagai wilayah kepulauan ini, dan menyebutkannya sebagai Nusantara. Kemudian ada yang mencoba menyatukan dengan nama Pax Neerlandica4. Akhirnya kongres pemuda tahun 1928, bersepakat menggunakan Indonesia untuk mencirikan bangsa dan bahasa yang digunakan di wilayah kepulauan ini. Bagaimanapun proses terbentuknya Indonesia, kajian ini mengenai kota yang hadir atau pernah hadir di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mukiman di Indonesia telah hadir sebelum ada catatan sejarah atau jugaa disebut pra-sejarah. Mukiman itu masih hadir dan hidup sampai saat ini, tetapi kapan mukiman dapat disebut kota itulah yang menjadi perhatian kajian ini. Kesulitan yang dihadapi dengan kajian ini adalah, seperti apa yang telah diuraikan sebelumnya, tidak adanya pengertian tunggal tentang apa yang dimaksud dengan kota. Kesulitan ini juga dihadapi oleh Lewis Mumford yang menulis buku “City in History“5. Dia mengakui bahwa tidak ada defin si tunggal yang dapat memanifestasikan segala kota. Juga tidak ada proses transformasi kota mulai dari embrio yang sederhana sampai pada tingkat kematangannya yang kompleks dapat digambarkan dengan cara yang sama.. Awal kota tidak selalu jelas dan masa depannya sukar diperkirakan. Dalam jangka ribuan tahun telah terjadi evolusi yang berkelanjutan dari suatu kelompok rumah yang disebut mukiman sampai menjadi kota yang terus membesar, tanpa diketahui sampai dimana batasnya.

Majapahit pernah bercita-cita menguasai dan

menyatukan berbagai wilayah kepulauan ini

dan menyebutnya sebagai Nusantara

https://i.pinimg.com/originals/0a/db/b3/0adbb37faf4a6be373875e912ccb1744.jpg

Page 8: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara10 11

Kota: Town atau City1.3

Dalam rangka menangani kota dan mukiman pada umumnya, negara membedakan satuan mukiman kota dan desa. Inggris mengklasifikasikan city, town dan village untuk mengelola wilayah negaranya dan pada awal abad ke 20 memberi prioritas pada town. Karena itu undang-undang perencanaan kota pertama tahun 1909 disebut sebagai Town Planning Act8 dan bukan City Planning Act. Kemudian dikembangkan lagi menjadi Town and Country Planning Act yang mencakup teritorial perdesaan. Sedangkan undang-undang yang mengatur pembangunan kota baru yang terbit tahun 1947 disebutnya New Town Act dan bukan New City Act. Tampaknya perancang undang-undang Inggris tersebut secara sadar membatasi dan fokus pada pembangunan kota kecil. Setelah perang dunia ke 2 sekitar tahun 1950-1960an, pemerintah Inggris memang dengan sungguh-sungguh membangun sistem perkotaannya. Untuk itu pemerintah Inggris membedakan mukiman yang perekonomiannya telah mandiri (settlement with economic self containment) dan belum mandiri9 Satuan mukiman yang belum mandiri inilah yang disebut town. Parameter kemandirian ekonomi agak rumit dan perlu dipelajari secara khusus. Diantaranya yang terpenting adalah bahwa pendapatan penduduknya diperoleh tidak karena bekerja di kota lain. Mandiri artinya bukan terisolasi dan bukan hanya tergantung, tetapi juga sanggup membangun dan memelihara saling ketergantungan (interdepedensi). Upaya yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap New Town

8 Gordon E Cherry (1974), The Evolution of British Town Planning, Leonard Hills Book, Plymouth 9 Gideon Golany (1976) New Town Planning: Principles and Practice, John Wiley , London.

Cities adalah masa depan dunia, karena itu PBB juga

mencetuskan World Cities Day, bukan World Town Day

adalah mewujudkan apa yang disemboyankan selfcontain and balance community for living and working. Untuk mewujudkan self containment diperlukan waktu dan proses panjang dan tidak semuanya berhasil. Apa yang umumnya berhasil mencapai self containment adalah company town dan new town in the city.

Pranata pembangunan perkotaan Inggris tidak menyebut city, yang dianggap telah mencapai self contaiment. Apa yang direncanakan secara komperhensif hanya town, yang berpenduduk sekitar 20 ribu sampai 30 ribu orang saja. Karena city memang tidak bisa direncanakan atau dirancang, tetapi hanya diperbaiki, diisi atau dipengaruhi. Pemerintah Inggris mungkin tidak pernah menduga bahwa tiga puluh tahun setelah mereka membangun new town, di Indonesia muncul prakarsa dan upaya serius membangun “new city”. Suatu kota yang dirancang untuk mengakomodasi penduduk 20 kali lipat penduduk new town Inggris.

Pranata perkotaan Inggris yang dipaparkan, mungkin sudah kadaluwarsa. Karena kini era-nya cities dan bukan towns lagi. Hal ini tampak dari dokumen New Urban Agenda yang diadopsi anggota PBB di Quito 2016. Dokumen justru menekankan pada agenda penanganan cities. Permasalahan maupun agenda mengenai cities telah diuraikan dalam limapuluh lima paragraf dari dokumen yang terdiri dari seratus tujuh puluh lima paragraf. Sedangkan towns hanya disebut dalam dalam tiga paragraf itupun dalam tautannya dengan cities. Karena cities dipandang sebagai sumber permasalahan tetapi juga memuat kekuatan dan membuka peluang bagi perkembangan kualitas kehidupan yang berkelanjutan. Cities adalah masa depan dunia, karena itu PBB juga mencetuskan World Cities Day dan bukan World Towns Day.

Tipe masyarakat yang disebut negara ini ditandai oleh terbentuknya stratifikasi sosial, pengambil keputusan yang terpusat, undang-undang, alat tukar yang diakui, tentara dan penjaga keamanan, ibu kota negara dan pola mukiman desa kota. Walaupun demikian di zaman modern ada negara yang berpenduduk kurang dari 50.000 jiwa seperti, Monaco, Palau, Nauru, Tuvalu dan sebagainya. Karena kini yang lebih menentukan kehadiran suatu negara adalah pengakuan negara lain, yang diorganisasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk mendapat pengakuan itu perlu adanya sponsor dari negara yang kuat. Bagaimanapun, membesar atau mengecilnya, bertahan atau runtuhnya kota ditentukan oleh kehadiran negara. Walaupun demikian ada kota yang lenyap bukan oleh negara tetapi oleh bencana seperti Pompei di Italia yang lenyap dilanda lahar Vesuvius. Kota Knossos yang megah di Kreta Yunani hancur oleh gempa dan serbuan orang Yunani sendiri. Milethus dan Priene ditinggalkan karena proses alam menjadikan kota ini bukan lagi kota pelabuhan. Padahal pelabuhanlah yang menjadi pendorong kehadirannya.

7 Jared Diamond 2005 “ Guns, Germs and Steel : short history of everybody for the last 13.000 years; Vintage Book, London

Pola mukiman desa kota memang terjadi ketika masyarakat mencapai bentuk sebagai suatu negara.

Kemampuan manusia sebagai mahluk sosial dan makhluk berbudaya terus meningkat. Kemampuan bercocok tanam, memanfaatkan berbagai material dan memahami karakter alam terus berkembang. Hasil terpenting yang justru menjadi catatan sejarah adalah hadirnya pemimpin yang mampu mengorganisasikan manusia dan sumberdaya lain dalam jumlah besar. Kekuasaan dan kepemimpinan inilah menghasilkan apa yang kini disebut kota. Memphis di Mesir tahun 3100 SM berpenduduk sekitar 30.000 orang dihubungkan dengan kepemimpinan Firaun. Ur di Iraq tahun 2000 SM berpenduduk 85.000 orang dihubungkan dengan kekuasaan Sargon Akkad. Xian di Tiongkok tahun 200 SM berpenduduk 400.000 dan Roma tahun 25 SM berpenduduk 400.000 dihubungkan dengan Qin Shi Huang. Paris yang begitu terkenal keindahannya dan berpenduduk 3,3 juta pada tahun 1900 selalu dihubungkan dengan Napoleon III dan Baron von Haussmann. Catatan sejarah dunia menggambarkan hadirnya mukiman pertanian sampai hadirnya kota berpenduduk 400.00 dibutuhkan jarak waktu sekitar 10.000 tahun. Padahal New York dari sebuah koloni hingga menjadi kota yang berpenduduk 12.500.000 orang butuh waktu hanya 300 tahun. Artinya terjadi percepatan pembentukan kota seiring dengan terbentuknya negara.

Pola mukiman desa kota memang terjadi ketika masyarakat mencapai bentuk sebagai suatu negara, begitulah menurut telaah Jared Diamond. Ahli evolusi ekologi, yang juga guru besar geografi tersebut mengkaji dan menulis sejarah kehidupan manusia selama 13.000 tahun. Dalam buku ilmiah populernya Diamond mengungkapkan bahwa masyarakat berkembang mulai dari kelompok (band), suku (tribe), chiefdom (kurang lebih sama dengan kedatukan, keempuan, kadipaten) dan negara (state)7. Suatu masyarakat bisa menjadi suatu negara apabila jumlah anggotanya mencapai sekitar 50.000 orang.

https://4.bp.blogspot.com/-QsPnyr33zVg/WXr44UsNE9I/AAAAAAAAAKw/YHUhD-XRpxoAb8TXmdmqldGRDncE49GUgCLcBGAs/s1600/CANDI%2BBRAHU.jpg

Page 9: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara12 13

dan perkotaan justru muncul dalam undang-undang pemerintahan daerah. Seperti diketahui, undang-undang pemerintahan daerah adalah undang-undang yang paling sering mengalami perubahan oleh dinamika politik Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi, istilah “kota” sebagai satuan administrasi juga mengalami perubahan. Semula berdasarkan Undang- Undang tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, municipality disebut dengan istilah Kotamadya. Karena itu yang kita jumpai sehari-hari adalah istilah Kotamadya Bandung, Kotamadya Medan dan sebagainya. Dengan digantinya Undang-Undang No 1974 dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 apa yang semula dikenal sebagai Kotamadya diubah menjadi daerah Kota. Perubahan ini mungkin didasarkan pada pandangan bahwa istilah Kota-madya adalah tipe kota dan dipandang kurang tepat untuk menunjuk wilayah administrasi. Sebagaimana halnya dengan Kota-raya dan Kota-praja seperti yang kita temukan dalam UU tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang sudah tidak berlaku lagi. Mengapa untuk mendefinisikan suatu wilayah administrasi yang dipilih istilah Kota dan bukan munisipalitas (municipality) atau istilah lain, tidak kita temukan jawabannya.

Pada masa kerajaan Hindu Budha maupun kerajaan Islam di Nusantara, sesungguhnya tidak ada penegasan desa kota. Ada kabupaten atau kadipaten atau pemerintahan sub negara yang juga mempunyai ibukota. Walaupun demikian tidak ada batas teritorial yang disebut kota. Adanya kota dengan batas teritorial yang jelas baru hadir setelah pemerintah kolonial Belanda undang-undang desentralisasi tahun 1903. Sejak itu ada wilayah administrasi yang disebut Gemeente, suatu wilayah kota dengan teritorial yang jelas yang mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangga kota sendiri. Tahun 1922 hak dan wewenang itu diperluas, dan Gemeente diubah menjadi Stadsgemeente. Ini merupakan sistem pengelolaan dan pengendalian, infrastruktur dan fasilitas, yang bersifat kekotaan yang artinya memfasilitasi kegiatan non pertanian. Pada umumnya stadsgemeente ditetapkan berdasarkan banyak dan keaktifan lobi penduduk Belanda. Mengapa, karena seperti di Eropa sejak zaman Pra-Yunani, ciri kekotaan adalah adanya peran serta warganya. Sejarah arcopolis, zaman kota Knossos, Athena, Sparta dan sebagainya melibatkan warganya dalam menata, menjaga dan membangun kotanya. Pemerintah kolonial Belanda, menganggap bahwa hanya penduduk Belanda yang dapat dan pantas perperan serta dalam penyelenggaraan kota tersebut.

Dimensi kependudukan dan dimensi spasial tidak menjadi pertimbangan utama dalam penentuan status Gemeente. Meskipun suatu teritori jumlah penduduk relatif besar, tetapi apabila tidak terindikasikan adanya kepentingan orang Belanda, tidak dianggap sebagai kota (stad). Sedangkan kota yang jumlah penduduk dan wilayahnya relatif masih kecil seperti Binjai, Sawahlunto, Sukabumi, Salatiga, Blitar, Pasuruan ditetapkan sebagai stadgemeente yang dipimpin oleh walikota (burgemeester) Belanda.

Niat Kajian dan Keterbatasannya

1.4

Niat kajian ini adalah agar pertama: agar hasilnya dapat digunakan sebagai pelajaran untuk pengelolaan, pengembangan kota yang ada atau membangun kota baru di Indonesia. Paling tidak dapat menjadi arah penelitian dan pengembangan pengetahuan tentang kota Indonesia. Kedua dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk memperkuat atau justru mengoreksi penetapan kota pusaka. Untuk memperkuat landasan pemikiran mengapa suatu kota ditetapkan sebagai kota pusaka serta harus dikonservasi dan dipelihara. Ketiga untuk memahami penetapan hari jadi kota. Hari jadi ini penting karena setiap kota memperingati dan merayakannya dengan berbagai cara. Apa yang sesungguhnya diperingati dan acara yang bagaimana yang cocok untuk peringatan tersebut. Keempat: banyak buku dan tulisan tentang kota di Indonesia, secara umum maupun spesifik berupa deskripsi sejarah lokal. Studi perkembangan kota ini akan mendukung, memperkuat atau sebaliknya juga mengkritisi berbagai tulisan tersebut.

Walaupun demikian mungkin niat tersebut tidak dapat dipenuhi hanya dengan kajian ini, karena banyak dan beraneka ragamnya kota di Indonesia. Antara tahun 1905 sampai 1930 pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan 32 kota dengan status gemeente dan kemudian

menjadi stadsgemeente10 dengan otonomi yang lebih luas. Kini semua stadsgemeente menjadi kota otonom yang disebut Kota. Tahun 2017 kota dengan status sebagai Kota otonom tersebut menjadi 92. Selain itu juga terdapat 415 kota sebagai ibu kota Kabupaten. Apabila ibu kota kecamatan juga dihitung sebagai kota, ditemukan lebih dari 6700 kota. Dengan demikian studi perkembangan kota seharusnya menjadi upaya besar- besaran. Apalagi setiap kota adalah unik dan punya sejarahnya sendiri.

Dengan demikian jelas bahwa penulisan sejarah kota memang seharusnya merupakan upaya besar-besaran yang belum dapat dilakukan dengan kajian ini. Oleh karena itu, hanya berdasarkan literatur tanpa kajian lapangan, diusahakan memahami kota dalam tautannya perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Khususnya kebijakan implisit dan eksplisit yang menentukan kehadiran dan perkembangan, kemunduran dan kemandegan kota itu sendiri.

Sampai tahun 2016, Negara Kesatuan Republik Indonesia belum mempunyai undang- undang yang secara eksplisit mengatur kota dan kekotaan. Walapun telah ada gagasan untuk menyusun UU perkotaan tetapi belum menjadi inisiatif yang berkekuatan penuh. Istilah kota

Hasil dari kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pelajaran untuk pengelolaan, pengembangan kota yang ada atau membangun kota baru di Indonesia.

10 Irawan Soejito (1976) Sejarah Pemerintah Daerah di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta

http://manuaisescolares.net/wp-content/uploads/2017/04/game-membangun-kota.jpg

Page 10: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara14 15

oleh jaringan jalan berpola kisi-kisi, dilengkapi dengan berbagai bangunan fasilitas publik yang penting pada masanya menjadi ciri-ciri kehadiran kota secara fisik. Sedangkan pada peninggalan Majapahit di Trowulan, yang ditemukan adalah adanya pola jaringan yang belum jelas apakah sistem pengairan, transportasi, pasokan air, atau sanitasi, karena hanya berupa bekas saluran yang tertimbun tanah. Juga ditemukan bangunan keagamaan, bangunan fasilitas raja dan berbagai tengar menunjukkan kompleks keraton. Walaupun demikian sekitar kompleks keraton lebih mengesankan daerah pertanian yang terbuka, dan bukan suatu kota yang kompak dengan benteng pertahanan.

Bangunan peninggalan Majapahit juga tidak dibangun dengan materi dan konstruksi setahan dan sekokoh bangunan peninggalan Athena di Yunani dan Priene di Turki. Gaya dan teknik bangunan Yunani yang hadir dua tiga abad sebelum Masehi, merembes ke Indonesia justru pada abad ke 20 dan tidak pada zaman Majapahit. Gaya Yunani tersebut hadir di Indonesia baru setelah 23 abad. Di Indonesia memang tidak terdapat bangunan yang dibuat dari bahan sekuat yang dibangun di Yunani dan Turki tersebut. Borobudur dan Prambanan yang dibangun sekitar 600 tahun sebelum Majapahit menggunakan material yang lebih tahan sehingga bisa dibangun kembali dengan wujud sosok hampir seperti semula. Walaupun demikian belum ditemukan kehadiran suatu satuan mukiman yang dapat dikategorikan sebagai kota. Borobudur dan Prambanan yang begitu megah, sampai saat ini belum terbukti sebagai pusat kota seperti Parthenon di Athena, Yunani.

Berdasarkan catatan Wikipedia ada enambelas “kota” yang dianggap telah hadir pada masa kerajaan Islam atau ketika koloni Eropa mulai menggunakan kekuatan militer untuk mendapatkan monopoli di Nusantara. Selebihnya, sebagian besar kota di Indonesia menandai hari jadinya berdasarkan tanggal, bulan dan tahun ditetapkannya sebagai pemerintah kota otonom oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda atau

pemerintah Republik Indonesia. Sayangnya hari jadi kota yang dicatat Wikipedia (2016) dan buku Zaenudin HM, (2015)11 hanya yang sekarang menjadi Kota Otonom. Kota masa lalu yang pernah hadir sebagai ibu kota kerajaan atau kota penting kerajaan Islam seperti: Demak, Kartosuro, Plered, Kota Gede, Banten tidak termasuk dalam daftar Wikipedia 2016 maupun kajian Zaenudin, tetapi telah dicatat dalam peta arkeologi perkotaan di Indonesia12

Dari catatan Wikipedia dan buku tentang Asal Usul Kota-Kota di Indonesia, menunjukkan bahwa hari jadi kota bukan kehadiran kota secara fisik maupun atau sifat non fisik suatu kota. Hari jadi kota di Indonesia adalah hari peringatan suatu peristiwa yang dianggap patut dikenang. Apa yang patut dikenang tersebut, adalah subyektivitas para pengambil keputusan di masing-masing kota. Seperti Palembang, Surabaya, Padang, pada hari jadi yang dipilih boleh jadi belum ada wujud kota dan belum pasti peristiwa itu menjadi cikal bakal hadirnya kota. Sebagian besar pemerintah daerah memilih tanggal, bulan dan tahun penetapannya sebagai satuan administrasi, sebagai hari jadi “kota”. Meskipun pada waktu pengukuhan tersebut wujud fisik dan ciri kehidupan kekotaan memang sudah ada sebelumnya. Paling tidak pada hari penetapan tersebut telah hadir negara dan suatu bentuk kepemimpinan serta pemerintah kota.

11 Zaenuddin HM(2015), Asal Usul Kota di Indonesia Tempo Doeloe, , Change Jakarta12 Inajati Adrisiyanti (2000); Arkeologi Perkotaanh Mataram Islam, Jendela Yogyakarta

Hari Jadi Kota Bukan Hari Hadirnya Kota Secara Nyata

1.5

Kehadiran kota mestinya dapat ditandai dari hari jadinya. Setiap kota otonom telah menetapkan hari jadinya, tetapi apa yang menjadi dasar penetapan hari jadi tersebut berbeda-beda. Kota Palembang, menetapkan hari jadinya berdasarkan prasasti yang ditemukan di bukit Siguntang. Suatu prasasti yang menandai kehadiran prajurit dalam jumlah relatif besar sebagai persiapan peperangan pada masa kerajaan Sriwijaya tahun 683. Surabaya menetapkan hari jadinya berdasarkan peristiwa terusirnya bala tentara Kubilai Khan dari pesisir Surabaya oleh Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit tahun 1205. Bogor menandai penobatan Prabu Siliwangi menjadi Raja Pajajaran sebagai hari jadi kota tahun 1482. Banjarmasin menetapkan hari jadinya berdasarkan peristiwa masuknya kesultanan Banjar menjadi Islam tahun 1526. Surakarta menetapkan hari jadinya berdasarkan perjanjian Giyanti tahun 1745. Perjanjian ini telah membagi kerajaan Mataram menjadi kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta. Hari jadi kota Yogyakarta sendiri ditetapkan berdasarkan selesainya pembangunan keraton Yogyakarta pada tahun 1756. Kota Padang memilih hari jadinya untuk memperingati pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan VOC tahun 1669. Bandung hari jadinya ditetapkan berdasarkan tanggal berpindahnya bupati Bandung, dari pinggiran sungai Citarum ke pinggir jalan Pos Besar buatan Daendeles. Balikpapan ditetapkan hari jadinya berdasarkan pengeboran minyak tahun 1897. Jakarta hari jadinya ditetapkan berdasarkan persitiwa keberhasilan Fatahilah merebut benteng Portugis di Sunda Kelapa tahun 1527 yang kemudian mengubah nama benteng Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Walaupun ada yang meragukan, apakah nama Jayakarta memang diberikan

oleh Fatahilah. Karena Jayakarta adalah bahasa Sansekerta, sedangkan Fatahilah diduga lebih tahu bahasa Arab. Ataukah orang lain menerjemahkan nama yang diberikan Fatahilah dalam bahasa Arab menjadi bahasa Sansekerta.

Catatan yang ada di Wikipedia 2016 menunjukan ada tujuh kota di Indonesia menetapkan hari jadinya pada masa kerajaan Hindu Budha. Kota itu adalah: Palembang, Salatiga, Banda Aceh, Surabaya, Probolinggo, Cirebon dan Bogor. Padahal arkeologi perkotaan Indonesia, sampai saat ini belum dapat menemukan artefak yang menunjukkan kehadiran suatu “kota” pada masa Pra-Islam.

Rekonstruksi imajinatif tentang ibu kota Majapahit juga tidak menunjukkan hadirnya kota seperti misalnya: Uruk peninggalan Mesopotamia di Iran sekarang, Athena, Milethus dan Priene di tepian laut Aegea di Yunani dan Turki sekarang, Mohenyo Daro di Pakistan sekarang, dan Beijing di Tiongkok yang masih ada sampai sekarang. Berbagai kota kota ini telah hadir Sebelum Masehi, walaupun demikian telah menunjukkan hasil pengaturan dan teknologi pelayanan kolektif bagi kehidupan bagi penduduk dengan kepadatan yang tinggi. Artefak dan teknofak yang ditemukan di peninggalan kota tersebut menunjukkan satuan mukiman yang kompak, dengan perpetakan lahan, jaringan jalan, air, sanitasi yang rapi. Tata bangunan yang teratur

Dasar penetapan hari jadi berbeda-beda di tiap kota. Ada tujuh kota di Indonesia menetapkan hari jadinya pada masa kerajaan Hindu Budha.

https://services.sportourism.id/fileload/c5b6b7cd-ca41-382c-bae9-2a8039d156a0.jpg?q=75

Page 11: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara16 17

Asumsi Dasar dan Kerangka Studi Perkembangan Kota

1.6Tidak dapat disangkal bahwa kota adalah produk interaksi manusia, sebagai individu maupun masyarakat, dengan ruang. Suatu proses saling mempengaruhi, saling menentukan, saling menyesuaikan antara isi (content) dan wadahnya (container). Proses ini berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu sampai kini. Doxiadis merinci isi dan wadah itu dengan lima elemen: manusia, masyarakat, alam , lindungan (shell) dan jaringan (network.)16. Elemen alam mencakup: geologi, topografi, tanah (soil) , air, tumbuhan, binatang dan iklim. Elemen manusia mencakup: kebutuhan biologis, sensasi dan persepsi, kebutuhan emosional, dan pandangan moral. Elemen masyarakat mencakup; populasi, stratifikasi, pola kebudayaan, perkembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan. Elemen lindungan mencakup: perumahan, dan berbagai pusat pelayanan komunitas, pertokoan, rekreasi, pusat kewargaan (civic) dan bisnis, industri dan transportasi, Jaringan mencakup jaringan : air, daya (power), transportasi, komunikasi, sanitasi, drainase dan tata letak.

Doxiadis mengategorikannya skala mukiman mulai dari (1) satu ruang, (2)rumah, (3) kelompok rumah, (4) dusun, (5) desa, (6) kota kecil, (7) kota, (8) kota besar, (9) metropolitan, konurbasi, (10)megalopolitan, (11) wilayah kekotaan, (12) benuakekotaan sampai, (13) ecumenopolis Doxiadismeganggap ilmu pengetahuan mukiman atau yangdinamakannya ekistic, adalah tentang manusiadalam segala satuan mukiman mulai dari saturuang sampai mendunia. Elemen yang lain adalahmenjadi perhatian ilmu geografi, geografi perkotaandan ilmu wilayah (regional science). Pandangan Doxiadis ini dianggap sebagai spekulasi yang tidakpunya landasan disiplin ilmu, tetapi pandanganbahwa manusia dan masyarakat menjadi pangkalkehadiran, dinamika dan perkembangan kota,

masih dapat dipertahankan. Walaupun demikian, manusia dan masyarakat yang dimaksud hendaknya dipandang bukan hanya sebagai cacah, meski cacah juga penting untuk keperluan penajaman analisis.

Awalnya mukiman adalah wujud respon manusia terhadap alam yang membuahkan lingkungan buatan. Ketika mukiman menjadi satuan yang disebut kota, lingkungan buatan makin mendominasi kehidupan. Perkembangan kota adalah suatu wujud evolusi budaya. Oleh jumlah manusia yang makin luar biasa banyak dibanding mahluk lain, tekanan diantara manusia sendiri dan makin menciut dan merosotnya lingkungan alam, telah mempercepat evolusi budaya mulai dari keluarga sampai negara17. Daya survival sebagai makhluk berbudaya telah jauh berkembang walaupun tidak mungkin meninggalkan wataknya sebagai makhluk biologis. Watak sebagai makhluk biologis yang berupa nafsu sering justru memberi warna pada pola konsumsi, produksi dan pertukaran barang dan jasa. Bahkan watak biologis berupa nafsu ini justru dipoles menjadi makin membesar. Konsumsi tidak sekedar untuk bertahan hidup, tetapi untuk kehidupan yang makin nyaman dan makin berjaya. Dorongan untuk mengonsumsi dan memproduksi yang semakin besar dan semakin baik, oleh Akerlof18 disebut semangat kebinatangan (animal spirit) akan terus meningkat. Semangat ini pula yang menjadi pendorong kehadiran kapitalis meglobal dan menghadirkan kota di Indonesia . Bagaimanapun sebagai dominant animal, manusia selalu berupaya dapat mengendalikan watak manusia sebagai makhluk biologis. Bercampur aduknya watak dasar manusia sebagai makhluk biologis dan sebagai makhluk berbudaya ini dicoba dikendalikan dengan suatu pranata.

16 Constatinos A Doxiadis (1971); EKISTIC: An Introduction to The Science of Human Settlement, Doxiadis London.17 Paul R and Anne Ehrlich (2009) Dominant Animal: Human Evolution and The Environment, Island Press, Washington18 George A Akerlof and Robert J Shiller (2009) Animal Spirit, Princeton University Press

Jejak kehadiran suatu kota memang tidak mudah ditelusuri. Bukan saja karena “kota” dapat didefin sikan berdasarkan sudut pandang yang beragam, tetapi “kota” sendiri adalah produk suatu dinamika politik, sosial, budaya, ekonomi. Kota adalah suatu satuan mukiman tetapi tidak semua satuan mukiman menjadi kota. Kota memang bisa dibangun di desa tetapi bukan perkembangan desa. Kota bukan metamorfosa desa tetapi wujud suatu satuan mukiman baru. Desa bukan kepompong yang menjadi kota sebagai kupu-kupu, atau telor yang menjadi ayam.

Kota di Indonesia, atau tepatnya kota Melayu, menurut Peter JM Nas (2007)13, awalnya (di masa lalu) mempunyai karakter yang disebutnya sebagai “urbanisme fokal.” Dalam hal ini kota tidak mempunyai batas ruang yang jelas, tetapi kehadirannya ditandai adanya suatu titik pusat. Titik pusat ini adalah keraton yang memberikan arti pada daerah sekelilingnya. Pandangan Peter JM Nas ini tampaknya mengacu pada Surakarta dan Yogyakarta. Urbanisme fokal ini juga menjadi karakter ibu kota kabupaten, kawedanaan, dan kecamatan. Di berbagai kota ini, titik pusatnya bukan keraton, tetapi tempat tinggal kedudukan pejabat tertinggi di wilayah tersebut. Menurut Peter JM Nas, ini berbeda dengan Tiongkok dan Eropa abad pertengahan, yang disebutnya sebagai “urbanisme lokal”. Dalam hal ini karakter kota ditengarai sebagai suatu satuan ruang, dengan batas yang jelas. Karena itu agaknya lebih tepat kalau karakter ini disebut “urbanisme spasial”. Pandangan ini tampaknya mengacu pada kota-kota Eropa yang hadir abad pertengahan seperti Versailles, Florence, Napoli, Amsterdam dan sebagainya. Kota ini memang suatu satuan ruang yang diisi dan ditata dengan berbagai gedung dan jaringan jalan, jaringan sanitasi, perairan. Diantaranya memang ada bangunan gedung yang menjadi titik pusat. Pemikiran dan pandangan kota Sebagai suatu satuan ruang yang utuh danpadu memang sudah ada sejak Sebelum Masehi.

Kota Miletus dan Priene yang dibangun 2 abad sebelum Masehi adalah contoh urbanisme spasial, yang menginspirasi kota modern di Amerika seperti New York, Los Angeles dan hampir semua kota di Amerika.

Hans Dieter Ever14 membuat pengkategorian kota Asia Tenggara berbeda dengan Peter JM Nas. Menurut Hans Dieter Ever kota di Asia Tenggara dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama kota dagang, yang merupakan simpul hubungan perdagangan. Di kota semacam ini penduduknya heterogen, multi etnik. Kota dagang ini berlokasi dipesisir. Karena pada lokasi itulah dapat dibangun jaringan perdagangan yang luas dan volume barang dagangan yang besar melalui jalur laut. Stabilitas jalur pedagangan laut inilah yang penting bagi kota dagang, sedang kosmologi, ideologi tidak dianggap penting. Kedua, kota pedalaman, sering dianggap suci, karena tempat kedudukan penguasa, yang juga wakil penguasa kehidupan. Kosmologi, agama, ideologi menjadi pendukung legitimasi kekuasaan. Ketiga, kota penghubung, umumnya kota kecil. Kehadiran kota ini menjadi penghubung antara kota pedalaman dengan kota dagang. Pandangan yang membedakan kategori pertama dan kedua tersebut sejalan dengan apa yang ditulis oleh Ong Hok Ham15. Mungkin karena sumbernya memang sama. Ong Hok Ham juga membedakan kota negara maritim dan kota negara agraris. Ditambahkannya bahwa negara agraris menggunakan kelebihan sumberdayanya untuk membangun monumen raksasa yang disakralkan untuk mengukapkan keagungan penguasa jagad. Sedang di negara maritim yang di dominasi aristokrasi (orang kaya) kelebihan sumberdaya untuk hidup mewah dan untuk membeli produk luar. kategori ketiga, kota penghubung, yang tampaknya hanya dijumpai di Jawa dan Sumatera. Di pulau lain konektivitas kota pedalaman yang berbasis agraria dengan kota pesisir lemah atau bahkan tidak ada sehingga tidak membutuhkan penghubung

13 Pter JM Nas (2007) ; Kota-Kota Indonesia: Bunga Rampai, Gajah Mada University Press 14 Hans Dieter Evers dan Rodiger Korf (2002), Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang Sosial; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta15 Ong Hok Ham (2002), Kota dalam Sejarah Indonesia, Dari Soal Priyayi sampai Nyai Blorong (hal 68), Penerbit Buku Kompas , Jakarta

Page 12: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara18

Permuiman dan Perkotaan Sebelum Adanya Pengaruh Eropa

2Apa pranata atau institusi, sering disamakan dengan organisasi atau lembaga, padahal berbeda. Pranata bukan organisasi dan organisasi bukan pranata. Pranata adalah suatu kompleks norma dan perilaku yang berlangsung sepanjang waktu19. Pranata adalah suatu sistem norma20 yang menata aksi dan interaksi manusia sebagai anggota masyarakat agar mengikuti suatu pola yang diterima seluruh masyarakat. Pranata ini berfungai menata kehidupan oleh adanya kemimpinanan dan suatu sistem yang mencakup kearifan atau kebijakan yang memberi arah, aturan yang menentukan batasan dan cara yang digunakan, pengorganisasian yang menentukan fungsi dan peran serta cara kerja anggota masyarakat yang melakukan aksi dan interksi.

Pranata tidak hadir tiba-tiba dan langsung menata. Meski berlaku sepepanjang waktu pembentukannya juga perlu waktu. Selain pranata juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat dan pengaruh dari luar masyarakat. Pranata mukiman dan kota, yang berlaku di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia, telah berlangsung sejak sebelum adanya kerajaan dan sampai kini masih terus mengalami perkembangan. Diduga, ada pranata yang implisit yang tidak secara langsung ditujukan untuk menata mukiman atau kota, dan ada yang eksplisit yang langsung ditujukan untuk menata mukiman dan kota. Perkembangan inilah yang dicoba ditelusuri sampai masa pra-sejarah, agar dapat menemukan ujung akarnya yang paling dalam. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kampung adat produk kebudayaan megalitikum masih hadir bersama kota peninggalan peninggalan kerajaan dan kesultanan, peninggalan penjajahan yang telah berkembang menjadi megapolitan. Berdasarkan asumsi dasar yang diuraikan dalam pra-wacana ini, kajian akan dilakukan dengan kerangka analisis sebagai berikut.

19 Norman Uphoff (1986) Local Institutional Development: An analytical Sourcebook with cases, Kumarian Press, Hartford Conneticut20 Kuntjaraningrat (1979) Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta

Manusia sebagai makhluk berbudaya

Mukimanadat

Pranata sosial

berbasis kepercayaan

Mukiman megalitikum

Megapolitan

Sebelum adanya pengaruh Eropa

Pengaruh Eropa Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pranata sosial berbasis

kekuasaan raja

Pranata monopoli dagang

Pranata liberalisasi usaha dan

kolonialisasi

PranataNKRI

Mukiman dan kota sebagai ibukota kerajaan

Mukiman dan kota sebagai ibukota

kasultanan, pusat

perdagangan

Mukiman dan kota

sebagai pusat: kekuasaan,

pengendalian: monopoli

dagang dan keamanan

Mukiman dan kota

sebagai pusat: pemerintahan,

bisnis, perdagangan,

industri kebangkitan

bangsa

Mukiman dan kota sebagai pusat: politik

dan administrasi pemerintahan,

bisnis, perdagangan,

industri, wahana globalisasi

Manusia sebagai makhluk sosial

Homo Homini Socius

Homo Homini Lupus

Manusia sebagai makhluk biologis

Manusia sebagai makhluk Individual PRANATA

Page 13: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara20 21

Bawomataluo Mukiman Adat di Nias Selatan2.1.1

Nias adalah sebuah pulau di bagian Barat Sumatera Utara, yang berhadapan dengan garis tumbukan lempeng yang menjadi sumber gempa. Di pulau seluas sekitar 4700 km2 ini tinggal komunitas zaman kebudayaan megalitikum, yang penghidupannya bersumber dari berladang, meramu dan berburu. Di Nias dapat ditemukan beberapa mukiman budaya megalitik, tetapi dalam buku ini yang akan ditinjau hanya mukiman Bawomataluo yang telah diajukan untuk diterima sebagai pusaka dunia.

Bawomataluo adalah mukiman adat peninggalan kebudayaan megalitikum yang merupakan produk pranata dosial yang didasarkan pada kepercayaan Pêlêbêgu. Bebatuan besar dan rumah adat di mukiman ini meyakinkan para ahli bahwa Bawomataluo memang peninggalan kebudayaan megalitikum.

Diperkirakan bahwa Bawomataluo telah hadir lebih dari seribu tahun yang lalu. Lokasinya di bukit pada ketinggian 400 m dari permukaan laut dan dengan tata letak rumah yang ditujukan untuk pertahanan serta kemananan dan untuk menjalankan berbagai ritual kepercayaan. Pertahanan dan keamanan pemukiman ini penting karena sering terjadinya perkelahian atau peperangan dengan mukiman lain karena berebut wilayah kekuasaan, sumberdaya alam atau untuk mempertahankan harga diri dari

Diperkirakan bahwa Bawomataluo telah lahir lebih dari seribu tahun yang lalu

dan berupa mukiman adat peninggalan kebudayaan megalitikum.

Mukiman dan Pranata Sosial Berbasis Kepercayaan

2.1

Masa pra-sejarah adalah masa ketika belum ada catatan sejarah yang tertulis. Pada masa itu telah ada kelompok perumahan yang tertata, yang menunjukkan adanya pranata sosial yang mengatur kehadiran permukiman tersebut. Kelompok perumahan tersebut ditemukan di banyak tempat di Indonesia, akan tetapi dalam buku ini hanya akan ditulis mengenai permukiman adat di Nias, Toraja, Sumba sebagai contoh kerena ketiganya oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.

Dari unsur yang dapat ditemukan pada permukiman-permukiman tersebut dapat dipastikan bahwa permukiman tersebut hadir pada zaman kebudayaan batu besar atau megalitikum. Batu tegak, balok, dan papan batu, berbagai patung dan sebagainya yang pada umumnya berkaitan dengan pemujaan dewa dan para leluhur, masih dijumpai sampai saat ini. Sedangkan tempat tinggal dan atau bangunan lain yang dibangun dari kayu dan atap rumbia ada kemungkinan telah berkali-kali direnovasi, walaupun bentuk asalnya masih dipertahankan. Kompleks rumah zaman megalitikum tersebut masih hadir sebagai rumah adat sampai sekarang.

Apa yang sesungguhnya masih hadir sejak lebih dari seribu tahun yang lalu adalah justru pranata sosial yang menentukan tatanan dan menjaga kehadiran rumah dan berbagai bangunan tersebut. Meskipun ada faktor endogen: seperti pertumbuhan penduduk beserta mobilitas sosialnya dan faktor eksogen seperti agama, bahan konsumsi dan alat produksi, teknologi, dan sebagainya yang menekan dan mendorong terjadinya perubahan tetapi ada nilai budaya yaitu suatu sistem kepercayaan yang tidak bergeming oleh perkembangan zaman. Di Nias

disebut Pêlêbêgu, di Toraja disebut Aluktodolo dan di Sumba disebu Merapu.

Ada kemiripan antara pranata sosial di Nias,Toraja dan Sumba. Masing-masing pranata sosial tersebut berlandaskan kepercayaan dan keyakinan bahwa ada beberapa penguasa alam (dewa atau disebut dengan nama yang berbeda-beda) dengan kekuasaan berjenjang dan ada pembagian tugas diantara para penguasa tersebut. Para penguasa jagat inilah yang menentukan seluruh kehidupan dan karena itu harus dipuja dan dihormati. Pemujaan dan penghormatan juga tertuju pada arwah leluhur yang memberi arah dan petunjuk tentang segala tindak dan aktivitas kehidupan di masyarakat. Melalui berbagai upacara, para leluhur dapat hadir untuk memberi perlindungan dan restu pada segala usaha dan kegiatan anggota komunitas. Kepercayaan ini merupakan kekuatan endogen yang begitu kokoh sehingga dapat menangkal kekuatan eksogen seperti agama Hindu, Budha, Nasrani dan Islam. Komunitas tersebut memang mau menerima agama Nasrani (Protestan atau Katolik) karena dapat disesuaikan dengan upacara penghormatan dan pemujaan pada penguasa alam dan arwah leluhur. Oleh karena itu di masyarakat tersebut juga dapat disebut adanya agama Kristen sinkretis. Walaupun demikian nilai budaya tersebut tidak dapat menangkal hadirnya benda budaya asing seperti pakaian, televisi, motor, telepon, alat memasak, pengeras suara dan sebagainya. Sehingga di mukiman yang terbangun dan terpelihara oleh nilai budaya asli tersebut juga terinfiltrasi oleh aneka benda budaya asing, seperti misalnya atap yang aslinya dari rumbia diganti dengan seng bahkan genting. Berikut adalah contoh mukiman adat peninggalan kebudayaan megalitikum:

https://farm5.static.flickr.com/4372/35740463264_1f362214c0_b.jpg

Page 14: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara22 23

Toraja Tondok, Tongkonan, Banua

2.1.2

Wilayah Toraja adalah bagian dari wilayah Sulawesi Selatan, yang subur dan cocok untuk pesawahan. Dengan basis pesawahan yang terkelola dengan baik, kehidupan di wilayah tergolong makmur untuk ukuran perdesaan. Komunitas Toraja tergabung dalam satuan sosial yang disebut Tondok yang berada di sekitar gunung Kandora, gunung batu andesit berketinggian 1130 mdpl, dan deretan bukit karst di utaranya. Komunitas ini terikat oleh kepercayaan dan keyakinan yang disebut “Aluk Todolo” yang berpandangan bahwa

leluhurnya yang disebut: ‘Tomanurung Puang Tamboro Langi’ turun dari surga melalui ‘eran di langi` (tangga dari langit) dan menetap di gunung Kandora. Selanjutnya diyakini bahwa melalui Kandora dan ‘eran di langi` itulah mereka yang meninggal dapat menghadap dan berdampingan dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa) di Surga.24 Oleh karena itu anggota komunitas yang meninggal diupayakan dapat ditempatkan di tebing tegak lurus gunung karst agar menemukan tangga menuju surga tersebut. Dengan demikian Kandora dan deretan bukit karst diutaranya disakralkan dan menjadi pengikat komunitas Toraja.

Komunitas Toraja tergabung dalam satuan sosial yang disebut Tondok yang

berada di sekitar Gunung Kandora dan deretan bukit karst di utaranya.

24 Dina Gasong (2013) SEJARAH DAN DAYA TARIK WISATA TANA TORAJA, Gunung Sopai, Yogyakarta

perbudakan. William Marsden yang pada tahun 1783 menjelajah dan kemudian menulis buku tentang Sumatera, mencatat adanya sekitar 50 mukiman yang selalu berperang dan perbudakan menjadi salah satu aktivitas ekonominya21. Oleh karena itu tata letak bagunan dan berbagai upacara seperti lompat batu dan tari perang sesungguhnya merupakan budaya kesiapan perang tersebut.

Unsur penting dalam mukiman ini adalah berbagai rumah yang dikategorikan sebagai omo sebua (rumah besar), omo bale/osali (balai musyawarah desa), dan omo hada (rumah-rumah adat milik masyarakat). Selain itu juga dapat dijumpai tangga dan gerbang, sumber air (sekaligus sebagai kolam pemandian umum), makam desa, berbagai batu megalitik dan ombo batu (batu untuk acara lompat batu). Adanya berbagai batu itulah yang memberi suasana mukiman megalitik. Berbagai batu tersebut bukan hanya elemen estetis seperti yang dijumpai

di kota “modern” tetapi mempunyai makna yang jauh lebih mendalam. Berbagai batu tersebut antara lain: a. Füso newali (tali pusar desa) yang menandai pembentukan mukiman; b. Orahua newali (batu untuk duduk pada saat rapat orahua/para pemuka adat); c. Nio bawa lawölö (patung penjaga mukiman). Sedangkan batu-batu yang menandai status sosial seseorang, antara lain: a. Nitaruo (batu tegak laki-laki); b. Naha gama-gama (batu tegak untuk menandai pergantiankepala desa); c. Daro-daro nichölö (meja bundaruntuk perempuan), d. Osa- osa (kursi/tahta batu).Himpunan batu megalitik yang terdapat di ruangterbuka di depan Omo Sebua22.

Rumah dibangun berjajar rapat, seperti rumah deret tanpa antara sepanjang ruang yang lurus dan bersilang masing-masing dengan lebar sekitar 20m dan panjang 500 m. Mukiman adat lain berbentuk ‘I’ atau ‘L’. Ruang memanjang tersebutadalah ruang publik tetapi tidak dimaksud untuk prasarana perhubungan yang memang tidak dibutuhkan. Oleh perkembangan yang terjadi ruang publik tersebut juga digunakan sebagai ruang privat, sebagai ruang pelayanan rumah tangga yang langsung berhubungan dengan ruang publik tersebut

Bawomataluo ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional yang harus dilestarikan dan dilindungi. Walaupun demikian apa yang dilindungi, bagaimana melindungi, dan apa manfaat nyata bagi pemukim di mukiman ini masih harus dirinci. Apa yang nampak nyata adalah makin meningkatnya wisatawan yang mengunjungi mukiman ini dan makin ditarik dengan publikasi atas ritual kepercayaan yang dijadikan pertunjukan dan daya tarik wisata. Kota Teluk Dalam ibu kota Kabupaten Nias Selatan yang berjarak sekitar 10 km dari Bawomataluo makin menyiapkan diri untuk menerima wisatawan. Dampaknya adalah tepi jalan dari Teluk Dalam ke Bawomataluo tumbuh perumahan yang tidak lagi mengikuti kaidah adat yang diaplikasikan di Bawomataluo.23

21 William Marsden (1966) History of Sumatera, Oxford University, Kuala Lumpur22 23 Analisis berdasarkan citra Google Erath

https://1.bp.blogspot.com/-0UKcm3s2jiU/VzPCd_Qy5oI/AAAAAAAAB50/C4Ldhfn2KI8p57qA-REVWYuZQEUI8ofUwCLcB/s1600/Desa%2BAdat%2BPallawa%2BToraja%2BUtara.JPG

Page 15: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara24 25

Sumba Barat Mukiman Megalitikum di Waikabukbak

2.1.3

Sumba adalah pulau seluas sekitar 11.000 km2 yang alamnya seperti terbagi dua. Bagian Utara yang datar dan kering, karena penguapan air lebih tinggi dari curah hujan; sedangkan bagian Selatan merupakan perbukitan yang relatif lebih basah. Di bagian Utara berbentang alam seperti padang rumput yang bergelombang dan di bagian selatan terdapat hutan berbukit serta pertanian. Jalan yang menghubungkan Waingapu di Sumba Timur, Waikabubak di Sumba Barat dan Tambolaka di Sumba Barat Daya seolah-olah menjadi pemisah antara padang rumput di bagian Utara dan perbukitan di bagian Selatan. Mukiman megalitik banyak dijumpai di bagian Selatan yang diduga karena di bagian itu terdapat sumber air. Di wilayah

Sumba Timur mukiman disebut dengan istilah paraingu sedang di wilayah Sumba Barat disebut parona, walaupun demikian kepercayaan Marapu menjadi dasar bentuk dan tata letak rumah. Bentuk atap yang menjulang tinggi dan makam yang ditandai dengan batubesar di ruang antar rumah adalah pengejawantahan kepercayaan tersebut. Mukiman ini merupakan pengikat komunitas yang dipimpin oleh Rato, yang selain menjaga pesan yang diwariskan kepadanya juga mengarahkan anggota komunitas berdasarkan pesan leluhur yang diterimanya sendiri. Atap tinggi adalah media yang menghubungkan pemimpin komunitas dengan para dewa yang berjenjang.

Di sekitar kota Waikabubak terdapat beberapa kompleks rumah adat yaitu Tarung, Boho Ese, Waitabar, Prai Ijing, Bondo Maro, Goliu. Masing-masing kompleks terdiri hanya sekitar 30-40 rumah adat. Walaupun demikian olehkepercayaan yang dianut mempunyai pengaruh yang mendalam sebelum tersentuh oleh agama Semawi (Semit), dan kompleks ini masih bertahan sampai kini. Selain itu di luar mukiman adat, terdapat rumah dusun untuk tempat tinggal biasa dan rumah kebun untuk menggarap ladang. Konsentrasi rumah di luar mukiman adat inilah yang kemudian menghadirkan kota kecil Waikabubak dan menempatkan kompleks perumahan adat di pinggiran kekotaan (urban peri)

Kompleks mukiman adat dengan segala upacara yang kemudian dianggap orang luar sebagai kesenian telah menarik kedatangan pengunjung. Sehingga diperkirakan Waikabubak selain sebagai ibukota Kabupaten Sumba Barat juga akan berkembang dan bahkan diupayakan berkembang sebagai kota wisata. Alamnya yang eksoktik akan menguatkan mukiman adat sebagai daya tarik wisata. Apakah mukiman yang dibangun dan dipelihara berdasarkan suatu kepercayaan dengan berbagai upacaranya ini biasa bertahan atau memang akan dipertahankan pemerintah sebagai atraksi wisata.

Leluhur yang datang dari langit juga memberi petunjuk tentang bagimana membangun rumah seperti di surga. Tongkonan adalah replikasi rumah di surga, karena itu pembangunan dan penggunaannya harus mendapat restu dari leluhur dan Puang Matua melalui upacara. Tongkonan juga bukan hanya tempat tinggal keluarga biasa tetapi juga pengingkat suatu marga atau kaum (clan). Di tongkonan inilah diselenggarakan upacara dan musyawarah marga, yang terutama berkaitan dengan penggarapan sawah dan pemanenan padi. Oleh karena itu kompleks tongkonan juga disertai bangunan yang disebut alang-alang, yang artinya lumbung padi kolektif.

Basis kehidupan orang Toraja adalah produksi padi, yang ditanam di sawah dengan sistem pengairan yang sangat baik. Adanya teras sawah dan kolam penyimpan air, menunjukkan bahwa pertanian sawah Toraja telah maju dan menjadi pendukung keberlanjutan komunitas ini. Kompleks tongkonan dan alang-alang juga menjadi pusat pengelolaan sawah tersebut dan ditata mengikuti pranata mandala. Bagian utara dinamakan Ulunna Langi, merupakan penjuru paling utama dan tempat yang dianggap paling mulia. Bagian timur dinamakan Mataalo, dianggap sebagai bagian kedua dari penjuru bumi karena merupakan tempat lahirnya terang atau kehidupan dan kebahagiaan. Sementara bagian barat dinamakan Mattampu, adalah bagian ketiga dari penjuru bumi dimana matahari terbenam dan datangnya kegelapan; serta bagian selatan dinamakan Pollona Langi, bagian ini dianggap rendah dari penjuru bumi karena itu merupakan tempat melepaskan segala yang kotor.

Untuk tempat atau rumah bagi individu keluarga dikenal istilah ‘banua’, istilah yang juga dikenal di wilayah migrasi Austronesia. Ada beberapa tipe banua sesuai dengan status keluarga, fungsi spiritual dan sosial banua. Bagi keluarga kebanyakan dan fungsi tempat tinggal disebut banua barung-barung. Untuk membangun dan menempati banua tidak diwajibkan melakukan upacara dan juga tidak perlu mengikuti pranata mandala. Oleh karena itu penempatan banua

barung-barung bisa lebih sembarangan, dan lebih luwes (flex ble) dalam mengikuti kebutuhan keluarga. Akibatnya, banua barung-barung lebih meluas dan lebih menyebar, serta membentuk mukiman yang sebenarnya dan potensial membentuk wilayah kekotaan. Sedang tongkonan merupakan kompleks kecil yang menyebar, eksklusif dan eksotis karena bentuknya yang khas.

Tahun 1916, Belanda mulai memasuki wilayah ini dan mulailah dibangun bangunan barak tentara, gedung pemerintahan, bangunan publik lain oleh pemerintah dan gereja oleh misi keagamaan (zending). Pembangunan ini merupakan cikal bakal kota kota Makale yang kini menjadi ibukota Kabupaten Tana Toraja dan Rantepao ibukota kabupaten Toraja Utara.25 Ada kecenderungan Rantepao berkembangan menjadi kota wisata, dengan menggunakan keeksotikan budaya dan alam Toraja sebagai daya tarik.

25 Bagoes P Wiryomartono (1994) Sa’dan Toraja Dwelling in Modernity, Study Report.

http://assets.akurat.co/images/uploads/akurat_20170709_z6f97Q.jpg

http://www.topindonesiaholidays.com/blog/wp-content/uploads/2014/07/Toraja-Kete-Kesu.jpg

Page 16: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara26 27

Hindu pertama di Jawa justru baru tahun 130 artinya sekitar 300 tahun sesudah surutnya kerajaan Budha yang terbesar di India. Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa beberapa kerajaan di Nusantara telah dibangun oleh brahmana atau ksatria Hindu yang terusir perkembangan oleh Budha di India, pandangan itu patut diragukan.

Berdasarkan berbagai prasasti dan berbagai berita dari luar (terutama dari Tiongkok) ditandai kehadiran kerajaan Hindu-Budha dalam jangka yang relatif lama. Kerajaan tersebut adalah: Salakanagara (130-362), Tarumanagara (358–669), Sunda Galuh (612-1528), Kalingga (abad ke-6 -7), Pakuan Pajajaran (1433-1579), Kutai Martapupura (350-1605), Kutai Martapura (1325-1635), Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke- 13), Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9), Kerajaan Medang (752–1006), Kendan (536– 612), Kerajaan Kahuripan (1006–1045), Kerajaan Sunda (932–1579), Kediri (1045– 1221), Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14), Singasari (1222–1292), dan Majapahit (1293–1500).

Selama 1300 tahun dengan begitu banyak kerajaan yang dipimpin raja pemeluk Hindu atau Budha, namun hanya Majapahit yang kehadiran ibu kotanya dapat dikenali. Berbagai kerajaan itu meninggalkan jejak yang dinamakan candi, yang berdasarkan latar belakang keagamaannya, dapat dibedakan adanya candi Hindu, candi Budha, paduan sinkretis Siwa-Budha. Juga ditemukan bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, adalah Candi Prambanan, Candi Gebang, kelompok Candi Dieng, Candi Gedong Songo di Jawa

Tengah, Candi Panataran di Jawa Timur, dan Candi Cangkuang di Jawa Barat. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan bhiksu sanggha, yaitu Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan di Jawa Tengah, Candi Banyunibo, Candi Sumberawan, Candi Jabung, kelompok Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Candi Biaro Bahal di Sumatera. Juga ditemukan sinkretik Hindu dan Budha, seperti Candi Jawi. Sinkretisme Hindu Budha ini juga dijumpai di Pagulingan di Bali. Selain itu juga ditemukan peninggalan yang disebut candi, tetapi tidak jelas sifat keagamaannya, seperti Candi Ratu Boko, Candi Angin, Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Wringin Lawang. Dari skala kepentingan atau peruntukannya ditandai adanya pertama: Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi Kerajaan ini biasanya besar, dan luas seperti: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran. Kedua candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu dari suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.

Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), Candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam

Kepercayaan Hinduisme hadir dan berkembang setelah komunitas di lembah sungai Indus melewati zaman batu dan memasuki zaman logam.

Perkotaan Pengaruh Pranata Kerajaan Hindu dan Budha

2.2Hinduisme hadir dan berkembang di India sejak seribu lima ratus tahun Sebelum Masehi (SM) yang artinya seribu tahun sebelum hadirnya Budhisme. Kepercayaan dan ajaran ini hadir dan berkembang setelah komunitas di lembah sungai Indus melewati zaman batu dan memasuki zaman logam. Ketika memasuki zaman logam, pada sekitar 2900 tahun SM itulah hadir perkotaan yang tertata antara lain Mohenyo Daro. Sehingga dapat diduga bahwa kota purbakala ini tidak ditata berdasarkan pranata Hinduisme, tetapi sebaliknya Hinduisme justru muncul dari hasil konsolidasi dan integrasi berbagai kepercayaan dan ajaran komunitas di lembah sungai Indus tersebut. Oleh karena itu pada awal perkembangannya sekitar tahun 1500 s/d th 1000 SM, masa yang disebut disebut Hindu Weda memberikan ajaran yang bersifat egaliter dan belum mempersoninifikasikan Dewa nya.

Tahun 1000 s/d 750 SM hadir lapisan brahma yang menjadi penghubung utama para dewa dan masyarakat pun terstratifikasi dalam empat lapisan, yaitu yang tertinggi Brahma, kemudian dibawahnya Ksatria, Waisya dan yang terendah Sudra. Kemudian sekitar tahun 750 s/d 500 SM dipedomani ajaran Upanishad yang menekankan pada ajaran tentang sumber dan asal usul kehidupan, fungsi jasmani, karma, samsara (daur hidup) dan mokas. Sekitar tahun 500 SM hadir Budhisme yang berkembang pesat sekitar 273 s/d 230 SM, ketika kerajaan Magadha dipimpin raja Ashoka dari dinasti Maurya. Walaupun arkeologi India telah menemukan jejak ibukota Magadha di ............ dekat kota ........ tidak disebut ditemukannya kota yang tertata seperti Mohenyo Daro. Ashoka membangun puluhan ribu stupa, tetapi tidak ada penjelasan tentang kehadiran kota yang teratata.

https://3.bp.blogspot.com/-ioa3HND_d4g/VrMuoYFEAGI/AAAAAAAABAk/RJL3Tvp2lv0/s1600/sejarah%2Bkerajaan%2Bkutai.jpg

Page 17: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara28 29

Majapahit2.2.1

Ibukota Majapahit adalah juga contoh kota tidak berkelanjutan. Kota ini hadir dan lenyap seiring dengan kondisi kerajaan Majapahit sendiri. Ibukota Majapahit mulai dibangun tahun 1293, kemudian mencapai puncak kemegahannya sekitar tahun 1350 ketika rajanya Hayamwuruk dan patihnya Gajahmada. Sepeninggal Gajahmada, meski Hayamwuruk masih memerintah sampai tahun 1389, kondisi Majapahit terus merosot. Sehingga tahun 1478 terdegradasi menjadi ibukota bawahan kesultanan Demak yang menundukinya. Dibawah kesultanan

Demak kota Majapahit terabaikan dan akhirnya tahun 1518 dihancurkan dan lenyap tertelan bumi. Ketika menundukkan Majapahit pada tahun 1478, keraton tidak dihancurkan tetapi pusaka dan segala isi keraton dibawa ke Demak.

Dokumen dalam bentuk lontar yang ditulis pada tahun 1364, mencatat dan mengisahkan kejayaan Majapahit justru ditemukan tidak sengaja di puri Cakranegara di Lombok 1896. Lontar ini dibawa ke Leiden Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh ahli filologi Dr.JLA Brandes pada tahun 1917. Belanda, yang benar-benar menjajah pada waktu itu belum sempat atau memang tidak peduli dengan peninggalan Majapahit tersebut. Padahal reruntuhan Majapahit telah dicatat oleh penjelajah Inggris Alfred Wallace tahun 1896, tetapi baru tahun 1926 dicoba digali kembali.

Maclain Pont yang mendapat tugas menggarap pengairan kebun tebu secara tidak sengaja menemukan jejak Majapahit di Trowulan Mojokerto. Secara tidak sengaja pula ia menemukan reruntuhan candi yang kemudian diyakini sebagai bekas ibukota Majapahit. Selanjutnya dia mencoba mereka-reka bagaimana wujud kota Majapahit tersebut dengan informasi terbatas dan mungkin lebih banyak menggunakan imajinasinya. Dibayangkannya keraton terletak di sebelah timur kolam besar (segaran) yang ditemukannya. Meskipun Mclain Pont telah menjumpai bekas bangunan air tetapi belum menemukan adanya jejaring kanal air.

Negarakretagama menggambarkan ibukota Majapahit memang bukan suatu kota yang dikelilingi benteng. Tidak disebutkan adanya benteng pertahanan seperti kota kuno di lembah sungai Indus Pakistan dua abad Sebelum Masehi atau kota di tepian laut Aegea ratusan tahun sebelum Masehi, atau kota Eropa abad pertengahan. Walaupun demikian rekaan Maclain Pont yang menempatkan keraton disebelah timur Segaran agaknya tidak sesuai dengan apa yang digambarkan dalam Negarakretagama.

Ibukota Majapahit adalah contoh kota yang tidak berkelanjutan, yang

hadir dan lenyap seiring dengan kondisi kerajaan Majapahit sendiri.

Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker). Berbagai kerajaaan tersebut meninggalkan cerita, toponim, prasasti, dan tempat peribadatan, tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur yang menunjukkan hadirnya kota yang dibangun dan dikelola berlandaskan suatu kepranataan yang jelas.

Agama Hindu di India menerapkan pranata penataan permukiman yang disebut vastu purusha mandala dan tentang bagunannya diterapkan vastu shastra. Pranata ini antara lain diterapkan untuk pembangunan Angkor Wat di Kamboja abad 11 dan 12, keraton dan juga candi yang semula Candi Hindu kemudian menjadi Candi Budha. Angkor Wat dibangun sekitar 100 tahun setelah Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Berbeda dengan Angkor Wat, Borubudur bukan keraton, tetapi monumen keagamaan Budha dan juga dianggap sebagai dokumentasi situasi kehidupan abad ke 9-10. Prambanan adalah monumen keagamaan Hindu, suatu kompleks pemujaan Dewa. Sedang Ratu Boko sering disebut sebagai keraton tetapi berbagai bangunan, tata letak dan fungsinya tidak dapat disebut keraton ibukota kerajaan. Ratu Boko lebih tepat sebagai suatu padepokan. Kerajaan yang berhasil membangun monumen besar tersebut, yaitu Mataram Kuno, Sailendra atau Medang justru tidak meninggalkan jejak perkotaan karena ibukotanya berpindah-pindah; mulai dari Kedu Jawa Tengah sampai di Tembelang Jombang Jawa Timur.

Jejak pranata permukiman Hindu justru dapat di temukan di Bali. Asta Kosala Kosali yang dijadikan pedoman menata permukiman di Bali adalah mandala mirip dengan Vastu Purusha Mandala dan Vastu Shastra di India. Selain itu di Bali juga dijumpai permukiman yang tertata mengikuti kaidah penataan kekotaan seperti yang dapat ditemukan di Tenganan dan Bugbug yang diperkirakan justru telah ada sebelum hadirnya Hindu yang dibawa pelarian Majapahit di Bali

Di Sumatera ditemukan berbagai candi Budha seperti Candi Bahal Di Sumatera Utara, Muara Takus di Sumatera Barat, Muaro Jambi di Jambi, Bumi Ayu di Sumatera Selatan. Berbagai candi tersebut menunjukkan kehadiran komunitas Budha yang terorganisasikan sehingga mampu membangun candi pemujaan Budha atau arwah nenek moyang. Walaupun demikian tidak ditemukan permukiman yang berkaitan dengan komunitas Budha tersebut.

Kerajaan Budha yang dianggap besar adalah Sriwijaya. Menurut berita Tiongkok yang ditemukan, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan yang menjadi persinggahan dan penghubung antara Tiongkok dengan Asia Selatan dan Barat, juga dengan berbagai wilayah di Nusantara. Sriwijaya juga ditengarai sebagai pusat pendidikan agama Budha. Dari prasasti yang ditemukan menggambarkan berbagi peristiwa besar yang diselenggarakan Raja Sriwijaya. Walaupun demikian tidak ditemukan jejak kehadiran kota sebagai ibukota Sriwijaya. Bahkan lokasinya pun masih diperdebatkan. Situs Sriwijaya yang ditemukan di Bukit Siguntang tidak membekaskan kehadiran kota atau permukiman. Ada anggapan bahwa kota Sriwijaya dibangun dari kayu sehingga tidak tahan zaman, tetapi banyak permukiman Megalit yang juga dibangun dari kayu dan atap ijuk yang masih hadir sampai saat ini. Tampaknya pranata dan ikatan sosial yang mendukung eksistensi Sriwijaya yang justru melemah dan bahkan kemudian lenyap.

Sriwijaya menjadi pusat perdagangan yang menjadi persinggahan dan penghubung antara Tiongkok dengan Asia Selatan dan Barat, juga dengan berbagai wilayah di Nusantara

http://breaktime.co.id/lib/manage/88814284-Menguak-Lokasi-Candi-Majapahit-dan-Keindahannya-cover.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 18: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara30 31

(Trowulan Mojokerto). Daha itulah yang kemudian dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Demak. Selain itu disebutkan dalam Pararaton bahwa Majapahit juga terlanda 10 kali bencana alam dalam jangka 170 tahun dari tahun 1311 sampai dengan 1481. Letusan gunung Anjasmoro yang terjadi pertengahan abad ke 15 diduga merusak bangunan perairan di Majapahit.

Setelah hadir selama 225 tahun ibukota Majapahit ini hilang ditelan bumi. Belum diketahui bagaimana kondisi awalnya ketika suatu kawasan hutan diubah menjadi permukiman. Bangunan dan fungsi apa yang hadir paling dulu dan fungsi apa yang lebih dulu terbengkalai ketika kondisinya mulai merosot. Diduga gerbang Wringin Lawang, Bajangratu, Candi Tikus hadir ketika Majapahit mencapai puncak kejaayaannya. Dari sejarah dapat disimpulkan bahwa ketidak berlanjutan Kota Majapahit adalah karena beberapa kondisi sebagai berikut:(1) Menurunnya kewibawaan dan kepercayaan

pada raja yang menurunkan aktivitas di kota dan membuat kondisi fasilitas kota merosot. Padahal kehidupan kota tergantung pada raja yang selalu menyelanggarakan upacara dan prosesi.

(2) Ibukota kerajaan ini memang kurangmendapat perhatian.

(3) Karena pecahnya kerajaan Majapahit olehperang saudara.

(4) Terjadinya bencana yang merusak fasilitaskota dan melemahnya kemauan sertakemampuan untuk memulihkan kerusakankerusakan tersebut.

(5) Majapahit ditundukkan dan terdegradasihanya sebagai kadipaten bawahan Demak(1478) yang tidak berkehendak untukmemanfaatkan dan memelihara ibukotaMajapahit karena kondisinya memang telahmenurun.

(6) Kota Majapahit memang sengaja dihancurkan(1518).

Intinya ibu kota Majapahit lenyap tidak berkelanjutan karena kerajaan atau negara yang bertanggungjawab atas kota itu tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan kota tersebut. Penyelenggara kota Majapahit tidak mampu mengonsolidasi kekuatan internal yang bertikai dan juga tidak mampu mengakomodasi perkembangan dari luar yang menekan.

Ibukota Majapahit lenyap tidak berkelanjutan karena tidak mempunyai kemauan untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan.

Negarakertagama menggambarkan pusat kota Majapahit yang mempunyai tembok bata tebal dan pintu gerbang di sebelah barat yang disebut “Purawuktra” menghadap ke lapangan luas. Di lapangan disebutkan adanya deretan pohon beringin (brahmastana) dan parit yang mengelilingi. Di bawah pepohonan nampak para prajurit yang sedang meronda dan menjaga paseban. Selanjutnya digambarkan adanya gerbang di bagian utara, timur dan selatan, dan berbagai bangunan dengan berbagai fungsinya yang berkaitan dengan upacara kenegaraan dan keagamaan. Negarakretagama juga menyebutkan tempat tinggal raja negara bawahan yaitu Wengker (Ponorogo), Daha (Kediri), Mentahun (Bojonegoro). Artinya meskipun para pemimpin itu mempunyai suatu wewengkon (teritori) yang termasuk dalam Negaragung, tetapi tetap mempunyai tempat tinggal di pusat kerajaan.

Dalam situs “kota” Majapahit di Trowulan Mojokerto ditemukan bangunan: pintu gerbang (Bajangratu dan Wringin Lawang), beberapa candi yang diduga sebagai bangunan pemujaan arwah nenek moyang (Candi Berahu, Candi Gentong, Candi Menak Jinggo), bangunan tempat tinggal (Sentonorejo) yang ditandai dari umpak-umpak yang tertinggal. Makam Troloyo yang diduga makam Islam dan makam Putri Campa, kolam pemandian (Candi Tikus) dan kolam besar (175x375 m). Dari apa yang tersirat dalam Negarakertagama dan apa yang ditemukan dalam situs Trowulan, diduga kuat bahwa kota Majapahit adalah kota yang terpusat pada kekuasaan raja. Lapangan terbuka yang bergandengan dengan paseban dan keraton menjadi tengar pusat kota. Lapangan tersebut merupakan unsur penting karena di lapangan inilah diselenggarakan berbagi upacara pemujaan yang mengukuhkan wibawa raja. Upacara ini pula yang membangkitkan profesi dan kegiatan ekonomi Majapahit.

Tahun 1981, ditemukan jaringan kanal26 dan sejumlah waduk yang tertimbun. Dari jejaring kanal tersebut menunjukkan bahwa ibukota Majapahit tersebut merupakan kota perairan seperti Amsterdam. Ketika Maclain Pont mereka-reka kota ini, belum tersedia informasi yang menunjukkan adanya jaringan kanal ini, walaupun dia mulai menandai adanya berbagai bangunan air (waduk). Diduga sistem jaringan kanal yang menghubungkan kali Brangkal dan beberapa waduk (Baureno, Keraton, Domas, Kumitir, Temon yang tinggal bekasnya) di bagian timur kali Gunting bagian barat Trowulan adalah pengendali banjir dan sistem irigasi. Karena untuk air bersih bagi penghuni “kota” digunakan sumur

yang banyak ditemukan dalam situs ini. Apabila jejaring kanal ini memang sistem pengairan, dapat diperkirakan bahwa ibukota Majapahit ini adalah suatu agropolitan dengan pesawahan sebagai unsur utamanya. Belum ada keterangan apakah jaringan kanal tersebut yang memandu tata letak bangunan atau tata letak bangunan yang menentukan jejaring perairan. Atau kanal dan bangunan dibangun secara bertahap dan

simultan seperti Amsterdam.

Jaringan jalan bukan pembentuk tatanan dan pola ruang, karena jalan lebih berfungsi sebagai fasilitas untuk upacara dan prosesi kenegaraan. Jalan bukanlah pelayanan bagi penduduk dan bukan fasilitas kegiatan ekonomi. Tatanan ruang diduga lebih ditentukan oleh konsep mandala yang menentukan lokasi dan arah yang baik untuk suatu fungsi karena mendapat perlindungan dewa. Bukan karena hubungan fungsional antar ruang.

Majapahit mengalami perang saudara yang dikenal sebagai perang Paregreg 1404-1406, yang membuat Majapahit pecah yang satu berpusat di Daha (Kediri) dan yang lain di Majapahit

Dari jejaring kanal yang ditemukan,

menunjukkan bahwa ibukota Majapahit merupakan kota perairan seperti

Amsterdam

26 Karlina Arifin (1986),SISA-SISA BANGUNAN AIR ZAMAN KERJAAN MAJAPAHIT DI TROWULAN, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

https://2.bp.blogspot.com/-TIhp4LnG5u4/WYHZsFug7wI/AAAAAAAAAn0/nzGw1O9OKcwv3Kqj_IJ4Ex3ZtNbZo5yRQCLcBGAs/s1600/sejarah%2Bkerajaan%2Bmajapahit%2Blengkap.JPG

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 19: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara32

(5) Hadirnya koloni dan pedagang dari Tiongkokdan Arab di kota pelabuhan, sebagai suatu komunitas Tionghoa pemeluk Islam dan Arab, yang berperanan dalam penyiaran agama dan pembentukan “kerajaan” Islam di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku

Dengan kondisi dan situasi tersebut lahirlah kota pelabuhan dan perdagangan yang diantaranya menjadi ibukota kesultanan Islam. Berbagai kota tersebut di Jawa adalah Demak, Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa, di Sumatera adalah Samudera Pasai dan Aceh, di Sulawesi adalah Makasar dan di Maluku adalah Ternate dan Tidore. Pedagang-pedagang asing dari Asia, khususnya Cina, dan sejumlah pedagang dari Barat sudah mulai menempatkan perwakilan dagangnya di berbagai kota Pelabuhan tersebut.

Kota-kota yang hadir di masa Hindu maupun Islam, menghadirkan unsur yang menjadi simbol religi, kekuasaan di atas manusia, yang masa itu dipandang sebagai sumber yang mentahbiskan kekuasaan raja dan sultan. Di kota-kota abad pertengahan di Eropa, Gereja merupakan unsur pusat kota. Kota-kota dengan nama agama tertentu: kota Hindu, kota Islam dlsb.nya, lazimnya untuk menunjukan agama yang dominan dianut di wilayah yang bersangkutan; belum tentu menunjuk bahwa kota-kota tersebut dibangun sesuai dengan prinsip prinsip, yang secara eksplisit maupun implisi terkait dengan penataan kota, sesuai dengan kaidah-kaidah yang terkandung dalam agama yang bersangkutan. Bagaimana manusia harus bertindak terhadap alam dan hubungan antara umat, sebagaimana digariskan dalam Al Quran, tampaknya menjadi panduan umum perencanaan kota Islami. Ketika Nabi Muhammad SAW membangun kota Medinah, semasa hijrahnya, yang pertama ditetapkan lokasinya dan kemudian dibangun adalah mesjid. Mesjid menjadi pusat orientasi pembangunan selanjutnya, kemudian dibangun permukiman bagi para umat, dan setelah itu dibangun pasar. Tempat kediaman Nabi Muhammad sendiri merupakan bangunan relatif kecil yang menempel pada bangunan mesjid. Mesjid sendiri tidak hanya berfungsi sebagai tempat

beribadat semata mata, melainkan sebagai pusat budaya dan ilmu pengetahuan. Bangunan masjid menampung berbagai kegiatan sosio-budaya-politik ekonomi pada masa itu, yang keputusan keputusannya berada di tangan Nabi Muhammad SAW, sebagai pemimpin umat dan penyebar agama. Boleh jadi Demak, sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa, tidak mempunyai istana yang megah tetapi sederhana, dan mesjid mewadahi berbagai fungsi sosial politik.

Menurut Mortada, yang menyelesaikan gelar masternya di pusat pemukiman menjadi embrio kota Madinah, yang kemudian menjadi kota Islam pertama yang dirancang dan dibangun sesuai dengan kondisi sifat lingkungan setempat yakni ekosistem gurun. Namun pada masa kesultanan, ketika lahir negara negara Islam, maka istana pun menjadi unsur pusat kota disamping mesjid. Bagdhad yang dibangun tahun... berbentuk konsentrik dengan Istana dan mesjid di pusatnya. Kota tidak lagi menyiratkan kehidupan komunitasnya, melainkan kekuatan kekuasaan. Di masa Kesultanan Islam di Indonesia, penduduk lebih merupakan abdi atau “milik” raja, dengan hak yang sangat terbatas, atau bahkan tidak mempunyai hak sama sekali, sebagaimana pada masa Hindu yang mempunyai perbedaan tingkatan sosial.

Pranata sosial yang telah berakar di masyarakat yang tumbuh semenjak megalitikum, mendapat wadah di masa Budha-Hindu dan kemudian di masa Islam. Wadah sepertinya berubah, tetapi isinya menjadi perbauran dari berbagai isi yang sudah ada terlebih dahulu, yang mendukung keberadaan kekuasaan pada masa yang bersangkutan. Kota kesultanan semasa Islam, yang disimbolkan dengan adanya Masjid Besar di samping Istana. Ketika suatu kerajaan atau kesultanan musnah, simbol kekuasaan yaitu istana pun ikut musnah. Tetapi simbol keagamaan, makam, candi atau masjid mungkin akan tetap bertahan mengarungi masa, karena kepranataan religi ini bagian dari kehidupan masyarakat penganutnya.

Perkotaan di BawahKesultanan Islam

2.3

Berbagai buku sejarah sering memilah perjalanan sejarah Indonesia dengan zaman kerajaan Hindu/Budha dan zaman kesultanan Islam, tetapi realitanya tidak setegas itu. Ketika Majapahit sebagai representasi kerajan Hindu/Budha, telah hadir kesultanan Samudera Pasai. Ketika Kesultanan Demak mulai berkembang, masih hadir Kerajaan Galuh Pajajaran. Ketika agama Islam disebarkan secara intensif di Jawa di abad ke 15, masih banyak pemeluk agama Hindu yang memang telah hadir di Nusantara selama 15 abad. Bahkan di Nusantara dikenal adanya Islam sinkretis yang mengadopsi tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Meskipun istilah raja dan kerajaan pengaruh India diganti dengan sultan dan kesultanan atau kasunanan sebagai pengaruh Timur Tengah, tetapi konsep dan tradisi Hindu Budha masih melekat. Konsep mandala, legitimasi terhadap kekuasaan, dan upacara pemujaan (sedekah laut, sedekah bumi) masih menentukan tatanan dan penyediaan fasilitas perkotaan.

Setelah dua abad Islam hadir di Pulau Jawa, kemudian datang orang Eropa. Meskipun awalnya hanya untuk berdagang, tetapi lambat laun makin mendalam dalam mengikut campuri kehidupan kesulltanan dan masyarakat pada umumnya. Pengaruh Eropa ini sangat nyata di perkotaan.

Pada akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16, terdapat situasi dan kondisi sebagai berikut:(1) Kerajaan Hindu Budha agraris terbesar

di Nusantara yaitu Majapahit menjaditidak berdaya (1478) dan runtuh (1518).Sedangkan kesultanan maritim yang kuatyaitu Malaka dikuasai Portugis (1511), dankemudian hadir kesultanan Islam pertama diJawa yaitu Demak.

(2) Kerajaan Sunda/ Pakuan Pajajaran berupayamembendung penyebaran Islam olehkerajaan Demak yang mengadakan ekspansike Jawa Barat, dengan meminta bantuanPortugis pada tahun 1522. Bantuan datangterlambat, Demak pada akhirnya menguasaiwilayah utara Jawa Barat. Meminta bantuanpihak asing oleh penguasa setempat untukmenghadapi kekuatan lawannya sesamakerajaan/ kesultanan nusantara tampaknyamenjadi suatu yang lazim dilakukan, yangmembuka akses lebih besar terhadap semakinmeluasnya kekuasaan asing di wilayah ybs.

(3) Perdagangan dunia, khususnya Asia Tengara,meningkat pesat oleh perluasan permintaandan pasokan serta perkembangan konsumsidan produksi barang. Kondisi tersebutmemunculkan kota pelabuhan, yang menjadipintu keluar atau ekspor produk pedalamanseperti beras dan rempah-rempah dan pintumasuk produk dari luar misalnya tekstil,porselein, logam mulia.

(4) Hadirnya kesultanan Islam yang kuat di TimurTengah yaitu: Ottoman (Utsmaniyah) Turki,Safavid (Safawiyah) Irak-Iran dan Mughal(Moghul) India dengan para pedagangnyayang menjelajah Asia Tenggara termasukNusantara. Para pedagang membawa sertaajaran agama Islam, yang menumbuhkanmasyarakat Islam di Nusantara

Meskipun awalnya hanya untuk berdagang, tetapi lambat laun

Islam makin mendalam dalam mengikutcampuri kehidupan

kesultanan dan masyarakat pada umumnya.

33Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 20: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara34 35

Cirebon Bantenb. c.

Cirebon bergabung atau dikuasai Demak tahun 1475 dan pada tahun 1527 bersama menundukan Banten. Cirebon semula adalah permukiman nelayan yang menjadi pedukuhan karena berkembangnya perdagangan. Berkembang menjadi kesultanan bawahan Pajajaran, tetapi Syarif Hidayatulah putera Raja Cirebon yang lahir di Mesir dan belajar agama Islam sampai di Irak, membangun komunitas Islam di Cirebon. Antara lain dengan membangun masjid kecil Jalgrahan pada tahun 1456. Walaupun sederhana masjid ini menjadi tempat tinggal Syarif Hidayatulah, pusat penyebaran agama dan mobilisasi pengikut.

Dengan berkembangnya masyarakat Islam tersebut, tidaklah sukar bagi Cirebon untuk bergabung dan menjadi kerajaan bawahan (vasal) Demak yang memang sedang giatnya menyebarkan agama Islam. Tahun 1480 dibangun Masjid Agung Cipta Rasa, dan terbentuklah komposisi pusat kota kesultanan Islam yaitu Masjid, alun-alun dan tempat tinggal penguasa. Sesurutnya Demak, kesultanan Cirebon bernaung dibawah Mataram dan bahkan menjadi kerabat kesultanan Mataram melalui perkawinan. Kemudian Cirebon juga mengalami kemerosotan dan juga perpecahan, tetapi Kota Cirebon masih hadir, meskipun kesultanannya dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Institusi penyelenggara Kota Cirebon memang berganti-ganti dan bahkan mengalami perpecahan, tetapi wujud fisiknya masih berlanjut. Keraton yang menjadi unsur kota yang penting tahun 1678 mengalami pembangunan kembali. Cirebon kemudian berkembang menjadi kota dagang dan kota pelabuhan setelah peranan kesultanan memudar. Cirebon kemudian menjadi kota yang lebih besar dari Kota Demak, yang pernah menjadi induknya.

Kesultanan Banten berdiri di atas wilayah yang sebelumnya merupakan kerajaan Hindu, yang mempunyai pusat keagamaan di Gunung Pulosari dan pusat kerajaan di Banten Girang, yang lokasinya sekitar 10 km dari kota Banten, atau dari pesisir Laut Jawa. Sementara Banten di masa kerajaan Hindu itu, sudah merupakan pelabuhan terbesar di Jawa bagian barat, sebagai bagian wilayah kerajaan Sunda yang merupakan negara pesisir dan perdagangan. Pada awal abad 16, kerajaan Sunda tampaknya mempunyai banyak kerajaan kerajaan kecil di bawahnya yang tetap dapat mempertahankan jatidirinya, seakan negara yang berdaulat penuh, meskipun mengakui kekuasaan Sunda, seperti misalnya Banten Girang.

Penaklukan Banten oleh Faletehan dari kerajaan Demak pada sekitar tahun 1527, merupakan bagian dari upaya Demak membendung kekuasaan Portugis, yang sudah mulai singgah dan mempunyai perjanjian dengan Pakuan Pajajaran untuk membendung ekspansi Demak. Selain itu untuk melakukan penyebaran agama di wilayah Jawa Barat. Setelah secara ideologis Faletehan dan putranya, Hasanuddin, bersama pasukan Demak berhasil menundukkan Pulosari, kemudian menduduki benteng Banten Girang. Hasanuddin menjadi Sultan pertama kesultanan Banten, yang pada awal pemerintahannya tetap berkedudukan di Banten Girang. Ibukota kesultanan kemudian dipindahkan ke kota Banten, yang waktu itu sudah menjadi kota pelabuhan yang ramai. Sementara Banten Girang dipakai sebagai pesanggrahan bagi penguasa Islam setidaknya sampai di akhir abad XVII. Keputusan Sultan Ageng memindahkan ibukota ke Tirtayasa pada tahun 1680, tampak tidak mempengaruhi posisi Banten sebagai kota pelabuhan penting.

Perkotaan Masa Kesultanan Islam di Jawa :Demak, Cirebon, Banten, Sunda Kelapa

2.3.1

Demaka.

Demak adalah kota pelabuhan yang menjadi ibukota kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa. Kesultanan Demak mendapatkan pengakuan rakyat karena juga keturunan Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Pusat Kota Demak mengikuti pola Majapahit, yaitu adanya lapangan terbuka atau alun-alun dan Masjid yang menjadi pertanda sebagai kesultanan Islam. Masjid Demak langsung dibangun sebagai suatu monumen keagaaman, yang menjadi terkenal karena disertai cerita tentang bagaimana masjid itu dibangun dan menjadi pusat pertemuan para wali penyebar agama Islam. Bagaimana dan dimana keberadaan Keraton Sultan Demak menjadi pertanyaan yang kemudian dicoba dicari jawabnya oleh berbagai pihak. Ada yang berpendapat bahwa Sultan Demak sangat sederhana sehingga keratonnya seperti tempat tinggal biasa, karena tidak ingin menandingi Masjid. Juga ada yang berpendapat bahwa Masjid itulah tempat tinggal Sultan. Pendapat lain menyatakan bahwa sesungguhnya dibangun juga keraton Demak yang terletak di sebelah selatan alun-alun. Karena tergolong bangunan sederhana keraton tersebut hancur tanpa diketahui sebabnya.

Kesultanan Demak cukup aktif melakukan ekspansi, menjaga kesetiaan kadipaten, menaklukkan yang ingin bebas, bahkan menyerang Malaka yang telah dikuasai Portugis. Ambisi menguasai Malaka tidak terwujud, tetapi Demak berhasil memperluas kekuasaannya di berbagai kadipaten atau kesultanan kecil. Antara lain Cirebon, Banten, Sunda Kalapa, Palembang, Jambi, Blora, Madiun, Lamongan, Wirasaba, Surabaya, Malang dan Gunung Pananggungan tempat pelarian Majapahit dan Daha sebagai pecahan Majapahit. Walaupun demikian, dengan segala kebesaran yang disandangnya, di ibukota Kesultanan Demak tersebut tidak ditemukan

sisa pusat administrasi yang mengelola wilayah maupun markas tentara Kesultanan Demak. Pangkalan armada laut untuk perang disebutkan dalam buku sejarah terletak di Teluk Wetan di Rembang. Hanya masjid, makam sultan dan alun-alun adalah peninggalan yang menjadi penanda kehadiran ibukota kesultaanan Demak.

Meskipun Demak kota pelabuhan dan perdagangan dan pusat penyiaran agama Islam, tetapi kehadiran alun-alun masih menunjukkan dapat diterimanya warisan Majapahit. Karena di Demak juga secara periodik diselenggarakan sekaten dan grebeg besar, upacara dan perayaan keagamaan yang delenggarakan sultan, seperti yang dilakukan raja Majapahit meski berbeda tujuan dan maknanya. Karena itulah alun-alun dan masjid menjadi unsur penting bagi Kota Demak .

Kota Demak tidak berkembang secara berkelanjutan. Karena energi yang dimiliki kesultanan ini terkuras untuk ekspansi dan tidak tersalur untuk pengembangan Kota Demak itu sendiri. Bahkan Kota Demak tahun 1546 ditinggalkan, dan pewaris kesultanan yang berpindah ke Bukit Prawoto dan Pajang yang menjadi kesultanan sendiri. Kesultanan Pajang hadir dari tahun 1540-1587, menjadi kesultanan Mataram berkedudukan di Kotagede dari tahun 1587-1677, berpindah ibukota ke Plered 1677- 1726, berpindah lagi ke Kartosuro 1726-1745. Diantara pusat pemerintahan pasca Demak tersebut hanya Mataram di Kotagede yang berlangsung paling lama yaitu sekitar 90 tahun. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila di Kotagedelah dapat ditemukan peninggalan Mataram. Masjid dan makam pendiri Mataram menjadi penanda abadi kehadiran pusat perintahan Mataram di kota ini.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 21: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara 37

permukiman, yaitu bagian tengah berupa delta yang mungkin sudah menjadi permukiman penduduk setempat, di sebelah baratnya terletak permukiman Cina serta asing lain, yang disebut Pacinan, tempat kediaman orang Eropa dan Asia serta perdagangan internasional. Diduga permukiman ini tumbuh berkembang khususnya setelah tahun 1511, ketika para pedagang mulai mengalihkan kegiatannnya dari Malaka. Di sebelah timur Delta juga terdapat perkampungan tempat kegiatan perdagangan eceran dan penduduk yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara dan Asia, dan nelayan setempat. Di permukiman sebalah timur ini terdapat pelabuhan lokal. Sementara ke arah selatan Delta, di sepanjang sungai Cibanten terdapat perkampungan pertanian, membentang sekitar 10 km sampai ke Banten Girang ibukota lama.

Sebagai pusat pemerintahan baru dipilih lokasi permukiman di daerah delta. Di daerah delta ini dibangun istana Surosowan, mesjid, alun alun atau darparagi dan juga pasar. Pusat pemerintahan atau pusat ibukota ini dibangun di tengah kota yang sudah disebut ramai. Tom Pires yang berkunjung pada tahun 1517 mencatat bahwa Banten cukup hidup sebagai kota pelabuhan. Sultan Hasanuddin mendirikan benteng keraton Surosowan pada tahun 1527. Setelah itu, tahun 1552 mendirikan Masjid Banten, dengan menara yang juga berfungsi sebagai pengamat laut. Pembangunan ini bersifat mengisi permukiman yang tumbuh secara organik sebelumnya, bukan sebagai pembentuk kota. Perkampungan yang sudah ada tampaknya menjadi bagian permukiman wilayah pemerintahan. Kampung kampung tempat kediaman penduduk Banten, masing masing dipimpin oleh seorang bangsawan, dijaga dan dipalang, dan juga mempunyai pasar kebutuhan sehari-hari. Menurut Catatan Pelayaran dari orang Belanda, 1598, Kota Banten terbagi atas beberapa bagian, masing masing dijaga oleh seorang bangsawan pada saat perang, kebakaran, atau musibah lainnya. Masing- masing bagian mempunyai tembok keliling, dan di setiap bagian

digantungkan sebuah bedug. Bedug dipukul pada saat tengah matahari terbit dan terbenam, dan bila ada kebakaran dan pertempuran. Penduduk permukiman ibukota ini tidak diizinkan tinggal di luar kota, dan harus kembali masuk kampung tempat tinggalnya sebelum malam hari. Sedangkan orang orang yang tidak termasuk sistem sosial Banten harus bertempat tinggal di luar wilayah ibukota, seperti misalnya “maharaja” Demak (1596) dan Putra Mahkota Jambi (1670an) memiliki istana di luar wilayah admnistrasi ibukota karena tidak diizinkan untuk bermalam di dalam kota. Namun penduduk permukiman pusat kota ini, seperti halnya penduduk suatu kerajaan umumnya, bukanlah “warga kota” yang mempunyai hak-hak sebagai warga, tetapi lebih merupakan penduduk milik para “adipati” atau pangeran yang menjadi penguasa lokal; dan sebagai penduduk kerajaan mereka adalah milik dari raja. Penduduk ini disebutkan lebih banyak mempunyai kewajiban, sementara haknya tidak ada.

Pasar, lapangan raja, dan istana membentuk sumbu arah utara – selatan, seperti halnya di Majapahit. Pasar adalah tempat rakyat bertemu, lapangan khususnya adalah tempat raja tampil di depan rakyatnya sedangkan istana adalah tempat kediaman raja, dan berbagai kegiatan pemerintahan berlangsung. Karena itu lapangan raja terletak di tengah-tengah jalur pasar dan istana. Banten tampaknya dilihat sebagai suatu mandala, yang mencerminkan orde kosmik dengan raja sebagai pusatnya di bumi.

Menurut Guillot, yang sesungguhnya menjadi “pusat” dan orientasi kota bukanlah fungsi-fungsi kota, bukan lapangan: istana ataupun mesjid, melainkan unsur yang lebih bersifat mistis. Penentuan pusat cenderung terkait dengan kekeramatan dan kekuatan kekuatan gaib, yaitu keberadaan watu gigilang, yang diyakini mempunyai kekuatan terhadap kekuasaan raja, tempat singgasan raja atau tempat raja dinobatkan, sebagaimana halnya pada masa Hindu.

Bertumbuh-kembangnya pelabuhan Banten dan kerajaan Banten secara pesat di awal abad XVI, tampaknya bukan didorong oleh faktor internal, melainkan oleh situasi politik-ekonomi eksternal, yaitu berpindahnya pedagang-pedagang dari dikuasainya Persia, India dan daerah lain yang biasa datang pada musim-musim tertentu ke Malaka, memindahkan kegiatannya ke Pelabuhan Banten, setelah Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511. Sistem monopoli yang diterapkan Portugis, mengharuskan pedagang meminta izin kepada Portugis. Pedagang-pedagang dari berbagai negara yang terbiasa dengan perdagangan bebas, kemudian mencari jalan lain, yaitu ke Selat Sunda. Lokasi Banten juga menguntungkan karena berada di dekat Selat Sunda, dengan perairan yang tersambung ke Selat Malaka. Banten juga penghasil lada, dan juga berada dalam lintasan kapal yang menuju Maluku penghasil rempah rempah. Kota Banten terletak di ujung dua jalur maritim internasional: Selat Malaka dan Selat Sunda, dan memiliki tempat berlabuh yg cukup besar 18 km x 10 km. Sungai Cibanten tidak hanya membentuk pelabuhan alamiah, tapi juga merupakan jalur komunikasi ke arah lembah pertanian yang merupakan daerah pedalaman. Sementara di arah pantai, Sungai Cibanten bercabang membentuk delta, dan menyebabkan terbentukya dua pelabuhan internasional dn pelabuhan lokal Karangantu di sebelah timur

Pengurusan kegiatan ekonomi perdagangan di Banten, lebih dipercayakan kepada pihak

asing khususnya Cina, yang dipercayai oleh Sultan, seperti misalnya Syahbandar. Kegiatan perdagangan internasional sendiri meskipun secara faktual menjadi tulang punggung kemakmuran Banten, dinilai sebagai kegiatan yang tak pantas dilakukan oleh raja-raja Jawa. Para pangeran cenderung mengekang perdagangan dan lebih memperhatikan pertanian atau produksi yang berasal dari tanah. Perdagangan dan kota pelabuhan berkiblat ke laut, sementara raja Jawa secara tradisional berorientasi ke Tanah.

Penempatan ibukota di Banten Girang yang terpisah dari kota pelabuhan yang merupakan kegiatan perekonomian, seperti halnya juga dengan Pakuan dengan Sunda Kalapa, mungkin sekali didasarkan untuk memisahkan kegiatan administratif dan politis dengan kegiatan perekonomian, secara lebih jelas. Tidak ada penjelasan, mengapa kemudian ibukota kesultanan Banten pindah ke kota pelabuhan Banten, selain bahwa kepindahan itu atas perintah Faletehan ayahanda Sultan Hasanuddin. Fatahilah sendiri tidak diriwayatkan sebagai keturunan salah satu raja Jawa. Mungkin pertumbuh-kembangan kota Banten yang pesat sebagai pusat kegiatan perdagangan, dinilai perlu lebih diawasi dan kedekatan jarak masa itu antara pusat pemerintahan politis dan perkonomian merupakan hal yang penting untuk memudahkan komunikasi.

Ketika masih menjadi kota pelabuhan, tampaknya kota Banten sudah terbagi atas tiga bagian ciri

Peta bagian utara Jawa antara Banten dan Jakarta (Guiilot, 2008:48)

Sketsa daerah Banten oleh Jacques Dumarcay (Guillot, 2008 :68)

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara36

Page 22: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara38 39

empat sudut bangunannya. Terdapat tiga gerbang masuk di sisi utara, timur dan selatan. Gerbang selatan ini kemudian ditutup dan tak diketahui penyebabnya.

Masjid Agung Banten dibangun pertama kali pada 1556 oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Ada 3 orang arsitek dengan latar belakang berbeda yang menangani mesjid ini. Mereka itu adalah (1) Raden Sepat, arsitek dari Majapahit yang juga merancang Masjid Demak dan Cirebon; (2) Tjek Ban Tjut, asal China ini yang memberikan ciri khas pada bagian atap bangunan utama yang bertumpuk lima. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama. Cek Ban Tjut kemudian memperoleh gelar Pangeran Adiguna; dan Arsitek ke tiga adalah Hendick Lucasz Cardeel, yang mejadi mualaf. Cardeel membuat paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti masjid, berlantai dua dengan gaya arsitektur Belanda kuno dan dinamakan Tiyamah. Paviliun ini di masa lalu merupakan tempat rapat dan kajian Islam, sekarang digunakan untuk menyimpan barang-barang pusaka. Sedangkan menara mesjid yang mempunyai ketinggian 24 meter, selain untuk mengumandangkan azan juga merupakan menara pengawas ke arah laut, dan oleh Cardeel juga dijadikan tempat penyimpanan senjata. Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya, yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.

Tentang jejaring jalan di pusat kota hanya terdapat keterangan bahwa ada empat jalan besar tak berbatu yang saling bertemu membentuk siku2 di lapangan istana dan membagi kota atas 4 bagian. Jalur jalan ini tampaknya lebih diperuntukan bagi upacara upacara yang diselenggarakan oleh kesultanan. Di luar jalan tersebut digunakan jalan

setapak tak beraturan yg melingkari rumah-rumah dan dibangun secara tak beraturan, dan tak dilapisi batu. Ketika para duta besar dari Batavia pada tahun 1680 datang ke Banten, harus melalui jalan jalan kecil tersebut yang gelap menuju ke istana

Banten sebenarnya berciri akuatik, dibangun di dataran rendah yang penuh air. Yang paling praktis transportasi menggunakan perahu melalui sungai dan kali kali kecil yang melintasi kota. Pengangkutan barang dagangan, manusia, arak arakan resmi dilakukan dengan perahu: dalam kota, dari teluk ke kota, dari kota menuju ibukota lama Banten Girang, atau dari Banten ke Tirtayasa. Trayek terakhir ini sangat lumrah di tahun 1678. Ciri akuatik ini lama kelamaan menghilang karena proses endapan sungai, yang memang dangkal pada musim kemarau. Ini Dipercepat dengan pekerjaan irigasi di hulu sungai, yang mengarahkan pengaliran air menuju ke tanah pertanian di hulu sungai. Dan para sultan yang biasanya menggunakan kapal dengan berbagai tanda kebesaran, sejak abad XVIII kebiasaan tersebut mulai ditinggalkan dan berganti menggunakan kereta kuda yg dikirim dari Batavia.

Permukiman yang menjadi tumpuan kegiatan perdagangan internasional tempat bersandar kapal kapal dari berbagai negara asing yang bersandar untuk berdagang di Banten, dan juga kapal kapal setempat yang membawa barang untuk ekspor adalah Pacinan. Kampung ini terhubung dengan kota melalui sebuah jembatan gantung. Penduduknya campuran, kebanyakan orang asing, sebagian besar orang Tionghoa. Di Pacinan terdapat kompleks kantor DInas Pelabuhan, Kampung Eropa dan Pecinan sendiri. Perhatian Sultan Ageng pada daerah Pacinan cukup besar, selain membangun perumahan dan jalan, Sultan Ageng pada tahun 1661 di musim kemarau memerintahkan untuk mengeruk sungai untuk mencegah terjadinya pengendapan lumpur, dan membangun bendungan di laut.

Orang Barat yang tinggal di Banten adalah orang Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugis,

Watu gigilang ini konon asalnya tempat duduk bertapa Betara Guru Jampang, yang kemudian memeluk agama Islam setelah kemenangan Hasanuddin melawan orang non Islam dan kemudian menghilang. Hasanuddin menggantikan Betara Guru Jampang bertapa di atas batu itu dan kemudian menjadikannya singgasananya. Tetapi versi lain (https://id.wikipedia.org/wiki/Pakuan) menyebutkan bahwa watu gigilang tersebut adalah Palangka Sriman Sriwacana, yaitu batu penobatan berukuran 200 x 160 x 20 cm, tempat seorang calon raja kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan yang dibawa dari Pakuan Pajajaran oleh pasukan Maulana Yusuf ke Banten setelah mengalahkan kerajaan ini. Tanpa batu itu, maka di Pakuan tak mungkin lagi dinobatkan raja baru.

Penentu lain dari pusat kota selain watu gigilang adalah pohon beringin yang biasanya ditanam

berpasangan. Keyakinan terhadap hal hal gaib ini tampak mulai memudar, ketika para raja harus bertindak pragmatis melawan kekuatan asing. Perubahan kondisi politik akibat menetapnya orang Eropa di Banten, dan orang Belanda di Batavia, mengakibatkan perubahan pada cara memerintah.

Keraton Surosowan dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Menurut analisis peta kuno pada penelitian arkeologis, diperkirakan keraton ini mengalami sedikitnya 5 fase pembangunan. Salah satunya melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna. Area keraton seluas lebih kurang 3 hektar dikelilingi tembok pembatas setinggi 2 meter, hingga Surowowan mirip sebuah benteng Belanda dengan bastion di

Peta Banten dan Sekitarny (Guillot, 2008:132, dengan penambahan teks oleh penulis)

Gambaran Sebaran Pemukiman Banten dan Sekitarnya ditafsirkan dan digambar oleh penulis berdasarkan teks dan peta Guillot

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 23: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara40 41

Tahun 1651 sampai 1682 merupakan masa keemasan pembangunan Banten, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Sultan Ageng, Tahun 1670-an merupakan periode paling cemerlang dari Banten. Pada tahun 1678, kota Banten bahkan diperkirakan merupakan kota terbesar di nusantara, dan termasuk kota terbesar di dunia pada masa itu, berdasarkan jumlah penduduk dan kemakmurannya. Pakar pembangunan pada masa pertumbuhan Banten yang pesat itu adalah Kiayi Ngabehi Cakradana, seorang keturunan Cina yang menjadi syahbandar Pacinan atau “pemimpin” masyarakat Tionghoa, dan juga dikenal sebagai pandai besi.

Cakradana mendapatkan kepercayaan penuh dari Sultan Ageng. Meskipun mempunyai jabatan administratif tapi Cakradana juga aktif dalam menjalankan perdagangan internasional. Pembangunan besar besaran di kota Banten berlangsung ketika terjadi ledakan perniagaan, dimulai pada tahun 1671 dengan pendirian kompleks permukiman di Pacinan: 120 rumah bata dengan toko di atasnya. Dalam hal pembangunan permukiman yang cukup besar ini, Negara atau Raja menjadi pemberi izin, sedangkan pembiayaan dan realisasinya diserahkan kepada swasta. Juga dibangun tiga jalur jalan yg bagus dengan 20 rumah di kedua sisi jalan dan toko toko, yang kemudian diisi oleh pendatang dari Cina dan Batavia. Tampaknya pertumbuhan ekonomi lebih menguntungkan pelaku ekonomi lagi. Tidak ada penjelasan adanya limpahan kemakmuran pada peningkatan kualitas perkampungan, atau perbaikan infrastruktur dalam wilayah pusat kota.

Infrastruktur lain yang dibangun adalah dua jembatan dari batu, suatu teknik yang belum dikenal di Jawa, di dalam kota di sebelah utara dan satu lagi untuk menghubungkan kota raja dengan daerah niaga di Karangantu. Pertahanan kota pun diperbaiki, karena adanya ketegangan dengan Belanda. Sejak pertengahan abad XVI, Banten adalah satu satunya kota di nusantara yang mempunyai benteng terbuat dari bata, khususnya

mengelilingi kota raja. Pekerjaan pembangunan benteng baru dilakukan pada tahun 1677, dimulai di muara sungai besar di bara kota menuju ke arah Pacinan.Tembok di sebelah Utara, barat dan Timur bergaya sama. Juga dibangun sebuah benteng pertahanan di Karangantu, terbuat dari batu karang dan kapur. Bangunan ini dibongkar habis oleh Belanda setelah merebut kota tersebut pada tahun 1682.

Meskipun pembangunan permukiman baru harus disetujui oleh Sultan, akan tetapi tidak adanya aturan penataan kota yang jelas. Kondisi fisik kota tampaknya merupakan pencampuran antara bangunan dan bagian kota yang dibangun sepenuhnya tanpa rencana, dan sebagian kecil bagian kota yang bangunan serta tata letaknya direncanakan.

Masa cemerlang Banten dibayangi oleh semakin besarnya peran orang Barat semakin besar dalam perdagangan maritim Asia. Pada masa itu VOC sudah menguasai sepenuhnya Kota Sunda Kalapa atau Jayakarta—yang semula dikuasai Demak—dan sudah berganti namanya dengan Batavia. VOC/ Belanda melihat pembangunan dan kemakmuran Banten sebagai ancaman bagi dirinya, dan karena itu bertekad untuk menaklukan bahkan menghancurkannya. Setelah terjadi beberapa kali peperangan diselingi perdamaian antar Banten dan VOC

dan tinggal di bagian yang disebut sebagai kampung Eropa. Kecuali Portugis, yang lain mempunyai Loji. Orang Portugis mulai banyak setelah mereka menduduki Macao, dan banyak yang mengungsi dari Jepara untuk menghindari perang. Inggris mempunyai loji terbesar di bagian utara kampung. Sementara Belanda kembali ke Banten setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Banten pada tahun 1659. Tapi tidak kembali ke loji lama yang dinilai kurang memadai dan terletak agak ke selatan. Pada tahun 1663 mereka mendapat loji baru yang dibangun syahbandar. Tujuannya lebih untuk kepentingan memperoleh informasi politik dan ekonomi bukan perdagangan. Sedangkan loji Perancis dan Denmark berada dekat loji Belanda lama, dibangun oleh Kaytsu 1678, seluas 1.500m2, terbuat dari bata dan bergaya Tionghoa, kecuali yg ditujukan untuk umum terbuat dari bahan yg lebih ringan. Dalam loji masing-masing, orang Eropa mempunyai kapel kecil, dan setiap perusahaan dagang mendatangkan agamawan mereka masing-masing.

Dalam sistem politik Banten, semua bangsa asing harus mempunyai perwakilan dalam pemerintahan. Peran sebagai penjamin dan wakil bangsa asing dijabat oleh kepala loji. Sultan beberapa kali mencoba mencampuri dalam pemilihan wakil Eropa, dan juga Asia.

Pada tahun 1670-an jumlah orang Tionghoa semakin banyak, dan ini dilakukan secara sengaja oleh kerajaan Banten melalui kebijakan politik rajanya. Selain itu, juga karena adanya peperangan di negeri Cina sendiri, dan kekacauan di pesisir Jawa akibat pemberontakan Trunojoyo. Banten kemudian menjadi tujuan pendatang (Cina, Amoy, Jawa Timur dan Jawa Tengah). Terdapat 1.000 orang Cina yg mengungsi dan mendapat pekerjaan di Banten pada tahun 1676 saja. Orang Tionghoa tidak hanya menguasai perdagangan, melainkan juga berperan penting dalam pembangunan fisik di Banten, a.l. dengan memperkenalkan penggunaan material bata untuk pendirian bangunan.

Sementara Pelabuhan, selain sebagai tempat kegiatan perdagangan, juga berfungsi sebagai tempat hiburan baik yang bersifat bebas untuk dewasa, seperti misalnya rumah kabaret, tempat minum arak, judi, catur, dadu, prostitusi, dll maupun hiburan yang terkategori “sopan”, seperti misalnya pertunjukan wayang, peluncuran kembang api dll.

Status kota di bagian luar pusat kota berbeda dengan penduduk dalam benteng. Penduduk membayar sewa kepada raja atas lahan-lahan tempat rumah mereka berdiri. Menurut tradisi Jawa: tanah milik negara, dan tak seorang pun di negara ini berhak memiliki tanah. Dengan peraturan khusus orang Barat membayar pajak per kepala, orang asing beragama Islam misalnya orang Jawa dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan bagi negara.

http://3.bp.blogspot.com/-ooTFepdNmBA/UwyPFyX5YiI/AAAAAAAAAks/HBZcKlHN-C0/s640/Peta+sejarah+Kesultanan+Banten+1527%E2%80%931813.png

http://3.bp.blogspot.com/-ooTFepdNmBA/UwyPFyX5YiI/AAAAAAAAAks/HBZcKlHN-C0/s640/Peta+sejarah+Kesultanan+Banten+1527%E2%80%931813.png

Peta Banten 1724 (Banten City, Java 1724)

Peta sejarah Kesultanan Banten 1527–1813.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 24: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara42 43

Perkotaan Kesultanan Islam di Sumatera:Samudera Pasai dan Aceh

2.3.2

Kota penting yang hadir pada awal kesultanan Islam tersebut tidak berkembang secara berkelanjutan atau perkembangannya melamban. Bahkan jejak ibukota kesultanan Islam. Samudera Pasai hanya dapat terlacak hanya dari adanya makam di sebelah barat Lhokseumawe. Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut penjelajah dari Maroko, Ibnu Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Walaupun demikian kesultanan Samudera Pasai hadir 254 tahun (1267–1521), tetapi mampu membangun istana yang lebih tahan zaman. Tidak seperti kerajaan pedalaman di Jawa, pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai tidak berpusat pada Sultan, tetapi terbagi dengan orang kaya (borjuis timur). Oleh karena

itulah tidak ditemukan keraton yang menjadi pusat kota.

Samudera Pasai ditaklukkan oleh Portugis dan kemudian diambil alih oleh kesultanan Aceh. Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, Istana Dalam Darud Donya yang merupakan kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan markas TNI AD. Pada masa kesultanan Aceh bangunan batu justru dilarang, karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman yang ada saat ini aslinya telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda, walaupun lokasinya asli. Walaupunwujud asli tidak ditemukan lagi, tetapi adanyalapangan terbuka di sebelah selatan masjid,kedudukan pendopo gubernur yang dianggaplokasi istana, menunjukkan bahwa ibukotakesultanan Aceh juga menerapkan unsur istana,ruang terbuka atau alun-alun dan masjid sebagaipusat kota.

Belanda, akhirnya pada 1682 VOC/ Belanda yang didukung oleh Sultan Haji, putra Sultan Ageng, dapat menaklukan Banten. Sultan Haji sendiri harus membayar biaya perang dan Kompeni dapat memonopoli perdagangan, sementara hasil panen rakyat harus dijual kepada Kompeni dengan harga yang sangat murah. Sejak itu, Kesultanan Banten dapat dikatakan sudah tidak mempunyai peran apa-apa lagi.

Kehancuran Banten secara fisik dilakukan oleh VOC, kekuatan asing. Akan tapi sebagaimana kerajaan lain di nusantara, penyebab kemunduran dan kehancuran Banten pada dasarnya adalah konflik dan pertarungan kekuatan politis di antara para pewaris takhta. Akan halnya kesultanan Banten, konflik tidak hanya terjadi di antara kaum pangeran, melainkan juga antara kaum pangeran dan kaum ponggawa. Kaum ponggawa adalah mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi, sebagaimana halnya dengan kelas menengah di negara kota abad pertengahan Eropa. Para pewaris takhta lebih memfokuskan diri untuk mendapat kekuasaan, sementara mereka sendiri cenderung ingin menghambat kegiatan perdagangan internasional yang menjadi tulang punggung perekonomian Banten, dan lebih memilih tanah atau pertanian. Sedangkan

kaum ponggawa bersikukuh pada perdagangan bebas. Demi memperoleh kekuasaan itu, para pewaris takhta tampak menempuh segala cara, termasuk menggandeng kekuatan asing.

Penghancuran Banten yang sesungguhnya terjadi di masa Daendels menjadi Gubernur Jenderal Belanda. Setelah dihancurkan oleh serangan VOC pada tahun 1680- an, keraton Surosowan diupayakan diperbaiki kembali oleh penguasan baru Banten, akan tetapi pada tahun 1813, Daendels menghancurkan kembali keraton ini beserta keraton Kaibon, sebagai pembalasan atas dipenggalnya Du Puy utusan Daendels oleh pihak Kesultanan Banten. Pihak Kesultanan menolak permintaan Daendels agar Kesultanan Banten memperpanjang proyek Anyer Panarukan. Keraton Surosowan pun hanya tinggal puing-puingnya saja.

Kota pelabuhan Banten telah lenyap, menyisakan reruntuhan dari pusat kotanya, yang kini dikenal sebagai situs Banten Lama yang terletak di wilayah kota Serang ibukota Provinsi Banten, tempat yang masa Kesultanan Banten lebih dikenal sebagai daerah pesawahan yang dikembangkan a.l. oleh Sultan Abulmafakhir.

https://i.ytimg.com/vi/jLo8JR45s8w/maxresdefault.jpg

Situs Banten Lama (Sumber Google Earth)

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 25: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara44

Pengaruh Kehadiran Orang Eropa Pada Perkotaan

3

Perkotaan Kesultanan Islam di Maluku :Jailolo, Ternate dan Tidore

2.3.3

Kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Jailolo, tetapi kesultanan yang besar adalah Ternate dan Tidore. Ternate dan Tidore adalah kerajaan dan kemudian menjadi kesultanan di dua pulau kecil yang dibangun oleh pelarian dari Jailolo yang berada di pulau Halmahera. Sebelum kedatangan orang Eropa, Jailolo dan kemudian Ternate dan Tidore telah berdagang rempah, cengkih dan pala dengan orang Arab dan Tionghoa. Bahkan pedagang inilah yang memberitahukan sumber rempah yang sejak sebelum Masehi sudah merupakan barang dagangan berharga. Perdagangan rempah inilah yang menghadirkan dan membuat bertahan kerajaan Jailolo, Ternate dan Tidore. Selain itu oleh pergaulan pergaulan dalam perdagangan ini pula Ternate menjadi Kesultanan Islam sejak abad ke-13.

Cengkih dan pala di Maluku bukan hasil budidaya masal, tetapi hasil hutan atau tanaman pekarangan yang ditanam sebagai pengingat. Tidak ada pengerahan tenaga kerja untuk penanaman dan pemanenan seperti tanaman padi atau tembakau. Juga tidak memerlukan teknologi yang pelik seperti pengairan pada sawah, pengolahan pasca panen. Karena itu meski dapat dikumpulkan dalam jumlah besar tetapi, proses untuk menghasilkannya tidak mendorong terjadinya konsentrasi penduduk. Tidak deperlukan organisasi sosial untuk menanam atau memanen atau menyimpan karena bukan makanan pokok. Kemampuan untuk mengumpulkan rempah dan mencari hubungan dagang itulah yang menjadi sumber daya kesultanan. Penguasaan terhadap, wilayah pengumpulan rempah, perdagangan dan pelayaran adalah kunci keberhasilan Ternate dan Tidore.

Ternate dan Tidore kemudian bertikai karena Ternate telah menjadi kesultanan Islam sedang Tidore belum. Islam Ternate menguat tahun

1495 dengan belajarnya Sultan Ternate tentang agama Islam di Gresik Ternate berteman dengan Portugis dan Tidore dengan Spanyol. Ternate melakukan ekspansi pengumpulan komoditas ke arah Barat dan Selatan, sampai Sulawesi, Flores, Banda Seram yang kemudian disebut Uli Lima. Sedang Tidore ekspansi ke arah Timur, Halmahera sampai Papua Barat yang kemudian disebut Uli Siwa.

Oleh pertikaian yang terjadi, dan persaingan antar orang Eropa, Portugis dengan Spanyol dan kemudian ikut Belanda untuk mengambil keuntungan dari pertikaian itu. Oleh karena itu apa yang dibangun di Ternate dan Tidore adalah Benteng tentara atau benteng pengamatan laut. Meski Ternate lebih berhasil membangun kesultanannya, kotanya rawan lokasinya di kaki gunung berapi Gamalama. Meskipun di Ternate dan Tidore dibangun keraton, dan Masjid, tidak menunjukkan adanya pola keterkaitan keraton, alun, masjid, benteng. Diduga konsentrasi penduduk tidak cukup besar sehingga tidak diperlukan lapangan upacara yang besar.

https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Rosenberg/Moschee_auf_Ternate.jpg.jpg

Page 26: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara46 47

harga ditempat asalnya yaitu di Maluku. Oleh karena itu Portugis dan Spanyol berusaha untuk menemukan asal rempah tersebut. Pada waktu itu Portugis dan Spanyol adalah negara yang memiliki teknologi pelayaran yang paling maju di Eropa. Portugis dan Spanyol mengirim ekspedisi ke segenap penjuru dunia sehingga akhirnya menemukan Maluku. Juga dengan kebetulan menemukan benua Amerika. Kemudian Portugis memetakan dan mencatat dengan seksama ekspedisinya ke Maluku dan merahasiakan pengetahuan yang diperoleh dari pelaut Banten, untuk menjamin monopoli pelayaran ke Maluku.

Ternyata pengetahuan pelayaran Portugis bocor dan jatuh ke tangan pedagang dan penjelajah Belanda. Begitulah, sehingga Belanda mengikuti jejak Portugis dan bahkan memperkuat diri, dengan membentuk persekutuan dagang bersenjata yang disebut VOC. Persekutuan dagang ini berhasil mendepak Portugis hingga tersudut hanya di Timor. Sedangkan VOC berhasil bercokol wilayah Nusantara terutama di Jawa selama sekitar 200 tahun sampai akhirnya runtuh dan diambil pemerintah Belanda. Oleh karena itu dapat kita mengerti apabila VOC lah yang pertama-tama memberi pengaruh terhadap permukiman dan perkotaan di Nusantara.

Sesungguhnya VOC hanyalah persekutuan dagang, tetapi diberi hak istimewa (octrooi) oleh pemerintahan Belanda. Persekutuan dagang ini memonopoli pelayaran dan perdagangan, berhak membentuk angkatan perang, berhak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan berhak mencetak uang. Berdasarkan misi dan dengan menggunakan hak

oktroinya, VOC menguasai Nusantara yang dapat dikategorikan dalam tiga fase.• Fase membangun inti kekuatan dan pusatpengendalian di Jakarta dan pos menjagapengawas dan pengendali monopoli sumberrempah di Maluku. Kedua lokasi tersebut berjaraksekitar 2500 km dan dibutuhkan sekitar 1 bulanpelayaran. Di Jakarta dibangun segala fasilitasuntuk berkuasa sedang di Maluku dibangunbenteng sebagai sarana untuk bekerja sama ataumenaklukan penguasa lokal di Maluku. Jejakpengawasan dan pengendalian rempah ini dapatditemukan di Ternate, Tidore, Ambon dan yangdikuasasi VOC dengan ganas adalah Banda.• Fase kedua VOC mencoba memperkuatdiri dengan membangun pusat perdagangandan pelayaran internasionalnya. Pusat inidikembangkan di Surabaya, Semarang danMakassar. Oleh karena itu yang dipilih adalahkota di jalur pelayaran yang penting bagi kegiatandagang VOC• Fase ketiga VOC berusaha mengembangkankomoditas baru dan untuk tetap menjagakomoditas baru yaitu : beras, nila, kopi, VOCberusaha menguasai wilayah pedalaman.Untuk itu VOC mendukung pembangunan kotaSurakarta dan Yogyakarta.

Ketiga fase berlangsung selama 200 tahun dan tidak dapat dipilah secara tegas. Juga bukan kebijakan eksplisit antisipatif yang terdokumentasi, tetapi bisa dilakukan analisis setelah terjadi (ex-post analysis) dan karena itu juga terbuka untuk diskusi. Walaupun demikian jejaknya pada perkotaan dapat dikenali dalam bab sebagai berikut:

Dari Portugis Ke Belanda VOC3.1Orang Eropa yang pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara adalah orang Portugis. Dipandu pelaut Banten, sampailah kapal Portugis di Maluku dan mengumpulkan rempah sebagai barang dagangan utama di Eropa. Dari perdagangannya dengan orang Arab dan Tionghoa, orang Eropa terutama Portugis dan Spanyol mengetahui bahwa harga rempah di Eropa mencapai empat sampai lima kali lipat dari

Portugis dan Spayol adalah negara yang memiliki teknologi pelayaran

yang maju di Eropa, mereka mengirim ekspedisi ke segenap

penjuru dunia hingga akhirnya menemukan Maluku.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d9/Fleet_of_Cornelis_de_Houtman.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 27: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara48 49

Ambon. Portugis mendirikan benteng dan menggunakannnya selama 29 tahun, yaitu tahun 1575-1604, untuk kemudian diambil alih VOC. Tahun 1674 benteng hancur oleh gempa, meskipun kemudian dipulihkan tetapi tahun 1754 terlanda gempa kembali. Restorasi berikutnya baru diselasikan tahun 1780. Benteng ini menjadi pusat dan cikal bakal kota Ambon. Merupakan yang tertata karena pada zaman VOC, Ambon sudah dikelola oleh seorang Walikota Belanda, yang pada tahun 1817 menyerahkannya kepada pihak Inggris. Dikemudian hari Ambon menjadi kota paling besar jumlah penduduk dan luas wilayahnya karena pemerintah Hindia Belanda menjadikannya sebagai ibukota provinsi Maluku.

Ternate. Pulau gunung api ini adalah ibukota Kesultanan Ternate yang dengan bantuan orang Portugis membangun benteng Tolukko atau Santo Lucas tahun 1512. Terjadi pemberontakan rakyat yang merebut benteng tersebut dan kemudian direbut lagi oleh VOC untuk kemudian direnovasi tahun 1610. Selain itu pihak Portugis masih membangun beberapa benteng lagi di Ternate yaitu Kalamata, Kastela, Oranje, Kota Janji, Bebe, Kota Naka, dan Takome yang akhirnya semua direbut pihak Belanda. Mengapa Portugis memilih Ternate sebagai pusat pengedalian rempah di Maluku, dan tidak di Jailolo atau pulau lainnya, diduga karena kerjasamanya dengan Sultan Ternate. Selanjutnya VOC masih membangun benteng Oranye yang dikemudian hari menjadi elemen di pusat kota tetapi tidak dapat menjadi faktor pendorong pertumbuhan kota Ternate sendiri.

Tidore. Kesultanan Tidore beraliansi dengan Spanyol yang oleh Portugis dituduh melanggar perjanjian Tordesilas, perjanjian yang direstui Paus antara Portugis dan Spanyol tahun

Pusat Pengendalian Sumber Rempah3.2.2

1494 pasca ekspedisi Columbus. Perjajian itu menetapkan dimana masing-masing boleh melakukan kolonisasi dan imperialisasi. Aliansi Ternate Portugis pernah menyerbu Tidore yang beraliansi denga Spanyol tetapi tidak pernah berhasil mengambil sepenuhnya. Meskipun Spanyol membangun pelabuhan di Tidore, tetapi benteng Touhula, di Tidore dibangun oleh Portugis. Karena Spanyol kemudian menarik diri dari Tidore untuk berkonsentrasi ke Filipina. Karena itu benteng yang ditemukan di Tidore juga benteng Portugis, yang seperti halnya di Ternate kemudian dikuasai Belanda.

Banda. Banda dipilih Belanda sebagai pusat pengendalian monopoli cengkih. Pertengahan abad ke 17, terjadi perdagangan cengkih diluar kendali VOC yang menyebabkan harga cengkih di Eropa merosot tajam. Untuk mengatasi situasi tersebut VOC menetapkan kebijakan memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”, dan mengonsentrasikan tanaman cengkih di Banda. Tanaman cengkih diurus sendiri oleh Belanda dengan memusnahkan penduduk Banda atau menjadikannya budak. Dapat dikatakan bahwa pada masa itu telah terjadi genocida, pemusnahan orang Banda oleh Belanda. Kemudian pihak Belanda mendirikan benteng Belgica Nasau di Banda Neira yang di kemudian hari menjadi tempat pembuangan tokoh dan pejuang kebangsaan Indonesia sebagai suatu dusun kecil di pulau kecil.

Perkotaan di Nusa Tenggara. VOC juga membangun benteng di Flores, Timor dan Sumbawa tetapi lebih ditujukan untuk pengawasan teritorial. Karena komoditas yang diperoleh dari Nusa Tenggara hanya sebatas kayu cendana dan kayu sapan volumenya relatif kecil.

Jejak Perkotaan VOC Fase Pertama3.2

Jakarta, awalnya pada abad ke-8 merupakan pelabuhan kerajaan Sunda yang dinamakan Sunda Kalapa. Portugis yang sudah bercokol di Malaka sejak 1511, tahun 1522 diizinkan membangun benteng di Sunda Kelapa. Benteng ini tahun 1527 direbut oleh Faletehan dan diberi nama Jayakarta. Tahun 1611 VOC mulai membangun gedung di sekitar benteng dan 1619 sudah mengambil alih seluruh benteng dan sekitarnya. Selanjutnya VOC mulai membangun permukiman dan pusat administrasinya, yang merupakan embrio kota Batavia dan kemudian menjadi Jakarta.

Peta tahun 1632 menunjukkan bahwa alun-alun dan masjid telah ditiadakan, permukiman ditata terpadu dengan sistem pengelolaan air, mirip kota Leiden dan Amsterdam di Belanda yang dibagun abad 16-17 juga. Tahun 1696 VOC membangun gereja dan tahun 1710 membangun balai kota.

Permukiman yang dibangun bagi orang Belanda tersebut bukanlah permukiman bagi kehidupan normal. Hanya pergudangan, kantor dagang dan tangsi tentara. Karena orang Belanda yang datang

Kota Untuk MembangunPusat Kekuatan

3.2.1atas nama VOC tidak dibolehkan membawa keluarga dan karena itu tidak disediakan rumah keluarga. Ini berbeda dengan koloni Belanda, Inggris dan Scotlandia di Amerika yang memang berkoloni beserta keluarganya. Walaupun demikian untuk menjaga tertib kehidupan di koloni tersebut, tahun 1642 VOC menerbitkan “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Statuta ini diberlakukan hanya untuk ketertiban kehidupan di permukiman antar orang Belanda atau orang Eropa sendiri. VOC tidak mengendalikan pertumbuhan sekitar permukimannya. Sehingga berkembanglah permukiman yang tidak terkendali sekitar Batavia yang membuat lingkungan tidak sehat. Kehidupan orang Belanda sendiri menjadi tidak nyaman dan fasiltas kegiatan pusat kekuasaannya terhambat perkembangannya. Pasca VOC pusat pemerintahan ini kemudian dipindahkan ke sekitar kebon tebu yang dinamakan Oranye Plein (lapangan Banteng).

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/81/Ville_de_Batavia_c1780.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 28: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara50 51

Semarang semula merupakan sebuah desa kecil di pesisir yang pada tahun 1405 disinggahi laksmana Cheng Hoo, pemimpin armada Tiongkok yang menjelajahi Nusantara. Armada ini membangun masjid yang kemudian diubah menjadi klenteng Sam Poo Kong dan juga meninggalkan komunitas Tionghoa yang dikemudian hari kemudian menjadi andalan kekuatan Demak. Perkembangan kota tidak bertolak dari peninggalan Cheng Hoo tersebut, tetapi sultan Demak membangun masjid dan alun- alun di lokasi lain. Tahun 1547 oleh Kesultanan Pajang Semarang disahkan sebagai ibukota kadipaten. Kemudian pada tahun 1678 Amangkurat II Mataram, berjanji untuk menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai pembayaran hutangnya. Tahun 1705 Susuhunan Pakubuwono I kembali menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian janjinya karena VOC telah membantu merebut kembali Kartasura dari pemberontakan Sunan Kuning. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota VOC.

Kemudian VOC membangun pelabuhan pada lokasi yang lebih cocok dan membangun kantong (enclave) kota yang dikelilingi saluran air dan benteng. Di kantong kota ini dibangun gereja yang masih ada hingga saat ini dan berbagai kantor serta fasilitas bagi orang Belanda. Sedang alun-alun dan masjid yang dibangun Sultan Demak berada di luar benteng ini. Dengan demikian di Semarang terbentuk suatu pusat kota yang berintikan alun-alun serta masjid dan pusat kota yang berintikan benteng VOC.

Makassar adalah kesultanan Islam di Sulawesi yang merupakan penyatuan kerajaan agraris Gowa dan Talo beserta kerajaan agraris dan berubah menjadi kerajaan maritim yang berorientasi pada perdagangan internasional. Kesultanan Makassar atau penyatuan Gowa dan Talo tersebut berpusat di Somba Ompu dan mempunyai benteng Ujung Pandang. Kesultanan Gowa Talo mempunyai politik dagang yang terbuka yang membolehkan hadirnya perwakilan dagang Eropa dan Asia di Makassar. Oleh karena itu hadirlah perwakilan dagang: Belanda 1607, Inggris 1613, Spanyol 1615, Cina 1618 dan Denmark 161828. Liberalisasi perdagangan ini betentangan dengan monopoli VOC. Oleh karena itu berulangkali VOC mencoba menaklukkan Gowa Talo. Benteng Ujung Pandang yang dibangun sultan Gowa tahun 1545 yang merupakan simbol kekuasaan dan kekuatan Gowa Talo, dicoba direbut VOC sejak tahun 1615. Upaya itu baru berhasil tahun 1667 setelah bersekutu dengan Arung Palakka pemimpin kesultanan Bone menghancurkan Somba Ompu, memaksakan perjanjian bungaya yang memantapkan monopoli VOC, dan mengambil alih benteng Ujung Pandang. VOC kemudian merubah nama benteng Ujung Pandang menjadi For Rotterdam sebagai pusat kekuasaan dan pengendalian pelabuhan, juga tempat tinggal tentara dan pegawai VOC. Selanjutnya VOC menata kawasan di utaranya sebagai pusat perdagangan, di selatannya permukiman para bangsawan, perkembangan selanjutnya ke arah timur.

28 Edward L Poelinggomang (2002) MAKASSAR ABAD XIX, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Jejak Perkotaan VOC Fase Kedua3.3

Surabaya adalah kota pelabuhan dan ibukota kadipaten yang kuat, sehingga berani melawan kesultanan Mataram. Pelaut Portugis Tomé Pires mencatat bahwa 1513 penguasa Surabaya adalah seorang pemeluk Islam meskipun masih menjadi bawahan kerajaan Hindu-Budha, Majapahit. Pada masa itu Surabaya sudah menjadi pelabuhan dagang penting karena lokasinya di delta Sungai Brantas dan berada pada alur perdagangan antara Malaka dan Kepulauan Maluku melalui Laut Jawa. Surabaya juga menjadi pusat penyebaran agama dan pengembangan kebudayaan Islam.

Ketika Majapahit jatuh ditangan Demak penguasa Surabaya menolak kekuasaan Kesultanan Demak meskipun kemudian pada tahun 1530 tunduk dibawah kesultanan tersebut. Tidak lama kemudian yaitu tahun 1546, Surabaya melepaskan

diri lagi dari kekuasaan Demak, sampai Demak digantikan oleh Mataram. Pada masa kebebasannya itulah, kadipaten dibawah Adipati Surabaya membangun benteng pertahanan kota sepanjang sekitar 30 km dan beberapa titik pemasangan meriam untuk menahan serangan Mataram. Dengan demikian Surabaya adalah satu-satunya kota benteng di Nusantara. Benteng dan penempatan meriam itu masih terbaca pada peta Surabaya tahun 1866. Walaupun demikian serangan Mataram tidak dapat ditahan dan pada 1625 Surabaya takluk di bawah Mataram.

Mataram kemudian menyerahkan Surabaya kepada VOC sebagai kompensasi atas dukungan VOC kepada Amangkurat II dalam mempertahankan tahtanya. Kemudian VOC membangun benteng (Citadel) atau tangsi untuk menjaga dan menguasai pelabuhan. Selain itu VOC juga membangun permukiman hanya untuk pegawainya di kawasan dalam benteng yang menjadi inti kota Surabaya. Pusat pemerintahan kadipaten dan penyebaran agama Islam di Surabaya hanya mewariskan toponim dan makam, tetapi tidak membekaskan suatu struktur kota yang tertata. Adipati Surabaya tidak mewariskan alun-alun dan masjid sebagai fokal kekotaan seperti umumnya ibukota kesultanan Islam di Jawa.

Surabaya sudah menjadi pelabuhan dagang penting karena lokasinya di delta Sungai Brantas dan berada pada alur perdagangan antara Malaka dan Kepulauan Maluku melalui Laut Jawa.

http://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/mmedia/pust/1866/jiunkpe-ns-mmedia-1866-na00404395-24700-soerabaja_1866-resource1.jpg

http://commondatastorage.googleapis.com/static.panoramio.com/photos/original/60644232.jpga

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 29: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara52 53

mengonsolidasi diri untuk mengefektifk n sewa tanah, upeti dan pajak yang menjadi sumber daya yang diperlukan bagi pengembangan keraton dan kota Surakarta. Ahli pihak VOC mampu mempengaruhi terjadinya kombinasi nilai budaya mistis tradisonal dengan budaya fungsional kepentingan VOC. Pemilihan lokasi keraton Surakarta mempertimbangkan benteng VOC yang telah ada dan kemungkin mendirikan benteng baru. Karena sebelum dibangunnya keraton Kasunanan, telah ada benteng VOC di tepi bengawan Solo yang didirikan tahun 1672 dan dibangun kembali tahun 174330 . Bersamaan dengan dibangunnya puro Mangkunegaran tahun 1757, dibangun benteng Vastenburg yang penempatannya di ujung timur jalan yang kemudian menjadi akses utama Kota Surakarta. Keraton Kasunanan berada pada sumbu Selatan Utara dan Puro Mangkunegaran mengikuti sumbu Utara Selatan yang kemudian bertemu dengan akses utama yang berujung pada benteng Vastenburg. Keraton, puro dan benteng adalah elemen utama yang mengawali kehadiran kota Surakarta, yang penataannya selain mengikuti konsep mandala dan kaidah kosmis budaya mistis, juga untuk kepentingan VOC mengawasi pusat Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Elemen utama pusat kota kesultanan Islam yaitu : keraton, alun-alun dan masjid masih diterapkan dengan taat asas di kasunanan Surakarta, tetapi tidak cukup kuat di puro Mangkunegaran,

Yogyakarta, seperti halnya dengan Surakarta, keraton Yogyakarta yang diselesaikan 1757 juga mengikuti konsep mandala sumbu utara selatan. Keraton, alun- alun , masjid awalnya juga menjadi elemen utama pusat kota. Alun-alun Yogyakarta, seperti halnya dengan lapangan pada kota Majapahit dan juga alun-alun di kota kesultanan Islam lain seperti misalnya Demak dan Cirebon, merupakan elemen kota yang penting. Karena disitulah upacara keagamaan yang menggerakkan kehidupan masyarakat berlangsung. Apa yang membedakannya dengan Surakarta adalah bahwa Yogyakarta mempunyai sumbu dari keraton, alu-alun ke arah utara

sepanjang 2,5 km sampai suatu tugu. Sumbu inilah yang mengarahkan perkembangan kota, yang dimulai dengan hadirnya benteng VOC dan kemudian kediaman residen Belanda, pasar dan seterusnya.

Aceh. Dalam mengupayakan komoditas baru, VOC tetap berpegang pada misinya untuk me monopoli perdagangan dan pelayaran dan bukan sebagai kapitalis penanam modal. Oleh karena itu kesuburan tanah dan potensi alam lain tidak menjadi pertimbangan utama. Apa yang dilakukan menaklukkan penguasa lokal untuk memperoleh komoditas yang dihasilkan rakyat dengan kerja paksa dan serah paksa. Upaya menundukan Aceh karena menguasai Sumatera bagian barat yang menjadi pintu keluar perdagangan lada, kayu manis dan getah kamper.

Upaya ini tidak mudah karena di Aceh tidak ada pemegang kuasa tunggal, karena Sultan juga dikuasai oleh kepala Sagi Mukim. Aceh adalah suatu federasi atau distrik yang ditandai adanya satu masjid. Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Uleebalang atau seorang Imuem. Oleh karena itu menundukan Sultan dan menduduki ibukota Kesultanan tidak dengan sendirinya dapat meguasai Kesultanan Aceh. Perang Aceh yang berlarut-larut berlanjut setelah VOC bangkrut dan diambil alih pemerintah Hindia Belanda.

30 Bimo Hernowo (2015)Study on the Location of Surakarta´s Forts (1672, 1743, 1756, 1832), Architectural History, Department History and Art History, Utrecht University, Drift 6, 3512 BS Utrecht, the Netherlands

Jejak Perkotaan VOC Fase Ketiga

3.4

Pada fase ketiga kehadiran VOC ini terjadi perkembangan baru di dunia. HG. Wells menggambarkan kuartal ketiga abad ke 18, Eropa dalam kondisi tidak stabil. Eropa terpecah-pecah oleh dirinya sendiri, tidak ada ide politis dan keagamaan yang menyatukan.29 Pasar Eropa sedang bergerak menyingkirkan rempah-rempah sebagai primadona perdagangan. Oleh karena itulah VOC mulai mempertimbangkan pasar baru dan komoditas baru berupa hasil bumi dari Jawa berupa beras, kopi, gula dan nila, dari Sumatera berupa lada, kayu manis dan emas dan dari Kalimantan : lada.

Oleh karena itu VOC memperluas dan memperkuat cengkeramannya atas wilayah di Jawa yang merupakan penghasil hasil bumi sebagai komoditas penting bagi VOC. Pertikaian keluarga dan perpecahan wangsa Mataram dimanfaatkan VOC dengan mendukung pada salah satu pihak dan meminta kompensasi atas dukungan itu berupa hak atas suatu wilayah. VOC yang di wilayah asalnya kacau justru dengan cerdik memanfaatkan kekacauan Mataram. Berdasarkan negosiasi yang dilakukan di Giyanti tahun 1743, wewengkon Mataram dipecah-pecah. Sebagian besar wewengkon diambil alih VOC, kemudian pihak yang bertikai masing-

Pembentukan Kota Surakarta & Yogyakarta

3.4.1

masing diberi suatu jatah wewengkon (teritori). Masing-masing menjadi wewengkon Kasunanan Surakarta, kesultanan Yogyakarta dan kadipaten Mangkunegaran. VOC berhasil meredam pertikaian antar wangsa Mataram. Untuk itu VOC memperoleh konsesi penguasaan seluruh wilayah Mataram yang di kategorikan sebagai mancanegara. Wilayah yang penguasaannya dialihkan oleh Mataram ke VOC tersebut meliputi sebagian besar Pulau Jawa termasuk kota pelabuhan Surabaya dan Semarang. Walaupun demikian masa itu sesungguhnya merupakan fase awal kemerosotan VOC.

Surakarta. VOC membantu pembentukan kota Surakarta, dimulai dengan pemilihan lokasi, perancangan keraton dan sangat besar kemungkinannya juga ongkos pembangunan didukung VOC. Karena dengan pertikaian yang berkali-kali di hadapi, Mataram tidak sempat

29 H.G.Wells (1922: bab 53) A Short History of The World, terjemahan Saut Pasaribu SEJARAH DUNIA SINGKAT, Indoliterasi Yogyakarta

Sumber: http://www.okulous.com/tesko-da-cete-moci-da-zaboravite-ovih-15-fotografija/

https://anarkidiri.files.wordpress.com/2012/02/peta-jaman-belanda.jpg

Menelusuri Jejak Kota di NusantaraMenelusuri Jejak Kota di Nusantara

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 30: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara54

Perkotaan ZamanHindia Belanda:Dari Daendels Ke Liberalisasi Ekonomi

4Palembang. Kesultanan ini diproklamasikan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang keturunan Jawa pada tahun 1659, ketika VOC mulai bercokol di Batavia. Sultan Palembang menempati keraton yang disebut Kuto Lamo dan kemudian tahun 1780 membangun benteng Kuto Besak sebagai keraton baru. Pembangunan ini memerlukan waktu kurang lebih 17 tahun dan ditempati secara resmi pada tanggal 21 Februari 1797, tetapi 7 Oktober 1823 pemerintah penjajah Hindia Belanda menghapuskan Kesultanan ini.Padang. Ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511, ada pedagang Aceh mencari pangkalan perdagangan baru di pantai Barat Sumatera. Tahun 1664 VOC merebut Padang dan tahun1666 menjadikannya sebagai pangkalan militernya utamanya di pantai Barat Sumatera. Ini yang merupakan cikal bakal kota Padang, yang kemudian menjadi pangkalan untuk mengatasi perang Paderi.

Kemudian berkembang menjadi kota sejak adanya eksploitasi batubara di Ombilin yang menghadirkan jalur kereta api Padang, Padang Panjang, Sawahluntho dan pelabuhan Emma (Teluk Bayur).

Padang kemudian berkembang menjadi kota sejak adanya eksploitasi barubara di Ombilin yang menghadirkan jalurkereta api Padang.

Banjarmasin. Tahun 1526 merupakan Ibukota Kesultanan Banjar yang berada dibawah kesultanan Demak, VOC mulai datang di Banjarmasin tahun 1747. Meskipun Banjarmasin tercatat sebagai pangkalan perdagangan lada, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan wilayah buritannya. Komunikasi dengan Pulau Jawa lebih intensif daripada dengan buritannya. Kawasan yang berada pada lengkung Sungai Martapura, diperkirana merupakan kawasan pasang surut sungai tersebut, dan untuk mengeringkannya VOC mulai membuat sistem kanal. Sampai VOC dibubarkan dan kesultanan juga dihapuskan, sistem kanal belum dapat diselesaikan, tetapi pada sistem kanal itulah pemerintah Hindia Belanda membangun kota Banjarmasin.https://blogtrisno.files.wordpress.com/2016/03/2njj.jpg?w=712

http://1.bp.blogspot.com/-a5_VF5F4jfg/VURk7DaZcgI/AAAAAAAAAxc/OeLvni7fpK8/s1600/De_Onrust_bij_Lontontoeor.jpg

Page 31: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara56 57

Setiap individu seharusnya bebas memiliki sum-ber-sumber daya produksinya sendiri. Setiap in-dividu harus terdorong untuk berpartisipasi me-majukan perekonomian. Dengan demikian akan timbul persaingan dan semangat untuk maju dari masya-rakat. Dengan situasi terse-but diharapkan dapat dihasilkan barang-ba-rang bermutu tinggi, karena adanya persain-gan semangat antar masyarakat. Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan bagi masing-masing usaha. Dengan demikian pemerintah jajahan Belanda tidak harus memaksakan jenis barang produksi dan memaksakan pengumpulannya. Digambar-kan oleh para liberalis bahwa pemerintah jajahan akan memperoleh pendapatan melalui perpaja-kan, dan tidak karena meminta setoran langsung atas usaha dan jenis komoditi yang ditetapkan, seperti yang dilakukan VOC.

Cita-cita yang dibawakan kaum liberalis juga makin mendalam merasuki dunia politik. Wa-laupun demikian gagasan progresif para liberalis mendapat perlawanan dari para konservatif yang tidak ingin melakukan perubahan. Kebimbangan di negeri Belanda ini berlarut larut yang menum-buhkan keraguan dalam penyelenggaraan Hin-dia Belanda sebagai negeri jajahannya. Politik kolonial Belanda diliputi kebimbangan, karena

berada diantara dua pilihan kebijakan. Apakah sistem VOC yaitu monopoli dan dagang paksa akan dilanjutkan atau akan dikembangkan sis-tem baru yang berbasis ekonomi liberal. Belum

dapat ditetapkannya kebijakan tersebut ada-lah juga karena posisi negeri lemah, tidak berdaya dan bisa ber-prakarsa dibawah pen-gawasan Perancis Na-poleon. Kelemahan ini menjadi peluang bagi kerajaan Inggris untuk memperluas jajahan-

nya. Apalagi pada masa itu perekonomian dan militer terutama angkatan laut Inggris, berada dalam kondisi kuat-kuatnya. Tahun 1811, Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, melalui beber-apa pertempuran di Jawa dan gubernur jendral pengganti Daendels yaitu Jan Willem Janssens di-tangkap. Pemerintahan Inggris berkuasa selama 5 tahun dan kemudian melalui suatu negosisiasi pada tahun 1816 diserahkan kembali ke Belanda

Dalam jangka 1795 sampai dengan 1816, ada dua pemimpin penjajahan yang kebijakannya mem-bekas pada wilayah dan perkotaan di Hindia Belanda, bahkan ketika Hindia Belanda sampai menjadi negara Indonesia yang merdeka. Mereka adalah Herman Willem Daendels, gubernur jendral Hindia Belanda dibawah bayang-bayang Napoleon dan Thomas Stamford Raffle Letnan Gubernur yang berkuasa dibawah naungan ker-ajaan Inggris.

Selama hampir 200 tahun, VOC telah menjalanan praktek

dagang dengan monopoli dan pemaksaan dengan

menggunakan kekuatan politik dan militer.

Kebangkrutan VOC4.1Setelah selama hampir 200 tahun bercokol di Nusantara, pada tahun 1795, VOC resmi dibubarkan dengan meninggalkan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Selama itu VOC telah menjalankan praktek dagang dengan monopoli dan pemaksaan dengan menggunakan kekuatan politik dan militer. Faktor penyebab kebangkrutan yang dianggap lebih penting adalah karena kelemahan VOC sendiri yaitu: (1) Ketidak cakapan dan korupsi yang dilakukan penjabat VOC, (2) Modal yang terkuras karena selalu harus memadamkan perlawanan masyarakat dan kerajaan di Nusantara (3) Perubahan permintaan komoditi yang diperdagangkan yang semula diambil dari tanaman alam seperti cengkeh dan pala, ke komoditi yang harus dibudidayakan seperti nila, kopi, tembakau dan teh. Pembudidayaan komoditi ini produktivitasnya rendah karena dilakukan oleh petani yang harus menanggung penderitaan. (4) VOC tidak mengatur budidaya pertanian dalam kaitannya dengan hak atas tanah (5) VOC tidak pernah menyiapkan prasarana yang memadai untuk mendorong produksi dan produktivitas. (6) Tidak mampu bersaing dengan Inggris.

Pemerintah Belanda sendiri mengalami kesulitan untuk menjaga hak monopoli dan hak memaksa VOC. Ini karena ketidak mampuan Pemerin-tah Belanda waktu itu untuk berdaptasi dengan dampak revolusi Perancis, revolusi industri di Inggris dan juga revolusi Amerika. Ketika VOC ambruk dan pengendalian Hindia Belanda diam-bil alih oleh pemerintahnya, di negeri Belanda sendiri sedang dalam kondisi kebimbangan. Telah muncul cita-cita liberal yang mendesak adanya perubahan politik penjajahan. Muncul langkah politik yang mengusulkan agar sistem perdagangan yang monopolistis disertai pemak-saan, diubah menjadi kebebasan usaha, kese-jahteraan umum dan perpajakan. Gagasan ini, selain dipengaruhi semboyan revolusi Perancis: libertê, egalitê, fraternitê (kebebasan, kesamaan, persaudaraan), juga dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith tentang Kemakmuran Negara (Wealth of Nations) yang diterbitkan tahun 1776. Para liberalis percaya bahwa kebebasan masyar-akat jajahan akan menumbuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonominya sendiri. Karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari pemerintah.

https://nusantara.news/wp-content/uploads/2017/04/Kapal-Belanda-Saat-Memasuki-Banten.jpg

https://i.ytimg.com/vi/hFnzBojs_Sc/maxresdefault.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 32: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara58 59

Jalan Raya Posdan Dampaknya

4.3Jalan raya pos ini dimulai dari Anyer, menyusuri pesisir utara sampai Batavia (Jakarta), Meester Cornelis (Jatinegara), di belokan ke selatan ke pedalaman, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang untuk kemudian menuju Cirebon. Selanjunya dari Cirebon kembali menyusuri kota pesisir utara Jawa : Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Rembang, Lasem, Tuban, Gresik, Pasuruan, Probolinggo sampai Panarukan

Apakah jalan raya pos ini dibangun hanya untuk tujuan pertahanan, atau juga untuk pengembangan wilayah, tidak diperoleh cukup keterangan. Ada beberapa dugaan mengapa jalan raya tersebut dibelokan ke selatan setelah Mester Cornelis dan bukannya langsung ke Karawang-Cikampek. Dugaan pertama: jalan raya itu merupakan jalur pengamanan sekiranya benteng di Meester Cornelis gagal menahan serangan Inggris. Dugaan kedua para bupati di pedalaman menawarkan kerjasama dengan menyediakan tenaga kerja untuk pembuatan jalan tersebut. Dugaan ketiga untuk pengembangan wilayah, terutama untuk membuka perkebunan. Berdasarkan kenyataan yang terjadi dugaan tersebut tampaknya bisa dibenarkan.

Jalur jalan raya pos Jawa bagian barat, yaitu jalur Anyer Cirebon jelas menimbukan efek sebagai berikut:

1. Dipindahkannya ibukota kabupaten Bantenke Serang,

2. Dipastikannya Bogor sebagai peristirahatanGubernur Jendral dengan di renovasinyaistana Bogor.

3. Dipindahkannya ibukota kabupaten Bandungdari pinggir sungai Citarum ke tepi jalanraya pos yang di kemudian hari berkembangmenjadi kota besar.

Sedangkan jalur jalan mulai dari Cirebon sampai Panarukan tidak tampak menunjukkan dampak yang berarti. Mungkin karena jalan raya Daendeles bukan jalur baru, tetapi hanya melebarkan jalur yang sudah disiapkan Mataram. Jalur jalan tersebut memang disiapkan Mataram ketika menyerang Batavia dan ketika Mataram mencoba menguasai wilayah Timur. Bahkan diduga jalan Daendels memusnahkan keraton Demak dan pusat pertahanan Untung Suropati di Pasuruan.

Jalur Jalan Raya Pos: Daendels

Dampak Kebijakan Herman Willem Daendels pada Perkotaan

4.2

Bagi pulau Jawa, kebijakan Daendels sangat membekas. Ada yang berpendapat Daendels adalah seorang revolusioner yang mendukung perubahan menuju situasi liberal. Ia bercita-cita memperbaiki nasib rakyat dengan memajukan pertanian dan perdagangan31. Sebaliknya ada yang berpendapat Daendels adalah Gubernur Jendral paling kejam sepanjang pemerintahan penjajahan. Pendapat ini bisa dimengerti, karena bagaimana mungkin jalan sepanjang 1000 km dapat diselesaikan dalam jangka satu tahun (1809-1810). Meskipun jalan itu hanya tanah tetapi pasti menghadap banyak masalah teknis karena harus menerobos hutan, bukit dan lembah. Dapat dipastikan ada unsur pemaksaan dan kerja rodi dalam membangun jalan tersebut. Adanya jalan raya pos tersebut menyebabkan kecepatan angkutan meningkat, dari angkutan kuda individual menjadi kereta kuda, dari kecepatan 6-10 km perjam menjadi 18 - 20 km per jam. Jalan raya pos inilah yang berdampak langsung atau tidak langsung pada perkotaan di P.Jawa. Jejak Daendels yang sangat nyata adalahrencananya dan langkah awalnya merubah wajahBatavia dengan membangun pusat kota danpusat pemerintahan baru. Rencana ini akhirnyamenjadi kenyataan karena diikuti oleh pemerintahHindia Belanda selanjutnya. Daendels jugamembangun pangkalan angkatan laut di ujungkulon dan pabrik senjata di Semarang, tetapitidak menimbulkan jejak yang berarti.

31 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1990) SEJARAH NASIONAL buku ke V, Balai Pustaka, Jakarta

https://en.wikipedia.org/wiki/Herman_Willem_Daendels#/media/File:Posthumous_Portrait_of_Herman_Willem_Daendels,_Governor-General_of_the_Dutch_East_Indies_-_Rd_Saleh.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 33: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara60 61

Pengganti Daendels dan Era Raffles Britania Raya

4.5

Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens yang hanya menduduki jabatannya selama 5 bulan untuk kemudian ditangkap Inggris di Tuntang Semarang. Segala persiapan untuk menghadang masuknya Inggris atau Britania Raya ke Pulau Jawa ternyata gagal. Jalan raya pos, pembentukan tentara berbasis masyarakat lokal, pabrik senjata, pangkalan angkatan laut tidak mampu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris.

Sejak tahun 1811 tersebut Hindia Belanda dalam kendali Britania Raya yang menunjuk Thomas Stamford Raffle seb agai Let nan Gubernur Britania Raya dibawah Lord Minto yang berkedudukan di Indi. Raffle adalah intelektual, humanis yang mempunyai naluri kenegaraan yang jitu. Sewaktu Raffle me njabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan banyak hal, yang mana antara lain mengintroduksi otonomi terbatas. Dia menata pemerintahan Pulau Jawa menjadi 18 keresidenan dan mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan model Barat. Sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964. Perdagangan budak dihapus, sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda direformasi, menyelidiki fl ra dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan,Sastra Jawaserta banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencarian Raffle akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar sendiri Bahasa Melayu. Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java. Raffles memang tidak memberikan jejak fisik, kecuali menjadikan istana Bogor sebagai istananya.

Raffle tidak mencacah jumlah orang Eropa dan hanya mencacah orang pribumi dan orang Tionghoa. Orang pribumi perlu dicacah untuk keperluan persewaan dan perpajakan, sedang orang Tionghoa dicacah karena pada sejak masa VOC dapat dimanfaatkan sebagai perantara perdagangan dan pemungut pajak atau sewa, tetapi disisi lain juga memendam kekuatan untuk berontak. Hasil sensus Raffle tersebut, walaupun diragukan keakuratannya terutama untuk wilayah Priangan yang tidak mudah diakses oleh kondisi alamnya, tetapi telah memberi gambaran bahwa penduduk Pulau Jawa belum hadir perkotaan baru, masih merupakan kelanjutan perkotaan zaman kerajaan atau kesultanan dan pusat kegiatan VOC.

Tahun 1815, atau sekitar 7 tahun hadirnya jalan raya pos belum memberi efek yang berarti pada perkembangan perkotaan. Antara lain Bandung belum hadir walaupun Daendels berpesan agar ditumbuhkan menjadi kota. Di Sumedang, baru tahun 1850 didirikan gedung Bengkok yang sekarang disebut gedung Negara yang merupakan awal kehadiran kota. Cianjur ditandai berkembang menjadi kota dengan kehadiran permukiman Pecinan dan tempat tinggal orang Eropa sebagai pengawas kebun kopi. Walaupun demikian Pecinan itu kurang berarti karena sensus Raffle hanya mencatat 180 orang Tionghoa untuk seluruh Priangan.

Berdasarkan sensus Raffle tersebut Jan Wissemenn Christie menulis artikel tentang kependudukan di Jawa dengan judul: Negara Tanpa Kota (State Without City): kecenderungan kependudukan di masa lalu Jawa33. Wissemen menganalisis hasil sensus tersebut dan

33 Jan Wisseman Christie (1991) States Without Cities: Demographic trends in Early Java, Journal Indonesia, Volume 52, Oktober 1991, Universitas Cornell

Merubah Wajah Batavia4.4Daendels berniat merubah wajah kota Batavia secara drastis. Direncanakan olehnya untuk membangun pusat pemerintahan dan pusat kota Batavia baru di kawasan yang disebut Waterlooplein (sekarang lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang lapangan Merdeka). Daendels juga membangun pusat pertahanan di Meester Cornelis (sekarang Jati Negara).32 Pemindahan itu dimulai dengan membangun istananya tetapi tidak terselesaikan, karena beteng pertahanan, rumah sakit tentara, dan pusat pendidikan tentara lebih diprioritaskan sesuai dengan misinya. Meskipun demikian rencana Daendels dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda selanjutnya.

Pada masa itu pula mulai hadir Pasar Baru, Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang sebagai suatu relung kota. Kehadiran pasar ini tidak didasarkan kebijakan atau rencana, tetapi awalnya adalah oleh naluri pedagang penduduk asli. Karena itu

pasar tersebut dapat disebut suatu relung (niche) yang muncul oleh naluri biologis pedagang sejak zaman VOC. Setelah Daendels mencoba memindahkan Batavia ke Lapangan Banteng, Pasar Baru mulai menjadi toko deretan toko. Sekitar tahun 1870an mulai hadir pertokoan orang Tionghoa dan India, yang menjual barang dan busana bagi masyarakat papan atas. Sehingga pada awal abad ke 20 Pasar Baru lebih dikenal sebagai jalan pertokoan (shopping street) yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat papan di Batavia. Apalagi dalam pada tahun 1914 didirikan gedung kesenian di salah satu ujung jalannya.

Pasar Baru, Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang memang hadir sebagai suatu pasar, sebagai suatu relung yang tidak direncanakan, tetapi kemudian berkembang dan malah menjadi pertokoan dan pusat pebelanjaan dipicu oleh Daendels.

32 Abdurachman Surjomihardjo(1977) Pemekaran Jakarta, Jambatan Jakarta

https://i.pinimg.com/originals/ed/4f/84/ed4f8414bd23a2bf95ee2db14c0f1fe1.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 34: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara62 6335 Thomas Stamford Raffles (Reprint 1978) The History of Java, Oxford University Press

Perang Jawa dan Perang Lainnya

4.6

Ketika menerima kembali wilayah Hindia Belanda dari tangan Britania Raya, rakyat wilayah ini yang sebagian besar petani pada umumnya dalam keadaan menderita. Penderitaan ini disebabkan karena para petani tidak mempunyai kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan usaha sendiri. Berdasarkan asas monopolinya VOC menerapkan kerja paksa dan serah paksa terutama di Jawa untuk mendapatkan komoditi unggulan pengganti rempah. Sistem yang mengeksploitasi petani, terdukung oleh sistem feodal yang ada. Meskipun pemerintahan pengganti VOC mencoba menghapus sistem kerja paksa dan serah paksa, tetapi tidak segera dapat merubah keadaan para petani masih terkungkung penderitaan yang diindikasikan dari terjadi kelaparan masal di Grobogan.

Untuk menerima kembali wilayah jajahannya Indonesia dari Inggris, Belanda membentuk Komisi Jenderal, yang beranggotakan Cornelius Theodore Elout, A. A. Buyskes dan Baron van der Capellen. Komisi Jenderal itu juga mempunyai kewajiban- kewajiban yang lain, selain menerima penyerahan kembali wilayah Indonesai dari Inggris, yaitu a) menyusun pemerintahan baru; b) mengusahakan ketenteraman dan perbaikan nasib penduduk Indonesia, misalnya penduduk harus dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang, perdagangan dan pertanian (penanaman) harus bebas, kecuali tanaman kopi, rempah-rempah dan candu; c) menyusun angkatan darat dan laut; dan d) menyusun peraturan-peraturan sebagai pedoman pemerintahan yang disusun Komisi jendral tersebut benar-benar bersifat liberal, yaitu:

34 Jan Wisseman Christie (1991) States Without Cites: Demographic trends in Early Java , Journal Indonesia , Volume 52, Oktotober 1991 , Universitas Cornell

a. Melanjutkan dan menyempurnakan pajaktanah yang dibuat oleh Raffle agar peraturan-peraturan yang bersifat sewenang-wenangtidak terjadi lagi.

b.

c.

Pajak kepala tidak dipungut secara perorangan tetapi dibayar oleh desa. Cara ini menyimpang dari tujuan, namun merupakan pendekatan yang lebih realistis. Namun sistem ini bisa mengurangi banyaknya petugas, serta mengatasi kesulitan tanah tanah yang belum diukur secara rinci. Dan besarnya pajak harus disetujui oleh kerajaan dan desa yang bersangkutan.

Rakyat tidak boleh disuruh kerja paksa. Orang-orang yang bekerja harus dibayar sesuai dengan bidang garapnya. Tetapi penanaman wajib bagi tanaman-tanaman tertentu diteruskan guna mendapatkan devisa negara, misalnya kopi di Priangan. Pengawasan tanaman model pelayaran Hongi di Maluku, dihapuskan.

d.

e.

Penambahan pegawai dilakukan, pegawai yang buruk dipecat. Pegawai pribumi diperlakukan dengan hormat, dan digaji dengan uang (bukan tanah atau memeras rakyat).

Sistem pemerintahan tidak langsung dihidupkan kembali, pengadilan dibentuk, dengan sistem dua lapis. Perkara yang menyangkut orang Eropa dan pribumi hendaklah diadili dalam pengadilan yang berbeda, dan dipimpin oleh hakim bukan juri. Pemerintahan bersifat dualistis f. Pembaruan Raffle yang menghormati hakasasi manusia dan penghapusan perbudakan diteruskan dan diabadikan.

berkesimpulan bahwa di Jawa hanya ada 5 kota yag berpenduduk lebih dari 20.000 dan itu hanya 3% penduduk Jawa. Diperkirakan bahwa 90% penduduk Jawa tinggal dalam permukiman yang konsentrasi penduduknya kurang dari 5000 orang. Raffl 34 menaksir bahwa Surakarta tahun 1815 berpenduduk lebih dari 100.000 tetapi hanya terkesan sebagai gabungan kampung dan bukan sebuah kota. Dengan demikian Jalan Raya Daendels belum mempunyai efek yang signifikan terhadap perkembangan perkotaan.

Tahun 1816 Raffle kembali ke Inggris , tetapi tahun 1818 kembali menjadi Gubernur Jendral di Bengkulu. Justru di Bengkulu ini Rafflemembangun benteng Inggris terbesar kedua di Asia Pasifik, setelah benteng di India. Selain

membangun benteng untuk kepentingan penjajahan Inggris, Raffle melakukan penelitian fl ra dan fauna dengan menyusuri hutan di pedalaman Sumatera. Walaupun demikian akhirnya Raffle mendesak pemerintah Inggris untuk menukar wilayah ini dengan sebuah pulau kecil di ujung semenanjung tahun 1824, melalui perjanjian antara kerajaan Inggris dan Belanda, Bengkulu yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam, ditukar dengan sebuah pulau kecil yang disebut Singapura. Naluri Raffle untuk menukar lokasi strategis dengan kekayaan alam ternyata jitu. Singapura terbukti berkembang menjadi pusat perdagangan dan akhirnya mampu menjadi negara, sekalipun tidak mempunyai kekayaan alam apapun.

Wilayah Luas mil persegi

Jumlah Penduduk

Penduduk/ mil persegi

Golongan pendudukKeterangan

Pribumi Tionghoa

Banten 3.428 231.604 671 230.976 628Jawa Barat dibawah

kekuasaan Britania Raya

Batavia dan sekitar2.411

332.015169

279.021 52.394

Bogor 76.312 73.679 2.633

Regensi Priangan 10.002 243.628 24 243.268 180

Cirebon 1.334 216.001 162 213.638 2.343

Tegal 1.297 178.415 137 175.466 2.004

Jawa Tengah dibawah

kekuasaan Britania Raya

Pekalongan 607 115.442 190 113.396 2.046

Semarang 1.166 327,610 281 305.910 1.700

Kedu 896 197.310 258 196.171 1.139

Grobogan dan Jipang 1.219 66.522 54 66.109 405

Jepara dan Juwana 1.025 103.290 100 101.000 2.290

Rembang 1.400 158.530 113 154.639 3.891

Gresik 778 115.442 148 115.078 364 Jawa Timur dibawah

kekuasaan Britania Raya

Surabaya 1.218 154.512 126 152.025 2.047

Pasuruan 1.952 108.812 58 107.739 1.076

Banyuwangi 1.274 8.873 7 8.554 3.19

Surakarta11.313

972.727147

970.202 2.435 Kasunanan dan KesultananYogyakarta 685.207 683.005 2.902

Bangkalan Pamekasan 892 95.235 106 90.848 4.305Madura

Sumenep 1.738 123.424 146 114.896 8.528

34 Thomas Stamford Raffles (Reprint 1978) The History of Java, Oxford University Press35 Idem

Jumlah Penduduk Masing-Masing Golongan di Pulau Jawa Tahun 181535

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 35: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara 65

dibanding dengan perang Aceh dan Tapanuli, tetapi dampaknya bagi pemerintah jajahan dan bagi rakyat yang paling besar. Sekitar 200.000 orang Jawa dan 7000 orang Eropa terbunuh. Oleh karena itulah sejarawan Peter Carey36 menganggap selesainya perang Jawa sebagai awal penjajahan yang sebenarnya. Pasca perang

Jawa kemudian masih terjadi perang lainnya seperti yang tergambarkan pada peta. Seperti yang telah terjadi pada abad sebelumnya tersebut peperangan mendorong dibangunnya benteng yang kemudian menjadi embrio kota seperti yang terjadi Bukittinggi, Ambon dan Banjarmasin.

Pengeluaran besar untuk memadamkan perang Jawa dan perang lain yang timbul kemudian, menyebabkan pemerintah Belanda memilih kebijakan pragmatis untuk segera memulihkan keuangannya. Semula pemerintah negeri Belanda berada dalam kebimbangan dalam merumuskan kebijakan penjajahan. Di satu sisi kaum liberalis menginginkan dihapuskannya monopoli, sedangkan di sisi lain kelompok koservatif ingin mempertahankan seperti apa yang dilakukan VOC. Akhirnya kepentingan untuk memulihkan keuangan Belanda yang memburuk menjadi dasar untuk menentukan kebijakan. Lahirlah kemudian sistem tanam paksa.

Pemerintahan Raffles esungguhnya mewariskan sistem sewa tanah yang menurut anggapannya potensial untuk meningkatkan pendapatan penjajah. Dari penyandingan laporan pendapatan pemerintahan penjajah diperoleh gambaran total pendapatan zaman Daendels tahun 1810 adalah 3.554.557 jawa rupee, pendapatan yang tertinggi diperoleh aneka pertanian sebesar: 558. 200 jawa rupee dan opium sebesar 549.005jawa rupee. Sedang ada zaman Raffle diperolehgambaran total pendapatan 7.520.980 jawa rupee,pendapatan tertinggi dari penyewaan tanahsebesar 2.473.328 jawa rupee dan dari opiumsebesar 1.090.398 jawa rupee.

Tanam Paksa4.7

Peta Lokasi Peperangan

33 Peter Carey (2001) Asal Usul Perang Jawa, LKIS Yogyakarta

Undang-undang yang mempunyai roh liberalisasi ini (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) yang dibuat oleh Komisi Jenderal tersebut disahkan pada tahun 1819. Dan dengan ditunjuknya Gourdet A. Baron van der Capellen salah satu anggota Komisi Jenderal, sebagai Gubernur Jenderal yang baru, di atas kertas tak akan ada lagi pemerintahan yang kejam yang menindas rakyat dengan berbagai macam kewajiban yang memberatkan. Namun ternyata tindakan van der Capellen (1819-1825) menyimpang jauh dari semangat undang undang yang dibuatnya sendiri. Sama dengan pendahulunya, van der Capellen, melihat bahwa tugas yang paling penting adalah mengumpulkan uang untuk menjalankan pemerintahan yang baru itu. Dana ini tidak akan terkumpul bilamana UU tahun 1819 yang bersemangat liberal tersebut. dilaksanakan. Akhirnya van der Capellen hanya melaksanakan aturan-aturan yang menguntungkan pemerintah, dan tetap menjalankan aturan lama. Karena itu, banyak kritik terhadap van der Capellen, dan dia dinilai sebagai Gubernur Jenderal yang reaksioner.

Gubernur Vander Capellen pada tahun 1816 mengambil alih kekuasan Banten, yang waktu itu dipegang Sultan Muhammad Rafiudin. Wilayah Banten kemudian dibagi menjadi tiga bagian/negeri yaitu Serang, Lebak dan Caringin dengan kepala negerinya disebut Regent (Bupati).

Peraturan yang dibuat oleh van der Capellen tahun 1821 dan 1823 yang dimaksudkannya untuk membantu atau melindungi orang Indonesia, malahan menuai kemarahan orang Eropa termasuk orang Belanda. Peraturan tahun 1821 tersebut melarang segala bentuk perdagangan Eropa di daerah kopi (Priangan), kecuali dengan izin khusus. Maksudnya agar orang-orang Indonesia agar tidak tertipu oleh para pedagang Eropa agar penghasilan Belanda meningkat. Sedangkan peraturan tahun 1823, orang-orang Eropa dilarang menyewa tanah rakyat. Orangorang Eropa (terutama Belanda) banyak yang sudah membayar uang muka yang besar,

Yogyakarta terjadi pertikaian hak atas tahta, yang meruncing. Diponegoro yang menjadi wali sultan yang belum cukup umur sesungghunya tidak berkehendak menaiki tahta kesultanan. Pangeran yang menjadi wali Sultan ini memberontak terhadap pemerintah Hindi Belanda, yang dianggap semena-mena menggunakan kekuasaanya dengan begitu saja menggunakan tanah yang menjadi hak Pangeran Diponegoro. Perlawanan Pangeran Diponegoro atas pelanggaran hak itu meluas karena dukungan rakyat dan menjadi perang sosial ekonomi. Perlawanan Diponegoro dan pengikutnya menjadi perjuangan rakyat yang menderita. Peperangan yang berlangsung antara tahun 1825-1830, memang bukan perang yang panjang

terutama yang menyewa tanah di Surakarta dan Yogyakarta, ketika peraturan tersebut diberlakukan. Orang Eropa ini tak dapatmemperole kembali uang mukanya, karena sudah habis dibelanjakan oleh orang-orang pribumi. Akibatnya tak hanya orang Eropa yang marah, tapi juga orang-orang pribumi, terutama para pegaeai dan peladang, merasa kecewa terhadap pemerintah Belanda.

Masa pemerintahan van der Capellen ini mengakibatkan anggaran belanja selalu mengalami defisit. Sementara di Indonesia terus berlangsung peperangan, sehingga Raja Belanda pun mengecam keras van der Capellen. Koloni harus dapat mencukupi keperluannya sendiri karena itu pemerintahan van der Capellen tidak dapat dipertahankan.Sementara ini di lingkungan Kesultanan

Dengan ditunjuknya Gourdet A. Baron van der Capellensebagai Gubernur Jenderal,diatas kertas tidak akan adalagi pemerinta-han yangkejam yang menindas rakyatdengan kewajiban yangmemberatkan

64 Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 36: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara66 67

tanam paksa tidak dimulai dari membuka hutan tetapi pada budidaya yang sudah ada sejak 100 tahun sebelumnya. Karena itu tanaman paksa diterapkan pada wilayah konsentrasi penduduk disertai kehadiran penguasa setempat yaitu: di Banten, sekitar Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), Priangan (Cijanjur, Sumedang , Dayeuh Kolot atau Bandung), Cirebon, Kedu, Besuki terutama untuk tanam paksa kopi. Di Tegal Pekalongan, Demak, Jepara, Tuban, Madiun, Kediri, Jatiroto terutama untuk tebu. Dengan demikian di berbagai kota tersebut hadir gudang dan kantor pengawas tanam paksa selain pusat kekuasaan lokal.

Sistem tanam paksa dicoba diterapkan di Sumatera Barat, tetapi tidak semulus apa yang telah dilakukan di Pulau Jawa. Karena Belanda ketika berniat menerapkan Tanam Paksa tahun 1833, di Sumatera di wilayah Minangkabau

sedang terjadi perang Paderi yang baru berakhir tahun 1837. Sedangkan masa sebelumnya, kehadiran VOC di wilayah ini ini tidak seintensif dan seekstensif di Pulau Jawa. VOC hanya berada di kantong-kantong lada, emas dan kemudian kopi di pesisir Sumatera Barat. Pengetahuan tentang adanya kopi yang diperdagangkan itulah mendorong pemerintahan penjajah untuk juga menerapkan sistem tanam paksa, tetapi terbentur pada struktur sosial, tenaga kerja dan kepemilikan tanah. Setelah berhasil melemahkan posisi pemuka kampung, barulah produktivitas kopi melalui tanam paksa meningkat. Itupun tidak pernah ajeg, selama berlangsungnya tanam paksa, produksi naik turun, dan puncaknya hanya terjadi tahun 1867 -187138, ketika tanam paksa di Jawa mulai dihentikan. Pengaruh tanam paksa pada perkotaan di Sumatera Barat tidak berarti, karena jenis, volume dan pengelolaan komoditas tidak terlalu besar.

Regering Reglement dan Liberalisasi

4.8

Setelah selama sekitar 20 tahun dilaksanakan, sistem tanam paksa mulai memasuki arena politik penjajahan di negara Belanda sendiri. Peningkatan produksi komoditi untuk pasar Eropa, yang dilakukan tanpa modal, tanpa pengetahuan dan hanya mengandalkan tenaga kerja gratis karena pemaksaan, dipandang tidak akan mampu memenuhi lonjakan permintaan dan persaingan di pasaran Eropa. Di sisi lain dilaporkan dan diberitakan tentang penderitaan dan bahkan terjadinya kelaparan di Jawa (Cirebon 1843, Demak 1848, Grobogan 1849-1950). Bencana kelaparan ini terutama terjadi wilayah tanam paksa tebu. Intinya peningkatan hasil dari tanam paksa bukan produk manajemen yang baik, tetapi karena mengeksploitasi rakyat jajahan.

Tahun 1848, atas tekanan para liberalis Belanda merubah Undang-Undang Dasarnya, menuju negara monarki parlementer dengan sistem ekonomi liberal yang memberi peluang lebih besar kepada swasta untuk berusaha di negeri jajahan. Undang-undang ini juga memberi peluang kapada parlemen untuk terlibat lebih jauh dalam urusan penjajahan. Peluang ini antara lain dimanfaatkan seorang anggota parlemen dari fraksi liberalis yang mempertanyakan: nilai yang diterapkan pada tanam paksa, kesesuaian sistem tanam paksa dengan maksudnya, perubahan apa yang perlu dilakukan segera39. Sebagai tindak lanjut reformasi itu kemudian tahun 1854 ditetapkan UU yang mengatur pemerintahan Hindia yang dikenal Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan

38 Kenenneth Young: Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat dalam Anne Booth et al editor (1986) Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES , Jakarta39 Parliamentary speech 8 September 1851, dalam WR. van Hoevel dalam Chr.L.M. Penders (1977) INDONESIA; Selected Documents on

Nationalism 1830-1942, University of Queensland Press, Brisbane

Raffle mencoba memodernisasi cara penjajah memperoleh pendapatan. Sistem kerja paksa pertanian dan serah paksa hasil bumi ciptaan VOC diubah ke sewa tanah. Ternyata perolehannya bisa lebih besar, pengelolaannya lebih sederhana dan diharapkan petani lebih bergairah serta lebih kreatif karena bebas menanam apapun. Pemerintah Hindia Belanda

tidak berhasil menerapkan sistem sewa tanah Raffle tersebut karena: (a) tidak punya cukup data tentang tanah mana yang bisa ditarik sewanya dan siapa yang dapat diminta membayar sewa. Untuk keperluan ini sesungguhnya Raffletelah melakukan sensus, tetapi rupanya tidak akurat, (b) valuasi tanah untuk menetapkan harga sewa ternyata memberatkan petani (c) petani terbiasa membayar dengan hasil bumi, dan tidak mengenal pembayaran dengan uang, (d) petugas pemungut sewa cenderung tidakjujur. Dengan demikian akhirnya pemerintahHindia Belanda menetapkan kebijakan tanampaksa, yang artinya kerja paksa utuk bertaninyadan serah paksa atas hasilnya. Kebijakan inimeneruskan kebijakan VOC sesurutnya pasarrempah, tetapi pelaksanaannya oleh pemerintahBelanda. Setiap desa diwajibkan menyediakan1/5 tanah pertaniannya untuk ditanami tanamanwajib dijual kepada Nederlandsche HandelMaatschappy (NHM) perusahaan Belanda yangdibangun pemerintah Hindia Belanda denganharga yang ditetapkan. Pihak Hindia Belandamenyebutkan sebagai sistem budidaya, sedangsejarawan Indonesia menyebutkan sistem tanampaksa. Sistem ini ternyata membuat petani

menderita, tidak bebas menanam apa yang dibutuhkan, sehingga di beberapa daerah terjadi kekurangan pangan. Selain itu praktiknya luas tanah untuk tanam paksa tersebut lebih dari 1/5 bahkan bisa mencapai 1/2nya. Penetapan harga juga bisa sangat tidak adil.

Tanam paksa juga tidak berlaku dan tidak mempunyai efek yang sama diseluruh wilayah karena ada kekhususan jenis tanaman yang cocok dengan daerahnya yatu: padi (tanah sawah), kopi, nila, kemudian tebu. Selain ada beberapa tipe produsen hasil bumi wajib tersebut yaitu:

1. Petani pemegang hak atas tanah, yangbiasanya bercocok tanam untuk memenuhikebutuhannya sendiri (subsisten) dan tidaktahu menahu tetang komoditi eksport.

2. Orang Eropa yang memanfaatkan “tanahterlantar” dengan membayar sewa kepadapemerintah.

3. Orang Eropa yang menyewa tanahnya daripara pangeran di wilayah kasunanan ataukesultanan

4. Orang Eropa yang mempunyai hak atastanah dan penduduknya yang disebut sebagaitanah partikelir.

Dari keempat tipe tersebut, tipe pertama petani pemegang hak atas tanah dan petani yang hanya menjadi pekerja yang paling menderita, karena tidak bisa menikmati harga pasar ekspor. Para petani tersebut harus menyerahkan hasilnya pada para bangsawan, sentana atau menak yang kemudian menyerahkan pada pemerintah lokal. Pada tingkat ini komoditas disimpan di gudang untuk kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya diserahkan pada NHM. Sedang tipe produsen yang lain mendapatkan manfaat dari pembentukan modal, tenaga kerja murah dan hidupnya ekonomi perdesaan.37

Tanam paksa ini dilaksanakan di wilayah yang dikuasai pemerintah Hindia Belanda dan memanfaatkan perkebunan serta sawah yang sudah ada sejak zaman VOC. Artinya pelaksanaan

Raffles merubah sistem kerja paksa pertanian dan

serah paksa hasil bumi ciptaan VOC menjadi

sistem sewa tanah.

37 Robert van Niel: Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya, dalam Anne Booth et al editor (1986) Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES , Jakarta

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 37: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara68 69

Apa yang kemudian diupayakan adalah bagaimana meningkatkan peranan swasta. Selain kaum liberalis, kaum humanis memandang apa yang telah dilakukan Belanda terhadap pribumi tidak bermoral. Segala kekayaan dan kenyamanan orang Belanda di negerinya, dibangun atas penderitaan pribumi Hindia Belanda42 Merespon kritik para liberalis dan humanis, pemerintahan Hindia Belanda menerapkan kebijakan sosial antara lain dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Tahun 1851 didirkan sekolah dokter Jawa, yang semula dimaksud untuk mendidik mantri cacar yang kemudian diperluas. Dibalik kebijakan sosial secara sengaja atau tidak sesungguhnya juga membantu para pengusaha yang membutuhkan tenaga kerja yang sehat dan cakap, yang juga dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda sendiri sebagai pegawainya. Penyejahteraan masyarakat pribumi juga diperlukan sebagai pasar produk industri Belanda sendiri.

Diantara kebijakan yag berdampak luas pada perkotaan adalah diterbitkannya Agrarischewet

(Undang-Undang Agraria) dan Suikerwet (Undang-Undang Gula). Undang-Undang Agraria tersebut memberi kesempatan pada usaha swasta untuk membuka dan memanfaatkan tanah untuk perkebunan selama 75 tahun dengan hak yang disebut hak erpacht. UU gula memberi kesempatan swasta untuk investasi pabrik gula dengan larangan mengekspor bahan mentah. Bersamaan dengan itu sistem tanam paksa dihentikan. Perkebunan lebih banyak diselenggarakan sebagai usaha swasta. Dengan adanya Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan. Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara. Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, perkebunan kina di Jawa Barat, perkebunan karet di Sumatra Timur, perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara, perkebunan teh di Priangan Jawa Barat dan Sumatra Utara. Semenjak itu peranan usaha swasta dalam ekspor terus meningkat.

42 Multatuli (1860) Max Havelaar dalam dalam Chr.L.M. Penders (1977) INDONESIA; Selected Documents on Nationalism 1830-1942, University of Queensland Press, Brisbane.

tentang Tata Pemerintahan di Hindia Belanda. Walalupun RR ini ditujukan untuk melindungi kepentingan usaha swasta di negeri jajahan, mempersilahkan pengusaha perkebunan untuk memanfaatkan tanah terlantar, tetapi juga membuka lebih luas kebebasan pers, menghapus perbudakan, mengatur perlindungan hukum dan menyelenggarakan pendidikan kaum pribumi. Undang-undang ini mengatur pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas40. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak begitu saja dapat meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta. Ini juga karena pihak swasta belum leluasa menanamkan modal dan mengembangkan usahanya karena terhalang hak atas tanah.

Pada masa itu, Eropa yang merupakan orientasi kemajuan dan ekspor komoditas Hindia Belanda sedang mengalami perubahan besar. Revolusi industri mulai menunjukkan hasil nyata dengan berkembanganya pengetahuan, teknologi dan cara kerja. Ditemukan dan digunakannya mesin uap yang kemudian mendorong pertumbuhan industri tekstil, transportasi masal yang lebih cepat yaitu kereta api dan kapal uap dengan daya angkutnya yang lebih besar. Kemudian hadir industri peleburan dan pengecoran logam, mulai digunakannya besi untuk konstruksi. Industrialisasi telah menjangkiti Inggris, sedang Perancis dilanda wabah liberalisasi yang behasil membuat Paris bercahaya. Amerika Serikat setelah seratus tahun menyatakan kemerdekaaannya dan setelah berhasil mengatasi perang saudara, mulai hadir dalam percaturan dunia. Investor dari Amerika mulai berdatangan menawarkan partisipasinya. Pedagang lada dan kapal perang Amerika di akhir abad ke 18 mulai menghampiri

Sumatera Barat dan awal abad ke 19 petualang Amerika suadah sampai Palembang41. Amerika Serikat sudah menjadi negara yang kekuatan ekonomi dan militernya berhasil mendobrak ketertutupan Jepang, harus diperhitungkan oleh orang Eropa. Situasi tersebut membuat liberalis Belanda gelisah, mencari cara tentang apa yang dapat diperbuat untuk menjaga eksistensi Belanda yang berjaya di abad ke 17.

40 Clive Day (1972) The Policy and Administration of The Dutch in Java, Oxford Asia in Paperback, Kualalumpur41 Anthony Reid (2014) Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Komunitas Bambu, Depok

Regeringsreglement (RR) ditujukan untuk melindungi kepentingan usaha swasta di negeri jajahan, mempersilahkan pengusaha perkebunan untuk memanfaatkan tanah terlantar

https://3.bp.blogspot.com/-oirOM0t5DRM/WHzca-0fC4I/AAAAAAAAAog/acE0CJ1N9lgQ-lbk4XsBuAgWFQoE9V8ZACLcB/s1600/dampak%2Brevolusi%2Bindustri.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 38: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara70 71

Untuk mendukung perkebunan tebu dan mendorong pertumbuhan pabrik gula, pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1890-1893 membangun bangunan air dan irigasi di Delta Barantas, aliran Sungai Serayu dan di wilayah Cirebon, Pekalongan, Demak.

Perkembangan ekonomi, perluasan perdagangan, konsentrasi penduduk didorong oleh pemerintah dan direspon oleh usaha swasta dengan pembangunan sarana angkutan kereta api dan perkapalan. Dibangun jalan kereta api Semarang ke wilayah kasunan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta 1862, Batavia (Jakarta) Buitenzorg (Bogor) 1864, Surabaya Malang 1875, di Aceh 1874, Sumatera Timur 1883, Sumatera Barat 1887. Sampai akhir abad ke 19 di Jawa telah terbangun jalan kereta api sepanjang 1600 km sedang di Sumatera 3500 km. Kereta api di Sumatera terutama digunakan untuk angkutan hasil perkebunan dan tambang. Karena itu kelangsungan kereta api di Sumatera tergantung

pada kondisi perkebunan dan pertambangan. Sedang di Jawa tergantung pada mobilitas penduduk, tetapi menghadapi persaingan dengan jaringan jalan.

Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan modernisasi angkutan kapal dengan membangun pelabuhan Priok di Batavia yang diselesaikan tahun 1893, pelabuhan Mas di Semarang 1884 (data sementara), pelabuhan Perak di Surabaya tahun setelah 1910 (data sementara) dan pelabuhan Belawan di Medan tahun 1915. Pelabuhan tersebut dibangun untuk menyambut perubahan teknologi transportasi dari kapal layar ke kapal uap. Tahun 1891 didirikan perusahaan angkutan kapal dengan mesin uap yaitu Koninklyke Paketvaart Maatschapay (KPM) yang pada awal abad ke 20 telah memilik 3445 mesin uap. Ekspor ke dan impor dari Eropa juga karena terusan Suez yang memperpendek perkalanan kapal telah dibuka tahun 1869.

Prasarana4.8.1

Dari sisi politik dan administrasi muncul gagasan pembentukan Pax Neerlandica yang ingin menyatukan kerajaan-kerajaan Pasifik Laut India, dibawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Untuk itu dilakukanlah perjanjian yang disebut plakat panjang (Lange Verklaring) suatu perjanjian yang sangat detail tentang hak kewajiban masing-masing “negara” dan pemerintah Hindia Belanda. Plakat panjang ini diikuti oleh 15 “negara”. Selain itu ada plakat pendek (Korte Verklaring) yang diikuti 254 “negara”, yang membuat pernyataan tentang tiga hal yaitu: mengakui wilayahnya sebagai bagian dari Hindia Belanda, tidak melakukan hubungan dengan pihak luar secara lansung, dan tunduk pada pemerintahan Belanda.43 Keseluruhan “negara” tersebut untuk ke dalam dapat mengatur urusannya sendiri. Di samping itu ada wilayah yang secara langsung diperintah oleh pemerintah

Berbagai kebijakan liberalisasi tersebut kemudian diikuti UU pertambangan, per-minyakan dan pembangunan prasarana. Kebijakan tersebut mendorong investasi oleh swasta dan perkembangan perkebunan, pertambangan, pengeboran minyak. Selain itu perkembangan pengetahuan tentang Sumatera oleh diterbitkannya buku Marsden, History of

Sumatera dan penelitian tanah oleh berbagai ahli, ikut memberikan kontribusi bagi perkembangan perkebunan dan eksplorasi kekayaan minyak dan mineral di Sumatera. Situasi inilah yang mendorong perkembangan perkotaan yang telah ada di Jawa dan menghadirkan perkotaan baru di Sumatera dan Kalimantan.

Hindia Belanda dengan kepala pemerintahan yang diangkat dan ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Anggaran belanja masing-masing diatur oleh pemerintah Hindia Belanda.Otonomi dengan Lange Verklaring maupun Korteverklaring tidak menunjukkan efek nyata dalam penyelenggaraan kota. Walaupun demikian

YearTotal exports

Details for chief agricultural products

Coffee Sugar Indigo Tobacco Tea

S. P. S. P. S. P. S. P. S. P. S. P.

1856 64.4 34.3 33.0 2.8 20.0 9.0 2.1 1.7 0.02 1.0 0.43 0.1

1860 47.4 47.1 25.1 4.6 11.2 20.7 1.7 1.7 0.02 1.4 0.56 0.0

1865 48.7 47.2 23.8 9.7 12.1 20.2 2.1 2.1 - 2.1 0.28 0.4

1870 46.5 61.2 31.2 12.9 8.7 23.5 - 3.2 - 3.6 - 1.7

1875 41.4 130.7 28.3 32.1 - 52.4 - 1.9 - 9.1 - 2.1

1880 37.1 138.1 31.9 27.9 - 48.8 - 3.0 - 15.7 - 1.7

1885 16.3 168.7 12.8 16.8 - 84.0 - 3.7 - 20.1 - 1.6

Penyandingan Nilai Komoditas Eksporoleh Pemerintah (S) dan Swasta (P) Tahun 1856-1885

43 Sartono Kartodirdjo (1988), PENGANTAR SEJARAH INDONESIA BARU: 1500-1900, Jilid I, Garamedia Jakarta44 Peter Boomgard (2003) Smallpox, vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930, KITLV Leiden45 Furnival (1967), NETHERLANDS INDIA: A Study of plural economy, Cambridge at the University Press, London

semangat Pax Neerlandica telah membulatkan kekuasaan Hindia Belanda seperti yang terjadi dengan vaksinasi cacar44. Sampai akhir abad ke 19, sesungguhnya belum tampak adanya pemerintahan lokal oleh pribumi atau Belanda yang mempunyai perhatian pada masayarakat perkotaan. Peranan Swasta yang justru meningkat seperti yang dapat diindikasikan dari ekspor berbagai komoditas seperti yang tampak pada tabel berikut45.

https://phesolo.files.wordpress.com/2011/11/pabrik-gula.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 39: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara72 73

MedanTahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang kemudian menjadi primadona Tanah Deli. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 bahu (2960 ha). Ternyata oleh sifat tanahnya tembakau khas yang berkualitas tinggi menjadi komoditas ekspor penting ke Eropa. Untuk menggarap perkebunan tembakau itu didatangkan puluhan ribu tenaga kerja dari Jawa dan Singapura yang menjadi inti penduduk Medan. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara. Perkembangan perkebun tembakau Deli Maatschapy diikuti oleh pembangunan fasiltas perkebunan seperti tempat tingga para administratur, buruh perkebunan, gudang, kantor, pelayanan kesehatan, rekreasi (societet) dan stasiun serta jaringan kereta api. Tahun 1887 Belanda memindahkan pusat admnistrasi karesidenan Bengkalis dan istana sultan Deli ke Medan, menjadikan kota ini terus membesar. Di kemudian hari menjadi Medan kota terbesar di Sumatera.48

BandungMeskipun Bandung dikitari oleh kebun kopi yang merupakan komoditas utama untuk ekspor ke Eropa, tetapi awal kehadiran Bandung tidak karena perkebunan tersebut. Jalan raya pos yang dibuat Daendels dan berpindahnya ibukota Kabupaten Bandung dari tepi Citaraum ke tepi jalan raya pos 1810 menjadi cikal bakal hadirnya Kota Bandung. Selanjutnya pembukaan perkebunan teh, intensifikasi perkebunan kopi dan belakangan munculnya perkebunan kina, menghadirkan orang Eropa pengusaha dan administratur perkebunan di Bandung. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda juga memilih kota ini sebagai ibukota karesidenan Priangan. Untuk itu juga dibangun kantor dan tempat tinggal residen, yang menjadi inti kota Bandung.

Oleh makin banyaknya orang Eropa di Bandung, bermunculanlah berbagai fasilitas pelayanan kota seperti pertokoan dan sociteit. Perkebunan di Priangan tidak mendatangkan tenaga kerja yang menjadi penduduk kota, tetapi pemilik dan pengelola perkebunan merupakan elit yang ikut membentuk dan mengisi budaya intelektual Kota Bandung seperti Boscha, Yunghun, van Deventer. Kota Bandung menjadi besar karena pemerintah Belanda berniat memindahkan ibukotanyake Bandung dengan membangun kompleks Departemen Pertahanan, Departemen Lalu lintas dan bangunan air, pusat pos, telegram dan telepon (PTT)

48 Kompilasi Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe yang dimuat dalam Tapanuli Selatan Dalam Angka

Kota Medan

Walaupun perkebunan, eksploitasi migas dan sumberdaya mineral menumbuhkan kota, tetapi bukan penyebab perkembangan dan pembesaran kota yang utama. Bahkan kota yang dibangun perusahaan untuk mendukung usaha tersebut cenderung ekslusif, tertutup, tidak mendorong kegairahan dan perkembangan kota. Penetapan sebagai pusat administrasi, perkembangan sebagai pusat perdagangan dan industri. Oleh karena itu bisa dimengerti apabila Surabaya berkembang jauh lebih cepat dan menjadi jauh lebih besar daripada Pasuruan yang dikitari perkebunan tebu dan pabrik gula yang hampir sama. Semarang lebih mengota daripada Kedu meskipun perkebunan kopi di Semarang hanya setengahnya perkebunan kopi di Kedu46.

Pembangunan prasarana lebih ditujukan untuk mendorong investasi di bidang perkebunan dan eksploitasi sumber daya alam. Belum ada pembangunan yang secara khusus ditujukan pada perkotaan, kalau ada itu juga merupakan dampak bukan hasil yang direncanakan. Industri yang didorong perkembangnnya pada akhir abad ke 19 ini adalah industri gula. Pabrik gula modern pertama dibangun di Sidoarjo di Probolinggo tahun 1838, kemudian dari tahun 18 di Yogyakarta. Pabrik gula menjadi industri yang paling penting dan paling banyak didirikan Hindia

Belanda. Tahun 1836 pemerintah mendirikan 68 pabrik di 14 karesidenan, tahun 1870 menjadi 96. Tahun 1875 tercatat 71 perkebunan tebu swasta disamping 93 pabrik gula pemerintah. Kehadiran pabrik gula ini juga menumbuhkan pabrik mesin tetapi hanya di Surabaya47.

Industrialisasi ini tidak berdampak pada proses mengota seperti yang terjadi di Eropa. Karena pabrik gula yang mendekati peerkebunan tebu tidak menyebabkan terkonsentrasinya buruh industri yang menjadi penyebab terjadi proses mengota. Sedang administratur dan pegawai pabrik menumbuhkan permukiman yang eksklusif yang justru terpisah dari permukiman yang ada.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk meliberalisasi ekonomi dengan berbagai sarana hukumnya telah menghadirkan usaha perkebunan, pertambangan dan industri ikutannya. Kebijakan tersebut disertai dan juga mendorong terjadi pembangunan sarana dan prasarana. Walaupun demikian situasi tersebut tidak berpengaruh luas terhadap perkembangan perkotaan. Memang ada beberapa kota yang hadir oleh kebijakan liberalisasi tersebut yaitu kota-kota sebagai berikut:

Dampak Liberalisasi Ekonomi terhadap Perkembangan Perkotaan

4.9

46 William J O'Mallet, Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar dalam Anne Booth at al (1986) SEJARAH EKONOMI INDONESIA, LP3ES, Jakarta47 Idem

Kota yang dibangun perusahaan untuk mendukung usaha perkebunan cenderung eksklusif, tertutup, tidak mendorong kegairahan dan perkembangan kota.

http://1.bp.blogspot.com/-cbOS2k4r-qg/UdTyyRs_DLI/AAAAAAAAAHE/QDo2f1Hcvaw/s1600/kesawan.jpeg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 40: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara74

Perkotaan Zaman Hindia Belanda:

Dari Politik Etis ke Pendudukan Jepang

5SawahlunthoAdalah kota yang dibangun untuk mendukung usaha pertambangan batubara. Penyelidikan adanya cadangan batu bara sudah dilakukan sejak tahun 1867, cadangan batubara terbukti bisa komersia tahun 1975, dan baru mulai dieksploitasi tahun 1891.

Batubara hasil galian itu dikumpulkan dan kemudian tanggal 25 November 1892 mulai dikirim keluar dari Sawahlunto sebanyak 160 ton dengan menggunakan kereta kuda. Karena kondisi topografi kereta api baru sampai muara Kelaban sekitar 6 km dari Sawahluto. Selanjutnya batubara dibawa dengan kereta api dari Muara Kelaban menuju Pelabuhan Teluk Bayur. Jalur kereta api Muara Kelaban-Sawahlunto yang pilihannya dengan membuat terowongan Pembangunannya rampung pada tanggal 1 Januari 1894. Penambangan di Ombilin pada awalnya mengerahkan tenaga kerja orang-orang pekerja paksa sebanyak 1500 orang tahun 1893 dan tahun 1902 di datangkan kuli kontrak yang berasal dari Jawa.

Kota Bandung Tahun 1825

BalikpapanKota ini hadir sebagai dampak eksplorasi minyak bumi di wilayah tersebut. Pemerintah Hindia Belanda mengontrak Balikpapan dari Kesultanan Kutai dengan Besluit 29 Agustus 1888 yang diperkuat Besluit No 4 tanggal 30 Juni 1891. Kemudian pemerintah Hindia Belanda menunjuk JH Menten dan Firma Samuel & Co sebagai pemenang hak konsesi yang melakukan penelitian di bagian daratan kaki Gunung Komendur, wilayah teluk hingga Pulau Tukung. Ia menemukan cadangan minyak yang sangat besar. Penemuan ini diikuti dengan pengeboran pertama tanggal 10 Februari 1897, dan menemukan minyak yang cukup komersial, tetapi baru 25 tahun kemudian dibangun kilang pengelohan minyak oleh perusahaan minyak Shell. Ketika itu mulailah hadir permukiman dan aneka fasilitas kota bagi pekerja kilang minyak. Kemudian berkembang permukiman pedagang dan nelayan dan lain-lain yang bekerja diluar minyak. Dengan demikian Balik papan menjadi kota bermuka dua, yaitu kantong permukiman pegawai perminyakan yang berkecukupan dan difasilitasi dengan baik dan permukiman masyarakat lain diluar perminyakan, yang tumbuh spontan dan inkremental.

Page 41: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara76 77

Pemerintah Daerah

5.2

Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1848 telah menempatkan Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayahnya, tetapi oleh jarak, luas wilayah dan kondisi masyarakatnya untuk Hindia Belanda disusun undang-undang pemerintahan sendiri yang dikenal sebagai Regeering Reglement (RR). Undang-undang yang diterbitkan tahun 1854 ini menetapkan sistem pemerintahan Hindia Belanda yang sentralistis ditangan Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland. Oleh situasi dunia yang dihadapi dan kondisi Hindia Belanda sendiri, wilayah ini dibagi dalam dua kategori besar (Gebiet) yaitu, pertama daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Daerah ini bisa berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik yang disebut plakat panjang dan atau plakat pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh raja/sultan dari kerajaan/kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan/ kesultanan memiliki status “negara semi merdeka” tetapi tetap berada dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Kedua daerah adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut “pemerintahan pangreh praja”. Pemerintahan ini pun dibedakan antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura

dengan Luar Jawa. Di daerah Jawa dan Madura disusun jenjang pemerintahan dan jabatan mulai dari teratas sampai paling bawah adalah: Provinsi dikepalai oleh Gubernur, Karesidenan dikepalai oleh Residen, Kabupaten dikepalai oleh Asisten Residen apabila dijabat oleh Belanda atau Bupati apabila dijabat oleh orang pribumi. Kawedanan dikepalai oleh Wedana, Kecamatan oleh Asisten Wedana, Desa dikepalai oleh Lurah atau KepalaDesa.

Untuk di luar Jawa jenjangnya tidak berbeda tetapi penamaan kepalanya yang berbeda. Dari jenjang paling atas juga disebut adanya: Provinsi (Gubernur), Karesidenan (Residen), Afdeling (Asisten residen, atau Controleur) tidak disebut kabupaten atau Regent dan Bupati seperti di Jawa, District/Kawedanan (Demang), Onderdistrict/ Kecamatan (Asisten Demang), Desa/ Marga/ Kuria/ Nagari/ nama lain (Kepala Desa/nama lain). Asisten Residen, Contoleur sampai Gubernur untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut Europese Bestuurambtenaren. Sedangkan Bupati sampai Lurah/Kepala Desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa/nama lain untuk luar Jawa adalah pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.

Setelah sistem pemerintahan daerah ini berjalan sekitar 50 tahun, kemudian dianggap perlu untuk mendesentralisasikan pemerintahan. Tampaknya dimaksud agar kemudian masing-masing pemerintahan daerah dapat mengatasi sendiri permasalahan setempat dan dapat menjadi instrumen untuk pelaksanakan politik etis. RR 1954 yang sentralistis diamandemen dan kemudian tahun 1903 diterbitkan Decentralisatie Wet 1903.

Situasi Akhir Awal Abad Ke-19

5.1

Memasuki abad ke 20, terjadi pergeseran aktivitas ekonomi, dari pertanian berbasis sawah dan perkebunan di Jawa ke perkebunan dan eksploitasi sumberdaya alam di luar Jawa. Pergeseran aktivitas ekonomi tersebut telah menumbuhkan perkotaan baru di luar Jawa. Antara lain perkebunan tembakau di Deli telah menumbuhkan Kota Medan, Binjai, dan Padang Sidempuan. Pengeboran minyak di Langkat telah menumbuhkan Kota Pangkalan Brandan, eksploitasi batubara di Ombilin telah menumbuhkan Kota Sawahlunto dengan kota kecil ikutannya seperti Silungkang dan Talawi. Eksploitasi minyak di Kalimantan Timur menumbuhkan Balikpapan (1897).

Di parlemen negeri Belanda sendiri terjadi perubahan politik. Setelah kaum liberal berhasil menghapus tanam paksa dan menggantikan dengan liberalisasi ekonomi di negeri jajahan, giliran para humanis mengupayakan kebijakan balas budi. Para humanis mendesak agar kekayaan yang disedot dari negara jajahan dikembalikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat jajahan. Atas desakan para politisi dan publik, Ratu Belanda tahun 1901 di Parlemen, mengisyaratkan agar dilaksanakan politik hutang budi kepada rakyat negara jajahan. Untuk itu dibentuk suatu komite untuk menyelidiki tingkat kesejahteraan penduduk jajahan dan program peningkatan kesejahteraan penduduk jajahan mencakup: pendidikan, irigasi dan migrasi (untuk mengurangi tekanan kependudukan Pulau Jawa). Politik etis tersebut tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap perkotaan di Hindia Belanda. Perkembangan perkotaan memang merupakan kesinambungan dengan apa yang telah terjadi di akhir abad 19 sebagai dampak liberalisasi ekonomi. Dalam perkotaan yang sudah ada tersebut mulai hadir pelayanan sosial: sekolah, rumah sakit yang juga dibangun oleh misi keagamaan.

Para humanis mendesak agar kekayaan yang disedot dari

negara jajahan dikembalikan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat jajahan.

http://serbasejarah.blogspot.co.id/2011/09/sekolah-jaman-kolonial-belanda.html

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 42: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara78 79

pembuatan dan pemasangan papan nama jalan, dan lain-lain yang berkaitan dengan jalan umum dan penyediaan makam. Menjaga kebersihan dan keamanan kota termasuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran dan banjir. Intinya Gemeente mempuyai wewenang dan tanggung jawab, hak dan tanggung jawab yang berkaitan langsung dengan kenyamanan, kesehatan dan keamanan tinggal penduduknya. Sebelum hadirnya Gemeente, kota lebih ditekankan sebagai pusat kekuasaan dan pusat administrasi Bahkan kota adalah pusat pengendalian dan pengawasan aneka kewajiban rakyat seperti dalam sistem tanam paksa. Dengan pembentukan Gemeente ini pemerintah Hindia Belanda ini melakukan langkah cukup drastis bagi rakyat Hindia Belanda. Pertanyaannya benarkah pembentukan Gemeente ditujukan untuk kepentingan rakyat Hindia Belanda.

Peralihan dari ibukota Kresidenan, Regent, Afdeling atau Kabupaten menjadi Gemeente jelas tidak sederhana dan tidak dapat diseragamkan untuk seluruh wilayah Hindia Belanda. Persoalan pertama adalah bagaimana menentukan kota mana yang ditetapkan sebagai Gemeente dan mana yang tetap menjadi ibukota Kresidenan, Regent, Afdeling atau Kabupaten. Kedua, bagaimana menentukan batas Gemeente. Pada awal abad ke 20 data dan informasi tentang masing-masing kota masih terbatas. Ketiga, apakah pemerintahan Gemeente perlu disesuaikan dengan jumlah penduduk, struktur sosial dan ekonomi masing-masing calon Gemeente. Diantara kota calon gemeente tersebut ada yang ikatan premodial dan struktur feodalnya kuat sisa tanam paksa, ada yang didominasi administrator atau pegawai perusahaan, juga ada yang didominasi pedagang. Ada yang penduduknya didominasi oleh kelompok etnis tertentu juga ada sangat heterogen. Walaupun demikian, ada kota yang penetapannya sebagai Gemeente dapat dilakukan tahun 1905, yang artinya hanya dibutuhkan waktu dua tahun sejak terbitnya Decentralisatie Wet 1903 . Kota- kota itu adalah Batavia, Meester

Cornelis (Jatinegara) dan Buitenzorg (Bogor). Selain ada kemudahan karena posisinya terhadap pusat pemerintahan Hindia Belanda, orang Belanda yang menjadi warga di ketiga kota tersebut tampaknya sudah sangat siap. Tahun 1906, Bandung, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang Kediri, Surabaya ditetapkan sebagai Gemeente. Selebihnya ditetapkan lebih dari 10 tahun sejak diterbitkannya undang-undang. Dengan demikian dapat diduga bahwa dari sisi pemerintah Hindia Belanda dan warga kota, kesepuluh kota itulah yang siap atau disiapkan untuk menyelenggarakan kota yang otonom. Walapun demikian pengangkatan walikota atau burgemeester baru terjadi tahun 1916.

Gemeente kemudian dilengkapi dengan Gemeenteraad atau dewan gemeente. Lembaga ini dapat disebut legislatif, karena merepresentasikan golongan etnis yang tinggal di kota bersangkutan dan membuat peraturan, tetapi juga berperan sebagai lembaga eksekutif karena dipimpin oleh Burgemeester yang mengeksekusi peratuan yang dibuatnya sendiri.

Tahun 1922, undang-undang desentralisasi ditinjau kembali. Gemeente diubah menjadi Stadgemeente dengan otonomi yang lebih luas. Antara lain Burgemeester dipilih oleh Dewan Gemeente. Wewenang pemerintah Stadgemeente untuk menata dan mengendalikan kota juga lebih jelas. Walaupun demikian, kota tersebut, pada umumnya terlanjur tumbuh acak. Karena sebelumnya perkembangan kota sudah terjadi secara inkremental sepotong-sepotong secara invidual oleh perorangan atau suatu organisasi tanpa kerangka yang jelas. Hanya kota kecil seperti Sawahlunto yang dibangun berdasarkan suatu rancangan yang utuh dan menyeluruh. Kota lain pada umumnya merupakan penyisipan fasilitas dan permukiman non pribumi, Belanda atau Tionghoa, diantara kampung perdesaan yang sudah ada. Kampung yang oleh urbanisasi kemudian menjadi kampung kota, yang padat, tanpa prasarana dan utilitas yang memadai.

Berdasarkan Decentralisatie Wet 1903 tersebut kemudian sejumlah kota ditetapkan sebagai apa yang disebut sebagai Gemeente dengan kepala pemerintahan Burgemeester yang memimpin suatu Dewan Gemeente (Geemeenteraad). Pemerintahan khusus wilayah kota ini mendapatkan hak untuk menarik pajak dari warga kota yang digunakan untuk membangun kota bersangkutan. Mengumpulkan dana dari berbagai usaha seperti: pemotongan hewan, pasar, penjualan dan penyewaan rumah dan tanah perkotaan. Selain itu juga mempunyai kewenangan dan kewajiban menata, membangun, serta memelihara jala, ruang terbuka, taman, tanaman di tepi jalan, saluran pembuangan, rambu-rambu lalu-lintas,

Pembentukan Gementee

5.3

Pemerintahan khusus wilayah kota mendapat hak untuk menarik pajak dari warga kota yang digunakan untuk membangun kota bersangkutan.

https://i.pinimg.com/originals/51/c0/83/51c083d11e84bca324ea8bbea9aa7572.jpg

Page 43: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara80 81

Nama KotaJumlah

penduduk 1930

Tahun ditetapkan

Luas (dalam km2)

Persentase penduduk berdasarkan etnis th. 1930 (%)

Pribumi Dianggap Eropa Cina Timur

Asing

1 Jakarta 435.184 1905 155,4 74,91 7, 15 16,47 1,47

2 Jatinegara 97.831 1905 28,7 85, 53 6,08 7,29 1,10

3 Bogor 65.431 1905 21,69 79,37 8,00 10,97 1,66

4 Sukabumi 34.197 1914 10,6 79,50 6,61 13,42 0,47

5 Bandung 166.815 1906 28,6 77,94 11,78 9,99 0,29

6 Cirebon 54.079 1906 10,4 78,89 3,06 15,15 2,9

7 Tegal 43.015 1906 11,6 86,44 3,01 7,61 2,93

8 Pekalongan 65.482 1906 12,2 86,32 1,35 8,19 4,14

9 Magelang 52.944 1906 18,1 83,10 7.87 8,75 0,37

10 Semarang 217.796 1906 99,4 80,56 5,78 12,59 1,07

11 Salatiga 24.274 1917 83,88 8,14 7,51 0,47

12 Madiun 41.872 1918 9,7 88,14 4,01 7,58 0,27

13 Blitar 27.487 1906 6,4 87,52 2,42 9,86 0,20

14 Kediri 48.567 1906 21,0 90.05 2,12 7,61 0,22

15 Mojokerto 23.600 1918 5,3 83,65 3,83 11.05 1,47

16 Surabaya 341,675 1906 82,8 79,39 7,58 11,38 1,65

17 Pasuruan 36.973 1918 13,8 88,93 2,06 7,41 1,60

18 Malang 86,646 1914 61,55 8,61 9,04 0,80

19 Probolinggo 37.009 1918 12,6 86,37 2,50 9,85 1,28

20 Binjai 9.176 1917 3.0 51,66 1,25 42,07 5,02

21 Medan 76.584 1909 15,8 53,88 5,61 35,63 4,88

22 Tebing Tinggi 14.026 1917 3,8 59,72 2,25 34,54 3,49

23 Pematang Siantar 15.328 1917 8.5 63,35 1,06 32,39 3,20

24 Tanjung Balai 6.823 1917 1,1 48,36 2,24 46,36 3,06

25 Bukit Tinggi 14.026 1918 5,2 88,80 8,73 3,54 1,93

26 Padang 52.054 1906 11,5 78,27 4.98 13,95 2,80

27 Sawahlunto 15.146 1918 5,9 92,18 3,43 4,22 0,17

28 Palembang 108.145 1906 21,8 80,34 1,75 14.33 3,58

29 Banjarmasin 65.698 1919 99,02 1,44 7,63 2,91

30 Makasar 84.855 1906 15,1 77,12 4,06 18,11 0,71

31 Manado 27.544 1919 72,80 5,05 20,04 2,13

32 Ambon 17.334 1921 78,38 10,83 6,50 4,29

33 Yogyakarta 136.649 Ibukota Kasunanan 89,27 4,09 6,52 0,12

34 Surakarta 165.484 Ibukota Kasultanan 90,39 1,95 6,32 0,84

Jumlah Penduduk, Luas, Presentase Kelompok Etnis Gemeente 193049

49 Pauline Dublin Milone (1966), URBAN AREA IN INDONESIA: administrative and census concept,Research Series, Institute of International Studies, University of California, Berkeley

Mengulang sensus yang diselanggarakan Raffletahun 1815, tahun 1920 dilakukan sensus penduduk hanya di Pulau Jawa. Hasil sensus ini kurang dapat dipastikan. Kemudian tahun 1930 dilakukan sensus kembali di seluruh wilayah Hindia Belanda. Ketika sensus di dilakukan Decentralisatie Wet 1903 juga sudah dilaksanakan wilayah kota yang disebut Gemeente juga sudah terbentuk. Dari hasil sensus yang diselanggarakan tahun 1930, menunjukan tidak adanya suatu kriteria dan pola yang jelas dalam pembentukan Gemeente.

Dari 32 Gemeente yang dibentuk sampai dengan tahun 1921, hanya 5 Gemeente yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa, yaitu Batavia dengan 435.000 jiwa, Surabaya dengan 341.675 jiwa, Semarang dengan 217.796 jiwa, Bandung dengan 166.815 jiwa, dan Palembang dengan 108.145 jiwa. Ada 2 Gemeente yang berpenduduk kurang dari 10.000 jiwa yaitu Tanjung Balai 6.823 jiwa dan Binjai 9.176 jiwa.

Apakah jumlah penduduk yang digolongkan Eropa yang menjadi ukuran ditetapkannya sebagai Gemeente, tampaknya juga tidak. Hanya ada 2 Gemeente yang jumlah penduduk Eropa

lebih dari 10% yaitu Bandung dan Ambon dan ada 5 Gemeente yang jumlah penduduk Eropa kurang dari 2% yaitu: Pekalongan, Binjai, Pematang Siantar, Palembang, Banjarmasin. Dari sisi luas wilayah Gemeente juga tampak tidak adanya ukuran yang menjadi patokan. Gemeente Batavia luas 155,4 km2, sedang Tanjung Balai 1,1 km2, Binjai 3 km2.

Tampaknya kota mana yang layak mendapatkan status Gemeente dan dimana batasnya, ditetapkan berdasarkan pertimbangan (judgement) pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan hasil lobi atau negosiasi Belanda atau orang Eropa yang menjadi warga kota tersebut. Binjai dan Tanjung Balai yang tampaknya istimewa karena luas wilayah jumlah penduduk dan persentase orang Eropanya kecil, tetapi di tetapkan sebagai Gemeente. Ada kemungkinan ini karena persentase penduduk Tionghoa besar, Tanjung Balai 46% dan Binjai 42%, sehingga pemerintah Hindia Belanda memberikan wewenang dan tanggung jawab sebagai wilayah otonom.

Hasil sensus penduduk tahun 1930 untuk masing-masing Gemeente dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Sensus Penduduk5.4

https://i0.wp.com/ngopijakarta.com/wp-content/uploads/2015/08/old-batavia_cover1.jpg?w=2400&ssl=1

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 44: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara82 83

Transportasi, terutama angkutan masal, mengalami kemajuan dengan ditemukannya mesin uap. Angkutan dari Belanda ke Hindia Belanda menjadi lebih cepat dengan digunakannya kapal mesin uap. Dibukanya terusan Suez juga memperpendek jarak Belanda dan Hindia Belanda, meskipun Belanda juga telah menyiapkan pangkalan pelayarannya di Afrika Selatan. Selain transportasi, juga sudah dapat dilakukan komunikasi telegram antara Batavia Amsterdam, sehingga peristiwa di Hindia Belanda segera dapat diketahui di Belanda. Apalagi pers juga mulai muncul, mempunyai peranan dan hak hidup untuk mempengaruhi pendapat dan kebijakan publik. Kondisi ini yang mendorong dicabutnya pelarangan bagi orang Belanda untuk membawa keluarganya ke Hindia Belanda. Larangan yang telah berlangsung selama 300 tahun itu sesungguhnya telah menimbulkan dampak sosiologis yaitu terjadinya perkawinan antar ras (resmi atau tidak resmi) yang membuahkan banyaknya orang Belanda berdarah Asia. Diantaranya menjadi tokoh penting dalam pembentukan bangsa Indonesia (Douwes Dekker, Maclain Pont, Thomas Karsten).

Situasi dunia tersebut dan kemajuan dunia melawan penyakit menular tropis seperti kolera, typhus, desentri, malaria, cacing tambang, cacar, turbeculose ikut merangsang kemauan orang Belanda asli untuk bermukim di Hindia Belanda. Awal abad ke 20 muncul pernyataan terbuka yang menunjukkan ajakan dan niat untuk tinggal di Indonesia. Tahun 1933, terbit majalah Mooi Bandung yang memuat seruan “Nederlander, mengapa pulang ke Eropa, kembalilah dan bermukimlah di Bandung”.52 Gubernur Jendral Bonafi us Cornelis de Jonge tahun 1936 berujar “Kami orang Belanda sudah berada disini 300 tahun dan kami akan tinggal 300 tahun lagi, kalau perlu dengan pedang dan pentung”53. De Jonge dikenal sangat represif terhadap gerakan kebangsaan yang justru menguat di abad ke 20, walaupun tidak seganas Jendral Cortes dalam menaklukkan kerajaan Aztec di Meksiko. Untuk menyiapkan kehadiran Belanda inilah, yang sebagai besar pegawai atau pengusaha, perkotaan perlu dibenahi yang dimulai dengan membentuk Gemeente.

52 Robert P.G.A Voskuil, dkk (2002); Bandung: citra sebuah kota; PT.Jagaddhita, Bandung53 A.B. Lapian dalam pengantar buku : G.J.Resink (2013) BUKAN 350 TAHUN DIJAJAH, Komunitas Bambau, Jakarta

Proses pembentukan Gemeente agaknya juga dipengaruhi suasana dunia pada awal abad ke 20. Suasana batin orang dan pemerintah Belandadipengaruhi oleh apa yang terjadi di Eropa dandunia pada umumnya. Pada awal abad ke 20Eropa tercatat mencapai puncak kemakmurannyaoleh keberhasilan industrialisasi, liberalisasi, danimperialisasi. Seluruh Afrika tahun 1900, sudahdipetakan dan dibagi diantara negara Eropa.Berbagai negara di Eropa bukan hanya butuhbahan pangan dan bahan mentah industri, tetapijuga membutuhkan pasar bagi produknya.

Diantara negara Eropa terjadi persaingan keras yang bermuara pada perang besar, yaitu perang dunia pertama yang berlangsung pada tahun 1914-1918 antara dua aliansi bertentangan, yaitu sekutu yang terdiri dari Britania Raya, Perancis, dan Rusia dan Blok Sentral yang terdiri dari Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia. Mendekati akhir perang dunia pertama tersebut, tahun 1917 terjadi revolusi Rusia yang menghapus kekaisaran

Rusia menjadi negara Komunis. Sedang Turki dari sebuah kesultanan Islam besar menjadi negara sekuler.

Sebelum perang dunia pertama, tahun 1904-1905, Rusia dikalahkan Jepang. Peristiwa ini dianggap sebagai kebangkitan Asia. Setelah Kaisar Meiji berhasil merubah negara feodal pertanian menjadi negara industri (restorasi Meiji), Jepang dianggap sebagai pesaing Belanda di Hindia Belanda. Hal ini kemudian terbukti ketika tahun 1942, Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda.

Industrialisasi di Inggris telah menghadirkan lapisan buruh, yang menjadi salah satu kekuatan politik yang berhasil menekan pemerintah. Kebijakan perumahan dan penataan kota adalah produk gerakan buruh di Inggris. Munculnya konsep perencanaan kota, antara lain konsep garden city adalah karena merespon gerakan buruh tersebut. Di Hindia Belanda, antara tahun 1916-1918 juga muncul perlawanan terhadap kapitalis Belanda, tetapi perlawanan itu merupakan gerakan petani perdesaan di Jambi, Pasar Rebo, Cimareme, Toli- Toli. Meski gerakan itu didukung oleh organisasi pusat seperti CSI (Central Serikat Islam) dan PFB (Personel Fabriek Bond)50 tetapi tidak mempunyai efek seperti Glasgow Strike51. Perlawanan petani mungkin mendapat perhatian dari Gubernur Jendral Belanda waktu itu yaitu Van Limburg Stirum sehingga dia menjanjikan kemerdekaan Hindia Belanda.

Suasana Dunia5.5

50 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Noto Susanto (1990); SEJARAH NASIONAL INDONESIA V, hal 78, Dept P&K, Balai Pustaka Jakarta51 Manel Castells (1983) City and The Grassroots: A Cross -cultural theory of urban social movement, University of Calfornia Press, Los Angeles

Industrialisasi di Inggris telah menghadirkan lapisan buruh yang

menjadi salah satu kekuatan politik yang berhasil menekan pemerintah.

https://fthmb.tqn.com/FVXT9rDYP1y9poFnmF0ivXSzWx8=/3843x2570/filters:no_upscale():fill(FFCC00,1)/broadway-3069185-59847904685fbe0011bf3e26.jpga

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 45: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara84 85

Untuk melaksanakan proyek yang berlangsung dalam jangka 17 tahun tersebut Haussmann telah merobohkan sekitar 20.000 gedung lama yang artinya menghancurkan sekitar 60% gedung yang ada pada waktu. Merelokasi sekitar 30% atau sekitar 350.000 orang yang tentu saja juga membangkitkan kerisauan banyak penduduk Paris. Apa yang dilakukan Haussmann ini juga mendapat tantangan karena menghabiskan 230

milyar Franc. Ini melonjak lebih dari 3 kali lipat yang disebabkan oleh naiknya biaya pembebasan tanah. Para oposan juga mengritik karena apa yang dilakukan Haussmann dianggap lebih untuk kepentingan militer daripada kebutuhan rakyat. Apa yang telah dilakukan Haussman untuk Paris inilah yang menjadi inspirasi urbanisme modern, yang menggantikan pemikiran abad pertengahan.

Pemikiran modern penataan kota, yang berupaya memadukan kebutuhan fungsional, kesehatan warga dan estetika, terinspirasi oleh hasil restorasi Paris. Restorasi tersebut dilaksanakan oleh George Eugene Haussmann adalah Prêfet (gubernur) Prefectur Seine tahun 1853-1870. Ia mendapat tugas dari Napoleon III untuk menata kembali kota Paris. Kota ini pada tahun 1850 kondisinya memang memburuk. Napoleon III adalah keponakan Napoleon Bonaparte, yang karena gagal mempertahankan kedudukannya sebagai Presiden Republik Perancis ke 2, lalu memahkotai dirinya sendiri sebagai kaisar Perancis. Napoleon III inilah yang mempunyai kehendak kuat untuk menata Paris. Dicarilah orang yang dianggap bisa melaksanakan kehendaknya dan ditemukanlah seorang administratur bernama George Eugene Haussmann.

Dari sejak berkobarnya revolusi Perancis tahun 1789, ambruknya monarki, munculnya pemerintahan republik yang berubah menjadi kekaisaran dan kemudian menjadi republik lagi, telah menyebabkan Kota Paris seperti tidak terurus. Jumlah penduduknya dari tahun 1800 s/d 1850 meningkat dua kali lipat, sehingga menjadi lebih dari 1 juta Jiwa. Pada tahun 1850 Paris mempunyai jaringan jalan yang semrawut dan sempit. Peninggalan abad pertengahan tersebut ternyata berupa lorong angin yang membuat tidak nyaman bagi pejalan kaki. Selain itu juga dibeli banyak kereta kuda yang menaburkan tahinya. Stasiun kereta api yang dibangun tahun 1840 ternyata telah ikut membuat macet meskipun belum ada mobil. Kehidupan di Paris juga tidak

sehat karena air bersih tidak mencukupi dan sanitasi buruk. Kepadatan penduduk yang tinggi telah membuat penyakit cacar mudah menjadi wabah. Tahun 1832 telah terjadi epidemi cacar. Oleh kondisi Paris yang buruk itulah kemudian Napoleon III menugasi Haussmann untuk membenahinya.

Apa yang kemudian dilakukan Haussmann atas restu Napoleon III adalah:

• Memperbaiki dan meningkatkan sistemsanitasi. Tidak kurang dari 2400 kmsaluran bawah tanah dipasang di Paris. Inimerupakan revolusi penataan kota, yangsemula berdasarkan ide penataan bangunankemudian berdasarkan sistem sanitasi.

• Kapasitas penyediaan air bersih ditingkatkandari 87.000 m3/hari menjadi 400.000m3/hari.

• Membuat jalan jalan baru sepanjang sekitar113 km dan memperbaiki 640 km jalan didalam kota Paris. Diantaranya dilakukanpelebaran jalan dengan trotoar besar.Avenue des Champs Elysêe yang terkenalkenyamanannya bagi pejalan kaki hinggakini, adalah salah satu wujud karyanya .

• Membangun 30.000 gedung baru.Diantaranya yang terkenal hingga saat iniadalah gedung Opera Paris.

• Terinspirasi oleh Hyde Park London, iamembangun ruang publik suatu taman besarBois de Boulogne dan menanam 100.000pohon.

• Menetapkan peraturan bangunan baru.

5.6 Inspirasi dari Paris:Modernisasi Penataan Kota

http://www.citi.io/wp-content/uploads/2015/03/paris_aerial_view.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 46: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara86 87

kota secara utuh. Karya Karsten berupa sisipan, perluasan atau menindih kota yang sudah ada. Selain itu, sebagai profesional, Karsten juga tergantung pada kebijakan pemerintahan Gemeente yang meminta bantuannya. Urbanisme ala Karsten belum sampai pada wujud nyata. Sumbangannya yang penting bersama sejawatnya Maclaine Pont adalah pada kebudayaan Indis. Kedua Indo tersebut telah secara nyata memberikan warna pada apa yang dinamakan Arsitektur Indis. Mereka menggali dan mengangkat arsitektur lokal dan tidak memindahkan apa yang ada di Belanda atau

Eropa ke Hindia Belanda. Meskipun demikian sesuai dengan apa yang ditetapkan Indische Staatsregeling 1926, penataan kota tidak lepas dari konsep diskriminasi dan segregasi sosial. Segala bentuk penataan kota apakah itu berupa penataan lingkungan atau penataan bangunan, menegaskan pemilahan dan pembedaan golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Contoh peraturan bangunan di Bandung tahun 1933, menegaskan adanya bangunan Eropa dan Timur Asing yang ditata dan difasilitasi, dan bangunan pribumi yang ditata dan difasilitasi yang membuahkan kampung. Walaupun demikian Karsten di Semarang dan Bandung mencoba untuk menata kampung bagi pribumi, meskipun dengan fasilitas yang jauh berbeda. Tidak disediakan sanitasi dan pasokan air bagi individu rumah di kampung.

Peranan Karsten dalam penataan bagian kota dapat ditelusuri antara lain di Gemeente sebagai berikut:

SemarangDewan Gemeente kota ini meminta bantuan Karsten untuk menangani perluasan kota di Mlaten dan Candi. Rancangan Karsten di Mlaten Semarang, mencoba membangun keharmonisan antar strata sosial. Strata atas di jalan besar, strata bawah di belakangnya berupa perumahan sederhana dengan jaringan jalan yang lebih kecil dan fasilitas yang sederhana. Tidak disediakan MCK di setiap rumah tetapi suatu MCK umum. Dengan asumsi atau harapan strata bawah yang menempati perumahan sederhana mendapatkan pekerjaan atau sumber penghidupan dari strata di atasnya yang menempati perumahan di jalan besar. Sedang rancangannya untuk wilayah Candi di Semarang, Karsten justru membuat kawasan tersebut eksklusif. Diduga karena pembangunan kawasan Candi tidak dilakukan oleh pemerintahan Gemeente, tetapi oleh pengusaha yang berorientasi pada kekuatan permintaan. Rakyat jelata tidak termasuk golongan permintaan yang kuat dan karena itu tidak dapat masuk kawasan Candi.

Lokasi Karya Karsten di Semarang54 Anthony Sutcliffe (1980) THE RISE OF MODERN URBAN PLANNING 1800-1914, Mansell, London

Adanya pemerintahan Gemeente sejak tahun 1905, yang diperkuat menjadi Stadgemeente dengan ditetapkannya Indische Staatsregeling tahun 1926 (undang-undang penyelenggaraan negara), jelas menjadi pintu masuk bagi pemikiran dan langkah nyata urbanisme modern berkembang pada abad ke 19. Sejak abad ke-19, setelah Baron von Haussman atas perintah Napoleon III berhasil membenahi Paris, munculah pemikiran baru tentang perancangan kota. Sayembara penataan Kota Viena tahun 1858, membuka pintu bagi pemikiran baru tentang perancangan kota. Penataan yang berpusat pada tempat tinggal penguasa seperti Versaille dan Karlsruhe, atau ditata untuk parade dan mobilisasi tentara seperti di Berlin ditinggalkan. Dari Inggris muncul konsep “garden city” yang menawarkan pemaduan kehijauan vegetasi dalam tatanan kota sebagai respon atas urbanisasi oleh industrialisasi. Di Amerika muncul “beautiful city movement” yang berusaha memperindah pusat kemasyarakat atau civic center untuk menanggapi pertumbuhan kota yang acak54. Jaringan jalan dan jaringan utilitas: penyediaan air bersih, sanitasi, drainase dan penyediaan aneka fasilitas pelayanan kota menjadi unsur penting kota yang harus mendapat perhatian.

Pembawa pemikiran perencanaan kota modern di Hindia Belanda antara lain adalah Thomas Karsten. Meskipun kelahiran Amsterdam tahun 1884 dan lulusan TH Delft (sekarang TU Delft)Belanda, tetapi dia berdarah Jawa dari pihak ibunya. Kemudian dia juga menikah dengan orang Jawa yang kakeknya orang Swiss. Selama karirnya di Hindia Belanda sebagai arsitek dan perancang kota Karsten banyak merancang gedung dan kawasan yang merupakan bagian kota. Karsten menjadi perancang atau penasehat

perancangan kota di 9 Gemeente di Jawa yaitu: Semarang, Bandung, Batavia, Magelang, Malang, Bogor, Madiun, Cirebon, Jatinegara, Kota Kasunanan Surakarta dan Kesultananan Yogyakarta dan ibukota Kabupaten Purwokerto. Di di Sumatera Karsten memberi nasehat pada Gemeente Palembang, Padang dan Medan dan di Kalimantan Gemeente Banjarmasin.Ketika baru menginjakan kakinya di Batavia

dia melihat kota yang tumbuh secara organik, terfragmentasi dan inkremental ini membentuk permukiman yang segregatif berdasarkan suku dan ras. Secara jelas dapat dikenali adanya permukiman Eropa, permukiman Tionghoa dan permukiman pribadi yang terkelompok berdasarkan suku. Kampung Jawa, kampung Bali, kampung Ambon dan sebagainya. Karsten memandang Batavia sebagai kumpulan kampung dan bukan suatu kesatuan kota. Ini seperti pendapat Raffle tentang Surakarta seratus tahun sebelumnya.

Meskipun Karsten mempunyai pemikiran yang utuh tentang suatu kota di Hindia Belanda, tetapi tidak pernah mendapatkan tugas merancang

5.7 Modernisasi Penataan Kota

Karsten menjadi perancang dan penasehat perancangan kota

di 9 Gemeente di Jawa yaitu: Semarang, Bandung, Batavia,

Magelang, Malang, Bogor, Madiun, Cirebon, Jatinegara,

Surakarta, Yogyakarta dan Purwokerto.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 47: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara88 89

Tahun 1930 Surakarta berpenduduk 165.484 orang dan Yogyakarta 165.484 orang tergolong kota besar pada waktu itu. Keduanya mendapat perlakuan khusus sebagai ibukota Kasunanan dan ibukota Kesultanan. Keduanya tidak terkena peraturan perundangan Hindia Belanda, tidak akan menjadi Gemeente. Peranan pemerintah Hindia Belanda pada kedua kota tersebut ditetapkan berdasarkan plakat panjang, semacam kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan Sunan dan Sultan . Juga disertai plakat yang mengakui hak pemerintah Hindia Belanda untuk mengikut campuri urusan Kasunanan dan Kesultanan. mempunyai wewenang penuh untuk menata kota. Di Surakarta pasar Gede dan taman rekreasi Sriwedari adalah inisiatif Sunan Surakarta yang menjadi fasilitas publik baru sekitar tahun 1930, yang artinya lebih dari 150 tahun setelah adanya keraton. Awalnya

prioritas pembangunan kota juga berpusat di sekitar keraton, berupa tembok tempat tinggal para kerabat dan pegawai raja dan benteng yang menegaskan ekslusivitas keraton.

Di Yogyakarta ada inisiatif dari Residen Yogyakarta seizin Sultan untuk membangun Nieuwe Wijk (Distrik Baru) yang orang Yogya menyebutnya sebagai Kota Baru Konon kawasan ini dirancang dengan konsep garden city versi Karsten tetapi Karsten sendiri tidak menanganinya secara langsung. Pembangunannya dimulai pada 1917 dan selesai pada awal 1920. Permukiman seluas sekitar 70 Ha ini juga diisi dengan dengan rumah sakit, sekolah, lapangan olah raga dan hunian yang diperuntukan orang Belanda. Dengan demikian Kota Baru Yogyakarta awalnya adalah kawasan permukiman eksklusif.

5.8Niewe Wijk Yogyakarta 1920

Dua Kota Diluar Gemeente: Surakarta dan Yogyakarta

MalangDewan Gemeente Malang, tahun 1929 meminta nasihat Karsten, yang telah menjadi ahli perencanaan kota yang terkenal, tentang bagaimana mengimplementasikan rencana perluasan Kota Malang (Bouw Plan) yang telah disiapkan pihak Gemeente tahun 1914. Dewan Gemeente sendiri mempunyai wawasan dan kemampuan untuk mengelola pengembangan kota. Karsten menangani rancangan detail Bouwplan V dan VII yang menjadi bagian kota yang paling indah di Malang yaitu boulevard Ijen yang mulai dibangun tahun 1935. Penataan kawasan dengan kavling besar, antara 700 sampai 1250 m2 per kavling dengan jalur jalan dan median yang lebar, telah menjadi boulevard Ijen sebagai kota taman.

Untuk kota Malang ini Karsten memang mendapatkan tugas merancang kawasan permukiman bagi orang Eropa. Karena tahun 1930, Stadgemeente Malang telah mengantisipasi akan meningkatnya orang Eropa yang akan menjadi penduduk kota Malang. Karena itu seperti apa yang terjadi dengan kawasan Candi di Semarang, kepekaan sosial dan pemaduan antar lapisan dan masyarakat kota tidak dihadirkan dalam rancangan bolouvard Ijen ini.

Bouw Plan Malang

Kawasan Boulevard Ijen Malang

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 48: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara90 91

5.10 MemperjuangkanPenataan Kota

Upaya untuk mewujudkan kota yang padu, serasi, indah dan dapat memfasilitasi kebutuhan segenap lapisan warga kota terbentur pada kondisi nyata dan kebijakan tingkat Gemeente. Oleh karena itu Karsten dan kawan sepahamnya mencoba membuka medan perjuangan pada aras lebih tinggi yang menjadi sumber hukum penataan kota pada tingkat Gemeente.

Pada tingkat Gemeente penataan kota dimulai dengan peraturan bangunan. Peraturan ini pada mulanya disusun dalam kaitannya dengan hak atas tanah yang kemudian didukung oleh undang-undang hak sipil atau lebih dikenal sebagai hukum perdata. Memungut hak sipil yang diciptakan oleh Napoleon (kode sipil Napoleon), pemerintah Hindia Belanda menetapkan hak sipil bagi penduduk Hindia Belanda yang digolongkan dalam empat golongan: Barat, Timur Asing, Cina dan Pribumi. Karena itu dalam peraturan bangunan ini pun ada pembedaan antara golongan Barat, Timur Asing, Cina dan Pribumi (Con¬toh: Bandung Bouwverordening 1933). Perumahan golongan Barat diatur kondisi dan fasilitasnya, sedangkan perumahan bagi golongan

pribumi cenderung tidak diatur. Peraturan inilah yang digunakan sebagai alat pengendali kota sebelum ada tindakan mengatur kota secara menyeluruh.

Antara tahun 1920-an dan 1930-an, Thomas Karsten telah mempelopori dan memperjuangkan adanya: perencanaan kota yang menyeluruh, mencoba meniadakan pengelompokan etnis dalam penataan kota, dan berusaha mendapatkan kejelasan wewenang dan ketegasan pemerintah daerah dalam penataan kota sehubungan dengan adanya undang-undang desentralisasi kota.

Kongres desentralisasi tahun 1933, merekomendasikan perlunya undang-undang perencanaan kota yang berlaku bagi seluruh kota di Hindia Belanda. Pada tahun 1934 dibentuklah komisi perencanaan kota, yang diketuai oleh J. H. A. Logemann, dan Karsten, Th jsse serta Soesilo sebagai anggotanya55. Komisi inilah yang mempersiapkan rancangan undang-undang perencanaan kota, yang tidak sempat diundangkan karena pemerintahan Belanda dikalahkan Jepang.

55 Bogaers and de Ruijter: Thomas Karsten and Indonesia Town Planning 1915-1940 dalam Peter JM Nas (1986), THE INDONESIAN CITY: studies in urban development and planning, Fois Publication, Dortrech Holland

5.9Upaya Menyehatkan LingkunganPada umumnya, orang Belanda yang tinggal di Nusantara merasa terancam oleh penyakit tropis. Apalagi sudah dicontohkan oleh Jan Pieterszoon Coen, yang meninggal tahun 1929 karena sakit kolera, meskipun sebagian orang percaya ia dibunuh oleh agen rahasia Sultan Agung. Bagaimanapun penyakit yang ditimbulkan dan ditularkan oleh kondisi lingkungan tersebut menjadi perhatian besar ketika makin banyaknya orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda. Terutama para pengusaha yang membentuk koloni di berbagai kota, terutama si kota yang berhawa sejuk seperti Bandung, Salatiga, Malang, Sukabumi dan berbagai kota tempat mereka berusaha. Para kolonis inilah yang juga kekuatan politik yang mempengaruhi penyelenggaraan perkotaan di Hindia Belanda.

Mengiringi Decentralisasi Wet 1906, muncul upaya penyehatan kota berupa penyediaan air bersih dan sanitasi. Ada prakarsa untuk membangun instalasi pengolahan air limbah di Bandung tahun 1916, di Cirebon 1920, di Yogyakarta 1935, di Balige 1939, di Surakarta 1940. Selain itu tahun 1920 mulai ada upaya untuk memperbaiki kampung (kampung verbetering) di Batavia, Semarang dan Surabaya.

Berbagai upaya penyehatan kota tersebut dapat dipandang dari dua sisi. Sisi pertama memandang upaya untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan sehat bagi para kolonis yang terus berdatangan. Sisi lain adalah karena dorongan kemanusiaan, yaitu prakarsa untuk meningkatkan kualitas tempat tinggal pribumi yang memburuk. Kondisi yang bukan saja mengancam penghuninya tetapi juga warga kota lain.http://kekunoan.com/wp-content/uploads/2017/05/perahu-penyeberangan-di-kampung-melayu.jpg

https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/27/bogor8-55b57004f17a61f50e698d2b.jpg?v=400&t=o?t=o&v=700

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 49: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara Menelusuri Jejak Kota di Nusantara92 93

5.12 Pendudukan Jepang: Menyiapkan Kota untuk Berperang

Pada tahun 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkeborg Starkonwer menyerah begitu saja kepada tentara Jepang, karena negeri Belanda yang menjadi induk Hindia Belanda telah dikuasai Jerman. Dalam jangka waktu 100 hari seluruh Indonesia disapu bersih oleh bala tentara Jepang. Meskipun di Timor Timur masih menjadi basis gerilya Australia dan di Merauke masih berkibar bendera Belanda, Jepang menduduki Indonesia dalam rangka perang. Jawa dan Sumatera dibawah kendali Divisi Angkatan Darat, sedang bagian timur dikendalikan oleh Angkatan Laut. Kota di Indonesia disiapkan untuk berperang melawan Amerika dan sekutunya (dengan semboyan Amerika kita setrika, Inggris kita linggis). Jepang tidak mengurus kota untuk menyejahterahkan rakyat, tetapi untuk berperang. Karena itu, yang dibangun adalah bunker komando, gua logistik amunisi, lapangan udara, dan berbagai bangunan pertahanan.

Di semua kota, penguasa Jepang mengorgani-sasikan penduduk dalam satuan sosial yang disebut tonari gumi yang disiapkan untuk menghadapi perang (antara lain: memadamkan kebakaran dan mengatasi dampak pengeboman, berlindung atas serangan udara). Tonari gumi inilah cikal bakal adanya organisasi rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) yang kita kenal sekarang. Selain itu perempuan juga diorganisasikan (diberi nama fujinkai) untuk berperan serta dalam situasi perang, antara lain dilatih memberi pertolongan (palang merah) dan menyiapkan logistik. Jepang memobilisai pemuda untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA), merekrut pemuda untuk menjadi serdadu (heiho) dan tenaga kerja secara paksa (romusha) untuk menyiapkan prasarana perang. Di negerinya sendiri, di Jepang ada perbedaan pandangan antara pihak yang pro gerakan militer dan para kapitalis yang berusaha dan berdagang.

5.11 Kota sebagai WahanaKebangkitan Kebangsaan

Dalam kesibukannya menata kota dan pemerintahan kota, Pemerintahan Hindia Belanda secara tidak sengaja juga menciptakan persemaian tumbuhnya kebangsaan. Ini terjadi karena pemerintah Hindia Belanda telah membangun cikal bakal pendidikan tinggi pertama yang disebut sekolah dokter Jawa atau School tot Opleiding voor Indische Arsten (STOVIA) di Jakarta pada tahun 1851. STOVIA ketika didirikan tidak lebih dari sekolah menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (mantri cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun. STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi. Baru pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter

Bumiputera). Tidak dinyana dari pendidikan inilah lahir tokoh kebangsaan pada awal abad ke 20. Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, Soeradjiadalah tokoh lulusan dan mahasiswa STOVIAyang mencetuskan organisasi kebangsaan BoediOetomo. Virus kebangsaan yang lahir di Bataviaini kemudian merambah ke kota besar lain:Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Gerakankebangsaan tampak seiring dengan didirikannyapendidikan tinggi di kota tersebut.

Dengan demikian memasuki abad ke-20, perlawanan terhadap penjajahan Belanda, tidak hanya bersifat lokal dan fisik, tetapi menginjak babak baru yang bersifat nasional dan intelektual. Kota telah memberikan iklim bagi tumbuh dan berkembangnya perjuangan kebangsaan tersebut.

https://static.pemoeda.co.id/images/blogs/content/4Y2VYbyiJp_7PasukanJepang.jpg

http://3.bp.blogspot.com/-VahwYPKfOVs/UxqNlTu9MOI/AAAAAAAAEv8/mbTR5A8VPNk/s1600/SILIWANGI+HIJRAH+7.jpg

Page 50: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara94

6Perkotaan dalam

Naungan NKRI

Walaupun pro militer lebih berpengaruh, tetapi disela perang Asia tersebut para kapitalis ini berhasil menyusup membangun toko eceran besar (department store) dan industriawan yang bersiap-siap apabila Jepang kalah perang. Para kapitalis Jepang inilah yang kelak melakukan invasi ekonomi ke berbagai negara di Asia Tenggara, dan juga ke Indonesia setelah penanaman modal asing dibuka.

Jepang tidak punya peninggalan fisik yang berarti bagi perkotaan di Indonesia, tetapi mempunyai jejak nyata dalam persiapan sosial dan ekspansi ekonomi Jepang sendiri. Ketika diproklamasikan adanya Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia mendapatkan kota seperti yang dibina Hindia Belanda. Sedangkan Jepang memberi peninggalan tentara yang terlatih dan organisasi sosial yang kemudian menjadi rukun warga dan rukun tetangga.

Setelah Jepang bertekuk lutut, ada dua pilihan yang dihadapi sekutu atas negara bekas jajahan. Mengembalikan kepada negara imperialis yang semula menjajah atau membiarkan merdeka. Inggris berniat untuk kembali menjajah, dan itu dilakukannya terhadap Malaya (Malaka) dan Singapura. Amerika sebagai pemenang perang melihat sistuasi apa yang dapat dilakukan

kawan sekutunya. Terhadap Indonesia Amerika mempunyai keraguan, apakah Belanda dapat melakukannya seperti yang dilakukan Inggris di Malaya (Malaka) dan Singapura. Di Indonesia segera diproklamasikan negara Indonesia yang merdeka. Oleh karena diantara sekutu yang memenangkan perang Inggris yang paling bersemangat mengembalikan imperialisme, Inggris pula yang mempelopori kembalinya imperialis di Indonesia, dan memimpin pasukan sekutu yaitu AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies). Ada pun tugas AFNEI adalah: (1) Membebaskan tawanan perang Sekutu yang ditahan Jepang, (2) Menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang, (3) Melucuti dan memulangkan tentara Jepang (4) Mencari dan menuntut penjahat perang.

Ternyata semangat kebangsaan Indonesia telah begitu merasuk ke jiwa raga bangsa Indonesia, menghalangi niat untuk mengembalikan penjahan tersebut. Terjadilah selang-seling pertempuran dan perundingan antara tahun 1945 sampai dengan 1949 yang diakhiri dengan Konferensi Meja Bundar. Konferesi itu memastikan bahwa Belanda harus mengundurkan diri dari wilayah Indonesia dan Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat.

https://jurnalsrigunting.files.wordpress.com/2013/09/img_0012.jpg

Page 51: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara96 97

Era ini berlangsung dari sejak proklamasi kemerdekaan sampai terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat yang kemudian meleburkan diri kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama era perjuangan kemerdekaan ini, kota menjadi ajang pertempuran, dan selain itu juga menjadi wahana negosiasiasi antar berbagai pihak tentang dasar dan bentuk negara serta sistem pemerintahannya. Negosiasi tersebut diantaranya ada yang memanas dan menjadi pertikaian bersenjata. Berbagai kota terabaikan dan menderita karena pertikaian bersenjata tersebut. Meski kota tidak aman dan menjadi ajang pertikaian dan pertempuran, tetapi pada tanggal 23 Juli 1948 Letnan Gubernur Jendral pemerintahan sipil Hindia Belanda menetapkan Stadtsvorming Ordonantie (SVO) atau Undang-Undang Pembentukan Kota. Kemudian tahun 1949 diterbitkan Stadtsvorming Verordening (SVV) sebagai peraturan pelaksanaannya. Walaupun ternyata pada Desember 1949 itu pula pemerintah sipil Hindia Belanda, harus menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat.

Juga disebut sebagai era demokrasi parlementer, karena parlemenlah yang berkuasa menentukan jatuh bangunnya kabinet pemerintahan. Anggota parlemen mewakili partai, yang oleh pemerintah memang didorong pertumbuhannya dengan apa yang dikenal sebagai maklumat 3 November 1945. Partai inilah dengan alasan ideologis maupun kepentingan sesaat selalu bernafsu untuk mengganti dan menguasasi kabinet pemerintahan. Era ini berlangsung dari sejak menjelmanya RIS menjadi Republik Indonesia yaitu dari tahun 1950 s/d 1955. Pada era itu pemerintahan tidak stabil karena selalu dijatuhkan oleh parlemen oleh perbedaan kepentingan dan ideologi partai. Sedang diluar pemerintahan terjadi gejolak, ada yang mempermasalahkan dasar dan bentuk negara. Ada yang telah menerima dasar negara seperti yang disepakati dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 dan ada yang menghendaki rumusan yang lebih eksplisit. Ada yang menghendaki federasi ada yang menghendaki negara persatuan Indonesia. Dalam jangka 1950-1955 telah terjadi 4 kali pergantian kabinet. Sedang di luar kabinet berlangsung pertikaian bersenjata yang terjadi di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan

Era Perjuangan Kemerdekaan(1945 - 1949)

Era Demokrasi Liberal (1950 - 1959)

6.1 Perkembangan NKRI dariProklamasi sampai Reformasi: Pengaruhnya pada Perkotaan

Buku sejarah nasional menunjukkan bahwa berbagai “kerajaan” telah hadir di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia sejak tahun 113, sejak awal abad ke 2. Sedang Negara Kesatuan Republik Indonesia baru di proklamasikan 1945 pertengahan abad ke 20. Apabila kota mengiringi kehadiran berbagai kerajaan kuno tersebut sebagai ibu kota kerajaan, mestinya kota juga sudah ada sejak awal abad ke-2 juga. Walaupun demikian sebagian besar kota yang dapat dikenali, merupakan jejak orang Eropa terutama Belanda di Indonesia yang hadir sejak abad ke 16. Perkotaan di Indonesia memang berusia lebih tua dari pada usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi yang tetap hadir sampai kini pada umumnya adalah peninggalan atau paling tidak mendapat pengaruh Eropa terutama Belanda. Ada mukiman peninggalan kebudayaan batu besar atau megalitikum. Artinya mukiman jauh sebelum datangnya orang Eropa yang masih hadir sampai kini, tetapi tidak digolongkan suatu kota karena skalanya.

Perkotaan di bawah naungan Negara Republik Indonesia relatif masih sangat muda, tetapi perkembangan perkotaan justru sangat pesat pada era tersebut. Sensus penduduk 1961 menunjukkan jumlah penduduk perkotaan berjumlah 14,5 juta jiwa atau 15 % jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sedang sensus tahun 2010 mencatat penduduk perkotaan mencapai 118,2 juta jiwa atau 46,7 % penduduk Indonesia dan diproyeksikan tahun 2020 penduduk perkotaan akan mencapai 56,7 %. Tahun 1961 hanya ada sebuah kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, tahun 2015 menjadi 9 kota.

Defin si penduduk perkotaan menurut sensus tahun 1961 memang berbeda dengan defin si tahun 2010, tetapi konsep dasarnya sama yaitu konsentrasi penduduk dalam suatu wilayah administrasi, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan fasilitas yang tersedia. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa perkotaan memang berkembang pesat ketika berada di bawah naungan NKRI. Penyebab utamanya jelas yaitu pertumbuhan penduduk, berkembangnya sumber penghidupan non pertanian dan berkembangnya aneka pelayanan kehidupan di perkotaan.

Dalam lingkup dunia pun proses mengota tidak pernah bisa dicegah dan harus diterima sebagai realita politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Perkotaan dimanapun di dunia, makin bertambah banyak jumlahnya, makin bervariasi ukuran maupun fungsinya. Oleh karena itu pemerintahan kota pun terus bertambah. Pemerintahan Hindia Belanda meninggalkan 32 pemerintahan kota yang disebut Stadsgemeente, dan tahun 2017 di bawah naungan NKRI telah hadir 98 pemerintahan Kota. Kehadiran, tanggungjawab, wewenang dan kewajiban pemerintah Kota ini juga mengalami perubahan seiring dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal dalam jangka hampir 70 tahun telah terjadi perubahan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dengan sendirinya mempengaruhi perkotaan. Perubahan penting yang tercatat dalam berbagai buku sejarah nasional yang dikaji pengaruhnya terhadap kota adalah sebagai berikut:

http://www.ayoksinau.com/wp-content/uploads/2016/12/proklamasi-ayoksinau.com_-600x318.png

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 52: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara98 99

Era Demokrasi Terpimpin(1959 - 1965)

Pada era demokrasi terpimpin kabinet pemerintahan tidak dapat lagi dijatuhkan parlemen. Kemudian Pemerintah menyususn Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk jangka waktu 1961-1969. Pelaksanaan rencana pembangunan semesta banyak ditentukan oleh Presiden tanpa disertai penganggaran yang berdisiplin dan menolak investasi dari luar. Selanjutnya oleh penyelenggaraan perekonomian yang lemah, kekayaan dan keuangan negara yang salah urus, inflasi yang tinggi, kemiskinan yang terus meningkat, telah memperluas ketidak puasan masyarakat. Konflik politik pun memuncak yang kemudian berujung pada konflik sosial. Kondisi tersebut menyebabkan runtuhnya sistem demokrasi terpimpin yang juga dinamakan orde lama dan digantikan oleh sistem pemerintahan yang disebut sebagai orde baru. Selama demokrasi terpimpin pembangunan kota terfokus di Jakarta. Di kota ini telah dilakukan pembangunan besar-besaran yang terutama ditujukan untuk membangkitkan kebanggaan berbangsa, dengan membangun berbagai monumen dan bangunan yang dianggap meningkatkan martabat bangsa. Untuk menangani pembangunan kota tersebut, tahun 1964 dibentuk Kementerian Cipta Karya dan Konstruksi, dibawah koordinasi Kompartemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Sedang pemerintahan kota yang dirumuskan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Karena yang semula mengacu pada UU Dasar Sementara kemudian harus mengacu pada UU Dasar 1945

Era Orde Baru(1966 - 1998)

Pemerintahan orde baru boleh dibilang pemerintahan paling stabil dibanding era sebelumnya. Pemerintahan orde baru ini mengawali penyelenggaraan pemerintahannya dengan melakukan konsolidasi pemerintahan. Tahun 1967-1968, pemerintahan yang dipimpin oleh Pejabat Sementara Presiden memusatkan perhatiannya pada keamanan, merubah politik luar negeri dari konfrontasi dengan kooperasi, mengatasi gejolak fiskal dan moneter. Selain itu membuka dan mendorong penanam modal dalam negeri dan modal asing, dan mengupayakan pinjaman dari lembaga keuangan internasional. Selanjutnya sejak 1968 , setelah Presiden secara defin tif d iganti, disusunlah rencana pembangunan lima tahun pertama 1969-1974 . Pembangunan ini diselenggarakan secara sistematis dengan arahan Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan MPR dan dilaksanakan dengan penggunaan anggaran yang berdisiplin. Rencana pembangunan lima tahunan adalah sistematika pembangunan yang diikuti dengan taat asas selama 30 tahun sampai berakhirnya orde baru. Dalam era ini telah dilakukan berbagai upaya membangun pranata untuk menata dan mengarahkan perkotaan. Realitanya terjadi perkembangan kota yang merupakan dampak atau inisiatif di luar pranata yang disiapkan pemerintah. Dalam era orde baru ini telah terjadi situasi sebagai berikut:

Perkotaan di Indonesia memang berusia lebih tua daripada usia Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi yang tetap hadir sampai kini pada umumnya adalah peninggalan atau paling tidak mendapat pengaruh Eropa terutama Belanda

56 SETENGAH ABAD PERUMAHAN RAKYAT (1995), KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT

dan Jawa Barat. Tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota Konsituante. Konsituante yang anggotanya terpilih melalui pemilihan umum 1955 tersebut adalah lembaga yang bertanggung jawab menyusun UUD Republik Indonesia. Lembaga ini merupakan gelanggang formal adu ideologi dan konsep tentang negara dan undang-undang dasar yang menjadi dasar penyelenggaraan negara selanjutnya. Selama tiga tahun anggota kosntituante bernegosiasi tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden menerbitkan dekrit: membubarkan Konsituante dan kembali ke UUD 45. Sesuai dengan undang-undang dasar ini Presiden memimpin pemerintahan secara langsung, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara sebelum pemilihan umum dilaksanakan dan membentuk berbagai lembaga negara sesuai dengan UUD 45. NKRI masuk dalam

era yang disebut demokrasi terpimpim, yaitu demokrasi dipimpin oleh Presiden. Wajah kota pun kemudian banyak ditentukan oleh Presiden. Walaupun antara tahun 1950-1955 pemerintahan tidak stabil, tetapi pembangunan Kebayoran Baru dapat diselesaikan dan Ibukota Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Bahkan pada tanggal 25-30 Agustus 1952, diselenggarakan kongres perumahan rakyat pertama, antara lain ditindak lanjuti dengan dibentuknya Yayasan Kas Pembangunan yang mengisi kekurangan rumah di berbagai kota di Indonesia56. Disisi lain di berbagai kota terjadi pertumbuhan kampung dengan pesat yang disebabkan oleh pengungsian dari perdesaan atau kota kecil disebabkan oleh keamanan. Sedang pengelolaan kota ditentukan oleh Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

https://4.bp.blogspot.com/-_HDA4Bu_y1g/WmpFBiB--mI/AAAAAAAAAKU/wQYAlozfrGYN293s4Kg5r8HS6ZXEAdk_wCPcBGAYYCw/s1600/RajinMembaca-Bung-Karno.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 53: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara100 101

6.2 Era Perjuangan Kemerdekaan:Kota sebagai Ajang Pertempuran

Pihak sekutu yang berhasil menaklukan Jepang sepakat untuk mengembalikan wilayah negeri jajahan kepada negara penjajahnya. Inggris yang merasa menjadi pemimpin sekutu di Asia Tenggara, dengan mulus menguasai kembali Semenanjung Malaya (Semenanjung Malaka), dan diteruskan untuk menguasai Pulau Jawa. Pihak Belanda yang akan menerima penyerahan tersebut mengikuti langkah yang dilakukan Inggris, tetapi ternyata kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah diproklamasikan lebih dahulu. Rakyat Indonesia menolak kehadiran sekutu dan melakukan perlawanan, yang paling sengit terjadi di Kota Surabaya.

Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mewarisi perkotaan dengan damai tetapi merebutnya dengan keringat dan darah. Karena itu yang diterima oleh bangsa Indonesia adalah kota yang rusak oleh pertempuran, atau

sengaja dihancurkan sebagai siasat perang. Antara tahun 1945 sampai dengan 1949 terjadi perebutan fisik, peguasaan atau penghancuran kawasan dan gedung, sehingga pengurusan kota pada waktu itu memang terabaikan

Walaupun demikian Pemerintahan Republik Indonesia yang masih bayi telah mencoba mengurus Stadsgemeente peninggalan Hindia Belanda. Hal ini selain dilakukan untuk mencegah kekosongan kekuasaan setelah runtuhnya kekuasaan Jepang, juga dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang Dasar 1945 yang diberlakukan sehari setelah proklamasi. Pasal 18 UUD 45 tersebut mengamanatkan adanya: pembagian daerah atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan

Pengembangankan kepranataan untuk menata kota dan menyiapkan rencana perkotaan dalam upaya untuk:

1. mengganti SVO dengan RUU Bina Kotayang tidak pernah terwujud. Memandupe- rencanaan kota dengan aneka kebi-jakan ad-hoc;

2. mengubah pemerintahan kota yangtercantum dalam UU No.18/1965 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daer-ah dengan UU No 5 Tahun 1974 tentangPokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;

3. menyiapkan rencana pengembanganme- tropolitan yang dimulai dengan Ja-botabek dan seterusnya;

4. menyiapkan Strategi PengembanganKekotaan (National Urban DevelopmentStrategy, NUDS) yang menekankan padaperbaikan kampung, perbaikan prasa-rana kota dan meningkatkan hubunganantar kota;

5. menyusun kebijakan pewilayahan indus-tri yang awalnya didorong oleh Undang-Undang Penanaman Modal, menumbu-hkan zona industri yang mempengaruhiperkembangan berbagai kota. Kemu-dian pada tahun 1987 diterbitkan kebi-jakan kawasan industri yang membuatperubahan perkotaan secara signifikandi sekitar Jakarta, Surabaya, Medan,danMakassar;

6. menetapkan kebijakan dan melaksan-akan pembangunan perumahan yangmengisi, memperluas, dan merubah wa-jah berbagai kota;

7. menerbitkan UU No.4/1992 tentangPerumahan dan Permukiman yang an-tara lain tertuju pada pengelolaan per-mukiman skala besar atau kota baru;

8. menerbitkan UU No.24/1992 tentangPenataan Ruang yang menghapus SVO.Walaupun sesungguhnya undang-un-dang ini tidak dapat menggantikan SVO.

Realita perkembangan perkotaan:

1. sebagai hasil kebijakan yang memangtertuju pada permukiman dan perkotaanyang mencakup pembangunan peruma-han, perbaikan kampung, pembangunanprasarana kota;

2. sebagai dampak kebijakan industri,eks- ploitasi sumberdaya alam dan trans-migrasi;

3. pembangunan perumahan kota olehswasta.

Tahun 1998 orde baru ditumbangkan, kemudian Undang-Undang Dasar 1945 diamendemen, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia bergerak menjadi negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, lebih demokratis, dan diselenggarakan dengan terdesentralisasi. Pemerintah kota yang pimpinannya dipilih langsung oleh warga kota dapat lebih berinisiatif dengan dukungan warga kota. Kebebasan ini juga meliputi perekonomian yang mencakup kebebasan berusaha dan berdagang. Walaupun demikian kebebasan tersebut juga menuntut tanggung jawab sosial dan lingkungan. Untuk menjamin agar tanggung jawab tersebut dilaksanakan, pemerintah juga melakukan pengawasan dan pengendalian. Suatu upaya untuk mendorong manusia Indonesia menjadi mahluk sosial yang berbudaya dan menekan watak sebagai mahluk biologis yang individual. Berbagai cara dan alat pengendalian yang dituangkan dalam berbagai norma, pengorganisasian, dan mekanisme kerja masih terus dicari agar sesuai dengan kehidupan yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasikan serta menjujung tinggi hak asasi manusia.

Era Pasca Reformasi(1998)

http://4.bp.blogspot.com/-dBkOF77fYx4/UoBuPe6Ik9I/AAAAAAAAGUg/XkwGK0BmwHQ/s1600/IWM-SE-5865-Brigadier-Mallaby-burnt-car-194511.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 54: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara102 103

6.3Demokrasi Liberal:

Hadirnya Kebayoran Baru dan Kondisi Berbagai Kota

Sebelum menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat, NICA (Neteherlands Civil Administration) sempat menggagas pembangunan kota. Untuk itu disusunlah Ordonasi Pembentukan Kota (SVO: Stadsvorming ordonatie). Ordonasi ini sesungguhnya telah disiapkan sejak 1934 , oleh Komisi Perencanaan Kota yang diketuai ahli hukum Belanda Logemann dan beranggotakan ahli perancanaan kota: Karsten, Th jse dan Soesilo. Komisi ini yang kemudian mengasilkan Stadsverordening Ordonatie Stadmeenten Java 1938 (Peraturan Perencaan Kota untuk Pemerintah Kota di Jawa 1938 dan Kringen en Typen Verordening (Peraturan tentang Tipe Lingkungan) 1941. Ordonasi dan peraturan ini tidak sempat diformalkan karena Belanda

6.3.1 SVO Landasan Hukum

Pembangunan Kotakeburu menyerah pada Jepang. Ordonasi itulah yang pada tahun 1948 dihidupkan kembali dan disesuaikan dengan situasi dan posisi NICA.Dalam ordonasi dinyatakan bahwa pengaturan ini dimaksud untuk menjamin pembentukan kota yang dipertimbangan dengan seksama, terutama untuk kepentingan pembangunan kembali secara cepat dan tepat dari daerah-daerah yang ditimpa peperangan. Para teknokrat NICA menandai Kota Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tangerang, Bekasi, serta daerah sekitar Kebayoran dan Pasar Minggu sebagai daerah yang dimaksud dengan undang-undang ini. Pada bulan Februari 1949 diterbitkan peraturan pelaksanan yang lebih detail yang disebut Stadtvorming Verordeing (SVV).

Negara dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa. Sebagai pelaksanaan atas amanat pasal 18 UUD 45 diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang berlaku sejak 23 November 1945 merupakan undang-undang pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Undang-undang sederhana yang hanya terdiri dari 6 pasal ini menyatakan bahwa Komite Nasional Daerah diadakan di Keresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri, kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta. Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah-tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya. Stadgmeente tidak diubah tetapi Stadgemeenteraad diganti oleh Komite Nasional Daerah, nama yang agak aneh karena menyatukan nasional dengan daerah. Kemudian pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang ini muncul istilah Daerah Kabupaten atau Kota Besar yang meliputi semua bekas Stadgemeente yang kepalanya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri, dan istilah Daerah Desa atau Kota Kecil yang kepalanya diangkat oleh Gubernur.

Meskipun demikian kota tetap tidak terurus karena menjadi ajang pertempuran antara pihak tentara Belanda dan pihak Tentara Nasional Indonesia. Pemerintahan sipil yang dibentuk untuk menerima wilayah bekas pendudukan Jepang dari sekutu, yaitu Nederlands Indies Civil Adminsitration (NICA) berhasil menguasai kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung dan yang terakhir Yogyakarta dan Surakarta, tetapi tidak pernah menguasai secara penuh. Bahkan tahun 1949 Yogyakarta dan kemudian Surakarta berhasil direbut kembali, yang menunjukkan adanya kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk memukul balik.

Walaupun demikian pihak Belanda mempunyai optimisme untuk menguasai kota di Indonesia. Bulan Agustus 1948 NICA menerbitkan Undang-Undang Pembentukan Kota atau Stadtvorming Ordonantie disingkat (SVO). Optimisme pihak Belanda ini bisa dimengerti karena pada bulan Desember 1948 pihak Belanda berhasil menguasai Yogyakarta dan menangkap Presiden Republik Indonesia beserta anggota kabinetnya. Pihak Belanda mungkin tidak menduga adanya tekanan internasional yang mendesaknya ke meja perundingan dengan pihak Indonesia, dan kemudian harus menyerahkan kekuasaannya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) . Ternyata dalam jangka kurang dari satu tahun (RIS) telah meleburkan diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Meskipun demikian pemerintahan NICA telah sempat mencoba mengimplementasikan UU Pembentukan Kota (SVO) dengan dukungan Bank Dunia untuk membangun Kebayoran Baru. Pemerintah Belanda telah berhasil menempatkan pembangunan Kebayoran Baru sebagai bagian dari program rekonstruksi kota akibat perang dunia ke II.

http://4.bp.blogspot.com/-fG3R5qyynyI/UoBJXVkYv8I/AAAAAAAAGSs/9Zw0E_XqLnw/s1600/Surabaya.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 55: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara104 105

menyerahkan kekuasaannya pada Desember 1949 telah terbangun lebih dari 2000 rumah, 42km jaringan jalan, dan 17 km saluran air bersih. Pindahnya pusat pemerintahan dari Yogyakarta ke Jakarta membawa serta calon penghuni Kebayoran Baru yang pada umumnya pegawai negeri58.

Kebayoran Baru semula disebut sebagai “kota satelit” Jakarta, tetapi dalam perkembangannya ternyata menjadi wilayah perluasan Jakarta. Menyatunya Kebayoran Baru dengan Jakarta ini dianggap suatu kegagalan perencanaan, tetapi apabila ditinjau perkembangan aktivitas, nilai tanah dan lingkungan yang tercipta, Kebayoran Baru adalah suatu keberhasilan.

6.3.2

58 Abdurrahman Surjomihardjo (1977) Pemekaran Kota Jakarta, Jambatan Jakarta

Pengaruh Berbagai PeristiwaSetelah negara bagian Republik Indonesia Serikat melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara ini memasuki babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima tahun pertama, diasuh oleh pemerintahan yang tidak stabil. Dalam jangka 1950-1955 telah terjadi empat kali pergantian kabinet. Kemudian pada bulan September 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama untuk anggota DPR dan Desember 1955 pemilihan untuk anggota Konsituante.

Sebelum pemilihan umum tersebut, pada bulan April 1955 pemerintah Indonesia menyelanggarakan konferensi internasional yang monumental yaitu Konferensi Asia Afrika. Tujuan konferensi adalah untuk membangun kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan untuk melawan kolonialisme atau neokolonialisme seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Tahap Pembangunan Kebayoran Baru dari Tahun 1949-1954

Rencana Kota Kabayoran Baru 1948

Pembangunan kota baru Kebayoran diputuskan oleh apa yang dinamakan pemerintahan “pra-federal” dan secara teknis dirancang oleh Central Panologisch Berau. Rancangan teknis tersebut ditangani oleh ahli Indonesia dan ahli Belanda pecinta Indonesia. Para ahli yang mengimajinasikan Kebayoran Baru sebagai kota kebun (garden city) dan kota khas Jawa57. Walaupun demikian keputusan pokoknya berada ditangan Pemeritahan Sipil Hindia Belanda (NICA atau Netherlands Indische Civil Administration) yang sedang menyiapkan suatu pemerintahan federal. Pemerintah NICA membayangkan Kebayoran Baru sebagai kota satelit Jakarta yang akan menjadi ibukota Republik Indonesia Serikat. Karena itu dengan senang hati pemerintah NICA menyerahkan Kebayoran Baru kepada pemerintah RIS, yang tidak dinyana dalam jangka sembilan bulan RIS menjelma menjadi Republik Indonesia. Kebayoran Baru yang dipertimbangkan sebagai perluasan Jakarta sebagai ibu kota RIS, ternyata digunakan sebagai penampungan perpindahan pegawai Republik Indonesia dari Yogyakarta.

Kota baru seluas sekitar 730 Ha dirancang untuk menampung 100.000 penduduk ini dibangun dengan mengacu pada Ordonansi Pembentukan Kota atau SVO (Stadsvorming Ordonnantie). Tampaknya SVO dan rencana pembangunan Kebayoran Baru merupakan upaya teknokrat, administrator dan mungkin pengembang (developer) Belanda untuk meraih dukungan keuangan dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang tengah mendukung pembangunan kembali Eropa yang dikenal dengan Marshall Plan. Kenyataannya pembangunan Kebayoran Baru memang dilaksanakan perusahaan Belanda Centrale Stichting Wederopbouw, CSW, yang berdiri pada Agustus 1948.

Rencana Kebayoran Baru dibahas oleh suatu panitia pada bulan Juli 1948 bersamaan dengan terbitnya SVO, sedang pembebasan tanahnya diselesaikan pada Desember 1948 bersamaan dengan agresi militer Belanda ke Yogyakarta. Pembangunan dimulai pada awal tahun 1949. Ketika pemerintah pendudukan Belanda harus

6.3.2 Kebayoran Baru

Meskipun pada bulan Januari 1949 Dewan Keamaan PBB mengeluarkan resolusi untuk menghentikan permusuhan dan membebaskan Presiden Soekarno dari tahanan, rupanya pihak Belanda membayangkan bahwa pelaksanaan SVO masih di bawah kendalinya. Tanggal 27 Desember 1949 pemeritahan Belanda menyerahkan kekuasaannya pada Republik Indonesia Serikat dan pada tanggal 17 Agustus 1950 negara bagian di bawah Republik Indonesia Serikat meleburkan diri dan menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan SVO beralih ke tangan pemerintah Republik Indonesia, dan khusus

untuk Kebayoran Baru pembangunan terus berlanjut. Sedang SVO sendiri secara keseluruhan kurang mendapat perhatian karena pemerintah menghadapi berbagai permasalahan yang lebih berat, terutama ketidak stabilan pemerintah sendiri. SVO baru mendapat perhatian setelah Kementerian Pekerjaan Umum membentuk Direktorat Tata Kota dan Daerah. Lembaga ini pada tahun akhir tahun enampuluhan mencoba mengubah SVO dan menyesesuaikan degan UU Pokok Agraria dan UU Pemerintahan Daerah. Walaupun demikian telah terjadi ikatan kerja dengan pengembang Belanda yang membuat pembagunan Kebayoran Baru berlanjut.

57 Abdurrahman Surjomihardjo (1977) Pemekaran Kota Jakarta, Jambatan Jakarta

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 56: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara 107

Meskipun Republik Indonesia jelmaan Republik Indonesia Serikat baru hadir tgl 17 Agustus 1950, tetapi pada tanggal 25-30 Agustus 1950 telah diselenggarakan Kongres Perumahan Sehat di Bandung. Pimpinan negara khususnya Bung Hatta yang baru satu minggu menjadi Wakil Presiden mendukung prakarasa para pemeduli perumahan untuk menyelenggarakan kongres perumahan tersebut. Kongres membahas masalah kelembagaan, teknik perumahan dan juga pembiayaan dan merekomendasikan: (a) dibentuknya perusahaan pembangunanperumahan di setiap daerah; (b) ditetapkannyapersyaratan teknik rumah sehat; (3) dibangunnyasistem bantuan keuangan melalui: bouwsparkkassen, bouw cooperaties, hypotheek bankendan sebagainya59.

Rekomendasi tersebut tidak segera dapat direspon oleh ketidak stabilan pemerintah. Kabinet Natsir, kabinet parlementer pertama sesudah peleburan RIS, hanya bekerja selama 6,5 bulan mulai dari September 1950-Maret 1951. Selajutnya berganti dengan kabinet Sukiman yang bekerja dari April 1951-April 1952 dan bulan April 1952 berganti lagi dengan Kabinet Wilopo yang bekerja sampai tahun 1953. Pergantian kabinet tersebut ternyata tidak menghalangi terbetuknya Jawatan Perumahan Rakyat dan Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang telah hadir sejak 1 Januari tahun 1952, tetapi lembaga ini secara formal berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum baru paasa tanggal 15 April 1952. Lembaga ini memfokuskan perhatiannya pada teknik pembangunan rumah, yang tidak terpengaruh oleh pergantian kabinet. Hal ini dapat diartikan bahwa perumahan di Indonesia, dianggap sebagai masalah teknik yang tidak berkaitan dengan politik, tidak seperti di Perancis

1871 dan Inggris 191560 yang menjadikan perumahan dan perkotaan sebagai masalah politik. Perumahan mungkin menjadi perhatian Wakil Presiden dan bukan politisi yang duduk di kabinet, sehingga hasil kongres ditindak lanjuti meski kabinet berganti.

Pembangunan perumahan rakyat sendiri dilakukan oleh Yayasan Kas Pembangunan suatu organisasi nir-laba yang dibentuk di 200 kota di Indonesia. Meskipun YKP telah berhasil membangun rumah rakyat (rata-rata seluas 36m2) yang dinikmati sekelompok masyarakat di berbagai kota tetapi, secara kuantitatif tidak berpengaruh besar terhadap pembentukan kota. Selain itu kebijakan perumahan memang tidak ditempatkan sebagai bagian pengembangan kota, kecuali di Kebayoran Baru. Tahun 1960, perumahan telah ditetapkan sebagai permasalahan sosial yang dikukuhkan dengan UU No. 11/1960. Sampai 2017 pemerintah tetap belum memandang pembangunan perumahan sebagai bagian dari kebijakan penataan perkotaan.

6.3.4 Kongres Perumahan Rakyat 1950dan Tindak Lanjutnya

59 KANTOR MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT (1995), SETENGAH ABAD PERUMAHAN RAKYAT60 Manuel Castells (1983), The City and The Graasroots, University of California, Los Angeles

Setelah pemilihan umum, terbentuklah Lembaga Konstituante yang berkewajiban merumuskan undang-undang dasar menggantikan UUD Semetara yang disusun tahun 1950. Gedung bekas konferensi Asia Afrika digunakan sebagai gedung Konsituante. Walaupun demikian ketidak stabilan pemerintah masih terus berlanjut dan konstituante juga tidak kunjung menghasilkan kesepakatan yang menjadi dasar negara. Karena itu pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung menganggap konferensi Asia-Afrika merupakan peristiwa yang lebih penting, daripada rentetan sidang Konsituante. Fasilitas pelaksanaan konferensi diabadikan menjadi museum Asia Afrika, dan sejumlah unsur pengingat dibuat tengar bagi kota Bandung sebagai tempat diselenggarakannya konferensi Asia Afrika. Gedung yang dibangun untuk bersenang-senang para elit Belanda, ditengarai sebagai gedung Asia Afrika dan bukan sebagai gedung Konstituante.

Pada akhir era demokrasi liberal, tahun 1955, diselenggarakan pemilihan umum yang diikuti sekitar 172 kontestan meski yang berhasil meraih kursi DPR dan Konstituante hanya 29. Selanjutnya aktivitas Konstituante banyakmempengaruhi kehidupan Kota Bandung, tetapitidak berdampak apapun terhadap perkotaanpada umumnya. Ternyata Konstituante gagalmenjalankan tugasnya untuk menyusun undang-undang dasar.

Apa yang berdampak luas pada perkotaan di Indonesia adalah gangguan keamanan dan pemberontakan yang banyak terjadi pada era ini. Ada kota yang menjadi ajang pertempuran antar sesama orang Indonesia meski hanya sebulan dua bulan. Kota yang menjadi ajang pertikaian bersenjata itu adalah: Bandung tempat terjadinya peristiwa APRA 25 Januari 1950, Kota Makassar terjadinya peristiwa Andi Azis Maret 1950, Kota Ambon pusat gerakan separatis RMS Feb 1950. Selanjutnya menjelang diakhirinya demokrasi liberal terjadi pergolakan daerah di Sumatera yang berpusat di Padang dan Pekanbaru pada

106 Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

bulan Februari sampai Mei 1958 yang dikenal sebagai peristiwa PRRI. Kemudian pertikaian bersenjata terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, yaitu di kota Palu, Gorontalo dan Menado. Karena jangka waktu pertikaian relatif pendek (satu-dua bulan) dampaknya terhadap kota tidak kentara.

Dampak yang justru membekas selama bertahun berupa terbentuknya kampung spontan terjadi di Bandung (di Cibangkong, Bagusrangin, Babakansari). Kampung kota ini terbentuk oleh arus pengungungsi dari Tasikmalaya, Ciamis wilayah Priangan Timur lainnya disebabkan karena adanya gangguan keamanan oleh DI/TII. Karena gangguan keamanan di perdesaan tersebut berlangsung cukup lama (1949-1957), akhirnya kampung pengungsian tersebut hadir sebagai kampung kota yang permanen.

Mukiman swadaya spontan oleh pengungsi tahun limapuluhan di Cibangkong Bandung.

Mukiman swadaya spontan oleh pengungsi tahun limapuluhan di Bagusrangin Bandung

https://img-z.okeinfo.net/content/2014/11/03/470/1060233/kementerian-pu-pera-jangan-anak-tirikan-perumahan-rakyat-nb55CXTvkC.jpg

Page 57: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara108 109

Belajar dari orde lama, pemerintahan orde baru berupaya menyelenggarakan pembangunan dengan cara berbeda. Pembangunan oleh orde lama yang dilandasi semangat nasionalisme yang kelewat tinggi serta penilaian yang kurang tepat atas potensi dan masalah, ternyata membawa akibat buruk dan membahayakan negara. Pemerintah orde baru berupaya merestorasi situasi tersebut dengan menciptakan suasana dan persyaratan untuk merasionalisasi pembangunan. Hal ini dilakukan dengan menjaga stabilitas politik dan keamanan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memeratakan hasil pembangunan.

Setelah mendapatkan mandat untuk memimpin penyelanggaraan negara, pemerintahan orde baru melakukan konsolidasi untuk mengatasi inflasi, membuka penanaman modal, menyusun rencana jangka panjang dan menengah. Asas stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembagunan, dicoba diterapkan melalui manajemen pem-

bangunan yang taat azas. Untuk menjamin stabilitas politik dilakukan dengan menutup dan menghentikan upaya dan gerakan yang berbeda apalagi menentang kehendak pemerintah. Per-tumbuhan ekonomi didorong dengan mem-bangun infrastruktur dan dengan membuka serta mendorong terjadinya investasi langsung oleh badan usaha milik pemerintah maupun swasta. Eksploitasi sumberdaya alam terutama kehutanan dan minyak bumi ditingkatkan dan menjadi sumber keuangan negara yang uatama. Untuk memeratakan hasil pembangunan dan memungkinkan keterlibatan lapisan masyarakat yang paling bawah dalam pembangunan, pemerintah telah menerobos sistem birokrasi antara lain dengan berbagai Instruksi Presiden (Inpres).

Dalam rangka menjamin tertib pemerintahan dan menyalurkan semangat untuk membangunan, pemerintah melaksanakan dua upaya yang simultan terhadap perkotaan. Pertama: berupaya

6.4Era Orde Baru: Arahan Pemerintah Nasional pada Perkotaan

6.4.1 Upaya Membangun secara

Rasional, Sistematis dan Berencana

Pembangunan perumahan terus terjadi secara inkremental dan skala kecil yang sesungguhnya secara akumulatif membentuk kota. Sebagai contoh pembangunan yang terjadi di Jakarta sebagai berikut:

Pembangunan inkremental semacam Jakarta tersebut juga terjadi di Semarang, Malang dan banyak kota lain. Berupa pembangunan perumahan yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri di berbagai kota yang dibantu oleh Yayasan Kas Pembangunan sebagai hasil Kongres Perumahan I tahun 1952.

6.3.5Pembangunan Inkremental

Sumber: Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900 – 2000

Tahun Lokasi Luas (Ha) Keterangan

1950 Kompleks Pelaju (Kebayoran Baru) 8 Perumahan

1951 Gang Tengah 4

Tanah Tinggi 25 Perbaikan

Kebon Jahe 3 Kampung

1952 Grogol 25 Perumahan

Kebun Sereh 25 Perumahan/Penampungan

Karet Pasar Baru 4 Perumahan/Sekolah

Tembusan Jalan Thamrin ... Perumahan

RWJ Bendungan Hilir 6 Perumahan

Krekot Bundar 2 Perumahan/Toko

Rawa Kerbo (Sari) 30 Perumahan

Rawa Sari 6 Pabrik Obat

Kebon Kacang 3 Perbaikan Kampung

Jalan Lokomotif 3 Perbaikan Kampung

Kampung Sultan Agung 2 Perbaikan Kampung

Petamburan (Partikulir) 2 Asrama Polisi

Pejompongan 25 Perumahan

Pejompongan 15 Penjernihan Air

Sentiong Seribu 2 Perumahan/Kampung Baru

Galur 5 Perumahan

Pembukaan Tanah Baru di Wilayah Jakarta Tahun 50-an

https://video-images.vice.com/_uncategorized/1508318643009-2013-06-28T120000Z_1747004302_GF2E96E0FPH03_RTRMADP_3_INDONESIA-AUTO.jpeg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 58: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara110 111

a. RUU Pokok-Pokok Bina Kota (RUU PBK)Sejak tahun 1968 pemerintah berhasil menjamintercapainya stabilitas pemerintahan dan mulai melaksanakan rencana pembangunan lima tahun pertama 1969-1974. Setelah tanda-tanda stabilitas tercapai, dan gairah pertumbuhan ekonomi terjadi mulai dirasakan, muncul prakarsa untuk juga membangun pranata perkotaan. Undang-undang perkotaan peninggalan Belanda, yaitu SVO, yang substansinya tidak sesuai lagi dan secara psikologi tidak bisa diterima, diganti dengan undang-undang baru. Untuk itu disiapkanlah RUU PBK.

RUU PBK mencoba mengatur perencanaan kota dalam kaitannya dengan undang-undang pertanahan dan undang pemerintahan kota. Undang-undang pertanahan yang menjadi acuan RUU PBK adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Sedang tentang pemerintahan kota yang menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Selain itu RUU PBK juga mengadopsi konsep perencanaan kota yang tengah berkembang di dunia.

Menurut RUU PBK, yang dimaksud dengan kota adalah: daerah geografis, bagian wilayah Negara dengan pemerintahan daerah dengan kedudukan sebagai: Kotapraja, Kotamadya, Kotaraya. Kedudukan pemerintahan kota ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Walaupun demikian RUU BK tersebut juga dapat diterapkan tidak hanya pada batas administrasi, tetapi juga pada suatu pusat kehidupan masyarakat yang pertumbuhan dan perkembangannya sudah memerlukan suatu perencanaan kota. Artinya

RUU PBK diniatkan untuk menjadi pedoman perencanaan kota yang umum, tidak hanya dalam batas adminsitrasi kota saja, tetapi juga untuk kawasan cenderung menjadi kota.

RUU Bina Kota menentukan adanya tiga macam rencana yaitu: Rencana Induk, Rencana Terperinci, dan Unsur Rencana. Rencana induk merupakan rencana jangka panjang yang berlaku antara sepuluh dan duapuluh lima tahun, yang apabila perlu dapat dilakukan bagian demi bagian. Rencana induk mengandung penataan tentang:

(1) penggunaan bumi, air dan ruang angkasa,

(2) pembagian wilayah kota dalam kaitannyadengan penggunaan lahan,

(3) kepadatan penduduk khususnya untuklingkungan wisma,

(4) hubungan antara wilayah kota,

(5) tahap pelaksanaan rencana,

(6) sumber pembiayaan untuk melaksanakanrencana kota.

Rencana induk tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana terperinci dan unsur rencana, dan juga rencana bagian wilayah kota yang belum direncanakan untuk berubah. Dalam keadaan

6.4.2 Upaya Menciptakan

Norma dan Kebijakan Eksplisit Perkotaan

Setelah tanda-tanda stabilitas tercapai, dan gairah pertumbuhan ekonomi mulai dirasakan, muncul prakarsa untuk juga membangun pranata perkotaan.

menata kota pada tataran normatif serta kebijakan dan kedua berupa aksi langsung terhadap perkotaan. Pada sisi normatif dan arah kebijakan diupayakan membentuk norma yang berkaitan langsung terhadap perkotaan (norma dan kebijakan eksplisit perkotaan). Juga ada norma serta kebijakan yang tidak langsung tertuju pada perkotaan tetapi mempunyai pengaruh (norma dan kebijakan implisit perkotaan). Kedua: aksi langsung untuk perkotaan program serta proyek yang langsung ditujukan untuk perkotaan dan aksi tidak langsung yaitu program serta proyek yang sesungguhnya tidak ditujukan untuk perkotaan tetapi mempengaruhi kota (aksi implisit).

Berbagai upaya tersebut berdampak pada pening-katan daya beli masyarakat yang membangkitkan kekuatan permintaan. Bangkitnya kekuatan permin-taan inilah yang mendapatkan respon usaha swasta. Proses ini berlangsung terus bagaikan bola salju yang makin lama makin membesar. Ketika pemerintah menyiapkan rencana pembangunan jangka panjang berikutnya, usaha swasta tidak lagi merespon permintaan tetapi justru sudah secara aktif menawarkan kota baru dan aneka properti di berbagai kota yang telah ada.

Selain itu juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan unsur dan aktivitas perkotaan yang disebut sektor informal. Tempat tinggal, transportasi, dagang eceran yang dikategorikan sebagai sektor informal karena karakater, skala dan dinamikanya. Sektor tersebut di luar kendali pemerintah dan tidak dapat direspon oleh usaha swasta sepenuhnya. Dalam skala dan lingkup terbatas, pemerintah maupun usaha swasta mencoba merespon dan mengakomodasi sektor informal tersebut, tetapi bagaimanapun sektor informal masih mewarnai wajah perkotaan di Indonesia.

Rencana jangka panjang ke 2 tidak dapat diselesaikan, karena pemerintahan orde baru runtuh dilanda tuntutan reformasi. Reformasi telah membawa bangsa dan negara Indonesia

menuju ke kehidupan yang lebih demokratis, pemerintahan yang lebih terdesentralisasikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tentang perkotaan, pemerintahan hasil reformasi masih menghadapai masalah bagaimana mengangkat lapisan masyarakat yang belum dapat terbawa oleh gerbong pembangunan. Disisi lain bagaimana mengendalikan nafsu usaha swasta agar tidak hanya menjadi pemangsa tanah perkotaan dan menjadikan kota hanya sebagai komoditi yang tidak dapat dijangkau oleh semua lapisan.

http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2016/03/reuters-perumahan-700x400.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 59: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara112 113

b. Kebijakan Perkotaan Ad-Hoc danSarana Hukum di bawah Undang-UndangMeskipun RUU PBK tidak jelas bagaimana akhirnya, tetapi kebutuhan akan adanya pedoman perencanaan kota makin mendesak. Untuk itu Tahun 1973 diterbitkanlah petunjuk perencanaan kota dalam bentuk surat edaran Menteri Dalam Negeri (Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.Pemda 18/2/6, tanggal: 14 Mei 1973 mengenai Rencana Pembangunan Kota bagi tiap Ibukota Kabupaten). Surat edaran tersebut disempurnakan dan diubah menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri No: 4 tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.

Sekitar tahun 1983/1984 pemerintah Indo-nesia akan mendapatkan pinjaman untuk pembangunan sektor kekotaan (urban sector loan) dari Bank Dunia. Untuk itu pemerintah daerah perlu mempunyai rencana pengembangan dan pembangunan kota. Didorong oleh kemungkinan mendapatkan pinjaman Bank Dunia inilah kemudian Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum tahun 1985 menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota. Berdasarkan surat keputusan bersama inilah Menteri Pekerjaan Umum menerbitkan keputusan No: 640/KPTS/1986 tentang Peren-canaan Tata Ruang Kota.

Menteri Dalam Negeri kemudian mencabut Peraturan Menteri No: 4 tahun l980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota dan menggantinya dengan peraturan Menteri No: 2 tahun 1987. Dengan peraturan ini dapat diartikan bahwa Peraturan Menteri PU tentang Perencanaan Tata Ruang Kota dapat diterima oleh Menteri Dalam Negeri. Dengan sendirinya sistematika rencana kota yang terdiri dari: Rencana Umum, Rencana Detail dan Rencana Teknik dapat menjadi pegangan bersama , tetapi ada semacam catatan yang dimuat dalam Permendagri No.2/1987. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini masih mengingat SVO, walaupun tidak secara spesifik dan eksplisit menunjuk bagian mana dari SVO yang diingat oleh Peraturan Menteri ini. Pasal penting yang tercantum dalam Peraturan Menteri ini adalah menekankan perlunya dilaksanakan pendekatan: politis, strategis, teknis dan pengelolaan perencanaan kota. Hal ini dapat diartikan bahwa institusi pemerintahan kota harus mendapat perhatian dalam perencanaan yang bersifat teknikal. Karena pemerintahan kotalah yang berkaitan dengan segi politis, strategis dan pengelolaan kota tersebut.

tertentu rencana terinci dapat disusun tanpa harus menunggu adanya rencana induk. Peraturan bangunan tidak digolongkan sebagai bagian dari rencana kota, tetapi sebagai pelaksanaan rencana kota.

Tata cara perencanaan dalam RUU Bina Kota yang tidak berbeda dengan SVO yaitu mengharuskan adanya konsultasi dengan berbagai pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan pengembangan kota. Rencana induk kota dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom TK I harus disahkan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedang untuk kota lainnya oleh Kepala Daerah setingkat lebih tinggi. RUU PBK menata kawasan kota dengan mengacu konsep Geddes yaitu: place, work, folk‚ yang kemudian dikembangkan oleh Corbusier menjadi kawasan: recreation, working, living, transportation61 RUU Bina Kota memungut dan menerjemahkan serta mengembangkan menjadi kawasan untuk wisma, karya, marga, suka, dan penyempurna.

Para perancang RUU Bina Kota agaknya menyadari benar keterkaitan antara rencana kota dengan pengelolaan tanah. Sehingga aspek ini mendapatkan perhatian dan porsi yang besar. Dalam RUU Bina Kota telah dicoba dirumuskan: rencana kota juga sebagai kebijaksanaan penggunaan tanah, rencana kota sebagai pedoman penyediaan tanah, izin pembukaan tanah dalam rangka rencana pengembangan kota, tatacara peralihan status tanah pribadi menjadi tanah untuk kepentingan umum. Rincian tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum, batas waktu yang dapat diberikan kepada pemegang hak atas tanah dalam kaitannya dengan rencana kota, kemungkinan memungut sumbangan wajib dari keuntungan yang diperoleh pemegang hak atas tanah oleh adanya rencana kota, pembangunan kelangkapan kota.

Selain itu RUU Bina Kota juga mengatur masalah ganti kerugian pemegang hak atas tanah dan bangunan sehubungan dengan penetapan suatu

rencana kota. Untuk melaksanakan rencana kota, RUU Bina Kota menentukan adanya mekanisme peraturan bangunan, pelaksanaan pembangunan (dalam RUU tersebut ditulis “Pelaksanaan pekerjaan perlengkapan kota, dan peremajaan”).

Tentang peremajaan, RUU Bina Kota mengatur agak lebih terinci karena menyangkut wewenang Kepala Daerah, kewajiban pemegang hak atas lahan, kewajiban Kepala Daerah terhadap pemegang hak atas tanah dan keterkaitannya dengan peraturan perundangan mengenai pembebasan tanah. Untuk ini antara lain RUU Pokok Bina Kota memberi kemungkinan adanya musyawarah dalam pelaksanaan pembangunan kota, yaitu tentang peran serta masyarakat. Selanjutnya RUU Bina Kota juga memberi peluang pada Pemerintah Daerah untuk memperoleh pendapatan dari ditentukannya rencana kota melalui berbagai sumbangan wajib.Inisiatif menyusun RUU Bina Kota ini dilaksanakan ketika pemerintahan daerah masih diselanggarakan berdasarkan UU No 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU ini ditentukan bahwa daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri terdiri dari tiga tingkatan yaitu: Kota Raya, Kotamadya dan Kotapraja, tetapi RUU Bina Kota belum membedakan substansi perencanaan berdasarkan tingkatan tersebut.RUU Pokok Bina Kota tidak pernah menjadi undang-undang bahkan tidak pernah masuk dalam acara pembahasan di badan legislatif. kemudian lembaga yang memprakarsai penyusunan undang-undang tersebut juga menjadi tidak yakin akan perlunya undang-undang ini. Pandangan yang muncul pada waktu itu adalah bahwa perkotaan adalah bagian dari wilayah, sehingga penataan wilayahlah yang harus di dahulukan. Selain itu penanganan perkotaan dianggap sebagai masalah teknis yang dapat ditangani berdasarkan sarana hukum penataan wilayah

61 Gwen Bell and Jaqueline Tyrwhitt (1972), Human Identity in the Urban Environment, Pelican Book London

http://www.perumahansyariahindonesia.com/wp-content/uploads/2017/08/Sabrina-Azzura-2-10.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 60: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara114 115

d. Undang-Undang Penataan Ruang62

Walaupun undang-undang ini meniadakan ordonansi pembentukan kota peninggalan Belanda (SVO) tetapi lingkup dan substansi kedua undang-undang ini sesungguhnya sangat berbeda. Apa yang dimaksud dengan tata ruang oleh undang-undang penataan ruang adalah susunan dan pola wujud pemanfaatan ruang, yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang adalah proses mengatur pemanfaatan ruang melalui perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan tersebut dibedakan dalam dua fungsi pokok yaitu sebagai kawasan lindung dan sebagai kawasan budidaya.

Penataan ruang ini dilakukan mengikuti hierarki wilayah administrasi yaitu nasional, propinsi, kabupaten kota sesuai dengan undang-undang pemerintahan di daerah. UU No.5/1074 tentang pemerintahan di derah memastikan bahwa pemerintah daerah adalah pelaksana kebijakan pembangunan nasional. Karena itu rencana tata ruang daerah harus berpedoman pada rencana tata ruang otoritas diatasnya. Rencana tata ruang kotamadya berpedoman pada rencana tata ruang provinsi dan rencana tata ruang provinsi berpedoman pada tata ruang nasional. Dengan demikian rencana kota adalah rincian rencana nasional dan rencana nasional bukan resultantate rencana daerah,titik pangkal rencana kota. Dengan demikian undang-undang ini membakukan pandangan bahwa perencanaan kota harus dimulai dengan perencanaan wilayah. Persoalan yang dihadapi adalah bahwa penyusunan rencana yang berhierarki jelas membutuhkan proses yang panjang. Perencanaan dari makro ke mikro ternyata tidak mengena pada perubahan ruang skala kecil yang terjadi dengan cepat di perkotaan. Proses perubahan fungsi bangunan, pemadatan dan peningkatan intensitas bangunan, peningkatan kebutuhan pelayanan kota, penggunaan campuran belum dicakup oleh UU ini. Bahkan fungsi dan peranan kota bagi

pengembangan wilayah, yang seharusnya penting dalam tautannya dengan pendekatan wilayah tidak menjadi perhatian undang-undang ini. Dalam praktiknya arahan yang diberikan oleh perencanaan tingkat nasional dan regional sering tidak sesuai dengan realita dan kebutuhan kota.

Undang-undang penataan ruang menghapus SVO, tetapi substansi UU ini sesungguhnya tidak dapat menggantikannya dan tidak bisa dibandingkan dengan RUU PBK. Juga tidak dapat menggantikan peraturan perundangan ad hoc yang diterbitkan sebelum adanya undang-undang ini. UU ini tidak cukup rinci untuk digunakan menata kota, karena hanya menyebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan budidaya dan kawasan lindung. Apa yang disebut kawasan lindung sering menimbulkan keraguan apakah kawasan yang dilindungi atau melindungi, apakah yang dilindungi fungsinya atau wujud fisiknya. Karena apabila yang dilindungi fungsinya, hutan yang dianggap sebagai penyimpan air dapat digantikan dengan struktur penyimpan air. Dalam praktik penataan ruang pada umumnya juga hanya mengonfi masi tatanan yang telah ada, dan tidak untuk menggambarkan masa depan. Dengan demikian undang-undang penataan ruang ini tidak jelas efek nyatanya pada perkotaan.

62 UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang

Penataan ruang dilakukan mengikuti hierarki wilayah administrasi yaitu nasional, provinsi, kabupaten kota sesuai dengan undang-undang pemerintahan di daerah.

c. Penataan Perkotaan sebagai Bagian Penataan Wilayah

Salah satu sebab mengapa RUU PBK kemudian tidak dilanjutkan adalah pandangan bahwa perkotaan adalah bagian dari wilayah. Sehingga perencanaan wilayahlah yang harus didahulukan. Pada akhir tahun 70an dan awal tahun 80an muncul wacana tentang kelembagaan dan substansi perencanaan pengembangan wilayah.

Wacana kelembagaan mencakup siapa yang berwewenang dan bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan pengembangan wilayah. Selanjutnya bagaimana proses perencanaan dan seterusnya diatur menjadi prosedur. Wacana ini selanjutnya menjadi proses politik yang berkaitan dengan otoritas dan tata kuasa yang berujung pada pembentukan badan koordinasi. Tahun 1989, dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.

Wacana tentang substansi perencanaan wilayah berkisar pada dua pandangan yang menonjol yaitu:

• Pertama pandangan bahwa pengembang-an wilayah harus didasarkan padabentang alam, terutama lereng dan elevasipermukaan tanah. Perencanaan wilayahdianggap sebagai penetapan penggunaantanah berdasarkan lereng dan elevasitersebut. Artinya berdasarkan lereng danelevasinya ditetapkanlah penggunaanlahan suatu kawasan. Berdasarkan bentangalamlah ditetapkan kawasan mana yangharus dipertahankan sebagai hutan dankawasan mana yang boleh digunakanuntuk pertanian, permukiman dansebagainya.

• Kedua pandangan bahwa pengembanganwilayah harus bertolak dari titik simpuljasa distribusi. Berdasarkan arus barangdan jasa dari dan menuju titik simpul

ditetapkanlah kota orde satu, dua, tiga dan seterusnya. Dari susunan titik simpul inilah kemudian ditetapkan pewilayahan. Rencana pengembangan wilayah adalah tentang bagaimana membangun berbagai simpul jasa produksi dan distribusi untuk masa datang.

Penganut kedua pandangan tersebut kemudian masing-masing mencoba menuangkannya dalam suatu rancangan undang-undang. Sebelum kedua pandangan tetang perencanaaan wilayah tersebut dapat dikompromikan, ada kebutuhan mendesak untuk menata kota. Belum tersedianya rencana pengembangan wilayah yang dapat menjadi arahan perencanaan kota dapat menghambat pembangunan yang akan didukung oleh dana pinjaman. Karena itu diterbitkanlah kebijakan ad-hoc dan bahkan reaktif perencanaan kota seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.

Diantara wacana penataan wilayah berdasarkan bentang alam dan simpul jasa distribusi, muncul suatu sikap dan pandangan bahwa perlindungan lingkungan harus diutamakan. Karena kondisi lingkunganlah yang menjadi dasar berlanjutnya kehidupan. Apapun konsep penataan wilayah yang dipilih, perlu ditetapkan terlebih dulu mana kawasan yang harus dilindungi dan mana yang boleh dikembangkan. Diterbitkanlah Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Mengacu pada Keputusan Presiden ini, terjadilah kompromi substansi perencanaan wilayah dengan cara memilah seluruh wilayah negara menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterbitkannya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 61: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara116 117

Pemerintahan kota adalah pemegang peranan utama dalam penataan kota. Fungsi dan peranan pemerintahan kota diatur oleh undang-undang pemerintahan daerah, yang sejak 1974 disebut pemerintahan di daerah. Dari judul undang-undang yang diterbitkan tahuan 1974 tersebut, dapat diartikan bahwa pemerintahan daerah ditiadakan. Apa yang diatur dengan undang-undang ini adalah pemerintahan di daerah bukan pemerintahan daerah. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah tersebut, pemerintah nasional mempunyai peranan penting dalam pengelolaan kota. Pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan dan pembangunan nasional.

Undang-Undang ini membedakan antara Daerah Otonom dan Wilayah Administratif walaupun teritorinya sama. Daerah Otonom terdiri dari Daerah otonom Tingkat I dan daerah Otonom Tingkat II, tidak ada lagi daerah otonom tingkat III. Wilayah Admnistratif secara hierarkis terdiridari : Wilayah Provinsi, Wilayah Kabupaten atauKotamadya. Daerah Otonom mempunyai DewanPerwakilan Rakyat, yang anggotanya diplihmelalui pemilihan umum. Mengikut PepresNo. 5/1960, anggota DPRD terdiri dari wakilpartai politik dan golongan karya64. Partai politikdisederhanakan hanya partai nasionalis danpartai agama, sedang golongan karya terdiri dariangkatan bersenjata dan lainnya. Wakil angkatanbersenjata ditugasi sedang anggota DPRD lainnyadipilih melalui pemilihan umum.

Kepala Wilayah yang juga Kepala Daerah adalah wakil pemerintah dan penguasa tunggal yang memimpin pemerintahan untuk mengordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang dalam jangka 5 tahun. Kepala Daerah yang juga Kepala Wilayah diusulkan DPRD tetapi ditetapkan oleh dan bertanggung jawab pada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Karena itu kepada DPRD cukup memberi keterangan dan bukan pertanggung jawaban. Dengan tatanan pemerintahan seperti itu, penataan kota menjadi sangat ditentukan oleh Presiden. Oleh karena itu perkembangan kota setelah berlakunya UU No 5/1974, atau sejak Juli 1974, dibawah kendali atau paling dipertanggung jawabkan kepada Presiden. Dengan demikian peraturan perundangan nasi-onal maupun diskresi para Menteri, terutama Menteri Dalam Negeri, pada periode itu akan lebih dipatuhi oleh pimpinan daerah.

Reformasi menggantikan UU 5/No.1974 tentang Pemerintahan di Daerah dengan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang membalik sistem pemerintahan daerah. Pemerintah Daerah yang semula hanya sebagai pelaksana pembangunan dan pimpinan yang ditentukan Pemerintah Pusat, menjadi pemrakarsa pembangunan dengan pimpinan yang dipilih oleh rakyat. Pemerintah Kota mempunyai keleluasaan yang jauh lebih besar dalam menata kotanya. Kemudian ternyata pemerintah kota dinilai belum siap melaksanakan otonomi, yang diindikasikan dari terjadinya kleptorasi dan bukan demokrasi. Akhirnya UU pemerintahan daerah kemudian berkali-kali diganti.

a. UU tentang Pemerintahan di Daerah63

6.4.3 Norma danKebijakan Implisit Perkotaan

63 UU No 5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah64 Penjelasan Penpres No.5/1960 tentang DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GOTONG-ROYONG DAN SEKRETARIAT DAERAH

Sejak berdirinya Perumnas dan berdirinya Real Estate Indonesia di pertengahan tahun 70an pembangunan perumahan mulai marak. Terutama di pinggiran dan wilayah sekitar Jakarta. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi bermunculan pembangunan kompleks perumahan dengan luas belasan hektar sampai seribu hektar seperti di Bintaro. Kompleks perumahan dengan luas belasan sampai puluhan hektar yang jumlahnya ratusan itu tidak sebagai suatu satuan kota. Pertumbuhan kompleks perumahan tersebut tidak terintegrasi sebagai suatu kota yang efektif dan efisien. Situasi ini telah memberi inspirasi pemerintah, khususnya Kementerian Negara Perumahan Rakyat, untuk mengorganisasikan perkembangan itu. Muncul pemikiran bahwa melalui hak menguasai tanah, seharusnya pemerintah dapat mengelola tanah untuk mewujudkan suatu kota yang padu, efisien, nyaman, aman. Niat untuk menjadikan pembangunan perumahan sebagai kota yang padu tersebut dituangkan dalam Undang-Undang No.4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

Pasal 18 s/d 28 UU tersebut mengatur Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba), yang ditujukan untuk menorganisasikan pembangunan perumahan menjadi suatu kota. Dirumuskannya hal tersebut dalam 11 dari 42 pasal menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk mencegah terjadi pembangunan dan perkembangann kota yang inkremental. Banyaknya membangun kompleks perumahan perlu diarahkan untuk menjadi kota terpadu dengan pelayanan yang dirancang sebaik mungkin. Pasal yang mengatur pemaduan tersebut baru tujuh tahun kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah. Peraturan Peme-rintah No.32/1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang berdiri sendiri. Ketika PP ini diterbitkan Indonesia baru saja mengalami krisis dan kemudian dibayangi semangat demokratisasi dan desentralisasi.

Selain PP ini lambat, juga tidak pernah diimplementasikan. Disisi lain pembangunan perumahan skala kota oleh swasta terus marak dengan campur tangan pemerintah yang minim dan tidak jelas ikut campurnya dalam hal apa dan bagaimana. Pertumbuhan kota di Tangerang, Bekasi , Bogor menjadi semacam sobekan kertas yang ditaburkan di tanah, menjadi mosaik yang tidak jelas polanya. Walaupun pembangunan perumahan skala besar oleh swasta ini berhasil membentuk suatu kota, tetapi menjadi suatu kota yang ekslusif. Lapisan masyarakat bawah yang meski berkesempatan memperoleh sumber pendapatan di dalam kota swasta tersebut, tetapi tidak mampu bertempat tinggal di kota tempat mereka bekerja. Misalnya pekerja rendahan di Kelapa Gading tidak mempu tinggal di Kelapa Gading, pekerja di Sentul City tidak dapat tinggal di Sentul City, kecuali menjadi asisten rumah tangga atau penjaga kemanan dan masih banyak contoh lagi. Dimana pekerja rendahan bertempat tinggal tidak pernah dipertimbangkan dalam kota yang dibangun swasta.

e. Undang-Undang Perumahan dan Permukiman

https://www.99.co/blog/indonesia/wp-content/uploads/2016/07/perumahan.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 62: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara118 119

Dibanding dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1978 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987, maka tampak bahwa Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1993 ini tidak disangkut pautkan dengan penggunaan tanah, dan karena itu tidak berfungsi sebagai pengendali penggunaan tanah atau perubahan pemanfaatan ruang. Walaupun demikian Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1993 telah mencoba mengaitkan dengan rencana pembangunan kota yang dituangkan dalam pola dasar rencana induk kota atau rencana tata ruang. Realitanya izin lokasi menjadi instrumen pengendalian yang bersifat re-aktif , sedang inisiatif tetap dalam kendali perusahaan swasta . Izin lokasi menjadi persyaratan administrasi dan tidak lagi menjadi instrumen pengendalian.

Amanat UU No. 5/1960 yang tercantum dalam pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan hak mengusai negara dapat diberikan kepada Daerah atau masyarakat hukum adat. Sedang pasal 14 ayat (2) menyebutkan Pemerintah Daerah mengatur penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan didalamnya berdasarkan suatu rencana umum. Dengan demikian berdasarkan UU no.5/1960 seharusnya sejak tahun enampuluhan telah disiapkan suatu rencana umum peruntukan dan penggunaan tanah di setiap daerah. Kenyataannya tidak demikian.

b. Penataan Kota dan Pengelolaan TanahPengelolaan tanah sesungguhnya merupakan instrumen penting dalam pengelolaan kota, tetapi sejak diterbitkannya UUPA kelembagaannya belum mapan. Antara lain karena kelembagaan yang mengurusi tanah di tingkat nasional juga diubah-ubah. Sedangkan masalah pertanahan di masing-masing daerah tidak sama, karena berkaitan dengan hukum adat dan tingkat perkembangan kota yang terjadi. Unit kerja pertanahan di daerah baru dibentuk tahun 1972, sedangkan sebelumnya hanya Kantor Pendaftaran Tanah. Tahun 1965-1988 pertanahan diurus oleh lembaga tingkat Direktorat Jendral, tetapi justru pada masa itu ada upaya untuk menghubungkan hak atas tanah dengan penggunaan tanah.

Tahun 1978 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tentang Fatwa Tata Guna Tanah. Peraturan tersebut mengharuskan adanya izin untuk pengubahan penggunaan tanah. Jenis penggunaan tanah tersebut adalah penggunaan untuk jasa, perumahan, industri, dan pertanian dalam arti luas. Berdasarkan peraturan ini perubahan misalnya dari pertanian menjadi perumahan harus mendapatkan izin. Sedang izin dapat diberikan atau ditolak setelah ada keterangan yang rinci tentang tanah yang dimohon untuk diubah penggunaannya. Keterangan yang rinci tersebut dihimpun dan digunakan panitia pemeriksaan tanah memberikan fatwa (rekomendasi), tentang penggunaan tanah tersebut. Fatwa tersebut berisikan penilaian terhadap: (a) keadaan penggunaan tanah; (b) kemampuan tanah; (c) persediaan air; (d) kemungkinan pengaruh penggunaan tanah terhadap daerah sekitarnya; (e) rencana induk dan denah perusahaan; (f)aspek sosial ekonomi penggarapan tanah; (g)aspek asas penggunaan tanah.

Tahun 1986, oleh semangat deregulasi untuk menarik investasi, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 1978 tersebut dicabut. Kemudian terbit Peraturan Menteri Dalam

Negeri No 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan yang memperkenalkan adanya izin lokasi. Izin lokasi adalah penunjukan penggunaan tanah yang diberikan pada suatu perusahaan seluas yang benar-benar diperlukan untuk pembangunan perumahan. Lokasi ini ditetapkan oleh Bupati atau Walikota untuk seluas tidak lebih dari 15 Ha, oleh Gubernur untuk seluas lebih dari 15 Ha sampai 200 Ha, dan oleh Gubernur dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri untuk seluas lebih dari 200 Ha. Peraturan ini pun dapat dianggap sebagai pengendalian yang bersifat reaktif, karena pemerintah hanya bereaksi atas prakarsa dari perusahaan pengembang perumahan.

Dalam pemberian izin lokasi ini Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Bupati/ Walikota Kepala Daerah Tingkat II: (a) wajib menaati Pola Dasar Rencana Pembangunan Daerah dan atau Rencana Induk Kota; (b) menghindari penggunaan tanah pertanian yang subur; (c) memanfaatkan tanah yang kurang subur; (d) mengusahakan agar tidak terjadi pencemaran lingkungan. Selanjutnya pemohon diwajibkan melengkapi permohonannya dengan analisis dampak lingkungan yang dianggap dapat mengantikan fatwa tataguna tanah.

Kembali dengan semangat deregulasi, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tatacara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal. Peraturan ini lebih menekankan pada kecepatan prosedur, sedang aspek pengendalian kurang mendapatkan per-hatian. Menurut paraturan ini izin lokasi dapat diberikan apabila sesuai dengan Tata Ruang Wilayah dan telah mendapatkan persetujuan penanaman modal, atau persetujuan prinsip dari Departemen teknis, atau persetujuan Presiden.

http://uc.blogdetik.com/fs/132/1321839/media/2017/01/19/14847921212008959982.JPG

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 63: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara120 121

Program perbaikan kampung (KIP-KampungImprovement Program) dianggap sebagai generasipertama program nasional perkotaan. Walaupunyang memelopori program ini susungguhnyaadalah Pemerintah DKI Jakarta, yang terinspirasioleh program kampoeng verbetering pemerintahHindia Belanda pada tahun 1927 dengan niatyang berbeda. Pemerintah Hindia Belandamelakukan perbaikan kampung karena berniatmengatasi ancaman kampung terhadap kota.Karena kampung dipandang sebagai sumberpermasalahan kota seperti sarang penyakitmenular, penyebab kebakaran dan sumberaneka permasalahan sosial. Sedang pemerintahDKI Jakarta berniat mengangkat taraf hidupmasyarakat kampung.

Pada tahun 1969 Pemerintah Daerah KhususIbukota (DKI) Jakarta mulai melaksanakanperbaikan permukiman informal yang mengumuhyang lebih dikenal sebagai perbaikan kampung.Tahun 1974-1982 proyek perbaikan kampungDKI mendapatkan respon dan dukungan BankDunia berupa pinjaman dana dengan bungalunak. Berdasarkan pengalaman di DKI Jakartaitulah kemudian mulai tahun 1982 proyekperbaikan kampung diperluas menjadi programnasional . Bukan hanya dengan dukungan BankDunia tetapi juga Bank Pembangunan Asia danpenyandang dana lain seperti JICA dan SwissContanct. Perbaikan itu tertuju pada pembuatanjalan kendaraan maupun jalan setapak, drainase,pengadaan air bersih, sarana pengelolaan sampahdan sanitasi. Pembangunan yang bersifat fisikkemudian dikembangkan sehingga juga

a. Perbaikan Kampung

6.4.4Program, Proyek dan Realita

Perkembangan Perkotaan

62 UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang

c. Pembiayaan Penyelenggaraan Kota

Untuk membiayai penyelenggaraan kota, untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan aktivitas, memelihara serta mengembangkan rasarana, sarana dan fasilitas kota, jelas bahwa pemerintah kota membutuhkan pendapatan. Sejak pemerintahan Hindia Belanda pendapatan kota tersebut diperoleh (a). pajak-daerah dan retribusi daerah; (b). hasil perusahaan daerah. (c). pendapatan Negara,yang diserahkan kepada daerah, atau yang dikenal sebagai sistem transfer. Sejak dulu pula kondisi kota di Indonesia menghadapi masalah pajak dan retribusi daerah yang tidak mencukupi kebutuhan kota. Karena obyek pajaknya tidak bernilai tinggi dan mobilitasnya rendah. Sedang perusahaan daerah tidak bisa memberi kontribusi yang memadai karena menghadapi tantangan harus menjaga keberlanjutannya. Makin kecil kota, makin kecil pula perolehan pajak dan retribusi daerah dan makin sulit menjaga keberlanjutan perusahaan daerahnya. Oleh kondisi yang demikian itu sistem transfer menjadi bagian penting bagi keuangan daerah. Sistem transfer ini yang menjadi instrumen bagi negara untuk mengikut campuri pemerintah daerah sekalipun telah ditetapkan sebagai daerah otonom.

Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957, menetapkan berbagai pajak daearah yang sesungguhnya meneruskan sistem perpajakan daerah yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1921. UU ini juga menetapkan untuk menyerahkan antara 75% sampai 90% beberapa jenis pajak negara. Pemerintah orde baru menciptakan sistem transfer yaitu: SDO (subsidi daerah otonom), bantuan Inpres (Instruksi Presiden), DRD (dana rutin daerah) dan DPD (dana pembangunan daerah). Bantuan Inpres adalah sistem transfer yang terus dikembangkan. Tahun 1970 hanya ada Inpres Desa dan Inpres Daerah Tingkat II, tahun 1974 ditambah dengan Inpres Daerah Tingkat II, Inpres SD dan Inpres Kesehatan. Sejak tahun 1979 bertambah lagi dengan Inpres Pasar dan Inpres Jalan Kabupaten dan Kotamadya, dan tahun 1989 seterusnya ditambah lagi dengan Inpres jalan Povinsi65. Sistem transfer yang berlandaskan kearifan Presiden ini mengena semua kota di Idonesia. Di beberapa kota, Inpres pasar menjadi pusat aktivitas kota yang penting, tetapi tidak mempengaruhi kondisi kota secara keseluruhan. Tahun 1995 muncul Inpres Desa Tertinggal tetapi Inpres yang diterapkan tahun 1974-1993 ditiadakan.

65 Raksaka Mahdi dan Adriyansyah (2002) Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daaerah, dalam buku Dana Alokasi Umum: konsep, hambatan dan konsep di era otonomi daerah, Kompas Jakarta

http://www.popeti.com/berita/wp-content/uploads/2014/06/2.TIONGKOK-Pastikan-Pembangunan-Kota-Terapung-Tahun-Depan.jpg http://www.waykanankab.go.id/uploaddata/gambar_berita/26WhatsApp%20Image%202017-11-08%20at%2003.00.29.jpeg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 64: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara122 123

6.4.5 Strategi Nasional Pengembangan Kekotaan:

ke Atas Lemah, ke Bawah Susah

Perbaikan kampung adalah tindak parsial, karena itu muncul prakarsa untuk menangani perkotaan secara menyeluruh. Prakarsa tersebut direalisaikan dengan menyiapkan Strategi Pengembangan Kekotaan Nasional (NUDS: National Urban Development Strategy) tahun 1982-1985. Strategi dirumuskan dengan memperhatikan dan mepertimbangkan hal sebagai berikut:

• NUDS harus menjadi petunjukpencapaian tujuan pembangunan.

• NUDS harus berorientasi pada aksi

• NUDS memperhatikan keterbatasanadministratif dan fi ansial

• Peranan penting rakyat (people) dalampembentukan kota.

• NUDS harus dirumuskan berdasarkantelaah prospek sosial ekonomi yangrealistik

• NUDS harus mempertimbangkan semuaarah kebijakan, mulai dari makro ke mikro.

• NUDS harus memperhatikan keanekaandaerah di Indonesia

• NUDS harus memfasilitasi kemungkinanuntuk pembaruan dan revisi.66

Strategi pengembangan kekotaan nasional ini dirumuskan melalui pengkajian tentang: (a) analisis sistem kelembagaan pembangunan, (b) analisis proses perkembangan perkotaan dan wilayah dan (c) analisis sektor kunci perkembanganperkotaan dan wilayah.

Dalam analisis untuk perumusan NUDS tersebut, sektor industri dianggap sebagai sektor yang mempengaruhi kekotaan. Mungkin karena pengalaman di Eropa memang menunjukkan bahwa industrialisasi adalah penggerak urbanisasi di abad 19. Di Indonesia antara tahun 1971-1980 sektor industri memang merupakan sektor ekonomi yang pertumbuhannya tinggi. Tahun 1971-1976 sektor industri tumbuh 12,9% pertahun dan tahun 1976-1981, tumbuh 9,9% pertahun. Walaupun demikian konstribusinya pada PDB masih dibawah sektor pertanian. Tahun 1981 kontribusi sektor industri pada PBB adalah 15,9% sedang sektor pertanian 29,5%. Demikian juga tenaga kerja yang terserap industri masih lebih rendah daripada tenaga kerja yang terserap sektor pertanian. Walapun demikian mulai ada perkembangan dan pengembangan industri yang secara spasial diidentifikasikan adanya: lokasi industri, zona industri yang merupakan aglomerasi lokasi industri dan kawasan industri yang merupakan aglomerasi industri yang dikelola dan difasilitasi. Kajian NUDS telah menandai aglomerasi industri ini sebagai sektor kunci perkembangan dan pengembangan perkotaan. Ini bisa dimengerti karena pada waktu itu Indonesia sedang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi oleh krisis minyak dunia, padahal minyak bumi menjadi salah satu andalan pendapatan negara. Meskipun profil lokasi dan zona industri dikaji secara mendalam, ternyata NUDS tidak menempatkan aglomerasi industri sebagai pertimbangan penting dalam strategi kekotaan.

66 Peter Gardiner, The Indonesian National Urban Development Strategy and Its Relation to Policy and Planning; dalam buku Gawin Jones and Pravin Prawin Visaria (1997) URBANISZATION IN LARGE DEVELOPING COUNTRIES, Claredon Press Oxford

menyangkut segi manusia dan masyarakatnya. Sejak tahun 1989 diperkenalkan konsep Tribina dalam perbaikan kampung.

Begitulah, perbaikan kampung menjadi program perkotaan yang ekstensif tetapi terbatas pada kampung. Pertengahan tahun sembilan puluhan pelaksanaan proyek yang didukung dana pinjaman berakhir, walaupun masih banyak kampung yang perlu diperbaiki. Pemerintah Indonesia bersama para penyedia pinjaman dana, kemudian mempertimbangkan dua pilihan langkah. Pertama melanjutkan perbaikan kampung tetapi dengan pendekatan dan cara lain, atau kedua memperluas upaya perbaikan tidak sebatas kampung tetapi mencakup keseluruhan kota.

Pemerintah nasional memilih memperluas upaya perbaikan tidak sebatas pada kampung, tetapi keseluruhan kota dengan fokus pada perbaikan prasarana perkotaan. Program ini disebut Program Perbaikan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) dan Perbaikan kampung termasuk di

dalamnya. Ini juga sering disebut sebagai generasi kedua kebijakan perkotaan.

Ada kota yang melanjutkan perbaikan kampung dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh Surabaya tetap melanjutkan perbaikan kampung dengan caranya sendiri. Pemerintah Kota Surabaya membedakan tiga macam program. Pertama Proyek PLP (Proyek Perbaikan Lingkungan Permukiman), yang pemrakarsanya adalah komunitas permukiman yang bersangkutan. Pemerintah daerah memberikan bantuan dalam jumlah tertentu, selebihnya masyarakatlah yang menanggung pembiayaan perbaikan lingkungan yang dikehendaki. Kedua, Proyek Perbaikan Perumahan dan Permukiman yang sepenuhnya merupakan prakarsa pemerintah daerah berupa bantuan bahan bangunan bagi keluarga tidak mampu. Ketiga P2KP, proyek penanggulangan kemiskinan perkotaan. Proyek ini yang juga merupakan program nasional yang dilaksanakan setelah Indonesia mengalami krisis moneter, ekonomi dan politik tahun 1997.

http://www.putumahendra.com/berhutang-budi-pada-kampung/

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 65: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara124 125

masnusia, pembuangan sampah, perbaikan kampung, transportasi kota, pengembangan tanah dan perumahan.

Kajian ini disiapkan ketika sumber pendapatan pemerintah tingkat nasional dari minyak bumi dan sumberdaya alam lain (konsensi hutan) mulai menurun. Karena itu saran agar dana pinjaman dari Bank Dunia dikembalikan dengan pendapatan daerah dan tidak hanya mengandalkan pendapatan pemerintah nasional dapat diterima. Oleh karena itu program pengembangan prasarana kekotaan yang kemudian juga didukung oleh ADB dan penyandang dana lain, ditetapkan sebagai program nasional sesuai dengan prosepek keuangan daerah IUIDP yang juga disebut P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) juga diniatkan untuk mengatasi masalah: (a) kelemahan daerah dalam pengoperasian dan pemeliharaan pelayanan publik, (b) ketergantungan daerah pada pemerintah pusat, (d) duplikasi program oleh kelemahan koordinasi di tingkat nasional. Dengan demikian P3KT sesungguhnya juga ditujukan untuk memicu otonomi kota.

Dana pinjaman maupun dana yang disediakan oleh pemerintah dalam P3KT ini, sekitar 35 % untuk pasokan air perkotaan dan sekitar 25% untuk jalan. Program ini meningkatkan kualitas pelayanan banyak kota kecil sampai besar di Indonesia. Aksi yang dilakukan lebih banyak ditujukan untuk memperbaiki kondisi yang ada karena itu tidak banyak mempengaruhi pola maupun perluasan kota.

P3KT juga diharapkan mempunyai efek pada peningkatkan kapasitas daerah. Karena itu disertai dengan Rencana Aksi Peningkatan Pendapatan (RIAP: Revenue Improvement Action Plan), Rencana Aksi Pengembangan Kepranataan Lokal (LIDAP: Lokal Insititutional Development Action Plan) dan dengan penyerahan urusan pekerjaaan umum kepada daerah. P3KT juga mencoba menggunakan prasarana sebagai instrumen untuk menata pemanfaatan tanah.

Untuk itu telah dicoba diterapkan konsep pengembangan tanah yang terpimpin (GLD: Guided Land Development) di Bekasi, tetapi tidak berlanjut dan tidak dikembangkan.

Melalui P3KT ini juga dicoba dibangun sistem pembangunan dari atas ke bawah dan partisipasi komunitas. Segala aksi untuk meningkatkan kapasistas institusi tersebut hasilnya tidak pernah optimal, karena undang-undang pemerintahan di daerah memang menempatkan daerah hanya sebagai pelaksana. Sedang undang-undang penataan ruang masih mengharuskan pendekatan dari makro ke mikro. P3KT tidak berhasil membangun perencanaan dari bawah ke atas (bottom up) karena tidak sesuai dengan UU yang berlaku pada waktu itu68.

P3KT sesungguhnya banyak memuat konsep inovatif yang jitu tentang pengelolaan perkotaan, tetapi tidak banyak yang menjadi sistem yang nyata. Penyebabnya adalah berbagai programnya tidak didasarkan pemikiran yang integratif dan tindakannya kurang terkoordinasikan. Karakter sebagai proyek, yang mengejar ketepatan waktu dan sasaran dengan mengabaikan keterkaitan dan keseluruhan, masih mewarnai P3KT.

66 Robert van der Hoff and Florian Stienberg (1993), The Integrated Urban Infrastructure Programme and Urban Management Innovation in Indonesia, IHS Working Paper Series, Rotterdam

Garis besar strategi mencakup: (a) pencapaian integrasi spasial nasional yang menempatkan pertumbuhan kota antara sebagai faktor penting; (b) pengembangan hubungan desa-kota; (c)memenuhi kebutuhan kawasan khusus. Garisbesar strategi ini juga menawarkan pilihanpendekatan sebagai berikut67:

• Tanpa intervensi apapun, biarkanperkotaan berkembang denga sendirinya.

• Konsentrasi pada wilayah metropolitanyang besar.

• Restrukturisasi kawasan metropolitan

• Membangun magnit tandingan

• Mengembangkan pusat pertumbuhanantara (intermediate growth center)

• Mengembangan kota perdesaan (ruraltown)

• Mengatasi kondisi yang paling buruk(weakness and threat) terlebih dulu.

• Pembagian secara merata untuk semua hal

NUDS ternyata tidak mengusulkan suatu strategi yang jitu, tidak ada pendekatan yang disarankan untuk dipilih. Dalam kaitannya dengan pembangunan, NUDS tidak mempertimbangkan kemungkinan perkotaan sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial. NUDS dicoba digarap sebagai instrumen kesetaraan spasial, yaitu mengarahkan pengembangan perkotaan sebagai sarana untuk memperkecil kesenjangan perkembangan wilayah. Upaya tersebut susah diwujudkan karena kesenjangan yang terlampau lebar dan NUDS tidak diikuti oleh penyediaan dana dan bantuan teknis seperti yang dilakukan perbankan. NUDS yang penyiapannya atas dukungan UNDP tidak diikuti tindak lanjut dengan proses politik maupun aksi nyata.

6.4.6 Program PembangunanPrasarana Kota Terpadu (P3KT):

Integrasi Pemikiran dan KoordinasiKetika NUDS sedang disiapkan sekitar tahun 1984, Bank Dunia menyelesaikan suatu kajian tentang Sektor Pelayanan Kekotaan (Urban Services Sector). Kajian ini tidak dimaksud untuk memberi saran tentang srategi nasional pengembangan kekotaan. Walaupun demikian kajian ini bersinggungan, karena ada permasalahan kekotaan strategis yang membawa implikasi pada masalah penyediaan pelayanan. Orde baru adalah era yang mulai menghadapi proses mengota yang cepat oleh pertumbuhan penduduk, meluasnya lapangan kerja non pertanian, dan terbukanya kesempatan untuk menempuh pendidikan yang

lebih tinggi. Pelayanan kota menjadi defisit, karena sebelumnya memang tidak pernah mengikuti hadirnya permintaan baru oleh pertambahan penduduk. Kota juga meluas tanpa disertai dengan pelayanan kota, bahkan rencana penyediaannya pun belum ada.

Laporan Sektor Pelayanan Kota yang didukung Bank Dunia berujung pada program dan proyek investasi yang disebut Integrated Urban Infrastruture Development Program (IUIDP). Proyek ini mencakup: pasokan air bagi kota, drainase dan sanitasi, pembuangan kotoran

67 NUDS Report (oktober 1983) OUTLINE URBAN STRATEGY.

http://beritanusantara.com//foto_berita/46citra-maja-gate-r-malem-resize-web-e1435568082371.jpg?w=780&q=90

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 66: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara126 127

Pembangunan perumahan desa dimulai dalam Repelita II (1974-1979) dengan tujuan untuk membuka kesadaran masyarakat desa akan pentingnya rumah di lingkungan yang bersih dan sehat. Dengan kesadaran ini diharapkan komunitas perdesaan mau dengan sendirinya bergotong royong memperbaiki dan memugar rumah mereka yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan pembinaan swadaya masyarakat melalui kegiatan penyuluhan, pembuatan rumah-rumah contoh, perbaikan fisik rumah, perbaikan jalan lingkungan, pengadaan sarana mandi cuci kakus (MCK), dan pengadaan sarana air bersih.

Oleh karena program ini bersifat lintas sektor, sejak permulaan Repelita IV (1984-1989) kegiatan ini ditingkatkan menjadi program Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa Terpadu (P2LDT) dan dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat. Instansi-instansi yang terlibat dalam P3LDT adalah Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Kesehatan, serta Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).

Jumlah rumah yang dipugar terus meningkat, tahun (1973/1974) berjumlah sekitar 32.700 rumah, tahun 1978/1979 menjadi lebih dari 129.000 rumah dan pada tahun 1988/1989 atau meningkat menjadi hampir empat kali lipat. Jumlah desa yang melaksanakan pemugaran rumah juga meningkat dari sekitar 2.500 desa pada tahun 1988/1989 menjadi 4.000 desa pada tahun 1992/1993 dan terakhir menjadi lebih dari 9.000 desa.

Demikian sejak dimulainya program ini dalam Repelita II sampai dengan tahun keempat Repelita V secara keseluruhan telah dapat direalisasikan pemugaran perumahan desa di hampir 30.000 desa, dengan jumlah rumah yang terpugar sebanyak lebih dari 448.000 rumah. Hasil pelaksanaan tersebut sudah termasuk usaha masyarakat sendiri melalui replikasi kegiatan.

Apakah pembangunan perdesaan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kota ternyata tidak. Pertumbuhan kota tidak pernah menurun dan bahkan laju pertumbuhan kota di atas laju pertumbuhan penduduk pada umumnya.

6.4.8 Pembangunan Perumahan dan

Mosaik KekotaanPembangunan perumahan adalah unsur utama pembentuk mosaik kota di Indonesia pada masa orde baru. Mosaik kota bisa juga disebut pola ruang, tetapi karena perkotaan yang ada tidak selalu berpola, disini dipilih istilah mosaik kekotaan. Istilah ini juga digunakan untuk menganalisis keragaman satuan tempat tinggal dan satuan sosial di wilayah kekotaan69. Secara harfiah mosaik adalah potongan aneka bidang kecil yang ditempelkan satu dengan yang lain sehingga menjadi satu bidang. Penempelan dan penyatuan itu ada yang membentuk suatu pola

yang memberi kesan tertentu tetapi banyak yang justru memberi kesan membingungkan. Kota diibaratkan dengan mosaik, aneka satuan bidang yang sesungguhnya ruang yang menempel satu dengan yang lain menjadi suatu satuan bidang yang disebut kota.

Meskipun jalan utama, gedung besar dan monumen pada era demokrasi liberal sampai demokrasi terpimpin menjadi unsur pembentuk kota di Jakarta, tetapi kompleks perumahan tetap menentukan mosaik kekotaan. Kompleks

69 Duncan Timms (1971) , THE URBAN MOSAIC; Towards Theory of Residenditial Differentiation, Cambrige University Press, Oxford

6.4.7 Menata Kota dengan Membangun DesaAda pandangan bahwa menata kota harus disertai membangun desa. Karena desa adalah asal terjadinya proses mengota atau urbanisasi. Desa menjadi kota atau penduduk desa bermigrasi kekota. Di Indonesia hal ini tidak jelas, karena sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, tidak pernah terjadi pemilahan yang tegas antara desa dan kota. Ketika perang kemerdakaan perdesaan menjadi basis ketahanan negara, yang berhasil mendukung berlanjutnya Negara Republik Indonesia. Walaupun demikian, kemiskinan dan keterbelakangan juga berada di perdesaan. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila desa selalu mendapatkan prioritas dalam pembangunan di Indonesia. Asumsinya adalah apabila desa membaik, migrasi menurun dan kota akan bisa ditata.

Ketika tahun 1969 Indonesia mulai melaksanakan pembangunan dalam siklus lima tahunan, jumlah penduduk perdesaan lebih dari dua kali penduduk perkotaan. Disisi lain perdesaan sebagai sumber pasokan pangan harus di kembangkan untuk menutup defisit beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar orang Indonesia yang cenderung terus meningkat. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian, khusunya peningkatan

produksi beras, sangat besar. Pembangunan pedesaan yang diidentikkan dengan produksi pangan dilaksanakan secara menyeluruh mulai dari penyediaan bibit unggul yang efektif dalam merespon pupuk, pembangunan pabrik pupuk kimia, pengadaan obat-obatan pembunuh hama, teknik bercocok tanam, penggilingan beras sampai mekanisme pasar beras, telah dikelola dan diikut campuri oleh Pemerintah.

Penyelenggaraan pemerintahan desa pun diseragamkan dengan ditertbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Pemerintahan Desa yang beraneka struktur keanekaan adatnya kemudian disamakan meski konon adat tetap dapat dipertahankan. Walaupun demikian banyak persoalan yang semula dapat diselesaikan oleh lembaga adat, misalnya di beberapa desa tentang hak atas tanah, ternyata tidak dapat diatasi oleh lembaga desa yang baru. Di beberapa desa yang terjadi adalah dualisme pengaturan. Di Bali misalnya dapat kita temukan adanya desa adat dan desa “dinas” yang bisa berbeda batas komunitasnya. Bagaimanapun pengaturan dianggap mempermudah penyelenggaraan pem-bangunan yang sentralistis.

https://matarakyatmu.com/wp-content/uploads/2017/10/IMG-20171014-WA0036-1.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 67: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara128 129

71 Hernando de Soto (1980) THE OTHER PATH , Basic Book, New York

sekitar tempat tinggal tuan tanah. Walaupun demikian ketiga permukiman itu mempunyai ciri-ciri fisik yang sama, yaitu berupa kompleks perumahan tanpa perpetakan (pengkavlingan), jaringan prasarana yang tidak teratur dan bangunan yang beraneka ragam. Memang dapat dijumpai permukiman swadaya informal yang mempunyai jaringan yang teratur dan berpola, tetapi keadaan yang demikian itu hanya terjadi pada kondisi yang sangat khusus.

Permukiman swadaya informal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hernando de Soto, mengemukakan bahwa kota Lima di Peru selama empat puluh tahun telah meluas dua belas kali lipat. Dahsyatnya perkembangan itu terjadi sepenuhnya oleh permukiman informal. Masyarakat memperoleh tanah dan membangun rumahnya di luar hukum dan bahkan banyak yang melanggar hukum yang berlaku71. Walaupun demikian banyak diantaranya yang kemudian mendapatkan hak resmi menurut hukum. Menurut de Soto, permukiman informal di Peru bermula dari menduduki tanah, membangun rumah dan kemudian mendapatkan hak. Sedangkan permukiman formal mulai dari hak atas tanah, meminta izin dan baru kemudian membangun rumahnya. Pendudukan itu bisa terjadi secara gradual oleh rumah tangga yang

datang satu persatu, tetapi bisa juga secara serempak oleh kelompok besar terorganisasikan bisa dengan kekerasan atau kemampuan negosiasi yang tinggi. Ini yang terjadi di Peru.

Di Indonesia hampir tidak pernah kita dengar pendudukan tanah yang dilakukan secara serempak yang kemudian menjadi berkembang permukiman informal. Pendudukan tanah secara serempak terjadi hanya pada kondisi khusus misalnya pengungsian oleh keamanan atau bencana. Pada umumnya permukiman informal terjadi secara berangsur-angsur dan sebagai konsekuensinya permukiman tumbuh tanpa pola yang jelas. Tidak ada pengkavlingan dan jaringan jalan mengikuti perletakan rumah yang acak-acakan.

Pembangunan perumahan oleh Perumnas dan pengembang swasta yang bersifat formal, selalu diikuti dan disela dengan perumahan swadaya informal. Dengan demikian terbentuklah mosaik kekotaan berpola formal, informal yang membuat kota tidak efisien karena tidak terintegrasi sebagai suatu kesatuan fungsi. Pola permukiman formal dan informal juga menyebabkan terjadinya segregasi sosial, saling curiga dan dalam suatu situasi dapat menjadi konfl k. Prasarana belum dapat menjadi instrumen untuk menata mosaik tersebut, bahkan prasarana dan pelayanan kota lain yang seharusnya mengintegrasikan kota sering belum tersedia. Diantara akibatnya adalah perumahan formal justru tidak layak dan karena itu tidak dihuni. Pendaftaran rumah dalam rangka Sensus Penduduk tahun 2000 mencatat rumah kosong di Kota Medan: 50.545 unit, di Kota Palembang 70.153 unit, di Kabupaten Tangerang 122.354 unit, di Kabupaten Bogor 94.546 unit, di Kabupaten Bekasi 128.145 unit. Di seluruh Indonesia tercatat sekitar 2,5 juta rumah permanen dinyatakan kosong. Dibanding dengan rumah kosong yang terjadi RRT yang mencapai 64 juta unit, apa yang terjadi di Indonesia belum berarti. Ternyata ledakan ekonomi RRT telah meninggalkan jejak 13 kota hantu.

70 Tjuk Kuswartojo dkk (2004) Perumahan dan Permukiman Indonesia, Penerbit ITB

perumahan Tebet, Slipi, Bendungan Hilir di Jakarta adalah pembangunan perumahan pegawai negeri di tahun 1950-1960-an menjadi unsur pembentuk mosaik kota Jakarta.

Sejak awal tahun 70-an, Pemerintah tingkat Nasional melalui Perumnas, mulai membangun perumahan di banyak kota. Pembentukan padan usaha milik negara yang bergerak dalam pembangunan perumahan tersebut selanjutnya diiringi dengan penunjukan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank pembangunan perumahan. Dengan kedua lembaga inilah pemerintah memfasilitasi subsidi pembangunan perumahan yang ditujukan untuk masyarakat lapisan tertentu. Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas).bertugas membangun rumah murah atau sederhana yang juga mencakup tersedianya prasarana lingkungan, pembiayaan serta penguasaan, pematangan dan pengelolaan tanah. Sebagai langkah pertama Perumnas membangun rumah secara massal di atas tanah seluas 400 hektar di Depok dan 200 hektar di Klender yang dimulai pada tahun 1974. Dalam kurun waktu tiga tahun, di kedua lokasi tersebut sudah berdiri ribuan rumah. Selanjutnya Perumnas terus membangun di berbagai kota di segenap penjuru Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua. Antara tahun 1974 sampai dengan tahun 2002 Perumnas telah membangun 431.233 unit rumah, sebagian besar (64%) tergolong rumah sangat sederhana atau rumah inti seluas antara 15m2 sampai 36m2. Sesuai dengan misi yang diembannya, Perumnas tidak membangun rumah lebih besar dari 70m2 dan tidak membangun rumah mewah70.

Pemerintah juga mendorong berkembangnya badan usaha swasta yang bergerak dalam pembangunan perumahan. Perusahaan pembangun perumahan, yang juga disebut pengembang ini kemudian berkembang pesat, antara lain juga karena dapat memanfaatkan fasilitas Bank. Tahun 1972, telah berdiri 33 perusahaan yang bergabung dalam Real Estat Indonesia, pada tahun 1999 telah tercatat 2445,

oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia jumlah pengembang ini menurun menjadi 1195 perusahaan. Antara tahun 1994-2002, perusahaan yang tergabung dalam REI ini telah menghasilkan sekitar 1,7 juta unit rumah. Walaupun demikian pembangunan ini hanya terkonsentrasi di sekitar kota besar, bahkan lebih dari setengahnya berlokasi sekitar Jakarta.

Meskipun ada Perumnas dan perusahaan pengembang, pembangunan perumahan secara individual, swadaya dan juga informal karena tidak tersentuh pengaturan, tetap berlangsung. Pemerintahan daerah di Indonesia memang belum berdaya untuk bisa menata dan memfasilitasi permintaan akan rumah. Migrasi ke kota masih menderas oleh daya tarik perkotaan, hak atas tanah belum terjaga dan pembangunan perumahan yang terorganisasikan belum cukup tersedia. Semuanya itu menyebabkan hadirnya kompleks perumahan swadaya informal yang kemudian disebut kampung kumuh.

Pada dasarnya dapat dibedakan adanya tiga macam permukiman swadaya informal, yaitu pertama permukiman swadaya informal sebagai hasil transformasi permukiman perdesaan, kedua permukiman di atas negara dan ketiga permukiman yang berkembang oleh kekerabatan

https://nusantara.news/wp-content/uploads/2017/05/Perumahan-Citra-Indah.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 68: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara130 131

pengamatan menunjukkan bahwa tingkat penghunian rumah baru, tidak lebih dari 25% walaupun disebutkan bahwa rumah telah laku 100%. Keadaan yang demikian itu membuat komunitas tidak dapat terbentuk dan juga tidak dapat dikembangkan pemeliharaan lingkungan. Modal sosial pun terhambur tanpa ada hasil yang memadai. Hal ini terjadi karena mekanisme pasar dan subsidi telah menumbuhkan dorongan untuk memanfaatkan kesempatan memiliki rumah sebagai suatu tabungan atau bahkan investasi. Bahkan beberapa badan usaha secara sadar menawarkan rumah sebagai suatu investasi. Masyarakat yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal, terutama dalam kaitan dengan lokasi tempat kerjanya, justru belum didukung oleh kebijaksanaan dan instrumen pelaksanaan yang kuat.

Berkembangnya sektor jasa dan meningkatnya keanekaragaman lapangan kerja yang muncul oleh pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan golongan masyarakat dengan mobilitas yang tinggi. Golongan ini membutuhkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya, dengan segala pelayanan yang dibutuhkan, dan tidak perlu memilikinya. Lapisan atas golongan masyarakat ini telah mendapat sambutan dari usaha swasta, sehingga tumbuhlah apartemen sewa, yang tidak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Sedangkan golongan menengah ke bawah masuk dan tinggal pada perumahan yang ada, menjadi pelanggan usaha pemondokan atau persewaan yang dilakukan oleh keluarga. Ini dapat berupa pemondokan yang disebut sebagai kelas hotel sampai pondok boro bagi para bakul (pedagang) di pasar.

6.4.10 Kota Membesar oleh

Permukiman Skala BesarSetelah berhasil mewujudkan permukiman Pondok Indah dan Bintaro di Jakarta yang pada akhir tahun tujuh puluhan telah berhasil menyelesaikan pembangunan perumahan selu-as lebih dari 1000 Ha, pengembang swasta mempunyai kepercayaan diri untuk memprakarsai pembangunan sebuah kota baru. Pada tahun 1983, bermula dari penguasaan bekas perkebunan seluas 600 Ha, dibentuklah konsorsium yang terdiri dari 20 perusahaan bergabung untuk membangun kota baru yang diberi nama Bumi Serpong Baru. Penggalangan konsorsium ini tampaknya selain untuk memadukan kapasitas fi ansial, manajerial dan teknikal, juga untuk mengatasi hambatan perizinan. Karena pada pada waktu itu pengembang swasta hanya dizinkan untuk membangun tidak lebih dari 300 Ha. Oleh proses politik bisnis yang tidak ketahui, pembatasan perkembangan tersebut

pada akhir tahun delapanpuluhan seperti hilang dengan sendirinya. Bahkan kemudian disusul dengan himbauan agar pihak swasta membangun perumahan skala luas.

Terbitnya kebijakan usaha yang dikenal dengan Paket Oktober (Pakto) No. 23 tahun 1993 yang isinya antara lain memberi kemudahan kepada kegiatan usaha termasuk pengembang dalam hal pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah. Kebijakan telah disambut luar biasa, berbondong-bondong pengembang mengajukan permohonan izin lokasi untuk membangun perumahan skala besar. Lokasi yang diajukan tidak sempat mendapatkan telaah dengan cermat. Meski semua permohonan ditelaah melalui analisis mengenai dampak lingkungan tetapi dampak terhadap perkembangan kota, kondisi sosial ekonomi lokal, lingkungan pada umumnya dilakukan

6.4.9 Deregulasi dan

Ledakan Pembangunan Perumahan Deregulasi yang dilakukan pemerintah dengan maksud memperlancar arus investasi tahun 1993 (dikenal dengan Pakto No. 23/1993) telah mendorong pengajuan izin lokasi untuk pembangunan perumahan. Booming proposal pembangunan permukiman ini terutama terjadi di Jawa Barat, di sekitar Jakarta dan Bandung. Dalam jangka 3 tahun (1993-1996), di Jawa Barat telah diberikan ijin lokasi sebanyak 1322 ijin meliputi tanah seluas 116.358 Ha, padahal selama lebih dari 10 tahun sebelumnya ijin lokasi diberikan hanya pada 208 pemohon yang meliputi tanah seluas 45.282 Ha. Lokasi yang diberikan pun tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan pengembangan kota72. Selain banyak diantaranya yang diperkirakan akan menjadi beban kota dan prasarana regional yang ada, juga banyak yang ternyata berada di daerah yang harus dilindungi.

Walaupun peluang yang diberikan kepada pengusaha real estate demikian besar, sesungguhnya pada tingkat nasional secara kuantitatif proposi rumah yang dibangun oleh swasta ini relatif masih sedikit, kurang dari 15%. Artinya 85% masyarakat Indonesia memenuhi kebutuhan rumahnya tanpa melalui badan usaha maupun bentuk pengorganisasian lainnya. Makin mendekat kota metropolitan peranan badan usaha ini makin besar. Untuk Jakarta, pembangunan oleh badan usaha diperkirakan telah mencapai 45%, Jawa Barat mencapai 27%, sedangkan di Ciamis kontribusi usaha swasta ini hanya 3%. Walaupun demikian oleh posisi Jakarta dan oleh promosi yang luar bisa gencar, usaha swasta ini secara tidak langsung juga telah mempengaruhi orientasi budaya bermukim masyarakat Indonesia. Bahkan kebijakan perumahan nasional pun sering bias Jakarta.

Kinerja usaha swasta dalam memproduksi rumah, terutama untuk lapisan menengah ke bawah yang mendapat subsidi dan harganya dikendalikan pemerintah, dianggap telah memadai. Pada waktu itu sering disebutkan bahwa usaha swasta ini telah melampaui target yang ditetapkan. Siapa yang memperoleh manfaat dan apakah perumahan tersebut dimanfaatkan seperti yang diharapkan masih menjadi pertanyaan. Beberapa

72 Majalah Properti No.26, Maret 1996.

http://www.bajaringankania.com/2014/12/merubah-tanah-kosong-menjadi-perumahan.html

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 69: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara132 133

Meskipun tidak seluruh inisiatif tersebut terwujud, tetapi ada yang terealisasikan menjadi kota yang hidup, bukan sebagai kota satelit sebagai perluasan Jakarta. Sehingga yang terjadi tidak lagi sesuai dengan konsep Metropolitan melainkan Megapolitan seperti yang tampak dari perkembangan kawasan terbangun sebagai berikut:

Tidak semua prakarsa tersebut menjadi keyataan, bahkan belum sampai pada perencanaan yang dapat diiplementasikan. Beberapa gagasan yang didukung kemauan politik yang ambisius seperti Bukit Jonggol Asri dan Teluk Naga, belum sampai pada aksi nyata.

Perkembangan Kawasan Terbangun di Wilayah Jabotabek73

73 E Rustiadi et al : Jabotabek Megacity From City Development Toward Urban Complex Management System (Book Chapter)

hanya untuk memenuhi syarat administrasi. Penilaian atas kapasitas fi asial, manajerial, dan teknikal pengembang serta kemungkinan keberhasilannya mewujudkan perumahan skala besar itu bahkan seperti tidak diperhatikan.

Di wilayah Jabotabek muncul inisiatif mem-bangun kota baru atau permukiman dengan luas 500Ha. Sampai tahun 1996 telah terdaftar inisiatif pembangunan permukmian dengan luas lebih dari 500Ha seperti tabel berikut:

Di Bogor, Tangerang, Bekasi

1 Bumi Serpong Damai 6.000 Tangerang

2 Kota Tigaraksa 3.000 Tangerang

3 Kota Legenda 2.000 Bekasi

4 Bintaro Jaya 1.700 Tangerang

5 Citra Raya 1.000 Tangerang

6 Gading Serpong 1.000 Tangerang

7 Kota Modern 770 Tangerang

8 Alam Sutera 700 Tangerang

9 Kota Jaya/PT JRP 1.745 Tangerang

10 Pantai Indah Kapuk 800 Tangerang

11 Rancamaya 550 Bogor

12 Royal Sentul 2.000 Bogor

13 Harapan Indah 700 Bekasi Barat

14 Resor Danau Lido 1.200 Ciawi

15 Lippo Karawaci 700 Tangerang

16 Lippo Karawang 3.000 Bekasi

17 PT Banyu Buana Adhi Lestari 500 Cikeas, Kedunghalang

18 PT Maharani Citra Pertiwi 1679 Cileungsi

19 PT Bangunjaya Triperkasa 500 Cariu

20 Pantai Modern 500 Cilingcing

21 PT Kuripan Raya 500 Parung

22 PT Bukit Jonggol Asri 30.000 Jonggol

23 Karawang Baru 1.200 Karawang

24 Kota Bukit Indah 9.100 Karawang

25 Teluk Naga 8.000 Teluk Naga

26 Cikarang Baru Kota Hijau 5.400 Cikarang

Proyek Properti di Atas Tanah 500 Hektar Sampai Dengan 1996 di Wilayah Botabek

Sumber: Majalah Properti No 26, Maret 1996

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 70: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara134 135

Badan usaha swasta terus mengembangkan kawasan industri terutama di Jawa Barat dan Banten. Permintaan akan kavling industri di Jawa Tengah dan Banten di sekitar Jakarta memang sangat tinggi. Ini karena prasarana dan fasilitas usaha, tenaga kerja yang terampil dan produktif lebih, tersedia dibanding dengan wilayah lain. Menurut Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) tahun 2014 di Indonesia tercatat 236 kawasan industri. Diantaranya 103 kawasan industri dengan total luas 29.900 ha yang terdiri dari kawasan industri dengan luas antara 14 ha sampai 7000 ha terletak di Banten dan Jawa Barat di sekitar Jakarta. Menurut siaran pers Kementerian Perindustrian yang dimuat dalam KOMPAS.com, tahun 2013 tercatat 74 kawasan industri mencakup 55 kawasan industri di Pulau Jawa (total luas 22.795,90 hektar), 16 kawasan industri di Pulau Sumatera (4.493,45 hektar), 1 kawasan industri di Pulau Kalimantan (546 hektar), dan 2 kawasan industri di Pulau Sulawesi (2.203 hektar). Perbedaan angka tersebut diduga karena angka HKI berdasarkan pendaftaran anggota, sedang dari Kementerian berdasarkan izin operasi. Bagaimanapun perbedaannya, kawasan industri memang terpusat di wilayah Banten dan Jawa Barat di sekitar Jakarta.

Sampai dengan 1996 (Kepres No 41/1946), pemerintah hanya mengatur kemudahan dan persyaratan kawasan industri. Padahal kawasan industri dapat menjadi sarana pengembangan wilayah, sebagai inti pengembangan kota baru seperti di Inggris tahun 50an dan kini di RRT. Kawasan industri juga dapat menjadi sarana mengangkat industri kecil menjadi industri menengah seperti di India, dan menjadi sarana untuk memperbesar peluang kerja seperti di Malaysia. Pada awal perkembangan kawasan industri di Malaysia di tahun 70an, kawasan industri adalah instrumen untuk membangun industri padat karya. Sedang di Indonesia kawasan industri lebih menonjol sebagai bisnis properti. Oleh karena itu perkembangan permukiman, terutama permukiman informal, di sekeliling kawasan industri dianggap sebagai dampak. Permukiman dipandang sebagai eksternalitas yang tidak diperhitungkan sebagai bagian yang padu dari suatu kota dengan kawasan industri sebagai intinya. Meskipun kawasan industri dapat menata lokasi dan kavling industri dengan berbagai prasarana yang dibutuhkan, tetapi perkotaan di sekitarnya tumbuh secara acak. Baru tahun 2014 mulai dipertimbangkan kawasan industri sebagai instrumen pengembangan wilayah.

6.4.12 Kota Baru Produk Kebijakan Khusus di Luar Jawa

Banyak kota baru di Jawa pada umumnya dibangun sebagai respon badan usaha atas besarnya kebutuhan dan kuatnya permintaan akan perumahan dan aneka fasiltas perkotaan lain. Oleh karena itu kota tersebut hadir di sekitar kota yang pertumbuhan penduduk dan daya belinya tinggi. Dalam situasi demikian dapat dimengerti apabila kota dibangun sebagai barang dagangan dan pengelolaannya menjadi suatu usaha. Situasi yang demikian memang sulit untuk diwujudkan

di luar Jawa yang pertumbuhan penduduknya rendah. Walapun demikian di luar Jawa tumbuh kota baru yang berhasil mendapatkan status Kota otonom. Kota tersebut adalah Batam di Kepulauan Riau, Bontang di Kalimantan Timur dan yang sedang ancang-ancang menjadi Kota otonom adalah Metro di Lampung dan Timika di Papua.

6.4.11 Kawasan Industri dan

Pengembangan PerkotaanKawasan industri adalah suatu tapak (site) yang cukup besar tempat terjadinya pemusatan (aglomerasi) industri yang ditata dan dikelola oleh suatu badan pengelola. Penataan dilakukan pengkavlingan tapak industri, serta mengatur jaringan jalan dan utilitas serta menyediakan berbagai kemudahan bagi industri maupun pekerjanya.

Setelah dibukanya penanam modal tahun 1967 dan tahun 1968, berbagai industri mulai hadir di selatan Jakarta (Cibinong) dan barat Jakarta (Tangerang). Juga di Jakarta sendiri. Untuk menata kehadiran industri tersebut agar tidak menjadi beban permasalahan kota, tahun 1969, pemerintah DKI Jakarta menetapkan kawasan industri Pulau Gadung. Sebidang tanah seluas sekitar 500 Ha di bagian timur dikuasai pemerintah DKI Jakarta, dilengkapi dengan prasarana bagi kebutuhan industri. Apa yang dirintis oleh Pemda DKI Jakarta ini dikembangkan oleh pemerintah pusat. Berdirilah kemudian Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dan Kawasan Industri Cilacap (tahun 1974). Menyusul Kawasan Industri Medan (tahun 1975), Kawasan Industri Makasar (tahun 1978), Kawasan Industri Cirebon (tahun 1984), dan Kawasan Industri Lampung (tahun 1986). Ternyata kawasan idustri yang di Cilacap dan Lampung perkembangannya tersendat karena industri kurang berminat.

Menjelang akhir tahun delapan puluhan terjadi kejenuhan industri di Jepang, Korea dan Taiwan. Pengusaha di ketiga negara tersebut mencari negara lain untuk investasi industri. Negara di Asia Tenggara menjadi pilihan untuk investasi ataupun relokasi industrinya. Pemerintah Indonesia ingin menangkap peluang tersebut dan untuk itu diterbitkanlah Kepres Nomor 53 Tahun 1989. Tujuan dan sasaran untuk

mendorong sekaligus mengatur perkembangan kegiatan industri. Dalam Kepres ini secara eksplisit dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk: mempercepat pertumbuhan industri; memberikan kemudahan bagi kegiatan industri; mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di Kawasan Industri; menyediakan fasilitas lokasi industri yang berwawasan lingkungan.

Pasal 5 Kepres ini, menyatakan bahwa Gubernur Daerah Tk I mencadangkan tanah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan telah mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan pertanian. Dengan demikian prakarsa pembangunan kawasan industri seharusnya menjadi prakarsa Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi. Diharapkan dengan adanya kawasan industri ini, pertumbuhan industri tidak hanya menjadi lebih cepat, tetapi juga tertata rapi serta terlayani dengan baik, berdampak positif.

Kepres ini kemudian diikuti oleh Keputusan Badan Pertanahan tentang penyedian dan pemberian hak atas tanah untuk keperluan perusahaan kawasan industri (No.18/1989), yang memang diamanatkan olek Kepres. Keputusan ini menyatakan bahwa pembangunan kawasan industri dimulai dengan pengajuan permohonan pencadangan tanah oleh perusahaan kawasan industri kepada Gubernur. Bukan Gubernur yang menawarkan cadangan tanah kepada perusahaan kawasan industri. Dengan berbagai fasilitas penaman modal yang disediakan Pemerintah, muncul banyak perusahaan yang mengajukan permohonan untuk membangun kawasan indutri terutama disekitar Jakarta. Tidak semuanya berhasil. tetapi banyak kawasan industri yang berlanjut.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 71: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara136 137

Batam sehingga menjadi kota besar. Industri dan pariwisata kemudian menjadi basis ekonomi Batam. dan penduduk Batam juga meningkat dari 92.876 jiwa pada tahun 1990 menjadi 434.299 jiwa pada tahun. Mengantisipasi perkembangan Batam tersebut disiapkan rancangan kota pantai yang disebut Batam Center, yang dicita-citakan setara dengan Singapura. Cita-cita menjadikan pelabuhan transit belum dilanjutkan, mungkin dipandang terlalu sulit untuk bersaing dengan Singapura dan Johor Baru.

Tahun 1983, Batam ditetapkan sebagai kota otonom, yang mencakup wilayah laut selauas 2.791 km2 dan daratan yang terdiri dari 238 pulau yang jumlah luasnya 1.038 km2. Yang terbesar adalah pulau batam selus sekitar 480 km2 yang menjadi inti wilayah kota. Kota ini tumbuh awalnya sebagai pangkalan logistik dan operasi Pertamina, walaupun demikian pemerintah kota menganggap telah hadir sejak tanggal 18 Desember 1829, ketika pihak Inggris menukar Bengkulu dengan Singapura. Selain itu pemerintah kota Batam juga mencoba menggali tradisi Melayu yang dianggap sebagai jati dirinya.Kota Bontang adalah dampak eksploitasi dan pengolahan cadangan gas alam di Badak Kalimatan Timur yang merupakan cadangan

terbesar ke dua setelah Natuna. Gas alam di Badak ini diolah menjadi pupuk, gas cair untuk diekspor dan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik. Seluruh pengelolahan ini ditempatkan di Bontang, sehingga terbentuklah kota. Pengolahan menjadi gas alam cair (LNG) bukan aktivitas yang padat tenaga kerja, sedang pabrik pupuk meski menyerap banyak tenaga kerja juga bukan aktivitas pembentuk kota. Walaupun demikian hubungan ke belakang dan ke depan kegiatan (backward dan forward lingkages) pabrik Pupuk Kaltim dan pengolahan LNG itulah yang juga menjadi pendukung pembentukan kota. Pupuk Kaltim sendiri kemudian mendirikan berbagai usaha seperti industri: amoniak, methanol, pembuatan karung dan bahkan industri pemasok makanan dan minuman yang menyerap tenaga kerja.

Kompleks tempat tinggal karyawan LNG dan pabrik pupuk menjadi inti pertumbuhan kota pada awal tahun tujuh puluhan. Tahun 1999, Bontang ditetapkan sebagai daerah otonom. Sensus tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah penduduknya 68.842 jiwa dan sensus tahun 2000 menunjukkan jumlahnya menjadi 99.679 jiwa. Seperti halnya dengan Batam, Bontang juga mencari jati dirinya dengan menggali upacara adat.

Kota BatamBatam adalah suatu pulau yang bertetanggaan dengan Singapura, yang semula merupakan pangkalan logistik dan operasi Pertamina. Gagasannya adalah agar eksternalitas perusahaan gas dan minyak yang menjadi mitra kerja Pertamina dapat ditangkap di Batam dan tidak mengalir ke Singapura. Untuk itu pada tahun 1971 dibangun fasilitas pelabuhan, pergudangan serta perbengkelan dan dibentuk suatu badan yang mendapatkan tugas dan wewenang mengawasi keluar masuknya barang. Tahun 1973, diterbitkan Keputusan Presiden tentang pembentukan Persero Batam yang bertugas mengelola kawasan industri dan Badan Otorita Batam yang mengelola pembangunan dan perkembangan pulau Batam Sebelum itu, tahun 1972 dilkukan kajian yang merekomendasikan Batam bukan hanya sebagai basis logistik dan operasi minyak, tetapi juga mengembangkan industri berbasis minyak bumi. Pertamina yang merasa pada puncak kejayaannya, yang dipercaya untuk mendapatkan pinjaman besar seperti yang dibuktikan dengan pembangunan pabrik baja Krakatau Steel di Cilegon, akan mengurus Batam. Gagasan mengembangkan Batam sebagai pusat pengolahan minyak maupun industri yang berbasis hasil sampingan pengolahan minyak. Gagasan ini tidak terwujud dan tidak berlanjut. Karena kemudian terbukti bahwa Pertamina salah urus yang menyebabkan kerugian negara yang besar. Karena itu pada tahun 1974 kepemimpinan Batam diambil alih pemerintah yang dikoordinasikan Menteri Penertiban Aparatur Pembangunan. Oleh pemerintah kemudian disusun rencana pengembangan Batam, yang tidak hanya mengakomodasi kegiatan berbasis pengolahan minyak bumi tetapi juga mendorong berkembanganya aneka industri, pertanian, peternakan dan juga pariwisata. Juga digagas Batam menjadikan pelabuhan transit yang memfasilitasi alih kapal (transhipment) yaitu pengalihan muatan kapal raksasa dari luar ke kapal lebih kecil di Indonesia atau sebaliknya seperti yang dilakukan di pelabuhan Singapura.

Untuk itu di Batam dibangun berbagai prasarana berupa jalan, pembangkit listrik dan waduk penampungan air. Pembangunan jalan utama telah menjadikan seluruh bagian pulau dapat diakses. Bahkan pada tahun 1997 dapat diselesaikan 6 jembatan yang menghubungkan Batam dengan pulau Rempang sampai Galang di selatannya. Pembangkit tenaga listrik dibangun dengan kapasitas yang cukup untuk mendorong perkembangan industri dan perkembangan kota. Waduk sebagai penampung hujan adalah prasarana vital, karena di Batam tidak terdapat sumber air lain karena tanahnya tidak meresapkan air. Hutan yang ada di Batam adalah hutan terawang, dengan kerapatan rendah dan tajuknya tidak mampu menahan air seperti hutan tropis di Kalimantan. Ketersedian air ini akan menjadi pembatas perkembangan kota Batam yang akan datang.

Batam berkembang menjadi pusat industri elektronika dan masih menjadi pusat logistik operasi minyak dan gas. Kunjungan wisata juga meningkat pesat sehigga menjadi tujuan wisata kedua setelah Bali, tetapi dengan karakter wisatawan yang berbeda. Faktor yang mendorong pertumbuhan wisatawan ini adalah karena Batam mendapatkan fasilitas bea cukai dan pajak, sehingga aneka barang menjadi lebih murah dari pada kota lain di Indonesia. Wisatawan asing sebagian besar berasal golongan menengah ke bawah dari Singapura, yang ingin mendapatkan makanan dan barang konsumsi murah di Batam. Demikian juga dengan wisatawan dalam negeri yang pada umumnya tertarik karena berkunjung ke Batam karena harga barang dan kemudahan untuk ke Singapura.

Kapasitas pengelolaan yang kuat dalam bentuk otorita, yang menguasai hampir seluruh tanah di Batam, didukung dana yang memadai, fasilitas fiskal, kedekatannya dengan Singapura, dan juga pembangunan parasarana yang menyeluruh telah menjadi faktor pendorong pertumbuhan

a.

https://4.bp.blogspot.com/-IM241Gk8zD0/Wc0iWMJG-WI/AAAAAAAAC5Q/D0bipwUynHkHHX6rbBKo-JDS86d7ChZFACLcBGAs/s1600/Batam.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 72: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara138 139

menjadi lokasi bandar udara internasional ini kemudian menjadi Kota otonom belum diketahui.

Tahun 1969, perusahaan tambang Freeport dari Amerika bersiap untuk mengeksploitasi tembaga di pegunungan Estberg dan seterusnya. Yakin akan kandungan mineral aneka logam yang terdapat di pegunungan tektoknik Papua ini, Freeport menyiapkan eksploitasi jangka panjang, padat modal dan padat teknologi. Setelah melukakan eksplorasi lebih mendalam, keyakinan Freeport menjadi kenyataan. Bukan hanya tembaga yang ditemukan tetapi juga emas dan perak, yang meskipun kandungannya tidak lebih dari 30 gram per ton, tetapi cadangannya sangat besar. Oleh karena itulah selain memobilisasi alat berat untuk penambangan, Freeport membangun pabrik yang mengekstrak mineral menjadi konsentrat logam, tetapi tidak sampai membangun pabrik pemurnian konsentra logam itu lebih lanjut. Untuk mendukung operasinya tersebut pada tahun 1970-1971, Freeport membangun kota Tembagapura sebagai tempat tinggal pekerja tambang, lapangan terbang yang menjadi pusat angkutan perbekalan dan prasarana jalan yang menghubungkan Tembagapura dengan lapangan terbang dan lain-lainnya.

Tembagapura menarik kedatangan berbagai suku Papua lain, seperti suku Dani, Ekagi, Moni yang mukimannya mengumuh di sekitar Tembagapura. Kedatangan mereka adalah untuk mendapatkan sumber penghidupan baru dari aktivitas Freeport, tetapi hanya sedikit bisa terserap karena tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan usaha tambang tersebut. Permukiman kumuh di sekitar Tembagapura dianggap mengganggu kehidupan di Tembagapura karena itu diusahkan untuk dipindahkan ke sekitar lapangan udara, berdampingan dengan permukiman transmigrasi. Di sekitar lapangan udara yang diberi nama Timika itu, telah hadir 2300 keluarga atau sekitar 11000 jiwa. Transmigran ini yang

memelopori produksi hasil bumi seperti sayuran, palawija dan ternak (unggas dan telur) yang juga menjadi kebutuhan Tembagapura. Permukiman Tembagapura menumbuhkan permintaan akan hasil bumi, sedang Timika menjadi pemasoknya. Tempat bertemunya permintaan dan pasokan tersebut telah menumbuhkan pasar, yang kemudian dikenal sebagai Pasar Swadaya yang kemudian menjadi pusat kota Timika. Proses mengota di Timika terus berlangsung seiring dengan meningkatnya aktivitas pertambangan.

Kegiatan penambangan pada tahun 1980 hanya sekitar 8000 ton perhari, menjadi 32.000 ton perhari pada tahun 1990 dan 115.000 ton perhari pada tahun 1995. Usaha pertambangan ini merupakan kegiatan padat modal dan padat teknologi, karena peningkatan penambangan tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Sampai 1996 jumlah karyawannya hanya 1333 orang. Walaupun demikian Freeport membangunan permukiman baru yang dinamakan Kuala Kencana, yang merupakan permukiman ekslusif bagi karyawaan Freeport yang ditempatkan diantara Timika dan Tembagapura. Kuala Kencana dan Tembagapura kemudian menjadi distrik sendiri di wilayah Kabupaten Mimika.

Penggalian terus meningkat sampai menjadi 300.000 ton per hari, padahal yang diekstrak menjadi konsentrat hanya 1,2% tembaga, 1,10 gram perton emas dan, 3,74 gram perak75. Dengan demikian limbah konsentrat yang disebut tailing sangat besar, yang dibiarkan mengendap di dataran banjir sungai Aikwa yang berada di sebelah barat kota Timika. Kawasan reparian (tepian sungai) yang disediakan utuk menampung tailing tersebut seluas 225 km2, suatu kawasan yang lebih luas dari Kota Bandung. Luas kawasan pembuangan tailing ini sekitar 15% luas wilayah distrik Mimika Baru dan belum terbayang pemanfaatannya dikemudian hari.

73 George A Mealy (1999), GRASBERG, Freeport. Mac Moran

Kota Metro

Kota Metro adalah suatu kota yang hadir dan berkembang dari sebuah dusun pertanian. Karakter pertanian masih tampak kuat dari tatanan ruang dan permukimannya meski disebut kota. Metro ditetapkan sebagai kota otonom tahun 1999 ketika jumlah penduduknya mencapai sekitar 110 ribu. Kota ini awalnya suatu desa sebuah induk desa baru yang diberi nama Trimurjo. Desa ini adalah tempat penampungan awal para kolonis dalam rangka program kolonisasi pemerintahan Hindia Belanda dari Jawa pada tahun 1934 dan 1935.

Program yang ditujukan untuk mengurangi tekanan penduduk di Jawa dan Bali ini dikemudian hari juga dilakukan oleh Pemerintah NKRI. Bahkan menjadi program besar-besaran pada era orde baru. Selama orde baru telah dipindahkan penduduk sebanyak 6.194.000 jiwa dari Jawa Bali ke berbagai pulau lain di Indonesia. Walaupun demikian, tempat pemindahan tidak banyak yang berkembang menjadi Kota. Metro adalah salah satu diantaranya, yang berkembang menjadi Kota melalui proses yang panjang.

Trimurjo adalah desa induk tempat penampungan awal para kolonis sebelum ditempatkan dalam permukiman yang tetap. Di desa ini dibangun bedeng-bedeng sebagai penampungan sementara. Kemudian desa ini berkembang menjadi pusat logistik dan pertukaran hasil bumi permukiman kolonis yang tersebar di sekitarnya, selain yang juga menetap di desa itu sendiri. Sebelum hadirnya kolonis, telah ada kampung marga, yang dapat menerima kehadiran para kolonis dan juga menganggap Trimurya sebagai pusat aktivitas kehidupan di permukiman. Dewan Marga bersama para kolonis kemudian sepakat untuk mengganti nama Trimurya dengan Metro. Tanggal penetapan kesepakatan inilah yang kemudian dipilih sebagai hari jadi Kota Metro, suatu kota yang berkembang dengan basis pertanian. Dapat diduga, pertanian hasil para kolonis sekitar Metro cukup baik, mencapai surplus sehingga dapat menopang kehadiran kota. Meskipun proses dari sebuah desa menjadi Kota otonom terjadi sekitar 65 tahun.

Kehadiran usaha tambang besar berjangka panjang, di desa adat suku Amungme danKamoro, terbentuknya permukiman transmigrasi, telah menghadirkan Kota Timika. Kota yang menjadi ibukota Kabupaten Mimika ibukota Distrik Mimika Baru ini kemudian wilayah yang banyak jumlah penduduknya dan paling padat di Kabupaten Mimika. Apakah Timika, yang

b.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 73: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara140 141

kemudian berada pada kisaran Rp5.000 per dolar pada akhir tahun 1997, dan pada 22 Januari 1998 nilai dolar mencapai Rp16.000 per dolar. Krisis moneter tersebut berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, terutama di kawasan perkotaan. Pendapat domestik perkapita merosot dari $1155 tahun 1996, menjadi $610 pada tahun 1998. Sektor perbankan, manufaktur dan properti yang menjadi basis ekonomi perkotaan terpukul. Kondisi moneter menjadi beban berat bagi para usaha swasta terutama yang tergantung pada devisa dan kewajiban harus mengembalikan pinjaman dolar dari luar dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Situasi ini menyebabkan banyak usaha gulung tikar, sehingga banyak orang kota kehilangan pekerjaan. Sedang di perdesaan, apalagi di desa yang subsisten, tidak tersentuh oleh krisis tersebut, sehingga banyak orang kota mencoba kembali bertani atau mencari nafk h di sektor informal. Kemiskinan yang berpotensi menimbulkan masalah sosial di perkotaan pun meningkat. Selain itu juga berkembang gejolak sosial politik karena masyarakat menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut terjadi karena kekuasaan pimpinan negara menjadi mutlak tanpa pengawasan publik karena tidak adanya kebebasan berpendapat. Kondisi itulah yang dianggap menyebabkan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjauhkan masyarakat dari keadilan.

Krisis moneter di Indonesia dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis sosial akhirnya ke krisis politik. Rezim orde baru yang telah memimpin penyelenggaraan negarapun selama 30 tahun runtuh digantikan oleh rezim produk reformasi. Rezim reformasi ini melakukan langkah jangka pendek untuk menanggulangi kemiskinan dengan berbagai pengentasan kemiskinan yang antara lain berupa Program Pengentasan Kemsikinan Perkotaan (P2KP). Sedangkan untuk mengatasi kemelut moneter pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (disingkat: BPPN). Lembaga ini mendapatkan tugas pokok

untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.

Tindak paling mendasar pada era reformasi adalah amandemen UUD 45. Undang Dasar yang sejak manifesto politik tahun 1959 sampai orde baru sempat diberhalakan dan ditabukan untuk diubah, ternyata mulai tahun 1999 diubah juga. Amandemen yang baru diselesaikan tahun 2002, memastikan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, mempertegas batasan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, menuju penyelenggaraan negara yang lebih terdesentralisasikan, mengarah pada kehidupan yang lebih demokratis dan menjujung tinggi hak asasi manusia.

Amandemen UUD 45 ini dengan sendirinya mengharuskan diubahnya berbagai undang-undang, terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal yang diubah dan pasal baru. Walaupun demikian, sebelum amandemen UUD 45 diselesaikan, artinya sebelum tahun 2002 telah diselesaikan banyak UU yang prinsipnya adalah membawa penyelenggaraan negara yang lebih terdesentralisasi, lebih demokratis dan menjujung tinggi hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi antara lain telah diterbitkan UU pemerintahan daerah, UU pembentukan provinsi, dan banyak kabupaten dan kota baru. Dalam hubungannya dengan demokratisasi diterbitkan UU tentang kemerdekaan menyam-paikan pendapat di muka umum, UU partai politik, UU pemilihan umum, UU tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR, dan DPRD, UU Pers, UU tentang praktek monopoli, UU anti korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. Sedang dalam hubungannya dengan hak asasi manusia telah diratifikasi konvensi PBB menentang penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, diskriminasi rasial dan secara khusus diterbitkan UU tentang hak asasi manusia, UU tentang lansia, UU batas usia minimum dan sebagainya.

Prestasi ekonomi yang dicapai orde baru dalam tiga dekade era merosot tajam dalam sembilan bulan pada tahun 1998. Krisis bermula dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, yang merambah ke seluruh Asia Tenggara. Meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Antara lain karena saran IMF tidak dapat dilaksanakan sehubungan dengan nepotisme yang ada di Indonesia. Indonesia kemudian tercatat sebagai negara yang krisisnya terparah di Asia Tenggara.

Krisis moneter ditandai dengan melejitnya nilai dolar terhadap yang direspon dengan merubah kebijakan moneter. Semula nilai dikendalikan dan ditetapkan diubah menjadi nilai mengambang mengikuti pasar, yang kemudian terbukti melejit tidak terkendali. Kebijakan tersebut telah membuat dolar yang pada tahun 1978 bernilai Rp 625 per dolar

6.5.1 Pemicu Reformasi:Krisis moneter dan menyusutnya perekonomian Indonesia76

6.5Gelegak Reformasi: Penataan Kota dan Pembangunan Pranata Perkotaan Arahan Pemerintah Nasional pada Perkotaan

76 Ben White dan Peter Boomgard (2016) DARI KRISIS KE KRISIS: Masyarakat Indonesia menghadapi resesi ekonomi selama abad ke 20, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

https://rebanas.com/gambar/images/dpr-1-z9cmj8-png-gambar-gedung-mpr

Page 74: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara142 143

UU N0.32/2004 karena dinilai daerah belum siap untuk menjalankannya. Kemudian diganti lagi dengan UU No. 23/2014 untuk lebih memperjelas pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Ditegaskan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, dan urusan konkuren yang bisa pusat bisa daerah. UU inipun diubah dengan UU No.2/2015 dan diubah lagi menjadi UU No.9/2015 karena pertimbangan politik. Undang-undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang perkotaan akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Selama lebih dari 40 tahun keuangan daerah dipasok dan diatur dengan UU No.32/1956, tahun 1999 diganti dengan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah untuk disesuaikan dengan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian UU Perimbangan Keuangan Daerah diganti lagi dengan UU No 33/2004, sehubungan dengan penggantian UU Pemerintah Daerah tahun 2004. Selanjutnya ketika UU Pemerintah Daerah diganti lagi, UU Perimbangan Keuangan Daerah tidak dirubah lagi tetapi diterbitkan UU N0.28/2009 tentang Pajak Daerah. Tampaknya sistem keuangan daerah yang dibangun berdasarkan UU No 33/2004 menjadi mapan, sehingga yang dikembangkan adalah basis sumber dana daerah. Sesungguhnya UU tahun 1956 masih mengikuti Indische Comtabiliteit Wet (ICW) peninggalan pemerintah Hindia Belanda dan meskipun tahun 1968 diubah tetapi asasnya tidak berubah. Pemerintah daerah selain mempunyai hak untuk memungut pajak, retribusi dan hasil pengelolaan serta perusahaan daerah yang disebut pendapatan asli daerah, juga mendapatkan alokasi yang ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah. Dalam UU tahun 1999, daerah tetap mempunyai PAD tetapi

Undang-Undang Perimbangan Keuangan Daerah

alokasi berdasarkan kebijakan diubah menjadi hak atas pendapatan negara. Hak tersebut disebut sebagai dana perimbangan yang terdiri dari: bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum yang ditetapkan dengan suatu formula berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, kapasitas fiskal daerah dan jumlah penduduk miskin. Selain itu juga bisa mendapatkan dana alokasi khusus yang ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat. Jumlah seluruh PAD di Indonesia, hanya sekitar 6,7% dari seluruh penerimaan. Memang menunjukkan adanya peningkatan menjadi 11,9% tahun 2016 . Nilai mutlaknya meningkat dari R 13,96 triliun tahun 2006 menjadi Rp 90,22 triliun atau meningkat 6,4 kali lipat dalam jangka 10 tahun. Daerah yang mempunyai PAD melebihi dana perimbangan hanya DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, dan umumnya persentase PAD daerah Kota lebih tinggi dari kabupaten. Apakah proses mengota akan meningkatkan PAD masih perlu dikaji lebih lanjut.

Undang-Undang tentang Penataan Ruang

Tahun 2007, UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang diganti dengan UU No.26/2007. Undang-undang penataan ruang yang baru ini terdiri dari 80 pasal jauh lebih rinci daripada undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 32 pasal. Pengendalian pemanfaaatan dan pengawasan menjadi lebih eksplisit, bahkan menjadi paragraf dan bab dalam undang-undang baru ini. Tampaknya pemikiran yang mendasari pembaruan undang-udang ini adalah agar penataan ruang lebih sungguh-sungguh dilaksanakan. Untuk itu undang-undang ini disertai ancaman sanksi administratif dan pidana. Bahkan sampai dengan peraturan pelaksanaannya semangat mendera itu dimunculkan lagi. Misalnya dalam PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dinyatakan bahwa apabila pemerintah daerah tidak dapat

Dengan diterbitkannya berbagai undang-undang tersebut dapat dikatakan bahwa amandemen UUD 45 mengonfi masi UU yang telah diterbitkan sebelumnya, yang disusun pada masa krisis. Masa krisis ini artinya yang lama sudah sekarat sedang yang baru belum ada, seperti pendapat Cramsci tentang krisis77. Tidak salah juga apabila ada yang lebih menyukai digunakan istilah transisi. Krisis atau transisi tersebut akhirnya di patok dengan amandemen UUD 45 yang diselesaikan pada tahun 2002. Sedang kaitannya dengan kepala negara dan kepala pemerintahan daerah, hasil amandemen ini mulai dilaksanakan tahun 2003-2004. Pelaksanaan amandemen UUD 45 tersebut ditandai dengan pemilihan langsung oleh rakyat dan masa pembatasan jabatan Presiden dan Wakilnya, semua kepala daerah, pemilihan langsung semua anggota DPR tingkat pusat dan daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.

76 Antonio Gramsci (1971); Selection from the Prison Notebook, International Publisher, New York

6.5.2Amandemen Konstitusidan Perundangan Gayut Dengan Perkotaan

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah

UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah undang-undang yang perumusannya sudah diliputi idealisme desentralisasi, demokratisasi dan perlindungan pada hak asasi manusia. Berdasarkan UU ini Walikota beserta wakilnya dan anggota DPRD dipilih langsung dipilih warga kota, tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah atasan seperti sebelumnya. Pemerintah kota mempunyai wewenang atas seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama. UU No.22/1999 ini merupkan undang-undang pertama tentang otonomi daerah yang kemudian diganti dengan

Berbagai UU produk reformasi masa krisis maupun masa setelah amandemen UUD 45 jelas berpengaruh pada tata kelola dan kehidupan kekotaan pada umumnya. Siapa yang dapat menjadi Kepala Daerah, bagaimana memilih Kepala Daerah, apa kewenangan pemerintah daerah dan darimana sumber keuangan untuk memelihara dan mengelola kota, menjadi soal yang diatur dengan undang-undang pada pasca reformasi. Berikut adalah beberapa undang-undang yang gayut dengan perkotaan di Indonesia pasca reformasi.

https://beritagar.id/artikel/berita/noda-di-lembaga-penjaga-konstitusi

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 75: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara144 145

Umum. Undang-Undang ini menetapkan pada prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum, mengatur hak dan pengelolaannya dan mendefin sikan 19 penggunaan yang disebut sebagai kepentingan umum. Intervensi atas nilai tanah, pembatasan hak atas tanah seperti hak guna bangunan, konsolidasi tanah, kompensasi atas intensitas penggunaan tanah sebagai instrumen pengelolaan kota belum dikembangkan.

6.5.3 Program Perkotaan

Pasca Reformasia. Perbaikan Kampung

Krisis moneter dan ekonomi tahun 1997-1998, telah menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin, tetapi lonjakan si perkotaan lebih besar dari pada perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa penduduk miskin perkotaan yang tahun 1996 berjumlah 9,4 juta jiwa dan pada tahun 1998 menjadi 17,6 juta jiwa atau meningkat 8,2 juta. Sedang penduduk perdesaan BPS meningkat dari 19,8 juta jiwa tahun 1996 menjadi 25,7 juta jiwa pada tahun 1998 atau meningkat 5,6 juta jiwa.

Program penanggulangan kemiskinan ini terfokus pada kampung kota, tetapi tidak direncanakan sebagai penerusan proyek perbaikan kampung era orde baru. Pemerintah mencanangkan Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM DKE), yang meskipun berupa kegiatan konstruksi perbaikan kondisi fisik kampung, tetapi tujuannya adalah membuka lapangan kerja. Program ini dilanjutkan dengan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang mulai dilaksanakan pada tahun 1999.

P2KP dimaksud untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan, yang tidak hanya bersifat reaktif oleh adanya krisis ekonomi tetapi juga bersifat strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan institusional sebagai modal sosial masyarakat di masa mendatang. Meski kegiatan ini berupa proyek yang jelas akan berakhir pada suatu waktu yang ditentukan, proyek ini bercita-cita mewujudkan masyarakat madani, yang berbudaya maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif, dan lestari. Untuk itu P2KP akan mendampingi masyarakat perkotaan, khususnya masyarakat miskin untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat, dengan cara membangun kapasitas dan menyediakan sumberdaya serta melembagakan budaya kemitraan antar pelaku pembangunan.

Ada 3 sasaran yang ingin dicapai P2KP ini yaitu:• Membangun / mengembangkan organisasi

masyarakat warga yang aspiratif danakuntabel memperjuangkan kepentinganmasyarakat miskin.

• Mendorong pemerintah daerah agar lebihtanggap terhadap kebutuhan masyarakatmiskin melalui penguatan kemitraandengan masyarakat.

• Meningkatkan pelayanan kepadamasyarakat miskin dalam hal aksespelayanan pendanaan, jaminan sosial, danprasarana lingkungan permukiman.

Proyek ini lebih menekankan pada pengem-bangan modal sosial. Kalaupun proyek ini menyentuh permukiman, itu sebagai bagian untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai modal sosial. P2KP menerapkan pendekatan Tri Daya sebagai upaya member-dayakan masyarakat agar:

• Secara sosial akan membangun sosialkapital di masyarakat untuk mewujudkankomunitas yang efektif,

• Secara ekonomi mampu mewujudkan

mewujudkan 20% ruang terbuka hijau akan dikenakan sanksi. Walaupun tidak terlalu jelas apa yang hendak dicapai dengan persentase ruang terbuka hijau tersebut. Undang-undang ini juga mengukuhkan perencanaan berhierarki dari makro ke mikro, yang sesungguhnya justru menjadi salah satu penyebab tidak terlaksananya penataan ruang. Karena perencanaan ruang makro tidak cukup peka mendeteksi dinamika tingkat mikro, padahal apa yang sering menjadi masalah adalah akumulasi perubahan mikro yang tidak terkendali. Sebagai contoh mungkin saja kawasan lindung tingkat provisi, sesungguhnya dapat menjadi kawasan budidaya pada tingkat kota dengan teknologi dan penataan yang lebih cermat. Semangat desentralisasi tidak tercermin dalam UU dalam penataan ruang ini.

Undang-undang lingkungan hidup pertama kali diterbitkan tahun 1982 dengan semangat bahwa semua pihak dan semua orang adalah pengelola lingkungan. Pemerintah, organisasi non pemerintah dan badan usaha harus bekerja sama dan bertanggungjawab mencegah dan mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Tahun 1997 undang-undang 1982 diganti dengan undang-undang yang membawa semangat bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah tanggung jawab negara untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk pemerintah harus memiliki instrumen pengendalian yang tangguh. Tahun 2009 undang-undang diganti lagi dengan semangat pro-aktif, yang artinya harus disiapkan suatu kerangka untuk perubahan lingkungan hidup masa depan. Untuk itu UU No 32/2009 mengamanatkan harus disiapkannya Rencana Pengelolaan dan Pelindungan Lingkungan Hidup berdasarkan wilayah ekologi. Dengan demikian sekiranya undang-undang ini memang sungguh-sungguh diimplementasikan, perkembangan kota harusnya terarah oleh rencana pengelolaan

dan perlindungan lingkungan hidup. Selain itu undang-undang ini juga mengamanatkan adanya Lingkungan Hidup Strategis, sebagai instrumen untuk mengarahkan kebijakan pembangunan agar berwawasan keberlanjutan. Berdasarkan UU ini sesungguhnya ada pendekatan baru dalam penataan ruang perkotaan, tetapi seperti apa rencana itu belum ada yang dapat dijadikan contoh.

Tahun 2011 diterbitkan UU No/1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menggantikan UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang baru tersebut mencoba memberi jawab atas persoalan perumahan terutama dalam kaitannya dengan institusi, pertanahan dan pembiayaan dan posisi perumahan atas perkotaan yang dalam UU disebut sebagai kawasan permukiman. Institusi yang membina penyelenggaraan perumahan merupakan kunci perumahan agar mampu menghadapi pertumbuhan kebutuhan dan kelangkaan tanah dan prasarana dan integrasinya dengan perkembangan kota.

Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) produk orde lama tidak bergeming meski dilanda orde baru dan reformasi. Tanah sebagai sarana pokok produksi pertanian atau penyimpan kekayaan alam di perdesaan dan tanah yang menjadi barang dagangan di perkotaan dianggap tidak berkaitan dengan UUPA. Komodifikasi tanah yang menyingkirkan lapisan bawah dari perkotaan dan terhalangnya penyediaan tanah bagi kepentingan umum dianggap sebagai masalah penataan ruang dan bukan masalah tanah. Tahun 2012 diterbitkan UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan

Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pertanahan

Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 76: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara146 147

b. Mencakokkan P2KP pada Program NasionalPemberdayaan Masyarakat (PNPM)Tahun 2007 P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Kemudian PNPM Mandiri mengarahkan P2KP untuk mendukung upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu tercapainya pengurangan penduduk miskin sebesar 50% pada tahun 2015.

PNPM Mandiri intinya adalah program untuk memberdayakan masyarakat agar dengan kemampuannya sendiri dapat keluar dari kondisi miskin melalui penguatan kelembagaan sosial dan kepemimpinan komunitas. Pada tingkat nasional PNPM Mandiri dibedakan antara atas PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan ditambah dengan :

1. PNPM-P2DTK (Program PembangunanDaerah Khusus dan Tertinggal, dikelola olehKementerian PDT, dengan dukungan danapinjaman dari Bank Dunia.

2. PNPM- PPIP (Program PembangunanInfrastruktur Perdesaan) yang padatahun 2009 menjadi RIS-PNPM (RuralInfrastructure Services), dikelola oleh Ditjen.Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum,dengan pinjaman dari ADB.

3. PNPM-PISEW/RISE ( Program InfrastrukturSosial Ekonomi Wilayah/Rural Infrastructurefor Social and Economic Activities), dikelolaoleh Ditjen. Cipta Karya, DepartemenPekerjaan Umum, Ditjen. Bina PembangunanDaerah, dan Bappenas, dengan pinjamandari JICA/JBIC.

Dengan PNPM Mandiri ini diharapkan pember-dayaan masyarakat yang telah banyak diupayakan melalui berbagai pembangunan sektoral maupun regional secara parsial dan tidak berkelanjutan, diharapkan lebih efektif dan optimal. Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri diharapkan dapat terjadi harmonisasi prinsip-prinsip dasar, pendekatan,

• komunitas yang produktif, dan;

• Secara lingkungan, mampu menumbuhkandaya pembangunan di masyarakat untukmewujudkan lingkungan permukimanyang sehat, produktif dan lestari

Upaya ini dilakukan dengan pengokohan kelembagaan masyarakat, sehingga nantinya diharapkan dapat tercipta wadah organisasi yang mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka. Kelembagaan setempat yang dinamakan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LPM) diharapkan menjadi motor penggerak dalam pelembagaan dan pembudayakan kembali i nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan sebagai nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan di perkotaan.

Program itu terdiri dari empat komponen yaitu:

1. Bantuan Teknis Pemberdayaan masyarakatdan pengembangan kapasitas pemerintahdaerah; merupakan serangkaiankegiatan pelatihan, proses pembelajaran,dan penggalian pengalaman, sertasejumlah lokakarya/rembug masyarakatyang sesungguhnya ditujukan untukmembangun kesadaran kritis, kepedulian(awareness), dan memotivasi para pelakuP2KP untuk menjalankan perubahanperubahan sosial di masyarakat yangdimulai dengan dirinya atau lingkungankerjanya.

2. Penyediaan dana Bantuan LangsungMasyarakat (BLM); merupakan bantuanproyek sebagai sarana pembelajaran wargayang secara bebas dapat digunakan olehmasyarakat kelurahan sasaran sesuaidengan hasil pemetaan swadaya danrumusan kegiatan yang dicantumkandalam PJM Pronangkis (Program JangkaMenengah Penanggulangan Kemiskinan).

3. Penyediaan dana Penanggulangan Kemis-kinan Terpadu (PAKET); merupakanstimulan untuk meningkatnya kemitraanantara masyarakat dengan pemerintahdaerah, sehingga terjadi pembelajarandalam penyelenggaraan pembangunanyang dilaksanakan secara lebih terarahdengan mengakomodasikan kebutuhanmasyarakat dan pemda serta dilaksanakansecara transparan, efektif dan akuntabel.

4. Dana Dukungan “Pembangunan Ling-kungan Permukiman Kelurahan Terpadu”;merupakan suatu dukungan bagi BKMyang sudah mencapai kualifikasi kinerja“mandiri’’ agar dapat lebih berdaya dalammengakomodasikan berbagai inisiatif danaspirasi dari masyarakat dalam upayaterwujudnya tata kehidupan yang lebihbaik dan harmonis.

P2KP jauh lebih pelik daripada perbaikan kampung dan hasilnya tidak segera dapat dilihat. Pengembangan kelembagaan memang salah satu upaya untuk membentuk modal sosial, tetapi selain ini memerlukan waktu yang juga cukup panjang. Modal sosial mencakup aspek institusional dan juga relasi (relational). Kelembagaan mencakup permasalahan peranan, peraturan, prosedur dan sanksi, sedang ke-relasi-an mencakup permasalah ideologi, nilai, kepercayaan dan perilaku yang cocok

P2KP diselenggarakan di 59 daerah Kota dan Kabupaten di 5 provinsi di Pulau Jawa, pada tahap I mencakup 1298 Kelurahan sengan 3,88 juta kepala keluarga dan pada tahap ke II mencakup 1323 Kelurahan dengan 2,43 juta kepala keluarga. Sampai dengan pertengahan tahun 2004 telah dikeluarkan biaya bantuan langsung masyarakat sebanyak Rp 206 milyar untuk 1318 kelompok swadaya masyarakat atau rata-rata sekitar Rp157 juta perkelompok. Dengan dana ini dapat diperkirakan bahwa efeknya terhadap lingkungan permukiman tidak akan sekentara proyek perbaikan kampung. Sedang efek terhadap pengembangan modal sosial agaknya memang sulit diukur.

https://maujanaadilmakmur.files.wordpress.com/2010/01/gtg3.jpg

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 77: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara148 149

Setelah berlangsung tiga empat kali Adipura berhasil menjadi suatu kebanggaan kota. Sehingga tropi yang diterima itu diarak di kota dan tiruan tropi tersebut dipajang di tengah atau digerbang kota. Agaknya pemerintah kota juga berupaya agar piala Adipura menjadi kebanggaan warga dan selanjutnya diharapkan berperan serta dalam menjaga kebersihan kota. Setelah sekitar sepuluh kali berlangsung makna Adipura mulai merosot, dan bahkan dipandang sebagai penghargaan semu.

Tahun 1998, masih dalam suasana krisis, pemberian penghargaan lingkungan terhenti, baru tahun 2002, pada era reformasi diselenggarakan kembali acara pemberian penghargaan Adipura dengan cara yang berbeda. Semula penghargaan Adipura diberikan berdasarkan pencalonan, setelah reformasi didasarkan pada pemantauan atas kota yang bersedia mengikuti program ini. Pemantauan dilakukan terhadap wujud fisik kehijauan dan kebersihannya, dan terhadap kelembagaan serta pengelolaan kehijauan dan kebersihan kota tersebut. Kota yang mengikuti program ini terus meningkat , tahun 2003 tercatat 59 kota menjadi 164 kota pada tahun 2005, dan menjadi 375 kota tahun 2009. Kota yang ikut serta dalam program ini adalah Kota otonom

dan ibukota Kabupaten. Adipura tidak hanya penghargaan tetapi menjadi suatu program yang menuntut pemerintah kota untuk berperan serta. Banyak kota mengikuti program kehijauan dan kebersihan ini dengan sungguh-sungguh, diantaranya yang kemudian menjadi contoh dunia tentang kehijauan dan kebersihan kota. Kota Surabaya telah berhasil menjadikan program kehijauan dan kebersihan ini sebagai tema kompetisi diantara Rukun Warga dan Kelurahan, dan menjadikannya sebagai gerakan warga kota. Bahkan behasil membuat program penghijauan sebagai kegiatan produktif yaitu sistem cocok tanam kekotaan (urban farming) yang menghasilkan aneka holtikutura (aneka sayur, cabe) yang antara lain ikut berkontribusi menahan inflasi.

Walaupun sejak tahun 2015, penghargaan Adipura ini tidak bergengsi seperti pada pertengahan tahun 90an, tetapi jelas mempunyai jejak nyata pada kota. Kehijauan dan kebersihan kota Surabaya telah mendapatkan penghargaan masyarakat dunia, sehingga Surabaya pada Juli 2016 menjadi tuan rumah penyelanggaraan komite persiapan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyusun program dunia The New Urban Agenda.

Hasil Program Kehijauan dan Kebersihan Kota

strategi, serta berbagai mekanisme dan prosedur sehingga proses peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Evaluasi yang diklakukan oleh Bappenas menunjukkan bahwa, sesuai dengan misi yang diemban PNPM, kemiskinan memang menurun, konsumsi dan aset lima persen masyarakat paling bawah meningkat. Sistem informasi tentang kemiskinan membaik, pemerintah daerah beragairah untuk meningkatkan partisipasi kapasitas pengelolaan kekayaan desa meningkat. PNPM ini juga telah memberi inspirasi banyak negara seperti Afganistan, Papua Nugini, Keplauan Solomon, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Vietnam, Thailand, Timor Leste. Disisi lain PNPM masih mengidap kelemahan seperti: dominasi infrastruktur, pengelolaan dana terutama Dana Daerah Untuk Urusan Bersama, pendataan dan penafsirannya, tumpang tindih

kegiatan atau sebaliknya terlewat, masih besarnya ketergantungan pada pemerintah78.

PNPM merupakan kegiatan yang meluas dan berlingkup nasional, tetapi karena fokus pada kemiskinan, tidak memberi jejak yang berarti pada pola kota. Meskipun PNPM merupakan lembaga yang cukup kuat tetapi masih merupakan produk kebijakan ad-hoc. Oleh karena itu dengan diterbitkannya UU Desa dan berbagai UU sosial seperti Sistem Jaminan Sosial dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, fungsi dan peranan PNPM kemudian ditinjau kembali. Penanganan kemiskinan yang tetap menjadi perhatian besar pemerintah kemudian beralih ke implementasi undang-undang telah ada. Potensi yang terbangun oleh PNPM, seperti misalnya fasilitator atau pendamping yang mencapai jumlah lebih dari 200 ribu, mungkin tidak digunakan lagi.

c. Kota hijau dan bersih: langkah membangun kebanggaan kota

Ada pendapat bahwa salah satu faktor untuk mewujudkan keberlanjutan kota adalah membangun kebanggaan atas kotanya. Kebang-gaan atas kota dan kepemimpinan yang menyertai perkembangan sosial ekonomi dan kondisi lingkungan, adalah faktor yang menjamin peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan, adalah asas yang memandu kota Winnipeg, di Manitoba, Kanada. Kebanggaan inilah yang dapat membangkitkan dan menggairahkan partisipasi penduduknya. Keberadaan monumen bersejarah, aneka kejuaraan yang diperoleh oleh warga kota, berbagai penghargaan atas kota dapat menjadi faktor yang menumbuhkan kebanggaan tersebut. Di Indonesia, penghargaan yang pernah menjadi kebanggaaan kota adalah Adipura. Penghargaan terhadap kebersihan kota Adipura yang diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan Hidup(KLH) sejak tahun 1986.

Awalnya sederhana saja yaitu untuk mendorong agar kota Indonesia bersih, agar sampah kotanya terkelola dengan baik. Pada awal tahun 80an, Kementerian Lingkungan Hidup memandang bahwa kota di Indonesia dapat disebut jorok, sampah bertebaran tidak terkelola. Karena mempunyai kekuasaan administrasi untuk memerintahkan pemerintah kota agar mengelola kebersihan kota, juga tidak menguasai dana untuk memfasilitasi pengelolaan sampah, KLH mencoba mendorong dengan suatu sistem insentif. Diciptakanlah penghargaan Adipura yang diberikan oleh Presiden dalam upacara nasional formal pada setiap peringatan hari lingkungan dunia di Istana Presiden.

78 Direktorat Evaluasi Kinerja Sektoral (2013) EVALUASI PNPM MANDIRI, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas.

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 78: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara150 151

Sukajadi Bandung dan sebagainya. Sementara itu peraturan pemerintah tentang persyaratan yang lebih teknis tentang rumah susun terbit 1988.

Tahun 1990, telah diterbitkan instruksi presiden untuk menangani permukiman kumuh ditanah negara dan secara eksplisit menyatakan bahwa perbaikan permukiman kumuh itu dilakukan dengan membangun rumah susun. Membangun tanpa menggusur, begitulah slogan yang dicanangkan pada waktu itu. Pada waktu itu belum ada UU tentang perumahan dan permukiman, yang ada adalah UU No.6/1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan yang terfokus pada hubungan sewa menyewa perumahan. Dengan demikian kehadiran payung hukum rumah susun mendahului payung hukum perumahan dan permukiman yang lebih menyeluruh dan komperhensif.

Pembangunan rumah susun di Kebon Kacang Jakarta adalah eksperimen untuk menggantikan permukiman kumuh dengan rumah susun. Sedang pembangunan rumah susun di Klender Jakarta, di Sukajadi Bandung, di Palembang dan sebagainya dibangun Perumnas sebagai alternatif rumah sederhana. Dengan demikian sejak awal, pembangunan rumah susun dianggap sebagai solusi untuk dua misi. Pertama untuk meningkatkan kualitas perkotaan dengan mengganti permukiman kumuh dengan rumah susun. Kedua untuk memenuhi kebutuhan akan rumah yang terus meningkat oleh pertambahan penduduk.

Pertambahan penduduk dan perluasan kota yang tak terbendung, menjadikan kehidupan dan manajemen kota makin sulit, makin memberatkan masyarakat maupun pemerintah kota. Masalah inilah yang diatasi dengan membangun kota secara vertikal. Misi tersebut belum akan berubah selama permukiman kumuh masih ada. Apalagi rencana pembangunan jangka panjang era reformasi telah mencanangkan kota tanpa permukiman kumuh 2025. Persoalannya adalah bagaimana agar rumah susun menjadi solusi

yang tepat dan efektif itulah yang menjadi soal.Kampung yang menjadi kumuh, adalah solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar beban menghuni lebih ringan dan terjangkau. Kampung kumuh pasti dekat dengan tempat mencari nafk h, air gratis, tidak harus membayar iuran sanitasi maupun sampah dan ongkos pemeliharaan rumahpun ringan. Kalaupun rumah tersebut harus menyewa, biasanya juga murah. Resiko tinggi menghuni kampung kumuh seperti banjir, kebakaran, penyakit oleh kondisi lingkungan, penyakit menular dan mungkin juga penggusuran, semuanya terpaksa harus dihadapi. Karena dengan sifat kebutuhan dan tingkat pendapatannya, tidak ada pilihan lain bagi suatu lapisan masyarakat, kecuali harus menghadapi resiko tersebut. Apalagi resiko menghuni tersebut dikompensasikan juga dengan hubungan keakraban sosial yang terbangun di kampung tersebut.

Rumah susun sebagai pengganti permukiman kumuh sudah diselenggarakan sejak tahun 80an, tetapi tidak memberikan hasil yang berarti. Karena selama itu pembangunan rumah susun memang tidak pernah sungguh-sungguh menjadi instrumen peningkatan kualitas permukiman kumuh. Skala pembangunan terlampau kecil dibanding luas dan banyaknya rumah di permukiman kumuh. Apa yang dianggap contoh yang baik seperti rumah susun di Dupak dan Sombo Surabaya, atau Kepunden di Semarang tidak direplikasi atau dikembangkan lebih lanjut. Karena itu pembangunan rumah susun terkesan inkremental dan terfragmentasi sehingga tidak memberi efek nyata, seperti misalnya pembangunan rumah susun untuk mengatasi permukiman liar dan kumuh di Hongkong tahun limapuluhan. Terlebih lagi karena manajemen pengoperasian dan pemeliharaan rumah susun tersebut sangat lemah sehingga akhirnya rumah susun mengumuh juga.

Didorong oleh niat meningkatkan skala pembangunan masal dengan lebih cepat, pada

d. Penanganan kemiskinan berlanjut:individu sebagai sasaranMeskipun program PNPM berhasil menurunkan persentase penduduk miskin perkotaan dari 21,9% tahun 1998 menjadi 8,16 % pada tahun 2014, tetapi angka mutlaknya masih menunjukkan sekitar 10,6 juta orang miskin terdapat di perkotaan. Sampai tahun 2017 persentase tersebut terus menurun sampai di angka 7,72% persen tetapi angka mutlaknya tidak bergeming dari angka 10 jutaan. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan dan program pemberdayaan agar masyarakat miskin dapat mengentaskan dirinya sendiri masih terus dilaksnakan. Hanya pendekatan dan caranya berubah, cenderung menjadi suatu kebijakan yang mapan (standing policy) karena merupakan implementasi undang-undang. Penanggulangan kemiskinan adalalah implementasi atas UU tentang Fakir Miskin dan UU tentang Jaminan Sosial. Undang-undang ini membawa pendekatan dengan sasaran individual untuk penanggulangan kemiskinan. Sedang upaya kolektif dan ekstra struktural adminitrasi daerah yang digunakan PNPM untuk perdesaan dipindahkan ke struktur desa berdasarkan UU Desa.

Strategi penanggulangan kemiskinan tidak berubah yaitu (1) Memperbaiki program perlindungan sosial; (2) Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar; (3) Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; (4) Menciptakan pembangunan yang inklusif, tetapi cara melaksanakannya berubah. Sasaran menjadi lebih akurat, karena bantuan langsung tertuju pada invidu orang miskin dengan transfer langsung melalui uang elektronik yang disebut Kartu Indonesia Sejahtera. Masyarakat mendapatkan jaminan sosial, berupa fasilitasi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan melalui suatu sistem asuransi sosial yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Untuk melaksanakan sistem baru tersebut jelas dibutuhkan kecermatan data siapa orang miskin, ketepatan transfer dan pemantauan atas berfungsi serta kinerja organisasi dengan segala fasilitas melaksanakan tugas. Penggunaan sistem administrasi dan pengelolaan keuangan elektronik tidak bisa dihindari. Pemerintah kemudian melakukan modernisasi sistem administrasinya.

e. Dari perbaikan kampung ke rumah susunPerbaikan kampung memang dapat memperbaiki permukiman masyarakat lapisan bawah, tetapi tidak dapat mengatasi proses pemadatan oleh terus meningkatnya jumlah penduduk kota. Di sisi lain tanah yang tersedia bagi lapisan bawah terus menyusut karena dilanda oleh komodifikasi tanah kota. Kebutuhan akan tempat tinggal yang terus meningkat dan makin mengecilnya tanah yang tersedia, ada pemikiran untuk mengganti kampung dengan rumah susun.

Pembangunan rumah susun masal sebagai produk kebijakan pemerintah untuk mengatasi

masalah perumahan dan perkotaan di Indonesia sudah muncul awal tahun 80-an. Artinya pada era orde baru telah ada pemikiran untuk menggantikan kampung dengan rumah susun. Dimulai dengan membangun rumah susun 4 lantai di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain kota, sekedar eksperimen untuk mendapatkan pengalaman teknis. Tahun 1985, kemudian diterbitkan undang-undang rumah susun untuk memberi landasan hukum tentang kepemilikan dan kewajiban serta tanggung jawab penghuninya. UU ini beriringan dengan pembangunan rumah susun di Kebon Kacang, Klender di Jakarta, di

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 79: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara152 153

Meski tidak menjadi keputusan dan pernyataan yang eksplisit, sesungguhnya gubernur DKI Jakarta waktu itu tidak terlalu berkenan dengan kebijakan towerisasi rumah murah itu. Karena dengan kepadatan penduduk yang begitu tinggi, 30.000 jiwa menempati persil seluas 12 Ha, pasti menjadi beban berat bagi sarana dan prasarana kota di kawasan tersebut. Ketinggian bangunan itu sendiri, menuntut persyaratan teknis yang tinggi pula. Seperti apa yang terjadi dengan rumah menara Kalibata, persyaratan yang diajukan gubernur mengakibatkan gubernur dituduh sebagai penghambat pembangunan.

Kemudian pemda DKI Jakarta membangun sendiri rumah susun bukan hanya untuk konstruksi tetapi juga subsidi operasi dan peng-elolaan rumah susun. Penyediaan rumah susun ini juga dikaitkan dengan upaya membebaskan tanah untuk menormalisasi sungai dan penye-diaan ruang terbuka hijau ramah anak di Jakarta. Dengan demikian penghitungan investasi tidak didasarkan hanya berdasarkan pada harga produksi dan harga jual, tetapi juga manfaat sosialnya.

6.5.4 Gerak Swasta di Dalam

Pagar Kebijakan Pertanahan Tahun 1999 dalam semangat reformasi, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Rupanya peraturan ini diterbitkan sebagai reaksi atas penguasaan tanah yang dianggap berlebihan oleh grup usaha, yang memang timbul akibat kebijakan tahun 1993.

Dalam peraturan tahun 1999 ini satu grup perusahaan hanya dapat diberikan izin lokasi seluas 400 Ha dalam satu Provinsi atau 4000 Ha diseluruh Indonesia. Apabila kebijakan ini dikaitkan dengan Peraturan tentang Kasiba dan Lisiba, dapatlah kita perkirakan bahwa satu grup perusahaan hanya diperbolehkan membangun satu Kasiba atau Lisiba dalam satu Provinsi. Peraturan ini mungkin diniatkan untuk mencegah terjadinya monopoli pembangunan permukiman. Selain itu dalam peraturan ini ditegaskan masa berlakunya izin lokasi yaitu maksimum tiga tahun untuk luas lebih dari 50 Ha dan hanya satu tahun untuk luas kurang dari 25 Ha. Izin ini hanya dapat diperpanjang

apabila pembebasan tanah telah mencapai lebih dari 50%. Ketentuan ini mengoreksi pengaturan sebelumnya, yang hanya menyebutkan dapat diperpanjang setelah ada kegiatan, padahal apa yang disebut kegiatan bisa ditafsirkan tindak fisik minimal tanpa dikaitkan dengan pembebasan tanah. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tersebut memang mengesankan bahwa melalui izin lokasi pemerintah berusaha mengendalikan penguasaan tanah secara besar-besaran untuk investasi bidang properti secara lebih ketat. Walaupun demikian peraturan ini tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengatasi penguasaan yang sudah terlanjur dilakukan. Dampak perubahan hak dan perkembangan kota yang terjadi tampaknya harus diterima seperti apa adanya.

Reformasi antara lain mendorong penyeleng-garaan negara yang lebih terdesentralisasikan. Hal ini antara lain diwujudkan dengan digantinya undang-undang pemerintahan di daerah dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini memberi wewenang kepada

suatu waktu di tahun 2007, wakil presiden dan beberapa menteri, terbang dengan helikopter mengamati permukiman kumuh di Jakarta. Beliau-beliau tersebut mungkin terenyuh dan risau melihat sebaran, lokasi dan luasnya permukiman kumuh dan menjadi yakin bahwa rumah menara adalah solusi yang tepat. Muncullah gagasan membangun rumah menara , rumah susun lebih dari 10 lantai, untuk mengganti rumah kumuh. Mengapa menara karena penggunaan tanahnya kecil sehingga bisa diperoleh ruang terbuka hijau yang luas, yang akan menyelamatkan Jakarta dari banjir dan juga memberi udara segar. Mengapa bukan rumah susun empat lima lantai seperti yang telah ada, tentu saja agar penduduk yang dapat ditampung bisa lebih banyak. Rumah susun bisa menampung maksimum 400 orang/hektar sedang rumah menara bisa lebih dari 2000 orang/hektar. Harapannya adalah bahwa perumahan ini tidak hanya diperuntukkan bagi penghuni permukiman kumuh saja, tetapi masyarakat yang setiap hari naik di atap KRL mondar mandir ke Jakarta juga dapat ditampung.

Hasil pengamatan pimpinan negara meneguhkan kebijakan perumahan yang dikenal dengan program 1000 tower atau rumah menara. Mungkin itu hanya suatu lontaran ide spontan tanpa telaah yang mendalam, tetapi nyatanya menjadi kebijakan yang menyibukkan para penjabat kementerian pada waktu itu. Ide itu membawa serta banyak soal. Bagaimana membiayainya, apakah para pengembang mau, dimana lokasinya dan berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk memulainya. Dengan mengotak atik struktur bangunan, meminimkan kebutuhan ruang dan utilitas, ditambah dengan subsidi pemerintah serta kemudahan perizinan akhirnya Perumnas dan beberapa pengembang mau membangun rumah menara tersebut. Hadirlah kemudian kompleks apartemen “sederhana” di Kelapa Gading, Kalibata dan Pulo Gebang. Disebut apartemen sederhana karena harganya pada waktu itu “hanya” Rp 85 juta perunit satu kamar tidur Rp 144 juta per unit dua kamar tidur.

Apartemen yang telah dibangun itu ternyata diserbu bukan oleh yang membutuhkan rumah, tetapi oleh investor kecil yang tidak terlalu menghitung pengembalian walaupun tetap mau untung. Tipe studio sekarang disewakan dengan harga Rp 900.000, sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan indekosan sekitar Jl. Thamrin atau Gatot Subroto. Walaupun demikian penghuni apartemen terkena kewajiban membayar ongkos manajemen yang pada awalnya sebesar Rp.9000 sampai Rp.15.000 per meter persegi per bulan. Dengan demikian penyewa tipe studio misalnya seluas 20 m2 harus menyediakan Rp 180.000 sampai Rp 300.000 per bulan untuk pemeliharaan. Tentu saja listrik dan air harus bayar juga. Karena lokasinya, apartemen Gading Nias dan Kalibata kini tampak hidup dan bahkan bisa menumbuhkan banyak aktivitas ekonomi. Berbagai usaha kecil, mulai dari warung makanan, penjual sayur-sayuran, tukang pijit, salon, dokter dan agen properti kecil-kecilan, tumbuh di kompleks tersebut.

Bagaimana hubungannya dengan permukiman kumuh. Nah ini yang tidak ada, ternyata rumah menara tidak menjawab soal permukiman kumuh. Memang benar pembangunan ini dilaksanakan tanpa menggusur, karena memang tidak ada yang harus digusur. Rumah menara yang dibangun tersebut tidak berkaitan dengan permukiman kumuh. Walaupun demikian masih ada sisa pemikiran untuk tetap membangun rumah menara guna mengatasi kekumuhan di pinggiran Ciliwung. Apabila rumah menara memang dikaitkan dengan lapisan bawah yang tinggal di permukiman kumuh upaya ini harus disertai subsidi untuk menghuni. Karena pasti ongkos tinggal di rumah menara akan jauh lebih tinggi dari pada tinggal di kampung. Hubungan sosial yang terbangun selama puluhan tahun di permukiman kumuh juga perlu diperhatikan dan difasilitasi di kompleks rumah menara. Selain itu masih harus diselesaikan soal siapa yang berhak dan bagaimana mengelola rumah menara pengganti permukiman kumuh tersebut. Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 80: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara154 155

juga terjadi warung atau yang besar disebut di toko, tetapi disitu yang terjadi bukan kumpulan penjual dan pembeli. Sejumlah toko kemudian terkumpul dalam suatu kompleks atau berderet pada suatu jalan yang menjadi identitas kota. Kesawan di Medan, Pasar Baru di Jakarta, Braga di Bandung, Bojong di Semarang, Tunjungan di Surabaya, Kayu Tangan di Malang. Malioboro di Yogyakarta, Singosaren di Surakarta adalah jalan pertokoan yang menjadi identitas kota.

Diantara dereten toko tersebut terdapat satu atau dua toko besar yang menjual segala barang sehingga disebut toko serba ada (toserba). Tahun 1966, mulai dibuka toserba Sarinah di jalan Thamrin Jakarta yang berdiri sendiri, tidak berada diantara deretan toko lain, seperti misalnya toko Aurora dan Metro di Tunjungan, atau Kota Tujuh di Bandung. Sarinah berupa gedung menara berlantai 15 setinggi 74m dengan total luas sekitar 40.000 m2 sehingga dapat menjadi salah satu tengar Jakarta. Gedung ini dibangun sebagai bagian dari 223,08 juta dolar AS pampasan perang dan 80 juta yen bantuan Jepang dan dicita-citakan oleh Presiden waktu itu sebagai etalase nasional produk Indonesia. Kemudian berdiri Ratu Plaza di Jakarta juga yang menyatukan berbagai toko dalam satu gedung yang memberi kenyamanan pada pengunjungnya. Bangunan yang menyatukan banyak toko dalam satu gedung atau satu kompleks tersebut terus bermunculan di banyak kota di Indonesia, yang dikenal dengan berbagai nama: toserba, swalayan, pusat perbelanjaan, department store, plaza, mal. Toko serba ada, dengan harga barang yang pasti tanpa tawar menawar dan pembeli yang melayani sendiri sehingga disebut swalayan, terus hadir dalam berbagai skala dan lingkupnya, di kota besar sampai kota kecil.

Maraknya pertokoan dan peberlanjaan ini, tahun 2012 mendapatkan respon pemerintah tingkat nasional, ketika tipe pasar atau toko dengan berbagai skalanya mencapai jumlah ribuan di puluhan kota di Indonesia. Di satu sisi usaha perdagangan eceran ini dipandang

sebagai pendorong serta penyalur hasil industri dan usaha kecil, tetapi juga dianggap menyaingi dan mematikan pasar yang telah hadir secara tradisional. Tahun 2012 diterbitkan Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan , dan Pasar Tradisonal.

Peraturan Presiden ini menetapkan dan membakukan defin si sebagai berikut:

• Pasar adalah area tempat jual beli barangdengan jumlah penjual lebih dari satu baikyang disebut sebagai pusat perbelanjaan,pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza,pusat perdagangan maupun sebutanlainnya.

• Pasar Tradisional adalah pasar yangdibangun dan dikelola oleh Pemerintah,Pemerintah Daerah, Swasta, Badan UsahaMilik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah termasuk kerjasama denganswasta dengan tempat usaha berupa toko,kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelolaoleh pedagang kecil, menengah, swadayamasyarakat atau koperasi dengan usahaskala kecil, modal kecil dan dengan prosesjual beli barang dagangan melalui tawarmenawar.

• Pusat Perbelanjaan adalah suatu areatertentu yang terdiri dari satu ataubeberapa bangunan yang didirikan secaravertikal dari satu atau beberapa bangunanyang didirikan secara vertikal maupunhorizontal, yang dijual atau disewakankepada pelaku usaha atau dikelola sendiriuntuk melakukan kegiatan perdaganganbarang;

• Toko adalah bangunan gedung denganfungsi usaha yang digunakan untukmenjual barang dan terdiri dari hanya satupenjual;

• Toko Modern adalah toko dengan sistempelayanan mandiri, menjual

daerah untuk sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya (pasal 10). Hal ini diartikan bahwa tanah juga termasuk sumberdaya yang diurus daaerah, padahal Badan Pertanahan Nasional menganggap tanah masih tetap menjadi urusannya. Akhirnya Keputusan Presiden tahun 2003, yang mempertegas pembagian tugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah. Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa penerbitan izin lokasi, penyediaan tanah untuk proyek pembangunan, mengatasi konfl k dan kompensasi, mengelelola tanah absentee, dan menentukan nilai pajak tanah, semuanya menjadi tugas Pemerintah Daerah. Sedang BPN ditugasi untuk mengembangkan informasi pertanahan dan mengelola tanah dalam rangka keamanan pangan.

Pembatasan penguasaan tanah dan persaingan di antara para pengembang, menyebabkan penguasaan ratusan sampai ribuan hektar tanah tidak mungkin lagi dilakukan di sekitar Jakarta seperti tahun 80 sampai 90an. Oleh karena itu para pengembang profesional melakukan langkah baru yaitu mengoptimalkan tanah di dalam kota yang telah dikuasai, mereklamasi laut dan mengembangkan kota lain.

Pengoptimalan ini dilakukan dengan mening-katkan intensitas penggunaan tanah dan penggunaan campuran, yang menghadirkan apa yang disebut dengan “city”. Dalam suatu persil dengan luas sekitar 20-25 ha dibangun aneka fungsi antara lain pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran dan apartemen dengan intensitas yang tinggi, karena bisa sekitar 5000 orang/ha atau lebih berada dalam waktu bersamaan. Kompleks semacam ini jelas padat energi dan pasokan air bersih, pembangkit aktivitas dan lalu lintas, konsentrasi limbah padat dan cair yang semuanya menjadi beban kota. Oleh karena itu di banyak kota di negara lain pembangunan semacam ini diwajibkan membayar kompensasi pada kota. Di kota di Indonesia kompensasi tersebut diwajibkan dengan perundangan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility), yang besarannya tidak ditetapkan. Besaran dan bentuk kompensasi tersebut ditentukan berdasarkan negosiasi dan diskresi pimpinan daerah. Pengoptimalan ini tidak hanya terjadi di kota lain, bahkan juga di kota seukuran Samarinda.

6.5.5 Pertanda Kehadiran Kekotaan:

dari Pasar Sampai ke MalPasar adalah fasilitas yang mempertemukan kumpulan penjual individual dan kerumunan pembeli, yang artinya mempertemukan pasokan dan permintaan, produsen dan konsumen. Oleh adanya kumpulan dan kerumunan tersebut pasar menjadi salah satu pertanda kehadiran kekotaan sejak zaman kuno. Kemudian pasar tidak hanya menjadi wahana jual beli, tetapi juga komunikasi sosial, penyebaran informasi, rekreasi dan pergaulan sosial pada umumnya. Pada era orde baru pasar digunakan sebagai instrumen untuk memfasilitasi dinamika perokonomian rakyat,

sehingga melalui Instruksi Presiden (Inpres) dibangun banyak pasar di segenap penjuru kota.

Ketika daya beli meningkat, kebutuhan makin beragam, dan permintaan bergeser dari berbasis harga ke kualitas, pasokan fasilitas pun menjadi permainan pengusaha. Pasar pun tidak lagi merupakan fasilitas publik yang disediakan pemerintah sepenuhnya tetapi dikerjasamakan dengan swasta dan kemudian ada yang sepenuhnya ditangani swasta. Pertemuan antara penjual dan pembeli bukan hanya pasar tetapi

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 81: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara156

7Narawata Wacana

• berbagai jenis barang konsumsi terutamaproduk makanan dan produk rumahtangga lainnya secara eceran. Disebutminimarket apabila luasnya kurang dari400m2, supermarket dengan luas antara400m2-sampai 5000m2 dan disebuthypermarket apabila luasnya lebih dari5000m2. Department Store menjual secaraeceran barang konsumsi utamanya produksandang dan perlengkapannya denganluas lebih dari 400m2. Perkulakan, menjualbarang konsumsi secara grosir dengan luasdiatas 5.000m2.

Selanjutnya Peraturan Presiden ini mengatur lokasi masing-masing sebagai berikut:

• hypermarket dan pusat perbelanjaanhanya boleh berlokasi pada akses sistemjaringan jalan arteri atau kolektor;

• supermarket dan department store tidakboleh berlokasi pada sistem jaringan jalanlingkungan dan berada pada kawasanpelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan.

• sedang minimarket boleh berlokasi padasetiap sistem jaringan jalan, termasuksistem jaringan jalan lingkungan pada ka-wasan pelayanan lingkungan (perumahan)di dalam kota/perkotaan. pasar tradisionalboleh berlokasi pada setiap sistem jaringanjalan, termasuk sistem jaringan jalanlokal atau jalan lingkungan pada kawasanpelayanan bagian kota/kabupaten ataulokal atau lingkungan (perumahan) didalam kota/kabupaten.

Dengan demikian menurut Perpres No 112/2007 tersebut penempatan pasar tradisional dan minimarket dapat dibangun secara lebih leluasa. Pasar dan pusat perbelanjaan tradisional pada umumnya hadir melalui proses organik. Suatu lokasi dan tempat dipilih karena dirasakan paling sesuai dengan kebutuhannya yang dalam kerangka pikir ekologis disebut relung (niche).

Faktor yang menentukan dipilihnya suatu tempat dan lokasi tidak bisa diterangkan. Sebagai contoh mengapa jl. Cihampelas di Bandung hidup sebagai tempat jual beli blue jeans, sedang jalan yang memang dirancang untuk itu justru tidak bisa hidup. Naluri memilih relung ini sering dianggap bertentangan dengan ketertiban dan karena itu sering dipaksa untuk pindah.

Pasar dan pusat perbelanjaan modern, hadir berdasarkan perhitungan kekuatan permintaan dan aksesibelitas. Kemampuan memperhitungkan permintaan dan jaminan atas pasokan barang dagangannya, membuatnya dapat hadir di kota kecil. Minimarket telah menjadi pertanda hadirnya kekotaan baru disamping menjadi kendaraan pemodal besar untuk menyedot receh di kota kecil dan perdesaan.

Pasar dan pusat pembelanjaan modern, hadir berdasarkan perhitungan kekuatan permintaan dan aksesibilitas.

Page 82: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara158 159

Selama lebih dari 20 abad di wilayah yang kini menjadi Indonesia telah bermunculan dan berkembang permukiman dan perkotaan yang berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Permukiman paling awal ditata dan dikelola oleh komunitas permukiman itu sendiri, yang terikat dalam suatu tlatah yang terbatas dan tatanan kehidupan hasil kesepakatan yang dipatuhi anggotanya. Komunitas yang jumlah anggotanya puluhan tersebut memang mungkin membuat kesepakatan yang ditaati karena selain dapat saling mengawasi juga karena kepercayaan, kehendak dan kepentingannya tidak berbeda. Permukiman produk komunitas yang berdaulat ini masih hadir dan ada upaya untuk tetap mempertahankan kehadirannya.

Kemudian terjadi kumpulan manusia dalam jumlah ribuan yang disebut masyarakat. Kehendak dan kepentingannya juga mulai beraneka sehingga berpotensi untuk bertikai dan terpecah oleh nafsu manusia sebagai mahluk biologis yang individualistis. Walapun demikian ada upaya untuk menjaga masyarakat ini tetap utuh karena kondisi demikian menjadi persyaratan terwujudnya kenyamanan dan perkembangan kehidupan yang menjadi cita-cita semua anggota masyarakat. Munculah prakarsa oleh suatu pemimpin dan organisasi untuk membangun ikatan yang ditaati oleh anggota masyarakat yang disebut sebagai pengikut. Hadirlah satuan sosial yang disebut suku dengan anggotanya ratusan orang, disebut chiefdom (keempuan, kedatukan) ketika anggota masyarakat itu mencapai ribuan orang. Kemudian disebut negara ketika anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Anggota masyarakat yang menjadi negara itu kemudian disebut warga negara. Di dunia kini terdapat warga negara yang jumlahnya lebih dari satu milyar, meski ada yang jumlahnya hanya puluhan ribu orang. Sejak hadirnya negara itulah terjadilah hierarki permukiman dan aneka wujud perkotaan, paling tidak ada sebuah ibu kota. Negara adalah institusi, suatu ikatan yang niskala. Wujud nyatanya adalah tlatah atau teritori tempat beradanya suatu

masyarakat yang anggotanya disebut penduduk dan warga negara. Warga negara ini mempunyai aneka hak dan kewajiban, yang di lindungan, diawasi, diarahkan dan dikembangkan oleh suatu organisasi yang berwibawa dan berkuasa yang disebut pemerintah. Para pemimpin dan organisasi penyelenggara negara yang disebut pemerintah membangun norma dan cara kerja untuk menata dan menetapkan fungsi perkotaan yang harus dipatuhi semua anggota masyarakat. Untuk itu negara memiliki birokrasi dan polisi yang dapat memaksa dan menjaga kepatuhan anggota masyarakat.

Upaya menata mukiman dan kota tidak pernah terhenti,

selalu dicoba diperbarui sesuai dengan tantangan dan

pandangan yang dianut.

Ketika kekuasaan negara meluas dan kota makin banyak, muncul pemikiran dan tindakan untuk membagi wewenang dan kekuasaan. Negara kemudian menyerahkan pengurusan kota kepada suatu penyelenggara kota yang otonom. Suatu hak dan tanggung jawab untuk membentuk pemerintahan yang mengurus sendiri rumah tangga kota. Walapun demikian otonomi ini tidak sama dengan kedaulatan komunitas sebelum hadirnya negara. Bagaimanapun negara tetap mengikut campuri beberapa urusan kota. Apa yang diikut campuri dan sampai dimana ikut campur itu dilakukan, itulah yang masih menjadi wacana, apalagi dengan hadirnya konurbasi, metropolitan dan megapolitan yang melampau batas kewenangan pemerintah kota.

Perkembangan perkotaan dari permukiman megalit sampai hadirnya megapolitan sangat beragam. Ada yang hadir sebagai relung yang

7.1 Dari Megalit ke Megapolitan

Sejak hadirnya permukiman megalit yang masih bisa dijumpai kini, sampai terbentuknya megapolitan, perkotaan tidak pernah berhenti berkembang. Selama dua puluh abad permukiman dan perkotaan terus bermunculan dan berkembang mengikuti proses menjadi bangsa dan negara Indonesia. Proses mengota terus terjadi karena jumlah manusia terus bertambah dan sebagai mahluk sosial manusia selalu berkumpul di tempat yang menurut nalurinya paling cocok. Terciptalah relung, tempat mengumpul dan mendapatkan sumber penghidupan yang disebut kota. Sebagai mahluk berbudaya kumpulan manusia itu terus berupaya menata kota agar selalu sesuai dengan

kebutuhanya. Kota adalah hasil karya makhluk sosial berbudaya untuk mewujudkan kehidupan yang selalu menjadi lebih baik, melalui adaptasi pada perkembangan dan segala perubahan dunia, serta mengonsolidasikan segala daya yang dimiliki.

Upaya menata mukiman dan kota tidak pernah terhenti, selalu dicoba diperbarui sesuai dengan tantangan dan pandangan yang dianut. Karena apa yang disebut kebutuhan dan kehidupan yang lebih baik juga selalu berubah. Siapa yang berprakarsa, berwewenang dan bertanggung jawab untuk menata perkotaan dan bagaimana penataan itu dilakukan, menjadi wacana yang tidak pernah purna.

https://www.cnbc.com/2017/03/15/indonesia-export-import-growth-slow-down-in-february.html

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 83: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara160 161

7.2 Permukiman Sebagai Wujud

Kedaulatan KomunitasPada masa prasejarah jelas belum ada kota, yang ada adalah permukiman yang dinamakan wanua atau nama lain yang mewadahi dan merupakan produk kedaulatan komunitas secara penuh. Kebudayaan, hasil budi dan daya komunitas tersebut, merupakan rangkaian yang utuh. Antara nilai budaya, perilaku, dan benda budaya mempunyai keterkaitan yang jelas. Nilai yang dianut telah membuahkan perilaku dan benda budaya diantaranya batu besar yang mendukung perilaku masyarakat serta disesuaikan dengan nilai yang dianut. Sebagai contoh: susunan batu besar, latihan dan upacara lompat batu, dilaksanakan karena mengikuti suatu nilai budaya untuk menyiapkan pemuda yang tangguh guna melindungi desanya.

Permukiman prasejarah kini masih hadir dengan masyarakat penghuni atau anggota yang masih terikat dan mempertahankan nilai budaya yang dianutnya. Penentu kehadiran dan keberlanjutan permukiman pra-sejarah ini adalah komunitas dan kepemimpinannya. Pemimpin bukan hanya yang mengatur segalanya tetapi juga menjaga nilai dan mengorganisasikan kesepakatan. Kebudayaan ini tidak lekang oleh zaman yang dibuktikan masih hadirnya sampai kini. Ketahanan terhadap perubahan dan pengaruh luar, bisa jadi karena kuatnya keyakinan atas nilai yang dianut, bisa juga karena lemahnya daya adaptasi atas berbagai pengaruh luar. Mungkin juga karena ada upaya untuk mempertahankan karena romantika oleh ke-eksotisannya, atau untuk tujuan lain, misalnya pariwisata. Permukiman megalitik ini berdasarkan UU Desa digolongkan sebagai desa adat. Yaitu desa yang secara politik berdaulat, karena kepala desa serta berbagai hak dan kewajiban warga diatur berdasarkan hukum adat. Dengan demikian juga mempunyai kebudayaan

yang khas atau dapat disebut berkepribadian. Walaupun demikian secara ekonomi mungkin tidak mandiri, tetapi negara melindunginya. Desa adat juga mendapatkan alokasi dana desa dari pemerintah.

Pengaruh berbagai proses menjadi Indonesia dan pengaruhnya terhadap kehadiran dan perkembangan perkotaan telah dibahas di bagian pertama sampai ke tiga di buku ini. Dalam buku ini telah dibahas fase sebelum kehadiran orang Eropa, fase keberadaan orang Eropa dan fase menjadi negara kesatuan republik Indonesia. Dari ciri kehadiran dan penataan permukiman dan perkotaan sesungguhnya dapat dibedakan adanya tiga kondisi yang berbeda. Pertama kondisi kedaulatan komunitas yang berlangsung ratusan tahun. Kedua kondisi dibawah kekuasaan penyelenggara negara yang berganti-ganti. Mulai dari kerajaan kecil dan besar, berganti dengan kekuasaan asing dan akhirnya menjadi Negara Kesatuan Indonesia. Pada kondisi ini Negara sangat menentukan kehadiran dan perkembangan perkotaan, yang berlangsung selama hampir 2000 tahun. Ketiga kondisi kota otonom artinya penataan dan pengembangan perkotaan dibawah penyelenggara kota yang otonom. Dalam kondisi ini peranan Negara mengecil dan peranan pemerintah kota meningkat. Kondisi ini menyolok pada sekitar tahun 1930an, masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, dan baru muncul lagi ketika menginjak abad 21. Ini merupakan kondisi yang akan menjadi pijakan perkembangan perkotaan di Indonesia di masa depan dan karena itu juga masih menjadi wacana belum menjadi realita. Walaupun demikian, otonomi perkotaan ini menunjukkan kecenderungan yang makin menguat.

dipertahankan oleh komunitas yang berdaulat. Ada yang dihadirkan untuk tujuan penguasa dan ada yang hadir sebagai komoditas atau barang dagangan. Dari permukiman megalitik sampai megapolitan bukan proses yang menerus dan berkesinambungan. Bukan pula metamorfosa seperti ulat menjadi kepompong dan kupu-kupu. Permukiman megalit dan megapolitan di Indonesia hadir sendiri-sendiri tanpa ada hubungan. Masing-masing juga hadir ketika Indonesia oleh jumlah penduduk dan warga negaranya berproses menjadi negara kesatuan yang besar.

Pengaruh berbagai proses menjadi Indonesia dan pengaruhnya terhadap kehadiran dan perkembangan perkotaan telah dibahas di bagian pertama sampai ke tiga di buku ini. Dalam buku ini telah dibahas fase sebelum kehadiran orang Eropa, fase keberadaan orang Eropa dan fase menjadi negara kesatuan republik Indonesia. Dari ciri kehadiran dan penataan permukiman dan perkotaan sesungguhnya dapat dibedakan

adanya tiga kondisi yang berbeda. Pertama kondisi kedaulatan komunitas yang berlangsung ratusan tahun. Kedua kondisi di bawah kekuasaan penyelenggara negara yang berganti-ganti. Mulai dari kerajaan kecil dan besar, berganti dengan kekuasaan asing dan akhirnya menjadi Negara Kesatuan Indonesia. Pada kondisi ini Negara sangat menentukan kehadiran dan perkembangan perkotaan, yang berlangsung selama hampir 2000 tahun. Ketiga kondisi kota otonom artinya penataan dan pengembangan perkotaan di bawah penyelenggara kota yang otonom. Dalam kondisi ini peranan Negara mengecil dan peranan pemerintah kota meningkat. Kondisi ini menyolok pada sekitar tahun 1930an, masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, dan baru muncul lagi ketika menginjak abad 21. Ini merupakan kondisi yang akan menjadi pijakan perkembangan perkotaan di Indonesia di masa depan dan karena itu juga masih menjadi wacana belum menjadi realita. Walaupun demikian, otonomi perkotaan ini menunjukkan kecenderungan yang makin menguat.

https://www.kompasiana.com/geraldrald/kota-megapolitan-dan-seribu-mall_586a5baeb893735b0f8a9b8e

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 84: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara162 163

kini menjadi Jakarta. Kedua adalah kota untuk melindungi dan menjaga monopoli dagang rempahnya. Ini adalah perkotaan yang terdapat di kepulauan Maluku yaitu Ambon, Ternate, Tidore. Ketika kejayaan rempah memudar, perusahaan dagang ini mencari komoditas dan cara baru untuk tetap mempertahankan monopoli dagangnya. Karena itu dikembangkanlah kota sebagai pusat transit perdagangan, pengumpulan dan pengendalian komoditas baru dan sekaligus mencegah timbulnya perlawanan terhadap VOC. Kota itu adalah Makassar, Surabaya, Semarang dan Cirebon.

VOC kemudian runtuh dan digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda, kota mulai tumbuh dan dikembangan untuk mendukung liberalisasi ekonomi. Kota ditata dan dikelola untuk mendukung usaha perkebunan, ekploitasi sumberdaya alam dan industri yang berbasis perkebunan. Bertambahnya penduduk perkotaan dan terutama makin banyaknya orang Eropa khususnya orang Belanda yang berniat bermukim di Indonesia, menyebabkan munculnya tuntutan adanya pemerintahan kota yang otonom. Meningkatnya koloni Belanda disebabkan karena semakin meluasnya lapangan kerja dan meluasnya bidang usaha bagi orang Belanda. Juga karena terbukanya terusan Suez dan dicabutnya larangan membawa keluarga. Akhirnya tahun 1903 diterbitkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda undang-undang otonomi daerah yang berupa pembentukan pemerintah daerah atau Gemeente. Tahun 1922 otonomi tersebut diperluas menjadi Stadgemeente. Otonomi penyelanggaraan kota tersebut, adalah hasil upaya para kolonis Belanda yang makin besar jumlahnya dan mulai mempunyai kekuatan politik untuk menentukan kota yang paling nyaman dan sesuai dengan kepentingannya. Karena itu otonomi diberikan hanya pada sekitar 32 kota, yang persentase penduduk Belandanya relatif tinggi.

Bagaimanapun dana yang dapat diperoleh pemerintah kota ikut menentukan keberhasilan pengembangan dan penataan kota. Dalam

rangka pemberian otonomi Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan undang-undang yang menentukan sumber pendapatan kota yang terdiri dari: pajak dan retribusi kota, sebagian pajak pusat yang diserahkan kepada kota, dan hasil usaha perusahaan kota. Pemerintah pusat Hindia Belanda memberikan dana tambahan kepada pemerintah kota apabila pendapatannya tidak mencukupi untuk mengelola, memelihara dan mengembangkan kota. Pengaturan ini menyebakan proses politik dan kapasitas lobi para kolonis menjadi penting untuk mendapat alokasi dana dari pemerintah Hindia Belanda.

Setelah berada di tangan republik, kota tetap dalam kendali pemerintahan pusat bahkan sampai tahun 1974 dengan UU pemerintahan di daerah dikukuh hanya sebagai pelaksana kebijakan pembangunan negara. Meskipun dinyatakan otonom, tetapi kepala pemerintahan dan keuangan kota masih ditentukan oleh pemerintahan kota. Bahkan negara masih secara langsung menangani beberapa fasilitas kota antara lain: pasar, sekolah, pusat kesehatan masyarakat, jalan dan trotoar.

Di bawah kendali pemerintah nasional, tahun 70an berkembang inisiatif usaha swasta, yang menjadikan kota sebagai komoditas. Oleh inisiatif tersebut kota besar terus membesar, sedangkan pemerintah nasional meskipun telah menciptakan berbagai rambu-rambu tetapi belum dapat mengendalikan perkembangan kota yang bersifat inkremental, terfragmentasi dan bahkan menumbuhkan segregasi sosial.

7.3 Tata Kelola Perkotaan sebagaiBagian Penyelenggaraan NegaraKota dibawah penyelenggara negara ini yang berlangsung panjang, dengan aneka bentuk negara berdasarkan cara menjalankan kekuasaannya, luas tlatah dan jumlah warganya. Dari abad pertama sampai abad ke 20, hadir negara dalam bentuk kerajaan. Kemudian dari awal abad ke 17, kerajan itu ditumpangi oleh kekuasan yang merepresentasikan negara di Eropa khususnya Belanda.

Sebelum ditumpangi kekuasaan Eropa, perkotaan di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia ditata dan dikembangkan untuk kepentingan penguasa dan kekuasaan. Kota adalah ibukota kerajaan atau ibukota wilayah bawahannya. Penguasa kerajaan atau penguasa wilayah bawahan kerajaan (kadipaten, kabupaten) mementingkan penempatan unsur kota sebagai pengesahan kekuasaan dan wibawa raja harus dianggap sebagai jelmaan dewa. Kota tidak diciptakan untuk tempat bagi kehidupan masyarakat, tetapi lebih ditujukan untuk penyelenggaraan upacara guna memuja arwah dan untuk mengukuhkan wibawa yang sedang berkuasa. Seperti misalnya peninggalan Majapahit, menunjukkan bahwa kota ditata untuk prosesi dan upacara, serta diisi oleh bangunan pemujaan arwah.

Selain itu untuk menjaga keselamatan dan mendapatkan berkah serta perlindungan penguasa dunia, ada dugaan bahwa penataan kota Majapahit mengikuti konsep mandala kosmologi, seperti vastu purusha mandala yang menjadi pedoman penataan permukiman di India. Khusus di ibukota Majapahit ini juga teridentifikasi adanya bekas jaringan kanal yang masih belum jelas apa fungsinya. Ada yang berpendapat kanal tersebut adalah pengendali

banjir, ada yang berpendapat sebagai jaringan irigasi dan pasokan air bagi permukiman. Juga ada yang menduga sistem transportasi kota.

Perkotaan zaman kesultanan Islam ada yang hadir sebelum kedatangan orang Eropa dan ada yang hadir setelah ada orang Eropa. Tidak ada norma dan pedoman teknis penataan mukiman atau kota berbasis Islam seperti yang terjadi dengan Hindu dan beberapa kepercayaan lain. Demak yang dianggap sebagai kota kesultanan Islam pertama di Jawa diduga mengikuti ketauladanan Nabi yang mengutamakan pembangunan Masjid daripada keraton. Walapun demikian diduga pula bahwa sesungguhnya di Demak juga terdapat Keraton dan Masjid yang dihubungkan dengan alun-alun yang menjadi pusat berbagai upacara dan keramaian. Tatanan ini merupakan pola kota Majapahit. Masjid tanpa keraton bukan ciri ibukota kesultanan Islam, karena Kesultanan Banten membangun keraton benteng Sorosowan terlebih dulu sebelum membangun Masjid. Sedang Kesultanan Palembang membangun keraton dalam benteng (koto Besak) yang jauh lebih besar daripada Masjid yang dibangun diluar benteng.

Pengaruh orang Eropa pada perkotaan mulai hadir ketika VOC bercokol. Perusahaan dagang yang mempunyai kekuatan militer dan bertindak seolah-olah sebagai pemerintahan negara ini, telah mencoba menata kota sesuai dengan misinya membangun dan mempertahankan monopoli dagang rempah. Awalnya kota dikembangkan dan ditata untuk dua fungsi. Pertama kota yang menjadi pusat kekuasaan dan administrasi untuk mengelola keseluruhan kegiatan dagangnya. Kota itu adalah Batavia yang

http://mediatataruang.com/menuju-kota-gagal/

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 85: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara164 165

Setelah mendapatkan otonomi, perkotaan Hindia Belanda yang dipimpin Walikota Belanda (Burgemeester), mulai tersentuh konsep kota modern pada zamannya. Para Walikota inilah yang mengundang ahli yang belajar di Belanda, untuk merancang bagian kota yang disiapkan bagi para kolonis Belanda. Daerah Menteng di Jakarta, sekitar Dago di Bandung Utara, Candi di Semarang, Darmo di Surabaya, kompleks jl. Ijen di Malang, Kota Baru di Yogyakarta adalah hasil penataan kota yang dirancang oleh ahli Belanda untuk kebutuhan kolonis Belanda, Konsep garden city dari Eropa dan beautiful city movement dari Amerika, diadopsi dan dicoba disesuaikan dengan alam dan kebudayaan Indonesia meskipun diperuntukan bagi kolonis Belanda. Lahirlah kebudayan Indis sebagai produk adaptasi kebutuhan kolonis Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Semuanya berkat otonomi kota, yang memberi keleluasaan, kekuasaan dan wewenang kepada Walikota untuk menata kota sampai detail yang tidak mungkin dilakukan oleh Gubernur Jendral.

Meskipun menjadi kota otonom, tetapi kebijakan pemerintahan negara tetap hadir dan bahkan menjadi lebih efektif. Program politik etis pemerintah Hindia Belanda dalam bidang pendidikan dan kesehatan menjadi lebih efektif dalam kondisi otonom tersebut. Bahkan gerakan kebangsaan juga berkembang ketika kota menjadi otonom.

Tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda ditaklukan oleh bala tentara Jepang dan seluruh wilayah Hindia Belanda diduduki oleh Jepang dari tahun 1942-1945. Selama pendudukan Jepang terjadi resentralisasi. Seluruh wilayah Hindia Belanda ditata kembali untuk mendukung logistik bala tentara Jepang yang sedang berperang melawan sekutu di Asia Pasifik. Ketika Jepang takluk pada sekutu, kota yang pernah menjadi kota otonom akan diserahkan kembali kepada Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, tetapi dengan semangat anti penjajahan diproklamasi kan kehadiran Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Kota yang merupakan produk otonom dan sentuhan konsep kota modern produk otonomi masa pemerintah Hindia Belanda direbut oleh pemerintah dan rakyat Negara Republik Indonesia melalui perjuangan fisik dan diplomasi. Setelah kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia dideklarasikan, Undang-Undang pertama yang diterbitkan yang berkaitan dengan kota adalah UU No.1/1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Berdasarkan undang-undang ini ditetapkan 17 Stadgemeente di Jawa ditetapkan kembali sebagai kota otonom.

Meskipun sejak tahun 1920, mulai berlangsung pemerintahan kota otonom, tetapi sebagai kota yang benar-benar mandiri tidak pernah terjadi. Ada dua kelemahan mendasar yang menyebabkan otonomi kota masih tersendat yaitu keuangan dan sumberdaya manusia untuk mengelola, memelihara dan mengembangkan kota. Kelemahan sumberdaya manusia itu bukan hanya pada tataran teknis, tetapi juga pada tataran kebijakan dan strategis. Dua kelemahan inilah yang menjadi alasan ikut campurnya pemerintah pusat pada pemerintahan kota, sampai kota dibawah naungan Negara Republik Indonesia. Bahkan otonomi politik, yaitu penetapan Walikota oleh pemerintah pusat masih dilakukan sampai tahun tahun 2004.

Era kebijakan terpusat berakhir sejak tahun 1999, dalam situasi perkembangan perkotaan terlanjur terpusat di kota besar terutama di Jakarta. Perusahaan pembangunan kotapun makin percaya diri dan makin agresif. Bahkan dengan landasan otonomi, pimpinan kota mengundang dan mengajak kerjasama perusahaan ini untuk mengembangkan kotanya. Di lain pihak juga terlanjur terbentuk megapolitan yang bagaimanapun harus dibenahi agar meskipun menjadi luar biasa besar tetap efisien, nyaman dan terkendali.

79 Prof Soetandyo Wignyosoebroto, meyakini bahwa legislasi tersebut disiapkan untuk menanggapi kepentingan warga Eropa yang menjadi penduduk berbagai kota di Hindia Belanda. Baca: Prof Soetandyo Wignyosoebroto (2005) DESENTRALISASI DALAM TATA PEMERINTAHAN KOLONIAL HINDIA BELANDA, Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Bayu Media Publishing, Malang.

7.4Kota OtonomSetelah mendapatkan otonomi, perkotaan Hindia Belanda yang dipimpin Walikota Belanda, mulai tersebtuh konsep kota modern pada zamannya.

Otonomi kota menjadi kenyataan ketika para kolonis Belanda, yang terdiri dari pengusaha dan ahli Belanda yang bekerja di Hindia Belanda mempunyai kekuatan politik. Pemerintah Hindia Belanda tahun 1903 telah menerbitkan undang-undang desentralisasi dan tahun 1906 menerbitkan undang-undang khusus perkotaan (Inlansche Geemeente Ordonantie). Otonomi kota sesungguhnya diberikan kepada orang partikelir (swasta) yang disebut Europese burgery yang tinggal di kota79. Perwakilan mereka menjadi anggota dewan gemeente yang menentukan kebijakan penataan pengembangan kota. Anggota dewan kota adalah perwakilan dari golongan Eropa, Cina Tmur Asing dan Pribumi, seperti yang dipatok dalam Indische Staatregeling. Meski penduduk pribumi jumlahnya paling banyak (sekitar 50 sampai 90 persen) tetapi perwakilanya dalam dewan gemeente paling kecil (atau asal ada). Sebaliknya meskipun jumlah penduduk Eropa paling banyak hanya 11% (Bandung), tetapi perwakilannya mendominasi dewan gemeente.

https://pxhere.com/id/photo/758073

Page 86: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara166 167

Banyak peraturan perundangan Indonesia yang memuat norma yang berkaitan dengan penyelenggaraan kota seperti, UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial,UU No.23/2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan; UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang; UU No26/2007 tentang Penataan Ruang; UU No 32/2007 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial; UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No.13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan sebagainya. Tetapi siapa dan bagaimana memadukan serta mengordinasikan implementasi berbagai undang -undang tersebut masih menjadi wacana.

Aksi nasional yang berkaitan dengan perkotaan juga terpecah di tangan banyak kementerian antara lain: Kementerian Sosial (untuk kemiskinan), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menegah (untuk sektor informal), Kementerian Perhubungan (untuk transportasi), Kementerian PUPR (untuk prasarana dan perumahan), Kementerian Dalam Negeri (untuk kelembagaannya), Kementerian Kesehatan (untuk permasalahan kesehatan), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (untuk masalah sampah). Aksi nasional tersebut diharapkan dipadukan dan dikoordinasikan oleh pemerintah kota, tetapi dalam kenyataannya sering sulit dipadukan karena ruang, waktu dan sifat aksi tidak dipadukan sejak awal.

Karena jumlah unit administrasi desa begitu besar, dan desa adat yang belum lama ditempatkan dalam sistem administrasi negara, dibentuklah kementerian yang khusus mengurus desa. Tugasnya adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi.

Dalam perjalanan menjadi Indonesia, untuk mengurus konstruksi dan pembangunan kota pernah dibentuk Kementerian Cipta Karya, tetapi tidak berumur satu tahun. Kemudian urusan perkotaan terselip diantara banyak tugas kementerian. Sehingga potensi dan peluang perkotaan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, pembaharu kebudayaan dan peradaban, dan bahkan pemelihara semangat kebangsaan belum terakumulasi menjadi fokus urusan pemerintahan nasional. Meski statistik menunjukkan proses mengota yang berlanjut, perkotaan belum menjadi kebijakan eksplisit yang antisipatif.

Menyimak berbagai upaya negara besar, untuk membangun kelembagaan tingkat nasional yang mengurus perkotaan memang terjadi melalui wacana yang panjang. Di Amerika Serikat Departemen yang mengurus Perumahan dan Pengembangan Kekotaan (Housing and Urban Development) baru hadir tahun 1965. Padahal tahun 1933 telah ada kesepakatan nasional yang disebut New Deal pemerintah kota justru menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Pemerintah Federal. Kemerosotan ekonomi Amerika Serikat yang terjadi tahun

Proses mengota terus berlangsung, perkotaan terus tumbuh, bertambah dan berkembang. Proses mengota itu di Indonesia terus berlangsung dengan sendirinya, karena kota menjadi harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang terus menerus menjadi lebih. Di sisi lain juga menjadi barang dagangan yang ditawarkan sebagai wahana dan sarana untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Kehadiran negara dan keberadaan pemerintah kota adalah untuk menjamin dan memenuhi harapan masyarakat dan juga untuk menjamin bahwa barang dagangan ditawarkan tidak justru menimbulkan permasalahan sosial akibat terjadinya peningkatan kesenjangan, eksklusivitas dan segregasi sosial.

Proses mengota di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Sensus penduduk 1961 menunjukkan jumlah penduduk perkotaan berjumlah 14,5 juta jiwa atau 15% jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sedang sensus tahun 2010 mencatat penduduk perkotaan mencapai 118,2 juta jiwa atau 46,7% penduduk Tahun 1961 hanya Jakarta yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, tahun 2015 Kementerian Dalam Negeri mencatat Jakarta berpenduduk 9,98 juta dan terdapat 14 Kota Otonom yang berpenduduk lebih dari 1 juta. BPS memproyeksikan tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan menjadi sekitar 170,5 juta orang atau sekitar 60% jumlah penduduk sedang penduduk perdesaan akan 113,7 juta orang. Pada tahun 2035 meningkat menjadi 203, 4 juta orang atau 66% jumlah penduduk sedang penduduk perkotaan akan menurun menjadi 102,3 juta orang. Ada perbedaan antara proyeksi BPS tersebut dengan apa yang tercatat dalam buku Induk Kementerian Dalam Negeri80. Tahun 2015 BPS memproyeksikan jumlah penduduk

Indonesia berjumlah 266,48 juta orang, sedang Kementerian Dalam Negeri mencatat Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 254,82 juta orang. Perbedaan tersebut tidak meniadakan kenyataan bahwa penduduk perkotaan akan lebih besar daripada penduduk perdesaan. Walaupun demikian sampai tahun 2015, satuan administrasi yang berkarakter perdesaan yang disebut desa menurut buku induk Kementerian Dalam Negeri berjumlah 74.093. Jauh lebih banyak dari pada satuan administrasi yang disebut kelurahan yang berkarakter kekotaan yang berjumlah 8.412. Padahal persyaratan jumlah penduduk minimal kelurahan di Jawa 4500 orang dan desa 6000 orang, sedangkan di Papua jumlah penduduk minimal kelurahan 900 orang dan desa 500 orang. Dengan demikian seperti tidak mungkin penduduk perkotaan hanya kelurahan saja. Belum ada penjelasan mengapa jumlah desa hampir 9 kali jumlah kelurahan, apakah ini karena pencacahan penduduk dan satuan kerja pemerintahan daerah belum selaras. Sehingga lebih dari setengah penduduk Indonesia kota seperti berjejal dalam sepersembilan satuan administrasinya. Selain itu peraturan perundangan tersebut belum mengisyaratkan perdesaan akan menjadi perkotaan atau desa menjadi kelurahan, bahkan memberi perluang untuk kembalinya kelurahan menjadi desa.

Selain itu ingatan tentang peranan desa dalam perjuangan kemerdekaan di masa lalu dan situasi kemiskinan serta ketertinggalan desa telah menjadi pertimbangan diterbitkannya UU khusus tentang Desa. Sedang UU khusus kota, seperti RUU Bina Kota tidak pernah diselesaikan. Berbagai pemikiran tentang perkotaan seperti National Urban Development Strategy, Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu, Kebijakan dan Strategi Nasional pembangunan Perkotaan, tidak menjadi aksi nyata yang menerus.

7.5 Narawata Wacana

80 Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 dilakukan oleh BPS, Bappenas dan UNFPA dan dipublikasikan tahun 2013. Disandingkan dengan registrasi penduduk yang tercantum dalam buku induk Kementerian Dalam Negeri, proyeksi BPS untuk tahun 2015 tampak lebih tinggi. Proyeksi BPS memperkirakan jumlah penduduk Indnonesia 2015 berjumlah 266.481 orang, sedang buku Induk Kemdagri mencatat jumlah penduduk Indonesia 254.826.034 orang

http://www.ukabc.org.uk/news/promote-products-indonesia-great-pavilion/

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 87: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara168 169

Di Brazil terdapat Ministério das Cidades. Kementerian ini adalah hasil gerakan sosial para profesional, pemimpin serikat pekerja, LSM, intelektual, periset, dan guru universitas yang akhirnya membuahkan Ministério das Cidades atau Kementerian Kota. Tujuannya adalah untuk menyatukan, dalam satu organisasi, sektor hunian, sanitasi, transportasi dan lalu lintas, dan sektor-sektor lain yang terkait dengan dinamika kota-kota yang sampai saat itu terpecah. Ministério das Cidades bertujuan tidak hanya untuk memikirkan kembali penggunaan tanah, tetapi juga merumuskan dan menerapkan kebijakan pembangunan perkotaan nasional yang bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan sosial di kota-kota, sesuai dengan kelestarian lingkungan.

Kota dan proses mengota, hadir dengan membawakan suatu kompleksitas yang berkelanjutan, sebagai akibat dan hasil terkumpulnya manusia dengan berbagai kegiatannya, yang terus meningkat. Di satu sisi ini memberi peluang bagi kehidupan yang lebih baik di sisi lain menjadi sumber berbagai ancaman dan bahaya bagi kehidupan manusia. Ini merupakan permasalahan semua negara di

dunia. Dalam situasi dan kondisi kehidupan yang mendunia dan proses mengota yang mendominasi kehidupan bumi, kota tidak hanya menjadi urusan kota itu sendiri, tetapi juga menjadi tantangan dan peluang bagi dunia. Melalui wacana selama dua tahun akhirnya dicapai kesepakatan untuk bersama mengatasi permasalahan dan memanfaatkan peluang yang dimunculkan oleh kota dan proses mengota. Untuk itu negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa yang juga dianggap merepresentasikan pemerintah kota berjanji untuk menangani kota, perkotaan dan proses mengota yang sedang dan akan terjadi dengan arah dan cara yang lebih baik. Janji atau komitmen tentang apa yang akan dilakukan sampai dengan tahun 2036 tersebut dituangkan dalam dokumen PBB yang disebut The New Urban Agenda. Dokumen ini diakui sebagai agenda semua negara PBB yang hadir dalam Konferensi Habitat III Oktober 2016 di Quito dalam konferensi tersebut termasuk Indonesia. Dengan peluang dan tantangan, kelemahan dan potensi yang ditimbulkan oleh proses mengota, apa yang harus dilakukan negara dan apa yang harus dilakukan pemerintah kota. Ini tampaknya masih akan menjadi wacana yang berlangsung terus. Suatu narawata wacana.

30an ternyata memukul kehidupan perkotaan dan pemerintahan kota tidak berdaya untuk mengatasinya. Ambisi untuk membangun perumahan dan mengembangkan kota dengan suatu rencana tidak terwujud dan akhirnya menyerahkan kepada Pemerintah Federal. Tahun 1937 Pemerintah Federal menerbitkan undang-undang perumahan yang membantu pengurusan perumahan kota. Pemerintah Federal mengatasi permasalahan perumahan yang tidak dapat diatasi oleh pemerintah kota yang beraneka sistem dan organisasinya. Setelah 30 tahun urusan perumahan di perluas juga mencakup pengembangan kekotaan.

Di India semula dibentuk Kementerian Perumahan dan Kemiskinan Kekotaan (Housing and Urban Poverty), karena kemiskinan dianggap sebagai masalah perkotaan. Kemudian tugas Kementerian ini diperluas tidak hanya kemiskinan, tetapi juga permasalahan perkotaan yang lebih luas. Kementerian ini kemudian menjadi Kementerian Housing and Urban Affair. Di RRT dibentuk Kementerian Kedesaan dan Kekotaan, yang rupanya ditujukan untuk

mengalihkan perdesaan menjadi perkotaan. Sekitar tahun 60an negara ini mengembangkan konsep desa mengepung kota dan membangun kota produktif. Konsep ini dilakukan dengan aksi de-urbanisasi sumberdaya manusia dan menyiapkan kota hanya untuk industri dan permukiman buruh. Pada awal tahun 80an negara ini merubah haluan dan menjadikan kota sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sosial. Puluhan desa disulap menjadi puluhan kota modern dengan jaringan jalan, jaringan utilitas, apartemen dan aneka fasilitas perkotaan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi dan sebagainya dengan kualitas prima. Jauh diatas kualitas kota misalnya kota Maja atau Driyorejo di Indonesia.. Ledakan pertumbuhan ekonomi (economic booming) di akhir abad ke 20 memang memungkinkan negara ini membangun puluhan kota baru tersebut. Realitanya belasan kota hanya terisi kurang dari 10% , dan ditaksir sekitar 64 juta unit rumah kosong. Berbagai kota baru di RRT tersebut kemudian dijuluki sebagai kota hantu, meski diantaranya bisa terisi setelah kosong selama 15 tahun81.

80 www.forbes.com 2016 memberitakan bahwa kota Kangbashi yang terletak di pinggiran grun Mongolia yang mulai dibangun 2004 menjadi kota hantu terbesar di RRT, tahun 2016 mulai penuh terisi.

Sumber: http://www.okulous.com/tesko-da-cete-moci-da-zaboravite-ovih-15-fotografija/

http://vibizmedia.com/2016/07/26/indonesia-berikan-rumusan-dalam-mengelola-perkotaan-dunia/

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara

Page 88: Menelusuri - Jejak Kota di Nusantara - Kementerian PUPR

Menelusuri Jejak Kota di Nusantara170