ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019 100 Menelusuri Akar Konflik dan Kebijakan Damai di Tanah Papua Cahyo Pamungkas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) [email protected]Abstract Violent conflicts that have been occurring in the Land of Papua since 1965 indicate no signs of coming to an end, even compounded by repression, discrimination, and marginalization of indigenous Papuans. This article aims to trace a number of studies of the Papuan conflict and its consequences to encourage the peace process. In addition, it aims to identify the gap between knowledge about the Papua conflict produced by researchers and the government policy to resolve the conflict. This research uses literature study. These studies were selected due to their focus on the asymmetrical power relations between the state and the people of Papua and the social context of research in the post-1998 Reform period that allowed the transformation of the independent Papua movement into a non-violent political movement. It argues that a number of social studies have identified the root causes of the Papua conflict and provided a variety of alternative peaceful solutions. However, a number of policies to make peace in Papua have failed, since the policymakers tend to base their policies on the political ideology of nationalism and the construction of colonial knowledge, namely 'civilizing' Papuans. Keywords: political violence, conflict studies, nationalism, colonial mission, peace policy. Pendahuluan Tulisan ini bertolak dari penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) terhadap sejumlah pekerja jalan Trans-Papua di Nduga, Papua, pada 2 Desember 2019 yang mengakibatkan 17 orang meninggal, termasuk anggota TNI (Elisabeth dkk., 2019). Pemerintah kemudian merespons dengan menggelar operasi militer di Kabupaten Nduga untuk menghancurkan TPN-PB. Operasi militer ini telah menyebabkan tiga orang Papua menjadi korban dan sekitar 22.000 orang warga tinggal dalam pengungsian. Insiden Nduga telah menambah statistik kekerasan di Tanah Papua sejak ‘Tragedi Paniai Berdarah,’ 7 Desember 2014, di mana delapan pelajar asli Papua terbunuh oleh aparat keamanan. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo antara 2014–2018, beberapa operasi militer telah dilakukan secara terbatas di Papua. Misalnya, Operasi Tembagapura (Desember 2017–Februari 2018) untuk membebaskan warga pendatang yang disandera oleh TPN-PB. Dalam operasi ini, TNI/Polri melakukan penyisiran sehingga menyebabkan suku Amungme, Dani, Damal, dan Mee mengungsi ke hutan (ULMWP, 2019:3).
23
Embed
Menelusuri Akar Konflik dan Kebijakan Damai di Tanah Papua
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Violent conflicts that have been occurring in the Land of Papua since 1965 indicate no signs of coming
to an end, even compounded by repression, discrimination, and marginalization of indigenous
Papuans. This article aims to trace a number of studies of the Papuan conflict and its consequences
to encourage the peace process. In addition, it aims to identify the gap between knowledge about the
Papua conflict produced by researchers and the government policy to resolve the conflict. This
research uses literature study. These studies were selected due to their focus on the asymmetrical
power relations between the state and the people of Papua and the social context of research in the
post-1998 Reform period that allowed the transformation of the independent Papua movement into a
non-violent political movement. It argues that a number of social studies have identified the root
causes of the Papua conflict and provided a variety of alternative peaceful solutions. However, a
number of policies to make peace in Papua have failed, since the policymakers tend to base their
policies on the political ideology of nationalism and the construction of colonial knowledge, namely
'civilizing' Papuans.
Keywords: political violence, conflict studies, nationalism, colonial mission, peace policy.
Pendahuluan
Tulisan ini bertolak dari penyerangan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB)
terhadap sejumlah pekerja jalan Trans-Papua
di Nduga, Papua, pada 2 Desember 2019 yang
mengakibatkan 17 orang meninggal, termasuk
anggota TNI (Elisabeth dkk., 2019).
Pemerintah kemudian merespons dengan
menggelar operasi militer di Kabupaten
Nduga untuk menghancurkan TPN-PB.
Operasi militer ini telah menyebabkan tiga
orang Papua menjadi korban dan sekitar
22.000 orang warga tinggal dalam
pengungsian. Insiden Nduga telah menambah
statistik kekerasan di Tanah Papua sejak
‘Tragedi Paniai Berdarah,’ 7 Desember 2014,
di mana delapan pelajar asli Papua terbunuh
oleh aparat keamanan. Selama pemerintahan
Presiden Joko Widodo antara 2014–2018,
beberapa operasi militer telah dilakukan
secara terbatas di Papua. Misalnya, Operasi
Tembagapura (Desember 2017–Februari
2018) untuk membebaskan warga pendatang
yang disandera oleh TPN-PB. Dalam operasi
ini, TNI/Polri melakukan penyisiran sehingga
menyebabkan suku Amungme, Dani, Damal,
dan Mee mengungsi ke hutan (ULMWP,
2019:3).
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
101
Konflik Nduga merupakan bagian dari
sejarah kekerasan politik di Tanah Papua yang
terus berlanjut, dimulai dari perlawanan
Gerakan Papua Merdeka di Manokwari pada
1965 (May, 1978; Osborne, 1985, Budiardjo
& Liong, 1988). Meminjam konsep Galtung
(1969), Björkhagen (2016) menyebut situasi
di Papua sebagai ‘absennya perdamaian
negatif.’ Walaupun berbagai kebijakan telah
diambil, seperti pembangunan infrastruktur,
otonomi khusus, pemekaran daerah, serta
percepatan pembangunan di Papua dan Papua
Barat, semuanya belum mampu mengatasi
akar persoalan konflik Papua dan
menghentikan siklus kekerasan politik di
daerah tersebut.
Beberapa studi telah dilakukan untuk
menarasikan konflik, khususnya kekerasan
politik, di Tanah Papua baik oleh peneliti dari
dalam maupun luar negeri. Studi-studi dari
berbagai disiplin ilmu sosial tersebut telah
menjelaskan penyebab konflik di daerah ini
serta mengajukan sejumlah gagasan
penyelesaian damai. Namun, berbagai studi
tersebut belum menjadi acuan bagi para
pengambil kebijakan untuk mencari terobosan
atau inisiatif baru penyelesaian damai. Artikel
ini bertujuan untuk mendiskusikan kembali
hasil-hasil kajian konflik Papua dan
konsekuensinya untuk mendorong proses
perdamaian sekaligus mencegah kekerasan
struktural maupun simbolik di Tanah Papua.
Selain itu, juga bertujuan untuk
mengidentifikasi kesenjangan antara hasil
penelitian konflik Papua dengan praktik
kebijakan damai yang diimplementasikan
pemerintah. Penulis berargumen bahwa
sejumlah penelitian sosial telah
mengidentifikasi akar persoalan konflik
Papua dan memberikan berbagai alternatif
penyelesaian damai, namun kebijakan-
kebijakan untuk mewujudkan Papua damai
belum juga berhasil karena para pengambil
kebijakan mendasarkannya pada ideologi
politik nasionalisme dan konstruksi
pengetahuan di masa kolonial, yakni
‘memberadabkan’ orang asli Papua.
Beberapa hasil penelitian mengenai
konflik Papua yang menjadi fokus
pembahasan dalam tulisan ini terdiri atas studi
Rutherford (2012), Kirksey (2012), Hernawan
(2013), Ondawame (2000), Anderson (2015),
Viartasiwi (2018), dan LIPI (2008, 2016).
Rutherford, Kirksey, Hernawan, dan
Ondawame berangkat dari subjek orang asli
Papua sebagai ‘korban’ dalam relasinya
dengan negara. Oleh karena itu, muncul
gagasan melawan hegemoni kekuasaan,
berkolaborasi dengan negara dan kekuatan
internasional, mengubah panggung kekerasan
menjadi perdamaian, atau berkomitmen pada
proses non-kekerasan. Riset Anderson dan
Viartasiwi menunjukkan bahwa konflik tidak
hanya bersifat vertikal, tetapi juga horizontal
antarorang asli Papua, dan perlunya kehadiran
negara melalui pelayanan publik. Adapun
riset LIPI merekomendasikan peta jalan
damai untuk menyelesaikan konflik Papua,
termasuk melalui dialog, rekonsiliasi,
rekognisi, dan pembangunan berbasis
kebudayaan. Walaupun menggunakan
kerangka konseptual yang berbeda-beda,
ketujuh studi tersebut bertemu pada titik yang
sama: memajukan, baik secara implisit
maupun eksplisit, alternatif penyelesaian
konflik Papua secara damai.
Studi-studi di atas telah menjadi
rujukan bagi para sarjana yang mengkaji
konflik Papua pasca-Reformasi 1998. Momen
Reformasi menjadi titik penting dalam sejarah
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
102
konflik di Tanah Papua karena pemerintah
memberlakukan ‘sistem politik demokrasi’
yang memungkinkan Gerakan Papua
Merdeka bertransformasi menjadi gerakan
politik sipil, dan ‘desentralisasi’ yang
memungkinkan orang Papua memerintah di
tanahnya sendiri. Reformasi juga
memungkinkan pemerintah Indonesia
mengoreksi kebijakan operasi militer pada
masa lalu dengan mempertimbangkan
berbagai alternatif kebijakan yang lebih
‘akomodatif’ terhadap aspirasi orang asli
Papua.
Gambaran Kekerasan Di Tanah Papua
Kekerasan merupakan narasi yang dominan
tentang Tanah Papua hingga saat ini. Setiap
operasi militer di Tanah Papua telah
menimbulkan dampak kekerasan baik fisik
maupun psikologis. Webb-Ganon (2017)
berdasarkan pengalaman risetnya di Papua
menyebutkan bahwa kehadiran Komando
Pasukan Khusus (Kopassus) dan unit-unit
aparat keamanan lainnya telah
mengintimidasi orang Papua secara terus-
menerus. Asrama tentara yang terletak di
antara permukiman penduduk dan pos
pemeriksaan di pintu masuk kampung
menyebabkan orang Papua merasakan
kehadiran pasukan keamanan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Webb-Ganon
melihat fenomena ini sebagai strategi perang
psikologis Indonesia dengan orang Papua,
yang disebut sebagai perang rahasia. Orang
Papua melakukan respons dengan berbagai
cara, dari perang gerilya sampai diplomasi
internasional. Namun, aparat keamanan
mengatasinya dengan melakukan persekusi
terhadap orang Papua, menambah jumlah
aparat keamanan, dan melancarkan tekanan
psikologis untuk mengintimidasi orang
Papua. Dampaknya, terbentuk memori
kolektif tentang sejarah penderitaan dan
kekerasan (memoria passionis) yang dialami
orang Papua (Haluk, 2019:10-11).
Laporan Amnesty International
(2018:10) menginformasikan bahwa antara
2010 dan 2018 terdapat 69 kasus pembunuhan
di luar hukum di Papua. Sejumlah peristiwa
tersebut mengakibatkan jatuhnya 95 orang
korban, terdiri atas 85 orang Papua dan 10
non-Papua—39 orang menjadi korban tindak
kekerasan oleh polisi, 27 korban oleh anggota
TNI, 28 korban oleh polisi bersama TNI, dan
satu korban oleh anggota Satpol PP. Jumlah
kasus paling tinggi dapat terjadi pada 2015
(13 kasus) dan 2012 (11 kasus). Laporan
tersebut (2018:7) menyebutkan bahwa 41
kasus tidak berkaitan dengan tuntutan
kemerdekaan, tetapi lebih pada penggunaan
kekuatan yang berlebihan untuk menangani
protes sosial, upaya menangkap terduga
kriminal, atau bentuk kesalahan aparat
keamanan. Adapun 28 kasus terkait dengan
penanganan aksi massa yang menuntut
kemerdekaan. Dari 69 kasus pembunuhan di
luar hukum ini, tidak satu pun pelakunya
diajukan ke pengadilan. Hanya pada 26 kasus
dilakukan investigasi internal, namun
hasilnya tidak diumumkan ke publik.
Meskipun pasca-Reformasi 1998
terdapat transformasi Gerakan Papua
Merdeka dari penggunaan strategi kekerasan
menjadi politik, namun represi terhadap
aktivitas-aktivitas kelompok pro-
kemerdekaan tidak pernah surut (Al Rahab,
2016:19). Misalnya, penembakan massal di
Biak pada saat orang asli Papua menggelar
aksi doa untuk kemerdekaan pada 1998. Juga
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
103
pembunuhan terhadap Thomas Theys Eluay
pada 2001 dan Kelly Kwalik pada 2009, serta
dua pendeta dari Gereja Kingmi di Puncak
Jaya pada 2010 (Catholic Justice Peace and
Comission, 2016). Dari sejumlah peristiwa
kekerasan pada periode 1998–2004, Komnas
HAM telah mengategorikan insiden Wasior
(2001) dan Wamena (2003) di Papua sebagai
kasus pelanggaran HAM berat (Pigai,
2014:29-30). Beberapa tindak kekerasan
pasca-2004 yang menyebabkan banyak
korban orang Papua terjadi ketika aparat
keamanan membubarkan aksi damai di
Universitas Cenderawasih (Uncen) pada 2006
dan Kongres Rakyat Papua III pada Agustus
2011.
Kekerasan terhadap orang dari luar
Papua sempat meluas pada 2012.
International Crisis Group (2012:3)
melaporkan kekerasan semakin meningkat
ketika elemen radikal Gerakan Papua
Merdeka mendapat dukungan dari berbagai
kelompok dan tekad Jakarta menindak
gerakan separatis semakin keras. Kepolisian
menuduh KNPB terlibat dalam tujuh insiden
penembakan terhadap warga non-Papua dari
29 Mei sampai 14 Juni 2012. Tuduhan
tersebut menjadi alasan bagi kepolisian untuk
melakukan persekusi terhadap pimpinan
pengurus KNPB, termasuk menembak mati
salah satu ketuanya, Mako Tabuni.
Penembakan terhadap tokoh ini telah
menurunkan kredibilitas kepolisian di mata
orang Papua.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi,
sebelum 1998 berbagai peristiwa kekerasan
oleh aparat keamanan Indonesia terhadap
orang Papua tidak pernah berhenti. Catholic
Justice and Peace Comission (2016)
melaporkan adanya tiga bulan pengeboman di
sejumlah wilayah di Pegunungan Tengah
dengan Pesawat OV-10 Bronco pada 1977
yang diperkirakan menyebabkan 25.000
korban jiwa. Juga termasuk pembunuhan
terhadap para aktivis Papua, seperti Arnold
Up pada 1982, dan penahanan terhadap
Thomas Wanggai pada 1996. Dari sejumlah
peristiwa tersebut, yang menarik perhatian
internasional adalah penyanderaan tim
ekspedisi Lorentz. Pada 1996, sekelompok
pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel
Kogoya melakukan penyanderaan terhadap
tim ekspedisi tersebut di Mpenduma,
Pegunungan Tengah. Mereka yang disandera
terdiri atas 24 warga sipil, termasuk 13
ilmuwan Inggris, Belanda, Jerman dan
Indonesia anggota Tim Lorentz 1995. Pada 8
Januari–15 Mei 1996, mereka sedang
melakukan penelitian di Taman Nasional
Lorentz (ELS-HAM, 1999). OPM meminta
perhatian dunia internasional bahwa
Indonesia memanipulasi Perjanjian New York
1962 untuk menguasai Irian Jaya serta
menuntut demiliterisasi, penghentian
transmigrasi, dan penghentian perusakan
lingkungan oleh Freeport. Panglima OPM
Matias Tabuni mengirimkan surat kepada
Kelly pada 9 April 1996 yang memerintahkan
agar Kelly sebagai Panglima Komando
Daerah Militer III (Fak-fak) dan Daniel
Kogoya sebagai Komandan Operasi diminta
tidak membebaskan para sandera hingga
pihak Indonesia bersedia berunding dengan
OPM. Namun, TNI di bawah Brigjend
Prabowo Subianto menolak tuntutan tersebut
dan membebaskan para sandera melalui
operasi militer pada 15 Mei 1996. Pasca-
penyanderaan, TNI melakukan penyisiran
antara 9–15 Mei 1996 yang menyebabkan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
104
pemerkosaan, pengungsian, penembakan
terhadap penduduk, dan pembakaran gereja
(Pigay, 2000).
Hasil-Hasil Studi Tentang Konflik Papua
Danilyn Rutherford memfokuskan tulisannya
pada pendefinisian relasi antara Indonesia dan
Papua dan menyarankan perlawanan terhadap
kekuasaan yang dominan. Rutherford (2012),
dalam disertasinya ‘Laughing at Leviathan:
Sovereignty and Audience in West Papua,’
menggunakan metafora ‘seekor gajah liar’
untuk menunjukkan perlunya meneorisasikan
peran audiens yang berbeda-beda dalam
pertunjukan kedaulatan Indonesia di tanah
Papua. Buku ini didasarkan atas data sejarah
untuk menguji bagaimana kekuatan ‘audiens’
membentuk upaya-upaya kontemporer orang
Papua dalam mencapai kedaulatan dari situasi
yang terjajah. Menurutnya, tantangan
perdamaian di Papua terletak pada relasi
kekuasaan asimetris antara Indonesia dan
Papua. Dia mengeksplorasi motivasi aktor-
aktor dan audiens yang terlibat, memperluas
analisisnya ke dalam kontradiksi antara
diskursus nasionalisme Indonesia dan orang
Papua.1
Untuk menjelaskan konsep
‘kedaulatan,’ Rutherford mendiskusikan
karya Benjamin, Schmidt, Faoucault, dan
1 Jaarsma (2013:698-700) mengulas buku Rutherford, menunjukkan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-
20 berusaha membentuk Papua sebagai daerah koloni yang ideal. Daerah ini menjadi solusi yang jelas dari masalah
pemerintahan kolonial terkait perubahan demografi di Hindia-Belanda. Akhir abad ke-20, migrasi di Hindia Belanda
menjadi sesuatu yang umum dan elite Indonesia terdidik menuntut posisi dalam masyarakat setempat. Sebagai
akibatnya, ras kulit putih dan ras campuran yang kurang beruntung menjadi termarginalkan. Rutherford mengeksplorasi
motivasi Belanda mengapitalkan Papua sebagai sebuah solusi dari persoalan ini, sebagai daerah koloni tempat
menampung penduduk ras campuran atau ras kulit putih yang termarginalkan. 2 Rutherford berpendapat bahwa legitimasi kedaulatan mengandaikan audiensi semacam itu dan hak menyaksikan ini
tidak pernah sepenuhnya dapat dikendalikan oleh penguasa. Dengan perspektif Agamben, dia mengatakan bahwa orang
Papua dalam Indonesia dapat diimajinasikan sebagai homo sacer, orang yang dikecualikan dari sistem politik dan hak-
haknya dicabut dalam keseluruhan agama sipil.
Agamben. Merujuk pada pemikiran para
filosof tersebut, ia sampai pada kesimpulan
adanya paradoks dalam membuat klaim
tentang kedaulatan. Logika yang dibangun
ialah kedaulatan menuntut orang lain agar
mengakui otonomi seseorang, namun orang
tersebut bergantung pada pihak yang
memberikan pengakuan ini. Oleh karena itu,
otonomi penuh tidak pernah ada. Dalam
praktiknya, otonomi harus diwujudkan
melalui kehadiran berbagai audiens. Terlebih,
merujuk pada pemikiran Austin, ia
mengatakan bahwa pernyataan tentang
kedaulatan hanya akan bermakna jika
diterima oleh publik yang sesuai (Gibson,
2014:781).
Rutherford menunjukkan bahwa
Papua berperan sebagai wilayah yang
posisinya marginal dan ditentukan oleh pihak
lain yang berdaulat, seperti Kesultanan
Tidore, Belanda, dan sekarang Indonesia.
Rutherford menunjukkan bukan hanya
bagaimana proyek-proyek kekuasaan tersebut
diimajinasikan dan dilaksanakan, tetapi dalam
situasi tertentu, proyek-proyek ini diproduksi
dan dibatasi oleh titik-titik perpisahan,
ketidakpastian, dan ketidaksesuaian
(Errington, 2012). Konsekuensi politik
muncul ketika orang-orang Papua terlibat
sebagai ‘audiens’ yang merealisasikan
simbol-simbol budayanya.2 Nerenberg
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
105
(2013:471) mengatakan bahwa Rutherford
melihat upaya yang tidak kenal lelah dari
penguasa Indonesia untuk terus-menerus
memperbarui kerja-kerja supremasi
kekuasaan. Berdasarkan pengamatannya
terhadap Peristiwa Biak Berdarah 1998, dia
menyimpulkan bahwa pertunjukan kekuasaan
sering kali gagal dan mendapat tantangan dari
dunia internasional, bahkan pada saat yang
sama menyebarkan gagasan Papua merdeka
secara lebih luas.
Berbeda dengan Rutherford yang
membicarakan asimetri relasi kekuasaan,
Kirksey (2012) menekankan perlunya
kolaborasi antara Papua dan Indonesia.
Analisis Kirksey mengeksplorasi dinamika
internal OPM, mengacu pada keterlibatannya
dengan OPM selama periode 1994–2003.
Kirksey mengembangkan tesis yang menarik
tentang ‘kolaborasi sebagai alternatif untuk
perlawanan’ (hlm. 1). Gagasan ini menyerang
jantung gerakan perlawanan Papua, yang
cenderung melihat keterlibatan dengan
otoritas kekuasaan Indonesia sebagai dosa
besar—kolaborasi disamakan dengan
pengkhianatan. Strategi yang diusulkan
Kirskey didasarkan atas simpati mendalam
bagi pejuang kemerdekaan Papua selama
penelitiannya di lapangan.3 Kirksey
berpandangan bahwa para pejuang tersebut
terjerat dalam tiga dunia sosial yang berbeda:
gerakan reformasi, aparat keamanan
Indonesia, dan pasar global (hlm. 90).
3 Kirksey (2012:48–49) menunjukkan argumennya, dimulai dengan menceritakan pembantaian terhadap para
demonstran di Biak pada 1998. Meskipun aksi tersebut dilaksanakan secara damai, aparat keamanan menembak mati
29 orang dan menangkap 139 orang. Menurut Kirksey, tindakan kekerasan ini tidak menghalangi gerakan politik Papua
merdeka. Gerakan ini menyebar lebih jauh di bawah tanah setelah peristiwa tersebut dan mengambil struktur ‘rimpang’
Deleuze dan Guattari, sebuah tanaman yang menyebar secara lateral di lapisan atas tanah dan mengirimkan akar.
Struktur 'perlawanan rhizoma’ ini diterapkan oleh Kirksey (2012:51) karena kemampuannya untuk bertahan hidup dan
masih dapat tumbuh kembali di titik-titik baru. 4 Narenberg (2013:489) menyebutkan bahwa dalam mendokumentasikan berbagai bentuk perlawanan dan kolaborasi,
Kiksey menggunakan berbagai pemikiran teoretis dari Derrida, Chaterjee, Deleuze, dan Guattari.
Terinspirasi Deleuze dan Guattari,
Kirksey menggunakan metafora rizhoma
pohon beringin atau rimpang banyan (hlm.
57) untuk menggambarkan strategi
kolaborasi.4 Rizhoma tumbuh secara
horizontal, mendorong setiap penghalang dan
mempertahankan kelangsungan hidup
tanaman. Seperti rimpang banyan, Kirksey
berpendapat, kolaborasi bisa menjadi
alternatif yang layak untuk bertahan hidup
dan memengaruhi komunitas internasional.
Metafora ini bertujuan untuk menggambarkan
situasi yang dapat mentransformasikan
ketidakberdayaan orang Papua ke dalam
struktur kekuasaan Indonesia tanpa
meninggalkan aspirasi merdeka. Menurut
Kirksey (2002:79), perjuangan orang Papua
dapat tetap berlanjut dengan menegosiasikan
antara taktik pragmatis dalam keterbelitan dan
spirit mesianistik untuk merdeka.
Kembali ke metafora pohon beringin,
di bawah cabang-cabang yang saling
bertautan, terbentuk struktur dari perpaduan
akar udara dan kehidupan tanaman lainnya.
Sama halnya di Papua, para pemimpin lokal
tidak dikerdilkan oleh beringin. Sebaliknya,
mereka menemukan kemungkinan di dalam
strukturnya. Para aktivis ini, ‘mulai merusak,
memanjat, menyesuaikan, dan mereplikasi
arsitektur dominasi.’ Mereka tidak
mengambil nutrisi dari inang, tetapi hanya
menggunakannya untuk dukungan arsitektur.
Demikian juga dalam narasi Gerakan Papua
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
106
Merdeka, sulit untuk mengatakan apakah
pemerintah Indonesia mengooptasi gerakan
merdeka atau apakah gerakan merdeka
mengeksploitasi pemerintah. Papua adalah
entitas kecil di bawah tekanan negara-bangsa
yang lebih besar dan modal global, tetapi
dalam keterjeratan, orang Papua tidak pernah
menyerah pada kekuatan superior ini
(Thomposon, 2012).
Campbell (2013: 88-89), berdasarkan
temuan Kirksey, mengatakan bahwa
kolaborasi dapat menjadi strategi gerakan
kemerdekaan Papua. Ketika kolaborasi
digabungkan dengan imajinasi, maka orang-
orang dapat ‘mengaktualisasikan kebebasan
terbatas’ yang tampaknya tidak mungkin
dalam situasi tanpa kebebasan (Kirksey,
2012:14–15). Kolaborasi, kompromi, dan
aliansi dengan musuh adalah pilihan strategi
untuk aktivis kemerdekaan yang sedang
menghadapi ‘dunia terjerat’ di bawah militer
Indonesia, perusahaan multinasional, dan
relasi kekuasaan yang tidak setara dari sistem
dunia. Kirksey berpendapat bahwa negosiasi
dalam keterikatan semacam itu memperbesar
kemungkinan untuk kebebasan, tetapi
membutuhkan harapan yang luas dan ‘mimpi
bersama.’
Karya ilmiah lainnya ditulis oleh
Hernawan (2013), seorang peneliti Fransiscan
International yang bekerja di Tanah Papua. Ia
menulis disertasinya di Australia National
University: ‘From the Theatre of Torture to
the Theatre of Peace: The Politics of Torture
5 Hernawan menjelaskan apa yang disebut sebagai data set penyiksaan. Dengan mengombinasikan data dan teori, dia
menyatakan bahwa penyiksaan di Papua menyerupai sebuah teater, sesuatu yang dipertontonkan di depan publik yang
bertujuan tidak hanya menghukum, tetapi menunjukkan kekuasaan negara kepada audiens yang lebih luas. Ketika terjadi
di Papua, Jakarta dengan tegas menolak mempertimbangkan sesuatu yang dapat menentang kedaulatan negara.
Hernawan menjelaskan arogansi penguasa Indonesia dengan merujuk pada konstruksi kolonial dan poskolonial Papua,
sebagai sesuatu yang dibuang dan di luar batas-batas norma. Ketika berhadapan dengan orang Papua, para pejabat
Indonesia dan aparat keamanannya tidak dibatasi oleh legalitas. Bahkan, kekerasan di luar hukum merupakan prosedur
operasi standar dari TNI dan kepolisian.
and Re-imagining Peacebuilding in Papua.’
Ia menggunakan konsep Foucault mengenai
penyiksaan simbolik sebagai alat untuk
mengomunikasikan kekuasaan melalui tubuh
seseorang yang dihukum. Penyiksaan bukan
saja teknik untuk memunculkan rasa sakit,
tetapi modus pengelolaan yang terdiri dari
teknologi dan strategi kekuasaan dengan
menggunakan tubuh manusia (Hernawan,
2013:70). Selain itu, Hernawan menggunakan
teori Kristeva mengenai ‘abjeksi’ (abjection).
Kata ini berarti pengucilan, pengusiran, atau
pembuangan, sebuah konsep dalam
psikoanalisis. Abjek tidak sepenuhnya dapat
dikendalikan dan tidak memiliki kekuasaan.
Penggunaan siksaan didesain untuk
membuang orang Papua dari pola pikir negara
Indonesia dan memperlakukan mereka
sebagai orang asing. Namun, represi tidak
sepenuhnya berhasil mendiamkan orang
Papua, dan malah memantik perlawanan
terhadap Indonesia dalam bentuk pergerakan
(Hernawan, 2013:75-76).
Hernawan (2013) mengatakan bahwa
negara mengomunikasikan kedaulatannya
melalui penderitaan publik atas rasa sakit fisik
pada individu.5 Menurutnya, terdapat
beberapa elemen utama yang memelihara
modus pengelolaan kekerasan di Tanah
Papua. Pertama, tulisan dari para korban
langsung maupun tidak langsung yang
selamat serta pendamping korban
menunjukkan intensitas bekerjanya memoria
passionis. Narasi yang muncul dari kalangan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
107
korban adalah narasi penderitaan. Kedua, para
pelaku kekerasan mendasarkan tindakannya
pada sanksi negara yang brutal terhadap orang
Papua. Narasi proseduralisme, habitus,
penyangkalan, dan kepuasan telah menjadi
rasionalitas siksaan yang direpresentasikan
pada tingkat individu. Rasionalitas ini
membentuk unsur-unsur integral dari narasi
dominasi yang lebih luas. Dinamika dari
narasi penderitaan dan dominasi membuat
relasi kekuasaan yang asimetris antara
Indonesia dan Papua.
Hernawan (2013: 246) memajukan
model transformasi dari teater penyiksaan
menuju teater perdamaian. Memoria passionis
menjadi basis transformasi ini, di samping
pembentukan komisi rekonsiliasi dan
kebenaran untuk menggabungkan dan
menuliskan sejarah penderitaan orang Papua.
Memoria passionis telah menjadi akar dan
petunjuk bagi pembangunan perdamaian,
yang dapat mengubah narasi dominasi
menjadi narasi memberontak, dari narasi
penderitaan menjadi narasi penyembuhan,
serta dari narasi menyaksikan menjadi narasi
solidaritas. Implikasi praktis dari studi ini
adalah perlunya peningkatan upaya-upaya
rekonsiliasi dari kasus-kasus pelanggaran
HAM pada masa lalu maupun sekarang.
Persoalan utama dari konflik Papua adalah
kekerasan politik yang dilakukan oleh negara,
dengan didasari oleh kebijakan teror terhadap
orang Papua sebagai suatu pertunjukan
kekuasaan.
Adapun penelitian oleh sarjana Papua
dilakukan oleh Ondawame (2000), seorang
intelektual sekaligus aktivis OPM dan
pimpinan West Papua National Coalition for
6 Ondawame (2000) menyarankan pemerintah Indonesia melakukan reformasi di Tanah Papua. Misalnya melaksanakan
demiliterisasi, melakukan pengurangan jumlah migrasi, mendorong pembangunan budaya Papua, tradisi, dan cara hidup
Liberation (WPNCL). Dia menulis disertasi
di Australia National University: ‘West Papua
Nationalism and the Organisasi Papua
Merdeka.’ Ondawame (2000:373)
menunjukkan bahwa OPM telah gagal untuk
mencapai tujuannya. Ketidakmampuan untuk
mengembangkan strategi-strategi produktif
serta memperkuat organisasi dan
kepemimpinannya telah mengurangi
efektivitas organisasi tersebut. Kelemahan ini
telah dieksploitasi oleh pemerintah melalui
berbagai operasi militer dan adu domba. Pada
sisi lain, reaksi melawan Indonesia menjadi
semakin besar. Militerisasi, eksploitasi
sumber daya alam, tingginya imigrasi, dan
kebijakan menghapus kebudayaan Papua,
telah menciptakan persoalan politik, ekonomi,
dan budaya yang serius dan memberikan
bahan bakar bagi nasionalisme Papua.
Pada bagian lain, Ondawame
(2000:375) mengemukakan bahwa konflik
Papua menjadi berkepanjangan karena tidak
adanya kehendak politik untuk mencapai
suatu konsensus. Selain itu, juga tidak ada
dukungan internasional untuk memediasi
konflik, sehingga tidak ada solusi yang cepat
untuk menyelesaikan konflik Papua. OPM
harus menunjukkan komitmennya pada
negosiasi untuk menghindari perang dengan
menekankan pada isu-isu pembangunan,
HAM, hak atas tanah, hak orang asli,
militerisasi, imigrasi, dan lingkungan.
Komitmen untuk menyelesaikan konflik
politik secara damai yang disarankan oleh
Ondawame dapat bermula dari persetujuan
terhadap otonomi khusus, sistem federal atau
asosiasi bebas antara Indonesia dan Papua.6
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
108
Namun persoalannya, OPM sebelum
2000 masih memiliki banyak kelemahan.
Misalnya, meskipun nasionalisme Papua tidak
akan memudar, namun kekuatan politik OPM
akan menurun jika hubungan antara Indonesia
dan Papua semakin longgar. Disertasi
Ondawame (2000:378) menyebutkan kurang
seriusnya tradisi berorganisasi di Papua. OPM
dan orang Papua pada umumnya mengambil
inspirasi dari mentalitas kultus kargoisme,
yakni memercayai bahwa kemerdekaan Papua
merupakan berkah yang turun dari langit.
Kurangnya komitmen personal dan visi
politik telah berdampak pada pengembangan
OPM sebagai gerakan pembebasan utama di
Papua. Empat belas tahun setelah disertasi ini
ditulis, konsolidasi gerakan politik Papua
merdeka baru berhasil dengan terbentuknya
the United Liberation Movement for West
Papua (ULMWP).
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Anderson (2015), diterbitkan oleh East West
Center, Hawaii University, untuk
memberikan perspektif yang berbeda dari
studi-studi sebelumnya. Kebanyakan studi
mengenai konflik Papua selama ini melihat
penyebab ketidak-amanan (insecurity) di
Tanah Papua sebagai persoalan orang Papua
yang terancam oleh kehadiran negara
(Brundige et al., 2004; Elmslie, 2003; Webb-
Ganon, 2013; King, 2004). Anderson (2015)
berargumen, meskipun represi militer dan
perlawanan orang Papua adalah faktor utama
ketidak-amanan, tetapi situasi tersebut
hanyalah bagian kecil cerita. Pada realitasnya
yang terjadi adalah vigilantisme, konflik
antarklan, dan berbagai bentuk kekerasan
seperti mengadopsi nama-nama Papua, mengakui hak-hak orang asli Papua dan juga tanah komunal, serta menawarkan
kompensasi terhadap peristiwa-peristiwa pada masa lalu. Indonesia harus membuka batas Papua New Guinea (PNG)
serta mengizinkan Belanda, Amerika Serikat, Australia, serta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membuka
konsulat di Papua..
horizontal lain yang menimbulkan banyak
korban.
Inti dari studi Anderson (2015:24)
adalah negara sebagai salah satu sumber
ketidak-amanan di Tanah Papua merupakan
implikasi dari kebijakan pengelolaan
keamanan dan industri ekstraktif. Keduanya
berdampingan dengan kebijakan pengelolaan
kesehatan, pendidikan, pembangunan,
migrasi, dan sektor-sektor lain yang tidak
koheren. Pendekatan keamanan yang
konsisten dan kerangka kerja pembangunan
manusia yang tidak koheren telah berdampak
negatif terhadap orang asli Papua. Dalam
realitasnya, kebijakan otonomi khusus (Otsus)
berhasil mengooptasi elite-elite Papua, namun
gagal meningkatkan perlindungan hak-hak
dasar orang asli Papua. Sebagai buktinya,
Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 1
Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua
Barat.
Ketika elemen pemerintahan sipil di
Papua tidak hadir, elemen keamanan
pemerintah terus-menerus memunculkan
ketidak-amanan dengan melaksanakan
aktivitas pencarian rente. Anderson
menyebutkan bahwa kehadiran sekitar 14.000
TNI dan 14.000 polisi di Tanah Papua jarang
ditemukan di daerah yang tidak memiliki
sumber daya alam. Selain itu, beberapa kasus
kekerasan terhadap orang Papua yang
melibatkan aparat keamanan Indonesia
umumnya berakhir pada impunitas para
pelaku. Militer dan kepolisian lebih banyak
memproduksi dan mereproduksi wacana
separatisme sebagai ancaman yang berbahaya
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
109
dan membangun mitologi bahwa kehadiran
militer di Papua bertujuan untuk
menghancurkan gerakan separatis.
Sumber ketidak-amanan lainnya yang
tidak kalah penting adalah persoalan konflik
antarklan pada saat pemekaran wilayah atau
pemilihan kepala daerah, juga migrasi
penduduk dari luar Papua ke Tanah Papua
yang berlangsung secara masif sejak Orde
Baru (Anderson, 2015:38–39). Mereka
menguasai perekonomian sektor menengah ke
bawah sehingga menjadi saingan bagi
ekonomi orang Papua. Meskipun Pemerintah
Daerah Papua sudah mengeluarkan Perdasus
No. 11 Tahun 2013 yang membatasi
pendatang dari luar Papua, namun belum
diimplementasikan.7
Terakhir, sumber ketidak-amanan
dalam kehidupan sehari-hari adalah
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang
sebagian besar berpusat di kota-kota atau
permukiman yang didominasi oleh pendatang.
Misalnya, di pedalaman banyak perempuan
hamil yang meninggal dunia karena layanan
kesehatan yang tidak layak (Anderson,
2015:40). Fakta-fakta di atas menunjukkan
kehadiran negara di Tanah Papua, terutama
dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan publik, tidaklah cukup dan
bukannya terlalu banyak. Korban meninggal
justru lebih banyak jatuh karena
ketidakhadiran negara daripada korban
konflik vertikal (Anderson, 2015:18).
Dalam bagian penutup, Anderson
(2015, 46–47) mengatakan bahwa pedalaman
Papua berbeda dengan daerah lainnya di Asia
7 Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa Papua dihuni oleh 2,8 juta dan Papua Barat 760 ribu jiwa. Jumlah
pendatang diperkirakan mencapai 47,7% di Papua Barat dan 23,8% di Papua, pada umumnya mendiami kawasan
perkotaan. Pendatang di kedua daerah ini sering kali diasosiasikan dengan Muslim Jawa. Namun dalam realitasnya,
juga mencakup orang Ambon, Bugis, Buton, Minahasa, Makasar, Minangkabau, dan lain-lain.
Tenggara karena tidak adanya pembangunan
secara masif. Orang Papua mendukung
gerakan kemerdekaan karena mereka tidak
melihat manfaat dari negara, merasa
dilupakan dan diperlakukan dengan buruk
pada saat yang sama. Mereka memilih
merdeka karena tidak ada alternatif lain untuk
memperbaiki kehidupannya. Di pedalaman,
pelayanan pendidikan dan kesehatan masih
kurang memadai, masyarakat asli hidup
secara subsisten, dan tidak ada aturan hukum
di daerah yang didominasi oleh penduduk
lokal yang masih memiliki tradisi melakukan
kekerasan. Adapun elite Papua terjebak dalam
tirani desentralisasi, pemekaran wilayah, dan
otonomi khusus. Sumber ketidak-amanan
sebagian besar berasal dari tidak berfungsinya
aparat keamanan dalam melayani masyarakat.
Studi lainnya dilakukan oleh
Viartasiwi (2018) yang menulis disertasi di
Kyoto University: ‘Beyond Separatist
Conflict: Political Economy of Violence in
West Papua.’ Penelitiannya berupaya
melakukan dekonstruksi atas narasi arus
utama konflik Papua dengan memahami
berbagai jenis konflik yang muncul di daerah
ini. Ia berargumen, narasi arus utama, yakni
Papua sebagai daerah konflik, telah
menguntungkan banyak orang yang terlibat
dalam konflik tersebut. Menurutnya, gerakan
separatisme Papua merupakan refleksi
pemerintah dalam melihat konflik Papua dan
represi terhadap orang Papua. Persepsi ini
telah membangun interpretasi yang kuat
tentang konflik Papua secara domestik
maupun internasional. Gagasan bahwa
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
110
konflik Papua merupakan akibat dari gerakan
separatis telah diarus-utamakan, dan bahkan
telah menjadi ‘hegemonik’ dalam
menjelaskan sifat konflik di daerah tersebut.
Viartasiwi (2018:220) mengatakan bahwa
masyarakat asli Papua merupakan masyarakat
yang ‘terpecah’ dengan ‘kecenderungan
melakukan tindakan kekerasan.’ Semakin
meningkatnya jumlah pendatang, hilangnya
tanah suku karena kemiskinan, manipulasi
praktik budaya, serta kontestasi kelompok
agama telah menjadi penyebab ketegangan
dan konflik. Dalam politik sehari-hari, elite
memanipulasi etnis dan praktik adat, serta
fanatisme agama untuk meningkatkan
kekuasaan mereka. Akibatnya, setiap
ketegangan di Papua dapat dengan mudah
meningkat menjadi konflik komunal.
Konflik telah secara ekonomi dan
politik memberdayakan aktor-aktor tertentu
dengan memberikan penyamaran sempurna
untuk praktik-praktik penyelenggaraan
pemerintahan yang ‘keliru’ (Viartasiwi,
2018:222). Konflik di Papua bertahan tidak
hanya karena sulitnya menemukan solusi,
tetapi juga karena elite pemangsa telah
mengambil keuntungan dari status quo.
Konflik telah menciptakan peluang bagi
mereka yang memiliki akses, seperti
pemimpin tradisional, pejabat pemerintah,
tentara, polisi, politisi lokal, milisi, dan geng
setempat. Jaringan para aktor ini
membutuhkan konflik dan kekerasan untuk
membangun ‘industri konflik.’ Untuk
menyelesaikan konflik ini, pemerintah
melakukan pendekatan keamanan dan
pembangunan, yang dibungkus dengan slogan
8 Hasil penelitian ini telah didiskusikan secara luas dan dibahas dalam studi-studi tentang Papua, misalnya dalam ICG