Top Banner
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya. kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah. Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya. Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau berjamaah dan menghidupkan Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan umum pada siang hari bulan masyarakat dianjurkan untuk ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan dari pengaruh ajaran sesat; pengamalan ibadah serta menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam. Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat. Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh 8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi 3 Tahun 2000 tentang Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); PROVINSI NANGGROE ACEH QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat; c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengingat : 1. Al-Qur’an; 2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448); 7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
177

menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

May 08, 2019

Download

Documents

buitruc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.

(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.

Pasal 11

Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.

BAB V

PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM

Pasal 12

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.

(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.

(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.

(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.

Pasal 13

(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha

dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

BAB VI

PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN

Pasal 14

(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.

(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.

(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang

paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau

menghina atau melecehkan agama Islam.

Pasal 6

Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU

BAB IV

PENGAMALAN IBADAH

Pasal 7

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.

Pasal 8

(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.

(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.

Pasal 9

(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.

(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.

(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.

Pasal 10

(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.

(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk

ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.

6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.

11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI

Pasal 2

Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :

a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;

b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;

c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.

Pasal 3

Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.

BAB III

PEMELIHARAAN AQIDAH

Pasal 4

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Pasal 5

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh

8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);

11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah

perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah

Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002

TENTANG

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;

c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Mengingat : 1. Al-Qur’an;

2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan

Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);

7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.

(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.

Pasal 11

Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.

BAB V

PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM

Pasal 12

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.

(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.

(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.

(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.

Pasal 13

(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha

dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

BAB VI

PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN

Pasal 14

(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.

(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.

(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang

paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau

menghina atau melecehkan agama Islam.

Pasal 6

Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU

BAB IV

PENGAMALAN IBADAH

Pasal 7

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.

Pasal 8

(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.

(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.

Pasal 9

(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.

(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.

(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.

Pasal 10

(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.

(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk

ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.

6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.

11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI

Pasal 2

Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :

a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;

b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;

c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.

Pasal 3

Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.

BAB III

PEMELIHARAAN AQIDAH

Pasal 4

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Pasal 5

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh

8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);

11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah

perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah

Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002

TENTANG

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;

c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Mengingat : 1. Al-Qur’an;

2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan

Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);

7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

Page 2: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN

2002 DAN DAMPAKNYA TERHADAP

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KOTA

BANDA ACEH

Juli Ahsani

Page 3: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dan Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama di Kota Banda Aceh

Penulis : Juli Ahsani Editor : Imam Zaki Fuad Desain Sampul : Numay Layout : Zahrul A.

ISBN: 978-602-6747-06-8

Penerbit Cinta Buku Media Redaksi: Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail: [email protected] Cetakan: Ke-1 Juli 2017 All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Page 4: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

iii

Secara special penulis khidmatkan

karya sederhana ini untuk kedua

orang tua tercinta; Ayahanda

Supangat & Ibunda Mukatriyah.

Page 5: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

iv

Page 6: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

v

ABSTRAK

tonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tertera

pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang

mengamanatkan pemberlakuan syari’at Islam secara kāffah di

wilayah Aceh. Sebagai wujud nyata dari pelaksanaan undang-

undang tersebut, maka dibuatlah beberapa Qanun tentang

pelaksanaan syari’at Islam, di antaranya ialah Qanun Nomor 11

Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah,

Ibadah dan Syi’ar Islam. Lahirnya Qanun ini merupakan bentuk

keseriusan pemerintah dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at

Islam disetiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Diharapkan

dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 akan dapat

membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju pada perbuatan

baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan yang lebih intens

yang kemudian membawa dampak terhadap situasi dan kondisi

kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.

Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis

menggunakan dua metode, yakni Kajian Kepustakaan (Library

Research) dan Penelitian Lapangan (Field Reaserch). Kajian

Kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan cara meneliti,

mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah Undang-

Undang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Nomor 11 Tahun

2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun lainnya

yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di samping itu

juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah, koran, laporan

hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya tentang syari’at

Islam dan kerukunan umat beragama sebagai data penunjang.

O

Page 7: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

vi

Penelitian Lapangan (Field Reaserch), dalam hal ini penulis

melakukan pengamatan langsung dengan tujuan untuk memperoleh

keyakinan terhadap keabsahan data-data yang telah ada serta ingin

mendapat pengalaman dengan cara mengalami dan memahami

langsung segala peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama

proses penelitian. Selain itu, penulis juga mengadakan kegiatan

wawancara kepada para narasumber untuk menggali data.

Key words: Qanun, Kerukunan.

Page 8: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

vii

بسم هللا الرمحن الرحيم

KATA PENGANTAR

egala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon

pertolongan-Nya, dan meminta ampunan-Nya. Dengan-

Nya kami berlindung dari keburukan jiwa-jiwa kami dan kejelekan

amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, niscaya

dia takkan tersesat. Dan barangsiapa Dia sesatkan, niscaya takkan

ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada

Tuhan selain Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi

bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Penulis

persembahkan syukur yang tak terbilang kepada-Nya. Tuhanku dan

Tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental yang telah

diberikan-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan

tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan

terlimpah selalu pada Nabi Muhammad saw., beserta sahabat, dan

orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan Islam, sebagaimana

Nabi dan sahabatnya berjalan di atasnya.

Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak sedikit

kesulitan maupun hambatan yang dihadapi dan dialami, baik yang

menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan, maupun

pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati

dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,

maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan

sebaik-baiknya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Sehingga

sudah menjadi keharusan dan kewajiban penulis untuk

menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-

tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung dan

S

Page 9: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

viii

memberikan kerjasama yang positif. Maka dengan tidak mengurangi

rasa hormat kepada yang lain, perkenankan dalam kesempatan ini

penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada:

Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA

sebagai pembimbing dalam penulisan tesis ini yang di tengah

kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu dan tenaga serta

kesabaran untuk memberikan arahan, masukan, dan bimbingan

kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa

keilmuan yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua

kebaikan Bapak, dan semoga Bapak beserta keluarga selalu

dikaruniai kesehatan, umur panjang, kelancaran rizki dan bahagia

dunia maupun akhirat kelak.

Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer yang

banyak mendorong dan merekomendasikan penulis untuk kembali

melanjutkan studi S2 di Jurusan Perbandingan Agama. Serta Tuan

Guru Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Ismatu Ropi, Ph.D yang

telah membuka cakrawala berfikir bagi penulis untuk terus

menemukan gagasan dan ide-ide baru, semoga Tuan Guru lekas

menyandang gelar profesor.

Demikian pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

Pimpinan Dekan Fakultas Ushuluddin; Prof. Dr. Masri Mansoer,

M.Ag (Dekan), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pudek I), Dr. M.

Suryadinata, MA (Pudek II), dan Dr. Bustamin, MA (Pudek III).

Ketua dan Sekretaris Program Magister; Dr. Atiyatul Ulya, MA dan

Drs. Maulana, M.Ag, terimakasih atas motivasi dan dukungannya

untuk kelancaran penulisan tesis ini. Pimpinan beserta staf

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada

penulis dalam memenuhi studi pustaka.

Secara spesial penulis khidmatkan karya akademik ini kepada

kedua orang tua tercinta; Ayahanda Supangat dan Ibunda

Page 10: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

ix

Mukatriyah yang selalu memberikan doa restu dan dukungan berupa

materi, motivasi, nasehat, serta kasih sayang yang tiada hentinya.

Munajat doanya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir

batin dalam mengarungi bahtera kehidupan serta kesuksesan studi

dan penyelesaian tesis yang melelahkan ini. “Your love make me

strong!”. Abang dan Kakak; Bang Deny dan Kak Riska, Bang Ohim

dan Kak Ina, terima kasih atas bimbingan dan nasehat-nasehatnya,

abang dan kakak panutan yang dibanggakan oleh adek-adeknya,

semoga keluarga kecilnya selalu bahagia dan senantiasa dalam ridha

Allah. Adek-adekku; Fery Hamzah, semoga lekas wisuda bro, calon

cikgu hebat, ntar lanjut S2 ya. Adekku yang paling cantik Vivit

Ardiani, semangat dan lancar kuliahnya dek, harus sabar dan

prihatin hidup di perantauan ya. Muhammad Irfandi, anak bungsu

yang disayangi abang dan kakaknya, lanjut terus sekolahnya ya bro,

harus punya cita-cita besar dan kuliah. Kedua keponakanku

tersayang; Aulia Fitri Rahmadhani (Dek Aya), dan Adila Nisa

Ardani (Dek Ica), nanti sekolah ya sayang, jadi anak pinter, solehah

dan berbakti sama Ayah dan Bundanya. Teruntuk Om Muji dan

Tante Menik, terima kasih telah menjadi orang tua July di Jakarta,

perhatian dan kasih sayangnya telah memberi kekuatan dan

kesabaran selama July di Jakarta.

Ucapan terima kasih juga amat patut penulis sampaikan

kepada seluruh dewan guru selagi penulis menempuh pendidikan di

SD (SDN I Laot Tadu - Nagan Raya), tidak mungkin penulis bisa

menyelesaikan studi master ini tanpa jasa dari beliau semua. Sangat

besar andil mereka dalam mengantarkan penulis memperoleh

pendidikan hingga setingkat ini. Kepada seluruh dewan guru pada

waktu penulis menempuh pendidikan di SMP (SMPN 4 Kuala -

Nagan Raya), semoga Bapak/Ibu selalu mendapatkan limpahan

rahmat Allah swt,. dan semoga amal ibadah Bapak/Ibu yang telah

mendidik penulis akan dibalas oleh Allah swt. Kepada seluruh

Bapak/Ibu dewan guru saat penulis menempuh pendidikan di SMA

Page 11: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

x

(SMAS Sukma Bangsa - Pidie), rasa syukur, bangga dan menjadi

sebuah kehormatan bagi penulis bisa menimba ilmu dan menjadi

murid Bapak/Ibu. Semoga Bapak/Ibu selalu dilimpahkan rahmat dan

kesehatan oleh Allah swt. Dan juga kepada seluruh Bapak/Ibu dosen

Fakultas Ushuluddin terutama Jurusan Perbandingan Agama yang

telah mentransfer ilmunya kepada penulis, semoga selalu diberikan

kesehatan dan ilmu yang telah diberikan dapat diamalkan serta

bermanfaat di masyarakat.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat

khususnya buat penulis dan umumnya bagi para pembaca. Semoga

Allah swt., membalas jasa baik yang telah diberikan dari berbagai

pihak dalam penyelesaian tesis ini, dan semoga Allah senantiasa

memberikan taufik, hidayah dan meridhai upaya yang kita lakukan

bersama. Aamiin

Terima kasih!

Wallah al muwaffiq ila aqwam al tariq.

Jakarta, 20 Juli 2017

Penulis,

Juli Ahsani

Page 12: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

xi

DAFTAR ISI

Persembahan ................................................................................. iii

Abstrak ......................................................................................... v

Kata Pengantar ............................................................................ vii

Daftar Isi ..................................................................................... xi

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 6

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................... 6

D. Kerangka Teori ................................................................. 7

E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 20

F. Metodologi Penelitian ....................................................... 24

BAB II

Gambaran Umum Kota Banda Aceh

A. Kondisi Sosio-Historis ...................................................... 27

B. Potret Pluralitas Masyarakat ............................................. 30

C. Format Relasi dan Interaksi Sosial .................................... 36

BAB III

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002

A. Latar Belakang Pembentukan ........................................... 41

1. Landasan Filosofis ............................................................ 42

2. Landasan Konstitusional ................................................... 46

B. Maksud dan Tujuan ........................................................... 51

C. Muatan Aturan ................................................................... 52

Page 13: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

xii

1. Pemeliharaan Akidah ......................................................... 53

2. Pengamalan Ibadah ........................................................... 56

3. Penyelenggaraan Syi’ar Islam ........................................... 60

D. Sanksi ................................................................................ 61

E. Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam

dan Kerukunan Umat Beragama ....................................... 64

BAB IV

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002

A. Pemeliharaan Akidah ......................................................... 69

B. Pengamalan Ibadah ............................................................ 78

C. Penyelenggaraan Syi’ar Islam ............................................ 89

BAB V

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama

A. Kerukunan Internal Umat Islam ........................................ 99

B. Kerukunan Antarumat Beragama ...................................... 106

C. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah ............... 127

BAB VI

Penutup

A. Kesimpulan ........................................................................ 133

B. Saran .................................................................................. 134

Daftar Pustaka .............................................................................. 137

Lampiran-Lampiran .................................................................... 145

Biodata Penulis ............................................................................ 163

Page 14: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

1

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa abad terakhir timbul dan berkembang dikalangan

masyarakat Islam cita-cita mendirikan Negara Islam, yaitu sebuah

Negara yang sepenuhnya diberlakukan syari’at Islam secara

menyeluruh. Mereka terkenang pada beberapa abad pertama

perkembangan Islam yang mencapai puncak keemasannya yang

ditandai dengan adanya kota-kota megah seperti yang pernah terjadi

di Bagdad, Kairo, Cordova, dan lain sebagainya. Lahirnya peradaban

ini pada dasarnya karena dilandasi oleh komitmen mereka terhadap

pelaksanaan syari’at secara paripurna. Kota-kota ini dalam catatan

sejarah pernah menjadi pusat kemajuan dalam segi perdagangan,

pertanian, perkebunan, kebudayaan maupun ilmu pengetahuan.

Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia saat ini, muncul

gagasan untuk melaksanakan syari’at Islam yang tidak hanya

sebatas wacana namun harus menjadi kenyataan yang dipraktikkan

oleh sebagian daerah di Nusantara. Hal itu disebabkan karena

berbagai daerah di Nusantara telah memiliki kaitan dengan sejarah

panjang islamisasi dalam berbagai pranata sosial. Di antara daerah

yang berupaya mempraktikkan syari’at Islam tersebut ialah Aceh.1

1 Berdasarkan Pergub Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan

Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, maka sebutan nama untuk Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam lebih disingkat menjadi Aceh dengan menghilangkan dua suku kata

Nanggroe dan Darussalam. Dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan

Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja

Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel

Instansi dalam Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan

Page 15: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

2 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Provinsi Aceh yang secara geografis terletak paling ujung

barat di pulau Sumatera ini mempunyai luas wilayah mencapai

55.930 Km². Masyarakat Aceh sejak sebelum Indonesia merdeka

juga dikenal sebagai masyarakat yang plural. Keniscayaan itu

diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai

dari etnis, adat istiadat, bahasa, budaya, dan agama.2 Ini artinya

bahwa pluralitas merupakan sebuah realitas bagi masyarakat Aceh

sejak zaman dahulu.3

Secara administratif, wilayah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten

dan 5 Kota, 280 Kecamatan, 755 Mukim, dan 6.423 Gampong

(Desa). Secara lebih rinci kabupaten dan kota yang ada di wilayah

Aceh ialah: Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh

Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie,

Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh

Tengah, Gayolues, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Kota Banda

Aceh, Sabang, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam.

Sementara dari segi etnis dan buadaya, wilayah Aceh dihuni oleh

beraneka ragam, antara lain: Etnis Aceh yang mendominasi hampir

diseluruh kabupaten/kota di wilayah Aceh; Etnis Alas yang

mendiami sebagian daerah Aceh Tenggara; Etnis Aneuk Jamee yang

mendiami Aceh Selatan dan sebagian Aceh Barat Daya; Etnis Gayo

diseragamkan dari sebutan/nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

menjadi sebutan/nomenklatur Aceh.

2 Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 157.

3 Dalam lingkup kehidupan bangsa yang lebih luas, Indonesia memang telah

ditakdirkan Tuhan sebagai bangsa yang hidup dalam pluralitas dan multikultural

dari segi etnis, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Sehingga tidak ada satu

bangsa pun di dunia yang mempunyai sifat keragaman seperti bangsa Indonesia

yang terdiri lebih tiga ratus suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Kondisi

ini bisa menjadi kekuatan yang potensial dan disebut sebagai kekuatan pluralisme

apabila di dalamnya terkandung nilai-nilai (cultural and religious pluralism as value). Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta:

PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 4.

Page 16: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 3

yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah dan sebagian Aceh

Tenggara; Etnis Kluet yang mendiami daerah Kluet di Aceh

Selatan; Etnis Tamiang yang mendiami Aceh Tamiang dan sebagian

Aceh Timur; Etnis Singkil yang mendiami Aceh Singkil; Etnis

Simeulue yang mendiami Aceh Simeulue; Etnis Jawa yang

mendiami sebagian Kota Langsa, Aceh Tengah dan Nagan Raya;

serta Etnis Tapanuli Utara yang mendiami sebagian Kota Langsa.4

Bahasa yang digunakan di Aceh juga beragam, antara lain:

Bahasa Aceh yang digunakan hampir diseluruh kabupaten/kota di

wilayah Aceh; Bahasa Alas yang digunakan di Aceh Tenggara;

Bahasa Aneuk Jamee yang digunakan di Aceh Selatan dan sebagian

Aceh Barat Daya; Bahasa Gayo yang digunakan di Aceh Tengah,

Bener Meriah dan Aceh Tenggara; Bahasa Kluet yang digunakan di

Aceh Selatan; Bahasa Tamiang yang digunakan di Aceh Tamiang

dan Aceh Timur; Bahasa Julu yang digunakan di Subulussalam dan

Aceh Singkil; Bahasa Haloban, Pakpak, dan Nias juga digunakan di

Aceh Singkil; serta Bahasa Lekon, Sigulai, dan Devayan digunakan

di Simeulue.5 Wilayah Aceh juga dihuni oleh enam agama besar

yang ada di Indonesia sesuai dengan ketetapan Undang-Undang

Nomor 1 PNPS Tahun 1965, namun penganut yang beragama Islam

merupakan terbesar oleh karena itu penganut Islam menjadi

mayoritas dikalangan masyarakat Aceh.6

Peta kehidupan umat

beragama berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama

Provinsi Aceh tahun 2014, terdiri dari penduduk beragama Islam

4 Humas Provinsi Aceh: http://humas.acehprov.go.id. Diakses tanggal 29

Februari 2016.

5 Dinas Kebubudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh: http://disbudpar .aceh

prov.go.id/. Diakses tanggal 29 Februari 2016.

6 Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS

Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Penjelasan atas Pasal 1: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu”.

Page 17: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

4 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

98,92%; Katolik 0,16%; Protestan 0,79%; Hindu 0,01%; Buddha

0,10%, dan Khonghucu 0,005%.7 Dari penjelasan dan paparan data

tersebut terlihat fakta bahwa masyarakat Aceh merupakan

masyarakat yang hidup dalam pluralitas dan multikultural dengan

latar belakang dan keanekaragaman yang berbeda-beda.8 Selain itu,

wilayah Aceh juga mempunyai kekayaan sumber daya alam,

kesuburan tanah serta hasil laut yang melimpah.

Selanjutnya, dari 18 Kabupaten dan 5 Kota yang ada di

wilayah Aceh tersebut, penulis hanya memfokuskan penelitian ini

pada Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Dipilihnya Kota

Banda Aceh sebagai tempat penelitian bukan saja karena kota ini

merupakan ibu kota provinsi, tetapi atas berbagai pertimbangan

lainnya. Salah satu alasan mendasar adalah karena penduduk Kota

Banda Aceh sangat majemuk yang dihuni oleh beragam etnis,

bahasa, budaya, dan agama tersebut. Selain itu, meski Islam menjadi

agama nomor satu yang dipeluk oleh masyarakat, namun

kesempatan bagi pemeluk agama lain untuk beribadah dan

mengamalkan ajaran agamanya juga terbuka lebar.

Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan

Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam di Kota

Banda Aceh dianggap telah berjalan baik dan sudah memenuhi

harapan masyarakat selama ini. Karena posisinya strategis sebagai

pusat pemerintahan, maka setiap kebijakan yang dibuat melalui

Qanun dapat langsung diterapkan serta pengawasan terhadap

pelaksanaannya pun juga mudah. Di sisi lain, sebagai pusat ibukota

provinsi, Kota Banda Aceh dapat dijadikan sebagai acuan dan

7 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh: http://aceh.bps.go.id. Diakses

tanggal 29 Februari 2016.

8 Kehidupan dan budaya suku bangsa Aceh yang terdiri atas berbagai etnik

yang sangat majemuk dan plural tersebut membuat masyarakat Aceh sangat

terbuka kepada sesama temannya, tetangganya, dan juga kepada tamunya. Lihat

Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 94.

Page 18: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 5

representatif dari pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Selain

itu, adanya atmosfir religius dan respon positif di tengah masyarakat

atas penerapan syari’at Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini juga dapat diterima dengan baik

dan dijalankan oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat tidak

keberatan dengan penerapan syari’at Islam.9 Namun tentu saja hal

ini masih perlu adanya kajian dan pengamatan lebih mendalam.

Dengan telah berjalannya pelaksanaan Qanun dan adanya respon

positif tersebut berarti telah membawa dampak positif bagi

keberagamaan dan kuantitas ibadah masyarakat. Di sisi lain,

berbagai anggapan dan pemberitaan kerap muncul bahwa

pelaksanaan yang bersifat private seperti ibadah, pelaksanaannya

lebih bersifat syari’at Islam di Aceh dianggap melanggar hak asasi

manusia karena mengatur bidang-bidang politis serta diskriminatif

dan menindas agama minoritas sehingga bertentangan dengan nilai-

nilai kebebasan dan kerukunan umat beragama.10

Maka sehubungan

dengan hal itu, menarik untuk dilihat bagaimana pelaksanaan

syari’at Islam dan dampaknya terhadap kerukunan hidup umat

bergama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu

dilakukan sebuah penelitian mendalam guna mencari data dan fakta

secara real dilapangan.

Bertitik tolak pada pola pikir di atas, penulis tertarik untuk

menggali lebih dalam lagi mengenai pelaksanaan syari’at Islam dan

9 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam

dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan,

2005), h. 214.

10 Lihat Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 38-41.

Lihat Danial, “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol.

XII, Nomor 1, 2012), h. 73-74. Lihat juga Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 165.

Page 19: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

6 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota Banda

Aceh. Untuk itu penulis mengambil penelitian ini yang terfokus

dengan judul: "Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan

Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama Di Kota Banda

Aceh”. Penulis meyakini bahwa kajian tentang topik ini sangat

urgen dan menarik untuk dijadikan bahan kajian akademik dan juga

kajian umum serta patut untuk diangkat ke permukaan dalam rangka

ikut berkontribusi dalam memberikan sumbangsih berupa pemikiran

yang signifikan terhadap pemerhati syari’at Islam terutama oleh

instansi pemerintahan dalam upayanya untuk menegakkan syari’at

Islam secara kāffah dan menciptakan kerukunan kehidupan

beragama di wilayah Kota Banda Aceh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, selanjutnya

penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yang

dikonstruksikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada

masyarakat Kota Banda Aceh?.

2. Apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002

berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di

Kota Banda Aceh?.

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan

tesis ini ialah: Pertama, mendeskripsikan bagaimana implementasi

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada masyarakat Kota Banda Aceh.

Kedua, mengetahui apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun

2002 berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di

Kota Banda Aceh. Adapun dari sudut kepentingan teoritis

akademis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan

menambah khazanah keilmuan dalam kajian syari’at Islam dan juga

Page 20: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 7

kerukunan kehidupan umat beragama. Serta diharapkan hasil

penelitian ini dapat menjadi langkah awal yang meningkatkan minat

para peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam lagi terhadap

kajian implementasi syari’at Islam yang dituangkan dalam Qanun

dan kaitannya dengan kerukunan hidup umat beragama.

Sedangkan signifikansi secara praktis yang ingin dicapai

dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai

bahan informasi dan masukan pengambilan kebijakan dalam

pembangunan kehidupan keagamaan dan peningkatan kerukunan

oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh

dalam rangka penyempurnaan pengaturan dan pelaksanaan syari’at

Islam. Selanjutnya juga menjadi dasar kebijakan Pemerintah di

Pusat tentang kebijakan implementasi nilai-nilai keagamaan dalam

kebangsaan sehingga dua hal tersebut dapat beriringan di dalam

kehidupan berdemokrasi. Selain itu, penulis juga berharap semoga

dengan tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi para

pengambil kebijakan baik Pemerintah Kota Banda Aceh beserta

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Di

samping itu, secara umum dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau

pemikiran lebih lanjut bagi para peneliti untuk mengadakan studi-

studi lanjutan terhadap berbagai kebijakan publik di dalam

implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam pembangunan di

daerah.

D. Kerangka Teori

Dalam tulisan tesis ini penulis menggunakan beberapa istilah

dasar yang dijadikan sebagai kerangka teori, yaitu: implementasi,

dampak, syari’at Islam, Qanun, dan kerukunan umat beragama.

Untuk itu dalam subbab ini akan menjelaskan istilah-istilah yang

digunakan tersebut guna mengantarkan pemahaman secara

mendalam dan terfokus.

Page 21: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

8 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

1. Implementasi dan Dampak

Untuk memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai

penggunaan kata yang digunakan dalam judul tesis ini, penulis

memberikan definisi sederhana tentang implementasi dan dampak

sebagai berikut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.

Mengimplementasikan berarti melaksanakan; menerapkan.

Pengimplementasi ialah orang yang mengimplementasi.

Pengimplementasian berarti proses, cara, atau perbuatan

mengimplementasikan. Sedangkan terimplementasi berarti

terlaksana atau terterapkan.11

Sementara kata dampak dapat

diartikan sebagai benturan atau pengaruh kuat yang dapat

mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif). Dalam ilmu

fisika, kata dampak diartikan sebagai benturan yang cukup hebat

antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan yang berarti

dalam momentum (pusa) sistem yang mengalami benturan itu.12

Dari pengertian kedua kata tersebut, selanjutnya penulis

menggunakan kata implementasi dan dampak dalam konteks kajian

sosiologis yang digunakan untuk menganalisa apakah terdapat

dampak dari implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002

terhadap kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.

2. Syari’at dan Qanun

Kata syari’at merupakan istilah yang telah lazim didengar dan

diucapkan oleh umat Islam. Secara etimologi syari’at berasal dari

kata syara’a syai yang bermakna menjelaskan dan menyatakan

sesuatu, atau asy-syiratu dan asy-syari’atu yang artinya suatu

tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada

sumber air yang tidak ada habis-habisnya, sehingga orang yang

11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat

Bahasa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012) Edisi Keempat, h. 529.

12 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488.

Page 22: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 9

membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya. Dalam

kata lain, syari’at juga dimaknai sebagai jalan atau cara untuk

menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah, dan etika. Syari’at

juga berarti peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada

hamba-hamba-Nya, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh

kebajikan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kata syari’at

sering dipahami sebagai hukum atau ketentuan yang berasal dari

Tuhan sehingga dibutuhkan aktualisasi dalam kehidupan sehari-

hari.13

Sementara kata yang sudah baku dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata syari’at diartikan sebagai hukum agama atau yang

bertalian dengan agama Islam.14

Menurut Yusuf Al Qardhawi, antara syari’at dengan Qanun

terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu: Pertama, dilihat dari

aspek pembuatannya, Qanun merupakan produk manusia sedangkan

syari’at produk yang langsung berasal dari Allah. Untuk itu masing-

masing mencerminkan sifat pembuatannya. Di dalam syari’at yang

berasal dari Allah, maka ia mewakili sifat-sifat Allah berupa

kekuasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Jangkauan Allah

meliputi apa yang telah terjadi, sedang, dan akan terjadi. Allah

menurunkan syari’at Islam sebagai syari’at yang tidak menerima

perubahan dan pergantian. Sedangkan di dalam Qanun terdapat

kekurangan, karena ia mencerminkan sifat kurang, lemah, dan

keterbatasan manusia. Oleh karena itu Qanun menerima adanya

perubahan, pergantian, dan perkembangan sesuai dengan

dinamismenya masyarakat. Jadi, Qanun sangat rawan dengan

kekurangan dan kelemahan. Ia tidak mungkin mencapai derajat

kesempurnaan. Hukum syari’at dasarnya berasal dari wahyu Allah,

13 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah

Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1.

14 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488.

Page 23: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

10 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sedangkan Qanun merupakan rakyu atau dasarnya bersumber dari

produk manusia.15

Kedua, syari’at mempunyai kaidah-kaidah yang diproduk oleh

Allah untuk selamanya guna mengatur permasalahan manusia.

Kaidah-kaidah dalam syari’at dan nash-nya bersifat umum dan

sangat lentur, artinya ia dapat merespon kebutuhan masyarakat,

meski kondisi, kebutuhan, dan zamannya berkembang. Selain itu,

kaidah dan nash dalam syari’at bernilai tinggi dan modern, artinya

ia tidak ketinggalan zaman. Syari’at Islam merupakan syari’at yang

ajarannya tidak hanya berlaku dan diperuntukkan pada masyarakat

tertentu, akan tetapi untuk seluruh umat manusia, baik orang Arab

maupun non-Arab, orang Timur maupun non-Timur, meskipun adat

dan tradisi mereka berbeda. Sedangkan Qanun mempunyai kaidah

yang bersifat temporer yang diproduk oleh sekelompok manusia

untuk mengatur setiap perkara dan memenuhi kebutuhannya.

Kaidahnya muncul setelah adanya masyarakat. Dengan kata lain

Qanun bersifat dinamis, ia akan relevan dengan kondisi masyarakat

sekarang, akan tetapi belum tentu relevan untuk masa mendatang.16

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, secara spesifik kata

Qanun dalam tata hukum Pemerintahan Aceh dipahami sebagai

Peraturan Daerah yang digunakan untuk pelaksanaan syari’at Islam.

Lebih jauh Qanun Aceh merupakan seperangkat aturan sebagai

pelaksanaan undang-undang di wilayah Aceh yang telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia,

baik sebagai penyelenggaraan otonomi khusus maupun pelaksanaan

syari’at Islam dalam sejumlah aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana

yang diterangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang berbunyi: “Qanun

Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah

15 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah

Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1.

16 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at, h. 1.

Page 24: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 11

provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan

masyarakat Aceh”.17

3. Kerukunan Umat Beragama

Agama Islam telah menggariskan dua pola dasar hubungan

yang harus dijalin oleh setiap pemeluknya, yaitu hubungan kepada

Allah (hablum minallah), dan hubungan kepada sesama manusia

(hablum minannas). Pertama, hubungan vertikal yang terjadi antara

pribadi dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat

sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini

dilaksanakan secara individu, tetapi lebih diutamakan secara

kolektif atau berjamaah (contohnya shalat berjamaah). Pada

hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam

lingkungan atau intern satu agama saja. Kedua, hubungan yang

terjalin antara manusia dengan manusia. Pada hubungan ini tidak

terbatas pada lingkungan suatu agama saja, melainkan juga berlaku

kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk kerjasama

dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umat.

Dalam hal seperti inilah berlaku kerukunan dan toleransi dalam

pergaulan hidup antarumat beragama.18

Kerukunan merupakan sebuah term yang digunakan untuk

menggambarkan suatu kondisi hidup dan kehidupan yang

mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat

menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong

sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian Pancasila.19

Dalam

17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh, BAB I, Pasal 1.

18 Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat

Press, 2003), h. 14

19 Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, 1997), h. 8-20.

Page 25: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

12 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

bahasa Arab, kerukunan berasal dari kata ruknun, jamaknya adalah

arkan yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya).

Sedangkan dalam kaidah bahasa Indonesia, kata rukun dapat

diartikan dalam beberapa pengertian: Pertama, secara nominal, kata

rukun dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus di penuhi untuk

sahnya dalam melakukan pekerjaan. Contohnya tidak sah seseorang

melakukan shalat apabila tidak memenuhi syarat dan rukunnya.

Kedua, secara adjektif, kata rukun dimaknai sebagai sesuatu yang

baik, damai dan tidak bertentangan. Hendaknya kita hidup rukun

dengan tetangga, bersatu dan sepakat. Merukunkan berarti

mendamaikan atau menjadikan bersatu hati. Sedangkan kerukunan

menyangkut perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan dan

kerukunan hidup bersama.20

Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum

Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat

mengartikan kerukunan umat beragama sebagai keadaan hubungan

sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,

saling menghormati, menghargai kesetaraaan dalam pengamalan

ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.21

Dalam definisi yang lain, kata kerukunan dapat diartikan

sebagai sebuah kesepakatan dalam perbedaan-perbedaan yang ada

dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk

20 Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-

Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan, 2008), h. 5.

21 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1.

Page 26: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 13

membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima

dengan ketulusan hati yang penuh keikhlasan. Kerukunan juga

berarti kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola

interaksi yang beragam diantara unit-unit, unsur atau sub-sistem

yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik

yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,

saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai

kebersamaan.22

Megutip pendapat Franz Magnis Suseno,

mengatakan bahwa kata kerukunan yang berasal dari kata rukun

dapat diartikan berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram

tanpa perselisihan dan pertentangan, dan bersatu dalam maksud

untuk saling membantu. Dapat dipahami juga bahwa pengertian

keadaan rukun merupakan suatu keberadaan semua pihak berada

dalam suatu keadaan damai satu sama lain, suka bekerjasama, saling

menerima dalam suasana tenang dan sepakat.23

Dalam kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-

undangan Kerukunan Umat Beragama dijelaskan bahwa sebuah

kerukunan harus mengandung tiga unsur penting, yaitu: Pertama,

kesediaan untuk menerima adanya perbedaaan keyakinan dengan

orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain

untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan

untuk menerima perbedaaan dan selanjutnya berusaha menikmati

kesyahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka

mengamalkan ajaran agamanya.24

Selanjutnya untuk mewujudkan

kerukunan hidup umat beragama, maka dibentuk dalam konsep

22M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama (Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan, 2005), h. 7-8.

23 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 39.

24 Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Peraturan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,

2009), h. 6.

Page 27: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

14 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Trilogi Kerukunan, yaitu kerukunan internal umat beragama,

kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama

dengan pemerintah. 25

a. Kerukunan Internal Umat Beragama

Konsep kerukunan ini mencakup pada internal masing-masing

umat dalam satu agama, seperti halnya kerukunan di antara aliran-

aliran, paham-paham atau mazhab-mazhab yang ada dalam suatu

umat atau komunitas agama tertentu. Dalam konsep Islam,

kerukunan ini biasa diistilahkan dengan ukhuwwah islamiyah, yaitu

persaudaraan di antara sesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai

islami. Dalam mewujudkan suasana damai tersebut tidak hanya

sebatas dalam tataran normatif namun juga harus teraktualisasi

dalam kehidupan keseharian.

Ukhuwwah islamiyah sebagai persaudaraan antara sesama

umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami harus didasari atas

kesadaran untuk saling menghargai dan menjunjung tinggi adanya

perbedaan, baik perbedaan dalam segi suku, ras, bahasa, maupun

dalam tingkatan yang lebih besar, yakni perbedaan negara. Selain

itu, setiap umat Islam juga harus mempunyai kesadaran dalam

dirinya bahwa dengan adanya latar belakang perbedaan suku, ras,

bahasa, maupun negara tersebut, tentunya juga akan menimbulkan

adanya perbedaan dalam segi pemikiran. Oleh sebab itu, setiap

Muslim dituntut untuk selalu mengedepankan sikap keterbukaan

terhadap Muslim yang lain.26

Dalam Al Qur’an juga sudah jelas

diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari seorang laki-

laki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa

agar saling mengenal satu sama lain. Sehingga adanya perbedaan

bukan sebagai penghalang untuk saling mengenal, dan tolong

25 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan

Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 28.

26 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat, h. 30.

Page 28: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 15

menolong antara sesama Muslim. Hal ini sebagaimana yang

diterangkan dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat 13: “Hai

manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan

berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal (berinteraksi),

sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang

paling bertaqwa”.

Dalam konsep persaudaraan ukhuwwah islamiyah ini, Allah

juga telah menegaskan bahwa sesungguhnya orang-orang Mukmin

itu bersaudara. Firman Allah dalam Surah Al Hujurat ayat 10:

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu

damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada

Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Kemudian dalam Surah Ali

Imran ayat 103 Allah juga menegaskan bahwa di antara sesama

umat Islam dilarang saling bercerai berai: “Dan berpeganglah kamu

semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai

berai...”.

Selain itu, akan pentingnya agar umat Islam selalu menjaga

persaudaraan di antara sesamanya, Rasulullah SAW juga bersabda

dalam beberapa hadis sebagai berikut. Hadis yang diriwayatkan oleh

Muslim, bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim adalah

saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya,

merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Takwa adalah di

sini. Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali - Kemudian beliau

bersabda lagi – Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila

meremehkan saudaranya sesama Muslim. Seorang Muslim terhadap

Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya”. Hadis

berikutnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang

berbunyi: “Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya

dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah

lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah

satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga

Page 29: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

16 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

merasa demam dan tidak bisa tidur”. Selanjutnya hadis yang

diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda: “Orang

Muslim itu adalah orang yang dapat menyelamatkan (menjaga)

Muslim yang lain dari gangguan tangannya dan lidahnya”.

b. Kerukunan Antarumat Beragama

Dalam konsep ini diwujudkan dalam bentuk kerukunan di

antara umat atau komunitas agama yang berbeda-beda, seperti

kerukunan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama

Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan lain

sebagainya. Jika melihat dalam lintas sejarah, relasi antarumat

beragama pada dasarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi

Muhammad SAW. Saat itu, umat Islam dikenal sangat menjunjung

tinggi perdamaian dan bersikap toleran terhadap orang-orang non-

Muslim.27

Sikap toleran masyarakat Muslim merujuk pada sikap dan

perilaku kaum Muslim terhadap non-Muslim yang mengacu pada

hubungan antara kaum Muslim dan para pengikut agama Semitis

lainnya, yakni Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad dan para

sahabatnya ketika berada di Madinah telah menunjukkan sikap

toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap kaum mereka. Nabi

Muhammad selalu mengajarkan agar para penduduk Madinah baik

Islam, Nasrani dan Yahudi agar selalu bersikap santun, toleran,

pemaaf, menghormati, dan tidak pernah menghianati perjanjian

27 Sejatinya makna perdamaian adalah ketika setiap umat beragama

memahami bahwa tujuan tertinggi dari agama yaitu ketika setiap orang

memandang saudaranya yang lain sebagai sahabat seperjalanan (fellow travel). Karena semua agama pada dasarnya menyerukan perdamaian, persatuan dan

persaudaraan serta keselamatan. Sedangkan tujuan dari perdamaian adalah agar

setiap orang atau kelompok memiliki pandangan positif (positive thinking) kepada

orang lain sehingga esensi keberagamaan adalah pendalaman dan penghayatan

terhadap ajaran agamanya yang tidak ada habis-habisnya. Dikutip dari pertemuan

kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015.

Page 30: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 17

yang sudah disepakati. Selain itu, Nabi Muhammad juga

mengajarkan kepada kaum Nasrani dan Yahudi agar dapat menjaga

kehormatan, harta benda, dan keluarga mereka yang hidup damai

dengan umat Islam.28

Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat sekaligus

pemimpin Negara telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan

menetapkan regulasi hubungan antarumat beragama yang dibentuk

dalam sebuah monumen perdamaian melalui traktat Mu’ahadah

Madinah atau Piagam Madinah yang menjadi dasar kerjasama antara

penghuni Madinah yang terdiri dari Islam, Kristen, dan Yahudi. Isi

Piagam Madinah secara umum mengatur kehidupan dan hubungan

antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen

masyarakat majemuk di Madinah. Selain itu, Piagam Madinah juga

menjamin hak politik, budaya, dan rasa aman penduduk, mengatur

kebebasan beragama, tata cara membangun aliansi politik,

mekanisme penyelesaian konflik, dan sistem perpajakan untuk

keberlangsungan masyarakat terutama ketika terjadi konflik.

Demikian sifat mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad

dalam menjaga hubungan baik dengan sesama umat manusia yang

berbeda keyakinan, dengan tetap mengedepankan kerukunan serta

toleransi hidup antarumat beragama.29

Agama Islam mengajarkan agar pemeluknya dapat

menghormati dan menghargai penganut agama yang berbeda dan

mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar; mengarahkan supaya hidup

rukun, hidup sejahtera baik materil maupun spiritual.

Mengembangkan sikap hormat menghormati, berkerjasama antar

28 Demikian seperti diungkap oleh sejarawan Muslim, ‘Auf Ibn

Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Sirah. Lihat Abu Bakar Aceh,

Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya (Jakarta: Yayasan

Pengetahuan Islam, 1966), h. 28-30.

29 Dikutip dari pertemuan kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA

pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan

Agama Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015.

Page 31: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

18 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

pemeluk agama sehingga terbina kerukunan, memberi kebebasan

untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya. Islam juga mengajarkan agar pemeluknya berbuat

baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi

dan memusuhi. Prinsip inilah yang diajarkan oleh Islam melalui

firman Allah dalam Surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9. Ayat 8:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan

tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Ayat 9: “Sesungguhnya

Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-

orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari

negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan

barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah

orang-orang yang zalim”. Dari kedua ayat tersebut dapat diambil

suatu kesimpulan bahwa Allah hanya melarang umat Islam

berteman dengan orang-orang yang memusuhi dan mengusir umat

Islam dari negerinya. Untuk itu, terhadap orang-orang yang

memusuhi umat Islam, Allah mengingatkan agar bertindak waspada

dan hati-hati. Karena mereka senantiasa mengintai orang-orang

Islam untuk satu saat menjatuhkannya. Namun Allah sama sekali

tidak menyebutkan agama sebagai faktor yang menyebabkan

mereka memusuhi orang Islam itu.30

Dalam kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan agar umat

Muslim menjaga hubungan yang harmonis dengan non-Muslim dan

dapat menciptakan kerukunan antar pemeluk agama. Hubungan

tersebut dapat juga dibentuk dengan adanya sikap toleransi

(tasamuh) yakni kesediaan menerima kenyataan pendapat yang

berbeda-beda tentang kebenaran yang dianut. Dapat menghargai

keyakinan orang lain terhadap agama yang dianut serta memberikan

30 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat Al-

Tarbawiy (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet V, h. 218.

Page 32: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 19

kebebasan untuk menjalankan apa yang dianut dengan tidak

bersikap mencela atau memusuhinya.31

Menurut Said Agil Al

Munawar, kerukunan antarumat beragama ini bukan berarti

merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu

totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama

yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan

sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur

hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara

golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.32

Mengutip pendapat Abuddin Nata, dalam rangka membangun

kerukunan antarumat beragama ini, umat Islam harus melihat pula

adanya persamaan-persamaan di antara umat beragama tersebut.

Dari segi agama mungkin berbeda. Namun sebagai manusia mereka

memiliki persamaan. Sederhananya mereka sama-sama keturunan

Nabi Adam, diciptakan dari bahan dan struktur tubuh yang sama,

hidup di bumi yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama,

menghirup udara yang sama, dibatasi oleh kematian yang sama,

memiliki potensi rohaniah yang sama (yakni akal, hati, jiwa, dan

perasaan), kecendrungan psikologis yang sama (merasa ingin ber-

Tuhan, ingin dihargai, ingin dihormati, ingin disayangi dan

seterusnya). Dengan adanya banyak sekali unsur persaman ini maka

tidaklah beralasan jika perbedaan agama membawa kepada

perpecahan. Secara keyakinan berbeda tetapi secara manusiawi

adalah sama. Untuk itu jika suatu ketika ada orang yang terkena

musibah, maka harus segera dibantu, tanpa mempertanyakan agama

yang dianutnya. Hal yang demikian karena musibah yang terjadi

seperti kecelakaan adalah bukan persoalan agama, tetapi persoalan

kemanusiaan. Dalam Al Qur’an persoalan kemanusiaan ini termasuk

31 Thoyib I. M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 42-182.

32 Said Agil Al Munawar, Fikih Hubungan, h. 4-5.

Page 33: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

20 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

hal yang harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Dengan cara

demikian itulah kerukunan antarumat beragama dapat diciptakan.33

c. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah

Kerukunan antarumat atau komunitas agama dengan

Pemerintah yaitu adanya keserasian dan keselarasan di antara para

pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan

saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam

rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang

beragama.34

Seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintah,

masyarakat, dan organisasi sosial-politik sama-sama memiliki rasa

tanggung jawab demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional.

Jalinan hubungan antara pemerintah dan rakyat seharusnya terwujud

dalam bentuk tanggung jawab di mana peran dan fungsi pemerintah

ialah menjamin kesejahteraan, mewujudkan keadilan sosial,

perlindungan atas kehidupan, dan kepastian hukum. Demikian juga

dengan rakyat, memiliki tanggung jawab untuk mematuhi peraturan

dan perundang-undangan yang berlaku sehingga melalui kesadaran

dan tanggung jawab antar komponen tersebut, maka akan terwujud

integritas nasional yang dinamis dan berkesinambungan.

E. Tinjauan Pustaka

Banyak para pemerhati yang telah melakukan penelitian

terkait isu-isu syari’at Islam dan kerukunan umat beragama di

Indonesia. Hal itu setidaknya dengan telah banyaknya

dipublikasikan melalui seminar, lokakarya, press release di media

massa, menerbitkan buku, makalah/jurnal ilmiah dengan isu syari’at

Islam maupun kerukunan umat beragama sebagai temanya. Maka

guna untuk lebih menelaah, mendalami dan menghindari terjadinya

33 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat, h. 228-229.

34 Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan, h. 8-10.

Page 34: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 21

plagiasi serta memperkuat dan memperkaya kajian pustaka, penulis

melakukan beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut.

Ada tiga penelitian tentang syari’at Islam di Indonesia yang

cukup orisinil, yakni: Pertama, dalam bentuk Tesis (2003) karya

Busman Edyar, mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”.

Dalam penelitiannya, ia berbicara tentang perjuangan umat Islam

dalam memformalkan syari’at Islam di Indonesia pasca Orde Baru.

Oleh karena itu pembahasannya hanya satu aspek saja, yaitu aspek

formalistik, belum mengupas aspek-aspek lain. Kedua, hasil

penelitian berbahasa Inggris yang dilakukan oleh Azyumardi Azra

dan Arskal Salim, dengan judul “The State and Shari’a in the

Perspectif of Indonesian Legal Politics” (Negara dan Syariat dalam

Perspektif Politik Hukum di Indonesia). Dalam penelitiannya,

peneliti mencoba mendeskripsikan fenomena ekspresi Islam

formalistik pasca Orde Baru dalam konteks relasi agama dan Negara

di Indonesia. Penelitian ini sekedar berusaha memaparkan tentang

peranan Negara dalam merespon isu syari’at Islam bagi penduduk

Muslim dalam background masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Ketiga, penelitian Tesis (2011) yang dilakukan oleh

Muhammad Yani mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh dalam

Perspektif Fiqh dan HAM (Studi Peraturan Daerah Nomor 12, 13,

dan 14 Tahun 2013)”. Dalam penelitiannya ia berbicara tentang

pemberlakuan hukum jinayat di Aceh yang secara spesifik dilihat

dari cara pandang ilmu fiqh dan perspektif HAM. Sehingga

pembahasannya hanya sebatas perspektif ilmu-ilmu hukum saja

secara formalistik, tetapi belum menyentuh masalah lain semisal

bagaimana kondisi kerukunan umat beragama di Aceh setelah

berlakunya syari’at Islam.

Dalam bentuk buku banyak ditemukan tulisan tentang

syari’at Islam, di antaranya: “Menegakkan Syariat Islam dalam

Page 35: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

22 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Konteks ke Indonesiaan, Prospek Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam

Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara”, yang disusun oleh H.

Hartono Mardjono, SH. Dalam buku ini ada tiga pokok pembahasan

yang diketengahkan oleh penulis. Pertama, penulis menguraikan

penerapan nilai Islam dalam aspek hukum. Kedua, dalam bagian

buku ini penulis menguraikan tentang penerapan nilai Islam dalam

aspek politik. Ketiga, dalam bagian buku ini penulis menguraikan

tentang penerapan nilai Islam dalam kinerja lembaga Negara. Buku

selanjutnya adalah “Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal”,

buku ini diedit oleh Burhanuddin. Secara umum dalam

pembahasannya buku ini berusaha menyuguhkan sederetan fakta

pengalaman Negara-negara Islam dalam berdialektika dengan

syariat Islam dan isu-isu kontemporer soal demokrasi, Hak Asasi

Manusia, Civil Society, dan lain-lain. Secara khusus dalam

pembahasannya buku ini berusaha mengetengahkan dua bagian.

Pertama, terdiri dari “Syari’at Islam, Konstitusionalisme dan

Demokrasi”, pembahasaan ini ditulis oleh Saiful Mujani. Kedua,

mengenai “Negara dan Syariat Islam dalam Perspektif Hukum

Indonesia”, pembahasaan ini diketengahkan oleh Arskal Salim dan

Azyumardi Azra. Ketiga, memberikan gambaran tentang “Syariat

Islam di Aceh”, yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal dan

Samsurizal Panggabean. Keempat, berbicara mengenai “Simbolisasi,

Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan, study kasus di Aceh”

yang ditulis oleh Lili Z, Munir.

Selanjutnya adalah buku “Membumikan Hukum Pidana Islam,

Penegakan Syari’at Islam dalam Wacana dan Agenda” yang ditulis

oleh Topo Santoso, SH, MH. Secara umum dalam buku ini penulis

ingin menepis image negatif masyarakat muslim dan dunia luar

bahwa Hukum Pidana Islam sebagai hukum yang sadis, kejam,

melanggar HAM dan telah kadaluarsa. Penulis buku ini berusaha

untuk menggambarkan Hukum Pidana Islam secara utuh.Gambaran

tentang administrasi Peradilan Pidana Islam, Perlindungan HAM

Page 36: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 23

dalam Hukum Pidana Islam, efektifitas penerapan syariat Islam

untuk membentuk “Non criminal society” (masyarakat anti

kriminal) dan agenda serta tantangan untuk membumikan Hukum

Pidana Islam. Buku terakhir karya Haedar Nashir dengan judul Islam

Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, dalam buku

ini penulis banyak menyoroti ideologi Islam sebagai dasar gerakan

umat dan bagaimana bentuk syariat Islam dapat diterapkan di

daerah-daerah khususnya Indonesia. Dan tentunya masih banyak

buku lain yang berbicara seputar syari’at Islam dan tidak semua

penulis cantumkan.

Dalam bentuk jurnal yang terkait dengan syari’at Islam dan

kerukunan di Aceh terdapat beberapa tulisan yang relevan, di

antaranya: Pertama, Danial, Syariat Islam dan Pluralitas Sosial:

Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di

Aceh (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor 1, Juni 2012).

Kedua, Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai

Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

(Banda Aceh: Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, Nomor 2, Mei

2012). Ketiga, Muhammad Sahlan, Pola Interaksi Interkomunal

Umat Beragama Di Kota Banda Aceh (Banda Aceh: Jurnal

Substantia, Vol. 16, Nomor 1, April 2014). Keempat, Marzuki,

Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat

Islam di Aceh (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36,

Oktober-Desember 2010).

Menurut penulis, penelitian-penelitian di atas cakupannya

masih sangat luas, yakni masyarakat Indonesia secara umum, bukan

fokus pada satu daerah, meski ada juga penelitian yang di lakukan di

Aceh namun pembahasannya masih dalam lingkup teori subjektif.

Selain itu, pembahasannya juga masih dalam tataran kajian hukum

Islam, sedikit yang menyinggung tentang kerukunan. Sedangkan

penelitian yang ingin penulis lakukan dalam tesis ini terfokus pada

satu daerah, yakni Kota Banda Aceh yang majemuk karena dihuni

Page 37: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

24 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

oleh beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama. Di samping itu,

Kota Banda Aceh juga dianggap sebagai representatif dari

pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Dari segi kerukunan

juga sangat memadai, karena wilayah Kota Banda Aceh juga dihuni

oleh penduduk dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.

Karena memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga penelitian ini

ingin mengangkat tentang implementasi Qanun Nomor 11 Tahun

2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota

Banda Aceh.

F. Metodologi Penelitian

Dalam subbab ini penulis membahas mengenai langkah-

langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian, yaitu meliputi

pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode

analisa data.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini meneliti tentang implementasi Qanun Nomor

11 Tahun 2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama

di Kota Banda Aceh. Berdasarkan paradigma yang muncul, maka

pendekatan yang penulis gunakan dalam menulis tesis ini ialah

sosiologis. Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud untuk

mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial.

Michael S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis

dibedakan dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi

agama dan masyarakat. Praanggapan dasar perspektif sosiologis

adalah perhatiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman

manusia dan kebudayaan termasuk agama. Obyek-obyek,

pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia

sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi

manusia dan konstruksi sosial. Bagi para sosiolog, agama adalah

salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hirarki

keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah

Page 38: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pendahuluan 25

untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subyek dari

kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Dalam definisi

yang singkat, penggunaan pendekatan sosiologis terhadap agama

bertujuan untuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh

terhadap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.35

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang penulis

gunakan untuk mengumpulkan berbagai keterangan data sebagai

sumber utama dalam penelitian ini. Dalam proses pengumpulan

data, penulis menggunakan dua metode, yaitu:

a. Data Kepustakaan (Library Research)

Kajian kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti,

mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah Undang-

Undang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Aceh Nomor 11

Tahun 2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun

lainnya yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di

samping itu juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah,

koran, laporan hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya

tentang syari’at Islam dan kerukunan sebagai data penunjang.

b. Data Lapangan (Field Research)

Untuk mendapatkan data lapangan, penulis memakai teknik

pengamatan langsung dan wawancara. Teknik pengamatan langsung

penulis gunakan dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan

terhadap keabsahan data-data yang telah ada, serta ingin mendapat

pengalaman dengan cara mengalami dan memahami langsung segala

35 Kautsar Azhari Noer dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian

Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama (Jakarta: Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, 2008), h. 84.

Page 39: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

26 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama proses penelitian.36

Dalam pengamatan ini penulis berusaha untuk mencatat dan

mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi terhadap objek

yang diteliti. Sedangkan teknik wawancara dilakukan kepada

beberapa tokoh yang berkompeten dan dianggap cakap serta kepada

beberapa warga masyarakat biasa sebagai narasumber untuk

memperkuat data.

c. Metode Analisa Data

Setelah data kepustakaan dan lapangan diperoleh lengkap,

selanjutnya penulis menganalisa kedua data tersebut. Analisa

dilakukan secara deduktif (deductive approach) sekaligus mencoba

untuk memahami dengan mengkaitkan antara aspek yang satu

dengan aspek lainnya guna mempertajam pembahasan. Cara ini

digunakan untuk memperoleh pemahaman (insight) yang

menyeluruh (whole) dan tuntas (exhaustive) tentang aspek-aspek

yang relevan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

Pendekatan deduktif juga sering digambarkan sebagai pengambilan

kesimpulan atau mencari kebenaran yang berangkat dari hal-hal

bersifat umum ke hal yang bersifat khusus (going from the general

to the specific).

36 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007. Cet. 23), h. 174.

Page 40: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

27

BAB II

Gambaran Umum Kota Banda Aceh

A. Kondisi Sosio-Historis

Sejarah Kota Banda Aceh diawali dari berdirinya Kerajaan

Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Johan Syah pada tahun

601 H/1205 M. Keterangan ini didapat berdasarkan naskah tua dari

hasil penemuan batu-batu nisan yang berada di Kampung Pande.

Dari salah satu batu nisan tersebut terdapat batu nisan salah seorang

sultan Aceh, yakni Sultan Firman Syah yang merupakan salah

seorang cucu dari Sultan Johan Syah. Kerajaan Aceh Darussalam

dibangun diatas puing-puing kerajaan Hindu dan Buddha yang

pernah ada sebelumnya setelah berhasil ditaklukkan oleh Sultan

Johan Syah. Beberapa kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Indra

Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri, Kerajaan Indra Purwa,

Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indra Pura. Kerajaan Aceh

Darussalam beribukotakan Banda Aceh Darussalam yang kemudian

menjadi cikal bakal Kota Banda Aceh saat ini. Tercatat bahwa

Banda Aceh Darussalam hingga saat ini telah berusia 811 tahun dan

menjadi salah satu Kota Islam tertua di Asia Tenggara.1

Keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam saat itu tidak lepas

dari eksistensi Kerajaan Islam yang berada di Lamuri. Hingga pada

akhir abad 15 terjalinlah hubungan baik antar kedua kerajaan

tersebut, dan akhirnya Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta

Alam yang berada diwilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut

catatan sejarah, ada yang mengatakan bahwa Lamuri merupakan

suatu daerah yang terletak di Aceh Besar, yaitu Lam Urik

1 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.

Diakses tanggal 20 Agustus 2016.

Page 41: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

28 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

(sekarang). Hal ini juga ditegaskan oleh N.A. Baloch dan Lance

Castle, menurut mereka yang dimaksud dengan Lamuri adalah

Lamreh yang berada di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya

(sekarang). Sedangkan istana pada masa itu dibangun di tepi Kuala

Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande, yang

saat ini dikenal dengan nama Kandang Aceh. Pada masa

pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di

seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam

Darud Dunia yang sekarang ini berada dalam kawasan Meligoe

Aceh atau Pendopo Gubernur. Selain itu, pada tahun 691 H, Sultan

Alaidin Mahmud Syah juga mendirikan Masjid Djamil

Baiturrahman.2

Pada saat Belanda menjajah wilayah Aceh, terjadi perlawanan

sengit yang dilakukan oleh Sultan dan seluruh rakyat yang

berlangsung selama 70 tahun. Kekuatan dan ekspansi tentara

Belanda yang begitu besar dalam usahanya untuk menaklukkan

Aceh, membuat wilayah Kerajaan Aceh Darussalam mengalami

kehancuran. Akhirnya tentara Belanda berhasil menduduki istana

kerajaan pada saat agresi militer kedua, peristiwa ini terjadi tanggal

24 Januari 1874. Sehingga di bawah kepemimpinan Gubernur Van

Swieten, nama Kota Banda Aceh Darussalam diganti menjadi

Kutaraja. Perubahan nama ini disetujui langsung oleh Gubernur

Jenderal Belanda di Batavia pada tangal 16 Maret 1874. Maka

semenjak saat itu, nama Banda Aceh Darussalam telah resmi

menjadi Kutaraja sebagai lambang dari kolonialisme.3

Namun

dikalangan tentara Belanda yang pernah bertugas di Aceh

menentang atas pergantian nama kota ini, mereka menganggap

2 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.

Diakses tanggal 20 Agustus 2016.

3 Nama kuta raja sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan

atau benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam istana bagian dari Kota Banda

Aceh Darussalam.

Page 42: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 29

bahwa Van Swieten hanya mencari muka dihadapan pejabat tinggi

Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan kesultanan dan

para pejuang Aceh. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1963

nama Kutaraja diganti kembali menjadi Banda Aceh. Hal ini

berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi

Daerah Nomor Des 52/1/43-43 tanggal 09 Mei 1963. Atas

perubahan nama tersebut, maka secara resmi nama Kutaraja

dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh dan menjadi

ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.4

Seiring dengan perkembangan zaman, Kota Banda Aceh

banyak mengalami perubahan dan terus mencatatkan sejarahnya dari

waktu ke waktu; dari zaman kerajaan, perlawanan terhadap Belanda,

konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah

Republik Indonesia, hingga bencana tsunami. Bencana gempa dan

tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu telah meluluh

lantakkan dan menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh.

Merenggut ratusan ribu nyawa, menyebabkan rusaknya berbagai

infrastruktur, menghilangkan tempat tinggal, harta benda, dan

mengakibatkan kehidupan sosial masyarakat menjadi terganggu.

Bencana gempa dan tsunami dengan kekuatan 8,9 Skala Richer

dalam dua abad terakhir ini juga tercatat sebagai bencana terdahsyat

dan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia. Dengan

bencana ini menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat perhatian

masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga

Pemerintah, Non Goverment Organization (NGO), Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM), serta berbagai kalangan ikut serta

berpartisipasi dalam memulihkan dan membangun kembali wilayah

Kota Banda Aceh.

Setahun pasca bencana gempa dan tsunami tersebut, Aceh

kembali mencatatkan sejarah dengan ditandatanganinya perjanjian

4 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.

Diakses tanggal 20 Agustus 2016.

Page 43: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

30 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

damai antara GAM dengan Pemerintah RI yang dikenal dengan

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Konflik Aceh yang

berkepanjangan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dan

orang hilang serta menghambat stabilitas politik dan keamanan

yang pada dasarnya menjadi modal dasar bagi pembangunan

Provinsi Aceh, khusunya Kota Banda Aceh. Sehingga kesepakatan

damai yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 ini menjadi

tahapan penting bagi masyarakat Aceh dalam memasuki kehidupan

damai yang telah didamba-dambakan selama ini.

Secara astronomis, Kota Banda Aceh terletak antara 05º 16’

15” – 05º 36’ 16” Lintang Utara dan 95º 16’ 15” – 95º 22’ 35” Bujur

Timur atau berada di belahan bumi bagian utara dengan ketinggian

rata-rata 0.80 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan posisi

geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas yakni sebelah

Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah Barat berbatasan dengan

Samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten

Aceh Besar.5

B. Potret Pluralitas Masyarakat

Berdasarkan letak geografisnya, Kota Banda Aceh berada di

ujung utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling barat

dari Pulau Sumatera. Luas daerah Kota Banda Aceh berkisar 61.36

Km² yang terbagi dalam 9 kecamatan, 17 kemukiman dan 90

gampong. Adapun kecamatan yang berada di Kota Banda Aceh ialah

Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng

Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Banda

Aceh dengan statusnya sebagai sebuah Wilayah Administratif Kota

dipimpin oleh seorang Walikota dengan membawahi Pemerintah

Daerah yaitu Camat sebagai pemimpin Kecamatan. Sementara

5 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.

Page 44: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 31

Camat membawahi Kepala Gampong yang berada di dalam

wilayahnya. Setiap kepala pemerintahan tersebut memiliki

wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur roda administrasi

wilayahnya masing-masing.6

Gambar 2.1 Peta Administratif Kota Banda Aceh

Pasca gempa dan tsunami 2004 lalu, Kota Banda telah

berbenah diri dan selalu siap untuk menjadi salah satu tujuan wisata

di wilayah Aceh. Hal ini terbukti dengan banyaknya event yang

sudah dilakukan oleh pemerintah daerah guna menggaet wisatawan

lokal maupun wisatawan asing agar berkunjung ke tempat wisata

yang berada di wilayah ini. Objek wisata yang sudah diperbaiki dan

diperindah merupakan salah satu omset daerah di sektor jasa

hiburan. Sehingga sejak tahun 2009, Pemerintah Kota telah

mencanangkan program tahun kunjungan wisata atau “Visit Banda

Aceh Year”. Di antara keindahan objek pariwisata di Kota Banda

Aceh yang dapat dinikmati oleh wisatawan ialah: Wisata Alam

(Pantai Syiah Kuala, Pantai Gampong Jawa, Pantai Alue Naga, dan

6 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.

Page 45: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

32 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Pantai Ulee Lheue); Wisata Spiritual (Masjid Raya Baiturrahman,

Masjid Baiturrahim, Masjid dan Makam Tgk. Dianjong, Masjid dan

Makam Tgk. Dibitai, dan Masjid Omman); Wisata Sejarah (Makam

Sultan Iskandar Muda, Makam Kandang XII, Komplek Makam Raja

Dinasti Bugis, Makam Kandang Meuh, Komplek Makam Sultan

Ibrahim Mansur Syah, Makam Tgk Syiah Kuala, dan lain-lain); dan

Wisata Tsunami (PLTD Apung, Kapal di Atas Rumah, Taman

Thanks To The World, Kuburan Massal, dan Museum Tsunami

Aceh).7

Sementara secara demografis, berdasarkan hasil sensus

penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

Republik Indonesia, jumlah penduduk Kota Banda Aceh yang

tersebar di 9 kecamatan pada pertengahan tahun 2014 sebanyak

249.282 jiwa yang terdiri dari 128.333 penduduk laki-laki dan

120.949 penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar 106,11.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penduduk Kota Banda Aceh

adalah semua orang yang berdomisili di wilayah Kota Banda Aceh

selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang

dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.8

Sebagai ibu kota provinsi dan pusat pemerintahan, Kota

Banda Aceh menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan

budaya; sehingga kota ini menjadi sangat heterogen. Hal ini dapat

ditandai dengan adanya berbagai macam latar belakang penduduk

baik dari segi suku, bahasa, ras, agama maupun pekerjaan. Suku asli

yang mendiami wilayah ini merupakan suku Aceh, sedangkan suku-

suku yang lain kebanyakan dari mereka merupakan pendatang yang

merantau, kuliah, dan menetap di Banda Aceh. Mayoritas penduduk

Kota Banda Aceh merupakan penganut agama Islam, yakni sekitar

98 persen penduduk memeluk agama Islam dan dua persen pemeluk

7 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Tahun 2015.

8 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.

Page 46: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 33

agama lainnya. Secara rinci jumlah penganut agama di Kota Banda

Aceh tercatat 264.015 Muslim, 383 Protestan, 600 Katolik, Hindu

150, dan Buddha 3.075. Sedangkan menurut penyebarannya di

masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut:9

Tabel 2.1 Jumlah Penganut Agama menurut Kecamatan

No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Buddha

1 Meuraxa 21.026 - - - -

2 Jaya Baru 26.525 8 - - -

3 Banda Raya 26.640 12 - - 22

4 Baiturrahman 36.834 71 18 4 218

5 Lueng Bata 26.037 78 165 2 266

6 KutaAlam 48.745 125 28 6 2.370

7 Kuta Raja 12.977 68 315 118 199

8 Syiah Kuala 38.188 21 74 20 -

9 Ulee Kareng 27.043 - - - -

Jumlah Total 264.015 383 600 150 3.075

Sementara dari jumlah sarana peribadatan di Kota Banda

Aceh tahun 2014 yang tersebar dimasing-masing kecamatan

terdapat 264 tempat ibadah umat Islam (Masjid, Meunasah dan

Mushalla), 4 Gereja (Protestan dan Katolik), 1 Kuil dan 1 Klenteng.

Untuk penyebarannya perkecamatan dapat dilihat pada tabel

berikut:10

9 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh Tahun

2015.

10 Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2014.

Page 47: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

34 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Tabel 2.2 Jumlah Tempat Ibadah menurut Kecamatan

No Kecamatan

Masjid,

Mushalla,

dan

Meunasah

Gereja

Kuil Klenteng Protestan Katolik

1 Meuraxa 31 - - - -

2 Jaya Baru 31 - - - -

3 Banda Raya 21 - - - -

4 Baiturrahman 40 - - - -

5 Lueng Bata 23 - - - -

6 KutaAlam 45 3 1 - 1

7 Kuta Raja 20 - - 1 -

8 Syiah Kuala 39 - - - -

9 Ulee Kareng 14 - - - -

Jumlah Total 264 3 1 1 1

Dalam bidang profesi atau pekerjaan, masyarakat Kota Banda

Aceh juga sangat beragam, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)

hingga pegawai swasta. Namun yang paling menonjol dari profesi

ini dan mudah ditemui ialah berdagang, baik di pusat kota yang

mendiami ruko (rumah toko), di pasar, maupun tempat-tempat lain.

Dari segi pendidikan, terlihat bahwa adanya kemajuan yang pesat di

wilayah ini, hal ini karena didukung dengan adanya sarana dan

prasarana yang memadai yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh.

Setiap kecamatan telah memiliki fasilitas pendidikan dari tingkat

pendidikan kanak-kanak sampai dengan tingkat pendidikan

menengah pertama. Kemajuan pendidikan di kota ini juga dapat

ditandai dengan adanya keberadaan sekolah-sekolah bertaraf

nasional maupun internasional. Selain itu, keberadaan universitas-

universitas ternama seperti Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-

Raniry, Politeknik Aceh dan universitas lainnya juga menjadi salah

satu tolak ukur kemajuan Kota Banda Aceh dalam bidang

Page 48: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 35

pendidikan. Dengan keberadaan sekolah-sekolah bertaraf nasional

maupun internasional dan juga universitas-universitas tersebut,

sehingga Kota Banda Aceh menjadi tujuan utama bagi para siswa

dan mahasiswa dari Aceh maupun luar daerah Aceh untuk belajar

dan menimba ilmu di tempat ini.

Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan

hidup di tengah masyarakat majemuk, serta untuk mewujudkan

harapan dan aspirasi stakeholders dan melaksanakan tugas pokok

dan fungsinya dalam upayanya mendukung pelaksanaan syari’at

Islam, maka Kota Banda Aceh di tahun 2012-2017 mempunyai visi,

yaitu: “Banda Aceh Model Kota Madani”. Penggunaan istilah

madani mengacu pada kehidupan masyarakat Islam di Kota

Madinah yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Kata

madani dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu madani yang

merujuk pada Kota Madinah, dan madani yang diartikan sebagai

peradaban. Model Kota Madani bercirikan sebuah kota yang

penduduknya beriman dan berakhlak mulia, menjaga persatuan dan

kesatuan, toleran dalam perbedaan, taat hukum, dan memiliki ruang

publik yang luas. Di samping itu masyarakatnya ikut berpartisipasi

dalam penyelenggaraan pembangunan, mampu bekerjasama untuk

menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Keadaan ini

diharapkan melahirkan warga Kota Banda Aceh yang memiliki jati

diri yang ramah, taat aturan, damai, sejahtera, harga diri tinggi,

berbudaya, dan beradab.11

Selanjutnya untuk mewujudkan visi

tersebut, Kota Banda Aceh menjabarkannya dalam misi-misi

sebagai berikut:12

1. Meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju

pelaksanaan syariat Islam secara kāffah.

11 Web Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda

Aceh: satpolpp-wh.bandaacehkota.go.id/profil/visi/misi/. Diakses tanggal 20

November 2016.

12 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.

Page 49: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

36 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

2. Memperkuat tata kelola pemerintah yang baik.

3. Memperkuat ekonomi kerakyatan.

4. Menumbuhkan masyarakat yang berintelektualitas, sehat dan

sejahtera.

5. Melanjutkan pembangunan infrastruktur pariwisata yang

islami.

6. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik dan

perlindungan anak.

7. Meningkatkan peran generasi muda sebagai kekuatan

pembangunan kota.

C. Format Relasi dan Interaksi Sosial

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tidak dapat hidup

sendiri maupun terpisah dari lingkungannya, antara manusia satu

dengan manusia lainnya saling ketergantungan. Karena hubungan

antara sesamanya merupakan suatu keharusan dan kewajaran.

Hubungan antara manusia satu dengan lainnya diakibatkan karena

adanya keinginan untuk saling membutuhkan. Mengutip pendapat

Aristoteles, seorang filsuf besar mengatakan bahwa pada dasarnya

manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai naluri untuk

berkumpul dan bergaul dengan sesamanya melalui proses sosial,

yang kemudian ia istilahkan manusia sebagai zoon politicon.13

Proses sosial tersebut dapat terjadi melalui sebuah interaksi sosial

yang merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Interaksi

sosial dapat dimaknai sebagai hubungan antara orang perorangan,

antara kelompok dengan kelompok yang berlangsung secara

dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto

mengatakan bahwa interaksi sosial dapat terjadi apabila adanya

hubungan timbal balik antara dua belah pihak, dan dapat dilakukan

13 Syafri Hamid, Azas-Azas Sosiologi: Suatu Bahasan Teoritis dan

Sistematis (Jakarta: UI Press, 1999), h. 75.

Page 50: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 37

melalui cara saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan

lain sebagainya.14

Dalam kehidupan masyarakat, relasi sosial akan

selalu terjadi dengan sendirinya karena adanya desakan kebutuhan

batiniah dalam diri setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan

hidupnya. Dengan kata lain, terjadinya interaksi sosial tersebut

didasarkan atas saling membutuhkan satu sama lain dan tidak ada

unsur keterpaksaan. Interaksi dan relasi sosial telah menjadi

kebutuhan yang tidak mungkin untuk dihindari.

Berkaitan dengan teori di atas, penulis melihat bahwa relasi

dan interaksi sosial warga masyarakat Kota Banda Aceh terjadi

dalam dua pola, yakni pola interaksi secara individual dan pola

interaksi secara melembaga. Pola interaksi secara individual dalam

kehidupan sehari-hari ini biasanya terjadi secara spontan atau tanpa

direncanakan oleh warga masyarakat. Namun kadang dalam

beberapa kesempatan, pola interaksi ini juga diciptakan oleh warga

masyarakat dengan melakukan beberapa kegiatan seperti gotong

royong baik ditingkat dusun maupun gampong, festival budaya,

kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti sosial, donor darah, dan

lain-lain yang memungkinkan untuk berkumpul bersama-sama.

Dalam pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, interakasi melalui

kegiatan sosial ini berjalan sangat baik, dalam tingkat dusun

maupun gampong di lingkungan Kota Banda Aceh. Tradisi

mengunjungi salah seorang warga yang tertimpa musibah seperti

meninggal dunia atau sakit juga sering dilakukan. Selain itu,

interaksi sosial masyarakat juga sering terjadi ditempat-tempat

umum yang tersedia sehingga membuka kesempatan bagi warga

masyarakat untuk bertemu, seperti halnya di pasar, warung kopi,

taman-taman kota atau ruang terbuka hijau, dan lain sebagainya.

Pola interaksi kedua yang juga dilakukan oleh warga

masyarakat Kota Banda Aceh yaitu melalui kegiatan yang sifatnya

14 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2001), Cet. 21, h. 169.

Page 51: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

38 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

formal dan melembaga. Kegiatan ini biasanya difasilitasi langsung

oleh Pemko Banda Aceh dengan mempertemukan berbagai tokoh

masyarakat dari latar belakang yang berbeda, baik tokoh adat

maupun tokoh agama. Dalam kesempatan ini, kegiatan yang

dilakukan biasanya berupa dialog dengan tema tertentu yang sedang

hangat dan berkembang di masyarakat pada saat itu, seperti dialog

lintas agama yang melibatkan Pemko Banda Aceh, Kementerian

Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Penulis

menilai bahwa dalam upaya untuk membangun, menjaga dan

mempertahankan kerukunan umat beragama yang telah ada di Kota

Banda Aceh, peran pemuka agama menjadi sangat penting.

Sehingga pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi dan

bermusyawarah adalah wahana yang cukup positif untuk

membangun kebersamaan dan saling memahami. Dengan seringnya

melakukan pertemuan-pertemuan antar tokoh lintas agama, maka

nantinya dapat memberikan pengaruh positif kepada umat

beragama.

Dari semua relasi dan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-

hari warga masyarakat Kota Banda Aceh tersebut, yang sering

dijumpai dan menjadi fenomena unik ialah pertemuan di warung

kopi. Bagi masyarakat Aceh, warung kopi merupakan tempat yang

nyaman dan aman untuk bertemu dengan teman, saudara maupun

tetangga yang hanya sekedar membicarakan hal-hal ringan hingga

yang berat sekalipun. Karena hanya dengan bermodalkan segelas

kopi, orang Aceh akan betah duduk berjam-jam di tempat ini.

Kebiasaan duduk di warung kopi pada masyarakat Aceh sudah

berlangsung cukup lama. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak

ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat

perdagangan. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga kini, tidak

mengherankan jika di Aceh banyak terdapat warung kopi. Sehingga

dapat dikatakan bahwa kebiasaan minum kopi sudah mengakar bagi

masyarakat Aceh.

Page 52: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Gambaran Umum Kota Banda Aceh 39

Topik pembicaraan di warung kopi biasanya juga berbeda-

beda sesuai dengan kondisi saat itu, tergantung musim yang sedang

berlagsung. Misalnya saja apabila sedang musim bola (liga

champions, piala dunia, dan lain-lain), maka pembicaraannya

seputar bola, selain itu tema pilkada juga bisa menjadi bahan diskusi

yang menarik, tetapi masalah-masalah lain juga bukan hal yang

asing untuk diperbincangkan. Sebagai ulasan singkat, bentuk-bentuk

warung kopi di Aceh dapat digambarkan dalam beberapa kategori

sebagai berikut: Warung kopi tradisional ialah proses penyajian

minuman kopi yang direbus lalu menggunakan saringan saat hendak

disajikan. Fasilitasnya tak lebih dari meja dan kursi. Warung kopi

ini digolongkan sebagai generasi pertama. Generasi kedua adalah

warung kopi yang dikembangkan dengan waralaba. Generasi ketiga

adalah warung kopi yang memberi fasilitas tak hanya minuman dan

makanan, tetapi juga musik, televisi satelit, dan akses internet yang

lebih modern dan mempunyai daya tarik yang tinggi bagi para

pecinta kopi.15

Proses interaksi sosial di warung kopi ternyata dapat

mengubah fungsi tempat minum kopi, dari sekedar warung kopi

menjadi sejenis ruang sosial. Warung kopi menjadi tempat

berinteraksi dan berkomunikasi antara semua lapisan masyarakat,

masyarakat umum dan pejabat publik dengan beragam topik diskusi

baik sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dapat dikatakan

bahwa warung kopi telah menjadi pranata sosial dalam masyarakat

Aceh yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, juga tidak

berlebihan jika disebut sebagai bagian dari identitas masyarakat

Aceh. Keberadaan pranata sosial ini menyebar di seluruh pelosok

Aceh, baik di pusat-pusat kota maupun di gampong-gampong serta

memiliki fungsi sebagai kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara

warga masyarakat. Kebiasaan duduk di warung kopi bagi

15 Lihat https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-

budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.

Page 53: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

40 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

masyarakat Aceh bukanlah kebiasaan yang lahir begitu saja, tetapi

kebiasaan ini telah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi

ke generasi.16

Penulis menilai bahwa keberadaan warung kopi dan kebiasaan

minum kopi bagi masyarakat Aceh ibarat dua sisi mata uang. Di

satu sisi, keberadaan warung kopi sebagai wahana bertemunya

warga masyarakat menjadikan fungsi warung kopi sebagai tempat

yang tepat untuk bertemu, berinteraksi dan saling mengenal satu

sama lain. Pertemuan yang tidak formal dan berlangsung santai ini

dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan bagi masyarakat Aceh,

sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial. Disisi lain, kebiasaan

minum kopi bagi masyarakat Aceh ternyata juga berdampak negatif,

hal ini karena kebiasaan minum kopi tersebut menyita hampir

separuh waktu masyarakat. Karena hanya dengan segelas kopi,

orang Aceh akan betah duduk berlama-lama ditempat tersebut.

Tentunya banyak waktu yang terbuang dan tidak produktif, yang

seharusnya dapat digunakan untuk bekerja dan melakukan kegiatan

lainnya yang lebih bermanfaat. Alangkah bijaknya jika kebiasaan ini

dapat dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan positif, sehingga

dapat memunculkan ide serta gagasan-gagasan penting dalam

rangka membangun opini publik tentang berbagai hal, seperti

pembangunan di wilayah Aceh.

16 Lihat https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-

budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.

Page 54: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

41

BAB III

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002

A. Latar Belakang Pembentukan

Masyarakat Aceh dikenal mempunyai semangat tinggi dan

sikap fanatik dalam menjalankan rukun Islam. Akibat kentalnya

nuansa keislaman maka daerah ini populer dengan sebutan Serambi

Mekkah, sebagai suatu gambaran dari cita-cita kehidupan

masyarakat Aceh yang islami.1 Sebutan nama Aceh dengan Serambi

Mekkah juga karena dari wilayah inilah kaum Muslimin dari

berbagai wilayah di Indonesia berangkat ke tanah suci Mekkah

untuk menunaikan ibadah haji.2 Dari segi politik, Islam menjadi

semangat perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayah

dari pendudukan dan penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan,

rakyat Aceh sangat anti dengan orang asing (Belanda) dan

menganggapnya sebagai kafir, maka dengan semangat Islam

tersebut mereka rela mati demi mempertahankan negerinya dengan

sebutan Perang Sabil. Sehingga fanatisme Islam telah menyatu

dalam kehidupan masyarakat Aceh.3

Adanya semangat dan

fanatisme kuat terhadap Islam tersebut yang kemudian melahirkan

gerakan pemberlakuan syari’at Islam secara formal. Di samping itu,

konflik di Aceh dalam rentang sejarah sejak masa penjajahan juga

selalu terkait dengan syari’at Islam. Hal ini pula yang kemudian

1 Haedar Nashir, Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 334.

2 Lihat Penjelasan Umum Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3 Syamsul Rizal, Perilaku Pacaran Anak Muda Kota Langsa - Aceh Dalam Bayang-Bayang Syariat, dalam Irwan Abdullah, dkk (Editor), Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 384-385.

Page 55: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

42 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

menjadi landasan dalam memperjuangkan legalitas formal untuk

menjalankan syari’at Islam secara paripurna.

Namun demikian, fakta yang tidak dapat dihilangkan bahwa

pemberlakuan syari’at Islam di Aceh jauh lebih banyak diwarnai

oleh dinamika politik tawar menawar antara Aceh dan Pemerintah

Pusat. Munculnya gerakan penerapan syari’at Islam tidak

sepenuhnya murni tumbuh dari gerakan masyarakat, tetapi lebih

karena akomodasi dan kebijakan politik dalam konteks penyelesaian

konflik yang berkepanjangan di wilayah ini sejak era Orde Baru.

Konflik politik itu bahkan memiliki akar kesejarahan sejak

Indonesia merdeka hingga Orde Lama yang melahirkan ketegangan

yang berskala luas dan lama.4 Dengan kata lain, pemberlakuan

syari’at Islam secara formal di Aceh tidak dapat dipisahkan dari

upaya tawar menawar Negara melalui pendekatan agama untuk

menyelesaikan permasalahan Aceh agar tetap berada dalam NKRI,

kendati faktor gerakan pun juga ikut mewarnainya. Dengan

diberlakukan syari’at Islam di Aceh, menimbulkan persepsi di

kalangan rakyat Aceh yang memandang Negara serius

menyelesaikan permasalahan konflik. Bersamaan dengan

pendekatan militer dan politik yang dilakukan, ternyata pendekatan

islamisasi Aceh dipandang terbukti berhasil.

1. Landasan Filosofis

Masyarakat Aceh sepanjang sejarah telah menjadikan agama

Islam sebagai pedoman hidup dengan segala kelebihan maupun

kekurangannya. Penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Islam

dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan

suasana masyarakat dan budaya Aceh yang islami, budaya dan adat

yang lahir dari renungan para ulama yang kemudian dipraktekkan,

4 Haedar Nashir, Islam Syari’at, h. 333.

Page 56: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 43

dikembangkan dan dilestarikan.5

Sejarah mencatat bahwa

masyarakat Aceh dikenal sangat tunduk dan taat kepada ajaran

Islam. Penghayatan terhadap ajaran Islam itu kemudian melahirkan

budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat.6

Sehingga

muncul sebuah hadih maja yang menggambarkan adanya kondisi

sosio-kultural masyarakat Aceh yang mengidentikkan antara adat

dan budaya selalu searah dan relevan dengan Islam. “Adat bak po

teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak putroe phang,

Reusam bak laksamana, Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut”.

Artinya: “Adat budaya diurus oleh raja, hukum syara’ dikelola oleh

ulama (Syiah Kuala), kanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri

Phang), reusam (tata cara kehidupan) dikelola oleh panglima, adat

dengan hukum seperti zat dengan sifat”.

Pemahaman terhadap hadih maja tersebut mengandung arti

adanya konsep pembagian kekuasaan dalam Kesultanan Aceh

Darussalam. Kekuasaan politik dan adat berada di tangan Sultan (Po

Teumeureuhom), kekuasaan pelaksanaan hukum berada di tangan

ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang berada di

tangan Putroe Phang, dan peraturan protokoler (reusam) berada di

tangan Laksamana (Panglima Perang Aceh). Dalam keadaan

bagaimana pun, baik adat, Qanun, maupun reusam tidak boleh

dipisahkan dari hukum, hal ini dapat diartikan sebagai ajaran Islam.

Antara adat dan ajaran Islam merupakan harmonisasi yang tidak

5 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang

Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

6 Adat dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan.

Selanjutnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh dapat diartikan sebagai suatu

tradisi yang secara turun temurun dipraktekkan oleh masyarakat Aceh yang

diwarisi oleh para pelaksana hukum, di samping sebagai landasan berprilaku dan

tuntutan hidup dari nenek moyang yang diturunkan secara terus menerus kepada

generasi penerusnya. Artinya adat di sini merupakan sesuatu yang tertulis maupun

yang tidak tertulis yang menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Lihat Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 107.

Page 57: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

44 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut Hosein Djajadiningrat,

yang dimaksudkan hukom dalam peribahasa tersebut dalam

kehidupan masyarakat Aceh ialah hukum Islam, sedangkan adat

bermakna pemerintahan dan segala jenis pajak. Reusam diartikan

sebagai tata cara setempat, sedangkan Qanun artinya hukum yang

mengatur. Adanya adagium ini pada dasarnya mengungkapkan latar

belakang kehidupan keseharian masyarakat Aceh yang sangat

dipengaruhi oleh hukum adat dan agama. Bagi masyarakat Aceh,

adat merupakan ketentuan hukum yang bertalian dengan kehidupan

kemasyarakatan dan ketatanegaraan duniawi yang berada di tangan

raja sebagai Khadam Adat. Hukom mengandung arti sebagai

ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan

lingkungan sekitar yang bersumber dari ajaran Islam. Qanun

merupakan adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara

kemasyarakatan. Sedangkan reusam menyangkut aturan tata krama

bagi lelaki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam

kehidupan masyarakat.7

Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat, sehingga jauh sebelum syari’at Islam di formalisasikan

dan dituangkan dalam bentuk Qanun, masyarakat Aceh telah

dikenal sebagai masyarakat yang taat terhadap hukum agama dan

menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Lebih jauh,

pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini merupakan sebuah

perwujudan dari cita-cita adagium hadi maja tersebut. Sehingga

bagi masyarakat Aceh, Islam bukan hanya dipandang sebagai

pedoman semata melainkan telah menjadi rutinitas dalam realitas

kehidupan.8

Bagi orang Aceh, mempersepsikan dirinya sebagai

orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya. Ketika hal

7 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam

dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 14.

8 Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), h. 361.

Page 58: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 45

ini terjadi, seakan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam,

sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang menyalahi atau

bertentangan dengannya. Penerapan syari’at Islam di Aceh sangat

erat kaitannya dengan identitas rakyat Aceh sebagai Muslim yang

taat dan mau menjalankan ajaran Islam. Bagi orang Aceh, Islam

bukan hanya dianggap sebagai agama; lebih dari itu, Islam dijadikan

sebagai pedoman hidup dan bagian dari budaya masyarakat itu

sendiri.9 Selain itu, adanya kenyataan historis tentang kerajaan-

kerajaan Islam yang dulu berjaya di Aceh, dan pernah secara formal

menerapkan syariat Islam, selalu menjadi tolak ukur kemajuan masa

sekarang bahwa agama dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat

berjalan seiring.10

Hal ini yang kemudian selalu dijadikan landasan

berfikir/filosofis mengapa syari’at Islam perlu diterapkan dan

diimplementasikan di tanah rencong tersebut.11

Dan ini sah bahwa

penerapan syari’at Islam di Aceh adalah salah satu cara, media dan

proses pengembalian identitas rakyat Aceh dan juga kenyataan yang

harus diterima. Komitmen rakyat Aceh untuk menjalankan syari’at

Islam secara formal pun harus dihormati.12

Secara umum syari’at Islam meliputi aspek akidah, ibadah,

muamalah dan akhlak. Setiap orang Muslim dituntut untuk mentaati

keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur

akidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan takwa

atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek

muamalah dan akhlak di samping ditentukan pada kualitas iman dan

9 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial

Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29.

10 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan,

2005), h. 211-212.

11 Tanah Rencong merupakan nama lain dari Aceh. Kata ini merujuk pada

senjata khas tradisional Aceh yakni rencong.

12 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat, h. 215.

Page 59: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

46 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

takwa juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap

orang yang melanggarnya. Dalam sistem hukum Islam terdapat dua

jenis sanksi, yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi yang akan diterima

di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui

kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Kedua jenis sanksi

tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum.

Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan Negara.

Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh Negara.

Sebaliknya Negara juga tidak akan tertib bila hukum tidak

ditegakkan.13

Maka secara de facto dan de jure, hukum sangat

penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.14

2. Landasan Konstitusional

Landasan konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh

sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, merujuk kepada Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan. Di samping, didasarkan pada aturan pelaksanaan

berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh

13 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang

Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

14 Dalam bahasa Arab kata hukum berasal dari al-hukm, akar kata hakama

yang berarti memerintah, mengatur, dan mengadili.Al-hakim berarti yang

memerintah, mahkum alaih berarti yang diperintah (rakyat), dan mahkum bih yang

berarti aturan untuk memerintah. Lihat Mutammimul ‘Ula, Perspektif Penerapan Syari’at Islam, dalam Salim Segaf Al-Jufri, dkk, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004), h. 61.

Page 60: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 47

Darussalam dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: KMA/070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan

Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah

Syar’iyyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.15

Dalam penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 44 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah

Istimewa Aceh antara lain dinyatakan: “Isi Keputusan Perdana

Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/1959 tentang

Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan

pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahkan

ditambah dengan penambahan peran ulama dalam menentukan

kebijakan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan

mengenai Keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk

menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam

suatu undang-undang. Undang-undang yang mengatur mengenai

penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini

dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah

Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi

keistimewaannya melalui kebijakan daerah. Undang-undang ini

mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan

kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga Kebijakan

Daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh”.16

Mengenai pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 4 ayat (1)

dan (2) dijelaskan: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di

Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi

15 Danial, “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas

Non-Muslim dalam Qanun Syari’at Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis,

Vol. XII, Nomor 1, 2012), h. 75.

16 Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam (Banda Aceh: Dinas

Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), h. 9.

Page 61: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

48 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

pemeluknya dalam bermasyarakat; dan (2) Daerah mengembangkan

dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dengan tetap menjaga kerukunan hidup

antarumat beragama.17 Merujuk pada kutipan pasa-pasal tersebut,

maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, umat Islam diberi

izin untuk melaksanakan syari’at Islam di dalam kehidupannya,

sebagai bentuk pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam

bermasyarakat yang termaktub dalam pasal 4 ayat 2 di atas menurut

tim penyusun rumusan ini adalah untuk menegaskan dan

menguatkan bahwa syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh

bukan hanya aturan dalam bidang ibadah, melainkan mencakup

berbagai aturan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat.18

Kedua,

pelaksanaan syari’at Islam di Aceh hanya berlaku bagi pemeluk

agama Islam. Sehingga setiap perumusan pasal dan pelaksanaannya

harus tetap menjaga kerukunan antarumat beragama, khususnya

yang ada di Aceh. Ketiga, daerah diberikan kewenangan untuk

mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan

beragama. Salah satu bentuk pengaturannya adalah dengan

dibuatnya Qanun pelaksanaan syari’at Islam.19

Dalam rangka menindak lanjuti pelaksanaan syari’at Islam

sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun

1999 di atas, maka disahkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konsideran huruf (e)

undang-undang ini berbunyi: “Bahwa pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

17 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, BAB III Penyelenggaraan

Keistimewaan. Bagian Kedua, Penyelenggaraan Kehidupan Beragama, Pasal 4.

18 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at

Islam Propinsi NAD, 2005), h. 46.

19 Danial, Syari’at Islam, h. 76.

Page 62: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 49

Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Selanjutnya, dalam

Pasal 25 ayat (1) (2) dan (3) undang-undang ini menjelaskan: (1)

Peradilan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh

Mahkamah Syar’iyyah dan bebas dari pengaruh pihak manapun; (2)

Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional,

yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam; dan (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam

ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.20

Setelah keluarnya legalitas formal untuk menjalankan syari’at

Islam, kemudian Pemerintah Aceh merespon dengan mengeluarkan

beberapa Qanun sebagai hukum dasar dalam menjalankan syari’at

Islam secara kāffah. Menurut Al Yasa’ Abubakar, kata kāffah dalam

pelaksanaan syari’at Islam di Aceh perlu ditambahkan karena

sebagian orang memahami syari’at Islam hanya sebatas ibadah dan

sebagian hukum keluarga (perkawinan, pewarisan, dan kematian).

Bagi umat Islam melaksanakan syari’at Islam secara kāffah dalam

kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi atau dalam

kehidupan kemasyarakatan (sosial) adalah perintah Allah SWT dan

kewajiban suci yang harus selalu diupayakan dan diperjuangkan.

Selain itu, kata ini juga sangat penting secara politik praktis, karena

pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah melibatkan Negara,

dalam hal ini Pemerintah Aceh yang didukung oleh Pemerintah

Pusat dan Undang-Undang.21

Pada tahun 2000, sebagai upaya untuk menjabarkan dari

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, Pemerintah Aceh

20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, BAB XI Mahkamah Syar’iyah

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 25.

21 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 43.

Page 63: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

50 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2000

tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Selanjutnya sebagai kewajiban pengembangan dari

pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 2 Perda ini menyebutkan

bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan dan

membimbing serta mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan

sebaik-baiknya. Kemudian secara rinci dalam Pasal 3 ayat (1) (2)

dan (3) dijelaskan: (1) Setiap pemeluk agama Islam wajib menaati,

mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam secara kāffah dalam

kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna; (2) Kewajiban

menaati dan mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam kehidupan

sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara; dan (3) Setiap warga Negara RI

atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah

Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam di

daerah.22

Untuk mewujudkan Keistimewaan Aceh dalam bidang

penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan

hukum yang berdomisili di daerah mempunyai kewajiban agar

menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupannya.

Selanjutnya dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 ini ditetapkan 13

pokok yang menjadi aspek pelaksanaan syari’at Islam di Aceh,

yakni: (1) Akidah, (2) Ibadah, (3) Muamalah, (4) Akhlak, (5)

Pendidikan dan dakwah islamiyah/ amar ma’ruf nahi mungkar, (6)

Baitul mal, (7) Kemasyarakatan, (8) Syi’ar Islam, (9) Pembelaan

Islam, (10) Qadha, (11) Jinayat, (12) Munakahat, dan (13)

Mawaris. 23

Di tahun-tahun berikutnya kemudian lahir beberapa

22 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB III Kewajiban dan Pengembangan, dan

Pelaksanaan Syari’at Islam, Pasal 3 dan 4.

23 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB IV Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam,

Pasal 5.

Page 64: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 51

Qanun Aceh lainnya sebagai tindak lanjut dari Perda Nomor 5

Tahun 2000 tersebut, di antaranya ialah: Qanun Nomor 11 Tahun

2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah,

dan Syi’ar Islam; Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar;

Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir; Qanun Nomor 14

Tahun 2003 tentang Khalwat; Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Pengelolaan Zakat; dan Qanun Jinayat tahun 2014. Sedangkan

mengenai kelembagaannya disahkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002

tentang Peradilan Syari’at Islam; dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004

tentang Kepolisian Daerah. Selanjutnya pada tahun 2006, dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, maka penerapan syari’at Islam di Aceh

memiliki landasan yuridis yang semakin kokoh.24

B. Maksud dan Tujuan

Secara umum, tujuan utama syari’at Islam ialah untuk

menegakkan keadilan di antara seluruh umat manusia dan

mewujudkan persaudaraan di antara mereka. Selain itu,

diberlakukannya hukum syari’at Islam juga bertujuan untuk

melindungi agama, moral, darah, kehormatan, harta benda, dan akal

pikiran orang-orang Islam. Dengan demikian tujuan akhirnya ialah

akan tercapai kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.25

Pengaturan tentang akidah yang diatur dalam Qanun ini bertujuan

untuk membentengi masyarakat Aceh dari segala ajaran sesat yang

dapat merusak keimanan dan ketakwaan. Pengaturan ibadah baik

shalat fardu, shalat Jum’at, maupun puasa ramadhan juga

dimaksudkan untuk mendorong dan menggalakkan orang Islam

untuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas serta intensitas

ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan

24 Danial, Syari’at Islam, h. 77.

25 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 45.

Page 65: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

52 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

kepada Allah semata. Upaya tersebut juga perlu didukung oleh

kondisi dan situasi syi’ar Islam yang berjalan baik, namun masih

dalam lingkup ibadah.26

Selanjutnya secara lebih rinci tujuan dan fungsi pengaturan

pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam

diterangkan dalam pasal perpasal sebagai berikut.27

Pasal 2 ayat (1)

(2) dan (3): (1) Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan

individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat; (2)

Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan

fasilitasnya; dan (3) Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-

kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami.

Pasal 3: “Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai

pedoman pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan

syi’ar Islam”.28

C. Muatan Aturan

Muatan aturan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini

menyangkut tiga aspek penting sebagai pondasi bagi masyarakat

dalam menjalankan ajaran Islam, yakni akidah, ibadah, dan syi’ar

26 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang

Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

27 Legalisasi pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar

Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari akidah dan ibadah tersebut.

Karena masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan oleh para

ulama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun

2002 berupaya untuk memelihara tradisi kultural yang telah ada. Selain itu,

legislasi pelaksanaan syari’at Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun

2002 hanyalah sebagai upaya untuk membina, menjaga, memelihara serta

melindungi akidah orang Islam di Aceh dari berbagai aliran sesat. Di samping itu,

hadirnya Qanun itu juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan intensitas

ibadah (ketaatan) sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Lihat Penjelasan Umum

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

28 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2-3.

Page 66: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 53

Islam. Berikut secara rinci penjelasan ketiga aspek dalam Qanun

tersebut.

1. Pemeliharaan Akidah

Dalam konsep Islam, akidah dikaitkan dengan keyakinan

bukan perbuatan. Seperti yang tergambar dalam kalimat syahadat

“Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan

rasuulullaah” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul utusan Allah).

Konsep yang demikian dikenal dengan istilah tauhid. Secara

etimologi, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah.29

Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la

ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Iman

kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW merupakan asas

dalam akidah Islam.

Al Qur’an juga telah menetapkan seperangkat iman dasar dan

kriteria tentang iman versus kafir yang terangkum dalam Rukun

Iman, yakni: Iman kepada Allah, para Malaikat, kitab suci yang

diwahyukan, Nabi dan Rasul, hari kebangkitan, dan iman kepada

qada baik dan qadar buruk. Hal ini sebagaimana yang diterangkan

dalam Al Qur’an Surah An Nisa ayat 136: “Wahai orang-orang yang

beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada

kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah

turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,

malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari

kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-

jauhnya”. Menerima konsep keimanan dasar tersebut memberi hak

kepada seseorang untuk disebut Mukmin, sementara jika menolak

kriteria tersebut berarti telah menjadi kafir.30

Iman menempatkan

29 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1411.

30 Menurut Harun Nasution, penentuan seseorang kafir atau tidak kafir

bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir ialah orang yang tidak percaya dan

lawannya ialah mu’minin, orang yang percaya. Di dalamnya kata kafir dipakai

Page 67: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

54 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

seorang Muslim di atas jalan yang lurus, dan dilandasi dengan

perbuatan yang menunjukkan komitmen dan kesungguhan terhadap

imannya. Karena dalam Islam, tujuan seseorang hidup bukanlah

untuk sekedar menyatakan tetapi lebih dari itu ialah berusaha untuk

mewujudkan kehendak Tuhan, yaitu untuk menyebarkan risalah dan

hukum Islam. Jika beriman saja tanpa perbuatan maka akan hampa

dan tidak bermanfaat.31

Islam adalah iman dan amal. Iman

merupakan akidah yang menjadi dasar bagi syari’at Islam. Akidah

adalah pokok dan syari’at adalah cabang. Iman dan amal atau akidah

dan syari’at saling terkait dan berhubungan, seperti buah dan

pohonnya, atau sebab dan akibat, atau seperti konklusi dengan

premisnya. Karena itulah Al Qur’an selalu menggandengkan amal

saleh kepada iman.32

Dengan demikian kata akidah dapat diartikan sebagai suatu

perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa dengan keimanan

yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala

pelaksanaan kewajiban untuk bertauhid, sehingga menjadi suatu

kenyataan yang teguh dan kokoh. Sayid Sabiq dalam salah satu

bukunya yang berjudul Akidah Islamiyah menyatakan bahwa

sesungguhnya akidah Islam merupakan jiwa bagi setiap individu.

terhadap orang yang tidak percaya pada Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau

bawa, yaitu orang yang belum menjadi mu’min atau masuk Islam. Dengan kata

lain, kata kafir dipakai untuk golongan di luar Islam. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Depok: UI Press, 1985), Jilid II, Cet-V, h. 27.

31 John L. Eposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. I, h. 87.

32 Zainun Kamal, Kontekstualisasi Syari’at Islam: Sebuah Pendekatan Hermeneutik, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), h.

13.

Page 68: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 55

Akidah menjadikan hidup seseorang akan lebih baik. Bila

kehilangan akidah, maka ruhaniyahnya mengalami kematian.33

Pemahaman akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah wal

jama’ah yang dimaksudkan dalam Qanun ini sesuai dengan

pemahaman umum yang selama ini dipahami, yakni keimanan yang

teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala

pelaksanaan kewajiban; seperti bertauhid, taat kepada-Nya, beriman

kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,

hari akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa

yang telah sahih tentang prinsip-prinsip agama, perkara-perkara

yang gaib, serta seluruh berita-berita yang qathi’ (pasti), baik secara

ilmiah maupun secara amaliah yang telah ditetapkan menurut Al

Qur’an dan Sunnah yang sahih.34

Lebih jauh, dalam memahami

paham ahlussunnah wal jama’ah dapat dilihat secara semantis dan

historis. Secara semantis, ahlussunnah wal jama’ah identik dengan

agama Islam. Munculnya suatu kelompok ahlussunnah wal jama’ah

sudah dikenal sejak zaman Rasulullah. Salah satu wujudnya

terungkap dalam hadis yang menerangkan bahwa umat Islam kelak

akan terpecah menjadi 73 golongan: 72 golongan masuk neraka,

sedangkan satu golongan masuk surga. Ketika ditanya siapa

golongan yang terakhir tersebut, Rasul menjawab ma ana alaihi wa

ashabi (apa yang ada padaku dan sahabatku).35

Sedangkan secara

historis, ahlussunnah wal jama’ah lahir dari sebuah proses politik

33 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk

Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh,

2008), Cet-II, h. 17.

34 Lihat artikel Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam almanhaj.or.id. Diakses tanggal 1 September 2016.

35 Hadis yang terkenal dalam meriwayatkan hal ini ialah At-Tabrani dan

At-Turmudzy. Ketika ditanya siapa golongan yang masuk surga, dalam At-Tabrani

disebutkan Rasul menjawab ahlussunnah wal jama’ah; sedangkan dalam At-

Turmudzy disebutkan ana alaihi al-yaum wa ashabi. Lihat Ali Masykur Musa,

Nasionalisme Di Persimpangan: Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia

(Jakarta: Erlangga, 2011), h. 30.

Page 69: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

56 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sepeninggal Rasulullah terkait khilafah: siapa yang akan

menggantikan beliau sebagai pemimpin umat?. Perbedaan

pemahaman keislaman tersebut akhirnya menjadi perbedaan garis

politik dengan munculnya paham Syiah, Khawarij, Murjiah, dan

Mu’tazilah.36

Upaya pemeliharaan akidah yang diatur dalam Qanun Nomor

11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal

tentang Pemeliharaan Akidah sebagai berikut. “Pasal 4 ayat (1) dan

(2): (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi

masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat; dan

(2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab menanamkan

aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di

bawah tanggung jawabnya. Pasal 5 ayat (1) (2) dan (3): (1) Setiap

orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau

aliran sesat;37 (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau

aliran sesat; dan (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar

dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Pasal

6: “Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan

melalui fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)”.38

2. Pengamalan Ibadah

Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan ke alam dunia ini

membawa dua risalah, yaitu: Pertama, risalah ibadah. Hal ini

sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an Surah Adz Dzariyat

36 Ali Masykur Musa, Nasionalisme Di Persimpangan, h. 31.

37 Paham sesat yang dimaksud ialah pendapat-pendapat tentang akidah

yang tidak berdasarkan kepada Al Qur’an atau Hadis Shahih, atau penafsiran yang

tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang

akidah. Lihat Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal

4-6.

38 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal 4-6.

Page 70: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 57

ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mereka menyembah-Ku”. Kedua, risalah khilafah. Al Qur’an

Surah Al An’am ayat 165 menjelaskan: “Dan Dialah yang

menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan

sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk

mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksaan-Nya, dan

sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari

kedua risalah itu apabila ada manusia mampu melaksanakan risalah

ibadah dengan baik dan mampu melaksanakan risalah khilafah

dengan sukses, maka ia pantas disebut sebagai manusia yang paling

ideal. Namun di dunia ini hanya ada satu manusia yang mampu

melaksanakan keduanya, yakni Nabi Muhammad SAW, sehingga ia

diutus oleh Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul serta mendapat

julukan uswatun hasanah atau manusia teladan. Sebagaimana yang

di terangkan dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab ayat 21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Secara etimologi ibadah berarti taat, tunduk, patuh,

merendahkan diri dan tunduk. Kesemua pengertian itu mempunyai

makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh

merendahkan dan hina diri di hadapan yang disembah disebut abid

(yang beribadah).39

Dalam pengertian Islam ibadah dapat diartikan

sebagai kepatuhan secara total kepada Allah dengan melaksanakan

dan mengikuti segala cara yang diperintah-Nya melalui lisan para

Rasul-Nya, baik secara ucapan maupun perbuatan, zahir ataupun

batin.40

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ibadah

39 A Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1997), h. 1.

40 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. V, h. 227.

Page 71: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

58 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

diartikan sebagai segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah

Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup,

baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam

semesta.41

.

Aspek ibadah dalam hukum syari’at merupakan ajaran dan

tuntutan mengenai kehidupan praktis bagaimana seorang Muslim

menyembah Allah, berinteraksi dengan keluarga, tetangga,

masyarakat, bangsa dan Negara. Aspek lainnnya yaitu tentang

bagaimana seorang Muslim harus menahan diri untuk tidak berbuat

sesuka hatinya sehingga masyarakat aman, tentram serta bagaimana

memperlakukan sumber daya alam dengan baik yang dapat memberi

manfaat bagi seluruh makhluk. Oleh karenanya, hukum syari’at

yang hanya sekedar dimengerti secara aqliyah, dikuasai secara

teoritis, dan hanya dipahami secara normatif saja akan memberi

sedikit dampak bagi jiwa manusia, sedangkan hukum syari’at yang

diterapkan secara amaliyah, dilakukan secara praktis dan dihayati

secara operatif akan memberi dampak luar biasa bagi setiap jiwa

manusia yang melaksanakannya. Ibadah yang harus dipraktekkan

sesuai syari’at Islam ialah ibadah yang sebagaimana telah diajarkan

oleh ulama-ulama mazhab ahlussunnah wal jama’ah yang termaktub

dalam kitab-kitab fiqih karangan mereka.42

Ulama yang dianggap

representatif dalam mengajarkan ibadah sesuai dengan tuntutan

syari’at Islam dan bermazhab Sunni ialah para imam mazhab yang

empat, yaitu: Mazhab Malikiyah (Malik Ibn Anas, 713-795);

Mazhab Hanafiyah (Abu Hanifah, 699-767); Mazhab Hanbaliyah

41 Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa, h. 515.

42 Pemahaman ahlussunnah wal jama’ah sebagai ajaran yang mengandung

segi-segi Islam sesuai dengan ajaran Rasulullah ialah yang bersumber dari Al

Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan demikian ahlussunnah wal jama’ah tidak

terbatas pada aspek akidah, akan tetapi juga menyangkut pada ketiga aspek ajaran

Islam, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga ajaran tersebut diamalkan secara

serasi, seimbang, dan selaras dalam satu kesatuan. Lihat Ali Masykur Musa,

Nasionalisme Di Persimpangan, h. 33.

Page 72: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 59

(Ahmad Ibn Hanbal, 780-855); dan Mazhab Syafi’iyah (Muhammad

Ibn Idris al-Syafi’i, 767-820).43

Di wilayah Aceh khususnya, ajaran

fiqih yang paling banyak diikuti dan dikembangkan oleh para ulama

dan masyarakat adalah praktek ibadah yang dikembangkan oleh

Imam Syafi’i.44

Upaya pengamalan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor

11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal

tentang Pengamalan Ibadah sebagai berikut. Pasal 7 ayat (1)

Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat

berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan

suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah; dan

ayat (2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab untuk

membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota

keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pasal 8 ayat (1)

Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib

menunaikan shalat Jum’at; dan ayat (2) Setiap orang, instansi

pemerintah, badan usaha dan atau/institusi masyarakat wajib

menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/ mengganggu orang

Islam melaksanakan shalat Jum’at. Pasal 9 ayat (1) Setiap instansi

pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib

menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah;45

ayat (2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan masjid dan

atau Meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan

pengajian agama; dan ayat (3) Perusahaan pengangkutan umum

43 Taufik Adnan dan Samsu Rizal, Politik Syariat, h. 15.

44 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 242-243.

45 Diharapkan dengan mendirikan shalat fardhu lima waktu sehari semalam,

dan juga shalat-shalat sunat lainnya maka senantiasa kita akan mengingat Allah

dan terasa selalu dekat dengan-Nya. Sehingga rasa diawasi akan membuat

seseorang jauh dari perbuatan mungkar karena merasa malu untuk melakukan

maksiat, dan meyakini meskipun orang tidak melihatnya namun Allah melihatnya,

sehingga kita menjadi hamba yang selalu dekat dengan Allah. Lihat Sri Suyanta,

dkk, Buku Panduan, h. 110.

Page 73: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

60 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa

untuk melaksanakan shalat fardhu. Pasal 10 ayat (1) Setiap

orang/badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/peluang kepada

orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak

berpuasa pada bulan Ramadhan; ayat (2) Setiap muslim yang tidak

mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat/di

depan umum pada siang hari bulan Ramadhan;46 ayat (3) Selama

bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk menegakkan shalat

tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya; dan ayat (4) Setiap

orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau

mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di

lingkungannya. Pasal 11: “Setiap orang yang berada di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan

ibadah”.47

3. Penyelenggaraan Syi’ar Islam

Dalam upaya mengangungkan Islam dalam kehidupan

masyarakat, syi’ar Islam menjadi bagian terpenting dan tidak

terpisahkan dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Kata syi’ar

berasal dari syu’ur yang bermakna rasa, karena syi’ar dibangun agar

setiap orang yang melihatnya merasakan keagungan Allah. Selain

itu kata syi’ar juga bisa diartikan sebagai tanda atau rambu-rambu

yang dipasang untuk mengenali sesuatu atau menyampaikan kabar

berita kepada orang-orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu.

46 Namun meski demikian, dalam Qanun ini juga memberikan kemudahan

bagi seseorang yang sedang mengalami uzur syar’i, yaitu keadaan dimana seseorang

diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan alasan sakit dan sedang dalam

perjalanan (musafir) yang mengharuskan untuk berbuka karena rukhsah (izin

pengurangan atau keringanan karena adanya uzur). Lihat Penjelasan Umum Qanun

Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 10.

47 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB IV Pengamalan Ibadah, Pasal 7-11.

Page 74: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 61

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syi’ar

mempunyai arti kemuliaan atau kebesaran.48

Upaya penyelenggaraan syi’ar Islam yang diatur dalam Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal

tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam sebagai berikut. Pasal 12 ayat

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat

dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam; ayat

(2) Setiap Instansi Pemerintah/lembaga swasta, institusi masyarakat

dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab

Melayu di samping tulisan Latin; ayat (3) Setiap Instansi

Pemerintah/Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan

penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat

resmi; dan ayat (4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan

Hijriah di samping penanggalan Masihiah. Pasal 13 ayat (1) Setiap

orang Islam wajib berbusana Islami;49 ayat (2) Pimpinan instansi

pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi

masyarakat wajib membudayakan busana Islami di

lingkungannya”.50

D. Sanksi

Pada dasarnya maksud dan tujuan pemberian sanksi bagi para

pelanggar ialah sebagai upaya pencegahan (ar-rad’u waz-zajru/

48 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1368.

49 Berbusana islami yang dimaksud yaitu pakaian yang menutup aurat, bagi

wanita seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah. Selain itu juga tidak tembus

pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Sedangkan bagi laki-laki seperti

dilarang mengenakan celana pendek di bawah lutut (celana pongol) di tempat-

tempat umum. Mengenakan celana pendek dianggap menampakkan aurat dan dapat

menimbulkan kemaksiatan di lingkungan. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor

11 Tahun 2002, Pasal 13.

50 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Penyelenggaraan Syi’ar Islam, Pasal 12-13.

Page 75: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

62 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

preventive) dan pengajaran atau pendidikan (al-islah wat-tahzib).

Pencegahan adalah suatu usaha agar seorang pelanggar tidak lagi

mengulangi perbuatan dan memberi pelajaran bagi orang lain agar

tidak melakukannya. Diberikannya sanksi atau hukuman juga

bertujuan untuk menakut-nakuti, syari’at Islam sangat peduli dan

memberi perhatian agar para pelaku kejahatan tidak akan

mengulangi lagi perbuatannya. Demikian juga dengan masyarakat

lainnya yang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan, mereka

akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukannya. Pada dasarnya

hukuman cambuk yang diberikan tidak terlalu berat (sesuai

pelanggarannya), namun efek lain yang ditimbulkan sesudah

dicambuk, yakni pelaku akan menanggung hukuman lain berupa

sanksi sosial di lingkungannya karena diberikan hukuman cambuk di

depan umum, menanggung malu dan bisa jadi pelaku akan

dikucilkan oleh masyarakatnya. Pada akhirnya sanksi yang diberikan

nantinya dapat menumbuhkan kesadaran pada diri individu dan

masyarakat secara umum. Selain itu, dengan adanya sanksi tersebut

secara otomatis akan dapat mengurangi kejahatan serta

menumbuhkan rasa aman dan kesejahteraan bagi warga

masyarakat.51

Selanjutnya sanksi yang diberikan bagi pelanggaran Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 ini dijelaskan dalam uraian pasal perpasal

tentang Ketentuan Pidana sebagai berikut.52

Pasal 20 ayat (1)

Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan

ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali;

51 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 301-303

52 Selain sanksi-sanksi yang telah diatur dalam Qanun ini, bagi pelanggar

yang dianggap berat dan menciderai kehidupan adat di Aceh juga dapat dikenakan

sanksi lain berupa hukuman Adat yang telah diatur dalam Qanun Nomor 9 Tahun

2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Page 76: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 63

dan ayat (2) Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah

Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan

hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri.53 Pasal 21 ayat

(1) Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali

berturut- turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal

8 ayat (1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling

lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling

banyak 3 (tiga) kali; dan ayat (2) Perusahaan pengangkutan umum

yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa

untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam

pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan

izin usaha.54

Pasal 22 ayat (1) Barang siapa yang menyediakan

fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur

syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir

berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda

paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan

umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya; dan

ayat (2) Barang siapa yang makan atau minum di tempat/di depan

umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa

hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman

cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali. Pasal 23:

“Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud

53 Ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari akidah

Islam, menghina, atau melecehkan Islam diatur dalam Qanun tersendiri tentang

Hudud. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002.

54 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 20-21.

Page 77: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

64 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah

melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah”.55

E. Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam dan Kerukunan

Umat Beragama

Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan bangsa

Indonesia dengan penduduk yang bercorak plural. Pluralitas itu

ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang beraneka

ragam; dari suku, ras, budaya, hingga agama. Dari segi agama

khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latar

belakang agama yang berbeda-beda, baik agama mondial maupun

agama lokal telah hidup dan tumbuh subur di Indonesia dengan

jumlah pemeluk yang bervariasi. Maka dengan adanya pluralitas

tersebut, Negara menjamin kemerdekaan dan memberi perlindungan

bagi setiap orang untuk memeluk dan menjalankan aktivitas

keagamaannya masing-masing. Hal ini sebagaimana yang telah

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat (2) yang

berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”.56

Pasal 28E ayat (1) dan (2)

juga menyebutkan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya; dan (2) Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap

sesuai hati nuraninya.57

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22 ayat (1) dan (2)

juga menegaskan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap

55 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 22-23.

56 Undang-Undang Dasar 1945, BAB XI Agama, Pasal 29.

57 Undang-Undang Dasar 1945, BAB XA Hak Asasi Manusia, Pasal 28E.

Page 78: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 65

orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.58

Agama mondial seperti Katolik, Kristen, Hindu, Buddha

maupun Khonghucu sejak dahulu telah hidup berdampingan dengan

masyarakat Aceh yang beragama Islam sehingga telah dianggap

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.59

Agama-agama

tersebut berkembang dan tetap eksis di wilayah ini meskipun

menjadi agama yang minoritas.60

Tak ubahnya dalam Negara

Indonesia yang secara resmi telah sah melayani keenam agama besar

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965,

keberadaan agama-agama tersebut di wilayah Aceh juga mempunyai

hak yang sama, yaitu diakui dan mendapat pelayanan serta

perlindungan dari pemerintah.61

Hal ini sesuai ketetapan dalam

Perda Nomor 5 Tahun 2000 yang mengisyaratkan bahwa agama

selain Islam juga diakui di Aceh, begitu juga para pemeluknya

dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan

untuk beribadat sesuai ajaran dan kewajiban agamanya. Sehingga

umat non-Muslim tidak perlu resah berada di wilayah ini karena

telah mempunyai payung hukum yang pasti. Dalam Pasal 2 ayat (2)

58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, BAB III Hak Asasi Manusia dan

Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima Hak Atas Kebebasan Pribadi, Pasal 22.

59 Pluralitas dalam segi agama meniscayakan dibangunnya kerukunan dan

keharmonisan kehidupan umat beragama demi terciptanya kondisi yang ideal bagi

pembangunan bangsa di segala bidang. Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan, h. 7.

60 Minoritas dalam makna kuantitas merujuk pada jumlah yang sedikit,

sedangkan dalam arti kualitas akses dan peran yang sedikit. Sementara dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, minoritas bermakna golongan sosial yang jumlah

warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain di suatu

masyarakat. Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 917.

61 Keenam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk

Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan, tetapi mereka juga mendapat

bantuan-bantuan dan perlindungan dari Pemerintah. Lihat Penjelasan atas Pasal 1

Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun

1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Page 79: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

66 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

ditegaskan: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap

diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran

agamanya masing-masing”.62

Hukum syari’at Islam tidak menginginkan adanya aktivitas

yang merusak, mengusik dan mengabaikan hak-hak asasi yang

menjadi milik semua orang. Dalam hal ini menjaga hubungan

kehidupan masyarakat bahwa syari’at Islam mengemban misi

menanamkan rasa tanggung jawab sosial sebagai suatu ikatan fungsi

kemasyarakatan, menjaga opini umum dan mendukung berjalannya

sistem kenegaraan yang sah.63

Cita-cita tersebut yang kemudian

selalu diupayakan dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam di

Aceh. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh juga secara tegas mengatakan bahwa

syari’at Islam hanya diperuntukkan bagi warga Muslim. Sedangkan

bagi warga non-Muslim atau orang yang tinggal di Aceh tidak

dituntut untuk mengikuti berbagai produk hukum yang berlaku

dalam Qanun. Dalam kata lain hanya sebatas menghormati

pelaksanaannya tanpa terikat dan tidak harus ikut menjalankannya.

Pasal 126 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1) Setiap pemeluk agama

Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam; dan

(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib

menghormati pelaksanaan syari’at Islam.64

Dari penjelasan poin pasal 126 tersebut dapat diambil

kesimpulan sederhana bahwa sekalipun hukum syari’at Islam berada

di bawah hukum positif Negara Indonesia, namun dari segi

implementasinya tidak mengganggu komunitas agama lain di Aceh,

karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi umat Muslim.

Dalam undang-undang ini juga memberi perhatian besar pada

62 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2.

63 Abdul Majid, Syari’at Islam, h. 24.

64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan Pelaksanaannya, Pasal 126.

Page 80: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 67

toleransi dan kerukunan hidup antrumat beragama, karena

kerukunan juga merupakan hal mutlak yang sangat diperlukan di

Aceh. Pemerintah beserta segenap masyarakat menjamin kebebasan

dan menghormati hak-hak non-Muslim untuk menjalankan

ibadahnya sesuai dengan ajaran agama yang dianut, serta bersama-

sama menjaga dan membina kerukunan hidup antarumat beragama.

Pasal 127 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemerintah Aceh dan

kabupaten/kota wajib menjamin kebebasan, membina kerukunan,

menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan

melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai

dengan agama yang dianutnya”.65

Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara eksplisit tidak

menyebutkan adanya kaitan dengan kerukunan antarumat beragama.

Hal ini karena poin tentang kerukunan umat beragama telah

disebutkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 (Pasal 2) dan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 (Pasal 126-127) sebagai landasan

konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Untuk itu, dalam

hal kaitan dengan kerukunan, penulis ingin melihat suasana

kesyahduan masyarakat Kota Banda Aceh dalam

mengimplementasikan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam

kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam mengimplementasikan

aturan Qanun tentang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam tersebut tidak

lepas dari persinggungan baik orang perorang maupun antar

kelompok yang berbeda latar belakang suku, ras, dan agama di Kota

Banda Aceh. Selanjutnya melalui metode penelitian yang dipakai,

penulis berusaha merekam dan menganalisis setiap peristiwa demi

peristiwa terhadap segala kegiatan warga masyarakat Kota Banda

Aceh dalam mengimplementasikan Qanun tersebut yang kemudian

menghubungkannya dengan konsep trilogi kerukunan (kerukunan

65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan

Pelaksanaannya, Pasal 127.

Page 81: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

68 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

intern umat beragama; kerukunan antara umat yang berbeda-beda

agama; dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah).

Page 82: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

69

BAB IV

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002

ab ini membicarakan seputar kegiatan-kegiatan

masyarakat Kota Banda Aceh dalam mengimplemen

tasikan syari’at Islam secara kāffah yang diatur dalam Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang

Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

A. Pemeliharaan Akidah

Umat Islam menjadikan akidah sebagai pegangan utama

dalam hidupnya. Bagi seorang Muslim, akidah juga menjadi

identitas diri dan pondasi yang akan menopang kehidupan

keislamannya. Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena

kalau tidak itu akan mengurangi hakekat keislaman seseorang.

Untuk itu bagi umat Islam diwajibkan agar selalu berpegang teguh

pada akidah islamiyah yang telah ditetapkan. Maka apabila ada

orang yang dengan sengaja keluar atau beralih dari akidah islamiyah

tersebut dianggap murtad. Untuk menghindari hal tersebut terjadi

pada umat Islam di Aceh, maka diwajibkan agar mengokohkan dan

membentengi diri dengan akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah

wal jama’ah dalam kehidupannya sehari-hari.

Kekhawatiran terkikisnya akidah umat Islam di Aceh pada

dasarnya sangat beralasan, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi

dalam beberapa peristiwa pasca bencana gempa dan tsunami 26

Desember 2004. Setelah bencana gempa dan tsunami menimpa

Aceh, perhatian masyarakat dunia tertuju ke wilayah ini, mereka

prihatin terhadap masyarakat yang tertimpa musibah. Sehingga

hampir semua orang tergerak hatinya untuk memberi berbagai

macam bantuan, seperti mengirimkan relawan, makanan, pakaian,

B

Page 83: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

70 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

tenda darurat hingga penggalangan dana. Pasca tsunami, daerah

Aceh sangat terbuka luas, hal ini memungkinkan kepada siapa saja

dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk datang ke Aceh

dengan sebuah misi kemanusiaan.1 Namun masalah lain timbul

ketika berbagai macam orang dari latar belakang yang berbeda-beda

itu datang ke Aceh, yakni muncul isu yang berkembang di

masyarakat tentang adanya pengalihan akidah orang-orang Islam di

Aceh untuk beralih pada akidah agama lain. Hal ini seiring dengan

adanya dugaan upaya kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang

asing yang datang ke Aceh.2

Tidak dapat dipungkiri bahwa seminggu setelah bencana itu,

sejumlah NGO, LSM dan berbagai kalangan baik luar negeri

maupun dalam negeri datang memberi bantuan kepada para korban.

Namun bantuan kemanusiaan yang dianggap sebagai tugas dan

pekerjaan mulia itu ternyata dibungkus dengan kegiatan lain berupa

misi pemurtadan umat Islam di Aceh. Sasaran utama para misionaris

ini ialah anak-anak Aceh yang mereka anggap masih belum

mempunyai pendirian dan ketaatan beragama yang kuat sehingga

dapat dipengaruhi atau dicuci otaknya dengan hal-hal (kepercayaan)

baru. Banyak anak-anak yang diambil dari kamp-kamp pengungsian

yang selanjutnya mereka dibawa keluar dari wilayah Aceh, seperti

ditempatkan di Medan, Jakarta maupun tempat-tempat lainnya.

Target utama mereka satu, yakni menjadikan anak-anak tersebut

beralih keyakinan dari Islam menjadi keyakinan Kristen. Contoh

lain upaya pengkristenisasian kepada anak-anak yakni dengan cara

memberikan mainan boneka listrik yang jika dipencet salah satu

1 Dengan bencana ini juga menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat

perhatian masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga

Pemerintah, NGO, LSM, serta berbagai kalangan ikut serta berpartisipasi dalam

memulihkan dan membangun kembali wilayah Kota Banda Aceh.

2 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh

(Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan PeNA Banda Aceh, 2009), h. 110.

Page 84: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 71

tombolnya dapat mengeluarkan suara-suara doa pengantar tidur

dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia bermakna penyatuan roh manusia dengan roh-roh kudus.3

Adanyan upaya kristenisasi terhadap anak-anak tersebut juga

menyita perhatian para tokoh organisasi Islam di Indonesia.

Sehingga pada tahun 2005, sejumlah tokoh dan wakil-wakil

organisasi Islam seperti Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia

(DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI), Majelis Mujahidin, Wanita Islam, dan lain-lain

melakukan kerjasama guna menunjukkan kepedulian mereka

terhadap anak-anak Aceh korban tsunami agar ditangani secara

Islam.4 Kesaksian lain dari upaya kristenisasi di Aceh juga dapat

ditelusuri dalam beberapa peristiwa dan laporan yang penulis kutip

dari berbagai sumber berikut. Aksi damai mahasiswa Unsyiah dan

IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada 12 Juli 2005 lalu di Kantor

Gubernur Aceh yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Anti

Pemurtadan (Komandan) meminta agar Gubernur bertindak tegas

terhadap sejumlah LSM yang disinyalir telah melakukan kegiatan

pemurtadan pada sejumlah lokasi pengungsian. Pada kesempatan

aksi tersebut para mahasiswa membawa sejumlah bukti yang

ditemukan disejumlah lokasi kamp-kamp pengungsi, seperti buku

bacaan berjudul Roh Kudus Pembaruan (Yayasan Kemanusiaan

Bersama), buku bacaan siswa SLTA berjudul Desa dalam Kristus

Gaya Hidup Kristenan, popok bayi yang di dalamnya ditemukan

mainan anak-anak berupa kalung berlambang palang salib, dan

terakhir copy buku kumpulan doa-doa Hanan el-Khouri berjudul

3 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.

4 Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT.

Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 42-43.

Page 85: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

72 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Rahasia Doa-Doa yang Dikabulkan, dalam buku tersebut berisikan

doa-doa yang dikutip dari Injil dengan tulisan berbahasa Arab.5

Selain itu, pada kesempatan silaturrahmi yang diadakan oleh

para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Banda Aceh, juga

menyampaikan berbagai bukti lain yang terkait dengan upaya

kristenisasi di Aceh. Di antaranya ialah ditemukannya Injil

berbahasa Aceh, selimut bergambarkan salib, boneka anak-anak

bergambar sinterklas, booklet, brosur, pamflet yang berciri Islam

tetapi isinya tentang agama Kristen yang diperlihatkan kepada

publik di Masjid Raya Baiturrahman.6 Pasca bencana itu, serbuan

misionaris Kristen di Aceh memang bukan lagi isapan mimpi.

Faktanya banyak rakyat Aceh yang selamat dalam musibah itu yang

kemudian menjadi mangsa pemurtadan dan perdagangan manusia

(terutama anak-anak). Kelompok Gospel for Asia (GFA) mencari

dan melatih 100.000 misionaris lokal untuk diterjunkan di wilayah-

wilayah bencana untuk membantu korban dan memberikan

bimbingan spiritual atas nama Tuhan Yesus. Relawan FPI juga

melihat sejumlah bantuan yang disalurkan melalui PMI bermuatan

unsur misi Kristen. Seperti halnya ada ratusan kardus bantuan yang

kemasannya bertulis Jesus Love You. Para misionaris Kristen tentu

paham bahwa Aceh adalah wilayah Muslim, tetapi mereka

memanfaatkan itu kesempatan untuk menyebarkan misi melalui

pemberian bantuan kepada para korban tsunami.7

Berbagai bukti yang telah dipaparkan di atas rasanya sudah

sangat cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa beberapa NGO dan

LSM yang datang ke Aceh pasca tsunami dalam misi

kemanusiaannya mempunyai agenda lain yakni pemurtadan. Namun

5 Harian Serambi Indonesia, Mahasiswa Demo Anti Pemurtadan. Senin, 13

Juli 2005.

6 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.

7 Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 138.

Page 86: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 73

yang perlu digaris bawahi adalah tidak semua LSM mempunyai misi

terselubung dalam memberikan bantuan tsunami ke Aceh, karena

faktanya masih banyak LSM dan lembaga kemanusiaan lainnya

yang secara suka rela dan ikhlas membantu para korban tsunami.8

Sejak kejadian itu, hingga saat ini masyarakat diminta agar selalu

waspada, karena tidak menutup kemungkinan upaya-upaya

kristenisasi bisa saja terjadi lagi di Aceh, meski tidak dalam bentuk

pemberian bantuan, namun bisa dengan cara-cara lain. Untuk itu,

dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang dalam salah

satu pasalnya mengatur tentang akidah menjadi benteng bagi

masyarakat. Guna merespon berbagai isu dan upaya-upaya tentang

pemurtadan tersebut, pemerintah dan masyarakat Aceh menjadikan

Perda Nomor 5 Tahun 2000 dan Qanun Nomor 11 Tahun 2002

sebagai payung hukum yang sah untuk menindak berbagai LSM

yang mempunyai misi terselubung dalam memberikan bantuan

tsunami ke Aceh. Dengan demikian, usaha para misionaris tersebut

dapat dicegah dan selanjutnya LSM yang terbukti telah melakukan

upaya pengkristenisasian terhadap para korban tsunami kemudian

diusir dari wilayah Aceh.

Mengenai paham atau aliran sesat sebagaimana yang telah

disebutkan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang menyatakan

bahwa bentuk-bentuk paham atau aliran sesat ditetapkan melalui

fatwa MPU. Kemudian untuk menindaklanjuti Qanun tersebut,

MPU Aceh mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2007 tentang

Pedoman Identifikasi Aliran Sesat. Dalam fatwa ini mendefinisikan

aliran sesat sebagai faham atau pemikiran yang dianut atau

diamalkan oleh orang Islam yang dinyatakan oleh MPU sebagai

faham atau pemikiran yang menyimpang berdasarkan dalil-dalil

syara’ yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesesatan merupakan

kekeliruan pemahaman dalam bidang akidah maupun syari’ah

8 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 109.

Page 87: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

74 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

berdasarkan dalil syara’ yang sah. Kekeliruan itu diyakini sebagai

suatu kebenaran sehingga akibatnya menjadi kufur atau murtad.9

Majelis Ulama Aceh tidak menyebutkan secara langsung

aliran-aliran apa saja yang dianggap sesat, namun hanya

memberikan kriteria-kriteria khusus terhadap berbagai aliran yang

dianggap sesat. Ada 13 (tiga belas) kriteria aliran atau paham

keagamaan dapat dinyatakan sesat dan menyimpang dari Islam

apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut: Pertama,

mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam), yaitu

beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-

Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhirat dan kepada qadha

dan qadar dari-Nya. Kedua, mengingkari salah satu dari rukun Islam

yang 5 (lima), yaitu mengucap dua kalimat syahadat, menunaikan

shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan

menunaikan ibadah haji. Ketiga, meyakini atau mengikuti akidah

yang tidak sesuai dengan i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah.

Keempat, meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an. Kelima,

mengingkari kemurnian dan kebenaran Al Qur’an. Keenam,

melakukan penafsiran Al Qur’an tidak berdasarkan kaidah-kaidah

tafsir. Ketujuh, mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber

ajaran Islam. Kedelapan, melakukan pensyarahan terhadap hadis

tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu mushthalah hadis.

Kesembilan, menghina dan melecehkan para nabi dan rasul Allah.

Kesepuluh, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan

rasul terakhir. Kesebelas, menghina dan melecehkan para sahabat

Nabi Muhammad SAW. Keduabelas, merubah, menambah atau

mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh

syaria’at, seperti berhaji tidak ke baitullah, shalat fardhu tidak 5

waktu dan lain sebagainya. Ketigabelas, mengkafirkan sesama

9 Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB I Ketentuan Umum, Ayat 3

dan 5.

Page 88: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 75

Muslim tanpa dalil syar’i yang sah, seperti mengkafirkan Muslim

hanya karena bukan anggota kelompoknya.10

Berkaitan dengan paham aliran sesat tersebut, dari hasil

penelusuran yang penulis lakukan menemukan dua kasus aliran yang

dianggap sesat di Kota Banda Aceh, yakni Aliran Millata Abraham

dan Gerakan Fajar Nusantara. Kasus pertama ialah munculnya

kelompok aliran sesat pada tahun 2011 yang mengatasnamakan

dirinya sebagai Aliran Millata Abraham. Kelompok ini dianggap

sesat karena ajaran yang mereka praktikkan sangat jauh dari akidah

dan nilai-nilai syari’at Islam.11

Di Aceh, kelompok ini pertama kali

berkembang di salah satu wilayah di Kabupaten Bireuen. Atas

laporan masyarakat, kelompok ini kemudian ditangkap oleh pihak

kepolisian. Di wilayah Kota Banda Aceh, kelompok Millata

Abraham ini diketahui berada di Gampong Peurada Kecamatan

Syiah Kuala dengan bukti tertangkapnya tiga orang yang dianggap

sebagai pembawa dan penyebar ajaran tersebut. Mereka kemudian

diamankan oleh pihak kepolisian Polresta Banda Aceh untuk

kemudian ditindak sesuai hukum yang berlaku.12

Di Kota Banda

10 Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB IV Kriteria Aliran Sesat,

Ayat 1-13.

11 Beberapa ajaran yang mereka percayai dan dipraktekkan di antaranya:

meragukan isi kitab suci Al Qur’an dan menafsirkan Al Qur’an sesuai kehendak

hati mereka tanpa mengikuti kaidah tafsir; tidak mengakui hadis sebagai sumber

kebenaran; tidak mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir;

mengubah lafadz kalimat syahadat menjadi “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna al Masih al Maw’ud Ahmad Mushadeq Rasulullah”; dan tidak

melakukan shalat lima waktu sehari semalam sebagaimana yang diajarkan dalam

Islam, namun mereka menggantinya dengan melakukan shalat hanya sekali dalam

sehari, yakni di tengah malam dengan posisi duduk dan hanya diterangi lilin.

12 Adanya kelompok aliran sesat Millata Abraham ini juga menjadi

perhatian Pemprov Aceh, yaitu dengan mengeluarkan Pergub Nomor 9 Tahun 2011

tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh. Dengan

diterbitkannya Pergub tersebut, para penganut ajaran Millata Abraham dilarang

melakukan aktivitas dan kegiatan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan

kegiatan penyebaran, penafsiran, dan aktivitas yang menyimpang dari akidah dan

Page 89: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

76 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Aceh, kelompok ini telah berhasil merekrut beberapa orang dari

kalangan mahasiswa dan pelajar. Pihak Pemko Banda Aceh

kemudian secara tegas meminta polisi menindak para pelaku yang

membawa dan menyebarkan aliran Millata Abraham tersebut.13

Sementara pihak Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh juga sangat

menyayangkan aliran sesat tersebut bisa berkembang di masyarakat

yang membuat risau dengan menistai dan menodai agama Islam, dan

merasa prihatin kepada para generasi muda dengan intelektual baik

bisa terpengaruh dengan ajaran paham sesat tersebut.14

Kasus kedua mengenai paham sesat yang sempat menyita

perhatian publik ialah organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Organisasi ini juga berkembang di Aceh, hal ini terbukti dengan

adanya penahanan kepada belasan orang yang dianggap sebagai

pengikut Gafatar oleh Polresta Banda Aceh. Selain itu, dengan

tertangkapnya mereka, hal itu juga membuktikan bahwa kelompok

Gafatar telah hidup dan berkembang lama di wilayah ini dan sudah

mendirikan kantor khusus sebagai pusat kegiatan mereka di

Gampong Lamgapang, Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten

syari’at Islam. Pelarangan aktivitas tersebut meliputi penyebaran Aliran Millata

Abraham baik secara lisan, tulisan melalui media cetak atau media elektronik,

pemasangan papan nama organisasi di tempat rumah ibadat, lembaga pendidikan

atau tempat umum lainnya dengan identitas Aliran Millata, dan penggunaan atribut

Aliran Millata Abraham dalam segala bentuk.

13 Sebagai bentuk keseriusan dalam merespon adanya penyebaran aliran

sesat tersebut, sehingga masih pada tahun itu, Pemko Banda Aceh secara khusus

mengeluarkan Perwal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Langkah ini

kemudian disusul dengan membentuk Komite Penguatan Akidah dan Peningkatan

Amalan Islam pada Mei 2011. Kemudian pada tahun 2012, Pemko Banda Aceh

kembali mengeluarkan Perwal Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Akhlak.

Semua Perwal tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk membentengi akidah umat

Islam di Kota Banda Aceh dan melakukan pembinaan mental spiritual serta

memperbaiki akhlak generasi muda agar tidak terjerumus ke dalam berbagai aliran

sesat tersebut.

14 Berita Sore Online: beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncang-bumi-serambi-mekkah/. Diakses tanggal 7 November 2016.

Page 90: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 77

Aceh Besar. Namun keberadaan mereka di Aceh baru diketahui pada

Januari 2015 setelah MUI memfatwakan sesat kelompok tersebut.

Pada dasarnya kasus tentang Gafatar ini masih berhubungan dengan

kasus sebelumnya tentang paham sesat Millata Abraham. Hal ini

karena dalam praktek yang dijalankan oleh kelompok Gafatar

merupakan ajaran-ajaran dari Millata Abraham. Sehingga warga

masyarakat menganggap bahwa Gafatar membawa ajaran sesat dan

berupaya untuk mendangkalkan akidah orang-orang Islam di Aceh

karena mereka terbukti telah menyebarkan ajaran Millata Abraham.

Menurut Pemko Banda Aceh bahwa Gafatar telah menjalankan misi

ajaran Millata Abraham, yakni ajaran sesat yang menyimpang dari

Islam. Hal ini terbukti dengan belasan orang yang tertangkap

sebagai kelompok Gafatar tersebut merupakan muka-muka lama

yang erat kaitannya dengan Millata Abraham yang sempat

berkembang di Kota Banda Aceh.15

Dari hasil kajian lapangan dan analisa, penulis menilai bahwa

hingga saat ini benteng akidah ahlussunnah wal jama’ah di Aceh

masih tetap kokoh, sehingga masyarakat Aceh tidak mudah

dipengaruhi oleh aliran-aliran lain yang dianggap melenceng dari

ajaran Islam. Kemurnian ajarannya masih tetap dipertahankan dan

senantiasa direalisasikan dalam kehidupan seharai-hari masyarakat.

Memang jika dilihat dalam perspektif sosiologis, akidah dapat

dikatakan bersifat fluktuatif sesuai dengan tantangan dan

pengalaman yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, akidah juga

dipengaruhi oleh situasi sosial sehingga dapat berubah seiring

dengan kemunculan nilai-nilai baru disebuah masyarakat. Desakan

akan nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan paham akidah yang

berkembang, akan dapat memicu adanya perlawanan secara sporadis

sehingga berdampak pada kemunculan konflik yang dapat

15 Sumatra: sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kota-banda-

aceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat. Diakses tanggal 7 November 2016.

Page 91: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

78 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

mengganggu ketentraman masyarakat.16

Sehingga hadirnya Qanun

dan peraturan lain tentang akidah menjadi payung hukum yang sah

untuk membentengi akidah umat Islam di Aceh. Dengan adanya

upaya-upaya pemurtadan pasca tsunami dan juga adanya paham-

paham sesat yang sempat berkembang di masyarakat, untuk itu

masyarakat dan juga pemerintah dituntut agar selalu waspada,

karena tidak menutup kemungkinan kasus-kasus serupa dapat terjadi

lagi di Aceh. Untuk itu masyarakat selalu dihimbau agar menjaga

kemurnian akidah Islam ahlussunnah wal jama’ah yang telah ada

dan berkembang di Aceh selama ini.

B. Pengamalan Ibadah

Ibadah merupakan serangkaian kegiatan ritual yang

dikerjakan oleh seorang Muslim sebagai bentuk penghambaan diri

kepada Allah dengan berbagai cara dan ketentuannya masing-

masing.17

Dalam ajaran Islam terdapat banyak rangkaian ibadah

yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah

tersebut. Sementara aturan yang tertuang dalam Qanun Nomor 11

Tahun 2002 yang mengatur tentang pengamalan ibadah ini

merincikan kegiatan ibadah yang harus diupayakan agar dikerjakan

oleh seluruh umat Islam di Aceh yakni memakmurkan Masjid

dengan shalat fardhu berjamaah; mengerjakan shalat Jum’at;

menghidupkan pengajian agama; melaksanakan puasa sebulan penuh

di bulan ramadhan, dan dianjurkan menegakkan shalat tarawih serta

mengerjakan amalan sunah lainnya.

1. Shalat Fardhu

Shalat merupakan suatu perkara yang wajib dilaksanakan oleh

seluruh umat Islam di dunia baik laki-laki maupun perempuan.

Shalat hukumnya fardhu ‘ain dan merupakan hal paling utama yang

16 Pemerintah Aceh, Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan

Perlindungan Akidah (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2012), h. 14.

17 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 113.

Page 92: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 79

akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak.18

Shalat mempunyai

kedudukan khusus dan sangat istimewa dalam ajaran Islam. Shalat

diibaratkan sebagai tiang agama, mi’raj bagi orang yang beriman,

penopang agama Islam dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan

mungkar.19

Di samping itu, amalan shalat menjadi penentu bagi

amalan-amalan lainnya. Ibadah shalat menjadi amalan pertama yang

akan diperiksa dan dipertanyakan kepada seorang hamba di akhirat

kelak. Maka apabila amalan shalat tidak sempurna berakibat pada

seluruh amalan yang lain tidak akan sempurna. Sebaliknya, jika

amalan shalat sempurna maka amalan lain juga akan ikut

sempurna.20

Untuk itu dalam hal ini, Al Qur’an maupun Hadis selalu

menegaskan kepada seluruh umat Islam agar tidak melalaikan

shalatnya dan mengerjakan dengan baik dan sempurna.

Ketaatan masyarakat Kota Banda Aceh dalam melaksanakan

ibadah shalat dapat dibilang tinggi, namun hal ini bukan saja di

tempat penulis melakukan penelitian, melainkan juga di tempat-

tempat lain di wilayah Aceh. Kegiatan ibadah shalat fardhu lima

waktu yang dikerjakan di tempat ibadah seperti Masjid, Mushalla,

dan Meunasah secara berjamaah; maupun yang hanya dikerjakan

sendiri di rumah. Meski kadang adakalanya dalam melaksanakan

kewajiban ini tidak tepat waktu, namun hampir dipastikan warga

masyarakat melaksanakannya dengan teratur. Hal-hal yang sering

menyebabkan tertundanya shalat atau tidak tepat waktu biasanya

karena sedang dalam perjalanan dan terkena macet, sedang sakit,

18 Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 29.

19 Lihat hadis Rasulullah yang berbunyi: “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkan shalat, maka berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia merobohkan agama”. (HR.

Bukhari Muslim). Lihat juga Al Qur’an Surah Al Ankabut ayat 45: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”.

20 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh,

2008), Cet-II, h. 108.

Page 93: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

80 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan mungkin ada hal lain yang

tidak berhasil penulis dapatkan alasannya. Namun ada kesan dan

anggapan dari warga masyarakat bahwa lebih baik melaksanakan

shalat dengan tertunda waktunya dari pada tidak melaksanakan

sama sekali. Shalat di awal waktu secara psikologis juga dapat

berdampak pada jiwa seseorang, yaitu agar terdidik untuk hidup

disiplin dalam menjaga waktu-waktu lainnya di semua aspek

kehidupan. Untuk itu membiasakan diri mengerjakan shalat tepat

waktu dan berjamaah terutama di Masjid merupakan upaya yang

harus dilakukan dan dibiasakan oleh warga masyarakat Aceh, karena

selain Masjid dapat berfungsi dengan baik, juga berdampak pada

disiplin waktu yang digunakan secara efektif dan efesien.21

Dalam kitab fikih diajarkan bahwa shalat fardhu lima waktu

sebaiknya dikerjakan secara bersama-sama. Hal ini juga karena

pahala yang diberikan lebih besar; shalat berjamaah pahalanya 27

derajat, sedang shalat sendiri hanya 1 derajat.22

Pada dasarnya shalat

berjamaah selain dapat dilakukan di Masjid juga dapat dilakukan di

rumah dengan keluarga. Namun aturan yang tertuang dalam Qanun

ini sangat menganjurkan agar shalat fardhu berjamaah dilakukan di

Masjid, Mushalla, atau Meunasah dengan tujuan untuk kemakmuran

tempat-tempat ibadah tersebut. Dalam pengamatan penulis,

masyarakat Kota Banda Aceh banyak yang melakukan shalat

berjamaah di Masjid, khususnya kaum laki-laki. Disetiap waktu

shalatnya, jumlah jamaah yang hadir tidak selalu sama, terlebih

waktu subuh, zuhur dan ashar; jumlah jamaah tidak sebanyak di

21 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 110.

22 Mengenai hal ini, Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat”. Dari

hadis tersebut dapat diambil beberapa pesan: bahwa shalat berjamaah lebih baik

dibanding shalat sendiri; perbandingan keduanya 27:1; dan karena lebih baik maka

kepada umat Islam disarankan untuk selalu menjalankan shalat fardhu lima waktu

secara berjamaah.

Page 94: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 81

waktu shalat magrib dan isya. Namun meski demikian, tidak ada

satupun Masjid, Mushalla, atau Meunasah di wilayah Kota Banda

Aceh yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Biarpun jumlah

jamaahnya hanya lima orang, namun shalat berjamaah tersebut tetap

dilaksanakan disetiap waktunya.23

Untuk mendukung berjalannya Qanun ini, Pemerintah Aceh

juga telah membuat aturan khusus bagi seluruh stasiun televisi

maupun radio untuk menyiarkan adzan ketika waktu shalat tiba.

Akibat dari aturan ini, maka setiap kali waktu shalat tiba seluruh

stasiun televisi menghentikan siaran yang sedang berlangsung saat

itu dan menggantinya dengan siaran adzan. Setiap Muslim juga

berkewajiban untuk menunda atau menghentikan segala

aktivitasnya pada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan

ibadah. Selain itu, secara khusus Pemko Banda Aceh juga membuat

aturan tentang kewajiban menghentikan berbagai aktivitas jual beli

sebelum adzan berkumandang. Setiap toko diharuskan menutup

usahanya sejak 10 menit sebelum adzan berkumandang hingga

sampai proses pelaksanaan shalat selesai. Aturan tersebut

merupakan upaya untuk membangun suasana agama dan

menghargai saat-saat pelaksanaan waktu shalat. Di samping itu juga

diharapkan agar kesadaran masyarakat dapat tumbuh dengan

sendirinya untuk meluangkan waktu sejenak mengerjakan shalat

saat waktunya tiba.24

Pantauan penulis di lapangan selama ini

melihat sudah banyak toko dan tempat-tempat usaha lain seperti

SPBU yang tutup sementara waktu saat shalat tiba.25

Di samping

itu, untuk menjaga kekhusyukan kegiatan ibadah yang dilakukan

23 Pengamatan di Meunasah Nurul Iman Gampong Aso Nanggroe,

Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.

24 Harian Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/ tutup-toko-10-menit-sebelum-adzan. Diakses tanggal 20 Agustus 2016.

25 Biasanya toko ditutup seadanya dengan kayu atau kursi dan meletakkan

kertas yang bertuliskan “tutup waktu shalat”.

Page 95: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

82 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

oleh umat Islam, kepada umat non-Muslim juga tidak dibenarkan

melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan

dan kekhusyukkan selama ibadah berlangsung. Hal ini bukan berarti

membatasi aktivitas warga non-Muslim selama shalat berlangsung,

kepada mereka tetap diberikan kebebasan untuk beraktivitas seperti

biasanya, namun aktivitas yang tidak mengganggu kekhusyukan

kegiatan ibadah. Sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama

harus tetap ditumbuhkan dan selalu dijaga, dengan cara

menghormati kegiatan ibadah orang lain yang sedang dijalankan.

2. Shalat Jum’at

Bagi kaum laki-laki yang tidak mempunyai uzur syar’i

diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at sendiri

merupakan pengganti shalat zuhur yang dilaksanakan secara

berjamaah di Masjid dengan diisi ceramah agama atau khutbah.

Sebagaimana pengamatan penulis, kesadaran warga masyarakat

Kota Banda Aceh dalam melaksanakan shalat Jum’at juga dapat

dikatakan tinggi. Masjid-Masjid besar di pusat kota maupun yang

berada di gampong-gampong terlihat selalu penuh dengan

jamaahnya. Seluruh aktivitas toko dan warung di wilayah Kota

Banda Aceh juga tutup menjelang tengah hari saat shalat Jum’at

tiba, dan akan dibuka kembali setelah kegiatan shalat Jum’at

selesai. Demikian juga dengan angkutan umum, harus segera

menghentikan aktivitasnya mencari penumpang menjelang shalat

Jum’at tiba.

Bagi orang yang berhalangan karena sedang sakit, Islam

telah memberikan kelonggaran untuk melaksanakan shalat menurut

kemampuan yang bisa dikerjakan. Bisa dengan cara duduk atau

dengan berbaring, karena yang paling terpenting ialah mengerjakan

shalat dan tidak boleh ditinggalkan. Hal ini juga berlaku bagi

seseorang yang tidak dapat pergi ke Masjid untuk melaksanakan

shalat Jum’at, dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tertentu.

Page 96: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 83

Secara tegas dalam Qanun ini juga telah diatur mengenai penyebab

seseorang diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jum’at di

Masjid dengan beberapa alasan, seperti musafir, sakit, atau

melakukan tugas darurat, seperti perawat atau dokter jaga.26

3. Pengajian Agama

Aturan lain yang tertuang dalam Qanun ini yaitu warga

masyarakat dianjurkan untuk memakmurkan Masjid dengan

menghidupkan pengajian agama. Dalam pengamatan penulis,

masyarakat Kota Banda Aceh juga terlihat rutin melakukan

kegiatan pengajian agama ini. Pengajian agama yang dilakukan

biasanya berbentuk majelis taklim di Masjid-Masjid yang dilakukan

setelah selesai shalat magrib dan subuh. Meski jumlah jamaah yang

hadir tidak selalu ramai, namun kegiatan semacam ini hampir

dipastikan sering dilakukan setiap harinya.27

Namun ada juga

Masjid-Masjid yang menyelenggarakan pengajian agama ini hanya

seminggu sekali, yakni pada malam Jum’at saja. Kegiatan pengajian

agama ini biasanya diisi dengan ceramah agama oleh seorang

teungku,28

tema yang dibawakan juga selalu berbeda-beda setiap

pertemuannya, namun yang paling sering ialah kajian tentang fikih.

4. Bulan Suci Ramadhan

Bulan ramadhan dikenal sebagai bulan suci yang penuh

ampunan dan berkah. Di bulan tersebut, Allah mewajibkan kepada

26 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 8.

27 Pengamatan di Masjid Agung Al-Makmur (Masjid Oman) Gampong

Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh.

28 Teungku merupakan sebutan untuk ulama dalam masyarakat Aceh yang

dianggap cakap dan memahami agama Islam secara sempurna serta

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 97: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

84 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

orang-orang yang beriman untuk berpuasa selama sebulan penuh.29

Untuk kesempuraan dalam menjalankan ibadah puasa, seorang

Muslim harus pula menghindari segala perkataan dan perbuatan

tercela, dan menahan diri dari hawa nafsu dengan penuh kesabaran.

Banyak hal yang penulis amati dilapangan selama bulan ramadhan

di Kota Banda Aceh. Karena selain melakukan pengamatan, lebih

jauh penulis juga ikut terlibat langsung dalam berbagai kegiatan

yang dilakukan oleh warga masyarakat selama bulan ramadhan.

Sehingga hal itu yang kemudian menambah pengalaman tersendiri

bagi penulis untuk terus menggali, mencatat dan kemudian

melaporkannya dalam bentuk tulisan sederhana selama perjalanan

penelitian ini. Berikut uraian singkat tentang kegiatan warga Kota

Banda Aceh dalam menjalankan ibadah puasa selama bulan

ramadhan.

Bagi masyarakat Aceh, bulan suci ramadhan dianggap sebagai

bulan yang penuh ibadah. Karena dalam bulan ini segala bentuk

ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT lebih

ditingkatkan kuantitasnya dari biasanya. Kegiatan mencari nafkah

yang dapat mengganggu kekhusyukan selama bulan puasa juga

dibatasi. Tempat-tempat ibadah seperti Masjid maupun Meunasah

juga tampak selalu ramai. Maka untuk menunjang kegiatan ibadah

selama bulan ramadhan tersebut, rumah-rumah ibadah dipercantik,

dibersihkan, dan diperbaiki. Rumah ibadah ini nantinya selain

sebagai tempat untuk menjalankan berbagai macam ibadah selama

bulan puasa, juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan

29 Lihat Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 182: “Hai orang-orang yang

beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu beriman dan bertakwa”. Secara bahasa, puasa

berasal dari kata shaum (jamaknya shiyam) yang bermakna al-imsak (menahan).

Sedangkan menurut istilah, puasa itu menahan diri dari makan, minum dan

hubungan seksual suami istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan

niat melaksanakan perintah Allah. Lihat Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah, h. 45.

Page 98: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 85

berbuka bersama.30

Sejak malam pertama masuk bulan ramadhan,

suasana tempat-tempat ibadah selalu ramai. Para penduduk, baik

pria, wanita maupun anak-anak terlihat berbondong-bondong

menuju Masjid untuk mengikuti kegiatan shalat isya dan dilanjutkan

dengan shalat tarawih. Kegiatan shalat sunah tarawih berjalan

dengan semarak, terlihat hampir seluruh Masjid yang ada di Kota

Banda Aceh penuh dengan jamaah yang ingin melakukan shalat

tarawih di malam pertama tersebut. Hal ini dapat dikatakan menjadi

fenomena unik, karena tidak seperti biasanya ketika bulan ramadhan

tiba Masjid-Masjid sangat penuh jamaahnya, sehingga banyak

jamaah yang tidak tertampung diruang utama dan harus

melangsungkan shalatnya di halaman Masjid.31

Sebelum rangkaian prosesi shalat tarawih berlangsung, atau

setelah pelaksanaan shalat isya berjamaah, biasanya para jamaah

melakukan shalat sunnah rawatib sebanyak dua rakaat. Selanjutnya,

panitia Masjid akan memberikan pengumuman dan ajakan kepada

warga untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilangsungkan

dalam Masjid tersebut selama bulan ramadhan. Kegiatan itu

biasanya berupa pelaksanaan shalat tarawih berjamaah sebulan

penuh; tadarus Al Qur’an; menyediakan takjil atau menu berbuka

puasa; kuliah tujuh menit (kultum) sebelum waktu berbuka dan

setelah shalat subuh; menerima dan menyalurkan zakat; peringatan

nuzulul Qur’an; serta kegiatan lain yang sifatnya mendukung

kegiatan beribadah selama bulan suci ramadhan. Setelah panitia

30 Setelah ada kepastian dari pemerintah pusat melalui sidang isbat yang

disiarkan melalui televisi bahwa ibadah puasa bisa dimulai esok harinya,

masyarakat menyambutkan dengan penuh suka cita.

31 Pada dasarnya fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Kota Banda

Aceh saja, melainkan hampir diseluruh kota dan tempat-tempat di Indonesia ketika

pertama kali memasuki bulan ramadhan dan melaksanakan shalat tarawih semua

Masjid akan penuh jamaahnya.

Page 99: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

86 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Masjid selesai memberikan pengumuman, kegiatan dilanjutkan

dengan ceramah agama.32

Setelah ceramah selesai selanjutnya semua jamaah

melaksanakan shalat tarawih. Kegiatan shalat tarawih berlangsung

dengan khidmat. Jumlah rakaat shalat tarawih pada umumnya

diseluruh Kota Banda Aceh sebanyak 20 rakaat yang terdiri dari

bagian-bagian dua rakaat dan ditambah dengan 3 witir. Sesudah

setiap bagian, salah seorang bilal membacakan shalawat yang

disahuti oleh jamaah lainnya. Setiap sesudah dua rakaat biasanya

juga dibacakan doa-doa pendek, namun sesudah rakaat 20 bacaan

doanya lebih panjang. Shalat witir dilakukan sebanyak tiga rakaat

juga dilakukan secara bersama-sama. Sedikit catatan bahwa dalam

penentuan jumlah rakaat ini kebanyakan masyarakat tidak

memperdebatkannya, ada yang mengerjakan 23 dan ada yang

mengerjakan 11 saja. Hal ini yang semakin menegaskan bahwa

kerukunan internal umat Islam di Kota Banda Aceh sangat baik,

mereka dapat menerima adanya perbedaan tersebut. Namun ada

pemandangan unik yang penulis lihat, yaitu ada Masjid yang

jamaahnya terbagi dalam dua kategori. Ada yang mengerjakan

shalat tarawih dengan 11 rakaat ada juga yang 23 rakaat. Dalam

pelaksanaannya, mereka yang shalat 23 rakat melakukannya secara

bersama-sama dengan jamaah yang 11 rakaat. Kemudian tiba

dirakaat kedelapan, jamaah yang 23 akan mundur dan memberikan

tempat kepada jamaah 11 untuk melanjutkan shalat witirnya.

Kemudian setelah jamaah 11 selesai mengerjakan shalat witir

tersebut, giliran jamaah 23 melanjutkan shalat tarawih dan witirnya

hingga selesai.33

32 Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman

Kota Banda Aceh.

33 Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah

Kuala Kota Banda Aceh.

Page 100: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 87

Setelah semua rangkaian kegiatan shalat tarawih selesai,

kegiatan lain yang dilakukan oleh para pemuda dan remaja Masjid

yaitu melakukan tadarusan. Kegiatan tadarusan ini hampir serempak

dilakukan disetiap Masjid di Kota Banda Aceh, sehingga suara-

suara dari Masjid yang terdengar hanya bacaan ayat suci Al Qur’an.

Kegiatan tadarusan ini dilakukan hingga pagi hari sebelum waktu

sahur tiba. Kemudian setibanya waktu sahur, melalui pengeras suara

yang ada di Masjid, orang-orang diberitahu saat makan sahur, yang

diulangi berkali-kali hingga waktu imsak tiba.34

Setelah kegiatan

makan sahur selesai, banyak warga yang kemudian berbondong-

bondong ke Masjid untuk menunaikan shalat subuh secara

berjamaah.

Ketaatan warga Kota Banda Aceh selama menjalankan ibadah

puasa dapat dikatakan cukup tinggi. Kegairahan dalam menjalankan

ibadah juga semakin meningkat. Orang yang dalam hari-hari biasa

tidak pernah ikut shalat di Masjid, sekarang menjadi peserta yang

aktif. Baik dalam mengerjakan shalat wajib lima waktu, tarawih,

shalat sunah lainnya juga dikerjakan dengan rajin yang utamanya

dikerjakan oleh orang-orang tua. Seperti sudah disinggung di atas,

pada siang hari, di pusat kota maupun di gampong-gampong tidak

ada warung makan maupun warung kopi yang buka. Maka terlihat

tidak ada warga yang berani makan, minum atau bahkan merokok

secara terbuka di tempat umum, sehingga sangat terasa khidmat

selama bulan ramadhan di wilayah ini. Selain takut dengan adanya

sanksi pidana tersebut, penulis beranggapan bahwa ada faktor lain

yang menyebabkan warga tidak berani makan, minum dan bahkan

merokok di tempat umum, yakni adanya perasaan berdosa dan tidak

beretika jika harus makan dan minum ataupun merokok di tempat

umum tersebut sedangkan warga disekelilingnya sedang berpuasa.

Hal ini senada dengan pendapat salah satu warga Kota Banda Aceh

34 Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman

Kota Banda Aceh.

Page 101: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

88 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

yang mengatakan bahwa jika kita makan dan minum bahkan

merokok di tempat umum sedangkan yang lainnya sedang berpuasa,

sama artinya kita tidak punya etika. Kita harus menghormati orang

yang sedang berpuasa, dengan cara tidak mengganggu kekhusyukan

ibadah mereka, tidak makan atau minum di tempat umum.

Pelaksanaan ibadah puasa selama ini di Kota Banda Aceh sudah

sangat bagus, ia juga sangat mendukung dengan adanya aturan yang

dibuat dalam Qanun yang mengatur tentang hal ini. Maka dengan

adanya sanksi pidana bagi para pelanggar dalam Qanun ini akan

semakin membuat kualitas ibadah di bulan ramadhan di Kota Banda

Aceh semakin baik.

Pada dasarnya masyarakat Kota Banda Aceh sejak dahulu

telah melakukan kegiatan ibadah secara intens; baik shalat fardhu

berjamaah, shalat Jum’at, pengajian agama, maupun

menyemarakkan kegiatan ibadah puasa di bulan ramadhan. Semua

pengamalan ibadah tersebut dapat dikatakan telah menjadi kegiatan

rutin masyarakat setiap harinya. Sehingga adanya Qanun ini bukan

suatu hal baru, namun sebagai upaya legalitas terhadap kebiasaan

yang telah dijalankan oleh orang Aceh selama ini agar terus terjaga

dan dilestarikan. Selain itu, tujuan lain yang ingin dicapai ialah

untuk mengajak agar warga yang belum melakukan kegiatan ibadah

dengan baik agar melakukannya bersama-sama dan meningkatkan

ketakwaan serta keimanan kepada Allah SWT. Lahirnya aturan

tentang pengamalan ibadah dalam Qanun ini juga telah membawa

dampak positif bagi masyarakat, terlihat bahwa intensitas warga

Kota Banda Aceh dalam melakukan ibadah semakin meningkat.

Masjid-Masjid semakin ramai disetiap shalat lima waktu. Kaum

laki-laki juga semakin rajin pergi ke Masjid untuk melaksanakan

shalat Jum’at. Di bulan ramadhan, semarak dan nuansa islami sangat

terlihat. Secara umum masyarakat Kota Banda Aceh merespon

positif dengan adanya Qanun ini, dan selalu mendukung kebijakan

pemerintah kota maupun provinsi untuk melahirkan aturan-aturan

Page 102: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 89

yang bernuansa islami lainnya sebagai pendukung berjalannya

syari’at Islam di Provinsi Aceh secara kāffah.

C. Penyelenggaraan Syi’ar Islam

Aturan ketiga yang tertuang dalam Qanun Nomor 11 Tahun

2002 yakni tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam. Syi’ar Islam

menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pelaksanaan

syari’at Islam di Aceh, karena syi’ar Islam menjadi jalan dalam

upayanya mengagungkan ajaran Islam dalam kehidupan

masyarakat.35

Kegiatan penyelenggaraan syi’ar Islam yang

dimaksud diantaranya ialah memperingati hari-hari besar Islam;

menggunakan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin dan

menggunakan penanggalan Hijriah serta Masehi dalam surat-surat

resmi; dan bagi orang Islam diwajibkan berbusana islami baik di

lingkungan kantor, sekolah, wisata, pasar, maupun tempat-tempat

umum lainnya.

1. Peringatan Hari-Hari Besar Islam

Hari-hari besar Islam dalam kalender Hijriah secara resmi

diperingati dalam beberapa tanggal dan peristiwa (sesuai urutan

penanggalan Hijriah) sebagai berikut. Tanggal 27 Rajab diperingati

sebagai Isra Mi’raj; tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai

turunnya Al Qur’an (nuzulul Qur’an); tanggal 1 Syawal diperingati

sebagai hari raya idul Fitri; tanggal 10 Dzulhijjah diperingati

sebagai hari raya idul Adha; tanggal 1 Muharram diperingati sebagai

tahun baru Islam (asura); dan tanggal 12 Rabiulawal diperingati

sebagai kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulid).

Kegiatan pertama dalam perayaan hari-hari besar Islam yang

dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah memperingati

peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT

yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, peristiwa ini biasa disebut

35 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 250.

Page 103: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

90 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sebagai Isra Mi’raj. Dalam perayaan isra mi’raj, warga Kota Banda

Aceh juga sibuk merayakannya, semua kegiatan biasanya

berlangsung secara kolektif yang dipusatkan di Masjid, Meunasah,

maupun sekolah-sekolah. Rangkaian acaranya berisi pembacaan ayat

suci Al Qur’an, ceramah agama yang menceritakan seputar

perjalanan nabi ketika isra mi’raj, doa dan diakhiri dengan makan

bersama.

Kegiatan kedua yang dilakukan oleh masyarakat Kota Banda

Aceh dalam peringatan hari besar Islam ialah peringatan nuzulul

Qur’an atau turunnya Al Qur’an yang diperingati tanggal 17

Ramadhan. Meski bertepatan dengan bulan ramadhan, namun

terlihat kegiatan perayaan nuzulul Qur’an ini juga tidak kalah

ramainya. Acara ini juga dilangsungkan secara kolektif, namun

hanya dipusatkan di Masjid-Masjid saja. Kegaiatan nuzulul Qur’an

biasanya diisi dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan ceramah

agama seputar turunnya Al Qur’an dan puasa ramadhan.

Kemeriahan acara ini dapat terlihat dari banyaknya jamaah yang

hadir ketika acara berlangsung. Karena biasanya jamaah lain yang

melaksanakan shalatnya di Meunasah, ketika datang malam

peringatan nuzulul Qur’an mereka berbondong-bondong mendatangi

masji-masjid tersebut.36

Hari besar Islam selanjutnya yang dirayakan oleh masyarakat

Kota Banda Aceh yaitu hari raya idul Fitri tanggal 1 Syawal dan

hari raya idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.37

Kedua hari raya ini

36 Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah

Kuala Kota Banda Aceh.

37 Sedikit catatan bahwa ada perbedaan bagi masyarakat Aceh dalam

merayakan kedua hari raya tersebut, yakni hari raya idul adha biasanya lebih ramai

dibandingkan hari raya idul fitri. Pada saat hari raya Idul Adha, cara penyembelihan

hewan qurban biasanya dilakukan pada hari ketiga lebaran. Hewan yang dijadikan

qurban oleh warga Kota Banda Aceh seperti pada umumnya seperti kerbau, sapi,

maupun kambing (tergantung kemampuan). Lokasi yang dijadikan tempat

Page 104: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 91

sepertinya menjadi idaman bagi seluruh masyarakat, karena

kedatangannya yang selalu dinanti-nanti. Orang yang merantau jauh

dari kampung halamannya, ketika lebaran idul fitri tiba mereka

pulang kampung (mudik) untuk dapat berkumpul dengan

keluarganya merayakan lebaran bersama-sama. Kemeriahan dalam

merayakannya juga terlihat dari persiapan yang dilakukan, seperti

menghiasi rumah dengan cat baru, membeli baju-baju baru, serta

mempersiapkan makanan sebagai hidangan terlezat yang disantap

saat lebaran. Kegiatan lain yang dilakukan sehari menjelang lebaran

idul fitri yakni berburu daging (meugang), berziarah kubur kepada

orang tua maupun saudara yang telah meninggal, dan melakukan

pembayaran zakat fitrah.

Pada malam hari raya idul fitri, gema takbir terdengar hampir

diseluruh penjuru wilayah Kota Banda Aceh. Acara takbir keliling

dilakukan dengan berjalan kaki dengan menggunakan obor yang

terbuat dari bambu (pawai obor). Tua muda maupun anak-anak tak

ketinggalan terlihat sangat antusias dalam mengikuti takbir keliling

tersebut. Setelah takbir keliling selesai, selanjutnya takbiran

dipusatkan di Masjid maupun Meunasah, yang juga terlihat ramai

sampai esok hari menjelang waktu subuh. Keesokan harinya, warga

berbondong-bondong mendatangi Masjid atau lapangan yang telah

dipersiapkan untuk melakukan shalat ‘id. Kegiatan shalat ‘id ini di

Kota Banda Aceh biasanya dipusatkan di Masjid-Masjid besar yang

mampu menampung jamaah dengan jumlah banyak, seperti Masjid

Raya Baiturrahman, dan ada juga sebagian warga yang memilih

melaksanakan shalat ‘id dilapangan terbuka. Sekembalinya dari

tempat shalat ‘id, orang-orang biasanya melakukan kunjungan

kepada orang tuanya, kerabat, orang lain yang dituakan, dan tokoh-

tokoh masyarakat yang ada disekitar tempat tinggalnya.

penyembelihan hewan-hewan ini biasanya disekitaran halaman Masjid maupun

lapangan terbuka.

Page 105: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

92 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Kegiatan perayaan hari besar Islam berikutnya yang biasa

dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh yakni tanggal 1

Muharram yang diperingati sebagai tahun baru Islam (asura). Pada

malam harinya biasanya warga terutama anak-anak dan remaja

melakukan kegiatan pawai obor yang berlangsung di jalan-jalan

seputaran gampong. Sepanjang pawai berlangsung, anak-anak dan

remaja tersebut mengumandangkan shalawat serta zikir.

Kegiatan selanjutnya dalam perayaan hari-hari besar Islam

yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah

memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh

pada tanggal 12 Rabiulawal. Peringatan hari kelahiran nabi dalam

masyarakat Aceh biasa disebut maulod atau maulid, asal kata dalam

bahasa Arab mawlud yang berarti kelahiran. Bulan ini juga dinamai

sebagai bulan maulid, karena dalam banyak tradisi budaya yang

telah berkembang di masyarakat Aceh, memperingati Maulid Nabi

Muhammad SAW merupakan yang terbesar dan berlangsung lama,

yaitu selama tiga bulan. Rangkaian kegiatan maulid tersebut

biasanya selalu diisi dengan shalawat, zikir, dan pembacaan syair-

syair mengangungkan nama Allah, mendoakan keselamatan

Rasulullah beserta keluarganya, para sahabat nabi, ulama dan

seluruh umat Islam. Biasanya bacaan shalawat zikir dan syair ini

dibawakan para remaja putra maupun putri. Suara-suara itulah yang

dirangkum dalam bentuk barzanji yang merupakan salah satu ciri

khusus dalam tradisi perayaan maulid di Aceh.38

Ciri khas lain dari perayaan maulid di Aceh yaitu ceramah

agama tentang Pang Ulee yang disampaikan oleh teungku yang

diundang secara khusus dari daerah lain. Karena pada dasarnya

perayaan maulid merupakan peringatan hari kelahiran Pang Ulee

(Penghulu Alam) yakni Nabi Muhammad SAW, utusan Allah dan

nabi terakhir yang membawa risalah Islam kepada umat manusia.

38 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-

kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.

Page 106: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 93

Untuk itu hal-hal yang disampaikan dalam ceramah agamanya tidak

lepas dari kehidupan Rasulullah sejak masa kanak-kanak hingga

wafatnya beliau. Ceramah Pang Ulee ini juga menjadi puncak acara

dari serangkaian kegiatan perayaan maulid yang dilakukan. Ciri

khas selanjutnya dalam merayakan maulid di Aceh yakni Kenduri

Maulid atau Kanduri Maulod. Acara ini merupakan kegiatan makan

bersama yang dilakukan oleh warga dan juga para tamu undangan

dari gampong tetangga. Panitia yang menjadi tuan rumah pada

kegiatan itu biasanya akan memasak kuah belangong, yakni

masakan khas Aceh yang berbahan gulai sapi atau kambing.

Sementara para tamu undangan yang datang akan membawa

makanan sendiri yang kemudian ditukar dengan makanan yang telah

disediakan oleh tuan rumah. Saling tukar menukar makanan menjadi

hal yang lumrah dan wajib pada saat itu. Acara kanduri maulod ini

biasanya dilaksanakan di Masjid atau Meunasah yang telah

dipersiapkan oleh tuan rumah selaku penyelenggara.39

Masyarakat Aceh menganggap bahwa kanduri maulod

merupakan sebuah tradisi. Hal itu didasarkan atas pemahaman pada

Nabi Muhammad yang telah membawa umat manusia dari alam

kebodohan hingga ke alam ilmu pengetahuan yang karenanya

manusia menjadi mulia. Seperti telah disinggung di atas, bahwa

kegiatan kanduri maulod di Aceh merupakan perayaan terbesar dan

terlama, yakni selama tiga bulan, sejak Rabiulawal, Rabiulakhir,

hingga Jumadilawal. Pelaksanaan kanduri maulod selama rentang

tiga bulan tersebut mempunyai tujuan supaya masyarakat Aceh

dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata.

Sehingga apabila pada bulan Rabiulawal belum mampu

melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiulakhir belum juga mampu,

39 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-

kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.

Page 107: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

94 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadilawal.40

Setiap

perayaan yang dilakukan pada ketiga bulan yang berbeda tersebut

juga mempunyai julukannya masing-masing. Seperti kenduri maulid

yang dilaksanakan pada bulan Rabiulawal disebut Maulod Awai

(Maulid Awal) yang dimulai dari tanggal 12 Rabiulawal sampai

akhir bulan Rabiulawal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada

Rabiulakhir disebut Maulod Teungoh (Maulid Tengah) yang dimulai

dari tanggal 1 bulan Rabiulakhir sampai berakhirnya bulan

Rabiulakhir tersebut. Sedangkan kenduri maulid pada bulan

Jumadilawal disebut Maulod Akhee (Maulid Akhir) yang

dilaksanakan sepanjang bulan Jumadilawal hingga selesai.41

2. Tulisan Arab Melayu

Penggunaan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin

untuk penulisan nama kantor dan toko belum berjalan maksimal, hal

ini dapat terlihat dihampir seluruh wilayah Kota Banda Aceh, tidak

semua instansi pemerintahan maupun swasta dan toko-toko yang

sudah ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu tersebut.

Tentunya dengan berbagai alasan mengapa hal ini belum dijalankan;

seperti belum mengetahui adanya aturan ini, tidak adanya sosialisasi

dari pihak terkait, dan tidak tahu cara menulisnya karena tidak ada

pedoman yang baku. Namun meski belum terlihat seluruhnya

menggunakan tulisan Arab Melayu, dari amatan penulis dilapangan

melihat telah ada sebagian nama kantor pemerintah dan sebagian

nama toko di wilayah ini yang sudah ditulis dengan menggunakan

huruf Arab Melayu tersebut. Tapi karena kaidah penulisannya belum

40 Perayaan maulid di Aceh dapat dikatakan sebagai pesta rakyat namun

dalam nuansa santun dan penuh nilai-nilai islami. Umumnya seluruh masyarakat

Aceh mengadakan Kenduri Maulod, hanya waktu pelaksanaannya saja yang

berbeda-beda tergantung pada kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan.

41 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.

Page 108: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 95

ada yang baku, maka sering kali terjadi perbedaan penggunaan huruf

antara nama satu instansi dengan instansi lainnya.42

Gambar 4.3 Kantor Satpol PP/WH Kota Banda Aceh yang ditulis

dengan huruf Latin dan Arab Melayu

Selain penggunaan tulisan Arab Melayu, aturan lain yakni

penggunaan tanggal Hijriah dan Masehi dalam surat-surat resmi

juga terlihat belum berjalan maksimal. Instansi pemerintah maupun

swasta di Kota Banda Aceh masih belum banyak yang

menggunakan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masehi

dalam surat-surat resmi yang dikeluarkan.

3. Berbusana Islami

Sebagai salah satu wujud pelaksanaan syari’at Islam yang

nyata dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di Kota Banda

Aceh ialah berbusana islami. Aturan penggunaan busana islami ini

tidak hanya berlaku bagi kaum wanita saja tetapi juga berlaku bagi

42 Ahsanul Khalikin, Pelaksanaan Syari’at Islam Di Kota Banda Aceh,

dalam Ahmad Syafi’i Mufid (Ed), Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual Di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), h. 259.

Page 109: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

96 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

kaum pria. Namun demikian, pada tataran pelaksanaannya,

penerapan aturan berbusana islami ini lebih ditekankan pada kaum

wanita. Dengan alasan karena wanita memiliki batasan-batasan

aurat yang lebih banyak daripada pria, terutama pada bagian kepala.

Maka sejak aturan ini diimplementasikan sudah banyak menuai hal

positif, kuantitas wanita di Kota Banda Aceh yang memakai busana

islami terlihat semakin meningkat meski belum maksimal. Di

samping itu, bagi sebagian besar masyarakat telah menganggap

bahwa busana islami merupakan sebuah simbol identifikasi diri

bahwa ia seorang muslimah. Busana islami juga menunjukkan

tentang kesopanan dan keindahan bagi siapa saja yang memakainya.

Selain itu, diwajibkan berbusana islami yang diatur dalam Qanun ini

pada dasarnya juga untuk mengangkat harkat dan martabat seorang

wanita sebagai muslimah dan menjaga serta melindungi kehormatan

manusia dari gangguan tangan dan mata jahil.

Dikalangan instansi pemerintahan di Aceh, pegawai

pemerintahan (PNS) termasuk TNI dan Polri, selain memakai baju

dinas juga diwajibkan untuk mengenakan jilbab pada saat jam kerja.

Warna jilbab yang dikenakan selalu disesuaikan dengan warna

pakaian dinas instansi masing-masing serta harus seragam. Akibat

dari aturan ini, dari amatan penulis dilapangan melihat tidak ada

satupun pegawai pemerintahan di Kota Banda Aceh yang tidak

mengenakan jilbab saat jam kerja. Para anggota TNI wanita

(Kowad, Kowal dan Wara) juga terlihat selalu memakai jilbab.

Begitu juga Polwan saat bertugas di jalan raya sebagai pengatur

lalu-lintas juga terlihat mengenakan jilbab. Seperti telah disinggung

sebelumnya bahwa aturan berbusana islami ini tidak hanya berlaku

bagi wanita saja, melainkan juga berlaku bagi kaum pria. Maka

dengan aturan ini terlihat banyak kaum pria di Kota Banda Aceh

yang tidak lagi memakai celana pendek di tempat-tempat umum

(kecuali dilapangan bola/futsal), meskipun kadang juga masih

ditemukan ada beberapa orang yang tidak mematuhinya.

Page 110: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 97

Sejak mulai diberlakukannya kewajiban berbusana islami dan

untuk menegakkan aturan ini, maka secara berkala Satpol PP/WH

dengan dibantu oleh aparat Kepolisian setempat telah aktif

melakukan berbagai razia. Khusus bagi kaum wanita bila ditemukan

tidak menggunakan jilbab dan berpakaian ketat di luar rumah, maka

akan dikenakan sanksi secara berjenjang, yaitu: Pertama, teguran

lisan, terkadang disertai pemasangan jilbab atau kerudung di tempat

terjadinya razia oleh aparat Satpol PP/WH wanita. Kedua, bila

pelaku ditemukan lagi melakukan pelanggaran serupa, identitas

berserta alamatnya akan dicatat oleh petugas dan kemudian pelaku

diwajibkan untuk membuat pernyataan secara tertulis bahwa tidak

akan mengulangi perbuatannya lagi. Ketiga, bila masih ditemukan

pelaku yang melakukan pelanggaran serupa, maka akan dibawa ke

kantor Satpol PP/WH dan akan diberikan pembinaan. Umumnya

pelanggaran tentang kewajiban berbusana islami ini banyak

dilakukan oleh anak-anak yang masih berusia muda atau remaja.

Pada dasarnya, sebelum lahirnya Qanun yang mengatur

tentang berbusana islami ini, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000

(Pasal 15) secara khusus juga telah mengatur tentang kewajiban

berbusana islami bagi umat Islam di Aceh dan para

pelancong/wisatawan yang datang berkunjung ke Aceh. Di katakan

bahwa setiap Muslim dan Muslimah wajib berbusana sesuai dengan

tuntunan ajaran Islam, baik dalam kehidupan keluarga maupun

dalam pergaulan masyarakat, setiap pemeluk agama selain agama

Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/

busananya sehingga tidak melanggar tata krama dan kesopanan

dalam masyarakat, dan bagi para pelancong atau wisatawan dari luar

Aceh supaya dapat menyesuaikan tindakan, kegiatan dan busananya

dengan kehidupan masyarakat Aceh yang islami.43 Hemat penulis,

pasal ini bukan bertujuan untuk membatasi umat non-Muslim atau

43 Perda Nomor 5 Tahun 2000 Pasal 15, BAB IV Aspek Pelaksanaan

Syari’at Islam. Bagian Ketujuh Pelaksanaan Bidang Kemasyarakatan, Pasal 15.

Page 111: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

98 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

wisatawan yang berkunjung ke Aceh, tetapi agar terciptanya

masyarakat yang lebih teratur, rapi serta penuh kesopanan sesuai

dengan tata krama.

Page 112: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

99

BAB V

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama

ab ini membicarakan tentang dampak implementasi

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 terhadap kondisi

kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh dari waktu ke

waktu hingga yang penulis amati selama penelitian berlangsung.

A. Kerukunan Internal Umat Islam

Islam adalah esensi sekaligus nama. Esensinya kepasrahan

kepada Tuhan, dan namanya adalah Islam itu sendiri seperti yang

dimengerti oleh masyarakat awam. Islam sebagai nama agama

merupakan bentuk dari akar yang sama yakni salam yang berarti

perdamaian, kata ini kemudian menunjuk pada Islam sebagai agama

yang damai. Dalam interaksi dikehidupan masyarakat, maka setiap

orang dianjurkan untuk menebarkan kedamaian dengan sesama

melalui ucapan salam; “assalammualaikum” (semoga keselamatan,

keberkahan, dan kasih sayang dari Allah menyertai Anda sekalian).1

Memberikan ucapan salam kepada orang lain merupakan sebuah

perwujudan yang nyata dari sikap seseorang bahwa bersama-sama

untuk menjalani kehidupan yang sejahtera dan perdamaian. Oleh

karena itu, dengan Islam setiap manusia dapat menjalani kehidupan

yang damai, sejahtera dan penuh cinta kasih antarsesama umat

manusia. Hal tersebut kemudian mengharuskan setiap umat manusia

untuk saling menghargai dan menghormati antarsesama sesuai

dengan hak-hak yang terdapat pada diri setiap individu. Bentuk

1 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan

Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 30.

B

Page 113: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

100 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

penghargaan dan penghormatan itu diwujudkan dalam persaudaraan

antarsesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami (ukhuwwah

islamiyah).

Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dalam kehidupan

masyarakat Aceh pada dasarnya telah menunjukkan adanya

kehidupan yang penuh kedamaian dan juga sangat mementingkan

hubungan antarsesama manusia. Persaudaraan antara umat Islam

telah berjalan baik dan serasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

keislaman tersebut. Fakta tersebut dapat dilihat apabila ada

kemalangan atau hajatan dalam masyarakat, maka tetangga dekat

disekelilingnya akan membantu dengan senang hati. Masyarakat

Aceh dikenal sangat toleran dan mempunyai sifat gotong royong

yang tinggi. Namun sejak terjadi konflik bersenjata tahun 1989

hingga masa damai 2005 lalu, orang asing (non-Aceh) enggan untuk

masuk ke Aceh dengan berbagai alasan, salah satunya yaitu karena

orang Aceh dianggap tidak mau menerima orang luar dan tertutup.

Kenyataan ini pada dasarnya diakibatkan karena adanya konflik

yang berlangsung lama, sehingga ketakutan, kecemasan, dan

kecurigaan selalu membayangi masyarakat Aceh, sehingga orang

luar merasa enggan untuk berkunjung ke Aceh. Setelah terjadi

tsunami dan kesepakatan damai melalui MoU Helsinki, kini orang

Aceh kembali terbuka dengan dunia luar dan tidak lagi tertutup.2

Amatan penulis melihat bahwa kehidupan organisasi

masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya di

Kota Banda Aceh juga terlihat kondusif, sikap gotong royong dan

kerjasama telah terlihat tumbuh diantara sesama anggota ormas.3

2 Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis,

Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 102.

3 Sedikit catatan bahwa dalam kehidupan bangsa saat ini kerukunan internal

umat Islam dapat dikatakan berjalan baik, khususnya di antara kelompok-kelompok

besar keagamaan.Secara jelas dapat dilihat lompatan yang sangat jauh hubungan

NU dengan Muhammadiyah sekarang dibandingkan masa silam. Lihat Bahrul

Page 114: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 101

Hal ini berbeda dengan organisasi partai politik yang terlihat lebih

mengedepankan sikap persaingan diantara mereka, sehingga

benturan gagasan maupun fisik sering terjadi yang berujung pada

pertikaian diantara mereka (terutama pada momen pilkada).

Tentunya sikap-sikap seperti itu dilatar belakangi atas berbagai

kepentingan dari masing-masing kelompok, baik kepentingan

jabatan maupun kekuasaan. Dalam lingkup yang lebih luas,

persaingan yang terjadi antar anggota kelompok partai tidak lebih

dari perebutan aset dan akses untuk memenuhi anggota

kelompoknya masing-masing, baik itu partai lokal maupun nasional

di Kota Banda Aceh.

Dalam hal toleransi, masyarakat Aceh juga dapat dikatakan

memiliki budaya yang penuh dengan toleransi tinggi. Hal ini

misalnya ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan, termasuk

persoalan memberi hak dan penghormatan kepada orang lain.

Contoh prinsip sederhana ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-

hari, ketika ada sekelompok orang Aceh sedang berbicara

menggunakan bahasa daerah, apabila ada orang lain yang datang

bergabung dengan kelompok itu sementara tidak bisa berbahasa

Aceh, orang Aceh bisa mengalihkan bahasanya dari bahasa Aceh ke

bahasa Indonesia. Di samping memberi toleransi dalam aspek

kebahasaan, orang Aceh juga telah memberikan toleransi kepada

kaum wanita, yakni dengan memposisikan mereka pada

kewanitaannya. Hal ini terlihat dari sejarah beberapa ratus tahun

lalu bahwa masyarakat Aceh telah merealisasikan kesetaraan

gender. Dalam catatan sejarah, Aceh pernah mempunyai panglima

perang wanita yang rela mati dan terjun langsung ke medan

pertempuran untuk melawan dan mengusir penjajah, seperti Cut

Nyak Dhien, Cut Mutia, Pocut Baren, dan lain sebagainya. Selain

itu, Aceh juga mempunyai laksamana wanita yang memimpin

Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT. Saadah Cipta

Mandiri, 2012), h. 42.

Page 115: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

102 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

armada angkatan laut, yakni Laksamana Keumalahayati, Laksamana

Leurah Ganti, Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen, dan lain-lain.

Sejarah tersebut memberi gambaran bahwa budaya Aceh telah

memberi toleransi kepada masyarakat dan menjunjung tinggi

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian

budaya toleransi, penghormatan terhadap hak-hak wanita, dan

masyarakat asing merupakan karakter budaya Aceh yang sudah

tertanam sejak lama.4

Di salah satu Gampong Asoe Nanggroe, Kecamatan Meuraxa

Kota Banda Aceh yang penulis amati, terlihat bahwa kehidupan

umat Islam berjalan damai, atmosfir persaudaraan sangat terlihat

kental di tempat ini. Budaya gotong royong, saling menghargai,

mengormati, dan bekerjasama telah menjadi realitas dalam

kehidupan keseharian masyarakat. Hal ini terlihat dalam setiap

kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat selalu berlangsung secara

kolektif. Selain itu, kegiatan dalam bulan suci ramadhan juga

dilakukan secara bersama-sama oleh umat Muslim, baik shalat

tarawih, tadarus Al Qur’an, maupun buka puasa bersama. Sikap

gotong royong warga masyarakat juga sangat terlihat seperti halnya

ketika prosesi pembangunan rumah ibadah. Dalam hal ini setiap

warga masyarakat tak terkecuali juga terlihat berperan aktif dalam

mengikuti kegiatan gotong royong pembangunan rumah ibadah ini,

dari mulai peletakan batu pertama hingga sampai selesai

pembangunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, umat Muslim

juga terlihat sangat kompak, kegiatan bakti sosial sering dilakukan

di wilayah Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah, santunan

anak yatim, dan lain sebagainya. Suasana kekeluargaan yang telah

terjalin dengan baik di Gampong Aso Nanggroe juga dirasakan oleh

warga suku Jawa yang merantau dan tinggal di wilayah tersebut. Ia

menuturkan bahwa orang Aceh sangat bersahabat dan bersikap

4 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial

Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29.

Page 116: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 103

terbuka kepada dirinya. Setiap kegiatan sosial maupun keagamaan

yang diadakan di gampong tersebut selalu ia ikuti tanpa rasa takut,

ia menganggap bahwa warga Aceh telah menerimanya dan

menganggapnya sebagai saudara.

Penghayatan terhadap hukum agama yang diimplementasikan

melalui syari’at Islam juga berperan besar dalam membentuk

masyarakat Kota Banda Aceh yang lebih santun. Aturan untuk

memperbanyak kegiatan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor 11

Tahun 2002 ini telah menunjukkan hal positif di masyarakat.

Misalnya perintah untuk melakukan shalat berjamaah di Masjid,

telah terbukti dapat menyatukan umat Islam dan meredam gejala-

gejala konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi di Kota Banda

Aceh. Selain itu, sejalan dengan visi Kota Banda Aceh sebagai

model Kota Madani merupakan sebuah cita-cita terbentuknya

masyarakat yang damai, adil, dan beradab.

Namun meskipun kehidupan masyarakat Islam terlihat damai,

bukan berarti tidak pernah terjadi konflik. Hasil temuan penulis

mencatat bahwa konflik berskala lokal (kecil) yang pernah terjadi

dalam internal umat Muslim di Kota Banda Aceh yaitu adanya

pandangan berbeda dalam hal pengelolaan manajemen pelaksanaan

shalat Jum’at Masjid Raya Baiturrahman. Meski peristiwa ini

terbilang lokal (tidak menimbulkan korban jiwa, tidak melibatkan

banyak pihak dan juga tidak meluas), namun sempat menyita

perhatian masyarakat. Peristiwa ini terjadi pada Jum’at 19 Juni 2015

di mana saat itu umat Muslim tengah bersiap-siap untuk melakukan

shalat Jum’at di Masjid tersebut. Kejadian ini bermula ketika

pemuka agama dari Himpunan Dayah Aceh (HUDA), Majelis

Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI)

mengambil alih manajemen pelaksanaan tata tertib shalat Jum’at di

Masjid Raya Baiturrahman.

Para pemuka agama yang datang ini memaksa khatib untuk

menggunakan tongkat dalam menyampaikan khutbahnya dan

Page 117: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

104 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

mengharuskan mengumandangkan azan dua kali, hal ini yang tidak

pernah dilakukan dalam ritual shalat Jum’at di Masjid Raya

Baiturrahman sebelumnya.Para ulama ini menganggap bahwa

pelaksanaan ibadah terutama dalam hal tata tertib shalat Jum’at di

Masjid Raya Baiturrahman telah melenceng jauh dari kaidah

ahlussunnah wal jama’ah, sehingga harus dikembalikan sesuai

kaidahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Tgk. Bulqani

Tanjongan selaku Sekjen HUDA, mengatakan bahwa pihaknya dan

seluruh ulama di Aceh ingin mengembalikan pelaksanaan ibadah di

Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana kejayaan Aceh di masa

Kerajaan Sultan Iskandar Muda dahulu. Menurutnya bahwa masalah

ini bukan upaya untuk mengkudeta masjid, bukan juga tentang

khilafiah tapi sesuatu yang telah dipolitisir sedemikian rupa oleh

kalangan yang telah menguasai manajemen Masjid Raya

Baiturrahman. Sehingga ia menginginkan tata cara pelaksanaan

shalat Jum’at harus sesuai dengan mazhab Syafi’i dan kaidah

ahlussunnah wal jama’ah.5

Dari berbagai kajian referensi yang penulis dapatkan, pada

dasarnya benturan atau konflik yang terjadi sesama umat Islam di

Kota Banda Aceh tidak terkait dengan politik kekuasaan untuk

menguasai manajemen Masjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi ada

masalah yang dianggap serius oleh para ulama, yakni adanya

penetrasi dari aliran Wahabi yang sangat agresif di kalangan

masyarakat, sehingga menurut para ulama aliran ini sangat

bertentangan dan jauh dari nilai-nilai Islam dalam praktek ibadah

masyarakat Aceh yang sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah

selama ini.6 Selain itu, konsep akidah dan ibadah yang berdasarkan

5 Harian Serambi Indonesia: aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoal-

benturan-antaramazhab-di-aceh. Diakses tanggal 1 September 2016.

6 Sedikit catatan, sesungguhnya perbedaan-perbedaan mazhab ini telah

banyak berkembang di dunia Islam, baik yang menolak maupun yang fanatik

terhadap mazhab. Khususnya perbedaan mazhab yang menyangkut tentang akidah

Page 118: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 105

ahlussunnah wal jama’ah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

Aceh telah mendapat legalitas formal melalui Qanun Nomor 11

Tahun 2002 yang wajib untuk dijalankan.

Pendapat penulis mengatakan bahwa pada intinya kasus

konflik/benturan mazhab yang pernah terjadi di Kota Banda Aceh

tersebut seyoginya tetap dilihat sebagai kasus yang dalam

kehidupan bermasyarakat juga kerap terjadi (masih dalam tingkat

kewajaran), karena kasus seperti itu juga pernah terjadi di wilayah

lain di Indonesia maupun dunia Islam lainnya. Jika dicermati bahwa

timbulnya kasus di atas memang sempat menodai wajah kerukunan

internal umat Islam di Kota Banda Aceh yang selama ini dikenal

rukun dan damai, namun dengan adanya kasus itu tidak juga

menghancurkan gambaran kehidupan kerukunan umat Muslim di

Kota Banda Aceh saat ini. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya

umat Muslim di Kota Banda Aceh memiliki daya resistensi yang

tinggi dalam memelihara kerukunan dan menjaga persaudaraan

ukhuwwah islamiyah. Meminjam istilah dari Adian Husaini bahwa

wajah kerukunan umat beragama (Umat Muslim di Kota Banda

Aceh) saat ini tetap cantik. Kasus-kasus yang muncul bisa

diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik.

Pandanglah wajah yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya

memandangi dan membesar-besarkan jerawat yang muncul. Tentu

saja jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati bisa

menimbulkan infeksi yang dapat merusak wajah cantik secara

keseluruhan. Upaya sejumlah pihak untuk menonjol-nonjolkan kasus

(madzahib i’tiqadiyah) telah membawa berbagai tragedi dan musibah di negeri-

negeri Islam dan memecah belah barisan kaum Muslimin. Perbedaan ini sangat

disayangkan dan harus ditiadakan. Umat Islam harus bersatu dalam mazhab

ahlussunnah wal jama’ah yang mencerminkan pemikiran Islam yang benar di masa

Rasulullah dan Khilafah Rasyidah yang telah diumumkan oleh Nabi Muhammad

sebagai kelanjutan dari Sunnahnya. Lihat Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat (Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid) (Jakarta: Robbani Press 2007),

Cet. 15, h. 94.

Page 119: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

106 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dengan menutup gambaran besar wajah kerukunan umat Islam yang

harmonis, justru bisa menjadi sumber masalah baru.7

Secara keseluruhan kehidupan umat Muslim di Kota Banda

Aceh terlihat harmonis. Adanya ikatan kekerabatan dan

kekeluargaan dalam kehidupan sosial masyarakat di Kota Banda

Aceh juga menjadi faktor penting, ini terlihat dari interaksi dengan

adanya kerja sama saling membantu dan tolong menolong satu sama

lainnya merupakan hal biasa yang sering dilakukan oleh masyarakat.

Timbulnya kasus konflik/benturan mazhab yang sempat terjadi

merupakan sebuah dinamika dalam mewarnai kehidupan umat Islam

di kota ini. Karena dengan adanya konflik tersebut, saat ini

masyarakat terlihat lebih terbuka untuk menerima adanya perbedaan

pandangan, pendapat, dan lebih mementingkan persatuan ukuwwah

islamiyah antarsesama masyarakat Kota Banda Aceh. Pelaksanaan

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar

Islam telah memberi dampak positif terhadap persatuan umat Islam

di Kota Banda Aceh, karena yang paling ditekankan dalam Qanun

tersebut adalah praktek-praktek yang sifatnya kolektif bukan

individual, seperti shalat fardhu berjamaah, pengajian agama, dan

lain sebagainya yang pada intinya akan membuat umat Islam

bersatu dan rukun.

B. Kerukunan Antarumat Beragama

Secara keseluruhan, kondisi kerukunan umat beragama di

Aceh telah berjalan baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan

oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ziauddin

dalam focus group discussion yang diselenggarakan oleh Kantor

Wilayah Kementrian Agama Aceh menyatakan bahwa toleransi dan

kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan baik sehingga

7 Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata

Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 20-21.

Page 120: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 107

perlu terus untuk dipertahankan.8

Sementara menurut pemuka

agama Katolik, Pastor Sebastianus Eka BS menilai bahwa toleransi

dan kerukunan antarumat beragama di Aceh telah terjalin baik dan

harmonis selama ini meski non-Muslim menjadi pemeluk agama

minoritas. Kerukunan itu tercapai dengan hal yang sederhana,

misalnya rela bertegur sapa secara baik dan mengusahakan selalu

agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Selain itu juga

berusaha selalu ikut menghargai kebiasaan masyarakat Muslim

Aceh. Misalnya saat bulan puasa, umat Katolik tidak makan minum

atau merokok di tempat umum, pengenaan busana juga disesuaikan

dengan penduduk setempat.9 Sementara itu, Gubernur Aceh, Zaini

Abdullah juga mengatakan bahwa pemerintah Aceh menjamin

kebebasan dan kerukunan hidup antarumat beragama serta tidak

diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas. Pelaksanaan

syari’at Islam di wilayah Aceh hanya berlaku bagi umat Muslim

saja, sehingga tidak benar jika ada berita yang mengatakan bahwa

umat non-Muslim juga harus mengikuti hukum syari’at Islam yang

diberlakukan. Isu negatif dan provokatif tentang pelaksanaan

syari’at Islam diterapkan bagi non-Muslim di Aceh itu tidak lebih

dari konsumsi politik untuk mendiskreditkan masyarakat dan

Pemerintah Aceh. Ia juga menegaskan bahwa syari’at Islam yang

diberlakukan di Aceh lebih mengedepankan pendekatan pendidikan,

adat dan budaya, sehingga hal itu tidak akan mengganggu

kerukunan hidup antarumat beragama yang telah terjalin lama di

Aceh.10

8 Antara News: http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunan-

umat-beragama-di-aceh-terlaksana-baik. Diakses tanggal 29 Februari 2016.

9 Kabar Gereja: http://www.kabargereja.papua.us/2011/06/mengintip-toleransi-antar-umat-beragama.html. Diakses tanggal 29 Februari 2016.

10 Republika: republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernur-aceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama. Diakses tanggal 2 Juni 2016.

Page 121: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

108 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Demikian juga dengan Kota Banda Aceh, meskipun secara

mayoritas penduduk kota ini adalah Muslim, namun masyarakat

non-Muslim tetap nyaman dan aman berada di wilayah ini. Fakta ini

terlihat dari hasil kajian-kajian dan amatan dilapangan, penulis

melihat bahwa kehidupan warga non-Muslim di Kota Banda Aceh

tidak mengalami kendala apapun baik dalam pelaksanaan ibadah

maupun dalam aktifitas sehari-hari. Mereka juga tidak merasa

keberatan dengan diberlakukannya syari’at Islam. Sikap saling

menghormati dan semangat hidup berdampingan telah menjadi

warna dalam kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh.

Sehingga pemberlakuan syari’at Islam secara menyeluruh bukan

menjadi sebuah ancaman bagi non-Muslim di kota ini.

Kota Banda Aceh telah dikenal dunia nasional maupun

internasional sebagai salah satu kota yang sangat toleran dalam

kehidupan umat beragama. Sudah dari dulu kota ini dikenal sebagai

kota yang sangat toleran terhadap keberagamaan umat beragama,

bahkan hingga saat ini Banda Aceh menjadi kota yang kondusif

dengan tingkat kerukunan umat beragama yang tinggi. Bagi

masyarakat Aceh, hidup bersanding dengan keanekaragaman suku,

ras, dan agama merupakan bagian dari warisan endatu.11

Kesetaraan

adalah hak setiap orang, dan hal itu terus menerus diwariskan

kepada generasi selanjutnya, hingga sampailah pada kearifan lokal

yang kemudian membentuk sebuah peradaban bagi masyarakat Kota

Banda Aceh. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua

FKUB Kota Banda Aceh, Eliaudin Gea yang mewakili umat Nasrani

juga mengakui bahwa kerukunan antarumat beragama di Banda

Aceh telah terjalin sejak lama. Ia menuturkan bahwa sudah 38 tahun

11 Endatu merupakan istilah yang digunakan oleh orang Aceh untuk

menyebut leluhur mereka (Nenek Moyang).

Page 122: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 109

tinggal di Kota Banda Aceh namun tidak pernah terjadi konflik,

kehidupan antarumat beragama telah berjalan harmonis di kota ini.12

Selanjutnya dalam kaitan dengan implementasi Qanun Nomor

11 Tahun 2002 oleh masyarakat Kota Banda Aceh, penulis berusaha

melakukan kajian dari berbagai sumber pustaka dan amatan

lapangan yang kemudian menganalisis dan mengklasifikasikannya

terhadap dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dalam

kehidupan sosial yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama.

1. Aktivitas Ekonomi

Amatan dan analisa penulis mengungkapkan bahwa

kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh nampak

harmonis, serasi dan saling tolong menolong dengan ikatan

persaudaraan. Hal tersebut telah menciptakan institusi atau tradisi

yang mampu meredam terjadinya konflik antarumat beragama.

Interaksi sosial yang terjalin antara umat Muslim dan non-Muslim

telah terjadi begitu lama di wilayah ini, dan tidak hanya sewaktu-

waktu saja, sehingga hal tersebut telah melahirkan kerukunan

antarumat yang berbeda agama. Semua umat beragama mendapat

peluang yang sama dalam menjalani kehidupan dan juga bekerja di

Kota Banda Aceh. Dalam sektor perdagangan, dapat dikatakan

bahwa hampir setengahnya tokok-toko yang berada di kawasan

Kota Banda Aceh pemiliknya adalah non-Muslim. Bahkan

dikawasan pasar Peunayong hampir 70 persen dikuasai oleh etnis

Tionghoa yang beragama Buddha dan Kristen. Di sini terlihat

bahwa status sebagai umat minoritas yang melekat pada mereka

tidak menjadi hambatan untuk terus berkembang dan turut andil

dalam menyumbang pajak daerah, menciptakan lapangan kerja dan

juga turut serta dalam memajukan Kota Banda Aceh dalam sektor

perekonomian. Toko-toko yang mereka miliki itu baik karyawan

maupun pelanggannya kebanyakan juga dari kalangan Muslim,

12 Web Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh: syariatislam.bandaaceh.

go.id/illiza-masyarakat-madani-sangat-toleran/. Diakses tanggal 20 Oktober 2016.

Page 123: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

110 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sehingga interaksi yang terjalin antara sesama pedagang yang

berlatar belakang agama berbeda sering terjadi setiap saat. Dengan

demikian terlihat bahwa interaksi yang terjalin antara umat Muslim

dan non-Muslim tidak hanya sebatas pada acara-acara formal saja,

namun juga dalam kegiatan sehari-hari yang lebih sederhana dan

bersahabat. Interaksi antara masyarakat yang berbeda agama

tersebut terjadi dalam aktivitas ekonomi. Benteng akidah Islam

telah tertanam kuat dalam diri umat Muslim di Kota Banda Aceh.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 telah membawa dampak positif bagi warga

Muslim dan non-Muslim, hal ini karena implementasi Qanun

tersebut tidak menghambat atau mengganggu segala aktivitas

ekonomi warga Kota Banda Aceh yang berbeda keyakinan.

2. Pendidikan dan Perayaan Hari Besar Keagamaan

Disalah satu wilayah Kota Banda Aceh yang penulis amati,

yakni dikawasan Peunayong terdapat keanekaragaman yang menarik

di mana terdapat Masjid, Gereja Protestan dan Katolik, Kuil Hindu,

dan Vihara Buddha berada dalam satu kawasan. Di kawasan ini juga

dapat dijumpai masyarakat majemuk yang tidak hanya dalam bidang

agama, budaya tetapi juga pendidikan. Seperti halnya terdapat

Sekolah Methodist yang didirikan oleh umat Protestan di bawah

naungan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), di

mana tenaga guru maupun siswa-siswinya tidak hanya dari GPIB

Protestan saja, melainkan dari berbagai latar belakang yang berbeda-

beda. Diantaranya tercatat bahwa terdapat tenaga pengajar yang

beragama Islam, siswa beragama Kristen, Katolik, Buddha dan

Islam. Pada dasarnya dalam bidang pendidikan, umat non-Muslim

juga mendapatkan hak yang sama untuk menerima pendidikan yang

baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Sehingga terlihat

seperti ada pertukaran tempat belajar, misalnya siswa non-Muslim

ada yang sekolah di tempat umum yang notabenenya sekolah

Page 124: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 111

Muslim, sebaliknya siswa Muslim ada yang sekolah di tempat non-

Muslim, namun jumlahnya sedikit. Untuk kasus seperti ini biasanya

siswa non-Muslim tidak mengikuti pelajaran agama Islam yang

diberikan di sekolahnya, namun mereka mengambil nilai pelajaran

agama dari Gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Begitu juga

bagi siswa Muslim, mereka akan mengambil nilai mata pelajaran

agama Islam di tempat ia biasa mengaji, seperti di TPA atau tempat

pengajian lainnya.

Menurut umat Protestan bahwa ada beberapa aspek yang

mempengaruhi kerukunan antarumat beragama di Kota Banda Aceh,

diantaranya ialah telah timbul kesadaran beragama dari semua

warga untuk saling menghargai, menghormati, dan memberi

kebebasan khususnya kepada non-Muslim untuk menjalankan hak

dan kewajiban sesuai dengan ajaran agamanya. Begitu juga mereka

meyakini bahwa setiap agama yang mereka anut mempunyai aturan-

aturan tersendiri dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, alam,

maupun dengan sesama manusia. Nilai-nilai inilah yang sepertinya

telah tertanam pada masyarakat Kota Banda Aceh. Sehingga seperti

terlihat sekarang antara umat Protestan dan Muslim hidup

berdampingan dalam keadaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi

keributan antara kedua agama ini. Umat Protestan dapat bergaul,

bekerja dan membaur dengan masyarakat Muslim lainnya.

Sementara itu, dikawasan lain tepatnya didekat lapangan Blang

Padang, terdapat Yayasan Pendidikan Perguruan Katolik Budi

Dharma Banda Aceh. Lembaga sekolah dalam naungan yayasan ini

terdiri dari tiga jenjang, yaitu SD, SMP, dan SMA. Dalam ketiga

jenjang sekolah ini juga terdapat kemajemukan, di mana tenaga guru

dan siswanya juga berasal dari agama yang berbeda. Di tingkatan

SD dan SMP hampir setengah dari tenaga gurunya adalah Muslim,

dan di SMA lebih meningkat yakni banyak tenaga gurunya yang

berasal dari kalangan Muslim. Sedangkan siswa yang sekolah di

tempat ini rata-rata berasal dari agama yang berbeda pula, yakni

Page 125: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

112 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Katolik, Protestan, Buddha, dan Islam. Seperti halnya pada kasus

sebelumnya, khusus bagi siswa-siswa non-Katolik, mereka akan

mengambil nilai mata pelajaran agama di tempat ia biasa belajar

agama, seperti gereja, vihara, dan TPA atau tempat pengajian

lainnya.

Umat Hindu terlihat damai hidup di Kota Banda Aceh,

persahabatan dengan umat Muslim sudah terjalin sangat lama.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka sering berinteraksi dengan

umat Muslim. Bentuk interaksi yang sering terjadi biasanya tatap

muka langsung melalui aktivitas jual beli, pertemuan-pertemuan

antar warga dalam kegiatan sosial, dan kegiatan-kegiatan

keagamaan lainnya yang sering dilakukan. Misalnya saja ketika

umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, umat

Hindu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke tetangga-

tetangga disekitar rumah mereka yang Muslim. Atas kunjungan itu,

umat Muslim yang dikunjungi juga menerima mereka dengan ramah

dan penuh persaudaran. Hal yang sama biasanya juga dilakukan oleh

umat Muslim, di mana saat umat Hindu sedang merayakan hari-hari

keagamaannya, sebagian umat Muslim ada juga yang datang ke Kuil

walaupun tujuan mereka hanya sekedar melihat-lihat saja. Umat

Hindu biasa melakukan ibadah setiap malam Jum’at, waktunya

biasa dimulai dari jam delapan malam hingga selesai. Jamaah yang

hadir biasanya selalu ramai, selain jamaah tetap kadang juga jamaah

yang berasal dari luar Kota Banda Aceh. Dari segi sarana

pendidikan, umat Hindu belum memiliki lembaga pendidikan

sendiri, hal ini dikarenakan jumlah umat Hindu sangat sedikit

sehingga hal itu belum dapat diwujudkan. Maka untuk sementara

siswa-siswa yang beragama Hindu harus belajar di sekolah-sekolah

umum yang ada di Kota Banda Aceh.

Umat Buddha juga merasa aman dan nyaman berada di

wilayah Kota Banda Aceh, karena hukum syari’at Islam yang

diberlakukan tidak menghalangi atau mengganggu ibadah dan

Page 126: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 113

aktivitas keseharian mereka. Justru sikap toleran lebih banyak

diajarkan oleh para Bikhu kepada para umatnya, seperti halnya saat

bulan puasa dilarang untuk makan dan minum di tempat-tempat

umum yang nantinya dapat mengganggu kekhusyukan ibadah umat

Muslim. Toleransi dan kerukunan antarumat beragama terjalin

sangat baik di Kota Banda Aceh. Untuk menjaga keakraban dengan

umat Muslim, biasanya umat Buddha selalu melakukan silaturrahmi

ke tempat-tempat orang Muslim, terutama saat Idul Fitri dan Idul

Adha. Selama ini belum terlihat ada hal-hal yang mengarah kepada

perpecahan dan konflik antara umat Muslim dan umat Buddha.

Sehingga persaudaraan yang terjalin antara kedua agama ini sangat

harmonis dan rukun. Dalam segi pendidikan, agama Buddha sama

halnya dengan agama Hindu, yaitu belum mempunyai lembaga

pendidikan khusus bagi mereka dengan alasan jumlah umat Buddha

yang masih sedikit. Sehingga mereka juga harus sekolah di tempat

lembaga lain, seperti di Sekolah Methodist, Yayasan Katolik,

maupun sekolah umum lainnya yang ada di Kota Banda Aceh.

3. Sosial Budaya dan Kemanusiaan

Ada beberapa kegiatan yang biasanya sering dilakukan secara

bersama-sama antara warga masyarakat Muslim dan non-Muslim

yang bersifat sosial. Seperti halnya gotong royong membersihkan

lingkungan gampong sekitar dalam menyambut hari kemerdekaan

Republik Indonesia. Semangat gotong royong ini merupakan salah

satu elemen yang berkembang di masyarakat yang telah berlangsung

selama bertahun-tahun, hal ini yang menjadi penyebab mereka dapat

hidup rukun antar warga yang berbeda keyakinan. Antara warga

Muslim dan non-Muslim tidak menaruh curiga dan justru sebaliknya

mereka saling mendukung satu sama lain. Amatan penulis kegiatan

yang bersifat sosial ini nampak berjalan baik di wilayah Kota Banda

Aceh. Kegiatan lain sepertitradisi mengunjungi salah seorang warga

yang tertimpa musibah meninggal dunia atau sakit juga masih

Page 127: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

114 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

sangat kuat. Bahkan kegiatan saling kunjung mengunjungi ini

dilakukan oleh warga tanpa memandang latar belakang etnis, suku,

maupun agama.

Peran dan partisipasi aktif lain bersifat budaya yang pernah

diikuti oleh warga non-Muslim di Kota Banda Aceh yakni

keikutsertaannya dalam kegiatan Festival Peunayong dalam rangka

Visit Banda Aceh dan memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-806 Kota

Banda Aceh yang diadakan pada 6 hingga 7 Mei 2011. Bahkan

keterlibatan non-Muslim dalam kegiatan ini tidak hanya sebagai

peserta festival, namun juga sebagai panitia pelaksana. Dalam

kegiatan tersebut, panitia menampilkan pameran budaya dari warga

keturunan Tionghoa, membuka stand jajanan khas etnis Tionghoa

serta menampilkan atraksi Barongsai. Di stand tersebut masyarakat

umum dapat melihat secara langsung berbagai karya seni, kerajinan

tangan, foto-foto sejarah dan berbagai foto kegiatan warga

Tionghoa di Aceh dari masa ke masa. Dengan adanya stand

tersebut, masyarakat umum dapat secara langsung mengetahui dan

mempelajari tentang berbagai macam kebudayaan khas etnis

Tionghoa. Selain itu, adanya atraksi Barongsai dalam festival

tersebut telah menyita perhatian dan antusiasme masyarakat Kota

Banda Aceh yang datang menyaksikan langsung. Hal ini menjadi

pemandangan luar biasa karena baru pertama kali diadakan atraksi

Barongsai di Kota Banda Aceh. Selain atraksi Barongsai, dalam

festival tersebut juga menampilkan beberapa tarian khas Aceh,

seperti Tari Seudati dan Ranup Lampuan. Uniknya peserta dari dua

tarian tersebut tidak hanya berasal dari orang Aceh yang beragama

Islam saja, tetapi juga melibatkan orang-orang Tionghoa yang

beragama Kristen dan Buddha. Dalam konteks menjaga kerukunan

antarumat beragama, kegiatan-kegiatan budaya semacam ini

ternyata dapat membantu dalam mengantisipasi timbulnya

ketegangan dan konflik di masyarakat yang multikultural. Festival

Peunayong tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat yang berbeda

Page 128: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 115

agama di Kota Banda Aceh dapat dipersatukan dan tidak kaku

dalam menyikapi adanya perbedaan.13

Dalam kegiatan sosial kemanusiaan, peran dan partisipasi

warga etnis Tionghoa di Kota Banda Aceh juga aktif, hal ini terlihat

dengan adanya berbagai kegiatan yang pernah dilakukan oleh

kominitas Hakka, yaitu organisasi yang menaungi salah satu suku

Cina yang ada di Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah,

kegiatan ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang selalu

dilakukan. Setiap tahun rata-rata 93 kantong darah berhasil

dikumpulkan oleh komunitas ini yang kemudian disumbangkan

melalui PMI; Aksi penyaluran bantuan beras bagi keluarga miskin

yang ada ditiap-tiap gampong di Kota Banda Aceh yang berasal dari

sumbangan warga keturunan Tionghoa; Pemberian bantuan untuk

korban banjir bandang di daerah Tangse Kabupaten Pidie pada

tahun 2010; dan aksi damai turun ke jalan dalam upaya untuk

membela etnis Rohingya yang tertindas di Myanmar. Mereka

menuntut agar pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama

Buddha agar menghentikan penindasan terhadap warga Muslim

Rohingya.

4. Rumah Ibadah

Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia yang

masih sering menjadi persoalan dan tak kunjung selesai hingga saat

ini, di Aceh khususnya telah berlaku aturan khusus untuk mengatur

hal tersebut.14

Mendirikan rumah ibadat di Aceh tentunya tidak

13 Muhammad Sahlan, “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di

Kota Banda Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 1, 2014), h.

124-125.

14 Dalam konteks budaya, rumah ibadat bagi masyarakat Indonesia bukan

hanya dimaknai sekedar simbol keagamaan saja, tetapi juga sebagai aktualisasi

keyakinan bagi tiap-tiap pemeluk umat beragama. Adanya rumah ibadat juga

sebagai sarana regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan

melalui pelestarian sistem keyakinan keagamaan yang dianut kelompok agama.

Page 129: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

116 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

semudah mendirikan rumah ibadat di daerah-daerah lain di

Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh telah membuat

regulasi khusus yang diatur dalam Pergub Aceh Nomor 25 Tahun

2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini yang

membedakan dari daerah-daerah lain di Indonesia yang secara umum

masih berpedoman pada PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Secara

garis besar pendirian rumah ibadat di Provinsi Aceh harus

didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan

komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang

bersangkutan di wilayah gampong yang dilakukan dengan tetap

menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman

dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-

undangan.15

Pada dasarnya aturan dalam Pergub ini tidak jauh berbeda

dari aturan sebelumnya yang termaktub dalam PBM, yakni untuk

mendirikan rumah ibadah setidaknya harus memenuhi beberapa

syarat, diantaranya syarat administratif, persyaratan teknis

bangunan gedung serta syarat khusus lainnya. Namun dalam

beberapa poin antara Pergub dan PBM terdapat perbedaan. Menurut

PBM, selain harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis

bangunan gedung, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi

persyaratan khusus. Syarat khusus itu adalah daftar nama dan KTP

pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh

pejabat setempat. Selain itu, ada dukungan dari masyarakat

setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau

kepala desa. Syarat lainnya, punya rekomendasi tertulis kepala

kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis

dari FKUB kabupaten/kota. Sementara perbedaan yang sangat

Lihat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama Republik Indonesia (Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, 2010), h. 5.

15 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 2.

Page 130: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 117

fundamental yakni tentang syarat utama pengajuan pembangunan

rumah ibadat. Dalam PBM disebutkan bahwa syarat utama yang

diajukan untuk membangun rumah ibadat adalah daftar nama dan

KTP calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang dan

dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.16

Sedangkan dalam Pergub Aceh mengharuskan daftar nama KTP

calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 orang dan

dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang.17

Dalam membuat perizinan rumah ibadat di Aceh memang

tidaklah mudah. Karena dalam praktiknya, aturan ini terkait dengan

banyak pihak, kerukunan hidup bersama, dan sejumlah nilai lokal

yang dipegang teguh oleh masyarakat. Apalagi di Aceh yang

mayoritas Muslim, perizinan pendirian rumah ibadah non-Muslim

menjadi perkara yang sensitif. Selain itu, sejak banyaknya LSM

yang masuk ke Aceh setelah tsunami, isu-isu pemurtadan dan

penyebaran agama menjadi salah satu isu penting dalam

perbincangan dialog antarumat beragama. Karena bagi masyarakat

Aceh kedua isu tersebut menjadi masalah yang sangat serius.

Memang sudah sepatutnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Daerah ketika membuat sebuah kebijakan yang menyangkut tentang

urusan umat seperti pembangunan rumah ibadat jangan sampai

merugikan satu pihak dan malah menguntungkan pihak lain. Prinsip

dasar yang harus kita junjung dalam hal pendirian rumah ibadat

selain harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada,

tetapi pada saat yang sama juga harus tetap menjaga kerukunan

antarumat beragama dan menjaga ketentraman serta ketertiban

masyarakat.

16 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, BAB IV Pendirian Rumah Ibadat,

Pasal 14.

17 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 3.

Page 131: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

118 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Secara khusus Pemko Banda Aceh melalui Perwal Nomor 24

Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan

Umat Beragama, mendefiniskan rumah ibadah sebagai bangunan

yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk

beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara

permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.18

Dari amatan

dan penilaian penulis di Kota Banda Aceh bahwa pendirian rumah

ibadah khususnya bagi non-Muslim masih stagnan, karena belum

terlihat adanya perkembangan/penambahan rumah ibadah baru sejak

Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pendirian Rumah

Ibadah mulai diberlakukan. Namun meski demikian, fakta yang

telah terlihat dilapangan menunjukkan bahwa sudah banyak tempat

ibadah umat Muslim dan non-Muslim yang telah berdiri megah dan

selalu aktif dalam menjalankan aktifitas ibadahnya sehari-hari di

kota ini. Masjid-masjid besar sebagai tempat ibadah umat Islam

sangat banyak dijumpai di Kota Banda Aceh dengan berbagai

keunikan yang terkandung di dalamnya; mulai ornamen, arsitektur,

hingga nilai sejarahnya. Salah satunya yakni Masjid Raya

Baiturrahman. Masjid ini terletak di pusat kotayang menjadi

kebanggan dan icon masyarakat Aceh serta tercatat sebagai salah

satu keajaiban dunia. Selain itu, keberadaan Masjid ini juga menjadi

tempat tujuan wisata islami bagi para wisatawan yang datang ke

Aceh.

Umat Katolik juga mempunyai tempat ibadah yang megah,

yakni Gereja Hati Kudus. Bahkan keberadaan gereja ini tidak jauh

dari Masjid Raya Baiturrahman yang hanya dipisahkan oleh sungai

Krueng Aceh dan jembatan saja. Gereja yang menjadi kebanggaan

bagi umat Katolik ini merupakan gereja tertua di Kota Banda Aceh

yang didirikan oleh kolonial Belanda pada tahun 1926 dan telah

resmi dipakai sebagai tempat kebaktian sejak 26 September 1962.

18 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,

Pasal 1.

Page 132: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 119

Gereja ini juga merupakan gereja terbesar dan menjadi pusat

beribadah bagi umat Katolik di Aceh. Sehingga gereja tersebut

mempunyai jumlah jemaat terbesar di wilayah ini khususnya di Kota

Banda Aceh. Kemudian sekitar satu kilometer dari Gereja Hati

Kudus, juga terdapat gereja megah, yakni Gereja Protestan di

Indonesia bagian Barat (GPIB), dan di sisi kiri GPIB, juga terdapat

Gereja Katolik Methodist. Selanjutnya sekitar satu kilometer dari

Gereja Katolik Methodist, juga terdapat Gereja Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP). Umat Katolik maupun Kristen merasa aman dan

nyaman dalam melaksanakan ibadahnya di tempat gerejanya

masing-masing, baik ibadah mingguan maupun perayaan hari besar

keagamaan, seperti natal.

Selain gereja-gereja tersebut, di Kota Banda Aceh juga

terdapat Kuil Palani Andawer yang terletak di Kecamatan Kuta

Radja. Kuil ini bernama lengkap Maha Kumbha Abhisegam Palani

Andawer yang tercatat telah berdiri sejak tahun 1934 M. Kuil ini

merupakan satu-satunya tempat ibadah bagi umat Hindu di Aceh,

dan juga sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi umat Hindu di

Kota Banda Aceh. Umat Buddha juga mempunyai rumah ibadah

megah, yakni Vihara Dharma Bhakti. Vihara yang terletak di daerah

Peunayong ini merupakan tempat ibadah tertua dan terbesar bagi

umat Buddha di Kota Banda Aceh. Vihara ini telah berdiri sejak

1936 M dengan nama Ta Pek Kong, salah satu dewa yang namanya

juga tertulis di wadah atau tempat menaruh dupa. Vihara ini

merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha yang berada di bawah

naungan Budhayana. Di Vihara tersebut setiap umat Buddha diberi

kebebasan untuk mengerjakan ajaran agamanya, umat Muslim

sangat mendukung dan tidak pernah mengusiknya.

Namun meski demikian, dari hasil penelusuran penulis

menemukan bahwa kasus-kasus kecil seperti penutupan tempat

ibadah yang tidak resmi juga pernah terjadi di Kota Banda Aceh

pada tahun 2012. Dalam kasus ini, sembilan gereja dan lima vihara

Page 133: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

120 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

dipaksa tutup karena dianggap ilegal dan menyalahi fungsi

bangunan ruko (rumah toko) sebagai tempat ibadah yang tidak

resmi. Pemko Banda Aceh membuat kesepakatan kepada pihak

gereja dan vihara untuk menutup kegiatan peribadatan mereka

karena tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Selain itu, dalam

kesepakatan itu Pemko Banda Aceh menyarankan agar para jemaat

dari sembilan gereja dan lima vihara itu untuk meminjam gedung

kepada tempat ibadah yang telah berizin di Kota Banda Aceh.19

Sementara itu, terkait dengan memberikan rekomendasi

tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah, hal ini sudah

berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. FKUB Kota Banda

Aceh sering memberikan rekomendasi atas permohonan pendirian

rumah ibadah khususnya Masjid. Sedangkan bagi umat agama lain

belum pernah ada yang mengajukan surat permohonan tersebut. Hal

ini tentu saja dapat dimaklumi, karena dengan masyoritas Muslim

terbanyak di wilayah kota ini, syarat untuk memenuhi pendirian

rumah ibadah bagi umat Muslim akan lebih mudah dibandingkan

dengan umat agama lain. Dari kasus tersebut penulis juga menilai

bahwa hal ini merupakan dampak dari ketatnya syarat yang harus

dipenuhi dalam pengajuan pendirian rumah ibadah di Aceh. Karena

untuk mendapat 120 persetujuan/dukungan dari warga sekitar

bukanlah perkara yang mudah, di tambah lagi beberapa umat

minoritas terkadang jumlahnya tidak lebih dari 150 orang sebagai

syarat pengajuan calon pengguna rumah ibadah. Maka sejak

dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 belum terlihat

ada rumah ibadah baru bagi umat non-Muslim di Kota Banda Aceh.

5. Kegiatan Dialog Antarumat Beragama

Kegiatan dialog antarumat beragama juga sering dilakukan

oleh Pemerintah Aceh, Kementerian Agama Wilayah Aceh, maupun

19 Kompas:regional.kompas.com2012/10/22.Gereja.di.Banda.Aceh. Kesuli

tan. Beribadah. Diakses tanggal 9 Agustus 2016.

Page 134: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 121

FKUB dengan melibatkan para tokoh dari berbagai lintas agama dan

elemen masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh. Beberapa dialog

yang pernah dilakukan di antaranya ialah sebagai berikut.Acara

dialog multikultural dan silaturrahmi antarumat beragama di Banda

Aceh tahun 2011 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lintas agama dari

sejumlah perwakilan organisasi keagamaan di Jakarta dan Banda

Aceh serta perwakilan umat beragama di Banda Aceh, seperti dari

MUI, PGI, Walubi, NU, Muhammadiyah, dan FPI. Dalam

kesempatan pertemuan tersebut, masing-masing perwakilan

menyampaikan kebanggaannya atas terjaganya toleransi antarumat

beragama di Aceh walaupun ada penerapan syari’at Islam. Umat

minoritas merasa aman dan cukup mendapat kebebasan dalam

menjalankan ritual keagamaannya di tengah dominasi mayoritas.20

Kemudian dialog antarumat beragama dan dialog antara umat

beragama dengan pemerintah pada tahun 2013 yang mengusung

tema Memelihara Kerukunan Umat Beragama Tugas Kita Bersama.

Dalam dialog yang dihadiri oleh berbagai unsur pemerintahan dan

utusan tokoh dari lintas agama ini menghasilkan beberapa

rekomendasi penting, yakni: Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota diminta untuk lebih berkomitmen dalam menjaga

dan memelihara kerukunan antarumat beragama, intern umat

beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah;

Dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama di Aceh,

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diminta untuk

membentuk FKUB; Dalam setiap penyelenggaraan pemilu

diharapkan agar tidak mempolitisasi agama dan umat beragama

dalam politik praktis yang dapat merusak kerukunan umat beragama

di Provinsi Aceh; dan mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA segera

20 Kompas: https://www.google.co.id/amp/nasional.kompas.com/amp/read/

kerukunan-umat-beragama-di-Aceh-terjaga. Diakses 20 November 2016.

Page 135: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

122 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

mengesahkan Qanun tentang Kerukunan Umat Beragama dan

Pendirian Rumah Ibadah.21

Selanjutnya dialog yang diselenggarakan oleh Kantor

Wilayah Kementrian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh di

Kota Banda Aceh tahun 2013. Dalam acara dialog tersebut, Pgs

Kanwil Kemenag Aceh H. Habib Badaruddin mengatakan bahwa

Kemenag Aceh terus berupaya meningkatkan dialog antarumat

beragama dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama di

wilayah Aceh. Salah satunya dialog antarumat beragama melalui

FKUB yang merupakan salah satu langkah dalam mengatasi konflik

antarumat beragama. Kerukunan umat beragama di Aceh telah

berjalan dengan baik dan tidak ada konflik antarumat beragama.

Untuk itu kegiatan dialog-dialog antarumat beragama agar dapat

terus dilakukan guna menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat

bahwa perbedaan suku, bangsa, dan perbedaan keyakinan adalah

sebuah realitas dalam kehidupan. Kesejahteraan sosial dan ekonomi

masyarakat akan terus berkembang jika terciptanya kondisi yang

kondusif, damai, dan kerukunan umat beragama yang ada di

masyarakat berjalan dengan baik. Kanwil Kemenag Aceh juga terus

mengajak para tokoh agama, pemuka agama, pemerintah dan semua

komponen masyarakat untuk bekerja sama dan terus berkoordinasi

dalam pemberdayaan kerukunan umat beragama yang telah terbina

baik selama ini di Provinsi Aceh. Kegiatan dialog ini diikuti oleh 40

peserta yang terdiri dari tokoh lintas agama dan FKUB dari

kabupaten/kota di wilayah Aceh.22

Kemudian kegiatan dialog dan workshop evaluasi dan

koordinasi tugas dan fungsi kerukunan umat beragama dan

21 Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/134101/dialog-antar-

umat-beragama-dan-dialog-antara-umat-beragama-dengan-pemerintah-hasilkan-rekomendasi. Diakses 20 November 2016.

22 Berita Sore: beritasore.com/2013/06/07/kemenag-aceh-tingkatkan-dialog-antar-umat-beragama. Diakses 20 November 2016.

Page 136: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 123

pembinaan Khonghucu pusat tahun 2015. Dalam acara tersebut,

Kanwil Kemenag Aceh, H.M Daud Pakeh mengatakan bahwa secara

umum kondisi kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan

baik dan harmonis dan selama ini tidak pernah ada konflik antara

etnik ataupun konflik agama. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota

menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai

agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama

umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama

yang dianut.23

Berikutnya kegiatan dialog dan rapat koordinasi

FKUB Provinsi Aceh di Banda Aceh tahun 2016. Dalam

kesempatan tersebut Gubernur Aceh meminta agar seluruh

Pemerintah Aceh, organisasi masyarakat, pemuka agama, dan

pengurus FKUB untuk terus bersatu padu guna mengantisipasi

potensi konflik dilingkungan umat beragama. Untuk itu peran aktif

dari para tokoh agama, pemuka agama, dan seluruh jajaran

pemerintah daerah untuk bersama-sama menjaga situasi kerukunan

yang kondusif di Aceh. Peran FKUB juga sangat vital dan selalu

dibutuhkan untuk merawat kerukunan antarumat beragama sehingga

potensi konflik dapat direda sedini mungkin.Selain itu masyarakat

juga diharapkan agar selalu menumbuhkan kesadaran untuk saling

menghargai perbedaan dan toleransi antarumat beragama.24

Sejak syari’at Islam secara resmi mulai diimplementasikan,

pihak pemerintah lebih intens dalam melakukan kegiatan dialog

antarumat beragama tersebut. Karena selain sebagai sarana

sosialisasi dalamupaya memberikan pemahaman terhadap berbagai

macam kebijakan, baik Perwal maupun Qanun Aceh lainnya,

kegiatan dilaog juga bertujuan untuk menampung aspirasi dan

masukan dari berbagai pihak, sehingga dalam pelaksanaan syari’at

23 Antara News: aceh.antaranews.com/berita/26338/kemenag-tak-ada-

konflik-agama-di-aceh. Diakses 20 November 2016.

24 NRM News: https://nrmnes.com/2016/06/17/kerukunan-antar-umat-beragama-butuh-peran-aktif-tokoh-agama. Diakses 20 November 2016

Page 137: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

124 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Islam nantinya tidak mengganggu dan menciderai kerukunan umat

beragama yang telah terbina baik di Kota Banda Aceh. Selain itu,

kegiatan sosialisasi dan dialog juga bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hubungan dan silaturrahmi antara pemerintah dengan para

pemeluk umat beragama di Kota Banda Aceh. Dalam upaya

mensosialisasikan setiap kebijakan baru, Pemko Banda Aceh

berusaha agar sedekat mungkin dengan masyarakat. Untuk itu

dalam beberapa kesempatan, Pemko Banda Aceh juga sering

mengadakan dialog yang melibatkan para tokoh lintas agama dan

elemen masyarakat lainnya yang bertempat di cafe ataupun warung

kopi. Diharapkan dengan pertemuan santai di warung kopi tersebut,

suasana kekeluargaan yang jauh dari kata formal itu akan lebih

mudah bagi masyarakat untuk menerima dan menyerap setiap

penjelasan dari maksud dan tujuan setiap kebijakan yang dibuat

pemerintah.

Selain itu, dalam menjaga kerukunan dan toleransi antarumat

beragama, peran FKUB sangat vital, hal ini karena dalam organisasi

FKUB telah mewakili dari masing-masing tiap umat beragama.

Tentu saja suasana kerukunan yang telah berjalan kondusif selama

ini di Kota Banda Aceh tidak lepas dari peran aktif FKUB dalam

mensosialisasikan kerukunan di wilayah tersebut. Karena itu dalam

beberapa kesempatan, FKUB juga sering mengadakan dialog dengan

pemuka agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha) serta

tokoh masyarakat lainnya dengan berbagai tema yang sedang hangat

dan berkembang pada saat itu. Tema itu tentunya tidak lepas dari

koridor kerukunan yang menjadi fokus utama FKUB. Beberapa

kegiatan dialog yang pernah dilakukan oleh FKUB di antaranya:

Pertama, Dialog Tokoh Lintas Iman pada tahun 2016 yang dihadiri

oleh berbagai tokoh dari lintas agama. Suasana dialog berjalan

komunikatif. Pertanyaan-pertanyaan sensitif tapi positif juga sering

diutarakan oleh peserta dialog, seperti pihak umat Kristen memohon

Page 138: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 125

pengajuan pendirian rumah ibadah.25

Selain itu, FKUB juga

berupaya untuk menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi

masyarakat yang dianggap penting yang kemudian diteruskan ke

Walikota. Selain aktif melakukan pertemuan dalam bentuk dialog,

FKUB juga berperan aktif dengan terjun langsung ke masyarakat.

Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh FKUB yaitu ikut

langsung dalam aksi damai yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh

untuk mendukung kemerdekaan Palestina di bulan ramadhan tahun

2014.

Sebutan untuk Banda Aceh sebagai Model Kota madani pada

dasarnya tidaklah berlebihan, hal ini terlihat dengan adanya

keanekaragaman yang hidup di kota ini namun warga

masyarakatnya tetap menjaga ketentraman, kerukunan, saling

tenggang rasa dengan nilai-nilai perbedaan yang terkandung di

dalamnya. Umat Islam sebagai penganut agama nomor satu terbesar

tidak pernah berupaya untuk mendiskreditkan atau bahkan

mengusik keberadaan kaum minoritas di wilayah ini. Mereka diberi

hak untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan

diberi tanggung jawab serta berkewajiban untuk menjaga ketertiban

dan keamanan masyarakat secara bersama-sama. Namun tentunya

untuk mewujudkan cita-cita Kota Madani tentunya tidaklah mudah.

Karena Kota Madani merupakan sebuah cerminan kehidupan kota

yang telah dibangun oleh Rasulullah ketika membangun Kota

Madinah. Ciri khusus kota madani ialah adanya sinergi dan

kerjasama antara pemimpin dengan rakyatnya. Kota Madani

ditandai dengan kota yang rakyatnya hidup damai, sejahtera, dan

penuh toleransi dengan selalu mengedepankan hukum-hukum

syari’at Islam. Banda Aceh sebagai kota madani tentunya

mengharuskan para warga masyarakatnya paham dengan aturan-

aturan yang ditetapkan dalam hukum Islam dan menumbuhkan sikap

25 Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/411026/dialog-tokoh-

lintas-agama. Diakses 20 November 2016.

Page 139: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

126 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

toleransi dan kerukunan terhadap umat agama lain yang berada di

wilayah kota ini.

Dari uraian di atas, hemat penulis bahwa pada dasarnya

konsep kebebasan beragama sebagai landasan teologis bagi

kerukunan hidup antarumat beragama merupakan pengelaborasian

konsep kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian

diimplementasikanmelalui interaksi sosial antara umat yang berbeda

agama dalam kehidupan sehari-hari. Konsep tersebut yang telah

dilakukan oleh warga Muslim dan non-Muslim di Kota Banda Aceh

dalam interaksi sehari-hari yang sudah berlangsung lama. Hal itu

yang kemudian melahirkan kerukunan dan keharmonisan

antarsesama warga, sehingga telah membawa pengaruh yang sangat

besar bagi proses kehidupan yang membentuk keakraban dan

kebersamaan antarsesama masyarakat. Sebab lain yang

menyebabkan terjadinya kerukunan antarumat beragama di Kota

Banda Aceh ialah karena masyarakat telah sadar dan dewasa dalam

berfikir, dengan adanya perbedaan diantara mereka. Hal tersebut

yang kemudian menimbulkan sikap saling menghormati,

menghargai, dan menganggap masyarakat yang berbeda keyakinan

sebagai saudara. Secara faktual, pelaksanaan Qanun Nomor 11

Tahun 2002 berdampak positif terhadap kondisi kerukunan

antarumat beragama di Kota Banda Aceh, karena pelaksanaan

Qanun tersebut tidak mengganggu kehidupan warga non-Muslim,

baik kehidupan sosial maupun keagamaannya.

Sebagai penduduk dengan jumlah penganut Islam mayoritas,

umat Islam di Kota Banda Aceh diharuskan agar senantiasa

meneladani akhlak Nabi Muhammad dalam hidup bermasyarakat

yang majemuk tersebut.26

Untuk itu, agar teladan yang telah

26 Nabi Muhammad diutus ke dunia ini sebagai suri tauladan bagi umat

manusia. Lihat Al Quran Surah Al Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang

Page 140: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 127

ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dapat berdampak pada

kehidupan antarumat beragama (khususnya di Kota Banda Aceh);

mengutip pendapat dari Media Zainul Bahri, maka ada dua hal yang

bisa menjadi pelajaran dan dapat diterapkan, yaitu: Pertama, kaum

Muslim harus mampu mensosialisasikan semangat serta keteladanan

Nabi Muhammad. Kerukunan dan toleransi yang telah diajarkan

oleh Nabi Muhammad harus selalu menjadi acuan dan pedoman

dalam berinteraksi. Kedua, umat Islam harus mampu memahami

kepekaan masing-masing terkait kecintaan serta ikatan batin dengan

panutannya. Umat Islam, demikian umat agama lain, seyogyanya

tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi.27

C. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah

Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan

hidup di tengah masyarakat yang majemuk dengan tujuan menjaga

kerukunan hidup antarumat beragama, khususnya dalam bidang

kebijakan keagamaan; Pemko Banda Aceh telah merumuskan

beberapa peraturan yang masih terkait dengan PBM Nomor 9 dan 8,

yakni berupa Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun

2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat

Beragama. Dalam Perwal ini disebutkan bahwa beragama

merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan

beribadat menurut agamanya. Untuk itu pemerintah berkewajiban

melindungi setiap penduduk dalam beribadat dan melaksanakan

ajaran agamanya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, tidak menyalah gunakan atau menodai agama,

serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Dengan

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

27 Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga,

2010), h. 223.

Page 141: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

128 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

demikian pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai tugas untuk

memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam

melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun,

lancar, dan tertib.28

Selanjutnya dalam Perwal ini juga menjelaskan bahwa

kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat

beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling

menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran

agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan upaya bersama

umat beragama dan pemerintah dibidang pelayanan, pengaturandan

pemberdayaan umat beragama. Kemudian usaha pemeliharaan

kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama, baik

umat beragama dan pemerintah Kota Banda Aceh.29

Dalam

pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemko Banda Aceh

mengemban tugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban

masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat

beragama di kota, mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di

kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,menumbuh

kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati,

dan saling percaya diantara umat beragama, membina dan

mengkoordinasikan camat/lurah atau geuchik dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang ketentraman dan

ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, dan menertibkan

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah.30

28 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007.Menimbang, huruf a-d.

29 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,

Pasal 1.

30 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB II Tugas dan Tanggung Jawab, Pasal 2-4.

Page 142: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 129

Lahirnya Perwal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk

keseriusan dari Pemko Banda Aceh dalam rangka menjaga hubungan

baik dengan umat beragama, serta sebagai upaya pemeliharaan

kerukunan antara Pemerintah dengan umat beragama di wilayah

Kota Banda Aceh. Hal ini tentunya demi kemajuan kota dalam

berbagai bidang pranata sosial, maka kondisi dan situasi yang aman,

tentram, dan suasana kerukunan yang baik menjadi faktor utama

yang harus di kedepankan oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam

kata lain, pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab

yang sama untuk memajukan Kota Banda Aceh. Maka dengan

lahirnya Perwal Nomor 24 Tahun 2007 itu menegaskan adanya

kepedulian Pemko Banda Aceh terhadap kondisi kerukunan di

masyarakat yang mencakup pada trilogi kerukunan:

1. Kerukunan internal umat Islam, yakni agar umat Islam saling

mengingatkan untuk bersama-sama menjalankan syari’at

Islam secara kāffah. Hal ini juga sebagai upaya mewujudkan

cita-cita dari visi Kota Banda Aceh sebagai model Kota

Madani.

2. Kerukunan antarumat beragama, yakni agar semua pemeluk

umat beragama di Kota Banda Aceh dapat hidup damai,

aman, dan nyaman tanpa ada gangguan apapun dalam

menjalankan aktifitas keagamaannya;

3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yakni agar

umat beragama dan pemerintah saling bersinergi dalam upaya

menjaga kesatuan dan persatuan, sehingga dapat

memunculkan keseimbangan (equilibrium) dalam kehidupan

masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh.

Amatan penulis melihat bahwa kerukunan antara umat

beragama dengan pemerintah telah berjalan dengan baik, keduanya

terlihat sama-sama saling mendukung. Sebagai kota yang majemuk

dan memproklamirkan diri sebagai model Kota Madani, Pemko

Page 143: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

130 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Banda Aceh mempunyai cita-cita agar warganya mempunyai akhlak

mulia, dengan selalu menjunjung tinggi toleransi dan memelihara

kerukunan yang telah tercipta. Karena itu, Pemko Banda Aceh

berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pengalaman agama

menuju pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah sesuai dengan

aturan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 di wilayah ini. Bentuk nyata

dari komitmen tersebut yaitu dengan melakukan berbagai terobosan

dan mengeluarkan berbagai program baik jangka panjang maupun

jangka pendek. Selain itu, Pemko Banda Aceh selalu mengajak

warganya untuk berkomitmen agar selalu menjaga nilai-nilai

keislaman, mempunyai akhlak mulia, dan juga senantiasa

menumbuhkan sikap toleran, karena itu merupakan cita-cita

bersama dalam mewujudkan Kota Madani tersebut. Meski cita-cita

Kota Madani merujuk pada kehidupan Kota Madinah di zaman

Rasulullah, namun Pemko Banda Aceh berusaha untuk

menterjemahkan kemadanian itu di era sekarang. Wujud nyatanya

yaitu dengan melakukan sejumlah perubahan, seperti

memodernisasikan tata kelola pemerintahan, mereformasi birokrasi

melalui e-Government untuk menuju smart city, green city, liveable

city yang kesemuanya menuju pada upaya pembentukan Kota

Madani di era modern saat ini.31

Di samping kebijakan yang telah

dikeluarkan, Pemko Banda Aceh bersama-sama masyarakat juga

berusaha untuk meningkatkan kualitas pengamalan keagamaan

dengan cara melakukan berbagai macam kegiatan keagamaan secara

massal dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Seperti

halnya zikir akbar, safari subuh di Masjid-Masjid, pengajian agama,

dan kegiatan keagamaan lainnya sesuai yang tertuang dalam Qanun

Aceh Nomor 11 Tahun 2002.

Sementara itu, berhubungan dengan FKUB yang diatur dalam

Perwal ini, menjelaskan bahwa FKUB merupakan forum yang

31 Detik: https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekat-

kota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani#.Diakses tanggal 01 Januari 2017.

Page 144: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 131

dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam

rangka membangun, memiliki dan memberdayakan umat beragama

untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB mempunyai hubungan

yang bersifat konsultatif dengan pemerintah. FKUB Kota Banda

Aceh memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan dialog dengan

pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung dan

menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam

bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Walikota, melakukan

sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang

keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan

pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis

atas permohonan pendirian rumah ibadah.32

Jumlah keanggotaan FKUB paling banyak tujuh belas orang

yang terdiri dari pemuka agama setempat. Hal ini berdasarkan pada

perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan

minimal satu orang dari setiap agama yang ada di Kota Banda Aceh.

Dalam struktur organisasinya, FKUB dipimpin oleh satu orang

ketua, dua orang wakil ketua, dan satu orang sekretaris yang dipilih

secara musyawarah oleh setiap anggota. Selain itu, dalam

pemberdayaan FKUB, maka dibentuk dewan penasehat FKUB

tingkat kota. Dewan penasehat ini nantinya mempunyai tugas untuk

membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan

pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan memfasilitasi

hubungan kerja antara FKUB dengan pemerintah daerah dan

hubungan antarsesama instansi pemerintah di daerah dalam

pemeliharaan kerukunan umat beragama. Keanggotaan dewan

penasehat FKUB Kota ditetapkan oleh Walikota, yang terdiri dari

Ketua (Wakil Walikota Banda Aceh), Wakil Ketua (Kepala Depag

32 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan

Umat Beragama, Pasal 6.

Page 145: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

132 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Kota Banda Aceh), Sekretaris (Kepala Linmas dan Kesbang Kota),

dan Anggota yang berasal dari tiap-tiap instansi terkait.33

33 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan

Umat Beragama, Pasal 5-8.

Page 146: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

133

BAB VI

Penutup

A. Kesimpulan

Setelah melalui tahap-tahap kajian pustaka, pengamatan

lapangan dan analisis mendalam terhadap rumusan masalah yang

dimunculkan dalam penelitian ini, selanjutnya penulis

menyimpulkan bahwa implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002

tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah dan

Syi’ar Islam di Kota Banda Aceh masih belum berjalan maksimal.

Padahal secara hukum, pelaksanaan syari’at Islam telah kuat, baik

filosofis maupun konstitusionalnya. Namun disisi lain, implementasi

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara langsung telah berdampak

signifikan dalam membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju

pada perbuatan baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan

yang lebih intens yang kemudian membawa dampak terhadap situasi

dan kondisi kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.

Hal ini dapat ditandai dengan adanya situasi dan kondisi hubungan

antarsesama warga Kota Banda Aceh dalam perilaku sosial terlihat

selalu harmonis meski berlatar belakang suku, ras, maupun agama

yang berbeda-beda.

Lebih jauh, dari hasil penelitian tesis ini penulis ingin

mengungkapkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan syari’at Islam di

Aceh tidak berupaya untuk mendiskriminatifkan dan menindas

agama minoritas, karena itu pelaksanaan syari’at Islam tidak

bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dan kerukunan umat

beragama. Dari segi implementasinya tidak mengganggu komunitas

agama lain di Aceh, karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi

umat Muslim. Karenanya prinsip utama yang selalu dipegang dalam

pelaksanaan syari’at Islam di Aceh ialah bahwa hukum syari’at

Page 147: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

134 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Islam tidak menginginkan adanya aktivitas yang merusak, mengusik

dan mengabaikan hak-hak asasi yang menjadi milik semua orang.

B. Saran

Setelah melalui kajian dan analisa mendalam terhadap

penelitian ini, berikut penulis memberikan beberapa saran dan

rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut:

1. Pemerintah Aceh, baik tingkat provinsi maupun

kabupaten/kota dan lembaga lainnya yang terkait, harus

intens dan berkesinambungan dalam mensosialisasikan setiap

kebijakan daerah; baik itu Qanun, Pergub, Perwal maupun

peraturan lainnya tentang syari’at Islam agar masyarakat

semakin memahami esensi dari pelaksanaan syari’at Islam,

sehingga cita-cita pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah

dapat terwujud.

2. Pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah di Kota Banda Aceh

tidak mengganggu atau bahkan mengusik keberadaan umat

non-Muslim. Toleransi dan kerukunan umat beragama tetap

terjaga, sehingga dapat dikembangkan dan menjadi sebuah

model kerukunan yang dapat diikuti oleh daerah lain di

Indonesia yang bercita-cita melaksanakan syari’at Islam.

3. Dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at Islam secara

kāffah, diharapkan pemerintah agar memberikan jaminan

kebebasan kepada non-Muslim untuk menjalankan keyakinan

dan beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing tanpa

merasa takut atau terancam. Untuk itu kepada pemerintah

agar segera mewujudkan Qanun yang mengatur tentang

kerukunan umat beragama dalam rangka memberi kepastian

hukum dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya

sesuai dengan kearifan lokal dan peraturan perundang-

undangan negara Republik Indonesia.

Page 148: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Penutup 135

4. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata

sempurna karena masih banyak kekurangan yang harus

diperbaiki, untuk itu kepada para peneliti agar dapat

mengadakan studi-studi lanjutan terhadap berbagai kebijakan

publik di dalam implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam

pembangunan di daerah.

Page 149: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

136 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Page 150: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

137

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdillah, Masykuri dkk. Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas. Jakarta:

Renaisan, 2005.

Abdullah, Irwan, dkk (Ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Abubakar, Al-Yasa’. Tanya Jawab Pelaksanaan Syariat Islam Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh:

Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2003.

_______. Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh:

Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2005.

______. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam: Pendukung Qanun Syariat Islam . Banda Aceh: Dinas Syariat Islam

Provinsi Aceh, 2009.

Aceh, Abu Bakar. Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya. Jakarta: Yayasan Pengetahuan Islam,

1966.

Adan, Hasanuddin Yusuf. Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan

PeNA Banda Aceh, 2009.

Al-Jufri, Salim Segaf dkk, Penerapan Syariat Islam di Indonesia.

Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004.

Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif Al Quran. Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999.

Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2004.

Amin, Ma’ruf. Empat Bingkai Kerukunan Nasional. Jakarta:

Yayasan An-Nawawi, 2013.

Page 151: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

138 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Arif, Mahmud. Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian Atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia.

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006.

Aziz, Abdul. Esai-Esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka,

2006.

Bahri, Media Zainul. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta:

Erlangga, 2010.

Bisri, Cik Hasan (Editor). Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Logos, 1998.

Burhanuddin (Editor). Syariat Islam; Pandangan Muslim Liberal. Jakarta: JIL-TAF, 2003.

Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama

Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat

Beragama, 1997.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2012. Edisi Keempat.

Dinas Syari’at Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam

Propinsi NAD, 2005.

El-Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika, 2014.

Eposito, John L. Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta:

Paramadina, 2004.

Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011.

Hardi. Daerah Istimewa Aceh; Latar Belakang Politik dan Masa Depannya. Jakarta: Cita Paca Serangkai, 1993.

Hasan, Muhammad Tholhah. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Page 152: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Daftar Pustaka 139

Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta:

PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012.

Hurgronje, C. Snouck. Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya. (Penerjemah Sutan Maimoen). Jakarta: INIS, 1996.

Husaini, Adian. Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen. Jakarta: Gema

Insani, 2015.

Ismail, Faisal. Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama; Konflik, Rekonsiliasi, dan Harmoni. Bandung: Rosda, 2014.

Johnsons, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.

(Penerjemah Robert M.Z Lawang). Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1990. Jilid 1.

Khamami. Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan.

Pamulang: LSIP, 2014.

Kurdi, Muliadi. Aceh Di Mata Sejarawan; Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya. Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah

Aceh, 2009.

Lubis, M. Ridwan. Cetak Biru Peran Agama. Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan, 2005.

Nashir, Haedar. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Depok: UI

Press, 1985.

Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet

V.

Majid, Abdul. Syari’at Islam dalam Realitas Sosial: Jawaban Islam Terhadap Masyarakat di Wilayah Syari’at. Banda

Aceh: Yayasan PeNA, 2007.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2007. Cet. 23.

Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan

Page 153: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

140 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Hukum Islam di NAD. Banda Aceh: Ar-Raniry Press,

2000.

Munawar, Said Agil. Fikih Hubungan Antarumat Beragama.

Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Noer, Kautsar Azhari dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama. Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

2008.

Pemerintah Aceh. Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan Perlindungan Akidah. Banda Aceh: Dinas Syari’at

Islam, 2012.

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

Qardhawi, Yusuf Al. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam. (Penerjemah Muhammad Baqir). Bandung: PT

Mizan Pustaka, 1985.

_______. Membumikan Syariat Islam, (Penerjemah Muhammad

Zakki dan Yasir Tajid). Surabaya: Dunia Ilmu Offset,

1996.

Rani, Abdul. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2003.

Rijal, Syamsul (Editor). Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syariat

Islam Provinsi NAD, 2011. Cet. II.

Rijal, Syamsul (Penyunting). Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan. Banda

Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, 2003.

Ritonga, A Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya

Media Pratama, 1997.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2001. Cet. 21.

Page 154: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Daftar Pustaka 141

Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2001.

Suyanta, Sri dkk. Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa. Banda Aceh: Dinas

Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

2008.

Syaukani, Imam. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan, 2008.

Yewangoe, AA. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia,

2009.

B. Jurnal Ilmiah

Abubakar, Marzuki. “Syariat Islam Di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”. Lhokseumawe:

Jurnal Media Syariah, Vol. XIII, Nomor 1, 2011.

_______, “Tradisi Peusijuek dalam Masyarakat Aceh: Integritas Nilai-Nilai Agama dan Budaya” (Malang: Jurnal Elharakah, Vol. 13, Nomor 2, 2011).

Danial. “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor

1, 2012.

Marzuki. “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”. Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol.

IX, Nomor 36, 2010.

Sahlan, Muhammad. “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di Kota Banda Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Substantia,

Vol. 16, Nomor 1, 2014.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 4

Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.

Page 155: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

142 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh.

Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.

Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang

Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh.

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.

Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor

1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan/atau Penodaan Agama.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

D. Link Internet

http://humas.acehprov.go.id.

http://disbudpar.acehprov.go.id/.

http://aceh.bps.go.id.

http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.

http://satpolppwh.acehprov.go.id/index.php/profil.html.

http://beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncang-bumi-serambi- mekkah/.

Page 156: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Daftar Pustaka 143

http://mpubandaaceh.wordpress.com/tag/aliran-sesat/.

http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/14504434/9.Gereja.di.Banda.Aceh.Kesulitan.Beribadah.

https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekat-kota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani#

http://sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kota-banda-aceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat.

http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/tutup-toko-10-menit-sebelum-azan.

http://aceh.antaranews.com/berita/913/banda-aceh-potret-penerapan-syariat-islam.

http://aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoal-benturan-antaramazhab-di-aceh.

http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunan-umat-beragama-di-aceh-terlaksana-baik.

http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernur-aceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama.

http://syariatislam.bandaaceh.go.id/illiza-masyarakat-madani-sangat-toleran/.

Page 157: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

144 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002

Page 158: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Lampiran-Lampiran

Page 159: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat
Page 160: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002

TENTANG

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;

c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Mengingat : 1. Al-Qur’an;

2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan

Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);

7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

Page 161: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);

11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah

perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah

Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai

Page 162: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.

6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.

11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI

Pasal 2

Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :

a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;

b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;

c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.

Pasal 3

Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.

BAB III

PEMELIHARAAN AQIDAH

Pasal 4

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Pasal 5

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh

Page 163: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau

menghina atau melecehkan agama Islam.

Pasal 6

Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU

BAB IV

PENGAMALAN IBADAH

Pasal 7

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.

Pasal 8

(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.

(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.

Pasal 9

(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.

(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.

(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.

Pasal 10

(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.

(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk

Page 164: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.

(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.

Pasal 11

Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.

BAB V

PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM

Pasal 12

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.

(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.

(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.

(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.

Pasal 13

(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha

dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

BAB VI

PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN

Pasal 14

(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.

(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.

(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang

Page 165: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

untuk menegur/menasehati si pelanggar. (4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai dengan

ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.

(5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU.

Pasal 15

(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Qanun ini, dilakukan oleh: a. Pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, atau b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan

Pemerintahan Provinsi, Kabupaten / Kota yang diberi wewenang khusus untuk itu.

(2) Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan serta pemberhentian Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b pasal ini, berwenang :

a. menerima laporan dari Wilayatul Hisbah tingkat gampong atau dari seseorang tentang adanya pelanggaran Qanun ini;

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;

c. melakukan penyitaan benda dan atau surat; d. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; e. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi; f. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan

pemeriksaan perkara; g. menghentikan penyidikan bila pelanggaran tersebut tidak

cukup alasan untuk diajukan ke Mahkamah Syar’iyah; h. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggung jawabkan. (4) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksudkan dalam

ayat (3) di atas penyidik wajib menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku.

Pasal 16

(1) Penuntut umum adalah jaksa atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Qanun untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim Mahkamah Syar’iyah.

(2) Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 17

Penuntut umum berwenang :

Page 166: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;

b. mengadakan pra penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaannya;

c. membuat surat dakwaan; d. melimpahkan perkara ke Mahkamah Syar’iyah; e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang ditentukan;

f. melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;

g. mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundangan;

h. melaksanakan putusan hakim.

Pasal 18

Penuntut umum menuntut perkara pelanggaran Qanun ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya.

BAB VII

PENGADILAN

Pasal 19

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Qanun ini diperiksa dan diputuskan oleh Mahkamah Syar’iyah.

BAB VIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 20

(1) Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali.

(2) Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri.

Pasal 21

(1) Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat

Page 167: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

(1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali.

(2) Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 22

(1) Barang siapa yang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya.

(2) Barang siapa yang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali.

Pasal 23

Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah.

BAB IX

PEMBIAYAAN

Pasal 24

Segala pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Qanun ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan qanun ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Page 168: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pasal 26

Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai pedoman, tehnis dan tata cara pelaksanaan akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur, setelah mendengar pertimbangan MPU.

Pasal 27

Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 14 Oktober 2002 7 Sya’ban 1423

Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2002 8 Sya’ban 1423

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002 NOMOR 54 SERI E NOMOR 15

GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

ABDULLAH PUTEH

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

THANTHAWI ISHAK

Page 169: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

PENJELASAN

ATAS

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

NOMOR 11 TAHUN 2002

TENTANG

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH, DAN SYIAR ISLAM

I. UMUM

Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan adat yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekan, dikembangkan dan dilestarikannya. Bahkan dalam perjalanan sejarah mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Nanggroe Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan Nanggroe Aceh Darussalam tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah sebagai pedoman hidup rakyat Nanggroe Aceh dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan bijak “Adat bak Poteumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan para ulama sebagai pewaris para rasul.

Sementara itu sejak pertengahan abad ke-20, baik karena alasan internal maupun eksternal, Syariat Islam mulai ditinggalkan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persamaan dengan kondisi demikian, rakyat Nanggroe Aceh menuju masa-masa suram dan sampai sekarang dalam kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selama itu pula sebagai rakyat Nanggroe Aceh merindukan berlakunya kembali Syari’at Islam yang dapat mengantarkan Nanggroe ini untuk meraih kejayaannya dan berada pada posisi Baldatun Tayibatun Warabbun Ghafur.

Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Nanggroe Aceh yang telah lama di kenal sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam undang-undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.

Disamping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridi melalui Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.

Page 170: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Secara umum Syari’at Islam meliputi aspek, aqidah, ibadah, muamalah dan akh+lah. Setiap orang muslim dituntut untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur aqidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek muamalah dan akhlak disamping ditentukan pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.

Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislative dan judikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan negara. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh negara. Disisi lain suatu negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan.

Upaya legislasi pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah (Shalat dan Puasa Ramadhan) serta Syi’ar Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari Aqidah dan Ibadah. Masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan para ulama dalam berbagai disiplin ilmu ke Islaman.

Dengan demikian upaya legislasi Pelaksanaan Syari’at Islam sebagaimana diatur dalam Qanun ini adalah dalam upaya membina, menjaga, memelihara dan melindungi aqidah orang Islam Nanggroe Aceh Darussalam dari berbagai warna, paham dan atau aliran sesat. Terhadap pelanggaran bidang aqidah di dalam Qanun ini hanya diancam bagi setiap orang yang menyebarkan paham dan atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan Agama Islam, ancaman hukumannya diatur dalam Qanun tersendiri tentang HUDUD.

Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik shalat Fardhu/ Jumat maupun puasa Ramadhan dimaksudkan untuk mendorong, menggalakkan orang Islam melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan kualitas serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Upaya tersebut perlu didukung oleh kondisi dan situasi Syi’ar Islam, namun masih dalam lingkup nilai ibadah.

Adanya sanksi pidana cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara dan atau denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan dan mengantarkannya untuk memprosisikan diri dalam Taubat Nasuha. Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif dan pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Qanun ini khususnya dan terhadap segala ketentuan Syari’at Islam pada umumnya.

Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman cambuk diharapkan akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini.

Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi pula peran untuk mengingatkan, membimbing dan menasehati sehingga sehingga pelanggaran yang dilakukan kepada penyidik untuk di usut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah pelanggaran yang sudah memperoleh nasehat, bimbingan dan peringatan. Jadi bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak bisa di perbaiki dengan bimbingan dan nasehat

Page 171: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Paham sesat adalah pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan

kepada Al-Quran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang aqidah.

Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Ketentuan ini tidak untuk menghalangi kebebasan ilmiah, kepentingan

penelitian, pengkajian dan pengembangan ajaran Islam itu sendiri di perguruan tinggi atau lembaga ilmiah lainnya.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Ayat (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan atau institusi masyarakat harus

aktif dan berinisiatif mendorong serta menyediakan fasilitas sekaligus memotivasi masyarakat, sehingga mudah dan nyaman mengamalkan ibadah.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan uzur Syar’i, adalah keadaan yang menurut fiqih

membolehkan seseorang tidak menghadiri Shalat Jum’at, seperti musafir, sakit, atau melakukan tugas ”darurat” seperti perawat atau dokter jaga (dinas).

Ayat (2) Instansi Pemerintah adalah Instansi Sipil dan Militer. Kantor pemerintah dan

Page 172: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

swasta, serta badan usaha wajib memberi kesempatan kepada karyawannya untuk melaksanakan Shalat Jum’at; lebih dari itu semua kegiatan harus dihentikan, kecuali yang menyangkut kepentingan umum dan “darurat” (emergency).Mesjid-mesjid dianjurkan untuk menyediakan tempat shalat Jum’at bagi orang perempuan.

Pasal 9 Ayat (1) Pemimpin kantor, sekolah atau badan usaha wajib berinisiatif sehingga shalat

berjamaah dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan di lingkungan masing-masing.

Ayat (2) Adanya azan pada setiap awal waktu dan terlaksananya shalat fardhu

berjamaah dan pengajian secara berkesinambungan menjadi tanggung jawab pimpinan gampong terutama Tengku Imeum. Pengajian agama meliputi pengajian untuk anak-anak, remaja dan dewasa, baik laki-laki atau perempuan.

Ayat (3) Pengemudi angkutan umum harus menghentikan kenderaan untuk memberi

kesempatan kepada penumpang melaksanakan shalat fardhu. Setiap kantor perusahaan/perwakilannya harus menyediakan tempat shalat bagi langganan (calon penumpangnya). Kecuali di dekat kantor tersebut ada tempat shalat yang memenuhi syarat dan dapat dipergunakan.

Pasal 10 Ayat (1) Menyediakan fasilitas/ peluang, adalah seperti membuka warung dan restoran

pada siang hari Ramadhan, atau menjual makanan dan minuman yang patut diduga akan dikomsumsi sebelum waktu berbuka puasa. Uzur syar’i adalah keadaan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa. Jadi boleh menjual makanan kepada orang musafir dan orang sakit.

Ayat (2) Tempat umum adalah tempat terbuka yang dapat didatangi atau dilihat oleh

siapa saja. Sedang di depan umum adalah didepan orang lain, seperti di dalam kenderaan umum, ruang tunggu atau kantor.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Page 173: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Ayat (1) Peringatan hari-hari besar Islam tidak boleh dilakukan dengan kegiatan yang

tidak sejalan (sesuai) dengan ketentuan ajaran Islam.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan dokumen resmi adalah seperti : Akte Notaris, Ijazah,

Akte Kelahiran, dan Sertifikat Tanah.

Pasal 13 Ayat (1) Busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus

pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.

Ayat (2) Wajib membudayakan busana Islami, maksudnya bertanggung jawab

terhadap pemakaian busana Islami oleh pegawai, anak didik atau karyawan (karyawati) di lingkungan masing-masing, termasuk pada saat kegiatan olah raga.

Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Ayat (1) Pejabat Kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Pejabat

Kepolisian yang diberi tugas dibidang penegakan Syariat Islam.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas.

Page 174: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 16 Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Ayat (1) Tata cara pelaksanaan hukum cambuk akan diatur dengan ketentuan

tersendiri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Penjatuhan hukuman ini hanya dapat dilakukan setelah melalui proses

peringatan oleh Wilayatul Hisbah, dan dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan sosial dari orang yang bersangkutan. Hukuman ta’zir di sini hendaklah diarahkan kepada pendidikan dan pembinaan, bukan untuk semata-mata penghukuman dan atau penjeraan.

Pasal 22 Ayat (1) Pembayaran denda disetor langsung ke Badan Baitul Mal. Sementara Badan

Baitul Mal belum terbentuk, disetor ke Bazis Kabupaten/Kota setempat.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 23

Page 175: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 5

Page 176: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

163

Tentang Penulis

Juli Ahsani, pria kelahiran Aceh, 20 Juli 1990 ini merupakan

putra ketiga dari Bpk. Supangat dan Ibu Mukatriyah. Pada tahun

2014, ia telah menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan

Perbandingan Agama. Kemudian masih ditahun yang sama,

melanjutkan ke Program Magister di almamaternya dengan

Konsentrasi Kerukunan Umat Beragama, dan lulus tahun 2017.

Semasa kuliah, Julay, sapaan akrabnya, aktif di organisasi

intra maupun ekstra kampus, seperti: Badan Eksekutif Mahasiswa

(BEM) Fakultas Ushuluddin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),

dan Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA Jakarta). Ia bisa

dihubungi melalui email: [email protected].

Page 177: menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35261/1/Juli Ahsani.pdf · berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat

164 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002