POLICY BRIEF MENDORONG PENERAPAN UPRATING IPA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PENCAPAIAN TARGET 100 PERSEN AKSES AIR MINUM TA. 2016
POLICY BRIEF MENDORONG PENERAPAN UPRATING IPA
SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PENCAPAIAN TARGET 100 PERSEN AKSES AIR MINUM
TA. 2016
MENDORONG PENERAPAN UPRATING IPA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PENCAPAIAN TARGET 100 PERSEN AKSES AIR MINUM
Pemerintah Indonesia mencanangkan capaian layanan air bersih untuk penduduk
harus mencapai 100 persen pada tahun 2019. Hal ini tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019. Dengan demikian, tidak ada lagi warga
negara Indonesia yang tidak mendapatkan air bersih. Perwujudan agenda 100 persen
air besih membutuhkan dukungan pelbagai institusi, salah satunya ialah Perusahaan Air
Minum Daerah yang selanjutnya disebut PDAM.
Peningkatan performa pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan memaksimalkan performa Water
Treatment Plants yang ada saat ini (Wagner dan Pinheiro 2001). Hal ini menjadi
alternatif mengingat modifikasi yang dilakukan terbilang sederhana dibandingkan nilai
investasi modal yang besar apabila membangun IPA baru. Terlebih, modifikasi IPA ini
dapat meningkatkan volume produksi hingga dua hingga tiga kali lipat. Keuntungan
lainnya ialah peningkatan kualitas air sebagai efek dari peningkatan proses treatment.
Berdasarkan proses penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa temuan
permasalahan yang dihadapi oleh PDAM terkait dengan rencana implementasi uprating.
Permasalahan tersebut meliputi:
Awareness mengacu pada kesadaran dari tiap PDAM untuk menggunakan teknologi
uprating pada IPA. Kesadaran ini muncul ketika pengetahuan (knowledge) tentang
uprating terpenuhi dan penerimaan (acceptance) serta alih teknologi uprating berjalan.
Demand for Uprating terbagi menjadi dua, yaitu secara teknis (technical) dan pasar
(market). Secara teknis, persoalan terkait demand for uprating terdiri atas ketersediaan
air baku, sumber daya manusia yang kompeten dan ketiadaan data jaringan. Sedangkan
secara market, persoalan yang muncul terkait kepercayaan (trust), water treatment
plant (WTP), dan kompetisi dari sumber lain (sumur, air curah). Isu keberlanjutan atas
ketersediaan air baku menjadi sorotan pada bagian ini. Strategy Decision meliputi risk
management dan selera investasi, penyatuan visi tentang urgenitas uprating, dan
penyediaan pendamping strategis. Feasibility Study & Bankable terdiri atas besaran
tarif, penyetaraan APBN, hibah donor, mekanisme reimbursement hibah, komitmen
pimpinan daerah dalam bentuk alokasi APBD untuk penyetaraan modal investasi
uprating pada skema KPBU. Technical Condition & Engineering Procurement
Construction/ EPC terbagi menjadi manajemen proyek dan kontraktor. Operational
and Maintain terkait dengan kebocoran air atau non-revenue water (NRW) pada pipa
jaringan yang dilihat secara teknis dan non teknis. Costumer Market menekankan pada
advokasi atau edukasi terkait pentingnya peningkatan tarif, strategi komunikasi
berdasarkan data, dan perlunya ‘change agents’.
Berdasarkan isu dan pengembangan kebijakan yang telah dilakukan, maka
dirumuskan pilihan kebijakan yang dianggap paling tepat guna menunjang
implementasi uprating, yaitu (1) Pemerintah Pusat, dalam hal ini Pusat Litbang
Perumahan dan Permukiman selaku pihak yang mengembangkan uprating,
bertanggung jawab untuk meningkatkan awareness teknologi uprating dan acceptance
teknologi tersebut melalui demo trial. Disamping itu pemerintah juga menyediakan
pendamping yang sekaligus bertugas sebagai instrument alih teknologi uprating kepada
PDAM-PDAM, (2) PDAM yang menginvestasikan dananya untuk menerapkan uprating
harus mendapatkan jaminan ketersediaan air baku dari Pusat Air Tanah dan Air Baku,
(3) Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman bertindak sebagai pusat data dan
informasi terkait jaringan IPA dan distribusi PDAM serta sebagai pusat pengetahuan
dan diseminasi uprating, (4) ada audit outcome dari pihak eksternal dan independen
untuk kinerja PDAM dan kualitas sistem governance-nya yang kemudian hasilnya
dipublikasikan di media massa, (5) pemerintah pusat menyediakan pendamping
strategis untuk menyiapkan business case investasi uprating bagi masing-masing PDAM
dan Pemda, (6) proyek uprating PDAM harus dikelola sesuai prinsip-prinsip FIDIC dan
spesifikasi materialnya harus sesuai SNI atau dapat menggunakan material yang
direkomendasikan oleh Perpamsi apabila dana internal tidak mencukupi, (7) PDAM
mengadopsi enterprise asset management yang didukung oleh standarisasi meteran dan
pipa guna mengurangi NRW, (8) adanya upaya meningkatkan demand terhadap air
PDAM melalui national campaign berbasis data tentang peran PDAM dalam ketahanan
air minum dan kesejahteraan masyarakat, dan (9) bagi PDAM yang ingin menerapkan
uprating tapi tidak memiliki dana yang cukup, dapat berkonsultasi dengan Pusat
Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi serta BPPSPAM terkait kemungkinan
penerapan skema kerjasama pemerintah-badan usaha (KPBU).
Sebagai tambahan, berikut adalah daftar PDAM yang dinyatakan layak menerapkan
uprating berdasarkan analisa rencana bisnis: (1) PDAM KAbupaten Natuna, (2) PDAM
Kabupaten Semarang, (3) PDAM Kabupaten Takalar, (4) PDAM Kabupaten Wonogiri, (5)
PDAM Tirta Musi Palembang, (6) PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung, (7) PDAM
Kabupaten Kulonprogo, (8) PDAM Kota Padang, (9) PDAM Kabupaten Lumajang, (10)
PDAM Kota MAdiun, (11) PDAM Kota Surabaya, dan (12) PDAM Kota Ternate.
Mengingat kunci penerapan uprating selain pada ketersediaan air baku dan dana
investasi juga sangat memerlukan dukungan analisa teknis apakah struktur IPA
tersebut dapat ditingkatkan kapasitasnya, maka hasil dari analisa rencana bisnis di atas
sangat memerlukan dukungan dari Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman untuk
menganalisis struktur IPA dari PDAM-PDAM yang telah disebutkan. Analisis tersebut
diperlukan sehingga akan dapat diketahui bahwa selain dapat berinvestasi uprating,
secara teknis IPA PDAM tersebut juga mendukung penerapan teknologi uprating milik
Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum.