1 Memulihkan Kinerja Ekspor Non Migas: Dari Komoditas Ke Manufaktur Padat Tenaga Kerja Oleh. Titik Anas dan Anissa Rahmawati 1 1. Pengantar Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai melemah sejak tahun 2012 yang lalu. Pada tahun 2013 pertumbuhan nasional telah berada dibawah 6 % 2 , yang walaupun masih lebih tinggi dari negaranegara di kawasan, tidak memadai untuk menyerap seluruh angkatan kerja baru yang masuk dunia kerja dan menurunkan jumlah orang miskin yang jumlahnya masih cukup besar. Saat ini pengangguran terbuka masih berada pada kisaran 5.7 % sedangkan tingkat kemiskinan masih 11.25% 3 . Setiap tahunnya akan ada lebih dari 1 juta pendatang baru dalam dunia kerja. Bila dilihat dari sisi pengeluaran, ekspor berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional, ratarata sekitar 46% dari total PDB dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Sementara itu manufaktur berkontribusi secara ratarata sekitar 26% terhadap PDB. Pelemahan ekspor, terumasuk melemahnya ekspor manufaktur yang terus berlangsung hingga awal tahun 2014 turut berkontribusi pada melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mengapa ekspor Indonesia melemah dalam beberapa tahun terakhir ini? Tingginya dominasi ekspor komoditas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keterpurukan kinerja ekspor Indonesia. 4 Sejak tahun 2011 harga komoditas di pasar global menurun secara terus menerus. Hampir separuh dari ekspor Indonesia adalah ekspor komoditas dan olahannya seperti karet, kopi, coklat, sawit dan batubara. Beberapa faktor lain juga menyumbang pada melemahnya ekspor Indonesia seperti apresiasi riil Rupiah dan kendala respon sisi supply. Bila ekspor secara total terlihat melemah sejak tahun 2011, ekspor produk manufaktur telah terlebih dahulu mengalami pelemahan pertumbuhan sehingga kontribusi manufaktur terhadap total ekspor juga menurun. Pada tahun 2000, ekspor manufaktur menyumbang sekitar 56% terhadap total ekspor, namun pada tahun 2013 kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor hanya sebesar 37% karena pertumbuhan ekspor manufaktur melemah sejak tahun 2001. 1 Artikel ini merupakan bagian dari buku yang akan diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Titik dan Anissa adalah Ekonom dan Ekonomi Junior dari Rumah Riset Presisi Indonesia. 2 http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_05agus14.pdf 3 http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf dan http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_01juli14.pdf 4 http://www.imf.org/external/np/res/commod/pdf/cmr/cmr1013.pdf
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Memulihkan Kinerja Ekspor Non Migas: Dari Komoditas Ke Manufaktur Padat Tenaga Kerja Oleh. Titik Anas dan Anissa Rahmawati1
1. Pengantar Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai melemah sejak tahun 2012 yang lalu. Pada tahun 2013 pertumbuhan nasional telah berada dibawah 6 % 2 , yang walaupun masih lebih tinggi dari negara-‐negara di kawasan, tidak memadai untuk menyerap seluruh angkatan kerja baru yang masuk dunia kerja dan menurunkan jumlah orang miskin yang jumlahnya masih cukup besar. Saat ini pengangguran terbuka masih berada pada kisaran 5.7 % sedangkan tingkat kemiskinan masih 11.25%3. Setiap tahunnya akan ada lebih dari 1 juta pendatang baru dalam dunia kerja. Bila dilihat dari sisi pengeluaran, ekspor berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional, rata-‐rata sekitar 46% dari total PDB dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Sementara itu manufaktur berkontribusi secara rata-‐rata sekitar 26% terhadap PDB. Pelemahan ekspor, terumasuk melemahnya ekspor manufaktur yang terus berlangsung hingga awal tahun 2014 turut berkontribusi pada melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mengapa ekspor Indonesia melemah dalam beberapa tahun terakhir ini? Tingginya dominasi ekspor komoditas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keterpurukan kinerja ekspor Indonesia.4 Sejak tahun 2011 harga komoditas di pasar global menurun secara terus menerus. Hampir separuh dari ekspor Indonesia adalah ekspor komoditas dan olahannya seperti karet, kopi, coklat, sawit dan batubara. Beberapa faktor lain juga menyumbang pada melemahnya ekspor Indonesia seperti apresiasi riil Rupiah dan kendala respon sisi supply. Bila ekspor secara total terlihat melemah sejak tahun 2011, ekspor produk manufaktur telah terlebih dahulu mengalami pelemahan pertumbuhan sehingga kontribusi manufaktur terhadap total ekspor juga menurun. Pada tahun 2000, ekspor manufaktur menyumbang sekitar 56% terhadap total ekspor, namun pada tahun 2013 kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor hanya sebesar 37% karena pertumbuhan ekspor manufaktur melemah sejak tahun 2001.
1 Artikel ini merupakan bagian dari buku yang akan diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Titik dan Anissa adalah Ekonom dan Ekonomi Junior dari Rumah Riset Presisi Indonesia. 2 http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_05agus14.pdf 3http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf dan http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_01juli14.pdf 4 http://www.imf.org/external/np/res/commod/pdf/cmr/cmr1013.pdf
2
Sementara itu untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, bagi Indonesia tidak ada cara lain selain menggenjot ekspor produk manufaktur dan meningkatkan kinerja sektor jasa. Dengan harga komoditas yang melemah, ekspor manufaktur masih akan menjadi tumpuan perekonomian Indonesia untuk mendapatkan pertumbuhan yang tinggi karena beberapa hal. Pertama, sesuai dengan keberlimpahan sumber daya yang dimiliki, sumber daya manusia dan sumber daya alam pada khususnya. Kedua, sektor manufaktur menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mengingat pentingnya peran ekspor untuk mencapai pertumbuhan diatas 6 %, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah Indonesia dapat memulihkan kinerja ekspor yang melemah selama 5 tahun terakhir ini? Tulisan ini terdiri atas 6 bagian. Bagian kedua membahas faktor-‐faktor yang menyebabkan melemahnya kinerja ekspor nonmigas dalam 5 tahun terakhir ini. Bagian ketiga menganalisa tingkat partisipasi Indonesia dalam jaringan produksi global dan regional. Bagian keempat membahas secara lebih rinci daya saing industri manufaktur Indonesia. Bagian kelima membahas reformasi ekonomi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Bagian keenam menutup tulisan ini dengan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.
2. Kinerja ekspor yang melemah Pembahasan mengenai kinerja ekspor 5 tahun terakhir ini perlu ditempatkan pada perspektif kinerja ekspor jangka panjang. Bila dilihat gambaran pertumbuhan ekspor Indonesia sejak tahun 1990, setidaknya ada 4 episode besar yang membedakan satu dengan lainnya (Gambar 1). Episode pertama yaitu 1990-‐1996 ditandai dengan pertumbuhan ekspor manufaktur yang tinggi, tetapi sudah mulai memperlihatkan pertumbuhan yang menurun. Pada akhir periode ini, Indonesia sudah mulai memperlihatkan tanda-‐tanda kekurangan tenaga kerja, dengan terjadinya peningkatan tingkat upah rata-‐rata. Episode kedua yaitu 1997-‐1998, adalah episode krisis ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan ekspor yang negatif. Masalah sisi supply seperti kendala produksi akibat krisis multidimensi di Indonesia saat itu dan tidak diterimanya letter of credit yang di keluarkan bank-‐bank di Indonesia menghambat kelancaran ekspor. Meskipun Rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar pada masa ini, ekspor tidak dapat meningkat sebagaimana seharusnya karena masalah-‐masalah pada di sisi supply. Episode ketiga, 1999-‐2008 diawali dengan ekspor yang mulai membaik pada tahun 1999-‐2000. Namun, pada tahun 2001 kembali melemah yang kemudian secara berangsur-‐angsur mulai membaik kembali. Meskipun Rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar, tidak seperti negara-‐negara Asia lainnya, ekspor Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dari krisis Asia tahun 1997-‐1998. Salah satu Episode ke empat adalah tahun 2009-‐2013, yang bertepatan dengan krisis finansial global dan masa pemerintahan Presiden Soesilo Yudoyono yang ke dua.
3
Seperti halnya negara-‐negara di dunia, Indonesia juga terkena dampak negatif dari melambatnya pertumbuhan negara-‐negara maju sejak adanya krisis finansial global. Ekspor Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2009 namun kembali meningkat setelahnya, walaupun hanya untuk masa yang cukup singkat karena pada tahun 2012 ekspor kembali menurun.
Gambar. 1 Ekspor Indonesia: Nilai, Kontribusi dan Pertumbuhan (1990-‐2013)
Sumber. WITS Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa ekspor produk industri manufaktur melemah. Pertama, Rupiah mengalami apresiasi secara riil sejak tahun 2002 walaupun secara nominal mengalami depresiasi yang membuat barang-‐barang ekspor Indonesia menjadi lebih mahal (World Bank, 2014; ADB, 2014). Kedua, tingkat upah mengalami kenaikan secara berkala sementara peningkatan produktivitas tidak menyertainya (World Bank, 2014; ADB 2014). Ketiga, ketersediaan infrastruktur baik secara kuantitas maupun kualitas baik jalan, rel kereta api, pelabuhan, trasportasi udara, ketersediaan listrik dan telekomunikasi masih relatif rendah sehingga tidak mampu untuk menopang pertumbuhan yang tinggi. Skor kualitas infrastruktur Indonesia berdasarkan penilaian dalam Global Competitiveness Index dari World Economic Forum pada tahun 2014 masih relatif rendah yaitu 3.92 dari skor maksimal 7. Sementara kualitas infrastruktur di Singapura mendapatkan skor 6.5. Keempat, kehandalan jasa logistik di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2013, skor Logistic Performance Index (LPI) yang mengukur kehandalan jasa logistik Indonesia hanya 3.08 dari skala 5. Bila dibandingkan dengan 160 negara yang disurvei Bank Dunia dalam pembuatan LPI ini, maka ranking Indonesia adalah 53 dari total 160 negara pada tahun 2014. Posisi inipun telah merosot 1 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Bila dibandingkan dengan negara-‐negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia sedikit diatas Philipina, tapi masih di bawah Malaysia, Thailand dan Vietnam, apalagi Singapura yang
Manufaktur (nilai) Total Ekspor (nilai) Manufaktur (%) Total Ekspor (%) Kontribusi Manuf thd total ekspor (%)
4
menduduki peringkat ke 5 di dunia. World Bank (2013) juga menunjukan bahwa biaya logistik di Indonesia tergolong mahal, yaitu sebesar 27% dari PDB yang lebih tinggi daripada biaya logistik di Vietnam yang hanya 25% dari PDB ataupun Thailand dan Malaysia yang hanya 20 % dan 15 % dari PDB. Akibatnya, barang ekspor menjadi lebih mahal saat sampai di tujuan. Kelima dan tak kalah pentingnya adalah iklim usaha. Dalam perdagangan internasional tidak sedikit perijinan yang harus dipenuhi oleh eksportir, mulai sejak mendirikan pabrik, mendapatkan input, terutama input yang berasal dari impor hingga saat mengirimkan barang kepada pembeli di luar negeri. Setiap perijinan tidak hanya menghabiskan waktu tapi juga biaya. Minimun service guarantee jarang diterapkan sehingga kepastian pasokan dan pengiriman tidak dapat dijamin. World Bank (2014b) menempatkan Indonesia pada rangking ke 120 pada tahun 2013 dalam Survey Ease of Doing Business, yang menurun 4 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Bila dilihat secara khusus indikator trading across borders dalam indeks tersebut terlihat bahwa ranking Indonesia juga mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan oleh makin besarnya biaya mengekspor, dari US$ 615 per kontainer pada tahun 203 menjadi US$ 644 per kontainer. Penetrasi ekspor Indonesia di pasar tujuan terkonsentrasi pada pasar-‐pasar tradisional. Lima negara tujuan utama ekspor Indonesia, yaitu Jepang, Tiongkok, Singapura, Amerika Serikat dan Korea Selatan menyerap 50% dari total ekspor. Sepuluh negara tujuan utama, termasuk didalamnya Malaysia, India dan Thailand menyerap 80% dari total ekspor (Tabel 1). Sayangnya pertumbuhan permintaan terhadap impor di kesepuluh negara utama ini sedang menurun, bahkan negatif pada tahun 2013, kecuali Tiongkok, Malaysia dan Thailand. Penurunan permintaan impor di negara-‐negara tujuan ini tercermin pada pertumbuhan ekspor Indonesia yang negatif sepanjang tahun 2012-‐2013 yang lalu.
Tabel. 1. Indonesia: Ekspor Produk Industri Ke Beberapa Negara Tujuan, 2009-‐2013
Negara Tujuan
Ekspor 2013
Pertumbuhan Ekspor, % , 2010-‐2013
Pertumbuhan Impor di Pasar Tujuan, % , 2010-‐2013
Sumber. WITS, diolah Dari sisi produk, ekspor Indonesia juga tidak terdiversifikasi. Kontribusi 10 produk ekspor utama, yaitu tekstil dan produk teksil, elektronik, karet, minyak sawit, produk kehutanan, alas kaki, udang, coklat, kopi dan batu bara mencapai 75% dari total ekspor pada tahun 2011. Bila komponen elektronik dan mesin dimasukan, kontribusi ke 12 produk ini mencapai 78% dari total ekspor. Artinya, ekspor terkonsentrasi pada beberapa barang saja. Ekspor berbasis komoditas mencapai 42% pada tahun 2011. Dengan menurunnya harga komoditas maka tidaklah mengherankan bila kinerja ekspor Indonesia memburuk. Sementara itu, ekspor barang manufaktur, yang pada tahun 1990an merupakan penggerak ekspor Indonesia mengalami pelemahan. Gambar. 2 Kontribusi Ekspor Utama terhadap Total Ekspor Indonesia, 2006-‐2013, %
Sumber. BPS (diunduh dari www.ceicdata.com), diolah. 3. Tingkat Partisipasi Indonesia dalam Jaringan Produksi Global dan Regional Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat partisipasi suatu negara dalam jaringan produksi gobal dan regional adalah perdagangan parts dan komponen antar negara. Pendekatan ini cukup komprehensif dan memberikan cakupan yang konsisten untuk dapat dilakukan perbandingan antar negara. Namum beberapa kekurangan dari metode ini berpotensi untuk mendapatkan hasil estimasi tingkat partisipasi yang lebih rendah karena cakupan komoditas yang dapat diidentifikasikan hanya berdasarkan kode SITC (Standard International Trade Classification) yang ada, yaitu SITC 7 dan 8 (peralatan mesin dan transportasi).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
%
6
Athukorala (2010) dengan menggunakan pendekatan diatas menunjukan bahwa negara-‐negara di Asia Timur memiliki kecenderungan perdagangan jaringan yang lebih besar dari negara-‐negara di Asia. Proporsi ekspor parts dan komponen Asia Timur terhadap total ekspor parts dan komponen dunia meningkat dari 32.2 % pada tahun 1992/93 menjadi 40.3% pada tahun 2006/7 dengan Tiongkok sebagai motor utama jaringan produk regional. Sejalan dengan meningkatnya proporsi ekspor parts dan komponen dalam ekspor negara-‐negara di Asia Timur, proporsi ekspor parts dan komponen negara-‐negara ASEAN juga meningkat dari 5.2% menjadi 9.8%. Soejachmoen (2012) menunjukan bahwa partisipasi Indonesia dalam jaringan produksi global (global production network) masih rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut antara lain adalah iklim usaha di Indonesia yang masih belum baik, kualitas infrastruktur Indonesia yang buruk dan ketersedian tenaga kerja terlatih. Dalam 5 tahun terakhir ini tidak terlihat peningkatan yang signifikan pada tingkat partisipasi Indonesia dalam jaringan produksi global maupun regional. Dengan menggunakan klasifikasi parts dan komponen sebagaimana Athukorala (2010) dapat diperlihatkan bahwa proporsi ekspor parts dan komponen Indonesia terhadap total ekspor total dunia masih relatif rendah dibandingkan negara-‐negara lain di kawasan, hanya sekitar 0.4 %, sementara China sekitar 14.9% dan Thailand sekitar 1.4% (Tabel 2). Bahkan tingkat partisipasi Vietnam dalam jaringan global dan regional lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Tabel. 2. Ekspor Parts dan Komponen Beberapa Negara di Asia, 2008-‐2013
4. Daya Saing dan Ekspor Manufaktur Indonesia Aswicahyono & Hill (2014) menunjukan bahwa dalam 4 tahun terakhir, industri manufaktur mengalami pertumbuhan yang semakin menurun, hanya separuh dari tingkat pertumbuhan pada tahun 1990-‐an. Penurunan sebagian besar disebabkan oleh penurunan industri pengolahan migas. Sementara itu sektor non-‐oil dan gas masih mengalami pertumbuhan 5.5 % pada tahun 2014. Pertumbuhan ini masih jauh di bawah pertumbuhan sektor manufaktur pada era 1990-‐an. Sektor padat tenaga kerja seperti tekstil, garmen, produk kulit dan alas
7
kaki menunjukan pertumbuhan yang melemah. Yang lebih menarik dari tulisan dua ahli ini adalah bahwa pertumbuhan sektor tradable jauh lebih rendah daripada sektor-‐sektor yang non-‐tradable. Bagaimana dengan keunggulan produk manufaktur kita di pasar global? Salah satu cara sederhana yang dapat dipakai untuk mengukur keunggulan produk ekspor adalah dengan menggunakan indeks ‘revealed’ comparative advantage (RCA). RCA mengukur keunggulan komparatif suatu negara berdasarkan data ekspor negara tersebut relatif terhadap ekspor dunia. Balassa (1965, 1978) memformulasikan 𝑅𝐶𝐴!" =
!!"/ !!"!
!!"! / !!"!" . Eij adalah ekspor negara i dari
komoditas j, 𝐸!"! adalah total ekspor dunia dari komoditas j, 𝐸!"! adalah total ekspor negara i, sedangkan 𝐸!"!! adalah total ekspor dunia. Bila RCA lebih dari 1 maka dapat dikatakan negara eksportir memiliki keunggulan komparatif dalam produk j. Sebaliknya bila RCA kurang dari 1 maka negara eksportir dikatakan tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif masih relevan hingga saat ini dalam menjelaskan pola perdagangan internasional. Berdasarkan teori keunggulan komparatif, suatu negara seharusnya melakukan spesialisasi dalam produk yang negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dan menjadi eksportir dari produk tersebut, sebaliknya impor produk yang negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, perdagangan internasional akan meningkatkan kesejahteraaan secara agregat dari negara-‐negara yang berdagang tersebut. Berbagai tulisan terkini masih menggunakan menggunakan RCA sebagai ukurang keunggulan komparatif termasuk, Brakman, Inklaar, & van Marrewijk (2013), Abidin & Loke (2008), Coxhead (2007), Athukorala & Yamashita (2006), Soesastro & Basri (2005). Namun demikian, penggunaan indeks ini juga perlu diinterpretasikan secara hati-‐hati terutama dalam menganalisa produk-‐produk yang mengalami distorsi pasar. Misalkan, ekspor di negara-‐negara yang menerapkan bea masuk impor akan akan cenderung lebih rendah dibandingkan bila tidak ada pengenaan bea masuk. Tingginya bea masuk ini dapat berdampak pada rendahnya nilai indeks RCA. Tulisan ini menggunakan RCA untuk menganalisa kinerja ekspr sektor manufaktur. Dalam tulisan ini industri manufaktur dikelompokan menjadi 5 kelompok yaitu kelompok industri padat tenaga kerja tak trampil (unskilled labour intensive), industri padat tenaga kerja berbasis S.D.A (resource based labour intensive), industri elektronika, industri padat modal berbasis S.D.A (resource based capital intensive) dan industri yang bersifat footloose (footloose industries). 5 Penghitungan RCA dilakukan untuk data tahun 2008-‐2012 berdasarkan data ekspor dan impor yang dikumpulkan UN Comtrade (http://comtrade.un.org/data/) yang juga dapat diakses melalui https://wits.worldbank.org. Penyelarasan kode ISIC yang mendasari pengelompokan industri dengan kode HS data perdagangan dilakukan dengan menggunakan tabel concordance yang tersedia di website 5 Aswicahyono, Hill dan Narjoko (2011).
8
https://wits.worldbank.org. Penghitungan untuk tahun 2013 tidak dapat dilakukan karena UN Comtrade belum mengkompilasi sepenuhnya data semua negara untuk tahun 2013. Tabel. 3 Revealed Comparative Advantage, 2008-‐2012
Sektor 2008 2009 2010 2011 2012 Padat Tenaga Kerja Tak Trampil 1.55 1.44 1.37 1.41 1.60 Padat Tenaga Kerja Berbasis S.D.A 1.94 1.82 1.83 1.46 1.64 Padat Modal Berbasis S.D.A 0.84 0.83 0.66 0.69 0.66 Elektronika 0.60 0.64 0.78 0.81 0.73 Footloose Industry 0.25 0.26 0.31 0.37 0.33 Sumber. WITS, diolah Hasil penghitungan RCA pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri yang padat kenaga kerja, baik industri-‐industri yang padat tenaga kerja tak trampil maupun industri-‐industri yang berbasis sumber daya alam. Industri elektronik, yang juga padat tenaga kerja, saat ini nilai RCA-‐nya masih dibawah 1 namun menunjukan kecenderungan yang meningkat. Pengembangan yang tepat pada sisi demand (penentrasi pasar yang efektif) serta sisi supply yang akan diuraikan secara lebih mendalam pada bagian selanjutnya akan dapat meningkatkan daya saing produk elektronik Indonesia di pasar dunia. Table 4 memberikan hasil perhitungan RCA yang lebih rinci untuk ke 5 kelompok industri yang telah dibahas terdahulu serta tiga negara tujuan ekspor utama dari barang-‐barang dalam 5 kelompok industri tersebut. Dalam kelompok sektor padat tenaga kerja tak trampil, industri-‐industri yang memiliki RCA lebih dari 1 termasuk tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, furnitur dan industri peralatan musik. Sedangkan pada kelompok sektor padat tenaga kerja berbasis sumber daya alam, industri-‐industri yang memiliki keunggulan komparatif termasuk industri pengalengan dan pengawetan ikan dan udang, industri minyak nabati (minyak sawit), industri coklat dan produk coklat, industri rokok, industri penggergajian kayu dan industri produk kayu dan rotan. Khusus dalam kelompok industri elektronik, Indonesia memiliki keunggulan komparatif baru pada segmen industri peralatan listrik dan pasokan (ISIC 3839). Sementara itu, dalam kategori industri padat modal berbasis sumber daya alam, Indonesia juga memiliki beberapa industri yang unggul, yaitu industri bubur kertas dan kertas, industri berbasis karet, industri besi dasar, industri keramik, porselen dan gerabah dan industri logam selain besi. Dalam kelompok footloose industry, industri sepeda motor adalah satu-‐satunya industri yang memiliki RCA diatas 1. Ekspor sebagian besar industri-‐industri unggul ini masih terarah pada pasar-‐pasar tradisional. Industri penyamakan kulit terlihat kehilangan daya saing dalam beberapa tahun belakangan ini.
9
Tabel. 4 RCA untuk Industri-‐Indusri Manufaktur, 2008-‐2012
Kode ISIC Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 Tiga Negara Tujuan Terbesar
Sektor Padat Tenaga Kerja Tak Trampil
3211 Industri tekstil 2.74 2.69 2.56 2.29 2.60 Turki, Jepang, Brasil
3212 Industri pembuatan barang dari tekstil kecuali pakaian jadi 0.53 0.43 0.47 0.52 0.56 Jepang, AS, Malaysia
3522 Industri obat-‐obatan 0.05 0.05 0.05 0.13 0.07 India, Filipina, Jepang
3522
Industri sabun dan pembersih persiapan. parfum. kosmetik dan preparat toilet lainnya 0.80 0.76 0.05 0.63 0.07 India, Filipina, Jepang
3529 Pembuatan produk kimia yang tidak diklasifikasikan di tempat lain 0.65 0.48 0.31 0.90 0.42 Cina, Singapura, AS
3530 Industri kilang minyak 0.50 0.43 0.46 0.00 0.33 Malaysia, Jepang, Korea
3540 Pembuatan aneka produk minyak bumi dan batubara 0.01 0.02 0.01 0.63 0.04 Cina, Jepang, Italia
3551 Industri produk karet yang tidak diklasifikasikan di di bagian lain 1.81 1.96 1.74 1.50 1.58 AS, Jepang, Australia
3559 Industri tirus dan tabung 0.74 0.96 0.65 0.77 0.85 Cina, Jepang, Singapura
3560 Industri produk plastik yang tidak diklasifikasikan di bagian lain 0.65 0.61 0.49 0.43 0.58 Jepang, AS, Singapura
3610 Industri keramik, porselen dan gerabah 1.14 1.09 1.40 1.36 1.48 AS, Jepang, Belgia
3620 Industri kaca dan produk kaca 0.70 0.61 0.62 0.56 0.57 Thailand, Malaysia, India
3691 Industri produk tanah liat struktural 0.42 0.41 0.38 0.39 0.30 Asia Lainnya, Malaysia, Filipina
3692 Industri semen, kapur dan gips 1.45 1.45 0.61 0.42 0.14 Timor Timur, Australia, Asia
lainnya
3699 Industri mineral non-‐logam yang tidak diklasifikasikan di bagian lain 0.34 0.35 0.30 0.33 0.30 Australia, Korea Selatan, AS
3710 Industri besi dan baja dasar 0.45 0.45 0.36 0.27 0.31 Singapura, Australia, Malaysia
3720 Industri dasar besi non logam 1.81 1.72 1.39 1.40 1.07 Jepang, Singapura, Australia
Elektronika
3831 Industri mesin industri dan peralatan listrik 0.50 0.52 0.57 0.62 0.56 Singapura, Jepang, Thailand
3832 Industri radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya 0,64 0.81 0.72 0.98 0.60 Singapura, AS, Jepang
3833 Industri peralatan listrik dan peralatan rumah tangga 0.17 0.19 0.72 0.61 0.75 Singapura, Brasil, India
3839
Industri peralatan listrik dan pasokan yang tidak diklasifikasikan di di bagian lain 1.08 1.05 1.11 1.04 1.03 Jepang, Singapura, AS
Footloose Industry
3811
Industri barang dari logam kecuali mesin dan peralatan yang tidak diklasifikasikan di tempat lain 0.19 0.20 0.24 0.17 0.30 Jepang, Thailand, Malaysia
3812 Industri mebel dan perlengkapan terutama dari logam 0.17 0.16 0.30 0.37 0.46 AS, Jerman, Australia
3813 Industri produk logam struktural 0.72 0.55 0.53 0.68 0.80 Singapura, Australia, AS
3819
Industri barang dari logam kec mesin dan peralatan yang tidak diklasifikasikan di bgn lain 0.40 0.33 0.38 0.37 0.38 Jepang, Singapura, AS
3821 Industri mesin dan turbin 0.12 0.14 0.11 0.13 0.19 AS, Singapura, Thailand
3822 Industri mesin pertanian dan peralatan 0.02 0.02 0.01 0.02 0.01 Jepang, Papua Nugini, Singapura
3823 Industri logam dan mesin kayu 0.06 0.07 0.12 0.09 0.04 Singapura, Malaysia, Jepang
3824 Industri mesin industri dan peralatan khusus. kecuali logam dan mesin kayu 0.14 0.16 0.42 0.44 0.23 Singapura, Thailand, Malaysia
3825 Industri kantor. komputasi dan mesin akuntansi 0.47 0.46 0.57 0.39 0.97 Singapura, AS, Jepang
3829 Mesin dan peralatan listrik kecuali tidak diklasifikasikan di bgn lain 0.33 0.37 0.25 0.22 0.30 Singapura, Thailand, Jepang
3841 Kapal dan memperbaiki 0.55 0.93 0.87 1.11 0.39 Singapura, Malaysia, Belanda
3842 Pembuatan peralatan kereta api 0.05 0.04 0.03 0.04 0.10 AS, Malaysia, Australia
3843 Industri kendaraan bermotor 0.22 0.20 0.20 0.16 0.27 Thailand, Arab Saudi, Jepang
3844 Industri sepeda motor dan sepeda 0.88 0.73 1.41 1.14 1.39 Singapura, Filipina, Malaysia
3845 Industri pesawat 0.05 0.12 0.12 0.16 0.14 Singapura, Inggris, AS
3849 Industri peralatan transportasi tidak diklasifikasikan di tempat lain 0.02 0.01 0.02 1.25 0.02 Timor Timur, Malaysia, Singapura
3851 Industri peralatan profesional dan 0.12 0.11 0.08 0.17 0.13 Singapura, Jepang, AS
11
ilmiah. alat ukur dan kontrol yg tdk diklasifikasikan di bgn lain
3852 Industri barang fotografi dan optik 0.14 0.20 0.16 0.15 0.10 Singapura, AS, Jepang
3853 Industri jam tangan dan jam 0.05 0.06 0.03 0.03 0.02 AS, Singapura, Prancis
Sumber. WITS, diolah.
5. Reformasi Ekonomi dan Peningkatan Ekspor Dengan harga komoditas utama yang semakin menurun (Gambar 2) sementara ekspor masih perlu ditingkatkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia tidak punya pilihan lain selain melakukan revitalisasi terhadap industri manufaktur-‐nya. Indonesia masih memiliki keunggulan dalam ekspor produk-‐produk manufaktur yang padat tenaga kerja, baik manufaktur unskilled maupun skilled labour intensive. Terhadap industri-‐industri ini Indonesia perlu meningkatkan 3 hal. Pertama, meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga kenaikan tingkat upah yang telah mengakibatkan beberapa produk manufaktur Indonesia mulai kehilangan pasar. Kedua, meningkatkan diversifkasi pasar, dimana penjualan untuk produk-‐produk yang telah mendunia ini perlu diperluas ke pasar-‐pasar lain diluar pasar ekspor yang telah biasa dituju. Banyak pasar yang memperlihatkan pertumbuhan permintaan yang cukup tinggi tapi relatif belum tergarap oleh Indonesia (Tabel 5). Ketiga, meningkatkan infrastruktur dan kualitas logistik, sehingga industri-‐industri yang terintegrasi dengan jaringan produksi global maupun regional dapat lebih bersaing, sehingga keikutsertaan Indonesia dalam jaringan produksi global dapat meningkat. Gambar. 3. Indeks Harga Dunia Komoditas, 2007-‐2014
Sumber. World Bank, 20146 Tabel. 5. Negara-‐negara Tujuan Ekspor Alternatif dengan pertumbuhan impor yang tinggi
GLOBAL ECONOMIC PROSPECTS | July 2014 Commodity Markets Outlook
1
Overview Geopolitical concerns in Iraq and Ukraine/Russia earlier in the year put upward pressure on oil prices during the second quarter. As tensions moderate, oil prices are ex-pected to decline in 2015. Metal prices eased during the 2014Q2 due to supply response from earlier investments and weakening demand, especially by China. Weather concerns (often linked to likely El Niño) induced price increases in some grains earlier in the year but recently prices have weakened as supplies for the upcoming, 2014/15, season are deemed adequate to keep stocks at reasonable levels. Agricultural prices are expected to de-cline slightly in 2015. The key commodity price indices have been broadly stable during 2014Q2 (as Box 1 shows that commodi-ty price volatility during 2014Q2 has been low.) Ener-gy and agricultural prices increased 1 percent each, on geopolitical and weather-related concerns, respective-ly, while metal prices declined 1 percent on signs of Chinese demand weakness (figure 1). The increase in beverage prices was driven by a rally in coffee prices due to dry weather in Brazil—world's largest coffee supplier (figure 2). Precious metal prices changed little while fertilizer prices declined 6.5 percent due to weakness in natural gas prices. In the baseline scenario, which assumes no macroeco-nomic shocks or major supply disruptions, oil prices are expected to average $106/bbl in 2014, $2/bbl higher than 2013, reflecting the geopolitical tensions
in Iraq (table 1). Oil prices are expected to ease to $104/bbl in 2015 as geopolitical tensions moderate. Natural gas prices in the U.S. are expected to remain elevated during the rest of 2014 and strengthen even more in the longer term in response to stronger de-mand from energy intensive industries that are mov-ing to the U.S. to capitalize on the “energy dividend”. EU natural gas and Japanese LNG prices are expected to moderate due to weakening demand—currently both prices are mostly tied to crude oil. Agricultural prices are projected to moderate further in 2014 under the assumption that current crop conditions will persist for the 2014/15 crop year. Yet, considerable variation is expected among various crops. Grain prices are expected to decline almost 14 percent in 2014; prices of edible oils & meals and other food items will ease mar-ginally. Beverage prices will gain 18 percent. Metal prices will loose more than 6 percent in 2014 (which comes on top of last year’s 5.5 percent drop) as new supplies will be coupled with weaker demand by China. Fertilizer prices are expected to decline 15 percent in 2014 mainly in re-sponse to capacity expansion in the U.S. Similarly, pre-cious metal prices are expected to decline more than 12 percent as institutional investors are viewing them less attractive “safe heaven” investment vehicles; reduced demand by China may play a role as well. There are a number of risks to the baseline forecasts. Downside risks in the oil market include weaker demand concerns by emerging economies (where most demand growth takes place). Oil demand could weaken further in the longer term if substitution between oil and natural gas intensifies.
Malta 20.53 0.00 49.81 31.14 7.08 Dominican Republic 44.32 0.01 26.60 18.89 6.84 Chile -‐2.91 0.10 39.21 26.67 6.35 New Zealand 3.77 0.21 17.81 19.13 6.08 Colombia 40.55 0.08 24.24 31.42 6.07 Mexico 68.63 0.40 29.93 15.46 5.85 Uganda 41.42 0.01 9.92 19.17 5.65 India 119.79 5.25 31.30 32.44 5.41 Lebanon 6.17 0.04 9.92 12.31 5.19 Yemen 20.83 0.07 -‐3.25 7.37 5.07 Source. WITS, diolah Selain diversifikasi pasar untuk produk-‐produk yang telah matang, Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi produk, khususnya untuk produk-‐produk yang Indonesia memiliki keunggulan komparatif, berbasis sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya budaya. Selama ini, Indonesia kurang melihat budaya sebagai kekuatan ekonomi. Namun bila dicermati lebih jauh, sumber daya budaya merupakan keunggulan kompratif yang melekat pada bangsa Indonesia. Industri-‐industri kreatif berbasis budaya, seperti kerajinan, mode dan seni rupa merupakan beberapa contoh kekuatan ekonomi berbasis budaya. Mode berbasis batik, tenun dan kerajian lainnya perlu difasilitasi untuk dikembangkan menjadi salah satu industri penggerak pertumbuhan nasional. Dalam meningkatkan diversifikasi produk ini, paradigma peran pemerintah dalam perdagangan perlu diubah dari mengatur menjadi fasilitasi. Pemerintah perlu menghilangkan hambatan-‐hambatan sektoral yang dapat menghambat perkembangan indusri, seperti perijinan yang tumpang tindih dan non transparan serta menghilangkan bottleneck pada sisi supply. Subsidi yang selama ini salah sasaran perlu direalokasi pada pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing perekonomian, antara lain pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan, jembatan, pelabuhan laut dan udara, sistem informasi perdagangan, sistem komputerisasi dan fasilitasi perdagangan secara online sehingga biaya produksi dan logistik menjadi lebih murah. Dengan demikian, produk manufaktur Indonesia dapat bersaing baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN maupun integrasi ekonomi lainnya, Indonesia tidak perlu ketakutan.
6. Kesimpulan Ekspor merupakan komponen penting dalam pendapatan nasional Indonesia. Kinerja-‐nya yang melemah dalam 10 tahun terakhir ini perlu ditinjau dan dipulihkan. Ada beberapa hal yang mengakibatkan pelemahan kinerja ekspor dalam beberapa tahun belakangan ini termasuk apreasisi riil Rupiah, kenaikan tingkat upah, ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai, kualitas jasa logistik yang masih rendah dan iklim usaha yang tidak pasti. Tingginya harga komoditas telah membuat Indonesia melupakan urgensi pembenahan sektor manufaktur. Namun memburuknya harga komoditas sejak 3 tahun terakhir ini
14
membuat Indonesia mau tidak mau harus mencari sumber pertumbuhan ekspor yang baru maupun meningkatkan yang sudah ada diluar ekspor komoditas. Bila dilihat kinerja ekspor manufaktur Indonesia di pasar global, walaupun jumlah produk yang memiliki keunggulan kompratif di pasar global mengalami penurunan, Indonesia masih memiliki keunggulan kompratif dalam beberapa kelompok industri manufaktur, utamanya industri-‐industri yang berbasis tenaga kerja, yaitu tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, furnitur dan industri peralatan musik. Sedangkan pada kelompok industri padat tenaga kerja berbasis sumber daya alam, industri-‐industri yang memiliki keunggulan komparatif termasuk industri pengalengan dan pengawetan ikan dan udang, industri minyak nabati (minyak sawit), industri coklat dan produk coklat, industri rokok, industri penggergajian kayu dan industri produk kayu dan rotan. Dalam industri elektronik, Indonesia memiliki keunggulan komparatif baru pada segmen industri peralatan listrik dan pasokan (ISIC 3839). Sementara itu, dalam kategori industri padat modal berbasis sumber daya alam, Indonesia juga memiliki beberapa industri yang unggul, yaitu industri bubur kertas dan kertas, industri berbasis karet, industri besi dasar, industri keramik, porselen dan gerabah dan industri logam selain besi. Dalam kelompok footloose industry, industri sepeda motor adalah satu-‐satunya industri yang memiliki RCA diatas 1. Terhadap industri-‐industri yang Indonesia masih memiliki keunggulan di pasar global, yang diperlukan adalah peningkatan produktivitas tenaga kerja industri-‐industri ini sehingga kenaikan tingkat upah yang telah mengakibatkan beberapa produk manufaktur Indonesia mulai kehilangan pasar dapat dikompensasi. Disamping itu, peningkatan diversifkasi pasar juga diperlukan, dimana penjualan untuk produk-‐produk yang telah mendunia ini perlu diperluas ke pasar-‐pasar lain diluar pasar ekspor yang telah biasa dituju. Sedangkan untuk industri-‐industri yang RCA indeksnya dibawah 1 bukan berarti Indonesia tidak dapat unggul dalam industri-‐industri tersebut terkait kelemahan dalam penghitungan RCA yang memasukan distorsi pasar dalam penghitungannya. Ambil contoh industri elektronik, RCA yang kurang dari 1 bisa diakibatkan oleh infrastruktur dan logistik yang kualitasnya rendah. Bagi industri-‐industri dalam kategori ini, pendekatan business as usual tidak akan mampu memulihkan kinerja. Hambatan-‐hambatan dalam sisi supply termasuk keterbatasan infrastruktur logistik perlu diselesaikan segera. Terlebih lagi karena sektor ini merupakan sektor yang terintegrasi secara global, maka penghapusan hanbatan sangat diperlukan. Disamping itu perlu perubahan paradigma dalam melihat peran pemerintah dalam bidang perdagangan dari regulator menjadi fasilitator, sehingga berbagai hambatan regulasi terhadap sektor produksi dan distribusi dapat dihilangkan.
15
Referensi Abidin, M. Z., & Loke, W. H. (2008). Revealed comparative advantage of
Malaysian exports: The case for changing export composition. Asian Economic Papers, 7(3), 130–147.
Asian Development Bank. (2014), Indonesia’s Medium Term Development Plan: Background Study on Competitiveness
Aswicahyono, H., Hill, H., & Narjoko, D. (2010). Industrialisation After A Deep Economic Crisis: Indonesia. The Journal of Development Studies, 46(6), 1084–1108.
Aswicahyono, H., Hill, H. (2014). Survey of Recent Development. akan terbit: Bulletin of Indonesian Economic Studies.
Athukorala, 2010, Production Networks and Trade Patterns in East Asia: Regionalization or Globalization? ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration, No. 56 Athukorala, P., & Yamashita, N. (2006). Production fragmentation and trade
integration: East Asia in a global context. The North American Journal of Economics and Finance, 17(3), 233–256. doi:10.1016/j.najef.2006.07.002
Balassa, B. (1965). Trade Liberalisation and “Revealed” Comparative Advantage. The Manchester School, 33(2), 99–123.
Balassa, B. (1978). Export and economic growth: Further evidence. Journal of Development Economics, 5(2), 181–189
Brakman, S., Inklaar, R., & van Marrewijk, C. (2013). Structural Change in OECD Comparative Advantage. The Journal of Internation Trdae &Economic Development: An International and Comparative Review2, 22(3), 817–838.
Coxhead, I. (2007). A New Resource Curse? Impacts of China’s Boom on Comparative Advantage and Resource Dependence in Southeast Asia. World Development, 35(7), 1099–1119. doi:10.1016/j.worlddev.2006.10.012
Soejachmoen, Moekti Prasetiani. Indonesia's Participation in Global Production Networks, East Asia Forum, 9 October, 2012. http://www.eastasiaforum.org/2012/10/09/indonesias-‐participation-‐in-‐global-‐production-‐networks/
Soesastro, H., & Basri, M. C. (2005). The Political Economy of Trade Policy in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, 22(1), 3–18.
World Bank. (2013). State of Logistics Indonesia 2013. World Bank. (2014). Indonesia Avoding The Trap. World Bank, (2014b). Ease of Doing Business