KAMIS, 3 JUNI 2021 DA 7
Kamis, 3 Juni 2021suara anda 7
Mewujudkan damaidi Bumi CenderawasihKEPALA Divisi Hubung
an Masyarakat Mabes Polri Irjen Argo Yu
wono telah memetakan empat kabupaten di Papua yang dianggap rawan aksi ke kerasan. Empat kabupaten itu ialah Intan Jaya, Mimika, Puncak, dan Nduga. Polri juga mengumpulkan empat bupati yang daerahnya kerap mendapatkan serangan kelompok bersenjata, Selasa (1/6).
Pertemuan itu dihadiri langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Dialog itu digelar untuk memahami tuntutan kelompok bersenjata di provinsi tersebut. Upaya itu dilakukan dengan harapan agar kelompok bersenjata mau bergabung kembali bersama NKRI membangun Papua.
Ya, kekerasan di tanah Pa
pua merupakan kenyataan yang terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tak dimungkiri, beragam kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan, dan penegakan sewenangwenang melahirkan tragedi kemanusiaan yang membekas bagi rakyat Papua. Kemelut itu mencerminkan harkat dan martabat manusia kurang dijunjung dan dihormati.
Oleh karena itu, perlu suatu gerakan bersama dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal di tanah Papua demi mewujudkan kedamaian di ‘Bumi Cenderawasih’. Selain itu, komitmen untuk menyelesaikan masalahmasalah di Papua melalui dialog terbuka antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu diintensifkan. Pemerintah perlu mem
berikan bukti nyata bahwa rakyat Papua ialah bagian penting Republik Indonesia.
Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, khususnya mengelola sumber daya alam mereka. Otonomi pengelolaan sumber daya alam itu diharapkan bermanfaat besar bagi warga Papua. Sudah selayaknya pendekatan kekerasan harus diganti dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan rakyat Papua. Selain itu, untuk menciptakan Papua sebagai tanah damai, diperlukan tata ekonomi yang muaranya ialah kesejahteraan secara merata bagi rakyat Papua.
Ong Hwei FangPemerhati isu politik
2 Juni 2021
E D I T O R I A L
MESKI merupakan hal yang ditetapkan sejak berdirinya negara, ideologi tetaplah bukan nilai yang diterima
begitu saja. Ideologi harus dipahami sebagai identitas yang diwariskan.
Sebab itu walaupun melekat, tidak berarti ia mutlak dicintai. Ideologi yang tidak didekatkan ke kehidupan nyata akan semata hafalan di bibir. Bahkan tidak mungkin, ia jadi sesuatu yang aneh dan kemudian ditinggalkan.
Begitulah fenomena yang terjadi pada banyak negara, baik negara dengan ideologi beragam seperti Amerika Serikat maupun negara dengan ideologi tunggal, seperti Indonesia. Tantangan terhadap ideologi Pancasila kita memang bukan lagi dengan pemberontakan macam 1965, melainkan lewat berbagai cara di era keterbukaan ini.
Konsekuensi yang kita hadapi juga bukan sepele, seperti gagalnya para milenial hingga generasi Z menyebutkan lima sila yang menjadi dasar falsafah negara itu. Namun, ancaman besarnya adalah gesekan sosial yang makin meruncing hingga kontaminasi ideologiideologi yang bertentangan dengan nilainilai Pancasila.
Buktinya, sudah ada di penelitian sejumlah lembaga beberapa tahun ini. Bahkan, goyahnya ideologi Pancasila terjadi di diri para pendidik.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), yang dipimpin Prof Dr Bambang Pranowoyang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Selain 25% siswa, ada 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Kemudian pada 2017, data yang diperoleh dari Badan Intelijen Negara (BIN) menunjukkan 39% mahasiswa Indonesia dari beberapa perguruan tinggi terpapar radikalisme.
Datadata itu bukti berjaraknya Pancasila dari warganya, bukan saja generasi muda, melainkan juga generasi yang menjadi motor sekarang ini. Maka pekerjaan besar saat ini ialah bagaimana membumikan lagi Pancasila. Sebab hanya dengan cara itulah, ia menjadi identitas yang dicintai dan dibela.
Pekerjaan besar ini pula yang disadari Presiden Joko Widodo yang menekankan perluasan dan pendalaman lagi nilainilai Pancasila. Hal itu Presiden sampaikan dalam pidatonya dalam U pacara Peringatan Hari Lahir Pancasila, kemarin, di Istana Bogor.
Presiden pun menyoroti revolusi industri 4.0 yang menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi, keterbukaannya juga menjadi pintu bagi masuknya ideologiideologi asing. Namun, di sisi lain, semestinya era teknologi ini juga menjadi alat kita untuk membumikan Pancasila.
Sayangnya, bangsa ini memang masih lebih menjadi budak teknologi. Lihat saja laporan Hootsuite dan agensi
marketing We Are Social bertajuk Digi-tal 2021: Global Overview Reports, yang memasukkan Indonesia ke peringkat 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Laporan itu hasil analisis 47 negara, termasuk negaranegara tetangga seperti Singapura dan Filipina.
Anggota divisi keamanan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) sekaligus peneliti terorisme, Boas Simanjuntak, telah menyebutkan konten radikalisme bertebaran di berbagai platform medsos. Ia juga menyebut, mudahnya ideologi tersebut menjangkiti anak muda karena memenuhi hasrat pencarian jati diri.
Ibarat orang yang kehausan, banyak generasi muda kita yang justru disuguhi pemuas dahaga oleh kelompok radikal, intoleran, dan sejenisnya. Lubang besar inilah yang butuh kerja serius.
Tentunya, kita mengharapkan pe
merintah dengan berbagai programprogramnya bisa membanjiri medsos dengan nilainilai Pancasila. Meski begitu, pemahaman kehidupan Pancasila tentunya hanya bisa melekat jika juga ditunjukkan seluruh elemen bangsa, termasuk tokoh ulama, figur publik, pendidik, hingga keluarga terdekat.
Tidak berhenti di situ, wujud Pancasila harus ada hingga ke kehidupan bernegara tertinggi, yang artinya menyangkut setiap perundangan dan kebijakan yang ada. Pancasila pada ketatanegaraan sama pentingnya dengan Pancasila di kehidupan keseharian, karena di situlah senyatanya komitmen negara.
Ketika negara meminta rakyat setia pada Pancasila, sepantasnya pula negara harus setia pada kemanusiaan, persatuan, hingga keadilan sosial.
Membumikan Pancasiladi Era 4.0
Pindai QR Code untuk
video Editorial
Kirimkan keluhan dan komentar Anda tentang pelayanan publik kee-mail: forum@media indonesia.com
Kirimkan komentar Anda atas tema:Konflik Kekerasan hanya Sengsarakan Rakyat (2-7 Juni 2021)opini publik ke e-mail:[email protected]
F O R u mTanggapanEditorial
Aneh jugaBangsa IniK E N A P A s a m p a i ada pemikiran atau keingin an untuk mengganti ideologi Pancasila walau angka atau datanya itu diperoleh melalui hasil survei? Aneh juga bangsa ini. Tentunya tak semua warga berpikiran seperti itu, tapi sebatas yang diwawancarai dan tidak mewakili negara ini juga. Namun, memang begitulah bahwa pemikiran ada dan berkembang seiring dengan lahirnya kebebasan yang terkadang kebablasan. Sekarang ini banyak orang bebas mau berpikir, berkata, dan bertindak tanpa peduli hak asasi orang lain yang ada di sekitarnya. Terkadang hal itu justru dilakukan mereka yang well-educated.
M Rachmat Tirtapradja
Tidak Boleh DipolitisasiIDEOLOGI tak boleh dipolitisasi, mantap.
Rusta Winata
Upaya Ubah PancasilaPEMBELOKAN sejarah terus diupayakan lewat upaya mengubah Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila.
Pakde Manto
Ada Penataran P4DULU waktu mau kuliah ada penataran P4. Sekarang apa kabarnya, ya, pemahaman pelajar terhadap Pancasila?
Poernomo