-
1
MEMBANGUN MEKANISME
PENDANAAN BERKELANJUTAN UNTUK PELESTARIAN ALAM DAN
BUDAYA BALI
OLEH
Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., PhD.
Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.
Prof. Dr. Ir. Made Antara, M.S.
Nyoman Ariana, SST.Par., M.Par.
Kerjasama
PUSLIT KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Dengan
CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA
DENPASAR, BALI
2015
-
2
KATA PENGANTAR
Pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali
adalah suatu
kegiatan advokasi yang diinisiasi dan didanai oleh conservation
International Indonesia
tahun 2014/2015 bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kebudayaan
dan Pariwisata
(Puslitbudpar) Unud. Advokasi bertujuan menyadarkan para
pemangku kepentingan
pariwisata khususnya pemerintah baik di pusat maupun di daerah
akan pentingnya
ketersediaan (alokasi) dana untuk menjamin berlangsungnya upaya
pelestarian alam dan
budaya Bali secara berkesinambungan, yang dikumpulkan secara
wajib maupun sukarela
dari wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Berkat bantuan berbagai pihak, kegiatan ini telah dapat
diselesaikan dengan baik.
Untuk itu tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada: (1) Bappeda
Provinsi Bali yang telah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan ini;
(2) Bali Tourism Board (BTB)
yang telah memfasilitasi kegiatan focus group discussion (FGD)
sebanyak beberapa kali di
gedung BTB di Jalan Raya Puputan Denpasar; (3) Asosiasi
pariwisata yang bernaung di
bawah BTB yang telah mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi
dalam FGD; (4) SKPD di
lingkungan Pemerintah Provinsi Bali, Kota Denpasar, dan
Kabupaten Badung yang telah
berpartisipasi pada kegiatan kajian ini; (5) Conservation
Internasional Indonesia yang telah
memfasilitasi dan mendanai kegiatan ini; dan pihak-pihak lainnya
yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang telah berpartisipasi dan mendukung
pelaksanaan kegiatan ini.
Laporan kajian ini masih memiliki keterbatasan. Kritik dan saran
untuk
penyempurnaan laporan kajian ini sangat diharapkan. Sekian dan
terimakasih.
Denpasar, 31 Maret 2015
Puslit Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana
Kepala,
Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., PhD.
-
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………. 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………….. 2
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………… 7
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………………………. 7
1.2 Tujuan …………………………………………………………………………………………………………. 11
1.3 Luaran (Output) …………………………………………………………………………………………… 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………………………………………. 12
2.1 Perkembangan Kepariwisataan di Bali …………………………………………………………
12
2.2 Dampak Perkembangan Kepariwisataan di Bali
………………………………………….. 14
2.2.1 Dampak Ekonomi …………………………………………………………………………… 14
2.2.2 Dampak Lingkungan ………………………………………………………………………. 32
2.2.3 Dampak Sosial Budaya …………………………………………………………………… 34
2.3 Konsep Pariwisata Bali Berkelanjutan ………………………………………………………….
36
2.3.1 Konsep Pariwisata Berkelanjutan ……………………………………………………
36
2.3.2 Konsep Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan
(THK, Nyegara Gunung, Sad Kertih) ……………………………………………….
37
2.4 Teori Konsep Ekonomi Lingkungan ………………………………………………………….....
41
BAB III METODE KAJIAN …………………………………………………………………………………………..
51
3.1 Waktu dan Lokasi Kajian ………………………………………………………………………………
51
3.2 Pengumpulan Data ……………………………………………………………………………………… 51
3.3 Analisis Data ………………………………………………………………………………………………… 52
3.4 Pelaksanaan Kajian ……………………………………………………………………………………… 53
BAB IV SKENARIO MEKANISME PENGGALANGAN DANA BERKELANJUTAN ………………
55
4.1 Rasionalisasi Pentingnya Penggalangan Dana
……………………………………………… 55
4.2 Sistem Alokasi Anggaran Pemerintah Untuk Konservasi Alam dan
Budaya Bali ……………………………………………………………………………………………………………….
57
4.3 Kesenjangan antara Anggaran Dan Masalah yang Terjadi
………………………….. 60
4.4 Pungutan Wajib (Mandatory) ………………………………………………………………………
62
4.5 Pungutan Sukarela/Donasi (Voulantary) ………………………………………………………
65
-
4
Halaman
BAB V PETA JALAN PENGGALANGAN DAN PEMANFAATAN DANA BERKELANJUTAN
67
5.1 Visi dan Misi ……………………………………………………………………………………………….. 67
5.2 Tujuan dan Sasaran ……………………………………………………………………………………… 67
5.3 Ruang Lingkup Kegiatan ……………………………………………………………………………….
68
5.3.1 Kegiatan Penggalangan Dana ………………………………………………………… 68
5.3.2 Kegiatan Pemanfaatan Dana …………………………………………………………. 69
5.3.2.1 Pelestarian Alam ……………………………………………………………… 69
5.3.2.1 Pelestarian Budaya …………………………………………………………… 69
5.4 Kelembagaan Pengelolaan Dana Berkelanjutan
………………………………………….. 69
5.4.1 Bentuk, Nama dan Pendiri Organisasi …………………………………………….
69
5.4.2 Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi ………………………………………………..
70
5.4.3 Struktur Organisasi ………………………………………………………………………… 70
5.4.4 Sistem Pengelolaan Dana Berkelanjutan …………………………………………
70
5.5 Garis-Garis Besar Rencana Kegiatan …………………………………………………………….
70
5.5.1 Pelestarian Alam ……………………………………………………………………………. 70
5.5.2 Pelestarian Budaya ………………………………………………………………………… 74
BAB VI PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………. 75
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………… 76
-
5
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1 Penerimaan Devisa Pariwisata Dibandingkan dengan Komoditi
Ekspor lainnya, 2009-2013
………………………………………………………………………………………………………..
16
2.2 Pendapatan Per kapita Menurut Harga Berlaku (2010-2013)
…………………………. 17
2.3 Pajak Hotel dan Restoran Kabupaten/Kota Badung, Denpasar,
dan Gianyar sebagai Representasi Kontribusi Sektor Pariwisata Bali
……………………………………
18
2.4 Dampak Bom Bali Terhadap Perekonomian Masyarakat Petani Bali
(Jeneralisasi Hasil Survei 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di
Bali) ………………
20
2.5 PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2010 - 2013 (milyar rupiah)
……………………………………………………………………
21
2.6 Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku
(Persentase) …………………………………
22
2.7 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Bali,
2003-2007.. 24
2.8 Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu
Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun
2014 ……………………….
25
2.9 Inflasi Bulanan, Tahun kalender, dan Year on Year, di Kota
Denpasar Tahun 2012 2014
……………………………………………………………………………………………………….
30
-
6
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
2.1 Perkembangan Kunjungan WIsatawan Mancanegara Langsung ke
Bali …………… 13
2.2 Perkembangan Jumlah Hotel di Bali, 1986-2011
……………………………………………… 14
2.3 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Masyarakat Bali Dampak
Pariwisata …… 17
2.4 Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata
(Perdagangan Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB Provisi Bali Atas
Dasar Harga Berlaku sebagai Representasi Diversifikasi Aktivitas
Ekonomi …………………………………………………..
23
2.5 Perkembangan Inflasi Kota Denpasar, Februari 2012-Februari
2014 ………………. 28
2.6 Katagori tentang Nilai-Nilai Ekonomi Dihubungkan dengan Aset
Lingkungan.. 43
-
7
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebelum tahun 1980-an, perekonomian Bali dicirikan oleh
perekonomian agraris di
mana sebagian besar aktivitas ekonomi berkaitan dengan
pertanian. Namun sejak tahun
1980 pariwisata mulai berkembang dan perkembangan sangat pesat
mulai tahun 2000 yang
dicirikan oleh sebagian besar aktivitas ekonomi masyarakat Bali
berkaitan dengan jasa-jasa
pariwisata.
Struktur perekonomian Bali mempunyai karakteristik yang unik
dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pilar-pilar ekonomi yang
dibangun lewat keunggulan
industri pariwisata sebagai sektor pemimpin (Leading Sector),
telah membuka beragam
peluang yang dapat mendorong aktivitas ekonomi serta
pengembangan etos kerja
masyarakat. Dimensi itu tergambar dari meluasnya kesempatan
kerja, tingginya peluang
tingkat pendapatan masyarakat, luasnya jaringan kerja yang
meliputi batas-batas lokal
sampai tingkat nasional, bahkan ke tingkat internasional. Dengan
dukungan industri
pariwisata yang sangat besar telah meyebabkan sektor-sektor yang
mempunyai keterkaitan
langsung seperti perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan,
keuangan dan jasa-jasa
memberikan distribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDRB
Provinsi Bali atau
perekonomian Bali.
Perkembangan industri pariwisata beberapa dasa warsa terakhir
mengalami
pertumbuhan yang fluktuatif akibat gangguan beberapa peristiwa,
seperti perang teluk
tahun 2001, krisis keuangan yang melanda negara-negara Asia
1997/98-2000, disusul
peristiwa peledakan WTC di Amerika Serikat, ledakan bom di Kuta
2001 dan 2005,
meletusnya Perang Irak dan penyebaran wabah SARS (Severe Acute
Respiratory Syndrome),
dan paling akhir adalah krisis keuangan global melanda dunia di
akhir 2008 yang
menurunkan pendapatan masyarakat di belahan Amerika dan Eropa.
Hal tersebut
berimplikasi terhadap penurunan kunjungan wisatawan, selanjutnya
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, baik bagi negara maju seperti Amerika,
Spanyol, Perancis maupun
bagi negara-negara berkembang seperti Singapura, Malaysia,
Thailand dan Indonesia. Ini
membuktikan bahwa sektor pariwisata sangat rentan terhadap
gangguan eksternal, namun
mempunyai peranan yang sangat vital dalam menunjang perekonomian
suatu negara. Hal
-
8
senada juga diungkapkan World Travel and Tourism Council seperti
yang dikutip oleh
Theobald, 1994 (dalam Yoeti, 1996) bahwa perjalanan dan
pariwisata merupakan industri
terbesar bila ditinjau dari ukuran-ukuran ekonomi seperti output
total, nilai tambah,
investasi modal, tenaga kerja dan kontribusi pajak bagi
pemerintah lokal. Anonim (2003)
report that tourism is a significant industry in British
Columbia It generates more than 4% of
real GDP and about 7% of employment. By comparison, it is only
slightly smaller than BC's
construction industry.
Penegasan pentingnya pembangunan sektor pariwisata bagi
Indonesia telah lama
dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP MPR
No. II/MPR/1998 yakni
“Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada pengembangan
pariwisata sebagai sektor
andalan dan unggulan dalam artian luas yang mampu menjadi salah
satu penghasil devisa,
mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah,
memberdayakan
perekonomian masyarakat, memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, serta
meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk nasional dalam
rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan tetap memelihara kepribadian bangsa,
nilai-nilai agama serta
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup”.
Pariwisata merupakan industri yang memiliki rentangan luas (wide
spanning), dalam
artian industri yang terdiri dari berbagai kumpulan industri
jasa yang mendukung atau yang
terkait dengan perjalanan seseorang atau sekelompok orang
(travellers), seperti akomodasi,
restoran, jasa transportasi dan souvenir (Yoeti, 1996).
Kebutuhan tenaga kerja pariwisata
makin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya usaha jasa
pariwisata, sarana
pariwisata serta usaha objek dan daya tarik wisata. Oleh karena
itu kesempatan kerja di
bidang pariwisata perlu juga diperhitungkan, berdasarkan pada
jumlah kunjungan
wisatawan, jumlah pengeluaran wisatawan dan pertumbuhan sarana
pariwisata.
Dalam berbagai analisis disebutkan bahwa pembangunan pariwisata
mampu
mendorong mobilitas tenaga kerja (Vorlauter, 1996). Hal senada
diungkapkan Redetzki
(1989) bahwa perkembangan pesat pariwisata menjadi salah satu
daya tarik utama bagi
migrasi tenaga kerja. Bila di lihat dari kualitas/jenis tenaga
kerja yang ada, di tinjau dari
indikator tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan tenaga kerja di bidang
pariwisata (perhotelan) lebih tinggi di bandingkan dengan
pendidikan tenaga kerja di sektor
ekonomi lain pada umumnya. Fenomena tersebut di dukung oleh
penelitian Spillane, 1994
-
9
(dalam Ariani, 2004) yaitu adanya kecenderungan bahwa tingkat
pendidikan yang lebih baik
tercipta di sektor pariwisata dari pada sektor ekonomi
lainnya.
Dengan demikian, pariwisata di manapun termasuk di Bali tidak
terbantahkan telah
menimbulkan dampak positif (positive impact) bagi perekonomian
regional dan nasional.
Namun patut pula diakui bahwa pariwisata juga menimbulkan dampak
negatif (negative
impact), antara lain, menyusutnya lahan pertanian untuk
pembangunan pendukung
infrastruktur pariwisata, meningkatnya kriminalitas, kepadatan
lalu lintas, urbanisasi dan
emigrasi, bermuculannya ruko-ruko, shopping centre dan mall yang
melanggar tataruang
wilayah, degradasi lingkungan dan polusi. Dampak negatif yang
disebutkan terakhir disebut
eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif (negative
externality= external cost = external
diseconomy), yaitu aktivitas kepariwisataan yang menimbulkan
kerusakan lingkungan, polusi
air (sungai, laut dan sumur) dan tanah, sehingga menyebabkan
kerugian sosial yang
ditanggung oleh masyarakat di daerah tujuan wisata.
Secara mikro untuk menurunkan eksternalitas negatif yang
ditimbulkan oleh
pariwisata (tourism) dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan,
yakni memberikan
insentive dalam bentuk subsidi atau keringanan pajak (Pajak
Hotel dan Restotan, PHR)
kepada agen-agen penunjang pariwisata (misal: restoran, hotel,
travel biro, Scuba Diving
dan agen lainnya) yang memberikan perlindungan atau melestarikan
lingkungannya.
Misalnya hotel atau agen pariwisata yang merecyling limbahnya,
baik limbah padat (solid
waster) atau limbah cair (sewage), sehingga tidak menimnulkan
pencemaran terhadap
tanah dan air di sekitarnya. Sebaliknya pemerintah dapat
mengenakan disincentive dalam
bentuk peningkatan beban pajak (PHR) atau denda kepada agen-agen
penunjang pariwisata
yang mencemari lingkungannya, baik pencemaran air, tanah, dsb,
yang menyebabkan
kerugian masyarakat.
Pariwisata juga menimbulkan eksternalitas, utamanya
eksternalitas negatif yang
secara langsung ataupun tidak langsung menyebabkan degradasi
sumberdaya alam, polusi
air, tanah, dsb, sehingga akan menimbulkan kerugian-kerugian
yang harus ditanggung
masyarakat (External Social Cost). Jika External Social Cost ini
diinternalisasikan menjadi
biaya riil, sudah jelas akan menurunkan pendapatan regional atau
nasional. Jadi karena
eksternalitas yang ditimbulkan oleh pariwisata adalah
eksternalitas negatif, maka perlu
dilakukan ‘economic valuation’ dari sumberdaya yang dipergunakan
dalam aktivitas
perekonomian nasional atau regional. Ekternalitas negatif, yaitu
menghitung semua
-
10
kerugian-kerugian yang ditanggung masyarakat dan lingkungan
sebagai akibat adanya
aktivitas ekonomi kepariwisataan.
Bali sebagai sebuah destinasi wisata internasional masih
memiliki sejumlah masalah
terkait dengan upaya peningkatan kunjungan wisatawan seperti
meningkatanya volume
limbah, , poluasi udara dan air, kemacetan lalu lintas,
peningkatan ekstraksi air segar, dan
meningkatnya kebutuhan pangan. Untuk menangulangi permasalahan
tersebut diperlukan
upaya pengembangan pariwisata berkelanjutan sehingga mampu
meningkatkan manfaat
ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Pengembangan pariwisata
berkelanjutan perlu
didukung upaya pengembangan pariwisata berkualitas yang
dicirikan dengan meningkatnya
lama tinggal wisatawan dan meningkatknya pengeluaran, dan
meningkatnya apresiasi
wisatawan terhadap aspek kelestarian lingkungan dan budaya
lokal.
Aspek penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan adalah
tersedianya
sumberdana yang menjamin keberlanjutan pengelolaan dari
peningkatan penduduk dan
kedatangan wisatawan yang berdampak pada penurunan kualitas
(degradasi) lingkungan
dan budaya. Untuk membantu pemerintah lokal memelihara
kelestarian sumberdaya alam
dan budaya Bali, maka perlu adanya semacam tambahan dana untuk
pelestarian
sumberdaya alam dan budaya Bali yang bersumber dari penikmatnya
yaitu wisatawan, baik
wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Untuk itu
diperlukan suatu kajian
mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian sumberdaya
alam dan budaya Bali.
2. Tujuan
Tujuan kajian ini adalah untuk (i) menyusun skenario mekanisme
pendanaan
berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali; (ii)
menyusun road map (peta
jalan) mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam
dan budaya Bali;
dan (iii) merintis terbentuknya kelembagaan terkait dengan
mekanisme pendanaan
berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali.
3. Luaran (Output)
Adapun luaran (output) studi antara lain:
a. Skenario dan road map mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk
pelestarian alam
dan budaya Bali; dan
b. Konsep badan atau lembaga pengelola dana berkelanjutan untuk
pelestarian alam dan
budaya Bali.
-
11
-
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Kepariwisataan di Bali
Bali dikenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia karena
keunikan budaya dan
keindahan alamnya sehingga pariwisata Bali berkembang sangat
pesat. Hal ini dapat dilihat
dari peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dan fasilitas
pendukungnya. Peningkatan
jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mulai terlihat sejak
periode 1970-2000 yang
mencapai 23.340 wisatawan pada tahun 1970 menjadi 1.412.839 pada
tahun 2000. Namun,
tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 menyebabkan penurunan yang
sangat tajam dalam
kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali yaitu 993.029
wisatawan pada tahun
2003. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mulai terlihat
setahun setelah adanya
tragedi ini yaitu sebesar 1.458.309 wisatawan pada tahun 2004.
Namun, sangat
disayangkan, bom kedua terjadi di Bali pada tahun 2005 yang
berdampak negatip pada
penurunan jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke
Bali yaitu sebesar
1.260.317 pada tahun 2006. Berbagai usaha telah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Bali
yang didukung oleh pemerintah pusat untuk meyakinkan wisatawan
mancanegara agar
melakukan kunjungan ke Bali. Salah satu usaha adalah “Program
Bali Recovery” pada tahun
2006 yang dirancang atas kerjasama Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik
Indonesia yang berkerjasama dengan Bali Tourism Board.
Peningkatan kunjungan wisatawan
secara bertahap mulai dirasakan pada tahun-tahun berikutnya dan
mencapai puncaknya
yaitu 2.892.019 wisatawan pada tahun 2012. Dalam periode
2007-2012, rata-rata
pertumbuhan kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali
adalah 14,7 % per tahun
(Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2011)(Gambar 2.1).
-
13
Gambar 2.1 Perkembangan Kunjungan WIsatawan Mancanegara Langsung
ke Bali
Sebagai salah satu destinasi wisata dunia, pariwisata Bali
didukung oleh tersedianya
infrastruktur yang memadai, seperti bandara internasional yang
memfalitasi kunjungan
langsung wisatawan mancanegara ke Bali, kualitas jalan yang
memadai yang memudahkan
kunjungan wisatawan ke berbagai daerah. Data dari Dinas
Pariwisata Propinsi Bali (2013)
menunjukkan bahwa terdapat 2.212 unit akomodasi dengan jumlah
kamar sebanyak 46.025
kamar yang terdaftar di Bali pada tahun 2012. Dari jumlah
tersebut, terdapat sebanyak 156
hotel berbintang (20.269 kamar), 1.031 hotel non bintang (21.114
kamar), dan 1.025
pondok wisata (homestays) (4.642 kamar). Namun, data yang
dilaporkan oleh Perhimpunan
Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) menunjukkan angka yang
berbeda, yaitu sebanyak
3.346 unit akomodasi (62.407 kamar) yang terdapat di Bali pada
tahun Bali 2011, yang
terdiri dari 165 hotel berbintang (22.161 kamar), 1.371 hotel
non bintang (28.585 kamar),
1.760 pondok wisata (homestays) yang terdiri dari (9.282 kamar),
15 condotels (1.793
rooms), dan 35 rumah yang disewakan (rental houses) yang terdiri
dari 586 kamar. Data di
atas merupakan data yang tercatat. Akomodasi yang tersedia di
Bali bisa saja melebihi
0250,000500,000750,000
1,000,0001,250,0001,500,0001,750,0002,000,0002,250,0002,500,0002,750,0003,000,0003,250,000
197
01
97
11
97
21
97
31
97
41
97
51
97
61
97
71
97
81
97
91
98
01
98
11
98
21
98
31
98
41
98
51
98
61
98
71
98
81
98
91
99
01
99
11
99
21
99
31
99
41
99
51
99
61
99
71
99
81
99
92
00
02
00
12
00
22
00
32
00
42
00
52
00
62
00
72
00
82
00
92
01
02
01
12
01
22
01
3
NU
MB
ER
OF
FO
RE
IGN
VIS
ITO
RS
YEAR
NUMBER OF FOREIGN VISITORS (DIRECT ARRIVALS) IN BALI TAHUN
1970 - 2013
-
14
jumlah tersebut di atas yang mengindikasikan adanya akomodasi
ilegal yang tidak tercatat
yang beroperasi di Bali.
Gambar 2.2 Perkembangan Jumlah Hotel di Bali, 1986-2011
Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali berdampak positif
maupun negatif
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dampak
perkembangan pariwisata di Bali
diuraikan pada sub-bab selanjutnya.
2.2 Dampak Perkembangan Kepariwisataan di Bali
2.2.1 Dampak Ekonomi
Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia
dan salah satu sektor
ekonomi yang tumbuh tercepat. Perkembangan pariwisata di Bali
memberikan dampak
positif dan negatif terhadap perekonomian Bali.
2.2.1.1 Dampak positif terhadap perekonomian
Pariwisata Bali menimbulkan dampak positif terhadap kinerja
perekonomian Bali,
antara lain:
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
NU
MB
ER
OF
RO
OM
S
1986 1994 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2011
YEAR
ROOMS FOR VISITORS IN BALI
Star Rooms Non-Star Rooms
-
15
1) Sumber Devisa Negara
Wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman) yang datang
berkunjung ke
destinasi wisata Bali akan membawa mata uang asing (devisa).
Ketika akan bertransaksi
untuk berbagai keperluan, devisa-devisa ini akan ditukar dengan
rupiah, selanjutnya devisa-
devisa ini akan dipegang oleh para pengusaha penukaran mata uang
asing (currency
exchanger), dan ketika pengusaha currency exchanger membutuhkan
rupiah, maka mereka
akan menukarnya ke bank-bank umum atau Bank Indonesia, dan pada
akhirnya devisa-
devisa ini akan mengendap dan terkumpul di Bank Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya kunjungan wisman ke Indonesia, maka
semakin
meningkat pula devisa yang masuk ke Indonesia. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan
ketika nilai tukar rupiah terpuruk menembus angka Rp 13.000 per
dollar AS pada
pertengahan bulan Maret 2015 yang lalu, maka pemerintah
berkomitemen menjadikan
pariwisata sebagai sektor unggulan pengumpul devisa.
Diperkirakan sekitar 30% devisa
Indonesia bersumber dari kegiatan kepariwisataan Bali. Dengan
demikian, dapat dikatakan
pariwisata Bali dibaratkan sebagai “sapi perahan” devisa
Indonesia. Karenanya, “sapi
perahan” tersebut harus dijaga kesehatannya agar dapat menjadi
sumber devisa Indonesia
secara berkelanjutan.
Dalam kaitan dengan penerimaan devisa, posisi sektor pariwisata
dalam penerimaan
devisa terus berubah, tahun 2009 menduduki posisi keempat dalam
penerimaan devisa
setelah komoditi minyak dan gas bumi. Tahun 2010-2012 menduduki
posisi kelima, tahun
2013 kembali menduduki posisi keempat dalam penerimaan devisa
(Tabel 2.1). Fluktuasi
posisi ini disebabkan oleh berfluktuasinya kunjungan wisatawan
ke Indonesia, sedangkan
fluktuasi kunjungan wisatawan dipengaruh faktor eksternal dan
internal, seperti situasi
keamanan dan situasi ekonomi global.
-
16
Tabel 2.1 Penerimaan Devisa Pariwisata Dibandingkan dengan
Komoditi Ekspor lainnya, 2009-2013
No Jenis Komoditi Nilai Ekspor (Juta US $)
2009 2010 2011 2012 2013
1 Minyak & Gas Bumi 19,018.30 (1)
28,039.60 (1)
41,477.10 (1)
36,977.00 (1)
32,633.2 (1)
2 Batu bara 13,817.30 (2)
18,499.30 (2)
27,221.80 (2)
26,166.30 (2)
24,501.4 (2)
3 Minyak Kelapa Sawit 10,367.62 (3)
13,468.97 (3)
17,261.30 (3)
18,845.00 (3)
15,839.1 (3)
4 Pariwisata 6,298.02 (4)
7,602.45 (5)
8,554.40 (5)
9,120.85 (5)
10,054.1 (4)
5 Pakaian Jadi 5,735.60 (5)
6,598.11 (6)
7,801.50 (6)
7,304.70 (6)
7,501.0 (6)
6 Karet Olahan 4,870.68 (6)
9,314.97 (4)
14,258.20 (4)
10,394.50 (4)
9,316.6 (5)
7 Alat Listrik 4,580.18 (7)
6,337.50 (7)
7,364.30 (7)
6,481.90 (7)
6,418.6 (7)
8 Tekstil 3,602.78 (8)
4,721.77 (8)
5,563.30 (8)
5,278.10 (8)
5,293.6 (9)
9 Kertas & Brg dr kertas 3,405.01 (9)
4,241.79 (9)
4,214.40 (11)
3,972.00 (10)
3,802.2 (10)
10 Makanan Olahan 2,960.73 (10)
3,620.86 (10)
4,802.10 (9)
5,135.60 (9)
5,434.8 (8)
11 Kayu Olahan 2,275.32 (11)
2,870.49 (12)
3,288.90 (12)
3,337.70 (12)
3,514.5 (11)
12 Bahan Kimia 2,155.41 (12)
3,381.85 (11)
4,630.00 (10)
3,636.30 (11)
3,501.6 (12)
Sumber: Statistik Kemenparekraf (Web kemenparekraft, didownload,
13 Mei 2015) Catatan: ( ) = rangking
2) Sumber Pendapatan Masyarakat
Wisman dan wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke Bali
akan
mengeluarkan atau membelanjakan uangnya untuk berbagai macam
keperluan.
Pengeluaran wisatawan ini akan ditangkap oleh para pengusaha
yang terkait langsung dan
tidak langsung dengan kegiatan pariwisata. Para pengusaha ini
akan membelanjakan lagi
uang yang diperoleh dari pariwisata tersebut, sehingga banyak
masyarakat yang ikut
menikmati uang dari wisatawan. Dengan demikian, secara umum
sebagian besar
masyarakat Bali meningkat pendapatannya akibat perkembangan
pariwisata Bali. Hal ini
ditunjukkan oleh fakta bahwa rata-rata PDRB Bali atau pendapatan
per kapita masyarakat
Bali cenderung meningkat selama empat tahun terakhir
(2010-2014). Tahun 2010
pendapatan per kapita per tahun masyarakat Bali hanya sebesar Rp
17.208.750 dan pada
tahun 2014 meningkat menjadi Rp 22.934.190 (Tabel 2.2 dan Gambar
2.3).
-
17
Peninngkatan ini dampak dari perkembangan pariwisata, di mana
pariwisata banyak
menciptakan peluang-peluang ekonomi dan pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan
masyarakat Bali.
Tabel 2.2
Pendapatan Per kapita Menurut Harga Berlaku (2010-2013)
Tahun 2010 2011 2013 2014
PDRB/Kapita/ Harga Berlaku (Rp)
17.208.750 18.641.400 20.743.870
22. 934.190
Sumber: Web BPS Bali (Didownload, 13 Mei 2015)
Gambar 2.3 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Masyarakat Bali
Dampak Pariwisata
3) Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah
Tiga kabupaten/kota di Bali yang PAD-nya cukup besar bersumber
dari Pajak Hotel
dan restoran (PHR) adalah Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan
Kabupaten Gianyar. Di
wilayah ketiga kabupaten/kota ini terdapat pusat-pusat kegiatan
pariwisata yang populer,
terutama terdapat banyak hotel dan restoran di wilayah tersebut.
Hotel-hotel dan restoran
tersebut yang menjadi sumber PHR bagi masing-masing
kabupaten/kota.
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
1 2 3 4
Series1
Pendapatan per kapita
2010 2011 2012 2013
-
18
Mengutip berita Tribune Bali online (kamis 14 Mei 2015), Kepala
Dinas Pendapatan
Kabupaten Gianyar (I Ketut Astawa Suyasa) mengatakan, saat ini
wajib pajak yang terdaftar
di Kabupaten Gianyar sebanyak 1.600. Sementara, PAD Kabupaten
Gianyar tahun 2014
adalah Rp. 355,1 milyar yang bersumber dari pajak hotel,
restoran, hiburan, penerangan
jalan, dan air tanah. Adapun rincian realisasi PAD yang berhasil
diraih, antara lain: hotel
ditargetkan Rp. 72,1 milyar lebih, terealisasi Rp. 91,3 milyar
lebih (126,60%), restoran
ditargetkan Rp. 25,8 milyar lebih, tercapai Rp. 38,9 milyar
lebih (150,30%), hiburan
ditargetkan Rp. 21,4 milyar lebih, tercapai Rp. 29,9 milyar
lebih (139,82%), pajak
penerangan jalan ditargetkan Rp. 26,2 milyar lebih, terealisasi
Rp. 28,1 milyar lebih (107%),
pajak air tanah ditargetkan Rp. 3,3 milyar lebih, tercapai Rp.
3,2 milyar lebih (94,93%).
Pajak hotel dan restoran Kota Denpasar tahun 2014 sebesar Rp
184.163.323.695,14
atau sebesar 26% dari PAD Kota Denpasar tahun 2014 yaitu Rp
698.705.007.355,99
(http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/
CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.p
df, diakses 13 Mei 2015).
Badung merupakan kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terbesar di
Bali yang didukung oleh penerimaan Pajak Hotel dan Restoran
dapat mencapai 60% sd.80%
dari PAD yang diterima (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Pajak Hotel dan Restoran Kabupaten/Kota Badung,
Denpasar, dan Gianyar sebagai
Representasi Kontribusi Sektor Pariwisata Bali
Tahun Badung
PAD PHR %
2008 759.720.015.450,53 635.683.630.562,32 83,67
2009 796.879.516.014,72 667.119.047.159,94 83,72
2010 979.241.565.350,13 798.827.285.889,86 81,58
2011 1.406.835.182.181,01 969.348.761.116,15 68,90 Sumber:
Badung
(https://www.scribd.com/doc/135999530/Pajak-Hotel-Dan-Restoran,
didownload, 13 Mei 2015)
4) Menstabilkan Perekonomian Lokal Bali
Secara makro pengeluaran wisatawan di Bali menjadi kontributor
utama bagi
perekonomian Bali. Contoh nyata, ketika tragedi bom Bali pada
tahun 2002, hampir selama
satu tahun terjadi penurunan jumlah kunjungan wisman ke Bali
yang signifikan, yang
berdampak pada rendahnya pemasukan pendapatan dari sektor
pariwisata ke
http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.pdfhttp://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.pdfhttps://www.scribd.com/doc/135999530/Pajak-Hotel-Dan-Restoran
-
19
perekonomian Bali. Akibatnya perekonomian Bali mengalami krisis
dan pendapatan
masyarakat menurun drastis.
Berdasarkan hasil survei pasca Bom Bali I yang dilakukan di 9
kabupaten/kota di Bali
yang meliputi 45 Desa, mencakup 135 kelompok/organisasi
kemasyarakatan, maka dapat
diketahui dampak tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 yang disajikan
pada Tabel 2.4 yang
merupakan jeneralisasi dari dampak bom Bali terhadap 9
kabupaten/kota di Bali ternyata
telah menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat Bali pada
umumnya dan
masyarakat petani pada khususnya yang aktivitas ekonominya
terkait langsung atau tidak
langsung dengan pariwisata Bali. Jika dirinci per kelompok,
yaitu: masyarakat petani sayur-
sayuran, buah-buahan, peternak dan pengusaha
ikan/nelayan/petambak mengalami
penurunan pendapatan berkisar antara 20-70% dibandingkan sebelum
bom Bali. Penurunan
pendapatan ini disebabkan oleh menurunnya permintaan terhadap
produk-produk mereka,
sehingga harganya menjadi menurun dan mungkin pula omset
penjualannya menurun
karena lesunya permintaan. Misalnya, para petani sayuran di
Baturiti dan sekitarnya, para
peternak ayam petelur di Tabanan dan Karangasem, petani caysin
dan kangkung di
pinggiran kota Denpasar mengatakan, pendapatan mereka menurun
karena menurunnya
permintaan oleh para pemasok ke hotel dan lesunya permintaan
masyarakat di pasar-pasar
umum di kota Denpasar.
Dampak Bom Bali I tidak hanya menimpa kelompok masyarakat
petani, tetapi juga
kelompok masyarakat lainnya, seperti para pengrajin dan industri
rumahtangga yang
mengalami penurunan pendapatan berkisar 20-100%, para pedagang
mengecer di desa-
desa pendapatannya menurun antara 20-60%, pemilik transportasi
umum menurun antara
10-35%, para pekerja pariwisata antara 30-80%, para buruh tani
dan buruh bangunan
pendapatannya menurun 40-100% yang disebabkan oleh kehilangan
pekerjaan di sentra-
sentra pengembangan pariwisata Denpasar dan Badung.
Bom Bali juga berdampak menurunkan akses pasar para pedagang
produk-produk
pertanian dalam arti luas, seperti pemasok sayuran, buah-buahan,
produk peternakan ke
hotel-hotel, restoran dan pasar-pasar umum, yang berkisar antara
30-80%. Pihak purchasing
hotel menurunkan frekuensi kontrak-kontrak pembelian dengan para
pemasok, para
pengelola restoran dan masyarakat umum menurunkan volume
pembelian kebutuhan
produk-produk bahan pangan di pasar-pasar umum. Jadi esensi
penurunan akses pasar
disebabkan oleh hilangnya pasar atau menurunnya permintaan.
Sedangkan penurunan
-
20
permintaan hotel, restoran karena kunjungan wisatawan turun
drastis, sehingga tidak ada
penerimaan dari wisatawan untuk dikeluarkan kembali membeli
berbagai macam
kebutuhan bahan pangan atau produk-produk pertanian untuk
kebutuhan insan-insan
pariwisata.
Tabel 2.4 Dampak Bom Bali Terhadap Perekonomian Masyarakat
Petani Bali
(Jeneralisasi Hasil Survei 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di
Bali)
No. Kriteria Dampak Sektor/Bidang Usaha Kisaran Dampak (%)
Kabupaten/Kota
1 Penurunan Pendapatan
1 Pertanian (dalam arti luas): 20-70 Badung, Gianyar, Tabanan,
Jembrana, Bangli, Klungkung, Karangasem,
- Hortikultura: sayur, bunga, buah
- Peternakan: sapi, babi, ayam, kambing, telor
- Perikanan: karper, Udang
2 Industri dan kerajinan 20-100
3 Perdagangan 20-60
4 Transportasi umum 10-35
5 Pariwisata 30-80
6 Buruh tani, bangunan, galian
40-100
2 Kehilangan Pekerjaan (PHK/ Dirumahkan)
1 Pariwisata: karyawan hotel, sopir travel, pemandu wisata,
dll
Banyak Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Buleleng,
Bangli, Klungkung, Karangasem
2 Industri kerajinan dan garmen 40-50
Catatan: tenaga kerja yang di PHK atau dirumahkan sebagian
kembali menjadi petani, buruh, pengrajin, pekerja serabutan,
pekerja sosial di desa/di pura, dlll
3 Akses Pasar 1 Pertanian: sayur, buah, telor, ayam, sapi, babi,
ikan, bunga, dllnya.
30-80 Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Buleleng, Klungkung,
Karangasem, Bangli, Jembrana
2 Industri dan kerajinan: kayu, perak/emas, anyaman, garmen,
genteng, batubata, keramik, gamelan
15-100
3 Perdagangan/hasil bumi 20-65 4 Transportasi pariwisata
80-100
5 Seni budaya 40–100
6 Penunjang Pariwisata: diving 80-90
7 Galian C/pasir,batu 20
4 Akses Lembaga Keuangan
1 LPD 10-15 Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Bulelen
Klungkung, Karangasem, Bangli, Jembrana
2 KSP/KUD
3 BPR 4 Bank Umum
Catatan : Bagi nasabah LPD/KSP yang dikelola
lembaga adat, biasanya diberikan keringanan
membayar cicilan/ bunganya saja atau waktu
pengembalian diperpanjang.
5 Sosial dan Psikologis (Non- Ekonomi) Dampak non ekonomi
tragedi Bali 12 Oktober 2002, seperti dampak sosial (gangguan
keamanan) dan dampak psikologis (stress) memang belum tampak ke
permukaan, terkecuali di kota Denpasar sudah tampak ke permukaan
berupa dampak sosial seperti pencurian-pencurian di beberapa
kompleks perumahan. Namun, jika kondisi krisis yang menimpa Bali
terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan muncul dampak-
-
21
dampak sosial dan psikologis yang tidak diinginkan.
Sumber: LPM UNUD dan UNDP-PBB (2003), penulis sendiri termasuk
salah satu peneliti di dalamnya. Catatan: Persentase adalah
jeneralisasi kisaran persentase dari 9 Kabupaten/Kota di Bali
(diolah dari Lampiran 1) .
Namun pasca Bom Bali I, kunjungan wisatawan ke Bali meningkat,
yang diikuti
menggeliatnya perekonomian Bali, yang secara makro dapat dilihat
dari meningkatnya PDRB
pariwisata (dipresentasikan oleh sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran, sektor 6 pada
tabel 2.5. Jadi dapat disimpulkan bahwa pariwisata Bali yang
digerakkan oleh pengeluaan
wisatawan di daerah wisata Bali telah menstabilkan perekonomian
Bali.
Tabel 2.5
PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2010 - 2013 (milyar rupiah)
No. Lapangan Usaha 2010 2011 2012*) 2013**)
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
12 098.70 12 737.17 14 136.97 15 902.86
2 Pertambangan dan Penggalian 471.15 544.96 660.01 758.21
3 Industri Pengolahan 6 151.81 6 606.30 7 470.93 8 241.76
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1 263.31 1 429.61 1 703.89 1
970.76
5 Bangunan 3 033.99 3 440.42 4 351.43 4 862.73
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 20 196.29 22 702.06 25 372.05
28 259.74
7 Pengangkutan dan Komunikasi 9 683.29 10 688.61 12 299.19 13
476.64
8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
4 619.32 5 023.89 5 663.39 6 371.56
9 Jasa-jasa 9 676.37 10 856.77 12 284.48 14 711.52
Produk Domestik Regional Bruto 67 194.24 74 029.80 83 943.33 94
555.77 Sumber: Web BPS Bali
(http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=614001&od=14&id=14,
didownload 14 Mei 2015). Keterangan: *) Angka sementara, **) Angka
sangat sementara
5) Meningkatkan Diversifikasi Aktivitas Ekonomi dan Menciptakan
Peluang Usaha
Sebelum berkembangnya pariwisata Bali, aktivitas perekonomian
Bali didominasi
oleh pertanian dan sebagian besar penduduknya menggantungkan
hidup pada sektor
pertanian. Namun seiring berkembangnya pariwisata Bali yang
ditandai oleh peningkatan
jumlah kunjungan wisatawan setiap tahun, maka semakin banyak
peluang usaha yang
muncul dan aktivitas ekonomi masyarakat semakin beragam. Produk
barang dan jasa dari
aktivitas usaha yang baru tersebut, hampir seluruhnya terkait
dengan pemenuhan
http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=614001&od=14&id=14
-
22
kebutuhan wisatawan, baik berupa aktivitas layanan jasa maupun
cinderamata untuk
wisatawan. Peningkatan diversifikasi ekonomi, ditandai oleh
peningkatan aktivitas ekonomi
suatu sektor, pada akhirnya akan diikuti oleh peningkatan
kontribusi sektor tersebut
terhadap PDRB Bali. Sebaliknya penurunan kontribusi suatu sektor
terhadap PDRB
mengindikasikan terjadinya penurunan diversifikasi ekonomi di
sektor tersebut. Seperti
ditunjukan pada Tabel 2.6 dan Gambar 2.4, peningkatan kontribusi
sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebagai representasi sektor pariwisata
mengindikasikan terjadi
peningkatan diversifikasi aktivitas ekonomi di sektor tersebut.
Sebaliknya penurunan
kontriubusi sektor pertanian terhadap PDRB mengindikasikan
terjadi menurunan
diversifikasi aktivitas ekonomi di sektor pertanian.
Tabel 2.6 Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Provisi
Bali Atas Dasar Harga Berlaku (Persentase)
No Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
18.79 18,01 17,21 16.84 16.82
2 Pertambangan dan Penggalian 0,64 0,70 0,74 0,79 0.80
3 Industri Pengolahan 9,27 9,16 8,92 8,90 8.72
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,93 1,88 1,93 2,03 2.08
5 Bangunan 4,58 4,52 4,65 5,18 5.14
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 29,64 30,06 30,67 30,23
29.89
7 Pengangkutan dan Komunikasi 13,59 14,41 14,44 14,65 14.25
8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
7,02 6,87 6,79 6,75 6.74
9 Jasa-jasa 14,54 14,40 14,67 14,63 15.56
T o t a l 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
-
23
Gambar 2.4 Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata
(Perdagangan Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB
Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku sebagai Representasi
Diversifikasi Aktivitas Ekonomi
6) Menciptakan Kesempatan Kerja
Munculnya peluang usaha baru dan beragamnya aktivitas
perekonomian di Bali yang
disebabkan oleh perkembangan pariwisata berimplikasi pada
terciptanya kesempatan kerja
baru di Bali. Kunjungan wisatawan yang terus meningkat ke Bali
membutuhkan tambahan
fasiltas seperti hotel dan restoran yang akan menyerap lebih
banyak tenaga kerja secara
langsung. Restoran membeli berbagai produk pertanian sebagai
bahan baku yang
berimplikasi pada peningkatan produksi pertanian. Hal ini juga
berarti diperlukannya
tambahan tenaga kerja di sektor pertanian. Pada akhirnya
aktivitas ekonomi produksi baik
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata
akan meningkatkan
serapan tenaga kerja.
Selama periode 2003-2007, sektor pertanian di Bali memang
menyerap tenaga kerja
terbanyak yakni berkisar antara 31,3% dan 37,8% (Tabel 2.7).
Namun demikian dalam
periode yang sama sektor perdagangan dan jasa akomodasi menyerap
tenaga kerja berkisar
21,58% sampai dengan 23,33% (Tabel 2.7). Namun data BPS terbaru
tahun 2014 (Tabel 2.8)
menginformasikan bahwa sektor pariwisata yang diwakili oleh
sektor perdagangan, hotel
dan restoran menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu 628.585
orang, sedangkan sektor
pertanian yang tahun-tahun sebelumnya menyerap tenaga kerja
terbanyak menurun
menduduki urutan kedua yaitu sebanyak 545 827 orang. Ini
menunjukan bahwa sektor
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4 5
Ko
ntr
ibu
si t
erh
adap
PD
RB
Tahun
Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata (Perdagangan
Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB Provisi Bali Atas Dasar Harga
Berlaku
(Persentase)
Series1 Series2
2009 2010 2011 2012 2013
Pariwisata Pertanian
-
24
pariwisata menjadi mesin penyerap tenaga kerja terbanyak di
Bali. Jika ditambah dengan
sektor jasa-jasa lainnya yang terkait tidak langsung dengan
pariwisata, seperti hiburan untuk
wisatawan, maka peranan pariwisata dalam menyerap tenaga kerja
jauh lebih banyak
daripada angka yang tersurat pada Tabel 2.8.
Bertolak dari perkembangan penyerapan tenaga kerja sektoral
selama kurun waktu
2003-2007 (Tabel 2.7) dan tahun 2014 (Tabel 2.8), tampaknya
dalam perekonomian Bali
telah terjadi transformasi struktural, yakni perubahan
kontribusi sektor-sektor
perekonomian Bali terhadap PDRB Bali dan penyerapan tenaga
kerja. Ini ditunjukkan oleh
cenderung menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB
Bali dan penyerapan
tenaga kerja di satu pihak, dan di pihak lain adanya cenderung
meningkatnya kontribusi
sektor Industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan
restoran dan sektor-sektor jasa
lainnya terhadap PDRB Bali dan penyerapan tenaga kerja. Meskipun
dua sektor yang
disebutkan terakhir belum secara signifikan mampu meningkatkan
penyerapan tenaga kerja,
tetapi dalam jangka panjang kedua sektor tersebut cenderung
meningkat dalam penyerapan
tenaga kerja.
Tabel 2.7
Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Bali,
2003-2007
Lapangan Usaha
Agustus 2003 (Jiwa)
Agustus 2004 (Jiwa)
Februari 2005 (Jiwa)
November 2005 (Jiwa)
Februari 2006 (Jiwa)
Agustus 2006 (Jiwa)
Agustus 2007 (Jiwa)
(L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr)
Penduduk Bekerja (Kesempatan Kerja)
1.748.932 1.835.165 1.945.595 1.895.741 1.846.824 1.870.288
1.982.134
(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)
1. Pertanian 661.808 681.320 608.692 636.237 620.087 663.016
714.091
(37,8) (37,1) (31,3) (33,6) (33,6) (35,45) (36,03)
2. Pertambangan dan Penggalian
11.928 18.805 11.938 14.426 11.030 2.257 8.544
(0,7) (1,0) (0,6) (0,8) (0,6) (0,12) (0,43)
3. Industri Pengolahan 235.614 190.420 344.904 314.394 289.727
250.613 289.108
(13,5) (10,4) (17,7) (16,6) (15,7) (13,40) (14,59)
4. Listrik, Gas dan Air 3.760 8.090 5.253 1.965 7.872 8.718
3.912
(0,2) (0,4) (0,3) (0,1) (0,4) (0,47) (0,20)
5. Konstruksi 114.413 104.595 126.380 140.572 121.798 127.570
128.676
(6,5) (5,7) (6,5) (7,4) (6,6) (6,82) (6,49)
6. Perdagangan dan Jasa Akomodasi
400.981 489.750 442.248 416.374 435.662 403.612 462.517
(22,9) (26,7) (22,7) (22,0) (23,6) (21,58) (23,33)
7. Transportasi dan Komunikasi
69.166 86.245 92.198 69.891 79.674 74.129 77.373
(4,0) (4.7) (4.7) (3,7) (4,3) (3,96) (3,90)
8. Lembaga Keuangan 37.084 21.215 37.708 36.316 50.289 69.422
52.936
(2,1) (1,2) (1,9) (1,9) (2,7) (3,71) (2,67)
9. Jasa-Jasa dan Lainnya 214.178 234.725 276.274 265.566 230.685
270.951 244.977
(12,2) (12,8) (14,2) (14,0) (12,5) (14,49) (12,36)
Sumber: Sakernas 2003-2007 Catatan: ( ) = persen dari penduduk
bekerja; L = Laki; P = Perempuan
-
25
Tabel 2.8 Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang
Lalu Menurut Lapangan Usaha dan
Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun 2014
No. Lapangan Usaha P r i a W a n i t a J u m l a h
1 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, & Perikanan
279 588 248 918 528 506
2 Pertambangan dan Penggalian 5 890 3 776 9 666
3 Industri Pengolahan 144 333 172 265 316 598
4 Listrik, Gas, dan Air 5 546 2 389 7 935
5 Bangunan 173 195 32 275 205 470
6 Perdagangan, Hotel, dan Rumah Makan 303 134 355 178 658
312
7 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 64 282 6 376 70 658
8 Keuangan, Asuransi, dan Usaha Persewaan 47 524 34 907 82
431
9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 225 096 167 960
393 056
J u m l a h : 1 248 588 1 024 044 2 272 632 Sumber: BPS Provinsi
Bali, 2015 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015
7) Menciptakan Dampak Pengganda (multiplier effect) dan Dampak
Menyebar (spread
effect)
Pariwisata menimbulkan dampak pengganda (multiplier effect)
relatif besar ke dalam
perekonomian Bali. Semakin banyak pengeluaran wisatawan di Bali
dan semakin banyak
pengusaha dan masyarakat Bali ikut menangkap pengeluaran
wisatawan tersebut, maka
semakin besar angka dampak penggandanya. Semakin besar angka
pengganda pariwisata,
berarti makin banyak masyarakat yang menikmati pendapatan dari
pariwisata. Demikian
halnya, apabila dampak menyebar (spread effect) pariwisata
semakin luas, maka semakin
banyak pula aktivitas perekonomian Bali yang menerima manfaat
dari pariwisata. Dengan
demikian, semakin banyak pula kelompok-kelompok masyarakat yang
ikut menikmati
pendapatan dari pariwisata.
Menggunakan pengganda National Tourism Satellite Account 2006,
diketahui
pengganda (multiplier effect) pengeluaran wisatawan terhadap
penciptaan kesempatan
kerja di sector pariwisata sebesar 0,0000000530 dan di dalam
perekonomian nasional
sebesar 0,000000761. Artinya setiap pengeluaran wisatawan
sebesar satu trilliun (Rp
1,000,000,000,000) akan mampu menciptakan kesempatan kerja di
sektor pariwisata
-
26
sebanyak 53.000 orang dan di dalam perekonomian nasional sebesar
761.000 orang.
Sumbangan penciptaan kesempatan kerja di pariwisata terhadap
perekonomian nasional
6,97%. Untuk kasus Bali, menggunakan pengganda Bali Tourism
Satellite Account 2007,
pengganda pengeluaran wisatawan terhadap penciptaan kesempatan
kerja di sector
pariwisata adalah 0,0000000283 dan dalam perekonomian regional
adalah 0,00000006756.
Artinya setiap pengeluaran wisatawan satu tilliun rupiah (Rp
1,000,000,000,000) akan
mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak 28.300 di sector
pariwisata, dan dalam
perekonomian Bali sendiri adalah 67.560 orang. Jadi, sumbangan
penciptaan kesempatan
kerja sector pariwisata terhadap kesempatan kerja regional
mencapai 41,89%.
2.2.1.2 Dampak negatif terhadap perekonomian
Perkembangan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak
positif, tetapi
juga menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian Bali. Adapun
dampak negatif
terhadap perekonomian Bali antara lain:
1) Peningkatan nilai properti, harga barang dan jasa
Pariwisata Bali bagaikan gula yang mengundang banyak semut.
Berbagai orang dari
berbagai penjuru dunia datang ke Bali baik untuk berwisata
maupun mencari peluang usaha
dan peluang kerja. Akibatnya, pertambahan penduduk Bali umumnya
dan kota-kota
Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) khususnya
lebih tinggi dan sebagian
besar disebabkan oleh faktor migrasi masuk daripada faktor
kelahiran. Pertambahan
penduduk yang semakin pesat menyebabkan nilai atau harga sewa
properti (perumahan)
menjadi lebih mahal. Harga-harga barang dan jasa pada umumnya di
Bali juga relatif lebih
mahal daripada harga-harga barang dan jasa yang sama di daerah
lain. Ini konsekuensi dari
imbas perkembangan pariwisata.
Housing-Estate.com, Jakarta (Jumat 14 Mei 2014) memberitakan
bahwa Jakarta dan
Bali menjadi kota dengan pertumbuhan harga properti mewah paling
tinggi di dunia. Ini sesuai
data indeks pergerakan nilai jual properti (prime international
residential index) yang
dikeluarkan konsultan properti global Knight Frank. Tahun 2013
pertumbuhan harga properti
mewah di Jakarta mencapai 38 persen, sedangkan Bali 22 persen.
Peningkatan ini terdorong
oleh terbatasnya pasok sementara permintaannya kian kuat.
Akibatnya harga tetap naik
meskipun pertumbuhan ekonomi sedang melambat dan ada situasi
ketidakpastian karena
akan Pemilu. Pertumbuhan harga ini menjadi lebih istimewa
mengingat pada tahun 2013
-
27
harga property secara global mengalami penurunan 39 persen.
Tahun 2012 angka
penurunannya lebih fantastis mencapai 50 persen. Selain Jakarta
dan Bali, kota-kota lain di
dunia yang mencatatkan kenaikan harga cukup signifikan antara
lain Auckland dan
Chirstchurch, Selandia Baru, masing-masing sebesar 29 dan 21
persen. Beijing dan
Guangzhou, Cina, sebesar 18 persen dan 14 persen, Dubai sebesar
17 persen, Abu Dhabi 15
persen, dan Los Angeles, AS, naik 14 persen.
Perkembangan pariwisata yang pesat di Bali tidak hanya berdampak
terhadap harga
property, tetapi harga-harga secara umum, yang diistilahkan
dengan inflasi. Indeks Harga
Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi yang
sering digunakan untuk
mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di tingkat
konsumen, khususnya
didaerah perkotaan. Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga
dari paket komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Di
Indonesia, tingkat inflasi
diukur dari persentase perubahan IHK dan diumumkan ke publik
setiap awal bulan (hari
kerja pertama) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Paket komoditas Kota Denpasar hasil Survai Biaya Hidup (SBH)
2012 terdiri dari 398
komoditas yang terdiri dari 316 komoditas kelompok inti, 17
komoditas kelompok harga
yang diatur pemerintah, dan 17 komoditas kelompok harga yang
bergejolak. Berdasarkan
hasil pemantauan harga-harga pada bulan Januari 2014 di Kota
Denpasar terjadi inflasi
sebesar 1,26 persen. Tingkat inflasi tahun kalender Januari 2014
sebesar 1,26 persen dan
tingkat inflasi tahun ke tahun (Januari 2014 terhadap Januari
2013) sebesar 6,55 persen.
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan
oleh kenaikan indeks
seluruh kelompok pengeluaran yaitu kelompok kesehatan 4,24
persen; kelompok bahan
makanan 2,47 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau 1,44 persen;
kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,75
persen, kelompok sandang 0,72
persen; kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar
0,34 persen; serta
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,28 persen.
Komoditas yang mengalami peningkatan harga antara mobil, bahan
bakar
rumahtangga, obat dengan resep, shampo, daging ayam ras, cabai
rawit, bayam, dan pepes.
Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain:
telur ayam ras, tahu
mentah, bawang merah, dan tarif angkutan udara. Pada bulan
Januari 2014 kelompok-
kelompok komoditas yang memberikan andil/sumbangan inflasi
adalah kelompok bahan
makanan 0,4652 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau 0,2262
-
28
persen; kelompok kesehatan 0,2412 persen; kelompok perumahan,
air, listrik, gas, dan
bahan bakar 0,1965 persen; kelompok transpor, komunikasi, dan
jasa keuangan sebesar
0,0667 persen; kelompok sandang 0,0381 persen; serta kelompok
pendidikan, rekreasi,
olahraga 0,0251 persen.
Gambar 2.5 Perkembangan Inflasi Kota Denpasar, Februari
2012-Februari 2014
Laju inflasi tahun kalender Januari 2014 sebesar 1,26 (Januari
2014 terhadap Januari
2013) sebesar 6,55 persen. Sedangkan tingkat inflasi pada
periode yang sama tahun
kalender 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 0,90 persen dan
1,41 persen. Tingkat inflasi
tahun ke tahun untuk Januari 2012 terhadap Januari 2011 dan
Januari 2013 terhadap
Januari 2012 masing-masing sebesar 3,62 persen dan 5,23 persen
(Tabel 2.9).
Tabel 2.9
Inflasi Bulanan, Tahun kalender, dan Year on Year, di Kota
Denpasar Tahun 2012 2014
Inflasi 2012 2013 2014
1. Januari 0,90 1,41 1,26
2. Januari (Januari-Desember) 0,90 1,41 1,26
3. Januari (tahun n) terhadap Januari (tahun n-1)(Year on
Year)
3,62 5,23 6,55
Sumber: Web BPS Bali: Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Bali
(didownload 20 Mei 2015)
2) Kunjungan wisatawan sangat terpengaruh oleh faktor
eksternal
-
29
Pariwisata tergolong sektor yang sangat peka terhadap faktor
eksternal, seperti isu-
isu keamanan, terorisme, wabah penyakit menular, dan resesi
ekonomi. Jika muncul isu-isu
mengenai terorisme, instabilitas keamanan, atau merebaknya wabah
penyakit di suatu
destinasi wisata, maka isu tersebut dapat menurunkan minat
wisatawan untuk berkunjung
ke destinasi tersebut, termasuk destinasi wisata Bali.
Menurunnya minat wisatawan untuk
berkunjung berakibat menurunnya jumlah kunjungan wisatawan, pada
akhirnya
menurunkan pertumbuhan perekonomian Bali secara makro, dan
secara mikro menurunkan
pendapatan masyarakat Bali.
Pertumbuhan ekonomi Bali pemah mencapai pertumbuhan yang sangat
tinggi, yaitu
mencapai 7% atau di atas rata-rata nasional sebelum krisis tahun
1997 lalu. Angka ini boleh
jadi mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Kejadian ini dipicu oleh
booming sektor pariwisata yang menjadi lokomotif perekonomian
Bali. Industri kecil dan
menengah (home industry) sebagai penunjang pariwisata seperti
industri logam, perak dan
kerajinan tangan berkembang sampai ke pelosok desa-desa. Namun,
tanpa diduga,
pertumbuhan yang pesat itu seakan tidak ada artinya ketika
krisis ekonomi menghantam
Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Bali pun menurun hingga ke titik nadir
(minus 4,04 persen di
tahun 1998). Setelah itu, ekonomi Bali mulai menunjukkan
tanda-tanda membaik sejalan
sejalan dengan kebijakan recovery economy yang digulirkan
pemerintah pusat dan daerah
dalam rangka menstimulus fiskal. Upaya-upaya pemulihan yang
dibangun pemerintah
tampaknya berdampak positif. Alhasil, ekonomi Bali
berangsur-angsur membaik hingga
tumbuh 0,67% di tahun 1999 dan 3,05% di tahun 2000. Kendati
demikian, upaya
recovery~conomy yang tadinya mulai berayun sejenak terhenti
menyusul adanya peristiwa
ledakan born di Legian - Kuta pada 12 Oktober 20021alu.
Pasca tragedi bom Kuta, situasi pekonomian Bali makin tidak
menentu. Pada tahun
2001, pertumbuhan ekonomi Bali yang tercermin dari PDRB atas
dasar harga konstan 2000
hanya mencapai 3,54% dan setahun kemudian (2002) malah turun
menjadi 3,04%. Pada
tahun 2003 di tengah berbagai peristiwa global seperti konflik
perang AS-Irak, wabah SARS
dan aksi terorisme, telah memberikan bayangan negative ke pasar,
khususnya bagi mereka
yang bergelut langsung di industri pariwisata. Namun demikian,
ekonomi Bali mampu
tumbuh 3,57%. Sementara itu, laju inflasi di Bali dapat
dikendalikan hingga berada pada
level 4,56% pada tahun 2003. Angka ini jauh lebih rendah dari
inflasi tahun sebelumnya
-
30
12,49%.
Pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Bali mengalami peningkatan
menjadi
4,62%. Kemudian pada tahun 2005 pertumbuhannya kembali meningkat
menjadi 5,56%.
Pada satu Oktober 2005 Bali kembali mengalami guncangan akibat
Bom Kuta dan
Jimbaran. Hal ini temyata berdampak pada pertumbuhan ekonomi
Bali di Tahun 2006. Di
tahun ini, perekonomian Bali mengalami perlambatan, karena hanya
mampu tumbuh
sebesar 5,28% saja. Pengaruh pariwisata makin tampak jelas pada
tahun ini. Guncangan
yang terjadi terhadap keamanan Bali telah berdampak pada
kunjungan wisatawan dan
pada akhirnya melambatkan pertumbuhan perekonomian Bali.
3) Pariwisata mengikuti Siklus Hidup Pariwisata
Destinasi wisata merupakan suatu produk. Setiap produk tunduk
pada siklus hidup
produk yang dalam pariwisata sering dikenal dengan tourism life
cycle (TLC). Adapun
tahapan dalam TLC adalah: masa penemuan (exploration), masa
pelibatan masyarakat dan
pengusaha (involvement), masa pengembangan (development), masa
jenuh (saturation).
Pada masa jenuh akan muncul dua kemungkinan yaitu: masa
penurunan (decline) atau
peremajaan (rejuvenation). Persaingan antardestinasi wisata baik
di dalam maupun di luar
negeri berlangsung sangat ketat. Jika siklus hidup destinasi
sudah mencapai jenuh, maka
akan diikuti oleh masa penurunan. Ketika masa penurunan tidak
ada usaha-usaha
peremajaan, inovasi dan penyegaran destinasi, maka akhirnya
destinasi akan terus
menurun. Bali sebagai suatu destinasi wisata juga tidak terlepas
dari “siklus hidup
pariwisata”. Jika sudah mencapai puncak pertumbuhan, maka untuk
mengantisipasi
terjadinya penurunan, seluruh pemangku kepentingan pariwisata
perlu melakukan
introspeksi, usaha-usaha peremajaan, inovasi dan penyegaran
destinasi untuk
mempertahankan keberlanjutan destinasi tersebut.
Berdasarkan data kunjungan wisman seperti grafik sebelumnya,
posisi Bali sedang
berada pada tingkat pertumbuhan, namun dari segi dampak
lingkungan dan sosial budaya
serta caarrying capacity menunjukkan gejala menuju tingkat
stagnan.
4) Kebocoran pariwisata
Kebocoran pariwisata adalah merembesnya atau mengalirnya
pendapatan dari
pariwisata ke luar Bali untuk membayar berbagai keperluan
seperti: impor berbagai bahan
-
31
dan peralatan industri pariwisata, bahan pangan untuk industri
pariwisata, membayar
partner bisnis di luar negeri, transfer keuntungan ke pemilik
usaha di luar negeri, dan
membayar tenaga kerja asing yang bekerja di pariwisata. Jika
kebocoran pariwisata relatif
besar, maka berarti hanya sedikit pendapatan dari pariwisata
yang berputar dalam
perekonomian Bali. Hal ini akan memperkecil dampak pengganda dan
mempersempit
dampak sebaran pada perekonomian Bali. Akhirnya semakin sedikit
pendapatan pariwisata
yang dinikmati oleh kelompok-kelompok masyarakat di Bali, baik
yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan pariwisata. Oleh karena itu,
kebocoran pariwisata
hendaknya bisa ditekan seminimal mungkin (walaupun tidak mungkin
sampai nol) dengan
cara mengurangi berbagai impor produk dan jasa serta penggunaan
tenaga kerja asing oleh
usaha pariwisata di Bali.
Penelitian tentang kebocoran pariwisata Bali pertama kali
dilakukan oleh Rodenburg
(1980) yang mengestimasi kebocoran dari proyek pembangunan
kawasan Nusa Dua pada
tahun 1977. Namun, perhitungan kebocoraan yang dilakukan oleh
Rodenberg hanya
mengasumsikan persentase kebocoran dari industri pariwisata
dalam skala kecil. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa besarnya kebocoran impor adalah
40% pada hotel
berbintang dan 20% pada hotel non bintang.
Hasil penelitian Suryawardani (2014) menunjukkan bahwa
persentase kebocoran
pariwisata di sektor akomodasi adalah sebagai berikut: (i)
Kebocoran pada hotel bintang 4
dan 5 berjejaring adalah 55,3%; (ii) Kebocoran pada hotel
bintang 4 dan 5 tidak berjejaring
adalah 7,1%; (iii) Kebocoran pada hotel bintang 1, 2 dan 3
adalah 15,7%; (iv) Kebocoran
pada hotel non-bintang adalah 2,0%; and (v) Rata-rata kebocoran
pada semua jenis hotel
adalah 19,5%. Hasil penelitian Suryawardani (2014) juga
menunjukkan bahwa sumber
kebocoran pariwisata Bali pada sektor akomodasi adalah
penggunaan produk impor dalam
operasional hotel seperti: makanan, minuman, buah-buahan dan
sayur-sayuran, peralatan
dan perabotan dapur. Selain itu, sumber kebocoran lainnya adalah
penggunaan tanaga kerja
asing dan fasilitas yang berjejaring internasional seperti biaya
pengelolaan hotel yang
berjejaring internasional, provisi untuk reservasi online,
transfer keuntungan hotel ke
pemilik asing yang berdomisili di luar negeri. Hal tersebut di
atas mengindikasikan bahwa
(i) semakin tinggi tingkat klasifikasi hotel maka semakin tinggi
persentase kebocorannya;
dan (ii) akomodasi yang dimiliki oleh orang asing dan/ atau
dikelola oleh sistem jaringan
-
32
hotel internasional memiliki kebocoran yang lebih tinggi
dibandingkan jenis akomodasi yang
tidak dimiliki oleh orang asing dan/ atau dikelola oleh sistem
jaringan hotel internasional.
2.2.2 Dampak Lingkungan
2.2.2.1 Dampak positif terhadap lingkungan alam
1) Konservasi lingkungan alam
Sumber daya alam, budaya dan peninggalan sejarah adalah potensi
daya tarik wisata
Bali yang dominan. Jika sumberdaya alam, budaya dan peninggalan
sejarah yang
notabenenya adalah lingkungan pariwisata Bali rusak, maka tidak
ada lagi yang dapat
dijadikan daya tarik wisata oleh Bali. Oleh karena itu, seluruh
masyarakat, pemerintah dan
pemangku kepentingan pariwisata harus mengkonservasi dan
melestarikan asset pariwisata
Bali ini agar tetap menjadi daya tarik wisata secara
berkelanjutan.
2) Mendorong masyarakat memperindah dan merevitalisasi
lingkungan
Wisatawan (domestic dan mancanegara) adalah tamu (guest) bagi
masyarakat Bali
yang ingin mengunjungi dan ingin tahu seluk beluk tentang Bali.
Tamu bagi masyarakat Bali
harus dihormati dan diprioritaskan serta disambut dengan
ramah-tamah. Tidak cukup
dengan itu saja, tetapi lingkungan Bali harus diperindah,
seperti lingkungan hotel,
lingkungan objek wisata, dan lingkungan Bali secara umum.
Tampaknya hal seperti ini telah
dilakukan oleh stakeholder pariwisata, seperti pemilik hotel,
restoran dan objek wisata agar
tamu betah lama tinggal di Bali. Secara umum masyarakat juga
terdorong untuk
memperindah lingkungan tempat tinggalnya agar menjadi indah dan
asri karena merasa Bali
ini banyak dikunjungi oleh wisatawan.
3) Dapat dianggap sebagai industri yang bersih
Diantara banyak jenis industri, hanya industri pariwisata
(kumpulan usaha-usaha
pariwisata, seperti hotel, travel, jasa perdagangan, dll.) yang
minimal menghasilkan polusi,
baik polusi udara dan air. Bahkan pariwisata sebaliknya
mengkonservasi dan melestarikan
lingkungan, melalui pembuatan taman-taman yang hijau di hotel
dan objek-objek wisata,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa pariwisata adalah industri
hijau dan bersih (green and
clean industry).
-
33
2.2.2.2 Dampak negatif terhadap lingkungan alam
1) Mengancam kelestarian lingkungan alam
Sumber daya alam pantai, terumbu karang dan situs-situs sejarah
di Bali merupakan
bagian dari daya tarik wisata Bali. Hotel-hotel di Bali terutama
yang menghadap ke pantai,
jika tidak memiliki pengolahan limbah secara baik, maka
limbahnya akan mencemari pantai
dan merusak terumbu karang yang ada di sekitar pantai. Demikian
halnya, wisata minat
khusus diving, jika wisatawan belum terlatih dapat merusak dan
mengancam kelestarian
terumbu karang. Maka dari itu menjadi peringatan bahwa pantai,
terumbu karang dan
situs-situs sejarah harus dijaga dari ancaman kerusakan dampak
negatif dari perkembangan
pariwisata.
2) Meningkatkan sampah, kebisingan, dan polusi.
Perkembangan pariwisata yang ditandai oleh peningkatan aktivitas
produksi barang
dan jasa untuk kebutuhan wisatawan, ternyata juga telah
meningkatkan kebisingan dari
deru kendaraan bermotor dan mesin-mesin industri kecil dan
menengah. Di samping itu
menghasilkan produk barang dan jasa, aktivitas produksi juga
menghasilkan sampah, limbah
padat dan limbah cair. Jika sampah, limbah padat dan cair tidak
dikelola dengan baik, maka
akan mengancam kelestarian lingkungan, dan secara tidak langsung
akan mengancam
pariwisata itu sendiri.
3) Meningkatkan kompetisi penggunaan sumber daya yang terbatas
seperti air dan tanah, degradasi lahan, hilangnya habitat satwa
liar dan kerusakan pemandangan
Sumber daya alam di Bali yang terbatas, seperti lahan, air dan
habitat-habitat satwa
liar penggunaannya menjadi kompetisi antara untuk pertanian dan
pariwisata. Realitasnya,
lahan-lahan pertanian dan air di Bali semakin menyusut karena
semakin luas digunakan
untuk infrastruktur pariwisata, seperti hotel, villa, jalan
raya, dan pusat-pusat perdagangan.
Demikian halnya, habitat satwa liar semakin langka karena
habitatnya dirubah menjadi
habitat manusia atau wisatawan. Infrastruktur pariwisata seperti
hotel dan villa-villa yang
tidak memperhatikan RTRW dan Ruang Tebuka Hijau (RTH) telah
merusak pemandangan
alam. Ini telah terjadi di destinasi wisata Bali dampak negatif
dari perkembangan pariwisata.
-
34
4) Pengembangan dan pertumbuhan pariwisata yang tidak
direncanakan dan tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan
Lingkungan fisik dan budaya di Bali adalah modal dasar daya
tarik wisata Bali.
Perkembangan pariwisata yang tidak direncanakan, atau melanggar
sana-sini Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), baik RTRW kawasan wisata maupun RTRW
kabupaten dan provinsi
yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi semata, maka
cepat atau lambat
akan diikuti oleh kerusakan lingkungan, dan pada akhirnya akan
menurunkan kunjungan
wisatawan berkunjung ke Bali. Oleh karena itu, pengembangan dan
pertumbuhan
infrastruktur pariwisata harus direncanakan dengan baik, agar
pariwisata Bali berkelanjutan,
yang berarti perekonomian Bali akan menjadi stabil dengan
tingkat pertumbuhan tertentu.
2.2.3 Dampak Sosial Budaya
Dalam kerangka ideal, model kebijakan pembangunan pariwisata
dewasa ini antara
lain diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan ekonomi rakyat
serta mampu
memberikan manfaat bagi pelestarian budaya secara merata dan
berkelanjutan. Namun
demikian, dalam kenyataannya manfaat-manfaat ekonomi yang
diperoleh dari sektor
pariwisata masih kerap dibarengi oleh terancamnya eksistensi
kebudayaan lokal oleh
berbagai pengaruh budaya luar.
Di samping dapat dipandang sebagai gejala ekonomi, pariwisata
juga dapat
dipandang sebagai gejala sosial-budaya, karena pariwisata
merupakan fenomena interaksi
lintas budaya, yakni hubungan timbal-balik antar individu atau
kelompok orang yang
memiliki perbedaan-perbedaan identitas budaya, lingkungan
sosial, sikap mental, dan
susunan psikologis (Nettekoven, 1976; Wahab, 1989 : 65).
Interaksi yang bersifat akumulatif
dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat setempat dapat
menimbulkan dampak
atau perubahan sosial-budaya yang bersifat positif ataupun
negatif.
Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat
Bali telah lama
mendapat sorotan dari berbagai pihak. Berkenaan dengan ini
dijumpai adanya perbedaan
pendapat antara pihak yang berpandangan pesimis dan optimis
terhadap keberadaan Bali
pada masa mendatang. Pihak yang berpandangan optimis menilai
bahwa perkembangan
pariwisata di Bali membawa dampak positif terhadap kebudayaan
setempat. Seperti
misalnya McKean (1978), menyatakan bahwa kehadiran wisatawan ke
Bali justru dapat
memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat. Hal tersebut
tampak pada
-
35
masyarakat Bali, di mana perkembangan pariwisata dipandang
sebagai fenomena
modernisasi bagi masyarakat dan kebudayaan Bali yang
sesungguhnya berlangsung melalui
pelestarian tradisi masa lalu. Hal tersebut dikemukakan oleh
sebagai berikut :
“tourism is very much a part of the modern tradition, but it is
built on the foundation laid during the little and great tradition,
without wich it would never been started and without wich it will
not flourish in the future” (McKean, 1978).
Keinginan besar para wisatawan untuk menikmati kebudayaan Bali
melahirkan apa
yang disebutnya sebagai involusi kebudayaan, yaitu elaborasi
yang semakin baik dalam
bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, seperti apa yang
tercermin dalam berbagai jenis
kesenian tradisional yang kian sering dan meluas dipertunjukkan
daripada beberapa tahun
silam. Begitu pula pada masyarakat yang secara langsung terlibat
dalam pariwisata mampu
mengembangkan lembaga-lembaga yang ada sejalan dengan tuntutan
dunia pariwisata,
seperti yang dikemukakan oleh Bagus, (1990 : 6), sebagai berikut
:
“.... Dalam hal inilah kita melihat di daerah pariwisata di Bali
perubahan bentuk dan struktur organisasi banjar serta desa dalam
melaksanakan hidup berwarga dan hidup berupacara di daerah
pariwisata. Perubahan ini bukan suatu kemunduran melainkan
sebaliknya merupakan suatu peningkatan isi lembaga sosial tadi.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam penyesuaian itu
didapat ketahanan untuk survival serta yang baru itu menjadi bagian
struktur masyarakat Bali”. Sebaliknya, meskipun dalam beberapa hal
kebudayaan Bali telah mendapat
penghargaan masyarakat internasional, namun perkembangan
industri pariwisata global
justru mengundang kekhawatiran orang Bali akan terancamnya
ketahanan identitas kultural
mereka. Wacana tentang “Ajeg Bali” yang digulirkan sejak tragedi
Bom Bali, 12 Oktober
2002, kini telah merebak menjadi wacana populer di kalangan
masyarakat luas di Bali.
Bergulirnya wacana “Ajeg Bali” dapat dipandang sebagai refleksi
dari rasa kekhawatiran
yang sangat mendalam akan kian terancamnya ketahanan identitas
kultural masyarakat Bali.
Kekhawatiran tersebut bukanlah tiada beralasan, mengingat posisi
Bali sebagai daerah
tujuan wisata internasional kian memperkuat akselerasi masuknya
berbagai pengaruh
global, termasuk pula terorisme. Di samping itu, rasa
kekhawatiran juga muncul terkait
dengan kian meningkatnya fasilitas dan peluang ekspansi dari
kelompok kepentingan dari
luar. Terlebih lagi kebijakan yang ada di tingkat meso (tengah)
dan makro kurang
memberikan jaminan perlindungan secara nyata terhadap eksistensi
kebudayaan daerah
sebagai kebudayaan kelompok minoritas, maka tidaklah
mengherankan apabila secara
-
36
naluriah muncul berbagai bentuk resistensi yang bersifat
nativistik (perlawanan rakyat)
sekaligus sebagai mekanisme pertahanan terhadap budaya daerah
(Pujaastawa, 2009)
Terlepas dari manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor
pariwisata,
sejumlah pihak menganggap kebudayaan Bali telah mengalami
degradasi akibat gencarnya
proses komodifikasi dan komersialisasi terhadap berbagai unsur
kebudayaan. Bahkan ada
pula yang melihat perkembangan pariwisata Bali telah mengarah
menjadi Eropa kedua, atau
mengarah kepada Waikikianization (Seda, 1990 : 59; Noronha, 1976
: 177; Stanton, 1978).
Fenomena ini terjadi terjadi ketika perkembangan pariwisata
telah mengarah kepada
pariwisata massa, di mana tuntutan-tuntutan standarisasi
pariwisata tak terelakkan dan
memaksa kebudayaan tuan rumah memasuki titik kritis atau berada
di persimpangan jalan.
Menghadapi fenomena seperti ini hanya ada dua hal yang dapat
dilakukan oleh pihak tuan
rumah, yakni mengontrol perkembangan pariwisata dan atau menata
kembali kebudayaan
mereka (Smith, 1989 : 1-17).
2.3 Konsep Pariwisata Bali Berkelanjutan
2.3.1 Konsep Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan mengacu pada aspek ekonomi,
sosial-budaya dan
kelestarian lingkungan. Aspek ekonomi mengacu pada pembangunan
pariwisata yang
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, aspek sosial dan
budaya menekankan bahwa
pembangunan pariwisata dapat diterima oleh masyarakat serta
tidak merusak tatanan
kehidupan sosial masyarakat sedangkan aspek lingkungan
mengedepankan kelestarian
lingkungan dan konservasi sumberdaya alam (UNWTO, 2010).
Pembangunan pariwisata
diharapkan menjaga keseimbangan antara ketiga aspek tersebut di
atas agar menjamin
keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Selain itu,
pembangunan pariwisata
juga diharapkan dapat menjaga kepuasan wisatawan yang berkunjung
sehingga
menciptakan pengalaman yang mengesankan bagi wisatawan karena
hal ini akan
mempengaruhi loyalitas wisatawan terhadap destinasi (UNWTO,
2007).
UNWTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai suatu
sistem yang holistik
sehingga memerlukan perencanaan pengembangan pariwisata secara
hati-hati demi
keberlanjutan pembangunan pariwisata. Elkington (1997)
menggambarkan ketiga aspek di
atas sebagai aspek yang saling berkaitan yang digambarkan dalam
konsep “Triple Bottom
Line” dalam mencapai keseimbangan pembangunan pariwisata. Ketiga
elemen tersebut
-
37
harus berkaitan satu sama lain demi menjaga kualitas,
kontinyuitas dan keseimbangan
antara kebutuhan wisatawan, pelestarian alam dan kesejahteraan
masyarakat pada
destinasi wisata. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari
pembangunan
pariwisata tidak hanya bermanfaat bagi pengusaha di bidang
pariwisata, namun juga
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena
itu, UNWTO
menekankan bahwa dalam pengembangan pariwisata hendaknya
memperhatikan aspek
saling menguntungkan dan kerjasama yang baik di kalangan
wisatawan, masyarakat
setempat dan pengelola destinasi (UNWTO, 2010).
2.3.2 Konsep Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan
Kearifan tradisional sering pula disebut kearifan lokal atau
local wisdom mencakup
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis
(Keraf, 2005). Dalam rangka pengembangan pariwisata
berkelanjutan, konsep-konsep
kearifan lokal dipandang sangat relevan. Selain itu, tidak
sedikit dijumpai pandangan dan
sikap positif terhadap arti dan fungsi kebudayaan-kebudayaan
tradisional yang menekankan
bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dan secara langsung
menunjang proses sosial,
ekonomi, dan ekologi masyarakat secara mendasar (Dove, 1985).
Berkaitan dengan makin
mencuatnya wacana krisis ekologi global, aspek-aspek kebudayaan
tradisional seperti sistem
pengetahuan dan kepercayaan tradisional makin dipandang berperan
penting sebagai
mekanisme pelestarian lingkungan yang cukup efektif (Soemarwoto,
1994; Dove, 1985;
Resosoedarmo dkk., 1992; Iskandar, 1992).
Konsep kearifan lokal (Bali) yang dipandang relevan sebagai
acuan dalam
pengembangan kepariwisataan berwawasan budaya dan lingkungan di
Bali antara lain
sebagai berikut.
Tri Hita Krana
Tri Hita Karana merupakan salah satu konsep kearifan tradisional
pada masyarakat Bali
yang membentuk pola-pola perilaku manusia dalam berinteraksi
dengan lingkungan alam,
sosial, dan spiritual. Tri Hita Karana, yang berarti “Tiga
Penyebab Kesejahteraan” (Tri = tiga,
Hita = sejahtera, dan Karana = sebab), yang terdiri dari :
parhyangan (lingkungan spiritual),
pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan fisik).
Ketiga unsur tersebut
merupakan suatu kesatuan integral yang tak terpisahkan. Hubungan
yang harmonis dan
-
38
seimbang antarketiga unsur tersebut diyakini akan membawa
manfaat bagi kesejahteraan
hidup manusia lahir dan bathin. Sebaliknya, hubungan yang tidak
seimbang atau yang hanya
mengutamakan aspek tertentu saja diyakini akan dapat mengancam
kesejahteraan hidup
manusia (Pujaastawa, 2004).
Implementasi Tri Hita Karana dalam pembangunan pariwisata pada
dasarnya
mengontrol libido kapitalisme industri pariwisata dengan
menanamkan kesadaran moral
dan etika keagamaan (parhyangan), kemanusiaan (pawongan), dan
lingkungan
(palemahan). Dengan demikian diharapkan pariwisata tidak hanya
sekadar mengejar
keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mampu meningkatkan harkat
dan martabat
manusia sebagai mahluk berbudaya serta konservasi lingkungan
secara berkelanjutan.
Pengejewantahan aspek parhyangan dalam pengelolaan industri
pariwisata yang
berimplikasi kepada revitalisasi nilai-nilai religi lokal, tidak
saja penting artinya bagi
kesejahteraan batiniah manusia, tetapi juga memberi corak dan
nuansa tersendiri bagi
pariwisata itu sendiri. Pengejewantahan aspek pawongan dalam
pengelolaan pariwisata
memposisikan paranata-pranata sosial masyarakat lokal sebagai
acuan bagi pola-pola
hubungan baik antarsesama pelaku pariwisata maupun antara pelaku
pariwisata dengan
lingkungan sosial setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi
kepada terciptanya hubungan
yang harmonis antarsesama manusia sebagai mahluk sosial, tetapi
sekaligius juga
merupakan revitalisasi terhadap tatanan sosial masyarakat
setempat. Demikian pula
pengejewantahan aspek palemahan dalam pengelolaan pariwisata
menjunjung tinggi
kearifan-kearifan ekologi masyarakat setempat. Kearifan ekologi
merupakan segala tindakan
manusia yang selaras dengan lingkungannya dan merupakan
manifestasi dari sistem
kepercayaan yang mereka anut. Berkaitan dengan wacana tentang
krisis ekologi global yang
semakin mencuat, keberadaan aspek-aspek kebudayaan tradisional
seperti sistem
pengetahuan dan kepercayaan tradisional dipandang sebagai
bentuk-bentuk kearifan
ekologi yang berfungsi cukup efektif sebagai mekanisme kontrol
bagi pengelolaan
lingkungan. Dengan demikian pengelolaan pariwisata dengan
menghormati kearifan ekologi
masyarakat setempat merupakan salah satu upaya menuju
pembangunan pariwisata
berkelanjutan.
-
39
Sad Kertih
Nilai kearifan lokal tradisional (local knowledge) yang diyakini
dan diterapkan dalam
keseharian masyarakat dalam usaha untuk menjaga alam dan budaya
Bali adalah ajaran Sad
Kertih. Makna dan filosofis Sad Kertih dimuat dalam lontar
Purana Bali yaitu enam hal
yang harus dijaga berkaitan dengan memelihara alam untuk
sebesar-besarnya kemajuan
manusia. Bagian keenam hal yang harus dijaga itu adalah: Atma
Kertih, Segara Kertih, Wana
Kertih, Danu Kertih, Jagat Kertih dan Jana Kertih.
Atma Kertih menyangkut kehidupan Sang Hyang Atma yang harus
dijaga kesucian
dan kesakralannya. Sejatinya ajaran atma kertih bertujuan untuk
melindungi dan
memelihara berbagai tempat untuk melakukan upacara penyucian
Atman seperti tetap
terjaganya kawasan suci, kegiatan suci dan tempat suci (pura).
Namun kalau diartikan dalam
makna yang luas, dapat dimaknakan sebagai sikap dan perilaku
masyarakat yang tidak
merusak alam lingkungannya.
Segara Kertih yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra
(laut). Masyarakat Bali
meyakini laut adalah sarana untuk melaksanakan berbagai jenis
yadnya (korban suci)
misalnya: melasti, nangluk merana, mepekelem, dan nganyut. Semua
upacara tersebut
didasari atas ketulusan dan pengabdian diri untuk menjaga
keharmonisan alam dan
lingukungan di sekitar laut.
Wana Kertih yaitu nilai ajaran yang menekankan pada upaya
untuk
melestarikan/konservasi hutan. Tetua yang banyak mewariskan
nilai luhur dan peradaban
memendam berbagai ajaran kesucian dan keterhubungan dengan
lingkungan dengan cara
mengkonservasi kawasan hutan. Hutan dianggap sebagai kawasan
suci dan dijadikan
sebagai sumber kehidupan. Nilai religius yang dibungkus
eksplisit nilai logikanya, ternyata
banyak tempat suci yang ada di Bali memilih hutan sebagai
kawasan suci pura. Hal ini bisa
dilihat, pura dan hutan menjadi satu-kesatuan yang patut dijaga
kelestarian dan
kesuciannya secara bersama-sama. Dalam kitab Pancawati ada tiga
cara untuk melestarikan
hutan, yakni: Mahawana, Tapawana dan Sriwana. Mahawana adalah
hutan sebagai sumber
hayati. Tapawana artinya hutan dijadikan tempat untuk melakukan
pertapaan (meditasi)
bagi orang yang mendalami perjalanan suci ke dalam diri. Sriwana
adalah hutan sebagai
sumber kemakmuran masyarakat.
Danu Kertih adalah upaya untuk menjaga kelestarian sumber-sumber
air tawar di
danau. Danau dijadikan sebagai tempat mempersembahkan berbagai
upacara/ritual seperti
-
40
mepekelem. Untuk di Bali, setiap danau terdapat pura yang diberi
nama Pura Ulun Danu.
Danau tidak saja dijadikan sebagai wahana untuk menjaga kesucian
tetapi juga diyakini
sebagai sumber kehidupan dan sumber kemakmuran. Masyarakat
sekitar danau
menjadikannya sebagai celah untuk mengais rezeki melalui
pembudidayaan ikan, pertanian
dan kegiatan pariwisata. Manakala danau tercemar, sama halnya
mematikan/merusak
sumber-sumber perekonomian masyarakat.
Jagat Kertih adalah upaya untuk melestarikan keharmonisan
interaksi sosial
masyarakat dalam pembangunan eksistensi desa pakraman/lembaga
masyarakat tradisional
Bali. Kehidupan keharmonisan masyarakat yang dinamis bisa
terjaga melalui berbagai
aktivitas sosial religius seperti: aktivitas sosial banjar,
sekehe truna, sekehe kesenian,
upacara keagamaan dll.
Jana Kertih adalah upaya membangun manusia secara individu agar
menjadi sumber
daya