Memahami Psikologi ANAKBerbicara masalah psikologi anak, Pakar
Psikologi Perkembangan Erikson memfokuskan pada perkembangan
psikososial sejak kecil hingga dewasa dalam delapan tahap.Perlu
diketahui, setiap orang akan melewati tahapan dan setiap tahapan
akan mendapatkan pengalaman positif dan negatif. Kepribadian yang
sehat akan diperoleh apabila seseorang dapat melewati krisis dalam
tugas perkembangan dengan baik.Pada teori psikologi anak, bayi
memerlukan pengasuhan yang penuh cinta kasih sehingga ia merasakan
aman. Ketidakkonsistenan dan penolakan pada masa bayi akan
menimbulkan ketidak percayaan pada pengasuhnya berlanjut pada orang
lain dan lingkungan yang lebih luas.Pada masa usia dini, banyak hal
yang mambuatnya tertarik sehingga ingin selalu mencoba, meski
terkadang pada hal yang berbahaya. Pada tahap ini orang dewasa
harus memberikan dukungannya. Erikson mengingatkan bahwa pembatasan
dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh rasa ragu
terhadap kemampuan dirinya.Penelitian tentang psikologi anak, yang
berfokus pada bab kecerdasan, lebih jauh diungkapkan Gardner dengan
konsep kecerdasan Jamak atau Multiple Intelegence (MI). Gardner
mengidentifikasi kecerdasan sebagai kemampuan untuk menemukan dan
mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang
mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang.Ketujuh kecerdasan
tersebut adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial,
kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal serta naturalis.
Setiap orang mempunyai berbagai potensi tersebut. Masing-masing
dapat dikembangkan pada tahap tertentu.Tangisan Berjam-jamTerkait
psikologi anak, mungkin Anda akan menemukan anak Anda menangis
selama berjam-jam. Kunci meredakan tangisan dan teriakan anak
adalah bersikap tenang dan tidak perlu tergesa-gesa. Orangtua yang
nampak gelisah atau memendam kemarahan tentu akan sulit menerima
kondisi si kecil yang juga sedang tidak nyaman dengan tangisannya
sendiri.Anak membutuhkan figur yang tenang dan mampu mengendalikan
emosinya. Kontrol emosi Anda akan membuat suatu ruang toleransi
apapun reaksi tambahan yang akan dikeluarkan anak. Tangisan anak
itu suara musik alam yang indah.Menurut Hans Grothe, seorang
psikolog perkembangan dari Jerman, sebenarnya tangisan dan teriakan
tantrum anak ternyata tidak berkaitan dengan usia. Tak hanya anak
berusia 2 tahun yang melakukannya, usia 3 atau 5 tahun pun
kadang-kadang masih melakukannya.frekuensi yang terbanyak adalah
pada usia 2 tahun. Menurutnya, ada 3 kunci untuk meredakan tangisan
anak yaitu ketenangan, ketenangan dan ketenangan. Tentu saja dalam
tiga tataran yang berbeda-beda.Kemampuan ini tidak begitu saja
jatuh dari langit, melainkan para orangtua harus melatih dan
belajar melihat reaksi anak. Inilah perlunya orang tua memahami
ilmu psikologi anak.Perlu dipahami, menjadi orangtua sebenarnya
seperti seorang peneliti di laboratorium. Mencoba sebuah formula
pola asuh, memecahkan masalah sesuai dengan budayanya serta
kemudian melihat reaksi yang terjadi dengan dicobakan
formulanya.Apabila tidak cocok dan reaksi buruk, maka harus
dicobakan formula yang lain sampai cocok. Dan biasanya formula yang
cocok untuk satu anak belum tentu cocok untuk anak yang lainnya.
Jadi berlatih dan belajar menjadi peneliti adalah tugas orang tua
agar sukses mendidik anak-anaknya. Anda akan mempelajari tentang
psikologi anak yang tidak ada habisnya.Psikologi Anak Menonton
acara Apa Kabar Indonesia pagi ini, hari Minggu tanggal 24 Mei 2009
di tv one cukup bagus masalah yang dibahas yaitu tentang Psikologi
Anak. Diskusi ini menghadirkan nara sumber seorang psikolog yaitu
Ibu Winarni. Meskipun aku belum punya anak, hehe, tapi semoga kelak
berguna dan bisa aku terapkan ketika sudah menjadi orang tua dan
memiliki anak.
Intinya yang bisa aku ambil dari acara tersebut adalah orang tua
harus sering berkomunikasi dengan anak, terbuka dengan segala
permasalahan yang ada. Mau mendengarkan atau menjadi tempat curhat
yang nyaman bagi anak. Biasanya orang tua lebih mau mendengarkan
kalau yang ngomong adalah guru dari anaknya, guru konseling atau
mau mendengar dari seorang psikolog daripada mendengar dari anaknya
sendiri. Sebaiknya sedari dini, membuka pintu komunikasi dengan
anak selebar-lebarnya akan lebih berarti bagi psikologi anak,
mencoba memahami bagaimana permasalahan anak, apa yang dia inginkan
dari kita sebagai orangtua, apa yang dia mau untuk dia lakukan di
sekolah, di rumah, dan di lingkungan sekitar.
Jangan sampai kita sebagai orangtua jarang berkomunikasi dengan
anak, tidak mau tahu menahu dan perhatian tentang masalah yang dia
hadapi, apa yang terjadi di sekolahnya, apa yang terjadi dengan
teman-temannya, tidak mengikuti perkembangan anak sendiri, baik
perkembangan mental dan perkembangan intelektual. Jangan sampai
kita baru mengetahui ketika guru konseling di sekolahnya memanggil
kita gara-gara anak kita ada masalah di sekolahnya. Mungkin kita
sebagai orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan ( atau sibuk
ngeblog dan facebook ?? wkwk ) sehngga jarang berkomunikasi dengan
anak, berangkat kerja pagi-pagi anak masih tidur, pulang kerja
malam, anak juga sudah tidur, apalagi kalau hari sabtu dan minggu
harus lembur. Tentunya dengan teknologi yang semakin canggih
sekarang, dunia dengan komunikasi tanpa batas, kita harus
memanfaatkannya, sering sms dan telepon anak untuk mengecek
bagaimana keadaannya, apa yang sedang dilakukan, meluangkan waktu
beberapa saat untuk sharing dengannya, menjadi pendengar yang baik,
biarkan anak bercerita tentang apa yang dia alami, apa yang menarik
baginya, apa yang membuatnya kesal, apa yang membuatnya sedih, dan
sebagainya. Menghabiskan waktu sehari penuh bersama anak dan
keluarga ketika hari libur untuk berekreasi ke tempat wisata,
jalan-jalan atau sekedar bermain di taman bermain juga cukup
berarti bagi anak.
Kehangatan kasih sayang di dalam keluarga diharapkan dapat
mewujudkan suasana nyaman bagi anak. Menjadi seorang sahabat bagi
anak kita tanpa menghilangkan wibawa sebagai orangtua, memberi
teladan yang baik, sehingga anak pun tidak canggung dan sungkan
untuk mencurahkan isi hatinya kepada kita, namun tetap menghormati
kita sebagai orang tua.Belajar Kreatif, Asyik danBermakna*Makalah
ini tidak menguraikan bagaimana metoda belajar kreatif yang asyik
dan bermakna secara detail. Di sini diuraikan prinsip fungsi otak
dalam abad neurosains yang menjadi sumber ditemukannya metoda cara
baca cepat, quantum learning, quantum teaching atau revolution
learning. Selanjutnya dapat disaksikan pada penjelasan dengan
LCD/OHP.PendahuluanMakalah ini tidak menguraikan bagaimana metoda
belajar kreatif yang asyik dan bermakna secara detail. Di sini
diuraikan prinsip fungsi otak dalam abad neurosains yang menjadi
sumber ditemukannya metoda cara baca cepat, quantum learning,
quantum teaching atau revolution learning. Selanjutnya dapat
disaksikan pada penjelasan dengan LCD/OHP.Alasan Perlunya Metoda
Baru Para ahli psikologi belajar berpendapat bahwa: a) Manusia
sekarang penuh dengan persoalan kompleksitas, sehingga tantangannya
berkembang cepat serta semakin rumit teapi pada saat yang bersamaan
kebutuhan untuk hidup bahagia lebih sulit diperoleh, bahkan oleh
anak-anak sekalipun. Oleh karena itu, jaman ini diperlukan manusia
dengan persiapan lebih kompleks tetapi perlu didasari masa kecil
yang bahagia, sebelum mereka terjebak oleh penderitaan jaman. b)
Ditemukannya pengetahuan tentang peta otak manusia lebih intensif
sebagaimana dinyatakan oleh ilmuwan Amerika bahwa abad ini adalah
abad neurosciens, bahkan penelitian otak dua dasawarsa terakhir
telah menjungkirbalikkan berbagai teori tentang otak. Sejak Daniel
Goleman (1996) meluncurkan tema kecerdasan emosional, kesadaran
orang semakin besar akan pentingnya asah emosi, belum lagi reda
semburan ide tentang kecerdasan spiritual oleh Danar Zohar dan Ian
Marshal (2002) semakin menjadikan manusia modern merasa perlu untuk
mengenali struktur biologis otaknya. Apalagi setelah Amerika
menyatakan bahwa dekade 1990-2000 adalah termasuk brain era, maka
berbagai penelitian tentang strutjtur dan fungsi otak hampir
menyamai penelitian tentang kosmologi. Misteri kosmologi hingga
kini belum juga terpecahkan, apalagi setelah pesawat Columbia,
Chalanger meledak berturut-turut. Rupanya alam kosmologi manusia
tengah mengalami penelusuran, dan jejak-jejaknya ditelusuri melalui
pemetaan otak yang semakin computerized dengan paduan neurosains
modern. c) Salah satu tema terpenting dari neurosains akhir-akhir
ini adalah adanya noktah yang menjadi lahan subur rasa ber-Tuhan
yang diberi nama god spot. Kehadiran Tuhan di otak merupakan suatu
hal yang menarik. Bukan saja karena otak adalah CPU (Central
Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi
otak merupakan pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah
kehidupan itu sediri. Banyak sekali kemampuan yang dinisbahkan
kepada otak melebihi yang diberikan pada jantung atau ginjal.Era
Fungsi Neurosains Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan
membuatnya berbeda dengan yang lain: (1) fungsi emosi, (2) fungsi
rasional eksploratif atau fungsi kognisi, dan (3) fungsi
refleksi.Fungsi emosiFungsi yang pertama ditunjukkan oleh beragam
penemuan tetang emotional intelligence (EQ), termasuk penemuan
faktor faktor biologis yang mempengaruhi terjadinya penyakit jiwa;
antara lain penemuan psikoneuroimunologi dan pentingnya keyakinan
dalam menciptakan kodisi biologis tubuh yang baik. Ilmu pengetahuan
telah membuktikan bahwa keyakinan dapat menjadi salah satu terapi
penting dalam meciptakan kodisi tubuh yang seimbang. Keyakinan
untuk sembuh adalah metode penyembuhan itu sendiri. Keyakinan
berhubungan secara timbal balik dengan metabolisme tubuh. Dengan
kata lain, optimisme dan positive thinking memberi pengaruh
menguntungkan dalam kodisi biologis manusia. Sistem limbik dan
amigdala yang terletak di daerah tengah otak merupakan dua komponen
yang berperan penting.Hal yang penting dari fungsi emosional otak
adalah munculnya rasa bahagia, senang, gembira dalam setting sosial
dan lingkungan. Tanpa kecerdasan yang satu ini manusia tidak akan
pernah menjadi manusia sosial yang hidup dengan snejata
emosionalnya. Berdasarkan penelitian para neurosains, fungsi
emosional lebih dahulu berkembang daripada fungsi rasional. Oleh
karenanya perkembangannya menjadi penting.Fungsi kognisiFungsi
kedua ditunjukkan oleh semaraknya penemuan dalam bidang keilmuan
yang membuahkan teknologi, dari yang sederhana sampai yang
tercanggih. Apa yang disebut Thomas Kuhn (1984) sebagai revolusi
paradigma, sesungguhnya adalah aktualisasi dari fungsi eksploratif
tersebut. Fungsi rasional eksploratif sari otak digambarkan secara
jelas dan tegas dalam makna harfiah kata berfikir. Kata fikir
(dalam bahasa indonesia) itu diambil dari kata fikr yang diubah
dari bentuk awal fark. Kata fark itu sediri bermakna, antara lain:
(1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk
sampai hancur, (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang,
dan (4) menggosok hingga bersih. Dari keempat makna yang
ditunjukkan oleh kata fark, tampak bahwa berpikir itu
menunjukkanpada usaha tak kenal lelah dan keras untuk menyingkap ,
membuka atau mengeksplorasi setiap objek yang ada sehingga objek
itu dapat dipahami dan ditangkap secara jelas. Dengan demikian,
usaha yang dilakukan oleh Democritus dengn teori atom, Nicolaus
Copernicus dengan teori heliosentris, Albert Einstein dengan teori
relativitas, Rutherford dengan teori proton, Abdussalam dengan
teori gabungan gaya elektromagnetik gaya lemah, Edward Jenner
dengan teori vaksinasi, Robert Koch dengan teori linguistik,
Sigmund Freud dengan teori psikoanalisis, adalah kegiatan berpikir
untuk dapat menyingkap segala sesuatu tentang objek yang ada di
alam semesta. Kulit otak merupakan komponen utama untuk fungsi
ini.Fungsi spiritualFungsi ketiga mencangkup hal hal yang bersifat
supranatural dan religius, yang menurut beberapa penelitian
bersumber dari dalam otak manusia. Kerangka orientasi (seperti
agama), sebagaimana ditegaskan oleh Erich Fromm (1994) yang
bersumber dalam kulit otak (korteks serebri) manusia adalah contoh
fungsi refleksi.Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan
adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan.
Keberadaan Tuhan sedikitnya, ditampakkan dalam kesempurnaan jalinan
dan jaringan saraf manusia. Pernyataan ini tidak berarti bahwa
Tuhan itu direduksi sampai bentuk seluler persarafan manusia atau
tingkat terrendah dalam wujud materi sebagaimana diyakini oleh para
materialis. Makna kehadiran Tuhan berhubungan erat dengan adanya
kesempurnaan tubuh fisik manusia. Kesempurnaan tubuh fisik manusia,
antara lain, ditunjukkan oleh adanya setruktur tubuh yang efektif
dan fungsional dalam menjamin fungsi fungsi kehidupan yang penting.
Posisi tegak, sistem lokomotorik, dan panca indra adalah tiga
contoh kesempurnaan itu.Zohar dan Marshall memberikan gambaran
bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu :1.
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan
aktif)2.Tingkat kesadaran yang tinggi3.Kemampuan menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan4.Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
rasa takut5.Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan
nilai-nilai6.Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak
perlu7.Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
(berpandangan holistik)8.Kecenderungan nyata untuk bertanya:
mengapa? atau bagaimana jika? untuk mencari jawaban yang
mendasar9.Pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawabAda
dua hal yang diangap penting oleh Danar Zohar dan Marshal, yakni
aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari kecerdasan
spiritual, sebagai misal yang dapat dicatat: SQ adalah kecerdasan
untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai. SQ adalah
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya Kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain Kecerdasan ini tidak hanya untuk
mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif
menemukan nilai-nilai baru.Bagaimana Belajar?Pada dasarnya
anak-anak dapat belajar dengan metoda apa saja. Metoda akan efektif
selama ia sesuai dengan fungsi dasar otak: emosional, rasional dan
spiritual. Ketiga aspek ini perlu dirangsang sejak dini dengan
prinsip seimbang, mudah dan mungkin. Setiap fungsi otak memiliki
karakteristik tersendiri seperti otak emosional perlu belajar
dengan metoda yang membahagiakan karena ia otak primitif yang
bersifat hedonis. Otak rasional bersifat kreatif, imajinatif dan
logis. Otak spiritual perlu dirangsang dengan hal-hal yang bersifat
memberi makna dan nilai.
Bagaimanakah merancang metoda yang tepat?Semua metode belum
tentu tepat untuk semua anak, dan tidak semua guru dapat
menjalankan metoda yang sama dengan kualitas yang sama. Oleh karena
itu metoda merupakan hasil dari kematangan belajar sang guru
terhadap dirinya sendiri. Metoda yang tepat adalah mencerdaskan
diri pendidik, sehingga selalu terjadi proses kreativitas guru yang
dapat menstimulasi peserta didik. Proses yang tepat adalah belajar
dari prinsip-prinsip pembelajaran yang berbasis neurosains mutakhir
dengan terus meyakini ada sisi gelap penciptaan yang dimensinya
adalah kekuatan doa dan raihan hidayah.Lebih jauh karena
keterbatasan ruang, dapat dilihat pada tayangan
OHP/LCD.KesimpulanBerdasarkan uraian di atas dapat disarikan dalam
tabel berikut:FungsiEmosionalRasionalSpiritual
Ciri umumCerdas secara emosi, mampu mandiri, komunikasi,
memimpin, adaptasi, humoris, dan membangun relasiCerdas secara
intelektual: pandai dalam merumuskan, menganalisa, memutuskan
dengan pendekatan kuantitatif dan logisCerdas secara nurani: mampu
memberi makna, transendensi diri, mengambil hikmah, keshalehan,
bermoral dan mengatasi kesulitan dengan para logis dan
metafisik.
4 HAMBATAN BELAJARMengatasi hambatan harus dimulai dari koreksi
sikap orang tuaBeberapa kondisi yang tidak kondusif memang tidak
berpengaruh langsung terhadap kecerdasan anak. Akan tetapi jika
dibiarkan, potensi anak tak mungkin tergali secara utuh. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, orang tua mesti mengenali beberapa
faktor penghambat perkembangan kecerdasan sekaligus cara
mengatasinya. STRESStres bisa diartikan sebagai ketegangan fisik
dan mental/emosional karena tubuh memberikan respons terhadap
tuntutan, tekanan, dan gangguan yang ada di sekelilingnya. Stres
bisa dipicu kejadian tertentu, selain akibat pengaruh lingkungan.
Boleh dibilang stres itu sendiri bak pisau dibelah dua. Di satu
sisi bisa memacu motivasi belajar. Bukan tidak mungkin dalam
kondisi tertentu, stres justru membuat anak merasa terpacu untuk
belajar akibat adanya persaingan. Stres yang seperti ini bisa
dibilang berdampak positif. Sementara di sisi lain bisa saja stres
menghambat proses belajar. Dampak negatif muncul jika kadar stres
sudah berlebihan (distress). Akibatnya, daya tangkap anak menurun.
Bisa dipahami, stres yang berlebihan tentu menimbulkan hambatan
emosi yang selanjutnya mengusik kemampuan anak menyerap dengan baik
informasi maupun stimulasi dari lingkungannya. Akibat lebih jauh,
proses belajar anak mengalami keterlambatan. Jika seharusnya ia
bisa memahami pelajaran sekitar 80-100 persen dari yang diberikan,
maka gara-gara kesal, marah, dan frustrasi kemampuan belajarnya
jadi jauh berkurang. Selain itu, fungsi kerja organ-organ tubuh
anak akan ikut terganggu. Gejalanya berupa beragam gangguan
psikosomatis dari sakit perut, sakit kepala, demam, gatal-gatal,
mual, dan sebagainya. Berikut 2 hal yang umumnya menyebabkan anak
stres: 1. Tuntutan terlalu tinggiSejak bayi, orang tua pastilah
berusaha merawat dan mengasuh anaknya supaya sehat dan cerdas.
Beragam stimulasi dilakukan agar perkembangan anak bias optimal.
Tindakan ini awalnya jelas bertujuan baik, tapi jika berlebihan
bisa membuat anak stres. Harapan orang tua yang terlalu tinggi
membuat anak mudah frustrasi. Contohnya, bayi usia 6-7 bulan
dituntut untuk belajar berjalan. Alih-alih bisa cepat berjalan,
anak malah enggan turun ke lantai. Begitu juga saat menginjak usia
sekolah. Wajar bila orang tua berharap anaknya menguasai beragam
kemampuan. Menjadi tidak wajar jika dalam mewujudkan harapan tadi
orang tua lantas "menggenjot" anaknya mengikuti kursus ini-itu.
Tentu tak terlalu jadi masalah kalau si anak memang berminat
sekaligus memiliki kemampuan di bidang tersebut. Akan tetapi
bagaimana jika sebaliknya? Tuntutan dan harapan yang tinggi bahkan
kelewat tinggi malah bisa menjadi bumerang. Salah satunya, motivasi
belajar anak merosot atau malah padam sama sekali. Contoh lain
adalah orang tua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan sistem
full day semata-mata agar aktivitas belajarnya bisa terkontrol
seharian. Padahal anak yang tak mampu mengikuti jam belajar yang
lama atau panjang tentunya akan mengalami masalah. Bisa saja dia
mogok sekolah gara-gara tak betah duduk manis. Ini akan terlihat
dalam diri anak yang mengemukakan berbagai alasan agar bisa tidak
masuk sekolah. Solusinya, tak ada jalan orang tua mesti tanggap
terhadap apa pun yang dialami anak. Cari tahu sumber stresnya.
Dalam hal ini, orang tua mesti bersedia berintrospeksi diri. Bukan
tidak mungkin anak stres gara-gara harapan orang tua yang terlalu
tinggi. Pahami juga kebutuhan, keinginan dan kemampuan anak. Dengan
kata lain, jangan memaksakan kehendak kita pada anak. 2.
LabelingPelabelan merupakan tindakan memberi label atau ciri-ciri
pada anak berdasarkan perilaku, sifat, atau bentuk fisiknya.
Contohnya menyebut anak dengan label, si lelet, si nakal, si malas,
si hitam, si cengeng, si payah, dan sebagainya. Sebutan-sebutan
negatif seperti itu asal tahu saja akan menghempaskan kebanggaan
diri yang akhirnya membuat anak stres. Ironisnya, disadari atau
tidak, anak yang kerap mendapat label-label negatif justru
cenderung berperilaku sesuai dengan label yang ditempelkan padanya.
"Ya saya memang payah. Belajar apa pun toh enggak akan membuat saya
pintar." Sungguh sayang jika potensi kecerdasan anak tidak terasah
gara-gara ulah orang tua memberi label-label buruk kepadanya.
Dampak pelabelan ini akan terasa saat anak menginjak usia
prasekolah. Kenapa? Karena saat itulah anak bisa memahami
sepenuhnya makna label yang diberikan kepadanya. Mulai saat ini,
alangkah bijaksananya bila orang tua belajar menahan diri untuk
tidak mengucapkan kata-kata yang bisa meruntuhkan harga diri anak.
Yang tak kalah penting, jangan pernah membanding-bandingkan seorang
anak dengan anak lainnya. Contohnya bila si bungsu tak sepintar si
sulung. Simpan saja keinginan berkomentar, "Tiru kakakmu itu lo
yang selalu dapat nilai bagus!" Komentar-komentar tak sedap seperti
itu hanya akan mengikis konsep diri anak. Fokuslah hanya pada
kesalahan/kekurangan yang dilakukan anak dan bukan menyerang
pribadinya. Kalau tulisannya kurang bagus, ya ajari bagaimana cara
menulis yang benar agar hasilnya baik, tanpa harus mencapnya dengan
sebutan negatif. LINGKUNGAN TIDAK KONDUSIFRumah dikatakan sebagai
lingkungan kondusif jika seluruh anggota keluarga maupun sarana
fisik yang ada mendukung kegiatan belajar. Lingkungan rumah yang
aman dan nyaman tentu akan membuat anak senang bereskplorasi karena
tak ada bahaya/hambatan yang menghadang. Masalahnya, sering tidak
disadari ada beberapa kebiasaan dan kondisi di rumah yang
mengganggu proses belajar anak. Antara lain televisi yang menyala
terus, kelewat banyak menugaskan anak melakukan pekerjaan rumah
tangga, serta tidak tersedianya meja belajar dan kamar bersih
dengan penerangan cukup. Hal-hal tersebut pasti berpengaruh
terhadap proses belajar anak. Lingkungan sosial seharusnya juga
memberi dukungan pada proses belajar anak. Jika orang-orang dewasa
di sekitar tempat tinggalnya tidak pernah mengenalkan waktu belajar
yang terarah, juga rutinitas kehidupan yang teratur maka sedikit
banyak akan membuat anak jadi malas belajar. Begitu pula jika
anak-anak di lingkungan rumah tidak terbiasa menjalani disiplin
waktu, maka besar kemungkinan anak kita akan terbawa menjadi
seperti itu. Terlebih di usia sekolah, pengaruh teman jauh lebih
kuat dibanding pengaruh orang tua. Ia mungkin tak kuasa menolak
ajakan temannya bermain sepanjang waktu, melupakan jam istirahat
serta jam belajarnya. TRAUMA Trauma bisa menghambat optimalisasi
potensi yang dimiliki anak. Umpamanya, seorang anak sebenarnya
berbakat dalam musik tapi karena ada pengalaman tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kegiatan bidang tersebut, ia akhirnya
berusaha menjauh. Bisa karena guru musiknya yang tak ramah, suasana
belajar yang tak menarik, dan sebagainya. Jangan heran kalau
akhirnya potensi musikal si anak jadi tidak berkembang. Trauma juga
bisa muncul akibat kekerasan yang dialami anak (child abuse). Anak
yang sering bersentuhan dengan kekerasan, entah dari orang tua atau
sosok terdekat lainnya, sangat mungkin mengalami hambatan emosi.
Tanpa kemampuan mengekspresikan emosi, akan sulit bagi anak untuk
mengembangkan diri. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk
mengatasi trauma, salah satunya dengan mengubah gaya pendekatan
atau cara penyampaian materi. Kalaupun tetap tidak membuahkan
hasil, mau tak mau anak harus dijauhkan dari si sumber trauma.
SAKIT BERAT DAN GANGGUAN DI OTAKPenyakit berat yang kronis seperti
jantung, diabetes, hemofilia, dan ginjal serta gangguan-gangguan
serius lainnya pada otak memang bisa menghambat proses belajar anak
menuju cerdas. Untuk anak dengan kondisi seperti itu, orang tua
perlu memberikan perhatian lebih dan mungkin stimulasi khusus.
Namun, hindari sikap yang dapat membuat cemburu adik atau kakaknya.
Sesuaikan pula tuntutan orang tua terhadap anak dengan kondisi
fisik dan mental/emosinya. STIMULASI PAS, ANAK CERDASSemakin
bertambah usia anak, kemampuan dan keahliannya akan semakin
kompleks.Seperti apa stimulasi yang tepat untuk anak? Tidak lain
adalah yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Dengan
begitu stimulasi yang diberikan bisa sesuai dengan kemampuan anak
tanpa memaksa ataupun membebaninya. Beragam bentuk kecerdasan yang
perlu dikembangkan, mengharuskan stimulasi yang beragam pula. Salah
satu yang utama adalah stimulasi motorik. Alasannya, perkembangan
motorik anak usia balita sangatlah pesat, terutama motorik kasar.
Asal tahu saja, perkembangan motorik di usia balita terkait erat
dengan perkembangan fisik dan rasa percaya diri. Sedangkan bagi
anak 6-12 tahun, perkembangan motorik terkait dengan kebutuhannya
untuk bersosialisasi, mengenal aturan main, berkompetisi, mengenali
sekaligus menyalurkan minat terhadap sesuatu seperti seni dan
sebagainya. ANEKA STIMULASI MOTORIKSeperti apa dan bagaimana
stimulasi motorik yang harus dilakukan orang tua pada anak? 1.
Untuk anak usia balita * Stimulasi motorik kasar: - Mengajarkan
anak mengontrol keseimbangan misalnya ketika berjalan, berlari,
berputar, dan berhenti. Hal tersebut bisa diintegrasikan menjadi
games menyusuri jalan setapak yang dikelilingi "jurang". - Melatih
dengan mengajaknya main lompat ke atas, ke depan, dan sebagainya.
Lakukan menggunakan dua kaki dan satu kaki secara bergantian. -
Latih keberanian, koordinasi gerak, keseimbangannya dengan cara
memanjat tangga atau pohon, misalnya. - Berlatih mempertajam gerak
refleks dengan melakukan permainan tangkap dan lempar bola. -
Mengajak anak bergerak dan menari mengikuti irama sangat baik untuk
melatih harmonisasi anak sehingga bisa cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.- Berenang sangat baik dilakukan anak untuk
melatih banyak hal dalam dirinya, seperti kekuatan fisik,
keberanian, mengukur kemampuan, dan sebagainya.* Stimulasi motorik
halus: - Melipat. Untuk bisa melakukan aktivitas ini butuh
kesabaran dan kehalusan diri. Melipat kertas, terlebih sampai
membuat sebuah karya, takkan berhasil atau maksimal hasilnya jika
dilakukan secara tergesa-gesa, tak bisa tenang dan tak memiliki
kehalusan diri. - Menggambar dengan krayon. Keseimbangan diri
secara emosional dan psikis bisa dilatih dengan cara menggambar.
Aktivitas ini juga membantu anak untuk melatih mengeskpresikan
diri. - Main lilin/dough. Permainan ini sangat membantu mengasah
kreativitas anak. Selain ketelitian dan kesabaran serta jiwa seni
bisa didapat anak lewat permainan ini. - Finger painting. Melukis
dengan jari melatih pengembangan imajinasi, memperhalus koordinasi
motorik halus, dan mengasah rasa seni, khususnya seni rupa. -
Meronce yang bisa melatih konsentrasi selain melatih ketajaman
koordinasi mata dan tangannya. - Melukis dengan cat air. Manfaatnya
hampir sama dengan melukis menggunakan krayon. Hanya saja cat air
aman digunakan oleh anak usia 4-5 tahun. - Tracing (mengikuti
titik-titik yang berbentuk gambar/huruf/angka). Kegiatan ini baik
dilakukan oleh anak kelas TK A dan B. Pasalnya, kegiatan ini
merupakan pelajaran menulis permulaan sekaligus melatih konsentrasi
anak. 2. Untuk anak usia 6-12 tahun Stimulasi motorik kasar yang
bisa dilakukan: - Bermain kasti, basket, dan bola kaki. Kegiatan
ini sangat baik untuk melatih keterampilan menggunakan otot kaki.
Anak juga belajar mengenal adanya aturan main, sportivitas,
kompetisi dan kerja sama dalam sebuah tim. - Berenang. Manfaat dari
kegiatan ini sangat banyak karena melatih semua unsur motorik kasar
anak. Anak pun mendapat pelajaran dan latihan mengenai perbedaan
berat jenis maupun keseimbangan tubuh.- Lompat jauh. Manfaatnya
hampir sama dengan bermain bola kaki dan sejenisnya. Pada kegiatan
ini anak mendapatkan point plus, yaitu prediksi terhadap jarak. -
Lari maraton. Manfaatnya mirip sekali dengan lompat jauh, hanya
caranya yang berbeda. - Kegiatan outbound. Seperti halnya berenang,
maka dengan ber-outbound semua kemampuan motorik kasar dilatih.
Malahan anak bisa mendapatkan hal yang lain, seperti keberanian,
survival, dan kedekatan dengan Maha Pencipta serta kesadaran
pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dengan hewan dan
tumbuhan. * Stimulasi motorik halus. Manfaat yang bisa diperoleh
kurang lebih sama dengan stimulasi motorik halus pada balita. Hanya
saja caranya yang berbeda, disesuaikan dengan usia anak. Berikut
penjelasannya: - Menggambar, melukis dengan berbagai media. -
Membuat kerajinan dari tanah liat. - Membuat seni kerajinan tangan,
misalnya membuat boneka dari kain perca. - Bermain alat musik
seperti gitar, biola, piano dan sebagainya. STIMULASI KOGNITIF
sebelum menstimulasi kognisi anak, orang tua harus mengetahui
terlebih dulu perkembangan kognitifnya sesuai usia. Misalnya, untuk
anak balita perkembangan kognitifnya berkaitan dengan perkembangan
berbagai konsep dasar seperti mengenal bau, warna, huruf, angka,
serta pengetahuan umum yang akrab dengan kehidupan sehari-harinya.
Disamping itu perkembangan kognitif berkaitan erat dengan
perkembangan bahasa. Aneka kegiatan yang bisa orang tua lakukan
guna menstimulasi kognisi anak adalah: * Mengadakan acara
mendongeng.* Membaca buku cerita, baik dilakukan oleh orang tua
atau si anak sendiri. * Menceritakan kembali suatu kisah dari buku
cerita yang sudah dia baca. * Sharing mengenai pengalaman
sehari-hari yang bisa dilakukan secara verbal, gambar atau tulisan.
* Berdiskusi tentang suatu tema. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat
baik jika divariasikan dengan berbagai kegiatan, seperti membuat
kerajinan tangan atau games menarik. Sedangkan untuk anak 6-12
tahun, perkembangan kognitifnya sangat berkaitan dengan kemampuan
akademis yang dipelajari di sekolah. Akan tetapi kemampuan kognitif
bisa menjadi lebih optimal apabila otak kanan anak mendapat
stimulasi. Anak yang memiliki fungsi otak seimbang akan lebih
responsif, kreatif, dan fleksibel. Kegiatan yang bisa dilakukan
oleh anak 6-12 tahun adalah: - Ketika mempelajari berbagai
kemampuan akademis, guru dan orang tua hendaknya memperhatikan
kondisi anak. Contohnya, saat anak sudah terlihat bosan seharusnya
secara otomatis materi yang disampaikan pada anak dibumbui atau
diselingi dengan permainan atau hal jenaka yang bisa membuat anak
tertantang dan gembira. Ingat, selingan seperti ini sebaiknya tetap
pada konteks pembicaraan atau pembahasan. - Stimulasi otak kanan
untuk menstimulasi kemampuan kognitif dapat dilakukan melalui
kegiatan music & movement (gerak dan lagu) atau dengan
memainkan alat musik tertentu. Bisa juga dengan melakukan kegiatan
drama. STIMULASI AFEKSI Stimulasi afeksi dilakukan untuk
mengembangkan kecerdasan interpersonal maupun intrapersonal anak
balita maupun 6-12 tahun. Manfaat utamanya adalah mengembangkan
rasa percaya diri, memupuk kemandirian, mengetahui dan menjalani
aturan, memahami orang lain, dan mau berbagi. Cara memberikan
stimulasi bisa dengan cara sebagai berikut: - Biarkan anak
melakukan sendiri apa yang bisa ia lakukan. - Buatlah kesepakatan
tentang berbagai hal yang baik/boleh dan tidak, serta
konsekuensinya. Tentu dengan bahasa yang bisa dipahami anak. -
Berikan penghargaan untuk hal-hal yang dapat dilakukanya dengan
baik atau lebih baik dari sebelumnya. Bisa juga ketika anak dapat
mengikuti aturan (terutama pada awal mula diterapkan suatu aturan).
- Berikan konsekuensi negatif atau punishment terhadap tingkah laku
anak yang kurang baik atau tidak sesuai dengan aturan. Untuk hal
ini perlu mempertimbangkan usia anak. - Berikan perhatian untuk
berbagai reaksi emosi anak. Contoh, saat dia sedih, gembira, marah,
berikanlah respons yang sesuai dengan kebutuhannya kala itu. - Anak
difasilitasi untuk bermain peran. - Biasakan anak untuk mampu
mengungkapkan perasaanya, baik secara verbal, tulisan, ataupun
gambar. - Biasakan mau berbagi dalam setiap kesempatan. - Khusus
untuk anak 6-12 tahun, mulai perkenalkan dengan berbagai permainan
dalam rangka mengenalkan aturan main, sportivitas, dan kompetisi.
STIMULASI SPIRITUAL Sifat spiritual berkaitan erat dengan kesadaran
adanya Sang Pencipta. Di sinilah anak belajar tentang kewajiban
tertentu sebagai hamba Tuhan sesuai ajaran agama masing-masing.
Selain itu kecerdasan spiritual juga berkaitan dengan pemahaman
bahwa ia menjadi bagian dari alam semesta. Di sini anak memiliki
peran tertentu supaya bisa hidup harmonis dengan seluruh makhluk
Tuhan. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menumbuhkembangkan
kecerdasan spritual anak balita dan usia 6-12 tahun adalah sebagai
berikut: * Lakukan diskusi bahwa semua benda di sekitarnya ada yang
menciptakan. Contoh, "Siapa yang membuat meja ini?" anak menjawab,
"Tukang kayu." Lalu kita berikan lagi pemahaman padanya "Apakah
sama meja ini dengan tukang kayu yang membuatnya?" * Mengaitkan
materi-materi pelajaran atau hal-hal di sekitarnya dengan kebesaran
Tuhan, terlebih pada pelajaran ilmu pasti. * Memutarkan video
tentang berbagai hal yang menakjubkan di alam dengan kebesaran Sang
Pencipta. * Menceritakan kisah manusia-manusia pilihan Tuhan. *
Berdiskusi tentang berbagai hal dan apa yang dapat anak lakukan
sebagai manusia yang memiliki kelebihan dibanding makhluk lain di
muka bumi. * Meminta anak untuk membuat karangan tentang berbagai
pengalamannya ketika sedang mengalami kesulitan dan apa yang dia
lakukan. Ketika menemukan jalan keluar dari kesulitan tersebut,
kaitkan dengan betapa Tuhan itu sangat pengasih dan pemurah. *
Memberikan pendidikan agama sekaligus membiasakannya menjalankan
ibadah yang dianjurkan dan diwajibkan. Namun tak hanya itu yang
bisa menjamin anak menjadi cerdas. Lingkungan di mana anak berada
sangat memegang peranan penting untuk membentuknya menjadi anak
yang bahagia dan sehat. Jika bicara ideal, beginilah seharusnya
lingkungan anak balita dan anak usia 6-12 tahun: * Dilengkapi
dengan fasilitas yang mendukung, di antaranya arena bermain lengkap
dengan prasarananya. * Lingkungan harus ramah anak, sekaligus
memberi jaminan atas kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan
keleluasaan bergerak. * Jika hal tersebut tidak memungkinkan untuk
diwujudkan, cukuplah membuat lingkungan yang bisa menerima dan
memberi toleransi pada anak dalam berkegiatan. Temanilah selalu
anak saat berekplorasi. Biarkan dia bebas memilih apa yang akan
dikerjakan sepanjang tetap dalam koridor keamanan, kesehatan, dan
kebaikan. Jawablah sebisa mungkin setiap pertanyaan anak. Jika
tidak bisa, ajak anak bersama-sama mencari tahu jawaban dari sumber
yang bisa dipercaya, semisal mencarinya dalam kamus atau bertanya
pada pakarnya.
Cara mengatasi Malas belajar pada Anak
Seusai mengambil raport di sekolah, wajah ibu Rita nampak kesal
dan marah-marah kepada Andi anaknya. Kekesalan itu dikarenakan
nilai raport Andi pas-pasan. Berbeda dengan semester sebelumnya
nilai raport Andi kali ini termasuk sangat melorot. ?Kamu sih,
malas belajar!? bentak Ibu Andi di depan wali kelasnya. Ilustrasi
di atas adalah sebuah gambaran kekecewaan seorang Ibu atas hasil
belajar anaknya. Kekecewaan itu bertambah, manakala sang ibu
mengingat anaknya malas belajar selama semester ini. Di samping
itu, akibat perilaku Andi di sekolah selama semester ini ibunya
tiga kali dipanggil guru ke sekolah. Tetapi apakah semua kesalahan
itu pantas diajukan pada diri Andi? Apakah tidak sebaiknya hal itu
menjadi ?cermin? introspeksi bagi diri orang tua Andi? Malas
belajar pada anak secara psikologis merupakan wujud dari melemahnya
kondisi mental, intelektual, fisik, dan psikis anak.
Malas belajar timbul dari beberapa sebab antara lain: 1. Dari
dalam diri anak (Intrinsik) Rasa malas yang timbul dalam diri anak
dapat disebabkan karena tidak adanya motivasi diri. Motivasi ini
kemungkinan belum tumbuh dikarenakan anak belum mengetahui manfaat
dari belajar atau belum ada sesuatu yang ingin dicapainya. Selain
itu kelelahan dalam beraktivitas dapat berakibat menurunnya
kekuatan fisik dan melemahnya kondisi psikis. Sebagai contoh,
terlalu lama bermain atau terlalu banyak membantu pekerjaan
orangtua di rumah, merupakan faktor penyebab menurunnya kekuatan
fisik pada anak. Contoh lainnya, terlalu lama menangis, marah?marah
(ngambek) juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak.
2. Dari Luar Diri anak (ekstrinsik) Faktor dari luar anak
(faktor eksternal) tidak kalah besar pengaruhnya terhadap kondisi
anak untuk menjadi malas belajar. Hal ini terjadi karena :
a. Sikap orangtua Sikap orangtua yang tidak memberikan perhatian
dalam belajar ataupun sebaliknya orangtua terlalu berlebihan
perhatiaannya, membuat anak malas belajar. Tidak hanya itu, banyak
orangtua yang menuntut anak belajar hanya demi angka (nilai) dan
bukan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab anak selaku pelajar.
Akibat dari tuntutan tersebut tidak sedikit anak yang stress
sehingga nilai yang diperolehnya kurang memuaskan. Parahnya lagi,
bilamana anak mendapat nilai yang kurang memuaskan maka
kalimat-kalimat celaan biasanya yang pertama keluar dari bibir
orangtua. Anak usia Sekolah Dasar sebenarnya jangan terlalu
diorientasikan pada nilai (hasil belajar) tetapi bagaimana
membiasakan diri anak belajar, berlatih tanggung jawab, dan
berlatih hidup dalam suatu aturan.
b. Sikap guru Selaku figur atau tokoh teladan yang dibanggakan,
tidak jarang sikap guru di sekolah juga menjadi objek ?keluhan?
siswanya. Ada banyak macam penyebabnya, mulai dari ketidaksiapan
guru dalam mengajar, tidak menguasai bidang pelajaran yang akan
diajarkan, atau karena terlalu banyak memberikan tugas-tugas dan
pekerjaan rumah. Selain itu, sikap sering terlambat masuk kelas di
saat mengajar, bercanda dengan siswa-siswa tertentu saja atau
?membawa? masalah rumah tangga ke sekolah, membuat suasana belajar
semakin tidak nyaman, tegang dan menakutkan bagi siswa
tertentu.
c. Sikap teman. Tidak semua teman di sekolah memiliki sikap atau
perilaku yang baik dengan teman-teman lainnya. Seorang teman yang
berlebihan dalam perlengkapan busana sekolah atau perlengkapan
belajar, seperti sepatu yang bermerk yang tidak terjangkau oleh
teman-teman lainnya, termasuk tas sekolah atau alat tulis, secara
tidak langsung dapat membuat iri teman-teman yang kurang mampu.
Pada akhirnya ada anak yang menuntut kepada orangtuanya untuk minta
dibelikan perlengkapan sekolah yang serupa dengan temannya.
Bilamana tidak dituruti maka dengan cara malas belajarlah sebagai
upaya untuk dikabulkan permohonannya.
d. Suasana belajar di rumah Bukan suatu jaminan rumah mewah dan
megah membuat anak menjadi rajin belajar, tidak pula rumah yang
sangat sederhana menjadi faktor mutlak anak malas belajar. Rumah
yang tidak dapat menciptakan suasana belajar yang baik adalah rumah
yang selalu penuh dengan kegaduhan, keadaan rumah yang berantakan
ataupun kondisi udara yang pengap. Selain itu tersedianya
fasilitas?fasilitas permainan yang berlebihan di rumah juga dapat
mengganggu minat belajar anak. Mulai dari radio tape yang
menggunakan kaset, CD, VCD, atau komputer yang diprogram untuk
sebuah permainan (games), seperti Game Boy, Game Watch maupun Play
Stations. Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk tidak
terciptanya suasana belajar yang baik.
e. Sarana Belajar Sarana belajar merupakan media mutlak yang
dapat mendukung minat belajar, kekurangan ataupun ketiadaan sarana
untuk belajar secara langsung telah menciptakan kondisi anak untuk
malas belajar. Kendala belajar biasanya muncul karena tidak
tersedianya ruang belajar khusus, meja belajar, buku?buku penunjang
(pustaka mini), dan penerangan yang bagus. Selain itu, tidak
tersediannya buku?buku pelajaran, buku tulis, dan alat?alat tulis
lainnya, merupakan bagian lain yang cenderung menjadi hambatan
otomatis anak akan kehilangan minat belajar yang optimal.
Enam Langkah Mengatasi Malas Belajar Anak Ada enam langkah yang
dapat membantu orangtua dalam membimbing dan mendampingi anak yang
bermasalah dalam belajar antara lain:
1. Mencari Informasi Orangtua sebaiknya bertanya langsung kepada
anak guna memperoleh informasi yang tepat mengenai dirinya. Carilah
situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara
terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan
penyebab ia malas belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai
seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil
bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka
permasalahan dirinya.
2. Membuat Kesepakatan bersama antara orang tua dan anak.
Kesepakatan dibuat untuk menciptakan keadaan dan tanggung jawab
serta memotivasi anak dalam belajar bukan memaksakan kehendak
orangtua. Kesepakatan dibuat mulai dari bangun tidur hingga waktu
hendak tidur, baik dalam hal rutinitas jam belajar, lama waktu
belajar, jam belajar bilamana ada PR atau tidak, jam belajar di
waktu libur sekolah, bagaimana bila hasil belajar baik atau buruk,
hadiah atau sanksi apa yang harus diterima dan sebagainya. Kalaupun
ada sanksi yang harus dibuat atau disepakati, biarlah anak yang
menentukannya sebagai bukti tanggungjawabnya terhadap sesuatu yang
akan disepakati bersama.
3. Menciptakan Disiplin. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk
menciptakan kedisiplinan kepada anak jika tidak dimulai dari
orangtua. Orangtua yang sudah terbiasa menampilkan kedisiplinan
dalam kehidupan sehari-hari akan dengan mudah diikuti oleh anaknya.
Orangtua dapat menciptakan disiplin dalam belajar yang dilaksanakan
secara konsisten dan berkesinambungan. Latihan kedisiplinan bisa
dimulai dari menyiapkan peralatan belajar, buku?buku pelajaran,
mengingatkan tugas?tugas sekolah, menanyakan bahan pelajaran yang
telah dipelajari, ataupun menanyakan kesulitan?kesulitan yang
dihadapi dalam suatu pelajaran tertentu, terlepas dari ada atau
tidaknya tugas sekolah.
4. Menegakkan Kedisiplinan. Menegakkan kedisiplinan harus
dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan kesepakatan?kesepakatan
yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat
mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil,
mencubit, atau memukul). Untuk mengalihkannya gunakanlah
konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran
anak. Bila dapat melakukan aktivitas bersama di dalam satu ruangan
saat anak belajar, orang tua dapat sambil membaca koran, majalah,
menyulam, atau aktivitas lain yang tidak mengganggu anak dalam
ruang tersebut. Dengan demikian menegakkan disiplin pada anak tidak
selalu dengan suruhan atau bentakan sementara orang tua
melaksanakan aktifitas lain seperti menonton televisi atau sibuk di
dapur.
5. Ketegasan Sikap Ketegasan sikap dilakukan dengan cara orang
tua tidak lagi memberikan toleransi kepada anak atas
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya secara berulang-ulang.
Ketegasan sikap ini dikenakan saat anak mulai benar-benar menolak
dan membantah dengan alasan yang dibuat-buat. Bahkan dengan sengaja
anak berlaku ?tidak jujur? melakukan aktivitas-aktivitas lain
secara sengaja sampai melewati jam belajar. Ketegasan sikap yang
diperlukan adalah dengan memberikan sanksi yang telah disepakati
dan siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang
dilakukannya.
6. Menciptakan Suasana Belajar Menciptakan suasana belajar yang
baik dan nyaman merupakan tanggung jawab orangtua. Setidaknya
orangtua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan perhatian
dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai
selingan orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang
mendidik agar suasana belajar tidak tegang dan tetap menarik
perhatian. Ternyata malas belajar yang dialami oleh anak banyak
disebabkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu sebelum anak
terlanjur mendapat nilai yang tidak memuaskan dan membuat malu
orangtua, hendaknya orangtua segera menyelidiki dan memperhatikan
minat belajar anak. Selain itu, menumbuhkan inisiatif belajar
mandiri pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab selaku
pelajar pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka
panjang. Jika enam langkah ini dapat diterapkan pada anak, maka
sudah seharusnya ibu Rita tidak lagi marah-marah si Andi putranya
sebagaimana digambarkan pada ilustrasi tadi.
PerkembanganKognitifPiaget, seorang ahli psikologi kognitif,
mengemukakan 4 (empat) tahapan perkembangan kognitif individu ,
yaitu:1. Tahap Sensori-Motor (0-2)Inteligensi sensori-motor
dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence),
yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum
mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi
individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan
inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe
inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18
bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun
yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap
tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 24
bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul
secara bertahap dan sistematis.2. Tahap Pra Operasional (27)Pada
tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object
permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan
tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun
benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar
atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda
tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni
tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode
ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan
anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan
kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta
mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.3.
Tahap konkret-operasional (7-11)Pada periode ditandai oleh adanya
tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah
berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan
idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri.
Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari
karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa.
Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan
pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis
mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.4. Tahap
formal-operasional (11-dewasa)Pada periode ini seorang remaja telah
memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun
berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :Kapasitas menggunakan
hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal
pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan
dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak.Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip
abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang
abstrak secara luas dan mendalam.Dengan menggunakan hasil
pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and
Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree dalam Abin Syamsuddin M,
2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung
sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur
menurun.Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung
masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50
tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia
60 tahun selanjutnya berangsur
menurun.PerkembanganKepribadianMeskipun kepribadian seseorang itu
relatif konstan, namun dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa
perubahan kepribadian dapat dan mungkin terjadi, terutama
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik. Erikson
dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 2005 mengemukakan tahapan
perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar:1. Masa
bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust mistrust.
Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak
mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai
orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan
mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di
pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak
percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda
asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya.
Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
2. Masa kanak-kanak awal (early childhood ditandai adanya
kecenderungan autonomy shame, doubt. Pada masa ini
sampai-batas-batas tertentu anak sudahbisa berdiri sendiri, dalam
arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri
tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak laindia ga telah
mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga
seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya. 3.
Masa pra sekolah(Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan
initiative guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa
kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut
masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan
bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau
berbuat. 4. Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan
industryinferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap
sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja
yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat
terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan.
Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah
diri. 5. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan
identity Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan
didukung pula oleh kemampuan dan kecakapankecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan
identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja
sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang
dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan.
Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering
diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap
kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan
pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran
yang diberikan kepada masing-masing anggota. 6. Masa Dewasa Awal
(Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy isolation.
Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat
dengan kelompok sebaya, namun pada masa iniikatan kelompok sudah
mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan
yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi
pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim
dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan
yang lainnya. 7. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya
kecenderungan generativity stagnation. Sesuai dengan namanya masa
dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari
perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas,
kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat
pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan
kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas.
Untuk mengerjakan atau mencapai hal hal tertentu ia mengalami
hambatan. 8. Masa hari tua (Senescence)ditandai adanya
kecenderungan ego integrity despair. Pada masa ini individu telah
memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji
dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah
mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir.
Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan
dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali
kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa
putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi
pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan
tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
Pengembangan Aktivitas, Kreativitas dan MotivasiSiswaDalam hal ini,
E. Mulyasa ( 2003) menekankan pentingnya upaya pengembangan
aktivitas, kreativitas, dan motivasi siswa di dalam proses
pembelajaran.Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003)
mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif
dan kreatif dalam belajarnya, adalah:1. Dikembangkannya rasa
percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut; 2. Memberikan
kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara
bebas terarah; 3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar
dan evaluasinya; 4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat
dan tidak otoriter; 5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif
dalam proses pembelajaran secara keseluruhan. Sementara itu, Widada
(1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan
kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai
berikut :1. Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan
self esteem (kesadaran akan harga diri) siswa. 2. Creative
approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming,
inquiry, dan role playing. 3. Value clarification and moral
development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan
pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap
potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi
ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan
seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral.
4. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh
potensi siswa untuk membangun self concept yang menunjang kesehatan
mental. 5. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau
prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya. 6.
Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk
mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil
guna membantu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
7. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada
kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk
membuka inteligensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan
pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian
berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.
Sedangkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa, menurut E.
Mulyasa (2003) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :1. Bahwa
siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya
menarik dan berguna bagi dirinya; 2. Tujuan pembelajaran harus
disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga
mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga
dilibatkan dalam penyusunan tersebut; 3. Siswa harus selalu
diberitahu tentang hasil belajarnya; 4. Pemberian pujian dan hadiah
lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga
diperlukan; 5. Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin
tahu siswa; 6. Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual
siswa, seperti : perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap
terhadap sekolah atau subyek tertentu; 7. Usahakan untuk memenuhi
kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa
aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur
pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh
kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar
kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai
kepercayaan diri. Upaya Mencegah Kecemasan Siswa diSekolahKecemasan
atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang
berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan
objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas
yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi,
tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif
justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu
terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak
mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan
dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam
dinamika kepribadian seorang individu. Freud (Calvin S. Hall, 1993)
membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:1. Kecemasan realistik yaitu
rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di
dunia luar atau lingkungannya. 2. Kecemasan neurotik adalah rasa
takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari
kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya
dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap
insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman
yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan
neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada
masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua
maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan
perbuatan impulsif. 3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap
suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang
baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau
berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan
kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan
pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan
hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai
otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat
ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut
traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan
serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi
kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada
cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme
pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi,
proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk
mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu:
(1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan
(2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak
tahu apa yang sedang terjadi. Kecemasan dapat dialami siapapun dan
di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan
yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik,
neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses
psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk
menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak,
diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali
simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang
melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat
bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan
hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat
gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan
ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.Di sekolah,
banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa.
Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak
kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian
ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya
kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap
dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang
kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri
siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah
yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang
kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat
terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan
pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.Menurut
Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor
penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja
fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi,
mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat
kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik
(somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang
air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran
bahkan pingsan. Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian
prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu
ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan
siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui: 1.
Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran
dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan
kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang
digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa
untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif
dalam proses pembelajarannya. 2. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan sense of humor
dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau joke
yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak
memojokkan siswa. 3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai
atraksi game atau ice break tertentu, terutama dilakukan pada saat
suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan
guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat
diperlukan. 4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran
tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas. 5. Memberikan
materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang
moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan
siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga
terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi. 6.
Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana
siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran,
penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan
sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan
reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner
pada siswanya. 7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan,
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian
diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah
dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi
yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan
objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan
sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian. 8. Di hadapan
siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang
dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya
untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir
sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan
dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan. 9. Pengembangan
menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana
pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti
ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan
sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan
yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin
sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan
fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru,
teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah. 10.
Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan
inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam
hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya
menjadi mutlak adanya. Melalui upaya upaya di atas diharapkan para
siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka
dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara
fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan
prestasi belajar yang unggulKreativitas diSekolahDalam bahasa yang
sederhana, kreativitas dapat diartikan sebagai suatu proses mental
yang dapat melahirkan gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru.
Menurut National Advisory Committees UK (1999), bahwa kreativitas
memiliki empat karakteristik, yaitu: (1) berfikir dan bertindak
secara imajinatif, (2) seluruh aktivitas imajinatif itu memiliki
tujuan yang jelas; (3) melalui suatu proses yang dapat melahirkan
sesuatu yang orisinal; dan (4) hasilnya harus dapat memberikan
nilai tambah. Keempat karakteristik tersebut harus merupakan suatu
kesatuan yang utuh. Bukanlah suatu kreativitas jika hanya salah
satu atau sebagian saja dari keempat karateristik tersebut.Robert
Fritz (1994) mengatakan bahwa The most important developments in
civilization have come through the creative process, but
ironically, most people have not been taught to be creative. Hal
senada disampaikan pula Ashfaq Ishaq: We humans have not yet
achieved our full creative potential primarily because every childs
creativity is not properly nurtured. The critical role of
imagination, discovery and creativity in a childs education is only
beginning to come to light and, even within the educational
community, many still do not appreciate or realize its vital
importance. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini sistem
sekolah belum sepenuhnya dapat mengembangkan dan menghasilkan para
lulusannya untuk menjadi individu-individu yang kreatif. Para siswa
lebih cenderung disiapkan untuk menjadi seorang tenaga juru yang
mengerjakan hal-hal teknis dari pada menjadi seorang yang visioner
(baca: pemimpin). Apa yang dibelajarkan di sekolah seringkali
kurang memberikan manfaat bagi kehidupan siswa dan kurang selaras
dengan perkembangan lingkungan yang terus berubah dengan pesat dan
sulit diramalkan. Begitu pula, proses pembelajaran yang dilakukan
tampaknya masih lebih menekankan pada pembelajaran what is yang
menuntut siswa untuk menghafalkan fakta-fakta, dari pada
pembelajaran what can be, yang dapat mengantarkan siswa untuk
menjadi dirinya sendiri secara utuh dan orisinal.Oleh karena itu,
betapa pentingnya pengembangan kreativiitas di sekolah agar proses
pendidikan di sekolah benar-benar dapat memiliki relevansi yang
tinggi dan menghasilkan para lulusannya yang memiliki kreativitas
tinggi. Sekolah seyogyanya dapat menyediakan kurikulum yang
memungkinkan para siswa dapat berfikir kritis dan kreatif, serta
memiliki keterampilan pemecahan masalah, sehingga pada gilirannya
mereka dapat merespons secara positif setiap kesempatan dan
tantangan yang ada serta mampu mengelola resiko untuk kepentingan
kehidupan pada masa sekarang maupun mendatang.Menurut Robert J
Sternberg, seorang siswa dikatakan memiliki kreativitas di kelas
manakala mereka senatiasa menunjukkan: (1) merasa penasaran dan
memiliki rasa ingin tahu, mempertanyakan dan menantang serta tidak
terpaku pada kaidah-kaidah yang ada; (2) memiliki kemampuan
berfikir lateral dan mampu membuat hubungan-hubungan diluar
hubungan yang lazim; (3) memimpikan tentang sesuatu, dapat
membayangkan, melihat berbagai kemungkinan, bertanya apa jika
seandanya (what if?), dan melihat sesuatu dari sudut pandang yang
berbeda; (4) mengeksplorasi berbagai pemikiran dan pilihan,
memainkan ideanya, mencobakan alternatif-alternatif dengan melalui
pendekatan yang segar, memelihara pemikiran yang terbuka dan
memodifikasi pemikirannya untuk memperoleh hasil yang kreatif; dan
(5) merefleksi secara kritis atas setiap gagasan, tindakan dan
hasil-hasil, meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai, mengundang
dan memanfaatkan umpan balik, mengkritik secara konstruktif dan
dapat melakukan pengamatan secara cerdik.Pembelajaran yang kreatif
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1) mengajar secara kreatif
(creative teaching) dan (2) mengajar untuk kreativitas (teaching
for creativity). Mengajar secara kreatif menggambarkan bagaimana
guru dapat menggunakan pendekatan-pendekatan yang imajinatif
sehingga kegiatan pembelajaran dapat semakin lebih menarik,
membangkitkan gairah, dan efektif. Sedangkan mengajar untuk
kreativitas berkaitan dengan penggunaan bentuk-bentuk pembelajaran
yang ditujukan untuk mengembangkan para siswa agar memiliki
kemampuan berfikir dan berperilaku kreatif.Kedua konsep tersebut
tidak dapat dipisahkan, mengajar untuk kreativitas didalamnya harus
melibatkan mengajar secara kreatif. Mengajar secara kreatif dan
mengajar untuk kreativitas pada dasarnya mencakup seluruh
karateristik pembelajaran yang baik (good learning and teaching),
seperti tentang: motivasi dan ekspektasi yang tinggi, kemampuan
berkomunikasi dan mendengarkan, kemampuan untuk membangkitkan
gairah belajar, inspiratif, kontekstual, konstruktivistik, dan
sejenisnya.Carolyn Edwards dan Kay Springate dalam artikelnya yang
berjudul The lion comes out of the stone: Helping young children
achieve their creative potential memberikan saran tentang upaya
pengembangan kreativiitas siswa, sebagai berikut:1. Berikan
kesempatan dan waktu yang leluasa kepada setiap siswa untuk
mengeksplorasi dan melakukan pekerjaan terbaiknya dan jangan
mengintervensi pada saat mereka justru sedang termotivasi dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya secara produktif. 2. Ciptakan
lingkungan kelas yang menarik dan mengasyikkan. Lakukan unfinished
work sehingga siswa merasa penasaran dan tergoda pemikirannya untuk
berusaha melengkapinya pada saat-saat berikutnya. Berikan pula
kesempatan kepada setiap siswa untuk melakukan kontemplasi. 3.
Sediakan dan sajikan secara melimpah berbagai bahan dan sumber
belajar yang menarik dan bermanfaat bagi siswa. 4. Ciptakan iklim
kelas yang memungkinkan siswa merasa nyaman jika melakukan suatu
kesalahan, mendorong keberanian siswa untuk mengambil resiko
menerima kegaduhan dan kekacauan yang tepat di kelas, serta
memberikan otonomi yang luas kepada siswanya untuk mengelola
belajarnya sesuai dengan minat, karakteristik dan tujuannya
Pembelajaran yang kreatif memang bukanlah pilihan yang gampang, di
dalamnya memerlukan waktu yang lebih dan perencanaan yang matang
untuk melahirkan dan mengembangkan ide-ide baru. Selain itu,
diperlukan pula keyakinan yang kuat untuk melakukan improvisasi
dalam pembelajaran, keberanian untuk mencoba dan kesanggupan untuk
menanggung berbagai resiko yang tidak diharapkan dalam
pembelajaran. Kendati harus dilakukan melalui usaha yang tidak
mudah, pembelajaran untuk kreativitas ini diyakini dapat menjadikan
pembelajaran jauh lebih menyenangkan dan memberikan efektivitas
yang tinggi.Terkait dengan peran guru dalam pembentukan kreativitas
siswa, Robert J Sternberg mengatakan The most powerful way to
develop creativity in your students is to be a role model. Children
develop creativity not when you tell them to, but when you show
them. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus dapat menunjukkan
keteladanannya sebagai sosok yang kreatif.Seorang guru yang kreatif
tidak hanya dituntut memiliki keahlian dalam bidang akademik, namun
lebih dari itu dituntut pula untuk dapat menguasai berbagai teknik
yang dapat menstimulasi rasa keingintahuan sekaligus dapat
menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri (self esteem) setiap
siswanya. Guru harus dapat memberikan dorongan pada saat siswa
membutuhkannya dan memberikan keyakinan kepada siswanya pada saat
dia merasa harga dirinya terancam. Dalam melaksanakan proses
pembelajaran, seorang guru harus dapat menjaga keseimbangan antara
struktur pembelajaran dengan kesempatan pengembangan diri siswa,
antara pengelolaan kelompok (management of groups) dengan perhatian
terhadap perbedaan individual siswanya.Untuk menjadi guru kreatif
memang bukan hal yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tergolong
laggard. Ketika dihadapkan dengan suatu perubahan (inovasi) di
sekolah, mereka mungkin cenderung terlambat atau justru hanya
berdiam diri menghadapi perubahan yang ada. Jika terus menerus
dibiarkan, guru-guru seperti inilah yang sebenarnya dapat merusak
pendidikan. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi
laggard dan tidak kreatif, baik yang bersumber dari dalam diri guru
itu sendiri (internal factors) maupun faktor eksternal. Oleh karena
itu, agar guru dapat menjadi kreatif perlu diperhatikan berbagai
faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya.Kepemimpinan di
sekolah merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilepaskan
dalam mengembangkan kreativitas guru maupun kreativitas sekolah
secara keseluruhan. Fred Luthans (1995) mengemukakan bahwa
kreativitas merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai
oleh seorang manajer. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut untuk
dapat menciptakan budaya dan iklim kreativitas di lingkungan
sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan
berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Kepala sekolah harus dapat memberikan penghargaan kepada sertiap
usaha kreatif yang dilakulan oleh anggotanya, terutama usaha
kreatif yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam melaksanakan
pembelajaran. Kepala sekolah juga dituntut untuk dapat menyediakan
sumber-sumber bagi pertumbuhan kreativitas di sekolah.Selain
terdapat guru yang termasuk laggard, tidak sedikit pula guru (dan
juga siswa) di sekolah yang sesungguhnya memiliki sikap dan
pemikiran kritis dan kreatif, namun karena tidak memperoleh
dukungan yang kuat dari sistem sekolah, termasuk dari manajemen
sekolah, yang pada akhirnya sikap dan pemikiran kreatifnya tidak
dapat berkembang secara wajar. Bahkan, sebaliknya mereka seringkali
mengalami tekanan tertentu dari lingkungannya karena dianggap
sebagai orang yang nyeleneh atau eksentrik. Berdasarkan uraian di
atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa siswa yang kreatif dapat
dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat
dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif
merupakan aset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya
maupun orang lain.Teori-TeoriBelajarjika menelaah literatur
psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber
dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan
dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori
behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori
pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt. A.
Teori Behaviorisme Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi
yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu.Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari
pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1. Connectionism ( S-R
Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike
terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya: Law
of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus Respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka
semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar
(conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan
yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan
Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan
semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. 2. Classical
Conditioning menurut Ivan PavlovDari eksperimen yang dilakukan
Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya : Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan
yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan
(yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat. Law of Respondent Extinction yakni
hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat
melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 3. Operant
Conditioning menurut B.F. SkinnerDari eksperimen yang dilakukan
B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : Law of operant
conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. Law of
operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan
musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan
oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah
stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.4. Social Learning
menurut Albert BanduraTeori belajar sosial atau disebut juga teori
observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif
masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda
dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku
individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R
Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu
sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang
dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning.
Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan
berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang
mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson
yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie
dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan
Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue
Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response
Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan. B.
Teori Belajar Kognitif menurut PiagetPiaget merupakan salah seorang
tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme.
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1)
sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan
(4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses
rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi.
James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah the
process by which a person takes material into their mind from the
environment, which may mean changing the evidence of their senses
to make it fit dan akomodasi adalah the difference made to ones
mind or concepts by the process of assimilation Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya
diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik,
yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pembelajaran adalah :1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda
dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. 2.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi
lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. 3. Bahan yang harus
dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. 4.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. 5.
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. C. Teori Pemrosesan
Informasi dari Robert GagneAsumsi yang mendasari teori ini adalah
bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses
penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan
keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi
terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan
dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar
dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi
individu dalam proses pembelajaran.Menurut Gagne tahapan proses
pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali;
(6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.D. Teori
Belajar GestaltGestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai
padanan arti sebagai bentuk atau konfigurasi. Pokok pandangan
Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang
sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka
dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :1.
Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu
menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu
figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti
ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar
belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan
terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure. 2. Kedekatan
(proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu
maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu
bentuk tertentu. 3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang
memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang
saling memiliki. 4. Arah bersama (common direction); bahwa
unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama
cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan
cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan
simetris dan keteraturan; dan 6. Ketertutupan (closure) bahwa orang
cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan
yang tidak lengkap. Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan
Gestalt, yaitu: 1. Perilaku Molar hendaknya banyak dipelajari
dibandingkan dengan perilaku Molecular. Perilaku Molecular adalah
perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar,
sedangkan perilaku Molar adalah perilaku dalam keterkaitan dengan
lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain
sepakbola adalah beberapa perilaku Molar. Perilaku Molar lebih
mempunyai makna dibanding dengan perilaku Molecular. 2. Hal yang
penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara
lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan
geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan
lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya,
gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah.
(lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu
lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan
geografis). 3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal
atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi
terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya
penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces,
gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain,
gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu. 4.
Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan
suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang
statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam
memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima. Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :1. Pengalaman
tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting
dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik
memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan
unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa. 2. Pembelajaran yang
bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin
efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam
kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah
dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari
peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan
proses kehidupannya. 3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior);
bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi
akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan
efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah
aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya. 4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku
individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada.
Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta
didik. 5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola
perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.
Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain
dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya
penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan
kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer
belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah
dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu
peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi
yang diajarkannya. Aplikasi Teori Kebutuhan Maslow
diSekolahPemikiran Maslow tentang Teori Hierarki Kebutuhan Individu
sudah dikenal luas, namun aplikasinya untuk kepentingan pendidikan
siswa di sekolah tampaknya belum mendapat perhatian penuh. Secara
ideal, dalam rangka pencapaian perkembangan diri siswa, sekolah
seyogyanya dapat menyediakan dan memenuhi berbagai kebutuhan
siswanya. Berikut ini ringkasan tentang beberapa kemungkinan yang
bisa dilakukan di sekolah dalam mengaplikasikan teori kebutuhan
Maslow. 1. Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis: Menyediakan program
makan siang yang murah atau bahkan gratis. Menyediakan ruangan
kelas dengan kapasitas yang memadai dan temperatur yang tepat
Menyediakan kamar mandi/toilet dalam jumlah yang seimbang.
Menyediakan ruangan dan lahan untuk istirahat bagi siswa yang
representatif. 2. Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman: Sikap guru:
menyenangkan, mampu menunjukkan penerimaan terhadap siswanya, dan
tidak menunjukkan ancaman atau bersifat menghakimi. Adanya
ekspektasi yang konsisten Mengendalikan perilaku siswa di
kelas/sekolah dengan menerapkan sistem pendisiplinan siswa secara
adil. Lebih banyak memberikan penguatan perilaku (reinforcement)
melalui pujian/ ganjaran atas segala perilaku positif siswa dari
pada pemberian hukuman atas perilaku negatif siswa. 3. Pemenuhan
Kebutuhan Kasih Sayang atau Penerimaan:a. Hubungan Guru dengan
Siswa: Guru dapat menampilkan ciri-ciri kepribadian : empatik,
peduli dan intereres terhadap siswa, sabar, adil, terbuka serta
dapat menjadi pendengar yang baik. Guru dapat menerapkan
pembelajaran individua dan dapat memahami siswanya (kebutuhan,
potensi, minat, karakteristik kepribadian dan latar belakangnya)
Guru lebih banyak memberikan komentar dan umpan balik yang positif
dari pada yang negatif. Guru dapat menghargai dan menghormati
setiap pemikiran, pendapat dan keputusan setiap siswanya. Guru
dapat menjadi penolong yang bisa diandalkan dan memberikan
kepercayaan terhadap siswanya. b. Hubungan Siswa dengan Siswa:
Sekolah mengembangkan situasi yang memungkinkan terciptanya kerja
sama mutualistik dan saling percaya di antara siswa Sekolah dapat
menyelenggarakan class meeting, melalui berbagai forum, seperti
olah raga atau kesenian. Sekolah mengembangkan diskusi kelas yang
tidak hanya untuk kepentingan pembelajaran. Sekolah mengembangkan
tutor sebaya Sekolah mengembangkan bentuk-bentuk ekstra kurikuler
yang beragam. 4. Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri:a. Mengembangkan
Harga Diri Siswa Mengembangkan pengetahuan baru berdasarkan latar
pengetahuan yang dimiliki siswanya (scaffolding) Mengembangkan
sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa Memfokuskan
pada kekuatan dan aset yang dimiliki setiap siswa Mengembangkan
strategi pembelajaran yang bervariasi Selalu siap memberikan
bantuan apabila para siswa mengalami kesulitan Melibatkan seluruh
siswa di kelas untuk berpartisipai dan bertanggung jawab. Ketika
harus mendisiplinkan siswa, sedapat mengkin dilakukan secara
pribadi, tidak di depan umum. b. Penghargaan dari pihak lain
Mengembangkan iklim kelas dan pembelajaran kooperatif dimana setiap
siswa dapat saling menghormati dan mempercayai, tidak saling
mencemoohka