-
Volume 11, Nomor 5, Oktober 2015Halaman 143–149
DOI: 10.14692/jfi.11.5.143ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus
IPB Darmaga, Bogor 16680.Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362,
Surel: [email protected]
Meloidogyne incognita Penyebab Umbi Berbintil pada Kentang di
Beberapa Sentra Produksi Kentang di Jawa
Meloidogyne incognita Causing Pimple-Like Knot on Potatoes in
Several Provinces in Java
Aprilyani, Supramana*, Gede SuastikaInstitut Pertanian Bogor,
Bogor 16680
ABSTRAK
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) merupakan salah satu
nematoda yang terdapat pada tanaman kentang di daerah tropik dan
subtropik. Nematoda ini memberikan dampak yang nyata dalam
mengurangi kualitas dan kuantitas umbi kentang. Nematoda ini
mempunyai beberapa spesies, salah satunya Meloidogyne incognita.
Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi spesies M.
incognita pada kentang dan hubungan kekerabatannya dengan spesies
dari negara lain. Umbi kentang bergejala bintil dikumpulkan dari
Pangalengan (Jawa Barat), Banjarnegara (Jawa Tengah), dan Kota Batu
(Jawa Timur). Identifikasi dilakukan berdasarkan pola perineal
nematoda betina dan karakter molekul DNA dengan teknik polymerase
chain reaction menggunakan sepasang primer spesifik (MI-F dan MI-R)
dan dilanjutkan dengan sikuensing fragmen DNA dan analisis
filogenetika. Dari 3 lokasi pengamatan berhasil diidentifikasi M.
incognita. Nematoda asal Pangalengan memiliki tingkat homologi
99.2% hingga 99.8% dengan nematoda asal Cina, India, dan
Malaysia.
Kata kunci: analisis filogenetika, deteksi, polymerase chain
reaction
ABSTRACT
Root knot nematodes is an important pathogen on potatoes in
tropical and sub-tropical areas. Root knot nematodes contribute a
significant impact in reducing the quality and quantity of potato
tuber. Meloidogyne incognita is one of the species causing the root
knot. This research was conducted to identify M. incognita on
potatoes in Java island based on morphological and DNA molecular
characteristic. The infected potato tubers with pimple-like knot
symptom were collected from Pangalengan (West Java), Banjarnegara
(Central Java), and Kota Batu (East Java). Nematode was identified
based on morphological character of perineal pattern of female
nematodes, and molecular DNA character by polymerase chain reaction
technique using a pair of specific primer (MI-F and MI-R), followed
by DNA fragment sequencing and phylogenetic analysis. Based on
morphological character of perineal pattern, M. incognita was
detected in all 3 locations; while based on DNA molecular
character, M. incognita was detected in Pangalengan (West Java) and
Kota Batu (East Java). M. incognita from Pangalengan had high
homology, i.e.99.2% to 99.8% with those isolates from China, India,
and Malaysia.
Key words: detection, phylogenetic analysis, polymerase chain
reaction
143
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sentra produksi kentang di antaranya Pulau
Jawa. Pada tahun 2012 luas panen kentang 65 989 ha dengan
produktivitas 16.58 ton ha-1, sedangkan pada tahun 2013 luas panen
kentang 62 900 hadengan produktivitas 16.27 ton ha-1 (BPS 2014).
Salah satu faktor penyebab penurunan ini ialah serangan nematoda
puru akar (Meloidogyne spp.).
Terdapat 6 spesies utama Meloidogyne yang merugikan secara
ekonomi, yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, M. hapla, M.
fallax dan M. chitwoodi (Adam et al. 2007). M. arenaria, M.
incognita, dan M. javanica pernah dilaporkan menyerang kentang di
Jawa Barat dengan gejala khas bintil pada umbi (Kalshoven
1981).
Informasi mengenai spesies Meloidogyne yang menginfeksi kentang
di Indonesia masih terbatas sehingga nematoda ini perlu
diidentifikasi. Metode identifikasi didasarkan pada karakter
morfologi (Eisenback et al. 1980). Kini identifikasi dapat
dilakukan berdasarkan karakter molekul DNA dengan teknik polymerase
chain reaction (PCR) (Zijlstra et al. 2000).
Tujuan penelitian ialah mendeteksi dan mengidentifikasi spesies
M. incognita penyebab umbi berbintil pada kentang di 3 sentra
produksi kentang di Pulau Jawa serta menentukan hubungan
filogenetika antara spesies M. incognita yang ada di Pangalengan,
Jawa Barat dengan spesies M. incognita yang ada di negara lain.
BAHAN DAN METODE
Koleksi Sampel UmbiPengambilan sampel dilakukan di tempat
penangkaran benih kentang, yaitu Desa Marga Mukti, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung (Jawa Barat); Desa Wanayasa,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah); dan Desa
Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (Jawa Timur). Sampel
umbi yang diambil ialah yang bergejala bintil. Umbi kemudian
dimasukkan
ke dalam amplop kertas dan dijaga suhunya agar tetap stabil.
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter
Morfologi
Umbi berbintil yang diduga terinfeksi nematoda dipilih untuk
mendapatkan betina dewasa. Nematoda betina dewasa dipisahkan dari
jaringan kentang menggunakan jarum preparat dan diletakkan di dalam
cawan sirakus yang telah diberi air. Pembuatan preparat pola
perineal nematoda betina dilakukan dengan memotong bagian anterior
dan posterior betina dengan skalpel dan dibersihkan menggunakan
asam laktat 45%. Potongan bagian posterior nematoda betina dibuat
preparat dengan medium laktofenol biru kemudian diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 400×. Identifikasi Meloidogyne
menggunakan kunci identifikasi Eisenback dan Triantaphyllou
(1991).
Identifikasi Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekul DNA
Identifikasi spesies Meloidogyne meng-gunakan teknik PCR
dilakukan dengan mem-bandingkan sikuen ITS-rDNAv (r-DNA ITS PCR
teknik) teramplifikasi dari nematoda dengan sikuen standar yang
terdaftar di GeneBank.
Ekstraksi Nematoda Betina. Ekstraksi nematoda betina menggunakan
metode Tesarova et al. (2003). Sebanyak 10–20 ekor nematoda betina
dipisahkan dari umbi berbintil, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
mikro 1.5 mL dan ditambahkan 150 μL bufer ekstrak (200 mM Tris-HCl:
pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA dan SDS 0.5%). Setelah itu nematoda
digerus dengan mikropistil steril dan ditambahkan kloroform
isoamilalkohol sebanyak 150 μL, dihomogenasi selama 3 menit, dan
disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke dalam tabung mikro baru,
dan ditambahkan larutan sodium asetat 3 M (pH 5.2) sebanyak 0.5
volume. Setelah itu tabung tersebut dibolak-balik dan disimpan di
lemari pendingin pada suhu 20 °C selama 10 menit. Suspensi yang
didapat disentrifugasi
144
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang
terbentuk dimasukkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambah 2/3
volume isopropanol, kemudian dibolak-balik dan disimpan pada suhu
ruang selama 30 menit. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 12
000 rpm selama 20 menit.Supernatan yang terbentuk dibuang, kemudian
ditambahkan 200 mL etanol 80% untuk mencuci pelet (endapan DNA),
kemudian cairan pelet disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm
selama 15 menit. Cairan etanol dibuang dan endapan DNA
dikeringanginkan dengan cara membalik tabung mikro. Bufer TE (10 mM
Tris-HCl: pH 8.0, 1 mM EDTA) ditambahkan ke tabung mikro sesuai
dengan ketebalan endapan DNA, pada endapan yang tipis sebanyak
30–40 μL dan untuk endapan yang tebal 50–100 μL.
Amplifikasi DNA. Amplifikasi DNA menggunakan primer spesifik
MI-F (primer forward) (5’-GTG AGG ATT CAG TCT CCCAG-3’) dan MI-R
(primer reverse) (5’-ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-3’) (Meng et
al. 2004). Pereaksi PCR dengan primer yang spesifik, yaitu 12.5 μL
2× Master mix (KAPPA), 1 μL primer forward 10 μM, 1 μLprimer
reverse 10 μM, 2 μL DNA, dan 8.5 μLdH2O sehingga total volume
reaksi 25 μL. Selanjutnya dilakukan amplifikasi mesin PCR (thermo
cycler) (Tabel 1).
Hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat fragmen DNA melalui
elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%, dalam 90 mL bufer TAE
2×. Pengukuran fragmen DNA menggunakan penanda 100 pb DNA ladder
(Fermentas, US). Sampel disiapkan dengan mencampur 5 μL DNA, 2 μL
gel red 1%, dan 2 μL loading dye, kemudian sampel
diisikan dalam sumuran gel sebanyak 9 μL menggunakan pipet
mikro. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 50 volt DC selama 60
menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan gel doc
(BIORAD).
Sikuen hasil PCR dilanjutkan untuk sampel yang positif. Hasil
sikuen dianalisis menggunakan program Basic Local Alignment Search
Tool (BLAST) dengan program optimasi untuk mendapatkan urutan basa
DNA yang terdapat dalam situs National Center for Biotechnology
Information (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blast.cgi).
Pembentukan pohon filogeni dengan perangkat lunak Clustal W
(Bioedit versi 7.0.5) dan program Mega versi 5.05. berdasarkan
pendekatan Neighbour Joining.
HASIL
Koleksi Sampel Umbi Lokasi pengumpulan sampel umbi ber-
gejala bintil dari penangkar benih kentang di sentra produksi
kentang di Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung (Jawa Barat) terletak pada ketinggian 1470 m di atas
permukaan laut (dpl) (S: 07° 11’ 87,6’’ E: 107° 36’ 49,7’’) dengan
suhu 20 °C; Desa Wanayasa, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara
(Jawa Tengah) terletak pada ketinggian 1400 m dpl (S: 07° 12’
08.7’’ E: 109° 46’ 05,7’’) dengan suhu 20 °C; dan Desa Sumber
Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (Jawa Timur) terletak pada
ketinggian 1635 m dpl (S: 07° 76’ 35,9’’ E: 112° 52’ 54,5’’).
Umbi kentang yang terinfeksi Meloidogyne spp. memiliki gejala
permukaan umbi tidak rata, bergelombang dan berbintil, dan
terkadang disertai dengan adanya serangan dari patogen lain
sehingga umumnya umbi cepat busuk. Pada umbi sampel yang berasal
dari Pangalengan terdapat gejala yang sangat berbeda dari umbi yang
berasal dari Banjarnegara dan Kota Batu. Umbi yang berasal dari
Pangalengan permukaan luarnya terlihat bergelombang dan menonjol;
sedangkan umbi yang berasal dari Banjarnegara permukaan umbinya
seperti merekah, pecah, dan terdapat tonjolan-tonjolan yang
melebar. Gejala pada permukaan umbi
145
Tahapan KondisiDenaturasi awal 95 °C; 2’Denaturasi selanjutnya
94 °C; 30”Aneling 57 °C; 45”Pemanjangan pertama 72 °C;
2’Pemanjangan akhir 72 °C;10’Jumlah siklus 35
Tabel 1. Amplifikasi fragmen ITS-rDNA Meloidogyne incognita
menggunakan PCR
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
yang berasal dari Kota Batu hanya berupa bintil-bintil kecil
seperti jerawat (Gambar 1).
Bagian umbi yang terserang nematoda puru akar bila kulit luarnya
dikupas akan terlihat titik-titik berwarna krem kekuningan yang
merupakan nematoda betina bila dilihat di bawah mikroskop dengan
perbesaran rendah. Satu titik pada umbi tersebut berisi nematoda
betina dengan massa telur dari berbagai stadium. Beberapa telur
tampak sudah menetas menjadi juvenil instar 2 (Gambar 2).Juvenil
instar 2 merupakan fase yang aktif dan paling merusak.
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter
Morfologi
Hasil pengamatan pola perineal Meloidogyne spp. betina dari
Pangalengan, Banjarnegara, dan Kota Batu tampak pola lengkung
dorsal yang tinggi, berbentuk persegi, pola striasinya bergelombang
dan terlihat kasar serta tidak tampak ada garis lateral (Gambar
3).
Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekul
DNA
Metode ini menggunakan struktur asam nukleat, yaitu internal
transcribed spacer
146
Gambar 2 Gejala serangan nematoda puru akar dan massa telur
Meloidogyne spp. pada jaringan umbi kentang. a dan b, nekrosis pada
jaringan bagian dalam umbi yang berisi nematoda betina dan massa
telur; c, 1, betina dewasa dan 2, massa telur; d, 1, telur dan 2,
juvenil instar 2.
121
2
a b c d
Gambar 1 Variasi gejala yang disebabkan oleh Meloidogyne spp.
pada umbi kentang varietas Granola. a, permukaan kulit umbi tidak
rata; b, bergelombang; c, berbintil.
a b c
Gambar 3 Pola perineal Meloidogyne incognita. a, M. incognita
menurut Eisenback 2003; b, M. incognita sampel Pangalengan; c, M.
incognita sampel Banjarnegara; d, M. incognita sampel Kota Batu.
Tanda panah menunjukkan lengkung dorsal M. incognita yang tinggi,
bergelombang dan berbentuk persegi; perbesaran 400×.
a b c d
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
147
(ITS) rDNA sebagai dasar untuk menentukan karakter dan
mengidentifikasi spesies nematoda parasit tanaman. Karakter (ITS)
rDNA dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kekerabatan suatu
spesies dengan spesies yang sama dari negara lain. Produk PCR
menggunakan primer spesifik M. incognita berhasil mengamplifikasi
pita DNA pada 999 pb pada sampel asal Pangalengan dan Kota Batu
(Gambar 4).
Hasil sikuen nukleotida NPA asal Pangalengan memiliki tingkat
kemiripan yang sangat tinggi (homologi) dengan M. incognita asal
Cina sebesar 99.8% (Tabel 2). Analisis filogenetika menunjukkan
bahwa M. incognita asal Pangalengan berkerabat dengan M. incognita
asal Malaysia, India dan Cina. (Gambar 5).
PEMBAHASAN
Meloidogyne incognita ditemukan dalam jaringan umbi kentang di
Pangalengan, Banjarnegara dan Kota Batu. Hal ini diketahui
berdasarkan pola parenial nematoda betina, yaitu memiliki striae
lengkung dorsal yang tinggi dengan striae yang halus hingga
bergelombang, dimana beberapa striae meng-garpu di dekat garis
lateral namun garis lateral tidak terlalu jelas. Karakter ini
sesuai dengan yang dilaporkan Eisenback et al. (1981).
Identifikasi spesies Meloidogyne ber-dasarkan karakter molekul
DNA menunjukkan
M 1 2 3
999 pb
Gambar 4 Visualisasi hasil amplifikasi meng-gunakan primer
spesifik Meloidogyne incognita. M, penanda 100 pb; 1, sampel
Pangalengan; 2, sampel Banjarnegara; 3, sampel Kota Batu.
No. Asal isolat Homologi (%)1 2 3 4 5 6 7
1 M. incognita Pangalengan ID2 M. incognita Cina (JN005841) 99.8
ID3 M. incognita India (KP411876) 99.6 99.8 ID4 M. Malaysia
(KF041337) 99.2 99.4 99.2 ID5 M. arenaria USA (AF387098.1) 35.8
35.9 35.9 36.1 ID6 M. hapla Cina (JX024147.1) 37.0 36.8 36.8 36.6
33.8 ID7 M. javanica Pangalengan 32.2 32 31.9 32.2 36.5 28.9 ID
Tabel 2. Homologi sikuen nukleotida Meloidogyne incognita asal
Pangalengan dengan M. incognita yang ada di GenBank
Tingkat kemiripan basa nukleotida M. incognita dihitung
menggunakan Program Bioedit versi 6.05
76
24
35
75
M. incognita Pangalengan
M. incognita Cina KF481971
M. incognita Cina JN005841
M. incognita India KP411876
M. incognita Malaysia KP041337M. incognita Malaysia KP041328M.
incognita India KP411875
M. incognita USA AF387098.1P4118760.2
Gambar 5 Pohon filogeni Meloidogyne incognita yang menginfeksi
kentang di Pangalengan, Jawa Barat.
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
menunjukkan kemungkinan adanya faktor pemasukan umbi (kentang
dan wortel) dari negara tersebut sebagai penyebab tersebarnya
nematoda puru akar ini. Pusdatin (2013) mencatat bahwa Cina
termasuk salah satu negara pengekspor benih kentang ke
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adam MAM, Phillips MS, Blok VC. 2007. Molecular diagnostic key
for identification of single juveniles of seven common and
economically import species of root-knot nematode (Meloidogyne
spp.). Plant Pathol. 56:190–197.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York (US):
Academic Pr.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Panen, Produksi dan
Produktivitas Kentang, 2009-2013.
http://www.pbs.go.id/tab_sub/view.php?kat=3dantabel=1dandaftar=1danid_subyek=55dannotab=62
[diakses 4 April 2014].
Devran Z, Sogut M A. 2009. Distribution and identification of
root knot nematodes from Turkey. J Nematol. 41(2):128–133.
Eisenback JD. 2003. Nematology Laboratory Investigations
Morphology and Taxonomy. Blacksburg, Virginia (US): Departement of
Plant Pathology, Physiology, and Weed Science, Virginia Polytechnic
Institute & State University.
Eisenback JD, Hirschmann H, Triantaphyllou AC. 1980.
Morphological comparison of Meloidogyne female head structure,
perineal pattern, and stylets. J Nematol. 12(4):300–313.
Eisenback JD, Hirschmann H, Sasser JN, Triantaphyllou AC. 1981.
A guide to the four most common species of root-knot nematodes
(Meloidogyne spp.), with a pictorial key. Raleigh (US): Departments
of Plant Pathology and Genetics, North Carolina State University.
Hlm 17–21.
Eisenback JD, Triantaphyllou AC. 1991. Root-knot nematodes:
Meloidogyne species and races. Di dalam: Nickle WR, editor. Manual
of Agricultural Nematology. New York (US): Marcel Dekker Inc. Hlm:
191– 274.
bahwa spesies M. incognita terdeteksi pada umbi kentang
berbintil di Pangalengan dan Kota Batu. Primer spesifik M.
incognita asal Pangalengan dan Kota Batu berhasil mengamplifikasi
pita DNA pada 999 pb. Menurut Adam et al. (2007) hanya primer
spesifik M. incognita yang didesain oleh Meng et al. (2004) secara
konsisten mengamplifikasi produk PCR dan menghasilkan pita DNA 999
pb.
Perbedaan hasil antara identifikasi ber-dasarkan morfologi pola
perineal nematoda betina dengan karakter molekul DNA disebabkan
nematoda yang terpilih untuk diekstraksi bukan M. incognita
sehingga tidak teramplifikasi dengan menggunakan primer spesifik M.
incognita. Hal ini dikarenakan Meloidogyne terdiri atas beberapa
spesies dan lebih dari satu spesies dapat menginfeksi bersama dalam
satu tanaman (Devran dan Sogut 2009).
Pada bagian umbi yang terserang mem-perlihatkan gejala seperti
nekrosis yang disebabkan oleh aktivitas massa gelatin yang
menyebabkan terjadinya efek pektinolitik pada umbi. Ini merupakan
salah satu ciri adanya nematoda parasit pada jaringan inang. Pada
akar, sekresi enzim selulase dan pektinase oleh nematoda juga mampu
mendegradasi sel hingga ujung akar sehingga menyebabkan luka dan
pecah pada jaringan akar. Dengan demikian auksin tidak aktif dan
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Agrios 2005).
M. incognita dilaporkan sebagai penyebab umbi bercabang pada
wortel di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Hikmia et
al. 2012; Taher et al. 2012; Halimah et al. 2013). M. incognita
juga dilaporkan pada kentang di daerah Jawa Tengah, dan Jawa Barat
(Kalshoven 1981). M. incognita asal Pangalengan memiliki tingkat
homologi sangat tinggi dengan M. incognita asal Cina sebesar 98.2%.
Analisis filogenetika menunjukkan bahwa M. incognita asal
Pangalengan berkerabat dengan M. incognita asal Malaysia, India dan
Cina. Kedekatan hubungan kekerabatan antara M. incognita asal
Pangalengan dengan isolat asal Cina
148
-
J Fitopatol Indones Aprilyani et al.
Halimah, Supramana, Suastika G. 2013. Identifikasi spesies
Meloidogyne pada wortel berdasarkan sikuen nukleotida. J Fitopatol
Indones. 9(1):1–6. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.9.1.1.
Hikmia Z, Supramana, Suastika G. 2012. Identifikasi spesies
Meloidogyne spp. penyebab umbi bercabang pada tanaman wortel di
Jawa Timur. J Fitopatol Indones. 8(3):73–78.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PA van Der
Laan, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Meng QP, Long H, Xu JH. 2004. PCR assay for rapid and sensitive
identification of three major root-knoot nematodes, Meloidogyne
incognita, M. javanica, and M. arenaria. Acta Phytopathol Sinica.
34(3):204–210.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013.
Kentang. Buletin Konsumsi Pangan 4(1):15–24.
Taher M, Supramana, Suastika G. 2012. Identifikasi Meloidogyne
penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel di Dataran Tinggi
Dieng. J Fitopatol Indones. 8(1):16–21. DOI:
http://dx.doi.org/10.14692/jfi.8.1.16.
Tesarova B, Zouhar M, Rysanek P. 2003. Development of PCR for
specific determination of root-knot nematode Meloidogyne incognita.
Plant Protect. 39(1):23–28.
Zijlstra C, Donkers-Venne DTHM, Fargette M. 2000. Identification
of Meloidogyne incognita, M. javanica and M. arenaria using
sequence characterised amplified region (SCAR) based PCR assays.
Nematology. 2(8):847–853. DOI:
http://dx.doi.org/10.1163/156854100750112798.
149
-
Volume 11, Nomor 5, Oktober 2015Halaman 159–165
DOI: 10.14692/jfi.11.5.159ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, Universitas Jember, Kampus Tegal Boto. Jalan
Kalimantan No. 37, Jember, 68121.Tel: 0331-330224, Faks:
0331-339029, Surel: [email protected].
Ketahanan Lapangan Lima Genotipe Padi terhadap Penyakit Hawar
Daun Bakteri
Field Resistance of Five Rice Genotypes to Bacterial Leaf
Blight
Rezki Heru Aditya, Wiwiek Sri Wahyuni*, Paniman Ashna
MihardjoUniversitas Jember, Jember 68121
ABSTRAK
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh
Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan penyakit penting di
Indonesia. Padi varietas Inpari 30, Situbagendit, Luk-ulo, dan
Cibogo diketahui memiliki ketahanan terhadap penyakit HDB sehingga
dapat digunakan untuk mengukur ketahanan galur padi baru.
Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi ketahanan lapangan galur
padi baru, yaitu galur X yang memiliki ketahanan terhadap HDB.
Penelitian dilakukan di Desa Wirolegi, Kecamatan Sumbersari,
Kabupaten Jember dengan infeksi X. oryzae yang terjadi secara
alami. Ketahanan tanaman diukur dengan nilai insidensi penyakit
(IP) dan keparahan penyakit (KP). IP tertinggi (100%) dicapai oleh
semua varietas dan galur uji pada umur yang berbeda. Pada 90 hari
setelah tanam, KP pada galur X mencapai 11.85%, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan KP pada var. Situbagendit (40.25%). Berdasarkan
nilai KP dan IP, galur X memiliki ketahanan yang terbaik, yaitu
tahan pada fase vegetatif dan agak tahan pada fase generatif.
Namun, pada penelitian ini tidak diketahui galur X. oryzae yang
menyerang varietas dan galur padi tersebut.
Kata kunci: galur padi, insidensi penyakit, keparahan penyakit,
Xanthomonas oryzae pv.oryzae
ABSTRACT
Bacterial leaf blight disease caused by Xanthomonas oryzae pv.
oryzae is an important disease on rice in Indonesia. Four rice
varieties, i.e. Inpari 30, Situbagendit, Luk-ulo and Cibogo has
been known to have resistance to the disease. Therefore, they can
be used as indicator plants to measure the resistance of any new
rice genotypes to the disease. Research was aimed to evaluate field
resistance of a new rice line, i.e. line X, with 4 resistant rice
varieties as check control. The research was conducted in the field
in Wirolegi villages, Sumbersari-Jember with natural infection of
X. oryzae. Plant resistance was observed by measuring disease
incidence (DI) and severity (DS). The highest DI (100%) was reached
by all genotypes in different age. At 90 days after planting, DS of
line X reached 11.85% which is far low compared to DS of var.
Situbagendit (40.25%). Based on DI and DS, line X is considered to
have the best resistance to the disease, i.e. resistant in
vegetative phase and moderately resistant in generative phase.
However, the strain of X. oryzae infecting the plants in the field
was unknown.
Key words: disease incidence, disease severity, rice line,
Xanthomonas oryzae pv. oryzae
159
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
PENDAHULUAN
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri
Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan penyakit penting yang
berpengaruh pada kehilangan hasil tanaman padi di Indonesia
(Khaeruni et al. 2014). Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
melalui buku kalender tanam terpadu (BPPP 2014a), menyatakan bahwa
penyakit ini sangat rawan. Penyakit ini dapat mengurangi mutu beras
yang dihasilkan karena dapat menyerang pada semua fase pertumbuhan
padi (Herlina dan Silitonga 2011).
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu cara pengelolaan
penyakit HDB yang murah, mudah, efektif dan ramah lingkungan.
Bakteri X. oryzae merupakan patogen yang mampu membentuk galur baru
dengan cepat, hingga kini telah ditemukan 12 galur X. oryzae dengan
tingkat virulensi yang berbeda. Serangan X. oryzae di Indonesia
saat ini didominasi oleh galur IV dan VIII (Wahyudi et al. 2011).
Pada tahun 1999–2010 pemerintah melepas varietas padi yang tahan
terhadap penyakit HDB, di antaranya Cisantana, Ketonggo, Sintanur,
dan Wera yang tahan terhadap X. oryzae galur III, serta
Situbagendit yang agak tahan terhadap X. oryzae galur III dan IV
(BPTP 2011).
Penanaman varietas baru yang tahan merupakan salah satu solusi
untuk meng-hambat perkembangan penyakit HDB. Namun berbagai
varietas baru banyak yang belum diketahui ketahanannya terhadap
galur X. oryzae yang beragam. Oleh karena itu, pengujian kembali
terhadap penyakit HDB perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wirolegi, Kecamatan
Sumbersari, Kabupaten Jember pada bulan Januari–April 2015. Padi
varietas Inpari 30, Luk-ulo, Situbagendit, Cibogo, dan padi galur X
ditanam dengan sistem jajar legowo (6:1) pada lahan yang tergolong
sangat rawan terhadap penyakit HDB berdasarkan ramalan kalender
tanam terpadu
(2014–2015). Padi galur X diperoleh dari Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi Subang. Proses budi dayanya mengikuti cara pada
umumnya, namun tidak dilakukan pengendalian organisme pengganggu
tumbuhan. Serangan X. oryzae dibiarkan terjadi secara alami.
Pengambilan Sampel Pengambilan sampel padi pada setiap
varietas dan galur dilakukan dengan metode diagonal random
sampling. Setiap lahan terdapat 5 petak sampel yang berukuran 3 m ×
3 m, di setiap petak tersebut ditentukan 18 rumpun secara acak
sebagai tanaman sampel (10% dari populasi tanaman). Pengamatan
dilakukan dengan interval 7 hari, dimulai dari 20–90 hari setelah
tanam (HST) dan dihitung jumlah anakannya untuk mengetahui hubungan
kerapatannya dengan insidensi penyakit (IP) dan keparahan penyakit
(KP).
Insidensi Penyakit dan Keparahan PenyakitInsidensi penyakit
dihitung menggunakan
rumus: IP = (n/N) × 100 %, dengan
IP, insidensi penyakit (%); N, jumlah rumpun yang diamati; n,
jumlah rumpun yang terserang. Keparahan penyakit dihitung
menggunakan rumus:
KP = [Σ (ni × vi) / (V × N)] × 100%, denganKP, keparahan
penyakit (%); ni, jumlah rumpun dengan skala i; vi, nilai skala
penyakit dari i; V, nilai skala tertinggi, N, jumlah rumpun yang
diamati. Skala kerusakan tanaman menurut IRRI (1994): 0 (tidak ada
gejala), 1 (1–5%), 3 (>5–12%), 5 (>12–25%), 7 (>25–50%), 9
(>50–100%).
Kategori KetahananBerdasarkan pada nilai IP, ketahanan
tanaman dikelompokkan sesuai kategori gejala penyakit sistemik,
yaitu tahan (0–35%), agak tahan (36–70%), dan rentan (>70%)
(PCARRD 1985). Berdasarkan pada nilai KP, ketahanan tanaman
dikategorikan sesuai standar evaluation system IRRI (1994), yaitu
tahan (1–5%), agak tahan (>5–12%), agak rentan (>12–25%),
rentan (>25–50%), sangat rentan (>50%).
160
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
HASIL
Penyakit Hawar Daun Bakteri Gejala penyakit HDB ditemukan
pada
semua varietas dan galur yang diuji. Gejala pada fase vegetatif
dimulai dari perubahan warna daun kekuningan kemudian menjadi
abu-abu atau kering yang dimulai dari bagian tepi maupun ujung
daun. Pada fase generatif gejala yang ditemukan ialah hawar
(blight), yaitu daun berubah menjadi abu-abu pada bagian tepi daun,
pada satu sisi daun, atau pada kedua sisi daun. Gejala ini sering
dijumpai pada sepanjang tulang daun. Gejala pada fase ini cenderung
sama dengan gejala pada fase vegetatif (Gambar 1).
Xanthomonas oryzae pv. oryzaeBakteri memiliki koloni berwarna
kuning,
berbentuk mukoid, bulat dan cembung setelah ditumbuhkan pada
medium yeast dextrose agar (YDA), sedangkan sel bakteri berbentuk
batang dan bersifat Gram negatif. Hal tersebut memang belum
mencerminkan bahwa bakteri tersebut ialah X. oryzae pv. oryzae.
Jika ditinjau dari hasil isolasi biakan dan gejala penyakitnya maka
isolat bakteri ialah X. oryzae pv. oryzae
Insidensi dan Keparahan Penyakit Sejak 20 HST, semua varietas
dan galur
padi yang diuji ketahanannya terhadap penyakit HDB mempunyai
nilai IP >5% dan KP >1% dan terus meningkat sampai hari ke-90
(Gambar 2 dan 3). IP 100% dicapai varietas Luk-ulo dan varietas
Situbagendit secara berurutan pada 48 HST dan 55 HST, pada varietas
Inpari 30 dan Cibogo nilai IP 100% masing-masing dicapai pada 69
HST dan pada galur padi X nilai IP 100% dicapai pada 76 HST (Gambar
2). Pada 90 HST, nilai KP galur padi X ialah 11.85%, var. Inpari
30, Cibogo, Luk-ulo, dan Situbagendit secara berurutan ialah 20%,
20.85%, 39.75%, dan 40.25% (Gambar 3). Secara keseluruhan varietas
maupun galur mempunyai nilai IP dan KP yang meningkat seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Bahkan var. Luk-ulo pada 48 HST
mempunyai IP 100% dan merupakan yang tercepat dari semua varietas
dan galur padi yang diuji. Nilai KP juga naik pada 3 varietas yang
diuji (Situbagendit, Luk-ulo, dan Cibogo) hingga mencapai ambang
kerusakan (Gambar 2 dan 3). Sebaliknya galur padi X mempunyai nilai
IP dan KP terendah serta membutuhkan waktu yang paling lama untuk
mencapai nilai IP dan KP tersebut.
161
Gambar 1 Gejala penyakit hawar daun bakteri pada daun tanaman
padi. a fase vegetatif, gejala yang dimulai dari tepian daun yang
berubah keabu-abuan; b fase generatif, gejala yang dimulai dari
bagian ujung dan tepian tulang daun yang menjadi keabu-abuan dan
mulai mengering.
a b
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
Padi varietas Situbagendit dan Luk-ulo memiliki jumlah rata-rata
anakan terbanyak, yaitu berturut-turut 27 per rumpun dan 26 per
rumpun (Tabel 1). Jumlah anakan yang banyak dapat mempengaruhi
nilai IP dan KP HDB.
Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit HBDKetahanan tanaman pada
fase vegetatif
berbeda dengan fase generatif, meskipun ada kalanya sama.
Berdasarkan nilai IP pada fase vegetatif, hanya tanaman padi galur
padi X saja yang tahan terhadap penyakit HDB. Padi var. Inpari 30,
Situbagendit, Cibogo, dan Luk-ulo semuanya rentan. Namun setelah
memasuki fase generatif, galur padi X yang semula tahan berubah
menjadi rentan sehingga pada fase ini semua varietas dan galur yang
diuji tergolong tanaman yang rentan (Tabel 2).
Berdasarkan nilai KP, ketahanan terbaik dimiliki padi galur X,
yaitu tahan pada fase vegetatif dan agak tahan pada fase generatif.
Padi var. Situbagendit dan Luk-ulo sama-sama agak rentan pada fase
vegetatif, namun berubah menjadi rentan pada fase generatif.
Berdasarkan pada IP dan KP, padi galur X yang semula tahan menjadi
agak tahan pada fase generatif (Tabel 2).
PEMBAHASAN
Xanthomonas oryzae merupakan patogen yang dapat menginfeksi
tanaman padi pada semua fase pertumbuhan. Pada percobaan ini,
penyakit HDB sudah ditemukan pada semua varietas dan galur yang
diuji pada 20 HST.Ciri khas dari gejala penyakit HDB pada
162
Gambar 2 Perkembangan insidensi penyakit hawar daun bakteri (%)
pada jenis padi yang ditanam. , galur padi X; ,varietas Inpari 30;
, varietas Situbagendit; , varietas Cibogo; , varietas Luk-ulo.
Insi
dens
i pen
yaki
t (%
)
Waktu (hari setelah tanam)
1009080706050403020100
-10 20 27 34 41 48 55 62 69 76 83 90
Gambar 3 Perkembangan keparahan penyakit hawar daun bakteri (%)
pada jenis padi yang ditanam. , galur padi X; ,varietas Inpari 30;
, varietas Situbagendit; , varietas Cibogo; , varietas Luk-ulo.
100
80
60
40
20
0
-20
Kep
arah
an p
enya
kit (
%)
20 27 34 41 48 55 62 69 76 83 90Waktu (hari setelah tanam)
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
varietas dan galur yang diuji ialah adanya perubahan warna daun
menjadi keabu-abuan dan agak mengering yang dimulai dari pucuk atau
tepian daun. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar X. oryzae
menginfeksi tanaman dengan melakukan penetrasi ke dalam jaringan
tanaman melalui hidatoda yang terletak di tepian daun (IRRI 2014).
Setelah masuk kedalam jaringan tanaman, X. oryzae akan bersifat
sistemik dan menyebar keseluruh jaringan tanaman melalui pembuluh
xilem.
Menurut Wahyudi et al. (2011) gejala kresek adalah gejala HDB
pada fase vegetatif dan merupakan gejala yang paling merusak pada
tanaman padi. Pada varietas yang rentan, gejala tersebut dapat
berkembang hingga seluruh daun menjadi kering. Tingkatan terakhir
dari gejala kresek ialah membusuknya tanaman atau dikenal dengan
penyakit lodoh. Selama percobaan dilakukan, gejala kresek dengan
nilai KP tinggi yang menyebabkan kematian pada tanaman tidak
ditemukan. Meskipun semua varietas yang diuji mencapai IP 100%.
Penyakit HDB berada pada ambang kerusakan apabila KP mencapai 20%
pada umur 2 minggu sebelum panen dan setiap kenaikan
KP 10% dari nilai tersebut akan diikuti dengan peningkatan
kehilangan hasil 5–7% (Sudir dan Kadir 2012). Hal ini juga terjadi
pada var. Situbagendit yang mencapai ambang kerusakan terparah dari
varietas lain sejak 55 HST dengan KP 23.33%. Keparahan penyakit
tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan studi epidemi
penyakit.
Waktu percobaan yang dilakukan pada musim hujan diduga
berpengaruh terhadap nilai IP dan KP yang diperoleh, hal tersebut
dikarenakan percikan air hujan adalah medium penularan yang efektif
untuk penyakit ini (Sudir dan Kadir et al. 2012) sehingga
berpengaruh terhadap IP yang mengalami peningkatan dengan cepat. Di
samping hujan, kerapatan anakan juga mempengaruhi nilai IP yang
tinggi. Kerapatan tanaman selain mempengaruhi kelembapan juga akan
mempermudah penularan penyakit dari satu tanaman ke tanaman yang
lain. Oleh karena itu, KP dan IP tertinggi terjadi pada kedua
varietas tersebut.
Riwayat semua lahan yang digunakan ditanami padi-padi-tembakau,
namun di sekitar lahan yang digunakan selalu ada
Genotipe padi Jumlah anakan a)Galur X 20 ± 0.55Var. Inpari 30 22
± 1.35Var. Situbagendit 27 ± 0.65Var. Cibogo 23 ± 2.36Var. Luk-ulo
26 ± 0.65
Tabel 1 Rata-rata jumlah anakan per rumpun pada 42 HST.
a)diperoleh dari 90 rumpun tanaman pada 5 petak sampel setiap
varietas yang diamati
163
Tabel 2 Kategori ketahanan padi berdasarkan nilai IP (%) dan KP
(%)
IP, insidensi penyakit; KP, keparahan penyakit* kriteria
ketahanan mengacu pada : ketahanan penyakit dengan gejala sistemik
(PCARRD 1985).** kriteria ketahanan mengacu pada : standart
evaluation system IRRI (IRRI 1994).*** kriteria ketahanan mengacu:
berdasarkan IP dan KP: 1) berdasarkan KP; 2) berdasarkan IP dan
KPR: rentan, AR: agak rentan, AT: agak tahan, T: tahan
Varietas padi Berdasarkan IP (%)* Berdasarkan KP (%)** Ketahanan
varietas***vegetatif generatif vegetatif generatif vegetatif
generatifGalur X T R T AT T 2) AT 1)Var. Inpari 30 R R AT AR AT 1)
AR 1)Var. Situbagendit R R AR R AR 1) R 2)Var. Cibogo R R AT AR AT
1) AR 1)Var. Luk-ulo R R AR R AR 1) R 2)
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
tanaman padi. Hal tersebut memungkinkan bagi X. oryzae untuk
tetap berada pada lokasi tersebut. X. oryzae merupakan bakteri yang
dapat bertahan pada tanah hingga 3 bulan (Joko dan Wibisono 2007).
Selain itu sisa tanaman sakit dan gulma seperti Zezania latifolia,
Cyperus rotundus, dan Leptochloa chinensis juga merupakan inang
alternatif bagi bakteri tersebut (Djatmiko et al. 2011).
Fase vegetatif pada tanaman padi juga merupakan fase yang mudah
diinfeksi dan merupakan fase rentan terhadap penyakit HDB (Djatmiko
dan Fatichin 2009). Oleh karena itu, penurunan nilai ketahanan pada
fase generatif oleh semua varietas dan galur yang diuji merupakan
dampak dari infeksi X. oryzae pada fase vegetatif yang terus
berkembang di dalam jaringan tanaman. Dengan demikian, saat yang
tepat untuk mengukur ketahanan tanaman ialah fase vegetatif.
Berdasarkan IP dan KP, padi var. Situbagendit yang agak tahan
(AT) menjadi agak rentan (AR) pada fase vegetatif dan rentan (R)
pada fase generatif, var. Luk-ulo yang tahan (T) menjadi AR pada
fase vegetatif dan R pada fase generatif, sedangkan var. Cibogo
yang juga tergolong AT menjadi AR pada fase generatif. Penurunan
ketahanan ini diduga merupakan akibat dari galur X. oryzae yang
lebih virulen dibandingkan dengan jenis galur yang dapat
ditoleransi oleh varietas tersebut. Hal itu dikarenakan ketiga
varietas tersebut hanya memiliki spesifikasi ketahanan terhadap
bakteri galur III dan IV (BPTP 2011). Setiap galur dari X. oryzae
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menginfeksi tanaman. Patahnya
ketahanan tanaman padi terhadap X. oryzae merupakan akibat dari
sifat ketahanannya yang hanya diwariskan oleh satu gen mayor atau
dikenal dengan ketahanan monogenik (Winandari 2014). Varietas
Inpari 30 merupakan varietas yang baru dirilis pada tahun 2012 dan
belum pernah ditanam di daerah Wirolegi sehingga menjadi varietas
baru pada daerah itu. Varietas Inpari 30 yang tergolong AR menurut
BPPP (2014b), pada percobaan ini menjadi AT pada fase vegetatif dan
AR pada fase generatif. Diduga perubahan
ketahanan varietas ini dikarenakan oleh jumlah anakannya yang
tergolong sedikit (20 anakan per rumpun).
Pada tulisan ini, ketahanan tanaman disajikan berdasarkan pada
nilai IP dan KP dengan sumber acuan yang berbeda untuk mencari tahu
varietas mana yang akan dipilih dalam hal ketahanannya terhadap
penyakit HBD untuk ditanam lagi pada musim penghujan. IP pada
dasarnya, lebih mencerminkan penyebaran penyakit pada lahan
tersebut, yaitu menunjukkan pertambahan tanaman yang terinfeksi
pada periode pengamatan berikutnya. Sedangkan KP mencerminkan
perkembangan penyakit pada tiap rumpun tanaman, sehingga dapat
diketahui tingkat kerusakan pada tanaman yang berpotensi mencapai
ambang kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
[BPPP] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014a.
Kalender Tanam Terpadu. Versi 2.0 MH Oktober 2014–Maret 2015
Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur.Jakarta (ID): Kementrian
Pertanian RI.
[BPPP] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014b.
Varietas Inpari 30.
http://litbang.pertanian.go.id/varietas/one/848/.htm [diakses 19
April 2015].
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2011. Deskripsi
Sederhana Varietas Padi Tahun 1978-2010. Jakarta (ID): Kementrian
Pertanian RI.
Djatmiko HA, Fatichin. 2009. Ketahanan dua puluh satu varietas
padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. J HPT Tropika.
9(2):169–173.
Djatmko HA, Prakoso B, Prihatiningsih N. 2011. Penentuan
patotipe dan keragaman genetik Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada
tanaman padi di wilayah karesidenan Banyumas. J HPT Tropika.
11(1):35–46.
Herlina L, Silitonga TS. 2011. Seleksi lapang ketahanan beberapa
varietas padi terhadap infeksi hawar daun bakteri strain IV dan
VIII. J Plasma Nutfah. 17(2):80–87.
164
-
J Fitopatol Indones Aditya et al.
[IRRI] International Rice Research Institute. 1994. A Manual of
Rice Seed Health Testing. Los Banos, Philippines: IRRI.
[IRRI] International Rice Research Institute. 2014. Bacterial
blight.
http://www.Knowledgebank.Irri.Org/Ricebreedingcourse/Breeding_For_Disease_Resistance_Blight
[diakses 30 Desember 2014].
Joko S, Wibisono I. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan.
Yogyakarta (ID): PT. Cipta Aji Parama.
Khaeruni A, Rahim A, Syair, Adriani. 2014. Induksi ketahanan
terhadap penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi di lapangan
menggunakan Rizobakteri indigenos. J HPT Tropika. 14(1):57–63.
[PCARRD] Philippine Council for Agriculture and Resources
Research and Development. 1985. Research Techniques in Crops. Book
series No. 35. Los Banos (PH): Philippines National Science and
Technology Authority.
Winandari OP, Tjahjoleksono A, Utami DW. 2014. Identifikasi
marka gen ketahanan hawar daun bakteri pada galur padi introduksi
dan galur dihaploid. J HPT Tropika. 14(2):101–109.
Sudir NB, Kadir TS. 2012. Epidemiologi, patotipe, dan strategi
pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. J IPTEK
Tanaman Pangan. 7(2):72–87.
Wahyudi AT, Meliah S, Nawangsih AA. 2011. Xanthomonas oryzae pv.
oryzae bakteri penyebab hawar daun pada padi: isolasi,
karakterisasi, dan telaah mutagenesis dengan transposon. J Sains.
15(1):89–96.
165
-
Volume 11, Nomor 5, Oktober 2015Halaman 166–174
DOI: 10.14692/jfi.11.5.166ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus
IPB Darmaga, Bogor 16680.Tel: 0251-8629364, Faks : 0251-862362,
Surel : [email protected]
Risiko Introduksi Gandum ke Timor Tengah Utara: Penyakit Hawar
Daun dan Busuk Batang
Risk of Wheat Introduction to Timor Tengah Utara: Leaf Blight
and Stem Rot Disease
Aloysius Rusae, Efi Toding Tondok, Suryo Wiyono*Institut
Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Tanaman gandum berpotensi untuk dikembangkan di Timor Tengah
Utara (TTU). Penyakit merupakan salah satu risiko dalam introduksi
gandum. Keberadaan penyakit gandum belum diketahui karena belum
pernah dilakukan penanaman gandum di daerah tersebut. Penelitian
ini bertujuan membuktikan serangan penyakit utama yang menyerang
tanaman gandum apabila diintroduksi ke TTU. Metode yang digunakan
ialah penanaman gandum di TTU, pengamatan penyakit, dan
identifikasi penyakit utama. Gandum yang ditanam di lapangan ialah
varietas Dewata, Selayar, dan Nias. Pembuktian patogen dilakukan
dengan mengikuti postulat Koch. Identifikasi patogen dilakukan
dengan karakterisasi morfologi. Penyakit penting pada gandum yang
ditemukan di TTU ialah penyakit hawar daun dan busuk batang. Hasil
postulat Koch menunjukkan bahwa Helminthosporium gramineum penyebab
penyakit hawar daun dan Rhizoctonia sp. penyebab busuk batang.
Insidensi penyakit di lapangan mencapai 82–93% dan 11–22%,
berturut-turut untuk penyakit hawar daun dan busuk batang.
Keparahan penyakit hawar daun dan penyakit busuk batang pada vari.
Dewata paling rendah bila dibandingkan pada gandum var. Selayar dan
Nias.
Kata kunci: Helminthosporium gramineum, postulat Koch,
Rhizoctonia sp.
ABSTRACT
Wheat has a great potency to be cultivated in Timor Tengah Utara
(TTU). However, disease is one of the risks for introduction of
wheat. The existence of wheat disease in TTU is unknown because
wheat has never been grown in this area. This study aims to
determine the potential risks of major diseases that will infect
wheat plants when introduced to the TTU. The methods used in this
study consisted of wheat cultivation in the field, followed by
observation and identification of the main diseases on wheat. Wheat
varieties grown in field were Dewata, Selayar and Nias. Koch’s
postulate were performed to identify the suspected microbes as
pathogens. Morphological-based identification was applied on the
isolated pathogens. The main diseases on wheat cultivated in TTU
were leaf blight and stem rot. The results of Koch’s postulate
showed that Helminthosporium gramineum and Rhizoctonia sp. was the
causal of leaf blight and stem rot, respectively. Disease incidence
reached 82–93% and 11–22% for leaf bligh and stem rot disease,
respectively. Disease severity of leaf blight and stem rot on var.
Dewata was the lowest compared to var. Selayar and var. Nias.
Key words: Helminthosporium gramineum, Koch’s postulate,
Rhizoctonia sp.
166
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
PENDAHULUAN
Kebutuhan gandum Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan,
hal ini terjadi karena perubahan pola makan masyarakat yang telah
bergeser ke makanan yang berbasis tepung terigu seperti mie instan
dan roti. Indonesia mengimpor gandum dari berbagai negara untuk
mencukupi kebutuhan gandum dalam negeri. Pada tahun 2010 impor
gandum Indonesia mencapai 4.5 juta ton dan mengalami peningkatan
4.8 juta ton pada tahun 2011 (BPS 2012).
Hasil penelitian membuktikan bahwa gandum dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik di Indonesia serta mempunyai peluang untuk
pengembangannya, namun perlu diperhatikan pengaruh suhu dan curah
hujan yang menyebabkan naiknya intensitas penyakit terutama
menjelang panen (Wyczling et al. 2010). Hujan yang terlalu banyak
pada waktu pembungaan, mengakibatkan banyak hampa dan mudah
terserang penyakit. Di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) beberapa
kecamatan memiliki ketinggian 500 sampai 1000 m dpl,suhu udara
22–34 °C, kelembapan udara 69–87 °C dan penyinaran matahari 50–98%
(BPS 2013). Berdasarkan kondisi ini beberapa kecamatan berpotensi
untuk budi daya gandum. Salah satu risiko introduksi tanaman di
suatu daerah ialah serangan penyakit baru, karena tidak terdapat
musuh alami OPT tersebut di daerah itu.
Pengetahuan tentang keberadaan patogen sangat penting untuk
menentukan peta sebaran patogen, juga untuk menentukan langkah
pengelolaan patogen tersebut lebih lanjut sehingga diharapkan dapat
meningkatkan produksi gandum. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan keparahan pe-nyakit gandum bila
diintroduksi di Kabupaten TTU, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
BAHAN DAN METODE
Penanaman GandumPenanaman gandum dilaksanakan di
Kelurahan Oenak, Kecamatan Noemuti,
Kabupaten TTU. Benih yang digunakan ialah gandum var. Dewata,
Nias, dan Selayar yang merupakan varietas terseleksi dan
beradapatasi di daerah tropik. Tanaman gandum ditanam secara
langsung, benih ditempatkan pada lubang tanam secara tunggal (2
butir benih per lubang tanam) dengan jarak tanam 25 cm × 10 cm.
Pemupukan dilakukan dengan cara dialur antara barisan tanaman (5 –7
cm). Pupuk pertama diberikan saat 10 hari setelah tanam (HST)
dengan dosis 50 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36. Pemupukan kedua
diberikan saat 30 HST dengan dosis 50 kg ha-1 urea. Pengendalian
gulma dilakukan setiap minggu.
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan varietas
gandum sebagai perlakuan yang terdiri atas var. Dewata, Nias, dan
Selayar. Penelitian diulang 4 kali sebagai blok. Setiap blok
terdiri atas 3 petak sehingga jumlah keseluruhan petak dalam
penelitian ini ialah 12 petak. Jarak antarpetak ialah 0.5 m dan
jarak antarblok ialah 2 m.
Pengamatan Kejadian dan Keparahan Penyakit
Kejadian penyakit diamati pada setiap petak perlakuan yang
dibuat berukuran 1 m × 0.5 m sebanyak 3 petak kecil. Seluruh
tanaman yang terdapat pada petak tersebut menjadi tanaman sampel.
Kejadian penyakit dihitung dari jumlah tanaman sampel yang
terserang patogen.
K = × 100%, dengannNKp, kejadian penyakit; n, jumlah tanaman
yang terserang patogen; N, jumlah tanaman yang diamati dalam setiap
perlakuan.
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada 3 petak kecil
berukuran 1 m × 0.5 m yang dibuat pada setiap petak perlakuan. Pada
petak-petak tersebut dilakukan pengacakan untuk menentukan 5 rumpun
gandum sebagai tanaman sampel. Keparahan penyakit dihitung dari
jumlah tanaman sampel yang terserang penyakit dan diberikan skor
sesuai dengan skoring penyakit yang sudah ditentukan (Tabel 1).
IP = × 100%, denganƩni.viN.V
167
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
IP, keparahan penyakit; ni, jumlah tanaman dengan skor ke-i; vi,
nilai skor penyakit ke-i;N, jumlah tanaman yang diamati; V, skor
tertinggi (Horsfall dan Barratt 1945).
Data kejadian dan keparahan penyakit yang diperoleh dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam, dan perlakuan yang berpengaruh
nyata dianalisis lanjut dengan uji Duncan (DMRT).
Postulat KochCendawan patogen penyebab penyakit
pada tanaman gandum diamati dari strukturnya yang terdapat pada
permukaan tanaman sakit. Gejala dan tanda penyakitnya
dideskripsikan.
Bagian tanaman gandum (daun atau batang) yang bergejala
dibersihkan dengan air kemudian dipotong-potong dengan ukuran ± 3
cm. Potongan tersebut dicelupkan dalam larutan natrium hipoklorit
1% dan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit, kemudian dibilas
dengan air steril sebanyak 3 kali dan dikeringkan di atas kertas
saring. Potongan daun ditanam pada medium agar-agar dekstrosa
kentang (ADK) dengan kloramfenikol 0.01% untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Cendawan yang tumbuh dimurnikan sebagai koleksi
biakan.
Cendawan diidentifikasi berdasarkan morfologinya menggunakan
mikroskop dan untuk membuktikan apakah cendawan merupakan patogen
maka isolat tersebut diinokulasikan pada bagian (daun atau batang)
tanaman gandum sehat yang berumur 3 minggu. Daun disemprot dengan
air steril, dibersihkan menggunakan natrium hipoklorit 3%, dan
dibilas dengan air steril. Potongan biakan murni patogen berumur 10
hari ditempelkan pada bagian daun, kemudian ditutup dengan kapas
yang dibasahi air steril
dan diselotip. Tanaman tersebut disungkup untuk menghindari
infeksi dari patogen lain.
Pengamatan perkembangan penyakit pada tanaman gandum dilakukan
setiap hari sampai menampakkan gejala. Gejala yang muncul dicatat,
dideskripsikan dan dibandingkan dengan gejala awal di lapangan.
Apabila hasil inokulasi memperlihatkan gejala yang sama maka
bagian ini diisolasi kembali. Suatu cendawan dinyatakan sebagai
patogen apabila hasil isolasi dapat dibuktikan sama dengan yang
diinokulasikan.
Karakterisasi Cendawan PatogenCendawan patogen diamati
secara
makroskopis dari ciri khas seperti warna, bentuk, dan tepi
koloni dan mikroskopis dari morfologinya berupa hifa (warna,
bersekat atau tidak, pola, dan ukuran percabangan), konidium
(bentuk, warna, dan ukuran), dan konidiofor (warna, bersekat atau
tidak, bercabang atau tidak, dan ukuran). Cendawan patogen
yangdiperoleh diidentifikasi dengan kunci identifikasi Parmeter
(1970), Putterill (1954), Roberts (1999), Manamgoda et al. (2014)
dan Toda et al. (2007). Pengamatan pertumbuhan cendawan bertujuan
menentukan kecepatan pertumbuhan dengan mengukur diameter koloni
sampai hari ke-7 atau saat koloni telah mencapai tepi cawan
petri.
HASIL
Penyakit Gandum di Timor Tengah UtaraBeberapa penyakit yang
menginfeksi
tanaman gandum di TTU ialah hawar daun, bercak daun, busuk
batang, busuk pucuk, penyakit daun terpilin, dan hawar malai (Tabel
2). Penyakit hawar daun dan penyakit busuk batang merupakan
penyakit terpenting pada tanaman gandum. Kedua penyakit tersebut
belum pernah ditemukan di Indonesia.
Kejadian dan Keparahan Penyakit Hawar Daun dan Busuk Batang
Terdapat perbedaan kejadian dan keparah-an penyakit hawar daun
pada 3 varietas yang diuji. Secara umum gandum var. Dewata memiliki
kejadian penyakit hawar daun paling
168
Skor Kategori serangan (%)0 01 0 ≤ X ≤ 5 2 5 ≤ X ≤ 20 3 20 ≤ X ≤
40 4 >40
Tabel 1 Skor penyakit hawar daun Helminthosporium pada
gandum
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
rendah dan berbeda nyata dengan var. Selayar. Keparahan penyakit
hawar daun pada gandum var. Dewata paling rendah dan berbeda nyata
dengan var. Nias dan Selayar (Tabel 3).
Pengamatan kejadian penyakit busuk batang menunjukkan bahwa,
gandum var.Dewata memiliki kejadian penyakit yang rendah dan
berbeda nyata dengan gandum var. Selayar. Gandum var. Selayar
memiliki kejadian penyakit busuk batang yang tinggi di antara
varietas yang lain.
Penyakit Hawar DaunPostulat Koch yang dilakukan menunjuk-
kan bahwa patogen tersebut merupakan penyebab hawar daun.
Cendawan yang diinokulasikan pada daun tanaman gandum
menunjukkan gejala awal berupa bercak kuning pada tepi titik
inokulasi terbentuk pada 1 HST dan 3 HST, pada titik inokulasi
mengalami nekrosis. Nekrosis tersebut meluas menjadi hawar yang
berwarna cokelat dan kering. Gejala tersebut memiliki kesamaan
dengan gejala di lapangan. Gejala penyakit hawar daun mulai nampak
pada fase vegetatif, yaitu 14 HST. Patogen ini menyerang dari daun
pertama, berupa bercak kecil yang dikelilingi warna kekuningan,
selanjutnya bercak-bercak membesar membentuk lesio yang memanjang
berwarna cokelat, menyatu pada seluruh permukaan daun tanaman,
kemudian daun menjadi kering dan rapuh (Gambar 1).
Identifikasi terhadap patogen hawar daun yang diuji menunjukkan
bahwa
169
Tabel 2 Inventarisasi penyakit pada stadium pertumbuhan
gandum
*Fase perkecambahan tidak ada serangan penyakit
Varietas Fase Vegetatif Fase GeneratifPenyakit Penyebab penyakit
Penyakit Penyebab penyakitNias Hawar daun
Bercak daunBusuk batangBusuk pucukPenyakit daun terpilin
HelminthosporiumCurvularia Rhizoctonia Fusarium
Hawar malai Helminthosporium Curvularia
Selayar Hawar daun Bercak daunBusuk batangBusuk pucukPenyakit
daun terpilin
HelminthosporiumCurvularia Rhizoctonia Fusarium
Hawar malai
Helminthosporium Curvularia
Dewata Hawar daun Bercak daunBusuk batangBusuk pucukPenyakit
daun terpilin
HelminthosporiumCurvularia Rhizoctonia Fusarium
Hawar malai HelminthosporiumCurvularia
Tabel 3 Kejadian dan keparahan penyakit utama gandum di TTU
MST, minggu setelah tanamAngka pada kolom yang diikuti dengan
huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji
Duncan-pada α 5%.
Penyakit Varietas Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)4
MST 8 MST 12 MST 4 MST 8 MST 12 MSTHawar daun
Nias 10.65 a 43.54 a 76.76 a 21.86 a 62.33 a 84.81 bSelayar
15.46 b 47.68 a 87.93 b 22.64 a 63.96 a 92.69 cDewata 11.15 a 42.51
a 73.45 a 21.22 a 61.66 a 81.89 a
Busuk batang
Nias 5 .87 a 9.79 a 16.84 abSelayar 7.54 a 12.54 a 21.76 b - -
-Dewata 3.89 a 5.93 a 11.30 a
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
cendawan patogen tersebut ialah genus Helminthosporium. Koloni
cendawan ber-warna putih kehijauan sampai kehitaman, mulai hari
ke-4 terbentuk zona konsentris dan terdapat miselium aerial. Pada
hari ke-5–7 koloni memenuhi cawan petri (Gambar 2). Secara umum
pertumbuhan Helminthosporium sp.sangat cepat pada medium ADK. Hifa
cendawan ini bersekat, hialin dan menjadi kuning kecokelatan
sejalan dengan per-tambahan umur. Rata-rata kecepatan per-tumbuhan
koloni 1.29 cm per hari. Konidiofor Helminthosporium sp. bersekat
dan tidak bercabang, dengan panjang 21–322 µm, rerata 184.39 µm dan
lebar 2.50–6.25 µm, rerata 4.66 µm. Pembentukan konidium mulai pada
hari ke-5 dan semakin banyak pada hari ke-15. Konidium muda
berwarna hialin, konidium matang berwarna kuning kecokelatan sampai
kehitaman, memiliki 1–7 sekat. Konidium berbentuk oval panjang,
bagian tengahnya membesar dan kedua ujungnya mengecil
dan tumpul (Gambar 2). Ukuran konidium bervariasi dengan panjang
10.5–50.59 µm dan lebar 7–23.53 µm, rerata panjang konidium 26.95
µm dan lebar 11.01 µm. Perbandingan karakter morfologi
Helminthosporium hasilisolasi dengan yang telah diketahui
spesiesnya (Putterill 1954). Berdasarkan karakter morfologi dan
pertumbuhan koloni, isolat dari gandum lebih mirip dengan
Helminthosporium gramineum (Tabel 4).
Penyakit Busuk BatangPengujian dengan postulat Koch
membuktikan bahwa cendawan yang diuji tersebut ialah patogen
busuk batang pada gandum. Gejala yang nampak pada tanaman gandum
yang diinokulasi patogen tersebut ialah tumbuh bercak pada pelepah
daun dan daun pada 16 hari setelah inokulasi. Daun yang terinfeksi
awalnya berupa titik kuning, berkembang menjadi bercak cokelat,
kemudian nekrotik pada seluruh daun dan menjadi
170
Gambar 1 Gejala penyakit hawar daun. a, gejala di lapangan dan
b, gejala hasil inokulasi.
a b
Gambar 2 Bentuk koloni dan morfologi Helminthosporium gramineum.
a, koloni pada medium agar-agar dekstrosa kentang; b, konidiofor;
c, konidium; dan d, perkecambahan konidium.
a b c d
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
171
kering, infeksi pada pelepah daun berupa bercak cokelat yang
semakin besar seiring pertambahan waktu. Pada pangkal batang
terdapat bercak cokelat yang berkembang pada seluruh pangkal batang
dan menjadi busuk berwarna cokelat kehitaman (Gambar 3). Hal ini
sesuai dengan gejala yang terdapat di
lapangan. Penyakit busuk batang tampak jelas pada fase
vegetatif. Gejala awal berupa bercak kecil berwarna kuning pada
daun pertama diujung atau tepi daun, kemudian daun menjadi nekrosis
dan kering yang berawal dari tepi atau ujung daun, bahkan mati.
Gejala yang tampak pada pangkal batang ialah adanya bercak-
Gambar 3 Gejala penyakit busuk batang dengan inokulasi buatan.
a, hawar pada pelepah; b, hawar daun; c, busuk pangkal batang.
a b c
Tabel 4 Karakter Helminthosporium asal gandum di TTU dan
Helminthosporium yang telah diketahui spesiesnya
Karakter Helminthosporium hasil isolasi
H. sorokiniana (Manamgoda et al. 2014)
H. gramineum Rabenh (Putterill 1954)
H. sativum (Putterill 1954)
KoloniWarna putih kehijauan beludru abu-abu - abu-abuTekstur
permukaan berserabut -Bentuk tepi rata-tidak beraturan teratur -
-
KonidioforAda tidaknya sekat bersekat bersekat bersekat
bersekatPercabangan tidak kadang bercabang tidak kadang
bercabangUkuran
Panjang (μm) 21–322 52–310 30–200 60–300Lebar (μm) 2.50–6.25 6–8
5–9 6–8
KonidiumUkuran (µm)
Panjang (μm) 10.5–50.59 31–100 20–120 26–120 Lebar (μm) 7–23.53
15–25 11–22 12–26
Tersusun tunggal tunggal tunggal tunggalWarna kuning kecokelatan
kuning kecokelatan kuning
kecokelatankuning kecokelatan
Bentuk lonjong dan sedikit bengkok
lurus dan melengkung
lurus dan silinder
lonjong elips dan sedikit melengkung
Jumlah sekat 1–7 3–12 1–7(8) 3–10Perkecambahan polar bipolar
polar bipolar
-, tidak dideskripsikan
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
172
bercak cokelat, akar membusuk, berwarna cokelat kehitaman dan
jumlahnya berkurang. Pertumbuhan tanaman semakin kerdil, tidak
subur dan pada umumnya tidak menghasilkan malai (Gambar 4). Tanaman
menghasilkan malai yang pendek, bulir berwarna putih dan hampa pada
fase generatif.
Rhizoctonia sp. penyebab penyakit busukbatang memiliki koloni
berwarna putih, dengan tepian rata. Miselium cendawan bercabang
membentuk jala halus dan bersekat, tidak terbentuk hifa aerial.
Hifa mempunyai percabangan yang tegak lurus. Rata-rata kecepatan
tumbuh koloni Rhizoctonia sp. ialah 2.25 cm per hari. Pada hari
ke-26 terbentuk sklerotium berwarna putih kemudian berubah menjadi
cokelat dengan bentuk tidak beraturan. Diameter hifa Rhizoctonia
2.79 µm dengan kisaran 1.5–5 µm, awalnya berwarna hialin berkembang
menjadi cokelat seiring dengan
bertambahnya waktu (Gambar 5). Rhizoctonia sp. hasil isolasi
memiliki diameter hifa dan sklerotium yang kecil dibandingkan
dengan R. solani, R.oryzae dan lebih mendekati R. zeae tetapi
berbeda ukuran hifa dan sklerotium (Tabel 5).
PEMBAHASAN
Introduksi tanaman gandum mempunyai risiko serangan penyakit.
Penyakit-penyakit yang menyerang tanaman gandum di lapangan
menunjukkan risiko penyakit tersebut. Penanaman di lapangan
menunjukkan bahwa penyakit hawar daun dan busuk pangkal batang
merupakan penyakit terpenting.
Penyakit hawar daun yang disebabkan cendawan H. gramineum adalah
salah satu penyakit penting pada tanaman gandum di TTU. Kejadian
penyakit sangat tinggi
Gambar 4 Perkembangan gejala penyakit busuk batang. a, hawar
daun; b, tanaman yang mengalami busuk batang; dan c, busuk
batang.
a b c
Gambar 5 Bentuk koloni dan morfologi Rhizoctonia sp. a, koloni
pada medium agar-agar dekstrosa kentang; b, sklerotium; dan c, hifa
Rhizoctonia sp.
a b c
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
173
Tabel 5 Karakter Rhizoctonia asal gandum di TTU dan Rhizoctonia
yang telah diketahui spesiesnya
Karakter Rhizoctonia hasil isolasi
R. solani. (Parmeter 1970)
R. oryzae (Toda et al. 2007)
R. zeae (Roberts 1999)
KoloniWarna putih putih kekuningan putih-cokelat putihTekstur
permukaan sedikit
berserabut- - -
Bentuk tepi rata - - -Hifa
Ada tidaknya sekat bersekat bersekat bersekat bersekatDiameter
(μm) 1.5–5 4–15 4.8–7.5 2.5–11
SklerotiumUkuran (mm) 0.21 × 0.16 1–3 1–3 0.5–3Bentuk
bulat-lonjong tidak beraturan bulat tidak beraturan tidak
beraturanWarna putih-cokelat,
hitamputih-cokelat, kehitaman
merah muda kekuning-kuningan
merah muda kecokelatan
-, tidak dideskripsikan
untuk ke-3 varietas yang diuji berkisar 73.45–87.93%. Hingga
saat ini, dilaporkan bahwa di Indonesia penyakit hawar daun gandum
disebabkan oleh H. sativum. Hasil pengamatan oleh Nonci et al.
(2012) penyakit hawar daun yang disebabkan oleh cendawan H. sativum
pada tanaman gandum di Malino, dengan persentase serangan
6.67–68.33%. H. gramineum merupakan penyebab penyakit hawar daun
gandum yang baru pertama kali dilaporkan di Indonesia.
Di dunia H. gramineum dilaporkan di semua negara penghasil
gandum. Drechsler (1923) menyatakan bahwa penyakit hawar daun yang
disebabkan oleh H. gramineum terjadi di hampir semua negara yang
menanam gandum, dengan tingkat serangan sekitar 75%. Negara
tersebut ialah Swedia, Denmark, Jerman, Belanda, Inggris, Irlandia,
Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Jepang, Cina, dan India.
Keberadaan H. gramineum pada tanaman gandum di lokasi penanaman
diduga berasal dari benih dan tanaman inang lain. Gejala penyakit
hawar daun H. gramineum mulai terlihat pada 14 HST menunjukkan
bahwa patogen tersebut terbawa benih. Menurut Watimena (komunikasi
pribadi), infeksi Helminthosporium sp. pada benih gandum sangat
tinggi, yaitu 54.5%. Selain itu tanaman inang lain seperti jagung
dan sorgum, yang banyak ditanam di sekitar
lokasi, berperan sebagai sumber inokulum. Richardson et al.
(1976) melaporkan patogen ini menyerang tanaman gandum, jagung dan
sorgum di Afrika Selatan.
Respons varietas yang ditunjukkan ter-hadap patogen hawar daun
berbeda. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa gandum var. Dewata
paling tahan dibandingkan dengan dengan var. Selayar dan Nias.
Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh Nonci et al. (2012)
bahwa terdapat 4 varietas yang menunjukkan reaksi tahan terhadap
penyakit hawar daun Helminthosporium, yaitu gandum var. Dewata,
Menemen, Ali Bey, dan Basri Bey.
Penyakit busuk batang pada penelitian ini dibuktikan dengan
postulat Koch disebabkan oleh Rhizoctonia sp. yang memiliki sifat
morfologi mirip dengan R. zeae. Penyakit busuk batang ini merupakan
penyakit tanaman gandum dengan kejadian penyakit antara 11.30% dan
21.76%. Kejadian penyakit busuk akar yang disebabkan oleh R. solani
di bagian timur Washington mencapai 11.9% (Cook et al. 2002).
Dengan demikian, introduksi tanaman gandum di TTU perlu diwaspadai
karena sebelum penelitian ini, penyakit busuk batang pada gandum di
Indonesia yang disebabkan oleh Rhizoctonia belum pernah
dilaporkan.
Respons varietas yang ditunjukkan terhadap patogen busuk batang
berbeda. Gandum var. Dewata menunjukkan ketahanan
-
J Fitopatol Indones Rusae et al.
lapangan yang paling tinggi terhadap dua penyakit, yaitu hawar
daun dan busuk batang pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Buletin Statistik Perdagangan
Luar Negeri Impor 2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kabupaten Timor
Tengah Utara. Kefamenanu (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten
Timor Tengah Utara.
Cook RJ, William F, Schillinger, Neil CW. 2002. Rhizoctonia root
rot and take-all of wheat in diverse direct-seed spring cropping
systems. Can J Plant Pathol. 24:349–358. DOI:
http://dx.doi.org/10.1080/07060660209507020.
Drechsler C. 1923. Some graminicolous species of
Helminthosporium. J Agric. 24(8):650–656.
Horsfall JG, Barratt RW. 1945. An improved grading system for
measuring plant disease. Phytopathology. 35:655.
Manamgoda DS, Rossman AY, Castlebury LA, Crous PW, Madrid H,
Chukeatirote E. 2014. The genus Bipolaris. Stud Mycol. 79:221–288.
DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.simyco.2014.10.002.
Nonci N, Muis A, Azrai. 2012. Skrining 12 varietas/galur gandum
terhadap hama penyakit. Di dalam: Muis A, Aqil M, Syafruddin.
Peningkatan Peran Penelitian
Serealia Menuju Pertanian Bioindustri. Seminar Nasional
Serealia; 2013 Juni 18; Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman
Serealia. hlm 387–395.
Parmeter JR. 1970. Rhizoctonia solani: Biology and Pathology.
California (US): Univ California Pr.
Putterill KM. 1954. Some Graminicolous Species of
Helminthosporium and Curvularia Occurring in South Africa.
Bothalia. 6(2):347–378. DOI:
http://dx.doi.org/10.4102/abc.v6i2.1694.
Richardson MJ, Whittle AM, Jacks M. 1976. Yield loss
relationships in cereals. Plant Pathol. 25:21–30. DOI:
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-3059.1976.tb01910.x.
Roberts P. 1999. Rhizoctonia forming fungi: A Taxonomic Guide.
Ed ke-1. Netherlands (NL): Royal Botanic Gardens.
Toda T, Hayakawa T, Mghalu JM, Yaguchi S, Hyakumachi M. 2007. A
new Rhizoctonia sp. closely related to Waitea circinata causes a
new disease of creeping bentgrass. J Gen Plant Pathol. 73:379–387.
DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10327-007-0045-5.
Wyczling D, Lenc L, Sadowski C. 2010. Comparison of disease
occurrence andgreen leaf area (GLA) of winter wheat depending on
the forecrop and differentiated fungicidal protection used. J Plant
Protect Res. 50(4):489–495. DOI:
http://dx.doi.org/10.2478/v10045-010-0081-6.
174
-
Volume 11, Nomor 5, Oktober 2015Halaman 175–178
DOI: 10.14692/jfi.11.5.175ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Program Studi Bioteknologi
Pertanian, Program Pascasarjana, Universitas Udayana,Jalan PB.
Sudirman, Denpasar, Bali 80225.Tel: 0361-223797, Faks: 0361-247962;
surel:[email protected]
TEMUAN PENYAKIT BARU
Laporan Pertama Infeksi Begomovirus pada Tanaman Mentimun di
Bali
First Report on Begomovirus Infection on Cucumber in Bali
I Dewa Made Putra Wiratama1, Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya1*,
Ni Nengah Putri Adnyani1, I Dewa Nyoman Nyana1, Gede Suastika2
1Universitas Udayana, Denpasar 802252Institut Pertanian Bogor,
Bogor 16680
ABSTRAK
Tanaman mentimun dengan gejala daun menguning mulai banyak
ditemukan pada sejumlah pertanaman mentimun di Desa Apuan dan Desa
Bangli, Provinsi Bali. Penyakit ini diduga berasosiasi dengan
Begomovirus karena gejalanya mirip dengan infeksi Begomovirus yang
dilaporkan terjadi pada tanaman mentimun di Jawa. Selain itu,
kutukebul (Bemisa tabaci) ditemukan di lapangan. Penelitian ini
bertujuan mengidentifikasi penyebab penyakit daun kuning pada
tanaman mentimun. Deteksi dan identifikasi virus dilakukan dengan
teknik polymerase chain reaction menggunakan pasangan primer
universal Begomovirus, SPG1/SPG2. Pita DNA berukuran 912 pb
berhasil diamplifikasi dari sampel tanaman. Analisis hasil
sikuensing nukleotida menunjukkan bahwa Begomovirus yang
menginfeksi tanaman mentimun di Bali mempunyai nilai kemiripan
tertinggi (91%) dengan Squash leaf curl China virus (SLCCNV) isolat
Malaysia. Penelitian ini merupakan laporan pertama infeksi SLCCNV
di Bali.
Kata kunci: Bemisia tabaci, PCR, sikuensing, Squash leaf curl
China virus
ABSTRACT
Leaf yellowing symptoms was commonly found in cucumber plants in
Bali provinces, i.e. in Apuan and Bangli villages recently.
Begomovirus infection is suspected as the causal agent, due to
similar symptoms previously reported from cucumber plants in Java.
In addition, Bemisia tabaci was observed in the field. The
objective of this research was to identify the causal agent of leaf
yellowing disease of cucumber in Bali. Virus detection and
identification was conducted by polymerase chain reaction method
using universal primers for Begomovirus, i.e. SPG1/SPG2. DNA
fragment of 912 bp in size was successfully amplified from leaf
samples. Analysis of nucleotide sequencing indicated that
Begomovirus infecting cucumber plants in Bali has the highest
homology (91%) with Squash leaf curl China virus (SLCCNV) isolate
from Malaysia. This is the first report of SLCCNV infection in
Bali.
Key words: Bemisia tabaci, PCR, sequencing, Squash leaf curl
China virus
175
-
J Fitopatol Indones Wiratama et al.
Gejala infeksi virus pada tanaman mentimun banyak ditemukan pada
saat kegiatan survei di Desa Apuan dan Desa Bangli, Kecamatan
Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali pada bulan September 2014. Gejala
penyakit pada tanaman mentimun tersebut berupa daun menguning
dengan tulang daun tetap hijau atau vein banding (Gambar 1).
Insidensi penyakit mencapai 80% dan pada saat pengamatan banyak
ditemukan serangga kutukebul (Bemisia tabaci) di bagian bawah daun
mentimun. Kutukebul diketahui merupakan serangga vektor virus,
terutama dari kelompok Begomovirus (Brown et al. 2001; Jones
2003).
Mizutani et al. (2011) pertama kali melaporkan adanya infeksi
Begomovirus pada tanaman mentimun dengan gejala daun keriting di
Klaten, Jawa Tengah. Septariani et al. (2014) juga melaporkan
tanaman mentimun bergejala kuning di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta dan meng-identifikasi penyebab penyakit
tersebut ialah Tomato leaf curl New Delhi virus (TLCNDV), salah
satu anggota Begomovirus. Begomovirus dilaporkan pertama kali
menginfeksi tanaman labu (Cucurbit maxima) di California (US) pada
tahun 1977. Virusnya dinamakan Squash leaf curl geminivirus (SLCV)
yang menyebabkan daun keriting. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada
tahun 1981, infeksi SLCV juga dilaporkan di Meksiko (Flock dan
Mayhew 1981). Gejala penyakit meliputi daun keriting, melepuh,
menguning, mosaik, dan perubahan bentuk buah (Shtayeh et
al. 2010). Penyakit daun menguning dan kerdil pada melon yang
disebabkan oleh Watermelon curly mottle virus dilaporkan di Arizona
(US) (Brown dan Nelson 1989). Penyakit daun kuning yang disebabkan
oleh Cucurbit leaf curl virus dilaporkan di Amerika Tengah,
Meksiko, dan Amerika Serikat (Arizona, Texas dan California) (Brown
et al. 2002). Infeksi SLCV juga dilaporkan telah menginfeksi
tanaman Cucurbitaceae di Filipina (Kon et al. 2003) dan labu di
Taiwan (Tsai et al. 2011). Begomovirus lain yang telah dilaporkan
menginfeksi tanaman Cucurbitaceae ialah Tomato leaf curl virus yang
menyebabkan daun kuning pada labu di Thailand (Samretwanich et al.
2000), Squash leaf curl virus-Vietnam dan Loofa yellow mosaic
virus-Vietnam menginfeksi tanaman Cucurbitaceae di Vietnam (Revill
et al. 2003).
Berdasarkan deskripsi gejala penyakit yang dikumpulkan, tanaman
mentimun di Bali diduga diinfeksi Begomovirus. Oleh karena itu,
dilakukan deteksi Begomovirus terhadap sampel tanaman mentimun yang
dikumpulkan dari Desa Apuan dan Bangli.
Metode yang digunakan untuk mendeteksi Begomovirus ialah
polymerase chain reaction dengan primer universal Begomovirus
SPG1/SPG2. Primer universal Begomovirus tersebut akan
mengamplifikasi bagian gen transcriptional activator protein (TrAp)
dan replication-associated protein (Rep) dengan ukuran target ± 900
pb (Li et al. 2004). Ekstraksi DNA total dari sampel daun mentimun
menggunakan metode Doyle
176
a bGambar 1 Variasi gejala Begomovirus pada tanaman mentimun di
Bali. a, gejala menguning dan menggulung; b, gejala menguning dan
tulang daun menjari.
-
J Fitopatol Indones Wiratama et al.
dan Doyle (1987). Reaksi amplifikasi DNA didahului dengan 1
siklus pradenaturasi pada 94 °C selama 5 menit, dilanjutkan 35
siklus dengan tahapan denaturasi pada 94 °C selama 1 menit, aneling
pada 50 °C selama 1 menit, dan sintesis DNA pada 72 °C selama 10
menit. Hasil amplifikasi DNA dianalisis dengan elektroforesis pada
gel agarosa 1%. DNA hasil amplifikasi selanjutnya digunakan untuk
sikuensing nukleotida. Data hasil sikuensing digunakan untuk
menganalisis homologi dan membandingkan tingkat kesamaannya dengan
data yang ada di GenBank menggunakan perangkat lunak Bioedit versi
7.0.5
Pita DNA berukuran 912 pb berhasil diamplifikasi dari sampel
asal Desa Apuan dan Desa Bangli (Gambar 2). Hasil amplifikasi
tersebut membuktikan adanya infeksi Begomovirus pada tanaman
sampel. Lebih lanjut, hasil analisis sikuensing nukleotida
menunjukkan bahwa 3 isolat Begomovirus asal mentimun tersebut
memiliki homologi ≥ 89% dengan Squash leaf curl China virus
(SLCCNV) dan 82% dengan Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV)
(Tabel 1). Sesuai dengan pernyataan Fauquet dan Stanley (2005)
bahwa semua isolat Begomovirus dapat dikategorikan ke dalam satu
spesies virus yang sama apabila mempunyai kemiripan basa lebih dari
89% maka isolat SLCCNV asal Bali yang menginfeksi pertanaman
mentimun adalah spesies yang sama dengan SLCCNV dari Malaysia,
Vietnam, India, Cina, dan Thailand. Ketiga isolat tersebut
selanjutnya disebut isolat SLCCNV Apuan, isolat SLCCNV Bangli 1,
dan isolat SLCCNV Bangli 2.
Berdasarkan hasil identifikasi di atas dapat disimpulkan bahwa
tanaman mentimun yang memperlihatkan gejala menguning dengan tulang
daun tetap hijau yang banyak ditemukan di Desa Apuan dan Desa
Bangli, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali berasosiasi
dengan infeksi SLCCNV. Infeksi SLCCNV tersebut belum pernah
dilaporkan di Indonesia. Penelitian dasar untuk mengetahui karakter
molekuler dan biologi SLCCNV perlu dilakukan sebagai landasan
menyusun strategi pengendalian penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Brown JK, Nelson MR. 1989. Characterisation of Watermelon curly
mottle virus, a Geminivirus distinct from Squash
177
Isolat Begomovirusdi GenBank
No Aksesi Tingkat Homologi Isolat Begomovirus di Bali (%)Apuan
Bangli 1 Bangli 2
SLCCNV Malaysia EF197940 91 91 91SLCCNV Vietnam AF509743 90 90
90SLCCNV India AY184487 90 90 90SLCCNV Cina AM260206 90 90 89SLCCNV
Thailand AB330078 89 90 89ToLCNDV Spanyol KF749225 82 82 82
Tabel 1 Tingkat homologi (%) sikuen nukleotida antara
Begomovirus asal tanaman mentimun Bali dengan beberapa isolat
Begomovirus yang dilaporkan di GenBank
SLCCNV, Squash leaf curl China virus; ToLCNDV, Tomato leaf curl
New Delhi virus
K-M 2 K+1 3
912 pb
Gambar 2 Hasil amplifikasi Begomovirus penyebab penyakit kuning
pada tanaman mentimun menggunakan pasangan primer SPG1/SPG2 yang
divisualisasikan pada gel agarosa 1%. M, penanda DNA 1 kb (Thermo
Scientific, US); 1, sampel dari Desa Apuan; 2, sampel dari Desa
Bangli 1; 3, sampel dari Desa Bangli 2; K+, kontrol positif; K-,
kontrol negatif.
-
J Fitopatol Indones Wiratama et al.
leaf curl virus. Ann Apl Biol. 115(2):243–252. DOI:
http://dx.doi.org/10.1111/j.1744-7348.1989.tb03383.x.
Brown JK, Idris, AM, Rogan D, Hussein MH, Palmieri M. 2001.
Melon chlorotic leaf curl virus, a new Begomovirus associated with
Bemisia tabaci infestations in Guatemala. Plant Dis. 85(9):1027.
DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2001.85.9.1027C.
Brown J K, Idris AM, Alteri C, Stenger DC. 2002. Emergence of a
new cucurbit-infecting Begomovirus species capable of forming
viable reassortants with related viruses in the Squash leaf curl
virus cluster. Phytopathology. 92(7):734–742. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2002.92.7.734.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for
small quantities of fresh leaf tissues. Phytochem Bull.
19:11–15.
Fauquet CM, Stanley J. 2005. Revising the way we conceive and
name viruses below the species level: A review of Geminivirus
taxonomy calls for new standardized isolate descriptors. Arch
Virol. 150(10):2151–2179. DOI:
http://dx.doi.org/10.1007/s00705-005-0583-0.
Flock RA, Mayhew DE. 1981. Squash leaf curl, a new disease of
cucurbits in California. Plant Dis. 65:75–76. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PD-65-75.
Jones DR. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. Eur J
Plant Pathol. 109(3):195–219. DOI:
http://dx.doi.org/10.1023/A:1022846630513.
Kon T, Dolores LM, Bajet NB, Hase S, Takahashi H, Ikegami M.
2003. Molecular characterization of a strain of Squash leaf curl
China virus from the Philippines. J Phytopathol. 151(10):535–539.
DOI:h t tp : / / dx .do i .o rg /10 .1046 / j .
1439-0434.2003.00764.x.
Li R, Salih S, Hurtt S. 2004. Detection of geminiviruses in
sweetpotato by polymerase chain reaction. Plant Dis.
88(12):1347–1351. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2004.88.12.1347.
Mizutani T, Daryono BS, Ikegami M, Natsuaki KT. 2011. First
report of Tomato leaf curl New Delhi virus infecting cucumber in
Central Java, Indonesia. Plant Dis. 95(11):1485. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-11-0196.
Revill PA, Ha CV, Porchun SC, Vu MT, Dale JL. 2003. The complete
nucleotide sequence of two distinct Geminiviruses infecting
cucurbits in Vietnam. Arch Virol. 148: 1523–1541. DOI:
http://dx.doi.org/10.1007/s00705-003-0109-6.
Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, Ikegami M. 2000.
Yellow leaf disease of cantaloupe and wax gourd from Thailand
caused by Tomato leaf curl virus. Plant Dis. 84(2):200. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2000.84.2.200C.
Septariani DN, Hidayat SH, Nurhayati E. 2014. Identifikasi
penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman mentimun. J HPT
Tropika. 14(1):80–86.
Shtayeh MSA, Jamous RM, Husein EY, Alkhader MY. 2010. First
report of squash leaf curl in squash (Cucurbita pepo), melon
(Cucumis melo), and cucumber (Cucumber sativus) in the Northern
West Bank of the Palestinan Authority. Plant Dis. 94(5):640. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-94-5-0640B.
Tsai WS, Hu CJ, Shung DP, Lee LM, Wang JT, Kenyon L. 2011. First
report of Squash leaf curl Philippines virus Infecting Chayote
(Sechium edule) in Taiwan. Plant Dis. 95(9):1197. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-04-11-0282.
178
-
Volume 11, Nomor 5, Oktober 2015Halaman 150–158
DOI: 10.14692/jfi.11.5.150ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Pertanian Bogor,
Jalan Agatis, Kampus Dramaga, Bogor 16680.Tel: 0251-8622833, Faks:
0251-8622833, Surel: [email protected]
Mikobiota pada Buah Cabai untuk Pengendalian Hayati
Colletotrichum capsici
Mycobiota on Chilli Fruits for Biological Control of
Colletotrichum capsici
Okky Setyawati Dharmaputra1,2* , Lisdar Idwan Sudirman1, Melly
Fitriani11Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
2SEAMEO BIOTROP, Bogor 16134
ABSTRAK
Colletotrichum capsici merupakan cendawan penyebab antraknosa
pada buah cabai. Penggunaan agens hayati merupakan salah satu cara
penanganan penyakit pascapanen pada produk hortikultura. Penelitian
ini bertujuan menentukan potensi antagonis mikobiota pada buah
cabai terhadap C. capsici. Cendawan patogen dan mikobiota calon
antagonis diisolasi dari buah cabai merah besar yang diperoleh dari
3 pasar tradisional di Bogor. Isolasi C. capsici menggunakan metode
penanaman pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) yang
mengandung kloramfenikol (100 mg L-1). Isolasi mikobiota calon
antagonis dilakukan menggunakan metode pengenceran berseri yang
dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada medium ADK yang
mengandung kloramfenikol (100 mg mL-1). Uji antagonisme dilakukan
menggunakan metode biakan ganda pada medium ADK. Dari 4 isolat C.
capsici yang diperoleh, isolat BIO 51046 memiliki patogenisitas
tertinggi ketika diinokulasikan pada buah cabai merah besar var.
IPB Perbani. Isolat mikobiota calon antagonis yang diperoleh ialah
sebanyak 14 isolat yang terdiri atas 7 isolat cendawan berfilamen
dan 7 isolat khamir. Tiga isolat cendawan berfilamen
(Plectosphaerella cucumerina, isolat MF2, dan Aspergillus flavus)
serta isolat khamir (Issatchenkia orientalis) memiliki kemampuan
menghambat pertumbuhan C. capsici BIO 51046 lebih dari 70%.
Interaksi antara cendawan uji dengan C. capsici pada medium ADK
menghasilkan tipe interaksi inhibisi mutual dan inhibisi patogen.
Zona hambatan terbentuk pada inhibisi mutual (isolat MF vs C.
capsici), sedangkan cendawan uji tetap mengalami pertumbuhan (P.
cucumerina, A. flavus, I. orientalis vs C. capsici) pada inhibisi
patogen. Plectosphaerella cucumerina dan I. orientalis tidak
menyebabkan penyakit pada buah cabai var. IPB Perbani sehingga
berpotensi sebagai agens hayati untuk C. capsici BIO 51046 penyebab
penyakit antraknosa pada cabai.
Kata kunci: agens hayati, antraknosa, Issatchenkia orientalis,
Plectosphaerella cucumerina
ABSTRACT
Colletotrichum capsici is a pathogenic fungus causing
anthracnose on various tropical fruits, especially chilli.
Biological control agents have been used as an alternative method
to control postharvest diseases. This study aims to examine the
antagonistic potential of mycobiota on red chilli fruit against C.
capsici. The pathogen was obtained from diseased red chilli fruits
collected from three traditional markets in Municipality of Bogor,
isolated on potato dextrose agar (PDA) medium containing
chloramphenicol (100 mg L-1). Candidates of antagonistic mycobiota
were isolated from healthy chilli fruits using serial diution
method, followed by pour-plate method on PDA medium containing
chloramphenicol (100 mg L-1).
150
-
J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.
C. capsici isolate BIO51046 showed highest pathogenicity on
chilli fruit var. IPB Perbani compared to other isolates. Seven
isolates of filamentous fungi and 7 yeast isolates were obtained
from healthy chilli fruits. Test of antagonism using dual culture
method obtained 3 filamentous fungal isolates (Plectosphaerella
cucumerina, MF2 and Aspergillus flavus) and 1 yeast isolate
(Issatchenkia orientalis) which inhibited the growth of C. capsici
BIO 51046 more than 70%. Plectosphaerella cucumerina and I.
orientalis did not cause any diseases on chilli fruits var. IPB
Perbani. Therefore, these 2 isolates were considered as potential
antagonist against C. capsici BIO51046 as the causal agent of
anthracnose of chilli.
Key words: anthracnose, biocontrol agent, Issatchenkia
orientalis, Plectosphaerella cucumerina
PENDAHULUAN
Produksi cabai merah besar di Indonesia pada tahun 2013 ialah
sebesar 1 012 879 ton dengan produksi cabai merah besar tertinggi
berada di Jawa Barat sebesar 250 914 ton (BPS 2014). Salah satu
penyakit pada buah cabai ialah antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum spp. Pembusukan akibat antraknosa pada buah cabai
akan terjadi pada saat buah matang sehingga menyebabkan penurunan
jumlah dan kualitas buah cabai.
Pengendalian penyakit pascapanen pada buah-buahan dan sayuran
dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pengendalian fisik, kimia, dan
biologi. Pengendalian secara fisik dan kimia kemungkinan dapat
menyebabkan penurunan mutu buah-buahan dan sayuran serta
menimbulkan polusi lingkungan, berpengaruh terhadap kesehatan
manusia, dan dapat menimbulkan resistensi patogen terhadap
fungisida.
Beberapa cendawan antagonis dilaporkan dapat digunakan sebagai
agens hayati terhadap antraknosa pada beberapa buah-buahan dan
sayuran. Siregar et al. (2007) melaporkan bahwa bakteri Bacillus
polymyxa dan cendawan Trichoderma harzianum dapat mengendalikan
cendawan penyebab antraknosa pada tanaman cabai. T. harzianum dan
Gliocladium roseum dapat digunakan sebagai agens hayati terhadap C.
acutatum dan C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada
buah-buahan (Zivkovic et al. 2010). Tujuan penelitian ini ialah
menguji potensi antagonis mikobiota pada buah cabai merah besar
terhadap C. capsici.
BAHAN DAN METODE
Sampel Buah Cabai Buah cabai merah besar yang terserang
antraknosa dan yang sehat diperoleh dari pasar tradisional di
Bogor. Cabai var. Imperial-308 diperoleh dari pasar Anyar,
sedangkan cabai var. Hibrida F1 Maraton diperoleh dari pasar Bogor
dan pasar Gembrong. Cabai var. IPB Perbani yang sehat diperoleh
dari kebun Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor.
Isolasi dan Identifikasi Cendawan Penyebab Antraknosa
Buah cabai yang terinfeksi antraknosa diseka permukaannya
menggunakan kertas tisu yang diberi etanol 70%, selanjutnya buah
dibilas dengan akuades steril dan dikeringanginkan. Jaringan kulit
dan daging buah di antara bagian yang sakit dan sehat dipotong (5
mm ×5 mm). Sebanyak 9 potongan jaringan kulit dan daging buah
diletakkan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) yang
mengandung kloramfenikol (100 mg L-1)di dalam cawan petri (3 potong
per cawan petri), selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (28 ± 2
°C) selama 5 hari. Setiap koloni cendawan yang diduga
Colletotrichum spp. dimurnikan pada medium ADK tanpa kloramfenikol.
Identifikasi Colletotrichum spp. menggunakan pustaka acuan Sutton
(1980) dan Kumar et al. (2015). Biakan murni setiap isolat
Colletotrichum dibuat preparat menggunakan pewarna laktofenol biru
katun untuk mengamati ciri khusus menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 100–400×. Perbedaan antar spesies diamati
151
-
J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.
berdasarkan pada bentuk konidium, ukuran (panjang dan lebar)
konidium, dan keberadaan sklerotium. Persentase keberadaan cendawan
Colletotrichum spp. ditentukan berdasarkan jumlah koloni setiap
spesies Colletotrichum dari 9 potong kulit dan daging buah cabai
pada medium ADK yang mengandung kloramfenikol (100 mg L-1).
Uji Patogenisitas Isolat C. capsici Cabai var. IPB Perbani sehat
dengan ukuran
dan kematangan yang sama dibilas dengan air dan
dikeringanginkan, selanjutnya permukaan buah disterilkan
menggunakan etanol 70%. Bagian pangkal dan tengah setiap buah
digores vertikal dan horizontal, masing-masing 1 cm (Dharmaputra et
al. 2007a). Di atas goresan tersebut ditempatkan inokulum isolat C.
capsici yang berumur 7 hari (diameter 8 mm). Sebagai kontrol di
atas goresan ditempatkan potongan medium ADK murni (diameter 8 mm).
Setiap perlakuan dan kontrol diulang 7 kali. Selanjutnya cabai
ditempatkan di dalam sebuah wadah plastik (diameter bagian bawah 14
cm, diameter bagian atas 18 cm, tinggi 15 cm, volume 3 L) yang
telah didesinfeksi menggunakan etanol 70% dan dibuat dalam kondisi
lembap (85%). Kondisi kelembapan relatif 85% dibuat dengan
meletakkan 5 buahkapas steril (2.5 g) yang telah diberi akuades
steril (20 mL) di dalam setiap wadah, kemudian semua wadah
diinkubasi pada suhu ruang (± 28 °C) selama 7 hari.
Pengamatan patogenisitas dilakukan ter-hadap luas permukaan
cabai yang terinfeksi C. capsici dengan metode gravimetri, yaitu
dengan cara menggambar tepi gejala pada selembar plastik transparan
dan mencetak kembali pada karton tebal, kemudian bobot karton
tersebut (g) dikonversi ke luas gejala (mm2) berdasarkan bobot
karton 0.6 mg yang luasnya 100 mm2 (Rindita et al. 2015).
Isolasi Cendawan UjiIsolasi cendawan selain C. capsici pada
cabai sehat dilakukan menggunakan metode pengenceran berseri
yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada medium ADK yang
mengandung kloramfenikol (100 mg L-1).
Sebanyak 100 g kulit dan daging buah cabai yang ditambahkan
akuades steril hingga volumenya 500 mL ditempatkan di dalam
blender, kemudian dihaluskan selama 1 menit sampai diperoleh
suspensi cabai dengan pengenceran 1:5. Dari pengenceran ini dibuat
pengenceran 1:10; 1:20; 1:100; dan 1:1000. Sebanyak 1 mL suspensi
dari setiap pengenceran ditempatkan di dalam cawan petri (diameter
9 cm), kemudian ditambahkan 12 ± 1 mL medium ADK (40 ± 2 °C) yang
mengandung kloramfenikol (100 mg L-1) dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 7 hari.
Pengamatan dilakukan terhadap koloni cendawan yang berbeda warna
dan pola pertumbuhannya, dan dipindahkan ke medium ADK tanpa
kloramfenikol. Setiap isolat cendawan diuji sifat antagonisnya
terhadap C. capsici yang patogenisitasnya terhadap cabai var. IPB
Perbani paling tinggi.
Uji Antagonisme antara Cendawan Uji dengan C. capsici secara in
Vitro
Setiap isolat cendawan selain C. capsici yang diisolasi dari
kulit dan daging cabai sehat diuji sifat antagonisnya terhadap C.
capsici yang patogenisitasnya paling tinggi menggunakan metode
biakan ganda (Skidmore dan Dickinson 1976) (Gambar 1).
Colletotrichum capsici ditumbuhkan pada 3 waktu yang berbeda,
yaitu pada waktu yang sama dengan inokulasi cendawan uji
152
Gambar 1 Skema uji antagonisme antara cendawan uji dengan
Colletotrichum capsici BIO 51046 pada medium ADK. A, C. capsici BIO
51046; B, cendawan uji; J1, jari-jari koloni C. capsici BIO 51046
yang tumbuh ke arah berlawanan dengan tempat cendawan uji; J2,
jari-jari koloni C. capsici BIO 51046 yang tumbuh ke arah cendawan
uji (mm).
A
B
J1
J2
3 cm
3 cm
3 cm
-
J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.
(cendawan berfilamen dan khamir), 3 hari setelah inokulasi
cendawan uji (cendawan berfilamen), dan 7 hari setelah inokulasi
cendawan uji (kelompok khamir). Set