-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Mekanisme Pengendalian dalam Perencanaan Generasi Ketiga. Studi
Kasus: Pengendalian dalam Mewujudkan Kota Hijau
DR. Ir. Agus Dwi Wicaksono, lic.rer.reg.
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya
Malang, email:[email protected] dan [email protected]
1. Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia
mengalami peristiwa-peristiwa penting yang
membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan sosial politik
dan ekonomi. Perubahan yang terjadi antara lain dalam bidang sosial
politik (dari Sentralitas Kekuasaan menjadi Desentralisai, dari
Otoriter menjadi Demokratis), dalam bidang ekonomi (dari
Pengelolaan Keuangan Terpusat menjadi pengelolaan secara
lokal-regional, dari pasar lokal menjadi pasar global), dalam
bidang institusi (terjadinya Globalisasi) serta bidang fisik
(terjadinya Domestikasi).
Perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung membawa
dampak terhadap bidang perencanaan. Tuntutan akan perencanaan yang
berkualitas menjadi suatu kebutuhan untuk mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi. Bukan merupakan rahasia lagi
bahwa rencana yang ada di Indonesia saat ini masih banyak yang
berfungsi sebagai macan kertas. Secara konsepsual dan visual
menarik dan indah, namun sedikit sekali pengaruhnya terhadap
kehidupan masyarakat sehari-hari atau dapat dikatakan sangat lemah
dalam pelaksanaannya. Bahkan secara nyata banyak sekali dijumpai
produk-produk rencana yang hanya menghias lemari instansi-instansi
pemerintah. Pemanfaatan dan pengendalian rencana menjadi salah satu
ttitik kritis dalam keseluruhan siklus perencanaan
Dengan tantangan kondisi ke depan yang berkembang cepat dan
kompleks serta juga tuntutan yang semakin besar terhadap peran
perencanaan, maka dituntut agar perencanaan harus semakin
berkualitas. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas perencanaan,
disamping juga faktor dinamis dari perencanaan yang selalu
mengikuti paradigma yang ada. Namun apapun paradigmanya, tetaplah
muara dari semua paradigma adalah sintagma perencanaan, sebagai
suatu proses hakiki perencanaan. Model perencanaan yang saat ini
masih banyak digunakan dalam dunia praksis maupun akademis di
sekolah-sekolah perencanaan di Indonesia adalah model perencanaan
rasional komprehensif yang mulai dikenalkan sekitar tahun 1940an.
Telah banyak kritik terkait dengan model perencanaan rasional
komprehensif. Sebagai model perencanaan generasi pertama,
perencanaan rasional komprehensif dianggap terlalu ideal, tidak
fokus serta proses perencanaannya menuntut sumberdaya besar. Kritik
terhadap model perencanaan generasi pertama tersebut memunculkan
antitesa yang menghasilkan perencanaan generasi kedua. Sejak tahun
1960an telah banyak model yang mencoba menyempurnakan dan bahkan
merombak model perencanaan rasional komprehensif, seperti model
perencanaan advokasi, perencanaan inkremental, perencanaan jangka
menengah, perencanaan strategis, perencanaan radikal dlsb. Namun
aplikasinya secara praksis masih belum banyak digunakan, terutama
pada perencanaan spasial atau tata ruang.
Salah satu tahap proses perencanaan rasional komprehensif yang
sering menjadi menjadi titik kritis adalah pemanfaatan dan
pengendalian rencana, yang merupakan phase transisi antara rencana
yang berada pada aras konsepsual menjadi tindakan untuk mewujudkan
rencana yang berada pada aras operasional. Atas dasar tersebut
tulisan ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai
berikut : (i) Bagaimanakah perubahan paradigma dan sekaligus
perkembangan model perencanaan pada era transisi saat ini?, (ii)
Bagaimanakah meningkatkan kualitas pengendalian perencanaan pada
model perencanaan generasi terakhir umtuk mewwujudkan kota
berkelanjutan?
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
2. Perkembangan Model Perencanaan
2.1. Perencanaan Generasi Pertama Karakteristik "generasi
pertama" perencanaan, yang banyak dipelajari pada sekolah
perencanaan dan juga dipraktekan sampai tahun 1970an, memiliki
ciri khas sebagai suatu proses rasional yang menganalogikan sebagai
proses ilmiah dalam riset. Ciri lain yang dapat diidentifikasikan
adalah keinginan untuk mempertimbangkan semua aspek dalam setiap
pengambilan keputusan. Secara umum proses perencanaan rasional
komprehensif dipartisi menjadi delapan tahap sebagai berikut:
memahami masalah mengumpulkan informasi menganalisis informasi
menyusun solusi menilai solusi mengimplementasikan solusi menguji
solusi memodifikasi solusi, jika diperlukan.
Walaupun berbagai penulis dan perencana memilah tahap
perencanaan generasi pertama dengan lebih rinci atau juga ada yang
lebih makro, ataupun dengan istilah yang berbeda, namun secara
implisit perencanaan generasi pertama didasarkan asumsi dan prinsip
yang sama, sebagai berikut:
Perumusan masalah dan solusinya merupakan dua tahapan yang
diskrit dan independen satu sama lain.
Pendekatan perencanaan harus bersifat rasional dan objektif.
Prosesnya tidak hanya didukung oleh satu disiplin ilmu saja, tetapi
melibatkan banyak disiplin (multidisiplin).
Solusi dalam perencanaan bersifat optimal, yang memiliki makna
bahwa semua aspek yang relevan dimaksimalkan untuk mendapatkan
nilai tunggal Asumsi dan sudut pandang inilah yang menjadi dasar
bagi model perencanaan rasional.
Sebagian besar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
perencana didasarkan atas pertimbangan utama rasionalitas, yaitu
mengembangkan alternatif solusi dan memilih solusi atau alternatif
dengan kriteria yang rasional.
Seperti yang telah banyak diungkapkan, asumsi dan prinsip yang
ideal di atas ternyata dalam prakteknya menjadi tidak realistik dan
juga tidak aplikatif. (Schnwandt, 2008).
2.2. Perencanaan Generasi Kedua Karakteristik perencanaan
generasi kedua sangat kontras dengan perencanaan generasi
sebelumnya, yang telah diuraikan di atas. Jika proses
perencanaan generasi pertama didominasi oleh tame problem atau
'masalah jinak' atau masalah yang sederhana, maka perencanaan
generasi kedua berkaitan dengan masalah yang kompleks (wicked
problem).. 'Masalah jinak' dianalogikan sebagai masalah yang
terdapat dalam permainan catur atau penyelesaian soal matematika.
Setiap masalah dalam permainan catur atau penyelesaian persamaan
matematika, dapat dibayangkan memiliki satu solusi yang jelas dan
pasti untuk menyelesaikan masalah yang ada. Selanjutnya, jika suatu
masalah telah dapat dipecahkan, maka solusi yang digunakan dapat
menjadi acuan atau bahkan menjadi aturan bagi yang menghadapi
masalah sejenis.
Hal tersebut berbeda dengan karakteristik masalah kompleks
(wicked problem) yang terdapat pada perencanaan generasi kedua.
Penulis lain (Simon,1973 dalam Schnwandt, 2008) memberikan istilah
'ill-defined problem' atau 'ill-structured problem' pada masalah
generasi kedua. Karakteristik 'masalah kompleks' dicirikan sebagai
berikut: a. Setiap masalah kompleks pada dasarnya bersifat
unik.
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
b. Tidak terdapat suatu batasan yang baku dalam masalah
kompleks. Setiap deskripsi tentang masalah hanya bersifat sementara
dan dianggap sebagai suatu gejala (simptom) dari masalah yang
lain.
c. Deskripsi terhadap masalah kompleks dapat dipandang dari
berbagai macam sudut pandang. Pilihan sudut pandang ini akan
menentukan metode pemecahan masalahnya.
d. Solusi potensial untuk 'masalah kompleks', selain tidak dapat
ditentukan jumlah tepatnya, juga tidak memiliki tolok ukur
kuantitatif yang dapat digunakan dalam proses perencanaan.
e. Tolok ukur keberhasilan solusi yang digunakan tidak
menggunakan nilai 'benar atau salah' namun lebih baik atau lebih
jelek.
f. Seorang perencana tidak dapat melakukan kegaiatan eksperimen,
seperti yang dilakukan oleh ilmuwan di laboratorium, sehingga
diharapkan tidak melakukan kesalahan yang fatal dalam proses
perencanaan.
g. Setiap implementasi solusi masalah merupakan suatu proses
final dan linear yang tidak memungkinkan adanya 'trial and
error'
h. Dengan pertimbangan bahwa deskripsi dan pemahaman masalah
bersifat temporer, maka tidak terdapat aturan baku terkait dengan
pemecahan masalah.
Tidak diragukan lagi, bahwa perencanaan generasi kedua dari
Rittel (1972, 1973) membawa dampak yang mendasar terhadap teori
perencanaan. Perubahan yang paling penting adalah kenyataan bahwa
setiap perencanaan harus didukung oleh dasar filosofis yang kuat.
Manifestasinya adalah bahwa setiap pengetahuan tidak sepenuhnya
handal dan selalu didasarkan asumsi metafisik dan sangat tergantung
dari paradigma tertentu. Sehingga konsep-konsep seperti obyektif
untuk mendeskripsikan masalah, atau optimal untuk menentukan solusi
pemecahan masalah, tidak dapat lagi digunakan dalam proses
perencanaan karena memang justru konsep tersebut yang banyak
dikritik oleh perencanaan generasi kedua. Rittel lebih mengusulkan
penggunaan nilai-nilai aksiologis dan etika bagi proses
perencanaan. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu kelemahan
perencanaan generasi kedua, karena model perencanaan generasi kedua
banyak mengesampingkan bahkan menghilangkan tujuan-tujuan
perencanaan itu sendiri. Sebagai contoh, dengan asumsi bahwa setiap
masalah dalam perencanaan generasi kedua ini bersifat unik (wicked
problem), maka dengan sendirinya tidak ada sesuatu yang dapat
ditransfer atau dianalogikan untuk kasus perencanaan. Akibatnya
pula tidak akan dikenal sistematisasi dalam perencanaan, seperti
survey yang sistematis, analisis yang sistematis atau pengambilan
keputusan yang sistematis.
2.3. Perencanaan Generasi Ketiga Pada bagian ini akan diuraikan
model perencanaan yang lebih maju lagi, yaitu perencanaan
generasi ketiga. Dasar dari perencanaan generasi ketiga ini
adalah teori sistem, yang dikembangkan oleh Heidemann (1992).
Dengan maksud, supaya substansi 'perencanaan' yang sangat kompleks
dapat distrukturkan, maka harus dibahas kembali teori sistem yang
menjadi dasar bagi model perencanaan.
Pada saat ini, pemahaman terhadap sistem mengalami
penyederhanaan makna. Sebagai contoh beberapa tulisan (Jantsch
1992, Siegwart 1996, atau Luhmann 1996), mendefinisikan sistem
sebagai suatu jaringan antar komponen dan keterkaitannya secara
bersama-sama membentuk suatu kesatuan. Atau sistem dimaknai sebagai
suatu kesatuan yang terdiri dari kumpulan elemen, yang saling
berkaitan. Ditambahkan beberapa contoh sistem antara lain atom yang
merupakan sistem dari partikel dasar; sel hidup sebagai sistem dari
keterhubungan organik atau reaksi enzim; masyarakat sebagai suatu
sistem dari beragam individu manusia yang memiliki saling
keterkaitan satu sama lain. Definisi di atas sering disebut sebagai
model hubungan elemen dari sistem. Namun demikian model sistem
tersebut tidak lepas dari berbagai ktitik. diantaramya terlalu
memfokuskan pada proses internal (inner workings), yaitu pada
elemen dan keterkaitannya dengan elemen yang lain serta terhadap
keseluruhannya, tanpa mempertimbangkan hubungan dengan
lingkungannya.
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa teori sistem bukan
hanya mengisolasi hubungan antar inti atau elemen saja, namun juga
hubungannya dengan limgkungan. Pertimbangan
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
tersebut secara struktural menempatkan elemen suatu sistem yang
selalu berkaitan dengan dengan lingkungannya. Paradigma baru teori
sistem, yang sering disebut sebagai paradigma sistem-lingkungan,
memandang sistem sebagai bentukan dari sistem-inti yang menyatu
dalam suatu lingkungan yang lebih besar atau luas.
Dalam teori perencanaan, paradigma baru tersebut memunculkan
tesa there is no planning per se, atau tidak ada perencanaan yang
berdiri sendiri atau mandiri. Perencanaan selalu diinisiasi oleh
manusia yang memilki karakter biologis dan perilaku yang spesifik,
yang selalu berinteraksi dengan organisasi atau bekerjasama dalam
proyek, yang hidup dan beraktivitas dalam lingkungan sosial dan
budaya, dan yang memilik kemampuan, ketrampilan serta keterbatasan
tetentu (yang didefinisikan sebagai hambatan). Sebagai contoh,
manusia memiliki hambatan bahwa persepsi manusia terhadap terhadap
dunia (lingkungan) akan selalu selektif, secara makna tidak
komplit, dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan kognitif yang
terbatas. Kemampuan kognitif yang terbatas juga dicontohkan bahwa
manusia tidak memilki kekuatan untuk merubah semua yang kita
inginkan (sesuai tujuan rencana).
Suatu model perencanaan seharusnya mempertimbangkan semua
hambatan dan kualifikasi di atas. Pencarian model tersebut terjawab
oleh pendekatan teori yang pertama kali diungkapkan oleh seorang
ahli biologi Jacob von Uexkuell (Heidemann, 1992). Pendekatan teori
von Uexkuell menegaskan teori sistem-inti/komponen serta secara
eksplisit menggarisbawahi bukan hanya keterbatasan kemampuan
persepsional manusia terhadap lingkungan sekitar, namun juga
keterbatasan kapasitas kognitif manusia serta keterbatasan
kemampuan manusia untuk melakukan tindakan. Menurut Uexkuell,
setiap organisme dan termasuk juga manusia, hanya mampu menyerap
sebagian dari stimuli yang diproduksi oleh lingkungan sekutar
(external world), serta meresponnya dengan cara yang spesifik.
Respon tersebut berpengaruh secara spesifik pula terhadap
lingkungan eksternal dan kembali memberikan stimuli terhadap
organisme. Siklus tertutup tersebut oleh Uexkuell disebut sebagai
siklus fungsional.
Environments
AgentsCognitive World
Effectual WorldSensory World
Setting
Sensory Apparatus
Cognitive Apparatus
EffectualApparatus
Situation
Gambar 1. Siklus Fungsional (Heidemann, 1992 diadaptasi dari
Uexkll)
Siklus fungsional dapat diartikulasikan sebagai berikut (lihat
gambar 1 di atas): Stimuli eksternal yang mempengaruhi setiap
organisme akan ditangkap/ dipersepsikan oleh Agents dengan bantuan
Sensory Apparatus yang berada dalam Sensory World. Pada manusia
Sensory Appartus ini dikenal sebagai organ pancaindera yang
memiliki keterbatasan dalam menangkap semua stimuli yang berasal
dari lingkungannya. Jika stimuli yang berasal dari lingkungan tidak
dapat dideteksi oleh pancaindera, maka stimuli tersebut selanjutnya
juga tidak dapat diinterpretasikan. Cognitive Apparatus suatu
organisme yang berada di Cognitive World, merupakan perangkat atau
organ yang
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
memiliki kemampuan sekaligus keterbatasan untuk mempengaruhi
tindakan yang diinginkan. Pengaruh suatu organisme terhadap
lingkungannya akan menggunakan Effectual Apparatus dalam Effectual
World yang juga terbatas sesuai kemampuan dan jangkaun Effectual
World sertiap organisme.
3. Model Perencanaan Generasi Ketiga Model Uexkuell di atas
memberikan pemahaman berbagai kemungkinan akan peran seorang
perencana, yang berpersepsi, berpikir dan bertindak (dan yang
berproses dalam organisasi), yang memikliki latar belakang tingkat
pengetahuan, dan yang hidup dalam lingkungan (yang juga akan
membatasi perangkat tindakan yang dimiliki seorang perencana).
Ide dasar dari model perencanaan generasi ketiga dapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut (lihat gambar 2)
Life World
Planning World
Pemahaman thdSITUASI
OUTCOME SETTING INTERVENSI
Komunikasitentang
PERILAKU
PenyusunanINSTRUKSI
Gambar 2. Skema Dasar Perencanaan (diadaptasi dari Heidemann,
1992)
Sensory World dalam skema dasar perencanaan diartikan sebagai
Pemahaman terhadap Situasi. Hal ini merujuk pada kemampuan dan
kapasitas perencana untuk mempersepsikan dan menginterpretasikan
lingkungannya. Tahap pemahaman terhadap situasi merupakan phase
transisi antara Life World dengan Planning World.
Selanjutnya cognitive world dalam modelnya Uexkll diterjemahkan
sebagai penyusunan/ perumusan instruksi, dimana perencana dengan
kapasitas dan kemampuannya merumuskan langkah-langkah untuk
menentukan atau mengendalikan tindakan yang sesuai. Instruksi
(dalam bentuk rencana, deskripsi atau arahan) merupakan
langkah-langkah bagi pihak ketiga untuk melakukan tindakan tertentu
(seperti misalnya: membangunan fasilitas umum, membangun jalan,
membangun rumah atau merevitalisasi kawasan).
Pada adaptasi model Uexkll untuk model dasar perencanaan, konsep
effectual world diterjemahkan ke dalam dua bagian yaitu komunikasi
tentang perilaku dan intervensi. Hal ini disebabkan karena proses
perencanaan berhadapan dengan kondisi yang kompleks. Dalam istilah
yang lebih konkret: perencanaan harus dipahami sebagai aktivitas
pada domain publik, yang tidak dapat mengimplementasi semua
instruksi secara langsung dan cepat. Seringkali diperlukan pula
modifikasi terhadap instruksi yang telah disusun pada planning
world .Bagian kedua yang merupakan terjemahan dari effectual world
adalah intervensi, karena muara dari perencanaan adalah perubahan
dalam dunia nyata. Seperti halnya pada effectual world, maka
setting juga
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
diterjemahkan menjadi dua bagian. Hal ini dilakukan untuk
membedakan antara situasi sebelum dan sesudah Intervensi dari
perencana.
Selanjutnya untuk memperjelas model dasar perencanaan,
dikembangkan pula model perencanaan disertai dengan beberapa kata
kunci seperti diartikulasikan pada gambar 3 berikut.
Life WorldArenaAgenda
Planning WorldPendekatanInstitusi
Pemahaman thdSITUASI Eksplorasi Interpretasi
OUTCOME Preservasi Modifikasi
SETTING Spasial Sosial Ekonomi Lingkungan Politik-Adm.
INTERVENSI Pengaturan Lokasi Pembangunan &
Pemelilhraan Fas Mempengaruhi
Perilaku
Komunikasi ttgPERILAKU Komunikasi Persetujuan
PenyusunanINSTRUKSI Merumuskan
Solusi Menilai Solusi
Gambar 3. Skema Perencanaan dengan Kata Kunci (diadaptasi dari
Heidemann,
1992) Secara selintas saja dapat disimpulkan bahwa dalam
perencanaan minimal terdapat dua (2)
titik kritis yang rentan terhadap kesalahan yang dapat berakibat
terhadap penurunan kualitas rencana maupun perencanaan. Titik
kritis Pertama berada pada tahap Pemahaman terhadap Situasi, dimana
terjadi transformasi informasi dari level Faktual (Life World) ke
level Konsepsual (Planning world). Tahap ini, secara sederhana
dikenal sebagai tahap survey untuk memahami wilayah perencanaan.
Sedangkan titik dimana terjadi tranformasi informasi dalam bentuk
rencana pada level Konsepsual ke level Faktual, merupakan titik
kritis Kedua, yang dikenal sebagai tahapan Komunikasi tentang
Perilaku dan Intervensi. Sebetulnya masih terdapat beberapa titik
kritis lain selain kedua titik transisi dan juga tahap analisis,
namun pada kedua titik kritis transisi kemungkian bias informasi
akan lebih besar dibandingkan pada titik yang lain.
Planning by Spidol atau Perencanaan dari atas Meja mungkin
merupakan ungkapan sinis terhadap proses perencanaan yang sering
kita lakukan bersama. Namun ungkapan tersebut dapat menggambarkan
secara nyata, bagaimana suatu proses perencanaan di Indonesia
berlangsung. Pelajaran yang dapat kita tarik dari kritik tersebut
di atas adalah perencanaan lebih banyak hanya dilakukan dari atas
meja tanpa pemahaman yang mendalam terhadap wilayah perencanaan.
Hal inilah yang akhirnya yang memunculkan antitesa terhadap proses
perencanaan yang konvensional dengan mengetengahkan pendekatan
perencanaan partisipatif, fenomenologis ataupun induktif planning.
Hakekat dari antitesa tersebut sebetulnya adalah masyarakat yang
berada dalam wilayah perencanaan sendirilah yang paham betul
mengenai kondisi wilayahnya sehingga dapat menentukan ke arah mana
wilayah atau bahkan kehidupannya akan dibawa.
Pemahaman akan wilayah perencanaan memang merupakan titik kritis
pertama. Berdasarkan dari pengalaman yang ada terdapat beberapa
kemungkinan-kemungkinan yang mengakibatkan bias informasi antara
manisfestasi faktual dengan artikulasi konsepsual sehingga
menyebabkan kualitas data atau informasi dan akhirnya juga kualitas
rencana menjadi rendah. Kejadian yang berada pada level Faktual
dapat ditransformasikan menjadi Data sebagai suatu deskripsi
kuantitatif/kualitatif pada level Konsepsual, apabila kejadian
tersebut secara impresif meninggalkan Jejak (traces).
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Berdasarkan karakteristiknya Jejak dapat bersifat permanen, yang
pada umumnya berbentuk memori, ataupun bersifat non permanen,
berbentuk persepsi yang dicerap oleh indera. Representasi kondisi
faktual atau transformasi dari Kejadian Jejak Data akan melibatkan
tiga tahapan aktivitas yaitu : Scanning Recording Measurement.
Kualitas transformasi yang mengalir akan sangat tergantung dari
kualitas penerapan tiga tahapan di atas atau observasi (Heidemann,
1990).
Tahap Scanning meliputi pula siklus interpretasi, sehingga
dikenal pula sebagai siklus eksplorasi-interpretasi. Mekanisme
interpretasi merupakan merupakan proses kebalikan dari
KejadianJejakData menjadi DataJejakKejadian sebagai representasi
kejadian pada level Faktual. Proses interpretasi melibatkan tiga
tahapan aktivitas yaitu : Decoding Assignment Ascription. Kualitas
yang baik dari mekanisme ini (pemahaman) akan menjadi dasar pijakan
bagi interpretasi kejadian-kejadian pada level Faktual dengan
dukungan kognitif teoritis.
Secara emperical science, mekanisme eksplorasi dan interpretasi
merupakan suatu mekanisme bersifat siklus yang akan selalu terkait
dan interdependen. Perbaikan siklus Scanning (Eksplorasi dan
Interpretasi), diantaranya dicapai melalui:
Perbaikan prosedur dan peningkatan pemanfaatan kemajuan
teknologi untuk memindai kejadian, merekam jejak dan mengukur data.
Pemanfaatan citra satelit, foto udara, teknologi digital, kamera.
Tujuan dari pemanfaatan kemajuan teknologi diharapkan akan dapat
memindai kejadian secara lebih teliti, lebih luas, lebih jauh,
lebih dalam; merekam data secara lebih cepat, lebih fleksibel,
lebih mudah; serta mengukur data secara lebih teliti dan cepat.
Mendukung terciptanya situasi yang kondusif bagi kejernihan
transformasi memori dan persepsi kedalam bentuk data. Prakondisi
ini diperlukan terutama untuk transformasi kejadian yang berkaitan
dengan proses sosial individu maupun masyarakat.
Pengkayaan dan peragaman kognitif teoritis serta konsep-konsep
spesifik yang digali dari kearifan setempat terutama untuk
mendukung mekanisme interpretasi
PENJELASANPENJELASAN
REPRESENTASIREPRESENTASIOBSERVASIOBSERVASI
REFL
EKSI
REFL
EKSI
KEJADIANKEJADIAN
AskripsiAskripsi
ScanningScanning
JEJAKJEJAK
PerekamanPerekaman
PenilaianPenilaian
DATADATA
PengukuranPengukuran
DecodingDecoding
INTERPRETASIINTERPRETASI
EKSPLORASIEKSPLORASI Gambar 4. Siklus Eksplorasi Interpretasi
(diadaptasi dari Heidemann, 1992)
Jika titik kritis pertama berada pada titik transisi
transformasi dari level Faktual ke level Konsepsual, titik kritis
yang kedua berada pada titik transisi dari level Konsepsual ke
level Faktual. Proses yang terjadi adalah transformasi dari Rencana
yang berbentuk arahan atau pedoman yang berada pada level
Konsepsual ditransformasikan menjadi Kejadian atau Aktivitas pada
level Konsepsual. Mekanisme ini meliputi 3 (tiga) simpul yaitu:
TUJUAN-INTERVENSI-OUTCOME dengan siklus pengembangan dan pengujian,
yang dikenal sebagai siklus Pengendalian. Siklus dasar pengendalian
terdari dari gabungan 2 siklus yaitu siklus
Monitoring-Rekomendasi-Evaluasi-Tujuan yang berada pada aras
Planning World serta siklus Monitoring-Rekemendasi-Intervensi-Fakta
yang berada pada aras Life World (lihat gambar
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
MONITORINGFAKTA TUJUAN
INTERVENSI REKOMENDASI EVALUASI
Life World Planning World
Gambar 5. Siklus Dasar Pengendalian (diadaptasi dari Heidemann,
1992)
4. Kota Hijau (Eco City) dalam Konteks Kota yang Berkelanjutan
Sejak sustainable develoment mulai dicetuskan sebagai paradigma
baru pembangunan pada
tahun 1970an, sustainability menjadi terminologi ajaib yang
muncul secara luas dalam dokumen-dokumen perencanaan tingkat lokal,
regional, nasional dan bahkan global. Sejak saat itu pula, konsep
keberlanjutan menjadi salah satu tema yang sering diperdebatkan dan
digunakan sebagai konsep dalam ilmu wilayah dan kota serta
transportasi.
Berkelanjutan menjadi konsep yang paling sering digunakan dalam
perencanaan kota di Indonesia maupun di seluruh dunia. Pergeserean
paradigma yang terjadi dalam bidang perencanaan wilayah dan kota
serta urban design telah memunculkan kebutuhan akan pendekatan yang
lebih holistik, inklusif untuk memenuhi kriteria berkelanjutan.
Riddell tahun 2004 mengartikulasikan hubungan antara
berkelanjutan dan perencanaan kota ini melalui pernyataannya:
Sustainability requires ways to satisfy the lives of all without
exceeding the ecological capacity of biosphere. Future-friendly
towns and cities are key players in building a sustainable future .
Since it is at the local level where infrastructure related design
and policy shapes peoples lives and resource consumption, towns and
cities can be particularly effective in pioneering
sustainability
Secara formal penggunaan konsep berkelanjutan dalam penerapan
kebijakan perkotaan telah dimulai sejak tahun 1972, pada saat the
United Nations Conference on the Human Environment di Stockholm
menghasilkan beberapa rekomendasi terkait kota berkelanjutan.
Setelah itu beberapa inisiatif penting bermunculan seperti yang
tergambarkan pada tabel berikut
Tabel 1. Beberapa Inisiatif Penting dalam Implementasi Kota
Berkelanjutan
Tahun Peristiwa dan Inisiatif Kaitannya dengan Agenda Kota
Berkelanjutan
1972 United Nations Conference on the Human Environment
(UNCHA)
Rekomendasi I: Perencanaan dan Manajemen Permukiman yang
berkualitas secara Ekologis
1976 Habitat 1 (Vancouver) Penetapan program internasional yang
didesain
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
untuk mengurangi pertumbuhan area perkotaan1978 Pembentukan
United Nations Centre for
Human Settlement (UNCHS) Pemberian insentif terhadap pola dan
perilaku berkelanjutan bagi kehidupan di kawasan kota dan
perdesaan
1987 World Commission on Environment and Development
Paragrap 9: Tantangan Pekotaan, diuraikan sebagai kebutuhan
untuk mendorong lebih banyak komunitas perkotaan yang berkelanjutan
baik di negara maju maupun sedang berkembang.
1990 United Nations Sustainable Cities Programme
Integrasi antara UNCHS dan the United Nations Environment
Programme (UNEP) dalam hal insentif pembangunan berkelanjutan
1990 European Commissions Green Paper on the Urban
Environment
Tanggapan dan strategi Komisi Eropa tehadap kota-kota di Eropa
terkait masalah lingkungan dan kaitannya dengan kawasan
perdesaan
1991 European Commissions Expert Group on the Urban
Environment
Group Independen yang terbentuk dari perwakilan dan pakar
masing-masing Negara dengan tugas memberikan rekomendasi tentang
cara mengembangkan kota dan perencanaan guna lahan dalam menghadapi
masa depan yang disesuaikan dengan program lingkunagn Masyarakat
Eropa
1992 United Nations Conference on Environment and
Development
Agenda 21, Paragrap 2, Promoting Sustainable Human Settlement
Development
1993 European Sustainable Cities Programme Dibentuk oleh Panel
Ahli Komisi Eropa tentang Lingkungan Kota
1994 European Sustainable Cities Campaign Koalisi 80 otoritas
kota dan distrik untuk mengimplementasi kebijakan kota yang
berkelanjutan
1996 Habitat 11 The City Summit Fokus pada implementasi Agenda
21 pada kawasan perkotaan
Sumber : Whitehead 2013
4.1. Tipologi Kota Berkelanjutan Perkembangan bentuk kota telah
menjadi satu kesatuan dengan perkembangan masyarakat,
politik, ekonomi, kelembagaan dan fisik ekologisnya. Dalam aspek
lingkungan, banyak penelitian menyimpulkan bahwa bentuk kota yang
kontemporer merupakan sumber dari berbagai macam masalah lingkungan
(Newman 1996, Kenworthy 2006). Penelitian tersebut juga
mengungkapkan bentuk kota mempunyai pengaruh langsung terhadap
habitat, ekosistem, keanekaragaman hayati dan kualitas air melalui
konsumsi lahan, fragmentasi habitat, serta konversi lahan terbuka
hijau. Selain itu, bentuk dan struktur ruang kota juga berpengaruh
terhadap perilaku perjalanan, dan akhirnya berdampak juga terhadap
kualitas udara.
Telah banyak kajian teoritis dalam jurnal maupun buku teks yang
membahas dan merekomendasikan beragam model, teori maupun solusi
preskriptif tentang bentuk dan struktur kota yang berkelanjutan
disertai dengan kriteria dan aspek positif dan negatifnya. Model
dan konsep konsep tersebut, dapat diklasifikasikan dalam empat
tipologi bentuk dan struktur ruang kota yang secara hipotesis
dianggap ramah dengan lingkungan (Jabareen 2006)
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
4.1.1. Neotraditional Development Bentuk kota dan permukiman
konvensional, memberi inspirasi terhadap beberapa arsitek
maupun planner dalam pencarian bentuk kota yang lebih baik
secara fisik, yang dikenal dengan model perencanaan kota
Neotradisional. Neo-traditional Development menekankan penggunaan
kembali pola grid dan jalan yang ramah bagi pejalan kaki. Pola ini
banyak digunakan pada awal abad 20an yang diklaim mampu
meningkatkan prosentase orang untuk berjalan kaki dan mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor. Beberapa literatur (Berman, 1996:
45) menguji perilaku umum perjalanan serta kecenderungan dan
kelayakannya pada model neo-traditional development.
Neo-traditional development akan mengurangi penggunaan kendaraan
bermotor secara signifikan jika permukiman tersebut menyediakan
akses yang dapat dijangkau. Hal ini mensyaratkan bahwa penduduk
juga bermukim pada lingkungan tersebut, sehingga fasilitas umumm
sosial dan perdagangan masih dalam jangkauan untuk dicapai dengan
berjalan kaki. Dampak paling besar pada pengaruh pola
neo-traditional development terhadap pengurangan penggunaan
kendaraan bermotor adalah perjalanan ke pusat-pusat perbelanjaan
sehingga diperlukan pengaturan tata guna lahan campuran untuk
menyediakan beragam fasilitas pada suatu kawasan. Penggunaan
jaringan jalan yang berpola grid akhirnya akan mengurangi kemacetan
pada jalan utama dan mengurangi waktu perjalanan.
Salah satu model pendekatan perencanaan neotradisonal yang
dikenal secara luas adalah New Urbanism. New Urbanism mendorong
penerapan strategi perencanaan kota tradisional agar lebih
mengurangi urban sprawl dan penurunan kualitas pusat kota dan
membangunnya (membangun kembali) secara lebih baik. Charles Bohl
(2000) mengungkapkan bahwa New Urbanism adalah suatu model
pendekatan sederhana dalam planning dan design, yang didasarkan
preseden histories untuk mengintegrasikan beragam tipe rumah dalam
satu permukiman.
New Urbanist yakin, bahwa karakter desainnya dapat memuaskan
penghuninya, mendorong masyarakat untuk berjalan kaki, meningkatkan
interaksi sosial dan menggairahkan sense of community. Selain
mempunyai karakter keragaman type rumah, kata kunci new urbanism
dan neotraditional adalah integreasi perbedaan struktur social dan
ekonomi, penerapan kepadatan yang lebih tinggi dan pengutamaan
aspek manusia dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Beberapa
gambaran suasana yang menjelaskan permukiman New Urbanism mirip
dengan suasana kota kecil di Amerika tahun 1920 an, dimana
rumah-rumah yang didominasi adanya teras depan, berada sepanjang
jalan yang sempit, setback bangunan yang kecil serta garasi yang
berada di halaman belakang (Jabareen 2006).
Neotradational Development atau New Urbanism menekankan pada
beberapa kriteria bentuk kota yang berkelanjutan. Dari sisi pandang
transportasi, Neotraditional mendorong lingkungan permukiman yang
berorientasi pedestrian. Dari segi kepadatan, model ini cenderung
kepada tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan
sekitarnya. Di samping itu disarankan pula penggunaan lahan
campuran (mix landuse) antara fungsi perumahan, perdagangan, jasa
dan fasilitas umum. Secara umum, kota ideal dari pandangan
Neotraditional, adalah kota yang mandiri, tidak mengelompok,
berorientasi pejalan kaki serta, mixed land uses, kepadatan yang
tinggi, pola jalan yang memberikan kesempatan pengemudi dan pejalan
kaki memiliki alternatif rute, serta memberikan kenyamanan bagi
pejalan kaki.
Model lain yang juga didasarkan atas model Neotradisional adalah
Transit Oriented Development (TOD). Beragam istilah lain juga
sering digunakan antara lain Transit Village,
Transit-Supportive-Development dan Transit-Friendly Design. Beragam
terminologi di atas, memiliki kesamaan kriteria, yaitu mixed used
development, pengembangan jalur Mass Rapid Transit (MRT) atau Light
Rapid Transit (LRT) yang melayani permukiman. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai upaya mengurangi ketergantungan akan kendaraan
bermotor. Digambarkan pula TOD sebagai lingkungan yang kompak
dengan guna lahan yang beragam, dan tersusun di sekitar
halte/stasiun MRT atau LRT. Stasiun/Halte, sebagai pusat
permukiman, dikelilingi oleh public space dan fasilitas umum .
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Seperti yang telah diungkapkan di atas, TOD mendorong
peningkatan penggunaan kereta api komuter dengan merencanakan
bentuk kota yang berbasis kereta api komuter. Resep tradisional TOD
adalah 3 D, yaitu density, diversity dan design: a. Density
(kepadatan). Densifikasi tata guna lahan sekitar stasion KA Komuter
atau Trem
bertujuan untuk mengkonsentrasikan penduduk, perumahan, tempat
kerja disekitar stasiun transit dan mendorong penduduk menggunakan
kereta api untuk melakukan perjalnan
b. Diversity (keragaman). Tata guna lahan campuran di sekitar
halte/stasiun KA komuter bertujuan mengurangi perpindahan moda ke
kendaraan bermotor, yang akhirnya juga akan mengurangi pemakaian
kendaraan bermotor dalam sehari melalui penyediaan guna lahan
campuran antara perumahan, perdagangan dan jasa disekitar stasiun
KA komuter. Hal ini memungkinkan sebagian besar penduduk dapat
mengakses dengan mudah ke fasilitas perdagangan, jasa dan pelayanan
lainnya yang berada di sekitar stasiun dengan berjalan kaki,
dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor (menciptakan
walkable community)
c. Design. Elemen urban design digunakan untuk mengkreasikan
area di sekitar stasiun atau halte lebih nyaman, ramah dan mudah
diakses dengan sepeda atau berjalan kaki. Desain ini meliputi
jalur, jembatan dan tunnel untuk sepeda, bicycle racks di stasiun,
traffic calming di kawasan perumahan, pembatasan parkir, serta
perabot ruang kota (penerangan, bangku taman, telpon umum dlsb)
yang estetis
4.1.2. Urban Containment Pada awal tahun akhir tahun 1980an dan
awal1900an, sebagian besar kota-kota di dunia dan
terlebih lagi di Eropa, berbentuk kompak dengan populasi
penduduk yang terkonsentrasi di dalam kota. Kondisi seperti ini
jauh berbeda dibandingkan dengan tahun 1960an sampai 1980, yang
pertumbuhan populasinya sebagian besar (95%) berada di kawasan
suburban. Pada saat ini, situasi yang tidak jauh berbeda dapat
dijumpai hampir disemua tempat, yaitu lebih banyak perkembangan
kota yang cenderung horizontal. Fenomena ini (urban sprawl),
ditandai dengan persebaran yang tidak beraturan antara kawasan
perumahan yang berkepadatan rendah dan kawasan perdagangan yang
cenderung strip development, sehingga meningkatkan ketergantungan
akan kendaraan bermotor.
Urban sprawl, yang memiliki ciri area terbangun tersebar dengan
kepadatan yang rendah, memakan lebih banyak lahan dibandingkan
dengan pengembangan secara kompak dan kepadatan yang tinggi.
Pengaruh perkembangan secara sprawl terjadi pula hampir diseluruh
kawasan perkotaan di dunia.
Secara umum, kebijakan urban containment mengidentifikasikan
minimal tiga (3) instrument untuk mengendalikan pertumbuhan kota.
Greenbelts (sabuk hijau) dan urban growth boundaries (batas
pertumbuhan wilayah kota) yang digunakan sebagai faktor pendorong,
sedangkan urban service areas (kawasan pusat pelayanan kota) yang
berfungsi sebagai faktor penarik. Sabuk hijau merupakan instrument
spasial yang bersifat sebagai pembatas dan pada umumnya berbentuk
jalur tipis yang mengelilingi suatu kota atau kawasan. Jalur tipis
ini bersifat permanen atau minimal peruntukannya sulit untuk
dikonversi. Pada banyak kasus, sabuk hijau berbentuk lahan terbuka
atau pertanian, yang telah dibeli dan dikuasai oleh pemerintah atau
organisasi non profit. Sabuk hijau merupakan kawasan yang
dikonservasi sebagai ruang terbuka atau ruang terbuka hijau serta
didesain sebagai penyangga yang melindungi sumberdaya alam dari
dampak pertumbuhan area terbangun. Beberapa konsep dalam tipologi
Urban Containment, antara lain Urban Growth Boundaries (UGBs), yang
merupakan batas administratif antara kawasan terbangun dengan tidak
terbangun untuk membatasi sprawl, melindungi ruang terbuka hijau
serta mendorong redevelopment kawasan kota (Rodriguez et al 2006
dan Woo 2007). Selain UGBs terdapat pula istilah lain secara formal
juridis, yaitu urban limit line (ULL), blue line, atau green line
sebagai instrumen fisik spasial yang memisahkan kawasan kota dan
perdesaan.
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
4.1.3. Compact City Awal promosi pengembangan berkelanjutan
dicetuskan oleh Le Corbusier yang mendesain
La Ville Radieuse (Radiant City) sebagai solusi terhadap masalah
yang muncul pada Victorian City. Karakteristik Radiant City yang
khas adalah dominasi tower blocks yang menjulang sehingga
memungkinkan kepadatan penduduk yang tinggi di antara open-spaces
yang luas. Ide radiant city dilanjutkan oleh Dantzig dan Saaty
dengan istilah compact city yang memiliki visi meningkatkan
kualitas hidup tanpa membebani generasi mendatang (Neuman 2005,
Talen 2006, Hirt 2007, Geurs et al. 2006, Schneider et al 2008).
Visi ini ternyata sejalan dengan prinsip pengembangan berkelanjutan
saat ini. Secara umum konsep compact city meliputi banyak strategi
dengan tujuan menciptakan kompaksi dan kepadatan untuk menghindari
masalah yang biasanya muncul pada desain dan kota modern. Beberapa
keuntungan dan kerugian penerapan Compact City pada beberapa negara
berkembang antara lain (Acioly Jr dan Claudio 2000):
a. Keuntungan Potensi munculnya interkasi sosial yang kuat
Aksesibilitas yang tinggi ke pusat-pusat pelayanan Penggunaan lahan
dapat dilakukan secara optimal dan efisien Pelayanan infrastruktur
dan angkunan umum lebih efisien Vitalitas dan keragaman kawasan
yang lebih tinggi
b. Kerugian Sarana prasarana menjadi overloaded dan padat
Angkutan umum cenderung crowded Polusi udara dan suara yang lebih
tinggi Ruang terbuka lebih sedikit Kelangkaan ruang untuk
sanitasi
4.1.4. Eco-City Eco-city merupakan payung metafora yang
merangkum beragam konsep urban-ecological
yang bertujuan mencapai kota yang berkelanjutan. Konsep ini
merangkum berbagai kebijakan lingkungan, social dan kelembagaan
yang mengarah terhadap pengelolaan ruang kota secara berkelanjutan.
Selain itu, Eco-city juga mendorong mendorong agenda-lingkungan
yang menekankan terhadap manajemen lingkungan melalui instrumen
kebijakan.
Ciri khas konsep Eco-city adalah greening dan passive solar
design. Dibandingkan dengan konsep lain, visualisasi eco-city
secara spasial kurang nyata (karena lebih menekankan pada kebijakan
aspasial). Terdapat beberapa konsep dan pendekatan yang menekankan
pada passive solar design, diantaranya the Ecovillage, Solar
Village (Van der Ryn and Calthorpe 1986), Cohousing (Roelofs
1999,240-42), dan Sustainable Housing (Edwards and Turrent 2000,
Boonstra 2000), Environmental City, Green City, Sustainable City,
Eco-City, Ecological City, Sustainable Urban Living, Sustainable
Community, Sustainable Neighborhood, dan Living Machines.
Berdasarkan beragam pendekatan di atas, dapat ditarik inti sari
konsepnya, yaitu eco-city tidak menyarankan suatu bentuk kota yang
spesifik melainkan lebih bersifat manajemen kota. Bentuk fisik kota
atau built environment bukan merupakan suatu yang paling penting
dalam pengembangan secara berkelanjutan, namun lebih menekankan
pada cara mengorganisasi dan mengelola masyarakat kota. Hal yang
sama diungkapkan pula oleh Talen, Emily dan Ellis (2002): Variabel
sosial, ekonomi, dan kultural merupakan aspek determinan dalam
membentuk kota yang berkelanjutan, dibandingkan struktur
spasialnya.
Studi atau penelitian lain juga menyimpulkan eco-city meliputi
sepuluh aspek sebagai berikut (Kentworthy, 2006: 78):
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Kota berbentuk kompak dan memiliki tata guna lahan campuran,
dengan pemanfaatan lahan yang efisien serta memproteksi lingkungan
alan, keanekaragaman hayati dan lahan pertanian.
Lingkungan alam mengisi dan membatasi ruang-ruang kota, sehingga
antara kota dan hinterland terjalin suatu rantai produksi dan
distribusi yang seimbang
Jalan bebas hambatan atau jalan tol di dalam kota dikurangi, dan
digantikan dengan jalur KA komuter, sarana prasarana bersepeda dan
berjalan kaki, sehingga penggunaan kendaraan bermotor dapat
diminimalkan.
Pemanfaatan teknologi lingkungan dalam pengolahan air, energi
dan limbah bersifat ekstensif serta sistem parasarana sebagai
penunjang kehidupan kota bersifat sistem loop.
Pusat dan sub pusat kota bersifat manusiawi, dapat dijangkau
dengan mudah tanpa kendaraan bermotor, serta menampung sebagian
besar perumahan.
Kota memiliki kualitas citra yang kuat, melalui ekspresi budaya
masyarakat dan good governance.
Struktur tata ruang kota dan urban design secara umum, dan ruang
publik secara khusus mampu mengartikulasikan dan beradaptasi dengan
keinginan masyarakat.
Kinerja ekonomi kota disusun secara inovatif, kreatif dan unik
yang berbasis potensi, budaya, sejarah lokal.
Perencanaan kota masa depan bersifat visioner, melalui proses
debate and decide bukan predict and provide.
Semua pengambilan keputusan berbasis ramah lingkungan, integrasi
sosial, ekonomi lokal serta prinsip kompaksi, transit oriented
city.
Dengan demikian, suatu kota dikelola untuk mencapai
keberlanjutan, melalui pengaturan tata guna lahan, lingkungan,
kelembagaan, soasial dan ekonomi (Robinson dan Tinker 1998; United
Nations Conference on Environment and Development 1992; United
Nations Framework Convention on Climate Change 1992; Council of
Europe 1993; European Commission 1994). Sebagai contoh: Agenda 21
menekankan pada manajemen terintegrasi pada level kota untuk
menjamin faktor lingkungan, social dan ekonomi dipertimbangkan
bersama-sama dalam kerangka sustainable city.
4.2. Kriteria Kota Berkelanjutan Berdasarkan uraian tipologi di
atas dan juga review teori yang ada, disimpulkan kota
berkelanjutan memiliki kriteria sebagai berikut (Jabareen 2006,
Wicaksono 2009) :
4.2.1. Kepadatan Selain kompaksi, kepadatan juga merupakan
terminologi yang penting dalam struktur ruang
kota berkelanjutan. Kepadatan merupakan perbandingan antara
penduduk atau unit bangunan dengan luas lahan suatu kawasan.
Hubungan antara kepadatan dengan karaktersitik kota juga didasarkan
pada konsep kelayakan ambang batas, yaitu jumlah penduduk minimal
yang dipersyaratkan untuk keberlangsungan aktivitas kota atau yang
dapat membangkitkan interaksi.
Pengaruh kepadatan (bersama dengan jenis bangunan) terhadap
sustainability, terjadi melalui perbedaan konsumsi energi, barang
dan lahan untuk perumahan, jalan dan sarana prasarana kota.
Kepadatan tinggi dan tata guna lahan yang terintegrasi, bukan hanya
mengurangi pemakaian sumber daya, tetapi juga mendorong interaksi
sosial melalui kompaksi. Kenworthy (2006) menyimpulkan beberapa
kebijakan yang dapat mengurangi pemakaian energi dengan
meningkatkan kepadatan kota, meningkatkan kualitas pusat kota,
mengoptimalkan lahan di dalam kota, menyediakan alternatif angkutan
umum yang baik, serta membatasi sarana prasarana untuk kendaraan
pribadi. Beberapa alternatif pengaturan bangunan dan KDB pada
tingkat kepadatan yang sama digambarkan sebagai beikut.
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
4.2.2. Keragaman Keragaman aktivitas merupakan esensi dari kota
berkelanjutan. Jane Jacobs (2002)
mempopulerkan konsep keragaman yang kemudian diadopsi secara
meluas oleh banyak model perencanaan kota, seperti new urabnism,
smart growth dan sustainable development. Jacobs juga menulis
In dense, diversified city areas, people still walk, an activity
that is impractical in the suburbs and in most grey areas. The more
intensely various and close-grained the diversity in an area, the
more walking. Even people who come into a lively, diverse area from
outside, whether by car or by public transportation, walk when they
get there
Terdapat banyak kesamaan antara tata guna lahan campuran dengan
keragaman. Namun yang membedakan adalah keragaman merupakan
fenomena multidimensional yang memdorong variasi dalam hal jenis
perumahan, kepadatan bangunan, ukuran rumah tangga, usia, budaya
dan pendapatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keragaman banyak
terkait dengan konteks sosial dan budaya
4.2.3. Tata Guna Lahan Campuran Bebrapa puluh tahun yang lalu,
perencanaan kota konvensional masih mengganggap bahwa
unmixing kota dengan zonasi yang eksklusif (rigid zonning)
sebagai suatu konsep yang ideal. Dampaknya adalah semakin jauh
panjang perjalanan yang dilakukan serta berkurangnya daya tarik
kota.
Penggunaan lahan campuran atau zonasi yang heterogen
memungkinkan guna lahan yang sesuai dan saling membutuhkan untuk
berdekatan sehingga dapat mengurangi jarak tempuh antar aktivitas.
Tata guna lahan campuran ditandai dengan keragaman fungsi guna
lahan dalam suatu area, seperti perumahan, perdagangan, jasa,
perkantoran, industri dlsb. Dampak selanjutnya adalah pengurangan
penggunaan kendaraan pribadi untuk berbelanja, ke tempat pekerjaan,
sekolah dan tempat rekreasi. Pengunaan konsep tata guna lahan
campuran setidaknya menjamin bahwa banyak sarana pelayanan kota
berada dalam radius yang memungkinkan untuk dicapai dengan berjalan
kaki dan bersepeda. Disamping itu penggunaan lahan campuran dapat
merevitalisasi bagian kawasan kota dengan penambahan fungsi
baru.
4.2.4. Kompaksi Kompaksi suatu lingkungan bina merupakan
strategi yang diterima secara luas untuk
mencapai struktur ruang kota yang lebih berkelanjutan. Konsep
kompaksi diterapkan untuk mengarahkan perkembangan kota pada
struktur ruang kota yang ada, sehingga dapat meminimalkan energi
untuk kebutuhan transportasi, air, barang dan manusia. Dengan
intensifikasi, yang merupakan strategi utama untuk mencapai
kompaksi, kepadatan bangunan dan aktivitas dapat meningkat sehingga
akhirnya bermuara pada penggunaan lahan kota menjadi yang lebih
efisien. Beberapa penelitian (Acioly Jr dan Claudio C. 2000)
menganggap bahwa kompaksi merupakan tipologi yang paling penting
untuk mencapai kota berkelanjutan. Sebagai contoh dikatakan bahwa
kota berkelanjutan harus kompak, padat, beragam dan terintegrasi
secara kuat. Struktur ruang kota yang terbentuk akan dapat
mendorong masyarakat untuk berjalan kaki dengan mudah dan
mengurangi keinginan untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Pada penentuan nilai indiaktor, Hasse dan Kornbluh merumuskan
indikator tingkat kompaksi berdasarkan tingkat aksesibilitas ke
pusat-pusat pelayanan.
Tabel 5. Kategori tingkat Kompaksi berdasarkan aksesibilitas ke
Pusat Pelayanan
Tingkat Kriteria Karakter Kawasan
A Jarak rata-rata ke pusat pelayanan = 0 750 m Berorientasi
Berjalan Kaki (Walking Smart Growth)
B Jarak rata-rata ke pusat pelayanan =751 1.500 m Berorientasi
Kendaraan tidak
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
bermotor (Bicycle Smart Growth) C Jarak rata-rata ke pusat
pelayanan =1.501 3.000 m Suburban Sprawl D Jarak rata-rata ke pusat
pelayanan =3.001 6.000 m Rural Sprawl E Jarak rata-rata ke pusat
pelayanan > 6.000 m Excessive Sprawl
Sumber : Hasse dan Kornbluh 2004
4.2.5. Transportasi Berkelanjutan Tidak diragukan lagi, bahwa
transportasi merupakan masalah terbesar dalam perdebatan
lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur ruang
kota. Hal yang menarik adalah sustainability diartikan sebagai
minimalisasi mobilitas maupun panjang perjalanan (Handy, 2005).
Menurut Handy, bentuk kota berkelanjutan harus memiliki struktur
yang sesuai untuk melakukan pergerakan dengan berjalan kaki,
bersepeda dan angkutan umum yang efisien, serta harus berbentuk
kompak dan mendorong interkasi sosial.
Dalam hal ini, transportasi berkelanjutan didefinisikan sebagai
pelayanan transportasi dengan merefleksikan biaya sosial dan
lingkungan yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan serta
adanya kesimbangan antara kebutuhan akan mobilitas dengan kebutuhan
akan aksesibilitas, kualitas lingkungan dan permukiman yang
nyaman.
Kebijakan pengembangan kota berkelanjutan, seharusnya juga
mencakup pengurangan keinginan untuk melakukan perjalanan dan
menciptakan kondisi yang sesuai untuk transportasi yang efisien dan
ramah lingkungan. Asumsinya adalah, jika pemisahan aktivitas secara
spasial lebih pendek, maka keinginan untuk melakukan perjalan juga
menjadi kecil dan mudah dicapai dengan berjalan kaki, bersepeda,
dan moda transportasi lainnya yang ramah lingkungan.
4.2.6. Passive Solar Design Passive Solar Design merupakan titik
sentral dalam usaha untuk mewujudkan bentuk dan
struktur ruang kota yang berkelanjutan. Konsep umumnya adalah
mereduksi kebutuhan energi dan menyediakan penggunaan energi pasif
melalui design tertentu.
Desain yang berpengaruh terhadap lingkungan bina, pada umumnya
melalui orientasi bangunan dam kepadatan bangunan. Asumsinya adalah
desain, posisi, orientasi, layout dan landskap dapat mendorong
penggunaan optimum pencahayaan dan kondisi iklim mikro untuk
meminimalkan kebutuhan akan pemanasan ataupun pendinginan bangunan
melalui sumber energi konvensional.
Wilayah kota dideskripsikan sebagai urban microclimate yang
memiliki perbedaan iklim pada skala yang berbeda. Moughtin dan
Peter (2005) menyimpulkan beberapa parameter desain yang dapat
meningkatkan kualitas iklim mikro dan mewujudkan kota
berkelanjutan, yaitu: (1) bentuk bangunan, yang mempengaruhi aliran
udara, view, sinar matahari dan tutupan permukaan; (2) koridor
jalan, mempengaruhi proses pemanasan dan pendinginan, kenyamanan
visual dan termal, serta pengurangan polusi; (3) desain bangunan,
yang mempengaruhi konversi dan pelepasan panas; (4) material
penutup permukaan, mempengaruhi penyerapan dan pemantulan panas;
(5) vegetasi dan permukaan air, mempengaruhi proses evaporasi;
serta (6) transportasi, mengurangi, menyebarkan dan mengalirkan
udara, panas serta kebisingan.
4.2.7. Penghijauan (Greening) Penghijauan kota atau green
urbanism juga menjadi konsep desain yang penting untuk
mewujudkan struktur ruang kota yang berkelanjutan. Ruang terbuka
hijau memiliki kemampuan untuk memberi kontribusi positif dalam
pengembangan kota berkelanjutan. Melalui penghijauan diharapkan
terjadinya integrasi antara alam dengan kota dan tetap menjaga
kehadiran alam dalam kehidupan masyarakat kota.
Terdapat beberapa keuntungan dengan adanya ruang terbuka hijau,
antara lain: (1) memberi konstribusi dalam keanekaragaman hayati
melalui konservasi dan peningkatan keunikan habitat kota; (2)
menjaga keseimbangan lingkungan fisik kota melalui pengurangan
polusi, menjaga air
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
tanah dan iklim kota; (3) memberi kontribusi peningkatan
kualitas visual kota; (4) meningkatkan kualitas hidup mahluk hidup
di perkotaan; (5) meningkatkan daya tarik ekonomi dan kebanggaan
bagi penduduk kota.
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mewujudkan green
urbanism antara lain (Beatly 2000): (1) tetap menjaga pengembangan
dalam batas ekologis; (2) mendesain dengan analogi alam; (3)
mendorongi metabolisme sirkular dibandingkan metabolisme linear;
(4) menjaga kemandirian secara lokal maupun regional; (5)
memfasilitasi gaya hidup yang lebih berkelanjutan; (6) menekankan
pada kualitas hidup masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dan analisis dekonstruksi, dapat
disusun suatu matriks dan model kota berkelanjutan seperti gambar
berikut
NEOTRADITIONAL DEVELOPMENT(Audirac 1994, Berman
1998)
Bentuk kompak, kepadatantinggi, tata guna lahan
campuran
Transp berkelanjutan, keragaman, kompak, tgl
camp.
City Greening, keragamanekol & kultur, manaj
berkelanjutanKebijajan yang menekankan
compatness
COMPACT CITY(Tsuei 1996, Holden 2005,
Neuman 2005, Burton 2000, dll)
URBAN CONTAINMENT(Rodriguez 2006, Woo
2007)
ECO-CITY(Kentworthty 2006)
Kepadatan
Keragaman
TGL Campuran
Kompaksi
TransportasiBerkelanjutan
Pasive Solar Design
Greening-Ecological Design
KOTA yang BERKELANJUTAN
tinggisdg
tinggi
tinggi
sdg
sdg
sdg
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
sdg
sdg
sdgsdg
sdg
sdg
sdg
sdg
New Urbanism, Transit Oriented Development, Transit Village,
Transit-friendly design,
Urban Growth Boundaries, Urban Limit Line, Green
Line
Environmental City, Green City, Sustainable City,
Sustainable Community
KRIT
ERIA
KOT
A BE
RKEL
ANJU
TAN
kecil kecil
kecil
kecil
kecil
kecil
KRIT
ERIA
STR
UKTU
R KO
TA
BERK
ELAN
JUTA
N
Gambar 6. Tipologi Kota Berkelanjutan
5. Mekanisme Pengendalian dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan
Seperti yang telah diungkapkan pada bagian 3 di atas, mekanisme
pengendalian memiliki
karakteristik berbeda dengan Pemahaman terhadap Situasi karena
transformasinya yang bersifat divergen, dengan tingkat kesulitan
yang tinggi, yaitu: Bagaimana mentransformasikan rencana yang
berada dalam aras (level) konsepsual mampu berperan sebagai arahan
atau pedoman bagi tindakan-tindakan yang diinginkan pada level
faktual. Apa jaminannya bahwa seluruh masyarakat atau Planning
Addressee melakukan aktivitas atau kegiatan sesuai dengan yang
direncanakan. Diperlukan monitoring dan rekomendasi yang secara
terus menerus mengikuti dan melekat pada mekanisme Control. Oleh
sebab itu dalam perencanaan sebetulnya lebih tepat menggunakan
istilah Pengendalian dibandingkan/ untuk menggantikan istilah
Realisasi.
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Level MANAJERIALLevel MANAJERIAL Level KONSEPSUALLevel
KONSEPSUALLevel OPERASIONALLevel OPERASIONAL
MONITORING
Kaji Banding antarakondisi yang
berkembang denganyang diharapkan
FAKTA
Kondisiyang ada/ kondisi yang
berkembang saat ini
TUJUAN
Kondisi atau Keadaanyang diharapkan
(RENCANA)
TINDAKANTindakan thd Kondisi ygada melalui INFORMASI, MOTIVASI,
ORGANISASI.
& INSTALASI
REKOMENDASIKesimpulan dari hasil
Kaji Banding untukmenentukan Tind./
Intervensi atau Revisi
EVALUASI
Evaluasiatau Revisi
Tujuan/ Rencana
Gambar 7. Mekanisme Pengendalian (Heidemann 1992, Wicaksono
1994,
Wicaksono 1999 Penjelasan singkat kegiatan utama yang terdapat
pada mekanisme pengendalian adalah
sebagai berikut:
5.1. Monitoring dan Rekomendasi: Yaitu merupakan kaji banding
antara fakta (kondisi yang ada atau sedang berkembang)
dengan tujuan (kondisi yang diharapkan, yang ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Kota). Pengawasan merupakan langkah awal dalam
keseluruhan mekanisme pengendalian kawasan untuk menjaga kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan. Tahap
pengawasan ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan rekomendasi
bagi tahap selanjutnya. Apabila dari hasil pengawasan didapat
kesimpulan bahwa rencana pemanfaatan ruang dapat mengarahkan dan
mempercepat proses pembangunan serta dapat direalisasikan, maka
kesimpulan akan merekomendasi intervensi-intervensi atau tindakan
untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya,
apabila rencana yang telah ditetapkan ternyata tidak dapat
mempercepat proses pembangunan atau bahkan memperlambat, maka tidak
menutup kemungkinan untuk merevisi atau memperbaiki rencana yang
ada. Dengan demikian, aktivitas pengawasan harus dilakukan secara
periodik dan dalam kurun waktu yang cukup untuk dapat dengan segera
mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan dan
dengan segera melakukan intervensi atau tindakan yang diperlukan.
Pada tahap inilah peran sistem informasi perencanaan menjadi
penting.
Selain itu, prasyarat lain yang perlu diperhatikan dalam proses
monitoring untuk menjamin keberhasian mekanisme pengendalian adalah
keterbacaan rencana. Sebagai suatu instruksi atau pedoman bagi
suatu kelompok masyarakat, maka rencana yang baik adalah kejelasan
pedoman atau instruksi sehingga dapat dipahami secara jelas oleh
masyarakat. Keterbacaan suatu rencana harus memiliki kejelasan
dalam:
Apa : Jenis Pedoman Berapa : Intensitas/ Besaran Pedoman Dimana
: Lokasi Pedoman dilaksanakan Kapan : Waktu dan kurun waktu pedoman
dilaksanakan Siapa : Stakeholders pedoman Bagaimana : Cara dan alat
untuk melaksanakan pedoman Untuk Apa : Tujuan pedoman
dilaksanakan
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Sebagai contoh keterbacaan rencana pada penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota sesuai UU no 26 tahun 2007 dapat dilihat pada
gambar
RTRW KotaPeraturan Daerah Kotamengatur
diperhatikan dalam penyusunanmemuat
pedoman untuk
Ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dalam hal
Perubahan kondisi lingk strategistertentu yg berkaitan dg
bencanaalam skala besar & atau
Perubahan batas teritorial negaradan/ Provinsi & Kota
Jangka Waktu 20 tahunDitinjau kembali lebih dari 1 kali
dalam 5 tahun, dalam hal Perubahan kondisi lingk strategis
tertentu yg berkaitan dg bencanaalam skala besar & atau
Perubahan batas teritorial negaradan/ Provinsi & Kota
Jangka Waktu 20 tahun
jangkawaktu
RTRWN & RTRWP Pedoman Bid Penataan Ruang
RPJPD
Ps. 28
diacu
Perkemb permasalahan Provinsi sertahasil pengkajian implikasi
penataanruang KotaUpaya pemerataan pemb &
pertumbuhan ekonomi KotaKeselarasan aspirasi pemb Kota &
pemb
Kota/ kotaDaya dukung & daya tampung
lingkungan hidupRPJPDRTRWK yang berbatasanRTR kawasan strategis
Kota
TUJUAN, KEBIJAKAN & STRATEGI penataan ruang wilayah
KotaRENCANA STRUKTUR RUANG wilayah
Kota yg meliputi: Sistem pusat Kota Sistem jaringan prasarana
Kota
RENCANA POLA ruang wilayah Kota ygmeliputi:
Kawasan lindung Kota Kawasan budi daya yg memiliki nilai
strategis KotaPenetapan KAWASAN STRATEGIS KotaArahan pemanfaatan
ruang yg berisi
INDIKASI PROGRAM UTAMA jangkamenengah lima tahunanArahan
PENGENDALIAN
PEMANFAATAN ruang wilayah Kota Indikasi arahan peraturan zonasi
prov Arahan perizinan Arahan insentif dan disinsentif Arahan
sanksi
Penyusunan RPJPDPenyusunan RPJPMDPemanfaatan ruang &
pengendalian
pemanfaatan dalam wilayah KotaMewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, &
keseimbangan perkembangan antarwilayah Kota/kota, serta
keserasianantarsektorPenetapan lokasi & fungsi ruang utk
investasiPenataan ruang kaw strategis Kota
Siapa, Bagaimana
Untuk Apa
Apa,
Dim
ana
Kapan
Gambar 8. Keterbacaan RTRW Kota
B. Intervensi/Tindakan terhadap kondisi yang ada. Transformasi
dari pedoman-pedoman yang terdapat dalam rencana ke dalam tindakan
nyata
dilakukan melalui suatu intervensi. Intervensi dalam hal ini
adalah suatu program tindakan untuk merealisasi rencana yang telah
ditetapkan. Selama ini intervensi yang sering diterapkan dan lajim
digunakan adalah peraturan atau perundang-undangan, yaitu
ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar beserta
sangsi-sangsinya. Namun disamping itu perlu pula memanfaatkan
perangkat intervensi lain secara lebih terencana dan dapat
merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung. Perangkat
intervensi yang dimaksud adalah:
PerasaanPerasaan
PikiranPikiran
PerilakuPerilaku
PeralatanPeralatan
MOTIVASIMOTIVASI
INFORMASIINFORMASI
ORGANISASIORGANISASI
INSTALASIINSTALASI
SikapSikap, , perasaanperasaan, , usahausaha
PemikiranPemikiran, , pengetahuanpengetahuan, ,
pandanganpandangan
ProsedurProsedur--prosedurprosedur utamautama, ,
penangananpenanganan operasionaloperasional
PembangunanPembangunan fasilitasfasilitas & &
penyediaanpenyediaan alatalat
JENIS INSTRUMEN PENGENDALIAN PENGARUH TERHADAP
KETERANGAN
Gambar 9. Intrumen Pengendalian (Heidemann 1992, Wicaksono 1994,
Wicaksono
1999)
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
1. Motivasi. Motivasi bertujuan mempengaruhi masyarakat kota
untuk berpartisipasi menggunakan sumber dayanya serta terlibat
dalam perencanaan maupun realisasinya. Motivasi ini berkaitan
dengan perubahan sikap atau perasaan seseorang. Dalam situasi,
dimana peran masyarakat dituntut untuk lebih dominan dalam
pembangunan kota serta masih adanya potensi-potensi yang dimiliki
masyarakat , maka perangkat motivasi ini menjadi semakin penting.
Potensi-potensi yang dimaksud misal: sifat-sifat gotong royong yang
masih tertanam pada masyarakat ataupun kerelaan menyumbangkan
sebagian harta atau tanahnya untuk kepentingan umum. Beberapa
contoh intrumen bentuk motivasi dalam mewujudkan kota hijau antara
lain Penyelenggaraan even yang bersinggungan dengan tujuan kota
hijau atau berkelanjutan
(Kota Hijau, SAJISAPO, pemecahan MURI, karnaval bunga).
Pemberian reward/ penghargaan bagi yang berprestasi atau mendukung
kota hijau
(penyelenggaraan Lomba Taman Industri, lomba taman Perumahan,
taman RT, TOGA) Pelatihan terkait dengan kota hijau (Penanaman
Pohon, TOGA bagi kelompok masyarakat,
pembuatan biopori) Seminar terkait dengan kota berkelanjutan
2. Informasi Perangkat Informasi berkaitan dengan
perubahan-perubahan pengetahuan maupun pandangan masyarakat untuk
mendudkung tujuan yang ditetapkan. Hal demikian dicapai dengan
mengintrodusir pengetahun-pengetahun tentang kondisi dan fakta yang
ada serta prosedur-prosedur yang disepakati. Informasi ini dapat
memanfaatkan jalur-jalur komunikasi yang telah ada dan berkembang
di perkotaan seperti: komukasi lesan melalui penyuluhan, koran
(khususnya KMD), radio, televisi, seni pentas (pertunjukan
rakyat).
3. Organisasi Perangkat ini bersifat desinsentif, yaitu
berkaitan dengan prosedur-prosedur yang diijinkan dan yang tidak
boleh dilanggar beserta sangsi-sangsinya. Beberapa contoh instrumen
organisasi antara lain: PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang Ruang
Terbuka Hijau, Corporate Social
Responsibility (CSR) bagi RTH, PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang
persyaratan penanaman pohon untuk pengurusan
KTP PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang keringan pajak bagi lahan RTH
PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang emisi kendaraan bermotor. PERDA/
PERBUP/ PERWALI tentang emisi kendaraan bermotor dan kompensasinya.
PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang daya dukung lahan. MOU/ Kerjasama
dengan instansi lain terkait tujuan kota hijau
4. Instalasi Merupakan pengembangan sarana dan prasarana yang
sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang kota untuk mendukung
aktivitas yang diinginkan. Apabila perangkat peraturan
dikategorikan sebagai perangkat desinsentif, maka pengembangan
sarana dan prasarana ini merupakan perangkat insentif: yaitu
memberikan suatu nilai tambah berupa kemudahan, kelancaran dan
keuntungan bagi masyarakat yang mematuhi peraturan atau yang
mendukung terciptanya kondisi yang diharapkan. Penataan Taman dan
RTH Penambahan Perabot Taman Pembangunan Fasilitas Penunjang
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
6. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tentang kota berkelanjutan
dan mekanisme pengendalian di atas,
dapat dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut a.
Perkembangan perencanaan dari generasi pertama sampai generasi
ketiga telah membawa
perubahan yang mendasar pada setiap model perencanaan yang
dihasilkan. Masing-masing model memiliki karakteristik tersendiri
sesuiai dengan tantangan yang dihadapi. Model Perencanaan generasi
ketiga yang didasarkan atas teori sitem yang diperluas, menekankan
pada keterbatasan kapasitas dan kemampuan perencana dalam konteks
lingkungan yang lebih besar.
a. Terdapat beragam kajian teoritis yang merekomendasikan model
atau solusi preskriptif bentuk dan struktur ruang kota yang
berkelanjutan. Konsep konsep tersebut, dapat dikelompokkan dalam
model Neotraditional Development (termasuk di dalamnya New
Urbanism, Transit Oriented Development, Transit Village, Transit
Supportive Development, Transit Friendly Design), Urban Containment
(termasuk Urban Greenbelt, Urban Growth Boundaries UGBs, dan Urban
Limit Line ULL), Compact City dan The Eco-City .
b. Keempat model di atas memiliki kriteria yang serupa yaitu (1)
kepadatan yang tinggi ; (2) tingkat keragaman yang tinggi; (3) tata
guna lahan campuran; (4) bentuk kota yang kompak; (5) transportasi
yang berkelanjutan ; (6) passive solar design; (7) Greening
Ecological Design. Penelitian mengenani struktur ruang dan juga
bentuk kota yang berkelanjutan tersebut, diwarnai dengan pencarian
bentuk kota yang mampu (1) mengurangi ketergantungan terhadap
kendaraan bermotor sehingga menimbulkan emisi yang lebih rendah
sekaligus mengurangi konsumsi energi; (2) meningkatkan pelayanan
transportasi umum yang lebih baik; (3) meningkatkan aksesibitas;
(4) memanfaatkan kembali prasarana dan lahan yang telah dibangun;
(5) meningkatkan regenerasi kawasan perkotaan; (6) meningkatkan
kualitas hidup; dan (7) memberi perlindungan terhadap ruang terbuka
hijau.
c. Tiga kegiatan utama dalam mekanisme pengendalian adalah:
Monitoring dan Rekomendasi:, yang merupakan kaji banding antara
fakta (kondisi yang ada atau sedang berkembang) dengan tujuan
(kondisi yang diharapkan, yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Kota) serta rekomendasinya; Evaluasi, yang merupakan tinjauan
kembali terhadap tujuan yang telah ditetapkan dan dapat ditindak
lanjuti dengan revisi tujuan; Intervensi/Tindakan terhadap kondisi
yang ada,
d. Instrumen pengendalian merupakan perangkat intervensi yang
terdiri dari Informasi, Motivasi, Organisasi dan Intalasi, yang
saling terkait dan mendukung.
Referensi Acioly Jr , Claudio C. 2000. Can Urban Management
Deliver the Sustainable City? Guided
Densification in Brazil versus Informal Compactness in Egypt,
dalam Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing
Countries (editor Mike Jenks and Rod Burgess) .E & FN Spon,
London.
Berman, Michael Aaron. 1996. The Transportation Effects of
Neo-Traditional Development. Journal of Planning Literature. Vol.
10, No. 4, hal 347-363
Bohl, Charles C. 2000. New Urbanism and the city: Potential
Applications and Implications for Distressed Inner-city
Neighborhoods. Housing Policy Debate 11 (4): 761-801.
Geurs, Karst T. dan van Wee, Bert. 2006. Ex-post Evaluation of
Thirty Years of Compact Urban Development in the Netherlands. Urban
Studies, Vol. 43, No. 1, hal. 139-160
Hasse, John dan Kornbluh, Andrea. 2004. Measuring Accessibility
as A Spatial Indicator Of Sprawl. Middle States Geographer, 2004,
Vol 37. hal 108-115
Heidemann, Claus. 1992. Methodologie Der Regionalplanung - Die
Erste Und Einzige Kommentierte Bilderfibel Der Regionalplanung.
Diskussionpapier Nr.16.
Heidemann, Claus. 1992. Planning Theory. Institute for Regional
Planning/Science, University of Karlsruhe.
Hirt, Sonia. 2007. The Compact versus the Dispersed City:
History of Planning Idea on Sofias Urban Form. Journal of Planning
History. Vol. 6, No. 2, hal.138-165
-
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang
Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota
Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013
[email protected] [email protected]
Jabareen, Yosef Rafeq. 2006. Sustainable Urban Form: Their
Typologies, Model, and Concepts. Journal of Planning Education and
Research. Vol. 26, 38-52.
Jacobs, Jane. 2002. The Uses of Sidewalks: Safety from the Death
and Life of Graet American Cites dalam The City Reader (editor
Ricahrd T. LeGates dan Frederic Stout) . Routledge, Taylor &
Francis Group. London and New York
Kentworthy, Jeffrey R. 2006. The Eco-city: Ten Key Transport and
Planning Dimensions for Sustainable Development. Environment and
Urbanization. Vol. 18, No.1, hal. 67-85
Neuman, Michael. 2005. The Compact City Fallacy. Journal of
Planning Education and Research. Vol.25, hal.11-26.
Newman, Peter. 1996. Reducing Automobile Dependence. Environment
and Urbanization. Vol. 8, hal 67-92.
Riddell, Robert. 2004. Sustainable Urban Planning: Tipping the
Balance. Blackwell Publishing Ltd Rittel, H. 1972. On the Planning
Crisis: Systems Analysis of the First and Second Generations,
dalam Bedriftskonomen, No.8, October; pp. 390-396. Rittel, H.
and Webber, M. 1973, Dilemmas in a General Theory of Planning,
dalam Policy
Sciences 4(2): 155-169. Rodriguez, D., Targa, F., dan Aytur, S.
2006. Transport Implications of Urban Containment Policies:
A Study of the Largest Twenty-five US Metropolitan Areas. Urban
Studies, Vol. 43, No. 10, hal. 1879-1897.
Schneider, Annemarie dan Woodcock, Curtis. 2008. Compact,
Dispersed, Fragmented, Extensive?. A Comparison of Urban Growth in
Twenty-five Global Cities using Remotely Sensed Data, Pattern
Metrics and Census Information. Urban Studies. Vol. 45, No. 3, hal.
659-692.
Schnwandt, Walter L.. 2008. Planning in crisis? : theoretical
orientations for architecture and planning. Ashgate Publishing
Limited
Talen, Emily, dan Cliff Ellis. 2002. Beyond relativism:
Reclaiming the search for good city form. Journal of Planning
Education and Research. Vol. 22, hal. 36-49.
Talen, Emily. 2006. Design That Enables Diversity: The
Complications of a Planning Ideal. Journal of Planning Literature.
Vol. 22, No.3, hal. 233-249
Whitehead, Mark. 2003. (Re)Analysing the Sustainable City:
Nature, Urbanisation and the Regulation of Socio-environmental
Relations in the UK. Urban Studies, Vol. 40, No. 7, 11831206
Wicaksono, Agus Dwi dan Supriharjo, Rimadewi . 2009. Sustainable
Urban Mobility: Eksplorasi pengaruh Pola Struktur Kota. Makalah
pada Seminar Nasional Teknik Sipil ITS V 2009 dengan Tema Teknologi
Ramah Lingkungan dalam Bidang Teknik Sipil.
Wicaksono, Agus Dwi. 1994. Die Stadtplanung in
Ostjava-Indonesien; Aufgaben, Arbeitsablaeufe und
Erfolgs-aussichten. Universitaet Karlsruhe.
Wicaksono, Agus Dwi. 1999. Realisasi Perencanaan Kota di Jawa
Timur. Jurnal Fakultas Teknik Vol 2.tahun 1999
Wicaksono, Agus Dwi. 2008. Evaluasi Struktur Tata Ruang Kota
Probolinggo Berdasarkan Aspek Transportasi Berkelanjutan. Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya
Woo, Myungje. 2007. Impact of Urban Containment Policies on
Urban Growth and Structure. The Ohio State University.